Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
PELAKSANAAN PUTUSAN DALAM PEMBAGIAN
WARIS DI PENGADILAN AGAMA
(Studi Analisis Putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb)
Disusun untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Syari’ah (S.Sy)
Oleh:
AINA SUFYA FUAIDA
NIM 21108010
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SALATIGA
2012
ii
KEMENTERIAN AGAMA RI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SALATIGA Jl. Tentara Pelajar 02 Telp (0298) 323706 Fax 323433 Kode Pos
50721 Salatiga http//www.stainsalatiga.ac.id e-mail: [email protected]
Dra. Siti Zumrotun, M. Ag Dosen STAIN Salatiga PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp : 4 (empat) eksemplar Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
Saudara Aina Sufya Fuaida Kepada Yth, Ketua STAIN Salatiga di Salatiga
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Setelah Kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka bersama ini Kami kirimkan naskah skripsi saudara: Nama : Aina Sufya Fuaida NIM : 21108010 Jurusan : Syari’ah Program studi : Ahwal Al-Syakhsiyyah Judul :PELAKSANAAN PUTUSAN DALAM
PEMBAGIAN WARIS DI PENGADILAN AGAMA (Studi Analisis Putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb)
Dengan ini kami mohon skripsi saudara tersebut di atas supaya
segera dimunaqosyahkan. Demikian agar menjadi perhatian. Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Salatiga, Desember 2012 Pembimbing, Dra. Siti Zumrotun, M. Ag NIP. 196701151998031002
iii
SKRIPSI
PELAKSANAAN PUTUSAN DALAM PEMBAGIAN WARIS
DI PENGADILAN AGAMA
(Studi Analisis Putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb)
DISUSUN OLEH
AINA SUFYA FUAIDA
NIM: 21108010
Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Syari’ah, Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Salatiga, pada tanggal 14 Desember 2012 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana S1 Syari’ah
Susunan Panitia Penguji
Ketua Penguji : H. agus waluyo, M. Ag
Sekretaris Penguji : Ilyya Muhsin, S.H.I. M.Si
Penguji I : Evi Ariyani, S.H.,M.H.
Penguji II : Tri Wahyu Hidayati, M.Ag.
Penguji III : Dra. Siti Zumrotun, M.Ag.
Salatiga, 14 Desember 2012 Ketua STAIN Salatiga Dr. Imam Sutomo, M.Ag
NIP.1958082719830310002
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Aina Sufya Fuaida
NIM : 21108010
Jurusan : Syari’ah
Program Studi : Ahwal Al-Syakhsiyyah
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya
saya sendiri bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan
orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode
etik ilmiah.
Salatiga, Desember 2012
Yang Menyatakan,
Aina Sufya Fuaida
v
MOTTO
Kebenaran pasti akan menang
Tidak ada rencana buruk Tuhan untuk mencapainya
Karena keputusan Tuhan adalah yang terbaik bagi makhluknya
Memulai segala sesuatu dengan niat baik dan menjalaninya dengan jujur
Memupuk rasa peduli terhadap ciptaan-Nya
vi
PERSEMBAHAN
Penulis persembahkan skripsi ini kepada:
1. Keluarga saya, terutama Bapak (Sahli Makhfuz) dan Ibu (Nur Anifah) yang
tak henti-hentinya memberikan dukungan dan mengalirkan do’a dalam setiap
usaha yang saya lakukan. Keberhasilan ini adalah do’a yang dengan ikhlas
dipanjatkannya.
2. Keluarga besar Sulaiman dan keluarga besar Makhfudz
3. Teman-teman yang selalu menginspirasi dan memotifasi. Rina, Muna, Fina,
Siti Fatimah, Ria, dan kawan-kawan lain yang dengan senang hati membantu
dalam kelancaran skripsi ini
4. Ilma & Sania sebagai tombo penat J
5. Kepada semuanya yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu yang telah
memberikan saya semangat setiap hari
vii
KATA PENGANTAR ÉO ó¡ Î0 «! $# Ç̀»uH÷q§�9$# ÉO ŠÏm §�9$#
Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang memberikan rahmat dan
hidayahnya sehingga Skripsi, dengan judul KONSEP KEADILAN DALAM
PEMBAGIAN WARIS DI PENGADILAN AGAMA (Studi Analisis Putusan
Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb) telah dapat kami selesaikan. Kami ucapakan
terima kasih kepada :
1. Dr. Imam Sutomo M. Ag, selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri Salatiga (STAIN).
2. Ilyya Muhsin, S.H.I. M.Si, selaku Ketua Program Studi Al-Ahwal Al-
Syakhshiyyah.
3. Siti Zumrotun, M.Ag. selaku dosen pembimbing.
4. Dosen-dosen yang dengan sabar mengampu kelas AHS’08
5. Segenap Hakim, Panitera, serta Pegawai Pengadilan Agama Ambarawa
yang telah memberikan bantuan kepada penulis.
6. Kedua orang tua yang telah memberikan dukungan dan do’a sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan.
7. Teman-teman, yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih
banyak kekurangannya, sehingga saran dan kritik untuk kesempurnaan
skripsi ini sangat dibutuhkan.
Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
pada umumnya dan bagi penulis sendiri pada khususnya. Amin…
Salatiga, Desember 2012
Penulis
viii
ABSTRAK Sufya Fuaida, Aina. 2012. PELAKSANAAN PUTUSAN DALAM
PEMBAGIAN WARIS DI PENGADILAN AGAMA (Studi Analisis Putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb). Skripsi. Jurusan Syariah. Program Studi Al-Ahwal Al- Syakhshiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dra. Siti Zumrotun, M.Ag.
Kata kunci: Pelaksanaan, Pembagian Waris, Pengadilan Agama
Penelitian dilakukan dengan dasar untuk mengetahui penerapan KHI dalam pembagian waris di Pengadilan Agama dan penerapan terhadap putusan hakimdalam putusan nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb. Fokus penelitian yang ingin penulis jawab adalah (1) bagaimana pembagian waris dalam perkara nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb. di Pengadilan Agama Ambarawa (2) bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb (3) bagaimana pelaksanaan putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb. Untuk menjawab pertanyaan tersebut pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan arsip putusan nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb, wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Ambarawa dan salah satu pihak perkara tersebut. Sumber data lain adalah UU No.3 Th.2006, Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, dan buku-buku yang mendukung penelitian ini.
Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa objek sengketa waris yang dimaksud ditetapkan sebagai harta bersama karena tidak ada bukti bahwa harta tersebut telah dibagi. Pembagian waris dilakukan setelah dilakukan pembagian harta bersama. Terhadap dasar-dasar yang telah sesuai dalam putusan, pihak keluarga telah melakukan pembagian waris berdasar putusan.
Dapat disimpulkan bahwa dalam memutuskan perkara waris nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb hakim telah menggunakan Kompilasi Hukum Islam. Penerapan Kompilasi Hukum Islam tersebut didukung oleh proses persidangan yang teliti dalam menilai saksi dan bukti serta persidangan tentang kewenangan mengadili dalam bidang kewarisan telah memenuhi seperti yang tertuang dalam UU Nomor 3 tahun 2006. Dan pelaksanaan dalam putusan tersebut telah dilakukan oleh keluarga.
ix
DAFTAR ISI
JUDUL.................................................................................................................i
PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................................................ii
PENGESAHAN KELULUSAN......................................................................iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN.......................................................iv
MOTTO..............................................................................................................v
PERSEMBAHAN.............................................................................................vi
KATA PENGANTAR.....................................................................................vii
ABSTRAK......................................................................................................viii
DAFTAR ISI.....................................................................................................ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah...................................................................1
B. Fokus Penelitian...............................................................................5
C. Tujuan Penelitian..............................................................................5
D. Kegunaan Penelitian.........................................................................5
E. Penegasan Istilah..............................................................................7
F. Telaah Pustaka……………………………………………………..8
G. Kerangka teori……………………………………………………11
H. Metode Penelitian………………………………………………...13
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian................................................13
2. Kehadiran peneliti……………………………………………..14
x
3. Lokasi Penelitian........................................................................14
4. Sumber Data..............................................................................15
5. Prosedur Pengumpulan Data......................................................16
6. Analisis Data..............................................................................17
7. Pengecekan Keabsahan Data.....................................................17
8. Tahap-tahap Penelitian..............................................................18
I. Sistematika Penulisan.....................................................................18
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Waris dalam Ilmu Faroidh.................................................20
1. Pengertian Waris menurut Kaidah Faroidh...............................20
2. Rukun dan Syarat Waris............................................................21
3. Golongan ahli waris...................................................................29
4. Pembagian Waris Islam.............................................................32
B. Konsep Keadilan Faroidh dalam Hukum Positif............................34
1. Perkembangan Hukum Waris Islam di Indonesia…………… 34
2. Pengertian waris menurut UU No 3 tahun 2006 dan KHI…….37
3. Pengadilan agama sebagai pelaksana hukum positif………….39
BAB III PAPARAN DATA
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Ambarawa…..……………50
1. Sejarah Pengadilan Agama Ambarawa......................................50
B. Gambaran Perkara Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb……………54
1. Gambaran umum Perkara Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb…54
2. Gambaran perkara oleh pihak tergugat……………………….55
xi
3. Gambaran perkara oleh pihak penggugat……………………..57
C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor
632/Pdt.G/2007/PA.Amb……………………………………….57
BAB IV PEMBAHASAN
A. Analisis terhadap Pembagian Waris dalam Perkara Nomor
632/Pdt.G/2007/PA.Amb. di Pengadilan Agama
Ambarawa……………………………………………………..….70
B. Analisis terhadap Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan
Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb……………………………….. 70
C. Analisis terhadap Pelaksanaan Putusan Nomor
632/Pdt.G/2007/PA.Amb………………………………………...76
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................................78
B. Saran.............................................................................................79
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keberadaan hukum yang sesuai dengan kehidupan masyarakat
Indonesia sangat diperlukan mengingat Indonesia adalah bekas negara
jajahan, serta hukum yang berkembang dahulu adalah hukum yang
mengadopsi dari hukum negara lain. Hukum tersebut dirasa kurang sesuai
karena aturan yang mengacu adalah non-Islam sedangkan masyarakat
Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam. Aturan yang berjiwa
islami sangat diperlukan oleh masyarakat Islam dalam mencari keadilan
sebagai warga negara yang berbangsa dan bernegara.
Hal tersebut sudah ada sebelum kemerdekaan. Setelah kemerdekaan
aturan-aturan dalam pelaksanaan peradilan semakin berkembang, terbukti
dengan adanya lembaga peradilan tersendiri bagi warga negara beragama
Islam disertai dengan undang-undang yang mengatur dalam pelaksanaan
peradilan tersebut. Diantaranya adalah Undang-Undang No. 50 tahun 2009
penyempurnaan dari Undang-undang No. 3 tahun 2006 perubahan atas UU
No.7 tahun 1989 tentang peradilan agama serta Kompilasi Hukum Islam dan
undang-undang lain yang membahas tentang zakat dan wakaf.
Dijelaskan dalam pasal 1 ayat 2 UU No.7 tahun 1989 tentang undang-
undang peradilan agama “yang dimaksud pengadilan adalah pengadilan
agama dan pengadilan tinggi agama di lingkungan peradilan agama”.
2
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam dibidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat,
infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah.
Dengan adanya perkembangan undang-undang yang semakin
mendukung dalam pelaksanaan peradilan agama maka penerapan hukum
pun harus lebih maksimal. Dalam hal ini telah ada UU No. 3 tahun 2006
tentang Peradilan Agama lebih menjamin kedudukan Peradilan Agama
dalam lingkungan peradilan. Perubahan-perubahan pasal pun dilakukan
untuk mendukung pelaksanaan hukum Islam, seperti penerapan hak opsi
dalam perkara waris dan penguatan kedudukan Peradilan Agama. Akan
tetapi dalam pelaksanaannya masih terkendala oleh hukum Islam yang
belum terkodifikasi menjadi undang-undang, baru dalam bentuk instruksi
presiden (inpres) No. 1 Tahun 1991 yang terealisasi dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI).
Peraturan dalam bentuk inpres ini tidak dapat mendesak pelaksanaan
hukumnya dalam lingkungan peradilan. Maka untuk mengetahui sejauh
mana KHI diterapkan di lingkungan Peradilan Agama telah dilakukan
monitoring dalam putusan yang dihasilkan Pengadilan Agama (PA) dan
Pengadilan Tinggi Agama (PTA). Secara implisit, hampir seluruh putusan
PA dan PTA menggunakan meteri KHI, namun secara eksplisit, dari 1008
putusan, 715 putusan (71%) menggunakan KHI, dan 293 putusan (29%)
tidak menggunakannya (muhibbin &wahid, 2009:180). Dari data acak ini
3
kemudian timbul pertanyaan apakah putusan yang akan penulis lakukan
penelitian ini telah menggunakan kaidah hukum islam tersebut atau belum,
jika sudah, apakah penerapannya sudah tepat.
Lebih spesifik lagi mengenai penelitian ini, pembahasan akan
difokuskan pada perkara waris di Pengadilan Agama Ambarawa dengan
putusan nomor: 632/Pdt.G/2007/PA.Amb. Berkaitan dengan telah
dihapusnya hak opsi dalam perkara waris Islam, maka PA dalam
memutuskan perkara juga harus menggunakan hukum Islam agar berimbang
antara penghapusan dan pelaksanaan.
Hukum waris yang penulis maksud agar diterapkan secara maksimal
di Pengadilan Agama adalah hukum waris islam (faroidh). Jika dalam
penjelasan pasal 49 huruf b UU No.3 tahun 2006 “yang dimaksud dengan
waris adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai
harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan
melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan
pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang
menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.” Maka
Pengadilan Agama (PA) bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara terhadap fakta-fakta yang ada sesuai kaidah faroidh
juga.
Dari putusan yang dihasilkan oleh Pengadilan Agama perlu dilakukan
pengkajian mengenai dasar putusan oleh hakim tentang keadilan yang
menyangkut kewarisan, seperti penentuan ahli waris dan bagian-bagiannya
4
apakah telah sesuai dengan faroidh, dan hukum acara yang diberlakukannya
dalam perkara waris tersebut. Pembuktian ini sangat menentukan kualitas
putusan, karena kekuatan pembuktian ini mempunyai arti dengan putusan
hakim itu telah diperoleh kepastian tentang sesuatu yang terkandung dalam
putusan itu. Apa yang telah diputuskan oleh hakim harus dianggap benar
dan tidak boleh diajukan lagi perkara baru mengenai hal yang sama dan
antara pihak-pihak yang sama pula (nebis in idem) (Arto, 1998:265). Karena
putusan hakim sagat menentukan sebuah perkara maka pengkajian tentang
adil tidaknya putusan tersebut sangat perlu diteliti lagi.
Oleh karena itu peneliti mengambil judul KONSEP KEADILAN
FAROIDH DALAM PEMBAGIAN WARIS DI PENGADILAN AGAMA
(Studi Analisis Putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb) yang kemudian
menjadi fokus penelitiannya. Penelitian ini untuk mengetahui sejauh mana
penerapan hukum waris Islam serta hukum acaranya dalam penyelesaian
perkara waris di Pengadilan Agama.
B. Fokus Penelitian
Agar penelitian ini mempunyai pembahasan yang menarik dan tidak
keluar dari alur yang dibicarakan, maka penelitian ini difokuskan pada:
1. Bagaimana pembagian waris dalam perkara nomor
632/Pdt.G/2007/PA.Amb. di Pengadilan Agama Ambarawa?
5
2. Bagaimana konsep keadilan hukum formil dalam persidangan
pembagian waris di Pengadilan Agama aplikasi terhadap putusan
Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb?
C. Tujuan Penelitian
Dari fokus penelitian yang dilakukan, penelitian ini ditujukan untuk:
1. Untuk mengetahui pembagian waris dalam perkara nomor
632/Pdt.G/2007/PA.Amb. di Pengadilan Agama Ambarawa.
2. Untuk mengetahui konsep keadilan dalam hukum acara serta hukum
materiil terhadap pembagian waris di Pengadilan Agama aplikasi
terhadap putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb.
D. Kegunaan Penelitian
Terasa kurang bermanfaat jika penelitian yang dilakukan tidak
mempunyai kegunaan. Seperti halnya penelitian yang dilakukan penulis,
walaupun sederhana akan tetapi diharapkan mempunyai kegunaan seperti
yang diharapkan penulis. Yaitu:
1. Bagi akademik
Sebagai implementasi penerapan teori yang didapat dalam mata
kuliah Hukum Acara Peradilan Agama, yang berkaitan erat dengan
pengembangan profesionalitas jurusan Al-Ahwal As-Syakhsyiyyah.
Karena teori dapat dikaji secara langsung dalam perkara nyata, maka
6
penerapan antara teori dan praktek sangat diperlukan dalam
pengembangan mahasiswa.
2. Bagi mahasiswa
Mengetahui dengan jelas pratek beracara di Pengadilan Agama dan
penerapannya dalam menerapkan hukum pada suatu perkara. Lebih
khusus lagi, agar mahasiswa lebih mendalami pratek hukum waris Islam
yang berkaitan dengan pembagian waris, pembagian waris yang
kaitannya dengan hukum materiil, hukum formil, dan hukum acara di
lingkungan peradilan agama.
3. Bagi masyarakat
Memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang hukum,
khususnya hukum perdata Islam. Karena dalam kehidupan masyarakat
tentunya tidak terlepas dari masalah-masalah atau pratek hukum perdata
dalam kehidupannya. Serta agar masyarakat tahu tentang perkembangan
undang-undang di Indonesia yang dalam teorinya mengacu pada
keadilan bagi masyarakat.
E. Penegasan Istilah
KONSEP KEADILAN FAROIDH DALAM PEMBAGIAN WARIS
DI PENGADILAN AGAMA (Studi Analisis Putusan Nomor
632/Pdt.G/2007/PA.Amb) adalah judul terhadap penelitian ini. Agar tidak
terjadi salah penafsiran, maka penulis tegaskan mengenai istilah-istilah yang
penulis gunakan.
7
1. Keadilan: pernilaian dengan memberikan kepada siapapun sesuai dengan
apa yang menjadi haknya, yakni dengan bertindak proporsional dan tidak
melanggar hukum (Darmodiharjo, Shidarta, 1999: 164)
2. Faroidh: pengetahuan mengenai pembagian warisan (pusaka orang yang
meninggal) menurut hukum Islam (Poerwadarminta, 2006:328)
3. Pengadilan Agama: bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam dibidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat,
infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah.
4. Analisis: penyelidikan suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan
sebagainya) untuk mengetahui apa sebab-sebabnya, bagaimana duduk
perkaranya dan sebagainya (Poerwadarminta, 2006:37).
5. Putusan adalah hasil atau kesimpulan akhir dari suatu pemeriksaan
perkara (Puspa, 1977: 695).
F. Telaah Pustaka
Waris merupakan salah satu bidang perdata Islam. Di dalamnya
terdapat pembahasan tentang penentuan harta waris, ahli waris, dan
pembagian waris. Banyak penelitian yang dilakukan mengenai waris yang
meliputi hal tersebut. Penelitian yang difokuskan pada bagian waris
diantaranya:
- Wasiat Wajibah sebagai Alternatif Waris Anak Angkat (Nor Fuad Zen:
2002)
8
- Pembagian Warisan dengan Jalan Hibah menurut Pandangan Islam
(Slamet Aryanto: 2009)
Penelitian yang difokuskan pada ahli waris diantaranya:
- Pembagian Harta Warisan bagi Keturunan Punah (Hanik Adityassari:
2009),
- Hak Waris Anak dari Proses Bayi Tabung (Isti Haryanti: 2004),
- Bagian Waris Anak dalam Kandungan (Ambar Setiawati: 2004),
- Bagian Waris Anak Luar Nikah menurut Hukum Islam dan Hukum Positif
(Hartati: 2002).
Penelitian yang berkaitan dengan pelaksanaan pembagian waris diantaranya:
- Pelaksanaan Hukum Waris dalam Masyarakat Islam (Muhammad Ali
Asad: 2010),
- Hak Opsi dalam Hukum Waris di Indonesia (Nanik Dyah Anggraeni:
2001),
- Faktor-Faktor Penyebab Keengganan Masyarakat Muslim Salatiga untuk
Mengajukan Perkara Waris di Pengadilan Agama (Siti Zumrotun: 2007).
Inilah beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai waris.
Kemudian yang peneliti lakukan adalah penelitian mengenai konsep
keadilan dalam Pembagian Waris di Pengadilan Agama, yang meliputi
hukum materiil, formil, dan hukum acara peradilan agama. Tentang
penentuan harta warisan, ahli waris, dan bagian waris menurut kaidah
faroidh di Indonesia seperti yang tercermin dalam Kompolasi Hukum Islam.
9
Hal yang membedakan dengan penelitian sebelumnya, dalam kaitan
penerapan faroidh dan hukum positif seperti yang disebutkan dalam
penelitian Nanik Dyah Anggraeni (2001) memberi tanggapan tentang hak
opsi dalam pelaksanaan hukum waris di Indonesia “karena adanya
keinginan sebagian anggota DPR agar hukum waris barat (BW) berlaku
bagi umat Islam karena dalam hukum waris Islam saudara yang berlainan
agama tidak berhak mendapat waris, serta hukum waris Islam dianggap
tidak memberikan keadilan antara laki-laki dan perempuan, dalam hukum
waris tidak ada perbedaan laki-laki dan perempuan.”
Nor Fuad Zen (2002) menyimpulkan tentang pelaksanaan wasiat
wajibah terhadap anak angkat “hukum Islam memperbolehkan pengankatan
anak dengan syarat tidak menimbulkan suatu ikatan kemahramanyang
mengakibatkan dapatsaling menghaki dan mewarisi. Dengan kata lain anak
angkat tersebut tetap orang lain dan bukan termasuk ahli waris. Ajaran
Islam sangat menjunjung prinsip keadilan dan kemanusiaan, memberikan
jalan keluar dalam masalah kewarisan dengan member sebagian harta
kepada anak angkat dengan jalan wasiat wajibah. Anak angkat berhak
mendapat wasiat wajibah. Dan dalam pemberian wasiat itu harus
didahulukan daripada pembagian warisan, tanpa melebihi batas bagian
wasiat itu sendiri sebesar 1/3 dari harta peninggalan.”
Siti Zumrotun (2007) “faktor penyebab keengganan masyarakat untuk
mengajukan perkara waris di Pengadilan Agama adalah masyarakat memilih
menyelesaikan perkara waris dengan cara kekeluargaan dalam arti tidak
10
harus di ajukan ke Pengadilan Agama namun tetap berdasarkan ketentuan
hukum waris Islam, adanya pembagian harta sebelum pemilik harta
meninggal dunia merupakan solusi terbaik untuk menghindari sengketa
setelah pemilik harta meninggal dunia, dan adanya pendapat bahwa
penyelesaian perkara waris di Pengadilan Agama sulit dan membutuhkan
banyak waktu.”
Muhammad Ali Asad (2010) menyimpulkan mengenai pelaksanaan
hukum waris dalam masyarakat Islam dapat dilakukan melalui pembagian
warisan atas ketentuan faraidh yang berdasarkan teks Al-Qur’an atau
pembagian harta berdasarkan keadilan antara laki-laki dan perempuan
dengan jalan hibah pada saat pewaris (orang tua) masih hidup.
G. Kerangka Teori
1. Surat Annisa ayat 11
ÞOä3ŠÏ¹ qムª! $# þ’Îû öNà2 ω»s9÷rr& ( Ì�x.©%#Ï9 ã@ ÷VÏB Åeá ym Èû÷üu‹sVRW{ $# 4 bÎ*sù £̀ä.
[ä!$|¡ ÎS s-öqsù Èû÷ütGt̂øO$# £̀ßgn=sù $sVè=èO $tB x8 t�s? ( bÎ)ur ôM tR%x. Zoy‰Ïm ºur $ygn=sù
ß# óÁ ÏiZ9$# 4 Ïm÷ƒuqt/L{ ur Èe@ ä3Ï9 7‰Ïn ºur $yJåk÷]ÏiB â̈ ߉ �¡ 9$# $£JÏB x8 t�s? bÎ) tb%x. ¼çms9
Ó$s!ur 4 bÎ*sù óO©9 `ä3tƒ ¼ã&©! Ó$s!ur ÿ¼çmrOÍ‘urur çn#uqt/r& ÏmÏiBT| sù ß] è=›W9$# 4 bÎ*sù tb%x. ÿ¼ã&s!
×ouq÷z Î) ÏmÏiBT| sù â̈ ߉ �¡ 9$# 4 .̀ÏB ω÷èt/ 7p§‹Ï¹ ur ÓÅ» qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ 3 öNä.ät!$t/#uä
11
öNä.ät!$oYö/r&ur Ÿw tbrâ‘ô‰s? öNßg•ƒr& Ü> t�ø%r& ö/ä3s9 $YèøÿtR 4 ZpŸÒ ƒÌ�sù šÆ ÏiB «! $# 3 b̈Î)
©! $# tb%x. $̧JŠÎ=tã $VJŠÅ3ym ÇÊÊÈ
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
2. Pasal 2 UU No.7 Tahun 1989 menyebutkan bahwa peradilan agama
merupakan salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari kedilan
yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu.
3. Penjelasan umum angka 2 alenia ketiga UU No.7 Tahun 1989
menerangkan bahwa pengadilan agama merupakan pengadilan tingkat
pertama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-
perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shodaqoh berdasarkan hukum
Islam.
4. Asas personalitas keislaman.
12
Dari ketentuan pasal 2 dan rumusan penjelasan umum angka 2
alenia ketiga UU No.7 Tahun 1989, dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
a. Pihak-pihak yang bersengketa harus sama-sama pemeluk agama
Islam
b. Perkara perdata yang disengketakan terbatas mengenai perkara
dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shodaqoh
c. Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut
berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu cara penyelesaian
berdasarkan hukum Islam (Harahap, 2003: 57).
5. Penjelasan umum angka 1 alenia kedua UU No.3 Tahun 2006
perubahan UU No.7 Tahun 1989 menyatakan bahawa “para pihak
sebelum berperkara dapat memepertimbangkan untuk memilih hukum
apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan”, dinyatakan dihapus.
Maka penegasan pada poin 5 huruf c diatas lebih dipertegas
pelaksanaannya dengan adanya UU No.3 Tahun 2006.
6. Pasal 193 KHI menegaskan, apabila dalam pembagian harta warisan
diantara para ahli waris dzawil furudh menunjukkan bahwa angka
pembilang lebih kecil dari angka penyebut sedangkan tidak ada ahli
waris ashobah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan
secara rad, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris sedang
sisanya dibagi berimbang di antara mereka.
H. Metode Penelitian
13
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
a. Pendekatan
Penelitian ini berdasarkan pada penelitian hukum yang
dilakukan dengan memakai pendekatan yuridis empiris. Pendekatan
yuridis empiris adalah pendekatan yang dilakukan dengan melihat
suatu kenyataan hukum yang terjadi di masyakat yang berfungsi
untuk mengidentifikasi dan mengklarifikasi perundang-undangan
(Ali, 2009:105). Dalam penelitian ini yang dicari adalah klarifikasi
pelaksanaan pembagian waris dengan dasar KHI dan faroidh di
Pengadilan Agama Ambarawa.
b. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini secara spesifik bersifat deskriptif analitis,
yang mengungkapkan aturan perundang-udangan yang berkaitan
dengan objek penelitian dan pelaksanaanya di masyarakat (Ali,
2009:105-106). Metode ini dimasudkan untuk memperoleh
gambaran yang baik, jelas dan dapat memberikan data seteliti
mungkin tentang objek yang diteliti. Penelitian ini ditujukan untuk
mengetahui penerapan pelaksanaan pembagian waris di Pengadilan
Agama Ambarawa dalam putusan no: 632/Pdt.G/2007/PA.Amb
telah memenuhi kedilan dan faroidh atau belum, serta mencari
sebab-sebab diputuskannya hal tersebut. Kajian tentang suatu
putusan sangat penting karena untuk mengetahui adil dan sah
tidaknya suatu putusan.
14
2. Kehadiran Peneliti
Peneliti dalam penelitian ini melakukan wawancara secara
langsung ke Pengadilan Agama Ambarawa sebagai sumber pertama
yang dapat dimintai keterangan secara jelas sebagai lembaga yang
bertugas dan berwenang dibidang waris Islam. Serta peneliti
mengkroscek keadaan sebenarnya silsilah keluarga di keluarga para
pihak yang berperkara sebagai bahan analisis putusan Pengadilan
Agama Ambarawa dalam penerapan pembagian waris putusan nomor:
632/Pdt.G/2007/PA.Amb.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian pembagian waris dan acara persidangan dilaksanakan
di Pengadilan Agama Ambarawa yang terletak di Jalan Ambarawa-
Yogyakarta, Dusun Ngampin, Ambarawa. Peneliti memilih lokasi ini
karena Pengadilan Agama Ambarawa adalah salah satu pengadilan
agama terdekat dengan tempat tinggal peneliti. Kemudian penelitian
juga diadakan di Desa Baran Gembongan, Ambarawa sebagai tempat
tinggal salah satu pihak yang berperkara.
4. Sumber Data
Peneliti menggunakan dua sumber data yaitu:
a. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari
sumbernya (Ali, 2009:106). Data primer dalam penelitian ini
adalah:
15
1) Informan
Dalam penelitian ini yang menjadi informan kunci adalah
salah satu Hakim Pengadilan Agama Ambarawa yang
menangani perkara waris dengan putusan nomor:
632/Pdt.G/2007/PA.Amb. Dan Ibu Siti Kalimah sebagai salah
satu tergugat yang dirasa oleh peneliti sebagai pihak yang netral
meskipun kedudukannya sebagai tergugat.
2) Dokumen
Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Arsip Putusan, yaitu arsip yang isinya tentang surat gugatan,
jawaban tergugat, replik, duplik, putusan sela, relas panggilan,
berita acara persidangan, foto kopi bukti tertulis dan putusan.
b. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen
resmi (Ali, 2009:106). Data sekunder dalam penelitian ini adalah:
1) UU No.7 Th.1989 tentang Peradilan Agama.
2) UU No.3 Th.2006 peubahan atas UU No.7 Th.1989
3) Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
4) Dan buku-buku yang mendukung penelitian ini.
5. Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan metode penelitian lapangan (Ali, 2009:107).
16
Pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah dokumentasi,
wawancara, dan observasi.
a. Dokumentasi
Dokumentasi menjadi kajian pokok penelitian ini, karena
penelitian ini bersumber dari putusan yang dikeluarkan oleh
Pengadilan Agama Ambarawa. Dokumentasi dilakukan untuk
mengamati akta putusan nomor: 632/Pdt.G/2007/PA.Amb. Serta
mengamati kaidah-kaidah faroidh yang digunakan dalam putusan
no: 632/Pdt.G/2007/PA.Amb. Penelitian bermula dari mengkaji isi
putusan, kemudian tahap berikutnya adalah wawancara dan
observasi untuk mengetahui dasar-dasar putusan.
b. Wawancara (interview)
Wawancara adalah percakapan yang dilakukan oleh
pewawancara dengan orang yang diwawancarai dengan maksud
untuk mendapatkan suatu kejelasan tetang suatu masalah (Moleong,
2002:135). Wawancara dalam penelitian ini dilakukan kepada para
informan kunci dan informan pangkal. Informan kunci yakni para
hakim yang menanggani menangani perkara waris dengan putusan
nomor: 632/Pdt.G/2007/PA.Amb dan Ibu Siti Kalimah sebagai salah
satu tergugat yang bersikap netral.
c. Observasi (pengamatan)
Observasi dalam penelitian ini dilakukan dengan cara tidak
berperan serta yang mempunyai satu fungsi yaitu melakukan
17
pengamatan (Moleong, 2002:126). Pengamatan yang dilakukan
adalah dengan mengamati silsilah keluarga dari ahli waris dalam
putusan.
6. Analisis Data
Analisis lebih diitik beratkan pada putusan Pengadilan Agama
Ambarawa tentang penerapan hukum dan pertimbangan hakimnya.
Kemudian mengkoreksi tentang pembagian waris apakah praktek yang
ada sudah sesuai dengan kaidah faroidh atau belum mengingat dalam
ilmu faroidh terdapat derajat-derajat pewaris, yang mana akan
dikroscek oleh peneliti kepada pihak keluarga langsung .
7. Pengecekan Keabsahan Data
Pengecekan keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan
tehnik trianggulasi data yaitu dengan membandingkan apa yang
diperintahkan perundang-undangan tentang pembagian waris dan
pembagian waris secara faroidh mutlak melalui kajian pustaka. Serta
data yang telah diperoleh dicek kembali kebenaran aslinya ke pihak
yang berperkara.
8. Tahap-tahap Penelitian
Tahapan penelitian dalam penelitian ini dengan:
a. Observasi pendahuluan ke Pengadilan Agama Ambarawa dengan
melihat Buku Pantauan Perkara dan memutuskan pengambilan
perkara.
b. Wawancara dengan Hakim, panitera, dan wakil panitera.
18
c. Pengambilan salinan akta putusan.
d. Observasi di Pengadilan Agama Ambarawa dan salah satu pihak
yang berperkara.
e. Analisis.
f. Kesimpulan.
I. SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I Pendahuluan. Bab ini berisi: Latar Belakang Masalah, Fokus
Penelitian, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah,
Metode Penelitian, yang memuat: Pendekatan dan Jenis Penelitian,
Kehadiran Penelitian, Lokasi Penelitian, Sumber Data, Prosedur
Pengumpulan Data, Analisis Data, Pengecekan Keabsahan Data, Tahap-
tahap Penelitian. Dan diakhir bagian pendahuluan adalah Sistematika
Penulisan.
BAB II Membahas tentang pengertian dasar waris yang meliputi:
Konsep Waris dalam Ilmu Faroidh dan Konsep Waris dalam Undang-
Undangan. Konsep Waris dalam Ilmu Faroidh berisikan Pengertian Waris
menurut Kaidah Faroidh, Sebab-Sebab Waris, Golongan Ahli Waris,
Derajat-Derajat Waris, Azaz-Azaz Kewarisan, dan Pembagian Waris Islam.
Konsep Keadilan Faroidh dalam Undang- Undang berisikan Pengertian
Waris menurut Undang-Undang, Perkembangan Hukum Waris Islam di
Indonesia, Pengadilan Agama Sebagai Lembaga Pelaksana Perundang-
Undangan yang menjelaskan tentang Kompetensi Pengadilan Agama dalam
19
perkara waris, Asas-Asas Peradilan Agama, Dasar Pembagian waris
menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI).
BAB III membahas tentang Gambaran Umum Pengadilan Agama
Ambarawa dan Gambaran Perkara Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb. yang
memuat tentang Gambaran Umum Perkara Nomor
632/Pdt.G/2007/PA.Amb, Gambaran Perkara oleh Pihak Tergugat,
Gamabaran Perkara oleh Pihak Penggugat, dan Gambaran Perkara terhadap
Putusan Hakim.
BAB IV berisi tentang pembahasan. Analisis pertimbangan hakim
dalam memutuskan perkara No: 632/Pdt.G/2007/PA.Amb terhadap kaidah
faroid dan hukum formil serta hukum acara yang berlaku.
BAB V berisi kesimpulan dan saran-saran terhadap penelitian yang
dilakukan.
20
BAB II
PENGERTIAN DASAR WARIS
A. Konsep Waris Dalam Ilmu Faroidh
1. Pengertian Waris Menurut Kaidah Faroidh
Faroidh adalah bentuk jama’ dari faridhoh yang artinya bagian yang
ditentukan kadarnya. Mawarist adalah bentuk jama’ dari kata mirost yang
artinya harta peninggalan dari orang-orang yang meninggal untuk ahli
warisnya. Faroidh dalam arti mawarist, hukum waris-mewaris, dimaksud
sebagai bagian atau ketentuan yang diperoleh oleh ahli waris menurut
ketentuan syara’.
Asy-Syarbaini dalam kitabnya Aghnil Muhtaj mendefinisikan faroidh
adalah ilmu fiqh yang bersangkut paut dengan pembagian harta pusaka, dan
mengetahui perhitungan yang dapat menyampaikan kepada mengetahui hal
tersebut dan mengetahui kadar yang wajib dari harta pusaka yang menjadi
milik tiap orang yang berhak (Departemen Agama, 1986:2)
Catatan yang perlu diperhatikan adalah pengertian dari peninggalan.
Pengertian peninggalan yang dikenal di kalangan fuqoha ialah segala
sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya.
Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang
meninggal dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya
persangkutan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok
hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang
21
berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya
pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya) (Ash-
Shabuni, 2007:33).
Dalam hal pembagian harta peninggalan atau tirkah pembagian waris
diadakan setelah hak-hak yang berhubungan dengan tirkah terpenuhi yaitu
kepentinngan pewaris yang meliputi semua biaya yang diperlukan pewaris
sejak kematiannya sampai dimakamkan, pembayaran hutang pewaris,
melaksanakan wasiat pewaris, serta penentuan ahliwaris. Barulah harta
peninggalan dibagikan kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan
bagiannya masing-masing.
2. Rukun dan Syarat Waris
a. Rukun Waris
Terjadinya waris mewaris ketika terdapat:
1) Pewaris, yaitu orang yang meninggal dunia.
2) Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima
harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan
(nasab), atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
3) Harta warisan, yaitu harta yang secara mutlak dimiliki oleh orang
yang meninggal semasa hidupnya.
b. Syarat Waris
Terhadap pelaksanaan waris harus terjadi ketika:
22
1) Meninggalnya seseorang/pewaris, menjadi syarat mutlak terjadinya
waris atau peralihan harta. Jika peralihan harta terjadi ketika seseorang
masih hidup maka hal tersebut adalah hibah.
2) Ahli waris dalam keadaan hidup, jika ahli waris telah meninggal
terlebih dahulu maka itu adalah pewaris. Jika ahli waris meninggal
bersamaan dengan pewaris, maka para fuqoha menyatakan mereka
adalah orang yang tidak mendapat waris.
3) Diketahui posisi para ahli waris, maksudnya adalah mengetahui
silsilah jalur kekeluargaan karena akan berdampak pada bagian-bagian
waris yang akan diterimanya.
4) Tidak ada halangan untuk mewaris.
3. Golongan Ahli Waris
Penggolongan ahli awaris dapat diklasifikasikan karena (1) jenis
kelamin (2) pembagian yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an.
Berdasarkan Surat An-Nisa 176 yang menyebutkan “…dan jika mereka
(ahli waris terdiri atas) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian
seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara
perempuan…”, maka dari ayat ini yang dapat diperjelas adalah ketentuan
siapa saja yang menjadi ahli waris dari golongan laki-laki dan perempuan.
Dalam bukunya Muhammad Ali Ash-Shabuni (2007:68) menyebutkan
ahli waris golongan laki-laki ada lima belas, meliputi: (1) anak laki-laki, (2)
cucu laki-laki (dari anak laki-laki), (3) bapak, (4) kakek (dari pihak bapak),
(5) saudara kandung laki-laki, (6) saudara laki-laki seayah, (7) saudara laki-
23
laki seibu, (8) anak laki-laki dari saudara kandung laki-laki, (9) anak laki-
laki dari saudara laki-laki seibu, (10) paman (saudara kandung bapak), (11)
paman (saudara bapak seayah), (12) anak laki-laki dari paman (saudara
kandung ayah), (13) anak laki-laki paman seayah, (14) suami, (15) laki-laki
yang memerdekakan budak. Sedangkan ahli waris golongan perempuan ada
sepuluh: (1) anak perempuan, (2) ibu, (3) anak perempuan (dari keturunan
anak laki-laki), (4) nenek (ibu dari ibu), (5) nenek (ibu dari bapak), (6)
saudara kandung perempuan, (7) saudara perempuan seayah, (8) saudara
perempuan seibu, (9) istri, (10) perempuan yang memerdekakan budak.
Dari ahli waris tersebut diatas ketentuan yang pasti adalah pembagian
2:1 terhadap laki-laki berbanding perempuan. Jika ahli waris semua itu ada,
maka terdapat ahli waris yang menghalangi hak ahli waris lain. Lebih
mudahnya tersaji dalam table berikut
Tabel 2.1 Ahli Waris beserta Penghalannya
No Ahli waris Terhalang oleh 1 Kakek Bapak atau kakek yang lebih dekat 2 Nenek Ibu 3 Cucu Anak laki-laki 4 Sudara
sekandung a) Bapak b) Anak c) Cucu laki-laki dari anak laik-laki
5 Saudara sebapak
a) Bapak b) Anak c) Cucu laki-laki dari anak laik-laki d) Saudara sekandung
6 Saudara seibu a) Anak (laki-laki/perempuan) b) Cucu (laki-laki/perempuan) c) Bapak d) Kakek e) Saudara laki-laki sekandung f) Saudara laki-laki sebapak
7 Anak laki-laki a) Anak laki-laki
24
dari saudara laki-laki sekandung
b) Cucu laki-laki dari anak laki-laki c) Bapak d) Kakek e) Saudara laki-laki sekandung f) Saudara laki-laki sebapak
8 Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
a) Anak laki-laki b) Cucu laki-laki dari anak laki-laki c) Bapak d) Kakek e) Saudara laki-laki sekandung f) Saudara laki-laki sebapak g) Anak saudara sekandung
9 Saudara sekandung dari bapak
a) Anak laki-laki b) Cucu laki-laki dari anak laki-laki c) Bapak d) Kakek e) Saudara laki-laki sekandung f) Saudara laki-laki sebapak g) Anak saudara sekandung h) Anak dari saudara sebapak
10 Saudara sebapak dari bapak
a) Anak laki-laki b) Cucu laki-laki dari anak laki-laki c) Bapak d) Kakek e) Saudara laki-laki sekandung f) Saudara laki-laki sebapak g) Anak saudara sekandung h) Anak dari saudara sebapak i) Saudara kandung dari bapak
11 Anak dari paman sekandung
a) 9 orang dari poin 10 b) Saudara sebapak dari bapak
12 Anak lebih dari saudara laki-laki sekandung
a) 9 orang dari poin 10 b) Saudara sebapak dari bapak c) Anak dari paman sekandung
13 Cucu perempuan dari anak laki-laki
Anak laki-laki
Penggolongan ahli waris berdasarkan ketentuan bagian waris yang
telah ditetapkan meliputi:
25
a. Ashabul furudh adalah orang yang bagian-bagian warisnya telah
ditentukan oleh nash Al-Qur’an, hadist, atau ijma’ para ulama.
Bagian-bagian yang telah ditetapkan serta ahli waris yang berhak
atas bagian yang telah ditetapkan tersebut tersaji dalam table berikut:
Tabel 2.2 Bagian-bagian Ahli Waris
No Bagian Ahli Waris
1 ½ a. Anak perempuan tunggal b. Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki c. Saudara perempuan sekandung tunggal d. Saudara perempuan sebapak tunggal e. Suami jika istri yang meninggal tidak ada anak
2 ¼ a. Suami jika istri yang meninggal punya anak b. Istri jika suami tidak meninggalkan anak
3 1/8 a. Istri jika suami meninggalkan anak
4 1/3 a. Ibu jika masalah gharawain b. 2 saudara perempuan atau lebih yang seibu jika tak
ada anak atau orang tua 5 1/6 a. Ibu jika ada anak atau cucu dari anak laki-laki atau
meninggalkan 2 saudara atau lebih b. Bapak jika ada anak atau cucu dari anak laki-laki
6 2/3 a. Dua anak perempuan atau lebih jika tak ada anak laki-laki
b. Dua cucu perempuan dari anak laki-laki jika tak ada anak perempuan
c. Dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih d. Dua orang saudara perempuan sebapak atau lebih
Dari besarnya bagian yang disebutkan diatas disimpulkan bahwa
tetap ada ketentuan berlakunya. Contoh suami berhak mendapat bagian ½
dan ¼ . berhak mendapat ½ ketika mayat tidak meninggalkan anak, dan
berhak mendapat ¼ ketika mayat meninggalkan anak. Untuk lebih
jelasnya bagian-bagian secara individu tersaji dalam table berikut:
26
Tabel 2.3 Bagian-bagian yang ditetapkan secara Individu
No Bagian Ketentuan bagian yang harus diterima
1 Suami a. ½ jika mayat tidak meninggalkan anak b. ¼ jika mayat meninggalkan anak
2 Istri a. ¼ jika mayat tidak meninggalkan anak b. 1/8 jika mayat meninggalkan anak
3 Anak laki-laki
a. Sendirian menghabiskan harta b. Bersama saudara laki-laki harta dibagi rata c. Bila ada waris lain dia mendapatkan sisa harta
4 Anak perempuan
a. ½ jika sendirian b. 2/3 jika saudara perempuannya banyak c. Ashobah jika bersama saudara laki-laki
5 Cucu laki-laki
a. Jika tak ada waris lain ia menghabiskan harta b. Jika bersama saudaranya dibagi rata c. Jika bersama saudara perempuannya dia mendapat
bagian 2x bagian saudara perempuannya d. Jika bersama waris lain dia jadi ashobah
6 Cucu perempuan
a. ½ jika seorang diri b. 2/3 jika saudara perempuannya banyak c. Ashobah bersama cucu laki-laki d. 1/6 jika bersama-sama anak perempuan
7 Bapak a. 1/6 jika mayat ada anak laki-laki atau cucu laki-laki b. 1/6 plus sisa jika maya tak ada anak laki-laki atau
cucu laki-laki dan hanya ada anak perempuan atau cucu perempuan
c. Ashobah jika tak ada waris lain ashobah d. 2/3 jika waris hanya ibu dan bapak e. 2/3 dari sisa jika masalah gharawain f. Waria terdiri bari ibu dan bapak g. Waris terdiri dari istri, ibu, dan bapak
8 Ibu a. 1/6 jika mayat meninggalkan anak atau cucu atau saudara
b. 1/3 jika waris hanya ibu dan bapak c. 1/3 dari sisa jika masalah gharawain
9 Kakek a. 1/6 jika mayat meninggalkan anak cucu laki-laki b. 1/6 plus sisa jika mayat hanya meninggalkan anak
perempuan atau cucu perempuan c. Semua harta jika sebagai waris tunggal d. Semua sisa harta setelah dibagikan pada ahli waris
dzawil furudh 10 Nenek a. 1/6 baik ada ahli waris lain atau tidak
b. 1/6 dibagi rata bila nenek lebih dari satu orang 11 Saudara
laki-laki a. Menghabiskan semua harta jika tak ada ahli waris
lain
27
sekandung b. Lebih dari seorang dibagi rata c. Jika bersama ahli waris dzawil furudh menjadi
ashobah 12 Saudara
perempuan sekandung
a. ½ bila hanya sendirian b. 2/3 jika mereka lebih dari seorang c. Menjadi ashobah jika bersama saudara laki-laki
sekandung d. Ashobah bersama anak perempuan atau cucu
perempuan 13 Saudara
laki-laki sebapak
a. Menghabiskan semua harta jika sendirian b. Jika lebih dari seorang dibagi rata c. Jika ada ahli waris dzawil furudh menjadi ashobah
14 Saudara perempuan sebapak
a. ½ bila hanya sendirian b. 2/3 bila saudara perempuan lebih dari seorang c. 1/6 bersama seorang saudara perempuan seibu
sebapak 15 Saudara
seibu laki-laki perempuan
a. 1/6 jika hanya seorang b. 1/3 jika dua orang atau lebih
b. Ashobah menurut para fuqoha ialah ahli waris yang tidak disebutkan
banyaknya bagian di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan tegas.
Pengertian ashobah dikalangan ulama faroidh ialah orang yang
menguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris tunggal. Selain itu, ia
juga menerima seluruh sisa harta warisan setelah ashabul furudh
menerima dan mengambil bagian masing-masing (Ash-Shabuni.
2007:60).
Pada dasarnya ashobah adalah ahli waris yang begiannya tidak
ditentukan, akan tetapi terdapat tingkatan-tingkatan ashobah juga. Yang
pertama adalah ashobah nasabiyah, yaitu ashobah karena nasab. Yang
kedua adalah ashobah sababiyah yaitu ashobah karena
memerdekakannya sebagi budak.
28
Lebih lanjut tentang ashobah yang pertama (ashobah nasabiyah)
adalah sebagi berikut. Ashobah nasabiyah ini dibagi menjadi 3:
1) Ashobah bin nafs yaitu laki-laki yang nasabnya kepada pewaris tidak
tercampuri kaum wania. Ashobah ini mempunyai 4 arah. Pertama,
arah anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak laki-laki mulai
cucu, cicit, dan seterusnya. Kedua, arah bapak, mencakup ayah,
kakek, dan seterusnya keatas. Ketiga, arah saudara laki-laki,
mencakup saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki seayah, anak
laki-laki keturunan saudara kandung laki-laki, anak laki-laki
keturunan saudara laki-laki seayah, dan seterusnya. Keempat, arah
paman, mencakup paman (saudara laki-laki ayah) kandung maupun
seayah, termasuk keturunannya, dan seterusnya (Ash-Shabuni,
2007:63).
2) Ashobah bil ghoirihi ialah setiap ahli waris perempuan yang
mempunyai bagian tertentu (ashabul furudh) yang membutuhkan ahli
waris lain untuk menjadi ashobah bersama-sama dengannya dalam
suatu pembagian harta peninnggalan (Departemen Agama, 1986:82).
Ashobah ini terbatas pada 4 orang saja, yaitu a) anak perempuan bila
bersama saudara laki-lakinya, b) cucu perempuan keturunan anak laki-
laki bila bersama saudara laki-lakinya atau anak laki-laki pamannya,
c) saudara kandung perempuan bila bersama saudara kandung laki-
laki, d) saudara perempuan seayah bila bersama saudara laki-lakinya.
29
3) Ashobah ma’al ghoir ialah setiap ahli waris perempuan yang
mempunyai bagian tertentu (saudara perempuan sekandung/seayah)
yang membutuhkan ahli waris lain (anak permpuan atau cucu
perempuan dari anak laki-laki) untuk menjadi ashobah, tetapi ahli
waris yang dibutuhkan itu tidak bersama-sama dengannya menjadi
ashobah.
c. Dzawil Arham adalah ahli waris yang mempunyai tali kekerabatan
dengan pewaris, namun mereka tidak mewarisinya secara ashabul furudh
dan tidak pula secara ashobah, misalnya bibi (saudara perempuan ayah
atau ibu), paman (saudara laki-laki ibu), keponakan laki-laki dari saudara
pereempuan, cucu laki-laki dari anak perempuan, dan sebagainya (Ash-
Shabuni, 1995: 145).
4. Asas-Asas Kewarisan
a. Asas ijbari
Ijbari: paksaan (Alkalali, 1987:381)
Paksa: melakukan sesuatu atas dasar keharusan, mengerjakan sesuatu
yang dianggap wajib meskipun tidak mau. Paksaan: hasil perbuatan
memaksa (fajri, senja, _: 609)
Dari pengertian ini maka maksud asas ijbari dalam hukum waris
Islam adalah terjadinya paksaan peralihan harta dari pewaris kepada ahli
waris dengan peralihan yang sudah ditentukan bagiannya dan kepada
siapa saja harta itu beralih. Artinya asa ijbari ini mempunyai segi:
30
1) Peralihan harta, dari seseorang yang meninggal dunia kepada yang
masih hidup dengan sendirinya tanpa ada perbuatan hukum atau
pernyataan kehendak dari si pewaris. Bahkan si pewaris (semasa
hidupnya) tidak dapat menolak atau menghalang-halangi terjadinya
peralihan harta tersebut (Lubis & Simanjuntak, 2007:39).
2) Jumlah harta yang beralih, merupakan sesuatu diluar kehendak
pewaris dan ahli waris. Atas dasar telah terdapat hukum yang
mengatur dengan jelas bagian-bagian waris orang Islam baik yang
dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadist, ijma’para ulama, serta hukum
tertulis yang berkembang di Indonesia yaitu Kompilasi Hukum Islam
(KHI), maka peralihan bagian harta yang sudah ditentukan pun
memaksa ahli waris untuk menerima bagian tersebut.
3) Kepada siapa harta itu beralih, seperti halnya poin 2, ahlli waris pun
juga sudah ditetapkan dalam hukum waris Islam. Maka mereka yang
telah ditunjuk menjadi ahli waris pun tidak dapat menolak atau pun
menambahkan daftar ahli waris lain dalam pembagian waris tersebut.
b. Asas bilateral
Yang dimaksud dengan prinsip bilateral ialah bahwa baik laki-laki
maupun perempuan dapat mewaris dari kedua belah pihak garis
kekerabatan, yakni pihak kerabat laki-laki dan pihak kerabat perempuan
(Budiono, 1999:5).
31
c. Asas individual
Artinya waris hanya dapat diterima secara perorangan, baik itu
bayi yang baru lahir atau pun masih di dalam kandungan selama akan
terbentuk individu baru. Dalam Al-Qur’an juga mengatur tentang
pembagian waris yang menyebutkan bagiannya secara per individu.
d. Asas keadilan berimbang
Maksudnya adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban dan
keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan.
Dengan perkataan lain dapat dapat dikemukakan bahwa faktor jenis
kelamin tidaklah menentukan dalam hak kewarisan (kebalikan dari asas
keseimbangan ini dijumpai dalam masyarakat yang menganut sistem
garis keturunan patrilinial, yang ahli waris tersebut hanyalah keturunan
laki-laki saja/garis kebapakan) (Lubis & Simanjuntak, 2007:39).
e. Kewarisan semata akibat kematian
Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta
hanya semata-mata disebabkan adanya kematian. Dengan perkataan lain,
harta seseorang tidak dapat beralih dengan cara pewarisan sekiranya
orang yang memiliki harta itu masih hidup. Meskipun orang tersebut
mempunyai wewenang untuk mengatur hartanya, hak tersebut hanya
sebatas keperluannya semasa ia masih hidup. Jika ia telah meninggal
dunia maka harta yang dimilikinya itu akan beralih kepada kerabatnya
sesuai dengan bagian yang yang ditetapkan. Hukum waris Islam tidak
mengenal peralihan barang waris secara ab-intestato & testament,
32
memang dalah syariat Islam dikenal istilah wasiat, tapi ketentuan wasiat
ini terpisah sama sekali dengan kewarisan (Manan, 2006:210).
5. Pembagian Waris Islam
Pembagian waris dalam Islam sangat unik karena identik dengan
bagian-bagian yang berbentuk pecahan serta penentuan penerimaan setiap
ahli waris pun berbeda-beda menurut jauh dekatnya hubungan kekerabatan
dengan pewaris. Kedudukan kekerabatan sama akan menerima bagian
berbeda ketika ada ahli waris lain, bahkan tidak menerima bagian ketika
terhalang oleh ahli waris lain yang lebih dekat.
Dalam praktek pembagian dengan ahli waris dan bagian masing-
masing seperti data yang tersaji pada table di atas masih terdapat permasalah
pembagian harta waris, yaitu masalah aull dan radd. Aull adalah Sedangkan
definisi al-'aul menurut istilah fuqaha yaitu bertambahnya jumlah bagian
fardh dan berkurangnya nashib (bagian) para ahli waris. Hal ini terjadi
ketika makin banyaknya ashhabul furudh sehingga harta yang dibagikan
habis, padahal di antara mereka ada yang belum menerima bagian. Dalam
keadaan seperti ini kita harus menaikkan atau menambah pokok masalahnya
sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang
ada meski bagian mereka menjadi berkurang.
Adapun ar-radd menurut istilah ulama ilmu faraid ialah
berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya/lebihnya jumlah bagian
ashhabul furudh.Terhadap sisa harta ketika terjadi radd yang berhak
menerima sisa harta tersebut secara urutannya adalah sebagai berikut:
33
Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila
terwujud tiga syarat seperti di bawah ini:
1. adanya ashhabul furudh
2. tidak adanya 'ashabah
3. ada sisa harta waris.
Bila dalam pembagian waris tidak ada ketiga syarat tersebut maka kasus
ar-radd tidak akan terjadi.
Adapun ashhabul furudh yang dapat menerima ar-radd hanya ada delapan
orang:
1. anak perempuan
2. cucu perempuan keturunan anak laki-laki
3. saudara kandung perempuan
4. saudara perempuan seayah
5. ibu kandung
6. nenek sahih (ibu dari bapak)
7. saudara perempuan seibu
8. saudara laki-laki seibu
34
B. Konsep keadilan faroidh dalam Hukum Positif
1. Perkembangan Hukum Waris Islam di Indonesia
Masuknya Islam di Indonesia sejak abad ke 7 Masehi dari tahun
ketahun mulai berkembang dan dapat diterima baik oleh masyarakat
Indonesia. Hal ini karena islam tidak memandang status sosial seseorang,
melainkan karena ketaqwaannya. Terlebih lagi dalam kehidupan sehari-hari
Islam memberikan ajaran hukum yang jelas baik dari hukum pidana ataupun
perdata. Dalam keperdataan, Islam mengajarkan wakaf sebagai salah satu
upaya pemberdayaan kemaslahatan umat. Dalam perkawinan, Islam
mengajarkan pernikahan yang sehat dan sangat menjungjung perempuan.
Dalam perkara waris, Islam mengajarkan sistem kewarisan bilateral yang
sudah memberikan ketetapan pasti terhadap bagian-bagian ahli waris.
Hukum masyarakat mulai berkembang dengan kesadaran penerapan
hukum Islam. Pada masa kerajaan mulai berkembang pengadilan tahkim
bagi orang Islam yang bersengketa. Tahkim lahir dan tumbuh bukan atas
dekrit penguasa. Namun demikian sekalipun tahkim merupakan wadah
informal, putusan yang dijatuhkannya, diikuti masyarakat sebagai sesuatu
yang formal. Buktinya, setiap kali timbul sengketa di tengah-tengah
kehidupan masyarakat, selalu mencari penyelesaian dan “tahkim” seorang
ulama atau kyai (Harahap, 2003:21).
Terhadap penyelesaian perkara, hukum yang digunakan adalah kitab-
kitab fiqh. Hukum Islam telah diangkat menjadi hukum formal dan hukum
materiil dalam perkara perkawinan, hibah wakaf, dan warisan. Walaupun
35
pada masa kesultanan telah berdiri secara foramal Peradilan Agama serta
status ulama memefgang peranan sebagai penasehat dan hakim, belum
pernah disusun suatu buku hhukum positif yang sistematik. Hukum yang
diterapkan masih tetap abstraksi yang ditarik dari kandungan doktrin fikih
(Harahap, 2003:22).
Perkembangan selanjutnya ketika masa pendudukan VOC di
Indonesia. VOC memerankan dalam bidang perdagangan dan pemerintahan,
juga menentukan kebijakan dalam hukum dan peradilan. Kebijakan yang
dihasilkan tidak berjalan baik di masyarakat karena masyarakat
menganggap hal itu tidak selaras dengan ajaran agama islam. Kemudian
pada tahun 1642 VOC mengeluarkan Statuta Batavia. Salah satu isinya
adalah “mengenai soal hukum kewarisan orang Indonesia yang beragama
Islam, harus dipergunakan hukum Islam yakni hukum yang dipakai oleh
rakyat sehari-hari” (Harahap, 2003:22), dan pada tahun 1760 VOC mulai
menggunakan kitab hukum yang disebut dengan Compendium Freijer
sebagai rujukan hukum oleh pengadilan dalam masyarakat Islam di daerah
yang dikuasai VOC. Hal ini tidak berlangsung lama, pada tahun 1800 VOC
menyerahkan kekuasaan pada Hindia Belanda, dan compendium tidak
berlaku lagi.
Pada tahun 1808 dikeluarkan Intstruksi Pemerintah Hindia Belanda
kepada para bupati, yang isinya bahwa terhadap urusan agama orang Jawa
tidak akan dilakukan gangguan, pemuka agama dibiarkan untuk
memutuskan perkara tertentu dalam bidang perkawinan dan kewarisan,
36
dengan syarat tidak ada penyalahgunaan (Muhibbin&Wahid. 2009:163).
Kemudian terhadap putusan pemuka agama tersebut harus diperoleh
persetujuan dari pengadilan umum. Inilah masa berkembangnya teori
receptio in complexu yang dikemukakan oleh L.W.C. van Den Berg, yaitu
hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jadi bagi orang yang
beragama Islam berlaku hukum Islam pula. Teori ini memperoleh landasan
hukum melalui Staatsblad 1855 No.2
Sejalan dengan politik Hindia Belanda teori receptio in complexu ini
memperoleh perlawanan yang dikemukakan oleh van Vollenhoven dan
Snouck Hurgrounje melalui teori receptie, sebenarnya hukum yang berlaku
di Indonesia bukan hukum Islam, melainkan hukum adat. Ke dalam hukum
adat bisa masuk elemen hukum Isalm. Hukum Islam baru mempunyai
kekuatan berlaku kalau sudah masuk kedalam dan diterima menjadi hukum
adat (diresepsi) (Muhibbin&Wahid. 2009:165). Dengan adanya teori ini
kewenangan Pengadilan Agama dirubah dalam Staatsblad 1937 No. 116
yang berusaha menyingkirkan peran hukum Islam. Dalam Staatsblad itu
memuat rekomendasi:
- Hukum warisan Islam belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat
- Mencabut wewenang pengadilan agama (Raad Agama) untuk mengadili
masalah warisan, dan wewenang itu dialihkan kepada Landraad
- Pengadilan agama ditempatkan di bawah pengawasan Landraad
- Putusan pengadilan agama tidak dapat dilaksanakan tanpa executoir
verklaaring dari ketua Landraad (Harahap, 2003:23).
37
Dan kewenangan pengadilan agama dibatasi pada perselisihan antara suami
istri yang beragama Islam, perkara-perkara tentang nikah, talak, rujuk, dan
perceraian antara orang-orang yang beragama Islam yang memerlukan
hakim agama Islam, member keputusan perceraian, menyatakan bahwa
syarat untuk jatuhnya takilik talak sudah ada, perkara mahar, dan perkara
tentang keperluan kehidupan istri yang wajib diadakan oleh suami
(Muhibbin&Wahid. 2009: 44). Sehingga masalah waris, wakaf, hadhonah
menjadi kompetensi Pengadilan Umum.
Tetapi dalam pelaksanaan Staatsblad 1937 No. 116 pengadilan umum
masih meminta fatwa kepada hakim pengadilan agama dalam pembagian
waris, kemudian barulah hakim pengadilan umum mengeluarkan putusan.
Hal ini berjalan hingga Indonesia mempunyai undang-undang tentang
peradilan agama, yaitu UU No. 7 Tahun 1989. Dengan adanya undang-
undang ini kedudukan peradilan agama dalam sistem peradilan semakin
kuat dan mandiri dalam kewenangan mengadilinya. Hukum Islam mulai
mendapatkan tempat kembali.
2. Pengertian Waris Menurut UU No 3 Tahun 2006 dan Kompilasi Hukum
Islam (KHI)
Sebelum UU No 3 Tahun 2006, waris telah menjadi kewenangan
lingkungan Peradilan Agama yang tertuang dalam UU No 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Dalam UU No 7 Tahun 1989 pasal 49 disebutkan
“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
38
beragama islam dibidang (a) perkawinan, (b) kewarisan, wasiat, dan hibah
yang dilakukan berdasar hukum Islam, (c) wakaf dan shodaqoh”. Kemudian
dalam penjelasan pasal 49 UU No 3 Tahun 2006 mendefinisikan waris
adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta
peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan
melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan
pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang
menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris. KHI pasal
171
Aturan-aturan lain mengenai waris terdapat dalam Inpres No. 1 Tahun
1991 buku II Kompilasi Hukum Islam tentang hukum kewarisan. KHI
mendefinisikan Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harta:
a. peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak
menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
b. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan
meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam,
meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
c. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama
Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang
berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
39
e. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama
setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai
meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang
dan pemberian untuk kerabat.
Letak perbedaan antara waris menurut hukum positif dan faroidh
adalah jika dalam faroidh tidak dikenal waris terhadap harta bersama, lain
halnya dengan hukum positif di Indonesia. Dalam pasal 96 KHI
me/nyebutkan apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersam
menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
3. Pengadilan Agama Sebagai Lembaga Pelaksana Hukum Positif
a. Pembagian waris menurut KHI
Pada perkara waris di Pengadilan Agama, jangkauan kewenangan
mengadili perkara warisan meliputi seluruh bidang hukum waris Islam.
Bidang kewarisan yang dimaksud meliputi penentuan siapa-siapa yang
memnjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan
bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta
peninggalan tersebut. Dalam bukunya, Harahap (2003:149)
menerangkan secara ringkas tentang kewenangan tersebut. Yaitu:
1) Terhadap siapa-siapa yang menjadi ahli waris, yang perlu diperhatikan
adalah:
a) Penentuan kelompok ahli waris
Pasal 174 KHI menyebutkan kelompok ahli waris menurut
hubungan darah terdiri dari golongan laki-laki dan perempuan.
40
Golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-
laki, paman, dan kakek..golongan perempuan terdiri dari ibu, anak
perempuan, saudara perempuan, dan nenek.kelompok ahli waris
menurut hubungna parkawinan meliputi duda atau janda.
b) Penentuan siapa yang berhak mewarisi
c) Penentuan yang terhalang menjadi ahli waris
Diatur dalam pasal 173 KHI yang berbunyi “seorang
terhalang menjadi ahli warisapabila dengan putusan hakim yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetapdihukum karena: (a)
dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat para pewaris, (b) dipersalahkan secara
memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah
melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun
penjara atau hukuman yang lebih berat.
d) Menentukan hak dan kewajiban ahli waris, terutama kewajiban
yang berkenaan dengan mengurus pemakaman, menyelesaikan
utang piutang si pewaris, menyelesaikan wasiat si pewaris,
melakukan pembagian harta warisan (harta peninggalan) diantara
para ahli waris yang berhak.
2) Penentuan mengenai harta peninggalan
Hal-hal yang termasuk ke dalam masalah penentuan harta
peninggalan meliputi segi-segi:
a) Penentuan harta tirkah yang dapat diwarisi:
41
i. Semua harta yang ditinggal pewaris
ii. Berupa hak milik kebendaan
iii. Atau hak milik lain yang tidak betupa benda
b) Penentuan besarnya harta warisan ialah penjumlahan dari harta
tirkah ditambah dengan apa yang menjadi haknyadari harta
bersama dikurangi biaya keperluan jenazah dan hutang pewaris dan
wasiat.
3) Terhadap penentuan bagian masing-masing ahli waris
Aturan yang dipakai dalam pembagian waris di lingkungan
peradilan agama mengacu pada bagian-bagian waris yang ditetapkan
dalam KHI. Porsi masing-masing ahli waris dalam KHI adalah
sebagai berikut:
a) Anak perempuan
- Bila sendiri mendapat ½ bagian
- Bila dua orang atau lebih mendapat 2/3 bagian
- Bersama saudara laki-lakinya, bagiannya adalah 2:1
b) Ayah
- Mendapat 1/3 jika pewaris tidak menginggalkan anak
- Mendapat 1/6 jika pewaris meninggalkan anak
c) Ibu
- Mendapat 1/6 bila pewaris meninggalkan anak atau dua saudara
atau lebih
- 1/3 dari sisa setelah di ambil janda/duda bila bersama-sama ayah
42
d) Janda
- Mendapat 1/4 bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak
- Bila ada anak mendapat 1/8 bagian
e) Duda
- Mendapat separoh bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak
- Bila ada anak mendapat ¼ bagian
f) Saudara laki-laki
- Mendapat 1/6 bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak dan
ayah
- Bila dua orang atau lebih, bersama-sama mendapat 1/3 bagian
g) Saudara perempuan seibu
- 1/6 bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak dan ayah
- Dua orang atau lebih, bersama-sama mendapat 1/3 bagian
4) Melaksanakan pembagian harta peninggalan
Dalam masalah pelaksanaan pembagian waris, pembagian dapat
dilakukan berdasarkan putusan pengadilan dan pembagian
berdasarkan permohonan pertolongan. Peran pengadilan dalam
pelaksanaan pembagian warisan yaitu:
a) Pembagian berdasarkan putusan pengadilan
Termasuk fungsi kewenagan Pengadilan Agama dalam
menjalankan tugas eksekusi. Eksekusi dapat dilakukan dengan
syarat:
43
i. Putusan yang bersangkutan sudah memperoleh kekuatan hukum
tetap
ii. Putusan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut
mengandung amar atau diktum yang bersifat condemnatoir.
b) Pembagian berdasarkan permohonan pertolongan
Dasar hukum pembagian berdasarkan permohonan
pertolongan adalah hukum acara perdata yang berlaku pada
peradilan agama adalah hukum acara yang berlaku pada peradilan
umum. Ketika peradilan umum menggunakan HIR dan RBG, maka
peradilan agama pun juga berlaku hukum acara yang sama, yaitu
kewenanga Pengadilan Agama melakukan pembagian harta
warisan berdasar pasal 236 a HIR dengan syarat dan tata cara:
i. Harta warisan yang hendak dibagi di luar sengketa di pengadilan
ii. Ada pemohon minta tolong dilakukan pembagian dari seluruh
ahli waris
Jika pemohon hanya terdiri dari sebagian ahli waris saja,
pengadilan tidak bias menggunakan pasal 236 a HIR.
b. Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Perkara Waris
1) Kompetensi pengadilan agama
Dalam lingkungan peradilan, pada masing-masing lingkungan
terdapat kompetensi untuk membedakan kekuasaan mengadilinya.
Kompetensi itu terdiri dari kompetensi absolut dan kompetensi relatif.
44
a) Kompetensi relatif.
Diartikan sebagai kekuasaan peradilan yang satu jenis dan
satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan
yang sama jenis dan sama tingkatan (Djalil, 2006:138). Wewenang
reltif berguna agar seseorang tidak salah tempat (wilayah) dalam
mengajukan perkara.
b) Kompetensi absolut
Yakni kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan
jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan dalam
perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau
tingkatan pengadilan lainnya (Djalil, 2006:138). Sesuai aturan UU
No.3 Tahun 2006, pasal 49 menerangkan kewenangan pengadilan
agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara dibidang perkawin, kewarisan, wasiat,
hibah, wakaf, zakat, infaq, sedekah, dan ekonomi syariah.
Kegunaan dari wewenang absolut adalah agar seseorang tidak salah
dalam mengajukan perkara.
2) Asas-asas peradilan agama
a) Asas personalita keislaman
Merupakan asas pertama yang wajib dalam lingkungan peradilan
agama. Karena dalam penerapan asas ini kedua belah pihak harus
beragama Islam. Jika salah satu pihak tidak beragama Islam,
sengketa tidak dapat ditundukkan kepada lingkungan peradilan
45
agama, dan menjadi wewenang pengadilan umum. Begitu pula
dengan hubungan hukumnya juga harus mengunakan hukum
Islam.
b) Asas kebebasan
Dasar hukum asas kebebasan tertuang dalam UU No. 14 Tahun
1970 pasal 1. Dijelaskan bahwa “kekuasaaan kehakiman adalah
kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia”. Yahya Harahap (2003) memberikan pengertian dari
pasal tersebut bahwa:
- kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan fungsi peradilan
adalah “alat kekuasaan negara” yang lazim disebut kekuasaan
“yudikatif”.
- Kemerdekaan kekuasaan kehakiman dalam menyelenggarakan
fungsi peradilan bertujuan agar hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dapat ditegakkan dan agar penyelenggaraan kehidupan
bernegara benar-benar berdasarkan hukum, Karen Indonesia
adalah negara hukum.
Juga dapat diartikan tujuan utama kemerdekaan yang
diberikan kepada badan peradilan agar para pejabat fungsional
(para hakim) yang memeriksa dan memutus perkara benar-benar
46
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan hukum dan
kebenaran sesuai dengan hati nurani.
c) Asas wajib mendamaikan
Hakim berkewajiban mendamaikan para pihak yang bersengketa
karena dalam perdamaian itu tidak ada pihak yang menang dan
pihak yang kalah karena perdamaian itu berdasarkan keikhlasan
hati para pihak. Ajaran ini mengacu pada ajaran Islam yang
menyuruh menyelesaikan perselisihan dengan islah. Kemudian
hakim dalam menjalankan profesinya, usaha untuk mendamaikan
sebatas dalam memberikan anjuran, nasihat, penjelasan, dan
memberikan bantuan dalam perumusan sepanjang hal itu diminta
kedua belah pihak.
d) Asas sederhana, cepat, biaya ringan
Makna dan tujuan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya
ringan, bukan hanya menitik beratkan unsur kecepatan dan biaya
ringan serta pemeriksaan perkara yang sederhana dalam arti asal-
asalan. Asas ini dipergunakan untuk menerapkan keseimbangan
antara fungsi proses pemeriksaan yang cepat tetapi hukum yang
diterapkan tidak pas, dan keseimbangan antara kegunaan
penerapan hukum yang pas tetapi dengan waktu yang tidak dapat
dipastikan putusan tersebut.
47
e) Asas persidangan terbuka untuk umum
Maksud dari persidangan terbuka untuk umum adalah
memperkenankan setiap pengunjung untuk menghadiri dan
mengikuti jalannya pemeriksaan, tidak membatasi dan tidak
melarang siapa saja tanpa kecuali sesuai dengan batas-batas
kemampuan ruang sidang. Karena persidangan terbuka untuk
umum, maka tujuan dari asas ini adalah agar tidak ada
pemeriksaan gelap dan bisik-bisik. Sisi lain kegunaan persidangan
terbuka untuk umum sebagai edukasi yang dapat menjadi bahan
informasi bagi anggota masyarakat tentang suatu kasus.
Dalam pelaksanaannya tidak semua persidangan terbuka untuk
umum. Persidangan terbuka untuk umum dikecualikan pada
perkara perceraian dan perkara khusus yang diatur oleh undang-
undang. Namun pembacaan putusan pun harus dalam siding yang
terbuka untuk umum. Jika dalam persidangan atau pembacaan
putusan tidak dilakukan dalam siding terbuka untuk umum, maka
mengakibatkan seluruh pemeriksaan beserta penetapan atau
putusan batal demi hukum.
f) Asas legalitas dan persamaan
Asas legalitas dan persamaan adalah asas penting dalam
terciptanya keadilan, karena keadilan akan tercapai jika
dilaksanakan menurut hukum yang berlaku. Dan hukum akan
berlaku maksimal jika penerapannya tidak tercampuri oleh
48
kepentingan sepihak, maka dari itu fungsi asas persamaan
(equality) adalah menyamakan setiap orang yang ada dalam
persidangan mempunyai hak dan kedudukan yang sama.
Patokan dalam penerapan asas equality adalah:
1) Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan
persidangan pengadilan atau equal before the law
2) Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau equal protection
on the law
3) Mendapat perlakuan yang sama dibawah hukum atau equal
justice under the law (harahap, 2003:86).
g) Asas aktif memberi bantuan
Asas ini berlaku dengan syarat sifat hukumnya antara
imperative dn anjuran, pemberianbantuan terbatas padamebantu
membuat gugatan bagi yang buta huruf, member pengarahan
tatacara izin “prodeo”, menyarankan penyempurnaan surat kuasa,
menganjurkan perbaikan surat gugatan, member penjelasan alat
bukti yang sah, memberi penjelasan cara mengajukan bantahan
dan jawaban, bantuan memanggil saksi secara resmi, member
bantuan upaya hukum, memberi penjelasan tatacara verzet dan
rekonvensi, serta mengarahkan dan membantu memformulasi
perdamaian
49
c. Dasar Pembagian Waris menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Pasal 174
1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
a. Menurut hubungan darah:
1) golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara
laki-laki, paman dan kakek.
2) Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan,
saudara perempuan dari nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda.
2. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan
hanya : anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Pasal 96
1. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak
pasangan yang hidup lebih lama.
2. Pembangian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri
atau suaminya hutang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian
matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan
Pengadilan Agama
50
BAB III
PAPARAN DATA
C. Gambaran Umum Pengadilan Agama Ambarawa
1. Sejarah Berdirinya Pengadilan Agama Ambarawa
Sejak hampir 5 abad yang lalu dimasa Pajang Mataram, Kabupaten
Semarang telah ada dan waktu itu yang menjadi ibukota adalah Semarang.
Pada jaman itu “Gemente ( Kotapraja )” Semarang belum terbentuk.
Sebagai Bupati Semarang yang pertama adalah Ki Pandan Arang II
atau dikenal sebagai Raden Kaji Kasepuhan yang dinobatkan pada tanggal 2
Mei 1547 dan berkuasa hingga tahun 1574 serta mendapat pengesahan
Sultan Hadiwijaya. Pada masa itu beliau berhasil membuat bangunan yang
dipergunakan sebagai pusat kegiatan Pemerintah Kabupaten. Ringkasnya
sampailah pada tahun 1906 yaitu pada jaman Pemerintahan Bupati R.M.
Soebijono, lahirlah “Gemente ( Kotapraja)” Semarang, sesuai Staatblaad
tahun 1906 S.O 120. Pemerintah Kabupaten Semarang dipimpin oleh
seorang Bupati dan Pemerintah Kotapraja untuk wilayah Semarang
dipimpin oleh seorang Burgenmester. Semenjak itulah terjadi pemisahan
antara Kabupaten Semarang dengan Kotapraja Semarang hingga saat ini.
Berdasarkan Undang-undang No: 13 tahun 1950 Tentang
Pembentukan Kabupaten–kabupaten dalam lingkungan Propinsi Jawa
Tengah, Kota Semarang ditetapkan sebagai Ibukota Kabupaten Semarang,
51
namun kota Semarang adalah Kotamadya yang memiliki Pemerintahan
sendiri.
Pada saat berdirinya Kabupaten Semarang Pengadilan Agama untuk
wilayah hukum Kabupaten Semarang belum terbentuk, oleh karenanya para
pencari keadilan di wilayah Kabupaten Semarang yang akan mengajukan
perkara harus ke Pengadilan Agama Salatiga, karena wilayah hukum
Pengadilan Agama Salatiga meliputi Kota Salatiga dan Kabupaten
Semarang.
Ditinjau dari segi Pemerintahan, Kota Semarang sebagai ibukota
Kabupaten sangatlah kurang menguntungkan, maka timbulah gagasan untuk
memindahkan ibukota Kabupaten Semarang ke Kota Ungaran yang pada
saat itu masih dalam status Kawedanan.
Sementara dilakukan pembenahan, pada tanggal 30 juli 1979 oleh
Bupati Kepala Daerah Tk. II Semarang diusulkanlah ke Pemerintah Pusat
melalui Gubernur agar Kota Ungaran secara definitif ditetapkan sebagai
Ibukota Pemerintah Kabupaten Dati II Semarang. Sementara itu telah
terbentuk Pengadilan Negeri yang terletak di Ambarawa sehingga disebut
Pengadilan Negeri Ambarawa. Dalam perjalanannya kemudian berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Agama Nomor : 96 tahun 1982 maka dibentuklah
Pengadilan Agama Kabupaten Semarang dengan sebutan Pengadilan Agama
Ambarawa karena menyesuaikan dengan penyebutan Pengadilan Negeri.
Namun Pengadilan Agama berkedudukan di Kota Ungaran. Selanjutnya
52
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1983 Tentang Penetapan
Status Kota Ungaran sebagai Ibukota Pemerintah Kabupaten Dati II
Semarang, yang berlaku peresmiannya tanggal 20 Desember 1983 pada saat
Pemerintahan Bupati Ir.Soesmono Martosiswojo ( 1979-1985 ), maka Kota
Ungaran secara definitif sebagai Ibukota Kabupaten Semarang.
Oleh karena Ibukota Semarang telah dipusatkan di Ungaran, maka
berangsur-angsur semua instansi pindah ke Kota Ungaran, termasuk
Pengadilan Negeri Ambarawa, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri
Kehakiman Nomor : 14.03.AT.01.01 Tentang Pemindahan Pengadilan
Negeri Ambarawa ke Kota Ungaran dengan sebutan Pengadilan Negeri
Ungaran dengan wilayah hukum sebagaimana wilayah Kabupaten
Semarang. Namun tidak demikian halnya dengan Pengadilan Agama
Ambarawa. Pengadilan Agama tetap bernama Pengadilan Agama
Ambarawa meskipun berada di Kota Ungaran, dan wilayah hukumnya tidak
sebagaimana Pengadilan Negeri, yaitu sesuai dengan SK Menteri Agama
Nomor 76 Tahun 1983 Tentang Penetapan dan Perubahan wilayah hukum
Pengadilan, bahwa Pengadilan Agama Ambarawa adalah meliputi sebagian
wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Semarang, yang terdiri dari 7 (tujuh)
Kecamatan dan sampai sekarang telah mengalami pengembangan menjadi
10 Kecamatan, yaitu: Kecamatan Ungaran Barat, Kecamatan Ungaran
Timur, Kecamatan Bergas, Kecamatan Pringapus, Kecamatan Bawen,
Kecamatan Ambarawa, Kecamatan Sumowono, Kecamatan Banyubiru,
Kecamatan Jambu, dan Kecamatan Bandungan.
53
Pengadilan Agama Ambarawa pada awal berdirinya menempati
sebuah gedung yang terletak di Jl. Ki Sarino Mangunpranoto No. 2
Ungaran, dengan luas tanah 1.009 m2 dan luas bangunan 250 m2 dengan
status Hak Milik Negara (Departemen Agama). Dalam perkembangannya
Pengadilan Agama Ambarawa di Ungaran kemudian dipindah ke
Ambarawa, sesuai dengan Surat Keputusan Kepala Urusan Administrasi
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 46/BUA-PL/S-
KEP/XII/2006, tanggal 13 Desember 2006 Tentang Pengalihan Fungsi
Penggunaan Bangunan Kantor Lama Pengadilan Negeri Ungaran di
Ambarawa menjadi Kantor Pengadilan Agama Ambarawa yang terletak di
JL. Mgr. Soegiyopranoto No. 105 Kelurahan Ngampin, Kecamatan
Ambarawa dengan batas-batas sebagai berikut :sebelah utara : lapangan;
sebelah timur : jalan ke lapangan; sebelah selatan : Jalan raya Semarang-
Magelang; dan sebelah barat : kebun milik perorangan.
Sejak berdirinya Pengadilan Agama Ambarawa sudah melalui
beberapa pereode kepimpinan, sebagai berikut :
1. Drs. H. Ahmad Ahrory, SH ( Tahun 1983 - 1987 )
2. Drs. H. Ali Muchson, SH ( Tahun 1987 - 1988 )
3. Drs. H. Mafruchin Ismail, SH ( Tahun 1988 - 1997 )
4. Drs. H. Zubaidi, SH ( Tahun 1997 - 2000 )
54
5. Drs. H. Sutjipto, SH ( Tahun 2000 - 2003 )
6. Drs. H. Slamet Djufi, SH ( Tahun 2003 - 2004 )
7. Drs. H. Noorsalim, SH, MH ( Tahun 2004 - 2007 )
8. Dra. Hj. Rokhanah, SH, MH ( Tahun 2007 - 2011 )
9. Drs. Masthur Huda, SH. MH. ( Tahun 2011 - sekarang ) (http://www.pa-
ambarawa.go.id/ diakses hari senin, 26 Nopember 2012)
D. Gambaran Perkara Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb.
1. Gambaran Umum Perkara Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb.
Perkara dengan Nomor Putusan 632/Pdt.G/2007/PA.Amb adalah
salah satu perkara waris yang ditangani oleh Pengadilan Agama Ambarawa.
Perkara tersebut adalah gugatan dari M binti M (istri dari S) sebagai
penggugat. Dengan tergugat M binti S sebagai tergugat I, SK binti S
sebagai tergugat II, dan K bin K sebagai tergugat III. Dengan objek
sengketa waris adalah tanah seluas 10.066 M2 dengan sertifikat HM Nomor
927 Tahun 1992 yang dulu tercatat dalam C Desa No. 689 Persil No. 42 b
atas nama S. Tanah tersebut sekarang dengan atas nama M binti S (tergugat
I) dan SK binti S (tergugat II) yang dijadikan tempat tinggal tergugat I dan
usaha selepan padi oleh tergugat III. Sertifikat atas tanah tersebut dikuasai
oleh tergugat I. Tanah tersebut dibeli oleh semasa perkawinannya dengan
penggugat, dan dinyatakan sebagai harta bersama.
55
S sebagai suami penggugat telah dinyatakan meninggal pada tanggal
25 Juli 1973 karena sakit yang tercatat dalam Duplikat Surat Kematian No.
474.3/69/IX/2007. Dalam perkawinannya mempunyai 2 orang anak
perempuan M binti S (tergugat I) dan SK binti S (tergugat II). Dan
pengugat serta tergugat I dan II adalah ahliwaris dari S berdasar Surat
Keterangan Ahli Waris Nomor: 600/698 tertanggal 13 September 2007 yang
dikeluarkan oleh Kantor Kelurahan Tambakboyo.
2. Gambaran Perkara oleh Pihak Tergugat
Dari pihak tergugat I memberikan pengertian bahwa tanah sengketa
tersebut adalah hak miliknya karena penggugat telah mensertifikatkan tanah
tersebut atas nama tergugat I dan tergugat II semasa masih remaja atas
kemauannya sendiri tanpa paksaan dan mengartikan tanah tersebut bukan
lagi harta yang berhak untuk diwarisi oleh penggugat. Dalam rekonpensinya
juga menyatakan bahwa pernyataan akan pelepasan hak waris yang telah
teragendakan di Kantor Kelurahan Tambakboyo tertanggal 29 Agustus 1991
Nomor 594/67/1991 untuk membuat sertifikat HM Nomor 927 Tahun 1992
dinyatakan sah.
Tergugat I dapat membuktikan Sertifikat Hak Milik tersebut dengan
foto copy Sertifikat Hak Milik No. 927/tahun 1992 atas nama SK dan M
seluas 10.066 M2 bermaterai cukup, tetapi tidak dapat dicocokkan dengan
aslinya karena oleh tergugat I sertifikat tanah tersebut dijadikan agunan
pinjaman lunak di PT. ASABRI. Dengan diperkuat bukti surat keterangan
dari PT. ASABRI (Persero) cab. Semarang tanggal 13 Mei 2008 yang
56
menerangkan bahwa sertifikat HM Nomor 927 Tahun 1992 atas nama SK
dan M betul-betul sebagai agunan pinjaman lunak.
Dari pihak tergugat II dan III mengakui bahwa tanah sengketa
tersebut merupakan harta warisan dari S (harta bersama perkawinannya
dengan penggugat) yang belum dibagi. Dengan dikuatkan oleh bukti saksi
dari Badan Pertanaham Nasional Kabupaten Semarang yang bernama PP
memberikan keteranganbahwa pada umumnya pembuatan sertifikat harus
ada Surat Keterangan Waris, KTP, SPPT, dan Surat Penguasaan dari pihak
yang diketahui oleh Kepela Desa. Bahwa setelah dicari dokumen-dokumen
di kantor, warkah yang berhubungan dengan pengurusan sertifikat HM
Nomor 927 tidak ada, jadi tidak ditemukan Surat Keterangan Ahli Waris,
surat pelepasan hak dari penggugat maupun surat-surat lain.
Ketika tidak ada surat pelepasan hak dari penggugat dalam
pembuatan sertifikat tersebut, maka tanah tersebut masih merupakan harta
bersama yang belum dibagi waris. Tergugat II dan III juga membenarkan
bahwa tergugat II adalah ahli waris dari S dan meminta hakim untuk
membagi warisan berdasar porsinya masing-masing dengan objek sengketa
tanah sertifikat HM Nomor 927 Tahun 1992. Data tersebut juga penulis
peroleh dari wawancara dengan tergugat II yang membenarkan uraian
seluruh gambaran perkara nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb. Dan ibu
tersebut menerangkan bahwa setelah perkara tersebut diputuskan,
pembagian harta telah dilakukan sambil menunggu selesainya pengurusan
sertifikat. wawancara penulis lakukan pada tanggal 17 Juni 2012.
57
3. Gambaran Perkara oleh Pihak Penggugat
Penggugat sebagai istri almarhum merasa berhak atas tanah tersebut
karena tanah itu adalah salah satu harta bersama dari perkawinannya dengan
almarhum yang sekarang menjadi objek harta waris. Penggugat merasa
tanah tersebut belum dibagi waris meskipun telah diganti dengan atas nama
SK dan M yang dibenarkan oleh tergugat II dan III. Jadi penggugat
berharap tanah tersebut dinyatakan sebagai harta bersama (sebagai harta
gono-gini) dan dibagi sesuai bagian masing-masing ahli waris yaitu
penggugat, tergugat I, dan tergugat II.
E. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor
632/Pdt.G/2007/PA.Amb
Dalam amar putusan Pengadilan Agama Ambarawa menetapkan
penggugat sebagai istri dari almarhum berhak memperoleh seperdua harta
bersama (1/2 x 10.066m2=5033m2) dan almarhum berhak memperoleh
seperdua dari harta bersama (1/2 x 10.066m2=5033m2) yang merupakan harta
warisan yang harus dibagikan kepada semua ahli waris yang berhak.
Penggugat sebagai janda mendapat 1/8 bagian atau 6/48 x 5033
m2=629,13 m2. Tergugat I sebagai anak kandung mendapat 21/48 x 5033 m2=
2201,93 m2. Tergugat II sebagai anak kandung mendapat 21/48 x 5033 m2=
2201,93 m2. Dalam hal ini pengadilan menetapkan istri dan dua anak
perempuannya sebagai ahli waris berdasarkan surat keterangan ahli waris yang
dikeluarkan oleh kelurahan.
58
Dari wawancara yang dilakukan penulis pada tanggal 22 Nopember 2012
kepada Bapak Drs. Syamsuri selaku hakim di Pengadilan Agama Ambarawa
memberikan penjelasan bahwa penetapan ahli waris berdasar pada Pasal 174
menyebutkan kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
a. Menurut hubungan darah:
- golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki,
paman dan kakek.
- Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara
perempuan, dan nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda.
Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan
hanya : anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Dari pasal tersebut maka dapat diketahui bahwa penggugat sebagi istri
adalah ahli waris, tergugat I dan II berdasar keterangan para saksi dan surat
keterangan ahli waris adalah ahli waris yang tidak terhalang menjadi ahli waris
yang merupakan anak perempuan kandung dari pewaris. Pasal 174 KHI
tersebut menegaskan bahwa kedudukan anak laki-laki dan perempuan dapat
menghalangi ahli waris yang lebih jauh, jika terdapat saudara dari almarhum,
maka saudara tersebut terhalang oleh adanya anak (baik laki-laki atau
perempuan).
Lebih lanjut mengenai dasar pertimbangan hakim terhadap putusan
perkara nomor: 632/Pdt.G/2007/PA.Amb adalah sebagai berikut:
1. Dalam Konpensi:
59
a. Menimbang, bahwa Tergugat I telah memberikan jawaban yang pada
pokoknya;
- Tergugat I keberatan terhadap gugatan Penggugat karena tidak ada
lampiran surat kuasa dan meragukan keberadaan kuasa Penggugat
- Tergugat menyatakan bahwa gugatan Penggugat kurang pihak
- Tergugat mengakui sebagian dan membantah selebihnya, sedang
Tergugat II dan III membenarkan gugatan Penggugat dan tidak
keberatan apabila Penggugat diperhitungkan bagiannya, karena
Penggugat sebagai ibu kandung para Tergugat.
b. Menimbang, bahwa bukti-bukti surat yang diajukan telah bermaterai
cukup dan akan dipertimbangkan dibawah ini
c. Menimbang, bahwa saksi-saksi yang diajukan telah member keterangan
dibawah sumpah dan akan dipertimbangkan di bawah ini
d. Menimbang, bahwa sebelum mempertimbangkan tentang harta yang
disengketakan Majlis terlebih dahulu akan mempertimbangkan
keberatan-keberatan Tergugat di luar pokok perkara
e. Menimbang, bahwa tentang surat kuasa sebagaimana keberatan Tergugat
I, adalah merupakan syarat yang harus dilampirkan dalam gugatan yang
diajukan kepada Majlis Hakim bukan dilampirkan dalam salinan gugatan
yang diberikan kepada Tergugat. Surat kuasa maupun copy kartu tanda
anggota Peradi dari kuasa penggugat telah diajukan/dilampirkan dalam
pengajuan gugatan pengguagat, dan surat tersebut telah diperiksa oleh
Majlis ternyata sah, oleh karenanya kuasa tersebut secara sah telah
60
menjadi kuasa hukum penggugat; sehingga karenanya keberatan
Tergugat tersebut tidak dapat dipertimbangkan
f. Menimbang, bahwa keberatan tergugat tentang kurangnya pihak dalam
gugatan penggugat, berdasarkan jawaban tergugat dan keterangan saksi-
saksi, maka telah terbukti pada tahun 1942 penggugat telah menikah
dengan K bin AJ dan telah dikaruniai 5 orang anak:
- S, umur 57 tahun
- K, umur 55 tahun
- J, umur 50 tahun
- M.R, umur 47 tahun
- P, umur 45 tahun
Dan pada tahun 1962 K telah meninggal dunia karena sakit
g. Menimbang, bahwa sesuai jawaban tergugat yang dikuatkan dengan
bukti P1 dan keterangan saksi-saksi, maka telah terbukti bahwa pada
tanggal 2 Pebruari 1965 penggugat telah menikah secara sah S bin MK
dan telah dikaruniai tiga orang anak, yaitu M dan SK dan satu orang anak
laki-laki tetapi telah meninggal dunia ketika umur 13 tahun serta selama
perkawinan penggugat dengan S bin MK belum pernah bercerai
h. Menimbang, bahwa sesuai jawaban tergugat yang dikuatkan dengan
bukti P2 dan keterangan para saksi, maka telah terbukti S bin MK telah
meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1973
i. Menimbang, bahwa oleh karena itu sesuai pertimbangan tersebut diatas,
maka Majlis berpendapat bahwa pihak dalam perkara ini telah cukup,
61
bahkan tergugat III sebagai pihak meskipun tergugat III sebagai anak
bawaan penggugat, tetapi tergugat III menempati tanah tersebut untuk
pengelolaan penggilingan padi, oleh itu keberatan tergugat tersebut tidak
berdasarkan atas hukum, maka tidak dapat diterima
j. Menimbang, bahwa dari apa yang diuraikan oleh penggugat maupun para
tergugat dapat disimpulkan bahwa harta yang menjadi sengketa adalah
sebidang tanah yang dulu tercatat dalam C Desa No. 689 Persil No. 42 b
atas nama S, sekarang tanah tersebut telah bersertifikat HM No 927 tahun
1992 atas nama M dan SK yang menurut penggugat harta tersebut belum
dibagi waris, sehingga penggugat masih mempunyai hak terhadap harta
tersebut, sedang harta selainnya tidak dipermasalahkan
k. Menimbang, bahwa gugatan pokok dalam perkara ini adalah pembagian
harta waris karena adanya seseorang yang telah meninggal dunia (S bin
MK) suami penggugat dan ayah dari para tergugat, namun dalam perkara
ini juga melekat perkara harta bersama/gono gini karena status penggugat
sebagi istri dari almarhum S bin MK, oleh karena itu Majlis harus
mempertimbangkannya sekaligus
l. Menimbang, bahwa berdasarkan jawaban para tergugat dan bukti P4, P5,
P6, dan T.I.1 serta keterangan saksi-saksi (G dan SD), maka telah
terungkap bahwa tanah yang menjadi objek sengketa tersebut diperoleh
sekitar tahun 1970-1972 yang dibeli dari HM, atau diperoleh dalam masa
perkawinan penggugat dengan S bin MK.
62
m. Menimbang, bahwa tergugat I dalam jawabannya telah membantah
apabila harta peninggalan almalhum belum dibagi, dengan menyatakan
bahwa harta almarhum telah dibagikan kepada para ahli waris termasuk
objek sengketa telah diberikan kepada tergugat I dan tergugat II, akan
tetapi tergugat I juga tidak dapat menunjukkan bagian masing-masing
ahli waris, sedang jawaban tergugat II secara tersirat telah ternyata
bahwa objek sengketa dimaksud belum dibagi
n. Menimbang, bahwa oleh karena itu harus dinyatakan bahwa harta yang
menjadi objek sengketa yaitu sebidang tanah yang dulu tercatat dalam C
Desa No. 689 Persil No. 42 b atas nama S, sekarang tanah tersebut telah
bersertifikat HM No 927 tahun 1992 atas nama M dan SK merupahan
harta bersama perkawinan penggugat dengan S bin MK
o. Menimbang, bahwa meskipun sertifikat HM No 927 telah diatasnamakan
tergugat I dan tergugat II selaku anak kandung penggugat, namun
peralihan hak dari S kepada kedua anaknya tersebut tidak berdasarkan
atas hak yang benar, di mana dalam sertifikat diterangkan dasar peralihan
hak adalah keterangan ahli waris, sedangkan bukti P3 (Surat Keterangan
Ahli Waris) disebutkan bahwa ahli waris almarhum S adalah M sebagai
istri, M dan SK masing-masing sebagai anak kandung. Apabila dasarnya
Surat Keterangan Ahli Waris tentunya penggugat juga termasuk di
dalamnya. Selain hal tersebut tergugat I menyatakan bahwa penggugat
telah melepaskan hak waris terhadap harta dimaksud, namun menurut
keterangan dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Semarang
63
penerbitan sertifikat tersebut hanya berdasarkan Surat Keterangan Ahli
Waris sebagaimana yang tercatat dalam sertifikat dan tidan ada
keterangan pelepasan hak, tetapi warkah dari pengurusan sertifikat
tersebut tidak ditemukan, dan tidak ada bukti lain yang dapat
menguatkan pernyataan tergugat tersebut
p. Menimbang, bahwa oleh karena itu harus dinyatakan bahwa sertifikat
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum, dan status tanah sengketa
dimaksud sebagai harta bersama perkawinan penggugat dengan
almarhum S bin MK yang belum dibagi
q. Menimbang, bahwa oleh karena itu sesuai pasal 35 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974 dan pasal 96 ayat 1 Kompilasi Hukum
Islam penggugat M binti M sebagai istri berhak atas seperdua (1/2) dari
harta bersama tersebut di atas (12/x10.066m2), dan S bin MK sebagai
suami juga berhak atas seperdua (1/2) dari harta bersama tersebut diatas
(12/x10.066m2)
r. Menimbang, bahwa oleh karena S bin MK telah meninggal duania, maka
bagian almarhum S bin MK tersebut menjadi harta peninggalan
almarhum, dan oleh karena tidak terungkap adanya wasiat maupun
hutang alamrhum yang belum dilunasi, maka seluruh bagian almarhum S
bin MK (1/2 dari objek sengketa atau tanah seluas 5033 m2) menjadi
harata warisan almarhum dan menjadi hak para ahli waris almarhum
s. Menimbang, bahwa sesuai keterangan para pihak, bukti P3 dan
keterangan saksi-saksi, maka telah terbukti bahwa pada saat S bin MK
64
meninggal dunia meninggalkan seorang istri (penggugat) dan dua (dua)
orang anak perempuan (tergugat I dan tergugat II), mereka ketiganya
beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli
waris, oleh karenya harus dinyatakan bahwa mereka:
1) Pengugat M binti M sebagai janda
2) Tergugat I M binti S sebagai anak kandung
3) Tergugat II S.K. binti S sebagai anak kandung
Adalah ahli waris dari S bin MK
t. Menimbang, bahwa pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, Majlis
harus menetapkan bagian masing-masing ahli waris, sesuai pasal 180
Kompilasi Hukum Islam penggugat M binti M sebagai janda mendapat
bagian 1/8 (6/48) dari harta warisan tersebut di atas (6/48 x 5033 m2 =
629,13 m2)
u. Menimbang, bahwa karena anak perempuan almarhum dua orang, maka
kedua anak tersebut memperoleh 2/3 bagian (32/48) dari harta warisan
almarhum sesuai pasal 176 Kompilasi Hukum Islam
v. Menimbang, bahwa jumlah bagian penggugat, tergugat I dan II: 6/48 +
32/48 = 38/48, sehingga masih tersisa 10/48 bagian. Sisa dari bagian
tersebut diraddkan kepada kedua anak tersebut (tergugat I dan II),
dengan memperhatikan pendapat Jumhur Fuqoha dalam buku Ilmu Waris
(Drs. Fathur Rahman), maka penerimaan tergugat I dan terguggat II
sebagai berikut: 32/48+10/48= 42/48, dengan demikian bagian 1 (satu)
orang anak perempuan adalah: 42/48:2=21/48x5033 m2=2201,93 m2
65
w. Menimbang, bahwa oleh karena harta tersebut merupakan satu kesatuan,
maka diperintahkan kepada ahli waris untuk melakukan pembagian
sesuai dengan yang telah ditetapkan tersebut di atas
x. Menimbang, bahwa oleh karena sertifikat objek tersebut atas nama
tergugat I dan tergugat II, dan selama ini tergugat I yang menguasai
sertifikat sebagaimana bukti T.I.2 dan menempati objek sengketa
tersebut, sedang tergugat III juga memanfaatkan objek tersebut, maka
sudah selayaknya apabila kepada mereka atau siapa saja yang
memperoleh hak dari mereka dihukum untuk menyerahkan kepada
masing-masing yang berhak sesuai bagian yang telah ditetapkan di atas
dalam keadaan kosong
y. Menimbang, bahwa terhadap permohonan sita penggugat sesuai dengan
Putusan Sela Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb. tanggal 30 April 2008
permohonan tersebut ditolak oleh Majlis Hakim
z. Menimbang, bahwa terhadap tuntutan penggugat tentang dwangsoom
dan Uit Verbaar Bij Voerraad, oleh karena tidak berdasar atas hukum
maka tidak dapat diterima
2. Dalam Rekonpensi
a. Menimbang, bahwa penggugat dalam konpensi selanjutnya disebut
tergugat dalam rekonpensi dan tergugat I dalam konpensi selannjutnya
disebut penggugat dalam rekonpensi
b. Menimbang, bahwa penggugat telah memngajukan gugatan rekonpensi
yang pada pokoknya sebagaimana diuraika di atas
66
c. Menimbang, bahwa apa yang dipertimbangkan dalam konpensi harus
dianggap telah termuat dan terbaca kembali dalam rekonpensi
d. Menimbang, bahwa oleh karena yang disengkatakan dalam rekonpensi
adalah objeknya maupun pihaknya sama dengan apa yang disengketakan
dalam konpensi, sehingga telah dipertimbangkan dalam konpensi, maka
gugatan rekonpensi tersebut tidak dapat diterima
e. Menimbang, bahwa bukti-bukti selain yang dipertimbangkan tersebut di
atas, oleh karena tidak ada relevansinya maka dikesampingkan
f. Menimbang, bahwa oleh karenanya segala tuntutan penggugat selebihnya
juga dinyatakan tidak diterima
3. Dalam Konpensi dan Rekonpensi
a. Menimbang, bahwa sesuai pasal 181 ayat 1 HIR, maka kepada para pihak
dihukum untuk membayar biaya perkara secara tanggung renteng yang
hingga kini sebesar Rp1.166.000,- (satu juta seratus enam puluh enam
ribu rupiah)
Mengingat pasal-pasal dari Peraturan Perundang-undangan lainnya yang
berlaku dan dalil Syar’i yang berhubungan dengan perkara ini, mengadili:
1. Dalam konpensi
a. Mengabulkan gugatn penggugat sebagian
b. Menyatakan harta yang berupa sebidang tanah dengan sertifikat HM
nomor 927 tahun 1992, atas nama M (tergugat I) dan SK (tergugat II),
luas tanah 10.066 m2 yang terletak di Karanganyar RT 02 RW 05
67
Kelurahan Tambakboyo, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang
dengan batas-batas sebagai berikut:
- Sebelah utara: rumah Sriyanto, tanak kapling, tanah Dewi
- Sebelah timur: jalan setapak
- Sebelah selatan: sawah Kasiyadi dan sawah Yuhri
- Sebelah barat: jalan kampong
Adalah sebagian harta bersama perkawinan penggugat M binti M dengan
almarhum S bin MK
c. Menetapkan masing-masing penggugat M binti M berhak memperoleh
seperdua harta bersama tersebut (1/2x10.066 m2=5033 m2) dan
almarhum S bin MK berhak memperoleh seperdua harta bersama
tersebut (1/2x10.066 m2=5033 m2)
d. Menyatakan bagian dari almarhum S bin MK yang harus dibagikan
kepada semua ahli waris yang berhak
e. Menyatakan
- Penggugat M binti M sebagai janda
- Tergugat I M binti S sebagai anak kandung
- Tergugat II SK binti S sebagai anak kandung
Adalah sebagai ahli waris almarhum S bin MK
f. Menyatakan bagian masing-masing
- Penggugat M binti M sebagai janda mendapat 1/8 bagian atau
6/48x5033 m2=629,13 m2
68
- Tergugat I M bin S sebagai anak kandung mendapat 21/48x5033m2
=2201,93 m 2
- Tergugat II SK bin S sebagai anak kandung mendapat 21/48x5033
m2=2201,93 m2
g. Memerintahkan kepada para pihak untuk melaksanakan pembagian
sesuai dengan yang ditetapkan tersebut di atas
h. Menghukum pera tergugat atau siapa saja yang memperoleh hak dari
mereka untuk menyerahkan kepada masing-masing yang berhak dalam
keadaan kosong
i. Menyatakan menolak dan tidak menerima gugatan pengggugat selain
dan selebihnya
2. Dalam rekonpensi
a. Menyatakan gugatan rekonpensi penggugat tidak dapat diterima
3. Dalam konpensi dan rekonpensi
a. Menghukum para pihak untuk membayar biaya perkara secara tanggung
renteng yang hingga kini sebesar Rp 1.166.000,- (satu juta seratus enam
puluh enam ribu rupiah)
69
BAB IV
ANALISIS
F. Analisis terhadap Pembagian Waris dalam Perkara Nomor
632/Pdt.G/2007/PA.Amb. di Pengadilan Agama Ambarawa
Seperti yang telah ditetapkan KHI bahwa anak perempuan dan istri
merupakan kelompok ahli waris dari pewaris. Kemudian dalam pasal 176 dan
180 menerangkan jika terdapat dua anak perempuan dan istri, bagian mereka
masing-masing adalah 2/3 dan 1/8 dari harta warisan. Terhadap harta tersebut
dibagi harta bersama setengah bagian terlebih dahulu. Yaitu setengah dari
10.066 m2 adalah hak istri, dan setengah lagi adalah harta yang diwariskan.
2/3 atau 32/48 dan 1/8 atau 6/48 maka terdapat sisa 10 bagian, maka
bagian tersebut dibagikan kepada dua anak perempuannya. 32/48+10/48=
42/48. Sehingga bagian mereka masing-masing adalah 42/48:2=21/48x5033
m2=2201,93 m2. Bagian istri adalah 6/48 x 5033 m2 = 629,13 m2 ditambah
dengan harta bersama seluas 5.033m2. Hal tersebut telah sesuai dengan KHI,
mengingat tidak ada ahli waris lain yang lebih dekat untuk menerima harta
warisan tersebut karena telah terhalang oleh adanya anak.
G. Analisis terhadap Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor
632/Pdt.G/2007/PA.Amb
1. Pembagian Waris dalam Perkara Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb. di
Pengadilan Agama Ambarawa Tinajauan KHI
70
Pembagian waris di Pengadilan Agama sangat erat kaitannya dengan
pembagian waris secara islam. Menengok perkembangan hukum waris di
Indonesia, pembagian waris secara Islam terkodifikasi dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) yang merupakan modifikasi hukum Islam agar sesuai
dengan masyarakat Indonesia.
Dalam pembagian waris yang dilakukan Pengadilan Agama
Ambarawa telah mengacu pada Kompilasi Hukum Islam, mulai dari
penentuan ahli waris, bagian warisan, dan penentuan harta warisan dan
pelaksanaan pembagian.
a. Penentuan Ahli Waris
Dalam putusan itu pada poin s disebutkan menimbang, bahwa
sesuai keterangan para pihak, bukti P3 dan keterangan saksi-saksi,
maka telah terbukti bahwa pada saat S bin MK meninggal dunia
meninggalkan seorang istri (penggugat) dan dua (dua) orang anak
perempuan (tergugat I dan tergugat II), mereka ketiganya beragama
Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris, oleh
karenanya harus dinyatakan bahwa mereka:
4) Pengugat M binti M sebagai janda
5) Tergugat I M binti S sebagai anak kandung
6) Tergugat II SK binti S sebagai anak kandung
Adalah ahli waris dari S bin MK
Dari pertimbangan tersebut, ketiganya dinyatakan sebagai ahli
waris dalam amar putusan yang berbunyi “menyatakan Pengugat M
71
binti M sebagai janda, Tergugat I M binti S sebagai anak kandung,
Tergugat II SK binti S sebagai anak kandung Adalah ahli waris dari S
bin MK”.
b. Penentuan harta peninggalan
Dalam menentukan harta warisan Majelis Hakim menggunakan
pertimbangan-pertimbangan seperti yang diuraikan dalam BAB III yang
intinya sebagai berikut:
- poin g menjelaskan bahwa pada tanggal 2 Pebruari 1965 penggugat
telah menikah dengan S bin MK dan selama perkawinan antara
penggugat dan S bin MK belum pernah bercerai
- poin h menegaskan bahwa S bin M telah meninggal dunia pada
tanggal 25 Juli 1973
- poin j menjelaskan bahwa tanah tersebut belum pernah dibagi waris,
dan penggugat masih mempunyai hak terhadap harta tersebut.
- Poin k menjelaskan bahwa dalam harta tersebut masih terikat sebagai
harta gono-gini.
- Poin l menegaskan bahwa harta tersebut diperoleh dalam masa
perkawinannya oleh almarhum
- Poin m menguraikan antara pernyataan Tergugat I dan Tergugat II
tidak sama. Tergugat II menyatakan bahwa harta tersebut belum
pernah dibagi, itu sama halnya menguatkan pernyataan penggugat.
72
- Poin o menguraikan bahwa tidak ditemukannya surat pelepasan hak
dari penggugat, maka status tanah itu adalah harta bersama dalam
perkawinannya.
Dari pertimbangan-pertimangan tersebut Majelis Hakim
menyatakan harta yang berupa sebidang tanah dengan sertifikat HM
Nomor 927 tahun 1992, atas nama M (Tergugat I) dan SK (Tergugat
II), dengan luas tanah 10.066 m2 yang terletak di Karanganyar RT 02
RW 05 Kelurahan Tambakboyo, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten
Semarang, dengan batas-batas sebagai berikut:
- Sebelah utara : rumah Sriyanto, tanah kapling, tanah Dewi
- Sebelah timur: jalan setapak
- Sebelah selatan: sawah Kasiyadi dan sawah Yuhri
- Sebelah barat: jalan kampung
Adalah sebagai harta bersama perkawinan penggugat M binti M dengan
almarhum S bin MK.
c. Penentuan bagian waris
Oleh karena telah ditentukan ahli waris harta warisan, maka
ditentukan juga bagian masing-masing dari hak waris mereka dengan
beberapa pertimbangan. Pada poin p disebutkan menimbang, bahwa
oleh karena itu harus dinyatakan bahwa sertifikat tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum, dan status tanah sengketa dimaksud
sebagai harta bersama perkawinan penggugat dengan almarhum S bin
MK yang belum dibagi.
73
Pada poin q disebutkan menimbang, bahwa oleh karena itu sesuai
pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan pasal 96 ayat
1 Kompilasi Hukum Islam penggugat M binti M sebagai istri berhak
atas seperdua (1/2) dari harta bersama tersebut di atas (12/x10.066m2),
dan S bin MK sebagai suami juga berhak atas seperdua (1/2) dari harta
bersama tersebut diatas (12/x10.066m2)
Dalam poin t disebutkan menimbang, bahwa pertimbangan-
pertimbangan tersebut di atas, Majelis harus menetapkan bagian
masing-masing ahli waris, sesuai pasal 180 Kompilasi Hukum Islam
penggugat M binti M sebagai janda mendapat bagian 1/8 (6/48) dari
harta warisan tersebut di atas (6/48 x 5033 m2 = 629,13 m2)
Dalam poin u disebutkan menimbang, bahwa karena anak
perempuan almarhum dua orang, maka kedua anak tersebut
memperoleh 2/3 bagian (32/48) dari harta warisan almarhum sesuai
pasal 176 Kompilasi Hukum Islam.
Dalam poin v disebutkan menimbang, bahwa jumlah bagian
penggugat, tergugat I dan II: 6/48 + 32/48 = 38/48, sehingga masih
tersisa 10/48 bagian. Sisa dari bagian tersebut diraddkan kepada kedua
anak tersebut (tergugat I dan II), dengan memperhatikan pendapat
Jumhur Fuqoha dalam buku Ilmu Waris (Drs. Fathur Rahman), maka
penerimaan tergugat I dan terguggat II sebagai berikut: 32/48+10/48=
42/48, dengan demikian bagian 1 (satu) orang anak perempuan adalah:
42/48:2=21/48x5033 m2=2201,9 m2
74
Dari pertimbanga-pertimbangan tersebut, Majelis Hakim
menetapkan “penggugat M binti M berhak atas seperdua (1/2) dari harta
bersama tersebut di atas (12/x10.066m2=5033 m2), dan almarhum S bin
MK berhak atas seperdua (1/2) dari harta bersama tersebut
(12/x10.066m2=5033m 2)”. Menyatakan bagian masing-masing ahli
waris:
- Penggugat M binti M sebagai janda mendapat 1/8 bagian atau
6/48x5033 m2
- Tergugat I M binti S sebagai anak kandung mendapat
21/48x5033m2=2201,93m2
- Tergugat II SK binti S sebagai anak kandung mendapat
21/48x5033m2=2201,93m2
Pembagian waris tersebut telah sesuai dengan ketetapan
pembagian waris islam, yaitu istri mendapat 1/8 bagiam, 2 anak
perempuan mendapat 2/3 bagian dan sisa harta dibagikan pada kedua
anaknya. Terhadap istri mendapat separo bagian dari harta bersama hal
itu merupakan perkembangan hukum waris islam di Indonesia karena
kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama.
d. Pelaksanaan pembagian oleh Pengadilan Agama Ambarawa
Pertimbangan Majelis Hakim dalam pelaksanaan pembagian
waris adalah sebagai berikut :
- Poin w menyebutkan “menimbang, bahwa oleh karena harta tersebut
merupakan satu kesatuan, maka diperintahkan kepada ahli waris
75
untuk melakukan pembagian sesuai dengan yang telah ditetapkan
tersebut di atas”.
- Poin x menerangkan bahwa Tergugat I adalah pihak yang menguasai
sertifikat tersebut dan menempati tempat trsebut, sedang Tergugat III
juga memanfaatkan objek tersebuut, maka mereka dihukum untuk
menyerahkan kepada masing-masing yang berhak sesuai bagian
yang telah ditetapkan di atas dalam keadaan kosong.
Dalam amar putusannya Majelis Hakim memerintahkan kepada
para pihak untuk melaksanakan pembagian sesuai yang ditetapkan dan
menghukum para tergugat atau siapa saja yang memperoleh hak dari
mereka untuk menyerahkan kepada masing-masing yang berhak .
Dari uraian tentang perkara waris di Pengadilan Agama
Ambarawa tersebut terhadap penentuan ahli waris, penentuan harta
peninggalan, penentuan bagian masing-masing, dan pelaksanaan
pembagian telah sesuai dengan KHI dan telah menggali kebenaran-
kebenaran sehingga penalaran terhadap putusan tersebut sudah terasa
adil. Tidak ada hal yang terasa ganjil selama proses persidangan serta
menempatkan antara bukti surat dan saksi dengan seimbang.
H. Analisis terhadap Pelaksanaan Putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb
Mengenai hal tersebut di atas Pengadilan Agama Ambarawa dalam
putusan nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb tentang kewenangan mengadili pada
bidang kewarisan telah sesuai dengan KHI. Dan terhadap putusan Pengadilan
Agama telah menyebutkan untuk memerintahkan pembagian waris
76
berdasarkan putusannya. Sehinggan pelaksanaan pembagian waris lebih pasti
karena putusan tersebut mempunyai kekuatan mengikat, kekuatan
pembuktian, dan kekuatan eksekutorial.
Kemudian terkait setelah adanya putusan tersebut, oleh pihak keluarga
telah dilakukan pembagian waris sesuai dengan yang ditetapkan dalam
putusan. Dan putusan tersebut juga dijadikan dasar untuk mengurus sertifikat
tanah yang dijadikan agunan lunak, kemudian dijadikan dasar lagi untuk
mengurus sertifikat berikutnya atas nama masing-masing ahli waris.
Mengingat dasar hukum yang diterapkan dalam putusan tersebut telah sesuai
dan bisa diterima serta telah dilakukan pembagian maka putusan ini telah
mencakup rasa adil.
77
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Pembagian Waris dalam Perkara Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb di
Pengadilan Agama Ambarawa telah mengacu pada Kompilasi Hukum Islam
dalam menetapkan ahli waris, besar bagian masing-masing dan penetapan
harta warisannya, yaitu: Penggugat sebagai istri mendapat setengah bagian
dari harta bersama (1/2x10.066 m2=5.033 m2). Bagian waris istri 1/8 atau
6/48, dua anak perempuan mendapat 2/3 atau 32/48. Terdapdat sisa harta
10/48 bagian yang dibagiakan pada 2 anak perempuannya. Sehingga bagian
istri 6/48x 5.033 m2=629,13 m2. Tergugat I mendapat 21/48x5033m2
=2201,93 m 2. Tergugat II mendapat 21/48x5033m2 =2201,93 m 2
2. Dasar pertimbangan hakim pembagian waris putusan Nomor
632/Pdt.G/2007/PA.Amb adalah sebagai berikut. Dari keterangan para saksi
dan bukti-bukti yang diajukan serta pengakuan dapi para pihak maka
terbukti bahwa tanah sengketa waris belum pernah dibagi waris. Oleh
karena penggugat adalah istri dari almarhum, maka sesuai dengan pasal 35
UU No. 1 tahun 1974 dan pasal 96 ayat 1 KHI penggugat berhak atas ½
bagian dari harta bersama dan ½ bagian menjadi harta warisan. Kemudian
penetapan ahli waris berdasarkan keterangan para saksi dan bukti yang
diajukan dalam persidangan maka Penggugat, Tergugat I, dan Tergugat II
adalah ahli waris dari almarhum. Terhadap bagian masing-masing ahli
waris, sesuai keterangan dari Bapak Syamsuri selaku hakim Pengadilan
78
Agama Ambarawa, menerangkan bahwa dalam pasal 174 (2) KHI
disebutkan “apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat
warisan hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda”, yang dimaksud dengan
anak adalah baik itu anak laki-laki atau perempuan. Jadi kedudukan
Tergugat I dan Tergugat II sebagai anak perempuan kandung dari almarhum
telah menghalangi saudara almarhum untuk mewarisi. Sehingga dapat
ditetapkan bahwa istri sebagai ahli waris mendapat 1/8 bagian dan dua anak
perempuan mendapat 2/3 bagian. Dalam hal ini terdapat sisa harta 10
bagian, kemudian hakim mempertimbangkan berdasarkan jumhur fuqoha
dalam buku Ilmu Waris Drs. Fathur Rahman, maka sisa harta tersebut
menjadi hak anak (Tergugat I dan Tergugat II). Setelah penentuan itu
semua, pelaksanaan pembagian waris ditegaskan dalam amar putsan yang
menegasakan “memerintahkan para pihak untuk melaksanakan pembagian
sesuaiyang ditetapkan tersebut di atas dan menghukum kepada para tergugat
atau siapa saja yang memperoleh hak dari mereka untuk menyerahkan
kepada masing-masing yang berhak dalam keadaan kosong. Kewenangan
mengadili perkara Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb telah sesuai dengan
ketentuan penjelasan pasal 49 huruf b UU No 3 tahun 2006. Yaitu
penentuan ahli waris, penentuan harta warisan, penentuan bagian masing-
masing, dan pelaksanaan pembagian. Serta pembagian waris dilakukan telah
sesuai dengan KHI.
3. Pelaksanaan putusan nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb oleh pihak keluarga
telah dilaksanakan pembagian sesuai dengan putusan. Oleh karena putusan
79
tersebut telah mempunyai kekuatan hokum, maka pihak keluarga sangat
terbantu dalam pengurusan keperdataan selanjutnya seperti pengurusan
sertifikat yang dijadikan agunan pinjaman lunak dan pensertifikatan
berikutnya oleh masing-masing ahli waris.
B. SARAN
1. Yang pertama adalah saran terhadap diri saya sendiri untuk belajar dengan
giat lagi dalam mendalami sebuah bidang karena dalam skripsi yang
singkat ini saya telah menemukan banyak hal yang belum saya ketahui
sebelumnya.
2. Setelah mengikuti cara pembagian waris di Pengadilan Agama, khususnya
Pengadilan Agama Ambarawa, saran yang dapat saya sampaikan adalah
bagi masyarakat yang mempunyai masalah dalam pembagian waris jangan
enggan untuk mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama karena dalam
pembagian tersebut telah menggunakan banyak pertimbangan dan
ditangani oleh hakim-hakim yang ahli dalam bidang perdata Islam.
3. Bagi pihak kampus, kiranya dapat menerima dengan lapang dada penelitian
ini yang jauh dari sempurna.
4. Bagi para hakim, terutama hakim Pengadilan Agama Ambarawa dan
pegawai pengadilan untuk lebih meningkatkan kemampuan dalam
menjalankan profesinya.
80
DAFTAR PUSTAKA
Lubis & Simanjuntak. 2007. Hukum Waris Islam. Jakarta: Sinar Grafika. Budiono, A. Rachmad. 1999. Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia.
Bandung: Citra Aditya Bakti. Alkalali, Asad. M. 1987. Kamus Indonesia-Arab. Jakarta: Bulan Bintang. Muqoddas, M. Busyro, dkk. 2010. Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab
Negara. Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia. Harahap, M. Yahya. 2003. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama:
UU No. 7 Tahun 1989. Jakarta: Sinar Grafika. Rasyid & Syaifuddin. 2009. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada
Peradilan Agama. Yogyakarta: UII Press. Djalil, Basiq. 2006. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana. Rasyid, Roihan. A. 2010. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: RajaGrafindo
Persada. Arto, A. Mukti. 1996. Praktek Perkara Perdata: pada Pengadilan Agama.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Departemen Agama. 1998. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta. Manan, Abdul. 2006. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:
Kencana. Departemen Agama. 1986. Ilmu Fiqh 3. Jakarta. Ash-Shabuni, Muhammad Ali. 2007. Pembagian Waris Menurut Islam. Jakarta:
Gema Insani. Fajri, Senja. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Difa Publlisher. Muhibbin, Wahid. 2009. Hukum Islam sebagai Pembaruan Hukum Positif di
Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Suma, Muhammad Amin. 2008. Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan
Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
81
Ali, Mohammad Daud. 2011. Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia). Jakarta: Rajawali Pers.
Zumrotun, siti. 2007. Faktor Penyebab Keengganan Masyarakat Muslim Salatiga
Mengajukan Perkara Waris di Pengadilan Agama. STAIN Salatiga. Poerwadarminta. 2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Darmodiharjo& shidarta. 1999. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
http://www.pa-ambarawa.go.id/ diakses hari senin, 26 nop 2012 pukul 11.22
Zen, Nor Fuad. 2002. Wasiat Wajibah sebagai Alternatif Waris Anak Angkat.
STAIN Salatiga.
Aryanto, Slamet. 2009. Pembagian Warisan dengan Jalan Hibah menurut
Pandangan Islam. STAIN Salatiga.
Adityassari, Hanik. 2009. Pembagian Harta Warisan bagi Keturunan Punah.
STAIN Salatiga.
Haryanti, Isti. 2004. Hak Waris Anak dari Proses Bayi Tabung. STAIN Salatiga.
Setiawati, Ambar. 2004. Bagian Waris Anak dalam Kandungan. STAIN Salatiga.
Hartati. 2002. Bagian Waris Anak Luar Nikah menurut Hukum Islam dan Hukum
Positif. STAIN Salatiga.
Asad, Muhammad Ali. 2010. Pelaksanaan Hukum Waris dalam Masyarakat
Islam. STAIN Salatiga.
Anggraeni, nanik dyah. 2001. Hak Opsi dalam Hukum Waris di Indonesia.
STAIN Salatiga.