Upload
aghny-ratnasari
View
275
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
:)
Citation preview
1. Anatomi dan Fisiologia. Sistem urinarius superior
1) Ren
Ren terletak retro-peritoneal pada dinding posterior abdomen. Ren terdiri dari
ren dextra dan ren sinistra. Masing-masing terletak di sisi kanan dan kiri columna
vertebralis. Ren sinistra terletak di vertebrae T12-L3, sedangkan ren dextra letaknya
lebih inferior karena terdesak oleh hepar di vertebrae L2-L4. Ren pada orang dewasa
panjangnya sekitar 10 cm, lebarnya 5,5 cm, dan tebalya sekitar 3 cm. Setiap ginjal
memiliki berat 150 gram. Sebagian besar bagian ren tertutup oleh arcus costalis. Saat
inspirasi diafragma berkontraksi, bergerak naik turun mendorong organ di bawahnya
(termasuk hepar) sehingga kedua ren akan turun sejauh 2,5 cm (Snell, 2012).
Gambar 2.1. Ren dextra et sinistra tampak dorsall (Putz & Pabst, 2006).
2) Ureter
Ureter merupakan tabung muskuler yang mengantarkan urin ke vesica
urinarius. Terletak retroperitoneal dan mempunyai tiga area penyempitan lumen:
a) Pada peralihan pelvis renalis menjadi ureter (junctura pelvico-ureterica)
b) Pada tempat menyilang di depan a. iliaca comunis/permulaan a. iliaca externa
(menyilang ketika masuk ke dalam pelvis)
c) Pada tempat di mana ureter terletak di dalam vesica urinaria (intramural/uretero-
vesical junction/junctura uretero-vesica)
Ureter terdiri dari dua pars, yaitu pars abdominalis dan pars pelvina. Pars
abdominalis terbentang dari pelvis renalis sampai bagian ventral a.iliaca
comunis. Terletak ventromedial m.psoas major dan disilang secara miring oleh
vasa spermatica interna/vasa ovarica di sebelah ventralnya. Pars pelvina
terbentang dari linea terminalis pelvis ke vesica urinarius. Ureter bermuara ke
vesica urinarius secara miring dan keadaan ini membuat fungsinya seperti katup
yang mencegah aliran balik urin ke ginjal pada waktu vesica urinaria terisi
(Snell, 2012).
3) Vaskularisasi sistem urinarius superior
Vaskularisasi ren dimulai dari aorta descendens pars abdominalis yang
bercabang menjadi arteri renalis dextra et sinistra. Setiap arteri renalis bercabang
menjadi 5 arteri segmentalis. Masing-masing berlanjut menjadi a. Lobares a.
Interlobares a. Arcuata a. Interlobulares arteriol aferen glomerulus
arteriol eferen glomerulus kapiler peritubuler v. Interlobulares v. Arcuata
v. Interlobares v. Lobares v. Segmentalis v. Renalis v. cava inferior
(Snell, 2012).
Vaskularisasi ureter dibagi menjadi tiga pars, pars 1/3 superior diperdarahi a.
renalis, pars 1/3 media diperdarahi a. testicularis/a. ovarica, sedangkan pars pelvina
diperdarahi a. vesicalis superior (Snell, 2012).
b. Sistem urinarius inferior
1) Urethra
Terdapat perbedaan antara urethra masculine dan feminine, antara lain (Martini
et al, 2009):
Perbedaan Masculina Feminina
Panjang 18-20 cm 3-5 cm
Fungsi Saluran urin dan reproduksi Saluran urin
Pars 5 pars Tidak ada
a) Urethra Masculina
Lima pars pada urethra masculina (Snell, 2012):
Pars intra mural
Pars prostatica
Pars membranacea
Pars bulbourethralis
Pars spongiosa
Struktur pada urethra masculina (Snell, 2012):
Ostium urethra externa
Spinchter urethra externa
Ostium glandula urethralis
Ostium glandula bulbourethralis
Gambar 2.2. Anatomi urethra masculina (Marieb, 2001)
b) Urethra Feminina
Struktur yang terdapat pada urethra feminine antara lain (Snell, 2006) :
Spinchter urethra externa
Ostium urethralis
Ostium glandula paraurethralis
Caruncula urethralis
Gambar 2.3. Anatomi urethra feminina (Marieb, 2001)
2) Vesica urinaria
Vesica urinaria terletak tepat di belakang os. pubis, di dalam cavitas pelvis.
Vesica urinaria yang kosong terletak di dalam pelvis, bila vesica urinaria terisi maka
akan terangkat sampai ke regio hipogastrika. Vesica urinaria yang kosong berbentuk
piramidalis mempunyai apex, basis dan sebuah facies superior (Snell, 2012).
Vesica urinaria mempunyai dinding penyusun, yang terdiri dari (Snell, 2012):
a) Tunika serosa
b) Tela subserosa
c) Tunika muskularis
d) Tela submukosa
e) Tunika mukosa
1. Fisiologi sistem urinarius
Sistem perkemihan merupakan suatu sistem dimana terjadinya proses penyaringan
darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap
zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan oleh
tubuhlarut dalam air dan dikeluarkan berupa urin (air kemih) (Panahi, 2010).
Fungsi ginjal adalah memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis
atau racun, mempertahankan suasana keseimbangan cairan, mempertahankan
keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh, dan mengeluarkan sisa-sisa
metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan amoniak (Panahi, 2010).
a. Fisiologi Pembentukan Urine
1) Filtrasi Glomerulus
Sewaktu darah mengalir melalui glomerulus, plasma bebas protein tersaring
melalui kapiler glomerulus ke dalam kapsul Bowman.
Membran glomerulus terdiri atas (Sherwood, 2012):
a) Dinding kapiler glomerulus. Terdiri atas 1 lapis sel endotel. Di dinding kapiler
glomerulus ini selain adanya pori-pori, ternyata terdapat lubang atau fenestrasi
yang besar.
b) Membran basal.Adalah suatu lapisan gelatinosa aselular (tidak mengandung sel)
yang terbentuk dari kolagen dan glikoprotein. Kolagen berfungsi untuk kekuatan
structural, sedangkan glikoprotein untuk menghambat protein-protein supaya
tidak bisa menembus melaluinya.
c) Lapisan dalam kapsula Bowman. Terdiri atas sel podosit (sel yg mempunyai
kaki banyak seperti gurita) yang mengelilingi glomerulus. Nah celah diantara
kaki kaki sel podosit ini merupakan celah filtrasi atau filtration slit yang mana
merupakan lajur dari cairan supaya bisa melewatinya.
d) Untuk melaksanakan filtrasi glomerulus, harus terdapat gaya yang mendorong
sebagian plasma di glomerulus menembus lubang-lubang di membran
glomerulus. Gaya yang dimaksud adalah : (Sherwood, 2012).
i. Tekanan darah kapiler glomerulus/ tekanan hidrostatik kapiler glomerulus
Tekanan ini ditimbulkan oleh darah di dalam kapiler glomerulus.
Bergantung pada kontraksi jantung dan resistensi yang timbul akibat arteriol
aferen & eferen.Besar tekanan = 55 mmHg
ii. Tekanan osmotik koloid plasma
Timbul akibat osmosis yang terjadi dimana H2O pindah dari suatu
tempat yang banyak H2O nya ke tempat yg sedikit H2O nya. Kalau di sini,
tempat yg banyak H2O adalah kapsula Bowman (H2O dari kapiler
glomerulus) dan tempat yg sedikit H2O adalah kapiler glomerulus (H2O
udah pindah ke kapsula Bowman). H2O tersebut cenderung pindah dari
kapsula Bowman ke kapiler glomerulus.
Kecenderungan aliran osmotik air ke dalam larutan protein plasma
tersebut memiliki nilai sebesar = 35 mmHg
iii. Tekanan hidrostatik kapsula Bowman
Timbulnya tekanan ini sama seperti tekanan hidrostatik kapiler
glomerulus, tapi ini terjadi di awal tubulus bukan di glomerulus. Yg mana
cenderung untuk mendorong cairan keluar dari kapsula Bowman melawan
filtrasi cairan dari glomerulus.Besar tekanan = 15 mmHg
Dalam keadaan normal, 20% plasma yang masuk ke glomerulus tersaring. Proses
ini, dikenal sebagai filtrasi glomerulus, adalah langkah pertama dalam pembentukan urin.
Secara rerata, 125 ml filtrat glomerulus (cairan yang difiltrasi) terbentuk secara kolektif
dari seluruh glomerulus setiap menit. Jumlah ini sama dengan 180 liter (sekitar 47,5 galon)
setiap hari. Dengan mempertimbangkan bahwa volume rerara plasma pada orang dewasa
adalah 2,75 liter, maka hal ini berarti bahwa ginjal menyaring keseluruhan volume plasma
sekitar 65 kali sehari. Jika semua yang difiltrasi keluar sebagai urin, semua plasma akan
menjadi urin dalam waktu kurang dari setengah jam. Namun, hal ini tidak terjadi karena
tubulus ginjal dan kapiler peritubulus berhubungan erat di seluruh panjangnya, sehingga
bahan-bahan dapat dipertukarkan antara cairan di dalam tubulus dan darah di dalam kapiler
peritubulus (Sherwood, 2012).
Filtrat glomerulus mempunyai komposisi yang hampir tepat sama dengan komposisi
cairan yang merembes dari ujung arteri kapiler ke dalam cairan interstisial. Tidak
mengandung eritrosit dan hanya mengandung sekitar 0,03 persen protein, atau sekitar
1/200 protein di dalam plasma. Elektrolit dan komposisi solut lain dari filtrat glomelurus
juga serupa dengan yang ditemukan di dalam cairan interstisial (Guyton, 2012).
Di dalam glomerulus dihasilkan urine primer melalui filtrasi plasma. Urine primer
merupakan cairan isotonic terhadap plasma. Pori-pori yang dilalui oleh plasma,
mempunyai garis tengah efektif rata-rata sekitar 2,9 nm. Hal ini memungkinkan seluruh
komponen plasma dengan berat molekul hingga kira-kira 5 kDa dapat melalui pori-pori
tanpa hambatan. Dengan bertambahnya berat molekul, molekul akan ditahan, tetapi
pertama-tama molekul dengan suatu M>65 kDa tidak dapat lagi masuk kedalam urine
primer. Karena protein darah secara umum mempunyai suati M>54 kDa, maka protein-
protein darah hanya terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit di dalam urine (Guyton,
2012).
Gambar 2.4 bagian-bagian nefron (Sherwood, 2012).
Sumber : Sherwood, L. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem.
Gambar 2.5 Fungsi bagian-bagian nefron (Sherwood, 2012).
Sumber : Sherwood, L. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem.
Gambar 2.5 Mekanisme pembentukan urine (Sherwood, 2012).
Sumber : Sherwood, L. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem.
Gambar 2.6 Filtrasi glomerulus (Vander, 2013)
Sumber : Vander et al. Human Physiology: The Mechanism of Body
Function.
2) Reabsorpsi Tubulus
Sewaktu filtrat mengalir melaiui tubulus, bahan-bahan yang bermanfaat bagi
tubuh dikembalikan ke plasma kapiler peritubulus. Perpindahan selektif bahan-bahan
dari bagian dalam tubulus (lumen tubulus) ke dalam darah ini disebut reabsorpsi
tubulus. Bahan-bahan yang direabsorpsi tidak keluar dari tubuh melalui urin tetapi
dibawa oleh kapiler peritubulus ke sistem vena dan kemudian ke jantung untuk
diresirkulasi. Dari 180 liter plasma yang disaring per hari, sekitar 178,5 liter
direabsorpsi. Sisa 1,5 iiter di tubulus mengalir ke dalam pelvis ginjal untuk
dikeluarkan sebagai urin. Secara umum, bahan-bahan yang perlu dihemat oleh tubuh
secara selektif direabsorpsi, sementara bahan-bahan yang tidak dibutuhkan dan harus
dikeluarkan tetap berada di urin (Sherwood, 2012).
Reabsorbsi memengang peranan yang jauh lebih penting daripada sekresi
dalam pembentukan urina ini. Tetapi sekresi sangat penting dalam menentukan
jumlah ion kalium, ion hydrogen, dan beberapa zat lain didalam urina. Biasanya,
lebih dari 99% air di dalam filtrat glomerulus direabsobsi ketika mengalir melalui
tubulus tersebut. Oleh karena itu, jika suatu unsur terlarut dalam filtrat glomelurus
tidak direabsorbsi sama sekali sepanjang perjalanan tubulus. Rebsorbsi air ini tentu
saja memekatkan zat tersebut lebih dari 99 kali. Sebaliknya, beberapa unsure seperti
glukosa dan asam amino, hampir seluruhnya direabsorbsi sehingga kosentrasi mereka
menurun hampir ke nol sebelum cairan tersebut menjadi urina dengan cara ini
tubulus ginjal memisahkan zat-zat yang harus dikeluarkan didalam urina (Guyton,
2012).
Gambar 2.7 Reabsorpsi Tubulus (Vander, 2013).
Sumber : Vander et al. Human Physiology: The Mechanism of Body Function.
2. Sekresi Tubulus
Proses ginjal ketiga, sekresi tubulus, adalah pemindahan selektif bahan-bahan
dari kapilel peritubulus ke dalam lumen tubulus. Proses ini merupakan rute kedua
bagi masuknya bahan ke dalam tubulus ginjal dari darah, sedangkan yang pertama
adalah melalui filtrasi glomerulus. Hanya sekitar 20% dari plasma yang mengalir
melaiui kapiler glomerulus difiltrasi ke dalam kapsul Bowman; sisa 80% mengalir
melalui arteriol eferen ke dalam kapiler peritubulus. Sekresi tubulus merupakan
mekanisme untuk mengeluarkan bahan dari plasma secara cepat dengan
mengekstraksi sejumlah tertentu bahan dari 80% plasma yang Tidak terfiltrasi di
kapiler peritubulus dan memindahkannya ke bahan yang sudah ada di tubulus
sebagai hasil filtrasi (Sherwood, 2012).
Gambar 2.7 Sekresi Tubulus (Vander, 2013).
Sumber : Vander et al. Human Physiology: The Mechanism of Body Function.
3. Ekskresi Urine
Ekskresi urin adalah pengeluaran bahan-bahan dari tubuh ke dalam urin. Ini
bukan merupakan proses terpisah tetapi merupakan hasil dari tiga proses pertama di
atas. Semua konstituen plasma yang terfiltrasi atau disekresikan tetapi tidak
direabsorpsi akan tetap di tubulus dan mengalir ke pelvis ginjal untuk diekskresikan
sebagai urin dan dikeluarkan dari tubuh. Semua yang difiltrasi dan kemudian
direabsorpsi, atau tidak difiltrasi sama sekali, masuk ke darah vena dari kapiler
(Sherwood, 2012).
Tabel 1. komposisi jumlah zat dalam proses filtrasi, reabsorpsi dan ekskresi
(Vander, 2013).
Sumber : Vander et al. Human Physiology: The Mechanism of Body Function.
5) Mekanisme Miksi
Saat volume urin mencapai ambang batas, reseptor regangan akan menangkap
sinyal tersebut dan mengirimkan impuls melalui n.splanchnici pelvici menuju
segmen S2-S4, kemudian ke otak. Impuls juga dapat dikirimkan melalui saraf
simpatis melewati plexus hypogastricus menuju segmen L1-L2, yang selanjutnya
ditransmisikan menuju thalamus kemudian ke cortex cerebri. Pusat otak akan
mengirimkan impuls eferen ke segmen S2-S4 untuk dilanjutkan melalui
n.splanchnici pelvici menuju plexus hypogastrica inferior, kemudian menuju ke
m.detrusor vesicae untuk memicu kontraksi m.detrusor, sekaligus merelaksasikan
sphincter urethrae interna. Segmen S2-S4 juga mampu mengirimkan impuls melalui
n. Pudendus untuk merelaksasikan sphincter urethrae externa sehingga terjadi miksi
(Snell, 2007).
2. Diagnosis banding
GNAPS Sindroma NefrotikEtiologi Sebagian besar (75%)
glomerulonefritis akut paska
streptokokus timbul setelah
infeksi saluran pernapasan
bagian atas, yang disebabkan
oleh kuman Streptokokus beta
hemolitikus grup A tipe 1, 3, 4,
12, 18, 25, 49. Sedang tipe 2,
49, 55, 56, 57 dan 60
menyebabkan infeksi kulit 8-
14 hari setelah infeksi
streptokokus, timbul gejala-
gejala klinis. Infeksi kuman
streptokokus beta hemolitikus
ini mempunyai resiko
terjadinya glomerulonefritis
akut paska streptokokus
berkisar 10-15%. (Rauf, 2012)
Penyebab sindroma nefrotik
secara pasti belum diketahui,
tetapi diduga sebagai akibat
penyakit autoimu, yaitu
melibatkan mekanisme antibodi-
antigen. Eiologi dapat
dikelompokkan menjadi 3 jenis:
(Noer, 2008)
1. Sindroma Nefrotik Bawaan
Diturunkan sebagai resesif
autosomal yang resisten
terhadap semua pengobatan.
Gejala muncul saat masa
neonatus berupa edema di
seluruh tubuh.
2. Sindroma Nefrotik Idiopatik
(Primer)
Diduga berkaitan dengan
reaksi autoimun, alergi, dan
genetik.
3. Sindroma Nefrotik Didapat
(Sekunder)
Malaria Kuartana
Glomerulonefritis akut
atau kronis
Penyakit sel sabit
Amiloidosis
Nefritis membrano
proliferatif
Keganasan:
Adenokarsinoma paru,
payudara, kolon,
limfoma Hodgkin,
myeloma multiple, dan
karsinoma ginjal.
Penyakit jaringan
penghubung:
Lupus Eritematosus
Sistemik, Artritia
Reumatoid, MCTD
(mixed connective
tissue disease).
Efek obat dan toksin
Obat antiinflamasi non-
steroid, preparat emas,
penisilinamin,
probenesid, air raksa,
kaptpril, heroin.
Lain-lain :
Diabetes mellitus,
amiloidosis, pre-
eklamsia, rejeksi alograf
kronik, refluks
vesikoureter, atau
sengatan lebah.
Tanda dan gejala Gambaran klinis
bervariasi. Kadang-kadang
gejala ringan tetapi kadang
juga berat. Gejala yang sering
ditemukan ialah:
Hematuria/ kencing
berwarna merah daging.
Kadang-kadang disertai
edema ringan yang terbatas
di sekitar mata atau di
seluruh tubuh.
Umumnya edem berat
terdapat pada oligouria dan
bila ada gagal jantung.
Hipertensi terdapat pada 60-
70% anak dengan GNA pada
hari pertama kemudian pada
akhir minggu pertama
menjadi normal kembali.
Bila terdapat kerusakan
jaringan ginjal maka tekanan
darah akan tetap tinggi
selama beberapa minggu dan
menjadi permanen bila
penyakit menjadi kronis.
Hipertensi timbul karena
vasospasme atau iskemia
ginjal dan berhubungan
dengan gejala serebrum dan
Tanda dan gejala pada Sindroma
Nefrotik adalah sebagai berikut :
(Noer, 2008)
Berkurangnya nafsu makan
Pembengkakan kelopak
mata, terutama pada pagi
hari saat bangun tidur.
Edema merupakan gejala
utama, bervariasi dari bentuk
ringan sampai berat dan
merupakan gejala satu-
satunya yang Nampak.
Edema mula-mula Nampak
pada kelopak mata terutama
waktu bangun tidur. Edema
yang hebat atau anasarka
sering disertai edema pada
genetalia eksterna. Edema
pada perut terjadi karena
penimbunan cairan. Gejala
yang lainnya adalah edema
lutut dan kantung zakar
(pada pria). Edema yang
terjadi seringkali berpindah-
pindah, pada pagi hari cairan
tertimbun di kelopak mata
atau setelah berjalan, cairan
akan tertimbun di
pergelangan kaki. Selain itu
kelainan jantung. Suhu
badan tidak terlalu tinggi
tapi bisa sangat tinggi pada
hari pertama. Kadang-
kadang gejala panas tetap
ada walaupun tidak ada
gejala ginjal lain yang
mendahuluinya.
Gejala gastrointestinal
seperti muntah, tidak nafsu
makan, konstipasi dan diare
tidak jarang menyertai
penderita GNA. (Rauf,
2012).
Selama fase akut, terdapat
vasokonstriksi arteriola
glomerulus yang
mengakibatkan tekanan
filtrasi menjadi kurang dan
karena hal ini kecepatan
filtrasi glomerulus menjadi
kurang. Filtrasi air, garam,
ureum dan zat lainnya
berkurang, sebagai akibatnya
kadar ureum dan kreatinin
darah meningkat. Fungsi
tubulus relatif kurang
terganggu. Ion natrium dan
air diresorbsi kembali
sehingga diuresis berkurang
(timbul oligouria dan anuria)
dan ekskresi natrium
mengurang. Ureum juga
diresorbsi kembali lebih dari
edema anasarka ini dapat
menimbulkan diare dan
hilangnya nafsu makan
karena edema mukosa usus.
Umbilikalis, dilatasi vena,
prolaks rectum, dan sesak
dapat pula terjadi akibat
edema anasarka ini.
Sesak Napas, terjadi karena
adanya cairan dirongga
sekitar paru-paru (efusi
pleura).
Nyeri perut.
Pengkisutan otot, biasa
tertutupi oleh edema.
Pembengkakan jaringan
akibat penimbunan garam
dan air.
Air kemih berbusa.
Protenuria : > 3.0 gr/24 jam.
Perubahan pada membrana
dasar glomerulus
menyebabkan peningkatan
permebilitas glomerulus
terhadap protein plasma
yaitu albumin.
Hipoalbuminemia : albumin
serum 3,5 g/1,73m2 luas
permukaan tubuh/hari),
hipoalbuminemi (<3 g/dl),
edema, hiperlipidemi,
lipiduri dan
hiperkoagulabilitas.
biasanya. Akhirnya terjadi
insufisiensi ginjal akut
dengan uremia,
hiperfosfatemia, hidremia
dan asidosis metabolic.
Pasien akan mengalami
sindrom nefritik akut setelah
1-2 minggu dari infeksi
streptococcus tipe faringitis
secara antesenden dan
setelah 3-6 minggu infeksi
streptococcus tipe pioderma.
Tingkat keparahan
keterlibatan ginjal bervariasi
dari hematuria mikroskopis
yang asimptomatik dengan
fungsi ginjal yang masih
normal hingga gagal ginjal
akut. Bergantung pada
tingkat keparahan
keterlibatan ginjal, pasien
akan mengalami berbagai
derajat edema, hipertensi,
dan oligouria. Pasien
mungkin akan berkembang
menjadi encefalopati dan
atau gagal jantung akibat
dari hipertensi atau
hipervolemia. Encefalopati
juga bisa disebabkan oleh
efek toksik secara langsung
dari streptococcus pada
sistem syaraf pusat. Edema
biasanya disebabkan oleh
adanya retensi garam dan air.
Sindrom nefrotik juga bisa
muncul pada 10-20% kasus.
Gejala nonspesifik seperti
malaise, letargi, nyeri
abdominal dan flank, dan
demam merupakan gejala
yang paling umum dirasakan
pasien. Fase akut pada
umumnya akan sembuh
dalam 6-8 minggu.
Meskipun ekskresi protein
urin dan hipertensi akan
normal kembali dalam 4-6
minggu setelah onset.
Namun hematuri
mikroskopis dapat bertahan
hingga 1-2 tahun setelah
kemunculan yang pertama
kali. (Rauf, 2012)
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dari
penyakit ini meliputi : (Rauf,
2012)
Riwayat infeksi saluran
nafas atas (faringitis) 1-2
minggu sebelumnya atau
infeksi kulit (pyoderma) 3-
6 minggu sebelumnya.
Umumnya pasien datang
dengan hematuria yang
nyata atau sembab di kedua
kelopak mata dan tungkai.
Hematuria. Gross
hematuria adalah tanda
Pada pemeriksaan fisik
harus disertai pemeriksaan berat
badan, tinggi badan, lingkar
perut, dan tekanan darah. Dalam
laporan ISKDC (International
study of kidney diseases in
children), pada SNKM
ditemukan 22% dengan
hematuria mikroskopik, 15-20%
disertai hipertensi, dan 32%
dengan peningkatan kadar
kreatinin dan ureum darah yang
bersifat sementara (Noer, 2008).
Dapat ditemukan edema
umum kedua setelah
edema. Hematuria ini
dideskripsikan pasien
sebaga air kencing yang
berwarna seperti teh atau
cola. Warna coklat pada
kencing ini akibat
terjadinya hemolisis sel
darah merah dengan
pembebasan hemoglobin
yang kemudian diubah
menjadi hematin pada
suasana urin yang asam.
Kadang-kadang pasien
datang dengan kejang dan
penurunan kesadaran
akibat ensefalopati
hipertensi.
Oligouria/anuria akibat
gagal ginjal atau gagal
jantung.
Edema. Edema adalah
manifestasi klinis yang
paling umum pada pasien
GNAPS, yaitu 90% kasus.
Edema biasa terjadi di pagi
hari pada bagian
periorbital. Ekstremitas
bagian bawah adalah lokasi
kedua untuk retensi cairan.
Biasanya tidak dijumpai
ascites atau efusi pleura
kecuali pada pasien dengan
sindrom nefrotik. Derajat
di kedua kelopak mata (puffy
eyelids), tungkai atau adanya
ascites atau edema skrotum atau
labia. Kadang-kadang
ditemukan., tanda-tanda
hipertensi, dan striae pada kulit
akibat edema (Noer, 2008).
edema tergantung pada
jumlah garam dalam diet.
Pasien dengan edema yang
kurang jelas, dapat
kehilangan 1-2 kg berat
badan selama masa
penyembuhan.
Hipertensi. Hipertensi
terjadi pada 70-82% kasus,
dan dapat memberat pada
setengah dari persentase
tersebut. Hipertensi
biasanya muncul
bersamaan onset GNAPS.
Hipertensi pada pasien
GNAPS berhubungan
dengan ekspansi volume
intravaskular dan
ekstravaskuler hingga
vasospasme akibat faktor
neurogenik dan hormonal.
Hipertensi pada GNAPS
adalah bentuk ‘volume-
dependent-hypertension’,
sehingga restriksi cairan
dan garam serta pemberian
diuretik dan vasodilator
mampu mengontrol
kejadian hipertensi dengan
optimal.
Hipertensif Ensefalopati.
Gejala serebral biasanya
berhubungan dengan
peningkatan tekanan darah
akut. Gejala ini dilaporkan
terjadi pada 5-10% kasus.
Manifestasi cerebral akut
yang paling umum adalah
sakit kepala, nausea,
muntah, gangguan
kesadaran dan kejang.
Gagal jantung kongestif /
Edem Pulmo. Bukti klinis
adanya gagal jantung
kongestif yaitu adanya
takikardi, takipneu,
respiratory distress, ritme
gallop, dan pembesaran
hepatik dan adanya bukti
radiologis adanya edem
pulmonum yaitu infiltrat
pada alveolar pulmo,
cardiomegali, dan
penebalan septum terjadi
pada 20% kasus.
Hipertensi dan
hipervolemia adalah faktor
primer yang menghasilkan
gejala gagal jantung
kongestif. Pada GNAPS,
volume plasma pada pasien
meningkat, dan bahwa
terdapat hubungan yang
nyata antara volume darah
dengan gejala edem
pulmonal. Pada anak
dengan distress respiratory,
dan foto thoraks dengan
cardiomegali dan edem
pulmonal, maka analiusa
urin harus segera dilakukan
untuk mendiagnosis
glomerulonefritis akut.
Hemoptisis (perdarahan
pulmonal) juga dapat
terjadi pada GNAPS.
Pemeriksaan Penunjang Pada pemeriksaan
penunjang didapati : (Rauf,
2012)
Hematuria mikroskopis
biasanya muncul pada
semua pasien. Pemeriksaan
urin mengungkapkan kadar
RBCs dengan bukti
hematuria glomerular, dan
silinder eritrosit dapat
dilihat pada spesimen urin
segar.
Proteinuria muncul pada 80%
kasus dengan GNAPS.
Meskipun begitu
proteinuria masif hanya
muncul pada 4-10%
pasien.
Kadar serum komplemen C3
didapatkan turun pada 80-
95% kasus jika pengukuran
dilakukan 2 minggu awal
penyakit. Kadar
komplemen biasanya akan
Pemeriksaan penunjang
untuk mendukung diagnosis
sindrom nefrotik, antara lain
(Noer, 2008):
Urinalisis (bila perlu lakukan
biakan urin)
Biakan urin dilakukan
apabila terdapat gejala klinik
yang mengarah pada infeksi
saluran kemih (ISK).
Protein urin kuantitatif
Pemeriksaan dilakukan
dengan menggunakan urin 24
jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin
pertama pagi hari.
Pemeriksaan darah
1) Darah tepi lengkap
(hemoglobin, leukosit,
hitung jenis leukosit,
trombosit, hematokrit,
LED)
2) Albumin dan kolesterol
serum
kembali normal pada 6-8
minggu. Kadar komplemen
yang ,menetap lebih dari 8
minggu mengindikasikan
penyebab lain dari
glomerulonefritis .
Fungsi ginjal : azotemia timbul
pada GNAPS, biasanya
terdapat penurunan ringan
hingga sedang dari laju
filtrasi glomerulus. Serum
kreatinin biasanya tidak
lebih dari 150 micromole/L
pada sebagian besar pasien.
Anemia biasanya timbul
ringan berhubungan
dengan ekspansi volume
plasma (anemia dilusi).
Laju sedimentasi meningkat
selama fase akut penyakit.
Kreatinin dan ureum darah
meningkat.
ASTO meningkat pada 75-
80% kasus
Kultur tenggorok positif
mendukung diagnosis atau
menunjukkan bahwa
seseorang adalah carrier.
Dengan kata lain, titer
antibody yang naik
terhadap antigen
streptococcus
mengkonfirmasi infeksi
streptococcus yang baru
3) Ureum, kreatinin, dan
klirens kreatinin
Kadar komplemen C3
Apabila terdapat kecurigaan
lupus erimatosus sistemik,
pemeriksaan ditambah
dengan komplemen C4,
ANA (anti nuclear
antibody), dan anti ds-DNA.
terjadi.
Jika terjadi komplikasi gagal
ginjal akut, didapatkan
hiperkalemia, asidosis
metabolic, hiperfosfatemia
dan hipokalsemia.
Biopsi ginjal harusnya
dipertimbangkan bila
hanya dijumpai gagal
ginjal akut, sindrom
nefrotik, tidak ada bukti
infeksi streptococcus atau
kadar komplemen yang
normal. Biopsi ginjal juga
dianjurkan bila terdapat
hematuria, proteinuria,
hilangnya fungsi ginjal dan
kadar C3 yang menetap
selama 2 bulan setelah
onset.
3. Penegakan Diagnosis GNAPS dan Sindroma Nefrotik
Gambaran klinis dapat bermacam-macam. Kadang-kadang gejala ringan tetapi tidak
jarang anak datang dengan gejala berat. Kerusakan pada rumbai kapiler gromelurus
mengakibatkan hematuria/kencing berwarna merah daging dan albuminuria, seperti yang telah
dikemukakan sebelumnya. Urine mungkin tampak kemerah-merahan atau seperti kopi Kadang-
kadang disertai edema ringan yang terbatas di sekitar mata atau di seluruh tubuh.
Umumnya edema berat terdapat pada oliguria dan bila ada gagal jantung. Edema yang
terjadi berhubungan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG/GFR) yang mengakibatkan
ekskresi air, natrium, zat-zat nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan azotemia.
Peningkatan aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan natrium. Dipagi hari sering
terjadi edema pada wajah terutama edem periorbita, meskipun edema paling nyata dibagian
anggotaGFR biasanya menurun (meskipun aliran plasma ginja biasanya normal) akibatnya,
ekskresi air, natrium, zat-zat nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan azotemia.
Peningkatan aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan natrium. Dipagi hari sering
terjadi edema pada wajah terutama edem periorbita, meskipun edema paling nyata dibagian
anggota bawah tubuh ketika menjelang siang. Derajat edema biasanya tergantung pada berat
peradangan gelmurulus, apakah disertai dnegan payah jantung kongestif, dan seberapa cepat
dilakukan pembatasan garam (Price, 2009).
Hipertensi terdapat pada 60-70% anak dengan GNA pada hari pertama, kemudian pada
akhir minggu pertama menjadi normal kembali. Bila terdapat kerusakan jaringan ginjal, maka
tekanan darah akan tetap tinggi selama beberapa minggu dan menjadi permanen bila keadaan
penyakitnya menjadi kronis. Suhu badan tidak beberapa tinggi, tetapi dapat tinggi sekali pada hari
pertama. Kadang-kadang gejala panas tetap ada, walaupun tidak ada gejala infeksi lain yang
mendahuluinya. Gejala gastrointestinal seperti muntah, tidak nafsu makan, konstipasi dan diare
tidak jarang menyertai penderita GNA (Wiguno, 2010).
a. Gold standart GNAPS
1) Adanya infeksi streptokokus harus dicari dengan melakukan biakan tenggorok dan kulit.
Biakan mungkin negatif apabila telah diberi antimikroba sebelumnya. Beberapa uji
serologis terhadap antigen streptokokus dapat dipakai untuk membuktikan adanya
infeksi, antara lain antistreptozim, ASTO, antihialuronidase, dan anti Dnase B. Skrining
antistreptozim cukup bermanfaat oleh karena mampu mengukur antibodi terhadap
beberapa antigen streptokokus.
2) Titer anti streptolisin O mungkin meningkat pada 75-80% pasien dengan GNAPS dengan
faringitis, meskipun beberapa strain streptokokus tidak memproduksi streptolisin O,
sebaiknya serum diuji terhadap lebih dari satu antigen streptokokus. Bila semua uji
serologis dilakukan, lebih dari 90% kasus menunjukkan adanya infeksi streptokokus, titer
ASTO meningkat pada hanya 50% kasus (Wiguno et al, 2010).
b. Sindroma Nefrotik
Diagnosis SN didapatkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Kriteria diagnostik sindrom nefrotik meliputi (Prodjosudjadi, 2010):
1) Proteinuria massif >3-3.5 g/24 jam atau rasio protein:kreatinin urin spot >300-350
mg/mmol.
2) Serum albumin <2,5 gr/dl.
3) Manifestasi klinis edema anasarka.
4) Hiperlipidemia (kolesterol total sering >10 mmol/l) sering menyertai
4. Patogenesis dan Patofisiologi GNAPS
Glomerulonefritis adalah penyakit akibat respon imunologik dan hanya jenis
tertentu saja yang secara pasti telah diketahui etiologinya. Secara garis besar dua
mekanisme terjadinya glomerulonephritis yaitu circulating immune complex dan
terbentuknya deposit kompleks imun secara in-situ. Antigen yang berperan pada
pembentukan deposit in-situ dapat berasal dari komponen membrane basal glomerulus
sendiri atau substansi dari luar yang terjebak pada glomerulus (Sudoyo, 2009).
Mekanisme pertama apabila antigen dari luar memicu terbentuknya antibody
spesifik, kemudian membentuk kompleks imun antigen antibody yang ikut dalam
sirkulasi. Kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen yang kemudian
berikatan denga kompleks antigen antibodi. Kompleks imun yang mengalir dalam
sirkulasi akan terjebak pada glomerulus dan mengendap di sub-endotel dan mesangium.
Aktivasi sistem komplemen akan terus berlanjut setelah terjadi pengendapan kompleks
imun (Sudoyo, 2009).
Mekanisme kedua apabila antibodi secara langsung berikatan dengan antigen
yang merupakan komponen glomerulus. Kerusakan glomerulus tidak langsung
disebabkan oleh endapan kompleks imun. Berbagai faktor seperti proses inflamasi, sel
inflamasi, mediator inflamasi dan komplemen berperan pada kerusakan glomerulus.
Kerusakan glomerulus dapat pula terjadi sebagai implikasi langsung akibat imunitas
selular melalui sel T yang tersensitisasi (Sudoyo, 2009).
Kerusakan awal pada glomerulus disebabkan oleh proses inflamasi yang dipicu
oleh endapan kompleks imun. Proses inflamasi akan melibatkan sel inflamasi, molekul
adesi dan kemokin yaitu sitokin yang mempunyai efek kemotaktik. Proses inflamasi
diawalai dengan melekat dan brgulirnya sel inflamasi pada permukaan sel endotel. Proses
ini dimediasi oleh molekul adesi selektin L, E dan P yang secara berturut-turut terdapat
pada permukaan leukosit, endotel dan trombosit. Molekul CD31 atau PECAM1 yang
dilepaskan oleh sel endotel akan merangsang aktivasi sel inflamasi. Reaksi ini
menyebabkan ekspresi molekul adesi integrin pada permukaan sel inflamasi meningkat
dan perlekatan sel inflamasi dengan sel endotel semakin kuat. Perlekatan ini dimediasi
oleh VL4 dan VCAM1 pada sel endotel yang teraktivasi. Ikatan LFA1 dengan ICAM1
pada sel endotel akan lebih mempererat perlekatan tersebut (Sudoyo, 2009).
Proses selanjutnya adalah migrasi sel inflamasi melalui celah antar sel endotel.
Kemokin mempunyai efek kemotaktik yaitu kemampuan untuk menarik sel inflamasi
keluar dari dalam pembuluh darah menuju jaringan. Dengan pengaruh kemokin akan
semakin banyak sel inflamasi yang bermigrasi ke jaringan sehingga proses inflamasi
menjadi lebih berat. Sel inflamasi yang banyak dikaitkan dengan kerusakan glomerulus
pada glomerulonefiritis adalah leukosit PMN dan makrofag. Trombosit dan produk
koagulasinya juga ikut berperan pada proses inflamasi tersebut. Interaksi antara makrofag
dengan sel glomerulus seperti sel mesangial, sel epitek atau sel endotel akan
menyebabkan sel tersebut teraktivasi dan melepaskan berbagai mediator inflamasi.
Trombosit yang lebih banyak berperan pada sistem koagulasi akan menyebabkan oklusi
kapiler, proliferasi sel endotel, dan mesangial pada glomerulonefritis (Sudoyo, 2009).
Komplemen terbukti dengan ditemukannya endapan pada pemeriksaan mikroskop
imunofluoresen biopsy ginjal pasien glomerulonephritis. Kadar serum komplemen yang
rendah pada nefritid lupus dan GN pasca infeksi Streptococcus akut memperkuat kaitan
antara komplemen dengan GN. Dalam keadaan normal komplemen berperan sebagai
mekanisme pertahanan humoral. Dua jalur aktivasi sistem komplemen yaitu klasik dan
alternative. Kompleks imun yang mengandung IgG atau IgM akan mengaktivasi jalur
klasik sedangkan aktivasi jalur alternative dipicu oleh kompleks imun yang mengandung
IgA atau IgM (Sudoyo, 2009).
Kerusakan glomerulus terjadi akibat terbentknya fragmen komplemen aktif yang
berasal dari aktivasi sistem komplemen.fragmen complemen C3a, C4a, C5a bersifat
anafilatoksin sedangkan C5a mempunyai efek kemotaktik terhadap leukosit. Endapan
kompleks imun sub epitel akan mengaktivasi jalur klasik dan menghasilan MAC. Dalam
jumlah besar MAC akan menyebabkan lisis sel epitel glomerulus seperti pada GNMN.
Sebaliknya jika tidak terjadi lisis akan mengaktivasi sel epitel glomerulus dan
membentuk kolagen serta produk metabolism asam arakhindonat yang bersifat protektif.
Endapan endapan C3b pada MBG menyebabkan terjadi perlekatan sel inflamasi dengan
C3b melalui reseptor komplemen CR1 yang terdapat pada permukaan sel dan akan
dilepaskan berbagai protease yang dapat menyebabkan kerusakan glomerulus (Sudoyo,
2009).
Kerusakan glomerulus dapat menyebabkan proteinuria karena glomerulus tidak
dapat melakukan filtrasi dengan baik sehingga protein yang seharusnya difiltrasi masuk
kedalam urin dan menyebabkan urin bertambah pekat. Protein yang tidak dapat difiltrasi
oleh ginjal akan berkurang terus-menerus dalam tubuh sehingga kadar albumin dalam
tubuh menurun atau disebut dengan hipoalbumin dan menyebabkan tekanan osmotic
dalam plasma menurun dan tekanan hidrostatik ginjal meningkat, dan akhirnya terjadi
edem pada jaringan intersisial. Selain protein yang tidak dapat difiltrasi oleh ginjal,
semua kandungan yang berada didalam plasma darah masuk kedalam ginjal seperti sel
darah merah dan menyebabkan urin berwarna kemerahan atau pekat. Semakin lama laju
glomerulus filtrasi akan semakin menurun sehingga urin yang dihasilkan pun semakin
sedikit atau oligouri atau anuri (Sudoyo, 2009).
DAPUS
Rauf Syarifuddin, Albar Husein, Aras Jusli. Konsensus Glomerulonefritis Akut
Pasca Streptokokus. Jakarta: IDAI; 2012.
Sudoyo, Aru W., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi kelima Jilid
II. Jakarta : Interna Publishing
Noer MS. Sindroma Nefrotik. Kompendium Nefrologi Anak. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012.
Prodjosudjadi. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Sindrom Nefrotik.
Jakarta : Interna Publishing.
Price, Sylvia Anderson. 2009. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Jakarta: EGC
Wiguno. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Glomerulonefritis. Jakarta :
Interna Publishing.