192
dalam pemerintahan. Demokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan yang ditata dan diorganisasikan berdasarkan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat (popular souvereignity), kesamaan politik (political equality), konsultasi atau dialog dengan rakyat (popular consultation), dan berdasarkan pada aturan suara mayoritas. Bab ini ditutup dengan mengajukan sistem dan model merit dalam politik. Merit system dalam politik diuraikan di bab ini, agar merit system ini tidak hanya dimiliki dan dimonopoli oleh pejabat-pejabat karier dalam pemerintahan saja. Dengan demikian, karier dalam politik mulai dari tataran yang rendah sampai ke tataran yang lebih tinggi sehingga mencerminkan profesionalitas politik amat diperlukan bagi pejabat- pejabat yang meniti di jalur politik ini.

Partai Politik Dan Pemilihan Umum

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Makalah

Citation preview

dalam pemerintahan. Demokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan yang ditata dan diorganisasikan berdasarkan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat (popular souvereignity), kesamaan politik (political equality), konsultasi atau dialog dengan rakyat (popular consultation), dan berdasarkan pada aturan suara mayoritas.Bab ini ditutup dengan mengajukan sistem dan model merit dalam politik. Merit system dalam politik diuraikan di bab ini, agar merit system ini tidak hanya dimiliki dan dimonopoli oleh pejabat-pejabat karier dalam pemerintahan saja. Dengan demikian, karier dalam politik mulai dari tataran yang rendah sampai ke tataran yang lebih tinggi sehingga mencerminkan profesionalitas politik amat diperlukan bagi pejabat-pejabat yang meniti di jalur politik ini.

4PARTAI POLITIK DAN PEMILIHAN UMUM[footnoteRef:1] [1: Diambil dari sumber dari KPU: www.kpu.go.id]

Di dalam pemerintahan yang demokratis salah satu wujudnya ialah adanya kehidupan partai politik. Setelah partai politik maka dilanjutkan dengan adanya ketentuan pemilihan umum untuk memilih presiden, wakil presiden, dan anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Dahulu di awal kemerdekaan setelah maklumat wakil presiden dengan memberikan kebebasan rakyat mendirikan partai politik, maka direncanakan pula akan diselenggarakan pemilihan umum. Namun karena situasi keamanan dan stabilitas pemerintahan belum memungkinkannya, maka baru 10 tahun setelah kemerdekaan di tahun 1955 Pemilu pertama diselenggarakan.Konsekuensi dari berdirinya banyak partai politik di dalam negara demokrasi maka pada 1955 di bawah pimpinan Kabinet Burhanuddin Harahap diselenggarakan pemilihan umum. Waktu itu pemilihan dilakukan dua kali, pertama dilakukan pemilihan anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan kedua pemilihan bagi anggota Dewan Konstituante. Dalam sejarah pemilihan umum di Indonesia, pemilihan umum tahun 1955 ini dikenal sebagai pemilihan umum yang sangat demokratis, jujur, adil, rahasia, dan transparan.Dalam sistem pemilihan umum yang dipilih oleh rakyat semua jabatan politik seperti jabatan presiden dan wakil presiden, anggota De-wan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, jabatan gubernur dan wakilnya, dan jabatan bupati dan wakilnya serta walikota dan wakilnya. Pemilihan umum untuk jabatan-jabatan politik itu ada yang dilakukan serentak ada yang tidak serentak. Di Amerika Serikat pemilihan umum dilakukan serentak bagi jabatan-jabatan politik yang sudah habis masa jabatannya. Dengan demikian pada suatu pemilihan umum jabatan presiden dan wakil habis masa jabatannya bersamaan dengan itu jabatan gubernur di suatu negara bagian juga habis, demikian pula anggota senat dan anggota dewan habis, maka diselenggarakan pemilihan umum serentak bagi jabatan-jabatan tersebut. Sementara ada jabatan-jabatan politik lainnya belum habis maka tidak diadakan pemilihan bagi yang belum habis masa jabatannya. Oleh karena itu di Amerika Serikat setiap tahun ada hari pemilihan (election day) yang ditetapkan pada setiap hari Selasa pertama di bulan September.Di Indonesia pemilihan umum bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan presiden sendiri-sendiri, artinya tidak serentak. Baru direncanakan pada 2019 nanti pemilihan umum serentak untuk memilih presiden dan wakil presiden dan anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah.Setiap warga negara dewasa laki-laki maupun perempuan berumur 17 tahun atau belum berumur 17 tahun tetapi telah menikah atau pernah menikah, mempunyai hak memilih dan dipilih. Setiap warga negara baik yang berada di dalam maupun di luar negeri mempunyai hak suara.

A. Bentuk Dan Sistem Pemilihan Umum[footnoteRef:2] [2: Dikutip dari Ensikiopedi Nashmal Indonesia, 1990, Jilid 12, PT Cipta Adi Pustaka, Jakarta, hIm. 341-342.]

Di dalam literatur ilmu politik dikenal macam-macam sistem pemilihan umum. Dari sekian banyak macamnya itu pada umumnya dikenal dan berkisar dengan sistem distrik dan sistem proporsional. Sistem distrik dikenal pula dengan sebutan single member constituency, sedangkan sistem proporsional dikenal dengan sebutan multimember constituency artinya bahwa di setiap daerah pemilihan dipilih beberapa wakil.Sistem distrik merupakan sistem menurut historisnya yang tertua dan didasarkan atas kesatuan geografis yang disebut distrik. Untuk keperluan pemilihan wilayah suatu negara dibagi dalam banyak distrik, dan jumlah wakil rakyat sesuai dengan jumlah distrik. Calon yang mendapat suara terbanyak dalam suatu distrik itulah pemenangnya, sedangkan calon yang kalah dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi. Setiap sistem mempunyai kelemahan dan kelebihannya. Sistem distrik mempunyai beberapa kelemahan karena sistem ini kurang memperhatikan keberadaan partai-partai kecil dan golongan minirotas, apalagi golongan-golongan ini terpencar-pencar dalam beberapa distrik. Di samping itu, sistem distrik juga representatif dalam arti bahwa calon yang kalah suara dalam satu distrik kehilangan suarasuara yang mendukungnya. Namun dalam sistem distrik wakil yang terpilih dapat lebih dikenal oleh daerah yang bersangkutan sehingga hubungan dengan penduduk menjadi lebih erat Hal ini bisa terjadi karena kecilnya daerah distrik.Sistem perwakilan proporsional atau berimbang diadakan dalam rangka menghilangkan atau sekurang-kurangnya mengurangi beberapa kelemahan dalam sistrim distrik. Dalam sistem berimbang jumlah kursi yang diperoleh oleh suatu partai politik sesuai dengan jumlah yang didapatnya. Untuk mendapatkan jumlah kursi yang diperolehnya ditentukan suatu perbandingan misalnya 1:300.000 yang artinya 300.000 pemilih mempunyai seorang wakil dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam sistem ini negara dianggap menjadi satu daerah pemilihan yang besar, tetapi untuk kepentingan teknis administratif negara dibagi dalam beberapa daerah pemilihan yang biasanya lebih besar dari daerah distrik dalam sistem distrik. Banyaknya wakil dalam setiap daerah pemilihan sesuai dengan banyaknya penduduk dalam daerah pemilihan itu. jumlah wakil dalam setiap daerah pemilihan ditentukan oleh jumlah dalam daerah pemilihan itu yang dibagi dengan angka perimbangan, misalnya 300.000 itu. Berdasarkan sistem ini setiap suara dihitung artinya suara-suara lebih yang diperoleh suatu partai atau suatu golongan dalam suatu daerah pemilihan lain untuk menggenapkan jumlah suara yang diperlukan guna memperoleh kursi tambahan.Di dalam praktik kenegaraan sistem pemilihan di suatu negara sering dikombinasikan dengan situasi negaranya masing-masing. Dengan demikian tidak selalu murni seperti yang dijelaskan dalam teori pemilihan umum.B. Partai Politik Dan Pemilihan Umum Di Awal PemerintahanSetelah kemerdekaan kita diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada 17 Agustus 1945, dan Undang-Undang 1945 disahkan sehari setelah kemerdekaan, maka Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi negara yang merdeka. Berdasarkan undang-undang dasar tersebut Indonesia dipimpin oleh presiden dan wakil presiden. Kekuasaan presiden yang memimpin negara baru ini adalah besar sekali, sehingga banyak tokoh saat itu yang mengkhawatirkan adanya tuduhan dari negara lain bahwa negara kita akan menjadi negara fasis diktator seperti penjajah Jepang yang baru menjajah negara kita saat itu. Itulah sebabnya Sutan Syahrir mengusulkan kepada Wakil Presiden Hatta agar pemerintah mengizinkan rakyat membentuk partai politik.Pendapat Sutan Syahrir waktu itu diterima oleh wakil presiden maka ditindaklanjuti dengan mengeluarkan Maklumat X, atau maklumat wakil presiden yang ditandatangani oleh Moh. Hatta pada 3 November 1945 yang berisi anjuran tentang pembentukan partai politik. Adanya partai politik itu sekaligus menyatakan bahwa negara yang baru diproklamasikan adalah negara yang mengikuti sistem demokrasi. Karena partai politik merupakan tanda adanya peranan rakyat yang mempunyai kemerdekaan berserikat dan mengeluarkan pendapat. Dalam maklumat wakil presiden itu digagas pula untuk menyelenggarakan pemilihan umum. Disebutkan bahwa pemilihan umum itu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Rencananya Pemilu itu diselenggarakan pada Januari 1946. Sayang rencana awal Pemilu tidak bisa diselenggarakan karena pemerintah belum siap menata perundang-undangannya dan masih disibukkan oleh masalah-masalah keamanan baik di dalam maupun ancaman dari luar.Pemilihan umum yang pertama kali diselenggarakan adalah 10 tahun setelah kemerdekaan, yakni pada 1955. Pemilihan umum tahun itu amat berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X. Semula yang dipilih dalam Pemilu maklumat adalah anggota DPR dan MPR, akan tetapi dalam Pemilu 1955 dilakukan dua kali. Yang pertama pada 19 September 1955 untuk memilih anggota-anggota DPR, dan yang kedua pada 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Di dalam Maklumat X tidak disebutkan pemilihan anggota Dewan Konstituante.Keterlambatan menyelenggarakan Pemilu dan terdapatnya penyimpangan itu bukan tanpa sebab. Ada kendala yang disebutkan di atas yang bersumber dari dalam dan ada pula yang berasal dari luar negeri. Sumber penyebab dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan Pemilu, baik karena belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan Pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan negara. Dan tidak kalah pentingnya penyebab dari dalam itu adalah sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif. Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuasaan asing yang menginginkan negara kita ini terlibat sulutan api peperangan.Walaupun mengalami keterlambatan dalam menyenggarakan Pemilu, namun tidaklah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan mengusir penjajah itu pemerintah kemudian tidak berniat untuk menyelenggarakan Pemilu. Ada indikasi yang kuat bahwa pemerintah mempunyai keinginan politik untuk menyelenggarakan Pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang kemudian diubah dengan UU No. 12 Tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No. 12 tahun 1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung). Sifat pemilihan tidak langsung itu didasarkan pada alasan bahwa mayoritas warga negara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf, sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi.Kemudian pada paruh kedua tahun 1950. ketika Mohammad Nat-sir dari Masyumi menjadi perdana menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan Pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak itu pembahasan Undang-Undang Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara kesatuan setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan Undang-Undang Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan Pemilu karena Pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan Undang-Undang Pemilu tersebut. Selanjutnya undang-undang ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada 1953. Maka lahirlah UU No. 37 tahun 1953 tentang Pemilu. Undang-undang inilah yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia. Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu dan yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku lagi.Perlu dicatat dan dibanggakan bahwa Pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur, dan adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955 mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih dari 30-an 'parai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan. Adapun yang menarik dari Pemilu 1955 ini adalah tingginya kesadaran berkompetisi secara sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya. Oleh karena itu, sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan clan akin memenangkan Pemilu dengan segala cara. Karena Pemilu kali ini dilakukan untuk dua keperluan, yakni memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan Konstituante maka hasilnya pun perlu dipaparkan semuanya.Tabel 3-1 Hasil Pemilihan Umum Tahun 1955 untuk Anggota DPRNo.Partai/Nama DaftarSuara%Kursi

1PNI8.434.65322.3257

2Masyumi7.903.88620.9257

3NU6.95514118,4145

4PKI6.179.91416.3639

5PSII1.091.1602.898

6Parkindo1.003.3262,668

7Partai Katolik770.7401,995

8PSI753.1911,995

9IPKI541.3061,434

10Perti483.1041,284

11PRN (Partai Rakyat Nasional)242.1250,642

12Partai Buruh224.1670,592

13Gerakan Pembela Pancasila219.9850,582

14Partai Rakyat Indonesia (PRI)206.1610,552

15Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI)200.4190,532

16Murba199.5880,532

17Baperki178.8870,471

18Persatuan Indonesia Raya (PIR) Wongsonegoro178.4810,471

19Grinda154.7920,411

20Persatuan Rakyat Marhen Indonesia (Permai)149.2870,401

21Persatuan Daya (PD)146.0540,391

22PIR Hazairin114.6440,301

23Partai Politik Tarikat Islam (PPTI)85.1310,221

24AKUI81.4540,211

25Persatuan Rakyat Desa (PRD)77.9190,211

26Partai Indonesia Merdeka (PRIM)72.5230,191

27Angkatan Cumunis Muda (Acoma)64.1540,171

28R.Soedjono Prawirosoedarso53.3060,141

29Lain-lain1.022.4332,71-

Jumlah37.785.299100.00257

Pemilihan Umum untuk anggota Dewan Konstituante dilakukan pada 15 Desember 1955. Jumlah anggota Konstituante dipilih sebanyak 520 orang, tetapi di Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yan dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Kostituante menunjukkan hanya PNI, NU, dan PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibandingkan dengan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR. Peserta pemilihan anggota Konstituante yang mendapatkan kursi itu sebagai berikut:

Tabel 3-2Hasil Pemilihan Umum Tahun 1955 untuk Anggota Dewan KonstituanteNo.Partai/Nama DaftarSuara%Kursi

1PNI9.07021823,97119

2Masyumi7.7861920,59112

3NU6.989.33318,4791

4PKI6.232.51216,4780

5PSII1.059.9222,8016

6Parkindo988.8102,6116

7Partai Katolik748.5911,9910

8Partai Sosialis Indonesia (PSI)695.9321,8410

9IPKI544.8031,448

10Perti465.3591,237

11Partai Rakyat Nasional (PRN)220.6520,583

12Partai Buruh332.0470,885

13Gerakan Pembela Pancasila (GPPS)152.0110,402

14Partai Rakyat Indonesia (PRI(134.0110,352

15Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI)179.3460,473

16Murba248.6330,664

17Baperki160.4560,422

18Persatuan Indonesia Raya (PIR) Wongsonegoro162.4200,432

19Grinda157.9760,422

20Persatuan Rakyat Marhen Indonesia (Permai)164.3860,432

21Persatuan Daya (PD)169.2220,453

22PIR Hazairin101.5090,272

23Partai Tarikat Islam (PPTI)74.9130.201

24AKUI84.8620,221

25Persatuan Rakyat Desa (PRD)39.2780,101

26Partai Republik Indonesia Merdeka (PRIM)143.9070,382

27Angkatan Cumunis Muda (Acoma)55.8440,151

28R. Soedjono Prawirosoedarso38.3560,101

29Gerakan Pilihan Sunda35.0350,091

30Partai Tani Indonesia30.0600,081

31Radja Keprabonan33.6600,091

32Gerakan Banteng Republik Indonesia (GBRI)39.8740,11-

33PIR NTB33.8230,091

34LM Idrus Effendi31.9880,081

35Lain-lain426.8561,13-

Jumlah37.837.105100.00514

C. Periode Demokrasi TerpimpinMasa ini adalah masa ketika Presiden Soekarno berkuasa lagi berdasarkan UUD 1945. Sebagaimana kita ketahui dan dijelaskan di depan, UUD ini memberikan kekuasaan yang besar sekali kepada presiden, dan di awal kemerdekaan telah diperingatkan oleh Sutan Syahrir bahwa kekuasaan presiden yang besar itu cenderung menjadikan Indonesia sebagai negara fasis dan diktator. Maka tidak bisa dihindari masa Demokrasi Terpimpin ini kekuasaan besar presiden akan memberikan pengaruh terhadap sistem pemerintahan yang otoriter.Sangat disayangkan, kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa dilanjutkan dan hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan Pemilu kedua lima tahun berikutnya, meskipun tahun 1958 pejabat Presiden Soekarno sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II.Adapun yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 lull 1959, sebuah keputusan presiden untuk membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 yang diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan partai-partai. Dekrit ini kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali otoritarianisme kekuasaan di Indonesia.Otoritarianisme pemerintahan Soekarno makin jelas ketika pada 4 Juni 1960 is membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak dengan senjata Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.Pengangkatan keanggotaan MPR dan DPR dalam arti tanpa pemilihan, memang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena UUD tidak memuat klausul tentang tata cara memilih anggota DPR dan MPR. Tetapi konsekuensi pengangkatan itu adalah terkooptasinya kedua lembaga itu di bawah kekuasaan presiden. Padahal menurut UUD 1945, MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan DPR neben atau sejajar dengan presiden.Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang Istimewa pada Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/1967) setelah. meluasnya krisis politik, ekonomi, dan sosial pasta-G30S/PKI yang gagal semakin luas, rezim yang kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak pernah sekalipun menyelenggarakan pemilihan umum. Malahan pada 1963 MPRS yang anggotanya diangkat menetapkan Soekarno, orang yang mengangkatnya, sebagai presiden seumur hidup. Ini adalah satu bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat tersalurkan lewat pemilihan berkala.

D. Pemilu Periodik Lima TahunanSetelah jatuhnya kekuasaan pemerintahan Soekarno, Indonesia memasuki era baru. Era pemerintahan ini sering disebut sebagai Orde Baru di bawah kekuasaan Presiden Soeharto. Pemilu pertama di zaman Orde Baru atau Pemilu kedua diselenggarakan pada 1971. Selang enam tahun kemudian baru diselenggarakan pemilihan umum yang ketiga pada 1977. Setelah itu pemilihan umum diselenggarakan lima tahunan dan dari sejak itu pula jadwal Pemilu dilaksanakan secara teratur.Pemilu sejak 1977 terdapat perbedaan dengan Pemilu-pemilu sebelumnya. Salah satu perbedaannya adalah pesertanya lebih sedikit, yakni dua parpol dan satu Golkar. Dua parpol itu adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Hal ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Jadi, selama lima kali pemilihan umum, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997, pesertanya tiga kekuatan politik: dua parpol dan satu Golkar.Hasilnya pun sama Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau ornamen. Bahkan Golkar sudah menjadi pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan ini secara langsung dan tidak langsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil dan militer. Berikut ini dipaparkan hasil pemilihan umum terse-but berturut-turut.1. Hasil Pemilu 1977Pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu Golkar meraih 39.750.096 suara atau 62,11 persen. Namun perolehan kursinya menurun menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu 1971.Tabel 3-3Hasil Pemilihan Umum Tahun 1977NoPartaiSuara%Kursi% (1971)Ket (%)

1Golkar39.750.09662.1123262,80-0.69

2PPP18.743.49129,299927,12+2,17

3PDI5.5047578,602910,08-1,48

Jumlah63.998.344100,00360100,00

Pada Pemilu 1977 suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di DKI Jakarta dan DI Aceh mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP berhasil meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17 persen atau bertambah 5 kursi dibandingkan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971. Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis eks Masyumi. Hal ini seiring dengan tampilnya tokok utama Masyumi mendukung PPP. Tetapi kenaikan suara PPP di basis-basis Masyumi diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi di basis-basis NU sehingga kenaikan suara secara nasional tidak begitu besar.PPP berhasil menaikkan suara 17 kursi dari Sumatera, Jakarta, Jawa Barat, dan Kalimantan, tetapi kehilangan 12 kursi dari Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Secara nasional tambahan kursi hanya 5 kursi.PDI juga merosot perolehan kursinya dibandingkan gabungan kursi partai-partai yang berfusi sebelumnya, yakni hanya memperoleh 29 kursi atau berkurang 1 kursi dibanding gabungan suara PDI, Parkindo, dan Partai Katolik. Selanjutnya perolehan kursi dan suara terse-but bisa dilihat pada Tabel 3-3 di atas.

2. Hasil Pemilu 1982Pemungutan Pemilu 1982 dilakukan secara serentak pada 4 Mei 1982. Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi Golkar secara nasional meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan suara di Aceh. Hanya di Jakarta dan Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar dari PPP. Secara nasional Golkar berhasil merebut tambahan 10 kursi dan hal itu berarti kehilangan masing-masing 5 kursi bagi PPP dan PDI. Golkar meraih 48.334.724 suara atau 242 kursi. Adapun cara pembagian kursi pada Pemilu 1982 ini tetap mengacu pada ketentuan Pemilu 1971.Tabel 3-4. Hasil Pemilihan Umum Tahun 1982NoPartaiSuara%Kursi% (1977)Ket (%)

1Golkar48.334.72464,3424262.11+2,23

2PPP20.871.88027,789429,29-1.51

3PDI5.919.7027,88248.60-0,72

Jumlah75.126.306100,00360100,00

3. Hasil Pemilu 1987Tabel 3-5. Hasil Pemilihan Umum Tahun 1987NoPartaiSuara%Kursi%(1982)Ket (%)

1Golkar62.783.68073,1629964,34+8,82

2PPP13.701.42815,976127,78-11,81

3PDI9.384.70810,87407,88-2,99

Jumlah85.869.816100,00400100,00

4. Hasil Pemilu 1992Pemilihan umum 1992 dilaksanakan pada 9 Juni 1992. Cara pembagian kursi pada Pemilu kali masih juga sama dengan Pemilu sebelumnya. Ketika dilakukan hasil pemungutan suara pada waktu itu hasilnya agak mengagetkan banyak orang karena suara Golkar kali ini merosot dibandingkan dengan Pemilu 1987 yang lalu. Kalau pada Pemilu 1987 Golkar memperoleh suara 73,16 persen, pada Pemilu 1992 ini turun menjadi 68,10 persen atau merosot 5,06 persen. Penurunan yang tampak nyata bisa dilihat pada perolehan kursi, yakni menurun dari 299 menjadi 282, atau kehilangan 17 kursi dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya.Tabel 3-6. Hasil Pemilihan Umum Tahun 1992NoPartaiSuara%Kursi%(1987)Ket (%)

1Golkar66.599.33168,1028273,16-5,06

2PPP16.624.64717,016215,97-1,04

3PDI14.565.55614.895610,87+4,02

Jumlah97.789.534100,00400100,00

PPP juga mengalami hal yang sama, meski masih bisa menaikkan 1 kursi dari 61 kursi pada Pemilu 1987 menjadi 62 kursi pada Pemilu 1992 ini. Tetapi perolehan suara dan kursi partai berlambang Kabah ini mengalami penurunan di luar Jawa, meskipun ada penambahan kursi di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Malah partai ini tidak memiliki wakil sama sekali di 9 provinsi, termasuk provinsi di Sumatera. PPP memang berhasil menaikkan perolehan 7 kursi di Jawa, tetapi karena kehilangan 6 kursi di Sumatera partai ini hanya mampu menaikkan 1 kursi secara nasional.Adapun PDI berhasil menaikkan perolehan suara dan kursi di berbagai daerah. Pada Pemilu 1992 ini PDI berhasil meningkatkan perolehan kursinya 16 kursi dibandingkan Pemilu 1987, sehingga menjadi 56 kursi. Hal ini artinya dalam dua Pemilu, yakni 1987 dan 1992, PDI berhasil menambah 32 kursinya di DPR RI.

5. Hasil Pemilu 1997Sampai dengan 1997 ini cara pembagian kursi yang digunakan tidak berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suaranya diselenggarakan pada 29 Mei 1997. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada Pemilu 1992 mengalami kemerosotan, kali ini Golkar kembali merebut suara pendukungnya. Perolehan suaranya mencapai 74,51 persen atau naik 6,41 persen. Adapun perolehan kursinya meningkat menjadi 325 kursi atau bertambah 43 kursi dari hasil Pemilu sebelumnya. Prestasi yang menakjubkan ini dicapai saat Golkar dipimpin oleh Akbar Tanjung yang dengan semangat tinggi bisa memulihkan kepercayaan pendukungnya.PPP juga menikmati hal yang sama, yaitu meningkat 5,43 persen. Begitu pula untuk perolehan kursi, pada Pemilu 1997 ini PPP meraih 89 kursi atau meningkat 27 kursi dibanding Pemilu 1992. Dukungan terhadap partai ini di Jawa sangat besar. Adapun PDI yang mengalami konflik intenal dan terpecah antara PDI Soerjadi dengan Megawati Soekarnoputri setahun menjelang Pemilu, perolehan suaranya merosot 11,84 persen dan hanya mendapat 11 kursi yang berarti kehilangan 45 kursi di DPR dibanding Pemilu 1992. Hasil Pemilu 1997 ini dapat diamati pada Tabel 3-7.Pemilu kali ini menurut catatan KPU diwarnai banyak protes. Protes terhadap kecurangan yang terjadi di banyak daerah. Bahkan di Kabupaten Sampang, Madura puluhan kotak suara dibakar massa karena kecurangan penghitungan suara dianggap keterlaluan. Ketika itu di beberapa tempat di daerah itu pun diulang, tetapi khususnya pendukung PPP tidak mengambil bagian.Tabel 3-7. Hasil Pemilihan Umum Tahun 1997NoPartaiSuara%Kursi% (1992)Ket (%)

1Golkar84.187.90774,5132568,10+6,41

2PPP25.340.02822,438917,01+5,43

3PDI3.463.2253,061114,89-11,84

Jumlah112.991.150100,00425100,00

Pemilihan Umum 1997 ini merupakan akhir dari Pemilu di zaman kepemimpinan Soeharto yang sangat sepi terhadap protes, karena semua protes terhadap penyimpangan tersimpan di hati rakyat. Pemilu setelah ini adalah pemilihan umum yang diselenggarakan oleh rakyat melalui kepanitiaan yang independen di awal era Reformasi.E. Pemilihan Umum Di Era ReformasiSetelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada 21 Mei 1998, jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Burhanuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru akan dipercepat dan segera dilaksanakan, sehingga hasil Pemilu 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999 atau dalam masa 13 bulan kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk pengakuan dari dunia internasional, karena pemerintah dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.Keadaan ini berarti bahwa dengan pemilihan umum dipercepat yang terjadi bukan hanya bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya.Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat ini pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu, dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Ketiga draf RUU ini disiapkan oleh sebuah tim Departemen Dalam Negeri yang disebut Tim 7 yang diketuai Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri Jakarta).Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi undang-undang, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintah. Satu hal yang amat menonjol membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Hal ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu kali ini adalah 48 partai politik. Ini adalah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai politik yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM yakni 141 partai.Dalam sejarah Indonesia tercatat bahwa pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap yang berhasil menyelenggarakan Pemilu hanya sebulan setelah menjadi perdana menteri menggantikan Ali Sastroamodjojo, meski persiapan-persiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintah sebelumnya. Habibie menyelenggarakan Pemilu setelah 13 bulan sejak is naik kekuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial, dan penegakan hukum serta tekanan internasional.

F. Pemilihan Umum Tahun 1999Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni pada 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 dapat terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa Daerah Tingkat II di Sumatera Utara yang pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur suara satu pekan. Hal itu pun karena adanya keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan suara.Akan tetapi tidak seperti pada pemungutan suara yang berjalan lancar, tahap perhitungan suara dan pembagian kursi pada Pemilu kali ini sempat menghadapi hambatan. Pada tahap penghitungan suara 27 partai politik menolak menandatangani berita acara perhitungan suara dengan dalih Pemilu belum jurdil (jujur dan adil). Sikap penolakan tersebut ditunjukkan dalam sebuah Rapat Pleno KPU. Ke-27 partai tersebut adalah:1. Partai Keadilan2. PNU3. PBI4. PDI5. Masyumi6. PNI Supeni7. Krisna8. Partai KAMI9. PKD10. PAY11. Partai MKGR12. PIB13. Parti SUNI14. PNBI15. PUDI16. PBN17. PKM18. PND19. PADI20. PRD21. PPI22. PID23. Murba24. SPSI25. PUMI26. PSP27. PARIOleh karena ada penolakan, dokumen rapat KPU kemudian diserahkan pimpinan KPU kepada presiden. Oleh presiden hasil rapat dari KPU tersebut kemudian diserahkan kepada Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk rneneliti keberatankeberatan yang diajukan wakil-wakil partai di KPU yang berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan rekomendasi bahwa Pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai tidak menyertakan data tertulis menyangkut keberatan-keberatanya. Presider kemudian juga menyatakan bahwa hasil Pemilu sah. Hasil final Pemilu baru diketahui masyarakat pada 26 Juli 1999.Setelah disahkan oleh presiden, PPI (Panitia Pemilihan Indonesia) langsung melakukan pembagian kursi. Pada tahap ini juga muncul masalah. Rapat pembagian kursi di PPI berjalan alot. Hasil pembagian kursi yang ditetapkan Kelompok Kerja PPI, kususnya pembagian kursi sisa ditolak oleh kelompok partai Islam yang melakukan stembus accord hanya mendapatkan 40 kursi. Sementara kelompok stembus accord 8 partai Islam menyatakan bahwa mereka berhak atas 53 dari 120 kursi sisa.Perbedaan pendapat di PPI tersebut akhirnya diserahkan kepada KPU. Di KPU inilah perbedaan pendapat itu akhirnya diselesaikan melalui voting dengan dua opsi. Opsi pertama pembagian kursi sisa dihitung dengan memperhatikan suara stembus accord, sedangkan opsi kedua pembagian suara tanpa stembus accord.. Hanya 12 suara yang mendukung opsi pertama, sedangkan yang mendukung opsi kedua 43 suara. Lebih dari 8 partai walk out. Ini berarti bahwa pembagian kursi dilakukan tanpa memperhitungkan lagi stembus accord.Berbekal keputusan KPU tersebut, PPI akhirnya dapat melakukan pembagian kursi hasil Pemilu pada 1 September 1999. Hasil pembagian kursi itu menunjukkan lima partai besar memborong 417 kursi DPR atau 90,26 persen dari 426 kursi yang diperebutkan.Sebagai pemenang adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22, 44 persen sehingga mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205 kursi dibandingkan Pemilu 1997. PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61 persen mendapatkan 51 kursi. PPP dengan 11.329.905 suara atau 10,71 persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 3lkursi dibandingkan Pemilu 1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34 kursi. Di luar lima besar, par-tai lama yang masih ikut yakni PDI merosot tajam dan hanya meraih 2 kursi dari pembagian kursi sisa atau kehilangan 9 kursi dibandingkan Pemilu 1997. Selengkapnya hasil perhitungan pembagian kursi itu dipaparkan dalam Tabel 3-8.

Tabel 3-8. Hasil Pemilihan Umum Tahun 1999NoNama PartaiSuaraKursi tanpa SAKursi dengan SA

1PDIP35.689.073153154

2Golkar23.741.749120120

3PPP11.329.9055859

4PKB13.336.9825151

5PAN 7.528.9563435

6PBB2.049.7081313

7Partai Keadilan1.436.56576

8PKP1.065.68644

9PNU679.17953

10PDKB550.84653

11RBI364.29113

12PDI345.72022

13PP655.05211

14PDR427.85411

15PSII375.92011

16PNI Front Marhenis365.17611

17PNI Massa Marhenis345.62911

18IPKI328.65411

19PIKU300.06411

20Masyumi456.71811

21PKD216.6751-

22PNI Supeni377.137--

23Krisna369.719--

24Partai KAMI289.489--

25PUI269.309--

26PAY213.979--

27Partai Republik328.564-

28Partai MKGR204.204--

29PIB192.712--

30Partai SUNI180.167--

31PCD168.087--

32PSII 1905152.589--

33Masyumi Baru152.589--

34PNBI149.980--

35PUDI140.980--

36PBN140.980--

37PKM104.385--

38PND96.984--

39PADI85.838--

40PRD78.730--

41PPI63.934--

42PID62.006.-

43Murba62.006--

44SPSI61.105--

45PUMI49.839--

46PSP49.807--

47PARI54.790--

48PILAR40.517--

Jumlah105.786.661462462

Catatan: 1. Jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi mencapai 9.700.658 atau 9,17 persen dari suara yang sah.2. Apabila pembagian kursi dilakukan dengan sistem kombinasi jumlah partai yang mendapatkan kursi mencapai 37 partai dengan jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi hanya 706.447 atau 0,67 persen dari suara yang sah.Cara pembagian kursi hasil pemilihan kali ini tetap memakai sistem proporsional dengan mengikuti varian Roget. Dalam sistem ini sebuah partai memperoleh kursi seimbang dengan suara yang diperolehnya di daerah pemilihan, termasuk perolehan kursi berdasarkan the largest remainder.Akan tetapi cara penetapan calon pemilih berbeda dengan Pemilu sebelumnya, yakni dengan menentukan ranking perolehan suara suatu partai di daerah pemilihan. Apabila sejak Pemilu 1977 calon nomor urut pertama dalam daftar calon partai otomatis terpilih apabila partai itu mendapatkan kursi, maka kini calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbesar atau terbanyak dari daerah di mana seseorang dicalonkan. Dengan demikian seseorang calon, sebut saja si A, meski berada di urutan terbawah dari daftar calon, kalau dari daerahnya partai mendapatkan suara terbesar, maka dialah yang terpilih. Untuk cara penetapan calon terpilih berdasarkan perolehan suara di Daerah Tingkat II ini sama dengan cara yang digunakan pada Pemilu 1971.Bagaimanapun penyelenggaraan Pemilu-pemilu tersebut merupakan pengalaman yang berharga. Sekarang, apakah pengalaman itu akan bermanfaat atau tidak semuanya sangat tergantung pada penggunaannya untuk masa-masa yang akan datang. Pemilu yang paling dekat adalah Pemilu 2004. Pengalaman tadi akan bisa dikatakan berharga apabila Pemilu 2004 nanti memang lebih baik daripada Pemilu 1999. Pemilu 1999 untuk banyak hal telah mendapat pujian dari berbagai pihak. Dengan pengalaman tersebut sudah seharusnyalah kalau Pemilu 2004 dan seterusnya lebih baik lagi.

G. Pemilihan Umum Tahun 2004Pemilihan kali ini merupakan pemilihan yang diikuti banyak partai. Ada dua macam pemilihan umum, yang pertama pemilihan untuk memilih anggota parlemen yang partainya memenuhi parliamentary threshold. Partai politik yang memenuhi ambang batas masuk menjadi anggota parlemen dan partai politik yang berada di luar gedung parlemen. Yang kedua melakukan pemilihan presiden, dan ternyata pada calon presiden tahun 2004 dilakukan dua putaran.Berdasarkan Keputusan KPU No. 23 Tahun 2004, jumlah pemilih yang terdaftar untuk Pemilu legislatif 5 hill 2004 adalah 148.000.369 orang. Menurut perhitungan manual yang dilakukan KPU sejak 23 April hingga 4 Mei 2004, jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya ada 124.449.038 (83%). Dari yang menggunakan hak pilih itu, suara yang sah ada 113.498.755 dan suara tidak sah 10.957.925 (8,81 %). Dengan demikian yang tidak menggunakan hak pilih ada 23.551.321 orang.Dari jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih itu yang memilih dengan hanya mencoblos tanda gambar Parpol saja ada 54.188.481 dan yang memilih tanda gambar parpol dan calon 59.310.274 (52,26%), yang berarti lebih banyak daripada yang memilih tanda gambar parpol semata. Dengan sistem Pemilu baru dan kompleks dibandingkan beberapa negara lain, angka ini tidak terlalu buruk.Perolehan suara partai politik peserta Pemilu untuk Pemilu anggota DPR adalah Partai Golkar memperoleh 24.480.757 (21,58%) dari total suara 113.462.414 suara. Kemudian menyusul PDI Perjuangan dengan perolehan 21.026.629 (18,53%), Partai Kebangkitan Bangsa 10,57%, Partai Persatuan Pembangunan 8,15%, Partai Demokrat 7,45%, Partai Keadilan Sejahtera 7,34 %, dan Partai Amanat Nasional 6,44 %. Selengkapnya lihat Tabel 3-9.Tabel 3-9.Hasil Rekapitulasi Perolehan Suara Nasional Pemilu 2004dan Jumlah Perolehan Kursi Partai Politik di DPRNoPartai PolitikJumlah Suara%Jumlah Kursi

1Partai Golkar 24.480.75721,58128

2PDI-P21.126.62918,53109

3PKB11.989.56410,5752

4PPP9.248.7648,1558

5Partai Demokrat8.455.2257,4545

6PKS8.325.0207,3445

7PAN7.303.3246,4452

8Partai Bulan Bintang2.979.4872,6211

9Partai Bintang Reformasi2.764.9982,4413

10Partai Damai Sejahtera2.414.2542,1312

11Partai Karya Peduli Bangsa2.399.2902,112

12Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia1.424.2401,261

13Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan1.313.6541.165

14Partai Nasional Banteng Kemerdekaan1.230.4551,081

15Partai Patriot Pancasila1.073.1390,950

16Partai Nasional Indonesia Marhenisme923.1590,811

17Partai Persatuan Nandlatut Ummah Indonesia895.6100.790

18Partai Pelopor8.78.9320,772

19Partai Penegak Demokrasi Indonesia8.55.8110,751

20Partai Merdeka8.42.5410,740

21Partai Sarikat Indonesia6.79.2960,600

22Partai Perhimpunan Indonesia Baru672.9520,590

23Partai Persatuan Daerah657.9160,580

24Partai Buruh Sosial Demokrat636.0560,560

Total113.462.414100.00550

Sumber: Pengumuman hasil rekapitulasi perhitungan suara Pemilu KPU, Rabu 5 Mei 2004.Adapun setelah anggota parlemen hasil Pemilu selesai, maka dipersiapkan melakukan pemilihan presiden dan wakil presiden. Ada lima pasangan calon, dan hasil akhir pemilihan pada putaran pertama yang dilakukan pada 5 Juli 2004 sebagai berikut:Tabel 3-10.Hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004 (Putaran Pertama)NoPasangan Capres/CawapresJumlah SuaraPersentase

1Susilo Bambang Yudhoyono - Jusuf Kalla36.070.62233,58

2Megawati - Hasyim Muzadi28.186.78026,24

3Wiranto - Salahuddin Wahid23.827.51222,19

4Amien Rais - Siswono Yudo Husodo16.042.10514,94

5Hamzah Haz - Agum Gumelar3.2760013,05

Total107.403.020100,00

Dengan demikian pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla dan Megawati Soekarno Putri dan Hasyim Muzadi berhak maju pada putaran kedua pemilihan presiden pada 20 September 2004. Adapun menurut rekapitulasi suara dapat dilihat -pada Tabel 3-11 di halaman berikut ini.Setelah diadakan pemilihan putaran kedua pasangan calon presiden antara Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi yang dilakukan pada 20 September 2004, maka terpilih Presiden RI 2004-2009 Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Pasangan ini memperoleh suara 69.266.350 atau 60,62%. Adapun Megawati-Hastim Muzadi memperoleh 44.990.704 atau 39,38 %.Tabel 3-11. Rekapitulasi Surat SuaraSurat SuaraJumlah

Sah107.403.020

Tidak Sah2.746.937

Pendaftaran Tambahan470.337

Rusak1.200.397

Tidak Terpakai/Gotput30.181.391

Rekapitulasi suara pada putaran kedua ini sebagai berikut:1. Jumlah suara sah:114256.0542. Jumlah suara tidak sah:2.405.6513. Total suara nasional:116.662.705(Sumber data: Keputusan KPU Senin 4 Oktober 2004 jam 16.30 wib)

H. Pemilihan Umum 2009Pemilihan umum yang diselenggarakan pada 2009 merupakan pemilihan umum kedua yang diikuti pemilihan langsung presiden dan wakil presiden. Ada sembilan partai politik yang berhasil lolos dari parliamentary threshold (ambang batas suara partai masuk parlemen). Pada Tabel 3-12 dapat dilihat perolehan suara dan kursi masing-masing partai tersebut di DPR pada Pemilu 2009.Keterangan perhitungan perolehan kursi parlemen/DPR bagi sembilan partai politik yang lolos dari parliamentary threshold terse-but di atas dilaksanakan berdasarkan ketetapan dalam Bab XIII Pasal 204-212 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.Hasil rekapitulasi perhitungan perolehan suara nasional Pemilu legislatif tahun 2009 dapat dilihat dalam Tabel 3-13.Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden RI tahun 2009 (biasa disingkat Pilpres 2009) diselenggarakan untuk memilih presiden dan wakil presiden periode 2009-2014. Pemungutan suaranya diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Pasangan Susilo Bambang Yudho yono dan Boediono berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan memperoleh suara 60,80 % mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri - Prabowo Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla - Wiranto.Tabel 3-12.Hasil Perolehan Suara dan Kursi Partai Politik pada Pemilu 2009NoPartai PolitikPerolehn Suara (Perhitungan 1)Perolehan KursiRevisi

1Demokrat20,85%148150

2Golkar14,45%108107

3PDI-P14,03%9395

4PKS7,88%5957

5PAN6,01%4243

6PPP5,32%3937

7PKB4,94%2627

8Gerindra4,46%3026

9Hanura3,77%1518

Jumlah100,00%560560

Sumber: KPU tanggal 9 Mei 2009.

Tabel 3-13.Hasil Rekapitulasi Perolehan Suara Nasional Pemilu Legislatif 2009NoPartai Politik (Nomor Urut)Jumlah SuaraPersentase

1Dernokrat (31)21.703.13720,85

2Golkar (2)15.037.75714,45

3PDI-P (28)14.600.09114,03

4PKS (8)8.206.9557,88

5PAN (9)6.254.5806,01

6PPP (24)5.553.2145,32

7PKB (13)5.146.1224,94

8Gerindra (5)4.646.4064,46

9Hanura (1)3.922.8703,77

10PBB (27)1.864.7521,79

11PDS (25)1.541.5931,47

12PKNU (34)1.527.5931,47

13PKPB (34)1.461.1821,40

14PBR (29)1.264.3331,21

15PPRN (4)1.260.7941,21

16PKPI (7)934.8920,90

17PDP (16)896.6600,86

18Barnas (6)761.0860:73

19PPPI (3)745.6250,72

20PDK (20)671.2440,64

21Republika Nusantara (21)630.7800,61

22PPD (12)550.5810,51

22Patriot (30)547.3510,53

23PNBK (26)468.6960,45

24Kedaulatan (11)437.1210,42

25PMB (18)414.0430,40

26PPI (14)414.0430,40

27Pakar Pangan (17)351.4400,34

28Pelopor (22)342.9140,33

29PKDI (32)324.5530,31

30PIS (33)320.6650,31

31PNI Marhenisme (15)316.7520,30

32Partai Buruh (44)265.2030,25

33PPIB (10)197.3710,19

34PKNUI (43)146.7790,14

35PSI (43)140.5510,14

36PPDI (19)137.7270,13

37Merdeka (41)111.6230,11

Jumlah104.099.785100,00

Ketentuan dalam pemilihan presiden dan wakil presiden ini ditentukan bahwa pasangan calon terpilih adalah pasangan yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 50% jumlah provinsi di Indonesia. Dalam hal tidak ada pasangan calon yang perolehan suaranya memenuhi persyaratan tersebut, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali dalam pemilihan umum (putaran kedua). Dalam perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh dua pasangan calon, kedua pasangan calon tersebut dipilih kembali oleh rakyat dalam pemilihan umum. Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh tiga pasangan calon atau lebih, penentuan peringkat pertama dan kedua dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang. Dalam hal perolehan suara terbanyak kedua dengan jumlah yang sama diperoleh oleh lebih dari 1 pasangan calon, penentuannya dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang.Pada 25 April 2009 KPU menetapkan hasil rekapitulasi perolehan suara nasional Pilpres 2009 yang telah diselenggarakan pada 22-23 Juli 2009. Hasil Pilpres 2009 berdasarkan penetapan tersebut adalah:Tabel 3-14.Hasil Rekapitulasi Perolehan Suara Nasional Pilpres 2009NoPasangan CatonJumlah SuaraPersentase Suara

1Megawati - Prabowo32.548.10526.79

2SBY - Boediono73.874.56260,80

3JK - Wiranto15.081.81412,41

Total121.504.481100,00

Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan umum Presiden Indonesia 2009.Catatan statistik:Jumlah suara121.504.481

Jumlah suara tidak sah6.479.174

Jumlah suara peserta127.983.655

Jumlah suara pemilih171.068.667

Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan umum Presiden Indonesia2009.

Ringkasan BabPemilihan umum di Indonesia sejak pemilihan umum pertama tahun 1955 mengalami banyak perubahan dan kemajuan. Pemilihan yang dimulai dari belum pernah mempunyai pengalaman mengadakan pemilihan akan tetapi melahirkan suatu hasil yang cemerlang, teratur, disiplin, jujur, bebas, rahasia, dan demokratis. Pemilihan tahun 1955 memilih calon-calon anggota DPR dan Dewan Konstituante.Hasil pemilihan umum pertama yang demokratis itu tiba-tiba karena kegagalan Dewan Konstituante menghasilkan Undang-Undang Dasar yang nantinya bisa mengganti UUDS, Bung Karno mulai tidak sabar dan memutuskan untuk mengeluarkan Dekrit kembali ke UUD 1945 pada 5 Juli 1959. Konstituante dan DPR 4 Juni 1960 hasil Pemilu 1955 dibubarkan, dan Bung Karno menjadi pemimpin otoriter dan presiden yang berkuasa selama kepemimpinannya tidak pernah menyelenggarakan pemilihan umum. DPR Gotong Royong dibuat tanpa pemilihan umum, anggota-anggotanya ditunjuk sekehendak hatinya. Selama kepemimpinan Presiden Soekarno ini pemerintahannya disebut sebagai pemerintahan Demokrasi Terpimpin.Baru setelah terjadinya peristiwa Gerakan Tiga Puluh September (G30S) Partai Komunis melakukan pemberontakan (coup d'etat), Bung Karno jatuh dan diganti oleh pemerintahan Orde' Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Mulai dari pemerintahan Orde Baru ini pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan MPR dimulai berturut-turut dari Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu di masa pemerintahan Orde Baru ini diselenggarakan secara periodik diikuti oleh dua parpol dan satu Golkar. Setiap Pemilu selama pemerintahan Soeharto itu Golongan Karya selalu menjadi pemenangnya. Pemerintahan Orde Baru ini merupakan pemerintahan yang kuat sentralistis didukung oleh birokrasi sipil dan militer dan tulang punggungnya adalah Golkar.Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada 21 Mei 1998, jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Burhanuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru akan dipercepat dan segera dilaksanakan, sehingga hasil Pemilu 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999 atau dalam masa 13 bulan kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk pengakuan dari dunia internasional, karena pemerintah dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang UmumMPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.Keadaan ini berarti bahwa dengan pemilihan umum dipercepat yang terjadi.bukan hanya bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatnnya yang seharusnya berlangsung sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya.Setelah Presiden Habibie tidak terpilih lagi karena pertanggungjawaban kepemimpinan pemerintahan tidak bisa diterima MPR, maka mulai diselenggarakan pemilihan umum langsung lima tahunan sejak tahun 2004. Mulai tahun ini presiden dipilih langsung setelah menyelenggarakan pemilihan anggota DPR.Pemilihan kali ini merupakan pemilihan yang diikuti banyak par-tai. Ada dua macam pemilihan umum, yang pertama pemilihan untuk memilih anggota parlemen yang partainya memenuhi parliamentary threshold. Partai politik yang memenuhi ambang batas masuk menjadi anggota parlemen dan partai politik yang berada di luar gedung parlemen. Yang kedua melakukan pemilihan presiden, dan ternyata pada calon presiden tahun 2004 dilakukan dua putaran.Semoga pemilihan umum seterusnya secara periodik lima tahunan bisa berjalan dengan aman, lancar, jujur, adil, rahasia, demokratis dan dijauhkan dari kecurangan-kecurangan. Dan bisa menghasilkan calon-calon anggota dewan yang terhormat terpercaya, tidak dihinggapi penyakit korupsi dan dekat memperjuangkan aspirasi rakyat yang masih banyak mengalami kemiskinan. Bab ini ditulis menjelang penyelenggaraan pemilihan umum dewan dan presiden 2014. Presiden SBY tidak lagi bisa mencalonkan dan dipilih kembali karena sudah dua kali berturut-turut menjadi Presiden RI.

5PARTAI POLITIK DAN BIROKRASI PEMERINTAH DI INDONESIA

Kehidupan partai politik di Indonesia dikenal sejak adanya Maklumat X Wakil Presiden tahun 1945. Banyak partai politik yang dibentuk oleh rakyat berdasarkan maklumat ini. Sebelumnya ketika pemerintah proklamasi dibentuk, susunan kabinetnya sama sekali tidak ditempati oleh orang-orang partai. Saat itu belum terbentuk partai politik. Kabinetnya disebut kabinet presidensial yang dipimpin oleh presiden. Kabinet ini berusia dari 19 Agustus 1945 sampai dengan 14 November 1945. Kabinet ini berusia sangat singkat karena selain ada maklumat wakil presiden tersebut, juga karena desakan dari tokoh nasional yang vokal Syahrir untuk membentuk kabinet parlementer. Inilah sebenarnya penyimpangan pertama dari UUD 1945, karena undang-undang dasar ini menetapkan mengikuti pemerintahan presidensial tetapi kenyataannya diarahkan berdasarkan maklumat itu ke sistem parlementer. Mulai saat itu kabinet kedua dan seterusnya dijabat oleh orang-orang partai politik dan bertanggung jawab kepada parlemen. Akan tetapi pada 29 Januari 1948 kabinet parlementer yang dipimpin oleh Amir Syarifuddin (Partai Sosialis) jatuh, dan diganti oleh Kabinet Presidensial I yang dipimpin oleh Wakil Presiden Hatta yang terbentuk pada 29 Januari 1948 dan berakhir pada 4 Agustus 1949. Dalam kabinet presidensial ini semua kementerian dipimpin oleh orang-orang partai politik.

A. Kabinet Parlementer Dan Presidensial (1045-1950)Seperti yang disinggung di atas bahwa kabinet pertama setelah proklamasi kemerdekaan adalah kabinet presidensial yang dipimpin oleh Presiden Soekarno. Kabinet ini disusun berdasarkan UUD 1945. Para menteri belum menunjukkan partai politik yang dianutnya, sehingga kabinet ini belum tampak mencerminkan kekuatan-kekuatan politik yang ada. Akan tetapi tidak berapa lama atas desakan dari pelbagai pihak terutama dari Syahrir yang dikenal sangat vokal, lagi pula disadari bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) belum mencerminkan aspirasi riil dari suara rakyat, maka dikeluarkan Maklumat X Wakil Presiden Moh Hatta. Maklumat ini merupakan dasar dari terbentuknya partai-partai politik di Indonesia. Bersamaan dengan itu maka sejak itu mulai dibentuk kabinet yang didukung oleh kekuatan partai politik, dan mengikuti sistem kabinet parlementer. Di bawah UUD 1945 yang mengikuti sistem pemerintahan presidensial, ternyata bisa diterapkan pula sistem parlementer yang bertolak belakang dari prinsip presidensial. Inilah kali pertama penyimpangan terhadap UUD 1945 bisa terjadi.Kabinet parlementer pertama dipimpin oleh Perdana Menteri Syahrir yang dikenal dengan sebutan Kabinet Syahrir I. Kabinet ini terdiri dari 16 kementerian. Program kerjanya antara lain: (1) menyempurnakan susunan pemerintahan daerah berdasarkan kedaulatan rakyat; (2) mencapai koordinasi segala tenaga rakyat dalam usaha menegakkan Negara Republik Indonesia serta pembangunan masyarakat yang berdasarkan keadilan dan perikemanusiaan; (3) berusaha untuk memperbaiki kemakmuran rakyat di antaranya dengan jalan pembagian makanan; dan (4) berusaha mempercepat keberesan tentang hal uang Republik Indonesia.Kabinet yang tersusun dari partai politik waktu itu ternyata telah dilakukan berdasarkan koalisi di antara partai-partai politik. Selebihnya partai politik yang tidak berkoalisi memilih jalur oposisi. Koalisi dan oposisi dimulai dari kabinet parlementer Syahrir pertama sampai seterusnya dan kembali ke kabinet presidensial Moh Hatta seterusnya.Partai-partai politik yang berkoalisi pernah memimpin kementerian dalam kabinet baik parlementer maupun presidensial, antara lain dalam Kabinet Syahrir I adalah Partai Sosialis, Parkindo, dan Masyumi. Dalam Kabinet Syahrir II adalah Partai Sosialis, Masyumi, Parkindo, PNI, Perwari/PPI, dan Kongres Pemuda. Dalam Kabinet Syahrir III masih didukung partai-partai yang mendukung kabinet sebelumnya ditambah dengan partai PTI, dan orang-orang yang tidak berpartai seperti Ir. Djuanda (menteri perhubungan), H. Agus Salim (menteri muda luar negeri), Mr. Sumadi (menteri pengajaran), Ir. Gunarso (menteri muda pengajaran), Hamengku Buwono IX (menteri negara), dan Dr. D.D. Setiabudy (menteri negara).Pada Kabinet Syahrir II jumlah kementerian sebanyak 25 kementerian, bertambah 9 kementerian baru. Pada Kabinet Syahrir III jumlah kementerian sebanyak 32 kementerian, bertambah 7 kementerian. Dengan demikian, mulai dari Kabinet Syahrir I sampai dengan Kabinet Syahrir III telah bertambah sebanyak 16 kementerian, separuh dari jumlah Kabinet Syahrir I. Setelah Kabinet Syahrir III jatuh lalu disusul dengan terbentuknya Kabinet Amir Syarifuddin. Kabinet ini merupakan kabinet perlementer keempat. Amir memimpin kabinet sebanyak dua kali.Pada Kabinet Amir Syarifuddin I dan II (Sosialis) berkoalisi Partai Sosialis, Masyumi, PKI, PNI, Parkindo, PBI, BTI PKRI, PSI, dan PSII. Partai Sosialis memperoleh 7 kementerian, Masyumi memperoleh 4 kementerian, PSII memperoleh 5 kementerian, PNI memperoleh 7 kementerian, PKI 1 kementerian, yakni kementerian negara yang dipimpin oleh Menteri Negara Drs. Maruto Darusman, dan PSI memperoleh 3 kementerian. Jumlah kementerian termasuk kementerian negara waktu itu sebanyak 37 kementerian. Program kerjaKabinet Amir baik yang pertama maupun yang kedua tidak pernah diumumkan. Segala usaha dan kebijaksanaan pemerintah tidak jauh berbeda dengan Kabinet-kabinet Syahrir yang lalu.Dengan berakhirnya Kabinet Amir Syarifuddin II, maka sistem kabinet kembali ke kabinet presidensial yang dipimpin oleh Wakil Presiden Moh. Hatta sebagai perdana menteri yang tidak berpartai. Kabinet ini didukung oleh partai politik Masyumi, PNI, PKRI, Parkindo, PGRI, dan PSI, dan terdiri dari 17 kementerian. Kabinet presidensial Hatta ini mempunyai program kerja antara lain berunding atas dasar perjanjian Renville, melepaskan terbentuknya Negara Indonesia Serikat, nasionalisasi, dan pembangunan. Baru sekitar satu tahun berjalan, ibu kota Yogyakarta diserang oleh Belanda. Presiden dan wakil presiden diasingkan. Di saat yang mendesak seperti ini presiden dan wakil presiden memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan darurat di Sumatera. Maka terbentuk kabinet darurat yang berkedudukan di Bukittinggi, Sumatera Barat yang terdiri dari 8 kementerian dan ditambah dengan 4 kementerian di Komisariat PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) Jawa. Kabinet pemerintah darurat ini berakhir sampai dengan 13 Juli 1949.Pada 4 Agustus 1949 tersusun Kabinet Presidensial II yang dipimpin oleh Wakil Presiden Moh. Hatta. Kabinet ini didukung oleh partai-partai politik Masyumi, PNI, PIR, Parkindo, PGRI, PKRI, dan beberapa menteri yang tidak berpartai. Kabinet presidensial Hatta kedua ini mempunyai 19 kementerian. Program kerjanya tidak pernah diumumkan.Dari kabinet-kabinet yang pernah dibentuk semasa berlakunya UUD 1945 ternyata bisa berbentuk kabinet parlementer yang dipimpin oleh partai politik dengan koalisi dan oposisi; dan juga dapat berbentuk presidensial yang dipimpin wakil presiden yang tidak berpartai namun didukung oleh menteri-menteri dari partai politik. Dengan demikian kehadiran dan dukungan partai politik dalam suatu kabinet presidensial bukanlah hal yang tidak boleh atau asing melainkan pernah dipraktikan oleh pemerintah Indonesia di dalam UUD 1945.Dengan beralihnya sistem pemerintahan RI menjadi pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS), maka susunan kabinetnya berubah. Kabinet pertama semasa pemerintahan RIS ialah Kabinet Susanto yang juga disebut Kabinet Peralihan dan terbentuk pada 20 Desember 1949-21 Januari 1950. Kabinet Peralihan ini terdiri dari 13 kementerian. Mr. Susanto Tirtoprodjo dari PNI menjabat wakil perdana menteri. Kabinet Peralihan ini kemudian berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat No. 2 Tabun 1949 tanggal 20 Desember 1949 terbentuk Kabinet RIS pertama dan yang terakhir yang dipimpin oleh Perdana Menteri Moh. Hatta. Kabinet RIS ini terdiri dari 16 kementerian yang didukung oleh partai-partai Masyumi, PNI, Parkindo, dan beberapa menteri yang tidak berpartai seperti Sultan Hamengku Buwono IX sebagai menteri pertahanan, Prof. Supomo sebagai menteri kehakiman, Anak Agung Gde Agung sebagai menteri dalam negeri, Sultan Hamid II sebagai menteri negara, Ir. Djuanda sebagai menteri kemakmuran, Mr. Moh. Kosasih Purwanegara sebagai menteri sosial, dan Moh, Hatta sendiri sebagai perdana menteri.Di tengah-tengah pemerintahan RIS ini pemerintah Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakara membentuk pemerintahan RI dengan susunan kabinet yang dipimpin oleh Dr. A. Halim. Kabinet ini dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 16 Tahun 1950. Kabinet ini dikenal dengan sebutan Kabinet Halim yang dibentuk tanggal 21 Januari 1950 dan berakhir pada 6 September 1950. Kabinet Halim ini terdiri dari 15 kementerian dan didukung oleh koalisi Partai Masyumi, PNI, PIR, Parkindo, PSI, BTI, Partai Buruh, dan satu-satunya yang tidak berpartai adalah Perdana Menteri Halim sendiri. Program kerja Kabinet Halim, kabinet Republik Indonesia di Yogyakarta agak lengkap antara lain:1. Meneruskan perjuangan untuk mencari negara kesatuan yang meliputi kepulauan Indonesia yang dimaksud dalam Proklamasi 17 Agustus 1945.2. Melanjutkan pelaksanaan Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 33 Undangundang Dasar Republik serta menyelenggarakan politik buruh dan tani berpedoman pada pasal-pasal tersebut.3. Mendemokratisasi kehidupan politik dan pemerintah, antara lain dengan jalan:a. Mengusahakan selekas mungkin berlakunya hak-hak bebas demokrasi terutama hak berserikat dan bersidang dan hak menyatakan pendapat.b. Melaksanakan pemilihan umum Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah.c. Sebelum pemilihan umum berhasil 0i mana perlu memperbarui susunan Dewan Perwakilan Daerah yang sedapat mungkin mencerminkan perkembangan penghidupan politik.4. Menyelenggarakan pengembalian tenaga-tenaga bekas anggota tentara maupun laskar kembali ke masyarakat serta merehabilitasi korban-korban perjuangan.5. Memajukan pembangunan budi di segala lapisan masyarakat dan menjamin kebebasan suburnya jiwa keagamaan menurut masing-masing di dalam pembangunan negara sesuai UUD Pasal 29.6. Memperluas pendidikan masyarakat dan pengajaran rakyat.Kabinet RIS yang pertama dan yang terakhir itu mempunyai program kerja, sebagai berikut:1. Menyelenggarakan supaya pemindahan kekuasaan ke tangan bangsa Indonesia di seluruh Indonesia terjadi dengan saksama.2. Mengusahakan reorganisasi KNIL, dan pembentukan Angkatan Perang RIS, dan pengembalian tentara Belanda ke negerinya dalam waktu yang selekas-lekasnya.3. Menyelenggarakan ketenteraman umum, supaya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya terjamin berlakunya hak-hak demokrasi dan terlaksananya dasar-dasar hak manusia dan kemerdekaannya.4. Mengadakan persiapan untuk dasar hukum, cara bagaimana rakyat menyatakan kemauannya menurut asas-asas Undang-Undang RIS dan menyelenggarakan pemilihan umum untuk Konstituante.5. Berusaha memperbaiki keadaan ekonomi rakyat, keadaan keuangan, perhubungan, perumahan, dan kesehatan.6. Mengadakan persiapan untuk jaminan sosial dan penempatan tenaga kembali ke dalam masyarakat.7. Mengadakan peraturan tenta- ng tenaga upah minimum dan pengawasan pemerintah atas kegiatan ekonomi agar kegiatan itu terwujud kepada kemakmuran rakyat seluruhnya.8. Menyempurnakan perguruan tinggi sesuai dengan keperluan masyarakat Indonesia dan membangun pusat kebudayaan nasional, serta mempergiat pemberantasan buta huruf di kalangan masyarakat.9. Menyelesaikan soal Irian Barat dalam tahun ini juga dengan jalan damai.10. Menjalankan politik luar negeri yang memperkuat kedudukan RIS dalam dunia internasional dengan memperkuat cita-cita perdamaian dunia dan persaudaraan bangsa-bangsa.11. Memperkuat hubungan moril, politik, dan ekonomi antarnegara Asia Tenggara.12. Menjalankan politik dalam UNI, agar UNI ini berguna bagi kepentingan RIS.13. Berusaha agar RIS menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa.Perlu diingat ketika pemerintahan RIS, negara Republik Indonesia sebagai negara bagian yang berkedudukan di Yogyakarta. Partai politik yang sama bisa hidup di negara federal RIS dan bisa pula hidup di negara bagian RI, dan bisa pula mendukung atau berkoalisi dengan kabinet yang disusun di kedua macam pemerintahan tersebut.

B. Kabinet Parlementer Liberal (1950-1959)Pada masa ini berlaku Undang-Undang Sementara Republik Indonesia tahun 1950. Bangsa Indonesia kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian mulai pula tersusun kabinet pemerintahan negara kesatuan. Negara kesatuan berdasarkan Undang-Undang tahun 1950 ini tetap menjalankan sistem perlementer dengan demokrasi liberal. Partai politik semakin berperan dalam menciptakan tatanan demokrasi yang liberal ini.Kabinet pertama yang dibentuk adalah Kabinet Moh. Natsir. Kabinet ini dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 9 Tabun 1950, tanggal 6 September 1950. Kabinet pertama negara kesatuan ini terdiri dari 18 kementerian yang didukung oleh koalisi Partai Masyumi, PSI, PIR, PSII, Parindra, Parkindo, Partai Katolik, Partai Demokrat, dan beberapa orang tidak berpartai seperti Dr. Bander Djohan, Sultan Hamengku Buwono IX, Ir. Djuanda, dan Dr. A. Halim. Program kerja kabinet antara lain:1. Mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan umum untuk Konstituante dalam waktu yang singkat.2. Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan serta membentuk peralatan negara yang bulat (Pasal 146 UUD).3. Menggiatkan usaha mencapai keamanan dan ketenteraman.4. Mengembangkan dan memperkukuh kekuatan ekonomi rakyat sebagai dasar bagi melaksanakan ekonomi nasional yang sehat.5. Membantu pembangunan perumahan rakyat serta memperluas usaha-usaha meninggikan derajat kesehatan dan kecerdasan rakyat.6. Menyempurnakan organisasi angkatan perang dan pemulihan bekas anggota-anggota tentara dan gerilya ke dalam masyarakat.7. Memperjuangkan penyelesaian soal Irian Barat dalam tahun ini.Kabinet Natsir ini hanya berumur kurang lebih tujuh bulan, karena pada 27 April 1951 kabinet ini jatuh. Dan pada tanggal itu pula tersusun kabinet baru yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sukiman dari Partai Masyumi.Kabinet Sukiman ini dibentuk berdasarkan mandat dan Keputusan Presiden RI No. 80 Tahun 1951 tanggal 27 April 1951. Kabinet Sukiman ini mulai mengajak koalisi dengan PNI adapun partai lainnya masih sama dengan Kabinet Natsir sebelumnya. Kabinet Sukiman in terdiri dari 20 kementerian dengan Mr. Sukiman sendiri sebagai perdana menteri dan Suwirjo (PNI) sebagai wakil perdana menteri. Menteri luar negeri dijabat oleh Mr. Achmad Subardjo dari Masyumi dan menteri dalam negeri dijabat oleh Mr. Iskaq Tjokrodisurjo dari PNI. Menteri yang tidak ikut partai antara lain Mr. Moll Yamin menjabat menteri kehakiman, Arnold Mononutu (menteri penerangan), Ir. Ukar Bratakusumah (menteri pekerjaan umum/tenaga), dan Ir. Djuanda sebagai menteri perhubungan.Kabinet Sukiman ini mempunyai program kerja antara lain:1. Menjalankan tindakan-tindakan yang tegas sebagai negara hukum untuk menjamin keamanan dan ketenteraman.2. Menyempurnakan organisasi alat-alat kekuasaan negara.3. Membuat dan melaksanakan rencana kemakmuran nasional dalam jangka pendek untuk mempertinggi kehidupan sosial ekonomi rakyat dan memperbarui hukum agraria sesuai dengan kepentingan petani.4. Memepercepat usaha penempatan tenaga pejuang dalam lapangan pembangunan.5. Menyelesaikan persiapan pemilihan umum untuk membentuk Konstituante dan menyelenggarakan pemilihan umum itu dalam waktu yang singkat.6. Mempercepat terlaksanannya otonomi daerah.7. Memepersipkan undang-undang tentang:a. Pengakuan serikat buruh.b. Perjanjian kerjasama (collective arbeidsoverenlomst).c. Penetapan upah minimumd. Penyelesaian pertikaian perburuhan.8. Menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif dan yang menuju perdamaian.9. Menyelenggarakan hubungan Indonesia-Belanda atas dasar Unie-Statuut menjadi hubungan berdasarkan perjanjian internasional biasa, mempercepat peninjauan kembali lain-lain persetujuan hasil KMB dan meniadakan perjanjian-perjanjian yang nyata merugikan rakyat dan negara.10. Memasukan Irian Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia secepat-cepatnya.Kabinet Sukiman ini akhirnya setelah berumur kurang lebih satu tahun jatuh pada 3 April 1952.Kabinet berikutnya adalah Kabinet Wilopo dari PNI. Mr. Wilopo ditunjuk Presiden Soekarno untuk menyusun kabinet. Dengan berkoalisi bersama Masyumi ditambah dengan partai-partai lainnya seperti PKRI, Partai Buruh, Parkinao, dan Parindra tersusunlah kabinet negara kesatuan yang ketiga. Berdasarkan surat Keputusan Presiden No. 99 Tahun 1952 tanggal 3 April 1952, terbentuk kabinet dengan perdana menteri dijabat oleh Mr. Wilopo dan wakil perdana menteri dijabat oleh Mr. Prawoto Mangkusasmita dari Masyumi. Ada-pun jabatan menteri luar negeri dirangkap oleh Mr. Wilopo dan menteri dalam negeri dijabat oleh Mr. Mob. Rum dari Masyumi. Kabinet Wilopo ini terdiri dari 18 kementerian. Kabinet ini bubar pada 30 Juli 1953 karena mosi tidak percaya dari kalangan oposisi di DPR.Program Kabinet Wilopo ini mencakup bidang-bidang organisasi negara, kemakmuran, keamanan, perburuhan, pendidikan dan pengajaran, dan luar negeri. Di bidang organisasi negara diupayakan untuk: (1) melaksanakan pemilihan umum untuk Konstituante dan dewandewan daerah; (2) menyelesaikan penyelenggaraan dan mengisi otonomi daerah; dan (3) menyederhanakan organisasi pemerintah pusat.Di bidang kemakmuran diupayakan: (1) memajukan tingkat penghidupan rakyat dengan mempertinggi produksi nasional terutama bahan makanan rakyat; dan (2) melanjutkan usaha perubahan agraria.Di bidang keamanan diusahakan menjalankan segala sesuatu untuk mengatasi masalah keamanan dengan kebijakan sebagai negara hukum dan menyempurnakan organisasi alat-alat kekuasaan negara serta mengembangkan tenaga masyarakat untuk menjamin keamanan dan ketenteraman.Di bidang perburuhan diusahakan memperlengkapkan perundang-undangan perburuhan untuk meninggikan derajat kaum buruh guna menjamin proses nasional. Adapun di bidang pendidikan dan pengajaran diupayakan untuk mempercepat usaha-usaha perbaikan untuk pembaruan pendidikan dan pengajaran.Di bidang luar negeri diusahakan untuk: (1) mengisi politik luar negeri yang bebas dan aktif yang sesuai dengan kewajiban kita dalam kekeluargaan bangsa-bangsa dan dengan kepentingan nasional menuju perdamaian dunia; (2) menyelesaikan penyelenggaraan perhubungan Indonesia -Nederland atas dasar Unie-Statuut menjadi hubungan berdasarkan perjanjian internasional .biasa yang menghilangkan hasil-hasil KMB yang merugikan rakyat dan negara; dan (3) meneruskan perjuangan memasukkan Irian Barat dalam wilayah Indonesia secepatnya.Kabinet berikutnya berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 132 Tabun 1953 tanggal 30 Juli 1953 di mana Mr. Ali Sastroamidjojo ditunjuk untuk menyusun kabinet. Kabinet bentukan Ali ini dikenal dengan sebutan Kabinet Ali-Wongso-Arifin. Kabinet ini merupakan kabinet negara kesatuan yang keempat. Mr. Ali Sastroamidjojo berasal dari partai PNI dan Mr. Wongsonegoro berasal dari partai PIR (Partai Indonesia Raya). Kabinet Ali-Wongso ini terdiri dari 17 kementerian yang tidak didukung oleh Partai Masyumi. Akan tetapi partai baru pecahan dari Masyumi, yakni Partai NU, ikut berkoalisi dengan PNI dan PIR ini. Partai NU memperoleh jatah jabatan wakil perdana menteri, menteri agama, dan menteri negara urusan agraria. Orang-orang NU yang ikut dalam kabinet ini ialah Zainul Arifin sebagai wakil perdana menteri, K.H. Masjkur sebagai menteri agama, dan Moh. Hanafiah sebagai menteri negara urusan agraria. Dalam kabinet ini terdapat dua wakil perdana menteri, yakni Mr. Wongsonegoro dan Zainul Arifin. Adapun program kerja Kabinet Ali-Wongso-Arifin ini melanjutkan program kerja yang belum tercapai sewaktu kabinet sebelumnya, antara lain pemilihan umum untuk Konstituante dan DPR, politik luar negeri yang bebas aktif, mengusahakan kembalinya Irian Barat, memperbarui politik desentralisasi, mengusahakan pembentukan daerah otonom sampai ke tingkat yang paling bawah, kemakmuran rakyat, dan peninjauan kembali perjanjian KMB. Kabinet Ali-Wongso-Arifin ini jatuh setelah berjalan selama hampir 2 tahun.Pada 12 Agustus 1955 terbentuklah Kabinet Burhanuddin Harahap dari Partai Masyumi. Kabinet ini berkoalisi dengan Partai PIR, NU, PSII, PSI, Parindra, Parkindo, Partai Buruh, Partai Demokrat, dan lain-lainnya. Mr. Burhanuddin Harahap ditunjuk sebagai formatur untuk membentuk kabinet dan berhasil menyusun kabinetnya yang berjumlah 20 kementerian. Duduk sebagai wakil perdana menteri I adalah R. Djamu Ismadi dari Partai Indonesia Raya (PIR), dan wakil perdana menteri II adalah Harsono Tjoktoaminoto dari PSII. Menteri dalam negeri dijabat oleh Mr. R. Sunarjo dari NU. Pada tahun inilah terselenggara pemilihan umum pertama yang dikenal sangat demokratis untuk memilih anggota DPR dan Konstituante. Kabinet Burhanuddin ini walaupun singkat umurnya namun patut dikenang karena keberhasilannya menyelenggarakan pemilihan umum yang bersih dan demokratis. Kabinet ini jatuh pada 3 Maret 1956.Kabinet berikutnya yang dibentuk dalam sistem parlementer liberal adalah Kabinet Ali Sastroamidjojo II. Kabinet ini dibentuk dengan koalisi Partai PNI, Masyumi, NU, PSII, Partai Katolik, Parkindo, Perti, dan IPKI. Perdana menteri dijabat oleh Mr Ali Sastroamidjojo dengan wakil perdana menteri I dijabat oleh Mr. Moh. Rum dari Masyumi, dan wakil perdana menteri II dijabat oleh K.H. Dr. Idham Chalid dari NU. Menteri luar negeri dijabat oleh Ruslan Abdulgani dari PNI dan Menteri dalam negeri dijabat oleh Mr. R. Sunaryo dari NU. Kabinet ini terdiri dari 25 kementerian.Kabinet Ali Sastroamidjojo II merupakan kabinet terakhir yang diramaikan oleh koalisi partai politik. Kabinet berikutnya dibentuk dengan mengisi orang-orang yang walaupun dahulunya dari partai politik akan tetapi dasar pembentukan tidak mengutamakan asal partainya. Kabinet ini walaupun masih mengikuti sistem parlementer, peranan militer mulai masuk ke dalam tatanan kabinet. Kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri Ir. Djuanda ini selain diisi oleh orang partai politik, juga diisi oleh orang-orang militer seperti Kol. dr. Aziz Saleh yang menjabat menteri kesehatan, Kol. Suprajogi yang menjabat menteri negara urusan stabilisasi ekonomi, dan Kol. Nazir yang menjabat menteri pelayaran. Kabinet ini oleh Bung Karno dinamakan Kabinet Karya. Ada tiga wakil perdana menteri, yakni Waperdam I dijabat oleh Mr. Hardi, Waperdam II dijabat oleh K.H. Dr. Idham Chalid, dan Waperdam III dijabat oleh Dr. J. Leimena. Jumlah kementerian termasuk kementerian negara ada 26 kementerian.Kabinet Ali kedua berakhir pada 10 Juli 1959. Kabinet ini jatuh karena ada dekrit presiden untuk kembali ke UUD 1945, yang berarti kembali ke tatanan sistem pemerintahan presidensial. Inilah kabinet terakhir dari sistem pemerintahan yang mengikuti UUD Sementara 1950. Dengan demikian pada pemerintahan Kabinet Ali kedua ini berakhir pula peranan sipil yang diwakili oleh partai-partai politik, dan berakhir pula kabinet parlementer liberal.

C. Kabinet Presidensial - Demokrasi Terpimpin (1959-1966]Tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkan Dekrit Presiden Soekarno untuk kembali ke UUD 1945. Isi pokok dekrit tersebut adalah: ( 1 ) menetapkan pembubaran Konstituante; (2) menetapkan berlakunya UUD 1945 bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Sementara 1950; (3) membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri dari anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan golongan dan daerah; dan (4) membentuk Dewan Pertimbangan Agung Sementara.Konstituante hasil Pemilu 1955 dibubarkan, peran partai politik yang selama ini telah menggelar sistem kabinet parlementer tidak lagi bisa dijalankan. Peran presiden sangat kuat untuk membentuk dan memimpin pemerintahan. Kabinet seperti yang ditetapkan dalam UUD 1945 adalah kabinet presidensial. Presiden sebagai kepala pemerintahan memimpin kabinet dan tidak bertanggung jawab kepada DPR. Para menteri adalah pembantu presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.Kabinet pertama yang dibentuk Presiden setelah kembali ke UUD 1945 adalah Kabinet Kerja yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 153 Tahun 1959 tanggal 10 Juli 1959. Kabinet Kerja dipimpin oleh Presiden Soekarno sendiri yang juga bertindak sebagai perdana menteri dengan menteri pertama dijabat oleh Ir. H. Djuanda. Dalam kabinet ini ada sebutan menteri kabinet inti yang terdiri dari menteri keamanan-pertahanan, menteri keuangan, menteri produksi, menteri pembangunan, menteri kesejahteraan rakyat, menteri luar negeri, menteri dalam negeri dan otonomi daerah, menteri kultural. Ada pula menteri negara ex-officio bukan anggota kabinet antara lain diisi oleh semua kepala staf angkatan, jaksa agung, Wakil Ketua DPA, dan Ketua Dewan Perancang Nasional.Selain menteri anggota kabinet inti dan menteri negara ex-officio bukan anggota inti kabinet, maka Kabinet Kerja ini terdiri pula para menteri muda yang berada di dalam bidang-bidang keamanan-pertahanan, keuangan, distribusi, produksi, pembangunan, kesejahteraan rakyat, dan sosial kultural, yang seluruhnya berjumlah 20 menteri muda. Kabinet Kerja ini terdiri dari 41 menteri, masing-masing menteri tidak mencerminkan dari unsur partai bahkan banyak dikenalkan mulai berperannya militer dalam pemerintahan. Jabatan perdana menteri dijabat oleh presiden panglima tertinggi, dimasukkannya semua kepala staf angkatan termasuk kepolisian menjadi menteri, demikian jabatan menteri inti dan menteri muda ada yang dijabat dari kalangan militer, menunjukkan bahwa peran partai politik tidak lagi menonjol.Sejak dekrit dan kembalinya ke UUD 1945 susunan kabinet tidak menonjolkan partai politik. Bahkan sejak pemikiran politik Presiden Soekarno diikuti oleh semua kekuatan politik yang ada saat itu untuk menyederhanakan partai-partai politik menjadi kekuatan politik Nasakom, maka praktis peran partai politik menjadi pengikut dan pembenar aspirsi politik Bung Karno. Susunan kabinet hampir setiap tahun mengalami perombakan (reshuffle). Bung Karno menamakan kabinetnya dengan sebutan Kabinet Kerja, dan pada kabinet terakhirnya menjelang jatuhnya disebut Kabinet Dwikora (27 Agustus 196421 Februari 1966) yang terdiri dari 42 departemen dan 68 menteri. Kabinet Dwikora ini kemudian disempurnakan oleh Bung Karno yang kelak di kemudian hari dikenal dengari sebutan Kabinet 100 Menteri.

D. Kabinet Pemerintahan Ore Baru (1966-1999)Pada pemerintahan Orde Baru kabinet yang pertama kali dibentuk adalah Kabinet Ampera. Kabinet ini diumumkan pada 25 Juli 1966 jam 19.00 WIB bertempat di Istana Merdeka Jakarta. Dalam Kabinet Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat) terdapat tiga unsur, yakni unsur pimpinan dijabat oleh presiden, unsur pembantu pimpinan dijabat oleh presidium, dan unsur anggota-anggota kabinet dijabat oleh para menteri. Kabinet terdiri dari 24 departemen, masing-masing dipimpin oleh seorang menteri. Masing-masing departemen dikelompokkan ke dalam lima bidang, yakni bidang pertahanan dan keamanan, politik, kesejahteraan rakyat, ekonomi dan keuangan, serta bidang industri dan pertambangan.Pada 11 Oktober 1967 berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 171 Tahun 1967, Kabinet Ampera disempurnakan. Pada Kabinet Ampera pertama pimpinan kabinet masih dijabat oleh Presiden Soekarno, sedangkan pada Kabinet Ampera yang disempurnakan langsung dijabat oleh Jenderal TNI Soeharto. Kabinet ini terdiri dari 23 departemen dan para menterinya banyak yang dijabat oleh jenderal TNI. Kabinet ini berakhir pada 6 Juli 1968 dan diteruskan dengan Kabinet Pembangunan I. Setelah Jenderal Soeharto ditetapkan sebagai presiden dan pemilihan umum diselenggarakan setiap lima tahun sekali, Soeharto selalu dikukuhkan sebagai presiden dan yang memimpin kabinet. Kabinet ini dikenal dengan kabinet pemerintahan Golkar yang selalu memenangkan Pemilu dengan mayoritas tunggal. Padahal Golkar menamakan dirinya bukan partai politik, akan tetapi setiap pemilihan umum ikut sebagai kontestan Pemilu dan selalu memenangkan suara terbanyak. Kabinet Orde Baru ini menteri-menterinya selalu berasal dari para teknokrat bukan politisi. Karena Golkar sebagai pemenang Pemilu mengutamakan kekaryaan, maka karya itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang profesional dari kalangan teknokrat. Dengan demikian peranan partai politik sama sekali tidak ada, dan bahkan partai politik acap kali dijadikan dalih yang membuat tidak ada stabilitas pembangunan bangsa dan negara. Dua partai politik, yakni PPP dan PDI sama sekali tidak lagi bisa menyentuh pemerintahan. Kejadian ini sampai berakhirnya pemerintahan Soeharto dan diganti dengan pemerintahan Reformasi.

E. Kekuasaan Di Antara Legislatif Dan EksekutifSelama ini kelembagaan birokrasi pemerintah selalu ditarik dari lokus dan fokus penggunaan kekuasaan yang sedikit banyak menjauhkan dari terwujudnya demokrasi. Paradigma kekuasaan selalu bergulir dari waktu-ke waktu, bergerak antara ic:nbaga eksekutif dan legislatif. Di kedua lembaga itu peran militer ikut mewarnai dari paradigma kekuasaan tersebut. Pelaku-pelakunya dapat dikatakan tidak mengalami perubahan, yakni antara partai politik dan pemerintah termasuk militer di dalamnya. Pada kurun waktu tertentu lokus kekuasaan berada pada lembaga eksekutif. Di sini pemerintah lebih kuat dan menunjukkan supremasi kekuasaan ketimbang lembaga-lembaga yang ada. Sehingga dengan demikian penggunaan kekuasaan fokusnya diarahkan agar supaya sentralisasi kekuasaan berasal dan bermuara di sate tern-pat. Pada kurun waktu yang lain, kekuasaan berada di lembaga legislatif. Partai politik yang berada di lembaga legislatif memainkan peran yang sentral dalam fokus penggunaan kekuasaan. Pemerintah bisa dijungkirbalikkan sesuai dengan mosi tidak percaya atau impeachment dari lembaga ini. Stabilitas pemerintahan tidak tercapai, sementara itu profesionalisme baik di lembaga legislatif dan eksekutif tidak juga bisa diwujudkan. Tarik-menarik dari lokus dan fokus penggunaan kekuasaan berada di kedua lembaga tersebut. Periodisasi dari tarik-menarik dari lokus dan fokus kekuasaan dalam sejarah pemerintahan Indonesia dapat diuraikan berikut ini.1. Periode 1945-1950Pada periode pertama antara tahun 1945-1950, semangat perjuangan masih mewarnai penyelenggaraan pemerintahan kita. Para pelakunya masih kuat iman untuk berjuang demi negara dan persatuan bangsa. Bahkan tidak jarang diperlihatkan oleh kekuatan mayoritas menekan kepentingannya sendiri untuk menghargai kepentingan minoritas demi kesatuan dan persatuan bangsa dan negara proklamasi. Sebagai contoh, penyimpangan pertama dari Bung Karno terhadap UUD 1945 seperti disinggung di depan ialah diterimanya usulan Sjahrir untuk tidak menggunakan kabinet presidensial dan diganti dengan kabinet parlementer. Sjahrir sendiri saat itu merupakan tokoh vokal dan amat disegani. Demi persatuan dan kesatuan, maka Bung Karno menerima usulan itu. Selain itu, Bung Karno juga menyadari bahwa KNIP belum mencerminkan kekuatan politik riil yang anggotanya (tidak dipilih akan tetapi ditunjuk) tidak mewakili kekuatan sosial politik nyata saat itu.Semangat primordial, walaupun ada, untuk sementara waktu kalah oleh semangat nasional. Satu-satunya organisasi politik primordial yang mengancam negara proklamasi adalah PKI yang melakukan pemberontakan dalam rangka menguasai pemerintahan dan negara. Pada awal kemerdekaan ada semacam kesepakatan bahwa lembaga pemerintahan merupakan sarana politik yang baik untuk mempersatukan bangsa. Anggapan ini cukup beralasan, karena lembaga ini mempunyai birokrasi yang mampu menjangkau rakyat sampai ke desa-desa. Namun dalam perjalanan sejarah tampak gejala semakin menguatnya aspirasi primordial dalam lembaga birokrasi pemerintah kita. Lembaga ini menjadi incaran kekuatan-kekuatan politik. Partai-partai politik mulai mengincar peluang untuk menguasai lembaga birokrasi pemerintah ini.2. Periode 1950-1959Pada periode kedua antara tahun 1950-1959, gejala semakin derasnya kekuatan politik mengincar terhadap lembaga birokrasi pemerintah semakin hari semakin dirasakan. Pada tahun ini UUD Sementara 1950 diberlakukan. Dalam UUD ini dianut sistem demokrasi parlementer, bahwa pemerintah bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Akibat dari Maklumat Wakil Presiden 3 November 1945, kita menganut sistem banyak partai yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik sesuai dengan aspirasinya. Pada periode ini terselenggara pemilihan umum pertama yang dikenal sangat demokratis Ketika itu semua partai politik yang memenangkan suara berkeinginan untuk menguasai beberapa kementerian. Bahkan tidak jarang terjadi kabinet pemerintah dibubarkan hanya karena pembagian kementerian yang tidak sesuai dengan tuntutan partai-partai politik. Mosi tidak percaya merupakan awal dari runtuhnya kabinet yang memimpin lembaga pemerintah. Pemerintah di bawah kepemimpinan partai politik yang anggotanya mendominasi DPR. Kedudukan DPR kuat. Sebaliknya lembaga pemerintah dapat dikatakan lemah posisinya. Sementara itu, aparat pemerintah yang diharapkan netral juga sudah pandai bermain mata dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada. Pada periode ini di sana-sini militer sudah mulai ikut memainkan peran dalam percaturan politik. Partisipasi politik militer mulai tampak ketika tentara menolak Perjanjian KMB yang merupakan hasil perjuangan untuk menegakkan kemerdekaan oleh politisi sipil melalui jalan diplomasi. Peran tentara ini kelak akan diwujudkan dalam konsep dwifungsi yang menekankan bahwa militer tidak hanya berperan di bidang keamanan dan pertahanan saja, melainkan juga di bidang sosial dan politik.3. Periode 1980-1965Pada periode ketiga antara tahun 1960-1965 ini, lembaga pemerintah semakin jelas diincar oleh kekuatan partai politik. Tiga kekuatan partai politik yang dibungkus dalam Nasakom berusaha membagi kaplingan pengaruhnya di beberapa departemen pemerintah (they are building a block in the government bureaucracy). Di bawah label Demokrasi Terpimpin, tiga partai politik membangun akses ke lembaga pemerintah. Tiga kekuatan partai politik Nasakom berambisi menggunakan jabatan birokrasi dalam lembaga pemerintah sebagai building block untuk kepentingan membangun organisasi partainya. Pada masa ini lembaga pemerintah sudah mulai memihak kepada kekuatan politik yang ada. Atau lebih tepatnya lembaga pemerintah kita sudah terperangkap ke dalam jaring yang di pasang oleh kekuatan politik Nasakom. Hal ini terbukti ketika terjadi tragedi nasional pemberontakan PKI 30 September 1965. Dari data yang diungkap ternyata kekuatan partai politik PKI telah menyusup ke hampir semua departemen pemerintah. Sementara itu, kekuatan agama dan nasionalis mendominasi kapling departemen masing-masing. Pada periode ini dengan upaya PKI untuk menguasai lembaga pemerintahan, dan peran par-tai politik yang semakin berebutan kekuasaan ternyata partai politik kurang mampu menghadirkan pemerintahan sipil yang profesional. Oleh karena itu, pada saat ini lalu tampil kekuatan militer dalam panggung politik pemerintahan kita.4. Periode 1866-1999Pada periode keempat antara tahun 1966 hingga pertengahan tahun 1999, lembaga pemerintah lebih memihak kepada kekuatan politik yang dominan. Salah saw faktor yang menentukan kemenangan Golkar dalam beberapa kali Pemilu selama pemerintahan Orde Baru adalah karena peranan lembaga pemerintah ini ditambah kekuatan ABRI yang sangat solid mendukung Golkar sebagai tulang punggung pemerintahan. Sejak periode tahun ini, rakyat dan masyarakat kita sangat ketakutan membicarakan peranan sipil dalam tata pemerintahan kita. Supremasi sipil yang mendudukkan kedaulatan rakyat tidak lagi mempunyai arti. Adapun dominasi militer mulai mewarnai kehidupan kenegaraan kita. Kesadaran politik tahun-tahun awal kemerdekaan yang memandang lembaga pemerintah sebagai pemersatu bangsa digunakan pula pada periode ini. Akan tetapi dimanfaatkan untuk kepentingan penguasa, Golkar, dan militer. Lembaga birokrasi pemerintah mempunyai kepanjangan otoritasnya sampai ke pelosok desa di seluruh wilayah tanah air. Di hierarki atas birokrasi pemerintah terdapat lembaga kabinet yang dipimpin presiden dan dibantu para menteri. Di hierarki tengah terdapat lembaga provinsi pemerintah Daerah Tingkat I yang dipimpin gubernur, penguasa tunggal di wilayah provinsi. Di Daerah Tingkat II terdapat lembaga birokrasi pemerintah kabupaten dan kotamadya yang dipimpin bupati/walikota, penguasa tunggal di Daerah Tingkat II. Seterusnya di desa ada lurah dan kepala desa wakil penguasa tunggal tersebut di tingkat pedesaan. Semua tingkatan itu dimiliki atau dikuasai oleh Golkar.Sementara itu pendekatan keamanan, peranan ABRI sangat besar dalam aktivitas pemerintahan. ABRI pun mempunyai hierarki kekuasaan yang mengikuti sistem hierarki birokrasi pemerintah. Di tingkat nasional ada Panglima ABRI sebagai pembantu presiden dan diberi jabatan setingkat dengan menteri. Seterusnya di provinsi ada Kodam (Komando Daerah Militer), di Daerah Tingkat II ada Kodim (Komando Distrik Militer). Di kecamatan ada Koramil (Komando Rayon Militer), dan di desa ada Babinsa (Bintara Bina Desa).Pada periode ini kedudukan partai politik sebagai simbol dari lembaga supremasi sipil yang seharusnya bisa mewakili rakyat sipil dalam percaturan politik pemerintahan ternyata banyak tergusur oleh peranan angkatan bersenjata yang mewakili aspirasi kekuasaan yang memerintah. Pada periode ini demokrasi yang meletakkan kedaulatan rakyat tidak banyak dipraktikkan. Sementara itu demokrasi menurut perspektif kekuasaan yang bernuansa rekayasa untuk kepentingan penguasa amat jelas dilakukan selama pemerintahan Orde Baru. Orangorang militer banyak menguasai lembaga sipil, sehingga selama periode ini lebih banyak dikenal sebagai pemerintahan sipil yang dikuasai oleh militer.Demikianlah perkembangan kelembagaan birokrasi pemerintahan yang cenderung menjadi sasaran dari kekuasaan, dan pada akhir dari periode yang terakhir tersebut mulai dirasakan perlunya reformasi. Upaya melakukan reformasi itu melahirkan suatu keinginan untuk mencoba mengenalkan paradigma pemerintahan dan masyarakat madani. Paradigma ini ingin mengembalikan supremasi sipil dalam tata kenegaraan dan pemerintahan kita.

F. Bentuk-Bentuk Kabinet Di IndonesiaSelama Indonesia merdeka dan pemerintahan dijalankan sendiri oleh bangsa kita, undang-undang dasar yang digunakan baru dua ma-cam, yakni UUD 1945 dan UUD Sementara 1950. Konstituante hasil Pemilu pertama yang diserahi membentuk UUD tidak berhasil, karena dilanda konflik kepentingan dan keburu dibubarkan oleh Presiden Soekarno. UUD Sementara 1950 hanya relatif singkat berlakunya. Adapun UUD 1945 mengalami dua kali berlakunya dari 1945 sampai sekarangPada tahun-tahun pertama UUD 1945 diberlakukan bentuk kabinet presidensial sangat sederhana. Kabinet terdiri dari kementerian yang dipimpin oleh menteri yang mempunyai portofolio, dan menteri negara yang zonder portofolio. Jumlah kementerian baik yang zonder maupun yang mempunyai portofolio ada 20 kementerian. Sesuai yang dikehendaki oleh UUD 1945 kabinet presidensial menggunakan sebutan kementerian yang dipimpin oleh seorang menteri. Bagi kementerian negara yang tidak mempunyai portofolio yang menangani sesuatu urusan tertentu yang belum tertampung dalam kementerian, sebutannya kementerian negara dipimpin oleh seorang menteri negara.Struktur kabinet dengan sebutan seperti itu berlangsung sejak kabinet presidensial pertama sampai dengan kabinet parlementer menurut UUD 1945 dan UUDS 1950. Hanya beberapa kabinet di kemudian hari menambahkan jabatan wakil perdana menteri dan jabatan