32
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris memiliki kekayaan alam dari sektor perkebunan. Berbagai jenis perkebunan yang dapat menjadi komoditi ekspor dapat ditemukan di Indonesia seperti perkebunan tebu, tembakau, karet, kelapa sawit, perkebunan buah-buahan dan sebagainya. Diantara semua jenis perkebunan di Indonesia tersebut, perkebunan tebu merupakan sumber bahan baku untuk pembuatan gula. Selain tebu, Indonesia masih memiliki banyak komoditas yang bisa menghasilkan bahan gula diantaranya kelapa, aren, lontar dan nipah yang mengandung cairan kental manis yang biasa disebut nira. Untuk mendapatkan nira pada umumnya masyarakat melakukan penyadapan. Nira merupakan bahan gula merah. Cairan manis ini setelah direbus secara tradisional sampai kental, dicetak dan dipasarkan sebagai gula merah atau gula jawa. Beberapa tanaman seperti aren (enau) sebagai salah satu penghasil nira di pulau Jawa, populasinya sangat menyusut. Penyebabnya adalah penebangan pada usia remaja untuk diambil patinya. Kemudian penyadapan tanaman kelapa juga terbatas hanya dilakukan oleh masyarakat di Jawa Tengah bagian selatan. Gula merah atau palm sugar , sebenarnya memiliki potensi ekspor yang cukup kuat dan merupakan salah satu industri yang berpotensi besar meraup keuntungan. Hal ini disebabkan karena proses pembuatannya yang relatif mudah, alat-alat yang dibutuhkan sederhana, dan biaya investasinya relatif kecil. Namun permintaan konsumen luar negeri adalah palm sugar dalam bentuk kristal yang disebut gula semut. Selain pasar luar negeri, gula merah juga dibutuhkan pasar dalam negeri terutama pabrik pembuatan kecap. Namun karena kurangnya pasokan gula aren, kelapa dan lontar, maka industri kecap mengalihkannya ke gula merah dari tebu. Industri gula merah dari tebu ini antara lain bisa dijumpai di Kab Kendal, Demak, Purwodadi serta beberapa tempat lain di

Patgul Gula.docx

Embed Size (px)

Citation preview

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia sebagai negara agraris memiliki kekayaan alam dari sektor perkebunan. Berbagai jenis perkebunan yang dapat menjadi komoditi ekspor dapat ditemukan di Indonesia seperti perkebunan tebu, tembakau, karet, kelapa sawit, perkebunan buah-buahan dan sebagainya. Diantara semua jenis perkebunan di Indonesia tersebut, perkebunan tebu merupakan sumber bahan baku untuk pembuatan gula. Selain tebu, Indonesia masih memiliki banyak komoditas yang bisa menghasilkan bahan gula diantaranya kelapa, aren, lontar dan nipah yang mengandung cairan kental manis yang biasa disebut nira. Untuk mendapatkan nira pada umumnya masyarakat melakukan penyadapan. Nira merupakan bahan gula merah. Cairan manis ini setelah direbus secara tradisional sampai kental, dicetak dan dipasarkan sebagai gula merah atau gula jawa. Beberapa tanaman seperti aren (enau) sebagai salah satu penghasil nira di pulau Jawa, populasinya sangat menyusut. Penyebabnya adalah penebangan pada usia remaja untuk diambil patinya. Kemudian penyadapan tanaman kelapa juga terbatas hanya dilakukan oleh masyarakat di Jawa Tengah bagian selatan. Gula merah atau palm sugar , sebenarnya memiliki potensi ekspor yang cukup kuat dan merupakan salah satu industri yang berpotensi besar meraup keuntungan. Hal ini disebabkan karena proses pembuatannya yang relatif mudah, alat-alat yang dibutuhkan sederhana, dan biaya investasinya relatif kecil. Namun permintaan konsumen luar negeri adalah palm sugar dalam bentuk kristal yang disebut gula semut. Selain pasar luar negeri, gula merah juga dibutuhkan pasar dalam negeri terutama pabrik pembuatan kecap. Namun karena kurangnya pasokan gula aren, kelapa dan lontar, maka industri kecap mengalihkannya ke gula merah dari tebu. Industri gula merah dari tebu ini antara lain bisa dijumpai di Kab Kendal, Demak, Purwodadi serta beberapa tempat lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Gula merah tebu inilah yang akan memasok pabrik-pabrik kecap di seluruh Indonesia.Maka dari itu, pada praktikum kali ini akan dipelajari cara pembuatan olahan gula berupa gula merah, gula semut, gula invert, produk hidrolisat pati serta karakterisasi komoditas pati dan gula. Selain itu, akan dilakukan juga analisis kandungan gula dan komposisinya. 1.2 Tujuan

Pada praktikum kali ini, diharapkan praktikan dapat mengerti proses pembuatan gula merah cetak, gula semut, gula invert dan produk hidrolisat pati. Selain itu, praktikan juga diharapkan mengetahui karakteristik gula dan analisis produk gula.

II. METODOLOGI2.1 Alat dan BahanBahan-bahan yang digunakan adalah tebu, kapur (CaO), minyak nabati, nira aren, gula aren, gula palem, gula pasir, gula kelapa, asam tartarat, HCl, Sodium bikarbonat, air, pati, CaCO3, Termamil 60 L(-amylase), Amiloglukosidase, Ion, HCl 3%, arang aktif, kertas/kain saring, kertas pH, larutan Luff, KI 20%, H2SO4 24%, Na2S2O5 0.1 N, indikator kanji 0.5%, DNS, NaOH, potasium sodium tartarat, phenol, sodium metabisulfit, dan glukosa.Alat-alat yang digunakan adalah wajan, saringan, kompor/pemanas listrik, pengaduk dari kayu, penggiling tebu, cetakan dari bambu, timbangan, sendok, gelas piala, thermometer, erlenmeyer, Hotstirer, autoclave, pipet tetes, inkubator goyang, corong buchner, penyaring vakum, labu penyaring vakum, pipet ukur, tabung reaksi, spectrofotometer, kuvet, colorimeter, penetrometer, refraktometer, pendingin balik, labu ukur, gelas ukur, dan buret.

2.2. Metode2.2.1 Pembuatan Gula Merah Cetak

Tebu dikupasDipresNiraDisaringCaCO3DipanaskanNira masakBenang dapat dipatahkanDicetak hingga kerasDikeluarkan dari cetakan

2.2.2 Pembuatan Gula SemutGula cetakDipotong kecil-kecilAir 1:1Disaring (jika kotor)Larutan gulaDimasakMinyak nabati 1 sdm jika telah mendidihDitambah gula pasir jika telah kentalDiangkat dari komporDiaduk dengan kuatGula semutDitimbang

0. Pembuatan Gula Invert1. Metode Asam Tartarat1 kg gula, 1 g asam tartarat, dan 420 ml air.Dicampur dan dipanaskan hingga mendidihSuhu dipertahankan pada 100C dan diaduk selama 30 menitDiaduk cepat1,134 g sodium bikarbonat (dalam satu sendok makan air)Gula invert metode asam tartarat

1. Metode HCl1 kg gula dan 420 ml larutan HCl 0,1%Dipanaskan pada suhu 70C selama 90 menitdidinginkanDiaduk dengan kecepatan konstan1,11 g sodium bikarbonat (dalam satu sendok makan air)Gula invert metode HCl.

0. Pembuatan Produk Hidrolisat Pati1. Maltodekstrin dengan Katalis Asam500 ml larutan pati 30%Diatur keasaman larutan dengan HCl 1N hingga pH 2.

HCl 1NDipanaskan sambil diaduk rata pada suhu 100C, 10 menit

NaOH 1NDinetralkan dengan NaOH 1N hingg pH 4,2

Dituang dalam Loyang dan dikeringkan dalam oven 50C, kemudiian diayak

Maltodekstrin dengan katalis asam

1. Maltodekstrin dengan Katalis Enzim500 ml larutan pati 30% dan 0,1 g CaCl2Diatur keasaman larutan dengan HCl 1N hingga pH 5,2.

HCl 1NDipanaskan sambil diaduk rata pada suhu 100oC, 30 menit

0,7 l/g larutan -amilaseDituang dalam loyang dan dibekukan dalam dalam lemari pendingin suhu -4oC, 11 jam untuk inaktivasi enzim.

Maltodekstrin dengan katalis enzim

Dikeringkan dalam oven suhu 50oC kemudian digiling dan diayak

1. Sirup Glukosa dengan Katalis Asam200 ml larutan pati 10%Diatur keasaman larutan dengan HCl 1N hingga pH 2.

HCl 1NLarutan Iod dan NaOH 1NDiuji dengan Iod.Jika pati positif, pemanasan dilanjutkan. Jika pati negative dinetralkan dengan NaOH 1N hingga pH 4,2

Sirup glukosa dengan katalis asamDituang dalam wadah

Dipanaskan sambil diaduk rata pada suhu 100C, 60 menit

1. Sirup Glukosa dengan Katalis Enzim200 ml larutan pati 30%Diatur keasaman larutan dengan HCl 1N hingga pH 6,0-6,5.

HCl 1NDidinginkan hingga suhu 60C

Sirup glukosa dengan katalis asamDiatur pH larutan hingga menjadi 5,0-5,5

Dipanaskan sambil diaduk rata pada suhu 100C, 30 menit

0,1 ml larutan -amilaseHCl 1N0,5 ml enzim amiloglukosidaseDiinkubasi pada suhu 60C selama 48 jam

0. Analisis Produk Gula1. Uji warna

Gula merah cetak, gula semut, gula invert, dan produk hidrolisat patiDiamati secara visualHasil pengamatan dicatat

1. Uji kekerasanUji kekerasan diuji dengan penetrometer

Sampel ditusuk oleh penetrometer, lalu dihitung waktu yang diperlukan untuk menembus sampel. kekerasaan dinyatakan dalam mm/10 detik/bobot sampel

1. Gula pereduksi (metode Luff schoorl)

Sebanyak 2 gram contoh dilarutkan di dalam air dan dimasukkan ke dalam labu ukur 250 ml.

Labu ukur dikocok dan ditera dengan aquades kemudian dikocok 12 kali. Larutan didiamkan dan disaring

10 mL hasil penyaringan dipipet dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer, lalu ditambahkan 15 ml akuades dan 25 ml larutan Luff Schroll dan beberapa butir batu didih.

Erlenmeyer dihubungkan dengan pendingin balik dan dipanaskan selama 10 menit, kemudian diangkat dan didinginkan.

Setelah dingin ditambahkan 10 ml larutan KI 20% dan 25 ml H2SO4 25% ditambahkan dengan hati-hati karena akan dihasilkan CO2 dan terdapat buih.

Larutan dititrasi dengan larutan tio 0,1 N, larutan kanji digunakan sebagai indikator.

Prosedur blanko ditentukan seperti prosedur di atas. Namun larutan yang digunakan adalah aquades 25 ml dan 25 ml larutan luff schroll

1. Gula pereduksi (metode DNS)Sebanyak 10, 6 gram DNS dan 19,8 gram NaOH dilarutkan ke dalam 1416 ml aquades.

Setelah larut sempurna ditambahkan 306 gram potasium sodium tartarat, 7.6 gram phenol (sebelumnya dicairkan terlebih dahulu pada suhu 50C) dan 8.3 gram sodium metabisulfit.

Sebanyak 3 ml larutan ini dititrasi dengan HCl 0.1 dengan indicator phenolptalein.

Larutan ditambahkan dengan NaOH bila dibutuhkan sebanyak 2 gram untuk setiap mL penggunaan HCl 0.1 N pada titrasi.

Cara Analisa:

Sebanyak 1 ml contoh dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 3 ml pereaksi DNS, kemudiandiletakkan di dalam air mendidih selama 5 menit (tepat) dan didinginkan hingga suhu kamar.

Sampel dibaca dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 550 nm.

Ditetapkan juga untuk blanko seperti cara diatas, tetapi contoh diganti dengan aquadesDiukur dan dicatat nilai absorbansi atau % transmittance.

Kurva standar dibuat dengan membuat larutan glukosa konsentrasi 100 ppm, 150 ppm, 200 ppm dan 250 ppm.

Nilai yang dapat digunakan pada selang 10%-80%.

1. Kadar sukrosa (metode Luff schoorl)Sebanyak 50 ml hasil saringan pada penetapan gula pereduksi dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml.

25 ml HCl 25% ditambahkan dan kemudian dihidrolisis pada suhu 68-70C selama 10 menit, kemudian larutan segera didinginkan dan dinetralkan dengan NaOH 30%, lalu ditera dan dikocok sebanyak 12 kali.

10 ml larutan tersebut dimasukkan ke dalam erlenmeyer, lalu ditambahkan 15 ml aquades dan 25 ml larutan luff school serta beberapa butir batu didih.

Setelah dingin ditambahkan 10 ml larutan KI 20% dan 25 ml H2SO4 25% dengan hati-hati karena akan dihasilkan CO2 serta buih.

Larutan dititrasi dengan larutan tio 0,1 N dan larutan kanji 0,5 % digunakan sebagai indikator.

% gula sesudah inversi = x 100%Tingkat hidrolisis = x 100%

1. Kandungan total gula (metode fenol-asam sulfat)Sebanyak 2 ml larutan sampel (mengandung 20-50 ppm glukosa) dipersiapkan terlebih dahulu.

Ditambahkan 1 ml larutan fenol 5% dan dikocok, lalu ditambahkan 5 ml asam sulfat pekat, kemudian idiamkan hingga dingin.

Nilai absorbansi diukur pada panjang gelombang 490 nm.

Kurva standar diukur pada konsentrasi 10-60 ppm glukosa.

II. PEMBAHASAN

3.1 Hasil Pengamatan

(Terlampir)

3.2 Pembahasan

Nira merupakan cairan manis yang terdapat di dalam bunga tanaman aren, kelapa dan lontar yang pucuknya belum membuka dan diperoleh dengan cara penyadapan. Pada umumnya masyarakat memanfaatkan nira aren dan nira kelapa untuk pembuatan gula merah/gula jawa dan gula semut, selain itu dapat digunakan sebagai minuman segar baik dari niranya langsung maupun nira yang dibuat sirup. Nira aren dan nira kelapa mempunyai beberapa perbedaan dari segi warna, aroma, rasa maupun kadar kotorannya. Nira aren terasa lebih manis, lebih jernih dan lebih segar daripada nira kelapa, namun jumlah padatan terlarut nira kelapa lebih tinggi daripada nira aren (Dyanti, 2002).Kandungan Gula Jawa yakni diantaranya serat pada warna ccoklatnya, kalori, kalsium, protein kasar, mineral, vitamin dan senyawa-senyawa yang berfungsi menghambat penyerapan kolesterol di saluran pencernaan. Nira aren mudah mengalami kerusakan karena dipengaruhi oleh kondisi lingkungan selama penyadapan dan pengangkutan ke tempat pengolahan dan kerusakan akibat proses fermentasi. Fermentasi ini disebabkan oleh aktifitas enzim invertase yang dihasilkan oleh mikroba yang mengkontaminasi nira (Hamzah dan Hasbullah, 1997). Mikroba tersebut antara lain Saccaromyces cereviceae yang membantu proses hidrolisis sukrosa menjadi gula pereduksi di dalam nira (Goutara dan Wijandi, 1980). Pada proses fermentasi nira, kandungan brix akan menurun dengan cepat, sementara kandungan asam seperti asam asetat, laktat, dan tartarat cenderung meningkat. Perubahan ini ditandai dengan penurunan pH dan penurunan kadar brix. Menurut Safari (1995), persyaratan brix dan pH pada cairan nira harus berada pada kisaran yang ditentukan agar nira dapat diolah menjadi gula aren, yaitu dengan pH berkisar 6-7,5 dan kadar brix di atas 17%.Petani/pengumpul nira tradisional menggunakan bahan tambahan berupa buah safat, biji jarak, biji kemiri, dan minyak kelapa untuk mengurangi terjadinya fermentasi nira aren. Bahan tambahan tersebut mengandung tannin dan lemak yang dapat menghentikan proses fermentasi. Menurut Maynard (1990), sifat tannin dan lemak penting sebagai bahan pengawet karena menghambat adsorbsi permukaan yang dilakukan oleh khamir, yaitu Saccaromyces cereviceae terhadap substrat. Penambahan bahan tambahan ini juga digunakan untuk mengurangi rekasi hidrolisis sukrosa menjadi gula reduksi. Ada tidaknya sifat pereduksi dari suatu molekul gula ditentukan oleh ada tidaknya gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif. Tahap awal pembuatan gula merah cetak adalah menggiling batang tebu yang telah dikupas kulitnya. Hasil gilinganya berupa nira tebu, nira tebu ditampung dalam baskom.Kondisi terbaik dalam pembuatan gula merah cetak adalah nira dengan kadar gula di atas 12% dan dengan pH 6-7.Tahap selanjutnya adalah pemasakan nira tebu. nira tebu dipanaskan dengan wajan dan suhu 110-1200oC. Nira tebu yang dipanaskan harus terus menerus diaduk agar nira tidak menguap. Pada proses pemasakan, lama-kelamaan akan timbul buih, untuk menghilangkan buih trersebut, dapat ditambahkan sedikit minyak nabati. Untuk mengetahui apakah nira sudah masak atau belum, dapat dicoba dengan cara meneteskan nira ke dalam air. Apabila nira langsung mengeras, menandakan nira telah masak dan siap untuk dicetak. Ketika nira telah masak, nira harus terus-menerus diadukagar agar dingin lebih cepat. Setelah nira dingin, nira dimasukan kecetakan bambu yang telah dibasahi air agar mudah dilepaskan dari cetakan. (BP2TP, 2010)Pada saat pembuatan gula merah cetak, dilakukan dua macam perlakuan, yaitu dengan penambahan kapur dan tanpa penambahan kapur. Penambahan kapur dalam pembuatan gula merah ini berfungsi untuk memurnikan nira tebu. Proses pemurnian nira tebu ini bertujuan untuk meningkatkan kadar sukrosa dalam nira. Kadar sukrosa meningkat ketika bahan lain selain sukrosa dapat dibuang dari nira tebu ini. Namun ketika penambahan kapur yang berlebihan akan membuat rasa gula merah menjadi kurang enak sehingga akan menurunkan kualitas darfi gula merah tersebut. Gula merah yang dihasilkan dari perlakuan penambahan kapur akan terlihat lebih bersih dan memiliki kadar sukrosa yang tinggi. Sedangkan gula merah tanpa penambahan kapur akan terlihat kurang bersih dan kadar sukrosanya rendah. Gula Merah tebu adalah gula yang dihasilkan dari pengolahan air/sari tebu (Saccharum offrcinarum) melalui pemasakan dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diperbolehkan, dan berwarna kecoklatan. Adapun spesifikasi persyaratan mutu menurut SNI 01-6237-2000, seperti yang dicantumkan dalam tabel berikut ini:

NoJenis UjiSatuanPersyaratan

Mutu IMutu II

1.Keadaan- Bau- Rasa-Warna

- Penampakan---

-KhasKhasCoklat Muda sampai TuaTidak BejamurKhasKhasCoklat muda sampai TuaTidak Berjamur

2.Bagian yang tak larut dalam air, b/b%Maks 1,0Maks 5,0

3.Air, b/b%Maks 8,0Maks 10,0

4.Gula (dihitung sebagai sakarosa), b/b%Min 65Min 60

5.Gula pereduksi (dihitung sebagai glukosa. b/b %Maks 11Maks 14

6.Bahan tambahan pengawet- residu- benzoatmg/kgmg/kgMaks. 20Maks. 200Maks 2,0Maks 200

7.Cemaran Logam- timbal (Pb)- tembaga (Cu)- seng (Zn)- timah (Sn)- raksa (Hg)mg/kgmg/kgmg/kgmg/kgmg/kgMaks 2,0Maks 2,0Maks 40,0Maks 40,0Maks 0,03Maks 2,0Maks 2,0Maks 40,0Maks 40,0Maks 0,03

8.Cemaran arsenmg/kgMaks 1,0Maks 0,1

Pada prinsipnya, proses pembuatan gula merah tebu sama dengan gula merah dari kelapa, aren, atau lontar (Ashari et al, 2003). Tebu digiling pada mesin penggiling, kemudian nira disaring dan dimasak dalam wajan besar untuk diuapkan airnya. Dalam skala industri penguapan dilakukan secara bertahap dengan memindahkan nira secara berurutan ke wajan lain yang tersusun secara berderet dari depan ke belakang. Semakin ke depan posisi wajan, nira semakin kental. Nira pada wajan yang di depan (biasanya wajan pertama atau kedua dari depan) telah siap diangkat untuk dicetak. Sebelum dicetak, nira kental (gulali) dimasukin ke dalam jambangan besar kemudian diaduk selama 15 menit agar cepat kering dan tidak lengket serta warnanya lebih kuning. Selanjutnya gulali dicetak menggunakan cetakan dari tempurung kelapa yang menyerupai mangkok, sehingga gula merah ini disebut mangkok. Dalam pembuatan gula merah, juga ditambahkan kapur untuk menghilangkan kotoran dan yang utama agar gula tidak lembek. Kotoran akan terangkat ke atas bersama busa dan kemudian dibuang dengan menggunakan serok. Agar gula tampak kuning kemerahan dan bersih, biasanya juga ditambahkan obat gula.Pembuatan gula merah pada praktikum kali ini dilakukan dengan pembedaan sampel tebu bagian atas dan bagian bawah serta penambahan tidaknya larutan kapur. Penimbangan tebu yang digunakan dilakukan sebagai bahan baku dengan kategori berat utuh, berat kulit, dan berat tanpa kulit. Secara umum bobot tebu bagian atas tidak lebih besar dari bobot tebu bagian bawah. Berat kulit yang diperoleh secara umum dimayoritasi oleh kulit tebu bagian atas, hal ini menunjukkan adanya kemungkinan ketebalan kulit tebu bagian atas lebih tebal dari bagian bawah. Hal tersebut bisa juga disebabkan karena perbedaan jenis dan tingkat pengupasan kulit oleh praktikan sehingga mempengaruhi bobot kulit. Ini tentunya akan berpengaruh pada bobot tanpa kulit tebu yang secara umum didominasi oleh tebu bagian bawah. Terdapat pula kehilangan masa yang terjadi, yakni selisih dari berat utuh dengan berat kulit dan berat tanpa kulit yang tidak sama dengan nol. Hal ini disebabkan adanya masa yang hilang saat pengupasan dalam bentuk remahan-remahan kecil dan terbuang. Nira yang diperoleh dari hasil penggilingan rata-rata menunjukkan dominasi volume yang lebih tinggi pada nira tebu bagian bawah meskipun dengan selisih yang tidak signifikan. Kadar gula (brix) yang tertinggi dimiliki oleh nira pada tebu bagian bawah. Hal ini didasari oleh morfologi tanaman tebu yang memang akan lebih manis pada batang bagian bawahnya. Nira tebu pada bagian bawah memiliki sukrosa dan glukosa yang akan digunakan sebagai cadangan makanan, sedangkan pada bagian atas lebih diutamakan untuk proses fotosintesis, ini yang pada akhirnya mempengaruhi rasa pada tebu bagian bawah seharusnya lebih manis dari tebu bagian atas. Warna yang dimiliki pun secara garis besar menunjukkan warna cokelat yang menandakan kandungan sukrosa dan glukosa yang dimilikinya beserta dengan kotoran saat penyariangan. Aroma yang dimilikinya secara umum sama, hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada pengarus secara langsung terhadap aroma antara tebu bagian atas dan tebu bagian bawah.Setelah melalui proses pemasakan dan pengadukkan, diperoleh gula merah dengan bobot rata-rata yang didominasi oleh gula tebu bagian bawah. Hal ini mengindikasikan rendemen yang dimiliki oleh tebu bagian bawah lebih tinggi dari pada tebu bagian atas. Adapun warna yang diperoleh secara umum adalah cokelat, dan seuai dengan standar nasional indonesia tentang warna, yakni diantara cokelat muda hingga cokelat tua. Warna cokelat yang terbentuk dipengaruhi oleh protein yang terbakar pada saat proses pemasakan, jadi semakin gelap warna gula maka kandungan proteinnya semakin besar. Aroma yang terbentuk secara umum sama, yakni aroma khas gula merah.Gula semut merupakan bentuk diversifikasi produk gula merah yang berbentuk serbuk (Herman, 1984). Gula semut yang dikenal di Indonesia terbuat dari nira aren. Beberapa daerah yang menghasilkan gula semut di Indonesia antara lain Garut, aceh, Cianjur, Batanghari, Sukabumi dan Subang. Pembuatan gula semut pada prinsipnya sama dengan pembuatan gula merah cetak, hanya karena sudah berbentuk kristal kecil, penggunaannya menjadi lebih praktis dibandingkan dengan gula cetak. Gula semut digunakan sebagai pemanis pada roti, kue dan dapat juga digunakan pada minuman seperti teh dan kopi. Menurut Herman (1984), ada dua cara pembuatan gula semut. Cara pertama dilakukan dengan pengirisan gula nerah tipis-tipis, pengeringan di bawah sinar matahari selama dua sampai tiga hari, lalu penghancuran dan pengayakan. Cara lainnya adalah dengan penyaringan nira, pemanasan selama 4 jam (tergantung volume nira), penambahan minyak kelapa untuk mengurangi buih, pendinginan dan pengadukan secara intensif sampai terbentuk kristal-kristal dan pengadukan.Pembuatan gula semut membutuhkan nira dengan mutu yang lebih baik daripada pembuatan gula merah. Nira yang dapat diolah menjadi gula merah, belum tentu dapat diolah menjadi gula semut. Hal ini dikarenakan pada pembuatan gula semut harus melewati tahap kristalisasi. Nira yang mutunya rendah akan sulit mengkristal. Di Indonesia gula semut dibuat dengan tiga cara, yaitu (1) penepungan gula merah cetak, (2) pemanasan dan pengadukan nira secara intensif untuk mendapatkan kristal gula, dan (3) pemanasan dan pengadukan intensif dari campuran gula merah cetak dengan air atau nira (Herman, 1984).Syarat mutu gula semut berdasarkan SII, yaitu:NKriteria UjiSatuanPersyaratan

1Keadaan:

- BentukNormal

- warnakuning kecoklatan

- rasanormal dan khas

2Bagian yang tidak larut dalam air%b/bmaks. 0.2

3Air%b/bmaks.3.0

4Abu%b/bmaks.2.0

5gula pereduksi%b/bmaks.6.0

6jumlah gula sebagai Sakarosa%b/bmin.90

7cemaran logam:

Timbal (Pb)mg/kgmaks.2.0

Tembaga (Cu)mg/kgmaks.10.0

Seng (Zn)mg/kg maks.40.0

Timah (Sn)mg/kgmaks.40.0

Raksa (Hg)mg/kgmaks.0.03

8Arsenmg/kgmaks. 1.0

Dalam praktikum ini pembuatan gula semut dilakukan dengan cara pertama yaitu dengan menggunakan gula merah. Pembuatan gula dimulai dengan pengirisan gula merah kemudian dilanjutkan dengan pelarutan gula dengan air untuk kemudian dimasak. Larutan gula dimasak sampai kental. Dalam pemasakan larutan gula ditambahkan santan yang bertujuan untuk mengurangi pembentukan buih yang berlebihan selama penguapan (Sagala et al, 1978).Larutan kemudian diuji kemasakannya dengan memasukkannya ke air. Jika telah membentuk seperti gulali yang keras, larutan kental ini diangkat dari kompor dan di aduk sampai membentuk kristal gula.Perlakuan yang diberikan dalam praktikum adalah penambahan seed gula pasir sebanyak 10 % dan 5 %. Gula merah yang digunakan dalam praktikum ada dua yaitu gula aren dan gula kelapa. Penambahan gula pasir bertujuan untuk memancing terbentuknya kristal gula secara cepat. Penambahan gula pasir dilakukan ketika larutan pekat akan diangkat dari kompor.Hasil praktikum menunjukkan bahwa seluruh kelompok berhasil membentuk serbuk. Gula semut yang membentuk serbuk memiliki rasa yang manis. Aroma yang dihasilkan gula semut dari kelapa memiliki aroma khas gula kelapa sedangkan aroma gula semut dari aren memiliki aroma khas gula aren. Warna gula semut yang dihasilkan dari gula kelapa dan warna gula semut aren berwarna coklat muda. Data praktikum menunjukkan bahwa gula aren lebih berhasil untuk dibuat gula semut dibandingkan dengan gula kelapa dengan gula kristal 5%. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Putra (1990) yang menyebutkan bahwa gula semut dari kelapa memiliki warna yang lebih muda dibandingkan gula semut dari aren. Perbedaan warna antara gula semut dari nira kelapa dengan gula semut dari nira aren dipengaruhi oleh komposisi nira. Kadar gula pereduksi nira aren relatif lebih tinggi dibandingkan nira kelapa. Gula pereduksi jika bereaksi dengan senyawa amino mampu menghasilkan pigmen coklat yang dikenal sebagai reaksi maillard. Selain reaksi pencoklatan, warna pada gula semut diduga dipengaruhi oleh zat warna yang terdapat pada nira. Kakde (1985) mengemukakan bahwa antosianin merupakan zat warna paling penting selama proses, karena zat ini larut dalam air dan larut dalam larutan gula sehingga sulit dieliminasi. Sukrosa adalah jenis gula terbanyak di alam, diperoleh dari ekstraksi batang tebu, umbi beet, nira palem dan nira pohon kelapa. Jenis gula ini paling banyak dikonsumsi dalam rumah tangga, rumah makan, catering dan sebagainya. Sukrosa lebih dikenal sebagai gula pasir. Sebuah molekul sukrosa terdiri dari 2 molekul gula yaitu satu molekul glukosa dan satu molekul fruktosa. Oleh pemberian zat kimia (asam) molekul sukrosa pecah menjadi dua molekul tersebut. Sukrosa tidak mempunyai gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat, sedangkan laktosa mempunyai OH bebas pada atom C no. 1 pada gugus glukosanya. Karena itu, laktosa bersifat pereduksi sedangkan sukrosa bersifat non pereduksi. Sukrosa adalah oligosakarida yang berperan penting dalam pengolahan makanan dan banyak terdapat pada tebu, bit, siwalan, dan kelapa kopyor. Menurut Agustina (1982), reaksi hidrolisis ini biasa disebut dengan inversi karena terjadi perubahan arah putaran optik.Sukrosa + air D(+)glukosa + D(-)fruktosa[a]D = +66,50[a]D = +52,50[a]D = -920[ a ] = - 200

Proses inversi glukosa menjadi gula invert dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu suhu pemanasan, lama pemanasan dan konversi asam yang digunakan. Beberapa asam yang dapat digunakan untuk menginversi sukrosa adalah HCl, H2SO4, H3PO4, asam tartarat, asam sitrat dan asam laktat. Masing-masing asam memiliki kekuatan inversi yang berbeda tergantung dari kekuatan ionisasinya. Secara komersial, asam klorida banyak digunakan untuk menghidrolisa sukrosa karena asam klorida mempunyai daya inversi yang tinggi (Palungkun, 1993). Pada pembuatan sirup, gula pasir (sukrosa) dilarutkan dalam air dan dipanaskan, sebagian sukrosa akan terurai menjadi glukosa dan fruktosa, yang disebut gula invert. Gula invert tidak dapat berbentuk kristal karena kelarutan fruktosa dan glukosa sangat besar. Ada dua cara pembuatan gula invert, yaitu dengan menghidrolisis sukrosa dengan asam dan secara enzimatis menggunakan invertase (Junk dan Pancoast, 1980). Kadar gula pereduksi sirup gula invert ditentukan oleh kesempurnaan proses hidrolisis. Apabila konsentrasi asam dan waktu hidrolisis berlebihan maka kadar gula pereduksinya akan turun. Hal ini karena glukosa dan fruktosa yang telah terbentuk selama hidrolisis pada suasana asam dan suhu tinggi dapat terurai menjadi senyawa lain yang tidak diinginkan yaitu Hidroksimetil furfural, sehingga akan menurunkan kadar gula pereduksi (Hall, 1973).Pada praktikum kali ini akan dilakukan praktikum untuk membuat gula invert. Pembuatan gula invert ini dibuat dari gula pasir, gula kelapa, dan gula aren. Perlakuan yang diberikan adalah pemberian asam yang berbeda yaitu asam kuat HCl dan asam lemah asam tartarat. Asam digunakan untuk memecah ikatan antara glukosa dan fruktosa yang membentuk sukrosa. Mula-mula gula yang berbentuk padatan dilarutkan dengan aquades dan kemudian disaring untuk menghilangkan kotoran yang ada pada gula. Kemudian, larutan gula itu dipanaskan pada suhu 100 0C untuk asam klorida dan pada suhu 70 0C untuk gula yang ditambah asam tartarat. Suhu yang diberikan berbeda karena asam kuat akan menghidrolisis sukrosa lebih cepat daripada asam lemah. Hal ini dikarenakan sifat asam yang kuat akan jauh lebih cepat memecah ikatan yang ada pada sukrosa. Larutan tadi dipanaskan selama 30 menit untuk gula yang dicampur asam tartarat dan selama 1,5 jam untuk gula yang dicampur asam klorida. Setelah itu, larutan diangkat dan ditunggu sampai hangat, lalu ditambah sodium bikarbonat. Penambahan sodium bikarbonat yang bersifat basa adalah untuk menetralkan sifat asam pada larutan, sehingga terbentuk garam. Hasil dari praktikum ini adalah, bobo gula invert paling tinggi pada gula aren dengan penambahan HCl diikuti dengan gula kelapa dengan penambahan HCl dan gula pasir dengan penambahan asam tartarat. Kadar sukrosa yang terhidrolisis tidak dapat diuji secara langsung dan secara sederhana. Uji yang dapat dilakukan untuk menguji kadar sukrosa yang terhidrolisis adalah dengan uji Luff Schrool. Uji ini akan dilakukan dan diidentifikasi karakteristiknya saat uji analisis produk gula.Hidrolisis merupakan reaksi pengikatan gugus hidrolisis/OH oleh suatu senyawa. Gugus senyawa dapat diperoleh dari senyawa air. Hidrolisis dapat digolongkan menjadi hidrolisis murni, hidrolisis katalis asam, hidrolisis katalis basa, gabungan alkali dengan air, dan hidrolisis dengan katalis enzim. Hidrolisis pati terjadi antara suatu reaktan pati dengan reaktan air. Reaksi ini adalah orde satu karena reaktan air yang dibuat berlebih, sehingga perubahan reaktan dapat diabaikan. Reaksi hidrolisis pati dapat menggunakan katalisator ion H+ yang dapat diambil dari asam. Reaksi yang terjadi pada hidrolisis pati adalah sebagai berikut (C6H10O5)x + H2O C6H12O6. Produk hasil hidrolisat pati sangat banyak digunakan dan diterapkan dalam penggunaan pati pada produk-produk pengolahan hasil pangan. Proses hidrolisat pati menggunakan asam maupun enzim adalah proses yang umum digunakan untuk mengubah pati menjadi molekul yang lebih kecil lagi bahkan hingga mengubah pati menjadi gula sederhana.Aplikasi hidrolisa pati banyak digunakan dalam Industri makanan dan minuman menggunakan sirup glukosa hasil hidrolisis pati sebagai pemanis. Produk akhir hidrolisa pati adalah glukosa yang dapat dijadikan bahan baku untuk produksi fruktosa dan sorbitol. Hasil hidrolisis pati juga banyak digunakan dalam industri obat-obatan. Dan juga glukosa yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan bioethanol. Penggunaan asam sebagai penghidrolisa menghasilkan biaya produksi yang sedikit, namun produk yang dihasilkan tidak seragam dan banyak senyawa pati yang rusak oleh asam tersebut, sedangkan penggunaan enzim sebagai penghidrolisa menghasilkan produk yang seragam, lebih terkontrol, namun biaya produksi lebih tinggi karena harga dari enzim sendiri lebih mahal jika dibandingkan dengan asam.Sirup glukosa yang mempunyai nama lain dectrose adalah salah satu produk bahan pemanis makanan dan minuman yang berbentuk cairan, tidak berbau dan tidak berwarna tetapi memiliki rasa manis yang tinggi. Sirup glukosa atau sering juga disebut gula cair dibuat melalui proses hidrolisis pati. Perbedaannya dengan gula pasir yaitu, gula pasir (sukrosa) merupakan gula disakarida, sedangkan sirup glukosa adalah monosakarida, terdiri atas satu monomer yaitu glukosa. Sirup glukosa dapat dibuat dengan cara hidrolisis asam atau dengan cara enzimatis. Dari kedua cara tersebut, pembuatan sirup glukosa secara enzimatis dapat dikembangkan di pedesaan karena tidak banyak menggunakan bahan kimia sehingga aman dan tidak mencemarilingkungan. Bahan lain yang diperlukan adalah enzim amilase .Secara umum proses pembuatan sirup glukosa dapat dilakukan dengan dua cara yaitu hidrolisis secara enzimatis dan hidrolisis secara asam. Hidrolisis secara enzimatis memutus rantai pati secara spesifik pada percabangan tertentu. Hidrolisis enzimatis memiliki beberapa keuntungan, yaitu prosesnya lebih spesifik, kondisi prosesnya dapat dikontrol, biaya pemurnian lebih murah, dihasilkan lebih sedikit abu dan produk samping, dan kerusakan warna dapat diminimalkan. Pada hidrolisis pati secara enzimatis untuk menghasilkan sirup glukosa, enzim yang dapat digunakan adalah -amilase, -amilase, amiloglukosidase, glukosa isomerase, pullulanase, dan isoamilase.Tahapan pembuatan sirup glukosa dengan cara hidrolisis menggunakan enzim terdiri dari likuifikasi, sakarifikasi, purifikasi, dan evaporasi. Tingkat mutu sirup glukosa yang dihasilkan ditentukan oleh kadar air, warna sirup, dan tingkat konversi pati menjadi komponen-komponen glukosa, maltosa, dan dekstrin, yang dihitung sebagai ekuivalen dekstrosa (DE). Nilai ekuivalen dekstrosa (DE) sirup glukosa yang tinggi dapat diperoleh dengan optimalisasi proses likuifikasi dan sakarifikasi, sedangkan kadar padatan dan warna sirup glukosa yang sesuai standar (SNI) diperoleh dengan proses evaporasi. Hidrolisis pati dengan menggunakan katalis asam, molekul pati akan dipecah secara acak oleh asam dan gula yang dihasilkan sebagian besar merupakan gula pereduksi. Pada hidrolisis pati menggunakan katalis enzim, molekul pati akan dipecah atau diputus oleh enzim secara spesifik pada percabangan tertentu. Hidrolisis pati secara asam hanya akan mendapatkan sirup glukosa dengan dektrosa equivalen (DE) sebesar 55%. Sedangkan hidrolisis pati secara enzimatis akan mendapatkan sirup glukosa dengan DE lebih dari 95%.Maltodekstrin adalah salah satu jenis pati temodifikasi yang digunakan dalam berbagai industri, antara lain industri makanan, minuman, kimia dan farmasi (SNI 7599:2010).Maltodekstrin didefinisikan sebagai produk hidrolisis pati yang mengandung unit -D-glukosa yang sebagian besar terikat melalui ikatan 1,4 glikosidik dengan DE kurang dari 20. Rumus umum maltodekstrin adalah [(C6H10O5)nH2O)]. Maltodekstrin merupakan campuran dari glukosa, maltosa, oligosakarida, dan dekstrin (Deman, 1993).Maltodekstrin pada dasarnya merupakan senyawa hidrolisis pati yang tidak sempurna, terdiri dari campuran gula-gula dalam bentuk sederhana (mono- dan disakarida) dalam jumlah kecil. Maltodektrin sangat banyak aplikasinya, seperti halnya pati maltodekstrin merupakan bahan pengental sekaligus dapat sebagai emulsifier. Kelebihan maltodekstrin adalah bahan tersebut dapat dengan mudah melarut pada air dingin. Aplikasinya penggunaan maltodekstrin contohnya pada minuman susu bubuk, minunan berenergi (energen) dan minuman prebiotic.Proses pembuatannya ada dua yaitu, maltodekstrin dengan hidrolisat asam dan maltodekstrin dengan hidrolisat enzim. Maltodekstrin dengan hidrolisat asam prosesnya cukup sederhana yang pertama larutkan tapioca kedalam air hingga konsentrasi 30%. Kemudian tambahkan asam (HCl) kedalamnya dan dipanaskan pada suhu antara 80-90 C dalam pemanasan harus selalu diaduk untuk menghindari proses gelatinisasi dari pati. Proses berikutnya adalah mengeringkan suspense tersebut dengan oven. Jika telah dikeringkan, produk yang masih dalam bentuk kerak digiling menggunakan blender hingga halus. Produk dikemas dan disimpan dalam tempat yang kering. Untuk maltodekstrin dengan hidrolisat enzim caranya hamper sama hanya mengganti asam yang telah ditambahkan dengan enzim. Jika dibandingkan proses pembuatan maltodekstrin dengan hidrolisat enzim akan lebih mudah dengan biaya yang murah daripada pembuatan matodekstrin dengan hidrolisat asam.Uji warna dilakukan pada semua gula yang dibuat selama praktikum, meliputi gula merah cetak, gula semut, dan gula invert. Pada gula merah cetak yang dibuat dari tebu secara umum masuk pada rentang cokelat muda hingga cokelat pudar. Cokelat muda ditunjukkan oleh gula pada tebu yang dihasilkan oleh kelompok 2 (gula tebu bagian bawah) dan kelompok 3 (gula tebu bagian campur). Warna tebu yang cokelat tua secara umum lebih mengkilat, hal ini disebabkan oleh kandungan air yang lebih tinggi masih terkandung di dalamnya karena proses produksi dan penyimpanan yang mungkin berbeda.Pada gula semut, warna gula yang diperoleh dari pengolahan nira aren dan kelapa masuk pula pada rentang cokelat muda dan cokelat muda. Hanya saja, gula semut akan lebih baik jika warnanya cenderung lebih muda. Dalam hal ini kadar air juga mempengaruhi penampakan gula. Gula semut yang diperoleh dari kelapa pada kelompok 4, 5 dan 6 cenderung berwarna cokelat muda. Sedangkan pada gula aren warna yang diberikan yaitu cokelat pudar hingga cokelat muda. Pemasakkan yang dilakukan akan membakar protein yang berdampak kepada kegelapan warna. Jadi, semakin gelap gula, semakin banyak protein yang terbakar. Sedangkan, pada gula invert, dilakukan 3 pembedaan sampel bahan baku, yakni gula aren, gula kelapa, dan gula pasir. Gula invert aren dan kelapa berwarna cokelat tua, sedangkan gula pasir cenderung berwarna kuning bening sesuai dengan karakteristik gulanya yang telah mengalami pemucatan. Metode yang diberikan pada gula invert dengan penambahan asam tartarat dan HCl.Uji kekerasan menggunakan alat penetrometer dengan waktu uji selama 10 detik. Prinsip kerja alat ini adalah mengukur gaya yang diperlukan untuk menembus suatu bahan dalam waktu yang ditentukan, atau hingga jarum penetrometer tidak dapat lagi menembus bahan yang diuji. Uji kekerasan ini tidak dilakukan karena alat yang digunakan masih dalam keadaan yang tidak bisa dipakai.Menurut Supardi (1993) faktor kekerasan gula merah meliputi kadar air produk, perlakuan selama penyimpanan, penambahan minyak nabati, penundaan pengolahan nira, dan penambahan pati. Semakin rendah kadar air suatu produk, maka kekerasan yang dihasilkan akan semakin tinggi. Kadar air tersebut dipengaruhi oleh lama pemasakkan saat memproduksi gula merah. Perlakuan selama penyimpanan berpengaruh pula terhadap kekerasan gula metah. Kelunakan gula merah selama penyimpanan pada umumnya disebabkan oleh peningkatan kadar air produk, akibat pengikatan air yang berasal dari lingkungan oleh produk. Cara pengemasan yang salah seperti mengemas gula dalam kantung plastik dalam keadaan masih panas, dapat menyebabkan gula menjadi lunakatau basah pada bagian permukaan. Pelunakan terjadi akibat akumulasi atau pengembunan uap air yang berasal dari dalam gula itu sendiri karena tertahan oleh plastik, dan terserap ke permukaan gula.Minyak nabati yang ditambahkan kedalam adonan gula merah juga mempengaruhi kekerasan gula merah. Penambahan minyak yang terlalu banyak dapat menyebabkan gula yang dihasilkan menjadi lunak. Selain itu, penambahan pati dapat menurunkan kadar padatan terlarut di dalam gula dan secara organoleptik mengurangi kemanisannya. Penundaan pengolahan nira segar menyebabkan menurunnya kekerasan gula merah yang dihasilkan jika dibandingkan dengan kekerasan gula merah yang dibuat dari nira segar.Gula sebagian besar terbentuk dari oligosakarida berupa sukrosa. Kadar sukrosa yang terkandung dalam suatu bahan berbeda-beda untuk masing-masing bahan. Sukrosa merupakan salah satu jenis glukosa yang tersususn dari glukosa dan fruktosa. Sukrosa meiliki sifat yang sukar larut dalam air, jika berhasil dilarutkan maka lama-kelamaan sukrosa ini akan mengendap. Sukrosa dapat terlarut dalam air jika dihidrolisis menggunakan pans ataupun dengan asam membentuk glukosa dan fruktosa. Glukosa dan fruktosa merupakan jenis monosakarida yang lebih mudah larut dalam air dibanding sukrosa. Pada praktikum kali ini akan dilakukan praktikum untuk mengetahui bagian yang tidak terlarut. Pada mulanya 5 gram sampel gula, yaitu gula merah, gula semut, dan gula invert dilarutkan dalam 42 mL air panas. Dalam keadaan panas, larutan tadi disaring dengan kertas saring dan tidak dengan menggunakan pompa vakum. Pompa vakum ini seharusnya digunakan karena dapat mempercepat proses penyaringan, karena partikel gula tidak semuanya dapat melewati kertas saring dengan mudah. Kertas saring kemudian dioven pada suhu berikisar 105C selama 2 jam. Setelah ditimbang, ternyata bagian yang tidak terlarut pada gula merah lebih banyak daripada gula semut, dan gula semut lebih besar daripada gula invert. Selain itu, kandungan gula tidak terlarut pada gula merah tebu bagian bawah lebih banyak daripada bagian atas. Pada gula semut, kandungan gula tidak terlarut pada gula aren jauh lebih besar daripada gula kelapa. Pada gula invert, yang meninggalkan partikel tak larut yang terbanyak ada pada gula gula pasir dengan perlakuan asam tartarat.Banyaknya kandungan bahan yang tidak terlarut ini dipengaruhi oleh banyak sedikitnya kandungan sukrosa. Seperti yang dijelaskan diatas, sukrosa merupakan oligosakarida yang sukar larut dalam air. Maka dari itu, partikel yang tertinggal dalam kertas saring adalah partikel sukrosa. Pada gula merah tebu, memang tebu bagian bawah lebih banyak kandungan sukrosanya. Walaupun mengalami pemasakan, namun hanya sebagian kecil yang terhidrolisis dan yang lainnya masih berbentuk partikel oligosakarida. Pada gula semut yang berasal dari gula aren, kandungan pengotornya lebih banyak daripada gula kelapa, begitu juga kandungan sukrosanya. Namun pada praktikum, kandungan sukrosa pada gula kelapa lebih besar daripada gula aren, yaitu 1,4386. Ini, mungkin dikarenakan kadar sukrosa yang terkandung pada gula telah ada yang terkonversi menjadi glukosa dan fruktosa. Pada gula invert, gula yang diolah menggunakan asam klorida kadar sukrosanya lebih banyak daripada yang diolah dengan asam tartarat. Sebenarnya gula yang diolah dengan asam klorida mepunyai kadar sukrosa yang lebih sedikit. Hal ini mungkin dikarenakan adanya kesalahan dalam praktikum. Sedangkan gula yang memiliki kadar sukrosa paling tinggi adalah gula pasir.Gula pereduksi adalah gula yang memiliki gugus aldehid bebas pada struktur kimianya. Kadar gula pereduksi dapat diukur dengan metode DNS (3,5-Dinitrosalisilate) modifikasi (Aprijantono dkk, 1989). Selain menggunakan metode DNS, kadar gula pereduksi dapat diukur dengan menggunakan uji Luff Schroll.Pengujian sukrosa kali ini menggunakan metode Luff Schrool untuk mengukur kadar gula pereduksi, metode Luff Schoorl ini didasarkan pada reaksi sebagai berikut :R-CHO + 2 Cu2+ R-COOH + Cu2O2 Cu2+ + 4 I- Cu2I2 + I22 S2O32- + I2 S4O62- + 2 I-Monosakarida akan mereduksikan CuO dalam larutan Luff menjadi Cu2O. Kelebihan CuO akan direduksikan dengan KI berlebih, sehingga dilepaskan I2. I2 yang dibebaskan tersebut dititrasi dengan larutan Na2S2O3. Pada dasarnya prinsip metode analisa yang digunakan adalah Iodometri karena kita akan menganalisa I2 yang bebas untuk dijadikan dasar penetapan kadar. Dimana proses iodometri adalah proses titrasi terhadap iodium (I2) bebas dalam larutan. Apabila terdapat zat oksidator kuat (misal H2SO4) dalam larutannya yang bersifat netral atau sedikit asam penambahan ion iodida berlebih akan membuat zat oksidator tersebut tereduksi dan membebaskan I2 yang setara jumlahnya dengan dengan banyaknya oksidator. I2 bebas ini selanjutnya akan dititrasi dengan larutan standar Na2S2O3 sehinga I2 akan membentuk kompleks iod-amilum yang tidak larut dalam air. Oleh karena itu, jika dalam suatu titrasi membutuhkan indikator amilum, maka penambahan amilum sebelum titik ekivalen (Browne et al., 1941).Dalam praktikum ini digunakan dua bahan gula yaitu gula merah dan gula semut. Hasil pengamatan menunjukan bahwa sebagian besar kelompok praktikum menemukan kandungan gula pereduksi pada gula semut lebih besar dibandingkan gula pereduksi pada gula merah. Hal ini ditunjukkan dari banyaknya tiosulfat yang diperlukan untuk titrasi gula semut lebih besar dibandingkan gula merah. Semakin banyak tiosulfat yang diperlukan untuk titrasi maka semakin banyak I2 bebas. I2 bebas ini merupakan dasar penetapan banyaknya gula monosakarida (pereduksi) dalam bahan. Gula semut memiliki gula pereduksi yang lebih banyak dapat disebabkan oleh adanya proses invertasi yang lebih banyak. Proses invertasi dapat terjadi ketika pengirisan gula merah pada proses pembuatan gula semut. Pada proses pengirisan ini gula merah terkena kontak langsung dengan tangan yang kemungkinan besar mengandung asam, asam inilah yang menyebabkan proses invertasi sukrosa menjadi gula pereduksi. Semakin besar gula pereduksi maka tingkat kemanisannya akan semakin tinggi. Gula invert (mengandung gula pereduksi) memiliki tingkat kemanisan lebih tinggi dibandingkan sukrosa. Sukrosa mempunyai nilai standar kemanisan 100 sedangkan gula invert mempunyai nilai kemanisan 130 (Meyer, 1970). Dari literature ini dapat disimpulkan bahwa gula semut yang memiliki gula pereduksi lebih banyak memiliki kemanisan yang lebih tinggi dibandingkan gula merah cetak.DNS merupakan larutan yang mengandung 3,5 3,5-dinitrosalicylic acid, potassium sodium tartarate, dan NaOH. DNS berfungsi untuk menghentikan rekasi pada metode deteksi amilase dengan menggunakan metode turunya kandungan gula yang dilepaskan selama reaksi dan mengukur pati sebagai sumber karbon. Metode DNS ini menggunakan spektrofotometer untuk mengukur absorban dari suatu cairan. Prinsip kerja yang digunakan oleh alat spektrofotometer adalah dengan menggunakan gelombang dengan panjanng tertentu yang diatur guna menembus suatu lautan. Semakin kecil kerapatan yang dimiliki suatu larutan, maka semakin mudah suatu gelombang menembusnya, akhirnya berkorelasi dengan nilai absorban yang semakin kecil pula.Uji DNS dilakukan pada setiap sampel gula invert, diketahui dari data bahwa nilai absorbansi tertinggi dimiliki oleh gula invert yang dibuat dari gula kelapa dengan penambahan asam tartarat (1,303) dan yang terendah adalah gula invert yang dibuat dari gula pasir dengan penambahan asam tartarat (0,001). Rentang transmitat yang baik adalah diantara 0,2-0,8, ini mengindikasikan bahwa nilai absorban yang memenuhi kriteria adalah gula yang diproduksi dari gula pasir dengan penambahan HCl (0,7). Nilai absorban sebanding dengan kandungan gula pereduksi di dalam suatu larutan dengan asumsi tidak ada senyawa pengotor lain yang tidak diinginkan.Kurva standar dibuat dengan 5 sampel ditambah dengan 1 blanko. Nilai absorbansi ditentukan dengan konsentrasi yang berbeda-beda, yakni 0, 100, 150, 200, 250, dan 300 ppm. Diperoleh data berupa grafik seperti yang tercantunm di dalam lampiran. Secara umum, grafiknya semakin menanjak dengan persamaan fungsi dan r2= 0,91369 . Ini berarti nilai absorbansi dipengaruhi oleh penambahan ppm.Pada pengujian sukrosa dengan metode Luff Schrool, didahului dengan penambahan HCl. Penambahan ini dimaksudkan untuk menghidrolisis kandungan sukrosa yang ada supaya berubah menjadi monosakarida. Monosakarida yang dimaksud adalah glukosa dan fruktosa. Jika larutan Na2S2O3 yang digunakan banyak, maka mengindikasikan banyak kandungan glukosa dan fruktosa dalam larutan. Hal ini juga mengindikasikan gula tersebut mengandung banyak sukrosa yang telah terkonversi secara sempurna. Penggunaan asam pada awal praktikum memang dimaksudkan untuk menghidrolisis sukrosa yang ada pada bahan supaya berubah menjadi glukosa dan fruktosa. Pada praktikum kali ini digunakan dua sampel yaitu gula merah dan gula semut. Pada gula merah dari tebu yang diuji, kadar sukrosa pada tebu bagian atas dan bagian bawah cenderung tidak berbeda jauh. Namun, tebu bafian bawah lebih tinggi sedikait dari bagian bawah. Hal ini berarti sukrosa yang terkandung di dalamnya memang banyak ataupun sukroasa yang ada belum terkonversi menjadi glukosa dan fruktosa. Pada gula semut, kadar sukrosa tertinggi ada pada gula semut yang berasal dari gula aren, yaitu 25 % dan 84 %, sedangkan pada gula kelapa 6 %, 44 %, dan 70 %. Ini membuktikan memang gula aren memiliki lebih banyak kandungan sukrosa jika dibandingkan dengan gula dari nira kelapa. Di samping itu, gula dari nira aren juga mengandung protein yang lebih banyak, ini yang mempengaruhi warna dari gula aren yang lebih pekat. Kadar sukrosa sendiri merupakan faktor mutu yang menentukan, karena berpengaruh pada kadar air dan kandungan gula pereduksi yang selanjutnya mempengaruhi kekerasan gula merah (Nurhayati, 1992).III. PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Gula Merah tebu adalah gula yang dihasilkan dari pengolahan air/sari tebu (Saccharum offrcinarum) melalui pemasakan dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diperbolehkan, dan berwarna kecoklatan. Warna cokelat yang terbentuk pada gula secara umumnya dipengaruhi oleh protein yang terbakar pada saat proses pemasakan, jadi semakin gelap warna gula maka kandungan proteinnya semakin besar. Gula semut merupakan bentuk diversifikasi produk gula merah yang berbentuk serbuk. Pembuatan gula semut pada prinsipnya sama dengan pembuatan gula merah cetak, hanya karena sudah berbentuk kristal kecil, penggunaannya menjadi lebih praktis dibandingkan dengan gula cetak. Pembuatan gula semut membutuhkan nira dengan mutu yang lebih baik daripada pembuatan gula merah. Pada prinsipnya, proses pembuatan gula merah tebu sama dengan gula merah dari kelapa, aren, atau lontar. Pembuatan gula invert ini dibuat dari gula pasir, gula kelapa, dan gula aren. Proses inversi glukosa menjadi gula invert dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu suhu pemanasan, lama pemanasan dan konversi asam yang digunakan. Beberapa asam yang dapat digunakan untuk menginversi sukrosa adalah HCl, H2SO, H3PO4, asam tartarat, asam sitrat dan asam laktat. Penambahan sodium bikarbonat yang bersifat basa adalah untuk menetralkan sifat asam pada larutan, sehingga terbentuk garam. Warna cokelat yang terbentuk pada gula secara umumnya dipengaruhi oleh protein yang terbakar pada saat proses pemasakan, jadi semakin gelap warna gula maka kandungan proteinnya semakin besar. Faktor kekerasan gula merah meliputi kadar air produk, perlakuan selama penyimpanan, penambahan minyak nabati, penundaan pengolahan nira, dan penambahan pati. Bagian yang tidak terlarut pada gula merah lebih banyak daripada gula semut, dan gula semut lebih besar daripada gula invert. Gula pereduksi adalah gula yang memiliki gugus aldehid bebas pada struktur kimianya. Semakin besar gula pereduksi maka tingkat kemanisannya akan semakin tinggi. Gula invert (mengandung gula pereduksi) memiliki tingkat kemanisan lebih tinggi dibandingkan sukrosa. DNS merupakan larutan yang mengandung 3,5 3,5-dinitrosalicylic acid, potassium sodium tartarate, dan NaOH. DNS berfungsi untuk menghentikan rekasi pada metode deteksi amilase dengan menggunakan metode turunya kandungan gula yang dilepaskan selama reaksi dan mengukur pati sebagai sumber karbon. Rentang transmitat yang baik pada DNS adalah diantara 0,2-0,8, ini mengindikasikan bahwa nilai absorban yang memenuhi kriteria adalah gula yang diproduksi dari gula pasir dengan penambahan HCl (0,7). Pada pengujian sukrosa dengan metode Luff Schrool, didahului dengan penambahan HCl. Penambahan ini dimaksudkan untuk menghidrolisis kandungan sukrosa yang ada supaya berubah menjadi monosakarida.

4.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, Sri Endah. 1982. Modifikasi desain Brander Minyak Tanah dan DesainTungku Serta Penerapannya Untuk Pemasakan Gula Merah. Skripsi.FATETA IPB, Bogor. Aprijantono, A., D. Fardiaz, Ni Luh Puspitasari, Soedarnawati, S.Budiyanto. 1989. Analisis Pangan; Petunjuk Laboratorium. PT penerbit IPB, Bogor. Ashari, Sinuraya Yulia F., Khoiriyah Nur A., H Yuni. 2003. Industri Gula Merah, Alternatif Usaha Petani Tebu di Kediri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.Dyanti. 2002. Tentang Gula Merah/PalmSugar. http://www.asiamaya.com/nutrients /gulajawa.htm [2 Maret 2011].Goutara dan S. Wijandi. 1980. Dasar-Dasar Pengolahan Gula. Departemen Teknologi Hasil Pertanian, Bogor.Hall, M.N.A. 1973. The Small Scale Manufacture of High and Low Boiled Sweet and Toffees. Tropical Product Institute, London.Hamzah, N dan Hasbullah. 1997. Evaluasi Mutu Gula Semut yang Dibuat Dengan Menggunakan Beberapa Bahan Pengawet Alami. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan tanggal 15-17 Juli 1997 di Denpasar. Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan.Junk, W.R. dan H. Pancoast. 1980. Handbook of Sugar. The AVI Publishing Co., Inc. Westport, Connecticut.Maynard, A. J. 1990. Methods in Food Analysis. Academic Press, New York.Meyer, L.H. 1970. Food Chemistry. New York, Reinhold Publisher Corp.Nurhayati, Daniah. 1992. Mempelajari Pengaruh Penambahan Pengawet Terhadap Daya Simpan Nira Kelapa Serta Mutu Gula Semut, Gula Merah, Sirup, dan Gula Pasir Yang Dihasilkan. Skripsi. FATETA IPB, Bogor.Palungkun, R. 1993. Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya, Jakarta. Safari, Ahmad. 1995. Teknik Membuat Gula Aren. Karya Anda, Surabaya.Supardi Dudi. 1993. Mempelajari Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelunakan Gula Merah dari Nira Kelapa Kasus di Daerah Cianjur. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. SNI 01-6237-2000. 2000. Gula merah tebu. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.