Upload
dea
View
33
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
4. Klasifikasi Anemia berdasarkan morfologi dan etiologi
I. Anemia Hipokromik Mikrositer
a. Anemia defisiensi Besi
Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untukeritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin (Hb) berkurang.1
Gambaran diagnosis etiologis dapat ditegakkan dari petunjuk patofisiologi, patogenesis, gejala klinis, pemeriksaan laboratorium, diagnosis banding, penatalaksanaan dan terapi. Beberapa zat gizi diperlukan dalam pembentukan sel darah merah. Yang paling penting adalah zat besi, vitamin B12 dan asam folat, tetapi tubuh juga memerlukan sejumlah kecil vitamin C, riboflavin dan tembaga serta keseimbangan hormone, terutama eritroprotein. Tanpa zat gizi dan hormone tersebut, pembentukan sel darah merah akan berjalan lambat dan tidak mencukupi, dan selnya bisa memiliki kelainan bentuk dan tidak mampu mengangkut oksigen sebagaimana mestinya.
PATOFISIOLOGIZat besi (Fe) diperlukan untuk pembuatan heme dan hemoglobin (Hb).Kekurangan Fe mengakibatkan kekurangan Hb.Walaupun pembuatan eritrosit juga menurun, tiap eritrosit mengandung Hb lebih sedikit daripada biasa sehingga timbul anemia hipokromik mikrositik.
ETIOLOGIAnemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan besi, gangguan absorpsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun.1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun, yang dapat berasal dari :
Saluran Cerna : akibat dari tukak peptik, kanker lambung, kanker kolon, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang.
Saluran genitalia wanita : menorrhagia, atau metrorhagia. Saluran kemih : hematuria Saluran napas : hemoptoe.
2. Faktor nutrisi : akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau kualitas besi (bioavaibilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C, dan rendah daging).3. Kebutuhan besi meningkat : seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan dan kehamilan.4. Gangguan absorpsi besi : gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik.
Pada orang dewasa, anemia defisiensi besi yang dijumpai di klinik hampir identik dengan perdarahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang sebagai penyebab utama. Penyebab perdarahan paling sering pada laki-laki ialah perdarahan gastrointestinal, di negara tropik paling sering karena infeksi cacing tambang. Sementara itu, pada wanita paling sering karena menormetrorhagia.
EPIDEMIOLOGIDiperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia dan lebih dari 50% penderita ini adalah ADB da terutama mengenai bayi, anak sekolah, ibu hamil dan menyusui. Di Indonesia masih
merupakan masalah gizi utama selain kekurangan kalori protein, vitamin A dan yodium. Penelitian di Indonesia mendapatkan prevalensi ADB pada anak balita sekitar 30 – 40%, pada anak sekolah 25 – 35% sedangkan hasil SKRT 1992 prevalensi ADB pada balita sebesar 5,55%. ADB mempunyai dampak yang merugikan bagi kesehatan anak berupa gangguan tumbuh kembang, penurunan daya tahan tubuh dan daya konsentrasi serta kemampuan belajar sehingga menurunkan prestasi belajar di sekolah.
PATOGENESISPerdarahan menahun menyebabkan kehilangan zat besi sehingga cadangan zat besi makin menurun. Jika cadangan kosong maka keadaan ini disebut iron depleted state. Apabila kekurangan zat besi berlanjut terus maka penyediaan zat besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit, tetapi anemia secara klinis belum terjadi, keadaan ini disebut iron deficient erythropoiesis.Selanjutnya timbul anemia hipokromik mikrositer sehingga disebut iron deficiency anemia.
GEJALA KLINISAnemia pada akhirnya menyebabkan kelelahan, sesak nafas, kurang tenaga dan gejala lainnya. Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tidak dijumpai pada anemia jenis lain, seperti :
1. Atrofi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah menghilang.
2. Glositis : iritasi lidah3. Keilosis : bibir pecah-pecah4. Koilonikia : kuku jari tangan pecah-pecah dan bentuknya seperti sendok.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang dapat dijumpai adalah : Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit : didapatkan anemia hipokrom mikrositer dengan
penurunan kadar hemoglobin mulai dari ringan sampai berat. MCV, MCHC dan MCH menurun. MCH < 70 fl hanya didapatkan pada anemia difisiensi besi dan thalassemia mayor. RDW (red cell distribution width) meningkat yang menandakan adanya anisositosis.Indeks eritrosit sudah dapa mengalami perubahan sebelum kadar hemoglobin menurun. Kadar hemoglobin sering turun sangat rendah, tanpa menimbulkan gejala anemia yang mencolok karena anemia timbul perlahan-perlahan. Apusan darah menunjukkan anemiahipokromik mikrositer, anisositosis, poikilositosis, anulosit, sel pensil, kadang-kadang sel target. Derajat hipokromia dan mikrositosis berbanding lurus dengan derajat anemia, berbeda dengan thalassemia. Leukosit dan trombosit normal. Retikulosit rendah dibandingkan derajat anemia. Pada kasus ankilostomiasissering dijumpai eosinofilia.1
Apus sumsum tulang : Hiperplasia eritropoesis, dengan kelompok-kelompok normo-blast basofil. Bentuk pronormoblast-normoblast kecil-kecil, sideroblast.2
Kadar besi serum menurun <50 mg/dl, total iron binding capacity (TIBC) meningkat >350 mg/dl, dan saturasi transferin < 15%.
Feritin serum. Sebagian kecil feritin tubuh bersirkulasi dalam serum, konsentrasinya sebanding dengan cadangan besi jaringan, khususnya retikuloendotel. Pada anemia defisensi besi, kadar feritin serum sangat rendah, sedangkan feritin serum yang meningkat menunjukkan adanya kelebihan besi atau pelepasan feritin berlebihan dari jaringan yang rusak atau suatu respons fase akut, misalnya pada inflamasi. Kadar feritin serum normal atau meningkat pada anemia penyakit kronik.
TIBC (Total Iron Banding Capacity) meningkat. Feses : Telur cacing Ankilostoma duodenale / Necator americanus. Pemeriksaan lain : endoskopi, kolonoskopi, gastroduodenografi, colon in loop,
pemeriksaan ginekologi.
DIAGNOSISPenegakkan diagnosis anemia defisiensi besi dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang diteliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Secara laboratorik untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi dapat dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi sebagai berikut :
1. Adanya riwayat perdarahan kronis atau terbukti adanya sumber perdarahan.2. Laboratorium : Anemia hipokrom mikrosister, Fe serum rendah, TIBC tinggi.3. Tidak terdapat Fe dalam sumsum tulang (sideroblast-)4. Adanya respons yang baik terhadap pemberian Fe.
DIAGNOSIS BANDINGAnemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia hipokromik lainnya, seperti :1. Thalasemia (khususnya thallasemia minor) :
Hb A2 meningkat Feritin serum dan timbunan Fe tidak turun.
2. Anemia kaena infeksi menahun : Biasanya anemia normokromik normositik. Kadang-kadang terjadi anemia hipokromik
mikrositik. Feritin serum dan timbunan Fe tidak turun.
3. Keracunan timah hitam (Pb) : Terdapat gejala lain keracunan P. Terdapat ring sideroblastik pada pemeriksaan sumsum tulang.1
Anemia sideroblastik
PENATALAKSANAAN Mengatasi penyebab perdarahan kronik, misalnya pada ankilostomiasis diberikan
antelmintik yang sesuai.2. Pemberian preparat Fe :
Pemberian preparat besi (ferosulfat/ferofumarat/feroglukonat) dosis 4-6 mg besi elemental/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis, diberikan di antara waktu makan. Preparat besi ini diberikan sampai 2-3 bulan setelah kadar hemoglobin normal.
Bedah Untuk penyebab yang memerlukan intervensi bedah seperti perdarahan karena
diverticulum Meckel. Suportif Makanan gizi seimbang terutama yang megandung kadar besi tinggi yang bersumber dari
hewani (limfa, hati, daging) dan nabati (bayam, kacang-kacangan).
TERAPI Setelah diagnosis ditegakan maka dibuat rencana pemberian terapi, terapi terhadap anemia difesiensi besi dapat berupa :
Terapi kausal: tergantung penyebabnya,misalnya : pengobatan cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengubatan menoragia. Terapi kausal harus dilakukan, kalau tidak maka anemia akan kambuh kembali.
Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh :1. Besi per oral : merupakan obat pilihan pertama karena efektif, murah, dan aman.preparat
yang tersedia, yaitu:A. Ferrous sulphat (sulfas ferosus): preparat pilihan pertama (murah dan efektif).
Dosis: 3 x 200 mg.B. Ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferrous succinate,harga
lebih mahal, tetepi efektivitas dan efek samping hampir sama.C. Besi parenteral
Efek samping lebih berbahaya,serta harganya lebih mahal. Indikasi, yaitu :1. Intoleransi oral berat;
Kepatuhan berobat kurang;2. Kolitis ulserativa;3. Perlu peningkatan Hb secara cepat (misal preoperasi, hamil trimester akhir).
2. Thalassemia Major
A. DEFINISIThalasemia adalah penyakit kelainan darah yang ditandai dengan kondisi sel darah merah mudah rusak atau umurnya lebih pendek dari sel darah normal (120 hari). Akibatnya penderita thalasemia akan mengalami gejala anemia diantaranya pusing, muka pucat, badan sering lemas, sukar tidur, nafsu makan hilang, dan infeksi berulang.
Thalasemia terjadi akibat ketidakmampuan sumsum tulang membentuk protein yang dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin sebagaimana mestinya. Hemoglobin merupakan protein kaya zat besi yang berada di dalam sel darah merah dan berfungsi sangat penting untuk mengangkut oksigen dari paru-paru keseluruh bagian tubuh yang membutuhkannya sebagai energi. Apabila produksi hemoglobin berkurang atau tidak ada, maka pasokan energi yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi tubuh tidak dapat terpenuhi, sehingga fungsi tubuh pun terganggu dan tidak mampu lagi menjalankan aktivitasnya secara normal.Thalasemia adalah sekelompok penyakit keturunan yang merupakan akibat dari ketidakseimbangan pembuatan salah satu dari keempat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin.
Thalasemia adalah penyakit yang sifatnya diturunkan. Penyakit ini, merupakan penyakit kelainan pembentukan sel darah merah.
B. PENYEBABKetidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta, yang diperlukan dalam pembentukan hemoglobin, disebabkan oleh sebuah gen cacat yang diturunkan. Untuk menderita penyakit ini, seseorang harus memiliki 2 gen dari kedua orang tuanya. Jika hanya 1gen yang diturunkan, maka orang tersebut hanya menjadi pembawa tetapi tidak menunjukkan gejala-gejala dari penyakit ini.
Thalasemia digolongkan bedasarkan rantai asam amino yang terkena 2 jenis yang utama adalah :
1. Alfa – Thalasemia (melibatkan rantai alfa) Alfa – Thalasemia paling sering ditemukan pada orang kulit hitam (25% minimal membawa 1 gen).
2. Beta – Thalasemia (melibatkan rantai beta) Beta – Thalasemia pada orang di daerah Mediterania dan Asia Tenggara.
Secara umum, terdapat 2 (dua) jenis thalasemia yaitu :
1. Thalasemia Mayor, karena sifat sifat gen dominan.Thalasemia mayor merupakan penyakit yang ditandai dengan kurangnya kadar hemoglobin dalam darah. Akibatnya, penderita kekurangan darah merah yang bisa menyebabkan anemia. Dampak lebih lanjut, sel-sel darah merahnya jadi cepat rusak dan umurnya pun sangat pendek, hingga yang bersangkutan memerlukan transfusi darah untuk memperpanjang hidupnyaPenderita thalasemia mayor akan tampak normal saat lahir, namun di usia 3-18 bulan akan mulai terlihat adanya gejala anemia. Selain itu, juga bisa muncul gejala lain seperti jantung berdetak lebih kencang danfacies cooley. Facies cooley adalah ciri khas thalasemia mayor, yakni batang hidung masuk ke dalam dan tulang pipi menonjol akibat sumsum tulang yang bekerja terlalu keras untuk mengatasi kekurangan hemoglobin.Penderita thalasemia mayor akan tampak memerlukan perhatian lebih khusus. Pada umumnya, penderita thalasemia mayor harus menjalani transfusi darah dan pengobatan seumur hidup. Tanpa perawatan yang baik, hidup penderita thalasemia mayor hanya dapat bertahan sekitar 1-8 bulan.
Seberapa sering transfusi darah ini harus dilakukan lagi-lagi tergantung dari berat ringannya penyakit. Semakin berat penyakitnya, kian sering pula si penderita harus menjalani transfusi darah.
2. Thalasemia MinorIndividu hanya membawa gen penyakit thalasemia, namun individu hidup normal,tanda-tanda penyakit thalasemia tidak muncul. Walau thalasemia minor tak bermasalah, namun bila ia menikah dengan thalasemia minor juga akan terjadi masalah. Kemungkinan 25% anak mereka menerita thalasemia mayor. Pada garis keturunan pasangan ini akan muncul penyakit thalasemia mayor dengan berbagai ragam keluhan. Seperti anak menjadi anemia, lemas, loyo dan sering mengalami pendarahan. Thalasemia minor sudah ada sejak lahir dan akan tetap ada di sepanjang hidup penderitanya, tapi tidak memerlukan transfusi darah di sepanjang hidupnya
C. GEJALASemua thalasemia memiliki gejala yang mirip, tetapi beratnya bervariasi. Sebagian besar penderita mengalami anemia yang ringan. Pada bentuk yang lebih berat, misalnya beta-
thalasemia mayor, bisa terjadi sakit kuning (jaundice), luka terbuka di kulit (ulkus, borok), batu empedu dan pembesaran limpa.
Sumsum tulang yang terlalu aktif bisa menyebabkan penebalan dan pembesaran tulang, terutama tulang kepala dan wajah.Tulang-tulang panjang menjadi lemah dan mudah patah. Anak-anak yang menderita thalasemia akan tumbuh lebih lambat dan mencapai masa pubertas lebih lambat dibandingkan anak lainnya yang normal.
Karena penyerapan zat besi meningkat dan seringnya menjalani transfusi, maka kelebihan zat besi bisa terkumpul dan mengendap dalam otot jantung, yang pada akhirnya bisa menyebabkan gagal jantung.
Oleh karena itu, untuk memastikan seseorang mengalami thalasemia atau tidak, dilakukan dengan pemeriksaan darah. Gejala thalasemia dapat dilihat pada banak usia 3 bulan hingga 18 bulan.Bila tidak dirawat dengan baik, anak-anak penderita thalasemia mayor ini hidup hingga 8 tahun saja
Satu-satunya perawatan dengan tranfusi darah seumur hidup. jika tidak diberikan tranfusi darah, penderita akan lemas, lalu meninggal.
D. DIAGNOSAThalasemia lebih sulit didiagnosis dibandingkan penyakit hemoglobin lainnya.
Hitung jenis darah komplit menunjukkan adanya anemia dan rendahnya MCV (mean corpuscular volume).
Elektroforesa bisa membantu, tetapi tidak pasti, terutama untuk alfa-thalasemia. Karena itu diagnosis biasanya berdasarkan kepada pola herediter dan pemeriksaan hemoglobin khusus.
E. PENGOBATANPada thalasemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan pemberian tambahan asam folat
Penderita yang menjalani transfusi, harus menghindari tambahan zat besi dan obat-obat yang bersifat oksidatif (misalnya sulfonamid), karena zat besi yang berlebihan bisa menyebabkan keracunan.
Pada bentuk yang sangat berat, mungkin diperlukan pencangkokan sumsum tulang. Terapi genetik masih dalam tahap penelitian.
F. PENCEGAHANPada keluarga dengan riwayat thalasemia perlu dilakukan penyuluhan genetik untuk menentukan resiko memiliki anak yang menderita thalasemia.
Pengidap thalasemia yang mendapat pengobatan secara baik dapat menjalankan hidup layaknya orang normal di tengah masyarakat. Sementara zat besi yang menumpuk di dalam tubuh bisa dikeluarkan dengan bantuan obat, melalui urine.
Penyakit thalasemia dapat dideteksi sejak bayi masih di dalam kandungan, jika suami atau istri merupakan pembawa sifat (carrier) thalasemia, maka anak mereka memiliki kemungkinan sebesar 25 persen untuk menderita thalasemia
II. Anemia Normokromik Normositer
1. Anemia Aplastik
Definisi Anemia Aplastik Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang ditandai dengan pansitopenia perifer dan hipoplasia sumsum tulang. Pada anemia aplastik terjadi penurunan produksi sel darah dari sumsum tulang sehingga menyebabkan retikulositopenia, anemia, granulositopenia, monositopenia dan trombositopenia. Istilah anemia aplastik sering juga digunakan untuk menjelaskan anemia refrakter atau bahkan pansitopenia oleh sebab apapun. Sinonim lain yang sering digunakan antara lain hipositemia progressif, anemia aregeneratif, aleukia hemoragika, panmyeloptisis, anemia hipoplastik dan anemia paralitik toksik.
2.3 Klasifikasi Anemia AplastikAnemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut :
Idiopatik : Biasanya kasus tidak diketahui gejala yang jelas Sekunder : Bila kasusanya telah diketahui. Konstitusional : Adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan, misalnya Anemia Fanconi.
2.4 Patofisiologi Kegagalan sum-sum terjadi akibat kerusakan berat pada kompartemen sel hematopoetik. Pada anemia aplastik, tergantinya sum-sum tulang dengan lemak dapat terlihat pada morfologi spesimen biopsy dan MRI pada spinal. Sel yang membawa antigen CD34, marker dari sel hematopoietik dini, semakin lemah, dan pada penelitian fungsional, sel bakal dan primitive kebanyakan tidak ditemukan.Suatu kerusakan intrinsic pada sel bakal terjadi pada anemia aplastik konstitusional: sel dari pasien dengan anemia Fanconi mengalami kerusakan kromosom dan kematian pada paparan terhadap beberapa agen kimia tertentu. Telomer kebanyakan pendek pada pasien anemia aplastik, dan mutasi pada gen yang berperan dalam perbaikan telomere (TERC dan TERT ) dapat diidentifikasi pada beberapa orang dewasa dengan anomaly akibat kegagalan sum-sum dan tanpa anomaly secara fisik atau dengan riwayat keluarga dengan penyakit yang serupa. Anemia aplasia sepertinya tidak disebabkan oleh kerusakan stroma atau produksi faktor pertumbuhan.
2.5 Tanda dan Gejala Anemia Aplastik Pada penderita anemia aplastik dapat ditemukan tiga gejala utama yaitu, anemia kurang darah merah), trombositopenia (kurang trombosit), dan leukopenia (kurang leukosit). Ketiga gejala ini disertai dengan gejala-gejala lain yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Anemia biasanya ditandai dengan pucat, mudah lelah, lemah, hilang selera makan, dan palpitasi. Gejala-gejala lain yang berkaitan dengan anemia adalah defisiensi trombosit dan sel darah putih.
Trombositopenia, misalnya: perdarahan gusi, epistaksis, petekia, ekimosa dan lain-lain. Leukopenia, misalnya: infeksi. hepatosplenomegali dan limfa denopati juga dapat ditemukan pada
penderita anemia aplastik ini meski sangat jarang terjadi.
2.6 Penyebab Anemia Aplastik
Penyebab hampir sebagian besar kasus anemia aplastik bersifat idiopatik dimana penyebabnya masih belum dapat dipastikan. Namun ada faktor-faktor yang diduga dapat memicu terjadinya penyakit anemia aplastik ini. Faktor-faktor penyebab yang dimaksud antara lain:
Penyakit kongenital atau menurun seperti anemia fanconi, dyskeratosis congenita, sindrom Pearson, sindrom Dubowitz dan lain-lain. Diduga penyakit-penyakit ini memiliki kaitan dengan kegagalan sumsum tulang yang mengakibatkan terjadinya pansitopenia (defisit sel darah).
Zat-zat kimia yang sering menjadi penyebab anemia aplastik misalnya benzen, arsen, insektisida, dan lain-lain. Zat-zat kimia tersebut biasanya terhirup ataupun terkena (secara kontak kulit) pada seseorang.
Obat seperti kloramfenikol diduga dapat menyebabkan anemia aplastik. Misalnya pemberian kloramfenikol pada bayi sejak berumur 2 – 3 bulan akan menyebabkan anemia aplastik setelah berumur 6 tahun. America Medical Association juga telah membuat daftar obat-obat yang dapat menimbulkan anemia aplastik. Obat-obat yang dimaksud antara lain: Azathioprine, Karbamazepine, Inhibitor carbonic anhydrase, Kloramfenikol, Ethosuksimide, Indomethasin, Imunoglobulin limfosit, Penisilamine, Probenesid, Quinacrine, Obat-obat sulfonamide, Sulfonilurea, Obat-obat thiazide, Trimethadione.
Radiasi juga dianggap sebagai penyebab anemia aplastik ini karena dapat mengakibatkan kerusakan pada sel induk ataupun menyebabkan kerusakan pada lingkungan sel induk. Contoh radiasi yang dimaksud antara lain pajanan sinar X yang berlebihan ataupun jatuhan radioaktif (misalnya dari ledakan bom nuklir). Paparan oleh radiasi berenergi tinggi ataupun sedang yang berlangsung lama dapat menyebabkan kegagalan sumsum tulang akut dan kronis maupun anemia aplastik.
Selain radiasi, infeksi juga dapat menyebabkan anemia aplastik. Misalnya seperti infeksi virus Hepatitis C, EBV, CMV, parvovirus, HIV, dengue dan lain-lain.
2.7 Pemeriksaan Laboratorium Anemia Aplastik 2.7.1. Darah Apusan menunjukkan eritrosit yang besar dan kurangnya platelet dan granulosit. Mean corpuscular volume (MCV) biasanya meningkat. Retikulosit tidak ditemukan atau kurang dan jumlah limfosit dapat normal atau sedikit menurun. Keberadaan myeloid immature menandakan leukemia atau MDS sel darah
merah yang bernukleus menandakan adanya fibrosis sum-sum atau invasi tumor platelet abnormal menunjukkan adanya kerusakan perifer atau MDS. 2.7.2. Sumsum Tulang Sumsum tulang biasanya mudah diaspirasi namun menjadi encer jika diapuskan dan biopsi spesimen lemak terlihat pucat pada pengambilan. Pada aplasia berat, apusan dari specimen aspirat hanya menunjukkan sel darah merah, limfosit residual, dan sel strome; biopsy (dimana sebaiknya berukuran >1 cm) sangat baik untuk menentukan selularitas dan kebanyakan menunjukkan lemak jika dilihat dibawah mikroskop, dengan sel hematopoetik menempati <25% style=""> sumsum yang kosong, sedangkan “hot-spot” hematopoiesis dapat pula terlihat pada kasus yang berat. Jika spesimen pungsi krista iliaka tidak adekuat, sel dapat pula diaspirasi di sternum. Sel hematopoietik residual seharusnya mempunyai morfologi yang normal, kecuali untuk eritropoiesis megaloblastik ringan; megakariosit selalu sangat berkurang dan biasanya tidak ditemukan. Sebaiknya myeloblast dicari pada area sekitar spikula. Granuloma (pada specimen seluler) dapat mengindikasikan etiologi infeksi dari kegagalan sumsum.
2.8 Pencegahan Pada Anemia Aplastik Usaha pertama untuk mencegah anemia aplastik ini adalah menghindari paparan bahan kimia berlebih sebab bahan kimia seperti benzena juga diduga dapat menyebabkan anemia aplastik. Kemudian hindari juga konsumsi obat-obat yang dapat memicu anemia aplastik. Kalaupun memang harus mengonsumsi obat-obat yang demikian, sebisa mungkin jangan mengonsumsinya secara berlebihan. Selain bahan kimia dan obat, ada baiknya pula untuk menjauhi radiasi seperti sinar X dan radiasi lainnya. Selain itu dapat mencakup lingkungan yang dilindungi (ruangan dengan aliran udara yang mendatar atau tempat yang nyaman) dan higiene yang baik. Pada pendarahan dan/atau infeksi perlu dilakukan terapi komponen darah yang baik, yaitu sel darah merah, granulosit dan trombosit dan antibiotik.
2.9 Pengobatan Anemia Aplastik Pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita Anemia Aplastik cukup banyak yang diantaranya :
Terapi SuportifTransfusi sel darah merah dan trombosit sangat bermanfaat. Hal ini dilakukan untuk mengimbangi kekurangan sel darah merah dan trombosit.
Faktor-faktor pertumbuhan hematopoietikTerapi dengan faktor pertumbuhan sebenarnya tidak dapat memperbaiki kerusakan sel induk. Namun terapi ini masih dapat dijadikan pilihan terutama untuk pasien dengan infeksi berat.
Transplantasi Sumsum Tulang Transplantasi sumsum tulang ini dapat dilakukan pada pasien anemia aplastik jika memiliki donor yang cocok HLA-nya (misalnya saudara kembar ataupun saudara kandung). Terapi ini sangat baik pada pasien yang masih anak-anak.Transplantasi sumsum tulang ini dapat mencapai angka keberhasilan lebih dari 80% jika memiliki
donor yang HLA-nya cocok. Namun angka ini dapat menurun bila pasien yang mendapat terapi semakin tua. Artinya, semakin meningkat umur, makin meningkat pula reaksi penolakan sumsum tulang donor. Kondisi ini biasa disebut GVHD atau graft-versus-host disease. Kondisi pasien akan semakin memburuk.
Terapi imunosupresifTerapi imunosupresif dapat dijadikan pilihan bagi mereka yang menderita anemia aplastik. Terapi ini dilakukan dengan konsumsi obat-obatan. Obat-obat yang termasuk terapi imunosupresif ini antara lain antithymocyte globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG), siklosporin A (CsA) dan Oxymethalone. Oxymethalon juga memiliki efek samping diantaranya, retensi garam dan kerusakan hati. Orang dewasa yang tidak mungkin lagi melakukan terapi transplantasi sumsum tulang, dapat melakukan terapi imunosupresif ini.Pengobatan anemia aplastik dapat bersifat suportif yaitu dengan transfusi PRC dan trombosit. Penggunaan obat-obat atau agen kimia yang diduga menjadi penyebab anemia aplastik harus dihentikan.
Prognosis• Anemia aplastik ± 80% meninggal (karena perdarahan atas infeksi). Separuhnya meninggal
dalam waktu 3-4 bulan setelah diagnosis.• Anemia aplastik ringan ± 50% sembuh sempurna atau parsial. Kematian terjadi dalam waktu
yang lama.
2. Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik adalah kurangnya kadar hemoglobin akibat kerusakan pada eritrosit yang lebih cepat
daripada kemampuan sumsum tulang untuk menggantinya kembali.
Etiologi
Berdasarkan etiologinya, anemia hemolitik ini terbagi menjadi dua klasifikasi:
1. intrakorpuskular: hemolitik akibat faktor-faktor yang ada pada eritrosit itu sendiri,
misalnya karena faktor herediter, gangguan metabolismenya, gangguan
pembentukan hemoglobinnya, dll.
2. ekstrakorpuskular: hemolitik akibat faktor-faktor dari luar yang biasanya didapat,
misalnya karena autoimun, pengaruh obat, infeksi, dsb.
Patofisiologi
Pada proses hemolisis akan terjadi dua hal berikut:
1. Turunnya kadar Hemoglobin. Jika hemolisisnya ringan atau sedang, sumsum tulang
masih bisa mengkompensasinya sehingga tidak terjadi anemia. Keadaan ini disebut
dengan hemolitik terkompensasi. Tapi jika derajat hemolisisnya berat, sumsum
tulang tidak mampu mengompensasinya, sehingga terjadi anemia hemolitik.
2. Meningkatnya pemecahan eritrosit. Untuk hal ini ada tiga mekanisme:
Hemolitik ekstravaskuler. Terjadi di dalam sel makrofag dari sistem
retikuloendotelial, terutama di lien, hepar dan sumsum tulang karena sel ini
mengandung enzim heme oxygenase. Lisis terjadi jika eritrosit mengalamai
kerusakan, baik di membrannya, hemoglobinnya maupun fleksibilitasnya. Jika sel
eritrosit dilisis oleh makrofag, ia akan pecah menjadi globin dan heme. Globin ini
akan kembali disimpan sebagai cadangan, sedangkan heme nanti akan pecah
lagi menjadi besi dan protoporfirin. Besi diangkut lagi untuk disimpan sebagai
cadangan, akan tetapi protoforfirin tidak, ia akan terurai menjadi gas CO dan
Bilirubin. Bilirubin jika di dalam darah akan berikatan dengan albumin
membentuk bilirubin indirect (Bilirubin I), mengalami konjugasi di hepar menjadi
bilirubin direct (bilirubin II), dieksresikan ke empedu sehingga meningkatkan
sterkobilinogen di feses dan urobilinogen di urin.
Hemolitik intravaskuler. Terjadi di dalam sirkulasi. Jika eritrosit mengalami
lisis, ia akan melepaskan hemoglobin bebas ke plasma, namun haptoglobin dan
hemopektin akan mengikatnya dan menggiringnya ke sistem retikuloendotelial
untuk dibersihkan. Namun jika hemolisisnya berat, jumlah haptoglobin maupun
hemopektin tentunya akan menurun. Akibatnya, beredarlah hemoglobin bebas
dalam darah (hemoglobinemia). Jika hal ini terjadi, Hb tsb akan teroksidasi
menjadi methemoglobin, sehingga terjadi methemoglobinemia. Hemoglobin juga
bisa lewat di glomerulus ginjal, hingga terjadi hemoglobinuria. Namun beberapa
hemoglobin di tubulus ginjal nantinya juga akan diserap oleh sel-sel epitel, dan
besinya akan disimpan dalam bentuk hemosiderin. Jika suatu saat epitel ini
mengalami deskuamasi, maka hanyutlah hemosiderin tersebut ke urin sehingga
terjadi hemosiderinuria, yg merupakan tanda hemolisis intravaskuler kronis.
Peningkatan hematopoiesis. Berkurangnya jumlah eritrosit di perifer akan
memicu ginjal mengeluarkan eritropoietin untuk merangsang eritropoiesis di
sumsum tulang. Sel-sel muda yang ada akan ‘dipaksa’ untuk dimatangkan
sehingga terjadi peningkatan retikulosit (sel eritrosit muda) dalam darah,
mengakibatkan polikromasia.
Manifestasi Klinis
Gejala umum: gejala anemia pada umumnya, Hb < 7g/dl.
Gejala hemolitik: diantaranya berupa ikterus akibat meningkatnya kadar bilirubin indirek dlm darah, tapi
tidak di urin (acholuric jaundice); hepatomegali, splenomegali, kholelitiasis (batu empedu), ulkus dll.
Gejala penyakit dasar (penyebab) masing2 anemia hemolitik tsb.
Diagnosis dan Pemeriksaan Laboratorium
Beberapa hasil pemeriksaan lab yang menjurus pada diagnosis anemia hemolitik adalah sbb:
1. Sedian hapus darah tepi pada umumnya terlihat eritrosit normositik normokrom,
kecuali diantaranya thalasemia yang merupakan anemia mikrositik hipokrom.
2. penurunan Hb >1g/dl dalam 1 minggu
3. penurunan masa hidup eritrosit <120hari
4. peningkatan katabolisme heme, biasanya dilihat dari peningkatan bilirubin serum
5. hemoglobinemia, terlihat pada plasma yang berwarna merah terang
6. hemoglobinuria, jika urin berwarna merah, kecoklatan atau kehitaman
7. hemosiderinuria, dengan pemeriksaan pengecatan biru prusia
8. haptoglobin serum turun
9. retikulositosis
Diagnosis banding
Anemia Hemolitik perlu dibedakan dengan anemia berikut ini:
1. anemia pasca perdarahan akut dan anemia defisiensi besi, disini tidak ditemukan
gejala ikterus dan Hb akan naik pada pemeriksaan berikutnya. Sedangkan hemolitik
tidak.
2. anemia hipoplasi/ eritropoiesis inefektif, disini kadang juga ditemukan acholurik
jaundice, tapi retikulositnya tidak meningkat.
3. anemia yang disertai perdarahan ke rongga retroperitoneal biasanya menunjukkan
gejala mirip dg hemolitik, ada ikterus, acholuric jaundice, retikulosit meningkat.
Kasus ini hanya dapat dibedakan jika dilakukan pemeriksaan untuk membuktikan
adanya perdarahan ini.
4. Sindrom Gilbert, disertai jaundice, namun tidak anemi, tidak ada kelainan morfologi
eritrosit, dan retikulositnya normal.
5. mioglobinuria, pada kerusakan otot, perlu dibedakan dengan hemoglobinuria dengan
pemeriksaan elektroforesis.
Pengobatan
Pengobatan tergantung keadaan klinis dan penyebab hemolisisnya, namun secara umum ada 3:
1. terapi gawat darurat; atasi syok, pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit,
perbaiki fungsi ginjal. Jika berat perlu diberi transfusi namun dengan pengawasan
ketat. Transfusi diberi berupa washed red cell untuk mengurangi beban antibodi.
Selain itu juga diberi steroid parenteral dosis tinggi atau juga bisa hiperimun globulin
untuk menekan aktivitas makrofag.
2. terapi suportif-simptomatik; bertujuan untuk menekan proses hemolisis terutama di
limpa dengan jalan splenektomi. Selain itu perlu juga diberi asam folat 0,15 – 0,3
mg/hari untuk mencegah krisis megaloblastik.
3. terapi kausal; mengobati penyebab dari hemolisis, namun biasanya penyakit ini
idiopatik dan herediter sehingga sulit untuk ditangani. Transplantasi sumsum tulang
bisa dilakukan contohnya pada kasus thalassemia
III. Anemia Makrositer
DEFINISI
Anemia Karena Kekurangan Vitamin B12 (anemia pernisiosa) adalah anemia
megaloblastik yang disebabkan oleh kekurangan vitamin B12.
Selain zat besi, sumsum tulang memerlukan vitamin B12 dan asam folat untuk
menghasilkan sel darah merah. Jika kekurangan salah satu darinya, bisa terjadi anemia
megaloblastik.
Pada anemia jenis ini, sumsum tulang menghasilkan sel darah merah yang besar dan
abnormal (megaloblas). Sel darah putih dan trombosit juga biasanya abnormal.
Anemia megaloblastik paling sering disebabkan oleh kekurangan vitamin B12
dan asam folat dalam makanan atau ketidakmampuan untuk menyerap vitamin
tersebut.
Kadang anemia ini disebabkan oleh obat-obat tertentu yang digunakan untuk
mengobati kanker (misalnya metotreksat, hidroksiurea, fluorourasil dan sitarabin).
PENYEBAB
Penyerapan yang tidak adekuat dari vitamin B12 (kobalamin) menyebabkan
anemia pernisiosa.
Vitamin B12 banyak terdapat di dalam daging dan dalam keadaan normal telah diserap
di bagian akhir usus halus yang menuju ke usus besar (ilium).
Supaya dapat diserap, vitamin B12 harus bergabung dengan faktor intrinsik (suatu
protein yang dibuat di lambung), yang kemudian mengangkut vitamin ini ke ilium,
menembus dindingnya dan masuk ke dalam aliran darah. Tanpa faktor intrinsik, vitamin
B12 akan tetap berada dalam usus dan dibuang melalui tinja.
Pada anemia pernisiosa, lambung tidak dapat membentuk faktor intrinsik,
sehingga vitamin B12 tidak dapat diserap dan terjadilah anemia, meskipun sejumlah
besar vitamin dikonsumsi dalam makanan sehari-hari.
Tetapi karena hati menyimpan sejumlah besar vitamin B12, maka anemia biasanya
tidak akan muncul sampai sekitar 2-4 tahun setelah tubuh berhenti menyerap vitamin
B12.
Selain karena kekurangan faktor intrinsik, penyebab lainnya dari kekurangan vitamin
B12 adalah:
· pertumbuhan bakteri abnormal dalam usus halus yang menghalangi penyerapan
vitamin B12
· penyakit tertentu (misalnya penyakit Crohn)
· pengangkatan lambung atau sebagian dari usus halus dimana vitamin B12 diserap
· vegetarian.
GEJALA
Selain mengurangai pembentukan sel darah merah, kekurangan vitamin B12 juga
mempengaruhi sistem saraf dan menyebabkan:
· kesemutan di tangan dan kaki
· hilangnya rasa di tungkai, kaki dan tangan
· pergerakan yang kaku.
Gejala lainnya adalah:
· buta warna tertentu, termasuk warna kuning dan biru
· luka terbuka di lidah atau lidah seperti terbakar
· penurunan berat badan
· warna kulit menjadi lebih gelap
· linglung
· depresi
· penurunan fungsi intelektual.
Farmakokinetik
Sianokolbalamin (vit B12) diabsorbsi baik dan cepat setelah pemberian IM dan
SK. Absorbsi peroral berlangsung lambat di ileum, kadar puncak dicapai 8-12 jam
setelah pemberian 3 mcg. Absorbsi ini berlangsung dengan dua mekanisme yaitu
dengan perantaraan faktor intrinsik Castle (FIC), dan absorbsi secara langsung.
Absorbsi dengan perantaraan FIC sangat penting dan sebagian besar anemia
megaloblastik disebabkan oleh gangguan ini. Karena untuk absorbsi vitamin B12 harus
dibebaskan lebih dahulu dari protein, maka jumlah yang diabsorbsi juga tergantung dari
ikatannya dengan makanan/jenis makanan. Yang juga dapat mengurangi absorbsi
vitamin B12 ialah pengkelat kalsium dan sorbitol dosis besar.
Absorbsi secara Langsung. Tidak begitu penting karena baru terjadi pada kadar
vitamin B12 yang tinggi dan berlangsung secara difusi.
Setelah diabsorbsi hampir semua vitamin B12 dalam darah terikat dengan
protein plasma. Sebagian besar terikat pada beta-globulin (trasnkobalamin II) sisanya
terikat pada alfa-glikoprotein (transkobalamin I) dan inter alfa-glikoprotein
(transkobalamin III). Vitamin B12 yang terikat pada transkobalamin II akan diangkut ke
berbagai jaringan, terutama hati yang merupakan gudang utama penyimpanan vitamin
B12 (50-90%).
Baik sianokobalamin maupun hidroksokobalamin dalam jaringan dan darah
terikat oleh protein. Ekskresi bersama urin hanya terjadi pada bentuk yang tidak terikat
protein.
Sediaan dan dosis
Walaupun diagnosa pasti belum ditegakkan, sebaiknya langsung disuntikan 100 mcg
sianokobalamin dan asam folat per oral dan asam folat 1-5 mg secara IM. Selanjutnya
100 mcg sianokobalamin IM dan 1-2 mg asam folat peroral diberikan selama 1-2
minggu.
Vitamin B12 tersedia dalam bentuk tablet untuk pemberian oral dan larutan untuk
suntikan.
Penggunaan sediaan oral pada pengobatan anemia pernisiosa kurang
bermanfaat dan biasanya terapi oral lebih mahal daripada parenteral. Maka cara
pemberian yang terbaik adalah secara IM atau SC. Dikenal 3 jenis suntikan vitamin B12
yaitu :
Larutan sianokobalamin yang berkekuatan 10-1000 mcg/ml
Suntikan larutan sianokobalamin jarang sekali menyebabkan reaksi alergi dan
iritasi ditempat suntikan. Kalau terjadi reaksi alergi biasanya karena sediaannya
tidak murni.
Larutan ekstrak hati dalam air
Penggunaan suntikan ekstrak hati inindapat menimbulkan reaksi lokal maupun
umum dan dari ringan sampai berat. Reaksi ini disebabkan oleh alergen yang
bersifat spesies spesifik dan bukan organ spesifik.
Suntikan depot vitamin B12
Pada terapi awal diberikan dosis 100 mcg sehari parenteral selama 5-10 hari.
Terapi penunjang dilakukan dengan memberikan dosis penunjang 100-200 mcg
sebulan sekali sampai diperoleh remisi yang lengkap yaitu jumlah eritrosit dalam darah
±4.5 juta/mm3 dan morfologi hematologik berada dalam batas-batas normal. Kemudian
100 mcg sebulan sekali cukup untuk mempertahankan remisi. Pemberian dosis
penunjang setiap bulan ini penting sebab retensi vitamin B12 terbatas, walaupun
diberikan dosis sampai 1000 mcg.