Upload
sari-prasili-suddin
View
37
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
jsjsjssj
Citation preview
Makalah PBL-5 Blok 30
Penerapan Etika Kedokteraan pada Dugaan Kasus
Kelalaian Medik
Alessandrasesha Santoso*
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6 Kebon Jeruk, Jakarta 11510
*Email : [email protected]
BAB I
Pendahuluan
Beberapa tahun terakhir ini kasus penututan terhadapa dokter atas dugaan
adanya kelalaian medis semakin meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Seirama dengan itu telah tercatat jumlah kasus pengaduan dugaan pelanggaran etika
kedokteran yang diajurkan ke MKEK juga meningkat. Di Jakarta sendiri setiap tahun
terdapat beberapa kasus kelalaian dokter yang diajukan ke pengadilan. Jumlah
tuntutan ganti rugi berkisar antara puluhan juta rupiah hingga 100 milyar rupiah.
Bahkan akhir-akhir ini juga terdapat beberapa kasus tersebut yang mengakibatkan
kematian yang menyangkut dokter atau petugas rumah sakit.
Dalam profesi kedokteran, komunikasi dokter - pasien merupakan salah satu
kompetensi yang harus dikuasai dokter. Kompetensi komunikasi menentukan
keberhasilan dalam membantu penyelesaian masalah kesehatan pasien. Selama ini
kompetensi komunikasi dapat dikatakan terabaikan, baik dalam pendidikan maupun
dalam praktik kedokteran/kedokteran gigi. Di Indonesia, sebagian dokter merasa tidak
mempunyai waktu yang cukup untuk berbincang-bincang dengan pasiennya, sehingga
hanya bertanya seperlunya. Akibatnya, dokter bisa saja tidak mendapatkan keterangan
yang cukup untuk menegakkan diagnosis dan menentukan perencanaan dan tindakan
lebih lanjut.
Dari sisi pasien, umumnya pasien merasa dalam posisi lebih rendah di
hadapan dokter, sehingga takut bertanya dan bercerita atau hanya menjawab sesuai
pertanyaan dokter saja. Tidak mudah bagi dokter untuk menggali keterangan dari
pasien karena memang tidak bisa diperoleh begitu saja. Perlu dibangun hubungan
saling percaya yang dilandasi keterbukaan, kejujuran dan pengertian akan kebutuhan,
1
harapan, maupun kepentingan masing-masing. Dengan terbangunnya hubungan saling
percaya, pasien akan memberikan keterangan yang benar dan lengkap sehingga dapat
membantu dokter dalam mendiagnosis penyakit pasien secara baik dan memberi obat
yang tepat bagi pasien.
Komunikasi yang baik dan berlangsung dalam kedudukan setara sangat
diperlukan agar pasien mau atau dapat menceritakan sakit dan keluhan yang
dialaminya secara jujur dan jelas. Komunikasi efektif mampu mempengaruhi emosi
pasien dalam pengambilan keputusan tentang rencana tindakan selanjutnya,
sedangkan komunikasi tidak efektif akan mengundang masalah.
BAB II
Pembahasan
Etika Kedokteran
Di dalam menentukan tindakan di bidang kesehatan atau kedokteran, selain
mempertimbangkan keempat kebutuhan dasar di atas, keputusan hendaknya juga
mempertimbangkan hak-hak asasi pasien. Pelanggaran atas hak pasien akan
mengakibatkan juga pelanggaran atas kebutuhan dasar di atas terutama kebutuhan
kreatif dan spiritual pasien.1
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar-salahnya
suatu sikap dan atau perbuatan seseorang individu dilihat dari moralitas. Penilaian
baik - buruk dan benar - salah dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori
etika yang cukup banyak jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang paling banyak
dianut orang adalah teori deontologi dan teleologi.1
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa deontologi mengajarkan baik buruknya
suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatannya itu sendiri (I Kant), sedangkan
teleologi mengajarkan untuk menilai baik buruk tindakan dengan melihat hasilnya
atau akibatnya (D Hume, J bentham, JS Mills). Deontologi lebih mendasarkan kepada
ajaran agama, tradisi dan budaya, sedangkan teleologi lebih ke arah penalaran
(reasoning) dan pembenaran (justifikasi) kepada azas manfaat (utilitarian).3
Beauchamp dan Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke
suatu keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral (moral principle), yaitu:1,3
2
1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien,
terutama hak otonomi pasien (the right to self determination). Prinsip moral
inilah yang kemudian melahirkan doktrin informed consent;
2. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang
ditujukan ke kebaikan pasien. dalam beneficence tidak hanya dikenal
perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya
(manfaat) lebih besar daripada sisi buruknya;
3. Prinsip non maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non
nocere” atau “above all do no harm”;
4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan
dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice).
Sedangkan rules derivatnya adalah veracity (berbicara benar, jujur dan
terbuka), privacy (menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga
kerahasiaan pasien) dan fidelity (loyalitas dan promise keeping).1
Selain prinsip atau kaidah dasar moral di atas yang harus dijadikan pedoman
dalam mengambil keputusan klinis, profesional kedokteran juga mengenal etika
profesi sebagai panduan dalam bersikap dan berperilaku (code of ethical conduct).
Sebagaimana diuraikan pada pendahuluan, nilai – nilai dalam etika profesi tercermin
di dalam sumpah dokter dan kode etik kedokteran. Sumpah dokter berisikan suatu
“kontrak moral” antara dokter dengan Tuhan sang penciptanya, sedangkan kode etik
kedokteran berisikan “kontrak kewajiban moral” antara dokter dengan peer groupnya,
yaitu masyarakat profesinya.1
Baik sumpah dokter maupun kode etik kedokteran berisikan sejumlah
kewajiban moral yang melekat kepada para dokter. Meskipun kewajiban tersebut
bukanlah keajiban hukum sehingga tidak dapat dipaksakan secara hukum, namun
kewajiban moral tersebut haruslah menjadi “pemimpin” dari kewajiban dalam hukum
kedokteran. Hukum kedokteran yang baik haruslah hukum yang etis.2
Etika Klinik
Pembuatan keputusan etik, terutama dalam situasi klinik, dapat juga dilakukan
dengan pendekatan yang berbeda dengan pendekatan kaidah dasar moral di atas.
Jonsen, Siegler dan Winsdale (2002) mengembangkan teori etik yang menggunakan 4
3
topik yang esensial dalam pelayanan klinik, yaitu:Medical indication, Patient
preferrences, Quality of life, dan Contextual features.1
Ke dalam topic medical indication dimasukkan semua prosedur diagnostic dan
terapi yang sesuai untuk mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya. Penilaian
aspek indikasi medis ini ditinjau dari sisi etiknya, terutama menggunakan caída
beneficence dan nonmaleficence. Pertanyaan etika pada topik ini adalah serupa
dengan seluruh informasi yang selayaknya disampaikan lepada pasien pada doktrin
informed consent.1
Pada topik patient preferrence kita memperhatikan nilai (value) dan penilaian
pasien tentang manfaat dan beban yang akan diterimanya, yang berarti cerminan caída
autonomy. Pertanyaan etiknya meliputi pertanyaan tentang kompetensi pasien, sifat
volunter sikap dan keputusannya, pemahaman atas informasi, siapa pembuat
keputusan bila pasien tidak competen, nilai dan keyakinan yang dianut pasien.1
Topik quality of life merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran, yaitu
memperbaiki, menjaga atau meningkatkan koalitas hidup insani. Apa, siapa dan
bagaimana melakukan penilaian koalitas hidup merupakan pertanyaan etik sekitar
prognosis, yang berkaitan dengan beneficence, non-maleficence dan autonomy.1
Dalam contextual features dibahas pertanyaan etik seputar aspek nonmedis yang
mempengaruhi keputusan, seperti factor keluarga, ekonomi, agama, budaza,
kerahasiaan, alokasi sumber daya dan factor hukum.1
Kode Etik Kedokteran Indonesia
Merupakan pedoman bagi dokter Indonesia anggota IDI dalam melaksanakan
praktek kedokteran. Tertuang dalam SK PB IDI no 221/PB/A.4/04/2002 tanggal 19
April 2002 tentang penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia.4
Kode Etik Kedokteran Indonesia pertama kali disusun pada tahun 1969 dalam
Musyawarah Kerja Susila Kedokteran Indonesia. Dan sebagai bahan rujukan yang
dipergunakan pada saat itu adalah Kode Etik Kedokteran Internadional yang telah
disempurnakan pada tahun 1968 melalui Muktamar Ikatan Dokter Sedunia ke 22,
yang kemudian disempurnakan lagi pada MuKerNas IDI XIII, tahun 1983.4
i. Kewajiban umumnya, antara lain sebagai berikut:1,4
Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.
Pasal 2
4
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan
standard profesi yang tertinggi.
Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi
oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.
Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun
fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh
persetujuan pasien.
Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati hati dalam mengumumkan dan menerapkan
setiap penemuan tehnik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal
hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa
sendiri kebenarannya.
Pasal 7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktek medisnya, memberikan pelayanan medis
yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih
sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
Pasal 7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki
kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau
penggelapan, dalam menangani pasien.
Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak hak pasien, hak hak sejawatnya, dan hak
tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.
Pasal 7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup mahluk
insani.
Pasal 8
5
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan
masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh
(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta
berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar benarnya.
Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat dibidang kesehatan dan bidang
lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.
ii. Kewajiban dokter terhadap pasiennya, antara lain sebagai berikut:1,4
Pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
ketrampilannya untuk kepentingan pasien.
Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka
atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai
keahlian dalam penyakit tersebut.
Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat
berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam
masalah lainnya.
Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang
pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya.
iii. Kewajiban dokter terhadap teman sejawat, antara lain sebagai berikut:1,4
Pasal 14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan.
Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan
persetujuan/berdasarkan prosedur etis.
6
iv. Kewajiban dokter terhadap diri sendiri, antara lain sebagai berikut:1,4
Pasal 16
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.
Pasal 17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
tehnologi kedokteran /kesehatan.
Hubungan Kesejawatan
Pertumbuhan pengetahuan ilmiah yang berkembang pesat disertai aplikasi
klinisnya membuat pengobatan menjadi kompleks. Dokter secara individu tidak bisa
menjadi ahli untuk semua penyakit yang diderita oleh pasiennya, sedangkan
perawatan tetap harus diberikan sehingga membutuhkan bantuan dokter spesialis lain
dan profesi kesehatan yang memiliki keterampilan khusus seperti perawat, ahli
farmasi, fisioterapis, teknisi laboratorium, pekerja social dan lainnya.5
Seorang dokter sebagai anggota profesi kesehatan, diharapkan memperlakukan
profesi kesehatan lain lebih sebagai anggota keluarga dibandingkan sebagai orang
lain, bahkan sebagai teman. Deklarasi Geneva dari WMA juga memuat janji :
”Kolega saya akan menjadi saudara saya”. Interpretasi janji ini bervariasi dari satu
negara dan negara lain sepanjang waktu.5
Dalam tradisi etika kedokteran Hippocrates, dokter memiliki hutang
penghargaan khusus terhadap guru mereka. Deklarasi Geneva menyatakan: ”Saya
akan memberikan guru saya penghormatan dan terima kasih yang merupakan hak
mereka”.5
Sebagai balasan atas kehormatan yang diberikan masyarakat dan kepercayaan
yang diberikan oleh pasien, maka profesi kesehatan harus membangun standar
perilaku yang tinggi untuk anggotanya dan prosedur pendisiplinan dalam menyelidiki
tuduhan adanya tindakan yang tidak benar dan jika perlu menghukum yang berbuat
salah. Kewajiban untuk melaporkan kolega yang melakukan tindakan yang tidak
kompeten, mencelakakan, perbuatan tidak senonoh ditekankan dalam Kode Etik
Kedokteran Internasional yang dikeluarkan oleh WMA menyatakan:
”Dokter harus berusaha keras untuk menyatakan kekurangan karakter dan
kompetensi dokter ataupun yang terlibat dalam penipuan atau kecurangan”.
7
Penerapan prinsip ini tidaklah mudah, di satu sisi seorang dokter mungkin
menyerang reputasi koleganya karena motif yang tidak benar seperti karena rasa iri
atau terhina oleh koleganya. Dokter juga merasa sungkan atau ragu untuk melaporkan
tindakan koleganya yang tidak benar karena simpati atau persahabatan. Konsekuensi
pelaporan tersebut dapat berakibat kurang baik bagi yang melapor, yang tertuduh atau
bahkan dari kolega lain.5
Kerjasama Dokter Dengan Sejawat
1. Merujuk pasien
Pada pasien rawat jalan, karena alasan kompetensi dokter dan keterbatasan
fasilitas pelayanan, dokter yang merawat harus merujuk pasien pada sejawat lain
untuk mendapatkan saran, pemeriksaan atau tindakan lanjutan. Bagi dokter yang
menerima rujukan, sesuai dengan etika profesi, wajib menjawab/memberikan advis
tindakan akan terapi dan mengembalikannya kepada dokter yang merujuk. Dalam
keadaan tertentu dokter penerima rujukan dapat melakukan tindakan atau perawatan
lanjutan dengan persetujuan dokter yang merujuk dan pasien. Setelah selesai
perawatan dokter rujukan mengirim kembali kepada dokter yang merujuk.5
Pada pasien rawat inap, sejak awal pengambilan kesimpulan sementara, dokter
dapat menyampaikan kepada pasien kemungkinan untuk dirujuk kepada sejawat lain
karena alasan kompetensi. Rujukan dimaksud dapat bersifat advis, rawat bersama atau
alih rawat. Pada saat meminta persetujuan pasien untuk dirujuk, dokter harus memberi
penjelasan tentang alasan, tujuan dan konsekuensi rujukan termasuk biaya, seluruh
usaha ditujukan untuk kepentingan pasien. Pasien berhak memilih dokter rujukan, dan
dalam rawat bersama harus ditetapkan dokter penanggung jawab utama.5
Dokter yang merujuk dan dokter penerima rujukan, harus mengungkapkan
segala informasi tentang kondisi pasien yang relevan dan disampaikan secara tertulis
serta bersifat rahasia. Jika dokter memberi pengobatan dan nasihat kepada seorang
pasien yang diketahui sedang dalam perawatan dokter lain, maka dokter yang
memeriksa harus menginformasikan kepada dokter pasien tersebut tentang hasil
pemeriksaan, pengobatan, dan tindakan penting lainnya demi kepentingan pasien.5
2. Bekerjasama dengan sejawat
Dokter harus memperlakukan teman sejawat tanpa membedakan jenis
kelamin, ras, kecacatan, agama/kepercayaan, usia, status social atau perbedaan
kompetensi yang dapat merugikan hubungan profesional antar sejawat.5
8
Seorang dokter tidak dibenarkan mengkritik teman sejawat melalui pasien yang
mengakibatkan turunnya kredibilitas sejawat tersebut. Selain itu tidak dibenarkan
seorang dokter memberi komentar tentang suatu kasus, bila tidak pernah memeriksa
atau merawat secara langsung.5
3. Bekerjasama dalam tim
Asuhan kesehatan selalu ditingkatkan melalui kerjasama dalam tim
multidisiplin. Apabila bekerja dalam sebuah tim, dokter harus:5
a. Menunjuk ketua tim selaku penanggung jawab.
b. Tidak boleh mengubah akuntabilitas pribadi dalam perilaku keprofesian dan
asuhan yang diberikan.
c. Menghargai kompetensi dan kontribusi anggota tim.
d. Memelihara hubungan profesional dengan pasien.
e. Berkomunikasi secara efektif dengan anggota tim di dalam dan di luar tim.
f. Memastikan agar pasien dan anggota tim mengetahui dan memahami siapa
yang bertanggung jawab untuk setiap aspek pelayanan pasien.
g. Berpartisipasi dalam review secara teratur, audit dari standar dan kinerja tim,
serta menentukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memperbaiki
kinerja dan kekurangan tim.
h. Menghadapi masalah kinerja dalam pelaksanaan kerja tim dilakukan secara
terbuka dan sportif.
4. Memimpin tim
Dalam memimpin sebuah tim, seorang dokter harus memastikan bahwa:5
a. Anggota tim telah mengacu pada seluruh acuan yang berkaitan dengan
pelaksanaan dan pelayanan kedokteran
b. Anggota tim telah memenuhi kebutuhan pelayanan pasien
c. Anggota tim telah memahami tanggung jawab individu dan tanggung jawab
tim untuk keselamatan pasien. Selanjutnya, secara terbuka dan bijak mencatat
serta mendiskusikan permasalahan yang dihadapi
d. Acuan dari profesi lain dipertimbangkan untuk kepentingan pasien
e. Setiap asuhan pasien telah terkoordinasi secara benar, dan setiap pasien harus
tahu siapa yang harus dihubungi apabila ada pertanyaan atau kekhawatiran
f. Pengaturan dan pertanggungjawaban pembiayaan sudah tersedia
9
g. Pemantauan dan evaluasi serta tindak lanjut dari audit standar pelayanan
kedokteran dan audit pelaksanaan tim dijalankan secara berkala dan setiap
kekurangan harus diselesaikan segera
h. Sistem sudah disiapkan agar koordinasi untuk mengatasi setiap permasalahan
dalam kinerja, perilaku atau keselamatan anggota tim dapat tercapai
i. Selalu mempertahankan dan meningkatkan praktek kedokteran yang benar dan
baik.
5. Mengatur dokter pengganti
Ketika seorang dokter berhalangan, dokter tersebut harus menentukan dokter
pengganti serta mengatur proses pengalihan yang efektif dan komunikatif dengan
dokter pengganti. Dokter pengganti harus diinformasikan kepada pasien.5
Dokter harus memastikan bahwa dokter pengganti mem¬punyai kemampuan,
pengalaman, pengetahuan, dan keahlian untuk mengerjakan tugasnya sebagai dokter
pengganti. Dokter pengganti harus tetap bertanggung jawab kepada dokter yang
digantikan atau ketua tim dalam asuhan medis.5
6. Mematuhi tugas
Seorang dokter yang bekerja pada institusi pelayanan/ pendidikan kedokteran
harus mematuhi tugas yang digariskan pimpinan institusi, termasuk sebagai dokter
pengganti.5
Dokter penanggung jawab tim harus memastikan bahwa pasien atau keluarga
pasien mengetahui informasi tentang diri pasien akan disampaikan kepada seluruh
anggota tim yang akan memberi perawatan. Jika pasien menolak penyampaian
informasi tersebut, dokter penanggung jawab tim harus menjelaskan kepada pasien
keuntungan bertukar informasi dalam pelayanan kedokteran.5
7. Pendelegasian wewenang
Pendelegasian wewenang kepada perawat, mahasiswa kedokteran, peserta
program pendidikan dokter spesialis, atau dokter pengganti dalam hal pengobatan
atau perawatan atas nama dokter yang merawat, harus disesuaikan dengan kompetensi
dalam melaksanakan prosedur dan pemberian terapi sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Dokter yang mendelegasikan tetap menjadi penanggung jawab atas
penanganan pasien secara keseluruhan.5
Menghormati Teman Sejawat
10
Seorang dokter harus memperlakukan teman sejawatnya dengan adil dan rasa
hormat. Seorang dokter tidak boleh mempermainkan atau mempermalukan teman
sejawatnya, atau mendiskriminasikan teman sejawatnya dengan tidak adil.6
Seorang dokter harus tidak memberikan kritik yang tidak wajar atau tidak
berdasar kepada teman sejawatnya yang dapat mempengaruhi kepercayaan pasien
dalam perawatan atau terapi yang sedang dijalankan, atau dalam keputusan terapi
pasien.6
Berbagi Informasi Dengan Teman Sejawat
Berbagi informasi dengan teman sejawat lain sangatlah pen¬ting untuk
keselamatan dan keefektifan perawatan pasien. Ketika seorang dokter merujuk pasien,
dokter tersebut harus memberikan semua informasi yang relevan mengenai pasiennya,
termasuk riwayat medis dan kondisi saat itu.6
Jika seorang dokter spesialis memberikan terapi atau saran untuk seorang
pasien kepada dokter umum, maka ia harus mem¬beritahu hasil pemeriksaan, terapi
yang diberikan dan informasi penting lainnya kepada dokter yang ditunjuk untuk
kelangsungan perawatan pasien, kecuali pasien tersebut menolak.6
Jika seorang pasien belum dirujuk dari dokter umum kepada dokter spesialis,
dokter spesialis tersebut harus menanyakan kepastian pasien tersebut untuk
memberitahu dokter umumnya sebelum memulai terapi, kecuali dalam keadaan gawat
darurat atau saat keadaan yang tidak memungkinkan. Jika dokter spesialis tersebut
tidak memberitahu dokter umum yang merawat pasien tersebut, dokter spesialis
tersebut harus bertanggung jawab untuk menyediakan atau merencanakan semua
kebutuhan perawatan.6
Pelaporan Malpraktek
Kewajiban melaporkan malpraktek dan praktek tidak kompeten dinyatakan
dalam Kode Etik Medis Internasional yaitu “A physician shall report to the
appropriate authorities those physicians who practice unethically or incompetently or
who engage in fraud or deception”. Dokter sering kali sulit untuk membuat pelaporan
tentang tindakan malpraktek dokter lain atas dasar simpati atau persahabatan tetapi
perlu diingatkan bahwa pelaporan adalah salah satu tugas professional seorang
dokter.7
11
Namun, tindakan pelaporan ke pihak wewenang harus menjadi pilihan terakhir
apabila metode lain seperti menegur dan memberi peringatan kepada dokter yang
bersangkutan tidak dapat menyelesaikan tindakan malprakteknya.7
Hubungan Dokter - Pasien
Hubungan dokter dengan pasien pada prinsipnya merupakan hubungan yang
berdasarkan atas kepercayaan antara keduanya. Keberhasilan suatu pengobatan
tergantung di antaranya pada seberapa besar kepercayaan pasien kepada dokternya.
Hal inilah yang menyebabkan hubungan seorang pasien dengan dokternya kadang
sulit tergantikan oleh dokter lain. Akan tetapi, hubungan ini dalam beberapa tahun
terakhir ini telah berubah akibat makin menipisnya keharmonisan antara keduanya.
Berubahnya pola hubungan dokter-pasien yang bersifat paternalistik menjadi
hubungan kolegial atau kemitraan, membuat pasien makin kritis terhadap dokternya.
Ketika terjadi suatu hasil pengobatan yang tidak diinginkan seperti penyakit makin
parah, kecacatan atau kematian, maka pasien serta merta menganggap dokter dan
rumah sakitnya lalai.1,8
Di Indonesia, sebagian dokter merasa tidak mempunyai waktu yang cukup
untuk berbincang-bincang dengan pasiennya, sehingga hanya bertanya seperlunya.
Akibatnya, dokter bisa saja tidak mendapatkan keterangan yang cukup untuk
menegakkan diagnosis dan menentukan perencanaan dan tindakan lebih lanjut. Dari
sisi pasien, umumnya pasien merasa dalam posisi lebih rendah di hadapan dokter
(superior-inferior), sehingga takut bertanya dan bercerita atau hanya menjawab sesuai
pertanyaan dokter saja. Tidak mudah bagi dokter untuk menggali keterangan dari
pasien karena memang tidak bisa diperoleh begitu saja. Perlu dibangun hubungan
saling percaya yang dilandasi keterbukaan, kejujuran dan pengertian akan kebutuhan,
harapan, maupun kepentingan masing-masing. Dengan terbangunnya hubungan saling
percaya, pasien akan memberikan keterangan yang benar dan lengkap sehingga dapat
membantu dokter dalam mendiagnosis penyakit pasien secara baik dan memberi obat
yang tepat bagi pasien. Komunikasi yang baik dan berlangsung dalam kedudukan
setara (tidak superior-inferior) sangat diperlukan agar pasien mau/dapat menceritakan
sakit dan keluhan yang dialaminya secara jujur dan jelas. Komunikasi efektif mampu
mempengaruhi emosi pasien dalam pengambilan keputusan tentang rencana tindakan
selanjutnya, sedangkan komunikasi tidak efektif akan mengundang masalah.
Aspek Hukum
12
Aspek hukum dalam malpraktek:4
1. Penyimpangan dari Standar Profesi Medis
2. Kesalahan yang dilakukan dokter, baik berupa kesengajaan ataupun
kelalaian
3. Akibat yang terjadi disebabkan oleh tindakan medis yang menimbulkan
kerugian materiil atau non materiil maupun fisik atau mental.4
Sanksi Hukum Pidana
• Pasal 267 KUHP (surat keterangan palsu)
1. Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu
tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam dengan
dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
2. Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seorang
kedalam rumah sakit gila atau menahannya disitu, dijatuhkan pidana paling
lama delapan tahun enam bulan.
3. Di ancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai
surat keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran.
Pasal 268 KUHP
1. Barang siapa membuat secara palsu atau memalsu surat keterangan dokter
tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, dengan maksud
untuk menyesatkan penguasa umum atau penanggung (verzekeraar), diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
2. Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan maksud yang sama
memakai surat keterangan yang tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah
surat itu benar dan tidak dipalsu.
Pasal 359 KUHP
Barangsiapa karena kelalainnya menyebabkan matinya orang lain, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling
lama satu tahun.
Pasal 360 KUHP
1. Barangsiapa karena kelalainnyamenyebabkan orang lain menderita luka
berat,diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana
kurungan paling lama satu tahun.
13
2. Barangsiapa karena kelalaiannya menyebabkan orang lain luka sedemikian
rupa sehingga menderita sakit untuk sementara waktu atau tidak dapat
menjalankan jabatan atau perkejaannya selama waktu tertenu diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan enam bulan
atau denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.11,12
Sanksi Hukum Perdata
Pasal 1338 KUH Perdata
1. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.
2. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah
pihak, atau karena alas an-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup
untuk itu.
3. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Pasal 1365 KUH Perdata
1. Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang
lain,mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut.
Pasal 1366 KUH Perdata( Kelalaian )
1. Setiap orang bertanggung jawab tidak saja atas kerugian yang disebabkan
karena perbuatannya, tetapi juga atas kerugian yang disebabkan karena
kelalainnnya atau kurang hati – hati.
Pasal 1370 KUH Perdata
Dalam hal pembunuhan (menyebabkan matinya orang lain ) dengan sengaja atau
kurang hati – hatinya seeorang, maka suami dan istri yang ditinggalkan, anak atau
korban orang tua yang biasanya mendapat nafkah dari pekerjaan korban
mempunyai hak untuk menuntut suatu ganti rugi, yang harus dinilai menurut
kedudukanya dan kekayaan kedua belah pihak serta menurut keadaan.
Pasal 55 UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
1. Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang
dilakukan tenaga kesehatan.
2. Ganti rugi sebagaimana diatur dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan peraturan yang berlaku.11,12
14
Dampak Hukum
A. Perlidungan Hukum Terhadap Dokter yang Diduga Melakukan
Tindakan Malpraktek Medik
Perlindungan hukum terhadap dokter yang diduga melakukan tindakan
malpraktek medik menggunakan Pasal 48, Pasal 50, Pasal 51 Ayat 1 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktek Kedokteran, Pasal 53 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan dan Pasal 24 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996
tentang Tenaga Kesehatan. Seorang dokter dapat memperoleh perlindungan hukum
sepanjang ia melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan Standar Operating
Procedure (SOP), serta dikarenakan adanya dua dasar peniadaan kesalahan dokter,
yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf yang ditetapkan di dalam KUHP.
Hubungan dokter dengan pasien haruslah berupa mitra. Dokter tidak dapat
disalahkan bila pasien tidak bersikap jujur. Sehingga rekam medik (medical record)
dan informed consent (persetujuan) yang baik dan benar harus terpenuhi. Cara dan
tahapan mekanisme perlindungan hukum terhadap dokter yang diduga melakukan
tindakan malpraktek medis adalah dengan dibentuknya Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang bekerja sama dengan pihak Kepolisian
Republik Indonesia (POLRI) atas dasar hubungan lintas sektoral dan saling
menghargai komunitas profesi. Dalam tahapan mekanisme penanganan pelanggaran
disiplin kedokteran, MKDKI menentukan tiga jenis pelanggarannya yaitu pelanggaran
etik, disiplin dan pidana. Untuk pelanggaran etik dilimpahkan kepada Majelis Kode
Etik Kedokteran (MKEK), pelanggaran disiplin dilimpahkan kepada Konsil
Kedokteran Indonesia (KKI), dan pelanggaran pidana dilimpahkan kepada pihak
pasien untuk dapat kemudian dilimpahkan kepada pihak kepolisian atau ke pengadilan
negeri. Apabila kasus dilimpahkan kepada pihak kepolisian maka pada tingkat
penyelidikannya dokter yang diduga telah melakukan tindakan malpraktek medik
tetap mendapatkan haknya dalam hukum yang ditetapkan dalam Pasal 52, Pasal 54,
Pasal 55, Pasal 57 Ayat 1, Pasal 65, Pasal 68, dan Pasal 70 Ayat 1 Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dan apabila kasus dilimpahkan kepada
tingkat pengadilan maka pembuktian dugaan malpraktek dapat menggunakan rekam
medik (medical record) sebagai alat bukti berupa surat yang sah (Pasal 184 Ayat 1
KUHAP).2
15
B. Hukum Kedokteran akibat Kelalaian
Akhir-akhir ini tuntutan hukum yang diajukan oleh pasien atau keluarganya
kepada pihak rumah sakit dan atau dokternya semakin meningkat kekerapannya.
Tuntutan hukum tersebut dapat berupa tuntutan pidana maupun perdata, dengan
hampir selalu mendasarkan kepada teori hukum kelalaian. Dalam bahasa sehari-hari,
perilaku yang dituntut adalah malpraktik medis, yang merupakan sebutan “genus”
(kumpulan) dari kelompok perilaku profesional medis yang “menyimpang” dan
mengakibatkan cedera, kematian atau kerugian bagi pasiennya.
Gugatan perdata dalam bentuk permintaan ganti rugi dapat diajukan dengan
mendasarkan kepada salah satu dari 3 teori di bawah ini, yaitu :
Kelalaian sebagaimana pengertian di atas dan akan diuraikan kemudian
Perbuatan melanggar hukum, yaitu misalnya melakukan tindakan medis
tanpa memperoleh persetujuan, membuka rahasia kedokteran tentang
orang tertentu, penyerangan privacy seseorang, dan lain-lain.
Wanprestasi, yaitu pelanggaran atas janji atau jaminan. Gugatan ini sukar
dilakukan karena umumnya dokter tidak menjanjikan hasil dan perjanjian
tersebut, seandainya ada, umumnya sukar dibuktikan karena tidak tertulis4.
Kelalaian Medik
Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktek medis
menurut World Medical Association (1992), yaitu “ medical malpractice involves the
physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s
condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the
direct cause of an injury to the patient”.1
WMA mengingatkan bahwa tidak semua kegagalan medis adalah malpraktik
medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable)
yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan
cedera pada pasien tidak termasuk ke dalam pengertian malpraktek. “An injury
occuring in the course of medical treatment which coukd not be foreseen and was not
the result of the lack of skill or knowledge aon the part of the treating physician is
untoward result, for which the physicianshould not bear any liability”. Kelalaian
dapat terjadi dalam 3 bentuk:1
16
1. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak
tepat/layak (unlawful dan improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa
indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah improper).
2. Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi
dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya
melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur.
3. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban
baginya.
Malpraktek Medis
Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa
malpraktik dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada
misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang mahiran
atau ketidak kompetenan yang tidak beralasan.1
Profesional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam
bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif,
serta hukum pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang merugikan
pasien, fraud, “penahanan” pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran,
aborsi ilegal, euthanasia, penyerangan seksual, misrepresentasi atau fraud, keterangan
palsu, menggunakan iptekdok yang belum teruji/diterima, berpraktek tanpa SIP,
berpraktek di luar kompetensinya, sengaja melanggar standar, dan lain-lain.
Selain itu malpraktik juga dapat terjadi sebagai akibat kelalaian. Sementara
ketidak-kompetenan dapat menuju ke suatu tindakan misconduct ataupun suatu
kelalaian.
Suatu perbuatan atau sikap tenaga medis dianggap malpraktek medik apabila
memenuhi empat unsur di bawah ini, yaitu:
1. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan medis atau
untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada
situasi dan kondisi tertentu.
2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut.
3. Damage atau kerugian, adalah segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai
kerugian akibat dari layanan kesehatan/kedokteran yang diberikan oleh pemberi
layanan.
17
4. Direct cause relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini
harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan
kerugian yang setidaknya merupakan “proximate cause”.
Untuk menyatakan terjadinya suatu kelalaian atau malpraktek, maka keempat
unsur di atas harus dipenuhi seluruhnya (bersifat kumulatif). Fred Ameln juga
menekankan pentingnya informed consent dan Standar Profesi Medik (SPM) sebagai
tolok ukur meskipun sebenarnya kedua hal ini masih dalam cakupan pengertian
kewajiban seorang dokter. Pemenuhan terhadap informed consent dan SPM itu
merupakan dasar dari peniadaan hukuman pada hukum kedokteran. 6
Beberapa kewajiban dokter dalam profesi medik yang penting adalah: 6
1. Kewajiban untuk bekerja sesuai dengan SPM
a. Bekerja dengan teliti, hati-hati, dan seksama.
b. Sesuai dengan ukuran medik.
c. Sesuai dengan kemampuan rata-rata dibanding dengan dokter dari
keahlianmedik yang sama.
d. Dalam situasi dan kondisi yang sebanding.
e. Dengan sarana dan upaya yang memenuhi perbandingan wajar dibandingkan
dengan tujuan konkret tindak medik tersebut.
2. Kewajiban memberikan informasi tentang tindak medik yang akan dilakukan
terhadap pasien
3. Kewajiban menyimpan rahasia jabatan atau pekerjaan medik
4. Kewajiban menolong pasien gawat darurat
Dengan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kesimpulan adanya
malpraktik bukanlah dilihat dari hasil tindakan medis pada pasien melainkan harus
ditinjau dari bagaimana proses tindakan medis tersebut dilaksanakan.
Suatu hasil yang tidak diharapkan (adverse outcome) di bidang medik
sebenarnya dapat diakibatkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu: 6
1. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan
tindakan medis yang dilakukan dokter.
2. Hasil dari suatu resiko yang tak dapat dihindari, yaitu resiko yang tidak dapat
diketahui sebelumnya (unforeseeable); atau resiko yang meskipun telah diketahui
sebelumnya tetapi dianggap acceptable, atau tidak dapat/tidak mungkin dihindari
18
(unvoidable), karena tindakan yang dilakukan adalah satu-satunya cara terapi.
Resiko tersebut haris diinformasikan terlebih dahulu.
3. Hasil dari suatu kelalaian medik.
4. Hasil dari suatu kesengajaan.
Perbedaan Kelalaian dengan Malpraktek Medik
Malpraktek mencakup pengertian yang jauh lebih luas dari kelalaian karena
intinya adalah tindakan-tindakan yang sengaja (intentional atau dolus) dan melanggar
hukum yang berlaku. Dengan demikian, akibat yang timbul memang merupakan
tujuan dari tindakan tersebut. 6
Secara yuridis penilaian atas tindakan dokter bukanlah berdasarkan hasil,
melainkan berdasarkan pada upaya yang sebaik-baiknya. Jadi, jika dokter telah
bekerja dengan sebaik-baiknya berdasarkan standar profesinya dan mendapat izin dari
pasien (informed consent), maka secara umum tidak ada tindak pelanggaran hukum
maupun hak asasi manusia. Dengan kata lain, dokter tersebut bebas dari hukuman
baik pidana maupun perdata, tetapi semuanya itu tentu saja harus melalui suatu proses
peradilan terlebih dahulu.
Dengan demikian, terjadinya suatu kasus perkara tindak medik tidak dapat
serta merta disebut sebagai malpraktek, namun sebaliknya juga dari pihak dokter pun
tidak dapat serta merta “membebaskan” diri dari proses hukum.
Penilaian Kasus
Yang harus dilakukan dokter A pada saat si ibu datang dengan situasi seperti
kasus di atas adalah mencari informasi tentang proses persalinan si ibu lewat rekam
medis ibu tersebut di rumah sakit tempat si ibu dulu melakukan persalinan. Sesuai
dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia, dokter B harus berbagi informasi dengan
teman sejawat (dokter A) mengenai rekam medis si ibu.
Jika dibahas berkaitan dengan prinsip moral dan etika profesi kedokteran,
dalam kasus ini menyinggung 2 hal dari prinsip kaidah dasar moral tersebut, yaitu dari
segi:
1. Beneficience (kebaikan pasien)
Dokter B yang menangani persalinan ibu melakukan pematahan tulang klavikula
bayi untuk pada saat pengeluaran bahu agar persalinan pervaginam dapat berjalan
19
normal. Pada kasus distosia bahu, pematahan tulang klavikula bayi masih dapat
dilakukan. Hal ini adalah untuk kebaikan pasien dan dilakukan sesuai indikasi.
2. Non-Maleficience (tidak mencelakakan dan memperburuk pasien)
Walaupun dokter sudah melakukan tindakan sesuai prosedur yang ada tetapi dokter
telah melakukan kesalahan karena dokter B tidak memberi tahu ibu bahwa dokter
telah melakukan pematahan tulang klavikula sementara ibu berhak untuk
mengetahui tentang tindakan medis yang dilakukan pada dirinya. Dan di lain
pihak, dokter C selaku dokter anak tidak pula memberi tahu ibu tentang keadaan
tersebut maupun melakukan perawatan kepada bayi si ibu.
Dalam kasus ini, si ibu akan menuntut dokter B karena telah mengakibatkan
patah tulang dan dokter C karena lalai tidak dapat mendiagnosisnya. Namun hal
tersebut belum bisa dikatakan malpraktek dan bisa dituntut secara material. Seorang
dokter dapat dikatakan melakukan kelalaian medik jika memenuhi hal-hal dibawah
ini:
1. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak
tepat/layak (unlawful dan improper), misalnya melakukan tindakan medis
tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah
improper). Dokter B mematahkan tulang klavikula bayi sesuai indikasi
distosia bahu pada kelahiran pervaginam.
2. Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi
dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya
melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur. Dokter B melakukan
hal tersebut sesuai prosedur.
3. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan
kewajiban baginya. Dokter pun melakukan tindakan tersebut karena hal itu
merupakan hal yang wajib dilakukannya untuk menolong persalinan si ibu.
Dari pembahasan di atas, si ibu tidak dapat menuntut dokter B atas tuduhan
kelalaian medik.
Dan si ibu ingin menuntut dokter C karena lalai dalam mendiagnosis (tidak
kompeten). Padahal untuk dapat memperoleh kualifikasi sebagai dokter, setiap orang
harus memiliki suatu kompetensi tertentu di bidang medik dengan tingkat yang
tertentu pula, sesuai dengan kompetensi yang harus dicapainya selama menjalani
pendidikan kedokterannya. Tingkat kompetensi tersebut bukanlah tingkat terendah
20
dan bukan pula tingkat tertinggi dalam kualifikasi tenaga medis yang sama, melainkan
kompetensi yang rata-rata (reasonable competence) dalam populasi dokter. Sehingga
sebenarnya dokter C mempunyai kompetensi sebagai dokter anak.
Jika setelah dokter A menelusuri dari rekam medis, dan informasi dari dokter
B dan C, disimpulkan permasalahannya terletak pada dokter B dan C yang tidak
menginformasikan kondisi bayi tersebut kepada si ibu. Padahal setiap pasien berhak
mengetahui setiap tindakan medis yang dilakukan kepada dirinya. Dokter B dan C
tidak dapat dituntut karena kelalaian medik namun telah melanggar hak pasien “Hak
untuk memperoleh informasi atau penjelasan secara lengkap tentang tindakan medik
yg akan dilakukan terhadap dirinya” UU No. 29 thn 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Dokter A tidak dibenarkan mengkritik dokter B dan C melalui pasien yang
mengakibatkan turunnya kredibilitas dokter B dan C tersebut. Selain itu dokter A
harus memperlakukan teman sejawatnya, dokter B dan C dengan adil dan rasa hormat.
Dokter A harus tidak memberikan kritik yang tidak wajar atau tidak berdasar kepada
dokter B dan C yang dapat mempengaruhi kepercayaan pasien dalam perawatan atau
terapi yang sedang dijalankan, atau dalam keputusan terapi pasien.
Dokter A harus memberikan penjelasan kepada pasien bahwa tindakan yang
dilakukan dokter B memang sesuai dengan indikasi dan prosedur yang berlaku. Dan
juga dokter A harus menjelaskan bahwa kesalahan yang terjadi adalah miss-
comunication antara kedua belah pihak. Jika si ibu masih ingin melakukan
penuntutan, dokter A harus menjelaskan bahwa penuntutuan atas dasar kelalaian
medik tidak dapat dibenarkan. Namun dokter B dan C telah melanggar hak pasien
dalam kode etik kedokteran.
Jika ibu memilih dokter A untuk melakukan perawatan atas anaknya, maka hal
itu diperbolehkan karena itu merupakan hal pasien sesuai dengan yang tertulis pada
UU Praktik Kedokteran No 29 tahun 2004:
Hak untuk memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya
dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit.
Hak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan pendapat klinik dan
pendapat etisnya tanpa campur tangan dari pihak luar.
Hak atas ´second opinion atau meminta pendapat dokter.
Pembentukan Kalus
21
Merupakan fase lanjutan dari fase hematom dan proliferasi mulai terbentuk
jaringan tulang yakni jaringan tulang kondrosit yang mulai tumbuh atau umumnya
disebut sebagai jaringan tulang rawan. Sebenarnya tulang rawan ini masih dibagi lagi
menjadi tulang lamellar dan wovenbone. Pertumbuhan jaringan berlanjut dan
lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah sudah terhubungkan.
Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibrous, tulang rawan, dan
tulang serat matur. Bentuk kalus dan volume dibutuhkanuntuk menghubungkan efek
secara langsung berhubungan dengan jumlah kerusakan dan pergeseran tulang. Perlu
waktu tiga sampai empat minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan
atau jaringan fibrous. Secara klinis fragmen tulang tidak bisa lagi digerakkan.
Regulasi dari pembentukan kalus selama masa perbaikan fraktur dimediasi oleh
ekspresi dari faktor-faktor pertumbuhan. Salah satu faktor yang paling dominan dari
sekian banyak faktor pertumbuhan adalah Transforming Growth Factor-Beta 1 (TGF-
B1) yang menunjukkan keterlibatannya dalam pengaturan differensiasi dari osteoblast
dan produksi matriks ekstra seluler. Faktor lain yaitu: Vascular Endothelial Growth
Factor (VEGF) yang berperan penting pada proses angiogenesis selama
penyembuhan fraktur.13
Pusat dari kalus lunak adalah kartilogenous yang kemudian bersama osteoblast
akan berdiferensiasi membentuk suatu jaringan rantai osteosit, hal ini menandakan
adanya sel tulang serta kemampuan mengantisipasi tekanan mekanis. (Rubin,E,1999)
Proses cepatnya pembentukan kalus lunak yang kemudian berlanjut sampai fase
remodelling adalah masa kritis untuk keberhasilan penyembuhan fraktur.14
Jenis-jenis Kalus Dikenal beberapa
jenis kalus sesuai dengan letak
kalus tersebut berada terbentuk
kalus primer sebagai akibat adanya
fraktur terjadi dalam waktu 2
minggu Bridging (soft) callus
terjadi bila tepi-tepi tulang yang
fraktur tidak bersambung.
Medullary (hard) Callus akan
melengkapi bridging callus secara
Gambar 1. Lima Fase Fraktur Tulang
22
perlahan-lahan. Kalus eksternal berada paling luar daerah fraktur di bawah periosteum
periosteal callus terbentuk di antara periosteum dan tulang yang fraktur.
Interfragmentary callus merupakan kalus yang terbentuk dan mengisi celah fraktur di
antara tulang yang fraktur. Medullary callus terbentuk di dalam medulla tulang di
sekitar daerah fraktur.13
BAB III
Penutup
Perkembangan pengetahuan tentang hak dan kewajiban pasien diharapkan
akan meningkatkan kualitas sikap dan tindakan yang cermat dan hati-hati dari tenaga
kedokteran sehingga kualitas kerja dokter semakin baik dan secara tidak langsung
kualitas kesehatan masyarakat dapat diperbaiki. Oleh itu dokter harus berhati-hati
dalam setiap tindakan dan mencegah terjadinya kelalaian sehingga pasien merasa
dirugikan.
Seperti kasus diatas yang telang kita bahas dengan panjang lebar. Untuk
mencari solusi dari kasus tersebut kita perlu bertindak dengan arif dan bijaksana tanpa
memojokkan atau menyudutkan teman sejawat kita dan tentu pula tanpa merugikan
pasien/keluarga pasien selaku “korban” akibat kelalaian dokter dalam melakukan
tindakan dan mendiagnosis suatu penyakit. Sehingga dapat dicari solusi yang baik
agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan akibat permasalahan tersebut. Kita harus
bisa berdiri di tempat yang adil dan netral, agar tindakan yang kita lakukan berguna
untuk kepentingan pasien dan sesuai dengan ketentuan dan aturan yang berlaku dalam
undang-undang dan sesuai dengan kode etik kedokteran Indonesia.
BAB IV
Daftar Pustaka
1. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran pengantar
bagi mahasiswa kedokteran dan hukum. Cetakan ke-2. Jakarta : Pustaka Dwipar ;
2007.
2. Sami, Suprapti R. Etika kedokteran indonesia. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo ; 2001.
23
3. Achadiat CM. Dinamika etika & hukum kedokteran dalam tantangan zaman.
Cetakan ke-1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2007.
4. Ikatan Alumni Universitas Indonesia Fakultas Kedokteran Tahun 1983. Kode etik
kedokteran indonesia (KODEKI). Januari 2009. Diunduh dari
http://www.ilunifk83.com/, 14 Januari 2013.
5. Subijanto HAA. Peran komunikasi dalam menjalankan profesi dokter yang
berkualitas di masyarakat. Maret 2009. Diunduh dari UPT Perpustakaan UNS, 14
Januari 2013.
6. Hanafiah. M. Jusuf, Ami Amri. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Jakarta :
Buku Kedokteran EGC : 2007.
7. Williams J. World medical association : Medical ethics manual. 2nd Edition. New
York : 2009.
8. Daliyono. Bagaimana dokter berpikir dan bekerja. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama ; 2006.
9. Hubungan dokter dan pasien. Diunduh dari:
http://prematuredoctor.blogspot.com/2010/06/hubungan-dokter-pasien.html, 14
Januari 2013.
10. Rizaldy Pinzon. Strategi 4s untuk pelayanan medik berbasis bukti. Cermin dunia
kedokteran. 163:Vol 36. Jakarta : EGC ; 2009.
11. Bagian kedokteran forensik. Peraturan perundang-undangan bidang kedokteran.
hukum perdata yang berkaitan dengan profesi dokter. Jakarta : FKUI ; 1994. h51.
12. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD, Bioetik dan hukum kedokteran, pengantar
bagi mahasiswa kedokteran dan hukum. Jakarta : Pustaka Dwipar ; 2005.
13. Proses penyembuhan fraktur. USU. Diunduh dari: http://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&ved=0CDUQFjAB&url=h
ttp%3A%2F%2Frepository.usu.ac.id%2Fbitstream
%2F123456789%2F33107%2F4%2FChapter
%2520II.pdf&ei=fvXzUOCiN83fkgXqm4C4BA&usg=AFQjCNE7pMOhk1y4D
MN3Fp4FGJTG_i5JBQ&sig2=v_m4Gtiz7QdbKR43ZNcjPg&bvm=bv.13577001
87,d.dGI, 14 Januari 2013.
14. Fraktur tulang. UGM. 2007. Diunduh dari: http://www.bedahugm.net/fraktur/, 14
Januari 2013.
24
25