Upload
sheila-prilia-andini
View
223
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
blok medikolegal
Citation preview
1. Penentuan waktu kematian
Kematian manusia berdasarkan dua dimensi yaitu kematian seluler (seluler death) akibat ketiadaan oksigen dan kematian
manusia sebagai individu (somatic death). Kematian individu dapat didefinisikan secara sederhana sebagai terhentinya kehidupan secara
permanen (permanent cessation of life) atau dapat diperjelas lagi menjadi berhentinya secara permanen fungsi berbagai organ vital yaitu
paru-paru, jantung dan otak sebagai kesatuan yang utuh yang ditandai oleh berhentinya konsumsi oksigen. Sebagai akibat berhentinya
konsumsi oksigen ke seluruh jaringan tubuh maka sel-sel sebagai elemen terkecil pembentuk manusia akan mengalami kematian, dimulai
dari sel-sel paling rendah daya tahannya terhadap ketiadaan oksigen.
Mati suri adalah penurunan fungsi organ vital sampai taraf minimal untuk mempertahankan kehidupan, sehingga tanda-tanda
kliniknya seperti sudah mati yang sifatnya reversibel. Sedangkan mati somatik adalah keadaan dimana ketika fungsi ketiga organ vital
sistem saraf pusat, sistem kardiovaskuler, dan sistem pernafasan berhenti secara menetap.
Mati serebral adalah kerusakan kedua hemisfer otak yang irreversible kecuali batang otak dan serebelum, kedua sistem lain masih
berfungsi dengan bantuan alat. Sedangkan mati batang otak adalah kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial yang ireversibel, termasuk
batang otak dan serebelum.
Kriteria diagnostik penentuan kematian:
1. Hilangnya semua respon terhadap sekitarnya (respon terhadap komando atau perintah, dan sebagainya)
2. Tidak ada gerakan otot serta postur, dengan catatan pasien tidak sedang berada dibawah pengaruh obat-obatan curare.
3. Tidak ada reflek pupil
4. Tidak ada reflek kornea
5. Tidak ada respon motorik dari saraf kranial terhadap rangsangan
6. Tidak ada reflek menelan atau batuk ketika tuba endotracheal didorong ke dalam
7. Tidak ada reflek vestibulo-okularis terhadap rangsangan air es yang dimasukkan ke dalam lubang telinga
8. Tidak ada napas spontan ketika respirator dilepas untuk waktu yang cukup lama walaupun pCO2 sudah melampaui wilayah ambang
rangsangan napas (50 torr)
Tes klinik ini baru boleh dilakukan paling cepat 6 jam setelah onset koma serta apneu dan harus diulangi lagi paling cepat sesudah 2
jam dari tes yang pertama. Sedangkan tes konfirmasi dengan EEG dan angiografi hanya dilakukan jika tes klinik memberikan hasil yang
meragukan atau jika ada kekhawatiran akan adanya tuntutan di kemudian hari.
Tanda dan Patofisiologi
1) Tanda kematian tidak segera
a. Berhentinya sistem pernafasan dan sistem sirkulasi
Secara teoritis, diagnosis kematian sudah dapat ditegakkan jika jantung dan paru berhenti selama 10 menit, namun dalam
prakteknya seringkali terjadi kesalahan diagnosis sehingga perlu dilakukan pemeriksaan dengan cara mengamati selama waktu
tertentu. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan mendengarkannya melalui stetoscope pada daerah precordial dan larynx dimana
denyut jantung dan suara nafas dapat dengan mudah terdengar.
Kadang-kadang jantung tidak segera berhenti berdenyut setelah nafas terhenti, selain disebabkan ketahanan hidup sel tanpa
oksigen yang berbeda-beda dapat juga disebabkan depresi pusat sirkulasi darah yang tidak adekwat, denyut nadi yang
menghilang merupakan indikasi bahwa pada otak terjadi hipoksia. Sebagai contoh pada kasus judicial hanging dimana jantung
masih berdenyut selama 15 menit walaupun korban sudah diturunkan dari tiang gantungan.
b. Kulit yang pucat
Kulit muka menjadi pucat ,ini terjadi sebagai akibat berhentinya sirkulasi darah sehingga darah yang berada di kapiler dan
venula dibawah kulit muka akan mengalir ke bagian yang lebih rendah sehingga warna kulit muka tampak menjadi lebih pucat.
Akan tetapi ini bukan merupakan tanda yang dapat dipercaya. Kadang-kadang kematian dihubungkan dengan spasme agonal
sehingga wajah tampak kebiruan. Pada mayat yang mati akibat kekurangan oksigen atau keracunan zat-zat tertentu (misalnya
karbon monoksida) warna semula dari raut muka akan bertahan lama dan tidak cepat menjadi pucat.
1
c. Relaksasi otot
Pada saat kematian sampai beberapa saat sesudah kematian, otot-otot polos akan mengalami relaksasi sebagai akibat dari
hilangnya tonus. Relaksasi pada stadium ini disebut relaksasi primer. Akibatnya rahang turun kebawah yang menyebabkan
mulut terbuka, dada menjadi kolap dan bila tidak ada penyangga anggota gerakpun akan jatuh kebawah. Relaksasi dari otot-
otot wajah menyebabkan kulit menimbul sehingga orang mati tampak lebih muda dari umur sebenarnya, sedangkan relaksasi
pada otot polos akan mengakibatkan iris dan sfincter ani akan mengalami dilatasi. Oleh karena itu bila menemukan anus yang
mengalami dilatasi harus hati-hati menyimpulkan sebagai akibat hubungan seksual perani/anus corong.
d. Perubahan pada mata
Perubahan pada mata meliputi hilangnya reflek kornea dan reflek cahaya yang menyebabkan kornea menjadi tidak sensitif dan
reaksi pupil yang negatif.
Knight mengatakan hilangnya reflek cahaya pada kornea ini disebabkan karena kegagalan kelenjar lakrimal untuk membasahi
bola mata. Kekeruhan pada kornea akan timbul beberapa jam setelah kematian tergantung dari posisi kelopak mata. Akan
tetapi Marshall mengatakan kornea akan tetap menjadi keruh tanpa dipengaruhi apakah kelopak mata terbuka atau tertutup.
Walaupun sering ditemui kelopak mata tertutup secara tidak komplit, ini terjadi oleh karena kekakuan otot-otot kelopak mata.
Kekeruhan pada lapisan dalam kornea ini tidak dapat dihilangkan atau diubah kembali walaupun digunakan air untuk
membasahinya.
Bila kelopak mata tetap terbuka sclera yang ada disekitar kornea akan mengalami kekeringan dan berubah menjadi kuning
dalam beberapa jam yang kemudian berubah menjadi coklat kehitaman. Area yang berubah warna ini berbentuk trianguler
dengan basis pada perifer kornea dan puncaknya di epikantus. Area ini disebut’taches noires de la sclerotiques’ yang pertama
kali digambarkan oleh Somner pada tahun 1833.
Knight mengatakan iris masih bereaksi dengan stimulasi kimia sampai 4 jam sesudah kematian somatik, tetapi reflek cahaya
segera hilang bersamaan dengan iskemik pada batang otak. Pupil biasanya pada posisi mid midriasis yang disebabkan oleh
karena relaksasi dari muskulus pupilaris walaupun ada sebagian ahli yang menganggap ini sebagai proses rigor mortis. Diameter
pupil sering dihubungkan dengan sebab kematian seperti lesi di otak atau intoksikasi obat seperti keracunan morphin dimana
sewaktu hidup pupil menunjukan kontraksi. Akan tetapi Price (1963) memeriksa mata dari 1000 mayat dan menyimpulkan
bahwa keadaan pupil tidak berhubungan dengan sebab kematian, dan kematian menyebabkan pupil menjadi dilatasi atau
cadaveric position .
Setelah kematian tekanan intra okuler akan turun, tekanan intra okuler yang turun ini mudah menyebabkan kelainan bentuk
pupil sehingga pupil kehilangan bentuk sirkuler setelah mati dan ukurannya pun menjadi tidak sama ,pupil dapat berkontraksi
dengan diameter 2 mm atau berdilatasi sampai 9 mm dengan rata-rata 4-5 mm oleh karena pupil mempunyai sifat tidak
tergantung dengan pupil lainnya maka sering terdapat perbedaan sampai 3 mm.
Nicati (1894) telah melakukan pengukuran terhadap tekanan bola mata posmortem dimana tekanan normal pada bola mata
pada waktu hidup adalah 14g -25g akan tetapi begitu sirkulasi terhenti maka penurunan tekanan bola mata menjadi sangat
rendah (tidak sampai mencapai 12g) dan dalam waktu 30 menit akan berkurang menjadi 3g yang kemudian menjadi nol setelah
2 jam kematian. Penurunan tekanan bola mata ini pernah dicoba untuk menentukan perkiraan saat kematian.
Kervokian (1961) berusaha menerangkan perubahan-perubahan yang terjadi pada retina 15 jam pertama setelah kematian
dimana kornea dapat dipertahankan dalam keadaan baik dengan menggunakan air atau larutan garam fisiologis yang kemudian
dilakukan pemeriksaan dengan optalmoskop. Pemeriksaan ini tidaklah mudah, ternyata pemeriksaan retina pada mayat jauh
lebih sulit bila dibandingkan dengan orang hidup. Dan perubahan warna yang terjadi pada retina dicoba dihubungkan dengan
perkiraan saat kematian. Dengan berhentinya aliran darah maka pembuluh darah retina akan mengalami perubahan yang
disebut segmentasi atau ‘trucking’ dan ini terjadi dalam 15 menit pertama setelah kematian. Pada pemeriksaan dalam 2 jam
pertama setelah kematian, dapat dilihat retina tampak pucat dan daerah sekitar fundus tampak kuning, demikian pula daerah
sekitar makula. Sekitar 6 jam batas fundus menjadi tidak jelas, dan tampak gambaran segmentasi pada pembuluh darah, dengan
latar belakang yang berwarna kelabu kekuningan. Gambaran ini mencapai seluruh perifer retina sekitar 7-10 jam. Setelah 12 jam
2
diskus hanya dapat dilihat sebagai titik yang terlokalisasi dengan sisa-sisa pembuluh darah yang bersegmentasi hingga pada
akhirnya diskus dan pembuluh darah retina menghilang yang ada hanya makula yang berwarna coklat gelap. Beberapa
pengamat menggambarkan perubahan dini posmortem yang terjadi pada retina mempunyai arti yang kecil untuk dihubungkan
dengan perkiraan saat mati. Sedangkan Tomlin ( 1967) beranggapan bahwa segmentasi pada retina lebih berindikasi pada
kematian serebral daripada penghentian sirkulasi.
Wroblewski dan Ellis (1970) mempelajari perubahan mata pada 300 mayat dimana tidak hanya perubahan yang terjadi pada
retina tetapi juga perubahan yang terjadi pada kornea juga dicatat. Mereka telah memeriksa 204 fundus dari subjek dan 115
diantaranya terdapat segmentasi atau ‘trucking’ pada satu atau kedua mata setelah satu jam posmortem dan negatif pada 89
lainnya. Bagian yang paling sulit pada pemeriksaan ini adalah kekeruhan kornea yang terjadi dalam 75% pasien dalam 2 jam
setelah kematian. Akhirnya mereka menyimpulkan bahwa segmentasi merupakan perubahan posmortem yang alami daripada
menghubungkannya dengan perkiraan saat kematian.
2) Tanda Kematian Pasti
a. Lebam Mayat
Disebut juga Post Mortem Lividity, Post Mortem Suggilation, Hypostasis, Livor Mortis, Stainning. Lebam mayat terbentuk bila
terjadi kegagalan sirkulasi darah dalam mempertahankan tekanan hidrostatik yang menggerakan darah mencapai capillary bed
dimana pembuluh–pembuluh darah kecil afferent dan efferent saling berhubungan. Maka secara bertahap darah yang
mengalami stagnasi di dalam pembuluh vena besar dan cabang-cabangnya akan dipengaruhi gravitasi dan mengalir ke bawah,
ke tempat–tempat yang terendah yang dapat dicapai. Dikatakan bahwa gravitasi lebih banyak mempengaruhi sel darah merah
tetapi plasma akhirnya juga mengalir ke bagian terendah yang memberikan kontribusi pada pembentukan gelembung–
gelembung di kulit pada awal proses pembusukan.
Adanya eritrosit di daerah yang lebih rendah akan terlihat di kulit sebagai perubahan warna biru kemerahan. Oleh karena
pengumpulan darah terjadi secara pasif maka tempat–tempat di mana mendapat tekanan lokal akan menyebabkan
tertekannya pembuluh darah di daerah tersebut sehingga meniadakan terjadinya lebam mayat yang mengakibatkan kulit di
daerah tersebut berwarna lebih pucat.
Lebam mayat ini biasanya timbul setengah jam sampai dua jam setelah kematian, Dimana setelah terbentuk hypostasis yang
menetap dalam waktu 10–12 jam ternyata akan memberikan lebam mayat pada sisi yang berlawanan setelah dilakukan reposisi
pada tubuh dari pronasi ke supinasi (interpostmorchange).
Lebam mayat ini biasanya berkembang secara bertahap dan dimulai dengan timbulnya bercak-bercak yang berwarna keunguan
dalam waktu kurang dari setengah jam sesudah kematian dimana bercak-bercak ini intensitasnya menjadi meningkat dan
kemudian bergabung menjadi satu dalam beberapa jam kemudian, dimana fenomena ini menjadi komplet dalam waktu kurang
lebih 8–12 jam, pada waktu ini dapat dikatakan lebam mayat terjadi secara menetap. Menetapnya lebam mayat ini disebabkan
oleh karena terjadinya perembesan darah kedalam jaringan sekitar akibat rusaknya pembuluh darah akibat tertimbunnya sel–
sel darah dalam jumlah yang banyak, adanya proses hemolisa sel-sel darah dan kekakuan otot-otot dinding pembuluh darah.
Dengan demikian penekanan pada daerah lebam yang dilakukan setelah 8-12 jam tidak akan menghilang. Hilangnya lebam pada
penekanan dengan ibu jari dapat memberi indikasi bahwa suatu lebam belum terfiksasi secara sempurna. Setelah empat jam,
kapiler-kapiler akan mengalami kerusakan dan butir-butir darah merah juga akan rusak. Pigmen-pigmen dari pecahan darah
merah akan keluar dari kapiler yang rusak dan mewarnai jaringan di sekitarnya sehingga menyebabkan warna lebam mayat
akan menetap serta tidak hilang jika ditekan dengan ujung jari atau jika posisi mayat dibalik. Jika pembalikan posisi dilakukan
setelah 12 jam dari kematiannya maka lebam mayat baru tidak akan timbul pada posisi terendah, karena darah sudah
mengalami koagulasi.
Fenomena lebam mayat yang menetap ini sifatnya lebih bersifat relatif. Perubahan lebam ini lebih mudah terjadi pada 6 jam
pertama sesudah kematian, bila telah terbentuk lebam primer kemudian dilakukan perubahan posisi maka akan terjadi lebam
sekunder pada posisi yang berlawanan. Distribusi dari lebam mayat yang ganda ini adalah penting untuk menunjukan telah
terjadi manipulasi posisi pada tubuh. Akan tetapi waktu yang pasti untuk terjadinya pergeseran lebam ini adalah tidak pasti,
3
Polson mengatakan “ untuk menunjukan tubuh sudah diubah dalam waktu 8 sampai 12 jam”, sedangkan Camps memberi
patokan kurang lebih 10 jam.
Akan tetapi pada kematian wajar pun darah dapat menjadi permanent incoagulable oleh karena adanya aktifitas fibrinolisin
yang dilepas kedalam aliran darah selama proses kematian. Sumber dari fibrinolisin ini tidak diketahui tetapi kemungkinan
berasal dari endothelium pembuluh darah, dan permukaan serosa dari pleura. Aktifitas fibrinolisin ini nyata sekali pada kapiler-
kapiler yang berisi darah. Darah selalu ditemukan cair dalam venule dan kapiler, dan ini yang bertanggung jawab terhadap
lebam mayat.
Akumulasi darah pada daerah yang tidak tertekan akan menyebabkan pengendapan darah pada pembuluh darah kecil yang
dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah kecil tersebut dan berkembang menjadi petechie (tardieu`s spot) dan purpura
yang kadang-kadang berwarna gelap yang mempunyai diameter dari satu sampai beberapa milimeter, biasanya memerlukan
waktu 18 sampai 24 jam untuk terbentuknya dan sering diartikan bahwa pembusukan sudah mulai terjadi. Fenomena ini sering
terjadi pada asphyxia atau kematian yang terjadinya lambat.
b. Kaku Mayat (Rigor Mortis)
Kaku mayat atau rigor mortis adalah kekakuan yang terjadi pada otot yang kadang-kadang disertai dengan sedikit pemendekan
serabut otot, yang terjadi setelah periode pelemasan/ relaksasi primer. Hal ini disebabkan karena terjadinya perubahan kimiawi
pada protein yang terdapat pada serabut-serabut otot. Menurut Szen-Gyorgyi di dalam pembentukan kaku mayat peranan ATP
adalah sangat penting. Seperti diketahui bahwa serabut otot dibentuk oleh dua jenis protein, yaitu aktin dan myosin, dimana
kedua jenis protein ini bersama dengan ATP membentuk suatu masa yang lentur dan dapat berkontraksi (gambar II.3). Bila
kadar ATP menurun, maka akan terjadi pada perubahan pada akto-miosin, diamana sifat lentur dan kemampuan untuk
berkontraksi menghilang sehingga otot yang bersangkutan akan menjadi kaku dan tidak dapat berkontraksi.
Oleh karena kadar glikogen yang terdapat pada setiap otot itu berbeda-beda, sehingga sewaktu terjadinya pemecahan glikogen
menjadi asam laktat dan energi pada saat terjadinya kematian somatic, dimana energi tersebut digunakan untuk resintesa ATP,
akan menyebabkan adanya perbedaan kadar ATP dalam setiap otot. Keadaan tersebut dapat menerangkan mengapa kaku
4
mayat akan mulai nampak pada jaringan otot yang jumlah serabut ototnya sedikit. Atas dasar itulah mengapa pada kematian
karena infeksi, konvulsi kelelahan fisik serta keadaan suhu keliling yang tinggi akan dapat mempercepat terbentuknya kaku
mayat, demikian pula pada mereka yang keadaan gizinya jelek akan lebih cepat terjadi kaku mayat bila dibandingkan dengan
korban yang mempunyai tubuh yang baik.
Secara biokimiawi saat relaksasi primer, pH protoplasma sel otot masih alkalis. Perubahan alkalis menjadi asam
terjadi 2-6 jam kemudian karena adanya perubahan biokimia, yaitu glikogen menjadi asam sarkolaktik / fosfor. Perubahan
protoplasma menjadi asam menyebabkan otot menjadi kaku (rigor). Relaksasi sekunder terjadi setelah ada perubahan
biokimia, yaitu asam berubah menjadi alkalis kembali saat terjadi pembusukan.
Kaku mayat akan terjadi pada seluruh otot (gambar II.4), baik otot lurik maupun otot polos. Dan bila terjadi pada otot
rangka, maka akan didapatkan suatu kekakuan yang mirip atau menyerupai papan sehingga dibutuhkan cukup tenaga untuk
dapat melawan kekakuan tersebut , bila hal ini terjadi otot dapat putus sehingga daerah tersebut tidak mungkin lagi terjadi
kaku mayat.
Kaku mayat mulai terdapat sekitar 2 jam post mortem dan mencapai puncaknya setelah 10-12 jam pos mortem, keadaan
ini akan menetap selama 24 jam dan setelah 24 jam kaku mayat mulai menghilang sesuai dengan urutan terjadinya, yaitu
dimulai dari otot-otot wajah, leher, lengan, dada, perut, dan tungkai.
Adanya kejanggalan dari postur pada mayat dimana kaku mayat telah terbentuk dengan posisi sewaktu mayat ditemukan,
dapat menjadi petunjuk bahwa pada tubuh korban telah dipindahkan setelah mati. Ini mungkin dimaksudkan untuk menutupi
sebab kematian atau cara kematian yang sebenarnya.
Faktor-Faktor yang mempengaruhi kaku mayat:
Kondisi otot
o Persediaan glikogen
Cepat lambat kaku mayat tergantung persediaan glikogen otot. Pada kondisi tubuh sehat sebelum meninggal, kaku
mayat akan lambat dan lama, juga pada orang yang sebelum mati banyak makan karbohidrat, maka kaku mayat akan
lambat
o Gizi
Pada mayat dengan kondisi gizi buruk, saat mati, kaku mayat akan cepat terjadi
o Kegiatan otot
Pada orang yang melakukan kegiatan otot sebelum meninggal, maka kaku mayat akan terjadi lebih cepat
Usia
o Pada orangtua dan anak-anak lebih cepat dan tidak berlangsung lama
o Pada bayi premature, tidak terjadi kaku mayat, kaku mayat terjadi pada bayi cukup bulan
Keadaan lingkungan
o Keadaan kering lebih lambat daripada panas dan lembab
o Pada mayat dalam air dingin, kaku mayat akan cepat terjadi dan berlangsung lama
o Pada udara suhu tinggi, kaku mayat terjadi lebih cepat dan singkat, tetapi pada suhu rendah kaku mayat lebih lambat
dan lama
o Kaku mayat tidak terjadi pada suhu dibawah 10° C, kekakuan yang teradi pembekuan atau cold stiffening
Cara kematian
o Pada mayat dengan penyakit kronis dan kurus, kaku mayat lebih cepat terjadi dan berlangsung tidak lama
o Pada mati mendadak, kaku mayat terjadi lebih lambat dan berlangsung lebih lama
Waktu terjadinya rigor mortis (kaku mayat)
Kurang dari 3 – 4 jam post mortem : belum terjadi rigor mortis
Lebih dari 3 – 4 jam post mortem : mulai terjadi rigor mortis
Rigor mortis maksimal terjadi 12 jam setelah kematian
5
Rigor mortis dipertahankan selama 12 jam
Rigor mortis menghilang 24 – 36 jam post mortem
Terdapat kekakuan pada pada mayat yang menyerupai kaku mayat :
Cadaveric spasme (instantaneous rigor), adalah bentuk kekakuan otot yang terjadi pada saat kematian dan menetap.
Cadaveric spasme sesungguhnya merupakan kaku mayat yang timbul dengan intensitas sangat kuat tanpa didahului oleh
relaksasi primer. Penyebabnya adalah akibat habisnya cadangan glikogen dan ATP yang bersifat setempat pada saat mati
klinis karena kelelahan atau emosi yang hebat sesaat sebelum meninggal.
Kepentingan medikolegalnya adalah menunjukkan sikap terakhir masa hidupnya. Misalnya, tangan yang menggenggam
erat benda yang diraihnya pada kasus tenggelam, tangan yang menggenggam pada kasus bunuh diri.
Heat stiffening, yaitu kekakuan otot akibat koagulasi protein otot oleh panas. Otot-otot berwarna merah muda, kaku, tepi
rapuh (mudah robek). Keadaan ini dapat dijumpai pada korban mati terbakar. Pada saat stiffening serabut-serabut ototnya
memendek sehingga menimbulkan fleksi leher, siku, paha, dan lutut, membentuk sikap petinju (pugilistic attitude).
Perubahan sikap ini tidak memberikan arti tertentu bagi sikap semasa hidup, intravitalitas, penyebab atau cara kematian.
Cold stiffening, yaitu kekakuan tubuh akibat lingkungan dingin (dibawah 3,5oC atau 40oF), sehingga terjadi pembekuan
cairan tubuh, termasuk cairan sendi, pemadatan jaringan lemak subkutan dan otot, bila cairan sendi yang membeku
menyebabkan sendi tidak dapat digerakan. Bila sendi di bengkokkan secara paksa maka akan terdengar suara es pecah.
Dan mayat yang kaku ini akan menjadi lemas kembali bila diletakkan ditempat yang hangat, kemudian rigor mortis akan
terjadi dalam waktu yang sangat singkat.
c. Pembusukan atau Decompositio
Pembusukan mayat nama lainnya dekomposisi dan putrefection. Pembusukan adalah proses degradasi jaringan pada tubuh
mayat yang terjadi sebagai akibat proses autolisis dan aktivitas mikroorganisme, terutama Clostridium welchii.
Autolisis adalah perlunakan dan pencairan jaringan yang terjadi dalam keadaan steril melalui proses kimia yang disebabkan oleh
enzim-enzim intraseluler, sehingga organ-organ yang kaya dengan enzim-enzim akan mengalami proses autolisis lebih cepat
daripada organ-organ yang tidak memiliki enzim, dengan demikian pankreas akan mengalami autolisis lebih cepat dari pada
jantung. Proses autolisis ini tidak dipengaruhi oleh mikroorganisme oleh karena itu pada mayat yang steril misalnya mayat bayi
dalam kandungan proses autolisis ini tetap terjadi. Proses auotolisis terjadi sebagai akibat dari pengaruh enzim yang dilepaskan
pasca mati. Mula-mula yang terkena adalah nukleoprotein yang terdapat pada kromatin dan sesudah itu sitoplasmanya,
kemudian dinding sel akan mengalami kehancuran sebagai akibatnya jaringan akan menjadi lunak dan mencair.
Pada mayat yang dibekukan pelepasan enzim akan terhambat oleh pengaruh suhu yang rendah maka proses autolisis ini akan
dihambat demikian juga pada suhu tinggi enzim-enzim yang terdapat pada sel akan mengalami kerusakan sehingga proses ini
akan terhambat.
Setelah seseorang meninggal, maka semua sistem pertahanan tubuh akan hilang, bakteri yang secara normal dihambat oleh
jaringan tubuh akan segera masuk ke jaringan tubuh melalui pembuluh darah, dimana darah merupakan media yang terbaik
bagi bakteri untuk berkembang biak. Bakteri ini menyebabkan hemolisa, pencairan bekuan darah yang terjadi sebelum dan
sesudah mati, pencairan trombus atau emboli, perusakan jaringan-jaringan dan pembentukan gas pembusukan. Bakteri yang
sering menyebabkan destruktif ini sebagian besar berasal dari usus dan yang paling utama adalah Cl. welchii. Bakteri ini
berkembang biak dengan cepat sekali menuju ke jaringan ikat dinding perut yang menyebabkan perubahan warna. Perubahan
warna ini terjadi oleh karena reaksi antara H2S (gas pembusukan yang terjadi dalam usus besar) dengan Hb menjadi Sulf-Meth-
Hb. Tanda pertama pembusukan baru dapat dilihat kira-kira 24 jam - 48 jam pasca mati berupa warna kehijauan pada dinding
abdomen bagian bawah, lebih sering pada fosa iliaka kanan dimana isinya lebih cair, mengandung lebih banyak bakteri dan
letaknya yang lebih superfisial. Perubahan warna ini secara bertahap akan meluas keseluruh dinding abdomen sampai ke dada
dan bau busukpun mulai tercium. Perubahan warna ini juga dapat dilihat pada permukaan organ dalam seperti hepar, dimana
hepar merupakan organ yang langsung kontak dengan kolon transversum. Pada saat Cl.welchii mulai tumbuh pada satu organ
parenchim, maka sitoplasma dari organ sel itu akan mengalami disintegrasi dan nukleusnya akan dirusak sehingga sel menjadi
lisis atau rhexis. Kemudian sel-sel menjadi lepas sehingga jaringan kehilangan strukturnya.
6
Bakteri ini kemudian masuk kedalam pembuluh darah dan berkembang biak didalamnya yang menyebabkan hemolisa yang
kemudian mewarnai dinding pembuluh darah dan jaringan sekitarnya. Bakteri ini memproduksi gas-gas pembusukan yang
mengisi pembuluh darah yang menyebabkan pelebaran pembuluh darah superfisial tanpa merusak dinding pembuluh darahnya
sehingga pembuluh darah beserta cabang-cabangnya tampak lebih jelas seperti pohon gundul (arborescent pattern atau
arborescent mark) yang sering disebut marbling. Bakteri pembusukan ini banyak terdapat dalam intestinal dan paru, maka
gambaran marbling ini jelas terlihat pada bahu,dada bagian atas, abdomen bagian bawah dan paha.
Secara mikroskopis bakteri dapat dilihat menggumpal pada rongga-rongga jaringan dimana bakteri tersebut banyak
memproduksi gelembung gas. Ukuran gelembung gas yang tadinya kecil dapat cepat membesar menyerupai honey combed
appearance. Lesi ini dapat dilihat pertama kali pada hati . Kemudian permukaan lapisan atas epidermis dapat dengan mudah
dilepaskan dengan jaringan yang ada dibawahnya dan ini disebut ‘skin slippage’. Skin slippage ini menyebabkan identifikasi
melalui sidik jari sulit dilakukan. Pembentukan gas yang terjadi antara epidermis dan dermis mengakibatkan timbulnya bula-bula
yang bening, fragil, yang dapat berisi cairan coklat kemerahan yang berbau busuk. Cairan ini kadang-kadang tidak mengisi
secara penuh di dalam bula. Bula dapat menjadi sedemikian besarnya menyerupai pendulum yang berukuran 5 – 7,5 cm dan
bila pecah meninggalkan daerah yang berminyak, berkilat dan berwarna kemerahan, ini disebabkan oleh karena pecahnya sel-
sel lemak subkutan sehingga cairan lemak keluar ke lapisan dermis oleh karena tekanan gas pembusukan dari dalam. Selain itu
epitel kulit, kuku, rambut kepala, aksila dan pubis mudah dicabut dan dilepaskan oleh karena adanya desintegrasi pada akar
rambut.
Selama terjadi pembentukan gas-gas pembusukan, gelembung-gelembung udara mengisi hampir seluruh jaringan subkutan. Gas
yang terdapat di dalam jaringan dinding tubuh akan menyebabkan terabanya krepitasi udara. Gas ini menyebabkan
pembengkakan tubuh yang menyeluruh, dan tubuh berada dalam sikap pugilistic attitude.
Scrotum dan penis dapat membesar dan membengkak, leher dan muka dapat menggembung, bibir menonjol seperti “ frog-like-
fashion”, Kedua bola mata keluar, lidah terjulur diantara dua gigi, ini menyebabkan mayat sulit dikenali kembali oleh
keluarganya. Pembengkakan yang terjadi pada seluruh tubuh mengakibatkan berat badan mayat yang tadinya 57 - 63 kg
sebelum mati menjadi 95 - 114 kg sesudah mati.
Tekanan yang meningkat didalam rongga dada oleh karena gas pembusukan yang terjadi didalam cavum abdominal
menyebabkan pengeluaran udara dan cairan pembusukan yang berasal dari trakea dan bronkus terdorong keluar, bersama-
sama dengan cairan darah yang keluar melalui mulut dan hidung. Cairan pembusukan dapat ditemukan di dalam rongga dada,
ini harus dibedakan dengan hematotorak dan biasanya cairan pembusukan ini tidak lebih dari 200 cc.
Pengeluaran urine dan feses dapat terjadi oleh karena tekanan intra abdominal yang meningkat. Pada wanita uterus dapat
menjadi prolaps dan fetus dapat lahir dari uterus yang pregnan. Pada anak-anak adanya gas pembusukan dalam tengkorak dan
otak menyebabkan sutura-sutura kepala menjadi mudah terlepas.
Organ-organ dalam mempunyai kecepatan pembusukan yang berbeda-beda. Jaringan intestinal,medula adrenal dan pancreas
akan mengalami autolisis dalam beberapa jam setelah kematian. Organ-organ dalam lain seperti hati, ginjal dan limpa
merupakan organ yang cepat mengalami pembusukan. Perubahan warna pada dinding lambung terutama di fundus dapat
dilihat dalam 24 jam pertama setelah kematian. Difusi cairan dari kandung empedu kejaringan sekitarnya menyebabkan
perubahan warna pada jaringan sekitarnya menjadi coklat kehijauan. Pada hati dapat dilihat gambaran honey combs
appearance, limpa menjadi sangat lunak dan mudah robek, dan otak menjadi lunak.
Pembusukan lanjut dari organ dalam ini adalah pembentukan granula-granula milliary atau ‘milliary plaques’ yang berukuran
kecil dengan diameter 1-3 mm yang terdapat pada permukaan serosa yang terletak pada endotelial dari tubuh seperti pleura,
peritoneum, pericardium dan endocardium.
Golongan organ berdasarkan kecepatan pembusukannya, yaitu:
Early: organ dalam yang cepat membusuk antara lain jaringan intestinal, medula adrenal, pankreas, otak, lien, usus, uterus
gravid, uterus post partum, dan darah
Moderate: organ dalam yang lambat membusuk antara lain paru-paru, jantung, ginjal, diafragma, lambung, otot polos dan
otot lurik
7
Late: uterus non gravid dan prostat merupakan organ yang lebih tahan terhadap pembusukan karena memiliki struktur
yang berbeda dengan jaringan yang lain yaitu jaringan fibrosa
Pada orang yang mengalami obesitas, lemak-lemak tubuh terutama perirenal, omentum dan mesenterium dapat mencair
menjadi cairan kuning yang transluscent yang mengisi rongga badan diantara organ yang dapat menyebabkan autopsi lebih sulit
dilakukan.
Disamping bakteri pembusukan insekta juga memegang peranan penting dalam proses pembusukan sesudah mati. Beberapa
jam setelah kematian lalat akan hinggap di badan dan meletakkan telur-telurnya pada lubang-lubang mata, hidung, mulut dan
telinga. Biasanya jarang pada daerah genitoanal. Bila ada luka ditubuh mayat lalat lebih sering meletakkan telur-telurnya pada
luka tersebut, sehingga bila ada telur atau larva lalat didaerah genitoanal ini maka dapat dicurigai adanya kekerasan seksual
sebelum kematian. Telur-telur lalat ini akan berubah menjadi larva dalam waktu 24 jam. Larva ini mengeluarkan enzim
proteolitik yang dapat mempercepat penghancuran jaringan pada tubuh. Larva lalat dapat kita temukan pada mayat kira-kira
36-48 jam pasca kematian. Berguna untuk memperkirakan saat kematian dan penyebab kematian karena keracunan. Saat
kematian dapat kita perkirakan dengan cara mengukur panjang larva lalat. Penyebab kematian karena racun dapat kita ketahui
dengan cara mengidentifikasi racun dalam larva lalat.
Insekta tidak hanya penting dalam proses pembusukan tetapi meraka juga memberi informasi penting yang berhubungan
dengan kematian. Insekta dapat dipergunakan untuk memperkirakan saat kematian, memberi petunjuk bahwa tubuh mayat
telah dipindahkan dari satu lokasi ke lokasi lainnya, memberi tanda pada badan bagian mana yang mengalami trauma, dan
dapat dipergunakan dalam pemeriksaan toksikologi bila jaringan untuk specimen standart juga sudah mengalami
pembusukan.
Aktifitas pembusukan sangat optimal pada temperatur berkisar antara 70°-100°F (21,1-37,8°C) aktifitas ini dihambat bila suhu
berada dibawah 50°F(10°C) atau pada suhu diatas 100°F (lebih dari 37,8°C). Bila mayat diletakkan pada suhu hangat dan lembab
maka proses pembusukan akan berlangsung lebih cepat. Sebaliknya bila mayat diletakkan pada suhu dingin maka proses
pembusukan akan berlangsung lebih lambat. Pada mayat yang gemuk proses pembusukan berlangsung lebih cepat dari pada
mayat yang kurus. Pembusukan berlangsung lebih cepat karena kelebihan lemak akan menghambat hilangnya panas tubuh dan
pada mayat yang gemuk memiliki darah yang lebih banyak, yang merupakan media yang baik untuk perkembangbiakkan
organisme pembusukan.
Pada bayi yang baru lahir hilangnya panas tubuh yang cepat menghambat pertumbuhan bakteri disamping pada tubuh bayi
yang baru lahir memang terdapat sedikit bakteri sehingga proses pembusukan berlangsung lebih lambat. Proses pembusukan
juga dapat dipercepat dengan adanya septikemia yang terjadi sebelum kematian seperti peritonitis fekalis, aborsi septik, dan
infeksi paru. Disini gas pembusukan dapat terjadi walaupun kulit masih terasa hangat.
8
Pembusukan dipengaruhi oleh beberapa faktor interinsik diatas, selain itu juga dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik antara lain
kelembaban udara dan medium di mana mayat berada. Semakin lembab udara di sekeliling mayat maka pembusukan lebih
cepat berlangsung, sedangkan pembusukan pada medium udara lebih cepat dibandingkan medium air dan pembusukan pada
medium air lebih cepat dibandingkan pada medium tanah.
Pada keadaan tertentu tanda-tanda pembusukan tersebut tidak dijumpai, namun yang ditemui adalah modifikasi
pembusukan. Jenis-jenis modifikasi pembusukan antara lain:
Mumifikasi
Mumifikasi dapat terjadi karena proses dehidrasi jaringan yang cukup cepat sehingga terjadi pengeringan
jaringan yang selanjutnya dapat menghentikan pembusukan. Proses mumufikasi terjadi bila keadaan
disekitar mayat kering, kelembaban rendah, suhunya tinggi dan tidak ada kontaminasi dengan bakteri.
Terjadinya beberapa bulan sesudah mati dengan tanda-tanda sebagai berikut mayat menjadi kecil, kering,
mengkerut atau melisut, warna coklat kehitaman, kulit melekat erat dengan tulang di bawahnya, tidak
berbau, dan keadaan anatominya masih utuh.
Saponifikasi
Saponifikasi dapat terjadi pada mayat yang berada di dalamsuasana hangat, lembab atau basah. Terjadi
karena proses hidrolisis dari lemak menjadi asam lemak. Selanjutnya asam lemak yang tak jenuh akan
mengalami dehidrogenisasi menjadi asam lemak jenuh dan kemudian bereaksi dengan alkali menjadi sabun
yang tak larut. Terbentuk pertama kali pada lemak superfisial bentuk bercak, di pipi, di payudara, bokong
bagian tubuh atau ekstremitas. Terjadinya saponikasi memerlukan waktu beberapa bulan dan dapat terjadi
pada setiap jaringan tubuh yang berlemak dengan tanda-tanda berwarna keputihan dan berbau tengik
seperti minyak kelapa.
d. Penurunan suhu tubuh mayat / algor mortis
Pada saat sel masih hidup ia akan selalu menghasilkan kalor dan energi. Kalor dan energi ini terbentuk melalui
proses pembakaran sumber energi seperti glukosa, lemak, dan protein. Sumber energi utama yang digunakan
adalah glukosa. Satu molekul glukosa dapat menghasilkan energi sebanyak 36 ATP yang nantinya digunakan
sebagai sumber energi dalam berbagai hal seperti transport ion, kontraksi otot dan lain-lain. Energi sebanyak 36
ATP hanya menyusun sekitar 38% dari total energi yang dihasilkan dari satu molekul glukosa (gambar II.1).
Sisanya sebesar 62% energi yang dihasilkan inilah yang dilepaskan sebagai kalor atau panas.
Sesudah mati, metabolisme yang menghasilkan panas akan terhenti sehingga suhu tubuh akan turun menuju
suhu udara atau medium di sekitarnya. Penurunan ini disebabkan oleh adanya proses radiasi, konduksi, dan
pancaran panas. Proses penurunan suhu pada mayat ini biasa disebut algor mortis. Algor mortis merupakan
salah satu perubahan yang dapat kita temukan pada mayat yang sudah berada pada fase lanjut post mortem.
Pada beberapa jam pertama, penurunan suhu terjadi sangat lambat dengan bentuk sigmoid. Hal ini disebabkan
ada 2 faktor, yaitu:
Masih adanya sisa metabolisme dalam tubuh mayat, yakni karena masih adanya proses glikogenolisis dari
cadangan glikogen yang disimpan di otot dan hepar
Perbedaan koefisien hantar sehingga butuh waktu mencapai tangga suhu
9
Pada jam-jam pertama penurunannya sangat lambat tetapi sesudah itu penurunan menjadi lebih cepat dan pada
akhirnya menjadi lebih lambat kembali. Jika dirata-rata maka penurunan suhu tersebut antara 0,9 sampai 1
derajat celcius atau sekitar 1,5 derajat Fahrenheit setiap jam, dengan catatan penurunan suhu dimulai dari 37
derajat Celcius atau 98,4 derajat Fahrenheit sehingga dengan dapat dirumuskan cara untuk memperkirakan
berapa jam mayat telah mati dengan rumus (98,4oF - suhu rectal oF) : 1,5oF. Pengukuran dilakukan per rectal
dengan menggunakan thermometer kimia (long chemical thermometer).
Terdapat dua hal yang mempengaruhi cepatnya penurunan suhu mayat ini yakni:
Faktor internal
o Suhu tubuh saat mati
Sebab kematian, misalnya perdarahan otak dan septikemia, mati dengan suhu tubuh tinggi. Suhu
tubuh yang tinggi pada saat mati ini akan mengakibatkan penurunan suhu tubuh menjadi lebih cepat.
Sedangkan, pada hypothermia tingkat penurunannya menjadi sebaliknya.
o Keadaan tubuh mayat
Konstitusi tubuh pada anak dan orang tua makin mempercepat penurunan suhu tubuh mayat. Pada
mayat yang tubuhnya kurus, tingkat penurunannya menjadi lebih cepat.
Faktor eksternal
o Suhu medium
Semakin besar selisih suhu antara medium dengan mayat maka semakin cepat terjadinya penurunan
suhu. Hal ini dikarenakan kalor yang ada di tubuh mayat dilepaskan lebih cepat ke medium yang lebih
dingin.
o Keadaan udara di sekitarnya
Pada udara yang lembab, tingkat penurunan suhu menjadi lebih besar. Hal ini disebabkan karena udara
yang lembab merupakan konduktor yang baik. Selain itu, Aliran udara juga makin mempercepat
penurunan suhu tubuh mayat
o Jenis medium
Pada medium air, tingkat penurunan suhu menjadi lebih cepat sebab air merupakan konduktor panas
yang baik sehingga mampu menyerap banyak panas dari tubuh mayat.
o Pakaian mayat
Semakin tipis pakaian yang dipakai maka penurunan suhu mayat semakin cepat. Hal ini dikarenakan
kontak antara tubuh mayat dengan suhu medium atau lingkungan lebih mudah.
Tahap Dekomposisi
Peristiwa dekomposisi melibatkan berbagai aspek selain faktor biotik, yakni faktor abiotik yang meliputi
parameter fisik seperti temperatur, kelembaban, dan lain-lain. Menurut Gennard (2007) dan Goff (2003),
tahapan dekomposisi terdiri dari lima tahap antara lain:
Tahap1: fresh stage, tahapan dimulai pada saat kematian dan ditandai adanya tanda penggelembungan pada
tubuh. Serangga yang pertama kali datang adalah lalat dari famili Calliphoridae dan Sarcophagidae. Lalat betina
akan meletakkan telurnya di daerah yang terbuka seperti daerah kepala (mata, hidung, mulut, dan telinga).
10
Tahap 2: bloated stage, merupakan tahapan pembusukan yang sedang dimulai. Gas yang dihasilkan oleh
aktivitas metabolisme bakteri anaerob menyebabkan penggelembungan pada pada perut mayat. Selanjutnya
suhu internal naik selama tahapan ini sebagai akibat dari aktivitas bakteri pembusuk dan aktivitas metabolime
dari larva lalat. Lalat dari famili Calliphoridae sangat tertarik pada mayat selama tahapan ini. Kemudian selama
mengembang akibat adanya gas, cairan dalam tubuh terdorong keluar dari lubang-lubang tubuh dan meresap ke
dalam tanah. Cairan tersebut tersusun oleh senyawa seperti amonia yang dihasilkan oleh aktivitas metabolisme
dari larva lalat sehingga akan menyebabkan tanah di bawah mayat itu untuk menjadi alkali (basa) dan fauna
tanah menjadi tertarik untuk menuju ke mayat.
Tahap 3: decay stage, tahapan ini ditandai adanya kerusakan kulit dan mengakibatkan gas keluar dari tubuh.
Larva lalat membentuk gerombolan yang besar pada mayat. Meskipun beberapa serangga predator, seperti
kumbang, tawon, dan semut, pada tahap bloated stage, serangga necrophagous dan predator dapat diamati
dalam jumlah besar menjelang tahapan ini berakhir. Pada akhir tahap ini, lalat dari famili Calliphoridae dan
Sarcophagidae telah menyelesaikan perkembangan siklusnya dan meninggalkan mayat untuk menjadi pupa.
Pada akhir tahap ini, larva lalat akan menghilang dari jaringan tubuh pada mayat.
Tahap 4: postdecay stage, pada tahap ini sisa-sisa tubuh seperti kulit, kartilago dan usus sudah mengalami
pembusukan. Selanjutnya sisa jaringan tubuh yang masih ada akan mengering. Indikator pada tahap ini adalah
hadirnya kumbang dan berkurangnya dominansi lalat di dalam tubuh mayat.
Tahap 5: skeletal stage, pada tahap ini hanya tersisa tulang belulang dan rambut. Tahapan ini tidak jelas
serangga apa saja yang hadir. Pada kasus tertentu, kumbang dari famili Nitidulidae terkadang ditemukan. Tubuh
mayat sudah mengalami akhir dari dekomposisi.
Estimasi Waktu Kematian
Ahli entomologi forensik sering memeriksa bukti serangga pada mayat manusia dan menetukan berapa lama
serangga tersebut berada di mayat. Periode waktu tersebut di interpretasikan dalam postmortem interval (PMI)
atau waktu sejak kematian. Analsis PMI terbagi menjadi dua, yakni precolonization interval (pre-CI) dan
postcolonization interval (post-CI). Adapun penjelasan masing-masing interval tertera pada Gambar 4
(Tomberlin et al., 2011).
Gambar 2. Fase entomologikal pada proses dekomposisi vertebrata (Tomberlin et al., 2011).
11
Untuk mengukur waktu kematian dapat digunakan suhu yang dibutuhkan oleh serangga untuk hidup. Serangga
merupakan hewan poikilotermik atau hewan yang suhu tubuh dan aktivitas metabolismenya dipengaruhi oleh
lingkungan. Serangga menggunakan energi panas (thermal unit) untuk pertumbuhan dan perkembangnya.
Sehingga kebutuhan energi selama masa hidupnya dapat dikalkulasi. Thermal unit disebut juga hari derajat
(degree days – °D ) yang mana nilai °D dapat ditambahkan bersamaan yang akan menghasilkan nilai
accumulated degree days (ADD). Jika periode thermal unit pendek maka bisa digunakan accumulated degree
hours (ADH). Dari peristiwa tersebut, maka waktu kematian dpat dihitung dengan menggunakan rumus:
Tanda-tanda yang ditemukan pada lokasi
Merupakan metode terakhir yang digunakan untuk menentukan waktu kematian. Tidak spesifik tetapi cukup
akurat.
Tanda tanda yang ditemukan pada lokasi meliputi:
Surat dan Koran yang tak tersusun
Apakah lampu menyala atau tidak
Pada jam dan tanggal berapa jadwal tv terbuka
Bagaimana cara orang itu berpakaian
Makanan apa yang keluar atau mengotori piring dan temapt mencuci piring
ADH = Waktu (hours) x (temperatur – temperatur basal)
ADD = Waktu (days) x (temperatur - temperatur basal)
12
Kwitansi penjualan dan tanggal yang terdapat pada kertas di dompet korban
Kapan terakhir tetangga melihatnya
2. Identifikasi kasus pembunuhan
Dalam pelayanan identifikasi forensik berbagai macam pemeriksaan dapat digunakan sebagai sarana identifikasi. Berdasarkan penyelenggaraan penanganan pemeriksaannya, maka sarana-sarana identifikasi dapat dikelompokkan:
1. Sarana identifikasi konvensional, yaitu berbagai macam pemeriksaan identifikasi yang biasanya sudah dapat diselenggarakan penanganannya oleh pihak polisi penyidik antara lain:
a. Pemeriksaan secara visual dan fotografi mengenali ciri-ciri muka atau sinyalemen tubuh lainnyab. Pemeriksaan benda-benda milik pribadi seperti: pakaian, perhiasan, sepatu dan sebagainyac. Pemeriksaan kartu-kart pengenal seperti KTP,SIM, Karpeg, kartu mahasiswa dan sebagainya, surat-surat seperti surat
tugas/ jalan atau dokumen-dokumen dsbd. Pemeriksaan sidik jari dan lain-lain.
2. Sarana identifikasi medis, yaitu berbagai macam pemeriksaan identifikasi yang diselenggarakan penanganannya oleh pihak medis, yaitu apabila pihak polisi penyidik tidak dapat menggunakan sarana identidikasi konvensional atau kurang memperoleh hasil identifikasi yang meyakinkan, antara lain:
a. Pemeriksaan ciri-ciri tubuh yang spesifik maupun yang non-spesifik secara medis melalui pemeriksaan luar dan dalam pada waktu otopsi. Beberpa ciri yang spesifik, misalnya cacat bibir sumbing atau celah palatum, bekas luka ata operasi luar (sikatrik atau keloid), hiperpigmentasi daerah kulit tertentu (toh), tahi lalat, tato, bekas fraktur atau adanya pin pada bekas operasi tulang atau juga hilangnya bagian tubuh tertentu dan lain-lain. Bebera[a contoh ciri non-spesifik antaralain misalnya tinggi badan, jenis kelamin, warna kulit, warna serta bentuk rambut dan mata, bentuk-bentuk hidung, bibir dan sebagainya.
b. Pemeriksaan ciri-ciri gigi melalui pemeriksaan odontologis.c. Pemeriksaan ciri-ciri badan atau rangka melalui pemeriksaan antropologis, antroposkopi dan antropometrid. Pemeriksaan golongan darah berbagai sistem: ABO, Rhesus, MN, Keel, Duffy, HLA dan sebagainya.e. Pemeriksaan ciri-ciri biologi molekuler sidik DNA dan lain-lain.
Kemudian yang dimaksud dengan identifikasi forensik adalah usaha untuk mengetahui identitas seseorang yang ditujukan untuk kepentingan forensik, yaitu kepentingan untuk proses peradilan. Identifikasi forensik mempunyai arti yang besar, khususnya untuk membantu penyidik dalam usahanya untuk membuktikan bahwa seseorang adalah korban atau pelaku suatu tindak pidana yang telah terjadi. Beberapa contoh kasus yang memerlukan penanganan identifikasi forensik adalah sebagai berikut:1. Kasus-kasus forensik kriminal atau pidana:
a. Kasus-kasus ditemukannya jenasah atau rangka tidak dikenal yang diduga sebagai korban pembunuhanb. Kasus-kasus penggalian jenasah atau rangka forensik tertentu yang memerlukan pembuktian identitasnya.
Contoh:(1) Penggalian jenasah “Kasus TKI Atik” yang dikirim pulang kembali dari Singapura ke Yogyakarta dalam keadaan sudah meninggal dengan keterangan dari yang berwenang di Singapura karena bunuh diri. Setelah dimakamkan ternyata pihak keluarganya masih belum dapat menerima mengenai keterangan sebab-sebab dan cara kematian tersebut.(2) Penggalian rangka pada penyidikan ulang kasus Marsinah.
c. Kasus-kasus pembunuhan bayi (infantisid), untuk mengetahui:(1) Siapa orang tua bayi(2) Berapa umur bayi, berkenan dengan penetapan berat ringannya sanksi dalam kasus abortus kriminalis, seperti yang diatur dalam KUHP pasal-pasal 306, 308, 342 dan 349. Umur bayi dalam bulan dapat diperkirakan berdasarkan ukuran panjang badan menurut Haase (puncak kepala-tumit) atau menurut Streeter (puncak kepala-tulang ekor). Untuk mengetahui apakah bayi lahir hidup atau mati dapat diektahui melalui tes apung paru-paru atau dapat juga melalui pemeriksaan histologis garis-garis neonatal gigi. Mengenai garis-garis neonatal ini, disebutkan bahwa proses mneralisasi pada gigi berlangsung kontinyu dan ritmis, fase aktif dan istirahat silih berganti dalam keseimbangan yang halus dan peka. Ritme perkembangan ini berpola, terlihat sebagai garis-garis sejajar disebut garis-garis pertumbuhan (incremental lines) “Retzius” dalam email dan “Owen” dalam dentin. Pada gigi geligi yang proses kalsifikasinya mulai prenatal, yaitu gigi-gigi susu dan geraham tetap pertama, disebutkan tampak dalam penampang mikroskopis ada garis-garis pertumbuhan yang menyimpang polanya dan bentuknya lain. Hal ini disebabkan karena goncangan dan perubahan dalam metabolisme mineral pada saat lahir, karena pengaruh makanan dan perubahan lingkungan.
13
Sejumlah garis pertumbuhan yang menunjukkan aksentuasi sesaat lahir, dinamakan garis-garis neonatal.
2. Kasus-kasus forensik perdata:Kasus-kasus paternitas:a. Klamasi seorang ibu terhadap laki-laki sebagai ayah biologis anaknya pada kasus-kasus perkosaan, hubungan gelap atau kumpul kebo dan sebagainya.b. Kasus-kasus seperti “perebutan bayi Dewi dan Cipluk”, “bayi X” di Klaten dan sebagainya.
Di samping kasus-kasus forensik, terdapat pula kasus-kasus non-forensik yang juga memerlukan penanganan identifikasi untuk keperluan-keperluan kemanusiaan seperti: repatriasi, asuransi, santunan, sertifikat kematian, ahli waris, sosial lainnya dan bahkan budaya. Beberapa contoh kasus misalnya:1. Kasus-kasus ditemukannya jenasah orang gelandangan atau rangka tidak dikenal yang tidak didapati adanya tanda-tanda kecurigaan sebagai korban pembunuhan.2. Kasus-kasus repatriasi:a. Pengembalian ke negara asal dan distribusi kepada masing-masing keluarganya atas rangka jenasah korban
Vietnam, Korea dan sebagainyab. Musibah jemaah haji di Mina atau kecelakaan pesawat terbang jemaah haji Indonesia di Colombo tahun 1974
bila diperlukan repatriasi3. Kasus-kasus kecelakaan pesawat terbang dan musibah massal yang lain:a. Kecelakaan pesawat terbang ABRI di Condetb. Musibah kebakaran tempat hiburan diskotik di Manilac. Musibah kecelakaan dan kebakaran bis Kramat Jati di jalan tol Jakartad. Musibah kebakaran pasar dan toko Robinson di Bogore. Tragedi musibah gedung WTC oleh teroris di Amerika Serikat4. Penggalian antropologis dan arkeologis rangka non-forensik untuk kepentingan suatu penelitian rekonstruksi sejarah manusia dan budayanya.
Bagaimana cara melakukan identifikasi? Dikenal ada dua metode melakukan identifikasi yaitu secara membandingkan dan secara rekonstruksi.
Yang dimaksud dengan identifikasi membandingkan data adalah identifikasi yang dilakukan dengan cara membandingkan antara data ciri hasil pemeriksaan hasil orang tak dikenal dengan data ciri orang yang hilang yang diperkirakan yang pernah dibuat sebelumnya. Pada penerapan penanganan identifikasi kasus korban jenasah tidak dikenal, maka kedua data ciri yang dibandingkan tersebut adalah data post mortem dan data ante mortem. Data ante mortem yang baik adalah berupa medical record dan dental record. Identifikasi dengan cara membandingkan data ini berpeluang menentukan identitas sampai pada tingkat individual, yaitu dapat menunjuka siapa jenasah yang tidak dikenal tersebut. Hal ini karena pada identidikasi dengan cara membandingkan data, hasilnya hanya ada dua alternatif: identifikasi positif atau negatif. Identifikasi positif, yaitu apabila kedua data yang dibandingkan adalah sama, sehingga dapat disimpulkan bahwa jenasah yang tidak dikenali itu adalah sama dengan orang yang hilang yang diperkirakan. Identifikasi negatif yaitu apabila data yang dibandingkan tidak sama, sehingga dengan demikian belum dapat ditentukan siapa jenasah tak dienal tersebut. Untuk itu masih harus dicarikan data pembanding ante mortem dari orang hilang lain yang diperkirakan lagi. Untuk dapat melakukan identifikasi dengan cara membandingkan data, diperlukan syarat yang tidak mudah, yaitu harus tersedianya data ante mortem berupa medical atau dental record yang lengkap dan akurat serta up-to-date, memenuhi kriteria untuk dapat dibandingkan dengan data post mortemnya. Apabila tidak dapat dipenuhi syarat tersebut, maka identifikasi dengan cara membandingkan tidak dapat diterapkan.
Apabila identifikasi dengan cara membandingkan data tidak dapat diterapkan, bukan berarti kita tidak dapat mengidentifikasi. Apabila demikian halnya, kita masih dapat mencoba mengidentifikasi dengan cara merekonstruksi data hasil pemeriksaan post-mortem ke dalam perkiraan-perkiraan mengenai jenis kelamin, umur, ras, tinggi dan bentuk serta ciri-ciri spesifik badan.Sebagai contoh:1. Dengan mengamati lebar-sempitnya tulang panggul terhadap kriteria dan ukuran laki-laki dan perempuan, dapat diperkirakan jenis kelaminnya.2. Dengan mengamai interdigitasi dutura-sutura tengkorak dan pola waktu erupsi gigi, dapat diperkirakan umurnya. Pada kasus infantisid dengan mengukur tinggi badan (kepala-tumit atau kepala-tulang ekor) dapat diperkirakan umur bayi dalam bulan.3. Dengan formula matematis, dapat diperhitungkan perkiraan tinggi badan individu dari ukuran barang bukti tulang-
14
tulang panjangnya.4. Dengan perhitungan indeks-indeks dan modulus kefalometri atau kraniometri, dapat diperhitungkan perkiraan ras dan bentuk muka individu.5. Dengan ciri-ciri yang spesifik, dapat menuntun kepada siapa individu yang memilikinya.
Meskipun identifikasi cara rekonstruksi ini tidak sampai menghasilkan dapat menentukan identitas sampai pada tingkat individual, namun demikian perkiraan-perkiraan identitas yang dihasilkan dapat mempersempit dan memberikan arah penyidikan.
Terhadap pola permasalahan kasusnya, dikenal ada tiga macam sistem identifikasi, yaitu sistem terbuka, tertutup dan semi terbuka atau semi tertutup.
Identifikasi sistem terbuka adalah identifikasi pada kasus yang terbuka kepada siapapun dimaksudkan sebagai si korban tidak dikenal. Pola permasalahan kasusnya biasany: kriminal, korban tunggal, sulit diperoleh data ante-mortem, identifikasinya biasanya dilakukan dengan cara rekonstruksi, contoh: identifikasi korban pembunuhan tidak dikenal.
Identifikasi sistem tertutup adalah identifikasi pada kasus yang jumlah dan daftar korban tak dikenalnya sudah diketahui. Pola permasalahan kasus biasanya: non-kriminal, korban massal, dimungkinkan diperoleh data ante mortem, identifikasi dapat dilakukan dengan cara membandingkan data, contoh: identifikasi korban kecelakaan pesawat terbang menabrak gunung.
Identifikasi sistem semi terbuka atau semi tertutup adalah identifikasi pada suatu kasus yang sebagian korban tidak dikenalnya sudah diketahui dan sebagian lainnya belum diketahui sama sekali atau belum diektahui tetapi sudah tertentu, contoh: identifikasi korban kecelakaan pesawat terbang di Malioboro (semi terbuka) atau di suatu perumahan (semi tertutup).
3. Pandangan islam tentang pembunuhan
1) Pembunuhan sengaja (qatl al- amd)
Yaitu menyengaja suatu pembunuhan karena adanya
permusuhan terhadap orang lain dengan menggunakan alat yang pada umumnya mematikan, melukai, atau benda-benda yang
berat, secara langsung atau tidak langsung (sebagai akibat dari suatu perbuatan), seperti menggunakan besi, pedang, kayu
15
besar, suntikan pada organ tubuh yang vital maupun tidak vital (paha dan pantat) yang jika terkena jarum menjadi bengkak
dan sakit terus menerus sampai mati, atau dengan memotong jari-jari seseorang sehingga menjadi luka dan membawa pada
kematian. Atau perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan untuk menghilangkan nyawa seseorang dengan
menggunakan alat yang dipandang layak untuk membunuh. Jadi matinya korban merupakan bagian yang dikehendaki si
pembuat jarimah.
Al-Qur‟an dan As-Sunnah mengharamkan pembunuhan sengaja ini secara tegas dan termasuk perbuatan haram sebagaimana
Allah berfirman dalam al-Qur‟an :
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.”
Adapun unsur-unsur dalam pembunuhan sengaja yaitu :a) Korban adalah orang yang hidup.b) Perbuatan si pelaku yang mengakibatkan kematian korban.c) Ada niat bagi si pelaku untuk menghilangkan nyawa korban.
Dan unsur yang terpenting diantara ketiganya ialah pada unsur yang ketiga, yaitu adanya niat si pelaku. Hal ini sangat penting
karena niat pelaku itu merupakan syarat utama dalampembunuhan sengaja. Dan masalah tersebut menjadi perbincangan para
ulama karena niat itu terletak dalam hati, sehingga tidak dapat diketahui. Dengan demikian akan ada kesulitan dalam
membuktikan bahwa seseorang melakukan pembunuhan itu apakah dengan sengaja atau tidak. Oleh karena itu para fuqaha
mencoba mengatasi kesulitan ini dengan cara melihat alat yang digunakan dalam pembunuhan itu.
Sedangkan menurut as-Sayyid Sabiq, yang dimaksud pembunuhan sengaja adalahpembunuhan yang dilakukan oleh
seseorang mukallaf kepada orang lain yang darahnya terlindungi, dengan memakai alat yang pada umumnya dapat
menyebabkan mati. Sedangkan menurut Abdul Qodir Audah, pembunuhan sengaja adalah perbuatan menghilangkan nyawa
orang lain yang disertai dengan niat membunuh, artinya bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai pembunuh jika orang itu
mempunyai kesempurnaan untuk melakukan pembunuhan. Jika seseorang tidak
bermaksud membunuh, semata-mata hanya menyengaja menyiksa, maka tidak dinamakan dengan pembunuhan sengaja,
walaupun pada akhirnya orang itu mati. Hal ini sama dengan pukulan yang menyebabkan mati (masuk dalam katagori syibh
amd).
Menurut Imam syafi‟i dan pendapat yang kuat dikalangan mazhab Hambali, dianggap sebagai pembunuhan sengaja, selama ia
dengan sengaja mengadakan perbuatannya danmenghendaki pila hilangnya nyawa si korban.
2) Pembunuhan menyerupai sengaja (qatl syibh al-amd)
Yaitu menyengaja suatu perbuatan aniaya terhadap orang lain, dengan alat yang pada umumnya tidak mematikan, seperti
memukul dengan batu kecil, tangan, pensil, atau tongkat yang ringan, dan antara pukulan yang satu dengan yang lainnya tidak
saling membantu,pukulannya bukan pada tempat yang vital (mematikan), yang dipukul bukan anak kecil atau orang yang
lemah, cuacanya tidak terlalu panas/dingin yang dapat mempercepat kematian, sakitnya tidak berat dan menahun sehingga
membawa pada kematian, jika tidak terjadi kematian, maka tidak dinamakan qatl al-„amd, karena umumnya keadaan seperti
itu dapat mematikan. Atau perbuatan yang sengaja dilakukan oleh seseorang kepada orang lain dengan tujuan mendidik,
16
misalnya: seorang guru memukulkan penggaris kepada kaki seorang muridnya, tiba-tiba murid yang dipukul meninggal, maka
perbuatan tersebut dinamakan syibhu al amdi.
Dalam pembunuhan semi sengaja ini, ada 2 (dua) unsur yang berlainan, yaitu kesengajaandi satu sisi dan kesalahan disisi
lain. Perbuatan si pelaku untuk memukul si korban adalah disengaja, namun akibat yang dihasilkan dari perbuatan tersebut
sama sekali tidak diinginkan pelaku.
Menurut Prof. H.A. Jazuli, ada 3 (tiga) dalam pembunuhan semi sengaja, yaitu ;
a. Pelaku melakukan suatu perbuatan yang mengakibatkan kematian.
b. Ada maksud penganiayaan atau permusuhan.
c. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan pelaku dengan kematian korban.
3) Pembunuhan kesalahan (qatl al-khata‟)
Yaitu pembunuhan yang terjadi dengan tanpa adanya maksud penganiayaan, baik dilihat dari perbuatan maupun orangnya.
Misalnya seseorang melempari pohon atau binatang tetapi mengenai manusia (orang lain), kemudian mati. Menurut Sayid
Sabiq, pembunuhantidak sengaja adalah ketidaksengajaan dalam kedua unsur, yaitu perbuatan dan akibat yang
ditimbulkannya, dalam pembunuhan tidak sengaja, perbuatan tersebut tidak diniati dan akibat yang terjadipun sama sekali
tidak dikehendaki.
Adapun unsur-unsur pembunuhan tidak sengaja yaitu ;
a) Adanya perbuatan yang menyebabkan kematian
b) Terjadinya perbuatan itu karena kesalahan
c) Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan kesalahan dengan kematian korban.
Dengan adanya pembunuhan, berarti ia telah melakukan pelanggaran tindak pidana, dan apabila seseorang melakukan
tindak pidana, maka ia akan menerima konsekuensi (akibat) logis atas perbuatannya. Dalam
mengartikan pembunuhan, macam-macam pembunuhandan lain-lainnya, para ulama banyak yang berselisih pendapat.
Adapun macam-macampembunuhan menurut Ibnu Hazm dan Imam Maliki itu hanya terbagi kedalam dua macam
yaitu, pembunuhan sengaja (Qatl 'Amd), yaitu suatu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang dengan maksud untuk
menghilangkan nyawanya, dan pembunuhan tidak sengaja (Qatl al-Khata'), yaitu pembunuhan yang dilakukan karena
kesalahan. Dalam jenispembunuhan ini ada tiga kemungkinan, yaitu:
1. Bila si pelaku sengaja melakukan perbuatan dengan tanpa maksud melakukan kejahatan, tetapi mengakibatkan kematian
seseorang; kesalahan seperti ini disebut salah dalam perbuatan (error in Concrito).
2. Bila si pelaku sengaja melakukan perbuatan dan mempunyai niat membunuh seseorang yang dalam persangkaannya boleh
dibunuh, namun ternyata orang tersebut tidak boleh dibunuh, misalnya sengaja menembak musuh yang harus ditembak dalam
peperangan, tetapi ternyata kawan sendiri; kesalahan demikian disebut salah dalam maksud (error in objecto).
17
Ibnu Hazm menolak pembunuhan sengaja salah (Qatl al-Khata'), seperti yang diungkapkan oleh ulama lain, lebih lanjut Ibnu
Hazm berpendapat, bahwa pembunuhan sengaja salah adalah pendapat fasid yang menyalahi Nas al-Qur'an dan sunnah,
karena dalam al-Qur'an dan sunnah sendiri tidak menerangkan sama sekali.
Seperti macam pembunuhan yang dianut oleh Mazhab Hanafi, Hambali dan Syafi'i, yang menambahkan
adanya pembunuhan semi sengaja) syibhu al amdi), yaitu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang tidak dengan maksud
untuk membunuhnya tetapi mengakibatkan kematian. Adapun dalam pembunuhan salah Ibnu Hazm mengatakan,
bahwa pembunuhan tersebut bukan suatu dosa, sebab suatu dosa itu yang dilarang Allah, sedang kesalahan itu tidak dilarang
Allah Karena kesalahan itu di luar kemampuan manusia. Oleh karena itu, segala kesalahan diampuni Allah dan tidak berdosa
bagi orang yang tersalah.
3. Bila si pelaku tidak bermaksud melakukan kejahatan, tetapi akibat kelalaiannya dapat menimbulkan kematian, seperti
seseorang terjatuh dan menimpa bayi yang berada di bawahnya hingga mati.
Pendapat Ibnu Hazm di atas berdasar atas Firman Allah SWT:
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali Karena tersalah (Tidak sengaja)”
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.”
Dalam ayat diatas Allah tidak menempatkan pembunuhan bagian ketiga, yang terletak antara pembunuhan sengaja
dan pembunuhan tidak sengaja.
Macam-macam pembunuhan menurut Mahmud Syaltut, pembunuhan itu hanya terbagi kedalam dua macam
yaitu, pembunuhan sengaja (pembunuhan yang dilakukan karena unsur kesengajaan), dan pembunuhan salah
(Pembunuhan yang dilakukan karena unsur ketidaksengajaan yang mengakibatkan kematian), adapun mengenai
alat pembunuhantidak dapat diterapkan dalam pembunuhan karena dalam al-Qur'an dan hadis sahih puntidak menjelaskan
alat yang digunakan dalam pembunuhan, akan tetapi hanya menjelaskanmacam-macam pembunuhan saja. Sedangkan
mengenai alat pembunuhan diserahkan kepada ketentuan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat itu sendiri.
18