12
PEMANFAATAN HUTAN BAGI KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP I. Sumber daya alam di Indonesia dikuasai oleh negara Konsep dasar hak menguasai sumber daya alam oleh negara termuat dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang berbunyi : Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sebelum amandemen, dalam Penjelasan Pasal 33 alinia 4 dijelaskan bahwa: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dari ketentuan Pasal 33 ayat 3 dan penjelasannya tersebut tampak bahwa, hubungan antara negara dengan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah hubungan penguasan. Artinya, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Apa yang dimaksud dengan ”dikuasai” oleh negara, dalam UUD 1945 tidak ada penjelasan. Penjelasan otentik tentang pengertian bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (Sumber daya alam) dikuasai oleh negara, termuat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (LN. 1960-104, TLN. 2043) atau lebih terkenal dengan nama Undang- undang Pokok Agraria (UUPA) yang mulai berlaku pada tanggal 24 September 1960. Pasal 2 UUPA merupakan aturan pelaksanaan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menjelaskan pengertian SDA dikuasai oleh negara sebagai berikut: (1) Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat 3 Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkat tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. (2) Hak menguasai dari Negara tersebut dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk :

Pemanfaatan Hutan Bagi Kesejahteraan Rakyat Dan Kelestarian Lingkungan Hidup

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Kehutanan

Citation preview

Page 1: Pemanfaatan Hutan Bagi Kesejahteraan Rakyat Dan Kelestarian Lingkungan Hidup

PEMANFAATAN HUTAN BAGI KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP

I. Sumber daya alam di Indonesia dikuasai oleh negara

Konsep dasar hak menguasai sumber daya alam oleh negara termuat dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang berbunyi : Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sebelum amandemen, dalam Penjelasan Pasal 33 alinia 4 dijelaskan bahwa: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Dari ketentuan Pasal 33 ayat 3 dan penjelasannya tersebut tampak bahwa, hubungan antara negara dengan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah hubungan penguasan. Artinya, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Apa yang dimaksud dengan ”dikuasai” oleh negara, dalam UUD 1945 tidak ada penjelasan.

Penjelasan otentik tentang pengertian bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (Sumber daya alam) dikuasai oleh negara, termuat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (LN. 1960-104, TLN. 2043) atau lebih terkenal dengan nama Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yang mulai berlaku pada tanggal 24 September 1960. Pasal 2 UUPA merupakan aturan pelaksanaan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menjelaskan pengertian SDA dikuasai oleh negara sebagai berikut:

(1)  Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat 3 Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkat tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

(2)  Hak menguasai dari Negara tersebut dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk :

1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

2. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa;

(3)  Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat (2) pasal ini dipergunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

(4)  Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan

Page 2: Pemanfaatan Hutan Bagi Kesejahteraan Rakyat Dan Kelestarian Lingkungan Hidup

dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

Dalam Penjelasaan Umum Nomor II/2 UUPA dijelaskan bahwa : Undang-undang Pokok Agraria berpangkal pada pendirian, bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-undang Dasar tidak perlu dan tidak pula pada tempatnya, bahwa bangsa Indonesia ataupun negara bertindak sebagai pemilik tanah, adalah lebih tepat jika negara, sebagai organisasi kekuasan seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa. Dari sudut inilah harus dilihat arti ketentuan Pasal 2 ayat (1) yang mengatakan bahwa, ”Bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara”. Sesuai dengan pangkal pendirian tersebut di atas perkataan ”dikuasai” dalam pasal ini bukanlah berarti ”dimiliki” akan tetapi adalah pengertian yang memberi wewenang kepada negara, sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia itu, untuk pada tingkat tertinggi:

1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya.

2. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu.

3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Segala sesuatu dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.

Dari Pasal 2 dan penjelasannya tersebut, menurut konsep UUPA, pengertian dikuasai oleh negara bukan berarti dimiliki, tetapi hak yang memberi wewenang kepada negara untuk mengatur 3 hal tersebut di atas. Isi wewenang negara yang bersumber pada hak menguasai SDA  tersebut semata-mata bersifat ”publik” yaitu wewenang untuk mengatur (regulasi) dan bukan wewenang untuk menguasai tanah secara pisik dan menggunakan tanahnya sebagaimana wewenang pemegang hak atas tanah yang bersifat ”privat”. Oleh karena itu, apabila negara memerlukan tanah untuk membangun kantor-kantor pemerintah, ditempuh cara dengan memberi suatu hak atas tanah (hak pakai atau hak pengelolaan) kepada instansi pemerintah yang memerlukan tanah itu.

Menurut Pasal 2 ayat 3 UUPA, wewenang negara yang bersumber pada hak menguasai SDA itu digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Semua kebijakan pemerintah di bidang agraria yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, harus dapat meningkatkan kemakmuran, kesejahteraan rakyat Indonesia. Kebijakan pemerintah di bidang agraria yang hanya menguntungkan segelintir orang (investor) dan merugikan rakyat banyak, tidak dapat dibenarkan.

Hutan merupakan salah satu sumber daya alam di samping sumber daya alam yang lain, seperti bahan tambang, laut dan lain-lain. Oleh karena itu, peraturan-peratutan yang mengatur tentang hutan termasuk dalam bidang hukum agraria. UUPA tidak mengatur secara khusus mengenai hukum kehutanan ini, hanya dalam Pasal 46 menyebut dua macam hak yang berkaitan dengan hutan yaitu, hak membuka hutan dan hak memungut hasil hutan. Bunyi selengkapnya Pasal 46 tersebut adalah:

Page 3: Pemanfaatan Hutan Bagi Kesejahteraan Rakyat Dan Kelestarian Lingkungan Hidup

(1)  Hak membuka hutan dan memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warganegara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(2)  Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu.

Menurut Pasal 46 ayat 1 tersebut, aturan lebih lanjut mengenai hak membuka tanah dan memungu hasil hutan diatur dalam bentuk peratutan pemerintah. Namun aturan lebih lanjut dari kedua hak tersebut diatur dalam bentuk undang-undang yaitu, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (LN. 1967-8, TLN. 2823) yang diganti oleh Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (LN. 1999-167, TLN. 3888).

Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, dijelaskan beberapa definisi tentang :

1. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persatuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. (Pasal 1 nomor 2)

2. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. (Pasal 1 nomor 4)

3. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah (Pasal 1 nomor 5)

4. Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.

Dalam pasal 4 undang-undang tersebut menyatakan bahwa, semua hutan dalam wilayah Republik Indonesia dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Bunyi selengkapnya pasal 4 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 sebagai berikut:

(1)  Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

(2)  Penguasaan hutan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada pemerintah untuk:

1. Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, dan hasil hutan;2. Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau bukan kawasan

hutan; dan

3. Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.

Dalam Penjelasan Umum antara lain dijelaskan bahwa: Penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan pemilikan, tetapi negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; menetapkam kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan; mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan, serta mengatur perbuatan hukum mengenai hutan. Selanjutnya pemerintah mempunyai

Page 4: Pemanfaatan Hutan Bagi Kesejahteraan Rakyat Dan Kelestarian Lingkungan Hidup

wewenang untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di bidang kehutanan.

Konsep dan asas hukum kehutanan nasional yang termuat dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, sama dengan konsep dan asas hukum agraria nasional yang termuat dalam UUPA, yaitu: Hutan di Indonesia dan segenap isinya merupakan karunia Tuhan YME sebagai sumber daya alam yang memberi manfaat serta guna yang mutlak dibutuhkan oleh umat manusia, dengan amanat harus dilindungi dan dimanfaatkan guna kesejahteraan rakyat secara lestari. (Konsideran Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999). Menurut konsep dan asas tersebut, jelas bahwa pengaturan hukum kehutanan di Indonesia harus memperhatikan manfaat dan lestari dengan tujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

II. Kebijakan pemerintah dalam menerapkan asas manfaat dan lestari

Tampaknya asas manfaat dan lestari ini belum dapat diterapkan secara penuh. Hal ini terbukti dengan adanya kerusakan hutan yang sudah mencapai titik kulminasi yang sangat memprihatinkan. Departemen Kehutanan Republik Indonesia telah menyatakan bahwa, laju kerusakan hutan pada kurun waktu 1998-2000 telah mencapai angka 3,8 juta hektar pertahun. Berdasar data Forest Watch Indonesia (FWI) laju kerusakan hutan dalam 3 tahun terakhir yaitu tahun 2001-2003 telah mencapai 4,1 juta hektar pertahun. Laju Kerusakan Hutan di Indonesia  Terparah di Planet Ini, dikutip dari Henri Subagiyo, Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Hak Kepemilikan Jaminan Fiducia dalam Upaya Pemberantasan Illegal Logging, dalam Jurnal Konstitusi, Volome 3 nomor 3 Mei 2006).

Kerusakan hutan ini menyebabkan semakin buruknya kondisi lingkungan hidup termasuk hutan di Indonesia. Pengelolaan SDA yang tidak sesuai dengan daya dukungnya menyebabkan timbulnya kerusakan SDA yang sangat parah. Hampir semua SDA di Indonesia mengalami penurunan kualitas dan kuantitas dari waktu ke waktu karena pengelolaan yang tidak memperhatikan asas manfaat dan lestari.

Untuk mengatasi degradesi kualitas dan kuantitas SDA tersebut, Pemerintah Republik Indonesia dalam Agenda Pembangunan Nasional tahun 2004-2009 menyebutkan bahwa: SDA dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Dengan demikian maka, pengelolaan SDA harus memperhatikan asas manfaat dan lestari serta bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Asas ini harus diterapkan dalam semua sektor pembangunan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup (Sustainable Development).

Berkaitan dengan Agenda Pembangunan Nasional tersebut, pemerintah menentukan sasaran pembangunan di bidang kehutanan yaitu:

1. Tegaknya hukum, khususnya dalam pemberantasan pembalakan liar (illegal logging) dan penyelundupan kayu;

2. Penetapan kawasan hutan dalam tata-ruang seluruh propinsi di Indonesia, setidaknya 30 % dari luas hutan yang telah ditata-batas;

3. Penyelesaian penetapan kesatuan pengelolaan hutan;

4. Optimalisasi nilai tambah dan manfaat hasil hutan;

Page 5: Pemanfaatan Hutan Bagi Kesejahteraan Rakyat Dan Kelestarian Lingkungan Hidup

5. Meningkatkan hasil hutan non kayu sebesar 30 % dari produksi tahun 2004;

6. Bertambahnya hutan tanaman industri (HTI), minimal seluas 5 hektar, sebagai basis pengembangan ekonomi hutan;

7. Konservasi hutan dan rehabilitasi lahan di 282 DAS prioritas untuk menjamin pasokan air serta sistem penopang kehidupan lainnya;

8. Desentralisasi kehutanan melalui pembagian wewenang dan tanggung-jawab yang disepakati oleh Pusat dan Daerah;

9. Berkembangnya kemitraan antara pemerintah, pengusaha, dan masyarakat dalam pengelolaan hutan lestari

Dalam nomor 1 Agenda Pembangunan Nasional tersebut dinyatakan bahwa, pemberantasan pembalakan liar (illegal Logging) menjadi urutan pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah. Pakar ekonomi Dr Budi P Resosudarmo mengemukakan bahwa, kerugian yang dialami oleh bangsa Indonesia akibat illegal logging ini mencapai USD 12 milliar pertahun. Departeman Kehutanan sendiri memperkirakan kerugian negara akibat illegal logging telah mencapai Rp 30,42 triliun pertahun. (Henri Subagiyo, op cit, h.85)

Komitmen pemerintah untuk memberantas illegal loggong ditindak-lanjuti dengan berlakunya Instruksi Presiden Nomor. 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Illegal di Kawasan  Hutan  dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Indonesia. Dalam Instruksi Presiden itu, Presiden memberi mandat kepada 18 instansi pemerintah untuk memberantas pembalakan liar (illegal logging) beserta peredarannya, yaitu kepada : Menko Bidang Politik dan HAM (koordinator), Menteri Kehutanan, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perhubungan, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Perindustrian, Menakertrans, Menteri Lingkungan Hidup, Jaksa Agung, Kapolri, Panglima TNI, Kepala BIN, Gubernur dan Bupati/Walikota.

Dalam Inspres tersebut Presiden memerintahkan kepada semua instansi pemerintah itu untuk menindak secara tegas para pelaku pembalakan liar dan peredarannya yang diharapkan dapat memberantas illegal loggong.

Di samping kerusakan hutan terutama disebabkan oleh pembalakan liar, juga disebabkan oleh adanya konversi hutan menjadi perkebunan dan pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan. Pengrusakan hutan ini menyebabkan timbulnya bencana alam misalnya berupa banjir dan tanah longsor yang berkepanjangan yang sering kali memakan korban jiwa dan harta benda.

III. Kebijakan pemerintah untuk mencapai tujuan penyelenggaraan hutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat

Pengelolaan SDA termasuk hutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, secara tegas diatur dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, Pasal 2 ayat 3 UUPA dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 sebagaimana telah dijelaskan di atas. Tampaknya dalam praktik asas ini belum diterapkan secara optimal. Hal ini terbukti dengan tingkat kemakmuran rakyat khususnya yang berdomisili di sekitar hutan masih memprihatinkan.

Page 6: Pemanfaatan Hutan Bagi Kesejahteraan Rakyat Dan Kelestarian Lingkungan Hidup

Pemerintah Orde Baru menggunakan paradigma pengelolaan dan pengusahaan hutan yang didominasi oleh negara. Dengan paradigma ini memberi wewenang yang absolut kepada pemerintah untuk menguasai, mengatur, mengelola dan mengusahakan SDA semata-mata sebagai sumber pendapatan (devisa) negara. Melalui piranti hukum dan kebijakan yang bernuansa represif, secara sistematik negara cenderung mengabaikan dan menggusur akses, kepentingan serta hak-hak masyarakat atas sumber daya hutan, dan bahkan mengkriminalisasi masyarakat lokal yang mencoba mengakses sumber daya hutan untuk kebutuhan hidup subsistemnya. Kosekwensinya, terjadi proses marginalisasi dan viktimisasi yang tidak hanya menyangkut sumber-sumber kehidupan masyarakat, tetapi juga memarginali-sasi kekayaan sosial dan kulturan masyarakat (social and cultural assets), khususnya pengetahuan, teknologi, tradisi-tradisi, dan praktik-praktik pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan yang dilakukan masyarakat. (I Nyoman Nurjaya, 2001, Magersari: Studi Kasus Pola Hubungan Kerja Penduduk Setempat Dalam Pengusahaan Hutan, Disertasi, h.194)

Salah satu peraturan perundang-undangan yang menggusur hak-hak masyarakat hukum adat terdadap hutannya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan hutan. Dalam Pasal 6 peraturan pemerintah tersebut berbunyi:

(1)  Hak-hak masyarakat hukum adat dan anggota-anggotanya untuk memungut hasil yang didasarkan atas suatu peraturan hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada, pelaksanaannya perlu ditertibkan sehingga tidak mengganggu pelaksanaan pengusahaan hutan.

(2)  Pelaksanaan tersebut dalam ayat (1) pasal ini harus seizin Pemegang Hak Pengusahaan Hutan yang diwajibkan meluluskan pelaksanaan hak tersebut pada ayat (1) pasal ini  yang diatur dengan suatu tata tertib sebagai hasil musyawarah antara Pemegang Hak dan Masyarakat Hukum Adat dengan bimbingan dan pengawasan Dinas Kehutanan.

(3)  Demi keselamatan umum, di dalam areal hutan yang sedang dikerjakan dalam rangka pengusahaan hutan, pelaksanaan hak rakyat untuk memungut hasil hutan dibekukan.

Menurut Pasal 6 ayat 3 tersebut, demi keselamatan umum, di dalam areal yang sedang dikerjakan dalam rangka pengusahaan hutan, pelaksanaan hak-hak masyarakat hukum adat untuk memungut hasil hutan dibekukan. Dalam peraturan pemerintah tersebut tidak ada penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan dibekukan itu. Dibekukan artinya, dimatikan atau ditiadakan, sehingga di areal hutan yang sedang dikerjakan dalam rangka pengusahaan hutan, pelaksanaan hak-hak masyarakat hukum adat untuk memungut hasil hutan ditiadakan. Akibatnya, masysrakat hukum adat setempat tidak boleh lagi (dilarang) untuk mengambil hasil hutan di areal hutan adatnya. (Muhammad Bakri, 2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria, h. 143-144)

Pada dekade terakhir ini timbul gagasan  untuk mengubah paradigma lama yaitu State Dominate Control and Management dengan mengenalkan paradigma baru yaitu paradigma yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat lokal yang terkenal dengan nama paradigma pengelolaan sumber daya hutan yang berbasis masyarakat (Community Based Forest Management), dengan melibatkan serta memberi peran yang lebih proporsional kepada masyarakat lokal dalam pengelolaan dan pengusahaan sumber daya hutan (I Nyoman Nurjaya, op cit, h.195)

Page 7: Pemanfaatan Hutan Bagi Kesejahteraan Rakyat Dan Kelestarian Lingkungan Hidup

Oleh karena itu, untuk mendongkrak tingkat kemakmuran rakyat khususnya yang berdomisili di sekitar hutan, paradigma yang bertumpu pada domonasi negara harus diganti dengan paradigma yang melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan (Community Based Forest Management), dan pengingkaran hak-hak masyarakat hukum adat terhadap hutan adatnya harus segera diakhiri.

IV. Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

1. Kekayaan alam yang ada di Indonesia dikuasai oleh negara. Arti dikuasai oleh negara bukanlah berarti “dimiliki” tetapi berarti hak yang memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengatur (wewenang regulasi): 1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaan SDA;

2. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa;

3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang menganai bumi, air dan ruangf angkasa.

4. Asas dan tujuan penyelenggaraan kehutanan adalah, berasaskan manfaat dan lestari dengan tujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

5. Kebijakan pemerintah dalam menerapkan asas manfaat dan lestari, tampaknya belum dilaksanakan secara optimal. Hal ini terbukti dengan makin rusaknya hutan di Indonesia yang menyebabkan timbulnya bencana alam yang berkepanjangan. Kerusakan hutan ini antara lain disebabkan oleh: adanya pembalakan liar dan konversi hutan menjadi perkebunan serta pemberian hak Pengusahaan Hutan yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan

6. Kebijakan pemerintah untuk mencapai tujuan penyelenggaraan kehutanan yaitu sebesar-besar kemakmuran rakyat juga belum dapat dicapai secara memuaskan. Hal ini ditandai dengan semakin terpuruknya tingkat kemakmuran rakyat khususnya yang bermukim di sekitar hutan.

B. Saran-saran:

1. Untuk mewujudkan asas manfaat dan lestari, disarankan:2. Dalam pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan konversi hutan menjadi

perkebunan harus memperhatikan daya dukung lingkungan;

3. Pemberantasan pembalakan liar (Illegal Logging) dan peredarannya perlu ditingkatkan.

4. Untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan kehutanan yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, disarankan:

Page 8: Pemanfaatan Hutan Bagi Kesejahteraan Rakyat Dan Kelestarian Lingkungan Hidup

1. Melindungi hak-hak masyarakat hukum adat terhadap hutan adatnya dari intervensi pemerintah khususnya dalam pemberian Hak Pengusahaan Hutan.

2. Mengubah paradigma lama dalam pengelolaan dan pengusahaan hutan yang didominasi oleh negara (State Dominated Control Management) menjadi paradigma baru yaitu Community Based Forest Management yang melibatkan dan memberi peran yang proporsional kepada masyarakat lokal dalam pengelolaan dan pengusahaan sumber daya hutan.

Daftar Pustaka

Bambang Pamuladi, 1995, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria,Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta;

Henri Subagiyo, 2006, Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Hak Kepemilikan Jaminan Fidusia Dalam Upaya Pemberantasan ”Illegal Logging”, dalam Jurnal Konstitusi, Volume 3 nomor 2 Mei 2006

I Nyoman Nurjaya, 2001, Magersari: Studi Kasus Pola Hubungan Kerja Penduduk Setempat Dalam Pengusahaan Hutan, Disertasi, Universitas Indonesia

Muhammad Bakri, 2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria), Citra Media, Yogyakarta