20
1 Pekerjaan Sosial Dengan Disabilitas A. Tinjauan Tentang Disabilitas 1. Pengertian Disabilitas Michael Oliver (1996) membagi konsep Disabilitas ke dalam tiga level yaitu: a. Level Ontology dengan lebih menekankan pengertian secara Grand Theory dengan memandang Disabilitas sebagai sesuatu hal yang alami. Dalam konteks level ini memandang Disabilitas sebagai suatu tragedi terhadap seseorang (personal tragedy) dan memandang seseorang penyandang Disabilitas merupakan suatu musibah terhadap dirinya seperti kecelakaan, takdir, ketidak beruntungan yang menyebabkan seseorang mengalami Disabilitas. Hal ini lebih menggambarkan suatu Disabilitas sebagai suatu faktor nasib dan takdir yang diberikan Tuhan kepada seorang penyandang Disabilitas. b. Epistemology dengan menjelaskan Disabilitas dengan agak spesifik yang lebih mengungkap pengertian secara Middle Range Theory yang telah dapat menggambarkan tentang bagaimana suatu Disabilitas dapat terjadi dengan penekanan pada faktor penyebab. c. Eksperience dengan lebih memandang Disabilitas lebih mendalam kepada bagaimana apabila menjadi seseorang penyandang Disabilitas. Dalam konteks ini diperlukan pemahaman tentang suatu Methodologi yang tepat. Pada level ini lebih menekankan pada pengembangan dan metodologi yang tepat untuk dapat memahami experience dari Disabilitas dari perspektif dari penyandang Disabilitas. (Campling 1981, Oliver et al 1988, Morris 1989). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, pasal 1 ayat 1, mendefinisikan bahwa Penyandang Cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layak. Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J.S Poewadarminta (1976) menyatakan bahwa kelainan atau Disabilitas yang dialami oleh seseorang menunjukkan sesuatu yang menyebabkan kurang baik atau kurang sempurna, baik mengenai badan maupun batin atau akhlak. Definisi diatas memberikan beberapa arti untuk kata Disabilitas yang mencakup: a. Kekurangan yang menyebabkan mutunya kurang baik atau kurang sempurna (yang terdapat pada badan, benda, batin atau akhlak).

Pekerja Sosial Dengan Disabilitas

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pekerja Sosial Dengan Disabilitas

Citation preview

1

Pekerjaan Sosial Dengan Disabilitas

A. Tinjauan Tentang Disabilitas

1. Pengertian Disabilitas

Michael Oliver (1996) membagi konsep Disabilitas ke dalam tiga level yaitu:

a. Level Ontology dengan lebih menekankan pengertian secara Grand Theory

dengan memandang Disabilitas sebagai sesuatu hal yang alami. Dalam konteks

level ini memandang Disabilitas sebagai suatu tragedi terhadap seseorang

(personal tragedy) dan memandang seseorang penyandang Disabilitas

merupakan suatu musibah terhadap dirinya seperti kecelakaan, takdir, ketidak

beruntungan yang menyebabkan seseorang mengalami Disabilitas. Hal ini lebih

menggambarkan suatu Disabilitas sebagai suatu faktor nasib dan takdir yang

diberikan Tuhan kepada seorang penyandang Disabilitas.

b. Epistemology dengan menjelaskan Disabilitas dengan agak spesifik yang lebih

mengungkap pengertian secara Middle Range Theory yang telah dapat

menggambarkan tentang bagaimana suatu Disabilitas dapat terjadi dengan

penekanan pada faktor penyebab.

c. Eksperience dengan lebih memandang Disabilitas lebih mendalam kepada

bagaimana apabila menjadi seseorang penyandang Disabilitas. Dalam konteks

ini diperlukan pemahaman tentang suatu Methodologi yang tepat. Pada level ini

lebih menekankan pada pengembangan dan metodologi yang tepat untuk dapat

memahami experience dari Disabilitas dari perspektif dari penyandang

Disabilitas. (Campling 1981, Oliver et al 1988, Morris 1989).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1997 Tentang Penyandang

Cacat, pasal 1 ayat 1, mendefinisikan bahwa Penyandang Cacat adalah setiap orang

yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau

merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layak.

Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J.S Poewadarminta

(1976) menyatakan bahwa kelainan atau Disabilitas yang dialami oleh seseorang

menunjukkan sesuatu yang menyebabkan kurang baik atau kurang sempurna, baik

mengenai badan maupun batin atau akhlak. Definisi diatas memberikan beberapa

arti untuk kata Disabilitas yang mencakup:

a. Kekurangan yang menyebabkan mutunya kurang baik atau kurang sempurna

(yang terdapat pada badan, benda, batin atau akhlak).

2

b. Lecet (kerusakan, noda) yang menyebabkan keadaannya menjadi kurang baik

(kurang sempurna).

c. Cela atau aib.

d. Tidak/kurang sempurna.

Pengertian yang diberikan kamus bahasa indonesia tersebut, kata Disabilitas

selalu diasosiakan dengan atribut-atribut yang negatif oleh karenanya istilah

“penyandang Disabilitas” cenderung membentuk opini publik bahwa orang-orang

dengan Disabilitas ini malang, patut dikasihani, tidak terhormat, tidak bermatabat.

Istilah ini sangat bertentangan dengan penghormatan atas martabat “penyandang

Disabilitas” dan melindungi dan menjamin kesamaan hak asasi mereka sebagai

manusia.

2. Penyebab Disabilitas

Juliet C. Rothman (2003) mengelompokan Disabilitas berdasarkan kondisi

penyebabnya sebagai berikut:

a. Impairment

Impairment yang terdiri dari ketidakseimbangan orthopedic, ketidakmampuan

belajar dan reterdasi mental, ketidakmampuan penglihatan, ketidakmampuan

pendengaran, kelumpuhan, Disabilitas fisik kehilangan bagian tubuh,

ketidakseimbangan berbicara, dan yang lainnya.

b. Penyakit dan Gangguan (Penyebab)

Penyakit sistem otot (musculoskletel), penyakit sistem sirkulasi, penyakit sistem

pernapasan, penyakit sistem syaraf dan alat perasa, endocrine, nutrisional, dan

penyakit metabolisme serta gangguan kekebalan, kondisi dari masa dan gejala

perinatal, tanda-tanda dan gambaran kondisi penyakit, gangguan mental, tidak

termasuk retardasi mental, penyakit sistem digestive/ pencernaan, neoplasma,

cedera dan keracunan, tidak melibatkan impairment, penyakit infeksi dan jamur,

penyakit kulit dan jaringan subcutaneous, abnormal sejak lahir, penyakit darah

dan organ pembentuk darah.

Buku Pedoman Pelayan dan Rehabilitasi Anak Disabilitas Dirjen Yanrehsos

Departemen Sosial RI (2007:11) menyebutkan penyebab Disabilitas yaitu :

a. Disabilitas bawaan

Disabilitas ini biasanya terjadi ketika anak masih dalam kandungan yang

disebabkan ibu mengalami gangguan penyakit atau metabolisme, kelainan

3

kromosomal, gangguan genetic, kekurangan gizi atau sebab lain yang tidak

diketahui yang mempengaruhi tumbuh kembang janin.

b. Disabilitas setelah lahir

Disabilitas ini biasanya terjadi pada saat proses kelahiran bayi yang disebabkan

oleh kesalahan penanganan pada waktu persalinan. Selain itu anak bisa

terinfeksi suatu penyakit, bakteri, virus, kekurangan gizi atau mengalami

kecelakaan yang menyebabkan Disabilitas.

Michael Oliver (1996), menyatakan bahwa penyandang Disabilitas akan terus

mengalami perkembangan dari masa ke masa. Kemajuan teknologi dan

perkembangan zaman termasuk memberikan kontribusi terhadap meningkatnya

jumlah penyandang Disabilitas. Perkembangannya akan berjalan seiring dengan

perkembangan kemajuan teknologi seperti penciptaan beragam kendaraan dan

bermacam-macam perubahan pola makan seperti fast food dan bentuk lain.

Industrialisasi telah ikut memiliki andil terhadap semakin tumbuhnya orang-orang

dengan disabilitas.

3. Kategori Disabilitas

Menurut Rollands dalam Juliet C. Rothman (2003) terdapat 3 (tiga) katagori

penyandang Disabilitas yang menunjukkan identitas penyandang Disabilitas:

a. Progresif Disabilities (penyandang Disabilitas kondisi Disabilitasnya terus

berkembang). Kelompok yang termasuk kedalam katagori ini adalah para

penderita penyakit seperti penderita Alzheimer dan diabetes. Orang-orang yang

termasuk kedalam katagori ini pada suatu waktu akan mengalami kondisi

Disabilitas karena akan terus mengalami penurunan fungsi organ tubuh

meskipun secara bertahap.

b. Constan Disabilitas (Disabilitas Permanen). Kondisi Disabilitas yang dialami

seseorang baik semnjak ia lahir ataupun diperoleh semasa hidupnya seperti

gangguan syaraf tulang belakang atau orang memiliki kekurangan anggota

tubuh seperti kaki dan tangan. Bagi orang yang mendapatkan Disabilitas pada

saat hidupnya akan mengakibatkan trauma dan memerlukan pendampingan

untuk membantu penyandang Disabilitas tersebut dalam menghadapi perubahan

hidupnya.

c. Relaping or Episodic Disabilitas. Katagori ini merupakan Disabilitas yang

timbul secara tiba-tiba sdan sulit diprediksi. Disabilitas ini sekilas tidak terlihat

4

terhadap penyandangnya , namun bisa muncul secara tiba-tiba seperti penderita

epilepsi, multiple sclerosis dan penyakit lupus.

Katagori tentang Disabilitas ini dapat membantu pekerja sosial dalam

memahami masalah dari klien, dan masalah yang berhubungan dengan kondisi

penyandang Disabilitas. Hal ini juga diperlukan untuk diketahui dari penyandang

Disabilitas adalah mengenai ras, etnik, gender, dan orientasi seksual yang dapat

dijadikan sebagai pedoman kerangka kerja untuk menyediakan pelayanan.

Pengelompokkan katagori tersebut dapat digunakan oleh pekerja soaial untuk

memudahkan dalam menyusun kerangka kerja dalam memberikam pelayanan

maupun untuk memudahkan menjangkau sistem pelayanan yang sesuai bagi

penyandang Disabilitas

International clasification of fuctioning disbility and health (world health

organizatio 2001:19, international of functioning disability and haelth ICF,).

Menjelaskan adanya hubungana antara gangguan fungtioning dengan disability.

Keterbatasan yang dimiliki seseorang dapat dapat dikurangi dengan melakukan

pendekatan kesehatan bagi diri penyandang Disabilitas. Kemampuan seorang

individu dalam arti keberfungsian fisik seseorang memiliki hunbungan antara

kondisi kesehatan dengan lingkungan dan faktor individu itu sendiri. Berikut ini

kategori Disabilitas terlihat dalam uraian sebagai berikut:

a. Individu yang mengalami infairment tanpa memiliki keterbatasa kemampuan.

Contohnya seseorang penderita kusta yang masih mampu beaktivitas.

b. Individu yang mengalami masalah penampilan dan memiliki kemampuan yang

terbatas tanpa mengalami suatu inpairment. Contohnya seperti orang yang

mengalami kondisi sakit, kondisi penampilannya tidak terlihat mengalami suatu

inpairment.

c. Individu yang mengalami masalah penampilan tanpa menunjukan masalah

inpairment pada dirinya atau keterbatasan kemampuan. Hal ini dapat

dicontohkan dengan seorang penderita HIV/AIDS yang terlihat seperti biasa,

dapat beraktifitas normal dan tidak mengalami keterbatasan meskipun

sebenarnya ada penyakit di dalam tubuhnya.

d. Seseorang yang memiliki keterbatasan kemampuan tetapi tidak bermasalah

untuk tampildalam lingkungan karena dukungan teknologi sebagai upaya

mengatasi keterbatasan yang dimilikinya.

5

e. Individu dengan pengalaman yang tidak baik yang mempengaruhi penerimaan

terhadap dirinya sendiri seperti seseorang dengan Disabilitas fisik akan

dianggap sebagai seseorang yang tidak memiliki keterampilan secara sosial.

4. Jenis Disabilitas

Menurut Undang Undang nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat

undang tersebut, bahwa : Penyandang Cacat adalah setiap orang yang mengalami

kelainan fisik atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan atau

hambatan bagi seseorang untuk melakukan aktivitas secara selayaknya yang terdiri

dari :

a. Penyandang Cacat fisik

b. Penyandang Cacat mental

c. Penyandang Cacat fisik dan mental

Undang undang tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Cacat

fisik adalah Disabilitas yang mengakibatkan gangguanfungsi tubuh, antara lain gerak

tubuh, penglihatan, pendengaran dan kemampuan bicara. Cacat mental adalah

kelainan mental dan atau tingkah laku, baik Disabilitas bawaan maupun akibat dari

penyakit. Sedangkan yang dimaksud fisik dan mental adalah keadaan seseorang yang

menyandang dua jenis Disabilitas sekaligus.

Access unlimited di dalam juliet C Rothman (2003) merupakan suatu

organisasi penyandang Disabilitas yang mengawasi akses dan akomodasi serta

pembelaan bagi aksesibilitas untung penyandang Disabilitas. Organisasi ini telah

mengembangkan sistem yang sangat spesifik untuk mengkategorikan ketidak

mampuan atau Disabilitas sebagai berikut:

a. Impairment fisik

Disabilitas yang ternasuk kedalam kategori ini seperti musculoskeletal dan

gangguan sambungan jaringan yang bisa meminta penyesuaian dari lingkungan,

seperti Cerebral Palsy, hilangnya anggota tubuh, Clobfoot, kerusakan saraf pada

tangan atau lengan, cedra kepala, dan cedera pergelangan tangan, Arthritis dan

rematik, intrancranial, muscular dystrphy, dan pembentukan yang tidak tepat

sejak lahir dan gangguan otot.

b. Impairment Pendengaran

Disabilitas yang termasuk dalam kategori ini seperti kehilangan pendengaran

dari 30 desibel atau lebih, dengan nada yang murni rata-rata 500, 100, 2000 Hz

6

ANSI, tanpa bantian pada telinga yang lebih baik, dan termasuk impairment

pendengaran konduktif, impairment pendengaran sensorineural, kehilangan

pendengaran untuk nada yang tinggi atau rendah, kehilangan pendengaran

karena trauma suara keras, dan tuli yang berhubungan dengan kehilangan

pendengaran tadi.

c. Impairment Penglihatan

Gangguan pada fungsi dan struktur mata yang disebabkan ketajaman

penglihatannya 20/70 atau kurang dari itu dalam mata yang lebih baik dengan

lensa korektif, bidan peripheral sangat constricted yang mempengaruhi fungsi,

atau kehilangan penglihatan secara progresif.

d. Ketidak Mampuan Belajar

Lebih membatasi pada cara mendengarkan, berbicara, menulis, membaca,

berfikir, kemampuan matematika, atau kahlian sosial, seperti dyslexia,

dysgraphia, disphasia, dyscalculia, dan lain-lain.

e. Impairment Bicara

Gangguan yang termasuk kedalam kategori ini seperti gangguan artikulasi

bahasa, kelancaran, atau suara yang mengangguk komunikasi, pembelajaran

atau penyesuaian sosial dan termasuk cara bicara yang gagap, tersendat-

tersendat, larygectomy, dan aphasis.

f. Gangguan Hiperaktif dan Kurang Memperhatikan

Gangguan yersebut bisa terjadi didalam dan diluar dirinya, menurut lembaga

Acces Unlimited ini hal tersebut tidak dapat memenuhi persyaratan untuk

diakomodasi sebagai bentuk Disabilitas.

g. Cardiovascular atau Kondisi Sirkulasi

Termasuk penyakit jantung bawaan sejak lahir, demam rematik, arteriosclerotic

dan penyakit jantung turunan, serta penyakit jantung akibat hipertensi.

h. Mental, Psychoneurotic, dan Gangguan Kepribadian

Termasuk gangguan kejiwaan, kecanduan alkohol, ketergantungan obat-obatan

terlarang, dan gangguan karakter kepribadian lainnya.

i. Cedera Otak Traumatis

Termasuk gangguan neurobiologis sebagai akibat dari kecelakaan atau cedera

yang menciptakan ketidakmampuan kognitif atau perilaku seperti kehilangan

ingatan, dan kesulitan untuk berkonsentrasi, kurangnya kesadaran diri dan

melihat kedalam dirinya, dan impairment dalam berfikir serta ketidakmampuan

7

fisik termasuk impairment dalam bicara, penglihatan, pendengaran, keahlian

motorik, dan keseimbangan.

j. Gangguan pernafasan

Termasuk asma, Tubercholosis, emphysema, pneumoniosis, bronchitis kronis,

dan lain-lain.

k. Diabetes, epilepsi, dan kondisi lainnya yang merupakan suatu penyakit yang

menimbulkan Disabilitas.

5. Permasalahan Disabilitas

Khun (1961) dalam Michael Oliver menyatakan bahwa masyarakat perlu

mengembangkan tanggapan yang tepat tentang Disabilitas untuk dapat dipahami oleh

berbagai pihak serta pengambil keputusan, penyusun kebijakan, pekerja professional

termasuk bagi orang-orang yang peduli terhadap masalah Disabilitas sehingga

berbagai kalangan memiliki persepsi yang sama tentang Disabilitas.

Masalah seorang penyandang Disabilitas akan terus meningkat seiring

meningkatanya tekanan dari lingkungan sosial (Sutherlan 1981 dan Barner 1991)

dalam Michael Oliver. Dapat dikatakan sebagai seorang penyandang Disabilitas akan

terus mengalami keterbatasan karena ada yang salah dengan cara pandang

masyarakat terhadap penyandang Disabilitas. Argumen ini menunjukkan ternyata

yang menimbulkan masalah terhadap peyandang Disabilitas adalah masyarakat itu

sendiri yang menekan dan memberikan keterbatasan terhadap penyandang

Disabilitas.

Asumsi ontologi dihubungkan secara langsung dengan level epistemology

terlihat bahwa pandangan terhadap suatu Disabilitas akan melihat pada penyebab

dari Disabilitas, pengobatan dan perawatan. Asumsi ini menampilakan hal-hal yang

berkaitan dengan Disabilitas seperti masalah kesehatan, masalah kesejahteraan dan

masalah sosial. Asumsi inilah yang mempengaruhi cara pandang dari berbagai

pihak yang memberikan pelayanan terhadap masalah Disabilitas.

World Health Organization (2001:8) dalam International Classification Of

Functioning Disability And Health ICF,) menyatakan bahwa keberfungsian

seseorang dan Disabilitasnya dipahami sebagai interaksi dinamis antara

keberfungsian struktur fisik dan faktor kontekstual. ICF memasukkan faktor

lingkungan sebagai komponen penting dari klasifikasi tersebut yang berinteraksi

dengan semua komponen keberfungsian dengan Disabilitas. Dukungan atau

8

hambatan terhadap karakteristik fisik, sosial, dan sikap masyarakat membangun

dasar dari komponen faktor lingkungan dengan functioning and disability and

contextual faktors sebagai berikut:

a. Functioning and Disability (Disabilitas dan keberfungsian) melibatkan dua

komponen yaitu:

1) Keberfungsian dan struktur tubuh (fisik);

Permasalahn Disabilitas berkenaan dengan gangguan pada keberfungsian

dan struktur tubuh, sebagai suatu penyimpangan atau kehilangan dan fungsi

dan atau struktur anatomi tubuh. Dalam hal ini melibatkan aspek-aspek

sebagai berikut:

a) Keberfungsian mental

b) Fungsi sensorik dan rasa sakit (pain)

c) Fungsi pendengaran dan bicara

d) Fungsi peredaran darah, kekebalan tubuh dan sistem pernapasan.

e) Gen dan fungsi dan reproduksi

f) Sistem syaraf dan jaringan otot

g) Fungsi perabaan (kulit) dan struktur yang terkait

h) Struktur sistem pernapasan, jantung, struktur yang berkaitan dengan

mobilitas dan sebagainya.

2) Aktivitas dan partisipasi (keterbatasan aktivitas dan pembatasan

partisipasi). Permasalahan Disabilitas berkenaan dengan keterbatasan

aktivitas dan pembatasan partisipasi seseorang dalam situasi kehidupan.

Aktivitas dan partisipasi merupakan dua aspek yang berkaitan, berkenaan

dengan kapasitas pribadi dan masalah-masalah yang secara langsung

bersentuhan dengan aspek lingkungan sebagai hasil dari interaksi antara

faktor personal (individual) dan lingkungan (sosial).

b. Contextual Factor (Faktor Kontekstual)

Faktor-faktor kontekstual merupakan latar belakang kehidupan seseorang secara

lengkap. Komponen dari faktor kontekstual meliputi faktor individual dan

lingkungan sosial.

1) Faktor Personal (individual) Faktor personal adalah kualitas-kualitas yang

melekat pada individu. Kualitas-kualitas ini menentukan dan membedakan

satu orang dengan orang lainnya, dan secara signifikan mempengaruhi cara

individu memaknai Disabilitasnya.

9

2) Faktor Lingkungan (sosial). Perspektif sosial berkaitan dengan jarigan

lingkungan sosial di sekitar individu penyandang Disabilitas. Lingkungan

merupakan kategori kedua dalam faktor-faktor yang mempengaruhi respon

terhadap Disabilitas. Lingkungan, yang mencangkup faktor-faktor eksternal

bagi individu, meliputi lingkungan terdekat (misalnya keluarga, teman,

komunitas) maupun lingkungan masyarakat yang lebih luas (misalnya

teknologi, perundang-undangan, definisi sosial tentang Disabilitas.

6. Dampak Disabilitas

Disabilitas tentunya menimbulkan dampak terhadap fisik, pendidikan,

vokasional maupun ekonomi. Selain itu dampak yang juga ditimbulkan akibat dari

Disabilitas adalah timbulnya masalah psikososial seperti seseorang penyandang

Disabilitas akan memiliki kecenderungan untuk menjadi rendah diri atau sebaliknya

menghargai diri terlalu berlebihan, mudah tersinggung, terkadang agresif, pesimis,

labil sulit mengambil keputusan, menarik diri dari lingkungan, kecemasan,

ketidakmampuan dalam berhubungan dengan orang lain dan ketidakmampuan

mengambil peranan sosial.

Disabilitas memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan seseorang.

Menurut Kubler-Ross (1969) mengemukakan model griefing dengan lima tahapan

dalam griefing, reaksi ini mungkin terjadi secara berurutan dan suatu waktu dapat

timbul secara bersamaan. (Zastrow, 2004) sebagai berikut :

a. Denial atau penyangkalan

b. Anger atau marah

c. Bergaining, adanya pertimbangan dalam dirinya

d. Mood depresi, sedih

e. Acceptance, penerimaan dengan mengatasi masalah

Selain itu masih terdapat sikap dan tanggapan masyarakat yang kurang

menguntungkan secara luas yang tergambar seperti :

a. Masih adanya sikap ragu ragu terhadap kemampuan atau potensi penyandang

Disabilitas.

b. Masih adanya sikap masa bodoh sementara lapisan masyarakat terhadap

permasalahan penyandang Disabilitas.

c. Belum luasnya partisipasi masyarakat di dalam menangani permasalah

penyandang Disabilitas.

10

d. Masih lemahnya sementara organisasi sosial yang bergerak di bidang Disabilitas

di dalam melaksanakan operasinya atau kegiatan.

e. Belum atau masih terbatasnya fasilitas umum yang dapat dipergunakan oleh

penyandang Disabilitas.

Hambatan - hambatan yang dialami oleh penyandang Disabilitas dalam

kehidupan sehari-hari yaitu :

a. Hambatan dalam proses belajar seperti membaca, belajar menulis dan berhitung.

b. Hambatan dalam penerapan pengetahuan seperti memfokuskan perhatian,

berpikir, membaca, menyelesaikan masalah dan membuat keputusan.

c. Hambatan dalam melaksanakan kebutuhan dan tugas umum seperti melakukan

tugas tunggal dan tugas ganda, melakukan kegiatan harian, mengatasi stress dan

tuntutan psikologik lainnya.

d. Hambatan dalam komunikasi seperti komunikasi verbal dan non verbal,

menerima pesan tertulis, berbicara, menyampaikan pesan non verbal maupun

bahasa isyarat dan pesan tertulis.

e. Hambatan dalam mobilitas

1) Merubah dan mempertahankan posisi tubuh, berpindah tempat.

2) Mengangkat dan memindahkan barang.

3) Berjalan dan berpindah tempat.

4) Bergerak dan menggunakan alat transportasi, seperti transportasi umum

dll, menyetir mobil.

f. Hambatan dalam perawatan diri seperti mandi perawatan tubuh, berpakaian,

buang air, makan, minum dan memelihara kesehatan diri.

g. Hambatan dalam melakukan tugas-tugas rumah tangga, seperti menyiapkan

makanan, mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

h. Hambatan dalam interaksi dan relasi interpersonal dalam keluarga, masyarakat

dengan orang asing, termasuk hubungan intim dengan istri atau suami.

i. Hambatan dalam kehidupan komunitas atau kemasyarakatan, sosial dan

bernegara seperti kehidupan bermasyarakat, kebutuhan rekreasi dan istirahat,

kebutuhan beragama dan spiritual, hak asasi manusia, kehidupan politik dan

bewarganegara.

11

7. Hak Penyandang Disabilitas

Berbagai permasalahan seperti kurangnya perhatian masyarakat terhadap

pelayanan dan rehabilitasi sosial penyadang Disabilitas, terbatasnya tenaga

professional pelayanan dan rehabilitasi sosial penyandang Disabilitas serta

rendahnya tingkat ekonomi dan pendidikan masih dirasakan sebagian besar

penyandang Disabilitas. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hak

Penyandang Disabilitas tahun 2007 dalam Buku Himpunan Kebijakan Pendidikan

Pusat kajian Disabilitas FISIP UI (2010:33), menyebutkan bahwa penyandang

Disabilitas memiliki hak-hak wajib dipenuhi yaitu:

a. Kesetaraan dan Nondiskriminasi

Hak-hak terhadap perlindungan dan keuntungan yang sama dari hukum harus

diberikan kepada semua penyandang Disabilitas tanpa pengecualian apa pun

dan tanpa pembedaan atau diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis

kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, asal usul

nasional atau social, kekayaan, kelahiran atau situasi lain dari penyandang

Disabilitas itu sendiri atau pun keluarganya.

b. Anak-Anak Penyandang Disabilitas

Negara menjamin segala tindakan berkaitan dengan anak-anak penyandang

Disabilitas, kepentingan terbaik harus menjadi bahan pertimbang utama.

c. Aksesibilitas

Dalam rangka memampukan orang-orang penyandang Disabilitas untuk hidup

secara mandiri dan berpartisipasi penuh dalam segala aspek kehidupan, Negara

harus melakukan langkah-langkah aksesibilitas dalam berbagai aspek seperti

informasi, fasilitas di dalam dan di luar bangunan ddan menjamin pelayanan

yang terbuka atau yang disediakan bagi publik mempertimbangkan semua

aspek dalam hal aksesibilitas yang dihadapi penyandang Disabilitas.

d. Hidup mandiri dan keterlibatan di dalam masyarakat

Penyandang Disabilitas berhak atas tempat tinggal dan pilihan dengan siapa

mereka tinggal. Penyandang Disabilitas berhak atas jaminan ekonomi dan

sosial atas tingkat kehidupan yang layak. Mereka berhak, tergantung pada

kemampuan mereka, untuk mendapatkan dan memperoleh pekerjaan atau

terlibat dalam pekerjaan yang berguna, produktif, dan menghasilkan

penghasilan, serta untuk bergabung dengan serikat pekerja.

12

e. Pendidikan

Negara menjamin suatu sistem pendidikan inklusi di semua tingkatan dan

pembelajaran jangka panjang untuk pengembangan personalitas bakat dan

kreatifitas serta kemampuan mental dan fisik orang penyandang Disabilitas

sejauh potensi mereka memungkinkan.

f. Kesehatan

Negara harus mengambil semua langkah yang layak untul menjamin akses

penyandang Disabilitas atas perlakuan medis, psikologis, dan fungsional

termasuk peralatan-peralatan prostetik dan ortetik, atas rehabilitasi medis dan

sosial, pendidikan, pelatihan dan rehabilitasi, bantuan, konseling, jasa

penempatan, dan jasa-jasa lainnya yang akan memungkinkan mereka untuk

membangun kemampuan dan keahlian mereka semaksimum mungkin dan

akan mempercepat proses integrasi atau reintegrasi sosial mereka.

Uraian pada Deklarasi tersebut dapat disimpulkan bahwa hak – hak

penyandang Disabilitas, meliputi persamaan harkat dan martabat atas dasar

kemanusiaan, kesamaan dalam hak sipil dan politik, hak atas kemandirian

(independent living), memperoleh pelayanan (pendidikan, kesehatan, social,

rehabilitasi dan lain-lain), jaminan ekonomi dan sosial, Hak memperoleh

kebutuhan khusus, partisipasi perlindungan sosial, bantuan hokum, organisasi dan

informasi yang berkenaan dengan isu-isu hak penyandang Disabilitas.

Berdaasarkan Undang-Undang nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat

menyatakan bahwa Penyandang Disabilitas Netra sebagai anggota masyarakat dan

warga Negara mempunyai kedudukan yang sama dengan anggota masyarakat

lainnya. Mereka memiliki hak dan kewaiban yang sama (dalam arti dalam batas-

batas tertentu sesuai dengan jenis dan derajat Disabilitasnya). Ketentuan tersebut

menggambarkan bahwa pengakuan dan penghargaan serta kesetaraan dan

kesempatan yang sama bagi penyandang Disabilitas mutlak diperlukan.

8. Pelayanan Sosial Terhadap Penyandang Disabilitas

The Standard Rules on The Equalization of Opportunities for Person with

Disabilities, yang ditetapkan oleh Majelis Umum PBB pada siding ke 48 tanggal

20 Desember 1993 dalam buku Himpunan Kebijakan Pendidikan Pusat Kajian

Disabilitas FISIP UI (2010), terdapat 3 konsep dasar upaya pelayanan terhadap

penyandang Disabilitas:

13

a. Pencegahan

Pencegahan adalah suatu tindakan yang ditunjukan untuk mencegah terjadinya

Disabilitas (impairment) fisik, intelektual, psikiatrik atau indera (pencegahan

primer) atau mencegah agar Disabilitas tersebut tiding mengakibatkan

keterbatasan kemampuan yang permanen atau disability (pencegahan

sekunder). Pencegahan dapat meliputi berbagai macam tindakan, seperti

perawatan kesehatan primer, perawatan anak pada masa prenatal dan postnatal,

pendidikan gizi, kampanye imunisasi terhadap penyakit-penyakit menular,

berbagai penanggulangan untuk penyakit-penyakit endemik, peraturan

keselamatan. Program pencegahan kecelakaan dalam berbagai macam

lingkungan yang mencakup penyesuaian tempat kerja untuk mencegah

terjadinya keterbatasan kemampuan kerja (occupational disability) serta

penyakit dan pencegahan Disabilitas akibat polusi lingkungan atau perang.

b. Rehabilitasi

Rehabilitasi merupakan proses yang ditunjukan untuk memungkinkan para

penyandang Disabilitas mencapai dan mempertahankan tingkat kemampuan

fisik, penginderaan, intelektual, psikiatrik dan atau kemampuan sosial secara

optimal sehingga mereka memiliki cara untuk mengubah kehidupannya ke

tingkat kemandirian yang lebih tinggi. Rehabilitasi dapat mencakup upaya-

upaya untuk menanamkan dan atau memulihkan kemampuan-kemampuan,

atau memberikan kemampuan lain untuk menggantikan kemampuan yang

hilang atau tidak memiliki atau kemampuan terbatas. Proses rehabilitasi tidak

mencakup perawatan medis awal. Proses ini mencakup upaya-upaya dan

kegiatan-kegiatan dalan cangkupan yang luas, mulai dari rehabilitasi dasar dan

umum hingga kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada tujuan tertentu, seperti

rehabilitasi kekaryaan.

c. Persamaan Kesempatan

Persamaan kesempatan adalah proses yang menyebabkan berbagai

system yang terdapat di masyarakat dan lingkungan, seperti system pelayanan,

kegiatan social, informasi dan dokumentasi, dapat dinikmati oleh semua orang,

khususnya para penyandang Disabilitas. Prinsip persamaan hak mengandung

arti bahwa kebutuhan-kebutuhan setiap individu itu sama pentingnya, bahwa

kebutuhan-kebutuhan tersebut harus dijadikan sebagai dasar perencanaan

masyarakat dan bahwa semua sumber harus dimanfaatkan sedemikian rupa

14

sehingga menjamin agar setiap individu memperoleh kesempatan yang sama

untuk berpartisipasi. Para penyandang Disabilitas adalah anggota masyarakat

dan mempunyai hak untuk berada di dalam lingkungan masyarakatnya.

Mereka seyogyanya mendapat dukungan yang mereka butuhkan melalui

system pendidikan, kesehatan, penyediaan lapangan kerja dan pelayanan sosial

yang berlaku umum. Karena penyandang Disabilitas memiliki hak-hak yang

sama, mereka pun harus mempunyai kewajiban yang sama pula. Agar hak-hak

tersebut dapat diperoleh, masyarakat harus meningkatkan harapannya tentang

hal-hal yang dapat dicapai oleh para penyandang Disabilitas. Sebagai bagian

dari proses persamaan kesempatan, sarana dan prasarana seyogyanya

disediakan untuk membantu para penyandang Disabilitas agar mereka dapat

mengemban tanggung jawabnya secara penuh sebagai anggota masyarakat.

Mencermati permasalahan yang muncul terhadap penyandang Disabilitas yang

kuantitas terus meningkat diperlukan penanganan atas permasalahan yang timbul

sebagai akibat dari Disabilitas yang dialami sehingga penyandang Disabilitas dapat

menjalankan peran dan fungsi sosialnya sesuai dengan derajat dan jenis Disabilitas

yang dialaminya untuk dapat hidup lebih baik. Permasalahan penyandang

Disabilitas merupakan ketidak mampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari,

timbul bukan saja oleh karena adanya impairment yang dialaminya, tetapi

disebabkan pula oleh faktor-faktor lingkungan di luar kemampuan individu yang

bersangkutan.

Pelaksanaan model individual dan model sosial yang dipakai dalam menangani

permasalahan penyandang Disabilitas memelukan kondisi tertentu. Model sosial

dan model individual, dalam implementasi kebijakan tidak dapat berdiri sendiri-

sendiri sehingga permasalahan penyadang Disabilitas haruslah dilihat sebagai

sesuatu yang universal dan menyeluruh. Universal dan menyeluruh dalam

pengartian bahwa Disabilitas merupakan kondisi yang wajar dalam setiap

masyarakat, yang seharusnya juga memandang bahwa kebutuhan penyandang

Disabilitas adalah sama seperti warga Negara lainnya dengan mengintegrasikan

penyandang Disabilitas dalam semua kebijakan yang menyangkut segala aspek

hidup dan penghidupan. Dua modek pelayanan bagi penyandang Disabilitas:

a. Model Individu

Model yang dipergunakan dalam kebijakan masalah penyandang

Disabilitas sangat ditentukan oleh bagaimana permasalahan tersebut

15

dikonseptualisasikan. Terdapat dua hal yang harus dipahami dalam konteks

model individual yaitu keadaan Disabilitas seseorang sebagai individu dan

bagaimana masalah akan timbul akibat dari keterbatasan yang dimiliki

seseorang penyandang Disabilitas tersebut sebagai individu. Disabilitas

dipahami sebagai ketidakmampuan seseorang dalam melakukan aktivitas yang

dianggap normal/ layak akibat impairment yang dialaminya. Model individual

tersebut memandang suatu Disabilitas sebagai personal tragedy atau ketidak

beruntungan seseorang. (Michael Oliver 1996).

Model individual berimplikasi terhadap pemecahan masalah penyandang

Disabilitas. Pemecahan masalah didasari pada penggunaan strategi medis atau

yang disebut juga strategi individual karena fokusnya pada individu

penyandang Disabilitas. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan konsep

rehabilitasi pada program-program yang ditujukan kepada penyandang

Disabilitas dan pembentukan organisasi pelayanan yang ditujukan kepada

penyandang Disabilitas dan pembentukan organisasi pelayanan yang

diperuntukan bagi penyandang Disabilitas. Juliet C. Rothman (2003)

menyatakan bahwa Model medis yang melihat suatu Disabilitas sebagai

gangguan terhadap bagian tubuh atau organ tubuh. Model ini tidak mengatasi

Disabilitas sebagai hal yang menimbulkan masalah lain diluar kondisi

Disabilitas yang dipandang sebagai medis, namun lebih kepada

pengelompokkan berdasarkan sistem ketidakberfungsian fisik. Hal ini harus

dipahami dalam memberikan pelayanan terhadap klien, karena klien

penyandang Disabilitas sangat banyak dipengaruhi oleh label dan kategori

medis, dan hal ini memperngaruhi cara penerimaan klien terhadap dirinya

dalam hubungannya dengan kondisi Disabilitas tersebut.

Rehabilitasi dimaksudkan sebagai suatu proses refungsionalisasi dan

pengembangan untuk memungkinkan penyandang Disabilitas mampu hidup

secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Proses ini meliputi rehabilitasi

medik, social, pendidikan dan vokasional. Hal ini didasari asumsi bahwa

ketidak normalan fungsi atau kerusakan struktur anatomi dapat disembuhkan

(dihilangkan), maka seseorang akan dapat melakukan aktivitas dengan

layak/normal. Menurut model ini, Disabilitas yang disebabkan impairment

adalah suatu kondisi yang bisa disembuhkan. Hal ini melihat kondisi individu

sebagai sesuatu yang fleksibel atau dapat diubah, sementara lingkungan

16

dimana seseorang itu berada dilihat sebagai suatu yang tidak mungkin

berubah. Dengan kata lain, penyandang Disabilitas dituntut untuk

menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Pendekatan medis yang didasari asumsi “penyakit sembuh maka masalah

hilang”, pada kenyataannya tidak dapat meyelesaikan masalah permasalahan

penyandang Disabilitas. Hal ini antara lain disebabkan impairment sebagai

penyebab Disabilitas tidak selalu dapat disembuhkan dan bahkan menetap

sepanjang umur orang yang bersangkutan. Pendekatan rehabilitasi harus

memperhatikan faktor kondisi tertentu, seperti impairment yang bersifat

sementara. Masalah penyandang Disabilitas timbul oleh karena adanya

interaksi dari akibat impairment dan faktor-faktor lingkungan. Michael Oliver,

(1996) menguraikan karakteristik dari individual model sebagai berikut:

1) Disabilitas dipandang sebagai personal tragedy theory artinya Disabilitas

terjadi pada seseorang merupakan suatu takdir, ketidak beruntungan yang

menimpa dirinya.

2) Masalah yang timbul akibat Disabilitas dipandang sebagai masalah

individu.

3) Penanganan lebih bersifat pengobatan individu dan bersifat medis.

4) Penanganan oleh pihak-pihak professional yang memerlukan keahlian

sebagai tenaga medis, dokter, perawat.

5) Menuntut penyesuaian diri.

6) Perlunya perawatan, pengawasan, adaptasi individu dan kebijakan.

b. Model Sosial

Model individu/ model medis adalah model kebijakan penanganan

masalah penyandang Disabilitas yang dapat digunakan dalam memberikan

pelayanan terhadap penyandang Disabilitas. Namun juga terdapat faktor-faktor

di luar individu, seperti lingkungan fisik dan non fisik juga turut menyebabkan

seseorang menjadi penyandang Disabilitas. Kondisi inilah yang mendasari

timbulnya model sosial. Penyandang Disabilitas menjadi ada karena kelompok

ini mendapat tekanan dari masyarakat baik berupa individual prejudice sampsi

kepada diskiriminasi. (UPIAS, 1976 dalam Michael Oliver, 1996)

menyebutkan bahwa, Sosial model tidak memandang seseorang berdasarkan

kondisi Disabilitasnya melainkan lebih kepada upaya menghadapi tekanan

17

sosial yang diberikan masyarakat kepada penyandang Disabilitas termasuk

pelayanan yang diberikan kepada penyandang Disabilitas.

Perlunya dukungan dari sosial model terhadap individual model lebih

lanjut Oliver mengatakan dalam memberikan pelayanan secara inidividu dan

medis, seorang dokter dapat memberikan intervensi pengobatan terhadap

seorang penyandang Disabilitas, tetapi ketika dihadapkan dengan masalah lain

oleh penyandang Disabilitas seperti penolakan, kesiapan untuk menjalani

treatment yang lama, relasi sosial, tidak dapat dihadapi dengan pendekatan

medis.

Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat

merupakan gambaran dari pelaksanaan model sosial. Model sosial umumnya

beranjak dari suatu pemikiran bahwa, hambatan-hambatan yang berasal dari

luar lingkungan yang menyebabkan ketidak mampuan seseorang yang

mengalami impairment dalam melakukan aktivitas sehari-hari, terjadi karena

lingkungan tidak mengakomodasi kebutuhan penyandang Disabilitas misalnya,

arsitektur bangunan didesain dalam bentuk berundak-undak sehingga

pengguna kursi roda tidak dapat masuk atau menggunakan bangunan tersebut

sehingga terjadi pengabaian terhadap hak-hak penyandang Disabilitas

(diskriminasi).

Hak-hak penyandang Disabilitas harus dilindungi melalui perlindungan

hokum hak-hak warga penyandang Disabilitas, akan dapat terlaksana

persamaan kesempatan dan partisipasi penuh penyandang Disabilitas, akan

dapat terlaksanakan persamaan kesempatan dan partisipasi penuh penyandang

Disabilitas dalam berbagai aspek hidup dan kehidupan. Michael Oliver,

(1996:34) menguraikan karakteristik dari sosial model sebagai berikut:

1) Menggunakan asumsi social oppression theory atau teori tekanan social.

2) Memandang masalah Disabilitas sebagai masalah sosial.

3) Kegiatan lebih cenderung kepada aksi-aksi social, self help, dan tanggung

jawab bersama.

4) Pengalaman dan penguatan dengan identitas bersama/ kelompok.

5) Hal ini dihadapi berupa diskriminasi, upaya dilakukan bersifat

kemanusiaan, pilihan dan perubahan sosial.

18

B. Pekerjaan Sosial dengan Disabilitas

Profesi pekerjaan sosial sangat berhubungan erat dengan para penyandang

disabilitas, dimana penyandang disabilitas adalah individu yang memiliki keterbatasan

untuk menjalankan peran dan fungsi sosialnya secara normal dan wajar. Untuk

memperjelas hubungan antara pekerjaaan sosial dengan penyandang disabilitas, maka di

bawah ini akan dijelaskan beberapa definisi mengenai pengertian pekerjaan sosial,

masalah sosial, dan kesejahteraan sosial.

Pekerjaan Sosial didefinisikan sebagai metode yang bersifat sosial dan institusional

untuk membantu seseorang mencegah dan memecahkan masalah-masalah sosial yang

mereka hadapi, untuk memulihkan dan meningkatkan kemampuan menjalankan fungsi

sosial mereka. Pekerjaan sosial juga dapat dikatakan sebagai institusi sosial, profesi

pelayanan manusia serta seni praktek yang ilmiah dan teknis (Max Siporin dalam Dwi

Heru Sukoco, 1995). Berdasarkan definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa

pekerjaan sosial adalah suatu profesi yang membantu meningkatkan keberfungsian sosial

(social functioning) seseorang, termasuk penyandang disabilitas melalui

pemecahan/intervensi masalah yang dihadapinya.

Kemudian, Masalah atau problema adalah perbedaan antara das sollen (yang

seharusnya, yang diinginkan, yang dicita-citakan, yang diharapkan) dengan das sein

(yang nyata, yang terjadi). Dengan kata lain masalah adalah perbedaan antara yang ideal

dan real (Abu Huraerah, 2008). Sedangkan kesejahteraan sosial Sebagaimana batasan

PBB, kesejahteraan sosial adalah kegiatan-kegiatan yang terorganisasi yang betujuan

untuk membantu individu atau masyarakat guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan

dasarnya dan meningkatkan kesejahteraan selaras dengan kepentingan keluarga dan

masyarakat (Suharto, 2005).

Setelah membaca beberapa definisi tentang pekerjaan sosial, masalah sosial, dan

kesejahteraan sosial di atas, dapat disimpulkan bahwa ketiga komponen tersebut

meruapakan hal yang berkaitan satu sama lainnya. Ketika para penyandang disabilitas

adalah seseorang yang menimbulkan permasalahan secara pribadi maupun sosial, maka

seorang pekerja sosial adalah profesi yang akan membantu meningkatkan kesejahteraan

sosial para penyandang disabilitas agar hidup dengan rasa nyaman, aman, dan tentram

serta memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Dilihat dari pemahaman pekerjaan sosial, masalah sosial, dan kesejahteraan sosial di

atas, maka fungsi-fungsi utama pekerjaan sosial terhadap penyandang disabilitas antara

lain:

19

1. Membantu penyandang disabilitas meningkatkan dan menggunakan kemampuannya

secara efektif untuk melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan memecahkan

masalah-masalah sosial penyandang disabilitas.

2. Mengkaitkan penyandang disabilitas dengan sistem-sistem sumber.

3. Memberikan fasilitas pada penyandang disabilitas untuk berinteraksi dengan sistem-

sistem sumber.

4. Mempengaruhi kebijakan sosial penyandang disabilitas.

5. Memberikan pelayanan sebagai pelaksana kontrol sosial.

Adapun peranan-peranan pekerja sosial adalah sebagai berikut:

1. Motivator

Pekerja sosial berperan untuk memberikan motivasi kepada penyandang disabilitas

dan keluarganya, untuk menerima kondisi disabilitas dengan segala kebutuhan dan

hambatannya.

2. Enabler

Pekerja sosial berperan sebagai pemungkin dalam membantu penyandang disabilitas

sebagai manusia yang memiliki hak dan kewajiban selayaknya manusia normal.

3. Counselor

Pekerja sosial berperan dalam memberikan nasihat dan saran professional kepada

para penyandang disabilitas agar mampu menerima diri sebagai penyandang

disabilitas, dan anggota keluarga tentang bagaimana cara memberikan pelayanan

keluarga sebagai wujud penerimaan terhadap anak dengan disabilitas.

4. Advokator

Pekerja Sosial Yaitu memberikan perlindungan dan pembelaan, terutama terhadap

hak-hak penyandang disabilitas yang tidak didapatkan oleh penyandang disabilitas

yang membuat mereka berada pada posisi yang dirugikan.

5. Broker

Pekerja Sosial sebagi penghubung dengan memberikan informasi-informasi yang

diperlukan oleh pihak penyandang disabilitas, keluarga dan masyarakat, agar dapat

menghubungkan penyandang disabilitas dengan sistem sumber yang diperlukan.

6. Pendampingan (fasilitasi dan asistensi)

Pekerja Sosial menolong penyandang disabilitas untuk mempermudah upaya

pencapaian peran sosial, dengan cara menyediakan atau memberikan kesempatan

dan fasilitas yang diperlukan untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhannya dan

mengenbangkan potensi-potensi yang dimilikinya.

20

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Sosial. 2007. Pedoman Pelayan dan Rehabilitasi Anak Disabilitas. Jakarta :

Departemen Sosial RI

Heru Sukoco, Dwi. 1995. Profesi Pekerjaan Sosial dan Proses Pertolongannya. Bandung :

Koperasi Mahasiswa Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung.

Juliet C. Rothman. 2003. Social Work Practice Across Disability. University of California:

Pearson.

Michael Oliver. 1996. Understanding Disability: From Theory to Practice. Basingstoke:

Palgrave Press.

NN. 2010. Himpunan Kebijakan Pendidikan Pusat Kajian Disabilitas FISIP UI. Pdf.

Soetarso. 1999. Praktik Pekerjaan Sosial. Bandung : Kopma STKS Bandung.

Suharto, Edi. 2005. Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Koperasi Mahasiswa

Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial.

Widjajatin, Anastasia. 2010. Pemetaan Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus. Jurnal

Penelitian Pendidikan.

Undang-undang RI No. 4 Tahun 1997. Tentang Penyandang Cacat. Pdf.