Upload
ledung
View
226
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
1
PARADIGMA BARU PEMBANGUNAN KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM HAYATI 1)
Oleh: Sambas Basuni 2)
PENDAHULUAN
Paradigma adalah kerangka berpikir. Yang menarik dari judul tersebut adalah istilah
“paradigma baru”. Jika ada paradigm baru (kerangka berpikir baru) tentu ada “paradigm
lama” atau paradigma yang selama ini dianut, paradigma konvensional, tradisional, atau
kontemporer. Pertanyaannya adalah kenapa perlu paradigma baru? Jawaban yang paling
mungkin atas pertanyaan tersebut adalah karena paradigma lama telah menyebabkan banyak
kekeliruan, bahkan secara lebih ekstrim penulis katakana telah menyebabkan kesesatan orang,
kelompok orang, organisasi, masyarakat dalam berpikir, bersikap, dan berindak dalam
hubungannya dengan konservasi sumberdaya alam hayati. Bertambah panjangnya daftar
spesies tumbuhan dan hewan yang dilindungi karena langka, banyaknya kawasan hutan
konservasi yang mengalami degradasi dan marjinalisasi masyarakat di sekitar kawasan boleh
jadi merupakan bukti dari kekeliruan dan kesesatan-kesesatan tersebut. Bahkan dapat
dikatakan bahwa saat ini, penggunaan istilah konservasi itu sendiri cenderung menjadi kontra-
produktif.
Manajemen kawasan hutan konservasi secara khusus banyak menghadapi permasalahan,
seperti lemahnya dukungan secara nasional, konflik dengan penduduk setempat, konflik
dengan instansi pemerintah lainnya, tidak kokoh dan tidak cukupnya dana, dan manajemen
yang lemah (McNeely, J.A., 1995).
1) Keynote speech yang disampaikan pada acara Rapat Koordinasi Rencana Penelitian Integratif
Puslitbang Konservasi Dan Rehabilitasi (P3KR) Tahun 2012 dengan Unit Pelaksana Teknis Lingkup Badan Litbang Kehutanan di Batam 16 Februari 2012
2 ) Guru Besar Manajemen Kawasan Hutan Konservasi; Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB
sb20
13
2
Di sisi lain kita semua tahun bahwa gagasan konservasi adalah positif; mengandung makna
pemanfaatan secara lestari, pemeliharaan, restorasi, peningkatan mutu lingkungan dan
pengawetan sumberdaya alam hayati (Dokumen World Conservation Strategy). Munculnya
situasi masalah seperti tersebut di atas, maka cukup beralasan jika orang, kalompok orang, dan
organisasi yang bergerak dalam bidang konservasi; yaitu para profesional konservasi
(konservator), para administrator konservasi, dan secara khusus para ilmuwan konservasi
untuk memikirkan ulang paradigma atau karangka berpikir mengenai apa, bagaimana, dan
untuk apa konservasi sumberdaya alam hayati dilakukan, bukan ide konservasinya.
Penulis ingin menekankan bahwa paradigma konservasi yang ditawarkan di sini bukan
paradigm baru tetapi paradigma inkonvensional yang boleh jadi paradigma lama, tetapi penulis
yakin bahwa paradigma yang ditawarkan ini akan mampu membetulakan segala kekeliruan
dan meluruskan segala kesesatan yang terjadi selama ini dalam melakukan kegiatan konservasi
sumberdaya alam hayati. Sebagai sorang Muslim, penulis yakin betul akan kebenaran ajaran
Islam yang bersumber dari Kitab Suci Alquran dan Sunnah Rosululloh Muhammad saw; sebagai
jalan hidup yang lurus, kerangka berpikir konservasi sumberdaya alam hayati yang benar. Nabi
Muhammad SAW bersabda: ”Aku telah tinggalkan dua perkara bagi kamu sekalian. Seandainya
kamu berpegang teguh kepadanya tidak akan sesat selamanya: Kitab Alloh dan Sunnah Rosul-
Nya” (HR. Al-Hakim).
Dengan tulisan ini, penulis ingin mengajak pembaca untuk berpikir ulang dengan seksama dan
serius tentang bagaimana konservasi sumberdaya alam hayati seharusnya dilakukan dan
menghindari berbagai kekeliruan dan kesesatan. Konservasi adalah positif dan dapat dilakukan
secara kreatif dan inovatif untuk menjadikan bumi ini lebih produktif dalam rangka mencapai
kondisi masyarakat Indonesia yang berdaulat, adil, makmur, dan sejahtera secara
berkelanjutan. Untuk itu, tulisan ini dibagi ke dalam seksi-seksi pendek: perspektif Islam
mengenai sumberdaya alam hayati, persepktif Islam mengenai manusia, makna dan hakekat
konservasi, penyesatan-penyestan atas kerangka pikir konservasi, pengetahuan-kelangkaan-
penelitian (model linnier inovasi).
sb20
13
3
PERSPEKTIF ISLAM MENGENAI SUMBERDAYA ALAM HAYATI
Sumberdaya alam hayati merupakan anugrah dari Tuhan Yang Maha Pencipta untuk
kesejahteraan umat manusia. Perhatikan beberapa Firman Alloh berikut ini:
1. “Dia-lah Alloh, yang menjadikan segala apa yang ada di bumi untuk kamu............ (QS Al-
Baqarah: 29)
2. “Tidakkkah kamu perhatikan, sesungguhnya Alloh telah menundukkan untuk (kepentingan)
mu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan menyempurnakan untukmu
nikmat-Nya lahir batin. Dan diantara manusia ada yang membantah tentang (keesaan)
Alloh tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan”
(QS Lukman: 20)
Dari dua ayat tersebut jelas kiranya bahwa sumberdaya alam hayati adalah anugrah dari Alloh
untuk sebesar-besar manfaat bagi masyarakat manusia dalam bentuk pemenuhan kebutuhan
hidupnya akan barang dan jasa. Konsep barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam
hayati merupakan konsep anthroposentris. Nilai sumberdaya alam hayati ada karena
keberadaan manusia sebagai agen penilainya, bukan mahluk yang bukan manusia. Hal penting
dari firman Tuhan tersebut adalah keharusan manusia mengakui ke-Esaan Alloh dan
mensyukuri nikmat-Nya berdasarkan ilmu pengetahuan, petunjuk dan Kitab-Nya.
PERSPEKTIF ISLAM MENGENAI MANUSIA
Dalam pespektif Islam, manusia adalah khalifah (penguasa, pemimpin) di muka bumi untuk
memanfaatkan, memakmurkan, dan memeliharanya. Perhatikan beberapa firman Alloh dan
hadits berikut:
1. Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, “Aku hendak menjadikan
khalifah (penguasa, pemimpin) di bumi” (QS Al-Baqarah: 30)
2. Dia (Alloh) yang telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu
pemakmurnya…. (QS Hud: 61)
sb20
13
4
3. “Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugrahkan Alloh kepadamu,
dan janganlah kamu melupakan bahagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang
lain) sebagaimana Alloh berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (QS
Al-Qasas: 77)
4. “.....Ya Tuhan kami tiadalah engkau ciptakan ini (langit dan bumi) dengan sia-sia. Maha suci
Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS Ali Imran:191).
5. “Hai Dawud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi, maka berilah
keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Alloh......” (QS adz-Dzariyat: 56).
6. Dan (ingatlah juga), tetkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur,
pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni’mat-Ku),
maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS Ibrahim: 7).
7. “Seandainya sudah berdiri kiyamat, padahal di tangan salah seorang kalian ada benih, bila
mungkin ia jangan berdiri terlebih dahulu, sehingga menanamnya, maka lakukanlah” (HR.
Ahmad).
8. “Dari Anas bin Malik dai Nabi saw. Bersabda: “Tidak ada seorang muslim yang menanam
tumbuh-tumbuhan yang besar atau kecil, sehingga tanaman itu menjadi sumber makanan
bagi burung, manusia, dan binatang ternak, kecuali baginya sadaqoh” (HR. Bukhari, Muslim,
dan al-Tirmidzi)
Berdasarkan ayat-ayat dalam Alquran dan hadits-hadits tersebut di atas jelas kiranya
bagaimana seharusnya manusia hidup dan berhubungan dengan sumberdaya alam hayati.
Pertama, manusia harus menggunakan sumberdaya alam hayati untuk kemanfaatan banyak
orang dan mendistribusikannya secara adil, dilarang membuat kerusakan padanya, tidak boleh
sb20
13
5
menyia-nyiakannya (tidak memanfaatkan dan/atau memboroskan). Kedua, manusia harus
memakmurkan bumi. Dalam hubungannya dengan sumberdaya alam hayati, memakmurkan
berarti membuat sumberdaya alam hayati berlimpah, bukan menjadikannya langka. Petunjuk
simbolis (perupamaan) memakmurkan bumi adalah menanam pohon. Ketiga, dalam dimensi
waktu tersirat bahwa memanfaatkan dan memakmurkan bumi tersebut adalah untuk selama-
lamanya sampai umur dunia berakhir.
MAKNA DAN HAKEKAT KONSERVASI
Conservation berasal dari bahasa Latin, con yang berarti together dan servare berarti
keep/save. Dengan demikian secara harfiah conservation berarti keep/save what we have. Jelas
dari pengertian ini bahwa yang harus dijaga/diselamtkan (dipelihara) oleh kita (bersama) adalah
sesuatu yang menjadi milik “bersama”, bukan milik perorangan. Berdasarkan sifat kemungkinan
bersaing dan eksklusivitasnya, ada tiga kategori barang milik bersama: barang klub (club
goods), sumberdaya bersama (common pool resources), dan barang publik (public goods).
Berkaitan dengan kategori barang ini, fungsi awal pemerintah adalah menyediakan barang
publik dan menjamin kemerdekaan bagi masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan
barang selain barang publik. Karakteristik barang publik itu sendiri cenderung mengalami open
acces sementara common pool resources bersifat impure/quasi public goods (contohnya pantai,
air tanah, padang penggembalaan, dan hutan alam). Jika atas suatu barang milik bersama
ternyata eksklusi tidak memungkinkan atau tidak ekonomis dan disediakan melalui property
publik, maka barang demikian termasuk property negara dan untuk mengalokasikannya harus
melalui proses politik atau pilihan kolektif (contohnya kawasan hutan konservasi di Indonesia?).
Uraian di atas menjelaskan permasalahan apa yang mungkin dikonservasi, siapa yang berhak,
termasuk kemungkinan implikasinya. Permasalahan konservasi bukan hanya menyangkut apa
dan siapa yang berhak tetapi yang lebih serius adalah masalah bagaimana konservasi
dilaksanakan (konservasi-sebagai-aktivitas). Berikut ini disampaikan definisi konservasi dari
berbagai sumber:
sb20
13
6
1. Konservasi adalah penggunaan sumber (daya) alam untuk sebesar-besarnya manfaat bagi sebanyak-banyaknya orang untuk sepanjang-panjangnya waktu
(American Dictionary)
2. Konservasi adalah manajemen penggunaan biosfer oleh manusia sedemikian
rupa sehingga menghasilkan manfaat sebesar-besarnya secara berkelanjutan
bagi generasi kini sambil mempertahankan potensinya guna memenuhi kebutuhan
dan aspirasi generasi yang akan datang (World Conservation Strategy)
3. Konservasi sumberdaya alam hayati adalah pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam hayati secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
keanekaragaman dan nilainya (UU No. 5 Tahun 1990)
4. Konservasi sumberdaya alam hayati untuk pembangunan yang berkelanjutan (World Conservation Strategy)
Dari tiga definisi konservasi dan tujuan konservasi sumberdaya alam hayati tersebut
sangat jelas bahwa konservasi lebih mengedepankan bagaimana menggunakan dan
memanfaatkan sumberdya alam hayati secara berkelanjutan untuk sebanyak-
banyaknya orang daripada bagaimana melindungi dan mengawetkannya. Oleh karena
itu, dan dengan merujuk ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits yang telah dikemukanan
sebelumnya, paradigma konservasi sumberdaya alam hayati dapat dirumuskan
sebagai “Pengelolaan penggunaan sumberdaya alam hayati secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan untuk kemanfaatan generasi kini dan generasi yang akan datang (sebanyak-banyaknya orang)”. Aktivitas utamanya adalah
memanfaatkan sumberdaya alam hayati, mendistribusikan manfaat sumberdaya alam
hayati secara adil kepada banyak orang, mengurangi biaya sosial (tidak membuat
kerusakan) dalam memanfaatkan, dan memakmurkan (mengupayakan sumberdaya
alam hayati berlimpah). Apa sebetulnya manfaat sumberdaya alam hayati, Groot dkk.
(2002) mengilustrasikan frameworknya (Gambar 1).
sb20
13
7
BEBERAPA KESESATAN BERPIKIR DAN KEKELIRUAN
Banyak penyesatan pikiran dan kekeliruan pilihan yang menyimpang dan menyalahi
paradigma konservasi sumberdaya alam hayati yang dikemukakan di atas, diantaranya:
1. Urutan tujuan dari tiga tujuan konservasi konservasi sumberdaya alam hayati yang
tercantum dalam dokumen World Conservation Strategy, yaitu (1) maintenance of
ecological processes and life-support systems, (2) preservation of genetic diversity,
Nilai Total
Struktur dan Proses Ekosistem
Barang dan jasa ekosistem
Fungsi Ekosistem: 1. Regulasi 2. Habitat 3. Produksi 4. informasi
Nilain Ekologi berdasarkan kelestarian ekologis
Nilain Sosio-kultural berdasarkan keadilan dan persepsi budaya
Nilain Ekonomi berdasarkan efisiensi dan keefektifan
Proses pembuatan keputusan untuk menentukan pilihan kebijakan dan cara pengelolaan
Gamabar 1. Framework Penilaian dan Valuasi Terpadu dari Fungsi, Barang, dan Jasa Ekosistem (Groot, Wilson, dan Boumans, 2002
sb20
13
8
(3) sustainable utilization of species and ecosystems. Penyesatan terjadi karena
seharusnya pemanfaatan menjadi tujuan utama dan pertama.
2. Penyesatan dan kekeliruan bertambah ketika pasal 5 UU No. 5/1990 menggariskan
bahwa konservasi SDAH&E dilakukan melalui kegiatan: (1) Perlindungan sistem
penyangga kehidupan, (2) Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa
beserta ekosistemnya, (3) Pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya. Kekeliruan petama dari pasal ini adalah bahwa tujuan strategi
konservasi sumberdaya alam hayati dijadikan sebagai kegiatan; kedua, mengikuti
pola urutan tujuan sebagaimana tercantum dalam dokumen World Conservation
Strategy. Penyesatan terjadi ketika (1) istilah maintenance/maintain diganti dengan
istilah perlindungan bukan pemeliharaan, (2) yang “di-maintain” adalah sistem
penyangga kehidupan yang adalah wujud fisik dari suatu sistem kehidupan seperti
hutan alam, pesisir pantai, perairan tawar, sistem pertanian; bukan proses-proses
ekologi esensil (perhatikan Diagram Groot), (3) yang “di-preserve) adalah spesies
dan ekosistem, bukan keanekaragaman genetik.
3. UU 41/1999 pasal 6 : ayat (1) bahwa hutan memiliki tiga fungsi pokok (“konservasi”
= pengaweta, lindung, produksi) tetapi ayat (2) menyebutkan bahwa kawasan hutan
dibagi menjadi kawasan hutan konservasi, kawasan hutan lindung, dan kawasan
hutan produksi. Pasal ini adalah hasil kesesatan berpikir dan kekeliruan pilihan.
4. IUCN (1994): Kawasan Konservasi adalah wilayah daratan dan atau di laut
terutama diperuntukan bagi perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman
hayati, dan sumberdaya alam serta sumberdaya budayanya, dikelola melalui cara-
cara legal atau cara-cara efektif lainnya. IUCN keliru karena yang diutamakan
adalah mengelola perlindungan dan pengawetan (bukan mengelola pemanfaatan)
SDA dan sumberdaya budaya. Di Indonesia, mengelola perlindungan SDA dan
sumberdaya budaya ini benar-benar dilakukan dengan cara-cara legal
(berdasarkan peraturan perundangan), polisional dengan polisi hutannya dan
menafikkan cara-cara efektif lainnya seperti kearifan lokal dengan pengetahuan
sb20
13
9
tradisional, lebih mengutamakan cara-cara preskriptif daripada kreativitas dan
inovasi.
5. Terlalu Banyak Tugas. Konservasi merupakan suatu aktivitas yang kompleks,
aktivitas tertentu yang memerlukan keterampilan khusus, terlatih, yang adalah
berbeda dengan aktivitas lain yang bukan konservasi. Saat ini, pelaksanaan
konservasi banyak dibingungkan dan dihambat perkembangaannya secara teknis
oleh terlalu banyaknya istilah aktivitas yang digunakan. Perhatikan istilah-istilah
berikut yang terkadang pemakiannyan dapat saling menggantikan: preservasi,
restorasi, rehabilitasi, rekonstruksi, revitalisasi, konservasi, proteksi, dan banyak lagi
istilah serupa. Sesungguhnya hanya ada empat kemungkinan dalam manusia
berhubungan dengan “sumberdaya alam hayati” yang selalu berubah: keep it, destroy it, change it, atau to return a historic nature. Kecuali destroy it,
konservasi mencakup tiga alternatif lainnya. Konservasi dapat dipahami dalam
pengertian sempit dan luas sebagai berikut: (1) Dalam pengertian sempit:
konservasi sebagai lawan restorasi, aktivitas to keep. Untuk selanjutnya, konservasi
dalam pengertian sempit ini digunakan istilah preservasi, (2) Dalam pengertian
luas: konservasi sebagai sejumlah aktivitas termasuk dalam pengertian preservasi dan restorasi juga aktivitas lain yang mungkin berhubungan. Untuk selanjutnya,
konservasi dalam pengertian luas ini digunakan istilah konservasi.
Berdasarkan pengertian konservasi seperti tersebut di atas, maka dapat dibuat klasifikasi
aktivitas konservasi sumberdaya alam hayati sebagai berikut:
(1) Preservasi: tindakan tertentu yang bertujuan untuk mempertahankan (memelihara) selama mungkin fitur-fitur sumberdaya alam hayati yang terlihat jelas seperti
keadaannya semula (asli, utuh); suatu tujuan yang biasa dicapai dengan memodifiksi
beberapa fitur sumberdaya alam hayati yang semula tidak terilihat. Preservasi dapat
berupa: a. Preservasi langsung: dilakukan dengan mengubah fitur sumberdaya alam hayati;
aktivitas dengan waktu terbatas (misal, menambah atau mengurangi populasi untuk
sb20
13
10
mencapai populasi minimum viable; pengurangan atau penambahan populasi
sampai tingkat daya dukung kawasan hutan konservasi).
b. Preservasi lingkungan: dilakukan dengan mengubah lingkungan sumberdaya
alam hayati atau fitur-fiturnya; aktivitas yang tidak dibatasi oleh waktu
(membersihkan tumbuhan asli yang langka atau dilindungi dari lilitan tumbuhan
liana asing, pengendalian predator, mencegah timbulnya wabah penyakit,
pembinaan daerah penyangga kawasan hutan konservasi). c. Preservasi informasional: bekerja dengan merekam atau meniru/mereproduksi
sumberdaya alam hayati dan atau beberapa fiturnya: foto, citra, data
(atribut/spasial); membuat replika/tiruan (misal membangun taman plasma nutfah
Taman Nasional X), tujuannya adalah untuk menyediakan informasi dan
pengalaman bagi masyarakat tanpa risiko adanya gangguan pada sumberdaya
alam hayati yang asli.
(2) Restorasi: semua tindakan yang berusaha mengubah struktur sumberdaya alam
hayati untuk menggambarkan keadaan terdahulu yang diketahui; contohnya, mengubah
hutan tanaman Pinus (tumbuhan asing) di suatu kawasan hutan konservasi menjadi
hutan tanaman Rasamala yang merupakan tumbuhan asli di kawasan hutan konservasi
yang bersangkutan, reintroduksi jenis, menambah populasi guna mempertahankan
keanekaragaman genetik.
Dalam praktek nyata, hasil preservasi dan restorasi sering merupakan dua akibat dari
operasi teknis yang sama. Keanekaragaman genetik berkurang dengan berkurangnya
ukuran populasi. Untuk mempertahankan level keanekaragaman genetik populasi tersebut
perlu ditambahkan individu baru. Penambahan individu baru ini yang adalah teknik
preservasi genetik, juga memiliki efek samping restoratif (bertambahnya ukuran populasi)
yang tidak dapat dihindari. Overlap antara hasil preservasi dan restorasi menjadi jauh lebih
besar karena preservasi sangat sering tergantung pada restorasi untuk beberapa
kualitas obyek yang dikonservasi, terlebih obyek tersebut adalah sumberdaya alam hayati
yang selalu berubah. Misalnya, mengurangi jumlah individu rusa yang melebihi daya
dukung kawasan hutan konservasi akan memulihkan daya dukung kawasan tersebut.
Dalam contoh ini, sebelum jumlah individu rusa dikurangi (teknik restorasi), tidak ada efek
preservatif yang akan dihasilkan, yaitu pulihnya daya dukung kawasan hutan konservasi.
sb20
13
11
Dipendensi inhenrent mutual antara preservasi-restorasi merupakan alasan penting bagi
preservasi dan restorasi untuk dianggap sebagai bagian-bagian dari aktivitas yang sama,
yaitu konservasi sumberdaya alam hayati, termasuk konservasi (pengelolaan) kawasan hutan konservasi. Selain itu, adanya hubungan mutual antara aktivitas restorasi dan
preservasi, sangat mungkin berlaku konsep pemanfaatan. Artinya pemanfaatan jenis,
misalnya, sangat mungkin dilakukan dalam semua kawasan hutan konservasi karena
populasinya telah melebihi daya dukung kawasan yang bersangkutan. Selain itu, jika tidak
dilakukan pemanfaatan, beberapa individu satwaliar akan keluar dari kawasan dan mungkin
sekali akang memangsa hewan ternak, tanaman pertanian, bahkan mengancam jiwa
manusia. Sampai saat ini, aktivitas restorasi-preservasi melalui pemnafaatan seperti ini
sangat tabu dilakukan padahal aturan mainnya tersedia, yaitu: “ Pemanfaatan jenis
tumbuhan dan satwaliar dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya
dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwaliar” (pasal 28 UU No. 5 tahun
1990). Dalam hal ini, daya dukung, dan keanekaragaman (genetik) merupakan obyek
preservasi yang dalam perjalanan waktu dapat berubah dan harus dikembalikan (aktivitas
restorasi) ke keadaannya semula.
6. Fact-based vs Goal-based Concept. Penting ditekankan di sini bahwa permasalahan dari
aktivitas preservasi dan restorasi adalah konsep keadaan asli/utuh atau keadaan semula
dari suatu obyek konservasi seperti ketika untuk pertama kalinya ditemukan. Preservasi
berarti mempertahankan atau memelihara obyek konservasi dalam keadaan aslinya,
sementara restorasi memulihkan obyek ke keadaan aslinya. Dalam konservasi sumberdaya
alam hayati, gagasan keadaan asli ini dapat menjadi problematik karena sumberdaya alam
hayati akan selalu berubah. Oleh karena itu, untuk tujuan restorasi akan lebih aman untuk
memakai konsep keadaan (obyek) sebelumnya yang diketahui daripada konsep
keadaan asli atau keadaan semula. Begitu juga untuk tujuan preservasi, akan lebih aman
jika memakai konsep memperpajang kesempatan “hidup” obyek (misal, fungsi, viable
population) daripada mempertahankan keadaan aslinya/keutuhannya. Konsep “keadaan
asli” secara tipikal fact-based, suatu konsep yang akan menapikkan banyak sekali proses-
proses preservasi dan restorasi yang dilakukan sepanjang waktu karena tidak memenuhi
syarat yang ditetapkan yaitu keadaan aslinya. Konsep yang diajukan di sini, yaitu keadaan
sebelumnya yang diketahui dan memperpanjang kesempatan hidup populasi adalah goal-
based. Keuntungan pemakaian konsep goal-based ini tidak menapikkan proses-proses
preservasi atau restorasi yang gagal, bahkan sangat mengakui kapasitas teknik-teknik
sb20
13
12
konservasi terakhir, dan karenanya, sebagai suatu pemikiran yang lebih matang dalam
konservasi.
Penerapan konsep fact-based sebagai syarat diterimanya aktivitas konservasi, lebih-lebih
jika syarat ini dimuat dalam undang-undang, telah dan akan menyebabkan para pelaku
konservasi tidak melakukan apa-apa. Ironisnya, do nothing seperti ini diterima sebagai
tindakan konservasi. Itulah sebabnya, kualitas kawasan hutan konservasi terus menurun
(lebih dari 60 persen kawasan hutan suaka alam di Indonesia saat ini dalam keadaan
rusak), daftar jenis yang dilindungi bertambah panjang, konflik satwaliar-manusia; demikian
juga teori dan teknis-teknis konservasi sangat lambat, atau bahkan sulit berkembang.
Usher (1973) telah meninajau-ulang teori dan praktek dalam bidang konservasi
sumberdaya alam hayati dan membenarkan bahwa teori dan praktek dalam bidang
konservasi ini sangat tidak berkembang, jauh tertinggal dari bidang-bidang lain. Teori-teori
konservasi tidak berkembang dari kajian akademik atau penelitian ilmiah melainkan dari
pengalaman terbaik (best practices). Dengan kata lain, teori dalam bidang konservasi
adalah lay-theory, bukan scientific theory; walaupun diperdebatkan apakah lay-theory layak
disebut sebagai teori (Dwidjojowito, R.N., 2007).
7. Eco-fundamentalism, suatu paham yang menempatkan alam di atas semua kepentingan
manusia. Paham ini melihat manusia sebagai bagian integral dari sistem fisik yang saling
bergantung dalam pengertian kuantitatif murni, pertukaran fisik antara demand manusia dan
demand binatang, tumbuhan dan unsur-unsur lain dari dunia fisik. Paham ini juga
merekomendasikan interpretasi ekstrim tentang precautionary principle dalam ekologi, yaitu
bahwa tidak ada bahaya apapun jika itu dilakukan demi alam, apapun konsekuensi pada
aspirasi-aspirasi manusia yang lainnya seperti kesejahteraan. Precautionary principle harus
diterapkan ketika bahaya terhadap lingkungan adalah tidak dapat balik (misalnya,
kepunahan spesies), bahkan ketika hubungan antara tindakan berbahaya yang diperkirakan
dan pengaruhnya terhadap lingkungan dan ekosistem alam belum terbukti secara ilmiah.
Konservasi alam harus berlaku tanpa mengindahkan bahaya yang mungkin pada aspirasi-
aspirasi manusia dan alternatif-alternatif yang mungkin dari penyesuaian manusia terhadap
kerusakan lingkungan dan ekosistem alam (Kasper, W dan M.E. Streit, 1998).
sb20
13
13
PENGETAHUAN-KELENGKAAN-PENELITIAN
Ketidaktahuan merupakan sifat dasar manusia, “kebodohan konstitusional”
(Hayek, 1973), maka “bacalah.....” (QS Al-’Alaq) ; ini sangat berlawanan dengan
asumsi “pengetahuan sempurna” dalam ilmu ekonomi; ceteris paribus?.
Keterbatasan pengetahuan penyebab konstitusional dari kelangkaan (Kasper, W
dan M.E. Streit, 1998).. Resultante dari hubungan antara tingkat pengetahuan
manusia dan tingkat kelangkaan sumberdaya akan menghasilkan model-model
manusia seperti terlihat dalam Gambar 2.
Langka Melimpah
Berpengetahuan EKONOMI KONSERVASI
Tidak berpengetahuan TIDAK BERILMU EKOLOGI
Gambar 2. Hubungan antara tingkat pengetahuan dan tingkat kelangkaan sumberdaya: model-model manusia
Degradasi ekosistem dan kelangkaan jenis terjadi akibat salah urus atau pemanfaatan yang
berlebih yang disebabkan oleh ketidak-tahuan manusia tentang perilaku sumberdaya alam
hayati itu sendiri. Kawasan hutan konservasi sebagai gudang pengetahuan sumberdaya alam
hayati harus diungkap dalam rangka pemanfaatan potensinya secara berkelanjutan dan
bewawasan lingkungan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pengetahuan ini akan
didapat, jika dan hanya jika, para ilmuwan dan para profesional konsevasi (konservator) bekerja
berdasarkan model linear inovasi, yaitu gerak maju dari penemuan ilmiah (pengetahuan
tentang bagaimana sumberdaya alam hayati berfungsi) ke penelitian dan pengembangan atau
invensi (pengetahuan teknis tentang bagaimana sumberdaya alam hayati dapat dikelola) ke
inovasi (pengetahuan tentang nilai komersial dari sumberdaya alam hayati). Ini berarti bahwa
sb20
13
14
manajemen kawasan hutan konservasi perlu melibatkan banyak para ilmuwan dan profesional
yang berlainan dari banyak bidang keahlian yang berbeda yang bekerja kearah tujuan yang
sama, yaitu mengungka pengetahuan berguna yang tersimpan dalam kawasan hutan
konservasi. Adalah para profesional konservasi (konservator) yang kesehariannya bekerja
dekat dengan obyek konservasi yang merupakan sumber pengetahuan konservasi yang
berguna (best-practices). Tugas-tugas tersebut di atas tentu saja akan membutuhkan banyak
sekali ilmuwan dan para professional dari berbagai bidang sesuai dengan jumlah obyek yang
telah didefinisikan sebagai obyek konservasi. Hasil akhir dari model linear inovasi adalah
kelimpahan barang dan jasa yang bersumber dari sumberdaya alam hayati, dan ini adalah
esensi konservasi, yaitu kemakmuran.
BAHAN BACAAN
Basuni, S. 2009. Masa Depan Manajemen Kawasan Hutan Konservasi dalam Sumardjo, dkk. (penyunting). Pemikiran Guru Besar IPB (Buku II): Peranan IPTEKS dalam Pengelolaan Pangan, Energi, SDM, dan Lingkungan yang Berkelanjutan
Decker, D.J., M.E. Krasny, G.R. Goff, Ch.R. Smith, and D.W. Gross (ed.). 1991. Challenges in the Conservation of Biological Resources: A Practitioner’s Guide. Westview Press, Inc., San Francisco.
De Groot, R.S., Matthew A. Wilson, R.M.J. Boumans. Ecological Economics 41 (2002), 393-408
Dixon, J.A. and P.B. Sherman. 1990. Economics of Protected Areas: A New Look At Benefits and Costs. Island Press, Washington, DC.
Dwidjowijoto, R.N. 2007. Analisis Kebijakan. PT. Gramedia, Jakarta.
Fiedler, P.L and S.K. Jain (ed). 1992. Conservation Biology: The Theory and Practice of Nature Conservation, Preservation, and Management. Chapman and Hall, New York.
Kasfer, W. and M.E. Streit. 1998. Institutional Economics: Social Order and Pblic Policy. Edward Elgar, Cheltenham, UK.
McNeely, J.A. (ed). 1995. Expanding Partnerships in Conservation. Island Press, Washington, DC. Covelo, California.
Mancur, O., 1971. The Logic of Collective Action: Public Goods and the Theory of Groups. Hardvard University Press, Cambridge.
sb20
13
15
Meffe, G.K. and C.R. Carroll. 1994. Principles of Conservation Biology. Sinauer Associates, Inc Publisher, Sunderland, Massachusetts.
Mulyani, Y.A. dan A. Sunkar (Penyunting). 2007. Prosiding Lokakarya Pendidikan Konservasi: Mewujudkan Masyarakat Pro-Konservasi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowista, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
Ostrom E., R. Gardner, and J. Walker. 1994. Rules, Games and Common-Pool Resources. University of Michigan Press, Ann Arbor, MI.
Shafer, C.L. 1990. Nature Conservation: Island Theory and Conservation Practice. Smithsonian Instititon Press, Washington.
Suprorahardjo. 2005. Manajemen Kolaborasi: Memahami Pluralisme Membangun Konsensus. Pustaka Latin, Bogor.
Usher, M.B. 1973. Biological Management and Conservation: Ecological Theory, Application and Planning. Chapman and Hall, London.
Vinas, S.M. 2005. Contemporary Theory Of Conservation. Elsevier Butterworth-Heinemann, Oxford.
sb20
13