38
Makalah PBL-5 Blok 30 Penerapan Etika Kedokteraan pada Dugaan Kasus Kelalaian Medik Alessandrasesha Santoso* Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No.6 Kebon Jeruk, Jakarta 11510 *Email : [email protected] BAB I Pendahuluan Beberapa tahun terakhir ini kasus penututan terhadapa dokter atas dugaan adanya kelalaian medis semakin meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Seirama dengan itu telah tercatat jumlah kasus pengaduan dugaan pelanggaran etika kedokteran yang diajurkan ke MKEK juga meningkat. Di Jakarta sendiri setiap tahun terdapat beberapa kasus kelalaian dokter yang diajukan ke pengadilan. Jumlah tuntutan ganti rugi berkisar antara puluhan juta rupiah hingga 100 milyar rupiah. Bahkan akhir-akhir ini juga terdapat beberapa kasus tersebut yang mengakibatkan kematian yang menyangkut dokter atau petugas rumah sakit. Dalam profesi kedokteran, komunikasi dokter - pasien merupakan salah satu kompetensi yang harus dikuasai dokter. Kompetensi komunikasi menentukan keberhasilan dalam membantu penyelesaian masalah kesehatan pasien. Selama ini kompetensi komunikasi dapat dikatakan 1

PBL 5 30 SESHA

Embed Size (px)

DESCRIPTION

jsjsjssj

Citation preview

Page 1: PBL 5 30 SESHA

Makalah PBL-5 Blok 30

Penerapan Etika Kedokteraan pada Dugaan Kasus

Kelalaian Medik

Alessandrasesha Santoso*

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No.6 Kebon Jeruk, Jakarta 11510

*Email : [email protected]

BAB I

Pendahuluan

Beberapa tahun terakhir ini kasus penututan terhadapa dokter atas dugaan

adanya kelalaian medis semakin meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Seirama dengan itu telah tercatat jumlah kasus pengaduan dugaan pelanggaran etika

kedokteran yang diajurkan ke MKEK juga meningkat. Di Jakarta sendiri setiap tahun

terdapat beberapa kasus kelalaian dokter yang diajukan ke pengadilan. Jumlah

tuntutan ganti rugi berkisar antara puluhan juta rupiah hingga 100 milyar rupiah.

Bahkan akhir-akhir ini juga terdapat beberapa kasus tersebut yang mengakibatkan

kematian yang menyangkut dokter atau petugas rumah sakit.

Dalam profesi kedokteran, komunikasi dokter - pasien merupakan salah satu

kompetensi yang harus dikuasai dokter. Kompetensi komunikasi menentukan

keberhasilan dalam membantu penyelesaian masalah kesehatan pasien. Selama ini

kompetensi komunikasi dapat dikatakan terabaikan, baik dalam pendidikan maupun

dalam praktik kedokteran/kedokteran gigi. Di Indonesia, sebagian dokter merasa tidak

mempunyai waktu yang cukup untuk berbincang-bincang dengan pasiennya, sehingga

hanya bertanya seperlunya. Akibatnya, dokter bisa saja tidak mendapatkan keterangan

yang cukup untuk menegakkan diagnosis dan menentukan perencanaan dan tindakan

lebih lanjut.

Dari sisi pasien, umumnya pasien merasa dalam posisi lebih rendah di

hadapan dokter, sehingga takut bertanya dan bercerita atau hanya menjawab sesuai

pertanyaan dokter saja. Tidak mudah bagi dokter untuk menggali keterangan dari

pasien karena memang tidak bisa diperoleh begitu saja. Perlu dibangun hubungan

saling percaya yang dilandasi keterbukaan, kejujuran dan pengertian akan kebutuhan,

1

Page 2: PBL 5 30 SESHA

harapan, maupun kepentingan masing-masing. Dengan terbangunnya hubungan saling

percaya, pasien akan memberikan keterangan yang benar dan lengkap sehingga dapat

membantu dokter dalam mendiagnosis penyakit pasien secara baik dan memberi obat

yang tepat bagi pasien.

Komunikasi yang baik dan berlangsung dalam kedudukan setara sangat

diperlukan agar pasien mau atau dapat menceritakan sakit dan keluhan yang

dialaminya secara jujur dan jelas. Komunikasi efektif mampu mempengaruhi emosi

pasien dalam pengambilan keputusan tentang rencana tindakan selanjutnya,

sedangkan komunikasi tidak efektif akan mengundang masalah.

BAB II

Pembahasan

Etika Kedokteran

Di dalam menentukan tindakan di bidang kesehatan atau kedokteran, selain

mempertimbangkan keempat kebutuhan dasar di atas, keputusan hendaknya juga

mempertimbangkan hak-hak asasi pasien. Pelanggaran atas hak pasien akan

mengakibatkan juga pelanggaran atas kebutuhan dasar di atas terutama kebutuhan

kreatif dan spiritual pasien.1

Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar-salahnya

suatu sikap dan atau perbuatan seseorang individu dilihat dari moralitas. Penilaian

baik - buruk dan benar - salah dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori

etika yang cukup banyak jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang paling banyak

dianut orang adalah teori deontologi dan teleologi.1

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa deontologi mengajarkan baik buruknya

suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatannya itu sendiri (I Kant), sedangkan

teleologi mengajarkan untuk menilai baik buruk tindakan dengan melihat hasilnya

atau akibatnya (D Hume, J bentham, JS Mills). Deontologi lebih mendasarkan kepada

ajaran agama, tradisi dan budaya, sedangkan teleologi lebih ke arah penalaran

(reasoning) dan pembenaran (justifikasi) kepada azas manfaat (utilitarian).3

Beauchamp dan Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke

suatu keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral (moral principle), yaitu:1,3

2

Page 3: PBL 5 30 SESHA

1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien,

terutama hak otonomi pasien (the right to self determination). Prinsip moral

inilah yang kemudian melahirkan doktrin informed consent;

2. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang

ditujukan ke kebaikan pasien. dalam beneficence tidak hanya dikenal

perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya

(manfaat) lebih besar daripada sisi buruknya;

3. Prinsip non maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang

memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non

nocere” atau “above all do no harm”;

4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan

dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice).

Sedangkan rules derivatnya adalah veracity (berbicara benar, jujur dan

terbuka), privacy (menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga

kerahasiaan pasien) dan fidelity (loyalitas dan promise keeping).1

Selain prinsip atau kaidah dasar moral di atas yang harus dijadikan pedoman

dalam mengambil keputusan klinis, profesional kedokteran juga mengenal etika

profesi sebagai panduan dalam bersikap dan berperilaku (code of ethical conduct).

Sebagaimana diuraikan pada pendahuluan, nilai – nilai dalam etika profesi tercermin

di dalam sumpah dokter dan kode etik kedokteran. Sumpah dokter berisikan suatu

“kontrak moral” antara dokter dengan Tuhan sang penciptanya, sedangkan kode etik

kedokteran berisikan “kontrak kewajiban moral” antara dokter dengan peer groupnya,

yaitu masyarakat profesinya.1

Baik sumpah dokter maupun kode etik kedokteran berisikan sejumlah

kewajiban moral yang melekat kepada para dokter. Meskipun kewajiban tersebut

bukanlah keajiban hukum sehingga tidak dapat dipaksakan secara hukum, namun

kewajiban moral tersebut haruslah menjadi “pemimpin” dari kewajiban dalam hukum

kedokteran. Hukum kedokteran yang baik haruslah hukum yang etis.2

Etika Klinik

Pembuatan keputusan etik, terutama dalam situasi klinik, dapat juga dilakukan

dengan pendekatan yang berbeda dengan pendekatan kaidah dasar moral di atas.

Jonsen, Siegler dan Winsdale (2002) mengembangkan teori etik yang menggunakan 4

3

Page 4: PBL 5 30 SESHA

topik yang esensial dalam pelayanan klinik, yaitu:Medical indication, Patient

preferrences, Quality of life, dan Contextual features.1

Ke dalam topic medical indication dimasukkan semua prosedur diagnostic dan

terapi yang sesuai untuk mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya. Penilaian

aspek indikasi medis ini ditinjau dari sisi etiknya, terutama menggunakan caída

beneficence dan nonmaleficence. Pertanyaan etika pada topik ini adalah serupa

dengan seluruh informasi yang selayaknya disampaikan lepada pasien pada doktrin

informed consent.1

Pada topik patient preferrence kita memperhatikan nilai (value) dan penilaian

pasien tentang manfaat dan beban yang akan diterimanya, yang berarti cerminan caída

autonomy. Pertanyaan etiknya meliputi pertanyaan tentang kompetensi pasien, sifat

volunter sikap dan keputusannya, pemahaman atas informasi, siapa pembuat

keputusan bila pasien tidak competen, nilai dan keyakinan yang dianut pasien.1

Topik quality of life merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran, yaitu

memperbaiki, menjaga atau meningkatkan koalitas hidup insani. Apa, siapa dan

bagaimana melakukan penilaian koalitas hidup merupakan pertanyaan etik sekitar

prognosis, yang berkaitan dengan beneficence, non-maleficence dan autonomy.1

Dalam contextual features dibahas pertanyaan etik seputar aspek nonmedis yang

mempengaruhi keputusan, seperti factor keluarga, ekonomi, agama, budaza,

kerahasiaan, alokasi sumber daya dan factor hukum.1

Kode Etik Kedokteran Indonesia

Merupakan pedoman bagi dokter Indonesia anggota IDI dalam melaksanakan

praktek kedokteran. Tertuang dalam SK PB IDI no 221/PB/A.4/04/2002 tanggal 19

April 2002 tentang penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia.4

Kode Etik Kedokteran Indonesia pertama kali disusun pada tahun 1969 dalam

Musyawarah Kerja Susila Kedokteran Indonesia. Dan sebagai bahan rujukan yang

dipergunakan pada saat itu adalah Kode Etik Kedokteran Internadional yang telah

disempurnakan pada tahun 1968 melalui Muktamar Ikatan Dokter Sedunia ke 22,

yang kemudian disempurnakan lagi pada MuKerNas IDI XIII, tahun 1983.4

i. Kewajiban umumnya, antara lain sebagai berikut:1,4

Pasal 1

Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.

Pasal 2

4

Page 5: PBL 5 30 SESHA

Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan

standard profesi yang tertinggi.

Pasal 3

Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi

oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.

Pasal 4

Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.

Pasal 5

Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun

fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh

persetujuan pasien.

Pasal 6

Setiap dokter harus senantiasa berhati hati dalam mengumumkan dan menerapkan

setiap penemuan tehnik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal

hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.

Pasal 7

Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa

sendiri kebenarannya.

Pasal 7a

Seorang dokter harus, dalam setiap praktek medisnya, memberikan pelayanan medis

yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih

sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.

Pasal 7b

Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan

sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki

kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau

penggelapan, dalam menangani pasien.

Pasal 7c

Seorang dokter harus menghormati hak hak pasien, hak hak sejawatnya, dan hak

tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.

Pasal 7d

Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup mahluk

insani.

Pasal 8

5

Page 6: PBL 5 30 SESHA

Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan

masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh

(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta

berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar benarnya.

Pasal 9

Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat dibidang kesehatan dan bidang

lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.

ii. Kewajiban dokter terhadap pasiennya, antara lain sebagai berikut:1,4

Pasal 10

Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan

ketrampilannya untuk kepentingan pasien.

Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka

atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai

keahlian dalam penyakit tersebut.

Pasal 11

Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat

berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam

masalah lainnya.

Pasal 12

Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang

pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.

Pasal 13

Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas

perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu

memberikannya.

iii. Kewajiban dokter terhadap teman sejawat, antara lain sebagai berikut:1,4

Pasal 14

Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin

diperlakukan.

Pasal 15

Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan

persetujuan/berdasarkan prosedur etis.

6

Page 7: PBL 5 30 SESHA

iv. Kewajiban dokter terhadap diri sendiri, antara lain sebagai berikut:1,4

Pasal 16

Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.

Pasal 17

Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan

tehnologi kedokteran /kesehatan.

Hubungan Kesejawatan

Pertumbuhan pengetahuan ilmiah yang berkembang pesat disertai aplikasi

klinisnya membuat pengobatan menjadi kompleks. Dokter secara individu tidak bisa

menjadi ahli untuk semua penyakit yang diderita oleh pasiennya, sedangkan

perawatan tetap harus diberikan sehingga membutuhkan bantuan dokter spesialis lain

dan profesi kesehatan yang memiliki keterampilan khusus seperti perawat, ahli

farmasi, fisioterapis, teknisi laboratorium, pekerja social dan lainnya.5

Seorang dokter sebagai anggota profesi kesehatan, diharapkan memperlakukan

profesi kesehatan lain lebih sebagai anggota keluarga dibandingkan sebagai orang

lain, bahkan sebagai teman. Deklarasi Geneva dari WMA juga memuat janji :

”Kolega saya akan menjadi saudara saya”. Interpretasi janji ini bervariasi dari satu

negara dan negara lain sepanjang waktu.5

Dalam tradisi etika kedokteran Hippocrates, dokter memiliki hutang

penghargaan khusus terhadap guru mereka. Deklarasi Geneva menyatakan: ”Saya

akan memberikan guru saya penghormatan dan terima kasih yang merupakan hak

mereka”.5

Sebagai balasan atas kehormatan yang diberikan masyarakat dan kepercayaan

yang diberikan oleh pasien, maka profesi kesehatan harus membangun standar

perilaku yang tinggi untuk anggotanya dan prosedur pendisiplinan dalam menyelidiki

tuduhan adanya tindakan yang tidak benar dan jika perlu menghukum yang berbuat

salah. Kewajiban untuk melaporkan kolega yang melakukan tindakan yang tidak

kompeten, mencelakakan, perbuatan tidak senonoh ditekankan dalam Kode Etik

Kedokteran Internasional yang dikeluarkan oleh WMA menyatakan:

”Dokter harus berusaha keras untuk menyatakan kekurangan karakter dan

kompetensi dokter ataupun yang terlibat dalam penipuan atau kecurangan”.

7

Page 8: PBL 5 30 SESHA

Penerapan prinsip ini tidaklah mudah, di satu sisi seorang dokter mungkin

menyerang reputasi koleganya karena motif yang tidak benar seperti karena rasa iri

atau terhina oleh koleganya. Dokter juga merasa sungkan atau ragu untuk melaporkan

tindakan koleganya yang tidak benar karena simpati atau persahabatan. Konsekuensi

pelaporan tersebut dapat berakibat kurang baik bagi yang melapor, yang tertuduh atau

bahkan dari kolega lain.5

Kerjasama Dokter Dengan Sejawat

1. Merujuk pasien

Pada pasien rawat jalan, karena alasan kompetensi dokter dan keterbatasan

fasilitas pelayanan, dokter yang merawat harus merujuk pasien pada sejawat lain

untuk mendapatkan saran, pemeriksaan atau tindakan lanjutan. Bagi dokter yang

menerima rujukan, sesuai dengan etika profesi, wajib menjawab/memberikan advis

tindakan akan terapi dan mengembalikannya kepada dokter yang merujuk. Dalam

keadaan tertentu dokter penerima rujukan dapat melakukan tindakan atau perawatan

lanjutan dengan persetujuan dokter yang merujuk dan pasien. Setelah selesai

perawatan dokter  rujukan mengirim kembali kepada dokter yang merujuk.5

Pada pasien rawat inap, sejak awal pengambilan kesimpulan sementara, dokter

dapat menyampaikan kepada pasien kemungkinan untuk dirujuk kepada sejawat lain

karena alasan kompetensi. Rujukan dimaksud dapat bersifat advis, rawat bersama atau

alih rawat. Pada saat meminta persetujuan pasien untuk dirujuk, dokter harus memberi

penjelasan tentang alasan, tujuan dan konsekuensi rujukan termasuk biaya, seluruh

usaha ditujukan untuk kepentingan pasien. Pasien berhak memilih dokter rujukan, dan

dalam rawat bersama harus ditetapkan dokter penanggung jawab utama.5

Dokter yang merujuk dan dokter penerima rujukan, harus mengungkapkan

segala informasi tentang kondisi pasien yang relevan dan disampaikan secara tertulis

serta bersifat rahasia. Jika dokter memberi pengobatan dan nasihat kepada seorang

pasien yang diketahui sedang dalam perawatan dokter lain, maka dokter yang

memeriksa harus menginformasikan kepada dokter pasien tersebut tentang hasil

pemeriksaan, pengobatan, dan tindakan penting lainnya demi kepentingan pasien.5

2. Bekerjasama dengan sejawat

Dokter harus memperlakukan teman sejawat tanpa membedakan jenis

kelamin, ras, kecacatan, agama/kepercayaan, usia, status social atau perbedaan

kompetensi yang dapat merugikan hubungan profesional antar sejawat.5

8

Page 9: PBL 5 30 SESHA

Seorang dokter tidak dibenarkan mengkritik teman sejawat melalui pasien yang

mengakibatkan turunnya kredibilitas sejawat tersebut. Selain itu tidak dibenarkan

seorang dokter memberi komentar tentang suatu kasus, bila tidak pernah memeriksa

atau merawat secara langsung.5

3. Bekerjasama dalam tim

Asuhan kesehatan selalu ditingkatkan melalui kerjasama dalam tim

multidisiplin. Apabila bekerja dalam sebuah tim, dokter harus:5

a. Menunjuk ketua tim selaku penanggung jawab.

b. Tidak boleh mengubah akuntabilitas pribadi dalam perilaku keprofesian dan

asuhan yang diberikan.

c. Menghargai kompetensi dan kontribusi anggota tim.

d. Memelihara hubungan profesional dengan pasien.

e. Berkomunikasi secara efektif dengan anggota tim di dalam dan di luar tim.

f. Memastikan agar pasien dan anggota tim mengetahui dan memahami siapa

yang bertanggung jawab untuk setiap aspek pelayanan pasien.

g. Berpartisipasi dalam review secara teratur, audit dari standar dan kinerja tim,

serta menentukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memperbaiki

kinerja dan kekurangan tim.

h. Menghadapi masalah kinerja dalam pelaksanaan kerja tim dilakukan secara

terbuka dan sportif.

4. Memimpin tim

Dalam memimpin sebuah tim, seorang dokter harus memastikan bahwa:5

a. Anggota tim telah mengacu pada seluruh acuan yang berkaitan dengan

pelaksanaan dan pelayanan kedokteran

b. Anggota tim telah memenuhi kebutuhan pelayanan pasien

c. Anggota tim telah memahami tanggung jawab individu dan tanggung jawab

tim untuk keselamatan pasien. Selanjutnya, secara terbuka dan bijak mencatat

serta mendiskusikan permasalahan yang dihadapi

d. Acuan dari profesi lain dipertimbangkan untuk kepentingan pasien

e. Setiap asuhan pasien telah terkoordinasi secara benar, dan setiap pasien harus

tahu siapa yang harus dihubungi apabila ada pertanyaan atau kekhawatiran

f. Pengaturan dan pertanggungjawaban pembiayaan sudah tersedia

9

Page 10: PBL 5 30 SESHA

g. Pemantauan dan evaluasi serta tindak lanjut dari audit standar pelayanan

kedokteran dan audit pelaksanaan tim dijalankan secara berkala dan setiap

kekurangan harus diselesaikan segera

h. Sistem sudah disiapkan agar koordinasi untuk mengatasi setiap permasalahan

dalam kinerja, perilaku atau keselamatan anggota tim dapat tercapai

i. Selalu mempertahankan dan meningkatkan praktek kedokteran yang benar dan

baik.

5. Mengatur dokter pengganti

Ketika seorang dokter berhalangan, dokter tersebut harus menentukan dokter

pengganti serta mengatur proses pengalihan yang efektif dan komunikatif dengan

dokter pengganti. Dokter pengganti harus diinformasikan kepada pasien.5

Dokter harus memastikan bahwa dokter pengganti mem¬punyai kemampuan,

pengalaman, pengetahuan, dan keahlian untuk mengerjakan tugasnya sebagai dokter

pengganti. Dokter pengganti harus tetap bertanggung jawab kepada dokter yang

digantikan atau ketua tim dalam asuhan medis.5

6. Mematuhi tugas

Seorang dokter yang bekerja pada institusi pelayanan/ pendidikan kedokteran

harus mematuhi tugas yang digariskan pimpinan institusi, termasuk sebagai dokter

pengganti.5

Dokter penanggung jawab tim harus memastikan bahwa pasien atau keluarga

pasien mengetahui informasi tentang diri pasien akan disampaikan kepada seluruh

anggota tim yang akan memberi perawatan. Jika pasien menolak penyampaian

informasi tersebut, dokter penanggung jawab tim harus menjelaskan kepada pasien

keuntungan bertukar informasi dalam pelayanan kedokteran.5

7. Pendelegasian wewenang

Pendelegasian wewenang kepada perawat, mahasiswa kedokteran, peserta

program pendidikan dokter spesialis, atau dokter pengganti dalam hal pengobatan

atau perawatan atas nama dokter yang merawat, harus disesuaikan dengan kompetensi

dalam melaksanakan prosedur dan pemberian terapi sesuai dengan peraturan yang

berlaku. Dokter yang mendelegasikan tetap menjadi penanggung jawab atas

penanganan pasien secara keseluruhan.5

Menghormati Teman Sejawat

10

Page 11: PBL 5 30 SESHA

Seorang dokter harus memperlakukan teman sejawatnya dengan adil dan rasa

hormat. Seorang dokter tidak boleh mempermainkan atau mempermalukan teman

sejawatnya, atau mendiskriminasikan teman sejawatnya dengan tidak adil.6

Seorang dokter harus tidak memberikan kritik yang tidak wajar atau tidak

berdasar kepada teman sejawatnya yang dapat mempengaruhi kepercayaan pasien

dalam perawatan atau terapi yang sedang dijalankan, atau dalam keputusan terapi

pasien.6

Berbagi Informasi Dengan Teman Sejawat

Berbagi informasi dengan teman sejawat lain sangatlah pen¬ting untuk

keselamatan dan keefektifan perawatan pasien. Ketika seorang dokter merujuk pasien,

dokter tersebut harus memberikan semua informasi yang relevan mengenai pasiennya,

termasuk riwayat medis dan kondisi saat itu.6

Jika seorang dokter spesialis memberikan terapi atau saran untuk seorang

pasien kepada dokter umum, maka ia harus mem¬beritahu hasil pemeriksaan, terapi

yang diberikan dan informasi penting lainnya kepada dokter yang ditunjuk untuk

kelangsungan perawatan pasien, kecuali pasien tersebut menolak.6

Jika seorang pasien belum dirujuk dari dokter umum kepada dokter spesialis,

dokter spesialis tersebut harus menanyakan kepastian pasien tersebut untuk

memberitahu dokter umumnya sebelum memulai terapi, kecuali dalam keadaan gawat

darurat atau saat keadaan yang tidak memungkinkan. Jika dokter spesialis tersebut

tidak memberitahu dokter umum yang merawat pasien tersebut, dokter spesialis

tersebut harus bertanggung jawab untuk menyediakan atau merencanakan semua

kebutuhan perawatan.6

Pelaporan Malpraktek

Kewajiban melaporkan malpraktek dan praktek tidak kompeten dinyatakan

dalam Kode Etik Medis Internasional yaitu “A physician shall report to the

appropriate authorities those physicians who practice unethically or incompetently or

who engage in fraud or deception”. Dokter sering kali sulit untuk membuat pelaporan

tentang tindakan malpraktek dokter lain atas dasar simpati atau persahabatan tetapi

perlu diingatkan bahwa pelaporan adalah salah satu tugas professional seorang

dokter.7

11

Page 12: PBL 5 30 SESHA

Namun, tindakan pelaporan ke pihak wewenang harus menjadi pilihan terakhir

apabila metode lain seperti menegur dan memberi peringatan kepada dokter yang

bersangkutan tidak dapat menyelesaikan tindakan malprakteknya.7

Hubungan Dokter - Pasien

Hubungan dokter dengan pasien pada prinsipnya merupakan hubungan yang

berdasarkan atas kepercayaan antara keduanya. Keberhasilan suatu pengobatan

tergantung di antaranya pada seberapa besar kepercayaan pasien kepada dokternya.

Hal inilah yang menyebabkan hubungan seorang pasien dengan dokternya kadang

sulit tergantikan oleh dokter lain. Akan tetapi, hubungan ini dalam beberapa tahun

terakhir ini telah berubah akibat makin menipisnya keharmonisan antara keduanya.

Berubahnya pola hubungan dokter-pasien yang bersifat paternalistik menjadi

hubungan kolegial atau kemitraan, membuat pasien makin kritis terhadap dokternya.

Ketika terjadi suatu hasil pengobatan yang tidak diinginkan seperti penyakit makin

parah, kecacatan atau kematian, maka pasien serta merta menganggap dokter dan

rumah sakitnya lalai.1,8

Di Indonesia, sebagian dokter merasa tidak mempunyai waktu yang cukup

untuk berbincang-bincang dengan pasiennya, sehingga hanya bertanya seperlunya.

Akibatnya, dokter bisa saja tidak mendapatkan keterangan yang cukup untuk

menegakkan diagnosis dan menentukan perencanaan dan tindakan lebih lanjut. Dari

sisi pasien, umumnya pasien merasa dalam posisi lebih rendah di hadapan dokter

(superior-inferior), sehingga takut bertanya dan bercerita atau hanya menjawab sesuai

pertanyaan dokter saja. Tidak mudah bagi dokter untuk menggali keterangan dari

pasien karena memang tidak bisa diperoleh begitu saja. Perlu dibangun hubungan

saling percaya yang dilandasi keterbukaan, kejujuran dan pengertian akan kebutuhan,

harapan, maupun kepentingan masing-masing. Dengan terbangunnya hubungan saling

percaya, pasien akan memberikan keterangan yang benar dan lengkap sehingga dapat

membantu dokter dalam mendiagnosis penyakit pasien secara baik dan memberi obat

yang tepat bagi pasien. Komunikasi yang baik dan berlangsung dalam kedudukan

setara (tidak superior-inferior) sangat diperlukan agar pasien mau/dapat menceritakan

sakit dan keluhan yang dialaminya secara jujur dan jelas. Komunikasi efektif mampu

mempengaruhi emosi pasien dalam pengambilan keputusan tentang rencana tindakan

selanjutnya, sedangkan komunikasi tidak efektif akan mengundang masalah.

Aspek Hukum

12

Page 13: PBL 5 30 SESHA

Aspek hukum dalam malpraktek:4

1. Penyimpangan dari Standar Profesi Medis

2. Kesalahan yang dilakukan dokter, baik berupa kesengajaan ataupun

kelalaian

3. Akibat yang terjadi disebabkan oleh tindakan medis yang menimbulkan

kerugian materiil atau non materiil maupun fisik atau mental.4

Sanksi Hukum Pidana

• Pasal 267 KUHP (surat keterangan palsu)

1. Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu

tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam dengan

dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

2. Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seorang

kedalam rumah sakit gila atau menahannya disitu, dijatuhkan pidana paling

lama delapan tahun enam bulan.

3. Di ancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai

surat keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran.

Pasal 268 KUHP

1. Barang siapa membuat secara palsu atau memalsu surat keterangan dokter

tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, dengan maksud

untuk menyesatkan penguasa umum atau penanggung (verzekeraar), diancam

dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

2. Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan maksud yang sama

memakai surat keterangan yang tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah

surat itu benar dan tidak dipalsu.

Pasal 359 KUHP

Barangsiapa karena kelalainnya menyebabkan matinya orang lain, diancam

dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling

lama satu tahun.

Pasal 360 KUHP

1. Barangsiapa karena kelalainnyamenyebabkan orang lain menderita luka

berat,diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana

kurungan paling lama satu tahun.

13

Page 14: PBL 5 30 SESHA

2. Barangsiapa karena kelalaiannya menyebabkan orang lain luka sedemikian

rupa sehingga menderita sakit untuk sementara waktu atau tidak dapat

menjalankan jabatan atau perkejaannya selama waktu tertenu diancam dengan

pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan enam bulan

atau denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.11,12

Sanksi Hukum Perdata

Pasal 1338 KUH Perdata

1. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya.

2. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah

pihak, atau karena alas an-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup

untuk itu.

3. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Pasal 1365 KUH Perdata

1. Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang

lain,mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti

kerugian tersebut.

Pasal 1366 KUH Perdata( Kelalaian )

1. Setiap orang bertanggung jawab tidak saja atas kerugian yang disebabkan

karena perbuatannya, tetapi juga atas kerugian yang disebabkan karena

kelalainnnya atau kurang hati – hati.

Pasal 1370 KUH Perdata

Dalam hal pembunuhan (menyebabkan matinya orang lain ) dengan sengaja atau

kurang hati – hatinya seeorang, maka suami dan istri yang ditinggalkan, anak atau

korban orang tua yang biasanya mendapat nafkah dari pekerjaan korban

mempunyai hak untuk menuntut suatu ganti rugi, yang harus dinilai menurut

kedudukanya dan kekayaan kedua belah pihak serta menurut keadaan.

Pasal 55 UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

1. Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang

dilakukan tenaga kesehatan.

2. Ganti rugi sebagaimana diatur dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai

dengan peraturan yang berlaku.11,12

14

Page 15: PBL 5 30 SESHA

Dampak Hukum

A. Perlidungan Hukum Terhadap Dokter yang Diduga Melakukan

Tindakan Malpraktek Medik

Perlindungan hukum terhadap dokter yang diduga melakukan tindakan

malpraktek medik menggunakan Pasal 48, Pasal 50, Pasal 51 Ayat 1 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004

tentang Praktek Kedokteran, Pasal 53 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992

tentang Kesehatan dan Pasal 24 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996

tentang Tenaga Kesehatan. Seorang dokter dapat memperoleh perlindungan hukum

sepanjang ia melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan Standar Operating

Procedure (SOP), serta dikarenakan adanya dua dasar peniadaan kesalahan dokter,

yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf yang ditetapkan di dalam KUHP.

Hubungan dokter dengan pasien haruslah berupa mitra. Dokter tidak dapat

disalahkan bila pasien tidak bersikap jujur. Sehingga rekam medik (medical record)

dan informed consent (persetujuan) yang baik dan benar harus terpenuhi. Cara dan

tahapan mekanisme perlindungan hukum terhadap dokter yang diduga melakukan

tindakan malpraktek medis adalah dengan dibentuknya Majelis Kehormatan Disiplin

Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang bekerja sama dengan pihak Kepolisian

Republik Indonesia (POLRI) atas dasar hubungan lintas sektoral dan saling

menghargai komunitas profesi. Dalam tahapan mekanisme penanganan pelanggaran

disiplin kedokteran, MKDKI menentukan tiga jenis pelanggarannya yaitu pelanggaran

etik, disiplin dan pidana. Untuk pelanggaran etik dilimpahkan kepada Majelis Kode

Etik Kedokteran (MKEK), pelanggaran disiplin dilimpahkan kepada Konsil

Kedokteran Indonesia (KKI), dan pelanggaran pidana dilimpahkan kepada pihak

pasien untuk dapat kemudian dilimpahkan kepada pihak kepolisian atau ke pengadilan

negeri. Apabila kasus dilimpahkan kepada pihak kepolisian maka pada tingkat

penyelidikannya dokter yang diduga telah melakukan tindakan malpraktek medik

tetap mendapatkan haknya dalam hukum yang ditetapkan dalam Pasal 52, Pasal 54,

Pasal 55, Pasal 57 Ayat 1, Pasal 65, Pasal 68, dan Pasal 70 Ayat 1 Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dan apabila kasus dilimpahkan kepada

tingkat pengadilan maka pembuktian dugaan malpraktek dapat menggunakan rekam

medik (medical record) sebagai alat bukti berupa surat yang sah (Pasal 184 Ayat 1

KUHAP).2

15

Page 16: PBL 5 30 SESHA

B. Hukum Kedokteran akibat Kelalaian

Akhir-akhir ini tuntutan hukum yang diajukan oleh pasien atau keluarganya

kepada pihak rumah sakit dan atau dokternya semakin meningkat kekerapannya.

Tuntutan hukum tersebut dapat berupa tuntutan pidana maupun perdata, dengan

hampir selalu mendasarkan kepada teori hukum kelalaian. Dalam bahasa sehari-hari,

perilaku yang dituntut adalah malpraktik medis, yang merupakan sebutan “genus”

(kumpulan) dari kelompok perilaku profesional medis yang “menyimpang” dan

mengakibatkan cedera, kematian atau kerugian bagi pasiennya.

Gugatan perdata dalam bentuk permintaan ganti rugi dapat diajukan dengan

mendasarkan kepada salah satu dari 3 teori di bawah ini, yaitu :

Kelalaian sebagaimana pengertian di atas dan akan diuraikan kemudian

Perbuatan melanggar hukum, yaitu misalnya melakukan tindakan medis

tanpa memperoleh persetujuan, membuka rahasia kedokteran tentang

orang tertentu, penyerangan privacy seseorang, dan lain-lain.

Wanprestasi, yaitu pelanggaran atas janji atau jaminan. Gugatan ini sukar

dilakukan karena umumnya dokter tidak menjanjikan hasil dan perjanjian

tersebut, seandainya ada, umumnya sukar dibuktikan karena tidak tertulis4.

Kelalaian Medik

Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktek medis

menurut World Medical Association (1992), yaitu “ medical malpractice involves the

physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s

condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the

direct cause of an injury to the patient”.1

WMA mengingatkan bahwa tidak semua kegagalan medis adalah malpraktik

medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable)

yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan

cedera pada pasien tidak termasuk ke dalam pengertian malpraktek. “An injury

occuring in the course of medical treatment which coukd not be foreseen and was not

the result of the lack of skill or knowledge aon the part of the treating physician is

untoward result, for which the physicianshould not bear any liability”. Kelalaian

dapat terjadi dalam 3 bentuk:1

16

Page 17: PBL 5 30 SESHA

1. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak

tepat/layak (unlawful dan improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa

indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah improper).

2. Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi

dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya

melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur.

3. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban

baginya.

Malpraktek Medis

Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa

malpraktik dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada

misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang mahiran

atau ketidak kompetenan yang tidak beralasan.1

Profesional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam

bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif,

serta hukum pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang merugikan

pasien, fraud, “penahanan” pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran,

aborsi ilegal, euthanasia, penyerangan seksual, misrepresentasi atau fraud, keterangan

palsu, menggunakan iptekdok yang belum teruji/diterima, berpraktek tanpa SIP,

berpraktek di luar kompetensinya, sengaja melanggar standar, dan lain-lain.

Selain itu malpraktik juga dapat terjadi sebagai akibat kelalaian. Sementara

ketidak-kompetenan dapat menuju ke suatu tindakan misconduct ataupun suatu

kelalaian.

Suatu perbuatan atau sikap tenaga medis dianggap malpraktek medik apabila

memenuhi empat unsur di bawah ini, yaitu:

1. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan medis atau

untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada

situasi dan kondisi tertentu.

2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut.

3. Damage atau kerugian, adalah segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai

kerugian akibat dari layanan kesehatan/kedokteran yang diberikan oleh pemberi

layanan.

17

Page 18: PBL 5 30 SESHA

4. Direct cause relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini

harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan

kerugian yang setidaknya merupakan “proximate cause”.

Untuk menyatakan terjadinya suatu kelalaian atau malpraktek, maka keempat

unsur di atas harus dipenuhi seluruhnya (bersifat kumulatif). Fred Ameln juga

menekankan pentingnya informed consent dan Standar Profesi Medik (SPM) sebagai

tolok ukur meskipun sebenarnya kedua hal ini masih dalam cakupan pengertian

kewajiban seorang dokter. Pemenuhan terhadap informed consent dan SPM itu

merupakan dasar dari peniadaan hukuman pada hukum kedokteran. 6

Beberapa kewajiban dokter dalam profesi medik yang penting adalah: 6

1. Kewajiban untuk bekerja sesuai dengan SPM

a. Bekerja dengan teliti, hati-hati, dan seksama.

b. Sesuai dengan ukuran medik.

c. Sesuai dengan kemampuan rata-rata dibanding dengan dokter dari

keahlianmedik yang sama.

d. Dalam situasi dan kondisi yang sebanding.

e. Dengan sarana dan upaya yang memenuhi perbandingan wajar dibandingkan

dengan tujuan konkret tindak medik tersebut.

2. Kewajiban memberikan informasi tentang tindak medik yang akan dilakukan

terhadap pasien

3. Kewajiban menyimpan rahasia jabatan atau pekerjaan medik

4. Kewajiban menolong pasien gawat darurat

Dengan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kesimpulan adanya

malpraktik bukanlah dilihat dari hasil tindakan medis pada pasien melainkan harus

ditinjau dari bagaimana proses tindakan medis tersebut dilaksanakan.

Suatu hasil yang tidak diharapkan (adverse outcome) di bidang medik

sebenarnya dapat diakibatkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu: 6

1. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan

tindakan medis yang dilakukan dokter.

2. Hasil dari suatu resiko yang tak dapat dihindari, yaitu resiko yang tidak dapat

diketahui sebelumnya (unforeseeable); atau resiko yang meskipun telah diketahui

sebelumnya tetapi dianggap acceptable, atau tidak dapat/tidak mungkin dihindari

18

Page 19: PBL 5 30 SESHA

(unvoidable), karena tindakan yang dilakukan adalah satu-satunya cara terapi.

Resiko tersebut haris diinformasikan terlebih dahulu.

3. Hasil dari suatu kelalaian medik.

4. Hasil dari suatu kesengajaan.

Perbedaan Kelalaian dengan Malpraktek Medik

Malpraktek mencakup pengertian yang jauh lebih luas dari kelalaian karena

intinya adalah tindakan-tindakan yang sengaja (intentional atau dolus) dan melanggar

hukum yang berlaku. Dengan demikian, akibat yang timbul memang merupakan

tujuan dari tindakan tersebut. 6

Secara yuridis penilaian atas tindakan dokter bukanlah berdasarkan hasil,

melainkan berdasarkan pada upaya yang sebaik-baiknya. Jadi, jika dokter telah

bekerja dengan sebaik-baiknya berdasarkan standar profesinya dan mendapat izin dari

pasien (informed consent), maka secara umum tidak ada tindak pelanggaran hukum

maupun hak asasi manusia. Dengan kata lain, dokter tersebut bebas dari hukuman

baik pidana maupun perdata, tetapi semuanya itu tentu saja harus melalui suatu proses

peradilan terlebih dahulu.

Dengan demikian, terjadinya suatu kasus perkara tindak medik tidak dapat

serta merta disebut sebagai malpraktek, namun sebaliknya juga dari pihak dokter pun

tidak dapat serta merta “membebaskan” diri dari proses hukum.

Penilaian Kasus

Yang harus dilakukan dokter A pada saat si ibu datang dengan situasi seperti

kasus di atas adalah mencari informasi tentang proses persalinan si ibu lewat rekam

medis ibu tersebut di rumah sakit tempat si ibu dulu melakukan persalinan. Sesuai

dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia, dokter B harus berbagi informasi dengan

teman sejawat (dokter A) mengenai rekam medis si ibu.

Jika dibahas berkaitan dengan prinsip moral dan etika profesi kedokteran,

dalam kasus ini menyinggung 2 hal dari prinsip kaidah dasar moral tersebut, yaitu dari

segi:

1. Beneficience (kebaikan pasien)

Dokter B yang menangani persalinan ibu melakukan pematahan tulang klavikula

bayi untuk pada saat pengeluaran bahu agar persalinan pervaginam dapat berjalan

19

Page 20: PBL 5 30 SESHA

normal. Pada kasus distosia bahu, pematahan tulang klavikula bayi masih dapat

dilakukan. Hal ini adalah untuk kebaikan pasien dan dilakukan sesuai indikasi.

2. Non-Maleficience (tidak mencelakakan dan memperburuk pasien)

Walaupun dokter sudah melakukan tindakan sesuai prosedur yang ada tetapi dokter

telah melakukan kesalahan karena dokter B tidak memberi tahu ibu bahwa dokter

telah melakukan pematahan tulang klavikula sementara ibu berhak untuk

mengetahui tentang tindakan medis yang dilakukan pada dirinya. Dan di lain

pihak, dokter C selaku dokter anak tidak pula memberi tahu ibu tentang keadaan

tersebut maupun melakukan perawatan kepada bayi si ibu.

Dalam kasus ini, si ibu akan menuntut dokter B karena telah mengakibatkan

patah tulang dan dokter C karena lalai tidak dapat mendiagnosisnya. Namun hal

tersebut belum bisa dikatakan malpraktek dan bisa dituntut secara material. Seorang

dokter dapat dikatakan melakukan kelalaian medik jika memenuhi hal-hal dibawah

ini:

1. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak

tepat/layak (unlawful dan improper), misalnya melakukan tindakan medis

tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah

improper). Dokter B mematahkan tulang klavikula bayi sesuai indikasi

distosia bahu pada kelahiran pervaginam.

2. Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi

dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya

melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur. Dokter B melakukan

hal tersebut sesuai prosedur.

3. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan

kewajiban baginya. Dokter pun melakukan tindakan tersebut karena hal itu

merupakan hal yang wajib dilakukannya untuk menolong persalinan si ibu.

Dari pembahasan di atas, si ibu tidak dapat menuntut dokter B atas tuduhan

kelalaian medik.

Dan si ibu ingin menuntut dokter C karena lalai dalam mendiagnosis (tidak

kompeten). Padahal untuk dapat memperoleh kualifikasi sebagai dokter, setiap orang

harus memiliki suatu kompetensi tertentu di bidang medik dengan tingkat yang

tertentu pula, sesuai dengan kompetensi yang harus dicapainya selama menjalani

pendidikan kedokterannya. Tingkat kompetensi tersebut bukanlah tingkat terendah

20

Page 21: PBL 5 30 SESHA

dan bukan pula tingkat tertinggi dalam kualifikasi tenaga medis yang sama, melainkan

kompetensi yang rata-rata (reasonable competence) dalam populasi dokter. Sehingga

sebenarnya dokter C mempunyai kompetensi sebagai dokter anak.

Jika setelah dokter A menelusuri dari rekam medis, dan informasi dari dokter

B dan C, disimpulkan permasalahannya terletak pada dokter B dan C yang tidak

menginformasikan kondisi bayi tersebut kepada si ibu. Padahal setiap pasien berhak

mengetahui setiap tindakan medis yang dilakukan kepada dirinya. Dokter B dan C

tidak dapat dituntut karena kelalaian medik namun telah melanggar hak pasien “Hak

untuk memperoleh informasi atau penjelasan secara lengkap tentang tindakan medik

yg akan dilakukan terhadap dirinya” UU No. 29 thn 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Dokter A tidak dibenarkan mengkritik dokter B dan C melalui pasien yang

mengakibatkan turunnya kredibilitas dokter B dan C tersebut. Selain itu dokter A

harus memperlakukan teman sejawatnya, dokter B dan C dengan adil dan rasa hormat.

Dokter A harus tidak memberikan kritik yang tidak wajar atau tidak berdasar kepada

dokter B dan C yang dapat mempengaruhi kepercayaan pasien dalam perawatan atau

terapi yang sedang dijalankan, atau dalam keputusan terapi pasien.

Dokter A harus memberikan penjelasan kepada pasien bahwa tindakan yang

dilakukan dokter B memang sesuai dengan indikasi dan prosedur yang berlaku. Dan

juga dokter A harus menjelaskan bahwa kesalahan yang terjadi adalah miss-

comunication antara kedua belah pihak. Jika si ibu masih ingin melakukan

penuntutan, dokter A harus menjelaskan bahwa penuntutuan atas dasar kelalaian

medik tidak dapat dibenarkan. Namun dokter B dan C telah melanggar hak pasien

dalam kode etik kedokteran.

Jika ibu memilih dokter A untuk melakukan perawatan atas anaknya, maka hal

itu diperbolehkan karena itu merupakan hal pasien sesuai dengan yang tertulis pada

UU Praktik Kedokteran No 29 tahun 2004:

Hak untuk memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya

dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit.

Hak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan pendapat klinik dan

pendapat etisnya tanpa campur tangan dari pihak luar.

Hak atas ´second opinion atau meminta pendapat dokter.

Pembentukan Kalus

21

Page 22: PBL 5 30 SESHA

Merupakan fase lanjutan dari fase hematom dan proliferasi mulai terbentuk

jaringan tulang yakni jaringan tulang kondrosit yang mulai tumbuh atau umumnya

disebut sebagai jaringan tulang rawan. Sebenarnya tulang rawan ini masih dibagi lagi

menjadi tulang lamellar dan wovenbone. Pertumbuhan jaringan berlanjut dan

lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah sudah terhubungkan.

Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibrous, tulang rawan, dan

tulang serat matur. Bentuk kalus dan volume dibutuhkanuntuk menghubungkan efek

secara langsung berhubungan dengan jumlah kerusakan dan pergeseran tulang. Perlu

waktu tiga sampai empat minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan

atau jaringan fibrous. Secara klinis fragmen tulang tidak bisa lagi digerakkan.

Regulasi dari pembentukan kalus selama masa perbaikan fraktur dimediasi oleh

ekspresi dari faktor-faktor pertumbuhan. Salah satu faktor yang paling dominan dari

sekian banyak faktor pertumbuhan adalah Transforming Growth Factor-Beta 1 (TGF-

B1) yang menunjukkan keterlibatannya dalam pengaturan differensiasi dari osteoblast

dan produksi matriks ekstra seluler. Faktor lain yaitu: Vascular Endothelial Growth

Factor (VEGF) yang berperan penting pada proses angiogenesis selama

penyembuhan fraktur.13

Pusat dari kalus lunak adalah kartilogenous yang kemudian bersama osteoblast

akan berdiferensiasi membentuk suatu jaringan rantai osteosit, hal ini menandakan

adanya sel tulang serta kemampuan mengantisipasi tekanan mekanis. (Rubin,E,1999)

Proses cepatnya pembentukan kalus lunak yang kemudian berlanjut sampai fase

remodelling adalah masa kritis untuk keberhasilan penyembuhan fraktur.14

Jenis-jenis Kalus Dikenal beberapa

jenis kalus sesuai dengan letak

kalus tersebut berada terbentuk

kalus primer sebagai akibat adanya

fraktur terjadi dalam waktu 2

minggu Bridging (soft) callus

terjadi bila tepi-tepi tulang yang

fraktur tidak bersambung.

Medullary (hard) Callus akan

melengkapi bridging callus secara

Gambar 1. Lima Fase Fraktur Tulang

22

Page 23: PBL 5 30 SESHA

perlahan-lahan. Kalus eksternal berada paling luar daerah fraktur di bawah periosteum

periosteal callus terbentuk di antara periosteum dan tulang yang fraktur.

Interfragmentary callus merupakan kalus yang terbentuk dan mengisi celah fraktur di

antara tulang yang fraktur. Medullary callus terbentuk di dalam medulla tulang di

sekitar daerah fraktur.13

BAB III

Penutup

Perkembangan pengetahuan tentang hak dan kewajiban pasien diharapkan

akan meningkatkan kualitas sikap dan tindakan yang cermat dan hati-hati dari tenaga

kedokteran sehingga kualitas kerja dokter semakin baik dan secara tidak langsung

kualitas kesehatan masyarakat dapat diperbaiki. Oleh itu dokter harus berhati-hati

dalam setiap tindakan dan mencegah terjadinya kelalaian sehingga pasien merasa

dirugikan.

Seperti kasus diatas yang telang kita bahas dengan panjang lebar. Untuk

mencari solusi dari kasus tersebut kita perlu bertindak dengan arif dan bijaksana tanpa

memojokkan atau menyudutkan teman sejawat kita dan tentu pula tanpa merugikan

pasien/keluarga pasien selaku “korban” akibat kelalaian dokter dalam melakukan

tindakan dan mendiagnosis suatu penyakit. Sehingga dapat dicari solusi yang baik

agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan akibat permasalahan tersebut. Kita harus

bisa berdiri di tempat yang adil dan netral, agar tindakan yang kita lakukan berguna

untuk kepentingan pasien dan sesuai dengan ketentuan dan aturan yang berlaku dalam

undang-undang dan sesuai dengan kode etik kedokteran Indonesia.

BAB IV

Daftar Pustaka

1. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran pengantar

bagi mahasiswa kedokteran dan hukum. Cetakan ke-2. Jakarta : Pustaka Dwipar ;

2007.

2. Sami, Suprapti R. Etika kedokteran indonesia. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo ; 2001.

23

Page 24: PBL 5 30 SESHA

3. Achadiat CM. Dinamika etika & hukum kedokteran dalam tantangan zaman.

Cetakan ke-1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2007.

4. Ikatan Alumni Universitas Indonesia Fakultas Kedokteran Tahun 1983. Kode etik

kedokteran indonesia (KODEKI). Januari 2009. Diunduh dari

http://www.ilunifk83.com/, 14 Januari 2013.

5. Subijanto HAA. Peran komunikasi dalam menjalankan profesi dokter yang

berkualitas di masyarakat. Maret 2009. Diunduh dari UPT Perpustakaan UNS, 14

Januari 2013.

6. Hanafiah. M. Jusuf, Ami Amri. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Jakarta :

Buku Kedokteran EGC : 2007.

7. Williams J. World medical association : Medical ethics manual. 2nd Edition. New

York : 2009.

8. Daliyono. Bagaimana dokter berpikir dan bekerja. Jakarta : Gramedia Pustaka

Utama ; 2006.

9. Hubungan dokter dan pasien. Diunduh dari:

http://prematuredoctor.blogspot.com/2010/06/hubungan-dokter-pasien.html, 14

Januari 2013.

10. Rizaldy Pinzon. Strategi 4s untuk pelayanan medik berbasis bukti. Cermin dunia

kedokteran. 163:Vol 36. Jakarta : EGC ; 2009.

11. Bagian kedokteran forensik. Peraturan perundang-undangan bidang kedokteran.

hukum perdata yang berkaitan dengan profesi dokter. Jakarta : FKUI ; 1994. h51.

12. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD, Bioetik dan hukum kedokteran, pengantar

bagi mahasiswa kedokteran dan hukum. Jakarta : Pustaka Dwipar ; 2005.

13. Proses penyembuhan fraktur. USU. Diunduh dari: http://www.google.com/url?

sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&ved=0CDUQFjAB&url=h

ttp%3A%2F%2Frepository.usu.ac.id%2Fbitstream

%2F123456789%2F33107%2F4%2FChapter

%2520II.pdf&ei=fvXzUOCiN83fkgXqm4C4BA&usg=AFQjCNE7pMOhk1y4D

MN3Fp4FGJTG_i5JBQ&sig2=v_m4Gtiz7QdbKR43ZNcjPg&bvm=bv.13577001

87,d.dGI, 14 Januari 2013.

14. Fraktur tulang. UGM. 2007. Diunduh dari: http://www.bedahugm.net/fraktur/, 14

Januari 2013.

24

Page 25: PBL 5 30 SESHA

25