22
PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta Paradigma Hukum Pidana Islam dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional (Studi terhadap Kaidah Insaniyah dalam Formulasi RUU KUHP) By: Dwi Satriani Begi Mawindi ** Abstract Islamic Criminal Law basically allow anything until there is the argument (hint) that shows unclean. and this is part of one's own insaniyah rules, rules insaniyah a humanitarian principle that the human intellect products referred to in the social behavior or culture system should start from human values glorified humanity, and provide benefits and eliminate harm to humans. It is then transformed in article 1, paragraph 1 of the Criminal Code us that "No one can be in a criminal act, except for the strength of the criminal rules in the legislation that has been there, before the deed is done" and Article 6 paragraph (1) of Law No. 4 and the second amendment of the 1945 Constitution Article 28, first paragraph (1) In Islam while also described the principle of legality, principle of legality in criminal law of Islam is divided into two parts. Namely in terms of determining the kinds of crime, the criminal offense of hudud and qiyas, and ta'zir, Principle of Legality is identical to Rule insaniyah which Islamic values in the Draft Bill has transformed us today, then our recommendation is that the Government should immediately The Criminal Code and pass the bill needs to implement it as a fundamental seriousness in Indonesian criminal law. Abstrak Hukum Pidana Islam pada dasarnya memperbolehkan sesuatu apapun sampai ada dalil (petunjuk) yang menunjukan keharamannya. dan ini merupakan bagian dari kaidah insaniyah yang dimiliki seseorang,kaidah insaniyah merupakan prinsip kemanusiaan bahwa produk akal manusia yang dijadikan rujukan dalam perilaku sosial ataupun sistem budaya harus bertitik tolak dari nilai-nilai kemanusiaan memuliakan manusia, dan memberi manfaat serta menghilangkan mudharat bagi manusia. Hal tersebut kemudian ditransformasikan dalam pasal 1 ayat 1 KUHP kita yaitu “Tiada suatu perbuatan dapat di pidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan” dan Pasal 6 ayat (1) UU No. 4 serta Amandemen kedua UUD1945 pasal 28 I ** Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Angkatan 2011. Email: [email protected]

Paradigma Hukum Pidana Islam Dalam Pembaharuan Hukum

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Paradigma Hukum Pidana Islam Dalam Pembaharuan Hukum

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

Paradigma Hukum Pidana Islam dalam

Pembaharuan Hukum Pidana Nasional

(Studi terhadap Kaidah Insaniyah dalam Formulasi RUU KUHP)

By: Dwi Satriani Begi Mawindi**

Abstract Islamic Criminal Law basically allow anything until there is the argument

(hint) that shows unclean. and this is part of one's own insaniyah rules, rules insaniyah a humanitarian principle that the human intellect products referred to in the social behavior or culture system should start from human values glorified humanity, and provide benefits and eliminate harm to humans. It is then transformed in article 1, paragraph 1 of the Criminal Code us that "No one can be in a criminal act, except for the strength of the criminal rules in the legislation that has been there, before the deed is done" and Article 6 paragraph (1) of Law No. 4 and the second amendment of the 1945 Constitution Article 28, first paragraph (1) In Islam while also described the principle of legality, principle of legality in criminal law of Islam is divided into two parts. Namely in terms of determining the kinds of crime, the criminal offense of hudud and qiyas, and ta'zir, Principle of Legality is identical to Rule insaniyah which Islamic values in the Draft Bill has transformed us today, then our recommendation is that the Government should immediately The Criminal Code and pass the bill needs to implement it as a fundamental seriousness in Indonesian criminal law.

Abstrak

Hukum Pidana Islam pada dasarnya memperbolehkan sesuatu apapun sampai ada dalil (petunjuk) yang menunjukan keharamannya. dan ini merupakan bagian dari kaidah insaniyah yang dimiliki seseorang,kaidah insaniyah merupakan prinsip kemanusiaan bahwa produk akal manusia yang dijadikan rujukan dalam perilaku sosial ataupun sistem budaya harus bertitik tolak dari nilai-nilai kemanusiaan memuliakan manusia, dan memberi manfaat serta menghilangkan mudharat bagi manusia. Hal tersebut kemudian ditransformasikan dalam pasal 1 ayat 1 KUHP kita yaitu “Tiada suatu perbuatan dapat di pidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan” dan Pasal 6 ayat (1) UU No. 4 serta Amandemen kedua UUD1945 pasal 28 I

**Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah

Surakarta Angkatan 2011. Email: [email protected]

Page 2: Paradigma Hukum Pidana Islam Dalam Pembaharuan Hukum

Dwi Satriani Begi Mawindi: Pradigma Hukum Pidana...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

178

ayat (1) sedangkan Dalam ajaran Islam asas legalitas dijelaskan pula, Asas legalitas dalam hukum pidana Islam dibagi menjadi dua bagian. Yaitu dari segi penentuan macam tindak pidana, pada tindak pidana hudud dan qiyas, serta ta’zir ,Asas Legalitas memang identik dengan Kaidah insaniyah yang mana nilai-nilai keislaman telah tertransformasikan dalam RUU KUHP kita saat ini, maka rekomendasi kami yaitu agar Pemerintah perlu segera mengesahkan RUU KUHP ini serta perlu kesungguhan dalam melaksanakannya sebagai fundamental hukum pidana Indonesia. Kata Kunci: Asas Legalitas, Kaidah Insaniyah, Pidana Nasional.

A. Pendahuluan Islam adalah agama universal yang ajarannya mengandung prinsip-

prinsip dasar kehidupan, termasuk persoalan sosial, budaya, politik, pendidikan dan hukum serta masalah kenegaraan. Namun suatu realita telah terjadi bahwa Islam sejak awal sejarahnya tidak memberikan ketentuan yang pasti tentang bentuk dan konsep penegakan syari'at Islam dalam suatu negara. Di sinilah letak terjadinya berbagai penafsiran dan upaya untuk merealisasikannya. Karena kapanpun dan dimanapun arus perubahan yang bergulir, diakui atau tidak, akan mempengaruhi cara berfikir dan prilaku kehidupan masyarakat. Umat Muslim yang hidup bersama Nabi (muslimat al-risalah) memang tidak mengalami hal ini karena disamping belum ada akulturasi budaya, juga di tengah mereka ada seorang Nabi yang selalu menjadi refrensi utama dalam menyelesaikan berbagai persoalan.1

Keadaan tersebut berbeda sekali dengan pasca kenabian, Kaum muslim, terutama yang berada di daerah-daerah baru dibuka (muslimat al-futuh) sudah mengenal peradaban yang lebih maju ketimbang peradaban yang ada di jazirah Arabia. Berbagai problempun mengemuka akibat dari akulturasi budaya, dan tuntutan riil dalam kehidupan. Peristiwa hukum sering tidak ditemukan paralelnya dalam al-Qur’an dan Sunnah sehingga sulit membuat acuan penetapan hukum yang tepat. Akibatnya muncul berbagai fatwa hukum yang saling bersebrangan, karena ada yang

1Fenomena perkembangan diskursus seputar penafsiran tersebut diakui oleh M.

Amien Abdullah yang mengungkapkan bahwa perkembangan situasi sosial budaya, politik, ilmu pengetahuan, dan revolusi informasi juga turut memberi andil dalam usaha bagaimana memaknai kembali teks-teks keagamaan. Teks-teks keagamaan, tidak muncul begitu saja dari langit. Teks-teks dan naskah-naskah keagamaan dikarang, disusun, diubah, ditiru, diciptakan oleh pengarangnya sesuai dengan tingkat pemikiran manusia saat naskah-naskah tersebut disusun. Disarikan M. Nurdin Zuhdi, Pasarnya Tafsir Indonesia: dari Kontestasi Metodologi hingga Kontekstualisasi, (Yogyakarta: KAUKABA, 2014), hlm. 2.

Page 3: Paradigma Hukum Pidana Islam Dalam Pembaharuan Hukum

Dwi Satriani Begi Mawindi: Pradigma Hukum Pidana...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

179

terlampau rigid dalam memahami nash, dan ada pula yang terlalu “luas”. Perbedaan-perbedaan pendapat yang mengemuka, kemudian terasa sangat tajam, di sinilah letak pentingnya kehadiran metode dan kaidah ijtihad yang akademis dan solutif, untuk meminimalkan perbedaan di tengah masyarakat.2

Memahami sejarah fiqih dan ushul fiqih memiliki urgensi yang signifikan bagi umat Islam. Pengetahuan historis atas kedua ilmu ini memberikan satu kejelasan tentang kedudukannya dalam agama Islam, sehingga dapat menghindarkan umat Islam dari misinterpretasi (salah penafsiran) terhadap ketetapan hukumnya. Sesuai dengan sifatnya, kedua ilmu ini bersifat relatif, terbentuk karena adanya kepentingan kondisional terkait dengan pelaksanaan ijtihad para ulama pada masanya. Dengan demikian ketetapan dan rumusannya bukan bersifat mutlak, tidak final, tetapi memungkinkan terjadi perubahan, rekonstruksi, bahkan dekontruksi.3

Islam adalah suatu system dan jalan hidup yang utuh dan terpadu (a comprehensive way of life), memberikan panduan yang dinamis dan lugas terhadap semua aspek4 termasuk mengenai normatifitas yaitu (ibadah mahdhah) dan historisitas kehidupan sehari-hari (ibadah ghairu mahdhah). Hukum Islam diyakini oleh umat Islam sebagai hukum yang bersumber pada wahyu Tuhan (divine law), keyakinan ini didasarkan pada kenyataan bahwa sumber hukum dalam Islam adalah Al Qur’an dan As-Sunnah, Allah dan Rasulnya lazim disebut al-Syari’(law giver). 5

Secara sosiologi diakui bahwa masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Perubahan suatu masyarakat dapat mempengaruhi pola pikir dan tata nilai yang ada dimasyarakat itu. Dalam menghadapi masalah inilah penafsiran dan upaya penemuan hukum dan ahli hukum Islam dituntut mempunyai pemecahan atas masalah tersebut. Pemahaman dan penafsiran terhadap sumber hukum Islam meniscayakan adanya penalaran yang sistematis dan logis. Pemahaman itu dapat berupa kosa kata dan kalimat yang tertulis dalam Al Qur’an dan Hadits, dapat pula berupa upaya

2Yusdani, dkk, Pribumisasi Hukum Islam: Pembacaan Kontemporer Hukum Islam di

Indonesia, (Yogyakarta: Kaukaba Bentang Aksara Galang Wacana, 2012), hlm. 1. 3Ali Sodiqin, Fiqih Ushul Fiqih: Sejarah, Metodologi, dan Implementasinya di Indonesia,

(Yogyakarta: Beranda, 2012), hlm. 29. 4Muhammad Syafi’i Antonio, Bank syariah Dari Teori dan Praktik, (Jakarta: Gema

Insani, 2001), hlm. 3. 5Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997)

hlm. 7

Page 4: Paradigma Hukum Pidana Islam Dalam Pembaharuan Hukum

Dwi Satriani Begi Mawindi: Pradigma Hukum Pidana...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

180

kontekstualisasi nilai-nilai yang terkandung di dalam dua sumber hukum itu. Bahasan tentang berbagai bentuk pemahaman ini terdapat dalam sebuah ilmu yang disebut Ilmu Ushul al-Fiqh (Islamic Legal Theory), yang oleh sebagian ahli hukum Islam dianggap sebagai ilmu filsafat Islam yang original datang dari kalangan umat Islam, setelah menelaah isi kandungan Al Qur’an dan Hadits.6

Selain pemahaman terhadap naskah suci, ahli hukum juga dimungkinkan untuk menggali dan menemukan hukum yang berakar pada masyarakatnya. Upaya ini dalam literature hukum Islam lazim disebut Ijtihad. Dalam prosesnya, ijtihad meniscayakan adanya penalaran yang serius dan mendalam terhadap tujuan ditetapkannya aturan Tuhan. Jelas dalam hal ini peranan akal tidak dapat dihindari. Dapat dikatakan bahwa memahami tujuan ditetapkan hukum dalam Islam sama pentingnya dengan memahami naskah suci, baik Al Qur’an maupun Hadits. Tentu tujuan hukum ini juga dipahami dari nilai dan semangat yang terkandung dalam wahyu Tuhan.

Terdapat beberapa sumber hukum Islam yaitu Al Qur’an merupakan sumber yang paling utama, Sunnah, Ijma’, Qiyas, dan Ijtihad sebagai metode penggalian hukum Islam ini memiliki metode diantaranya Istihsan, Mashlahah Mursalah, Istishhab, ‘Urf, Dzari’ah, Mazhab Shahaby, dan Syar’u Man Qablana. 7 Sumber hukum Islam Al Qur’an dan Hadits didalam penarikan hukum (istimbath al-ahkam) menggunakan metodologi Ushul Fiqh yang memakai pola pikir deduktif menghasilkan Fikih, Fikih ini memiliki banyak muatan materi oleh ulama-ulama diteliti persamaannya dengan memakai pola pikir induktif, kemudian dikelompokkan dan tiap-tiap kelompok merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa akhirnya disimpulkan menjadi kaidah-kaidah fikih. Selanjutnya kaidah itu dikritisi dengan menggunakan banyak ayat dan banyak hadits terutama untuk dinilai kesesuaiannya dengan substansi ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits Nabi. Apabila sudah dianggap sesuai dengan ayat Al Qur’an dan banyak Hadist Nabi jadilah kaidah fikih yang mapan. Maka ulama fikih menggunakan kaidah tersebut untuk menjawab tantangan perkembangan masyarakat baik dibidang sosial, ekonomi, politik dan budaya. Akhirnya muncul fikih-fikih baru. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila ulama memberi fatwa, terutama didalam hal-hal baru yang praktis selalu

6Ibid. 7Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidiqie, Falsafah Hukum Islam, (Semarang:

Pustaka Rizki Putra, 2013), hlm. 17

Page 5: Paradigma Hukum Pidana Islam Dalam Pembaharuan Hukum

Dwi Satriani Begi Mawindi: Pradigma Hukum Pidana...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

181

menggunakan kaidah-kaidah fikih.8 Bahwasanya kaidah itu ada kaidah umum dan kaidah khusus yang menyangkut berbagai bidang kehidupan. Kaidah Fikih yang popular di Indonesia antara lain : Fiqh Muamalah, Fiqh Munakahat, Fiqh Kontenporer, Fiqh Mawaris, Fiqh Siyasah, Fiqh Qadha dan Fiqh Jinayah. Maka fokusan kami dalam penulisan karya tulis ini adalah Fiqh Jinayah.

Pada prisipnya dalam fiqh Jinayah terdapat suatu ketentuan bahwa“Tidak ada jarimah (tindak pidana) dan tidak ada hukuman tanpa nash (aturan)” 9 hal tersebut juga tercermin dalam pasal 1 ayat 1 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) bahwa “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Dalam sejarah hukum Islam, tidak pernah suatu perbuatan dianggap sebagai tindak pidana dan tidak pernah dijatuhi hukuman sebelum perbuatan tersebut dinyatakan sebagai tindak pidana dan diberi sanksinya baik oleh Al Qur’an maupun Al Hadits. Dalam KUHP kaidah khusus ini lebih dikenal sebagai Asas Legalitas. Untuk itu tulisan ini akan membahas tentang “Paradigma Hukum Pidana Islam dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional (Studi Terhadap Kaidah Insaniyah dalam Formulasi RUU KUHP)”

B. Asas Legalitas Sebagai dasar Pemidanaan Perumusan Asas Legalitas dicetuskan oleh Von Feurbach dengan

teorinya yang dikenal dengan nama teori "vom psycologischen zwang", yaitu yang menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang didalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi tentang macamnya pidana yang diancamkan. Asas Legalitas merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini juga melindungi dari penyalahgunaan wewenang hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi yang boleh dan dilarang.

Setiap orang harus diberi peringatan sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan ilegal dan hukumannya. Jadi berdasarkan asas ini, tiada satu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh hakim jika belum dinyatakan secara jelas oleh suatu hukum pidana dan selama perbuatan itu

8A.Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan

Masalah-Masalah yang praktis), (Jakarta : Kencana, 2014), hlm. 13 9Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah),

(Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 183.

Page 6: Paradigma Hukum Pidana Islam Dalam Pembaharuan Hukum

Dwi Satriani Begi Mawindi: Pradigma Hukum Pidana...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

182

belum dilakukan. Sebagaimana dalam hukum positif yang menerapkan asas legalitas, dalam hukum Islam juga ada kaidah-kaidah pokok yang sangat fundamen, diantaranya: “Tidak ada hukum bagi perbuatan orang-orang yang berakal sehat sebelum turun/ ada nash yang mengaturnya” Kemudian kaidah yang berbunyi: “Tidak ada tindak pidana (jarimah) dan tidak ada hukuman kecuali dengan nash.”

Dengan demikian, perbuatan seseorang yang cakap tidak mungkin dikatakan dilarang, selama belum ada ketentuan yang melarangnya, dan ia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya, sehingga ada nash yang melarangnya. Ini berarti hukum pidana tidak dapat berlaku ke belakang terhadap suatu perbuatan yang belum ada ketentuan aturannya, karena itu hukum pidana harus berjalan ke depan.

Arus globalisasi yang diikuti oleh perkembangan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi menimbulkan dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif pesatnya perkembangan antara lain terciptanya berbagai macam produk yang berkualitas dan berteknologi, terbukanya informasi yang diperoleh dan meningkatnya pendapatan masyarakat. Sedangkan dampak negatif antara lain semakin meningkatnya krisis nilai moral di masyarakat yang berpotensi meningkatnya jumlah orang yang melawan hukum pidana dalam berbagai bentuk.Meningkatnya aktivitas kriminal dalam berbagai bentuk menuntut kerja keras dalam membangun pemikiran-pemikiran baru mengenai arah kebijakan hukum di masa mendatang. Arah kebijakan hukum bertujuan menjadikan hukum sebagai aturan yang memberikan perlindungan bagi hak-hak warga negara dan menjamin kehidupan generasi di masa depan. 10

Sistem peradilan pidana menjadi perangkat hukum dalam menanggulangi bentuk kriminalitas di masyarakat. Penggunaan sistem peradilan dianggap sebagai bentuk respon penanggulangan kriminal dan wujud usaha penegakan hukum pidana.11 Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, maka hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum harus berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat juga terjadi karena pelanggaran hukum. Dalam hal hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Malalui penegakan hukum inilah hukum itu menjadi

10Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan

Restorative Justice, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 1. 11Ibid, hlm. 5.

Page 7: Paradigma Hukum Pidana Islam Dalam Pembaharuan Hukum

Dwi Satriani Begi Mawindi: Pradigma Hukum Pidana...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

183

kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada 3 (tiga) unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu : Kepastin hukum (Rechtssicherheit), Kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan Keadilan (Gerechtigkeit)12

1. Kepastian hukum (Rechtssicherheit) Dalam melaksanakan dan menegakkan hukum, setiap orang

mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya peristiwa yang konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku dan tidak boleh menyimpang: fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat.13

Hakim dalam menyelesaikan perkara di pengadilan, mempunyai tugas untuk menemukan hukum yang tepat. Hakim, dalam menemukan hukum,14 tidak cukup hanya mencari dalam undang-undang saja, sebab kemungkinan undang-undang tidak mengatur secara jelas dan lengkap, sehingga hakim harus menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.15

Nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat tidak lain hukum adat dan hukum tidak tertulis. Hakim bertugas sebagai penggalinya dan merumuskannya dalam suatu putusan. Putusan hakim harus merupakan bagian dari proses penegakan hukum yang bertujuan untuk mencapai salah satunya kebenaran hukum atau demi terwujudnya kepastian hukum.putusan hakim merupakan produk penegakan hukum yang didasarkan pada hal yang relevan secara hukum (yuridis) dari hasil proses secara sah di persidangan.

12Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (suatu pengantar), (Yogyakarta: Liberty,

1986), hlm. 130 13Ibid. 14Bambang Suitiyoso, “Implementasi Gugatan Legal Standing Dan Class Action

Dalam Praktik Peradilan Di Indonesia”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 26 No. 11, (Yogyakarta: FH UII, 2004), hlm. 77.

15 Busyro Muqoddas, “Mengkritik Asas-asas Hukum Acara Perdata”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 20 No. 9, (Yogyakarta: FH UII, 2002), hlm. 21.

Page 8: Paradigma Hukum Pidana Islam Dalam Pembaharuan Hukum

Dwi Satriani Begi Mawindi: Pradigma Hukum Pidana...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

184

Pertimbangan hukum yang dipakai oleh para hakim sebagai landasan dalam mengeluarkan amar putusan merupakan determinan dalam melihat kualitas putusan.16

2. Kemanfaatan (Zweckmassigkeit) Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau

penegakan hukum. hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan di dalam masyarakat.17 Hakim harus memperhatikan pertimbangan hukum dengan nalar yang baik, mengapa dalam kasus tertentu harus memilih pada salah satu asas.18 Dengan demikian kualitas putusan hakim dapat dinilai dari bobot alasan dan pertimbangan hukum yang digunakan dalam perkara.19

Seorang hakim, melalui suatu pertimbangan hukum dengan nalar yang baik, dapat menentukan kapan berada lebih dekat dengan kepastian dan kapan lebih dekat dengan keadilan. Pada dasarnya asas kemanfaatan bergerak di antara titik kepastian hukum dan titik keadilan, di mana hakim lebih melihat kepada tujuan atau kegunan dari hukum itu kepada tujuan atau kegunaan dari hukum itu kepada masyarakat. Hakekatnya hukum dibuat untuk menjaga kepentingan manusia.

Penekanan kepada asas kepastian hukum oleh hakim lebih cenderung mempertahankan norma-norma hukum tertulis dari hukum positif yang ada. Peraturan perundang-undangan ditegakkan demi kepastian hukum. kendala yang dihadapi hakim yang cenderung kepada kepastian hukum mengalami kebuntuan manakala ketentuan tertulis tidak dapat menjawab persoalan-persoalan yang ada. Dalam situasi demikian hakim harus menemukan untuk mengisi kelengkapan hukum. penekanan yang lebih cenderung unsur kemanfaatan lebih bernuansa ekonomi. Dasar pemikirnnya bahwa

16Artidjo Alkostar, “Fenomena-fenomena Paradigmatik Dunia Pengadilan Di

Indonesia (Telaah Kritis Terhadap Putusan Sengketa Konsumen)”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 26 No. 11, (Yogyakarta: FH UII, 2004), hlm. 1.

17 Ibid, hlm. 130-131 18Elisabet Nurhaini Butarbutar, “Konsep Keadilan Dalam Sistem Peradilan

Perdata”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 21 No. 3, (Yogyakarta: FH UGM, 2009), hlm. 363. 19Luki Indrawati, “Rekonstruksi Legal Reasoning Hakim”, Jurnal Media Hukum,

Vol. 14 No. 3, (Yogyakarta: FH UMY), hlm. 175.

Page 9: Paradigma Hukum Pidana Islam Dalam Pembaharuan Hukum

Dwi Satriani Begi Mawindi: Pradigma Hukum Pidana...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

185

hukum adalah untuk menusia atau orang banyak, oleh karena itu tujuan hukum harus berguna untuk manusia.20

3. Keadilan (Gerechtigkeit) Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan

atau penegakan hukum keadilan diperhatikan. Dalam pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil. Hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan.21 John Rawls menyatakan bahwa keadilan pada dasrnya merupakan prinsip dari kebijakan rasional yang diaplikasikan untuk konsepsi jumlah dari kesejahteraan seluruh kelompok dalam masyarakat. Untuk mencapai keadilan tersebut, maka rasional jika seorang memaksakan pemenuhan keinginannya sesuai dengan prinsip kegunaan, karena dilakukan untuk memperbesar keuntungan bersih dari kepuasan yang akan diperoleh oleh anggota masyarakat.22 Dalam konsepsi keadilan sebagai kewajaran (justice of fairness), ditemukan kumpulan prinsip-prinsip yang saling berhubungan untuk mengidentifikasi pertimbangan-pertimbangan yang relevan dan menentukan keseimbangan. Justice of fairness lebih memiliki ide yang lebih umum dan lebih pasti, karena prinsip-prinsip keadilan (principles of justice) sudah dipilih dan sudah diketahui umum. Hal ini berbeda dengan prinsip kegunaan (principle of utility), dimana makna konsep keadilan diambil dari keseimbangan yang tepat antara tuntutan-tuntutan persaingan. Prinsip kegunaan dapat dilihat dari 2 (dua) aspek. Pertama, bahwa masyarakat yang teratur merupakan pola dari kerja sama untuk memperoleh keuntungan timbal balik yang diatur oleh prinsip-prinsip yang dapat dipilih dalam situasi awal sebagai sesuatu yang wajar. Kedua, sebagai efisiensi administrasi dari sumber-sumber sosial untuk memaksimalkan kepuasan dari sistem keinginan yang dikonstruksikan oleh pengamat yang netral dan obyektif.23

20Yanto Sufriadi, “Penerapan Hukum Progresif Dalam Pemulihan Krisis Hukum

Di Tengah Kemacetan Demokrasi di Era Global”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 17 No. 2, (Yogyakarta: FH UII, 2012), hlm. 138.

21Ibid, hlm. 131. 22John Rawls, A Theory of Justice, London: Oxford University Press, 1973, yang

sudah diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, (Yogyakarta: Pusat Pelajar, 2006), hlm. 103.

23 Ibid, hlm. 104.

Page 10: Paradigma Hukum Pidana Islam Dalam Pembaharuan Hukum

Dwi Satriani Begi Mawindi: Pradigma Hukum Pidana...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

186

Dengan demikian, dalam menegakan hukum harus selalu memperhatikan unsur-unsur sebagaimana disebutkan diatas. Sehingga tidak akan mengorbankan unsur yang lain jika hanya memperhatikan salah satu unsurnya saja. Dalam kaitannya putusan hakim, Hakim tidak boleh menangguhkan pelaksanaan atau penegakan undang-undang yang telah dilanggar. Hakim tidak dapat atau tidak boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karena hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas. Ia dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih tidak sempurnanya undang-undang atau tidak adanya hukumnya.24

Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, yang diucapkan dimuka persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Yang merupakan hasil (output) dari kewenangan mengadili setiap perkara yang ditangani dan didasari pada Surat Dakwaan dan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dan dihubungkan dengan penerapan dasar hukum yang jelas, termasuk didalamnya berat ringannya penerapan pidana penjara (pidana perampasan kemerdekaan).25 Hal tersebut sesuai dengan asas legalitas hukum pidana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP berisi tentang pemidanaan yang didasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang telah ada. Adapun jenis-jenis pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku kejahatan yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yaitu:

1. Pidana Pokok a. Pidana mati b. Pidana penjara c. Pidana kurungan d. Pidana denda e. Pidana tutupan

2. Pidana Tambahan a. Pencabutan hak-hak tertentu b. Perampasan barang-barang tertentu c. Pengumuman putusan hakim

24 Ibid, hlm. 132. 25Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm.

75.

Page 11: Paradigma Hukum Pidana Islam Dalam Pembaharuan Hukum

Dwi Satriani Begi Mawindi: Pradigma Hukum Pidana...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

187

Sedang dalam Pasal 23 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak juga menjelaskan mengenai jenis pidana yaitu:

1. Pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan.

2. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah: a. Pidana penjara b. Pidana kurungan c. Pidana denda d. Pidana pengawasan

3. Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap anak nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.

4. Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan hal-hal tersebut, tentunya hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan sesuai dengan bunyi pasal dakwaan dalam arti hakim terikat dengan batas minimal dan batas maksimal dalam menegakkan Undang-undang dengan tepat dan benar. Terdapat beberapa jenis putusan diantaranya sebagai berikut:26

1. Putusan Akhir Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu dan putusan tersebut merupakan produk utama dari suatu persidangan.

2. Putusan Sela Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan masih dalam proses persidangan sebelum putusan akhir dibacakan yang bertujuan untuk memperjelas dan memperlancar persidangan.

Dalam kaitannya putusan akhir dan putusan sela sama-sama tidak mengikat hakim. Dalam putusan sela, hakim yang menjatuhkan putusan tersebut berwenang untuk merubah putusan tersebut jika terdapat kesalahan.

26Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (suatu pengantar), (Yogyakarta:

Liberty,1986), hlm.184-185

Page 12: Paradigma Hukum Pidana Islam Dalam Pembaharuan Hukum

Dwi Satriani Begi Mawindi: Pradigma Hukum Pidana...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

188

C. Kaidah Insaniyah Dalam Formulasi RUU KUHP

Asas legalitas dalam konteks kaidah hukum yang terdapat dalam hukum Islam berasal dari wahyu atau kitab suci yang diyakini oleh umat Islam dalam hal ini ialah Al-Qurán27. Oleh karena itu, aturannya tidak dapat mengikat secara formal dan otomatis karena tidak semua Negara berasaskan ajaran Islam. Hukum Pidana Islam hanya berlaku di negara Islam, sedangkan di negara yang bukan berdasarkan Islam, hukum Islam tidak dapat diberlakukan. Meskipun demikian kaidah-kaidah kepidanaannya dapat ditranformasikan ke dalam undang-undang hukum pidana di Indonesia. Bahkan untuk wilayah tertentu yang telah memberlakukan syariat Islam, misalnya Provinsi Banten dan Aceh Darussalam, hukum pidana Islam telah diterapkan. Dalam hukum Islam asas legalitas dijelaskan secara eksplisit dalam Al-Qur’an Surat Al-Israa’ ayat 15

� ٱ ���� ��ى �

���

��ي�� �

و�� ۦ �� ��

��

� ��

���

����

��� ��

�ر و�

ر وز وازرة

��� و�� �ى أ

� ��

��� ���

��

��

� ر���

“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan kami tidak akan meng'azab sebelum kami mengutus seorang rasul.”

Disebutkan pula dalam Al-Quran surat Al-Qashah ayat 59 bahwa :

و��ن

� �� ر���

ٱ �

�ى �

� ��� ��

�� � ���

أ

ر���

�� �ا

� �

�� ��

ءا� ��� و�� ���

ٱ �� �� �

�ى� �

� إ�

���وأ

� � ���ن

27Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah),

(Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 172-173

Page 13: Paradigma Hukum Pidana Islam Dalam Pembaharuan Hukum

Dwi Satriani Begi Mawindi: Pradigma Hukum Pidana...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

189

“Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum dia mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman”.

Al-Maraghi menafsirkan ayat pertama menyatakan bahwa

sebagaimana sunnatullah (hukum alam) yang telah berlaku dalam alam ini, sesungguhnya tidak seorang pun dijatuhi siksaan, baik siksaan dunia maupun siksaan akhirat atas perbuatan yang dilakukannya atau menantang perbuatan itu, kecuali kepadanya telah diutus seorang Rasul untuk memberi petunjuk ke jalan yang benar, pembebas dari kesesatan, penegak argumentasi, pembawa undang-undang, dan peyeru dakwah. Sedangkan Al-Alusi menafsirkan ayat kedua menyatakan bahwa sungguhnya Allah tidak menurunkan siksaan kepada penduduk suatu daerah (negara), sebelum mengutus seorang Rasul kepada ibu kotanya dengan membacakan ayat-ayat Allah, untuk mengajak mereka kepada kebenaran dan memberi petunjuk kepadanya tentang hal ihwal kehidupan ini. Sebab, ibu kotalah merupakan pusat pemerintahan suatu negara, pusat penetapan hukum, dan pusat pelaksanaan dakwah.28

Kedua ayat Al-Qur’an diatas menjelaskan bahwa Allah menurunkan syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad agar menjadi peringatan kepada umat manusia dalam bentuk perintah dan larangan, aturan dan ancaman. Dengan demikian, asas legalitas dalam hukum Islam muncul sejak Al-Qur’an diturunkan, kecuali ada naskh. Naskh adalah penghapusan ayat terdahulu oleh ayat yang baru turun. Asas legalitas telah diterangkan dalam Al Quran yang dibawa oleh Nabi Muhammad berarti dianggap sudah diketahui masyarakat karena telah disebarluaskan. Asas ini telah ada sebelum hukum positif yang dipelopori oleh Prancis ketika Negara ini memperkenalkan hal yang sama kepada masyarakat melalui perundang-undangan. Oleh karena itu tidak ada alasan bagi manusia tidak mengetahui hukum dan menghindar dari ancaman hukuman. Sehingga makna asas legalitas adalah ketetapan adanya nash hukum yang mengatur, memelihara, mengendalikan, memaksa, memberi sanksi, dan menetapkan semua bentuk perbuatan yang dikategorikan melanggar hukum, baik mengerjakan yang dilarang maupun meninggalkan yang diperintah.

28Syihab al-Din Sayyid Mahmud al-Alusi al-Baghdadi, Ruh al-Ma’ani Tafsir al-Qur’an al-Azhim wa al-Sab’ al-Matsani, (Bairut : Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, tth.), Juz XX.dalam file:///D:/LEGALITAS/AsasLegalitasHukumPidanadalamTinjauanalQuran_ReferensiMakalah.htm diakses pada 1 Oktober 2014.

Page 14: Paradigma Hukum Pidana Islam Dalam Pembaharuan Hukum

Dwi Satriani Begi Mawindi: Pradigma Hukum Pidana...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

190

Dalam hukum pidana Islam pada dasarnya status hukum segala sesuatu itu diperbolehkan sampai ada dalil (petunjuk) yang menunjukan keharamannya. Maksudnya, selama tidak ada ketentuan yang berkenaan dengan masalah tersebut, status hukum masalah adalah (ibahah, jaiz, atau halal). Kaidah tersebut berlaku umum bagi segala sesuatu yang tidak mempunyai ketentuan khusus. Kebolehan tersebut berlaku untuk semua orang yang sehat akalnya atau mukalaf. Oleh karena itu, apabila mengerjakan atau tidak mengerjakan (meninggalkan) perbuatan tersebut harus dikerjakan atau harus ditinggalkan. Dengan demikian, semua perbuatan tidak dipandang sebagai pelanggaran sebelum ada aturan (nash atau lainnya) yang berkaitan dengan masalah tersebut. Hal ini karena hukuman atau sanksi hukum harus berkaitan dengan aturan atau nash. Disamping itu, perbuatan yang dianggap sebagai delik tidak cukup sekadar adanya larangan. Akan tetapi, bersamaan dengan peraturan tersebut, disertakan pula konsekuensi yang akan diperoleh apabila perbuatan itu dikerjakan atau ditinggalkan tanpa akibat hukum yang jelas atau tanpa sanksi yang jelas menyertai peraturan tersebut, pelanggaran terhadap aturan tidak mempunyai arti apa pun bagi pelaku. Itu berarti pelaku tidak dianggap telah berbuat jarimah dan tidak dapat dihukum.29

Bahwasanya apabila seseorang memiliki iman dalam melakukan perbuatan itu pasti memiliki niat, untuk itu perbuatan seseorang akan dinilai dari niatannya. Tauhidullah keimanan menjadi dasar disemua bidang hukum oleh para ahli hukum telah disepakati sebagai fikih jumhur ulama atau yurisprudensi hukum Islam. Menurut Junaya S. Praja bahwa Prinsip Tauhidullah merupakan paradigma berfikir yang digunakan untuk menggali kandungan ajaran Islam yang termuat dalam Al Quran dan Hadits, dalam konteks ritual atau pun sosial harus bertitik tolak dari nilai-nilai ketauhidan, yaitu tentang segala yang ada dan yang mungkin ada, bahkan yang mustahil ada adalah diciptakan oleh Allah SWT. Sehingga kata Rabbul’alamin dapat dimaknakan bahwa Allah Maha Intelektual yang memiliki iradah atas segala sesuatu30. Prinsip hukum Islam adalah titik tolak pelaksanaan ketetapan Allah yang berkaitan dengan mukalaf, baik yang berbentuk perintah, larangan maupun pilihan. Prinsip yang paling utama adalah ketauhidan, keadilan dan kemanusiaan.

Prinsip ketauhidan diartikan oleh Hasbi Ash-Shidiqie sebagai tolok ukur perbuatan manusia. Dengan prinsip ini, semua manusia dikumpulkan

29Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam..., hlm. 180. 30Ibid.

Page 15: Paradigma Hukum Pidana Islam Dalam Pembaharuan Hukum

Dwi Satriani Begi Mawindi: Pradigma Hukum Pidana...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

191

dibawah panji-panji kalimah at-thayibah, la illaha illa Allah. Dengan prinsip ketauhidan, semua manusia memiliki hak yang sama untuk berhubungan dengan Allah tanpa perantara, karena Allah tidak pernah pilih bulu. Prinsip secara bahasa adalah permulaan, asal tempat pemberangkatan; titik tolak atau al mabda. Prinsip adalah kebenaran universal yang inheren didalam hukum Islam, khususnya hukum pidana Islam (tasyri jina’i) dan menjadi titik tolak pembinaannya.

Abdul Qadir Audah menjelaskan bahwa akhlak fadilah merupakan fondasi utama bagi masyarakat Islam, karena itu setiap pelanggaran akhlak berat sanksi nya bahwa syariat mengakui akhlak terpuji sebagai fondasi utama bagi masyarakat. Karena itu, pemeliharaan akhlak dengan cara memberi sanksi pada setiap perbuatan yang berkenaan dengan akhlak. Dengan demikian norma induk (grand norm) bagi norma-norma yang ada dibawah, karena norma akhlak sebagai pembeda yang mendasar antara hukum Islam dengan hukum pidana lain.

Prinsip ketauhidan menghargai akal pada posisi yang serasi dengan wahyu dalam upaya meyakini keberadaan Allah. Hukum Islam seluruhnya diperuntukan bagi orang yang berakal dan mau berpikir. Dalam suatu keterangan dikatakan bahwa agama untuk yang berakal dan agama tidak berlaku bagi yang tidak berakal. Karena fungsi akan membedakan dan memilih perbuatan yang baik dan yang buruk sehingga prinsip ketauhidan melahirkan prinsip akhlaq al-karimah, yaitu prinsip moralitas terpuji yang dapat menyucikan jiwa dan meluruskan kepribadian. Karena menjadi titik tolak pelaksanaan hukum Islam ketauhidan sebagai produk dari keyakinan manusia kepada Allah yang dilegalisasi oleh dalil naqli dan pemahaman filosofi tentang falsafah wujud. Keadilan merupakan salah satu sifat mutlak yang dikuasai oleh Allah. Demikian pula kemanusiaan. Allah tidak pernah memilih-milih dan memilah-milah dalam menciptakan manusia, memberi rezeki, memberi kekuatan, dan kehendak dalam diri manusia. Seluruhnya diberi dengan adil tanpa membayar sepeser pun. Semua manusia diberi akal untuk berpikir. Dengan pikirannya manusia, mampu membedakan yang baik dan yang buruk. Menurut Audah, keistimewaan hukum Islam tercermin dalam setiap prinsip, teori dan kaidah perundang-undangan yang terdapat pada syariat Islam yang keberadaanya universal.

Kaidah Insaniyah merupakan prinsip kemanusiaan bahwa produk akal manusia yang dijadikan rujukan dalam perilaku sosial ataupun sistem budaya harus bertitik tolak dari nilai-nilai kemanusiaan memuliakan manusia, dan memberi manfaat serta menghilangkan mudharat bagi manusia. Lalu kemudian dalam tataran praktis kaidah hukum Islam ini

Page 16: Paradigma Hukum Pidana Islam Dalam Pembaharuan Hukum

Dwi Satriani Begi Mawindi: Pradigma Hukum Pidana...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

192

bersifat praktis yang dioperasionalkan dalam unsur pidana yaitu unsur formal (rukun syar’i). Unsur formal adalah ketentuan hukum syara’ (nash) yang menyatakan perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum. Unsur ini mencakup dua pokok. Pertama, ketetapan hukum syara’ tentang segala perbuatan yang dapat dihukumi (jarimah) dan sanksi-sanksi (‘uqubah). Bagian ini terdiri atas kaidah-kaidah pokok hukum jinayah, sumber hukum penafsiran hukum, kontradiksi hukum dan hubungan hukum pidana Islam dengan hukum pidana umum. Keduan, memberlakukan ketetapan-ketetapan hukum pidana Islam dalam dimensi waktu, dimensi tempat dan dimensi personal. Konsekuensi logis kaidah pokok yaitu menunjukan bahwa setiap perbuatan manusia dewasa tidak dinilai sebagai perbuatan yang dilarang selama belum ada ketetapan hukumnya. Oleh karena itu setiap manusia pada dasarnya bebas berbuat sehingga ada ketetapan larangan. Demikian ini maka identik dengan asas legalitas yang terdapat pada hukum pidana nasional.

Salah satu asas yang secara eksplisit telah ada dalam hukum Islam itu terformulasikan dalam hukum positif di Indonesia yaitu Asas Legalitas tercermin dari ungkapan bahasa latin: Nullum Deliktum Nula Poena Sine Praevia Lege Poenali31, yang berarti tiada delik tiada hukuman sebelum ada ketentuan terlebih dahulu. Hal ini juga tertuang dalam pasal 1 ayat 1 KUHP kita yaitu “Tiada suatu perbuatan dapat di pidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan” Asas legalitas ini diatur pula dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh undang-undang. Bunyi pasal ini memperkuatkan kembali kehendak asas legalitas terhadap hukum pidana yang dibuat secara tertulis. Begitu juga dalam UUD 1945 Amandemen II Pasal 28 I ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Hak untuk hidup, … dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Begitu pula dalam Amandemen IV disebutkan bahwa “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam perundang-undangan.

31Kementrian HAM RI, Pengharmonisasian, Pembulatan,dan Pemantapan Konsepsi

Rancangan Peraturan Peruandang-undangan, (Jakarta:Derektorat Jendral Perundang-undangan, 2010), hlm. 148.

Page 17: Paradigma Hukum Pidana Islam Dalam Pembaharuan Hukum

Dwi Satriani Begi Mawindi: Pradigma Hukum Pidana...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

193

Dalam Pandangan Moeljatno, pengertian yang ada dalam asas legalitas yaitu: (1) Tidak ada Perbuatan yang dilarang dan di ancam dengan Pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum di nyatakan ada dalam suatu aturan undang-undang, (2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi, tetapi diperbolehkan penggunaan penafsiran eksentif, (3) Aturan-aturan hukum Pidana tidak boleh surut.32

Sedangkan Schaffmeister dan Heijeder menguraikan secara mendetail tentang hal tersebut: (1) Tidak dapat di Pidana kecuali ada ketentuan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan (formil) (2) Tidak diperkenankan analogy (pengenaan undang-undang terhadap perbuatan yang tidak diatur oleh undang-undang tersebut. (3) Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan (hukum yang tidak tertulis) (4) Tidak boleh ada rumusan delik yang kurang jelas (lex certa) (5) Tidak boleh retroaktif (berlaku surut) (6) Tidak boleh ada ketentuan Pidana di luar Undang-undang (7) Penuntutan hanya dilakukan berdasarkan atau dengan cara yang di tentukan undang-undang (hukum acara yang berlaku).33

Dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dirumuskan dengan jelas, tetapi juga macamnya pidana yang diancamkan. Dengan cara demikian maka orang yang akan melakukan perbuatan yang dilarang itu telah mengetahui terlebih dahulu pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti betul- betul melakukan perbuatan sehingga dalam batin orang itu akan mendapat tekanan untuk tidak berbuat. Andai kata dia ternyata melakukan juga perbuatan yang dilarang, maka dipandang dia menyetujui pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.

Dalam ajaran Islam asas legalitas dijelaskan pula, Asas legalitas dalam hukum pidana Islam dibagi menjadi dua bagian. Yaitu dari segi penentuan macam tindak pidana, pada tindak pidana hudud dan qiyas, serta ta’zir biasa syariah telah menentukan macamnya perbuatan-perbuatan yang membentuk tindakan pidana, sedangkan pada tindak pidana ta’zir untuk kepentingan umum perbuatannya tindak ditentukan, hanya sifatnya saja

32Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, hal.26 dalam

file:///H:/LEGALITAS/Cahaya_AlQuranKontribusiPidanaIslamterhadapPidanaUmum.htm diakses pada 1 Oktober 2014

33Pusdiklat Kejaksaan RI, Asas-asas Hukum Pidana, Modul Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa, hal.6 dalam file:///H:/LEGALITAS/Cahaya_AlQuranKontribusiPidanaIslamterhadapPidanaUmum.htm diakses pada 1 Oktober 2014.

Page 18: Paradigma Hukum Pidana Islam Dalam Pembaharuan Hukum

Dwi Satriani Begi Mawindi: Pradigma Hukum Pidana...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

194

yang ditentukan. Dan dari segi penetuan hukuman-hukuman, pada tindak pidana hudud dan qiyas, syariat telah menentukan hukuman, sedangkan pada tindak syariat telah menentukan hukuman, sedangkan pada tindakan pidana ta’zir syariat menyediakan sekumpulan hukuman, hakimlah yang akan menentukan.34

Salah satu unsur hukum pidana Islam adalah unsur formal, yaitu adanya peraturan yang mengatur tindakan yang dinyatakan sebagai perbuatan jarimah atau adanya ketentuan syara’ atau nash yang menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang dinyatakan oleh hukum sebagai sesuatu yang dapat dihukum atau adanya nash (ayat) yang mengancam hukuman terhadap perbuatan yang dimaksud. Ketentuan tersebut harus sudah ada sebelum perbuatan dilakukan. Apabila aturan tersebut datang setelah perbuatan terjadi, ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan karena hukum berlaku pasang atau hukum tidak berlaku surut35

Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang untuk memeluk agamanya dan beribadat menurut agama dan kepercayaann yaitu, amanah konstitusi ini memberikan pemahaman bahwa negara mempunyai wewenang mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang mendukung bagi terlaksanakannya hukum agama, disamping hukum adat dan hukum barat. Termasuk Fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga resmi Majelis Ulama Indonesia dan Qonun (hukum syari’at Islam) Daerah Istimewa Aceh yang memiliki nilai-nilai Islam mendapat pengakuan legal dari Negara. Asas legalitas ini lah yang menjadi acuan pada petugas yang berwenang untuk dapat atau tidaknya seseorang mendapat sanksi hukuman atas perbuatannya.

Dalam RUU KUHP Tahun 2012 Bab 1 pasal 1 yang berbunyi (1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan. (2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.

RUU KUHP Tahun 2012 Pasal 2 yang berbunyi (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (1) Tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. (2)

34halmad hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967),

hlm. 73-74. 35Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam ..., hlm. 181.

Page 19: Paradigma Hukum Pidana Islam Dalam Pembaharuan Hukum

Dwi Satriani Begi Mawindi: Pradigma Hukum Pidana...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

195

Berlakunya hukum yang hidup dimasyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.

Asas Legalitas memang identik dengan Kaidah insaniyah yang mana nilai-nilai keislaman telah tertransformasikan dalam RUU KUHP seperti bunyi pasal diatas. Asas Legalitas sebagai pilar negara hukum karena selain adanya suatu kepastian hukum, juga menghindari adanya suatu bentuk kesewenang-wenangan dari aparatur penegak hukum maupun penguasa dalam konteks yang lebih luas. Asas legalitas mengimperasikan bahwa suatu kaidah hukum harus jelas dan tegas, sehingga kaidah tersebut akan memiliki kepastian hukum. Asas legalitas merupakan hal yang harus ada di dalam sistem hukum pidana, karena disamping dapat memberikan jaminan untuk terciptanya kepastian hukum yang adil, juga menjamin pelaksanaan kekuasaan yang tidak berlebihan dari penguasa. Itulah sebabnya, Lieven Dupont mengingatkan “Het legalities beginsel is een van de meest fundamentale beginselen van het strafrecht” (asas legalitas adalah suatu asas yang paling penting dalam hukum pidana). Senada dengan Dupont, Peters juga mengatakan bahwa asas legalitas dapat menentukan kualitas dan karakter hukum dari hukum pidana. Sehingga Kaidah insaniyah identik dengan asas legalitas yang membatasi hak penguasa atas kesewenang-wenangan terhadap hak asasi individu (HAM) yang telah diformulasikan dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidanan Indonesia.

D. Penutup

Allah menurunkan syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad agar menjadi peringatan kepada umat manusia dalam bentuk perintah dan larangan, aturan dan ancaman. Dengan demikian, asas legalitas dalam hukum Islam muncul sejak Al-Qur’an diturunkan, kecuali ada naskh. Naskh adalah penghapusan ayat terdahulu oleh ayat yang baru turun. Asas legalitas telah diterangkan dalam Al Quran yang dibawa oleh Nabi Muhammad berarti dianggap sudah diketahui masyarakat karena telah disebarluaskan yaitu tercermin dalam Q.S Al Isra’ ayat 15 dan Q.S Al Qashas ayat: 59 . Asas ini telah ada sebelum hukum positif yang dipelopori oleh Prancis ketika Negara ini memperkenalkan hal yang sama kepada masyarakat melalui perundang-undangan. Oleh karena itu tidak ada alasan bagi manusia tidak mengetahui hukum dan menghindar dari ancaman hukuman.

Page 20: Paradigma Hukum Pidana Islam Dalam Pembaharuan Hukum

Dwi Satriani Begi Mawindi: Pradigma Hukum Pidana...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

196

Kaidah Insaniyah merupakan prinsip kemanusiaan bahwa produk akal manusia yang dijadikan rujukan dalam perilaku sosial ataupun sistem budaya harus bertitik tolak dari nilai-nilai kemanusiaan memuliakan manusia, dan memberi manfaat serta menghilangkan mudharat bagi manusia. Dalam asas legalitas pun berusaha melindungi nilai-nilai kemanusiaan. Asas Legalitas memang identik dengan Kaidah insaniyah yang mana nilai-nilai keislaman telah tertransformasikan dalam RUU KUHP. Asas Legalitas sebagai pilar negara hukum karena selain adanya suatu kepastian hukum, juga menghindari adanya suatu bentuk kesewenang-wenangan dari aparatur penegak hukum maupun penguasa dalam konteks yang lebih luas. Asas legalitas mengimperasikan bahwa suatu kaidah hukum harus jelas dan tegas, sehingga kaidah tersebut akan memiliki kepastian hukum. Asas legalitas merupakan hal yang harus ada di dalam sistem hukum pidana, karena disamping dapat memberikan jaminan untuk terciptanya kepastian hukum yang adil, juga menjamin pelaksanaan kekuasaan yang tidak berlebihan dari penguasa.

Page 21: Paradigma Hukum Pidana Islam Dalam Pembaharuan Hukum

Dwi Satriani Begi Mawindi: Pradigma Hukum Pidana...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

197

DAFTAR PUSTAKA

A.Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang praktis), Jakarta : Kencana, 2014.

Ali Sodiqin, Fiqih Ushul Fiqih: Sejarah, Metodologi, dan Implementasinya di Indonesia, Yogyakarta: Beranda, 2012.

Artidjo Alkostar, “Fenomena-fenomena Paradigmatik Dunia Pengadilan Di Indonesia (Telaah Kritis Terhadap Putusan Sengketa Konsumen)”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 26 No. 11, Yogyakarta: FH UII, 2004.

Bambang Suitiyoso, “Implementasi Gugatan Legal Standing Dan Class Action Dalam Praktik Peradilan Di Indonesia”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 26 No. 11, Yogyakarta: FH UII, 2004.

Busyro Muqoddas, “Mengkritik Asas-asas Hukum Acara Perdata”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 20 No. 9, Yogyakarta: FH UII, 2002.

Elisabet Nurhaini Butarbutar, “Konsep Keadilan Dalam Sistem Peradilan Perdata”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 21 No. 3, Yogyakarta: FH UGM, 2009.

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Halmad hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.

John Rawls, A Theory of Justice, London: Oxford University Press, 1973, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Yogyakarta: Pusat Pelajar, 2006.

Kementrian HAM RI, Pengharmonisasian, Pembulatan,dan Pemantapan Konsepsi Rancangan Peraturan Peruandang-undangan, Jakarta:Derektorat Jendral Perundang-undangan, 2010.

Luki Indrawati, “Rekonstruksi Legal Reasoning Hakim”, Jurnal Media Hukum, Vol. 14 No. 3, Yogyakarta: FH UMY.

M. Nurdin Zuhdi, Pasarnya Tafsir Indonesia: dari Kontestasi Metodologi hingga Kontekstualisasi, Yogyakarta: KAUKABA, 2014.

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Bandung: Refika Aditama, 2009.

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank syariah Dari Teori dan Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2001.

Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung: Pustaka Setia, 2013.

Page 22: Paradigma Hukum Pidana Islam Dalam Pembaharuan Hukum

Dwi Satriani Begi Mawindi: Pradigma Hukum Pidana...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

198

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (suatu pengantar), Yogyakarta:

Liberty, 1986. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (suatu pengantar), Yogyakarta:

Liberty,1986. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidiqie, Falsafah Hukum Islam,

Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2013. Yanto Sufriadi, “Penerapan Hukum Progresif Dalam Pemulihan Krisis

Hukum Di Tengah Kemacetan Demokrasi di Era Global”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 17 No. 2, Yogyakarta: FH UII, 2012.

Yusdani, dkk, Pribumisasi Hukum Islam: Pembacaan Kontemporer Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Kaukaba Bentang Aksara Galang Wacana, 2012.

Al Qur’an, 1998, Departemen Agama, Jakarta Undang - Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun

1945 Rancangan Undang-Undang KUHP Tahun 2012. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Syihab al-Din Sayyid Mahmud al-Alusi al-Baghdadi, Ruh al-Ma’ani Tafsir al-

Qur’an al-Azhim wa al-Sab’ al-Matsani, (Bairut : Dar Ihya’ al-Turatsal-‘Arabi,tth.),JuzXX.dalam file:///D:/LEGALITAS/AsasLegalitasHukumPidanadalamTinjauanalQuran_ReferensiMakalah.htm diakses pada 1 Oktober 2014

Moeljatno,2002,Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, hal.26 dalam file:///H:/LEGALITAS/Cahaya_AlQuranKontribusiPidanaIslamterhadapPidanaUmum.htm diakses pada 1 Oktober 2014

Pusdiklat Kejaksaan RI, 2009, Asas-asas Hukum Pidana, Modul Pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa, hal.6 dalam file:///H:/LEGALITAS/Cahaya_AlQuranKontribusiPidanaIslamterhadapPidanaUmum.htm diakses pada 1 Oktober 2014