20
PEMBAHASAN 1. Analisis Kasus Pasien wanita 37 tahun datang ke Poli Bedah RS Lanud Supadio pada hari Rabu, 18 Maret 2015 untuk kontrol bekas luka operasi dan ditemukan luka belum tertutup sempurna serta mengeluarkan cairan berwarna merah yang merembes ke perban. Pasien kemudian disarankan untuk mengganti perban 3 kali sehari. Namun, dikarenakan rumah pasien jauh, pasien memilih untuk dirawat. Perban diganti setiap hari sebanyak 3 kali sehari sampai hari Jumat, 20 Maret 2015. Selanjutnya perban diganti 2 kali sehari. Pada hari Jumat, ditemukan cairan berwarna merah bercampur kekuningan merembes pada perban. Pasien merasakan nyeri di bagian jahitan luka di dekat ketiak dan sempat merasakan demam 38,4 o C dan kepala pusing pada hari Jumat sore. Pasien memiliki riwayat benjolan dan kulit berwarna kecoklatan di payudara kiri sejak tahun 2012. Pada tahun 2014 pasien merasakan benjolan semakin besar. Kemudian pada Februari 2015, dilakukan pemeriksaan biopsi terhadap benjolan dan didapatkan hasil tumor mammae suspek maligna pada payudara kiri. 10

Pemba Has An

Embed Size (px)

DESCRIPTION

a

Citation preview

Page 1: Pemba Has An

PEMBAHASAN

1. Analisis Kasus

Pasien wanita 37 tahun datang ke Poli Bedah RS Lanud Supadio pada hari

Rabu, 18 Maret 2015 untuk kontrol bekas luka operasi dan ditemukan luka

belum tertutup sempurna serta mengeluarkan cairan berwarna merah yang

merembes ke perban. Pasien kemudian disarankan untuk mengganti perban 3

kali sehari. Namun, dikarenakan rumah pasien jauh, pasien memilih untuk

dirawat. Perban diganti setiap hari sebanyak 3 kali sehari sampai hari Jumat,

20 Maret 2015. Selanjutnya perban diganti 2 kali sehari.

Pada hari Jumat, ditemukan cairan berwarna merah bercampur kekuningan

merembes pada perban. Pasien merasakan nyeri di bagian jahitan luka di dekat

ketiak dan sempat merasakan demam 38,4oC dan kepala pusing pada hari

Jumat sore.

Pasien memiliki riwayat benjolan dan kulit berwarna kecoklatan di

payudara kiri sejak tahun 2012. Pada tahun 2014 pasien merasakan benjolan

semakin besar. Kemudian pada Februari 2015, dilakukan pemeriksaan biopsi

terhadap benjolan dan didapatkan hasil tumor mammae suspek maligna pada

payudara kiri.

Pada tanggal 12 Maret 2015, dilakukan mastektomi pada mammae

sinistra. Pasien dirawat hingga hari Minggu, 15 Maret 2015, kemudian

diperbolehkan pulang. Kemudian pasien datang lagi untuk kontrol luka

operasi pada tanggal 18 Maret 2015 ke Poli Bedah RS Lanud Supadio.

Riwayat hipertensi disangkal. Riwayat diabetes melitus disangkal.

Riwayat alergi disangkal. Ibu pasien memiliki riwayat benjolan di payudara.

Pasien tidak pernah mengonsumsi alkohol dan tidak merokok.

Hasil pemeriksaan fisik region toraks sinistra terdapat bekas luka operasi.

Tampak luka terbuka post operasi dengan diameter ±5cm, eritema (+), eksudat

berupa serosanguinus (+) dan jaringan nekrotik (+) berwarna kehitaman.

Dasar luka berupa otot. Pus minimal (+), Pada perabaan terdapat nyeri tekan

(+) di bagian lateral luka dan daerah luka teraba hangat (+).

10

Page 2: Pemba Has An

11

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hemoglobin=11,5 gr%,

Hematokrit = 33 %, Leukosit= 8000/mm3, Eritrosit=43,87/juta, Trombosit=

301.000/mm3, BT= 3’00” menit dan CT= 4’30” menit. Pemeriksaan foto

toraks AP tidak didapatkan kelainan. USG abdomen juga tidak ditemukan

kelainan. Hasil biopsi PA pada bulan Februari (sebelum dilakukan mastektomi

radikal) menunjukkan invasive ductal carcinoma mammae sinistra grade III

yang telah menginvasi pembuluh limfovaskular.

Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan bahwa terdapat

keterlambatan penutupan luka operasi pada pasien ini. Hal ini ditandai dengan

masih terdapat rembesan cairan serosanguinus dari luka post operasi. Setelah

dilakukan ganti perban selama 4 hari di rumah sakit, didapatkan bahwa

produksi cairan rembesan dari luka belum berkurang volumenya dan terdapat

tanda-tanda radang seperti cairan berwarna sedikit kuning dari luka bekas

operasi. Serta terdapat nyeri dari bagian bekas luka tersebut. Selain itu, kulit di

sekitar jahitan luka tampak memerah dan teraba hangat, menunjukkan bahwa

telah terjadi proses inflamasi dari luka post operasi tersebut.

Pada pasien ini ditegakkan diagnosis wound dehiscence plus seroma

formation dan skin nekrosis, kemudian dilakukan tindakan repair defect dan

debridement. Pengobatan yang diberikan adalah analgetik, antibiotik, dan H2

bloker untuk mencegah nyeri pada lambung yang muncul sebagai efek dari

terapi antibiotic dan analgetik yang diberikan. Tindakan repair defect dan

debridement dilakukan di kamar operasi pada tanggal 23 Maret 2015,

dilakukan selama 60 menit dengan perdarahan ±200 cc. posisi pasien supine,

diberikan anestesi umum dengan face mask. Dilakukan desinfeksi dengan

betadin lalu dipasanag duk steril untuk mempersempit lapangan operasi.

Kemudian luka operasi yang lama dibuka kembali. Selanjutnya dilakukan

identifikasi untuk mendapatkan temuan operasi. Kemudian dilakukan

refreshing luka dengan membuat perdarahan baru menggunakan soring.

Jaringan soft tissue yang mengalami nekrotik atau gangrene dibuang.

Kemudian dilakukan approksimasi kulit (kulit dirapatkan sehingga posisinya

tepat) kembali. Luka operasi dijahit dengan meninggalkan dua buah drain (di

Page 3: Pemba Has An

12

bagian lateral sisnistra) dan medial (processus xipoideus). Kemudian luka

operasi dirawat dan dilakukan dressing pada luka operasi.

2. Anatomi Payudara

Payudara merupakan kelenjar aksesoris kulit yang terletak pada iga dua

sampai iga enam, dari pinggir lateral sternum sampai linea aksilaris media.

Kelenjar ini dimiliki oleh pria dan wanita. Namun, pada masa pubertas, payudara

wanita lambat laun akan membesar hingga membentuk setengah lingkaran,

sedangkan pada pria tidak. Pembesaran ini terutama terjadi akibat penimbunan

lemak dan dipengaruhi oleh hormon-hormon ovarium. 1

Secara umum, payudara terdiri atas dua jenis jaringan, yaitu jaringan

glandular (kelenjar) dan jaringan stromal (penopang). Jaringan kelenjar meliputi

kelenjar susu (lobus) dan salurannya (ductus). Sedangkan jaringan penopang

meliputi jaringan lemak dan jaringan ikat. Selain itu, payudara juga

memiliki aliran limfe. Aliran limfe payudara sering dikaitkan dengan

timbulnya kanker maupun penyebaran (metastase) kanker payudara.

Setiap payudara terdiri atas 15-20 lobus yang tersusun radier dan

berpusat pada papilla mamma. Saluran utama tiap lobus memiliki ampulla

yang membesar tepat sebelum ujungnya yang bermuara ke papilla. Tiap

papilla dikelilingi oleh daerah kulit yang berwarna lebih gelap yang disebut

areola mamma. Pada areola mamma, terdapat tonjolan-tonjolan halus yang

merupakan tonjolan dari kelenjar areola di bawahnya.

1 Snell RS. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Ed. 6. Jakarta: EGC; 2006

Page 4: Pemba Has An

13

Gambar 1. Anatomi Payudara

3. Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka adalah suatu bentuk proses usaha untuk memperbaiki

kerusakan yang terjadi. Komponen utama dalam proses penyembuhan luka

adalah kolagen disamping sel epitel. Fibroblas adalah sel yang bertanggung

jawab untuk sintesis kolagen. Fisiologi penyembuhan luka secara alami akan

mengalami fase-fase seperti dibawah ini : 2

a. Hemostasis

Vascular response : beberapa detik setelah terjadinya luka pada tipe apapun,

respon tubuh dengan penyempitan pembuluh darah (konstriksi) untuk

menghambat perdarahan dan mengurangi pajanan terhadap bakteri. Pada saat

yang sama, protein membentuk jaringan fibrosa untuk menutup luka. Ketika

trombosit bersama protein menutup luka, luka menjadi lengket dan lemb

membentuk fibrin. Setelah 10-30 menit setelah terjadinya luka, pembuluh darah

melebar karena serotonin yang dihasilkan trombosit. Plasma darah mengaliri luka

2 David S Perdanakusuma, Anatomi Fisiologi Kulit Dan Penyembuhan Luka, Plastic Surgery DepartementAirlangga University School of Medicine – Dr. Soetomo General Hospital Surabaya, 2007

Page 5: Pemba Has An

14

dan melawan toxin yang dihasilkan microorganisme, membawa oksigen dan

nutrisi yang dibutuhkan untuk penyembuhan luka dan membawa agen fagosit

untuk melawan bakteri maupun jaringagan yang rusak.

b. Fase inflamasi

Fase ini dimulai sejak terjadinya luka sampai hari kelima. Segera

setelah terjadinya luka, pembuluh darah yang putus mengalami konstriksi

dan retraksi disertai reaksi hemostasis karena agregasi trombosit yang

bersama jala fibrin membekukan darah. Komponen hemostasis ini akan

melepaskan dan mengaktifkan sitokin yang meliputi Epidermal Growth Factor

(EGF), Insulin-like Growth Factor (IGF), Plateled-derived Growth Factor (PDGF)

dan Transforming Growth Factor beta (TGF-β) yang berperan untuk

terjadinya kemotaksis netrofil, makrofag, mast sel, sel endotelial dan fibroblas.

Keadaan ini disebut fase inflamasi. Pada fase ini kemudian terjadi vasodilatasi

dan akumulasi lekosit Polymorphonuclear (PMN). Agregat trombosit akan

mengeluarkan mediator inflamasi Transforming Growth Factor beta 1 (TGF β1)

yang juga dikeluarkan oleh makrofag. Adanya TGF β1 akan mengaktivasi

fibroblas untuk mensintesis kolagen.

c. Fase proliferasi atau fibroplasi

Fase ini disebut fibroplasi karena pada masa ini fibroblas sangat menonjol

perannya. Fibroblas mengalami proliferasi dan mensintesis kolagen. Serat

kolagen yang terbentuk menyebabkan adanya kekuatan untuk bertautnyatepi luka.

Pada fase ini mulai terjadi granulasi, kontraksi luka dan epitelialisasi.

d. Fase remodeling atau maturasi

Fase ini merupakan fase yang terakhir dan terpanjang pada proses

penyembuhan luka. Terjadi proses yang dinamis berupa remodellingkolagen,

kontraksi luka dan pematangan parut. Aktivitas sintesis dan degradasi kolagen

berada dalam keseimbangan. Fase ini berlangsung mulai 3 minggu sampai 2

tahun. Akhir dari penyembuhan ini didapatkan parut luka yang matang yang

Page 6: Pemba Has An

15

mempunyai kekuatan 80% dari kulit normal. Tiga fase tersebut diatas berjalan

normal selama tidak ada gangguan baik faktor luar maupun dalam.

4. Dehiscence

Dehiscence adalah terbukanya lapisan luka partial atau total. Sejumlah faktor

meliputi, kegemukan, kurang nutrisi, multiple trauma, gagal untuk menyatu, batuk

yang berlebihan, muntah, dan dehidrasi, mempertinggi resiko klien mengalami

dehiscence luka. Dehiscence luka dapat terjadi 4 – 5 hari setelah operasi sebelum

kollagen meluas di daerah luka. Ketika dehiscence terjadi luka harus segera

ditutup dengan balutan steril yang lebar, kompres dengan normal saline. Pasien

juga disiapkan untuk segera dilakukan perbaikan pada daerah luka dan

debridement luka dan penutupan luka kembali. Hal ini seperti yang terjadi pada

kasus Ny.N, luka post operasi belum menutup pada hari ke empat.

5. Seroma Formation Post Mastectomy

Keganasan payudara merupakan penyebab kematian terbanyak kedua pada

wanita setelah keganasan paru. Pembedahan merupakan terapi pilihan utama pada

keganasan payudara, dan Modified Radical Mastectomy (MRM) adalah pilihan

terapi keganasan payudara yang masih operable. Beberapa komplikasi pasca-

operasi yang dapat ditemukan di antaranya hematoma, terbentuknya seroma,

infeksi luka operasi, hingga terbentuknya flap nekrosis. 3

Seroma sering didefinisikan sebagai cairan serous yang terbentuk setelah

pembedahan, yang berkumpul di bawah flap kulit mengisi dead space.4

Setelah mastektomi, seroma akan terkumpul di daerah bawah kulit dan dead

space daerah aksila. Biasanya seroma akan diserap sendiri dalam beberapa

minggu. Jika cairan seroma sangat banyak, kulit bekas operasi akan tegang yang

menyebabkan ketidaknyamanan. Pada beberapa pasien penumpukan cairan ini

akan memberi masalah, seperti memperlama masa rawat dan akan menambah

3 Forbees JF, Williams C, Bramwell V, Bonfi ll X, Cuzick J, Grant R, et al. Treating breast cancer in evidence based oncology. London: BMJ Publishing Book; 2003. p.429-65.4 Newman L, Sondak VK. Complication of breast surgery. In: Surgical Complication: Diagnosis and treatment. London: Imperial College Press; 2007. p.169-78

Page 7: Pemba Has An

16

biaya rawat. Selain itu, penyedotan berulang kali akan menyebabkan pasien

merasa tidak nyaman.5 Hal ini seperti yang terjadi pada Ny.N dimana seroma

belum berhenti diproduksi sampai hari ke 6 setelah operasi sehingga

menimbulkan ruang dead space pada kulit post operasi.

Berdasarkan metaanalisis yang dilakukan oleh Kuroi dkk., banyak faktor yang

memengaruhi kejadian seroma pascaoperasi kanker payudara. Faktor-faktor yang

cukup signifikan yaitu berat badan yang berlebih, mastektomi radikal (bila

dibandingkan mastektomi simpel), dan jumlah drainase yang banyak dalam 3 hari

pertama.6

Trauma pada tindakan operasi menimbulkan suatu trauma yang akan

merangsang mediator inflamasi untuk menimbulkan proses inflamasi yang

merupakan bagian dari proses penyembuhan luka. Berdasarkan faktor risiko

tersebut, besarnya trauma dan radikalitas akan merangsang proses inflamasi yang

lebih besar. Pada penelitian yang dilakukan oleh Soomro dkk., risiko seroma lebih

besar pada operasi mastektomi modifikasi radikal yaitu sebesar 17,5%, sedangkan

pada operasi breast conserving surgery (BCT) tidak dijumpai kasus seroma.7

Keadaan ini juga didukung dengan hasil penelitian retrospektif oleh Setiawan dan

Abdurahman di divisi Bedah Onkologi Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung,

yaitu operasi mastektomi radikal dapat meningkatkan insidensi seroma. Mediator

inflamasi yang dilepaskan akan diikuti dengan peningkatan permeabilitas kapiler

di daerah sekitar luka operasi. Kondisi ini akan menyebabkan ekstravasasi cairan

yang kemudian akan membentuk seroma.8

Kadar imunoglobin G (IgG), sel leukosit, dan granulosit lebih tinggi pada

pasien seroma. Mediator inflamasi seperti proteinase, proteinase inhibitor, dan

juga sitokin ditemukan dalam cairan seroma. Penelitian oleh Szecsi dkk.,

menunjukkan bahwa cairan seroma adalah suatu eksudat, yang dibuktikan dengan

5 Rashid Q, Scott. M, Feederick. ML. Complication in breast surgery. In: Complication in Surgery and Trauma. London, New York:Informa Health Care; 2007. p.169-98.6 Kuroi K, Sjimozuma K, Taguchi T, Imai H, Yamashiro H, Ohsumi S, et al. Evidence based risk factors for seroma in breast surgery. Japan J Chin Oncol. 2006; 36:197-2067 Soomro SA, Husain N, Shaikh BA, Maher M. Predicting factors of seroma formation after breast cancer surgery. Pak J Surg. 2006;22(4):201–4.8 Setiawan J, Abdurahman M. Seroma dan radikalitas operasi mastektomi. PIT IKABI 2013. The 19th Annual Scientific Meeting of IKABI; 23 Agustus 2013; Semarang, Indonesia; 2013.

Page 8: Pemba Has An

17

ditemukan komponen IL-6 dan IL-8 yang tinggi dalam cairan seroma. Hal ini

memperlihatkan bahwa pembentukan seroma terjadi akibat reaksi akut proses

inflamasi selama fase pertama proses penyembuhan luka.9 Penjelasan ini serupa

dengan yang dialami Ny.N di mana cairan yang diproduksi adalah berupa eksudat

serosanguinus.

6. Patogenesis Pembentukan Seroma

Patogenesis pembentukan seroma masih belum sepenuhnya dijelaskan.

Seroma dibentuk dari eksudat proses inflamasi akut sebagai respon dari trauma

pembedahan dan fase akut penyembuhan luka. Aktivitas dari fibrinolitik berperan

dalam pembentukan seroma. Pembedahan yang ekstensif pada mastektomi dan

pemotongan dari pembuluh limfa aksila menyebabkan kerusakan beberapa

pembuluh darah serta pembuluh limfatik menyebabkan darah dan cairan limfa

banyak keluar sehingga memicu terbentuknya seroma. 10

Penimbunan seroma akan meningkatkan bagian yang harus ditutup

daridinding dada dan aksila sehingga menghambat perlekatan ke dasar jaringan

ikat. Hal ini memicu morbiditas seperti hematoma, penyembuhan yang lambat,

infeksi pada luka, wound dehiscence, masa rawat yang lebih panjang, serta

keterlambatan dalam pemberian terapi adjuvant. Kadar fibrinogen yang rendah

dibandingkan dengan plasma selama masa post operasi mendukung hipotesis

bahwa seroma pada dasarnya berasal dari pembuluh limfatik.11

Secara komponene kimiawi, hasil pemeriksaan seluler cairan yang terbentuk

dari drainase aksila post operatif mastektomi radikal menunjukkan bahwa pada

hari pertama post operatif didapatkan mengandung komponene darah, tetapi satu

hari berikutnya berubah menjadi cairan yang menyerupai cairan limfe yang

mengandung protein lebih banyak dan tidak ada fibrinogen. Jadi tidak terbentuk

koagulasi.

9 Szecsi PB, Larsen J, Hørby J, Axelsson CK. Seroma production after breast cancer surgery has a pro-inflammatory component. Open Breast Cancer J. 2012;4:11–7.10 Sampathraju S, Rodrigues R. Seroma Formation after Mastectomy: Pathogenesis and Prevention. Indian J Surg Oncol. (October–December 2010) 1(4):328–33311 Srivastava V, Basu S, Shukl VK. Seroma Formation after Breast Cancer Surgery: What We Have Learned in the Last Two Decades. J Breast Cancer December 2012; 15(4): 373-380

Page 9: Pemba Has An

18

Pembentukan seroma dipengaruhi oleh gabungan dari beberapa hal dalam

proses pembedahan, meliputi tekhnik pembedahan maupun alat yang digunakan.

Teknik mastektomi radikal meningkatkan risiko pembentukan seroma

dibandingakan dengan mastektomi simpel. Modified Radical Mastectomy adalah

suatu tindakan pembedahan onkologis pada keganasan payudara yaitu dengan

mengangkat seluruh jaringan payudara yang terdiri dari seluruh stroma dan

parenkhim payudara, areola dan puting susu serta kulit diatas tumornya disertai

diseksi kelenjar getah bening aksila ipsilateral level I, II/III secara en bloc tanpa

mengangkat m.pektoralis major dan minor. Hal ini sesuai dengan riwayat

pembedahan yang dialami Ny.N bahwa pembedahan yang dilakukan pada Ny.N

sebelumnya adalah mastektomi radikal.

7. Soft Tissue Necrotic Post Mastectomy

Nekrosis merupakan kematian sel sebagai akibat dari adanya kerusakan sel

akut atau trauma (misalnya: kekurangan oksigen, perubahan suhu yang ekstrem,

dan cedera mekanis), dimana kematian sel tersebut terjadi secara tidak terkontrol

yang dapat menyebabkan rusaknya sel, adanya respon peradangan dan sangat

berpotensi menyebabkan masalah kesehatan yang serius.

Perubahan pada sel yang nekrotik terjadi pada sitoplasma dan organel-organel

sel lainnya. Inti sel yang mati akan menyusut (piknotik), menjadi padat, batasnya

tidak teratur dan berwarna gelap. Selanjutnya inti sel hancur dan meninggalkan

pecahan-pecahan zat kromatin yang tersebar di dalam sel. Perubahan morfologis

sel yang mati tergantung dari aktivitas enzim lisis pada jaringan yang nekrotik.

Jika aktivitas enzim lisis terhambat maka jaringan nekrotik akan mempertahankan

bentuknya dan jaringannya akan mempertahankan ciri arsitekturnya selama

beberapa waktu. Nekrosis ini disebut nekrosis koagulatif, seringkali berhubungan

dengan gangguan suplai darah. Contohnya gangren.

Jaringan nekrotik akan menyebabkan peradangan sehingga jaringan nekrotik

tersebut dihancurkan dan dihilangkan dengan tujuan membuka jalan bagi proses

perbaikan untuk mengganti jaringan nekrotik. Jaringan nekrotik dapat digantikan

oleh sel-sel regenerasi (terjadi resolusi) atau malah digantikan jaringan parut. Jika

Page 10: Pemba Has An

19

daerah nekrotik tidak dihancurkan atau dibuang maka akan ditutup oleh jaringan

fibrosa dan akhirnya diisi garam-garam kalsium yang diendapkan dari darah di

sekitar sirkulasi jaringan nekrotik.

Perubahan-perubahan pada jaringan nekrotik akan menyebabkan hilangnya

fungsi daerah yang mati, dapat menjadi fokus infeksi dan merupakan media

pertumbuhan yang baik untuk bakteri tertentu, misalnya bakteri saprofit pada

gangren, menimbulkan perubahan sistemik seperti demam dan peningkatan

leukosit, peningkatan kadar enzim-enzim tertentu dalam darah akibat kebocoran

sel-sel yang mati. 

Penyebab nekrosis dapat berupa iskhemi dapat terjadi karena perbekalan

(supply) oksigen dan makanan untuk suatu alat tubuh terputus. Iskhemi terjadi

pada infak, yaitu kematian jaringan akibat penyumbatan pembuluh darah.

Penyumbatan dapat terjadi akibat pembentukan trombus. Penyumbatan

mengakibatkan anoxia. Nekrosis terutama terjadi apabila daerah yang terkena

tidak mendapat pertolongan sirkulasi kolateral. Nekrosis lebih mudah terjadi

pada jaringan-jaringan yang bersifat rentan terhadap anoxia.

Nekrosis memiliki ciri khas yaitu kulit yang tidak menyatu dengan lapisan

otot di bawahnya dan biasanya diakibatkan dari trauma, pembedahan, injeksi obat

dan berhubungan dengan usia, penyakit gagal ginjal kronik, obesitas, penyakit

pembuluh darah perifer atau diabetes. Kasus nekrosis kulit post mastektomi

membutuhkan debridement yang ekstensif. Nekrosis kulit ditandai dengan edema,

eritema dan discharge yang berubah dari serosa menjadi pus. Terapi pada keadaan

ini berupa surgical debridement dan antibiotic. Debridement sangat dibutuhkan

pada keadaan ini untuk membuat perdarahan jaringan yang lebih sehat pada

seluruh bagian yang diangkat pada mastektomi. Pada kasus ini, beberapa faktor

mungkin berkontribusi terhadap perkembangan jaringan nekrotik ini. Salah

satunya yaitu tingkat kegananasan merupakan faktor risiko terhadap munculnya

invasi pembuluh limfovaskular.

Page 11: Pemba Has An

20

8. Drainase pasca operasi

Secara umum, pengertian drain pada pembedahan adalah saluran untuk

mengeluarkan nanah, darah atau cairan lain dari sebuah luka operasi. Drain yang

diletakkan setelah operasi bermanfaat untuk mengeluarkan cairan yang terbentuk

yang dapat menjadi fokus infeksi.

Drain dapat dibagi menjadi 2 tipe yaitu: 12

1. Drain aktif

Dimana cairan yang terbentuk akan dialirkan melalui saluran yang

dihubungkan dengan alat penghisap. Dengan memberikan tekanan isap

rendah yang menyebabkan cairan akan terhisap terus menerus.

Keuntungan penggunaan drain aktif ini antara lain:

- Meminimlakan trauma jaringan

- Akurat dalam jumlah drainase

- Karena system tertutup, risiko infeksi menurun

Beberapa hal yang mempengaruhi keefektifak drain aktif ini antara lain

adalah konsistensi dari cairan yang dihasilkan, panjang dan diameter dari

pipa drain dan seberapa besar tekanan isap yang diberikan.

2. Drain pasif

Cairan yang terbentuk akan dialirkan melalui sebuah saluran dengan

tempat penampung hanya denngan bantuan gaya grafitasi dan sifat cairan

yang mencari tempat terendah.

Tujuan pemasangan drain pada pembedahan:

- Untuk menutup ruang mati di bidang jaringan yang berlebih

- Memberikan aliran pada focus abses atau bagian tubuh yang terinfeksi

- Sebagai penanda pertama adanya kebocoran pasca pembedahan seperti

kebocoran usus, urin atau paru-paru

- Mengontrol kebocoran fistula

12 Rixendo, PErbandingan Efektifitas Lama PEmakaian Drain Pasif Terhadap Pencegahan Terbentuknya Seroma Pasca Modified Radical Mastectomy, Bagian Ilmu Bedah, FK Universitas Andalas, 2010

Page 12: Pemba Has An

21

Mekanisme yang diharapkan dengan pemasanagan drain adalah drain akan

menyebabkan perlengketan skin flap ke dinding dada dan aksila sehingga

mengurangi insiden terjadinya seroma, hematoma dan flap nekrosis pasca operasi

modified radikal mastektomi. Tanpa pemakaian drain insiden terjadinya seroma

akan menjadi sangat tinggi. Sedangkan pemakaian dari drain yang terlalu lama

akan menyebabkan terjadinya ascending infeksi lewat drainase yang dipasang.

Drain pasca pembedahan memberikan pengaruh terhadap pasien dalam beberapa

cara. Diantaranya mempercepat lama rawatan dan mengurangi angka kejadian

seroma. Tetapi drain dapat sering mengganggu dan mengurangi mobilitas pasca

operasi. Juga belum ada ketentuan standar yang dapat diterima mengenai berapa

lama drain tersebut dipasang. Jika drain dilepas terlalu cepat, kemungkinan akan

terbentuk seroma yang akan meningkatkan morbiditas dan menyebabkan

penundaan terapi adjuvanpasca bedah.

Pemasangan drain yang dilepas lambat yaitu sekitar 8 hari lebih mengurangi

angka kejadian seroma, dapat dijelaskan bahwa dengan memperlama pemasangan

drain pasca pembedahan, maka semakin sedikit jumlah seroma yang terbentuk

sebagai akibat telah terjadinya perlengketan kulit dengan dinding dada dan

dinding dasar aksila. Sedangkan pada drain yang dilepas cepat yaitu sekitar 4 hari

terdapat peningkatan terjadinya seroma pasca pembedahan, ini dimungkinkan

oleh karena masih belum sempurna penyembuhan luka. Pada beberapa literature

menganjurkan pelepasan drain dengan jumlah seroma terakhir kurang dari

30cc/hari. 13

Pada pasien Ny.N, setelah dilakukan repair defect dan debridement serta

hecting ulang pada luka, maka diperoleh hasil bahwa luka sudah tidak lagi

mengeluarkan rembesan cairan dan jahitan luka sudah tertutup. Prognosis

kesembuhan luka dapat menjadi dubia ad bonam jika dalam masa penyembuhan

luka tidak ada lagi keluar rembesan. Pasien kemudian pulang dengan dibekalkan

obat antibiotik untuk mengurangi risiko terjadi infeksi serta analgetik untuk

mengurangi nyeri pada luka jahitan operasi tersebut.

13 Lamptpey-Gleg, JN, Dakybo JB et al. Comparison Four Days and ten post mastectomy Passive Drainage in Acra Ghana. East African Med Jour. 2007, 12;561-565