Upload
ngonguyet
View
243
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan
Sengketa Pemilu
Diedit oleh Chad Vickery
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan
Sengketa Pemilu
International Foundation for Electoral Systems
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan
Sengketa Pemilu
Disunting oleh Chad VickeryInternational Foundation for Electoral Systems
2011
Setiap pendapat, temuan, kesimpulan atau rekomendasi yang diungkapkan
dalam publikasi ini merupakan pandangan para penulis dan tidak mencerminkan
pandangan International Foundation for Electoral Systems.
Pedoman untuk Memahami, Menangani dan Memutus Sengketa Pemilu
Disunting oleh Chad Vickery
Diterjemahkan oleh Ay San Harjono
Penyunting naskah terjemahan Aria Suyudi, SH, LLM
© 2011 IFES. Hak cipta dilindungi Undang-undang.
International Foundation for Electoral Systems 1850 K Street, NWFifth FloorWashington, D.C. 20006USA
Pemberitahuan hak ciptaHak cipta dilindungi Undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan bagian-bagian dari laporan ini dalam bentuk apapun atau cara apa pun tanpa izin dari penerbit
Dicetak di Amerika Serikat ISBN: 1-931459-62-2
Penghormatan untuk fotografi:Sampul depan— REUTERS/Cheryl Ravelo Pendahuluan — Aileen Tangonan Bab 1 — ANTARA/Ampelsa PasaBab 2 — Foto AP /David Longstreath Bab 3 — Foto AP /Visar Kryeziu Bab 4 — Foto AP /Gregory BullBab 5 — Foto dari Badan Bersama Penyelenggara Pemilu (Joint Electoral
Management Body) AfghanistanBab 6 — IFES/Bradley Austin
i
MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
PENGANTAR
WAKIL KETUA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Indonesia semenjak reformasi tahun 1998 terus berkembang maju
menjadi Negara yang lebih demokratis. Setelah reformasi rakyat tidak
lagi terbelenggu oleh suatu rezim, euphoria kebebasan untuk memilih
semakin mengemuka. Reformasi menjadi tujuan bersama yang salah satu
amanatnya adalah Pemilu yang demokratis.
Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pelaksanaan Pemilu
tahun 1999 di Indonesia meskipun masih terdapat berbagai kekurangan,
namun dapat dinilai berhasil, karena berlangsung dalam suasana yang
kondusif tanpa gesekan yang berarti. Kehidupan demokratisasi di Indonesia
semakin berkembang ditandai dengan adanya pemilihan Presiden secara
langsung tahun 2004 setelah selama puluhan tahun rakyat Indonesia
tidak diberikan hak untuk memilih langsung Presidennya. Pada Tahun
2005 langkah baru demokratisasi direntas oleh bangsa Indonesia dengan
pelaksanaan Pemilhan Kepala Daerah secara langsung.
Kini rakyat Indonesia menikmati hak untuk memilih dan dipilih yang
dijamin oleh konstitusi sebagai hukum tertinggi, karena itu tidak boleh
ada seorangpun yang menghalangi. Mahkamah Konstitusi sebagai
guardian of constitution diberi kewenangan oleh konstitusi untuk
mengawal demokrasi, salah satunya melalui kewenangan menyelesaikan
perselisihan hasil pemilu. Mahkamah Konstitusi telah menjalankan
kewenangan menyelesaikan perselisihan hasil Pemilu sejak Pemilu tahun
ii
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
2004, sementara pelaksanaan kewenangan menyelesaikan Perselisihan
Hasil Pemilu Kepala Daerah dilimpahkan dari Mahkamah Agung kepada
Mahkamah Konstitusi pada tahun 2008.
Berbagai fakta hukum yang terungkap dalam proses ajudikasi, dan
berbagai terobosan hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi
dalam memutus perselisihan hasil pemilu menjadi pertanda bahwa
proses demokratisasi di Indonesia terus berkembang, dan dengan
adanya lembaga yang bertugas menyelesaikan perselisihan hasil pemilu
masyarakat semakin dituntut untuk lebih cerdas dalam berdemokrasi, dan
menyikapi perselisihan pemilu.
Meningkatnya kesadaran berdemokrasi akan meningkatkan pula jumlah
sengketa/perselisihan hasil pemilu yang diajukan kepada lembaga adjudikasi
pemilu. Integritas hasil pemilu bukan hanya dilihat dari tahapan-tahapan yang
dilakukan penyelenggara pemilu, tetapi juga dari penyelesaian sengketanya
pada lembaga ajudikasi pemilu, baik mekanisme maupun prosesnya. Faktor
keberhasilan atau pencapaian kualitas yang terdapat dalam sebuah pemilu
ditentukan dengan adanya mekanisme peradilan yang baik dan benar
terhadap hasil pemilu. Mekanisme tersebut juga harus menjadi pemutus
dalam setiap perbedaan pendapat tentang hasil pemilu agar tidak terjadi
berbagai konflik politik-sosial secara horizontal di tengah warga yang dapat
meletup misalnya dalam bentuk aksi unjuk rasa yang anarkis.
*
IFES adalah lembaga yang berkomitmen terhadap perkembangan
demokratisasi khususnya Pemilu di berbagai Negara. Kiprahnya sejak
tahun 1987 telah memberikan kontribusi besar kepada perkembangan
kehidupan berdemokrasi di berbagai Negara. Indonesia sebagai salah
satu Negara yang terus membangun kehidupan bernegara yang lebih
demokratis merupakan bagian dari aktifitas IFES dalam mengembangkan
kehidupan berdemokrasi.
Saya menyambut baik buku “Pedoman Untuk Memahami, Mengajudikasi
Dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu” yang dikeluarkan oleh IFES ini.
Buku ini akan memberi manfaat besar, bukan hanya untuk masyarakat,
iii
namun bagi peserta Pemilu, penyelenggara Pemilu, pengawas Pemilu,
dan Mahkamah Konstitusi sebagai pemegang wewenang ajudikasi dalam
perselisihan hasil Pemilu di Indonesia.
Pada Bab I buku ini dijabarkan mengenai standar Internasional dalam
penyelesaian pemilu. Pembaca disadarkan bahwa terdapat standar
internasional dalam penyelesaian perselisihan hasil pemilu. Perserta pemilu
berhak mengajukan pengaduan ke hadapan sebuah badan penyelesaian
Pemilu yang tidak memihak, yang memutus secara cepat, dengan standar
pembuktian yang jelas, sehingga memungkinkan dilakukannya tindakan
perbaikan yang efektif.
Pada Bab II buku ini diuraikan mengenai mekanisme hukum dalam sistem
ajudikasi pengaduan pemilu yang efektif. Bab ini menggambarkan masalah-
masalah dalam membangun system pemeriksaan perselisihan hasil
pemilu. Juga menganalisa berbagai system ajudikasi yang ada di beberapa
Negara dengan memperlihatkan efektifitasnya dalam penyelesaian
perselisihan hasil pemilu.
Pada Bab III buku ini disuguhkan mengenai pelatihan ajudikasi dalam
pengaduan perselisihan hasil pemilu. Dalam bab ini tampak pentingnya
pelatihan yang efektif untuk menjamin system ajudikasi pengaduan pemilu
yang efisien, komprehensif, dan bekerja dengan baik. Pelatihan yang tidak
hanya ditujukan kepada penyelenggara pemilu, tapi juga peserta pemilu.
Pada Bab IV buku ini menyajikan studi kasus yang dapat dijadikan rujukan
bagi para ajudikator pemilu dalam penyelesaian perselisihan hasil pemilu.
Disajikan pengalaman di beberapa Negara yang pernah mengadakan
pelatihan ajudikator pemilu.
Pada Bab V buku ini diuraikan berbagai pendekatan dalam mendidik
pemilih untuk meningkatkan peranan dan partisipasi masyarakat sipil. Bab
ini menggambarkan betapa pentingnya informasi publik dan pendidikan
pemilih untuk proses ajudikasi pengaduan pemilu.
Pada Bab akhir buku ini dijabarkan mengenai peranan alternatif
penyelesaian sengketa pemilu. Digambarkan beberapa variasi system
iv
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
penyelesaian sengketa pemilu pada berbagai situasi Negara, di mana
mekanisme Alternatif penyelesaian sengketa menjadi bagian di dalamnya.
Buku ini begitu kaya dan sarat akan panduan baik secara teknis maupun
gambaran pelaksanaan ajudikasi pemilu di beberapa belahan dunia.
Buku ini sangat direkomendasikan kepada pihak yang berkepentingan
dalam pemilu, baik peserta pemilu, penyelenggara, pengawas, maupun
lembaga ajudikasi.
Akhir kata, besar harapan saya agar buku ini bukan hanya menjadi
rujukan tetapi juga dapat menjadi evaluasi bagi pelaksanaan ajudikasi
dan penyelesaian perselisihan Pemilu di Indonesia, dengan melakukan
perbandingan dengan standar internasional yang ada, dan praktik ajudikasi
pemilu di Negara lain. Semuanya untuk mencapai tujuan kehidupan
berdemokrasi yang lebih baik, sebagaimana diamanatkan konstitusi
UUD 1945.
Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi,
Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H.
v
Sambutan dari Presiden/CEO
Sejak tahun 1987, International Foundation for Electoral System telah
mendukung pertumbuhan stabilitas demokrasi di seluruh dunia, utamanya
dengan memfokuskan pada peningkatan kredibilitas dan efektivitas
administrasi pada hari Pemilu. Seiring dengan makin terhubungnya
komunitas global (inter-connected), dan berbagai peristiwa Pemilu yang
terjadi mulai dari Florida sampai Afganistan serta dari Minnesota sampai
Pantai Gading telah merebut perhatian masyarakat umum, kebutuhan untuk
memastikan bahwa Pemilu dilangsungkan secara bebas, adil dan dikelola
dengan kredibel terus bertambah. Untuk mencapai ini, proses penanganan
keberatan (complaint adjudication) Pemilu haruslah transparan dan dapat
diandalkan, serta hasil akhirnya harus dapat diterima oleh seluruh pihak
yang kalah, media, dan tentu saja para pemilih.
Pedoman untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa
Pemilu (Guidelines for Understanding, Adjudicating, and Resolving
Disputes in Elections /GUARDE) diilhami dan ditulis dengan tujuan tersebut.
Kami berharap bahwa pedoman ini akan membekali para petugas Pemilu
dan pemangku kepentingan kunci lainnya dengan informasi mengenai
standar internasional dan praktik terbaik tentang penanganan keberatan
untuk memastikan bahwa proses tersebut kredibel dan dapat diterima
oleh publik.
GUARDE merupakan titik puncak dari upaya IFES selama dua-tahun, yang
dibiayai oleh United States Agency for International Development (USAID)
sebagai bagian dari program kepemimpinan teknis oleh Konsorsium untuk
Penguatan Pemilu dan Proses Politik (Consortium for Election and Political
Process Strengthening (CEPPS)). Sebagai anggota CEPPS, IFES bekerja
dengan menggunakan teknik-teknik yang inovatif untuk mendukung para
mitra yang berupaya untuk mewujudkan agenda pembaruan mereka.
Penting bagi tercapainya tujuan-tujuan ini diantaranya adalah kebutuhan
untuk memiliki perangkat yang praktis untuk memastikan bahwa proses
peradilan Pemilu dijalankan dengan cara yang adil, efektif dan kredibel.
vi
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Terima kasih yang sepenuh hati saya tujukan kepada tim penulis, para
penyunting dan peninjau ahli yang antusias yang telah memproduksi buku
panduan ini. Dedikasi mereka untuk membahas masalah yang penting
dan rumit ini telah memastikan bahwa publikasi ini akan memiliki manfaat
yang dapat bertahan lama bagi para pemangku kepentingan pemilihan di
seluruh belahan dunia.
Bill Sweeney
Presiden IFES / CEO
vii
Pengantar
Publikasi dari panduan ini merupakan hasil dari pekerjaan bertahun-tahun
dan dedikasi yang luar biasa dari suatu tim besar yang terdiri dari para
ahli, penyunting, peneliti dan peninjau. Saya percaya bahwa kami telah
mencapai tujuan kami untuk memberikan para praktisi dengan justifikasi
normatif maupun perangkat praktis yang yang diperlukan oleh para praktisi
dalam merancang, menjustifikasi dan melaksanakan program penegakan
Undang-undang Pemilu (electoral justice) secara efektif.
Dalam Bab 1, kami menyajikan tujuh standar berdasarkan kewajiban
hukum publik internasional yang akan memberikan pondasi normatif
atau rambu-rambu kepada para praktisi dan pemangku kepentingan
lainnya yang diperlukan untuk merancang berbagai Sistem Penanganan
Keberatan Pemilu yang transparan, konsisten dan efektif. Beberapa orang
telah berkontribusi untuk merancang bab ini dengan menyumbangkan
sejumlah besar penelitian, pedoman dan perdebatan yang sangat baik
tentang definisi dari standar-standar tersebut serta berbagai argumen yang
mendukung setiap standar tersebut. Tim ini termasuk Typhaine Roblot,
Jeremy Hunt, Jennifer Mishory, Erica Shein, dan Bob Dahl.
Bab 2 menawarkan komponen hukum dasar yang perlu dipertimbangkan
oleh mereka yang terlibat dalam merancang maupun menganalisis kerangka
hukum penanganan keberatan Pemilu. Saya ingin mengucapkan terima
kasih kepada Bob Dahl yang menuangkan dalam tulisan, kemampuan unik
beliau untuk menganalisis baik isu-isu makro yang harus dipertimbangkan
ketika melakukan tinjauan hukum, maupun sikap penghargaan beliau
terhadap implikasi praktis dari pembaruan yang dapat diajukan dalam
keadaan tertentu. Saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada
Mike Clegg atas nasihatnya yang bijaksana, beberapa tambahan yang
penting dan tinjauan menyeluruh atas bab ini yang telah membantu kami
mengkontekstualisasikan serta memperkaya pembahasan.
Bab 3 berupaya untuk memberikan beberapa perangkat untuk merancang
dan melaksanakan program pelatihan penanganan keberatan Pemilu
yang efektif. Saya harus mengucapkan terima kasih kepada Steven Gray
viii
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
yang telah menyediakan kerangka kerja yang didukung dengan suatu
metodologi pelatihan yang solid. Saya juga berterima kasih kepada Linda
Edgeworth yang telah meninjau dan menambahkan beberapa elemen
dalam bab ini yang akan membantu untuk memusatkan perhatian pada
program-program pelatihan tentang berbagai kekhususan yang terkait
dengan berbagai sistem penanganan keberatan Pemilu.
Mengingat penting dan uniknya sifat pelatihan arbiter dalam proses
keberatan Pemilu, bab keempat menggunakan studi-studi kasus dan analisis
komparatif untuk memberikan informasi yang perlu dipertimbangkan oleh
para praktisi dalam merancang dan melaksanakan program-program
pelatihan arbiter. Secara khusus, saya ingin mengucapkan terima kasih
kepada para penulis kami dari Mexican Tribunal Electoral del Poder Judicial
de la Federación (TEPJF) yang telah membahas pengalaman internasional
mereka yang unik dan luas. Saya juga ingin berterima kasih kepada Luie
Guia dan Vincent Yambao yang telah mendokumentasikan proses tersebut
di Filipina. Kedua contoh tersebut memberikan contoh studi-studi kasus
kepada mereka yang bekerja di arena ini untuk menginformasikan,
membandingkan dan memperlihatkan perbedaan dengan pengalaman
mereka sendiri.
Bab 5 memusatkan perhatian pada pendidikan kewarganegaraan dan
pemilih, sebuah topik yang seringkali diabaikan oleh para donor, praktisi,
tribunal dan badan penyelenggara Pemilu, walaupun merupakan topik
yang sama pentingnya dengan elemen yang lain, yang biasanya dibahas
sehubungan dengan berbagai sistem penanganan keberatan yang efektif.
Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada para penulis bab ini, Catherine
Barnes dan Grant Kippen, yang telah berhasil menggabungkan bertahun-
tahun pengalaman pengembangan internasional dengan pemahaman
mendalam terhadap pemrograman pendidikan kewarganegaraan yang
efektif dan pengetahuan dari pengalaman langsung tentang berbagai
tantangan yang dihadapi oleh mereka yang duduk badan-badan penanganan
keberatan Pemilu. Saya juga ingin berterima kasih kepada Catherine yang
telah mengembangkan suatu daftar periksa bagi para praktisi di akhir
bagian ini yang berfungsi sebagai sebuah model yang kami terapkan di
semua bab lainnya.
ix
Bab terakhir, memfokuskan pada berbagai pendekatan alternatif untuk
penanganan keberatan Pemilu, yang dalam banyak hal masih merupakan
sebuah perjalanan awal dan kita tidak tahu kemana hasil akhirnya. Dengan
pemikiran tersebut, saya berhutang budi kepada John Hardin Young
yang memandu diskusi ini dengan pengetahuannya yang mendalam
tentang penyelesaian sengketa alternatif, hukum administrasi dan hukum
Pemilu; David Kovick atas kontribusi pengalaman internasional-nya yang
luas tentang penyelesaian sengketa alternatif; dan Vincent Tohbi yang
mengaitkan berbagai pendekatan teoritis kami ke dalam contoh dunia
yang nyata.
Dalam tahap akhir dari upaya ini, kami mengumpulkan sebuah panel ahli
untuk melakukan tinjauan akhir yang menyeluruh terhadap GUARDE:
Barry Weinberg, Linda Edgeworth, dan Ms. María del Carmen Alanis
Figueroa, Magistrate-President dari TEPJF. Tiga orang peninjau ini telah
memberikan pandangan dan nasihat yang sangat penting, berdasarkan
pengalaman mereka yang luas di bidang ini, yang telah membantu kami
menjernihkan isu-isu yang mengundang perdebatan. Berbagai tinjauan
mereka juga telah melakukan pemeriksaan yang tidak ternilai terhadap
kualitas pekerjaan kami.
Saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Mary Kelly, Michael
Svetlik dan Bill Sweeney atas dukungan mereka yang gigih terhadap proyek
ini melalui proses yang amat panjang dan Laura Osio yang membantu
membentuk naskah menjadi sebuah dokumen yang siap dipublikasikan
sebagai sebuah teks.
Akhirnya, walaupun telah disebutkan di atas, Saya ingin sekali lagi
mengucapkan terima kasih saya kepada Erica Shein, Jeremy Hunt, dan
Typhaine Roblot. Mereka telah berkontribusi pada proses ini dengan
berbagai cara, dengan membantu saya membentuk ide-ide abstrak menjadi
sebuah kerangka kerja yang nyata, merancang tiap bagian, meneliti
titik-titik hukum yang kabur, mendukung pekerjaan para penulis kami,
menyunting sejumlah rancangan dokumen dan menyelesaikan naskah
untuk publikasi. Dapat saya katakan dengan keyakinan penuh bahwa
GUARDE tidak akan dipublikasikan tanpa masukan dari otak cemerlang
dan kreatif mereka, keuletan mereka dalam mendorong proses ini dan
x
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
kesabaran mereka dalam bekerja dengan penyunting yang sangat sibuk
dan kadang teralih perhatiannya.
Saya berharap pekerjaan kami – sebagaimana disajikan dalam pedoman
ini- akan memberikan kontribusi positif pada perdebatan seputar berbagai
standar yang berlaku di sistem-sistem keberatan terkait Pemilu dan akan
membantu para praktisi mengembangkan dan melaksanakan berbagai
program pengadilan Pemilu yang efektif dan berkelanjutan.
Chad Vickery
Direktur IFES, Eropa & Asia
xi
Tentang Para Penulis
PenyuntingChad Vickery adalah ahli hukum dan administrasi Pemilu internasional
dengan 17 tahun pengalaman dalam berbagai proyek di bidang penguatan
demokrasi dan tata kelola dalam masyarakat yang sedang mengalami
transisi. Ia memiliki pengalaman yang luas dalam merancang dan mengelola
berbagai program penanganan keberatan Pemilu, memberikan analisis
perbandingan hukum, dan bekerja pada program Pemilu dan pembaruan
hukum di Asia Selatan, Asia Tenggara, Eurasia dan Timur Tengah. Ia
memiliki gelar Magister dalam Hubungan Internasional dari Georgetown
University, Juris Doctorate dari Catholic University of America dengan
konsentrasi dalam hukum perbandingan dan internasional, dan gelar
Sarjana dalam Ilmu Politik dari University of Washington. Ia adalah anggota
dari Washington State Bar.
Bab 2Robert Dahl adalah konsultan Pemilu swasta yang tinggal di Washington,
D.C. Ia telah menjadi praktisi dan penasihat dalam bidang hukum
Pemilu sejak tahun 1985. Setelah menduduki jabatan di Komisi Pemilu
Federal Amerika Serikat (U.S. Federal Elections Commission), dengan
cepat ia menjadi pakar yang diakui dalam pembaharuan hukum Pemilu,
demokratisasi, dan administrasi Pemilu, baik di Amerika Serikat maupun
di luar negeri. Selama karirnya, Tuan Dhal telah bekerja di proyek-proyek
reformasi di bekas Uni Soviet dan negara-negara Blok Timur demikian juga
China, Indonesia dan Thailand. Dia telah menjadi konsultan reguler IFES
semenjak tahun 1993.
Michael Clegg adalah ahli dalam tinjauan hukum dan perancangan
perUndang-undangan. Ia telah terlibat dalam proses tersebut dalam waktu
lebih dari tiga dekade, setelah menghabiskan sebagian karirnya bekerja
pada Canadian House of Commons and Senate sebagai Parliamentary
Counsel dan sebagai pengacara swasta. Dia telah bekerja sebagai
administrator dan pemantau Pemilu sejak akhir tahun 1980-an, dan telah
menjadi konsultan untuk IFES di Irak dan Afganistan sejak tahun 2005.
xii
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Bab 3Steven Gray berpengalaman lebih dari 20 tahun dalam pelatihan dan
30 tahun pengalaman dalam pemantauan dan evaluasi Pemilu. Ia telah
mengembangkan dan melaksanakan berbagai program pemantauan
Pemilu dan pelatihan di empat benua, telah menjadi konsultan IFES
sejak tahun 1995. Sekarang ia menjabat sebagai Chief of Party untuk
IFES Moldova dan telah merancang dan melaksanakan berbagai program
pelatihan untuk komisi Pemilu di Bangladesh, Albania, Yaman, Macedonia,
Indonesia, Afganistan, Pakistan dan Moldova.
Linda Edgeworth berpengalaman hampir 30 tahun dalam seluruh aspek
proses Pemilu, termasuk perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan
berbagai persyaratan teknis; menyiapkan dan melaksanakan berbagai
perubahan prosedural; dan mengkoordinasikan sosialisasi dan pelatihan
dengan badan-badan pemerintah dan masyarakat umum. Ia telah terlibat
dalam Pemilu dalam negeri di Amerika Serikat, serta tiga lusin negara
di seluruh dunia dalam lebih dari satu dekade sebagai seorang spesialis
administrasi Pemilu IFES.
Bab 4Gerardo de Icaza Hernández telah menjadi Kepala Hubungan Internasional
Pengadilan Pemilu Federal Meksiko (Federal Electoral Court of Mexico)
sejak tahun 2007. Sebelum itu, ia adalah Asisten Hakim (Law Clerk) untuk
Hakim Salvador Nava Gomar, dan Wakil Direktur Hukum untuk Mexican
Vote Abroad di Institut Pemillihan Umum Federal (Federal Electoral
Institute (IFE)). Ia adalah penulis bersama (co-author) dari sebuah buku teks
tentang Hukum Internasional Publik (Derecho Internacional Público) yang
diterbitkan oleh IURE, dan penulis sejumlah artikel dan makalah penelitian
tentang isu-isu Pemilu, pencabutan hak pilih (disenfranchisement), hukum
perbandingan, hubungan internasional dan hak-hak asasi manusia.
Ernesto Ramos Mega berpengalaman lebih dari 12 tahun sebagai pejabat
Pemilu, dimana dia telah mengkoordinasikan persiapan dan penerbitan
berbagai buku, pusat data, manual pelatihan, presentasi, buku teks dan
situs web mengenai beragam topik hukum Pemilu. Ia adalah Kepala Unit
Pelatihan Electoral Judicial Training Center di Electoral Court of the Federal
Judiciary (TEPJF). Ia bertanggung jawab mengkoordinasikan berbagai
xiii
kegiatan pelatihan, baik untuk staf pengadilan maupun untuk petugas
Pemilu dan partai dari seluruh penjuru negeri Sejak tahun 2001 ia telah
menjadi anggota Mexican Society of Electoral Studies.
Luie Tito F. Guia dan Vincent Pepito F. Yambao, Jr. merupakan anggota
Libertás, sebuah organisasi masyarakat madani di Filipina yang terdiri
dari para pengacara dan profesional bidang hukum yang terlibat dalam
pekerjaan advokasi, termasuk pembaruan politik dan Pemilu, tata kelola
yang transparan dan akuntabel, akses terhadap keadilan, promosi hak asasi
manusia. Dengan dukungan IFES, Libertás merintis Proyek Pembaruan
Penanganan Sengketa Pemilu (Election Adjudication Reform) pada tahun
2007 untuk merekomendasikan pembaruan kebijakan dan hukum dalam
penyelesaian sengketa Pemilu kepada berbagai badan penanganan
keberatan Pemilu. Tn. Yambao adalah manager proyek Libertás untuk
berbagai proyek reformasi pengadilan Pemilu, sementar Tn. Guia membuka
praktik pengacara Pemilu dan konsultan hukum Pemilu di Libertás untuk
proyek-proyek pembaruan Pemilu.
Bab 5Catherine Barnes telah mengerjakan proyek demokrasi dan tata kelola
di 24 negara sejak tahun 1990. Semenjak ia memulai bidang tersebut, ia
menjadi anggota staf baik IFES dan International Republican Institute (IRI).
Sebagian besar pekerjaan Ny. Barnes di negara-negara bekas Uni Soviet
dan Yugoslavia, tetapi ia juga telah bekerja secara meluas di Asia Timur
dan Tenggara. Ny. Barnes merupakan konsultan independen dari Frederick,
Maryland dan menyediakan konsultasi untuk sejumlah luas klien swasta
dan publik, termasuk IFES.
Grant Kippen telah bekerja di bidang pengembangan Pemilu dan
demokrasi selama 30 tahun terakhir. Tn. Kippen ditunjuk pertama kalinya
oleh Badan PBB untuk Komisi Keberatan Pemilu Afganistan (United
Nations to the Electoral Complaints Commission of Afghanistan) pada
tahun 2005 dan selanjutnya ditunjuk kembali pada tahun 2009; keduanya
dipilih sebagai ketua melalui konsensus para anggotanya. Ia telah bekerja
dengan beberapa pemerintah, korporasi dan LSM di Amerika Utara, Eropa,
Asia dan Timur Tengah. Sejak tahun 2003, ia telah sangat terlibat dalam
reformasi Pemilu dan pembentukan masyarakat madani di Afganistan.
xiv
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Ia juga telah bekerja dengan IFES di Pakistan, Mesir, Moldova, Georgia,
Kosovo dan Timor-Leste. Tn. Kippen tinggal di Ottawa, Ontario.
Bab 6David Kovick adalah Senior Associate pada Consensus Building Institute.
Pekerjaannya termasuk mengajarkan keterampilan negosiasi dan
penyelesaian sengketa, perencanaan strategis untuk berbagai organisasi
internasional yang besar, dan mediasi serta fasilitasi sengketa publik
yang kompleks. Sebelum bergabung CBI, David menghabiskan lima
tahun bekerja di pengembangan politik internasional dengan National
Democratic Institute for International Affairs (NDI), sebagai perwakilan
di Zimbabwe dan Asia Tenggara. Ia juga adalah dosen paruh waktu pada
Program Penyelesaian Sengketa di University of Massachusetts (Boston).
John Hardin Young telah bekerja dalam hukum Pemilu sejak tahun
1970-an, ketika dia bekerja sebagai Penasihat untuk Badan Pemilihan
Negara Bagian Virginia (Virginia State Board of Elections). Ia telah terlibat
secara aktif dalam beberapa penghitungan ulang (recount) yang penting,
termasuk perebutan kursi Gubernur Virginia 1989 antara Douglas Wilder
dan Marshall Coleman dan penghitungan ulang Pemilu presiden di Florida
tahun 2000. Tn. Young duduk sebagai Komite Penasihat untuk Program
Hukum Pemilu (Election Law Program) di William & Mary School of Law,
dimana dia juga menjabat sebagai asisten dosen. Saat ini ia merupakan
advokat pada firma hukum Sandler, Rieff & Young, P.C. di Washington, D.C.
Irie Vincent Tohbi adalah seorang ahli dalam bidang administrasi
Pemilu di wilayah Sub-Sahara Afrika. Ia menjabat sebagai konsultan
dan direktur regional Electoral Institute of Southern Africa (EISA) sejak
tahun 2003. Sebagai Direktur Nasional di Republik Demokratik Kongo,
ia telah mengawasi berbagai program pelaksanaan pendidikan Pemilu,
pemantauan Pemilu dan mediasi dalam sengketa Pemilu.
xv
Panel Peninjau
Linda Edgeworth berpengalaman hampir 30 tahun dalam seluruh aspek
proses pemilihan, termasuk perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan
berbagai kebutuhan teknis; menyiapkan dan melaksanakan berbagai perubahan
prosedural; dan mengkoordinasikan proses sosialisasi dan pelatihan dengan
badan-badan pemerintah dan masyarakat umum. Ia telah terlibat dalam Pemilu
dalam negeri di Amerika Serikat, serta tiga lusin negara di seluruh dunia dalam
lebih dari satu dekade sebagai seorang spesialis administrasi Pemilu IFES.
María del Carmen Alanis Figueroa telah mejabat sebagai Magistrate-
President pada Pengadilan Pemilu Pengadilan Federal Meksiko (Mexico’s
Electoral Court of the Federal Judiciary/TEPJF) sejak Agustus 2007. Ia
berpengalaman lebih dari dua dekade di sektor publik, bekerja dengan TEPJF,
Institut Pemilu Federal (Federal Electoral Institute (IFE)), dan sebelumnya,
Pengadilan Pemilu Federal (Federal Electoral Court). Sejak tahun 2010, Ny.
Alanis ditunjuk sebagai perwakilan Meksiko pada Komisi Venesia (Venice
Commission–suatu Komisi dibawah Komisi Eropa untuk Demokrasi melalui
Hukum), serta merupakan seorang ahli internasional yang sangat terpandang
dalam hukum Pemilu, sistem manajemen dan administrasi, pengadilan Pemilu,
pendidikan kewarganegaraan, dan politik Pemilu Meksiko. Ia mengajar pada
Fakultas Hukum di National Autonomous University Meksiko dan telah bekerja
sebagai konsultan bagi organisasi Negara America (Organization of American
States) pada topik manajemen, analisis dan desain database informasi Pemilu.
Barry H. Weinberg merupakan mantan Pejabat Ketua Bagian Pemungutan
Suara (Voting Section) Departemen Kehakiman Amerika Serikat (U.S.
Department of Justice). Ia telah menjadi konsultan IFES pada berbagai
proyek sejak pertengahan 1990-an. Tn. Weinberg telah memiliki
pengalaman yang luas dalam perkara hukum pencabutan hak untuk
memilih dalam Pemilu (voting disenfranchisement) dan kasus-kasus
diskriminasi, dan ia telah mengkoordinasikan penegakan hukum “Motor
Voter”. Ia adalah pengarang The Resolution of Election Disputes: Legal
Principles that Control Election Challenges, sebuah publikasi IFES yang
merinci isu-isu penyelesaian sengketa Pemilu dalam Undang-undang
Amerika Serikat, saat ini dalam cetakan kedua.
xvi
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Tentang IFES
International Foundation for Electoral Systems (IFES) adalah
organisasi non-pemerintah terdepan dalam asistensi Pemilu dan
mempromosikan demokrasi.
IFES mempromosikan stabilitas demokrasi dengan memberikan bantuan
teknis dan menerapkan penelitian berbasis lapangan terhadap siklus
Pemilu di seluruh dunia untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan
memperkuat masyarakat sipil, tata kelola dan transparansi.
Seluruh proyek IFES didukung oleh staf nasional dan internasional dengan
bermitra dengan berbagai badan penyelenggara Pemilu lokal dan organisasi
masyarakat madani. Pendekatan yang didasarkan kepada pengembangan
berbasis negara asal menjamin bahwa keahlian yang ditawarkan oleh IFES
akan sesuai dengan kebutuhan negara atau klien dan manfaat asistensi
tersebut melampaui dari jangka waktu proyek. Pekerjaan kami bersifat
non-partisan dan termasuk berbagai proyek yang:
• Membantuwarganegaraberpartisipasidalamdemokrasi
• Meningkatkanakuntabilitasparapolitisibagiparapemilih
• Memperkuatlembaga-lembagapemerintah
Semenjak didirikan pada tahun 1987, IFES telah bekerja lebih dari 100 negara
– dari demokrasi yang masih berkembang hingga yang sudah matang.
IFES terdaftar di Amerika Serikat sebagai organisasi berdasarkan pasal
501(c)(3).
xvii
Daftar Isi
Tentang IFES xvi
Kata Pengantar xix
Pendahuluan 1
Bab 1Standar-Standar Internasional 11
Bab 2Berbagai Kerangka Hukum Untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu Yang Efektif 113
Bab 3Pelatihan Penanganan Keberatan Pemilu Bagi Badan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik 151
Bab 4Studi Kasus Terkait Dengan Pelatihan Arbiter Dalam Keberatan Pemilu 183
Bab 5Berbagai Pendekatan Untuk Pendidikan Pemilih dan Peran Masyarakat Sipil 231
Bab 6Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa 259
Lampiran AKutipan Berbagai Traktat dan Konvensi Internasional dan Regional 295
Lampiran BKutipan Berbagai Konstitusi, Peraturan dan Perundang-undangan Nasional Terpilih 335
xviii
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
xix
Kata Pengantar
Dalam sebuah demokrasi, bukan pemungutan suara yang
penting, melainkan penghitungannya.”
Tom Stoppard, Jumpers (1972) (Act I)
Di seluruh dunia, seruan untuk melakukan pembaruan dan membentuk
pemerintahan yang demokratis terus berlanjut tanpa surut sepanjang
melewati dekade pertama dari Abad ke-21. Ketika kita memasuki dekade
kedua, berbagai permintaan ini menjadi semakin melengking jika tidak
dapat dapat disebut bergemuruh, menderu. Beberapa gerakan reformasi
telah berhasil menyingkirkan beberapa rezim yang telah bertahan dalam
jangka panjang dan sangat mapan yang tanpa diragukan lagi bersifat
tidak demokratis. Namun dilema yang tak dapat dihindari oleh orang-
orang yang memimpin gerakan pembaruan ini — apa yang terjadi
selanjutnya? Kenyataannya adalah yang terjadi selanjutnya seringkali
sulit — pembentukan pemerintah yang demokratis. Sebuah analogi
dari kehidupan keluarga mungkin berguna untuk menjelaskan poin ini.
Seringkali jauh lebih mudah bagi para anggota keluarga untuk menyetujui
meruntuhkan rumah lama mereka daripada menyetujui desain untuk
rumah baru mereka. Tantangan yang dihadapi oleh gerakan reformasi yang
sukses adalah bagaimana merancang sebuah pemerintahan demokratis
yang berhasil. Seringkali debat yang terjadi melibatkan hal-hal dasar
seperti definisi sebuah demokrasi. Debat seperti ini, jika tidak diselesaikan
dengan segera, dapat mengakibatkan kegagalan.
Pemerintahan demokratis adalah: “Pemerintahan oleh rakyat, baik secara
langsung ataupun melalui perwakilan yang dipilih oleh rakyat,” Black’s Law
Dictionary, 497 (Edisi ke-9. 2009).Intinya adalah sebuah pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Beberapa prinsip umum bersifat
mutlak untuk demokrasi. Prinsip-prinsip tersebut termasuk bahwa semua
manusia diciptakan sama/setara dan bahwa semua manusia dikaruniai
hak-hak atau kebebasan tertentu yang tidak dapat disingkirkan (unalienable
rights). Salah satu dari kebebasan yang paling mendasar adalah hak untuk
memilih mereka yang dimana masyarakat menyerahkan kekuasaan
xx
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
kedaulatan (sovereign power). Manusia ingin hidup di dalam masyarakat
yang sipil, tertib dan demokratis dengan hukum-hukum yang adil yang
ditegakkan secara seragam. Untuk mencapai tujuan ini di dalam sebuah
demokrasi, orang bersedia untuk menyerahkan beberapa kebebasan
pribadinya. Mereka bersedia untuk memberikan beberapa hak pribadi
mereka kepada orang-orang yang mereka pilih untuk menduduki posisi
yang memiliki kekuasaan kedaulatan (contohnya, para pejabat publik).
Kesediaan untuk menyerahkan kekuasaan kedaulatan kepada mereka
yang memiliki jabatan publik merupakan sebuah aspek kunci dari seluruh
demokrasi perwakilan. Namun, sebagaimana dikatakan oleh Lord Acton
lebih dari satu abad yang lalu,” Kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan
absolut akan pasti korup. (Power tends to corrupt and absolute power
corrupts absolutely)”1 Dengan demikian, keberhasilan sebuah demokrasi
tidak hanya harus memiliki sistem yang melembaga untuk menyerahkan
kekuasaan kedaulatan kepada petugas publik, tetapi sama pentingnya
adalah, harus memiliki cara untuk dapat secara damai menarik kembali
kekuasaan terbatas yang telah diberikan tersebut. Sistem semacam itu
diharapkan akan mencegah korupsi sebagaimana dikhawatirkan oleh
Lord Acton.
Pertanyaannya kemudian menjadi, bagaimana sebuah masyarakat yang
demokratis membentuk suatu sistem yang memungkinkan pelaksanaan
perubahaan yang damai, atau pada intinya, bagaimana sebuah masyarakat
dapat melembagakan kemampuan untuk membuat revolusi yang teratur
dan damai secara periodik. Jawabannya adalah pembentukan sebuah
sistem Pemilu yang teratur, bebas, dan adil dimana masyarakat dapat
memberikan suara kepada mereka yang dikehendaki oleh masyarakat
untuk memberikan kekuasaan kedaulatannya. Hak pilih menjamin hak untuk
berpartisipasi bagi masyarakat di dalam pemerintahan mereka. Pemilu yang
jujur tidak hanya menjamin warga negara hak untuk berbicara, tetapi lebih
penting lagi, menjamin hak warga negara untuk didengar. Sebuah sistem
Pemilu yang bebas dan adil mengantisipasi kebutuhan untuk perubahan.
Pemilu memungkinkan penyesuaian dalam pembagian kekuasaan dan
memberikan sebuah metode bagi masyarakat untuk memperbaiki berbagai
1 Surat untuk Uskup Mandell Creighton, 3 April 1887, dalam Louise Creighton, Life and Letters of Mandell Creighton (1904) vol. 1, bab 13; cf Pitt 576; 22.
xxi
kesalahan. Dengan demikian, agar sebuah demokrasi dapat berkembang,
harus terdapat cara yang sah untuk membenarkan hak pribadi setiap warga
negara yang paling penting — yaitu hak untuk memilih.
Telah lama diakui di Amerika Serikat bahwa “hak untuk memilih secara
bebas kandidat pilihan seseorang, merupakan inti dari sebuah masyarakat
demokratis dan setiap hambatan terhadap hak tersebut bertentangan
dengan landasan pemerintahan representatif.” Reynolds v. Sims, 377
U.S. 555, 84 S.Ct. 1362, 12 L.Edisi Ke-2 500 (1964). Hak pilih ini sangat
berharga. Hakim Pengadilan Palm Beach Circuit Jorge Labarga, salah satu
hakim yang terlibat dalam sengketa Pemilu presiden Bush v. Gore pada
tahun 2000, mengatakannya dengan baik dalam salah satu opini yang
diberikannya selama tahap-tahap awal kontes Pemilu tersebut. Hakim
Labagra menulis:
“ . . . hak pilih adalah sama berharganya dengan hidup itu sendiri
bagi mereka yang telah menjadi korban dari kekejaman perang,
bagi mereka yang kerabat dekatnya dilarang menggunakan
hak pilihnya hanya karena alasan ras atau gender mereka, dan
mereka yang telah mempertaruhkan.”
Charles L. Zeldon, Bush v. Gore: Exposing the Hidden Crisis in
American Democracy, 76 (2010)
Setiap masyarakat yang ingin memiliki sebuah sistem Pemilu yang teratur,
bebas dan adil harus mengakui bahwa Pemilu seperti itu tidak dapat terjadi
tanpa adanya komitmen terhadap konsep negara hukum (rule of law).
Pemerintahan yang demokratis dapat hidup dan tumbuh dengan subur
dalam berbagai bentuk yang berbeda, bentuk yang kerap kali disesuaikan
dengan norma-norma sosial, kebutuhan kultural dan tradisi dari individu
yang membentuk masyarakat tersebut. Namun, bagaimanapun bentuknya,
suatu demokrasi tidak dapat bertahan kecuali terdapat sebuah komitmen
terhadap negara hukum (rule of law). Suatu pemerintahan dari, oleh dan
untuk rakyat tidak dapat berkembang apabila segelintir orang diposisikan
diatas hukum.
xxii
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Di bawah sebuah sistem yang tunduk kepada konsep negara hukum (rule
of law), berbagai sistem dan prosedur dapat disiapkan sebelum Pemilu
yang dapat menjamin bahwa aspirasi para pemilih akan tercermin secara
akurat dalam hasil pemilihan. Peraturan perUndang-undangan disiapkan
sebelum Pemilu merupakan suatu pedoman untuk berbagai sistem dan
prosedur ini. Para pemilih dapat dididik tentang bagaimana memberikan
suara mereka secara semestinya. Para pekerja Pemilu dapat dilatih
tentang penggunaan praktik-praktik terbaik untuk memastikan hak suara
masyarakat dapat dilakukan dan dihitung sebagaimana mestinya. Langkah
keamanan yang diperlukan dapat disiapkan untuk mengamankan surat
suara segera setelah mereka diberikan. Akuntabilitas dari para petugas
pemilihan dapat ditingkatkan dengan memiliki berbagai sistem yang dapat
mendorong keterbukaan. Pengalaman telah mengajarkan saya bahwa
komponen yang mutlak bagi akuntabilitas dalam sebuah Pemilu adalah
sebuah surat suara tertulis. Dengan surat suara tertulis, maksud pemilih
dapat diuji kebenarannya. Jika pilihan pemilih dapat diuji kebenarannya
secara mandiri, ketika dan jika terjadi penghitungan ulang atau tinjauan
terhadap prosedur Pemilu, akuntabilitas dari para petugas Pemilu dapat
ditingkatkan dan kemungkinan kecurangan berkurang.
Walaupun seluruh Undang-undang, aturan dan peraturan perUndang-
undangan telah disiapkan untuk mempromosikan Pemilu yang teratur,
bebas dan adil, tidak pernah ada suatu Pemilu yang sempurna. Akan
selalu ada hal yang tidak berjalan semestinya. Hal-hal yang tidak
diharapkan malah terjadi. Mesin pemungutan suara tidak berfungsi, terjadi
pemadaman listrik, orang membuat kesalahan, dan ketika Pemilu ditutup,
gugatan terhadap Pemilu akan terjadi. Akan tetapi, fakta bahwa Pemilu
tidak berjalan sempurna bukan berarti Pemilu tidak dapat menjadi adil.
Jika terdapat persiapan, pendidikan yang memadai dan ketika berbagai
standar yang jelas telah siap sebelum Pemilu, akan terdapat keterbukaan
dan akuntabilitas. Jika suatu kebudayaan telah mapan dimana orang-orang
baik diberdayakan untuk melakukan hal-hal yang benar, sebagian besar
masalah pemililhan umum dapat diselesaikan dengan cara dimana setiap
pemilih percaya bahwa mereka memiliki kesempatan untuk menyuarakan
suara mereka dengan memberikan suara dan bahwa suara tersebut
dihitung sebagaimana mestinya.
xxiii
Hal ini mengantar saya menuju poin akhir tentang Pemilu dalam demokrasi
yang partisipatif. Tidak hanya seorang warga negara harus dapat berbicara
(melalui pemungutan suara), tetapi bahwa warga negara tersebut juga
musti didengar (agar suaranya dihitung sebagai mana mestinya). Dalam
suatu demokrasi, hak seseorang agar suara yang diberikannya secara sah
dihitung sebagaimana mestinya adalah sama pentingnya dengan tindakan
memberikan suara itu sendiri. Hak suara dapat saja dengan mudah ditolak,
diabaikan, dihilangkan karena kegagalan dalam melakukan penghitungan
suara secara benar. Sebagaimana penulis drama Tom Stoppard menulis,”
Dalam sebuah demokrasi, bukan pemungutan suara yang penting;
namun penghitungannya.”
Pada intinya, memastikan bahwa seorang pemilih dapat berbicara dan
didengar adalah isi dari buku berjudul Pedoman Untuk Memahami,
Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu (Guidelines for
Understanding, Adjudicating, and Resolving Disputes in Elections) ini. Buku
ini akan membantu memberikan pendidikan, prosedur dan keterampilan
yang diperlukan untuk memungkinkan orang-orang baik untuk melakukan
hal-hal yang benar — untuk menjamin bahwa tidak hanya pemilih dapat
menyuarakan dengan memberikan suara yang sah tetapi mereka akan
didengar dengan cara pilihan mereka dicatat sebagaimana mestinya ketika
suara mereka dihitung. Dengan jaminan ini, sebuah masyarakat yang
demokratis tidak hanya dapat bertahan, tetapi akan berkembang.
Paul H. Anderson
Hakim Anggota, Pengadilan Tinggi Minnesota (Associate Justice-
Minnesota Supreme Court)
xxiv
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Ketika keadilan suatu Pemilu dipertanyakan, kita memerlukan sebuah
proses penyelesaian keberatan yang efektif untuk menyaring fakta-fakta
dan menentukan apakah prosedur Pemilu yang semestinya telah dipatuhi
sebagaimana diatur dalam peraturan perUndang-undangan. Jika sudah,
maka hasil Pemilu mencerminkan keinginan masyarakat. Jika tidak, maka
tindakan perbaikan yang semestinya akan digunakan untuk memastikan
bahwa kehendak masyarakat akan diikuti.
IFES telah memberikan dukungan teknis dan logistik dalam melaksanakan
Pemilu yang demokratis untuk negara-negara di seluruh dunia. Bagian
yang penting dari pekerjaan ini adalah pelatihan anggota-anggota komisi,
advokat, hakim, kelompok masyarakat madani dan media dalam aspek
hukum dan praktis tentang penyelesaian sengketa Pemilu di bawah negara
hukum (rule of law).
IFES bekerja secara berdampingan dengan para perwakilan dari berbagai
badan administratif, legislatif dan yudikatif negara-negara tersebut dan
menyajikan informasi melalui sebuah panel yang terdiri dari para ahli dalam
hukum Pemilu internasional, serta para pemimpin kelompok kepentingan
dan profesional yang ada pada negara tersebut, agar para pemangku
kepentingan dapat mempertimbangkan berbagai evaluasi interaksi antara
standar internasional dan mekanisme hukum dan administrasi pada
penyelesaian keberatan pemilihan dari negara-negara tersebut. Presentasi
tersebut dan diskusi lanjutannya, memberikan kepada pemangku
kepentingan sebuah pemahaman yang jelas bagaimana mengantisipasi
permasalahan yang mungkin muncul dalam Pemilu mendatang, dan
bagaimana mengatasinya ketika hal tersebut terjadi.
Dimulai pada tahun 1965, pekerjaan saya dengan Pemilu melibatkan
penegakan Undang-undang Hak Pilih Amerika Serikat (U.S. Voting Rights
Act) dan Undang-undang hak pilih Amerika Serikat lainnya. Sejak tahun
1995, Saya telah bekerja sebagai pemantau Pemilu internasional, serta
telah terlibat dalam berbagai presentasi dan pelatihan tentang hak pilih,
prosedur hukum dan penyelesaian keberatan Pemilu di banyak negara di
empat benua. Berbagai upaya tersebut telah dipublikasi oleh IFES, The
Resolution of Election Disputes pada tahun 2006, yang sudah memasuki
edisi kedua pada tahun 2008.
xxv
Dengan latar belakang ini saya dengan senang hati menyambut Guidelines
for Understanding, Adjudicating, and Resolving Disputes in Elections
(GUARDE) IFES yang baru. Buku panduan GUARDE memberikan pembaca
semacam pemahaman penyelesaian sengketa Pemilu yang hanya anda
dapatkan dari pengalaman pelaku langsung.
Berbagai tujuan, isu, masalah dan teknik penyelesaian keberatan Pemilu
ditata dan dijelaskan secara mahir. Dari gambaran umum setiap topik
untuk menyakinkan berbagai ilustrasi praktik dan prosedur yang spesifik,
GUARDE menerapkan berbagai standar internasional terhadap persoalan-
persoalan praktis. Dengan melakukan hal tersebut, GUARDE menyoroti
topik-topik yang paling sesuai dengan penyelesaian keberatan Pemilu, dan
memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang seharusnya ditanyakan
oleh para administrator, arbiter dan hakim Pemilu.
Singkatnya, saya berpendapat bahwa GUARDE menyediakan suatu
himpunan yang sempurna dari perangkat-perangkat penting untuk
menciptakan sistem yang dapat dapat menerapkan prinsip-prinsip
penyelesaian keberatan Pemilu yang merupakan inti dari buku saya.
Barry H. Weinberg
Mantan Pejabat Ketua, Divisi Hak-Hak Sipil Bagian Pemungutan Suara
(Voting Section of the Civil Rights Division), Departemen Kehakiman
Amerika Serikat (United States Department of Justice)
xxvi
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
PENDAHULUAN
Kotak-kotak suara yang berisi surat suara yang diberikan pada Pemilu di Filipina bulan Mei tahun 2009, saat ini merupakan obyek sengketa kasus keberatan Pemilu, disegel dan diambil untuk dibawa ke Manila guna ditinjau oleh Tribunal Pemilu Dewan Perwakilan
Pengantar
3
Pendahuluan
Berangkat dari pengalaman 22 tahun dalam Pemilu, International Foundation
for Electoral Systems (IFES) telah mengumpulkan berbagai sumber daya, ahli
dan data untuk mengumpulkan suatu pedoman bagi penanganan keberatan
Pemilu. Pedoman ini berupaya untuk meningkatkan kepemimpinan teknis
United States Agency for International Development (USAID) dan Consortium
for Elections and Political Processes Support (CEPPS) dalam bidang ini.
Panduan ini dapat dimanfaatkan untuk mendidik para administrator Pemilu,
peradilan dan komunitas hukum, donor, dan para pemangku kepentingan
Pemilu mengenai berbagai mekanisme yang efektif untuk menyelesaikan
berbagai sengketa dan keberatan Pemilu baik melalui mekanisme penyelesaian
formal maupun alternatif.
Karena sangat beragamnya proses penanganan keberatan Pemilu yang ada
di seluruh dunia, setiap pemeriksaan dari sebuah mekanisme yang spesifik
harus dimulai dengan kajian tentang bagaimana sistem negara tersebut
diselenggarakan, dan bagaimana hal tersebut terkait dengan seluruh proses
Pemilu. Setiap lembaga pemeriksa sengketa dapat berbentuk yudikatif,
legislatif atau administratif, atau beberapa campuran di antara ketiganya.
Badan tersebut dapat berupa entitas yang permanen, atau dibentuk sebagai
antisipasi dari atau sebagai respon dari setiap Pemilu bilamana diadakan.
Badan itu dapat merupakan badan independen terhadap organ pemerintah
lainnya, atau dapat berupa pengadilan khusus atau badan administratif di dalam
pemerintahan. Setiap pertimbangan ini dapat mewarnai bagaimana lembaga
penanganan akan berinteraksi dengan hukum Pemilu dan sistem secara
keseluruhan. Terkadang dibutuhkan fleksibilitas dan kreativitas dalam proses
penanganan keberatan Pemilu untuk menghadapi jenis keberatan Pemilu yang
berbeda-beda. Aplikasi standar internasional dalam penanganan keberatan
Pemilu adalah sangat krusial; namun, seringkali beberapa keadaan luar biasa
memerlukan fleksibilitas yang besar dalam pelaksanaannya sepanjang mereka
tetap berada dalam batas minimum standar-standar internasional.
Terdapat beberapa penyimpangan dalam semua Pemilu yang besar, tetapi
tidak terlalu serius sehingga mengancam hasil Pemilu tersebut. Tetapi jika cacat
tersebut berkembang hingga ke tingkat yang dapat membahayakan kredibilitas
4
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
dan legitimasi Pemilu tersebut, maka langkah-langkah perbaikan harus diambil
sesegera mungkin dengan cara yang paling efektif. Oleh karena itu, pedoman
ini juga membantu menarik perhatian terhadap kebutuhan untuk menangani
masalah penanganan sengketa Pemilu guna meningkatkan kredibilitas Pemilu
itu sendiri.
Pembaca panduan ini seharusnya mengingat dua perbedaan yang
mempengaruhi penanganan keberatan Pemilu: sifat dan bobot keberatan.
Apakah sebuah keberatan terkait dengan masalah berskala besar, seperti
hasil Pemilu, tuduhan terjadinya tindak pidana, kecurangan yang tersebar luas
atau penyimpangan kecil, atau pelanggaran yang lebih kecil seperti aturan-
aturan kampanye, sertifikasi kandidat, pendaftaran pemilih, atau penempatan
poster, maka proses penanganan keberatan Pemilu akan berbeda. Secara
khusus, berbagai pertimbangan tentang sifat dan bobot sebuah gugatan
akan berdampak pada derajat keseimbangan yang akan dipertahankan antara
kebutuhan untuk melaksanakan suatu proses hukum yang berlaku atau suatu
penyelesaian yang cepat. Berbagai perbedaan ini dapat juga membutuhkan
sebuah badan penanganan untuk mempercepat atau memprioritaskan
penyelesaian gugatan tertentu, dan hal tersebut dapat mempengaruhi sifat
badan yang memiliki kewenangan untuk menanganinya.
Sistem peradilan yang efektif tidak hanya memberikan legitimasi dan
kredibilitas pada sebuah Pemilu, tetapi juga berfungsi sebagai alternatif
damai bagi berbagai respon pasca-Pemilu yang pada negara demokrasi yang
baru berkembang biasanya penuh dengan kekerasan. Sebuah mekanisme
yang kuat telah membuktikan kemutlakannya dalam menangkal malapetaka
dalam Pemilu tahun 2007 di Nigeria, demikian juga Pemilu di Afganistan pada
tahun 20071.
Timor-Leste juga merupakan contoh yang penting tentang bagaimana sebuah
sistem keberatan Pemilu yang transparan dan efektif digunakan sebagai cara
1 Grant Kippen, Electoral Complaints Adjudication: An Object Lesson from Afghanistan, Monday Developments, Mar. 2010, hal.17. Pentingnya menghindari kekerasan dalam demokrasi yang baru berkembang juga digarisbawahi oleh situasi di Irak: “‘Di Barat, ketika hak anda dirampas, anda pergi ke pengadilan. Tetap di Irak berbeda — ketika hak anda dirampas, (anda) mencari jalan kekerasan.’” Lara Jakes, Iraq’s Sunnis Bracing for Chaos After Election, Associated Press, 2 Mar, 2010 (mengutip Wakil Gubernur Satu Propinsi Anbar Hikmat Jasim ZaIdan yang berkomentar tentang Pemilu parlementer yang akan terjadi, dijadwalkan pada tanggal
Pengantar
5
untuk menghindari kekerasan terkait dengan Pemilu. Satu tahun sebelum
Pemilu nasional, ketidakpuasan yang tidak ditangani dengan baik di antara
kalangan militer negara tersebut telah memicu krisis yang sangat mengguncang
kepercayaan publik di demokrasi yang masih muda di Timor-Leste. Karena
tegangnya situasi politik sebelum pemilihan presiden and parlemen tahun
2007, sangat mendesak kebutuhan untuk penanganan ketidakpuasan terkait
Pemilu yang absah dan mengkomunikasikan berbagai keputusannya kepada
para pengadu2. Menanggapi ketiadaan proses keberatan formal, IFES
membantu Komisi Pemilu Nasional (National Elections Commission (CNE))
untuk merancang dan melaksanakan sebuah sistem penanganan keberatan
yang efektif. Upaya untuk memperkuat kinerja proses keberatan ini merupakan
langkah yang penting untuk mencegah berbagai ketidakpuasan terhadap hasil
Pemilu menjadi penggerak kekerasan dan kerusuhan.
Sebaliknya, kekerasan di Kenya menyusul pemilihan presiden tahun 2007
menunjukkan tidak memadainya mekanisme keberatan Pemilu3. Konstitusi
dan hukum Pemilu Kenya tentang pemilihan presiden dan parlemen mengatur
mekanisme untuk menggugat hasil pemilihan, namun secara prosedural,
gugatan tersebut baru dapat dilaksanakan ketika hasil Pemilu telah diumumkan.
Lebih jauh lagi, seperti halnya negara-negara Persemakmuran (Commonwealth
countries), pengadilan Kenya memiliki yurisdiksi untuk mengadili keberatan
Pemilu, tetapi lambatnya putusan, korupsi dan kurangnya kompetensi teknis
secara keseluruhan menggerogoti kepercayaan publik terhadap peradilan.
Banyak kekerasan mungkin dapat dihindari jika berbagai prinsip dan prosedur
untuk menerima dan mendengar tuduhan penyimpangan dan kecurangan
telah tersedia4.
2 Mary Lou Schramm et al., IFES, Timor-Leste: Conflict Resolution and Electoral Assistance 11-13 (2008).
3 Independent Review Commission on the General Elections, Kenya National Dialogue and Reconciliation (“Kriegler Commission”), Laporan Komisi Peninjau Independen tentang Pemilu yang diadakan di Kenya pada 27 Desember 2007 141 (2008) [setelah ini disebut Kriegler Commission Report] (“[Sebuah] kontributor material ditujukan untuk ketegangan di KICC, disiarkan secara langsung di seluruh negeri, atas ketiadaan mekanisme penyelesaian sengketa Pemilu yang efektif untuk menyelesaikan tantangan yang menumpuk terhadap integritas hasil dari kubu Kibaki.”), dapat dilihat di di http://www.dialoguekenya.org/docs/FinalReport_consolIdated.pdf; lihat juga Christopher Fomunyoh, Center for Humanitarian Dialogue, Mediation des Conflits Electoraux [Mediation of Electoral Conflicts] 13-14 (2009) (didiskusikan pada Pemilu presiden Republik Demokratik Kongo tahun 2006), dapat dilihat di https://www.ndi.org/files/Mediation_des_Conflits_Electoraux_FRE.pdf.
4 Kriegler Commission Report, supra note 3, at 139.
6
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Meskipun pentingnya struktur hukum untuk menangani keberatan Pemilu
bersifat universal, namun asal mula sistem-sistem ini bervariasi antara satu
dengan negara lainnya. Beberapa negara, seperti Ethiopia, menanggapi
dengan cepat melalui upaya-upaya sementara (ad hoc) untuk mempertahankan
integritas Pemilu setelah konflik tiba-tiba mulai bermunculan. Pemilu di
Ethiopia tahun 2005 terjebak dalam tuduhan berbagai penyimpangan, dan
otoritas Pemilu menanggapinya melalui pembentukan komite-komite untuk
memeriksa keberatan dan menyelidiki berbagai tuduhan yang berpotensi
memiliki alasan yang sah. Pemilu Republik Dominika tahun 1994 nyaris
berujung pada bencana yang kemudian menghasilkan implementasi segera
dari suatu sistem keberatan Pemilu yang kemudian menciptakan Pemilu yang
lebih stabil pada tahun 19965. Negara demokrasi yang lain seperti, Uruguay dan
Brazil, telah mengambil pendekatan jangka panjang, mengakui keprihatinan
terhadap korupsi dalam Pemilu dalam sejarah awal mereka, kemudian negara-
negara tersebut menggunakan menggunakan momentum konstitusional atau
legislasi utama mereka untuk mengkodifikasi mekanisme keberatan Pemilu
yang lebih bersifat jangka panjang6.
Pedoman ini membahas tujuh standar penanganan keberatan Pemilu yang
dapat memperkuat penanganan yang adil terhadap ketidakpuasan, pada pada
akhirnya melindungi hak publik terhadap partisipasi politik dan perwakilan
demokrasi. Setelah mengembangkan tujuh standar ini, pedoman ini akan
bergerak dari tataran kerangka teoritis ke tataran kerja lapangan praktis, beralih
pada para ahli dalam bidang penanganan keberatan Pemilu internasional
untuk membahas isu-isu programatik untuk melaksanakan standar-standar
ini. Diharapkan bahwa pembahasan prinsip dan praktik ini akan dapat
berfungsi sebagai sumber penting bagi para perancang Undang-undang dan
5 National Democratic Institute for International Affairs (NDI) & The Carter Center, The 1996 Presidential Election in the Dominican Republic 45-46 (1998), tersedia di http://aceproject.org/regions-en/countries-and-territories/DO/reports/Final_Report_Dominican_Republic_1996.pdf/view .
6 Di Uruguay, contohnya, hukum Pemilu yang menyediakan lembaga Pemilu yang bebas, dirancang pada tahun 1924 dan dimasukkan dalam Konstitusi 1932, menjadikannya sebagai sistem yang paling tua di Amerika Latin. Sara Staino, Uruguay: The Electoral Court — A Fourth Branch of Government? 1-2 (2006), tersedia di http://aceproject.org/ero-en/regions/americas/UY/Uruguay_The%20Electoral%20Court%20-%20A%20Fourth%20Branch%20of%20Government.pdf. Di Brazil, Superior Electoral Court, lembaga tertinggi peradilan Pemilu, dibentuk pada 24 Februari 1932, namun Konstitusi (Constitution of the New State), dibuat oleh Getúlio Vargas pada tahun 1937, menghapuskan Peradilan Pemilu tersebut. Dan pada 28 Mei, 1945, Surat Keputusan N0.7586/1945 (Decree Law 7586/1945) membentuk kembali Pengadilan Pemilu Superior. Sejarah Pengadilan Pemilu Superior, http://www.tse.gov.br/internet/ingles/institucional/o_tse.html (terakhir dikunjungi 6 Jan, 2011) [setelah ini disebut Brazil Superior Electoral Court].
Pengantar
7
administrator Pemilu ketika mereka mempertimbangkan proses penanganan
keberatan Pemilu mereka sendiri dan merancang berbagai inisiatif yang
baru untuk memperkuat proses keberatan Pemilu sebagai pilar penting dari
sistem Pemilu.
Catatan tentang Istilah
Di sepanjang buku ini, para penulis menggunakan beberapa kata untuk
menggambarkan berbagai lembaga dan prosedur yang digunakan dalam
demokrasi untuk melakukan penanganan atas sengketa, keberatan, sanggahan
yang terkait dengan Pemilu serta tuduhan pelanggaran hukum Pemilu.
Penyebutan penyelesaian sengketa Pemilu (Election Dispute Resolution atau
EDR namun dalam publikasi ini akan disebut sebagai ‘penyelesaian sengketa
pemilu’) untuk menggambarkan topik ini telah mendapat pendukung secara
internasional. Namun kata sengketa (dispute) menyiratkan ketidaksepakatan
dan terhadap gugatan itu mungkin hanya membutuhkan seorang arbiter atau
mediator untuk menyelesaikannya. Sengketa semacam itu hanya sebagian
kecil dari ketidakpuasan terkait dengan Pemilu, walaupun merupakan bagian
yang penting.
Sengketa dalam penyelesaian sengketa Pemilu dapat juga diartikan sebagai
bantahan terhadap hasil Pemilu, ketika hasil pemilihan resmi disanggah. Hal
menjadi tantangan yang signifikan bagi setiap sistem penyelesaian sengketa
Pemilu. Seringkali, pengadilan-pengadilan tingkat superior (Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi ataupun pengadilan Pemilu khusus lainnya) merupakan
forum untuk menyelesaikan berbagai gugatan tersebut, walaupun di beberapa
negara, suatu badan administratif yang terpisah dari pengadilan ditunjuk
melakukan tugas tersebut. Di beberapa negara lainnya, secara langsung
mengajukan gugatan terhadap hasil Pemilu tidak diizinkan, dimana seluruh
gugatan dan keberatan terhadap Pemilu ditangani oleh sistem pengadilan
pidana biasa. Sengketa Pemilu lainnya cenderung sering kurang penting,
seperti penentuan partai politik mana yang diizinkan untuk berkampanye di hari
tertentu atau lokasi tertentu menurut peraturan Pemilu. Sengketa yang kurang
serius ini dapat diputuskan oleh komisi Pemilu di tingkat lokal.
8
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Frase penanganan keberatan (dalam publikasi ini akan ditulis sebagai
penanganan keberatan) merupakan istilah lain yang digunakan untuk
menggambarkan proses penanganan ketidakpuasan yang diajukan oleh partai
politik, kandidat, pemilih ataupun peserta Pemilu lainnya. Keberatan yang
muncul pada fase awal dalam sebuah Pemilu, dalam periode pra kampanye,
ataupun pada hari pemilihan pada umumnya merupakan keberatan terhadap
tuduhan penolakan hak (bisa meliputi pendaftaran pemilih atau pengesahan
kandidat) atau berbagai tuduhan tindakan pelanggaran (pelanggaran hukum
Pemilu, peraturan ataupun prosedur) ketimbang hanya sekedar perselisihan
biasa atau gugatan bersaingan. Pengaduan-keberatan jenis ini seringkali
menimbulkan masalah yang lebih besar bagi otoritas Pemilu, pengadilan
ataupun badan lainnya yang membentuk sistem penyelesaian sengketa pemilu
karena jumlahnya yang banyak dan mendesaknya keberatan karena singkatnya
jangka waktu pemilihan. Untuk sebagian besar, “penanganan keberatan
Pemilu” dapat dilihat memiliki arti yang sama dengan penyelesaian sengketa
pemilu, tetapi mencakup serangkaian situasi yang lebih luas dan lebih fokus
pada proses peradilan formal atau proses administratif dalam penyelesaiannya.
Keberatan atas penyimpangan berat yang masuk kepada pelanggaran pidana
hukum Pemilu (atau Undang-undang terkait) mungkin layak dipertimbangkan
untuk diteruskan ke tahap penuntutan pidana, Tuduhan penyimpangan berat
hampir selalu ditujukan kepada polisi, jaksa dan pengadilan untuk penyelidikan
dan kemungkinan penuntutan— diluar sistem administratif bagi penyelesaian
sengketa pemilu — walaupun badan khusus keberatan pemilihan (special
electoral complaint bodies) atau tribunal yudisial yang dibentuk dapat juga
memiliki kewenangan untuk memeriksa tindak pidana atas pelanggaran
Undang-undang di dalam yurisdiksinya.
Bab-bab berikut ini akan kerap merujuk pada Badan Penyelenggara Pemilu
(Electoral Management Bodies atau biasa disingkat EMB, namun untuk
publikasi ini akan dipakai istilah ‘Badan Penyelenggara Pemilu’) sebuah istilah
yang mewakili semua untuk badan atau lembaga pemerintah bertanggung
jawab untuk mengorganisasikan, mengkoordinasikan dan mengawasi proses
pemilihan. Sifat detail suatu Badan Penyelenggara Pemilu akan berbeda
antara satu negara dengan negara lainnya — Badan Penyelenggara Pemilu
di satu negara dapat berbentuk badan independen, atau merupakan bagian
dari kementerian ataupun departemen yang lebih besar. Mungkin terdapat
Pengantar
9
satu Badan Penyelenggara Pemilu yang mengawasi seluruh pemilihan di
satu negara, atau semua propinsi, negara bagian atau preferektur memiliki
badan penyelenggaranya sendiri. Badan Penyelenggara Pemilu bisa juga
hanya bertangggung jawab semata-mata atas adminsitrasi Pemilu, atau juga
ditugaskan dengan hasil penghitungan dan melakukan penanganan keberatan.
Secara umum, ketika para penulis merujuk pada Badan Penyelenggara Pemilu,
mereka berbicara mengenai badan yang mengurusi Pemilu, yang secara
umum diasumsikan berbeda dari badan penanganan keberatan Pemilu (karena
berbagai perbedaan fungsi yang akan dibahas dalam buku ini).
10
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
11
STANDAR-STANDAR INTERNASIONAL
1
Petugas Pemungutan suara di Banda Aceh menghitung suara di hadapan pemantau pemilihan dalam Pemilu Legislatif Indonesia tahun 2009
12
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
13
Berbagai Standar Internasional dalam Penyelesaian Sengketa Pemilu
Suatu perangkat penting pengamanan integritas Pemilu terletak
pada penyelesaian keberatan yang efektif… Proses Pemilu tidak
hanya terbatas pada memberikan suara pada saat pemilihan dan
kemudian pengumuman hasilnya setelah itu. Terdapat serangkaian
proses lainnya, seperti pembagian negara menjadi daerah
pemilihan, pendaftaran pemilih yang memenuhi syarat, pendaftaran
partai politik, penyelenggaraan sistem pemungutan suara
secara keseluruhan untuk mengelola dan melaksanakan pemilu
yang diakhiri dengan pengumuman hasilnya, dan seterusnya7.
Lady Justice Georgina T. Wood, Ketua Mahkamah Agung Ghana
Selama dua dekade terakhir, IFES telah mendedikasikan diri untuk
memberikan bantuan teknis Pemilu untuk negara-negara di seluruh
dunia. Selama itu juga, semakin jelas bahwa pernyataan Lady Justice
Wood adalah benar adanya: sebuah penyelesaian keberatan yang efektif
merupakan kesatuan yang utuh dalam menjamin integritas dan legitimasi
suatu sistem Pemilu.
Dalam usaha untuk membimbing para penyelenggara, pelaksana, donor
serta para pemangku kepentingan Pemilu untuk menyelesaikan keberatan
Pemilu secara efektif, IFES berdasarkan praktik-praktik global internasional
telah mengidentifikasi tujuh prinsip standar dalam penanganan keberatan
Pemilu. Standar-standar ini berangkat dari hak fundamental yang telah
diakui secara luas, yaitu hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, dan
pada gilirannya berbagai standar ini berfungsi sebagai sebuah metode untuk
melindungi dan menegakkan hak partisipasi yang bersifat menyeluruh
ini. Komunitas hak asasi manusia telah mengidentifikasi beberapa aspek
hak asasi manusia sebagai hak tidak dapat dipisahkan (inalienable),
termasuk hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan serta, yang paling
7 Lady Justice Georgina T. Wood Ketua Mahkamah Agung Republik Ghana, Kata Pengantar untuk Mahkamah Agung Ghana, Manual and Statutes on Elections Adjudicating in Ghana (2008) [setelah ini disebut Ghana Manual], dapat dilihat di http://www.judicial.gov.gh/c.i/content/forward.htm.
14
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
sesuai dengan kebutuhan kita, yaitu hak untuk mengambil bagian dalam
pemerintahan melalui perwakilan yang dipilih secara adil. Sebagaimana
telah dinyatakan oleh Komisi Hak Asasi Manusia Amerika (American
Commission on Human Rights), “hak-hak politik adalah hak asasi manusia
yang penting sehingga penghentiannya merupakan hal yang terlarang.”8
Hak-hak politik yang mendasar ini memberikan landasan bagi tata kelola
yang memiliki legitimasi, yang dapat dicapai dengan pelaksanaan Pemilu.
Bahkan Pemilu memang merupakan peristiwa hak asasi manusia;9 karena
Pemilu merupakan alat bagi orang untuk menyatakan kemauan politik
mereka. Pemilu merupakan mekanisme yang paling penting dan paling
umum bagi pelaksanaan hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.
Hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan juga diabadikan dalam
setiap konvensi internasional utama hak asasi manusia. Berbagai konvensi
ini, yang mengakui berbagai standar internasional dalam bidang hak
asasi manusia, secara khusus menyoroti dan membahas pentingnya
partisipasi politik dan Pemilu. Pasal 21 ayat 1 Deklarasi Umum Hak Asasi
Manusia (DUHAM) menyatakan bahwa,“ setiap orang memiliki hak untuk
mengambil bagian dalam pemerintahan di negaranya baik secara langsung
ataupun melalui perwakilan yang dipilih secara bebas.”10 Selain itu kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil
and Political Rights-ICCPR) menyatakan bahwa:
Setiap warganegara memiliki hak dan kesempatan, tanpa ada
pembedaan sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 dan tanpa
pembatasan yang tidak masuk akal (a) mengambil bagian dalam
pelaksanaan berbagai urusan publik, secara langsung ataupun melalui
perwakilan yang dipilih secara bebas, (b) untuk memilih dan dipilih
pada periode pemililhan umum yang sebenarnya yang wajib berupa
8 Castanéda Gutman v. Mexico, Case 12.525, Inter-Am. Comm’n H.R. Report No. 113/06. ¶¶ 92, 140 (2008).
9 Pusat Hak Asasi Manusia PBB, Professional Training Series No. 2, Human Rights and Elections: A Handbook on the Legal, Technical and Human Rights Aspects of Elections, at v (1994) [setelah ini disebut Human Rights and Elections Handbook], tersedia di http://www.ohchr. org/Documents/Publications/training2en.pdf.
10 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), G.A. Res. 217 (III) A, art. 21, U.N. Doc. A/ RES/217(III) (10 Des, 1948) [setelah ini disebut UDHR], tersedia di http://www.un.org/en/documents/udhr/.
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
15
hak pilih yang bersifat universal dan setara dan wajib diadakan
dengan surat suara yang bersifat rahasia, yang menjamin kebebasan
menyatakan kehendak dari si pemilih.11
Prinsip ini menegakkan gagasan Pemilu yang demokratis dan memastikan
kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul, berserikat dan berekspresi.
Selain itu, secara implisit dan terkait dengan hak-hak ini adalah larangan
terhadap diskriminasi yang telah diakui secara luas.12
Pengakuan hak-hak politik ditemukan di dalam berbagai traktat internasional
– baik untuk tata kelola yang bersifat partisipatif dan menentang diskriminasi
yang tidak masuk akal. – yang lebih lanjut ditopang oleh dukungan yang
serupa di dalam hampir setiap traktat utama hak asasi manusia regional.13
Baik sistem hak Asasi Inter-Amerika dan Afrika memberikan warga
11 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights), G.A. Res. 2200 (XXI) A, art. 25, U.N. GAOR, 21st Sess., Supp. No. 16, U.N. Doc. A/6316, at 52 (16 Des, 1966), 999 U.N.T.S. 171 (berlaku mulai 23 Maret 1976) [setelah ini disebut ICCPR], dapat dilihat di http://www2.ohchr.org/ english/law/ccpr.htm; ICCPR, supra, art. 2, ¶ 1; International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, G.A. Res. 2200 (XXI) A, art. 2, ¶ 1, U.N. GAOR, 21st Sess., Supp. No. 16, U.N. Doc. A/6316, at 49 (16 Desember 1966), 993 U.N.T.S. 3 (berlaku mulai 3 Jan, 1976) [setelah ini disebut ICESCR], dapat dilihat di http://www2.ohchr.org/English/law/cescr.htm.
12 Kovenan Internasional tentang Pemberantasan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination, G.A. Res. 2106 (XX), art. 5(c), U.N. GAOR, 20th Sess., Supp. No. 14, U.N. Doc. A/6014, at 47 (Dec. 21, 1965), 660 U.N.T.S. 195 (berlaku mulai 4 Jan, 1969) [setelah ini disebut CERD] (melarang diskriminasi dalam menikmati hak politik), dapat dilihat di http://www2.ohchr.org/english/law/cerd.htm; U.N. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women, G.A. Res. 34/180, art 7, U.N. GAOR, 34th Sess., Supp. No. 46, U.N. Doc. A/34/46, at 193 (18 Des, 1979) [setelah ini disebut CEDAW], dapat dilihat di http://www.un.org/womenwatch/daw/cedaw/text/econvention.htm; ICCPR, supra note 11, art. 22; UDHR, supra note 10, art 20.
13 Penting untuk dicatat bahwa Komisi Hak Asasi Manusia ASEAN (Association of Southeast Asian Nations Human Rights Commission) yang baru mengecewakan dalam hal ini. Deklarasi ASEAN tidak membuat sedikitpun referensi mengenai hak asasi manusia atau hak berpartisipasi dalam pemerintahan. ASEAN, Bangkok Declaration (8 Agus, 1967), dapat dilihat di http://www.aseansec.org/1212.htm. Namun, dalam Rancangan Perjanjian tentang Pembentukan Komisi Hak Asasi Manusia ASEAN (Draft of Agreement on the Establishment of the ASEAN Human Rights Commission), pasal 2 menyatakan bahwa “inspirasi dapat diambil dari hukum internasional mengenai hak asasi manusia . . . . Instrumen hukum internasional yang relevan termasuk Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948, Deklarasi PBB tentang Hak untuk Pembangunan 1986 (United Nations Declaration on the Right to Development), Deklarasi Vienna dan Program Aksi Konferensi Dunia tentang Hak asasi Manusia 1993 (1993 Vienna Declaration and Programme of Action of the World Conference on Human Rights), serta traktat yang telah diaksesi oleh Negara-negara Penandatangan (Contracting States).” ASEAN, Draft of Agreement on the Establishment of the ASEAN Human Rights Commission, art. 2, dapat dilihat di http://www.aseanhrmech.org/downloads/draft-agreement.pdf
16
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
negara hak untuk berpartisipasi di dalam pemerintahan.14 Konvensi Eropa
untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kekebasan Dasar (European
Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental
Freedoms) menyatakan bahwa “Pihak yang menandatangani (High
Contracting Parties) melaksanakan Pemilu yang bebas dengan interval
waktu yang masuk akal, dengan surat suara yang rahasia, di bawah kondisi
yang menjamin kebebasan menyatakan pendapat dalam memilih orang-
orang yang akan duduk pada lembaga pada lembaga legislatif.”15
Meskipun demikian, tidak ada persyaratan bahwa oleh negara-negara yang
berdaulat harus melaksanakan bentuk proses Pemilu tertentu.16 Malahan,
penegakan perjanjian tersebut biasanya dilakukan melalui pengadilan
domestik dan internasional, dengan menggunakan berbagai standar
internasional untuk menafsirkan berbagai kewajiban yang timbul dari
traktat tersebut dan memastikan bahwa sebuah proses Pemilu berjalan
sesuai dengan hak asasi manusia yaitu partisipasi politik.17
Sebagai contoh, Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (European Court of
Human Rights) selama ini telah sangat proaktif dalam menafsirkan luasnya
istilah hak-hak politik, yang menafsirkan ketentuan yang dinyatakan
diatas dari Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan
Kebebasan Dasar (European Convention for the Protection of Human
Rights and Fundamental Freedoms) untuk mengabadikan sebuah prinsip
14 Pasal 23 Konvensi Amerika (American Convention) menyatakan “semua warga negara mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.” Inter-American Convention on Human Rights, art. 23, 22 Nov, 1969, O.A.S.T.S. No. 36 [setelah ini disebut American Convention], dapat dilihat di http://www.oas.org/jurIdico/English/treaties/b-32.html. Piagam Afrika (African Charter) menjamin bahwa setiap warga negara memiliki “hak untuk berpartisipasi secara bebas dalam pemerintahan negaranya.” African Charter on Human and Peoples’ Rights, art.13, 27 Juni, 1981, OAU Doc. CAB/LEG/67/3 rev. 5, 21 I.L.M. 58 (diberlakukan 21 Okt, 1986) [setelah ini disebut African Charter], dapat dilihat di http://www1.umn.edu/humanrts/instree/z1afchar.htm.
15 Protokol Nomor 1 dari Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar (Protocol No. 1 to the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms), art. 3, Mar. 20, 1952, C.E.T.S. No. 9 (berlaku 18 Mei, 1954), dapat dilihat di http://conventions.coe.int/Treaty/en/Treaties/Html/009.htm.
16 Lihat juga Yumak v. Turkey, Eur. Ct. H.R., App. No. 10226/03, Keputusan 8 Juli 2008, ¶ 110- 11.
17 The Georgian Labour Party v. Georgia, Eur. Ct. H.R., App. No. 9103/04, Keputusan 8 Okt 2008, ¶ 104 (“[Sementara mengakui kebebasan Negara dalam mengorganisasikan administrasi Pemilu-nya, Pengadilan harus menetapkan apakah terdapat Undang-undang khusus komisi Pemilu
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
17
yang mendasar untuk demokrasi politis yang efektif.18 Karena itu Konvensi
Eropa tersebut merupakan hal yang amat penting dalam sistem konvensi.
Secara umum, sistem-sistem internasional dan regional ini membantu
mempertahankan aplikasi prinsip-prinsip ini dalam berbagai sistem
Pemilu. Prinsip-prinsip universal digunakan untuk menafasirkan kewajiban
yang harus dipenuhi oleh suatu sistem, tanpa mendikte desain dari
sistem tersebut.
Dengan demikian sementara berbagai negara menikmati serangkaian
pilihan yang luas dalam implementasi hak Pemilu, Konvensi Eropa untuk
Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar mengakui, sebagai
contoh, bahwa pada saat penegakan ketentuan yang relevan yang menjamin
Pemilu yang bebas dan adil, yaitu “pada tingkat akhir adalah kewenangan
pengadilan apakah [negara tersebut telah tunduk pada] persyaratan
18 Mathieu-Mohin v. Belgium, Eur. Ct. H.R., Series A no. 113, Keputusan 2 Maret 1987, ¶ 47. Pengadilan bertindak jauh melampaui kasus dan mengakui bahwa pasal “Pemilu yang bebas”melindungi hak warga negara untuk memilih dan dipilih demikian juga seseorang memiliki hak untuk menggugat. Jurij Toplak, European Parliament Elections and the Uniform Election Procedure 6 (International Association of Constitutional Law, Makalah untuk VIIth World Congress, 11-15 Juni, 2007), dapat dilihat di http://www.enelsyn.gr/papers/w3/Paper by Jurij Toplak.pdf. Dalam Krasnov v. Russia, Pengadilan kembali menegaskan bahwa pasal 3 dari Protokol No. 1 secara tersirat mengakui hak untuk dipilih dalam Pemilu. Krasnov v. Russia, Eur. Ct. H.R., App. Nos. 17864/04 dan 21396/04, Keputusan 19 Juli 2007, ¶ 40
Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar
(European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms)
Pasal 1, Ayat 3
“Pihak yang menandatangani (High Contracting Parties) melaksanakan pemilu yang bebas dengan interval waktu yang masuk akal, dengan surat suara yang rahasia, di bawah kondisi yang menjamin kebebasan menyatakan pendapat dalam memilih orang-orang yang akan duduk pada lembaga pada lembaga legislatif
18
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pasal 3 Protokol No. 1.”19 Sehingga, negara dapat membangun sistem
penanganan keberatan Pemilu mereka sendiri sepanjang dalam analisis
akhirnya mereka tetap berada dalam batas-batas standar minimum ini.20
Apakah keberatan Pemilu diselesaikan oleh sebuah mahkamah konstitusi,
tribunal independen, suatu badan legislatif atau komisi keberatan Pemilu,
prinsip-prinsip standar internasional akan sama berlaku terhadap lembaga-
lembaga yang berbeda ini.21 Badan-badan penanganan keberatan Pemilu
seharusnya memperhitungkan standar-standar ini untuk memastikan
bahwa ketentuan-ketentuan tersebut tidak terjebak pada tataran teoritis
atau ilusif namun harus bersifat praktis dan efektif.22
Hak-hak politik didefinisikan melalui konvensi, statuta dan putusan
pengadilan dan lebih lanjut ditafsirkan melalui panduan, pedoman perilaku
(code of conduct) dan laporan-laporan yang ditulis oleh lembaga antar-
pemerintah dan non-pemerintah. Walaupun berbagai dokumen ini tidak
bersifat mengikat, mereka memperjelas tujuh standar internasional yang
akan didiskusikan sepanjang publikasi ini.
Setiap pedoman yang berupaya mencakup serangkaian permutasi yang
berasal dari pelaksanaan standar yang beragam harus juga menganalisis
19 Yumak v. Turkey, Eur. Ct. H.R., App. No. 10226/03, Keputusan 8 Juli 2008, ¶¶ 74, 110-115, 147-148 (“Ambang batas sebesar 4 persen dibutuhkan untuk memilih 25 persen anggota Majelis Rendah (Chamber of Deputies) lainnya dan bahkan “sebuah sistem yang menetapkan ambang batas yang relatif tinggi dapat diterima oleh banyak pihak ambang batas tersebut tidak dapat dianggap bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 3 of Protocol No. 1 yang cukup mendorong pemikiran yang berkembang saat ini dan memungkinkannya untuk menghindari fragmentasi parlementer yang berlebihan.” (mengutip Magnago v. Italy, App. No. 25035/94, Eur. Comm’n H.R., Dec. of 15 Apr. 1996, DR 85-A, p. 116) (mengutip Partija “Jaunie Demokrāti” v. Latvia, Eur. Ct. H.R., App. Nos. 10547/07 dan 34049/07, Keputusan 29 Nov. 2007)); lihat juga Zdanoka v. Latvia, Eur. Ct. H.R., App. No. 58278/00, Keputusan16 Maret 2006, ¶ 115; Mathieu-Mohin v. Belgium, Eur. Ct. H.R., Series A no. 113, Keputusan 2 Maret 1987, ¶ 54.
20 Zdanoka v. Latvia, Eur. Ct. H.R., App. No. 58278/00, Keputusan16 Maret 2006, ¶ 115 (“[Hal ini] bagi Pengadilan untuk menentukan sebagai the last resort apakah persyaratan Pasal 3 dari Protokol No. 1 telah terpenuhi.”).
21 Constitución Política de la República Oriental del Uruguay [Political Constitution of the Eastern Republic of Uruguay] 15 Feb, 1967, pasal 322(c) (membentuk Pengadilan Pemilu yang otonom dan mandiri “ untuk menentukan keputusan akhir terhadap semua permohonan dan gugatan yang muncul, dan memutuskan jabatan-jabatan yang dipilih berdasarkan plebisit dan referendum”); lihat juga Constitution of the Hashemite Kingdom of Jordan Jan, 1 1952, pt. II, art. 71 (“Setiap pemilih berhak mengajukan gugatan kepada Sekretariat Majelis Rendah dalam lima belas hari setelah pengumuman hasil Pemilu dalam daerah pemilihannya yang menetapkan dasar hukum untuk membatalkan pemilihan Majelis Rendah. Tidak ada Pemilu yang dapat dinyatakan tidak sah kecuali telah disetujui oleh mayoritas dua-pertiga dari Anggota Majelis.”).
22 Lihat Krasnov v. Russia, Eur. Ct. H.R., App. Nos. 17864/04 dan 21396/04, ¶ 42; lihat juga United Communist Party of Turkey v. Turkey, Eur. Ct. H.R, App. No. 133/1996/752/951, Keputusan 30 Jan. 1998, ¶ 33.
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
19
sejumlah proses Pemilu dan praktik-praktik negara. Walaupun terdapat
berbagai keterbatasan praktis dari upaya ini, seperti kegagalan negara-
negara tersebut untuk mempublikasikan atau menerjemahkan berbagai
keputusan domestik untuk konsumsi yang lebih luas,23 pedoman ini
berusaha untuk memaparkan semua sumber daya yang tersedia untuk
sebaik mungkin memberikan dukungan bagi pelaksanaan prinsip-prinsip
yang akan disebutkan di bawah.
Terdapat banyak kesepakatan mengenai partisipasi dalam tata kelola
sebagai hak dasar, yang termasuk didalamnya hak memilih dan dipilih.
Terdapat juga bagian dari standar yang berhubungan dengan hak individu
dalam proses peradilan, serta berbagai hak individu dan entitas di bawah
proses keberatan Pemilu, dan badan yang menangani sengketa-sengketa
tersebut. Pada bagian berikutnya kami akan menggambarkan titik temu
antara standar-standar ini dan bagaimana mereka menerapkannya untuk
penanganan keberatan Pemilu, dan pedoman apa yang mereka sajikan
bagi rancangan dan administrasi sistem penanganan keberatan.
Tujuh standar internasional yang akan seringkali dirujuk oleh buku ini
adalah:
1. Hak untuk memperoleh Pemulihan pada keberatan dan
sengketa Pemilu
2. Sebuah rezim standar dan prosedur Pemilu yang didefinisikan
secara jelas
3. Arbiter yang tidak memihak dan memiliki pengetahuan
4. Sebuah sistem peradilan yang mampu menyelesaikan putusan
dengan cepat
5. Penentuan beban pembuktian dan standar bukti yang jelas
6. Ketersediaan tindakan perbaikan yang berarti dan efektif
7. Pendidikan yang efektif bagi para pemangku kepentingan
23 Secara khusus, “hasil dari kasus umumnya tidak dipublikasikan atau tersedia di internet, dan jarang diterjemahkan dari bahasa aslinya.” Robert A. Dahl, Legal Policy Advisor, IFES, Dinyatakan sebelum Sidang Umum Association of Asian Election Authorities: Electoral Complaint Adjudication and Dispute Resolution (22 Juli, 2008), dapat dilihat di http://210.69.23.129/d_6.html (ikuti tautan atau teks lengkap dari keynote speech).
20
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
1. Hak Untuk Memperoleh Pemulihan pada Keberatan Dan Sengketa Pemilu
Ketentuan publik tentang cara yang jelas untuk memperoleh perbaikan
atas berbagai penyimpangan Pemilu adalah krusial untuk mempertahankan
sistem penanganan keberatan Pemilu yang secara memadai mendukung
partisipasi publik dalam pemerintahan.
Karena kepercayaan publik akan memberikan pemenang pemilihan,
legitimasi yang diperlukan untuk memerintah, kepercayaan dalam
proses tersebut mutlak untuk membangun, memulihkan atau
memelihara demokrasi.24 Kepercayaan ini, pada gilirannya memerlukan
sebuah cara yang transparan untuk dapat mengajukan gugatan dan
mengupayakan pemulihannya.
A. TujuanFungsi utama sebuah badan keberatan Pemilu adalah untuk menjaga
kredibilitas dan keandalan melalui tersedianya suatu hak tindakan hukum
yang jelas bagi perorangan dan pihak-pihak yang relevan.25 Mekanisme
ini harus mencakup hak dasar untuk memperoleh pertimbangan yudisial
dengan harapan tercapainya suatu perbaikan yang efektif — sebuah standar
dasar yang diakui oleh kebanyakan traktat dan peraturan internasional dan
domestik.26 Jaminan hak untuk memperoleh pemulihan harus dinyatakan
secara jelas dalam Undang-undang dan diketahui oleh masyarakat umum;
ketika berhadapan dengan berbagai penyimpangan Pemilu di dalam sebuah
pemilihan yang gagal, “publik harus dapat memahami mengapa pemilihan
tersebut gagal serta kemudian menerima bagaimana hal tersebut akan
diperbaiki.”27 Hal ini khususnya menjadi penting ketika yang dipertaruhkan
adalah hasil Pemilu yang sebenarnya. Secara khusus, masyarakat sipil,
partai politik dan perorangan perlu mengetahui: 1) lembaga mana yang
24 Grant Kippen, Afghanistan Research and Evaluation Unit, Elections in 2009 and 2010: Technical and Contextual Challenges to Building Democracy in Afghanistan 3, 19 (2008), dapat dilihat di http://www.unhcr.org/refworld/docId/492c0e5b2.html.
25 Steven H. Huefner, Remedying Election Wrongs, 44 Harv. J. on Legis. 265, 291 (2007).26 UDHR, supra note 10, art.8; ICCPR, supra note 11, art. 2, § 3(a),(c); African Charter,
supra note 14, art. 7, § 1; European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms, art. 13, 4 Nov, 1950, C.E.T.S. No. 5 (diberlakukan 3 September, 1953) [setelah ini disebut Konvensi Eropa], dapat dilihat: http://conventions.coe.int/Treaty/en/Treaties/ Html/005.htm.
27 Huefner, supra note 25, at 291-92.
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
21
akan bertanggung jawab terhadap gugatan mereka; 2) proses kronologis
untuk mengajukan gugatan tersebut; dan 3) aturan prosedural dan aturan
substantif mana yang akan mengatur keberatan mereka.28
B. ProsesHak untuk memperoleh pemulihan memerlukan proses yang memadai
untuk mengupayakan gugatan tersebut. Kebutuhan ini semestinya
menyadarkan negara untuk memberikan pedoman yang jelas mengenai
proses yang tersedia untuk mengajukan suatu gugatan dalam sebuah
sistem keberatan Pemilu, karena kurangnya transparansi yang mendasar
dapat, dan seringkali, menyebabkan ditolaknya gugatan penyimpangan
yang sebenarnya memiliki dasar. Menyediakan proses ini seringkali
menjadi tantangan bagi demokrasi pemula.
Pemililihan umum parlemen dan dewan provinsi tahun 2005 di Afganistan
memberikan kita suatu contoh tentang proses keberatan Pemilu
dalam sebuah negara pasca-konflik. Komisi Keberatan Pemilu (Election
Complaints Commission/ECC) membatalkan banyak gugatan atas dasar
gugatan tersebut tidak termasuk dalam kategori pelanggaran Pemilu atau
tidak terdokumentasi secara baik. Banyaknya pembatalan ini menunjukkan
kurangnya informasi yang diberikan kepada masyarakat umum mengenai
proses keberatan. Menyikapi hal tersebut, International Crisis Group
merekomendasikan bahwa ECC seharusnya “menciptakan sebuah proses
keberatan yang lebih terbuka dengan melaksanakan sebuah kampanye
kesadaran publik yang bersifat high-profile dan melaksanakan pelatihan
bagi organisasi masyarakat sipil untuk membantu pemahaman mengenai
dasar memasukkan gugatan dan standar bukti yang diperlukan.”29 ECC
memberikan tanggapan sebelum Pemilu presiden tahun 2009 dengan:
menerbitkan sebuah dokumen yang menggambarkan sistem manajemen
keberatan; menyediakan aturan-aturan prosedurnya, pedoman perilaku
yang dianut oleh anggota komisi, dan formulir keberatan di situs internet-
nya; dan menjelaskan kepada warga negara Afganistan kemana mereka
28 Constitutional Court of the Republic of Indonesia, Handbook on Election Result Dispute Settlement 1, 9 (2004), dapat dilihat di http://aceproject.org/ero-en/topics/electoral-disputeresolution/Handbook_Election_Result_Dispute_Settlement.pdf/view; UU No. 24/2003, pasal. 74(1) (Indon.), Regulasi No. 04/PMK/2004 (Indon.).
29 International Crisis Group, Asia Report No. 171, Afghanistan’s Election Challenges, at ii (2009) [setelah ini disebut Afghanistan Challenges], dapat dilihat di http://www.crisisgroup.org/en/regions/asia/south-asia/afghanistan/171-afghanistans-election-challenges.aspx.
22
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
seharusnya memasukkan gugatan mereka dan proses yang dilalui oleh
gugatan tersebut setelah dimasukkan.30 Namun, kasus-kasus di Afganistan,
parahnya masalah dan tingginya jumlah gugatan-gugatan tersebut
membuat sulit untuk memberikan informasi yang tepat waktu mengenai
status dari penanganan keberatan tersebut. Terlebih lagi, memastikan
bahwa publik bisa memperoleh akses terhadap informasi yang diperlukan
untuk mengerti proses penanganan keberatan memerlukan sumber daya
yang tidak selalu tersedia bagi otoritas Pemilu.31
C. TransparansiTransparansi dalam sistem dan proses penanganan keberatan Pemilu
akan membangun kepercayaan publik yang pada akhirnya akan
melegitimasi hasil dari keberatan. Untuk menjamin efektivitas atas
hak untuk memperoleh perbaikan, para pemilih, partai politik, kandidat
dan media harus mengetahui lembaga mana yang memiliki yurisdiksi
untuk menangani gugatan dan keberatan terhadap Pemilu, bagaimana
hal itu dibentuk, otoritas mana yang menunjuk atau mencalonkan para
anggotanya, dan bagaimana untuk mengajukan gugatan. Karena terdapat
beragam mekanisme untuk melakukan penanganan keberatan Pemilu
yang ada di seluruh dunia, setiap negara harus menyediakan informasi
yang diperlukan untuk mengerti dan mengakses sistem penanganan yang
unik kepada masing-masing warga negara-nya.
Terlebih lagi, transparansi mempersyaratkan badan keberatan Pemilu untuk
memberikan informasi terkini (update) kepada penggugat tentang status
gugatan mereka, termasuk memberitahukan tentang sidang berikutnya
30 Electoral Complaints Commission, Narrative Description of the Complaints Management System 1 (2009) (“Mengembangkan dan melaksanakan sebuah sistem manajemen keberatan yang efektif dan transparan mungkin merupakan satu [langkah] terpenting dalam menentukan apakah Pemilu sebuah negara dapat dilihat sebagai Pemilu yang bebas, adil dan sah oleh para pemilih sebuah negara.”).
31 Id. at 3-5. Memang setelah Pemilu Afganistan, NDI menekankan “minimnya informasi yang tepat waktu tentang status keberatan menyebabkan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan tentang proses dan efektivitas-nya.” NDI, Preliminary Statement of the NDI Election Observer Delegation to Afghanistan’s 2009 Presidential and Provincial Council Elections 9 (22 Agust, 2009), dapat dilihat di http://www.ndi.org/files/Afghanistan_EOM_Preliminary_Statement.pdf.
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
23
atau putusan.32 Hak untuk memperoleh pemulihan mencakup hak untuk
menempuh proses hukum yang berlaku (due process), dan informasi
dasar seperti pemberitahuan yang sifatnya mutlak bagi proses tersebut.
Sayangnya hal ini tidak selalu mudah untuk dilaksanakan, namun ketika
ada berbagai penyimpangan yang bersifat serius, lembaga penanganan
seharusnya menjadwalkan suatu sidang dan memungkinkan para
penggugat untuk mengetahui sepenuhnya tentang status gugatan mereka.
Suatu hak untuk memperoleh pemulihan yang transparan memerlukan
partisipasi aktif dari sisi negara untuk memastikan bahwa penggugat
akan berhasil ketika gugatan mereka memiliki nilai. Hal ini mengharuskan
negara untuk menyediakan berbagai dokumen atau materi yang relevan
yang diperlukan untuk mendukung gugatan ke tribunal Pemilu.33 Dalam
istilah praktis, dokumen-dokumen tersebut dapat berupa Undang-undang
Pemilu, daftar pemilih, jadwal kampanye, tata tertib pengajuan gugatan,
status gugatan, atau pedoman tata tertib yang digunakan oleh para petugas
Pemilu. Sebagai contoh di Pakistan, Komisi Pemilu (Election Commission/
ECP) mendistribusikan Buku Panduan Penyelesaian Sengketa Pemilu
(Election Dispute Resolution Handbook) kepada pusat-pusat informasi
Majelis Provinsi (Provincial Assembly resource centers) dan langsung
kepada para anggota Majelis Nasional dan Senat.34 Selain itu, ECP
menerbitkan formulir yang dapat diunduh dalam situs internetnya dan juga
informasi terkini tentang laporan harian mengenai penanganan keberatan,
termasuk daftar jumlah angka keberatan yang diterima Sekretariat Federal,
dibagi menurut provinsi dan sifat keberatan, serta formulir dan instruksi
gugatan.35 Berbagai upaya semacam itu telah menyumbangkan transparasi
32 International Crisis Group, Asia Report No. 101, Afghanistan Elections: Endgame or New Beginning?, at iii (2005) (merekomendasikan “mempublikasikan pelanggaran Pemilu dan kriteria kelayakan kandidat bersama standar bukti yang dibutuhkan agar keberatan dikabulkan, dan menerbitkan update berkala terhadap status keberatan tersebut”), dapat dilihat di http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/asia/south-asia/afghanistan/101_afghanistan_elections_endgame_or_new_beginning.ashx. National Electoral Commission (Liberia) mengatur tentang keberatan dan banding yang akan menginformasikan keberatan tersebut dan partai yang terdampak jika sidang pembuktian diperlukan. National Electoral Commission, Regulation on Complaints and Appeals 9 (2005), dapat dilihat dihttp://www.aceproject.org/ero-en/topics/ vote-counting/Liberia_Regulations on Complaints and Appeals 2005.pdf.
33 Afghanistan Challenges, supra note 29, at 25.34 Chad Vickery, IFES, Pakistan: Post-Election Community-Based Mediation and Adjudication
Program 9, 13, 16 (2009), dapat dilihat di http://www.ifes.org/publication/bf80e511e7130f75f¬4cfcc90d6eb87e3/IFES_PakistanFinalReportNarrative.pdf.
35 Id.
24
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
yang lebih baik mengenai proses keberatan dan membangun kepercayaan
para pemangku kepentingan.36
Transparansi mempersyaratkan bahwa badan-badan penanganan keberatan
untuk mempublikasikan putusan-putusan mereka. Publikasi meningkatkan
kepercayaan publik, meringankan beban calon penggugat, dan mengklarifikasi
setiap tindakan selanjutnya yang dapat dilakukan penggugat.37 European
Commission, dalam laporannya tentang Pemilu di Nikaragua tahun 2006,
menyatakan bahwa rendahnya publikasi putusan-putusan sebagai “tidak
sesuai dengan standar-standar internasional manapun, dan menggambarkan
kurangnya transparansi, rendahnya formalitas yudisial, serta juga tidak
memadainya tingkat argumentasi hukum yang menyeluruh dalam peradilan
Pemilu”38 Beberapa negara melangkah lebih jauh. Sebagai contoh, Armenia,
Moldova dan Uzbekistan mengakui Konvensi Standar Pemilu Demokratis,
Hak dan Kebebasan Pemilu (Convention on the Standards of Democratic
Elections, Electoral Rights and Freedoms) yang menyatakan bahwa
“peraturan perUndang-undangan dan putusan terkait dengan hak pilih,
kebebasan dan kewajiban warga negara tidak dapat diterapkan jika tidak
dikomunikasikan secara resmi kepada publik.”39 Selama Pemilu Afganistan
2009, ECC memenuhi kewajibannya untuk mempublikasikan putusan-
36 Lihat juga Schramm et al., supra note 2, at 11-12 (“Transparansi proses keberatan meningkat melalui penerbitan informasi yang lebih rinci tentang gugatan pada tahap dini. Ringkasan setiap keberatan kampanye diumumkan di situs web CNE. Selain itu, salinan keberatan dengan identifikasi pemohon keberatan disamarkan dapat dapat dilihat dan diperiksa oleh masyarakat di kantor yang mengurus keberatan CNE”)
37 National Election Committee (Kamboja) merancang seperangkat hukum acara untuk penanganan keberatan terkait persoalan Pemilu. Panduan ini jelas menyatakan kewajiban untuk mempublikasikan keputusan National Election Committee di setiap tahap proses keberatan. Apakah itu merupakan Commune/Sangkat Election Commission, Regional Election Commission, atau National Election Commission, tanggal keberatan tersebut akan diselesaikan atau telah diselesaikan, tanggal dan waktu sidang pembacaan gugatan atau pembelaan (hearing) serta keputusan akhir atau banding seharusnya dipublikasikan. National Election Committee, Manual: Procedures for Handling Complaints Relating to the Violations on the Law, Regulations and Procedures During the Electoral Campaign, Voting, Ballot Counting and Result Announcement Period, pts. I. B., II.B, II.D.2.5, II.D.2.6, dapat dilihat di http://www.necelect.org.kh/English/voterReg/Complaint_Manual.pdf.
38 European Union (E.U.) Election Observation Mission, Final Report: Presidential and Parliamentary Elections Nicaragua 23, 63-64 (2006) [setelah ini disebut, E.U. Nicaragua Report], dapat dilihat di http://ec.europa.eu/external_relations/human_rights/election_observation/nicaragua/ final__report_en.pdf.
39 European Commission for Democracy Through Law (“Venice Commission”), Convention on the Standards of Democratic Elections, Electoral Rights and Freedoms in the Member States of the Commonwealth of Independent States, art. 7, § 3, Opinion No. 399/2006 (22 Jan, 2007) [setelah ini disebut Commonwealth Convention], dapat dilihat di http://www.venice.coe.int/ docs/2006/CDL-EL(2006)031rev-e.pdf.
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
25
putusannya.40 ECC memang menerbitkan informasi substantif di situs web-
nya meliputi seluruh proses investigasi dan penanganan perkara. Hal yang
serupa juga dilakukan Komisi Pemilu Pusat (Central Election Committee) di
Georgia yang membuat sebuah database keberatan Pemilu yang berbasis
web dalam bahasa Georgia dan Inggris yang tertaut di situs web mereka.41
Ketersediaan informasi tentang keberatan Pemilu semacam ini yang
meningkatkan transparansi dan kepercayaan dalam proses Pemilu.
D. Hak Mengajukan Gugatan (Standing)Terakhir, dan mungkin yang paling penting, negara harus jelas mengenai siapa
yang memiliki hak (standing) untuk mengajukan gugatan. Penyimpangan
Pemilu memiliki lingkup yang luas seperti kelayakan kandidat, penghitungan
ulang surat suara, atau kecurangan, yang seluruhnya dapat melibatkan
berbagai kepentingan atau keterlibatan para kandidat, partai politik dan
perorangan. Penentuan siapa yang memiliki hak untuk memperoleh
pemulihan berbagai situasi tersebut dapat, dalam pengertian praktis, menjadi
aspek yang paling penting dari sistem tersebut. Namun, tampaknya tidak
terdapat kesepakatan umum tentang standar-standar yang harus diikuti.
Secara teoritis, seluruh aktor yang relevan yang memiliki pengetahuan
tentang terjadinya penyimpangan Pemilu seharusnya memiliki hak untuk
mengajukan keberatan, tanpa memandang kerugian yang terjadi. Hakekat
pentingnya menjaga sebuah sistem Pemilu yang adil, yang mendorong
penerapan ketentuan persyaratan hak mengajukan gugatan yang luas, jika
dalam beberapa kasus menimbulkan kekhawatiran bagi efisiensi hukum
dapat menyebabkan ketentuan hak mengajukan gugatan yang bersifat lebih
sempit. Namun, suatu hak mengajukan gugatan yang bersifat luas dapat
menyebabkan beban perkara yang luar biasa dan memancing gugatan
yang bersifat sembarangan yang akan membahayakan efisiensi sistem
keberatan Pemilu. Dengan demikian sebuah hak mengajukan gugatan
yang bersifat lebih terbatas untuk memasukkan keberatan mungkin
lebih diinginkan kecuali satu jenis keluhan khusus dipertaruhkan.42 Pada
40 Keputusan pengecualian, denda yang dikenakan, keberatan yang dibatalkan didaftarkan di situs website ECC selama siklus Pemilu 2009, tetapi telah dicabut pada akhir 2010.
41 Permohonan Banding/ Pernyataan/Keberatan, Central Election Commission of Georgia, http://sachivrebi.cec.gov.ge/eng/ (terakhir dikunjungi 6 Jan, 2011).
42 Carter Center, Electoral Dispute Resolution Experts’ Meeting 2, 10 (2009), dapat dilihat di http://www.cartercenter.org/resources/pdfs/peace/democracy/des/electoral-dispute-resolutionmeeting.pdf.
26
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
umumnya, Undang-undang Pemilu menyatakan bahwa gugatan seharusnya
dibatasi hanya kepada perorangan yang secara langsung terdampak oleh
sebuah pelanggaran.43 Bahkan, fakta bahwa para pemilih, kandidat, partai
politik dan organisasi non pemerintah semuanya adalah peserta dalam
proses Pemilu tidak cukup untuk mengajukan sebuah keberatan.
Dalam kasus dimana terdapat kebutuhan yang jelas untuk mewakili masyarakat
luas, hak untuk mengajukan gugatan yang lebih luas mungkin menjadi
diperlukan. Di dalam Kode Praktik Terbaik dalam Urusan Pemilu (Code of Good
Practice in Electoral Matters), Venice Commission menyatakan dalam istilah
umum bahwa, “hak menggugat dalam persoalan sengketa Pemilu harus
diberikan seluas mungkin.44 Tetapi pedoman ini juga merinci bahwa walaupun
jika setiap pemilih dalam daerah pemilihan seharusnya memiliki hak untuk
mengajukan gugatan, “sebuah kuorum yang masuk akal, dapat dikenakan
untuk permohonan banding oleh para pemilih terhadap hasil pemilihan.45
43 Avery Davis-Roberts, International Obligations for Electoral Dispute Resolution 10-11 (Carter Center, Makalah Diskusi untuk Rapat Tim Ahli, 24-25 Feb, 2009), dapat dilihat di http://www.cartercenter.org/resources/pdfs/peace/democracy/des/edr-approach-paper.pdf.
44 Venice Commission, Code of Good Practice in Electoral Matters: Guidelines and Explanatory Report 31 (2002) [setelah ini disebut Venice Commission Code] (“Hak untuk gugatan seperti ini harus diberikan seluas mungkin. Hak tersebut harus bersifat terbuka untuk semua pemilih di daerah pemilihan dan berlaku untuk setiap kandidat yang ikut dalam pemilihan untuk mengajukan gugatan. Kuorum yang masuk akal, namun, mungkin akan diberlakukan untuk gugatan oleh para pemilih terhadap hasil Pemilu.”), dapat dilihat di http://www.venice.coe.int/docs/2002/CDL-AD(2002)023rev-e.asp.
45 Id.
Komisi Venice Kode Praktik Terbaik (Code of Good Practice) dalam Urusan
Kepemiluan Pasal 3.3, Paragraf 92
Jika ketentuan Undang-undang pemilu lebih dari sekedar kata-kata bisu, maka ketidakpatuhan terhadap Undang-undang pemilu harus terbuka untuk digugat di badan banding. Hal ini berlaku pada khususnya terhadap hasil-hasil pemilu: warga negara perorangan dapat menggugat hasil pemilu dengan dasar penyimpangan dalam tata tertib pemungutan suara. Hal ini juga berlaku untuk berbagai keputusan yang diambil sebelum pemilu, khususnya sehubungan dengan hak pilih, daftar pemilih dan hak maju dalam pemilu, keabsahan kandidat, kepatuhan terhadap aturan yang mengatur kampanye pemilu dan akses pada media atau pendanaan partai.
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
27
Walaupun jika akses yang hampir universal atas hak untuk memperoleh
pemulihan hukum tampaknya tidak mungkin dilaksanakan dalam praktik,
pertanyaan tentang hak menggugat secara luas diakui dalam pada kasus
Mahkamah Agung Israel baru-baru ini. Selama masa kampanye untuk
Pemilu Knesset ke enambelas (cat: Knesset adalah nama dari badan
Legislatif di Israel) Januari 2003, Komite Pemilu Pusat (Central Elections
Committee) mendiskualifikasi porsi siaran kampanye Pemilu dari Ra’am
dan Balad, dua partai politik yang bersaing dalam Pemilu, dengan alasan
bahwa bendera Palestina muncul dalam siaran tersebut. Walaupun kedua
partai politik tersebut tidak memulai sebuah gugatan untuk pemulihan,
Asosiasi Hak-hak Sipil (Association for Civil Rights) di Israel melakukannya.
Kedua partai tersebut dimasukkan sebagai tergugat ke dalam gugatan
oleh Pengadilan. Jaksa Agung pertama-tama berargumen bahwa para
pemohon gugatan tidak punya hak menggugat (legal standing). Namun,
Mahkamah Agung Israel berpendapat bahwa dalam masalah Pemilu, para
pemohon publik mempunyai hak menggugat walaupun perorangan yang
mengajukan gugatan tersebut tidak secara khusus dirugikan (specifically
injured).46 Dengan pandangan tersebut, integritas proses Pemilu menjadi
perhatian semua warga negara; pengadilan seharusnya mengakui definisi
yang luas tentang kerugian yang dapat memberikan hak bagi sederet
pihak yang berkepentingan. Dengan melakukan hal tersebut, perorangan,
partai politik dan kandidat akan memiliki peluang untuk mengupayakan
penanganan atas penyimpangan Pemilu, meningkatkan peluang bahwa
penyimpangan akan digugat sebagaimana mestinya.
46 Mahkamah Agung Israel “berpendapat bahwa pemohon gugatan memiliki hak sebagai penggugat publik. Secara umum, hak penggugat publik belum diakui dimana terdapat perorangan tertentu yang telah dirugikan dan memiliki hak gugat yang umum. Pengadilan berpendapat bahwa dalam konteks hukum Pemilu, hak menggugat publik harus diakui,[sic] walaupun eksistensi perorangan tertentu yang memiliki hak. Pengadilan menegaskan bahwa perluasan hak menggugat seharusnya diakui [sic] mengingat pentingnya Pemilu yang teratur dan layak bagi proses demokrasi. Menurut Pengadilan, keteraturan proses Pemilu menjadi kepentingan publik secara keseluruhan dan melampaui kepentingan perorangan yang langsung dirugikan oleh tindakan pemerintah. . . . Hak-hak pemilih, karena itu, terhubung dengan para kandidat yang maju dalam Pemilu.” Venice Commission, Supreme Court of Israel: Working Document for the Circle of Presidents of the Conference of European Constitutional Courts 19-20 (2006) (discussing HCJ 651/03 Association for Civil Rights in Israel v. Chairman of the Central Election Committee 57(2) PD 62 [2003] (Isr.)), dapat dilihat di http://www.venice.coe.int/docs/2006/CDL-JU(2006)036-e. pdf. Komisi Pemilu Irak, yang bernama Independent High Electoral Commission, juga memberikan hak menggugat yang luas. Lembaga ini mengaku bahwa setiap pemilih atau organisasi, selain peninjau referendum dan Pemilu, yang mengajukan keberatan atau sengketa terkait proses Pemilu dan referendum, memiliki hak untuk mengajukan keberatan. Electoral Complaints and Disputes (Regulation No. 2 of 2008), § 3(1) (Irak); lihat juga Independent High Electoral Commission (UU No. 11 of 2007), art. 4, § 8 (Irak).
28
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Memang banyak sistem keberatan Pemilu yang tidak mengakui hak gugat
seluas yang diakui oleh Mahkamah Agung Israel, dan beberapa negara
mungkin melangkah begitu jauh hingga hanya mengizinkan kandidat atau
partai politik yang mengajukan gugatan atas hasil Pemilu. Di Amerika
Serikat, prinsip umum gugatan mempersyaratkan bahwa pihak yang
mengajukan gugatan mengalami kerugian nyata yang dapat dilacak kepada
kerugian yang dituduhkan dan dapat dipulihkan oleh pengadilan melalui
persidangan. Namun, karena Pemilu Amerika diatur oleh Undang-undang
negara bagian, negara bagian seringkali membatasi secara khusus hak
gugat untuk para pemilih dan kandidat di dalam kasus yang berupaya
membatalkan Pemilu karena penyimpangan penghitungan suara.47 Lebih
lanjut warga dari satu negara tidak dapat mengajukan gugatan terhadap
hukum Pemilu di yurisdiksi yang lain.48 Sama halnya, ketiadaan Undang-
undang gugatan kepentingan publik warga negara (public interest citizen
suit), warga negara dapat berkurang haknya untuk menggugat ketentuan
Undang-undang Pemilu seperti pembatasan suara narapidana, dengan
teori bahwa ketentuan ini mempengaruhi warga negara secara merata dan
dengan demikian tidak menyebabkan kerugian yang khusus bagi pemilih
manapun.49 Di sisi lain, hak gugat tidak terlalu ketat dalam hal Undang-
undang pembiayaan kampanye yang memungkinkan akses informasi
terhadap pidato politik.50
2. Sebuah Rezim Standar dan Prosedur Pemilu yang Didefinisikan secara Jelas
Tindakan legislatif yang diperlukan harus diambil dalam rangka
mendefinisikan hak hukum untuk memperoleh pemulihan dan secara cukup
melaksanakan Pemilu berkala, yang bebas dan adil.51 Langkah-langkah ini
harus ditulis secara jelas dan dapat diakses dalam rangka memberikan
47 Lihat, e.g., Potts v. Fitzgerald, 784 N.E.2d 420, 423 (Ill. App. Ct. 2003); Morse v. Dade Cnty. Canvassing Bd., 456 So. 2d 1314, 1315 (Fla. Dist. Ct. App. 1984); Rogers v. Shanahan, 565 P.2d 1384, 1387 (Kan. 1976).
48 Antosh v. Fed. Election Comm’n, 664 F. Supp. 5, 8-9 (D.D.C. 1987).49 Wesley v. Collins, 791 F.2d 1255, 1257—58 (6th Cir. 1986)50 Lihat, e.g., Fed. Election Comm’n v. Akins, 524 U.S. 11, 18-26 (1998).51 Violaine Autheman, The Resolution of Disputes Related to Election Results: A Snapshot
of Court Practice in Selected Countries Around the World 6 (IFES Rule of Law Conference Series, Indonesian Constitutional Court Workshop Paper, February 2004) (“agar sengketa Pemilu diselesaikan secara memadai dan efektif, berbagai aturan, peraturan dan tata tertib yang formal sebagaimana mestinya harus tersedia.”), dapat dilihat di http://www.ifes.org/publication/3555a974dd aed52619f7772358e930af/ConfPaper_Indonesia_FINAL.pdf.
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
29
pemberitahuan dan proses yang memadai kepada perorangan, partai politik
dan masyarakat sipil. Badan hukum yang substantif ini harus diperluas
dengan mekanisme prosedural yang terkodifikasi untuk menangani
berbagai konflik yang muncul. Namun, kodifikasi yang terlalu rumit terhadap
berbagai standar dan prosedur akan menciptakan berbagai rintangan untuk
menangani perbaikan Pemilu yang pada gilirannya berbenturan secara
langsung dengan prinsip dasar partisipasi politik universal. Sebaliknya,
sebuah sistem yang sama sekali tidak mengkodifikasi berbagai standar
dan prosedur memungkinkan terjainya pelaksanaan mekanisme keberatan
yang sewenang-wenang. Penyusunan berbagai standar dan prosedur yang
mengatur Pemilu dapat meminimalkan kemungkinan litigasi (gugatan
hukum) pasca Pemilu.52
Sebuah rezim yang terdefinisi jelas juga merupakan kunci untuk
menghindari upaya pengajuan gugatan ke lembaga yang lebih mungkin
mengabulkan gugatan (forum shopping) yang bisa berbahaya. Seorang
pemohon yang ingin mengadukan penyimpangan, tergantung dari
sifatnya, akan harus mengajukan gugatannya hanya kepada sebuah
badan khusus. Hal ini dapat menghindari skenario dimana pemohon
mengajukan keberatan yang sama di beberapa forum berbeda untuk
mendapatkan keputusan yang paling menguntungkan baginya. Terlebih
lagi, jika beberapa lembaga memiliki kewenangan terhadap keberatan
Pemilu, berbagai aturan yang jelas tentang subyek yurisdiksi tertentu
dari setiap lembaga dapat memberikan konsistensi dalam penafsiran
hukum. Sebagai contoh, proses penanganan keberatan warga Negara
Libanon melibatkan beberapa lembaga yang mempunyai kewenangan
yang sama terhadap beberapa isu-isu yang spesifik. Memang tiga jenis
badan dalam administrasi Pemilu memiliki kewenangan untuk menerima
dan memproses keberatan: Kementerian Dalam Negeri dan Kota
(Ministries of Interior and Municipalities), Komisi Pengawas Kampanye
Pemilu (Supervisory Commission on the Electoral Campaign), dan Komite
Pendaftaran dan Komite Pendaftaran Tinggi (Registration Committees
and Higher Registration Committees). Terlebih lagi, Pengadilan Pemililhan
Umum (Electoral Courts) juga menangani persoalan Pemilu dan mengikuti
proses mereka yang biasa untuk menentukan kewenangan yang menjadi
52 Huefner, supra note 25, at 288.
30
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
bidang mereka (Dewan Negara/State Council, Court of Publication, Dewan
Konstitusi/Constitutional Council) dan Pengadilan Militer/Military Court).53
Hal ini menciptakan kebingungan yang sangat bagi para penggugat.
Terdapat kebutuhan yang jelas bagi keseragaman dan kejelasan dalam
Undang-undang ketika menangani penanganan keberatan Pemilu.
A. KodifikasiSebuah mekanisme gugatan Pemilu yang efektif akan mengkodifikasi
baik kerangka struktural untuk penanganan sengketa, maupun pedoman
prosedural yang spesifik bagi para pemangku kepentingan dalam
menjalankan kerangka ini. Kodifikasi Undang-undang Pemilu secara
substantif merupakan hal yang mutlak bagi para aktor untuk mengajukan
gugatan mereka dalam dalam hal terjadi penyimpangan. Dengan demikian,
sebuah sistem penanganan keberatan hanya dapat berfungsi dengan
baik jika sejalan dengan Undang-undang Pemilu, peraturan dan aturan
hukum acara yang didefinisikan secara jelas. Badan-badan internasional
telah mengakui pentingnya memulai proses keberatan dari batang tubuh
Undang-undang yang jelas dan dapat diakses. Dalam Deklarasi Tentang
Kriteria untuk Pemilu yang Bebas dan Adil (Declaration on Criteria for Free
and Fair Elections) tahun 1994, Dewan untuk Organisasi Internasional
Antar Parlement Parlemen (Inter-Parliamentary Council of the International
Organization of Parliaments) menetapkan sebuah daftar komprehensif
pedoman legislatif dan administratif dalam rangka menjamin penyelesaian
sengketa yang adil.”54 Dewan menyatakan negara seharusnya “menyusun
sebuah prosedur yang efektif, tidak memihak dan non-diskriminatif untuk
pendaftaran pemilih….kriteria yang jelas bagi pendaftaran pemilih, seperti
usia, kewarganegaraan dan tempat tinggal,” dan “memberikan bentuk dan
fungsi yang bebas dari partai politik...” Negara dan badan penyelenggara
53 Gaelle Deriaz, The 2009 Mechanisms for Handling Electoral Complaints and Appeals in Lebanon 16 (2009) (“Sampai dengan Juli 2009, 142 gugatan telah dimasukkan ke SCEC; dua putusan pengadilan telah diberikan oleh State Council dalam masalah pemilihan presiden tahun 2009, termasuk satu gugatan terhadap keputusan SCED; enam kasus telah diputuskan di bawah PEL dan yang lainnya berada di bawah tata tertib yang oleh Court of Publications; dan dua kasus diselidiki berturut-turut oleh penuntut pidana dan militer. Sembilan belas gugatan telah diajukan ke Dewan Konstitusi (Constitutional Council).”).
54 Inter-Parliamentary Council (sekarang disebut Governing Council), Declaration on Criteria for Free and Fair Elections, 54th Sess., art. 4, § 1, C.P. 330 (26 Maret, 1994) [setelah ini disebut Declaration on Elections], dapat dilihat di http://www.ipu.org/cnl-e/154-free.htm; lihat juga International Organization of Parliaments, http://www.ipu.org/english/whatipu.htm (terakhir dikunjungi 6 Jan, 2011).
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
31
Pemilu seharusnya mempertimbangkan seluruh elemen proses Pemilu
dan kemudian menentukan aturan yang jelas untuk setiap elemen. Sama
halnya Pengadilan Antar Amerika tentang Hak-Hak Asasi Manusia (Inter-
American Court on Human Rights) pada kasus Castañeda Gutman v. Mexico
mengkaitkan terpenuhinya kewajiban positif negara di bawah hukum
internasional dengan “pembentukan berbagai aspek penyelenggaraan dan
kelembagaan dari proses Pemilu” dan “pengesahan norma-norma dan
adopsi beberapa jenis tindakan yang berbeda.”55 Pengadilan melangkah
lebih jauh, mengakui bahwa “jika tidak terdapat kode atau Undang-
undang Pemilu, daftar pemilih, partai politik, propaganda media dan
mobilisasi, tempat pemungutan suara, badan Pemilu, tanggal dan waktu
untuk memberikan suara, hak tersebut tidak dapat dilaksanakan. Sekali
lagi negara negara tidak dipersyaratkan untuk mengadopsi aturan Pemilu
yang spesifik; sebagai gantinya, Pengadilan “mempersyaratkan Meksiko
untuk mengambil tindakan sebagaimana mestinya dalam waktu yang
masuk akal untuk menyesuaikan Undang-undang domestiknya dengan
Konvensi tersebut.”56 Tidak ada model yang sempurna dari penanganan
keberatan Pemilu yang wajib dibentuk oleh negara-negara; mereka bebas
untuk membentuk sebuah sistem yang sesuai dengan tradisi hukum dan
kebiasaan mereka. Memang, “sebuah Pemilu didefinisikan tidak hanya
oleh aturan Pemilu tetapi juga oleh nilai-nilai sosial, politik, agama, sejarah
dan budaya masyarakatnya.”57 Namun, ketika negara meratifikasi konvensi
hak asasi manusia internasional, mereka wajib untuk menghormati standar-
standar Pemilu yang diperhitungkan di dalamnya, termasuk tangggung
jawab untuk menyediakan sebuah perbaikan yang efektif.58
Jelas baik perjanjian/traktat dan pengadilan yang menjalankannya telah
mengakui bahwa berbagai pedoman substantif dan prosedural yang
dapat diakses merupakan hal yang mutlak bagi penegakan hak politik
dasar. Namun, tindakan membuat seperangkat pedoman yang jelas dan
memberikan mereka dengan kekuatan hukum hanya merupakan langkah
pertama. Negara harus juga mengkodifikasi berbagai langkah prosedural
55 Castañeda Gutman v. Mexico, Case 12.535, Inter-Am. Comm’n H.R., Report No. 113/06, ¶159 (2008).
56 Id. ¶ 231.57 Electoral Institute of Southern Africa, Preventing and Managing Violent Election Related
Conflicts in Africa 31 (2009), dapat dilihat di http://eisa.org.za/PDF/symp09cp.pdf.58 Id.
32
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
yang diperlukan untuk menjalankan berbagai pedoman substantif tersebut
secara konsisten. Berbagai prosedur ini harus menjawab dengan baik
melalui mekanisme dimana keberatan akan ditangani maupun jangka
waktu untuk mengesahkan Undang-undang substantif yang baru atau
perubahan struktural. Sebagai tambahan, badan penanganan keberatan
Pemilu seharusnya diberdayakan, secara tersurat ataupun tersirat, untuk
menganut peraturan perUndang-undangan apapun yang diperlukan dan
layak untuk melaksanakan sistem tersebut. Contoh utama dari hal ini
adalah sebuah situasi dimana Undang-undang Pemilu memberikan sistem
peradilan umum wewenang/yurisdiksi keberatan Pemilu, tetapi tidak
mengatur prosedurnya. Dalam kasus ini, para hakim seharusnya terlibat
dalam merancang berbagai aturan prosedural untuk pengauan Pemilu.
Hakim secara umum merupakan pakar dalam prosedur beracara, dan
merupakan pemangku kepentingan yang paling memenuhi syarat yang
dapat menentukan sistem mana yang akan bekerja dengan baik untuk
Pemilu, tanpa menyimpang jauh dari proses yang normal. Sebagai contoh,
prosedur banding perkara umum dapat menghasilkan penundaan yang
mungkin dapat diterima dalam perkara kontrak atau perkara perbuatan
melawan hukum, namun tidak dapat diterima untuk keberatan Pemilu yang
bersifat sensitif terhadap waktu. Secara umum, badan-badan penanganan
keberatan Pemilu seharusnya diizinkan untuk memutuskan berbagai aturan
tata tertib mereka sendiri, kecuali peraturan yang ada mengatur bahwa hal
tersebut harus ditetapkan dalam Undang-undang. Penggunaan kekuatan
oleh hakim juga membuat mereka nampak lebih mandiri di mata publik.
Setelah Pemilu Afganistan tahun 2009, Komisi Keberatan Pemilu
(Electoral Complaints Commission), yang diberdayakan untuk menganut
aturan tata tertibnya sendiri,59 menjalankan standar bukti yang jelas dan
meyakinkan (clear and convincing), tapi tidak mengklarifikasi arti yang
tepat dari persyaratan untuk memenuhi standar tersebut. Terlebih lagi,
terkait proses audit dan penghitungan kembali, RCC memerintahkan
Komisi Pemilu Independen (Independent Electoral Commission/IEC) untuk
membatalkan sejumlah persentasi tertentu dari suara setiap kandidat di
enam kategori terpisah. Metodologi audit statistik untuk melaksanakan
59 Electoral Law, art. 56 (2005) (Afg.) (“Komisi dapat menerbitkan Peraturan, Prosedur dan Pedoman yang terpisah untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang ini dengan lebih baik.”).
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
33
audit dan penghitungan kembali di seluruh tempat pemungutan suara
memenuhi dua kriteria: dalam hal jumlah suara yang diberikan di dalam
tempat pemungutan suara berjumlah 600 atau lebih besar atau dimana
satu kandidat menerima lebih dari 95 persen dari suara di tempat
pemungutan suara dimana 100 suara atau lebih diberikan. ECC dan IEC
menentukan ukuran sampel dan margin error yang dipandang cukup untuk
mencerminkan perilaku kotak suara yang lebih besar secara akurat.
Namun, metode statistical sampling ini tidak menyatakan bagaimana
hasil dari sampling tersebut dapat menjadi sebuah jawaban yang bersifat
ajudikatif serta hal ini mungkin memerlukan lebih banyak waktu dan
evaluasi untuk dapat menjadi sebuah metodologi audit yang efisien. Di
contoh tertentu pada kecurangan massal di Afganistan, ECC melaksanakan
metode sampling sebagai solusi praktis untuk merespon sebuah situasi
yang tidak pernah terjadi sebelumnya dan rumit. Dalam situasi yang
bersifat lebih sederhana, adalah mutlak untuk melakukan penghitungan
suara ulang, Pemilu putaran kedua, atau sebuah pembatalan sebuah surat
suara tertentu bersifat jelas, transparan, dan mudah dimengerti sebelum
Pemilu berlangsung.60
Indonesia memberikan sebuah ilustrasi dari konsekuensi berbahayanya
ketidakjelasan dalam Undang-undang Pemilu dan kegagalan untuk
memperbaikinya sebelum Pemilu.61 Penyimpangan di dalam Undang-
undang Pemilu untuk Pemilu Legislatif 2009 menyebabkan proses alokasi
kursi terbuka terhadap penafsiran dan gugatan hukum. Walaupun masalah
telah diketahui sebelum Pemilu, Komisi Pemilu (KPU) dan aktor-aktor
lainnya gagal untuk menghapus ambiguitas secara memadai melalui
peraturan atau klarifikasi sedini mungkin. Setelah pengumuman KPU
60 E.U. Election Observation Mission, Mexico Presidential and Parliamentary Elections Final Report 50 (2006) [setelah ini disebut E.U. Mexico Report], dapat dilihat di http://aceproject.org/regionsen/countries-and-territories/MX/reports/mexico-Presidential-and-parliamentary-elections/; lihat juga John Hardin Young, Recounts, dalam International Election Principles: Democracy and the Rule of Law 301 (John Hardin Young ed., 2009).
61 IFES, A Free, Fair and Credible 2009 Election in Indonesia Through Targeted Election Management Assistance 5, 19 (2009); Law on Legislative Elections (2008) (Indon.).
34
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
tangal 24 Mei 2009 tentang alokasi kursi, gugatan hukum yang berbeda
dibawa baik oleh Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung.62
Kedua Mahkamah ini menerbitkan keputusan-keputusan yang bertentangan
mengenai alokasi kursi dan pada 1 September 2009, Mahkamah Konstitusi
yang memiliki otoritas akhir untuk menyelesaikan gugatan Pemilu (terkait
dengan sengketa hasil Pemilu), menyelesaikan sengketa tersebut.
Kandidat yang kecewa memasukkan berkasnya meminta permohonan
pengujian Undang-undang atas Undang-undang yang mengatur kekuasaan
yudisial Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, mengklaim bahwa
Undang-undang Indonesia memberikan kedua Mahkamah tersebut
kewenangan yang sama dan oleh karenanya menciptakan ketidakpastian
hukum. Mahkamah Konstitusi menolak permohonan tersebut pada awal
2010, menyatakan bahwa hal ini adalah masalah yang harus diputuskan
oleh para legislator.63 Ambiguitas dalam Undang-undang Pemilu dan
keputusan mahkamah yang bertentangan menyebabkan penundaan
dalam menentukan komposisi anggota DPR, dan merusak kepercayaan
publik dalam sistem Pemilu.64 Kegagalan para pemangku kepentingan
Pemilu untuk menangani isu-isu ini sebelum Pemilu menempatkan KPU
dan badan-badan penanganan keberatan Pemilu berada dalam posisi sulit
setelah Pemilu. Ketidakpuasan banyak pihak ini diperkuat oleh pernyataan
ahli Pemilu Indonesia Hadar Gumay yang mengamati “peraturan tidak
dapat diubah begitu saja setelah Pemilu berakhir dan hasilnya dihitung.
62 Id. di 20-21. Sengketa yang muncul dari penghilangan kata “suara sisa (remainder)” dalam hukum Pemilu yang membuka ketidakpastian hukum. KPU tidak menangani isu ini secara langsung sebelum Pemilu, sehingga gugatan tersebut ditujukan pada manfaat dari menafsirkan secara harfiah bahasa yang cacat yang menggugat Peraturan KPU No. 15 yang menyatakan bahwa mereka tidak menafsirkan Undang-undang tersebut dengan benar. Dari sudut pandang administrasi Pemilu, pendekatan KPU dalam Peraturan No. 15 penafsiran yang baik terhadap Undang-undang. Pihak pemohon keberatan meminta Mahkamah Agung untuk menafsirkan Undang-undang dengan cara yang bertentangan dengan aturan satu orang-satu suara. Mahkamah Agung terus melanjutkan penafsiran mentah-mentah tentang Undang-undang ini walaupun salah dari sudut pandang teknis. Mahkamah Konstitusi kemudian mengubah putusan Mahkamah Agung tersebut. Id.
63 Arghea D. Hapsari, Court Rejects Judicial Review Request Of Election Law, The Jakarta Post, 9 Februari, 2010, dapat dilihat di http://www.thejakartapost.com/news/2010/02/09/courtrejects-judicial-review-request-election-law.html; Arghea D. Hapsari, Court Annuals Judicial Review Filed Against Own Power, The Jakarta Post, 2 Feb , 2010 (“’jika pengadilan meninjau pasal-pasal yang diminta, maka lembaga tersebut lembaga tersebut harus juga meninjau [beberapa pasal] di dalam [Konstitusi] . . . pasal-pasal tersebut di dalam Konstitusi dibuat atas pilihan pembuat peraturan perundangan-undangan dan pengadilan tidak memiliki kewenangan untuk menghakimi pilihan mereka,’ Ketua MK Mahfud MD mengatakan hal tersebut dalam sebuah sidang [Mahkamah Konstitusi].”).
64 Candidates Anxious, Frustrated Over Legal, Political Uncertainty, The Jakarta Post, 26 Agustus, 2009.
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
35
Pada akhirnya hal ini menjadi semacam ambisi politik, bukan sebuah arena
dimana untuk mengupayakan keadilan.”65 Contoh ini menyoroti kebutuhan
dilakukannya kodifikasi Undang-undang Pemilu terkait proses Pemilu dan
untuk penanganan gugatan secara memadai sebelum Pemilu berlangsung.
Kodifikasi proses Pemilu dan mekanisme gugatan Pemilu tidak perlu
dijelaskan secara detail. Di Nigeria, Tribunal Pemilu (Election Tribunals)
diberikan mandat di bawah Konstitusi66 dan Undang-undang Pemilu No.
2 yang menjelaskan mekanisme penanganan keberatan Pemilu. Undang-
undang tersebut menyatakan bahwa gugatan Pemilu yang muncul dari
pelaksanaan Pemilu presiden ditangani oleh Pengadilan Banding (Court
of Appeal) dan gugatan Pemilu lainnya ditangani oleh Tribunal Gugatan
Pemilu (Election Petition Tribunal).67 Pengadilan Banding dan Mahkamah
Agung (Supreme Court) juga dapat memiliki yurisdiksi banding (appellate
jurisdiction).68 Perujukan kepada sistem peradilan menjamin bahwa Komisi
Pemilu Nasional Independen (Independent National Electoral Commission/
INEC) tidak hanya berdiam diri saja dan baik pemilih maupun partai
politik mendapat kompensasi yang cukup dalam hal Komisi gagal dalam
menjalankan tugas-tugasnya.”69
Di Brasil, Konstitusi juga menyatakan mekanisme penanganan keberatan
Pemilu.70 Terdapat Pengadilan Tinggi Pemilu (Superior Electoral Court),
Pengadilan Daerah Pemilu (Regional Electoral Court) di ibu kota masing-
masing negara bagian dan satu di tingkat Distrik Federal (Federal District),
hakim Pemilu tingkat kota di kota-kota besar dan dewan Pemilu lokal di
kota-kota kecil. Konstitusi Brasil merinci komposisi Pengadilan Pemilu dan
65 Yandi M.R. & Iqbal Muhtarom, Fighting for Seats, Majalah Tempo, 4-10 Agustus, 2009.66 Constitution of the Federal Republic of Nigeria (1999), § 285(1) (“Seharusnya untuk Federasi,
dibentuk satu atau dua pengadilan Pemilu yang dikenal sebagai Pengadilan Pemilu Nasional/National Assembly Election Tribunals yang akan, memiliki yurisdiksi yang sebenarnya untuk mendengar sidang pembacaan gugatan atau pembelaan dan memutuskan gugatan . . . .”), dapat dilihat di http://www.nigeria-law.org/ConstitutionOfTheFederalRepublicOfNigeria.htm#ElectionTribunals/; Political Constitution of the Republic of Costa Rica Nov. 8, 1949, arts. 99-104 (“Organisasi, arahan dan pengawasan dari Undang-undang terkait dengan hak pilih merupakan fungsi eksklusif Pengadilan Tinggi Pemilu (Supreme Electoral Tribunal), yang memiliki kebebasan dalam kinerja tugas-tugasnya. Seluruh organ Pemilu merupakan bawahan (subordinate) dari Pengadilan (Tinggi).”).
67 Electoral Act 2010, § 133 (Nigeria), dapat dilihat di di http://placng.org/Electoral Act 2010- as Gazetted.pdf.
68 Id. § 75(1).69 Id. Supplemental Transitional Provisions 3, 4.70 Constituição Federal [C.F.] [Constitution] arts. 118-121 (Braz.).
36
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
menyatakan bahwa sebuah peraturan perUndang-undangan tambahan
harus disusun untuk mendefinisikan “organisasi dan kompetensi pengadilan
Pemilu, hakim dan dewan.”71 Ketentuan konstitusional dan Undang-undang
parlemen yang menetapkan berbagai lembaga gugatan Pemilu membantu
melindungi hak untuk memperoleh penyelesaian yudisial dalam persoalan
terkait dengan Pemilu.72 Memang konstitusi dan Undang-undang legislatif
biasanya tidak mudah diamandemen dan mereka merupakan pengawal
yang lebih kuat untuk hak pemulihan daripada sekedar sebuah peraturan
administratif serta memberikan stabilitas dalam hukum Pemilu, dan secara
khusus dalam sistem penanganan keberatan Pemilu.
Jelas tidak semua negara menggunakan model yang sama untuk sistem
peradilan formal. Beberapa negara memasukkan tradisi kesukuan dan
keagamaan ke dalam proses pemerintahan.73 Kodifikasi dari hukum
keberatan Pemilu yang bersifat substantif dan prosedural harus
mempertimbangkan tradisi hukum dan kebiasaan, termasuk praktik-praktik
tradisional terkait penyelesaian gugatan, seperti penggunaan mediasi atau
arbitrase (dibandingkan dengan penanganan melalui sengketa (adversarial).
Contohnya di Afganistan, komunitas lanjut usia memiliki otoritas yang
sangat besar dalam komunitas mereka dan sangat dihormati. Jika para
usia lanjut mengerti proses keberatan Pemilu dan mampu berpartisipasi
di dalamnya, maka berbagai keputusan akan lebih mudah diterima oleh
masyarakat umum. Penggunaan tradisi semacam ini dapat “memberikan
manfaat dalam jangka pendek dan panjang, dan dapat meningkatkan
berbagai upaya menegakkan kembali negara hukum (rule of law).”74
Kerjasama antara sistem peradilan formal dan para aktor penyelesaian
sengketa tradisional dapat memberikan kredibilitas dan keabsahan pada
badan penanganan keberatan Pemilu; jika aturan dirasakan tidak asing dan
71 Id. art. 12172 Lihat, e.g., Constitution of the Republic of Liberia 6 Jan, 1986, art. 83(c) (“Setiap partai
atau kandidat yang mengajukan keberatan terhadap cara pelaksanaan atau hasil Pemilu tersebut berhak untuk menggugat ke Komisi Pemilu/Elections Commission.”) , dapat dilihat di http://www.necliberia.org/content/legaldocs/laws/theconstitution.pdf . Konstitusi Liberia juga menyatakan sebuah mekanisme banding: “Komisi Pemilu dalam tujuh hari setelah diterimanya bukti gugatan, harus meneruskan semua berkas perkara kepada Mahkamah Agung.” Id.
73 Thomas Barfield et al., United States Institute of Peace, The Clash of Two Goods, State and Non-State Dispute Resolution in Afghanistan 2 (2006), tersedia di http://www.usip.org/files/ file/clash_two_goods.pdf.
74 Id. at 23.
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
37
dapat diterima secara kultural, publik dan partai-partai politik akan lebih
mungkin untuk memahaminya.75
Satu elemen terakhir untuk mempertimbangan tujuan kodifikasi adalah
pembedaan antara tuntutan pidana dan administratif (non-pidana). Sangat
penting untuk membuat perbedaan antara dua jenis tuntutan ini. Memang
perbedaan apakah gugatan Pemilu masuk ke ranah administratif atau
pidana memiliki konsekuensi yang penting dalam menentukan otoritas
mana yang akan memiliki yurisdiksi, beban dan standar pembuktian, serta
sanksi dan hukuman. Sebagai contoh, ketika gugatan administratif terkait
hari pra-pemungutan suara dan hari pemungutan suara jelas didefinisikan
oleh Undang-undang, menjadi mungkin halnya untuk mengkategorikan
gugatan ini agar ditangani oleh badan administrasi dengan otoritas
peradilan semu (quasi-judicial authority). Dengan asumsi bahwa staf
yang ada dapat dipercaya, tidak memihak dan tidak korup, lembaga ini
dapat bertindak sebagai penyaring (filter) untuk membatalkan berbagai
gugatan yang tidak lengkap, tidak perlu dan tidak didukung oleh bukti yang
cukup. Hal ini akan memungkinkan badan penanganan keberatan untuk
hanya menangani keberatan yang serius dan dengan dalam waktu yang
tepat. Pakistan merupakan contoh yang bagus untuk pembahasan ini:
sistem Pakistan mengelompokkan seluruh keberatan Pemilu (termasuk
pelanggaran pra-Pemilu) sebagai pelanggaran bersifat pidana, sehingga
menyebabkan melambungnya jumlah tuntutan pidana bahkan hanya untuk
peyimpangan kecil Pemilu selama periode kampanye atau pada saat
pemungutan suara.76 Menjadi hal yang amat penting agar otoritas legislatif
mengerti apa yang dimaksud “keberatan,” (“complaints”), “penanganan”
(“adjudication,”) dan “penyelesaian” (“resolution”) di luar arena hukum
pidana, sehingga hukuman yang terlalu keras melalui proses pidana tidak
membuat sistem tidak bekerja dan tidak adil.
75 Id. Di Afganistan, ketiadaan-pengakuan dan ketiadaan-kerjasama antara lembaga peradilan formal dan praktik-praktik non-negara menyebabkan cacatnya penegakan berbagai putusan. “Karena sistem formal tidak mengakui praktik-praktik tradisional, maka praktik tersebut tidak dalam posisi mengawasinya. Sebagai akibatnya hukum adat berupaya untuk menutupi sengketa dan hasilnya dari otoritas negara sebagai sebuah cara untuk mengisolasi komunitas mereka dari kontrol atau eksploitasi negara.” Id.
76 Farrah Naz, Improving Pakistan’s Election Complaints System, IFES (13, Mei 2009), http://www.ifes.org/Content/Publications/Opinions/2009/May/Improving-Pakistans-ElectionComplaints-System.aspx (mendiskusikan konferensi yang didiskusikan IFES, Evolving Principles and Practices for Resolving Election Complaints: Pre-poll and Polling Day (5-6 Apr, 2009)).
38
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
B. PembaruanSatu elemen yang penting untuk memastikan kepastian hukum di dalam
demokrasi yang masih muda adalah bagi negara untuk mendefinisikan
cara-cara dimana standar internasional dapat menginformasikan dan
menuntun upaya-upaya pembaruan. Pembaruan hukum amat disarankan
jika tujuannya adalah untuk memperbaiki sistem Pemilu; namun perubahan
yang terlalu sering atau tidak berpola akan membingungkan para pemilih
dan petugas yang bertanggung jawab melaksanakan Pemilu yang bebas
dan adil.
Penjadwalan merupakan hal mutlak dalam kodifikasi atau pembaruan
kerangka kerja Pemilu. Masyarakat, kandidat dan staf badan penyelenggara
Pemilu seharusnya memiliki waktu yang cukup untuk membiasakan
dengan Undang-undang sebelum Pemilu berlangsung. Setelah setiap
Pemilu, negara seharusnya melaksanakan analisis asesmen untuk
mengidentifikasi berbagai celah dan tantangan yang ada di Undang-
undang Pemilu dan kinerja lembaga penanganan keberatan Pemilu. Audit
pasca-Pemilu dan evaluasi akan memberikan para pemangku kepentingan
sebuah peluang untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat selama Pemilu77
dan memberikan waktu untuk memperbaiki kekurangan serta membuat
pembaruan hukum sebelum Pemilu mendatang. Pada tahun 2002, Venice
Commission mengadopsi suatu Kode Praktik Terbaik dalam Urusan Pemilu
(Code of Good Practice in Electoral Matters), yang menegaskan bahwa
“stabilitas hukum merupakan hal yang mutlak bagi kredibilitas proses
Pemilu,” dan menyatakan bahwa dalam tahap pembaruan Undang-undang
Pemilu, “sistem yang lama akan berlaku di Pemilu selanjutnya — paling
sedikit jika pemilihan berlangsung di tahun mendatang — dan Undang-
undang yang baru akan berlaku setelahnya.”78 Mungkin yang lebih penting,
negara seharusnya mengkodifikasi bahasa yang mampu menjaga prinsip-
prinsip fundamental dalam kerangka hukumnya.79
Pemilu presiden di Ukraina tahun 2010 menjadi contoh pentingnya aspek
waktu dalam mengadopsi sebuah Undang-undang Pemilu yang baru.
77 Kriegler Commission Report, supra note 3, at 139 (“Audit merupakan alat yang efektif untuk membangun kepercayaan publik dalam hasil Pemilu karena mereka dapat mendeteksi kesalahan manusia dan dapat memperbaikinya.”).
78 Venice Commission Code, supra note 44, at 26.79 id
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
39
Pada Juli 2009, enam bulan sebelum Pemilu, sebuah Undang-undang
Pemilu baru disahkan oleh Parlemen Ukraina. Banyak ketentuan yang
bertentangan dengan standar-standar internasional; contohnya tindakan
untuk mengajukan pengauan dan gugatan hanya bersifat terbatas dan
dibatasi. Mahkamah Konstitusi membatalkan beberapa ketentuan
Undang-undang yang sangat parah, tetapi tetap mempertahankan
beberapa ketentuan lainnya. Para ahli internasional menyerukan berbagai
perubahan baru sebelum putaran pertama Pemilu presiden pada 17
Januari. Namun, Parlemen — dan pihak lain yang mendukung kandidat
penantang— mengadopsi berbagai perubahan baru terhadap Undang-
undang Pemilu pada 4 Februari, di antara Pemilu putaran pertama dan
Pemilu putaran kedua.80
Petahana (Incumbent) menyerukan “dukungan internasional untuk
menghalangi perubahan Undang-undang terkait Pemilu yang mendadak
yang akan memuluskan jalan bagi permainan suara.”81 Para ahli terkait
Pemilu menekankan bahwa ketentuan baru hanya memodifikasi elemen-
elemen prosedural yang minor dari Undang-undang tersebut dan tidak
akan mempengaruhi hasil Pemilu. Kandidat penantang memenangkan
Pemilu, dan para pemimpin baru mengakui kemenangannya dan proses
terkait Pemilu yang bebas dan adil, walaupun kenyataannya pembaruan
tersebut dilaksanakan di tengah-tengah Pemilu. Walaupun banyak yang
mempertimbangkan Pemilu ini berhasil, potensi kekacauan politis yang
mungkin terjadi menyusul berbagai perubahan ini menekankan pentingnya
penjadwalan proses pembaruan.
Penjadwalan yang baik adalah mutlak ketika mengesahkan atau
memperbaharui Undang-undang terkait Pemilu, dan juga amat penting
ketika berbagai tantangan muncul untuk mengubah sistem terkait Pemilu
secara signifikan. Seringkali pengadilan, bukan badan perwakilan rakyat
adalah penggerak utama dari pembaruan. Indonesia merupakan contoh
dampak negatif yang ditimbulkan oleh sebuah pembaruan ketika terlalu
terlambat dijalankan di dalam proses terkait Pemilu. Pada akhir Desember
80 Roman Olearchyk, Ukraine Premier Attacks Poll Law Changes, Financial Times, 4 Feb, 2010, dapat dilihat di http://www.ft.com/cms/s/0/7fea275e-1146-11df-a6d6-00144feab49a.html.
81 Id.
40
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
2008 (empat bulan sebelum Pemilu legislatif), Mahkamah Konstitusi
Indonesia membatalkan sistem pemungutan suara dengan daftar semi-
tertutup dan cenderung ke pemungutan suara dengan daftar terbuka.82
Banyak pengamat berpendapat bahwa hal ini adalah peraturan yang
progresif, namun juga telah menciptakan tantangan yang sangat berat bagi
badan penyelenggara Pemilu yang sudah berjuang dan untuk partai-partai
politik dan kelompok-kelompok perempuan yang telah membangun strategi
terkait Pemilu mereka dan pendidikan kewarganegaraan di sekitar sistem
yang tidak berfungsi. Dengan demikian, kebutuhan untuk memperbaiki
Undang-undang atau aturan prosedur yang mengatur Pemilu yang meliputi
proses penanganan keberatan terkait Pemilu harus diseimbangkan dengan
kebutuhan untuk memiliki aturan yang mapan dan pasti dengan sisa waktu
yang ada sebelum Pemilu selanjutnya.
Seperti yang telah ditulis sebelumnya, negara tidak diwajibkan untuk
mengikuti secara spesifik dan rinci aturan prosedur tertentu; standar
internasional memungkinkan pilihan diambil dari beragam proses Pemilu
yang luas. Namun, dalam beberapa kasus, pengadilan internasional
dan domestik, serta badan pengawas menyediakan pedoman tentang
penafsiran terbaik atas suatu standar yang akan berguna dalam menjamin
bahwa penafsiran tersebut dapat diterima diterapkan seooptimal mungkin.
Sebagai contoh, Komite HAM PBB dalam Komentar Umum no. 25
menegaskan bahwa “hak orang untuk maju dalam Pemilu seharusnya
tidak dibatasi secara tidak masuk akal dengan mewajibkan para kandidat
menjadi anggota partai atau anggota partai tertentu.”83
Pengadilan-pengadilan regional telah membuat berbagai uji untuk menjamin
bahwa negara-negara memenuhi standar minimum dalam melindungi
hak partisipasi politik. Sebagai contoh, Pengadilan Hak Asasi Manusia
82 USAid, IFES, A Free, Fair And Credible 2009 Elections In Indonesia Through Targeted Election Management Assistance: Final Report 6, 19 (2009).
83 UN Human Rights Comm., Covenant on Civil and Political Rights (CCPR) General Comment No. 25, Art. 25: The Right to Participate in Public Affairs, Voting Rights and the Right of Equal Access to Public Service, ¶ 17, CCPR/C/21/Rev.1/Add.7 (12 Juli, 1996) [setelah ini disebut CCPR General Comment No. 25] (“Jika seorang kandidat diwajibkan mendapatkan dukungan sejumlah minimum seharusnya bersifat masuk akan dan tidak bersifat menghalangi pencalonan.”), dapat dilihat di http://www.unhcr.org/refworld/docId/453883fc22.html; Declaration on Elections, supra note 54, art. 4, § 9 (“Negara seharusnya menjamin bahwa pelanggaran hak asasi manusia dan keberatan yang terkait proses Pemilu ditentukan secara efektif oleh otoritas yang independen dan tidak memihak, seperti komisi Pemilu atau pengadilan.”).
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
41
Eropa (European Court of Human Rights/ECtHR) telah menafsirkan hak
untuk maju dalam Pemilu sebagai sebuah prinsip yang secara tersirat
termasuk dalam hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. ECtHR
telah memfokuskan terutama pada dua kriteria utama untuk menentukan
apakah sebuah negara telah menjunjung tinggi hak ini: kesewenang-
wenangan atau kurangnya proporsionalitas; dan apakah terdapat campur
tangan dalam kebebasan berpendapat terhadap masyarakat. Dalam
keputusannya dalam kasus Zdanoka v. Latvia, sebuah kasus yang diajukan
oleh seorang pemohon yang tidak diperkenankan maju dalam Pemilu
parlemen Latvia, Pengadilan merinci uji yang digunakan untuk memeriksa
kepatuhannya dengan hak untuk maju dalam sebuah Pemilu. Perempuan
pemohon tersebut telah didiskualifikasi, menurut Undang-undang Pemilu
Parlementer Latvia (Latvian Parliamentary Elections Act 1995), atas dasar
alasan bahwa ia telah “berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan Partai
Komunis Latvia/CPL) setelah 13 Januari 1991.84 Dalam keputusannya,
Pengadilan tersebut pertama-tama merinci bahwa standar yang diturunkan
dari Pasal 3 dari Protokol No. 1 Konvensi Eropa (European Convention)
tidak seketat standar yang diterapkan di bawah Pasal 8 hingga 11 dari
Konvensi.85 Pengadilan tersebut berpendapat bahwa negara-negara tidak
dikekang oleh sebuah daftar tertentu dari “tujuan-tujuan yang sah” untuk
menjustifikasi pembatasan terhadap prinsip Pemilu yang bebas dan adil.86
Terlebih lagi, uji-uji tradisional atas “kebutuhan” atau “kebutuhan sosial
yang mendesak” tidak berlaku disini.87 Pengadilan juga menegaskan
bahwa legislasi terkait Pemilu seharusnya ditafsirkan dalam kerangka
untuk menjelaskan evolusi politik dari negara yang bersangkutan.
Dalam kasus ini, Pengadilan menyatakan bahwa berbagai persyaratan
untuk maju dalam Pemilu mungkin lebih ketat daripada persyaratan
84 Zdanoka v. Latvia, Eur. Ct. H.R., App. No. 58278/00, Keputusan 16 Maret 2006, ¶ 155(b).85 European Convention, supra note 26, arts. 8-11 (menetapkan hak untuk dihargai
kehidupan pribadi dan keluarganya; hak berpendapat, beragama; kebebasan berekspresi; kebebasan berkumpul secara damai; dan kebebasan berserikat dengan yang lainnya, dan menjamin bahwa kebebasan berkumpul dan berserikat,“tidak ada pembatasan yang diberlakukan terhadap hak-hak ini selain daripada yang diatur oleh Undang-undang dan yang perlu dalam masyarakat yang demokratis untuk kepentingan keamanan nasional atau keselamatan publik, untuk mencegah kekacauan atau kriminalitas, untuk perlindungan kesehatan atau moral atau untuk perlindungan hak dan kebebasan dari yan lain,” walaupun menolak untuk “mencegah dikenakannya pembatasan-pembatasan berdasarkan hukum dalam pelaksanaan hak-hak ini oleh anggota angkatan bersenjata, polisi atau administrasi Negara”).
86 Toplak, supra note 18, at 7.87 Zdanoka v. Latvia, Eur. Ct. H.R., App. No. 58278/00, Keputusan 16 Maret 2006, ¶ 112(c).
42
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
untuk memilih.88 Pengadilan memeriksa kesesuaian pembatasan
tersebut dengan prinsip negara hukum (rule of law) dan berbagai tujuan
umum Konvensi (Kemerdekaan Negara, Orde yang Demokratis dan
keamanan nasional).89 Kemudian, Pengadilan melihat apakah tindakannya
proporsional, sewenang-wenang, dan apakah kategori orang-orang
yang dipengaruhi oleh keputusan ini dapat didefinisikan secara jelas.90
Pengadilan juga menyatakan bahwa pembatasan seharusnya dinilai dengan
konteks historis dan politik yang sangat khusus dan seharusnya di bawah
tinjauan terus menerus dengan tujuan untuk menghapus pembatasan
sesegera mungkin.91 Dalam kasus ini, posisi pemohon terdahulu di dalam
CPL dan berbagai pandangan anti demokrasi lainnya selama periode
perjuangan Latvia untuk “demokrasi melalui kemerdekaan” pada tahun
1991 memberikannya pengecualian untuk maju dalam pemilihan.92 Karena
ancaman bahwa berbagai pandangannya dapat mempengaruhi orde
demokratis Latvia, Pengadilan mempertimbangkan otoritas yudikatif dan
legislatif untuk menyeimbangkan pengecualian dengan kebutuhan untuk
membangun kepercayaan dalam lembaga-lembaga demokratis yang
baru dengan cara yang memadai. Berdasarkan semua elemen yang telah
disebutkan sebelumnya, Pengadilan berpendapat bahwa Latvia tidak
melanggar wide margin of appreciation93 serta tidak ada pelanggaran dari
hak untuk dipilih dalam Pemilu. Namun, Pengadilan menyoroti kebutuhan
bagi Parlemen untuk meninjau secara berkala pembatasan dari Undang-
undang untuk maju dalam Pemilu,” dengan maksud untuk mempercepat
berakhirnya (pembatasan).”94
88 Id. ¶ 115(e).89 Id. ¶ 118.90 Id. ¶¶ 120, 128.91 Id. ¶¶ 121, 135.92 Id. ¶ 132.93 “Margin of Appreciation” merupakan sebuah konsep yang dikembangkan oleh Pengadilan
Hak Asasi Manusia Eropa ketika mempertimbangkan apakah negara penandatangan dari European Convention on Human Rights telah melanggar konvensi tersebut atau tidak. “Margin of appreciation merujuk pada kekuasaan sebuah Negara Penandatangan dalam menilai situasi faktual, dan dalam menerapkan ketentuan yang tercermin dalam instrumen hak asasi manusia. Margin of appreciation berdasarkan pada gagasan bahwa setiap masyarakat berhak atas keleluasaan tertentu dalam menyeimbangkan antara hak perorangan dan kepentingan nasional, serta menyelesaikan konflik yang timbul sebagai akibat prinsip moral yang berbeda.” Onder Bakircioglu, The Application of the Margin of Appreciation Doctrine in Freedom of Expression and Public Morality Cases, 8 German L.J. 711, 711 (2007), dapat dilihat di http://www. germanlawjournal.com/pdfs/Vol08No07/PDF Vol 08 No 07 711-734 Articles Bakircioglu. pdf.
94 Zdanoka v. Latvia, Eur. Ct. H.R., App. No. 58278/00, Keputusan 16 Maret 2006, ¶ 135.
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
43
Sama halnya dengan sebuah kasus baru-baru ini tentang penyimpangan
Pemilu ulang parlementer, ECtHR memutuskan bahwa Georgia telah
melanggar Pasal 3 Protokol 1 Konvensi Eropa. Pengadilan membuat
keputusannya dengan dasar hukum hak Partai Buruh Georgia (Georgian
Labour Party’s) untuk maju dalam Pemilu.95 Pengadilan memutuskan bahwa
keputusan Komisi Pemilu Pusat (Central Electoral Commission) tanggal
2 April 2004 untuk membatalkan hasil Pemilu di distrik pemilihan Khulo
dan Kobuleti tidak dibuat dengan cara yang transparan dan konsisten.
Komisi tersebut tidak menunjukkan alasan yang relevan dan memadai
untuk mendukung keputusannya, serta tidak menyediakan pengamanan
prosedural yang cukup terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Melalui
keputusan ini dan lainnya, ECtHR telah merangkum berbagai standar
umum yang berlaku bagi proses penanganan terkait Pemilu.
95 Pihak pemohon di dalam kasus ini mengajukan keberatan tentang pelaksanaan Pemilu legislatif ulang pada 28 Maret, 2004 dimana para pemilih Khulo dan Kobuleti voters telah diambil haknya untuk memilih. Georgian Labour Party v. Georgia, Eur. Ct. H.R., App. No. 9103/04, Keputusan 8 Okt. 2008, ¶ 104.
Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights)
Pasal 14.1
Setiap orang akan berkedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan tribunal. Dalam menentukan tuduhan pidana terhadapnya, atau dalam menentukan segala hak dan kewajibannya dalam suatu gugatan, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil dan bersifat terbuka untuk umum, yang dilaksanakan oleh tribunal yang kompeten, independen dan tidak memihak yang dibentuk oleh Undang-undang.
Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)
Pasal 10
Setiap orang berhak atas persidangan yang adil dan terbuka untuk umum dengan yang dilaksanakan oleh pengadilan yang independen dan tidak memihak, dalam penentuan hak dan kewajibannya dan setiap tuntutan pidana yang dituduhkan kepadanya.
44
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Berdasarkan hal-hal ini dan contoh-contoh lainnya, masuk akal jika dapat
disimpulkan bahwa negara seharusnya membuat berbagai Undang-undang
dan peraturan perundang-undangan yang mendefinisikan baik kerangka
kerja proses keberatan terkait Pemilu dan aturan-aturan prosedural yang
dapat diterapkan untuk menangani sengketa semacam itu, dan bahwa
mereka akan mematuhi berbagai kewajiban internasional mereka.
Walaupun negara-negara mempertahankan kebebasan yang cukup
besar dalam struktur organisasi tertentu dari proses keberatan terkait
Pemilu mereka, negara harus menjamin bahwa rezim yang didefinisikan
secara jelas memberikan jaminan minimum tersebut. Terlebih lagi, ketika
merancang Undang-undang baru atau meninjau Undang-undang yang
telah ada, negara seharusnya mempertimbangkan kemungkinan beberapa
Undang-undang yang saling bertentangan, konteks historis negara
mereka, tradisi hukum mereka, dan mencoba untuk memenuhi berbagai
kewajiban internasional yang memfasilitasi sistem penanganan keberatan
Pemilu yang adil, transparan dan efektif.
3. Arbiter yang Tidak Memihak dan Memiliki Pengetahuan96
Pengakuan terhadap kepenting universal atas keberadaan arbiter yang tidak
memihak dan memiliki kemampuan sangat relevan ketika diterapkan pada
keberatan Pemilu, yang pada umumnya bersifat sensitif dan kontroversial
secara politik.97 Jika negara mencampuri pelaksanaan kerja pengadilan
atau komisi yang independen, hal ini akan mengurangi kemandirian
dan ketidakberpihakan (impartiality) dari badan tersebut dan cenderung
menjadikan penanganan keberatan Pemilu menjadi bias. Selain memiliki
independensi yang efektif, seorang hakim atau arbiter yang menangani
96 Walaupun bahasa dalam bagian ini seringkali merujuk pada “hakim” dan “pengadilan” atau “badan peradilan”, berbagai standar yang sama berlaku untuk setiap pejabat resmi yang menjalankan kekuasaan negara melalui sebuah sidang formal atau prosedur lainnya untuk menentukan keabsahan (validity) dan hasil dari sebuah keberatan Pemilu. Ini dapat berupa anggota komite, petugas administratif atau seorang hakim. Sebaliknya, sebagian besar standar yang sama dari ketidakberpihakan juga akan diterapkan pada hakim dan pejabat resmi lainnya yang bertindak dalam konteks selain dari Pemilu.
97 ICCPR, supra note 11, art. 14, § 1. Bahasa yang digunakan dalam ICCPR ditelusuri kembali di pasal 10 dari UDHR. Lihat supra note 10, art. 10. American Convention memberikan jaminan yang sama yang menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan sidang yang adil oleh “sebuah pengadilan yang kompeten, independen dan tidak memihak.“ American Convention, supra note 14, art. 8, § 1; lihat juga European Convention, supra note 26, art. 6, § 1; Venice Commission Code, supra note 44, art. 26.
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
45
berbagai keberatan Pemilu seharusnya mengetahui peraturan perUndang-
undangan terkait Pemilu yang telah ada, dan memiliki kapasitas yang
memadai untuk menilai, menyelidiki dan menyelesaikan berbagai keberatan
yang terkait dengan bidang khusus dari Undang-undang tersebut.
A. Arbiter yang Tidak MemihakPeran penting yang dipegang para arbiter yang tidak memihak dalam
menjaga kepatuhan terhadap hak asasi dasar manusia sekali lagi disebut
secara tersurat dalam traktat. ICCPR menyatakan kebutuhan untuk
sebuah “pengadilan yang adil (fair) dan bersifat umum (public) oleh sebuah
pengadilan yang kompeten, independen dan tidak memihak yang dibentuk
berdasarkan Undang-undang,”98 dan Komite HAM PBB menjelaskan lebih
lanjut bahwa “mekanisme-mekanisme administratif khususnya dibutuhkan
untuk memberikan dampak terhadap kewajiban umum . . . melalui
badan-badan yang independen dan tidak memihak.”99 Komisi tersebut
menegaskan bahwa “sebuah otoritas Pemilu yang independen seharusnya
dibentuk untuk mengawasi proses Pemilu dan menjamin bahwa Pemilu
dilaksanakan secara adil, tidak memihak, dan sesuai hukum yang telah
dibuat yang selaras dengan Kovenan tersebut,”100 Sebagai komponen kunci
dari keseluruhan proses Pemilu, setiap orang yang menangani penanganan
keberatan Pemilu seharusnya berupaya untuk menjalankan standar ini.
Banyak instrumen regional juga menekankan pentingnya hakim yang
98 ICCPR, supra note 11, art. 14. § 1.99 UN Human Rights Comm., CCPR General Comment No. 31 [80], Nature of the General
Legal Obligation Imposed on States Parties to the Covenant, ¶¶ 15-16, CCPR/C/21/Rev.1/Add. 13 (26 Mei, 2004) [setelah ini disebut CCPR General Comment No. 31].
100 CCPR General Comment No. 25, supra note 84, ¶ ¶ 17,20,25. Sebuah kasus Uganda menggambarkan pentingnya kepatuhan terhadap hak untuk pengadilan jujur (fair), ketika sebuah pengadilan menyatakan bahwa “untuk mengoperasionalkan ketentuan konstitusional ini [Pasal 28 Undang-undang: Hak untuk Pengadilan yang Adil] terkait penyelesaian pihak yang bersengketa dalam Pemilu di antara para kontestan, aturan 4 dari Aturan Pemilu Parlementer (Gugatan Pemilu) dibuat dibawah $93 Hukum Pemilu Parlementer.” Pengadilan kemudian mengingat bahwa hak terhadap pengadilan yang adil tidak dapat dihilangkan dan “amat sangat penting dalam penanganan sengketa masalah di antara para pihak.” Ketentuan Undang-undang mencerminkan berbagai standar internasional dan menjadi basis hukum untuk melaksanakan jaminan di dalam proses penyelesaian sengketa Pemilu. Electoral Commission v. Bakireke, (2009) U.G.C.A. 12 (Ct. App.) (Uganda), dapat dilihat di http://lawviatheinternet.org/ug/cases/UGCA/2009/12.html.
46
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
otonom dan tidak memihak dalam sebuah sistem peradilan.101 Berbagai
kewajiban tersebut juga dapat diperluas penerapannya untuk menegaskan
kebutuhan bagi ketidakberpihakan sebuah lembaga penanganan
keberatan Pemilu.
Seseorang tidak dapat membahas ketidakberpihakan sebuah arbiter Pemilu
tanpa mengetahui sebuah hambatan utama bagi proses penanganan
keberatan yang adil yaitu korupsi. Korupsi merongrong independensi
arbiter dan hakim, legitimasi Undang-undang Pemilu, dan hak untuk sebuah
tindakan koreksi yang efektif (effective remedy). Korupsi merupakan
ancaman utama terhadap demokrasi dan hak-hak asasi manusia, negara
hukum (rule of law), dan membahayakan stabilitas lembaga-lembaga
demokrasi.102 Pertarungan untuk meminimalkan dan memberantas korupsi
dalam proses gugatan Pemilu perlu bersifat multidisipliner, termasuk
urusan administratif, penunjukan hakim, tingkat gaji merupakan sebagian
diantaranya.103 Berbagai tindakan koruptif seperti menerima suap dapat
membahayakan akses yang setara terhadap keadilan, penunjukan para
arbiter yang adil dan independen, atau bahkan ketidakberpihakan putusan
dalam suatu kasus. Diperlukan upaya untuk menjamin bahwa para hakim
dan arbiter yang melakukan penanganan gugatan Pemilu memiliki etika,”
khususnya di negara-negara yang pengadilannya dirongrong oleh dominasi
eksekutif yang tidak kompeten dan korupsi yang sistemik.”104
101 European Association of Judges, Judges’ Charter in Europe, art. 1 (20 Maret, 1993); 6th Conference of Chief Justices of Asia and the Pacific Region, Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the LAWASIA Region (Agustus 1995), dapat dilihat di http://lawasia.asn.au/objectlibrary/147?filename=Beijing Statement.pdf; Ibero-American Summit of Presidents of Supreme Justice Tribunals and Courts, Caracas Declaration (4-6 Maret, 1998); Conference on the Judiciary in the Arab Region and the Challenges of the 21st Century, Recommendations of the First Arab Conference on Justice (“Beirut Declaration”) (14-16 Juni, 1999).
102 Council of Eur., Conf. of European Ministers of Justice, Res. No. 1, 21st Conf. (10-11 Juni,1997).
103 Council of Eur., European Comm. of Ministers, Res. No, (97) 24, 101st Sess., pmbl (6 Nov,1997).
104 Keith Henderson & Violaine Autheman, IFES, Global Best Practices, Rule of Law White Paper Series, A Model State of the Judiciary Report: A Strategic Tool For Promoting, Monitoring and Reporting on Judicial Integrity Reforms at the Country, Regional and Global Levels 16 (2004); Dr. Marcin Walecki, IFES, Political Money and Political Corruption: Consideration for Nigeria 6, tbl. 1 (2003), dapat dilihat di http://www.ifes.org/publication/98dac604e5ef5ec603e632890259160d/Money_Corruption_Nigeria.pdf
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
47
i. Uji untuk Ketidakberpihakan
Menentukan apa yang termasuk “tidak memihak” tidak selalu merupakan
sebuah proses yang mudah. Namun, beberapa pengadilan telah membuat
berbagai standar yg berguna yang dapat dianut oleh berbagai negara di
seluruh dunia. Sebagai contoh, Kovensi Eropa menyerukan sebuah sidang
yang adil dalam waktu yang masuk akal oleh sebuah pengadilan yang
independen dan tidak memihak yang dibentuk oleh Undang-undang,105 dan
Pengadilan Eropa telah menghasilkan banyak putusan penting dalam hal
hak atas pengadilan yang adil (fair trial) — termasuk beberapa keputusan
yang berhubungan dengan proses penyelesaian sebuah keberatan
Pemilu. Dalam perkara Salov v. Ukraine, Pengadilan tersebut menemukan
hakim yang akan memutuskan tersebut tidak memenuhi persyaratan
ketidakberpihakan, karena tidak terdapat perlindungan legislatif dan
finansial yang memadai terhadap tekanan dari luar terhadap hakim yang
menangani kasus.106 Pengadilan menyatakan bahwa “dalam rangka
membentuk apakah sebuah pengadilan dapat dikatakan ‘independen’ . .
. harus diberikan perhatian tambahan kepada cara penunjukkan anggota-
anggota (majelis) dan masa jabatan mereka, keberadaan pengamanan
terhadap tekanan-tekanan dari luar dan pertanyaan apakah ini mewakili
penampilan kemandirian.”107 Keputusan menunjukkan bahwa melindungi
ketidakberpihakan para hakim dan arbiter membutuhkan sejumlah upaya.
Memang, negara seharusnya menguji seluruh elemen yang dibahas
dalam alinea di bawah ini untuk merangkai sebuah sistem yang akan
menghalau korupsi atau bias dalam badan peradilan. Hal ini membutuhkan
badan legislatif yang relevan untuk merancang sistem penanganan
keberatan sehubungan dengan seluruh faktor yang dapat secara potensial
melemahkan ketidakberpihakan.
Keputusan Pengadilan Eropa ini juga mengembangkan sebuah tes yang
terdiri dari dua bagian untuk pertanyaan ketidakberpihakan. Pengadilan
pertama-tama melihat pada aspek subyektif “pengakuan pribadi dan
perilaku dari hakim tertentu dalam kasus yg ada” .108 Pengadilan kemudian
meninjau fakta-fakta obyektif yang dapat diketahui yang dapat menimbulkan
105 European Convention, supra note 26, art. 6§1.106 Salov v. Ukraine, Eur. Ct. H.R., App. No. 65518/01, Keputusan 6 Des. 2005, ¶¶ 78-98.107 Id. ¶ 80.108 Id. ¶ 81
48
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
keraguan terhadap ketidakberpihakan ajudikator. Uji ini dilakukan melalui
sebuah analisis serangkaian elemen; apakah rangkaian persidangan
telah tidak memihak dan independen; proses penunjukan hakim; dan
pengaruh terhadap pengadilan yang lebih rendah dari pengadilan yang
dipermasalahkan. Uji tersebut juga mengevaluasi keberadaan “berbagai
kriteria dan prosedur yang jelas untuk promosi, kewajiban kedisiplinan,
penilaian dan pengembangan karir para hakim; batas kewenangan yang
dimiliki oleh ketua pengadilan yang lebih tinggi; jaminan finansial dan
legislatif atas berfungsinya badan-badan peradilan.”109 Elemen-elemen
ini menyediakan sebuah struktur yang berguna untuk menganalisis
ketidakberpihakan sebuah badan yang melakukan penanganan.
ii. Penunjukan dan pemberhentian
Proses penunjukan dan pemberhentian seorang hakim yang bertanggung
jawab dalam memeriksa keberatan Pemilu juga harus ditetapkan dengan
memperhatikan ketidakberpihakan. Sebuah sistem checks and balances
seharusnya tersedia untuk menjamin ketidakberpihakan dari putusannya.110
Jika hakim dan arbiter ditunjuk oleh lembaga nasional seperti eksekutif,
suatu proses peninjauan seharusnya dibentuk untuk memantau proses
penunjukan tersebut. Pencalonan hakim atau arbiter oleh kepala negara
seharusnya membutuhkan konfirmasi atau konsultasi dengan pihak
legislatif. Namun, jika partai politik yang sama menguasai kedua cabang
(kekuasaan) ini, maka memberlakukan persyaratan mayoritas dua-pertiga
dapat melindungi kepentingan kaum minoritas dalam rekrutmen atau
pencopotan anggota komisi (commissioners) dan hakim Pemilu.111 Sebuah
sistem checks and balances menjadi amat penting untuk mencegah
109 Id. ¶¶ 82-86.110 Constitución Política de la República Oriental del Uruguay [Political Constitution of the
Eastern Republic of Uruguay] Feb. 15, 1967, art. 324 (“Lima petahana (incumbents) dan penggantinya ditunjuk oleh Majelis Umum yang memenuhi kedua majelis dengan dua-pertiga jumlah suara, haruslah para warga negara yang jabatannya di dalam politik, dijamin tidak berpihak. Empat anggota sisanya, perwakilan Matches, dipilih oleh Majelis Umum dengan sistem pemungutan suara ganda, suara ini bernilai dua suara pada daftar mayoritas keputusan hakim yang memperoleh suara terbanyak dan dua dari mayoritas daftar keputusan hakim berikutnya yang memperoleh suara lebih kecil.”)
111 Election Law No. 13, art. 19(a), (b) (2001) (Yaman) (mengkodifikasikan Komisi Tertinggi untuk Pemilu dan Referendum (Supreme Commission for Elections and Referendum/SCER), yang terdiri dari 7 anggota yang ditunjuk oleh Keputusan Presiden dari daftar 15 nama yang dicalonkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (House of Representatives), yang harus memenuhi daftar dengan mayoritas dua-pertiga anggota Dewan); lihat juga IFES, Election Law Reform In Yemen: Supplementary Report 9 (2005), dapat dilihat di http://www.ifes.org/publication/3545312a460b9359a9b16a35f027be3f/FINALSupplRoLReport English.pdf
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
49
potensi korupsi dan pengaruh yang ada di antara lembaga-lembaga yang
bertanggungjawab terhadap penunjukan tersebut.
Dalam kultur politik tertentu, menyediakan seorang arbiter yang tidak
memihak mungkin memerlukan berbagai tindakan yang lebih ketat untuk
menjamin independensinya. Di Nikaragua, tujuh anggota komisi ditunjuk
oleh Majelis Nasional dengan mayoritas 60 persen yang memenuhi syarat,
memimpin Consejo Supremo Electoral (CSE), suatu badan penanganan
untuk keberatan non-pidana Pemilu. Presiden dan Majelis Nasional
bersama-sama mengajukan pencalonan untuk posisi anggota komisi
“dengan berkonsultasi dengan masyarakat sipil”112 Meskipun dengan
mekanisme checks and balances ini, partai politik justru membahayakan
posisi independensi CSE dan memilih komisaris yang memiliki profil politik
yang sangat kuat.
Di Brasil, Pengadilan Tinggi Pemilu (Superior Electoral Court/Tribunal
Superior Eleitoral/TSE) menggunakan tata tertib penunjukan lain yang
menarik.113 TSE memiliki yurisdiksi atas seluruh aspek Pemilu dan mengatur
berfungsinya partai politik. Konstitusi mengatur sangat spesifik tentang
komposisi Pengadilan Tinggi Pemilu.114 Ada tujuh orang hakim: tiga hakim
dipilih dari anggota-anggota Mahkamah Agung Federal (Federal Supreme
Court); dua hakim dipilih dari anggota-anggota Pengadilan Tinggi (Superior
Court of Justice); dan dua hakim dicalonkan oleh Presiden, yang dipilih di
antara enam praktisi hukum yang terkenal pengetahuan hukumnya dan
memiliki reputasi moral yang baik yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung
Federal. Untuk mempertahankan karakter non-politis pengadilan Pemilu,
para hakim menjabat selama jangka waktu dua tahun dan tidak dapat
menjabat lebih dari dua periode berturut-turut.115
112 Constitución Política de Nicaragua [Political Constitution of Nicaragua] Jan. 1, 1987, art. 138, § 7; art. 150, § 14; E.U. Nicaragua Report, supra note 38, at 23.
113 Brazil Superior Electoral Court, supra note 6.114 Constituição Federal [C.F.] [Constitution] art. 119 (Braz.).115 Id. art. 121, § 1; lihat juga, contohnya, Ruben Hernandez Valle, Costa Rica: A Powerful
Constitutional Body, Case Study 1 (“TSE terdiri dari tiga hakim reguler dan enam hakim pengganti. . . . Penunjukan mereka dilakukan lewat dua-pertiga anggota Hakim Mahkamah Agung.”), dapat dilihat di http://www.Idea.int/publications/emd/upload/EMD_CS_Costa_Rica. pdf.
50
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Sistem Brasil yang jelas dan transparan, yang membantu menjamin
ketidakberpihakan, dapat dibandingkan dengan proses yang terjadi di
Yordania dan Libanon. Konstitusi Yordania menyatakan bahwa Parlemen
yang baru terpilih merupakan sebuah lembaga yang diberdayakan untuk
menangani gugatan terhadap hasil Pemilu Parlemen.116 Di Libanon, proses
penanganan keberatan secara khusus, dan peradilan secara umum,
kurangnya independensi baik dari sisi eksekutif maupun legislatif. Hal ini
paling jelas terbukti selama Pemilu parlement tahun 1996,” Kementerian
Dalam Negeri menolak untuk memberikan catatan rapat dan berbagai
dokumen asli yang memungkinkan lembaga ini menjalankan tugasnya,
kepada Dewan Konstitusi, badan yang yang bertanggung jawab terhadap
pengawasan Pemilu karena beberapa dokumen ini terbakar.”117 Terlebih
lagi pada bulan Agustus tahun 2003, mandat lima dari sepuluh anggota
Dewan Konstitusi telah habis waktunya tanpa penunjukan yang baru,
sehingga menyebabkan lumpuhnya secara de facto lembaga tersebut
hingga tahun 2009.118 Konflik kepentingan dan campur tangan para politisi
dalam pekerjaan badan-badan penanganan di negara-negara ini jelas
menjauhkannnya dari persyaratan adanya arbiter yang tidak memihak
dan independen.
Proses pencopotan para hakim dan arbiter juga merupakan sebuah
komponen kunci dalam menciptakan sebuah sistem penanganan yang
tidak memihak, dan harus menyeimbangkan antara kebutuhan untuk
mengisolasi para ajudikator dari pengaruh politik jangka pendek, di lain
pihak juga tetap memberikan jalan untuk mencopot hakim yang benar-
benar korup. Sebagai contoh, di Brasil, Konstitusi menyatakan bahwa
hakim dari Mahkamah Agung Pemilu (Electoral Supreme Court) dan
Pengadilan Negeri (Regional Court) tidak dapat dicopot selama menjabat.119
Ketentuan ini menjamin bahwa seorang hakim tidak akan dicopot secara
sewenang-wenang berdasarkan manipulasi politis atau pengaruh yang
tidak semestinya. Namun, Undang-undang Pemilu atau aturan prosedural
116 Constitution of the Hashemite Kingdom of Jordan Jan. 1, 1952, art. 71; lihat juga Democracy Reporting International, Al-Urdun Al-Jadid Research Center, Assessment of the Electoral Framework: The Hashemite Kingdom of Jordan 2, 26 (2007) [setelah ini disebut Jordan Electoral Assessment], dapat dilihat di http://www.democracy-reporting.org/files/dri_report_jordan.pdf.
117 Jordan Electoral Assessment, supra note 117, at 2, 26.118 Id. at 30.119 Constituição Federal [C.F.] [Constitution] art. 121, § 1 (Bras.).
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
51
seharusnya menata aturan yang jelas dan transparan untuk mendisiplinkan
atau memecat anggotanya jika mereka bertindak tidak semestinya atau
jika mereka gagal dalam menjalankan tugas-tugas mereka.120 Aturan
semacam itu seharusnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan
setiap agenda pembaruan dan dapat mengurangi jumlah putusan yang
dibuat dengan cara yang sewenang-wenang atau di bawah tekanan politik.
Berbagai prinsip ketidakberpihakan ini lebih lanjut menjadi lebih rumit
karena tingkat stabilitas politik sebuah negara. Komisi Keberatan Pemilu
(Electoral Complaints Commission/ECC) di Afganistan merupakan contoh
kuat sebuah negara pasca-konflik dalam mempertahankan persyaratan
ketidakberpihakan, sementara juga menunjukkan keterbatasan mekanisme
tersebut. Pada Pemilu tahun 2009, Komisi termasuk tiga komisioner
internasional yang ditunjuk oleh Perwakilan Khusus PBB dari Sekretaris
Jenderal untuk Afganistan, satu komisaris yang ditunjuk oleh Komisi
Independen Hak Asasi Manusia Afganistan (Afghan Independent Human
Rights Commission) dan satu komisaris yang ditunjuk oleh Mahkamah
Agung Afganistan.
Pada mulanya, alasan pembentukan ECC adalah untuk menjamin
dukungan dari komunitas internasional melalui kehadiran para ahli Pemilu
internasional dan untuk menjamin ketidakberpihakan melalui kehadiran
warga negara Afganistan. Terdapat berbagai kritik yang substansial
mengenai keseimbangan antara jumlah warga negara Afganistan dan
warga negara asing. Namun, jika staf ECC hanya warga negara Afganistan
saja, mungkin sulit untuk menjamin independensi dan ketidakberpihakan
karena tingginya tingkat korupsi yang masih ada di antara lembaga-
lembaga Afganistan. Terlebih lagi, keterlibatan para ahli internasional di
120 USAID Office of Democracy and Governance, Technical Publication Series, Guidance for Promoting Judicial Independence and Impartiality 20 (2002) [setelah ini disebut USAid Guidance] (“Ketika proses-proses disiplin bekerja dengan benar, mereka melindungi integritas peradilan dan independensinya. Namun, proses rangkaian proses disiplin mungkin dibuat untuk alasan politis atau untuk menghukum para hakim yang menyerahkan keputusannya yang bertentangan dengan pandangan atasan mereka. Perbedaan substantive yang seharusnya diselesaikan oleh kasus banding ke pengadilan yang lebih tinggi dapat membentuk basis untuk tindakan kedisiplinan. Bukan tidak umum, proses disiplin dipotong secara keseluruhan dalam mencopot hakim dari jabatannya. Sebuah prosedur disiplin yang terstruktur dengan baik mengurangi kerentanan terhadap penyalahgunaan yang mempengaruhi independensi peradilan,” dapat dilihat di http:// www.usaId.gov/our_work/democracy_and_governance/publications/pdfs/pnacm007.pdf.
52
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
ECC menjadi penting untuk mencoba mengatasi ketegangan antar etnis
yang masih ada di Afganistan.
Dalam persiapan untuk Pemilu Parlemen 2010, pemerintah Afganistan
mengesahkan suatu Undang-undang Pemilu yang baru121 yang tidak
secara eksplisit mengharuskan komisaris ECC adalah warga negara
Afganistan, namun menyatakan bahwa mereka seharusnya ditunjuk oleh
Presiden setelah berkonsultasi dengan kedua kamar perwakilan dan Ketua
Mahkamah Agung. Presiden juga menunjuk para anggota Komisi Keberatan
Pemilu tingkat Provinsi (Provincial Electoral Complaints Commissions/
PECC). Undang-undang ini tidak mengatur tentang kualifikasi atau
jumlah komisaris baik PECC maupun ECC. Berbagai perubahan ini tidak
membawa banyak perubahan dalam menangani risiko keberpihakan dalam
pencalonan para hakim atau arbiter, atau kurangnya kepercayaan dalam
komposisi ECC.
Sementara ketidakberpihakan arbiter dalam penanganan keberatan Pemilu
merupakan hal yang amat penting, dalam situasi luar biasa dibutuhkan
fleksibilitas dan berbagai pendekatan pragmatis dalam pelaksanaan
standar-standar internasional di dalam sistem tertentu.
iii. Remunerasi, purna-waktu dan permanen
Faktor-faktor lain dapat mempengaruhi pembentukan mekanisme keberatan
Pemilu yang tidak memihak, adalah termasuk tingkat remunerasi, dimana
posisi penuh-waktu atau paruh-waktu, apakah badan tersebut permanen
atau sementara. Dalam sebuah badan penyelenggara Pemilu yang
memiliki sumber daya yang memadai, para hakim atau arbiter idealnya
dilarang menjalankan pekerjaan lain dan diharuskan memegang posisi
penuh-waktu untuk mempertahankan sebaik-baiknya sistem penanganan
yang independen dan tidak memihak. Namun, pada praktiknya, para hakim
bertindak sebagai arbiter Pemilu seringkali juga menjadi hakim biasa yang
menangani perkara umum— mungkin di bawah prosedur administratif
khusus, ataupun ditugaskan sementara untuk menjalankan tugas Pemilu,
ataupun pensiunan hakim yang ditugaskan sementara. Hanya sedikit
121 Electoral Law, art. 61 (2004) (Afg.); President of Islamic Republic of Afghanistan, Decree on the Appointment of Election Complaints Commission Members, 18 April, 2010, dapat dilihat di http://www.ecc.org.af/en/images/stories/pdf/16Apr10 Pres Decree est ECC.pdf.
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
53
negara yang memiliki pengadilan Pemilu yang penuh-waktu dan permanen.
Dengan demikian, sementara model yang memiliki sumber daya yang
memadai yang disebutkan di atas mungkin tidak ada dalam praktik, namun
pentingnya mendirikan sebuah badan arbiter yang paling tidak mengetahui
banyak tentang Undang-undang Pemilu dan penanganan keberatan Pemilu
merupakan hal yang jelas.
Remunerasi, tidak umum dibahas atau tidak cukup ditangani oleh program-
program bantuan pembangunan internasional, juga merupakah elemen
yang penting dalam badan peradilan yang tidak berpihak dan independen.
Remunerasi yang memadai bagi para hakim Pemilu juga membantu
mencegah tekanan finansial dari luar yang secara potensial bersifat koruptif
terhadap para hakim atau arbiter.122 Tentu saja, ketika budaya suap telah
tertanam di dalam sebuah negara, kenaikan dalam remunerasi mungkin
tidak akan menghapus korupsi sepenuhnya. Namun, gaji dan berbagai
tunjangan mungkin akan mempengaruhi sikap para pegawai dan juga
menarik para pelamar yang paling memenuhi syarat.
Merancang sebuah sistem penanganan yang adil juga membutuhkan
ketetapan untuk menentukan apakah pengadilan atau komisi keberatan
Pemilu akan bersifat permanen atau sementara. Sifat permanen sebuah
badan penanganan dapat menjamin keberlangsungan pekerjaan para
arbiter dan staf dan memungkinkannya untuk menilai berbagai kesalahan,
tantangan dan keberhasilan setelah pelaksanaan Pemilu. Hal ini juga
dapat mempertahankan dan meningkatkan pengetahuan para arbiter
dalam Undang-undang Pemilu. Namun, struktur permanen seperti itu
memerlukan dukungan finansial yang ekstensif dan pada selang waktu
antara Pemilu tidak terlalu dibutuhkan hakim atau arbiter yang bertugas.
Sebagai contoh, di Meksiko, keberatan Pemilu ditangani oleh Tribunal
Pemilu permanen (satu federal dan beberapa regional) yang memperoleh
manfaat dari pendanaan pemerintah yang konsisten untuk menjalankan
tugas penanganannya. Pengadilan ini juga terlibat dalam beberapa
122 USAid Guidance, supra note 121, at 52, 62 (mencatat bahwa “rendahnya tingkat remunerasi biasanya menarik perhatian sebagai sumber utama perilaku korupsi” dan “sejumlah upaya telah dilakukan untuk meminimumkan korupsi di antara para hakim,” termasuk “saran yang paling sering disuarakan . . . meningkatkan gaji hakim”); Central Council of the International Association of Judges , Universal Charter of the Judge, art. 13 (17 Nov , 1999) (“Hakim harus menerima remunerasi yang memadai untuk mengamankan independensi ekonomi yang sejati.”).
54
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
aktivitas extra kurikuler seperti mempromosikan model Pemilu Meksiko
di luar negeri atau memberikan bantuan teknis kepada demokrasi yang
sedang berkembang.123 Pengadilan Pemilu Uruguay (Corte Electoral) juga
merupakan badan penanganan keberatan permanen. Walaupun model
Meksiko telah terbukti sangat efektif, di beberapa negara dengan sumber
daya yang lebih sedikit dan tradisi hukum yang berbeda, suatu badan
penanganan keberatan sementara dapat sama efisiennya dengan yang
permanen selama para staf-nya dicalonkan atau ditunjuk dengan waktu
yang memadai untuk persiapan sebelum Pemilu.
Penerapan fungsi ganda seorang arbiter akan menimbulkan argumen
yang sama yang terletak pada pembahasan mengenai sifat permanen dan
remunerasi. Karena melarang seorang hakim atau arbiter untuk memegang
posisi yang lain dapat menyebabkan tingkat ketidakberpihakan yang lebih
tinggi, di negara demokrasi yang baru berkembang, negara kerapkali
tidak memiliki sumber daya untuk menawarkan remunerasi yang cukup
untuk memungkinkan para arbiter hanya menjabat satu posisi. Untuk
memastikan ketidakberpihakan para arbiter, beberapa negara sebagai
gantinya melarang dukungan mereka (para arbiter) terhadap sebuah partai
politik. Sebagai contoh, konstitusi Uruguay tidak mengizinkan para anggota
Pengadilan Pemilu (Electoral Court) “untuk bertidak sebagai pejabat partai
politik atau terlibat dalam propaganda Pemilu politis.”124
Secara umum, para arbiter yang menangani keberatan Pemilu baik yang
merupakan hakim reguler dari peradilan, ataupun mereka yang bekerja pada
komisi Pemilu dan penanganan keberatan Pemilu merupakan salah satu
bagian dari pekerjaan mereka. Meskipun demikian, larangan menjalankan
tugas lainnya sangat direkomendasikan, minimal selama periode Pemilu.
123 Constitución Política de la República Oriental del Uruguay [Political Constitution of the Eastern Republic of Uruguay] Feb. 15, 1967, art. 322 (menetapkan Pengadilan Pemilu/Electoral Corte yang otonom dan independen “untuk memutuskan keputusan akhir seluruh banding dan gugatan yang muncul dan memutuskan seluruh jabatan yang memerlukan pemilihan dari plebisit atau referendum”).
124 Id. art. 77, § 5.
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
55
iv. Berbagai tantangan dan rintangan dalam demokrasi yang
sedang berkembang
Batasan sistem domestik dan pembatasan yang tercipta oleh praktikalitas
sehari-hari dalam demokrasi yang sedang berkembang seharusnya juga
diakui. Untuk menyiapkan seorang arbiter yang tidak memihak di dalam
sistem keberatan Pemilu, negara harusn mematuhi standar-standar
mengenai penunjukan, pencopotan atau remunerasi para hakim dan
arbiter, sebagaimana diuraikan di atas. Namun, negara-negara berkembang
seringkali berhadapan dengan isu-isu internal tambahan seperti terbatasnya
tenaga terampil atau sumber daya finansial yang terbatas.
Sebagai contoh, kesulitan yang muncul di Armenia tahun 2006, ketika
Mahkamah Konstitusi memutus perkara benturan kepentingan yang
berkaitan dengan badan penyelenggara Pemilu dan administrasi
peradilan.125 Kitab Undang-undang Pemilu Armenia menyertakan pedoman
Komisi Venisia (Venice Commission) tahun 2002, yang menyatakan bahwa
komisi Pemilu seharusnya terdiri dari paling sedikit satu anggota dari
peradilan.126 Namun, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa sebagai
negara yang sedang dalam masa transisi, Armenia mengalami kekurangan
hakim yang dapat menangani bahkan untuk kasus-kasus sepele. Dengan
demikian, jika beberapa hakim ditunjuk melakukan peran administratif
sebagai anggota komisi Pemilu, mereka juga tetap harus melaksanakan
fungsi kehakiman lainnya. Mahkamah Konstitusi mengakui bahwa
melaksanakan kedua fungsi tersebut akan mengurangi ketidakberpihakan
sebuah komisi, karena peran administratif dan yudisial akan dengan mudah
menjadi konflik. Kasus ini menekankan tantangan yang dapat muncul
bagi negara-negara berkembang yang sedang berupaya untuk mematuhi
standar-standar internasional, serta kenyataan yang tidak menguntungkan
125 Advisory Opinion on the Compliance of Article 35.1.3, Second Sentence, Article 35.1.4, dan Article 36.1 of the Armenian Electoral Code with the Armenian Constitution, (2006) D.C.C. 664 (Const. Ct. Arm.) (“[Peran komisi Pemilu yang tidak berpihak dan independen merupakan hal yang mutlak, tetapi di dalam ‘negara transisi’ kekuasaan peradilan yang sangat penting. Karena inilah Pasal 98 Konstitusi tersebut melarang hakim memegang jabatan yang tidak relevan dengan tugas-tugas resminya, sebagaimana yang ditetapkan oleh Kitab Hukum Pemilu (Electoral Code), yang bertentangan dengan administrasi peradilan, independensi peradilan, meningkatkan konflik kepentingan, dan melemahkan ketidakberpihakan para hakim dan pengadilan ketika menyelesaikan sengketa Pemilu.”), catatan dapat dilihat di http://www.concourt.am/english/decisions/common/doc/english_codices/664.htm.
126 Kitab Undang-undang Pemilu Armenia (Armenian Electoral Code) rmempersyaratkan penunjukan satu hakim di dalam komisi Pemilu. Electoral Code, pasal. 35, 36 (2005) (Arm.), dapat dilihat di http://www.venice.coe. int/docs/2007/CDL-EL(2007)010-e.pdf.
56
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
bahwa semakin ketat pedoman yang memaksa prinsip ketidakberpihakan
mungkin tidak selalu dapat diterapkan. Walaupun ketegangan ini penting
untuk diperhatikan, keterbatasan sistem peradilan seharusnya tidak
digunakan sebagai alasan atau memperbolehkan penanganan keberatan
Pemilu yang menghasilkan berbagai keputusan yang sewenang-wenang
ataupun tidak adil.127
Selama perancangan sistem penanganan keberatan, para perancang
seharusnya menyinggung berbagai rintangan praktis ini dan mengupayakan
solusi-solusi alternatif. Namun, terlepas dari kelangkaan sumber daya, baik
manusia maupun finansial, pembuatan keputusan yang tidak memihak
harus diterapkan untuk menghindari berbagai keputusan yang sewenang-
wenang, kurang seimbang, dan berbagai pembatasan yang mencampuri
kebebasan berekspresi.128
B. Arbiter yang Memiliki Pengetahuan yang Memadai Karena keterbatasan waktu dan pengetahuan khusus yang diperlukan
untuk memutus gugatan dan keberatan Pemilu, para arbiter seharusnya
kompeten dan memiliki pengetahuan dalam bidang khusus penanganan
keberatan Pemilu. Standar-standar ini mempersyaratkan bahwa orang yang
ditunjuk memiliki kualifikasi yang dibutuhkan pada saat penunjukkannya,
serta persyaratan pendidikan berkelanjutan untuk mempertahankan
pemahamannya dengan perubahan terhadap rezim hukum.
i. Seorang hakim atau arbiter yang memenuhi persyaratan
Arbiter dari setiap lembaga ajudikator sengketa Pemilu seharusnya
memiliki berbagai keterampilan dan sumber daya yang diperlukan untuk
mengerti sepenuhnya proses Pemilu. Ketika meninjau kualifikasi hakim
atau komisioner yang potensial, latar belakang kewarganegaraan dan
kelembagaan kandidat tersebut menjadi pertimbangan, bukan koneksi
politik mereka. Venice Commission mengakui tingkat keahlian teknis yang
dibutuhkan, menyatakan bahwa para anggota komisi Pemilu “seharusnya
merupakan para ahli hukum, ilmu politik, matematika atau orang lain yang
127 Id.128 Zdanoka v. Latvia, Eur. Ct. H.R., App. No. 58278/00, Putusan 16 Maret 2006, ¶ 115 (b),( c),(
e).
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
57
memiliki pemahaman yang baik tentang isu Pemilu.”129 Namun pendidkan
yang baik dan pengalaman yang memadai dalam urusan Pemilu merupakan
hal yang perlu namun bukan merupakan karakteristik yang cukup untuk
dipandang sebagai hakim atau arbiter yang memenuhi syarat. Dalam
laporan penilaian pra-Pemilu IFES di Thailand, para ahli menyerukan Komisi
Pemilu (Electoral Commission/ECT) untuk memperhatikan bahwa “pada
waktu meningkatnya ketegangan politik, akan menjadi penting khususnya
untuk menjamin bahwa proses rekrutmen bersifat kompetitif dan bahwa
para kandidat disaring secara semestinya.”130 Penilaian tersebut menyatakan
bahwa dalam rangka ditunjuk sebagai anggota dari panitia tempat
pemungutan suara atau Pemilu, para kandidat seharusnya memenuhi
syarat dan dikenal netral secara politik.131 Para pengamat mencatat,
sebagai contoh, beberapa petugas Pemilu di Thailand merupakan petugas
kepolisian mengacaukan prinsip ketidakberpihakan. Namun, seharusnya
diakui bahwa sistem penanganan keberatan di Thailand berbeda dengan
negara-negara kebanyakan, karena justru ECT-lah yang memiliki fungsi
sebagai lembaga penanganan keberatan.
ii. Pelatihan dasar dan pelatihan yang berkelanjutan
Undang-undang Pemilu seringkali kompleks dan kerap berubah, dan
dengan demikian mempertahankan badan penyelenggara yang memiliki
pengetahuan dan memenuhi syarat bisa menjadi lebih sulit daripada hal
sama di bidang lainnya. Akibatnya, prasyarat keterampilan yang diperlukan
hanyalah sekedar ambang batas kualifikasi; dan seharusnya juga tersedia
pendidikan yang berkelanjutan bagi semua anggota.132 Penunjukan yang
tidak serentak dari tribunal atau komisi Pemilu dapat memungkinkan
mantan hakim atau arbiter Pemilu untuk membantu pelatihan para
anggota yang baru ditunjuk. Pendidikan berkelanjutan penting bagi para
129 Venice Commission Code, supra note 44, at 28. Dalam putusan yang lain, Mahkamah Agung di Ghana juga mengakui pentingnya hakim yang kompeten dalam urusan Pemilu. Pada November 2008, Pengadilan merancang sebuah Petunjuk dan Statuta tentang penanganan keberatan Perkara Pemilu di Ghana. Pada kesempatan ini, Lady Justice Georgina T. Wood menggarisbawahi bahwa salah satu tujuan dari prakarsa ini adalah “untuk membantu para hakim di dalam pekerjaannya . . . melaksanakan penanganan sengketa Pemilu.” Kata Pengantar Ghana Manual, supra note 7.
130 Robert A. Dahl et al., IFES, Thailand: 2007 Pre-Election Technical Assessment, Report of Findings and Recommendations 37 (2007), dapat dilihat di http://aceproject.org/ero-en/regions/asia/TH/IFESPreelectionAssesment.pdf/view.
131 Id.132 USAid Office of Democracy and Governance, Technical Publication Series, Guidance for
Promoting Judicial Independence and Impartiality 27 (2002), dapat dilihat di http://www.usaid.gov/our_work/democracy_and_governance/publications/pdfs/pnacm007.pdf.
58
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
hakim dan arbiter. Di Brasil, mekanisme penanganan keberatan telah
mempertimbangkan dibutuhkannya pendidikan berkelanjutan bagi para
arbiter. Sebuah Ajaran Hukum Pemilu (Electoral Legal School) dikaitkan
dengan Pengadilan dan bertujuan untuk memberikan pendidikan
berkelanjutan ataupun yang pendidikan tidak rutin bagi para hakim yang
memutus atau akan memutus berbagai keberatan Pemilu.133
Lebih lanjut, untuk menjamin penerapan Undang-undang sebagaimana
mestinya dan kepatuhan terhadap pelatihan yang diberikan, para hakim
dan arbiter dalam urusan Pemilu harus dapat mempertanggungjawabkan
133 Brazil Superior Electoral Court, supra note 6.
Komisi Keberatan Pemilu Republik Islam AfganistanPedoman perilaku bagi Komisioner dan Staf ECC
Komisioner dan staf ECC wajib:• Mematuhi Konstitusi, Undang-undang Pemilu, dan Keputusan,
Peraturan dan Prosedur yang berlaku, dan melaksanakannya dengan cara yang tidak berpihak, non-partisan dan netral secara politis;
• Mempertahankan standar-standar tertinggi dalam efisiensi, kompetensi dan integritas;
• Dengan kemampuan terbaik mereka, menjamin agar hak-hak dasar semua orang yaitu kebebasan berpendapat dan berekspresi, berorganisasi, berkumpul, berserikat dan melakukan pergerakan terlindungi di seluruh tahap proses Pemilu;
• Memperlakukan para pemilih, kandidat dan agen, anggota pers atau media, serta semua entitas atau perorangan yang berpartisipasi dalam proses Pemilu dengan cara yang menghormati, tidak memihak dan netral secara politis;
• Tidak mengkomunikasikan kepada setiap orang atau sumber lainnya setiap informasi atau dokumen yang diketahui mereka yang karena tugasnya mereka mengetahui atau seharusnya mengetahui yang belum dipublikasikan, kecuali sebagaimana mestinya dalam pelaksanaan tugas mereka yang normal atau lewat otorisasi dari Komisi;
• Tidak menyimpan dokumen-dokumen lebih lama daripada yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas mereka. Kewajiban ini tidak berhenti setelah berakhirnya tugas mereka dengan ECC;
• Tidak menunjukan melalui busana, kepemilikan barang, atau tidakan, sikap, atau pidato yang mendukung salah satu partai politik atau kandidat;
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
59
kesalahan prilaku dan malpraktik. Efisiensi para hakim dan arbiter tergantung
kepada berbagai keterampilan dan pelatihan yang mereka jalani, tetapi tim
arbitrase juga memperoleh manfaat dari staf pendukung yang memenuhi
syarat. Sebuah proyek IFES di Timor-Leste memusatkan perhatian pada
merekrut dan mempertahankan staf pendukung dengan serangkaian
keterampilan yang dibutuhkan. IFES merekomendasikan Komisi Pemilu
Nasional (National Elections Commission) untuk mempekerjakan staf
yang memenuhi syarat dan, lebih khusus lagi, bahwa tim yang menangani
keberatan mempekerjakan seorang ahli teknologi informasi, pengacara
dan satu pegawai administrasi.134
Badan penanganan seharusnya mengatur perilaku stafnya, dan seharusnya
mengadopsi pedoman perilaku (code of conduct) bagi para hakim
dan komisioner-nya (lihat kotak di halaman sebelumnya untuk sebuah
pedoman perilaku yang disusun oleh Komisi Keberatan Pemilu Afganistan
[Afghanistan Electoral Complaints Commission]). Anggota staf harus
diberikan sanksi seperti halnya hakim jika mereka melakukan kesalahan
yang sebanding. Hal ini akan menciptakan tanggung jawab yang sepadan
dengan tugas sipilnya. Para arbiter seharusnya bertanggung jawab
134 IFES, Timor-Leste: Development of a National Electoral Framework 26-27 (2008) (setelah ini disebut IFES Timor-Leste Report).
• Melaksanakan tugas dan membuat keputusan dengan jujur dan transparan dengan bekerjasama sejauh yang diperbolehkan dalam Undang-undang dengan para Pengamat, Perwakilan, Pemilih, Kandidat dan anggota pers atau media;
• Tidak memanfaatkan atau berupaya memanfaatkan posisi mereka untuk keuntungan pribadi, dan tidak mengupayakan atau menerima berbagai instruksi dari para pejabat atau otoritas pemerintah dan non-pemerintah, kecuali diizinkan oleh Undang-undang;
• Mengumumkan setiap kepentingan pribadi yang terkait dan berbenturan dengan dengan tugas mereka di ECC dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan semua konflik tersebut agar selaras dengan tugas-tugas mereka;
• Menghormati kerahasiaan surat suara;• Melindungi privasi setiap orang atau informasi yang bersifat rahasia;• Membiasakan mereka dengan seluruh Undang-undang Pemilu,
peraturan, aturan dan tata tertib ECC yang relevan, dan Komisaris wajib, kapan pun memungkinkan menghadiri rapat-rapat ECC.
60
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
terhadap pelanggaran mereka dalam memproses suatu gugatan. Mereka
seharusnya bertanggung jawab terhadap para pihak dan pemerintah
yang mengharuskan mereka menjadi lebih waspada ketika menguji
sebuah keberatan.
Sebuah studi tentang Pengadilan Pemilu (Electoral Court) di Uruguay,
telah mengungkapkan bahwa para anggotanya dicalonkan berdasarkan
keterampilan profesional mereka dan bahwa staf yang ada pada umumnya
terlatih dengan baik, namun kekurangan sumber daya yang layak untuk
menjalankan suatu sistem yang efisien.135 Dengan adanya beberapa
kebutuhan yang saling bersaing atas sumber daya domestik, ini adalah
pintu masuk utama bagi bantuan komunitas donor internasional; namun
seluruh bantuan seharusnya dirancang dengan tujuan akhir menciptakan
sistem yang berkelanjutan dengan sendirinya.
4. Sebuah Sistem Mampu Mempercepat Putusan secara Yudisial
Karena legitimasi keseluruhan pemerintah terletak pada keabsahan hasil
Pemilu, proses penanganan keberatan harus dilakukan secara cepat.
Pentingnya jadwal telah diakui secara luas oleh berbagai konvensi dan
traktat internasional, walaupun bahasanya mungkin berbeda. Sebagai
contoh, sifat penyelesaian keberatan yang sensitif terhadap waktu
membutuhkan rangkaian proses yang berlangsung “dalam waktu yang
masuk akal” atau “tanpa penundaan yang tidak semestinya”.136
A. Proses Persidangan Yang CepatPentingnya tindakan perbaikan yang tepat waktu telah diakui oleh
pengadilan sebagai hal yang tidak dapat lepas keterkaitannya dengan
partisipasi publik yang adil dalam pemerintahan dan Pemilu. Harus terdapat
batas waktu untuk menyelesaikan keberatan Pemilu.137
135 Staino, supra note 6, at 1-2.136 ICCPR, supra note 11, art. 14, § 1 (c) ; American Convention, supra note 14, art. 8;
European Convention, supra note 26, art 6, § 1; lihat juga Autheman, supra note 51, at 6.137 SADC Parliamentary Forum, Norms and Standards for Elections in the SADC Region 15
(2001) [setelah ini disebut SADC Norms], dapat dilihat di http://aceproject.org/ero-en/regions/africa/regional-resources-africa/sadcpf_electionnormsstandards.pdf/view.
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
61
Dalam perkara Kwiecien v Poland, Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa
(European Court of Human Rights) mengakui legalitas proses sumir yang
dilakukan dibawah Undang-undang Pemilu daerah, menyatakan bahwa
“rangkaian proses perkara seperti ini dilaksanakan dalam batas waktu
yang sangat pendek… tindakan perbaikan sederhana semacam itu selama
periode kampanye Pemilu (lokal dan nasional) berlaku sebagai tujuan yang
absah dalam memastikan keadilan dalam proses Pemilu dan karenanya
tidak dapat dipertanyakan dari sudut pandang Konvensi.”138 Ketepatan
waktu mempersyaratkan negara untuk mengupayakan dua langkah: (1)
memastikan bahwa Undang-undang secara substantif dan prosedural
mengatur masalah waktu tersebut; dan (2) memberikan pengadilan
atau komisi yang bertanggung jawab terhadap penanganan keberatan
Pemilu dengan kemampuan dan sumber daya untuk memenuhi batas
waktu sebagaimana dinyatakan di dalam Undang-undang. Sementara
ahli internasional setuju bahwa tenggat waktu untuk mengajukan atau
memutuskan sebuah keberatan atau gugatan seharusnya ditetapkan
dalam Undang-undang Pemilu atau peraturan yang semestinya. Kerangka
waktu dapat dibuat singkat asalkan sidang pembacaan keberatan Pemilu
dapat memastikan tersedianya jadwal selama jangka waktu Pemilu atau
memprioritaskan secara efektif kasus-kasus terkait Pemilu.
Penundaan dalam proses penanganan keberatan dapat merusak
kepercayaan publik dan mendelegitimasi sebuah pemerintahan. Sebagai
contoh, di Nigeria sebuah sengketa Pemilu muncul terkait pemilihan
gubernur tanggal 14 April 2007 di Negara Bagian Ekiti, setelah INEC
mengumumkan Tn. Olusegun Oni dari People’s Democratic Party sebagai
pemenang. Kandidat partai oposisi, Dr. Kayode Fayemi dari Action
Congress mengugat Pemilu tersebut di Tribunal Gugatan Pemilu (Election
Petition Tribunal) dan menuduhnya melakukan malpraktik, dalam bentuk
surat suara ganda dan manipulasi daftar pemilih.139 Walaupun persyaratan
Bagian 148 dari Undang-undang Pemilu (Electoral Act) 2006, yang
menyebutkan bahwa “sebuah gugatan Pemilu dan banding yang muncul
dari gugatan tersebut … wajib diberikan sidang pembacaan gugatan/
138 Kwiecien v. Poland, Eur. Ct. J. R., App. No. 51744/99, Putusan 9 Januari 2007, ¶ 55.139 Oni v. Fayemi, [2009] (C.A.) (Nigeria); lihat juga Demola Akinyemi et al., Court Secks Oni,
Orders Fresh Polis in Ekiti, Vanguard, 18 Feb 2009, dapat dilihat di http://allafrica.com/stories/200902180002.html.
62
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
pembelaan (hearings) yang dipercepat dan wajib diprioritaskan diatas
seluruh kasus atau urusan lainnya di hadapan Sidang atau Pengadilan,”140
sistem pengadilan Nigeria membutuhkan waktu hampir dua tahun untuk
menyelesaikan sengketa ini.141 Baru pada tanggal 17 Februari 2009,
Pengadilan Banding memerintahkan Pemilu ulang di beberapa daerah
dari negara tersebut. Selama waktu itu, Gubernur Oni telah dua tahun
menjabat. Menyusul keputusan Pengadilan Banding, negara bagian Ekiti
menyelenggarakan Pemilu ulang pada bulan April 2009; namun, tingkat
kehadiran pemilih rendah dan gugatan Pemilu lainnya diajukan kepada
badan penanganan keberatan Pemilu terkait Pemilu ulang. Menurut
para pengamat, penundaan terkait keberatan Pemilu tahun 2007 telah
menciptakan krisis legitimasi dan kredibilitas yang mendalam di negara
Bagian Ekiti. Walaupun konsekuensi penundaan dua tahun, namun
keputusan hakim dipandang oleh beberapa pihak sebagai batu loncatan
yang lain dari peradilan Nigeria, yang menyatakan optimisme dimana
demokrasi negara tersebut akan terus membaik cepat ataupun lambat.”142
Harus juga dicatat bahwa sistem penanganan keberatan Pemilu di Nigeria
telah mengalami kemajuan yang berarti dari waktu ke waktu. Pada Pemilu
1999 dan 2003, dibutuhkan waktu kira-kira lima tahun bagi sebuah gugatan
untuk ditangani. Dalam kasus lainnya, beberapa keberatan hanya diabaikan
begitu saja oleh hakim. Setelah Pemilu 2003, para pemangku kepentingan
domestik dan ahli internasional melakukan upaya yang sangat besar untuk
memperkuat proses penanganan keberatan Pemilu di Nigeria. Para ahli
Pemilu internasional berpartisipasi dalam pelatihan para hakim untuk
Tribunal Banding Pemilu (Electoral Petition Tribunals) pada tahun 2006 dan
2007 dan memperkenalkan teknik-teknik manajemen perkara, termasuk
prosedur pra-peradilan.143 Awalnya, para ahli Pemilu menghadapi penolakan
dari para hakim Nigeria. Untuk mengatasi penolakan ini, para ahli harus
140 Electoral Act 2010 § 142 (Nigeria), dapat dilihat di http://placng.org/Electoral Act2010-asGazetted.pdf.
141 Ketentuan dari Undang-undang Pemilu ini menyerukan bagian 294 (1) dari Konstitusi Nigeria yang menyatakan bahwa “setiap pengadilan yang didirikan di bawah Konstitusi ini wajib menyampaikan keputusannya secara tertulis tidak lebih dari sembilan puluh hari setelah bukti terkumpul dan keputusan diambil.” Constition of the Federal Republic of Nigeria (1999) § 294 (1).
142 Akinyemi et al,. supra note 140.143 IFES, Support to the Electoral Process in Nigeria: Final Report 35-39 (2009). Barry
Weinberg dan Judge Nikki Ann Clark berpartisipasi dalam pelatihan para hakim untuk Pengadilan Banding Pemilu pada tahun 2006 dan 2007, Id.
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
63
mengatasi tingkat akseptabilitas dari penundaan yang berkepanjangan
yang menyengsarakan proses gugatan Pemilu. Karena upaya kerjasama
Ketua Pengadilan Banding (President of the Court of Appeals) YM Umaru
Abdullahi, CON, pembaruan diundangkan yang memperbaiki proses
penanganan keberatan. Menyusul Pemilu tahun 2007, dibutuhkan
waktu dua tahun bagi tribunal Pemilu untuk memutuskan kasus yang
disebutkan di atas, tetapi lebih dari 85 persen dari keberatan yang masuk
dapat diselesaikan sampai bulan Mei 2008. Bahkan jika masih terdapat
penundaan dalam penanganan keberatan di Nigeria, keberhasilan tersebut
seharusnya digarisbawahi. Perbaikan proses penanganan keberatan di
Nigeria telah membawa dampak positif yang jelas bagi kepercayaan publik
dalam sistem Pemilu secara keseluruhan.
Gugatan Pemilu presiden 2001 di Republik Zambia juga menggambarkan
kebutuhan penanganan keberatan yang tepat waktu. Setelah Pemilu,
sebelas partai politik yang maju dalam Pemilu presiden menghadap ke
Pengadilan Zambia menggugat adanya penyimpangan. Baru pada tanggal
16 Februari 2005 Mahkamah Agung menerbitkan keputusan akhirnya dan
mempertahankan bahwa Pemilu presiden tahun 2001 adalah sah walaupun
jika beberapa surat suara cacat.144 Meskipun begitu, langkah-langkah positif
telah diambil oleh negara untuk menghindari berulangnya penundaan yang
lama seperti itu dalam proses penanganan keberatan Pemilu. Pada tahun
2006, Undang-undang Pemilu diubah untuk memasukkan ketentuan bahwa
“sebuah gugatan Pemilu wajib diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan
Tinggi dalam seratus delapan puluh hari setelah keberatan ini diterima.”145
144 U.N. Human Rights Comm, Zambia’s Responses to the List of Issues From the Human Rights Committee Relating to the Periodic Report on the International Covenant on Civil and Political Rights 18 [setelah ini disebut Respons Zambia] (“Pihak negara ingin mengakui fakta bahwa suatu penundaan memang terjadi dalam penyelesaian kasus tersebut dan alasannya adalah, pertama-tama Undang-undang pada saat itu tidak memberikan kerangka waktu berapa lama gugatan Pemilu harus ditangani dan kedua, terdapat banyak penundaan yang timbul dari kedua belah pihak yang berperkara.” Dapat dilihat di http://www2.ohchr.org/english/bodies/hrc/docs/AdvanceDocs/zambia_replies90.pdf; U.S. Department of State, Bureau of Democracy, Human Rights, and Labor, Zambia: 2005 Report (2006), dapat dilihat di http://www.state.gov/g/drl/rls/hrrpt/2005/61599.htm.
145 Hukum Pemilu No. 12 (2006), § 102(1) (Zam.) (“Suatu gugatan Pemilu wajib disidangkan dan diputuskan oleh Pengadilan Tinggi dalam sebuah sidang terbuka, dalam waktu seratus delapan puluh hari sejak pendaftaran gugatan Pemilu sebagaimana dinyatakan dalam bagian sembilan puluh tujuh: Jika gugatan Pemilu tidak disidangkan dan diputuskan dalam jangka waktu yang disebutkan dalam sub-bagian karena kegagalan pemohon gugatan untuk secara aktif memperkarakan gugatan, Pengadilan Tinggi akan membatalkan gugatan untuk penuntutan.”). dapat dilihat di http://aceproject.org/ero-en/region/africa/ZM/ElectoralAct2006.pdf.
64
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Republik Zambia menjelaskan reformasi ini dalam sebuah laporan kepada
Komite Hak Asasi Manusia PBB (U.N. Human Rights Committee) untuk
menunjukkan kepatuhannya pada ICCPR.146
Contoh lain dari penundaan dalam memutuskan masalah keberatan
Pemilu terlihat dalam sistem penanganan keberatan Pemilu di Pakistan.
IFES melaksanakan sebuah proyek untuk memantau proses penanganan
keberatan Pemilu di Pakistan dari Februari hingga November 2008, dan
menemukan bahwa secara kasar 39 dari 220 gugatan Pemilu diajukan
pada Pemilu 2002 tetap tidak terselesaikan pada tahun 2008.147 Sementara
Undang-undang Pemilu menetapkan batas waktu empat bulan untuk
menyelesaikan penanganan suatu keberatan Pemilu, dalam praktiknya
beberapa keberatan tetap tidak terselesaikan lima tahun sesudahnya,
menjadikannya berlarut-larut. Jelas bahwa Pakistan belum memenuhi
kewajibannya di bawah berbagai traktat dan konvensi internasional yang
mengikatnya namun, ECP nampaknya telah mengupayakan dengan iktikad
baik untuk menanggapi isu ini dan telah memperhitungkan pentingnya
menghindari penundaan yang berkepanjangan dalam penanganan
keberatan Pemilu. Secara khusus, ECP mengadakan lokakarya pembaruan
Pemilu di bulan Juni 2008 untuk membahas, beberapa masalah diantaranya,
isu penyelesaian gugatan oleh pengadilan Pemilu yang melebihi jangka
waktu yang ditetapkan.148
Ahli hukum IFES membuat pengamatan yang serupa terkait penundaan
dalam sidang keberatan dari Pemilu 2004 di Filipina. Laporan penilaian
IFES menyatakan bahwa keberatan dan proses penanganan berisi
“pengamanan proses hukum yang substansial”, namun “rumit, sangat
lambat, dan terbebani oleh berbagai keberatan yang tidak perlu.”149
Laporan tersebut merangkum berbagai faktor berbeda yang menjelaskan
penundaan dalam gugatan Pemilu (electoral contest), seperti tumpukan
146 Zambia Response, supra note 145, at 18.147 Peter Lepsch, IFES, Pakistan, Post-Election Community-Based Mediation and Adjudication
Program: Election Tribunal Monitoring Project, Laporan Akhir 6 fase satu dan dua (2008).148 IFES dan Pakistan Election Commission melaksanakan lokakarya National Electoral
Reform, Aceproject.org, http://aceproject.org/today/feature-articles/ifes-and-pakistan-election-commission-host(terakhir dikunjungi 8 Jan, 2011).
149 Peter Erben et al., IFES, CEPPS Philippines Election Observation Program: Strengthening the Electoral Process, Final Report 1, 26-29 (2004), dapat dilihat di http://www.ifes.org/publication/899bba68af1bc80415544d96cce580a9/Philippines_2004_ElectionReport.pdf.
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
65
kasus yang ditangani atau pengabaian tenggat waktu yang ditetapkan
legislatif. Karena ketidakpercayaan yang menjadi endemik di antara para
pemangku kepentingan Pemilu, banyak keberatan yang tidak tulus dan
dimaksudkan hanya untuk mengganggu kandidat lainnya.150 Terlebih lagi,
tidak ada mekanisme untuk menghindari gugatan yang sembarangan
atau memprioritaskan gugatan yang paling penting.151 Elemen-elemen ini
merupakan faktor-faktor yang dapat mendorong rangkaian kasus Pemilu
yang panjang. Berlimpahnya kasus gugatan dan kurangnya sumber daya
untuk menangani atau membatalkan kasus tersebut juga merupakan
penyebab yang jelas dari tertundanya penyelesaian keberatan Pemilu.
Mahkamah Agung Di Ghana juga telah menekankan dibutuhkannya
penetapan pedoman waktu yang jelas bagi para hakim dan publik. Hakim
Georgina T. Wood, Ketua Mahkamah Agung Ghana, menyatakan pada Juli
2008 bahwa dia “menghargai fakta serius bahwa faktor pengaman yang
penting dari integritas Pemilu terletak pada penyelesaian yang efektif dari
keberatan dan banding dengan waktu penundaan sesedikit mungkin,”152
dan menjelaskan bahwa “peradilan memiliki berada pada posisi yang
baik dan telah dilengkapi untuk menangani semua sengketa Pemilu
dalam waktu yang masuk akal dengan cara yang kompeten, cepat dan
efisien”.153 Terlebih lagi, Mahkamah Agung Ghana mengakui “pertanyaan
terpenting tentang jadwal untuk membuat rujukan ke Pengadilan Tinggi”.154
Dalam perkara Republic v High Court, Pengadilan berpendapat bahwa
“ketika tidak terdapat perselisihan fakta yang dipersengketakan, baik
untuk sebuah keputusan tentang apakah ada sebuah pertanyaan yang
sesungguhnya untuk ditafsirkan telah muncul, atau untuk suatu formulasi
isu-isu untuk pertimbangan, maka pertimbangan tersebut harus dibuat
tanpa penundaan.”155 Pengadilan harus dilaksanakan dengan jadwal yang
mengakomodasi pentingnya waktu dalam penyelesaian keberatan Pemilu.
150 Id, di 27.151 Id, at 27-29.152 Kata Pengantar Ghana Manual, supra note 7.153 Id.154 Republic v. High Court (Fast Track Division) Accra, (2006), S.C.G.L.R. 514, 539
(Ghana), dapat dilihat di http://www.judicial.gov.gh/c.i/content/EXPARTEELECpercent-20CIMMI(METTLE-NUOO,htm.
155 Id.
66
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pengadilan bukan satu-satunya lembaga yang mengakui pentingnya
penjadwalan dalam urusan Pemilu. Apakah keberatan Pemilu diselesaikan
oleh sistem peradilan ataupun oleh lembaga independen, Undang-undang
Pemilu seharusnya memberikan proses yang cepat. Memang Komisi
Pemilu Tinggi Independen (Independent High Electoral Commission)
di Irak, dalam Pasal 7 § 2 dari Undang-undang Pemilunya, menyatakan
bahwa “Dewan wajib mengundangkan prosedur yang diperlukan untuk
menyelesaikan sengketa tersebut, termasuk prosedur untuk mengajukan
suatu gugatan dan melaksanakan penyelidikan faktual yang dipercepat,
dan dapat mendelegasikan kewenangan penyelesaian sengketa untuk
menyelesaikan sengketa di pengadilan tingkat pertama pada Administrasi
Pemilu (Electoral Administration).156 Hakim atau arbiter seharusnya
kemudian melakukan berbagai upaya yang diperlukan untuk menyelesaikan
isu tersebut secepat mungkin.
Para sarjana dan organisasi non-pemerintah terus menerus menekankan
pentingnya proses penanganan perkara yang cepat dalam penanganan
keberatan Pemilu.157 Pada tahun 1994, National Democratic Institute
merancang beberapa rekomendasi terkait sengketa hasil Pemilu di
Namibia, yang menyatakan bahwa “prosedur untuk menggugat hasil
Pemilu … dapat membuat kontestan politik dan pemilih dalam situasi
ketegangan yang tidak mudah, terkait keabsahan hasil Pemilu bagi
kabinet yang akan digugat. Oleh karena itu, mungkin akan lebih layak
156 Independent High Electoral Commission of Iraq, Coalition Provisional Authority, Order No. 92. Art 7 § 2, 31 Mei, 2004, dapat dilihat di http://www.ihec.iq/download/cpa_92_ieci_en.pdf.
157 Robert Dahl, IFES legal policy advisor, menegaskan bahwa “hampir seluruh demokrasi menyediakan beberapa bentuk upaya hukum terkait masalah Pemilu, baik melalui hirarki peradilan yang normal atau tinjauan yang dipercepat oleh pengadilan-pengadilan tingkat yang lebih tinggi.” Robert A. Dahl, IFES, Electoral Complaints Adjudication and Dispute Resolution: Key Issues and Guiding Principles 3 (2008) dapat dilihat di http://210.69.23.129/download/d_6/IFES.doc. Carter Center menangani isu yang sama setelah Pemilu Presiden Ghana tahun 2008, yang menemukan bahwa “rintangan utama terkait penyelesaian sengketa Pemilu di Ghana adalah rendahnya kepercayaan rakyat pada kemampuan pengadilan untuk memberikan respon yang tepat terhadap keberatan terkait Pemilu.” Preliminary Report, Carter Center Finds Ghana’s Presidential Run-Off Elections Credible and Peaceful, The Carter Center (30 Des, 2008), http://www.cartercenter.org/news/pr/ghana_prelim_123008.html [setelah ini disebut Carter Center Ghana Report]. Tetapi Ghana nampaknya telah memahami pentingnya penjadwalan. Memang misi peninjau Pemilu EU di Ghana mengakui bahwa “walaupun salah satu kekurangan dari sistem permohonan banding (appeal) adalah tidak adanya tenggat waktu yang diharuskan oleh Undang-undang.” Chief of Justice memprioritaskan “kasus terkait Pemilu di dalam pengadilan.” E.U. Election Observation Mission, Final Report: Presidential and Parliamentary Election 2008 Ghana, at 27 (2009). Carter Center menambahkan bahwa sebagai contoh pengadilan mendirikan cabang-cabang khusus untuk menyidangkan kasus, dan menyetujui “jam kerja di akhir minggu bagi pengadilan.” Carter Center Ghana Report, supra.
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
67
untuk mempertimbangkan berbagai mekanisme untuk menerima dan
memproses keberatan-keberatan tersebut dengan cara yang lebih
cepat.”158 Situasi ketegangan ini dapat langsung menyebabkan runtuhnya
sistem-sistem demokrasi; tenggat waktu yang spesifik dan sumber daya
yang memadai harus tersedia untuk mendukung prosedur penanganan
perkara yang dipercepat sebagai bagian dari sistem keberatan Pemilu yang
berfungsi dengan baik.159
Selain prosedur yang menyulitkan, keberatan yang sembarangan, atau
ketidakmampuan untuk memprioritaskan dan mendahulukan keberatan
yang paling parah, suatu putusan yang diproses melalui percepatan dapat
dibatasi faktor struktural lain dalam badan penanganan, termasuk tidak
cukupnya jumlah staf dan sumber-sumber daya yang ketinggalan zaman
atau terbatas.160 Dalam rangka memutus tanpa penundaan yang berlebihan,
seorang arbiter akan memerlukan teknologi dan logistik yang memadai serta
dukungan staf penuh, yang memenuhi syarat.161 Ketika merancang proses
keberatan Pemilu, penting juga untuk menghindari pemecahan tahap
penanganan keberatan Pemilu secara berlebihan. Makin banyak lembaga
terlibat dalam proses keberatan Pemilu, makin besar peluang penundaan.
Memang jika entitas lain, seperti polisi, diberi mandat untuk menyelidiki
keberatan tersebut, maka badan penyelenggara Pemilu secara umumnya
akan berkurang kontrolnya terhadap proses penjadwalan. Dalam demokrasi
yang sedang berkembang, badan penanganan keberatan biasanya tidak
memiliki sumber-sumber daya yang diperlukan untuk mengambil langkah-
158 NDI, Comments on the Namibian Presidential and National Assembly Elections 8 (1994), dapat dilihat di http://www.accessdemocracy.org/files/150_na_comments.pdf.
159 Lihat National Democratic Institute & Carter Center, Statement of the NDI/Carter Center Pre-Election Delegation to Liberia’s 2005 Election 2 (9 September 2005) (“Untuk membangun kepercayaan publik dalam ketidakberpihakan proses keberatan Pemilu, NEC seharus nya merangkum dan mempublikasikan metodologinya untuk menyelesaikan berbagai keberatan terkait Pemilu. Jadwal NES seharusnya tidak digunakan untuk mengganggu proses Pemilu. Sumber daya yang mencukupi seharusnya didedikasikan untuk menjamin bahwa jumlah keberatan potensial dapat diproses dengan tidak memihak dan dengan basis dipercepat dengan transparansi yang memadai sesuai dengan persyaratan due process dan kesetaraan di hadapan hukum.”) dapat dilihat di http://www.ndi.org/files/1907_lr_statememt_090905.pdf.
160 Vickery, supra note 34, at 15, 25.161 Organization of African Unity, Declaration on the Principles Governing Democratic
Elections in Africa, 38th Ordinary Sess., arts II(4), III (c ), AHG/decl. 1 (xxxviii) (8 Juli 2002) [setelah ini disebut African Elections Declaration], dapat dilihat di:///www.au2002.gov.za/docs/summit_council/oaudec2.htm.
68
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
langkah dalam proses penanganan keberatan.162 Dalam beberapa kasus
dimana beberapa pihak terlibat, dibutuhkan penyusunan mekanisme
pengamanan dan akuntabilitas yang akan menghindari penundaan yang
berlebihan atau kesalahan pengelolaan keberatan.
Pengadilan Pemilu atau komisi keberatan harus menyediakan prosedur
yang cepat dalam urusan Pemilu, karena terdapat hubungan yang jelas
antara prosedur tersebut dan legitimasi pemerintah yang akan datang.163
Namun, mempertahankan prosedur yang tepat memerlukan kesimbangan
yang hati-hati antara kebutuhan untuk bertindak secara cepat dan
kebutuhan untuk menilai secara hati-hati apakah keadilan telah ditegakkan,
sebagaimana akan dibicarakan di bawah.
B. Keseimbangan Kepentingan: Pelaksanaan Peradilan yang Baik
Seperti setiap standar hukum, pentingnya tenggat waktu yang sensitif
memiliki keterbatasan. Keputusan yang cepat tidak dapat dibuat untuk
mencederai hak atas suatu pengadilan yang adil dan kemampuan untuk
mempersiapkan pembelaan. Administrasi peradilan yang baik memerlukan
prinsip-prinsip seperti kesetaraan di muka pengadilan, hak seseorang untuk
didengarkan dalam pembelaannya dan hak untuk menjalani pengadilan
terbuka yang kompeten, independen dan tidak memihak.164 Konsep proses
hukum yang berlaku (due process) menjunjung seluruh hak dan prinsip
ini dijamin dalam konvensi hak asasi manusia internasional dan regional
utama.165 Konsep ini juga dikenal dalam rezim hukum domestik; sebagai
contoh Mahkamah Agung Ghana menyatakan bahwa Pengadilan perlu
untuk bertindak “dalam kepentingan utama untuk keadilan untuk mencegah
ilegalitas dan kegagalan pengadilan dan juga juga memastikan keadilan
162 IFES, The Kingdom of Thailand, Analysis and Issues for Consideration: The Organic Act on Election of Members of the House of Representatives and Installation of Senators and the Organic Act on the Election Commission 10-11 (2008) [setelah ini disebut Kingdom of Thailand Report].
163 Editorial, Nigeria: Ekiti Re-Run Tribunal – Against Endless Proceedings, Daily Indep. (Lagos, Nigeria), 28 Juli 2009, dapat dilihat di http://allafrica.com/stories/200907280196.html
164 U.N. Human Rights Comm., CCPR General Comment No. 13, Art. 14: Equality Before The Court and The Right To A Fair and Public Hearing By An Independent Court Established By Law, U.N. Doc. HRI/GEN/1/Rev.1 at 14 (1994) [setelah ini disebut CCPR General Comment No. 13], dapat dilihat di http://www.unhchr.ch/tbs/doc.nsf/0/bb722416a295f264c12563ed0049dfbd?Opendocument.
165 ICCPR, supra note 11, art. 10, 11, 14, 15, 16; African Charter, supra note 14, arts, 6,7,25.
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
69
dan memfasilitasi penyelesaian kasus secara cepat.166 Dengan demikian,
secara umum diakui bahwa penanganan perkara yang dipercepat sangat
penting dalam penanganan keberatan Pemilu, tetapi seharusnya tidak
secara drastis mengurangi jaminan untuk pelaksanaan proses hukum.
Para ahli hukum juga mengaku pentingnya pelaksanaan proses hukum dan
keterbatasan yang terjadi dalam pembuatan keputusan yang dipercepat,
sebagaimana diakui dalam pendapat yang berbeda (dissenting opinion)
dalam Electoral Commission v Bakireke (Pengadilan Banding Uganda).167
Hakim S.B.K Kavuma menekankan bahwa “yang dimaksud waktu yang
‘memadai’ [hak terhadap waktu dan fasilitas yang memadai bagi persiapan
pembelaan] akan tergantung sifat persidangan dan situasi faktual
dalam sebuah kasus. Faktor-faktor yang perlu diperhitungkan termasuk
kompleksitas kasus tersebut, akses tergugat terhadap bukti, batas waktu
yang diberikan Undang-undang domestik untuk beberapa tindakan dalam
rangkaian persidangan (proceedings), dll.”168 Hakim Kavuma merujuk pada
Pedoman Pengadilan yang Adil dari Amnesti Internasional (Amnesty
International Fair Trial Manual) yang menyatakan,” hak untuk pengadilan
dalam waktu yang masuk akal dapat diimbangi dengan hak untuk waktu
yang memadai untuk mempersiapkan sebuah pembelaan.”169
Di kasus Uganda, pemohon banding, diberikan waktu hanya 20 hari untuk
menanggapi tuduhan dari kesaksian tertulis sementara tergugat memiliki
lima bulan untuk mengumpulkan bukti yang kemudian dibawa ke pengadilan.
Sementara penanganan keberatan Pemilu yang cepat merupakan kunci
keefektifan proses tersebut, elemen yang menjamin sebuah administrasi
166 British Airways v. Att’y Gen. [1996-97] S.C.G.L.R. 547, 552-53, 554 (Ghana); lihat juga Constitution of the Republic of Ghana, 28 April 1992, pasal 135.
167 Electoral Commission v. Bakireke, (2009) U.G.C.A. 12 (Ct. App.) (Uganda), dapat dilihat di http://lawviatheinternet.org/ug/cases/UGCA/2009/12.html.
168 Id. (Kavuma, J,. dissenting) (mengutip Lawyers Committee for Human Rights, Basic Guide to Legal Standards and Practice 16 (2000), dapat dilihat di http://www.humanrightsfirst.org/pubs/descriptions/fair_trial.pdf).
169 Id (mengutip Amnesty International, Fair Trials, Manual § A, ch. 8 (1998), dapat dilihat di http://www/amnesty.org/en/library/asset/POL30/002/1998/en/94799f9-d9b1-11dd-af2b-b1f6023af0c5/pol300021998en.html).
70
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
peradilan yang layak, seperti hak untuk menyiapkan sebuah pembelaan,
seharusnya dipertimbangkan dan seharusnya tidak dirongrong.170
Menjadi penting untuk diperhatikan bahwa berbagai persyaratan ini harus
dipenuhi secara cukup ketika melaksanakan upaya-upaya penanganan
yang cepat. Sebagai contoh, setelah Pemilu 2009 di Afganistan, ECC –
karena luasnya cakupan kecurangan yang dituduhkan dan terbatasnya
waktu untuk mengadakan putaran kedua sebelum musim dingin – memilih
untuk menggunakan metode sampling untuk penghitungan ulang dalam
rangka memperoleh hasil cepat. Pendekatan ini dilakukan untuk mengatasi
situasi khusus yang dihadapi badan penanganan keberatan dalam sebuah
negara pasca-konflik dan mungkin telah mencegah krisis konstitusional
dan kericuhan politik; namun semenjak dibuatnya keputusan ini, ECC telah
menghadapi pertanyaan tentang kredibilitas dan legitimasinya.
Singkatnya, karena Pemilu adalah peristiwa politik yang sensitif terhadap
waktu yang membagi kekuasaan negara dan memberikan legitimasinya
kepada pemerintah, sebuah penyelesaian keberatan yang tepat waktu
merupakan hal yang amat penting. Persyaratan ini telah dicatat secara
teratur oleh berbagai konvensi internasional, putusan pengadilan, laporan
LSM dan para sarjana. Namun, dengan mempertimbangkan pertaruhan
yang dilibatkan dan sebagaimana telah ditunjukkan oleh kasus-kasus yang
telah dibahas, badan penanganan seharusnya melakukan setiap upaya
untuk menemukan keseimbangan yang layak antara penyelesaian perkara
secara cepat dan keadilan proses penanganan keberatan itu sendiri.
5. Penentuan Beban Pembuktian dan Standar Pembuktian
Prinsip pedoman lainnya dalam melakukan penanganan keberatan Pemilu
adalah penentuan beban pembuktian dan standar pembuktian yang adil.
170 Lihat juga Boddaert v. Belgium, 16 Eur.Ct. H.R. 242 ¶ 39 (1992) (“Article 6 of the European Convention) memerintahkan bahwa rangkaian proses peradilan haruslah singkat, tetapi juga meletakkan prinsip yang lebih umum dari administrasi peradilan yang baik.” Pengadilan menegaskan bahwa gagasan pada tahun 2007, yang menyatakan bahwa “meskipun pemeriksaan sengketa terkait Pemilu yang cepat adalah sangat diinginkan, hal tersebut seharusnya tidak menghasilkan pengurangan yang berlebihan dari jaminan prosedural yang layak bagi para pihak seperti rangkaian proses persidangan khususnya bagi si tergugat.” Kwiecie v. Poland, Eur.Ct.H.R.,App. No 51744/99, Keputusan 9 Jan. 2007, ¶ 55. See also Boddaert v. Belgium, 16 Eur. Ct. H.R. 242 ¶ 39 (1992)
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
71
Pedoman-pedoman ini harus dibentuk jauh sebelum terjadinya keberatan,
sehingga para pihak yang terlibat akan telah memperhatikan dan memiliki
pemahaman yang masuk akal tentang apa yang dibutuhkan kedua belah
pihak untuk menyelesaikan masalah tersebut.171
Adalah negara yang memilih untuk mendefinisikan standarnya, definisi ini
harus dapat diketahui oleh kedua belah pihak dan tribunal sebelum sidang
dimulai, dan lebih baik lagi jika dapat diketahui sebelum Pemilu diadakan.
Sekali ditetapkan, standar ini harus ditaati pada selama proses persidangan
(proceedings). Melakukan hal yang sebaliknya – sebagai contoh, dengan
menerapkan standar sementara (ad hoc) ketika pengadilan digelar atau
memberlakukan standar yang berbeda terhadap pengadu yang berbeda
dalam masalah yang sama– akan menimbulkan pertanyaan tentang
keadilan dan ketidakberpihakan tribunal, dan akan menimbulkan keraguan
tentang legitimasi keseluruhan proses (dan bisa jadi Pemilu secara
keseluruhan), terlepas dari hasil dari seluruh rangkaian persidangan.
A. Beban PembuktianDalam hampir semua sistem hukum, beban pembuktian merupakan
tanggung jawab dari pihak yang mengajukan tuduhan.172 Sebagai contoh, di
Inggris merupakan hal yang “adil untuk menempatkan beban pembuktian
kepada orang yang secara positif menyatakan sebuah keadaan tertentu,
daripada orang yang menolak keadaan tersebut terjadi, mengingat
kesulitan yang timbul karena bukti yang berlawanan diperlukan.”173
Pengadilan mengakui bahwa prinsip ini bersifat umum dalam setiap
tindakan hukum perdata.174
Pada gugatan Pemilu, beban pembuktian pada umumnya akan jatuh pada
orang yang menggugat hasil Pemilu atau menuduh pelanggaran dari pihak
lainnya. Struktur ini menyiratkan adanya praduga keteraturan di pejabat
171 Hal ini merupakan ungkapan yang benar dalam hampir semua sistem hukum, dan hal tersebut jarang disinggung oleh para komentator dan pengadilan, bahkan dalam pernyataan resmi. Untuk contoh pengadilan yang membahas isu ini dalam sebuah konteks hukum non-Pemilu, lihat Panovits v. Cyprus, Eur.Ct.H.R., App. No. 4268/04, Putusan 11 Des 2008 ¶ 60.
172 Black’s Law Dictionary 196 (6th ed 1991)173 McVicar v. United Kingdom, Eur. Ct. H.R., App. No. 46311/99, Keputusan 7 Mei 2002, ¶
40.174 Id. ¶ 41.
72
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
berwenang dan tindakan resminya.175 Ketika satu pihak menegaskan
bahwa beberapa aspek Pemilu harus dibatalkan, para penggugat dapat
untuk secara masuk akal diharapkan untuk membawa bukti untuk
membuktikan tuduhan mereka. Mengharuskan pihak yang digugat
untuk membuktikan secara tegas bahwa tidak terjadi pelanggaran atau
penyimpangan merupakan undangan bagi kandidat atau partai yang kalah
untuk melakukan gugatan sebagai sebuah bentuk pelecehan. Partai yang
menang akan dipaksa untuk berusaha keras membuktikan keabsahan
sebuah Pemilu dalam sidang yang berulang-ulang atau menghadapi
kemungkinan bahwa hasil Pemilu yang sah terpaksa dibatalkan karena
sulitnya membuktikan sebaliknya.
Tetapi paling sedikit terdapat satu argumen yang mendukung beban
pembuktian sebagai tanggung jawab pihak yang digugat: dalam kasus
dimana kubu partai yang berkuasa atau pemerintah digugat oleh kaum
minoritas, atau gugatan melawan badan penyelenggara Pemilu itu
sendiri, pihak penggugat mungkin akan kekurangan sumber daya untuk
mempertahankan gugatannya yang sah sebagaimana mestinya sementara
pihak tergugat memiliki sumber daya untuk membuktikan Pemilu yang
sah. Dalam kasus seperti itu, mungkin sudah sepantasnya untuk membagi
beban pembuktian sengketa tersebut kepada pihak yang lebih kuat.
Meskipun begitu, hal ini adalah tugas tidak biasa dari beban pembuktian
untuk alasan yang disebutkan diatas, dan tidak terlalu didukung oleh prinsip
negara hukum (rule of law) yang paling umum manapun.
Singkatnya, dalam sebagian besar gugatan terkait keberatan Pemilu,
beban pembuktian seharusnya berada pada pihak yang menuduh bahwa
telah terjadi suatu kecurangan atau penyelewengan. Ini adalah cara umum
bagaimana memahami implementasi beban pembuktian, dan beban
tersebut hanya dibebankan kepada pihak tergugat, hanya dalam keadaan
yang ekstrim atau untuk membuktikan suatu pembelaan diri afirmatif.
B. Standar PembuktianSelain untuk menentukan pihak di dalam sengketa yang menanggung
beban untuk membuktikan kasusnya, Undang-undang Pemilu seharusnya
175 Barry H. Weinberg, The Resolution of Election Disputes: Legal Principles That Control Election Challenges 16 (Edisi ke-2, 2008).
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
73
juga mendefinisikan sampai dimana pihak tersebut harus membuktikan
kasusnya untuk meyakinkan arbiter atau pencari fakta bahwa pihak tersebut
yang benar. Hal ini biasanya disebut sebagai “standar pembuktian”. Terdapat
banyak standar yang berbeda yang diterapkan dalam sistem hukum di
seluruh dunia, dan yang digunakan tergantung banyak faktor, termasuk
tradisi hukum yang unik dari negara tersebut, tingkat keseriusan tuduhan
yang diajukan, tingkat keseriusan tindakan perbaikan yang diupayakan,
dan sifat pembuktian yang diajukan dalam persidangan. Saat ini tidak
terdapat konsensus internasional tentang standar pembuktian yang harus
dipenuhi penggugat dalam menuduh kecurangan atau pelanggaran Pemilu
lainnya. Namun, terdapat tiga standar yang seringkali diterapkan dalam
kasus-kasus Pemilu: preponderance of the evidence (bukti yang sangat
kuat); evidence beyond a reasonable doubt (bukti yang sangat kuat dan
tidak dapat dibantah); dan clear and convincing evidence (bukti yang jelas
dan meyakinkan).176
“Preponderance of the evidence” juga disebut bukti yang lebih berbobot
(greater weight of the evidence) atau keseimbangan atas kemungkinan
(balance of probabilities), dan merupakan sebuah gagasan bahwa satu pihak
telah memberikan bukti yang tampaknya lebih mungkin benar daripada
tidak sama sekali. Ini merupakan standar umum yang diterapkan pada
gugatan perdata, jika tidak pada sebagian besar sistem hukum.177 Karena
keberatan Pemilu biasanya diperlakukan sebagai kasus perdata (ketimbang
pidana), hal ini memungkinkan sebuah standar baku yang masuk akal untuk
diterapkan dalam kasus Pemilu. Namun, terdapat beberapa kelemahan
yang mungkin terjadi dalam penggunaan standar preponderance, karena
mungkin membuktikan terlalu mudahnya sebuah standar yang harus
dipenuhi penggugat dalam berbagai keberatan Pemilu. Sebagai sebuah
persoalan praktis dan filosofis, untuk menegakkan negara hukum (rule
of law), hasil Pemilu resmi telah memiliki praduga keabsahan dan harus
tidak dibatalkan hanya karena terlihat ada suatu faktual yang cenderung
mendukung si penggugat. Hasil Pemilu berdasarkan proses hukum dan
176 Lihat secara umum Huefner, supra note 25, at 313-14.177 Id. Lihat juga Prodan v. Moldova, Eur. Ct. H.R., App. No. 49806/99, Keputusan 25 April 2006
(membahas seluruh tiga standar yang digunakan dalam hukum internasional): Dalam re Gen. Election 605 A 2d 1164 (N.J Super Ct Law Div. 1992) (membandingkan penggunaan sebagian besar pembuktian dan standar pembuktian yang jelas dan meyakinkan yang diusulkan di dalam kasus Pemilu A.S.).
74
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
administratif komplekslah yang seharusnya akan bertahan; jika tidak, hal ini
akan menyebabkan ketidakpastian yang amat sangat tentang hasil Pemilu
dan kewenangan pemerintah untuk terus menjalankan fungsinya.178
Di ujung spektrum yang lain, standar pembuktian beyond a reasonable
doubt pada umumnya adalah standar yang wajib dipenuhi pada penuntutan
pidana, dan jarang dipakai dalam kasus perdata. Di bawah standar ini, para
pemohon diwajibkan untuk melampirkan bukti yang meyakinkan sehingga
dapat diandalkan dan mengambil tindakan atasnya tanpa keraguan. Tetapi
tidak berarti hal tersebut merupakan kepastian mutlak.179 Dalam setidaknya
satu kasus Pemilu AS, pengadilan menerapkan standar “a reasonable
doubt” ketika sebuah standar yang lebih ketat daripada “preponderance
of the evidence” diperlukan.180 Penggunaan standar “a reasonable doubt”
dalam kasus Pemilu merupakan hal yang layak ketika tindakan perbaikan
sedang diupayakan bersama-sama dengan penuntutan pidana, khususnya
di negara-negara seperti Nigeria yang mempersyaratkan standar“a
reasonable doubt” bahkan dalam perkara perdata, jika gugatan perdata
tersebut akan menimbulkan pertanyaan pelanggaran pidana.181
Tetapi sementara ahli hukum dan hakim di Nigeria telah mengingatkan
bahwa, ”persentasi kasus-kasus Pemilu yang layak diajukan yang telah
ditolak oleh pengadilan dan sidang (negara) kami dengan dasar…..bahwa
penggugat gagal untuk membukti gugatannya dengan standar “beyond a
reasonable doubt” adalah sangat mengkhawatirkan“.182 Dengan kata lain,
standar “reasonable doubt” mungkin terlalu ketat untuk diterapkan dalam
kasus-kasus Pemilu.
178 Lihat Huefner, supra note 25,at 314.179 Lord Denning menunjukkan dalam Miller v. Minister of Pensions bahwa beyond a
reasonable doubt tidak “perlu mencapai kepastian, tetapi harus mengandung probabilitas yang tinggi”. Pembuktian beyond a reasonable doubt tidak berarti pembuktian beyond the shadow of a doubt. Miller v. Minister of Pensions, [147] 2 All E.R.. 372, 372-74.
180 Roger v. Holder, 636 So, 2d 645 (Miss. 1994).181 Lihat, contohnya, Evidence Act (1990), Cap. (112), § 138(1) (Nigeria) (“Jika kejahatan oleh
satu pihak terhadap sebuah prosedur yang langsung dipertanyakan di sidang perdata atau pidana, hal tersebut harus dibuktikan dengan beyond a reasonable doubt.”), dapat dilihat di http://www.nigeria-law.org/EvidenceAct.htm#ProductionAndEffectOfEvidence.
182 Mimiko’s Case and The Issues of Burden and Standard of Proof in Election Petitions, Compass Nigeria, 17 Februari 2010, dapat dilihat di http://www.compasnewspaper.com/~compas/NG/index.php?option=com_content&view=article&Id=41516:mimikos-case-and-the-issues-of-burden-and-standard-of-proof-in-election-petition&catId=44:law&ItemId=6990.
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
75
Di beberapa negara, satu-satunya tindakan perbaikan yang tersedia atas
pelanggaran Undang-undang Pemilu adalah sanksi pidana bagi pelanggar,
yang menegaskan isu teknis dihadapkan dengan keadilan.183 Secara
khusus, penanganan keberatan Pemilu yang adil seharusnya tidak boleh
dikacaukan hanya karena mematuhi formalitas: “hukum acara seharusnya
digunakan sebagai alat bantu dari keadilan bukan untuk mengalahkan
keadilan tersebut.184 Sebagai contoh, di Pakistan Undang-undang tidak
membedakan secara jelas antara gugatan administratif dan pidana dalam
pelanggaran Pemilu. Pengadilan mengikuti Undang-undang hukum pidana
dan menerapkan standar “beyond reasonable doubt” sebagai beban
pembuktian untuk sebagian besar kasus Pemilu yang mereka tangani.
Dalam sebuah sistem dimana fokus tuntutan pidana untuk pelanggaran
Undang-undang Pemilu adalah hukuman terhadap pihak yang bersalah
daripada tindakan perbaikan terhadap Pemilu yang cacat, setiap tindakan
untuk menggugat hasil sebuah Pemilu akan memerlukan pembentukan
suatu proses terpisah untuk menangani keberatan Pemilu.185
Standar ketiga, “clear and convincing evidence” merupakan titik tengah
antara standar lainnya. Hal ini berarti pengajuan bukti harus menunjukkan
secara substansial gugatan yang diajukan lebih mungkin benar daripada
tidak.186 Apa yang dimaksud dengan kata substansial tidak dijelaskan
secara rinci, tetapi secara universal diterima menjadi lebih ketat daripada
“preponderance of the evidence” dan lebih longgar daripada bukti “beyond
a reasonable doubt.” Pada yurisprudensi Amerika Serikat, standar “clear
and convincing” berasal dari standar pembuktian dalam kasus perdata
yang menuduh tindakan kecurangan atau kuasi pidana oleh tergugat, dan
telah diperluas hingga kasus-kasus yang menyangkut hak asasi manusia
dan banyak keadaan dimana kehilangan hak tersebut akan menyebabkan
183 Lihat, contohnya, Law No. 73 of 1956 (Law on the Exercise of Political Rights) Al-Jarlda Al Rasmiyya, 1956 pasal 39-51 (Mesir); lihat juga President of the Arab Republic of Egypt Legislative Decree No. 220 of 1994 (To Amend Certain Provisions of Act No. 73 of 1956 to Regulate the Exercise of Political Rights), Al-Jarlda Al-Rasmiya, 27 Oktober 1994, volume 37, No. 43 (Supp.), hal 3-5 (Mesir).
184 YM. Lady Justice Constance K. Byamugisha, Justice of the Court of Appeal of Uganda. Greenwatch, Administering Justice Without Undue Regard to the Technicalities (2003), dapat dilihat di http://greenwatch.or.ug/pdf/news/Administering_Justice_Without_Un_Due_Regard_to_Technic.pdf.
185 Craig C. Dosanto et al., Federal Prosecution of Election Offenses (Edisi ke-7 2007)186 Lihat, contohnya, Grogan v. Garner, 498 U.S. 279 (1991) Definisi modern clear and
convincing evidence berevolusi di sistem hukum A.S., tetapi telah diadopsi dalam konteks internasional juga.
76
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
tergugat menderita kerugian non-moneter yang tidak dapat diperbaiki.187
Sebagai contoh, standar “clear and convincing evidence” telah diterapkan
di kasus-kasus Pemilu AS yang melibatkan pembatasan tentang iklan
kampanye dan dana kampanye karena tindakan badan pengatur berdampak
pada pembatasan awal terhadap hak kebebasan untuk mengeluarkan
pendapat.188 Di Thailand, Undang-undang Organik untuk pemilihan anggota-
anggota Parlemen dan Senat menyatakan bahwa Komisi Pemilu akan
mencari bukti yang meyakinkan untuk memutuskan jika, sebagai contoh,
terjadi pelanggaran aturan pengeluaran belanja Pemilu dan alat kampanye
Pemilu, atau jika ada kandidat yang telah melaksanakan Pemilu yang tidak
jujur dan tidak adil.189 Standar dengan kalimat yang sama telah diadopsi di
banyak kasus internasional terkait hak asasi manusia.190 Standar Clear and
convincing tampaknya telah menjadi sebuah standar dalam pembuktian
dalam hukum perdata internasional.191
Dalam artikelnya tahun 2007 mengenai penanganan keberatan Pemilu,
Steven Huefner merekomendasikan Amerika Serikat untuk mengadopsi
standar clear and convincing untuk kasus Pemilu, yang telah diterapkan
secara berbeda-beda oleh negara-negara bagian yang menggunakan
seluruh tiga standar.192 Ia mengemukakan bahwa standar ini akan layak
digunakan pada sengketa Pemilu karena proses Pemilu AS, walaupun
tidak sempurna, telah “mendapat praduga kuat atas kebenarannya”.
187 Brandt Distrib. Co. v. Fed. Ins. Co., 247 F3d 822 (8th Cir. 2001); Rodriguez v. Suzuki Motor Corp., 936 S.W.2d 104 (Mo. 1996).
188 Fulani v. Fed. Elections Comm’n, 147 F3d 924 (D.C. Cir. 1998); Briggs v. Ohio Elections Comm’n, 61 F3d 487 (6th Cir. 1995); Pestrak v. Ohio Elections Comm’n, 926 F.2d 573 (6th Cir. 1991)
189 Organic Act on the Election of Members of the House of Representatives and the Installation of Senators, pasal 57, 103, 107 (2007) (Thailand) (“Dalam kasus dimana selama periode waktu di bawah Bagian 49 terdapat bukti yang meyakinkan seseorang memberikan, menawarkan untuk memberi atau menjanjikan untuk memberi uang atau benda lainnya yang bermanfaat bagi seorang pemilih untuk memilih kandidat atau partai politik tertentu…”).
190 Terminologi yang sinonim dengan clear and convincing evidence yang digunakan oleh berbagai pengadilan internasional termasuk referensi untuk kebutuhan pembuktian adalah “clear and cogent” atau “cogent and compelling” juga aturan bahwa pengadilan juga perlu “meyakinkan”. Lihat contohnya HCJ6659/06 Anonymous v. The State of Israel (2008) (lsr.) (mempersyaratkan “clear, convincing and unambiguous evidence”): Military and Paramilitary Activities in and Against Nicarague (Nicar. V. US), 1986 I.C.J 14 (27 Juni) (menerapkan sebuah standar tanpa nama antara reasonable doubt dan preponderance of the evidence), dapat dilihat di http://www.icj-cij.org/docket/files/70/6503.pdf.
191 Louis Henkin, How Nations Behave: Law and Foreign Policy 142 (2d ed. 1979); Dinah Shelton, Judicial Review of State Action by International Courts, 12 Fordharm Int’l LJ. 361 (1989); Christopher Greenwood, International Law and the United States’ Air Operation Against Libya, 89 W. Va. L. Rev. 933 (1987).
192 Huefner, supra note 25, at 314.
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
77
Dengan demikian praduga yang dapat disangkal untuk membatalkan atau
mengubah sebuah hasil Pemilu seharusnya memerlukan lebih dari 51
persen probabilitas bahwa “hasil Pemilu yang resmi tidak dapat dipercaya.”
(“the official certification is not trustworthy”)193
Huefner menjustifikasi keberpihakannya pada standar uji “clear and
convincing” untuk membuktikan penyimpangan dan untuk membuktikan
bahwa penyimpangan tersebut mengubah hasil Pemilu atau sedikitnya
membuatnya menjadi tidak pasti. Ia mengatakan: “Menerima clear
and convincing evidence bahwa hasilnya tidak dapat diandalkan akan
memungkinkan perbaikan terhadap cacat dalam Pemilu tanpa menimbulkan
ketidakstabilan sistem, tetapi kemudian proses ini membutuhkan
pedoman yang jauh lebih besar…..tentang tindakan perbaikan apa yang
dapat diberikan.”194
Standar yang dinaikkan seperti ini dapat membantu menjamin bahwa
badan-badan penanganan keberatan tidak akan membatalkan Pemilu
yang sah karena kesalahan penafsiran atas sebagian kecil bukti yang
tersedia secara umum, atau hasil dari keberatan mengganggu yang
dimasukkan oleh pihak kalah yang merasa kesal, dimana keduanya
mungkin menggunakan standar yang lebih rendah. Di sisi lain, standar
yang dinaikkan juga tetap akan memungkin seorang penggugat untuk
membuktikan suatu perkara, walaupun ia tidak harus memiliki akses
terhadap bukti yang telah disembunyikan atau dihancurkan oleh pihak yang
melakukan kecurangan, hal yang mungkin jauh lebih sulit jika tindakan
yang dibutuhkan standar beyond a reasonable doubt. Standar clear and
convincing memberikan keseimbangan untuk menjamin bahwa sistem
penanganan keberatan bersifat adil dan dapat diakses. Selain itu, standar
clear and convincing sebagaimana yang saat ini digunakan di seluruh dunia
berlaku dengan baik jika keberatan Pemilu ditafsirkan sebagai tindakan
kecurangan (sebagaimana penerapan standar di Inggris dan AS), atau
persoalan hak asasi manusia (dimana standar tersebut bersifat umum di
negara-negara lain). Komisi Keberatan Pemilu Afganistan menggunakan
193 Id.194 Id.
78
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
clear and convincing evidence sebagai standar keberatan dalam Pemilu
Afganistan 2009.195
Namun, dalam berbagai situasi, standar clear and convincing juga
dapat merusak proses penanganan keberatan Pemilu. Memang, dalam
praktiknya, penggugat dapat menghadapi kesulitan yang amat besar
dalam memperoleh bukti, dan harus berjuang untuk mengumpulkan fakta-
fakta untuk membuktikan tuduhan mereka, khususnya di demokrasi yang
sedang berkembang, yang membutuhkan sebuah sistem penanganan
keberatan yang efektif. Para petugas Pemilu, komisi Pemilu atau partai
politik oposisi akan memiliki akses untuk pembuktian tersebut, tetapi para
pengadu akan mungkin tidak memilikinya. Dengan demikian, sebagaimana
yang telah dibahas di atas, standar preponderance of evidence barangkali
sudah menjadi beban yang amat sulit dipikul para penggugat, dan standar
clear and convincing dapat mengaburkan gugatan yang layak. Seperti
yang Hakim Pengadilan Tinggi Nigeria, Kayode Eso, tegaskan dalam
kasus Chinwendu v. Mbamali. “ hendaknya berhati-hatilah untuk tidak
mengorbankan keadilan di altar hal-hal teknis. Tidak ada waktu lagi tersedia
ketika sengketa ditangani dengan hal-hal teknis dan tidak berdasarkan
masalahnya.”196 Dengan menggunakan standar yang dinaikkan, gugatan
yang sah dapat dibatalkan dan penyimpangan tidak dapat dikoreksi bahkan
jika hasil Pemilu dipertaruhkan. Pembatalan gugatan yang sah seperti
itu dapat menyebabkan suatu ketidakpercayaan yang tinggi terhadap
proses Pemilu.
Pada akhirnya, pilihan standar pembuktian seringkali tergantung aturan
hukum acara dari sistem hukum pada sebuah negara. Di beberapa negara,
Undang-undangnya tidak membedakan antara gugatan administratif dan
keberatan pidana sehingga, standar pembuktiannya tetap sama terlepas
dari sifat khusus dari sengketa tersebut. Dengan demikian, standar
pembuktian yang berbeda dapat digunakan dalam penanganan keberatan
Pemilu di seluruh dunia. Sebuah standar yang seragam mungkin tidak akan
memadai untuk menangani tiap jenis keberatan Pemilu, dan bisa berbahaya
195 Rules of Procedure of the Electoral Complaints Commission, §§ 72, 172 (2009) (Afg)196 Chukeudi Nwokoye, Burden of Proof in Election Petitions, Nigeria Village Square (29 Des
2008), http://www.nigeriavillagesquare.com/articles/chukwudi-nwokoye/burden-of-proof-in-election-petitions.html.
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
79
untuk hanya menerapkan satu standar belaka. Dengan pertimbangan ini,
sebuah lembaga penanganan keberatan seharusnya telah siap untuk
memberlakukan ambang batas yang berbeda untuk pembuktian yang
harus disiapkan oleh penggugat tergantung sifat dari gugatan yang
diajukan.197 Sebagai contoh, terdapat perbedaan yang amat besar antara
suatu kasus dimana seorang penggugat menuntut untuk membatalkan
hasil Pemilu di seluruh negeri, dan sebuah gugatan mengenai surat suara
dalam sebuah Tempat Pemungutan Suara di tempat terpencil, dan standar
pembuktian yang diperlukan agar gugatan tersebut dapat mencerminkan
berbagai perbedaan praktis tersebut. Pilihan standar apa yang diterapkan
untuk setiap jenis gugatan Pemilu dapat dibuat oleh badan penyelenggara
Pemilu, ditetapkan oleh peraturan perUndang-undangan atau bahkan
diamanatkan di dalam konstitusi nasional. Terlepas dari standar yang pasti
yang akan diterapkan, dalam setiap kasus tertentu seharusnya diajukan
dalam sebuah sidang dengar pendapat daripada dipilih oleh seorang arbiter
atas dasar kasus per kasus.198
Tingkat fleksibilitas yang diizinkan dalam standar yang didefinisikan secara
jelas akan tergantung dari jenis gugatan yang diajukan. Sebagaimana
ditulis oleh Lord Denning dalam Bater v. Bater, sebuah pengadilan perdata
yang memutuskan tuduhan kecurangan dengan sendirinya membutuhkan
tingkat probabilitas yang lebih tinggi daripada yang seharusnya jika
memutuskan tuduhan kelalaian. Sebagai contoh, di dalam keputusannya
pada gugatan Pemilu presiden Zambia tahun 2001 melawan Presiden Levy
Mwanawasa, Mahkamah Agung Zambia merujuk pada kasus sebelumnya
Lewanika v. Chiluba, yang menegaskan bahwa “bukan menjadi masalah
apakah gugatan Pemilu parlemen secara umum memerlukan pembuktian
dengan standar yang lebih tinggi daripada sekedar hanya keseimbangan
kemungkinan belaka.”199 Sama halnya, gugatan Pemilu presiden dimana
197 Bater v. Bater, [1951] P. 35,37 (C.A.) (U.K) (“Tingkat probabilitas dalam kasus perdata tergantung dari subyek persoalan yang digugat.” Alasan yang sama juga digunakan untuk mendukung standar pidana berikutnya dalam Preston-Jones v. Preston-Jones, [1951] A.C. 391, [1951] 1 All E.R. 124 (H.L.) (U.K) (menentukan legitimasi gugatan untuk hak pengasuhan anak dalam perceraian berdasarkan gugatan perzinahan); lihat juga, In re Doherty, House of Lords, [2008] UKHL 33 (banding diambil dari N. Ir.).
198 Lihat supra Bagian 2 (menggambarkan standar internasional dari rezim standar dan tata tertib Pemilu yang dirinci secara jelas)
199 Lewanika v. Chiluba (1998) ZLR 86 [SC] (Zam), dapat dilihat di http://www.saflii.org/zm/cases/ZMSC/1998/11.pdf; lihat juga Mazoka v. Mwanawasa, (2002) S.C.Z./EP/01/02/03/2002 (Zam.).
80
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
keputusan pengadilan dapat mempengaruhi tata kelola negara dan
penggunaan kekuasaan dan kewenangan konstitusional,” sebuah tingkat
kejelasan yang lebih meyakinkan jelas diperlukan.”200 Keseriusan dan
kepentingan publik atas beberapa isu tertentu terkait keberatan dapat
mewajibkan agar standar pembuktian dinaikkan.201
Tidak ada standar pembuktian yang dapat diterima atau diharuskan secara
universal; dalam sebuah kerangka rezim hukum pembuktian, legislatif,
hakim dan arbiter mempunyai kebebasan untuk menurunkan atau
menaikkan standarnya tergantung sifat gugatan yang diajukan. Masing-
masing dari tiga standar yang paling umum dibahas di atas dapat menjadi
berguna atau dapat diterapkan di sistem penanganan keberatan Pemilu
suatu negara, dan masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan
dalam pelaksanaannya. Ketika menyusun atau memperbaiki sistem
penanganan keberatan Pemilu, sangatlah penting untuk memastikan
bahwa seluruh faktor diatas dimasukkan ke dalam pertimbangan sebelum
menetapkan standar yang akan digunakan.
6. Tersedianya Mekanisme Perbaikan yang Berarti dan Efektif
Suatu mekanisme keberatan yang berfungsi harus mampu memberikan
solusi perbaikan yang efektif, tepat waktu dan dapat dilaksanakan.
Berbagai konvensi hukum internasional menyepakati bahwa, ketika satu
negara telah memberikan hak yang memadai dan menyusun prosedur
yang memadai, maka proses untuk menghasilkan keluaran yang layak
merupakan komponen yang wajib dalam perlindungan hak-hak dasar
secara umum. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia mencatat
pentingnya “hak untuk memperoleh tindakan perbaikan yang efektif oleh
pengadilan nasional yang kompeten atas tindakan pelanggaran hak dasar
200 Mazoka v. Mwanawasa, (2002) S.C.Z./EP/01/02/03/2002 (Zam.)201 Bater v. Bater [1951] P.35, 37 (C.A) (U.K).
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
81
yang diberikan kepadanya oleh konstitusi atau oleh Undang-undang.”202
Bahasa ini tercermin pada hampir seluruh dokumen hukum internasional.
Walaupun mereka mungkin menggunakan istilah yang berbeda, banyak
sistem hak asasi manusia regional memberikan individu dengan hak-hak
yang sama.203
Pengadilan Hak Asasi Manusia Inter Amerika memberikan contoh yang
kuat tentang hak untuk memperoleh perbaikan yang efektif dan berbagai
komponennya. Dalam Miyawa v. Peru, Pengadilan menyidangkan gugatan
pelanggaran Pasal 23 dan 25 Konvensi Amerika.204 Secara khusus,
pemohon menuduh bahwa Badan Pemilu Nasional (National Election
Board) telah secara sewenang-wenang dan tidak sah mengambil hak
penggugat untuk maju dalam Pemilu sebagai calon independen, dan
lebih lanjut pelanggaran ini telah menyebabkan penolakan hak untuk
memilih bagi ratusan ribu warga negara Peru. Dalam putusannya,
Pengadilan mempertegas pentingnya sebuah perbaikan yang memadai,
dengan berpegang pada prinsip kewajiban negara tidak terbatas hanya
pada eksistensi pengadilan dan tribunal atau kemungkinan mengakses
pengadilan, tetapi juga harus menyediakan “kemungkinan yang nyata
untuk mengajukan tindakan perbaikan,” sebuah pendapat mengenai nilai
dari kasus tersebut dan kewenangan pengadilan untuk memulihkan hak-
hak yang dipermasalahkan.205
202 UDHR, supra note 10, art. 8. ICCPR memastikan jaminan yang sama bagi individu dalam Pasal 2 § 3 dan menambahkan bahwa “otoritas yang kompeten harus menegakkan tindakan perbaikan ketika diberikan.” ICCPR, supra note 11 art. 2, § 3 (a), (c). Ketika menafsirkan Pasal 2 § 3 Komite Hak Asasi Manusia mempertimbangkan bahwa, “mekanisme administratif khususnya diperlukan untuk memberikan pengaruh kepada kewajiban umum untuk memeriksa tuduhan pelanggaran dengan segera, menyeluruh dan efektif melalui badan-badan yang independen dan tidak memihak.” General Comment CCPR No. 31, supra note 100 ¶ 15. Terlebih lagi, Komite melihat Pasal 2 § 3 sebagai menciptakan kewajiban bagi “Pihak Negara untuk membuat perbaikan kepada perorangan yang hak-hak Kovenan-nya telah dilanggar.” Id ¶ 16.
203 Pasal 25 Konvensi Amerika memberikan setiap orang “hak meminta ganti rugi sederhana dan segera, kepada pengadilan yang kompeten… dan otoritas yang kompeten wajib menegakkan tindakan perbaikan ketika diberikan.” American Convention, supra note 14, art 25. Pasal 13 konvensi Eropa merujuk pada hak “ perbaikan yang efektif dari otoritas nasional.” European Convention, supra note 26, art. 13.
204 Miyagawa v. Peru, Case 11428 Inter-Am. Comm’n H.R., Report No. 199/99, OEA/Ser.L./V/II.106, doc 3 rev ¶ 1262 (1999), dapat dilihat di http://www1umn.edu/humanrts/cases/119-99.html.
205 Gugatan memunculkan konstitusionalitas hak politik dan lebih khusus lagi, hak untuk mendaftarkan sebagai calon independen. Castaneda Gutman v. Meksiko, Kasus 12.535, Inter-Am. Comm’n H.R., Laporan No. 113/06, ¶¶ 92, 140 (2008).
82
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pengadilan hak asasi manusia regional dan internasional dapat
menyidangkan keberatan Pemilu dan memberikan tindakan perbaikan yang
efektif kepada penggugat setelah habisnya seluruh tindakan perbaikan
yang ada dan efektif di tingkat domestik. Dalam Petkov v. Bulgaria, ECtHR
menafsirkan hak tindakan perbaikan yang efektif dan menegaskan bahwa
“ruang lingkup kewajiban Negara-Negara Penandatangan bervariasi
tergantung sifat keberatan pemohon.”206 Pengadilan menambahkan
bahwa tindakan perbaikan harus “efektif dalam praktik sebagaimana
juga dalam Undang-undang dalam artian dapat mencegah pelanggaran
yang dituduhkan atau memberikan perbaikan terhadap situasinya atau
memberikan tindakan penyelesaian yang memadai bagi setiap pelanggaran
yang telah terjadi.207 Dalam kasus ini, para pemohon membawa gugatan ke
ECtHR dan berargumen bahwa otoritas Pemilu Bulgaria tidak mematuhi
putusan akhir yang dikeluarkan oleh pengadilan domestik dan oleh
karenanya telah menghalangi hak pemohon untuk dipilih dalam Parlemen.
Pemerintah Bulgaria berargumen bahwa tindakan perbaikan domestik
belum habis, dengan demikian gugatan pemohon seharusnya dibatalkan.
Pengadilan memutuskan mengabulkan permohonan keberatan dan
berkesimpulan bahwa mereka “tidak memiliki tindakan perbaikan yang
efektif yang tersedia sehubungan dengan keberatan mereka di bawah
Pasal 3 Protokol 1… dan berpendapat bahwa telah terjadi pelanggaran
Pasal 13 Konvensi.”208
Satu cara untuk memberikan tindakan perbaikan yang efektif terhadap
penyimpangan Pemilu adalah dengan mengubah Undang-undang Pemilu
dan lebih khususnya ketentuan yang berkaitan dengan penanganan
keberatan. Sebagai contoh, dalam Pemilu presiden di Ukraina, sistem
pengadilan dibanjiri oleh keberatan dan Mahkamah Agung berdasarkan
besarnya jumlah tuduhan penyimpangan Pemilu, memerintahkan agar
dilakukan Pemilu ulang. Sebelum Pemilu presiden 2010, dibuat perubahan
terhadap Undang-undang Pemilu untuk mencegah terulangnya masalah
pada Pemilu tahun 2004.
206 Petkov v. Bulgaria, Eur. Ct. H.R., App nos. 77568/01, 178/02 dan 505/02, Keputusan 11 Juni 2009, ¶ 74.
207 Id.208 Id. ¶ 83.
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
83
Contoh Ukraina juga menunjukkan kesulitan dalam memutuskan apakah
tindakan perbaikan yang efektif memang tersedia, khususnya di negara
demokrasi yang sedang berkembang, dan diantara negara yang secara
politik penuh dengan konflik Pemilu. Pada malam Pemilu presiden 2010,
“para ahli mengingatkan bahwa Undang-undang Pemilu presiden Ukraina
begitu cacatnya sehingga memungkinkan berbagai kecurangan skala
besar yang berulang.” yang dapat memicu Revolusi Oranye.”209 Tetapi pada
putaran kedua 7 Februari peninjau Pemilu internasional melaporkan bahwa
Pemilu berlangsung bebas dan adil dan para pemimpin dunia menerima
pemenang.210 Meskipun ada pengesahan ini, petahana (incumbent) yang
dikalahkan Yulia Tymoshenko, menuduh lawannya mengenai kecurangan
dan menggugat hasil Pemilu di Pengadilan Administratif Tingkat
Tinggi Ukraina.211 Oleksandr Turchynow, yang menjalankan kampanye
Tymoshenko, “meminta penghitungan kembali di lebih dari 900 tempat
pemungutan suara, menggugat bahwa ‘pemalsuan’ mempengaruhi
hasil Pemilu.”212 Menjawab klaim tersebut, ketua Komite Pemilih (Voters
Committee) independen Ukraina, Oleksandr Chernenko, menyatakan
bahwa setiap gugatan terhadap Pemilu harus menyangkut pelanggaran
sistemik yang dapat secara teoritis mempengaruhi hasil pemilihan dan
menambahkan bahwa tidak ada bukti terjadinya pelanggaran sistemik
yang benar-benar dapat membatalkan Pemilu seluruhnya.213 Persyaratan
“pelanggaran sistemik” yang disoroti oleh Chernenko dapat membatasi
jumlah keberatan dan mengurangi gugatan yang sembarangan. Namun,
perubahan atau pembatasan tersebut dalam Undang-undang seharusnya
tidak digunakan untuk menurunkan semangat para penggugat untuk
mengajukan gugatannya yang sah. Dua minggu setelah Pemilu ulang 7
Februari, Perdana Menteri Tymoshenko mengakui Pemilu presiden dengan
209 Mark Rachkevych, Can Ukraine’s Presidential Election Be Stolen Again? Kyiv Post, 26 Nov, 2009, dapat dilihat di http://www.kyivpost.com/news/politics/detail/53728/.
210 Luke Bake, NATO, EU Follow U.S. Welcome Ukraine’s Yanukovich, Washington Post, 12 Feb, 2010, dapat dilihat di http://postchronicle.com/cgi-bin/artman/exec/view.cgi?archive=184&num=284224.
211 Peter Fedynsky, Tymoshenko Refuses to Concede Ukraine Election Defeat, VOAnews, 11 Februari 2010, dapat dilihat di http://www1.voanews.com/english/news/europe/Tymoshenko-Refuses-to-Concede-Ukraine-Election-Defeat-84113287.html; lihat juga James Marson, Ukraine Opposition to Form Coalition, Wall St. J., 12 Feb 2010, dapat dilihat di http://online.wsj.com/article/SB1000142052748703525750609234718766374.html?mod=googlenews_wsj.
212 Daryna Krasnolutska, Timoshenko Weighs Conceding Ukraine Presidency to Stay Premier, Business Week, 10 Feb 2010, dapat dilihat di http://wwwbusinessweek.com/news/2010-02-10/timoshenko-weighs-conceding-ukraine-presidency-to-stay-premier.html.
213 Fedynsky, supra note 212.
84
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
menarik gugatan hukumnya, dan menyatakan dia tidak percaya bahwa dia
akan mendapatkan sidang yang adil dan bahwa Pengadilan sama biasnya
dengan Komisi Pemilu Pusat (Central Electoral Commission).
Contoh baru-baru ini di Ukraina menggambarkan kesulitan membuat
perbedaan yang jelas antara tuduhan yang politis murni dan keberatan
Pemilu yang benar serta adil. Beberapa kandidat mungkin menolak untuk
menerima kekalahan mereka dan membuat gugatan sembarangan dan
tidak berdasar, sementara yang lainnya memiliki dasar dan bukti yang
sah untuk menjustifikasi keberatan. Walaupun terdapat kesulitan yang
jelas dalam menentukan apakah sebuah sistem memberikan tindakan
perbaikan yang memadai untuk merespon penyimpangan Pemilu, sebuah
lembaga penanganan keberatan Pemilu yang memberikan jaminan
penyelesaian putusan secara tepat waktu, justifikasi hukum, putusan yang
tidak lagi dapat dibanding, serta kewenangan untuk menjatuhkan sanksi
dan hukuman, akan menjadi jalan panjang untuk menyediakan tindakan
perbaikan yang efektif.
A. Hak untuk BandingHak untuk mengajukan banding adalah merupakan sebuah komponen
kunci dalam menjamin akses terhadap tindakan perbaikan yang memadai.
Seluruh konvensi hak asasi manusia internasional, mengakui, baik secara
implisit maupun eksplisit, nilai fundamental dari mekanisme banding.214
Pasal 14, § 5 ICCPR memberikan hak tersebut dibawah persoalan pidana
dan Komite PBB untuk Hak Asasi Manusia telah menggarisbawahi bahwa
jaminan sebuah banding tidak dibatasi hanya untuk pelanggaran yang paling
serius.215 Hasil keberatan Pemilu juga menjadi sangat penting dan proses
bandingnya dapat memperkuat hak untuk sebuah tindakan perbaikan yang
efektif, khususnya dalam gugatan yang lebih serius dimana hasil Pemilu
214 ICCPR, supra note 11, art. 14 § 5, American Convention, supra note 14, art. 8(2)(h); Protocol No. 7 European Convention for the Protection of Human Righst and Fundamental Freedoms, art. 2, 22 Nov, 1984, C.E.T.S No. 117 (diberlakukan tanggal 1 No. 1988), dapat dilihat di http://conventions.coe.int/Treaty/en/Treaties/Html/117.htm; African Charter, supra note, 14, art. 7(a); Constitutional Rights Project v. Nigeria, African Comm’n on Human and Peoples’ Rights, Comm. No. 60/91 (1995); UN Human Rights Comm, CCPR General Comment No. 32, Art. 14: Right to Equality Before Courts and Tribunals And To A Fair Trial, ¶¶ 47-50, U.N. Doc. CCPR/C/GC/32 (23 Agus, 2007) [setelah ini disebut CCPR General Comment No. 32].
215 ICCPR, supra note 11, art. 14 § 5,CCPR General Comment No. 32, supra note 215, ¶¶ 47-50; CCPR General Comment No. 13, supra note 165, ¶ 17.
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
85
dipertaruhkan. Komisi Eropa untuk Demokrasi melalui Hukum (European
Commission for Democracy through Law) juga mengakui melalui kode
praktik yang baiknya bahwa sebuah sistem banding diperlukan untuk
memberikan sebuah tindakan perbaikan yang efektif. Warga negara
perorangan dan kandidat seharusnya dapat sepenuhnya menggugat
setiap penyimpangan Pemilu di pengadilan Pemilu, komisi Pemilu, atau
mahkamah konstitusi.216 ECtHR juga menekankan bahwa “sebuah sistem
banding Pemilu yang efektif merupakan mekanisme pengaman yang
penting terhadap kesewenang-wenangan dalam proses Pemilu.”217
Undang-undang Pemilu harus menyediakan secara jelas mekanisme
peninjauan. Di Nikaragua, Undang-undang Pemilu hanya menyatakan hak
banding terhadap putusan CSE pada saat masalahnya adalah pembatalan
pendaftaran partai politik.218 CSE adalah badan penyelenggara Pemilu
yang bertanggung jawab terhadap berbagai keberatan awal, dan juga
merupakan tingkat peradilan tingkat akhir tentang penyimpangan Pemilu.
Selain kejahatan Pemilu yang berada di dalam yurisdiksi pengadilan pidana
biasa, tidak ada saluran banding yang independen; proses hukum yang
dikerdilkan ini memiliki potensi konflik yang nyata jika para penggugat
merasa bahwa gugatan mereka tidak ditangani secara memadai di
tingkat CSE.219 Membentuk mekanisme yang independen untuk meninjau
keberatan Pemilu, atau memberikan pengadilan umum yurisdiksi yang
lebih luas untuk menerima banding terkait keberatan Pemilu, dapat
memperbaiki celah tersebut.
Di Brasil, konstitusi memberikan hak untuk mengajukan banding terhadap
putusan Pengadilan Pemilu Regional (Regional Electoral Courts) kepada
Pengadilan Pemilu Banding (Superior Electoral Court). Hak banding ini
dibatasi hanya untuk: putusan yang diberikan bertentangan dengan
ketentuan cepat pada Konstitusi atau suatu Undang-undang; situasi dimana
terdapat perbedaan penafsiran sebuah Undang-undang antara dua atau
lebih pengadilan Pemilu; dan ketika keputusan terkait ketidaklayakan atau
216 Venice Commission Code, supra note 44,at 29-30.217 Petkov v. Bulgarian, Eur. Ct. H.R., App nos. 77568/01, 178/02 dan 505/02, Keputusan 11
Juni 2009, ¶ 63.218 CSE adalah keputusan tingkat akhir untuk semua keberatan terkait Pemilu. E.U. Nicaragua
Report, supra note 38, at 23.219 Id. At 20.
86
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
penerbitan pengesahan kemenangan Pemilu di tingkat federal atau negara
bagian.220 Namun, “keputusan Pengadilan Pemilu Banding tidak dapat
dibanding, kecuali untuk putusan yang bertentangan dengan Konstitusi
ini dan yang menolak habeas corpus atau writs of mandamus.”221 Brasil
merupakan sebuah contoh hak banding yang terkodifikasi yang menjaga
penafsiran yang jelas dan koheren mengenai Undang-undang yang relevan.
Banding (appeals) jangan disamakan dengan rujukan (referrals). Ketika
suatu pengadilan memiliki yurisdiksi, badan tindakan perbaikan pasca-
Pemilu regional atau provinsi tidak dapat merujuk sebuah kasus ke
lembaga nasional tanpa pertama-tama memutuskan kasus tersebut.
Undang-undang Pemilu seharusnya juga mendefinisikan keputusan yang
bersifat final dan berkekuatan hukum tetap. Sebagai contoh, di Filipina,
berbagai keberatan terkait Pemilu bagi Dewan Perwakilan Rakyat (House
of Representatives) dan Senat disidang oleh pengadilan khusus. Badan
ini akan menerbitkan keputusan yang dapat dibanding ke Pengadilan
Tinggi (Supreme Court) tetapi hanya dalam konteks meminta petunjuk
(on certiorari).222
Sistem Nikaragua mengatur proses peninjauan oleh badan penyelenggara
Pemilu (CSE) terkait berbagai gugatan dan penyimpangan Pemilu di
tempat pemungutan suara. CSE tidak menyediakan jalur banding.
Namun, pelanggaran Pemilu pidana akan ditangani oleh pengadilan
pidana biasa yang menyediakan mekanisme dibanding. Dengan demikian,
karena proses banding tidak selalu ada di dalam seluruh kasus, banding
menjadi komponen yang penting dalam memberikan pihak perorangan
220 Constituicao Federal [C.F] [Constitution] art. 121 § 4 (Bras).221 Id. Art 121 § 3.222 “Certiorari” adalah kata dalam bahasa Latin yang berarti “diberitahukan, atau diberikan
kepastian mengenai sesuatu.” Hal tersebut juga merupakan nama yang diberikan rangkaian persidangan tertentu untuk pemeriksaan kembali tindakan-tindakan pengadilan, atau pengadilan banding yang lebih rendah. Sebuah “write of certiorari” dapat didefinisikan sebagai perintah dari pengadilan tingkat yang lebih tinggi kepada pengadilan atau otoritas publik tingkat yang lebih rendah untuk mengirimkan catatan perkara yang diberikan untuk peninjauan. Erben et al., supra note 150, at 27.
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
87
dan partai politik dengan cara yang lebih efektif untuk mengakses
tindakan perbaikan.223
B. Kerangka Waktu yang Terbatas untuk PeninjauanSebagaimana telah dibahas di atas, menetapkan batas waktu yang jelas
untuk peninjauan terhadap pendaftaran awal dan penentuan seluruh
banding yang diperlukan sangatlah diperlukan untuk memperlancar
proses pemeriksaan perkara.224 Lebih lanjut, peninjauan gugatan oleh
tribunal Pemilu atau komisi keberatan Pemilu seharusnya cepat dan
efektif. Kerangka waktu yang spesifik seharusnya memperhitungkan
dibutuhkannya penanganan gugatan dalam kerangka waktu proses Pemilu
yang terbatas,225 untuk tindakan perbaikan yang dilaksanakan dalam
kerangka waktu yang serupa dan keputusan yang diterbitkan secara tepat
waktu. Memang, banding seharusnya tidak digunakan untuk menunda
pengesahan hasil atau untuk melecehkan partai atau kandidat lawan.
Batas waktu untuk memasukkan dan memutuskan banding haruslah
sangat pendek. Komisi Eropa untuk Demokrasi melalui Hukum (European
Commission for Democracy through Law), contohnya, telah menetapkan
standar tiga hingga lima hari dari setiap perkara pada tingkat pertama.226 Hal
ini mengingatkan and mendukung prinsip umum rangkaian persidangan
yang dipercepat dalam penanganan keberatan Pemilu.
C. Pertimbangan Hukum dari PutusanSebagaimana dinyatakan sebelumnya, sebuah hak untuk memperoleh
pemulihan yang transparan mempersyaratkan bahwa penggugat harus
diberitahukan mengenai alasan mengapa gugatannya dibatalkan atau
ditolak. Dengan demikian, badan penanganan keberatan Pemilu seharusnya
menyatakan secara jelas dasar hukum yang digunakan atau keputusan
faktual yang dibuat ketika ia memutuskan kasus tertentu, berdasarkan
223 Human Rights and Election Handbook, supra note 9, at 16 (Hak menggugat hasil Pemilu dan bagi partai yang tidak puas untuk mengupayakan tindakan perbaikan seharusnya diatur oleh Undang-undang. Proses gugatan seharusnya menetapkan ruang lingkup peninjauan, tata tertib untuk memulainya dan kekuasaan badan peradilan yang independen yang bertanggung jawab terhadap tinjauan tersebut. Tingkat peninjauan yang bertingkat, dimana semestinya, seharusnya digambarkan juga.”).
224 Organization for Security and Co-operation in Europe, Office for Democratic Institutions and Human Rights, Republik Kazakhstan: Review of the Election Legislation for Election Disputes, Appeals and Penalties 2 (2001) [selanjutnya disebut Kazakhstan Report] dapat dilihat di http://www.osce.org/odihr/elections/kazakhstan/item/14597.
225 Commonwealth Convention, supra note 39, pasal 10, § 2 (f).226 Venice Commission Code, supra note 44, at 30.
88
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
penjelasan yang jelas tentang pelanggaran Pemilu yang mungkin di dalam
Undang-undang. Bahkan lebih penting untuk memberikan penjelasan
untuk setiap putusan apabila tidak tersedia mekanisme untuk banding,
atau pilihan dalam tindakan perbaikan.227
Dengan demikan, hakim atau jaksa haruslah sangat rinci dalam menulis
pertimbangan hukum putusannya, sebagai contoh, di tingkat proses
Pemilu mana pelanggaran dilakukan, siapa yang melakukan pelanggaran,
dan apakah pelanggaran mempengaruhi atau tidak mempengaruhi hasil
Pemilu.228 Para hakim dan jaksa seharusnya memberikan cara-cara agar
para pihak yang relevan supaya mereka bisa mengerti alasan di balik
keputusan mereka. Tribunal atau komisi seharusnya juga menampilkan
pendapat hukum yang mendukung, maupun yang bertentangan (dissenting
opinions) dari hakim atau arbiter. Hal ini akan memungkinkan transparansi
mengenai alasan dimana arbiter dapat memutuskan seperti itu dan setiap
pandangan hukum pribadi yang menjadi bagian dari putusan. Justifikasi
hukum untuk sebuah keputusan akan memfasilitasi penegakan keputusan
dan membantu membentuk legitimasi hasil akhir Pemilu.
D. Pemulihan Hak-Hak yang Dilanggar Hak untuk tindakan perbaikan juga termasuk hak untuk pemulihan untuk
kerugian yang dialami oleh penggugat. Sebagai contoh, dalam Petkov v.
Bulgaria, tiga pemohon menuduh bahwa hak mereka untuk maju dalam
Pemilu parlementer 2001 telah dibatalkan secara tidak adil.229 Koalisi para
pemohon menarik namanya dari daftar kandidat karena keterkaitannya
dengan mantan badan keamanan Negara.230 Mahkamah Agung Administrasi
(Supreme Administrative Court) memutuskan memenangkan mereka
dan menyatakan bahwa tindakan pencoretan penggugat dari daftar
kandidat, adalah tidak sah dan dibatalkan. Namun otoritas Pemilu gagal
melaksanakan putusan yang final dan mengikat ini dan dengan demikian,
para pemohon membawa kasus tersebut ke Pengadilan Hak Asasi
Manusia Eropa (European Court of Human Rights). Mereka menyatakan
227 Lihat E.U. Nicarague Report, supra note 38, at 63 (“Hal ini khususnya serius mengingat penyelesaian ini adalah tingkat terakhir dan tidak ada banding lebih lanjut yang mungkin).
228 Kazakhstan Report, supra note 225, at 5.229 Petkov v. Bulgaria, Eur. Ct. H.R., App. Nos. 77568/01, 178/02 dan 505/02, Keputusan 11 Juni 2009, ¶¶ 55-82.230 Id, ¶ 60.
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
89
bahwa hak untuk sebuah tindakan perbaikan telah ditolak karena
penolakan otoritas Pemilu untuk mencantumkan kembali mereka di dalam
daftar kandidat.”231 Pengadilan Eropa mengakui kegagalan di pihak otoritas
Pemilu dan menyatakan bahwa hal tersebut mengakibatkan pelanggaran
Pasal 3 dan 13 dari Protokol Tambahan No. 1 dari Konvensi Eropa.
Pengadilan menambahkan bahwa bahkan jika otoritas tidak menyetujui
temuan pengadilan (karena keputusan atau tindakan yang salah di luar
yurisdiksinya), mereka tidak dapat menolak untuk mematuhi keputusan
tersebut di dalam sebuah masyarakat demokratis yang mematuhi negara
hukum (rule of law). Hak untuk sebuah tindakan perbaikan memerlukan
otoritas yang relevan untuk mematuhi keputusan dan berupaya untuk
menghapus seluruh dampak keputusan yang menyatakan tidak sah dan
dibatalkan. Pengadilan juga mendiskusikan jenis tindakan perbaikan yang
seharusnya diberikan kepada pemohon di dalam kasus ini. Berbagai
tindakan dan kealpaan yang disengaja oleh otoritas Pemilu yang
menghalangi kandidat parlementer untuk maju dalam Pemilu tidak dapat
diperbaiki secara eksklusif dengan sebuah kompensasi.232 Jika pelanggaran
tidak dapat diperbaiki sebelum Pemilu, sebuah saluran tindakan perbaikan
pasca-Pemilu harus dicari sebagai konsekuensi pelanggaran ini terhadap
hasil Pemilu dan dalam kasus yang paling serius, badan ini bahkan dapat
membatalkan hasil Pemilu, seluruhnya atau sebagian.233
E. Berbagai sanksi dan HukumanSebuah tindakan perbaikan yang efektif secara tersirat termasuk adanya
sanksi dan hukuman, seperti surat peringatan kepada pelanggarnya
(termasuk partai-partai politik), pengenaan denda atau hukuman pidana,
pembatalan calon, diskualifikasi sebuah partai politik, pemberhentian
hak untuk berkampanye, pembatalan surat suara, atau perintah sebuah
penghitungan ulang atau Pemilu ulang.234 Berbagai pelanggaran dan sanksi
231 Id. ¶¶ 67, 83.232 Id. ¶ 79233 Id. ¶¶ 80, 81 (menemukan bahwa, dalam kondisi kasus tertentu, rangkaian persidangan
di Mahkamah Konstitusi, yang telah menyimpulkan pelanggaran yang serius dari hak penggugat tidak mengharuskan pembatalan Pemilu, tidak memberikan tindakan perbaikan yang memadai untuk para pemohon)
234 Electoral Law, art. 54, § 1 (2004) (Afg.); Electoral Reform Law, §§ 22-25 (2004) (Liber.) (menghukum kecurangan pendaftaran dan penyuapan), dapat dilihat di http:///necliberia.org/content/legaldocs/laws/elereformlaw.pdf; The New Elections Law, § 10.25 & 10.26 91986) (Liber.), dapat dilihat di http://necliberia.org/content/legaldocs/laws/1986electionlaws.pdf.
90
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
yang didefinisikan secara jelas di dalam kerangka peraturan dan undang-
undang pemilu akan mencegah pemberian hukuman yang sewenang-
wenang (atau kegagalan untuk mengenakan hukuman tersebut).
Begitupun, sanksi dan hukuman seharusnya dibuat dengan cara yang akan
mencegah para kandidat dan pihak yang lain melanggar undang-undang
kepemiluan. Hak pemulihan tidak dapat efektif sepenuhnya jika mereka
yang berhubungan dengan pemilihan dan kandidat tidak mengetahui
sanksi -sanksi bagi pelanggaran yang ada.
Walaupun kewenangan diberikan untuk menerapkan sanksi, hakim atau
arbiter seharusnya memastikan bahwa hukumannya sepadan dengan
keseriusan pelanggara235 Hukumannya akan tergantung dari laporan
yang dituduhkan, karakter, sikap, kepentingan publik dan keseriusan
pelanggaran. Sebagai contoh, sebuah Pemilu ulang seharusnya tidak
diperintahkan kecuali terjadi pelanggaran standar Pemilu yang serius.
Memang, sekali kehendak rakyat telah diekspresikan secara bebas dan
demokratis, pilihan tersebut seharusnya tidak diragukan, kecuali adanya
dasar pemaksaan terhadap tatanan demokratis.236 Undang-undang
seharunys memberikan sebuah jenjang (gradation) dalam sanksi yang
mungkin yang dapat diterapkan pada perorangan atau partai politik.
Contohnya, bulan April 2007 dan Mei 2008, ahli hukum IFES menerbitkan
analisis yang menyeluruh tentang kerangka undang-undang Pemilu
Thailand, dan menyarankan negara untuk mengubah hukum organiknya
tentang partai politik dan pembiayaan politik.237 Analisis ini menekankan
dibutuhkannya sanksi yang proporsional terhadap derajat pelanggaran
dan derajat kesalahan (disengaja, kelalaian atau kesalahan). Para ahli juga
merekomendasikan sanksi perdata atas pelanggaran administratif, seperti
secara sewenang-wenang menolak atau menarik pengesahan kandidat,
juga sanksi pidana.
Sistem penanganan keberatan Filipina juga memberikan sebuah contoh
atas luasnya ragam saksi bagi pelanggaran Pemilu. Pada tahun 2004,
IFES melaporkan bahwa hukuman yang dilaksanakan oleh otoritas Pemilu
235 Kazakhstan Report, supra note 225, at 3.236 Petkov v. Bulgaria, Eur. Ct. H.R., App. Nos. 77568/01, 178/02 dan 505/02, Keputusan 11
Juni 2009, ¶ 81.237 Dhal et al., supra note 131, at 22; Kingdom of Thailand Report, supra note 163.
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
91
Filipina sangatlah keras dan tidak proporsional terhadap pelanggaran
yang dilakukan. Sanksi yang keras bisa membuat masyarakat enggan
melakukan keberatan; calon penggugat mungkin tidak membuat seorang
petugas tempat pemungutan suara dipenjara (sanksi yang diatur oleh
Undang-undang) hanya karena melakukan sebuah pelanggaran seperti
tidak mengirimkan daftar pemilih di lokasi yang benar,238 untuk waktu
yang dihabiskan di penjara (sanksi yang diatur dalam Undang-undang).
IFES merekomendasikan agar otoritas legislatif dapat memutuskan
keterkaitan antara Undang-undang Pemilu dan pidana serta menerapkan
sanksi yang lebih layak untuk pelanggaran yang dimaksud, seperti denda,
kehilangan akses media, pembatasan kampanye dan permonohan maaf di
depan publik.239
Apakah itu ditetapkan di Undang-undang Pemilu atau di dalam peraturan
internal, sanksi dan hukuman harus menjadi bagian dari rezim penanganan
keberatan Pemilu dan harus jelas serta proporsional terhadap pelanggaran
itu sendiri.
F. Mekanisme PenegakanHak untuk memperoleh perbaikan tidak akan efektif apabila sanksinya
tidak pernah benar-benar dilaksanakan. Penegakan dimulai pada saat
selesainya sebuah gugatan hukum; yaitu ketika suatu kasus telah selesai
ditangani, dan tidak ada pihak dapat mengajukan banding lebih lanjut
terhadap putusan tersebut. Pada laporan tahun 2001, yang meninjau
proses penanganan keberatan Pemilu di Republik Kazakhstan, OSEC
menggarisbawahi bahwa penegakan tidak dapat dilaksanakan hingga
seluruh upaya hukum domestik telah habis dan keputusan akhir telah
dicapai.240 Contohnya, sebuah Pemilu ulang tidak dapat diperintahkan oleh
pengadilan jika keputusannya masih bisa dibanding.
Terlebih lagi, penegakan putusan memerlukan kerjasama dari berbagai
otoritas yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan putusan
administratif atau peradilan. Otoritas Pemilu, penuntut dan polisi
seharusnya memahami keputusan yang diambil oleh badan penanganan
238 Erben et al., supra note 150, at 28-29.239 Id.240 Kazakhstan Report, supra note 225, at 6.
92
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
keberatan dan seharusnya melaksanakan sanksi dan hukuman.241
Pengadilan Eropa Hak Asasi Manusia dalam Petkov v. Bulgaria menekankan
bahwa “prinsip negara hukum –salah satu prinsip dasar dari masyarakat
yang demokratis – melibatkan sebuah tugas di sisi Negara dan otoritas
publik agar mematuhi perintah pengadilan mematuhi putusan yang dibuat
terhadapnya.”242 Namun, apakah ini karena kurangnya sumber daya finansial
atau kurangnya kemauan, penegakan sanksi dan hukuman tidak selalu
efektif dalam demokrasi yang sedang berkembang. Situasi yang buruk
ini dapat menyebabkan penolakan terhadap hak untuk tindakan perbaikan
yang efektif yang harus ditangani jika proses Pemilu ingin dihargai oleh
para pemilih dan peserta di dalam proses demokratis.
7. Pendidikan Para Pemangku Kepentingan yang Efektif
Sebagaimana disebutkan di atas, kepercayaan publik merupakan
sebuah elemen kunci di dalam suatu proses Pemilu yang efektif. Negara
berkewajiban untuk “menjamin bahwa mereka yang bertanggung jawab
terhadap berbagai aspek yang beragam dari Pemilu dilatih.”243 Negara
seharusnya melaksanakan program-program pelatihan bagi petugas
Pemilu, dan juga berbagai program pendidikan kewarganegaraan nasional
yang akan memungkinkan masyarakat menjadi terbiasa dengan prosedur
dan isu Pemilu.244
Berbagai program ini melibatkan sosialisasi skala besar untuk menjelaskan
kewenangan dan keterbatasan sistem keberatan, juga pelatihan untuk
asosiasi ahli hukum, organisasi hak-hak asasi manusia dan organisasi
masyarakat sipil, Badan Penyelenggara Pemilu, partai politik, kandidat,
setiap orang lainnya yang mempunyai hak untuk mengajukan gugatan
dan keberatan.245 Adalah penting bahwa masyarakat menerima informasi
241 Petkov v. Bulgaria, Eur. Ct. H.R. App. Nos. 77568/01, 178/02 dan 505/02, Keputusan 11 Juni 2009, ¶ 55 (“ Pemohon mengajukan keberatan terhadap penolakan otoritas Pemilu untuk mematuhi keputusan akhir Mahkamah Agung Administratif yang menyatakan penghapusan mereka dari daftar Pemilu tidak sah dan dibatalkan, dan yang mengakibatkan ketidaklayakan mereka untuk maju di Pemilu legislatif pada 17 Juni 2001.”)
242 Id, at ¶ 62; lihat juga Hornsbu v. Greece, Eur. Ct. H.R., App. No. 18357/91, Keputusan 19 Mar. 1997, ¶¶ 40-41.
243 Declaration on Elections, supra note 54, art. 4, § 2.244 Id. § 4 (1).245 Afghanistan Challenges, supra note 29, at 25.
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
93
mengenai Pemilu secara menyeluruh dan dapat secara mudah diakses
secara umum, tetapi khususnya tentang hak mereka untuk tindakan
perbaikan bagi pelanggaran Pemilu.
Para pemangku kepentingan yang terlibat di dalam proses penanganan
keberatan Pemilu mempunyai kebutuhan pendidikan yang berbeda.
Memang, para pengacara dan arbiter perlu untuk memahami keseluruhan
proses gugatan; pihak yang memiliki hak menggugat; beban pembuktian
yang diperlukan; kemungkinan upaya hukum banding; serta sanksi dan
hukuman. Di lain pihak, partai politik, kandidat dan badan penyelenggara
Pemilu perlu mengetahui bagaimana mereka memasukkan gugatan,
lembaga mana yang memiliki yurisdiksi untuk menangani gugatan
tersebut, serta elemen pembuktian yang seharusnya mereka kumpulkan
untuk mendukung gugatan mereka. Pemahaman mengenai gugatan dan
keberatan juga dapat meringankan beban kerja badan-badan penanganan
keberatan, yang akan harus berhadapan dengan para pemangku
kepentingan Pemilu yang berupaya untuk menghindari akuntabilitas.
Mengingat beragamnya para pemangku kebutuhan dan kebutuhannya,
berbagai program dan pelatihan seharusnya menargetkan masing-masing
kelompok, dengan tujuan keseluruhan untuk meningkatkan pemahaman
umum mengenai proses penanganan keberatan Pemilu.
A. Pendidikan Masyarakat UmumPendidikan kewarganegaraan dan pemilih dapat mendorong warga negara
untuk berpartisipasi di dalam proses-proses demokrasi.246 Komite Hak Asasi
Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menekankan bahwa pendidikan
pemilih dan kampanye pendaftaran untuk menjamin pelaksanaan hak
untuk berpartisipasi di dalam pemerintahan yang efektif.”247 Sebagaimana
dibahas di sepanjang buku pedoman ini, kepercayaan masyarakat adalah
merupakan faktor yang penting untuk stabilitas, dan akan lebih memberikan
legitimasi kepada pemerintah, legislatif dan pejabat lokal yang terpilih.
Program-program pendidikan seharusnya menjelaskan proses Pemilu
secara keseluruhan, dari pendaftaran pemilih hingga proses penanganan
246 U.N. Development Program, Democratic Governance Group, Bureau for Development Policy, Civic and Voter Education: Electoral Assistance Implementation Guide 42 (2007), dapat dilihat di http://www.undp.org/governance/docs/UNDP-Electoral-Assitance-Implementation-Guide.pdf
247 CCPR, General Comment No. 25, supra note 84, ¶ 11.
94
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
keberatan Pemilu, dan memastikan warga negara memiliki komisi Pemilu
nasional dan daerah yang mempunyai integritas dan tidak memihak.248 Di
Timor Leste, contohnya IFES menyediakan masyarakat dengan bahan
tentang keberatan Pemilu via media (pertunjukan TV dan radio).249 IFES
juga merekomendasikan Komisi Pemilu Nasional melaksanakan kampanye
pendidikan Pemilu yang memadai, termasuk proses keberatan Pemilu.250
Proyek ini, bertujuan untuk mendidik pemilih tentang proses penanganan
keberatan sehingga berbagai alternatif yang dapat dipercaya oleh pertikaian
politik dapat mereka pahami, sehingga mengakibatkan hasil-hasil yang
positif. Jelas, kepercayaan publik dan pemahaman penanganan keberatan
Pemilu merupakan faktor yang penting untuk stabilitas negara.
Lebih lanjut, “materi pendidikan pemilih seharusnya sederhana, lugas,
dan dapat dikelola dalam artian kemampuan pemilih untuk menyerap,
memahami dan mengingat informasi.”251 Jika Organisasi Non Pemerintah
dan partai politik mengadakan pelatihan pendidikan Pemilu, negara
seharusnya memfasilitasi pelaksanaan program tersebut, seperti
menyediakan lokasi pelatihan pada bangunan publik tersedia secara
gratis. Jika dilaksanakan sebagaimana mestinya, pendidikan pemilih dapat
menyebabkan peningkatan transparansi di dalam sistem dan peningkatan
aksesibilitas terhadap penanganan pelanggaran Pemilu.
Perhatian khusus seharusnya diberikan kepada kaum perempuan,
minoritas dan penduduk asli, penyandang cacat dan penduduk di pedesaan
yang mungkin kurang dilayani dalam kampanye pendidikan. Komite
Penghapusan Diskriminasi Rasial PBB (UN Committee on Elimination of
Racial Discrimination/CERD) melarang setiap bentuk diskriminasi dalam
pelaksanaan hak-hak politik dan “khususnya hak untuk berpartisipasi
dalam Pemilu.”252 Komiten Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita
248 Dahl et al., supra note 131, at 6.249 IFES Timor-Leste Report, supra note 135, at 10-11. Sebagai bagian dari kegiatan pendidikan
kewarganegaraan, CNE, Radio Televisi Timor-Leste dan IFES memproduksi sebuah enam serial program interaktif radio dan televisi, yang dinamakan Klabis, yang disiarkan di dalam dua minggu sebelum Pemilu legislative. Id.
250 Id, at 27.251 Dahl et al., supra note 131, at 7.252 CERD, supra note 12, art 5(c); U.N. Human Rights Comm., Committee on the Elimination
of Racial Discrimination (CERD), Gen. Rec. No. 23, Indigenous Peoples, 51st Sess., § 4(d) (18 Ag, 1997), dapat dilihat di http://www.unhcr.ch/tbs/doc.nsf/(Symbol)/73984290dfea022b902565160056fe1c.
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
95
(Committee on the Elimination of Discrimination Against Women/CEDAW)
menggarisbawahi mutlaknya peran wanita di dalam masyarakat.253 dan
outreach Pemilu seharusnya mencerminkan konvensi tersebut dan
memastikan bahwa perempuan memiliki hak-hak yang sama seperti kaum
pria dalam kehidupan politik.254 CEDAW mendorong partisipasi perempuan
di publik, badan-badan terpilih juga LSM dan asosiasi yang terkait isu-
isu politik.
Undang-undang Pemilu dapat mengalokasikan kursinya berdasarkan
gender atau memberikan kuota dalam daftar kandidat partai politik,
contohnya. Pada tahun 2002, Congreso de la Union (Kongres Meksiko)
mereformasi Undang-undang Pemilu untuk mempersyaratkan bahwa tidak
lebih dari 70 persen kandidat untuk jabatan Deputi dan Senator merupakan
gender yang sama.255 Tujuannya adalah untuk membuat kedudukan
perempuan di dalam struktur pemerintahan yang ada mencerminkan rasio
gender yang lebih baik dalam penduduk.256 Saat ini, tidak lebih dari 60
persen kandidat untuk jabatan Deputi dan Senator seharusnya memiliki
gender yang sama, tapi tidak ada satupun dari Camara de Senadores
ataupun Camara de Diputados yang telah memenuhi persyaratan
tersebut. Terlepas dari apakah pendekatan seperti ini digunakan atau tidak,
berbagai tindakan khusus seharusnya juga dilakukan terkait partisipasi
kaum perempuan di kehidupan politik, dan kaum perempuan seharusnya
diberitahukan hak-hak mereka untuk tindakan perbaikan ketika hak-hak
Pemilu mereka dilanggar. Petugas Pemilu perempuan seharusnya dilatih
untuk menerima, menyelidiki dan menangani gugatan. Mereka seharusnya
diajukan bagaimana untuk mengakses proses keberatan dan bagaimana
untuk memasukkan sebuah gugatan.
Beberapa konvensi hak asasi manusia mendesak hak minoritas untuk bisa
berpartisipasi secara efektif di dalam kehidupan kultural, beragama, sosial,
253 CEDAW, supra note 12, art 7; ICCPR, supra note 11, art. 12;UHDR, supra note 10, art. 20.254 CEDAW, supra note 12, art. 7,9.255 30 Essential Questions, Instituto Federal Electoral, Question 15 (Mexico), http://www.
ife.org.mx/portal/site/ifev2/30_essential_questions/ (terakhir dikunjungi 12 Jan, 2011) [setelah ini disebut 30 Essential Questions].
256 CEDAW, supra note 12, art 8: E.U. NEEDS Project, Benchmark For Electoral Standards: A Guide for European Union Election Observation Missions 12 (2005), dapat dilihat di http://www.pedz.uni-mannheim.de/datem/edz-h/az/05/guide_for_eu_elections_observation_missions.pdf.
96
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
ekonomi dan publik.257 Ketika menyusun program pendidikan pemilih,
Ornop, partai politik atau badan-badan negara seharusnya menyertakan
sebuah fokus khusus tentang kelompok yang kurang beruntung dan kurang
terwakilkan ini. Sebagai contoh di Guatemala, bahkan dimana beberapa
kemajuan telah dicapai, tingkat kehadiran (turn out rate) penduduk asli
yang termarginalisasi masih jauh dibandingkan dengan bobot demografi
mereka.258 Terlebih lagi, bahan-bahan Pemilu seharusnya diterjemahkan ke
bahasa inggris untuk memastikan pemahaman yang sepenuhnya tentang
proses keberatan Pemilu. Tingkat buta aksara diantara kaum minoritas dan
penduduk asli menunjukkan tantangan tambahan untuk diperhitungkan
ketika menyusun bahan pendidikan. Lebih lanjut, beberapa kelompok
mungkin menghadapi intimidasi ketika berusaha mengajukan gugatan
atau mengakses proses keberatan Pemilu.
Sebuah perwakilan yang setara dan adil dari seluruh kelompok di dalam
sebuah Pemilu dapat menjaga atau membawa stabilitas suatu negara;
memfokuskan pada berbagai kelompok ini dan akses mereka untuk
tindakan perbaikan bagi pelanggaran Pemilu akan lebih mendorong
tujuan ini.
B. Partai-Partai PolitikPartai-partai politik merupakan berbagai instrumen yang sangat mutlak
bagi partisipasi demokratis dan mengambil bagian “dalam manajemen
urusan publik oleh perwakilan kandidat.”259 Sebagaimana dinyatakan
secara jelas oleh National Democratic Institute, “dengan bersaing di
dalam Pemilu dan memobilisasi warga negara di belakang visi tertentu dari
masyarakat juga melalui kinerja mereka di dalam badan legislatif, partai-
partai menawarkan warga negara pilihan yang berarti dalam tata kelola,
257 CERD, supra note 12, art 5(c); U.N.Declaration on the Rights of Persons Belonging to National or Ethnic Religious and Linguistic Minorities, G.A. Res. 47/135, art 2(2), U.N. Doc.A/RES/47/135 (18 Des, 1992), dapat dilihat di http:www.un.org/documents/ga/res/47/a47r135.htm:Venice Commission Code, supra note 44, at 19.
258 E.U. Election Observation Mission, Guatemala General Elections Final Report XV (2007) [setelah ini disebut E.U. Guatemala Report]; E.U. Mexico Report, supra note 60, di XXIII.
259 Venice Commission, Report on the Participation of Political Parties in Elections 4 (2006), dapat dilihat di http://www.venice.coe.int/docs/2006/CDLADpercent282006percent29025-e.asp; lihat juga Venice Commission, Guidelines and Explanatory Report on Legislation on Political Parties: Some Specific Issue (2004), dapat dilihat di http://www.venice.coe.int/docs/2004/CDLAD2004percent29007-e.asp.
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
97
saluran untuk partisipasi politik, dan kesempatan untuk membentuk masa
depan negara mereka.”260
i. Pelatihan
Partai-partai politik seharusnya menerima pelatihan tentang bagaimana
berpartisipasi di dalam Pemilu secara efektif, juga bagaimana merespon
ketika mereka merasa bahwa prosesnya tidak dilaksanakan dengan cara
yang bebas dan adil. Partai-partai politik seharusnya tahu, contohnya,
bagaimana mengajukan keberatan ke badan penanganan keberatan
Pemilu. Karena seringkali mereka terlibat di dalam keberatan, mereka
seharusnya mengerti sepenuhnya proses sehingga mereka akan terima
dan menghargai putusan final. Partai-partai politik seharusnya diberikan
pelatihan tentang pentingnya memperhitungkan pertimbangan partisipasi
kaum perempuan,261 pemilih muda, kaum religius dan etnik minoritas.262
Sebagai contoh, dalam persiapan untuk pemilihan kota di Georgia 2010,
pengacara dari 18 partai politik menerima pelatihan tentang tata Pemilu,
berbagai amandemen yang baru, mengajukan dan menguji keberatan, dan
sumber-sumber daya administratif. Pelatihan ini memberikan pemahaman
yang lebih besar kepada partai-partai politik tentang proses Pemilu juga
kemampuan untuk memasukkan keberatan secara efektif.
ii. Pedoman perilaku
Partai-partai politik seharusnya didorong untuk mengadopsi pedoman
perilaku untuk mengatur kegiatan dan perilaku mereka selama
berkampanye, dan selama masa Pemilu secara keseluruhan, termasuk
pemungutan suara.263 Di sedikit negara, badan penyelenggara Pemilu
telah mengadopsi pedoman perilaku untuk ditandatangani oleh partai
politik264 dan, di beberapa diantaranya, pedoman perilaku tersebut memiliki
tanggung jawab yang dapat ditegakkan. Pedoman perilaku ini seharusnya
260 Political Parties, National Democratic Institute, http://www.ndi.org/political _parties(terakhir dikunjungi 8 Jan, 2011).
261 African Elections Declaration, supra note 162, art III (j).262 CEPPS/International Republican Institute, Quarterly Report-Liberia: Political Party
Empowerment Program 5 (2005) [setelah ini disebut CEPPS/IRI Liberia Report], dapat dilihat di http://pdf.dec.org/pdf_docs/PDACF452.pdf.
263 SADC Norms, supra note 138, at 13-14.264 Election Commission of Pakistan, Code of Conduct for Candidates: General Elections,
2007-08, No.F2(1)/2007-Cord. (20 Nov, 2007), dapat dilihat di http://www.ecp.gov.pk/Misc/COCFinal.pdf.
98
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
menetapkan sebuah standar minimum perilaku yang dapat diterima bagi
partai politik dan para pendukungnya.265 Pedoman semacam itu tidak akan
ditegakkan oleh badan penanganan keberatan kecuali mereka dimasukkan
di dalam peraturan berbasis Undang-undang dan ketidakpatuhan terhadap
Pedoman perilaku didefinisikan sebagai pelanggaran. Partai politik
juga dapat menyusun otoritas dispiliner mereka sendiri dan menangani
sengketa internal mereka sendiri. Ketika menangani gugatan seperti
pemilihan utama, rangkaian kegiatan pencalonan, komposisi yang layak
dan membagikan daftar, panitia partai politik atau badan kedisiplinan
lainnya dapat menangani kasus-kasus semacam itu dan dengan demikian,
mengurangi beban kerja badan-badan penanganan keberatan.
Di Sierra Leone, di akhir 2006, Komisi Pendaftaran Partai Politik (Political
Parties Registration Commission/PPRC) yang baru dibentuk dan partai-
partai politik mengadopsi sebuah Pedoman perilaku yang antara lain
mengatur tentang pendirian komite pengawasan.266 Komite-Komite ini
menawarkan para pemangku kepentingan Pemilu utama (para pihak,
PPRC, masyarakat sipil dan polisi) sebuah forum untuk mendiskusikan dan
menyelesaikan sengketa yang dapat menyebabkan kekerasan di tingkat
lokal. Semenjak Pemilu presiden dan legislatif tahun 2007, IFES telah
memberikan bantuan kepada Komite Pengawasan Pedoman perilaku pada
14 distrik untuk membantu kerja mereka untuk mengurangi ketegangan
dan konflik.267
Partai-partai politik seharusnya melakukan berbagai tindakan yang
transparan yang dapat mengurangi korupsi atau pengaruh yang tidak
benar. Kelompok pemantau E.U merekomendasikan ke Nikaragua setelah
Pemilu 2007 (presiden, legislatif dan kota) untuk membangun “mekanisme
yang transparan dan akuntabel untuk merekam, mengungkapkan dan
melakukan audit terhadap sumbangan yang masuk ke partai-partai politik
dan pengeluaran mereka selama kampanye Pemilu.”268 Reformasi Pemilu
265 CEPPS/IRI, supra note 263, at 4, 8, 11-17.266 Lihat pada umumnya About Us, Political Parties Registration Commission of Sierra Leone,
http://www.pprcsl.info/index.php?option=com_content&task=view&Id=13&ItemId=30 (terakhir dikunjungi 8 Jan, 2011).
267 Lihat Sierra Leone: Strengthening Sierra’s Capacity to Regulate Political Parties, IFES, http://www.ifes.org/Content/Projects/Africa/Sierra-Leone/Strengthening-Sierra-Leone-Capacity-to-Regulate-Political-Parties.aspx (terakhir dikunjungi 8 Januari, 2011).
268 E.U. Nicaragua Report, supra note 38, at 67.
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
99
pada 2007 di Meksiko juga memperhitungkan elemen transparansi
pendanaan dan membangun di antara Lembaga Pemilu Federal (Instituto
Federal Electoral) sebuah entitas otonom dan khusus yang bertanggung
jawab terhadap pengawasan keuangan partai politik. Dengan demikian
partai-partai politik harus mengungkapkan seluruh informasi tentang asal,
jumlah, tujuan dan penggunaan dana yang diterima oleh sumber mana
pun.269 Masalah keuangan politik patut dibahas secara terpisah dan dalam
diskusi yang lebih fokus yang tidak dapat dikembangkan secara luas di
dalam pedoman ini.270 Tindakan seperti ini akan mendorong transparansi
dalam jangka panjang terhadap sistem Pemilu dan untuk menghindarkan
berbagai sengketa yang berhubungan dengan aktivitas partai politik juga.
iii. Penyebarluasan informasi kepada masyarakat umum
Partai-partai politik seharusnya juga menyebarluaskan informasi yang
sama kepada masyarakat umum. Seharusnya para petahana (incumbent)
terhadap partai-partai untuk meningkatkan pendidikan pemilih dan
pemahaman terhadap proses penanganan keberatan.271 Partai-partai politik
seharusnya berupaya untuk memobilisasi dan memberikan pelatihan
kepada para pemilih yang akan memberitahukan kepada masyarakat yang
lebih luas tentang sistem keberatan. Pelatihan tentang proses keberatan
Pemilu yang diselenggarakan oleh partai dapat menjadi bagian dari
program umum tentang pendidikan pemilih, dan alat-alat pencegahan dan
penyelesaian konflik, sebagai contoh, di Timor-Leste, tujuan program IFES
adalah untuk menyelesaikan dan mencegah konflik dengan memperbaiki
penanganan keberatan Pemilu bersama dengan pengawasan kekerasan
Pemilu. IFES mendidik partai politik dan kandidatnya tentang isi dan
problem potensial di dalam Undang-undang Pemilu yang diterbitkan pada
bulan Desember 2006. Lebih lanjut, IFES memberikan pelatihan dan
memberikan materi pengarahan kepada partai-partai politik dan kandidat
tentang proses keberatan Pemilu.272 Hasilnya, partai-partai politik dan
kandidat dilengkapi dengan lebih baik untuk menyebarluaskan informasi
yang relevan kepada masyarakat umum.
269 30 Essential Questions, supra note 256, Question18.270 Lihat Magnus Ohman & Hani Zainulbahi, IFES, Political Finance Regulation: The Global
Experience (2009).271 CEPPS/IRI Liberia Report, supra note 263, at 1.272 IFES Timor-Leste Report, supra note 135 at 27.
100
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
C. Aktor-Aktor dengan Peran Teknis: Pejabat Pemilu, Pengacara dan ArbiterUntuk memberikan tindakan yang efektif dalam kasus penyimpangan
Pemilu, seluruh aktor yang terlibat di dalam proses penanganan keberatan
seharusnya memahami proses penanganan keberatan Pemilu dan peran
mereka di dalamnya. Proses penanganan keberatan beragam di berbagai
negara demikian juga peran atau sejauh mana keterlibatan peradilan,
komisi Pemilu atau entitas penanganan keberatan yang terpisah lainnya.
Seluruh pegawai yang bekerja di organisasi dan melaksanakan Pemilu,
termasuk staf daerah atau provinsi, tim penyelidikan dan panitia tempat
pemungutan suara, seharusnya diberikan pendidikan mengenai proses
keberatan. Lebih lanjut, para pengacara juga merupakan aktor yang penting
dalam penanganan suatu keberatan. Mereka seharusnya memahami
sepenuhnya hukum dan aturan prosedur serta mereka seharusnya dapat
menerangkan secara jelas proses tersebut kepada klien mereka. Apakah
lembaga penanganan berupa pengadilan atau tidak, para arbiter dan hakim
seharusnya memiliki pengetahuan tentang bagaimana menerapkan dan
menafsirkan hukum yang relevan dengan masalah yang disengketakan.
Para petugas Pemilu seharusnya menerima pelatihan yang terstandarisasi
tentang penanganan keberatan di seluruh tingkat administrasi Pemilu.273
Beberapa staf tidak akan terlibat secara langsung dalam menyelesaikan
keberatan Pemilu, tetapi staf yang lainnya memiliki peran yang khusus
sehingga mereka akan memerlukan pelatihan yang khusus tentang proses
gugatan, investigasi dan penanganan. Ekspektasi akan lebih tinggi terhadap
para arbiter pada badan ajudikatif, tetapi staf administrasi seharusnya juga
menyadari tentang berbagai aturan dan prosedur yang harus diikuti dalam
penyelesaian keberatan Pemilu.
Negara seharusnya mengalokasikan sumber-sumber daya yang memadai
untuk badan penyelenggara Pemilu untuk memberikan pelatihan
yang berkelanjutan bagi staf mereka untuk meningkatkan kualifikasi
273 Venice Commission Code, supra note 44, at 28; Declaration on Elections, supra note 54, art 4 § 6 (“Penghitungan suara dilakukan oleh pegawai yang terlatih dengan pemantauan dan/atau pemeriksaan yang tidak memihak”).
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
101
profesional mereka.274 Badan penyelenggara Pemilu seharusnya juga
memfokuskan pada mendidik para kandidat dan masyarakat umum
tentang proses keberatan Pemilu. Pada bulan April 2009, Komisi Pemilu
Pakistan, berkolaborasi dengan IFES mengadakan sebuah lokakarya
untuk menginformasikan dan melatih para hakim dan staf Pemilu tentang
berbagai prinsip dan praktik penyelesaian keberatan Pemilu.275 Maksud dari
pertemuan tersebut adalah meningkatkan kesadaran dari sistem tersebut,
serta menyediakan titik awal untuk menstandarisasi dan menyederhanakan
proses penanganan keberatan.276
Badan penyelenggara Pemilu seharusnya juga merencanakan dan
menyusun pelatihan tersebut sehingga dapat memberikan petugas dan
masyarakat umum dengan informasi yang diperlukan tentang hak untuk
tindakan pemulihan.277 Sebuah contoh akhir-akhir ini adalah bantuan
yang diberikan IFES kepada Komisi Pemilu Pusat Ukraina pada tahun
2009 dalam sebuah program pelatihan untuk Pemilu presiden 2010 dan
Pemilu mendatang.278 IFES mengembangkan berbagai strategi pelatihan,
metodologi pelatihan dan menawarkan serangkaian rekomendasi bagi
pelatihan untuk staf dari Komisi Pemilu Pusat (Central Election Commision/
CECs), Komisi Pemilu Distrik (District Election Commissions/DECs) dan
Komisi Pemilu Daerah (Precinct Election Commissions/PECs). Berbagai
rekomendasi ini mendorong Komisi Pemilu Pusat untuk menyusun
sebuah buku petunjuk yang menyertakan tugas-tugas komisi Pemilu dalam
274 Commonwealth Convention, supra note 39, art.19 § 2 (i).275 Vickery, supra note 34, at 14, lihat juga Farrah Naz, Improving Pakistan’s Election
Complaints System, IFES (13 Mei, 2009), http://www.ifes.org/Content/Publications/Opinions/2009/Mei/Improving-Pakistans-Election-Complaints-System.aspx.
276 Vickery, supra note 34, at 15.277 Grant Kippen, Election in 2009 and 2010: Technical and Contextual Challenges to Building
Democracy in Afghanistan 10 (2008) (“Tantangan ECC yang paling berarti selama Pemilu 2005 adalah kurangnya waktu dan sumber daya untuk perencanaan dan pengelolaan yang efektif dari banyak kegiatan programnya. Kuncinya adalah untuk memulai siklus perencanaan secara dini, serta memberikannya independensi sepenuhnya dan sumber-sumber daya yang diperlukan untuk memenuhi mandatnya.” (kutipan internasional dihilangkan), dapat dilihat di http://www.unhcr.org/refworld/docId/492c0e5b2.html.
278 IFES, Ukraine Election Management Body Training Assessment Report (2009) (“IFES melaksanakan sebuah studi pada bulan Mei dan Juni mengenai program pelatihan di masa lalu dan yang saat ini direncanakan untuk mempersiapkan para anggota komisi sebelum Pemilu di Ukraina. Laporan tersebut merangkum strategi, metodologi dan materi pelatihan dan menawarkan serangkaian rekomendasi untuk program pelatihan.”, dapat dilihat di http://www.ifes.org/publication/7b42caa0658b67bc7b4dd1cd963bfb70f/TNA_Ukrane_Eng.pdf.
102
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
aturan umum untuk menangani keberatan, penanganan keberatan di Hari
Pemungutan Suara di PEC, serta penanganan keberatan pada DEC.279
Pelatihan aktor-aktor kunci dalam proses penanganan keberatan Pemilu
seharusnya jelas menyertakan para arbiter, hakim dan pengacara. Di Timor
Timur tahun 2007, kredibilitas proses Pemilu dibantu oleh enam pengacara
Timor yang disewa, digaji dan dilatih oleh IFES sebagai petugas keberatan
dan yang bekerja untuk menilai keberatan dan menyiapkan rekomendasi
untuk Komisi.280 IFES juga telah melaksanakan proyek-proyek yang penting
di Nigeria dan Filipina untuk melatih para hakim secara efektif. Selain itu, di
Georgia, IFES telah melatih para pengacara dari 18 partai politik dan para
ketua dan pengacara dari 73 Komisi Pemilu Distrik. Pelatihan ini mencakup
pengajuan keberatan, penggunaan sumber-sumber daya administratif,
protokol tentang pelanggaran administratif. Perlu juga disebut bahwa
Pengadilan Pemilu Meksiko (Mexican Electoral Tribunal) memberikan
bantuan teknis kepada pengadilan lain atau kepada entitas penanganan
keberatan di luar negeri terkait pelatihan para arbiter mereka.281
D. MediaMedia juga merupakan komponen yang penting dari organisasi dan
pelaksanaan sebuah Pemilu. Media memiliki sebuah tanggung jawab untuk
mencakup topik keberatan Pemilu secara akurat, dan sebuah kewajiban
kewarganegaraan untuk melaporkan berbagai pelanggaran dan masalah
yang muncul dari sebuah Pemilu. Media dapat “mengaktualisasikan diri
tentang proses Pemilu dan mengekspos korupsi atau aktivitas tidak sah
lainnya.”282 Media juga bertanggung jawab untuk memahami dan mematuhi
berbagai peraturan yang mengatur peran media di dalam sebuah proses
Pemilu (contohnya, alokasi waktu siaran, menghindari berita yang tidak
279 Id, at 1,7 (menjelaskan isi dari materi pelatihan, termasuk peraturan perundang-undangan Ukraina, buku saku, deskripsi tugas komisi Pemilu, berbagai aturan umum untuk melakukan penanganan keberatan Pemilu dan banding, memelihara daftar pemilih, mempersiapkan pemungutan suara, penghitungan suara, dan lainnya
280 IFES Timor-Leste Report, supra note 135, at 25; lihat juga Schramm et. Al, supra note 2, at 11-13.
281 International Activities 2008-2009, Instituto Federal Electoral, http://www.ife.org.mx/portal/site/ifev2/International_Activity_2008_2009/#2 (terakhir dikunjungi 10 Januari, 2011).
282 IMPACS, Media+Election: An Election Handbook Report 12 (2004) [setelah ini disebut IMPACS Report].
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
103
akurat atau bias), dalam rangka menghindari tersulutnya konflik atau
menjadi obyek sebuah keberatan Pemilu.
Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa menggarisbawahi
bahwa “komunikasi bebas tentang informasi dan ide mengenai isu-isu
publik dan politik di antara para warga negara, kandidat dan perwakilan
yang dipilih merupakan hal yang mutlak.”283 Negara seharusnya mendorong
pengembangan atau pemeliharaan tayangan media yang akan memberikan
liputan politik yang tidak memihak dan terpercaya.284 Jika media dikendalikan
pemerintah, negara harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan
untuk menjamin liputan yang tidak partisan.285 Badan penyelenggara
Pemilu seharusnya menyusun berbagai aturan atau pedoman perilaku
untuk menyesuaikan dengan kebebasan pers dan untuk menghukum
sensor atau pembatasan yang sewenang-wenang oleh pemerintah. Badan
Penyelenggara Pemilu seharusnya membatasi liputan media dari perilaku
yang dapat mengintimidasi atau memaksa para pemilih, atau secara salah
campur tangan dengan proses pemungutan suara yang sah.286
i. Pelatihan
Media seharusnya dilatih bagaimana untuk meliput berbagai keberatan
Pemilu dan isu Pemilu dasar dengan cara yang adil dan akurat.287 Liputan
media yang seimbang terhadap proses persidangan pengadilan Pemilu
amat sangat penting dan para reporter hukum seharusnya dilatih secara
semestinya di dalam beberapa hukum dasar untuk menjamin diterbitkannya
informasi yang jujur, adil dan akurat. Di Pakistan, ECP dengan bantuan
IFES, merancang sebuah Pamflet Penyelesaian Keberatan Pemilu yang
memberikan media sebuah panduan untuk “memahami beragam dan
tumpang tindihnya proses penyelesaian sengketa di bawah Undang-
283 CCPR General Comment No. 25, supra note 84, ¶¶17, 20, 25.284 Declaration on Election, supra note 54, art. 3, § 4; Human Rights and Elections Handbook,
supra note 9, at 16.285 Council of Eur., European Comm. Of Ministers, Measures Concerning Media Coverage of
Election Campaigns, Recommendation No. R (99) 15, 678th Mtg. of Ministers’ Deputies, §§ I(2), II(1), (9 Sept, 1999) (“Menggarisbawahi bahwa liputan Pemilu oleh media penyiaran seharusnya adil, seimbang dan tidak memihak.” dapat dilihat di https://wcd.coe.int/ViewDoc.jsp?Id=419411: lihat juga SADC Norms, supra note 138, at 9.
286 Declaration on Elections, supra note 54, art. 4 § 2 (mendesak negara-negara untuk “mendorong para pihak, kandidat dan media untuk menerima dan mengadopsi pedoman perilaku untuk mengatur kampanye Pemilu dan periode pemungutan suara.”)
287 Communique, IFES, Nigeria: Two Day Seminar Organised for Election Tribunal Petition Tribunal Judges by the Court of Appeal in Collaboration With the International Foundation for Electoral Systems pada 6 & 7 Mei 2008 4-5 (4 Juni, 2008) (ada di arsip IFES)
104
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
undang Pemilu.”288 Buku pedoman ini khususnya memfokuskan pada tata
tertib pasca-Pemilu. Buku ini diberikan kepada sejumlah aktor dengan
bantuan terjemahan dalam Bahasa Urdu dan Sindhi yang didistribusikan
secara luas oleh badan media dan club pers regional.
Lebih lanjut, di Nigeria, IFES berkolaborasi dengan Pusat Pertahanan
Hukum (Legal Defense Centre), menyelenggarakan sebuah konsultasi
tentang penyelesaian keberatan Pemilu untuk memfasilitasi diskusi di
antara para pemangku kepentingan untuk mengawasi dan melaporkan
aktivitas Pengadilan Pemilu (Election Tribunals)289 Empat puluh dua
perwakilan dari organisasi masyarakat sipil, media, peradilan dan
Asosiasi Pengacara Nigeria menghadiri konsultasi tersebut, dimana para
moderatornya menyajikan sebuah latar belakang yang menyeluruh tentang
penanganan keberatan dan proses pembaruannya.290 Timor-Leste juga
memberikan mereka sebuah contoh yang kuat tentang peran media dalam
proses penanganan keberatan. Setelah kritik yang kuat dari dalam negeri
maupun masyarakat internasional tentang masalah sosialisasi publik dan
kurang netralnya Komisi Pemilu Nasional (National Election Commission/
CNE) di Timor Leste. IFES menempatkan seorang penasihat media untuk
juru bicara NCE sebelum dan selama siklus Pemilu legislatif.291 IFES
membantu memproduksi sebuah serial interaktif program radio dan TV
yang memasukkan topik-topik tentang keberatan Pemilu dan menyusun
ringkasan seluruh keberatan dan sebuah Laporan Analisis Keberatan
mingguan yang dapat diakses masyarakat dan media.292
Peran media adalah untuk memberikan informasi yang akurat dan
imparsial bagi masyarakat.293 Setiap kandidat dan partai politik “wajib
memiliki kesempatan yang setara untuk memperoleh akses pada media,
khusunya media komunikasi massa, dalam rangka memajukan pandangan
politik mereka.”294 Pemilu presiden 2004 di Ukraina memberikan sebuah
contoh yang berguna tentang bias dalam media yang dibiayai negara.
288 Vickery, supra note 34, at 16-17.289 Almami Cyllah, IFES, Support to the Electoral Proses in Nigeria 37 (2009).290 Id.291 IFES Timor-Leste Report, supra note 135, at 9-10.292 Id, at 11.293 IMPACS report, supra note 283, at 12.294 Declarations on Elections, supra note 54, art. 3 § 4.
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
105
Seperti yang ditunjukkan oleh John Hardin Young dalam International
Election Principles, lebih banyak waktu tayang dan liputan positif diberikan
kepada Viktor Yanukovyvh, Perdana Menteri petahana295. Pemimpin oposisi
Viktor Yuschenko berada dalam posisi yang tidak menguntungkan secara
tidak adil. Praktik-praktik media seperti itu melemahkan integritas dan
ketidakberpihakan proses Pemilu. Tuduhan liputan yang tidak berpihak
bersama dengan tuduhan kecurangan dapat menyebabkan kurangnya
kepercayaan dalam proses Pemilu dan protes pasca-Pemilu besar-besaran.
Setelah Pemilu Guatemala terakhir, Misi Observasi E.U merekomendasikan
Guatemala untuk “merevisi pembatasan yang berlaku terhadap jumlah
waktu dan ruang yang dapat digunakan di media untuk tujuan propaganda
Pemilu (agar sesuai dengan standar-standar internasional untuk Pemilu
demokratis yang sudah mapan).296 Undang-undang Pemilu Afganistan
juga memberikan pedoman tentang peran media selama periode
kampanye Pemilu. Ketentuan tersebut berhubungan dengan akses
terhadap informasi yang tidak bias dan adil bagi masyarakat.297 Saluran
media didorong untuk menetapkan berbagai aturan dan pedoman perilaku
mereka untuk menjamin penghormatan terhadap prinsip-prinsip tersebut
dalam meliput Pemilu.298
ii. Pedoman Perilaku
Badan penanganan keberatan Pemilu seharusnya memiliki kewenangan
untuk melakukan penanganan terhadap setiap pelanggaran yang dilakukan
oleh atau terhadap media selama Pemilu, memberikan sebuah tindakan
perbaikan yang dapat ditegakkan yang efektif, dapat diprediksi dan tepat
waktu dalam kasus pelanggaran media sebagaimana diatur dalam Undang-
undang Pemilu.299 Beberapa negara memberikan beberapa komisi media
295 Young, supra note 60, at 296.296 E.U. Guatemala Report, supra note 259, at 65.297 Electoral Law, art. 50, §§ 1, 2 (2005) (Afg.) (“Media yang dijalankan pemerintah wajib
mempublikasikan dan menyebarluaskan sebagaimana yang disetujui dengan Komisi mengenai platform, pandangan dan tujuan para kandidat dengan cara yang adil dan tidak bias.”).
298 Id, art 50 § 3 (Media yang dimiliki negara wajib menetapkan, sebagaimana diperlukan, berbagai tujuan, kebijakan dan tata tertib untuk memastikan liputan Pemilu yang adil dan melaksanakan ketentuan sub pasal (1) dan (2)”).
299 E.U. Mexico Report, supra note 60, at 53.
106
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
yang independen untuk mengambil peran tersebut.300 Sebagai contoh,
terdapat sebuah Komisi Independen Pemantauan Media yang diatur di
bawah dukungan Komisi Pemilu Guyana sejak tahun 2006.301 Organisasi
media menyetujui pembantukan Komisi Pengawasan Media Pemilu (MC)
yang menangani “keberatan tentang kinerja dalam melaporkan dan liputan
peristiwa selama kampanye Pemilu.”302 Komisi memiliki kewenangan untuk
memberikan sanksi pada pelanggaran Pedoman Perilaku dan penetapan
mekanisme tersebut telah sangat efektif dalam mengubah nuansa
liputan media. Perangkat akuntabilitas seharusnya dibangun sehingga
“media tidak digunakan untuk mendistorsi opini publik.”303 Eksistensi hak
tindakan perbaikan yang efektif akan menghalangi para jurnalis melakukan
pelanggaran. Mereka harus paham terhadap aturan yang mengikat mereka.
E. Pemantau PemiluDalam rangka mendorong Pemilu yang bebas dan adil, para pemantau
lokal dan internasional berupaya untuk menentukan apakah proses Pemilu
dilaksanakan sesuai dengan standar-standar internasional.304 Kehadiran
para pemantau Pemilu berkontribusi pada kesadaran dan keterbukaan
Pemilu, karena berbagai temuan yang dilaporkan oleh para pemantau
seharusnya memberikan informasi yang akurat, tidak memihak dan
dapat diandalkan.305 Berbagai temuan ini bahkan menjadi lebih penting
jika sengketa muncul terkait dengan hasil Pemilu.306 Misi pemantau
didorong untuk berkomunikasi dengan seluruh pihak yang berhubungan
dengan proses Pemilu untuk mencoba memperoleh informasi tentang
integritas Pemilu.307
300 Electoral Law, art. 50, §§ 1, 2 (2005) (Afg.) (“MC wajib memantau pelaporan dan liputan yang adil masa kampanye Pemilu dan wajib menangani keberatan terkait pelanggaran pelaporan atau peliputan kampanye politik yang adil, atau pelanggaran terhadap Tata Perilaku Media Massa, Banding yang dapat diajukan ke Komisi.”).
301 Lihat umumnya Guyana Elections Commission, http://www.gecom.org.gy/elections_commission.html (terakhir dikunjungi 10 Jan, 2011).
302 Media Code of Conduct Roundtable, A Media Code of Conduct for Reporting and Covering of Elections in Guyana in 2001, art. III(8) (9 Okt, 2000), dapat dilihat di http://www.anfrel.org/resources/others/mediacodeofconduct.pdf.
303 Dahl et al, supra note 131, at 24.304 Venice Commission Code, supra note 44, at 29.305 Commonwealth Convention, supra note 39, art. 15 § 1.306 U.N. Declaration of Principles for International Election Observation and Code of Conduct
for International Election Observers, § 5 (27 Okt, 2005) [setelah ini disebut, Election Observation Declaration], dapat dilihat di http://www/accessdemocracy.org/files/1923_declaration_102705.pdf.
307 Id. § 15 (a), (b).
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
107
Banyak negara dan badan penyelenggara Pemilu telah menekankan
pentingnya kehadiran para pemantau dalam pelaksanaan Pemilu dan juga
telah menyiapkan peraturan perUndang-undangan untuk mendefinisikan
lebih baik, kegiatan-kegiatan mereka. Uni Afrika misalnya, mewajibkan
Negara-negara anggotanya untuk “mengumpulkan dan mengelola sebuah
daftar (roster) dari Ahli Afrika dalam bidang pemantauan Pemilu”.308 Daftar
tersebut dapat digunakan untuk menempatkan para pemantau yang
kompeten dan profesional309 yang dilengkapi dengan berbagai keterampilan
yang diperlukan untuk mengawasi seluruh aspek proses pemungutan
suara. Sama halnya, Organisasi Negara-Negara Amerika (Organization
of American States/OAS) telah menyusun pedoman untuk memastikan
bahwa tim pemantau dikelola oleh para profesional yang pengalaman.310
Salah satu tujuan khusus upaya pemantauan Pemilu internasional OAS
adalah “untuk membantu, dengan kehadiran mereka, dalam membujuk
orang untuk tidak melakukan pelanggaran yang potensial “Pada Hari
Pemungutan Suara.”311 Para pemantau internasional, oleh karena itu, perlu
untuk memahami secara jelas proses Pemilu, termasuk penanganan
keberatan, dalam rangka melaporkan kecurangan atau pelanggaran Pemilu
lainnya apapun, yang mereka saksikan.
308 African Elections Declaration, supra note 162, art. VI(e).309 Id.310 General Secretariat Organization of American States, Best Practices in OAS Electoral
Observation, 2004-2007, at 28-29 (2008) [setelah ini disebut GS/OAS Best Practices].311 Id, at 7,22.
Deklarasi Prinsip-Prinsip Pemantauan Pemilu Internasional
Pemantauan Pemilu internasional telah menjadi semakin diterima secara luas di dunia dan memainkan peranan yang penting dalam memberikan penilaian yang akurat dan tidak memihak tentang keadaan proses Pemilu. Pemantauan Pemilu internasional yang akurat dan tidak memihak memerlukan metodologi yang kredibel dan kerjasama dengan otoritas nasional, para kompetitor politik nasional (partai politik, kandidat dan pendukung posisi Pemilu), organisasi pemantauan Pemilu domestik dan organisasi pemantau Pemilu internasional yang dapat dipercaya lainnya, di antaranya …
108
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Komisi Independen Pemilu Afganistan menerbitkan sebuah Pedoman
Perilaku bagi para pemantau yang menyatakan bahwa “seluruh tindakan
yang diperlukan harus diambil untuk memastikan bahwa perwakilan
terbiasa dan mengikuti Undang-undang Pemilu, Pedoman Perilaku,
instruksi terkait pelanggaran Pemilu, dan berbagai petunjuk, informasi,
pedoman, atau instruksi lainnya dan pemberitahuan IEC, Komisi Keberatan
Pemilu atau Sekretariat IEC.”312 OAS dalam pedomannya untuk pemantau
mendesak dipertahankannya kebijakan netralitas absolut di dalam misi
pemantauan, mencegah para pemantau mengintervensi atau memberikan
dukungan pada bagian apapun terhadap proses Pemilu.313 Bagaimanapun,
di negara seperti Etiopia, para pemantau internasional dapat bertanya
sepanjang mereka tidak mengganggu pemilih dan dapat mengadukan
pelanggaran yang mereka lihat menjadi perhatian petugas Pemilu di
tempat pemungutan atau tempat penghitungan suara.314 Jika Undang-
undang Pemilu banyak negara hanya mengizinkan para pemantau untuk
mengadukan pelanggaran kepada petugas Pemilu, sedikit negara, seperti
Bosnia dan Herzegovina, Kosovo dan Georgia, telah melangkah lebih
jauh, dengan mengizinkan para pemantau untuk mengajukan keberatan
formal.315 Tetapi seharusnya disoroti bahwa pada umumnya pemantau tidak
diizinkan untuk berkomentar secara publik tentang pemantauan mereka
selama pelaksanaan Pemilu, memberikan instruksi kepada petugas
312 Independent Electoral Commission of Afghanistan, Code of Conduct of Observers (2008), dapat dilihat di http://www.iec.org.af/pdf/code_of_conduct/english/observers_coe_of_conduct.pdf; lihat juga Islamic Republic of Afghanistan, Independent Election Commission Secretariat, Fact Sheet: Agents and Observers, dapat dilihat di http://www.iec.org.af/assets/pdf/factsheet/eng/fs8E.pdf.
313 GS/OAS Best Practices, supra note 311, at 7.314 National Electoral Board of the Federal Democratic Republic of Ethiopia, Code of Conduct
of International Election Observers, § 3 (c) (g) [setelah ini disebut Ethiopia Code of Conduct] (“Para pemantau Pemilu dapat mengadukan setiap kecurangan yang mungkin mereka lihat kepada para petugas Pemilu di tempat pemungutan suara atau penghitungan suara.”).
315 Official Gazette of Bosnia and Herzegovina (23/01) art. 16.9 (Bosn& Herz). Versi terkini Undang-undang ini lebih sedikit lebih berhati-hati tentang posisi ini dengan menyatakan bahwa para pemantau dapat mengirim pemberitahuan kepada otoritas yang berwenang yang dapat diperlakukan seperti halnya sebuah keberatan yang dapat diajukan oleh partai politik. Id. Art. 179; lihat juga Law on General Elections (No.03-L073), art. 56.2 (5 Juni, 2008) (Kos) (“Selama proses Pemilu, termasuk proses pendaftaran pemilih, seorang pemantau yang terakreditasi dapat memasukkan sebuah keberatan pelanggaran apapun terkait Peraturan, Petunjuk Administrasi, Aturan Pemilu, atau Tata Tertib Administrasi yang berlaku kepada CED sesuai dengan tata tertibnya.”) Election Code, pasal 70.77 (Geor.) (mengizinkan para pengamat untuk memasukkan keberatan untuk sebuah keputusan banding Komisi Pemilu Daerah Pemilihan dan Distrik).
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
109
Pemilu, membatalkan keputusannya atau mengajukan sebuah keberatan.316
Apakah mereka domestik atau internasional, para pemantau seharusnya
menunjukkan tingkat kompetensi, ketidakberpihakan dan obyektivitas
yang tinggi selama proses Pemilu.317
i. Panduan dan Pedoman Perilaku
Pada umumnya, negara menetapkan aturan untuk memilih pemantau
Pemilu. Meksiko mewajibkan sebuah periode waktu untuk mendaftar
menjadi seorang pemantau, dan pemantau tidak boleh memiliki afiliasi
partai. Para pengamat juga diminta untuk menghadiri berbagai kursus
pelatihan yang diselenggarakan oleh Lembaga Pemilu Federal (Instituto
Federal Electoral) atau berbagai organisasi pemantau.318 Dalam rangka
untuk menjamin netralitas sepenuhnya dan kinerja optimal, OAS memiliki
beberapa aturan yang dapat menuntun penyeleksian para pemantau,
pemantau mungkin saja bukan merupakan penduduk negara yang
melaksanakan Pemilu dan mereka harus bukan warga negara yang
memiliki potensi konflik.319 Terkait berbagai keterampilan dan kompetensi,
pedoman tersebut mempersyaratkan para pengamat untuk memiliki
“pendidikan dan pengalaman profesional dalam bidang ilmu sosial”320 dan
pengetahuan serta pengalaman lapang di bidang politik dan Pemilu juga
akan direkomendasikan. Dengan demikian, merupakan hal yang mutlak
bagi para pengamat untuk memiliki pengetahuan dan/atau diberikan
pelatihan tentang proses Pemilu keseluruhan di negara tersebut dimana
misi berlangsung, yang seharusnya mencantumkan informasi tentang
penyimpangan pra-Pemilu, Hari Pemungutan Suara dan pasca-Pemilu.
316 OSCE/ODHIR, Election Observation Handbook 21 (5th ed. 2007) (“Para pemantau akan menjalankan tugas mereka dengan cara yang tidak mencolok dan tidak akan melakukan intervensi dalam proses Pemilu. Para pemantau dapat mengajukan beberapa pertanyaan kepada petugas Pemilu dan mengadukan berbagai pelanggaran, tetapi mereka tidak boleh memberikan instruksi atau membatalkan keputusan mereka.”), dapat dilihat di http://www.osce.org/publications/odihr/2005/04/14004_240_en.pdf; Venice Commission Code, supra note 44, at 29 (“Pada umumnya, para pemantau internasional dan nasional harus mewawancara orang yang hadir, mencatat dan melaporkan kepada organisasi mereka, tetapi mereka seharusnya menahan diri dari membuat komentar.”)
317 Ethiopia, Code of Conduct, supra note 315 § 4 (d).318 30 Essential Questions, supra note 256, Question 24.319 GS/OAS Best Practice, supra note 311, at 29. Secara khusus, ”Merupakan hal yang
penting untuk memastikan bahwa kewarganegaraan pemantau tidak menciptakan ketegangan atau ketidakpercayaan di antara warga negara di negara penyelenggara Pemilu. Merupakan hal yang penting untuk memastikan bahwa pemantau tidak berasal dari negara-negara yang telah mengalami ketegangan politik atau diplomatik dengan negara tuan rumah Pemilu.” Id
320 Id.
110
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Negara-negara didorong untuk mengadopsi pedoman perilaku untuk para
pemantau Pemilu mereka, dalam rangka mempertahankan panduan yang
konsisten tentang persyaratan sikap dan untuk akuntabilitas dalam kasus
adanya pelanggaran.321 E.U. telah mengadopsi suatu Pedoman Perilaku
Pemantau Pemilu yang diberikan pada pelatihan pra-Pemilu untuk para
pengamat.322 Aturan tersebut juga mempersyaratkan ketidakberpihakan dan
kepatuhan terhadap Undang-undang nasional dan peraturan di negara tuan
rumah. Pemantau Pemilu memiliki tugas untuk melaporkan pelanggaran
apapun terhadap Undang-undang Pemilu atau aturan prosedur dan
mereka seharusnya melandaskan kesimpulan mereka dengan bukti yang
terdokumentasi dengan baik, faktual dan dapat diverifikasi.323 Mereka juga
didorong untuk meningkatkan penghapusan hambatan yang tidak sah atau
intervensi yang berlebihan yang dapat membahayakan integritas proses
Pemilu.324 Dengan demikian, para pemantau dapat memainkan peranan
kunci baik dalam memfasilitasi maupun mendorong tindakan pemulihan
untuk pelanggaran Undang-undang Pemilu.
Ketika sebuah negara menerbitkan panduan atau pedoman perilaku bagi
para pemantau Pemilu, haruslah dibuat pembedaan antara pemantau
internasional dan nasional. Sebagai contoh, aturan tentang hak menggugat
terkait pengajuan sebuah keberatan dapat berbeda. Sebagai contoh, di
Ukraina, Undang-undang membuat sebuah pembedaan antara pemantau
nasional dan internasional, yang memberikan yang pertama hak untuk
memasukkan keberatan, namun tidak untuk yang terakhir.325 Idealnya, para
pemantau seharusnya tidak diizinkan untuk mengajukan keberatan, hal
tersebut akan membuat mereka menjadi peserta pada Pemilu, dan misi
mereka seharusnya dibatasi pemantauan dan pelaporannya. Jika mereka
berpatisipasi dalam proses Pemilu, maka akan terjadi konflik kepentingan
dan mengurangi independensi mereka.
321 Ethiopia Code of Conduct, supra note 315, § 4(d) (“Para pemantau Pemilu dapat mengadukan kepada petugas Pemilu di tempat pemungutan suara atau penghitungan suara penyimpangan apa pun yang mereka pantau.”).
322 European Union Election Observers Code of Conduct, pursuant to Council of Europe Dec. No. 9262/98, PESC 157, COHOM 6, dapat dilihat di http://www.eueom-afghanistan.org/EN/PDF.EU_documents/Code_of_Conduct.pdf.
323 Id.324 Election Observation Declaration, supra note 307, § 15 (d).325 Law of Ukraine on Elections of People’s Deputies of Ukraine (Act. No. 2777-IV), arts. 59-61
(2005).
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
111
Di Pemilu Afganistan tahun 2009, ECC setuju untuk menerima keberatan
dari kelompok pemantau nasional utama, Yayasan Pemilu Bebas dan Adil
Afganistan (Free and Fair Election Foundation of Afghanistan). Namun,
ECC tidak menerima keberatan dari para pemantau Pemilu internasional.
Ketidakpercayaan yang hakiki di banyak negara mengenai adanya pihak luar
(outsiders) yang berpartisipasi di dalam Pemilu domestik mengharuskan
para pemantau internasional seharusnya bersifat non-partisipan di dalam
proses penanganan keberatan Pemilu. Mereka seharusnya tidak bertemu
dengan hakim atau arbiter yang terlibat di dalam penanganan keberatan atau
pengajuan keberatan. Namun, selama investigasi dan penanganan, badan
penanganan keberatan Pemilu seharusnya diizinkan untuk mendengarkan
pembuktian dari saksi manapun yang tersedia, termasuk para pemantau
Pemilu dan organisasi yang mensponsori misi pemantauan seharusnya
menghadirkan para pemantaunya di hadapan pengadilan jika diminta.
Pendidikan kewarganegaraan dan pemilih bagi para pemilih, partai politik,
petugas Badan Penyelenggara Pemilu, dan para pemantau merupakan
hal yang amat penting untuk menjamin pemahaman yang jelas tentang
proses penanganan keberatan Pemilu. Tanpa upaya semacam itu,
sistem penanganan keberatan akan sulit dipahami, tidak digunakan
sepenuhnya, dapat menyebabkan salah sasaran pemberian informasi dan
ketidakefektifan dalam mencapai tujuan yang dinyatakannya.
Standar-Standar Internasional: Kesimpulan Tema
Ketujuh standar internasional yang dibahas di dalam bab ini telah diterapkan
secara luas dan ditafsirkan secara rinci baik pada pengadilan internasional
dan domestik. Dengan berkembangnya putusan badan peradilan tentang
keberatan Pemilu, prinsip-prinsip ini menjadi semakin sempurna,
bermanfaat dan diterapkan secara konsisten. Hal ini akan menjadi
tantangan yang lebih besar untuk memastikan, bahwa prinsip-prinsip
keberatan Pemilu ini berhasil di demokrasi yang sedang berkembang. Bab-
bab lainnya akan merangkum pengalaman pemrograman dari para praktisi
hukum Pemilu yang memiliki pengalaman dalam menyusun, memperbaiki
dan menyempurnakan suatu sistem keberatan Pemilu yang berakar dari
112
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
standar-standar ini. Dalam laporannya pada Pemilu presiden tahun 2007
di Kenya, Komisi Kriegler mengatakan bahwa, ”Penanganan sengketa
Pemilu memerlukan fleksibilitas dan pragmatisme, dengan alasan desakan
politik, terkadang bahkan dengan mengorbankan legalisme yang ketat.326
Kutipan ini menggambarkan berbagai tantangan dasar dalam mengadopsi
sebuah pendekatan yang praktis untuk penanganan keberatan. Di bab-bab
lain pedoman ini, para pakar IFES akan menguji penerapan dari standar-
standar ini dalam kasus di seluruh dunia, untuk memberikan manual
praktik-praktik global bagi para praktisi Pemilu dan perorangan yang
tertarik lainnya. Sebuah pemahaman yang menyeluruh terhadap standar-
standar internasional, harus mendasari keseluruhan proses Pemilu. Adalah
juga penting untuk mempertimbangkan faktor-faktor lainnya seperti tradisi
hukum dan kebiasaan, serta serjarah dan kebudayaan dari negara tertentu.
Pendeketan ekspansif ini akan menghasilkan mekanisme penyelesaian
keberatan Pemilu yang memenuhi standar-standar internasional secara
memadai dan sesuai dengan kebutuhan satu negara tertentu.
Dalam memperhatikan standar yang dibahas di dalam bab ini, para ahli
IFES akan meninjau bidang program berikut dan bagaimana mereka
berkontribusi terhadap proses penanganan keberatan Pemilu; tinjauan
dan nasihat hukum; pelatihan pihak-pihak yang bersengketa (Badan
Penyelenggara Pemilu, Partai Politik dan masyarakat sipil); pelatihan para
hakim dan arbiter; pendekatan pendidikan pemilih dan masyarakat sipil;
serta berbagai mekanisme penyelesaian sengketa alternatif.
326 Kriegler Commission Report, supra note 3, at 142.
BERBAGAI KERANGKA HUKUM UNTUK SISTEM PENANGAN KEBERATAN PEMILU YANG EFEKTIF
2Oleh Robert Dahl dengan kontribusi dari Michael Clegg
Para pendukung Mantan Perdana Menteri terguling Thaksin Shinawatra mengibarkan bendera selama aksi turun ke jalan pada 13 Desember 2008 di Bangkok, Thailand
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
115
Pendahuluan
Sebuah struktur Pemilu yang kuat harus memiliki kapasitas untuk
menyelesaikan berbagai keberatan dan sengketa yang muncul selama
Pemilu melalui sebuah proses yang adil, transparan dan efisien.
Demokrasi yang berhasil mengakui dibutuhkannya kapasitas seperti
itu, dengan menciptakan sebuah sistem ajudikatif untuk keberatan
Pemilu. Permohonan keberatan Pemilu yang tidak semestinya dan
tidak diproses dengan cepat memperlemah dedikasi masyarakat baik
untuk negara hukum (rule of law) maupun Pemilu yang jujur. Sengketa-
sengketa yang berkelanjutan menciptakan sebuah lingkungan yang penuh
ketidakpercayaan dan kecurigaan secara politis yang dapat merongrong
legitimasi Pemilu dan pemerintah terpilih.
Peningkatan jumlah negara demokrasi baru dan tengah berkembang,
serta lingkungan politiknya yang kompetitif, telah meningkatkan kesadaran
terhadap permasalahan dalam arena penanganan keberatan Pemilu.
Otoritas Pemilu pada umumnya menjadi lebih kompeten dalam memenuhi
berbagai kewajiban dasar mereka dalam menyelenggarakan Pemilu.
Aspek-aspek penyelenggaran Pemilu yang lebih rumit dan sulit sekarang
sedang dihadapi. Berbagai Undang-undang Pemilu sekarang menjadi lebih
komprehensif, dan berbagai pengalaman global dalam bidang ini sekarang
dapat dibagi dengan lebih mudah. Sebagaimana disajikan di Bab 1, standar-
standar internasional telah disusun untuk mengevaluasi keadilan dan
keefektifan berbagai sistem penanganan keberatan Pemilu. Pembahasan
tentang penanganan keberatan Pemilu saat ini telah bergeser melampaui
prinsip-prinsip pernyataan yang sederhana menjadi terfokus pada berbagai
pertimbangan praktis untuk pelaksanaan yang efektif.
Keberatan Pemilu menimbulkan tantangan yang serius bagi para petugas
Pemilu, pengadilan serta badan-badan lainnya yang berwenang untuk
memeriksa dan menyelesaikannya. Berbagai otoritas ini jarang menerima
pujian, serta seringkali disalahkan ketika mencoba menyelesaikan ratusan
116
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
atau ribuan sengketa dan keberatan dalam jangka waktu yang pendek.327
Beberapa sengketa mewakili berbagai persoalan yang sangat signifikan
yang melibatkan kepekaan politis yang kuat dan membawa konsekuensi
potensial yang serius. Beberapa keberatan lainnya seringkali tidak
signifikan, salah, tidak perlu atau duplikatif. Mungkin tantangan terbesar
adalah untuk menciptakan sebuah sistem penanganan keberatan yang
dapat secara cepat membedakan antara keberatan yang penting dan
tidak penting, dan dapat secara efisien membagi waktu dan sumber daya
untuk menyelesaikannya.
Masalah penanganan keberatan dan sengketa Pemilu adalah kepentingan
khusus saat ini baik di antara negara demokrasi yang sedang berkembang
dan yang sudah maju karena signifikansi proses penanganan yang kredibel
untuk membuat hasil Pemilu yang stabil.328 Namun, hanya tersedia sumber
daya yang minim bagi para praktisi pembangunan ketika merancang dan
melaksanakan program-program bantuan yang menangani kebutuhan ini.
Bab ini menggambarkan beberapa isu kunci untuk dipertimbangkan
oleh para praktisi pembangunan ketika meninjau kerangka hukum dan
administratif penanganan keberatan Pemilu dalam demokrasi yang baru
atau yang sedang berkonsolidasi. Pembahasan dimulai dengan serangkaian
karakteristik kunci bagi sistem yang berhasil, dan merangkum peran
berbagai pemangku kepentingan dalam proses penanganan (termasuk
badan penyelenggara Pemilu, komisi keberatan dan pengadilan). Studi-
studi kasus dari seluruh dunia memberikan contoh-contoh peran dari
badan-badan ini. Pada kesimpulan bab ini, sebuah daftar periksa yang
327 Satu contoh dari isu ini adalah penyelidikan tahun 2010 Komisi Pemilu Independen Afganistan (Afghanistan Independent Election Commission/IEC) dan Komisi Keberatan Pemilu (Electoral Complaint Commission/ECC) oleh Kantor Kejaksaan Agung Afganistan (Afghan Office of the Attorney General). Setelah tindakan IEC dan ECC mendiskualifikasi kandidat yang menang pada Pemilu 18 September karena kecurangan, pada Desember 2010 Kejaksaan Agung menuduh petugas IEC dan ECC bersekongkol untuk melakukan kecurangan dan meminta Mahkamah Agung membatalkan hasil Pemilu. Pada saat penulisan buku ini, penyelidikan Jaksa Agung terhadap IEC dan ECC ditunda, dan dilakukan secara tertutup. Lihat Yaroslav Tromfirmov, Afghan Supreme Court Asked to Vold Election, Wall St. J. (12 Des 2010), dapat dilihat di http:/online.wsj.com/article/SB10001424052748703380104576014981538748112.html.
328 The Carter Center, International Obligations for Electoral Dispute Resolution 3-10 (2009), dapat dilihat di http://www.cartercenter.org/resources/pdfs/peace/democracy/des/edr-approach-paper.pdf. Lihat juga Rafael Lopez-Pintor, Assessing Electoral Fraud in New Democracies: A Basic Conceptual Framework, IFES Electoral Fraud White Paper Series (2010).
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
117
rinci akan membantu menjamin bahwa para praktisi memiliki sumber
daya yang memadai untuk mengembangkan program bantuan teknis
dan meninjau kerangka hukum dan administratif bagi sistem-sistem
penanganan keberatan.
Adalah sulit untuk melakukan generalisasi dalam bidang penanganan
keberatan karena kurangnya praktik-praktik yang didokumentasikan dan
contoh-contoh pengambilan keputusan di luar demokrasi yang sudah
mapan. Dan, di dalam seluruh aspek pengembangan demokrasi, kerangka
Pemilu dan praktik-praktik administratif untuk penanganan keberatan
Pemilu harus didasarkan kepada tradisi budaya, politik dan hukum yang
unik di masing-masing negara. Tidak ada pendekatan tunggal atau satu
model yang berhasil dimana-mana. Sebagaimana digambarkan oleh
contoh-contoh negara yang diberikan selanjutnya di dalam bab ini,
keberhasilan dalam penanganan keberatan Pemilu memerlukan sebuah
komitmen serius yang secara khusus dari aset organisasional, kemauan
politik dan kegigihan.
Masalah-masalah Kunci dan Pertimbangan Dalam Membangun Sistem Pemeriksaan Keberatan
Peraturan perundang-undangan yang mengatur sistem penanganan
keberatan harus secara jelas menjabarkan tanggung jawab untuk
menerima dan menangani berbagai jenis keberatan dan sengketa;
“pintu masuk” (“point of entry”) dan pemeriksaan awal; penyelidikan;
penanganan awal dan proses banding; dan untuk penyelesaian proses
pengambilan keputusan dalam menyelesaikan sengketa yang terkait
dengan Pemilu. Kejelasan dalam Undang-undang Pemilu dan peraturan
pelaksanaannya sangatlah penting. Kerangka hukum tersebut harus
menyebut dan memberdayakan lembaga-lembaga yang sudah ada, seperti
pengadilan dan Badan Penyelenggara Pemilu, atau lembaga-lembaga baru
seperti komisi keberatan atau pengadilan Pemilu, untuk dapat menangani
berbagai keberatan dan sengketa ini secara cepat dan semestinya.
Yurisdiksi yang tidak jelas dan bertentangan antara pengadilan dan badan-
118
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
badan administrasi akan menimbulkan kebingungan dan menjadi tidak adil
bagi partai politik, kandidat, media dan pemilih.
Peraturan perUndang-undangan Pemilu juga harus mengatur dengan jelas
aturan dan prosedur mengenai dimana, kapan, bagaimana dan dalam
bentuk apa keberatan atau permohonan tersebut harus diajukan, termasuk
standar mengenai persyaratan pembuktian. Tenggat waktu yang masuk
akal tetapi ketat dan batas waktu harus ditentukan bagi bagi para pengadu
dan bagi badan penanganan yang menangani perkara-perkara tersebut.
Persyaratan terkait dengan format maupun persyaratan formal bagi
keberatan perkara Pemilu sedianya diatur dengan jelas dan dirinci di
dalam Undang-undang Pemilu atau dalam peraturan pelaksanaannya yang
disusun oleh otoritas Pemilu. Suatu formulir resmi yang dapat diperoleh
dengan mudah (melalui internet, tetapi juga dalam bentuk cetak yang
sederhana) merupakan sebuah awal yang baik untuk memastikan bahwa
keberatan yang masuk telah disusun dengan baik dan komprehensif
dalam penjabaran fakta-fakta yang ada, tuduhan dan dasar hukum-
nya. Jika keberatan sudah relatif lengkap ketika diajukan, maka akan
menurunkan beban badan-badan penanganan sengketa untuk melakukan
pencarian fakta secara independen dan akan mampu untuk menilai atau
menyelesaikan persoalan tersebut secara lebih cepat.
Peraturan pelaksanaan Pemilu seharusnya menjelaskan persyaratan
yang diperlukan terkait dengan kekuatan dan kecukupan barang bukti.
Undang-undang Pemilu biasanya mengharuskan bahwa pernyataan dibuat
dibawah sumpah dan ditandatangani oleh para pengadu dan para saksi,
kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu yang dapat membahayakan
keselamatan para saksi. Keseimbangan harus dicari antara mengupayakan
catatan faktual yang kokoh tanpa terlalu membebani dan menciptakan
ketidakadilan bagi si pengadu. Peraturan tersebut harus memberikan
peluang yang adil kepada pengadu untuk merevisi dan menambahkan
keterangan mereka jika pada awalnya dianggap tidak cukup oleh otoritas
keberatan. Selain itu, obyek keberatan (seringkali disebut “teradu”) juga
harus diberi kesempatan yang cukup untuk memberikan jawaban terhadap
tuduhan-tuduhan yang diajukan dalam keberatan tersebut. Pelaksanaan
sidang mungkin akan bermanfaat dalam kasus-kasus tertentu, tetapi tidak
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
119
seharusnya dipandang sebagai hak mutlak atau sebuah keharusan dalam
penanganan keberatan.
Undang-undang harus mengatur dengan jelas siapa yang dapat
mengajukan keberatan dan siapa yang berhak mengupayakan penyelesaian
administratif atau yudisial (untuk informasi lebih lanjut mengenai masalah
kedudukan dan kepentingan untuk mengajukan keberatan, lihat bagian
1.D dari Bab 1: Standar-Standar Internasional). Hal itu bisa mencakup,
merinci bahwa hanya partai politik atau para kandidatlah yang berhak
untuk mengajukan keberatan mengenai beberapa masalah, atau bahwa
pengadu harus memiliki pengetahuan pribadi atas fakta tersebut dan/atau
kepentingan pribadi (personal stake) terhadap hasil dari keberatan tersebut
(misalnya seorang warga negara sebenarnya berhak namun namanya tidak
ada dalam daftar pemilih atau mengetahui secara pribadi ada orang yang
seharusnya tidak ada dalam daftar tersebut).
Transparansi dalam proses penerimaan dan penyelesaian keberatan
harus didorong. Kebutuhan untuk kerahasiaan selama penyelidikan dan
pengambilan keputusan internal dalam badan penanganan sengketa
dapat dimengerti. Namun, proses penanganan sengketa seharusnya
terbuka, sejauh informasi dasar tentang sifat dan kemajuan kasus dapat
diungkapkan, selama proses belum selesai, untuk memungkinkan
para peserta politik dan masyarakat untuk memantaunya, dan untuk
menghindari berkembangnya desas desus yang tidak benar dan teori
konspirasi. Yang lebih penting adalah, proses tersebut harus menyediakan
transparansi penuh setelah proses penanganan sengketa berakhir,
meliputi pertimbangan hukum dan bukti-bukti penunjangnya. Putusan-
putusan badan penanganan sengketa dan pertimbangan hukum mereka
harus dijelaskan, dipublikasikan dan tersedia di internet.
Pendidikan kewarganegaraan dapat memainkan sebuah peranan penting
dalam menyempurnakan proses keberatan dan mendorong warga negara,
masyarakat madani dan peserta Pemilu untuk melakukan pekerjaan yang
lebih baik dalam memusatkan perhatian terhadap keberatan yang mereka
ajukan dan menyatakan tuduhan-tuduhannya. Pemahaman publik terhadap
berbagai aturan dan prosedur, serta kepercayaan publik terhadap keadilan
dan keterbukaan proses penanganan sengketa, merupakan hal yang
120
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
mendasar untuk menjamin penerimaan yang luas dari legitimasi hasil Pemilu
(untuk informasi lebih lanjut tentang peran pendidikan kewarganegaraan
dalam proses penanganan keberatan, lihat Bab 5: Berbagai Pendekatan
Pendidikan Pemilih dan Peran Masyarakat Sipil).
Berbagai hukuman dan sanksi bagi pelanggaran Undang-undang Pemilu
haruslah beralasan dan sebanding dengan tingkat keseriusan pelanggaran
dan kesalahan pelanggar tersebut (kesalahan, kelalaian, kesengajaan atau
perilaku yang berulang). Hukuman untuk pelanggaran pemilihan yang setara
seharusnya dijatuhkan secara konsisten; penalti dan sanksi tidak boleh
diputuskan dengan cara yang sewenang-wenang atau bias. Sebagaimana
dinyatakan di atas, harus dibedakan antara pelanggaran serius yang benar-
benar layak diperlakukan sebagai tindak pidana dan pelanggaran lainnya
yang secara adil dapat dikategorikan (dan secara efisien ditangani) sebagai
pelanggaran yang bersifat administratif.
Sanksi politik yang dikenakan terhadap partai politik dan kandidat dapat
merupakan suatu metode penghukuman yang efektif sekaligus untuk
menangkal kemungkinan terjadinya kesalahan perilaku yang semestinya
tidak perlu terjadi. Jenis-jenis sanksi seperti ini (seperti pemberhentian
kampanye, tidak disahkannya kandidat, diskualifikasi partai dari Pemilu atau,
pada kasus ekstrim, pembubaran partai politik), seringkali berseberangan
dengan kekuasaan politik dalam sistem demokrasi yang sedang
berkembang. Sanksi-sanksi politik juga membawa risiko penegakan yang
semena-mena dan manipulasi politik jika otoritas Pemilu atau pengadilan
berada di bawah pengaruh partisan. Dengan demikian, sanksi politik
seharusnya tidak disalahgunakan. Warga negara seharusnya tidak diingkari
kebebasannya untuk bergabung dalam partai politik ataupun organisasi
lainnya untuk advokasi politik. Mereka seharusnya tidak dihalangi untuk
memilih pemimpin partai politik atau mengusulkan kandidat yang lebih
mereka sukai. Kebebasan ini seharusnya hanya dibatasi jika dalam situasi
khusus yang mengancam integritas mendasar dari proses pemilihan atau
keamanan dan ketertiban masyarakat. Walaupun begitu, sanksi-sanksi
politik berfungsi sebagai hukuman antara-yang berguna diantara penalti
administratif dan penuntutan pidana.
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
121
Tuduhan pelanggaran pidana seringkali ditujukan ke polisi dan kejaksaan
lokal, atau diteruskan kepada para petugas oleh Badan Penyelenggara
Pemilu. Mekanisme ini cukup dianggap baik, namun untuk kepentingan
akuntabilitas, maka sebaiknya catatan atas daftar keberatan tersebut
harus pertama-tama (atau juga) dibuat di tingkat Badan Penyelenggara
Pemilu. Badan Penyelenggara Pemilu tertinggi seharusnya diberitahu
tentang tuduhan pelanggaran luas yang dilakukan para petugas Pemilu,
atau keberatan yang dapat menyebabkan pengenaan sanksi pidana atau
administratif yang berat, atau sanksi politik bagi kontestan Pemilu (seperti
denda yang besar, pembubaran partai politik atau diskualifikasi kandidat).
Perbaikan secara administratif mungkin juga digunakan sebagai hak
memohon ganti rugi untuk jenis-jenis kasus tertentu dimana sanksi dan
penalti tidak dapat menawarkan penyelesaian yang layak, khususnya
dalam fase hari pra-pemilihan dari keseluruhan proses Pemilu. Jenis-jenis
tindakan perbaikan dapat berupa koreksi kealpaan atau kesalahan dalam
daftar pemilih, penerimaan kembali kandidat atau partai yang ditolak secara
keliru, memberikan tambahan waktu tayang media kepada para kandidat
atau partai yang sebelumnya kurang atau memberikan lokasi rapat untuk
kelompok-kelompok yang telah ditolak izinnya secara salah.
Pemilu ulang tidak harus mencerminkan maksud dari pemilih pada hari
Pemilu yang semula dan seharusnya tidak dilaksanakan tanpa justifikasi
yang kuat. Pemilu ulang bukan merupakan cara menghukum yang baik bagi
pelanggaran Undang-undang Pemilu kecuali pelanggaran tersebut benar-
benar menimbulkan keraguan atas keabsahan hasil pemungutan suara.
Mengadakan Pemilu ulang adalah tidak tepat, khususnya jika digunakan
secara kolektif untuk menghukum para pemilih karena perilaku yang buruk
(sebagai contoh dugaan keterlibatan dalam jual beli suara).
Pemilu dimaksudkan untuk memberikan saluran bagi kehendak rakyat.
Hasil Pemilu seharusnya tidak diabaikan dengan mudah atau entengnya.
Hasil Pemilu seharusnya hanya dibatalkan dalam situasi yang luar biasa,
dimana terdapat bukti ketidakabsahan, ketidakjujuran, ketidakadilan,
korupsi, atau perilaku menyimpang lainnya yang jelas dan, lebih penting
lagi, dimana perilaku tidak pantas tersebut telah mendistorsi hasil Pemilu.
122
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Tanpa adanya situasi-situasi yang luar biasa tersebut, para kandidat dan
partai yang kalah dalam Pemilu seharusnya menerima hasil Pemilu daripada
terus menerus menggugat bahwa Pemilu dan legitimasi pemerintah
yang dihasilkan (dari Pemilu). Mekanisme penanganan keberatan tidak
boleh dimanipulasi untuk melanjutkan pertempuran politik pasca Pemilu
dan untuk melemahkan hasil akhir Pemilu yang resmi. Orang-orang yang
melanggar hukum masih dapat dijangkau melalui proses administratif dan
pidana tanpa menunda hasil Pemilu.
Area Kunci pada Keberatan Pemilu
Walaupun setiap sistem penanganan keberatan akan menghadapi
tantangan yang unik, terdapat beberapa pelajaran penting tentang area
kunci pada keberatan Pemilu. Secara khusus, berbagai tantangan dan
keberatan Pemilu seringkali muncul di bidang-bidang berikut:
• Penyusunan daftar pemilih. Sebagai landasan dari akuntabilitas
seluruh komponen penyelenggaraan Pemilu dan hari Pemilu, akurasi
dan ketepatan waktu dari daftar pemilih seringkali menjadi sebuah titik
uji yang amat penting bagi legitimasi sebuah Pemilu. Sebagai aturan
umum, Undang-undang mengakomodasi proses “keberatan” dengan
memverifikasi data tentang mereka dalam dafar pemilih sementara.
Dalam beberapa situasi, para pihak dapat mengajukan keberatan
tentang daftar pemilih. Walaupun merupakan hal yang normal untuk
menggugat daftar pemilih, daftar tersebut seringkali digugat ketika
ketidakakuratannya dipandang sangat serius atau tersebar luas.
Keberatan yang paling umum berpusat pada penghilangan jumlah
pemilih dalam jumlah yang signifikan, kegagalan untuk membersihkan
nama pemilih yang telah meninggal dari daftar, kontrol yang tidak
mencukupi terhadap para pemilih yang telah meminta perubahan
tempat pemungutan suaranya pada hari pemilihan, adanya daftar
pemilih ganda (duplicate entry), serta penempatan pemilih ke
tempat pemungutan suara yang keliru. Penyelesaian keberatan pada
umumnya dicerminkan untuk perencanaan Pemilu-Pemilu berikutnya,
dan bukan hanya sebagai tindakan perbaikan atau sanksi atas Pemilu
yang baru saja diadakan. Namun, gugatan tidak harus selalu diajukan
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
123
ke pengadilan untuk mendapatkan perubahan yang besar. Terkadang
“pengadilan opini publik” juga akan begitu kuat dan begitu tersebar
luas untuk mendorong pembaruan, serta di beberapa negara telah
mendorong dicetuskannya kampanye daftar pemilih untuk menyusun
kembali daftar pemilih dari nol.
• Gugatan terhadap para kandidat. Pada awalnya, seharusnya
terdapat sebuah proses yang dapat diakses dan kredibel untuk
memungkinkan diajukannya gugatan terhadap para kandidat. Beberapa
faktor diskualifikasi utama termasuk: keterlibatan dalam kegiatan
milisi ilegal; bukan penduduk di daerah pemilihan (non-residency);
memiliki catatan kriminal; dan memegang jabatan senior pemerintah
atau lembaga militer atau keamanan. Dalam rangka menentukan
gugatan, badan penyelesaian harus memiliki sebuah struktur yang
dapat dilaksanakan, direncanakan dengan baik dan independen,
karena badan tersebut harus membuat berbagai keputusan yang
sulit dan kontroversial. Proses gugatan juga harus tepat waktu untuk
menghindari sebuah periode pra-Pemilu yang berkepanjangan.
• Penunjukan Badan Penyelenggara Pemilu dan Panitia
Pemungutan Suara sementara. Badan Penyelenggara Pemilu di
tingkat yang lebih rendah terkadang ditunjuk untuk jangka waktu
lebih dari satu tahun (multi-year terms), walaupun dalam banyak
konteks mereka ditunjuk untuk melayani Pemilu khusus seperti
halnya panitia pemungutan suara. Proses penunjukan dapat menjadi
subyek gugatan dan keberatan, khususnya dalam konteks dimana
Undang-undang mewajibkan bahwa keanggotaan komisi semacam
itu harus berdasarkan perwakilan partai yang berimbang. Jika partai
diizinkan untuk mengajukan calon, maka partai kecil seringkali tidak
dapat menyediakan jumlah nama yang cukup dan seringkali partai-
partai besar akan mendominasi keanggotaan. Berbagai keberatan dan
gugatan tentang potensi bias dan ketidakadilan, yang biasanya diatur
melalui saluran-saluran Badan Penyelenggara Pemilu yang lebih tinggi
(tingkat pusat), dapat menjadi benang kusut yang menunda selesainya
proses penunjukan dan secara serius menunda persiapan proses
Pemilu. Dalam banyak kasus penundaan tersebut menyebabkan
penunjukan para petugas yang mendadak yang belum sempat dilatih.
124
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
• Intimidasi. Intimidasi kampanye dapat bersifat pasif, pribadi atau
dengan kekerasan. Masalah surat ancaman kepada pemilih paling
baik ditangani melalui keberatan. Intimidasi pada saat aksi turun ke
jalan paling baik ditangani dengan pencegahan, melalui perencanaan
pawai yang hati-hati, sistem perizinan untuk mencegah bentrokan, dan
kehadiran polisi yang tidak berlebihan. Intimidasi melalui kunjungan ke
rumah-rumah jauh lebih sulit untuk dikontrol.
• Pelanggaran kampanye. Dalam masa pra-Pemilu, bukan tidak
lazim jika keberatan diajukan oleh pihak yang tidak kecewa dan para
kandidat yang percaya bahwa mereka telah dirugikan oleh berbagai
tindakan yang telah dilakukan oleh pihak yang berwenang atau
media, atau taktik kampanye yang tidak adil dan tidak beretika yang
dilaksanakan oleh lawan mereka. Berbagai keberatan semacam itu
biasanya berhubungan dengan berbagai pelanggaran kampanye,
misalnya dalam lingkungan dimana pembiayaan kampanye, alokasi
waktu media, persetujuan pemerintah tentang fasilitas untuk acara
publik dan aksi turun ke jalan, serta peruntukkan tempat-tempat
umum bagi poster dan papan reklame (billboard) yang diatur secara
ketat dalam berbagai Undang-undang dan peraturan lokal. Salah
satu tantangan utama dalam menyelesaikan keberatan sejenis ini
adalah bahwa mereka seringkali diperiksa oleh badan-badan lain
selain pengadilan atau Badan Penyelenggara Pemilu, seperti komisi
media dan tim penggalangan dana kampanye (media commissions
and campaign finance committee). Badan-badan sejenis ini sering
tidak dipersiapkan secara memadai untuk menangani kasus-kasus
tersebut, atau tidak memiliki otoritas penegakan ketika sebuah
keputusan dibuat. Demikian juga tindakan perbaikan seringkali terlalu
terlambat dan sanksi terhadap para pelanggar tidak membuat para
pengaju keberatan “puas”.
• Pelanggaran pemungutan dan penghitungan suara. Mayoritas
keberatan tertuju pada pelanggaran pada hari pemungutan suara.
Pelanggaran tersebut biasanya terkait dengan pembatasan akses,
panjangnya antrian atau kemacetan, daftar pemilih yang tidak akurat,
penolakan oleh petugas pemungutan suara untuk memberikan surat
suara kepada pemilih yang potensial, penghitungan suara ganda,
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
125
pemilih di bawah umur, intimidasi terhadap pemilih, kampanye di
atau dekat tempat pemungutan suara, pemindahan kotak suara
dari tempat yang dapat dilihat publik, merusak segel kotak suara
atau memasukkan surat suara palsu. Dalam banyak kasus, proses
keberatan tidak akan menghasilkan tindakan perbaikan atau koreksi,
walaupun hukuman kepada pelanggaran akan terjadi. Dalam
kasus yang ekstrim, sebuah kotak suara tertentu dapat dibatalkan.
Penyelidikan yang tepat waktu, menyeluruh dan profesional tentang
pelanggaran pemungutan suara dan penghitungan suara khususnya
diperlukan untuk mempertahankan kepercayaan publik dalam proses
dan penyelesaian berbagai keberatan Pemilu dengan cara yang efisien.
• Pelanggaran tabulasi dan alokasi kursi. Peluang terbesar untuk
memanipulasi hasil Pemilu ada di tahap ini. Namun, transparansi,
proses kontrol yang ketat, dan kedatangan para penasihat
internasional dan tim pemantau yang berpengalaman pada umumnya
akan efektif dalam mencegah hal ini. Proses mengumumkan hasil
penghitungan secara lokal juga memungkinkan partai dan kandidat
untuk menyimpan catatan rekaman mereka sendiri serta meminta
penjelasan jika ada perbedaan.
Karakteristik Sistem Pemeriksaan Keberatan yang Berhasil
A. Struktur dan FleksibilitasJenis dan variasi keberatan dan gugatan terkait Pemilu memiliki konsekuensi
praktis bagi sistem penanganan yang dirancang dengan baik. Beberapa
jenis keberatan Pemilu yang berbeda – tergantung sifat, keseriusan,
penjadwalan, lokasi dan faktor-faktor lainnya – memerlukan penggunaan
lembaga-lembaga yang berbeda serta aturan, proses, kerangka waktu
atau tingkat otoritas pembuat keputusan yang berbeda. Seperti halnya
pelaksanaan seluruh kewenangan yudisial atau yudisial semu (quasi-
judicial), mekanisme penanganan keberatan Pemilu seharusnya sesuai dan
dapat disesuaikan dengan karakteristik persoalan yang sedang diputuskan.
126
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Sebagaimana disebutkan di atas, ketentuan tindakan perbaikan
administratif untuk berbagai keberatan Pemilu tertentu dapat mengurangi
beberapa beban dari sistem penanganan keberatan. Perlunya berbagai
keberatan diselesaikan di tingkat tertinggi badan penyelenggara atau
komisi keberatan Pemilu dapat dikurangi dengan tindakan administratif
yang diambil untuk menyelesaikan isu ketika terjadi.
Kehati-hatian hendaknya harus diterapkan untuk membangun sebuah
sistem yang menggunakan sumber daya kelembagaan untuk menangani
serangkaian luas keberatan dan sengketa terkait Pemilu dengan cara
yang efektif, tidak berpihak dan cepat. Pengalaman menunjukkan bahwa
implementasi terkadang dapat menimbulkan gangguan terhadap suatu
sistem penanganan keberatan dalam demokrasi yang sudah maju. Ketika
menciptakan atau memperbaiki berbagai sistem ini dalam demokrasi yang
sedang berkembang, pendekatan yang multi-aspek (multi-faceted) akan
mungkin diperlukan, dengan tujuan memproduksi sebuah sistem yang tidak
terlalu rumit ataupun terlalu sederhana untuk mengakomodasi beragam
ketidakpuasan Pemilu. Berbagai masalah implementasi harus diantisipasi
dan proses hukum secara hati-hati dirancang untuk mengakomodasi
kondisi budaya dan politik yang unik pada sebuah negara.
B. Keadilan dan Ketepatan WaktuPerkara-perkara Pemilu melibatkan kombinasi dua elemen penting.
Pertama adalah hak dasar partisipasi demokrasi. Hal ini termasuk hak
untuk: berserikat secara politik melalui partai politik; mencalonkan diri
sebagai kandidat; mendukung partai politik dan kandidat selama masa
Pemilu; dan untuk memberikan suara (untuk lebih rinci, lihat Bab 1 Standar-
Standar Internasional). Elemen kedua adalah kendala waktu. Sebagian
besar sengketa dan keberatan Pemilu perlu diselesaikan dengan jadwal
yang diamanatkan secara legal dan dipadatkan dari berbagai tahap proses
Pemilu, yang paling terlihat adalah selama proses pemungutan suara dan
penghitungan suara atau segera setelah hari pemungutan suara. Sebuah
sistem penanganan keberatan yang berhasil harus menyeimbangkan
standar sesuai proses hukum yang berlaku (due process) dengan tekanan
untuk otoritas dan pengadilan Pemilu agar bertindak secara cepat,
tergantung dari keseriusan ketidakpuasan Pemilu. Tenggat waktu dan
jadwal yang masuk akal bagi prosedur penanganan harus disusun di dalam
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
127
Undang-undang untuk memungkinkan sebuah proses penanganan yang
adil namun cepat.
Sebagaimana didiskusikan secara luas pada Bab 1, komunitas bantuan
demokrasi internasional telah sejak lama mengupayakan untuk menyusun
berbagai standar internasional di bidang penanganan keberatan Pemilu.
Namun, upaya terdahulu untuk mengumpulkan berbagai standar
internasional cenderung menekankan peran lembaga peradilan dan
jaminan proses hukum yang berlaku (due process), termasuk sebuah hak
dengar pendapat (hearing) serta jalan untuk mengajukan banding, namun
dengan mengorbankan ketepatan waktu pemutusan. Hak meminta ganti
rugi melalui lembaga peradilan dan atribut “proses hukum yang berlaku”
(“due process”) merupakan hal yang amat penting ketika hak dasar
terancam dan legitimasi Pemilu jelas-jelas diragukan. Berbagai standar
internasional yang menetapkan standar yang tinggi untuk proses hukum
dalam penanganan keberatan Pemilu tentu saja merupakan hal yang
benar sejauh mereka menangani kasus-kasus yang amat serius seperti
pelanggaran dan penyimpangan, khususnya terkait tindakan otoritas
Pemilu yang tidak sah atau curang.
Tetapi kebanyakan (mungkin sebagian besar) keberatan dan gugatan yang
diajukan selama masa Pemilu tidak muncul sampai ke tingkat seperti itu.
Mengingat singkatnya kerangka waktu dalam kalender Pemilu, sebuah
sistem yang mengharuskan seluruh keberatan pantas mendapatkan
seluruh perlindungan menurut proses hukum yang berlaku, tentu saja
akan membuat sistem yang ada kewalahan dengan kasus-kasus tersebut.
Dalam keadaan seperti itu, bahkan sebuah kasus yang relatif sederhana
tidak akan diputuskan sampai Pemilu selesai atau tidak diputus sama
sekali. Hal ini sesuai dengan ungkapan penundaan pengadilan adalah
penolakan keadilan (“justice delayed is justice denied”). Tidak ada
pemangku kepentingan yang memperoleh manfaat dari sebuah sistem
penanganan keberatan Pemilu yang tidak dapat mencapai hasil ajudikatif
dengan cara yang tepat waktu dan efisien.
Sebuah isu terkait adalah kecenderungan dalam demokrasi yang baru
berkembang untuk mengkriminalisasikan seluruh pelanggaran Undang-
undang Pemilu, termasuk pelanggaran dan penyimpangan kecil dalam
128
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
prosedur Pemilu. Biasanya mereka memaksa seluruh keberatan dan
sengketa terkait Pemilu dibawa ke sistem pengadilan, yang memicu
seluruh persyaratan hukum yang berlaku (termasuk jaminan mengadakan
pembacaan gugatan atau pembelaan) dan menghasilkan penanganan
keberatan yang lambat yang seharusnya dapat ditangani dengan lebih
cepat. Pelanggaran Pemilu yang relatif ringan seharusnya diperlakukan
sebagai pelanggaran non-pidana (administratif), di luar wewenang Undang-
undang yang mengatur pelanggaran Pemilu yang bersifat pidana.
Pembedaan seperti ini akan meringankan beban dan mempercepat proses
bagi tinjauan awal dan penanganan, yang memungkinkan sebuah proses
administratif untuk mengurangi penalti bagi pelanggaran ringan dengan
denda yang kecil (atau teguran), mengupayakan tindakan perbaikan
untuk memperbaiki masalah, dan mendorong pengakuan para pelanggar
(yang akan diselamatkan dari vonis bersalah atas tuduhan perbuatan
kriminal dalam catatan mereka). Pedoman perilaku untuk partai politik
dan kandidat, walaupun seringkali bersifat saran, dapat juga bermanfaat
dalam mengupayakan kepatuhan secara sukarela terhadap norma-norma
kampanye yang tidak mendukung pengkodifikasian ke dalam Undang-
undang Pemilu (yang didorong oleh penyelidikan LSM, media dan lawan-
lawan politik.
Komunitas pembangunan demokrasi internasional telah mulai mengakui
bahwa pelaksanaan sistem penanganan keberatan dalam konteks Pemilu
yang lebih luas seharusnya tidak dikenakan standar hukum ketat yang
berlaku pada perkara administratif dan pidana serius yang berdampak pada
hak-hak dasar dan legitimasi Pemilu itu sendiri. Pada awal 2009, Carter
Center mengadakan rapat dengan para ahli untuk membahas kriteria
untuk menilai penyelesaian sengketa Pemilu sebagai bagian dari proses
Pemilu yang demokratis. Laporan pasca-rapat memasukkan butir-butir
kesepakatan para anggota rapat, termasuk observasi sebagai berikut:329
Sengketa-sengketa yang tidak terkait dengan pelanggaran atas hak
dasar, atau yang melibatkan tindakan negara yang bersifat non-
329 The Carter Center, Electoral Dispute Resolution Experts’ Meeting 1 (2009), dapat dilihat di http://www.cartercenter.org/resources/pdfs/peace/democracy/des/electoral-dispute-resolution-meeting.pdf.
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
129
diskriminatif, dapat dipertimbangkan informal sifatnya dan tidak harus
memerlukan proses hukum yang penuh untuk diselesaikan. Badan-
badan administratif dapat bertindak sebagai arbiter tunggal dan
final terhadap sengketa seperti itu. Namun, jika tindakan tersebut
melibatkan tuduhan pelanggaran hak-hak dasar, bersifat diskriminatif,
atau telah diputuskan dengan cara yang sewenang-wenang, para
pengadu harus memiliki akses terhadap sebuah pengadilan. Selain
itu, jika sengketa administratif tidak diselesaikan secara memadai,
dapat menjadi lebih formal di tingkat penanganan berikutnya dan
memerlukan tinjauan oleh suatu Tribunal.
Tersedianya banding ke pengadilan yang lebih tinggi terhadap sengketa
terkait dengan proses Pemilu yang memerlukan penyelesaian oleh
tribunal harus dipertimbangkan sebagai suatu praktek terbaik (best
practice), ketimbang suatu kewajiban…. Hak untuk mengajukan
banding tidak dijamin dalam penanganan suatu sengketa, dan banding
bisa dibatasi atau ditolak dalam rangka menghormati kebutuhan untuk
efektivitas dan efisiensi dari penyelesaian sengketa Pemilu.
C. KredibilitasPersyaratan utama untuk sebuah sistem penanganan keberatan adalah
bahwa sistem tersebut mendukung kredibilitas proses Pemilu. Jika
proses Pemilu dianggap tidak kredibel oleh penduduk, baik kandidat
yang kalah maupun pemilih tidak akan mau menerima hasil pemilihan
tersebut. Proses Pemilu sendiri akan dianggap sebagai kesalahan tata
kelola pemerintah: disfungsi kelembagaan, atau pemerintahan yang buruk
dan pertumbuhan ekonomi yang lamban. Apatisme akan berkembang
dan dapat menyebabkan keresahan masyarakat. Kurangnya kredibilitas
juga mempengaruhi hubungan internasional dan mengurangi penanaman
modal asing karena kurangnya kepercayaan para investor.
Terdapat dua aspek utama kredibilitas:
• Penilaianyangluasolehmasyarakattentangkondisiumumtatakelola
dan kecenderungan untuk menghubungkan kegagalan lainnya dengan
proses Pemilu; dan
130
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
• Isu-isu kepercayaan publik yang lebih khusus dalam proses Pemilu
itu sendiri.
Sikap masyarakat seringkali merupakan gabungan dari kedua aspek
tersebut. Jika Pemilu secara umum tidak dipandang kredibel – adil atau
tidak– seluruh proses Pemilu akan merupakan pemborosan sumber
daya, karena tidak adanya fondasi yang nyata bagi kewenangan atau
akuntabilitas pemerintahan.
Pemilih cenderung berharap terlalu banyak dari Pemilu. Sebuah Pemilu
adalah peristiwa yang sangat penting dan diatur secara rinci. Oleh
karena itu, komunitas internasional dan pemberitaan media cenderung
untuk memfokuskan pada Pemilu dari perspektif jangka pendek, hanya
memberikan analisis yang dangkal mengenai keberhasilan Pemilu sebelum
mengalihkan perhatian mereka ke masalah lainnya. Kecenderungan
Isu-isu Kredibilitas dalam Proses Pemilu
Jika pengecualian terhadap para pelamar yang tidak memenuhi syarat telah dijalankan sebagaimana mestinya, tetapi kualitas para kandidat masih saja buruk, badan legislatif yang dihasilkan mungkin tidak dapat berfungsi dengan baik. Masalah ini akan dapat diminimalkan dengan sebuah proses gugatan yang efektif untuk mengecualikan para pelamar yang paling banyak korup dan memiliki latar belakang tindak pidana.
Jika para kandidat tidak diorganisasikan ke dalam partai atau kelompok lainnya (baik sebelum atau pun sesudah Pemilu), hal ini dapat menyulitkan badan legislatif untuk berfungsi secara efektif. Hal ini tidak secara langsung dipengaruhi oleh proses Pemilu, tetapi dapat ditangkal dengan sebuah sistem Pemilu yang mendorong pengembangan struktur partai.
Sebuah media yang benar-benar independen merupakan cara yang terbaik untuk mencegah situasi dimana pemerintah atau partai yang sedang berkuasa memperoleh porsi liputan yang paling banyak oleh seluruh media. Jika media tidak cukup independen, bahkan sebuah Pemilu yang berjalan baik dapat menghasilkan sebuah hasil yang tidak memuaskan, karena pilihan para pemilih tidak akan diketahui dengan baik (well-informed). Hal ini dapat diminimalisir dengan desakan internasional terhadap dan dukungan untuk media yang independen.
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
131
ini menjanjikan untuk memperbesar harapan bahwa Pemilu tersebut
akan membawa perdamaian dan kesejahteraan dengan segera. Hal
ini akan memiliki dua implikasi khusus bagi proses Pemilu. Pertama,
berarti seluruh upaya harus dilakukan untuk mencegah cacat dalam
proses, karena setiap kesalahan yang terlihat akan dibesar-besarkan dan
dilimpahkan ke hal-hal yang negatif lainnya. Kedua, jika hasil pemilihan
tidak memuaskan, masyarakat akan menyalahkan proses Pemilu, dan
bukan yang terpilih. Proses Pemilu yang diatur secara rinci, dipadukan
dengan sistem penanganan keberatan yang efisien, transparan dan adil
serta pendidikan publik yang semestinya dapat mengurangi masalah ini
dan akan mengurangi ekspektasi publik bahwa Pemilu akan menyelesaikan
semua masalah nasional.
Sistem Pemeriksaan Keberatan: Lingkup Kewenangan
1. Badan Penyelenggara Pemilu (Election Management Bodies)
Proses untuk merancang aturan untuk mengajukan keberatan atau
sengketa harus menekankan pentingnya pertanyaan kebijakan mengenai
memasukkan dimana dan lembaga mana yang seharusnya berperan
sebagai pintu masuk dan badan ajudikator awal. Keberatan yang
mempersengketakan hasil Pemilu resmi sebagaimana diumumkan oleh
badan penyelenggara Pemilu secara umum harus ditujukan ke pengadilan
setelah Pemilu. Namun dalam bidang keberatan pra-Pemilu yang menuduh
penyelewengan dalam proses Pemilu atau melanggar Undang-undang
Pemilu, badan penyelenggara Pemilu seringkali memainkan peranan awal
yang penting atau bahkan peran utama. Sistem yang memungkinkan
pengadu untuk memilih antara Badan Penyelenggara Pemilu, badan
administratif lainnya, atau pengadilan tingkat pertama untuk mengajukan
keberatan pra-Pemilu (sebagaimana terjadi di negara demokrasi yang baru
di Eropa Timur atau negara-negara bekas Uni Soviet) akan menimbulkan
risiko duplikasi keberatan atau proses banding yang ganda, serta bahkan
dapat mendorong persaingan antar lembaga. Berbagai pilihan tersebut
akan memungkinkan terjadinya apa yang disebut “forum shopping”
(kecenderungan penggugat untuk mengajukan keberatannya ke badan
132
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
yang dianggap paling menguntungkan) yang akan berisiko mendorong
korupsi di tingkat lokal.330
Badan Penyelenggara Pemilu dan petugas Pemilu diberikan tugas berat
untuk melaksanakan Pemilu. Lebih lanjut, keputusan (atau kurangnya
tindakan) oleh otoritas Pemilu seringkali menjadi obyek keberatan atau
gugatan. Menempatkan tanggung jawab untuk mengpenanganan seluruh
tahap keberatan kepada struktur penyelenggara Pemilu, akan menimbulkan
masalah konflik kepentingan dan kurangnya akuntabilitas.
Namun, mengandalkan lembaga peradilan sebagai satu-satunya cara
penanganan keberatan Pemilu hanya akan mengarahkan seluruh keberatan
dan gugatan terkait Pemilu ke sebuah sistem yang biasanya tidak terbiasa
dengan pelaksanaan Undang-undang Pemilu serta pada hakikinya akan
lambat untuk prosesnya (karena kepatuhan yang wajar terhadap proses
hukum yang diterapkan dalam sistem peradilan atau melulu karena
banyaknya tunggakan perkara yang ada. Pengadilan tidak dirancang
untuk menyaring secara cepat (berbagai keberatan tidak berdasar atau
tidak substansial) dan, oleh karena itu, tidak akan mampu menyelesaikan
keberatan Pemilu dengan cepat. Selain itu, melibatkan pengadilan di dalam
tahap awal penanganan membebani mereka dengan tekanan politis dan
kemungkinan penyelewengan.
Ketiadaan suatu lembaga yang sepenuhnya terpisah dan didedikasikan
untuk menerima dan menangani keberatan dan gugatan Pemilu
(sebagaimana dibahas di bawah), menyebabkan banyak negara menunjuk
Badan Penyelenggara Pemilu – di tingkat yang sesuai dengan lokasi, sifat
dan keseriusan keberatan – sebagai pintu masuk bagi berbagai seluruh
keberatan terkait Pemilu (selain daripada sengketa pasca-Pemilu tentang
hasil Pemilu resmi, atau tuduhan serius terhadap Badan Penyelenggara
Pemilu itu sendiri). Undang-undang Pemilu seharusnya merinci ruang
lingkup yurisdiksi dan kewenangan komisi Pemilu. Beberapa alasan
mendukung pendekatan ini:
330 Forum shopping adalah istilah informal yang diberikan kepada praktek dimana penggugat mencari forum atau pengadilan yang dia pikir akan paling memberikannya putusan yang lebih menguntungkan dalam memutus perkaranya
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
133
• BadanPenyelenggaraPemiluditunjukdenganasumsimelaluisebuah
proses yang terbuka yang mengupayakan baik independensi atau multi-
partisan para anggota komisi Pemilu. Diharapkan, para anggota telah
dipilih dan dilatih dengan baik untuk meninjau dasar fakta dan hukum
terhadap keberatan dan membuat putusan awal. Melalui pengalaman
mereka, anggota komisi Pemilu mengembangkan keahlian mereka
dalam Undang-undang Pemilu dan peraturan pelaksanaannya.
Walaupun para hakim lokal tentu dapat membaca dan menerapkan
Undang-undang ini serta juga dapat mengembangkan keahlian, Badan
Penyelenggara Pemilu lokal juga akan memberikan manfaat jika
memberikan pandangan awal serta mengurangi tumpukan perkara
pada komisi atau pengadilan yang lebih tinggi dalam menangani
sidang keberatan banding.
• Masalah Pemilu dapatmelibatkan sengketa antara peserta Pemilu,
keberatan tentang petugas Pemilu atau petugas publik lainnya, atau
tuduhan pelanggaran Undang-undang atau peraturan Pemilu. Di seluruh
perkara, sangat bermanfaat bagi sebuah Badan Penyelenggara Pemilu
segera mulai menyiapkan rekaman faktual dan mengumpulkan bukti
seperti pernyataan para saksi. Jika perkara diajukan ke pengadilan,
pengadilan tersebut harus bertanggung jawab mencari fakta.
Mengingat keterbatasan waktu, lebih baik jika dalam proses Pemilu,
pengadilan tidak harus mulai dari permulaan, dan juga lebih baik
untuk melindungi pernyataan saksi dan bukti. Adalah penting untuk
menyusun sebuah catatan faktual awal yang kuat sedini mungkin, dan
Badan Penyelenggara Pemilu merupakan tempat yang paling efisien
untuk memulai proses tersebut. Untuk itu, Badan Penyelenggara
Pemilu memerlukan pendanaan dan kapasitas yang mencukupi untuk
menyelidiki berbagai gugatan secara profesional dan efisien.
• Jika keberatan adalah tentang tindakan administrasi atau ketiadaan
tindakan dari Badan Penyelenggara Pemilu, seperti penolakan
daftar pemilih oleh komisi tingkat kebupaten/kota atau penolakan
pengesahan kandidat oleh Badan Penyelenggara Pemilu tingkat
daerah, maka akan menjadi layak untuk membolehkan badan tersebut
untuk pertama-tama mempertimbangkan kembali kebijakannya atau
memperbaiki berbagai kesalahannya. Jika tidak memenuhi kepuasan
134
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
para pengaju keberatan, banding terhadap keputusan administratif
kemudian akan ditinjau kembali oleh badan penyelenggara Pemilu
yang lebih tinggi, dengan kemungkinan peninjauan kembali oleh
pengadilan untuk memutuskan jika telah terjadi ketidakadilan.
• Keberatan yang menuduh terjadinya pelanggaran atau kecurangan
disengaja yang dilakukan oleh Badan Penyelenggara Pemilu, khususnya
tentang pemungutan suara atau penghitungan suara, harus pertama-
tama ditujukan kepada Badan Penyelenggara Pemilu tertinggi untuk
ditinjau, dengan sebuah hak banding ke pengadilan. Pengadilan
seharusnya memiliki kebebasan untuk menguatkan keputusan Badan
Penyelenggara Pemilu tanpa memulai kembali kasus tersebut.
• Menunjuk pengadilan lokal sebagai pintu masuk untuk sebagian
besar keberatan terkait Pemilu menempatkan terlalu banyak beban
bagi pengadilan dan menggunakan mereka secara tidak efisien.
Pengecualian harus ada, tentunya, untuk situasi yang amat mendesak,
seperti pendaftaran pemilih atau masalah pemungutan suara pada
saat hari Pemilu, dimana pengadilan lokal harus mendengar berbagai
keberatan, memutuskan dan bertindak secepatnya untuk mencegah
kerusakan yang tidak dapat diperbaiki. Dengan risiko menjadi lebih
rumit, Undang-undang dan peraturan Pemilu harus memberikan ruang
bagi intervensi awal atau khusus oleh pengadilan.
• Berbagai keberatan yangmuncul dari Pemilu seringkali tidak dapat
dibuktikan dan lebih berdasarkan desas-desus atau rumor. Terkadang
beban kolektif dari banyak tuduhan yang menyebabkan paling banyak
kontroversi dalam sebuah lingkungan Pemilu, dibandingkan dengan
substansi sebuah tuduhan khusus atau sebuah bukti yang meyakinkan
(show of evidence).331 Memberikan Badan Penyelenggara Pemilu peran
awal yang lebih kuat akan memungkinkan Pemilu terkait berbagai
kasus akan lebih cepat ditinjau karena keseriusan dan substansinya,
serta memungkinkan komisi untuk menyaring persoalan yang tidak
perlu atau tidak penting, dan untuk memprioritaskan penyelidikan
kasus-kasus yang serius (yang dapat dijadikan alasan untuk banding).
331 Lihat umumnya John Hardin Young, Recounts, dalam Internasional Election Principles: Democracy and the Rule of Law 301 (John Hardin Young ed., 2009).
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
135
Pengadilan harusnya mampu untuk menolak untuk melakukan
pemeriksaan menyeluruh dan menguatkan tindakan atau putusan
otoritas Pemilu ketika otoritas-otoritas tersebut telah disiapkan untuk
melakukan tinjauan yudisial. Selanjutnya Badan Penyelenggara Pemilu
tidak hanya sekedar mengumpukan bukti lebih cepat, namun juga
bersikap sebagai filter untuk menyaring di tahap awal tuduhan-tuduhan
yang sembarangan atau tidak berdasar, dan untuk memprioritaskan
perkara-perkara yang lebih serius (perkara yang dapat dibanding).
A. Contoh Negara: Thailand332
Di banyak negara, otoritas Badan Penyelenggara Pemilu nasional dan
komisi-komisi di bawahnya dalam melakukan penanganan sengketa dan
keberatan terkait dengan Pemilu seringkali tidak jelas di bawah Undang-
undang Pemilu. Sebaliknya, Komisi Pemilu Thailand (Election Commission
of Thailand/ECT) telah memberikan kewenangan yang luar biasa untuk
penanganan keberatan sebagai badan independen yang dibentuk oleh
Konstitusi. ECT diberikan hak oleh Undang-undang untuk menjalankan
kewenangan yang luas untuk penyelidikan, penanganan dan menjatuhkan
penalti yang berat untuk menghukum para pelanggar Undang-undang
Pemilu berdasarkan titik berat yang dipertahankan terus menerus secara
historis untuk mencegah “jual beli suara”. ECT menggunakan kekuasaannya
untuk membatalkan hasil Pemilu sebagai cara utama untuk menghukum
dan, kemungkinan juga upaya penjera (terhadap pelanggaran Pemilu).
Pemilu ulang akan diperintahkan dalam hal dimana Pemilu dipandang tidak
adil karena adanya tuduhan pelanggaran yang tersebar luas, khususnya
karena jual beli suara, tanpa memandang apakah pelanggaran menunjukkan
telah mengubah hasil Pemilu.
Tradisi ECT untuk memerintahkan Pemilu ulang dan mengeluarkan “kartu
merah” (melarang kandidat tertentu untuk keterlibatan lebih lanjut dalam
Pemilu) dan “kartu kuning” (menuduh kandidat tertentu atas kemungkinan
pelanggaran) akan berdasar kepada tinjauan terhadap tuduhan telah
menjadi mendarah daging di sistem Thailand sebagai sanksi utama
untuk pelanggaran Pemilu. Mekanisme ini mengakibatkan suatu penalti
332 Robert A. Dahl, Adjudication of Election Complaints: Overview and Assesment of the Legal Framework and Process, Presentasi di sebuah Konferensi yang disponsori oleh Komisi Pemilu Thailand (Election Commission of Thailand) (Juni, 2008).
136
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
yang berat bagi kandidat yang dipandang telah melakukan, berkolaborasi
atau mengabaikan berbagai pelanggaran Pemilu (dengan potensi adanya
konsekuensi yang berat bagi partai politik mereka, yaitu kemungkinan
pembubaran jika pimpinan partai tersebut diputuskan sebagai telah terlibat
dalam pelanggaran).
Praktik-praktik yang dijalankan di Thailand mungkin tidak akan dapat
dengan mudah dilaksanakan pada masyarakat dan sistem politik yang
lain. Hanya sedikit pemerintah di dunia ini yang mau untuk memberikan
Badan Penyelenggara Pemilu mereka dengan kewenangan ajudikatif dan
penegakan yang sedemikian besar, yang juga menimbulkan tanggung
jawab dan beban yang sangat besar bagi Badan Penyelenggara Pemilu
itu sendiri dan mengundang korupsi. Berbagai peristiwa yang terjadi baru-
baru ini membuktikan bahwa kekuasaan luar biasa yang diberikan kepada
ECT dapat menimbulkan atau memperburuk ketegangan politik yang
serius, terlepas dari seberapa adil dan baiknya maksud putusan tersebut
diambil. Sebuah badan penyelenggara Pemilu sekuat ECT mungkin
bukan merupakan model yang ideal untuk negara-negara lain, karena
diberlakukannya kekuasaan ini (atau kegagalan untuk melakukannya)
merupakan salah satu pencetus dari kericuhan politik di Thailand dari 2008
hingga 2010.333
2. Komisi Keberatan Pemilu
Di banyak negara, sebagaimana telah diperhatikan, mekanisme
tradisional bagi Badan Penyelenggara Pemilu adalah untuk melaksanakan
fungsi sebagai badan penanganan keberatan utama, tergantung pada
mekanisme banding yang diajukan ke pengadilan. Berbagai butir yang
dirangkum dalam bagian sebelumnya menunjukkan bahwa hal ini bukanlah
merupakan solusi yang buruk, asalkan Undang-undangnya jelas dalam
menentukan yurisdiksi, tata tertib dan penjadwalan untuk melaksanakan
kewenangan ini. Namun, banyak ahli yang akan tidak setuju dengan ide
Badan Penyelenggara Pemilu terus melaksanakan peran utama dalam
penanganan keberatan.
333 Lihat, sebagai contoh., Democrats Under Fire After Ruling, Bangkok Post (13 April 2010), dapat dilihat di http://www.bangkokpost.com/news/politics/36012/democrats-under-fire-after-ruling.
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
137
Pemikiran progresif dalam bidang ini telah cenderung mendukung
argumentasi untuk membentuk badan-badan khusus untuk menangani
berbagai keberatan dan gugatan Pemilu. Sebagaimana telah dibahas di
atas, Badan Penyelenggara Pemilu sudah sangat disibukkan dengan beban
yang berat menyelenggarakan Pemilu, dan mungkin mereka sendiri adalah
obyek keberatan. Pengadilan juga disibukkan dengan tugas-tugas rutinnya,
dan mengirim seluruh keberatan dan gugatan terkait Pemilu ke pengadilan
umum biasanya prosesnya berjalan lambat dan tidak efisien.
Namun, beberapa negara telah membentuk lembaga yang benar-benar
khusus untuk penanganan keberatan Pemilu. Beberapa negara yang
lahir dari konflik telah didorong untuk mengadopsi badan penyelenggara
Pemilu, seperti Komisi Penyelesaian dan Banding Pemilu Kosovo
(Kosovo’s Elections Complaints and Appeals Commission/ECAC). Namun,
pengalaman Kosovo menunjukkan bahwa lembaga-lembaga in seringkali
terlibat di dalam perang antar lembaga antara Badan Penyelenggara
Pemilu maupun pengadilan, karena yurisdiksi mereka yang tidak jelas dan
kewenangan kuasi yudisial mereka dipertanyakan. Di Indonesia, lembaga
Bawaslu (dahulu Panwaslu, telah ada sebelum reformasi pasca rezim
Suharto tahun 1998) mengandalkan otoritas moral ketimbang kewenangan
penanganan keberatan konkrit lainnya. Di kedua negara ini, badan
keberatan khusus ini, sangat kurang pendanaannya oleh pemerintah, dan
posisinya bersaing dengan badan penyelenggara Pemilu lainnya dalam
mendapatkan sumber daya yang cukup. Model yang berhasil untuk
mendirikan suatu tribunal penanganan keberatan yang khusus di dalam
negara-negara non-konflik akan dibahas lebih lanjut dalam bab ini, juga di
dalam Bab 4: Studi-studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter dalam Keberatan
Pemilu, termasuk pendirian Pengadilan Pemilu Federal (Federal Electoral
Tribunal/TEPJF) Meksiko.
A. Contoh Negara: Pakistan334
Di bawah struktur hukum Pakistan, suatu Tribunal Pemilu sementara
didirikan untuk berbagai gugatan terhadap hasil Pemilu setelah hasil
Pemilu diumumkan. Pada awal proses Pemilu, penentuan banding oleh
anggota tribunal (Returning Officers) dalam menerima atau menolak surat
334 IFES, Pakistan ECA Conference Report (November 2009) (dokumen rancangan).
138
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
pencalonan kandidat ditangani oleh tribunal banding. Dengan demikian,
mekanisme telah tersedia bagi sengketa yang muncul dari kedua fase dari
dua ujung proses Pemilu.
Namun, di bawah sistem Pakistan, terdapat prosedur yang kurang jelas
bagi penyelesaian keberatan Pemilu yang diajukan selama periode
kampanye pra-Pemilu dan pada saat hari pemungutan suara, khususnya
bagi tuduhan yang tidak merupakan pelanggaran pidana berat dan pada
hari pemilihan. Sistem tersebut menawarkan prosedur alternatif dan
beberapa pintu masuk untuk mengajukan keberatan selama beberapa
tahap tersebut. Tanggung jawab untuk menerima, menyelidiki dan
menyelesaikan keberatan pra-Pemilu nampaknya tidak jelas dan tersebar
luas. Sedikit keberatan yang diselesaikan, termasuk yang terkait tindak
pidana. Banyak keberatan dan gugatan terkait Pemilu terbenam di tengah
birokrasi atau baru diputuskan lama setelah Pemilu berakhir. Komisi Pemilu
Pakistan (Election Commission of Pakistan/ECP) dan petugas lainnya
seringkali secara tidak adil disalahkan untuk hasil dari suatu sistem yang
pada hakekatnya sudah cacat. Para peserta Pemilu dan masyarakat umum
di Pakistan kurang percaya pada kapasitas sistem penyelesaian sengketa
untuk dapat berfungsi atau kurang memahami bagaimana mereka dapat
mengakses sistem tersebut dengan baik.
Prosedur untuk melaksanakan proses penyelesaian harus diperjelas
dan dirasionalkan. Kewenangan dan kekuasaan lembaga-lembaga
yang bertanggung jawab terhadap penanganan keberatan pra-Pemilu
dan hari pemungutan suara harus dinyatakan dengan tegas. Komisi
Pemilu Pakistan telah mengakui dibutuhkannya reformasi di bidang ini
dan telah menunjukkan komitmennya yang tegas untuk memperbaiki
tata tertib melalui Proyek Reformasi Penyelesaiakan Keberatan Pemilu
ECP (ECP’s Election Complaint Adjudication/ECA Reform Project).
Sebuah usulan solusi yang muncul dari Proyek Reformasi ECA adalah
proposal untuk membentuk “Komite Penyelidikan Distrik” (“District
Enquiry Committees”) di administrasi Pemilu tingkat menengah untuk
memasukkan dan menyelesaikan berbagai keberatan dan gugatan dengan
cara yang lebih cepat. Komite ini akan menyediakan “pintu masuk” bagi
berbagai keberatan dan gugatan selama periode pra-Pemilu dan pada saat
pemungutan suara (bersama dengan ECP).
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
139
B. Contoh Negara: Ghana335
Di Ghana, putusan Komisi Pemilu dapat diajukan banding ke pengadilan,
termasuk kasus-kasus yang melibatkan pendaftaran pemilih dan
pencalonan kandidat. Penyelesaian berbagai gugatan bagi permohonan
untuk mendaftar sebagai pemilih berada di bawah tanggung jawab Komite
Peninjauan Pendaftaran Distrik (District Registration Review Committee)
dan keputusannya dapat diajukan banding ke Ketua Pendaftaran Pemilu/
Hakim Pengadilan Tinggi dari wilayah tersebut. Untuk keperluan
pelaksanaan sidang terkait dengan pendaftaran yang digugat pada saat
pendaftaran, Komite Peninjauan Pendaftaran Distrik (DRCC) didirikan di
setiap distrik, terdiri dari para perwakilan partai politik aktif yang berada di
dalam suatu distrik dan tidak lebih dari empat orang lokal yang diketahui
netral dan mampu bersikap adil. Sekretaris Komite Peninjau Pendaftaran
Tingkat Distrik adalah Petugas Pemilu Distrik (District Electoral Officer) dan
Komisi (Pemilu) dengan syarat bahwa Petugas Pendidikan Distrik (District
Education Officer), Petugas Polisi Distrik (District Police Officer) dan
seorang wakil dari otoritas tradisional di dalam distrik juga harus menjadi
anggota. Komisi lebih lanjut mengatur bahwa Hakim Pengadilan Tinggi
Pengawas (Supervising High Court Judge) dari setiap provinsi (region)
seharusnya adalah Ketua Petugas Peninjau Pendaftaran (Chief Registration
Review Officer) untuk tingkat provinsi dan seharusnya menentukan
gugatan banding (appeal) dari pemilih yang tidak puas dengan keputusan
dari Komite Peninjauan Pendaftaran tingkat Distrik.336 Sanggahan atau
keberatan terkait daftar pemilih sementara diselesaikan oleh Petugas
Perbaikan Pendaftaran Distrik (District Registration Revising Officer) yang
merupakan Hakim Pengadilan Negeri (Magistrate of the District Court) dan
keputusan dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi (High Court).
Keabsahan Pemilu legislatif dapat digugat melalui permohonan yang
diajukan ke Pengadilan Tinggi dalam waktu 21 hari setelah tanggal
publikasi dalam Lembaran Resmi Publikasi hasil Pemilu. Namun, jika
sebuah permohonan mempertanyakan Pemilu atas dasar praktik korup
yang melibatkan pembayaran uang, maka hal itu dapat diajukan ke
335 European Union Election Observation Mission, Ghana Final Report: Presidential and Parliamentary Elections 2008 27 (Februari 2009), dapat dilihat di http:www.eueomghana.org/EN/PDF/Final_report/EU_EOM_Final_Report_Ghana.pdf.
336 Lihat Electoral Commission of Ghana, Electoral Reform, http://www.ec.gov.gh/node/10.
140
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pengadilan Tinggi sebelum hasil Pemilu diumumkan secara resmi pada
lembar publikasi hasil Pemilu.
C. Contoh Negara: Wilayah Palestina337
Berdasarkan Undang-undang Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(Local Council Elections Law) (Nomor 10 Tahun 2005) (LCEL) untuk
Wilayah Palestina, Komisi Pemilu Pusat (Central Election Commission)
bertanggung jawab untuk menanggapi keberatan secara administratif
dalam dua bidang khusus: 1) tuduhan ketidakuratan daftar pemilih; dan 2)
keberatan terhadap pendaftaran kandidat dan pencalonan kandidat.
Putusan-putusan CEC diatas adalah dapat diajukan banding yudisial ke
Pengadilan Tingkat Pertama (Courts of First Instance/FICs). Pengadilan
ini ditunjuk oleh LCEL Tahun 2005 sebagai “pengadilan yang memiliki
kewenangan” untuk mengajukan banding terhadap berbagai keputusan
CEC (atau melalui cabang-cabang di bawahnya) terhadap berbagai
keberatan mengenai ketidakakuratan dalam daftar Pemilu dan penolakan
terhadap pendaftaran kandidat dan pencalonan kandidat. FIC juga diberi
wewenang yurisdiksi yang sangat signifikan untuk mendengar gugatan
yang menguji hasil Pemilu yang telah diumumkan secara resmi. Lebih
penting lagi, LCEL mengatur bahwa putusan FIC tentang berbagai gugatan
terhadap keputusan CEC dan keberatan hasil Pemilu adalah bersifat final.
Sebelum dilakukannya Pemilu lokal di wilayah Palestina, CEC nampaknya
siap untuk berkoordinasi dengan FICs untuk memastikan bahwa kasus
yang masuk ke FIC telah disiapkan sebagaimana mestinya, dan terlibat
dalam pelatihan gabungan.
Sayangnya, LCEL tidak memberikan pedoman mengenai proses bagi
CEC atau pengadilan untuk menangani jenis keberatan Pemilu seperti,
penyimpangan Pemilu dan penghitungan suara, pelanggaran tata tertib
kampanye oleh para pendukung kandidat, ketidaksesuaian daftar Pemilu
pada hari pemungutan suara, dan tuduhan tindak pidana Undang-undang
Pemilu. Kekosongan ini akan mengancam keberlangsungan dan persepsi
337 IFES, Technical Assistant to Strengthen the Complaints and Appeals Process for Local Council Elections in the Palestinian Territories (April 2010) (makalah konsep).
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
141
publik tentang proses penanganan keberatan secara keseluruhan di
Palestina, serta membutuhkan perhatian CEC.338
3. Tribunal Pemilu
Demokrasi di seluruh dunia telah menunjukkan kecerdikan/kemampuan
kreatifnya (ingenuity) dalam menciptakan berbagai lembaga penanganan
keberatan Pemilu yang sesuai dengan tradisi kultural, politik dan legal
yang unik. Contoh-contoh berikut ini menunjukkan bahwa pembentukan
berbagai lembaga baru, dan praktik pelaksanaannya telah menghasilkan
gabungan yang baik antara tugas-tugas administrasi Pemilu dan
penanganan keberatan Pemilu, termasuk berbagai tanggung jawab
khusus lainnya. Negara-negara Amerika Latin tercatat telah merintis
kombinasi praktik-praktik institusional yang menggabungkan tanggung
jawab administrasi Pemilu dengan pemahaman terhadap kewajiban untuk
memberikan mekanisme penanganan keberatan Pemilu.
A. Contoh Negara: Brasil339
Brasil dipandang sebagai negara yang memiliki sistem penanganan
keberatan yang efektif yang berdasarkan ketentuan yang kuat dalam
Konstitusi dan Undang-undang Pemilunya. Sistem penanganannya
menggunakan Pengadilan Pemilu Tingkat Tinggi (Tribunal Superior Electoral,
TSE), sebuah Pengadilan Pemilu tingkat Negara Bagian (Regional Electoral
Court) di ibukota setiap negara bagian, ditambah satu di tingkat federal
(Federal District). Kota-kota yang lebih besar memiliki hakim-hakim Pemilu
tingkat kota, dan kota-kota yang lebih kecil memilih dewan pengawas
Pemilu daerah. Konstitusi Brasil merinci komposisi Pengadilan Pemilu dan
menyatakan bahwa sebuah Undang-undang tambahan seharusnya dibuat
untuk mendefinisikan “organisasi dan kewenangan pengadilan, hakim dan
badan pengawas Pemilu”. Ketentuan konstitusional dan Undang-undang
yang mendirikan lembaga-lembaga penanganan keberatan membantu
melindungi hak peninjauan yusidial dalam masalah Pemilu.
338 FES, Election Complaint Appeals Process in Palestine: Assessment and Recommendation (April 2010).
339 IFES, penelitian internal, Juni 2010. Lihat:http://www/v-brazil.com/government/laws/titleIV-Justice.html.
142
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
TSE dibentuk pada tahun 1932340 dan memiliki yurisdiksi luas yang mencakup
seluruh aspek Pemilu dan mengatur berfungsinya partai-partai politik. TSE
merupakan badan penanganan dan juga badan penyelenggara Pemilu yang
utama untuk Brazil. Kewenangannya meliputi mengawasi konvensi partai
dan Pemilu internal; menyetujui atau membatalkan pendaftaran partai;
mendaftarkan kandidat dan mengesahkan mereka yang terpilih; mengatur
dan mengawasi akses partai terhadap akses waktu nirbayar pada televisi
dan radio selama Pemilu; dan mendaftarkan para pemilih. Sebagai contoh,
selama Pemilu presiden putaran kedua 2010 antara Dilma Rousseff dan
Jose Serra, TSE melakukan intervensi dengan mengharuskan manajer
kampanye Rousseff untuk menarik kembali komentar yang telah dia
buat lewat jejaring sosial Twitter yang meragukan integritas kampanye
Serra.341 TSE juga merupakan contoh yang baik tentang badan penanganan
keberatan yang kuat dan independen: badan ini menetapkan anggarannya
sendiri, dan pengawasan para anggotanya dilakukan oleh presiden dan
lembaga peradilan, sementara audit pengeluaran dilakukan oleh dewan
perwakilan rakyat dan lembaga peradilan.342
B. Contoh Negara: Kosta Rika343
Tribunal Agung Pemilu (Supreme Electoral Tribunal, TSE) Kosta Rika
didirikan sebagai sebuah badan independen tahun 1946. Sebelum itu,
administrasi Pemilu merupakan tanggung jawab sekretaris urusan internal,
yang merupakan bagian dari pemerintah eksekutif. TSE dimasukkan ke
dalam konstitusi baru tahun 1949 sebagai badan konstitusional dengan
kekuasaan penuh untuk menyelenggarakan Pemilu. Semenjak itu badan
ini telah menjadi satu dari lembaga yang paling bergengsi di Kosta Rika.
TSE memiliki kekuasaan untuk menyelenggarakan, melaksanakan dan
mengawasi seluruh Pemilu, termasuk Pemilu presiden, legislatif dan
pilkada. Lembaga ini melayani mekanisme penanganan keberatan Pemilu.
340 TSE dibubarkan menyusul diadopsinya sebuah konstitusi baru pada tahun 1937, tetapi kemudian didirikan kembali pada tahun 1945 dan terus berlangsung keberadaannya sejak saat itu. Sejarah Pengadilan Pemilu Tingkat Tinggi (Superior Electoral Court), http://www.tse.gov.br/internet/ingles/institucional/o-tse.htm (terakhir dikunjungi 3 Januari 2011).
341 Brazil: The Superior Court Intervenes Over Offenses to Jose Serra, Momento24, 30 Okt, 2010, http://momento24.com/en/2010/10/30/brazil-the-superior-electoral-court-intervenes-over-offenses-to-jose-serra/ (terakhir dikunjungi 3 Januari 2011).
342 Brazil Comparative Data, ACE Electoral Knowledge Network, http://aceproject.org/epic-en/CDCountry?country=BR&set_language=en (terakhir dikunjungi 3 Januari 2011).
343 IFES, penelitian internal, Juni 2010. Lihat:http://www/v-brazil.com/government/laws/titleIV-Justice.html.
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
143
Konstitusi mengatur bahwa TSE bertanggung jawab terhadap kewenangan
penafsiran baik norma konstitusional dan legislatif terkait urusan Pemilu.
Hal ini berarti bahwa konstitusi memberikan kekuasaan konstitusional,
legislatif dan yudikatif kepada TSE.
Putusan dan resolusi TSE tidak dapat diajukan banding. Hal ini merupakan
atribut yang luar biasa dan penting, karena tidak ada yang dapat
menggugat hasil Pemilu di pengadilan. Selama periode kampanye Pemilu,
yang berlangsung tiga bulan, TSE memiliki kontrol langsung terhadap
Pertahanan Sipil (Civil Guard) (bagian dari pasukan keamanan nasional).
Hal ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa Pemilu menjadi bebas dan
tanpa campur tangan dari otoritas politik.
Kongres tidak dapat mengundangkan Undang-undang apapun mengenai
Pemilu kurang dari enam bulan sebelum hari pemungutan suara atau
lebih cepat dari enam bulan setelah hari pemungutan suara. TSE harus
dimintai konsultasinya di muka dalam memajukan semua usulan untuk
peraturan perUndang-undangan terkait Pemilu; jika hal ini tidak dipatuhi,
Undang-undang yang dihasilkan akan tidak sah dan batal. Agar Badan
Legislatif dapat mengUndang-undangkan peraturan perUndang-undangan
yang bertentangan dengan pendapat TSE, mayoritas dua pertiga dari
anggota diperlukan.
Partai politik pada umumnya memiliki kepercayaan penuh terhadap
kemandirian dan ketidakberpihakan TSE, utamanya karena kemampuan
TSE untuk melaksanakan Pemilu sesuai dengan jadual dan tetap netral dan
transparan selama proses pemilihan. Pandangan kelompok masyarakat
sipil tentang kualitas hubungan kerjasama dengan TSE sangatlah positif.
Hubungan mereka dengan TSE selalu terbuka dan berdasarkan saling
percaya satu sama lain.
C. Contoh Negara: Uruguay344
Undang-undang Pemilu Tahun 1924 membentuk sebuah badan Pemilu
yang otonom, independen dan permanen di Uruguay. Penyelenggaraan
344 Sara Staino, Uruguay: The Electoral Court – A Fourth Branch of Government 1-2, dapat dilihat di http://aceproject.org/ero-en/regions/america/UY/Uruguay_TheElectoralCourtpercent 20-AFourthBranchofGovernment.pdf/view?searchterm=uruguayelectoralpercent-20court.
144
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pemilu dihimpun di bawah yurisdiksi Pengadilan Pemilu (Corte Electoral).
Pada tahun 1934, eksistensi dan kekuasaan Pengadilan Pemilu dinyatakan
di dalam konstitusi. Keanggotaan pengadilan bersifat campuran, dengan
lima anggota “yang tidak berpihak secara politik” yang semuanya dipilih
oleh badan legislatif, dan empat perwakilan dari partai politik dengan
suara terbanyak yang dipilih oleh anggota dari setiap partai dalam badan
legislatif. Pengadilan Pemilu kemudian mengawasi Badan Pengawas
Pemilu yang permanen, yang bertindak sebagai Badan Penyelenggara
Pemilu di tingkat departemen.
Kewenangan Pemilu pengadilan termasuk tanggung jawab pengelolaan
tradisional, seperti pendaftaran Pemilu dan pelaksanaan Pemilu itu
sendiri. Selain itu, hal ini juga mengawasi Pemilu internal partai politik
dan Pemilu di perguruan tinggi di seluruh negeri. Pengadilan tersebut juga
berfungsi sebagai pengadilan tertinggi mengenai urusan terkait Pemilu,
termasuk penanganan berbagai sengketa dan gugatan Pemilu. Dengan
jumlah mayoritas enam dari sembilan anggota, dimana paling sedikit tiga
anggotanya harus tidak berpihak secara politik, Pengadilan Pemilu memiliki
kewenangan untuk menyelidiki secara formal hasil seluruh Pemilu dan
referendum, untuk menolak hasil Pemilu dan mengumumkan hasilnya
tidak sah dan batal, serta untuk mengadakan penyelidikan terhadap
hasil suara suara. Lebih lanjut, pengadilan tersebut memiliki hak khusus
untuk menerbitkan Undang-undang yang bersifat administratif, yudikatif
dan pengaturan, dan tidak ada Undang-undang tersebut yang dapat
dirubah oleh cabang dari pemerintah manapun. Kekuasaan terakhir ini
merupakan hal yang unik dalam pemerintahan Uruguay – tidak ada badan
yang dapat mengeluarkan berbagai aturan dan Undang-undang dalam
bidang keahliannya yang tidak dapat ditinjau oleh lembaga pemerintahan
lainnya. Indenpendensi politik dan kewenangan yang mutlak ini membuat
Pengadilan Pemilu Uruguay menjadi sebuah badan penanganan yang kuat,
tidak seperti badan penanganan keberatan Pemilu lainnya.
D. Contoh Negara: Nigeria345
Di Nigeria, Pengadillan Pemilu diberi kewenangan oleh Konstitusi dan
Undang-undang Pemilu No. 2 Tahun 2006 juga mengatur mekanisme
345 IFES, Election Tribunal Assesment in Nigeria (Mei 2008) (laporan).
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
145
penanganan keberatan Pemilu. Undang-undang tersebut menyatakan
bahwa gugatan Pemilu yang muncul dari pelaksanaan Pemilu Presiden
ditangani oleh Pengadilan tingkat Banding dan gugatan Pemilu lainnya
ditangani oleh Tribunal Gugatan Pemilu (Election Petition Tribunal).
Pengadilan Banding dan Mahkamah Agung juga dapat memiliki
kewenangan memeriksa banding.
Dalam Pemilu tahun 1999 dan 2003, diperlukan waktu kira-kira lima tahun
untuk mengpenanganan sebuah gugatan, dan terkadang keberatannya
diabaikan begitu saja oleh para hakim. Setelah Pemilu 2003, sebuah
upaya yang sangat besar untuk memperkuat proses penanganan
keberatan di Nigeria dilakukan. Teknik-teknik pengelolaan perkara yang
diikuti oleh Pengadilan Gugatan Pemilu termasuk prosedur pra-peradilan,
memungkinkan para hakim pengadilan untuk memaksa pihak-pihak
yang bersengketa untuk memfokuskan hanya pada isu-isu yang relevan,
untuk membatasi saksi hanya mereka yang relevan, tidak ada kesaksian
kumulatif (non-cumulative testimony), untuk bertukar bukti tertulis
sesuai proses persidangan, dan untuk menghindari penundaan sidang,
kecuali diperlukan.
E. Contoh Negara: Meksiko346
Pedoman Federal atas Lembaga dan Prosedur Pemilu tahun 1990 (Federal
Code of Electoral Institutions and Procedures) memberikan Badan
Penyelenggara Pemilu (Instituto Federal Electoral, IFE) dan Tribunal Pemilu
Federal (Tribunal Electoral del Poder Judicial de la Federacion, TEPJF)
tanggung jawab bersama untuk penegakan Undang-undang Pemilu.
Tribunal Pemilu Federal mengawasi proses Pemilu secara keseluruhan,
menyelesaikan sengketa dan mengesahkan keabsahan hasil Pemilu. Tribunal
ini terdiri dari tujuh anggota Kamar Superior (Superior Chamber) permanen,
dan lima Kamar Daerah (Regional Chambers). Tribunal ini sangat dihormati
dan efektif, serta kepercayaan terhadap lembaga ini sangat penting dalam
memutuskan Pemilu Presiden tahun 2006 yang hanya berselisih suaranya
tipis. Namun model ini memerlukan komitmen sumber daya dan kemauan
politik yang amat besar yang hanya sedikit negara yang dapat memenuhinya.
Sistem ini dicakup jauh lebih rinci dalam Bab 4 dan 5 dari buku ini.
346 Lihat Tribunal Electoral del Poder Judicial de la Federacion, http://www/trife.org.mx/ingles/index.asp (Englishpage).
146
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Daftar Periksa Rekomendasi
Sebuah tema sentral dalam membentuk atau meningkatkan sistem
untuk penanganan sengketa keberatan Pemilu adalah pentingnya untuk
mengenali keragaman sifat dan keseriusan dari jenis keberatan dan
gugatan yang muncul dari Pemilu. Suatu sistem penanganan keberatan
yang efektif harus mengembangkan fleksibilitas dalam menggunakan
lembaga dan prosedurnya untuk mengpenanganan berbagai ketidakpuasan
yang timbul dari Pemilu dan untuk menjatuhkan penalti dan sanksi. Bab
ini telah menekankan (dan contoh-contoh negara telah digambarkan)
Penyelesaian Sengketa Pemilu di Bidang OSCE: Menuju sebuah Sistem Pengawasan Sengketa Pemilu yang Standar
(Laporan OSCE, 2000)
...Beragam pendekatan dan mekanisme, yang ditempa oleh tradisi-tradisi legal dan politik yang berbeda, digunakan oleh pemerintah dalam penyelesaian sengketa Pemilu. Sistem yang dipilih terutama diturunkan dari kerangka Pemilu keseluruhan, tergantung dari berbagai lembaga dan prosedur yang terlibat di dalam proses...
Terdapat juga beragam model proses hukum dimana sengketa Pemilu ditangani. Berbagai keputusan final tentang gugatan dapat tetap berada di hirarki Badan Penyelenggara Pemilu, dapat ditangani oleh sistem pengadilan biasa secara khusus atau dapat juga diberikan kepada mahkamah konstitusi, yang bertindak sebagai pengadilan Pemilu. Selain itu, tindakan perbaikan yang berbeda dapat diberikan, termasuk di antaranya tindakan administratif lainnya oleh negara dan atau petugas Pemilu untuk memperbaiki sebuah masalah, dan tuntutan kriminal sebuah tuduhan kecurangan Pemilu...
Jelas tidak ada satu metode tunggal yang cocok untuk semua negara. Model mana yang akan disahkan sangat tergantung dari tingkat konsolidasi yang dicapai dalam proses demokrasi. Namun, sebuah kebebasan negara dalam mengambil pilihannya bukan tidak terbatas dan harus diterapkan secara konsisten dengan standar-standar internasional. Hak untuk sebuah tindakan perbaikan bagi pelanggaran hak asasi manusia adalah sebuah hak asasi manusia itu sendiri...
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
147
perlunya berbagai mekanisme yang sesuai dengan tradisi kultural, politik
dan hukum tertentu di tiap negara.
Selanjutnya daftar periksa berikut ini menyajikan isu-isu kunci bagi para
praktisi untuk dipertimbangkan dalam menyusun atau meninjau berbagai
kerangka legal dan administratif bagi penanganan keberatan :
√ Pembentukan badan keberatan Pemilu: Badan penanganan
keberatan Pemilu biasanya merujuk pada sebuah Komisi, Tribunal,
Pengadilan, Panel atau nama lainnya yang mencerminkan karakter
kuasi yudisialnya. Pemilihan nama seharusnya mencerminkan cara
bagaimana istilah tersebut digunakan dan dipahami di tingkat lokal.
Ada kalanya, keberatan ditangani oleh Badan Penyelenggara Pemilu
sendiri. Peraturan perUndang-undangan yang membentuk badan
keberatan juga harus merinci jumlah, metode penunjukan dan jangka
waktu anggotanya, independensinya, yurisdiksi dan kekuasaannya.
√ Yurisdiksi yang jelas: Penyusunan peraturan perUndang-undangan
untuk badan penanganan keberatan Pemilu haruslah jelas dan haruslah
mendefinisikan hal-hal sebagai berikut: hak untuk menggugat; beban
pembuktian keberatan yang diperlukan serta sifat dan kecukupan bukti;
dan yurisdiksi badan yang menangani beragam aspek proses Pemilu.
√ Independensi: Perwujudan dan realitas independensi suatu otoritas
keberatan Pemilu berasal dari ketentuan Undang-undang yang
membentuknya; metode penunjukan anggotanya; pengalaman
profesional dan reputasi para anggotanya; jaminan anggaran yang
diterima; kemampuann untuk mempekerjakan dan menjaga staf
profesional yang kompeten yang mendukung independensinya;
dan penghormatan publik yang diperolehnya dari kredibilitas proses
Pemilu. Dimasukkannya kata “independen” dalam ketentuan yang
membentuk otoritas keberatan Pemilu adalah yang paling penting.
√ Keanggotaan: Para anggota idealnya ditunjuk untuk memastikan
bahwa mereka non-partisan, atau, jika hal tersebut tidak
memungkinkan, maka pengaruh politis harus seimbang. Pencalonan
oleh partai politik mau tidak mau akan menyebabkan politisasi dan
148
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
oleh karenanya tidak direkomendasikan. Calon yang layak termasuk:
dari pengadilan; asosiasi perguruan tinggi; organisasi hak asasi
manusia yang mapan; asosiasi hukum; asosiasi bisnis nasional; atau
organisasi buruh nasional.
√ Jangka waktu penunjukan: Jangka waktu penunjukan haruslah
memadai untuk mencakup persiapan dan pelatihan sebelum Pemilu
sampai kebutuhan waktu untuk keberatan setelah Pemilu. Pada
rentang waktu diantara Pemilu, para anggota harus hadir setiap hari
dengan tugas antara lain untuk menyetujui laporan dan membuat
keputusan terkait staf tetap. Keberlangsungan catatan dan keahlian
staf akan dipertahankan dengan sedikit staf kunci yang akan terus ada.
√ Karakteristik anggota: Karena otoritas keberatan Pemilu memiliki
peran kuasi yudisial, para anggotanya biasanya adalah hakim atau
pengacara senior. Di banyak negara, waktu yang diperlukan untuk
pekerjaan ini tidak akan menghalangi seorang hakim atau pengacara
mengambil posisi ini sambil mempertahankan posisi permanen
sebagai seorang hakim atau pengacara. Di negara-negara lain,
jangkauan dan kompleksitas Pemilu akan mengharuskan anggota
untuk mengambil cuti.
√ Pendanaan: Otoritas keberatan Pemilu seharusnya dibiayai melalui
anggaran tahunan yang ditetapkan lembaga legislatif dan seharusnya
tidak dialokasikan melalui Kementerian Keuangan. Hal ini menghalangi
partai berkuasa yang memiliki pengaruh yang berlebihan mengenai
anggaran dan menempatkan tinjauannya di hadapan sebuah komite
yang terbuka, umum dan multi-partai.
√ Kejelasan tata tertib: Prosedur yang dibentuk untuk otoritas
keberatan Pemilu seharusnya jelas tentang aturan untuk mengajukan
sebuah gugatan dan memberikan sebuah definisi yang jelas tentang
hak gugat dan beban pembuktian untuk tuduhan-tuduhan yang khusus.
√ Legitimasi: Jika suatu otoritas keberatan Pemilu berfungsi dengan
baik, menerbitkan laporan yang jelas dari keputusan yang adil,
menerapkan sanksi yang semestinya dan melaporkan kasus-kasus
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
149
serius untuk penuntutan, maka akan mendapatkan penghargaan
publik yang merupakan dukungan terbaik bagi kemandiriannya. Hal ini
mengingatkan kembali tentang peran pelaporan dan informasi publik
yang dijalankan oleh staf permanen utama selama rentang waktu
antar Pemilu.
√ Keberlanjutan di tahun non-Pemilu: Fungsi staf permanen di
antara waktu Pemilu seharusnya adalah untuk melengkapi dan
mempublikasikan catatan keputusan keberatan di Pemilu yang lalu,
meninjau dan memperbaiki berbagai prosedur dan sistem untuk
menangani keberatan; berpartisipasi dalam program informasi publik
mengenai Pemilu, menginformasikan perubahan dalam proses
Pemilu; menyelenggarakan pelatihan tidak tetap (occasional) bagi staf
tidak tetap yang mereka inginkan untuk bekerja kembali di Pemilu
berikutnya; dan menyiapkan Pemilu-Pemilu yang berikutnya.
√ Pengalaman yudisial para anggota: Proses penanganan keberatan
pada hakikatnya merupakan sebuah proses penilaian dan penentuan
yudisial. Pengalaman seorang hakim atau mungkin seorang pengacara
senior sangat dan mungkin relevan dengan tugas tersebut. Sebuah
majelis hakim, pensiunan hakim atau pengacara senior akan menjamin
bahwa aspek-aspek kunci dari penentuan tersebut ditangani
secara profesional.
√ Pengakuan saksi: Terdapat kecenderungan anggota partai politik
untuk memasukkan keberatan berdasarkan laporan dari orang-orang
simpatisan partainya (“party agents”). Undang-undang, peraturan
atau prosedur seharusnya jelas sehingga otoritas keberatan Pemilu
harus menerima secara langsung dan pribadi, bukti dari orang yang
menyaksikan pelangggaran terhadap Undang-undang atau pelanggaran
sebuah peraturan yang dapat menjadikan alasan pengajuan keberatan,
atau yang memiliki pengetahuan pribadi untuk mendukung gugatan
terhadap seorang kandidat. Laporan tidak langsung dari anggota partai
merupakan kabar angin dan tidak dapat ditindaklanjuti.
√ Batas waktu: Undang-undang, peraturan dan aturan prosedur hasus
menentukan batas waktu untuk memasukan sebuah gugatan atau
150
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
keberatan. Terkait keberatan tentang tindak pidana atau pelanggaran,
batas waktu 24, 48 atau 72 jam setelah pelanggaran disaksikan
adalah memadai. Tidak perlu diberikan waktu untuk dilakukannya
suatu keputusan politis dibuat apakah perlu mengajukan keberatan.
Pertanyaan batas waktu yang harus dipatuhi otoritas keberatan Pemilu
adalah problematik. Batas lima atau bahkan lima belas hari setelah
menerima keberatan dapat mengakibatkan keputusannya diabaikan
dan mendorong penundaan oleh tergugat. Berbagai keberatan yang
kritis mungkin melibatkan investigasi yang rumit. Kecepatan merupakan
hal yang penting, tetapi tidak boleh mengorbankan keadilan.
√ Sanksi yang masuk akal: Otoritas keberatan Pemilu harus memiliki
kekuasaan untuk menerapkan sanksi yang diatur oleh Undang-undang;
yang bersifat masuk akal, yang sebanding dengan pelanggaran;
berbeda-beda berdasarkan situasi yang berbeda; diterapkan secara
konsisten; tidak secara berlebihan dibatasi oleh ketentuan minimum
yang menghapus diskresi; termasuk sanksi yang berguna dalam
kasus dimana tindakan hukuman yang sesuai dan juga korektif
sifatnya, dimana memungkinkan; termasuk diskualifikasi kandidat
atau pencopotan staf Pemilu untuk pelanggaran serius; termasuk
rujukan untuk penuntutan pidana; dan jika diterapkan mengecualikan
hukuman tambahan bagi tindak pidana yang dituduhkan.
√ Publikasi catatan yang baik: Suatu ringkasan putusan yang diambil
harusnya diterbitkan secara teratur selama periode keberatan dan
gugatan. Hal ini akan mendongkrak kredibilitas proses tersebut. Di lain
pihak, ekspektasi juga harus dikelola. Selama waktu memungkinkan,
sebuah laporan penuh seharusnya dipublikasikan, termasuk rincian
keputusan yang lebih penting. Hal ini sebuah tugas yang dapat
diselesaikan staf setelah hasil akhir.
PELATIHAN PENANGANAN KEBERATAN PEMILU BAGI BADAN PENYELENGGARA PEMILU DAN PARTAI POLITIK
3Oleh Steven Gray dan Linda Edgeworth
Seorang wanita lanjut usia Kosovo memasukkan surat suaranya di tempat pemungutan suara di desa Trstenik, Kosovo Tengah, pada hari Minggu, 9 Januari 2011. Petugas Pemilu mengatakan pemungutan suara dibuka di lima daerah di Kosovo dimana para pemilih akan melakukan pemungutan suara ulang setelah otoritas yang berwenang menemukan kecurangan yang dilakukan pada Pemilu 12 Desember 2010.
Bab 3: Pelatihan Penanganan Keberatan Pemilu Bagi Badan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik
153
Pendahuluan
Berbagai langkah diperlukan untuk menjamin adanya suatu sistem
penanganan keberatan Pemilu yang efisien, komprehensif dan bekerja
dengan baik (sebagaimana dibahas di dalam Bab 2: Kerangka Hukum untuk
Sistem Penanganan Pengaduan Pemilu yang Efektif). Badan legislatif harus
membentuk suatu kerangka hukum yang sesuai untuk menyelesaikan
keberatan Pemilu yang memenuhi standar domestik dan internasional.
Pihak eksekutif harus tegas dalam niatnya untuk menegakkan berbagai
ketentuan tersebut. Terakhir, para pemangku kepentingan yang diharapkan
dipandu oleh sistem tersebut harus memiliki pengetahuan yang diperlukan
untuk mematuhi mandatnya. Bab ini akan memfokuskan pada penyusunan
program-program pelatihan yang akan menyiapkan para anggota Badan
Penyelenggara Pemilu dan partai politik agar mereka dapat melaksanakan
dan menggunakan proses penanganan keberatan negara mereka
secara efektif.
Bab ini akan disajikan dalam tiga bagian, diikuti oleh sebuah kesimpulan
dan rekomendasi bagi para praktisi pembangunan yang akan membantu
negara-negara yang mengembangkan program penanganan keberatan.
Bagian pertama akan mencakup beberapa prinsip dan konsep mendasar
yang keduanya sama relevansinya dalam menyusun setiap program
pelatihan yang efektif. Pentingnya penetapan tujuan pelatihan, pemilihan
metodologi pelatihan yang paling sesuai, dan pelaksanaan evaluasi pelatihan
juga dicakup dalam bagian awal ini. Bagian kedua akan memfokuskan
pada pendekatan dan tantangan dalam mengembangkan suatu program
penanganan keberatan Pemilu bagi Badan Penyelenggara Pemilu. Bagian
ketiga akan menawarkan saran-saran mengenai penyusunan program
pelatihan yang serupa untuk partai-partai politik.
Prinsip-Prinsip Umum Pelatihan yang Efektif
A. Gambaran UmumPrinsip-prinsip berikut merupakan prinsip fundamental untuk menyusun
program pelatihan yang efektif, tanpa memandang karakter para peserta
dan keterampilan yang akan dicakup.
154
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
i. Pelatihan harus berbasis kompetensi (competency-based)
Tujuan keseluruhan dari suatu program pelatihan adalah agar para peserta
memperoleh kemampuan untuk menyelesaikan keberatan Pemilu secara
efektif dan adil menurut prosedur yang dirangkum di dalam peraturan
perUndang-undangan Pemilu. Di sepanjang bab ini, istilah “kompetensi”
digunakan untuk merujuk pada keterampilan, pengetahuan atau sikap yang
harus diperoleh peserta setelah meninggalkan program pelatihan. Sebuah
program pelatihan tidak hanya memerlukan upaya untuk mengalihkan
kompetensi, tetap seharusnya juga termasuk metode untuk menentukan
apakah itu sudah efektif. Dengan cara apa lagi para pelatih atau Badan
Penyelenggara Pemilu mengetahui bila pelatihannya berhasil?
ii. Harus Menggunakan Model pembelajaran bagi Orang Dewasa
yang Efektif
Adalah penting untuk memahami target para peserta di dalam program
pelatihan. Tanpa memandang latar belakang mereka, para peserta
merupakan orang dewasa dengan pengalaman yang beragam dalam
bidang penanganan keberatan. Mengingat keterbatasan waktu, mungkin
sesi harus dibatasi, pemikiran serius harus dilakukan untuk memilih
model pelatihan yang terbaik yang memungkinkan para pesertanya untuk
menyerap banyak informasi baru secara cepat. Kuliah-kuliah yang panjang
seharusnya diabaikan dan digantikan dengan presentasi yang pendek,
dipadukan dengan metode pembelajaran yang lebih aktif dan praktis.
iii. Kreativitas mungkin diperlukan untuk mengatasi sumber daya
yang terbatas
Salah satu tantangan terbesar dalam menyusun program pelatihan yang
efektif biasanya adalah kurangnya sumber daya. Bahan-bahan rujukan
biasanya langka, dan laporan-laporan yang merinci kasus-kasus pada
masa lalu atau sejarah sebuah negara mengenai keberatan Pemilu
seringkali tidak dapat diakses atau pun tidak ada. Di sinilah kreativitas akan
diperlukan. Menjadi hal yang sulit untuk membuat daftar materi yang pasti
yang akan diperlukan untuk melaksanakan pelatihan. Di beberapa negara,
suatu sesi pelatihan dapat diadakan di luar ruangan. Di negara yang lainnya,
akan tersedia teknologi yang lebih canggih seperti presentasi Power
Point pada layar proyektor. Mungkin sumber daya terbesar yang dapat
digunakan dalam menyusun konsep dan isi dari program pelatihan adalah
Bab 3: Pelatihan Penanganan Keberatan Pemilu Bagi Badan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik
155
Badan Penyelenggara Pemilu, pemangku kepentingan yang relevan dan
lainnya yang telah memiliki pengalaman untuk memulai, menyidangkan,
menyelidiki atau menangani berbagai keberatan Pemilu.
iv. Penggunaan kasus-kasus yang nyata akan menambah relevansi
Menyertakan contoh-contoh dari kasus aktual akan membuat pelatihan
menjadi lebih nyata dan relevan bagi para peserta, walaupun jika kasus-
kasus tersebut harus disamarkan untuk melindungi identitas atau privasi
perorangan yang terlibat. Penggunaan kasus-kasus aktual juga akan
memberikan para peserta suatu petunjuk untuk mengidentifikasi ketika
mereka harus menyelidiki atau memutuskan kasus. Kasus-kasus ini juga
membantu mengumpulkan lagi prinsip-prinsip atau keterampilan yang
didapat selama pelatihan.
B. Tujuan PelatihanPentingnya penulisan tujuan pelatihan berbasis kompetensi secara khusus
tidak dapat diremehkan. Kekhususan merupakan hal yang penting, namun
tujuan yang paling penting adalah tujuan-tujuan yang memenuhi kriteria
SMART. SMART adalah singkatan dalam bahasa Inggris yang digunakan
untuk mengingatkan kita tentang karakteristik tertentu dimana seluruh
tujuan tercakup, sebagaimana digambarkan di dalam kotak di bawah.
Jika tujuan pelatihan adalah SMART dan berbasiskan kompetensi
yang diperlukan oleh para peserta, maka akan menjadi mungkin untuk
menentukan keberhasilan program. Pada akhirnya, keberhasilan seharusnya
diukur dengan sejauh mana para peserta dapat meraih kompetensi dalam
mengajukan keberatan yang sah, atau dalam menyelidiki atau menangani
keberatan Pemilu dengan cara yang adil dan bijaksana.
Beberapa topik yang disarankan untuk pelatihan para peserta dalam
manajemen keberatan Pemilu diurutkan di bawah ini. Topik-topik ini
tidak diurutkan dengan urutan tertentu, juga tidak menyeluruh. Namun,
diharapkan semuanya adalah tujuan-tujuan yang SMART. Mereka yang
memiliki tanggung jawab untuk menyusun sebuah program yang relevan,
tidak diragukan lagi akan mampu untuk menentukan tujuan-tujuan lainnya
yang lebih sesuai, khususnya dengan lingkungan hukum mereka.
156
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Untuk menambah kekhususan dan kejelasan pada tujuan pelatihan,
seharusnya diasumsikan bahwa masing-masing tujuan diawali dengan
sebuah frase, “di akhir pelatihan, para peserta akan mampu untuk:”
• Menjelaskan pentingnya konsistensi, netralitas dan keadilan
dalam penyelesaian keberatan Pemilu;
• MengidentifikasidanmerujukpadaUndang-undangyangrelevan
yang mengatur proses keberatan Pemilu;
• Mengidentifikasibadan-badanyangbertanggungjawabterhadap
menangani keberatan Pemilu;
• Merangkumkategori umumkeberatan yangdapat diajukandan
mengidentifikasi badan penanganan berwenang yang harus
mereka rujuk;
• Mengidentifikasiindividuataubadan-badanyangmempunyaihak
di bawah Undang-undang untuk mengajukan keberatan Pemilu;
• Menjelaskantenggatwaktu,kapankeberatanharusdiajukandan
jangka waktu kapan keberatan tersebut harus diputuskan;
• Daftarjenis-jeniskeberatanyangdapatdimasukkan:
- selama pendaftaran partai dan kandidat;
- terkait pendaftaran pemilih;
- selama masa kampanye;
- pada hari pemungutan suara;
Tujuan pelatihan SMART seharusnya meliputi:
Specific (khusus): Tujuan pelatihan ditargetkan untuk mencapai hasil yang nyata dan jelas rinciannya.
Measurable (dapat diukur): Data dapat diperoleh untuk menentukan apakah tujuannya telah tercapai atau tidak.
Attainable (dapat dicapai): Tujuannya realistik dan sesuai dengan sumber daya program pelatihan.
Relevant (sesuai): Berhubungan dengan berbagai masalah, kebutuhan atau keinginan para pemangku kepentingan kunci.
Time-bound (dibatasi waktu): Terdapat penetapan batas waktu sampai kapan tujuan akan dicapai.
Bab 3: Pelatihan Penanganan Keberatan Pemilu Bagi Badan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik
157
- selama penghitungan dan tabulasi hasil;
• Mengisiseluruh formulir terkaitdengankeberatanPemilu tanpa
kekeliruan atau kesalahan;
• Menunjukkan pemahaman terhadap prinsip-prinsip dasar terkait
penyelidikan kasus-kasus keberatan Pemilu;
• Memahami beban pembuktian yang dibutuhkan agar suatu
keberatan dapat dikabulkan;
• Menunjukkanpemahamantindakanperbaikanadministratifyang
dapat diterapkan oleh Badan Penyelenggara Pemilu di tingkat
tempat pemungutan suara, tingkat Distrik atau Daerah dan
tingkat Pusat;
• Mengenali situasi dimana penghitungan ulang dapat dilakukan,
hasil dapat dibatalkan, atau Pemilu ulang dilakukan;
• Membedakanantarakeberatanadministratifdanpidana;
• Menyebutkan tiga tindakan yang dapat diambil Badan
Penyelenggara Pemilu untuk mengurangi jumlah keberatan Pemilu;
• Menyebutkantigatindakanyangdapatdiambilpartaipolitikuntuk
mengurangi jumlah keberatan Pemilu; dan
• Merasa lebih percaya dirimengenai kemampuanmereka untuk
mengisi tanggung jawab menangani keberatan Pemilu mereka.
Satu tantangan utama dalam menyusun program pelatihan yang efektif
adalah waktu. Jumlah bahan yang dapat dicakup seringkali dibatasi oleh
ketersediaan waktu pelatihan. Tentu saja, lebih banyak yang dapat dicapai
dalam pelatihan lima-hari daripada program pelatihan satu-hari. Untuk
mencapai seluruh tujuan di atas, dipastikan butuh pelatihan empat atau
lima hari. Hal ini dengan asumsi bahwa para peserta adalah anggota-
anggota baru dalam badan yang terkait, atau setidaknya belum pernah
mengikuti pelatihan tanggung jawab keberatan Pemilu. Kerangka waktu
yang lebih pendek memungkinkan, khususnya bagi peserta yang lebih
berpengalaman atau jika tujuan pelatihan yang ingin dicapai memang
lebih sedikit. Dilema program pelatihan yang lebih pendek adalah mereka
membatasi waktu yang tersedia bagi para peserta untuk bekerja sama
dalam membahas contoh-contoh keberatan Pemilu. Selain itu, menjadi hal
yang lebih sulit bagi para peserta untuk menyerap dan mengerti secara
penuh keseluruhan informasi yang diperlukan untuk menunjukkan bahwa
mereka telah mencapai kompetensi yang diinginkan.
158
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
C. Metode PelatihanSebuah program pelatihan aktif menggunakan berbagai metode
untuk memberikan pengetahuan dan membantu para peserta untuk
memperoleh kompetensi. Sesi kuliah yang panjang seharusnya dihindari
dalam sebuah program pelatihan yang aktif, karena paling kurang efektif
untuk memberikan informasi yang akan terus diingat. Sebagai gantinya,
dimana memungkinkan, para peserta seharusnya belajar lewat kegiatan
yang praktek langsung. Beberapa metode perkuliahan masih tidak dapat
dihindari. Di bawah ini adalah penjelasan pendek tentang berbagai metode
pelatihan yang berbeda yang paling berguna dalam merancang model
yang aktif dan praktis.
• Kuliah mini: Kuliah tidak lebih dari 15-20 menit tanpa istirahat,
dapat digunakan untuk menyampaikan sejumlah informasi yang
banyak dengan waktu yang relatif pendek.
• Studi kasus: Penyampaian fakta tentang situasi nyata diambil dari
pengalaman Badan Penyelenggara Pemilu. Melalui penggunaan
informasi studi kasus, para peserta akan mengidentifikasi wacana
tindakan yang dapat diambil dan membuat keputusan berdasarkan
isi atau proses yang dipelajari selama pelatihan.
• Permainan tukar peran (Role play): Sebuah permainan peran yang
terstruktur atau serangkaian peran yang melibatkan dua orang atau
lebih. Para peserta ditugaskan peran-peran yang memungkinkan
mereka untuk menunjukkan atau mempraktikkan keterampilan
interpersonal terkait tujuan atau hasil pelatihan.
• Diskusi kelompok: Sebuah diskusi antara para peserta tentang
topik yang disetujui yang akan difasilitasi oleh pelatih. Diskusi
kelompok merupakan cara yang baik untuk mendapatkan masukan
mengenai sebuah topik dari sekelompok orang dalam waktu yang
relatif pendek.
Berbagai metode ini dapat dipadukan dan disesuaikan dengan sesi-sesi
yang telah dijelaskan di atas. Sebagai contoh, sebuah sesi dapat dimulai
dengan kuliah mini 10-15 menit dan kemudian dilanjutkan dengan sebuah
diskusi kelompok atau sebuah role play. Sebuah kegiatan role play dapat
digunakan untuk memancing diskusi kelompok kecil. Sebuah presentasi
Bab 3: Pelatihan Penanganan Keberatan Pemilu Bagi Badan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik
159
studi kasus dapat diikuti oleh diskusi kelompok tentang cara terbaik untuk
menyelesaikan keberatan yang disajikan.
D. Mengevaluasi PelatihanSatu bagian terpenting dari proses pelatihan yang biasanya diabaikan
adalah evaluasi program pelatihan dan dampaknya kepada para peserta.
Beberapa pertanyaan yang dapat dijawab adalah: Apa yang benar-benar
dipelajari peserta? Seberapa jauh para peserta dapat menerapkan
pengetahuan yang diperolehnya selama pelatihan? Apakah para peserta
menggunakan kompetensi yang diperolehnya ketika menyelidiki atau
menangani keberatan Pemilu? Bagaimana pelatihan dapat membantu
mereka dalam aspek lain dari pekerjaan atau kehidupan mereka?
Sementara seluruh pertanyaan ini memiliki kebaikan, tantangannya adalah
memfokuskan pada pertanyaan evaluasi. Apa yang sedang kita upayakan
untuk pelajari? Apakah kita mengukur jumlah kompetensi yang diperoleh?
Bagaimana kita menilai bahwa pelatihnya adalah pelatih yang baik? Apakah
kita tertarik dengan jumlah keberatan yang diselesaikan oleh Badan
Penyelenggara Pemilu? Apakah kita ingin mengetahui jika para peserta
puas dengan pelatihan ini? Masing-masing pertanyaan ini berbeda dalam
tujuan (tone) dan maksudnya, dan mereka membutuhkan metode yang
berbeda dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul.
Teknik evaluasi yang paling umum meliputi:
• Daftar pertanyaan yang harus diisi oleh para peserta di akhir
sesi pelatihan;
• Ujianpra-danpasca-pelatihan;
• Wawancaradanstuditindak-lanjuttermasukkegiatanberikutini:
- menentukan keputusan keberatan
- meninjau penyelidikan; dan
- melaksanakan FGD dengan Badan Penyelenggara Pemilu dan
hakim, serta partai-partai peserta.
160
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Melatih Badan Penyelenggara Pemilu dalam Penanganan Pengaduan Pemilu
A. Gambaran UmumBadan Penyelenggara Pemilu terdiri dari berbagai individu yang berbeda
dalam pengalaman, keterampilan dan motivasi. Dalam sebagian besar
kasus, para anggota Badan Penyelenggara Pemilu bukanlah profesional
pakar Pemilu, tetapi memiliki pengalaman dalam pekerjaannya. Para
anggota Badan Penyelenggara Pemilu di hirarki tingkat atas biasanya
menjabat secara permanen, sementara di hirarki tingkat bawah Badan
Penyelenggara Pemilu seringkali dibentuk sebelum Pemilu dan hanya
sampai hasil Pemilu disahkan.
Di beberapa negara, anggota Badan Penyelenggara Pemilu di tingkat pusat
ditunjuk oleh badan legislatif berdasarkan pencalonan yang diajukan oleh
partai politik yang bersaing. Terkadang cara penunjukan seperti ini akan
menyebabkan pertentangan atau persaingan antar anggota. Di negara-
negara lainnya, anggota Badan Penyelenggara Pemilu ditunjuk dari hakim.
Hanya di sedikit negara, anggota Badan Penyelenggara Pemilu adalah
pegawai negeri sipil yang bertindak sebagai petugas Pemilu profesional
dan bekerja penuh-waktu mengkoordinasikan dan melaksanakan proses
Pemilu. Di tingkat tempat pemungutan suara, para anggota Badan
Penyelenggara Pemilu direkrut di antara sejumlah nama yang diajukan
oleh dewan pimpinan daerah partai, dari berbagai lembaga publik seperti
sekolah/perguruan tinggi negeri atau dinas pemerintah daerah atau dari
para sukarelawan. Para guru sekolah seringkali dipilih karena mereka
dihormati di dalam masyarakat dan dipandang adil dan jujur.
Sebagai akibat dari keragaman ini, tugas pertama dari setiap program
pelatihan, baik pada penanganan keberatan Pemilu ataupun bagian lainnya
dari operasional Pemilu, adalah untuk memahami siapa peserta yang
menjadi sasarannya dan apa yang mereka ketahui atau tidak ketahui.
Hampir selalu, tantangan terbesar yang dihadapi dalam pelatihan adalah
kompetensi harus dicapai dalam jangka waktu yang singkat.
Bab 3: Pelatihan Penanganan Keberatan Pemilu Bagi Badan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik
161
Sebelum memfokuskan pada tugas pelatihan Badan Penyelenggara
Pemilu dalam penanganan keberatan Pemilu, adalah suatu keharusan
untuk memahami berbagai tantangan yang dihadapi dalam menyusun
program pelatihan untuk para petugas Pemilu pada umumnya, khususnya
di negara-negara dimana sistem Pemilu yang demokratis masih belum
sepenuhnya matang.
B. Tantangan i. Sistem penanganan keberatan Pemilu masih dalam perkembangan
Disiplin manajemen keberatan Pemilu masihlah terus berkembang.
Keberatan Pemilu telah bertahun-tahun merupakan wilayah sistem
hukum. Hal ini memiliki kelemahan, khususnya di negara-negara dimana
sistem hukumnya tidak dihormati atau dinodai secara berlebihan oleh
kepentingan politik yang bertentangan dengan gagasan “keadilan”. Di
dalam beberapa situasi, para pemimpin oposisi sering merasa mereka tidak
dapat memperoleh sebuah sidang yang adil karena kurangnya obyektivitas
dari sisi hakim yang ditunjuk secara politis. Selain itu, pengadilan sering
bergerak lambat. Pengadilan memiliki sistem sesuai hukum yang berlaku
(due process) yang keliru dari sisi kelengkapan/kesempurnaan dan
terkadang dapat menyebabkan tidak sesuai untuk penyelesaian kasus-
kasus yang cepat. Hal yang tidak menguntungkan ketika sebuah Pemilu
tidak dapat diprediksi hasilnya. Sebagai akibat dari faktor-faktor ini, banyak
negara yang berpindah ke sistem dimana lebih banyak keberatan Pemilu
ditangani oleh pengadilan khusus Pemilu, oleh Badan Penyelenggara Pemilu
atau oleh komisi yang secara khusus dibentuk untuk memutuskan kasus
Pemilu. Berbagai lembaga tersebut lebih menangani urusan administratif
ketimbang pidana, sementara sistem pengadilan tetap menjadi saluran
untuk menangani banding.
Beberapa contoh menggambarkan keanekaragaman sistem yang ada di
banyak negara yang menerapkan sistem campuran.
• Di Latvia, berbagai keberatandanbandingdiatur olehbeberapa
Undang-undang dan dilaksanakan oleh sejumlah badan peradilan
dan administratif. Keputusan Komisi Pemilu Kota (Municipal
Election Commissions) dan Kelompok Penyelenggara Pemilu
Setempat (KPPS) (Polling Station Committees) dapat dibanding
162
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
ke Komisi Pemilu Pusat (Central Election Commission/CEC).
Kemudian keputusan CEC dapat dibanding ke Pengadilan
Administratif Distrik (District Administrative Court). Keputusan
CEC mengenai hasil Pemilu dapat digugat ke Mahkamah Agung
(Supreme Court).
• Yunani telah mendirikan Mahkamah Agung Khusus Pemilu
(Supreme Special Electoral Court) untuk mendengarkan kasus yang
menyangkut kepatuhan terhadap Undang-undang yang berlaku
dengan prinsip-prinsip konstitusional yang menjadi pedoman
Pemilu, pelanggaran Undang-undang Pemilu, larangan untuk
maju dalam Pemilu, sampai diskualifikasi pejabat terpilih. Kasus-
kasus lain mengikuti rantai dari tingkat tempat pemungutan suara
hingga ke pengadilan tingkat pertama di distrik yang relevan. Isu-
isu media terkait masa kampanye dipantau oleh Dewan Nasional
Radio dan Televisi (National Council of Radio and Television/NCRT).
NCRT diatur oleh sebuah panel yang terdiri dari presiden Dewan,
Wakil Presiden dan lima anggota yang dicalonkan oleh Konferensi
Presiden (Conference of Presidents).
• Portugis sangat mengandalkan keanekaragaman Undang-
undang dan peraturan serta lembaga penanganan keberatan
yang berbeda tergantung kepada masalah yang dihadapi. Komisi
Pemilu Nasional (National Election Commission/NEC) telah
menyusun berbagai aturan dimana keberatan dapat diajukan. NEC
kemudian memutuskan apakah keberatan tersebut memenuhi
syarat dan apakah tindakan atau keputusan berikutnya diperlukan.
Keputusan NEC dapat dibanding ke Mahkamah Konstitusi
(Constitutional Court).
• Di Kosovo, sebuah Komisi Keberatan dan Banding Pemilu
(Election Complaints and Appeals Commission) khusus telah
dibentuk, sementara di Indonesia Badan Pengawas ditunjuk oleh
lembaga-lembaga di tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Badan
pengawas ini bertanggung jawab meninjau seluruh keberatan
dan memutuskan keberatan tersebut diteruskan untuk ditangani.
Mereka juga dipandang sebagai badan pemantau yang mengawasi
pekerjaan komisi Pemilu dibawah yurisdiksinya.
Bab 3: Pelatihan Penanganan Keberatan Pemilu Bagi Badan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik
163
Keanekaragaman tersebut menunjukkan pentingnya menjamin Badan
Penyelenggara Pemilu dan para peserta politik diberitahukan sepenuhnya
bagaimana proses di negara mereka dan badan penanganan mana yang
memiliki kewenangan.
ii. Pelatihan non-ahli hukum adalah berbeda
Implikasi memindahkan keberatan Pemilu kepada domain Badan
Penyelenggara Pemilu adalah bahwa keberatan ditinjau dan paling tidak
pada awalnya ditangani oleh bukan ahli hukum. Mungkin ada satu atau
dua orang ahli hukum di Badan Penyelenggara Pemilu, tetapi sebagian
besar, seperti yang telah disebutkan di awal, merupakan perwakilan partai
politik, guru, pegawai negeri sipil atau anggota masyarakat. Tugas untuk
melatih Badan Penyelenggara Pemilu yang beranggotakan warga negara
biasa sangat berbeda dengan melatih Badan Penyelenggara Pemilu yang
terdiri dari para ahli hukum dan hakim, karena anggota kerapkali kurang
dalam pelatihan hukum, tepatnya proses penanganan keberatan Pemilu
yang berbasiskan pembuktian.
iii. Pelatihan seharusnya berdasarkan prosedur
Terkait dengan konsep ini adalah perlunya untuk membangun rasa
hormat terhadap proses dan untuk melatih Badan Penyelenggara Pemilu
agar mematuhi prosedur secara akurat dan konsisten. Konsistensi dan
keadilan merupakan cara terbaik untuk menghapus persepsi bias. Pada
umumnya, ketika tindakan atau keputusan Badan Penyelenggara Pemilu
berbeda atau menyimpang dari aturan prosedur, maka satu pihak dapat
berargumen bahwa partai atau kandidat lawan telah diuntungkan. Badan
Penyelenggara Pemilu harus diingatkan bahwa tindakan, penyelidikan,
sidang atau putusan mereka dapat ditinjau serta dapat diajukan banding
ke otoritas yang lebih tinggi. Persidangan pada umumnya terbuka untuk
umum atau, paling sedikit, kepada pihak lawan yang ada dalam keberatan.
Badan Penyelenggara Pemilu perlu hati-hati untuk mengikuti prosedur
dengan cermat, yang akan membantu menjamin sebuah proses yang adil
dan bijaksana.
iv. Terbatasnya Waktu pelatihan
Sebagaimana disebutkan di atas, seringkali waktu terbatas untuk
mengadakan pelatihan. Badan Penyelenggara Pemilu di tingkat daerah
164
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
atau di tingkat tempat pemungutan suara seringkali tidak ditunjuk
sampai periode pemilihan dimulai. Di sebagian besar negara mungkin
sampai 60 hari atau bahkan 20 hari sebelum waktu Pemilu. Hal ini
berarti program pelatihan harus sudah siap untuk dilaksanakan pada saat
Badan Penyelenggara Pemilu dibentuk. Selain itu, para anggota Badan
Penyelenggara Pemilu seringkali segera disibukkan dengan tanggung
jawab Pemilu yang lain seperti memeriksa kebenaran daftar pemilih atau
membuat pemisahan batas daerah pemilihan. Menemukan waktu untuk
melatih para anggotanya selama masa yang sibuk ini seringkali merupakan
tantangan terbesar.
v. Para pemangku kepentingan seharusnya dilibatkan
Setiap program pelatihan seharusnya dikoordinasikan dengan para
pemegang kepentingan kunci yang lain dalam proses penanganan
keberatan Pemilu. Para pemangku kepentingan termasuk perwakilan
dari partai politik, petugas administrasi lokal dan/atau pengadilan daerah
(negeri) atau nasional (tinggi). Jika sebuah program pelatihan dirancang
secara bersama dengan para pemangku kepentingan, hal tersebut
memungkinkan kepentingan mereka dapat dipertimbangkan. Kerjasama
dan keterlibatan di dalam menyusun, mengatur atau berpartisipasi di
dalam sesi pelatihan mendorong persetujuan (buy-in) mereka,
vi. Kesempatan pelatihan tidak selalu diberikan kepada Badan
Penyelenggara Pemilu
Para anggota Badan Penyelenggara Pemilu akan seringkali terbiasa
untuk menghadiri program pelatihan yang menyeluruh. Seringkali,
“pelatihan” anggota Badan Penyelenggara Pemilu yang diterima bersifat
pengarahan yang singkat dan dalam kelompok yang besar dimana mereka
diberikan kuliah singkat oleh seorang hakim atau anggota komisi Pemilu
nasional, dan diberikan salinan pedoman Pemilu (electoral code) negara.
Pelatihan sejenis ini menyampaikan sedikit informasi tanpa membangun
kompetensi. Akibatnya, para anggota mungkin akan merasa kesal ketika
menghadiri program pelatihan menyeluruh pertamanya, karena hal
itu mungkin membutuhkan jumlah waktu yang lebih banyak (dan satu
atau dua hari meninggalkan rumah dan pekerjaan) serta mungkin perlu
melakukan perjalanan ke ibu kota negara atau provinsi. Cara terbaik untuk
menekan hal ini dan tantangan yang tidak diperkirakan lainnya adalah
Bab 3: Pelatihan Penanganan Keberatan Pemilu Bagi Badan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik
165
untuk melibatkan dalam proses perencanaan untuk merancang undangan
pelatihan secara hati-hati dan melibatkan para pemangku kepentingan
utama. Semakin seluruh pihak memahami tujuan pelatihan potensi
keberatan Pemilu, dan alasan memiliki proses keberatan Pemilu, maka
semakin mungkin proses tersebut akan dihormati ketika para pihak tidak
menyetujui keputusan tersebut.
Satu contoh dari program pelatihan yang dirancang dengan hati-hati dan
menyeluruh untuk para anggota Badan Penyelenggara Pemilu adalah
BRIDGE (Building Resources in Democracy, Governance, and Elections).
BRIDGE adalah program pengembangan profesional moduler dengan fokus
khusus tentang proses Pemilu, dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan
pembelajaran yang khusus, seperti proses penanganan keberatan.347
BRIDGE telah digunakan oleh IFES, sebagai contoh, di Nepal sejak tahun
2008 untuk melatih staf Komisi Pemilu (Election Commission) dalam
serangkaian topik Pemilu. Program di Nepal dirancang untuk memberikan
gambaran umum yang intensif tentang berbagai standar internasional dan
penerapan praktis tentang proses Pemilu, dengan sesi-sesi khusus untuk
penegakan hukum Pemilu (electoral justice) serta penanganan keberatan.
Beberapa tahun pelaksanaan BRIDGE yang berhasil terhadap lebih dari
350 peserta di Nepal telah memperkokoh program tersebut dalam proses
pelatihan Badan Penyelenggara Pemilu Nepal. Contohnya, Sekretariat
Bersama Komisi Pemilu Nepal (Nepalese Election Commission Joint
Secretary), Shyam Sharma, mengatakan bahwa “program BRIDGE telah
menjadi sentral bagi strategi pelatihan Komisi Pemilu. Staf Komisi Pemilu
berasal dari pegawai negeri sipil dan banyak yang memiliki latar belakang
umum. Untuk melaksanakan pekerjaan kami secara efektif, merupakan
hal yang mutlak untuk mengembangkan keterampilan staf kami… dan
347 BRIDGE mewakili prakarsa yang unik dimana lima organisasi terdepan (IFES, Australian Election Commission, International IDEA, UNDP dan United Nations Electoral Assistance Division) di bidang demokrasi dan tata kelola (governance) yang secara bersama-sama berkomitmen menyusun, melaksanakan dan mempertahankan kurikulum dan paket lokakarya yang paling menyeluruh yang tersedia, yang dirancang untuk digunakan sebagai alat dalam kerangka pengembangan kapasitas yang lebih luas. Untuk informasi lebih lanjut, lihat di www.bridge-project.org.
166
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
kurikulum BRIDGE dalam artian isi dan metodologi memainkan peranan
kunci dalam mencapai hal ini.”348
C. Struktur Materi PelatihanSebuah sampel struktur materi dirangkum di bawah ini. Setiap sesi harus
dirancang untuk mencapai satu atau lebih tujuan yang disebutkan di atas.
Bagi setiap sesi, suatu perencanaan sesi harus ditulis untuk memberikan
para pelatih dengan pedoman tentang apa yang seharusnya dicakup dalam
sesi ini dan bagaimana tujuan pelatihan seharusnya dicapai.
Daftar sesi di dalam kotak di bawah menggambarkan bagaimana banyaknya
topik yang berbeda seharusnya dicakup selama kursus pelatihan bagi para
anggota Badan Penyelenggara Pemilu tentang penanganan keberatan
Pemilu; namun itu bukan merupakan daftar yang menyeluruh. Sebagai
contoh, mungkin perlu untuk membahas penyelesaian sengketa alternatif
(lihat Bab 6: Berbagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif) atau
bagaimana untuk bekerja sebaik-baiknya dengan pemohon keberatan
yang berlawanan (antagonistic). Topik-topik inilah yang dapat dibahas
dalam pelatihan awal jika waktunya mencukupi, atau dalam pelatihan
tambahan. Harus diingat bahwa ini bukan pelatihan yang berorientasi
348 Katie, Ryan, IFES, BRIDGE Training by the Snow-Capped Himalayas, dapat dilihat di http://www.ifes.org/Content/Publications/News-in-Brief/2010/BRIDGE-Training-by-the-Snow-Capped-Himalayas.aspx, 2010.
Struktur Komisi Pemilu – Sesi ini akan memberikan pengantar tentang komisi Pemilu nasional dan departemen serta tanggung jawabnya. Struktur komisi Pemilu nasional, regional dan provinsi juga akan dibahas.
Peran dan Tanggung Jawab Badan Penyelenggara Pemilu – Sesi ini akan memberikan pengantar tentang peran Badan Penyelenggara Pemilu dalam menangani keberatan Pemilu dan bagaimana tanggung jawab tersebut terkait dengan peran lain Badan Penyelenggara Pemilu (sebagai contoh pendaftaran Pemilu, operasional tempat pemungutan suara, dll).
Pengenalan Undang-undang dan Peraturan – Sesi ini akan mencakup beberapa pasal kunci tentang Konstitusi, Pedoman Pemilu dan peraturan komisi Pemilu berkaitan dengan keberatan.
Bab 3: Pelatihan Penanganan Keberatan Pemilu Bagi Badan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik
167
Konsep Pemilu yang Bebas dan Adil – Sebuah pengenalan dasar tentang konsep Pemilu bebas dan adil serta berbagai standar untuk mengevaluasi sejauh mana Pemilu memenuhi uji ini.
Etika dalam Administrasi Pemilu – Sesi ini akan menguji sumber-sumber pedoman perilaku (ethical conduct) dan berbagai studi kasus dilema etika. Sesi ini akan menanyakan kepada para peserta untuk memikirkan tentang siapa pemangku kepentingan Badan Penyelenggara Pemilu dan bagaimana bertanggung jawab terhadapnya.
Pelanggaran Pemilu – Sebuah tinjauan yang berkaitan dengan pasal-pasal dari Tata Pemilu.
Penanganan Keberatan Pemilu – Sesi ini akan memberikan gambaran umum tata tertib keberatan serta langkah-langkah proses penanganan keberatan Pemilu, termasuk hak gugat (standing) dan persyaratan beban pembuktian serta penjadwalan selama proses tersebut.
Sanksi dan Hukuman – Sesi ini akan mencakup pasal-pasal yang berkaitan dengan Pedoman Pemilu dan mendiskusikan bagaimana Badan Penyelenggara Pemilu dapat menerapkan berbagai sanksi dan hukuman untuk berbagai pelanggaran Pemilu.
Pemantauan dan Pengawasan Pemilu – Sesi ini akan memberikan uraian singkat tentang peran peninjau dan perwakilan kandidat yang dimainkan di dalam proses Pemilu dan berbagai hak dan tanggung jawab mereka terkait pengajuan keberatan.
Bekerja sama dengan Media – Sebuah sesi singkat tentang media dalam proses Pemilu dan bagaimana Badan Penyelenggara Pemilu seharusnya menangani berbagai pertanyaan media tentang kerja mereka.
Bekerja Sepanjang Prosedur Keberatan - Tinjauan langkah-langkah yang rinci dalam proses penanganan keberatan Pemilu, termasuk berbagai formulir yang digunakan dalam proses dan bagaimana untuk mengisinya.
Proses Keberatan Media – Jika relevan, merupakan hal yang perlu untuk menjamin bahwa Badan Penyelenggara Pemilu memahami bagaimana keberatan terhadap pemberitaan media (TV, radio dan surat kabar) ditangani.
Studi Kasus Keberatan – Para anggota Badan Penyelenggara Pemilu diberikan berbagai keberatan yang aktual dan harus mengerjakannya melalui studi kasus, termasuk mengisi seluruh formulir komisi Pemilu.
168
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
akademis dimana teori dan sejarah diuji. Melainkan, ini adalah program
pelatihan yang dirancang untuk mempersiapkan para anggota Badan
Penyelenggara Pemilu mengambil tugas yang seringkali menantang dan
penuh perdebatan dalam penyelesaian keberatan Pemilu.
D. Penyusunan Pelatihan Singkat untuk Petugas Pemungutan Suara
Pelatihan Badan Penyelenggara Pemilu mungkin tidak selalu dapat dilayani
dengan sebaik-baiknya lewat pendekatan “satu ukuran untuk semua”.
Ada saat dimana tujuan dapat lebih baik dicapai dengan merencanakan
sesi pelatihan yang khusus sesuai fungsi dimana petugas Pemilu di
berbagai tingkat hirarki bertanggung jawab, serta otoritas dimana mereka
diperbolehkan untuk mengambil tindakan. Bagi Badan Penyelenggara
Pemilu di tingkat tempat pemungutan suara, khususnya sebuah pelatihan
yang lebih singkat mungkin lebih sesuai. Idealnya, suatu pelatihan dasar
tentang bagaimana menangani keberatan dapat diakomodasi selama sesi
pelatihan petugas pemungutan suara yang biasa.
Di tingkat tempat pemungutan suara, sebagai contoh, petugas pemungutan
suara bertanggung jawab terhadap pendirian tempat pemungutan suara
dan pelaksanaan prosedur yang semestinya untuk melakukan pemungutan
suara di Hari Pemilu. Mereka juga bertanggung jawab untuk melengkapi
dokumen-dokumen secara akurat untuk mempertanggungjawabkan
penerimaan dan penggunaan surat suara dan berbagai materi sensitif
lainnya, mendokumentasikan kejadian atau peristiwa yang tidak biasa di
tempat pemungutan suara dan mengemas kembali materi dan kotak suara
untuk dikembalikan ke Badan Penyelenggara Pemilu daerah atau distrik.
Di banyak negara, penghitungan suara ditangani di tempat penghitungan
Hari Pemilu – Sebuah gambaran umum tata tertib pemungutan suara di Hari Pemilu dan sebuah kesempatan untuk menggugat Badan Penyelenggara Pemilu agar dapat memikirkan bagaimana mereka seharusnya menangani keberatan pada Hari Pemilu.
Tanya Jawab – Sesi ini memberikan kesempatan kepada perwakilan Badan Penyelenggara Pemilu untuk menjawab berbagai pertanyaan tambahan dari pelatihan.
Bab 3: Pelatihan Penanganan Keberatan Pemilu Bagi Badan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik
169
yang tersentralisir; di banyak tempat lainnya, petugas pemungutan suara
juga bertanggung jawab melakukan proseur penghitungan suara setelah
penghitungan suara ditutup dan menyiapkan laporan hasilnya.
Sesuai dengan cakupan kerja yang dilaksanakan di tempat pemungutan
suara, ketua biasanya berkewajiban untuk menanggapi setiap keprihatinan
atau keberatan yang muncul dari perwakilan partai atau kandidat atau
pemantau, serta mengambil tindakan korektif yang segera dimana
dipandang layak. Cara keberatan ditangani oleh seorang petugas Pemilu
dapat menjadi faktor penentu keputusan pemohon keberatan untuk
memasukkan keberatannya secara lebih formal di tingkat yang lebih tinggi
atau mengupayakan proses litigasi.
Tujuan kunci yang seharusnya dipenuhi selama pelatihan petugas
pemungutan suara terkait dengan penyelesaian keberatan Pemilu
seharusnya memastikan bahwa petugas pemungutan suara
kompeten untuk :
• Menjamin perlakuan yang setara, adil, tepat waktu, dan netral
kepada seluruh pemilih, perwakilan dari partai politik peserta
Pemilu dan pemantau yang berwenang yang mungkin hadir di
tempat pemungutan suara;
• Memahami secara penuh sejauhmana dan batas kewenangan
mereka untuk memutuskan dan jenis tindakan perbaikan yang
kompeten yang dapat mereka lakukan;
• Mempertahankansikapyangkooperatifdengansetiappemohon
keberatan yang mungkin mengajukan keprihatinan atau keberatan
terhadap cara bagaimana tata tertib dilaksanakan;
• Mampu mengamati cara bagaimana prosedur dilaksanakan
oleh petugas pemungutan suara dan menentukan apakah suatu
keberatan dapat dibenarkan;
• Mengambiltindakankorektifsegeradimanajelasterjaditatatertib
yang tumpang tindih atau kesalahan telah terjadi;
• Secara percaya diri menjelaskan kepada pemohon keberatan
dimana terjadi kesalahpahaman dalam kasus dimana keberatan
tidak dapat dibenarkan;
170
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
• Menasihatiseorangyangmengajukankeberatanyangtidakpuas
dengan tindakan yang diambil mengenai bagaimana dia dapat
mengajukan banding tentang keputusan yang diambil ke otoritas
yang lebih tinggi; dan
• Memastikan bahwa keberatan, tindakan yang diambil dan
setiap pengakuan dari pihak yang mengajukan keberatan
didokumentasikan secara penuh.
Menyiapkan Partai Politik dalam Penanganan Pengaduan Pemilu
A. Gambaran UmumSatu dari aspek paling menantang dari penyiapan dan pelaksanaan Pemilu
adalah mempertahankan hubungan yang adil, kooperatif dan responsif
dengan partai politik dan kandidat di tengah-tengah lingkungan politik yang
saling bermusuhan. Walaupun seluruh upaya terbaik dan komitmen yang
didedikasikan untuk menyelenggarakan proses Pemilu secara adil dan
kompeten, Badan Penyelenggara Pemilu seringkali menghadapi keberatan
yang bertubi-tubi dari para peserta Pemilu yang terjepit di panasnya
persaingan politik. Dengan begitu banyaknya yang dipertaruhkan, tidak
sulit untuk memahami mengapa mereka seringkali begitu suka menuntut.
Mereka telah menaruh komitmen sumber daya, energi dan masa depan
mereka dalam persaingan untuk memperoleh kepercayaan dan dukungan
dari para pemilih pada komunitas mereka. Bagi mereka, banyak sekali
investasi dilakukan terhadap hasil dari Pemilu.
Ketika penyimpangan muncul dalam Pemilu, satu partai politik mempunyai
kepentingan untuk menjamin bahwa penyimpangan ini tidak mencemari
hasilnya. Mengajukan keberatan adalah respon yang umum. Seringkali
frustrasi berasal dari ekspektasi yang tidak realistis, dan kegagalan untuk
memahami secara penuh proses keberatan Pemilu dan berbagai hak dan
kewajiban terhadapnya.
Bagi suatu partai untuk mengisi fungsi ini secara efektif, pelatihan mungkin
perlu diberikan. Materi berikut ini dirancang untuk menghadapi tantangan
Bab 3: Pelatihan Penanganan Keberatan Pemilu Bagi Badan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik
171
yang mungkin dihadapi dan sebuah format program yang dapat digunakan
untuk pelatihan seperti itu bagi partai politik.
B. Tantangan i. Undang-undang keberatan Pemilu yang belum teruji atau
belum berkembang
Undang-undang dan peraturan keberatan Pemilu yang belum
dikembangkan menimbulkan masalah yang signifikan dalam merancang
program pelatihan, karena substansi yang diperlukan untuk pelatihan tidak
memadai atau hilang sama sekali. Penyelenggara dapat merasa kebutuhan
untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam mengatasi
tantangan tersebut. Merupakan hal yang amat penting bahwa seluruh
opini yang interpretatif dari penyelenggara yang ditawarkan, diperkenalkan
apa adanya. Sebuah skenario yang terkait muncul ketika Undang-undang
dituliskan dengan jelas, tetapi belum secara menyeluruh diuji dalam praktik.
Dalam situasi ini terdapat sebuah kemungkinan bahwa badan legislatif
meninggalkan celah yang memerlukan sebuah penafsiran atau opini oleh
badan peradilan, sehingga menyebabkan turunnya prediktabilitas dari hasil
proses tersebut. Pada beberapa kesempatan, hukum tertulis dan praktik-
praktik tradisional tidak sepenuhnya berkaitan, sehingga menyebabkan
kebingungan tentang saluran yang semestinya untuk mengupayakan
penanganan penuh (untuk contoh yang terkemuka mengenai isu ini,
lihat studi kasus Filipina dalam Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan
Arbiter dalam Keberatan Pemilu). Situasi seperti ini harus diakomodasi
dengan sangat hati-hati dalam menentukan bagaimana untuk mendekati
mereka selama pelatihan dan dalam setiap materi tertulis yang dibagikan.
Merupakan hal yang amat penting bahwa penyelenggara pelatihan tidak
dipandang sebagai menawarkan nasihat hukum. Pada setiap kesempatan,
para peserta seharusnya diingatkan bahwa mereka seharusnya mencari
nasihat hukum yang semestinya dari ahli hukum dan pengecualian tertulis
(disclaimer) harus disertakan tidak hanya dalam presentasi lisan, namun
juga pada seluruh materi tertulis yang dibagikan kepada para peserta.
ii. Munculnya bias
Tidak seperti Badan Penyelenggara Pemilu, yang diharapkan menjaga
netralitas politik, partai politik pada hakikatnya adalah lembaga partisan.
Oleh karena itu, setiap perbedaan antara sesi dan materi pelatihan yang
172
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
diberikan kepada partai-partai secara terpisah akan ditafsirkan sebagai
sebuah upaya untuk memberikan manfaat kepada satu pihak di atas
yang lain. Penyelenggara program pelatihan harus berhati-hati terhadap
potensi munculnya bias ketika merencanakan dan melaksanakan setiap
program pelatihan yang akan disajikan kepada partai politik yang berbeda.
Menawarkan sebuah program satu kali dan membuatnya tersedia untuk
seluruh pihak secara setara merupakan sebuah metode yang optimal
untuk menghindari adanya bias, walaupun mungkin terlalu banyak partai
yang ikut serta dalam Pemilu untuk membuat opsi ini dapat dilaksanakan.
Dalam kesempatan dimana satu program pelatihan tunggal bukan
merupakan hal yang memungkinkan, sebuah upaya yang signifikan untuk
memberikan informasi yang konsisten selama seluruh program pelatihan
merupakan hal yang paling penting.
iii. Penjadwalan pelatihan partai di waktu yang tepat
Pemilihan waktu terbaik untuk melaksanakan sesi informatif bagi
partai politik mengenai hak-hak mereka terkait penyelesaian keberatan
Pemilu merupakan hal yang amat sulit. Sangat mungkin tergoda untuk
mengasumsikan bahwa waktu terbaik untuk melaksanakan program
tersebut adalah sebelum Pemilu. Kepentingan sedang tinggi, partai sedang
aktif-aktifnya dan sempitnya jadwal Pemilu menyarankan agar informasi
yang diberikan dapat tepat waktu. Pada kenyataannya, itu mungkin
merupakan waktu yang paling kurang efektif. Rentang waktu antara
pengumuman tanggal Pemilu, tenggat waktu bagi pendaftaran partai dan
kandidat serta Hari Pemilu dapat jadi cukup singkat. Penambahan rencana
dan pelaksanaan program semacam itu dapat menambahkan beban yang
signifikan terhadap Badan Penyelenggara Pemilu ketika kapasitas mereka
telah dibebani dalam penyiapan Pemilu dan perekrutan serta pelatihan
petugas Pemilu.
Selama periode ini, partai dan kandidat sedang disibukkan oleh kampanye
dan dapat menjadi hal yang sangat sulit untuk menarik minat mereka.
Banyak partai yang memilih melewatkan kesempatan yang sarat informasi
ini, dan lebih memilih mendukung upaya kegiatan kampanye mereka. Bila
partai-partai memilih untuk berpartisipasi, hampir tidak mungkin perwakilan
lengkap dari seluruh partai akan siap. Terkadang peristiwa tersebut hanya
menarik perwakilan partai-partai yang kecil, karena partai-partai yang
Bab 3: Pelatihan Penanganan Keberatan Pemilu Bagi Badan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik
173
lebih besar, dan khususnya partai yang ada di parlemen mungkin percaya
mereka tidak perlu memperoleh penyegaran dalam proses keberatan
dan penanganan keberatan Pemilu. Jika pihak-pihak utama gagal datang,
acara tersebut dapat dipandang sebagai direncanakan untuk “oposisi.”
Perwakilan partai yang datang tidak selalu mereka yang memimpin secara
aktual upaya pihak untuk mengajukan keberatan.
iv. Kompetensi awal yang berbeda
Tantangan lain yang muncul ketika anggota partai politik yang datang ke
program pelatihan memiliki kompetensi awal yang berbeda saat dimulainya
pelatihan. Beberapa anggota partai yang datang mungkin memiliki
pengetahuan dalam peraturan perUndang-undangan terkait dengan
keberatan, sementara yang lainnya akan mengandalkan pelatihan itu sendiri
untuk membangun basis pemahaman. Skenario ini menempatkan para
pelatih dalam posisi menyiarkan informasi yang mungkin terlihat seperti
pengulangan dan berlebihan bagi beberapa yang hadir, sementara secara
bersamaan sangat penting bagi yang lainnya. Memberikan sebuah outline
yang luas tentang proses penanganan keberatan dalam bentuk hand-out
akan membantu menuntun anggota partai yang kurang pengetahuannya.
Informasi dasar dapat diambil dari dokumen-dokumen, karena akan dapat
menjawab berbagai pertanyaan yang tidak memerlukan keahlian yang
mendalam. Informasi yang disajikan secara lisan selama sesi pelatihan
akan menambah lebih banyak substansi pada lapisan dasar ini.
v. Masalah-masalah tambahan
Diasumsikan bahwa pada akhir pelatihan, para peserta akan fasih dalam
prosedur untuk menggugat hasil Pemilu. Keprihatinan yang seringkali tidak
diajukan adalah bahwa pelatihan itu sendiri memberikan para anggota
partai, alat yang dibutuhkan, dan mungkin malah menjadi pendorong untuk
menunda atau mendiskreditkan hasil Pemilu dengan berbagai gugatan
yang tidak perlu. Fakta “ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya”
(self-fulfilling prophecy) tidak berarti dapat diukur atau dikuantifikasi
secara akurat, tetapi itu sangat mungkin terjadi di beberapa kesempatan.
Menanamkan pengertian kepada peserta tentang pentingnya integritas
dan perlunya mengikuti kehendak para pemilih adalah satu-satunya
penangkal bagi masalah yang potensial ini, karena satu-satunya alternatif
adalah tidak melanjutkan pelatihan partai politik tentang bagaimana untuk
174
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
melakukan fungsi yang penting. Hukuman yang diberikan kepada pihak-
pihak yang menggugat Pemilu dengan prasangka burukmemerlukan
keputusan subyektif yang dapat menyebabkan efek menakutkan yang
tidak diinginkan, dimana para pihak yang memiliki dasar untuk sebuah
gugatan akan gagal untuk mengikutinya karena ketakutan konsekuensi
ekonomi yang potensial. Dengan demikian memfokuskan pada titik berat
dari pelaksanaan fungsi partai politik adalah penangkal terbaik untuk
mengatasi masalah-masalah tambahan ini.
C. Struktur Materi PelatihanDi bawah ini adalah beberapa saran yang untuk materi sesi pelatihan.
Rancangan yang sebenarnya dikembangkan dan digunakan oleh para
pelatih dan penyelenggara seharusnya memperhitungkan kondisi di
lapangan, dan oleh karena itu mungkin sangat berbeda dari materi-materi
yang diberikan.
Pengenalan Undang-undang dan Peraturan – Sesi ini akan merinci Undang-undang dan peraturan yang terkait yang berfungsi sebagai dasar untuk penanganan keberatan Pemilu. Putusan pengadilan, jika tersedia, seharusnya digunakan sebagai contoh untuk memperjelas hukum menurut Undang-undang (statutory law), dan untuk menunjukkan secara jelas hukum yang berlaku dalam praktik.
Berbagai Hak dan Tanggung Jawab Partai Politik – Sesi ini akan merinci secara jelas fungsi yang diemban partai politik dan hubungannya dengan struktur demokrasi. Para peserta akan diingatkan mengenai hak hukum partai sepanjang proses Pemilu, dengan fokus yang khusus tentang keberatan pasca-Pemilu. Pada kesimpulan sesi ini, para peserta seharusnya mampu membedakan hak-hak mana yang mereka punya dan tidak punya ketika melindungi kepentingan partai mereka dan kandidat dari partai mereka.
Pelanggaran Pemilu dan Penyimpangan Pemilu – Sesi ini akan mencakup gambaran umum jenis pelanggaran atau penyimpangan terhadap beragam fase pada siklus Pemilu, dan perbedaan antara keberatan administratif dan pidana serta hasilnya.
Prosedur Keberatan Pemilu – Bagian pelatihan ini akan memberikan tinjauan menyeluruh yang rinci tentang proses keberatan, jenis keberatan yang dapat diajukan, siapa yang memiliki dasar hukum untuk mengajukan gugatan, dan badan penanganan yang mana untuk memasukkan gugatan berdasarkan subyek persoalan.
Bab 3: Pelatihan Penanganan Keberatan Pemilu Bagi Badan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik
175
Daftar topik-topik sesi di atas tidaklah dimaksudkan untuk menyeluruh.
Sebagai contoh, informasi tentang strategi sebelum, atau pemulihan
persepsi publik setelah pemilihan, mempersengketakan sebuah Pemilu
tidak dimasukkan. Keprihatinan ini tidak diragukan lagi, merupakan
faktor pertimbangan utama bagi partai politik untuk memutuskan apakah
menggugat hasil Pemilu; namun, sesi pelatihan ini dimaksudkan untuk
hanya menyampaikan tingkat pengetahuan dasar diperlukan untuk
memulai atau menjalankan proses keberatan, bukan bagaimana untuk
menentukan apakah akan terlibat sepenuhnya atau tidak. Suatu program
pelatihan terpisah yang merinci keprihatinan politik sepanjang siklus
Pemilu mungkin merupakan sebuah opsi yang menarik bagi partai-partai
untuk menghadirinya.
Kesimpulan
A. Pelajaran Umum yang Dapat DiambilPemilu di seluruh dunia akan semakin melibatkan litigasi. Di negara-
negara dimana proses penyelesaian keberatan masih dalam proses
pengembangan, jumlah keberatan dan gugatan yang diajukan cenderung
jauh melebih jumlah kasus yang sebenarnya disidang dan ditindak
sampai menghasilkan suatu tindakan perbaikan. Banyak keberatan
dan gugatan yang dibatalkan atas alasan teknis, dan atas dasar bahwa
mereka dimasukkan ke lembaga yang salah, atau atas dasar dimasukkan
lewat waktu. Terdapat juga beberapa tren yang tidak menguntungkan
seperti memasukkan kasus sembarangan dengan motivasi politik dan
dimaksudkan untuk mengeruhkan proses Pemilu dan menghambat
pengesahan hasil.
Menyiapkan Permohonan (Keberatan) – Sesi ini akan membiasakan para peserta dengan formulir-formulir yang dibutuhkan, tengat waktu kapan keberatan harus dimasukkan, bagaimana untuk menghindari pembatalan gugatan karena masalah teknis, dan apa yang termasuk bukti yang memadai untuk mendukung gugatan (beban pembuktian diperlukan).
Prosedur Banding – Terakhir, pelatihan seharusnya merangkum saluran banding dalam hal keberatan ditolak atau keputusan yang berlawanan ditetapkan.
176
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Sifat tindakan perbaikan yang dapat diharapkan dalam kasus dimana
keputusan badan penanganan memenangkan pemohon keberatan
seringkali disalahartikan oleh mereka. Terlalu sering keberatan diajukan
oleh para pemangku kepentingan yang percaya bahwa pelanggaran yang
mereka laporkan harus mempengaruhi hasil Pemilu, tanpa memahami
bahwa membuktikan kausalitas seringkali sangat sulit. Menjadi hal yang sulit
untuk membuktikan bahwa hasil Pemilu telah terpengaruh, contohnya, oleh
kegagalan petugas Pemilu untuk secara konsisten memastikan dicegahnya
pemungutan suara yang diwakili oleh pihak keluarga (family voting), atau
beberapa pemilih tampaknya telah diizinkan memilih tanpa menunjukkan
kartu identitasnya. Sama halnya, pengaruh aktual pelanggaran kampanye
tertentu terhadap hasil Pemilu tidak mungkin dibuktikan dengan tingkat
kepastian apapun. Mungkin terdapat fakta bahwa poster politik dirusak
dengan sengaja, sebagai contoh, tetapi menunjukkan pengaruh perusakan
tersebut terhadap hasil Pemilu merupakan hal yang hampir tidak mungkin
dilihat dengan kepastian hukum tingkat apa pun.
Terdapat juga harapan yang tidak realistik bahwa jika pengadu memenangkan
kasus, maka hasil Pemilu akan dibatalkan, atau bahwa sebuah Pemilu
akan diulang seluruhnya atau sebagian. Dalam banyak kasus-kasus
besar, tidak ada skenario seperti itu yang mungkin. Pada akhirnya, banyak
tindakan perbaikan yang tersedia yang tidak memiliki dampak apapun
terhadap partai yang tidak puas dan mengajukan keberatan. Permohonan
keberatan seringkali gagal untuk mepahami atau membedakan menurut
jenis pelanggaran dengan tindakan perbaikan yang tersedia terhadapnya.
Dalam kasus yang melibatkan tindak pidana, hukuman penjara atau denda
dapat dikenakan terhadap pelaku, tetapi tindakan perbaikan tersebut tidak
memberikan manfaat khusus apapun kepada partai atau kandidat yang
melakukan keberatan. Pelanggaran kampanye dapat menyebabkan sanksi
kepada partai politik atau penyiar (juru kampanye) tanpa ada kepuasan
yang berharga atau pengaruhnya terhadap status pemohon keberatan.
Seringkali, keberatan diajukan terkait keputusan atau tindakan dari
Badan Penyelenggara Pemilu atau tindakan atau kegagalan bertindak di
pihak anggota Badan Penyelenggara Pemilu. Keberatan ini seringkali
terkait kegagalan untuk mematuhi rincian prosedur. Bahkan dimana
kegagalan di pihak penyelenggara Pemilu tersebut berhasil dibuktikan,
Bab 3: Pelatihan Penanganan Keberatan Pemilu Bagi Badan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik
177
mereka biasanya tidak dianggap lebih penting dari hak pemilih untuk
menyatakan kehendaknya. Kebijaksanaan konvensional adalah bahwa
pemilih seharusnya tidak dicabut hak pilihnya karena petugas gagal untuk
mengamati prosedur yang ada di Undang-undang. Seringkali, tindakan
perbaikan administratif menjadi mungkin. Pertimbangan kembali dokumen
pendaftaran kandidat yang ditolak dapat menyebabkan dibatalkannya
keputusan untuk menolak kandidat, contohnya. Suatu banding terkait
penghilangan sebuah nama dari daftar pemilih biasanya dapat diperbaiki.
Kegagalan kandidat independen untuk memberikan jumlah tanda tangan
yang cukup untuk mengajukan pencalonan dapat diatasi jika Undang-
undang atau peraturan memberikan jangka waktu bagi kandidat untuk
menyelesaikan kekurangan tersebut. Tindakan perbaikan administratif
seharusnya selalu diupayakan untuk menghindari proses litigasi lebih lanjut.
Undang-undang di negara yang berbeda akan sangat bervariasi dalam
perlakuan mereka tentang gugatan hasil Pemilu. Di beberapa yurisdiksi,
Badan Penyelenggara Pemilu pusat diberi kewenangan untuk membatalkan
hasil di tempat pemungutan suara secara independen berdasarkan audit
prosedur internal mereka sendiri, atau berdasarkan sebuah keberatan.
Dalam konteks ini, hukum biasanya cukup spesifik terkait dengan situasi
yang mendorong penghitungan kembali suara di tempat pemungutan
suara yang relevan, ketika suara hendak dikecualikan dari hasil Pemilu, atau
ketika sebuah Pemilu ulang harus diadakan. Di negara lainnya, pembatalan
hasil Pemilu mempersyaratkan sebuah keputusan dari badan penanganan
yang ditunjuk atau oleh pengadilan. Tanpa memandang ekspektasi
partai atau kandidat bahwa mereka dapat membatalkan hasil Pemilu
jika mereka menang di pengadilan, pada umumnya merupakan standar
yang diterima bahwa hasil Pemilu hanya dapat dibatalkan jika keseriusan
dan besaran pelanggaran sedemikian signifikan sehingga hasilnya tidak
dapat lagi ditentukan. Di sebagian besar yurisdiksi terdapat keengganan
untuk membatalkan hasil, dan pendekatan bagi perlakuan suara yang
cacat adalah berdasarkan prinsip universal, bahwa mereka hanya dapat
dibatalkan jika jumlah suara rusak lebih besar daripada selisih jumlah suara
antara pemenang dan pihak yang kalah. Bahkan jika di sebuah tempat
pemungutan suara keseluruhannya dibatalkan, suatu Pemilu ulang untuk
tempat pemungutan suara tersebut tidak dapat dilakukan jika jumlah
surat suaranya, tidak mencukupi untuk mengubah hasil untuk distrik
178
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pemilu keseluruhan. Untuk kasus-kasus dimana bukti mengkonfirmasikan
pelaku kecurangan, seperti kelalaian yang amat parah dan kesalahan yang
disengaja lah, yang akan lebih mungkin untuk menghasilkan pembatalan
hasil atau pengulangan hasil Pemilu.
Adalah selalu penting untuk memastikan bahwa hak partai dan kandidat
untuk memasukkan keberatan yang sah dijaga dan para pemangku
kepentingan ini memiliki akses terhadap proses penanganan keberatan
dimana mereka dijamin. Menjadi hal yang penting bahwa setiap pelatihan
untuk partai dan kandidat di bidang penanganan keberatan Pemilu
mencantumkan informasi yang memadai tentang kenyataan ini. Informasi
yang akurat dan harapan yang realistis tentang manfaat apa yang dapat
dicapai melalui gugatan yang berhasil dapat sangat mempengaruhi
dalam membantu partai dan kandidat memutuskan untuk mengupayakan
kasusnya atau tidak.
B. Pertimbangan Kebijakan dan Praktis untuk Pelatihan Partai Politik
Istilah “pelatihan” seharusnya tidak dipakai secara sempit untuk
menggantikan atau menghalangi peluang lainnya untuk mempersiapkan
partai politik memahami dan melaksakan hak mereka. Badan
Penyelenggara Pemilu memiliki posisi yang terbaik untuk meredakan
berbagai keraguan dan kontroversi yang mungkin muncul ketika partai
politik mencurahkan perhatiannya untuk proses keberatan Pemilu. Ini
bisa membuat badan penyelenggara Pemilu merasa tidak nyaman harus
menghadapi berondongan keberatan. Namun, sebagai pengawal proses
dan yang diberi tanggung jawab dan kewenangan untuk menjamin kondisi
yang setara bagi partai dan kandidat, Badan Penyelenggara Pemilu harus
menemukan cara untuk meningkatkan keyakinan dan kepercayaan di
dalam sistem.
Salah satu tujuan yang paling penting dari upaya mereka seharusnya adalah
untuk menjamin bahwa seluruh kandidat dan partai memiliki akses yang
setara terhadap jenis-jenis informasi dan sumber daya yang akan mereka
perlukan untuk mengerti sepenuhnya proses keberatan. Persiapan sebuah
buku saku tentang proses penanganan keberatan Pemilu menawarkan
sebuah peluang yang sempurna untuk mengisi tujuan tersebut. Idealnya,
Bab 3: Pelatihan Penanganan Keberatan Pemilu Bagi Badan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik
179
buku semacam itu dapat memberikan sebuah gambaran umum sekilas
mengenai informasi berikut ini:
• Ketentuan yang relevan tentanghukumyangberlakumengenai
subyek ini;
• Garisbesartentangprosesyangharusdiikuti;
• Kalender yang mengidentifikasi tenggat waktu dan jadwal
yang relevan;
• Contoh-contohformuliryangrelevandanbagaimanamerekadiisi;
• Nama, alamat dan informasi kontak untuk berbagai badan yang
memegang peranan dalam penanganan keberatan, termasuk
Badan Penyelenggara Pemilu di tingkat daerah, propinsi dan pusat.
• Dimanaparapembacadapatmencaribantuan;dan
• Informasilainyangdipandangrelevandanberguna.
Buku saku seperti itu diterbitkan setiap saat selain ditengah-tengah
panasnya persiapan Pemilu khusus. Buku saku tersebut juga akan
memberikan peluang kepada Badan Penyelenggara Pemilu untuk
menjamin bahwa informasi yang seragam diberikan di bawah persyaratan
yang dikendalikan untuk seluruh partai secara setara.
Menyiapkan sebuah buku saku seperti ini memiliki beberapa manfaat
sampingan. Hal ini mendorong penyelenggara Pemilu untuk menempatkan
diri mereka pada posisi partai peserta Pemilu. Dari sudut pandang ini,
Badan Penyelenggara Pemilu dapat mengerti isu-isu apa yang akan
menjadi signifikan bagi para kandidat dan rincian prosedur seperti apa yang
mungkin tidak cukup jelas. Melihat proses Pemilu dari sudut pandang partai
juga dapat menjadi alat bantu yang berguna dalam menentukan dimana
kecacatan sistem dan dimana pelatihan tambahan diperlukan. Akhirnya,
menerbitkan buku saku diantara siklus Pemilu memungkinkan Badan
Penyelenggara Pemilu untuk menghindari hal-hal yang mengejutkan.
Sebagai target potensial untuk gugatan hukum, penerbitan buku
saku ini memberikan Badan Penyelenggara Pemilu kesempatan untuk
mempersiapkan diri mereka untuk menerima keberatan ketika keberatan
tersebut diterima.
180
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Daftar Periksa Rekomendasi
Sebagaimana telah dibahas dalam bab ini, berbagai tujuan, topik dan
metodologi pelatihan untuk program pelatihan yang efektif baik bagi Badan
Penyelenggara Pemilu maupun partai politik seharusnya dipertimbangkan
dengan hati-hati. Para praktisi pembangunan dapat memainkan peranan
penting dalam merancang berbagai program ini dan memberi nasihat
kepada Badan Penyelenggara Pemilu. Serangkaian rekomendasi berikut ini
dapat membantu para praktisi dalam peran ini.
√ Karakteristik dasar pelatihan: agenda berbasis kompetensi;
penggunaan model pembelajaran bagi orang dewasa yang efektif;
penggunaan kreativitas untuk mengatasi keterbatasan sumber daya;
dan penggunaan studi kasus dalam pelatihan untuk meningkatkan
relevansi kepada para peserta.
√ Tujuan pelatihan SMART: Tujuan pelatihan seharusnya bersifat
khusus, dapat diukur, dapat dicapai, relevan dan terikat waktu.
√ Metode sesi: untuk efektivitas yang optimal, sesi seharusnya
termasuk kombinasi kuliah mini, studi kasus, role playing; dan
diskusi kelompok.
√ Evaluasi: Program pelatihan yang efektif seharusnya termasuk
evaluasi pasca-pelatihan. Hal ini dapat berbentuk uji perbandingan pra-
dan pasca- pelatihan, daftar pertanyaan, dan studi serta wawancara
lebih lanjut.
√ Topik-topik untuk program pelatihan bagi Badan Penyelenggara
Pemilu: Suatu program pelatihan dasar bagi Badan Penyelenggara
Pemilu dapat mencakup struktur komisi Pemilu; peran dan tanggung
jawab Badan Penyelenggara Pemilu; berbagai pasal kunci pada
Konstitusi, Pedoman Pemilu dan peraturan yang berhubungan
dengan keberatan Pemilu; konsep Pemilu yang bebas dan adil; etika
dalam penyelenggaraan Pemilu; pelanggaran Pemilu; penanganan
keberatan Pemilu; sanksi dan hukuman untuk pelanggaran Pemilu;
Bab 3: Pelatihan Penanganan Keberatan Pemilu Bagi Badan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik
181
peran pemantau dan pengawas Pemilu; bekerja dengan media;
tinjauan yang rinci mengenai prosedur keberatan; proses keberatan
media; studi kasus keberatan; serta tanya jawab.
Akan dapat berguna untuk merancang sesi pelatihan khusus
dan singkat bagi Badan Penyelenggara Pemilu di tingkat tempat
pemungutan suara. Idealnya, pelatihan dasar mengenai bagaimana
menangani keberatan dapat diakomodasi selama sesi pelatihan rutin
petugas Pemilu.
√ Topik-topik untuk program pelatihan bagi partai politik: Suatu
program pelatihan dasar bagi partai politik dapat mencakup pengantar
pada peraturan perUndang-undangan; hak dan tanggung jawab
partai politik; pelanggaran dan penyimpangan Pemilu; Prosedur
keberatan Pemilu; persiapan keberatan; dan prosedur banding.
Program pelatihan terpisah lainnya dapat menjadi pilihan yang baik
untuk memperbaiki masalah-masalah politik yang tidak masuk dalam
program pelatihan yang komprehensif.
√ Sumber daya tambahan: Suatu buku saku tentang keberatan
Pemilu, dapat dibagikan oleh Badan Penyelenggara Pemilu sebelum
Hari Pemilu, dapat menjadi sumber daya yang tak ternilai bagi partai
politik dan kandidat.
182
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
STUDI KASUS TERKAIT DENGAN PELATIHAN ARBITER DALAM KEBERATAN PEMILU
4Kasus 1: Pengalaman Meksiko oleh
Gerardo de Icaza, Hernández dan Ernesto Ramos Mega
Kasus 2: Pengalaman Filipina oleh Luie Tito , F Guia dan Vincent Pepito, F Yambao, Jr.
Seorang petugas Pemilu menunjukkan surat suara yang salah selama penghitungan ulang sebagian pada Pemilu tanggal 2 Juli di Mexico City, Meksiko Agustus 2006.
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
185
Pendahuluan
Pada inti dari sebagian besar sistem penanganan keberatan Pemilu, berdiri
seorang hakim atau arbiter yang bertanggung jawab untuk mengawasi dan
mengambil keputusan yang kompeten. Bentuk sebuah badan keberatan
Pemilu bisa sangat beragam, ia dapat mengambil bentuk yudisial atau
kuasi yudisial, legislatif atau administratif, purna waktu- atau paruh-waktu,
permanen atau sementara, dan independen atau ditunjuk. Peran seorang
arbiter juga bisa bervariasi bentuknya. Pengambilan keputusan bisa
berbentuk hakim tunggal dari pengadilan umum yang memeriksa keberatan
Pemilu atau bisa saja berbentuk majelis yang terdiri dari beberapa anggota
yang khusus didedikasikan untuk menangani kasus tersebut. Apa pun sifat
dari anggota-anggota badan penanganan, adalah sangat penting untuk
memahami peran dan kekuasaan mereka di dalam proses penanganan
sejak keberatan diterima hingga penyelesaian dari isu tersebut.
Dengan cara yang sama, badan penyelenggara Pemilu nasional harus
melaksanakan pelatihan para hakim secara serius jika ingin memastikan
tercapainya hasil efektif yang dapat mendorong penyelesaian keberatan
Pemilu yang adil, konsisten dan akurat. Berbagai prosedur dan aturan
keberatan Pemilu mungkin berbeda dari perkara perdata, pidana atau
administratif lainnya (informasi lebih lanjut, lihat Bab 1: Standar-Standar
Internasional). Suatu program pelatihan yang dikelola dengan baik yang
menjamin kompetensi setiap anggota, diperlukan bagi terciptanya suatu
sistem penanganan keberatan Pemilu yang adil dan tidak memihak.
Program pelatihan untuk para hakim atau arbiter harus berupaya mengacu
pada suatu pemahaman yang menyeluruh dan mengikuti perkembangan
terkini tentang proses penanganan keberatan Pemilu nasional dan status
terkini dari berbagai peraturan perUndang-undangan, termasuk seluruh
tata tertib yang relevan bagi penyelidikan dan penanganan perkara
Pemilu. Idealnya, pelatihan perlu bertujuan untuk meningkatkan baik
profesionalisme dan efisiensi para hakim atau arbiter dalam kasus-kasus
terkait Pemilu dan juga meningkatkan pemahaman mereka terhadap
praktik-praktik terbaik internasional sebagai kerangka kerja untuk aturan
domestik. Berbagai pelatihan ini seharusnya mampu mempromosikan
186
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
penerapan hukum Pemilu yang seragam dan transparan melalui
penyusunan pedoman yang informal tetapi otoritatif. Pendeknya, pelatihan
hakim dan arbiter akan menginformasikan seluruh pembuat kebijakan yang
relevan di dalam sebuah kerangka kerja bersama, sehingga menghasilkan
keputusan hukum yang dapat diprediksi dan baik.
Bab ini akan menghimpun dua contoh pelatihan badan penanganan
sengketa Pemilu yang berbeda. Pertama, Pengadilan Pemilu pada
Pengadilan Federal (Electoral Court of the Federal Judiciary) Meksiko akan
membagi pengalaman uniknya, dengan menjelaskan sejarah organisasinya
dan pendekatan yang mereka pakai ketika merancang dan melaksanakan
pelatihan bagi badan penanganan keberatan Pemilu di negara-negara
lainnya. Pengadilan Meksiko telah diundang untuk menyusun program
pelatihan peradilan di banyak tempat karena capaiannya dalam
mengembangkan pengadilan Pemilu yang independen. Di bagian
kedua dari bab ini, Libertás, sebuah asosiasi pengacara yang terkenal di
Filipina membagi pengalamannya dalam mengkoordinasikan pelatihan
penanganan keberatan Pemilu pada Pemilu Filipina 2010.349 Pelatihan ini
merupakan pengalaman pertama Libertás dengan pelatihan peradilan
untuk Pemilu, dan pelajaran yang diperoleh (lessons learned) dalam proses
tersebut menyumbangkan pandangan yang cemerlang tentang pentingnya
program pelatihan yang dirancang dan dilaksanakan dengan baik.
Kasus 1: Pengalaman Meksiko
Latar Belakang
A. Evolusi Struktur Peradilan untuk Penanganan Pengaduan Pemilu
Selama 20 tahun terakhir, pendekatan penyelesaian keberatan Pemilu di
Meksiko telah berubah secara substansial dari sistem yang didominasi oleh
sistem politik menjadi suatu sistem yang sepenuhnya berbasis peradilan.
Pada tahun 1987, Tribunal Pemilu pertama (Tribunal de lo Contencioso
349 Libertás (Lawyers League for Liberty) merupakan sebuah asosiasi pembaruan dan individu yang berwawasan kewarganegaraan yang memiliki komitmen terhadap pembaruan hukum dan keadilan, peningkatan demokrasi dan hak asasi manusia, serta advokasi tata kelola yang baik di Filipina.
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
187
Electoral, TRICOEL) di Meksiko dibentuk dengan kewenangan untuk
menyelesaikan berbagai sengketa yang berasal dari Pemilu federal baik
untuk kedua badan legislatif (chambers of Congress) maupun presiden.
Meskipun demikian, Meksiko mempertahankan sistem peradilan Pemilu
campuran, dimana putusan Pengadilan dapat dirubah dengan keputusan
yang dibuat oleh Electoral Colleges pada kedua kamar pada Kongres.
Lembaga-lembaga inilah yang diberikan kewenangan untuk menyatakan
pembatalan suatu Pemilu.
Pada tahun 1990, Pengadilan Pemilu Federal (Federal Electoral Court/
Tribunal Federal Electoral, TRIFE) dibentuk sebagai lembaga peradilan
otonom, tetapi sifat campuran sistem tersebut tetap ada. Keputusan
TRIFE dapat diperbaiki dan diubah melalui dua-pertiga suara Kongres yang
hadir sebagai Electoral College.
Pada tahun 1993, dua amandemen konstitusional yang substantif
dilakukan. Pertama, TRIFE menjadi “otoritas peradilan tertinggi dalam
urusan Pemilu.” Pada saat yang bersamaan, peraturan perUndang-
undangan diterbitkan menggantikan sistem evaluasi-mandiri yang
memungkinkan Electoral Colleges pada Kongres untuk meninjau Pemilu.
Namun, sistem campuran ini masih ada pada saat Pemilu Presiden tahun
tersebut, karena perubahannya belum disahkan oleh Majelis Rendah
(Chamber of Deputies) (majelis tingkat lebih rendah dari Kongres). Pada
tahun 1996, sebagai hasil dari reformasi konstitusional yang menyeluruh,
Pengadilan Pemilu pada Pengadilan Federal (Electoral Court of the
Federal Judiciary, Tribunal Electoral del Poder Judicial de la Federacion,
TEPJF) dibentuk. Semenjak itu, keputusannya mengenai keberatan
Pemilu legislatif dan presiden bersifat final dan berkekuatan hukum tetap.
TEPJF juga diberdayakan untuk menyelesaikan berbagai kontroversi yang
mungkin muncul dari Pemilu Presiden, untuk melaksanakan penghitungan
suara akhir, dan mengesahkan Pemilu. Tidak perlu dikatakan lagi, bahwa
reformasi tersebut memiliki dampak yang amat besar terhadap sistem
Pemilu Meksiko.
TEPJF dibagi menjadi Majelis Tinggi (High Chamber) dan lima Majelis
Daerah (Regional Chambers). Majelis Tinggi adalah badan permanen yang
berkedudukan di ibukota, Mexico City dan terdiri dari tujuh orang Hakim
188
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pemilu. Sejak tahun 1996, para Hakim diusulkan oleh Mahkamah Agung
Meksiko dan dipilih berdasarkan suara dari dua-pertiga dari anggota Senat.
Setelah Reformasi Konstitusi pada tahun 2007, Hakim Pemilu ditugaskan
untuk masa jabatan sembilan tahun. Ketua Pengadilan Pemilu dipilih di
antara anggota-anggota Majelis Tinggi untuk masa empat tahun dan dapat
dipilih kembali untuk jangka waktu tambahan. Majelis Daerah merupakan
badan Pemilu permanen yang berkedudukan di kota-kota Guadalajara,
Monterrey, Xalapa, Mexico City dan Toluca. Kota-kota ini mewakili lima
daerah pemilihan dimana negara ini dibagi untuk memilih anggota-anggota
kongresnya di bawah sistem perwakilan proporsional. Setiap Majelis
Daerah terdiri dari tiga Hakim Pemilu, yang ditugaskan dengan cara yang
sama dengan Hakim dalam Majelis Tinggi.
B. Sistem Penyelesaian Keberatan Pemilu yang Saat Ini Berlaku
Keberatan Pemilu dikelola di beberapa tingkat. Majelis Tinggi TEPJH
diberdayakan untuk menyidangkan keberatan tentang pemilihan presiden,
pemilihan gubernur dan pemilihan anggota kongres (dari anggota kongres
yang dipilih lewat perwakilan proporsional). Majelis ini juga menyelesaikan
berbagai gugatan para pihak terhadap keputusan Lembaga Pemilu Federal
(Federal Electoral Institute-‘IFE’). Majelis Daerah diberdayakan untuk
menyelesaikan keberatan yang terkait Pemilu legislatif (legislator yang dipilih
oleh mayoritas) juga dewan kota dan kepala pemerintahan administratif
dan politik pada pemerintah daerah di wilayah yurisdiksi mereka.
Konstitusi Federal, Undang-undang Peradilan Federal, Peraturan
Penyelenggaraan Pemilu Federal dan Undang-undang Penyelesaian
Keberatan Pemilu memberikan kewenangan kepada TEPJF untuk
mengpenanganan keberatan Pemilu. Melalui sebuah Non-conformity
Proceeding, Pengadilan dapat menyelesaikan keberatan dalam Pemilu
legislatif federal dan Pemilu presiden. Pihak-pihak yang berkentingan
dapat menggugat hasil yang terdaftar di distrik pemungutan suara tertentu
dalam waktu paling lama empat hari setelah setiap distrik menyelesaikan
penghitungan suara. Pemilu presiden secara keseluruhan hanya dapat
digugat dalam waktu maksimal empat hari dari pengumuman hasil Pemilu
yang dikeluarkan IFE. TEPJF dapat menyelesaikan gugatan banding
terhadap tindakan dan keputusan yang dikeluarkan oleh IFE. Sebagian
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
189
besar dari keputusan ini berhubungan dengan sanksi ekonomi terhadap
partai politik.
Berbagai gugatan terhadap berbagai aturan dan keputusan yang
diterbitkan oleh otoritas negara yang kompeten untuk menyelenggarakan,
mengevaluasi atau menyelesaikan keberatan di pemilihan kepala daerah
yang dapat menghasilkan keputusan mempengaruhi pengembangan
suatu proses Pemilu ataupun hasil akhir Pemilu dapat ditinjau oleh Tinjauan
Konstitusional Pemilu (Electoral Constitutional Review). Dalam rangka
menangani gugatan-gugatan terhadap berbagai tindakan dan keputusan
yang melanggar hak-hak politik warga negara untuk memilih, maju di
dalam Pemilu, berserikat secara politik, dan bergabung dengan suatu partai
politik, sebuah gugatan untuk Perlindungan Hak Politik dan Pemilu Warga
Negara (Proceeding for the Protection of the Political and Electoral Rights
of Citizens) dapat diajukan ke Pengadilan Pemilu. TEPJF juga memiliki
kewenangan untuk mengpenanganan keberatan tenaga kerja antara
TEPJF sendiri dan para pegawainya, juga antara IFE and para pegawainya.
Terakhir, menjadi hal yang penting untuk menyebutkan bahwa Pengadilan
memiliki kekuasaan untuk melaksanakan tinjauan konstitusional dan
memastikan kepatuhan hukum Pemilu dengan Konstitusi Federal.
Bagian sebelumnya memberikan gambaran umum tentang sejarah,
reformasi dan evolusi Pengadilan Pemilu Federal Meksiko (Federal
Electoral Court of Mexico) dengan menyoroti berfungsinya proses
penanganan keberatan Pemilu Meksiko. Namun, Pengadilan tidak hanya
memeriksa keberatan Pemilu, pengadilan namun juga memberikan
pelatihan baik di dalam negeri maupun di luar negeri, sebagaimana dibahas
di bagian selanjutnya.
Pelatihan oleh Pengadilan Pemilu pada Peradilan Federal
Selama bertahun-tahun, Pengadilan Pemilu Federal Meksiko telah
membangun suatu kapasitas kelembagaan yang kuat dan keahlian dalam
memberikan pelatihan kepada para profesional Pemilu internasional.
Mekanisme penanganan keberatan Pemilu Meksiko yang unik telah
190
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
memancing keingintahuan dan ketertarikan dari lembaga-lembaga Pemilu
pada negara lain dan telah membawa Pengadilan tersebut untuk membagi
pengalamannya, melatih para hakim dan petugas Pemilu asing, serta
mengadvokasi model kerjanya di luar negeri. Pengadilan juga menggunakan
berbagai keahlian dan sumber dayanya untuk meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan para hakim dan petugas Pemilu nasionalnya tentang
masalah penanganan keberatan Pemilu.
A. Pelatihan Internasional bagi Badan-Badan Pemilu i. Pelatihan internasional dalam Masalah Penanganan
Pengaduan Pemilu
Pada tahun 2008, Lembaga Pemilu Federal Meksiko (Federal Electoral
Institute of Mexico/IFE), Pengadilan Pemilu Federal (Electoral Court of
the Federal Judiciary/TEPJF) dan United Nations Development Program
(UNDP) membuat suatu prakarsa bersama yang berbasis Meksiko untuk
suatu aktivitas pelatihan internasional bagi komisi Pemilu asing. Pelatihan
dimulai dengan sebuah program percontohan yang dikoordinasikan antara
IFE dan Pengadilan Pemilu yang diadakan di Mexico City. Proyek tersebut
dirancang untuk Komisi Pemilu Pusat Bosnia dan Herzegovina. Karena
keberhasilan program percontohan tersebut, proyek ini diformalisasikan
pada tahun 2009 dengan dibentuknya Proyek Pelatihan dan Penelitian
Pemilu Internasional (International Training and Electoral Research Project).
Semenjak program percontohan tersebut, Pengadilan Pemilu Federal, IFE
dan UNDP telah memberikan pelatihan kepada badan penyelenggara Pemilu
dari berbagai negara dalam sejumlah subyek Pemilu, termasuk penanganan
keberatan Pemilu. Proyek pelatihan internasional ini merupakan bagian dari
sebuah rencana yang mempertimbangkan pendekatan siklus Pemilu oleh
UNDP, yang secara luas memfokuskan pada seluruh fase proses Pemilu,
tidak hanya pada Hari Pemungutan Suara. Program ini didanai oleh UNDP’s
Global Program for Electoral Cycle Support, TEPJF, IFE dan menganut
perspektif “selatan-selatan” untuk kerjasama bagi pembangunan. Pelatihan
berlangsung di Mexico City dan sesi-sesinya dibawakan oleh para ahli
internasional, juga pejabat tinggi Pengadilan dan IFE. Tujuan proyek adalah
untuk memperkuat lembaga-lembaga demokratis di seluruh dunia dengan
memberikan informasi dan “pengetahuan” yang diperlukan untuk mengelola
badan-badan Pemilu yang berhasil.
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
191
Menyambung awal yang sukses, TEPJF secara teratur menerima
permintaan bantuan dari beragam pemangku kepentingan Pemilu.
Terkadang permintaan ini datang melalui UNDP, Organisasi Negara-Negara
Amerika (Organization of American States/OAS), atau Asosiasi Pejabat
Pemilu Eropa (Association of European Election Officials/ACEEEO).
TEPJF memiliki suatu Nota Kesepahaman dengan seluruh organisasi
yang disebutkan sebelumnya. Selain itu TEPJF juga menerima permintaan
langsung dari pengadilan Pemilu, kementrian dalam negeri atau komisi
Pemilu baik melalui Kantor Urusan Internasionalnya (Office of International
Affairs) atau kantor-kantor pemerintah Meksiko di luar negeri. TEPJF
mengerjakan program pelatihan hanya berdasarkan permintaan, dan tidak
memilih suatu negara berdasarkan pertimbangan geopolitik atau ekonomi.
TEPJF telah membentuk suatu jaringan pengelola Pemilu, dan memfokuskan
diri kepada suatu metodologi yang efektif untuk bekerja dengan institusi-
institusi relevan sebagai mitra yang setara. TEPJF memiliki hubungan aktif
Bantuan Teknis untuk Mahkamah Agung Pemilu Guatemala(Maret 2009)
TEPJF memberikan bantuan teknis kepada Mahkamah Agung Pemilu Guatemala (Tribunal Supremo Electoral, TSE) dan membangun sebuah program pelatihan tentang sejumlah topik yang luas, termasuk pendanaan dan pengadaan bagi partai politik dan kampanye, penggabungan DPT menjadi DPT Nasional dan pemutakhiran daftar pemilih, peraturan pra-kampanye dan kampanye pemilu, pendidikan kewarganegaraan dan strategi pelatihan bagi petugas pemilu dan anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara.
Bantuan Teknis bagi Pelaksana Pemilu dari Kementerian Informasi Libanon
(Maret-April 2009)
Lokakarya diajarkan kepada tujuh ahli yang berkolaborasi dengan Kementerian Informasi Libanon. Tema-temanya mencakup perspektif internasional tentang metode peningkatan obyektivitas liputan media langsung tentang proses pemilu, mekanisme untuk memastikan keterwakilan yang adil dan setara bagi kandidat perorangan pada media demikian juga pembedaan antara propaganda dan informasi serta antara berita dengan opini selama liputan pemilu. Lokakarya ini dirancang sesuai kepentingan khusus lembaga-lembaga pemilu Libanon.
192
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
dengan hampir semua Badan Penyelenggara Pemilu di Amerika Latin,
dan juga memperoleh manfaat dari suatu jaringan multilateral melalui
OAS, Persatuan Organisasi Pemilu Inter-Amerika (Inter-American Union
of Electoral Organizations (UNIORE)) dan misi-misi pengamatan Pemilu.
Setelah menerima permintaan, TEPJF bekerjasama dengan peminta
kerjasama, dengan mempertimbangkan kapasitas dan kebutuhannya untuk
sebaik mungkin menyusun suatu program yang cocok dengan kebutuhan
negara tersebut. Sebagai hasilnya, agenda pelatihan dapat sangat beragam
dari topik luas seperti seminar tentang peradilan Pemilu, sampai kepada
topik sempit seperti lokakarya tentang transisi demokratis atau hasil Pemilu.
Walaupun lokakarya bisa mencakup isu yang luas, program-program pelatihan
cenderung memfokuskan pada topik yang lebih spesifik: diskusi tentang
organisasi dan administrasi Pemilu; penegakan undang-undang Pemilu;
penanganan keberatan Pemilu; dan komunikasi sosial sebagai faktor penguat
dalam badan Pemilu. Subyek-subyek ini kemudian dibagi menjadi dua bidang
yang lebih khusus. TEPJF selalu melaksanakan penilaian awal proses Pemilu
terhadap negara yang meminta bantuan. Lebih lanjut, Pengadilan menilai
perkembangan demokrasi negara tersebut dalam rangka menerapkan satu dari
tiga tingkat pelatihan: demokrasi yang sedang berkembang; demokrasi yang
lebih terkonsolidasi yang berupaya untuk memperkokoh lembaga-lembaga
Pemilu mereka; dan beberapa bidang masalah pada demokrasi yang matang.
Sebuah proyek pelatihan biasanya dilaksanakan dengan cara seminar
satu minggu di dalam sebuah format meja bundar: satu atau dua ahli
memberikan presentasi pendek, diikuti oleh sesi tanya jawab. Para
peserta dalam pelatihan dipilih oleh Badan Penyelenggara Pemilu yang
Bantuan Teknis Komisi Pemilu Zambia(April 2009)
TEPJF memberikan bantuan teknis kepada Komisi Pemilu Zambia (Electoral Commission of Zambia). Lokakarya mencakup subyek-subyek sebagai berikut: badan Pemilu dan misi mereka dalam pemerintahan yang demokratis, daftar pemilih, pemetaan dan pembagian distrik Pemilu, pendidikan kewarganegaraan, pemungutan suara dari luar negeri, penegakan hukum Pemilu dan perencanaan strategis pada lembaga Pemilu.
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
193
meminta bantuan. Presentasi seminar diberikan mengenai proses
penyelesaian keberatan Pemilu Meksiko, mandat dan kekuasaan TEPJF,
serta kriteria yang digunakan untuk menyelidiki dan menangani keberatan.
Walaupun agenda pelatihan dibuat berdasarkan permintaan khusus dari
badan Pemilu, TEPSF menggunakan kesempatan yang disediakan dalam
pertemuan ini untuk mengadvokasi pendirian lembaga administratif yang
menyelenggarakan dan melaksanakan Pemilu, dengan badan peradilan
terpisah yang diberdayakan untuk menangani keberatan Pemilu.
Bantuan Teknis Bagi Komisi Pemilu Filipina(Electoral Commission of the Philippines/COMELEC)
(Agustus 2009)
Sebelum pemilu Mei 2010 di Filipina, TEPJF dan Komisi Pemilu Filipina (COMELEC) menyetujui upaya bersama untuk mempertajam lebih lanjut keterampilan pemilu mereka. Dua pejabat senior COMELEC melakukan perjalanan ke Meksiko pada bulan Agustus 2009 untuk bertukar informasi dan ide dengan 24 otoritas pemilu Meksiko dan para ahli internasional.
IFES juga mengambil bagian di dalam prakarsa ini dan bertindak sebagai jembatan untuk membawa komisi pemilu dari seluruh negara untuk bertukar pengalaman dan menerima pelatihan dengan otoritas pemilu Meksiko. Pertukaran ini memberikan kesempatan kepada komisi-komisi pemilu asing untuk belajar dari sistem pemilu Meksiko, salah satu yang paling canggih di dunia. Kemudian, komisi-komisi asing memberikan IFE kesempatan untuk terus mengembangkan keahlian pemilunya menjadi lebih terbiasa dengan sistem-sistem yang berbeda di seluruh dunia.
TEPJF mengadakan sebuah lokakarya yang membahas beberapa subyek, seperti pendanaan pemilu, daftar pemilih, penegakan undang-undang pemilu di Meksiko, teknologi pemilu dan pemungutan suara elektronik, dan program pendidikan kewarganegaraan serta pelatihan pemilu. Delegasi Filipina dan Meksiko menyadari bahwa mereka menghadapi tantangan yang serupa yang timbul dari latar belakang geografis dan sosial politik dan isu-isu yang yang disajikan oleh penyelenggaraan pemilu yang modern yang serupa. Penyaji dari Meksiko menjelaskan kepada delegasi COMELEC tentang kegagalan di masa lalu, apa yang mereka telah lakukan untuk mengatasinya, dan dalam banyak kasus, apa yang masih mereka lakukan untuk memperbaiki kesalahan dalam sistem yang terus menerus.
194
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Para pelatih seringkali adalah ahli internasional atau pejabat tinggi IFE
atau TEPJF (misalnya pelatih dari Pusat Pelatihan). Pelatih membuat
materi mereka sendiri untuk para peserta, yang kemudian diterjemahkan,
sebagian besar ke bahasa peserta. Mitra khusus untuk suatu proyek akan
beragam, walaupun OAS, IFE dan UNDP umumnya bermitra dengan
Pengadilan tersebut untuk pelatihan Badan Penyelenggara Pemilu.
Akhirnya, pada akhir proyek pelatihan, para peserta pelatihan diminta untuk
mengisi lembar evaluasi dengan umpan balik dan rekomendasi tentang
pekerjaan TEPJF.
Penyelenggaraan dari kegiatan pelatihan ini di berbagai negara tentunya
mempunyai berbagai keterbatasan praktis. Hambatan bahasa adalah masalah
yang paling nyata, walaupun Pengadilan Pemilu telah berhasil mengatasi
tantangan ini. Di Eropa Timur contohnya, Pengadilan mempekerjakan dua
orang penerjemah simultan untuk menerjemahkan dari bahasa Macedonia
ke Bahasa Inggris dan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Spanyol. Namun bahasa
hanya merupakan puncak dari gunung es masalah jika dibandingkan dengan
perbedaan-perbedaan dalam pelatihan; selalu dibutuhkan pertimbangan
faktor-faktor lain seperti sejarah dan kebudayaan negara-negara tertentu,
juga tradisi hukum dan kebiasaan. Namun, berbagai perbedaan hukum
sebenarnya merupakan masalah yang lebih kecil dibandingkan dengan
celah, ketidakjelasan atau ketidakselarasan yang mungkin ada di kerangka
hukum dari demokrasi tertentu. Namun, tidak seperti beberapa bidang
hukum lainnya, tampaknya ada sebuah konsesus tentang prinsip-prinsip
Pemilu internasional yang sedang dibangun.
Lokakarya Internasional Administrasi Pemilu untuk Komisi Pemilu Republik Macedonia dan Komis Pemilu Pusat Bosnia dan Herzegovina
(Februari 2010)
TEPJF menyelenggarakan sebuah lokakarya internasional yang dihadiri oleh Komisi Pemilu Republik Macedonia dan Komisi Pemilu Pusat Bosnia dan Herzegovina. Lokakarya membahas penanganan keberatan Pemilu dan penegakan undang-undang Pemilu, juga diskusi tentang perspektif perbandingan sistem-sistem Pemilu, otoritas Pemilu dan tata kelola demokratis, pemungutan suara dari luar negeri, materi Pemilu tentang organisasi, logistik dan mekanisme pemungutan suara, pendidikan kewarganegaraan, pelatihan Pemilu dan pegawai negeri pada Badan Penyelenggara Pemilu, serta modernisasi dan teknologi Pemilu.
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
195
Walaupun sumber daya seringkali menjadi isu di dalam pembaruan Pemilu,
sumber daya finansial umumnya bukanlah kendala bagi Pengadilan Pemilu.
TEPJF memiliki sumber daya yang baik untuk melaksanakan pelatihan-
pelatihan internasional ini dan juga membagi biayanya dengan OAS,
UNDP dan pihak yang meminta pelatihan. Lebih jauh lagi, seluruh sesi
pelatihan diadakan di Meksiko, dimana infrastuktur tersedia luas untuk
pelatihan dalam urusan Pemilu. Tentu saja, pelatihan ini juga memberikan
manfaat kepada Pengadilan Pemilu dan pemerintah Meksiko. Pelatihan
internasional tentang penegakan undang-undang Pemilu dan penanganan
keberatan Pemilu memperkuat jalur kerjasama TEPJF sambil berkontribusi
kepada pengembangan proyek-proyek Pemilu di negara lain. Mereka
mendorong berbagi dan bertukar pengalaman dan pengetahuan dengan
para mitra di bidang yang menjadi kepentingan bersama, dan demikian
TEPJF memperoleh manfaat baik dari pengembangan demokrasi di dunia
dan peningkatan harmonisasi hukum internal dan internasional dalam
putusan-putusan penanganan keberatan Pemilu. Selagi para hakim, arbiter
Pemilu dan pejabat Pemilu lainnya bekerja untuk meningkatkan dan/atau
memperbaharui sistem penanganan keberatan Pemilu mereka benar-
benar dapat memperoleh dukungan yang sangat besar dan panduan dari
pengalaman Meksiko sendiri, tidak hanya dalam pekerjaan pengadilan
Pemilu internasional.
ii. Jenis pelatihan lainnya yang diperlukan oleh tribunal Pemilu
Walaupun tidak diragukan lagi bahwa suatu tribunal Pemilu sangat
memerlukan pelatihan penegakan hukum dan penanganan keberatan
Pemilu, namun sebuah lembaga yang kuat yang melayani demokrasi
modern memerlukan pengetahuan pada berbagai bidang yang berbeda.
Di bawah premis ini, Pengadilan Pemilu Meksiko telah memberikan
bantuan kepada beberapa lembaga Pemilu di dalam bidang-bidang yang
sifatnya dukungan.
OAS dan TEPJF menandatangani Nota Kesepahaman pada tahun 2009350,
dan sejak itu telah bekerja sama dengan lima misi bantuan teknis. Tiga
dari misi tersebut di bidang strategi komunikasi, satu didedikasikan untuk
350 Nota Kesepahaman ditandatangani antara Pengadilan Pemilu Federal (Electoral Court of the Federal Judiciary) dan Sekretaris Jenderal OAS pada tanggal 26 Juni 2009.
196
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
teknologi informasi (TI) dan satu difokuskan pada audit dan gugatan
terhadap daftar pemilih.
Dua misi pertama dilaksanakan pada Februari 2009 untuk Dewan Pemilu
Nasional (National Electoral Council) dan Tribunal Pemilu (Electoral Tribunal)
Ekuador. Kedua lembaga ini mengalami reorganisasi dan diberikan fungsi-
fungsi yang baru setelah amandemen konstitusi tahun 2008. Hal ini
menciptakan tantangan yang sangat besar dalam tingkat pengakuan dan
kepercayaan publik, dan misi pertama difokuskan pada pembuatan strategi
komunikasi untuk menjadikan lembaga-lembaga tersebut lebih dikenal dan
untuk meningkatkan tingkat kepercayaan publik. Misi kedua dimaksudkan
untuk melakukan implementasi seluruh kebutuhan Teknologi Informasi
yang diperlukan oleh lembaga yang baru dibentuk ini. Direktur TI dan
Komunikasi Pengadilan Pemilu Meksiko mengunjungi Ekuador, dibiayai
oleh OAS untuk merancang strategi pembaruan pada bidang-bidang ini.
Tim Kerja Kerjasama Selatan-Selatan kemudian menjuluki pengalaman
tersebut sebagai “kisah sukses”.
TEPJF melaksanakan misi bantuan teknis ketiga di San José, Kosta Rika
bulan Januari 2010 bagi Mahkamah Agung Pemilu Kosta Rika (Supreme
Electoral Tribunal Costa Rica). Misi penilaian ini memiliki suatu tema
sentral, yaitu penyusunan strategi komunikasi. Strategi tersebut sangat
berbeda dengan Kosta Rika, karena Mahkamah Agung Pemilu adalah
lembaga yang mapan tetapi telah dituduh oleh sementara pemantau
Pemilu sebagai berpihak pada partai politik yang berkuasa.
Tujuan misi berikutnya adalah menyusun norma dan pelaksanaan proses
audit pendaftaran pemilih untuk Pengadilan Tinggi Pemilu Paraguay (High
Court of Electoral Justice of Paraguay). Misi ini terdiri dari pengiriman
panitera yang dengan spesialisasi di bidang keberatan pendaftaran pemilih
untuk membantu para legislator Paraguay untuk merancang sebuah sistem
yang memungkinkan partai politik dan perorangan untuk menggugat
daftar pemilih.
Terakhir, OAS menerima sebuah permintaan bantuan untuk menyusun suatu
strategi komunikasi untuk Juri Nasional Pemilu (National Jury of Elections)
di Peru. Nasihat diberikan oleh pejabat tinggi TEPJF kepada Juri Nasional
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
197
Pemilu dibawah kerangka perjanjian kerjasama kelembagaan antara badan
Pemilu tersebut dan TEPJF. Misi ini berlangsung pada bulan April 2010.
Bantuan teknis diberikan oleh TEPJF kepada berbagai badan Pemilu, atas
permintaan OAS, merupakan sebuah cara yang efektif untuk memperkuat
demokrasi di kawasan tersebut. Dengan berkembangnya profesionalisme,
pengetahuan dan efisiensi di berbagai lembaga tersebut, begitu juga
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kompetensi demokrasi mereka.
Fakta bahwa dukungan diberikan tidak hanya dalam bidang penegakan
undang-undang Pemilu, tetapi juga dalam fungsi-fungsi dukungannya,
merupakan sebuah indikasi bagaimana suatu lembaga Pemilu modern
harus terlatih dengan baik dalam berbagai bidang.
Terlepas dari berbagai pelatihan internasional dan pertukaran pengalaman
profesional dengan berbagai lembaga Pemilu lain, Pengadilan juga
berkomitmen untuk membiasakan para hakim Pemilu, pejabat Pemilu dan
masyarakat umum Meksiko dengan proses penanganan keberatan Pemilu
negara mereka sendiri.
B. Pelatihan NasionalDi dalam negeri, TEPJF memberikan pelatihan melalui Pusat Pelatihan
Pengadilan Pemilu (Electoral Judicial Training Center/Centro de Capacitacion
Judicial Electoral, CCJE) yang memiliki misi untuk berkontribusi kepada
perbaikan administrasi penegakan undang-undang Pemilu secara terus
menerus. Fungsi pelatihan CCJE dibagi menjadi empat divisi: pelatihan
eksternal (ditujukan pada badan Pemilu lain dan partai politik); pelatihan
internal (memfokuskan pada pegawai pengadilan dari Pengadilan Pemilu
sendiri); pelatihan manajemen (memfokuskan pada pengembangan
keahlian teknis dan administratif untuk staf administrasi TEPJF); dan
pembelajaran jarak jauh (melalui penggunaan teknologi kependidikan,
yang ditujukan untuk pejabat dan masyarakat umum). Setiap fungsi ini
membutuhkan tingkat keterlibatan CCJE yang berbeda-beda, dengan
pelatihan internal dan eksternal membutuhkan paling keterlibatan yang
paling banyak, dalam hal sumber daya dan perencanaan.
Bagian berikut akan memfokuskan pada bagaimana CCJE memenuhi
tugasnya dalam pelatihan internal dan eksternal dan bagaimana ia
198
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
mengembangkan pelatihan yang dapat mengoptimalkan kinerja pejabat
Pemilu internal dan eksternal kepada TEPJF. Proyek yang akan dibahas
di sini telah dirancang dan dilaksanakan sejak restrukturisasi CCJE tahun
2009. Untuk membandingkan dan memfasilitasi sebuah pemahaman
tentang perkembangan di bidang tersebut, hasil sebagian besar proyek-
proyek ini, disajikan lewat perbandingan dengan restrukturisasi tahun 2009.
i. Pelatihan eksternal untuk otoritas lokal
Pelatihan eksternal paling banyak membutuhkan sumber daya dalam
pengertian pegawai dan keahlian. CCJE memberikan pelatihan khusus
dalam persoalan Pemilu kepada pengadilan dan lembaga Pemilu dari
32 lembaga lokal yang bertanggung jawab menyelenggarakan Pemilu
pada setiap negara bagian dan di Mexico City, juga kepada Lembaga
Pemilu Federal (Federal Electoral Institute/IFE), partai politik, kelompok
politik, lembaga akademis dan masyarakat umum. Karena pentingnya
tugas tersebut, beragamnya peserta, dan tingginya permintaan akan
pengetahuan, pada tahun 2009 administrasi baru CCJE mulai merancang
sebuah pendekatan yang inovatif terhadap pelatihan eksternal yang akan
memperbaiki hasil-hasilnya. Pendekatan ini memerlukan pekerjaan di tiga
bidang: pengelolaan kursus, organisasi tematik dan materi pelatihan.
Pengelolaan kursus
Mengingat rumitnya sifat pelatihan bagi kelompok eksternal yang
berbeda, pemrograman kursus yang efektif merupakan hal yang paling
penting. CCJE merancang sebuah program pangkalan data (database)
untuk menyimpan catatan seluruh program yang ditawarkan dari waktu
sebuah lembaga memintanya351 hingga diploma untuk para peserta
diberikan. Program tersebut menjajaki ketersediaan para pengajar, profil
dari kelompok yang akan dilatih dan pertukaran-pertukaran sebelumnya
dengan setiap lembaga. Sistematisasi proses tersebut memungkinkan
untuk segera memperoleh laporan statistik untuk mengidentifikasi tingkat
pengetahuan peserta, bidang pelatihan yang memerlukan perhatian
khusus dan informasi praktis pelatihan lainnya seperti potensi konflik
jadwal. Penyederhanaan pemrograman kursus juga memungkinkan
351 CCJE menerima aplikasi untuk kursus pelatihan melalui situs web mereka, http://www.te.gob.mx/ccje/capacitation_externa/Intro.html.
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
199
pemberitahuan tanggal pelatihan dilakukan lebih awal, yang berujung pada
efisiensi, seperti biaya transportasi dan biaya materi yang lebih murah.
Metode untuk mengevaluasi instruktur juga merupakan suatu topik kunci.
Akhir-akhir ini, formulir evaluasi dirancang ulang untuk memasukkan
beberapa pertanyaan yang lebih mampu mencerminkan kinerja para
pelatih dan kualitas materi kursus dengan skala 0 sampai 5, dimana 5
mewakili peringkat terbaik dan 0 terburuk. Formulir-formulir ini sekarang
mulai dimasukkan ke dalam sistem database pada berkas setiap pelatih,
sehingga memungkinkan CCJE untuk menilai kinerja pelatih sepanjang
waktu. Sebagai contoh, laporan kinerja bulanan dan kuartalan dihasilkan
dan dianalisis oleh para petugas yang bertanggung jawab dalam kursus
pemrograman. Penilaian ini dapat digunakan untuk memilih para pelatih
yang terbaik untuk topik tertentu, menyarankan bidang-bidang perbaikan
untuk masing-masing pelatih, dan memberikan dukungan untuk perbaikan
dengan merujuk pelatih yang kurang terampil kepada mereka yang berhasil.
Organisasi Tematik
Perbaikan program-program CCJE juga memerlukan penyusunan kursus
yang tematik. Sebelum 2009, kursus diajarkan berdasarkan permintaan
dari setiap lembaga tanpa menawarkan sebuah kemajuan sistematik
yang konsisten. Oleh karena itu, semenjak tahun 2009, dan berdasarkan
kompetensi serta tugas Pengadilan Pemilu, CCJE telah merancang sebuah
katalog berisi 26 subyek yang dibagi menjadi tiga tingkat: umum; lanjutan;
dan spesialisasi.
Subyek-subyek umum dirancang untuk masyarakat yang luas yang
hanya tertarik dengan isu-isu Pemilu, atau para peserta yang memiliki
pengetahuan dasar tentang Undang-undang Pemilu. Kursus di tingkat
ini membahas topik-topik seperti rezim demokrasi, pembaruan Pemilu di
Meksiko dan budaya demokrasi serta budaya penegakan undang-undang
Pemilu.352 Subyek-subyek ini dimaksudkan untuk membangun sebuah dasar
yang kuat bagi konsep menyeluruh yang lebih rumit di masa mendatang
dalam Undang-undang Pemilu dan diajarkan oleh pelatih CCJE.
352 Subyek-subyek umum: rezim demokrasi; hukum Pemilu Meksiko; perkembangan historis lembaga Pemilu di Meksiko; reformasi Pemilu di Meksiko; sistem Pemilu dan sistem partai; partai politik; lembaga Pemilu di Meksiko; budaya demokrasi dan budaya penegakan hukum Pemilu.
200
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Subyek-subyek yang lebih maju dirancang bagi para peserta yang memiliki
pengetahuan yang kuat dalam isu-isu Pemilu, juga petugas Pemilu dan
anggota partai. Mahasiswa yang mengambil kursus ini mempelajari
tentang penanganan keberatan Pemilu, yurisprudensi Pemilu dan Undang-
undang prosedur Pemilu. Kursus-kursus ini menjadi sangat penting untuk
mengembangkan sebuah pengertian penuh tentang proses penanganan
keberatan Pemilu, dan juga diajarkan oleh pelatih CCJE.353
Kategori tematik terakhir adalah subyek-subyek spesialis. Kursus-kursus
ini ditujukan bagi peserta yang merupakan pejabat Pemilu pada posisi
menengah dan tinggi dengan maksud untuk memutakhirkan mereka
dengan bidang yang terkait erat dengan tugas-tugas mereka. Untuk
mengambil kursus ini, para peserta harus mendemonstrasikan kecakapan
dalam subyek yang umum dan lanjutan. Subyek spesialis utamanya
diajarkan melalui studi kasus sehingga memberikan, baik teori maupun
praktik, tentang masalah tersebut. Kursus ini memberikan pengetahuan
yang perlu dimiliki seorang hakim atau arbiter Pemilu. Kurikulumnya
mencakup banding Pemilu, tinjauan konstitusional di dalam persoalan
Pemilu, pembatalan hasil Pemilu, analisis terhadap ketidakpuasan dan
perancangan Undang-undang Pemilu.354 Karena rumitnya kategori tematik
ini, materi diajarkan baik oleh para pelatih CCJE ataupun oleh panitera
(law clerks).
Kemajuan kursus tematik yang baru diterima dengan baik oleh para
penerima pelatihan, dan berujung pada meningkatnya permintaan terhadap
kursus oleh pengadilan dan lembaga Pemilu federal Meksiko.
Materi pelatihan
Perbaikan juga telah dibuat dalam merancang materi pelatihan. Sebelum
tahun 2009, para pelatih menghadapi keterbatasan karena merekalah
353 Subyek-subyek lanjutan: pemeriksaan keberatan Pemilu; yurisprudensi Pemilu; hukum Pemilu; reformasi konstitusional dan hukum Pemilu 2007-2008; proses Pemilu federal; hak kaum penduduk asli di dalam hukum Pemilu Meksiko.
354 Subyek-subyek spesialis: revisi Pemilu; banding Pemilu; gugatan non-conformity; pertimbangan Pemilu; prosedur perlindungan hak-hak politik dan Pemilu warga negara; tinjauan konstitusi dalam urusan Pemilu; prosedur keberatan dalam bidang ketenagakerjaan pada lembaga Pemilu federal; sistem pembatalan hasil Pemilu; sanksi dalam hukum Pemilu administratif; penafsiran hukum dan argumentasi dalam urusan Pemilu; pembuktian dalam hukum Pemilu; analisis ketidakpuasan; dan perancangan hukum Pemilu.
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
201
sendiri yang harus memutuskan bagaimana menyajikan materi mereka,
baik dalam pengertian apa aspek yang menjadi subyek untuk diajarkan
dan bagaimana titik berat yang diterima oleh setiap aspek. Materi disusun
berdasarkan pengetahuan para pelatih tentang subyek tersebut, gaya
pelatihan mereka sendiri, dan sumber daya materi yang tersedia. Hasilnya
adalah suatu variasi yang signifikan dalam kualitas materi pendukung, baik
dalam bentuk maupun isinya. Kursus yang sama diajarkan oleh pelatih
yang berbeda dapat menggunakan materi yang berbeda sama sekali.
Untuk menanggapi isu-isu ini, CCJE menciptakan materi pelatihan yang
konsisten. Untuk tiap-tiap subyek dari 26 subyek, CCJE telah membuat
tiga produk: sebuah silabus, presentasi PowerPoint dan sebuah petunjuk
pelatihan untuk para peserta. Silabus berisi gambaran dari setiap topik yang
dibahas dalam setiap kursus dan menekankan bagian mana akan diberi
penekanan. Selain itu, silabus berisi tujuan yang akan dicapai pada akhir
kursus dan suatu justifikasi singkat tentang mengapa suatu topik dianggap
penting. Untuk subyek-subyek yang dapat ditawarkan baik sebagai sebuah
kursus ataupun sebuah lokakarya, silabus tersebut juga menjelaskan
tahap-tahap studi kasus yang akan dikembangkan dalam tiap-tiap kelas.
Untuk presentasi PowerPoint, pengadilan merancang sebuah template
menggunakan citra korporasi (corporate image) dan ditetapkan sebuah
pedoman yang minimum. Dalam tidak lebih dari 40 slide (dengan
antispasi bahwa kelas akan berlangsung rata-rata empat jam), presentasi
seharusnya menggambarkan ide utama yang akan dikembangkan dalam
setiap subyek, sehingga memberikan kesempatan pengajar untuk
menjelaskan dan mendiskusikan topik dengan peserta kursus. Lebih
lanjut, isi seharusnya memfokuskan secara ketat untuk memenuhi tujuan
pembelajaran sebagaimana ditetapkan di dalam silabus kursus. CCJE juga
memilih untuk mendorong penggunaan diagram, grafik, dan butir-butir
pikiran ketimbang paragraf dan deskripsi yang panjang, yang cenderung
mengalihkan perhatian daripada memberikan penjelasan bagi para peserta.
Produk akhir dalam pengembangan untuk meningkatkan materi pelatihan
adalah buku petunjuk pelatihan. Buku ini dirancang untuk membantu
para peserta memperoleh wawasan terhadap setiap topik melampaui
apa yang telah dicakup di dalam kelas. Buku petunjuk mengembangkan
202
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
ide-ide mendalam yang muncul selama presentasi, serta termasuk tesis-
tesis yang relevan dan putusan pengadilan yang terkait subyek tersebut.
Walaupun masih dalam pengembangan, materi pelatihan tersedia di situs
web Pengadilan Pemilu untuk dikonsultasikan oleh mereka yang menghadiri
kursus dan masyarakat umum yang tertarik dengan urusan Pemilu.355
ii. Pelatihan internal Pengadilan Federal
Pelatihan internal ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan para panitera dan pejabat pengadilan lainnya yang
bertanggung jawab membuat rancangan pertimbangan hukum para hakim,
juga cukup sulit. Pelatihan internal mendukung baik Majelis Tinggi dan
lima Majelis Daerah dari Pengadilan Pemilu. Upaya untuk meningkatkan
pelatihan ini sejak tahun 2009 telah memfokuskan diri pada peningkatan
jumlah topik pelatihan, meningkatkan dialog terbuka antara pejabat Pemilu
dan akademisi terkemuka serta mensistematisasikan kegiatan ini sehingga
staf internal dan masyarakat umum dapat mengaksesnya dengan mudah.
Mencerminkan struktur pengadilan, seluruh aktivitas pelatihan dijalankan
melalui sesi yang berlangsung di TEPJF dan ditransmisikan ke majelis-
majelis daerah pada saat yang sama (real time). Sementara staf Majelis
Tinggi berinteraksi dengan presenter secara langsung (live), staf Majelis
Daerah dapat bertukar pandangan secara simultan lewat videoconference
atau lewat surat elektronik; cara ini, dimana semua staf menghadiri kursus,
baik yang hadir secara fisik maupun dari jauh, dapat berkomunikasi dengan
spesialis pelatihan dalam waktu yang bersamaan. Anggota staf yang tidak
dapat menghadiri sebuah peristiwa yang tertentu dapat berkonsultasi
kursus dan materi terkait yang direkam di situs web CCJE.356
Subyek pelatihan internal dapat disajikan dengan berbagai format dan
tidak harus terkait Undang-undang Pemilu. Tujuannya adalah untuk
memberikan staf Pengadilan Pemilu dengan pelatihan yang memperluas
wawasan mereka baik tentang administrasi pengadilan di dalam rezim
yang demokratis maupun membela hak politik. Pelatihan internal telah
355 Materi pelatihan dapat dilihat di http://www.te.gob.mx/ccje/unIdad_capacitacion/materiales_capacitacion.html.
356 Anggota staf dapat berkonsultasi dengan rekaman atau bahan kursus terkait lainnya melalui tautan internet berikut: http://www.te.gob.mx/ccje/material_audiovisual/derechos_poli.html dan http://www.te.gob.mx/ccje/capacitacion_interna/Intro.html
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
203
memasukkan diploma (kursus bersertifikat) dalam analisis politik dan
strategis, kursus tentang pengambilan keputusan berperspektif gender,
seminar tentang penanganan dalil-dalil Pemilu dan studi kasus hukum
Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (European Court of Human Rights),
teori John Rawls tentang keadilan dan demokrasi serta lokakarya tentang
peran baru hakim di Amerika Latin.
Proyek pelatihan internal (in-house) juga termasuk program pasca sarjana
yang dirancang untuk melatih para profesional dalam Undang-undang
Pemilu. Pada tahun 2009, CCJE menawarkan Spesialiasi dalam Hukum
Pemilu dan Program Magister Hukum bekerjasama dengan National
Autonomous University of Mexico. CCJE juga menyediakan program
khusus dalam Penegakan Undang-undang Pemilu melalui moda pelatihan
in-house hingga tahun 2009. Sejak tahun 2010 ke atas, program itu telah
disampaikan sebagai modul pembelajaran jarak jauh (distance learning)
untuk memenuhi permintaan para petugas Pemilu di seluruh negeri.
Seperti halnya di pelatihan eksternal, seluruh spesialis yang terlibat dalam
pelatihan internal juga kursusnya sendiri dievaluasi oleh para peserta
dengan formulir yang terstandarisasi. Informasi yang diperoleh membantu
CCJE untuk memutuskan bagaimana pemrograman kursus di masa
depan. CCJE juga mengubah format penyampaian untuk sebagian kursus
yang ditawarkan secara internal. Sebagian besar aktivitas pelatihan untuk
pejabat Pengadilan Pemilu diberikan di meja konferensi dan tidak lagi
melalui podium kuliah kepada peserta, sehingga baik pembicara dan para
peserta berada di tingkat yang sama, dan oleh karena itu menjaga dialog
berkelanjutan yang mendorong pertukaran pengetahuan.
Kesimpulan
Pelatihan yang memadai menjamin para hakim dan arbiter untuk memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menangani
gugatan dan keberatan Pemilu secara efisien. Sepanjang pekerjaannya
sebagai pelatih penanganan keberatan Pemilu, TEPJF telah memperoleh
pengalaman yang luas dalam menyelenggarakan seminar baik bagi hakim
dan arbiter Meksiko dan maupun asing. Selagi mengembangkan dan
melaksanakan program-program ini, Pengadilan Pemilu telah mempelajari
204
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
baik dari keberhasilan maupun kegagalannya. Demokrasi telah mencapai
tingkat konsolidasi yang berbeda di setiap negara; oleh karena itu seminar
pelatihan harus mempertimbangkan beberapa faktor.
Salah satu elemen yang amat penting yang harus diingat dalam seluruh
penciptaan kemitraan adalah pelatihan internasional hanya dapat
dilaksanakan secara sukarela. Tidak ada pusat pelatihan atau pelatih
independen yang memaksa sebuah komisi atau tribunal Pemilu untuk
menerima bantuan mereka. Kedua belah pihak seharusnya berperan
sebagai mitra yang setara dan harus berpartisipasi bersama dalam
rancangan program pelatihan. Subyek yang diajarkan dalam sesi pelatihan
seharusnya merespon kebutuhan setiap lembaga Pemilu, yang merupakan
pendekatan yang lebih berguna ketimbang suatu silabus atau buku pedoman
umum tentang proses penanganan keberatan Pemilu. Beberapa negara
memfokuskan, contohnya, pada pendaftaran pemilih dan pengamanan di
Hari Pemungutan Suara, sementara negara lainnya menghadapi masalah
penanganan keberatan, pembiayaan kampanye politik dan Undang-undang
tentang media. Berbagai Kepentingan dan isu yang berbeda-beda ini
memunculkan potensi program pelatihan yang ditargetkan menjadi lebih
terarah yang pada akhirnya akan terbukti lebih berhasil.
Pelatihan bagi tribunal-tribunal ini seharusnya tidak memfokuskan pada
Undang-undang Pemilu, penegakan hukum atau penanganan keberatan
Pemilu, tetapi seharusnya melebarkan cakupan agenda dan memasukkan,
sebagai contoh, pembentukan suatu strategi komunikasi dalam rangka
meningkatkan transparansi dan membangun tingkat kepercayaan sosial
lebih lanjut di dalam proses Pemilu. Lembaga-lembaga tersebut harus
dilatih dengan baik di bidang-bidang lainnya yang mendukung aktivitas
inti tribunal.
Pendekatan baru yang diadopsi oleh pekerjaan CCJE, menyusul restrukturisasi
yang dilakukan, telah berujung pada berbagai perubahan substantif dalam
kinerja fungsi pelatihan mereka. Pertama, badan ini berubah filosofi kerjanya
secara signifikan dalam artian tujuan akhir tentang pelaksanaan fungsi-
fungsinya. Berbagai upaya sekarang jelas memfokuskan pada transmisi
pengetahuan. Perubahan ini berarti bahwa upaya utama dan komitmen dalam
kualitas dan metodologi dimana tugas akademis telah dijalankan.
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
205
Perbaikan utama dalam kinerja tugas pelatihan eksternal dan internal dari
Pengadilan Pemilu disebabkan oleh perhatian yang diberikan kepada tiga
elemen: (1) definisi yang jelas tentang tujuan kelembagaan; (2) perencanaan
strategis; dan (3) sistematisasi informasi dan prosedur. Elemen-elemen ini
terdapat dalam setiap proyek yang ditetapkan di dalam program akademik
tahunan CCJE, yang dapat diakses daring (online).357
Metode pelatihan eksternal CCJE sekarang termasuk adanya suatu
katalog item yang diurutkan berdasarkan tingkat spesialiasi mereka dan
dari sanalah hal tersebut memungkinkan untuk merancang kursus bagi
peserta yang berbeda-beda. Dengan demikian, hal ini juga mendorong
alih pengetahuan yang efektif tentang isu-isu yang secara langsung terkait
dengan maksud dan kompetensi Pengadilan Federal.
Statistik dari kursus yang diajarkan selama beberapa tahun terakhir
menunjukkan kegunaan. Pada tahun 2008, CCJE mengajarkan 43 kursus
kepada pengadilan Pemilu lokal, 31 kursus kepada lembaga Pemilu lokal,
15 kursus kepada kelompok dan partai politik. Sampai dengan tahun 2009,
jumlah kursus meningkat dari 65 untuk pengadilan, 56 untuk lembaga
Pemilu dan 63 untuk kelompok dan partai politik. Selama tahun 2009, CCJE
melatih lebih dari 30.000 orang melalui penyediaan pelatihan eksternal.
Perlu diperjelas bahwa proses inovasi masih belum selesai. Di satu
sisi, CCJE melanjutkan untuk memperbaiki dan menyesuaikan silabus,
presentasi dan buku petunjuknya untuk memenuhi kebutuhan para
peserta. Pada saat yang sama, CCJE melanjutkan pengembangan proyek
lainnya untuk memperbaiki pelatihan eksternal. Perbaikan berlanjut dalam
persiapan staf akademik Pusat Pelatihan Pengadilan Pemilu (Electoral
Judicial Training Center) yang masih berjalan, rancangan evaluasi khusus
untuk mengukur kesenjangan pembelajaran dan transformasi beberapa
buku petunjuk menjadi buku teks yang sedang berlangsung. Perbaikan
yang terakhir adalah untuk membantu dalam pengajaran persoalan
Pemilu sementara secara simultan memperluas kesempatan belajar dan
pengetahuan spesialis bagi petugas Pemilu, aktivis partai politik dan warga
negara yang berminat dengan isu-isu Pemilu.
357 Centro de Capacitacion Judicial Electoral, Programa Academico 2010 (2010), dapat dilihat di http://te.gob.mx/Archivos/programa_academico_anual.pdf.
206
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Kasus 2: Pengalaman Filipina
Latar Belakang
Kabarnya tidak ada seseorangpun yang kalah di dalam sebuah Pemilu
di Filipina; hanya ada pemenang atau yang dicurangi. Oleh karena itu,
keberatan terkait pelaksanaan Pemilu sangat dibutuhkan, dan pada
umumnya diterima sebagai bagian atau paket dari proses Pemilu Filipina.
Selama lebih dari satu abad,358 Filipina bertahan dengan proses Pemilu yang
sulit dan kasar yang telah dipandang secara luas sebagai rentan terhadap
kecurangan dan penipuan. Pemungutan suara, penghitungan manual dan
prosedur konsolidasi suara yang digunakan di Filipina telah melahirkan
kecurigaan yang sangat dari warga negara terhadap hasil Pemilu. Bagi
kandidat dan partai yang memiliki dana yang cukup untuk mendukung
perkara hukum yang berkepanjangan dan mahal, kecurigaan atas insiden
kecurangan dapat menjadi pertarungan hukum yang sengit melalui sebuah
tindakan yang dinamakan “protes Pemilu.”359
Sebagaimana sebuah mekanisme penanganan keberatan Pemilu,
protes Pemilu memberikan sebuah tindakan perbaikan pasca-Pemilu di
Filipina bagi mereka yang mempertanyakan hasil Pemilu. Mekanisme
ini berupaya untuk menentukan kebenaran kehendak rakyat360 dengan
memeriksa ulang surat suara, hasil Pemilu, serta dokumen dan materi
lainnya yang digunakan di dalam Pemilu. Mekanisme ini mungkin akan
menguatkan atau membatalkan hasil Pemilu, dan dengan demikian, hal ini
dapat baik mengkonfirmasikan atau meragukan kredibilitas keseluruhan
proses Pemilu.
358 Filipina menyelenggarakan Pemilu pertamanya di Baliuag, Bulacan di bawah pengawasan gubernur jenderal militer Amerika Arthur McArthur, 6 Mei, 1899.
359 Sebuah protes Pemilu adalah sengketa diantara kandidat yang dikalahkan dan yang menang atas dasar kecurangan dan penyimpangan dalam pemberian dan penghitungan suara, atau dalam persiapan keputusan hasil Pemilu. Hal ini menimbulkan pertanyaan siapa sebenarnya yang memperoleh mayoritas suara yang sah dan karena itu berhak menjabat. Lihat Samad v. COMELEC, 224 S.C.R.A 631 (16 Juli, 1993) (Fil).
360 Maksud dari protes Pemilu adalah untuk mengetahui apakah kandidat yang dinyatakan dipilih oleh para pendukungnya adalah merupakan pilihan para pemilih yang sah. Lihat De Castro v Ginete, 27 S.C.R.A 623 (28 Mar, 1969) (Fil).
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
207
Filipina memberanikan negaranya mencoba otomatisasi Pemilu di
seluruh negeri pertama kalinya pada 10 Mei 2010 dengan tujuan untuk
memperbaiki kecacatan dan kerentanan proses pemungutan dan
penghitungan suara secara manual. Otomatisasi Pemilu diharapkan
menghasilkan hasil yang lebih dapat dipercaya dan dapat diterima, dengan
demikian memperkecil, jika tidak menghapus sepenuhnya, kebutuhan
untuk prosedur protes Pemilu.361
Sistem Otomasi yang dipilih oleh Komisi Pemilu (Commission on
Election-COMELEC) melibatkan penggunaan mesin Pemindai Otomatis
Penghitungan Daerah Pemilihan (Precinct Count Optical Scanning/PCOS),
yang memindai dan merekam suara yang ditandai oleh para pemilih di
tempat yang semestinya di surat suara. Hasil dari setiap daerah pemilihan
kemudian ditransmisikan secara elektronik kepada pusat penghitungan
suara dimana mereka dikonsolidasikan bersama hasil daerah lainnya secara
elektronik. Penghitungan Pemilu akhir akan dihasilkan selama rangkaian
kegiatan penghitungan oleh sebuah sistem penghitungan dan konsolidasi
elektronik (canvassing and consolidation system/CCS).
Proses otomatisasi ini merupakan perpindahan yang mendadak dari
sebuah sistem yang biasa. Pemilu sebelumnya menggunakan sebuah
sistem pemungutan suara “menuliskan” (“write-in”) dimana para pemilih
menuliskan nama dari kandidat pilihan mereka di atas surat suara. Setelah
periode pemungutan suara362, suara yang tertulis di surat suara kemudian
dibacakan dengan suara keras di setiap tempat pemungutan suara, dan
secara manual dihitung hasilnya. Hasil Pemilu dari beberapa daerah
pemilihan yang berbeda, kemudian dibaca dan dihitung di dokumen
kertas lainnya yang dinamakan pernyataan suara (statement of votes/SOV)
berdasarkan penghitungan suara di tingkat kota. Suara yang tercermin
dalam SOV kemudian ditambahkan secara manual untuk menentukan
kandidat pemenang.
361 Merupakan hal yang menarik untuk dicatat bahwa laporan awal dari Komisi Pemilu dan Dewan Perwakilan Rakyat, Pengadilan Pemilu menunjukkan bahwa ada lebih banyak gugatan Pemilu yang diajukan di bawah Pemilu terotomatisi daripada di bawah sistem manual. Terdapat juga sejumlah substansial gugatan Pemilu yang diajukan ke pengadilan reguler, walaupun data belum lengkap.
362 Dalam sebagian besar kasus, periode pemungutan suara di Hari Pemungutan Suara adalah antara pukul 7:00 pagi sampai 3:00 sore.
208
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Bagaimana penanganan perkara Pemilu melaksanakan penghitungan ulang
atau peninjauan ulang keabsahan surat suara selama rangkaian protes
baik dalam sistem otomatis maupun manual terlihat dari prosedur yang
dirangkum secara singkat di atas. Sebagaimana dinyatakan, proses Pemilu
manual selalu melahirkan kecurigaan terhadap integritas penghitungan
suara. Namun, Pemilu ter-otomasi juga menghasilkan pertanyaan yang
sah yang tumbuh menjadi keberatan Pemilu. Kandidat wakil presiden yang
kalah dalam Pemilu baru-baru ini memulai suatu keberatan penting Pemilu
terhadap yang pemenang pemillihan umum.363
Walaupun COMELEC mengandalkan manfaat yang coba diraih dari
otomasi Pemilu, namun ternyata mereka belum cukup siap dalam sistem
penanganan keberatan yang menyediakan tindakan perbaikan yang
memadai, transparan, terpercaya dan tepat waktu bagi mereka yang
mempertanyakan hasil Pemilu. Dengan kepercayaan bahwa diterapkannya
sistem Pemilu terotomatisasi akan menghapuskan kecurangan Pemilu,
adopsi aturan tata tertib baru tentang sengketa Pemilu yang sesuai dengan
sistem yang baru diterapkan belum diprioritaskan. Dengan demikian,
amandemen terhadap hukum acara yang memasukkan persyaratan
untuk sistem Pemilu yang terotomatisasi diterbitkan hanya nyaris sebulan
sebelum Pemilu. Oleh karena itu, tidak terdapat waktu yang memadai untuk
melatih para ajudikator tentang penanganan dan penyelesaian keberatan
Pemilu di bawah prosedur Pemilu yang baru. Namun, sebagaimana
dibahas kemudian di bagian ini, seminar untuk hakim dilaksanakan untuk
paling tidak, membiasakan mereka dengan fitur dasar sistem Pemilu
yang terotomasi.
Dalam rangka memahami secara memadai persiapan yang dilaksanakan di
Filipina untuk melengkapi para hakim dengan kompetensi yang diperlukan
untuk menangani penanganan keberatan Pemilu, merupakan hal yang
mutlak untuk pertama-tama menghormati lingkungan Pemilu Filipina.
363 Kandidat Wakil Presiden Manuel Roxas, pasangan Presiden Benigno Aquino III, menyampaikan keberatan Pemilu terhadap yang dinyatakan pemenang, Jejomar Binay, yang menuduh bahwa penghitungan suara dipertanyakan karena Roxas memantau banyaknya suara “tidak sah” (suara yang tidak diberikan kepada kandidat manapun) di daerah dimana Binay menang.
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
209
A. Pemilu di FilipinaPosisi jabatan yang mensyaratkan Pemilu (elective) di Filipina meliputi:
presiden, wakil presiden; 24 senator (majelis tinggi dewan perwakilan
rakyat/upper house of the bicameral legislature); satu perwakilan dari
setiap 222 daerah pemilihan legislatif dari seluruh daerah; satu partai
untuk sistem perwakilan party-list di Kongres Filipina;364 gubernur provinsi,
wakil gubernur, anggota dewan (perwakilan rakyat daerah); walikota; wakil
walikota dan dewan perwakilan kota (councilors); pimpinan Barangay
(Desa) dan dewan perwakilan tingkat desa (council members).
Dengan pengecualian pada jabatan desa, seluruh posisi ini dipilih serentak
(“synchronized elections”). Pemilu diselenggarakan setiap tiga tahun,
walaupun presiden, wakil presiden dan senator dipilih untuk jangka waktu
enam tahun. Dua belas senator akan menyelesaikan jangka waktu enam
tahunnya setiap tiga tahun bergantian bersama 12 lainnya. Karena Pemilu
yang diserentakkan, hingga 33 posisi akan dipilih dalam Pemilu melalui
surat suara tunggal.
Konsolidasi hasil Pemilu untuk posisi nasional melewati sebuah proses
perhitungan suara secara bertahap. Hasil tempat pemungutan suara
atau daerah pertama-tama dikonsolidasikan ke tempat penghitungan
suara tingkat kota. Hasil kota kemudian dikonsolidasikan di tingkat
provinsi. Perhitungan tingkat nasional, merupakan hasil dari konsolidasi
penghitungan suara tingkat provinsi.365 Penghitungan beberapa tahap ini
merupakan prosedur wajib bahkan di bawah sistem Pemilu terotomatisasi.
Pemenang Pemilu harus memperoleh pluralitas; suatu mayoritas
suara tidak diperlukan. Dengan demikian, suara tunggal dapat
secara teori menghasilkan kemenangan Pemilu di setiap posisi yang
memerlukan Pemilu.
364 Juga disebut sebagai Dewan Perwakilan Rakyat.365 Hasil dari kota yang dipertimbangkan sebagai kota yang memiliki tingkat urbanisasi sangat
tinggi, ditransmisikan secara langsung ke penghitungan national, dan tidak melewati penghitungan provinsi manapun.
210
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
B. Komisi Pemilu Filipina (Philippine Commission on Elections/COMELEC)
COMELEC berperan sebagai badan penyelenggara Pemilu di Filipina.
Dibentuk melalui Konstitusi Filipina, COMELEC diberikan kewenangan
untuk menegakkan dan mengatur seluruh Undang-undang dan peraturan
tentang pelaksanaan Pemilu dan pelaksanaan Pemilu terkait lainnya.366
Badan ini memiliki wewenang untuk memutuskan seluruh pertanyaan
yang mempengaruhi Pemilu, termasuk pendaftaran partai politik, tetapi
bukan pertanyaan yang terkait hak pilih.367 Badan ini memiliki otoritas untuk
memilih sistem Pemilu terotomatisasi yang layak dalam setiap Pemilu.368
Selain dari kekuasaan administratif untuk melaksanakan Pemilu,
COMELEC juga diberikan kekuasaan kehakiman untuk menyidangkan dan
memutuskan seluruh gugatan terkait Pemilu, hasil pemilu, dan kualifikasi
seluruh pejabat yang dapat dipilih melalui Pemilu di tingkat daerah, provinsi,
dan kota serta untuk memeriksa banding terhadap seluruh gugatan
menyangkut pejabat-pejabat kota dan desa.369
COMELEC terdiri dari seorang ketua dan enam anggota yang ditunjuk oleh
Presiden untuk jangka waktu tujuh tahun tanpa dapat dipilih kembali.370
Ketika melakukan penanganan keberatan Pemilu, anggota COMELEC
dapat melibatkan seluruh anggotanya atau dibagi menjadi dua divisi yang
masing-masing berangotakan tiga anggota.371 Konstitusi mengizinkan
paling banyak tiga anggota COMELEC adalah bukan ahli hukum, tetapi
dalam praktiknya hanya ahli hukum yang ditunjuk. Seluruh anggota
COMELEC saat ini adalah ahli hukum, tiga diantaranya pensiunan hakim.
COMELEC beroperasi dari kantor pusat di Manila, tetapi dia memiliki
kantor di seluruh kota dan provinsi. Walaupun kehadirannya tersebar
luas di seluruh negeri, COMELEC memutuskan persoalan Pemilu secara
sentral di kantornya di Manila.
366 Const, Pasal IX-C, sec 2(1) (Fil)367 Const, Pasal IX-C, sec 2(3) (Fil)368 Sebuah Undang-Undang Yang Mengamandemen Undang-Undang Modernisasi Pemilu,
Act Republic Act 9369 (2007) (Fil).369 Const, Pasal IX-C, sec 2(2) (Fil)370 Const, Pasal IX-C, sec 1 (Fil).371 Const, Pasal IX-C, sec3 (Fil).
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
211
C. Jenis-jenis Keberatan Pemilu di FilipinaProtes Pemilu bukanlah satu-satunya jenis keberatan Pemilu yang terjadi di
Filipina. Keberatan Pemilu di Filipina dapat diklasifikasikan menjadi (1) yang
terkait dengan hak pilih dan pendaftaran pemilih; (2) yang terkait dengan
kualifikasi kandidat dan partai politik; (3) yang terkait pelaksanaan Pemilu;
(4) yang melibatkan pelanggaran pidana Undang-undang Pemilu; dan (5)
yang terkait integritas hasil Pemilu.
Keberatan terkait dengan hak pilih dianggap sebagai isu pengadilan dan
dengan demikian merupakan bahan pertimbangan dan diselesaikan
oleh lembaga peradilan. Di bawah Undang-undang Pendaftaran Pemilih
Filipina,372 pengadilan tingkat pertama memeriksa permohonan untuk
dimasukkan atau dikeluarkannya para pemilih dalam daftar pemilih.
Pendaftaran seorang warga negara untuk mendaftar sebagai pemilih
sebenarnya dibahas pertama kalinya oleh sebuah badan di setiap kota
bernama Dewan Pendaftaran Pemilu (Election Registration Board/ERB).373
Tindakan ERB juga dapat diadukan ke pengadilan,374 dasar penyebab
tindakan untuk memasukkan atau mengeluarkan para pemilih muncul
hanya karena sebuah aplikasi untuk pendaftaran telah dimasukkan secara
keliru atau secara keliru dikeluarkan dari dalam daftar pemilih.
Disisi lain COMELEC, memiliki yurisdiksi terhadap sejumlah masalah
tentang kualifikasi kandidat dan pendaftaran partai politik, juga yang
terkait dengan pelaksanaan Pemilu.375 Yurisdiksi COMELEC di bawah
jenis-jenis keberatan ini termasuk menentukan apakah seorang kandidat
seharusnya didiskualifikasi untuk pelanggaran perilaku yang diperlukan
bagi seorang kandidat.376
COMELEC juga diberikan wewenang untuk memeriksa prosedur
“preproclamation controversies” (pertanyaan terhadap dewan penghitungan
suara). Substansi penghitungan suara bukan merupakan isu di dalam
372 Voter Registration Act, Rep. Act 81189 (1996).373 Id, §§ 32-35.374 Id, §§ 17.375 Const, Pasal IX-C, sec 2 (3) (Fil).376 Sebagai contoh, tindakan yang disebut dalam Bagian 68 dari Batas Pambansa Blg.
881 (Omnibus Election Code) dapat menyebabkan diskualifikasi seorang kandidat dari melanjutkan pencalonannya, tanpa mempertimbangkan kemungkinan penuntutan pidana.
212
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
“pre-proclamation controversies”; isu-isunya terbatas pada keabsahan
prosedur penghitungan dan keaslian documen Pemilu yang diajukan untuk
dihitung.377 Dengan demikian, sepanjang proses penghitungan dilakukan
sesuai dengan prosedur yang diatur, dan dokumen yang disajikan untuk
perhitungan tampak asli, sertifikasi hasil atau pengumuman kandidat
pemenang akan mengikuti sebagai suatu keniscayaan. Tindakan perbaikan
untuk mereka yang dituduh melakukan kecurangan di dalam penghitungan
suara hanya gugatan pasca-pengumuman hasil Pemilu.
Pelanggaran pidana aatas Undang-undang Pemilu akan diselidiki dan
dituntut oleh COMELEC dan oleh badan pemerintah yang melakukan
fungsi penuntutan.378 Namun, ketika ditemukan bahwa seorang tergugat
melakukan pelanggaran setelah penyelidikan baik oleh COMELEC ataupun
oleh penuntut pemerintah, maka tergugat berhadapan dengan pengadilan
tingkat kedua (Pengadilan Daerah/Regional Trial Court) seperti halnya pada
sistem penuntutan pidana.379
Penyelesaian keberatan kualifikasi kandidat, isu pendaftaran partai
politik, dan pre-proclamation controversies berada dalam yurisdiksi
administratif COMELEC.
D. Protes PemiluSebagaimana telah dibahas di bagian pendahuluan, protes Pemilu
merupakan sebuah gugatan antara kandidat yang kalah dan yang menang
atas dasar kecurangan dan penyimpangan di dalam pemungutan dan
penghitungan suara, atau dalam persiapan hasilnya.380 Hal ini menimbulkan
pertanyaan tentang siapa yang sebenarnya memperoleh mayoritas suara
sah dan oleh karenanya berhak menduduki jabatan.381 Dalam protes
Pemilu, rangkaian kegiatannya pada intinya memiliki karakter peradilan,
karena berbeda dari rangkaian kegiatan lainnya yang bersifat administratif
di COMELEC. Lebih lanjut, seorang pemenang yang telah diumumkan,
walaupun dengan proses keberatan yang masih berjalan, diperbolehkan
377 Omnibus Election Code, B.P.Blg 881, § 68 (1985) (Fil).378 Sebuah Undang-Undang yang Mengamandemen Election Modernization Act, Rep. Act
9369 § 42 (2007) (Fil).379 B.P.Blg 881, § 268 (1985) (Fil)380 Samad v. COMELEC, 224 S.C.R.A. 631 (16 Juli, 1993) (Fil).381 Id.
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
213
untuk menjalankan kekuasaan dan fungsi jabatannya sebagai pihak
yang dianggap menang dan dapat dicopot kembali jika prosedur protes
kemudian menentukan bahwa ada orang lain yang memperolah jumlah
suara tertinggi.
Protes ditangani oleh badan penanganan yang berbeda tergantung posisi
yang digugat. Jika menyangkut posisi presiden dan wakil presiden maka
berada dalam yurisdiki ekslusif dari Mahkamah Agung Filipina (Philippine
Supreme Court) yang berfungsi sebagai Tribunal Pemilu Presiden
(Presidential Electoral Tribunal/PET).382 Gugatan menyangkut senator
(Majelis Tinggi Kongres) dan perwakilan (dari Majelis Rendah/Lower
House of Congress) ditangani masing-masing oleh Tribunal Pemilu Senat
(Senate Electoral Tribunal/SET) dan Pengadilan Pemilu Dewan Perwakilan
(Pengadilan Pemilu Majelis Rendah/House of Representatives Electoral
Tribunal/HRET).383 COMELEC melaksanakan yurisdiksi asli yang eksklusif
terhadap protes Pemilu menyangkut posisi regional, provinsi dan kota,384
dan yurisdiksi banding terhadap gugatan menyangkut pejabat walikota dan
pejabat desa yang diputuskan, di tingkat pertama, oleh masing-masing di
pengadilan tingkat kedua (Regional Trial Courts), dan pengadilan tingkat
pertama (Municipal or Metropolitan Trial Courts).385
Keputusan COMELEC (baik untuk kasus asli dan banding) serta pengadilan
Pemilu adalah final dan tidak dapat dimintakan banding. Namun, Mahkamah
Agung dapat mengambil alih gugatan yang mempertanyakan keputusan
COMELEC atau tribunal dalam hal gugatan yang diajukan menuduh adanya
kesalahan yurisdiksi atau penyalahgunaan diskresi yang serius.
Pada proses Pemilu “manual”, suatu protes Pemilu biasanya menyangkut
penghitungan kembali suara dari pihak yang mengajukan protes dan
pihak yang menjadi obyek protes (pihak yang telah diumumkan sebagai
pemenang atau mereka yang memiliki sejumlah suara lebih banyak daripada
pihak yang mengajukan keberatan), dan suatu peninjauan ulang suara
sebagaimana ditulis di surat suara. Dengan Pemilu yang tersinkronisasi
382 Const. Pasal VII, sec. 4, par 7 (Fil).383 Const. Pasal VI, sec. 17 (Fil).384 Const. Pasal IX-C, sec. 2 (2) (Fil).385 Id
214
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
dan proses pemungutan suara yang dengan menulis (“write in”), para
ajudikator tidak hanya diwajibkan menghitung suara suara di setiap daerah,
tetapi membacakan tulisan tangan dari surat suara. Karena proses yang
membosankan ini, sebagian besar gugatan-jika tidak semua baru bisa
diselesaikan, mendekati akhir masa jabatan posisi yang diperebutkan.
Sistem Pemilu terotomatisasi yang dilaksanakan dalam Pemilu baru-
baru ini, menimbulkan tantangan baru bagi para ajudikator. Tidak seperti
pada sistem manual, surat suara di bawah sistem baru telah berisi nama
kandidat yang telah dicetak. Pemilih hanya tinggal memberikan tanda
yang berada di sebelah nama kandidat yang dia pilih. Dengan demikian,
keberatan maksud pemilih yang memerlukan penafsiran tulisan tangan di
surat suara tidak lagi diperlukan, serangkaian aturan penentuan maksud
pemilih baru diperlukan.
Lebih lanjut, tidak seperti dalam proses Pemilu manual dimana surat suara
diterima sebagai dokumen yang dianggap asli, mesin PCOS mungkin
menolak surat suara, walaupun surat tersebut asli dan diisi oleh pemilih
yang sah, karena beberapa situasi. Termasuk diantaranya karena adanya
kelembaban, penanganan surat suara yang tidak layak, dan lubang atau
robek yang tidak disengaja pada surat suara. Surat suara yang ditolak
merupakan dasar yang paling sering dipakai untuk mempertanyakan hasil
Pemilu 2010.
Tantangan terbesar di bawah sistem baru ini berasal dari relatif kurangnya
transparansi dalam proses penghitungan dan konsolidasi surat suara. Di
bawah proses Pemilu manual, para pihak dapat mengawasi pembacaan
dan penghitungan suara yang diberikan di tingkat daerah. Konsolidasi
suara di setiap tingkat penghitungan suara, juga dapat diawasi. Dengan
mesin PCOS yang melakukan “peninjauan keabsahan” surat suara
dan penghitungan suara dan CCS yang melaksanakan konsolidasi hasil
pemilu, dapat dimengerti jika para kandidat dan pengamat yang terbiasa
dengan proses manual yang relatif transparan, tidak dapat dengan mudah
menerima hasil Pemilu yang dihasilkan oleh mesin.
Oleh karena itu, perubahan paradigma, baik di sisi para pihak yang
berperkara dan para ajudikator, tidak dapat dihindarkan. Bagi seseorang,
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
215
masalah prosedural dan substansi yang dapat muncul dalam konteks
otomatisasi Pemilu dapat secara radikal berbeda dengan isu yang muncul
di Pemilu manual. Barang bukti yang diperlukan untuk mendukung
tuduhan kecurangan atau bahkan suatu kesalahan penghitungan yang
tidak disengaja akan bervarisasi, dan keterbiasaan dengan berbagai aturan
pembuktian elektronik akan menjadi hal yang wajib. Pastinya, peninjauan
keabsahan dari suara, dipastikan akan menjadi aspek yang berbeda.
Praktik Dahulu dan Saat Ini dalam Pelatihan Ajudikator Pemilu
Sebagaimana telah disebutkan di atas, berbagai tribunal yang menangani
protes Pemilu di Filipina tergantung dari posisi yang digugat. Namun, tidak
ada program pelatihan khusus di COMELEC, PET, SET dan HRET yang
dimaksudkan untuk menyiapkan para ajudikator Pemilu untuk menangani
keberatan Pemilu. Di COMELEC, anggota komisi diasumsikan sebagai para
ahli dalam bidang hukum dan prosedur Pemilu. Demikian juga PET, SET,
dan HRET.386 Dengan demikian dipercaya bahwa tidak diperlukan pelatihan.
Namun, kepala sekretariat SET maupun HRET, telah menyatakan bahwa
bagaimanapun juga, mereka telah mengadakan pengarahan singkat bagi
setiap anggota baru untuk membiasakan mereka dengan berbagai aturan
dan tata tertib protes Pemilu.
Hanya pengadilan reguler yang melaksanakan pelatihan terstandarisasi.
Secara organissasi, semua pengadilan berada di bawah pengawasan
Mahkamah Agung Filipina. Berbagai prosedur mereka dibuat melalui
aturan-aturan yang diundangkan oleh Mahkamah Agung dan sebagian
besar beban perkara mereka terdiri dari perkara perdata dan pidana
biasa. Mereka tidak diharapkan berpengalaman di dalam subyek yang
terspesialisasi pada Undang-undang Pemilu, dan oleh karena itu dianggap
memerlukan pelatihan khusus tentang perkembangan berbagai Undang-
undang dan tata tertib Pemilu dimuka.
Para hakim di Filipina dipersiapkan dan dilatih oleh badan pemerintah yang
dibentuk untuk maksud tersebut, Akademi Peradilan Filipina (the Philippine
386 PET sebenarnya Mahkamah Agung. SET dan HRET masing-masing terdiri dari tiga Hakim Mahkamah Agung dan enam Senator, enam Anggota DPR berturut-turut.
216
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Judicial Academy atau PHILJA).387 Badan ini diberikan mandat oleh akta
pembentukannya untuk memberikan pelatihan awal kepada calon hakim.
Untuk mempersiapkan hakim untuk menangani perkara undang-undang
Pemilu PHILJA memiliki sebuah modul pelatihan khusus tentang Undang-
undang Pemilu, tetapi belum digunakan secara konsisten di seluruh
pelatihan pra peradilan.388
Dimulai awal tahun 2007 dan dalam persiapan Pemilu pada 14 Mei tahun
tersebut, Mahkamah Agung, di bawah kepemimpinan Ketua Reynato S
Puno, memulai serangkaian reformasi bagi sebuah “keputusan kasus
Pemilu yang cepat, tidak mahal dan adil di muka pengadilan.” Pertama-
tama, ia menerbitkan Administrative Matter No. 07-4-15-SC, yang dikenal
sebagai Aturan Prosedur yang Berhubungan dengan Pejabat Kota dan
Barangay.389 Selain itu, Pengadilan tinggi menerbitkan Administrative Matter
Order No. 54-2007390 yang memandatkan 111 pengadilan Pemilu khusus
di antara Pengadilan Daerah (Regional Trial Court/RTC) di seluruh negeri
untuk menyidangkan dan memutuskan gugatan terkait pejabat kota dalam
Pemilu Mei. Pengadilan Tinggi kemudian menerbitkan Administrative Order
No 129-2007391 yang memandatkan 76 pengadilan tingkat pertama untuk
menyidangkan dan memutuskan gugatan Pemilu menyangkut pejabat
desa dalam pemilihan barangay 29 Oktober 2007. Sebelumnya, tidak
ada pengadilan Pemilu khusus semacam itu. Menurut Chief of Justice
Puno, Aturan tersebut mengusulkan “perubahan-perubahan radikal” yang
“menangani dua masalah utama – pertama masalah penghapusan kasus
yang tidak memiliki dasar, dan kedua, masalah penyederhanaan sistem
sehingga penyelesaian perkara-perkara semacam ini dapat dipercepat.”392
Mendukung prakarsa tersebut, Mahkamah Agung menugaskan PHILJA
untuk melakukan pelatihan khusus bagi hakim pengadilan tentang aturan-
387 Akademi awalnya dibentuk oleh Mahkamah Agung (Administrative Order No. 35-96 12 Maret, 1996), dan akhirnya diberi mandat oleh R.A. 8557 pada 26 Februari, 1998. Undang-undang melembagakan PHILJA sebagai sebuah “sekolah pelatihan untuk para hakim, pegawai pengadilan, pengacara dan calon yang menduduki posisi peradilan”.
388 Pelatihan pra-peradilan merupakan pelatihan para hakim sebelum mereka menjabat dan melepaskan fungsi-fungsi kehakimannya.
389 Aturan baru diberlakukan pada 15 Mei, 2007.390 Diedarkan oleh Mahkamah Agung pada 11 Mei, 2002391 Diedarkan oleh Mahkamah Agung pada 15 Agustus, 2007.392 Jay B. Rempillo, SC to Create Special Election Courts, http://sc.judiciary.gov.ph/news/
courtnewsflash/2007/04/04200701.php (terakhir dikunjungi 3 Januari 2011).
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
217
aturan ini. PHILJA393 melaksanakan serangkaian sesi pelatihan satu hari
untuk hakim pengadilan Pemilu khusus. Pengadilan tingkat kedua dibagi
menjadi lima kelompok dan seminar satu hari penuh dilaksanakan.394
Sementara itu, untuk hakim pengadilan tingkat pertama dan panitera
pengadilan, seminar diadakan satu hari, tanggal 8 Januari 2008 di Manila.395
Di dalam seminar-seminar ini, para hakim diberikan gambaran umum
tentang Undang-undang dan yurisprudensi gugatan Pemilu, termasuk
diskusi tentang : (1) Peraturan Prosedur dalam Gugatan Pemilu di muka
Pengadilan Menyangkut Jabatan Kota dan Barangay 2007; (2) Prosedur
COMELEC; (3) Edaran-edaran COMELEC; (4) Yurisprudensi Mahkamah
Agung; dan (5) yurisprudensi RTC dan Pengadilan Tingkat Pertama. Mereka
juga diinstruksikan berbagai aturan terkait peninjauan dan penilaian surat
suara. Berbagai lokakarya juga diselenggarakan untuk memperlengkapi
para peserta dengan kemampuan untuk mengidentifikasi: (1) surat
suara yang telah ditandai; (2) surat suara palsu; (3) surat suara hilang; (4)
pasangan atau kelompok surat suara yang ditulis oleh satu orang atau satu
surat suara yang ditulis oleh dua atau lebih orang; dan (5) surat suara yang
suaranya secara keliru tidak diakui untuk kandidat manapun.
Menimbang bahwa sesi-sesi pelatihan dikonsentrasikan pada 111
pengadilan Pemilu tingkat kedua dan 76 pengadilan Pemilu tingkat pertama,
banyak pengadilan tersebut yang sebenarnya menerima penanganan
kasus Pemilu setelah Pemilu nasional dan Pemilu daerah Mei 2007 dan
Pemilu desa Oktober 2007 tidak dapat ikut serta dalam pelatihan-pelatihan
PHILJA.396 Data yang dikumpulkan dari Kantor Administrasi Pengadilan
pada Mahkamah Agung mengungkapkan bahwa dari 135 pengadilan
tingkat kedua yang menangani gugatan Pemilu Mei 2007,397 hanya sekitar
59 (atau 44 persen) yang merupakan pengadilan khusus Pemilu.398 Sama
halnya 312 pengadilan tingkat pertama yang menangani gugatan Pemilu
393 Dengan dukungan dari International Foundation on Electoral System (IFES) dan United States Agency for International Development (USAID).
394 30 April 2007 (Baguio City); 2 Mei, 2007 (Manila); 3 Mei ,2007 (Cebu); 4 Mei, 2007 (Davao), 2 Agustus, 2007 (Manila). Pemilu diadakan pada Mei 2007.
395 Pemilihan kepada desa diadakan Oktober 2007.396 Libertas Adjudication of Election Contests Before the Trial Courts: A Second Look at A.M.
No. 07-4-15-SC dan the Designation of Election Courts 30 (2008).397 Terdapat total 263 kasus yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama pada Pemilu
Mei 2007.398 Libértas, supra note 48, di 26.
218
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
terkait Pemilu desa Oktober 2007,399 hanya 36 (12 persen) yang merupakan
pengadilan Pemilu.400 Fakta bahwa pengadilan non-Pemilu ditugaskan
menangani kasus-kasus Pemilu disebabkan kurangnya antisipasi mengenai
kemungkinan lokasi keberatan Pemilu. Namun, hal ini merupakan subyek
yang berada di luar cakupan makalah ini.
Sebuah Mekanisme Penanganan Keberatan yang Efektif untuk Pemilu Yang Terotomatisasi
Sebagaimana dinyatakan di atas, adopsi sistem Pemilu yang terotomatisasi
menimbulkan berbagai tantangan baru untuk penanganan keberatan
Pemilu di Filipina. Metode untuk menentukan maksud pemilih telah
berubah, semenjak sistem “menuliskan” (“write-in”) digantikan dengan
penggunaan surat suara yang sudah dicetak nama seluruh kandidatnya,
dengan para pemilih memberikan suaranya dengan cara menandai surat
suara pada tempat yang disediakan. Kontroversi “pre-proclamation” juga
telah mengambil bentuk yang baru, karena tindakan perbaikan telah dihapus
secara substansial oleh aturan-aturan baru yang diadopsi oleh COMELEC.
Lebih lanjut, sistem Pemilu yang baru mewajibkan pengundangan aturan-
aturan baru untuk mengatur pre-proclamation controversies dan protes
Pemilu. Namun, dengan mempertimbangkan bahwa setiap tribunal Pemilu
memiliki kewenangan untuk mengatur sendiri prosedurnya terkait dengan
gugatan Pemilu yang diajukan kepadanya, dan mempertimbangkan lebih
lanjut bahwa perubahan Undang-undang Pemilu yang lama telah gagal
untuk memberikan petunjuk bagaimana protes Pemilu di bawah sistem
baru seharusnya diselesaikan, badan penanganan keberatan Pemilu dapat
mengadopsi berbagai aturan yang sangat berbeda satu sama lain. Dapat
terdapat banyak sekali aturan, atau bahkan prinsip-prinsip niat pemilih,
sebanyak tribunal yang ada.
Menyadari kebutuhan untuk menyiapkan kerangka penanganan yang
akan responsif terhadap sistem Pemilu terotomatisasi yang dibentuk oleh
COMELEC, dan untuk menyiapkan ajudikator Pemilu untuk menangani
keberatan Pemilu di bawah sistem yang baru dengan menggunakan
399 811 gugatan diajukan ke pengadilan tingkat pertama Pemilu desa Oktober 2007.400 Libértas, supra note 48, di 26.
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
219
standar yang seragam, Libertás mengambil inisiatif dalam mengadvokasi
COMELEC dan tribunal Pemilu lainnya untuk menyiapkan keberatan
Pemilu. Dengan dukungan IFES dan American Bar Association – Rule of
Law Initiative (ABA-ROLI),401 Libertás bermitra dengan PHILJA402 untuk
mengkonseptualisasikan sebuah program pelatihan untuk hakim pengadilan
untuk melengkapi mereka dengan pengetahuan dan keterampilan yang
dibutuhkan untuk menangani keberatan Pemilu.
Dengan memperhatikan hasil pengamatan sebelumnya tentang kelayakan
pelatihan tersebut, Libertás mengusulkan sebuah program pelatihan untuk
pengadilan tingkat kedua untuk Pemilu 10 Mei 2010 dan berkomitmen
untuk membantu merancang kurikulum pelatihan dan menyusun modul
pelatihan untuk setiap sesi. Seluruh pengadilan tingkat kedua menjalani
pelatihan, dengan tidak lebih dari 30 sampai 40 peserta per kelompok
pelatihan untuk memungkinkan sesi interaktif lebih lanjut dan untuk
memastikan pemahaman yang lebih baik. Idenya adalah bahwa pelatihan
tidak hanya memperkenalkan sistem Pemilu baru kepada para hakim tetapi
juga meningkatkan keterampilan penanganan keberatan mereka.
Libertás juga menitikberatkan adopsi segera aturan prosedur baru yang
disesuaikan dengan Pemilu terotomatisasi sehingga perbaikan yang
memadai dan efektif atas keberatan tersedia dan dapat diakses. Sekitar
setahun sebelum Pemilu Mei 2010, diskusi meja bundar diselenggarakan
oleh Libertás, yang mengumpulkan perwakilan dari COMELEC, sistem
pengadilan, SET, HERT, dan penasihat undang-undang Pemilu untuk
membahas isu-isu seperti menentukan niat pemilih, menimbang
pembuktian - termasuk perbedaan antara bukti elektronik dan bukti cetak–
dan “pre-proclaimed controversies” di bawah sistem terotomatisasi.
Diskusi juga dimaksudkan untuk mengumpulkan masukan dari para
pemangku kepentingan Pemilu yang mungkin akan berguna dalam proses
merancang aturan-aturan yang diperlukan. Pada Oktober 2009, enam
bulan sebelum Pemilu, Libertás menyerahkan kepada COMELEC sebuah
rancangan kerja Aturan Tata Tertib untuk “pre-proclaimed controversies”
401 United States Agency for International Development (USAID) memberikan dana402 PHILJA adalah sebuah badan di bawah Mahkamah Agung Filipina, yang terdiri dari
pensiunan juri ternama dan profesor bidang hukum, yang diberi kewenangan untuk memberikan pelatihan dan pendidikan lebih lanjut kepada hakim pengadilan.
220
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
dan gugatan Pemilu di bawah sistem Pemilu terotomatisasi PCOS sehinga
COMELEC dapat memiliki titik awal untuk menyusun serangkaian aturan
final yang nantinya dapat disahkan dan dilaksanakan.
Diharapkan bahwa pengadilan lainnya akan menangkap isyarat dari
COMELEC terkait kebutuhan mereka untuk merevisi aturan mereka
sendiri. Namun, baru pada 22 Maret 2010, kira-kira sebulan sebelum Hari
Pemungutan Suara, COMELEC mengadopsi Resolusi No. 8804 (Aturan
Prosedur tentang Keberatan dalam Sistem Pemilu Terotomatisasi Terkait
Pemilu 10 Mei 2010).403 Mengambil fitur-fitur dasar Resolusi COMELEC
No. 8804, Mahkamah Agung404 menerbitkan A.M. No. 10-4-1-SC (Aturan
Prosedur dalam Gugatan Pemilu di hadapan Pengadilan Terkait dengan
Pemilihan Jabatan Kota 2010) pada 27 April 2010. PET di sisi lain, merubah
Aturan, A.M. No. 10-4-29-C, pada 4 Mei 2010. Namun, hingga saat ini,
HRET dan SET belum merubah hukum acara lama mereka, yang masih
berdasarkan proses Pemilu manual.
Tertundanya adopsi aturan-aturan baru untuk mengatur keberatan Pemilu
di dalam Pemilu terotomatisasi juga menunda rencana pelatihan bagi
para hakim. Dalam program pelatihan PHILJA yang dirintis oleh Libertás,
pelatihan para hakim yang semula ditargetkan untuk dilaksanakan pada
bulan Januari 2010, baru bisa dilaksanakan pada minggu kedua April 2010.
Pelatihan untuk Pemilu Terotomatisasi
Sebelum pelaksanaan pelatihan, Libertás melaksanakan sebuah Analisis
Kebutuhan Pelatihan (Training Needs Analysis/TNA) dengan membagikan
sebuah kuesioner survei kepada sekitar 100 orang hakim pengadilan tingkat
kedua. Kuesioner TNA berupaya untuk menentukan: (1) pengalaman para
hakim dalam menangani kasus-kasus Pemilu dan jenis-jenis keberatan
yang mereka tangani; (2) kesadaran umum para hakim dan keterbiasaannya
dengan sistem Pemilu terotomatisasi (automated election system/AES)
403 Harus ditekankan bahwa pedoman pelaksanaan untuk penyelenggaraan Pemilu terotomatisasi muncul agak terlambat, oleh karena itu, juga menunda konseptualisasi dan adopsi aturan yang semestinya untuk keberatan Pemilu.
404 Di bawah Konstitusi Filipina, Mahkamah Agung mengawasi sistem pengadilan secara keseluruhan di negara ini dan diberdayakan untuk mengedarkan aturan yang akan mengatur rangkaian persidangan pengadilan. Lihat Const, Art VIII, sec 5 (5) (Fil).
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
221
PCOS; (3) seminar/pelatihan tentang AES yang telah dihadiri oleh para
hakim ; (4) keterbiasaan para hakim dengan subyek khusus terkait AES;
dan (5) kebutuhan para hakim untuk pelatihan tentang permasalahan
khusus yang akan membantu mereka menyelesaikan keberatan di bawah
sistem AES secara efisien dan dapat dipercaya.
Hasil survei menunjukkan bahwa 74 persen dari hakim yang disurvei
sebelumnya telah menangani kasus-kasus Pemilu, baik sebagai hakim,
sebagai praktisi Pemilu, ataupun dalam kapasitas lainnya. Sebagian besar
kasus yang ditangani oleh para hakim ini terkait dengan gugatan Pemilu.
Sementara itu 72 persen dari para hakim telah mendengar tentang AES
PCOS, hanya 10 persen yang telah menghadiri pelatihan atau seminar
tentang sistem Pemilu terotomatisasi. Dengan demikian, pada skala
1 hingga 5 (1 adalah terendah dan 5 adalah tertinggi), hakim menilai
pemahaman mereka tentang sistem Pemilu yang baru pada skala 1,78.
Dengan menggunakan skala yang sama, para hakim membuat peringkat
pemahaman mereka terhadap subyek tertentu terkait dengan AES,
sebagai berikut:
Masalah Rating
Kerangka Hukum AES PCOS 1,58
Bagaimana AES PCOS bekerja 1.52
Dokumen-dokumen pada AES PCOS 1,50
Penangangan Protes Pemilu di bawah AES PCOS 1,45
Aturan tentang Pembuktian Elektronik 2,39
Para hakim dengan tegas menyatakan kebutuhan untuk dilatih mengenai
subyek tersebut, dan 94 persen menyatakan bahwa mereka juga
cenderung untuk memilih agar Panitera Pengadilan juga menghadiri
pelatihan. Dari data yang dipilih dari TNA, Libertás menyusun sebuah
rancangan desain pelatihan dan mempersiapkan modul-modul untuk
setiap sesi sebagai berikut:
• Sesi1:KerangkaHukumOtomatisasiPemilu
222
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
• Sesi2: Precinct Count Optical Scan (PCOS), Automated Election
System (AES) dan Simulasi Hari Pemungutan Suara
• Sesi3:PenangananGugatanPemilupadaAESPCOS
• Sesi4:AturanPembuktianElektronik
• Sesi5:PelanggaranPemilu
Pada 15 April 2010, Libertás menyajikan proposal desain pelatihan dan
modul kurikulum tersebut kepada sekelompok pengajar PHILJA dan ahli
hukum Pemilu. Aktivitas ini juga berfungsi sebagai sarana orientasi bagi
calon pelatih yang prospektif. Selain gambaran umum tentang COMELEC
dan demonstrasi sistem PCOS, pelatihan juga termasuk simulasi Pemilu
(mock election). Pada akhirnya, para ahli secara substansial mengadopsi
modul-modul pelatihan yang disusun oleh Libertás sebagai modul PHILJA
bagi Undang-undang Pemilu. Akhirnya, untuk alasan penjadwalan, para
hakim dikelompokkan menjadi lima kelompok, yang setiap kelompoknya
terdiri dari 130 hingga 200 peserta, dan seminar diadakan dalam lima
gelombang, mencakup sekitar 900 hakim pengadilan dari seluruh wilayah
di Filipina.405
Penilaian dan Evaluasi Pelatihan
Sementara pelatihan yang dilaksanakan telah memberikan pengetahuan
dasar tentang AES yang baru bagi pihak pengadilan, hal tersebut belum
cukup untuk mempersiapkan mereka secara memadai untuk menangani
berbagai isu dan gugatan yang muncul dari sistem yang baru tersebut.
Sebagian ini dikarenakan Mahkamah Agung belum mengundangkan
aturan yang diperlukan, namun hanya mengandalkan rancangan dokumen.
Masih banyak isu-isu yang belum terselesaikan ketika pelatihan
dilaksanakan. Hal ini termasuk metode pengesahan surat suara yang
disengketakan untuk diperiksa kembali. Pertanyaan tentang prosedur
penghitungan kembali dan niat pemilih dimunculkan, namun tidak ada
kebijakan pasti yang diambil. Pada waktu penulisan buku ini, bahkan proses
405 Pelatihan diadakan sebagai berikut: 19 April, 2000 di Cebu City mencakup hakim-hakim dari Daerah 6, 7, dan 8; pada 23 April, 2010 di Baguio City mencakup hakim dari Daerah 1, 2, dan 3; pada 27 April 2010 di Davao City mencakup hakim-hakim dari Daerah 4 dan 5; dan pada 4 Mei, 2010 di Pasay City mencakup hakim dari Daerah Ibu Kota Nasional.
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
223
gugatan Pemilu yang ditunda penyelesaiannya karena isu prosedural
tertentu, khususnya yang terkait otentikasi surat suara, yang belum
berhasil diselesaikan.
Saat ini Libertás tengah dalam proses mengevaluasi keefektifan aturan
yang baru diadopsi tersebut dan pelatihan yang dilaksanakan untuk para
hakim. Libertás telah menyelenggarakan diskusi meja bundar mengenai
pasca-Pemilu di antara para hakim dan praktisi Pemilu untuk memunculkan
opini mereka. Dengan restu Mahkamah Agung, kuesioner survei dibagikan
kepada hakim yang menangani keberatan Pemilu untuk memperoleh
pandangan mereka terkait kasus-kasus yang telah ditangani atau masih
ditangani. Hasil evaluasi akan termasuk laporan yang diselesaikan oleh
Libertás dan diserahkan kepada IFES, ABA, dan PHILJA, juga kepada para
pembuat kebijakan, COMELEC, Mahkamah Agung dan tribunal Pemilu,
pada kuartal pertama 2011.
Umpan balik awal yang dikumpulkan dari diskusi meja bundar
mengungkapkan bahwa para hakim lebih menginginkan untuk mempelajari
penyelesaian praktis terhadap masalah melalui studi kasus ketimbang
melalui metode kuliah. Walaupun begitu, mereka menghargai kesempatan
untuk mempelajari tentang dasar-dasar proses Pemilu PCOS, yang pasti
mereka tidak akan memiliki kesempatan mempelajarinya tanpa adanya
pelatihan PHILJA tersebut (untuk informasi lebih lanjut tentang prinsip-
prinsip dasar pelatihan, lihat Bab 3: Pelatihan Penanganan Pemgaduam
untuk Badan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik).
Situasi pelatihan, bersama fakta bahwa AES merupakan sebuah hal baru
di Filipina pada tahun 2010, secara substansial membatasi kapasitas
program pelatihan untuk mengantisipasi seluruh masalah keberatan
Pemilu yang muncul. Sebagaimana disebutkan di atas, para pembuat
kebijakan, termasuk COMELEC, tidak mengharapkan banyaknya jumlah
gugatan Pemilu yang muncul, dan oleh karenanya tidak mempersiapkan
secara memadai, karena mereka memandang AES merupakan sebuah
obat mujarab yang dapat mengobati semua permasalahan Pemilu.
Kebalikan dengan ekspekstasi ini, lebih banyak protes Pemilu kepada
COMELEC dan HRET di bawah sistem Pemilu terotomatisasi daripada
224
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pemilu yang baru-baru ini yang menggunakan proses manual. Di
COMELEC, terdapat 95 gugatan Pemilu yang diajukan pada tahun 2010,
dibandingkan dengan 72 kasus pada tahun 2007, 65 pada tahun 2004, 65
pada tahun 2001, dan 101 pada tahun 1998. Di HRET, terdapat 40 protes
Pemilu yang diajukan pada tahun 2010, dibandingkan dengan 28 kasus
pada tahun 2007, 16 pada tahun 2004, 33 pada tahun 2001, 27 pada tahun
1998, 27 pada tahun 1995, 22 pada tahun 1992, dan 40 pada tahun 1987.
Data yang tersedia dari Kantor Administrator Mahkamah Agung
mengindikasikan bahwa para pembuat kebijakan telah membuat asumsi
yang keliru tentang kemudahan pelaksanaan sistem yang baru. Asumsi-
asumsi yang keliru ini, akhirnya menyebabkan para pembuat kebijakan
memprioritaskan kembali persiapan untuk sebuah sistem penanganan
keberatan yang baik.
Kesimpulan
A. Pelajaran yang DiperolehKeefektifan pelatihan yang dilaksanakan di Filipina untuk mempersiapkan
para hakim guna menangani keberatan Pemilu di dalam sistem Pemilu yang
terotomatisasi sangat dibatasi oleh kurangnya persiapan dan pemikiran ke
depan dari sisi para pembuat kebijakan. Terbukti bahwa permasalahannya
lebih mendasar daripada hanya sekedar isu metodologi pelatihan dan
prosedur. Oleh karena itu, untuk memperbaiki sistem, diperlukan
peninjauan masalah-masalah dasar ini dan bagaimana mengatasinya
secara baik.
B. Pertimbangan Kebijakan dan PraktisSebagaimana disebutkan sebelumnya, memahami pengalaman Filipina
memerlukan pengetahuan tentang konteks Pemilu yang unik. Namun,
terdapat berbagai prinsip umum yang dapat dipetik dari pengalaman
Filipina yang akan berguna untuk yurisdiksi lain.
• KerangkahukumyangmendefinisikanjenissistemPemiluseharusnya
juga mempertimbangkan bagaimana keberatan akan diselesaikan.
Kerangka tersebut seharusnya. Paling sedikit berisi standar-standar
yang jelas tentang: (1) isu yurisdiksi; (2) prosedur penghitungan kembali;
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
225
(3) tata tertib pengesahan surat suara; (4) isu penentuan niat pemilih;
(5) proses banding dan ketersediaan peninjauan kembali; dan (6)
kompetensi yang diperlukan oleh para ajudikator dan arbiter keberatan
Pemilu. Standar-standar ini seharusnya menyertakan standar-standar
yang diakui secara internasional bagi sebuah sistem penanganan
keberatan Pemilu yang baik dan efektif. Terlebih lagi, sebuah kerangka
hukum tersebut seharusnya juga mempertimbangkan opsi untuk
metode penyelesaian sengketa alternatif (ADR) (untuk informasi lebih
lanjut tentang ADR, lihat Bab 6: Berbagai Mekanisme Penyelesaian
Sengketa Alternatif).
• Badan Penyelenggara Pemilu (atau badan yang mengundangkan
peraturan Pemilu) harus memutuskan jenis sistem secara
cukup dini sehingga cukup memungkinkan seluruh pemangku
kepentingan – termasuk para pemilih, kandidat, partai politik, dan
ajudikator– kesempatan yang cukup untuk membiasakan diri dengan
sistem tersebut.
• Tribunal-tribunal Pemilu harus mengadopsi peraturan-peraturan
prosedur dan perubahannya jauh dimuka sebelum pemilihan dilakukan.
• Pelatihanparaajudikatorseharusnyamerupakansuatukegiatanyang
teratur dan harus melibatkan latihan-latihan yang bersifat interaktif
dan praktis. Lebih lanjut, para pelatih seharusnya juga dilatih untuk
melaksanakan pelatihan, selain hanya metode perkuliahan dan
memiliki kapasitas dan keterampilan untuk mengelola pelatihan
mereka menggunakan metodologi pelatihan lainnya. Analisis
Kebutuhan Pelatihan (TNA) dan juga evaluasi pasca-pelatihan
seharusnya diwajibkan untuk mempengaruhi persiapan pelatihan
supaya lebih baik.
Akhirnya, terlepas dari apa yang mungkin dikatakan tentang hasil program
pelatihan yang digunakan di dalam Pemilu yang lalu di Filipina, hal yang
tidak dapat dipungkiri adalah peran penting dan vital yang dimainkan oleh
masyarakat sipil. Lembaga-lembaga pemerintah yang relevan, khususnya
COMELEC dan Mahkamah Agung, mengadopsi pendekatan laissez-
faire untuk persiapan sebuah sistem penanganan keberatan yang sesuai
226
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
dengan sistem Pemilu terotomatisasi yang baru diberlakukan. Prakarsa
Libertás lah yang mendorong para pembuat kebijakan untuk mempercepat
aksi mereka terhadap persoalan tersebut. Hal itu merupakan sebuah
demonstrasi sejauh mana kemitraan dan kerja sama pemerintah-warga
negara dapat berjalan dalam melaksanakan proyek-proyek yang berhasil.
Jika hanya untuk ini, proyek seluruhnya dapat dipertimbangkan sebagai
sebuah keberhasilan dan berfungsi sebagai basis dan contoh untuk
kolaborasi masa mendatang..
Daftar Periksa Rekomendasi
Di bawah ini adalah berbagai rekomendasi untuk dipertimbangkan oleh
para praktisi ketika merancang program-program pelatihan peradilan.
Penting untuk diperhatikan bahwa proyek-proyek pelatihan seharusnya
selalu dirancang dengan mempertimbangkan tujuan akhir pelatihan,
yaitu memberikan pengetahuan kepada hadirin yang ditargetkan.
Berbagai subyek yang disebutkan sebelumnya seharusnya diterapkan
secara seragam untuk strategi atau rancangan apapun untuk pelatihan.
Sebagaimana diperhatikan para pembaca, banyak dari prinsip-prinsip ini
yang dimasukkan ke dalam daftar periksa ini diterapkan dalam program-
program pelatihan dewasa secara umum, dan serupa dengan isu yang
dilontarkan di dalam Bab 3.
Penyelenggaraan dan Pengembangan
√ Persiapan yang matang: Program-program pelatihan seharusnya
disusun dengan baik, jauh sebelum Hari Pemungutan Suara. Idealnya,
berbagai program tersebut akan diciptakan berdampingan dengan
perancangan atau direvisi peraturan Pemilu, dalam rangka untuk
memastikan pelatihan mengikuti perkembangan zaman (up-to-date)
dan tersedia segera setelah Undang-undang disahkan. Program yang
tidak direncanakan dengan baik atau ad-hoc memiliki risiko gagal
memberikan para hakim dan arbiter tingkat keahlian yang diperlukan.
√ Integrasi: Program pelatihan untuk hakim dapat dipandang sebagai
sebagai suatu bagian kecil dari program pelatihan untuk para pihak
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
227
dan masyarakat yang dibahas di Bab 3. Jika pelatihan “umum”
dan “lanjut” adalah memadai untuk membiasakan para pihak dan
masyarakat dengan proses penanganan keberatan, keahlian yang
diperlukan oleh para hakim dan arbiter membutuhkan pelatihan
“khusus” selain yang tersedia untuk segmen lain dalam masyarakat..
√ Sistematisasi dan penggunaan sumber-sumber daya yang
efisien: Dalam rangka memaksimalkan sumber-sumber daya yang
terbatas, menjadi penting untuk mensistematisasikan berbagai
prosedur dan merencanakan aktivitas sebagaimana mestinya.
Sebuah program pelatihan yang diselenggarakan dan dapat diulangi
sebagaimana mestinya atau serangkaian program merupakan
penggunaan waktu dan uang secara lebih efisien daripada sesi-sesi
individual yang tidak direncanakan dengan baik.
√ Tujuan: Untuk menghindari perangkap dari penetapan tujuan yang
tidak dapat dicapai, tujuan pembelajaran yang konkrit seharusnya
dirancang dalam rangka memberikan kepastian kepada para peserta
tentang tema-tema khusus dan subyek yang akan mereka pelajari.
√ Tradisi budaya dan hukum: Selain untuk membiasakan diri
dengan sistem hukum khusus yang dibahas, pelatihan seharusnya
menetapkan suatu fokus lokal dan mempertimbangkan sejarah,
budaya, tradisi hukum dan kebiasaan negara. Prosedur dan tujuan
seharusnya mempertimbangkan apakah pelatihan berlangsung di
negara demokrasi yang sedang berkembang merupakan bagian
dari penyempurnaan berkelanjutan dalam demokrasi terkonsolidasi;
atau dirancang untuk menangani penyesuaian-penyesuaian pada
demokrasi yang sudah matang.
√ Penyertaan para mitra: Apakah pelatihan diselenggarakan secara
internal atau eksternal, menyertakan masukan dari berbagai
organisasi mitra dapat membantu untuk mencakup topik-topik relevan
yang mungkin dihilangkan oleh program pelatihan peradilan yang
terisolasi. Contoh pelatihan yang termasuk dalam bab ini dari TEPJF
mendemonstrasikan bagaimana berbagai organisasi dan perwakilan
transnasional dari negara-negara asing dapat bekerjasama dengan
228
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
menciptakan program-program yang efektif, sementara pengalaman
Libertás menunjukkan bagaimana kemitraan publik-privat dapat
mendorong proses pelatihan peradilan.
√ Pemahaman terhadap peserta: Pelatihan seringkali dibatasi hanya
isu-isu Pemilu. Para pejabat Pemilu yang sangat khusus tidak harus
memerlukan pelatihan tentang topik-topik yang terkait subyek Pemilu
atau peradilan. Sebaliknya, isu-isu yang lebih luas dapar menawarkan
mereka perspektif yang lebih dalam ketika menganalisis kasus-kasus
khusus (kursus dalam analis kebijakan strategis, strategi komunikasi,
sistem hukum Anglo Saxon (common law), pilihan rasional dan game theory, di antaranya).
Isi dan Evaluasi
√ Partisipasi: Dalam rangka menjamin internalisasi yang layak
dari materi yang dibahas selama sesi pelatihan, metode yang
mengandalkan hanya kepada serangkaian perkuliahan seharusnya
dihindari. Perkuliahan dengan diikuti sesi tanya jawab atau pembagian
kelompok-kelompok kecil lebih diinginkan untuk menjawab
ketidakjelasan. Bahkan pelatihan yang lebih kuat dapat berasal dari
penyelenggaraan sebagian besar atau seluruh sesi di dalam bentuk
diskusi meja bundar, termasuk hakim yang dilatih dalam “perkuliahan”
dari permulaan.
√ Transmisi pengetahuan: Dalam banyak kasus, para peserta kurang
pengetahuan akan subyek-subyek dasar yang diajarkan. Program
pelatihan seharusnya mempertimbangkan termasuk hal-hal dasar
yang mencakup pengetahuan minimum yang dapat mempersiapkan
para peserta untuk isu-isu yang lebih kompleks.
√ Materi pelatihan: Penjadwalan memerlukan sesi-sesi yang cukup
pendek dan tidak memasukkan tinjauan dari pengetahuan yang
diperoleh. Oleh karena itu, materi yang diberikan kepada para peserta
seharusnya berfungsi sebagai sebuah panduan untuk kursus, juga
sebagai referensi untuk tinjauan lebih lanjut sesuai kecepatan yang
diinginkan oleh peserta. Buku petunjuk seharusnya bersifat menyeluruh
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
229
dan berguna sebagai referensi setelah sesi. Untuk menghindari
pemberian informasi yang berlebihan jumlahnya, penggunaan
presentasi PowerPoint sebagai materi pendukung pelatihan harus
diminimalkan. Rancangan harus mengkomunikasikan isi dan bukan
menjadi sesuatu yang mengalihkan perhatian (distraction).
√ Evaluasi: Dalam rangka mempertahankan tingginya kualitas program
pelatihan yang sedang berlangsung, para pelatih seharusnya
menutup pelatihan dengan mengupayakan umpan balik dari peserta
pelatihan. Hal ini dapat berbentuk esai reaksi atau survei numerik
sederhana. Terlepas dari format, umpan balik seharusnya digunakan
untuk merevisi dan memperbaiki program pelatihan untuk siklus
Pemilu selanjutnya.
230
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
BERBAGAI PENDEKATAN UNTUK PENDIDIKAN PEMILIH DAN PERAN MASYARAKAT SIPIL
5Oleh Catherine Barnes dan Grant Kippen
Sebelum Pemilu legislatif Afganistan dilaksanakan tanggal 18 September 2005, IFES mendidik warga negara Afganistan tentang dasar-dasar demokrasi melalui lokakarya tatap muka (face-to-face) di seluruh Kabul dan ibu kota provinsi. Menggunakan poster, brosur dan serial radio serta sosialisasi kepada para wanita, IFES mencoba untuk menjangkau sebanyak mungkin warga negara Afganistan
Bab 5: Berbagai Pendekatan untuk Pendidikan Pemilih dan Peran Masyarakat Sipil
233
Pendahuluan
Ketiadaan upaya penyediaan informasi publik yang memadai untuk mendidik
para pemangku kepentingan Pemilu dan pemilih tentang hak-hak mereka,
aturan yang mengatur proses politik dan Pemilu, apa yang merupakan
pelanggaran dan mekansime serta prosedur untuk memperoleh perbaikan,
menjadikan sistem penanganan keberatan mungkin kurang dimengerti,
tidak dimanfaatkan secara maksimal atau bahkan dimanipulasi. Dalam
situasi semacam ini, sistim penanganan menjadi rentan terhadap peniadaan
informasi yang bermotif politik, atau penyalahgunaan yang disengaja
terhadap proses (penyelesaian) untuk mendapatkan suatu keuntungan
dalam “pengadilan opini publik” atau untuk menunda pengumuman resmi
hasil Pemilu dengan maksud memunculkan keraguan terhadap kredibilitas
proses Pemilu dan legitimasi hasilnya.
Sebagaimana yang telah disinggung pada bab pertama buku ini, jika
pemohon keberatan yang telah memenuhi persyaratan tidak menyadari
hak mereka untuk mengajukan perkara atau bagaimana melakukannya
sebagaimana mestinya, atau jika lembaga penanganan sengketa terlalu
dibebani dan dilemahkan oleh litigasi tidak perlu dan menjengkelkan
yang diajukan oleh sementara orang, maka kepatuhan terhadap berbagai
standar dan praktik terbaik internasional akan gagal gagal, terlepas dari
kualitas yang ditampilkan oleh sistem tersebut. Saat ini, informasi publik,
pelatihan dan program pendidikan pemilih dalam hal penanganan keberatan
seringkali diperlakukan – jika sama sekali - sebagai pemikiran tambahan
oleh lembaga penanggung jawab, komunitas donor internasional, dan
organisasi pelaksana.
Bab ini mengelaborasi beberapa upaya yang saat ini ada untuk
memperlakukan pendidikan pemilih dalam hal penanganan keberatan
secara proaktif dan dengan cara yang lebih menyeluruh oleh badan-badan
resmi dan masyarakat sipil. Diskusi ini mengidentifikasi praktik-praktik
terbaik untuk diikuti, pelajaran-pelajaran yang dapat dipetik, dan perangkap-
perangkap yang harus dihindari.
234
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Upaya-upaya oleh Badan-Badan Resmi
A. Gambaran UmumPartisipasi yang luas oleh para pemilih dalam proses Pemilu adalah suatu
tujuan yang penting bagi demokrasi manapun. Sebagai pengawal dari
proses Pemilu, merupakan suatu hal yang sangat penting bagi Badan
Penyelenggara Pemilu (Election Management Bodies) untuk tidak hanya
mengurus proses administrasi secara transparan dan profesional, akan
tetapi juga memastikan bahwa berbagai macam kelompok pemangku
kepentingan – pemilih, kandidat, partai politik, media, kelompok pemantau,
dan pelaku masyarakat sipil lainnya – memiliki pengetahuan yang
dibutuhkan untuk berpartisipasi secara penuh dan layak di dalam proses
tersebut. Tanggung jawab ini juga meluas sampai kepada hal yang menjadi
aspek paling kontroversial dari sengketa Pemilu: penanganan keberatan.
Proses Pemilu secara alamiah menghasilkan lebih banyak pihak yang kalah
ketimbang pihak yang menang dan, dengan demikian situasi semacam
ini secara pasti menjamin bahwa akan lebih banyak keberatan terhadap
baik cara di mana proses Pemilu dilaksanakan maupun hasil akhir Pemilu
tersebut. Beberapa kandidat yang kalah tampaknya cenderung percaya
bahwa hal ini tidak terhindarkan. Dan, ketika keberatan terhadap hasil
Pemilu mungkin terkait dengan kasus yang menarik perhatian publik,
mereka hanyalah satu sumber dari berbagai keberatan di sepanjang siklus
Pemilu. Keberatan terhadap kriteria persyaratan yang dihadapi oleh para
kandidat, perilaku para kandidat dan perilaku partai politik sepanjang
periode kampanye dan pada saat Hari Pemungutan Suara, penyertaan atau
pengecualian pemilih dari pendaftaran pemilih, dan masalah pembiayaan
kampanye juga merupakan sumber keberatan yang umum.
Sementara Undang-undang Pemilu biasanya menjelaskan secara presisi
apa yang termasuk ke dalam pelanggaran Pemilu, dibutuhkan juga
keberadaan suatu proses yang dapat dipercaya dan transparan yang siap
untuk penyelesaian keberatan. Pendekatan untuk penanganan keberatan
sangat beragam antar negara dan tanggung jawab mungkin terletak dalam
sistem peradilan, kombinasi dari komisi Pemilu dan pengadilan, hanya
komisi Pemilu, atau badan penanganan Pemilu yang terpisah.
Bab 5: Berbagai Pendekatan untuk Pendidikan Pemilih dan Peran Masyarakat Sipil
235
Terlepas dari dimana tanggung jawab untuk penanganan keberatan Pemilu
ditempatkan atau bagaimana sistem tersebut distrukturkan, semua
sistem ini mempunyai kewajiban untuk memberikan informasi kepada
para pemangku kepentingan Pemilu tentang hak-hak politik dan Pemilu
mereka, aturan main, dan bagaimana mereka dapat mengupayakan
tindakan perbaikan jika hak-hak tersebut dan/atau aturan dilanggar.
Diskusi selanjutnya akan melihat dari bagaimana berbagai jenis sistem
penanganan keberatan – apakah dalam suatu negara rapuh, situasi konflik,
atau demokrasi yang sudah mapan – mendekati masalah informasi publik
dan pendidikan pemilih. Studi kasus mencakup Komisi Pemilu Pakistan
(Election Commission of Pakistan/ECP), Komisi Keberatan Pemilu
(Electoral Complaints Commission/ECC) Republik Islam Afghanistan, dan
Pengadilan Pemilu tingkat Federal Meksiko (Federal Electoral Court of
Mexico), yang juga telah dibahas secara lebih rinci dalam Bab 4 buku ini.
Ketiga negara memiliki pengalaman yang berbeda-beda:
• DiPakistan,terdapatsuatusistempenyelesaiankeberatancampuran
dimana ECP dan pengadilan memiliki tanggung jawab khusus
tergantung jenis pelanggaran yang dituduhkan dan titik proses mana
keberatan tersebut diajukan.
• Di Afganistan, ECC merupakan lembaga Pemilu yang sepenuhnya
independen, terpisah dari Komisi Pemilu Independen (Independent
Election Commission/IEC). Lembaga ini memiliki mandat tunggal
untuk menyelidiki dan menangani gugatan dan keberatan Pemilu,
meskipun lembaga tersebut beroperasi secara sementara. Pengadilan
tidak memainkan peranan apapun dalam penanganan keberatan.
• Di Meksiko, suatu pengadilan Pemilu yang terpisah bertanggung
jawab untuk menangani keberatan Pemilu dan telah sangat berhasil
hingga saat ini pengadilan tersebut menyediakan bantuan teknis
- termasuk rancangan dan penerapan strategi komunikasi dan
sosialisasi (outreach) – terhadap tribunal Pemilu lain di Amerika Latin.
236
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Setiap model dibahas secara lebih rinci di bawah ini.
B. Komisi Pemilu Pakistan (Election Commission of Pakistan/ECP)
Sebelum Pemilu 2007, ECP dihadapkan dengan tantangan untuk
memperbaiki penanganan keberatan Pemilu dalam sebuah lingkungan
yang sarat kritik publik dan keraguan yang meluas terhadap penanganan
keberatan yang dilaksanakannya. Meskipun ECP mencoba untuk menjamin
bahwa lembaga tersebut sudah mengikuti hukum yang berlaku, proses
penanganan sengketa Pemilu seringkali digambarkan sebagai sesuatu
proses yang membingungkan, kurang transparan dan tidak memenuhi
standar internasional.
Dalam upayanya untuk mengakhir krisis kepercayaan, ECP, dengan
bantuan IFES, melakukan beberapa upaya khusus yang diarahkan pada
peningkatan pengetahuan dan pemahaman atas proses penanganan
keberatan di antara kelompok pemangku kepentingan kunci baik dari
dalam maupun dari luar. Kelompok-kelompok ini termasuk kandidat, partai
politik, masyarakat sipil, kelompok pemantau, media dan pemilih, juga
pegawai ECP di kantor pusat dan di tingkat provinsi.
Tujuan dari upaya-upaya ini adalah untuk: meningkatkan informasi,
pengetahuan dan tanggung jawab untuk mengajukan keberatan yang sah,
dan meningkatkan transparansi dan kredibilitas dari proses penanganan
keberatan, terutama selama masa kampanye. Untuk mencapai tujuan ini,
ECP melakukan upaya informasi publik yang multi-aspek, termasuk:
• Pengembanganbukupetunjukyangmenjelaskanprosesdanprosedur
terkait. Buku petunjuk menyoroti ketentuan yang berlaku dari Undang-
undang Pemilu dan mencantumkan bahasa yang sederhana dan
lugas yang mudah dimengerti oleh para pengguna. Buku petunjuk
dibagikan secara gratis kepada para kandidat, partai-partai politik,
pengawas Pemilu , dan kelompok masyarakat sipil. ECP menyediakan
ratusan salinan cetak dalam bahasa Urdu, Sindhi dan Inggris serta
mengunggah buku petunjuk tersebut di situs web mereka.
• PembuatanIklanLayananMasyarakat(Public Service Announcement/
PSA) untuk radio. PSA ditujukan untuk pendengar yang lebih luas dan
Bab 5: Berbagai Pendekatan untuk Pendidikan Pemilih dan Peran Masyarakat Sipil
237
diputar selama masa kampanye. PSA dirancang untuk meningkatkan
kesadaran para pemilih tentang jenis pelanggaran Pemilu dan tindakan-
tindakan apa yang dapat ditempuh oleh pemilih jika mereka melihat
terjadinya penyimpangan. PSA juga dimaksudkan untuk mengakhiri
persepsi publik yang bias dengan menunjukkan bahwa ECP adalah
organisasi yang independen, profesional yang berkomitmen untuk
mengambil pendekatan yang proaktif untuk penyelesaian keberatan
yang layak dan transparan.
• Memperbaiki penggunaan situs web ECP untuk menunjukkan
bagaimana penanganan keberatan bekerja. Dalam rangka untuk
menghadirkan referensi buku petunjuk pengajuan keberatan dengan
tiga bahasa di atas, ECP juga menyediakan formulir pengajuan
keberatan resmi dalam versi yang dapat diunduh. Situs web juga
menghadirkan rangkuman-rangkuman terkini dari jumlah dan jenis
keberatan yang diajukan kepada ECP. Pemohon dapat mencari status
perkara mereka di situs web. Cara penggunaan situs web ECP ini
meningkatkan transparansi dari proses penyelesaian sengketa,
sementara juga menyediakan tingkat kredibilitas dan profesionalisme
tidak pernah ada sebelumnya.
• Pengenalanterhadappaket lokaryadanpengarahansingkattentang
informasi untuk media lokal. Lokakarya tentang informasi - yang
pertama kalinya dilaksanakan dimaksudkan untuk mempersiapkan
para jurnalis untuk memberikan liputan yang lebih informatif dan akurat
berkenaan dengan penanganan keberatan dan untuk meningkatkan
profil dari proses ini di antara pendengarnya. Umpan balik dan evaluasi
yang diterima dari perwakilan media sehubungan dengan lokakarya
tersebut adalah sangat positif dan suatu analisis terhadap liputan
media atas penanganan keberatan selanjutnya menunjukkan nilai dan
hasil dari kegiatan ini.
Secara keseluruhan, pendekatan informasi publik ECP dapat diterima dengan
baik oleh para kandidat, partai politik, media, pemantau dan kelompok
masyarakat sipil. Melalui upaya ini, ECP mampu mendemonstrasikan
langkah-langkah yang nyata dan positif dalam menghadapi proses proses
keberatan yang lebih transparan dan terpercaya. Misi pemantau Uni
Eropa (European Union/EU) memberikan catatan terhadap kemajuan ini,
238
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
menunjuk secara spesifik dalam laporan akhir mereka yaitu tentang upaya-
upaya informasi publik ECP terhadap penanganan keberatan yang diajukan.
C. Komisi Keberatan Pemilu Afganistan (Electoral Complaints Commission/ECC)
ECC merupakan suatu badan penanganan keberatan yang independen
yang didirikan di bawah Undang-undang Pemilu Republik Islam
Afghanistan. Tidak seperti rekanannya - IEC, ECC adalah lembaga Pemilu
sementara yang mandatnya berlangsung sampai dengan 30 hari setelah
sertifikasi hasil akhir Pemilu yang dikeluarkan oleh IEC. Baik untuk
Pemilu 2005 dan 2009, ECC dibentuk sangat terlambat yaitu menjelang
dimulainya siklus Pemilu. Hal ini membuat ECC menghadapi sejumlah
tantangan operasional yang siginifikan, termasuk ketidakmampuan untuk
melaksanakan kampanye informasi bagi publik dan pemilih yang memadai
dan komprehensif sebelum permulaan kalender Pemilu.
ECC pertama kali dibentuk sebelum Pemilu Parlemen dan Dewan Provinsi
tahun 2005. Karenanya sangat sedikit, jikapun ada, pemahaman atas
mandatnya di antara pemangku kepentingan Pemilu sebelum dimulainya
kampanye. Hal ini berarti bahwa ECC menghadapi berbagai tantangan.
Pertama, ECC harus mengembangkan kampanye informasi publik untuk
memberikan sebuah informasi dasar mengenai peran dan tanggung jawab
ECC di dalam proses Pemilu, sehingga seluruh kelompok pemangku
kepentingan akan memiliki suatu kepercayaan dasar dalam proses
keberatan. Kedua, ECC harus mendidik pemangku kepentingan tersebut
tentang proses pengajuan keberatan sehingga mereka dapat menyiapkan
diri mereka sendiri apabila mereka menyaksikan pelanggaran Pemilu.
Karena itu, ECC menyusun upaya terpadu untuk dapat menjangkau seluas
mungkin pendengar dari kalangan pemangku kepentingan dalam jangka
waktu yang singkat sebelum Pemilu.
ECC menggunakan sejumlah produk-produk media dan komunikasi,
termasuk kampanye iklan layanan masyarakat (PSA) untuk radio, iklan
cetak di sejumlah surat kabar dan majalah nasional, dan poster-poster.
ECC juga mengkomunikasikan pesan-pesan melalui wawancara dengan
media. Sebagai tambahan, ECC mengembangkan situs webnya sendiri,
yang mana telah terbukti menjadi alat yang efektif di antara kelompok elit
Bab 5: Berbagai Pendekatan untuk Pendidikan Pemilih dan Peran Masyarakat Sipil
239
meskipun penerapan yang lebih luasnya dibatasi oleh tingkat penggunaan
internet yang rendah di negara tersebut.
Berdasarkan pengalamannya di tahun 2005, ECC, di dalam laporan
akhirnya, mengakui bahwa upaya informasi publiknya jauh dari apa yang
dapat dianggap sebagai ideal dan merekomendasikan agar pada siklus
Pemilu yang akan datang, ECC harus dibentuk jauh sebelum kampanye
Pemilu agar dapat memberikan kampanye informasi publik dan pemilih
yang layak.
Sayangnya, pelajaran pada tahun 2005 tidak diterapkan secara penuh
pada tahun 2009. Lagi-lagi, pembentukan ECC dilakukan sangat terlambat
dalam rangkaian proses Pemilu sehingga ECC kehilangan banyak
kesempatan untuk mendapatkan lompatan permulaan pada kampanye
informasi publik yang komprehensif sebelum Pemilu presiden dan dewan
provinsi. Berdasarkan pengalaman yang diperoleh dalam Pemilu 2005,
bagaimanapun juga, ECC telah mengembangkan kampanye informasi
publik yang jauh lebih canggih dan mampu menerapkannya, meski dengan
kerangka waktu yang terbatas.
Kampanye informasi publik tahun 2009 terdiri dari komponen
sebagai berikut:
• ECCmemulaidengansosialisasikepadamedia-mediaterpilihdengan
memasukkan pelaksanaan konferensi pers reguler dan penunjukan
para komisioner untuk berpartisipasi dalam wawancara baik dengan
media nasional maupun internasional. ECC juga menugaskan 2
orang dari tim hubungan masyarakat/media (satu orang dari tingkat
nasional dan satu dari tingkat internasional) dengan kemampuan dan
kontak yang dibutuhkan untuk menghasilkan minat dan pelaporan
isu-isu terkait dengan ECC. Hal-hal ini merupakan langkah-langkah
awal yang amat penting mengingat perkembangan media nasional
(terutama media swasta) sejak tahun 2005 yang telah memberikan
dampak yang besar terhadap peliputan Pemilu di seluruh negeri.
Hal ini berpengaruh secara positif terhadap upaya-upaya ECC dalam
menginformasikan populasi pemilih berkenaan dengan peran dan
mandat-nya dalam proses Pemilu.
240
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
• ECC mengembangkan iklan layanan masyarakat baik untuk radio
maupun televisi dan mendistribusikan produk ini ke pelosok negeri.
Namun, oleh karena keterlambatan pembentukan ECC, iklan
layanan masyarakat tersebut mengudara hanya sesudah periode
kampanye dimulai.
• Komisi juga mencetak brosur dan mendistribusikannya di seluruh
pelosok negeri. Brosur-brosur dibagikan secara efektif kebanyakan
di wilayah perkotaan oleh karena tingkat baca tulis yang terbatas di
wilayah desa dan daerah terpencil.
• Dalam inovasinya sejak tahun 2005, para Komisioner ECC telah
bepergian ke sejumlah pusat provinsi/daerah di seluruh negeri selama
kampanye Pemilu 2009. Melalui kunjungan ini, ECC mengupayakan
untuk: (1) meningkatkan profil media ECC di dalam pasar lokal (melalui
konferensi pers dan wawancara); (2) melakukan sosialisasi kepada
kandidat Dewan provinsi untuk menjelaskan proses pengajuan
keberatan dan bagaimana dapat diakses jika diperlukan; dan (3)
untuk bertemu dengan staf ECC provinsi. Kunjungan-kunjungan ini
membuktikan sebuah keberhasilan yang sangat, khususnya dari sudut
pandang media, dan juga memperkokoh persepsi bahwa ECC adalah
organisasi yang independen, transparan yang berkomitmen untuk
memperlakukan seluruh keberatan dengan cara yang profesional dan
tidak memihak.
Mengingat proses audit dan penghitungan ulang dilakukan bagi Pemilu
presiden setelah Hari Pemungutan Suara dan kemudian ditemukan
kecurangan yang serius, maka pekerjaan informasi publik ECC, khususnya
kunjungan ke daerah, memainkan peranan kunci dalam menjamin bahwa
ECC dapat dipandang sebagai memiliki kredibilitas dan legitimasi yang
memadai oleh sejumlah luas pemangku kepentingan Pemilu. Jika ECC
tidak mampu melaksanakan upaya multi aspeknya terkait dengan informasi
publik terlepas karena kendala waktu, menjadi hal yang sulit untuk
meyakinkan para pemilih dan kandidat bahwa ECC dapat melaksanakan
pekerjaannya dengan cara yang non-partisan, terbuka dan kompeten.
Bab 5: Berbagai Pendekatan untuk Pendidikan Pemilih dan Peran Masyarakat Sipil
241
D. Pengadilan Pemilu Federal Meksiko (Federal Electoral Court of Mexico)
Pengadilan khusus Pemilu telah didirikan di beberapa negara di Amerika
Latin, dengan menggunakan Pengadilan Pemilu Federal di Meksiko
(Tribunal Electoral del Poder Judicial de la Federación, TEPJF) tidak hanya
sebagai model, tetapi juga sebagai sumber kepemimpinan dan bantuan
teknis di dalam kawasan dan di luar kawasan. TEPJF adalah sebuah tribunal
Pemilu permanen yang terpisah dari badan penyelenggara Pemilu, dengan
sebuah kantor pusat nasional dan lima majelis daerah (regional chambers).
TEPJF memiliki sebuah strategi komunikasi komprehensif berdasarkan
survei-survei opini publik reguler dan menangani baik Pemilu federal,
yang diadakan setiap tiga tahun, dan pemilihan lokal yang dilaksanakan
setiap tahun.
Komponen-komponen dari strategi ini termasuk penyediaan informasi yang
akurat dan dapat dipahami pada media massa dan publisitas kelembagaan
serta pembangunan kepercayaan yang ditujukan pada para pemilih dan
pemangku kepentingan Pemilu.
Selain siaran, konferensi dan pengarahan pers untuk dan wawancara
dengan media massa, TEPJF juga melakukan berbagai pelatihan reguler
bagi para jurnalis. Selain itu, TEPJF juga menyampaikan informasi melalui:
• Iklanlayananmasyarakat(Public Service Announcement-PSAs) untuk
radio dan televisi;
• Beragamprogramtelevisi, termasukacaraDifferent Points of View,
dimana para politisi, akademisi dan jurnalis membahas kebijakan publik
dan hukum (Entre Argumentos); Debating Decisions, dimana para ahli
hukum menganalisis putusan peradilan (Sentencias a Debate); dan
program khusus Pemilu seperti Decision 2010, dimana para pejabat
dan politisi membahas situas Pemilu;
• SituswebresmiTribunal406 dimana putusan diunggah dalam waktu 24
jam dan ringkasan putusan tersebut tersedia dalam bentuk jumlah dan
jenis perkara, status perkara-perkara tersebut, siapa yang mengajukan
keberatan atau memohon banding, dan siapa yang menjadi kuasanya;
406 Tribunal Electoral del Poder Judicial de la Federación, www.te.gob.mx (terakhir dikunjungi 3 Januari, 2011).
242
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
• MediabarudansitusjejaringsosialtermasukFacebookdanTwitter;
dan
• Sesi-sesipublikyangditransmisikandisaluranpublik(Canal Judicial),
serupa dengan C-SPAN, yang didedikasikan untuk proses peradilan,
dan juga lewat internet. Sesi lima majelis daerah juga disiarkan lewat
internet (saja).
Selain dari berbagai mekanisme dan produk komunikasi yang ditujukan
untuk pemirsa yang lebih luas, TEPJF juga terlibat dalam penyediaan
komunikasi dan informasi internal yang ditujukan pada personel hukum
dan administratif. Melalui publikasi reguler di tingkat federal dan negara
bagian, TEPJF memberikan situasi terkini mengenai pembaruan politik
dan perubahan peraturan dan perUndang-undangan juga komentar hukum
serta artikel tentang tema penanganan keberatan yang terpilih.
Untuk secara berkelanjutan menilai kesadaran dan tingkat kepercayaan
serta kebutuhan informasi juga untuk mengevaluasi keefektivan dan
dampak dari strategi komunikasinya, TEPJF melakukan survei opini publik
setiap kuartal.
Berdasarkan kecanggihan informasi publik TEPJF dan upaya pendidikan
pemilih, Organisasi untuk Negara-Negara Amerika (Organization for
American States/OAS) telah mulai untuk melibatkan TEJPF dalam
memberikan nasihat kepada tribunal Pemilu dan badan penyelenggara
Pemilu lainnya. TEPJF telah memberikan bantuan kepada Ekuador,
Kosta Rika dan Peru. TEPJF memulai bantuan tersebut dengan
melakukan diagnostik kebutuhan yang memperhitungkan karakteristik
sistem penanganan keberatan. Sebagai contoh, diagnostik kebutuhan
menentukan apakah badan yang bertanggung jawab untuk penyelesaian
keberatan adalah suatu badan baru atau sudah ada terlebih dulu,
apakah badan tersebut bersifat sementara atau permanen, independen
atau sebuah komponen dari suatu Badan Penyelenggara Pemilu, juga
kebutuhan informasi para pemangku kepentingan Pemilu dan pemilih.
Berdasarkan penilaian ini, TEPJF kemudian bekerja dengan mitranya untuk
merancang sebuah strategi komunikasi yang dirancang secara khusus dan
merekomendasikan pelaksanaannya. Pekerjaan sosialisasi dan pelatihan
ini dirinci secara lebih rinci di dalam Bab 4 dari buku ini.
Bab 5: Berbagai Pendekatan untuk Pendidikan Pemilih dan Peran Masyarakat Sipil
243
Keterlibatan Masyarakat Sipil
A. Gambaran UmumBagian awal dari bab ini menelusuri kegiatan informasi publik dan
pendidikan pemilih oleh badan-badan resmi terkait penyelesaian keberatan
Pemilu. Masyarakat sipil juga dapat memainkan peranan penting dalam
berbagai bidang, contohnya:
• Penilaiandanpemantauanprosespenanganankeberatan;
• Advokasiisuyangbertujuanuntukmelakukanpembaruanatasproses
penanganan keberatan, pelanggaran Pemilu dan sistem penghukuman;
• Kegiatan pendidikan dan pelatihan hukum untuk para hakim,
pengacara, pejabat dan staf Pemilu;
• Pendidikanpemilih tentanghakpilih,prosespenanganankeberatan
dan tindakan penyelesaian secara hukum;
• Bantuanhukumprobonountukparapemilihyangtidakpuas;
• Persiapan berkas-berkas perkara untuk mendukung Badan
Penyelenggara Pemilu; dan
• Pelatihan media tentang masalah penanganan keberatan
dan prosesnya.
Bagian pada bab ini melihat lebih dekat berbagai pendekatan ini melalui
beragam aktor masyarakat sipil, termasuk asosiasi profesional pengacara
dan hakim, sekolah-sekolah hukum, kelompok pemantau, kelompok
advokasi, dan LSM lainnya, apakah bekerja sama dengan – atau independen
dari – badan-badan resmi.
Filipina merupakan contoh yang penting untuk pembahasan sepanjang sisa
bab ini karena memberikan contoh multi-aspek, dan masih berlangsung
mengenai keterlibatan masyarakat sipil dalam isu dan proses penanganan
keberatan yang mencakup banyak pendekatan yang disinggung di atas.
Filipina juga berfungsi untuk memamerkan hasil-hasil yang dapat dicapai
melalui kerjasama yang efektif antara masyarakat sipil dan badan-badan
resmi. Pengalamannya selama siklus Pemilu presiden 2010 juga memiliki
nilai khusus, mengingat masyarakat sipil telah mengupayakan untuk
menangani penanganan keberatan di dalam konteks pembaruan Pemilu
244
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
yang signifikan yang ditujukan pada modernisasi.407 Secara khusus,
Lawyer League for Liberty (Libertás) melaksanakan sejumlah kegiatan
untuk mengatasi konsekuensi sistem Pemilu terotomatisasi yang baru
(automated election system/AES) untuk pengawasan dan penanganan.408
AES digunakan secara luas di seluruh negeri untuk pertama kalinya selama
Pemilu Mei 2010.
Berbagai kegiatan di Filipina akan disajikan di bawah ini bersama dengan
pembahasan tentang pendekatan komparatif dari konteks yang lain (untuk
pembahasan yang lebih lengkap tentang sistem penanganan keberatan
di Filipina, lihat Bab 4: Studi-Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter dalam
Keberatan Pemilu).
B. Melakukan Pendekatan Proaktif: Pengalaman Libertás di Filipina
i. Penilaian dan pemantauan proses penanganan keberatan
Komponen yang amat penting dalam pemantauan penanganan keberatan
– juga upaya untuk mengevaluasi dampak upaya advokasi terkait, upaya-
upaya pembaruan, dan peningkatan kapasitas – adalah penetapan suatu
kondisi dasar (baseline). Sebelum siklus Pemilu 2007, Libertás melakukan
sebuah baseline study tentang kondisi penanganan keberatan Pemilu di
Filipina. Studi ini didasarkan kepada 20 tahun pengalaman Pemilu (1987-
2007) untuk berbagai jabatan dan tingkat yang berbeda. Studi melibatkan
tinjauan atas seluruh peraturan perUndang-undangan yang relevan, proses
dan prosedur yang diterapkan untuk menyelesaikan keberatan Pemilu.
Studi ini juga menggunakan focus group discussion untuk mengukur
faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi publik terhadap kredibilitas
berbagai badan penanganan keberatan Pemilu.409
Penilaian menggunakan beberapa indikator kunci, yang dirinci di dalam
kotak di bawah ini.
407 Kegiatan yang disajikan di dalam studi kasus ini dimungkinkan lewat bantuan kepada Libertás dari IFES melalui programnya yang didanai oleh USAID/Philippines.
408 Untuk informasi lebih lanjut tentang Libertás dan perannya dalal sistem Pemilu Filipina, lihat Bab 4.
409 Termasuk pengadilan, Komisi Pemilu (Commission on Elections/COMELEC), Pengadilan Pemilu Dewan Perwakilan (House of Representatives Electoral Tribunal/HRET), Pengadilan Pemilu Senat (Senate Electoral Tribunal/SET) dan Mahkamah Agung.
Bab 5: Berbagai Pendekatan untuk Pendidikan Pemilih dan Peran Masyarakat Sipil
245
Libertás menindaklanjuti baseline study ini dengan melakukan pemantauan
berkelanjutan terhadap kemajuan dan kinerja Komisi Pemilu (Commission
on Elections/COMELEC), tribunal khusus Pemilu (DPR, Senat dan Presiden)
serta pengadilan tingkat pertama dan penanganan serta penyelesaian
kasus terkait Pemilu selama siklus Pemilu 2007. Libertás mengunggah
hasil studi penilaian, tinjauan, dan laporan pemantauannya pada situs web
penanganan keberatan Pemilunya410 dan membagikan salinannya kepada
arbiter Pemilu, penyusun kebijakan, dan kelompok advokasi dan pengawas
(watchdog). Berbagai temuan dan rekomendasi yang disajikan di dalam
berbagai publikasi ini juga menjadi bahan bagi advokasi, pembaruan
410 Libertás ELECTION ADJUDICATION Project, http://www.libertas-election-adjudication.blogspot.com/ terakhir dikunjungi 3 Januari, 2011).
Indikator Kunci Penilaian Pemilu Libertás (1987-2007)
Kemandirian dan KetidakberpihakanStudi menilai: (a) kemandirian operasional dan keuangan; (b) komposisi; (c) cara memilih dan menunjuk para pejabat; (d) tingkat paparan (exposure) politik; dan (e) mekanisme untuk memeriksa perilaku pejabat.
AksesibilitasMasalah aksesibilitas termasuk: (a) lokasi sidang atau persidangan; dan (b) biaya yang diperlukan untuk melakukan keberatan Pemilu
EfisiensiStudi mempertimbangkan (a) tata tertib; (b) volume keberatan; (c) waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan keberatan; dan (d) jumlah kasus terkait Pemilu yang diselesaikan sebelum habisnya masa jabatan yang disengketakan.
Penerimaan dan Kualitas PutusanSebagai contoh, studi melihat pada (a) persentase keberatan yang dibanding; dan (b) rasio menang/kalah dari banding.
Transparansi Proses Persidangan dan RekamanStudi mempertimbangkan (a) prosedur dan praktik untuk memberikan transparansi proses penanganan keberatan ; dan (b) mekanisme untuk memastikan pengelolaan catatan.
Integritas PembuktianIntegritas pembuktian termasuk: (a) aturan dan prosedur untuk melindungi integritas barang bukti; dan (b) kapasitas badan ajudikatif untuk mengidentifikasi ketika pembuktian telah dirubah.
246
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
hukum, pengembangan kapasitas, dan upaya informasi publik dan juga
pemantauan domestik oleh berbagai kelompok masyarakat sipil.
ii. Pendidikan dan pelatihan hukum
Libertás telah lama berperan sebagai sumber daya pendidikan dan
pelatihan bagi Undang-undang Pemilu dan penanganan keberatan Pemilu
untuk para hakim, pengacara Pemilu, pekerja Pemilu dan kelompok
advokasi dan pengawas terdepan tentang isu-isu terkait hak pilih, Undang-
undang Pemilu, dan sistem peradilan. Mulai tahun 2009, bekerjasama
dengan COMELEC dan beberapa sekolah hukum yang terkemuka, Libertás
mengadakan serangkaian acara yang didedikasikan untuk tema Masa
Depan Penanganan (Sengketa) Pemilu di dalam sebuah Sistem Pemilu
Terotomatisasi (The Future of Election Adjudication in an Automated
Election System/AES). Segmen-segmen pada pelatihan didedikasikan
untuk AES termasuk sebuah gambaran umum tentang proses, prosedur
dan isu-isu yang baru terkait otomatisasi dan sebuah pembahasan
tentang jenis keberatan yang mungkin muncul di bawah sistem yang
baru. Para ahli juga membagi pandangan dan pengalaman yang didapat
juga pelajaran yang dapat dipetik dari uji coba AES di Daerah Otonomi
Muslim Mindanao (Autonomous Region of Muslim Mindanao/ARMM) dan
kegagalan otomatisasi Pemilu di masa lalu. Selain itu, kerjasama mereka
dengan Libertás dalam pendidikan dan pelatihan hukum, IFES dan Asosiasi
Pengacara Amerika (American Bar Association/ABA) juga bermitra dengan
Akademi Peradilan Mahkamah Agung Filipina (the Philippine Supreme
Court’s Judicial Academy) untuk melatih para hakim pengadilan daerah
tentang penanganan kasus-kasus Pemilu di bawah AES.
iii. Advokasi sistem penanganan keberatan, aturan dan
tindakan perbaikannya
Sebagai hasil dari kegiatan pendidikan dan pelatihan hukum yang
disinggung diatas dan pembahasan tentang bagaimana menangani
keberatan yang berasal dari AES, menjadi jelas bahwa penyesuaian
khusus terhadap aturan di Filipina diperlukan untuk memajukan proses
penyelesaian sengketa Pemilu secara efektif. Terbukti juga bahwa aturan
baru penanganan perlu dirancang dan dipublikasikan sedini mungkin untuk
menciptakan sebuah arena yang jelas untuk berbagai gugatan hukum
dan menghalangi skenario gugatan bebas bagi semua (free-for-all) dalam
Bab 5: Berbagai Pendekatan untuk Pendidikan Pemilih dan Peran Masyarakat Sipil
247
masa pasca-Pemilu yang dapat memperlemah kredibilitas proses dan/atau
legitimasi hasilnya.
Para pengacara dan ahli Pemilu Libertás bekerja dengan COMELEC untuk
merancang sebuah kertas kerja tentang Usulan Hukum Acara Sementara
tentang Pengaturan Keberatan Pemilu COMELEC dalam Sistem Pemilu
Terotomatisasi PCOS (Proposed Interim Rules of Procedure of COMELEC
Governing Election Complaints in a PCOS-Automated Election System).
Rancangan tersebut telah disajikan dalam focus group discussion dan
roundtable discussion dengan anggota dan petugas lapangan COMELEC,
tribunal Pemilu, para hakim, dan pengacara Pemilu untuk mengumpulkan
masukan lebih jauh. Diskusi terpisah dilaksanakan dengan Ketua Mahkamah
Agung dan Panitia Bersama Kongres tentang Pengawas Otomatisasi
Pemilu (Joint Congressional Oversight Committee on Automation of
Elections). Diskusi ini juga menghadirkan para ahli dari IFES dan ABA yang
menekankan bahwa baik di dalam sistem Pemilu manual dan otomatisasi,
standar negara hukum, seperti proses hukum, perlindungan yang setara
dan keadilan, seharusnya menjadi pertimbangan utama. Mereka juga
menekankan pentingnya pendidikan pemilih dan peran para pemantau
di dalam memantau Pemilu dan mencegah kecurangan di setiap tingkat
proses Pemilu terotomatisasi yang secara potensial dapat berujung pada
keberatan Pemilu.
Atas dasar diskusi-diskusi ini, Libertás merevisi kertas kerjanya dan
menyerahkannya kembali kepada COMELEC. Pada akhirnya Komisi,
secara aklamasi mengadopsinya sebagai rancangan resmi di dalam
proses penyiapan Instruksi Umum tentang Penanganan keberatan Pemilu
(General Instruction on the Adjudication of Election Complaints). Produk
akhir dari proses ini adalah Resolusi Nomor 8804 tentang Hukum Acara
COMELEC dalam Keberatan pada Sistem Pemilu Terautomatisasi terkait
dengan Pemilu 10 Mei 2010, yang memasukkan mayoritas rekomendasi
yang dimuat dalam makalah tersebut.
iv. Informasi publik dan pendidikan pemilih
Untuk memfasilitasi terbentuknya pemahaman yang lebih baik tentang
hak pilih dan hak untuk memperoleh pemulihan. Libertás menyiapkan
sebuah buku petunjuk tentang hak pilih dan tindakan perbaikan berjudul
248
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
A Quick Guide on Your Right to Vote (Suatu Pedoman Singkat tentang Hak
Anda untuk Memilih). Buku petunjuk ini memfokuskan secara khusus
pada proses pendaftaran pemilih dan tentang proses hukum dan tindakan
perbaikan yang dapat digunakan untuk menegakkan atau menggugat hak
pilihnya. Hal ini termasuk pedoman tentang penyertaan atau pengecualian
persidangan yang terkait dengan daftar pemilih dan bagaimana cara
menggugat keputusan Dewan Pendaftaran Pemilu (Election Registration
Board/ERD). Buku petunjuk disajikan dalam bentuk tanya jawab yang
mudah digunakan yang membahas pertanyaan-pertanyaan berikut:
• Apakah tersedia tindakan perbaikan bagi para pemohon yang tidak
setuju dengan temuan ERB dalam aplikasi mereka?
• Mengapa pengadilan kota memiliki yurisdiksi atas persidangan-
persidangan ini dan bukan komisi Pemilu?
• Apaaturanyangmengaturgugatanuntukdisertakandandikecualikan?
• Siapayangdapatmengajukangugatan?
• Apa saja langkah-langkah yang saya harus ambil jika saya ingin
mengajukan sebuah gugatan?
• Berapalamaseharusnyapengadilandapatmemutusperkarasaya?
• Apayangterjadijikagugatansayadikabulkan?
• Apayangdapatsayalakukanjikagugatansayaditolak?
• Dapatkahputusanpengadilandiajukanbanding?
Selain pemberian jawaban dan instruksi langkah demi langkah, buku
petunjuk juga memberikan diagram alur proses gugatan dan banding serta
seluruh formulir yang harus dilengkapi oleh pengadu.
Buku petunjuk dibagikan melalui COMELEC dan mitra masyarakat sipilnya
dan secara daring (dalam jaringan/on-line) melalui situs web penanganan
keberatan Pemilu Libertás. Sebagai bagian dari kegiatan pendidikan
pemilihnya, Libertás juga menerbitkan dua buku petunjuk lainnya yang
berjudul “Primer on Disqualification of Electoral Candidates” dan “Primer
on Pre-Proclamation Controversy and Election Protest” yang tersedia
di situs web mereka.411 Situs web ini dibuat untuk menyoroti berbagai
kegiatan, temuan, dan hasil proyek Pembaruan Penanganan Sengketa
411 Id.
Bab 5: Berbagai Pendekatan untuk Pendidikan Pemilih dan Peran Masyarakat Sipil
249
Pemilu mereka dan terus berkembang dengan juga memasukkan informasi
dan materi rujukan yang merangkum dan menjelaskan berbagai pengadilan
Pemilu, liputan media yang menghadirkan kasus-kasus Pemilu, dan hukum
dasar serta hukum acara pada berbagai badan penanganan yang berbeda.
C. Pendekatan Lainnya
i. Layanan Dukungan Hukum
Di Ukraina, pada siklus Pemilu presiden tahun 2004, ABA Central European
and Eurasian Law Initiative (CEELI) memfasilitasi pembentukan klinik
hukum mahasiswa yang memberikan pelayanan bantuan hukum pro bono
kepada para pemilih yang mengajukan keberatan kepada pengadilan atau
komisi Pemilu territorial (territorial election commissions/TECs). Banyak
kasus-kasus ini yang berhubungan dengan masalah pendaftaran pemilih
yang terjadi selama tiga putaran pemungutan suara. Lembaga ini juga
membantu pemilih melalui sebuah jaringan pusat advokasi Pemilu yang
berafiliasi dengan LSM-LSM terkemuka termasuk Komite Pemilih Ukraina
(Committee of Voters of Ukraine). LSM di dalam jaringan membantu para
pemilih, komisioner Pemilu, dan perwakilan kandidat serta beberapa
kelompok terlibat dalam kasus-kasus pengadilan yang sangat penting.
Selain nasihat hukum dan bantuan yang diberikan melalui klinik dan sejumlah
Ornop advokasi, CEELI juga menyediakan sebuah nomor telepon bebas
bea (toll-free hotline) yang merespon pertanyaan-pertanyaan masyarakat,
dimana banyak diantara mereka adalah terkait dengan Pemilu. Nomor
telepon tersebut menangani berbagai pelanggaran terkait dengan prosedur
pemberian suara sebelum hari Pemilu (absentee voting), pendaftaran
pemilih, kualitas Daftar Pemilih (Voters’ List/VL) , hasil kerja komisi Pemilu,
banding dari keputusan dewan pemungutan suara, pencopotan komisioner
Pemilu, keterlibatan militer di dalam proses pemungutan suara, jual beli
surat suara, pemaksaan oleh pemberi kerja, pemungutan suara ganda, dan
perusakan atau penghilangan materi Pemilu.
Mengingat masalah pendaftaran Pemilu selama Pemilu 2004, maka CEELI,
bekerjasama dengan OSCE memfasilitasi proses koreksi pada hari yang
sama terhadap daftar pemilih dengan menempatkan staf pengadilan dan
TEC bersama dengan pengacara, mahasiswa piket pada klinik hukum, dan
250
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
aktivis LSM, dalam rangka membantu pemilih yang mengalami kesulitan
dalam menyelesaikan perbedaan. Setiap orang yang memberikan bantuan
dilatih dan diberikan materi rujukan yang diakui oleh Komisi Pemilu Pusat
(Central Election Commission). Lewat berbagai intervensi ini, puluhan ribu
pemilih yang merasa dirugikan telah menerima bantuan.
Kesimpulan
Maksud dari bab ini adalah untuk membahas pentingnya informasi publik
dan pendidikan pemilih untuk proses penanganan keberatan Pemilu.
Pendekatan pendidikan pemilih dan informasi publik digunakan oleh
berbagai Badan Penyelenggara Pemilu, badan penanganan keberatan,
dan kelompok masyarakat sipil di beberapa negara yang berbeda telah
disoroti dengan maksud memberikan gambaran dan perbandingan. Perlu
diperhatikan bahwa bahwa kegiatan informasi publik, pendidikan pemilih,
masyarakat sipil secara khusus ditujukan untuk penyelesaian sengketa
pemilu tampaknya kurang umum, kurang proaktif, dan relatif kurang
sumber daya ketika dibandingkan dengan kegiatan Pemilu lainnya dan
bentuk-bentuk bantuan untuk demokrasi, seperti yang ditujukan kepada
sektor administrasi Pemilu, kampanye untuk mendongkrak partisipasi
pemilih (get-out-the-vote campaign), pendidikan pemilih secara umum,
dan pemantauan domestik.412 Terlalu sering, bahwa suatu apresiasi penuh
tentang kebutuhan informasi publik dan pendidikan pemilih yang lebih
besar tentang penyelesaian sengketa pemilu datang hanya ketika hasil
Pemilu dipertanyakan dan transisi kekuasaan yang mulus, lancar, atau
damai berada diambang kekacauan. Untuk lebih menjamin hasil Pemilu
yang sah dan transisi kekuasaan yang efektif juga untuk memenuhi
maksud standar-standar internasional yang dinyatakan melalui pembaruan
hukum atau prosedural, upaya-upaya mendukung penyelesaian sengketa
pemilu – termasuk informasi publik, pelatihan dan pendidikan pemilih
yang memadai – seharusnya dimasukkan dan diintegrasikan ke program
bantuan teknis Pemilu yang lebih luas daripada semula.
412 Pengecualian terhadap kecenderungan ini di negara-negara dengan pengadilan atau komisi keberatan Pemilu khusus, seperti di Amerika Latin, atau di negara-negara yang berlatar belakang konflik dimana keberatan Pemilu dan cara mereka menanganinya dapat menjadi pemicu kekerasan. Dalam kasus-kasus ini, sumber-sumber daya yang signifikan telah ditujukan untuk pendidikan pemilih tentang EDR.
Bab 5: Berbagai Pendekatan untuk Pendidikan Pemilih dan Peran Masyarakat Sipil
251
A. Pelajaran yang DiperolehKarena setiap Pemilu dan konteks dimana Pemilu tersebut dilaksanakan
memiliki implikasi unik terhadap kebutuhan dan tantangan informasi publik,
adalah mungkin untuk menyusun seperangkat pelajaran yang diperoleh
(Lesson Learned) dan isu-isu untuk dipertimbangkan agar penyedia
(pelatihan) lainnya di dalam bidang yang sama dapat memperoleh manfaat
ketika mereka menyusun strategi dan rencana kerja mereka. Pelajaran-
pelajarannya termasuk, tetapi tidak terbatas pada:
• Aspek-aspek hukum dan teknis dari penyelesaian sengketa
pemilu seringkali melebihi pentingnya menjamin informasi publik
dan kampanye pendidikan pemilih yang layak tentang proses
keberatan. Aspek-aspek ini tidak saling berdiri sendiri, tetapi
kenyataannya melengkapi satu sama lain, khususnya terkait
dengan transparansi.
• Pemberian informasi yang relevan dan tepat dengan bahasa
yang sederhana dan lugas dan bentuk yang mudah digunakan
merupakan kunci untuk menjamin bahwa proses penyelesaian
sengketa pemilu berfungsi dengan cara yang teratur dan efisien
untuk memenuhi persyaratan hukum juga standar-standar
internasional dan norma-norma demokratis.
• Satu tujuan utama dari strategi informasi publik dan pelatihan
terkait serta upaya pendidikan pemilih seharusnya adalah untuk
memastikan bahwa seluruh kelompok pemangku kepentingan
dan para pemilih memiliki kesadaran dan pengetahuan yang
memadai untuk memahami hak-hak mereka dan berpartisipasi di
dalam proses. Pendekatan seperti itu akan sangat meningkatkan
transparansi, yang selanjutnya akan berkontribusi pada kepercayaan
publik yang lebih besar dan kepercayaan terhadap sistem.
• Menjadi penting untuk membentuk sebuah tim hubungan
masyarakat/media yang memenuhi syarat atau kantor di dalam
lembaga-lembaga yang bertanggung jawab, menugaskan siapa
yang harus berbicara tentang isu penyelesaian sengketa pemilu
dan kepada pendengar yang mana. Pengembangan pesan yang
jelas juga sangat berguna dalam menjamin komunikasi yang
konsisten dan efektif dari tim hubungan masyarakat/media.
• Penundaan dalam memulai informasi publik dan pendidikan
252
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pertimbangan Kebijakan dan Praktis untuk Kampanye Informasi Publik
Konteks Pemrograman
Kebutuhan/Opsi Bantuan
Peni
laia
n K
ebut
uhan
In
form
asi/K
apas
itas
pe
nyel
esai
an s
engk
eta
pem
ilu
Adv
okas
i Ref
orm
asi
peny
eles
aian
sen
gket
a pe
milu
(leg
al, s
truk
tura
l, pr
osed
ural
)
Mem
bang
un K
apas
itas
Kom
unik
asi B
adan
-B
adan
pen
yele
saia
n se
ngke
ta p
emilu
Pela
tihan
Hak
im/A
rbite
r
Pela
tihan
Pej
abat
/S
taf
Pem
ilu t
enta
ng
peny
eles
aian
sen
gket
a pe
milu
Pela
tihan
unt
uk
Kam
pany
e/Pe
ngac
ara
Pih
ak-P
ihak
Pela
tihan
/Pen
gara
han
untu
k M
edia
Jasa
Duk
unga
n H
ukum
Info
rmas
i Pub
lik R
esm
i/Pr
ogra
m P
endi
dika
n Pe
mili
h
Prog
ram
Pen
didi
kan
Pem
ilih
Mas
yara
kat
Sip
il
Pela
tihan
unt
uk
Peni
njau
ten
tang
isu
peny
eles
aian
sen
gket
a pe
milu
Peng
awas
an/
Pem
anta
uan
Pros
es
peny
eles
aian
sen
gket
a pe
milu
Pemilu berlangsung di negara yang berlatar belakang pasca-konflik atau negara gagal dimana keberatan Pemilu dapat menjadi pemicu kekerasan.
√ √ √ √ √ √
Para pemilih sangat terpolarisasi dimana selisih hasil Pemilu yang tipis diharapkan terjadi dan hasil akhirnya mungkin diputuskan oleh pengadilan.
√ √ √ √ √
Terdapat kekhawatiran bahwa pihak yang kalah tidak akan mengakui dan menggunakan litigasi yang berlebihan dan melelahkan untuk menunda hasilnya.
√ √ √ √
Terdapat krisis kepercayaan terhadap keadilan pada proses penyelesaian sengketa pemilu dan/atau netralitas/kemandirian arbiter.
√ √ √ √ √ √
Terdapat sejarah kecurangan Pemilu atau penanganan keberatan Pemilu yang bias.
√ √ √ √
Hak pemungutan suara telah diperluas hingga mencakup segmen populasi yang sebelumnya dicabut hak pilihnya.
√ √ √ √ √ √ √ √
Terdapat isu dalam akses terhadap keadilan/kesamaan di hadapan hukum yang dapat melemahkan legitimasi proses penyelesaian sengketa pemilu.
√ √ √ √ √ √ √ √
Terdapat perubahan yang besar-besaran dalam Undang-undang Pemilu/proses Pemilu yang dapat mengakibatkan munculnya jenis-jenis keberatan atau gugatan yang baru.
√ √ √ √ √ √ √ √ √
Sistem penyelesaian sengketa pemilu sendiri telah baru saja diperbaharui, contohnya berbagai mekanisme, aturan atau tata tertib atau perubahan yang baru terhadap pelanggaran/hukuman.
√ √ √ √ √ √ √ √ √
Suatu komisi khusus keberatan Pemilu atau tribunal Pemilu baru saja dibentuk.
√ √ √ √ √ √ √
Para Hakim, Anggota Komisi Pemilu, pengacara, dan/atau penyelidik tidak memahami Undang-undang Pemilu dan peraturan pidana/administratif yang berlaku.
√ √ √ √ √
Para pemangku kepentingan sedikit memahami atau tidak memiliki pemahaman tentang hak-hak mereka untuk menerima tindakan perbaikan hukum/administratif atau bagaimana proses itu bekerja.
√ √ √ √ √ √
Para arbiter keberatan Pemilu memiliki kewenangan untuk melakukan pendidikan pemilih tentang penyelesaian sengketa pemilu
√ √ √
Para arbiter keberatan Pemilu kekurangan sumber daya/kapasitas untuk mendedikasikan pendidikan pemilih tentang penyelesaian sengketa pemilu
√ √ √
Para pemantau Pemilu memiliki hak untuk memantau fase perkembangan penyelesaian sengketa pemilu dan menerima informasi
√ √
Terdapat asosiasi pengacara atau kelompok pengacara yang dapat memberikan bantuan hukum kepada para pemilih yang merasa dirugikan atau pendidikan hukum atau pelayanan hukum lainnya
√ √
Terdapat mitra masyarakat sipil yang memenuhi syarat untuk melaksanakan advokasi, pendidikan atau pengawasan penyelesaian sengketa pemilu.
√ √ √ √ √
Media massa telah gagal untuk meliput proses dan hasil penyelesaian sengketa pemilu dengan cara yang akurat dan netral
√
Sektor media (termasuk media swasta) telah berekspansi sangat luas sejak Pemilu terakhir dengan konsekuensi terhadap liputan penyelesaian sengketa pemilu
√
Bab 5: Berbagai Pendekatan untuk Pendidikan Pemilih dan Peran Masyarakat Sipil
253
Pertimbangan Kebijakan dan Praktis untuk Kampanye Informasi Publik
Konteks Pemrograman
Kebutuhan/Opsi Bantuan
Peni
laia
n K
ebut
uhan
In
form
asi/K
apas
itas
pe
nyel
esai
an s
engk
eta
pem
ilu
Adv
okas
i Ref
orm
asi
peny
eles
aian
sen
gket
a pe
milu
(leg
al, s
truk
tura
l, pr
osed
ural
)
Mem
bang
un K
apas
itas
Kom
unik
asi B
adan
-B
adan
pen
yele
saia
n se
ngke
ta p
emilu
Pela
tihan
Hak
im/A
rbite
r
Pela
tihan
Pej
abat
/S
taf
Pem
ilu t
enta
ng
peny
eles
aian
sen
gket
a pe
milu
Pela
tihan
unt
uk
Kam
pany
e/Pe
ngac
ara
Pih
ak-P
ihak
Pela
tihan
/Pen
gara
han
untu
k M
edia
Jasa
Duk
unga
n H
ukum
Info
rmas
i Pub
lik R
esm
i/Pr
ogra
m P
endi
dika
n Pe
mili
h
Prog
ram
Pen
didi
kan
Pem
ilih
Mas
yara
kat
Sip
il
Pela
tihan
unt
uk
Peni
njau
ten
tang
isu
peny
eles
aian
sen
gket
a pe
milu
Peng
awas
an/
Pem
anta
uan
Pros
es
peny
eles
aian
sen
gket
a pe
milu
Pemilu berlangsung di negara yang berlatar belakang pasca-konflik atau negara gagal dimana keberatan Pemilu dapat menjadi pemicu kekerasan.
√ √ √ √ √ √
Para pemilih sangat terpolarisasi dimana selisih hasil Pemilu yang tipis diharapkan terjadi dan hasil akhirnya mungkin diputuskan oleh pengadilan.
√ √ √ √ √
Terdapat kekhawatiran bahwa pihak yang kalah tidak akan mengakui dan menggunakan litigasi yang berlebihan dan melelahkan untuk menunda hasilnya.
√ √ √ √
Terdapat krisis kepercayaan terhadap keadilan pada proses penyelesaian sengketa pemilu dan/atau netralitas/kemandirian arbiter.
√ √ √ √ √ √
Terdapat sejarah kecurangan Pemilu atau penanganan keberatan Pemilu yang bias.
√ √ √ √
Hak pemungutan suara telah diperluas hingga mencakup segmen populasi yang sebelumnya dicabut hak pilihnya.
√ √ √ √ √ √ √ √
Terdapat isu dalam akses terhadap keadilan/kesamaan di hadapan hukum yang dapat melemahkan legitimasi proses penyelesaian sengketa pemilu.
√ √ √ √ √ √ √ √
Terdapat perubahan yang besar-besaran dalam Undang-undang Pemilu/proses Pemilu yang dapat mengakibatkan munculnya jenis-jenis keberatan atau gugatan yang baru.
√ √ √ √ √ √ √ √ √
Sistem penyelesaian sengketa pemilu sendiri telah baru saja diperbaharui, contohnya berbagai mekanisme, aturan atau tata tertib atau perubahan yang baru terhadap pelanggaran/hukuman.
√ √ √ √ √ √ √ √ √
Suatu komisi khusus keberatan Pemilu atau tribunal Pemilu baru saja dibentuk.
√ √ √ √ √ √ √
Para Hakim, Anggota Komisi Pemilu, pengacara, dan/atau penyelidik tidak memahami Undang-undang Pemilu dan peraturan pidana/administratif yang berlaku.
√ √ √ √ √
Para pemangku kepentingan sedikit memahami atau tidak memiliki pemahaman tentang hak-hak mereka untuk menerima tindakan perbaikan hukum/administratif atau bagaimana proses itu bekerja.
√ √ √ √ √ √
Para arbiter keberatan Pemilu memiliki kewenangan untuk melakukan pendidikan pemilih tentang penyelesaian sengketa pemilu
√ √ √
Para arbiter keberatan Pemilu kekurangan sumber daya/kapasitas untuk mendedikasikan pendidikan pemilih tentang penyelesaian sengketa pemilu
√ √ √
Para pemantau Pemilu memiliki hak untuk memantau fase perkembangan penyelesaian sengketa pemilu dan menerima informasi
√ √
Terdapat asosiasi pengacara atau kelompok pengacara yang dapat memberikan bantuan hukum kepada para pemilih yang merasa dirugikan atau pendidikan hukum atau pelayanan hukum lainnya
√ √
Terdapat mitra masyarakat sipil yang memenuhi syarat untuk melaksanakan advokasi, pendidikan atau pengawasan penyelesaian sengketa pemilu.
√ √ √ √ √
Media massa telah gagal untuk meliput proses dan hasil penyelesaian sengketa pemilu dengan cara yang akurat dan netral
√
Sektor media (termasuk media swasta) telah berekspansi sangat luas sejak Pemilu terakhir dengan konsekuensi terhadap liputan penyelesaian sengketa pemilu
√
254
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
pemilih tentang penyelesaian sengketa pemilu sampai setelah
masa kampanye Pemilu telah mulai dapat berarti bahwa para
pemangku kepentingan tidak akan memiliki informasi yang mereka
perlu pahami dan mekanisme penggunaan penyelesaian sengketa
pemilu serta proses untuk keberatan yang muncul di awal masa
kampanye. Hal ini juga akan mengakibatkan para pemilih tidak
memiliki tingkat kesadaran dan pengetahuan yang memadai pada
waktu keberatan muncul di hari pemungutan suara atau setelah
diterbitkannya hasil Pemilu.
• Perencanaan dimuka dan sumber daya yang layak merupakan
hal yang amat penting. Beberapa kegiatan (termasuk pelatihan)
yang akan dilakukan dengan cara bertahap, juga program kontak
langsung, merupakan kegiatan yang padat sumberdaya dan
membutuhkan siklus pengembangan yang lebih lama untuk alasan
operasional dan logistik.
• Berbagai strategi komunikasi dan rencana pelaksanaan
berdasarkan informasi konkrit yang dikumpulkan selama periode
diagnostik/penilaian dan secara khusus dirancang dan ditujukan
untuk kebutuhan spesifik bagi kelompok pemangku kepentingan
yang beragam dan para pemilih (atau segmen-segmennya) akan
meningkatkan efektivitas dan dampak upaya informasi publik dan
pendidikan pemilih.
• Program-program informasi publik multi-aspek yang mendaya-
gunakan beragam outlet dan produk komunikasi, melibatkan
sejumlah pelaku dan kelompok pengguna, serta yang
mempengaruhi kegiatan Pemilu lainnya, dan program-program
yang berkontribusi untuk menyampaikan pesan ke pada para
pemangku kepentingan dan pemilih seluas mungkin. Mengulangi
pesan dan memperkuatnya melalui sumber-sumber berganda
akan membantu dalam memastikan pemahaman dan penerapan.
• Sehubungandenganmitramasyarakatsipildanpendidikanpemilih
tentang penyelesaian sengketa pemilu, menjadi sangat penting
untuk melibatkan paduan yang tepat antara talenta kreatif dan
talenta hukum/teknis. Berbagai perusahaan komunikasi dan LSM
berorientasi pendidikan telah sangat mengambil peran penting
dalam merancang pesan yang dapat dipahami oleh pemilih secara
umum. Keterlibatan asosiasi pengacara atau LSM yang berorientasi
Bab 5: Berbagai Pendekatan untuk Pendidikan Pemilih dan Peran Masyarakat Sipil
255
hukum telah memberikan pemahaman yang menyeluruh tentang
Undang-undang Pemilu dan seluruh ketentuan yang relevan
tentang peraturan pidana dan administratif serta hukum acara
peradilan. Keahlian ini berkontribusi pada pedoman yang akurat
dan relevan dan dapat membantu menfasilitasi kerjasama yang
konstruktif dengan pengadilan, badan penyelenggara Pemilu, atau
komisi keberatan.
• Pengawasan dan evaluasi seluruh prakarsa informasi publik
merupakan hal yang penting untuk menentukan keefektivan dan
dampak dari upaya tersebut untuk menyempurnakan mereka
pada Pemilu berikutnya. Menyediakan komunikasi dua arah
memungkinkan dikumpulkannya umpan balik dan penerapan
pelajaran yang diperoleh tentang langkah-langkah yang seharusnya
diambil untuk memperbaiki proses siklus Pemilu yang berikutnya.
• Menempatkan tanggung jawab pada seluruh pemangku
kepentingan Pemilu juga sangat penting karena mereka perlu
mengakui bahwa berbagai pernyataan dan tindakan mereka
akan berdampak pada kredibilitas proses Pemilu- termasuk
penyelesaian sengketa pemilu – dan legitimasi hasil Pemilu.
Dimana berbagai upaya untuk memperbaiki pengetahuan, transparansi
dan kesadaran akan proses penyelesaian sengketa pemilu, terdapat lebih
sedikit peluang bagi para pemangku kepentingan Pemilu, khususnya partai
atau kandidat yang kalah, untuk mengklaim bahwa proses Pemilu cacat
atau dimanipulasi.
B. Pertimbangan Kebijakan dan PraktisSebelum melakukan penyusunan sebuah strategi dan perencanaan
implementasi untuk kegiatan penyelesaian sengketa pemilu, beberapa
hal harus dipertimbangkan untuk konteks pemrograman dan kebutuhan
bantuan serta pilihan-pilihan ketika menangani informasi publik, pendidikan
pemilih dan keterlibatan masyarakat sipil. Beberapa pertimbangan
kebijakan dan praktis disajikan di dalam tabel di halaman sebelumnya.
Secara ideal, sebuah diagnostik/penilaian menyeluruh seharusnya
dilakukan untuk menyusun sebuah strategi dan rencana implementasi
yang dirancang sebaik-baiknya untuk karakterisik khusus pada suatu sistem
256
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
penyelesaian sengketa pemilu, kapasitas beragam pelaku dan kebutuhan
informasi dari seluruh pemangku kepentingan dan pemilih.
Daftar Periksa Rekomendasi
Meskipun tidak ada pendekatan “satu ukuran untuk semua” (“one size fits
all”) untuk melaksanakan pendidikan pemilih tentang sistem penanganan
keberatan, terdapat dasar-dasar tertentu yang dapat diterapkan para
praktisi ketika menyusun strategi informasi publik dan pendidikan publik.
Dasar-dasar ini bersifat universal dalam kepentingan dan penerapannya
pada berbagai strategi. Daftar periksa berikut ini termasuk dasar-dasar
utama yang harus dipertimbangkan para praktisi:
√ Strategi Komunikasi: Strategi komunikasi seharusnya menyertakan
baik informasi publik maupun pendidikan pemilih, dan sebuah rencana
pelaksanaan adalah merupakan komponen yang sangat penting dari
setiap proses penanganan keberatan Pemilu. Para praktisi seharusnya
memastikan bahwa mereka meluangkan waktu untuk menyusun
strategi dan rencana pelaksanaan sebaik-baiknya, serta kemudian
mengidentifikasi sumber-sumber daya (manusia, uang dan waktu)
yang diperlukan untuk melaksanakan rencana tersebut. Komunikasi
teratur dengan berbagai kelompok pemangku kepentingan merupakan
sebuah komponen yang penting untuk membangun kepercayaan dan
memastikan bahwa proses ini merupakan sesuatu yang transparan.
Para praktisi seharusnya memastikan bahwa pendekatan mereka
memperkuat pesan di seluruh tahap siklus Pemilu, tidak hanya satu
atau dua diantaranya.
√ Penilaian kebutuhan: Baik strategi maupun rencana pelaksanaan
seharusnya dirancang sesuai dengan karakteristik khusus dari sistem
penyelesaian sengketa pemilu di negara tertentu dan mencerminkan
kebutuhan informasi para pemangku kepentingan kunci Pemilu dan
pemilih. Secara ideal, rencana tersebut seharusnya dibuat berdasarkan
suatu penilaian kebutuhan (need assessment).
√ Penyediaan informasi: Badan-badan yang bertanggung jawab
terhadap penyelesaian sengketa pemilu seharusnya mengambil
Bab 5: Berbagai Pendekatan untuk Pendidikan Pemilih dan Peran Masyarakat Sipil
257
pendekatan yang proaktif terhadap kebutuhan pendidikan pemilih.
Sebagai contoh, pemasangan pengumuman informasi terkait
keberatan yang tepat waktu dan situasi terkini tentang status dan
penyelesaian kasus-kasus di situs web badan penanganan keberatan
merupakan hal yang sangat membantu. Berkaitan dengan buku
petunjuk tata tertib, butir-butir pembicaraan dan petunjuk lainnya
seharusnya diunggah untuk dilihat atau diunduh daring (on-line).
√ Masukan dari pemangku kepentingan: Ketika menyusun rencana,
para praktisi seharusnya melihat peluang untuk meningkatkan
pengaruh kerja-kerja yang telah dilakukan kelompok lainnya, seperti
asosiasi pengacara, pemantau Pemilu dan perwakilan partai,
pengacara kampanye, akademisi dan media massa.
√ Penjadwalan: Mulai lebih awal (jauh lebih awal dari dimulainya
kampanye Pemilu) untuk menjamin bahwa kebutuhan informasi
seluruh kelompok pemangku kepentingan telah dipertimbangkan
secara penuh dan untuk mengantisipasi keberatan yang mungkin
terjadi di awal proses, seperti kasus-kasus yang berhubungan dengan
pembatasan daerah pemilihan, pendaftaran kandidat, pendaftaran
Pemilu, pembiayaan kampanye dan kegiatan kampanye.
√ Gaya kampanye: Informasi publik dan kampanye pendidikan pemilih
seharusnya dibangun dari sudut pandang pengguna. Strategi dan
rencana implementasi seharusnya menggunakan media, produk dan
aktivitas komunikasi dengan spektrum yang lengkap. Pesan-pesan
seharusnya disederhanakan menjadi terpisah-pisah dan potongan-
potongan informasi yang dapat dipahami dengan mudah.
√ Pemantauan dan evaluasi: Umpan balik dan pemantauan serta
evaluasi merupakan hal yang mutlak untuk menentukan efektivitas
pesan dan berbagai saluran komunikasi relatif bagi setiap target
pendengar, termasuk pemangku kepentingan kunci dan pemilih pada
umumnya. Sama halnya, evaluasi ini akan memungkinkan penerapan
pelajaran yang diperoleh untuk informasi publik dan program
258
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
pendidikan pemilih mendatang. diskusi kelompok terfokus dan survei
opini publik khususnya berguna dalam hal ini.
√ Pembentukan kemitraan: Tanggung jawab untuk proses penanganan
keberatan yang transparan dan dapat dipercaya terletak pada semua
mitra, tidak hanya badan penanganan keberatan. Kerjasama antara
berbagai lembaga resmi dan masyarakat sipil, serta informasi publik
dan upaya pendidikan pemilih yang saling menguatkan mungkin
memberikan hasil yang terbaik.
MEKANISME ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
6Oleh David Kovick dan John Hardin Young
Para pemilih menunggu antrian di tempat pemungutan suara di Kibera, Nairobi, Kenya pada 27 Desember 2007. Kibera adalah satu dari beberapa lokasi dari kekerasan terburuk yang terjadi setelah pengumuman hasil Pemilu.
Bab 6: Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
261
Pendahuluan
Bab ini membicarakan potensi peran dan penggunaan mekanisme
Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution/ADR)
sebagai bagian dari sebuah kerangka kerja penanganan keberatan. Secara
khusus, bab ini akan menggambarkan berbagai mekanisme ADR yang
umumnya ada pada sistem hukum eropa kontinental (civil law system),
dan menjajaki cara agar ADR dapat melengkapi mekanisme penanganan
keberatan Pemilu formal. Hal ini kemudian diikuti oleh beberapa contoh
dari mekanisme aktual ADR Pemilu yang digunakan di beberapa negara.
Secara singkat, ADR merujuk pada semua metode yang dapat digunakan
para pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan, selain
penanganan formal melalui pengadilan. Hal ini dapat mencakup baik
sistem hukum administrasi formal, dimana lembaga pengaturan terkait
menyusun aturan dan prosedur khusus untuk menyelesaikan sengketa
dan keberatan, serta proses negosiasi dan mediasi ad hoc untuk kasus
tertentu (case-specific), dimana para pihak mengupayakan untuk mencapai
kesepakatan sukarela untuk menyelesaikan sengketa mereka, seringkali
dengan bantuan dari pihak ketiga yang tidak memihak.
Menggunakan ADR untuk menyelesaikan keberatan Pemilu merupakan
sesuatu hal yang baru di seluruh dunia. Hal ini umumnya disebabkan
karena mekanisme ADR biasanya dipandang sebagai sebuah metode
bagi pihak yang berpotensi mengajukan gugatan untuk mencapai sebuah
penyelesaian yang dapat diterima bersama (atau “mendekati benar”),
daripada hasil kaku “ya-atau-tidak sama sekali” (all-or-nothing) dari
pengadilan. Pemilu, di lain pihak seharusnya secara pasti mempunyai
pemenang dan pihak yang kalah sebagai sumber kepercayaan publik
kepada legitimasi pemerintah yang dihasilkannya. Tujuan-tujuan ini bisa jadi
sulit untuk ditemukan, namun seperti yang akan ditunjukkan pada bab ini,
terdapat berbagai kondisi dimana menerapkan ADR ke sistem keberatan
Pemilu dapat menjadi layak dan efektif. Tugas kunci bagi para praktisi
adalah untuk memastikan bahwa sistem ADR mendukung realisasi tujuh
standar internasional bagi penanganan keberatan yang diusulkan di dalam
bab pertama buku pedoman ini.
262
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Berbagai faktor kontekstual akan menjadi kunci untuk menentukan apakah
mekanisme ADR layak untuk negara dan situasi tertentu. Berbagai analisis
dan studi kasus dalam bab ini akan memungkinkan pemberi bantuan teknis
untuk mengevaluasi kelayakan sistem tersebut untuk negara dimana
mereka bekerja, dan untuk menentukan apa yang seharusnya dicakup di
dalam rancangan sebuah sistem yang efektif.
A. Gambaran UmumBidang penanganan keberatan Pemilu bukanlah sesuatu hal yang
baru. Penghitungan ulang suara dan gugatan maupun penanganan
terkait partisipasi dan hak pilih, memiliki sejarah yang panjang dalam
perkembangan lembaga-lembaga demokratis.413 Walaupun perkembangan
hak pilih universal dan hak untuk berpartisipasi dalam proses Pemilu dijamin
oleh berbagai konvensi internasional,414 penegakan hak-hak ini menjadi
tanggung jawab masing-masing negara,415 yang dapat, dimana layak dan
sesuai dengan norma-norma nasional dan internasional, melaksanakan
saluran alternatif atas penyelesaian yudisial.
Penerapan proses–proses tersebut oleh negara untuk menyelesaikan
sengketa adalah bervariasi seperti halnya sistem hukum dan politik di
masing-masing negara tersebut. Terlepas dari beragamnya pendekatan,
terdapat beberapa sifat yang umum ditemukan. Utamanya, sebagian
besar sistem penanganan keberatan, menggunakan definisi yang longgar
tentang konsep “negara hukum” (“the rule of law”), yang berupaya untuk
memberikan “aturan yang dapat diprediksi, yang diturunkan dari prinsip-
prinsip yang sudah mapan untuk menentukan hasil Pemilu.”416 Standar-
413 Lihat, contohnya, International Election Principles: Democracy and the Rule of Law (John Hardin Young, ed. 2009) [Setelah ini disebut IEP].
414 Lihat umumnya Universal Declaration of Human Rights, G.A. Res 217 (III) A, pasal 21, U.N. Doc.A/RES/217(III)(10 Des, 1948) [setelah ini disebut UDHR], dapat dilihat di http://www/un.org/en/documents/undhr/; International Covenant on Civil and Political Rights, G.A. Res. 2200 (XXI) A, pasal 25, U.N. GAOR, 21st Sess, Supp. No. 16, U.N. Doc. A/6316, di 52 (16 Des, 1966), 999, U.N.T.S. 171 (diberlakukan 23 Mar, 1996) [setelah ini disebut ICCPR], dapat dilihat di http://www2.ohcr.org/english/law/ccpr.htm.
415 ICCPR, supra note 2, pasal 2 (2) & (3); Vienna Convention on the Law of Treaties pasal 26, diberlakukan 27 Jan, 1980, 1155 U.N.T.S 331 (“Setiap traktat yang berlaku mengikat para pihak dan harus dilaksanakan oleh mereka dengan itikad baik”); lihat Benjamin E. Griffith & Michael S. Carr, Effective, Timely, Appropriate, and Enforceable Remedies, dalam IEP, supra note 1, 374-381. Lihat juga UN Human Rights Committee, General Comment No. 31, The Nature of the General Legal Obligation Imposed on States Parties to the Covenant CCPR/C/21/Rev.1/Add. 13 (26 Mei, 2004).
416 John Hardin Young, Recounts, dalam IEP, supra note 1, 285 & nn 6-9.
Bab 6: Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
263
standar yang lain digunakan untuk penanganan keberatan termasuk:
penyusunan aturan sebelum pelaksanaan Pemilu dan prediktabilitas
permohonan mereka; transparansi dan keterbukaan dari proses tersebut;
penyelesaian keberatan oleh seorang arbiter yang tidak memihak dengan
tepat waktu; dan pembentukan tindakan-tindakan perbaikan yang dapat
ditegakkan sebagai hasil dari proses tersebut.417 Standar-standar ini,
dan lainnya, telah dirangkum dengan sangat rinci dalam Bab 1: Standar-
Standar Internasional.
Penanganan keberatan formal terkait erat dengan prinsip negara hukum.
Hal ini paling sesuai di negara-negara dengan tingkat pendidikan formal dan
literasi yang relatif tinggi, dan dimana terdapat tradisi yang relatif panjang
tentang pemisahan kekuasaan antara yudikatif, legislatif dan eksekutif.
Efektivitas sistem ini mengandalkan kepada persepsi publik kepada
lembaga peradilan sebagai instrumen peraturan dalam urusan perdata dan
pidana yang dapat diakses oleh seluruh warga negara tanpa rasa takut.
Secara historis, penanganan keberatan akan paling berhasil di negara-
negara dengan “demokrasi yang lengkap” (“complete democracies”),
seperti di Eropa Barat, Amerika Utara, Australia dan Selandia Baru, di
negara-negara demokrasi yang stabil, seperti Brazil, India, Meksiko dan
sebagian Eropa Timur, dan beberapa negara Afrika tertentu temasuk Afrika
Selatan, Mauritius dan Botswana.
Situasinya berbeda ketika berbicara tentang negara-negara pasca-
konflik, negara demokrasi yang rapuh atau “baru” dan negara-negara
“non-demokratis” dimana pengadilan manapun membangkitkan pikiran
ketakutan pada warga negara biasa atau ingatan tentang hukuman
penjara yang tidak adil, penyiksaan, penyuapan dan korupsi. Warisan
dari beberapa dasawarsa tirani, kediktatoran, ketiadaan prinsip negara
hukum, pelanggaran hak asasi manusia, dan perang dapat menyebabkan
ketidakpercayaan warga negara yang sangat mendasar terhadap sistem
hukum. Dalam situasi ini, badan peradilan adalah lemah dan dipandang
417 UDHR, supra note 2, pasal 10 (hak untuk suatu sidang yang “adil dan terbuka”); ICCPR, supra note 2, pasal 2.3 (akses terhadap pengadilan yang tidak berpihak). UDHR, supra note 2, pasal 8. ICCPR dan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) mempersyaratkan hal tersebut dalam rangka menjamin “Pemilu yang murni.” Proses penghitungan ulang harus mencakup transparansi dan penyelesaian yang tepat waktu oleh arbiter yang tidak berpihak yang memberikan tindakan perbaikan yang efektif dan dapat ditegakkan.
264
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
sebagai tidak independen. Lebih lanjut, potensi tingginya biaya proses
hukum (legal action) seringkali membuatnya tidak terjangkau bagi sebagian
besar warga negara. Tidak hanya dipandang represif, badan peradilan
juga sering mengalami kekurangan berbagai struktur, keterampilan dan
cara yang diperlukan untuk mengelola perailan di seluruh negeri untuk
merespon kebutuhan dan permintaan warga negara.
Mengingat potensi kekerasan terkait Pemilu dan tantangan lainnya yang
menghadang negara-negara yang lahir dari konflik atau dalam transisi,
berbagai mekanisme alternatif untuk menyelesaikan konflik Pemilu perlu
dipertimbangkan. Berbagai mekanisme ADR dapat menciptakan peluang
bagi para pemangku kepentingan untuk terlibat di dalam proses Pemilu
ketika mereka akan terpinggirkan oleh model penanganan keberatan
tradisional. Walaupun penanganan keberatan merupakan hal yang vital
untuk mendorong negara hukum, hal itu mungkin lebih krusial bagi negara-
negara pasca-konflik dan rapuh untuk memfokuskan pada penyelesaian
sengketa Pemilu secara cepat dan adil agar dapat menjinakkan situasi
yang berpeluang menjadi berbahaya.
Komite Hak Asasi Manusia PBB menegaskan bahwa prinsip-prinsip non-
diskriminasi dan kesetaraan mempersyaratkan akses yang setara terhadap
pengadilan.418 Sebagaimana telah disorot di bawah ini dalam dokumen
seperti Komentar Umum (General Comment) No. 32, Komite Hak Asasi
Manusia menafsirkan hak ini bahwa setiap orang berhak atas akses
terhadap tribunal yang kompeten, tidak memihak dan mandiri di dalam
proses tersebut.419 Namun, pernyataan ini tidak berarti bahwa metode ADR
tidak mendorong penyelesaian sengketa yang adil dan efisien. Walaupun
banyak proses ADR, atau bahkan berbagai keputusan badan penyelenggara
Pemilu, yang mungkin tidak memenuhi kriteria Komentar Umum No.
32, atau persyaratan sebuah “tribunal yang kompeten, independen dan
tidak memihak” di dalam pasal 14 ICCPR, sebagian besar proses ADR
dimaksudkan untuk menghindari konflik melalui cara-cara yang disetujui
oleh para pihak. Dalam hal yang melibatkan hak-hak dasar (fundamental
rights), proses ADR mungkin membantu menghindari konflik aktual,
selama para pihak yang dikecewakan yang tidak mencapai kesepakatan
418 General Comment No. 32 ¶¶ 8 & 9; ICCPR, supra note 2, pasal. 14.419 General Comment No. 32 ¶ 18.
Bab 6: Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
265
memiliki sebuah hak untuk mengupayakan penyelesaian cara yudisial
untuk memperjuangkan isu-isu hak dasar.
B. Mekanisme ADR sebagai Pelengkap Mekanisme Penanganan Pemgaduan Formal
Sementara sistem yudisial atau administratif nasional formal dapat dan
seharusnya tetap menjadi saluran utama untuk menyelesaikan berbagai
keberatan dan sengketa Pemilu, pendekatan-pendekatan ADR dapat
memainkan peranan pelengkap kunci dalam meningkatkan legitimasi
proses Pemilu.
Sebagai contoh, bagaimana jika dalam sebuah konteks transisional,
legitimasi lembaga negara masih diragukan, atau lembaga tersebut lemah
dan tidak efektif? Bagaimana jika sistem peradilan nasional dipandang
bias atau korup, khususnya yang menguntungkan salah satu dari partai
politik yang bersaing? Bagaimana jika mayoritas sengketa terjadi di tingkat
lokal, sementara akses ke pengadilan dipusatkan di ibu kota negara atau
provinsi? Bagaimana jika pengadilan membutuhkan waktu berminggu-
minggu, berbulan-bulan atau lebih lama untuk memutus perkara,
dimana Pemilu mungkin memerlukan kerangka waktu yang lebih cepat?
Bagaimana jika tindakan perbaikan yang benar-benar diperlukan pada
sebuah kasus tertentu ternyata berada diluar kewenangan pengadilan
untuk memberikannya, karena hal tersebut membutuhkan komitmen
timbal balik dari kedua belah pihak? Bagaimana jika sebuah sistem Pemilu
mengupayakan cara untuk mencegah, ketimbang hanya menyelesaikan
keberatan Pemilu - sebelum keberatan itu muncul?
Komentar Umum No. 32Komite Hak Asasi Manusia PBB
Hak kesetaraan di muka pengadilan dan tribunal dan (hak atas) peradilan yang adil merupakan elemen kunci perlindungan hak asasi manusia dan berfungsi sebagai cara prosedural untuk mengamankan prinsip negara hukum. Pasal 14 Kovenan bertujuan untuk memastikan administrasi keadilan yang semestinya, dan pada tahap ini menjamin serangkaian hak-hak khusus…
266
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Di dalam setiap situasi ini, sistem yudisial atau administratif formal dapat
ditantang untuk memberikan seluruh fungsi penyelesaian sengketa yang
dipersyaratkan oleh standar-standar yang diidentifikasi di atas. Pendekatan-
pendekatan ADR secara khusus dapat dirancang untuk konteks Pemilu
seperti itu untuk membantu menutupi celah dan meningkatkan kredibilitas
Pemilu (persyaratan untuk pendekatan ADR seperti itu akan dirangkum
di bawah.) Walaupun ini mungkin benar di dalam konteks hukum yang
lebih matang, hal ini menjadi relevan dalam demokrasi yang sedang
berkembang, dimana komitmen penuh pemangku kepentingan terhadap
prinsip negara hukum melalui lembaga-lembaga negara masih dalam
tahap perkembangan.
C. Kapan dan Dimana ADR Layak Dipakai?Sebagaimana akan disorot dalam diskusi di bawah ini, terdapat beberapa
pertanyaan ambang batas yang bisa menunjukkan apakah dan bagaimana
ADR dapat berguna dan layak dalam konteks Pemilu tertentu. Namun, lebih
penting lagi, kami mencatat bahwa seringkali kurang pertanyaan tentang
apakah ADR layak, dan lebih banyak pertanyaan tentang rancangan.
Setiap sistem ADR berfungsi di dalam konteks Pemilu nasional dengan
elemen-elemen khusus yang mereka rancang sendiri, termasuk cakupan
mekanisme ADR, siapa yang memiliki hak/kedudukan untuk mengajukan
gugatan, transparansi putusan yang diambil atau dibuat, dan lebih penting
lagi, apakah hak untuk banding ke ranah formal yudisial tersedia. ADR
dapat digunakan untuk hampir semua konteks apapun, untuk mengatasi
hampir seluruh pertanyaan, jika ADR dirancang sebagaimana mestinya.
Pada saat yang sama, membuat rancangan yang keliru dapat membuat
ADR menjadi tidak layak sama sekali.
Beberapa pertanyaan ambang batas yang penting untuk dipertimbangkan
ketika menentukan kelayakan sebuah mekanisme ADR termasuk:
• Apakah hak-hak dasar, yang dijamin oleh hukum
internasional, dilaksanakan? Jika demikian, ADR mungkin tidak
layak, kecuali jika pendekatan ADR bersifat sukarela dimana para
pihak memegang penuh kendali terhadap hasil dan tersedia upaya
hukum banding yudisial.
Bab 6: Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
267
• Apakah preseden hukum yang mengikat lebih diinginkan?
Apakah hal yang dipersengketakan memunculkan isu-isu, yang
dari sisi kebijakan publik, memerlukan pernyataan penafsiran
hukum yang jelas dan tegas? Jika demikian, ADR mungkin menjadi
tidak cocok.
• Dapatkah sistem pengadilan menyediakan keputusan yang
tepat waktu dan dapat dipercaya mengenai pertanyaan-
pertanyaan yang muncul selama proses Pemilu? Apakah
pengadilan dipandang oleh masyarakat luas sebagai aktor yang
dapat dipercaya? Dapatkah proses pengadilan memproduksi
hasil yang efisien dan semestinya? Apakah pengadilan dapat
diakses oleh mayoritas pemangku kepentingan Pemilu? Jika tidak,
maka ADR mungkin dapat membantu meningkatkan kredibilitas
proses Pemilu.
• Dapatkah para pihak dipengaruhi oleh hasil Pemilu secara
efektif diwakili dalam proses ADR? Jika pengadilan memiliki
kewajiban untuk melihat dampak publik yang lebih luas dalam
setiap putusannya, pendekatan ADR mungkin tidak. Jika
penyelesaian sebuah sengketa khusus mungkin memiliki dampak
terhadap masyarakat luas, namun tidak semua pihak yang
terdampak dapat diwakili secara efektif, maka mungkin lebih layak
untuk membiarkan pengadilan yang menangani gugatan tersebut.
• Apakah penegakan atau pelaksanaan keputusan diragukan
dalam konteks ini? Jika pelaksanaan atau penegakan keputusan
diragukan, mekanisme ADR (yang dirancang dengan benar) dapat
membantu mendorong penegakan yang lebih mandiri oleh para
pihak, melalui komitmen yang bersifat suka rela.
• Apakah ada tradisi atau lembaga perundingan dan mediasi
di luar lembaga hukum yang sudah ada? Di negara yang
tidak memiliki sejarah ADR yang berarti, pelaksanaan sebuah
sistem seperti itu di dalam situasi yang sekontroversial seperti
Pemilu, dapat menyebabkan terlalu banyak penolakan untuk
menjadikannya efektif.420
• Apakah lingkungan sosial dan politik saat itu secara
keseluruhan tegang atau tenang? Sebuah negara yang
420 Contoh lembaga-lembaga yang sudah ada termasuk Grande Mediature di Perancis dan Office of the Ombudsman di banyak negara-negara Afrika.
268
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
sedang dalam konflik mungkin memiliki kesulitan melaksanakan
berbagai perubahan yang radikal seperti sebuah sistem baru ADR,
sementara sebuah negara yang damai mungkin tidak memerlukan
mekanisme ADR sama sekali.
• Apakah ada pihak negara atau non-negara terpercaya yang
dapat menjalankan ADR? Mengingat ketidakpercayaan terhadap
badan peradilan yang mewabah di banyak negara pasca-konflik,
kurangnya orang-orang yang dihormati untuk menjadi pelaksana
badan ADR terbukti sama berbahayanya dengan mencoba
mendapatkan kepercayaan publik pada pengadilan.
Proses penentuan kesesuaian ADR Pemilu di dalam konteks tertentu
bukanlah merupakan suatu ilmu pasti, dan keputusan untuk melaksanakan
sistem seperti itu harus memperhitungkan realitas kultural dan politik di
sebuah negara hingga ke tingkat dimana hal tersebut tidak dipersyaratkan
oleh sistem penanganan keberatan tradisional. Dengan mengasumsikan
ADR dipandang sesuai, maka kemudian perlu untuk menentukan metode
ADR apa yang paling sesuai dengan kebutuhan Pemilu suatu negara.
Penyelesaian Sengketa Alternatif dalam Konteks Pemilu
A. Berbagai Pendekatan untuk Penyelesaian Sengketa Alternatif
ADR merujuk pada serangkaian pendekatan – mulai dari perundingan, ke
mediasi, ke mekanisme pencarian fakta, ke forum pengambilan keputusan
semi-privat seperti arbitrase yang mengikat – yang dimaksudkan untuk
membantu para pihak mencapai kesepakatan. Mekanisme ADR melengkapi
dan meningkatkan proses formal yudisial suatu negara, melalui pemberian
sebuah saluran alternatif bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa-
sengketa mereka.
Seperti yang telah dibahas di awal bab ini, ADR merujuk pada semua
mekanisme ekstra-yudisial yang digunakan untuk menyelesaikan
berbagai sengketa dan keberatan. Oleh karena itu menjadi penting untuk
membedakan berbagai rangkaian pendekatan ADR yang digunakan di
Bab 6: Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
269
berbagai negara. Dalam artian yang lebih luas, program-program ADR
dapat dibedakan berdasarkan gugatan seperti apa yang akan diajukan dan
diselesaikan, serta siapa yang mempunyai kekuasaan untuk mengambil
keputusan dalam memutus gugatan-gugatan tersebut.
Contoh salah satu jenis pendekatan ADR memfokuskan kepada penentuan
hak-hak, seperti halnya sistem pengadilan formal:
• Dalamproses arbitrase formal, para pihak setuju kepada otoritas
yang mengikat dari pihak ketiga netral, yang akan memainkan
peranan pencari fakta dan ajudikator, yang pada hakikatnya seperti
hakim yang dipilih-secara privat. Seperti halnya proses pengadilan,
pertanyaan yang utama sebelum memutuskan adalah pihak mana,
yang menurut hak atau hukum, berhak atas terpenuhinya suatu
kondisi tertentu. Dalam kasus seperti itu, para pihak seringkali
mengabaikan hak mereka untuk memperoleh penanganan
melalui pengadilan, walaupun banding melalui pengadilan tetap
dipertahankan.421 Manfaat utama jenis pendekatan seperti ini
adalah efisiensi: para pihak dapat menerapkan aturan pembuktian
dan keputusan serupa dengan proses pengadilan, tetapi
menghindari penundaan yang seringkali ada pada pengambilan
keputusan yudisial.
• Dalam arbitrase yang tidak mengikat, para pihak tidak
dipersyaratkan untuk mengikuti putusan yang dihasilkan. Maksud
dari arbitrase yang tidak mengikat adalah untuk membantu para
pihak untuk lebih mengetahui mengenai keputusan tentang
apakah atau bagaimana mereka akan melanjutkan gugatan mereka
– baik melalui diskusi penyelesaian ataupun melanjutkan melalui
jalur pengadilan– melalui pemahaman bagaimana kemungkinan
hasil akhir dari perkara mereka. Para pihak masih bebas untuk
mengupayakan gugatan mereka, tetapi mereka melakukan hal
tersebut dengan pengetahuan tambahan tentang bagaimana
pihak ketiga mungkin akan memutuskan gugatan mereka.
421 ICCPR, supra note 2, pasal 14, § 5; General Comment No. 32, ¶¶ 47-50, Semua konvensi hak asasi manusia internasional mengakui, secara tersirat atau tersurat, nilai dasar sebuah mekanisme banding. Pasal 14 § 5 ICCPR memberikan hak tersebut dalam kasus pidana dan Komite Hak Asasi Manusia menggarisbawahi bahwa jaminan untuk sebuah banding tidak hanya terbatas hanya untuk pelanggaran yang sangat serius.
270
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Rangkaian kedua pendekatan ADR yang memfokuskan pada proses
pencarian fakta:
• Dalam pencarian fakta, para pihak yang bersengketa dapat
menunjuk pihak ketiga yang tidak berpihak – terkadang seorang
ahli - hanya untuk menentukan tentang berbagai pertanyaan
faktual yang menyangkut sebuah kasus, tanpa meminta pihak
ketiga untuk memberikan pendapat siapa yang benar, bagaimana
sengketa seharusnya diselesaikan, atau kemungkinan hasilnya.
Menyelesaikan berbagai pertanyaan mengenai fakta dapat
membantu mempercepat proses persidangan, dengan mengurangi
kasus menjadi hanya suatu proses untuk menentukan hak hukum
atau tindakan perbaikan, dan dengan membantu para pihak untuk
memahami kekuatan dan kelemahan relatif perkara mereka.
Rangkaian ketiga mekanisme ADR memfokuskan pada pendekatan
berbasis-kepentingan, dimana proses berjalan untuk mencapai kebutuhan
yang melandasi setiap pihak, tanpa memandang hak yang berasal dari hak-
hak khusus atau sebagai suatu masalah hukum. Tujuan proses seperti itu
adalah mengupayakan hasil yang lebih baik bagi seluruh pihak daripada
alternatif yang mereka rasakan:
• Dalamnegosiasi berbasis-kepentingan, para pihak mengupayakan
untuk mencapai kesepakatan sukarela melalui komitmen timbal
balik, dengan memfokuskan pada apa yang paling menjadi
perhatian masing-masing pihak. Pendekatan ini sering berujung
pada komitmen yang lebih besar untuk dilaksanakan karena
para pihak telah melaksanakan komitmen secara sukarela dan,
sebagai gantinya, kebutuhan mereka terpenuhi. Pendekatan ini
memungkin para pihak untuk memperluas cakupan isu-isu, dan
memungkinkan mereka untuk menangani isu-isu yang penting
yang mungkin menjadi akar sengketa atau keberatan, bahkan jika
isu-isu tersebut tidak menimbulkan gugatan hukum yang kredibel.
• Dalam mediasi, pihak ketiga yang tidak berpihak membantu
pihak yang bersengketa untuk mencapai penyelesaian yang
bersifat sukarela; namun, tidak seperti arbitrase, pihak yang
bersengketa memegang kendali penuh pengambilan keputusan,
Bab 6: Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
271
dan setiap keputusan yang dicapai hanya dengan persetujuan
para pihak. Mediator menggunakan keterampilan fasilitasi dan
penyelesaian masalah (problem solving) untuk membantu pihak
yang bersengketa memahami lebih baik berbagai kepentingan
kunci dari masing-masing pihak dan melakukan penyelesaian
masalah secara bersama. Dalam contoh yang lain, mediator
bertindak sebagai kekuatan yang positif untuk menyelesaikan dan
mendorong para pihak untuk mempersempit berbagai perbedaan
mereka dan mencapai kesepakatan. Beberapa negosiasi dapat
juga termasuk pihak ketiga yang tidak memihak yang dinamakan
“penengah” (“neutral”) yang memfasilitasi komunikasi dan
menjaga negosiator untuk tetap fokus tanpa melakukan tindakan
aktif sebagaimana seorang mediator penuh.
• Dalam pencapaian konsensus, beberapa pihak bekerja sama
untuk mencapai keputusan bersama atau untuk melakukan
tindakan bersama mengenai serangkaian isu yang telah
ditentukan. Seringkali, terdapat lebih banyak pihak yang terlibat,
lebih banyak isu, dan lebih tinggi derajat kerumitan isu tersebut.
Dalam negosiasi peraturan, contohnya, sebagai contoh, badan
administratif sering melaksanakan proses pencapaian konsensus
sebagai cara untuk membawa seluruh pemangku kepentingan
bersama di dalam proses menyusun peraturan administratif.
Melalui sebuah pendekatan yang terstruktur, proses tersebut
mengupayakan peraturan berbasiskan konsensus yang memiliki
tingkat kepercayaan yang lebih besar dari seluruh pemangku
kepentingan yang relevan dan oleh karena itu, dapat menekan
jumlah gugatan peradilan.
• Dalam konsiliasi (atau jasa baik (good offices)), pihak ketiga
yang netral dengan derajat kekuasaan tertentu diatas para pihak
digunakan untuk membantu sebagai perantara dialog antara para
pihak yang bersengketa.
Diagram berikut ini menyajikan cara lain untuk memvisualisasikan
bagaimana ADR terkait dengan metode penanganan sengketa tradisional.
Berbagai metode ADR disusun dalam sebuah kerangka yang berkelanjutan
(continuum) terkait waktu dan sumber daya yang diperlukan untuk
menyelesaikan sengketa, dengan metode yang semakin kompleks ketika
272
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
diagram tersebut bergerak dari kiri ke kanan. seiring dengan bertambahnya
investasi waktu dan sumber daya, kekuasaan para pihak di dalam proses
menurun, dimulai dari para pihak mencapai keputusan mereka sendiri
hingga mendapatkan keputusan yang diputus oleh otoritas di luar mereka.
B. Pelembagaan Sistem Manajemen SengketaTerlepas dari kegunaan pendekatan ADR, dan apakah itu berbasis hak,
pencarian fakta atau berbasis-kepentingan, sebuah sistem sengketa dapat
dirancang untuk mengidentifikasi, mencegah dan menangani potensi
sengketa. Dalam konteks Pemilu, hal ini berarti suatu program manajemen
sengketa, rapat dibawah koordinasi LSM atau lembaga penyelenggara
Pemilu, yang menyatukan seluruh pemangku kepentingan kunci di dalam
sebuah forum berkala untuk memfasilitasi komunikasi dan penyelesaian
masalah. Atau alternatifnya, berarti kode perilaku (code of conduct) di
antara para kandidat atau partai politik, dengan struktur yang ada untuk
memfasilitasi komunikasi dan penyelesaian sengketa yang mungkin
muncul dalam pelaksanaan berbagai aturan dan peraturan perundang-
undangan Pemilu.
C. Cakupan yang Pantas untuk ADR dalam Konteks PemiluDalam arena Pemilu global, sedikit sekali tersedia pengalaman dari
berbagai lembaga Pemilu nasional yang memasukkan pendekatan ADR
secara formal. Namun, pendekatan tersebut semakin terintegrasi dengan
kerangka Pemilu nasional. Khususnya, hal ini terjadi dalam konteks
transisional, dimana legitimasi lembaga-lembaga nasional dipertanyakan,
Tindakan Para Pihak
Diskusi Informal
Negosiasi
ADR Membantu Para Pihak
Putusan Non-Pihak
Fasilitasi
Mediasi
Pencarian Fakta
Arbitrase Tidak Mengikat
Pengadilan Kecil
Pengorbanan waktu dan sumber daya yang semakin besar
Arbitrase Mengikat
Penanganan Ajudikasi
Administrasi
Gugatan Pengadilan
Bab 6: Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
273
atau akses terhadap lembaga-lembaga tersebut di seluruh negeri masih
sulit. Karena pendekatan tersebut menjadi semakin umum, menjadi
semakin penting untuk mengidentifikasi beberapa batasan cakupan yang
pantas bagi ADR dalam konteks Pemilu.
Sebagai contoh, ADR mungkin tidak layak digunakan dimana hak dasar
yang dinyatakan di dalam hukum internasional dan negara, dipertanyakan.
Hal ini termasuk:
• Hakuntukbergabungdalampartaipolitik;422
• Hak untuk berkumpul secara damai,423 dan hak bergerak bebas
untuk berkampanye;424
• Hakuntukbebasdari paksaanatauancamankekerasanselama
proses politik;425
• Hakuntukkebebasanberekspresi;426
• HakuniversaluntukmemilihdandipilihpadaPemiluberkalayang
sebenarnya; dan427
• Hakuntukmemilikiaksesterhadappelayananpublik.428
Banyak dari hak tersebut harus dijamin oleh intervensi yudisial. Oleh
karena itu merupakan hal yang tidak semestinya untuk mempersyaratkan
isu-isu yang menyangkut hak-hak ini diselesaikan melalui ADR, jika banding
yudisial tidak dijamin sebagai bagian dari pendekatan ADR.
Namun, sementara hak-hak ini sendiri tidak dapat dinegosiasikan,
pelaksanaan hak-hak ini memang harus dinegosiasikan oleh para
pihak terkait Pemilu, yang mungkin menjadi subyek yang sesuai untuk
mekanisme ADR. Sebagai contoh, partai politik melalui sebuah pedoman
perilaku yang dinegosiasikan dapat menyetujui pembatasan suka rela atas
hak mereka untuk berkumpul atau berkampanye. Contohnya, pada satu
waktu, partai-partai di Republik Demokratik Kongo secara aktif mencegah
422 UDHR, supra note 2, pasal 20: ICCPR, supra note 2, pasal 21.423 UDHR, supra note 2, pasal 20: ICCPR, supra note 2, pasal 22.424 UDHR, supra note 2, pasal 13: ICCPR, supra note 2, pasal 12.425 UDHR, supra note 2, pasal 3, 7 & 21(1): ICCPR, supra note 2, pasal 9,17,25.426 UDHR, supra note 2, pasal 19 & 21: ICCPR, supra note 2, pasal 19 & 25.427 UDHR, supra note 2, pasal 25(2).428 UDHR, supra note 2, pasal 25(3).
274
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
para warga negaranya untuk menghadiri rapat pihak oposisi mereka.
Mediator membantu mengatur sebuah kesepakatan di antara para partai
untuk memperbolehkan orang untuk menghadiri pawai pilihan mereka dan
untuk menjamin rute yang aman bagi para pendukung pihak oposisi. Sama
halnya, di Afrika Selatan pada tahun 1999, para mediator mampu membuat
kelompok oposisi untuk menyetujui bahwa para pendukung mereka tidak
akan melakukan intervensi terhadap upaya kampanye pihak lain. Di negara-
negara yang kurang memiliki lembaga-lembaga demokratis yang sehat
(seperti Swaziland, dimana partai-partai politik tidak diakui dan tidak dapat
dibentuk), maka tidak ada tempat bagi ADR atau bentuk penyelesaian
sengketa ekstra yudisial lainnya, tetapi jika ada gerakan menuju masyarakat
yang demokratis, maka ADR mungkin menjadi sebuah mekanisme yang
efektif untuk menghindari konflik, pertikaian dan intimidasi.
ADR bisa menjadi layak bagi banyak aspek proses Pemilu sepanjang
terdapat kemungkinan terjadinya suatu sengketa, area yang hukumnya
belum mapan atau yang meninggalkan persoalan pada diskresin Badan
Penyelenggara Pemilu atau kebijakan pemerintahan, dan dibutuhkannya
sebuah keputusan cepat yang dapat disetujui oleh para pihak. Potensi
penggunaan ADR termasuk dalam situasi/isu berikut ini:
• PengakuanhakpartaipolitikdankandidatuntukmajudalamPemilu
dimana terdapat kebutuhan bagi para pihak yang berkepentingan
untuk bersepakat dan hukumnya belum benar-benar mapan;
• Penyelesaian oleh kelompok kepentingan mengenai hambatan
terhadap daftar pemilih termasuk proses pendaftaran,
pemeliharaan daftar pemilih, verifikasi pemilih, pemberhentian
dan pemulihan dalam waktu yang tepat tanpa beban administratif
dan yudisial yang tidak perlu;
• Pententuan penggunaan surat suara yang tidak dipilih tanpa
kehadiran pemilih (absentee ballot), jika surat tersebut akan
digunakan, demikian juga prosedur penerbitan (issuance) dan
penghitungan suara;
• Pengaturan tentang pemungutan suara dini (early voting) dan
prosedur pemungutan suara jarak jauh (remote voting);
• Kesepakatan tentang aturan-aturan tertentu mengenai
pelaksanaan Pemilu itu sendiri, termasuk penyelesaian sengketa
Bab 6: Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
275
tentang bagaimana pejabat Badan Penyelenggara Pemilu dilatih
dan diseleksi, serta bagaimana petugas pemungutan suara
diseleksi dan ditugaskan;
• Penyelesaian isu-isu individual di tingkat pemungutan suara,
khususnya terkait kualifikasi pemilih untuk memberikan suara di
TPS tertentu (penyelesaian masalah tempat pemungutan suara ini
seharusnya dapat diajukan upaya hukum ke pengadilan);
• Pertanyaantentangsuratsuara,desainsuratsuara,perlengkapan,
pemeriksaan pra-pemungutan suara, pengamatan proses tersebut
sehingga pelaksanaannya transparan, pengumpulan surat suara,
sistem pemungutan terkomputerisasi dan mekanis lainnya, audit
surat suara, keamanan fisik, dan tersedianya tindakan perbaikan
pada hari pemungutan suara; dan
• Penyelesaianberbagaiproseduruntukpenghitunganulang,standar
apa yang akan digunakan untuk menentukan dimungkinkannya
penghitungan ulang, serta berbagai metode yang digunakan
untuk menjamin bahwa suara tersebut merupakan perwakilan dari
suara yang diberikan pada Hari Pemilu dan tidak dimanipulasi oleh
pejabat pemerintah, entitas politik atau kandidat.
Menyusun Prosedur ADR dalam Proses Pemilu: Perangkat untuk Pelaksanaan
A. Tujuan yang Semestinya untuk ADRSebuah pertanyaan yang bersifat ambang batas (threshold) dalam
merancang sistem ADR apapun adalah – apakah ini berada di ranah
penanganan keberatan ajudikasi pengaduan Pemilu, atau berada dibawah
sektor lainnya – untuk menentukan apa maksud dan tujuan (-tujuan) yang
ingin dilayani oleh proses ADR. Atau dengan kata lain, apa masalah atau
kekurangan dalam proses penyelesaian sengketa yang saat ini ada yang
akan disempurnakan oleh sistem ADR?
Dalam penanganan keberatan, ajudikasi pengaduan Pemilu, jalur
tradisional untuk penyelesaian sebuah sengketa seringkali melibatkan
sistem penanganan ajudikasi hukum formal negara tersebut, umumnya
pengadilan. Proses ADR dapat digunakan untuk mencapai sejumlah tujuan
276
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
yang berbeda, yang mungkin tidak ditangani dengan baik oleh sistem
pengadilan, karena sejumlah alasan. Sebagai contoh:
• Penyelesaian yang lebih tepat waktu: Proses ADR dapat
meningkatkan penyelesaian potensi keberatan pengaduan Pemilu
secara lebih tepat waktu, segera setelah keberatan pengaduan
atau isu muncul, karena sistem pengadilan dianggap lambat
atau rumit.
• Akses lokal yang lebih besar: Mekanisme ADR dapat dirancang
untuk maksud memberikan akses lokal yang lebih besar atau
untuk keberatan pengaduan yang muncul di lapangan dan di
tempat pemungutan suara, dimana para pihak yang relevan ada
untuk melakukan pemeriksaan dan penyelesaian.
• Dialog dan komitmen timbal balik: ADR dapat juga digunakan
untuk memberikan penyelesaian yang lebih sesuai dan lebih
berpeluang untuk berlanjut, serta memberikan kesempatan untuk
dialog yang membangun dan/atau komitmen timbal balik di antara
para pemangku kepentingan yang terpengaruh, dimana berbagai
komitmen tersebut diinginkan atau diperlukan untuk penyelesaian
yang berkelanjutan. Hal ini mungkin terjadi pada kasus dimana isu
yang dipersengketakan adalah pelaksanaan kampanye dua partai
politik yang bersaing.
• Legitimasi yang lebih Baik: Di dalam banyak konteks transisional,
proses ADR dapat digunakan sebagai langkah membangun
kepercayaan diri untuk meningkatkan kredibilitas proses Pemilu.
Hal ini bisa terjadi dalam konteks dimana pihak yang bersaing
menggugat legitimasi atau anggapan ketidakberpihakan lembaga-
lembaga negara formal tersebut. Dalam kasus tersebut, proses
ADR dapat dirancang untuk memungkinkan pihak ketiga netral
yang dipandang oleh seluruh pemangku kepentingan dianggap
sebagai sah dan dapat dipercaya.
Masing-masing hal tersebut, dan mungkin yang lainnya, merupakan
potensi tujuan yang sah dari sebuah sistem ADR dalam penanganan
keberatan, ajudikasi pengaduan Pemilu. Namun, agar dapat efektif dan
layak, rancangan sistem ADR harus didorong oleh suatu tujuan khusus
yang ditentukan oleh kebutuhan pemangku kepentingan dan konteks
Bab 6: Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
277
nasional. Terlebih lagi, para pemangku kepentingan yang relevan harus
menyatakan secara jelas dan menyepakati tujuan-tujuan ini, dalam rangka
menjamin bahwa seluruh pemangku kepentingan akan mengetahui bahwa
proses ADR sah dan dapat dipercaya.
Langkah pertama adalah untuk menentukan apa tujuan yang akan dilayani
oleh sistem ADR dan memastikan bahwa tujuan-tujuan tersebutlah yang
mengarahkan rancangan proses ADR.
B. Pembentukan Proses-proses ADR sebagai Bagian dari Penanganan Ajudikasi Pengaduan Pemilu
Sama halnya dengan setiap ketentuan infrastruktur Pemilu sebuah negara,
proses ADR juga perlu untuk diundangkan oleh badan pembuat Undang-
undang formal (seringkali melalui sebuah Undang-undang Parlemen
atau Kongres, atau terkadang oleh keputusan eksekutif). Namun, hal ini
mungkin problematik dalam konteks transisional, dimana kredibilitas,
ketidakberpihakan atau legitimasi dari berbagai lembaga pembuat
Undang-undang tersebut sendiri dapat digugat. Dalam konteks seperti
itu, proses ADR tidak hanya perlu bagi penanganan keberatan, ajudikasi
pengaduan, tetapi juga diperlukan untuk pembentukan peraturan Pemilu
itu sendiri. Contohnya, peraturan mungkin perlu disusun dan disahkan
oleh sebuah forum yang dipandang kredibel dan mewakili oleh seluruh
pemangku kepentingan yang bersaing, bahkan jika forum tersebut bersifat
tidak tetap (ad hoc atau interim). Penyelesaian yang diusulkan oleh forum
seperti itu masih akan perlu diadopsi secara formal oleh badan pembuat
Undang-undang negara, tetapi pertama-tama perlu konsensus dari seluruh
pemangku kepentingan yang relevan.
C. Siapakah Para Pemangku Kepentingan?Keefektifan sistem ADR seringkali tergantung pada kredibilitas dan
legitimasi yang dirasakan, khususnya jika dibandingkan dengan opsi
penyelesaian sengketa tradisional (seringkali adalah, sistem pengadilan
formal). Di dalam dunia ADR, para pemangku kepentingan seringkali
ditentukan sebagai: (1) mereka yang memiliki kekuasaan membuat
keputusan; (2) mereka yang memiliki kekuasaan untuk memblokir atau
membuka blokir keputusan (secara formal atau informal); (3) mereka yang
memiliki sumber daya yang diperlukan untuk pelaksanaan (apakah sumber
278
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
daya organisasional, finansial, teknis, atau politik); (4) mereka yang secara
langsung dipengaruhi oleh hasil; dan (5) mereka yang paling dipercaya dan
dipandang tidak memihak (lembaga ataupun individu) adalah beberapa
diantara mereka yang dapat mendorong proses ADR.
Lalu, siapakah para pemangku kepentingan dalam penanganan keberatan,
ajudikasi pengaduan Pemilu? Paling sedikit, mereka mungkin termasuk
badan-badan negara pembuat Undang-undang yang relevan, pengadilan
yang menafsirkan Undang-undang tersebut (dan seringkali memainkan
peranan sebagai arbiter final), serta badan penyelenggara Pemilu negara.
Pemangku kepentingan juga mungkin termasuk partai-partai politik besar
yang bersaing. Tergantung konteksnya, mereka mungkin juga termasuk
organisasi masyarakat sipil yang relevan (seperti pemantau Pemilu
domestik). Mereka juga dapat termasuk para pemilih perorangan yang
dipengaruhi oleh peraturan Pemilu, yang haknya (dan kemampuan untuk
menggugat hak tersebut) dapat dipengaruhi oleh revisi terhadap proses
penanganan keberatan, ajudikasi pengaduan. Dan, secara potensial, mereka
juga dapat termasuk berbagai organisasi internasional yang mungkin
mengamati proses Pemilu dan membantu membiayai Pemilu nasional,
tergantung pada pengamanan Pemilu tertentu. Bagaimana mendefinisikan
para pemangku kepentingan ini akan tergantung sepenuhnya pada konteks
nasional dan isu-isu yang sedang dibahas.
D. Siapa yang Mengumpulkan Para Pemangku Kepentingan?
Jika proses untuk membentuk suatu sistem ADR sebagai bagian dari
kerangka penanganan keberatan, ajudikasi pengaduan Pemilu dimaksudkan
untuk bersifat partisipatoris, maka dialog tersebut perlu diselenggarakan
oleh beberapa entitas atau organisasi. Seringkali, ini mungkin adalah suatu
badan negara yang memiliki tanggung jawab atas isu-isu ini. Namun, dimana
kredibilitas atau ketidakberpihakan lembaga-lembaga negara tersebut
dipertanyakan, sebuah dialog multi pihak mungkin perlu diselenggarakan
oleh beberapa aktor non-negara. Penyelenggara mungkin LSM lokal,
perguruan tinggi, pemimpin lokal, kepala suku, pimpinan agama, mantan
politisi papan atas, pegawai negeri sipil senior yang terkemuka atau
pengusaha atau aktor internasional. Kriteria kunci untuk penyelenggara
adalah hanya bahwa para pihak yang akan hadir memandang bahwa
Bab 6: Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
279
penyelenggara mempunyai legitimasi untuk menyerukan sebuah dialog.
Dalam beberapa kesempatan, mungkin perlu bagi pelaksanaan dialog
semacam itu adanya pendamping penyelenggara, dalam rangka mencapai
legitimasi yang diperlukan pada seluruh spektrum pemangku kepentingan
yang terlibat.
Lebih penting lagi, peran menyelenggarakan sebuah dialog ini terpisah
dan berbeda dengan peran memfasilitasi dialog. Fasilitator suatu dialog
harus dipandang netral oleh seluruh pihak, dengan keterampilan untuk
membangun-konsensus (consensus-building) yang diperlukan untuk
membantu para pemangku kepentingan mencapai suatu kesepakatan
(contohnya seorang profesional, pihak netral). Penyelenggara mungkin
tidak dapat dipandang sebagai netral, namun dirasakan memiliki legitimasi
untuk memainkan peranan tersebut. Sebagai contoh, partai oposisi
mungkin tidak dapat dipandang sebagai penyelenggara yang sah untuk
suatu dialog tentang pembaruan Pemilu oleh pihak yang sedang berkuasa
atau pemerintah. Namun, sebuah komisi Pemilu negara dapat dipandang
sebagai penyelenggara yang kredibel untuk dialog tersebut. Pada saat
yang sama, partai oposisi mungkin tidak dapat memandang lembaga
negara sebagai netral atau tidak memihak. Mereka mungkin kredibel
untuk menyelenggarakan dialog tersebut, tetapi tidak untuk memfasilitasi
dialog tersebut. Dalam konteks yang sangat terpolitisasi, mungkin perlu
bagi lembaga-lembaga internasional (seperti Perserikatan Bangsa Bangsa
atau LSM internasional lainnya) untuk bertindak sebagai penyelenggara
dan/atau fasilitator. Namun, bahkan legitimasi mereka untuk memainkan
peran-peran tersebut dapat digugat oleh pemerintah yang berdaulat.
E. Penilaian Pemangku KepentinganBagian sebelumnya memunculkan sejumlah pertanyaan yang harus dijawab
dengan benar dalam rangka membangun konsensus seputar pembaruan
peraturan Pemilu, termasuk peran yang dapat dimainkan oleh ADR dalam
penanganan keberatan Pemilu. Apa yang seharusnya menjadi tujuan
sebuah sistem ADR? Siapa yang perlu dikonsultasikan? Siapa yang dapat
menyelenggarakan dan/atau memfasilitasi suatu dialog? Apa cakupan isu
yang dibahas? Apa yang mungkin menurut pemangku kepentingan dapat
diterima? Bagaimana kesepakatan yang dicapai oleh kelompok informal
dapat diadopsi secara formal menjadi Undang-undang?
280
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Isu-isu ini harus ditangani di muka, jika tidak, suatu proses dialog yang
bahkan dengan maksud yang paling baik-pun dapat berubah menjadi
hambatan yang substansial. Sebagai contoh, satu pemangku kepentingan
mungkin akan menolak berpartisipasi jika pemangku kepentingan lainnya
diundang. Pemangku kepentingan lainnya mungkin akan menolak untuk
berpartisipasi jika suatu lembaga tertentu bertindak sebagai penyelenggara
dan/atau fasilitator. Beberapa pemangku kepentingan mungkin bersedia
datang, hanya untuk belakangan mengetahui bahwa satu pemangku
kepentingan yang utama tidak ingin berpartisipasi. Berbagai pemangku
kepentingan mungkin memiliki pemahaman yang berbeda tentang
isu-isu yang dibahas. Para pemangku kepentingan mungkin mencapai
kesepakatan, namun ternyata belakangan tahu bahwa tindak-lanjut
diperlukan oleh pemangku kepentingan lainnya yang tidak hadir di saat
perundingan dalam rangka menetapkan kesepakatan mereka menjadi
peraturan atau Undang-undang yang mengikat.
Satu cara membuat isu-isu ini dapat ditangani secara efektif adalah melalui
sebuah perangkat yang dikenal sebagai penilaian pemangku kepentingan
atau penilaian situasi. Dalam proses ini, pihak yang netral secara rahasia
mewawancarai seluruh pemangku kepentingan kunci, untuk guna berbagai
perspekif terhadap isu-isu ini, baik dari sisi proses maupun substansi.
Pihak netral kemudian menyiapkan sebuah laporan rangkuman untuk
seluruh pemangku kepentingan, meringkas berbagai perspektif tanpa
mengaitkan komentar kepada individu-individu pemangku kepentingan,
sebagai basis untuk dialog. Singkatnya, kegunaan instrumen penilaian
pemangku kepentingan– apakah dilaksanakan secara informal atau formal
– adalah untuk menyiapkan jadual untuk dialog konstruktif, yang mungkin
diperlukan guna pembentukan proses ADR untuk keberatan Pemilu.
F. Pertimbangan Rancangan untuk ADR dalam Penanganan Pengaduan Pemilu
Seluruh sistem ADR harus menjawab pertanyaan-pertanyaan tertentu
tentang rancangan dalam pengertian bagaimana mereka akan berfungsi,
yang semuanya akan memiliki hubungan langsung dengan sejauh mana
“pengguna” potensial dari sistem akan menggunakannya sebagai
suatu alternatif yang efektif terhadap penyelesaian sengketa tradisional
melalui pengadilan.
Bab 6: Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
281
Dalam arena penanganan keberatan Pemilu, beberapa pertanyaan khusus
muncul, terlepas dari jenis sistem ADR yang diadopsi sebagai bagian dari
kerangka kerja Pemilu. Banyak dari pertanyaan tersebut yang berevolusi seputar
fakta bahwa setiap individu pemilih, dalam beberapa hal, dipengaruhi secara
langsung oleh hasil dari suatu keberatan, bahkan hanya dalam bentuk dilusi
minimum terhadap bobot suara mereka. Dengan demikian, jika sekelompok
pemangku kepentingan mencapai kesepakatan terhadap keberatan Pemilu
tertentu, maka penyelesaian tersebut dapat mempengaruhi para pihak yang
tidak terwakili dalam proses ADR. Hal ini mungkin dibandingkan dengan
sistem pengadilan formal, yang mengeluarkan putusan dalam konteks
dampak publik yang lebih luas dan sifat keputusan hukum yang mengacu
pada putusan sebelumnya untuk kasus yang serupa (precedent-setting).
Pelaksanaan sistem ADR Pemilu memunculkan banyak tantangan sama
yang muncul ketika menyusun sistem penanganan keberatan formal
yang mengikuti tujuh standar internasional yang digambarkan di dalam
Bab 1: Standar-Standar Internasional. Sementara standar-standar ini pada
umumnya adalah paling relevan ketika diterapkan ke sistem penanganan
formal, hak dasar yang dilindungi adalah sama pentingnya dengan hak yang
dilindungi di bawah sistem ADR.429 Kehatian-hatian harus diterapkan ketika
melaksanakan sebuah sistem ADR untuk memastikan bahwa standar-
standar tersebut dipenuhi sejauh mungkin.
Akhirnya beberapa pertanyaan desain yang mungkin perlu
dibahas termasuk:
• Pihak yang memiliki hak: Siapa yang memiliki hak untuk mengajukan
gugatan melalui prosedur ADR? Partai politik? Pemantau Pemilu
domestik? Pemilih perorangan? Jawabannya akan sangat tergantung
rangkaian isu yang khusus yang ingin dicapai melalui proses ADR.430
• Pihak yang tidak terwakili: Untuk prosedur ADR yang bersifat
tidak-memutus (non-ajudikatif-contohnya, prosedur selain
arbitrase yang mengikat), penyelesaiannya seringkali berbentuk
kesepakatan sukarela diantara para pihak. Namun, jika tidak
semua pihak yang terkena dampak terwakili dalam proses ADR,
429 Lihat supra note 10-16 dan teks yang mengikuti.430 Lihat Bab 1 pedoman ini untuk informasi lebih lanjut tentang hak menggugat.
282
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
maka hak mereka dapat dipengaruhi oleh penyelesaian tanpa
persetujuan mereka.
• Transparansi putusan: Sering, proses ADR berlangsung dalam
tatanan rahasia, dalam rangka memungkinkan pertukaran yang
jujur antara para pihak dengan prioritas dan kepentingan yang
berbeda. Untuk sebuah proses publik seperti Pemilu, kerahasiaan
semacam ini mungkin tidak semestinya.
• Sifat pembentukan presenden atas Hasil dari ADR: Kerapkali,
proses ADR tidak membentuk preseden yang mengikat. Memang,
kerapkali hal itu merupakan salah satu keuntungan yang dirasakan.
Namun, dalam sebuah konteks Pemilu, dimana konsistensi dalam
bagaimana keberatan serupa ditangani mungkin menjadi penting,
hal ini mungkin tidak layak.
• Interaksi dengan sistem hukum formal: Sistem ADR kerap
kali memberikan jalan kepada sistem pengadilan sebagai sebuah
forum untuk banding final. Di bawah kesempatan tersebut, apa
yang menjadi standar untuk peninjauan? Apakah kesepakatan
yang dicapai oleh dua pemangku kepentingan terhadap keberatan
tertentu dapat digugat oleh pihak lainnya?
• Pemilihan mediator atau penengah (neutral): Peran penengah
atau mediator adalah berbeda dengan hakim atau arbiter, karena
mediator/penengah ditugaskan untuk memfasilitasi komunikasi dan
membantu para pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian yang
dapat diterima oleh mereka sendiri, sementara hakim atau arbiter
diharapkan untuk mengeluarkan keputusan berdasarkan argumen
dan bukti yang disajikan. Namun, langkah-langkah seharusnya
diambil untuk menjamin bahwa seorang mediator atau penengah
sebagaimana mestinya tidak memihak, karena bias apapun masih
dapat menyebabkan negosiasi atau mediasi yang tidak adil.
• Tindakan perbaikan dan penegakan: Proses ADR seharusnya
memungkinkan suatu mekanisme untuk menegakkan keputusan
yang telah dicapai. Sementara negosiasi dan mediasi kerap kali
mengandalkan kepatuhan yang sukarela dari kedua belah pihak,
berbagai metode yang lebih ketat seperti arbitrase mungkin
memerlukan pembuatan sebuah kontrak atau perintah pengadilan
untuk memaksakan kepatuhan. Bahkan jika proses dan hasilnya
bersifat rahasia atau ditutupi, kesepakatan untuk mempublikasikan
Bab 6: Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
283
penyelesaian dapat memungkinkan para peserta untuk
mengandalkan tekanan sosial ketimbang tekanan pemerintah
untuk mendorong kepatuhan kedua belah pihak.
• Beban pembuktian dan standar pembuktian: Proses pengadilan
dalam rangka pelaksanaan sistem adversary mereka (cat: adversary
system adalah suatu sistem beracara di pengadilan dimana modus
untuk menemukan kebenaran adalah melalui “benturan” argumentasi
dari pihak-pihak yang berperkara di pengadilan dengan bukti-bukti
pendukung yang diajukan para pihak tersebut di hadapan pihak netral
yang akan menentukan fakta dan menerapkan hukum berdasarkan
pemaparan oleh kedua belah pihak) -pengalokasian beban pembuktian
yang harus dipikul oleh setiap pihak agar dapat dimenangkan di
bawah sistem pembuktian tersebut. Pengambilan keputusan yudisial
atas suatu sengketa Pemilu, contohnya, mungkin membutuhkan
pembelaan yang substansial terhadap fakta yang mendukung tuduhan
“kecurangan” atau “pelanggaran pemungutan suara”.431 Begitu pula
halnya, rangkaian persidangan mempersyaratkan bahwa bukti harus
memenuhi persyaratan tertentu untuk dapat diterima.432 Kecuali untuk
jenis arbitrase semi-pengadilan yang paling formal, proses penanganan
keberatan informal tidak melibatkan beban pembuktian secara formal
atau kepatuhan yang kaku terhadap hukum pembuktian, termasuk
utamanya, aturan terhadap desas desus kecuali hal itu secara spesifik
dikecualikan dalam Undang-undang.
Penanganan keberatan dalam proses informal, bagaimanapun juga, harus
memiliki dasar yang kuat dan didukung oleh fakta-fakta. Meskipun hukum
pembuktian formal tidak diperlukan, pengadu harus menunjukkan fakta
yang menunjukkan bahwa suatu kejadian “lebih mungkin terjadi daripada
tidak terjadi sama sekali.” Lebih jauh lagi, kepentingan yang ingin ditegaskan
dalam setiap proses informal haruslah sungguh-sungguh, bagi proses
ADR untuk dapat mencoba menyelesaikan masalahnya. Persyaratan ini
mencakup penggunaan komisi administratif dan tribunal yang terlibat
dalam penyelesaian sengketa. Pentingnya untuk menentukan catatan
431 Lihat Steve Bickerstaff, Contesting the Outcome of Election, dalam IEP, supra note 1, 315-317.
432 Id, Lihat juga Barry H. Weinberg, The Resolution of Election Disputes: Legal Principles That Control Election Challenges (2006).
284
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
faktual yang akurat tidak hanya mempengaruhi proses ADR, namun juga
proses pemeriksaan oleh pengadilan.
Keunggulan dan Kelemahan ADR
Akhirnya, banyak alasan untuk menggunakan ADR, tetapi beberapa
merupakan alasan yang membuat ADR sangat berguna dalam
menyelesaikan sengketa. Faktor-faktor ini termasuk: hubungan
berkelanjutan antara para pihak yang bersengketa, pengaruh penengah
terhadap pandangan para pihak yang bersengketa tentang konflik;
sejauh mana hukum yang mengatur telah ditetapkan dan mapan; serta
kemampuan di luar pihak sengketa untuk meredam permusuhan yang
mungkin ada di antara para pihak yang bersengketa. Terlebih lagi, jika
sengketa utamanya adalah ketidaksepakatan terhadap fakta-fakta dasar,
ADR dapat membantu pihak ketiga untuk melihat fakta sebenarnya yang
menyebabkan sengketa.
ADR tentu saja tidak selalu ideal sebagai suatu metode penyelesaian
sengketa. Beberapa faktor, jika ada, akan membuat penggunaan
ADR menjadi kurang menguntungkan. Faktor pertama yang perlu
dipertimbangkan adalah apakah penyelesaian sengketa diperlukan dalam
rangka membentuk suatu preseden terhadap sengketa yang sama di
masa depan. Karena ADR kerapkali bukanlah suatu mekanisme yang
bersifat membentuk preseden (a nonprecedent-setting mechanism),
sehingga ADR kurang sesuai untuk situasi ini. Kedua, dimana sengketa
mempunyai sifat berulang dan terdapat kebutuhan untuk memperoleh
konsistensi di antara sengketa-sengketa yang serupa, ADR mungkin tidak
dikehendaki. Ketiga, ADR menjadi kurang bernilai sebagai suatu alat,
ketika sengketa atau penyelesaiannya akan mempengaruhi pihak-pihak
diluar proses sampai tingkat yang substansial. Akhirnya, ADR mungkin
tidak disarankan dimana terdapat kebutuhan yang khusus untuk sebuah
rekaman penyelesaian sengketa, yang tersedia untuk dapat diakses
publik. Namun, dalam konteks Pemilu, pengecualian dapat dibuat untuk
ketentuan pencatatan publik, sehingga membuat pertimbangan ini kurang
penting untuk menentukan apakah ADR merupakan sebuah mekanisme
penyelesaian yang layak.
Bab 6: Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
285
Keunggulan Sistem ADR Kelemahan Sistem ADR
Efisiensi
Biaya yang lebih rendah bagi pihak yang bersengketa untuk mengajukan gugatan
Biaya memainkan peranan penting untuk menyaring gugatan yang sembarangan
Mengurangi penundaan dalam menyelesaikan sengketa
Mengasumsikan akses terhadap nara sumber ADR yang memenuhi syarat
Fleksibel, tidak ada aturan yang kaku, dapat menyesuaikan diri terhadap situasi dan norma-norma lokal
Meningkatkan keprihatinan tentang penerapan hukum yang dapat diprediksi dan konsisten
Peningkatan Akses terhadap Keadilan
Dapat menghindari pengadilan yang dipandang tidak efektif, partisan atau korup
Pembuat keputusan non-pengadilan mungkin juga menghadapi kemungkinkan gugatan tentang legitimasinya
Membuka akses yang lebih besar bagi masyarakat lokal
Kurangnya konsistensi dalam pengambilan keputusan
Dapat diakses oleh orang awam yang mungkin terintimidasi oleh pengadilan formal
Hukum acara pengadilan formal dapat melindungi para pihak dari ketidakadilan kekuatan sosial
Meningkatnya Kepuasan terhadap Proses dan Hasil
Berbasis pada kewajaran (equity) membuat keputusan dapat dimengerti oleh orang awam
Keputusan berdasarkan kewajaran (equity), daripada berdasarkan hukum dapat melemahkan prinsip negara hukum
Dapat meredakan ketegangan dan konflik dengan memfasilitasi dialog dan komitmen timbal balik diantara para pemangku kepentingan
Kurangnya kekuasaan untuk memaksakan partisipasi dimana pengadilan pengadilan tradisional memiliki kekuasaan tersebut.
Meningkatkan kemungkinan kepatuhan terhadap keputusan yang sukarela
Keputusan mungkin kurang otoritasnya untuk ditegakkan
Melengkapi dan Mendukung Proses dan Upaya Pembaruan Penanganan keberatan Tradisional
Dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa berat yang mungkin jika tidak melalui ADR bisa menyebabkan runtuhnya keseluruhan sistem (contohnya mediasi antara partai-partai politik militan)
Mengganggu upaya pembaruan ketika program ADR menyerap uang, talenta, dan perhatian dari badan penanganan keberatan tradisional.
Dapat menjaga penanganan keberatan di tingkat lokal, mempertahankan relevansi masyarakat lokal dalam pertumbuhan masyarakat sipil yang demokratis
Keputusan di tingkat lokal untuk berbagai masalah yang dihadapi di seluruh negara dapat menyebabkan inkonsistensi.
Manfaat Sosial yang Luas
Dapat mendukung upaya sosial yang luas (contohnya penyelesaian dialog atau konflik antar-kelompok)
Tidak dapat menangani ketidakadilan sistemik yang menyeluruh (hanya berfungsi dengan basis kasus per kasus)
Dapat meningkatkan partisipasi dalam proses Pemilu
Melemahkan kehendak rakyat dengan menaruh hasil di tangan para pihak ketimbang di tangan hukum
Dapat meningkatkan kepercayaan publik dalam proses Pemilu, dan dengan meningkatkan legitimasi pemerintah terpilih
Seringkali kurang pengaruh yang bersifat mendidik, serta pengaruh yang bersifat menghukum dan mencegah seperti pada pengadilan tradisional
286
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Tabel di halaman sebelumnya merinci keuntungan dan kerugian sistem
ADR dalam menyelesaikan keberatan Pemilu.
Contoh Program-Program ADR
Beragam bentuk penyelesaian sengketa digunakan di sistem-sistem
hukum di seluruh dunia, tetapi sebagai suatu mekanisme untuk
menyelesaikan konflik Pemilu ADR secara historis tidak umum dilakukan di
luar Sub-Sahara Afrika. Contoh-contoh dari pengalaman Afrika dengan ADR
menunjukkan bahwa sistem yang serupa mungkin diimplementasikan,
dan bahkan diinginkan, di negara-negara pasca-konflik dan transisional.
Mekanisme ADR dalam konteks transisional atau pasca-konflik dilihat
menurut “bahaya” yang ditimbulkan dari situasi itu, atau potensi
kekerasan. Akibatnya, ADR biasanya bukan sebuah mekanisme yang
berdiri sendiri, namun melengkapi berbagai mekanisme penyelesaian
konflik lainnya. Sangat jarang untuk menemukan suatu mekanisme ADR
yang menargetkan baik elit politik tingkat atas dan tingkat masyarakat akar
rumput dalam proses yang sama. Selain itu, tidak ada dari contoh-contoh
ini yang merupakan sebuah pelaksanaan langsung dari sistem-sistem ADR
yang dibahas sebelumnya dalam bab ini; melainkan masing-masing dapat
dilihat sebagai mengintegrasikan elemen dari berbagai jenis mekanisme
ADR ke dalam proses penyelesaian unik yang dirancang khusus untuk
sistem Pemilu negara itu.
A. ADR Pemilu Tingkat ElitDi negara-negara yang baru bangkit dari konflik, aksi masyarakat internasional
dan dukungannya terhadap proses Pemilu kerap kali diperlukan. Dukungan
ini dapat berbentuk finansial, teknis, material dan bantuan lain dari
organisasi seperti Perserikatan Bangsa Bangsa, Uni Afrika, Uni Eropa,
berbagai organisasi regional, negara-negara yang bertindak secara bilateral
serta berbagai lembaga dan organisasi internasional lainnya. Mekanisme
internasional pencegahan dan manajemen konflik Pemilu juga dapat
berbentuk aksi sukarela, komite yang terdiri dari perwakilan yang secara
khusus dipilih dari berbagai negara, atau sebuah kelompok sementara (ad
hoc) mantan atau pejabat kepala negara.
Bab 6: Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
287
i. Komite Internasional yang Dikoordinasikan oleh PBB (UN
Coordinated International Committees)
Badan-badan ini dibentuk setelah munculnya krisis politik atau militer
tertentu, dan mewakili suatu kumpulan seluruh negara dan lembaga-
lembaga internasional yang memiliki kepentingan dalam penyelesaian
krisis dan dalam proses Pemilu yang mengikutinya. Beberapa contoh
termasuk Republik Demokratik Kongo, Comite International d’Appui a la
Transition (CIAT), yang terdiri dari 14 negara. Yang lebih baru lagi, komite
yang dinamakan serupa dibentuk untuk menangani krisis di Pantai Gading
pada tahun 2004-06.
ii. Misi Pemantau Khusus PBB (UN Special Observer Missions)
Misi-misi ini dibentuk untuk meningkatkan kredibilitas Pemilu dan untuk
memungkinkan dialog antara Divisi Pemilu PBB (UN Electoral Division)
yang mendukung proses Pemilu, pemerintah dan badan penyelenggara
Pemilu nasional. Suatu contoh dari misi-misi ini adalah di Sudan, dimana
PBB memantau referendum pemisahan pada Januari 2011.
iii. Panel atau Komite Para Orang Bijak (Panels or Committees of
the Wise)
Kelompok seperti ini sangat umum di Sub-Sahara Afrika, dan termasuk
utusan khusus yang mengawasi Pemilu dan memungkinkan dialog antara
para pemimpin partai politik dan kandidat. Umumnya, panel atau komite
ini terdiri dari mantan kepala negara. Panel terlibat di Afrika Selatan 1994,
Burundi 2005, Republik Afrika Tengah 2005, Liberia 2005-6, Republik
Demokratik Kongo 2006, Sudan 2009-10, dan Pantai Gading 2010.
iv. Program ADR Komisi Pemilu Federal AS (U.S. Federal Election
Commission ADR Program)
Komisi Pemilu Federal Amerika Serikat (Federal Election Commission/
FEC) telah membentuk sebuah sistem ADR domestik dimana tuduhan
pelanggaran Undang-undang Pemilu Federal kerap kali diselesaikan. Para
pihak yang kasusnya dirujuk oleh beberapa lembaga dibawah Komisi
diberikan kesempatan untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui
ADR. Jika pihak memilih untuk terlibat di dalam ADR, mereka menyetujui
untuk berpartisipasi dengan niat baik, sepakat untuk menunda ketentuan
288
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
kadaluarsa keberatan selama proses tersebut,433 dan berpartisipasi di
dalam perundingan dan mediasi berbasiskan kepentingan. ADR dimulai
dari negosiasi dimana pihak dan seorang Spesialis ADR pada Komisi
membahas sengketa dan berupaya untuk mencari sebuah penyelesaian.
Fokus penyelesaian bersifat korektif dan tujuan dari proses tersebut adalah
untuk memastikan kepatuhan di masa datang terhadap Undang-undang
Pemilu federal. Jika Spesialis dan pihak mencapai sebuah penyelesaian,
433 “ Menunda” menghitung mundur tenggat waktu (kadaluarsa) untuk memasukkan gugatan formal ke pengadilan. Tolling the statute of limitations selama proses ADR mencegah satu pihak yang bersengketa untuk menggunakan ADR sebagai taktik untuk menunda yang mencegah pihak lainnya mengajukan gugatan hukum dalam batas waktu yang ditetapkan oleh undang-undang. Jika proses ADR gagal untuk mencapai hasil yang dapat diterima oleh kedua belah pihak, maka penghitungan untuk tenggat waktu memasukkan gugatan dimulai lagi.
Pengalaman Burundi
Burundi menawarkan sebuah pandangan yang unik terhadap potensi ADR dalam menyelesaikan sengketa Pemilu. Burundi memiliki sebuah tradisi kuat “kaum bijak” lokal yang sangat dihormati yang disebut Bashingantah yang mengawasi penyelesaian sengketa dan mempertahankan perdamaian di antara masyarakat. Walaupun konsepnya serupa, Bashingantah berbeda dari “panel kaum bijak” (“panel of the wise”) di tingkat atas yang difokuskan pada perorangan lokal yang berpengaruh, yang menjaga penyelesaian sengketa dan memfokuskan pada kota ketimbang dipaksakan dari pemerintah pusat.
Sementara tradisi Bashingantah mulai pada abad ke-17, tradisi tersebut runtuh ketika negara ini berada di bawah jajahan kolonial dan tetap tidak aktif selama masa perang saudara. Akhir-akhir ini upaya telah dibuat untuk menghidupkan kembali institusi ini dan untuk memberinya kekuasaan yudisial terbatas. Sebagai suatu mekanisme ADR, Bashingantah merupakan sebuah gabungan mediasi dan arbitrase. Sebagaimana dalam mediasi, tujuan utama Bashingantah adalah untuk bekerjasama dengan para pihak untuk mencapai hasil yang disepakati dengan damai dan melibatkan dua belah pihak. Tidak seperti mediasi, Bashingantah seringkali menyelipkan “kebijaksanaan” mereka sendiri ke dalam proses dan berupaya untuk membujuk para pihak untuk mencapai penyelesaian tertentu. Jika terjadi kebuntuan, disarankan Bashingantah diberikan wewenang untuk mengambil keputusan yang mengikat para pihak yang bersengketa seperti halnya arbitrase tradisional. Kelompok penyelesaian sengketa tradisional yang serupa ada di negara-negara tetangga seperti Rwanda dan Republik Demokratik Kongo.
Bab 6: Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
289
maka kasus tersebut ditutup dengan persetujuan Komisi. Jika mereka tidak
mampu mencapai penyelesaian, maka beberapa kasus berlanjut ke mediasi.
Mediasi melibatkan seseorang yang tidak memihak yang memfasilitasi
negosiasi di antara perwakilan komisi dan tergugat. Komisi menyiapkan
sebuah daftar usulan mediator dan tergugat dipersilahkan untuk memilih
satu di antaranya. Mediasi sendiri umumnya berlangsung satu hari dan
mengharuskan mediator untuk berunding dengan tergugat dan Spesialis ADR
dari Komisi secara masing-masing dan/atau bersama-sama. Jika semua pihak
menolak mediasi, maka kasus dirujuk kembali ke proses penegakan hukum
tradisional. Lebih penting lagi, setiap informasi yang diungkapkan oleh tergugat
selama sesi negosiasi atau mediasi tidak dapat digunakan untuk melawannya
di dalam rangkaian persidangan mendatang. Setiap penyelesaian menjadi
catatan publik dan bersifat tidak membentuk preseden (non- precedential).
B. ADR Pemilu Tingkat Akar RumputSejumlah penyelesaian sengketa alternatif dan mekanisme manajemen
tersedia, selain mediasi, yang dapat diperkenalkan secara efektif kepada
tingkat akar rumput untuk berkontribusi pada hasil Pemilu yang dapat
dipercaya dan damai.
i. Komite Penghubung Partai (Party Liaison Committee /PLC)
Di banyak negara, lembaga-lembaga publik dibentuk untuk meningkatkan
arus komunikasi di antara para pihak, dan di antara para pihak dan badan
penyelenggara Pemilu. Mereka memberikan ruang gerak kepada partai
politik untuk menyelesaikan sengketa terkait Pemilu. Penting untuk
diperhatikan bahwa PLC hanya bersifat konsultatif dan keputusan akhir
tetap ada pada Badan Penyelenggara Pemilu, yang kerap kali merupakan
sebuah lembaga yang independen dan independen secara resmi dari
pengaruh partai politik. Negara-negara seperti Afrika Selatan, Burundi dan
Republik Demokratik Kongo menggunakan pendekatan ini.
ii. Panel Manajemen Sengketa -Institut Pemilu Untuk Demokrasi
Berkelanjutan (The Electoral Institute for the Sustainability of
Democracy in Africa (EISA) Conflict Management Panel-CMP)
Panel Manajemen Konflik (Conflict Management Panel ‘CMP’) merupakan
alat pencegahan konflik akar rumput dimana para pemimpin masyarakat,
290
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
wanita, generasi muda dan kaum beragama serta masyarakat tradisional
diberikan pelatihan keterampilan manajemen konflik untuk memungkinkan
mereka untuk mencegah, menyelesaikan dan mengelola konflik.
Pilihan mediator melibatkan proses konsultatif dengan para pemangku
kepentingan Pemilu. Dalam beberapa kesempatan tertentu, partai politik
menunjuk atau menyetujui orang yang dipilih. Badan Penyelenggara
Pemilu mengkoordinasikan CMP sementara memberikan mediator
kemandirian untuk melaksanakan programnya. Mediator merupakan
penjaga pencegahan sengketa Pemilu yang efektif (‘watchdog’) karena
umpan balik mareka tentang konflik atau potensi konflik memungkinkan
Badan Penyelenggara Pemilu untuk mengantisipasi atau segera merespon
resiko konflik yang potensial.
Mediator diturunkan sebelum, selama dan setelah Pemilu, dan secara
khusus siap pada Hari Pemungutan Suara untuk bergerak ke berbagai
tempat pemungutan suara serta tempat umum seperti pasar untuk campur
tangan dalam potensi konflik. Mediator menggunakan teknik mediasi,
negosiasi dan fasilitasi untuk menyelesaikan konflik. Menggunakan
mediasi di tingkat akar rumput memerlukan sebuah pendekatan yang
kreatif dan kesensitifan publik terhadap manfaat lingkungan yang damai
dimana Pemilu dapat diselenggarakan. Penggunaan teknologi, termasuk
telepon atau telepon genggam, pesan singkat, laporan tertulis atau lisan,
faksimili, surat eletronik, dan radio memungkinkan para mediator untuk
merespon konflik Pemilu dengan segera. Mediator juga melakukan
pemetaan dan menganalisis konflik yang berlangsung yang membantu
mengidentifikasi titik-titik panas (hot spot) potensial. CMP merupakan
kombinasi dari pencegahan konflik, manajemen konflik dan sebuah sistem
peringatan dini.
Model ini telah dilaksanakan secara luas dan berhasil di Afrika Selatan,
Lesotho, Republik Demokratik Kongo, Burundi dan Somalia dan saat ini
sedang berlangsung di Kenya. Dalam masa pasca-Pemilu, mediator juga
dilatih dan siap untuk mengambil bagian dalam sengketa sosial yang lebih
sederhana termasuk sengketa tanah, konflik rumah tangga dan isu-isu
pembangunan lokal.
Bab 6: Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
291
Kesimpulan
A. Pelajaran yang DiperolehPada negara-negara pasca-konflik, penggantian ADR secara bertahap
dengan penanganan keberatan formal akan berkontribusi pada proses
pendalaman proses-proses demokratis. Walaupun selalu akan ada tempat
bagi ADR, suatu masyarakat yang menghargai perbedaan pendapat akan
memanfaatkan sistem peradilan ketimbang mengandalkan mediasi baik
di tingkat atas ataupun akar rumput. ADR melengkapi sistem peradilan,
dan dalam beberapa situasi pada negara-negara rapuh, ADR menggantikan
kegagalan atau ketidakpercayaan yang meluas terhadap proses
peradilan. Suatu penurunan terhadap kebutuhan ADR Pemilu tidak hanya
menunjukkan bahwa konteks politiknya kurang diwarnai kekerasan tetapi
juga menunjukkan bahwa masyarakat bergerak menuju kenormalan dalam
pengertian menciptakan ruang bagi pandangan yang berbeda dan lembaga
demokratis yang menyelesaikan konflik melalui penyelesaian keberatan
menjadi lebih kuat.
B. Pertimbangan Politik dan PraktisSeperti yang telah dibahas di dalam bab ini, tidak seluruh sengketa layak
diselesaikan lewat mekanisme ADR. Penyelesaian hak-hak yang dijamin
(hak-hak dasar) harus selalu menjadi dibanding ke pengadilan banding yang
independen. Sifat ekstra-yudisial ADR juga dapat membuat kecurigaan
terhadap orang dan lembaga yang tidak terlibat di dalam proses. Hal ini
dapat menjadi bagian dari tawar menawar yang mengecualikan pihak-
pihak di luar proses. Namun, ketika sistem ADR bersifat transparan dan
dapat dipertanggungjawabkan serta memungkinkan peran serta yang
maksimum, maka kelemahan ini dapat diatasi secara memadai.
292
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Kelayakan Sistem ADR Pemilu
Faktor Pendukung ADR
•Pemiludilaksanakandalamlingkunganpasca-konflikataunegaragagaldimanasengketa Pemilu dapat menjadi pemicu kekerasan. Hal ini khususnya terjadi pada Pemilu yang melibatkan partai-partai politik yang mayoritas beraliansi etnik, agama atau bahasa daripada ideologi.
•Terdapatketimpanganyangkuatantarpolitikataubudayakota/desaataudaerah/pusat.
•Terdapatketidakpercayaanyangkuatterhadapperadilanatauterdapatisuaksesyang melemahkan legitimasi sistem pengadilan.
•TerdapattradisiberbentuksemacamADRyangadadinegaratersebutuntukmenghadapi berbagai sengketa non-politik seperti, sengketa lahan, konflik keluarga, warisan, atau kejahatan kecil.
•Pemiluadalahuntukmemilihjabatantunggalataumenggunakanmodelpemenangmengambil semua (winner-take-all) dimana pihak yang kalah akan sebagian besar atau sama sekali tidak terwakili. Sama halnya, isu-isu yang melibatkan pembagian secara adil/proporsional dan perwakilan (apportionment and delineation).
•Risikoutamapencabutanhakpilih,kecuranganatauintimidasipemilihberasaldaritindakan perorangan pribadi atau partai politik daripada melalui tindakan pejabat pemerintah, penyelenggara atau birokrasi.
•PenegakanhasilADRadalahmelaluitindakansukarelapihakyangbersengketa.
Faktor Penentang ADR
•Negaramemilikisistemperadilanatausistemadministrasiyangkuat,dapatdipercayadan mandiri yang dapat diandalkan untuk menyidangkan atau menyelesaikan keberatan Pemilu dengan cara yang adil dan tepat waktu.
•Pihakyangbersengketamemilihuntukmemperolehputusanformalyangmemilikikekuatan preseden secara formal. Sebagian besar metode ADR melihat presenden sebagai persuasif ketimbang mengikat, dan memperlakukan hasil mereka seperti itu.
•Sengketamelibatkanhakpolitikdasaratauhakasasimanusiayangtelahdilanggaroleh tindakan pemerintah atau lembaga.
•Parapihakakanperluuntukmengandalkanpemerintahuntukmenegakkankeputusansecara administratif atau melalui penggunaan kekuasaan kepolisian. Hal ini termasuk mengandalkan pemerintah untuk secara sukarela menegakkan keputusannya.
•ParapihakyangbersengketatidakdapatdiwakilisecaramemadaididalamprosesADR.
Bab 6: Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
293
Daftar Periksa Rekomendasi
Daftar periksa berikut ini akan memungkinkan para pemberi bantuan
teknis untuk memahami faktor-faktor yang seharusnya dimasukkan dalam
rancangan sebuah sistem ADR yang efektif.
√ Identifikasi pemangku kepentingan: Adalah perlu untuk
menentukan pertama-tama siapa yang dapat berpartisipasi dalam
proses ADR dan bagaimana para pemangku kepentingan dapat
dikumpulkan dalam sebuah sesi ADR
√ Identifikasi dan pelatihan mediator: Adalah penting untuk
menentukan siapa yang akan memenuhi syarat untuk mengawasi
proses ADR, dan pelatihan apa yang mereka terima sebelum Pemilu.
Akankah mediator atau penengah konflik ditunjuk oleh pemerintah
nasional, dipilih oleh pemerintah daerah, atau dipekerjakan dari
perusahaan mediasi swasta?
√ Penilaian pemangku kepentingan: Sebuah sistem harus dibangun
untuk mengevaluasi hasil proses ADR dalam rangka meningkatkan,
memperluas, atau jika diperlukan, menghapus kerangka
ADR seluruhnya.
√ Hukum Acara: Para pembuat kebijakan seharusnya menciptakan
aturan hukum acara bagi sesi ADR sehingga para pemangku
kepentingan mengetahui apa yang dapat diharapkan sebelum sesi
dan sehingga mediator atau penengah tidak akan harus membuat
aturan dan keputusan sementara (ad hoc). ADR tidak perlu memiliki
aturan seketat atau seformal pengadilan, tetapi seharusnya memiliki
suatu struktur dalam rangka memberikan arti dan legitimasi
terhadap prosesnya.
√ Cakupan: Para pembuat kebijakan seharusnya menentukan topik,
materi, saksi dan masalah apa yang dapat dibahas dalam sebuah sesi
ADR dan apa yang akan dihilangkan.
294
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
√ Hak gugat: Penting untuk menentukan siapa para pemangku
kepentingan yang dapat menggunakan sistem ADR (partai politik,
pemantau dan petugas Pemilu domestik, atau pemilih perorangan),
juga jika media, pemantau internasional atau pihak ketiga diizinkan
untuk memulai sesi ADR di antara dua pemangku kepentingan lainnya.
√ Pihak-pihak yang tidak terwakili: Di dalam prosedur ADR
non-pengadilan (contohnya prosedur selain arbitrase mengikat),
penyelesaian kerapkali berbentuk kesepakatan sukarela di antara
para pihak. Jika tidak seluruh pihak yang terwakili di dalam proses
ADR, maka hak mereka dapat dipengaruhi oleh penyelesaian tanpa
persetujuan mereka.
√ Transparansi: Proses ADR kerapkali dilakukan secara rahasia untuk
memungkinkan pertukaran yang jujur tentang berbagai prioritas dan
kepentingan antara para pihak yang bersengketa. Untuk sebuah
proses publik, seperti halnya Pemilu, kerahasiaan seperti ini ini
mungkin tidak layak.
√ Preseden: Proses ADR sejatinya tidak berujung pada preseden
yang mengikat. Pada kenyataanya, hal ini kerap menjadi salah satu
keuntungan yang dirasakan. Namun, dalam konteks Pemilu hal ini
mungkin tidak layak, karena sebagian pembentukan prinsip negara
hukum mungkin termasuk memastikan bahwa keberatan yang
serupa akan ditangani dengan cara yang sama di masa mendatang.
√ Interaksi dengan pengadilan: Sistem ADR sering memberikan opsi
kepada sistem pengadilan sebagai forum untuk banding terakhir. Di
bawah kondisi seperti itu, menjadi penting untuk menentukan apa
yang menjadi standar untuk peninjauan, dan apakah kesepakatan
yang dicapai oleh dua pemangku kepentingan terhadap keberatan
tertentu dapat digugat oleh pihak lainnya.
√ Beban pembuktian dan standar pembuktian: Proses ADR biasanya
tidak mengatur rincian aturan pembuktian atau menempatkan beban
pembuktian khusus pada masing-masing pihak yang bersengketa.
Jika terdapat sebuah proses banding terhadap sistem pengadilan
formal, penentuan bagaimana kurangnya konsep ini diterjemahkan
menjadi sangat penting.
Lampiran
AKutipan berbagai traktat dan konvensi internasional dan regional
Appendix A
297
Berbagai Traktat dan Deklarasi Badan Perserikatan Bangsa Bangsa
Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia1
Pasal 8Setiap orang berhak atas pemulihan yang efektif dari tribunal nasional yang
kompeten untuk tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak dasar yang
diberikan kepadanya oleh konstitusi atau oleh undang-undang.
Pasal 10 Setiap orang dalam persamaan yang penuh, berhak atas peradilan yang
adil dan terbuka oleh tribunal yang mendiri dan tidak memihak, dalam
menetapkan hak dan kewajiban-kewajibannya serta dalam setiap tuntutan
pidana yang dijatuhkan kepadanya.
Pasal 11(1) Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan suatu tindak
pidana dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya
menurut hukum dalam suatu sidang terbuka, di mana dia memperoleh
semua jaminan yang diperlukan untuk pembelaannya.
(2) Tidak seorang pun boleh dipersalahkan melakukan tindak pidana
karena perbuatan atau kelalaian yang bukan merupakan suatu tindak
pidana menurut undang-undang nasional atau internasional, ketika
perbuatan tersebut dilakukan. Juga tidak diperkenankan menjatuhkan
hukuman yang lebih berat daripada hukum yang seharusnya dikenakan
ketika pelanggaran pidana itu dilakukan.
Pasal 20(1) Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan
berserikat tanpa kekerasan.
(2) Tidak seorang pun boleh dipaksa untuk memasuki suatu perkumpulan.
1 Universal Declaration of Human Rights, G.A.. Res. 217 (III) A, U.N. Doc. A/RES/217 (III) (10 Des, 1948), dapat dilihat di http://www/un/org/en/documents/udhr.
298
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pasal 21
(1) Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negaranya,
secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.
(2) Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat
dalam jabatan pemerintahan negaranya.
(3) Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah;
kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilu yang dilaksanakan
secara berkala dan murni, dengan hak pilih yang bersifat umum dan
sederajat, dengan pemungutan suara secara rahasia ataupun dengan
prosedur lain yang menjamin kebebasan memberikan suara.
Kovenan Internasional Hak Hak Sipil dan Politik2
Pasal 2(1) Setiap Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati dan
menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini bagi semua orang
yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya,
tanpa perbedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau
sosial, kekayaan, kelahiran atau status sosial lainnya.
(2) Apabila belum diatur dalam ketentuan perundang-undangan atau
kebijakan lainnya yang ada, setiap Negara Pihak dalam Kovenan ini
berjanji untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai
dengan proses konstitusinya dan dengan ketentuan-ketentuan dalam
Kovenan ini, untuk menetapkan ketentuan perundang-undangan atau
kebijakan lain yang diperlukan untuk memberlakukan hak-hak yang
diakui dalam Kovenan ini.
(3) Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji;
(a) Menjamin bahwa setiap orang yang hak-hak atau kebebasannya
diakui dalam Kovenan ini dilanggar, akan memperoleh upaya
pemulihan yang efektif, walaupun pelanggaran tersebut dilakukan
oleh orang-orang yang bertindak dalam kapasitas resmi;
(b) Menjamin, bahwa setiap orang yang menuntut upaya pemulihan
tersebut harus harus ditentukan hak-haknya itu oleh lembaga
2 International Covenant on Political Rights, G.A. Res. 2200(XXI) A, U.N. GAOR, 21st Sess., Supp. No. 16, di 52 (16 Des, 1966), 999 U.N.T.S. 171 (diberlakukan pada 23 Mar, 1996), dapat dilihat di http://www2.ohcr.org/english/law/ccpr.htm.
Appendix A
299
peradilan, administratif, atau legislatif yang berwenang, atau oleh
lembaga berwenang lainnya yang diatur oleh sistem hukum Negara
tersebut, dan untuk mengembangkan segala kemungkinan upaya
penyelesaian peradilan;
(c) Menjamin, bahwa lembaga yang berwenang tersebut akan
melaksanakan penyelesaian demikian apabila dikabulkan.
Pasal 9(1) Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak
seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang.
Tidak seorangpun dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan
alasan-alasan yang sah, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan
oleh hukum.
(2) Setiap orang yang ditangkap wajib diberitahu pada saat
penangkapannya dan harus sesegera mungkin diberitahu mengenai
tuduhan yang dikenakan terhadapnya.
(3) Setiap orang yang ditahan berdasarkan tuduhan pidana, wajib segera
dihadapkan ke pengadilan atau pejabat lain yang diberi kewenangan
oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan, dan berhak
untuk diadili dalam jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan. Bukan
merupakan suatu ketentuan umum, bahwa orang yang menunggu
diadili harus ditahan, tetapi pembebasan dapat diberikan atas dasar
jaminan untuk hadir pada waktu sidang, pada setiap tahap pengadilan
dan pada pelaksanaan putusan, apabila diputuskan demikian.
(4) Setiap orang yang telah dirampas kebebasannya melalui
penangkapan atau penahanan, berhak untuk membawa masalahnya
ke pengadilan, supaya pengadilan dapat memutuskan tanpa adanya
penundaan, keabsahan dari penahanan tersebut dan memerintahkan
pembebasanya apabila penahanan tidak sah.
Pasal 10(1) Setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara
manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada
diri manusia.
(2) (a) Tersangka, kecuali dalam keadaan-keadaan sangat khusus, harus
dipisahkan dari orang yang telah dipidana, dan diperlakukan
300
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
secara berbeda sesuai dengan statusnya sebagai orang yang
belum dipidana;
(b) Terdakwa di bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan
secepat mungkin segera dihadapkan ke sidang pengadilan.
(3) Sistem pemasyarakatan harus memiliki tujuan utama memperbaiki
dan melakukan rehabilitasi sosial dalam memperlakukan narapidana.
Terpidana di bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan
diperlakukan sesuai dengan usia dan status hukum mereka.
Pasal 11Tidak seorangpun dapat dipenjara semata-mata atas dasar
ketidakmampuannya untuk memenuhi suatu kewajiban yang muncul dari
perjanjian.
Pasal 14(1) Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan
dan tribunal. Dalam menentukan tuduhan pidana terhadapnya, atau
dalam menentukan segala hak dan kewajibannya dalam suatu gugatan
hukum, setiap orang berhak atas persidangan yang adil dan terbuka
untuk umum, oleh suatu tribunal yang berwenang, mandiri dan tidak
memihak serta dibentuk oleh undang-undang. Media dan masyarakat
dapat dilarang untuk mengikuti seluruh atau sebagian sidang karena
alasan moral, ketertiban umum atau keamanan nasional dalam suatu
masyarakat yang demokratis atau apabila atas nama kepentingan
pribadi dari para pihak benar-benar diperlukan, atau sampai sampai
kepada tingkatan dianggap amat diperlukan menurut pendapat
pengadilan dalam keadaan yang khusus, dimana publikasi justru akan
merugikan kepentingan keadilan itu sendiri; namun setiap keputusan
yang diambil dalam perkara pidana maupun perdata harus diucapkan
dalam sidang yang terbuka, kecuali bilamana kepentingan anak-anak
menentukan sebaliknya, atau apabila persidangan tersebut berkenaan
dengan perselisihan perkawinan atau perwalian anak-anak.
(2) Setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana berhak untuk
dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan menurut
undang-undang.
Appendix A
301
(3) Dalam pemeriksaan tindak pidana yang dituduhkan padanya, setiap
orang berhak atas jaminan-jaminan minimal berikut ini, dengan
persamaan penuh:
(a) untuk diberitahukan secepatnya dengan secara rinci dalam
bahasa yang dipahaminya, tentang sifat dan alasan tuduhan yang
dikenakan terhadapnya;
(b) untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk
mempersiapkan pembelaan dan berhubungan dengan pengacara
yang dipilihnya sendiri;
(c) untuk diadili tanpa penundaan yang semestinya;
(d) untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk membela diri secara
langsung atau melalui pembela yang dipilihnya sendiri, untuk
diberitahukan tentang hak ini bila ia tidak mempunyai pembela;
dan untuk mendapatkan pembela ditunjuk kepadanya, dalam hal
diperlukan demi kepentingan keadilan, dan tanpa membayar jika ia
tidak mempunyai dana yang cukup untuk membayarnya;
(e) untuk memeriksa atau meminta diperiksanya saksi-saksi yang
memberatkannya dan meminta dihadirkan dan diperiksanya saksi-
saksi yang meringankannya, dengan syarat-syarat yang sama
dengan saksi-saksi yang memberatkannya.
(f) Untuk mendapatkan bantuan cuma-cuma dari penerjemah apabila
ia tidak mengerti atau tidak dapat berbicara dalam bahasa yang
digunakan di pengadilan;
(g) Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan
dirinya, atau dipaksa mengaku bersalah.
(4) Dalam kasus dibawah umur, prosedur yang dipakai harus
mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk mendorong
rehabilitasi bagi mereka.
(5) Setiap orang yang dijatuhi hukuman berhak atas peninjauan kembali
terhadap keputusannya atau hukumannya oleh tribunal yang lebih
tinggi sesuai dengan undang-undang.
(6) Apabila seseorang telah dijatuhi hukuman dengan keputusan hukum
yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan apabila
kemudian ternyata diputuskan sebaliknya atau diampuni berdasarkan
suatu fakta baru, atau fakta yang baru saja ditemukan menunjukkan
secara meyakinkan bahwa telah terjadi kesalahan dalam proses
penegakan keadilan, maka orang yang telah menderita hukuman
302
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
sebagai akibat dari penuntutan tersebut harus diberi ganti rugi menurut
undang-undang, kecuali jika dibuktikan bahwa tidak terungkapnya
fakta yang tidak diketahui itu, sepenuhnya atau sebagian disebabkan
karena dirinya sendiri.
(7) Tidak seorang pun dapat diadili atau dihukum kembali untuk tindak
pidana dimana ia telah dihukum atau dibebaskan, sesuai dengan
undang-undang dan hukum acara pidana di masing- masing negara.
Pasal 15(1) Tidak seorang pun dapat dinyatakan bersalah atas suatu tindak
pidana karena melakukan atau tidak melakukan tindakan yang bukan
merupakan tindakan pidana pada saat dilakukannya, baik berdasarkan
hukum nasional maupun internasional. Tidak pula diperbolehkan
untuk menjatuhkan hukuman yang lebih berat daripada hukuman
yang berlaku pada saat tindak pidana tersebut dilakukan. Apabila
setelah dilakukannya suatu tindak pidana muncul ketentuan yang lebih
ringan hukumnya, maka pelaku harus mendapatkan keuntungan dari
ketentuan tersebut.
(2) Tidak ada satu hal pun dalam Pasal ini yang dapat merugikan
persidangan dan penghukuman terhadap seseorang atas tindakan
yang dilakukan atau yang tidak dilakukan, yang pada saat hal itu terjadi
masih merupakan suatu tindak pidana menurut asas-asas hukum
yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
Pasal 16
Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum
dimanapun ia berada.
Pasal 22
(1) Setiap orang berhak atas kebebasan untuk berserikat dengan orang
lain, termasuk hak untuk membentuk dan bergabung dalam serikat
pekerja untuk melindungi kepentingannya.
(2) Tidak diperkenankan untuk membatasi pelaksanaan hak ini, kecuali
yang telah diatur oleh undang-undang, dan yang diperlukan dalam
masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan
keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan kesehatan
dan moral umum, atau perlindungan atas hak dan kebebasan dari
Appendix A
303
orang lain. Pasal ini tidak boleh mencegah diberikannya pembatasan
yang sah bagi anggota angkatan bersenjata dan kepolisian dalam
melaksanakan hak ini.
(3) Tidak ada satu hal pun dalam Pasal ini yang memberikan kewenangan
kepada Negara Pihak pada Konvensi Organisasi Buruh Internasional
tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan atas
Hak Berserikat untuk mengambil tindakan legislatif atau menerapkan
hukum sedemikian rupa, sehingga dapat mengurangi jaminan-jaminan
yang diberikan dalam Konvensi tersebut.
Pasal 25Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa
pembedaan apapun sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa
pembatasan yang tidak layak, untuk :
(a) Ikut serta dalam urusan pemerintahan, baik secara langsung
maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas;
(b) Memlilih dan dipilih pada pemilu berkala yang murni, dan dengan
hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui
pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan
untuk menyatakan keinginan dari para pemilih.
(c) Memperoleh akses pada pelayanan umum di negaranya atas
dasar persamaan dalam arti umum.
Konvensi Internasional Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial3
Pasal 5Sesuai dengan kewajiban-kewajiban dasar yang ditetapkan dalam pasal 2
Konvensi ini, maka Negara Peserta berusaha melarang dan menghapus
diskriminasi rasial dalam segala bentuknya dan menjamin hak setiap orang
dimuka hukum, tanpa pembedaan mengenai ras, warna kulit, atau asal-
usul khususnya, dalam menikmati hak-hak berikut:
(a) Hak atas perlakuan yang sama di depan tribunal dan semua organ
lain yang melaksanakan peradilan;
3 International Convention o the Elimination of All Forms of Racial Discrimination, G.A. Res. 2106 (XX), U.N. GAOR, 20th Sess., Supp. No. 14, U.N. Doc. A/6014, di 47 (21 Des, 1965), 660 U.N.T.S. 195 (diberlakukan 4 Jan, 1969), tersedia di http://www2.ohcr.org/english/law/cerd.htm.
304
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
(b) Hak atas keamanan pribadi dan perlindungan oleh Negara
terhadap kekerasan atau pelanggaran atau kerugian materi,
apakah ditimbulkan oleh pejabat pemerintah atau oleh kelompok
individu atau lembaga mana pun;
(c) Hak-hak politik, terutama hak-hak untuk ikut serta dalam pemilihan
– untuk memberikan suara dan menjadi calon dalam pemilihan
– atas dasar hak pilih yang universal dan sama, untuk ikut serta
dalam Pemerintahan dan juga dalam melaksanakan urusan-urusan
Negara pada tingkat apa pun dan mempunyai akses yang sama
terhadap pelayanan umum;
(d) Hak-hak sipil lainnya, terutama:
(i) Hak atas kebebasan bergerak dan bertempat tinggal di dalam
perbatasan Negara;
(ii) Hak untuk meninggalkan negara mana pun, termasuk
negaranya sendiri, dan kembali ke negaranya;
(iii) Hak atas kewarganegaraan
(iv) Hak atas perkawinan dan memilih suami/istri;
(v) Hak untuk memiliki harta kekayaan baik sendirian dan juga
dalam berhimpun dengan orang-orang lain;
(vi) Hak untuk menerima warisan;
(vii) Hak atas kebebasan berpikir, hati nurani dan beragama;
(viii) Hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi;
(ix) Hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat dengan damai;
(e) Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya terutama:
(i) Hak-hak atas pekerjaan, pemilihan pekerjaan dengan bebas,
syarat-syarat pekerjaan yang adil dan menguntungkan,
perlindungan terhadap pengangguran, atas upah yang
sama untuk pekerjaan yang sama, atas penggajian yang adil
dan menguntungkan;
(ii) Hak untuk membentuk dan menjadi anggota serikat sekerja;
(iii) Hak atas perumahan;
(iv) Hak atas kesejahteraan umum, perawatan kesehatan,
jaminan sosial dan pelayanan sosial;
(v) Hak atas pendidikan dan pelatihan;
(vi) Hak untuk berpartisipasi yang sama dalam aktivitas-
aktivitas kebudayaan;
Appendix A
305
(vii) Hak atas akses ke tempat mana pun atau pelayanan apa
pun yang ditujukan untuk penggunaan oleh khalayak umum,
seperti pengangkutan, hotel, restoran, kafe, gedung bioskop
dan taman.
Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya4
Pasal 2(1) Setiap Negara Pihak dalam Kovenan ini, berjanji untuk mengambil
langkah-langkah, baik secara individual maupun melalui bantuan dan
kerjasama internasional, khususnya dibidang ekonomi dan teknis
sepanjang tersedia sumber dayanya, untuk secara progresif mencapai
perwujudan penuh dari hak-hak yang diakui oleh Kovenan ini dengan
cara-cara yang memungkinkan, termasuk khususnya pengambilan
langkah-langkah legislatif.
(2) Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk menjamin bahwa hak-
hak yang diatur dalam Kovenan ini akan dilaksanakan tanpa diskriminasi
apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik
atau pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan,
kelahiran atau status lainnya.
(3) Negara-negara berkembang, dengan memperhatikan hak asasi
manusia dan perekonomian nasionalnya, dapat menentukan sampai
seberapa jauh mereka dapat menjamin hak-hak ekonomi yang diakui
dalam Kovenan ini kepada warga negara asing.
Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan5
Pasal 7Negara-negara peserta wajib melakukan upaya-upaya yang tepat untuk
menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik
4 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, G.A. Res. 2200 (XXI) A, U.N. GAOR, 21st Sess, Supp. No. 16, U.N. Doc. A/6316, di 49 (16 Des, 1966) 993 U.N.T.S. 3 (diberlakukan 3 Jan, 1976), dapat dilihat di http://www2.ohchr.org/English/law/cesr.htm.
5 U.N. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women, G.A. Res, 34/180, U.N. GAOR, 34th Sess, Supp No. 46, U.N. Doc A/34/46, di 193 (18 Des, 1979), dapat dilihat di http://www.un.org/womenwatch/daw/cedaw/text/convention.htm.
306
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
dan kehidupan kemasyarakatan negaranya, khususnya menjamin bagi
perempuan atas dasar persamaan dengan laki-laki, hak:
(a) untuk memilih pada seluruh pemiliu dan referendum publik dan
untuk dapat dipilih pada semua badan publik yang dipilih;
(b) untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah
dan pelaksanaannya, memegang jabatan dalam pemerintahan dan
melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkat;
(c) untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan
perkumpulan non-pemerintah yang bergerak dalam bidang
kehidupan publik dan politik negara
Pasal 8Negara-negara peserta wajib melakukan upaya-upaya yang tepat untuk
memastikan kesempatan bagi perempuan untuk mewakili pemerintah
mereka pada tingkat international dan untuk berpartisipasi dalam pekerjaan
organisasi-organisasi international atas dasar persamaan dengan laki-laki
tanpa suatu diskriminasi.
Pasal 9(1) Negara-negara peserta wajib memberi kepada perempuan hak
yang sama dengan laki-laki untuk memperoleh, mengubah atau
mempertahankan kewarganegaraannya. Negara-negara peserta
khususnya wajib menjamin bahwa perkawinan dengan orang
asing maupun perubahan kewarganegaraan oleh suami selama
perkawinan tidak secara otomatis mengubah kewarganegaraan
isteri, menjadikannya tidak berkewarganegaraan atau memaksakan
kewarganegaraan suaminya kepadanya.
(2) Negara-negara peserta wajib memberi kepada perempuan hak yang
sama dengan laki-laki berkenaan kewarganegaraan anak-anak mereka.
Appendix A
307
Komentar Umum Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Kovenan Internasional Hak Hak Sipil dan Politik (ICCPR)
Komentar Umum No. 13 Pasal 14 Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa6
11. Subayat 3 (g) menentukan bahwa si tertuduh tidak dapat dipaksa
agar memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, atau dipaksa
mengakui kesalahannya. Dalam mempertimbangkan jaminan ini,
ketentuan-ketentuan pasal 7 dan pasal 10, ayat 1, harus diingat
kembali. Guna memaksa si tertuduh untuk mengakui kesalahannya
atau memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, seringkali
digunakan metode-metode yang melanggar ketentuan-ketentuan
tersebut. Undang-undang harus menentukan bahwa bukti-bukti yang
diperoleh dengan cara-cara tersebut atau bentuk-bentuk pemaksaan
lain tidak dapat diterima sama sekali.
17. Pasal 14, ayat 5, menentukan bahwa setiap orang yang dijatuhi
hukuman pidana berhak untuk memperoleh banding terhadap
putusan atau hukumannya oleh tribunal yang lebih tinggi, sesuai
dengan undang-undang. Perhatian khusus diberikan pada istilah lain
dari kata “kejahatan” (“pelanggaran/infraction”, “delito”, prestuplenie”)
yang menunjukkan bahwa jaminan ini tidak sepenuhnya terbatas
pada kejahatan yang paling serius. Dalam hal ini, Negara-negara
Pihak belum memberikan informasi yang cukup mengenai prosedur
banding, khususnya akses terhadap dan kewenangan tribunal banding,
persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi untuk mengajukan
banding atas suatu putusan, serta bagaimana prosedur tribunal
banding mempertimbangkan persyaratan mengenai persidangan
yang adil dan terbuka sesuai dengan pasal 14 ayat 1.
6 U.N. Human Rights Comm., CCPR General Comment No. 13, Pasal. 14: Equality Before The Courts and The Right to A Fair and Public Hearing By An Independent Court Established By Law, U.N. Doc. HRI/GEN/1/Rev. 1 di 14 (1994) (13 April, 1984) (digantikan oleh General Comment No. 32), dapat dilihat di http://www/unhcr.ch/tbs/doc.nsf/0/bb722416a295f-264c12563ed0049dfbd.
308
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa, Komentar Umum No. 25 tentang Pasal 257
11. Negara wajib melakukan tindakan perbaikan yang efektif untuk
menjamin bahwa setiap orang yang memiliki hak pilih dapat
melaksanakan haknya tersebut. Jika pendaftaran pemilih diharuskan,
hal tersebut seharusnya difasilitasi dan berbagai hambatan terhadap
pendaftaran tersebut, tidak seharusnya dibebankan. Jika persyaratan
kependudukan diterapkan pada pendaftaran, persyaratan tersebut
harus masuk akal, dan tidak seharusnya dibebankan dengan cara yang
dapat mengecualikan tuna wisma dari hak pilih. Setiap intervensi yang
berlebihan terhadap pendaftaran atau pemungutan suara demikian
juga intimidasi atau pemaksaan terhadap pemilih seharusnya dilarang
oleh undang-undang pidana dan undang-undang tersebut seharusnya
ditegakkan dengan tegas. Pendidikan pemilih dan kampanye
pendaftaran merupakan hal yang wajib untuk menjamin pelaksanaan
hak yang efektif pasal 25 oleh masyarakat yang memiliki pengetahuan.
17. Hak seseorang untuk maju dalam pemilu seharusnya tidak dibatasi
secara tidak masuk akal dengan mewajibkan calon untuk menjadi
anggota partai atau partai tertentu. Jika calon ini diwajibkan untuk
memiliki sejumlah minimum pendukung untuk pencalonannya,
persyaratan ini seharusnya masuk akal dan tidak menjadi penghambat
bagi pencalonannya. Tanpa praduga terhadap ayat (1) pasal 5 dari
Kovenan, opini politik tidak boleh digunakan sebagai dasar untuk
menghalangi seseorang dari hak untuk maju dalam pemilu.
20. Sebuah otoritas pemilu yang independen harus dibentuk untuk
mengawasi proses pemilu dan untuk menjamin bahwa hal tersebut
dilaksanakan secara adil, tidak memihak dan sesuai dengan undang-
undang yang telah ada yang sesuai dengan Kovenan. Negara
seharusnya mengambil tindakan untuk menjamin persyaratan
kerahasiaan pemungutan suara selama pemilu, termasuk suara
orang yang tidak hadir, dimana sistem tersebut ada. Hal ini berarti
para pemilih seharusnya dilindungi dari setiap bentuk pemaksaan atau
7 UN Human Rights Comm., Covenant on Civil and Political Rights (CCPR) General Comment No. 25, Pasal 25: The Right to Participated in Public Affairs, Voting Rights and the Rights of Equal Access to Public Service, CCPR/C/21/Rev.1/Add.7 (12 Juli, 1996), dapat dilihat di http://www.unhcr.org/refworld/docId/453883fc22.html.
Appendix A
309
keterpaksaan untuk mengungkapkan bagaimana mereka bermaksud
memilih atau bagaimana mereka memilih, dan dari setiap intervensi
yang melanggar hukum atau sewenang-wenang dengan proses
pemungutan suara. Pengabaian hak ini tidak sesuai dengan pasal 25
Kovenan. Keamanan kotak suara harus dijamin dan suara harus dihitung
dengan kehadiran para kandidat atau perwakilannya. Seharusnya
juga terdapat pemeriksaan independen dari proses pemungutan
dan penghitungan suara untuk banding yudisial atau proses lainnya
yang setara sehingga para pemilih memiliki kepercayaan dalam
keamanan surat suara dan penghitungan surat suara. Bantuan yang
diberikan kepada para penyandang cacat, tuna netra atau tuna aksara
seharusnya bersifat independen. Pemilih seharusnya diberitahukan
sepenuhnya mengenai jaminan ini.
25. Komunikasi bebas atas informasi dan ide tentang isu-isu publik dan
politik diantara warga negara, para calon dan perwakilan terpilih
merupakan hal yang mutlak. Hal ini membuktikan pers yang bebas
dan media yang lain dapat berkomentar tentang isu-isu publik tanpa
sensor atau pembatasan dan untuk menginformasikan opini publik.
Komentar Umum No. 31 tentang Pasal 2 Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa8
15. Pasal 2 ayat 3 mewajibkan bahwa, sebagai tambahan atas
perlindungan efektif atas hak-hak yang diakui dalam Kovenan, Negara-
negara Pihak harus menjamin bahwa individu-individu juga memiliki
akses terhadap upaya-upaya pemulihan yang efektif guna menuntut
hak-hak tersebut. Upaya-upaya pemulihan tersebut harus disesuaikan
dengan mempertimbangkan kondisi kerentanan khusus beberapa
kategori orang-orang, termasuk anak-anak pada khususnya. Komite
menekankan pentingnya bagi Negara-negara Pihak untuk membentuk
mekanisme-mekanisme yudisial dan administratif dalam hukum
nasional guna menangani pengaduan-pengaduan terkait dengan
pelanggaran hak-hak tersebut. Komite mencatat bahwa pemanfaatan
atas hak-hak yang diakui oleh Kovenan dapat dijamin secara efektif
8 U.N. Human Rights Committee, General Comment No. 31 [80] Nature of the General Legal Obligation Imposed on State Parties to the Covenant, 26 Mei, 2004, CCPR/C/21/Rev.1/Add. 13, dapat dilihat di http://www.unhcr.ch/tbs/doc.nsf/(Symbol)/CCPR.C.21.Rev 1. Add 13. En
310
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
oleh sistem peradilan (judiciary) dalam berbagai cara yang berbeda,
termasuk penerapan Kovenan secara langsung sebagai hukum
nasional, penerapan konstitusi atau ketentuan-ketentuan hukum
lain yang setara, atau penafsiran dampak Kovenan dalam penerapan
hukum nasional. Secara khusus, mekanisme-mekanisme administratif
dibutuhkan guna memberikan dampak pada kewajiban umum untuk
menyelidiki tuduhan-tuduhan akan pelanggaran dengan segera,
menyeluruh, dan efektif melalui badan-badan yang bersifat mendiri
dan tidak memihak. Institusi-institusi hak asasi manusia nasional,
yang diberikan kewenangan yang selayaknya, dapat melakukan hal
tersebut. Kegagalan suatu Negara Pihak untuk menyelidiki tuduhan-
tuduhan pelanggaran adalah suatu pelanggaran terhadap Kovenan.
Penyelesaian terhadap pelanggaran yang terus-menerus berlangsung
merupakan unsur penting dari hak atas upaya pemulihan yang efektif.
16. Pasal 2 ayat 3 mewajibkan Negara-negara Pihak untuk memberikan
kompensasi bagi individu-individu yang hak-haknya sebagaimana
diatur Kovenan telah dilanggar. Tanpa pemberian kompensasi kepada
individu-individu yang hak-haknya telah dilanggar tersebut, maka
kewajiban untuk menyediakan upaya pemulihan yang efektif, yang
penting bagi efektivitas penerapan pasal 2 ayat 3, belum dilaksanakan.
Sebagai tambahan bagi pemberian kompensasi yang dinyatakan secara
tegas di pasal 9 ayat 5 dan pasal 14 ayat 6, Komite mempertimbangkan
bahwa Kovenan menentukan tentang pemberian kompensasi yang
selayaknya. Komite mencatat bahwa pemberian kompensasi dapat
berupa restitusi, rehabilitasi, dan langkah-langkah yang memuaskan
seperti misalnya permintaan maaf secara publik, peringatan umum,
jaminan bahwa pelanggaran tidak akan diulangi, dan perubahan
terhadap hukum dan praktik yang berkaitan, serta membawa para
pelaku pelanggaran hak asasi manusia ke hadapan pengadilan.
Appendix A
311
Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa Komentar Umum No. 32 tentang Pasal 149
47. Pasal 14, ayat 5 dilanggar tidak hanya jika keputusan oleh pengadilan
di tingkat pertama bersifat final, tetapi juga dimana vonis bersalah
dijatuhkan oleh pengadilan banding atau pengadilan tingkat final,
setelah divonis bebas oleh pengadilan yang lebih rendah, menurut
undang-undang domestik, tidak dapat ditinjau oleh pengadilan yang
lebih tinggi. Dimana pengadilan tertinggi dari sebuah negara bertindak
sebagai yang pertama dan satu-satunya, ketiadaan hak untuk meninjau
oleh tribunal yang lebih tinggi tidak digantikan oleh fakta bahwa kasus
tersebut diproses tribunal tinggi (supreme tribunal) dari Negara pihak
yang berkepentingan; sistem tersebut tidak sesuai dengan Kovenan
tersebut, kecuali pihak Negara yang berkepentingan telah membuat
penolakan terhadap efek ini.
48. Hak untuk memvonis orang bersalah dan dihukum ditinjau oleh
tribunal yang lebih tinggi di bawah Pasal 14, ayat 5, membebankan
pihak negara suatu tugas untuk meninjau vonis bersalah dan hukuman,
secara substantif, baik atas dasar kecukupan bukti atau undang-
undang, penuntutan dan penghukumannya, sehingga prosedurnya
memungkinkan pertimbangan sifat dari kasusnya. Sebuah peninjauan
yang terbatas pada aspek formal atau legal tanpa pertimbangan fakta
sedikitpun tidak memadai di bawah Kovenan ini. Namun, pasal 14, ayat
5 tidak mengharuskan dilakukannya persidangan ulang secara penuh
atau sebuah “sidang” selama tribunal melaksanakan peninjauan
dapat melihat dimensi faktual dari kasus. Dengan demikian, jika
sebuah pengadilan tingkat yang lebih tinggi melihat tuduhan terhadap
orang yang bersalah dengan sangat rinci, mempertimbangkan bukti
yang diajukan ke pengadilan dan merujuk kepadanya pada saat
banding, dan menemukan bahwa terdapat bukti yang mencukupi
untuk menjustifikasi temuan bersalah dalam kasus khusus, Kovenan
tidak dilanggar.
49. Hak untuk meninjau vonis bersalah seseorang hanya dapat
dilaksanakan secara efektif jika orang yang bersalah tersebut diberikan
9 CCPR General Comment No. 32, Pasal 14: Right to Equality Before Courts and Tribunals And To A Fair Trial, U.N. Doc. CCPR/C/GC/32 (23 Ag, 2007) (catatan kaki dihilangkan), dapat dilihat di http://daccess-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/G07/437/71/PDF/G0743771.pdf
312
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
yang semestinya terhadap, keputusan tertulis dari pengadilan, dan
paling sedikit pengadilan banding pertama dimana undang-undang
domestik memberikan beberapa tingkat banding, juga dokumen
lainnya, seperti transkrip persidangan, yang diperlukan untuk
mendapatkan pelaksanaan hak banding yang efektif. Keefektifan hak
ini juga dilemahkan, dan pasal 14 ayat 5 dilanggar, jika tinjauan oleh
pengadilan tingkat yang lebih tinggi ditunda secara berlebihan yang
melanggar ayat 3 (c) dari ketentuan yang sama.
50. Sebuah sistem peninjauan pengawasan yang hanya berlaku untuk
hukuman yang eksekusinya telah dimulai tidak memenuhi persyaratan
pasal 14, ayat 5, tanpa memandang apakah tinjauan tersebut diminta
oleh orang yang bersalah atau tergantung kekuasaan diskresi seorang
hakim atau jaksa.
Berbagai Traktat dan Piagam Regional
Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Mendasar10
Pasal 6 – Hak untuk pengadilan yang adil(1) Dalam menentukan berbagai hak dan kewajiban sipil atau setiap
tuntutan pidana yang dituduhkan terhadap seseorang, setiap orang
berhak mendapatkan pengadilan yang adil dan terbuka dengan dalam
jangka waktu yang masuk akal oleh tribunal yang independen dan
tidak memihak yang dibentuk oleh undang-undang. Keputusan wajib
diumumkan secara publik tetapi pers dan masyarakat luas dapat
dikecualikan dari seluruh atau sebagian pengadilan atas kepentingan
moral, ketertiban umum atau keamanan nasional di dalam masyarakat
demokratis, dimana kepentingan generasi muda atau perlindungan
terhadap kehidupan pribadi dari pihak-pihak diperlukan, atau sejauh
diperlukan secara ketat dalam opini pengadilan dalam keadaan
khusus dimana publisitas dapat menimbulkan prasangka terhadap
kepentingan keadilan.
10 European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms, 4 Nov 1950, C.E.T.S No. 5 (diberlakukan 3 Sept, 1953), dapat dilihat di http://conventions.coe.int.Treaty/en/Html/005.htm.
Appendix A
313
(2) Setiap orang yang dituduh melakukan tindakan pidana harus diduga
tidak bersalah sampai dibuktikan bersalah menurut undang-undang.
(3) Setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana memiliki hak
minimum sebagai berikut:
(a) untuk diberitahukan segera, dalam bahasa yang dapat
dimengertinya dan secara rinci mengenai sifat dan akibat tuduhan
terhadapnya;
(b) untuk memiliki waktu dan fasilitas yang cukup untuk
mempersiapkan pembelaannya;
(c) untuk melakukan pembelaan sendiri atau melalui pembelaan
yang dipilihnya sendiri, atau jika ia tidak memiliki sumber yang
mencukupi untuk membayar bantuan hukum, maka diberikan
secara cuma-cuma dimana dibutuhkan oleh kepentingan keadilan;
(d) untuk memeriksa atau telah memeriksa para saksi meringankan
dan memperoleh kehadiran dan pemeriksaan para saksi yang
meringankan dengan kondisi yang sama dengan para saksi
yang memberatkan;
(e) mendapatkan bantuan cuma-cuma seorang penerjemah jika dia
tidak dapat mengerti atau berbicara bahasa yang digunakan di
dalam pengadilan.
Pasal 8 – Hak untuk dihormati kehidupan pribadi dan keluarganya(1) Setiap orang memiliki hak untuk dihormati kehidupan pribadi dan
keluarganya, rumahnya dan korespondensinya.
(2) Tidak ada campur tangan dari otoritas publik dalam pelaksanaan hak ini
kecuali yang sesuai dengan hukum dan diperlukan di dalam masyarakat
demokratis untuk kepentingan keamanan nasional, keselamatan
masyarakat atau kesejahteraan ekonomi negara, untuk pencegahan
ketidaktertiban atau kejahatan, untuk perlindungan kesehatan atau
moral, atau untuk perlindungan hak dan kebebasan lainnya.
Pasal 9 – Kebebasan berpikir, hati nurani dan beragama(1) Setiap orang memiliki hak kebebasan berpikir, hati nurani dan
beragama; hak ini termasuk kebebasan untuk mengubah agama atau
kepercayaannya, baik sendiri ataupun bersama-sama dengan yang
314
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
lainnya dan secara umum atau pribadi, untuk mewujudkan agama
atau kepercayaannya dalam ibadah, ceramah, praktik dan kepatuhan.
(2) Kebebasan untuk mewujudkan agama atau kepercayaan seseorang
hanya dapat dibatasi jika diatur oleh hukum dan diperlukan di
dalam masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan
nasional, keselamatan masyarakat atau kesejahteraan ekonomi
negara, untuk pencegahan ketidaktertiban atau kejahatan, untuk
perlindungan kesehatan atau moral, atau untuk perlindungan hak dan
kebebasan lainnya.
Pasal 10 – Kebebasan Berekspresi(1) Setiap orang memiliki hak untuk kebebasan berekspresi. Hak ini
wajib termasuk kebebasan berpendapat dan untuk menerima dan
mengirimkan informasi dan ide tanpa campur tangan dari otoritas
publik dan terlepas dari batasan-batasan. Pasal ini tidak menghalangi
Negara dari mempersyaratakan perizinan untuk perusahaan penyiaran,
televisi atau sinema.
(3) Pelaksanaan kebebasan ini sesuai tugas dan tanggung jawabnya,
dibatasi oleh tata tertib, persyaratan atau hukuman sebagaimana
diatur oleh hukum dan diperlukan di dalam masyarakat demokratis
untuk kepentingan keamanan nasional, keselamatan masyarakat atau
kesejahteraan ekonomi negara, untuk pencegahan ketidaktertiban
atau kejahatan, untuk perlindungan kesehatan atau moral, atau
untuk perlindungan hak dan kebebasan lainnya, untuk mencegah
pengungkapan informasi yang diterima secara rahasia, atau
mempertahankan otoritas dan ketidakberpihakan sistem peradilan.
Pasal 11 – Kebebasan berkumpul dan berserikat(1) Setiap orang memiliki hak kebebasan berkumpul secara damai dan
kebebasan untuk berserikat dengan yang lain, termasuk hak untuk
membentuk dan bergabung dalam serikat perdagangan untuk
perlindungan kepentingannya.
(2) Tidak ada pembatasan yang diterapkan terhadap pelaksanaan hak-hak
ini kecuali yang diatur oleh hukum dan diperlukan di dalam masyarakat
demokratis untuk kepentingan keamanan nasional, keselamatan
masyarakat atau kesejahteraan ekonomi negara, untuk pencegahan
ketidaktertiban atau kejahatan, untuk perlindungan kesehatan atau
Appendix A
315
moral, atau untuk perlindungan hak dan kebebasan lainnya. Pasal
ini tidak mencegah diberlakukannya pembatasan yang sah terhadap
pelaksanaan hak-hak ini oleh anggota-anggota angkatan bersenjata,
polisi atau administrasi Negara.
Pasal 13 – Hak untuk Memperoleh Pemulihan yang EfektifSemua orang yang hak dan kebebasannya diatur dalam Konvensi ini
dilanggar wajib memperoleh pemulihan yang efektif dimuka otoritas
nasional meskipun pelanggaran tersebut dilakukan oleh seseorang yang
bertindak dalam kapasitas resmi.
Protokol No. 1 dari Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Mendasar11
Pasal 3 – Hak untuk Pemilu yang bebasPihak Penandatangan melaksanakan pemilu yang bebas dengan rentang
waktu yang masuk akal dengan surat suara yang rahasia, di bawah
persyaratan yang menjamin kebebasan ekspresi yang bebas dari opini
seseorang memilih legislatif.
Protokol No. 7 dari Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Mendasar12
Pasal 2 – Hak mengajukan banding dalam Perkara Pidana(1) Setiap orang yang dihukum karena tindak pidana oleh suatu tribunal,
berhak agar hukumannya ditinjau oleh tribunal yang lebih tinggi.
Pelaksanaan hak ini termasuk landasan pelaksanaannya, wajib diatur
oleh hukum.
(2) Hak ini mungkin dikecualikan jika terkait pelanggaran yang bersifat
minor, yang diatur oleh hukum , atau di dalam kasus dimana orang
11 Protocol No. 1 European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms, 20 Mar 1952, C.E.T.S No. 9 (diberlakukan 18 Mei, 1954), dapat dilihat di http://conventions.coe.int/Treaty/en/Treaties/Html/009.htm
12 Protocol No. 7 European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms, 22 Nov 1984, C.E.T.S No. 117 (diberlakukan 1 Nov, 1954), dapat dilihat di http://conventions.coe.int/Treaty/en/Treaties/Html/117.htm
316
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
yang terkait disidang tingkat pertama oleh tribunal tertinggi atau
dihukum menyusul sebuah banding melawan vonis bebas.
Konvensi Antar-Amerika tentang Hak Asasi Manusia13
Pasal 1(1) Pihak Negara dari Konvensi ini menghargai hak-hak dan kebebasan
yang diakui di sini dan memastikan kapada semua orang sesuai
dengan yurisdiksinya pelaksanaan hak-hak dan kebebasan tersebut
dengan bebas dan sepenuhnya tanpa adanya diskriminasi dengan
alasan-alasan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politis
atau opini lainnya, asal kewarganegaraan, atau status sosial ekonomi,
kelahiran atau kondisi sosial lainnya apapun.
(2) Untuk maksud Konvensi ini, “orang” berarti setiap manusia.
Pasal 2Dimana pelaksanaan setiap hak-hak atau kebebasan yang dirujuk di dalam
Pasal 1 tidak siap dijamin oleh lembaga legislatif atau ketentuan lainnya,
Pihak Negara akan mengusahakan untuk mengadopsi, sesuai dengan
proses konstitusional mereka dan ketentuan dari Konvensi ini, seperti
tindakan-tindakan legislatif atau yang lainnya yang mungkin diperlukan
untuk memberikan pengaruh terhadap hak-hak atau kebebasan tersebut.
Pasal 8(1) Setiap orang memiliki hak untuk sebuah sidang, dengan jaminan dan
dalam waktu yang masuk akal, oleh sebuah tribunal yang kompeten,
mandiri dan tidak memihak, yang sebelumnya dibentuk oleh undang-
undang dalam pemeriksaan setiap tuduhan yang bersifat kriminal
terhadapnya atau untuk penentuan hak dan kewajibannya yang
bersifat sipil, ketenagakerjaan, fiskal atau yang lainnya.
(2) Setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana memiliki hak
praduga tidak bersalah selama kesalahannya belum terbukti menurut
undang-undang. Selama proses persidangan, setiap orang berhak,
dengan kesetaraan yang penuh, jaminan minimum berikut ini:
13 Inter-American Convention on Human Rights, pasal 23, 22 Nov, 1969, O.A.S.T.S, No. 36, dapat dilihat di http://www.oas.org/juridico/English/treaties/b-32.html.
Appendix A
317
(a) hak tertuduh untuk dibantu tanpa dikenakan biaya oleh penerjemah,
jika ia tidak mengerti atau tidak berbicara bahasa yang digunakan
pada tribunal atau pengadilan;
(b) pemberitahuan sebelumnya secara rinci kepada tertuduh
mengenai tuduhan kepadanya;
(c) waktu dan alat yang memadai untuk mempersiapkan pembelaannya;
(d) hak tertuduh untuk membela dirinya secara pribadi atau dibantu
oleh penasihat hukum yang dipilihnya sendiri, dan untuk
berkomunikasi secara bebas dan pribadi dengan penasihatnya;
(e) hak yang tidak dapat dipisahkan untuk dibantu oleh penasihat yang
disediakan oleh negara, dibayar ataupun tidak sebagaimana diatur
oleh hukum domestik, jika tertuduh tidak membela dirinya secara
pribadi atau melibatkan penasihatnya dalam waktu yang diatur
oleh undang-undang;
(f) hak pembela untuk memeriksa para saksi yang hadir di pengadilan
dan untuk memperoleh kemunculan baik para saksi, ahli ataupun
orang-orang lainnya yang dapat menjelaskan mengenai fakta-
faktanya;
(g) hak untuk tidak dipaksakan menjadi saksi melawan dirinya sendiri
atau untuk mengaku bersalah;
(h) hak untuk mengajukan banding keputusan ke pengadilan yang
lebih tinggi.
(3) Pengakuan bersalah oleh tertuduh hanya sah jika dibuat tanpa paksaan
apapun juga.
(4) Tertuduh yang divonis bebas oleh sebuah keputusan yang tidak dapat
dibanding, tidak dapat diajukan ke sidang yang baru untuk alasan
yang sama.
(5) Rangkaian persidangan pidana wajib dibuat terbuka; kecuali sepanjang
diperlukan untuk melindungi kepentingan keadilan.
Pasal 23(1) Setiap warga negara berhak atas hak-hak dan kesempatan
sebagai berikut:
(a) Untuk ikut serta dalam melaksanakan urusan publik, secara
langsung atau tidak langsung atau melalui perwakilan yang dipilih
secara bebas;
318
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
(b) Untuk memilih atau dipilih dalam pemilihan berjangka yang murni,
yang akan dilakukan melalui hak memilih yang universal dan
setara dan melalui surat suara rahasia yang menjamin kebebasan
menyatakan pendapat dan keinginan para pemilih; dan
(c) Untuk memiliki akses, berdasarkan persyaratan umum kesetaraan,
terhadap pelayanan publik di negaranya.
(2) Undang-undang dapat mengatur pelaksanaan hak-hak dan
kesempatan yang dimaksud dalam ayat sebelumnya hanya atas
dasar usia, kebangsaan, domisili, bahasa, pendidikan, kapasitas sipil
dan mental, atau hukuman yang diputuskan oleh pengadilan yang
berwenang dalam suatu persidangan pidana.
Pasal 25(1) semua orang berhak untuk memperoleh penyelesaian perkaranya
dengan singkat dan segera, atau penyelesaian perkara lain yang
efektif, ke pengadilan atau tribunal yang kompeten untuk perlindungan
terhadap tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak dasarnya yang
dijamin oleh konstitusi atau undang-undang negara tersebut atau
oleh Konvensi ini, meskipun pelanggaran tersebut dilakukan oleh
seseorang yang bertindak dalam kapasitas resmi.
(2) Negara pihak berupaya:
(a) untuk memastikan bahwa setiap orang yang menuntut pemulihan
ini akan memperoleh pemeriksaan atas haknya oleh otoritas
yang kompeten yang disediakan oleh sistem hukum negara
yang bersangkutan;
(b) untuk mengembangkan kemungkinan untuk suatu pemulihan
melalui pengadilan; dan
(c) untuk memastikan bahwa otoritas yang kompeten akan
menegakkan pemulihan tersebut, ketika diberikan.
Appendix A
319
Piagam Afrika Tentang Hak Manusia dan Rakyat14
Pasal 6Setiap individu memiliki hak untuk kebebasan dan keamanan dirinya. Tidak
ada individu yang dapat dirampas kebebasannya kecuali untuk berbagai alasan
dan persyaratan yang sebelumnya diatur oleh undang-undang. Khususnya,
tidak ada yang dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang.
Pasal 7(1) Setiap individu memiliki hak alasannya didengar. Hal ini terdiri dari:
(a) hak untuk mengajukan banding ke organ nasional yang kompeten
terhadap tindakan yang melanggar hak-hak dasarnya yang diakui
dan dijamin oleh berbagai konvensi, undang-undang, peraturan
dan kebiasaan yang berlaku;
(b) hak praduga tidak bersalah sampai dibuktikan bersalah oleh
pengadilan tribunal yang kompeten;
(c) hak untuk membela diri, termasuk hak untuk dibela oleh penasihat
hukum yang menjadi pilihannya; dan
(d) hak untuk disidang dalam waktu yang masuk akal oleh pengadilan
atau tribunal yang tidak berpihak.
(2) Tidak ada seorang pun yang dapat dihukum atas tindakan atau
kealpaannya yang tidak temasuk pelanggaran yang dapat dihukum
menurut hukum pada saat perbuatan tersebut dilakukan. Tidak ada
hukuman yang dapat dikenakan atas sebuah pelanggaran dimana
tidak ada ketentuan yang dibuat pada saat perbuatan tersebut
dilakukan. Hukuman bersifat pribadi dan hanya dapat dikenakan
pada pelanggarnya.
Pasal 13(1) Setiap warga negara berhak untuk secara bebas ikut serta dalam
pemerintah negaranya, baik secara langsung atau tidak langsung
atau melalui perwakilan yang dipilih secara bebas sesuai dengan
ketentuan hukum.
14 African Charter on Human and People’s Rights, 27 Juni, 1981, OAU Doc. CAB/LEG/67/3rev. 5, 21 I.L.M.58 (diberlakukan 21 Okt, 1986), dapat dilihat di http://www.1.umn.edu/humanrts/instree/z1afchar.htm
320
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
(2) Setiap warga negara berhak atas akses yang sama terhadap pelayanan
publik di negaranya.
(3) Setiap perorangan berhak atas akses terhadap kepemilikan umum
dan pelayanan yang setara secara mutlak dari semua orang di
hadapan hukum.
Pasal 25Para pihak Negara di dalam Pagam ini memiliki tugas untuk mempromosikan
dan menjamin melalui pengajaran, pendidikan dan publikasi, penghormatan
terhadap berbagai hak dan kebebasan yang dimuat di dalam Piagam ini
dan untuk menjaga bahwa berbagai kebebasan dan hak ini serta kewajiban
dan tugasnya dapat dipahami.
Deklarasi Persatuan Antar-Parlemen tentang Kriteria Pemilu yang Bebas dan Adil15
Pasal 3 Pencalonan, Partai dan Hak-hak dan Tanggungjawab Kampanye(1) Setiap orang berhak untuk ikut serta dalam pemerintah negara mereka
dan harus memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi calon dalam
pemilihan. Kriteria untuk keikutsertaan dalam pemerintah ditentukan
sesuai dengan konstitusi nasional dan undang-undang serta tidak
boleh bertentangan dengan kewajiban internasional Negara.
(2) Setiap orang berhak untuk bergabung dengan, atau bersamaan dengan
orang lain untuk mendirikan, suatu partai politik atau organisasi untuk
maksud bersaing dalam pemilihan.
(3) Setiap orang baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan
orang lain berhak:
• Untuk menyatakan pendapat politik tanpa campur tangan
(orang lain);
• Untukmencari,menerimadanmemberikanketerangandanuntuk
membuat suatu pilihan berdasarkan pengetahuan;
• Untuk bergerak secara bebas dalam negara untuk melakukan
kampanye pemilihan;
15 Inter-Parliamentary Council (sekarang disebut Governing Council), Declaration on Criteria for Free and Fair Elections, 54th Sess, C.P. 330 (26 Mar, 1994), dapat dilihat di http://ipu.org/cnl-e/154-free.htm.
Appendix A
321
• Untukberkampanyeatasdasar kesetaraandenganpartai politik
lainnya, termasuk dengan partai yang membentuk pemerintahan
yang sedang berkuasa.
(4) Setiap kandidat pemilu dan partai politik memiliki kesempatan yang
sama atas akses terhadap media, khususnya media komunikasi
massa, untuk menyampaikan pendapat politik mereka.
(5) Hak para calon atas keamanan dalam kaitannya dengan hidup dan hak
milik mereka harus dihormati dan dilindungi.
(6) Setiap individu dan setiap partai politik berhak atas perlindungan
hukum dan berhak terhadap tindakan hukum untuk pelanggaran atas
hak-hak politik dan pemilihannya.
(7) Hak-hak di atas hanya bisa dibatasi oleh sesuatu yang luar biasa
sifatnya, sesuai dengan undang-undang dan diperlukan secara
wajar dalam suatu masyarakat yang demokratis untuk kepentingan
keamanan nasional atau ketertiban umum (public order), perlindungan
kesehatan atau moral umum atau perlindungan hak-hak dan
kebebasan orang lain dan dengan ketentuan bahwa itu semua
sesuai dengan kewajiban Negara berdasarkan hukum internasional.
Pembatasan yang diperkenankan atas pencalonan, pendirian dan
kegiatan partai politik dan hak kampanye tidak dapat diberlakukan jika
melanggar prinsip nondiskriminasi atas dasar ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, asal
usul nasional atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.
(8) Setiap individu atau partai politik yang pencalonannya, hak-
hak partai atau kampanyenya ditolak atau dibatasi berhak untuk
mengajukan banding kepada pihak yang berwenang untuk meninjau
kembali keputusan tersebut dan dengan segera dan secara efektif
memperbaiki kesalahannya.
(9) Hak-hak pencalonan, partai dan kampanye membawa tanggung jawab
kepada masyarakat. Pada khususnya, calon atau partai politik dilarang
untuk melakukan kekerasan.
(10) Setiap calon dan partai politik yang bersaing dalam suatu pemilihan
harus menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain.
(11) Setiap calon dan partai politik yang bersaing dalam suatu pemilihan
harus menerima hasil dari pemilihan yang bebas dan adil.
322
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pasal 4 Hak dan Tanggung Jawab Negara(1) Negara seharusnya mengambil langkah-langkah legislatif dan tindakan
lainnya yang diperlukan yang sesuai dengan proses konstitusional
mereka, untuk menjamin hak-hak dan kerangka institusional untuk
pemilu yang berkala dan murni, bebas dan adil, sesuai dengan
kewajiban mereka di bawah hukum internasional. Khususnya,
negara harus:
- Menyusun sebuah prosedur yang efektif, tidak memihak dan non-
diskriminatif untuk pendaftaran pemilih;
- Menyusun kriteria yang jelas untuk pendaftaran pemilh, seperti
usia, kewarganegaraan dan tempat tinggal, serta menjamin bahwa
ketentuan tersebut diterapkan tanpa pembedaan apa pun;
- Mengijinkan pembentukan partai pelaksanaan fungsi bebas dari
partai politik, mungkin saja mengatur pendanaan partai politik dan
kampanye pemilu, memastikan pemisahan partai dan negara,
serta menyusun persyaratan kompetisi dalam pemilu legislatif
dengan secara adil;
- Merintis atau memfasilitasi program-program nasional pendidikan
kewarganegaran, untuk memastikan bahwa penduduk terbiasa
dengan prosedur dan isu pemilu;
(2) Selain itu, Negara seharusnya mengambil keputusan dan langkah
kelembagaan yang diperlukan untuk menjamin pencapaian yang
progresif dan konsolidasi tujuan demokrasi, termasuk pembentukan
mekanisme manajemen pemilu yang netral, tidak memihak
atau seimbang.
Dengan melakukan hal itu, mereka seharusnya antara lain:
- Memastikan bahwa mereka yang bertanggung jawab terhadap
aspek yang beragam dari pemilu telah terlatih dan bertindak
tidak memihak, serta prosedur pemungutan suara yang koheren
disusun dan diberitahukan kepada masyarakat pemilih;
- Memastikan pendaftaran pemilih, memutakhirkan daftar pemilih
dan prosedur surat suara, dengan asistensi pemantau nasional
dan internasional sebagaimana mestinya;
- Mendorong para pihak, kandidat dan media untuk menerima dan
mengadopsi Pedoman Perilaku (Code of Conduct) untuk mengatur
masa kampanye pemilu dan pemungutan suara;
Appendix A
323
- Menjamin integritas suara suara melalui tindakan yang semestinya
untuk mencegah pemungutan suara ganda atau pemungutan
suara oleh mereka yang tidak berhak;
- memastikan integritas proses penghitungan suara melalui upaya-
upaya untuk mencegah suara berganda atau suara diberikan oleh
orang pemilih yang berhak.
- Memastikan integritas proses penghitungan surat suara.
(3) Negara wajib menghormati dan menjamin hak-hak asasi setiap individu
dalam teritori mereka dan tergantung pada yurisdiksinya. Pada waktu
pemilu, Negara dan organ-organnya seharusnya menjamin:
- Bahwa kebebasan bergerak, berkumpul, berserikat dan berekspresi
dihormati, khususnya dalam konteks pawai dan rapat politik;
- Bahwa partai dan kandidat bebas untuk mengkomunikasikan
pandangan mereka kepada pemilih, dan bahwa mereka menikmati
kesetaraan akses terhadap media Negara dan pelayanan publik;
- Bahwa diambil langkah-langkah yang diperlukan untuk
menjamin liputan yang non-partisan di dalam media Negara dan
pelayanan publik,
(4) Agar membuat pemilu adil, Negara seharusnya melakukan berbagai
tindakan yang diperlukan untuk memastikan bahwa para pihak dan
kandidat menikmati peluang yang wajar untuk menampilkan platform
pemilu mereka.
(5) Negara seharusnya melakukan semua tindakan yang diperlukan dan
semestinya untuk menjamin bahwa prinsip kerahasiaan surat suara
dihormati, dan pemilih dapat melakukan pemungutan suara dengan
bebas, tanpa rasa takut atau intimidasi.
(6) Lebih lanjut, otoritas Negara seharusnya memastikan bahwa
pemungutan suara dilakukan sedemikian rupa sehingga menghindari
kecurangan atau tindakan illegal lainnya, bahwa keamanan dan
integritas proses dijaga, serta penghitungan surat suara dilakukan
oleh petugas yang terlatih, dengan pemantauan dan/atau pemeriksaan
yang tidak memihak.
(7) Negara seharusnya melakukan semua tindakan yang diperlukan dan
layak untuk menjamin transparansi proses pemilu secara keseluruhan,
termasuk, contohnya melalui kehadiran perwakilan para pihak dan
pemantau yang terakreditasi sebagaimana mestinya.
(8) Negara seharusnya melakukan berbagai tindakan yang diperlukan untuk
324
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
menjamin bahwa para pihak, kandidat dan pendukung mendapatkan
keamanan yang adil, dan bahwa otoritas Negara mengambil langkah-
langkah yang diperlukan untuk mencegah kekerasan pemilu.
(9) Negara seharusnya menjamin bahwa pelanggaran hak asasi manusia
dan pengaduan terkait proses pemilu diputuskan dengan segera
dalam kerangka waktu proses pemilu dan secara efektif oleh
otoritas yang independen dan tidak memihak, seperti komisi pemilu
atau pengadilan.
Deklarasi Prinsip-Prinsip Pengaturan Pemilu yang Demokratis di Afrika16
Pasal II – Prinsip-Prinsip Pemilu yang Demokratis(1) Pemilu yang demokratis merupakan basis dari otoritas pemerintah
berdasarkan perwakilan mana pun;
(2) Pemilu berkala merupakan elemen kunci proses demokratisasi
dan oleh karenanya, merupakan hal yang amat penting untuk tata
kepemerintahan yang baik, prinsip negara hukum, penegakan dan
peningkatan perdamaian, keamanan, stabilitas dan pembangunan;
(3) Mengadakan pemilu yang demokratis merupakan dimensi yang
penting dalam pencegahan, manajemen dan penyelesaian konflik;
(4) Pemilu yang demokratis seharusnya dilaksanakan:
(a) secara bebas dan adil;
(b) di bawah konstitusi yang demokratis dan memenuhi instrumen
hukum yang mendukung;
(c) di bawah sebuah sistem pemisahan kekuasaan yang memastikan
secara khusus, kemandirian sistem peradilan;
(d) dilaksanakan pada rentang waktu berkala sebagaimana diatur
dalam Konstitusi Nasional;
(e) oleh lembaga pemilu yang tidak memihak, kompeten yang
memiliki staf yang terlatih dengan baik dan dilengkapi dengan
logistik yang memadai;
16 Organization of African Unity, Declaration on the Principles Governing Democratic Elections in Africa, 38th Ordinary Sess,. AHG/decl. 1 (xxxviii) (8 Juli, 2002), dapat dilihat di http://www.au2002.go.za/docs/summit_council/oaudec2.htm.
Appendix A
325
Pasal III – Tanggung Jawab untuk Negara AnggotaKami berkomitmen pemerintahan kami untuk:
(a) melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk memastikan
pelaksanaan yang seksama tentang prinsip-prinsip di atas, yang
sesuai dengan proses konstitusional negara masing-masing;
(b) membentuk (jika belum ada), lembaga-lembaga yang semestinya
ada dimana isu-isu seperti pedoman perilaku, persyaratan
kewarganegaraan, kediaman, persyaratan usia untuk pemilih,
kompilasi pendaftaran pemilih, dll akan ditangani;
(c) membangun suatu badan pemilu nasional yang tidak memihak,
merangkul semua pihak (all-inclusive), dan akuntabel yang diisi
dengan staf yang memenuhi syarat, serta lembaga hukum yang
kompeten, termasuk pengadilan konstitusional yang efektif untuk
melakukan arbitrase dalam sengketa-sengketa yang muncul dari
pelaksanaan pemilu;
(d) mengamankan kebebasan manusia dan sipil dari seluruh warga
negara termasuk kebebasan untuk bergerak, berkumpul,
berserikat, berekspresi, dan berkampanye serta akses terhadap
media di seluruh bagian pemangku kepentingan, selama
proses pemilu;
(e) mempromosikan pendidikan kewarganegaraan dan pemilih dalam
berbagai prinsip dan nilai demokratis bekerjasama erat dengan
kelompok masyarakat sipil dan pemangku kepentingan yang
relevan lainnya;
(f) melakukan berbagai tindakan dan pencegahan yang diperlukan
untuk mencegah tindak kecurangan, persekongkolan atau praktik-
praktik tidak sah lainnya sepanjang keseluruhan proses pemilu,
dalam rangka menjaga kedamaian dan keamanan;
(g) memastikan ketersediaan logistik dan sumber daya yang memadai
untuk melaksanakan pemilu yang demokratis, juga menjamin
tersedianya pendanaan yang memadai bagi seluruh partai politik
yang terdaftar yang memungkinkan mereka mengorganisasikan
pekerjaan mereka, termasuk partisipasi dalam proses pemilu;
(h) memastikan bahwa keamanan yang memadai diberikan kepada
seluruh pihak yang berpartisipasi di dalam pemilu;
(i) memastikan transparansi dan integritas keseluruhan proses
pemilu dengan memfasilitasi penggunaan perwakilan partai politik
326
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
dan kandidat perorangan di tempat pemungutan dan penghitungan
suara dan oleh pengamat/pemantau nasional yang terakreditasi;
(j) mendorong partisipasi perempuan-perempuan Afrika dalam
seluruh aspek proses pemilu yang sesuai dengan undang-
undang nasional.
Pasal VI – Peran dan Mandat Sekretaris JenderalLebih lanjut meminta Sekretaris Jenderal OAU untuk melakukan seluruh
tindakan yang diperlukan untuk memastikan pelaksanaan Deklarasi ini
dengan melaksanakan, khususnya, kegiatan-kegiatan berikut:
(a) Memperkuat perannya dalam pengamatan dan pemantauan
pemilu dengan kerangka hukum negara bersangkutan, yang sesuai
dengan nota kesepahaman yang dicapai dengan negara tersebut;
(b) Memobilisasi dana anggaran tambahan untuk memperluas
basis sumber daya kantor Sekretaris Jenderal sehingga dapat
memfasiltiasi pelaksanaan dari Deklarasi ini;
(c) Melaksanakan studi kelayakan tentang pembentukan Dana
Bantuan Demokratisasi dan Pemilu (Democratization and Electoral
Assistance Fund), untuk memfasilitasi keberhasilan pelaksanaan
Deklarasi ini;
(d) Melakukan studi kelayakan tentang pembentukan Unit Monitoring
Demokratisasi dan Pemilu di dalam Sekretaris Jenderal OAU yang
akan juga menangani isu-isu tata kepemerintahan;
(e) Mengumpulkan dan mengelola daftar para ahli Afrika dalam bidang
pengamatan dan pemantauan pemilu dan demokratisasi secara
umum dalam rangka menugaskan para pengamat yang kompeten
dan profesional yang siap setiap saat ketika mereka diperlukan.
Negara Anggota diminta untuk membantu dengan mengajukan
nama-nama ahli mereka kepada Sekretaris Jenderal;
(f) Meningkatkan standar prosedur, persiapan dan perlakuan yang
lebih baik kepada pegawai yang dipilih ditunjuk untuk melaksanakan
misi pengamatan OAU;
(g) Mempromosikan kerjasama dan kemitraan dengan Organisasi
Afrika dan Organisasi Internasional, juga berbagai lembaga nasional,
organisasi non-pemerintah dan kelompok masyarakat sipil yang
terlibat di dalam pekerjaan pengamatan dan pemantauan pemilu;
(h) Menerbitkan dan menyiapkan Laporan Sekretaris Jenderal tentang
Appendix A
327
pengamatan/pemantauan pemilu dan kegiatan terkait lainnya
yang terbuka untuk seluruh Negara Anggota dan masyarakat
luas, sebagai alat untuk mengkonsolidasikan proses pemilu dan
demokratisasi di benua ini.
Konvensi Standar Pemilu Demokratis, Hak dan Kebebasan Pemilu di Negara-Negara Anggota Persemakmuran dari Negara-Negara Independen (Member States of the Commonwealth of Independent States)17
Pasal 7 – Pemilu yang Terbuka dan Transparan(1) Persiapan dan pelaksanaan pemilu wajib dilaksanakan secara terbuka
dan dimuka publik.
(2) Keputusan-keputusan badan pemilu, otoritas negara dan pemerintah
lokal, yang dibuat dalam kerangka kompetensi mereka yang terkait
dengan penetapan jangka waktu, persiapan dan pelaksanaan
pemilu, untuk memberikan dan melindungi hak pilih dan kebebasan
warganegara, dalam cara yang wajib, haruslah dilakukan dengan
publikasi resmi, atau dipublikasikan dengan cara yang lain, yang
sesuai dengan prosedur dan yang diatur oleh undang-undang.
(3) Tindakan dan keputusan hukum terkait hak pilih warga negara,
kebebasan dan kewajiban tidak dapat dilaksanakan jika hal tersebut
tidak dikomunikasikan ke publik secara resmi.
(4) Badan pemilu di dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh peraturan
perundang-undangan pemilu, wajib, dalam perangkat persnya atau
media massa lainnya, mempublikasikan informasi tentang hasil
pemilu serta data orang-orang yang terpilih.
(5) Pengamatan terhadap prinsip keterbukaan dan publisitas pemilu
seharusnya membentuk dasar bagi pelaksanaan pemantauan pemilu
oleh badan publik dan internasional.
17 European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Convention on the Standards of Democratic Elections, Electoral Rights dan Freedom in the Member States of the Commonwealth of Independent States, Opinion No. 339/2006 (22 Jan, 2007), dapat dilihat di http://www.venice.coe.int/docs/2006/CD-EL(2006)031rev-e.pdf.
328
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pasal 10 – Pemilu yang Adil(1) Kepatuhan terhadap prinsip pemilu yang adil seharusnya mendukung
pembentukan persyaratan hukum yang setara bagi seluruh peserta
proses pemilu.
(2) Selain melaksanakan pemilu yang adil, hal-hal yang harus dijamin:
(a) Hak pilih yang universal dan setara;
(b) Peluang yang setara untuk setiap kandidat atau setiap partai politik
(koalisi) untuk berpartisipasi dalam kampanye pemilu, termasuk
akses terhadap media dan perangkat telekomunikasi;
(c) Pembiayaan yang adil dan terbuka terkait dengan pemilu,
kampanye pemilu para kandidat, partai politik (koalisi);
(d) Kejujuran ketika melakukan pemungutan suara dan
penghitungannya, komunikasi yang penuh dan cepat tentang
hasil pemungutan suara dengan menerbitkan seluruh hasil
secara resmi;
(e) Pelaksanaan proses pemilu oleh badan pemilu yang tidak
memihak, yang bekerja dengan terbuka dan bersifat publik di
bawah sebuah pemantauan yang efektif oleh badan-badan publik
dan internasional;
(f) Suatu pemeriksaan yang cepat dan efektif oleh pengadilan dan
badan lain yang diberikan kekuasaan untuk melakukan hal tersebut
atas pengaduan tentang pelanggaran hak pilih dan kebebasan
warga negara, kandidat, partai politik (koalisi) dalam kerangka
waktu pada setiap tahap pada proses pemilu, pemberian hak
kepada warga negara untuk mengajukan permohonan ke badan
peradilan internasional untuk memperoleh perlindungan dan
penggantian atas hak dan kebebasan suara mereka sesuai dengan
prosedur yang diatur oleh norma-norma hukum internasional.
(3) Para kandidat dapat diajukan oleh pemilih dari distrik pemilu yang
relevan dan/atau mencalonkan dirinya sendiri untuk pemilu. Kandidat
dan/atau daftar kandidat juga dapat diajukan oleh partai politik
(koalisi), organisasi publik lainnya dan mereka yang memiliki hak untuk
mengajukan kandidat dan/atau daftar kandidat, yang disebutkan di
dalam Konstitusi, dan undang-undang.
Appendix A
329
Pasal 15 – Status dan Kekuasaan Pemantau Internasional(1) Para pihak dengan ini berangkat dari asumsi bahwa kehadiran
para pemantau pemilu internasional meningkatkan keterbukaan
dan transparansi pemilu dan memastikan kepatuhan komitmen
internasional dari negara-negara. Mereka akan berusaha untuk
meningkatkan akses pemantau pemilu terhadap proses pemilu
yang dilaksanakan di tingkat yang lebih rendah dari tingkat nasional,
termasuk tingkat kabupaten.
(2) Kegiatan para pemantau internasional diatur oleh undang-undang
negara dimana pemantau bertugas, oleh Konvensi ini, dan dokumen
internasional lainnya.
(3) Para pemantau internasional pemilu wajib meminta izin untuk
memasuki teritori sebuah negara sesuai dengan prosedur yang diatur
oleh undang-undang, dan mereka diakreditasi oleh badan pemilu
yang relevan saat menunjukkan undangan tersebut. Undangan dapat
dikirim oleh badan-badan yang diberi kewenangan oleh undang-
undang dengan publikasi resmi keputusan tentang pelaksanaan
pemilu. Proposal untuk mengirim undangan dapat dikirimkan oleh
badan resmi dari Negara-Negara Anggota Persemakmuran Negara-
Negara Independen.
(4) Suatu badan pemilu pusat akan menerbitkan sebuah sertifikat
atau akreditasi dari pola yang mapan untuk seorang pemantau
internasional. Sertifikasi itu memberi pemantau internasional hak
untuk melaksanakan pemantauan di dalam masa persiapan dan
pelaksanaan pemilu.
(5) Seorang pemantau internasional wajib, selama tinggal di wilayah
negara yang didatanginya, berada di bawah perlindungan negara yang
bersangkutan. Badan Pemilu, badan pemerintah dan pemerintah
lokal diwajibkan memberikan mereka bantuan yang diperlukan dalam
cakupan kompetensinya.
(6) Seorang pemantau internasional wajib melaksanakan aktivitasnya
secara mandiri dan independen. Penyediaan materi dan keuangan dari
aktivitas pemantau internasional dilakukan atas biaya pihak yang telah
menugaskan pemantau, atau atas biaya mereka sendiri.
(7) Pemantau internasional tidak dapat menggunakan status mereka
untuk melaksanakan aktivitas yang tidak terkait dengan pemantauan
330
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
kampanya pemilu. Para Pihak di sini memiliki hak untuk mencabut
akreditasi para pemantau internasional yang melanggar undang-
undang, prinsip-prinsip yang diterima umum dan standar internasional.
(8) Para pemantau internasional memiliki hak:
(a) untuk memiliki akses terhadap seluruh dokumen (yang tidak
melanggar batas kepentingan keamanan nasional) yang mengatur
proses pemilu, untuk menerima informasi yang relevan dari badan
pemilu dan salinan dari dokumen pemilu yang disebut dalam
undang-undang nasional;
(b) untuk menghubungi partai politik, koalisi, kandidat, perorangan,
pekerja badan pemilu;
(c) untuk mengunjungi secara bebas seluruh tempat pemungutan
suara, juga pada hari pemungutan suara;
(d) untuk memantau pemungutan suara, penghitungan suara dan
tabulasi hasil pemilu di bawah persyaratan yang diberikan untuk
transparansi penghitungan suara;
(e) untuk mengetahui hasil pertimbangan atas pengaduan (pernyataan)
dan gugatan terkait pelanggaran undang-undang pemilu;
(f) untuk memberitahukan perwakilan badan pemilu tentang
pemantauan dan rekomendasi mereka tanpa campur tangan
dalam pekerjaan badan-badan pelaksana pemilu;
(g) untuk menyajikan opini mereka secara publik tentang persiapan
dan pelaksanaan pemilu setelah pemungutan suara dilaksanakan;
(h) untuk menyerahkan kesimpulan pemantauan mereka kepada
petugas pemilu, badan pemerintah dan petugas yang
relevan lainnya;
(9) Para pemantau pemilu berkewajiban:
(a) untuk mematuhi ketentuan Konvensi ini, konstitusi dan undang-
undang negara yang didatangi dan dokumen internasional lainnya;
(b) untuk memperoleh kartu akreditasi pemantau internasional,
yang diterbitkan sesuai prosedur yang diatur oleh negara yang
didatanginya, dan menunjukkannya berdasarkan permintaan
petugas pemilu;
(c) untuk memenuhi fungsi mereka berdasarkan prinsip-prinsip
netralitas, ketidakberpihakan, non-ekspresi terhadap preferensi
apapun atau penilaian terhadap badan-badan pemilu, pemerintah,
dan lainnya, petugas, peserta proses pemilu;
Appendix A
331
(d) tidak campur tangan dalam proses pemilu;
(e) untuk merumuskan seluruh kesimpulan mereka dengan dasar
pemantauan mereka dan materi yang faktual.
Pasal 19 –Hak dan Kewajiban Negara Penandatangan Konvensi(1) Pihak Negara penandatangan Konvensi ini berkomitmen untuk
mengambil langkah-langkah legislatif dan lainnya dalam rangka
mengkonsolidasikan jaminan hak pilih dan kebebasan dengan tujuan
untuk mempersiapkan dan melaksanakan pemilu yang demokratis,
untuk melaksanakan ketentuan Konvensi ini. Standar-standar pemilu
yang demokratis, hak pilih dan kebebasan warga negara yang
dinyatakan diatas dijamin dengan cara dicantumkan di dalam konstitusi
dan undang-undang.
(2) Pihak Negara dari Konvensi ini berkomitmen untuk:
(a) menjamin perlindungan berbagai prinsip demokrasi dan standar
hak pilih dalam kerangka yang diterima berbagai prinsip dan
standar hukum internasional, sifat demokratis pemilu, kebebasan
menyatakan kehendak oleh warga negara selama pemilu, justifikasi
persyaratan terkait pengakuan atas pemilu telah dilaksanakan
secara nyata dan sah;
(b) melakukan berbagai tindakan yang diperlukan yang bertujuan
mengadopsi keseluruhan kerangka hukum pemilu oleh badan
legislatif nasional dan bahwa norma-norma hukum tersebut
memastikan pelaksanaan pemilu seharusnya tidak dimulai oleh
suatu keputusan kekuasaan eksekutif;
(c) bertujuan bahwa seluruh atau sebagian mandat deputi kamar
kedua (deputy mandates of the second chamber) dari badan
legislatif nasional menjadi obyek dari persaingan bebas antar
kandidat dan/atau daftar kandidat dalam pemilu skala nasional
yang diatur oleh undang-undang;
(d) berjuang untuk menciptakan sebuah sistem jaminan hukum,
organisasi dan informasi untuk menjamin hak pilih dan kebebasan
warga negara selama masa persiapan dan pelaksanaan pemilu di
setiap tingkat, untuk melaksanakan berbagai tindakan legislatif
yang diperlukan yang bertujuan memberikan hak wanita dengan
adil dan nyata, setara dengan kaum laki-laki, kemungkinan
332
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
untuk melaksanakan hak untuk memilih dan dipilih dalam badan
legislatif dan ke jabatan elektif baik secara pribadi maupun sebagai
bagian dari partai politik (koalisi) dengan ketentuan yang sesuai
dengan prosedur yang diatur oleh Konstitusi, undang-undang dan
ditujukan untuk menciptakan tambahan jaminan dan persyaratan
bagi partisipasi dalam pemungutan suara oleh orang dengan
kelemahan fisik (penderita cacat, dsb);
(e) melakukan pendaftaran pemilu dengan basis prosedur yang
non-diskriminatif dan efektif yang dibentuk oleh legislatif
yang memperkirakan parameter pendaftaran seperti usia,
kewarganegaraan, tempat tinggal, dokumen mendasar yang
mensahkan identitas warga negara;
(f) mengatur dalam undang-undang mengenai tanggung jawab
orang yang memberikan informasi tentang pemilih terkait dengan
keaslian informasi, kelengkapan informasi yang relevan, dan
ketepatan waktu penyerahan informasi tersebut, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, sifat kerahasiaan data pribadi;
(g) memfasilitasi pembentukan partai politik dan aktivitas bebas
mereka yang sah, untuk mengatur dalam pengertian peraturan
perundang-undangan pembiayaan partai politik dan proses
pemilu, untuk menjamin bahwa hukum dan kebijakan pemerintah
menyatakan pemisahan antara partai dan negara, untuk
melaksanakan kampanye pemilu dalam atmosfir kebebasan
dan keadilan yang memungkinkan partai dan kandidat untuk
menyatakan dengan bebas pandangan dan penilaian mereka,
agenda (platform) pemilu, serta memungkinkan para pemilih untuk
mengenal mereka, untuk mendiskusikannya dan untuk memilih
atau tidak memilih mereka dengan bebas, tanpa takut hukuman
atau tuntutan apapun;
(h) menjamin pelaksanaan tindakan yang mengatur ketidakberpihakan
dalam peliputan kampanye pemilu oleh mass media, termasuk
internet, meniadakan kemungkinan untuk membuat hambatan
legal atau administratif yang dapat mencegah akses ke media
berdasarkan prinsip non-diskriminatif untuk partai politik dan
kandidat, untuk membentuk bank data informasi berdasarkan
hasil survei opini publik terkait pemilu, yang datanya akan disajikan
kepada peserta proses pemilu serta para pemantau internasional
Appendix A
333
berdasarkan permintaan mereka untuk meminta informasi
tersebut atau membuat salinannya, untuk melaksanakan teknologi
informasi yang baru yang memberikan karakter pemilu yang
terbuka, peningkatan tingkat kepercayaan pemilih dalam hasil
pemungutan suara dan pemilu;
(i) untuk mengadopsi program nasional dan mengambil bagian
dalam mengembangkan dan mengadopsi program-program antar
negara tentang pendidikan kewarganegaraan, untuk memberikan
kondisi bagi warga negara dan peserta lainnya di dalam proses
pemilu untuk mengenal dan terlatih dalam prosedur dan aturan
pemilu dalam rangka meningkatkan budaya hukum mereka dan
untuk memperbaiki kualifikasi profesional para petugas pemilu;
(j) untuk memastikan pembentukan badan pemilu yang mandiri dan
tidak memihak, untuk menyelenggarakan pemilu yang demokratis,
bebas, adil, otentik dan berkala yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan nasional dari negara tersebut dan selaras
dengan komitmen internasional negara tersebut;
(k) untuk memberikan kepada kandidat yang menerima sejumlah
suara yang diperlukan sebagaimana diatur oleh undang-undang,
kemungkinan untuk mengambil jabatan mereka dan untuk tetap
berada dalam jabatan mereka sampai habis masa jabatan mereka
atau sampai habisnya masa jabatan dalam cara yang lain yang
diatur oleh undang-undang;
(l) untuk melakukan upaya-upaya untuk memperkenalkan peraturan
tentang daftar pelanganggaran hak pilih dan kebebasan warga
negara demikian juga dasar dan prosedur meminta tanggung
jawab orang yang menghalangi, dengan cara kekerasan, penipuan,
ancaman, pemalsuan, atau dengan cara lain bagi warga negara
untuk melaksanakan haknya memilih dan dipilih secara bebas
untuk melaksanakan hak pemilu dan kebebasan yang diatur dalam
konstitusi dan undang-undang dengan sanksi pidana, administratif
atau yang lainnya.
(m) memfasilitasi pembentukan bank data (informasi) terpadu antar
negara tentang peraturan perundang-undangan pemilu nasional,
peserta proses pemilu (dengan memperhatikan fakta bahwa
data pribadi memiliki sifat rahasia), penegakan hukum dan praktik
peradilan, proposal legislatif tentang pengembangan sistem
334
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
pemilu, serta informasi lainnya yang terkait penyelenggaraan
proses pemilu dengan tujuan pertukaran informasi dan
penggunaan bersama;
(n) meningkatkan kerjasama antara badan pemilu dari Negara Pihak
dari Konvensi ini, termasuk pembentukan dan/atau perluasan
mandat dari asosiasi antar negara badan-badan pemilu yang ada.
Lampiran
BKutipan berbagai konstitusi, peraturan dan perundang-undangan nasional terpilih
Appendix B
337
Konstitusi Nasional
Brasil1
Pengadilan dan Hakim Pemilu
Pasal 118.Berikut adalah Badan-badan Pengadilan Pemilu:
I – Pengadilan Pemilu Tinggi (Superior Electoral Court);
II – Pengadilan Pemilu Daerah (Regional Electoral Court);
III – Hakim Pemilu (Electoral Judges)
IV – Dewan Pemilu (Electoral Boards)
Pasal 119.Pengadilan Pemilu Tinggi paling sedikit terdiri dari tujuh anggota yang dipilih:
I – melalui pemilu, dengan pemungutan suara tertutup:
a) tiga hakim dari Hakim-Hakim Mahkamah Agung Federal
(Supreme Federal Court);
b) dua hakim dari Hakim-Hakim Pengadilan Tinggi (Superior
Court of Justice);
II – melalui penunjukan oleh Presiden Republik, dua hakim di antara
enam ahli hukum yang memiliki pengetahuan yang baik dalam
bidang hukum dan reputasi moral yang baik, dicalonkan oleh
Pengadilan Tinggi Federal.
Paragraf tunggal – Pengadilan Tinggi wajib memilih Ketua dan Wakil
Ketua-nya di antara Hakim-Hakim Mahkamah Agung Federal, dan
Corregidor Electoral-nya di antara Para Hakim Pengadilan Tinggi.
Pasal 120.Terdapat Pengadilan Pemilu Daerah di ibu kota setiap negara bagian dan
di Distrik Federal.
§ 1 – Pengadilan Pemilu Daerah terdiri dari:
I – melalui pemilu, dengan pemungutan suara tertutup:
1 Constituicão Federal [C.F] [Constitution] art. 121, § 1 (Bras, 1988) (sebagaimana diamandemen).
338
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
a) dua hakim dipilih dari hakim-hakim Pengadilan (Court
of Justice)
b) dua hakim dipilih oleh Pengadilan di antara hakim-
hakim pengadilan;
II – seorang hakim Pengadilan Daerah Federal yang berkedudukan di
ibu kota sebuah negara bagian atau di Distrik Federal atau, jika
tidak ada, seorang hakim federal dipilih oleh Pengadilan Daerah
Federal yang bersangkutan;
III – melalui penunjukan oleh Presiden Republik, dua hakim dicalonkan
oleh Pengadilan dari enam ahli hukum yang memiliki pengetahuan
yang baik dalam bidang hukum dan reputasi moral yang baik.
§ 2 – Pengadilan Pemilu Daerah wajib memilih Ketua dan Wakil Ketuanya
dari antara hakim-hakimnya.
Pasal 121.
Sebuah undang-undang tambahan harus mengatur organisasi dan
kompetensi pengadilan pemilu, hakim pemilu dan dewan pemilu.
§ 1 – Anggota-anggota pengadilan, hakim-hakim pengadilan, anggota-
anggota dewan pemilu, selama menjabat dan sepanjang dapat diterapkan
pada mereka, wajib memperoleh jaminan penuh dan tidak dapat dicopot.
§ 2 – Hakim Pengadilan Pemilu, kecuali untuk alasan yang dapat dibenarkan,
menjabat selama paling sedikit dua tahun, dan tidak pernah lebih dari dua
‘dua-tahun’ periode berturut-turut, dan penggantinya dipilih pada saat yang
sama dan melalui prosedur yang sama, dengan jumlah yang sama untuk
setiap kategori.
§ 3 – Keputusan-keputusan Pengadilan Pemilu Tinggi tidak dapat diajukan
banding, kecuali yang bertentangan dengan Konstitusi ini dan yang
menyangkal asas habeas corpus atau writs of mandamus.
§ 4 – Keputusan Pengadilan Pemilu Daerah hanya dapat diajukan
banding jika:
I – mereka memutus bertentangan dengan sebuah ketentuan yang
dinyatakan secara spesifik dari Konstitusi ini atau dari sebuah
undang-undang;
II – terdapat perbedaan penafsiran sebuah undang-undang di antara
dua atau lebih pengadilan pemilu;
Appendix B
339
III – mereka berhubungan dengan ketidaklayakan atau penerbitan
pengesahan kemenangan pemilu pada pemilu federal atau
pemilu-pemilu negara bagian;
IV – mereka membatalkan pengesahan kemenangan pemilu atau
menyatakan kekalahan pada pemilihan jabatan federal atau
negara bagian;
V – mereka menyangkal habeas corpus, writs of mandamus, habeas
data atau writs of injunction.
Kosta Rika2
Tribunal Agung Pemilu (Supreme Electoral Tribunal)
Pasal 99.Organisasi, arah dan pengawasan dari tindakan yang berhubungan dengan
hak pilih adalah fungsi eksklusif dari Tribunal Agung Pemilu, yang memiliki
kemandirian dalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Seluruh organ pemilu
lainnya di bawah Tribunal tersebut.
Pasal 100.Tribunal Agung Pemilu biasanya terdiri dari tiga anggota tetap dan enam
tidak tetap, yang ditunjuk oleh Hakim pada Mahkamah Agung (Supreme
Court Justice) dengan suara tidak kurang dari dua pertiga dari seluruh
anggota-anggotanya. Mereka memiliki kualifikasi yang sama dan memiliki
tanggung jawab yang sama dengan hakim-hakim Mahkamah Agung.
Dari satu tahun sebelum dan enam bulan sesudah penyelenggaraan pemilu
untuk memilih Presiden Republik atau anggota Majelis Legislatif, Tribunal
Agung Pemilu menambah jumlah anggotanya dengan dua dari anggota
tidak tetapnya dalam rangka menjadi lima anggota untuk menjabat selama
periode tersebut.
Dimana dimungkinkan, anggota-anggota Tribunal Agung Pemilu wajib
patuh pada kondisi kerja dan hari kerja minimum yang ditetapkan oleh
Undang-Undang Struktural Cabang Yudikatif (Structural Law of the Judicial
2 Political Constitution of the Republic of Costa Rica (1949) (sebagaimana diamandemen).
340
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Branch) untuk hakim-hakim Majelis Banding (Appellate Chamber). Mereka
juga menerima kompensasi yang sama yang ditetapkan untuk hakim-
hakim tersebut.
Pasal 101.Anggota-anggota Tribunal Agung Pemilu menjabat selama enam tahun.
Masa jabatan dari satu anggota tetap dan dua tidak tetap harus diperbaharui
setiap dua tahun, tetapi mereka dapat dipilih kembali.
Hakim-hakim Tribunal Agung Pemilu akan memiliki kekebalan dan
hak prerogatif yang sama dengan yang dimiliki oleh anggota-anggota
Mahkamah Agung
Pasal 102.Tribunal Agung Pemilu memiliki fungsi-fungsi berikut ini:
1. Menyelenggarakan pemilu;
2. Menunjuk anggota-anggota Dewan Pemilu (Electoral Boards),
sesuai dengan undang-undang;
3. Menafsirkan, dengan pengaruh eksklusif dan mengikat, seluruh
ketentuan konsitusi dan hukum tentang persoalan pemilu;
4. Mengadakan sidang pembacaan gugatan melawan keputusan yang
diterbitkan oleh Catatan Sipil (Civil Registry) dan Dewan Pemilu
5. Menyelidiki sendiri atau melalui delegasinya dan menyerahkan
berbagai keputusannya tentang gugatan apapun yang diajukan
oleh para pihak terhadap keberpihakan politik pejabat Negara
dalam menjalankan tugas-tugasnya atau tentang aktivitas politik
yang dilakukan oleh para pejabat yang sebenarnya mereka dilarang
untuk terlibat di dalamnya. Keputusan bersalah yang dinyatakan
oleh Tribunal merupakan dasar yang mengikat bagi pencopotan
dan wajib mendiskualifikasi pihak yang bersalah yang memegang
jabatan publik untuk jangka waktu tidak kurang dari dua tahun,
tanpa praduga tuduhan bersalah yang dapat dijatuhkan. Namun, jika
penyelidikan yang dilakukan termasuk tuduhan terhadap Presiden
Republik, Menteri Kabinet, Diplomat (Diplomatic Ministers),
Pengawas atau Asisten Pengawas Republik (Comptroller General
or Assistant Comptroller of the Republic), hakim Mahkamah
Appendix B
341
Agung (Supreme Court), Tribunal wajib melaporkan temuan
penyelidikannya kepada Majelis Legislatif.
6. Mengadopsi, sehubungan dengan kekuasaan publik, langkah-
langkah terkait untuk memastikan bahwa pemilu diselenggarakan
di bawah kondisi kebebasan dan jaminan yang tidak dibatasi.
Dalam kasus dimana rekrutmen militer diperintahkan, Tribunal
juga mengadopsi langkah-langkah yang sesuai untuk menjamin
bahwa proses pemilu tidak diganggu, sehingga seluruh warga
negara dapat secara bebas memberikan suaranya. Tribunal dapat
menegakkan langkah-langkah ini sendiri atau melalui delegasi
yang ditugaskan.
7. Melaksanakan penghitungan suara resmi dalam pemilu untuk
Presiden dan Wakil Presiden, anggota Majelis Legislatif,
anggota Pemerintahan Kota, dan Perwakilan Majelis Konstitusi
(Representatives to Constitutional Assemblies);
8. Menerbitkan deklarasi resmi pemilu Presiden dan Wakil Presiden
dalam tiga puluh hari setelah tanggal pemilu, dan jabatan-jabatan
lain yang disebutkan dalam sub bagian yang mendahului di dalam
periode yang ditetapkan oleh undang-undang.
9. Fungsi-fungsi lainnya yang dipercayakan kepadanya oleh Konstitusi
atau oleh undang-undang.
Pasal 103.Tidak ada banding melawan keputusan Tribunal Agung Pemilu, kecuali
untuk tindakan-tindakan yang melanggar tugas publik.
Pasal 104.Catatan sipil (Civil Registry) secara eksklusif berada di bawah yurisdiksi
Tribunal Agung Pemilu, dan fungsi-fungsinya adalah:
1. Menyimpan Daftar Induk Status Perkawinan (Main Register of
Marital Status) dan menyiapkan daftar pemilih;
2. Memutuskan permohonan untuk memperoleh atau memulihkan
kewarganegaraan Kosta Rika juga kasus-kasus kehilangan
kewarganegaraan (*); menegakkan penyelesaian Pengadilan
yang menunda kewarganegaraan dan menerbitkan penyelesaian
tentang prosedur yang dilakukan untuk memulihkannya.
Keputusan yang diserahkan oleh Catatan Sipil, sesuai dengan
342
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
kekuasaan yang diperolehnya di bagian ini, dapat dibanding ke
Tribunal Agung Pemilu;
3. Menerbitkan kartu identitas;
4. Kekuasaan lainnya yang diperolehnya dari Konstitusi dan undang-
undang ini.
Yordania3
Pasal 71.Majelis Deputi (Chamber of Deputy) memiliki hak untuk menentukan
keabsahan pemilhan anggota-anggotanya. Setiap pemilih memiliki hak
untuk mengajukan suatu permohonan kepada Sekretariat Majelis dalam
waktu lima belas hari setelah pengumuman hasil pemilu di daerah
pemilihannya yang meletakkan dasar hukum untuk membatalkan pemilu
deputi manapun. Tidak ada pemilu yang dapat dipertimbangkan tidak
sah kecuali telah dideklarasikan oleh mayoritas dua-pertiga anggota-
anggota Majelis.
Liberia4
Partai Politik dan Pemilu
Pasal 77. (a) Karena hakikat demokrasi adalah persaingan bebas atas ide-ide
yang diekpresikan oleh partai-partai politik dan kelompok politik
juga perorangan, para pihak dapat secara bebas mengadvokasi
opini politik rakyat. Undang-undang, peraturan, keputusan
atau tindakan-tindakan yang mungkin memiliki pengaruh
menciptakan negara satu-pihak (one-party state) harus dinyatakan
tidak konstitusional.
(b) Seluruh pemilu wajib menggunakan surat suara yang bersifat
rahasia yang ditentukan oleh Komisi Pemilu (Election Commission),
dan setiap warga negara Liberia tidak kurang dari 18 tahun,
memiliki hak untuk terdaftar sebagai pemilih dan untuk memilih
dalam pemilu serta referendum di bawah Konstitusi ini. Dewan
3 Constitution of the Hashemite Kingdom of Jordan (1952) (sebagaimana diamandemen).4 Constitution of the Republic of Liberia (1986) (sebagaimana diamandemen).
Appendix B
343
Perwakilan Rakyat wajib mengesahkan undang-undang yang
mengindikasikan kategori warga negara Liberia yang tidak boleh
membentuk atau menjadi anggota partai politik.
Pasal 78.Sebagaimana digunakan di dalam Bab ini, kecuali konteks mempersyaratkan
sebaliknya, sebuah “asosiasi” berarti badan dari sejumlah orang,
perusahaan atau lainnya, yang bertindak bersama-sama untuk maksud
yang sama, dan termasuk sekelompok orang yang diorganisasikan untuk
tujuan etnik, sosial, kultural, pekerjaan atau agama apapun; sebuah “partai
politik” adalah asosiasi dengan keanggotaan tidak kurang dari lima ratus
pemilih yang memenuhi syarat, masing-masing paling sedikit di enam
negara, yang aktivitasnya mencakup kampanye untuk suara tentang isu-
isu publik apapun atau mendukung seorang kandidat untuk jabatan publik;
dan seorang “kandidat independen” adalah seseorang mengupayakan
jabatan yang dipilih dengan atau tanpa organisasinya, yang bertindak
secara independen dari partai politik.
Pasal 79.Tidak ada asosiasi yang apapun namanya disebut, berfungsi sebagai partai
politik, juga seorang warga negara adalah kandidat independen untuk
pemilihan untuk jabatan publik, kecuali:
a) Asosiasi atau kandidat independen dan organisasinya memenuhi
persyaratan pendaftaran minimum yang dipersyaratkan oleh
Komisi Pemilu dan terdaftar. Persyaratan pendaftaran termasuk
menyerahkan kepada Komisi Pemilu, sebuah salinan anggaran asar
asosiasi dan pedoman kandidat independen dan organisasinya
serta pegawainya dengan sebuah pernyataan yang rinci tentang
nama dan alamat asosiasi dan para pegawainya atau kandidat
independen dan para pegawai dari organisasinya, dan pemenuhan
ketentuan sub-bagian (b), (c), (da) dan (3). Pendaftaran dari setiap
asosiasi atau kandidat independen dan organisasinya oleh Komisi
Pemilu wajib membuat entitas atau kandidat dan organisasinya,
terdaftar sebagai pribadi secara hukum, dengan kapasitas untuk
mempunyai kepemilikan, sendiri, nyata, pribadi atau campuran,
untuk menuntut atau dituntut dan bertanggung jawab dan untuk
memiliki rekening. Penolakan pendaftaran atau kegagalan oleh
344
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Komisi Pemilu untuk mendaftarkan pemohon manapun dapat
digugat oleh pemohon di Mahkamah Agung (Supreme Court);
b) Keanggotaan asosiasi atau organisasi kandidat independen
terbuka untuk semua warga negara Liberia, tanpa memandang
jenis kelamin, latar belakang agama atau etnik, kecuali disebutkan
lain di dalam Konstitusi ini.
c) Kantor pusat asosiasi atau kandidat independen dan
organisasinya berada:
(i) di ibukota Republik dimana asosiasi berada atau dimana
kandidat independen mengupayakan pemilu untuk jabatan
Presiden atau Wakil Presiden;
(ii) di ibukota negara dimana kandidat independen mengupayakan
pemilu sebagai senator; dan
(iii) di pusat pemilu di wilayah pemilihan dimana kandidat
mengupayakan pemilu sebagai anggota Dewan Perwakilan
Rakyat atau jabatan publik lainnya;
d) Nama, tujuan, lambang atau moto organisasi bersifat bebas dari
konotasi agama apa pun atau dampak etnik yang memecah belah
serta bahwa kegiatan asosiasi atau kandidat independen tidak
dibatasi untuk kelompok khusus, atau dalam kasus asosiasi,
dibatasi di wilayah geografis tertentu dari Liberia;
e) Anggaran Dasar dan anggaran rumah tangga partai politik wajib
mematuhi ketentuan Konstitusi ini, yang mengatur pemilihan
demokratis dari pejabat dan/atau badan pemerintahan paling
sedikit sekali setiap enam tahun, dan menjamin petugas pemilu
dari sebanyak mungkin wilayah dan kelompok etnik. Seluruh
perubahan terhadap Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah
Tangga partai politik didaftarkan ke Komisi Pemilu tidak lebih dari
sepuluh hari setelah tanggal efektif amandemen tersebut.
Pasal 80. a) partai atau organisasi yang, dengan alasan tujuannya atau perilaku
para pengikutnya, mengupayakan untuk melemahkan atau
menghapuskan masyarakat demokratis bebas Liberia atau untuk
membahayakan eksistensi Republik wajib ditolak pendaftarannya.
b) Partai atau organisasi yang mempertahankan, menyelenggarakan,
melatih atau melengkapi orang atau kelompok orang untuk
Appendix B
345
menggunakan atau memamerkan kekuatan fisik atau pemaksaan
dalam mempromosikan tujuan atau kepentingan politik apapun,
atau membangkitkan kekhawatiran yang masuk akal bahwa
mereka begitu teroganisasi, terlatih atau dilengkapi, wajib
ditolak pendaftarannya, atau jika didaftarkan, pendaftarannya
wajib dibatalkan.
c) Setiap warga negara Liberia memiliki hak untuk terdaftar di suatu
wilayah pemilihan, dan untuk memilih di dalam pemilu hanya di
dalam wilayah pemilihannya, dan untuk memilih di pemilu dimana
dia terdaftar, baik secara pribadi atau dengan surat suara orang
yang tidak hadir; dengan syarat warga negara tersebut memiliki
hak untuk mengubah daerah pemilihannya sebagaimana diatur
oleh Badan Legislatif.
d) Setiap daerah pemilihan memiliki populasi yang sama yaitu kira-
kira 20,000, atau sejumlah warga negara yang diatur oleh badan
legislatif untuk mengikuti pertumbuhan dan pergerakan penduduk
yang diungkapkan oleh sensus nasional; dengan syarat bahwa
jumlah daerah pemilihan di Republik tidak melebihi seratus.
e) Segera setelah sensus nasional dan sebelum pemilu berikutnya,
Komisi Pemilu wajib membagi kembali daerah pemilihan sesuai
dengan figur populasi yang baru sehingga setiap daerah pemilihan
menjadi semirip mungkin dengan populasi penduduk, namun
dengan syarat bahwa daerah pemilihan harus hanya ada di
dalam negeri.
Pasal 81.Setiap warga negara, partai politik, organisasi atau asosiasi manapun,
yang berkedudukan di Liberia, memiliki kewarganegaraan atau berasal
dari Liberia, dan tidak didiskualifikasi di bawah ketentuan Konstitusi ini
dan undang-undang, memiliki hak untuk meminta dukungan suara dari
partai politik atau kandidat manapun di pemilu manapun, dengan syarat
bahwa perusahaan dan organisasi bisnis serta serikat buruh dikecualikan
dari kampanye baik secara langsung ataupun tidak langsung dalam
bentuk apapun.
346
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pasal 82. a) Setiap warganegara, asosiasi atau organisasi partai politik yang
berkewarganegaraan atau berasal dari Liberia, memiliki hak untuk
menyumbangkan dana atau pengeluaran pemilu dari partai politik
atau kandidat manapun; dengan syarat bahwa perusahaan dan
organisasi bisnis dan serikat buruh dikecualikan dari memberikan
kontribusi dana atau pengeluaran partai politik manapun. Badan
Legislatif menurut undang-undang memberikan pedoman tentang
kondisi dimana kontribusi tersebut dapat diberikan dan jumlah
maksimum yang dapat disumbangkan.
b) Tidak ada partai politik atau organisasi yang menguasai atau
memiliki dana atau aset diluar Liberia; juga mereka atau kandidat
independen tidak boleh menahan dana atau aset yang diberikan
kepada mereka di luar Liberia kecuali yang dikirimkan oleh
warga negara Liberia yang bermukim di luar negeri. Dana atau
aset apapun yang diterima secara langsung atau tidak langsung
yang melanggar pembatasan ini harus dibayarkan atau ditransfer
kembali ke Komisi Pemilu dalam waktu dua puluh satu hari dari
tanggal penerimaan. Informasi tentang seluruh dana yang diterima
dari luar negeri dilaporkan segera ke Komisi Pemilu.
c) Komisi Pemilu berwenang untuk menguji dan memerintahkan
audit yang bersertifikasi dari transaksi keuangan partai
politik dan kandidat independen serta organisasinya. Komisi
merekomendasikan jenis-jenis catatan yang harus disimpan dan
cara mereka disimpan. Audit bersertifikasi wajib dilakukan oleh
akuntan publik yang bersertifikat, yang bukan merupakan anggota
partai politik manapun.
Pasal 83. a) Pemungutan suara untuk Presiden, Wakil Presiden, anggota Senat
dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat wajib dilaksanakan di
seluruh Republik pada hari selasa minggu kedua bulan Oktober
setiap tahun pemilu.
b) Seluruh pemilu jabatan publik ditentukan oleh mayoritas absolut
suara yang diberikan. Jika tidak ada kandidat yang memperoleh
mayoritas absolut di putaran pertama, pemungutan suara kedua
wajib dilakukan pada hari Selasa minggu kedua berikutnya. Dua
Appendix B
347
kandidat yang menerima jumlah suara terbesar di pemungutan
suara pertama dapat mengikuti pemilu putaran kedua.
c) Hasil pemilu wajib dideklarasikan oleh Komisi Pemilu tidak lebih
dari lima belas hari setelah pemungutan suara. Setiap pihak
atau kandidat yang mengajukan pengaduan tentang cara pemilu
dilaksanakan atau yang menggugat hasilnya memiliki hak untuk
mengajukan pengaduan pada Komisi Pemilu. Pengaduan tersebut
harus diajukan tidak lebih dari tujuh hari setelah pengumuman
hasil pemilu.
Komisi Pemilu wajib, dalam tiga puluh hari dari diterimanya
pengaduan, melaksanakan pemeriksaan yang tidak memihak
dan menyerahkan keputusan yang berisi penolakan pengaduan
atau pembatalan pemilihan kandidat. Partai politik atau kandidat
independen manapun yang dipengaruhi oleh keputusan tersebut
tidak lebih dari tujuh hari dapat mengajukan banding kepada
Mahkamah Agung (Supreme Court).
Komisi Pemilu wajib, dalam tujuh hari dari diterimanya permohonan
banding, meneruskan seluruh catatan kasus kepada Mahkamah
Agung, tidak lebih dari tujuh hari sesudahnya, mengadakan
sidang pembacaan pembelaan dan membuat keputusannya. Jika
Mahkamah Agung membatalkan atau meneruskan pembatalan
pemilihan kandidat, maka untuk alasan apapun, Komisi Pemilu
dalam waktu enam puluh hari dari keputusan Pengadilan, wajib
melaksanakan pemilu ulang untuk mengisi kekosongan. Jika
Pengadilan mempertahankan pemilihan seorang kandidat, Komisi
Pemilu wajib bertindak mempengaruhi mandat Pengadilan.
d) Setiap partai politik wajib, pada tanggal 1 September setiap
tahunnya, dan setiap kandidat partai politik tersebut dan setiap
kandidat independen, dalam waktu tidak lebih dari tiga puluh
hari sebelum diselenggarakannya pemilu dimana ia adalah
kandidatnya, mempublikasikan dan menyerahkan kepada Komisi
Pemilu pernyataan aset dan hutang secara rinci. Hal ini termasuk
perhitungan sumber-sumber dana dan aset lainnya, ditambah
daftar pengeluaran. Walaupun penyerahan pernyataan semacam
itu dibuat di tahun pemilu, setiap partai politik dan kandidat
348
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
independen diwajibkan menyerahkan kepada Komisi Pemilu
pernyataan tembahan yang rinci tentang seluruh dana yang diterima
dan pengeluaran dari tanggal pengajuan pernyataan asli hingga
tanggal pemilu. Partai politik atau kandidat independen manapun
yang berhenti berfungsi wajib mempublikasikan dan menyerahkan
pernyataan keuangan akhirnya kepada Komisi Pemilu.
Pasal 84.Badan legislatif diwajibkan oleh undang-undang memberikan hukuman bagi
pelanggaran terhadap ketentuan yang relevan dari Bab ini, dan mensahkan
peraturan dan perundang-undangan yang berkelanjutan tidak lebih dari
1986, dengan syarat hukuman, undang-undang atau peraturannya tidak
tak konsisten dengan ketentuan dari Konstitusi ini.
Nigeria5
Tribunal-tribunal Pemilu
Pasal 285. (1) Harus dibentuk untuk Federasi, satu atau lebih badan pengadilan
pemilu yang dikenal sebagai Majelis Nasional Tribunal
Pemilu (National Assembly Election Tribunals) yang, dengan
pengecualian dari tribunal lain manapun, memiliki yurisdiksi asli
untuk mengadakan sidang pembacaan gugatan/pembelaan dan
memutuskan gugatan –
(a) Seseorang yang dipilih secara sah sebagai anggota
Majelis Nasional;
(b) Masa jabatan seseorang yang di bawah Konstitusi
telah berakhir;
(c) Kursi anggota Senat atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat
yang kosong;
(d) Pertanyaan atau gugatan yang dibawa dihadapan pengadilan
pemilu yang telah dibawa secara layak ataupun tidak layak.
(2) Harus dibentuk di setiap Negara Bagian dari Federasi satu atau
lebih Tribunal Pemilu yang dikenal sebagai Tribunal Pemilu Legislatif
5 Constitution of the Federal Republic of Nigeria (1999) (sebagaimana diamandemen).
Appendix B
349
dan Kegubernuran (Governorship and Legislative Houses Election
Tribunals) yang, dengan pengecualian dari pengadilan atau
tribunal manapun, memiliki yurisdiksi asli untuk menyidangkan
dan memutus gugatan/pembelaan dan memutuskan gugatan
seseorang telah secara sah dipilih sebagai Gubernur atau Wakil
Gubernur atau sebagai anggota dewan perwakilan lainnya.
(3) Komposisi Majelis Nasional Tribunal Pemilu, Pengadilan Pemilu
Legislatif dan Kegubernuran ditetapkan lampiran Ke-enam
Konstitusi ini.
(4) Kuorum Tribunal Pemilu ditetapkan dibawah bagian ini adalah
Ketua (Chairman) dan dua anggota lainnya.
Peraturan Perundang-undangan Nasional
Afganistan
Undang-undang Pemilu 2004
Pemilu Selama Masa Transisi
Pasal 61.Untuk persiapan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan proses
pemilu pertama, yang akan menandai selesainya masa transisi, Negara
Transisi Islam Afganistan telah meminta dukungan Perserikatan Bangsa
Bangsa melalui pendirian Badan Manajemen Pemilu Bersama (Joint
Electoral Management Body) dengan partisipasi ahli-ahli internasional yang
ditunjuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diatur dalam Keputusan No.
110, 18 Februari 2004. Hingga akhir masa transisi, Badan Penyelenggara
Pemilu Bersama telah menggunakan kekuasaan dari IEC sebagaimana
diatur dalam undang-undang ini. IEC, setelah pembentukannya, akan
menggantikan Komisi Pemilu Sementara (Interim Election Commission) di
dalam Badan Penyelenggara Pemilu Bersama. Setelah berakhirnya masa
transisi, IEC akan mengambil seluruh kekuasaan IEC di bawah undang-
undang ini. Hingga saat itu, pembuatan keputusan di Badan Penyelenggara
Pemilu Bersama dan hak pilih anggota-anggota internasional akan tetap
sebagaimana didefinisikan di dalam Keputusan No. 110.
350
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Undang-undang Pemilu 2005
Pasal 50.Publikasi serta Penyebarluasan Ide yang Adil dan Netral
(1) Untuk keperluan informasi publik selama masa kampanye pemilu,
media massa (radio, televisi dan pers), wajib mempublikasikan
dan menyebarluaskan platform, pandangan dan tujuan kandidat
dengan cara yang adil dan tidak bias, sesuai dengan Pedoman
Perilaku yang dibentuk oleh Komisi.
(2) Kandidat wajib memiliki akses, seluas mungkin, terhadap
media. Untuk maksud informasi publik selama masa kampanye
pemilu, media yang dikuasai negara wajib mempublikasikan
dan menyebarluaskan platform, pandangan dan tujuan dari
kandidat dengan cara yang adil dan tidak bias, sebagaimana yang
disetujui Komisi.
(3) Media yang dimiliki negara wajib menetapkan, sebagaimana
diperlukan, berbagai tujuan, kebijakan dan tata tertib untuk
menjamin liputan pemilu yang adil dan melaksanakan ketentuan
sub artikel (1) dan (2).
Pasal 51.Komisi Media
(1) Komisi wajib mendirikan Komisi Media (Media Commission/MC),
paling sedikit 60 hari sebelum tanggal pemilu. MC wajib memantau
laporan dan liputan masa kampanye pemilu yang adil dan wajib
menangani berbagai pengaduan terkait pelanggaran laporan dan
liputan kampanye politik yang adil, atau pelanggaran Pedoman
Perilaku Media Massa. Banding dapat diajukan ke Komisi.
(2) Komposisi, tanggung jawab dan kewenangan MC ditentukan
oleh Komisi.
Hukum Acara Komisi Pengaduan Pemilu (2009)
Pasal 7.Keputusan tentang Pengaduan
7.1. Suatu PECC atau ECC dapat membatalkan sebuah Pengaduan
yang bukan merupakan kasus yang langsung terlihat nyata “prima
Appendix B
351
facie” atau dimana Pengaduan secara jelas tidak memiliki basis
faktual, atau tidak memenuhi persyaratan minimum sebuah
Pengaduan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4.6 Hukum
Acara ini.
7.2. Sebuah PECC atau ECC akan menguji semua bukti yang diserahkan
dalam waktu singkat. Berdasarkan bukti ini dan bukti lainnya, PECC
atau ECC yang terkait dapat memilih untuk mencatat, PECC atau
ECC yang terkait wajib mempertahankan Pengaduan:
(a) Dimana buktinya jelas dan meyakinkan bahwa sebuah
tindakan telah terjadi; dan
(b) Dimana tindakan yang dituduhkan melanggar Konstitusi,
Undang-undang pemilu, Peraturan, keputusan, arahan
administratif atau aturan pemilu lainnya di dalam
yurisdiksi ECC.
7.3. Ketika PECC atau ECC mempertahankan sebuah
Pengaduan, lembaga ini dapat memperhitungkan sifat dan
keseriusan pelanggaran.
(a) Menerbitkan sebuah peringatan untuk, atau memerintahkan,
perorangan atau organisasi yang melanggar, untuk melakukan
tindakan perbaikan.
(b) Memberlakukan denda tidak lebih dari 100.000 Afganis.
(c) Sebelum pengesahan hasil, memerintahkan penghitungan
kembali surat suara atau mengulangi pemungutan suara.
(d) Menghapus seorang kandidat dari daftar kandidat, jika ada
alasan yang dapat dibenarkan;
(e) Membatalkan surat suara yang tidak memenuhi persyaratan
keabsahan, atau memerintahkan penghitungan atau
penghitungan kembali sebuah surat suara atau sekelompok
surat suara.
(f) Melarang perorangan yang melanggar untuk menjabat posisi
administrasi pemilu untuk masa tidak lebih dari 10 tahun.
7.4. Dimana PECC atau EEC mengenakan sanksi kepada partai
politik atau kandidat atas pelanggaran pemilu yang dilakukan
oleh anggota atau pendukungnya, keputusan tersebut harus
mempertimbangkan bukti yang menunjukkan bahwa partai
politik atau kandidat tersebut telah melakukan upaya yang masuk
352
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
akal untuk mencegah anggota dan pendukungnya melakukan
pelanggaran pemilu.
7.5. Ketika menentukan sanksi dan hukuman, setiap PECC dan ECC
wajib menjamin bahwa sanksinya seimbang dengan sifat dan
keseriusan pelanggaran. Seluruh keputusan yang dibuat oleh
PECC wajib ditinjau oleh ECC.
7.6. Dalam hal PECC atau ECC memerintahkan tindakan perbaikan
atau menerbitkan sebuah peringatan, perintah tersebut berlaku
dengan segera kecuali dinyatakan sebaliknya di Keputusan.
7.7. Dalam hal PECC mengenakan denda, menghapus seorang
kandidat dari daftar kandidat, memerintahkan penghitungan
kembali atau pemungutan suara ulang atau menerbitkan larangan
terhadap perorangan untuk menjadi petugas pemilu, keputusan
tersebut tidak dilaksanakan sampai ditinjau oleh ECC.
7.8. Setiap PECC atau ECC wajib, jika layak, menggunakan upaya
terbaiknya dalam mengumumkan keputusannya kepada Pihak
yang mengajukan pengaduan dan kepada Tergugat secara tertulis,
merinci tenggat waktu untuk mematuhi sanksi yang memaksa.
7.9. Setiap keputusan PECC atau ECC wajib dipublikasikan dalam
Bahasa Inggris, Dari dan Pashto, dan wajib dibuat tersedia untuk
masyarakat melalui situs web EEC dan di setiap kantor IECS.
Keputusan dapat juga dipublikasikan ke dalam bahasa yang
lainnya dimana dipandang layak oleh ECC.
Pasal 17.Keputusan Tentang Respon terhadap Gugatan
17.1. ECC dapat secara sederhana menolak sebuah gugatan yang
bukan merupakan kasus yang “prima facie” atau dimana
Gugatan secara jelas tidak memiliki basis faktual.
17.2. ECC akan menguji semua pembuktian yang diajukan dalam
waktu yang tepat. Berdasarkan bukti ini dan bukti lainnya,
dimana dapat dipilih untuk diperhatikan oleh ECC, ECC wajib
menguatkan gugatan dimana buktinya jelas dan meyakinkan
bahwa seorang kandidat yang dicalonkan tidak memenuhi
persyaratan dan kriteria kelayakan untuk pencalonan.
Appendix B
353
17.3. Ketika ECC menguatkan sebuah Gugatan melawan seorang
kandidat yang dicalonkan, ECC wajib mengarahkan IEC untuk
mencabut kandidat yang dicalonkan dari daftar kandidat.
17.4. Setelah penyelesaian seluruh tanggapan terhadap gugatan,
ECC wajib melaporkan nama calon kandidat yang secara
definitif dihapuskan dari daftar kandidat kepada IEC. ECC wajib,
ketika diperlukan, menggunakan upaya terbaiknya dengan
memberitahukan secara tertulis, keputusannya kepada para
penggugat dan kandidat.
Armenia
Undang-undang Pemilu Republik Armenia (2005) (sebagaimana diamandemen)
Pasal 35.Prosedur untuk Pembentukan Komisi Pemilu Pusat (Central
Electoral Commission)
1. Komisi Pemilu Pusat terdiri dari:
1) Satu anggota dari setiap pihak atau aliansi dengan sebuah
faksi di dalam Majelis Nasional (National Assembly), yang
ditunjuk oleh keputusan badan permanen dari pihak tersebut
atau, dalam hal aliansi, keputusan bersama dari badan-badan
para pihak permanen di dalam aliansi, yang disetujui oleh suara
mayoritas. Jika para pihak (aliansi) gagal untuk mencalonkan
kandidat mereka dalam periode yang ditetapkan oleh undang-
undang ini untuk pembentukan Komisi Pemilu Pusat, sesuai
dengan persyaratan sub-ayat 1 dari ayat ini, maka lowongan
Komisi diisi oleh faksi yang layak;
2) Satu anggota yang ditunjuk oleh Presiden Republik Armenia;
3) Satu anggota yang ditunjuk oleh keputusan kelompok
parlementer yang diumumkan di sesi pertama petahana
(incumbent) Majelis Nasional. Setelah pemilu Majelis Nasional
menyusul diundangkannya undang-undang ini, juga dalam hal
pembubaran kelompok parlementer yang beroperasi pada
Majelis Nasional, kekuasaan untuk menunjuk anggota Komisi
354
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pemilu Pusat di bawah sub-ayat ini akan dialihkan ke Dewan
Pimpinan Pengadilan Republik Armenia (Board of Chairmen
of the Republic of Armenia Courts), dari antara hakim-hakim
pengadilan Republik Armenia dari yurisdiksi umum.
4) Satu hakim dari Pengadilan Kasasi (Cassation Court) yang
ditunjuk oleh Pengadilan Kasasi.
2. Informasi tentang anggota Komisi Pemilu Pusat harus diserahkan
kepada Staf Presiden Republik Armenia pada jam 18:00, tidak lebih
awal dari 40 hari, namun tidak lebih dari 10 sebelum berakhirnya
masa jabatan Komisi Pemilu Pusat. Entitas yang disebutkan di
dalam ayat 1 dari pasal ini wajib diberitahukan tentang berakhirnya
masa jabatan Komisi Pemilu Pusat oleh Pimpinan Komisi Pemilu
Pusat, tidak lebih dari 50 hari sebelum berakhirnya masa jabatan.
Komisi Pemilu Pusat yang baru harus dibentuk dan mengambil
alih kekuasaannya pada hari ke-60 setelah pembukaan sesi
Majelis Nasional yang baru. Komisi Pemilu Pusat yang baru akan
dianggap terbentuk, jika paling sedikit dua pertiga dari jumlah
anggota-anggotanya telah ditunjuk. Jika jumlah minimum anggota
Komisi belum ditunjuk pada saat tenggat waktu pembentukan
Komisi Pemilu Pusat, sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
di dalam ayat 1 Pasal ini, maka mereka ditunjuk oleh Presiden
Republik Armenia dari hakim-hakim Pengadilan Kasasi hingga
jumlah minimum tercapai.
3. Komposisi Komisi Pemilu Pusat harus disetujui oleh Keputusan
Presiden Republik Armenia atas dasar pencalonan yang dilakukan
oleh lembaga yang bertanggung jawab terhadap pembentukan
Komisi Pemilu Pusat.
4. (dihapuskan 03.07.02 HO-406-N)
5. (dihapuskan 03.07.02 HO-406-N)
6. Kegiatan Komisi Pemilu Pusat akan dikendalikan oleh Ketua
Komisi atau, sebagaimana ditugaskan olehnya, Wakil Ketua. Ketua
Komisi Pemilu Pusat, Wakil Pimpinan dan Sekretaris dipilih oleh
Komisi Pemilu Pusat pada sidang sesi pertamanya. Sesi pertama
Komisi Pemilu Pusat diadakan pada pukul 12:00 (siang) pada hari
Komisi dibentuk, dan dapat berlangsung hingga pukul 24:00. Sesi
tersebut akan diadakan di gedung administratif Komisi Pemilu
Appendix B
355
Pusat. Sesi pertama dipimpin oleh Ketua Komisi Pemilu Pusat
periode sebelumnya.
7. Hak untuk mencalonkan kandidat untuk posisi Ketua Komisi
Pemilu Pusat menjadi hak anggota Komisi Pemilu Pusat.
8. Jika hanya ada satu calon untuk posisi Ketua Komisi Pemilu
Pusat yang dipilih, calon tersebut dapat dikatakan terpilih, jika dia
menerima lebih dari setengah dari jumlah suara yang ada.
9. Jika dua calon untuk posisi Ketua Komisi Pemilu Pusat yang dipilih,
maka calon yang menerima suara yang lebih daripada yang lainnya
yang dikatakan terpilih menjabat Ketua Komisi Pemilu Pusat.
10. Jika terpilih lebih dari dua calon untuk jabatan Ketua Komisi Pemilu
Pusat yang dipilih, dan tidak ada dari mereka yang menerima
lebih dari setengah dari jumlah suara yang diberikan, maka
akan diadakan pemilihan putaran kedua untuk calon-calon yang
menerima suara terbanyak.
11. Jika Komisi Pemilu Pusat gagal untuk memilih seorang Ketua
selama sesi pertamanya, sesuai dengan prosedur yang telah
ditetapkan, maka dalam waktu tiga hari pemerintah wajib menunjuk
seorang Ketua di antara anggota-anggota Komisi Pemilu Pusat.
12. Pemilihan Wakil Ketua dan Sekretaris Komisi Pemilu Pusat diadakan
sesuai dengan prosedur untuk pemilihan pada Komisi Pemilu
Pusat sebagaimana ditetapkan di dalam Pasal ini (amendemen
dari 19.03.99 HO-286, 03.07.02 HO-406-N, 19.05.05 HO-101-N)
Pasal 36.Tata tertib Pembentukan Komisi Pemilu Teritorial (Territorial Electoral
Commissions)
1. Anggota Komisi-komisi pemilu Teritorial ditunjuk oleh anggota
Komisi Pemilu Pusat, berdasarkan prinsip “ satu anggota Komisi
Pemilu Teritorial setiap satu anggota Komisi Pemilu Pusat,” dari
antara orang-orang yang berpartisipasi di dalam pelatihan profesional
dan menerima kualifikasi yang layak, dengan pengecualian bahwa
anggota Komisi Pemilu Pusat, ditunjuk oleh Pengadilan Kasasi
(Cassation Court) dan Badan Pimpinan Pengadilan Republik
Armenia (Board of Chairmen of the Republic Armenia Courts),
yang akan menunjuk anggota Komisi-Komisi pemilu Teritorial di
antara hakim-hakim pengadilan umum. Komisi-Komisi pemilu
356
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Teritoral akan dibentuk dan mengambil alih kekuasaan mereka
15 hari setelah Komisi Pemilu Pusat mengalihkan kekuasaannya.
Komisi-Komisi Pemilu Teritorial wajib dibentuk jika paling sedikit
dua pertiga jumlah anggota telah dibentuk. Jika jumlah minimum
anggota-anggota Komisi belum ditunjuk pada saat tenggat waktu
untuk pembentukan sebagaimana ditetapkan dalam ayat 1 Pasal
ini, maka mereka akan ditunjuk oleh Presiden Republik Armenia
dari antara hakim-hakim pengadilan umum Republik Armenia,
hingga jumlah minimum tercapai. Komposisi Komisi-komisi pemilu
Teritorial disetujui oleh sebuah keputusan Preseiden Republik
Armenia berdasarkan pencalonan yang dibuat oleh lembaga yang
bertanggung jawab membentuk Komisi-Komisi Pemilu Teritorial.
2. Informasi tentang anggota Komisi-Komisi pemilu Teritorial wajib
diserahkan kepada Komisi Pemilu Pusat paling sedikit sepuluh hari
sebelum Komisi-Komisi pemilu Teritorial dibentuk; Komisi Pemilu
Pusat wajib meneruskan informasi kepada Staf Presiden Republik
Armenia dalam waktu dua hari.
3. Kegiatan Komisi-Komisi pemilu Teritorial akan dikendalikan oleh
Para Ketua Komisi atau Para Wakil Ketua Komisi, sebagaimana
ditugaskan oleh Para Pimpinan.
4. Para Ketua, Wakil Ketua dan Sekretaris dari tiap-tiap Komisi Pemilu
Teritorial wajib dipilih oleh anggota-anggota Komisi Pemilu Teritorial
di antara anggota-anggota Komisi, di sesi pertama Komisi Pemilu
Teritorial. Sesi pertama Komisi Pemilu Teritorial berlangsung pada
pukul 12:00 (siang) pada hari Komisi Pemilu Teritorial dibentuk. Sesi
pertama dipimpin oleh Ketua Komisi Pemilu Teritorial sebelumnya.
5. Hak untuk mencalonkan kandidat untuk posisi Ketua sebuah
Komisi Pemilu Teritorial ada pada anggota Komisi Pemilu Teritorial
itu sendiri.
6. Para Ketua, Wakil Ketua dan Sekretaris Komisi Pemilu Teritorial
akan dipilih sesuai dengan prosedur untuk memilih Ketua Komisi
Pemilu Pusat.
7. Jika sebuah Komisi Pemilu Teritorial gagal untuk memilih Ketua
sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dan dalam kerangka
waktu yang dipersyaratkan, maka Pemerintah dalam waktu tiga
hari akan menunjuk seorang Ketua, di antara anggota-anggota
Komisi Pemilu Teritorial.
Appendix B
357
8. (dihapuskan 03.07.02 HO-406-N) (amandemen 03.07.02 HO-406-N,
19.05.05 HO-101-N).
Georgia
Undang-undang Pemilu Terpadu (2001) (sebagaimana diamandemen)
Pasal 70.Hak Para Pemantau
1. Seorang pemantau memiliki hak:
a) Menghadiri dan mengawasi sesi komisi-komisi pemilu;
b) Berada di tempat pemungutan suara kapan pun pada saat
pemungutan suara, berpindah ke wilayah pemilihan tanpa
dibatasi dan mengawasi seluruh tahap proses pemungutan
suara dari setiap titik daerah pemilihan; (12.10.2004.N488)
c) Menggantikan, kapan pun pada hari pemungutan suara,
perwakilan organisasi terdaftar lainnya (dalam hal dimana
perwakilan tersebut ada);
d) Mengambil bagian dalam pemeriksaan kotak-kotak suara,
sebelum mereka disegel dan setelah mereka dibuka;
e) Mengawasi pendaftaran pemilih di daftar pemilih, penerbitan
surat suara dan amplop khusus serta verifikasinya, tanpa
mengganggu proses pemungutan suara;
f) Menghadiri prosedur penghitungan suara dan
menjumlahkan hasilnya;
g) Mengawasi proses pemungutan suara melalui kotak
suara bergerak;
h) Mengawasi penghitungan suara dalam kondisi yang
memastikan dapat dilihatnya surat suara;
i) Mengawasi proses komisi pemilu mengumpulkan ringkasan
protokol hasil pemilu dan berbagai dokumen lainnya;
j) Membahas dengan Pimpinan DEC mengenai permohonan/
keberatan terkait isu-isu yang berhubungan dengan tata tertib
pemungutan suara, dimana ia meminta reaksi dalam kasus
identifikasi sebuah pelanggaran tertentu;
358
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
k) Meminta pemilih untuk menunjukkan berapa banyak surat
suara dan amplop khusus yang ia pegang (14.08.2003 N
2965-rs);
l) Melakukan banding terhadap tindakan komisi pemilu kepada
komisi pemilu yang lebih tinggi atau pengadilan;
m) Mengawasi kotak suara, memasukkan amplop khusus ke
dalam surat suara, membuka kotak suara, menghitung surat
suara dan mengumpulkan protokol;
n) Memahami ringkasan protokol pemungutan suara dan hasil
pemilu, yang dikumpulkan oleh komisi-komisi pemilu.
2. Seorang pemantau tidak berhak untuk:
a) Melakukan intervensi dalam fungsi dan aktivitas komisi-
komisi pemilu;
b) Mempengaruhi kebebasan berekspresi kehendak pemilih;
c) Melakukan agitasi mendukung atau melawan subyek pemilu;
d) Memakai simbol-simbol atau tanda-tanda subyek
pemilu manapun;
e) Berada di tempat pemungutan suara tanpa tanda pengenal
pada hari pemungutan suara. (12.10.2004 488-IIs)
f) Melanggar berbagai persyaratan lainnya di dalam undang-
undang ini.
3. Tanggung jawab untuk pelanggaran hak yang diberikan oleh undang-
undang yang berlaku terhadap pemantau domestik/internasional,
subyek pemilu, perwakilan media massa atau intervensi dalam
aktivitas mereka didefinisikan sesuai dengan aturan yang ditetapkan
oleh peraturan perundang-undangan pemilu, administratif, dan/atau
pidana Georgia (28.12.2009.N2525).
4. Pelanggaran oleh pemantau, subyek pemilu dan perwakilan media
massa terhadap berbagai persyaratan sub ayat (a) (d) dari ayat 2
dari pasal ini melibatkan tanggung jawab mereka sesuai dengan
aturan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan
pemilu (28.12.2009.N2525).
Pasal 77.Prosedur Banding dan Kerangka Waktu:
1. Pelanggaran peraturan perundang-undangan pemilu dapat diajukan
banding ke komisi pemilu yang relevan. Keputusan komisi pemilu
Appendix B
359
dapat dibanding hanya ke komisi pemilu yang lebih tinggi dan
hanya setelah pengadilan tersebut, sesuai dengan berbagai aturan
dan kerangka waktu yang ditentukan oleh pasal yang ada, kecuali
didefinisikan lain oleh undang-undang saat ini.
2. Keputusan Komisi Pemilu Wilayah (Precinct Election Commission)
dapat diajukan banding oleh komisi dalam 2 hari kalendar ke
Komisi Pemilu yang relevan, biasanya menguji pengaduan dalam
waktu 1 hari. Keputusan Komisi Pemilu Distrik (District Election
Commission) dapat diajukan banding ke Pengadilan Distrik/Kota
dalam 2 hari kalendar setelah keputusan dibuat. Pengadilan
Distrik/Kota mengadili pengaduan yang dimasukkan dalam 2
hari kalender. Keputusan Pengadilan Distrik/Kota dapat diajukan
banding ke Pengadilan Banding dalam waktu 2 hari kalender
sejak keputusan dibuat. Pengadilan Banding membuat keputusan
dalam 2 hari kalender setelah dimasukkannya banding. Keputusan
Pengadilan Banding bersifat final dan tidak dapat diajukan
dibanding (28.12.2009.N2525).
3. Berdasarkan pengajuan banding keputusan Komisi Pemilu Wilayah,
dalam kasus pengajuan banding keputusan Komisi Pemilu Distrik
ke CEC, permohonan/keberatan tetap tidak dipertimbangkan
(28.12.2009.N2525).
4. Komisi dapat mengajukan banding terhadap keputusan Komisi
Pemilu Distrik ke CEC, dalam waktu 2 hari kalender setelah
keputusan dibuat. CEC akan memeriksa pengaduan dalam 1 hari
kalender. Setelah keputusan CEC dibuat, keputusan tersebut
dapat dibanding ke Pengadilan Kota Tbilisi dalam 2 hari kalender.
Pengadilan Kota Tbilisi wajib mempertimbangkan pengaduan
dalam 2 hari kalender. Keputusan Pengadilan Kota Tbilisi dapat
dibanding ke Pengadilan Banding (Court of Appeal) dalam 2
hari kalender setelah keputusan dibuat. Setelah dimasukkan
pengaduan, Pengadilan Banding wajib membuat keputusan dalam
2 hari kalender. Keputusan Pengadilan Banding bersifat final dan
tidak dapat diajukan banding (28.12.2009.N2525).
5. Keputusan CEC dapat diajukan banding ke Pengadilan Kota Tbilisi
dalam 2 hari kalender setelah keputusan dibuat. Pengadilan
memeriksa pengaduan dalam 2 hari kalender. Keputusan
Pengadilan Kota Tbilisi wajib dibuat dalam 2 hari kalender
360
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
setelah pengaduan dimasukkan, yang dapat diajukan banding
ke Pengadilan Banding (Appelate Court) dalam 2 hari kalender.
Keputusan Pengadilan Banding bersifat final dan tidak dapat
diajukan banding (28.12.2009.N2525).
6. Dalam hal pengajuan keberatan/gugatan ke pengadilan, pengadilan
pertama-tama berkewajiban, untuk memberitahukan Komisi
Pemilu Pusat/Distrik tentang penerimaan permohonan/keberatan
dan kedua, memberitahukan Komisi mengenai keputusan
yang dibuat. Keputusan Pengadilan Distrik/Kota seharusnya
dikirimkan kepada pihak-pihak yang terlibat sebelum pukul 12:00
keesokan harinya.
7. Selama sidang pembacaan gugatan/pembelaan, jika pihak yang
terlibat tidak hadir, pengadilan membuat keputusan dengan
menyelidiki materi yang termasuk dalam perkara, dan menurut
ketentuan pasal-pasal 4, 17, 19 Undang-Undang Prosedur
Administrasi (Administrative Procedural Code) Georgia.
8. Permohonan/gugatan/keberatan yang dipertimbangkan untuk
dimasukkan ke Komisi Pemilu atau kepada Pengadilan setelah
didaftarkan di Komisi Pemilu yang relevan atau di Pengadilan
yang bersangkutan.
9. Pengajuan permohonan/gugatan/keberatan kepada Komisi Pemilu
atau Pengadilan tidak menghentikan proses keputusan yang
sedang diajukan banding.
10. Merupakan hal yang dilarang untuk memperpanjang jangka
waktu banding dan penyelesaian pengaduan, jika Undang-
Undang tidak mempertimbangkan selain daripada periode waktu
yang ditentukan.
11. Permohonan/gugatan/keberatan tentang sengketa pemilu yang
disebutkan pasal 771, yang dimasukkan ke komisi pemilu atau ke
pengadilan oleh orang-orang yang tidak ditetapkan oleh pasal yang
sama, tidak akan diperiksa.
12. Kerangka waktu dan aturan untuk mengajukan banding atas
keputusan komisi pemilu dan pelanggaran undang-undang
pemilu, juga kerangka waktu mengatur pertimbangan dan
proses pengambilan keputusan dari permohonan/keberatan dan
akhirnya orang-orang yang berhak membawa gugatan, ditentukan
Appendix B
361
oleh peraturan perundang-undangan Georgia, kecuali diberikan
sebaliknya di dalam undang-undang saat ini (21.03.08.N6013)
13. Selama pemilu diadakan di bawah kewenangan Komisi Tinggi
Pemilu (High Election Commission) dari republik yang otonom, jika
pelanggaran undang-undang pemilu terjadi, pengertian dan kerangka
waktu sebuah banding terhadap pelanggaran tersebut dapat ditangani
oleh prosedur yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan
sebuah republik yang otonom (15.07.2008 N231).
14. Sejak pengumuman hari pemilu hingga berakhirnya, pengajuan
permohonan/keberatan dimungkinkan dari pukul 10:00 hingga
20:00 hari kalender (28.12.2009. N2525).
Kosovo
Undang-undang Pemilu (No.03-L073) (2008) (sebagaimana diamandemen)
Pasal 56.Hak dan kewajiban Pemantau:
56.1. Seorang pemantau memiliki hak untuk:
a) mengawasi tanpa halangan persiapan dan pelaksanaan
Pemilu, termasuk rapat-rapat pasca-pemilu, sidang dan
aktivitas terkait pemilu, pengaduan dan banding terhadap
hasil pemilu, dan penentuan kandidat yang menang;
b) memasukkan komentar secara tertulis kepada komisi pemilu
dan panitia pemungutan suara;
c) mengawasi pengemasan, transfer, pengiriman, penanganan,
penghitungan, penyimpanan, dan pengrusakan surat suara;
d) memperoleh salinan berbagai keputusan, protokol,
tabulasi, catatan rapat dan dokumen pemilu lainnya selama
keseluruhan proses pemilu, termasuk proses sebelum dan
sesudah pemilu.
56.2. Selama proses pemilu, termasuk proses pendaftaran pemilih,
seorang pemantau yang terakreditasi dapat memasukkan
pengaduan pelanggaran berbagai Aturan, Keputusan
Administratif, Aturan Pemilu atau Tata Tertib Administratif yang
berlaku kepada CEC sesuai dengan prosedurnya.
362
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
56.3. Seorang pemantau memiliki kewajiban untuk:
a) menghormati berbagai persyaratan menurut undang-undang
ini dan aturan CEC;
b) mengenakan kartu identitas pemantau di tempat yang mudah
dilihat ketika pemantau terlibat dalam kegiatan pemantauan;
c) tidak mengenakan tanda-tanda yang menyolok yang
dapat berfungsi sebagai alat propaganda atau yang dapat
mempengaruhi kehendak para pemilih atau mengidentifikasi
mereka dengan entitas politik atau kandidat tertentu; dan
d) tidak melakukan pelanggaran hak pemilih untuk surat suara
yang rahasia dan yang menghambat proses pemungutan
suara dan administrasi pemilu.
56.4. Sebuah organisasi pemantau dapat mengirimkan satu pemantau
ke rapat-rapat CEC dan MEC.
Nigeria
Undang-undang Pemilu (2010)
Pasal 75.Sertifikat Hasil
(1) Sertifikat Hasil yang disegel di sebuah pemilu dalam bentuk yang
disetujui wajib diterbitkan dalam 7 hari kepada setiap kandidat
yang memenangkan pemilu di bawah Undang-Undang ini:
Dengan syarat bahwa dimana Pengadilan Banding (Court of Appeal)
atau Mahkamah Agung (Supreme Court) sebagai Pengadilan
Banding (Appelate Court) terakhir dalam gugatan pemilu manapun
karena putusannya mungkin akan membatalkan Sertifikasi Hasil
kandidat manapun, Komisi wajib dalam 48 jam setelah diterimanya
perintah Pengadilan tersebut menerbitkan kandidat yang berhasil
dengan Sertifikat Hasil yang sah.
(2) Dimana Komisi menolak dan, atau mengabaikan untuk
menerbitkan sertifikat hasil, sebuah salinan sertifikat asli dari
Perintah Pengadilan Yurisdiksi yang Berkompeten, ipso facto,
adalah memadai untuk maksud pengucapan sumpah kandidat
yang dideklarasikan sebagai pemenang oleh Pengadilan tersebut.
Appendix B
363
Pasal 133.Prosedur untuk Menguggat sebuah Pemilu
(1) Tidak ada pemilu dan hasil sebuah pemilu di bawah Undang-
Undang ini yang dipertanyakan dengan cara selain daripada lewat
sebuah gugatan yang pemilu yang tidak perlu atau hasil yang tidak
perlu (di Undang-Undang ini dirujuk sebagai “gugatan pemilu”)
yang diajukan ke Tribunal atau pengadilan yang kompeten sesuai
dengan ketentuan Konstitusi atau Undang-Undang ini, dimana
orang yang dipilih atau hasilnya tergabung sebagai satu pihak.
(2) Di bagian ini “Tribunal atau pengadilan” berarti –
(a) dalam kasus pemilu Presiden atau Gubernur, pengadilan
tingkat banding (court of Appeal); dan
(b) Dalam kasus pemilu lainnya di bawah Undang-Undang ini,
tribunal pemilu yang ditetapkan di bawah Konstitusi atau
Undang-Undang ini.
(3) Badan Pengadilan Pemilu wajib –
(a) Dibentuk tidak lebih dari 14 hari sebelum pemilu; dan
(b) ketika dibentuk, membuka kepaniteraannya 7 hari
sebelum pemilu.
Pasal 134.Waktu untuk Mengajukan Gugatan Pemilu
(1) Sebuah gugatan pemilu harus diajukan dalam waktu 21 hari
setelah tanggal pengumuman hasil pemilu;
(2) Tribunal Pemilu wajib menyampaikan keputusannya secara tertulis
dalam 180 hari dari tanggal dimasukkannya gugatan;
(3) Sebuah banding dari keputusan Tribunal atau pengadilan pemilu
wajib disidangkan atau ditolak dalam waktu 90 hari dari tanggal
penyampaian keputusan Tribunal;
(4) Pengadilan dalam seluruh banding dari Tribunal Pemilu dapat
mengadopsi praktik pertama-tama memberikan keputusannya
dan menulis pertimbangan hukumnya belakangan;
Pasal 142.Sidang Gugatan Pemilu yang Dipercepat
Tanpa praduga ketentuan bagian 294 subbagian (1) dari Konstitusi Republik
Federal Nigeria sebuah gugatan pemilu dan banding yang muncul di
364
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
bawah Undang-Undang ini akan ditangani melalui sidang yang dipercepat
dan akan menjadi preseden bagi seluruh kasus lainnya di hadapan Tribunal
atau pengadilan.
Thailand
Undang-undang Organik tentang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Penetapan Senator (2010)
§57.Tidak ada Pejabat Negara yang, dengan melaksanakan fungsinya
secara tidak sah, melakukan tindakan yang menguntungkan atau tidak
menguntungkan kepada kandidat atau partai politik.
Pelaksanaan fungsi yang tidak sah di bawah paragraf satu harus tidak
termasuk kinerja tugas dalam sebuah posisi biasa suatu pejabat negara
atau nasihat atau bantuan dalam sebuah pemilu kandidat atau partai politik
yang tidak relevan dengan kinerja tugas-tugasnya, terkait apakah tindakan
tersebut menguntungkan atau tidak menguntungkan kandidat atau partai
politik manapun.
Dalam hal dimana tampaknya terdapat bukti yang meyakinkan dari
pelanggaran apapun dari ketentuan paragraf satu, Komisi Pemilu wajib,
jika menjadi opini bahwa ada tindakan apapun bisa menguntungkan atau
tidak menguntungkan bagi kandidat atau partai politik manapun, memiliki
kekuasaan untuk memerintahkan pejabat Negara untuk menghentikan
atau menunda aksi tersebut. Untuk maksud ini, komisi pemilu wajib
memberitahukan atasan atau pengawas pejabat tersebut untuk
memerintahkan bahwa pejabat tersebut wajib melepaskan jabatannya
sementara atau wajib melampirkan ke Kementerian, Sub-Kementerian,
Departemen, kantor pusat Changwat atau kantor Amphoe di dalam atau
di luar konstituensi atau untuk melarang orang tersebut untuk memasuki
konstituensi manapun.
§103.Sebelum pengumuman hasil pemilu, jika Komisi Pemilu mempertimbangkan
bahwa, setelah penyelidikan dan pemeriksaan, terdapat bukti bahwa
Appendix B
365
seorang kandidat melakukan pelanggaraan terhadap Undang-Undang
Organik, Peraturan atau Pemberitahuan Komisi Pemilu, atau situasi
menunjukkan bahwa seorang kandidat menyebabkan orang lainnya untuk
melakukan tindakan tersebut, mendukung atau berkomplot melakukan
tindakan tersebut, mengetahui dan tidak menghentikan tindakan tersebut,
dan jika Komisi Pemilu mempertimbangkan bahwa tindakan tersebut
mungkin menyebabkan pemilu menjadi tidak jujur dan tidak adil, maka
Komisi Pemilu wajib memerintahkan penghapusan hak pencalonan untuk
setiap kandidat yang melakukan tindakan tersebut untuk periode satu
tahun efektif dari tanggal perintah Komisi Pemilu.
Jika tampak bukti yang meyakinkan bahwa seorang pemimpin atau
anggota Komite Eksekutif dari partai politik berkomplot atau mengabaikan
atau telah mengetahui tetapi tidak menghapuskan atau memperbaiki,
untuk tujuan pemilu yang jujur dan adil, tindakan dibawah ayat satu,
partai politik akan dianggap telah melakukan melakukan sebuah tindakan
untuk memperoleh kekuasaan untuk menguasai negara dengan cara
yang tidak sesuai dengan modus operandi sebagaimana diatur dalam
Konstitusi. Dalam kasus tersebut, Komisi Pemilu akan, di bawah Undang-
Undang Organik tentang Partai-Partai Politik, mengajukan mosi kepada
Mahkamah Konstitusi untuk membubarkan partai politik. Dalam kasus
dimana Mahkamah Konstitusi memerintahkan pembubaran partai politik,
Mahkamah Konstitusi wajib menghapuskan hak pencalonan pimpinannya
dan anggota Komite Eksekutif dari partai politik tersebut untuk periode
lima tahun efektif dari tanggal perintah pembubaran.
Dalam hal dimana tampak bagi Komisi Pemilu bahwa terdapat pelanggaran
di bawah ayat satu, terlepas dari tindakan yang dilakukan oleh perorangan
manapun, jika Komisi Pemilu memandang bahwa seorang kandidat
atau partai politik memperoleh manfaat dari tindakan tersebut, Komisi
Pemilu memiliki kekuasaan untuk memerintahkan kandidat atau partai
politik menghentikan atau meneruskannya dalam rangka memperbaiki
ketidakjujuran dan ketidakadilan dalam batas waktu yang disarankan.
Dalam kasus dimana kandidat atau partai politik, tanpa alasan yang masuk
akal, gagal untuk melaksanakan perintah Komisi Pemilu, harus diasumsikan
bahwa kandidat merupakan pendukung tindakan tersebut atau partai
politik berkomplot melakukan tindakan tersebut, kecuali kasus dimana
366
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
kandidat atau partai politik membuktikan bahwa mereka tidak berkomplot
melakukan hal tersebut.
Penyelesaian Komisi Pemilu untuk menghapus hak pencalonan di
bawah Bagian ini harus sesuai dengan Undang-Undang Organik tentang
Komisi Pemilu.
Ketika terdapat perintah untuk menghapus hak pencalonan dari seorang
kandidat atau Mahkamah Konstitusi memerintahkan penghapusan hak
pencalonan bagi seorang pemimpin atau anggota Komite Eksekutif partai
politik, dimulainya prosedur pidana terhadap kandidat, pemimpin atau
anggota Komite Eksekutif partai politik juga bisa dipertimbangkan. Dalam
kasus tersebut, wajib dipandang bahwa Komisi Pemilu adalah orang
yang dirugikan di bawah Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Criminal
Procedure Code).
Dalam hal dimana sebuah perintah untuk menghapuskan hak pencalonan
di bawah Bagian ini dilakukan setelah hari pemungutan suara tetapi
sebelum hari pengumuman hasil pemilu dan kandidat yang memiliki hak
pencalonan dihapuskan, merupakan kandidat di basis daerah pemilihan
yang menerima sejumlah suara yang mencukupi untuk dipilih di daerah
pemilihan tersebut, Komisi Pemilu akan memerintahkan sebuah pemilu
baru agar daerah pemilihan tersebut memiliki jumlah kandidat terpilih
yang mencukupi.
§107.Dalam hal dimana selama periode di bawah Bagian 49 terdapat bukti
yang meyakinkan bahwa seseorang memberikan, menawarkan untuk
memberikan atau berjanji untuk memberikan uang atau harta benda untuk
kepentingan mendorong seorang pemilih untuk memilih kandidat atau
partai politik tertentu atau untuk abstain dari memberikan suara kepada
kandidat atau partai politik atau menyiapkan uang atau harta benda untuk
perbuatan tersebut, Komisi Pemilu memiliki kekuasaan untuk menyita
uang atau harta benda orang tersebut secara sementara hingga pengadilan
menerbitkan sebuah keputusan.
Appendix B
367
Komisi Pemilu akan mengajukan sebuah mosi kepada Pengadilan Changwat
atau Pengadilan Perdata yang yurisdiki penyitaannya berlangsung dalam
tiga hari dari tanggal penyitaan di bawah ayat satu. Ketika Pengadilan
menerima mosi, Pengadilan wajib melaksanakan penyelidikan ex parte yang
harus selesai dalam lima hari dari tanggal mosi diterima. Jika Pengadilan
mempertimbangkan bahwa uang atau harta benda di dalam mosi secara
tidak sah digunakan untuk pemilu, pengadilan akan memerintahkan
penyitaan uang atau harta benda hingga pengumuman hasil pemilu.
Ukraina
Undang-undang Ukraina tentang Pemilu Wakil Rakyat Ukraina (People’s Deputies of Ukraine) (2007)
Pasal 59.Deposit Moneter
1. Deposit moneter berbentuk dua ribu kali gaji minimum dan
dibayarkan oleh pihak (blok) dalam bentuk tunai kepada rekening
khusus Komisi Pemilu Pusat (Central Election Commission).
2. Jika Komisi Pemilu Pusat mengadopsi sebuah keputusan untuk
menolak pendaftaran seluruh kandidat untuk wakil, deposit
moneter yang dibayarkan akan ditransfer ke rekening pihak (blok)
dalam waktu lima hari setelah keputusan tersebut dikeluarkan.
3. Ketika sebuah keputusan tentang pendaftaran seluruh kandidat
untuk wakil, termasuk daftar pemilih suatu pihak (blok) sesuai
dengan paragraf empat Pasal 62 dan paragraf sepuluh Pasal
63 Undang-Undang ini, dibatalkan, deposit moneter akan
ditransfer ke Anggaran Negara Ukraina dalam lima hari setelah
keputusan dikeluarkan.
4. Deposit moneter akan dikembalikan ke para pihak (blok-blok),
yang mengambil bagian dalam pembagian mandat wakil.
5. Deposit moneter, yang dibayarkan suatu pihak (blok) yang tidak
mengambil bagian dalam pembagian mandat wakil, akan ditransfer
ke Anggaran Negara Ukraina dalam waktu delapan hari setelah
pengumuman resmi hasil pemilu.
368
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pasal 60.Pengumuman Kekayaan dan Penghasilan Kandidat untuk Wakil Rakyat
1. Pengumuman kekayaan dan penghasilan seorang kandidat
untuk wakil pada tahun sebelum dimulainya proses pemilu harus
dilakukan sendiri oleh kandidat tersebut.
2. Menteri Keuangan Ukraina harus menyetujui format deklarasi
kekayaan dan penghasilan seorang kandidat untuk wakil tidak
lebih dari seratus tiga puluh hari sebelum hari pemungutan suara.
3. Komisi Pemilu Pusat dapat meminta informasi ke Kantor
Administrasi Pajak Negara (State Tax Administration) dan
menunjuknya untuk memverifikasi informasi yang dibuat dalam
deklarasi kekayaan dan penghasilan seorang kandidat untuk wakil.
4. Kesalahan dan ketidakakuratan yang terungkap di dalam deklarasi
harta benda dan penghasilan dapat diperbaiki dan bukan menjadi
alasan untuk penolakan pencalonan seorang kandidat untuk wakil.
Pasal 61.Prosedur Pendaftaran Kandidat untuk Wakil
1. Para kandidat untuk wakil yang termasuk dalam daftar suatu
pihak (blok) akan didaftarkan oleh Komisi Pemilu Pusat dengan
kondisi penyerahan dokumen yang diatur oleh Pasal 58 Undang-
Undang ini.
2. Penyerahan berbagai dokumen untuk pendaftaran kandidat untuk
wakil ke Komisi Pemilu Pusat harus selesai tidak lebih dari delapan
puluh lima hari sebelum hari pemungutan suara.
3. Seseorang yang dimasukkan ke dalam daftar kandidat untuk
wakil oleh suatu pihak (blok), yang pada hari partai (blok) tersebut
menyerahkan pernyataan tentang pendaftaran kandidat untuk
wakil, gagal untuk menyerahkan pernyataan yang memberikan
izin untuk maju sebagai kandidat untuk wakil dari partai (blok)
tersebut, akan dipertimbangkan untuk dikecualikan dari daftar
kandidat partai (blok) tersebut sejak hari pihak (blok) tersebut
menyerahkan pernyataan menurut sub-ayat 1 dari ayat satu dari
Pasal 58 Undang-Undang ini. Sebuah pernyataan dari orang ini,
yang memberikan izin untuk maju, yang diserahkan setelah partai
(blok) tersebut telah menyerahkan pernyataan tentang pendaftaran
para kandidat untuk wakil, tidak dapat diterima.
Appendix B
369
4. Seseorang yang termasuk dalam daftar kandidat pada suatu
partai (blok) memiliki hak untuk menarik kembali pernyataan
persetujuannya untuk maju sebagai kandidat sebagai wakil
sampai hari pendaftaran. Dari saat ketika Komisi Pemilu Pusat
menerima sebuah pernyataan untuk menarik persetujuan untuk
maju sebagai kandidat untuk wakil, orang tersebut akan dianggap
dikecualikan dari daftar partai (blok). Komisi Pemilu Pusat akan
memberitahukan partai (blok tersebut) secara tertulis tentang
penerimaan pernyataan tersebut paling lambat satu hari setelah
penerimaaan pernyataan tersebut. Sebuah pernyataan ulang dari
persetujuan seseorang untuk maju sebagai kandidat untuk wakil
dari suatu pihak (blok), tidak dapat diterima.
5. Seseorang yang termasuk dalam beberapa daftar pemilu
partai-partai (blok-blok) menurut pernyataan tertulis tentang
persetujuannya maju sebagai kandidat untuk wakil atas nama
pihak-pihak ini, harus dikeluarkan dari seluruh daftar dimana dia
dimasukkan melalui keputusan Komisi Pemilu Pusat.
6. Dalam hal pelaksanaan pemilu reguler dari wakil rakyat, Komisi
Pemilu Pusat akan, dalam waktu tidak lebih dari hari ke-17 setelah
penerimaan sebuah pernyataan dan berbagai dokumen yang
diperlukan yang terlampir tentang pendaftaran kandidat untuk
wakil, mengeluarkan keputusan untuk mendaftarkan kandidat
untuk wakil atau menolak pendaftaran (Paragraf enam dari Pasal
61 dengan amandemen yang dibuat sesuai dengan UU No 1114-V
pada 01.06.2007)
7. Daftar dan urutan kandidat untuk wakil dalam daftar kandidat
ditentukan oleh suatu partai (blok) tidak dapat diubah setelah
pendaftaran mereka oleh Komisi Pemilu Pusat, kecuali untuk
pengecualian beberapa kandidat tertentu dari daftar dalam kasus
sebagaimana digambarkan oleh Undang-Undang ini.
8. Jika para kandidat untuk wakil didaftarkan, perwakilan partai (blok)
di Komisi Pemilu Pusat harus diberikan pengesahan kandidat untuk
wakil dalam bentuk yang ditetapkan oleh Komisi Pemilu Pusat,
bersama dengan salinan keputusan untuk mendaftarkan kandidat
dalam tiga hari setelah keputusan yang terkait dikeluarkan.
Daftar kandidat untuk wakil suatu partai (blok) bersama dengan
370
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
keputusan tentang pendaftaran harus dipublikasikan di surat kabar
Holos Ukruayiny dan Uriadovyy Kuryer dalam waktu yang sama
9. Jika Komisi Pemilu Pusat mengungkapkan tanda-tanda adanya
pelanggaran ayat satu dari Pasal 37 Konstitusi Ukraina dalam
dokumen, yang diserahkan oleh suatu partai (blok), ia berkewajiban
untuk menyampaikannya ke Kementerian Kehakiman Ukraina
tentang dimasukkannya permohonan tersebut ke Mahkamah Agung
Ukraina terkait pelarangan aktivitas partai tersebut. Pertimbangan
isu pendaftaran kandidat untuk para wakil dari partai (blok) ini harus
ditunda hingga keputusan pengadilan memiliki dampak hukum.
Zambia
Undang-undang Pemilu (2006)
§102.Pengadilan Gugatan Pemilu
(1) Suatu gugatan pemilu dapat disidangkan dan diputuskan oleh
Pengadilan Tinggi lewat sidang terbuka, dalam waktu seratus
delapan puluh hari dari pendaftaran gugatan pemilu sebagaimana
diatur di bawah bagian sembilan puluh tujuh:
Dengan syarat bahwa dimana sebuah gugatan pemilu tidak
disidangkan dan diputuskan dalam masa yang dirinci di dalam
sub bagian ini karena kegagalan dari pihak penggugat secara
aktif memperkarakan gugatannya, Pengadilan Tinggi wajib
membatalkan gugatan tersebut untuk diperkarakan.
(2) Pengadilan Tinggi dapat menunda sidang gugatan pemilu dari
waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat.
(3) Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini, Pengadilan Tinggi
dalam hal sidang sebuah gugatan pemilu, dapat melaksanakan
kewenangannya dalam yurisdiksi perdata, sebagaimana
dipandang layak.
(4) Pada sidang sebuah gugatan pemilu, sebuah verbatim (detail) dari
seluruh bukti yang diberikan secara lisan di dalam pengadilan harus
diambil dan ditranskrip, dan catatan tersebut harus disampaikan
kepada Komisi oleh Pencatat, pada akhir persidangan.
“Dari gambaran umum yang luas tentang setiap topik hingga ilustrasi yang meyakinkan dari berbagai praktik dan prosedur khusus, GUARDE menerapkan standar-standar internasional untuk berbagai persoalan praktis. Dengan melakukan hal tersebut, GUARDE menyoroti topik-topik yang paling relevan yang termasuk penyelesaian keberatan Pemilu, dan memberikan berbagai jawaban untuk berbagai pertanyaan yang seharusnya ditanyakan oleh administrator, arbitrator dan hakim Pemilu”
Barry H. Weinberg Mantan Pejabat Ketua, Seksi Pemilu, Divisi Hak Sipil
Departemen Kehakiman Amerika Serikat (Former Acting Chief, Voting Section of the Civil Rights Division United States Department of Justice)
International Foundation for Electoral Systems
1850 K Street, NW
Fifth Floor
Washington, D.C. 20006
USA
Tel: +1.202.350.6700
Fax: +1.202.350.6701
www.IFES.org
© IFES 2011