148
INDEF

INDEFindef.or.id/source/research/Buku PEI 2012.pdf · besar dalam perekonomian, sehingga ada pameo ‘pemerintah tidur pun ekonomi tetap tumbuh’. Sebuah ungkapan yang tidak berlebihan

Embed Size (px)

Citation preview

INDEF

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

i

Proyeksi Ekonomi Indonesia 2012:

Badai Krisis Ekonomi

Dan Jebakan Liberalisasi

INDEF

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

ii

Proyeksi Ekonomi Indonesia 2012:

Badai Krisis Ekonomi

dan Jebakan Liberalisasi

Penulis: Ahmad Erani Yustika, Enny Sri Hartati,

Eko Listiyanto, Ahmad Heri Firdaus , Abdul Manap Pulungan,

Abra Puspa Ghani Talattov, Imaduddin Abdullah,

Eisha Maghfiruha Rachbini, Romora Edward Sitorus,

Agus Herta Sumarto

Desain Cover dan Tata Letak: Sarwo Edy

ISBN: 979-97810-11

November 2011

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

iii

Daftar Isi

Daftar Isi iii

Bab 1. Pendahuluan 1

Bab 2. Perkembangan Makro dan Mikro Ekonomi Indonesia 9

2.1. Pertumbuhan Ekonomi 10

2.2. Inflasi 12

2.3. Suku Bunga dan Pasar Keuangan 15

2.4. Nilai Tukar 16

2.5. Investasi 19

2.6. Ekspor-Impor : Gerbang Krisis Ekonomi 23

2.7. Perbankan 27

2.8. Kebijakan Fiskal 29

Bab 3. Bank Asing vs Bank Lokal 33

3.1. Rivalitas Bank Asing dan Bank Lokal 33

3.2. Kinerja Bank Lokal vs Bank Asing 38

3.3. Kendala Perbankan Lokal 49

3.4. Tantangan dan Peluang Perbankan Ke Depan 57

Bab 4. Jebakan Liberalisasi Perdagangan: Kasus ACFTA 61

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

iv

4.1. Bagaimana Indonesia? 64

4.2. Indonesia Terlibas ACFTA 66

4.3. Gagal Memanfaatkan Peluang 70

4.4. Penyiapan Pasar Domestik 71

4.5. Merumuskan Strategi 72

Bab 5. Indonesia Menghadapi Krisis Utang EURO Area 77

5.1. Titik Kritis Krisis Euro Area 77

5.2. Asia Timur Mengantisipasi Krisis 54

5.3. Dampak Krisis Utang Eropa terhadap Indonesia 92

5.4. Langkah Antisipasi Krisis Euro Area ke Indonesia 102

Bab 6. MMPP33EEII ddaann PPeenngguuaattaann EEkkoonnoommii DDoommeessttiikk 110077

6.1. MP3EI: Rencana di Atas Rencana 108

6.2. Sebuah Gebrakan Pencitraan Minim Persiapan 111

6.3. Dukungan MP3EI Bagi Penguatan Ekonomi Domestik 112

6.4. Penguatan Ekonomi Domestik Melalui Agroindustri 114

Bab 7. Proyeksi Ekonomi Indonesia 2012 127

7.1. Proyeksi Ekonomi Indonesia oleh Lembaga Lain 128

7.2. Pertumbuhan Ekonomi 2012 129

7.3. Inflasi 131

7.4. Suku Bunga 131

7.5. Nilai tukar 132

7.6. Pengangguran dan Kemiskinan 133

Daftar Pustaka 135

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

v

Daftar Tabel

Tabel 2.1. Pertumbuhan Ekonomi Menurut Penggunaan 11

Tabel 2.2. Ekonomi Menurut Lapangan Usaha

dan Kontribusinya 12

Tabel 2.3. Pertumbuhan dan Nilai Ekspor berdasarkan Negara

Tujuan (Agustus-September 2011) 24

Tabel 2.4. Perkembangan Total Ekspor dan 12 Besar Ekspor Hasil

Industri (2006 – 2011) 26

Table 2.5. Indikator Kesehatan Perbankan Nasional 28

Tabel 2.6. Realisasi APBN Tahun 2005 – 2011 31

Tabel 3.1. Jumlah Bank di Indonesia 35

Tabel 3.2. Jumlah Kantor Bank Lokal dan Bank Asing di Indonesia 36

Tabel 3.3. Kepemilikan Asing dalam Bank Nasional 36

Tabel 3.4. Batasan Kepemilikan Asing di Bank Umum

beberapa Negara ASEAN 37

Tabel 3.5. Perkembangan DPK Bank Lokal dan Bank Asing 40

Tabel 3.6. Komposisi DPK Bank Lokal dan Bank Asing 41

Tabel 3.7. Perkembangan Aset Bank Lokal dan Bank Asing 42

Tabel 3.8 Perkembangan Kredit Bank Lokal dan Bank Asing 43

Tabel 3.9 Perkembangan Kredit Berdasarkan Jenis Penggunaan 44

Tabel 3.10. Perkembangan Kredit Berdasarkan Sektor Ekonomi 45

Tabel 3.11. Perkembangan LDR 46

Tabel 3.12. Perkembangan NPL 47

Tabel 3.13. Perkembangan NIM 48

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

vi

Tabel 3.14. Penempatan Dana di SBI 49

Tabel 3.15. Perkembangan Suku Bunga Kebijakan dan Suku Bunga

Perbankan Beberapa Negara 52

Tabel 3.16. Distribusi Ekspor Menurut Negara 58

Tabel 4.1. Neraca Perdagangan Indonesia (Juta US$) 64

Tabel 4.2. Neraca Perdagangan Indonesia dengan China (Juta US) 68

Tabel 5.1. Neraca Anggaran Pemerintah dan Rasio Utang di Euro Area

(Persentase terhadap PDB) 79

Tabel 5.2. Indikator Sustainabilitas Eksternal Indonesia

(2010-Semester I 2011) 99

Tabel 6.1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha 116

Tabel 6.2. Rekapitulasi Indeks Keterkaitan ke Belakang

Agrobased Industries Indonesia pada Periode

1995-2008 120

Tabel 7.1. Proyeksi Ekonomi Indonesia 2012 INDEF 133

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

vii

Daftar Gambar

Gambar 2.1. Inflasi Menurut Komponen Umum, Inti, Barang

bergejolak dan Harga yang Diatur Pemerintah

(2009-2011) 13

Gambar 2.2. Inflasi Bulanan Menurut Komponen Umum,

Inti, Gejolak, dan Pemerintah

(Januari – Oktober 2011) 14

Gambar 2.3. Perkembangan Harga Komoditas Dunia (2010-2011) 15

Gambar 2.4. Perkembangan Suku Bunga Domestik 16

Gambar 2.5. Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS 17

Gambar 2.6. Perkembangan Suku Bunga Internasional 2011 18

Gambar 2.7. Penanaman Modal Asing (PMA/FDI) yang telah

Direalisasikan 19

Gambar 2.8. Ketimpangan Investasi PMA dan PMDN 20

Gambar 2.9. Realisasi Investasi PMA Menurut Negara pada

Triwulan II 2011 22

Gambar 2.10. Perkembangan Ekspor-Impor Indonesia 2011 25

Gambar 2.11. Tingkat CAR Perbankan Indonesia (persen) 28

Gambar 2.12. Postur Belanja APBN, Tahun 2007 – 2011 30

Gambar 4.1. Neraca Perdagangan Beberapa Negara 63

Gambar 4. 2. Pertumbuhan Ekonomi Beberapa Negara 63

Gambar 5.1. Yield Spread Surat Utang Negara terhadap

German Bunds 81

Gambar 5.2. Dampak Krisis Utang 83

Gambar 5.3. Pertumbuhan GDP Dunia (persen) 85

Gambar 5.4. Pertumbuhan GDP Singapura 87

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

viii

Gambar 5.5. Pertumbuhan GDP Indonesia 88

Gambar 5.6. Rata Pertumbuhan Ekonomi Negara Maju dan

Berkembang 89

Gambar 5.7. Perekonomian ASEAN Terpilih: Ekspor ke China

(Januari 2008=100; 3-bulan moving average) 96

Gambar 5.8. Nilai dan Volume Perdagangan IHSG (Januari 2010-

September 2011) 98

Gambar 5.9. Nilai Tukar Rupiah terhadap US$

(January-September 2011) 101

Gambar 6.1. Penguatan Struktur Ekonomi Berbasis Sumberdaya 117

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

1

Bab Bab Bab Bab 1111

PPeennddaahhuulluuaann

Belum surut dari ingatan tentang pecahnya gelembung kredit

perumahan yang melanda perekonomian Amerika Serikat (AS) pada

2007 lalu, muncul krisis lanjutan yang menimpa perekonomian Uni

Eropa (UE) akibat jebolnya APBN dalam menutup utang. Berbeda

dengan krisis di AS yang lebih dipicu oleh sektor swasta, krisis di UE

dipicu oleh kekhawatiran terjadinya gagal bayar oleh pemerintah atas

surat-surat utang yang sudah jatuh tempo. Rentetan krisis di AS dan UE

ini berlangsung dalam tempo yang relatif cepat dan saling berkaitan. Di

saat perekonomian AS belum pulih dari krisis, kini zona euro juga

mengalami penurunan perekonomian yang tidak kalah parah.

Mengingat magnitude krisis yang demikian luas –menimpa dua

kawasan utama ekonomi dunia- diperkirakan pada 2012 baik AS mapun

UE belum mampu pulih dari krisis.

Menghadapi situasi berlanjutnya krisis AS dan munculnya krisis

UE ini, tentu saja Indonesia harus segera berbenah agar perekonomian

nasional tidak terkontaminasi atas memburuknya perekonomian di

kedua kawasan tersebut. Tak dapat dipungkuri bahwa krisis demi krisis

yang pernah terjadi di Indonesia, pemicunya tak terlepas dari faktor

eksternal, diperparah dengan kondisi internal yang tidak mendukung.

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

2

Krisis moneter 1997, misalnya, dipicu oleh pelemahan mata uang bath-

Thailand, yang berlanjut pada penarikan modal secara besar-besaran

pada hampir seluruh negara-negara di kawasan Asia Tenggara.

Sedangkan pada krisis global 2009, dampak yang relatif kecil dibanding

negara-negara lain dikarenakan porsi konsumsi dalam negeri yang

besar dalam perekonomian, sehingga ada pameo ‘pemerintah tidur pun

ekonomi tetap tumbuh’. Sebuah ungkapan yang tidak berlebihan jika

melihat fakta tidak efektifnya stimulus fiskal kala itu, di mana sebagian

besar program terkendala waktu dan buruknya ketepatan sasaran

program.

Belajar dari pengalaman masa lalu tersebut, pemerintah

Indonesia ke depan diharapkan dapat lebih kontributif dan antisipatif

atas kemungkinan penjalaran krisis utang UE dan berlanjutnya krisis AS.

Kontributif dalam arti pemerintah harus melakukan upaya nyata

melalui berbagai kebijakan yang membuat perekonomian 2012 dapat

terhindar dari penjalaran krisis. Jika keberadaan pemerintah dalam

pengelolaan ekonomi 2012 sama saja, ini menunjukkan pemerintahan

yang abai dan lalai. Sedangkan antisipatif berarti pemerintah harus

mempersiapkan berbagai strategi meredam krisis UE dan AS tersebut

sedini mungkin, tidak reaktif. Dengan langkah-langkah yang terencana,

kebijakan menghindar dari krisis akan lebih efektif.

Badai krisis ekonomi yang datang kali ini diperkirakan akan lebih

sulit ditaklukkan. Selain karena krisis terbaru di UE dipicu oleh utang

pemerintah yang terlalu besar, harapan untuk segera pulihnya krisis

ekonomi di AS pun harus menunggu lebih lama. Padahal UE dan AS

merupakan dua kawasan utama perekonomian dunia hingga saat ini.

Lebih dari itu, selama ini kedua kawasan tersebut merupakan kiblat

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

3

pembuatan kebijakan ekonomi dan contoh negara-negara maju yang

mampu mengelola perekonomian secara baik dan menyejahterakan,

setidaknya hingga sebelum badai krisis menerpa.

Di luar semua sisi gelap tentang dampak krisis AS dan UE, krisis

ekonomi ini membuat pergeseran kutub ekonomi dunia dari Amerika-

Eropa ke Asia. Sebuah peluang bagi negara-negara di Asia untuk

menjadi negara yang diperhitungkan dikancah perekonomian dunia ke

depan. Sejauh ini China menjadi negara yang secara terang-terangan

diharapkan UE untuk berkontibusi membantu proses penyelamatan

zona euro dari memburuknya krisis, seperti peran yang pernah

dimainkannya sewaktu gelembung kredit perumahan di AS pecah.

Tentu saja Asia tidak hanya China dan India, dua negara yang semakin

diperhitungkan dalam perekonomian dunia, terutama di saat krisis.

Indonesia dapat menjadi negara yang diperhitungkan berikutnya jika

mampu menghindar dari ‘ujian ekonomi’ penjalaran krisis UE dan

berlanjutnya krisis AS. Seperti pada 2009 lalu di mana tiga negara besar

di Asia ini mampu melewati krisis global dengan pertumbuhan positif.

Apalagi, Indonesia mempunyai sumber daya alam yang melimpah

sebagai basis pertumbuhan ekonomi yang paling aman.

Bagian lain perekonomian Indonesia yang perlu dicermati ke

depan adalah fenomena liberalisasi yang semakin menjalar di semua

lini ekonomi. Liberalisasi ekonomi yang tidak terkendali berpotensi

menjebak perekonomian pada situasi ‘fatamorgana pertumbuhan’, di

mana ekonomi tumbuh tinggi tetapi sangat sedikit yang dapat

merasakan manfaatnya. Seolah-olah pertumbuhan ekonomi

mencerminkan peningkatan kesejahteraan sebagian besar masyarakat,

padahal situasi riil tidak demikian.

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

4

Liberalisasi yang kebablasan dapat menyeret pada pertumbuhan

ekonomi yang tidak berkualitas, ekonomi tumbuh tetapi yang

menikmati negara lain. Tidak berlakunya asas resiprokal pada bisnis

perbankan antarnegara yang terjadi saat ini merupakan contoh nyata

dampak dari liberalisasi yang berlebihan dalam perekonomian.

Indonesia membuka kesempatan seluas-luasnya bagi investasi di sektor

perbankan dalam negeri, sementara bank umum dari Indonesia tidak

mendapat perlakuan yang sama ketika hendak ekspansi di luar negeri.

Persoalan-persoalan liberalisasi serupa juga sering ditemui di sektor-

sektor lain, seperti liberalisasi pertanian, perdagangan, sumber daya

alam, dan lain-lain.

Mengingat besarnya pengaruh krisis UE dan berlanjutnya krisis

AS terhadap perekonomian Indonesia 2012 maka perlu dianalisis

dampaknya, serta sejauh mana kesiapan pemerintah dalam

menyiapkan amunisi kebijakan moneter dan fiskal mengantisipasi krisis

tersebut. Pada sisi lain, jebakan liberalisasi juga harus dihindari agar

tumbuhnya perekonomian dalam negeri dapat dinikmati sebesar-

besarnya oleh bangsa sendiri. Pada kerangka inilah INDEF membuat

Proyeksi Ekonomi Indonesia 2012 guna menyampaikan informasi

perkembangan ekonomi selama setahun ini dan perkiraan pencapaian

tahun depan. Tulisan ini akan diawali dengan paparan tentang

perkembangan makro dan mikro ekonomi Indonesia selama 2011.

Bagian berikutnya mengulas tentang liberalisasi, terutama potensi

liberalisasi finansial dan perdagangan. Diantaranya membahas

kontradiksi bank asing vs. bank lokal dalam perekonomian nasional

yang diikuti dengan uraian tentang MP3EI dan penguatan ekonomi

domestik. Analisis penjalaran krisis utang euro area ditampilkan pada

bagian berikutnya. Tulisan diakhiri dengan uraian proyeksi ekonomi

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

5

Indonesia 2012 disertai berbagai catatan isu ekonomi yang perlu

diperhatikan di tahun mendatang.

Perkembangan Makro dan Mikro Ekonomi Indonesia

menguraikan berbagai perkembangan indikator makro dan mikro

ekonomi dalam satu tahun ini. Target pertumbuhan ekonomi Indonesia

pada 2011 sebesar 6,5 persen kemungkinan besar dapat tercapai.

Angka tersebut memberikan sebuah nilai rapor yang menggembirakan

jika dapat tercapai, sementara perekonomian dunia sendiri

diperkirakan mengalami perlambatan. Namun, pertumbuhan ekonomi

Indonesia masih disokong oleh konsumsi masyarakat yang tinggi.

Seharusnya, pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkelanjutan

memiliki kontribusi komponen investasi yang tinggi dibandingkan

komponen konsumsi. Di sisi mikro, tampak bahwa inefisiensi birokrasi,

akses kredit bagi UMKM, serta penguatan sektor riil belum banyak

perubahan yang signifikan.

Liberalisasi finansial dan perdagangan memaparkan bagaimana

kecenderungan terjadinya liberalisasi finansial, terutama pada

perbankan dan liberalisasi perdagangan. Kecenderungan liberalisasi di

sektor perbankan, terlihat jelas bagaimana sepak terjang bank asing

dalam menjalankan aktivitas bisnisnya di Indonesia selama ini -

mengacu pada PP No 29 Tahun 1999- di mana bank lokal boleh dimiliki

oleh pihak asing hingga 99 persen. Pasca diberlakukannya paket

kebijakan Oktober 1988, secara fundamental terjadi perkembangan

yang cukup signifikan terhadap industri perbankan nasional. Tidak

hanya bank-bank lokal saja yang dapat tumbuh dengan subur, tetapi

juga bank-bank asing yang menancapkan kakinya di Indonesia juga

turut merasakan kebebasannya dalam melakukan aktivitas bisnis.

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

6

Ditambah lagi dengan hadirnya UU No 10 Tahun 1998 dan PP No. 29

Tahun 1999 menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara yang begitu

terbuka dan bebas memberikan kesempatan bagi pemilik modal asing

untuk menjalankan bisnis di sektor perbankan nasional. Jika asas

resiprokal investasi perbankan antarnegara tidak diberlakukan,

dikhawatirkan ‘liberalisasi’ ini akan menggeser peran bank lokal dalam

perekonomian Indonesia ke depan. Sementara liberalisasi per-

dagangan, terlihat jelas dari membanjirnya produk-produk impor ke

pasar domestik.

MP3EI dan Penguatan Ekonomi Domestik berisi koreksi

kebijakan dalam mempertajam apa yang seharusnya dilakukan oleh

pemerintah untuk mewujudkan target MP3EI -cita-cita menjadi 10

negara terbesar pada 2025- dapat terealisasi. Sejatinya, melalui UU No.

25/2004 dan UU No. 17/2003 tentang Sistem Perencanaan dan

Penganggaran, yang selanjutnya diterjemahkan menjadi RPJPN 2005-

2025, RPJMN 2010-2014, serta RKP/APBN, pemerintah telah dibekali

dokumen perencanaan yang cukup untuk membangun perekonomian.

Memosisikan MP3EI sebagai bagian integral dari dokumen-dokumen

yang sudah terlebih dahulu ada dan disepakati justru berpotensi

mengaburkan fokus pembangunan yang sudah direncanakan. Pada

subbab lain juga diuraikan tentang perlunya penguatan ekonomi

domestik melalui agroindustri yang bernilai tambah. Struktur ekonomi

yang kokoh dapat berdasarkan pada basis ketersediaan sumber daya

alam dan produk unggulan yang dapat diolah dan dimanfaatkan

secara optimal.

Indonesia Menghadapi Krisis Utang Euro Area memaparkan

potensi penjalaran krisis utang euro area ke kawasan Asia dan

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

7

Indonesia. Meskipun terbentuknya euro area memberikan keuntungan

kepada anggota-anggotanya dengan memperluas tingkat integrasi

keuangan, namun hubungan yang ekstensif antara bank-bank dan

pengumpulan dana untuk surat utang luar negeri di euro area dapat

memfasilitasi transmisi kejutan (shocks) yang cepat sepanjang pasar-

pasar keuangan. Bagian ini juga mengupas langkah-langkah antisipasi

krisis UE yang perlu dilakukan Indonesia. Selamat membaca, semoga

bermanfaat bagi perumusan kebijakan ekonomi yang lebih bermutu di

masa depan. �

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

9

Bab Bab Bab Bab 2222

Perkembangan Makro dan Mikro Ekonomi

Indonesia

Tahun 2007/2008 perekonomian dunia dilanda badai krisis

global yang bersumber dari krisis yang berawal dari Amerika Serikat.

Tekanan krisis belum mereda, menginjak tahun 2011 perekonomian

global kembali didera krisis dari Uni Eropa. Krisis yang dipicu oleh

kemungkinan gagal bayar Pemerintah Yunani tersebut telah

menimbulkan efek sistemik bagi perekonomian dunia. Bahkan

beberapa negara Uni Eropa, seperti Spanyol, Portugal, dan Italia sudah

menjadi negara yang berada dalam daftar tunggu krisis dan gagal bayar

berikutnya seperti yang telah dialami oleh Yunani.

Kondisi eksternal tersebut tentu saja berpengaruh pada

perekonomian domestik. Namun secara umum, indikator makro

ekonomi Indonesia selama 2011 masih menunjukkan kondisi yang

stabil. Hanya saja, data makro ekonomi sering kali tidak sesuai dengan

tataran realitas yang ada, apalagi dengan kondisi yang dirasakan

langsung oleh masyarakat. Pertumbuhan PDB, inflasi, nilai tukar, dan

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

10

indeks harga saham gabungan sering kali tidak sejalan dengan

peningkatan taraf hidup dan sumber mata pencaharian masyarakat.

Angka-angka makro kerap kali hanya sebagai fatamorgana.

Pertumbuhan ekonomi yang dianggap tinggi hanya sebatas pada angka-

angka, belum mampu menghasilkan kesejahteraan yang dirasakan

masyarakat. Penyebabnya, sumber pertumbuhan masih didominasi

oleh sektor non riil, seperti saham dan valas yang volatilitas dan

mobilitasnya sangat tinggi.

Untuk mengukur pertumbuhan ekonomi yang berkualitas,

tentunya tidak hanya dilihat dari prestasi indikator makro ekonomi

namun juga harus memotret kinerja sektor riil. Oleh karenanya

evaluasi ekonomi selama 2011 berikut juga akan mengulas

perkembangan dan kinerja sektor riil. Dengan demikian, potret

ekonomi Indonesia dapat dilihat dengan lebih proporsional dan

memberikan gambarkan yang lebih utuh.

2.1. Pertumbuhan Ekonomi

Kinerja perekonomian Indonesia hingga triwulan III masih

menunjukkan performa yang cukup baik dan sejalan dengan target

pertumbuhan 2011. Sampai dengan triwulan III 2011, ekonomi rata-

rata tumbuh sebesar 6,5 persen. Dari sisi Penggunaannya, penyumbang

tersebesar pertumbuhan adalah pengeluaran konsumsi, yaitu mencapai

63,3 persen. Kemudian disusul oleh pembentukan modal tetap bruto

sekitar 31,8 persen, ekspor neto sebesar 1,6 persen. Terlihat jelas

bahwa sumber pertumbuhan ekonomi masih didominasi oleh konsumsi

masyarakat yang tinggi. Idealnya, pertumbuhan ekonomi yang

berkualitas dan berkelanjutan mestinya disokong oleh seluruh

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

11

komponen pertumbuhan secara proporsional, baik investasi maupun

net ekspor.

Tabel 2.1. Pertumbuhan Ekonomi Menurut Penggunaan

Jenis Penggunaan

Pertumbuhan Ekonomi (yoy)

Persen (%)

Q1 Q2 Q3 Q1-Q3

Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga 4,5 4,6 4,8 4,6

Pengeluaran Konsumsi Pemerintah 2,8 4,5 2,5 3,3

Pembentukan Modal Tetap bruto (PMTB) 7,3 9,2 7,1 7,9

Ekspor Barang dan Jasa 12 17,4 18,5 16,2

Dikurangi Impor Barang dan Jasa 16 16 14,2 14,6

PDB 6,5 6,5 6,5 6,5

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011

Sementara dari sisi sektoral atau lapangan usaha, sektor

perdagangan, hotel dan restoran meningkat sebesar 10,1 persen (yoy)

di triwulan III 2011. Sektor tersebut memberikan sumbangan terbesar

terhadap pertumbuhan ekonomi dibandingkan lapangan usaha lainnya,

yaitu berkontribusi tumbuh 1,7 persen terhadap total pertumbuhan

ekonomi triwulan III 2011. Di sisi lain, terdapat beberapa sektor yang

menjadi komponen penyumbang terhadap pertumbuhan ekonomi,

yaitu sektor industri pengolahan, sektor pengangkutan dan komunikasi,

dan sektor keuangan, real estate dan jasa perusahaan, yang masing-

masing memberikan kontribusi pertumbuhan 1,7 persen, 0,9 persen,

dan 0,7 persen terhadap pertumbuuhan ekonomi triwulan III 2011.

Sedangkan jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, sektor

pertanian hanya tumbuh sebesar 5 persen (qtq), sementara di triwulan

I sektor tersebut tumbuh tajam sebesar 18,3 persen (qtq). Sektor

pertambangan dan penggalian bahkan mengalami penurunan kinerja,

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

12

yaitu perlambatan sebesar minus 1 persen (qtq) akibat penurun

produksi subsektor pertambangan bukan migas sebesar 4,1 persen

(qtq) pada triwulan II. Sedangkan pada triwulan III, sektor

pertambangan kembali tumbuh 2,9 persen (qtq).

Tabel 2.2. Pertumbuhan Ekonomi Menurut Lapangan Usaha

dan Kontribusinya

Lapangan Usaha

Pertumbuhan Ekonomi (yoy)

Persen (%)

Q1 Q2 Sem-1 Q3 Q1-Q3

Sumber

pertumbuhan

Q3 (yoy)

Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan

Perikanan 3,6 3,9 3,7 2,7 3,4 0,4

Pertambangan dan Penggalian 4,3 0,8 2,5 0,3 1,7 0

Industri pengolahan 5 6,1 5,6 6,6 5,9 1,7

Listrik, Gas, dan Air Bersih 4,3 3,9 4,1 5,2 4,5 0

Konstruksi 5,3 7,4 6,4 6,4 6,4 0,4

Perdagangan, Hotel, dan Restoran 7,9 9,6 8,7 10,1 9,3 1,7

Pengangkutan dan Komunikasi 14 10,7 12,1 9,5 11,2 0,9

Keuangan, Real Estat dan Jasa perusahaan 7,3 6,9 7,1 7 7 0,7

Jasa-Jasa 7 5,7 6,3 7,8 6,8 0,7

PDB 6,5 6,5 6,5 6,5 6,5 6,5

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011

2.2. Inflasi

Tekanan inflasi selama 2011 berasal dari sisi internal maupun

sisi eksternal. Hingga triwulan III 2010, tingkat inflasi masih terjaga

pada kisaran sasaran inflasi 5% 1%. Inflasi IHK pada triwulan III 2011

sebesar 1,89 persen (qtq) atau 4,61 persen (yoy). Pada Oktober 2011,

terjadi deflasi sebesar 0,12 persen (mtm). Deflasi tersebut terjadi pada

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

13

beberapa kelompok barang, seperti bahan makanan, sandang,

transpor, komunikasi dan jasa keuangan. Berdasarkan komponen,

inflasi inti pada Oktober 2011, juga mengalami deflasi sebesar 0,12

persen (mtm) atau sebesar 4,42 persen (yoy).

Gambar 2.1. Inflasi Menurut Komponen Umum, Inti, Barang

bergejolak dan Harga yang Diatur Pemerintah (2009-2011)

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011. *) Data inflasi Jan-Okt 2011

Tekanan inflasi yang terus menurun pada triwulan III 2011

disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu harga pada volatile food yang

tidak terlalu bergejolak. Pada Oktober 2011, komponen volatile food

menyumbangkan deflasi sebesar 0,6 persen (mtm). Sedangkan

komponen inflasi yang dikendalikan oleh pemerintah, yaitu

administered price cenderung stabil, akibat tidak adanya kebijakan

pemerintah yang terkait penetapan harga energi. Sementara itu, inflasi

inti juga menyumbangkan deflasi, yakni sebesar 0,09 persen (mtm).

2.78

6.96

2.854.28 4.28 3.72

-3.26

5.402.49

3.95

17.74

0.7

2009 2010 2011*

Inflasi 2009-2011 (%)

Indeks Umum Inti

Harga Yang Diatur Pemerintah Barang Bergejolak

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

14

Gambar 2.2. Inflasi Bulanan Menurut Komponen Umum, Inti,

Gejolak, dan Pemerintah (Januari – Oktober 2011)

Sumber: Diolah dari Badan Pusat Statistik, 2011

Terkait dengan sisi eksternal tingginya harga komoditas pada

pasar international, seperti komoditas pangan dan emas, memiliki

kontribusi yang cukup besar terhadap inflasi selama 2011. Namun,

pada akhir triwulan III harga komoditas sudah mulai menurun, seiring

dengan bertambahnya pasokan komoditas dan kondisi perlambatan

ekonomi dunia. Hal tersebut terjadi pada harga minyak dan harga emas

di pasar internasional yang terlihat tren menurun jika dibandingkan

pada triwulan sebelumnya. Faktor eksternal lainnya adalah masih

derasnya arus modal masuk. Pasalnya, ketika arus modal masuk

meningkat, maka likuiditas uang beredar juga meningkat sehingga

menyebabkan ekses likuiditas domestik yang berpotensi mengganggu

tingkat harga. Namun, dampak eksternal tersebut terhadap inflasi

masih terbatas karena respons kebijakan moneter BI melalui instrumen

liquidity management pada pasar uang.

-3.00

-2.00

-1.00

0.00

1.00

2.00

3.00

Jan

ua

ri

Feb

rua

ri

Ma

ret

Ap

ril

Me

i

Jun

i

Juli

Ag

ust

us

Sep

tem

be

r

Okt

ob

er

Infl

asi

(%

)

Inflasi Bulanan (Jan-Okt 2011)

Indeks Umum

Inti

Harga Yang Diatur

Pemerintah

Barang Bergejolak

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

15

Gambar 2.3. Perkembangan Harga Komoditas Dunia (2010-2011)

Sumber: Worldbank, 2011

2.3. Suku Bunga dan Pasar Keuangan

Bank Indonesia mempertahankan Suku Bunga acuan (BI Rate)

pada 6,75 persen selama semester I 2011. Kebijakan moneter yang

cenderung ketat selama semester I tersebut dikarenakan

mempertimbangkan risiko tekanan inflasi yang berasal dari faktor

eksternal, yaitu tingginya harga komoditas pangan dan emas, yang

memberikan sumbangan besar pada komponen inflasi inti.

Pada Oktober 2011, Bank indonesia memutuskan menurunkan

suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 25 basis poin, yaitu ke level 6,5

persen. Selanjutnya, BI Rate tersebut diturunkan kembali ke level 6,0

persen pada November 2011, yang merupakan BI Rate paling rendah

sepanjang sejarah. Keputusan penurunan BI rate ini terutama di dorong

oleh inflasi yang terkendali serta antisipasi terhadap kontraksi

perekonomian akibat dampak perlambatan permulihan perekonomian

global.

0

500

1000

1500

2000

Perkembangan Harga Komoditas Dunia

(2010-2011)

Crude

oil, avg, spot,

$/bbl, curren

t$

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

16

Gambar 2.4. Perkembangan Suku Bunga Domestik

Sumber: Bank Indonesia, 2011

Seiring dengan penurunan suku bunga BI rate, suku bunga pasar

uang antar bank overnight (PUAB/ON) juga mengalami penurunan rata-

rata sebesar 5,4 persen pada triwulan III 2011. Kemudian penurunan

suku bunga juga ditransmisikan pada suku bunga deposito dan suku

bunga kredit. Pada triwulan III 2011, suku bunga deposito cenderung

stabil, sementara suku bunga kredit mengalami penurunan. Suku bunga

deposito pada triwulan III, yaitu secara rata-rata berada pada level 6,8

persen, sedangkan suku bunga kredit modal kerja (KMK), kredit

investasi (KI) dan kredit konsumsi (KK) secara rata-rata berada pada

level 12,5, 12,1 dan 14,3 persen atau turun sebesar 10 bps, 3bps dan 7

bps dibandingkan triwulan sebelumnya.

2.4. Nilai Tukar

Selama triwulan II 2011, nilai tukar rupiah mengalami apresiasi,

rupiah menguat sebesar 3,47 persen (qtq), yaitu dari level Rp 8.708 per

-

10.00

20.00

Jan

Feb

Ma

r

Ap

r

Me

i

Jun

Jul

Ag

ust

Sep

oktP

ers

en

(%

)

2011

Perkembangan Suku Bunga

Domestik

BI Rate

SBI 9 bln

Pasar Uang Antar Bank

ON

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

17

dolar AS di akhir triwulan I menguat menjadi Rp 8577 per dolar AS pada

akhir periode triwulan II. Namun, volatilitas pergerakan nilai tukar

rupiah mengalami peningkatan menjadi 0,35 persen pada triwulan II

dan 0,3 persen pada triwulan III. Faktor yang menyebabkan apresiasi

nilai tukar tersebut adalah optimisme terhadap kondisi fundamental

perekonomian Indonesia membuat aliran arus modal masih terus

berlanjut. Selain itu, kinerja neraca pembayaran juga semakin

membaik, yaitu berada pada posisi surplus sehingga memberikan

ekspektasi positif terhadap investor global di tengah ketidakpastian

pemulihan kawasan Uni Eropa dan Amerika Serikat.

Gambar 2.5. Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS

Sumber: Bank Indonesia, 2011

Sedangkan pada triwulan III 2011 nilai tukar mengalami

depresiasi sebesar 2,42 persen atau bergeser ke level Rp 8790 per dolar

AS. Seiring dengan melemahnya rupiah, volatilitas pergerakan nilai

tukar juga mengalami peningkatan, yaitu sebesar 0,49 persen. Hal

tersebut disebabkan oleh faktor risiko ketidakpastian perekonomian

8000

8200

8400

8600

8800

9000

9200

03

/01

/2…

24

/01

/2…

14

/02

/2…

07

/03

/2…

28

/03

/2…

18

/04

/2…

09

/05

/2…

30

/05

/2…

20

/06

/2…

11

/07

/2…

01

/08

/2…

22

/08

/2…

12

/09

/2…

03

/10

/2…

24

/10

/2…

Rp

/US

$

Kurs Tengah Harian Kurs Rata-rata Bulanan

Kurs Rata-rata Triwulan

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

18

global yang berdampak menjadi sentimen negatif terhadap negara-

negara emerging market. Di sisi lain, melemahnya nilai tukar rupiah

juga diakibatkan meningkatnya permintaan valuta asing yang

digunakan untuk kebutuhan membayar barang impor. Namun, Bank

Indonesia memperkirakan bahwa ekspektasi terhadap nilai tukar rupiah

akan menguat pada akhir tahun 2011. Hal ini dapat dilihat dari masih

kompetitifnya imbal hasil rupiah dibandingkan mata uang negara lain di

kawasan Asia, sehingga aset dalam denominasi rupiah masih lebih

menarik bagi investor dan berujung pada penguatan rupiah. Indikator

imbal hasil tersebut dapat dilihat pada Uncovered Interest Parity (UIP)

atau selisih suku bunga dalam negeri dan suku bunga luar negeri. Jika

dibandingkan dengan negara di kawasan Asia, besarnya UIP untuk

Indonesia masih lebih tinggi. Bahkan jika memperhitungkan faktor

risiko, Covered Interest Parity (CIP) Indonesia juga masih tetap tinggi.

Dapat dilihat dari Gambar 2.7 yang menunjukkan perbandingan suku

bunga dalam negeri dan luar negeri, suku bunga BI rate dan SBI 9 bulan

masih jauh diatas suku bunga internasional, seperti LIBOR, SIBOR, US

prime rates dan Japan prime rate.

Gambar 2.6. Perkembangan Suku Bunga Internasional 2011

Sumber: Diolah dari Bank Indonesia, 2011

-

2.00

4.00

6.00

8.00

Jan

Feb

Ma

r

Ap

r

Me

i

Jun

Jul

Ag

ust

Sep

okt

Pe

rse

n (

%)

BI Rate

SBI 9 bln

LIBOR 1 thn

SIBOR 1 thn

US Prime rates

Japan Prime rates

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

19

2.5. Investasi

Investasi memiliki fungsi dan peran penting untuk memacu dan

meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Investasi diharapkan dapat

menjadi stimulan peningkatan kesempatan kerja. Sayangnya, Indonesia

masih memiliki keterbatasan dalam hal ketersediaan modal dan

teknologi. Oleh karena itu, sejak 1967 pemerintah Indonesia membuka

kran investasi asing seluas-luasnya guna mendorong perekonomian

tumbuh lebih tinggi. Hasilnya selama rezim Orde Baru berhasil

mengurangi angka kemiskinan absolut secara signifikan, yaitu dari

sekitar 56 persen (1970) menjadi 13 persen (1997).

Pasca reformasi 1998, nilai dan jumlah investasi asing di

Indonesia cenderung terus meningkat. Walaupun pada beberapa tahun

tertentu nilai dan realisasi investasi sempat mengalami penurunan,

tetapi secara keseluruhan nilai dan jumlah investasi asing memiliki tren

yang meningkat. Hal ini memperlihatkan bahwa Indonesia adalah

negara yang perekonomiannya sangat menarik dan prospektif dalam

jangka panjang.

Gambar 2.7. Penanaman Modal Asing (PMA/FDI) yang telah

Direalisasikan

Sumber: BKPM, 2010

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

20

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa peran dan fungsi investasi

sangat besar untuk dinafikan. Salah satu ekonom dunia, Ragnar Nurske,

mengatakan bahwa negara berkembang akan selalu ada dalam

lingkaran setan kemiskinan selama negara tersebut tidak membuka

kran investasi untuk asing. Tetapi hal yang perlu menjadi catatan

bahwa investasi asing tidak boleh menjadi bahan bakar dan pelaku

utama dalam perekonomian Indonesia. Jika hal ini terjadi maka

Indonesia akan menjadi negara periferi yang sangat tergantung ke pada

negara maju.

Gambar 2.8. Ketimpangan Investasi PMA dan PMDN

Sumber: Diolah dari BKPM, 2011

Andre Gunder Frank dan Paul Baran (ekonomi USA) serta Samir

Amin (ekonomi kelahiran Mesir) mengingatkan bahayanya hubungan

dengan negara maju yang alih-alih membangun kerja sama, tetapi

malah membuat negara berkembang tidak mampu mandiri dan

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

21

membangun ekonomi yang kuat. Negara-negara maju cenderung akan

membuat hegemoni untuk mempertahankan kekuasaannya dan

mengambil keuntungan dari negara berkembang.

Sejak 1990 sampai 2010 gejala ketergantungan sudah mulai

terlihat, di mana jumlah investasi dalam negeri dengan investasi asing

cenderung terus mengalami ketimpangan. Hal ini merupakan indikasi

kuat bahwa investasi asing telah membuat negara Indonesia tidak bisa

mandiri dengan memberdayakan para pelaku ekonomi lokal.Di samping

itu, investasi asing ini telah merambah berbagai sektor perekonomian

Indonesia termasuk sektor-sektor strategis seperti sektor

telekomunikasi, transportasi, energi, dan sektor-sektor lain yang

berkaitan dengan hajat hidup orang Indonesia. Data 2011

menunjukkan, untuk sektor pertambangan kepemilikan asing sudah

mencapai 75 persen. Dari total 225 blok migas yang dikelola kontraktor

kontrak kerjasama non-Pertamina, 120 dioperasikan asing, 28

dioperasikan perusahaan nasional, dan 77 blok dioperasikan gabungan

asing dan nasional; Pada sektor perbankan kepemilikan asing sudah

mencapai 47,02 persen dari total aset Rp 3.065 triliun.

Pada sektor industri telekomunikasi penguasaan asing lebih

merajalela. Investor asing memiliki saham pada semua perusahaan jasa

operator di Indonesia. Saham yang dimiliki asing pada perusahaan

papan atas jasa telekomunikasi sudah berkisar antara 24 – 95 persen.

Sementara untuk sektor perkebunan, khususnya industri kelapa sawit,

penguasaan beberapa perusahaan asal Malaysia, Singapura, Amerika

Serikat, dan Belgia juga sudah begitu dominan. Sebuah perusahaan asal

Singapura menguasai 85 ribu hektar perkebunan sawit yang ada di

Indonesia. Padahal luas Singapura sendiri kurang dari 70 ribu

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

22

hektar. Sementara tiga buah perusahaan asal Malaysia telah menguasai

lebih dari 226 ribu hektar (2.260 kilometer persegi) perkebunan sawit

di Indonesia, atau melebihi luas Negara Bagian Melaka (1.650 kilometer

persegi) dan Perlis (810 kilometer persegi). Untuk wilayah Provinsi

Kalimantan Barat ternyata sekitar 70 persen dari luas perkebunan

sawitnya telah berada dalam genggaman Malaysia.

Lebih tragisnya sampai saat ini pemerintah memberikan

peluang bagi pihak asing untuk memiliki hingga 99 persen saham

perbankan dan 80 persen saham asuransi. Bahkan dari keseluruhan

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang telah diprivatisasi, sekitar 60

persen sahamnya sudah dikuasai pihak asing. Sementara di pasar

modal, sekitar 60 – 70 persen total saham perusahaan yang sudah

diperdagangkan, juga sudah dimiliki investor asing.

Gambar 2.9. Realisasi Investasi PMA Menurut Negara pada

Triwulan II 2011

Sumber: BKPM, 2011

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

23

Dari potret beberapa kasus tadi terlihat jelas bahwa

cengkraman asing semakin hari semakin kuat. Kekuatan asing

bermetamorfosis ke dalam bentuk investasi dengan berbagai bentuk

dan rupanya yang menawan. Semakin besar investasi asing dalam

sektor-sektor strategis, maka semakin besar ketergantungan bangsa

Indonesia terhadap pihak asing. Ketergantungan yang sangat besar

tersebut menyebabkan bangsa Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh

asing.

2.6. Ekspor-Impor : Gerbang Krisis Ekonomi

Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam

memiliki keunggulan absolut dan komparatif dalam beberapa

komoditas. Oleh karena itu, cukup masuk akal selama tahun 2010 tren

eskpor Indonesia terus mengalami kenaikan dan net ekspor Indonesia

tumbuh positif. Tren positif ini pun terjadi pada 2011 walaupun secara

net ekspor masih berfluktuatif. Data BPS menunjukkan bahwa nilai

ekspor Indonesia pada September 2011 mengalami penurunan sebesar

4,45 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan tersebut

berasal dari penurunan ekspor nonmigas sebesar 6,24 persen, yaitu

pada komponen lemak dan minyak hewan/nabati, produk kimia,

pakaian jadi bukan rajutan, mesin/peralatan listrik, dan karet serta

barang dari karet.

Sedangkan jika dilihat menurut negara tujuan ekspor,

penurunan ekspor nonmigas terjadi ke sebagian negara mitra seperti

Amerika serikat, Singapura, India, Thailand, Jerman, Inggris, dan

Perancis. Data September 2011 menunjukkan terdapat penurunan

ekspor kepada negara-negara Uni Eropa sebesar 28 persen,

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

24

dibandingkan bulan sebelumnya. Sehingga, dapat dilihat bahwa

pertumbuhan ekspor mengalami tekanan akibat risiko perlambatan di

negara kawasan Eropa dan Amerika Serikat. Dampak penjalaran dari

perlambatan ekonomi global terhadap ekspor Indonesia masih akan

berlangsung hingga 2012, seiring dengan pemulihan perekonomian

global yang masih belum menemukan solusi tepat untuk kawasan

Eropa dan Amerika Serikat.

Tabel 2.3. Pertumbuhan dan Nilai Ekspor berdasarkan Negara Tujuan

(Agustus-September 2011)

Negara Tujuan Nilai Ekspor (Juta US$)

Pertumbuhan (qtq)

Persen (%)

Agustus September September

ASEAN 2.730,00 2691,1 -1,42

Uni Eropa 1.936,70 1.393,40 -28,05

Negara Mitra lainnya* 7.518,90 7.522,40 0,05

*) Cina, Jepang, Amerika Serikat, Australia, Korea Selatan, Taiwan, dan India

Sumber: Diolah dari Badan Pusat Statistik, 2011

Namun, komoditas ekspor yang selama ini di jual ke pasar global

adalah bahan mentah yang tidak memiliki nilai tambah yang optimal.

Sebagai contoh adalah ekspor Crude Palm Oil (CPO). Indonesia adalah

produsen CPO terbesar di dunia. Dengan posisi sebagai produsen

terbesar di dunia seharusnya Indonesia bisa memonopoli pasar dan

mendapatkan seluruh margin pasar. Tetapi pada kenyataannya harga

CPO ditentukan oleh CIF Rotterdam.

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

25

Gambar 2.10. Perkembangan Ekspor-Impor Indonesia 2011

Sumber: BPS, dalam Kontan 2 November 2011

Di sisi lain, yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan adanya

efek krisis global yang masuk melalui pintu perdagangan internasional.

Hubungan yang terlalu kuat dengan negara-negara yang sedang

mengalami atau potensial akan mengalami krisis berpeluang menyeret

Indonesia masuk ke dalam kubangan krisis yang sama. Indonesia bisa

sedikit lega karena hubungan dagang antara Indonesia dengan negara-

negara yang sedang mengalami krisis saat ini tidak begitu besar.

Meskipun demikian, Indonesia sebenarnya memiliki hubungan yang

cukup kuat dengan negara yang berada di ring dua yang kemungkinan

krisis atau kemungkinan besar terkena dampak krisis, seperti Jepang,

China, dan Kore Selatan. Oleh karena itu, Indonesia tidak boleh

menganggap remeh krisis yang sedang terjadi di negara-negara Uni

Eropa saat ini.

Hembusan badai krisis utang Eropa dan AS sebenarnya mulai

terasa di Indonesia. Nilai Ekspor Indonesia selama kurun waktu satu

14.6 14.4

16.3 16.518.2 18.3

17.418.8

17.8

12.511.7

14.4 14.8 14.8 15.116.2

15.1 15.1

2.1 2.7 1.9 1.7

3.4 3.2

1.2

3.7 2.7

02468

101214161820

Ekspor (US$ miliar)

Impor (US$ miliar)

Net Ekspor (US$ miliar)

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

26

bulan (September) turun 4,45 persen menjadi US$17,82 miliar dari

yang awalnya US$18,81 miliar pada Agustus. Hanya dalam tempo satu

bulan ekspor Indonesia turun lebih dari US$1 miliar. Bila ekspor ini

terus menurun sampai akhir tahun, maka besar kemungkinan target

ekspor 2011 sebesar US$200 miliar tidak akan tercapai. Bilai target

ekspor ini tidak tercapai, maka tentunya akan mempengaruhi transaksi

berjalan dan neraca pembayaran yang pada akhirnya akan

memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Tabel 2.4. Perkembangan Total Ekspor dan 12 Besar Ekspor

Hasil Industri (2006 – 2011)

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

27

Imbas krisis global mulai terasa di beberapa produk ekspor,

terutama produk non migas. Permintaan beberapa produk ekspor non

migas pada Agustus 2011 mengalami penurunan dibandingkan Juli

2011 seperti bahan bakar mineral, karet dan produk karet, bijih perak

dan abu logam, pakaian jadi dan rajutan, serta kertas/karton. Efek krisis

global juga mulai terasa dalam dunia perbankan. Target penyaluran

kredit mengalami penurunan khususnya untuk sektor yang berkaitan

dengan impor dan ekspor. Simpanan giro pun mengalami penurunan

sebagai indikasi melemahnya perekonomian nasional.

2.7. Perbankan

Peran perbankan sebagai lembaga intermediasi di Indonesia

pada 2011 semakin diandalkan. Untuk itu, perkembangan berbagai

indikator kesehatan perbankan perlu mendapat perhatian lebih agar

fungsi intermediasi ini dapat berjalan secara baik. Sejauh ini, GWM

(Giro wajib Minimum) primer perbankan Indonesia mengalami

peningkatan sebesar 21,6 persen (Januari-September 2011), sedangkan

GWM sekunder dan tertier menurun sebesar 3,15 persen dan 2,21

persen dibanding periode sama tahun sebelumnya. Hal ini salah

satunya disebabkan besarnya SBI yang jatuh tempo dan tenor SBI yang

diperpanjang (menjadi 9 bulan) sehingga terjadi pergerakan

penempatan likuiditas perbankan dari SBI ke penempatan BI lainnya,

yaitu term deposits dan FASBI.

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

28

Table 2.5. Indikator Kesehatan Perbankan Nasional

Indikator Dec-07 Dec-08 Dec-09 Dec-10 Aug-11

Total Aset (T Rp) 1986.5 2310.6 2534.1 3008.9 3252.6

Simpanan (T Rp) 1510.8 1753.3 1973 2338.8 2459.9

Rasio CAR 19.3 16.8 17.4 17 17.3

Gross Non performing Loans 4.6 3.8 3.8 2.9 3.1

Net Non Performing Loans 1.9 1.5 0.9 0.7 1

Return on Assets (%) 2.8 2.3 2.6 2.7 3

Net Interest Margin (%) 5.7 5.7 5.6 5.7 5.9

Biaya /Pendapatan Operasional (%) 84.1 88.6 86.6 80 80.8

Loan to Deposit Ratio (%) 66.3 74.6 72.9 75.5 82.6

Jumlah Bank 130 124 121 122 120

Sumber: Departemen Keuangan & Bank Indonesia, Oktober 2011

Stabilitas dalam sistem perbankan tetap terjaga bersamaan

dengan peningkatan pada pertumbuhan kredit. Industri perbankan

memiliki CAR 17,3 persen dan kredit macet di bawah 5 persen

(tepatnya 3,1 persen pada Agustus 2011). Peningkatan Intermediasi

perbankan ditunjukkan pertumbuhan kredit pada tahun 2011 sebesar

23,8 persen (yoy).

Gambar 2.11. Tingkat CAR Perbankan Indonesia (persen)

Sumber: Bank Indonesia, 2011

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

29

2.8. Kebijakan Fiskal

Realisasi penyerapan anggaran hingga Agustus 2011 mencapai

51,3 persen dari total anggaran belanja 2011. Namun, penyerapan

anggaran tersebut sebesar 69,1 persen merupakan belanja pegawai. Di

sinilah masalah utama anggaran belanja pemerintah yang lebih besar

proporsinya untuk alokasi belanja pegawai, sedangkan belanja barang

dan modal yang rendah. Seharusnya, pengeluaran pemerintah akan

berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi jika penyerapan

anggaran belanja barang dan modal memiliki proporsi yang besar

dibandingkan alokasi belanja gaji pegawai. Hal ini dikarenakan

anggaran belanja barang dan modal memiliki efek multiplier terhadap

pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain, akibat dari penerimaan yang tumbuh pesat,

pengeluaran negara pun ikut meningkat sampai Rp 1.400 triliun. Jumlah

ini hampir 14 kalinya jumlah APBN pada masa presiden Soeharto, di

mana APBN-nya di bawah Rp100 triliun. Namun pertumbuhan yang

pesat dari APBN ini tidak serta merta menciptakan pertumbuhan

ekonomi nasional yang optimal (full employment). Hal ini terjadi karena

seiring dengan pertumbuhan APBN, ada beberapa masalah yang ikut

muncul dan menjadi masalah yang akut hingga sekarang.

Masalah pertama yang terjadi pada struktur pengeluaran

pemerinah adalah skema tidak produktifnya belanja pemerintah baik

pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pengeluaran

pemerintah lebih banyak untuk porsi gaji pegawai dari pada porsi untuk

belanja modal yang dapat memicu pembangunan sektor riil dan

berimplikasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, sedikit

sekali pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

30

Gambar 2.12. Postur Belanja APBN, Tahun 2007 – 2011

Sumber: Kementerian Keuangan, 2011

Masalah kedua dalam kebijakan fiskal pemerintah adalah

adanya pemborosan dan korupsi. Transparancy International pada

2011 telah melakukan survei terhadap 28 negara. Dari ke-28 negara

yang disurvei tersebut, tidak satu pun negara yang dianggap

sepenuhnya bersih dari suap. Namun dari survei ini diketahui bahwa

posisi Indonesia berada pada posisi keempat dari bawah setelah

Meksiko, China, dan Rusia. Dengan kata lain, Indonesia termasuk ke

dalam jajaran negara paling banyak melakukan suap.

Masalah ketiga dalam kebijakan fiskal di Indonesia adalah

implementasi yang tidak maksimal, setidaknya ada Rp 60 trilun

anggaran yang tidak terserap di daerah dan jumlah yang sama pun

terjadi di pemerintah pusat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa

anggaran APBN akan dihabiskan pada akhir tahun dengan program-

program yang kurang produktif, bahkan program yang tidak masuk akal

seperti pengecetan pohon dan family Gathering di daerah wisata.

39 40 41 45

58

46

18 18 19 18 20 1930 27 25 22 22 25

13 15 15 15 14 14

0

20

40

60

80

2007 2008 2009 2010 2011 Rata-rata

Belanja Pegawai Belanja Barang Jasa

Belanja Modal Belanja Lainnya

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

31

Masalah berikutnya yang ada dalam kebijakan fiskal pemerintah

adalah salah kaprahnya penggunaan utang luar negeri. Pemerintah

membuat kebijakan fiskal yang ekspansioner dengan menciptakan

defisit anggaran sekitar 2 persen. Defisit ini pada akhirnya dibiayai

dengan utang baik luar negeri maupun dalam negeri. Strategi utang

bukanlah strategi ekspansi untuk meningkatkan kapasitas ekonomi,

tetapi lebih sebagai pemborosan karena ada sejumlah uang yang sama

sekali tidak dipakai. Hal cukup aneh ketika uang yang tidak terserap

masih banyak, tetapi APBN dibuat defisit sehingga menjadi dasar bagi

pemerintah untuk melakukan pinjaman.

Tabel 2.6. Realisasi APBN Tahun 2005 – 2011

KETERANGAN 2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**

A. Pendapatan Negara dan Hibah 495.2 638 707.8 981.6 848.8 992.4 1,104.90

I. Penerimaan Dalam Negeri 493.9 636.2 706.1 979.3 847.1 990.5 1,101.20

1 . Perpajakan 347 409.2 491 658.7 619.9 743.3 850.3

Tax Ratio (% thd PDB) 12.7 12.3 12.4 13.3 11.9 11.9 12.1

2. PNBP 146.9 227 215.1 320.6 227.2 247.2 250.9

II. Hibah 1.3 1.8 1.7 2.3 1.7 1.9 3.7

B. Belanja Negara 509.6 667.1 757.6 985.7 937.4 1126.1 1,229.60

I. Belanja Pemerintah Pusat 361.2 440 504.6 693.4 628.8 781.5 836.6

II. Transfer ke Daerah 150.5 226.2 253.3 292.4 308.6 344.6 393

C.Surplus/(Defisit) Anggaran -14.4 -29.1 -49.8 -4.1 -88.6 -133.7 -124.7

% thd PDB -0.5 -0.9 -1.3 -0.1 -1.6 -2.1 -1.8

D. Pembiayaan 8.9 29.4 42.5 84.1 112.6 133.7 124.7

I. Pembiayaan Dalam Negeri 19.1 56.3 69 102.5 128.1 133.9 125.3

II. Pembiayaan Luar Negeri -10.3 -26.6 -26.6 -18.4 -15.5 -0.2 -0.6

Sumber: Kementerian Keuangan

Keterangan: *APBN-P 2010, **APBN 2011

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

32

Secara umum perekonomian Indonesia masih tumbuh positif

bahkan sampai akhir periode 2011 ini. Kekuatan ekonomi Indonesia

akan diuji pada periode 2012 mendatang, di mana hampir semua

negara yang mempunyai hubungan ekonomi secara langsung dengan

perekonomian Eropa akan terkena dampak secara langsung. Di samping

itu, ada kekuatan lain yang bisa menopang kekuatan ekonomi

Indonesia pada tahun 2012 yaitu pengaruh pemilukada beberapa

daerah yang akan dilaksanakan pada 2012. Beberapa daerah yang akan

menggelar pemilukada pada tahun 2012 akan menggenjot

pertumbuhan ekonominya guna memperoleh citra politik yang positif

sehingga kemungkinan terpilih kembali semakin besar dan kondisi ini

sedikit besar akan berpengaruh pada perekonomian nasional. �

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

33

Bab Bab Bab Bab 3333

Bank Asing vs Bank Lokal

3.1. Rivalitas Bank Asing dan Bank Lokal

“Agar dalam proses membuka ekonomi kita bagi lalu lintas

dagang dan investasi dunia luar, jangan sampai orang luar itu

menunjukkan tanda dominasi yang menyolok”.

Pernyataan Mohammad Hatta pada 1970-an itu agaknya masih

relevan sebagai sebuah peringatan terhadap bangsa Indonesia dewasa

ini. Serbuan globalisasi yang semakin ganas dari segala penjuru disertai

liberalisasi perdagangan dan investasi menjadikan perekonomian

Indonesia semakin terbuka sehingga perlu disikapi dengan

saksama,termasuk liberalisasi yang mengancam kedaulatan industri

perbankan nasional.

Salah satu momentum yang menandakan titik balik terjadinya

liberalisasi sektor perbankan nasional adalah bergulirnya kebijakan

paket 27 Oktober 1988 atau yang juga dikenal dengan Pakto ’88. Pasca-

lahirnya paket kebijakan tersebut, secara legal Indonesia membuka

keran liberalisasi di sektor perbankan, di mana dalam paket kebijakan

itu antara lain berisi mempermudah mendirikan bank baru, membuka

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

34

kantor cabang baru serta mengijinkan pembukaan kantor bank asing di

beberapa ibu kota provinsi di Indonesia.

Kemudian dalam perjalanan selanjutnya, Indonesia diguncang

dengan krisis keuangan 1997/1998. Krisis tersebut turut mengguncang

stabilitas sektor perbankan nasional sehingga pemerintah kala itu

memberikan napas buatan (bailout) terhadap sektor perbankan

nasional dan juga membuat beberapa kebijakan yang dianggap dapat

memulihkan kondisi perbankan nasional. Salah satunya UU No 10

Tahun 1998 tentang perbankan, di mana pada pasal 26 menjelaskan

bahwa warga negara asing ataupun badan hukum asing dapat membeli

saham bank umum baik secara langsung dan atau melalui bursa efek.

Tidak hanya cukup dengan itu, pemerintah pun akhirnya menggulirkan

PP No 29 Tahun 1999 tentang pembelian saham bank umum, di mana

dalam pasal 3 disebutkan bahwa jumlah kepemilikan saham bank oleh

warga negara asing dan atau badan hukum asing yang diperoleh

melalui pembelian secara langsung maupun melalui Bursa Efek

sebanyak-banyaknya 99 persen.

Rangkaian peristiwa di atas pada akhirnya mengantarkan sektor

perbankan nasional menuju liberalisasi global dan kian rentan terhadap

dominasi kekuatan modal asing. Sektor perbankan pun tumbuh pesat di

tanah air bak jamur dimusim penghujan. Tidak hanya semakin

banyaknya jumlah bank lokal (baik milik negara maupun swasta) tetapi

juga membanjirnya bank asing di tanah air Indonesia.

Pasca diberlakukannya paket kebijakan Oktober 1988, secara

fundamental terjadi perkembangan yang cukup signifikan terhadap

industri perbankan nasional. Tidak hanya bank-bank lokal saja yang

dapat tumbuh dengan subur, tetapi juga bank-bank asing turut

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

35

merasakan kebebasannya dalam melakukan aktivitas bisnis. Ditambah

lagi dengan hadirnya UU No 10 Tahun 1998 dan PP No 29 Tahun 1999

menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara yang begitu terbuka dan

bebas memberikan kesempatan bagi pemilik modal asing untuk

menjalankan bisnis di sektor perbankan nasional.

Hingga saat ini saja jumlah bank asing yang telah beroperasi di

Indonesia mencapai 10 bank. Belum lagi bank campuran sebanyak 14

bank yang notabene didominasi oleh pihak asing. Sementara itu, jika

dilihat dari komposisi jumlah bank yang ada di Indonesia, jumlah bank

asing termasuk bank campuran mengambil porsi hingga 20 persen dari

total bank yang ada di Indonesia. Angka 20 persen ini menandakan

bahwa 1 dari 5 bank yang ada di Indonesia merupakan bank asing.

Tabel 3.1 Jumlah Bank di Indonesia

Jumlah bank 2005 2007 2009 2011*

BUMN 5 5 4 4

Swasta Nasional Devisa 34 35 34 36

Swasta Nasional Non Devisa 37 36 31 30

BPD 26 26 26 26

Campuran 18 17 16 14

Asing 11 11 10 10

Total 131 130 121 120

Sumber: diolah dari Bank Indonesia, 2011. Ket: * per Agustus

Data lainnya yang tak kalah mengejutkan ialah pertumbuhan

jumlah kantor bank asing di Indonesia sangat fantastis yaitu rata-rata

tumbuh sebesar 23,67 persen per tahun sepanjang 2005 hingga

Agustus 2011. Sedangkan jumlah kantor bank lokal hanya tumbuh rata-

rata sebesar 9,56 persen per tahun dalam kurun waktu yang sama.

Kenyataan ini kembali menyadarkan semua pihak bahwa penetrasi

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

36

yang dilakukan oleh bank asing di Indonesia tidak boleh dianggap

sepele. Konsekuensinya bank lokal harus berusaha lebih keras jika ingin

memenangkan pertarungan di kandangnya sendiri.

Tabel 3.2 Jumlah Kantor Bank Lokal dan Bank Asing di Indonesia

Jumlah Kantor 2005 2007 2009 2011*

Rata-Rata

Pertumbuhan

2005-2011*

Bank Lokal 8.100 9.442 12.369 13.947 9,56

Bank Asing 136 238 468 447 23,67

Total 8.236 9.680 12.837 14.394 9,85

Sumber: diolah dari Bank Indonesia, 2011

Ket: * per Agustus

Sebagai bukti bahwa perbankan nasional benar-benar telah

didominasi oleh asing dapat ditunjukkan pada Tabel 3.3. Sebagian besar

bank nasional diambil alih kepemilikannya oleh bank ataupun lembaga

asing, baik berupa merger maupun akuisisi. Saham yang diambil alih

oleh pihak asing pun nyatanya banyak yang mencapai 100 persen.

Tabel 3.3 Kepemilikan Asing dalam Bank Nasional

Sumber: Kompas, 2008

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

37

Situasi yang begitu berbeda jika ditengok industri perbankan di

beberapa negara tetangga. Regulasi dalam sektor perbankan mereka

ternyata tidak lah seliberal dari Indonesia. Indonesia begitu mudahnya

mengizinkan pendirian bank asing dan kepemilikan asing hingga 99% di

perbankan nasional, sedangkan di Malaysia kepemilikan asing pada

bank umumnya hanya diperbolehkan maksimal 30%, Singapura hanya

40%, sementara di Thailand maksimal hanya sampai 49 persen (Tabel

3.4).

Tabel 3.4 Batasan Kepemilikan Asing di Bank Umum

beberapa Negara ASEAN

Wilayah Batasan

ASEAN rata-rata sampai 33%

Indonesia Bank Umum 99%

Malaysia

Bank Komersial 30%

Bank Investasi 70%

Islamic Bank 70%

Singapura Bank lokal 40%

Thailand

Sampai dengan 25% tidak perlu persetujuan bank sentral

Sampai dengan 49% harus dengan persetujuan bank sentral

lebih dari 49 % harus dengan persetujuan menteri keuangan.

Sumber: BI dan Wawancara Kompas, 2011

Perbedaan lain, misalnya, batas minimum modal yang disetor

untuk mendirikan bank di Indonesia hanya sebesar Rp100 miliar,

berlaku juga terhadap bank asing yang ingin membuka cabang di

Indonesia. Sedangkan di Malaysia saja, minimum modal yang harus

disetor untuk mendirikan bank komersial ialah sebesar 300 juta ringgit

atau setara dengan Rp1 triliun. Selain itu, jika di Indonesia tidak ada

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

38

batasan untuk membuka kantor cabang bagi bank asing, di Malaysia

justru pembukaan kantor cabang dibatasi maksimal hanya 18 kantor

cabang dan telah ditentukan lokasinya (2 kantor di pusat kota, 4 kantor

di kota kecil, 2 kantor di daerah terpencil, serta 10 outlet mikro) dan

tidak ada regulasi ataupun mekanisme formal untuk mengusulkan

tambahan kantor cabang. Di samping itu, pemasangan mesin ATM milik

bank asing di Malaysia hanya diperbolehkan didalam kator cabang yang

telah ditentukan tersebut. Sedangkan di Indonesia, pemasangan mesin

ATM bagi bank asing tidak seketat peraturan yang ada di Malaysia.

Bahkan regulasi yang lebih mengejutkan dibuat oleh otoritas bank

Singapura, di mana bank asing yang beroperasi disana hanyak boleh

menjalankan aktivitas penyaluran kredit dan tidak boleh sama sekali

menghimpun dana, serta melarang pemasangan mesin ATM.

Menjadi wajar jika hingga saat ini belum ada satu pun bank lokal

Indonesia (terlebih lagi Bank BUMN) yang berhasil menancapkan

kakinya di negara-negara lain. Sebabnya selain ketatnya peraturan

mengenai pembukaan kantor cabang bank asing di beberapa negara

tetangga, perbankan nasional kita pun tampaknya perlu berbenah lagi

dalam menyiapkan kekuatan dan keunggulan menghadapi industri

perbankan global.

3.2. Kinerja Bank Lokal vs Bank Asing

Krisis ekonomi dunia yang berepisentrum di Amerika dan Eropa

tidak boleh dipandang sebelah mata oleh bangsa Indonesia, khususnya

sektor perbankan nasional. Sektor perbankan nasional harus lebih

waspada dan berhati-hati terhadap derasnya arus penetrasi modal

yang dilakukan oleh bank-bank asing di Indonesia. Bank-bank asing

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

39

yang beroperasi di Indonesia tentu saja memiliki kepentingan yang kuat

dan makin bergeliat dalam menjalankan aktivitas bisnisnya disini,

terlebih lagi krisis yang sedang melanda dua kawasan tersebut

menjadikan Indonesia sebagai salah satu kawasan alternatif investasi

yang tidak hanya dapat menyelamatkan dana-dana milik perusahaan

asing tersebut, tetapi juga berpotensi besar melipatgandakan dana.

Mengacu pada PP No 29 Tahun 1999, di mana bank lokal boleh

dimiliki oleh pihak asing hingga 99 persen. Maka, dalam analisis

selanjutnya struktur industri perbankan akan dikelompokan menjadi

dua, yaitu bank lokal (terdiri dari Bank BUMN, Bank Swasta Nasional

Devisa dan Non Devisa, dan BPD) serta bank asing (Bank Campuran dan

Bank Asing).

3.2.1. Perkembangan DPK

Sepanjang kurun waktu 2005 hingga 2011, kinerja bank asing

terus menunjukkan pertumbuhan yang berarti. Penghimpunan dana

pihak ketiga (DPK), mencapai Rp229 triliun per Agustus 2011 atau

mengalami rata-rata pertumbuhan sebesar 11 persen per tahun sejak

2005, di mana pada 2005 DPK bank asing masih sebesar Rp126 triliun.

Sedangkan pada indikator yang sama, bank lokal tumbuh lebih kencang

sekitar 14,37 persen per tahun sepanjang enam tahun terakhir ini, dari

Rp1.001 triliun menjadi Rp2.230 triliun per Agustus 2011. Sementara

itu, pangsa bank asing terhadap DPK nasional telah mencapai 9,33

persen per Agustus 2011, sisanya masih didominasi bank lokal sebesar

90,67 persen (Tabel 3.5).

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

40

Tabel 3.5. Perkembangan DPK Bank Lokal dan Bank Asing

Jumlah DPK

(miliar) 2005 2007 2009 2011*

Rata-Rata

Pertumbuhan

2005-2011*

Pangsa

2011*

Bank Lokal 1.001.397 1.342.718 1.760.687 2.230.374 14,37 90,67

Bank Asing 126.541 168.116 212.355 229.524 11,00 9,33

Total 1.127.938 1.510.834 1.973.042 2.459.898 13,97 100

Sumber: diolah dari Bank Indonesia, 2011

Ket: * per Agustus

Terkait dengan risiko usaha perbankan, satu hal yang patut menjadi

perhatian pelaku perbankan dan otoritas moneter adalah sumber

pendanaan usaha perbankan. Jika mencermati komposisi Dana Pihak Ketiga

(DPK), baik bank asing maupun bank lokal masih didominasi oleh deposito,

masing-masing sebesar 49,77 persen dan 46,44 persen terhadap total DPK

per Agustus 2011. Dari sumber deposito ini, pertumbuhan deposito bank

asing selama enam tahun terakhir ini mengalami peningkatan rata-rata

sebesar 6,88 persen per tahun, dari Rp79 triliun pada 2005 menjadi Rp114

triliun pada Agustus 2011. Sedangkan deposito bank lokal yang pada 2005

sebesar Rp485 triliun meningkat menjadi Rp1.035 triliun atau tumbuh rata-

rata sebesar 13,69 persen per tahun (Tabel 3.2).

Hal lain yang perlu dicermati bersama adalah meningkat pesatnya

sumber DPK yang berasal dari tabungan pada bank asing, yaitu rata-rata

tumbuh sebesar 52 persen per tahun sepanjang Desember 2005 hingga

Agustus 2011, jauh meninggalkan pertumbuhan tabungan bank lokal yang

hanya sebesar 18,21 persen per tahun dalam kurun waktu yang sama. Di

samping itu, share tabungan terhadap DPK bank asing relatif kecil, hanya

sebesar 15,15 persen. Sedangkan share tabungan terhadap DPK bank lokal

cukup besar, 33,67 persen (Tabel 3.6).

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

41

Tabel 3.6 Komposisi DPK Bank Lokal dan Bank Asing

2005 2007 2009 2011* Rata-Rata

Pertumbuhan

2005-2011*

Share

terhadap DPK

2011* Giro (miliar)

Bank Lokal 237.957 346.275 392.563 443.690 11,28 19,89

Bank Asing 43.455 59.276 73.326 80.513 11,28 35,08

Total 281.412 405.551 465.889 524.203 11,22 21,31

Deposito (miliar)

Bank Lokal 485.165 567.070 787.301 1.035.779 13,69 46,44

Bank Asing 79.868 99.639 114.408 114.228 6,88 49,77

Total 565.033 666.709 901.709 1.150.007 12,74 46,75

Tabungan (miliar)

Bank Lokal 278.275 429.373 580.820 750.905 18,21 33,67

Bank Asing 3.217 9.201 24.621 34.782 52,00 15,15

Total 281.492 438.574 605.441 785.687 21,24 31,94

Sumber: diolah dari Bank Indonesia, 2011. Ket: * per Agustus

Dengan komposisi ini dapat dikatakan bahwa likuiditas utama

bank-bank lokal masih sangat bergantung pada dana-dana jangka

pendek, khususnya bergantung terhadap tabungan dan deposito.

Konsekuensi dari banyaknya tabungan dan deposito dalam struktur

DPK bank lokal adalah bank lokal akan kesulitan dalam menekan suku

bunga kredit. Selain itu, apabila perolehan deposito oleh bank lokal

semakin tinggi, maka hal tersebut dapat memicu kenaikan biaya dana

(cost of fund). Semakin besar biaya dana, biaya dana keseluruhan

(blended cost of fund) bank lokal juga makin tinggi. Tingginya blended

cost of fund akan menaikkan lending rate setelah ditambah margin

pendapatan dan overhead cost. Konsekuensi lainnya adalah bank-bank

lokal akan memiliki keterbatasan untuk melakukan ekspansi kredit-

kredit jangka panjang seperti kredit modal kerja atau bahkan kredit

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

42

investasi. Selain itu, dengan derasnya arus capital inflow ke Indonesia,

menjadikan bank-bank lokal lebih berisiko terhadap risiko likuiditas jika

terjadi sudden reversal dari dana-dana jangka pendek tersebut.

3.2.2. Perkembangan Asset

Indikator lainnya adalah jumlah aset bank asing yang mengalami

rata-rata pertumbuhan 13,31 persen per tahun dari Rp200 triliun pada

2005 menjadi Rp412 triliun per Agustus 2011. Peningkatan aset bank

lokal sedikit lebih besar dari bank asing, yaitu rata-rata tumbuh14,43

persen per tahun atau Rp1.269 triliun pada 2005 meningkat menjadi

Rp2.840 per Agustus 2011. Sementara itu, dari sisi pangsanya terhadap

aset perbankan nasional, bank asing dan bank lokal masing-masing

memegang pangsa sebesar 12,68 persen dan 87,32 persen per Agustus

2011 (Tabel 3.7)

Tabel 3.7. Perkembangan Aset Bank Lokal dan Bank Asing

Aset

(miliar) 2005 2007 2009 2011*

Rata-Rata

Pertumbuhan

2005-2011*

Pangsa

2011*

Bank Lokal 1.269.510 1.719.742 2.193.931 2.840.307 14,43 87,32

Bank Asing 200.318 266.758 340.177 412.378 13,31 12,68

Total 1.469.828 1.986.500 2.534.108 3.252.685 14,22 100

Sumber: diolah dari Bank Indonesia, 2011. Ket: * per Agustus

3.2.3. Perkembangan Kredit

Sepanjang enam tahun terakhir ini kinerja perbankan dalam

penyaluran kredit juga menunjukkan peningkatan yang cukup berarti,

baik pada bank asing maupun bank lokal. Rata-rata pertumbuhan kredit

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

43

pada bank asing mencapai 16,28 persen per tahun selama kurun waktu

tersebut, dari Rp99 triliun pada 2005 menjadi Rp239 triliun per Agustus

2011. Sedangkan bank lokal mencetak pertumbuhan kredit rata-rata

sebesar 20,34 persen per tahun dalam kurun waktu yang sama, dari

Rp595 triliun menjadi Rp1.792 triliun. Dari sisi pangsa kredit per

Agustus 2011, bank asing berkontribusi sebanyak 11,79 persen disusul

bank lokal sebesar 88,21 persen (Tabel 3.8).

Tabel 3.8 Perkembangan Kredit Bank Lokal dan Bank Asing

Jumlah Kredit

(miliar) 2005 2007 2009 2011*

Rata-Rata

Pertumbuhan

2005-2011*

Pangsa

2011*

Bank Lokal 595.777 859.637 1.256.941 1.792.151 20,34 88,21

Bank Asing 99.872 142.376 180.988 239.463 16,28 11,79

Total 695.649 1.002.013 1.437.929 2.031.614 19,78 100

Sumber: diolah dari Bank Indonesia, 2011. Ket: * per Agustus

Penyaluran kredit menurut penggunaan sebagian besar terpusat

pada kredit modal kerja. Menurut data BI per Juli 2011, penggunaan

kredit untuk modal kerja pada bank asing mencapai 64,16 persen dari

total kredit atau meningkat 17,92 persen (yoy), secara nominal

meningkat dari Rp124 triliun pada 2010 menjadi Rp147 triliun pada

2011 (per Agustus). Sedangkan, kredit modal kerja pada bank lokal

hanya mencapai 46,03 persen dari total kredit, namun dari sisi nilai

mengalami pertumbuhan yang lebih besar dari bank asing, yaitu

sebesar 26,78 persen (yoy) atau tumbuh dari Rp633 triliun pada

2010menjadi Rp802 triliun pada 2011 (per Agustus).

Posisi penggunaan terbesar kedua agak sedikit berbeda antara

bank asing dengan bank lokal. Posisi penggunaan kedua pada bank

asing diperuntukkan pada kredit investasi sekitar 21,38 persen dari

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

44

total kredit. Jenis penggunaan ini tumbuh lebih cepat dari pada

penggunaan lain di mana per Juli 2011 mampu tumbuh hampir 24,17

persen (yoy). Sedangkan kredit konsumsi pada bank asing hanya

tumbuh 3,83 persen dan mengambil porsi sebesar 14,46 persen dari

total kredit yang dikucurkan oleh bank asing. Sementara itu, posisi

penggunaan kedua pada bank lokal lebih diperuntukkan pada sektor

konsumsi,yakni sekitar 33,08 persen dari total kredit atau meningkat

23,08 persen (yoy). Sedangkan penggunaan kredit untuk investasi

selama periode berjalan tergolong kecil hanya 20,89 persen (Tabel 3.9).

Tabel 3.9 Perkembangan Kredit Berdasarkan Jenis Penggunaan

2010:Juli 2011:Juli Pertumbuhan

Pangsa terhadap Kredit

Kredit Modal Kerja (miliar) 2010:Juli 2011:Juli

Bank Lokal 633.163 802.743 26,78 45,18 46,03

Bank Asing 124.918 147.298 17,92 63,60 64,16

Total 758.081 950.041 25,32 47,44 48,14

Kredit Investasi (miliar)

Bank Lokal 299.682 364.374 21,59 21,38 20,89

Bank Asing 39.521 49.075 24,17 20,12 21,38

Total 339.203 413.449 21,89 21,23 20,95

Kredit Konsumsi (miliar)

Bank Lokal 468.722 576.909 23,08 33,44 33,08

Bank Asing 31.972 33.198 3,83 16,28 14,46

Total 500.694 610.107 21,85 31,33 30,91

Sumber: diolah dari Bank Indonesia, 2011

Menurut distribusi kredit, sebagian besar kredit pada bank asing

terserap pada sektor perindustrian sebesar 32,94 persen naik 20,55

persen (yoy). Penyerap kredit tertinggi kedua pada bank asing

bersumber dari sektor jasa dunia usaha sekitar 22,03 persen atau naik

23,76 persen (yoy). Sementara itu, pada sektor tradable pertumbuhan

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

45

kredit tertinggi berasal dari kredit pertambangan. Periode Agustus 2010

sampai Agustus 2011 kredit sektor ini tumbuh hingga 31,69 persen

(yoy). Selain itu, sektor pertanian tumbuh sangat rendah dalam kurun

waktu yang sama, yaitu hanya sebesar 2,23 persen (yoy).

Berbeda dengan distribusi kredit pada bank asing, pada bank

lokal kredit cenderung terpusat pada sektor lain-lain yang memakan

porsi hingga 35,53 persen dari total kredit dan naik 26,64 persen (yoy).

Penyerapan kredit tertinggi kedua bersumber dari sektor perdagangan,

restoran dan hotel sekitar 18,52 persen atau tumbuh 15,77 persen

(yoy). Pada sektor tradable pertumbuhan kredit tertinggi juga berasal

dari kredit pertambanganyang tumbuh cukup tinggi sebesar 42,68

persen (yoy). Disusul sektor perindustrian yang menempati

pertumbuhan kredit tertinggi kedua sebesar 19,38 persen (yoy).

Tabel 3.10. Perkembangan Kredit Berdasarkan Sektor Ekonomi

Sektor Ekonomi Bank Lokal Bank Asing

2010* 2011* Growth Pangsa 2010* 2011* Growth Pangsa

1. Pertanian, perburuan dan

sarana pertanian 167.688 190.226 13,44 4,97 7.879 8.055 2,23 3,36

2. Pertambangan 95.159 135.771 42,68 3,55 11.313 14.898 31,69 6,22

3. Perindustrian 462.612 552.256 19,38 14,44 65.440 78.885 20,55 32,94

4. Listrik, gas dan air 47.031 103.304 119,65 2,70 2.404 4.841 101,37 2,02

5. Konstruksi 123.128 138.976 12,87 3,63 3.449 3.449 0 1,44

6. Perdagangan, restoran dan

hotel 611.694 708.167 15,77 18,52 21.239 26.156 23,15 10,92

7. Pengangkutan, pergudangan

dan komunikasi 138.271 162.631 17,62 4,25 11.306 12.518 10,72 5,23

8. Jasa Dunia Usaha 256.460 370.751 44,56 9,70 42.627 52.754 23,76 22,03

9. Jasa sosial/masyarakat 104.335 103.004 -1,28 2,69 3.352 3.842 14,62 1,60

10. Lain-lain 1.072.618 1.358.409 26,64 35,53 32.854 34.065 3,69 14,23

Jumlah 3.078.996 3.823.766 24,19 100 201.863 239.463 18,63 100

Sumber: diolah dari Bank Indonesia, 2011. Ket: * per Agustus

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

46

3.2.4. Perkembangan LDR

Indikator kinerja perbankan lainnya dapat ditunjukkan dengan

rasio Loan to Deposit Ratio (LDR). Dari Tabel 3.11 tampak bahwa

pertumbuhan LDR bank asing dan campuran ternyata mengalami

peningkatan yang paling tinggi, yaitu masing-masing sebesar 13,20

persen (yoy) dan 10,48 persen (yoy). Sedangkan LDR pada bank lokal

yang terdiri dari bank persero, swasta nasional devisa dan non devisa,

dan BPD ternyata tumbuh lebih lambat, masing-masing sebesar 6,33

persen (yoy), 3,44 persen (yoy), 1,10 persen (yoy) dan 5,93 persen

(yoy).

Tingginya rasio LDR bank asing di Indonesia menandakan bahwa

mereka lebih atraktif dalam memainkan peran intermediasinya

dibandingkan dengan bank lokal. Hal tersebut juga mengindikasikan

bahwa bank asing tidak mau kehilangan kesempatan untuk mengeruk

keuntungan sebesar-besarnya di Indonesia. Berbeda dengan bank lokal

yang kelihatannya cenderung bersikap hati-hati dan kurang maksimal

dalam mendorong fungsi intermediasinya.

Tabel 3.11. Perkembangan LDR

LDR (%) 2010* 2011* Pertumbuhan

BUMN 79,18 84,19 6,33

Swasta Nasional Devisa 74,38 76,94 3,44

Swasta Nasional Non Devisa 82,38 83,29 1,10

BPD 71,01 75,22 5,93

Campuran 99,35 109,76 10,48

Asing 88,35 100,01 13,20

Bank Umum 78,01 82,21 5,38

Sumber: diolah dari Bank Indonesia, 2011. Ket: * per Agustus

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

47

3.2.5. Perkembangan NPL dan NIM

Sementara itu, risiko usaha perbankan lainnya dapat diketahui

melalui indikator rasio Non Performing Loan (NPL). Penurunan rasio

NPL tertinggi berasal dari bank asing, yaitu sebesar -33,01 persen (yoy)

atau dari 5,12 persen pada 2010 turun menjadi 3,43 persen pada 2011

(per Agustus). Sedangkan rasio NPL pada bank persero yang merupakan

representasi dari bank lokal justru mengalami peningkatan yang paling

tinggi, yaitu sebesar 9,71 persen (yoy) atau dari 3,09 persen naik

menjadi 3,89 persen pada rentang waktu yang sama. Hal tersebut

mengindikasikan bahwa risiko kredit macet pada bank lokal lebih tinggi

dari pada risiko kredit macet pada bank asing termasuk bank campuran

(Tabel 3.12).

Tabel 3.12 Perkembangan NPL

NPL (%) 2010* 2011* Growth

BUMN 3,09 3,39 9,71

Swasta Nasional Devisa 2,82 2,32 -17,73

Swasta Nasional Non Devisa 2,59 2,09 -19,31

BPD 2,29 2,4 4,80

Campuran 2,57 2,22 -13,62

Asing 5,12 3,43 -33,01

Total 3,01 2,77 -7,97

Sumber: diolah dari Bank Indonesia, 2011. Ket: * per Agustus

Dari sisi persaingan usaha antara bank lokal dengan bank asing,

salah satu indikator yang dapat digunakan untuk membandingkan

kekuatan daya saing antar-kedua kelompok bank tersebut adengan Net

Interest Margin (NIM). Lagi-lagi bank asing memiliki keunggulan

bersaing dibandingkan dengan bank lokal, di mana NIM bank asing dan

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

48

bank campuran relatif lebih rendah dibandingkan bank lokal, sebesar

3,64 persen dan 4,03 persen. Sementara bank lokal yang terdiri dari

bank plat merah, swasta nasional devisa dan non devisa serta BPD

masing-masing memiliki NIM sebesar 6,49 persen, 5,43 persen, 5,30

persen, dan 8,12 persen (Tabel 3.13).

Tabel 3.13 Perkembangan NIM

NIM (%) 2010* 2011* Pertumbuhan

BUMN 6,26 6,49 3,67

Swasta Nasional Devisa 5,30 5,43 2,45

Swasta Nasional Non Devisa 9,47 5,30 -44,03

BPD 8,86 8,12 -8,35

Campuran 3,79 4,03 6,33

Asing 3,53 3,64 3,12

Bank Umum 5,75 5,89 2,43

Sumber: diolah dari Bank Indonesia, 2011. Ket: * per Agustus

3.2.6. Perkembangan Dana di SBI

Seperti yang telah dijelaskan diawal, bahwa gonjang-ganjing

krisis keuangan global yang diprediksi akan turut berdampak pada

negara-negara emerging markets, termasuk Indonesia, tampaknya

perlu disikapi dan diantisipasi secara hati-hati sedini mungkin. Derasnya

aliran dana yang masuk ke Indonesia ibarat pisau bermata dua: disatu

sisi dapat menjadi peluang untuk mendorong pertumbuhan sektor riil

domestik, namun disisi lainnya dapat menjadi sumber malapetaka

bilamana dana-dana panas tersebut (hot money) tidak dapat dikontrol

keberadaannya sehingga ancaman penarikan tiba-tiba (sudden reversal)

ternyata menjadi kenyataan.

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

49

Dalam konteks tersebut, agaknya cukup relevan jika data

berikut ini disajikan. Pada Tabel 3.14, terlihat bahwa selama enam

tahun terakhir ini bank asing sangat bergeliat sekali

mengembangbiakkan dananya di SBI, sekitar 34,58 persen per tahun

dana bank asing di SBI rata-rata tumbuh dari tahun 2005 hingga 2011

(per Agustus). Pertumbuhan tersebut lebih besar daripada

pertumbuhan yang sama pada bank lokal. Gejala ini kiranya tidak boleh

diabaikan begitu saja oleh otoritas moneter, karena jika kondisi

tersebut dibiarkan terus berlangsung maka dapat dikatakan bahwa

otoritas moneter turut terlibat aktif dalam menyiapkan kuburan bagi

sektor perbankan nasional, yang sejatinya berfungsi sebagai lembaga

intermediasi yang mampu memompa sumber-sumber dana menuju

organ-organ yang memerlukan dana.

Tabel 3.14 Penempatan Dana di SBI

Penempatan

di SBI

(miliar)

2005 2007 2009 2011*

Rata-Rata

Pertumbuhan

2005-2011*

Pangsa

2011*

Bank Lokal 45.845 170.870 177.875 83.144 32,61 77,44

Bank Asing 8.410 32.993 34.241 24.216 34,58 22,56

Total 54.255 203.863 212.116 107.360 32,61 100

Sumber: diolah dari Bank Indonesia, 2011. Ket: * per Agustus

3.3. Kendala Perbankan Lokal

3.3.1. Masalah Tingginya Suku Bunga

Bank berbisnis seperti layaknya perusahaan. Bank juga dituntut

untuk memaksimalkan keuntungan. Teori profit maximized

menjelaskan bahwa keuntungan maksimal dari penyaluran kredit baru

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

50

tercapai ketika biaya marginal (marginal cost) dari pemberian kredit

sama dengan manfaat marginal yang diperoleh bank. Alat utama untuk

mencapai kondisi tersebut melalui tingkat suku bunga. Dalam

menetapkan besaran suku bunga, bank kembali berhadapan dengan

trade off. Pada satu sisi, bank berkepentingan untuk menentukan suku

bunga yang dapat menutup beberapa aspek, seperti biaya dana (cost of

fund); biaya oppourtunitas meminjam uang; risiko; hingga margin

keuntungan. Insukrindo (1993) memaknai harga opportunitas

meminjam uang merupakan pendapatan atau biaya yang tidak

diperoleh/ditanggung bank karena memilih investasi tertentu.

Stiglitz dan Weiss (1981) menekankan aktivitas pengelolaan

kredit akan selalu bersinggungan dengan faktor risiko. Stiglitz dan Bruce

Greenwald (2003) menegaskan bahwa teori suku bunga dalam teori

kredit tidak serupa dengan teori tingkat bunga konvensional. Tingkat

bunga tertentu pada teori kredit lebih merujuk kepada sebuah

perjanjian untuk membayar sejumlah tertentu di masa mendatang

sesuai akad kredit. Karena itu, peningkatan suku bunga tidak selalu

meningkatkan expected return dari pinjaman.

Mungkin saja, peningkatan suku bunga kredit menunjukkan

rendahnya kualitas peminjam sehingga memunculkan risiko kegagalan

yang lebih besar. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap kondisi bank

yang menyebabkan expected net return dapat turun sebagai akibat

kenaikan biaya suku bunga. Alasannya, didasarkan pada kenyataan

terbentuknya korelasi positif antara peningkatan suku bunga dengan

peningkatan probabilitas gagal bayar.

Stiglitz menjelaskan bahwa kompetisi di dalam pasar tidak

sempurna karena adanya masalah asymmetric information. Asymmetric

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

51

information menggambarkan perbedaaan informasi yang diperoleh

salah satu pihak dalam suatu kesepakatan keuangan. Contoh yang

paling umum pada transaksi kredit. Biasanya, debitur memiliki

informasi lebih lengkap daripada kreditur yang terkait dengan potensi

bisnis. Debitur juga lebih memahami potensi keuntungan dan potensi

kerugian dari bisnis yang akan dibiayai. Lag informasi ini menyebabkan

sulitnya mengelompokkan antara debitur potensial dengan debitur

nonpotensial.

Blundell-Wignall dan Gizyeki (2001) menjelaskan bahwa

asymetric information muncul ketika informasi yang diterima oleh bank

tidak sempurna tentang peminjam sehingga mereka dapat bertindak di

luar ketentuan bank. Masalah ini dapat memunculkan agency cost

dalam bentuk adverse selection cost dan moral hazard cost. Agency

cost berimplikasi terhadap perilaku bank dalam memberikan kredit

kepada nasabah.

Dengan sumber inflasi dari dua sisi -permintaan dan

penawaran- berkorelasi dengan BI rate di Indonesia dan suku bunga

perbankan. Selama tiga tahun terakhir, suku bunga kebijakan di

Indonesia mencatat level tertinggi dibanding negara lainnya. Pada

2008, suku bunga kebijakan Indonesia mencapai 9,25 persen sedangkan

negara lain seperti India, Filipina, dan Thailand di bawah 7 persen.

Perbaikan kinerja inflasi pada 2009 hanya mampu menekan suku bunga

kebijakan di Indonesia ke level 6,5 persen dan kemudian naik pada

2011 menjadi 6,5 persen, meski kemudian terkoreksi menyamai level

2009.

Memang koreksi yang dilakukan selama 2008-2009 sudah

tergolong lebar, sekitar 275 basis poin/bps. Hanya saja, level tersebut

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

52

masih relatif tinggi untuk Kawasan Asia Pasifik sehingga mendorong

capital inflow yang semakin deras. Pada saat yang sama, suku bunga

kebijakan pada bank sentral lain berkisar pada 2 persen hingga 5,31

persen. Inflasi yang relatif terkendali pada 2009 mulai liar pada 2010.

Pada saat itu, sebagian besar bank sentral di Asia Pasifik mengoreksi ke

atas suku bunga kebijakan (Tabel 3.15).

Tabel 3.15. Perkembangan Suku Bunga Kebijakan dan Suku Bunga

Perbankan Beberapa Negara

Negara

Kebijakan Tabungan Deposito

1 tahun Kredit

2008 2009 2010 2008 2009 2008 2009 2008 2009

China 5,31 5,31 5,81 0,66 0,36 3,80 2,25 5,31 5,31

Korea

Selatan 3,00 2,00 2,5 5,67 3,23 5,87 3,48 7,17 5,00

India 6,50 4,75 6,25 3,50 ... 8,25 6,75 13,31 12,19

Indonesia 9,25 6,5 6,5 3,33 3,00 10,43 9,55 13,60 14,5

Malaysia 3,25 2,00 2,75 1,40 0,87 3,50 2,50 6,08 5,08

Filipina 5,50 4,00 4,00 2,22 2,1 3,96 2,50 8,75 8,57

Thailand 5,50 4,00 2,00 0,75 0,5 1,88 0,83 7,04 5,96

Sumber: Diolah dari Asian Development Bank, 2011 dan Bank Indonesia, 2011

Relatif tingginya suku bunga acuan di Indonesia berlanjut suku

bunga perbankan, baik suku bunga simpanan maupun suku bunga

tabungan.Suku bunga tabungan pada 2008 dan 2009 mencapai 3,33

persen dan 3 persen per tahun; lebih tinggi dari China, Malaysia dan

Filipina dan sedikit lebih rendah dari suku bunga tabungan di Korsel.

Kondisi yang sama terjadi pada suku bunga deposito 1 tahun,di mana di

Indonesia per 2008 mencapai 10,43 persen, tertinggi di atas suku bunga

deposito 1 tahun di India mencapai 8,25 persen. Koreksi suku bunga

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

53

deposito 1 tahun pada 2009 di Indonesia hanya menggiringnya pada

level 9,55 persen sedangkan di India mampu menyeretnya ke level 6,75

persen.

Dengan cost of fund yang relatif besar mendorong tingginya

suku bunga kredit nasional. Pada 2008 harga dana di Indonesia

mencapai 13,60 persen per tahun, sedangkan pada 2009 melonjak

menjadi 14,5 persen per tahun. Sementara harga dana di India pada

2008 sedikit lebih rendah dari Indonesia sekitar 13,31 persen per tahun

dan membaik pada 2009 menjadi 12,19 persen per tahun. Pada periode

yang sama China, Korea, Malaysia, dan Thailand menetapkan harga

dana di bawah 6 persen per tahunnya, sedangkan Filipina menetapkan

sekitar 8 persen per tahun.

Studi Hadad (2003) tentang biaya intermediasi beberapa bank di

Indonesia menganalisis tentang apakah Bunga Kredit Bank Umum

Overpriced dalam periode Januari 2002 hingga Juni 2003. Penelitian

tersebut menjelaskan bahwa penurunan suku bunga acuan biasanya

telah direspon oleh perbankan melalui koreksi cost of fund. Tetapi,

koreksi suku bunga pinjaman cenderung lama karena terkait dengan

berbagai pertimbangan, seperti kondisi keuangan bank yang masih

belum efisien. Dari sisi internal tingginya biaya intermediasi disebabkan

oleh kecenderungan bank untuk menahan diri untuk kompetisi.

Keadaan yang demikian juga disebabkan karena masih

membanjirnya likuiditas perbankan serta tingginya pendapatan dari

bunga SBI dan obligasi. Implikasinya, perbankan akan cenderung

bersikap menunggu (wait and see) perkembangan pasar uang dan

sektor riil selanjutnya. Penelitian ini juga mencatat kemungkinan

terjadinya ketidakakuratan bank dalam menghitung risk management,

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

54

terutama yang terkait dengan pricing produk. Variabel lainnya

berhubungan dengan perilaku bank yang cenderung membebani

debitur dengan premi risiko yang di atas kewajaran yang mendorong

lonjakan harga dana.

Kondisi yang demikian menyebabkan margin suku bunga di

Indonesia relatif lebih tinggi dari negara lain. Pada 2009 misalnya,

margin suku bunga di Malaysia hanya 3,03 persen, sedangkan di Filipina

3,92 persen turun dari 6,01 pada 2006. Margin suku bunga negara lain

seperti Vietnam dan Singapura pada 2009 masing-masing 3,43 persen

dan 1,79 persen (Bank Indonesia, 2010).

Studi Hadad kembali menyebutkan salah satu masalah utama

rigiditas suku bunga adalah struktur aktiva produktif bank. Faktor risiko

sektor rill yang menyebabkan sebagian besar penyaluran dana ke SBI.

Hal ini menyebabkan struktur return aktiva produktif perbankan sangat

tergantung pada penurunan suku bunga SBI. Oleh karena itu, koreksi

suku bunga SBI secara nyata tidak akan direspon secara signifikan oleh

bank melalui koreksi suku bunga pinjaman untuk mempertahankan

profit margin-nya.

Suku bunga perbankan di Indonesia relatif lebih sensitif

terhadap kenaikan suku bunga acuan/BI rate tetapi tidak peka terhadap

koreksi yang terjadi juga dilakukan oleh Listiyanto. Studi Listiyanto

(2010) selama Juli 2005 hingga Maret 2010 menyimpulkan bahwa

perbankan setidaknya memerlukan jangka waktu (time lag) sekitar 4,82

bulan untuk merespon perubahan suku bunga kebijakan pada suku

bunga simpanan. Sementara respon pada suku bunga pinjaman relatif

lebih lama, sekitar 6,02 bulan. Menurut jenis bank, rata-rata kecepatan

penyesuaian suku bunga simpanan tercepat dilakukan oleh bank asing

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

55

dan bank campuran selama 4,25 bulan. Respon penyesuaian suku

bunga pinjaman tercepat selama periode penelitian dilakukan oleh

bank persero, selama 3,58 bulan.

Satu paling mudah untuk melihat tingginya suku bunga kredit di

Indonesia adalah melalui Net Interet Margin/NIM dan spread tingkat

suku bunga menjadi dua acuan yang lazim digunakan untuk

meneropong penghasilan bunga perbankan. NIM diperhitungkan dari

perbandingan antara pendapatan bunga bersih dengan rata-rata aktiva

produktif. Sedangkan spread suku bunga merupakan margin antara

suku bunga pinjaman dengan suku bunga simpanan. Komponen ini

turut memengaruhi seretnya pengaluran kredit ke sektor rill. NIM juga

dapat menjadi ukuran efisiensi perbankan. Indikator lainnya dapat

dilihat dari rasio overhead cost perbankan terhadap total asset.1

Dalam cakupan ASEAN, NIM perbankan tergolong tertinggi. NIM

bank umum pada 2010 mencapai 5,59 persen; bank persero 6,11

persen; bank umum swasta nasional devisa 5,35 persen; bank umum

swasta nasional nondevisa 9,10 persen; bank pembangunan daerah

8,74 persen; bank campuran 3,83 persen; dan bank asing 3,54 persen.

NIM di Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina berkisar antara 2,3

persen hingga 4,5 persen. Level NIM yang demikian menggambarkan

dua hal penting, yaitu (i) operasional perbankan yang boros, dan (ii)

risiko sektor rill yang tinggi.

1Ibid Inggrid (2006)

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

56

3.3.2. Kendala Struktur Dana Perbankan: Bertumpu Pada Dana Mahal

Perbankan biasanya berkonsentrasi dalam pengelolaan dana

dengan jangka pendek, terutama simpanan deposito. Sampai saat ini,

simpanan deposito masih menjadi sumber utama dana bagi bank.

Namun, keberadaanya dalam porsi yang besar -terutama berdurasi 1

bulan- menyebabkan ruang gerak investasi perbankan cenderung

sempit. Perbankan hanya mampu berbisnis di area investasi di bawah

satu tahun agar tidak menciptakan maturity mismatch. Implikasinya,

perbankan tidak dapat terlibat dalam pembiayaan jangka panjang atau

multiyears seperti proyek-proyek infrastruktur.

Dalam periode 2006-2010, simpanan deposito (rupiah dan

valuta asing) menyumbang rata-rata 46,17 persen terhadap DPK bank

umum. Pada bank persero, simpanan deposito menyumbang rata-rata

41,52 persen per tahun; bank umum swasta nasional devisa rata-rata

49,70 persen; bank umum swasta nasional devisa nondevisa rata-rata

84,02 persen (hanya deposito Rupiah); bank pembangunan daerah;

bank campuran dan bank asing masing-masing 27,43 pesen; 69,03

persen; dan 48,01 persen.

Dalam struktur simpanan deposito, sebagian besar terdiri dari

simpanan berdurasi 1 bulan, baik yang berdominasi rupiah maupun

valuta asing. Selama 2005-2009, simpanan deposito rupiah 1 bulan

mencapai 54,20 persen dari total simpanan deposito rupiah, sementara

deposito berumur 3 bulan mencapai 20,11 persen. Porsi tertinggi lain

bersumber dari simpanan deposito berumur 24 bulan, rata-rata 5,96

persen per tahun. Struktur simpanan deposito untuk dominasi valas

mengikuti struktur yang sama.

Simpanan deposito valas 1 bulan menyumbang hampir 60

persen terhadap total simpanan valas. Porsi terbesar kedua bersumber

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

57

dari simpanan deposito selain 0, 1,3,6,12 dan 24 bulan rata-rata 27,72

persen per tahun selama 2005-2009. Pada jenis lain seperti simpanan

deposito berdurasi 3 bulan mencapai 7,84 persen terhadap total

simpanan deposito valas.

3.4. Tantangan dan Peluang Perbankan Ke Depan

Pertama,pemulihan ekonomi dunia sepertinya masih jauh dari

harapan. Kinerja ekonomi Amerika Serikat masih terkendala, bukan

hanya dari pengelolaan krisis kredit tetapi juga defisit fiskal. Sementara

Uni Eropa bergerak mundur setelah beberapa negara yang tergabung

dalam komunitas tersebut tidak dapat mengelola defisit fiskal dan krisis

utang yang semakin parah. Pelemahan kinerja ekonomi dunia juga

terpengaruh oleh spill-over tsunami Jepang. Meski perekonomian Asia

(terutama China dan India) masih cenderung membaik, namun kedua

negara tersebut mulai mengalami beberapa masalah terutama over

heating.

Belum pulihnya kinerja ekonomi global secara tidak langsung

memengaruhi kinerja perbankan melalui jalur permintaan kredit dari

perusahaan berorientasi ekspor. Sebagai informasi, pangsa ekspor

Indonesia terhadap beberapa negara yang sedang ‘sakit’ cukup

signifikan. Selama 2005-2010, pangsa ekspor Indonesia mencapai 14,34

persen per tahun ke Uni Eropa, sementara ke Jepang dan AS masing-

masing 13,64 persen dan 11,92 persen per tahun. Memang, sebagian

besar ekspor nasional masih mengalir ke ASEAN, mencapai 21,56

persen per tahun (Tabel 3.16.).

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

58

Tabel 3.16. Distribusi Ekspor Menurut Negara

2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rerata

ASEAN 21.88 20.70 21.51 22.39 21.69 21.21 21.56

Uni Eropa 15.29 15.17 14.63 14.26 13.77 12.94 14.34

Jepang 14.76 15.21 14.35 12.45 12.45 12.61 13.64

Amerika Serikat 14.00 13.19 12.00 11.55 10.56 10.21 11.92

RRC 8.19 9.11 9.19 8.93 11.09 12.75 9.88

Singapura 10.60 9.82 9.57 9.80 8.99 7.80 9.43

India 4.34 4.37 5.26 6.34 7.59 7.49 5.90

Malaysia 4.92 4.84 5.05 5.76 5.71 5.95 5.37

Korea Selatan 4.03 4.23 4.10 4.19 5.19 5.40 4.52

Belgia 3.22 3.27 3.04 3.58 3.00 2.88 3.16

Thailand 2.97 2.64 2.97 3.04 2.63 3.09 2.89

Taiwan 2.72 2.86 2.57 2.65 2.91 2.46 2.69

Sumber: Diolah dari Badan Pusat Statistik, 2011

Kedua, daya saing investasi Indonesia masih belum banyak

membaik. Hal ini pada gilirannya memengaruhi realisasi investasi

sehingga berdampak pada penyaluran kredit perbankan. Masalah daya

saing investasi Indonesia dari sisi makro tergambar dari masalah

ketersediaan infrastruktur, sementara dari sisi mikro berkutat pada

masalah korupsi dan inefisiensi birokrasi pemerintah (terutama setelah

implemtasi otonomi daerah).

Ketiga, tantangan perbankan ke depan semakin berat sejalan

dengan integrasi perekonomian Indonesia yang semakin tinggi ke

perekonomian global. Untuk itu, perbankan nasional dituntut untuk

meningkatkan daya saing agar dapat menjadi tuan rumah di negara

sendiri. Kesiapan perbankan semakin dinantikan baik oleh pengusaha

nasional maupun investor asing sebagai mitra dalam berinvestasi. Satu

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

59

perkembangan integrasi ekonomi tersebut terbentuknya Masyarakat

Ekonomi ASEAN/MEA.

Beberapa pengamatan menunjukkan bahwa kinerja perbankan

nasional masih jauh dari sejumlah negara ASEAN. Ambil saja contoh

sederhana, dari sisi efisiensi perbankan (baca perbandingan antara

Biaya Operasional dengan Pendapatan Operasional/BOPO); kinerja

perbankan Indonesia masih jauh dari negara lain. Dalam publikasi BI

tahun 2011 disebutkan bahwa BOPO perbankan nasional masih di atas

80 persen. Indikator yang sama di Singapura, Malaysia, Thailand dan

Filipina berkisar 32,7 persen hingga 73,1 persen.�

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

61

Bab Bab Bab Bab 4444

Jebakan Liberalisasi Perdagangan:

Kasus ACFTA

Sejak terbentuknya General Agreement on Tariffs and Trade

(GATT) pada 1947, yang kemudian digantikan oleh World Trade

Organisation (WTO), liberalisasi perdagangan tampaknya sudah

menjadi keniscayaan. Hampir tidak ada negara yang berada di luar

pusaran liberalisasi perdagangan. Namun, banyak negara yang justru

menjadikannya sebagai instrumen untuk mempercepat pertumbuhan

ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Menurut Baier dan Bergstand,

perdagangan dunia berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan

pendapatan (income). Melalui penurunan hambatan perdagangan akan

menyebabkan semakin murahnya biaya transportasi (Coughlin, 2003).

Pernyataan ini diperkuat dengan data terjadinya peningkatan volume

perdagangan dunia. Nilai perdagangan dunia menunjukkan

peningkatan dari US$ 290 miliar pada 1950 menjadi sebesar US$ 12,08

triliun pada 2009. Trade Watch Bank Dunia edisi 2nd Quarter 2010

menyebutkan bahwa pada kuartal kedua 2010, perdagangan global

semakin meningkat dibandingkan dengan kuartal sebelumnya dengan

peningkatan ekspor sebesar 4,2 persen, sementara impor meningkat

sebesar 2,3 persen.

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

62

Liberalisasi perdagangan ditandai dengan penurunan atau

penghapusan hambatan perdagangan, baik berupa tarif maupun non

tarif. Sebelum Putaran Uruguay, rata-rata tarif produk manufaktur di

negara maju adalah 6,2 persen dan negara berkembang adalah 20,5

persen. Sesudah Putaran Uruguay, rata-rata tarif di negara maju hanya

3,7 persen dan di negara berkembang 14,4 persen. Hambatan non tarif

seperti kuota, perizinan dan spesifikasi teknis juga secara bertahap

dihapuskan tetapi tidak secepat penurunan tarif (www.wto.org).

Kesepakatan tersebut telah mendorong arus pergerakan barang dan

jasa (flow of goods and services). Meskipun hingga saat ini faktanya

beberapa negara maju masih menerapkan hambatan non-tarif yang

“menyulitkan” bagi negara-negara berkembang (pengekspor) dengan

alasan tidak memenuhi standar kesehatan dan keamanan lingkungan.

Negara-negara tersebut menggunakan beberapa hambatan non-tarif yang

tidak bertentangan dengan aturan dari WTO.

Terlepas dari masalah hambatan non tariff yang diterapkan

pada beberapa negara, secara umum tak dapat dipungkiri dengan

adanya liberalisasi perdagangan banyak negara telah mendapatkan

gains from trade secara statis maupun dinamis. Manfaat tersebut

terlihat jelas pada beberapa negara yang mengalami peningkatan

surplus neraca perdagangan dan mempunyai pertumbuhan ekonomi

tinggi. Seperti terlihat pada Gambar 4.1 dan 4.2, China yang mengalami

surplus perdagangan terbesar, mampu membuat pertumbuhan

ekonomi yang tinggi bahkan di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi

dunia. China mampu membuat pertumbuhan ekonomi yang fantastis,

khususnya pada 2007 sebesar 14,2 persen dan berlanjut pada tahun-

tahun berikutnya walaupun tidak sebesar 2007.

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

63

Gambar 4.1. Neraca Perdagangan Beberapa Negara

Sumber: World Trade Organization, 2011

Gambar 4. 2. Pertumbuhan Ekonomi Beberapa Negara

Sumber: World Bank, 2011

-50.00

0.00

50.00

100.00

150.00

200.00

250.00

300.00

350.00

US$ Miliar

2007

2008

2009

-10.00

-5.00

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

2007

2008

2009

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

64

4.1. Bagaimana Indonesia?

Secara umum, selama 2006-2010 total volume perdagangan Indonesia

masih menunjukkan peningkatan 14,04 persen. Peningkatan volume

perdagangan tersebut terutama berasal dari perdagangan non migas.

Sayangnya, manfaat dari keterbukaan perdagangan lebih banyak dinikmati

oleh negara lain. Indonesia tidak mampu mengambil peluang dari liberalisasi

perdagangan ini. Terbukti dalam kurun waktu yang sama, surplus neraca

perdagangan Indonesia justru mengalami penurunan sebesar 17,07 persen.

Hal ini terjadi karena nilai ekspor Indonesia hanya meningkat sebesar 9,6

persen sementara impor Indonesia melonjak sebesar 20,43 persen. Namun

2011, terjadi kondisi yang sedikit menggembirakan, di mana surplus neraca

perdagangan Indonesia relatif membaik, meskipun hal ini lebih dikarenakan

booming harga beberapa komoditas primer di pasaran internasional selama

2011.

Tabel 4.1. Neraca Perdagangan Indonesia (Juta US$)

No URAIAN 2006 2007 2008 2009 2010 TREND

(%)

Jan- Sep

2010

Jan- Sep

2011*)

PERUB.

(%)

I E K S P O R 100.798,6 114.100,9 137.020,4 116.510,0 157.779,1 9,60 110.916,3 152.501,2 37,49

- MIGAS 21.209,5 22.088,6 29.126,3 19.018,3 28.039,6 4,17 19.122,0 31.647,2 65,50

- NON MIGAS 79.589,1 92.012,3 107.894,2 97.491,7 129.739,5 10,91 91.794,3 120.854,0 31,66

II I M P O R **) 61.065,5 74.473,4 129.197,3 96.829,2 135.663,3 20,43 97.389,0 129.966,4 33,45

- MIGAS 18.962,9 21.932,8 30.552,9 18.980,7 27.412,7 6,10 19.438,4 30.264,2 55,69

- NON MIGAS 42.102,6 52.540,6 98.644,4 77.848,5 108.250,6 25,63 77.950,6 99.702,2 27,90

III TOTAL 161.864,1 188.574,3 266.217,7 213.339,3 293.442,4 14,03 208.305,3 282.467,6 35,60

- MIGAS 40.172,4 44.021,4 59.679,2 37.999,0 55.452,3 5,10 38.560,3 61.911,4 60,56

- NON MIGAS 121.691,7 144.552,9 206.538,6 175.340,2 237.990,1 16,59 169.745,0 220.556,3 29,93

IV NERACA 39.733,2 39.627,5 7.823,1 19.680,8 22.115,8 -17,07 13.527,3 22.534,9 66,59

- MIGAS 2.246,6 155,7 -1.426,6 37,6 626,9 0,00 -316,4 1.383,0 -537,15

- NON MIGAS 37.486,6 39.471,7 9.249,7 19.643,2 21.488,9 -16,56 13.843,7 21.151,8 52,79

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Kementerian Perdagangan

Keterangan: *) Angka sementara **) Impor Termasuk Kawasan Berikat

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

65

Paradoks utama yang dialami Indonesia dalam soal

perdagangan ini lebih disebabkan karena Indonesia membuka diri

dengan negara lain, namun persaingan di dalam negeri masih tetap

tertutup. Pada 1994 Indonesia meratifikasi perdagangan bebas dengan

WTO (World Trade Organization) dan setelah itu serangkaian kebijakan

blok perdagangan ditandatangani tanpa hambatan, khususnya pasca-

1998. Pendeknya, sejak dekade 1990-an, Indonesia menganut

keyakinan perdagangan bebas di pasar global. Namun, di pasar

domestik, struktur ekonomi dan perdagangan nasional justru jauh dari

situasi pasar bersaing sempurna. Sebagian besar konsentrasi pasar

aktivitas ekonomi masih cukup tinggi, misalnya di sektor

telekomunikasi, konstruksi, perdagangan, perbankan, dan aneka

komoditas pertanian (gandum, gula, jagung, minyak goreng, dan lain-

lain). Praktik ini yang menyebabkan efisiensi ekonomi tidak segera

tercapai di pasar domestik.

Implikasi dari konstruksi pengelolaan ekonomi yang cenderung

monopsoni dan oligopsoni tersebut menyebabkan Indonesia

“kedodoran” dan tidak mampu bersaing ketika dihadapkan kepada

pasar bebas. Sektor pertanian dan industri yang hancur pasca-

reformasi ekonomi 1998 kian tidak mampu bersaing dalam pasar

internasional. Indonesia menjadi importir beberapa komoditas pangan

penting dalam jumlah yang makin meningkat tiap tahun, seperti beras,

jagung, kedelai, daging, susu, dan lain-lain. Sampai Semester I 2011 nilai

impor komoditas pertanian mencapai sekitar Rp 60 triliun. Indonesia

masih diselamatkan oleh komoditas perkebunan yang harganya bagus,

seperti kelapa sawit, kakao, dan karet. Sementara itu, komoditas

ekspor sektor industri kian jeblok karena daya saing domestik yang

terus melorot, seperti tekstil, alas kaki, makanan dan minuman, dan

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

66

baja. Ketiadaan infrastruktur, pasokan listrik, soal pembebasan lahan,

dan perizinan yang rumit turut memperparah daya saing tersebut.

Tampak dengan jelas, liberalisasi perdagangan seperti

membuka jalur pelaku ekonomi asing menggerogoti ekonomi nasional

dan daya saing yang macet di pasar barang/jasa. Dengan dasar inilah

sebetulnya perdagangan bebas tidak layak diratifikasi secepat ini,

bukan semata secara teoritis tidak masuk akal, tetapi secara empiris

kebijakan ekonomi masih jauh dari semangat untuk memperkuat

ekonomi domestik. Bayangkan, AS saja baru melakukan deregulasi dan

liberalisasi secara penuh pada dekade 1980-an dan 1990-an (Fukuyama,

2000). Tentu tidak mudah membalik situasi ini, tapi solusi memagari

kebebasan lalu lintas ekonomi dan meniupkan ruh ekonomi domestik

merupakan pilihan yang aman.

4.2. Indonesia Terlibas ACFTA

Seperti diuraikan sebelumnya, liberalisasi perdagangan yang

diharapkan dapat mengoptimalkan kinerja perekonomian Indonesia

ternyata tidak seperti yang diharapkan. Sebagai gambaran, dengan

mengikuti kesepakatan perdagangan bebas, misalnya melalui

kesepakatan ACFTA (Asean – China Free Trade Agreement) justru

keuntungan Indonesia yang dapat diambil lebih sedikit dari pada

keuntungan yang diperoleh oleh negara pesaing. Bahkan pada

beberapa industri Indonesia mengalami kerugian. Sektor industri dinilai

mendapat pukulan keras akibat pelaksanaan ACFTA tersebut.

ACFTA memberikan keuntungan besar bagi China, namun tidak

bagi Indonesia. China dapat mengambil keuntungan yang lebih besar

karena mereka memiliki daya saing produk yang lebih tinggi baik daya

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

67

saing kualitas maupun harga. Dengan adanya kenyataan ini, berbagai

kalangan, khususnya, pengusaha merasa khawatir terhadap gempuran

produk asal China. Kekhawatiran akhirnya menjadi kenyataan setelah

ACFTA diberlakukan. Produk China dengan harganya yang dikenal

murah semakin membanjiri pasar domestik, terlihat dari nilai Impor

Indonesia dari China pada 2010 sebesar US$20,4 miliar atau meningkat

45,9 persen dari 2009.

Setelah data-data perdagangan, terutama antara Indonesia-Cina

resmi dikeluarkan oleh BPS, khalayak ramai mulai menyoal kelaikan

perjanjian pasar bebas di wilayah ASEAN plus China. Namun, dalam

beberapa aspek, data-data tersebut tidak semuanya valid karena

terdapat perbedaan antara satu versi dengan versi lainnya. Misalnya,

pemerintah mengumumkan defisit perdagangan Indonesia dengan

China mencapai US$ 5,6 miliar, namun pemerintah China mengklaim

defisit Indonesia hanya US$ 2,8 miliar. Tapi, angka manapun yang

benar, tetap saja defisit perdagangan Indonesia dengan China makin

besar sejak perjanjian itu diberlakukan 1 Januari 2010.

Sejak 1 Januari 2010 Indonesia telah memulai masuk dalam

skema liberalisasi perdagangan regional di bawah payung ACFTA, defisit

neraca perdagangan Indonesia terhadap China pada 2010 membengkak

menjadi sekitar US$ 6 miliar.

Jika dilihat figur perdagangan Indonesia dengan Asean (minus

China), sebetulnya tidak terdapat dampak yang terlalu besar sejak

diberlakukannya ACFTA. Pada 2010 ekspor Indonesia ke negara-negara

Asean mencapai US$ 25,6 miliar, meningkat dari semula US$ 21,3 miliar

pada 2009 (terjadi peningkatan sekitar US$ 4,3 miliar). Sementara itu,

impor Indonesia dari negara-negara Asean pada 2010 senilai US$ 22

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

68

miliar, meningkat dari semula US$ 18,4 miliar (naik US$ 3,6 miliar).

Artinya, sejak diberlakukannya ACFTA tersebut surplus perdagangan

Indonesia dengan negara-negara anggota Asean justru meningkat dari

US$ 2,9 (2009) menjadi US$ 3,5 miliar (2010 ). Jadi, sampai pada titik

ini, perjanjian perdagangan bebas pada level Asean tidak memberi

pengaruh yang berarti bagi Indonesia, bahkan Indonesia menjadi pihak

yang lebih diuntungkan, meskipun kenaikan surplus perdagangan tidak

terlalu besar.

Tabel 4.2. Neraca Perdagangan Indonesia dengan China (Juta US)

URAIAN 2006 2007 2008 2009 2010 Jan-Apr

2010

Jan-Apr

2011

Perub

(%).

‘10/’11

Total 14.980,4 18.233,3 26.883.6 25.501.4 36.116.8 10.218.5 13.258.5 29,75

- Migas 4.011,8 3.612,0 4.148.6 3.090.0 2.347.8 603.1 598.6 -0,75

- Non

migas 10.968,5 14.621,3 22.735.0 22.411.4 33.768.9 9.615.3 12.659.9 31,66

Ekspor 8.343,5 9.675,5 11.636.5 11.499.3 15.692.6 4.423.3 5.677.1 28,35

- Migas 2.876,9 3.011,4 3.849.3 2.579.2 1.611.6 405.6 478.8 18,05

- Non

migas 5.466,6 6.664,1 7.787.1 8.920.0 14.080.9 4.017.7 5.198.3 29,38

Impor 6.636,8 8.557,8 15.247.1 14.002.1 20.424.2 5.795.1 7.581.3 30,82

- Migas 1.134,9 600,6 299.2 510.8 736.2 197.5 119.7 -39,36

- Non

migas 5.501,9 7.957,2 14.947.9 13.491.3 19.688.0 5.597.6 7.461.5 33,30

Neraca 1.706,6 1.117,6 -3.610.6 -2.502.8 -4.731.6 -1.371.7 -1.904.1 38,81

- Migas 1.742,1 2.410,7 3.550.1 2.068.4 875.4 208.1 359.0 72,54

- Non

migas -35,3 -1.293,1 -7.160.7 -4.571.2 -5.607.0 -1.579.8 -2.263.2 43,25

Sumber: Kementerian Perdagangan, 2011

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

69

Namun, jika dimasukkan China, maka barulah data-data yang

ada memang menunjukkan problem yang cukup serius bagi

perdagangan ekonomi Indonesia. Sebelum ACFTA berjalan, misalnya

pada 2009, ekspor Indonesia ke China nilainya US$ 10,9 miliar. Namun,

pada 2010 nilai ekspor Indonesia melonjak menjadi US$ 15,4 miliar.

Artinya, selama kurun tersebut Indonesia juga berhasil meningkatkan

ekspor ke China sekitar US$ 4,6 miliar. Sungguh pun begitu, kita tidak

bisa segera bertepuk tangan dengan data tersebut. Sebab, di sisi

impornya menunjukkan pertumbuhan yang lebih cepat ketimbang

ekspor. Pada 2009, Indonesia melakukan impor dari China sebesar US$

14,8 miliar. Sementara itu, pada 2010 impor Indonesia dari China

membengkak menjadi US$ 20,2 miliar. Dengan kata lain, selama

setahun itu terjadi peningkatan impor sebesar US$ 5,4 miliar. Fakta ini

menunjukkan bahwa Indonesia memang berada dalam posisi yang

kurang beruntung dibandingkan dengan China.

Pertanyaan berikutnya, apakah cuma dengan China Indonesia

mengalami pemburukan perdagangan di dalam koridor ACFTA?

Ternyata tidak. Sekurangnya, jika dilihat data peralihan 2009 dan 2010

terdapat 2 negara yang menjadi ancaman bagi Indonesia, yakni

Thailand dan Vietnam. Pada 2010, perdagangan Indonesia dengan

Thailand mengalami defisit yang cukup besar (US$ 3,2 miliar),

meningkat daripada 2009 yang defisit sebesar US$ 1,9 miliar.

Berikutnya, perdagangan dengan Vietnam pada 2010 memang masih

surplus sebesar US$ 773 juta (bagi Indonesia), namun surplus itu lebih

rendah ketimbang 2009 yang sebesar US$ 965 juta. Di luar dua negara

ini, surplus perdagangan Indonesia juga berkurang pada 2010

(dibanding 2009) dengan Brunei dan Kamboja (namun dengan nilai

yang rendah, masing-masing US$ 49 juta dan US$ 195 juta). Di luar

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

70

empat negara itu, perdagangan Indonesia membukukan surplus yang

meningkat ke negara anggota Asean lainnya, seperti Malaysia, Filipina,

Singapura, Myanmar, dan Laos.

4.3. Gagal Memanfaatkan Peluang

Kontribusi perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi

Indonesia masih lebih rendah, jauh tertinggal dibandingkan dengan

beberapa negara pesaing. Indonesia gagal dalam memanfaatkan

peluang liberalisasi. Penyebab dari kegagalan Indonesia tersebut salah

satunya adalah faktor daya saing bangsa. Lemahnya daya saing

Indonesia, sebagaimana disimpulkan oleh beberapa studi (e.g. World

Bank, 2004; Sambodo et al; Tambunan, 2008), bisa jadi menjadi

penyebab utama perdagangan luar negeri belum optimal dalam

mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, Indonesia ternyata tidak

termasuk ke dalam sepuluh besar pengekspor negara-negara

berkembang.

Ketidakmampuan Indonesia beradaptasi dengan dinamika

globalisasi tidak lepas dari faktor daya saing yang lemah. Selain itu,

Indonesia seringkali terlambat dalam merespon terjadinya perubahan

aturan dan tata perdagangan internasional serta investasi. Misalnya,

berbeda dengan beberapa negara seperti Pakistan, India, China dan

Vietnam, Indonesia sama sekali tidak memiliki perjanjian bilateral

dalam skema PTA (Preferential Trade Agreement) dengan Amerika

Serikat dan Uni Eropa. Padahal dua kawasan tersebut merupakan

tujuan utama ekspor Indonesia selain Jepang. Akibatnya, ekspor

Indonesia ke AS dan UE masih dikenakan tariff yang lebih tinggi

dibanding negara-negara yang sudah punya perjanjian. Tentu saja hal

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

71

ini dapat membuat produk Indonesia di pasar AS dan UE kurang

mampu bersaing.

Dalam kaitannya dengan basic requirement, lima variabel yaitu

stabilitas makro, kepastian hukum, birokrasi, infrastruktur dan kualitas

SDM perlu mendapat perhatian pemerintah. Di bidang stabilitas

ekonomi makro, kemampuan pemerintah untuk melakukan langkah-

langkah penyelamatan dari kemungkinan adanya krisis global di tahun

mendatang akan menentukan daya saing produk Indonesia. Ini berarti

pemerintah bersama dengan Bank Indonesia dan para pengambil

keputusan (DPR) perlu menemukan formulasi kebijakan untuk

meredam gejolak beberapa variabel makro dari kemungkinan krisis

global di tahun mendatang. Namun formulasi kebijakan tersebut jangan

sampai membawa efek detrimental yang bisa merusak kinerja sektor rill

(investasi, perdagangan dan industri).

4.3. Penyiapan Pasar Domestik

Dibukanya ACFTA menimbulkan polemik di kalangan produsen

domestik, di mana berbagai pihak terus menunjukkan penentangan

perjanjian tersebut karena dinilai dapat mematikan produsen lokal

yang selama ini sudah pontang-panting membendung produk asing

sebelum keran ACFTA diputar. Ditambah lagi, kalangan produsen

menilai barang-barang yang diproduksi oleh China merupakan barang-

barang kualitas sisa dan dijual dengan harga sangat murah. Hal inilah

yang memicu pertentangan dan penolakan terhadap perjanjian yang

sudah disepakati tersebut. Produsen lokal merasa terancam usahanya

karena pasar sangat familiar dan menyukai produk murah dengan

menisbikan kualitas. Pada kasus ini, fasilitasi terhadap produk domestik

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

72

hendaknya diperkuat untuk menjaga stabilitas iklim usaha yang selama

ini sudah mulai membaik pascakrisis ekonomi. Meskipun belum dapat

dievaluasi dampak ACFTA terhadap kinerja ekspor, namun segala

kemungkinan memang tetap perlu diantisipasi.

Pada era ACFTA ini, komoditas ekspor nonmigas perlu dipoles

agar dapat meningkatkan nilai tambah dan mampu mengejar ekspor

migas. Dilain pihak, donasi ekspor dewasa ini lebih diuntungkan karena

faktor harga dan permintaan dunia. Oleh karena itu, pasar domestik

perlu disiapkan secara masak, terutama di sektor tradeable, untuk

menopang ekspansi pasar tersebut. Penguatan komoditas dan pasar

domestik merupakan prasyarat yang mesti dipenuhi untuk merebut

pasar internasional. Jika tidak, maka globalisasi akan terus menghimpit

produk lokal untuk bisa bersaing di level internasional, paling tidak

dalam kancah ASEAN plus China. Penguatan sektor domestik

merupakan harga mutlak yang wajib dilakukan karena dari situlah

pangkal penguatan perekonomian negara dapat diperbaiki. Terlebih,

lagi dalam menghadapi era perdagangan bebas yang semakin intesif ini

mengharuskan produk yang dihasilkan memiliki daya saing yang prima,

terutama harga dan kualitas yang sesuai segmentasi pasar. Pola ini

yang mesti dipahami dan ditangani sejak sekarang.

4.4. Merumuskan Strategi

Persaingan dalam bingkai ACFTA memang telah dimulai dan

semua itu perlu dihadapi dengan segenap kekuataan yang dimiliki.

Dalam beberapa aspek, pelaku ekonomi di tanah air sudah memegang

segepok kartu peluang yang dapat dimanfaatkan dengan sebaik-

baiknya. Sebagai contoh, produsen domestik yang mendapat pesanan

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

73

perusahaan-perusahaan asing untuk membuat produk, yang kemudian

diekspor negara (perusahaan) pemesan dengan menggunakan label

mereka. Hal ini sebenarnya bisa dimanfaatkan celahnya oleh

perusahaan domestik, yakni dengan memompa keberanian mengambil

risiko. Perusahaan domestik perlu didorong memakai merek sendiri

atas produk-produk mereka sehingga menyumbang nilai tambah yang

lebih besar. Di sinilah keberanian perusahaan domestik memerkuat

posisi tawar dalam kaitannya menghasilkan produk yang berkualitas. Di

samping itu, promosi yang gencar sangat dibutuhkan untuk

mengangkat nama produk lokal itu, misalnya melalui pameran produk.

Berkaitan dengan strategi menghadapi persaingan dengan

China, Departemen Perdagangan telah merumuskan tiga strategi besar

untuk menghadapi ACFTA, yaitu pertama, strategi penguatan daya

saing. Diferensiasi strategi penguatan daya saing mencakup

pembenahan infrastruktur dan energi; pemberian insentif;

pembangunan kawasan ekonomi khusus; serta pembenahan logistik.

Kedua, pengamanan pasar domestik. Strategi pengamanan domestik

menyangkut peningkatan pengawasan wilayah perbatasan;

pengawasan peredaran barang di pasar lokal; serta promosi

penggunaan produk dalam negeri. Ketiga, strategi penguatan ekspor.

Strategi penguatan ekspor dilakukan dengan penguatan peran

perwakilan luar negeri, promosi pariwisata, perdagangan, dan investasi.

Dari ketiga strategi tersebut, yang cukup banyak mendapatkan sorotan

adalah pengawasan peredaran barang di pasar lokal, terutama

mengenai mekanisme sistem standarisasi barang yang masuk ke pasar

domestik.

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

74

Ketiga strategi tersebut merupakan cara ideal yang sejatinya

diharapkan mampu mengatasi persaingan dengan produk asing,

terutama China, yang semakin merebak luas di tanah air. Kampanye

cinta produksi dalam negeri tidak memiliki makna yang berarti bila

tidak diimbangi dengan kebijakan lain yang lebih “aktif”. Di lain pihak,

perlindungan konsumen dengan memasarkan produk yang aman

digunakan dan dikonsumsi perlu terus didorong, misalnya dengan

menuntut produk asing memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI).

Jika mengutamakan pertimbangan tersebut, maka produk lokal tidak

akan kalah dengan produk luar negeri. Selanjutnya, pemanfaatan

teknologi harus terus ditingkatkan karena berperan penting dalam

perbaikan mutu produk dan jaringan pemasaran/distribusi. Jika seluruh

proses ini telah dilalui, maka ACFTA merupakan jembatan yang bagus

untuk mempercepat bangsa ini memenangi pertarungan ekonomi di

pasar internasional.

Seiring berakhirnya Pertemuan Komisi Bersama (Joint

Commission Meeting) Indonesia dan China di Yogyakarta April 2010,

maka usai pula kemungkinan renegosiasi dalam menyikapi ACFTA.

Banyak pihak yang menilai bahwa kegagalan tersebut akan membawa

kehancuran denyut ekonomi Indonesia, sementara di lain pihak

terdapat pihak yang kurang menganggap penting hal ini. Intinya,

pandangan yang belakangan ini menyatakan tak perlu terlalu lama

menekuri ‘kegagalan’ ini, bahkan melakukan tindakan brutal sebagai

upaya balas dendam. Bagaimana sebetulnya sikap yang harus diambil

Indonesia dalam kasus ini? Poin yang hendak disampaikan di sini, China

sangat dibutuhkan sebagai negara yang mampu mengimbangi dominasi

negara maju (Eropa, Jepang, dan AS). Dalam beberapa aspek, Indonesia

masih dapat memetik manfaat dari kerja sama ini, apalagi dengan

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

75

melihat rekam geoekonomi-politik Indonesia yang telah lama dibina

dengan (khususnya) China.

Tekanan terhadap China yang terlalu berlebihan akan membuat

kontraproduktif bagi kepentingan Indonesia secara lebih luas.

Sebaliknya, Indonesia harus memanfaatkan peran ekonomi dan politik

China yang kian besar tersebut untuk menyuarakan kepentingan

negara berkembang. Pemerintah harus sadar bahwa keterpurukan

ekonomi nasional bukan semata akibat perdagangan dengan China,

tetapi disumbang dari hubungan dengan negara-negara maju dan

lembaga multilateral yang eksploitatif. Skenario inilah yang harus

dibangun sehingga kepentingan ekonomi nasional ke depan menjadi

lebih diakomodasi dalam panggung dunia. Pendeknya, China harus

dijadikan sekutu, bukan dianggap sebagai benalu.�

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

77

Bab Bab Bab Bab 5555

Indonesia Menghadapi Krisis Utang

EURO Area

5.1. Titik Kritis Krisis Euro Area

Ekonomi Euro Area1 merupakan salah satu bagian utama dalam

perekonomian dunia. Secara keseluruhan Euro Area memiliki 331,4 juta

penduduk dengan proporsi Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 14,6

persen dari total PDB dunia. Tanpa memperhitungkan perdagangan

kawasan intra euro, proporsi ekspor kawasan Eropa adalah 15,7 persen

dari total ekspor dunia. Namun, dengan memperhitungkan ekspor

intra-kawasan Eropa, maka total ekspor kawasan Eropa 26,1 persen

total ekspor dunia (ECB, 2010). Dengan demikian, kawasan ini

mempunyai peran cukup strategis dalam peta perekonomian global,

sekaligus mengindikasikan kawasan ini juga sangat tergantung dengan

kondisi perekonomian global.

1 Euro Area terdiri dari negara-negara anggota Uni Eropa (European Union) yang

mengadopsi euro sebagai mata uang mereka. Sejak mata uang euro pertama kali

diperkenalkan pada 1999 hingga saat ini euro area terdiri dari 17 negara anggota

(terakhir Estonia bergabung tahun 2011).

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

78

Terbukti, krisis subprime mortage di Amerika Serikat pada 2008

menciptakan biaya fiskal yang besar dan mengganggu keberlanjutan

fiskal (fiscal sustainability) di euro area. Turunnya aktivitas ekonomi

secara tiba-tiba menyebabkan kenaikan defisit pemerintah dan utang di

negara-negara euro area. Sustainabilitas fiskal di negara anggota euro

area terganggu karena perkembangan yang buruk dalam neraca

anggaran primer, kenaikan beban pembayaran bunga bersih dan

pertumbuhan output jangka panjang yang rendah, serta kebutuhan

untuk membiayai suntikan modal untuk mendukung sektor keuangan.

Akibatnya, rasio utang terhadap PDB euro area terus meningkat

dari 73 persen pada 1998 menjadi 69,3 persen pada 2008 dan

selanjutnya mencapai 78,2 persen pada 2009. Bahkan pada 2011

diperkirakan mencaptai 88,2 persen. Oleh karenanya tingkat defisit

anggaran euro area pada 2011 diperkirakan meningkat 20 persen

dibandingkan sebelum krisis. Bahkan rasio utang terhadap PDB di 5

negara euro area telah melebih 100 persen pada 2011.

Ketidakseimbangan fiskal (fiscal imbalances) di euro area secara

keseluruhan dan situasi yang buruk dari beberapa negara individu

dapat merusak stabilitas, pertumbuhan dan lapangan kerja, dan

keberlangsungan Uni Eropa. Rasio ini telah melanggar Maastrcith

Treaty yang dibentuk pada 1992 yang menyatakan bahwa defisit

pemerintah adalah 3 persen dari PDB2.

2 Defisit yang melebihi nilai ini dikatakan tidak biasa apabila: (i) dihasilkan dari

kejadian yang tidak biasa di luar kendali dari negara bersangkutan yang memiliki

dampak utama pada posisi keuangan pemerintah; (ii) dihasilkan dari penurunan

perekonomian yang berat (jika excess melebihi 3 persen dari PDB merupakan hasil

dari pertumbuhan PDB tahunan yang negatif karena turunnya produksi akibat

periode yang berkepanjangan dari pertumbuhan tahunannya yang rendah).

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

79

Tabel 5.1. Neraca Anggaran Pemerintah dan Rasio Utang di Euro Area

(Persentase terhadap PDB)

Negara Neraca Anggaran Utang

2007 2008 2009 2010 2011 2007 2008 2009 2010 2011

Belgia -0.2 -1.2 -5.9 -5.8 -5.8 84.2 89.8 97.2

101.

2

104.

0

Jerman 0.2 0.0 -3.4 -5.0 -4.6 65.0 65.9 73.1 76.7 79.7

Irlandia 0.3 -7.2

-

12.5

-

14.

7

-

14.

7 25.1 44.1 65.8 82.9 96.2

Yunani -3.7 -7.7

-

12.7

-

12.

2

-

12.

8 95.6 99.2

112.

6

124.

9

135.

4

Spanyol 1.9 -4.1

-

11.2

-

10.

1 -9.3 36.1 39.7 54.3 66.3 74.0

Perancis -2.7 -3.4 -8.3 -8.2 -7.7 63.8 67.4 76.1 82.5 87.6

Italia -1.5 -2.7 -5.3 -5.3 -5.1

103.

5

105.

8

114.

6

116.

7

117.

8

Cyprus 3.4 0.9 -3.5 -5.7 -5.9 58.3 48.4 53.2 58.6 63.4

Luxembur

g 3.7 2.5 -2.2 -4.2 -4.2 6.6 13.5 15.0 16.4 17.7

Malta -2.2 -4.7 -4.5 -4.4 -4.3 62.0 63.8 68.5 70.9 72.5

Belanda 0.2 0.7 -4.7 -6.1 -5.6 45.5 58.2 59.8 65.6 69.7

Austria -0.6 -0.4 -4.3 -5.5 -5.3 59.5 62.6 69.1 73.9 77.0

Portugal -2.6 -2.7 -8.0 -8.0 -8.7 63.6 66.3 77.4 84.6 91.1

Slovenia 0.0 -1.8 -6.3 -7.0 -6.9 23.3 22.5 35.1 42.8 48.2

Slovakia -1.9 -2.3 -6.3 -6.0 -5.5 29.3 27.7 34.6 39.2 42.7

Finlandi 5.2 4.5 -2.8 -4.5 -4.3 35.2 34.1 41.3 47.4 52.7

Euro Area -0.6 -2.0 -6.4 -6.9 -6.5 66.0 69.3 78.2 84.0 88.2

Sumber: European Central Bank, Ad Van Riet (2010)

Salah satu negara euro area yang memiliki defisit publik yang

berada dalam tingkat yang membahayakan adalah Yunani. Yunani

membiayai anggaran pemerintah dan defisit anggarannya dengan

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

80

meminjam di pasar modal internasional. Sejak lima tahun terakhir,

defisit anggaran Yunani terus membengkak dari 3,7 persen terhadap

PDB pada 2007 hingga 12,8 persen pada 2011. Selain itu, Yunani juga

memiliki total utang terhadap PDB paling tinggi di euro area yang

mencapai 135,4 persen pada 2011.

Namun, Yunani bukan satu-satunya negara yang diragukan

kemampuan fiskalnya, Italia, Portugal dan Irlandia juga mengalami hal

serupa. Keberlangsungan fiskal di Yunani dan negara-negara tersebut

hanya bisa dikembalikan melalui konsolidasi fiskal (kenaikan pajak

dan/atau pengurangan pengeluaran) dan pertumbuhan ekonomi yang

membaik dengan membuat ekonomi lebih kompetitif. Tekanan utang

publik yang parah menyebabkan Yunani, Irlandia dan Portugal

menerima pertolongan internasional karena mereka tidak dapat

memperoleh pinjaman tanpa menawarkan bunga utang yang tinggi.

Kondisi ini dapat dilihat dari yield spread surat utang negara-negara

tersebut yang terus meningkat dengan cepat terhadap surat utang

negara euro area dengan perekonomian yang sehat, seperti Jerman.

Yield spread surat utang 10 tahun Yunani melebar dari 3 persen pada

Januari 2010 hingga lebih kurang lebih 15 persen pada Juli 2011

(Gambar 5.1).

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

81

Gambar 5.1. Yield Spread Surat Utang Negara terhadap

German Bunds

Sumber: Bloomberg L.P.; Datastream, IMF

Keterangan: Yield surat utang negara 10 tahun

(Basis poin = 0.01 persen)

Keengganan investor meminjamkan dana pada pemerintah

Yunani, Irlandia, dan Portugal juga didasarkan atas risiko investasi

negara mereka yang turun drastis semenjak 2007. Kredit Rating Yunani,

Portugal, dan Irlandia jatuh pada 2007 dari A, AA- dan AAA menjadi

CCC-, BB+, dan BBB pada 2011. Adapun kredit rating surat utang negara

yang berada di bawah BBB tidak lagi dianggap sebagai surat utang yang

memenuhi tingkat investasi (investment grade), karena dianggap cukup

berisiko dan memiliki risiko kredit yang tinggi. Hal ini semakin

menyulitkan negara-negara tersebut untuk memperoleh pinjaman di

pasar internasional untuk membiayai defisit anggarannya.

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

82

Tanpa rencana yang meyakinkan untuk mengembalikan

keberlangsungan fiskal, utang negara-negara euro area akan dianggap

tetap berisiko tinggi. Apalagi, tingkat utang pemerintah euro area

diperkirakan akan terus meningkat untuk membiayai dana pensiun dan

biaya sosial kesehatan. Ditambah lagi, tingkat pertumbuhan ekonomi

euro area diperkirakan tidak akan kembali seperti tren sebelum krisis

dengan cepat. Oleh sebab itu, premium risiko surat utang negara

tersebut meningkat dengan cepat dan drastis.

Dengan neraca anggaran yang rentan dan terancamnya

keberlangsungan utang, pasar utang euro area menjadi subyek

terhadap multiple equilibria (Gambar 5.2). Negara-negara dengan

kerentanan fiskal akan mudah ditinggalkan investor. Hal ini akan

mengakibatkan volatilitas lebih lanjut dan akan mengurangi permintaan

terhadap surat utang serta memperlemah basis investasi. Negara-

negara yang tidak mampu membuat terobosan kebijakan yang tepat,

besar kemungkinan akan terjerat dalam kubangan utang yang semakin

memburuk.

Selain itu, risiko utang negara-negara euro yang bermasalah

(Yunani, Itali, Irlandia dan Portugal) dapat memengaruhi kondisi

pembiayaan bank-bank dalam negerinya yang kemudian

mempengaruhi kondisi bank-bank Eropa lainnya, meskipun dalam

tingkat yang lebih kecil. Bank-bank di euro area dapat terganggu oleh

risiko negara dari sisi utang karena garansi pemerintah semakin

mengecil, mengingat nilai dari surat utang pemerintah yang digunakan

sebagai penjaminan (collateral) turun. Ini berakibat terjadinya margin

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

83

call3 dan penurunan rating bank tersebut. Karena bank meminjamkan

pada bank, maka sistem yang ada saling berhubungan satu sama lain

dan antar-batas. Sebagai akibatnya sistem perbankan dapat

memperkuat besarnya shock melalui pasar pembiayaan.

Gambar 5.2. Dampak Krisis Utang

Sumber: IMF Global Financial Stability Report (September 2011)

3 Dalam transaksi repo, sekuritas ditukarkan dengan kas dengan perjanjian untuk

membeli kembali sekuritas tersebut di masa mendatang. Sekuritas tersebut menjadi

collateral untuk pinjaman kas, dan sebaliknya kas dapat digunakan untuk menjadi

penjaminan untuk pinjaman sekuritas.

Shock terhadap

dinamika utang Bad Equilibrium

Respons kebijakan

yang tidak cukup

Good Equilibrium

Respons

kebijakan yang

Volatilitas yang meningkat

Volatilitas yang

Jumlah investor yang

Jumlah investor yang

Tingkat bunga yang lebih tinggi

Tingkat bunga yang lebih rendah

Pertumbuhan yang melemah

Pertumbuhan yang menguat

Dinamika utang yang

Dinamika utang yang membaik

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

84

Mengingat dampak krisis utang negara mulai merambat ke

sektor perbankan dan keuangan, pemerintah Eropa sejauh ini sudah

berinitiatif membangun beberapa lembaga untuk mencegah

menyebarnya krisis dari negara-negara bermasalah, seperti Yunani,

Portugal dan Irlandia ke negara-negara euro area lainnya. Untuk itu,

Europe Monetary Union (EMU) mendirikan European Financial Stability

Facility (EFSF) pada 9 Mei 2010 untuk menjaga stabilitas keuangan

dengan memberikan bantuan keuangan pada anggota euro area bila

dibutuhkan. EFSF didukung oleh komitmen dana dari negara euro area

sebesar €780 milliar dan memiliki kemampuan meminjamkan sebesar

€440 millar. Selain itu, pada tingkat pengawasan makro, didirikan ESRB

untuk mengawasi sistem keuangan Uni Eropa secara keseluruhan. Pada

11 Juli 2011, menteri-menteri keuangan dari 17 negara euro area

menandatangain Treaty untuk mendirikan European Stability

Mechanism (ESM). Pada Juli 2013, ESM akan mengambil tugas yang

saat ini dikerjakan oleh European Financial Stability Facility (ESFSF) dan

European Financial Stabilisation Mechanism (EFSM).

Selain itu, Bank Sentral Eropa juga melakukan beberapa

tindakan langsung untuk mencegah terjadinya krisis utang Eropa. Hal

ini dilakukan dengan menurunkan suku bunga dan memberikan

bantuan keuangan pada beberapa negara, seperti Latvia, Romania,

Yunani, Irlandia dan Portugal. Diharapkan, hal ini mampu menghambat

perluasan krisis utang negara tersebut ke sektor keuangan dan

perbankan di negara eropa dan kawasan lainnya.

5.2. Asia Timur Mengantisipasi Krisis

Pada dasarnya, krisis ekonomi dunia yang terjadi pada 2011

bukanlah kali pertama dalam satu dekade terakhir ini. Pada 2008 krisis

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

85

finansial yang pada awalnya bermula di Amerika Serikat lalu menyebar

ke hampir seluruh penjuru dunia, telah memberikan sebuah dampak

yang besar terhadap ekonomi dunia. Dari Gambar 5.3. dapat dilihat

bahwa pertumbuhan GDP dunia mengalami perlambatan yang sangat

besar, dari 5 persen pada 2007 menjadi 3 persen pada 2008 dan turun

mencapai titik terendah (-1 persen) pada 2009.

Gambar 5.3. Pertumbuhan GDP Dunia (persen)

Sumber: CIA The World Factbook, 2011

Dalam skala yang lebih kecil, tahun 2008 hingga 2009 menjadi

masa suram bagi ekonomi dunia baik negara-negara maju maupun

negara-negara emerging economies. Tetapi, berbeda dengan beberapa

negara maju yang mencapai negatif dalam pertumbuhan ekonominya,

beberapa negara di Asia Timur mencatat pertumbuhan ekonomi yang

tetap positif walaupun juga mengalami penurunan dalam pertumbuhan

ekonominya. Urgensi inilah yang melatarbelakangi perlunya

mengangkat strategi antisipasi beberapa negara di Asia Timur dalam

menghadapi krisis utang Uni Eropa.

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

86

5.2.1. China

China merupakan representasi negara dengan pertumbuhan

ekonomi tinggi yang didukung oleh jumlah penduduk yang besar dan

sumber daya alam yang mencukupi. China sebagai negara yang

memiliki ekonomi terbesar kedua setelah Amerika Serikat mengalami

penurunan pertumbuhan ekonomi dari 11 persen pada 2007 menjadi 9

persen pada 2008 hingga 2010. Namun, menurunnya pertumbuhan

ekonomi China tidak berdampak negatif pada jumlah penggangguran,

angka kemiskinan, maupun pendapatan per kapita dari negara

tersebut. Selama kurun waktu krisis ekonomi global, jumlah

penggangguran di China menunjukkan jumlah yang stabil (4 persen).

Begitu juga dengan halnya jumlah penduduk miskin, di mana jumlahnya

bahkan menunjukkan nilai yang positif, yakni jumlah penduduk miskin

selalu berkurang dalam periode tersebut (8 persen pada 2008 menjadi

2,8 persen pada 2010). Angka pendapatan per kapita dari China juga

menunjukkan trend yang berbeda dari GDP dunia, di mana jumlah

pendapatan per kapita dari masyarakat China terus mengalami

kenaikan.

5.2.2. Singapura

Singapura menjadi sebuah negara yang juga menarik dibahas

karena karakteristik dari negara ini yang sangat bergantung pada pasar

internasional, mengingat sumber daya alamnya sangat sedikit serta

jumlah penduduknya juga relatif kecil. Sangat bergantungnya Singapura

terhadap pasar internasional dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi

yang sempat terpukul pada 2009 ketika pasar internasional juga sedang

anjlok. Mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 7,7 persen pada 2007,

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

87

Singapura mengalami penurunan dalam pertumbuhan ekonomi pada

2008, di mana mencapai 1,1 persen, lalu puncaknya pada 2009 ketika

pertumbuhan ekonominya mencapai titik negatif (-1.3 persen). Namun,

pada 2010, pertumbuhan ekonomi Singapura mencatat sebuah

“comeback” yang luar biasa ketika pertumbuhan ekonominya mencapai

14,5 persen.

Gambar 5.4. Pertumbuhan GDP Singapura

Sumber: CIA The World Factbook

5.2.3. Indonesia

Indonesia merupakan representasi sisi tengah diantara dua titik

ektrem pertumbuhan ekonomi China dan Singapura, meskipun sedikit

cenderung mirip ekonomi China. Indonesia sebagai negara yang

menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang cukup positif dalam

beberapa tahun terakhir, namun dalam kisaran ‘sedang-sedang saja’,

tidak setinggi China dan tidak serendah Singapura saat krisis menerpa.

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

88

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada pada kisaran 4-6 persen

juga mengalami dampak negatif dari krisis finansial yang terjadi di

negara-negara maju. Pada 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia

mengalami penurunan (4,5 persen), walaupun pada akhirnya kembali

meningkat menjadi 6,1 persen. Dengan pertumbuhan ekonomi yang

tidak begitu fenomenal ini, tingkat kemiskinan pun menurun secara

pelan, tidak secepat di China. Dalam periode 2004-2010, jumlah

penduduk miskin di Indonesia berkurang dari 16,7 persen menjadi 13,3

persen.

Gambar 5.5. Pertumbuhan GDP Indonesia

Sumber: CIA The World Factbook

5.2.4. Momentum Krisis Bagi Asia Timur

Kondisi ekonomi di tiga negara di atas menunjukkan tren yang

berbeda jika dibandingkan dengan kondisi ekonomi dunia dan negara-

negara maju lainnya. China dan Indonesia tetap bisa menjaga

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

89

pertumbuhan ekonomi, pada masa krisis, dengan pertumbuhan positif.

Hal tersebutlah yang pada akhirnya menyebutkan bahwa negara-

negara emerging countries sebagai mesin ekonomi dunia.

Gambar 5.6. Rata Pertumbuhan Ekonomi Negara Maju dan

Berkembang

Sumber: IMF World Economic Database 2010, TCG Analysis

Dari Gambar 5.6 dapat dilihat bahwa negara-negara emerging

economies menjadi mesin bagi pertumbuhan ekonomi dunia disaat

negara-negara maju lainnya mengalami keterpurukan. Dalam

kesempatan lain, Otaviano Canuto, Wakil Presiden Bank Dunia untuk

Pengentasan Kemiskinan dan Manajemen Ekonomi menyebutkan

bahwa negara-negara emerging economies menjadi penyelamat bagi

global ekonomi. Lebih dari itu, negara-negara emerging economies juga

menjadi lokomotif baru bagi pertumbuhan, di mana akan mendorong

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

90

pertumbuhan ekonomi dunia di saat negara-negara berpendapatan

tinggi mengalami stagnansi ekonomi. Asia Timur dianggap sebagai aktor

yang membuat dunia keluar dari krisis ekonomi global.

Kondisi ini memberikan implikasi yang luas terutama dalam

konteks peranan negara-negara emerging economies dalam konstelasi

ekonomi politik internasional. Kondisi tersebut menjadi momentum

bagi dilibatkannya negara-negara emerging economies dalam forum

negara-negara dunia yang bertujuan untuk mengkoordinasikan

kebijakan-kebijakan dalam upaya untuk membendung krisis ekonomi

sekaligus mencari solusi fundamental dalam membenahi global

financial architecture.

Salah satu keterlibatan peran yang lebih besar dalam

perekonomian dunia dari negara-negara emerging economies tersebut

adalah semakin diberdayakannya forum G-20 yang merepresentasikan

lebih banyak negara dibandingkan forum-forum ekslusif lainnya seperti

G-7 maupun G-8. G-20 sendiri sudah terbentuk sejak 1999 sebagai

respon atas krisis finansial yang pernah melanda negara-negara Asia

Timur tahun 1997. Tetapi, eksistensi G-20 tidak terlalu besar hingga

2008 ketika munculnya krisis keuangan global. Krisis keuangan global

yang bermula dari negara-negara maju dan pada akhirnya menyebar ke

seluruh dunia telah menyadarkan para pemimpin negara-negara maju

untuk membentuk sebuah forum koordinasi yang lebih besar.

G-20 menjadi sebuah cerminan atas terbentuknya sebuah

landscape global governance baru dalam isu perekonomian dunia.

Dilibatkannya negara-negara berkembang dalam sebuah forum

internasional yang mengkoordinasikan kebijakan keuangan

internasional menjadi sebuah momentum bagi terbentuk sebuah global

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

91

financial architecture baru. Seperti yang dijelaskan oleh Leonardo

Martinez-Diaz dan Ngaire Woods ( 2009) bahwa G-20 memiliki arti

penting bagi suara negara berkembang dalam konstelasi ekonomi

politik global. Sebagai contoh, dalam pertemuan ketiga G-20 di

Pittsburgh menghasilkan sebuah komunike yang meminta pergeseran

kekuatan voting, baik di IMF di mana suara negara berkembang

bertambah 5 persen maupun di Bank Dunia yang bertambah 3 persen.

5.2.5. Respons Kebijakan Negara-Negara Asia Timur

Tetap positifnya pertumbuhan ekonomi dari beberapa negara

Asia Timur tidak terlepas dari kebijakan cepat yang dikeluarkan oleh

negara-negara tersebut untuk mengantisipasi krisis yang terjadi.

Negara-negara Asia Tenggara melakukan serangkain kebijakan yang

ditujukan untuk menghadang dampak krisis finansial. Salah satu upaya

yang dilakukan adalah dengan meningkatkan deposit insurance untuk

menghindari erosi dari Bank Deposits. Lebih dari itu, negara-negara

seperti China, Korea Selatan, Thailand, dan India melakukan injeksi

modal terhadap institusi keuangan. Otoritas moneter di hampir seluruh

negara menerapkan kebijakan untuk memotong rates sejak kuartal

terakhir 2008 dalam upaya untuk menstimulasi domestic demand.

Reserve requirements juga dikurangi di sejumlah negara untuk

meningkatkan likuiditas pada sistem perbankan. Selain itu, negara-

negara Asia Timur juga melakukan kebijakan ekspansi untuk

menghindari dampak dari menurunnya nilai ekspor dengan

meningkatkan konsumsi dan investasi domestik (Akyuz, 2010).

Vikram Nehru (2010) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor

yang membuat negara-negara Asia Timur, khususnya Asia Tengara

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

92

dapat melakukan recovery atas global financial crisis secara cepat.

Faktor-faktor tersebut antara lain adalah:

1. Sebagian besar negara-negara Asia Timur memiliki ekonomi

yang kuat sesaat sebelum terjadi krisis 2008. Hal tersebut dapat

dilihat dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi, rendahnya utang

luar negeri, surplus dari external account, besarnya external

reserves, inflasi yang rendah, dan hanya sedikit atau bahkan

tidak adanya toxic assets dalam sistem perbankan di negara-

negara Asia Tenggara

2. Para pembuat kebijakan membuat kebijakan yang cepat untuk

mengantisapsi dampak dari krisis finansial dunia

3. Besarnya peranan China dalam menstabilkan volume

perdagangan di kawasan Asia Timur

4. Remittances untuk sebagian besar negara-negara di kawasan

Asia Timur tetap sangat kuat

5.3. Dampak Krisis Utang Eropa terhadap Indonesia

Kondisi krisis utang euro area berpotensi menyebar ke kawasan

Asia dan Indonesia. Penularannya menurut Racickas dan Vasiliauskaite

(2011) dapat melalui dua jalur, yaitu melalui variabel fundamental dan

perilaku investor. Penularan risiko keuangan melalui variabel

fundamental, tergambar dari kinerja pasar saham, perdagangan dan

sektor keuangan. Transmisi penularan pada pasar saham diantaranya

melalui perubahan suku bunga dan nilai mata uang. Sementara

pengaruhnya pada perdagangan terlihat pada perubahan harga

komoditas di pasar dunia. Selanjutnya dampak terhadap pasar finansial

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

93

terdeteksi dari perubahan harga asset dan arus modal keluar yang

besar dari pasar-pasar negara berkembang.

Dari jalur perdagangan, krisis dapat menyebabkan penurunan

pendapatan dan penurunan permintaan impor yang kemudian

memengaruhi ekspor, dan neraca perdagangan. Krisis di satu negara

menyebabkan mata uangnya di devaluasi (rezim nilai tukar tetap)

ataupun terdepresiasi (untuk rezim nilai tukar mengambang), maka ini

dapat mengurangi daya saing ekspor relatif dari negara-negara mitra

dagang. Efek devaluasi kompetitif ini menyebabkan tekanan terhadap

mata uang negara-negara lain untuk terdepresiasi atau turun nilainya.

Beberapa rangkaian penurunan kompetitif dapat menyebabkan

depresiasi mata uang yang lebih besar dari yang diperlukan untuk

penurunan fundamental awal.

Hubungan keuangan kawasan yang terintegrasi, krisis di satu

negara memiliki dampak pembiayaan yang langsung pada negara-

negara lain, misalkan penurunan kredit perdagangan, penanaman

modal langsung, dan arus modal. Secara lebih spesifik, krisis dalam satu

negara dapat mengurangi penawaran modal dari negara-negara

tersebut, sehingga mengurangi kemampuan negara dalam

menyediakan pinjaman perbankan dan bentuk lain dari investasi di

negara selanjutnya. Krisis secara tidak langsung juga dapat

memengaruhi penawaran modal melalui pihak ketiga. Untuk negara-

negara yang sangat bergantung pada pendanaan eksternal, kurangnya

arus masuk modal karena efek ini dapat menyebabkan peningkatan

biaya pinjaman dan tekanan pada mata uang untuk depresiasi.

Perembetan didasarkan pada perilaku investor muncul jika

terjadi tumpang tindih, antara teori klasifikasi sebagai penyebab

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

94

fundamental dan perilaku konsumen. Jika perilaku investor rasional,

baik secara individual maupun kolektif, hal ini sering diklasifikasikan

sebagai penyebab fundamental perembetan krisis (seperti hubungan

keuangan). Sementara, jika penyebabnya adalah masalah likuiditas,

insentif, asimetri informasi, koordinasi pasar, dan penilaian kembali

investor, maka hal ini sering diklasifikasikan sebagai penyebab yang

berasal dari perilaku konsumen/investor.

Perekonomian negara berkembang sangat rentan terhadap

krisis keuangan akibat keputusan tiba-tiba investor untuk menarik

dananya dan mengikuti gerakan pasar. Karena hal ini negara

berkembang mengalami pengalaman pahit terhadap serangan mata

uang, yang sangat memengaruhi neraca lembaga keuangan, perbankan,

dan rumah tangga. Sejak Januari 2011, terjadi arus modal keluar masuk

dana yang berpotensi mengakibatkan volatilitas pasar surat berhaga di

kawasan Asia Pasifik. Sejak 2009 investor dari dari negara-negara maju

telah menanamkan modal yang cukup besar di pasar Asia, termasuk

Indonesia dan pasar utang asing lainnya. Likuidasi posisi mereka secara

tiba-tiba dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan dan penularan

dapat berpindah dari pasar utang dan saham ke pasar mata uang dan

pasar lainnya (IMF, 2011).

Perbankan Asia telah mengurangi pinjaman dari perbankan dan

negara Eropa sejak Mei 2010, namun penularan tetap dapat terjadi

melalui bank-bank asing, yang menjual asetnya, dan tidak melanjutkan

(roll over) pinjaman yang jatuh tempo, dan mengurangi kredit di Asia

jika mereka mengalami kerugian besar di negara sendiri. Penarikan

tersebut dapat menyebabkan dampak yang besar bagi perekonomian di

Asia yang memiliki hubungan dengan bank-bank Eropa dan Amerika

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

95

Serikat. Adapun beberapa skenario penularan krisis yang dapat terjadi

adalah: Pertama, penularan yang didorong dari negara asal bank asing.

Apabila terdapat sektor swasta, misalkan A (Yunani) dan B (Indonesia)

yang terletak di dua negara, meminjam dari sistem perbankan di negara

ketiga, bank C (Jerman). Shock pada A (Yunani) dapat menyebabkan

kesulitan likuiditas dan solvabilitas di bank C (Jerman) apabila bank asal

sangat tergantung pada A (Yunani). Masalah di A (Yunani) juga dapat

menyebabkan penularan pada B (Indonesia) melalui kesulitan yang

dialami bank C (Jerman). Keberadaan bank induk dalam kawasan dapat

menyebabkan transfer shock dari satu negara ke negara lain dalam

kawasan di mana bank induk memiliki operasi subsidiary.

Penularan keuangan tidak hanya berdampak pada pasar ekuitas

dan perbankan di Asia saja, tetapi oleh tekanan keuangan di Eropa yang

menyebabkan kontraksi ekonomi yang besar di euro area dan

perlambatan ekonomi di AS juga dapat berdampak pada perekonomian

riil di Asia, misalkan permintaan domestik dan investasi. Menurut

estimasi dari IMF, apabila pertumbuhan di Uni Eropa turun sebesar 3,5

persen di bawah skenario yang ada sekarang, diikuti perlambatan

ekonomi Amerika serikat selama satu tahun, maka pertumbuhan PDB

emerging Asia dapat turun sebesar 2 persen dari skenario yang ada.

Namun, apabila penurunan ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat ini

terjadi selama dua tahun, maka pertumbuhan PDB emerging Asia dapat

menyesuaikan diri dan menurun sebesar 1,5 dari dari skenario awal.

Mengikuti skenario simulasi yang sama, dampak perlambatan

ekonomi euro area dan Amerika Serikat juga dapat menyebabkan

Investasi di emerging Asia turun 6 persen dari skenario baseline yang

ada dalam satu tahun, dan 4 persen dalam dua tahun. Selain itu

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

96

kenaikan nilai tukar (terms of trade) emerging Asia terhadap euro area

dan dolar amerika serikat dapat menjadi salah satu faktor yang

mengurangi ekspor non -komoditas emerging Asia hingga 2-3 persen%

selamat 1-2 tahun ke depan.

Gambar 5.7. Perekonomian ASEAN Terpilih: Ekspor ke China

(Januari 2008=100; 3-bulan moving average)

Sumber: CEIC Data Company Ltd. ; dan IMF, 2011.

Lebih dari itu, efek tidak langsung dari penurunan ekspor China

dapat memperburuk investasi emerging Asia dalam sektor

perdagangan. Pertumbuhan yang lebih rendah dan neraca ekspor yang

semakin memburuk dapat meningkatkan kredit macet bank-bank di

China dan menyebabkan mereka memperketat ketentuan pemberian

kredit (IMF, 2011). Pengetatan kredit yang tiba-tiba juga dapat

menyebabkan koreksi pasar properti, sehingga memengaruhi produsen

sektor hulu (baja dan semen) dan hilir (peralatan rumah tangga).

Investasi yang rendah di China juga dapat memberikan dampak

penularan yang signifikan terhadap eksportir barang-barang modal,

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

97

seperti Korea dan eksportir komoditas ASEAN, seperti Indonesia dan

Malaysia. Harus diingat bahwa perekonomian ASEAN memiliki

hubungan perdagangan yang erat dengan China. Perekonomian ASEAN

telah menjadi pemasok hulu bagi China, yang menciptakan surplus

perdagangan. Namun demikian, perekonomian ASEAN juga menjadi net

importer dari barang-barang konsumsi dari China.

5.3.1. Transmisi Krisis Euro Area ke Indonesia

Menurut Siaran Pers Kementerian Keuangan Republik Indonesia

(2011), outlook perekonomian dunia dan regional 2012 diperkirakan

akan memengaruhi perekonomian Indonesia melalui tiga kejadian

utama, yaitu perlambatan perekonomian dunia, kelanjutan

permasalahan utang negara PIIGS (Portugal, Italia, Irlandia, Yunani dan

Spanyol), serta potensi perlambatan perekonomian Asia. Perekonomian

dunia diperkirakan akan dipengaruhi oleh perlambatan pertumbuhan

perekonomian negara-negara maju, tetapi negara-negara ASEAN-5

diperkirakan tetap tumbuh di atas 5 persen. Perlambatan tersebut

diperkirakan akan memengaruhi penurunan pertumbuhan volume

perdagangan dunia dari 7,5 persen (yoy) menjadi 5,8 persen (yoy) pada

2012. Selain itu, permasalahan utang Eropa diperkirakan berlanjut

hingga 2014. Krisis euro area mulai merambat ke sektor perbankan dan

menurunkan tingkat kepercayaan investor. Membaiknya perekonomian

euro area sangat dipengaruhi kesepakatan untuk memangkas utang

Yunani dan meningkatkan dana penyelamatan.

Di Indonesia dampak awal penularan krisis euro area terhadap

sentimen investor dapat terlihat dari pergerakan saham di Bursa Efek

Indonesia. Meskipun memiliki tren yang meningkat sejak Januari 2011,

namun pasar saham Indonesia sempat mengalami koreksi drastis akibat

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

98

berita buruk mengenai perlambatan ekonomi dunia pada 22 September

2011.

Gambar 5.8. Nilai dan Volume Perdagangan IHSG (Januari 2010-

September 2011)

Sumber: IDX Quarterly Statistics, 3rd

Quarter 2011

Penurunan IHSG dalam satu hari di atas terjadi karena aktivitas

deleveraging, yaitu investor (investor asing) mengalami kesulitan

likuiditas dan menarik dana yang diinvestasikan di Indonesia. Selain itu,

faktor adanya flight to quality, yaitu penyesuaian portfolio dari aset

yang dipandang berisiko ke aset yang lebih aman juga menjadi pemicu

penurunan IHSG. Keadaan ini juga didukung karena sentimen investor

yang mengikuti sentimen investor lain untuk menjadi lebih risk averse,

menyusul adanya berita buruk yang terjadi di pasar keuangan.

Menghadapi ancaman krisis utang Eropa, kondisi neraca

pembayaran Indonesia ditinjau dari sisi eksternal masih cukup baik.

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

99

Transaksi berjalan Indonesia menunjukkan nilai positif yang ditunjukkan

dengan nilai ekspor yang lebih tinggi dari nilai Impor. Namun demikian

kondisi ini dapat saja cepat berubah jika kondisi Eropa terus

memburuk. Sementara itu dari sisi keuangan, posisi cadangan devisa

juga berada dalam tingkat yang menggembirakan, di mana debt service

ratio (rasio beban pembayaran utang /debt servie payments dibagi

ekspor) sebesar 21,6 persen.

Tabel 5.2. Indikator Sustainabilitas Eksternal Indonesia

(2010-Semester I 2011)

Sumber: Laporan Neraca Pembayaran Indonesia. Realisasi Triwulan III-2011

Meskipun cadangan devisa Indonesia terus meningkat, namun

masih banyak terkonsentransi pada satu mata uang tertentu. Cadangan

devisa masih terkonsentrasi dalam valuta asing US$112,9 miliar (94,3

persen dari total cadangan devisa), emas moneter sebesar US$3,5

miliar (3 persen) dan special drawing rights (SDR) sebesar US$ 2,8

miliar (2,4 persen). Mengingat nilai tukar US$ yang juga rentan

Indikator 2010 2011

Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II

Transaksi Berjalan/PDB (%) 1,2 0,8 0,6 0,6 1,1 0,1

Ekspor - Impor Barang dan Jasa/ PDB (%) 3 2,6 3,4 3,4 3,2 2,9

Ekspor + Impor Barang dan Jasa/PDB (%) 44,7 44,7 50,1 50,1 47,8 49,8

Debt Service Ratio (DSR) (%) 21,2 23,2 20,3 23,7 18 21,6

Posisi ULN Total /PDB (%) 30,4 28,7 28,6 28,4 28 28,4

Posisi ULN Jangka Pendek/PDB (%) 6 5,3 5,8 6 6 6,3

Posisi ULN Total /Cadangan Devisa (%) 251,8 240,2 224,5 210,4 198 186,4

Posisi ULN Jangka Pendek /Cadangan

Devisa (%) 46,1 44,1 45,5 44,6 42,6 41,1

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

100

terhadap volatilitas pasar mata uang, ada baiknya pemerintah

mempertimbangkan untuk mendiversifikasi devisa dengan mata uang

lain seperti China Yen atau Swiss Francs.

Selanjutnya di sektor Perbankan, dilihat dari permodalan

perbankan Indonesia masih cukup baik untuk menahan risiko pasar

yang mencakup penurunan nilai Surat Utang Negara, pelemahan nilai

tukar, dan kenaikan suku bunga. Berdasarkan hasil stress test Bank

Indonesia pada September 2011, permodalan bank relatif tahan

terhadap risiko kenaikan suku bunga sebesar 5 persen, sementara CAR

berpotensi turun 70 bps. Keadaan ini menunjukkan CAR perbankan

cukup tahan menghadapi default dari AS dan Eropa.

Dari sisi suku bunga kebijakan, penurunan BI Rate sebesar 50

bps pada 10 November 2011 menjadi 6 persen merupakan respon BI

terhadap rendahnya inflasi dan upaya mendorong intermediasi guna

penguatan ekonomi dalam negeri. Tindakan ini merupakan bagian dari

upaya mengantisipasi dampak penurunan ekonomi global terhadap

kinerja perekonomian Indonesia. Berdasarkan informasi BI, Bank

Indonesia juga akan melakukan penyesuaian terhadap kebijakan tingkat

suku bunga dan campuran kebijakan makro prudensial untuk

mengurangi kemungkinan perlambatan ekonomi tanpa menjauhkan

prioritas untuk menjaga inflasi sesuai target 5 ± 1 persen pada 2011

dan 4,5 ± 1 persen pada 2012. Jika upaya ini berjalan efektif maka

transmisi krisis euro area kemungkinan masih dapat dikendalikan.

Sayangnya, depresiasi nilai tukar rupiah pada triwulan III 2011 (Gambar

5.9) yang menyebabkan rupiah turun 2,42 persen menjadi Rp8.790 per

US$ disertai volatilitas yang meningkat merupakan sinyal bagi BI untuk

meningkatkan kewaspadaan dan kerja lebih keras.

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

101

Gambar 5.9. Nilai Tukar Rupiah terhadap US$

(January-September 2011)

Sumber: Recent Economic Developments, Kemenkeu & BI, October 2011

Melihat perkembangan data terbaru dan berbagai catat pada

masing-masing indikator ekonomi yang diamati diatas, maka transmisi

krisis Uni Eropa kalau pun terjadi kemungkinan besar akan berawal dari

pasar saham dan pasar uang. Mengingat kedua indikator ini sangat

fluktuatif dan rentan dengan berbagai isu-isu negatif perekonomian.

Meskipun demikian, sifat kedua indikator ini hanya sementara atau

dalam jangka pendek, jika mampu diredam maka tidak akan menjalar

ke sektor riil. Di luar itu, potensi penjalaran krisis dari sektor

perdagangan juga masih mungkin, terutama jika negara-negara mitra

dagang Indonesia yang terkait langsung dengan Eropa seperti China dan

Jepang ikut terkena imbas krisis.

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

102

5.4. Langkah Antisipasi Krisis Euro Area ke Indonesia

Walaupun kondisi fundamental makro ekonomi Indonesia

cukup kuat untuk menghadapi krisis utang Uni Eropa, namun sistem

ekonomi Indonesia sudah terlanjur liberal dengan tingkat keterkaitan

dengan faktor global yang sangat kuat. Sistem ekonomi yang

diserahkan kepada mekanisme pasar akan rentan terhadap perubahan

kondisi pasar itu sendiri. Oleh karena itu, tidak ada jaminan kondisi

fundamental ekonomi Indonesia yang kuat ini akan berhasil

menghadapi mekanisme dan perubahan kondisi pasar.

Tepat tidaknya strategi kebijakan yang sudah dipersiapkan

pemerintah dalam menghadapi badai krisis kali ini baru bisa dinilai dari

implementasinya nanti. INDEF memiliki kaca mata sendiri dalam

memahami dan menyusun langkah strategis dalam rangka menangkal

dampak krisis utang Uni Eropa ini.

Sebagaimana diketahui bahwa kekuatan ekonomi Indonesia

terletak dari sisi konsumsi domestik yang sangat kuat, maka strategi

pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah menjaga atau

bahkan meningkatkan kekuatan ini. Sisi konsumsi ekonomi Indonesia

ditopang oleh kelas menengah yang sejak zaman Orde Baru telah

meningkat pesat. Kelas menengah tersebut pada saat ini menjadi

lokomotif ekonomi, yang mendorong sisi konsumsi. Sekitar 20 persen

dari kelas menengah ini mempunyai daya beli (buying power) yang

besar dan mendorong ekonomi. Kelas menengah ini muncul sebagai

para entrepreneur yang menggerakkan sektor riil. Oleh karena itu,

untuk meningkatkan dan menumbuhkembangkan kelas menengah ini

perlu dibuat program pemberdayaan ekonomi yang mampu

menciptakan para entrepreneur baru dan menaikkan status

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

103

entrepreneur lama menjadi kelas bisnis global. Dengan bertambahnya

kelas menengah yang memiliki daya beli yang tinggi maka ekonomi

Indonesia akan semakin kuat.

Setali dengan penambahan kelas menengah, maka pengurangan

daya beli yang disebabkan oleh laju inflasi harus ditekan sekecil

mungkin. Pada 2012 nanti pemerintah harus bekerja lebih keras

mengingat volatilitas harga minyak mentah dunia dan harga pangan

acap kali mengganggu kestabilan inflasi. Di samping itu, konsumsi BBM

yang terus meningkat akan menjadi beban tambahan bagi anggaran

pemerintah. Oleh karenanya, pemerintah harus sangat hati-hati dalam

membuat kebijakan untuk merespon berbagai perubahan yang terjadi.

Hal ini disebabkan pemerintah menghadapi paradoks perubahan harga

minyak dalam dua sisi. Menaikkan harga eceran Bahan Bakar Minyak

(BBM) akan mengurangi disposible income kelas menengah untuk

belanja barang dan jasa lain, dan menimbulkan efek pengurangan

kekayaan sehingga mereka akan mengurangi konsumsinya. Tetapi di sisi

lain, ‘mendiamkan’ harga eceran BBM akan menambah beban

anggaran pemerintah sehingga ruang gerak pemerintah akan

terhambat.

Langkah berikutnya adalah melakukan diversifikasi negara

tujuan ekspor terutama untuk negara-negara yang potensial terkena

krisis dan negara-negara yang memiliki hubungan erat dengan negara

yang terkena dampak krisis, “tidak menyimpan telur dalam satu

keranjang”. Negara dengan status adidaya dengan fundamental

ekonomi yang dikenal kuat oleh dunia tidak menjamin negara tersebut

terbebas dari ancaman krisis ekonomi. Oleh karena itu, negara tujuan

ekspor tidak boleh terpusat pada negara-negara maju tertentu. Di

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

104

samping itu, negara-negara yang mempunyai kaitan kuat dengan

negara-negara yang berpotensi krisis juga akan menularkan virus krisis

yang sama.

Langkah penting lainnya adalah meningkatkan investasi di

sektor riil. Langkah ini sudah tidak asing lagi dan bahkan sudah menjadi

resep umum para ekonom dalam menghadapi potensi krisis, namun

resep umum ini sepertinya sangat sulit untuk diciptakan oleh

pemerintah. Walaupun secara nilai tren realisasi investasi PMA setiap

tahunnya naik namun ada beberapa catatan penting yang patut

menjadi perhatian pemerintah. Pada 2011 ini Indeks Iklim Usaha untuk

2012 menurun dari ranking 126 ke 129 dari 183 negara yang disurvei

(IFC/International Finance Corporation, 2011). Level ini merupakan

kelompok yang terburuk karena menunjukkan bahwa peranan negara

dan birokrasi gagal menjadi mitra para investor bahkan negara menjadi

pengganggu bagi dunia usaha.

Langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh pemerintah

adalah dengan meningkatkan government expenditure untuk sektor-

sektor strategis. Alokasi anggaran harus benar-benar diarahkan pada

sektor yang akan menghasilkan dampak ekonomi terbesar sehingga

pengeluaran pemerintah benar-benar efektif dan efisien. Selama ini

pengeluaran pemerintah hanya sekadar rutinitas menjalankan fungsi

dari negara tanpa melihat substansi dan fungsi dan anggaran tersebut.

Sehingga, tidak ada transformasi yang memadai dalam perekonomian

Indonesia selama satu dekade terakhir ini, di mana separuh penduduk

masih berada di sektor pertanian. Pertumbuhan sektor industri rendah

dan mengalami deindustrialisasi karena tidak ada industrial policy

selama lima tahun terakhir. Separuh dari sektor industri bertumbuh

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

105

rendah, stagnan dan negatif. Akibatnya terjadi displacement tenaga

kerja formal di sektor ini ke sektor informal, yang pendapatannya

rendah. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa selama ini politik

anggaran pemerintah tidak menghasilkan dampak signifikan.

Pertumbuhan kelas menengah terjadi karena usaha mereka sendiri

tanpa peran serta dari pemerintah.

Langkah-langkah yang sepertinya sudah tidak asing tetapi

sangat sulit dilaksanakan oleh pemerintah karena di dalam sistem

ekonomi politik Indonesia selalu terjadi tarik ulur kepentingan yang

berakhir dengan transaksi politik. Syarat cukup untuk mencegah badai

krisis ekonomi ini masuk ke Indonesia adalah menciptakan negara, yang

menurut Gunnar Myrdal, bukan negara soft states (negara lembek).

Soft states di sini bukan berarti pemerintahan negara yang

bersangkutan lemah dan tidak berdaya, namun istilah tersebut lebih

mengacu pada sikap pemerintah dan elit politik yang tidak memiliki niat

dan keinginan untuk mewujudkan tujuan negara dan kesejahteraan

masyarakatnya. Untuk itu diperlukan kerjasama yang efektif antara

eksekutif, legislatif dan dunia usaha dalam bingkai kelembagaan yang

bersih agar dapat terhindar dari krisis kali ini.�

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

107

Bab Bab Bab Bab 6666

MMPP33EEII ddaann PPeenngguuaattaann EEkkoonnoommii DDoommeessttiikk

Pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak kunjung memberikan

kesejahteraan yang nyata dan merata bagi sebagian besar masyarakat

Indonesia. Meskipun rata-rata angka pertumbuhan ekonomi selama

beberapa tahun terakhir sudah melebihi 5 persen, namun dampak bagi

kesejahteraan masih minim dirasakan. Di sisi lain, untuk negara

kepulauan seluas Indonesia, perekonomian yang hanya didominasi oleh

kontribusi wilayah Pulau Jawa turut menghambat terdistribusikannya

kesejahteraan. Persoalan ini menjadi salah satu hal yang

melatarbelakangi pemerintah membuat kebijakan Master Plan

Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)

2011-2025.

Berlandaskan semangat “Not Business As Usual” dokumen yang

dirilis Kementerian Koordinator Perekonomian pada Mei 2011 ini

berusaha mendobrak mati surinya transformasi ekonomi yang berjalan

lambat selama ini. MP3EI merupakan langkah awal untuk mendorong

Indonesia menjadi negara maju dan termasuk 10 negara terbesar di

dunia pada 2025 melalui pertumbuhan ekonomi tinggi yang inklusif,

berkeadilan dan berkelanjutan. Untuk mencapainya diharapkan

pertumbuhan ekonomi riil rata-rata sekitar 7-9 persen per tahun secara

berkelanjutan.

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

108

Cita-cita MP3EI cukup menjadi harapan, namun terlihat

mengawang-awang jika dikomparasi dengan realitas ekonomi yang

terjadi saat ini. Harapan pemerintah untuk menuju pada kondisi

perekonomian yang lebih baik patut diapresiasi, tetapi rasionalisasi

terhadap terwujudnya harapan tersebut harus tetap dikedepankan. Ini

dilakukan agar harapan tidak jauh dari kenyataan. Sebab, jika suatu

perencanaan sudah terlalu jauh dari realitas, maka di samping sangat

sulit untuk mewujudkan, juga akan terlalu banyak energi pembangunan

yang tercurah secara tidak efisien. Bagi rakyat tentunya lebih baik

target perekonomian yang rasional namun terealisasi dengan baik,

daripada meletakkan perekonomian pada tumpuan angan-angan yang

sulit direalisasikan. Singkatnya, kemauan besar harus diikuti tindakan

yang besar pula.

6.1. MP3EI: Rencana di Atas Rencana

Apakah target menjadi negara maju dan termasuk 10 negara

terbesar di dunia pada 2025 merupakan suatu hal yang mustahil? Tentu

saja jika pertanyaan ini diajukan maka jawabnya adalah tidak mustahil.

Jika cita-cita pencapaian pada 2025 dapat tercapai, baik

disengaja/direncanakan maupun karena kebetulan, tentu semua pihak

akan senang mendengarnya. Apalagi jika pencapaian tersebut

diperoleh melalui sebuah perencanaan yang baik, tentu akan lebih

membanggakan lagi.

Namun, sama seperti ketidakmustahilan target MP3EI untuk

menjadi 10 negara terbesar di dunia pada 2025, dokumen perencanaan

tersebut juga tidak mustahil untuk dikritisi. Tujuan utamanya tentu saja

untuk mengoreksi dan mempertajam apa yang seharusnya dilakukan

oleh pemerintah untuk menjadi 10 negara terbesar pada 2025

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

109

tersebut. Hal ini mengingat rencana ekonomi tahunan dan berjangka

pendek pun juga sering tidak luput dari berbagai revisi target

pencapaian karena mempertimbangkan dinamika terbaru yang

melingkupinya. Contohnya adalah penyesuaian APBN yang sering

terjadi pada semester kedua yang melahirkan munculnya APBN

Perubahan (APBN-P).

Sejatinya, melalui UU No. 25/2004 dan UU No. 17/2003 tentang

Sistem Perencanaan dan Penganggaran, yang selanjutnya

diterjemahkan menjadi RPJPN 2005-2025, RPJMN 2010-2014, serta

RKP/APBN Pemerintah telah dibekali dokumen perencanaan yang

cukup untuk membangun perekonomian. Memposisikan MP3EI sebagai

bagian integral dari dokumen-dokumen yang sudah terlebih dahulu ada

dan disepakati justru berpotensi mengaburkan fokus pembangunan

yang sudah direncanakan.

Pemerintah berargumentasi bahwa lahirnya MP3EI bukan

dimaksudkan untuk mengganti dokumen perencanaan pembangunan

yang telah ada, namun menjadi dokumen yang terintegrasi dan

komplementer serta secara khusus untuk melakukan percepatan dan

perluasan pembangunan ekonomi (Kemenko Perekonomian, 2011).

Pasalnya, di luar MP3EI Pemerintah melalui Kementerian/Lembaga

yang dibentuk juga berkewajiban menjalankan dokumen RKP (Rencana

Kerja Pemerintah), RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional), serta RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang

Nasional). Dari hal ini terlihat akan keraguan Pemerintah dengan

berbagai dokumen perencanaan yang sudah dibuat untuk mencapai

target pembangunan, sehingga masih memerlukan MP3EI.

Dokumen RKP, RPJMN, dan RPJPN merupakan representasi

perencanaan bottom up yang seyogyanya menjadi pedoman utama

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

110

bagi pemerintah dalam menjalankan roda pembangunan. Terlepas dari

koordinasi yang kurang berjalan secara optimal, ketiga dokumen

tersebut dianggap dijalankan dengan semangat “business as usual”

sehingga belum cukup mampu mengakomodasi upaya serius

Pemerintah. Dampaknya tentu saja pemerintah beranggapan bahwa

dokumen perencanaan RKP/RPJMN/RPJPN dianggap kurang mampu

menjangkau target ekonomi yang ditetapkan.

Sungguh suatu hal yang sangat aneh ketika pemerintah

berusaha menjadikan dokumen perencanaan MP3EI -di mana target di

dalamnya sangat spekulatif- justru menjadi komplemen bagi

perencanaan yang sudah tersusun secara lebih komprehensif. Jika

analisisnya di balik, yaitu bahwa dalam merencanakan RKP saja masih

belum optimal dan sering kali tidak secara tepat dalam menerapkan

pendekatan bottom up, apalagi merencanakan MP3EI yang

tantangannya lebih kompleks. Dengan kata lain, membuat perencanaan

yang bersifat “business as usual” saja masih banyak dijumpai berbagai

kelemahan, bagaimana masyarakat akan percaya pada perencanaan

yang bersifat “Not Business As Usual”. Tanpa mengerdilkan

penghargaan atas upaya pemikiran yang telah menghasilkan konsep

MP3EI, dokumen perencanaan ini masih perlu banyak penyempurnaan.

Lebih dari itu, pengalaman empiris sejak Indonesia merdeka

membuktikan bahwa banyak dokumen perencanaan yang sudah

dibuat, namun masih minim yang diimplementasikan dengan cukup

baik. Sebuah kondisi yang pada akhirnya menyebabkan seringkali

rencana meleset dari target yang sudah ditetapkan. Untuk itu agar

dokumen MP3EI tidak menjadi “rencana di atas rencana”, maka yang

lebih diperlukan untuk memacu perekonomian saat ini adalah

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

111

penajaman RKP/RPJMN/RPJPN agar lebih implementatif dan terukur

targetnya. Jangan sampai lahirnya MP3EI justru memperluas resistensi

birokrasi, mengingat persoalan birokrasi masih merupakan salah satu

permasalahan yang menghambat kinerja perekonomian saat ini.

6.2. Sebuah Gebrakan Pencitraan Minim Persiapan

Melihat konsistensi antara realitas ekonomi dan target

spekulatif yang ingin dicapai MP3EI, dapat dikatakan bahwa

kemunculan dokumen ini lebih bersifat politis daripada pertimbangan

ekonomi semata. Tentu bukanlah hal yang haram bagi Lembaga

Eksekutif/Pemerintah untuk mengeluarkan dokumen perencanaan di

luar RKP/RPJMN. Hanya saja persoalan perencanaan pembangunan

yang membuat transformasi ekonomi tidak berjalan sebagaimana

mestinya adalah persoalan implementasi kebijakan. Jadi pada saat

implementasi menjadi kata kunci bagi pemecahan persoalan

pembangunan ekonomi, tidak elegan rasanya jika masyarakat justru

disuguhi target-target rencana imajinatif-spekulatif yang belum terukur

tingkat keberhasilannya secara akurat.

Di saat masyarakat mengharapkan percepatan transformasi

ekonomi, terutama bersumber dari implementasi kinerja RKP/RPJMN

yang semakin implementatif, justru yang terjadi sebaliknya, fokus

pembangunan semakin kabur karena tumpang-tindih rencana yang

ada. Jelas, dokumen RKP lebih representatif atas aspirasi rakyat

mengingat dokumen ini disusun atas pertimbangan banyak unsur.

Sayangnya, pemerintah lebih asik pada berbagai pembuatan rencana-

rencana baru ketimbang segera memulai aksi kerja keras

mengimplementasikan rencana yang sudah ada.

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

112

Harus dipertimbangkan pula bahwa berbagai target ekonomi

yang sudah terlanjur dikemukakan ke publik suatu saat akan ditagih.

Pada saat itu Pemerintah harus dapat menjelaskan, khususnya jika

rencana belum dapat tercapai. Membuat perencanaan yang terlalu

ambisius dengan sisa waktu pemerintahan yang ada saat ini justru

kontraproduktif dengan rencana-rencana pembangunan ekonomi

sebelumnya yang sudah disusun secara lebih matang.

Ketiadaan fokus prioritas pembangunan dalam MP3EI juga

berpretensi bahwa rencana-rencana yang ada di dalam dapat tidak

tercapai. Berbagai proyek-proyek yang ditawarkan dalam MP3EI

terkesan lebih sebagai kompilasi proyek-proyek yang memang sudah

akan berjalan di berbagai kementerian daripada merupakan disain baru

dari pemerintah. Sehingga dapat dikatakan dokumen ini merupakan

kompilasi proyek yang sudah ada dengan bungkus publikasi politis

pencitraan. Dengan harapan, masyarakat akan nyaman dengan rencana

dan janji yang ada, meskipun janji atau target tersebut disertai poin

demi poin prasyarat pencapaian MP3EI yang terlalu ideal dan masih

sangat jauh dari realitas. Masyarakat tentu sudah cukup cerdas

menilainya, mana yang rasional dan mana yang imajinatif.

6.3. Dukungan MP3EI Bagi Penguatan Ekonomi Domestik

Sejak terlahir sebagai negara yang berdaulat, Indonesia telah

mengalami berbagai perubahan di bidang pembangunan ekonomi.

Dari sebuah negara yang perekonomiannya berbasis kegiatan

pertanian tradisional, saat ini Indonesia sudah menjadi negara yang

memiliki proporsi industri manufaktur dan jasa yang lebih besar.

Kemajuan ekonomi juga membawa peningkatan kesejahteraan

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

113

masyarakat, yang tercermin tidak saja dalam peningkatan

pendapatan per kapita, namun juga dalam perbaikan berbagai

indikator sosial dan ekonomi lainnya termasuk Indeks Pembangunan

Manusia (IPM). Dalam periode 1980 dan 2010, IPM Indonesia

meningkat dari 0,39 ke 0,60.

Indonesia juga memainkan peran yang makin besar dalam

perekonomian global. Tingkat keterbukaan ekonomi Indonesia juga

memperlihatkan kecenderungan yang meningkat (data perdagangan

dan investasi). Keterlibatan Indonesia pun sangat diharapkan dalam

berbagai forum global dan regional, seperti ASEAN, APEC, G-20, dan

berbagai kerjasama bilateral lainnya. Keberhasilan Indonesia

melewati krisis ekonomi global 2008 mendapatkan apresiasi positif

dari berbagai lembaga internasional. Hal ini tercermin dengan

perbaikan peringkat utang Indonesia di saat peringkat negara-negara

lain justru mengalami penurunan.

Di sisi lain, tantangan ke depan pembangunan ekonomi

Indonesia tidaklah mudah untuk diselesaikan. Dinamika ekonomi

domestik dan global mengharuskan Indonesia senantiasa siap

terhadap perubahan. Keberadaan Indonesia di pusat baru

gravitasi ekonomi global, yaitu kawasan Asia Timur dan Asia

Tenggara, mengharuskan Indonesia mempersiapkan diri lebih baik

lagi untuk mempercepat terwujudnya suatu negara maju dengan

hasil pembangunan dan kesejahteraan yang dapat dinikmati

secara merata oleh seluruh masyarakat.

Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah menganggap

diperlukan suatu dokumen komplementer untuk RPJM, yaitu

berupa masterplan untuk mempercepat pembangunan

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

114

ekonomi Indonesia. Pada akhirnya terbentuklah dokumen

Penyusunan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan

Ekonomi Indonesia (MP3EI). MP3EI disusun antara lain untuk

memberikan arah pembangunan ekonomi Indonesia hingga 2025.

Melalui percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi ini,

perwujudan kualitas pembangunan manusia Indonesia sebagai

bangsa yang maju tidak saja melalui peningkatan pendapatan dan

daya beli semata, namun dibarengi dengan membaiknya pemerataan

dan kualitas hidup seluruh bangsa.

6.4. Penguatan Ekonomi Domestik Melalui Agroindustri

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam.

Sumber daya alam (baik renewable dan non renewable) merupakan

sumber daya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia.

Hilangnya atau berkurangnya ketersediaan sumber daya tersebut akan

berdampak sangat besar bagi kelangsungan hidup umat manusia di

muka bumi (Fauzi, 2004). Kekayaan sumber daya alam Indonesia ini

pula yang menyebabkan Indonesia dijajah selama berabad-abad oleh

negara Belanda dan juga selama tiga setengah tahun oleh negara

Jepang.

Salah satu sumber daya alam yang dimiliki Indonesia adalah

sektor pertanian. Pertanian dalam arti luas mencakup semua kegiatan

yang melibatkan pemanfaatan makhluk hidup untuk kepentingan

manusia, Lazimnya sektor pertanian dalam arti luas diklasifikasikan

menjadi sub sektor tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan,

peternakan dan hasilnya, kehutanan dan perikanan. Pemanfaatan

kelima sub sektor tersebut tidak hanya dalam bentuk mentah (hulu)

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

115

melainkan dapat lebih dioptimalisasi hingga dalam bentuk

olahan/manufaktur (hilir).

Melimpahnya kekayaan sumber daya alam yang dimiliki

Indonesia seharusnya mampu menopang perekonomian nasional yang

kokoh. Struktur ekonomi yang kokoh dapat berdasarkan pada basis

ketersediaan sumber daya alam dan produk unggulan yang dapat

diolah dan dimanfaatkan secara optimal. Pendekatan yang dilakukan

mengacu pada konsep pengembangan ekonomi lokal, yang pada

prinsipnya mengandung makna bahwa penguatan ekonomi diarahkan

pada upaya untuk secara optimal mengelola dan mendayagunakan

potensi sumber daya.

Pada dasarnya penguatan ekonomi domestik ditujukan untuk

mewujudkan kemandirian masyarakat. Untuk itu aspek

penanganannya sebaiknya meliputi: 1) Optimalisasi pemanfataan

sumber daya alam, yang diiringi dengan upaya peningkatan kualitas

produksi dan pengembangan pemasaran hasil produksi dan produk

unggulan daerah; 2) Pelibatan dan peningkatan daya saing (keahlian)

dan jiwa kewirausahaan masyarakat dalam mengelola sumber daya

alam; 3) Peningkatan dan pengembangan daya dukung sumber daya

buatan (prasarana dan sarana) dalam menunjang pengelolaan sumber

daya alam dan pengembangan kualitas masyarakat.

Sebagaimana diketahui, bahwa struktur perekonomian

Indonesia saat ini bertumpu pada sektor industri. Sektor Industri

memberikan kontribusi tertinggi pada perekonomian nasional (Tabel

6.1). Kontribusi sektor Industri mencapai 24,2 persen pada 2010.

Namun peranan yang besar ini belum sejalan dengan

kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja. Tenaga kerja tertinggi

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

116

masih terserap pada sektor pertanian. Disatu sisi, kemampuan

masyarakat secara keseluruhan belum mendukung untuk dikerahkan

dalam kegiatan usaha industri yang menuntut keahlian dan

profesionalisme kerja. Selain itu, tingkat pemanfaatan sumber daya

lokal sektor industri yang berkembang saat ini masih rendah,

sehingga dapat dikatakan multiplier effects yang diberikan sektor

industri masih kurang signifikan bagi sektor-sektor ekonomi lainnya.

Tabel 6.1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011

Dalam rangka pencapaian target untuk mempercepat

pertumbuhan ekonomi nasional selama periode 2011-2025,

sebagaimana tertuang dalam dokumen MP3EI, penguatan ekonomi

domestik seharusnya diorientasikan melalui upaya pengembangan

p o t en s i ekonomi lokal. Melalui pengembangan ekonomi domestik

demi mencapai penguatan ekonomi, kegiatan-kegiatan usaha yang

akan diberdayakan dan dikembangkan setidaknya memenuhi

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

ketentuan, yaitu: 1) dukungan

produk unggulan

penyerapan tenaga

masyarakat kurang

dalam rangka pengelolaan

Gambar 6.1. Penguatan Struktur Ekonomi Berbasis Sumber daya

Sumber: Rencana Pembanguna Jangka Menengah Propinsi Banten, 2011

Untuk dap

ekonomi domestik

pembangunan difo

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

) dukungan ketersediaan sumber daya alam lo

daerah yang dapat dimanfaatkan atau d

ga kerja lokal (khususnya masyarakat perdes

ng mampu); serta 3) dukungan prasarana dan s

pengelolaan dan pengembangan usaha.

1. Penguatan Struktur Ekonomi Berbasis Sumber daya

Sumber: Rencana Pembanguna Jangka Menengah Propinsi Banten, 2011

dapat menjalankan strategi pokok ”pe

ekonomi domestik berbasis agroindustri”, maka

fokuskan kepada:

117

lokal dan

diolah; 2)

saan dan

dan sarana

1. Penguatan Struktur Ekonomi Berbasis Sumber daya

Sumber: Rencana Pembanguna Jangka Menengah Propinsi Banten, 2011

enguatan

prioritas

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

118

1. Pengembangan ekonomi lokal berbasis pertanian (tanaman

pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan,

kelautan, kebudayaan dan pariwisata;

2. Penataan ulang struktur industri yang berdaya saing dengan

prioritas penggunaan bahan baku lokal unggulan;

3. Pengembangan kapasitas kelembagaan sosial-ekonomi berbasis

masyarakat.

Berdasarkan argumen tersebut penguatan ekonomi domestik

melalui agroindustri dinilai sangat perlu, karena basis ekonomi

Indonesia adalah sumber daya sehingga sangat penting untuk

mengembangkan ekonomi sumber daya (terbarukan) dari hulu hingga

hilir. Pengembangan ekonomi sumber daya diyakini sebagai cara paling

rasional, realistis, dan tepat untuk mempercepat pertumbuhan dan

perluasan perekonomian.

6.4.1. Identifikasi Agroindustri Nasional (Peranan sektor pertanian

terhadap Agroindustri)

Daya saing Indonesia hingga saat ini masih terletak pada

komoditas primer. Artinya Indonesia secara umum hanya unggul pada

ekspor barang mentah (produk hulu) yang bernilai tambah rendah. Hal

ini diperkuat oleh hasil penelitian Oktaviani, et al. Dari hasil penelitian

yang menggunakan model dan data Input Output dengan beberapa

indikator seperti keterkaitan ke belakang atau keterkaitan ke depan,

dapat digunakan untuk mengetahui inter industry connectivity selama

periode 1995-2008. Initial condition pola industri pada 1995

menunjukkan bahwa indeks keterkaitan ke belakang industri dengan

fokus industri pengolahan Indonesia berkisar antara 1,00 sampai

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

119

dengan 1,17. Jika dilihat berdasarkan perubahan nilai indeks

keterkaitan ke belakangnya pada kurun waktu 1995 sampai dengan

2008, sebagian besar agro based industries mengalami penurunan

indeks keterkaitan ke belakang (IKKB). Penurunan keterkaitan ke

belakang menunjukkan ketidakmampuan agro based industries untuk

menarik pertumbuhan sektor pertanian on farm, sehingga menguatkan

justifikasi bahwa skema FTA akan hadir sebagai tantangan yang berat

karena kondisi eksisting daya saing internal dari agro based industries

Indonesia yang lemah dari sisi nilai tambah. FTA hanya mengandalkan

komoditas primer pertanian yang mempunyai nilai tambah yang rendah

dan komoditas bersifat homogen sehingga sangat rentan terhadap

fluktuasi harga internasional. Sementara itu, non agro based industries

berbasis komoditas pertambangan dan minyak serta gas bumi juga

memiliki tendensi untuk menurun semenjak periode 2000-2005

meskipun dengan magnitude yang relatif “moderat” apabila

dibandingkan dengan agro based industries. Baik agrio based maupun

non agri-based industry Indonesia ternyata masih bertumpu pada

sumber daya alam. Keunggulan komparatif yang hanya berdasarkan

sumber daya alam sangat rentan karena daya dukung sumber daya

alam akan sulit dipertahankan. Kenggulan komparatif seharusnya

berdasarkan kemampuan teknologi untuk menciptakan produk yang

berbeda (product differentiated) sehingga bisa menentukan harga di

tengah pasar persaingan sempurna (monopolistic competition).

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

120

Tabel 6.2. Rekapitulasi Indeks Keterkaitan ke Belakang Agrobased

Industries Indonesia pada Periode 1995-2008

Sektor 1995

Perubahan

1995-

2000

2000-

2003

2003-

2005

2005-

2008

Industri pengolahan dan pengawetan

makanan 1.17 0.06 -0.03 -0.03 -0.48

Industri minyak dan lemak 1.16 0.01 -0.05 0.11 -0.58

Industri penggilingan padi 1.34 -0.19 -0.02 0.05 -0.41

Industri tepung, segala jenis 1.19 0.01 0.05 0.00 -0.55

Industri gula 1.03 0.12 0.02 0.01 -0.45

Industri makanan lainnya 1.17 0.00 -0.02 0.05 -0.53

Industri minuman 1.18 -0.09 -0.04 0.15 -0.58

Industri rokok 1.00 -0.06 0.00 0.00 -0.56

Industri pemintalan 1.27 0.02 0.03 -0.02 -0.61

Industri tekstil, pakaian dan kulit 1.41 -0.12 0.05 -0.06 -0.67

Industri bambu, kayu dan rotan 1.20 -0.03 -0.08 0.03 -0.54

Industri kertas, barang dari kertas

karton 1.26 0.04 -0.07 0.05 -0.64

Industri pupuk dan pestisida 1.38 -0.30 0.25 -0.28 -0.38

Industri kimia 1.35 -0.21 0.27 -0.21 -0.49

Pengilangan minyak 0.96 -0.10 -0.01 -0.04 -0.39

Industri barang karet dan plastik 1.39 -0.12 0.11 -0.06 -0.59

Industri barang-barang dari mineral

bukan logam 1.11 -0.03 -0.05 0.02 -0.54

Industri semen 1.12 -0.02 -0.20 0.17 -0.48

Industri dasar besi dan baja 1.16 0.16 -0.07 0.07 -0.58

Industri logam dasar bukan besi 1.24 -0.05 -0.12 0.17 -0.49

Industri barang dari logam 1.28 0.02 0.23 -0.28 -0.73

Industri mesin, alat-alat dan

perlengkapan listrik 1.47 -0.11 0.00 0.01 -0.66

Industri alat pengangkutan dan

perbaikannya 1.30 -0.11 0.02 0.04 -0.66

Industri barang lain yang belum

digolongkan dimanapun 1.27 -0.01 0.00 0.05 -0.63

Sumber: Tabel Input Output 1995, 2000, 2003, 2005 dan 2008 (Diolah)

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

121

Struktur industri di Indonesia tidak memiliki linkage

improvement yang berarti selama lebih dari sepuluh tahun (1995-

2008). Hal tersebut dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu lambatnya

perbaikan atau pengembangan teknologi pada industri di Indonesia

atau sumber data yang kurang baik. Apapun yang benar-benar terjadi

di antara kedua kemungkinan tersebut maka implikasinya sangatlah

tidak baik bagi perkembangan daya saing industri pengolahan

Indonesia. Jika ternyata penyebab tidak adanya perubahan pada

industri pengolahan di Indonesia selama periode 1995-2008 adalah

lambatnya perbaikan atau pengembangan teknologi, maka hal ini

menjadi peringatan bagi pemerintah dan pelaku industri akan resistansi

dan daya saing industri.

Saat ini, semua negara memperbaiki struktur industri di negara

mereka masing-masing mengingat semakin terintegrasinya

perekonomian dunia. Bagaimana Indonesia mampu bersaing atau

paling tidak mampu bertahan dari ”shock” yang berasal dari negara-

negara lain jika dalam jangka waktu lebih dari 10 tahun tidak ada

perbaikan teknologi yang cukup berarti. Berdasarkan teori

pertumbuhan ekonomi Solow, perbaikan teknologi merupakan hal yang

harus dilakukan jika suatu negara ingin terus tumbuh dalam jangka

panjang dan memberikan peluang untuk meraih keuntungan yang

positif dan berkesinambungan dari skema FTA.

6.4.2. Identifikasi Permasalahan Agroindustri

Permasalahan yang ada pada sektor agroindustri tidak lepas dari

lemahnya peranan sektor pertanian yang kurang memberi dukungan

terhadap input faktor produksi yang berkualitas dan berdaya saing. Sektor

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

122

pertanian yang merupakan basis dari agroindustri, masih memiliki potensi

untuk ditingkatkan. Permasalahannya, sektor pertanian masih

menghadapi berbagai masalah klasik seperti rendahnya produktivitas,

efisiensi usaha, konversi lahan pertanian, keterbatasan sarana dan prasarana

pertanian, serta terbatasnya kredit dan infrastruktur pertanian. Selain

permasalahan yang bersumber dari sektor pertanian, pengembangan

sektor agroindustri juga menghadapi permasalahan utama yaitu

lemahnya daya saing sektor agroindustri. Secara umum peringkat daya

saing Indonesia menurut World Economic Forum turun dari 44 menjadi

46. Rendahnya daya saing industri disebabkan oleh :

(i) Hambatan Infrastruktur dan Logistik.

Infrastruktur merupakan sarana pendukung yang sangat vital bagi

kemajuan sektor agroindustri, terutama guna menjamin

kelancaran arus barang dan mengurangi biaya transaksi atau

ekonomi biaya tinggi. Sayangnya, sarana infrastruktur yang

dibutuhkan untuk pengembangan agroindustri seperti transportasi

(jalan, perkeretaapian, pelabuhan, bandara) serta infrastruktur

energi (listrik dan pasokan gas) sangat terbatas. World Economic

Forum (WEF) mencatat dukungan infrastruktur Indonesia

menempati posisi ke-76 dari 142 negara. Demikian juga untuk

dukungan bidang logistik (pergudangan), survey Logistics

Performance Index (LPI) tahun 2010 Bank Dunia, menempatkan

Indonesia pada posisi ke 75 dari 150 negara. LPI Indonesia

mengalami penurunan dari tahun 2009 yang berada pada posisi

43. Apalagi biaya logistik di Indonesia sangat tinggi, hal tersebut

dapat dilihat dari peringkat dunia dimana Indonesia berada di

peringkat 92 dari total 150 negara.

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

123

(ii) Hambatan Perkembangan Teknologi

Teknologi merupakan faktor yang memiliki peranan sangat

penting dalam menghasilkan output produksi, karena teknologi

merupakan faktor yang dapat mempengaruhi tingkat output

sepanjang waktu. Sayangnya perkembangan teknologi di

Indonesia lamban dan masih tertinggal. Dalam laporan Global

Competitiveness Index 2011-2012 Indonesia menduduki peringkat

94 dari 140 negara dalam hal kesiapan teknologi, dibawah

Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina bahkan Vietnam.

Lambannya perkembangan teknologi terlihat dari penggunaan

mesin-mesin industri yang sudah berumur tua. Hal tersebut

berakibat pada turunnya produkstivitas output yang berimbas

pada semakin buruknya kinerja industri dan lemahnya struktur

industri.

(iii) Ekonomi Biaya Tinggi

Salah satu hambatan industrialisasi bagi kebanyakan negara

berkembang adalah inefisiensi produksi. Inefisiensi produksi

terjadi akibat dari timbulnya biaya-biaya yang tidak seharusnya

terjadi pada proses produksi sehingga berakibat ekonomi biaya

tinggi. Ekonomi biaya tinggi merupakan salah satu masalah yang

menyebabkan terjadinya penurunan daya saing industri nasional.

Penyebab turunnya daya saing Indonesia diindikasikan dari

masih maraknya praktek pungutan liar yang menyebabkan

terjadinya ekonomi biaya tinggi pada kegiatan-kegiatan di sektor

industri.

(iv) Hambatan Pembiayaan

Kesulitan pembiayaan sering dihadapi oleh industri skala kecil

dan menengah (IKM). Kesulitan IKM terhadap akses pembiayaan,

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

124

antara lain disebabkan adanya kesenjangan informasi, risiko

intrinsik yang lebih besar, dan biaya transaksi yang besar.

Penyedia dana eksternal lebih enggan menyediakan dana bagi

industri kecil dan menengah karena dianggap sebagai

perusahaan yang lebih berisiko, karena (i) IKM menghadapi

lingkungan persaingan yang lebih tidak pasti dibandingkan

dengan perusahaan besar, sebagaimana dibuktikan oleh tingkat

laba yang lebih beragam dan tingkat kegagalan yang lebih tinggi,

(ii) IKM memiliki SDM dan modal kurang memadai untuk men-

gatasi gejolak ekonomi, (iii) risiko yang ada dalam anggapan para

penyedia pembiayaan diperbesar oleh sistem akuntasi yang tidak

memadai, yang mengurangi aksesibilitas dan reliabilitas

informasi tentang profitabilitas dan kemampuan membayar

utang.

(v) Tingginya Impor Bahan Baku dan Penolong

Nilai impor bahan baku, bahan antara (intermediate) dan

komponen untuk seluruh agroindustri masih tinggi. Tingginya

kandungan impor ini mengakibatkan rentannya biaya produksi

terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah dan kecilnya nilai tambah yang

mengalir pada perekonomian domestik.

(vi) Regulasi yang Menghambat

Sejauh ini perkembangan industri di Indonesia masih banyak

dihambat oleh regulasi atau aturan birokrasi yang dinilai

menyulitkan investor. Berdasarkan survei Bank Dunia, pada 2011

peringkat Doing Business Indonesia berada diperingkat 155. Di

ASEAN, peringkat doing business Indonesia masih lebih rendah dari

Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Vietnam. Indonesia

hanya sedikit lebih baik dari Filipina, Kamboja dan Laos. Contoh

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

125

regulasi yang menghambat perkembangan industri misalnya

regulasi yang terkait proses perizinan dan kepastian usaha.

6.4.3. Kebijakan Umum Sektor Agroindustri

Berdasarkan uraian permasalahan yang telah dijelaskan, maka

diperlukan kebijakan dan strategi yang tepat untuk pengembangan sektor

agroindustri. Beberapa kebijakan dan strategi yang harus segera dilakukan

antara lain :

1. Mempercepat hilirasasi industri agro. Beberapa kebijakan

untuk mempercepat hilirisasi antara lain: (a) Kebijakan

perdagangan untuk menghambat ekspor bahan mentah sebagai

bahan baku industri agro, agar terjadi stabilisasi harga bahan

baku dan jaminan ketersediaan bahan baku untuk industri

dalam negeri; (b) Kemudahan perijinan usaha/investasi dan

kepastian usaha, (c) Pengembangan agroindustri di daerah

sumber bahan baku agar petani dapat menikmati nilai tambah,

(d) pembangunan infrastruktur yang vital bagi pengembangan

industri agro.

2. Insentif non fiskal dan fiskal. Kebijakan non fiskal ditujukan

untuk endukung kelangsungan bahan baku bagi produk

turunannya, agar terjadi penguatan peremajaan kapasitas

pabrik agar dapat mendiversifikasi produk turunan lebih luas.

Insentif fiskal dibutuhkan utamanya bagi pengembangan produk

baru ( produk turunan), di antaranya meliputi: (1) Pengurangan

pajak penghasilan badan selama periode awal operasional

sampai maksimum 10 tahun; serta (2) pembebasan PPN dalam

transaksi pembelian bahan mentah untuk bahan baku

agroindustri.

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

126

3. Peningkatan Produktivitas dan Mutu Agroindustri.

Untuk meningkatkan produktivitas dan mutu agroindustri

diperlukan (a) Optimalisasi kegiatan penelitian, khususnya

untuk meningkatkan kualitas bahan baku, (b) Penerapan

secara ketat terhadap persyaratan mutu agroindustri

untuk ekspor dan revisi SNI, (c) adopsi teknologi baik

melalui lisensi maupun teknologi sendiri. Peningkatan

penggunaan teknologi agar dapat menyerap hasil-hasil

pertanian (on farm) serta mengurangi kandungan bahan

baku impor. (d) Pengembangan klaster agroindustri agar

meningkatkan kapasitas, diversifikasi produk turunan

agroindustri, serta guna perluasan pangsa ekspor.

Pembentukan jaringan bisnis juga dapat dilakukan guna

meningkatkan daya saing di pasar internasional.

4. Peningkatan Nilai Tambah Komoditas Agroindustri.

Kebijakan ini dimaksudkan agar ekspor agroindustri

Indonesia tidak lagi berupa bahan mentah, tapi dalam

bentuk hasil olahan, sehingga nilai tambah dinikmati di

dalam negeri.

5. Dukungan Penyedian Pembiayaan. Tersedianya

berbagai kemungkinan sumber pembiayaan yang sesuai

untuk pengembangan agroindustri, baik yang berasal

dari lembaga perbankan maupun non bank. Kebijakan

ini dapat dipelopori oleh bank-bank BUMN dengan

melakukan kredit sindikasi untuk pengembangan

agroindustri. �

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

127

Bab Bab Bab Bab 7777

PPrrooyyeekkssii EEkkoonnoommii IInnddoonneessiiaa 22001122

Memasuki 2012 perekonomian Indonesia disambut awan

mendung krisis utang AS dan Uni Eropa yang semakin parah. Sungguh

pun banyak yang memproyeksikan dampak langsung dari penjalaran

krisis dan euro area ke Indonesia tidak begitu besar, tetapi harus

diingat bahwa sebagian besar krisis yang pernah terjadi di Indonesia

turut dikontribusikan oleh faktor eksternal. Ekonomi Indonesia dalam

kancah global masih sebagai price taker, belum penentu pergerakan

ekonomi suatu kawasan. Besarnya potensi Indonesia menjadi pemain

yang diperhitungkan di kawasan Asia sering didengungkan, namun

tanpa tekad untuk segera berbenah, potensi ini tidak akan banyak

memberi arti.

Penurunan kinerja perekonomian Indonesia diperkirakan tetap

akan terjadi pada 2012, meskipun ‘mendung tidak berarti hujan’. Krisis

utang AS dan Uni Eropa kemungkinan akan tetap berdampak pada

ekonomi Indonesia, namun masih dapat diredam agar pertumbuhan

ekonomi tidak menurun tanpa kendali. Syaratnya, langkah antisipasi

krisis harus tepat dan tindakan dilakukan secara cepat.

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

128

Sayangnya, bercermin dari penanganan krisis global 2009, kata

tepat dan cepat dalam langkah-langkah penyelamatan ekonomi

Indonesia tidak begitu terlihat saat itu. Desain dan implementasi

stimulus kurang berjalan mulus karena tidak cepat dan tepat sasaran.

Pencairan stimulus tidak tepat waktu sehingga kurang maksimal

menginjeksi perekonomian. Di samping itu, minimnya strategi dari

kementerian-kementerian penerima stimulus untuk merealisasikan

dana dan pekerjaan membuat upaya pemerintah terasa hambar.

Perekonomian saat itu lebih diselamatkan oleh konsumsi domestik

yang cukup besar. Evaluasi atas kurang optimalnya berbagai kebijakan

antikrisis pada 2009 perlu dilakukan agar antisipasi dampak krisis AS

dan Uni Eropa kali ini dapat lebih maksimal.

Evaluasi terhadap beberapa indikator kinerja perekonomian,

seperti pertumbuhan, inflasi, suku bunga, dan nilai tukar, serta

indikator kesejahteraan, yaitu tingkat pengangguran dan kemiskinan

hingga akhir 2011 memperlihatkan hal-hal menarik untuk dikupas lebih

dalam. Proyeksi Ekonomi Indonesia ini diharapkan dapat menjadi

informasi awal dan gambaran obyektif bagi masyarakat, terutama

dunia usaha dan pemerintah dalam menjalani perekonomian sepanjang

2012.

7.1. Proyeksi Ekonomi Indonesia oleh Lembaga Lain

Penyusunan PEI 2012 oleh INDEF dilakukan untuk memberikan

alternatif pandangan tentang proyeksi ekonomi, di luar yang sudah

dipublikasikan oleh beberapa lembaga, seperti International Monetary

Fund (IMF), Asian Development Bank (ADB), Bank Indonesia, dan

Pemerintah. Indikator yang menjadi fokus beberapa lembaga ini

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

129

terutama pertumbuhan ekonomi. IMF memproyeksikan pertumbuhan

ekonomi Indonesia pada 2012 sebesar 6,3 persen, sementara ADB

sekitar 6,8 persen, Bank Indonesia antara 6,3 – 6,7 persen, dan

Pemerintah sebesar 6,7 persen.

7.2. Pertumbuhan Ekonomi 2012

Jika dirangkum dalam satu kalimat singkat, pertumbuhan

ekonomi pada 2012 merupakan “representasi kontribusi konsumsi

domestik dan sektor non-tradeable”. Tanpa menihilkan kontribusi

sektor-sektor lain dalam perekonomian, wajah pertumbuhan ekonomi

Indonesia dalam beberapa tahun ini sangat dicirikan oleh kedua sektor

tersebut. Jika sisi penggunaan yang dilihat, maka yang tampak adalah

dominasi kontribusi sektor konsumsi dalam perekonomian. Sementara

jika sisi lapangan usaha yang diamati, yang terlihat adalah per-

tumbuhan sektor non-tradeable yang begitu menonjol atas sektor

tradeable.

Pada 2012 INDEF memperkirakan pertumbuhan ekonomi

Indonesia berada pada kisaran 6,1 – 6,3 persen. Angka ini menurun jika

dibandingkan dengan perkiraan pertumbuhan hingga akhir tahun ini

yang kemungkinan mencapai 6,5 persen. Dilihat dari distribusi PDB

penggunaan pada tahun depan relatif akan sama seperti beberapa

tahun sebelumnya dimana perekonomian akan ditopang oleh besarnya

porsi sektor konsumsi rumah tangga. Setidaknya dalam empat tahun

terakhir sektor konsumsi rumah tangga telah menyumbang PDB lebih

dari 55 persen, yaitu sebesar 63,5 persen (2007), 60,6 persen (2008),

58,7 persen (2009), 56,7 persen (2010), dan 54,9 persen pada semester

I 2011.

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

130

Meletakkan pertumbuhan ekonomi pada sektor konsumsi jelas

bukan pilihan yang bijak dalam jangka panjang, terutama jika tujuannya

adalah mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan

berkelanjutan. Hakikatnya, untuk bisa mengkonsumsi maka suatu

perekonomian harus berproduksi terlebih dahulu. Jika sektor konsumsi

yang terus meningkat tanpa diiringi oleh produksi yang meningkat

secara proporsional, maka yang terjadi adalah gelembung. Ekonomi

tumbuh namun keropos di dalamnya. Idealnya pada 2012 per-

tumbuhan konsumsi domestik harus diiringi dengan peningkatan

produksi barang dan jasa, terutama dari sektor manufaktur.

Sementara itu, jika dilihat dari struktur lapangan usahanya, pada

2012 pertumbuhan tetap akan ditopang oleh sektor non-tradeable,

dengan pertumbuhan tertinggi kemungkinan besar tetap pada sektor

pengangkutan dan komunikasi. Sektor pengangkutan dan komunikasi

selama 2007–2010 selalu mengalami pertumbuhan tertinggi, yaitu

sebesar 14,0 persen (2007), 16,6 persen (2008), 15,5 persen (2009),

dan 13,5 persen (2010). Seiring dengan pertumbuhannya yang

dominan, sektor ini juga semakin meningkat dalam kontribusinya

terhadap perekonomian. Sayangnya, pertumbuhan sektor non-

tradeable tidak akan banyak berimplikasi pada penyerapan tenaga

kerja. Padahal tingkat pengangguran saat ini masih cukup tinggi dan

memerlukan pertumbuhan ekonomi yang adaptif terhadap penyerapan

tenaga kerja.

Dengan bertumpunya perekonomian pada sektor konsumsi -

dari sisi penggunaan- dan sektor non-tradeable -dari sisi lapangan

usaha- membuat harapan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang

lebih berkualitas pada tahun depan akan susah direalisasikan.

Pertumbuhan ekonomi yang dicapai tahun depan tetap akan

menyisakan persoalan pengangguran dan kemiskinan yang tidak ringan.

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

131

Terlebih jika badai krisis tidak cukup mampu dibendung oleh strategi

pemerintah dalam menanggulangi krisis, baik melalui penyusunan Crisis

Management protocol (CMP), penyediaan Bond Stabilization

Framework (BSF), pengalokasian dana mitigasi krisis di APBN 2012,

maupun berbagai kebijakan lain. Oleh karena itu, tantangan terberat

pertumbuhan ekonomi ke depan adalah menggeser proporsi kontribusi

sektor konsumsi dengan investasi, serta mengimbangi pertumbuhan

sektor non-tradeable dengan tradeable.

7.3. Inflasi

Seiring harga volatile food yang tidak terlalu bergejolak dalam

beberapa bulan ini, tekanan inflasi sepanjang 2011 relatif menurun.

Inflasi sempat meningkat seiring tingginya harga komoditas pada pasar

internasional, seperti komoditas pangan dan emas. Namun pada akhir

triwulan III 2011 harga komoditas sudah mulai menurun, dikarenakan

bertambahnya pasokan komoditas dan kondisi perlambatan ekonomi

dunia. Tidak hanya harga emas, tren harga minyak di pasar

internasional juga terlihat menurun jika dibandingkan pada triwulan

sebelumnya. Kondisi ini diperkirakan akan terus berlanjut pada 2012,

sehingga INDEF memproyeksikan inflasi pada 2012 pada kisaran 4,5 –

5,5 persen.

7.4. Suku Bunga

Gebrakan kebijakan yang dilakukan Bank Indonesia pada

November 2011 ini dengan memangkas BI Rate sebesar 50 bps (basis

poin) dari 6,5 persen menjadi 6 persen merupakan sinyal positif bagi

perekonomian, khususnya dalam upaya meningkatkan intermediasi.

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

132

Tingkat harga yang terkendali, yaitu dalam kisaran sasaran inflasi 5

persen 1 persen, bahkan sempat mengalami deflasi pada inflasi

bulanan, serta antisipasi terhadap kontraksi perekonomian akibat

dampak perlambatan permulihan perekonomian global menjadi faktor

pertimbangan Dewan Gubernur menurunkan suku bunga BI Rate.

Seiring perkiraan inflasi yang cukup terkendali pada tahun depan –

dengan catatan krisis dapat diantisipasi- INDEF memperkirakan tingkat

suku bunga SBI 3 bulan (sebagai suku bunga operasional sasaran

moneter) pada 2012 sebesar 6 persen.

7.5. Nilai tukar

Selama triwulan I dan II 2011, nilai tukar rupiah mengalami

apresiasi. Namun, volatilitas pergerakan nilai tukar rupiah mengalami

peningkatan pada triwulan III. Pada 2012 INDEF memperkirakan rupiah

akan berada pada kisaran Rp 8.900 – 9.100 per US$. Meskipun lebih

tinggi dari asumsi pemerintah dalam RAPBN 2012, rupiah akan cukup

stabil pada tahun depan. Beberapa faktor pendukung, seperti masih

cukup stabilnya kondisi fundamental perekonomian Indonesia

membuat aliran arus modal masih terus berlanjut. Nilai cadangan

devisa Bank Indonesia yang lebih dari US$100 miliar berkontribusi

mendorong stabilnya rupiah tahun depan. Selain itu, kinerja neraca

pembayaran juga masih cukup baik, yaitu berada pada posisi surplus

sehingga memberikan ekspektasi positif terhadap investor global di

tengah ketidakpastian pemulihan kawasan Uni Eropa dan Amerika

Serikat.

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

133

7.6. Pengangguran dan Kemiskinan

Tingkat pengangguran biasanya merupakan lagging indicator dari

pertumbuhan ekonomi karena keengganan perusahaan untuk merekrut

pegawai baru ketika prospek ekonomi masih belum jelas. Namun, pada

2012 tingkat pengangguran diperkirakan akan sedikit menurun, yakni

berada di kisaran 6,3 persen. Data rata-rata tingkat pengangguran dalam

tiga tahun terakhir menunjukkan adanya tren penurunan, dari 8 persen

(2009), 7,3 persen (2010), dan 6,7 persen (2011). Namun, penurunan ini

belum cukup sepadan dengan capaian pertumbuhan ekonomi yang

berada di atas 6 persen pada 2010 dan 2011.

Sementara itu, pada 2012 tingkat kemiskinan diperkirakan

masih sebesar 11,7 persen. Kedua masalah klasik pembangunan

(pengangguran dan kemiskinan) ini meskipun diprediksi menurun

namun belum signifikan, mengingat kurang berkualitasnya

pertumbuhan ekonomi hingga saat ini. Data tingkat kemiskinan tiga

tahun terakhir menunjukkan tren penurunan, dari 14,2 persen (2009),

13,3 persen (2010), dan 12,5 persen (2011). Berikut Tabel 7.1 yang

merangkum Proyeksi Ekonomi Indonesia 2012.

Tabel 7.1. Proyeksi Ekonomi Indonesia 2012 INDEF

Indikator Ekonomi Proyeksi 2012

Pertumbuhan (%) 6,1 – 6,3%

Inflasi (%) 4,5 – 5,5

Harga Minyak Dunia (USD/Barrel) US$90/barrel

SBI Tiga Bulan (%) 6%

Kemiskinan (%) 11,7%

Kurs (Rp/US$) 8.900 – 9.100

Pengangguran (%) 6,3%

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

135

Daftar Pustaka

Ad Van Riet. Euro Area Fiscal Policies and The Crisis. ECB occasional

paper series no 109/ April 2010.

http://www.ecb.int/pub/pdf/scpops/ecbocp109.pdf

Agung, Bambang, dkk., 2001, Credit Crunch di Indonesia Setelah Krisis:

Fakta, Penyebab dan Implikasi Kebijakan, Direktorat Riset

Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, Bank

Indonesia, Jakarta

Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2011, Publikasi & Statistik,

www.bkpm.go.id, diakses 14 November

Badan Pusat Statistik, 2011, Berita Resmi Statistika No. 72/11/Th. XIV, 7

Nov

_______________, 2011, Berita Resmi Statistika No. 73/11/Th. XIV, 7

November

_______________, 2011, Berita Resmi Statistika No. 66/11/Th.XIV, 1

November

_______________, 2011, Berita Resmi Statistika No. 53/08/Th. XIV, 5

Agustus

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

136

Bank Indonesia, 2011, Laporan Kebijakan Moneter Indonesia Triwulan I

____________, 2011, Laporan Kebijakan Moneter Indonesia Triwulan II

____________, 2011, Laporan Kebijakan Moneter Indonesia Triwulan III

____________, 2011, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia

____________, 2011, Laporan Tahunan Bank Indonesia Tahun 2010.

____________, 2011, Perkembangan Ekonomi Keuangan dan

Kerjasama Internasional Triwulan IV-2010: Dilema Kebijakan

Moneter di Kawasan Emerging Dalam Proses Pemulihan

Ekonomi Global. Direktorat Internasional

____________, 2011, Statistik Perbankan Bank Indonesia Januari 2011,

Volume 9 Nomor 2 Januari 2011. Direktorat Perizinan dan

Informasi Perbankan

____________, 2010, Laporan Tahunan Bank Indonesia Tahun 2009,

Bank Indonesia, Jakarta

____________, 2011, Kajian Stabilitas Keuangan No. 17, September

2011. Bank

Indonesia.http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/6A909201-319A-

48FA-A54C-28730BDD2B70/24331/KSK_170911.pdf

___________, 2011, Laporan Neraca Pembayaran Indonesia Realisasi

Triwulan II

___________, 2011, Laporan Neraca Pembayaran Indonesia Realisasi

Triwulan III

___________, 2011, Outlook Ekonomi Indonesia 2009-2014, Edisi

January 2009

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

137

Bordo, M. D. (2008). Growing up to Financial Stability. Bank of Greece,

Working Papers No. 85, 1-17 p

Cerutti, et al. 2011. Systemic Risks in Global Banking: What Available

Data can tell us and What More Data are Needed?. IMF Working

Paper. WP/11/222.

Claessens, S., & Forbes K. (2004). International Financial Contagion: The

Theory, Evidence and Policy Implications / Conference ‘The

IMF´s Role in Emerging Market Economies: Reassessing the

Adequacy of its Resources’ organized by RBWC, DNB and WEF in

Amsterdam on November 18-19. 1-34 p.

Coughlin, C. C. 2003. "World trade: past, present, and

future," International Economic Trends, Federal Reserve Bank of

St. Louis

Coxlead. I dan Li, M. 2008. Prospects for skilled-based Export Growth in

Labor-Abundant, Resource-Rich. Developing Countries. Vol 44.

No.2, pp 209-238

Diamond, W, Rajan, R.2010. Fear of fires sales and the credit freeze. BIS

Working Papers No. 305.

Dias Satria, 2009, Lumpuhnya Fungsi Vital Perbankan: Bumerang

Kemajuan Teknologi Dan Globalisasi Keuangan, dalam

http://www.diassatria.web.id/wp-

content/uploads/2008/12/lumpuhnya-fungsi-vital-bank-bi.pdf,

diakses 18 Maret 2011

Federick, Mishkin, 1995, The Economics of Money, Banking, and

Financial Markets, 4th Edition, New York : Harper Collins

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

138

Filardo,k A et al. The International Financial Crisis: Timeline, Impact and

Policy Repsonses in Asia and the Pacific. BIS Papers No. 52.

Forbes, K. & Rigobon, R. (2002). No Contagion, Only Interdependence:

Measuring Stock Market Comovements / Journal of Finance 57:

2223-61.

Forbes, K. (2000), ‘The Asian Flu and Russian Virus: Firm-level Evidence

on How Crises are Transmitted Internationally’, NBER Working

Paper 7807.

Freixas, Xavier dan Rochet, Charles-Jean, 1997, Microeconomics of

Banking, The MIT Press Cambridge, Massachusetts London,

England.

Frequently Asked Questions (FAQs0 Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah

(3 September 2010).

http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/77E1C46E-B06D-4FAF-960F-

BE9EE059FF89/20957/FAQ_GWM1.pdf

Global Financial Stability Report. Grappling with Crisis Legacies.

September 2011. International Monetary Fund.

Hadad Muliaman, et., al, 2003, Studi Biaya Intermediasi Beberapa Bank

Besar di Indonesia: Apakah Bunga Kredit Bank Umum

Overpriced?, Bank Indonesia, Jakarta

Bursa Efek Indonesia. 2011. IDX Quarterly Statistics, 3rd

Quarter 2011

IMF. 2011. Country Report No. 11/309 October 2011. Indonesia: 2011

Article IV Consultation – Staff Report; Staff Statement; Public

Information Notice on the Executive Board Discussion; and

Statement by the Executive Director for Indonesia.

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

139

___. 2011. Working Paper. Financial Contagion Through Bank

Deleveraging: Stylized Facts and Simulations Applied to the

Financial Crisis. Thierry Tressel. WP/10/236. International

Monetary Fund.

Inggrid, 2006, Sektor Keuangan dan Pertumbuhan Ekonomi di

Indonesia: Pendekatan Kausalitas dalam Multivariate Vector

Error Correction Model (VECM), Jurnal Manajemen dan

Kewirausahaan Volume 8 Nomor 1, Maret 2006:40-50, Fakultas

Ekonomi, Universitas Kristen Petra Surabaya

Insukindro, 1993, Ekonomi Uang dan Bank (Teori dan Pengalaman di

Indonesia), Edisi Pertama, BPFE, Yogyakarta

Isabella Massa, Jodie Keane and Jane Kennan, “ The euro zone crisis:

risks for developing countries”, Background Note, Overseas

Development Institute, p 2

Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi, 2011, Masterplan

Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

2011-2025. Jakarta

Kiyotaki Nobuhiro dan Moore John, 2005, Financial Deepening, Journal

of the European Economic Association, April-May 2005, page

701-713

Leonardo Martinez-Diaz and Ngaire Woods, “The G20- the perils and

opportunities of network governance for developing countries”,

Oxford: The Global Economic Governance Programme Briefing

Paper, 2009, p 2

Mari Pangestu, 2003, The Indonesian Bank Crisis and Restructuring:

Lessons and Implications for other Developing Countries, G-24

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

140

Discussion Paper Series : G-24 Discussion Paper Series, Research

papers for the Intergovernmental Group of Twenty-Four on

International Monetary Affairs, United Nation, New York and

Genewa

McLeod, R.,H. 2008. “Survey of Recent Developments” Bulletin of

Indonesia Economic Studies, Vol. 44 No.2, pp. 183-208.

Marsili, M., & Raffaelli, G. (2006). Risk bubbles and market instability /

Physica A, 2006 (370). 18-22 p.

Moser, T. (2003). What Is International Financial Contagion? /

International Finance, 2003. 6 (2), 157-178 p.

Naceur Ben Zina dan Borhen Trigui, ----- , Financial Deepening in

economic development: theory and lessons from Tunisia, dalam

http://www.univ-

orleans.fr/deg/GDRecomofi/Activ/benzina_birmingham.pdf

Nanto K, D. The Global Financial Crisis; Analysis and Policy Implications.

October 2,2009.

Nongsima, F.S. dan P.M. Hutabarat. 2007. Pengaruh Kebijakan

Liberalisasi Perdagangan terhadap Laju Pertumbuhan Ekspor-

Impor Indonesia.

Nowotny, E. The Global Economy – challenges and prospects. 29 August

2011. http://www.bis.org/review/r110908c.pdf

Oktaviani, R. 2011. FTA dan Daya Saing Industri Pertanian Indonesia

dalam Menghadapi Krisis Ekonomi Global. Makalah Orasi Ilmiah.

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

141

Otaviano Canuto, Marcelo M. Giugale, The Day After Tomorrow: A

Handbook on the Future of Economic Policy in the Developing

World, (Washington: World Bank, 2010)

Prastowo, Prasmuka, dan Tevy Chawwa, 2010, Sumber Pembiayaan

Ekonomi di Indonesia: Pendekatan Survei, Working

Paper/WP/04/2010, Bank Indonesia, Jakarta

Pokok Pokok Penjelasan Kebijakan Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah.

http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/77E1C46E-B06D-4FAF-960F-

BE9EE059FF89/20956/PokokpokokpenjelasanGWM1.pdf

Racickas, E. and Vasiliauskaite, A. 2011. Channels of Financial Risk

Contagion in the Global Financial Markets. Economics and

Management: 2011,6.

Recent Economic Developments. Republic of Indonesia. October 2011.

Investors Relations Unit- Republic of Indonesia.

Regional Economic Outlook. Asia and Pacific. Navigating and Uncertain

Global Environment While Building Inclusive Growth. October

2011. International Monetary Fund.

Scardovo, C. et al. (2010). Market crises, the financial system and the

real economy: Analysis and implications for the global financial

services industry / Journal of Risk Management in Financial

Institutions, 2010. Vol. 3, No. 3. 211–230 p.

Siaran Pers Outlook Ekonomi dan APBN tahun 2012. Kementerian

Keuangan Republik Indonesia.

Sambodo. M.T., A.H. Fuady., L. Adam, dan Purwanto. 2007. Mengurai

Benang Kusut Daya Saing Indonesia, Jakarta: LIPI Press.

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

142

Schioppa-Padoa Tommaso, 1974, Demand and Supply of Bank Credit in

Italy, Journal of Money, Credit and Banking, Vol. 6, No.4.

Stiglitz, Joseph E., dan Blinder Alan S., 1983, Money, Credit Constrain,

and Economic Activity, The American Economic Review, Vol. 73,

No. 2.

Stiglitz, Joseph E., dan Greenwald, 2003, Towards a New Paradigm in

Monetary Economics, Cambridge University Press, United

Kingdom.

Tambunan, T. 2008. Arah Kebijakan Ekonomi Indonesia dalam

Perdagangan dan Investasi Rill”. www.kadin-

indonesia.or.id/enm/images/dokumen/KADIN-98-3090-

2282008.pdf

“The Group of Twenty: A History”, Excerpt from the closing address of

President Mbeki of South Africa to G-20 Finance Ministers and

Central Bank Governors, 18 November 2007, Kleinmond,

Western Cape

Van Rijckeghem, C. & Weder, B. (2001). Sources of Contagion: Is it

Finance or Trade? / Journal of International Economics 54: 293-

308 p.

Vikram Nehru, “East Asia and the Pacific Confronts the “New Normal”,

dalam The Day after Tomorrow: A Handbook on the Future of

Economic Policy in the Developing Countries, Washington DC:

World Bank, 2009, p332-334

Yilmaz Akyuz, “The Global Economic Crisis and Asian Developing

Countries: Impact, Policy Response and Medium-Term

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

143

Prospects”, TWN Global Economy Series, Penang: Third World

Network, 2010. p26

Wallace, W. 2008. From Indonesia 2008 to Indonesia 2012 and beyond

Where Things Stand and the Challenges Ahead. Washington DC.

World Trade Organization. 2011. International Trade Statistics.

(www.wto.org). diakses 14 Juli 2011

World Bank. 2011. Data and Statistic. www.worldbank.org. diakses 20

Juli 2011

INDEFJl. Batu Merah No. 45, Pejaten Timur No. 45, Jakarta 12510

Telp. (021) 7901001 Fax. (021) 79194018Email: [email protected] - www.indef.or.id