Upload
dinhnhi
View
256
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Industri Gula
Gula merupakan salah satu sumber energi yang dibutuhkan manusia
dalam kehidupan sehari-hari, dan input penting dalam industri makanan dan
minuman yang berperan sebagai bahan pemanis maupun bahan pengawet untuk
sebagian pangan olahan. Klasifikasi pemanis menurut bentuk dan sumber bahan
dapat di lihat pada Gambar 5 berikut ini :
Gambar 5 Klasifikasi Pemanis Berdasarkan Bentuk dan Sumbernya
(Sumaryanto 2003 dalam Sabil 2005)
Secara fisik terdapat tiga jenis gula yaitu : 1) gula kristal, 2) gula bukan kristal,
dan 3) gula cair. Menurut SK No. 527/MPP/Kep/9/2004 tentang Tata Niaga
Impor Gula antara lain mengkategorikan gula kristal sebagai gula kristal
mentah/gula kasar (raw sugar), gula kristal rafinasi (refined sugar), dan gula
kristal putih (plantation white sugar).
Gula yang dikenal dalam masyarakat luas adalah sakarosa atau sukrosa
yang merupakan disakarida yang pada hidrolisa menghasilkan glukosa dan
fruktosa. Produk gula dalam negeri termasuk dalam kualifikasi yang dikenal
dengan nama SHS (Superieure Hoofd Suiker).
Pemanis
Gula
Non Gula
Gula Kristal
Gula Cair
Dari bahan
tanaman
Dari bahan kimia
Gula bukan
kristal
Gula kristal terdiri dari gula pasir yang dihasilkan dari tebu dan gula yang
dihasilkan dari bit. Namun, menurut Prihandana (2005) biaya produksi gula
berbahan baku tebu lebih murah 70% dibandingkan dengan biaya produksi gula
berbahan baku bit. Oleh karena itu, bahan baku industri gula yang banyak
digunakan adalah tebu (Saccharum officinarum) yang merupakan tanaman
perkebunan.
Di dalam batang tebu terkandung 20% cairan gula. Effendi (2009)
menyebutkan bahwa cairan dalam tebu terdiri dari tiga macam yaitu : 1) Nira
Tebu, 2) Air tanah atau air tebu bebas brix, dan 3) Protoplasma. Nira tebu
tersimpan dalam sel-sel parenchim. Air tebu bebas brix merupakan air yang
secara chemis bersatu dengan serat dan tidak dapat dipisahkan secara mekanis.
Protoplasma berbentuk semi cairan tetapi tidak mengandung gula.
Sisa pengolahan batang tebu adalah 1) tetes tebu (molases) yang
diperoleh dari tahap pemisahan kristal gula dan masih mengandung gula antara
50% sampai dengan 60%, asam amino dan mineral. Pemanfaatan tetes tebu
sampai saat ini adalah sebagai bahan baku bumbu masak MSG, gula cair, dan
arak; 2) Pucuk daun tebu, yang dapat digunakan sebagai pakan ternak dalam
bentuk silase, pellet , dan wafer diperoleh pada tahap penebangan tebu; 3)
ampas tebu yang merupakan hasil samping dari proses ekstraksi cairan tebu,
dimanfaatkan sebagai bahan bakar pabrik, bahan industri kertas, particle board
dan media untuk budidaya jamur, atau dikomposkan untuk pupuk; 4) Blotong
yang merupakan hasil samping proses penjernihan dapat dimanfaatkan sebagai
pupuk tanaman tebu. Adapun pohon industri untuk industri berbasis tebu dapat
dilihat pada Lampiran 1.
Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2005), tipe
pengusahaan tanaman tebu terbagi dalam dua tipe yaitu : 1) kebun tebu dikelola
dengan menggunakan manajemen perusahaan perkebunan dimana pabrik gula
(PG) sekaligus memiliki lahan HGU untuk pertanaman tebunya, dan 2) tanaman
tebu dikelola oleh rakyat. Pada umumnya, petani merupakan pemasok bahan
baku tebu sedangkan PG lebih berkonsentrasi pada pengolahan. Sistem bagi
hasil yang diterapkan adalah sekitar 66% dari produksi gula untuk petani dan
34% untuk PG.
Terdapat dua sistem penebangan tebu yaitu 1) tebu bakar, sebelum
dilakukan penebangan tebu dibakar terlebih dahulu; dan 2) tebu hijau, tebu
langsung ditebang jika batang sudah masak. Tebu bakar akan mempercepat
turunnya kadar sukrosa dan kerusakannya lebih cepat karena mudah
terkontaminasi oleh mikroba (Leouconostoc mesenteroides).
Berdasarkan peralatan yang digunakan pada saat penebangan dan
pengangkutan (sistem pemasokan) dapat dibedakan tiga jenis, yaitu 1)
penebangan dilakukan oleh tenaga tebang manual kemudian batang tebu diikat
dan diangkut menggunakan truk atau trailer (system bundled cane); 2)
penebangan dilakukan oleh tenaga tebang manual tetapi pada saat pemuatan
menggunakan bantuan alat mekanis karena tebu tidak diikat (system loosed
cane); 3) penebangan dan pemuatan dilakukan oleh alat mekanis yang disebut
harvester, dimana tebu dipotong secara otomatis dan langsung ditampung dalam
bak truk (system chopped cane).
Tebu yang telah dipanen dari areal budidaya tebu diangkut dan
ditempatkan dalam areal penampungan (cane yard). Untuk menghindari
menurunnya rendemen, maka tenggang waktu yang ditolerir antara waktu tebang
dan giling adalah 24 jam (Moerdokusumo 1993; Effendi 2009). Makin lama
tenggang waktu antara tebang dan giling akan menyebabkan semakin rendah
kandungan sukrosa yang mudah larut dalam air dan dapat terhidrolisis oleh
adanya ion hidrogen atau akibat aktifitas mikroba tertentu. Gula atau sukrosa
dapat terdekomposisi oleh bakteri, khamir dan jamur yang aktifitasnya
tergantung pada kadar sukrosa, suhu dan aktivitas air.
Sebelum proses produksi gula dilakukan, diperlukan pra-pengolahan.
Pada tahap ini, tebu masuk ke dalam cane preparation menggunakan sistem
elevator yang berjalan melewati cane cutter 1 yaitu suatu alat yang akan
memotong tebu menjadi bagian yang lebih kecil. Setelah itu tebu akan melewati
cane cutter 2 yang berfungsi untuk memotong tebu menjadi bagian yang lebih
kecil lagi karena pisau yang digunakan mempunyai jarak yang lebih rapat. Tebu
yang telah dipotong-potong tersebut akan dihancurkan oleh alat yang disebut
shredder sehingga tebu menjadi serpihan halus berbentuk ampas yang kemudian
akan dikirim pada mill station untuk diperah.
Proses produksi gula dari tebu terdiri dari lima tahap, yaitu : 1) proses
pemerahan atau penggilingan yang bertujuan untuk menghasilkan nira, pada
proses ini ditambahkan air imbibisi yang digunakan untuk melarutkan
kandungan sukrosa dan membunuh mikroba Leuconostoc mesenteroides; 2)
proses pemurnian yang bertujuan untuk memisahkan kotoran atau zat-zat non-
gula; 3) proses penguapan yang bertujuan untuk menguapkan air sebanyak-
banyaknya sehingga dihasilkan nira kental; 4) proses kristalisasi ( metoda
spontan, pancingan, penambahan slurry atau seed) yang bertujuan untuk
memisahkan gula dari nira kental; dan 5) proses pemutaran (sentrifuse) yang
bertujuan untuk memisahkan sukrosa dan molases. Adapun skema proses
pembuatan gula kristal putih diperlihatkan pada Gambar 6.
Gambar 6 Proses Pembuatan Gula Kristal Putih (Effendi 2009)
Industri gula merupakan salah satu industri pengolahan yang
berkembang pertama kali di Indonesia. Ditinjau dari potensi yang dimiliki
(iklim yang sangat sesuai untuk tumbuhnya tebu dan sebagai negara terkaya
sumber daya genetik tebu) serta kapasitas produksi industri gula nasional yang
Nira Kotor
Batang tebu
Ekstraksi Nira
Penjernihan Penyaringan
Blotong
Muddy juice
Nira jernih
EvaporasiAir
Bagasse
GULA
Kristalisasi
Sentrifuse
masih terpakai 72%, maka para ahli gula dunia berpendapat bahwa Indonesia
sangat berpotensi untuk mengembangkan industri gula (Khudori 2004).
Pada awal abad ke-16 industri gula telah diusahakan oleh penduduk
Cina perantauan di sekitar Jakarta, dan selanjutnya dikembangkan secara
besar-besaran oleh VOC (pengusaha Belanda) di seluruh Jawa pada abad ke-
19. Jawa menjadi sentra industri gula yang memberikan kontribusi utama bagi
pemerintah kolonial Belanda pada abad-20. Pada tahun 1930, Jawa menjadi
eksportir terbesar ke dua di dunia setelah Kuba. Pada jaman kolonial, integrasi
sistem agribisnis gula dijamin melalui organisasi dari pemerintah yang
mempunyai kekuatan untuk memaksa. Petani dipaksa oleh pemerintah kolonial
menanam tebu sesuai dengan luasan, teknologi, jadwal tanam, dan jadwal
panen yang ditetapkan oleh pabrik. Dengan demikian, pabrik gula dapat
memperoleh pasokan bahan baku yang cukup sepanjang musim giling,
sehingga industri gula di Jawa sangat efisien.
Industri gula ditinjau dari aktivitas ekonomi merupakan industri yang
memberikan dampak ganda cukup signifikan secara nasional terhadap penciptaan
output, pendapatan, nilai tambah dan tenaga kerja mengingat gula merupakan
suatu komoditi pangan yang penggunaannya sangat luas. Selain dikonsumsi
secara langsung (konsumsi akhir), gula juga merupakan bahan baku bagi banyak
industri (input antara). Struktur Industri gula (Ismail 2005) berdasarkan analisis
keterkaitan antara industri melalui analisis input-output menunjukkan bahwa
secara nasional industri gula memiliki keterkaitan langsung dengan sektor-sektor
dibelakangnya sebanyak 53 sektor (dari 172 sektor) dan keterkaitan langsung ke
depan dengan 30 sektor. Oleh karena itu, peningkatan produksi gula selain untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi akhir saat ini , juga diperlukan untuk mendorong
peningkatan produksi industri-industri yang menggunakan gula sebagai bahan
bakunya.
Permasalahan yang dihadapi industri gula nasional ditandai dengan
ketidakmampuan industri gula nasional mencukupi kebutuhan gula setiap tahun
untuk konsumsi dan input bagi industri di dalam negeri. Kondisi industri gula
nasional dalam lima tahun terakhir menunjukkan bahwa peningkatan produksi
gula nasional tidak dapat memenuhi kebutuhan gula yang semakin meningkat.
Mengingat gula merupakan salah satu bahan kebutuhan pokok masyarakat
Indonesia sehari-hari, pemerintah mengemban tanggungjawab untuk senantiasa
menjamin ketersediaannya dalam jumlah yang cukup dan pada tingkat harga yang
layak sesuai dengan kondisi perekonomian masyarakat. Untuk memenuhi
kebutuhan gula dari tahun ke tahun, pemerintah Indonesia mengambil kebijakan
untuk melakukan impor gula.
Dibukanya impor gula secara bebas sejak awal tahun 1998, telah
mengubah situasi pasar gula di dalam negeri menjadi sangat dipengaruhi oleh
pasar gula dunia. Perubahan terhadap kebijakan gula nasional secara mendasar
pada industri gula yang sebelumnya dikenal sebagai the most regulated
commodity untuk melindungi produsen diubah menjadi komoditas yang
diperlakukan dengan free trade policy berupa bebas impor dengan tarif bea
masuk yang rendah. Kebijakan free trade tersebut telah menyebabkan gula impor
dengan volume yang kurang terkontrol oleh pemerintah, hal ini menyebabkan
excess supply yang berlebihan dipasar gula nasional. Hal tersebut berakibat pada
harga gula dalam negeri hingga mencapai tingkat yang dapat menyebabkan
kebangkrutan total industri gula nasional.
Pada umumnya, kebijakan free trade dengan tarif bea masuk yang rendah
tidak dilakukan oleh negara produsen gula yang termasuk dalam kategori paling
efisien, apalagi di negara produsen yang masih tergantung pada gula impor seperti
Indonesia. Jika industri gula nasional tidak mampu meningkatkan produksi, maka
impor gula akan semakin besar.
Husodo (2000) menyebutkan bahwa secara umum kondisi pergulaan
nasional memiliki tiga persoalan utama. Pertama, rendahnya harga gula dipasaran
dunia. Kedua, produktivitas pabrik gula rendah dan banyak yang tidak efisien.
Ketiga, perkembangan industri gula nasional terus merosot. Selanjutnya, Husodo
(2000) juga menyatakan bahwa persoalan makro pergulaan nasional adalah 1)
dalam jangka pendek : bagaimana mengatur stok gula hingga mencapai harga
yang wajar bagi produsen tanpa memberatkan konsumen, dan 2) dalam jangka
panjang : bagaimana meningkatkan efisiensi dan produktivitas pergulaan nasional,
dan mengarah pada swasembada dan ekspor.
Permasalahan industri gula nasional, pada dasarnya dapat didiagnosa
dengan mengkaji permasalahan yang terdapat pada faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap keberlanjutan industri gula nasional. Salah satu dari faktor-
faktor yang berpengaruh adalah pabrik gula. Pada umumnya, pabrik gula (PG)
di Indonesia didirikan sejak jaman Belanda. Pada tahun 1930 tercatat ada 179
PG, dan pada tahun-tahun berikutnya terjadi fluktuasi dalam hal jumlah PG.
Effendi (2009) menyebutkan bahwa pada tahun 2000 jumlah PG di Indonesia
mencapai 71 unit. Namun pada tahun 2008 hanya 58 unit yang beroperasi di
tambah empat unit PG rafinasi.
Lokasi PG menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
(2005) tersebar di 8 propinsi. Di Jawa, sebagai sentra utama adalah Jawa Timur
(31 PG), sedangkan Jawa Tengah dan Jawa Barat masing-masing memiliki
delapan dan lima PG. Di luar Jawa, Lampung menempati peringkat pertama
dengan lima PG, diikuti oleh Sulawesi Selatan (3 PG), Sumatera Utara (2 PG),
Sumatera Selatan (1 PG), dan Gorontalo (1). Adapun daftar pabrik gula beserta
kapasitas gilingnya dapat di lihat pada Lampiran 2.
Kinerja industri gula yang mencerminkan daya saing industri gula,
merupakan hasil dari interaksi antar sub sistem dalam agribisnis gula, yang terdiri
dari empat sub sistem, yaitu : 1) sub sistem penyediaan input, 2) sub sistem
usahatani tebu, 3) sub sistem pengolahan gula (pabrik), dan 4) sub sistem
pemasaran. Selain itu, Disbun Jatim (2010) juga menyebutkan bahwa selain
dipengaruhi oleh interaksi dari empat sub sistem dalam agribisnis, kinerja industri
gula juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah di bidang pergulaan, perubahan
keunggulan komparatif dalam penggunaan input, perubahan manajemen dan
kelembagaan, serta kemajuan penemuan, inovasi dan adopsi teknologi pada
industri gula dan industri lain yang berkompetisi, bersubstitusi dan
berkomplemen.
Upaya yang ditujukan untuk meningkatkan daya saing, menjaga eksistensi
dan sustainability industri gula serta efisiensi yang mengarah pada penurunan
biaya produksi yaitu revitalisasi industri gula. Revitalisasi industri gula pada
dasarnya mencakup usaha-usaha peningkatan produktivitas dan efisiensi pada
sektor on farm (usaha tani) dan off farm (pabrik gula), yang didukung oleh
kebijakan yang kondusif bagi terciptanya kondisi ke arah perbaikan kedua sektor
tersebut. Selain itu, revitalisasi industri gula juga berkaitan erat dengan
restrukturisasi industri gula terutama dalam aspek kelembagaan dan kepemilikan
perusahaan gula, serta pemberdayaan lembaga usaha tani (koperasi) dan lembaga
penelitian (Disbun Jatim 2010).
Kinerja PG dapat di kategorikan ke dalam dua aspek, yaitu : kinerja
ekonomis dan kinerja teknis. Kinerja teknis pabrik gula merupakan gabungan dari
1) kinerja unit penggilingan yang ditunjukkan oleh persen HPB (hasil bagi
perahan briks) dan persen pol dalam ampas; 2) kinerja unit pengolahan yang
ditunjukkan oleh persen HK (Harkat Kemurnian) dan %pol nira mentah; dan 3)
Ketel (boiler) sebagai komponen utama dalam proses produksi yang ditunjukkan
oleh persen efisiensi ketel dan pemakaian uap (kw/ton tebu). Standar yang
digunakan sebagai pembanding (Moerdokusumo 1993 dan LPPM IPB 2002)
yaitu 1) > 90% untuk persen HPB; 2) < 2% untuk persen pol dalam ampas; 3) >
96% untuk Harkat Kemurnian; 4)> 90% pol nira mentah dan 5) > 78% untuk
efisiensi ketel; serta 6) 60 kw/ton tebu untuk pemakaian uap.
Woerjanto (2000) menyebutkan beberapa upaya yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan kinerja PG agar lebih efisien yaitu : 1) pemeliharaan mesin
dan peralatan pabrik yang lebih baik untuk menekan terjadinya jam henti giling
pada saat musim giling, 2) penggantian mesin, peralatan, dan suku cadang
dilakukan dengan benar, dalam arti mutu sesuai spesifikasi teknis yang diinginkan
dan harga yang wajar serta tepat waktu, 3) perlakuan preventive maintenance
program dalam masa giling, yaitu pemeliharaan mesin dan perawatan semua
mesin serta peralatan di saat sedang operasi, untuk mencegah terjadinya kerusakan
atau gangguan yang tidak diinginkan, 4) Pengoperasian semua mesin dan
peralatan sesuai standart operating procedure (SOP) untuk mencegah terjadinya
kesalahan operasi, 5) Proses pabrikasi dilakukan secara benar dengan sasaran
mencegah terjadinya kehilangan gula dalam proses, sehingga dapat dicapai
efisiensi pengolahan yang baik dengan kualitas produk yang prima, dan 6)
penghematan pemakaian bahan pembantu pengolahan. Selain itu, untuk lebih
meningkatkan efisiensi pabrik gula, perlu dilakukan rehabilitasi mesin dan
peralatan yang sudah tidak efisien.
Pulau Jawa memegang peranan penting dalam menunjang industri gula
nasional. Di lihat dari jumlah PG secara nasional, sekitar 80% PG berada di Pulau
Jawa dan dari total produksi gula nasional, sekitar 60% dihasilkan di Pulau Jawa.
Di Pulau Jawa sebagian besar produksi gula (sekitar 80%) dihasilkan oleh petani
tebu. Petani tebu sebagian mengusahakan tanaman tebu di lahan sawah dan
sebagian di lahan kering. Namun, pertanaman tebu di lahan sawah semakin tidak
mampu bersaing dengan komoditas lain terutama padi.
PG yang ada di Pulau Jawa, pada umumnya telah tua (sebagian didirikan
pada tahun 1800-an). Namun, sebagian besar PG di Jawa sudah direhabilitasi dan
ditingkatkan kapasitasnya. Kapasitas giling ditingkatkan dengan sasaran
peningkatan efisiensi , bahkan di beberapa pabrik mencapai 3 – 4 kali kapasitas
semula. Otomatisasi dan komputerisasi beberapa peralatan pabrik telah dilakukan
sebagai upaya untuk memperkecil terjadinya kesalahan operasional. Upaya
tersebut menjadikan proses pengolahan gula lebih efisien. Namun masih ada yang
menggunakan mesin dan peralatan lama yang tingkat efisiensinya relatif rendah.
Dari sisi kapasitas terpasang yang dimiliki PG di Pulau Jawa, menurut
Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan (2004) 53 % PG memiliki kapasitas giling
kecil (< 3.000 TTH), 44 % berkapasitas giling menengah (antara 3.000 – 6.000
TTH), dan hanya 3% yang berkapasitas giling besar ( > 6.000 TTH).
Industri gula di Pulau Jawa menurut Woerjanto (2000) menghadapi tiga
permasalahan struktural yaitu 1) rendahnya efisiensi dan produktivitas pabrik
gula, 2) rendahnya daya saing tanaman tebu dibandingkan komoditas agribisnis
lainnya, dan 3) industri gula termasuk dalam klasifikasi padat karya. Padatnya
jumlah penduduk di Pulau Jawa dan konversi lahan sawah menyebabkan luas
areal lahan tebu, baik pada lahan sawah maupun lahan kering menurun dari tahun
ke tahun. Dengan banyaknya jumlah pabrik gula yang sampai saat ini beroperasi,
luas lahan yang tersedia menjadi tidak memadai untuk mendukung kelancaran
produksi. Hal ini menjadi ancaman tersendiri bagi keberlanjutan pabrik gula yang
sangat tergantung pada kecukupan, kontinuitas, serta mutu bahan baku tebu yang
diperolehnya.
Industri gula di Pulau Jawa dengan segala permasalahan yang dihadapi,
merupakan kegiatan ekonomi yang secara langsung terkait dalam pemanfaatan
potensi keunggulan kompetitif sumber daya lokal. Oleh karena itu, industri gula
di Pulau Jawa akan tetap menjadi existing assets yang memiliki prospek di masa
mendatang.
Jawa Timur selama ini merupakan propinsi penghasil gula terbesar di
Indonesia, yang dihasilkan dari 30 PG milik BUMN (PTPN X, PTPN XI, dan
RNI) serta satu pabrik gula swasta (PG Kebon Agung). Produktivitas gula yang
masih rendah di Jawa Timur, terutama disebabkan oleh kualitas bahan baku (tebu)
dan kinerja pengolahan (Disbun Jatim 2010).
Di sisi on-farm, Jawa Timur menghadapi dua permasalahan penting
(Disbun Jatim 2010) yaitu : Pertama, pergeseran budidaya tebu ke lahan tegalan
akibat persaingan yang ketat dengan padi dan alih fungsi sawah menjadi area non-
pertanian seperti pemukiman dan industri. Perubahan budidaya tebu ke lahan
tegalan harus diikuti dengan perubahan paradigma budidaya tebu, mengingat pola
reynoso yang memerlukan tenaga kerja sangat intensif dan biasa dilakukan di
lahan sawah tidak dapat dilakukan lagi pada lahan tegalan. Inovasi teknologi
(varietas tebu yang sesuai, pengolahan tanah yang tepat, dan pemupukan yang
efektif) yang menunjang optimalisasi budidaya tebu di lahan tegalan perlu terus
dikembangkan. Kedua, proporsi tebu keprasan yang relatif tinggi dibanding
tanaman tebu pertama (Plant Cane). Produktivitas gula menjadi sulit ditingkatkan
pada kondisi tanaman ratoon yang dikepras lebih dari empat kali. Dampak dari
tanaman ratoon yang dikepras secara berulang-ulang tidak terkendali akan
mengakibatkan kualitas tanaman tebu menurun tajam akibat terjadinya penurunan
(degradasi) inheren genetik dari varietas tebu, peka terhadap serangan penyakit
tertentu seperti penyakit Ratoon Stunsting Disease (RSD) dan menimbulkan ekses
campuran varietas apabila dilakukan tambal sulam bibit secara tidak terkendali.
Di sisi Off-farm Jawa Timur perlu merevitalisasi dua aspek penting
(Disbun Jatim 2010) yaitu : peningkatan kapasitas giling dan rehabilitasi PG
dalam rangka meningkatkan efisiensi. Meskipun rerata produktivitas tebu yang
dihasilkan di lahan tegalan lebih rendah dibanding lahan sawah, upaya
peningkatan produksi gula di masa mendatang salah satunya ditempuh dengan
pengembangan areal tegalan. Jawa Timur memiliki potensi areal pengembangan
tebu yang cukup luas yang tersebar di beberapa kabupaten atau kota. Mengingat
jumlah tebu yang dihasilkan akan meningkat, maka kemampuan PG dalam
menggiling tebu juga harus ditingkatkan. Oleh karena itu, kelebihan pasokan tebu
harus diantisipasi dengan peningkatan kapasitas giling PG.
Selanjutnya, Disbun Jatim (2010) juga menyatakan cara lain untuk
mengimbangi lonjakan jumlah tebu giling di tahun-tahun yang akan datang, yaitu
dengan : meningkatkan kinerja PG serta melakukan audit PG. Kinerja PG
diperbaiki dengan cara mengurangi idle capacity dan meningkatkan efisiensi
melalui rehabilitasi mesin-mesin atau alat-alat yang tua dan berkinerja rendah.
Kapasitas giling efektif PG diusahakan bisa mendekati atau sama dengan
kapasitas terpasangnya. Hal ini dapat dilakukan dengan menekan jam henti giling.
Peningkatan pemanfaatan kapasitas giling PG dapat dilakukan dengan
meningkatkan efisiensi gilingan, pengolahan, dan penggunaan energi. Audit PG
dimaksudkan untuk menilai kinerja PG secara keseluruhan sehingga bisa
dihasilkan rekomendasi untuk memperbaiki kinerja PG tersebut. Proses audit
dilakukan dengan menelusuri perjalanan tebu menjadi gula didalam PG. Melalui
proses tersebut maka berbagai hal yang menyebabkan ketidak efisienan atau
kinerja PG menurun bisa ditelusuri, sehingga bisa dibuat rekomendasi untuk
perbaikan. Selain itu, audit PG juga digunakan sebagai kontrol atas pelaksanaan
best management practices di PG.
Luthfie (2010) menyatakan bahwa sisi pengolahan pada industri pergulaan
di Jawa Timur dinilai sebagai titik lemah yang menjadi pangkal rendahnya
produktivitas pabrik gula. Selanjutnya, Luthfie (2010) membandingkan kinerja
pabrik gula di Jawa Timur dengan pabrik gula di Propinsi Lampung dengan hasil
perbandingan sebagai berikut : 1) kapasitas produksi : di propinsi Lampung
mencapai 8,91 ton per hektare sedangkan provinsi Jawa Timur hanya mencapai
5,975 ton per hektare , 2) rendemen : enam pabrik gula di Lampung memiliki
rerata rendemen sebesar 9% sedangkan 31 pabrik gula di Jawa Timur hanya
memiliki rerata rendemen sebesar 7,8%, dan 3) penghasilan petani lahan tegalan :
rerata petani tebu di provinsi Lampung meraih penghasilan sebesar Rp. 13 juta –
Rp. 15 Juta per hektare sedangkan petani di Jawa Timur hanya meraih
penghasilan sebesar Rp. 9 juta – Rp. 11 Juta per hektare.
Dalam pembangunan industri gula nasional, pemerintah telah menerapkan
beberapa instrumen kebijakan yang diarahkan untuk mendorong perkembangan
industri gula Indonesia, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan
Tabel 1 dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang dilakukan mempunyai
dimensi yang cukup luas, yaitu mencakup input, produksi, distribusi, dan harga
(perdagangan). Namun dari segi intensitas, kebijakan distribusi dan perdagangan
jauh lebih intensif dibandingkan dengan kebijakan produksi dan input. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2005) menyatakan bahwa secara garis
besar, dinamika kebijakan distribusi dan perdagangan dapat dibagi menjadi
empat tahapan utama, yaitu 1) Era Isolasi (1980 - 1997), 2) Era Perdagangan
Bebas (1997 - 1999), 3) Era Transisi (1999 - 2002), dan 4) Era Proteksi dan
Promosi (2003 - sekarang).
Berbagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah merupakan respon
pemerintah terhadap permasalahan yang dihadapi industri gula nasional, yang
dikeluarkan secara reaktif dan cenderung bersifat ad-hoc. Kebijakan yang hanya
menekankan pada hambatan perdagangan dan pembatasan impor saja tidak akan
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi industri gula nasional.
Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian
(2009) merumuskan visi, misi dan indikator pencapaian untuk industri gula
nasional sebagai berikut :
VISI :
Mewujudkan industri gula nasional yang mandiri, berdaya saing, dan
mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor
MISI :
1. Memperkuat struktur industri gula
2. Meningkatkan produktivitas dan efisiensi
3. Mendorong investasi PG-PG keluar P. Jawa
4. Terpenuhinya kebutuhan gula konsumsi dan industri oleh industri gula
dalam negeri
Indikator Pencapaian : tercapainya swasembada gula nasional pada tahun 2014
Tabel 1 Instrumen kebijakan untuk Industri Gula Indonesia (Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian 2005) Nomor SK/Keppres/Kepmen Perihal Tujuan
Keppres No. 43/1971,
14 Juli 1971
Pengadaan, penyaluran, dan
pemasaran gula
Menjaga kestabilan pasokan gula
sebagai bahan pokok
Surat Mensekneg No. B.136/abn
sekneg/3/74,
27 Maret 1974
Kepmen Perdagangan dan
Koperasi No. 122/Kp/III/81, 12
Maret 1981
Kepmenkeu No.
342/KMK.011/1987
Intensifikasi Tebu Rak-yat
(TRI)
Tataniaga gula pasir dalam
negeri
Penetapan harga gula pasir
produksi dalam negeri
Penjelasan mengenai Keppres No.
43/1971 yang meliputi gula PNP
Peningkatan produksi gula
serta peningkatan petani tebu
Menjamin stabilitas harga,
devisa, serta kesesuaian pendapatan
petani dan pabrik
UU No. 12/1992
Inpres No. 5/1997,
29 Desember 1997
Inpres No. 5/1998 ,
5 Januari 1998
Kepmenperindag No.
25/MPP/Kep/1/1998
Kepmenhutbun No.282/Kpts-
IX/1999,
7 Mei 1999
Kepmenperindag No.
363/MPP/Kep/8/1999,
5 Agustus 1999
Kepmenperindag No.
230/MPP/Kep/6/2000,
5 Juni 2000
Kepmenkeu No.
324/KMK.01/2002
Kepmenperindag No.
643/MPP/Kep/9/2002,
23 September 2002
SK 522/MPP/Kep/9/2004
Budidaya tanaman
Program Pemgembangan Tebu
Rakyat
Penghentian pelaksanaan
Inpres No. 5/1997
Komoditas yang diatur
tataniaga impornya
Ppenetapan harga provenue
gula pasir produksi petani
Tataniaga impor gula
Mencabut Kepmenperindag
No. 363/MPP/Kep/8/1999
Perubahan bea masuk
Tataniaga impor gula
Tentang ketentuan impor gula
Memberikan kebebasan pada petani
untuk menanam komoditas sesuai
dengan prospek pasar
Pemberian peranan kepada pelaku
bisnis dalam rangka perdagangan
bebas
Memberikan kebebasan pada petani
untuk menanam komoditas sesuai
dengan UU No. 12/1992
Mendorong efisiensi dan kelancaran
arus barang
Menghindari kerugian petani dan
mendorong peningkatan produksi
Pengurangan beban anggaran
pemerintah melalui impor gula oleh
produsen
Pembebasan taris impor gula untuk
melindungi industri dalam negeri
Peningkatan efektivitas bea masuk
Pembatasan pelaku impor gula untuk
meningkatkan pendapatan petani atau
produsen
Revisi dan mempertegas esensi
Kepmenperindag No.
643/MPP/Kep/9/2002
Adapun roadmap sasaran pengembangan industri gula adalah sebagai berikut :
Gambar 7 Roadmap Sasaran Pengembangan Industri Gula 2010 – 2025 (Dirjen
Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian 2009)
2.2 Perbaikan Kinerja
Tonchia dan Toni (2001) menyebutkan bahwa pada dasarnya kinerja dapat
dikategorikan menjadi dua, yaitu kinerja yang berkaitan dengan biaya (biaya
produksi) dan kinerja yang berkaitan dengan selain biaya (seperti kualitas,
fleksibilitas, dan sebagainya). Lingkup dari kinerja menurut Grunberg (2004)
mencakup aspek ekonomi dan aspek operasional. Kinerja pabrik gula (PG) dapat
di kategorikan ke dalam dua aspek (Lembaga Penelitian IPB 2002), yaitu : kinerja
ekonomis dan kinerja teknis.
Hasil identifikasi terhadap berbagai penelitian yang terkait dengan
manajemen kinerja (Holloway 2009) menunjukkan bahwa sebagian besar
penelitian membahas topik perbaikan kinerja. Adapun pendekatan yang
digunakan bervariasi yaitu kuantitatif, kualitatif, partisipatif, interpretatif,
history, prediksi, dan pengembangan model.
1. Tercapainya swasembada gula nasional tahun 2014
2. Berhasilnya program revitalisasi pabrik gula melalui peningkatan mutu
dan volume produksi gula putih
3. Meningkatnya produksi raw sugar dalam negeri
4. Memberlakukan SNI wajib gula putih
1. Pemenuhan berbagai jenis gula dari produksi dalam negeri
2. Ekspor gula setelah kebutuhan dalam negeri terpenuhi
3. Restrukturisasi teknologi proses pada industri gula sesuai perkembangan
yang terjadi
4. Penghapusan dikotomi pasar gula rafinasi yang dapat pula dijual ke
konsumen langsung
1. Indonesia menjadi negara produsen gula yang mampu memasok
kebutuhan negara-negara lain di Asia Pasifik
JANGKA
PENDEK
2010-2015
JANGKA
MENENGAH
2015-2020
JANGKA
PANJANG
2020-2025
Inisiatif terhadap perbaikan kinerja diawali pada masa revolusi industri.
Seiring dengan perubahan lingkungan organisasi, meningkatnya persaingan,
perubahan kebutuhan internal dan eksternal organisasi dan perkembangan
teknologi yang menyebabkan perubahan dalam setiap aspek manajemen dan
organisasi maka pendekatan dan metodologi dalam perbaikan kinerja juga terus
berkembang.
Metoda perbaikan kinerja pada umumnya diawali dengan melakukan
pemetaan terhadap aliran proses. Pendekatan ini dapat membantu dalam
mengidentifikasi area potensial untuk diperbaiki. LaBonte (2001) mendefinisikan
perbaikan kinerja sebagai proses yang digunakan secara sistematis untuk
mengidentifikasi gap kinerja, meneliti sebab utama, memilih dan merancang
tindakan, mengukur hasil, dan memperbaiki kinerja secara berkesinambungan.
Usaha yang dilakukan organisasi untuk memperbaiki kinerjanya dapat
dilakukan melalui beberapa cara. Pada umumnya, terdapat lima tahap yang harus
dilakukan dalam model perbaikan kinerja (Swanson 1996) yaitu : 1) tahap
analisis; 2) tahap desain; 3) tahap pengembangan; 4) tahap implementasi; dan 5)
tahap evaluasi. Tahap yang paling kritis adalah tahap analisis. Tujuan dari tahap
analisis adalah untuk menentukan kinerja, menentukan target kinerja yang
diinginkan, dan untuk menentukan prioritas perbaikan.
2.3 Pengukuran Kinerja
Untuk menentukan kinerja perlu dilakukan pengukuran kinerja.
Pengukuran kinerja merupakan sub sistem dari manajemen kinerja (Cokins 2004;
Halachmi 2005; Stiffler 2006; Baxter dan MacLeod 2008). Pengukuran kinerja
didefinisikan sebagai proses untuk mengkuantifikasi efisiensi dan efektivitas dari
suatu tindakan (Tangen 2004; Olsen et al. 2007; Cocca dan Alberti 2010).
Tindakan yang dimaksud adalah tindakan masa lalu (Cocca dan Alberti 2010).
Pengukuran kinerja adalah bagian dari analisa atau diagnosa terhadap proses
untuk mengidentifikasi aktivitas mana yang diprioritaskan untuk diperbaiki.
Menurut pandangan tradisional, pengukuran kinerja adalah untuk
memonitor kinerja bisnis dan mendiagnosa penyebab dari masalah. Amaratunga
dan David (2002) menyatakan bahwa fungsi utama dari sistem pengukuran kinerja
adalah untuk mengontrol operasi dalam organisasi. Dalam model umpan balik
tradisional, para manajer mengatur kinerja dengan monitoring output dan
kemudian menyesuaikan input untuk mencapai suatu target dibanding
mengendalikan suatu tugas dengan mempertimbangkan semua elemen data yang
diperlukan untuk menguraikan status dari sistem (Bond 1999).
Dikaitkan dengan manajemen operasional, Radnor dan Barnes (2007)
mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai proses mengkuantifikasi input, output,
dan tingkat aktivitas dari suatu proses. Wibisono (1999) menyebutkan bahwa
pengukuran kinerja di perusahaan manufaktur pada level manajemen operasi
dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu 1) pengukuran kinerja taktis (competitive
priorities), 2) pengukuran kinerja operasional (manufacturing task), dan 3)
pengukuran kinerja strategis (resource availability). Hal yang sama juga
dikemukakan oleh Craig dan Grant (2002) bahwa keunggulan bersaing suatu
organisasi didukung oleh kemampuan sumber daya dan rutinitas organisasi.
Karim (2008) dalam Karim (2009) menyebutkan bahwa penentuan
prioritas kompetisi merupakan elemen kunci dalam strategi manufaktur. Prioritas
kompetisi menunjukkan keunggulan kompetitif dan mewakili tujuan yang
seharusnya dicapai (Rusjan 2005). Untuk menentukan prioritas kompetisi
perusahaan manufaktur Leachman et al. (2006) mengusulkan ukuran kinerja
berdasarkan pada kualitas dan volume output.
Berdasarkan pengalaman implementasi pada beberapa perusahaan di
Indonesia ditinjau dari aspek kepraktisan dan nilai tambah yang diberikan,
Wibisono (2006) menyatakan bahwa pendekatan yang sesuai untuk diterapkan di
Indonesia dalam menentukan variabel kinerja yang akan diukur adalah dengan
melakukan identifikasi variabel kinerja dari 3 perspektif yaitu 1) keluaran
organisasi (business results), 2) proses internal (internal business processes), dan
3) kemampuan atau ketersediaan sumber daya (resources availability).
Terdapat tiga aspek formal dari pengukuran kinerja (Spitzer 2007) yaitu
1) ukuran-ukuran (variabel yang diukur), 2) proses pengukuran (tahapan yang
menunjukkan bagaimana cara melakukan pengukuran), dan 3) infrastruktur teknis
(berupa hardware dan software komputer yang digunakan untuk mendukung
proses pengukuran). Tiga kriteria yang dapat digunakan untuk menilai keefektifan
dari sistem pengukuran kinerja (Olsen et al. 2007) yaitu 1) keterkaitan, 2)
perbaikan terus-menerus, dan 3) pengawasan proses.
Terkait dengan ukuran-ukuran (variabel) yang diukur, Medori dan Steeple
(2000) menyatakan bahwa pada semua framework pengukuran kinerja yang telah
dihasilkan, pada umumnya memiliki kelemahan dalam hal memberikan panduan
terhadap pemilihan variabel kinerja yang akan diukur. Denton (2005) menyatakan
bahwa meskipun banyak hal yang dapat diukur tetapi lebih penting untuk
mengukur hal yang spesifik dan relevan.
Parmenter (2010) mengkategorikan ukuran kinerja dalam tiga kategori
yaitu 1) KRI (Key Result Indikator), 2) KPI (Key Performance Indicator), dan 3)
PI (Performance Indicator). Shahin dan Mahbod (2007) menyebutkan bahwa KPI
dapat dirumuskan berdasarkan tujuan dari organisasi. Saunders et al. (2007)
menegaskan pentingnya penguraian strategi organisasi ke dalam tindakan. Kaplan
dan Norton dalam Parmenter (2010) merekomendasikan agar dalam pengukuran
kinerja tidak menggunakan lebih dari 20 ukuran kinerja. Selain itu, Hope dan
Fraser dalam Parmenter (2010) menyarankan penggunaan ukuran kinerja kurang
dari 10.
Radnor dan Barnes (2007) menyebutkan bahwa terdapat tiga
kecenderungan umum dalam pengukuran kinerja yaitu 1) keluasan dari unit
analisis (level individu, stasiun kerja, lini produksi, unit bisnis, perusahaan), 2)
kedalaman ukuran kinerja (keterkaitan variabel kinerja), 3) peningkatan range
ukuran kinerja (misalnya dari efisiensi menjadi efisiensi dan efektivitas). Dalam
hal range ukuran kinerja, beberapa penelitian terdahulu menunjukkan adanya
keterbatasan dalam model pengukuran kinerja pabrik gula karena hanya dilakukan
dengan menggunakan range ukuran kinerja yang sempit yaitu 1) produktivitas
(Yusnitati (1994) dan Manalu (2009) terkait dengan kinerja output per input, 2)
efisiensi produksi (Siagian 1999) terkait dengan kinerja proses , dan 3) efisiensi
teknis (LPPM IPB 2002) terkait dengan kinerja proses.
Berdasarkan kedalaman ukuran kinerja, pada penelitian terdahulu tidak
memperhatikan keterkaitan ukuran kinerja. Hal ini dapat menyebabkan upaya
perbaikan yang dilakukan tidak menghasilkan perbaikan kinerja yang signifikan.
Selain itu, jika merujuk pada pernyataan Olsen et al. (2007) dapat menyebabkan
berkurangnya keefektifan sistem pengukuran kinerja.
Berbagai ukuran kinerja telah diidentifikasi sesuai dengan kebutuhan.
Heizer dan Render (2008) menyebutkan bahwa faktor-faktor penentu
produktivitas yaitu 1) tenaga kerja, 2) modal, dan 3) manajemen. Namun, dalam
pengukuran produktivitas dapat digunakan satu (single) atau lebih dari satu (multi)
faktor. Gleich et al. (2008) menyebutkan bahwa untuk meningkatkan kinerja
dapat digunakan indikator non finansial berupa volume, waktu siklus, dan
kapasitas yang dimiliki. Martin (2008) mengidentifikasi ukuran-ukuran kinerja
untuk menentukan efisiensi proses yaitu kualitas produk atau jasa, kapasitas atau
kuantitas output, kuantitas dari produk cacat, kuantitas dari waste, waktu siklus,
waktu produksi, kepuasan pelanggan, dan kepuasan karyawan.
Kerangka kerja proses pengukuran kinerja perlu diperbaiki secara
kontinu dengan mempertimbangkan berbagai model pengukuran kinerja yang
sesuai dengan permasalahan yang dihadapi (Nenadal 2008). Beheshti dan Lollar
(2008) menyebutkan bahwa pengukuran kinerja merupakan keputusan penting
yang sering menggunakan informasi subyektif. Oleh karena itu model keputusan
yang memanfaatkan logika fuzzy dapat memberikan solusi yang logis. Chan et al.
(2002) mengusulkan penggunaan logika fuzzy dalam evaluasi kinerja.
Terkait dengan infrastruktur yang digunakan dalam pengukuran kinerja,
Santos et al. (2007) menunjukkan adanya variasi infrastruktur yaitu secara manual
dan pemanfaatan sistem informasi. Raymond dan Marchand (2008) menunjukkan
pergeseran dalam pemanfaatan sistem informasi untuk pengukuran kinerja, yaitu
dari sistem informasi eksekutif (1980 – 1999) ke Sistem Intelijen ( 2000 – saat
ini). Selain itu, Denton (2010) menyebutkan bahwa intranet dan internet dapat
digunakan untuk meningkatkan pengelolaan dan pengukuran kinerja.
Rancangbangun SPK pernah dilakukan antara lain oleh Lau et al. (2001)
berupa Intelligent DSS for benchmarking of business partners, Marimin et al.
(2005) berupa Sistem Intelijen Penilaian Kinerja Perusahaan, dan Unahabhokha
et al. (2007) berupa Predictive performance measurement system : A fuzzy expert
system approach.
2.4 Benchmarking
Sistem pengukuran kinerja merupakan kunci untuk memandu dan menguji
hasil dari proses perbaikan, tetapi tidak mengindikasikan bagaimana suatu proses
harus di perbaiki. Salah satu pendekatan yang dapat membantu melengkapi hal
tersebut adalah benchmarking. Dattakumar (2003) menyimpulkan bahwa
pendekatan benchmarking dapat digunakan untuk perbaikan terus menerus. Hasil
review Grunberg (2003) terhadap metoda-metoda yang digunakan untuk
perbaikan kinerja aktivitas operasional pada perusahaan manufaktur menunjukkan
bahwa pendekatan benchmarking juga memungkinkan untuk digunakan. Gleich
et al. (2008) menyebutkan bahwa benchmarking dapat digunakan untuk
meningkatkan kinerja pada berbagai area.
Berbagai definisi benchmarking antara lain 1) merupakan suatu proses
untuk mengukur kinerja terhadap perusahaan yang terbaik dalam kelasnya,
kemudian menggunakan analisis untuk memenuhi dan melebihi perusahaan
tersebut (Pryor dan Katz 1993 dalam Yasin 2002), 2) pencarian praktek terbaik
yang mengarah kepada kinerja yang sangat baik apabila praktek-praktek tersebut
diterapkan (Partovi 1994), 3) proses identifikasi dan pembelajaran dari praktek
terbaik dimanapun di dunia (Allan 1997 dalam Elmuti dan Yunus 1997), dan 4)
perbandingan sistematis terhadap proses dan kinerja untuk menciptakan standar
baru dan atau meningkatkan proses (Steven et al.2003).
Benchmarking dapat dipergunakan dalam berbagai industri, baik jasa dan
manufaktur. Perusahaan-perusahaan melakukan benchmarking karena berbagai
alasan. Alasan bisa umum, seperti peningkatan produktivitas atau bisa spesifik,
seperti peningkatan desain tertentu. (Muschter 1997 dalam Elmuti dan Yunus
1997). Alasan-alasan yang digunakan pada dasarnya merupakan upaya organisasi
dalam rangka perbaikan kinerja. Berdasarkan hal tersebut, maka metode
benchmarking dapat digunakan untuk melakukan analisis perbaikan kinerja.
Aplikasi benchmarking dalam perbaikan kinerja telah banyak dilakukan.
Di mulai pada akhir 1970 oleh Xerox Corporation yang memutuskan untuk
membandingkan operasional perusahaannya dengan L.L. Bean yang memiliki
produk yang berbeda namun memiliki karakteristik fisik yang sama (Tucker et al.
1987 dalam Elmuti dan Yunus 1997). Oleh karena itu, pengelompokan organisasi
yang memiliki karakteristik yang serupa perlu dilakukan sebelum proses
benchmarking.
Pengelompokan organisasi yang memiliki karakteristik yang serupa dapat
dilakukan dengan menggunakan metode clustering. Xu dan Wunsch (2009)
menyatakan bahwa pengelompokan (clustering) obyek kedalam beberapa
kelompok (cluster) yang mempunyai sifat yang homogen atau dengan variasi
sekecil mungkin diperlukan untuk memudahkan analisis data.
Ukuran untuk kesesuaian atau kemiripan diantara data-data yang akan
dipilih menjadi beberapa cluster dinamakan interobject similarity. Cara untuk
menentukan interobject similarity tergantung pada tujuan dan jenis data. Untuk
data dengan tipe metic dapat digunakan correlational measures (tingginya
korelasi menunjukkan kesesuaian dan rendahnya korelasi menunjukkan ketidak
sesuaian) dan distance measures ( semakin tinggi nilainya semakin rendah
kesesuaiannya). Sedangkan untuk tipe data non-metic (tipe ordinal) dapat
menggunakan association measures.
Terdapat dua tahapan yang harus dilakukan dalam analisis cluster yaitu 1)
memutuskan apakah jumlah cluster ditentukan atau tidak dan 2) menentukan
algoritma yang akan digunakan dalam clustering. Untuk memutuskan berapa
jumlah cluster yang akan dibentuk, Miyamoto et al. (2008) menyebutkan bahwa
terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan yaitu 1) supervised (jika jumlah
cluster ditentukan) dan unsupervised (jika jumlah cluster tidak ditentukan/alami).
Gan et al. (2007) menyatakan bahwa dalam melakukan analisis clustering
dapat memilih satu diantara 2 pendekatan yaitu 1) Hard Clustering atau 2) Soft
Clustering (dikenal juga sebagai fuzzy clustering). Pemilihan pendekatan yang
digunakan tergantung jenis data yang akan dikelompokkan. Hard Clustering
digunakan apabila data berbentuk Crips sedangkan soft clustering digunakan
apabila data berbentuk fuzzy.
Menurut Kusumadewi dan Hari (2004) yang dimaksud dengan Fuzzy
Clustering adalah salah satu teknik untuk menentukan cluster optimal dalam suatu
ruang vektor yang didasarkan pada bentuk normal Ecludian untuk jarak antar
vektor. Suatu algoritma clustering dikatakan sebagai algoritma Fuzzy Clustering
jika dan hanya jika algoritma tersebut menggunakan strategi adaptasi secara soft
competitive (non-crisp). Sebagian besar algoritma Fuzzy Clustering didasarkan
atas optimasi fungsi obyektif atau modifikasi dari fungsi obyektif tersebut
(Kusumadewi et al. 2006).
Metode yang dapat digunakan pada pendekatan Hard Clustering (Gan et
al. 2007) yaitu 1) Non-Hierarchical clustering (Partitional Clustering) dan 2)
Hierarchical Clustering. Pada metode Non-Hierarchical clustering, terdapat 3
cara untuk mengelompokkan data dalam satu cluster yaitu 1) sequential threshold,
2) parallel threshold, dan 3) Optimization. Sedangkan dalam metode Hierarchical
Clustering, Xu dan Wunsch (2009) menyatakan bahwa terdapat dua tipe dasar
yaitu 1) penyebaran (divisive), dan 2) pemusatan (agglomerative). Tipe divisive
memulai pengelompokkan dari cluster yang besar (terdiri dari semua data)
kemudian data yang paling tinggi ketidaksesuaiannya dipisahkan dan seterusnya
sedangkan tipe agglomerative memulai pengelompokkan dengan menganggap
setiap data sebagai cluster kemudian dua cluster yang mempunyai kesesuaian
digabungkan menjadi satu cluster dan seterusnya.
Terdapat lima cara untuk menggabungkan antar cluster yaitu 1) single
linkage (berdasarkan jarak terkecil), 2) complete linkage (berdasarkan jarak
terjauh), 3) centroid method (berdasarkan jarak centroid), 4) average linkage
(berdasarkan berdasarkan rata-rata jarak), dan 5) ward’s method (berdasarkan
total sum of square dua cluster). Pemilihan pendekatan ditentukan berdasarkan
kesesuaian dengan permasalahan yang dihadapi.
Clustering merupakan metode yang sudah cukup dikenal dan banyak
dipakai dalam data mining. Namun, mengingat metode yang dikembangkan saat
ini masih bersifat heuristic maka upaya untuk menghitung jumlah cluster yang
optimal dan pengklasteran yang paling baik masih terus dilakukan (Santosa 2007).
Metode lain yang dapat digunakan untuk melakukan pengelompokan
adalah klasifikasi. Kusnawi (2007) menyebutkan bahwa klasifikasi merupakan
fungsi pembelajaran yang memetakan (mengklasifikasi) sebuah unsur (item) data
ke dalam salah satu dari beberapa kelas yang sudah didefinisikan. Contoh yang
populer dan mudah diinterpretasi (Pramudiono 2008; Taniar 2008) adalah dengan
model prediksi menggunakan struktur pohon atau struktur berhirarki (Decision
tree).
Decision tree (Larose 2005; Kusnawi 2007) adalah struktur flowchart
yang menyerupai tree (pohon), dimana setiap simpul internal menandakan suatu
tes pada atribut, setiap cabang merepresentasikan hasil tes, dan simpul daun
merepresentasikan kelas atau distribusi kelas. Alur pada decision tree di telusuri
dari simpul akar ke simpul daun yang memegang prediksi kelas. Decision tree
mudah untuk dikonversi ke aturan klasifikasi (classification rules).
Terdapat berbagai algoritma yang digunakan untuk membangun pohon
keputusan antara lain yaitu algoritma C4.5. Secara umum algoritma C4.5
(Ramakrishnan 2009) adalah sebagai berikut: 1) Pilih atribut sebagai akar
(didasarkan pada nilai gain tertinggi dari atribut-atribut yang ada), 2) Buat cabang
untuk masing-masing nilai, 3) Bagi kasus dalam cabang, 4) Ulangi proses untuk
masing-masing cabang sampai semua kasus pada cabang memiliki kelas yang
sama.
Hasil yang dicapai melalui penerapan praktek terbaik dari L.L. Bean
adalah peningkatan efisiensi dan produktivitas (Tucker et al. 1987 dalam Yasin
2002). Selain itu, menurut Dragolea dan Cotirlea (2009) manfaat benchmarking
antara lain yaitu 1) perbaikan terus menerus untuk mencapai kinerja yang lebih
baik menjadi budaya organisasi, 2) meningkatkan pengetahuan terhadap kinerja
produk dan jasa, dan 3) membantu dalam memfokuskan sumberdaya untuk
mencapai target.
Perkembangan konsep benchmarking dapat diklasifikasikan ke dalam lima
generasi (Watson 1996; Ma’arif dan Hendri 2003; Denkena et al. 2006; Martin
2008; Anand dan Kodali 2008; Dragolea dan Cotirlea 2009; Moriarty dan
Smallman 2009) yaitu 1) Reverse engineering (berorientasi pada produk yang
meliputi perbandingan karakteristik, kegunaan dan kinerja produk) ; 2)
Competitive benchmarking (berorientasi pada efisiensi dalam menghasilkan
produk); 3) Process benchmarking (berorientasi pada proses-proses bisnis tertentu
yang menjadi sasaran analisis); 4) Strategic benchmarking (berorientasi pada
perubahan yang mendasar dengan mengadaptasi strategi-strategi sukses); dan 5)
Global benchmarking (berorientasi pada perbedaan-perbedaan budaya serta proses
perencanaan strategis). Williams (2008) mengkategorikan benchmarking ke dalam
dua tipe yaitu 1) internal benchmarking, dan 2) eksternal benchmarking.
Pierre dan Delisle (2006) mengusulkan sistem diagnosa berbasis
pengetahuan pakar untuk melakukan benchmarking kinerja. Organisasi atau
perusahaan yang berbeda memiliki metoda benchmarking sendiri, namun apapun
metode yang digunakan, langkah-langkah utamanya adalah sebagai berikut : 1)
pengukuran kinerja dari varibel-variabel kinerja terbaik pada kelompoknya relatif
terhadap kinerja kritikal; 2) penentuan bagaimana tingkat-tingkat kinerja dicapai;
dan 3) penggunaan informasi untuk pengembangan dan implementasi dari
rencana peningkatan (Omachonu dan Ross 1994 dalam Elmuti dan Yunus 1997).
Sebelum melakukan identifikasi bagaimana tingkat kinerja dicapai
(praktek terbaik), perlu dilakukan pemilihan kinerja terbaik dalam kelompoknya.
Proses pemilihan alternatif terbaik dari beberapa alternatif secara sistematis untuk
ditindaklanjuti sebagai suatu cara pemecahan masalah dikenal sebagai
pengambilan keputusan.
2.5 Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan merupakan suatu kelanjutan dari cara pemecahan
masalah yang memiliki fungsi antara lain : 1) pangkal permulaan dari semua
aktivitas manusia yang sadar dan terarah baik secara individual maupun secara
kelompok, baik secara institusional maupun secara organisasional, dan 2) sesuatu
yang bersifat futuristik, artinya bersangkut paut dengan hari depan, masa yang
akan datang, dimana efeknya atau pengaruhnya berlangsung cukup lama.
Pada prinsipnya, terdapat dua pendekatan dalam pengambilan keputusan
(Mangkusubroto dan Trisnadi 1985; Marimin 2008, Marimin dan Maghfiroh
2010) yaitu : 1) pengambilan keputusan berdasarkan intuisi, dan 2) pengambilan
keputusan rasional berdasarkan hasil analisis keputusan. Hasil keputusan dengan
pengambilan keputusan berdasarkan intuisi, tidak dapat diperiksa secara logis.
Sedangkan hasil keputusan dengan pengambilan keputusan berdasarkan hasil
analisis keputusan, alasan terpilihnya suatu alternatif dapat ditelusuri dengan jelas
dan mudah dimengerti. Adapun garis besar langkah-langkah siklus analisis
keputusan rasional diperlihatkan pada Gambar 8.
Gambar 8 Garis Besar Siklus Analisis Keputusan Rasional (Mangkusubroto dan
Trisnadi 1985; Marimin 2004; Marimin dan Maghfiroh 2010)
Pada umumnya, komponen-komponen dalam pengambilan keputusan
berbasis rasional atau analisa (Marimin dan Maghfiroh 2010) terdiri dari: 1)
alternatif keputusan, 2) kriteria keputusan, 3) bobot kriteria, 4) skala penilaian, 5)
struktur keputusan, dan 6) metode pengambilan keputusan. Adapun sifat-sifat
yang harus diperhatikan dalam memilih kriteria pada setiap persoalan
pengambilan keputusan (Mangkusubroto dan Trisnadi 1987; Suryadi dan
Ramdhani 2002) adalah : 1) Lengkap, sehingga dapat mencakup seluruh aspek
penting dalam persoalan tersebut, 2) Operasional (harus mempunyai arti, dapat
digunakan untuk meyakinkan pihak lain, serta dapat diukur), 3) Tidak berlebihan,
sehingga menghindarkan perhitungan berulang, dan 4) Minimum, agar lebih
mengkomprehensifkan persoalan.
Dalam menentukan jumlah kriteria perlu sedapat mungkin mengusahakan
agar jumlah kriterianya sesedikit mungkin. Semakin banyak kriteria maka
semakin sulit untuk dapat menghayati persoalan dengan baik. Selain itu, jumlah
perhitungan yang diperlukan dalam analisis akan meningkat dengan cepat.
Secara konseptual, penilaian atau pengukuran adalah penetapan angka-
angka untuk mengamati gejala sesuai dengan aturan tertentu (Pyzdek 2002).
Emory dan Cooper (1996) menyebutkan bahwa pengukuran dalam penelitian
Tahap
Deterministik
(Perumusan
Alternatif dan
Kriteria)
Pengambilan
Keputusan
Tahap
Informasional
Tahap
Probabilistik
(Penetapan nilai
dan variasinya)
Pengumpulan
Informasi
Informasi Awal
Tindakan
Informasi BaruPengumpulan
Informasi Baru
merupakan pemberian angka-angka pada peristiwa-peristiwa empiris sesuai
dengan aturan-aturan tertentu.
Pengukuran dalam penelitian merupakan proses yang terdiri dari tiga
bagian (Emory dan Cooper 1996; Marimin dan Maghfiroh 2010) yaitu : 1)
memilih peristiwa empiris yang dapat diamati, 2) memakai angka atau simbol
untuk mewakili aspek-aspek peristiwa-peristiwa tersebut, dan 3) memberikan
hubungan antara variabel yang dibuat dan pengamatan yang dilakukan.
Seperangkat aturan yang diperlukan untuk mengkuantitatifkan data dari
pengukuran suatu variabel disebut skala pengukuran (Marimin 2010). Dasar yang
paling umum untuk membuat skala mempunyai tiga ciri (Emory dan Cooper
1996) yaitu 1) Bilangannya berurutan, 2) Selisih antara bilangan-bilangan
berurutan, dan 3) Deret bilangan mempunyai asal mula unik yang ditandai dengan
bilangan nol. Pada umumnya, terdapat empat jenis skala pengukuran (Emory dan
Cooper 1996; Marimin dan Maghfiroh 2010) yaitu : 1) Skala Nominal, 2) Skala
Ordinal, 3) Skala Interval, dan 4) Skala Rasio. Adapun ciri-ciri dari setiap jenis
skala seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Ciri-ciri dari Setiap Jenis Skala Pengukuran (Emory dan Cooper 1995)
Selain empat jenis skala pengukuran tersebut di atas, Marimin dan Maghfiroh
(2010) menambahkan satu skala pengukuran yaitu skala perbandingan
berpasangan (pairwise comparison). Perbandingan berpasangan sering digunakan
untuk menentukan kepentingan relatif dari elemen-elemen dan kriteria-kriteria
yang ada. Skala Perbandingan Berpasangan sangat berguna untuk mendapatkan
skala rasio dari hal-hal yang sulit diukur (pendapat, perasaan, perilaku, dan
kepercayaan). Perbandingan dilakukan berdasarkan judgment dari pengambil
keputusan.
Jenis Skala Ciri-ciri Skala Operasi Empiris Dasar
Nominal Tidak ada urutan, jarak, atau asal mula Penentuan kesamaan
Ordinal
Interval
Rasio
Berurutan tetapi tidak ada jarak atau
asal mula yang unik
Berurutan dan berjarak tetapi tidak
mempunyai asal mula yang unik
Berurutan, berjarak, dan asal mula yang
unik
Penentuan nilai-nilai lebih
besar atau lebih kecil
daripada
Penentuan kesamaan
interval atau selisih
Penentuan kesamaan rasio
Berdasarkan jumlah kriteria yang digunakan, maka persoalan keputusan
dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu persoalan keputusan dengan kriteria
tunggal dan kriteria majemuk (multikriteria). Pengambilan Keputusan
Multikriteria (MCDM) didefinisikan Kusumadewi et al. (2006) sebagai suatu
metode pengambilan keputusan untuk menetapkan alternatif terbaik dari sejumlah
alternatif berdasarkan beberapa kriteria tertentu.
Terdapat beberapa fitur umum yang digunakan dalam MCDM (Janko
2005 dalam Kusumadewi et al. 2006) yaitu : 1) Alternatif, 2) Atribut, 3) Konflik
antar kriteria, 4) Bobot keputusan, dan 5) Matriks keputusan. Alternatif adalah
obyek-obyek yang berbeda dan memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih
oleh pengambil keputusan. Atribut sering disebut juga sebagai karakteristik,
komponen, atau kriteria keputusan. Meskipun pada kebanyakan kriteria bersifat
satu level, namun tidak menutup kemungkinan adanya sub kriteria yang
berhubungan dengan kriteria yang telah diberikan. Beberapa kriteria biasanya
mempunyai konflik antara satu dengan yang lainnya, misalnya kriteria
keuntungan akan mengalami konflik dengan kriteria biaya. Bobot keputusan
menunjukkan kepentingan relatif dari setiap kriteria.
Yoon (1981) dalam Kusumadewi et al. (2006) menyatakan bahwa masalah
MCDM tidak selalu memberikan suatu solusi unik, perbedaan tipe bisa jadi akan
memberikan perbedaan solusi. Adapun jenis-jenis solusi pada masalah MCDM (
Kusumadewi et al. 2006) yaitu : 1) solusi ideal, 2) solusi non-dominated (solusi
Pareto-optimal), 3) solusi yang lebih disukai , dan 4) solusi yang memuaskan.
Pada solusi ideal, kriteria atau atribut dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu
kriteria yang nilainya akan dimaksimumkan (kategori kriteria keuntungan), dan
kriteria yang nilainya akan diminimumkan (kategori kriteria biaya). Solusi ideal
akan memaksimumkan semua kriteria keuntungan dan meminimumkan semua
kriteria biaya (Daellenbach dan McNickle 2005). Solusi feasible MCDM
dikatakan non-dominated jika tidak ada solusi feasible yang lain yang akan
menghasilkan perbaikan terhadap suatu atribut tanpa menyebabkan degenerasi
pada atribut lainnya. Solusi yang memuaskan adalah himpunan bagian dari solusi-
solusi feasible dimana setiap alternatif melampaui semua kriteria yang
diharapkan.
Zimmermann (1991) dalam Kusumadewi et al. (2006) menyatakan bahwa
berdasarkan tujuannya, MCDM dapat dibedakan menjadi dua yaitu : Multi
Attribute Decision Making (MADM) dan Multi Objective Decision Making
(MODM). MADM digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam
ruang diskret, sedangkan MODM digunakan untuk menyelesaikan masalah-
masalah pada ruang kontinyu. Secara umum dapat dikatakan bahwa MADM
menyeleksi alternatif terbaik dari sejumlah alternatif, sedangkan MODM
merancang alternatif terbaik. Perbedaan antara MADM dan MODM ditunjukkan
pada Tabel 3.
Tabel 3 Perbedaan antara MADM dan MODM (Yoon 1981 dalam Kusumadewi
et al. 2006)
MADM MODM
Kriteria (didefinisikan sebagai) Atribut Tujuan
Tujuan Implisit Eksplisit
Atribut
Alternatif
Kegunaan
Eksplisit
Diskret,
Jumlah terbatas
Seleksi
Implisit
Kontinu,
Jumlah tak terbatas
Desain
Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
masalah MADM, antara lain yaitu : 1) Simple Additive Weighting Method (SAW),
2) Weighted Product (WP), 3) ELimination Et Coix Traduisant la realitE (
ELECTRE), 4) Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution
(TOPSIS), dan 5) Analytic Hierarchy Process (AHP).
Untuk melakukan pemilihan terhadap organisasi yang berkinerja terbaik
(menjadi best in class), Laise (2004) berpendapat bahwa pendekatan tradisional
yang digunakan untuk menentukan organisasi yang menjadi best in class yaitu
pendekatan ranking memiliki kelemahan. Pada pendekatan tradisional (Laise,
2004), permasalahan benchmarking dengan banyak kriteria diselesaikan dengan
mengkonstruksi suatu indikator dengan merata-ratakan semua score yang
diperoleh suatu organisasi atas ukuran-ukuran yang berbeda. Rata-rata
merupakan suatu ukuran kecenderungan terpusat dari suatu kelompok data dan
cukup mewakili jika data mempunyai suatu variabilitas yang rendah, tetapi jika
dilakukan pengamatan dengan variabilitas tinggi, rata-rata bukan ukuran yang
baik. Menggunakan rata-rata dapat menghilangkan informasi yang pantas
dipertimbangkan dan oleh karena itu tidak cocok digunakan untuk membuat
perbandingan.
Selanjutnya, Laise (2004) mengusulkan penggunaan metode yang
merupakan pengembangan dari konsep outranking yaitu ELECTRE. Metode
ELECTRE merupakan kelompok dari algoritma yang dikembangkan dalam
Operational Research (Roy 1985; Vincke 1992; Roy dan Bouyssou 1993;
Pamerol dan Barba-Romero 2000).
ELECTRE menurut Kusumadewi et al. (2006) didasarkan pada konsep
perankingan melalui perbandingan berpasangan antar alternatif pada kriteria yang
sesuai. Suatu alternatif dikatakan mendominasi alternatif yang lainnya jika satu
atau lebih kriterianya melebihi (dibandingkan dengan kriteria dari alternatif yang
lain) dan sama dengan kriteria lain yang tersisa.
Jafari et al. (2007) mengusulkan kerangka kerja untuk memilih metode
penilaian kinerja terbaik menggunakan SAW. Konsep dasar metode SAW adalah
mencari penjumlahan terbobot dari rating kinerja pada setiap alternatif pada
semua atribut (Kusumadewi et al. 2006). Kelemahan pada metode SAW yaitu
memerlukan proses normalisasi matriks keputusan ke suatu skala yang dapat
diperbandingkan dengan semua rating alternatif yang ada
Metode lain yang dapat digunakan dalam melakukan identifikasi terhadap
organisasi yang menjadi best in class adalah PROMETHEE. PROMETHEE
(Preference Ranking Organization Method For Enrichment Evaluation) termasuk
dalam keluarga metode outranking yang dikembangkan oleh B. Roy (1985).
Metodologi Multicriteria outranking merupakan pengembangan dari pendekatan
tradisional dalam menentukan perusahaan yang memiliki kinerja terbaik. Metoda
tersebut dapat menghindari kekurangan dari metoda tradisional yang hanya
berdasarkan pada agregasi kumpulan mono kriteria.
PROMETHEE merupakan salah satu metode yang digunakan untuk
menentukan urutan atau prioritas dari beberapa alternatif dalam permasalahan
yang menggunakan multi kriteria. PROMETHEE mempunyai kemampuan untuk
menangani banyak perbandingan dan memudahkan pengguna dengan
menggunakan data secara langsung dalam bentuk tabel multikriteria sederhana.
Pengambil keputusan hanya mendefinisikan skala ukurannya sendiri tanpa
batasan, untuk mengindikasi prioritasnya dan preferensi untuk setiap kriteria
dengan memusatkan pada nilai (value), tanpa memikirkan metoda
perhitungannya.
Metodologi dalam mengimplementasikan PROMETHEE (Suryadi dan
Ramdhani 2002) adalah sebagai berikut: 1) pengumpulan data nilai/ukuran
relatif kriteria, 2) pemilihan dan penentuan tipe fungsi preferensi kriteria beserta
parameternya, 3) perhitungan nilai preferensi (P) antar alternatif ditentukan
berdasarkan, 4) perhitungan nilai indeks preferensi multikriteria () antar
alternatif, 5) perhitungan nilai leaving flow, entering flow, dan net flow pada
masing-masing alternatif, dan 6) Menentukan ranking pada Promethee I (Partial
Ranking) dan Promethee II (Complete Ranking). Fungsi preferensi kriteria yang
dapat dipilih yaitu 1) kriteria biasa, 2) kriteria Quasi, 3) kriteria linier, 4) kriteria
level, 5) kriteria level dengan area tidak berbeda , dan 6) kriteria Gaussian.
Dengan menggunakan fungsi preferensi kriteria biasa, tidak ada beda
(sama penting) antara a dan b jika dan hanya jika f(a) = f(b); apabila nilai kriteria
pada masing-masing alternatif memiliki nilai berbeda, pengambil keputusan
membuat preferensi mutlak untuk alternative memiliki nilai yang lebih baik.
H (d) =
01
00
djika
djika
d = selisih nilai kriteria = f (a) – f (b)
Gambar 9 Bentuk Preferensi Kriteria Biasa (Suryadi dan Ramdhani 2002)
Dengan kriteria Quasi, dua alternatif memiliki preferensi yang sama
penting selama selisih atau nilai H(d) dari masing-masing alternatif untuk kriteria
d 0
1
H (d)
tertentu tidak melebihi nilai q, dan apabila selisih hasil evaluasi untuk masing-
masing alternatif melebihi nilai q maka terjadi bentuk preferensi mutlak.
Gambar 10 Bentuk Kriteria Quasi (Suryadi dan Ramdhani 2002)
0 jika -q ≤ d ≤ q
H (d) = 1 jika d < -q atau d > q
Kriteria linier dapat menjelaskan bahwa selama nilai selisih memiliki
nilai nilai yang lebih rendah dari p, preferensi dari pengambil keputusan
meningkat secara linier dengan nilai d. Jika nilai d lebih besar dibandingkan
dengan nilai p, maka terjadi preferensi mutlak.
Gambar 11 Bentuk Kriteria Linier (Suryadi dan Ramdhani 2002)
d/p jika -p ≤ d ≤ p
H (d) = 1 jika d < -p atau d > p
Dengan kriteria level, kecenderungan tidak berbeda q dan
0 q
1
-q
H (d)
d
0 p
1
-p
H (d)
d
kecenderungan preferensi p ditentukan secara simultan. Jika d berada di antara
nilai q dan p, hal ini berarti situasi preferensi yang lemah (H(d) = 0.5)
Gambar 12 Bentuk Kriteria Level (Suryadi dan Ramdhani 2002)
0 jika │d│≤ q
H (d) = 0,5 jika q < │d│≤ p
1 jika p < │d│
Dengan kriteria linier dengan area tidak berbeda, pengambil keputusan
mempertimbangkan peningkatan preferensi secara linier dari tidak berbeda hingga
preferensi mutlak dalam area antara dua kecenderungan p dan q
0 jika │d│≤ q
H (d) =
(│d│- q ) / ( p – q ) jika q < │d│≤ p
1 jika p < │d│
Gambar 13 Bentuk Kriteria Linier dengan Area Tidak Berbeda
(Suryadi dan Ramdhani 2002)
0
1
-q
H (d)
d-p q p
1/2
0
1
H (d)
d-q-p q p
Dengan kriteria Gaussian, apabila telah ditentukan nilai σ, dimana dapat
dibuat berasarkan distribusi normal dalam statistik.
H (d) = 1 – exp { - d² / 2σ² }
Gambar 14 Bentuk Kriteria Gaussian (Suryadi dan Ramdhani 2002)
Perhitungan nilai preferensi (P) antar alternatif ditentukan berdasarkan
penyampaian intensitas (P) dari preferensi alternatif a terhadap alternatif b
sedemikian rupa sehingga :
P (a, b) = 0, berarti tidak ada beda (indefferent) antara a dan b, atau
tidak ada preferensi dari a lebih baik dari b.
P (a, b) ~ 0, berarti lemah preferensi dari a lebih baik dari b.
P (a, b) ~ 1, berarti kuat preferensi dari a lebih baik dari b.
P (a, b) = 1, berarti mutlak preferensi dari a lebih baik dari b.
Dalam metode ini, fungsi preferensi seringkali menghasilkan nilai fungsi yang
berbeda antara dua evaluasi, sehingga : P (a, b) = P (f (a) – f (b)).
Indeks preferensi multikriteria ditentukan berdasarkan rata-rata bobot dari
fungsi preferensi P i :
(a, b) = baPn
i
i ,1
: a, b A
0
1
H (d)
d
Hal ini dapat disajikan dengan nilai antara 0 dan 1, dengan ketentuan sebagai
berikut :
(a, b) ≈ 0, menunjukkan preferensi yang lemah untuk alternatif a lebih
baik dari alternatif b berdasarkan semua kriteria.
(a, b) ≈ 1, menunjukkan preferensi yang kuat untuk alternatif a lebih
baik dari alternatif b berdasarkan semua kriteria.
Perhitungan nilai leaving flow, entering flow, dan net flow pada masing-
masing alternatif. Untuk setiap node a dalam grafik nilai outranking ditentukan
berdasarkan leaving flow, dengan persamaan :
(a) =
Ax
xan
,1
1
Secara sistematis dapat ditentukan juga entering flow dengan persamaan :
(a) =
Ax
axn
,1
1
Sehingga pertimbangan dalam penentuan net flow diperoleh dengan persamaan :
(a) = (a) - (a)
Promethee I berdasarkan karakter leaving flow dan entering flow, yaitu
nilai terbesar dan terkecil sebagai alternatif terbaik. Sedangkan Promethee II
berdasarkan karakter net flow dan nilainya diurutkan dari yang terbesar sampai
yang terkecil.
Dibandingkan dengan metodologi-metodologi yang dapat digunakan untuk
pengambilan keputusan dengan multi kriteria beberapa pendapat menyatakan
bahwa metodologi Promethee 1) paling efisien dan paling mudah penggunaannya
Prvulovic et. al. (2008), 2) lebih fleksibel dalam menentukan preferensi (bobot)
mana yang lebih baik dari pasangan yang dibandingkan (Amran dan Kiki 2005).
Selain itu, Triyanti dan Gadis (2008) menyatakan bahwa metode PROMETHEE
menyediakan banyak fungsi yang dapat mengakomodasi berbagai karakteristik
data, sedangkan metode pengambilan keputusan yang lain, seperti Analytical
Hierarchy Process (AHP) dan Analytical Network Process (ANP)
mengasumsikan data dengan karakteristik linear mengingat semua pembobotan
menggunakan normalisasi.
Penyusunan model keputusan (Suryadi dan Ramdhani 2002) adalah suatu
cara untuk mengembangkan hubungan-hubungan logis yang mendasari persoalan
keputusan ke dalam suatu model, yang mencerminkan hubungan yang terjadi
diantara faktor-faktor yang terlibat. Model yang banyak digunakan dalam proses
pengambilan keputusan dapat dikategorikan dalam dua jenis (Suryadi dan
Ramdhani 2002), yaitu model matematis dan model informasi.
Model matematis merupakan model yang merepresentasikan sistem secara
simbolik dengan menggunakan rumus-rumus atau besaran-besaran abstrak. Model
ini selanjutnya bisa dijabarkan ke dalam operasi-operasi matriks, algoritma iteratif
dan model-model keputusan matematis lainnya.
Model informasi merupakan model yang merepresentasikan sistem dalam
format grafik, skema atau tabel. Secara umum, model ini terbagi atas : 1)
penjelasan objek, mendeskripsikan apa dan bagaimana suatu objek secara
terperinci, bisa berupa tabel, daftar, dan sebagainya; 2) penjelasan hubungan,
menunjukkan hubungan antar objek, representasi hubungan lebih komunikatif jika
ditampilkan dalam bentuk grafik; 3) penjelasan operasi, menunjukkan urutan
tugas atau proses yang dilakukan oleh suatu objek atau sekelompok objek, model
dapat berupa peta proses operasi, diagram alir atau jaringan.
Secara umum model digunakan untuk memberikan gambaran
(description), memberikan penjelasan (prescription), dan memberikan perkiraan
(prediction) dari realita yang dikaji. Siregar (1991) dalam Suryadi dan Ramdhani
(2002) mengungkapkan bahwa suatu model yang baik memiliki karakteristik
sebagai berikut : 1) tingkat generalisasi yang tinggi, 2) mekanisme transparansi, 3)
potensial untuk dikembangkan, dan 4) peka terhadap perubahan asumsi. Semakin
tinggi derajat generalisasi suatu model, maka semakin baik, karena kemampuan
model untuk memecahkan masalah semakin besar. Suatu model dikatakan baik
jika kita dapat melihat mekanisme suatu model dalam memecahkan masalah,
artinya kita bisa menjelaskan kembali (rekonstruksi) tanpa ada yang
disembunyikan. Suatu model yang berhasil biasanya mampu membangkitkan
minat peneliti lain untuk menyelidikinya lebih lanjut.
Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan model pada
umumnya (Suryadi dan Ramdhani 2002) yaitu : 1) elaborasi, 2) analogi, dan 3)
dinamis. Pengembangan model dimulai dengan yang sederhana dan secara
bertahap dielaborasi hingga memperoleh model yang lebih representatif.
Penyederhanaan dilakukan dengan menggunakansistem asumsi ketat, yang
tercermin pada jumlah, sifat, dan relasi variabel-variabelnya. Akan tetapi asumsi
yang dibuat tetap harus memenuhi persyaratannya, yaitu konsistensi,
independensi, ekivalensi, dan relevansi. Pengembangan model dilakukan dengan
menggunakan prinsip-prinsip hukum, teori yang sudah dikenal secara meluas
tetapi belum pernah digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Pengembangan model bukanlah proses yang bersifat mekanistik dan linier. Oleh
karena itu, dalam tahap pengembangannya mungkin saja dilakukan pengulangan.
Pengembangan model suatu sistem secara umum mengandung dua tahapan
proses (Simatupang 1994), yang pada prakteknya, tidak selalu mengikuti urutan
yaitu : pembuatan struktur model dan pengumpulan data. Pembuatan struktur
model yaitu menetapkan batas-batas sistem yang akan memisahkan sistem dari
lingkungannya, dan menetapkan komponen-komponen pembentuk sistem yang
akan diikutsertakan atau dikeluarkan dari model. Namun demikian, model harus
lengkap, valid, dan cukup sederhana. Pengumpulan data dilakukan untuk
mendapatkan besaran-besaran atribut komponen yang dipilih, dan untuk
mengetahui hubungan yang terjadi pada aktivitas-aktivitas sistem.
Langkah awal dalam membangun model formal yang menunjukkan
ukuran performansi sistem sebagai fungsi dari variabel-variavel model adalah
konsep formulasi model. Simatupang (1994) menggambarkan tahap-tahap konsep
formulasi model dalam skema berikut ini :
Gambar 15 Tahap-Tahap Formulasi Model (Simatupang 1994)
Selanjutnya Levin et al. (1995) menyebutkan bahwa konsep dan ide dasar untuk
pemodelan membentuk siklus model yang meliputi tiga fase pengembangan yaitu
: 1) penentuan masalah, 2) pengembangan model, dan 3) pengambilan keputusan.
Adapun komponen tersebut dan hubungan diantaranya dapat dilihat pada Gambar
16.
Gambar 16 Siklus Model (Levin et al. 1995)
MASALAH
SISTEM
ASUMSI VARIABEL
MODEL
FORMULASI
MODEL
PEMAHAMAN
SISTEM
MODEL
KONSEPTUAL
Komunikasi
Masalah
Formulasi
Masalah
Penetapan
Sistem &
Tujuannya
Model
Model
Konseptual
Model
Komunikatif
Pemrograman
Model
Model
Eksperimental
Hasil Model
Integrasi
Pendukung
Keputusan
TAHAP
PENENTUAN
MASALAH
TAHAP PENGEMBANGAN MODEL
TAHAP
PENDUKUNG KEPUTUSAN
Pembuat Keputusan
Presentasi dari
Hasil model
Formulasi masalah
Eksperimen
Formulasi Model
Representasi
Model
PemrogramanPerancangan
Eksperimen
Investigasi Sistem
Investigasi Penyelesaian
Masalah
2.6 Praktek Terbaik
Praktek terbaik perlu diidentifikasi sebagai masukan untuk perbaikan
kinerja dimana pada tahap sebelumnya telah dilakukan penentuan prioritas
perbaikannya. Asrofah et al. (2010) menyimpulkan bahwa hasil identifikasi
praktek terbaik berkontribusi pada efektivitas benchmarking di perusahaan
manufaktur Indonesia. Reddy dan McCarthy (2006) menegaskan bahwa praktek
terbaik perlu dipromosikan setidak-tidaknya dengan memanfaatkan database yang
dapat diakses oleh pihak memerlukan. Faktor yang harus diperhatikan dalam
mengidentifikasi praktek terbaik (Ungan 2007) yaitu kodifikasi, kompleksitas,
dan kesesuaian.
Praktek terbaik dapat didefinisikan dalam tiga level (Jaffar dan Zairi 2000)
yaitu 1) ide yang baik (unproven) ; 2) praktek yang baik; dan 3) praktek terbaik
(proven). Ide yang baik – belum dibuktikan secara empiris dan perlu dilakukan
analsis untuk memastikan ide tersebut akan berdampak positip pada kinerja
organisasi. Praktek yang baik – berupa teknik, metodologi, prosedur, atau proses
yang telah diimplementasikan dan telah meningkatkan kinerja organisasi. Praktek
terbaik – praktek yang baik yang telah ditetapkan sebagai pendekatan terbaik bagi
banyak organisasi berdasarkan hasil analisis data kinerja.
Maire et al. (2005) mengembangkan model untuk mengidentifikasi
praktek terbaik didasarkan pada prinsip yang serupa dengan Quality Function
Deployment (QFD). Namun, model yang dirancang hanya dapat digunakan pada
proses dan bukan pada produk jadi. Southard dan Parente (2007) mengembangkan
metoda baru yang digunakan untuk proses evaluasi dalam perbaikan kinerja
berdasarkan pada pengetahuan internal yang dimiliki.
Pendekatan lain yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi praktek
terbaik adalah Root Cause Analysis (RCA). RCA merupakan pendekatan
terstruktur untuk mengidentifikasi faktor-faktor berpengaruh pada satu atau lebih
kejadian-kejadian yang lalu agar dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja
(Corcoran 2004). Selain itu, pemanfaatan RCA dalam analisis perbaikan kinerja
menurut Latino dan Kenneth (2006) dapat memudahkan pelacakan terhadap faktor
yang mempengaruhi kinerja. Root Cause(s) adalah bagian dari beberapa faktor
(kejadian, kondisi, faktor organisasional) yang memberikan kontribusi, atau
menimbulkan kemungkinan penyebab dan diikuti oleh akibat yang tidak
diharapkan.
Terdapat berbagai metode evaluasi terstruktur untuk mengidentifikasi
akar penyebab (root cause) suatu kejadiaan yang tidak diharapkan (undesired
outcome). Jing (2008) menjelaskan lima metode yang populer untuk
mengidentifikasi akar penyebab (root cause) suatu kejadiaan yang tidak
diharapkan (undesired outcome) dari yang sederhana sampai dengan komplek
yaitu : 1) Is/Is not comparative analysis, 2) 5 Why methods, 3) Fishbone diagram,
4) Cause and effect matrix, dan 5) Root Cause Tree.
Is/Is not comparative analysis merupakan metoda komparatif yang
digunakan untuk permasalahan sederhana, dapat memberikan gambaran detil apa
yang terjadi dan telah sering digunakan untuk menginvestigasi akar masalah. 5
Why methods merupakan alat analisis sederhana yang memungkinkan untuk
menginvestigasi suatu masalah secara mendalam. Fishbon diagram merupakan
alat analisis yang populer, yag sangat baik untuk menginvestigasi penyebab dalam
jumlah besar. Kelemahan utamanya adalah hubungan antar penyebab tidak
langsung terlihat, dan interaksi antar komponen tidak dapat teridentifikasi. Cause
and effect matrix merupakan matrik sebab akibat yang dituliskan dalam bentuk
tabel dan memberikan bobot pada setiap faktor penyebab masalah. Root Cause
Tree merupakan alat analisis sebab – akibat yang paling sesuai untuk
permasalahan yang kompleks. Manfaat utama dari alat analisis tersebut yaitu
memungkinkan untuk mengidentifikasi hubungan diantara penyebab masalah.
Chandler (2004) dalam Ramadhani et. al (2007) menyebutkan bahwa
dalam memanfaatkan RCA terdapat empat langkah yang harus dilakukan yaitu :
1) mengidentifikasi dan memperjelas definisi undesired outcome (suatu kejadiaan
yang tidak diharapkan), 2) mengumpulkan data, 3) menempatkan kejadian-
kejadian dan kondisi-kondisi pada event and causal factor table, dan 4) lanjutkan
pertanyaan “mengapa” untuk mengidentifikasi root causes yang paling kritis.
Laugen et al. (2005) menyebutkan bahwa praktek terbaik yang
menyebabkan kinerja terbaik seringkali sulit untuk diidentifikasi. Davies (2000)
mengusulkan pendekatan terstruktur (diagnostic) untuk memilih praktek terbaik
berdasarkan pada kekuatan hubungan dengan tujuan yang ingin dicapai.
2.7 Sistem Penunjang Keputusan
Merujuk pada definisi mengenai perbaikan kinerja yang dikemukakan oleh
LaBonte (2001) maka untuk mengkaji permasalahan yang berkaitan dengan
perbaikan kinerja industri gula perlu digunakan pendekatan sistem. Pendekatan
sistem merupakan suatu pendekatan analisis yang memanfaatkan sifat-sifat dasar
sistem seperti pencapaian tujuan, kesatuan usaha, keterbukaan terhadap
lingkungan, transformasi, hubungan antar bagian, dan mekanisme pengendalian
sebagai dasar analisis.
Pendekatan sistem ditandai dengan mencari semua faktor (bagian) yang
penting dalam mendapatkan solusi permasalahan dan pembuatan suatu model
kuantitatif untuk membantu keputusan yang rasional. Kerjasama antara bagian
yang interdependen satu sama lain dalam suatu sistem menunjukkan kompleksitas
sistem, sedangkan orientasi pencapaian tujuan yang memberi ciri perubahan yang
terus menerus dalam usaha mencapai tujuan merupakan sifat dinamis dari sistem.
Oleh karena itu, pendekatan sistem dapat memberi landasan untuk pengertian
yang lebih komprehensif mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
sistem dan memberikan dasar untuk memahami berbagai penyebab dari suatu
masalah dalam kerangka sistem.
Beberapa alasan perlunya pendekatan sistem dalam mengkaji suatu
permasalahan (Simatupang 1995; Eriyatno 1999), yaitu : 1) memastikan bahwa
pandangan yang menyeluruh telah dilakukan, 2) mencegah analis menerapkan
secara dini definisi masalah yang spesifik, 3) mencegah analis menerapkan secara
dini model tertentu, 4) agar lingkungan masalah didefinisikan secara luas
sehingga berbagai kebutuhan yang relevan dapat dikenali. Selanjutnya, Eriyatno
(2003) dan Marimin (2005) menyatakan bahwa terdapat dua hal umum yang
menandai pendekatan sistem, yaitu 1) dalam semua faktor penting yang ada dalam
mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah, dan 2) dibuat suatu
model kuantitatif untuk membantu pengambilan keputusan secara rasional.
Metode untuk menyelesaikan permasalahan yang dilakukan melalui
pendekatan sistem terdiri dari analisa sistem, rancangbangun model, implementasi
rancangan, serta implementasi dan operasi sistem (Eriyatno 2003). Analisa sistem
dilakukan dengan mengidentifikasi kondisi situasional, analisa kebutuhan,
formulasi masalah, dan identifikasi sistem. Rancangbangun model ditujukan
untuk memberikan abstraksi dari keadaan nyata atau penyederhanaan sistem nyata
dalam rangka memudahkan pengkajian suatu sistem.
Pendekatan secara sistem dalam pengambilan keputusan dikenal dengan
istilah Sistem Penunjang Keputusan (SPK). SPK merupakan pengembangan lebih
lanjut dari Sistem Informasi Manajemen terkomputerisasi yang dirancang
sedemikian rupa sehingga bersifat interaktif dengan pemakainya (Turban 1993;
Suryadi dan Ramdhani 2002). Kemudahan integrasi antara berbagai komponen
dalam pengambilan keputusan, seperti : prosedur, kebijakan, teknik analisis, serta
pengalaman dan wawasan manajerial guna membentuk suatu kerangka keputusan
yang bersifat fleksibel merupakan maksud dari sifat interaktif. Marimin ( 2004)
menggambarkan Siklus data, informasi, keputusan dan aksi sebagai berikut :
Gambar 17 Siklus Data, Informasi, Keputusan dan Aksi (Marimin 2004)
Tiga tujuan yang harus dicapai SPK (Marimin 2005) yaitu 1) membantu manajer
membuat keputusan untuk memecahkan masalah semi terstruktur, 2) mendukung
penilaian manajer bukan mencoba menggantikannya, dan 3) meningkatkan
efektivitas pengambilan keputusan daripada efisiensinya. Tujuan-tujuan tersebut
berhubungan dengan tiga prinsip dasar dari konsep SPK yaitu struktur masalah,
dukungan keputusan, dan efektivitas masalah.
Informasi
Keputusan
DataAternatif
Keputusan
Aksi
MoNev
SPK
SOP
SIM
Bilangan
Terms
Model konseptual dari SPK adalah integrasi antara 1) Sistem Manajemen
Basis Data, 2) Sistem Manajemen Basis Model, dan 3) Sistem Manajemen Dialog,
dimana interaksinya diatur oleh Sistem Pengolahan Terpusat. Karakteristik pokok
yang melandasi SPK menurut Minch dan Burns (1983) dalam Eriyatno (1999)
adalah : 1) interaksi langsung antara komputer dengan pengambil keputusan, 2)
dukungan menyeluruh (holistic) dari keputusan bertahap ganda, 3) suatu sintesa
dari konsep yang diambil dari berbagai bidang, antara lain ilmu komputer,
psikologi, intelligensia buatan (artificial intelligence), ilmu sistem dan ilmu
manajemen, 4) mempunyai kemampuan adaptif terhadap perubahan kondisi dan
kemampuan berevolusi menuju sistem yang lebih bermanfaat.
Suryadi dan Ramdhani (2002) menyebutkan bahwa tahapan rancang
bangun SPK terdiri dari : 1) Identifikasi tujuan rancang bangun, yang bertujuan
untuk menentukan arah dan sasaran yang hendak dicapai; 2) Perancangan
pendahuluan, untuk merumuskan kerangka dan ruang lingkup SPK serta
persyaratan unjuk kerja yang mesti dipenuhinya, memilih konsep-konsep,
menganalisis dan mengaplikasi model pembuatan keputusan yang relevan dengan
tujuan SPK yang akan dibangun, juga mengidentifikasi spesifikasi SPK; 3)
Perancangan Sistem, yang diawali dengan analisis sistem untuk merumuskan
spesifikasi SPK dilanjutkan dengan perancangan konfigurasi SPK, beserta
perangkat keras serta perangkat lunak pendukungnya.
Metode yang digunakan dalam perancangan dan pengembangan suatu
aplikasi SPK umumnya mengacu pada tahapan pengembangan sistem. Marimin
(2005) menyebutkan bahwa proses perancangan suatu aplikasi SPK terdiri dari
tujuh tahapan seperti pada Gambar 18.
2.8 Sistem Penunjang Keputusan Intelijen
Sebagai tambahan terhadap sistem penunjang keputusan yang tradisional,
teknik-teknik yang dikembangkan dalam intelijen buatan (artificial intelligence)
telah diadopsi untuk membuat sistem penunjang keputusan yang intelijen. Sistem
ini melibatkan sistem pakar berbasis aturan (rule-based) atau sistem intelijen
dengan menggunakan logika fuzzy, Jaringan syaraf tiruan dan algoritma genetika.
Turban (2005) mendefinisikan Sistem Penunjang Keputusan Intelijen sebagai
SPK yang melibatkan satu atau lebih dari komponen-komponen suatu sistem
pakar atau artificial intelligence technology. Dengan komponen-komponen
tersebut Sistem Penunjang Keputusan menjadi lebih baik atau lebih intelijen.
Gambar 18 Bagan Alir Pengembangan Aplikasi SPK (Marimin 2005)
Seperti halnya sistem yang lain, sistem pakar dan SPK juga memiliki
kelebihan dan kelemahan. Salah satu kelemahan SPK yaitu SPK hanya berfungsi
secara pasif dalam interaksi manusia – komputer. SPK mengeksekusi perhitungan,
menampilkan data dan merespon perintah standar, namun tidak dapat berfungsi
sebagai asisten intelijen terhadap pengambil keputusan. Sedangkan sistem pakar,
memiliki kecerdasan pada ranah yang jelas. Oleh karena itu, integrasi antara
sistem pakar dan SPK akan menghasilkan suatu sinergi yang dapat mengatasi
kelemahan dalam sistem pakar dan SPK (Turban 1990; Turban et al. 2006). Hasil
yang diperoleh melalui integrasi antara sistem pakar dan SPK lebih baik jika
dibandingkan dengan dengan penggunaan sistem pakar atau SPK saja.
Integrasi antara SPK dan sistem pakar (Turban 1990; Turban et al. 2006;
Turban et al. 2007) dapat dilakukan dengan 1) sistem pakar dimasukkan ke dalam
komponen-komponen SPK, 2) sistem pakar sebagai komponen yang terpisah dari
SPK, 3) sistem pakar berbagi dengan proses SPK, 4) sistem pakar memberikan
Menentukan domain
persoalan
Mendefinisikan
persoalan
Menetukan perangkat
Keras dan lunak
Membangun prototipe
sistem
Memelihara sistem
Menguji dan mengevaluasi
model
Menggunakan model
Analis Sistem Pemgguna
Langkah 1
Langkah 2
Langkah 3
Langkah 4
Langkah 7
Langkah 5
Langkah 6
Per
lu d
iran
cang
ula
ng
Per
lu d
iran
cang
ula
ng
solusi alternatif bagi SPK, dan 5) pendekatan kesatuan (a unified approach). Teng
et al. dalam Turban 1990) mengusulkan pendekatan kesatuan untuk
mengintegrasikan SPK dan sistem pakar yang dinamakan SPK Intelijen. Adapun
arsitektur SPK Intelijen dapat dilihat pada Gambar 19.
Gambar 19 Arsitektur Kesatuan SPK Intelijen (Teng et al. dalam Turban 1990)
Berdasarkan Gambar 19 tersebut terlihat bahwa sistem pakar tersusun diantara
data dan model-model, dimana sistem pakar menjadi fungsi dasar dalam
mengintegrasikan dua komponen tersebut secara intelijen.
SPK Intelijen diklasifikasikan ke dalam dua jenis yaitu SPK aktif dan SPK
berevolusi sendiri. SPK aktif atau simbolik merupakan SPK yang
dirancangbangun agar dapat mengambil inisiatif dalam pertanyaan dan perintah
standar, sedangkan SPK berevolusi sendiri dirancangbangun untuk siaga dalam
penggunaan dan secara otomatis beradaptasi dengan kebutuhan pengguna. SPK
aktif dapat mengerjakan tugas, memahami domain (seperti terminologi,
parameter, dan interaksi), memformulasikan permasalahan, memaparkan
permasalahan, menginterpretasikan hasil, dan menjelaskan hasil dan keputusan
(Mill 1990 dalam Turban et al. 2006). Dalam mengerjakan tugas-tugas tersebut
diperlukan komponen intelijen.
Basis
Data
Basis
Pengetahuan
Sistem
Manajemen
Basis Data
Subsistem
Akuisisi
pengetahuan Penghubung
Bahasa
Natural
Sistem
Manajemen
Basis Model
Basis
Model
Mesin
Inferensi
intelijen
Supervisor
PenggunaPerekayasa
Pengetahuan
Subsistem
Dialog
Pusat Pengelola
Intelijen
2.9 Sistem Pakar Fuzzy
Sistem Pakar Fuzzy merupakan penggabungan sistem pakar dan sistem
Fuzzy. Penerapan sistem Fuzzy dalam sistem pakar bertujuan untuk
merepresentasikan pengetahuan pakar pada lingkungan yang tidak pasti, tidak
lengkap, dan sangat kompleks (Kandel 2001, Marimin 2005). Sistem fuzzy
merupakan penduga numerik yang terstruktur dan dinamik serta memiliki
kemampuan untuk mengembangkan sistem intelijen dalam lingkungan yang tidak
pasti dan tidak tepat. Sistem fuzzy menduga suatu fungsi dengan logika fuzzy yang
digunakan untuk menangani konsep derajat kebenaran, yaitu nilai kebenaran
antara benar dan salah. Oleh karena itu, logika fuzzy sering menggunakan
informasi linguistik dan verbal.
Sistem Pakar Fuzzy mengembangkan sistem pakar yang menggunakan
logika fuzzy secara keseluruhan (Negnevitsky 2005; Bukley dan Siler 2005), yang
meliputi gugus fuzzy, aturan fuzzy if- then, serta proses inferensi. Gugus fuzzy
merupakan perangkat yang tepat untuk mengekspresikan ke-ambiguity-an yang
diperlukan oleh komputer untuk mengerti bahasa manusia yang tidak dapat
diselesaikan dengan logika biasa.
Pada umumnya, sistem Pakar Fuzzy terdiri dari dua modul utama yaitu
basis pengetahuan (knowledge base) dan mesin penyimpul (inference engine)
serta modul tambahan yang disebut memori kerja (working memory). Basis
pengetahuan digunakan untuk menangkap keahlian pakar sedangkan mesin
penyimpul mencontoh cara dan proses penalaran pakar. Memori kerja akan
menampung fakta yang diberikan oleh pengguna dan menjadi perantara
kesimpulan yang diambil dari prosedur inferensi.
Sistem pakar atau sistem berbasis pengetahuan kecerdasan (Intelligent
Knowledge Based System) merupakan salah satu bagian dari kecerdasan buatan
(Artificial Intelligent) yang memungkinkan komputer dapat berpikir dan
mengambil kesimpulan dari sekumpulan aturan. Tujuan dari pengembangan
sistem pakar adalah untuk menghasilkan suatu sistem yang dapat membantu
pekerjaan manusia, terutama yang berhubungan dengan pemanfaatan keahlian dan
pengalaman di suatu bidang tertentu secara lebih efektif dan efisien.
Sistem pakar akan menyimpan dan mengelola keahlian atau pengetahuan
dari seorang pakar. Pengetahuan yang ada pada sistem pakar juga dapat berasal
dari buku, majalah, atau sumber-sumber tertulis lainnya. Pengetahuan yang
dimiliki sistem pakar akan digunakan untuk mengolah fakta-fakta dari pengguna
sehingga dapat dihasilkan suatu kesimpulan yang akan diberikan kembali kepada
penggunanya. Kesimpulan itu dapat dianggap sebagai hasil dari konsultasi yang
diberikan oleh seorang pakar. Adapun fungsi dasar sistem pakar dapat di lihat
pada Gambar 20 di bawah ini :
Gambar 20 Fungsi Dasar Sistem Pakar (Giarratano dan Riley 1998)
Marimin (2005) menyebutkan bahwa pada prinsipnya, sistem pakar
tersusun dari beberapa komponen yang mencakup 1) fasilitas akuisisi
pengetahuan, 2) sistem berbasis pengetahuan (Knowledge Based System) , 3)
mesin inferensi (inference engine), 4) fasilitas untuk penjelasan dan justifikasi,
dan 5) penghubung antara pengguna dan sistem pakar (user interface). Adapun
struktur dasar sistem pakar dapat dilihat pada Gambar 21.
Gambar 21 Struktur Dasar Sistem Pakar (Marimin 2005)
Pengguna
Knowledge Base
(Basis Pengetahuan)
Inference Engine
(Penarikan Kesimpulan)
Fakta
Kesimpulan
Sistem Pakar
Fasilitas Penjelasan
Pakar
Fakta
Aturan
Model
Fakta
Aturan
Model
Fakta
Aturan
Model
Nasehat
Justifikasi
Konsultasi
Penghubung
Sistem Berbasis
Pengetahuan
Dangkal
Mendalam
Statis
Dinamis
Akuisisi
Pengetahuan
Mekanisme
Inferensi
Strategi
Penalaran
Strategi
Pengenda-
lian
Pengguna
Tahapan pembentukan sistem pakar pada dasarnya disusun oleh tiga unsur
utama sistem yaitu 1) basis pengetahuan, 2) mesin inferensi, dan 3) implementasi.
Adapun tahapan pembentukan sistem pakar secara lengkap seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 22.
Mulai
Identifikasi Masalah
Mencari Sumber Pengetahuan
Akuisisi Pengetahuan
Representasi Pengetahuan
Pengembangan Mesin Inferensi
Implementasi
Pengujian
Mewakili
Human Expert
Selesai
Ya
Tidak
Gambar 22 Tahap Pembentukan Sistem Pakar (Marimin 2007)
Akuisisi pengetahuan merupakan salah satu tahap penting dalam
pengembangan sistem pakar. Pada tahap ini, dilakukan proses pengumpulan
pengetahuan dari pakar oleh perekayasa pengetahuan (knowledge engineer).
Sebagai salah satu elemen dalam sistem pakar, fasilitas akuisisi pengetahuan
digunakan sebagai alat untuk mengisi atau mendapatkan pengetahuan, fakta,
aturan, dan model yang diperlukan oleh sistem pakar dari berbagai sumber
(Marimin 2007) seperti : akuisisi pengetahuan dari para pakar, pengorganisasian
dari beberapa buku, jurnal, data, dasar dan media lain yang relevan dengan ruang
lingkup sistem pakar yang akan dikembangkan, penyeleksian hasil deduksi dan
induksi dari pengetahuan yang sudah tersimpan dalam sistem pakar atau yang
berupa pengalaman langsung.
Terdapat tiga cara akuisisi pengetahuan (Buchanan dan Shorliffe 1984
dalam Fu 1994 di dalam Yuliasih dan Marimin 2003) yaitu : 1) handcrafting,
dimana pengembang sistem mengkodekan pengetahuan (knowledge) langsung ke
dalam program, 2) knowledge engineering, dimana akuisisi pengetahuan pakar
dilakukan dengan cara kerjasama dengan pakar domain baik secara langsung
maupun tidak, agar diperoleh pola dan bentuk pengetahuan yang nantinya disusun
ke dalam basis pengetahuan, dan 3) machine learning, dimana pengetahuan
diekstrak dari contoh-contoh pelatiham yang diujikan pada komputer.
Representasi pengetahuan merupakan bagian yang memuat obyek-obyek
pengetahuan serta hubungan yang dimiliki antar obyek tersebut. Menurut
Reichgelt (1991) dalam Fu (1994) di dalam Yuliasih dan Marimin (2003) ada
empat tingkat representasi pengetahuan, yaitu : 1) level implementasi, berkaitan
dengan kemungkinan pembuatan program pengetahuan bagi bahasa representasi
pemrograman, 2) level logic, berhubungan dengan sifat-sifat fisik bahasa
pengetahuan (seperti : makna suatu ekspresi, prosedur inferensi yang berkaitan),
3) level epistemologikal, berkaitan dengan struktur pengetahuan (misalnya
jaringan semantik) dan strategi inferensi bahasa representasi pengetahuan, dan 4)
level konseptual, berkaitan dengan hal-hal dasar yang aktual (misalnya konsep,
obyek dan lainnya) dari bahasa representasi pengetahuan.
Mesin inferensi merupakan komponen dalam sistem pakar yang akan
memanipulasi dan mengarahkan pengetahuan pada basis pengetahuan untuk
memperoleh kesimpulan. Mesin inferensi dikategorikan dalam dua tipe (Fu, 1994
dalam Yuliasih dan Marimin 2003) yaitu : 1) mesin inferensi yang tidak
menghitung tingkat kepercayaan untuk setiap kesimpulan yang dihasilkan, dan 2)
mesin inferensi yang menghitung tingkat kepercayaan untuk setiap kesimpulan
yang dihasilkan. Kesimpulan yang dihasilkan oleh sistem pakar diperoleh melalui
pengujian fakta dan kaidah yang ada pada basis pengetahuan. Jika diperlukan,
mesin inferensi juga dapat menambahkan fakta baru ke dalam basis pengetahuan.
Sistem pakar dapat diterapkan untuk berbagai permasalahan yang bersifat
cukup kompleks dan permasalahan yang memiliki algoritma kurang jelas dalam
pemecahannya sehingga dibutuhkan kemampuan seorang atau beberapa pakar
untuk mencari sistematika penyelesaiannya secara evolutif. Oleh karena itu,
sistem pakar dapat digunakan untuk permasalahan bersifat analitik, sintesis, dan
integratif yang dihadapi oleh berbagai industri termasuk industri gula.
Sistem Fuzzy merupakan penduga numerik yang terstruktur dan dinamik
yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan sistem intelijen dalam
lingkungan yang tidak pasti, dengan menduga suatu fungsi menggunakan logika
fuzzy. Logika fuzzy adalah suatu cara yang tepat untuk memetakan suatu ruang
input ke dalam suatu ruang output. Menurut Kusumadewi (2004) pada himpunan
tegas (crisp), nilai keanggotaan suatu item x dalam suatu himpunan A, yang
sering ditulis dengan µA [x], memiliki dua kemungkinan, yaitu : 1) 1 ( Satu),
yang berarti bahwa suatu item menjadi anggota dalam suatu himpunan, dan 2) 0
(Nol), yang berarti bahwa suatu item tidak menjadi anggota suatu himpunan
Dalam memahami sistem fuzzy, terdapat beberapa hal yang perlu diketahui
(Kusumadewi dan Hari 2004) yaitu :
a. Variabel fuzzy
Variabel fuzzy merupakan variabel yang akan dibahas dalam suatu
sistem fuzzy. Contoh variabel fuzzy yaitu umur, temperatur, dan
sebagainya.
b. Himpunan fuzzy
Himpunan fuzzy merupakan suatu grup yang mewakili suatu
kondisi atau keadaan tertentu dalam suatu variabel fuzzy. Jika pada
himpunan crisp nilai keanggotaannya hanya ada dua kemungkinan, yaitu 0
atau 1, pada himpunan fuzzy nilai keanggotaan terletak pada rentang 0
sampai 1. Terkadang kemiripan antara keanggotaan fuzzy dengan
probabilitas menimbulkan kerancuan. Akan tetapi sesungguhnya keduanya
memiliki intepretasi yang berbeda.
Keanggotaan fuzzy memberikan suatu ukuran terhadap pendapat
atau keputusan, sedangkan probabilitas mengidikasikan proporsi terhadap
keseringan suatu hasil bernilai benar dalam jangka panjang. Terdapat dua
atribut dalam himpunan fuzzy, yaitu linguistik dan numerik. Linguistik
merupakan penamaan suatu grup yang mewakili suatu keadaan atau
kondisi tertentu dengan menggunakan bahasa alami. Numeris yaitu suatu
angka yang menunjukkan ukuran dari suatu variabel.
Fungsi keanggotaan (membership function) adalah suatu kurva
yang menunjukkan pemetaan titik-titik input data ke dalam nilai
keanggotaannya yang memiliki interval antara 0 sampai 1. Salah satu cara
yang dapat digunakan untuk mendapatkan nilai keanggotaan adalah
dengan melalui pendekatan fungsi. Ada beberapa fungsi yang dapat
digunakan (Kusumadewi & Hari, 2004) : 1) Representasi linier, 2)
Representasi kurva segitiga, 3) Representasi kurva trapesium, 4)
Representasi kurva bentuk bahu, 5) Representasi kurva-S, 6) Representasi
kurva bentuk lonceng
c. Semesta pembicaraan
Semesta pembicaraan merupakan keseluruhan nilai yang
diperbolehkan untuk dioperasikan dalam suatu variabel fuzzy. Semesta
pembicaraan merupakan himpunan bilangan real yang senantiasa naik
secara monoton dari kiri ke kanan. Nilai semesta pembicaraan dapat
berupa bilangan positif maupun negatif.
d. Domain
Domain merupakan keseluruhan nilai yang diijinkan dalam
semesta pembicaraan dan boleh dioperasikan dalam suatu himpunan fuzzy.
Domain merupakan himpunan bilangan real yang senantiasa naik secara
monoton dari kiri ke kanan. Nilai domain dapat berupa bilangan positif
maupun negatif.
Terdapat beberapa proses dalam logika fuzzy, yaitu : penentuan gugus fuzzy,
penerapan aturan if-then, proses inferensi fuzzy. Adapun tahapan penyelesaian
masalah dengan logika fuzzy dapat dilihat pada Gambar 23.
Defuzzifikasi merupakan transformasi yang menyatakan kembali output
dari domain fuzzy ke dalam domain crisp. Keluaran fuzzy diperoleh melalui
eksekusi dari beberapa fungsi keanggotaan fuzzy. Terdapat tujuh metode yang
dapat digunakan pada proses defuzzifikasi (Ross 1995) yaitu : 1) Height method
(Max-membership principle), dengan mengambil nilai fungsi keanggotaan
terbesar dari keluaran fuzzy yang ada untuk dijadikan sebagai nilai defuzzifikasi,
2) Centroid (Center of Gravity) method, mengambil nilai tengah dari seluruh
fungsi keanggotaan keluaran fuzzy yang ada untuk dijadikan nilai defuzzifikasi, 3)
Weighted Average Method, hanya dapat digunakan jika keluaran fungsi
keanggotaan dari beberapa proses fuzzy mempunyai bentuk yang sama, 4) Mean-
max membership, mempunyai prinsip kerja yang sama dengan metode maximum
tetapi lokasi dari fungsi keanggotaan maximum tidak harus unik, 5) Center of
sums, mempunyai prinsip kerja yang hampir sama dengan Weighted Average
Method tetapi nilai yang dihasilkan merupakan area respektif dari fungsi
keanggotaan yang ada, 6) Center of largest area, hanya digunakan jika keluaran
fuzzy mempunyai sedikitnya dua sub-daerah yang convex sehingga sub-daerah
yang digunakan sebagai nilai defuzzifikasi adalah daerah yang terluas, 7) First (or
last) of maxima, menggunakan seluruh keluaran dari fungsi keanggotaan.
Gambar 23 Alur Penyelesaian Masalah dengan Logika Fuzzy (Marimin 2007)
2.10 Posisi dan Kebaruan Penelitian
Hasil identifikasi terhadap penelitian mengenai industri gula maupun
pabrik gula menunjukkan bahwa penelitian dapat dikelompokkan kedalam tiga
topik penelitian dengan urutan persentase sebagai berikut yaitu 1) kebijakan
(52%), 2) kinerja (38%), dan 3) kelembagaan (10%). Pada topik kinerja, belum
Permasalahan
Nyata
Representasi Natural
Fuzzifikasi
Komputasi secara Fuzzy
Solusi
Defuzzifikasi
ditemukan adanya topik perbaikan kinerja yang bertujuan untuk menentukan
kinerja, target kinerja, dan prioritas perbaikan. Selain itu, juga belum ditemukan
rancangbangun model sistem penunjang keputusan intelijen untuk analisis
perbaikan kinerja. Adapun daftar topik dan judul penelitian secara lengkap dapat
dilihat pada Lampiran 3.
Rancangbangun sistem penunjang keputusan intelijen untuk analisis
perbaikan kinerja pabrik gula dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai
pendekatan teoritis dan hasil penelitian terdahulu. Perbaikan kinerja industri gula
dapat dilakukan melalui perbaikan kinerja pada setiap pabrik gula (PG). Merujuk
pada pernyataan Swanson (1996) mengenai tujuan pada tahap analisis maka dalam
merancangbangun model perbaikan kinerja dilakukan kajian terhadap hal-hal
yang terkait dengan bagaimana menentukan kinerja, bagaimana menentukan
target kinerja, dan bagaimana menentukan prioritas perbaikan.
Kinerja PG dapat ditentukan berdasarkan hasil pengukuran kinerja. Oleh
karena itu, diperlukan model pengukuran kinerja. Kinerja yang akan diukur
merujuk pada hasil penelitian Wibisono (1999, 2006), Rusjan et al. (2005),
Leachman et al. (2006), Radnor (2007), Karim (2008), dan Cocca dan Albeti
(2010) yaitu kinerja strategis (kemampuan sumberdaya), kinerja operasional
(tugas-tugas manufaktur), dan kinerja taktis (prioritas kompetisi). Rancangbangun
model pengukuran kinerja PG mempertimbangkan pernyataan Spitzer (2007)
mengenai asperk formal dalam pengukuran kinerja yaitu ukuran kinerja, proses
pengukuran, dan infrastruktur yang digunakan untuk pengukuran kinerja.
Merujuk pada hasil penelitian Radnor dan Barnes (2007) mengenai
kecenderungan umum dalam model pengukuran kinerja khususnya pada
kedalaman (keterkaitan) dan range ukuran kinerja, terdapat kekurangan pada
penelitian terdahulu (Yusnitati 1994 , Siagian 1999, Lembaga Penelitian IPB
2002, dan Manalu 2009). Hasil penelitian Olsen et al. menunjukkan bahwa
keterkaitan antar ukuran kinerja dapat meningkatkan efektivitas dari hasil
pengukuran kinerja.
Oleh karena itu, dalam merancangbangun model pengukuran kinerja,
ukuran kinerja yang akan digunakan diidentifikasi dari range yang lebih luas yaitu
produktivitas dan efisiensi. Hal tersebut juga sesuai dengan permasalahan yang
dihadapi oleh pabrik gula. Sedangkan untuk keterkaitan ukuran kinerja,
identifikasi ukuran kinerja akan dilakukan dengan penyelarasan secara vertikal
(terkait dengan visi, misi, dan strategi industri gula) dan penyelarasan secara
horisontal (keterkaitan antar ukuran kinerja dengan pendekatan input-proses-
output).
Dalam hal jumlah ukuran kinerja yang akan digunakan, rancangbangun
model pengukuran kinerja memperhatikan berbagai pendekatan pada penelitian
terdahulu ( Medori dan Steeple 2000; Denton 2005; Shahin dan Mahbod 2007;
Saunders et al. 2007; Parmenter 2010). Selain itu, penelitian Gleich et al. (2008)
dan Martin (2008) pada proses manufaktur menjadi masukan dalam
mengidentifikasi ukuran kinerja operasional.
Kerangka kerja proses pengukuran kinerja dapat memanfaatkan logika
fuzzy seperti yang diusulkan dalam penelitian Chan et al. (2002) dan Beheshti dan
Lollar (2008). Hal ini dilakukan mengingat logika fuzzy tepat untuk digunakan.
Adapun infrastruktur yang akan digunakan merujuk pada hasil penelitian Lau et
al. (2001), Marimin et al. (2005), Santos et al. (2007), Unahabhokha et al.
(2007), Raymond dan Marchand (2008), ) dan Denton (2010) yaitu dengan
memanfaatkan artificial intelligent dan internet.
Merujuk pada hasil penelitian Dattakumar (2003), Grundberg (2003),
Pierre dan Delisle (2006), Gleich et al. (2008) serta hasil penelitian Tucker (1987)
yang membuktikan bahwa pendekatan benchmarking dapat meningkatkan
efisiensi dan produktivitas perusahaan maka dalam penentuan target kinerja akan
digunakan pendekatan benchmarking. Target kinerja ditentukan berdasarkan
kinerja terbaik dalam kelompok (Tucker et. al. 1987). Oleh karena itu, perlu
dirancangbangun model pengelompokan PG dan model pemilihan kinerja terbaik.
Rancangbangun model pengelompokan PG memperhatikan pendekatan
yang dinyatakan dalam Larose (2005), Kusnawi (2007), dan Ramakrishnan
(2009). Adapun rancangbangun model pemilihan kinerja terbaik secara
keseluruhan akan menggunakan metode PROMETHEE karena memiliki
kesesuaian dengan permasalahan yang dihadapi dan sudah terbukti
keunggulannya (seperti yang dikemukakan oleh Amran dan Kiki (2005), Prvlovic
(2008), dan Triyanti dan Gadis (2008). Untuk pemilihan kinerja terbaik per jenis
kinerja digunakan pendekatan sorting (mengurutkan nilai kinerja dari yang
tertinggi sampai dengan terendah dalam setiap kelompok PG).
Prioritas perbaikan ditentukan berdasarkan praktek terbaik. Merujuk pada
penelitian Jaffar dan Zairi (2000), maka analisis praktek terbaik merupakan
praktek yang baik yang telah ditetapkan sebagai pendekatan terbaik bagi banyak
PG. Pendekatan yang digunakan dalam melakukan analisis praktek terbaik yang
diusulkan dalam penelitian Maire et al (2005) dan Southard dan Parente (2007)
memiliki kelemahan mengingat praktek terbaik yang dihasilkan masih terbatas
pada praktek yang baik (dilihat dari definisi praktek terbaik yang disimpulkan
oleh Jaffar dan Zairi 2000). Pendekatan lain yang diusulkan seperti penelitian
Corcoran (2004) dan Latino dan Kenneth (2006) berupa Root Cause Analysis
menjadi masukan untuk merancangbangun model analisis praktek terbaik.
Davies (2000) mengusulkan pendekatan terstruktur (diagnostic) untuk
memilih praktek terbaik berdasarkan pada kekuatan hubungan dengan tujuan yang
ingin dicapai. Hal ini akan menjadi masukan dalam merancangbangun model
penentuan prioritas perbaikan.
Adapun secara singkat, gambaran mengenai posisi dan kebaruan penelitian yang
digunakan untuk merancangbangun model analisis perbaikan kinerja dan sistem
penunjang keputusan intelijen dapat di lihat pada Gambar 24.
Gambar 24 Posisi dan Kebaruan Penelitian
S
P
K
I
N
T
E
L
I
J
E
N
Menentukan Kinerja
Menentukan Target Kinerja
Menentukan Prioritas Perbaikan
Pengukuran Kinerja
ModelPengelompokan
ModelPengukuran kinerja
ModelPemilihan
Kinerja Terbaik
ModelAnalisis
Praktek Terbaik
ModelPenentuan
Prioritas
Perbaikan
Cocca & Alberti 2010 : masa laluWibisono 2006; Radnor 2007 : I-P-OWibisono1999: StrategisOperasionalTaktis
Karim 2008Rusjan et al. 2005Leachman et al. 2006
Spitzer 2007 :
UkuranKinerja
ProsesPengukuran
Infra-struktur
Medori & Steeple 2000Denton 2005Parmenter 2010Shahin & Mahbod 2007Saunders et al. 2007
Nenadal 2008Beheshti & Lollar
2008Chan et al. 2002
Santos 2007Raymond &
Marchand 2008Denton 2010
Radnor & Barnes 2007 :
LuasDalam Range
Olsenet al.2007
-Produktivitas :Yusnitati 1994Manalu 2009
-Efisiensi :Siagian 1999LP IPB 2002
Lau et al. 2001Yuliasih & Marimin 2003Marimin et al. 2005Unahabhoka 2007
Benchmarking
Tucker 1987Dattakumar 2003
Grunberg 2003Pierre & Delisle 2006
Gleich et al. 2008
Praktek Terbaik
Analisis Praktek TerbaikKinerja
Terbaik
PengelompokanPemilihan
Kinerja Terbaik
Gan et al. 2007Sadaaki et al. 2008Xu & Wunsch 2009Larose 2005Kusnawi 2007Ramakhrisnan 2009
Laise 2004 : ELECTREJafari et al. 2007 : SAW
PROMETHEEAmran & Kiki 2005Prvulovic 2008Triyanti & Gadis 2008
Reddy & McCarthy 2006Asrofah et al. 2010
Jaffar & Zairi 2000Maire et al. 2005Southard & Parente 2007Corcoran 2004Latino & Kenneth 2006
Penentuan Prioritas Perbaikan
Davies 2000