PBL blok 18

Embed Size (px)

DESCRIPTION

noge

Citation preview

Diteri Tonsil Faring 13

Difteri Tonsil FaringPrizilia Saimima102012061E4Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731e-mail : [email protected] adalah suatu infeksi akut pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh Corynebacterium diptheriae. Lebih sering menyerang anak-anak. Penularan biasanya terjadi melalui percikan ludah dari orang yang membawa kuman ke orang lain yang sehat. Selain itu penyakit ini juga bisa ditularkan melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Tetapi tak jarang racunnya juga menyerang kulit dan bahakn menyebabkan kerusakan saraf dan jantung.Kuman masuk melalui kulit, melekat serta berkembang biak pada mukosa saluran pernapasan bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah dan limfe. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin luas dan terbentuk eksudat fibrin. Gangguan pernafasan bisa terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang-cabang transcobronkial. Toksin yang diedarkan tubuh bisa dapat menyebabkan kerusakan pada organ terutama jantung, saraf dan ginjal.Untuk menekan angka kejadian difteri, salah satu cara yang dilakukan adalah menggalakkan imunisasi DPT secara lengkap, untuk mencegah virus Corynebacterium diptheriae masuk ke dalam tubuh.Pada kasus di katakan bahwa seorang anak laki-laki berusia 3 tahun dibawa ibunya ke IGD RS karena sesak nafas sejak 1 hari yang lalu. Keluhan didahului batuk pilek sejak 1 minggu yang lalu. Dua hari yang lalu anak mengalami demam disertai nyeri menelan. Pasien juga tidak mau makan. Riwayat imunisasi pasien ternyata tidak lengkap

Anamnesis Anamnesis adalah wawancara antara dokter dengan pasien untuk mendapatkan infomasi tentang penyakit pasien seperti identitas (Nama, umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat lengkap), keluhan utama, riwayat penyakit sekarang (Lokasi sakit, dan adanya nyeri saat ditekan dibagian edema pergelangan kaki bagian belakang), riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, faktor lingkungan.Pada pasien dengan difteri ditanyakan :Sudah berapa lama batuk-pileknya ?Apakah batuk itu setiap hari ?Apakah yang keluar sputum atau darah ? apa warnanya ?Apakah ada darah di dahaknya ?Seberapa banyak dahak yang dikeluarkan ?Seperti apa dahaknya ( cair/kental ) ?Apakah ada demam ?Apakah nyeri kalau bernafas ?Nyeri tenggorkannya menetap atau hilang timbul ?Sejak kapan nyerinya ?Apakah nyeri tenggorokannya disertai demam, batuk, serak dan tenggorokan terasa kering ?Apakah nyeri saat menelan ?Apakah nyerinya terasa sampai ke telinga ?Apakah berdahak ?Apakah dahak ini berupa lendir, pus atau bercampur dengan darah ?Sulit menelan sudah berapa lama ?Apakah juga disertai rasa muntah dan berat badan turun cepat ?Rasa sumbatan di leher di daerah mana dan sudah berapa lama ?Obat apa saja yang sudah digunakan untuk menangani keluhan ? apakah obatnya mengurangi rasa sakit atau malah memburuk ?

Pemeriksaan FisikKeadaan umum dan tanda-tanda vital

Sebelum lanjut ke pemeriksaan fisik yang lain dapat dilakukan pemeriksaan keadaan umum seperti tanda-tanda vital diantaranya frekuensi nadi, nafas, tekanan darah, suhu. Pemeriksaan tanda-tanda vital penting untuk menilai apakah pasien mempunyai tekanan darah tinggi, demam dan lain-lain.Pemeriksaan faring dan rongga mulut

Dengan lampu kepala yang diarahkan ke rongga mulut dilakukan inspeksi pada bagian luar bibir dengan perhatikan warna, kelembapan dan apakah ada kelainan seperti benjolan, ulkus, fissure, dan sebagainya. Setelah itu dilihat kedalam rongga mulut dengan menekan bagian lidah dengan menggunakan spatula lidah supaya rongga mulut jelas terlihat. Dilihat pada mukosa oral seperti warna, ulkus, bercak-bercak putih, dan juga nodul. Warna palatum juga harus dilihat. Pemeriksaan diteruskan dengan melihat dinding belakang faring serta kelenjar limfe, uvula, arkus faring serta gerakanannya, tonsil, gusi, dan gigi geligi pasien. Untuk melihat keadaan faring lebih jelas, pasien diminta mengucapkan huruf A. Kadang faring dinilai dengan warna, apakah dinding faring hipermis, apakah simertis, apakah terdapat luka, eksudat, pembengakakan, ulserasi atau oedem tonsil. Palpasi rongga mulut dilakukan bila ada masa massa tumor, kista, dan lain-lain.Pemeriksaan penunjangPemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah diantarnya :Pemeriksaan darah lengkap. Didapatkan penurunan kadar hemoglobin, dan leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin.

Diagnosis kerjaDifteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius bagian atas dengan tanda khas terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal.Difteri adalah suatu infeksi akut pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae. Lebih sering menyerang anak-anak. Penularan biasanya melalui percikan ludah dari orang yang membawa kuman ke orang lain yang sehat. Selain itu penyakit ini bisa juga ditularkan melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Tetapi tak jarang racun juga menyerang kulit dan bahkan menyebabkan kerusakan saraf dan jantung.Beberapa tahun yang lalu difteri menjadi penyebab kematian pada anak-anak, tapi beberapa tahun belakangan ini sudah tidak terjadi lagi.Difteri dibagi menurut tempat atau lokalisasi jaringan yang terkena infeksi. Pembagian berdasarkan berat ringannya penyakit juga diajukan oleh Beach, dkk pada tahun 1950 sebagai berikut :Infeksi ringan

Pseudomembran terbatas pada mukosa hidung atau fausial dengan gejala hanya nyeri menelan.Infeksi sedang

Pseudomembran menyebar lebih luas sampai ke dinding posterior faring dengan edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan konservatif.Infeksi berat

Distertai gejala sumbatan jalan nafas yang berat, yang hanya dapat diatasi dengan trakeostomi. Juga gejala komplikasi miokarditis, paralisis ataupun nefritis dapat menyertai.Berdasarkan lokasi gejalanya, difteri di bagi menjadi :Difteri faring dan tonsil

Difteri ini paling sering dijumpai, sekitar 75%. Dalam keadaan ringan tidak terbentuk pseudomembran, dapat sembuh sendiri dan dapat membentuk kekebalan. Bila berat akan timbul gejala demam tapi tidak tinggi, nyeri telan, terdapat pseudomembran yang mula-mula hanya ada bercak-bercak putih keabu-abuan dan cepat meluas ke daerah faring dan laring. Nafas berbau, timbul pembengkakan pada kelenjar daerah regional sehingga leher membesar yang biasa disebut leher banteng atau bullneck. Dalam keadaan ini dapat tersedak ( karena adanya kelumpuhan saraf telan atau palatum molle ) suara serak serta stridor inspirasi walaupun belum terjadi sumbatan laring,Difteri laring dan trakea

Difteri ini merupakan yang terbanyak dan umumnya sebagai perjalanan dari difteri faring dan tonsil. Gejala sama dengan difteri faring hanya lebih berat. Pasien tampak sesak nafas hebat, stridor inspiratoir, sianosis, terdapat retraksi otot suprasternal dan epigastrium, pembesaran kelenjar regional. Pada pemeriksaan laring tampak kemerahan, sembab, banyak sekret dan permukaan tertutup oleh pseudomembran. Pada keadaan ini terdapat sumbatan jalan nafas yang berat sehingga memerlukan pembuatan jalan nafas buatan ( trakeastomi ).Untuk menentukan pengobatannya, pasien perlu diperiksa usapan tenggorokan dan hidungnya guna menemukan kuman penyebab difteri. Untuk pengambilan usapan tenggorokan ini diperlukan 2 tabung reaksi yang diminta dari laboratorim. Tabung tersebut satu berisi 1 kapas lidi yang diperlukan untuk usapan tenggorokan, dan tabung dua berisi dua kapas lidi untuk mengambil usapan pada lubang hidung kanan dan kiri ( telah diberi tanpa pada kapas lidi ). Isikan ke dalam tabung tersebut 1 ml NaCl; pada waktu memasukkan kapas lidi yang telah mengandung usapan tidak boleh terendam ke dalam cairan tersebut maka tabung harus selalu dalam posisi berdiri ( maksud NaCl ini agar udara dalam tabung tetap lembab dan kuman tidak akan mati ). Hapusan diulang setelah selesai pengobatan untuk menentukan penyembuhan pasien ( dua kali berturut-turut hasilnya negative ).Diagnosis bandingAbeses retrofaringAbses retrofaring yang paling sering terjadi pada anak-anak yang berusia lebih muda, seringkali merupakan sekuel infeksi saluran pernafasan atas dengan supurasi kelenjar getah bening retrofaring yang membentuk abses. Penyakit ini dapat pula disebabkan oleh trauma tembus. Abses ini bermanefestasi sebagai nyeri tenggorokan akut disertai demam tinggi, kaku leher, dan kadang-kadang gangguan pernfasan.

Pembengkakan lebih nyata pada satu sisi, menimbulkan pembengkakan leher ipsilateral yang nyeri tekan disertai limfadenitis servikal yang nyeri tekan. Pada pemeriksaan, sering ditemukan dinding faring membengkak dan eritematosa. Pencitraan diagnostik dapat berupa rontgen jaringan lunak leher lateral atau CT scan leher yang dapat membedakan selulitis dengan abses. Organisme piogenik sering kali menjadi penyebab dan pengobatannya adalah inisisi bedah intraoral atau ekstraoral serta drainase dengan proteksi jalan nafas untuk mencegah aspirasi bahan purulen. Terapi antibiotic intravena harus diberikan setelah drainase bedah.Abses peritonsilAbses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsillitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama dengan penyebab kuman penyebab tonsillitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang lebih tua atau dewasa muda.

Abses perintonsiler disebabkan oleh oraganisme yang bersifat aerob maupun yang anaerob. Oraganisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah streptococcus pyogenes ( grup A beta-hemolitikik streptococcus ), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobcaterium, Prevotella, Porphyromonas, dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara kuman aerob dan anaerob.

Etiologi Spesies Corynebacterium adalah basil aerob, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, kebanyakan tidak bergerak, pleomorfik, gram-negatif. Tidak bersifat selektif dalam pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media tertentu ( yaitu sistin telurit agar darah ) yang menghambat pertumbuhan oraganisme yang menyayangi, dan bila direduksi oleh C. diphteriae, membuat koloni menjadi abu-abu hitam. Tiga biotip ( yaitu, mitis, gravis dan intermedius ), masing-masing mampu menyebabkan difteria, dibedakan oleh morfologi koloni, hemolisi dan reaksi fementasinya. Bakteriofag lisogenik membawa genanya yang mengkode untuk produksi endoktoksin yang memberikan kemungkinan penghasil difteria terhadap strain C. dipthriae, tetapi bakteriofag ini memberi protein esensial pada bakteri. Pengamatan wabah difteri di Inggris dan Amerika Serikat dengan menggunakan teknik molekuler member kesan bahwa C. diphteriae nontoksik asli yang diberi bertoksin, menimbulkan penyakit setelah pemasukan C. diphtereiae bertoksin tersebut. Toksin difteri dapat diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar ( uji elek ), suatu uji reaksi rantai polymerase pengamatan, atau dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmot ( uji kematian ). Strain toksin tidak dapat dibedakan dengan uji tipe koloni, mikroskopi atau biokimia.Bakteri ini dapat ditemukan dalam sediaan langsung yang diambil dari usapan tenggorokan atau hidung. Basil difteri akan mati pada pemanasan suhu 60oC selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu dalam es, air, susu dan lendir yang telah mongering.Basil difteri mempunyai sifat :Membentuk pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan yang meliputi daerah yang terkena, terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan kuman.Mengeluarkan eksotoksin yang sangat ganas dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diserap dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal, dan jaringan saraf ( toksin ini sangat ganas; 1/50 mL toksin dapat membunuh kelinci )

Untuk mengetahui apakah tubuh mengandung antitoksin terhadap kuman difteria dilakukan uji kulit yang disebut dengan uji shick. Caranya adalah dengan menyuntikkan intrakutan 1/50 minimal laten dose ( MLD ) sebanyak 0,02 ml. Jika postif akan terlihat merah kecoklatan selama 24 jam.

EpidemiologiPenyakit ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana temperature lebih dingin di negara subtropics dan terutama menyerang anak-anak berumur dibawah 15 tahun yang belum diimunisasi. Sering juga dijumpai pada kelompok remaja yang tidak diimunsasi. Di negara tropis variasi musim kurang jelas, yang sering terjadi adalah infeksi subklinis dan difteri kulit.Di Amerika Serikat dari tahun 1980-1998, kejadian difteri dilaporkan rata-rata 4 kasus setiap tahunnya, dua pertiga dari orang yang terkena infeksi umurnya 20 tahun atau lebih. KLB yang sempat luas terjadi di daerah Federasi Rusia pada tahun 1990 dan kemudia menyebar ke negara-negara lain yang dahulu bergabung dalam Uni Soviet dan Mongolia. Faktor resiko yang mendasari terjadinya infeksi difteri di kalangan orang dewasa adalah menurunnya imunitas yang didapat karena imunisasi pada waktu bayi, tidak lengkapnya jadwal imunisasi oleh karena kontraindikasi yang tidak jelas, adanya gerakan yang menentang imunisasi serta tingkat sosial ekonomi masyarakat.Wabah mulai menurun setelah penyakit tersebut mencapai puncaknya pada tahun1995 meskipun pada kejadian tersebut dilaporkan telah terjadi 150.000 kasus dan 5.000 diantaranya meninggal dunia diantara tahun 1990-1997. Di Ekuador telah terjadi KLB pada tahun 1993-1994 dengan 200 kasus, setengah dari kasus tersebut berusia 15 tahun keatas. Pada kedua KLB tersebut dapat diatasi dengan cara melakukkan imunisasi massal.

PatofisiologiPenularan penyakit difteria adalah melalui udara ( droplet infection ), tapi juga dapat perantaraan alat atau benda yang terkontaminasi oleh kuman difteria. Penyakit dapat mengenai bayi tapi kebanyakan pada anak usia balita. Penyakit difteria dapat berat atau ringan tergantung virulensi, banyaknya basil dan daya tahan tubuh anak. Bila ringan, hanya berupa keluhan sakit menelan dan akan sembuh sendiri serta dapat menimbulkan kekebalan pada anak jika daya tahan tubuhnya baik.Basil hidup dan berkembang biak pada traktus respiratorius bagian atas terlebih-lebih bila terdapat peradangan kronis pada tonsil, sinus dan lain-lain. Tetapi walaupun jarang basil dapat pula hidup pada daerah vulva, telinga dan kulit. Pada tempat ini basil membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran dapat timbul lokal atau kemudian menyebar dari faring atau tonsil ke laring dan seluruh traktus respiratorius bagian atas sehingga menimbulkan gejala yang lebih berat. Kelenjar getah bening sekitarnya akan mengalami hyperplasia dan mengandung toksin. Toksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62000 dalton tidak tahan panas atau cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A ( Aminoterminal ) dan fragmen B ( Carboxyterminal ) yang diikatkan dengan ikatan sufida. Fragmen yang diperlukan untuk melekatkan molekul toksin yang teraktivasi dari reseptor sel pejamu yang sensitive. Perlekatan ini mutlak agar fragmen A dapat melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting dalam menimbulkan efek toksik pada sel.Reseptor-reseptor toksin difteri pada membrane sel terkumpul dalam satu coated pit dan toksin mengadakan penetrasi dengan mengadakan endositosis. Proses ini memungkinkan toksin mencapai bagian dalam sel. Selanjutnya edosom yang mengalami asidifikasi secara alamiah ini dan mengandung toksin, memudahkan toksin untuk melalui membrane edosom ke sitosol. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein sel.Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan asam amino yang telah diikat oleh 2 transfer RNA yang menempati kedudukan P dan A daripada ribosom. Bila rangkaian asam amino ini di tambah dengan asam amino yang lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan suatu proses translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA+ dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim translokase.Toksin difteri mula-mula menempel pada membrane sel dengan bantuan fragmen A akan masuk dan mengakibatkan aktivitas enzim translokase melalui prosesNAD + EF2 ( aktif ) ADP ribosil EF2 ( inaktif ) + H2 + Nicotinamid ADP ribosil EF2 yang inaktifHal ini menyebabkan translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respon terjadi inflamasi lokal bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang mula-mula dilemmas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuk eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membrane yang melekat erat yang berwarna abu kehitaman, tergantung dari darah yang terkandung. Selain fibrin, membrane juga terdiri dari sel-sel radang, eritrosit, dan sel-sel epitel. Bila dipaksa melepas membrane akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membrane akan terlepas dengan sendirinya dalam periode penyembuhan.Eksotoksin dapat mengenai jantung dan menyebabkan miokarditis toksik atau mengenai jaringan saraf perifer sehingga timbul paralisis terutama oto-otot pernafasan. Toksin juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginajl, malahan dapat timbul nefritis interstitialis ( jarang sekali ).Antitoksin difteri hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terreabsorbsi pada sel. Terdapat periode laten yang bervariasi sebelum timbulnya manefestasi klinik. Miokardio toksin biasanya terjadi dalam 10-15 hari, manefestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patofis yang menonjol adalah nekrosis toksis dan degeneralisasi hilain pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan fibrosis interstitial, pada saraf tampak neuritis toksin dengan degenarasi lemah pada selaput myeline. Nekrosis hati bisa disertai gejala hipokalemi, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubuler akut pada ginjal.Kematian terutama disebabkan oleh sumbatan membrane pada laring dan trakea, gagal jantung, gagal pernafasan atau akibat komplikasi yang sering yaitu bronkopneumonia.

Manefestasi klinisMasa tunas 2-7 hari. Selanjutnya gejala klinis dapat dibagi dalam gejala umum dan gejala lokal serta gejaal akibat eksotoksin pada jaringan yang terkena.Gejala umum berupa demam tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, nyeri kepala dan anoreksia sehingga tampak penderita sangat lemah sekali. Gejala ini biasanya disertai dengan gejala khas untuk setiap bagian yang terkena seperti pilek atau nyeri menelan atau sesak nafas dengan serak dan stridor, sedangkan gejala akibat eksotoksin bergantung kepada jaringan yang terkena seperti miokarditis, parlisisi jaringan saraf atau nefritis.Bila difteri mengenai hidung maka gejalanya ringan dan jarang terdapat ( hanya 20% ). Mula-mula hanya tampak pilek, tetapi kemudian sekret yang keluar tercampur darah sedikit yang berasal dari pseudomembran. Penyebaran pseudomembran dapat pula mencapai faring dan laring. Penderita bisa diobati seperti penderita difteri lainnya.Bila difteri mengenai faring dan tonsil maka gejalanya hanya berupa radang pada selaput lendir dan tidak membentuk pseudomembran sedangkan diagnosis dapat dibuat atas dasar hasil biakan yang positif. Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada penderita. Pada penyakit yang lebih berat, mualinya seperti radang akut tenggorok dengan suhu yang tidak terlalu tinggi, dapat ditemukan pseudomembran yang mula-mula hanya berupa bercak putih keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau laring. Nafas berbau dan timbul pembengkakan kelenjar regional sehingga leher tampak seperti leher sapi atau bullneck. Dapat terjadi salah menelan dan suara serak serta stridor inspirasi walaupun belum terjadi sumbatan laring. Hal ini disebabkan oleh paresis palatum molle. Pada pemeriksaan darah dapat terjadi penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit dan kadar albumin, sedangkan pada urin mungkin dapat ditemuka albuminuria ringan.Bila difteri mengenai laring dan trakea gejalanya adalah gangguan jalan nafas berupa suara serak dan stridor inspirasi jelas dan bila lebih berat dapat timbul sesak nafas hebat, sianosis dan tampak retraksi suprasternal serta epigastrium. Pembesaran kelenjar regional akan menyebabkan bull neck. Pada pemeriksaan laring tampak kemerahan, sembab, banyak sekret dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran. Bila anak terlihat sesak dan payah sekali maka harus segera ditolong dengan tindakan trakeostomi sebagai pertolongan pertama.

Imunisasi Imunisasi aktif dilakukan dengan menyuntikkan toksoid. Imnuisasi dasar dimulai pada umur 3 bulan dilakukan 3 kali berturut-turut dengan selang waktu 1 bulan. Biasanya diberikan bersama-sama toksoidtetansu dan basil B. pertussis yang telah dimatikan sehingga disebut triple vaksin DPt dan diberikan dengan dosis 0,5 ml subkutan dalam atau intramuscular. Vaksinasi ulangan dilakukan 1 tahun sesudah suntikan terakhir dari imunisasi dasar atau kira-kira pada umur 1 - 2 tahun dan pada umur 5 tahun. Selanjutnya setiap 5 tahun sampai dengan usia 15 tahun hanya diberikan vaksin difteri dan tetanus ( vaksin DT ) atau bila ada kontak dengan penderita difteri.

KomplikasiSaluran pernafasan

Obstruksi jalan nafas dengan segaka akibatnya, bronkopneumonia dan atelektasis.Kardiovaskular

Miokarditis akibat toksin yang dibentuk kuman penyakit ini.Urogenital

Dapat terjadi nefritis,Susunan saraf

Kira-kira 10% penderita difteri akan mengalami komplikasi yang mengenai sistem susunan saraf terutama sistem motorik.Paralisis/parese dapat berupa :Paralisis/paresis palatum molle, sehingga terjadi rinolalia, kesukaran menealan. Sifatnya reversible dan terjadi pada minggu pertama dan kedua.Paralisis/paresis otot-otot mata, sehingga dapat mengakibatkan strabismus, gangguan akomodasi, dilatasi pupil atau ptosis, yang timbul setelah minggu ketiga.Paralisis umum yang dapat timbul setelah minggu keempat. Kelainan dapat mengenai otot muka, leher, anggota gerak dan yang paling berbahaya bila mengenai otot pernafasan.

Penatalaksanaan Pengobatan umumTerdiri dari perawatan yang baik, istirahat di tempat tidur, isolasi penderit dan perawatan yang ketat atas kemungkinan timbulnya komplikasi antara lain dengan melakukan pemeriksaan EKG setiap minggu.Pengobatan spesifikAnti Diphtheria Serum ( ADS ) diberikan sebanyak 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan sebelumnya dilakukan uji kulit dan mata. Bila ternyata penderita peka terhadap serum tersebut, maka harus dilakukan desensitasi dengn cara besredka.Antibiotika. Di berikan penisilin prokain 50.000 U/kgbb/hari selama 3 hari bebsa panas. Pada penderita yang dilakukan trakeostomi, ditambahkan kloramfenikol 75 mg/kgbb/hari, dibagi 4 dosis.Kortikosteroid. Obat ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat berbahaya. Dapat diberikan predinson 2 mg/kgbb/hari selama 3 minggu yang kemudia dihentikan secara bertahap.Penderita difteri dirawat selama 3-4 minggu. Bila terdapat sumbatan jalan nafas harus dipertimbangkan tindakan trakeostomi, karena tindakan ini pada difteri laring dengan sumbatan jalan nafas akan menyelamatkan jiwa pasien. Perawatan pasca trakeostomi juga memegang pernanan penting seperti pengisapan ledir secara berhati-hati dan teratur, sebab pengisapan lendir secara tidak baik dapat menimbulkan refleks vagal yang dapat menyebabkan kematian. Intubasi trakea juga dapat dipakai untuk menolong penderita yang mengalami sumbatan jalan nafas dan dapat dilakukan oleh dokter umum.

Bila ada komplikasi paralilis/paresis otot, dapat diberikan striknin mg dan vitamin B1 100 mg setiap hari selama 10 hari berturut-turut.

Pencegahan dan intervensi dini Memberikan kekebalan pada anak-anak dengan cara : Imunisasi DPT/HB untuk anak bayi. Imunisasi di berikan sebanyak 3 kali yaitu pada saat usia 2 bulan, 3 bulan, dan 4 bulan. Imunisasi DT untuk anak usia sekolah dasar (usia kurang dari 7 tahun). Imunisasi ini di berikan satu kali. Imunisasi dengan vaksin Td dewasa untuk usia 7 tahun ke atas. Hindari kontak dengan penderita langsung difteri. Jaga kebersihan diri. Menjaga stamina tubuh dengan makan makanan yang bergizi dan berolahraga cuci tangan sebelum makan.Melakukan pemeriksaan kesehatan secara teratur. Bila mempunyai keluhan sakit saat menelan segera memeriksakan ke Unit Pelayanan Kesehatan terdekat.Isolasi penderita. Penderita difteri harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukan tidak terdapat lagi C. diptheriae 2 kali berturut-turut.Pengobatam carrier difteri. Dilakukan dengan uji schick, yaitu bila hasil uji negative ( mungkin penderita karier atau pernah mendapat imunisasi ), maka harus dilakukan hapusan tenggorok. Jika ternyata ditemukan C.diptheriae, pasien harus diobati dan bila perlu dilakukan trakeostomi.

Prognosis Prognosis penyakit ini bergantung kepada : Umur pasien. Makin muda usianya makin jelek prognosisnya. Perjalanan penyakit. Makin terlambat diketemukan, makin buruk keadaanya. Letak lesi difteria. Bila di hidung tergolong ringan. Keadaan umum pasien, bila keadaan gizinya buruk, keadaanya juga buruk. Terdapatnya komplikasi miokarditis sangat memperburuk prognosisnya. Pengobatan, terlambat pemberian ADS, prognosis makin buruk

KesimpulanDifteri adalah suatu penyakit infeksi toksik akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae ditandai dengan pembentukan psedomembran pada kulit atau mukosa. Berdasarkan tempat atau lokasi jaringan yang terkena infeksi, difteri dapat dibagi menjadi tiga, antara lain yaitu Difteri hidung, Difteri faring dan tonsil, Difteri laring. Difteri laring merupakan difteri yang paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas. Untuk mengurangi angka kejadian penyakit difteri, Indonesia telah mencanangkan imunisasi vaksin DPT yang diberikan tiga kali. Dimana DPT 1 diberikan umur 2 bulan, DPT 2 umur 3 bulan, DPT 3 umur 4 bulan, dan ada juga vaksin ulangan yang dikenal dengan booster

DAFTAR PUSTAKA Santoso mardi, Kartadinata Henk, Hendra Wong, et al. Buku panduan ketrampilan medik. Jakarta : FK UKRIDA ; 2009.p.54-9Latief A, Napitupulu MP, Putra ST. infeksi bakteri in Ilmu kesehatan Anak. Edisi 4. Jakarta. FKUI. 2009. Hal 549-56 P.T Ward, Jeremy, dkk. At a Glance Sistem Respirasi Edisi 2. Jakarta. Erlangga. 2006.p.47 Kee Joyce LeFever. Pedoman pemeriksaan laboratorium dan diagnostik edisi keenam. Jakarta: EGC.2008.p.56-57 Ward Jane, Wiener Charles M, Leach Richard M et al. At a glance sistem respirasi edisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit Erlangga; 2008.p178-80 Mansjoer Arif, Triyanti Kuspuji, Savitri Rakhmi, et al. Kapita selekta kedokteran edisi ketiga. Jakarta : Penerbit Media Aesculapius FKUI ; 2006.p. 476-80 Price, Sylvia, dkk. Buku Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2 Edisi 6. Jakarta. EGC. 2006 Nelson WE, Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Nelson esensi pediatri. Edisi 4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2010. Hal 341-50 Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Farmakologi dan terapi. Edisi ke-5. Gaya Baru. Jakarta; 2007.p.63,85