Upload
thomson-affendy
View
65
Download
11
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tugas gigi dan mulut
Citation preview
1
IMPLIKASI DAN PENANGANAN XEROSTOMIA PADA PASIEN HIV
Kishore Shetty, DDS, DDPH
Orang pada normalnya memproduksi sedikitnya 500 ml saliva dalam
jangka waktu 24 jam.
Aliran saliva sangat berbeda dalam waktu tertentu dalam periode 24 jam
tergantung kebutuhan status fisiologis dari pasien. Saliva terdiri dari dua
komponen yang disekresikan oleh mekanisme independen.
Yang pertama, komponen cairan yang mengandung ion, diproduksi
utamanya oleh stimulasi parasimpatis. Kedua, komponen protein yang berasal dari
vesikel sekretori di acini dan dilepas terutama karena respon simpatis.
Eksitasi dari kelenjar saliva mensitmulasi sekresi saliva, tapi efek dari
saraf parasimpatis lebih kuat dan bertahan lebih lama.
Kelainan pada kelenjar saliva berupa pembesaran kelenjar parotis,
xerostomia atau mulut kering, juga ada. Kekeringan kavitas oral bisa sangat
mempengaruhi kualitas hidup, mengganggu fungsi sehari-hari, seperti makan,
berbicara dan tidur. Pengurangan volume saliva dan kehilangan fungsi antibakteri
dari saliva bisa mempercepat infeksi, tanggalnya gigi dan penyakit periodontal.
Simptom oral yang lain : nyeri, perlengketan makanan ke permukaan
buccal, lidah pecah-pecah, dan disfagia. Selain karies gigi, angular cheilitis yang
berhubungan dengan candidiasis juga bisa terjadi. Reseptor pengecapan juga bisa
menjadi abnormal, menyerupai pasien dengan idiopatik hypogeusia, dan
jumlahnya juga berkurang. Plak-plak bertambah.
Dengan penggunaan highly active anti-retroviral theraphy(HAART), pola
manifestasi oral pada pasien HIV telah berubah. Walau begitu, prevalensi
penyakit kelenjar saliva naik secara signifikan. Penyakit kelenjar saliva naik 4-8%
pada dewasa dan anak-anak dengan infeksi HIV. Tanda utama penyakit kelenjar
saliva pada penderita HIV adalah : Penyakit kelenjar saliva + HIV dengan
1
xerostomia dan pembesaran kelenjar saliva (disebabkan oleh sarkoma kaposi ),
Non-Hodgkin Lyphoma, lymphadenopati intraglandular, dan staladenitis supuratif
akut.
Penyakit kelenjar ludah HIV (HIV-SGD) adalah kelainan yang ditandai
dengan pembesaran kelenjar ludah dan xerostomia yang persisten maupun
rekuren. Kelenjar parotid paling sering terkena, menyebabkan pembesaran
bilateral. Penyakit kelenjar saliva banyak terjadi pada kasus HIV kronik, tapi
kadang-kadang bisa menjadi manifestasi klinis pertama yang muncul. Rasio pria-
ke-wanita yang lebih tinggi telah dilaporkan, tetapi ini mungkin mencerminakn
epidemiologi dari pasien yang telah dilaporkan. Walaupun patofisiologi yang
tepat masih tidak jelas, teori-teori ttg asal dari SGD meliputi lesi lymphoepitelial,
kista yang melibatkan parenkim saliva, dan infiltrat inflamasi yang mirip dengan
yang terlihat pada sjogren syndrome. Gambaran klinis HIV-SGD mirip dengan
Sjogren syndrome, bagaimanapun ada perbedaan histopatologis dan serologis
yang jelas. Pasien dengan HIV-SGD biasanya tidak mempunyai antibodi anti-Ro
maupun anti-La.
Histopatologi kelenjar saliva minor pada HIV-SGD dan Sjogren Syndrome
cukup mirip, yaitu didominasi oleh infiltrat lympositic perivaskular, periacinar
dan periduktal; bagaimanapun, mayoritas T-cell adalah CD8. Lesi lymphoepitel
multikistik bisa juga timbul, tetapi perubahan kistik bisa muncul juga dari
sumbatan duktus intraglandular oleh jaringan limphoid yang hiperplastik.
Greenspan mendeskripsikan kemungkinan penyebab antara SGD dan
infiltrasi sel CD8+ limfosit T pada kelenjar. Peranan etiologi viral pada SGD telah
didiskusikan pada literatur. EBV dan CMV telah terutama dipertimbangkan
sebagai agen yang paling mungkin bertanggung jawab untuk SGD, walalupun
banyak studi telah gagal menunjukkan virus ini pada SGD. Syndrome limfositosis
infiltratif difus(DILS) ditandai oleh limfositosis dan infiltasi limfosit visceral.
Mempengaruhi kelenjar saliva dan paru-paru(pneumonia limfositik interstisial).
Kriteria diagnosis untuk DILS termasuk seropositif HIV dengan pemeriksaan
1
ELISA dan western blot, pembesaran kelenjar saliva bilateral, atau xerostomia
persisten lebih dari enam bulan, dan konfirmasi histologi keterlibatan neoplastik
maupun granulomatous pada kelenjar saliva atau lakrimal.
Paling penting adalah, pasien dengan diagnosis DILS punya resiko 4x lipat
lebih banyak daripada pasien non DILS untuk mendapat hodgkin’s lymphoma.
Jika pasien mengalami kering pada mata dan mulut + SGD yang mirip
dengan pada Sjogren Syndrome, pemeriksaan lengkap untuk penyakit connective
tissue atau defisiensi imun yang lain harus dilakukan. Kemungkinan mendapat
karies pada penderita HIV tetap kontroversial. Beberapa pengarang kembali ke
teori meningkatnya terkena karies karena immuno supresi lokal dan general
dengan hilangnya sekresi saliva, dimana yang lain tidak mendapat variasi yang
berarti ketika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Secara umum, pasien
dengan HIV kronis memperlihatkan angka karies yang lebih tinggi. Xerostomia
yang tidak berhubungan dengan HIV-SGD bisa muncul pada infeksi HIV sebagai
konsekuensi dari analog nukleosida HIV reverse transkriptase inhibitor, oleh
mekanisme yang tidak diketahui.
Didanosine memicu xerostomia, faktanya xerostomia bisa terlihat pada 1/3
dari pasien yang meminumnya. Sampai 7% pasien yang menggunakan protease
inhibitor bisa mendapat xerostomia.
Pembesaran kelenjar saliva seringkali tidak ditangani. Observasi adalah
penanganan utama, sekiranya faktor penyebab lain sudah disingkirkan. Penilaian
fungsi saliva harus dilakukan pada pemeriksaan gigi pertama. Palpasi dan
pemerasan kelenjar utama harus menjadi bagian standard pada pemeriksaan
kepala dan leher lengkap pada pasien yang HIV positif. Ketika jelas bawa ada
pembesaran kelenjar progressif, fungsi harus dikonfirmasi dengan pemerasan
kelenjar yang terlibat dan mengobservasi aliran. Jika alirannya tidak ada atau
minimal, studi aliran yang lebih mendalam mungkin memberikan penilaian
objektif dari hilangnya fungsi. Keluarnya nanah dari duktus menunjukkan infeksi
akut dan harus ditangani. Jika SGD akut, penanganannya harus meliputi
1
menyingkirkan diagnosa tumor, infeksi (viral maupun bakterial) ataupun
sialolithiasis. Pembesaran asimptomatik harus dimonitor dan aliran saliva harus
dinilai pada kunjungan ulang.
Agen pelumas dalam bentuk gel, pencuci mulut, pewangi mulut dan pasta
gigi telah digunakan dengan hasil yang berbeda-beda untuk menghilangkan
simptom xerostomia. Permen karet maupun permen yang bebas gula bisa
membantu meningkatkan salivary output tapi bisa saja ada ketidaknyamanan
maupun ketidakpatuhan dari pasien. Saliva buatan komersial, tersedia dengan
menggunakan resep, juga bisa menghilangkan rasa tidak nyaman tersebut.
Penanganan Terapeutik
Pilocarpine adalah agonis parasimpatetik reseptor M3 asetikolin
muskarinik sehingga menstimulasi sekresi oleh kelenjar eksokrin seperti saliva,
kelenjar, lakrimal dan mukus respiratori; kontraksi dari otot polos dan motilitas
saluran GI maupun saluran kemih, kantung dan saluran empedu, serta bronkus.
Efek ini telah membuat beberapa klinisi tidak lagi menggunakan pilokarpin.
Pilokarpin diabsorbsi dari saluran GI dan konsentrasi plasma puncak didapat
dalam kurang lebih 1 jam. Pilokarpin dimetabolisme oleh hati dan dieksresi
utamanya oleh ginjal dengan waktu paruh eliminasi kurang lebih 1 jam.
Pilokarpin sistemik akan meningkatkan sekresi kelenjar eksokrin dan bisa juga
meningkatkan efek samping yang memperlihatkan aksi kolinergiknya.
Cevimeline. Cevimeline (±) cis-2methylspiro[1,3-oxathiolane-5,3’-
quinuclidine] mono-hydrochloride, hemihydrate; (SNI-2001; Evoxac) adalah
analog quinuclidine dari acetylcholine dengan afinitis tinggi untuk reseptor
muskarinik M3 pada kelenjar lakrimal dan salivari tetapi afinitas rendah untuk
reseptor ekuivalen M2 pada jaringan jantung dan paru. Cevimeline meningkatkan
aliran saliva pada tikus normal dan tikus dengan xerostomia karena penyakit
autoimun, dan tikus dengan xerostomia karena radiasi. Terapi dengan cevimeline,
30 mg 3x sehari bisa ditoleransi dan menghilangkan simptom xerostomia, dimana
1
dosis 60 mg 3x sehari walaupun menghilangkan simptom, dihubungkan dengan
peningkatan kejadian efek samping, terutama kelainan GI. Cevimeline
dimetabolisme di hati dan diekskresi melalui ginjal. Mempunyai waktu paruh ±5
jam(lebih bagus daripada pilokarpin) bagaimanapun, efek samping dari
vecimeline sama dengan pilokarpin. Telah disangkakan bahwa cevimeline bisa
digunakan pada xerostomia sekunder karena radiasi, infeksi HCV dan terapi obat,
tetapi diperlukan data lebih lanjut.
Kebanyakan kasus SGD akan menunjukkan regresi ketika antiretroviral
digunakan. Ini berguna pada kasus asimptomatik tanpa disfungsi kelenjar saliva.
Terapi radiasi efektif dalam mengecilkan ukuran kelenjar pada orang dewasa.
Terapi operasi untuk SGD biasanya estetik ketika pembesaran megganggu
aktivitas sehari-hari. Pendekatan ini terdiri dari reseksi sebagian dari kelenjar atau
ablasi dan hanya digunakan pada kasus paling parah.
Kedua agen kolinergik yang digunakan, belum disetujui untuk digunakan
pada anak-anak. Anak-anak dengan xerostomia memerlukan penjagaan hygiene
oral yang agressif, pencegahan, penggunaan treatment fluoride
secukupnya(minimal dua kali setahun) dan kontrol karies. Penggunaan fluoride
bisa dipertimbangkan dengan penurunan fungsi yang berat. Kunjungan ulang
harus dijadwalkan setiap tiga sampai lima bulan pada anak dengan disfungsi
saliva karena meningkatnya kemungkinan terkena karies.
Efek xerostomia jangka panjang
- pembesaran kel. Saliva- nyeri pada mukosa oral- bibir yang kering, pecah dan nyeri- kandidiasis oral- meningkatnya frekuensi karies gigi- penyakit gingiva dan periodontal- depapilasi lidah- kesulitan makan, menelan dan berbicara- dysgeusia( gangguan pengecapan )
1
obat yang dapat menyebabkan xerostomia
- protease inhibitor- didanosine- disopyramide- dideoxyinosine- diuretik- antipsychotic- tricyclic antidepressant- serotonin reuptake inhibitor- antihistamin- atiemetik- decongestan- bronchodilator- appetite suppresant- omeprazole- lithium- amphetamin
1
IMMUNE RECONSTITUTION DISEASE (IRD)SEMAKIN MENINGKAT;
PENTING UNTUK DIKENALI
Maru J. Murphy, MD
Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART) diperkenalkan pada tahun
1996. Penggunaan HAART dimana-mana telah mengakibatkan penurunan
morbiditas dan mortalitas pasien HIV. Kelebihan HAART terutama
dibhubungkan dengan pengurangan infeksi dan malignansi oportunistik karena
HIV, dan hasil dari replikasi HIV dan restorasi immuno-competence. Pada saat
yang sama, efek HAART telah diimplikasikan sebagai penyebab sindrome baru
yang dikenal sebagai rekonstitusi imun atau immune reestoration disease(IRD).
Sedangkan frekuensi tepatnya dari sindrom ini masih tidak jelas, adalah penting
bagi para klinisi untuk mengenalinya, terutama karena ia mungkin punya
manifestasi klinis yang tidak biasa, dibandingkan dengan presentasi klinis infeksi
opportunistik dan malignansi yang berhubungan dengan HIVatau tidak bisa
dibedakan dengan toksisitas yang berhubungan dengan HAART.
IRD ditandai dengan perburukan klinis paradox atau tak terduga di pasien
yang memulai HAART. Biasanya terjadi pada beberapa minggu pertama setelah
dimulainya HAART, tapi bisa juga muncul setelah bbrp bulan memulai terapi
HAART.
Patofisiologi IRD diperkirakan berhbuungan dengan meningkatnya respon
inflamasi yang dibawa oleh peningkatan sel T CD4+ dan CD8+, dan juga
membaiknya delayed hypersensitivity. Perubahan produksi sitokin yang
bergantung pada sel T bisa juga terlibat. Penurunan cepat mula-mula pada viral
load terjadi karena efek HAART pertamanya dihubungkan dengan peningkatan
sel T karena redistribusi antigen yang terpapar dengan sel efektor serta naiknya
produksi limfosit CD4+ dan CD8+. Meningkatnya respon inflamasi diubungkan
dengan pemulihan imun biasanya terhadap organisme yang sering ditemui pada
lingkungan, semisal mycobacterium dan virus herpes.
1
Banyak kasus IRD yang dilaporkan dalam HIV/TB pada pasien yang
memulai HAART. Perburukan TB setelah terapi anti-TB terlah sebelumnya
diperlihatkan pada pasien non HIV. Ini biasanya karena respons yang meningkat
terhadap antigen mikobakterial yang dibawa oleh terapi TB. Insidensi dan
keparahan perubahan klinis karena penanganan TB kelihatannya paling parah
pada pasien HIV positif yg menggunakan HAART dibanding dengan pasien HIV
tanpa HAART dan pasien tanpa HIV.
Manifestasi klinis IRD pada pasien HIV dengan TB menggunakan
HAART: demam panjang, perburukan simptom respiratori dan infiltrat paru,
lymphadenopati, efusi pleura dan perikardial, lesi kutaneus, keterlibatan intestinal,
tuberkuloma intrakranial. Pembesaran limph node bisa terjadi di rongga badan
dan kelenjar superfisial, nekrosis kaseosa dengan drainase bisa terjadi.
Pemeriksaan histologis bisa menunjukkan granuloma tetapi biasanya tidak ada
organisme yang terlihat. Walaupun kultur kadang menunjukkan positif untuk
MTB, lebih sering negatif, dan hapusan AFB jarang positif. Terjadinya IRD pada
pasien HAART yang terinfeksi MTB bervariasi dari 10 – 180 hari sejak
permulaan HAART. Menariknya, penurunan absolut pada viral load HIV bisa
menjadi faktor resiko signifikan untuk IRD yg berhubungan dengan TB daripada
peningkatan derajat sel T. Infeksi fokal ekstrapulmonal yang telah ada
sebelumnya juga adalah suatu faktor resiko. Karena frekuensi IRD-TB pada
pasien dengan HAART, beberapa klinisi telah menyarankan penunddan HAART
pada pasien HIV/TB sampai mereka telah mendapat 1-2 bulan terapi anti TB.
M. avium adalah salah satu infeksi opportunistik AIDS yang ditemukan
dalam kontex rekonstitusi imun. Berbeda dengan TB, MAC IRD terjadi lebih
sering pada pasien tanpa diagnosis MAC disseminata sebelumnya, menunjukkan
asal subklinis dari infeksi ini. Tanda khas IRD-MAC adalah ia jarang muncul
sebagai penyakit disseminata dengan bakteremia dan keterlibatan bone marrow
dan sering muncul sebagai limfadenitis fokal melibatkan nodul intraabdominal
dan superficial. Granuloma juga sering dijumpai pada biopsi dan supurasi.
Manifestasi lain termasuk nodul kulit yang nekrotik, osteomielitis, massa
1
endobrachial, keterlibatan usus halus, busitis, dan penyakit addison. Hapusan
AFB dan kultur bisa negatif. Pada kebanyakan kasus, simptom muncul dalam
beberapa minggu sejak HAART dimulai.
Manifestasi okular dari CMV dengan HAART ditandai dengan inflamasi
yang banyak dinamai immune recovery itritis atau uveitis yang melibatkan
viterous body dan anterior chamber dari mata. Pasien sering mengeluhkan
penglihatan yang kabur dan berbayang. Komplikasi termasuk proliferative
vitreoretinopati dan posterior subcapsular karatak yang bisa mengakibatkan
kehilangan penglihatan yang permanen. Pasien dengan riwayat retinitis CMV
yang memulai HAART harus dikontrol dengan ketat oleh seorang spesialis mata.
Komplikasi serius terjadi lebih sering pada pasien dengan pasien dengan
keterlibatan retina karena CMV. Pasien tanpa riwayat CMV, tapi berada dalam
resiko karena kadar CD4 yang rendah harus di skriining untuk retinitis CMV
sebelum memulai HAART dan juga dimonitor dengan ketat untuk perubahan
visual. Walaupun ada kemungkinan untuk komplikasi, hasil pada kebanyakan
pasien yang mengalamai CMV IRD kelihatan bagus. Mereka bisa juga mengalami
proteksi immunologikal terhadap CMV yang membuat tidak diperlukannya lagi
terapi anti CMV. Manifestasi lain dari IRD/CMV adalah colitis, pancreatitis,
viremia CMV dan pneumonitis.
Insidensi herpes zoster pada pasien HIV meningkat setelah mengkonsumsi
HAART. Kebanyakan episode terjadi satu sampai empat bulan setelah memulai
hAART, biasanya bergantung kepada lokasi dan biasanya ringan. Ini berkorelasi
dengan persentasi baseline CD8+ yang tinggi dan kenaikan signifikan sel-sel ini
pada empat minggu setelah HAART dimulai.
Kemerahan karena hepatitis yang jelas bisamjuncul pada pasien dengan
HBV atau HCV setelah dimulainya HAART (Studi menunjukkan naiknya level
DNA HBV atau HCV pada beberapa, tapi tidak semua. pasien dengan suspek
kemerahan hepatitis kronis ). Toksisitas obat karena antiretroviral bisa menjadi
penyebab pada beberapa pasien. Kemerahan HBV karena putus obat HBV,
1
resistensi lamivudine, penyebab lain dari penyakit liver, seperti cholecystitis dan
infeksi baru seperti penyakit mikobakterial harus termasuk dalam dd. Biosi liver
bisa beguna dalam membedakan diagnosa-diagnosa ini. Peningkatan transaminasi
ringan-sedang sementara bisa diatasi dengan observasi saja. Pada dekompensasi
hati yang berat, HAART harus dihentikan. Sebagai atatan, ada laporan hepatitis
karena HAART pada pasien dengan HBV yang menyebabkan serokonversi dan
clearence antigen HBV, antigen permukaan HBV dan DNA HBV. Manifestasi
ekstrahepatik dari HCV telah dijelaskan pada pasien yang memulai HAART
termasuk poliarthritis, porphytra dan cryoglobulinemia.
HAART meningkatkan survival rate pada pasien AIDS dgn PML. Ia juga
menurunkan tingkat virus JC di CSF. Dan meningkatkan antibody JC. HAART
dihubungkan dengan PML IRD ditandai oleh pengembangan temuan neurologis
yang baru atau memburuk. Banyak kasus adalah ringan dan menunjukkan
perkembangan dengan melanjutkan HAART. MRI menunjukkan lesi kontras yang
atipikal pada pasien HIV dengan PML yang tidak menggunakan HAART dan
menunjukkan intensitas respons inflamasi.
Meningitis kriptokokus muncul setelah permulaan HAART bisa
dihubungkan dengan pleositosis CSF yang signifikan dan titer antigen
kriptokokus CSF yang tidak biasa, keduanya tidak ditandai dengan meningitis
kriptokokus pada pasien HIV yg tindak menggunakan HAART. Manifestasi lain
dari IRD kriptokokus adalah pneumonitis, limfadenitis dan ases kutaneus.
Proses noninfeksi yang berhubungan dgn IRD termasuk keganasan dan
penyakit autoimun. Perkembangan atau rekurensi sarkoma kaposi dan limfoma
berhubungan dengan dimulainya HAART. Grave disease dengan tanda dan
simptom hipertiroidism, LES dan sarcoidosis muncul mengikuti HAART.
Belum ada controlled trial yang telah dilakukan untuk mengevaluasi
pengobatan untuk IRD. Rekomendasi penanganan saat ini hanya berdasarkan case
dan case series report.
1
PERAWATAN GIGI PADA ANAK-ANAK DAN REMAJA PENDERITA
HIV
Asshore Shetty,DDS, DDPH
Oleh karena pandemi HIV/AIDS terus berlangsung, jumlah populasi anak-
anak di seluruh dunia yang terjangkit virus ini terus bertambah. Berdasarkan data
dari PBB, Program AIDS, pada tahun 2003 saja, 2.5 juta anak di seluruh dunia
terjangkit virus HIV dan lebih dari 500.000 orang meninggal.
Dengan adanya metode yang lebih baik dalam mendeteksi HIV/AIDS dan
terapi yang lebih baik, angka harapan hidup anak-anak yang terinfeksi HIV lebih
panjang, hal ini diakibatkan karena kerjasama dari para personil medis, termasuk
dokter gigi. Pengobatan yang terkini dan mekanisme terbaru dalam memeriksa
pasien memungkinkan para penderita hidup lebih lama, bahkan dengan jumlah sel
CD4 yang sangat rendah dalam rentang waktu lama. Selama masa ini, para
penderita juga menjadi lebih rentan untuk terserang infeksi opurtunistik. Beberapa
infeksi opurtunistik ini memiliki tempat predilksi di rongga mulut, sehingga
kesehatan mulut menjadi sangat penting bagi para dokter dan dokter gigi dalam
menangani anak-anak penderita HIV.
Berdasarkan literatur kedokteran gigi, anak-anak yang terjangkit virus
HIV memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami karies dibanding yang
tidak terinfeksi, terutama untuk nursing caries. Risiko terjadinya karies gigi dan
gingivitis dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor sosioekonomi, kurangnya
pengetahuan tentang perawatan kesehatan rongga mulut, dan faktor perilaku
seperti penggunaan botol susu yang sering telah terbukti memiliki hubungan
dengan terjadinya karies dan gingivitis. Meskipin demikian, ada faktor-faktor lain
yang meningkatkan risiko untuk penyakit plak pada anak-anak yang terinfeksi
HIV, termasuk imunkompromis yang progresif, efek obat-obatan pada saliva
maupun flora normal di rongga mulut, dan obat-obatan yang mencetuskan
terjadinya karies.
Lebih lanjut, anak-anak yang terinfeksi HIV mengalami pertumbuhan
yang terhambat dan gagal tumbuh, sehingga memerlukan penggunaan botol yang
1
berkepanjangan untuk memberikan suplementasi nutrisi yang adekuat. Sayangnya
suplemen yang diberikan mengandung gula dengan konsentrasi yang sangat
tinggi. Pada kasus yang seperti ini, gangguan pada rongga mulut diakibatkan oleh
pembersihan rongga mulut yang buruk dari makanan dan obat-obatan sehingga
akan meningkatkan risiko karies.
Artikel ini menggali tentang panduan klinis terkait standar perawatan gigi
dan rongga mulut untuk praktisi pelayanan primer pada anak-anak dan remaja
yang terinfeksi HIV.
Lesi di Rongga Mulut yang Umum dijumpai pada Pasien Pediatri yang
Terinfeksi HIV
Lesi terjadi di daerah mulut dan orofaring. Lesi yang muncul dapat
disebabkan oleh etiologi yang berbeda-beda. Lesi dapat tunggal maupun multipel.
Mikroorganisme penyebab dapat berupa virus, seperti herpes, cytomegalovirus
(CMV), dan virus Epstein-Barr; atau bakteri atau jamur. Lesi yang disebabkan
karena obat-obatan anti retroviral pernah dilaporkan. Sarkoma Kaposi sebagai
manifestasi HIV pada anak-anak sangat jarang dijumpai pada anak-anak terutama
di Negara-negara Barat.
A. Kandidiasis Oral
Lesi jaringan lunak yang paling sering dijumpai pada anak yang terinfeksi
HIV adalah kandidiasis oral pseudomembranosa. Kandidiasis eritematosa juga
umumnya dijumpai pada anak yang terinfeksi HIV.
Sejumlah faktor mempengaruhi risiko terjadinya kandidiasis pada anak-
anak. Pola pemberian makanan dan kebutuhan nutrisi meningkatkan frekuensi
asupan karbohidrat yang berfermentasi (contoh susu formula, jus, susu,
suplemen), terutama ketika diberikan lewat botol, akan mendukung pertumbuhan
kandidiasis.
Berkumur, manajemen obat-obatan dan nutrisi, serta membersihkan
seluruh mukosa dan jaringan gingival sejak lahir dapat membantu mengontrol
pertumbuhan kandida di rongga mulut dan menghambat progresivitas dari
1
kandidiasis oral. Pada bayi dan balita, lesi kandida dapat diobati dengan cara
usapan dengan nystatin. Obat anti jamur dapat juga digunakan. (Lihat tabel obat
antijamur).
Tabel 1. Terapi Antijamur untuk Kandidiasis Oral
Antijamur untuk Kandidiasis Oral pada Populasi Anak
Agen Dosis
Topikal
Suspensi nystatin oral
Clotrimazole troches
2-5 MI, 4-6 kali/hari
Tablet 10 mg, 3-5 kali/hari
Sistemik
Flucanazole
Itraconazole
Ketoconazole
3-5 mL, 4-6 kali/hari
100 mg/hari/oral, untuk anak > 3 tahun
5-10 mg/kgBB/hari
Bukti menunjukkan bahwa penggunaan antijamur secara kronis dan
berkepanjangan memiliki beberapa kekurangan, seperti resistensi, toksik dan
rusaknya sistem organ yang masih imatur. Lebih lanjut, baik sukrosa yang
terkandung dalam preparat antijamur maupun jus atau susu yang dikonsumsi saat
minum obat akan meningkatkan risiko terjadinya karies. Penghentian penggunaan
botol dan mulai menggunakan cangkir sedini mungkin dapat mengurangi risiko
terjadinya kandidiasis. Terkadang, anak-anak dengan imunokompromis yang
sangat buruk membutuhkan dosis antijamur yang lebih tinggi untuk mengobati
kandidiasis oral. Peresepan ini harus dilakukan dokter anak dengan spesialisasi
HIV pada anak.
B. Angular Cheilitis
Angular cheilitis umum dijumpai pada anak-anak yang terinfeksi HIV.
Angular cheilitis didiagnosis berdasarkan gejala klinis yang terlihat. Ini terlihat
sebagai eritema atau fisura pada sudut bibir dan sering diikuti dengan kandidiasis
intra-oral. Pada pasien dengan pigmen kulit yang gelap, depigmentasi dapat
1
terjadi di lokasi terjadinya angular cheilitis. Pada apusan sitologi sering tidak
dijumpai adanya hifa karena angular cheilitis dapat terjadi akibat asupan maupun
cara pemberian makan yang tidak adekuat bukan hanya karena infeksi jamur.
Pengamatan terhadap respon lesi atas pemberian terapi antijamur sangat penting
untuk mengetahui peranan Candida sebagai etiologi dari lesi.
C. Pembengkakan Kelenjar Parotid
Pembengkakan kelenjar parotid adalah lesi rongga mulut tersering kedua
yang dijumpai pada anak-anak yang terinfeksi HIV. Biasanya asimtomatis dan
bilateral, serta dapat sembuh maupun kambuh secara spontan. Penyebab
terjadinya pembengkakan belum sepenuhnya dimengerti; penjelasan yang
mungkin adalah infiltrasi sel-sel limfosit dan super infeksi oleh virus non-HIV.
Diagnosis banding dari parotitis dapat berupa infeksi bakteri, penyumbatan dari
duktus saliva, limfoma, dan leukemia. Berbeda dari kandidiasis, pembengkakan
kelenjar parotis tidak menggambarkan outcome pasien yang buruk.
D. Karies dan Gingivitis
Literatur menunjukkan bahwa anak-anak yang terinfeksi HIV memiliki
risiko yang lebih besar mengalami karies dan gingivitis daripada anak tanpa
infeksi HIV. Peningkatan risiko berhubungan dengan gigi yang busuk akibat
penggunaan botol susu, imunodefisiensi yang progresif, efek obat-obatan terhadap
aliran saliva dan flora normal di mulut, pertumbuhan yang terhambat dan/atau
gagal tumbuh. Faktor ekstrinsik seperti diet, oral hygiene yang tidak adekuat,
status sosioekonomi, kurangnya pengetahuan pengasuh, dan seringnya
penggunaan botol ketika akan tidur juga dapat menjadi faktor risiko tambahan.
Infeksi HIV, perubahan terhadap saliva dan xerostomia berkontribusi terhadap
keparahan penyakit yang berhubungan dengan plak. Tumbuhnya gigi dapat
tertunda pada anak-anak dengan infeksi HIV.
E. Xerostomia
Berkurangnya sekresi saliva, atau xerostomia, ditemukan pada pasien anak
dengan HIV dan dapat menyebabkan karies pada gigi. Frekuensi terjadinya hal ini
1
tidak diketahui dan etiologinya juga tidak jelas. Xerostomia sangat sulit untuk
dinilai; gejalanya dapat berupa feses yang kering, volume urin yang rendah,
konsumsi cairan yang meningkat, makan makanan yang berkuah dan lunak, dan
keluhan mulut yang kering. Pemberian gamma globulin dan antiretroviral
didanosine (ddI) diduga sebagai penyebab terjadinya xerostomia pada sebagian
anak.
Pada beberapa pasien, gejala yang timbul menyerupai Sjrogen Syndrome
dan pemeriksaan secara histologisnya tampak ada berupa lesi limfoepitelial kistik.
F. Aphtous Ulcers
Apthous ulcers pada anak dengan HIV (prevalensi < 10%) dapat
menyebabkan masalah yang serius, seperti nyeri dan terganggunya proses makan.
Diagnosis didasarkan pada karakteristik tampilannya, yaitu nyeri, bentuknya
bulat-oval, ulkus berwarna kuning keputihan yang dikelilingi halo eritematosa.
Bila perjalanan penyakitnya sudah berkepanjangan, ukuran dan lokasinya menjadi
atipikal. Terapi antiretroviral dengan zalcitabine telah ditetapkan sebagai
etiologinya. Sebagian besar apthous ulcer pada anak-anak dengan HIV sembuh
secara spontan. Penggunaan prednison jangka pendek dapat meringankan dan
mempercepat pemulihan.
Thalidomid telah terbukti sebagai terapi yang efektif pada apthous ulcer
yang tak sembuh-sembuh pada pasien HIV, namun efek teratogeniknya telah
dilaporkan terhadap wanita hamil. Pada remaja putri, thalidomide hanya
digunakan ketika 1) semua pilihan terapi telah dicoba, 2) pasien remaja putri ini
sudah tahu bahwa dirinya tidak akan hamil, dan 3) pasien remaja putri akan
menggunakan alat kontrasepsi. Thalidomid hanya dapat tersedia dengan
persyaratan tertentu. Seorang dokter anak dengan spesialisasi HIV harus dapat
mengkomunikasikan ini dengan pasien remaja putrinya sebelum menggunakan ini
sebagi pilihan terapi.
1
G. Herpetic Stomatitis
Herpetic stomatitis/ stomatitis herpetiformis merupakan infeksi virus yang
umum dijumpai pada populasi anak, tanpa memperhatikan status HIV-nya.
Lesinya dapat menjadi sangat parah pada anak yang terinfeksi HIV. Perjalanan
penyakitnya dapat lebih lama daripada yang seharusnya (10-14 hari). Lesinya juga
dapat menjadi lebih agresif dan dapat lebih sering kambuh. Diagnosis dari herpes
simpleks yang rekuren dapat ditegakkan dengan mengenali tampilan klinisnya.
Herpes labialis berupa sekumpulan vesikel yang bergabung dan membentuk ulkus
ireguler di daerah sekitar bibir atau peri-oral. Herpes simpleks intra oral yang
rekuren berupa sekumpulan vesikel yang berasal/terletak di mukosa yang
berkeratin.
Stomatitis herpetiformis pada individu yang imunokompeten merupakan
self-limited disease dan biasanya tidak memerlukan pengobatan. Namun pada
anak yang terinfeksi HIV, hal ini membutuhkan terapi medikamentosa, acyclovir
baik topikal, oral maupun intravena tergantung keparahannya dan imunitas anak.
H. Hairy Leukoplakia
Hairy Leukoplakia telah dilaporkan dijumpai pada anak yang terinfeksi
HIV, namun hal ini jarang terjadi. Hairy leukoplakia merupakan lesi ireguler,
berwarna putih, tidak rata, berlekuk-lekuk dan terletak pada bagian lateral atau
dorsolateral dari lidah. Lesi dapat unilateral maupun bilateral. Hairy leukoplakia
disebabkan oleh infeksi sel epitel oleh virus Epstein Barr. Dapat sembuh sembuh
sempurna ataupun tidak dan tidak diketahui peranannya sebagai faktor prognostik
pada penderita HIV.
I. Linear Gingival Erythema
Linear gingival erythema (LGE) umumnya berkaitan dengan pertumbuhan
gigi anterior, baik bagian atas maupun bawah; telah diamati pada pasien pediatri.
Berdasarkan pengalaman klinis, 10% anak dengan infeksi HIV mengalaminya.
Lesinya tidak menyebabkan masalah klinis ataupun masalah nutrisi. LGE terbatas
1
pada jaringan lunak periodonsia dan memiliki ciri khas berbentuk pita linear yang
eritematosa, dapat juga berupa punctuate erythema yang meluas hingga mukosa
alveolar. Pada sebagian besar kasus LGE, perdarahan baru terlihat setelah
pemeriksaan.
J. Periodontitis
Necrotizing ulcerative periodontitis (NUP) dan penyakit destruksi
periodonsia yang lain, seperti atypical necrotizing ulcerative gingivitis (ANUG)
jarang ditemukan pada penderita HIV anak-anak di Amerika Serikat. Risiko
terkenanya penyakit ini lebih tinggi dijumpai pada remaja yang terjangkit infeksi
HIV.
Pencegahan dan Rencana Pengobatan
Banyaknya faktor risiko yang berkaitan dengan masalah pada rongga
mulut menjadikan pencegahan sebagai sesuatu yang esensial. Penyediaan
rehabilitasi dan perawatan gigi merupakan tantangan bagi keluarga penderita
maupun dokter gigi. Penelitian menunjukkan bahwa jika sekali karies terjadi
maka akan sulit untuk mengontrol progresivitasnya. Lebih lanjut, dari hasil
penelitian juga menunjukkan rendahnya tingkat kepatuhan keluarga penderita
terhadap kesehatan dan perawatan gigi. Penyediaan pelayanan kesehatan mulut
yang memadai dan pengobatan penyakit mulut sebagai bagian dari pelayanan
kesehatan primer bertujuan untuk menurunkan risiko infeksi pada rongga mulut,
mengeliminasi nyeri dan penderitaan, dan meningkatkan kesehatan rongga mulut
maupun kesehatan secara umum pada semua penderita HIV.
Cara lain dalam pengobatan penyakit mulut adalah dengan deteksi dini
terhadap infeksi HIV. Sebagai contoh, kandidiasis yang menetap setelah masa
bayi merupakan tanda-tanda infeksi HIV yang tidak terdeteksi. Upaya pencegahan
oleh dokter-dokter gigi dan pemberi pelayanan kesehatan pada anak sangat
penting pada anak yang menderita HIV. Lihat tabel 2.
1
Tabel 2. Strategi Preventif Terhadap Kesehatan Rongga Mulut Pada Pasien
Pediatri yang Terinfeksi HIV
Strategi Preventif Terhadap Kesehatan Rongga Mulut Menurut Usia
Kelompok Usia Strategi Preventif
Bayi Mensupervisi penggunaan botol untuk pemberian
makanan maupun untuk menenangkan, manajemen
medikasi kariogenik.
Anak-anak Penambal gigi, penggunaan fluoride baik topikal
maupun sistemik yang optimal, suplementasi fluoride
sebagai pencerah, manajemen nutrisi dan obat-obatan,
pengaturan asupan karbohidrat yang dapat berfermentasi
dengan frekuensi rendah (misal jus, susu)
Remaja Menghilangkan sisa-sisa makanan ataupun obat-obatan
dengan membilas dengan air (berkumur) atau
membersihkan secara mekanis dengan alat, manajemen
nutrisi dan medikasi, mengidentifikasi penghalang yang
dapat mencegah remaja untuk memperoleh perawatan.
Penambal gigi, penggunaan fluoride sistemik maupun topikal yang
optimal serta suplementasi fluoride sebagai pencerah adalah kunci dalam strategi
preventif. Terapi pada gigi harus diterapkan pada perawatan di rumah dengan
efektif serta manajemen dalam nutrisi maupun obat-obatan dapat memberikan
pencapaian yang optimal oleh pemberi pelayanan kesehatan. Kondisi kesehatan
rongga mulut dan jaringan lunaknya menggambarkan derajat kemapuan perawat
(pemberi pelayanan kesehatan) dan penderita dalam menaati regimen perawatan
di rumah.
Antisipasi sebaiknya dimulai sejak prenatal dan terus berlanjut selama
masa bayi sebagai bagian dari pelayanan kesehatan primer yang menyeluruh pada
ibu hamil dan anaknya. Perawatan anak juga termasuk penggunaan botol dalam
1
pemberian makanan dan kesehatan rongga mulut. Rekomendasi lain dapat
diperoleh dari American Academy of Pediatric Dentistry.
Komponen dalam Pelayanan Kesehatan Primer
1. Adanya dokumen yang lengkap mengenai evaluasi terhadap kesehatan gigi
dan mulut sebagai bagian dari pemeriksaan secara keseluruhan dengan
interval waktu tiga bulan atau interval yang sesuai.
2. Pastikan perawatan gigi-mulut yang berkelanjutan terutama ketika
terdeteksi adanya kelainan pada pemeriksaan rutin. Setidaknya pada satu
penelitian terhadap pasien dengan HIV positif menunjukkan bahwa pasien
dengan HIV positif memiliki karies yang lebih banyak dibanding
saudaranya yang tidak terjangkit HIV. Pasien dengan HIV positif
cenderung untuk tidak menepati janji untuk bertemu dokter gigi, walaupun
untuk pengobatan.
3. Lakukan pendekatan yang membangun pada keluarga untuk mengubah
kebiasaan yang dapat menimbulkan penyakit gigi-mulut
4. Beri dukungan pada yang merawat mengenai penggunaan botol susu
sebagai cara yang tidak tepat untuk menidurkan anak.
5. Berikan informasi kepada keluarga mengenai masalah kesehatan gigi
mulut yang berat kemudian lakukan tindak lanjut pada anak yang
terinfeksi maupun saudara-saudaranya.
6. Rujuklah untuk segera memperoleh perawatan jika tanda dan gejala karies
dijumpai.
7. Perawatan gigi rutin:
A. Anak-anak dengan HIV positif sebaiknya memperoleh perawatan gigi
dan mulut sebagaimana mestinya berdasarkan kemampuannyauntuk
menjalani prosedur pengobatab, bukan berdasarkan status HIV-nya.
Bukan hal yang wajar bagi anak berusia 2-3 tahun untuk menjalani
perawatan gigi yang menyeluruh oleh karena karies.
B. Untuk pasien dengan HIV positif, terdapat risiko tambahan yang
dihasilkan dengan penggunaan medikasi karogenik. Obat-obatan yang
mengandung substansi kariogenik (contoh gula sederhana) seperti pada
1
nystatin kumur dan tablet isap dapat meyebabkan karies gigi yang
dapat menyebakan terbentuknya abses dan selulitis dengan cepat,
terutama pada gigi susu/desidua. Gigi susu memiliki enamel yang lebih
tipis dan rongga pulpa yang lebih besar. Karakteristik ini akan
menciptakan potensi untuk destruksi yang cepat terhadap struktur gigi
dan pembentukan abses/selulitis dengan pemberian makanan
kariogenik (termasuk susu, jus, suplemen gizi), dan/atau obat-obatan
seperti nystatin kumur maupun tablet isap atau obat-obatan lain yang
mengandung pemanis kariogenik. Obat-obatan yang menurunkan
aliran saliva akan meningkatkan potensi terbentuknya karies; termasuk
di dalamnya didanosine, dronabinol, foscarnet, interferon alpha-2A.
Pertimbangkan untuk menggunakan larutan kumur fluoride sebagai
“over-the-counter” ketika menggunakan obat-obatan kariogenik.
C. Anak-anak kecil dan yang fobia dapat menggunakan bius lokal
maupun umum dalam menangani perilakunya. Penilaian perilaku harus
dilakukan untuk menilai kemampuan bekerjasama dalam penanganan
perawatan gigi.
8. Ikut sertakan dokter gigi dalam tim pemberi pelayanan kesehatan.
A. Dokter gigi akan memberikan pengetahuan dan keahliannya dalam
upaya pencegahan maupun perawatan gigi yang rusak.
B. Menjadi bagian dalam tim akan memberikan informasi terbaru
mengenai perawatan gigi yang aman.
C. Pemberi perawatan gigi dapat membentu melatih anggota tim yang
lain dalam mengenali lesi di rongga mulut.
1
PENTINGKAH DILAKUKAN RAPID TEST HIV DALAM PENCEGAHAN
TERJADINYA HIV?
Pat Gootee, FNP
Dalam kurun waktu 20 tahun belakangan ini, test pada HIV merupakan tes
yang membutuhkan biaya banyak dan sulit. Hal ini tampak pada penderita HIV
yang melakukan tes sedikit yang mengambil hasilnya. Angka pasien yang
mendapatkan hasil setelah melakukan tes bervariasi diberbagai lokasi dan
populasi. Sebagai contoh, pada penelitian di North Carolina , Landis et al ,
melaporkan hanya 42% pasien yang melakukan tes kembali untuk mengambil
hasil tesnya kembali dan secara keseluruhan, di Amerika Serikat hanya 51% yang
mengambil tesnya kembali. Sedangkan pada penelitian di universitas Washington
di St. Louis terdapat perbedaan antara penderita HIV yang tidak diketahui
identitas dengan penderita HIV yang dirahasiakan identitasnya, berger, et al,
melaporkan bahwa 80% dari pasien yang melakukan test HIV kembali untuk
mengambil hasilnya. Sampai sekarang jangka waktu 2 minggu merupakan jangka
waktu yang normal dalam pengambilan hasil test HIV.
April 2003, CDC mengemukakan strategi baru dalam mencegah infeksi
HIV. 4 komponen strategi yang meliputi : 1. Memasukan test HIV dalam medical
check up rutin, 2. Menggunakan metode pemeriksaan baru disamping
pemeriksaan metode yang lama, 3. Mencegah infeksi pada pasangan orang-orang
yang terinfeksi HIV, 4. Mengurangi angka penularan secara vertikal.
Salah satu metode pemeriksaan HIV yang paling penting adalah test rapid
HIV dari Orasure Technologies , Bethlehem, PA. Oraquick digunakan pada
semua tipe darah ( melalui fingerstick atau venopuncture) pada November 2002,
dan pada Januari 2003 mendapati bahwa CLIA waiver merupakan prosedur yang
lumayan kompleks. 25 Maret 2004 FDA mengemukakan cara pemeriksaan baru
dengan menggunakan OraQuick pada saliva. Kurang dari 1 minggu setelah
dikemukakannya test tersebut , FDA mengemukakan deteksi untuk HIV 2 dengan
1
melalui pemeriksaan darah lengkap dengan OraQuick (dijumpai kebanyakan di
Afrika barat).
Rapid test OraQuick telah digunakan dan diteliti di berbagai fasilitas
kesehatan di India, Republik Kongo, Ivory Coast, Ghanam Vietnam, Honduras,
Republik Dominika dan Brazil, demikian juga pada daerah di Amerika Serikat
yaitu, Chicago, Houston, dan Washington DC. Pada negara – negara di Afrika
dengan jenis virus HIV yang bermacam – macam, hasil penelitian retrospectiv
pada pasien STD Tuberkulosis dan prenatal yang HIV positif menunjukkan bahwa
seluruh pasien dapat terdiagnosa secara akurat, dengan sensitifitas dan spesifisitas
100% yang menggunakan test rapid HIV 1 dan 2.
Penelitian lain yang dilakukan oleh WHO di Bostwana, WHO juga
merekomendasikan untuk dilakukannya test TB pada penderita HIV. Penelitian ini
bertujuan untuk menentukan kegunaan dari OraQuick HIV test tersebut untuk
mendeteksi antibodi HIV pada sputum. Dari 377 pasien, 84% merupakan HIV
positif melalui pemerisksaan serum ELISA. OraQuick Assay mendeteksi 98,4%
HIV pada sekresi ginggiva.
Sejak Januari sampai Juli 2002, CDC mengevaluasi 5.771 wanita dibagian
kebidanan dari 4 rumah sakit di Chicago untuk mengetahui tentang Mother Infant
Rapid Intervention at Delivey (MIRIAD). 3 rumah sakit menggunakan
pemeriksaan rapid dan 1 rumah sakit menggunakan test laboratorium. Hasilnya
diperoleh 513 dari 5.771 memenuhi persyaratan untuk melakukan rapid test dan
380 diantaranya memberikan informed concent untuk dilakukan MIRIAD. Dari
225 pasien yang melakukan test di 3 rumah sakit dengan pemeriksaan rapid dan
155 lainnya menggunakan test laboratorium.
Pemeriksaan EIA standar, western blood memberikan hasil 100% pada
rapid test. 3 wanita yang teridentifikasi menderita HIV dan telah di lakukan terapi
anti retroviral selama kehamilan dan melahirkan dijumpai bahwa tidak ada
satupun anaknya yang menderita HIV.
1
Waktu yang diperlukan pada pemeriksaan rapid yaitu 30 menit sampai 2,5
jam sedangkan pada pemeriksaan laboratorium membutuhkan waktu 3,5 jam
sampai 16 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa visi baru dari CDC dalam
penurunan transmisi HIV pada perinatal dilakukan dengan pemeriksaan pada
wanita yang tidak melakukan screening prenatal care ataupun pada wanita yang
tidak mendapatkan prenatal care.
Tedapat 3 rapid test yang telah diakui oleh FDA dan telah di gunakan di
Amerika Serikat yaitu, OraQuick Rapid HIV I/II Antibody Test, Reveal Rapid
HIV I Antibody Test, dan Uni-Gold Recombigen HIV test. Hanya OraQuick
Rapid Test yang diakui oleh CLIA.
Pada Rapid test tidak ada ketentuan dari negara untuk orang – orang yang
akan melakukan test, kualitas pemeriksaan ataupun kelayakan dari test. Test
tersebut dapat dilakukan di laboratorium, fasilitas kesehatan seperti praktek
dokter, tempat konseling HIV ataupun tempat – tempat test lainnya. Untuk
pemerikssan Rapid , sebuah organisasi harus mempunya sertifikat dari CLIA dan
mengikuti standar prosedur.
CDC menemukan bahwa 99 personel yang tidak memiliki latar belakang
laboratorium telah melakukan 2 test yang berbeda untuk Rapid test HIV. Semua
partisipan mendapat intruksi tertulis dan sebagian mereka juga mendapat
demonstrasi singkat. Angka kesalahan dijumpai 2,1% sampai 4,6% dengan
maupun tanpa demonstrasi. Jumlah test yang tidak valid berkurang pada
partisipan yang mendapakatkan demonstrasi singkat. CDC merekomendasi untuk
melakukan monitoring lanjut pada test rapid HIV yang dilakukan pada fasilitas
non laboratorium.
CDC melakukan penelitian menggunakan kohort terhadap penderita yang
diketahui maupun tidak diketahui status HIV nya. 100 relawan yang beresiko
rendah terhadap infeksi HIV dan 101 pasien pasien yang terinfeksi HIV direkrut
untuk dilakukan penelitian mengenai HIV yang sedang terjadi. 4 subjek yang
terinfeksi HIV ketika dilakukan test dengan OraQuick hasilnya negatif. 20 subjek
1
yang dipilih secara random dari sisa 97 pasien yang terinfeksi dan serumnya
diperiksa dengan menggunakan OraQuick dan gp41 EIA. Hasilnya : OraQuick
relatif dengan transudat mukosa mulut dan serum didapati 97 dari 101 subjek
yang terinfeksi HIV dan 0 dari 100 subjek yang tidak terinfeksi ( sensifitas dan
spesifisitas 96 dan 100% respektif). 79% dari subjek yang terinfeksi HIV
melakukan HAART pada penelitian yang menggunakan OraQuick. Hasil negatif
palsu dijumpai dengan tidak terdeteksinya viral load pada saat penelitian.
Pada survei yang dilakukan lewat telepon terhadap laboratotium lokal
pemeriksaan standar ELISA membutuhkan biaya sebesar $79 dan test konfirmasi
dengan Western Blood membutuhkan biaya $252. Sedangkan pada pemeriksaan
Rapid OraQuick HIV I/II membutuhkan biaya sebesar $14,4/test dan $20 untuk
tets ulang yang dilakukan setiap 3 minggu. Di Lousiana test HIV dilakukan secara
gratis untuk tiap pasien yang melakukan test di Lousiana Departemen of Health.
Kesimpulannya, Rapid Test HIV dengan OraQuick dapat digunakan untuk
menurunkan angka infeksi HIV diberbagai tempat, tidak hanya di negara – negara
barat tetapi juga di negara – negara yang berkembang.
1
KEBERHASILAN HAART DALAM PENATALAKSANAAN KARIES
GIGI.
Rick Mosca, DDS
Selama dalam kurun waktu 20 tahun belakangan ini perhatian berkembang
terhadap infeksi oportunistik pada penderita HIV. Sejak saat itu identifikasi dan
penatalaksanaan penyakit mulut seperti karies gigi menjadi penting dalam
kesehatan penderita HIV. Penelitian pada oral health di Amerika membuktikan
bahwa penyakit mulut disebabkan oleh aktifitas harian seperti makan, menelan
dan berbicara. Karies gigi ataupun tanggalnya gigi merupakan kasus yang sering
dijumpai pada kasus penyakit mulut, dijiumpai 90% dari seluruh orang dewasa di
Amerika Serikat. Karies gigi merupakan infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme kariogenik yang melakukan metabolisme permentasi karbohidrat
dalam makanan sehari – hari. Penelitian dengan menggunakan hewan bebas
kuman menunjukkan bahwa karies tidak terjadi tanpa infeksi bakteri.
Streptococcus merupakan mikroorganisme kariogenik utama yang
menyebabkan karies gigi disamping lactobacili eneterococci dan actinomycetes.
Streptococcus dijumpai mempunyai mekanisme vertikal dalam penularannya,
terutama melalui kontak langsung antara ibu dan anak ataupun melalui pemberian
ASI. Orang yang mengkonsumsi makanan tinggi karbohidrat sebagai contoh
konsumsi makanan yang mengandung sukrosa akan dijumpai titer bakteri
kariogenik yang tinggi pada mulutnya. Penelitian genetik pada manusia dimana
partisipan harus menghindari konsumsi sukrosa ( intoleransi fruktosa herediter
dan defisiensi sukrosa intestinal ) menunjang hipotesis bahwa sukrosa memiliki
efek yang besar dalam kolonisasi bakteria kariogenik pada gigi dan terjadinya
karies gigi.
Proses karies gigi dimulai ketika hilangnya ion kalsium dari permukaan
jaringan gigi (enamel, dentin, dan sementum). Dalam kondisi normal,
demineralisasi enamel dapat dikompensasi dengan remineralisasi yaitu suatu
proses dinamis yang ada dimulut.
1
Apakah PLWH meningkatkan resiko karies gigi sekunder yang
berhubungan dengan imunitas host? Apakah faktor resiko lainnya yang lazim
terjadi? Apa tindakan pencegahan yang harus dilkukan PLWH untuk mengurangi
resiko karies gigi?
Disamping makanan yang dapat menyebabkan kariogenik, PLWH dapat
meningkatkan resiko karies gigi yang berhubungan dengan modifikasi faktor
saliva. Saliva memilki kapasitas buffering untuk menurunkan tingkat keasaman
mulut dan saliva juga mengandung imunoglobulin terutama IgA. Parahnya
rendahnya jumlah saliva dapat menjadi indikator kuat dalam peningkatan resiko
karies gigi, hal ini mungkin disebabkan gangguan proteksi mulut yang dilkakukan
oleh saliva. Gangguan pada produksi saliva mulut dapat disebabkan oleh infeksi
HIV dan disfungsi kelenjar saliva atau juga dapat disebabkan oleh efek samping
xerostomia dari obat–obatan. Obat – obatan yang menghambat kolinergik pada
jaringan kelenjar saliva dapat menurunkan produksi dari saliva dan juga anti
depresan dan anti anxietas juga dapat menyebabkan gangguan produksi saliva.
Penatalaksanaan pada karies gigi meliputi modifikasi gaya hidup, pencerah
fluoride, cairan kumur flouride, clorhexidine dan kombinasi larutan kumur
clorhexidine dengan penambalan gigi. Fasilitas kesehatan harus lebih
memperhatikan faktor-faktor yang dapat berkontribusi untuk terjadinya penyakit
infeksi rongga mulut. PLWH harus memotifasi seluruh fasilitas kesehatan untuk
merubah gaya hidup dalam menurunkan angka morbiditas. Perubahan gaya hidup
yang paling efektif dalam penurunan infeksi rongga mulut meliputi gosok gigi
dengan menggunakan pasta gigi berflouride. Cara efektif dalam tekhnik gosok
gigi harus diajarkan. Permen karet xilitol telah terbukti dapat menurunkan resiko
kariogenik namun mekanismenya belum diketahui secara pasti. PLWH
menyarankan untuk menggunakan produk ini dalam penurunan resiko kariogenik.
Program penghentian konsumsi rokok harus di rekomendasikan pada orang-orang
yang merokok. Ibu dengan anak HIV positif harus diajarkan cara pemberian ASI
yang dapat mencegah terjadinya karies gigi. Tambalan gigi yaitu suatu polimer
1
yang melekat pada fisura gigi sangat efektif dalam pencegahan pembentukan
lubang dan fisura karies gigi pada anak-anak.
Konseling gizi harus dijadikan rekomendasi dalam pencegahan karies gigi.
Interview mengenai makanan yang dikonsumsi selama 24 jam, dan pertanyaan
mengenai frekuensi makanan yang dikonsumsi harus dilakukan dalam interpensi
penatalaksanaan HIV. Konsumsi gula dengan jumlah tinggi harus dihindari tanpa
mengganggu jumlah asupan kalori. Dalam beberapa kasus, modifikasi gaya hidup
dalam penurunan karies gigi harus ditekankan. Dokter meresepkan gel dan
pencerah flouride memberikan proteksi topikal melawan mikroorganisme
kariogenik. Regimen flouride yang biasa digunakan dalam bentuk topikal
mengandung pencerah flouride sebanyak 22.600 ppm. Aplikasi flouride perhari
diberikan dengan dosis 5.000 ppm. Beberapa penelitian meneliti penggunaan anti
mikrobial topical seperti obat kumur clorhexidine 0,12% sebagai obat yang
mensupresi seluruh mikrobakteri pada mulut dan penurunan kejadian karies telah
dilaporkan dengan penggunaan produk tersebut. Penelitian lebih lanjut terhadap
mikrobakteri kariogenik spesifik perlu dilakukan.
Perhatian terhadap fungsi dari saliva harus diberikan kepada PLWH
dengan penatalaksanaan disfungsi saliva sebagai indikasi. Suatu riview yang
dilakukan terhadap obat-obatan dengan efek kolinergik harus di lakukan sebagai
peyanan primer untuk men identifikasi faktor resiko dari karies gigi. Tidak ada
terapi konvensional untuk menanggukangi gangguan sekresi saliva pada penyakit
kelenjar saliva. Meskipun begitu, terdapat 2 obat yang terbukti sebagai
secretogogues untuk orang-orang dengan penurunan fungsi kelenjar saliva yang
diinduksi oleh radiasi dan Sjogren’s Syndrome yaitu pilocarpine (Salagen) dan
cevimeline. Obat ini mengaktivasi reseptor muskarinik pada kelenjar saliva untuk
mensekresi saliva namun obat-obat tersebuyt tidak dapat mengobati proses
inflamasi ataupun gangguan patologi pada jaringan kelenjar saliva yang
menyebabkan hiposekresi saliva.
1
Kesimpulannya, screening untuk infeksi oportunistik mulut harus dilakukan pada
pasien HIV untuk mencegah karies gigi, mengurangi komplikasi dari infeksi
odontogenik dan meningkatkan kesehatan penderita HIV.
1
PERAN FARMASI KLINIS YANG SANGAT PENTING PADA PASIEN
HIV RAWAT JALAN
Anna Edmunds – Ogbuokiri, PharmD, ASCP.
Salah satu hasil yang sangat bermakna dari pemberian terapi HAART pada
penderita HIV adalah penurunan kejadian infeksi oprtunistik yang drastis yang
sering melanda penderita HIV yang tidak diobatai sama sekali atau pengobatan
yang tidak berhasil, maka dari itu penyakit ini merupakan sebuah penyakit infeksi
kronik yang dapat diatasi, dan harus mendapatkan penatalaksanaan rawat jalan
jangka panjang.
Banyak hambatan yang terjadi dalam pencapaian keberhasilan terapi HIV,
efek toksisitas ARV masih menjadi permasalahan utama yang terkadang dapat
membuat pasien menjadi tambah sakit. Disinilah diperlukan ambulatory care
pharmacist (ACP) yaitu adalah seorang farmasis yang bekerja untuk menentukan
kebutuhan medikasi dan juga mengadakan hubungan yang erat dengan pasien,
keluarga, dan komunitas, untuk mencapai keberhasilan terapi polifarmasi seumur
hidup.
Berhubung poenyedia pelayanan kesehatan dapat dengan mudah dicapai
oleh orang awam, khususnya pasien menderita HIV pada saat kunjungan mereka
ke pelayanan kesehatan tersebut, ACP dapat menjalankan peranan yang sangat
penting untuk mencapai terapi yang optimal. Hal ini dapat dilakukan dengan
pemberian pemahaman tentang farmakologi, efek samping, kepatuhan pasien dan
interaksi obat sesuai dengan terapi kombinasi yang dipakai oleh setiap pasien.
Ketika ACP dilatih untuk berkomunikasi secara efektif untuk menyapaikan
informasi ini kepada penyedia pelayanan kesehatan lainnya dengan memberikan
berita terkini tentang HIV secara formal dan informal, begitu juga dengan bertatap
muka langsung antara ACP, penyedia pelayanan kesehatan, pasien care giver
lainnya, maka perbaikan klinis dan virologis dapat dicapai oleh penderita HIV.
1
Jasa pelayanan farmasi dapat ditingkatkan dengan cara pemeriksaan
toksisitas yang muncul pada kombinasi obat-obat pada setiap pasien. Sejak adanya
program komputer untuk menyimpan data tentang obat-obat yang masih
dikonsumsi oleh pasien, ACP dapat menginformasikan hal tersebut pada penyedia
pelayanan kesehatan untuk mengetahui obat mana yang menyebabkan atau
menimbulkan toksisitas. Tabel berikut menunjukkan efek-efek samping yang
timbul pada penggunaan terapi HAART yang digunakan bersamaan dengan obat-
obat lainnya yang menyebabkan toksisitas yang sama.
Table 1 : HIV-related drugs with overlapping toxicities*
a) Obat-obatanyang menyebabkan surpresi sumsum tulang AZTCidofovirCancer chemoteraphyDapsoneFlucytosineGanciclovirHidroxyureaInterferon-APentamidinePyrimenthamineRibavirinSulfadiazineTrimethoprin-Sulfamethoxazole (high dose)Trimetrexate
b) Obat-obatan yang nefrotoksik Adefovir (now removed from clinical trials)AminoglycosidesAmphotericin BFoscarnetIndinavirPentamidine
c) Obat-obatan yang menyebabkan gangguan pada pankreasDidanosineEthanolLamivudine (in children)
1
PentamidineValproic acid
Pemberian secara bersamaan tidak direkomendasi jika tidak dapat dihindari lakukan monitor ketat.
** Cotrimoxazole
** Cotrimoxazole menyebabkan peningkatan konsentrasi plasma dari Lamivudine
sebanyak 40% sehingga akan meningkatkan toksisitas lamivudine seperti sakit
kepala, mialgia, dan neutropenia. Lakukan pengamatan yang seksama sangat
diperlukan.
d) Obat-obatan yang hepatotoksik
Delavirdine nevirapine
Evafirenz Nucleoside reverse transcriptase inhibitors
Fluconazole protease inhibitor
Isoniazid rifambutin
Ketoconazole rifampin
e) Obat yang menimbulkan ruam kemerahan dengan atau tanpa rasa gatal
Abacavir
Cotrimoxazole
Dapsone
NNRTIs
Amprenavir
f) Obat yang menyebabkan diare
Clindamycin
Didanosine
Nelvinavir
Ritonavir
1
Lopinavir atau Ritonavir
Saquinavir
g) Obat yang menyebabkan toksisitas pada mata
Isoniazid (optic neuritis dan optic atrophy)
Cidovovir
Ethambutol
Lamivudine ( uveitis in children)
Rifabutin
h) Obat-obat yang harus dihindari pada pasien yang mengalami neuropati
perifer
Komposisi tunggal
Didanosine (videx, dll)
Nitrofurantoin (oral)
Nifrofurntoin makro crystal (oral)
Nifrofurntoin sodium injection
Stavudine (Zerit, d4T)
Zalcitabine (Hivid,ddc)
Komposisi jamak
Didanosine/calcium carbonat/magnesium salt (oral)
Didanosine/magnesium salt/ sodium citrat (oral)
Nitrofurantoin/hexylresorcinols/cetrimonium (oral)
Nitrofurantoin/pyridoxine HCL (oral)
Nitrofurantoin/Tetracaine (oral)
Sulfadiazine/ Nitrofurantoin (oral)
Sulfadiazine/ Nitrofurantoin/pneazopyridine (oral)
Sulfamethizole/ Nitrofurantoin (oral)
1
THALIDOMID UNTUK RECURRENT APTHOUS ULCERATIONS
Kishore
Recurrent Apthous Ulcerations (RAU) adalah penyakit mulut ukseratif
yang sering dijumpai, yang mengenai 10-5 % dari populasi. Secara klinis RAU
ditandai dengan ulkus dangkal yang sangat nyeri dengan halo (lingkaran) merah
pada mukosa mulut. Pertama kali ditemukan oleh Hippokrates 40 SM yang
dinamai dengan banyak nama oleh para profesional dan orang awam sebagai
canker sores, cold sores, aphtous stomatitis. RAU dilaporkan pada 2-4% pasien
HIV+ dan sering pada stadium lanjut HIV. Diagnosis yang tepat akan lesi oral
membutuhkan biopsi dengan kombinasi pemeriksaan fisik dan anamnesis.
Patogenesis RAU melibatkan respon imun seluler dengan TNF memiliki peranan
utama. Pada stadium preulseratif, terdapat sel infiltrat (limfosit) di epitel yang
menyebabkan pembengkakan papular lokal. Papul menjadi sangat nyeri yang
kemudian berubah menjadi ulkus dengan membran fibrinosa menutupi ulkus
tersebut, yang mana diinfiltrasi oleh neutrofil, limfosit dan sel plasma.
RAU sering terasa nyeri dan dapat menyebabkan sulit untuk berbicara, makan,
dan menelan hingga menurunkan kualitas hidup. Pada pasien dengan stadium HIV
lanjut, aphtous ulceration dapat menyebabkan weight loss. Aptus yang kecil
sembuh dalam 7-10 hari, sedangkan yang lebih besar dapat bertahan untuk
berminggu atau berbulan-bulan. Prinsip terapi RAU adalah menyembuhkan dan
pencegahan terbentuknya ulkus baru.
Tujuan utama dari terapi RAU adalah menghilangkan rasa sakit,
mengurangi durasi ulkus dan pengembalian fungsional mulut normal kemali.
Tujuan sekunder meliputi reduksi frekuensi dan tingkat keparahan dari rekurensi
dan pemeliharaan remisi. Tabel 1 menunjukkan obat-obat topikal dan sistemik
untuk RAU yang disetujui FDA. Pemberian obat topikal dapat mencapai tujuan
utama terapi tetapi tidak pada pasien HIV+ dengan aptus yang besar. Hal ini
membutuhkan pengobatan sistemik.
Walaupun thalidomide memiliki efek teratogenik, tetapi obat ini sekarang
digunakan pada pasien HIV yang menderita ulkus aptus. Thalidomide juga
1
memiliki kelebihan dalam mengatasi HIV-associated wasting dan merubah TNF-α
yang diketahui dapat menginduksi ekspresi HIV pada sel yang terinfeksi.
THALIDOMIDE
Thalidomide pertama diperkenalkan sebagai Contergan tahun 1956 di
Jerman Barat sebagai obat sedatif. Karena dianggap aman dan memiliki efek
antimuntah thalidomide diberikan pada wanita hamil dengan morning sickness
dan untuk mual yang berhubungan dengan influenza. Antara pengenalan dan
pencabutannya dari pasaran pada tahun 1960-an. Beribu bayi lahir dengan
deformitas yang berat, ekstremitas yang mengecil, dan juga malformasi organ
dalam. Akibat efek thalidomide diketahui dan ditarik dari pasar dunia pada tahun
1961. Selain efek teratogeniknya, thalidomide juga diketahui memiliki efek anti
inflamasi. Pada tahun 1964, seorang dokter di Israel memberikan thalidomide
pada pasien ENL (Erythematous Nodosum Leprosy) yang ditandai dengan nodul
yang sangat sakit dan pengrusakan sel saraf. Hasilnya nodul menghilang dalam
beberapa hari dan tidak muncul lagi apabila obat dihentikan. Sejak 30 tahun yang
lalu thalidomide sudah digunakan di seluruh dunia untuk terapi pada ENL derajat
sedang-berat pada lelaki dan wanita bukan usia subur. Efek imunomodulator
thalidomide akhirnya digunakan untuk beberapa ganggunan seperti RAU.
CARA KERJA
Cara kerja dari thalidomide tidak dapat dimengerti secara utuhdan
kemungkinan thalidomide berhubungan dengan modulasi imun, inhibisi sitokin
dan atau angiogenesis. Thalidomide yang terpenting adalah obat ini tidak
mutagenik, sitostatik atau mielosupresif. Pada sukarelawan laki-laki yang sehat
yang diuji, 200 mg thalidomide diberikan untuk 4 hari, menginduksi penurunan
sel T helper di sirkulasi darah, jika dibandingkan dengan T helper sebelum
pengobatan. Penurunan rasio T-Helper dan T-Supresor menyebabkan T-helper
menurun disirkulasi dan T-supresor meningkat. Thalidomide juga menghambat
produksi TNF- α dengan mempercepat degradasi protein pengkode mRNA.
1
FARMAKOKINETIK
Thalidomide di absorbsi secara lambat pada saluran pencernaan.
Peningkatan absorbsi sebanding dengan peningkatan dosis pada dosis yang
rendah, pada dosis 200 mg tercapai konsentrasi puncak yang mendatar. Peak
plasma concentartion dicapai 3-4 jam setelah pemberian obat.
Thalidomide tidak dimetabolisme di hati. Degradasi pertama thalidomide terjadi
secara hidrolisis spontan nonenzimatis pada darah dan jaringan, tetapi
metabolisme oleh aromatic-hydroxylasi juga terjadi. Waktu paruh thalidomide 5-7
jam dan tidak berubah sesuai dosis atau penambahan dosis. Total body clearance
pada sukarelawan sehat yang diuji, 10,41 ± 2,40 L/jam. Renal clearance 1,15 ml/
menit, menunjukkan eliminasi utama bukan dari ginjal. Ekskresi thalidomide dari
urin sangat minim dengan 0,7% dari dosis diekskresi dari urin tanpa diubah,
0,02% diekskresi sebagai 4-OH-thalidomide 12-29 jam setelah pemberian. Tidak
terdapat bukti bahwa umur, jenis kelamin atau ras mempengaruhi parameter plk
dari thalidomide.
Thalidomide dan RAU
The National Institute of allergy Infectious Diseases AIDS Clinical Dental
Group mengadakan sebuah studi tentang aktivitas dari thalidomide sebagai terapi
pada pasien HIV dengan ulkus aptus pada dengan metode double blind, random,
dan placebo-controlled study. Dari 57 sampel, 28 mendapat plasebo, 29 mendapat
thalidomide, 10 mg sekali sehari sebelum tidur selama 4 minggu. Secara
keseluruhan 26 (90%) dari pasien yang mendapat thalidomide menunjukkan
respon penuh atau parsial di akhir minggu ke-4, jika dibandingkan dengan hanya
7 (25%) dari 28 pasien yang mendapat plasebo. Resolusi komplit terjadi pada
beberapa pasien dalam 1 minggu dengan nilai tengah 3,5 minggu pada pasien
yang memberika respon terhadap pengobatan, thalidomide menurunkan rasa sakit
pada lesi aptus dan meningktakan kemampuan pasien untuk makan.
Sebuah analisis retrospektif dilakukan untuk menguji efikasi thalidomide
pada RAS pada 25 pasien yang imunokompeten dengan pemberian 50-100
1
mg/hari sebagai dosis inisial.Lama terapi mulai dari 1 minggu hingga 55 bulan/.
Dari 25 pasien, 6 diantaranya mengalami penyembuhan sempurna dan terapi dapat
dihentikan tanpa terjainya rekurensi yang bermakna. Sepuluh pasien memberikan
respon dan dapat terjadi remisi dengan thalidomide dosis rendah.
Neuropathy yang terjadi akibat penggunaan thalidomide ditandai dengan
rasa kebas yang sakit pada tangan dan kaki serta sering dibarengi dengan mati rasa
pada ekstremitas bawah. Neuropathy irreversible dapat terjadi apabila terapi
terlalu lama atau muncul disfungsi motorik. Akibatnya, penggunaan jangka
panjang dibatasi dan kebanyakan dari kasus yang ada efek yang merugikan akan
muncul pada pemberian dosis 100-300 mg perharinya dalam waktu lebih dari 6
bulan.
Uji klinis telah diadakan untuk menguji efektivitas dari thalidomide
topikal. Para peneliti memprediksi bahwa pada penggunaan thalidomide topikal
20 mg akan menyembuhkan secara efektif dan menurunkan rasa sakit pada ulkus
aptus tanpa adanya efek sampimg seperti pada thalidomide sistemik.
Pada terapi thalidomide, edukasi haruslah diberikan kepada pasien utnuk
mengenali gejala awal neuropati dan resiko teratogenik pada penggunaannya.
Rasaa kebas atau sakit pada ekstremitas membuutuhkan pemeriksaan oleh dokter.
Pasien harus kontrol setiap bulan pada 3 bulan pertama setelah gejala neuropati
diketahui, evaluasi harus dilakukan secara periodik. SNAP testing harus dilakukan
bulan pertama dan setiap 6 bulan. Seluruh pasien, apoteker dan dokter harus ikut
program STEPS. Pasien harus memiliki kriteria untuk mendapat thalidomide.
Inform consent haruslah ada untuk memastikan pengetahuan pasien tentang efek
samping dan syarat-syarat penggunaan thalidomide sudah baik.