Upload
arief270490
View
305
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
PATOFISIOLOGI ASFIKSIA
I. PENDAHULUAN
Asfiksia adalah kumpulan dari berbagai keadaan dimana terjadi gangguan dalam
pertukaran udara pernapasan yang normal. Gangguan tersebut dapat disebabkan karena
adanya obstruksi pada saluran pernapasan dan gangguan yang diakibatkan karena terhentinya
sirkulasi. Kedua gangguan tersebut akan menimbulkan suatu keadaan dimana oksigen dalam
darah berkurang (hipoksia) yang disertai dengan peningkatan kadar karbondioksida
(hiperkapnea). 1,2
Asfiksia dalam bahasa Indonesia disebut dengan “mati lemas”. Sebenarnya pemakaian
kata asfiksia tidaklah tepat, sebab kata asfiksia ini berasal dari bahasa Yunani, menyebutkan
bahwa asfiksia berarti “absence of pulse” ( tidak berdenyut), sedangkan pada kematian
karena asfiksia, nadi sebenarnya masih dapat berdenyut untuk beberapa menit setelah
pernapasan berhenti. Istilah yang tepat secara terminologi kedokteran ialah anoksia atau
hipoksia. 3,4
Pemeriksaan Post-mortem pada asfiksia:4,5,6
1. Pemeriksaan Luar
a. Lebam mayat jelas terlihat (livide) karena kadar karbondioksida yang tinggi dalam darah
b. Sianosis
Sianosis adalah warna kebiruan dari kulit dan membran mukosa yang merupakan akibat
dari konsentrasi yang berlebihan dari deoksihemoglobin atau hemoglobin tereduksi pada
pembuluh darah kecil. Sianosis terjadi jika kadar deoksihemoglobin sekitar 5 g/dL. Dapat
dengan mudah terlihat pada daerah ujung jari dan bibir.
c. Pada mulut bisa ditemukan busa
d. Karena otot sfingter mengalami relaksasi, mungkin bisa terdapat feses, urin atau cairan
sperma
e. ‘Bercak Tardieu’ yaitu bercak peteki di bawah kulit atau konjungtiva
2. Pemeriksaan Dalam
a. Mukosa saluran pernapasan bisa tampak membengkak
b. Sirkulasi pada bagian kanan tampak penuh sedangkan bagian kiri kosong
c. Paru-paru mengalami edema
d. Bercak-bercak perdarahan peteki tampak di bawah membran mukosa pada beberapa organ
e. Hiperemi lambung, hati dan ginjal
f. Darah menjadi lebih encer
II. EPIDEMIOLOGI
Korban kematian akibat asfiksia termasuk yang sering diperiksa oleh dokter. Umumnya
urutan ke-3 sesudah kecelakaan lalu - lintas dan trauma mekanik. 2
III. ETIOLOGI 2,3
1. Alamiah
Misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernafasan seperti laringitis difteri, atau
menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru.
2. Mekanik
Kejadian ini sering dijumpai pada keadaan hanging, drowning, strangulation dan
sufocation. Obstruksi mekanik pada saluran pernapasan oleh:
- Tekanan dari luar tubuh misalnya pencekikan atau penjeratan
- Benda asing
- Tekanan dari bagian dalam tubuh pada saluran pernapasan, misalnya karena tumor paru yang
menekan saluran bronkus utama
- Edema pada glotis
Asfiksia mekanik juga bisa karena trauma yang mengakibatkan emboli udara vena,
emboli lemak, pneumotoraks bilateral, sumbatan pada saluran nafas dan sebagainya.
Kerusakan akibat asfiksia (asphyxial injuries) dapat disebabkan oleh kegagalan sel-sel
untuk menerima atau menggunakan oksigen. Kehilangan oksigen dapat terjadi parsial
(hipoksia) atau total (anoksia). Asphyxial injuries dapat dibagi menjadi empat kategori
umum, yaitu: 2,7
1. Suffocation (kekurangan napas).
Kekurangan napas atau kegagalan oksigen untuk mencapai darah dapat terjadi akibat
kurangnya kadar oksigen di lingkungan sekitar atau terhalangnya saluran napas eksternal.
Contoh klasik dari tipe asfiksia ini adalah anak kecil yang terjebak di lemari es dan pada
kasus pembunuhan yang dilakukan dengan menutup kepala korban dengan plastik.
Pengurangan kadar oksigen sampai pada level 16% adalah keadaan yang cukup
membahayakan.
Suffocation juga terjadi pada choking. Diagnosis dan penatalaksanaan dalam choking
asphyxiation (obstruksi pada saluran napas internal) tergantung pada lokasi dan pengeluaran
benda yang menyebabkan obstruksi. Suffocation dapat juga terjadi karena kompresi pada
daerah dada atau abdomen yang dapat menghalangi pergerakan respirasi normal.
2. Strangulation (pencekikan)
Pencekikan menyebabkan penekanan dan penutupan pembuluh darah dan jalan napas
oleh karena tekanan eksternal (luar) pada leher. Hal ini menyebabkan hipoksia atau anoksia
otak sekunder menyebabkan perubahan atau terhentinya aliran darah dari dan ke otak.
Dengan hambatan komplit pada arteri karotis, kehilangan kesadaran dapat terjadi dalam 10-
15 detik.
3. Hanging ( penggantungan )
Kematian disebabkan oleh asfiksia akibat tersumbatnya saluran nafas, kongesti vena
sampai menyebabkan perdarahan di otak, iskemis serebral karena sumbatan pada arteri
karotis dan vertebralis, syok vagal karena tekanan pada sinus karotis yang mengakibatkan
jantung berhenti berdenyut, dan fraktur atau dislokasi tulang vertebra cervicalis 2 dan 3 yang
menekan medulla oblongata dan mengakibatkan terhentinya pernafasan.
4. Drowning (tenggelam)
Suatu keadaan dimana terjadi asfiksia yang menyebabkan kematian akibat udara atmosfer
tidak dapat masuk ke dalam saluran pernapasan, karena sebagian atau seluruh tubuh berada
dalam air sehingga udara tidak mungkin bisa memasuki saluran pernapasan.
3. Keracunan
Paralisis sistem respirasi karena adanya penekanan pada otak. Bahan yang menimbulkan
depresi pusat pernafasan misalnya barbiturat, narkotika.
IV. ANATOMI SISTEM PERNAPASAN 8
Struktur sistem pernapasan dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Upper respiratory tract yang meliputi hidung dan rongga mulut, faring, laring, dan trakea.
Upper respiratory tract memiliki area permukaan yang luas, kaya akan suplai darah, dan
epitel yang menyusunnya adalah epitel respirasi yang dilapisi oleh mukus. Di dalam hidung
terdapat rambut yang berfungsi sebagai penyaring. Fungsi dari upper respiratory tract adalah
menghangatkan, melembabkan, dan menyaring udara sehingga udara tersebut sesuai dengan
kondisi di bagian distal dari lower respiratory tract.
b. Lower respiratory tract yang terdiri atas bagian bawah trakea, dua bronkus primer dan paru-paru.
Struktur ini terletak di rongga toraks.
Gambar 1. Traktus Respiratorius (dikutip dari kepustakaan 8) Paru-paru adalah organ pertukaran udara dan bertindak sebagai tempat aliran udara dan
tempat pertukaran dari oksigen masuk ke dalam darah dan karbon dioksida keluar dari dalam darah,
dalam hal ini darah berada di kapiler alveolus dan pertukaran tersebut melewati membran kapiler
alveolus. Paru-paru terdiri atas saluran udara, pembuluh darah, saraf dan limfe yang disokong oleh
jaringan parenkim. Di dalam paru-paru, bronkus primer dibagi menjadi lebih kecil dan kecil lagi
sampai mencapai the end respiratory unit (acinus).
Gambar 2. Acinus. (Dikutip dari kepustakaan 8)
Paru-paru,dinding dada, dan mediastinum ditutupi oleh dua lapisan epitelium yang
disebut sebagai pleura. Lapisan peura terdalam yang meutup parenkim paru-paru disebut
pleura viseral dan lapisan pleura terluar yang lebih dekat dengan dinding dada disebut pleura
parietalis. Diantara pleura tersebut terdapat cairan yang berfungsi sebagai lubricant dan
memudahkan pengembangan paru-paru saat bernapas.
V. FISIOLOGI PERNAPASAN 8,9
Sistem respirasi memainkan peranan penting yang esensial dalam mencegah hipoksia
jaringan dengan mengoptimalkan kadar oksigen di dalam darah pada arteri melalui
pertukaran gas yang efisien.
Sistem pernapasan melaksanakan pertukaran udara antar atmosfer dan paru melalui
proses ventilasi. Pertukaran O2 dan CO2 dalam paru dan darah dalam kapiler paru
berlangsung melalui dinding kantung udara atau alveolus yang sangat tipis. Saluran
pernapasan menghantarkan udara dari atmosfer ke bagian paru tempat pertukaran gas
berlangsung. Paru terletak dalam kompartemen toraks yang tertutup, yang volumenya dapat
diubah-ubah oleh aktivitas kontraksi otot-otot pernapasan.
Tiga tahap yang terlibat pada proses pertukaran gas adalah:
o Ventilasi.
Ventilasi atau bernapas adalah proses pergerakan udara masuk-keluar paru secara berkala
sehingga udara alveolus yang lama dan telah ikut serta dalam pertukaran O2 dan CO2 dengan
darah kapiler paru diganti oleh udara atmosfer segar. Tahap ini ditentukan oleh dua hal, yaitu:
1. Respiratory rate (jumlah pernapasan per menit yang nilai normalnya 12-20).
2. Tidal volume.
Mekanisme ventilasi:
Pergerakan udara masuk dan keluar dari paru-paru terjadi karena perbedaan tekanan yang
disebabkan oleh perubahan dalam volume paru-paru. Udara mengalir dari tekanan yang
tinggi ke tekanan yang rendah. Kita tidak dapat merubah tekanan atmosfer sekitar kita
menjadi lebih tinggi dibanding tekanan dalam paru-paru, alternatif yang mungkin adalah
menurunkan tekanan dalam paru-paru dengan memperluas rongga thoraks.
Otot inspirasi utama adalah diafragma, berbentuk kubah, saat berkontraksi kubahnya mendatar,
meningkatkan tekanan intrathoraks. Hal ini membantu otot interkostal eksterna, yang meningkatkan
rangka kosta.
Gambar 3. Tahap-tahap dalam pernapasan (Dikutip dari kepustakaan 8) Ventilasi secara mekanis dilaksanakan dengan mengubah secara berselang-seling arah
gradien tekanan untuk aliran udara antara atmosfer dan alveolus melalui ekspansi dan
penciutan berkala paru. Kontraksi dan relaksasi otot-otot inspirasi (terutama diafragma) yang
berganti-ganti secara tidak langsung menimbulkan inflasi dan deflasi periodik paru dengan
secara berkala mengembang-kempiskan rongga toraks dengan paru secara pasif mengikuti
gerakannya.
Karena kontraksi otot inspirasi memerlukan energi, inspirasi adalah proses aktif, tetapi
ekspirasi adalah proses pasif pada bernapas tenang karena ekspirasi terjadi melalui penciutan
elastik paru sewaktu otot-otot inspirasi melemas tanpa memerlukan energi. Untuk ekspirasi
aktif yang lebih kuat, kontraksi otot-otot ekspirasi (terutama otot abdomen) semakin
memperkecil ukuran rongga toraks dan paru yang semakin meningkatkan gradien tekanan
intra-alveolus terhadap atmosfer. Semakin besar gradien antara alveolus dan atmosfer,
semakin besar laju aliran udara, karena udara terus mengalir sampai tekanan intra-alveolus
seimbang dengan tekanan atmosfer.
Selain secara langsung proporsional dengan gradien tekanan, laju aliran udara juga
berbanding terbalik dengan resistensi saluran pernapasan. Karena resistensi saluran
pernapasan, yang bergantung pada kaliber saluran pernapasan, dalam keadaan normal sangat
rendah, laju aliran udara biasanya bergantung pada gradien gradien tekanan yang tercipta
antara alveolus dan atmosfer. Apabila resistensi saluran pernapasan meningkat secara
patologis akibat penyakit paru obstruktif menahun, gradien tekanan harus juga meningkat
melalui peningkatan aktivitas otot pernapasan agar laju aliran udara konstan.
o Perfusi
Dinding alveoli mengandung cabang kapiler yang padat yang membawa darah vena dari
jantung kanan. Barriernya yang sangat tipis memisahkan darah pada kapiler dan udara di
alveoli. Perfusi darah melewati kapiler ini menyebabkan terajdinya difusi dan pertukaran gas.
Untuk memperoleh pertukaran gas yang efisien , aliran gas (ventialsi:V) dan aliran darah
(perfusi:Q) harus seimbang. Rasio V:Q yang normal sekitar 1:1. Berikut adalah contoh kasus
mengenai ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi:
1. Ventilasi alveolus normal tetapi tidak ada perfusi (oleh karena adanya bekuan darah yang
menyumbat aliran darah). Hal ini disebut dead space ventilation
2. Perfusi normal tetapi tidak ada udara yang mencapai paru-paru (oleh karena adanya
kumpulan mucus yang menyumbat jalan napas).
Ketidakseimbangan ventilasi:perfusi adalah penyebab umum dari hipoksemia dan
mendasari banyak penyakit sistem respirasi.
o Difusi
Pada pertukaran gas, difusi terjadi melewati kapiler alveolar membrane. Difusi molekul
O2 dan CO2 terjadi sepanjang gradient tekanan parsial.
Udara pada atmosfer dihirup dan dilembabkan mengandung 21 % oksigen. Hal ini berarti:
- 21 % dari total molekul di udara adalah oksigen
- Oksigen bertanggung jawab untuk 21 % dari total tekanan udara; ini yang disebut tekanan
parsial, diukur dalam mmHg atau kPa daan disingkat PO2
Oksigen dan CO2 bergerak melintasi membran tubuh melalui proses difusi pasif
mengikuti gradien tekanan parsial. Difusi netto O2 mula-mula terjadi antara alveolus dan
darah, kemudian antara darah dan jaringan akibat gradien tekanan parsial O2 yang tercipta
oleh pemakian terus menerus O2 oleh sel dan pemasukan teru-menerus O2 segar melalui
ventilasi. Difusi netto CO2 terjadi dalam arah yang berlawanan, pertama-tama antara jaringan
dan darah, kemudian antara darah dan alveolus, akibata gradien tekanan parsial CO2 yang
tercipta oleh produksi terus-menerus CO2 oleh sel dan pengeluaran terus-menerus CO2
alveolus oleh proses ventilasi.
Gambar 4. Perfusi. (Dikutip dari kepustakaan 8) Transportasi gas
Karena O2 dan CO2 tidak terlalu larut dalam darah, keduanya terutama harus diangkut
dalam mekanisme selain hanya larut secara fisik. Hanya 1,5% O2 yang larut secara fisik
dalam darah, dengan 98,5% secara kimiawi berikatan dengan hemoglobin (Hb). Faktor utama
yang menentukan seberapa banyak O2 yang berikatan dengan Hb adalah PO2 darah. Karbon
dioksida yang diserap di kapiler sistemik diangkut dalam darah dengan tiga cara :
1. 10% larut secara fisik.
2. 30% terikat ke Hb.
3. 60% dalam bentuk bikarbonat (HCO3)
VI. PATOFISIOLOGI
Kondisi-kondisi yang berkaitan dengan asfiksia adalah sebagai berikut: 10
a. Gangguan pertukaran udara pernapasan.
b. Penurunan kadar oksigen (O2) dalam darah (hipoksia).
c. Peningkatan kadar karbondioksida (CO2) dalam darah (hiperkapnea).
d. Penurunan suplai oksigen (O2) ke jaringan tubuh.
Kerusakan akibat asfiksia disebabkan oleh gagalnya sel menerima atau menggunakan
oksigen. Kegagalan ini diawali dengan hipoksemia. Hipoksemia adalah penurunan kadar
oksigen dalam darah. Manifestasi kliniknya terbagi dua yaitu hipoksia jaringan dan
mekanisme kompensasi tubuh. Tingkat kecepatan rusaknya jaringan tubuh bervariasi. Yang
paling membutuhkan oksigen adalah sistem saraf pusat dan jantung. Terhentinya aliran darah
ke korteks serebri akan menyebabkan kehilangan kesadaran dalam 10-20 detik. Jika PO2
jaringan dibawah level kritis, metabolisme aerob berhenti dan metabolisme anaerob
berlangsung dengan pembentukan asam laktat.6,7
Tanda dan gejala hipoksemia dibagi menjadi 2 kategori yaitu akibat ketidakseimbangan
fungsi pusat vital dan dan akibat aktivasi mekanisme kompensasi. Hipoksemia ringan
menyebabkan sedikit manifestasi yaitu gangguan ringan dari status mental dan ketajaman
penglihatan, kadang-kadang hiperventilasi. Hal ini karena saturasi Hb masih sekitar 90%
ketika PO2 hanya 60 mmHg.6
Hipoksemia yang lebih berat bisa menyebabkan perubahan kepribadian, agitasi,
inkoordinasi otot, euphoria, delirium, bisa sampai stupor dan koma.
Pengerahan mekanisme kompensasi simpatis menyebabkan takikardi, kulit menjadi dingin
(oleh karena vasokonstriksi perifer), diaphoresis dan peningkatan ringan dari tekanan darah.6
Hipoksemia akut yang sangat berat bisa menyebabkan konvulsi, perdarahan retina dan
kerusakan otak permanent. Hipotensi dan bradikardi biasanya merupakan stadium
preterminal pada orang dengan hipoksemia, mengindikasikan kegagalan mekanisme
kompensasi.6
Kehilangan oksigen bisa bersifat parsial (hipoksia) atau total (anoksia). 7
Hipoksia dapat diberi batasan sebagai suatu keadaan dimana sel gagal untuk dapat
melangsungkan metabolisme secara efisien. Dahulu untuk keadaan ini disebut anoksia yang
setelah dipelajari ternyata pemakaian istilah anoksia itu sendiri tidak tepat. Dalam kenyataan
seahri-hari merupakan gabungan dari 4 kelompok. Kelompok tersebut adalah: 1,4
1. Hipoksik-hipoksia (dahulu anoksik-anoksia)
Keadaan dimana oksigen tidak dapat masuk aliran darah atau tidak cukup bisa mencapai
aliran darah , misalnya pada orang-orang yang menghisap gas inert, berada dalam tambang
atau pada tempat yang tinggi dimana kadar oksigen berkurang.
2. Stagnan-hipoksia (dahulu stagnant circulatory anoxia)
Terjadi karena gangguan sirkulasi darah (embolism)
3. Anemik-hipoksia (dahulu anemic anoxia)
Darah tidak mampu mengangkut oksigen yang cukup. Bisa karena volume darah yang kurang
4. Histotoksik-hipoksia (dahulu histotoxic tissue anoxia)
Pada keadaan ini sel-sel tidak dapat mempergunakan oksigen dengan baik, hal ini dapat
disebabkan oleh faktor-faktor berikut:
a. Extra celluler: system enzim oksigen terganggu. Misalnya pada keracunan HCN, barbiturate
dan obat-obat hypnotic.
Pada keracunan HCN, cytochrome enzim hancur sehingga sel-sel mati. Sedangkan
barbiturate dan hypnotic hanya sebagian system cytochrome enzim yang terganggu, maka
jarang menimbulkan kematian sel kecuali pada overdosis.
b. Intra celluler: terjadi karena penurunan permeabilitas sel membrane, seperti yang terjadi pada
pemberian obat-obat anesthesia yang larut dalam lemak (chloroform, ether, dll)
c. Metabolit: sisa-sisa metabolisme tidak bisa dibuang, misalnya pada uremia dan keracunan
CO2
d. Substrat: bahan-bahan yang diperlukan untuk metabolisme kurang. Misalnya pada
hipoglikemia.
Terdapat empat fase dalam asfiksia, yaitu: 10
1. Fase Dispneu.
Pada fase ini terjadi penurunan kadar oksigen dalam sel darah merah dan penimbunan
CO2 dalam plasma akan merangsang pusat pernapasan di medulla oblongata. Hal ini membuat
amplitude dan frekuensi pernapasan meningkat, nadi cepat, tekanan darah meninggi, dan
mulai tampak tanda-tanda sianosis terutama muka dan tangan.
2. Fase Konvulsi.
Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan terhadap susunan saraf pusat
sehingga terjadi konvulsi (kejang), yang mula-mula kejang berupa kejang klonik tetapi
kemudian menjadi kejang tonik dan akhirnya timbul spasme opistotonik. Pupil mengalami
dilatasi, denyut jantung menurun, tekanan darah juga menurun. Efek ini berkaitan dengan
paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak akobat kekurangan O2.
3. Fase Apneu.
Pada fase ini, terjadi depresi pusat pernapasan yang lebih hebat. Pernapasan melemah dan
dapat berhenti, kesadaran menurun,dan akibat dari relaksasi sfingter dapat terjadi pengeluaran
cairan sperma, urine, dan tinja.
4. Fase Akhir.
Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan berhenti setelah kontraksi
otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut beberapa saat setelah
pernapasan berhenti. Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat
bervariasi. Umumnya berkisar antara 4-5 menit.
Fase 1 dan 2 berlangsung ±3-4 menit. Hal ini tergantung dari tingkat penghalangan O2.
Bila penghalangan O2 tidak 100 %, maka waktu kematian akan lebih lama dan tanda-tanda
asfiksia akan lebih jelas dan lengkap.
Stadium asfiksia adalah: 10
1. Stadium pertama.
Gejala yang terjadi pada stadium ini adalah pernapasan dirasakan berat. Kadar CO2 yang
meningkat menyebabkan pernapasan menjadi cepat dan dalam (frekuensi pernapasan
meningkat), nadi menjadi cepat, tekanan darah meningkat, muka dan tangan menjadi agak
biru.
2. Stadium kedua.
Gejala yang terjadi adalah pernapasan menjadi sukar, terjadi kongesti di vena dan kapiler
sehingga terjadi perdarahan berbintik-bintik (petechie), kesadaran menurun, dan timbul
kejang.
3. Stadium ketiga.
Gerakan tubuh terhenti, pernapasan menjadi lemah dan lama kelamaan berhenti, pingsan,
muntah, pengeluaran kencing dan tinja, dan meninggal dunia. Korban laki-laki dapat
mengeluarkan mani dan korban wanita mengeluarkan darah dari vagina.
Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam dua golongan : 2,4,11
1. Primer ( akibat langsung dari asfiksia )
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe dari asfiksia.
Sel - sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan O2. Apa yang terjadi pada sel yang
kekurangan O2 belum dapat diketahui, tapi yang dapat diketahui adanya perubahan elektrolit
dimana kalium meninggalkan sel dan diganti natrium mengakibatkan terjadinya retensi air
dan gangguan metabolisme. Di sini sel - sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan
glial. Akson yang rusak akan mengalami pertumbuhan (sprouting) pada kedua ujung yang
terputus oleh jaringan parut tersebut. Akan tetapi hal ini tidak mengakibatkan tersambungnya
kembali akson yang terputus, karena terhalang oleh jaringan parut yang terdiri dari sel glia.
Bila orang yang mengalami kekurangan anoksia dapat hidup beberapa hari sebelum
meninggal perubahan tersebut sangat khas pada sel - sel serebrum, serebelum dan ganglia
basalis. Akan tetapi bila orangnya meninggal cepat, maka perubahannya tidak spesifik dan
dapat dikaburkan dengan gambaran postmortem autolisis. Pada organ tubuh yang lain yakni
jantung, paru - paru, hati, ginjal dan yang lainnya perubahan akibat kekurangan O2 langsung
atau primer tidak jelas.
Gambar 5. Lingkaran setan pada asfiksia (Dikutip dari kepustakaan 3)2. Sekunder ( berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh ) Jantung
berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah dengan mempertinggi
outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi. Karena oksigen dalam darah
berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung maka terjadi gagal jantung dan kematian
berlangsung dengan cepat. Keadaan ini didapati pada :
a. Penutupan mulut dan hidung ( pembekapan )
b. Obstruksi jalan nafas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan korpus alienum
dalam saluran nafas atau pada tenggelam karena cairan menghalangi udara masuk ke paru –
paru
c. Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan ( traumatic asphyxia )
d.Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat pernafasan, misalnya pada
keracunan.
Gambar 6. Patologi Asfiksia (Dikutip dari kepustakaan 3) VII. PENUTUP
Pada asfiksia terjadi kekurangan oksigen yang bisa diakibatkan oleh karena adanya
gangguan akibat obstruksi saluran penapasan maupun akibat terhentinya sirkulasi. Terjadi
kegagalan oksigen untuk mencapai sel-sel tubuh sehingga terjadi kekurangan O2 dan
kelebihan CO2 . Asfiksia bisa terjadi karena penyebab yang wajar atau tidak wajar. Penyebab
tidak wajar misalnya pada patah tulang panjang sehingga bisa terjadi emboli lemak dan
tersangkut di paru, udara yang terhalang paksa karena starngulasi, suffokasi, asfiksia
traumatik ataupun drowning. Penyebabnya bisa ditentukan dengan melihat hasil pemeriksaan
postmortem. 1,4
DAFTAR PUSTAKA
1. Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Binarupa Aksara. 1997.p:
170
2. Leonardo. Asfiksia Forensik. Bagian Ilmu Forensik RSU Dr. Pirngadi Medan. [cited
July 2008][online April 2008]. Available at: www.kabarindonesia.com
3. Knight B. Asphyxia and pressure on the neck and chest. In: Simpson’s forensic
medicine, eleventh ed. London, Oxford University Press,Inc. 2001. p:87-90
4. Apuranto H, Asphyxia. In: Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal.
Surabaya: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga.2007.p:71-99
5. Chadha PV. Catatan Kuliah Ilmu Forensik dan Toksikologi. Jakarta: Widya Medika.
1995.p: 47-8
6. Porth CM. Alterations in Respiratory Function: Disorders of Gas Exchange. In: :
Essential of Pathophysiology, Concepts of Altered Health States. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins. 2004.p:397
7. Grey TC, McCance KL. Altered Cellular and Tissue Biology. In: Pathophysiology:
The Biologic Basis for Disease in Adults and Children. Fifth Edition. Philadelphia:
Mosby, Inc.2006.p:67
8. Myers A, McGowan P. Overview of The Respiratory System. In: Crash Course
Respiratory System. Philadelphia: Elsevier Mosby.2006.p:3-8
9. Sherwood, L. Sistem Pernapasan. In: Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2001.p.457
10. Lawrence GS, Asphyxia. Makassar, 2005, slide 1-38. Forensic Medicine &
Medicolegal Faculty of Medicine, Hasanuddin University.
11. Islam MS. Terapi Sel Stem pada Cedera Medula Spinalis. In: Cermin Dunia
Kedokteran No. 153. 2006. p.17