PBL 1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

PBL 1 CHEM 3 Difteri

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

DIFTERI MUNCUL LAGIInformasi 1Dokter Morgan adalah seorang lulusan dokter baru yang ditempatkan di sebuah Puskesmas terpencil di Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Selama 2 bulan bertugas di Puskesmas, dr. Morgan mendapati munculnya kejadian penyakit difteri pada 2 bulan terakhir. Angka kejadian penyakit difteri pada bulan November 2012 tercatat 10 kasus baru. Jumlah keseluruhan kasus difteri periode bulan Januari Oktober 2012 tercatat hanya 10 kasus (rata-rata 1 kasus perbulan). Angka kejadian penyakit difteri kembali meningkat pada bulan Desember 2012 sehingga tercatat dalam periode bulan Januari Desember 2012 total terdapat 40 kasus penyakit difteri. Jumlah balita tercatat di wilayah kerja puskesmas adalah 1000 anak balita. Dokter Morgan melaporkan kejadian ini kepada dinas kesehatan kabupaten (DKK). DKK meminta kepada dr.Morgan untuk membuat laporan angka kejadian penyakit, dan status kejadian penyakit tersebut. Selain itu dr. Morgan diminta untuk menyelidiki kemungkinan penyebab peningkatan angka kejadian penyakit difteri tersebut. Dokter Morgan merasa bingung karena baru pertama kali harus melakukan tugas tersebut.

Tujuan PembelajaranDari informasi diatas diharapkan mahasiswa mampu melakukan diskusi untuk:1. Memahami dan mengaplikasikan konsep pengukuran kejadian penyakit (measuring disease frequency).2. Memahami dan mengaplikasikan konsep pengukuran tingkat/status kejadian penyakit (level of disease occurrence).3. Menganalisis dan mengaplikasikan konsep desain studi epidemiologi observasional.

Informasi 2Berdasarkan literatur yang dibaca, dr. Morgan mendapatkan informasi bahwa faktor risiko yang berhubungan dengan penderita difteri adalah status imunisasi dan status gizi. Untuk mengetahui hubungan faktor risiko tersebut dr. Morgan mengambil sampel 40 balita penderita difteri dan 40 balita sehat sebagai pembanding. Didapatkan data dari 40 balita yang menderita difteri, 32 diantaranya status imunisasi tidak lengkap dan 8 balita lengkap, sedangkan pada kelompok pembanding hanya 12 balita yang status imunisasi tidak lengkap dan 28 balita lengkap. Untuk data status gizi didapatkan pada penderita difteri 24 balita berstatus gizi kurang, dan 16 balita berstatus gizi baik. Sedangkan pada kelompok pembanding didapatkan 8 balita berstatus gizi kurang dan 32 balita berstatus gizi baik. Dokter Morgan harus mengintepretasikan dan melaporkan temuan ini kepada DKK.

Tujuan Pembelajaran1. Memahami dan mengaplikasikan konsep pengukuran hubungan antara faktor risiko dengan outcome (measuring of association) pada studi epidemiologi.2. Memahami konsep penyebab penyakit (disease causation) pada epidemiologi

Informasi 3DKK meminta dr. Morgan mengevaluasi pelaksanaan program imunisasi dasar yang dilakukan di Puskesmas tersebut. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa cakupan imunisasi difteri mencapai 55%. Selain itu didapatkan bahwa sejak 3 bulan terakhir petugas yang menangani penyimpanan vaksin telah pensiun dan selama ini tugasnya dirangkap oleh petugas imunisasi. Dokter Morgan mendapatkan catatan penyimpanan vaksin tidak terdokumentasi dengan baik sejak 3 bulan terakhir. Dokter Morgan diperintahkan oleh DKK untuk memecahkan masalah tersebut.

Tujuan Pembelajaran1. Memahami dan menjelaskan jenis program imunisasi nasional2. Memahami dan menjelaskan pengelolaan program imunisasi di tingkat Puskesmas3. Memahami dan menjelaskan monitoring dan evaluasi program imunisasi di tingkat Puskesmas

BAB IIPEMBAHASAN

A. Klarifikasi IstilahNo.IstilahDefinisiSumber

1.DifteriPenyakit infeksi akut pada saluran pernafasan bagian atas. Penyakit ini dominan menyerang anak anak, biasanya bagian tubuh yang diserang adalah tonsil, faring hingga laring yang merupakan saluran pernafasan bagian atas.IPD, 2009

B. Batasan MasalahMunculnya kejadian penyakit difteri pada 2 bulan terakhir. Angka kejadian penyakit difteri pada bulan November 2012 tercatat 10 kasus baru. Jumlah keseluruhan kasus difteri periode bulan Januari Oktober 2012 tercatat hanya 10 kasus (rata-rata 1 kasus perbulan). Angka kejadian penyakit difteri kembali meningkat pada bulan Desember 2012 sehingga tercatat dalam periode bulan Januari Desember 2012 total terdapat 40 kasus penyakit difteri. Jumlah balita tercatat di wilayah kerja puskesmas adalah 1000 anak balita.Faktor risiko yang berhubungan dengan penderita difteri adalah status imunisasi dan status gizi. Untuk mengetahui hubungan faktor risiko tersebut dr. Morgan mengambil sampel 40 balita penderita difteri dan 40 balita sehat sebagai pembanding. Didapatkan data dari 40 balita yang menderita difteri, 32 diantaranya status imunisasi tidak lengkap dan 8 balita lengkap, sedangkan pada kelompok pembanding hanya 12 balita yang status imunisasi tidak lengkap dan 28 balita lengkap. Untuk data status gizi didapatkan pada penderita difteri 24 balita berstatus gizi kurang, dan 16 balita berstatus gizi baik. Sedangkan pada kelompok pembanding didapatkan 8 balita berstatus gizi kurang dan 32 balita berstatus gizi baik.Hasil evaluasi menunjukkan bahwa cakupan imunisasi difteri mencapai 55%. Selain itu didapatkan bahwa sejak 3 bulan terakhir petugas yang menangani penyimpanan vaksin telah pensiun dan selama ini tugasnya dirangkap oleh petugas imunisasi. Catatan penyimpanan vaksin tidak terdokumentasi dengan baik sejak 3 bulan terakhir.

C. Analisa Masalah1. Konsep dan aplikasi pengukuran kejadian penyakit (measuring disease frequency).a. RasioRasio adalah hasil dari perbandingan dua nilai kuantitatif yang pembilangnya bukan bagian dari penyebut. Contohnya pada kejadian luar biasa keracunan makanan terdapat 32 orang yaitu anak-anak dan 12 penderita lainnya adalah dewasa. Maka rasio kedua nilai tersebut adalah 32 : 12 (Budiarto, 2003).b. Proporsi Proporsi adalah perbandingan dua nilai kuantitatif yang pembilanhnya termasuk dalam bagian dari penyebut (Budiarto, 2003).

Contoh kasus pada kejadian luar biasa yang diperoleh 32 pasien adalah anak-anak dan 12 orang dewasa. Maka, proporsinya yaitu . Proporsi ini dikalikan 100 disebut persen (%), sehingga persentase adalah 28,5% (Budiarto, 2003).c. InsidensiInsidensi adalah jumlah kasus baru penyakit tertentu pada periode dan wilayah tertentu (Noor, 2006).

Contoh dari insidensi yaitu penyakit difteri pada kasus ini diketahui pada Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat terdapat 30 kasus baru pada bulan November hingga Desember 2012. dari jumlah total 1000 balita. Maka, insidensi dari kasus ini yaitu .d. Prevalensi Prevalensi adalah jumlah orang sakit yang menimpa sekelompok penduduk tertentu pada titik waktu tertentu (point prevalence) atau pada waktu tertentu (period prevalence) tanpa melihat kapan penyakit tersebut dimulai. (Noor, 2006).

Contoh prevalensi yaitu prevalensi balita yang menderita difteri di Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat pada bulan November adalah .

2. Memahami dan mengaplikasikan konsep pengukuran tingkat/status kejadian penyakit (level of disease occurrence).a. Konsep1) Kejadian Luar Biasa (KLB)KLB adalah suatu keadaan dimana suatu penyakit jumlahnya meningkat secara drastis di suatu tempat yang sempit dalam waktu yang sangat singkat. Di Indonesia, KLB digunakan untuk mengklasifikasikan peristiwa merebaknya suatu wabah penyakit (Tamher & Noorkasiani, 2008). KLB ditandai dengan 7 kriteria khusus menurut Permenkes No. 1501 Tahun 2010, yaitu antara lain sebagai berikut:1. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal pada suatu daerah.1. Peningkatan kejadian kesakitan terus-menerus selama 3 (tiga) kurun waktu dalam jam hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya.1. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu menurut jenis penyakitnya.1. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan duakali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata jumlah per bulan dalam tahun sebelumnya.1. Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian kesakitan perbulan pada tahun sebelumnya.1. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih dibandingkan denganangka kematian kasus suatu penyakit periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu periode menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.2) Wabah dan epidemicWabah adalah istilah umum untuk menyebutkan kejadian tersebarnya penyakit pada daerah yang luas dan pada banyak orang. Epidemi adalah wabah yang terjadi lebih cepat daripada yang diduga (Tamher & Noorkasiani, 2008).3) PandemiPandemi adalah suatu epidemi/wabah yang bersifat global dan merupakan terjangkitnya penyakit menular pada banyak orang dalam daerah geografi yang luas (Tamher & Noorkasiani, 2008).4) EndemiEndemi digunakan untuk penyakit yang umum dijumpai pada suatu populasi dengan angka yang relatif konstan dan biasanya lebih besar dari daerah atau tempat yang lain. Contohnya adalah hepatitis B merupakan penyakit endemik di Nusa Tenggara Barat dengan prevalensi >8 % dan lebih tinggi dibandingkan daerah yang lain (Cahyono, 2009).5) HiperendemiHiperendemi adalah istilah yang menyatakan aktivitas yang terus-menerus melebihi prevalensi yang diperkirakan. Istilah ini sering dihubungkan dengan populasi tertentu, populasi yang kecil atau pada populasi yang luas pada semua usia dan kelompok (Effendi & Makhfudli, 2009).b. AplikasiKasus ini merupakan salah satu contoh kejadian KLB, karena memenuhi kriteria KLB, yaitu meningkat 2 kali lipat disbanding bulan sebelumnya, seperti dari bulan Oktober dan November meningkat 2 kali, dan dari bulan November ke Desember meningkat 2 kali. Selain itu, kasus ini pun terjadi dalam wilayah yang sempit, yaitu hanya di Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat sehingga bisa ditetapkan sebagai KLB.3. Menganalisis dan mengaplikasikan konsep desain studi epidemiologi observasional.Menurut Nasry Noor (2008), penelitian observasi (pengamatan) ini didasarkan pada kejadian atau peristiwa secara alami tanpa suatu perlakuan khusus terhadap kelompok yang diteliti. Secara garis besarnya, dibagi menjadi dua, anat lain :a. Penelitian deskriptifBentuk ini lebih sering disebut analisis deskriptif untuk mengetahui keadaan prevalensi kejadian penyakit atau masalah kesehatan lainnya dan untuk mengetahui sifat kejadian tersebut dalam masyarakat serta kecenderungannya untuk masa mendatang. Tergolong juga di dalam penelitian prevalensi atau cross sectional studies. Bentuk penelitian ini sangat membantu dalam menganalisis status kedehatan penduduk tertentu serta dapat memberikan jawaban keterangan tentang berbagai faktor yang berkaitan erat dengan kejadian penyakit untuk digunakan dalam menyusun hipotesis penelitian selanjutnya (Nasry Noor, 2008).b. Penelitian analitisPenelitian analitis merupakan bentuk penelitian epidemiologi yang paling sering digunakan dalam mencari faktor penyebab dan hubungan sebab-akibat terjadinya penyakit maupun gangguan kesehatan lainnya. Penggunaan bentuk ini bukan hanya terbatas pada kejadian penyakit pada individu, melainkan juga pada kelompok penduduk tertentu. Bentuk penelitian ini pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua bentuk utama, yaitu :1) Penelitian retrospektifPenelitian ini didasarkan pada kejadian kasus yang sudah ada pada saat penelitian dan dibandingkan dengan mereka yang tidak menderita sehingga seringajuga disebut penelitian kasus-pola (Nasry Noor, 2008).2) Penelitian prospektifPenelitian ini didasarkan pada pengamatan terhadap kelompok dengan kelompok yang tidak terpapar pada awal penelitian kemudian diamati sampai timbul penyakit dan juga sering disebut penelitian kohort (Nasry Noor, 2008).Epidemiologi merupakan ilmu yang memelajari determinan, frekuensi, dan distribusi suatu penyakit. (Kasjono, 2008)Untuk memahami epidemiologi dibutuhkan serangkaian penelitian-penelitian. Penelitian epidemiologi memiliki dua pendekatan yaitu epidemiologi observasional dan epidemiologi eksperimental. (Kasjono, 2008)Epidemiologi observasional didefinisikan sebagai penelitian epidemiologi di mana peneliti hanya mengamati dan tidak melakukan intervensi terhadap subjek penelitian. Sedangkan, epidemiologi eksperimental didefinisikan sebagai penelitian epidemiologi di mana peneliti melakukan intervensi / dengan sengaja memberikan suatu perlakuan kepada subjek penelitian. (Kasjono, 2008)Epidemiologi observasional memiliki 2 jenis rancangan yaitu, epidemiologi deskriptif dan epidemiologi analitik. Epidemiologi deskriptif memiliki 4 tipe penelitian yaitu case report, case series, correlatioal studies, dan cross sectional. Sedangkan, epidemiologi analitik memiliki 3 tipe, yaitu cross sectional, case control, dan cohort. (Kasjono, 2008)Epidemiologi eksperimental memiliki 1 jenis rancangan, yaitu epidemiologi analitik. Epidemiologi analitik memiliki 3 tipe, yaitu clinical trial, field trial, dan intervensi komunita. (Kasjono, 2008)

Tabel 1. Tipe Penelitian Epidemiologi (Kasjono, 2008)Pendekatan yang DilakukanJenis Rancangan PenelitianTipe PenelitianUnit Studi

Epidemiologi obervasionalDeskriptifCase reportIndividual

Case seriesIndividual

Correlational studiesPopulasi

Cross sectionalIndividual

AnalitikCross sectionalIndividual

Case controlIndividual

CohortIndividual

Epidemiologi ekperimentalAnalitikClinical trialPasien

Field trialIndividu sehat

Intervensi komunitasKomunitas

Terkait kasus difteri pada kegiatan diskusi, untuk menganalisis hubungan sebab-akibat faktor risiko status imunisasi dan status gizi balita dengan kasus difteri, pendekatan penelitian epidemiologi yang digunakan yaitu epidemiologi observasional dengan jenis rancangan epidemiologi analitik dan tipe penelitian case control.Pada case control, penemuan faktor risiko berupa status gizi kurang dan status imunisasi tak lengkap didapatkan dari penelusuran data sesuai dengan bagan berikut, (Kasjono, 2008)

Faktor Risiko

Ya

Sakit DifteriTidak

Populasi Balita

Ya

Tidak Sakit Difteri

Tidak

arah pengusutan dataperjalanan waktu

Gambar 1. Rancangan penelitian case control (Kasjono, 2008)

Pada tipe case control, diperlukan perhitungan odds ratio untuk menganalisis data yang ada. Berikut merupakan rumus odds ratio, (Kasjono, 2008)

Interpretasi hasil odds ratio (OR) yaitu, 1. OR = 1 ; berarti faktor risiko bersifat netral; risiko kelompok terpajan sama dengan kelompok tidak terpajan.2. OR > 1 ; berarti faktor risiko menyebabkan sakit3. OR < 1 ; berarti faktor risiko mencegah sakit.Variabel a, b, c, dan d, diperoleh dari tabel 2 x 2 berikut,

Tabel 2. Tabel 2 x 2 exposure faktor risiko dan penyakitExposureSakit

YaTidak

Yaab

Tidakcd

Berikut aplikasi pada kasus difteri, Tabel 3. Hubungan status gizi dan sakit difteriStatus GiziSakit Difteri

YaTidak

Kurang248

Baik1632

Interpretasi hasilnya yaitu, OR > 1 ; berarti status gizi kurang menyebabkan sakit.

Tabel 4. Hubungan status imunisasi dan sakit difteriStatus ImunisasiSakit Difteri

YaTidak

Tidak Lengkap3212

Lengkap828

Interpretasi hasilnya yaitu, OR > 1 ; berarti status imunisasi tidak lengkap menyebabkan sakit.Dari penilaian odd ratio tersebut, terbukti bahwa status gizi kurang dan status imunisasi tidak lengkap merupakan penyebab penyakit difteri.

4. Menganalisis dan mengaplikasikan konsep desain studi epidemiologi observasional.Odds ratio (OR) adalah rasio antara probabilitas terjadinya penyakit tertentu dengan probabilitas tidak terjadinya penyakit tersebut. Contohnya, jika OR bernilai dua (2), kelompok yang memiliki faktor risiko tersebut memiliki risiko dua kali lebih besar terkenan penyakit dibandingkan kelompok yang tidak memiliki faktor risiko (Noor, 2006). Rumus odds ratio yaitu antara lain adalah sebagai berikut:

Tabel 5. Distribusi status imunisasi kelompok kasus dan kontrolKelompok kasusKelompok kontrol

Tidak lengkap32 (a)12 (b)

Lengkap 8 (c)28 (d)

Tabel 6. Distribusi status gizi kelompok kasus dan kontrolKelompok kasusKelompok kontrol

Kurang24 (a)8 (b)

Baik16 (c) 32 (d)

a. Odds ratio status imunisasi

Artinya, balita dengan status imunisasi tidak lengkap memiliki risiko 9,3 kali lebih besar terkena difteri dibandingkan dengan balita dengan status imunisasi lengkap.

b. Odds ratio status gizi

Artinya, balita dengan status gizi kurang memiliki risiko 6 kali lebih besar terkena difteri dibandingkan dengan balita dengan status gizi baik.

5. Memahami konsep penyebab penyakit (disease causation) pada epidemiologiPengertian penyakit didefinisikan oleh DR. Eko Dudiarto sebagai kegagalan mekanisme adaptasi suatu organisme untuk bereaksi secara tepat terhadap rangsangan atau tekanan sehingga timbul gangguan pada fungsi atau struktur organ atau sistem tubuh. Sedangkan dalam ensiklopedia bebas wikipedia, pengertian penyakit adalah suatu keadaan tidak normal pada badan maupun pikiran sehingga menyebabkan ketidaknyamanan, kelainan/disfungsi pada seseorang dimana klasifikasi penyakit itu dapat dibedakan antara penyakit menular ataupun penyakit tidak menular tergantung apa penyebabnya dan bagaimana penyebarannya.Dalam konsep penyakit terdapat interaksi antara tiga komponen yaitu host/pejamu, agent/penyebab dan environment/lingkungan.a. Host dalam hal ini adalah manusia dengan sifatnya baik sebagai makhluk biologis maupun makhluk sosial.b. Agent adalah penyebab terjadinya suatu penyakit yang meliputi banyak unsur antara lain:1) Unsur penyebab biologis : semua unsur penyebab yang tergolong makhluk hidup termasuk kelompok mikroorganisme seperti virus, bakteri, protozoa, jamur, kelompok cacing dan insekta.2) Unsur nutrisi : semua unsur penyebab yang termasuk golongan zat nutrisi dan dapat menimbulkan penyakit tertentu karena kekurangan maupun kelebihan zat nutrisi tertentu seperti protein, lemak, hidrat arang, vitamin, mineral dan air3) Unsur kimiawi : semua unsur dalam bentuk senyawaan kimia yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan atau penyakit tertentu. Pada umumnya berasala dari luar tubuh termasuk berbagai jenis zat racun, obat-obatan keras, berbagai senyawaan kimia tertentu dan lain sebagainya. Unsur tersebut dalam bentuk padat, cair atau gas. Ada juga senyawaan kimia sebagai hasi produk tubuh (dari dalam) yang dapat menimbulkan penyakit tertentu seperti ureum, kolesterol, dan lain-lain.4) Unsur fisika : semua unsur yang dapat menimbulkan penyakit melalui proses fisika misalnya panas (luka bakar), irisan, tikaman, pukulan, radiasi dan lain-lain. Proses kejadian penyakit dalam hal ini terutama melalui proses fisika yang dapat menimbulkan kelainan dan gangguan kesehatan.5) Unsur psikis : semua unsur yang bertalian dengan kejadian penyakit gangguan jiwa serta gangguan tingkah laku sosial.6) Unsur genetika : disebabkan oleh sifat keturunan (gen)c. Environment adalah lingkungan sekitar host, termasuk di dalamnya:1) Biologis: segala flora, fauna dan mikroorganisme yang ada di sekitar manusia2) Fisik: kondisi udara, cuaca, geografis, geologis, air, pencemaran udara, tanah, air, radiasi, dan sebagainya3) Sosial:kehidupan sosial budaya, ekonomi, politik, pendidikan, sistem organisasi serta institusi atau peraturan yang berlaku di daerah tersebut.Asal mula terjadinya suatu penyakit digambarkan dalam tiga konsep yaitu segitiga epidemiologi, jaring-jaring sebab akibat dan model roda.A. Segitiga Epidemiologihost

agentenvironment

Keadaan tidak setimbangKeadaan setimbang

Gambar 2. Model segitiga epidemiologi

Dalam model segitiga, suatu penyakit dapat disebabkan karena adanya tiga faktor yaitu host, agent dan environment/lingkungan. Suatu penyakit dapat timbul di masyarakat apabila terjadi ketidakseimbangan antara ketiga komponen tersebut. hal ini dikarenakan perubahan pada salah satu komponen akan mengubah keseimbangan secara keseluruhan.Contoh :a. Kasus: Si A adalah seorang anak sekolah. Pada musim hujan, A terserang penyakit flu dan kemudian seluruh anggota keluarga dalam rumahnya dan teman-teman sekelasnya di sekolah ikut menderita flu.b. Host: host pertama yang terserang penyakit flu adalah si A kemudian penyakitnya menular pada host-host yang lain yaitu teman-teman sekolah dan anggota keluarga.c. Agent: penyebab flu adalah virus yang termasuk dalam kelompok unsur penyebab biologis.d. Environment: lingkungan yang memiliki pengaruh dalam kasus ini adalah lingkungan rumah, sekolah, jalan raya dan cuaca.e. Terjadinya penyakit: virus flu tersebar secara bebas di udara sekitar host dan dapat menyerang siapa saja yang tubuhnya mengalami kekurangan daya tahan. Berdasarkan model segitiga, penyakit flu yang menyerang A dapat terjadi akibat ketidakseimbangan pada:1) Host: daya tahan tubuh host tidak sanggup melawan agent karena kurang vitamin, kurang istirahat, dan kurang minum air putih. kebiasaan merokok juga menyebabkan sistem pernafasan kering sehingga lebih mudah terserang virus.2) Populasi Agent penyakit (virus flu) meningkat karena kondisi cuaca yang mendukung dan mudah masuk ke tubuh host karena kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum menjamah makanan dan kontak dengan penderita lain.3) Kondisi lingkungan: cuaca hujan mengakibatkan tubuh host memerlukan energi lebih untuk bertahan pada udara dingin sehingga membutuhkan asupan yang lebih banyak dibanding ketika cuaca tidak hujan. Hujan juga menyebabkan aktivitas terganggu, terjadi kekacauan pada aktivitas normal sehingga host membutuhkan energi lebih untuk dapat beraktivitas. AC(air conditioner) yang terdapat di lingkungan rumah dan sekolah jarang dibersihkan sehingga menjadi sumber/sarang virus flu.B. Jaring-jaring sebab akibatFaktor 4Faktor 8

Faktor 1Faktor 9

Faktor 5Faktor 10

penyakitFaktor 2

Faktor 6Faktor 11

Faktor 3Faktor 12

Faktor 7

Faktor 13

Gambar 3. Model jarring sebab akibat

Model ini menekankan bahwa suatu penyakit saling berkaitan satu sama lain seperti jaring-jaring, sehingga untuk menghentikannya, dapat dengan memutus salah satu rantai.Contoh:1) Kasus: tingginya kasus penyakit kulit pada kelompok pemulung dan keluarganya terutama yang memulung sampah dari lokasi TPA (Tempat Pembuangan Akhir)2) Model jaring-jaring sebab akibat terjadinya penyakit:

Tanaman & ternak tidak sehatTPA mencemari lingkungan (air, tanah, udara)Lokasi TPA tidak layakKebijakan pemerintah

Bahan makanan tidak sehat

Rendahnya pelayanan kesehatanKekurangan tenaga medis dan fasilitas kesehatan

Penyakit tidak diobati

Kurang penyuluhan

Penyakit kulitTidak memiliki pengetahuan tentang kesehatan pribadiTingkat pendidikan rendah

kemiskinan

Perilaku/ kebiasaan pribadiTidak menjaga kesehatan kulit

Makanan tidak bergizi

Daya tahan tubuh rendah

Tidak memiliki pekerjaan lainTidak memiliki keterampilan

Tidak memiliki rumah

Waktu kerja terlalu lama / kurang istirahatKontak langsung dengan sampah

Kontak dengan penderita (tertular)

Gambar 4. Contoh jaring sebab akibatDalam kasus terjadinya penyakit kulit pada para pemulung dan keluarganya disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan dengan faktor lainnya. Kurangnya kebijakan dari pemerintah mengakibatkan lokasi TPA tidak sesuai dengan ketentuan teknis misalnya terlalu dekat dengan pemukiman dan sumber air minum sehingga keberadaan TPA justru makin mencemari lingkungan, dengan demikian semakin mempertinggi kemungkinan tercemarnya udara, tanah air dan bahan makanan. Tenaga kesehatan yang tidak memadai menyebabkan kurangnya pelayanan kesehatan kepada penderita dan kurangnya penyuluhan kesehatan kepada masyarakat sehingga masyarakat yang berpendidikan rendah tidak memiliki wawasan tentang kesehatan pribadi, akibatnya masyarakat kurang menjaga kesehatan pribadinya dan tidak mengobati penyakit yang dideritanya. Tingkat pendidikan yang rendah disebabkan karena kemiskinan sehingga tidak mampu membiayai biaya pendidikan. Kemiskinan juga menyebabkan para keluarga miskin tidak mampu membeli makanan bergizi yang penting bagi ketahanan tubuhnya. Mereka juga tidak memiliki pekerjaan lain, tidak memiliki rumah dan bekerja tanpa istirahat sehingga tingkat paparan terhadap sampah sangat tinggi yang artinya semakin tinggi terpapar kuman penyakit. Penularan penyakit juga terjadi karena kontak dengan penderita lain. Dari jaring-jaring tersebut, terjadinya penyakit kulit pada kelompok pemulung dapat dikurangi dengan cara memutus salah satu mata rantai sebab akibat, baik dari kebijakan pemerintah maupun dari penderita sendiri.C. Model rodaFaktor internal

Faktor eksternal

Model roda digambarkan dengan lingkaran yang di dalamnya terdapat lingkaran yang lebih kecil. Lingkaran yang besar sebagai faktor eksternal dan lingkaran yang kecil sebagai faktor internal. Faktor internalnya menyatakan bahwa suatu penyakit disebabkan oleh adanya interaksi antara genetic dengan lingkungannya. Faktor internal ini juga berkaitan dengan kepribadian individu dimana kepribadian tertentu akan meningkatkan resiko penyakit tertentu. Faktor eksternal pada model ini adalah lingkungan baik lingkungan fisik, biologis dan sosial. faktor lingkungan selalu mengalami pergeseran (tidak stabil) sehingga adaptasi yang tidak tepat dapat mempengaruhi kesehatan host.Contoh:a. Di sebuah kecamatan sentra kain tenun ikat, dilaporkan bahwa para wanita penenunnya menderita kanker paru-paru dan kulit. Padahal sebelumnya tidak pernah ditemukan kasus kanker di daerah tersebut.b. Penyebab utama terjadinya kanker diketahui berasal dari bahan kimia berbahaya yang terdapat dalam bahan pewarna kain seperti senyawaan benzena, Naphtol, TRO, garam-garam diazonium, belerang dan lain-lain. Bahan-bahan tersebut bersifat karsinogenik dan masuk ke tubuh melalui pernafasan dan kontak langsung dengan kulit terutama kulit tangan.c. Faktor internal: para wanita penenun dalam hubungan interaksinya dengan lingkungan fisik (bahan kimia) dalam upaya bekerja untuk kebutuhan ekonominya. Ketika bekerja mereka melakukan kontak dengan bahan-bahan pewarna berbasis kimia untuk menghasilkan kain tenun yang berwarna cerah dalam proses yang cepat. Terjadinya penyakit kanker juga karena mereka tidak menggunakan alat pelindung (masker dan sarung tangan) ketika bekerja sehingga bahan kimia mudah masuk ke dalam tubuh. Ditambah dengan kurangnya kesadaran dan daya tahan tubuh yang rendah menyebabkan tubuh mudah terkena penyakit. d. Faktor eksternal: lingkungan fisik (bahan kimia) dan lingkungan sosial ekonomi. Pekerjaan tenun ikat adalah kegiatan ekonomi para wanita tersebut yang dilakukan untuk memperoleh pendapatan. Menenun juga merupakan warisan budaya yang dari dahulu ditekuni wanita-wanita Indonesia. Tetapi ternyata para orang-tua penenun tradisional tidak menderita kanker.Kondisi lingkungan sekarang: Pewarnaan kimia Kebutuhan ekonomi tinggiKondisi lingkungan dahulu: Pewarnaan alamiah Kebutuhan ekonomi rendahKondisi tubuh dahulu: Daya tahan tubuh kuat Zat zat karsinogenik tertimbun perlahan-lahan dalam tubuh Bekerja tanpa istirahat cukup Kurang asupan gizi Tidak mengetahui penyebab kankerKondisi tubuh sekarang: Daya tahan tubuh lemah Menderita kanker Tidak mampu mengobati penyakit

Gambar 5. Model roda terjadinya penyakit kanker paru-paru dan kulit pada penenun kain tenun ikat

Terjadinya kanker pada para penenun masa kini adalah karena bergesernya (terjadi putaran) kondisi lingkungan dan kondisi internal. Dahulu tidak ditemukan kejadian kanker pada para penenun karena mereka mewarnai kain tenunnya dengan pewarna alamiah yang berasal dari alam (tidak mengandung zat kimia berbahaya). Dari sisi ekonomi, kebutuhan ekonomi saat ini juga meningkat dibanding dahulu sehingga wanita-wanita juga ikut berjuang mendapatkan penghasilan, salah satunya dengan menenun sesuai keterampilannya, dan kebutuhan yang mendesak mendorong mereka untuk menggunakan cara yang cepat dan mudah dibanding harus menggunakan pewarnaan alamiah yang prosesnya sulit dan lama. Kanker yang diderita saat ini merupakan hasil akumulasi zat-zat karsinogenik yang masuk ke tubuh para penenun selama bertahun-tahun dan baru muncul gejalanya setelah daya tahan tubuh sudah tidak mampu membunuh sel-sel kanker. Daya tahan tubuh yang melemah dapat disebabkan karena asupan gizi yang kurang atau karena ketidaktahuan sehingga pola kerja yang tidak sehat dan karena tidak dilakukan pengobatan (faktor kemiskinan dan perilaku).6. Memahami dan menjelaskan jenis program imunisasi nasionala. Kebijakan1) Penyelenggaraan Imunisasi dilaksanakan oleh Pemerintah, swasta dan masyarakat, dengan mempertahankan prinsip keterpaduan antara pihak terkait.2) Mengupayakan pemerataan jangkauan pelayanan imunisasi baik terhadap sasaran masyarakat maupun sasaran wilayah.3) Mengupayakan kualitas pelayanan yang bermutu.4) Mengupayakan kesinambungan penyelengaraan melalui perencanaan program dan anggaran terpadu.5) Pehatian khusus diberikan untuk wilayah rawan social, rawan penyakit (KLB) dan daerah-daerah sulit secara geografisb. Strategi1) Memberikan akses (pelayanan) kepada masyarkat dan swasta.2) Membangun kemitraan dan jejaring kerja.3) Menjamin ketersediaan dan kecukupan vaksin, peralatan rantai vaksin dan alat suntik.4) Pelayanan imunisasi dilaksanakan oleh tenaga professional/terlatih.5) Pelaksanaan sesuai standar.6) Memanfaatkan perkembangan metoda dan teknologi yang lebih efektif, berkualitas dan efesien.7) Meningkatkan advokasi, fasilitas dan pembinaan

7. Memahami dan menjelaskan pengelolaan program imunisasi di tingkat Puskesmasa. Pengelolaan rantai dingin (cold chain) vaksinSalah satu kunci kualitas vaksin adalah potensi vaksin yang cukup dengan cara menjaga rantai dingin vaksin dari pabrik hingga ke lapangan. Vaksin memiliki karakter tertentu dan memerlukan penanganan yang khusus sejak diproduksi. Suhu yang baik untuk semua jenis vaksin adalah 2 8 oC. Penyimpangan dari aturan ini akan menyebabkan kerusakan vaksin sehingga jika diberikan akan menyebabkan Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (KIPI) (Politektik Kesehatan Kemenkes Palembang, 2011). b. PengadaanPengadaan vaksin dilakukan oleh Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan berdasarkan Kepres No. 80 tahun 2003. Vaksin dari luar negeri diterima jika ada kegiatan khusus. Vaksin tersebut masuk jika telah lolos uji dari Badan POM (Kemenkes, 2004).c. Penyimpanan Vaksin tidak boleh disimpan lebih dari stok maksimal untuk menghindari penumpukan. Jika frekuensi distibusi vaksin ke provinsi satu kali setiap tiga bulan, maka stok dibuat untuk empat bulan dan stok minimal di kabupaten adalah satu bulan dan maksimal tiga bulan. Distribusi vaksin dilakukan berdasarkan aturan berikut (Kemenkes, 2004):

Gambar 6. Distribusi vaksin (Kemenkes, 2004)Penyimpanan vaksin dipngaruhi oleh suhu, sinar matahari dan kelembaban. Vaksin umumnya harus disimpan pada suhu 2-8 oC kecuali vaksin hepatitis B, DPT, TT dan DT yang tidak boleh terkena suhu dingin karena akan rusak akibat dari meningkatnya konsentrasi zat pengawet yang merusak antigen. Penyimpanan vaksin dalam lemari es harus memperhatikan letak dan jarak antarvaksin (Kemenkes, 2004).d. Distribusi Distribusi harus sesuai dengan volume vaksin di tiap provinsi dan biaya transportasi. Stok vaksin di provinsi harus dilaporkan secara berkala untuk mengatur simpanan vaksin di pusat. Vaksin dapat diambil di gundang provinsi setiap bulan sehingga dibutuhkan pengaturan biaya bulanan. Dalam menjaga potensi vaksin perlu digunakan cool box, vaccine carrier, thermos, dan cool pack (Kemenkes, 2004). e. PemakaianVaksin yang digunakan harus diambil dari ampul atau vial yang baru dan harus poten dan aman. Sisa vaksin harus segera dipakai pada pemakaian selanjutnya. Vaksin yang susah dibuka harus dibuang setelah memperhatikan penduduk di luar usia imunisasi yang mungkin membutuhkan imunisisai. Vaksin dengan vial yang telah dibuka masih boleh dipakai setelah 2 minggu (vaksin polio) dan 4 minggu (vaksin DPT, TT, DT dan hepatitis B) (Kemenkes, 2004). Pemakaian vaksin yang sudah dibuka harus memenuhi kriteria sebagai berikut (Kemenkes, 2004):i. Tidak melewati masa kadaluarsa2. Tetap disimpan dalam suhu 2-8 oC3. Sterilitas vaksin terjamin4. Vial vaksin tidak pernah terendam dalam air5. VVM masih menunjukkan kondisi A atau Bf. Pencatatan Pengaturan imunisasi di puskesmas dapat dilakukan dengan pangaturan pencatatan tingkat puskesmas meliputi (Depkes, 2005):i. Rekapitulasi hasil cakupan imunisasi bayi dari lapangan, pustu, unit statikg. Rekapitulasi hasil imunisasi anaak usia sekolahh. Rekapitulasi imunisasi BP swastai. Cakupan dalam % periode 1 tahunj. Stok vaksin, nomor, tanggal kadaluwarsa, VVMk. Suhu lemari es, dua kali, pagi datang- sore pulangl. Logistik imunisasi

8. Memahami dan menjelaskan monitoring dan evaluasi program imunisasi di tingkat Puskesmas1. Monitoring (Depkes, 2009)1. Monitoring dilakukan dengan cara supervise suportif menggunakan cek list dan pelaporan pemakaian vaksin.2. Pencatatan vaksin yang harus ada di Provinsi, Kabupaten/Kpta dan Puskermas adalah:1. Buku Stok Vaksin digunakan untuk mencatat jenis, jumlah, omor batch, masa kadaluarsa vaksin, keluar masuk vaksin, dan kondisi indicator paparan suhu.1. Batch card (kartu Stelling) digunakan untuk mencatat stok vaksin sesuai jenis dan nomor batch.3. Pelaporan pemakaian vaksin secara berjenjang dikirim bersama dengan laporan cakupan.1. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pendistribusian vaksin (Depkes, 2009):1. Pendistribusian vaksin harus memperhatikan kondisi VVM, tanggal kadaluarsa (FEFO) dan urutan masuk vaksin (FIFO).1. Septiap distribusian vaksin mengguakan cold box yang berisi kotak dingin cair (cool pack) untuk vaksin TT, DT, Hepatitis B PID dan DTP/HB, seta kotak beku (coolpack) untuk vaksin BCG, Campak dan Polio.1. Apabila pendistribusian vaksin dalam jumlah kecil, dimana vaksin sensitive beku dicampur dengan sensitive panas maka digunakan cold box yang berisi kotak dingin cair (cool pack).1. Pengepakan vaksin sensitive beku harus dilengkapi dengan indicator pembekuan.1. Alat Pemantau Suhu VaksinSuatu alat berfungsi untuk memantau keadaan sera kondisi vaksin selama penyimpanan maupun pengiriman terhadap paparan suhu (panas atau dingin) sehingga vaksin dapat diketahui masih mempunyai potensi yang baik atau tidak.1. Indikator paparan suhu panas (Depkes, 2009)a. VVM (Vaccine Vial Monitor)

Gambar 7. Berbagai kondisi VVM serta tindakan penggunanya

1. VCCM (vaccine cold chain monitor)

b. Indikator paparan suhu dinginFreeze-tag adalah indicator paparan suhu dingin. Apabila terpapar pada suhu 0oC selama 60 menit, maka tanda () akan berubah menjadi tanda (X). Freeze tag ditempatkan pada penyimpanan vaksin yang peka terhadap pembekuan. Apabila pada freeze tag didapatkan tanda (X), maka harus dilakukan shake test pada vaksin DT, TT, Hepatitis B dan DPTHB/HB (Depkes, 2009).

1. Masa Simpan Vaksin (Depkes, 2009)Jenis VaksinSuhu PenyimpananUmur Vaksin

-BCG+2oC s/d +8oC-15oC s/d -25oC1 tahun1 tahun

-DPT-H+2oC s/d +8oC2 tahun

-HEPATITIS B+2oC s/d +8oC26 bulan

-TT+2oC s/d +8oC2 tahun

-DT+2oC s/d +8oC2 tahun

-POLIO+2oC s/d +8oC-15oC s/d -25oC6 bulan2 tahun

-CAMPAK+2oC s/d +8oC-15oC s/d -25oC2 tahun2 tahun

-DPT-HB+2oC s/d +8oC2 tahun

-Pelarut BCGSuhu Kamar5 tahun

-Pelarut CampakSuhu Kamar5 tahun

Tabel 7. Penyimpanan vaksin1. Penanganan Saat Lampu Padam (Depkes, 2009)1. Jangan membuka pintu lemari es/ freezer yang berisi vaksin1. Periksa suhu pada thermometer, pastikan suhu lemari es diantara +2oC s/d +8oC dan ssuhu freezer diantara -15oC s/d -25oC1. Hidupkan generator bila ada1. Apabila suhu freezer sudah mendekati -15oC masukkan kotak dingin beku kedalam freezer yang berisi vaksin polio.1. Tindakan ini hanya berlaku selama 2x24 jam 1. Selanjutnya setelah 2x24 jam selamatkan vaksin dengan mengirim ke Kabupaten/Kota terdekat (untuk vaksin di tingkat provinsi), ke puskermas terdekat (untuk tingkat kab/kota) yang membutuhkan/ dapat menampung.1. Carilah informasi berapa lama aliran listrik kembali normal.Pemakaian vaksin harus memperhatikan kondisi VVM dan kadaluarsa.Vaksin yang sudah dipakai di pelayanan statis atau di dalam gedung (RS, Puskermas, BKIA, Praktek swasta) dapat digunakan kembali dengan ketentuan sebagai berikut (Depkes, 2009):1. Vaksin tidak melewati masa kadaluarsa1. Vaksin tetap disimpan pada suhu +2oC s/d +8oC1. Sterilitas vaksin dapat terjamin1. Vial vaksin tidak pernah terendam dalam air1. VVM masih menunjukkan ondisi A atau B1. Jangka waktu maksimal pemakaian vaksin yang sudah dibuka

VAKSINMASA PEMAKAIAN

POLIO2 Minggu

TT4 Minggu

DT4 Minggu

DPT-HB4 Minggu

BCG3 Jam

Campak6 Jam

Tabel 8. Masa pemakaian vaksinJika masih ada sisa vaksin dari komponen lapangan (posyandu, sekolah) maka (Depkes, 2009):1. Yang belum dibuka harus segera dipakai pada pelayanan berikutnya1. Yang sudah dibuka harus dibuangTujuan diadakannya evaluasi adalah untuk mengetahui hasil dari program imunisasi bila dibandingkan dengan target. Macam evaluasi meliputi (Kemenkes, 2004):a. Evaluasi dengan data sekunder, meliputi: stok vaksi, indeks pemakaian vaksin, suhu lemari es, cakupan per-tahun.b. Evaluasi dengan data primer, meliputi:1) Survey cakupan, dengan tujuan utama untuk mengetahui tingkat cakupan imunisasi dan tujuan tambahan untuk memperoleh data distribusi umur saat diimunisasi, mutu pencatatan dan pelaporan, serta sebab kegagalan imunisasi.2) Survey dampak dengan tujuan untuk menilai keberhasilan program imunisasi terhadap penurunan morbiditas penyakit tertentu.3) Uji potensi vaksin untuk mengetahui potensi dan keamanan dari vaksin.

BAB IIIKESIMPULAN

Balita dengan status imunisasi tidak lengkap memiliki risiko 9,3 kali lebih besar terkena difteri dibandingkan dengan balita dengan status imunisasi lengkap. Dan balita dengan status gizi kurang memiliki risiko 6 kali lebih besar terkena difteri dibandingkan dengan balita dengan status gizi baik.

DAFTAR PUSTAKA

Budiarto, E., & Anggraeni, D. 2003. Pengantar Epidemiologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.Departemen Kesehatan. 2009. Pedoman Pengelolaan Vaksin. Jakarta: DepartemenKesehatan RI Kasjono, Heru Subaris dan Heldhi B. Kristiawan. 2008. Intisari Epidemiologi. Yogyakarta : Penerbit Mitra Cendikia Press.Kemenkes. 2004. Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1059/MENKES/SK/IX/2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi. Available at: http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_Kepmenkes/KMK% 20No.%201059%20ttg%20Pedoman%20Penyelenggaraan%20Imunisasi.pdNoor, N.N. 2006. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: Rineka Cipta.Politektik Kesehatan Kemenkes Palembang. 2011. Politektik Kesehatan Kemenkes Palembang, 2011. Available at: http://poltekkespalembang.ac.id/userfiles/ files/pengelolaan_rantai_dingin_vaksin_tingkat_puskesmas_di_kota_palembang_tahun_2011.pdf.Soemirat, Juli. 2000. Epidemiologi Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.Tamher, S., & Noorkasiani. 2008. Flu Burung: Aspek Klinis dan Epidemiologis. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.Timmreck, Thomas C. 2004. Epidemiologi Suatu Pengantar (an Introduction to Epidemiology). Jakarta: EGC.

1