Upload
widya-amalia-swastika
View
68
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
vfdz
Citation preview
LO 1. Hipersensitivitas
Hipersensitivitas adalah respons imun yang berlebihan dan yang tidak diinginkan karena dapat
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Ada beberapa ciri-ciri yang umum pada hipersensitivitas
yaitu antigen dari eksogen atau endogen dapat memicu reaksi hipersensitivitas, penyakit
hipersensitivitas biasanya berhubungan dengan gen yang dimiliki setiap orang, reaksi hipersensitivitas
mencerminkan tidak kompaknya antara mekanisme afektor dari respon imun dan mekanisme
kontrolnya.
I. Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut waktu timbulnya reaksi
A. Reaksi cepat
Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam. Ikatan silang
antara alergen dan IgE pada permukaan sel mast menginduksi pelepasan mediator
vasoaktif. Manifestasi reaksi cepat berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis lokal.
B. Reaksi intermediet
Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam.
Reaksi ini melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan
melalui komplemen dan atau sel NK/ADCC. Manifestasi reaksi intermediet dapat
berupa:
Reaksi transfusi darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hemolitik autoimun
Reaksi Arthus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness, vaskulitis
nekrotis, glomerulonefritis, artritis reumatoid dan LES
Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu yang
disebabkan oleh sel neutrofil atau sel NK.
C. Reaksi lambat
Reaksi lambat telihat sampai sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan dengan antigen
yang terjadi oleh aktivasi sel Th. Pada DTH, sitokin yang dilepas sel T mengaktifkan
sel efektor makrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh reaksi lambat
adalah dermatitis kontak, reaksi M. Tuberkulosis dan reaksi penolakan tandur.
II. Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs
Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu:
tipe I hipersensitif anafilaktik,
tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi,
tipe III hipersensitif yang diperani kompleks imun,
tipe IV hipersensitif cell-mediated (hipersensitif tipe lambat).
Selain itu masih ada satu tipe lagi yang disebut sentivitas tipe V atau stimulatory
hipersensitivity.
Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs adalah usaha untuk
mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit. Dalam keadaan sebenarnya
seringkali keempat mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi suatu mekanisme akan
mengaktifkan mekanisme yang lainnya.
Sumber: http://id.shvoong.com/medicine-and-health/imuunology/2140486-hipersensitivitas/
#ixzz1N4a5ZcKx
Imunologi Dasar
LO 2. Hipersensitivitas tipe 1
Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100 tahun yang lalu. Sel
ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok. Pada saat itu sel mast dan basofil belum
diketahui fungsinya. Beberapa waktu kemudian baru diketahui bahwa sel-sel ini mempunyai peran
penting pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya,
yaitu histamin dan zat peradangan lainnya.
I. Klasifikasi Hipersensitivitas tipe I
1.1. Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi:
anafilaktik (tipe Ia)
Untuk terjadinya suatu reaksi selular yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi
antara IgE spesifik yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan
alergen yang bersangkutan. Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik
yang lain pada permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen
hapten-protein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan yang
menimbulkan gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap penisilin atau
gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga.
anafilaktoid (tipe Ib).
Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE. Sebagai
contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat anafilatoksin
yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen.
Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui faktor kemotaktik
eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis). Zat ini merupakan
salah satu daripreformed mediators yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast selain
histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF = neutrophil chemotactic factor). Mediator yang
terbentuk kemudian merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan
pada reaksi tipe I.
1.2. Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan fase
lambat.
o Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat biasanya
terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan dalam
beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi. Setelah masa refrakter sel mast dan
basofil yang berlangsung selama beberapa jam, dapat terjadi resintesis mediator farmakologik
reaksi hipersensitivitas, yang kemudian dapat responsif lagi terhadap alergen.
o Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat Mekanisme terjadinya reaksi hipersensitivitas
tipe I fase lambat ini belum jelas benar diketahui. Ternyata sel mast masih merupakan sel
yang menentukan terjadinya reaksi ini seperti terbukti bahwa reaksi alergi tipe lambat jarang
terjadi tanpa didahului reaksi alergi fase cepat. Sel mast dapat membebaskan mediator
kemotaktik dan sitokin yang menarik sel radang ke tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator
fase aktif dari sel mast tersebut akan meningkatkan permeabilitas kapiler yang meningkatkan
sel radang.
Limfosit mungkin memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi fase lambat
dibandingkan dengan sel mast. Limfosit dapat melepaskan histamin releasing factor dan
sitokin lainnya yang akan meningkatkan pelepasan mediator-mediator dari sel mast dan sel
lain.
Eosinofil dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic protein(MBP) afau eosinophil
cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil melepas faktor kemotaktik, sitokin, oksigen radikal
bebas, serta enzim yang berperan di dalam peradangan. Neutrofil adalah sel yang pertama berada pada
infiltrat peradangan setelah reaksi alergi fase cepat dalam keadaan teraktivasi yang selanjutnya akan
menyebabkan kerusakan jaringan dan menarik sel lain, terutama eosinofil.
II. Mediator penyakit alergi (hipersensitivitas tipe I)
Seperti telah diuraikan di atas bahwa mediator dibebaskan bila terjadi interaksi antara antigen
dengan IgE spesifik yang terikat pada membran sel mast. Mediator ini dapat dibagi dalam dua
kelompok, yaitu:
mediator yang sudah ada dalam granula sel mast (preformed mediator)
mediator yang terbentuk kemudian (newly formed mediator).
Menurut asalnya mediator ini juga dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu:
mediator dari sel mast atau basofil (mediator primer)
mediator dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator primer (mediator sekunder)
II.1. Mediator yang sudah ada dalam granula sel mast
Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu:
histamin,
eosinophil chemotactic factor of anaphylactic (ECF-A),
neutrophil chemoctatic factor (NCF).
1. Histamin
Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin dekarboksilase.
Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik serta berada dalam jumlah kecil
dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal dalam plasma adalah kurang dari 1 ng/μL akan tetapi
dapat meningkat sampai 1-2 ng/μL setelah uji provokasi dengan alergen. Gejala yang timbul akibat
histamin dapat terjadi dalam beberapa menit berupa rangsangan terhadap reseptor saraf iritan,
kontraksi otot polos, serta peningkatan permeabilitas vaskular.
Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa gatal, hipersekresi
dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat menimbulkan kontraksi otot polos
bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Gejala kulit adalah reaksi gatal berupa wheal and flare,
dan pada saluran cerna adalah hipersekresi asam lambung, kejang usus, dan diare. Histamin
mempunyai peran kecil pada asma, karena itu antihistamin hanya dapat mencegah sebagian gejala
alergi pada mata, hidung dan kulit, tetapi tidak pada bronkus.
Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala sistemik berat (anafilaksis).
Histamin mempunyai peranan penting pada reaksi fase awal setelah kontak dengan alergen (terutama
pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi fase lambat, histamin membantu timbulnya reaksi inflamasi
dengan cara memudahkan migrasi imunoglobulin dan sel peradangan ke jaringan. Fungsi ini mungkin
bermanfaat pada keadaan infeksi. Fungsi histamin dalam keadaan normal saat ini belum banyak
diketahui kecuali fungsi pada sekresi lambung. Diduga histamin mempunyai peran dalam regulasi
tonus mikrovaskular. Melalui reseptor H2 diperkirakan histamin juga mempunyai efek modulasi
respons beberapa sel termasuk limfosit.
2. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A)
Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di tempat reaksi radang yang
diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan tetrapeptida yang sudah terbentuk dan tersedia dalam
granulasi sel mast dan akan segera dibebaskan pada waktu degranulasi (pada basofil segera dibentuk
setelah kontak dengan alergen).
Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah leukotrien LTB4 yang terdapat
dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia merupakan hal yang khas pada penyakit alergi, tetapi tidak
selalu patognomonik untuk keterlibatan sel mast atau basofil karena ECF-A dapat juga dibebaskan
dari sel yang tidak mengikat IgE.
3. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF)
NCF (neutrophyl chemotactic factor) dapat ditemukan pada supernatan fragmen paru manusia setelah
provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini terjadi dalam beberapa menit dalam sirkulasi
penderita asma setelah provokasi inhalasi dengan alergen atau setelah timbulnya urtikaria fisik
(dingin, panas atau sinar matahari). Oleh karena mediator ini terbentuk dengan cepat maka diduga ia
merupakan mediator primer. Mediator tersebut mungkin pula berperan pada reaksi hipersensitivitas
tipe I fase lambat yang akan menyebabkan banyaknya neutrofil di tempat reaksi. Leukotrien LTB4
juga bersifat kemotaktik terhadap neutrofil.
II.2. Mediator yang terbentuk kemudian
Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam arakidonat, faktor aktivasi
trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme asam arakidonat terdiri dari:
jalur siklooksigenase
jalur lipoksigenase
1. Produk siklooksigenase
Pertubasi membran sel pada hampir semua sel berinti akan menginduksi pembentukan satu atau lebih
produk siklooksigenase yaitu prostaglandin (PGD2, PGE2, PGF2) serta tromboksan A2 (TxA2).
Tiap sel mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia misalnya membentuk PGD2 dan
TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot polos, dan TxA2 juga dapat mengaktivasi trombosit.
Prostaglandin juga dibentuk oleh sel yang berkumpul di mukosa bronkus selama reaksi alergi fase
lambat (neutrofil, makrofag, dan limfosit).
Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus, tetapi tidak dipakai sebagai obat bronkodilator
karena mempunyai efek iritasi lokal. Prostaglandin F (PGF2) dapat menimbulkan kontraksi otot polos
bronkus dan usus serta meningkatkan permeabilitas vaskular. Kecuali PGD2, prostaglandin serta
TxA2 berperan terutama sebagai mediator sekunder yang mungkin menunjang terjadinya reaksi
peradangan, akan tetapi peranan yang pasti dalam reaksi peradangan pada alergi belum diketahui.
2. Produk lipoksigenase
Leukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4 adalah zat yang membentuk slow
reacting substance of anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien LTB4 merupakan kemotaktik untuk eosinofil
dan neutrofil, sedangkan LTC4, LTD4 dan LTE4 adalah zat yang dinamakan SRS-A. Sel mast
manusia banyak menghasilkan produk lipoksigenase serta merupakan sumber hampir semua SRS-A
yang dibebaskan dari jaringan paru yang tersensitisasi.
Slow reacting substance of anaphylaxis
Secara in vitro mediator ini mempunyai onset lebih lambat dengan masa kerja lebih lama
dibandingkan dengan histamin, dan tampaknya hanya didapatkan sedikit perbedaan antara kedua jenis
mediator tersebut. Mediator SRS-A dianggap mempunyai peran yang lebih penting dari histamin
dalam terjadinya asma. Mediator ini mempunyai efek bronkokonstriksi 1000 kali dari histamin. Selain
itu SRS-A juga meningkatkan permeabilitas kapiler serta merangsang sekresi mukus. Secara kimiawi,
SRS-A ini terdiri dari 3 leukotrien hasil metabolisme asam arakidonat, yaitu LTC4, LTD4, serta
LTE4.
Faktor aktivasi trombosit (PAF = ‘Platelet activating factor’)
Mediator ini pertama kali ditemukan pada kelinci dan selanjutnya pada manusia. PAF dapat
menggumpalkan trombosit serta mengaktivasi pelepasan serotonin dari trombosit. Selain itu PAF juga
menimbulkan kontraksi otot polos bronkus serta peningkatan permeabilitas vaskular. Aktivasi
trombosit pada manusia terjadi pada reaksi yang diperan oleh IgE.
Serotonin
Sekitar 90% serotonin tubuh (5-hidroksi triptamin) terdapat di mukosa saluran cerna. Serotonin
ditemukan pada sel mast binatang tetapi tidak pada sel mast manusia. Dalam reaksi alergi pada
manusia, serotonin merupakan mediator sekunder yang dilepaskan oleh trombosit melalui aktivasi
produk sel mast yaitu PAF dan TxA2. Serotonin dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.
SITOKIN DALAM REGULASI REAKSI ALERGI
Selain mediator yang telah disebutkan tadi, sel mast juga merupakan sumber beberapa sitokin yang
mempengaruhi sel yang berperan pada reaksi alergi.
Pada individu yang cenderung untuk alergi, paparan terhadap beberapa antigen menyebabkan aktivasi
sel Th2 dan produksi IgE (lihat Gambar 12-4). Individu normal tidak mempunyai respons Th2 yang
kuat terhadap sebagian besar antigen asing. Ketika beberapa individu terpapar antigen seperti protein
pada serbuk sari (pollen), makanan tertentu, racun pada serangga, kutu binatang, atau obat tertentu
misalnya penisilin, respons sel T yang dominan adalah pembentukan sel Th2. Individu yang atopik
dapat alergi terhadap satu atau lebih antigen di atas. Hipersensitivitas tipe cepat terjadi sebagai akibat
dari aktivasi sel Th2 yang berespons terhadap antigen protein atau zat kimia yang terikat pada protein.
Antigen yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi alergik) sering disebut sebagai
alergen.
Interleukin (IL)-4 dan IL-13, yaitu sebagian dari sitokin yang disekresi oleh sel Th2, akan
menstimulasi limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma
yang kemudian memproduksi IgE. Oleh sebab itu, individu yang atopik akan memproduksi IgE dalam
jumlah besar sebagai respons terhadap antigen yang tidak akan menimbulkan respons IgE pada
sebagian besar orang. Kecenderungan ini mempunyai dasar genetika yang kuat dengan banyak gen
yang berperan.
Reaksi peradangan alergi telah diketahui dikoordinasi oleh subset limfosit T4 yaitu Th2. Limfosit ini
memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, TNFα, serta GM-CSF tetapi tidak memproduksi IL-2 atau INF
(diproduksi oleh sel Th1). Alergen diproses oleh makrofag (APC) yang mensintesis IL-1. Zat ini
merangsang dan mengaktivasi sel limfosit T yang kemudian memproduksi IL-2 yang merangsang sel
T4 untuk memproduksi interleukin lainnya. Ternyata sitokin yang sama juga diproduksi oleh sel mast
sehingga dapat diduga bahwa sel mast juga mempunyai peran sentral yang sama dalam reaksi alergi.
Produksi interleukin diperkirakan dapat langsung dari sel mast atau dari sel lain akibat stimulasi
oleh mediator sel mast. Interleukin-4 tampaknya merupakan stimulus utama dalam aktivasi sintesis
IgE oleh sel limfosit B. Pada saat yang sama IL-4 meningkatkan ekspresi reseptor Fcε (FcRII) pada
sel limfosit B. Interleukin-4 ini pertama kali disebut faktor stimulasi sel B (BSF = B cell stimulating
factor). Aktivasi oleh IL4 ini diperkuat oleh IL-5, IL-6, dan TNFα, tetapi dihambat oleh IFNα, IFNγ,
TGFβ, PGE2, dan IL-I0
Dalam reaksi alergi fase cepat, IL-3, IL-5, GM-CSF, TNF dan INF terbukti dapat menginduksi atau
meningkatkan pelepasan histamin melalui interaksi IgE- alergen pada sel basofil manusia (lihat
Gambar 12-6). Sitokin lain yang mempunyai aktivitas sama pada sel mast ialah MCAF (monocyte
chemotactic and activating factor)dan RANTES (regulated upon activation normal T expressed and
presumably secreted). Demikian juga SCF (stem cell factor) yaitu suatu sitokin yang melekat pada
reseptor di sel mast yang disebut C-kit, dapat menginduksi pembebebasan histamin dari sel mast baik
dengan atau tanpa melalui stimulasi antigen (lihat Gambar 12-7).
Pada reaksi alergi fase lambat, IL-3 dan GM-CSF tidak hanya menarik dan mengaktivasi eosinofil
tetapi juga basofil dan efek kemotaktik sitokin ini lebih nyata dibandingkan dengan komplemen C5a,
LTB4 dan PAF.
Mekanisme lain sitokin berperan pula dalam menunjang terjadinya reaksi peradangan pada alergi.
GM-CSF, IL-l, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IFN, TNF, NGF (nerve growth factor)serta SCF berperan
dalam pertumbuhan, proliferasi, pertahanan hidup dan diferensiasi limfosit, eosinofil, basofil, sel
mast, makrofag atau monosit. Pada saat aktivasi, sel-sel ini ditarik ke arah jaringan yang mengalami
peradangan dalam reaksi antigen-antibodi yang ditingkatkan oleh IL-2, IL-5, GM-CSF, dan EAF
(eosinophil activating factor). Keadaan ini lebih terlihat pada biakan eosinofil manusia dengan GM-
CSF bersama fibroblast. Pada percobaan ini eosinofil menjadi hipodens dan dapat membebaskan lebih
banyak LTC4 bila diaktivasi oleh stimulus seperti fMLP (formil metionil leukosil fenilalanin).
III. Mekanisme timbulnya hipersensitivitas tipe I
Antigen yang masuk tubuh akan ditangkapnoleh fagosit, diproses lalu dipresentasikan ke sel Th2.
Sel yang akhir melepas sitokin yang merangsang sel B untuk membentuk IgE. IgE akan diikat oleh
sel yang memiliki reseptor untuk IgE (Fce-R) seperti sel mast, basofil, dan eosinofil. Bila tubuh
terpajan ulang dengan alergen yang sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat IgE (spesifik)
pada permukaan sel mast yang menimbulkan degranulasi sel mast. Degranulasi tersebut
mengeluarkan berbagai mediator antara lain hiatamin yang didapat dalam granul-granul sel dan
menimbulkan gejala pada reaksi hipersensitivitas tipe I.
Penyakit-penyakit yang timbul segera sesudah tubuh terpajan dengan alergen adalah asma
bronkial, rinitis, urtikaria, dan dermatitis atopok. Di samping histamin, mediator lain seperti
prostaglandin dan leukotrin (SRS-A) yang dihasilkan metabolisme asam arakidonat, berperan pada
fase lambat dari reaksi tipe I yang sering yimbul beberapa jam sesudah kontak dengan alergen.
IV. Manifestasi reaksi tipe I
a. Reaksi lokal
Reaksi hipersensitivitas tipe I lokal terbatas pada jaringan atau organ spesifik yang
biasanya melibatkan permukaan epitel tempat alergen masuk. Kecenderungan untuk
menunjukkan reaksi tipe I adalah diturunkan dan disebut atopi. Sedikitnya 20% populasi
menunjukkan pnyakit yang terjadi melalui IgE seperti rinitis alergi, asma, dan dermatitis
atopi.
Sekitar 50%-70% dari populasi membentuk IgE terhadap antigen yang masuk tubuh
melalui mukosa seperti selaput lendir hidung, paru dan konjungtiva, tetapi hanya 10-20%
masyarakat yang menderita rinitis alergi dan sekitar 3%-10% yang menderita asma
bronkial. IgE yang sudah ada pada permukaan sek mast akan menetap untuk beberapa
minggu. Sensitasi dapat pula terjadi secara pasif bila serum (darah) orang yang alergi
dimasukkan ke dalam kulit/sirkulasi orang normal. Reaksi alergi yang mengenai kulit,
mata, hidung, dan saluran napas.
b. Reaksi sistemik-anafilaksis
Anafilaksis adalah reaksi tipe I yang dapat fatal dan terjadi dalam beberapa menit saja.
Anafilaksis adalah reaksi hipersemsitivitas Gell dan Coombs tipe I atau reaksi alergi yang
cepat, ditimbulkan IgE yang dapat mengancam nyawa. Sel mast dan basofil merupakan
sek efektor yang melepas berbagai mediator. Reaksi dapat dipacu berbagai alergen seperti
makanan (asal laut, kacang-kacangan), obat atau sengatan serangga dan juga lateks,
latihan jasmani dan bahab diagnostik kainnya. Pada 2/3 pasien dengan anafilaksis,
pemicu spesifiknya tidak dapat diidentifikasi.
c. Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid
Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid adalah reaksi sistemik umum yang melibatkan
penglepasan mediator oleh sel mast yang tejadi tidak melalui IgE. Mekanisme
pseudoalergi merupakan mekanisme jalur efektor non imun. Secara klinis reaksi ini
menyerupai reaksi tipe I seperti syok, urtikaria, bronkospasme, anafilaksis, pruritus, tetapi
tidakberdasarkan atas reaksi imun. Menifestasi klinis sering serupa, sehingga sulit
dibedakan satu dengan yang lainnya. Reaksi ini tidak memerlukan pajanan terdahulu
untuk menimbulkan sensitasi. Reaksi anafilaktoid dapat ditiimbulkan antimikroba,
protein, kontras dengan yodium, AINS, etilenoksid, taksol, penisilin, dan pelemas otot.
V. Diagnosis dan diagnosis banding
Diagnosis anafilaksis ditegakkan secara klinis. Perlu dicari riwayat penggunaan obat,
makanan, gigitan binatang atau tranfusi. Pada beberapa keadaan dapat timbul keraguan terhadap
penyebab lain sehingga perlu dipikirkan diagnosis banding. Pada reaksi sistemik ringan dan sedang
diagnosis bandingnya adalah diagnosis banding urtikaria dan angioedema. Bila ditemukan reaksi
sistemik berat harus dipertimbangkan semua penyebab distres pernapasan, kolaps kardiovaskular dan
hilangnya kesadaran, antara lain adalah reaksi vasovagal dan serangan sinkop, infark miokard, reaksi
insulin, atau reaksi histeris.
Reaksi vasovagal dan serangan sinkop sering terjadi sesudah penyuntikan. Pada keadaan ini nadi
teraba lambat dan biasanya tidak terjadi sianosis. Walau tekanan darah menurun biasanya masih dapat
diukur. Pucat dan diaforesis merupakan hal yang sering ditemukan. Infark miokard disertai gejala
yang menonjol seperti sakit dada dengan atau tanpa penjalaran. Kesukaran bernapas terjadi lebih
lambat dan tanpa emfisema atau sumbatan bronkial. Tidak terdapat edema atau sumbatan jalan napas
atas.
Reaksi insulin yang karakteristik adalah lemah, pucat, diaforesis dan tidak sadar. Tidak terjadi
sumbatan jalan napas ataupun distres pernapasan. Tekanan darah biasanya sedikit menurun. Reaksi
histeris tidak disertai bukti distres pernapasan, hipotensi atau sianosis. Parestesia lebih sering dari
pada pruritus. Sinkop dapat terjadi tetapi kesadaran cepat kembali.
VI. Penatalaksanaan
Yang terpenting pada penatalaksanaan anafilaksis adalah tindakan segera untuk membantu fungsi
vital, melawan pengaruh mediator, dan mencegah lepasnya mediator selanjutnya. Tindakan tersebut
mencakup evaluasi segera, pemberian adrenalin, pemasangan turniket, pemberian oksigen, cairan
intravena, difenhidramin, aminofilin, vasopresor, intubasi dan trakeostomi, kortikosteroid, serta
pengobatan suportif. Berikut merupakan gambar tatalaksana anafilaksis secara umum.
Evaluasi segera
Yang penting dievaluasi adalah keadaan jalan napas dan jantung. Kalau pasien mengalami
henti jantung-paru harus dilakukan resusitasi kardiopulmonen.
Adrenalin
Larutan adrenalin (epinefrin) 1/1000 dalam air sebanyak 0,01 ml/kgBB, maksimum 0,5 ml
(larutan 1:1000), diberikan secara intramuskular atau subkutan pada lengan atas atau paha.
Kalau anafilaksis terjadi karena suntikan, berikan suntikan adrenalin kedua 0,1-0,3 ml
(larutan 1:1000) secara subkutan pada daerah suntikan untuk mengurangi absorbsi antigen.
Dosis adrenalin pertama dapat diulangi dengan jarak waktu 15- 20 menit bila diperlukan.
Kalau terdapat syok atau kolaps vaskular atau tidak berespons dengan medikasi
intramuskular, dapat diberikan adrenalin 0,1 ml/kgBB dalam 10 ml NaCl fisiologik (larutan
1:10.000) secara intravena dengan kecepatan lambat (1-2 menit) serta dapat diulang dalam 5-
10 menit.
Intubasi dan trakeostomi
Intubasi atau trakeostomi perlu dikerjakan kalau terdapat sumbatan jalan napas bagian atas
oleh edema. Prosedur ini tidak boleh ditunda kalau sudah terindikasi.
Turniket
Kalau anafilaksis terjadi karena suntikan pada ekstremitas atau sengatan/gigitan hewan
berbisa maka dipasang turniket proksimal dari daerah suntikan atau tempat gigitan tersebut.
Setiap 10 menit turniket ini dilonggarkan selama 1-2 menit.
Oksigen
Oksigen harus diberikan kepada penderita penderita yang menplami sianosis, dispneu yang
jelas atau penderita dengan mengi. Oksigen dengan aliran sedang-tinggi (5-10 liter/menit)
diberikan melalui masker atau kateter hidung.
Difenhidramin
Difenhidramin dapat diberikan secara intravena (kecepatan lambat selama 5 – 10 menit),
intramuskular atau oral (1-2 mg/kgBB) sampai maksimum 50 mg sebagai dosis tunggal,
tergantung dari beratnya reaksi. Yang perlu diingat adalah bahwa difenhidramin bukanlah
merupakan substitusi adrenalin. Difenhidramin diteruskan secara oral setiap 6 jam selama 24
jam untuk mencegah reaksi berulang, terutama pada urtikaria dan angioedema.
Kalau penderita tidak memberikan respons dengan tindakan di atas, jadi penderita masih tetap
hipotensif atau tetap dengan kesukaran bernapas, maka penderita perlu dirawat di unit perawatan
intensif dan pengobatan diteruskan dengan langkah berikut.
Cairan intravena
Untuk mengatasi syok pada anak dapat diberikan cairan NaCl fisiologis dan glukosa 5%
dengan perbandingan 1 : 4 sebanyak 30 ml/kgBB selama 1-2 jam pertama atau sampai syok
teratasi. Bila syok sudah teratasi, cairan tersebut diteruskan dengan dosis sesuai dengan berat
badan dan umur anak.
Aminofilin
Apabila bronkospasme menetap, diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/kgBB yang dilarutkan
dalam cairan intravena (dekstrosa 5%) dengan jumlah paling sedikit sama. Campuran ini
diberikan intravena secara lambat (15-20 menit). Tergantung dari tingkat bronkospasme,
aminofilin dapat diteruskan melalui infus dengan kecepatan 0,2-1,2 mg/kgBB atau 4-5
mg/kgBB intravena selama 20-30 menit setiap 6 jam. Bila memungkinkan kadar aminofilin
serum harus dimonitor.
Vasopresor
Bila cairan intravena saja tidak dapat mengontrol tekanan darah, berikan metaraminol bitartrat
(Aramine) 0,0l mg/kgBB (maksimum 5 mg) sebagai suntikan tunggal secara lambat dengan
memonitor aritmia jantung, bila terjadi aritmia jantung, pengobatan dihentikan segera. Dosis
ini dapat diulangi bila diperlukan, untuk menjaga tekanan darah. Dapat juga diberikan
vasopresor lain seperti levaterenol bitartrat (Levophed) 1 mg (1 ml) dalam 250 ml cairan
intravena dengan kecepatan 0,5 ml/menit atau dopamin (Intropine) yang diberikan bersama
infus, dengan kecepatan 0,3-1,2 mg/kgBB/jam.
Kortikosteroid
Kortikosteroid tidak menolong pada pelaksanaan akut suatu reaksi anafilaksis. Pada reaksi
anafilaksis sedang dan berat kortikosteroid harus diberikan Kortikosteroid bergunan untuk
mencegah gejala yang lama atau rekuren. Mula-mula diberikan hidrokortison intravena 7-10
mg/kgBB lalu diteruskan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam dengan bolus infus. Pengobatan
biasanya dapat dihentikan sesudah 2-3 hari.
VII. Pengobatan suportif
Sesudah keadaan stabil, penderita harus tetap mendapat pengobatan suportif dengan obat dan cairan
selama diperlukan untuk membantu memperbaiki fungsi vital. Tergantung dari beratnya reaksi,
pengobatan suportif ini dapat diberikan beberapa jam sampai beberapa hari.
IPD jilid I
Imunologi Dasar
http://annisainayatims.blog.uns.ac.id/2011/03/31/reaksi-hipersensitivitas/
LO 3. Hipersensitivitas tipe II
I. Mekanisme terjadinya hipersensitivitas tipe II
Terjadinya Reaksi Hipersensitivitas Tipe-II ini sangat erat kaitannya dengan adanya suatu
proses penanggulangan munculnya sel klon baru. Adanya sel klon baru tersebut dapat ditemukan
pada:
1. sel tumor
2. sel terinfeksi virus
3. sel yang terinduksi mutagen
Selanjutnya sel-sel tersebut dikenal dengan sel target, yakni suatu sel karena adanya faktor
lingkungan sel tersebut mengalami perubahan DNA (kecacatan-DNA). Oleh karena itu sel tersebut
harus diperbaiki (DNA repair) atau dimusnahkan melalui sistem imunologik. Jika sel tersebut tidak
dimusnahkan oleh sistem imun tubuh maka sel tersebut dapat berkembang menjadi klon baru yang
selanjutnya dapat menimbulkan gangguan penyakit.
Contohnya; Reaksi transfusi, AHA, Reaksi obat, Sindrom Good posture, miastenia gravis, pemvigus.
Mekanisme reaksinya ada 3 macam yaitu` :
1. Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune adherence
2. Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk Fc. Adanya
Antigen yang merupakan bagian sel pejamu,menyebabkan dibentuknya Antbodi IgG/IgM sehingga
mengaktifkan sel K yang memiliki reseptor Fc sebagai efektor ADCC.
3. Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen. Ikatan Ag-Ab mengaktifkan komplemen
sehingga menyebabkan lisis.
Reaksi hipersensitivitas tipe 2 dapat melalui 2 jalur ;
1. Melalui jalur ADCC (Antibody Dependent Cell Cytotoxicity)
Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk Fc.
Adanya Antigen yang merupakan bagian sel pejamu,menyebabkan dibentuknya Antbodi
IgG/IgM sehingga mengaktifkan sel K yang memiliki reseptor Fc sebagai efektor ADCC.
2. Melalui aktivitas sistem komplemen
a. Reaksi Transfusi
Menurut system ABO, sel darah manusia dibagi menjadi 4 golongan yaitu A, B, AB dan O.
Selanjutnya diketahui bahwa golongan A mengandung antibodi (anti B berupa Ig M) yang
mengaglutinasikan eritrosit golongan B, darah golongan B mengandung antibodi (anti A berupa Ig M)
yang mengaglutinasikan eritrosit golongan A, golongan darh AB tidak mengandung antibodi terhadap
antigen tersebut dan golongan darh O mengandung antibodi (Ig M dan Ig G) yang dapat
mengaglutinasikan eritrosit golongan A dan B. Antibodi tersebut disebut isohemaglutinin.
Aglutinin tersebut timbul secara alamiah tanpa sensitasi atau imunisasi. Bentuk yang paling
sederhana dari reaksi sitotoksik terlihat pada ketidakcocokan transfusi darah golongan ABO. Ada 3
jenis reaksi transfusi yaitu reaksi hemolitik yang paling berat, reaksi panas, dan reaksi alergi seperti
urtikaria, syok, dan asma. Kerusakan ginjal dapat pula terjadi akibat membrane sel yang menimbun
dan efek toksik dan kompleks haem yang lepas.
b. Reaksi Antigen Rhesus
Ada sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang terlihat pada bayi baru lahir
dari orang tuanya denga Rh yang inkompatibel (ayah Rh+ dan ibu Rh-). Jika anak yang dikandung
oleh ibu Rh- menpunyai darah Rh+ maka anak akan melepas sebagian eritrositnya ke dalam sirkulasi
ibu waktu partus. Hanya ibu yang sudah disensitasi yang akan membentuk anti Rh (IgG) dan hal ini
akan membahayakan anak yang dikandung kemudian. Hal ini karena IgG dapat melewati plasenta.
IgG yang diikat antigen Rh pada permukaan eritrosit fetus biasanya belum menimbulkan aglutinasi
atau lisis. Tetapi sel yang ditutupi Ig tersebut mudah dirusak akibat interaksi dengan reseptor Fc pada
fagosit. Akhirnya terjadi kerusakan sel darah merah fetus dan bayi lahir kuning, Transfusi untuk
mengganti darah sering diperlukan dalam usaha menyelamatkan bayi.
c. Anemia Hemolitik autoimun
Akibat suatu infeksi dan sebab yang belum diketahui, beberapa orang membentuk Ig terhadap
sel darah merah sendiri. Melalui fagositosis via reseptor untuk Fc dan C3b, terjadi anemia yang
progresif. Antibodi yang dibentuk berupa aglutinin panas atau dingin, tergantung dari suhu yang
dibutuhkan untuk aglutinasi.
I. Manifestasi klinis
d. Reaksi Obat
Obat dapat bertindak sebagai hapten dan diikat pada permukaan eritrosit yang menimbulkan
pembentukan Ig dan kerusakan sitotoksik. Sedormid dapat mengikat trombosit dan Ig yang dibentuk
terhadapnya akan menghancurkan trombosit dan menimbulkan purpura. Chloramfenicol dapat
mengikat sel darah putih, phenacetin dan chloropromazin mengikat sel darah merah.
e. Sindrom Goodpasture
Pada sindrom ini dalam serum ditemukan antibodi yang bereaksi dengan membran basal
glomerulus dan paru. Antibodi tersebut mengendap di ginjal dan paru yang menunjukkan endapan
linier yang terlihat pada imunoflouresen.
Ciri sindrom ini glomerulonefritis proliferatif yang difus dan peredaran paru. Perjalanannya
sering fatal. Dalam penanggulangannya telah dicoba dengan pemberian steroid, imunosupresan,
plasmaferisis, nefektomi yang disusul dengan transplantasi. Jadi, sindrom ini merupakan penyakit
auroimun yang membentuk antibodi terhadap membrane basal. Sindrom ini sering ditemukan setelah
mengalami infeksi streptococ.
f. Myasthenia gravis
Penyakit dengan kelemahan otot yang disebabkan gangguan transmisi neuromuskuler,
sebagian disebabkan oleh autoantibodi terhadap reseptor astilkoli.
g. Pempigus
Penyakit autoimun yang disertai antibodi tehadap desmosom diantara keratinosit yang
menimbulkan pelepasan epidermis dan gelembung-gelembung.
LO 4. Hipersensitivitas tipe 3 atau komplex imun
Dalam keadaan normal komplex imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit ke hati, limpa dan
disana dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear, terutama di hati, limpa dan paru tanpa bantuan
komplemen. Pada umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah dan cepat dimusnahkan oleh
makrofag dalam hati. Kompleks kecil dan larut sulit untuk dimusnahkan, karena itu dapat lebih lama
berada dalam sirkulasi. Diduga bahwa gangguan fumhsi fagosit merupakan salah satu penyebab
mengapa kompleks tersebut sulit dimusnahkan. Meskipun kompleks imun berada di dalam sirkulasi
dalam jangka waktu lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks imun
tersebut mengendap di jaringan.
1. Kompleks imun mengendap di dinding pembuluh darah.
Infeksi dapat disertai antigen dalam jumlah yang berlebih, tapi tanpa adanya
respon antibodi yang efektif.
Makrofag yang diaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan kompleks imun
sehingga makrofag dirangsang terus menerus untuk melepaskan berbagai
bahan yang dapat merusak jaringan.
Kompleks imun yang terdiri atas antigen dalam sirkulasi dan IgM atau IgG3
( dapat juga IgA) diendapkan di membran basal vaskular dan membran basal
ginjal yang menimbulkan inflamasi lokal dan luas.
Kompleks yang terjadi dapat menimbulkan agregrasi trombosit, aktivasi
makrofag, perubahan permeabilitas vaskular, aktivasi sel mast.
2. Kompleks imun mengendap dijaringan
Hal yang mungkin terjadi pada pengendapan kompleks imun dijaringan adalah
- Ukuran kompleks imun
Kompleks imun yang sangat besar yang dibentuk pada kelebihan antibodi ,
dengan cepat akan dibuang dari sirkulasi oleh sistem fagosit ik mononuklir
dan kerena itu relatif tidak berbahaya. Kompleks imun yang sangat patogen
yang pada umumnya berukuran kecil ataunsedang, beredar lebih lama dan
mengikat kurang kuat pada sel-sel fagosit.
- Permeabilitas vaskular yang meningkat
Karena histamin yang dilepaskan oleh sel mast.
3. Bentuk reaksi
Reaksi tipe III mempunyai 2 bentuk reaksi, lokal dan sistemik.
a. Reaksi lokal atau Fenomen Arthus
Arthus merupakan bentuk reaksi dari kompleks imun. Antibodi yang ditemukan
adalah jenis presipitin. Pada pemeriksaan mikroskopis, terlihat neutrofil
menempel pada endotel vaskular dan bermigrasi ke jaringan tempat kompleks
imun diendapkan. Reaksi yang timbul berupa kerusakan jaringan lokal dan
vaskular akibat akumyulasi cairan (edem) dan SDM (eritema) sampai nekrosis.
Pertama suntikan obat dapat memicu pembentukan kompleks imun yang
mengaktifkan komplemen yaitu C3a dan C5a ( anafilatoksin ) yang terbentuk
pada aktivasi komplemen, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah yang
dapat menimbulkan edem. C3a dan C5a berfungsi juga sebagai faktor kemotaktik,
lalu komplemen diikat oleh sel mast.
Dan neutrofil dan trombosit mulai dikerahkan ditempat reaksi dan menimbulkan
stasis dan obstruksi total aliran darah, sasaran dari anafilatoksin adalah pembuluh
darah kecil, sel mast, otot polos, dan leukosit perifer yang menimbulkan kontraksi
otot polos, degranulasi sel mast, peningkatan permeabilitas vaskular dan respons
triple terhadap kulit, neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun dan
bersama dengan trombosit yang digumpalkan melepas berbagai enzim litik
( protease, kolagenase), akhirnya terjadi perdarahan yang disertai nekrosis
jaringan setempat.
b. Reaksi tipe III sistemik – serum sickness
Antibodi yang berperan biasanya jenis IgM atau IgG. Komplemen yang
diaktifkan melepas anafilatoksin (C3a, C5a) yang memacu sel mast dan
basofil melepas histamin. Mediator lainnya dan MCF (C3a, C5a, C5, C6, C7)
mengerahkan polimorf yang melepas enzim proteolitik dan protein
polikationik. Kompleks imun lebih mudah untuk diendapkan di tempat-
tempat dengan tekanan darah yang meninggi dan disertai putaran arus,
misalnya dalam kapiler glomerolus, bifurkasi pembuluh darah, pleksus koroid
dan korpus silier mata. Pada artritis reumatoid, sel plasma dalam sinovium
membentuk anti-IgG (FR berupa IgM) dan membentuk kompleks imun di
sendi. Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk
mikrotrombi dan melepas amin vasoaktif. Bahan vasoaktif yang dilepas sel
mast dan trombosit menimbulkan vasodilatasi, peningkatan vaskular dan
inflamasi. Neutrofil dikerahkan dan menyingkirkan kompleks imun. Neutrofil
yang terkepung di jaringan akan sulit untuk menangkap dan makan kompleks,
tetapi akan melepas granulnya(angry cell). Kejadian ini menimbulkan lebih
banyak kerusakan jaringan. Reaksi Herxheimer adalah serum sickness (tipe
III) yang terjadi sesudah pemberian pengobatan terhadap penyakit infeksi
kronis.
LO 5. Hipersensitivitas tipe 4
I. Etiologi reaksi hipersensitivitas IV
Reaksi ini terjadi karena respon sel T yang telah disensitasi oleh antigen
tertentu.terdapat dua tipe reaksi dalam hipersensitivitas IV yaitu hipersensitivitas lambat dan
sitotoksisitas diperantarai sel.
II. Mekanisme reaksi hipersensitivitas IV
CD4+ maupun CD8+ berperan dalam reaksi hipersensitivitas tipe IV.sel T melepas
sitokin bersama dengan produksi mediator sitotoksiklainnya menimbulkan respons inflamasi
yang terlihat pada penyakit kulit hipersensitivitas lambat.
Reaksi hipersensitivitivitas tipe IV dibagi dalam DTH yang terjadi melalui sel CD4+ dan
T cell mediated cytolysis yang terjadi melalui sel CD8+.
1. Delayed type hypersensitivity tipe IV
Reaksi tipe IV merupakan hipersensitivitas granulomatosis.biasanya terjadi
terhadap bahan yang tidak dapat disingkirkan dari rongga tubuh seperti talkum dalam
rongga peritoneum dan kolagen sapi dari bawah kulit.ada beberapa fase :
Fase sensitasi yang membutuhkan 1-2 minggu setelah kontak primer dengan
antigen.Th diaktifkan oleh APC melalui MHC-II.
Berbagai APC seperti sel langerhans (SD dikulit)dan makrofag yang
menangkap antigen dan membawanya kekelenjar limfoid regional untuk
dipersentasikan ke sel T.sel T yang diaktifkan pada umumnya adalah sel CD4+
terutama Th 1,tetapi ada beberapa hal sel CD8+ dapat juga diaktifkan.
Fase efektor ,ssel Th 1 melepas berbagai sitokin yang mengerahkan dan mengaktifkan
makrofag dan sel inflamasi non spesifik lain.gejala biasanya baru nampak 24 jam
sesudah kontak kedua dengan antigen.makrofag merupakan efektor utama respons
DTH.sitokin yang dilepas sel Th1 menginduksi monosit menempel keendotel
vaskuler,bermigrasi dari sirkulasi darah kejaringan sekitar.
Influks makrofag yang diaktifkan berperan pada DTH terhadap parasit dan
bakteri intraselular yang tidak dapat ditemukan oleh antibodi.enzim litik yang dilepas
makrofag menimbulkan destruksi nonspesifik patogen intraseluler yang hanya
menimbulkan sedikit kerusakan jaringan.
III. Manifestasi klinis
a. Dermatitis kontak
Dermatitis kontak adalah penyakit CD4 yang dapat terjadi akibat kontak dengan
bahan tidak berbahaya ,merupakan contoh reaksi DTH.
b. Hipersensitivitas tuberkulin
Bentuk alergi bakterial spesifik terhadap produk fitrat biakan M.tuberkulosis yang
bila disuntikkan kekulit,akan menimbulkan reaksi hipersensitivitas lambat tipe IV.yang
berperan sel limfosit CD4+ T.
c. Reaksi jones mote
Reaksi hipersensitivitas tipe IV terhadap antigen protein yang berhubungan dengan
infiltrat basofil mencolok dikulit dibawah dermis.
d. T cell mediated cytolysis
Kerusakan terjadi melalui sel CD8+/CTL/Tc yang langsung membunuh sel sasaran
dan penyakit yang ditimbulkannya cenderung terbatas kepada beberapa organ saja dan
biasanya tidak sistemik.
LO 6. Antihistamin dan Kortikosteroid
Diketahui bahwa histamin mempengaruhi banyak proses fisiologik dan
patologik.maka dicarikan obat yang mengantagonisefek histamin. Contoh-contoh antihistmin
epniefrin,antargen,defidramin,dan tripelenamin.
Ada dua jenis antihistamin:
antagonis resptor H1 (AN1)
I. Farmakodinamik
antagonis terhadap histamine. AH1 menghambat efek histamine pada pembuluh
darah,bronkus dan bermacam-macam otot polos. Selain itu AH1 bermanfaat untuk
mengobati reaksi hipersensifitas atau keadaaan lain disertai penglepasan histamin
endogen berlebihan.
1. Otot polos. Bronkokonstriksi akibat histamine dapat dihambat oleh AH1
2. Phermabilitas kapiler. Peninggian phermabilitas kapiler dapat dihambat oleh AH1
3. Reaksi anafilaksis dan alergi
4. Kelenjar eksokrin AN1 tidak mencegah perforasi lambung akibat hipersekresi cairan
lambung.AH1 dapat menghambat sekresi salivia dan sekresi kelenjar eksorin lain
akibat histamine
5. Susunan saraf pusat.
6. Anestetik local
7. Antikolinergik
8. System kardiovaskular
II. Farmakokinetik
Setelah pemberian oral atau parental, AH1 diabsorbsi secara baik. Efeknya timbul 15-
30 menit setelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2jam.
Temapat utama biotransformasi AH1 ialah hati,tetapi dapat juga pada paru-paru dan
ginjal. AH1 dieksresi melalui urin setelah 24jam,terutama dala bentuk metabolitnya.
III. Indikasi
1. penyakit alergi
2. mabuk perjalanan dan keadaan lain
IV. Efek samping
efek samping yang paling sering adalah sedasi (mengantuk)
antagonis resptor H2(AH2)
Antagonis reseptor H2 berkerja menghambat sekresi asam lambung. AH2 yang ada
dewasa ini adalah simetidin, ranitidin, famotidin, nizatidin.
A. Simetidin dan Ranitidin
Farmakodinamik
Simetidin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan
reversible.perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi asam
lambung,sehingga pada pemberian smetidin dan ranitidin sekresi asam lambung
dihambat.
Farmakokinetik
Bioavailabilitas oral simetidin sekitar 70%, sama dengan setelah pemberian IV
atau IM.Ikatan protein plasmanya hanya 20% arbsobsi simetidin diperlambat oleh
makanan.sehingga simetidin diberikan bersama atau segera setelah makan dengan
maksud untuk memperpanjang efek pada periode pascamakan. Arbsobsi simetidin
terutama terjadi pada menit ke 60-90. Simetidin masuk ke dalam ssp dan kadarnya
dalam cairan spinal 10-20%
Biovailabilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan
meningkat pada pasien penyakit hati. Masa paruhnya kira-kira 1,7-3jam pada orang
dewasa. Dan memanjang pada orang tua dan pada paien gagal ginjal. Pada pasien
penyakit hati masa paruh ranitidin juga memanjang meskipun tidak sebesar pada
gagal ginjal . antagonis reseptor H2 juga melalui ASI dan dapat mempengaruhi fetus
Indikasi
Simetidin ,ranitidine dan antagonis resptor h2 lainya efektif untuk mengatasi
gejala akut tutak duodenum dan mempercepat penyembuhanya dengan dosis lebih
kecil umumnya dapat membantu mencegah kambuhnya tukak duodenum.
Efek samping
Efek samping ini antara lain nyeri kepala,pusing,malaise ,mialgia, mual diare
konstipasi,ruam kulit, pruritus,kehilanagan libido dan impoten
B.Famotidin
Farmakodinamik
Sama dengan halnya simetidin dan ranitidin,famotidin merupakan AH2
senhingga dapat menghambat sekresi asam lambung pada keadaan basal, malam dan
akibat distimulasi oleh pentagastrin. Famotidin tiga kali lebih poten daripada
simetidin.
Farmakodinamik
Famotidin mencapai kadar puncaknya di plasma kira-kira dalm 2jam stelah
penggunaan secara oral, masa paruh eliminasi 3-8 jam dan bioavailibilitas 40-50%.
Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida. Setelah dosis oral tunggal, sekitar 25%
dari dosis ditemukan dalam bentuk asal urin. Pada pasien gagal ginjal berat masa
paruh eliminasi dapat melebihi 20jam
Indikasi
Profilaksis tukak lambung,refluks esofagnitis dan pencegahan tukak strees
kurang lebih sama dengan antagonis reseptor H2 lainya.
Efek samping
Ringan dan jarang terjadi misalnya skit kepala,pusing konstipasi dan diare.
Seperti halnya dengan ranitidin, famotidin nampaknya lebih baik dari simetidin
karena tidak menimbulkan efek antiandrogenik.
B. Nizatidin
Farmakodinamik
Potensi nizatidin dalam menghambat sekresi asam lambung kurang lebih
sama dengan ranitidine.
Farmakokinetik
Bioavailabilitas oral nizatidin lebih dari 90% dan tidak di pengaruhi oleh
makan atau antikolegenik.kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai
dalam 1jam, masa paruh plasma sekitar 1,5 jam dan lama kerja sampaii dengan
10jam. Nizatidin disekresi terutama melalui ginjal 90% dari dosis yang digunakan di
temukan di urin dalam 16jam.
Indikasi
Efektifitas untuk pengobatan ganguan asam lambung sebanding dengan
ranitidine dan simetidin
Efek samping
Efek samping ringan saluran cerna dapat terjadi.peningkatan kadar asam urat
dan transaminase serum ditemukan pada beberapa pasien yang nampaknya tidak
menimbulkan gejala klinik yang bermakna , sperti halnya dengan AH2 lainya.
Kortikosteroid
1. Mekanisme kerja
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul
hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif.
2. Farmakodinamik
- Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak.selain itu
juga mempengaruhi fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf dan
organ lain.
- Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu
glukokortikoid dan mineralokortikoid.
a. Efek utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan efek anti-
inflamasi, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil.
b. Efek pada mineralokortikoid ialah terhadap keseimbangan air dan elektrolit,
sedangkan pengaruhnya pada penyimpanan glikogen hepar sangat kecil.
- Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi 3 golongan berdasarkan massa
kerjanya.
a. Sediaan kerja singkat mempunyai masa paruh biologis kurang dari 12 jam.
b. Sediaan kerja sedang mempunyai masa paruh biologis antara 12-36 jam.
c. Sediaan kerja lama mempunyai masa paruh biologis lebih dari 36 jam.
3. Farmakokinetik
Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mulai
kerja dan lama kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor dan ikatan
protein.
Glukokortikoid dapat di absorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang sinovial.
Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat menyebabkan efek
sistematik, antara lain supresi korteks adrenal.
4. Indikasi
Dari pengalaman klinis diajukan 6 prinsip yang harus diperhatikan sebelum
obat ini digunakan :
- Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan trial dan
error dan harus di evaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan penyakit.
- Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya.
- Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi spesifik,
tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat besar.
- Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih dari hingga dosis melebihi
dosis substisusi, insidens efek samping dan efek letal potensial akan bertambah.
- Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan merupakan
terapi kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek anti-
inflamasinya.
- Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis besar,
mempunyai risiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam jiwa pasien.
5. Kontraindikasi
Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolut kortikosteroid.
Pemberian dosis tunggal besar bila diperlukan selalu dapat dibenarkan, keadaan yang
mungkin dapat merupakan kontraindikasi relatif dapat dilupakan, terutama pada
keadaan yang mengancam jiwa pasien.
Bila obat akan diberikan untuk beberapa hari atu beberapa minggu,
kontraindikasi relatif yaitu diabetes melitustukak peptik/duodenum, infeksi berat,
hipertensi atau gangguan sistem kardiovaskular lainnya.
6. Efek samping
- Efek samping dapat timbul karena peenghentian pemberian secara tiba-tiba atau
pemberian terus-menerus terutama dengan dosis besar.
- Pemberian kortikosteroid jangka lama yang dihentikan tiba-tiba dapat menimbulkan
insifisiensi adrenalm akut dengan gejala demam, malgia, artralgia dan malaise.
- Komplikasi yang timbul akibat pengobatan lama ialah gangguan cairan dan elektrolit ,
hiperglikemia dan glikosuria, mudah mendapat infeksi terutama tuberkulosis, pasien
tukak peptik mungkin dapat mengalami pendarahan atau perforasi, osteoporosis dll.
- Alkalosis hipokalemik jarang terjadi pada pasien dengan pengobatan derivat
kortikosteroid sintetik.
- Tukak peptik ialah komplikasi yang kadang-kadang terjadi pada pengobatan dengan
kortikosteroid. Sebab itu bila bila ada kecurigaan dianjurkan untuk melaakukan
pemeriksaan radiologik terhadap saluran cerna bagian atas sebelum obat diberikan.
LO 7. Hukum memilih obat
Keberadaan berbagai penyakit termasuk sunnah kauniyyah yang diciptakan oleh Allah Subhanahu
wa Ta'ala. Penyakit-penyakit itu merupakan musibah dan ujian yang ditetapkan Allah Subhanahu wa
Ta'ala atas hamba-hamba- Nya. Dan sesungguhnya pada musibah itu terdapat kemanfaatan bagi
kaum mukminin. Shuhaib Ar-Rumi radhiallahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam
bersabda: "Sungguh mengagumkan perkara seorang mukmin. Sungguh seluruh perkaranya adalah
kebaikan. Yang demikian itu tidaklah dimiliki oleh seorangpun kecuali seorang mukmin. Jika ia
mendapatkan kelapangan, ia bersyukur. Maka yang demikian itu baik baginya. Dan jika ia ditimpa
kesusahan, ia bersabar. Maka yang demikian itu baik baginya." (HR. Muslim no. 2999)
Termasuk keutamaan Allah Subhanahu wa Ta'ala yang diberikan kepada kaum mukminin, Dia
menjadikan sakit yang menimpa seorang mukmin sebagai penghapus dosa dan kesalahan mereka.
Sebagaimana tersebut dalam hadits Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidaklah seorang muslim ditimpa gangguan berupa sakit atau
lainnya, melainkan Allah menggugurkan kesalahan-kesalahan nya sebagaimana pohon
menggugurkan daun-daunnya." (HR. Al-Bukhari no. 5661 dan Muslim no. 6511) Di sisi lain,
sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan penyakit, Dia pun menurunkan obat bersama
penyakit itu. Obat itupun menjadi rahmat dan keutamaan dari-Nya untuk hamba-hamba- Nya, baik
yang mukmin maupun yang kafir. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Abu
Hurairah radhiallahu 'anhu: "Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia turunkan untuk
penyakit itu obatnya." (HR. Al-Bukhari no. 5678)
Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhu mengabarkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Sesungguhnya Allah tidaklah menurunkan penyakit kecuali Dia turunkan pula obatnya bersamanya.
(Hanya saja) tidak mengetahui orang yang tidak mengetahuinya dan mengetahui orang yang
mengetahuinya." (HR. Ahmad 1/377, 413 dan 453. Dan hadits ini dishahihkan dalam Ash-Shahihah
no. 451) Jabir radhiallahu 'anhu membawakan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Setiap penyakit ada obatnya. Maka bila obat itu mengenai penyakit akan sembuh dengan izin Allah
Subhanahu wa Ta'ala." (HR. Muslim no. 5705)
Al-Qur`anul Karim dan As-Sunnah yang shahih sarat dengan beragam penyembuhan dan obat yang
bermanfaat dengan izin Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sehingga mestinya kita tidak terlebih dahulu
berpaling dan meninggalkannya untuk beralih kepada pengobatan kimiawi yang ada di masa
sekarang ini. (Shahih Ath-Thibbun Nabawi, hal. 5-6, Abu Anas Majid Al-Bankani Al-Iraqi)Karena itulah
Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullahu berkata: 'Sungguh para tabib telah sepakat bahwa
ketika memungkinkan pengobatan dengan bahan makanan maka jangan beralih kepada obat-obatan
(kimiawi, -pent.). Ketika memungkinkan mengkonsumsi obat yang sederhana, maka jangan beralih
memakai obat yang kompleks.
Ibnul Qayyim juga berkata: "Berpalingnya manusia dari cara pengobatan nubuwwah seperti halnya
berpalingnya mereka dari pengobatan dengan Al-Qur`an, yang merupakan obat bermanfaat." (Ath-
Thibbun Nabawi, hal. 6, 29)
Mereka mengatakan: "Setiap penyakit yang bisa ditolak dengan makanan-makanan tertentu dan
pencegahan, janganlah mencoba menolaknya dengan obat-obatan." Ibnul Qayyim juga berkata:
"Berpalingnya manusia dari cara pengobatan nubuwwah seperti halnya berpalingnya mereka dari
pengobatan dengan Al-Qur`an, yang merupakan obat bermanfaat." (Ath-Thibbun Nabawi, hal. 6, 29)
Dengan demikian, tidak sepantasnya seorang muslim menjadikan pengobatan nabawiyyah sekedar
sebagai pengobatan alternatif. Justru sepantasnya dia menjadikannya sebagai cara pengobatan yang
utama, karena kepastiannya datang dari Allah Subhanahu wa Ta'ala lewat lisan Rasul-Nya Shallallahu
'alaihi wa sallam.
Sementara pengobatan dengan obat-obatan kimiawi kepastiannya tidak seperti kepastian yang
didapatkan dengan thibbun nabawi. Pengobatan yang diajarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
diyakini kesembuhannya karena bersumber dari wahyu. Sementara pengobatan dari selain Nabi
kebanyakannya dugaan atau dengan pengalaman/ uji coba. (Fathul Bari, 10/210)
Namun tentunya, berkaitan dengan kesembuhan suatu penyakit, seorang hamba tidak boleh
bersandar semata dengan pengobatan tertentu. Dan tidak boleh meyakini bahwa obatlah yang
menyembuhkan sakitnya. Namun seharusnya ia bersandar dan bergantung kepada Dzat yang
memberikan penyakit dan menurunkan obatnya sekaligus, yakni Allah Subhanahu wa Ta'ala. Seorang
hamba hendaknya selalu bersandar kepada-Nya dalam segala keadaannya. Hendaknya ia selalu
berdoa memohon kepada-Nya agar menghilangkan segala kemudharatan yang tengah menimpanya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Siapakah yang mengijabahi (menjawab/ mengabulkan)
permintaan orang yang dalam kesempitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan (siapakah) Dia yang
menghilangkan kejelekan?" (An-Naml: 62) Sungguh tidak ada yang dapat memberikan kesembuhan
kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala semata. Karena itulah, Nabi Ibrahim 'alaihissalam berkata memuji
Rabbnya: "Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku.' (Asy Syu'ara`: 80)
SOLUSI : Pengobatan Nabawi Untuk Asam Urat
Asam urat sudah dikenal sejak 2.000 tahun yang lalu dan menjadi salah satu penyakit tertua yang
dikenal manusia. Dulu, penyakit ini juga disebut "penyakit para raja" karena penyakit ini
diasosiasikan dengan kebiasaan mengonsumsi makanan dan minuman yang enak-enak. Kini, asam
urat bisa menimpa siapa saja, Tidak hanya penggemar makanan enak.
Asam urat adalah hasil metabolisme tubuh oleh salah satu unsur protein (zat purin) dan ginjal adalah
organ yang mengatur kestabilan kadarnya dalam tubuh dan akan membawa sisa asam urat ke
pembuangan air seni. Namun jika kadar asam urat itu berlebihan, ginjal tidak akan sanggup
mengaturnya sehingga kelebihan itu akan menumpuk pada jaringan dan sendi. Otomatis, ginjal juga
akan mengalami gangguan. Kandungan asam urat yang tinggi menyebakan nyeri dan sakit
dipersedian yang amat sangat.
Gangguan asam urat ditandai dengan suatu serangan tiba-tiba di daerah persendian. Saat bangun
tidur, misalnya, ibu jari kaki dan pergelangan kaki Anda terasa terbakar, sakit dan membengkak.
Bahkan selimut yang Anda gunakan terasa seperti batu yang membebani kaki Anda. Seperti itulah
gejala asam urat atau arthritis gout.
Gangguan asam urat disebabkan oleh tingginya kadar asam urat di dalam darah, yang menyebabkan
terjadinya penumpukan kristal di daerah persendian sehingga menimbulkan rasa sakit. Selain rasa
sakit di persendian, asam urat juga menyerang ibu jari kaki, dapat membentuk tofi atau endapan
natrium urat dalam jaringan di bawah kulit, atau bahkan menyebabkan terbentuknya batu ginjal.
System Pengobatan Nabawi untuk mengatasi asam urat menggunakan metode Hijamah dan Herbal
Islami. Penyebab Utama asam urat adalah kelebihan zat purin dalam darah, sehingga bila kandungan
purinnya sedikit atau normal, tubuh bisa membuangnya lewat ginjal. Kelebihan purin ini harus
dikeluarkan dengan cara dibekam/hijamah bersama unsur-unsur kotor lainnya dalam darah.
Selanjutnya disarankan untuk mengkonsumsi herbal-herbal Islami terutama Habbatussauda dan
minyak zaitun. Habbatussauda berfungsi untuk menggelontor toksin dalam darah dan melakukan
detoksifikasi intra sel (pengeluaran racun yang ada dalam sel), yang kemudian bersama unsur darah
kotor lainnya dikeluarkan dari tubuh lewat bekam/hijamah. Habbatussauda juga berfungsi
menghilangkan rasa nyeri di persendian karena mengandung zat yang memiliki efek anti inflamatori
atau anti peradangan.
Sementara minyak zaitun sangat efektif untuk menghilangkan rasa sakit dipersendian yang amat
mengganggu. Bergabung bersama efek anti peradangan dari habbatussauda maka rasa sakit ini akan
sangat terkurangi.
Dengan mengamalkan system nabawi ini InsyaAlloh penyakit asam urat anda dapat diatasi dan
sekaligus berpahala karena telah mengamalkan sunnah Nabi SAW.
WallohuAlamu bisshowab
http://metallicaniack.multiply.com/journal/item/26/
Hakekat_Sakit_dan_Obat_dalam_Pandangan_Islam