PAPER KEHAMILAN POSTTERM

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan - Rumah Sakit Marinir Cilandak

Citation preview

KEHAMILAN POSTTERM

Kehamilan postterm dapat didefinisikan sebagai suatu kehamilan yang usianya memanjang hingga mencapai 42 minggu atau lebih. Pada umumnya pasien dengan kehamilan postterm disebabkan karena perhitungan tafsiran tanggal persalinan atau perhitungan usia kehamilan yang tidak akurat. Faktor resiko lain yang ikut berperan dalam terjadinya usia kehamilan postterm adalah primiparitas, riwayat kehamilan postterm sebelumnya, jenis kelamin fetus laki-laki, faktor genetik, faktor maternal (lebih berperan daripada faktor paternal), dan obesitas. Wanita hamil dengan obesitas dapat mencapai usia kehamilan 41 42 minggu. Di samping itu, metode hari pertama haid terakhir yang telah digunakan sebagai metode tradisional untuk menghitung tanggal tafsiran persalinan memiliki begitu banyak ketidakakuratan ketika metode ini diaplikasikan kepada wanita yang memiliki siklus haid ireguler, wanita yang baru saja berhenti menggunakan kontrasepsi, atau wanita yang mengalami perdarahan pada trimester pertama. Lebih banyak wanita yang mengalami siklus haid yang kurang dari 28 hari (oligo-ovulatory) dibandingkan dengan siklus haid lebih dari 28 hari (polyovulatory). Jika siklus haid lebih dari 35 hari, maka hasil USG kehamilan pada trimester kedua tidak cukup akurat untuk memprediksi usia kehamilan. Maka, tidak hanya kebenaran dari tanggal hari pertama haid terakhir, tetapi regularitas dan panjangnya siklus juga ikut berperan serta dalam memperkirakan usia kehamilan. Dengan menggunakan pemeriksaan USG pada trimester pertama kehamilan maka akan membantu untuk menentukan tafsiran persalinan yang akurat. Penting bagi setiap pemeriksa untuk mengerti tingkat kesalahan yang bisa terjadi pada setiap trimester kehamilan dalam mengukur usia kehamilan atau tafsiran persalinan dengan menggunakan USG. Rentang estimasi bervariasi pada setiap trimester kehamilan. Sebagai contoh, crown-rump length (CRL) memiliki rentang 3-5 hari. Apabila USG dilakukan pada usia kehamilan 12-20 minggu, maka rentang estimasinya 7-10 hari, pada 20-30 minggu memiliki rentang estimasi 2 minggu, dan setelah 30 minggu kehamilan memiliki rentang estimasi 3 minggu. Jadi, suatu kehamilan yang berusia 35 minggu berdasarkan perhitungan haid terakhir pasien dan 31 minggu berdasarkan pemeriksaan USG, sebenarnya bisa memiliki rentang antara usia kehamilan 32-38 minggu (35 minggu +/- 3 minggu). Dalam menentukan penatalaksanaan untuk kehamilan postterm (>40 minggu, tetapi kurang dari 42 minggu), ada tiga pilihan tindakan yang dapat dilakukan; yaitu 1) melakukan induksi persalinan, 2) tatalaksana pada ibu hamil, 3) pemeriksaan antenatal. Setiap pemeriksaan dapat digunakan di waktu tertentu dalam periode 2 minggu tersebut.

Dampak perinatal pada kehamilan postterm Beberapa penelitian terbaru memperlihatkan bahwa resiko terhadap janin dan terhadap ibu pada kehamilan yang terus berjalan melampaui waktu tafsiran persalinan lebih besar daripada yang dibayangkan. Resiko ini pernah dianggap rendah oleh karena dua alasan. Pertama, penelitian sebelumnya mengatakan bahwa pada umumnya pemeriksaan usia kehamilan dengan menggunakan USG yang dinyatakan postterm, sebenarnya tidak tergolong dalam kehamilan postterm. Perlu dicatat bahwa kesalahan dalam mengklasifikasikan usia kehamilan seperti di atas dapat menurunkan komplikasi dalam kehamilan yang sebenarnya adalah postterm dan meningkatkan komplikasi kehamilan yang sebemarnya adalah kehamilan aterm, hal ini menurunkan rentang perbedaan antara kehamilan aterm dan kehamilan postterm. Alasan kedua berkaitan dengan rata-rata kejadian stillbirth. Stillbirth dapat didefinisikan sebagai kematian janin yang lahir setelah usia kehamilan 24 minggu. Sebelumnya, kejadian stillbirth dihitung dengan menggunakan seluruh persalinan yang dilaksanakan berdasarkan usia kehamilan sebagai penentu. Namun, ketika janin lahir, janin tidak lagi berada dalam resiko kematian dalam rahim, dan penggunaan usia kehamilan sebagai penentu. Faktor penentu stillbirth yang tepat adalah bukan dari kelahiran berdasarkan usia kehamilan tertentu, tetapi dari kehamilan yang masih berjalan.

Resiko bagi janin dan neonatusKematian janin setelah kelahiran lebih banyak terjadi karena kematian perinatal dibandingkan karena komplikasi dari kelahiran prematur atau sudden infant death syndrome. Mortalitas perinatal (didefinisikan sebagai stillbirth yang disertai dengan kematian neonatus awal) pada kehamilan 42 minggu memiliki resiko lebih besar daripada kehamilan 40 minggu. Cotzias et al menghitung resiko terjadinya stillbirth pada kehamilan yang masih berjalan adalah sekitar usia kehamilan 35-43 minggu. Insufisiensi uteroplasenta, asfiksia (dengan atau tanpa aspirasi mekonium), infeksi intrauterin, dan anensefali berkontribusi dalam terjadinya kematian perinatal. Morbiditas paling sering terjadi pada janin yang lahir dari kehamilan postterm, seperti pada kehamilan yang berjalan hingga usia 41 minggu atau lebih yag disertai dengan mekonium dan aspirasi mekonium, neonatal acidemia, Apgar score rendah, makrosomia, dan trauma kelahiran. Janin yang lahir dari kehamilan postterm memiliki ukuran yang lebih besar daripada janin aterm, sehingga insiden terjadinya makrosomia lebih tinggi; dimana makrosomia diartikan sebagai estimasi berat badan janin 4.500 gram, selain itu janin postterm juga lebih beresiko untuk mengalami komplikasi. Komplikasi yang dapat terjadi seperti persalinan lama, disproporsi sefalopelvik, dan distosia bahu dengan resiko terjadinya trauma ortopedik atau neurologik. Sekitar 20% dari janin postterm memiliki sindroma dismaturitas (postmaturitas) janin, yang ditandai dengan karakteristik chronic intrauterine growth restriction yang disebabkan oleh insufisiensi uteroplasenta. Kehamilan ini meningkatkan resiko dari kompresi tali pusat dari oligohidramnion, pemeriksaan intrapartum dan antepartum janin yang tidak akurat, pengeluaran mekonium di dalam uterus, komplikasi jangka pendek neonatal (seperti hipoglikemia, kejang, dan pernafasan yang tidak sempurna). Sindroma aspirasi mekonium mengacu pada penekanan pada fungsi pernafasan dengan gejala takipnea, sianosis, dan penurunan kapasitas paru pada bayi baru lahir yang mengalami aspirasi mekonium dalam uterus dan insiden ini banyak terjadi pada neonatus dengan kehamilan postterm. Pencegahan yang bisa dilakukan dan cukup berkontribusi untuk melindungi paru-paru dari kondisi pneumonitis yang disebabkan oleh aspirasi zat kimia (chemical pneumonitis) yang dikarenakan paparan mekonium kronis, seperti amnioinfusion atau penyedotan mekonium di saluran nasofaringeal bayi secara teratur. Kehamilan postterm juga merupakan faktor resiko yang cukup besar untuk terkenanya ensefalopati neonatus dan kematian pada tahun pertama kehidupannya. Semua resiko yang telah disebutkan di atas seperti aspirasi mekonium, peningkatan resiko asidemia neonatus, dan stillbirth akan lebih tinggi angka kejadiannya pada usia kehamilan 41 minggu daripada pada usia kehamilan 40 minggu, dan dibandingkan dengan usia kehamilan 39 minggu. Sebagai contoh, pada satu penelitian ditemukan angka kejadian mekonium dan asidemia neonatus akan meningkat pada usia kehamilan di atas 38 minggu. Di samping itu, resiko stillbirth akan meningkat pada usia kehamilan di atas 42 minggu, dan penelitian lain menemukan bahwa resiko terjadinya mortalitas pada neonatys akan meningkat pada usia kehamilan di atas 41 minggu. Sebagai akibatnya, usia kehamilan 42 minggu tidak mewakili suatu batas dimana resiko-resiko terhadap janin akan muncul. Morbiditas neonatus (termasuk aspirasi mekonium, trauma lahir, dan asidemia neonatus) lebih rendah pada usia kehamilan sekitar 38 minggu dan resiko ini meningkat seiring bertambahnya usia kehamilan. Penelitian terdahulu pernah menyatakan bahwa kelahiran premature merupakan suatu faktor resiko terjadinya serebral palsi, tetapi pada penelitian terkini juga menemukan bahwa persalinan pada usia kehamilan 42 minggu atau lebih dapat menjadi faktor resiko terjadi serebral palsi pada bayi baru lahir.

Resiko maternal dan cara persalinanResiko maternal pada kehamilan postterm kerap kali diabaikan. Hal ini termasuk distosia pada persalinan, trauma perineum berat (laserasi perineum derajat 2 atau derajat 3) berhubungan dengan bayi makrosomia, persalinan normal pervaginam, dan pelipatgandaan kejadian persalinan seksio sesarea. Kondisi ini kemudian berhubungan dengan resiko komplikasi yang meningkat, seperti endometritis, pendarahan, dan penyakit tromboembolik. Selain terjadi resiko medis, ada pula dampak emosional yang terjadi (ansietas dan frustasi) dalam menjalani kehamilan yang usianya 1-2 minggu melebihi tafsiran persalinan yang tidak boleh diabaikan. Sama dengan komplikasi yang terjadi pada neonatus, morbiditas maternal juga meningkat pada kehamilan 42 minggu atau lebih. Komplikasi lain seperti korioamnionitis, laserasi perineum berat, persalinan seksio sesarea, perdarahan postpartum, dan endomiometritis meningkat secara progresif setelah usia kehamilan 39 minggu.

Waktu PersalinanKeputusan pertama yang harus dibuat ketika menangani kehamilan postterm tentang kapan persalinan itu akan dilakukan. Dalam kasus tertentu (seperti kondisi yang membutuhkan observasi, oligohidramnion, restriksi pertumbuhan janin, dan penyakit maternal tertentu), keputusan yang diambil adalah mudah. Dalam situasi-situasi yang memiliki resiko tinggi ini, saat-saat dimana resiko kehamilan ini memperburuk resiko persalinan akan muncul pada awal usia kehamilan 39 minggu. Namun, biasanya beberapa keputusan dapat diambil dengan mudah dalam menentukan tindakan yang akan dilakukan pada kehamilan dengan resiko rendah. Pada usia kehamilan tertentu, hasil pemeriksaan serviks, estimasi berat janin, keadaan umum pasien, dan riwayat obstetrik sebelumnya juga berkontribusi dalam menentukan tindakan yang akan dilakukan pada kehamilan. Argumen utama yang menjadi perdebatan adalah mengenai prinsip dilakukannya tindakan elektif induksi pada usia kehamilan awal 41 minggu (41 0/7) sampai akhir 41 (41 6/7) minggu yang apabila dilakukan akan meningkatkan rata-rata persalinan seksio sesarea dengan tidak menurunkan resiko morbiditas maternal dan/atau neonatus. Beberapa penelitian yang gagal menunjukkan bahwa reduksi morbiditas pada janin/neonatus dengan penurunan keakuratan perhitungan tanggal tafsiran persalinan yang seharusnya postterm. Pada penelitian terbaru, didapati bahwa sekitar 10 penelitian yang telah dipublikasikan mengatakan bahwa banyak dari tindakan elektif induksi persalinan dilakukan pada usia kehamilan 41 minggu. Umumnya persalinan dengan seksio sesarea dilakukan pada kehamilan tanpa induksi dan kebanyakan indikasinya adalah gawat janin. Pada proses persalinan ini reduksi mekonium akan terjadi secara signifikan dan mortalitas neonatus akan menurun.Apabila disimpulkan, tindakan induksi pada usia kehamilan 41 minggu tidak akan meningkatkan rata-rata persalinan seksio sesarea, sebaliknya akan menurunkan angka persalinan seksio sesarea tanpa memberikan dampak negatif terhadap mortalitas dan morbiditas perinatal. Faktanya adalah baik bagi ibu maupun janin akan mendapatkan manfaat dari tindakan induksi dilakukan pada proses persalinan sesuai dengan waktu tafsiran persalinan, serta menurunkan resiko terjadinya ekstensi usia kehamilan hingga 41 minggu. Selain itu, tindakan ini juga terbukti efektif untuk menangani resiko terjadinya distosia bahu dan sindroma aspirasi mekonium. Tindakan ini dilakukan bersamaan dengan observasi selama 48 jam atau dapat lebih pada kala I, fase laten, dimana akan dinyatakan sebagai gagal induksi apabila setelah 18-24 jam setelah itu tidak ada kemajuan dalam proses persalinan, sehingga langkah selanjutnya akan dilakukan tindakan seksio sesarea.

Pencegahan kehamilan posttermSeperti yang telah disebutkan di atas, bahwa salah satu keputusan yang diambil untuk mencegah terjadinya kehamilan postterm adalah melakukan induksi persalinan sebelum usia kehamilan 42 minggu. Namun, dengan meningkatnya komplikasi pada usia kehamilan 40 dan 41 minggu, baik dokter maupun pasien harus memperhatikan resiko akan yang terjadi apabila dilakukan induksi persalinan. Akan jauh lebih baik apabila seorang wanita mengalami persalinan secara spontan pervaginam pada usia kehamilan 39 minggu dengan sendirinya. Ada beberapa pilihan tindakan yang dapat dilakukan untuk mempercepat terjadinya proses persalinan pada usia kehamilan aterm dan melakukan pencegahan terjadinya usia kehamilan postterm, yaitu dapat dilakukan dengan pemecahan kantung air ketuban, melakukan koitus tanpa proteksi, dan akupuntur. Saat pemecahan kantung air ketuban akan terjadi separasi (pemisahan) antara kantung air ketuban dengan dinding serviks dan segmen bawah uterus. Teknik ini akan mengakibatkan dihasilkannya prostaglandin endogen dari serviks sehingga membuat serviks dilatasi sehingga pada pemeriksaan vaginal toucher jari pemeriksa dapat masuk ke serviks. Selain itu, pemecahan kantung air ketuban akan memperpendek waktu yang dibutuhkan untuk proses persalinan terjadi hingga pembukaan lengkap, juga menurunkan resiko persalinan pervaginam dengan bantuan, insiden persalinan seksio sesarea, namun morbiditas maternal atau janin belum dapat dibuktikan.Melakukan koitus tanpa proteksi akan menginduksi terjadinya kontraksi uterus melalui aksi dari prostaglandin yang terkandung dalam semen dan memiliki potensi untuk menghasilkan prostaglandin endogen serupa yang terjadi pada pemecahan kantung air ketuban. Prostaglandin disimpan dalam prostat dan glandula vesika seminal. Koitus tanpa proteksi akan menyebabkan terjadinya proses persalinan yang lebih awal, reduksi insiden kehamilan postterm, dan mengurangi induksi persalinan.

Pembukaan serviks dan tatalaksana intrapartumKetika keputusan untuk melakukan persalinan telah dibuat, maka tatalaksana melakukan induksi persalinan bergantung pada kondisi klinis, dan obat untuk menginduksi terjadinya pembukaan serviks dan potensi terjadinya komplikasi dari induksi persalinan harus dipertimbangkan. Berikut akan dibahas sedikit tentang metode-metode yang dapat digunakan untuk pembukaan serviks, indikasi, kontraindikasi, dan dosis yang harus digunakan. Sebanyak 80% pasien yang sudah mencapai usia kehamilan 42 minggu, memiliki hasil pemeriksaan serviks yang kurang bagus (skor Bishop < 7). Banyak sekali pilihan yang dapat digunakan untuk membantu terjadinya pembukaan serviks. Dengan persiapan yang berbeda, indikasi, kontraindikasi, dan dosis regimen yang berbeda-beda masing-masing membutuhkan keahlian dan kepahaman dari para dokter untuk melakukan berbagai persiapan.Prostaglandin E2 dalam bentuk sediaan gel dan suppositories untuk dimasukkan melalui vagina telah digunakan sejak dahulu hingga akhir tahun 1990-an ketika banyak dari perusahaan farmasi berhenti untuk memproduksi mereka karena kurang efektif persiapannya. Kemudian mulai berdatangan preparasi kimia lain yang mengandung prostaglandin E2 dalam bentuk tablet digunakan per oral atau per vaginal (misoprostol), prostaglandin E2 gel yang digunakan intraservikal (dinoprostone cervical), dan prostaglandin E2 vagina insert (dinoprostone [Cervidil]). Cervidil menggandung 10 mg dinoprostone dan memiliki efek kerja yang lebih rendah dibandingkan dengan Prepidil. Selain itu, alat yang dimasukkan ke vagina akan mempermudah untuk dilepaskan ketika terjadi hiperstimulasi uterus.Metode lain untuk merangsang terjadinya pembukaan serviks adalah dengan dilatasi mekanik. Alat ini berperan dengan cara kombinasi dari gaya mekanik dan menyebabkan terlepasnya prostaglandin endogen. Foley balloon catheter yang dimasukkan ke serviks, extra-amniotic saline infusion, dan laminaria telah dipelajari dan telah terbukti efektif. Terlepas dari metode apa yang dipilih untuk membantu pembukaan serviks, para dokter harus waspada terhadap bahaya yang mungkin muncul ketika metode tersebut digunakan pada pasien dengan uterus yang memiliki bekas luka (scarred uterus). Di samping itu, potensi terjadinya uterine tachysystole dan gawat janin membutuhkan ketelitian dalam menentukan dosis agar tidak terlalu tinggi atau dengan interval antar dosis yang terlalu dekat dengan tujuan agar persalinan berjalan lebih cepat. Maka dari itu dianjurkan untuk menggunakan kombinasi dari metode farmakologi dan metode mekanik dalam membantu pembukaan serviks. Ketika induksi persalinan dimulai, sebaiknya memperhatikan potensi terbesar terjadinya komplikasi yang berhubungan dengan induksi pada kehamilan di atas usia 41 minggu dan harus memiliki perencanaan tatalaksana untuk setiap komplikasi yang mungkin terjadi. Komplikasi tersebut meliputi adanya mekonium, makrosomia, dan intoleransi janin terhadap persalinan.Pada kehamilan yang berjalan di atas usia 40 minggu, akan memiliki jumlah mekonium yang lebih signifikan. Hal ini disebabkan karena meningkatnya insufisiensi uteroplasenta yang mengarah kepada kondisi hipoksia pada persalinan dan aktivasi sistem vagal pada janin. Selain itu, sedikitnya jumlah air ketuban akan meningkatkan konsentrasi mekonium dalam uterus. Umumnya, saline amnioinfusion dan penyedotan secara terus-menerus pada nasofaringeal dan orofaringeal bayi pada saat posisi bayi di perineum dilakukan untuk menurunkan resiko terjadinya sindroma aspirasi mekonium. Namun penelitian terkini memberikan fakta yang kontraditif terhadap metode tersebut. Fraser et al melakukan sebuah penelitian yang mengevaluasi resiko dan keuntungan dari amnioinfusion sebagai tindakan pencegahan sindroma aspirasi mekonium. Mereka menyimpulkan bahwa dalam praktek klinis, amnioinfusion air ketuban yang mengandung mekonium yang kental tidak akan menurunkan resiko terjadinya sindroma aspirasi mekonium sedang sampai berat, kematian perinatal, atau kelaian neonatus yang serius dibandingkan harapan dari tatalaksana yang telah ada tersebut. Selain itu, penelitian terkini lainnya mengatakan bahwa penyedotan jalan nafas ketika neonatus berada di posisi perineum tidak akan mencegah sindroma aspirasi mekonium secara efektif, hal ini berkontradiksi dengan kepercayaan yang telah beredar. Janin makrosomia dapat menyebabkan trauma maternal dan fetal pada saat persalinan berlangsung dan dapat menyebabkan kemacetan pada kala satu dan kala dua proses persalinan. Oleh karena resiko makrosomia meningkat pada kehamilan aterm dan postterm, salah satu bagian terpenting yang perlu dipersiapkan dalam perencanaan persalinan adalah persiapan untuk insiden distosia bahu, dimana kejadian ini tidak dapat diprediksi sebelumnya, ansietas pada ibu, dan kondisi berbahaya lainnya yang berpotensi terjadi selama persalinan. Untuk mempersiapkan menangani kondisi-kondisi seperti itu, maka pada dokter harus hadir dalam proses persalinan dengan peralatan persalinan lengkap tersedia di samping meja persalinan untuk membantu pada tekanan suprapubik, serta melakukan manuver untuk mengurangi distosia bahu.Pada akhirnya, observasi janin pada saat intrapartum untuk melengkapi dokumentasi terjadinya intoleransi janin terhadap persalinan sebelum terjadinya asidosis adalah suatu hal yang serius. Observasi terhadap denyut jantung janin harus selalu dilakukan. Apabila pada auskultasi denyut jantung janin terdengar suara jantung yang ambigu (equivocal) dan stimulasi kepala janin dan/atau pengambilan darah melalui kepala janin harus dilakukan untuk menyingkirkan keraguan untuk menentukan apakah induksi persalinan ini dapat dilanjutkan atau tidak. Apabila dokter tidak dapat menyingkirkan keraguan bahwa janin dapat mentoleransi persalinan, maka dianjurkan untuk segera melakukan tindakan seksio sesarea.

Observasi janin antepartumObservasi janin antepartum dianjurkan untuk dilakukan pada kehamilan postterm ketika persalinan belum terjadi. Meskipun tidak ada hasil penelitian yang menunjukkan keuntungan dari mengawasi janin, tetapi tidak ada bukti bahwa hal tersebut memberikan dampak negatif terhadap janin juga. Terlepas dari kurangnya bukti-bukti penelitian, observasi janin antepartum pada kehamilan postterm menjadi standard pengawasan persalinan yang diterima. Mortalitas perinatal yang semakin meningkat seiring berjalannya usia kehamilan, dengan resiko besar yang dapat berdampak pada kehamilan di akhir 41 minggu. Namun, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa pengawasan secara rutin pada usia kehamilan 41 dan 42 minggu dapat memperbaiki hasil perinatal, ACOG menyatakan bahwa sangat masuk akal apabila melakukan pengawasan antepartum setelah usia kehamilan 41 minggu. Dalam salah satu penelitian oleh Bochner et al mengenai hal ini, pengawasan antepartum pada usia kehamilan 41 minggu dapat menurunkan resiko komplikasi. Tidak ada satu metode pengawasan antepartum yang lebih baik daripada metode lain. Beberapa pilihan yang dapat digunakan termasuk nonstress test, contraction stress test, full biophysical profile, modified biophysical profile (nonstress test dan amniotic fluid index), atau kombinasi dari metode-metode tersebut. Evaluasi terhadap air ketuban dinilai sangat penting karena meningkatkan keuntungan pada persalinan nanti. Pemeriksaan ultrasonografi Doppler dibuktikan tidak begitu memberikan keuntungan untuk mengevaluasi kehamilan postterm dan tidak perlu dilakukan secara rutin. Kesimpulannya, penggunaan nonstress test dan amniotic fluid index dua kali dalam satu minggu untuk kehamilan 41 minggu dianjurkan. Selain itu, observasi janin antepartum dapat membantu dokter untuk mengetahui kondisi lingkungan uterus, sehingga persalinan dapat dilaksanakan segera.

KesimpulanTatalaksana dari kehamilan postterm sangatlah rumit dan dipenuhi dengan situasi yang sulit. Keputusan untuk melakukan induksi persalinan atau melakukan tatalaksana lain pada ibu hamil dengan atau tanpa observasi antepartum bukanlah keputusan yang mudah. Data mengatakan melakukan induksi pada usia kehamilan 41 minggu adalah cukup akurat, dengan resiko kehamilan rendah, tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan serviks. Strategi ini, tidak tanpa kritik, menghindari kebutuhan untuk melakukan observasi janin antepartum dan tidak meningkatkan rata-rata persalinan seksio sesarea. Kenyataannya, akan menurunkan kejadian persalinan seksio sesarea.

Sumber referensi:Caughey AB, Isaacs C. Medscape Reference. Postterm Pregnancy: Overview, Timing of Delivery, Prevention of Postterm Pregnancy [serial on the Internet]. 2013 [cited 2015 Jul 23]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/261369-overview

JOURNAL READINGKEHAMILAN POSTTERM

Oleh: Revika Marvella Valianty07120110063

Dosen pembimbing: dr. Bambang F.N., SpOG

KEPANITERAAN KLINIK ILMU OBSTETRIK DAN GINEKOLOGIRUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT MARINIR CILANDAKUNIVERSITAS PELITA HARAPANPERIODE 1 JUNI 2015 7 AGUSTUS 2015