22
TANTANGAN PEMBANGUNAN DUNIA PENDIDIKAN DALAM USAHA PENGETASAN KEMISKINAN PEDESAAN DI PROVINSI RIAU 1 Oleh: H.M.Rizal Akbar, S.Si M.Phil 2 DR. Sivapalan Selvadurai 3 1. PENDAHULUAN Pembangunan pendidikan sudah sepantasnya sejalan dengan upaya pengetasan kemiskinan, karena orientasi dari pembangunan pendidikan pada intinya adalah melepaskan satu masyarakat dari belenggu kebodohan. Masyarakat yang belum terbebas dari kebodohan akan dengan mudah pula diterpa oleh kemiskinan, kemelaratan, keterbelakangan dan bahkan penjajahan. Miskin dan bodoh adalah masalah sosial, meskipun terkadang yang kelihatan dipermukaanya ujud seperti masalah personal. Padahal miskin dan bodoh itu adalah masalah kebijakan sehingga kemiskinan dan kebodohan tidak mungkin bisa teratasi bilamana tidak ditemukan satu kebijakan yang tepat untuk mengatasinya. Pemikiran ini penting untuk dipahami dalam konteks pembangunan pendidikan, terutama kaitannya dengan upaya pengentasan kemiskinan. Selain itu pemahaman yang sempurna tentang pembangunan juga sangat diperlukan. Pada masa ini, pandagan masyarakat dan pelaku pembangunan sendiri terhadap pembangunan masih sangat prakmatis. Mereka memaknai pembangunan dari terminologi asalanya yakni “bangun”. Akibatnya kesan atas orientasi kebendaan lebih menonjol bila dibandingkan dengan kesan bukan kebendaan. Prakmatisme matrealistik ini menyeret kepada pemisahan diantara “praktik dengan teorinya”, sehingga pembangunan 1 Disampaikan pada seminar bilateral pendidikan Riau dan Malaysia di Universiti Kebangsaan Malaysia 2 Ketua Fraksi Gabungan Baru DPRD Prov. Riau, Kandidat PhD Sains Pembangunan UKM 3 Pensyarah PPSPP-FSSK Universiti Kebangsaan Malaysia

Pembangunan Pendidikan Di Provinsi Riau2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pembangunan Pendidikan Di Provinsi Riau2

TANTANGAN PEMBANGUNAN DUNIA PENDIDIKAN DALAM USAHAPENGETASAN KEMISKINAN PEDESAAN DI PROVINSI RIAU1

Oleh:

H.M.Rizal Akbar, S.Si M.Phil2

DR. Sivapalan Selvadurai3

1. PENDAHULUAN

Pembangunan pendidikan sudah sepantasnya sejalan dengan upaya pengetasan

kemiskinan, karena orientasi dari pembangunan pendidikan pada intinya adalah

melepaskan satu masyarakat dari belenggu kebodohan. Masyarakat yang belum terbebas

dari kebodohan akan dengan mudah pula diterpa oleh kemiskinan, kemelaratan,

keterbelakangan dan bahkan penjajahan.

Miskin dan bodoh adalah masalah sosial, meskipun terkadang yang kelihatan

dipermukaanya ujud seperti masalah personal. Padahal miskin dan bodoh itu adalah

masalah kebijakan sehingga kemiskinan dan kebodohan tidak mungkin bisa teratasi

bilamana tidak ditemukan satu kebijakan yang tepat untuk mengatasinya. Pemikiran ini

penting untuk dipahami dalam konteks pembangunan pendidikan, terutama kaitannya

dengan upaya pengentasan kemiskinan.

Selain itu pemahaman yang sempurna tentang pembangunan juga sangat

diperlukan. Pada masa ini, pandagan masyarakat dan pelaku pembangunan sendiri

terhadap pembangunan masih sangat prakmatis. Mereka memaknai pembangunan dari

terminologi asalanya yakni “bangun”. Akibatnya kesan atas orientasi kebendaan lebih

menonjol bila dibandingkan dengan kesan bukan kebendaan. Prakmatisme matrealistik ini

menyeret kepada pemisahan diantara “praktik dengan teorinya”, sehingga pembangunan

1 Disampaikan pada seminar bilateral pendidikan Riau dan Malaysia di Universiti Kebangsaan Malaysia2 Ketua Fraksi Gabungan Baru DPRD Prov. Riau, Kandidat PhD Sains Pembangunan UKM3 Pensyarah PPSPP-FSSK Universiti Kebangsaan Malaysia

Page 2: Pembangunan Pendidikan Di Provinsi Riau2

2

lebih identik dengan kerja-kerja teknis, praktis serta memenuhi tuntutan rutinitas yang

disokong hanya dari pengalaman saja. Sehingga dalam ruang itu ilmu pengetahuan

kurang mendapat tempat, karena dianggap sulit dan terkesan lamban. Ungkapan yang

terkenal dalam kontek ini adalah “takperlu banyak teori, yang penting kerja”. Bagi level

pelaksana teknis, slogan ini mungkin akan sangat bermanfaat. Tapi apa jadinya kalau

selogan ini digunakan juga oleh para pembuat kebijakan dan penyusun perencanaan

pembangunan.

Pada keadaan seperti itulah pembangunan pendidikan provinsi Riau

diperbincangkan. Pendidikan yang seyokyanya berfungsi sebagai transpormasi sosial,

sebagai satu-satunya harapan bagi keluarga miskin untuk memperbaiki masa depannya.

Namun mereka harus tunduk dengan kenyataan bahwa pendidikan kita hari ini prakmatis

dan matrealis sehingga sangat mudah dipengaruhi oleh mekanisme pasar. Artinya

keluarga mana yang menginginkkan pendidikan anaknya berkualitas maka mereka harus

mengeluarkan biaya yang besar. Sementara bagi keluarga miskin yang tidak memiliki

kemampuan mereka harus dapat menerima kenyataan bahwa anak-anak mereka hanya

menerima pendidikan dengan seadanya (filem laskar pelangi mungkin secara visual akan

sangat jelas menggambarkan fenomena ini). Fenomena dimana dunia pendidikan yang

harus tunduk dengan kebutuhan pasar itu secara radikal dapat dikatakan bahwa hari ini

pendidikan kita telah masuk dalam jebakan kapitalisme pendidikan.

Ini adalah sebuah krisis yang lebih bahaya dari krisis kewangan global yang

sedang dirasakan saat ini. Karena krisis pendidikan akan berdampak kepada pembentukan

peradaban dimasa hadapan. Desa dimasa dahulu tempat dimana moralitas dan religius

ditumbuhkan kembangkan , kini lupus oleh arus komuikasi. Sehingga surau, ustad dan

para alim ulama tidak lagi menjadi sumber informasi dan pengetahun. Artinya pendidikan

informal yang humanis itu sudah hampir terkikis dari fenomena masyarakat pedesaan kita

hari ini. Sementara pendidikan formal yang diharapkan sebagai transpormasi menuju

modernisasi pula masih jauh dari standar pendidikan yang modern. Akhirnya desa terus

tertinggal baik secara ekonomi mahupun sosial.

Page 3: Pembangunan Pendidikan Di Provinsi Riau2

3

Kerisauan akan mundurnya kawasan pedesaan itu, kini semakin ramai

dibicarakan. Bahkan isu akan kemunduran kawasan pedesaan itupun menaiki pentas

tertinggi dalam ranah perpolitikan daerah. Buktinya pada masa pilihan raya Gubernur dan

wakil Gubernur Riau pada bulan September 2008 yang lalu, dari ketiga pasangan

kandidat, ketiga-tiganya menjadikan isu keterbelakangan desa sebagai ikon perjuangan.

Ketiga kandidat meskipun berbeda dalam kepentingan politik namun sama dalam

menetapkan isu simpatik. Desa memanglah tempat yang tak pernah lekang dengan cerita

tentang kenestapaan dan kesengsaraan.

Bila kita simak apa yang diperbincangkan oleh para kandidat itu terhadap

keterbelakangan kawasan pedesaan di Riau itu, dapat disimpulkan bahwa mereka hampir

sama dalam sebuah kesimpulan bahwa kebijakan terpenting yang harus diambilkira dalam

penanggulangan keterbelakan pedesaan itu adalah pembangunan ekonomi. Beragam

pendekatan mereka utarakan, mulai dari pendekatan sistem melalui pembenahan

birokrasi, keberpihkan, sampailah kepada pendekatan komuniti melalui program ekonomi

kerakyatan.

Sesungguhnya, adapun yang menjadi ciri utama atas keterbelakangan pedesaan itu

adalah ujudnya kemiskinan dalam bilangan yang cukup besar berbanding kawasan

perkotaan. Selain Masalah kemiskinan, Masalah rendahnya sumberdaya manusia adalah

sesuatu yang sangat serius dihadapi oleh masyarakat di kawasan pedesaan. Rendahnya

sumberdaya manusia dan kemiskinan adalah dua isu yang saling balas berbalas. Karena

miskin, seorang anak tidak akan dapat mengecap pendidikan yang layak, dan disebabkan

oleh rendahnya sumberdaya manusia, maka seseorang tidak dapat menaikan taraf hidup

diri dan keluarganya.

Perbincangan akademik yang mengaitkan diatara usaha pengetasan kemiskinan

dengan peningkatan sumberdaya manusia sesungguhnya sudah merupakan isu lama.

Namun, perbincangan itu selalu mengarah kepada satu pikiran bahwa sumberdaya

manusia harus dapat menyokong modal kapital gunak ujudnya pertumbuhan.

Pertanyaannya adalah apakah pikiran ini dapat kita jadikan landasalas dalam

Page 4: Pembangunan Pendidikan Di Provinsi Riau2

4

pembangunan pedidikan di Riau? Faktanya adalah bahwa pembangunan pendidikan kita

masih tertatih-tatih diatas titian dasar. Artinya saat ini kita masih disibukan dengan

masalah wajib belajar baik 9 tahun mahupun 12 tahun yang sedang di programkan diknas.

Dalam keadaan seperti itu akan lebih tepat bila kita azamkan bahwa pendidikan kita hari

ini harus menjadi modal insan dalam menuju kemandirian personalitinya dan berguna

dalam pembentukan komunitasnya.

Untuk itu kertas kerja ini mencuba membentangkan tentang pembangunan dunia

pendidikan di Provinsi Riau, kaitannya terhadap usaha pengentasan kemiskinan pada

kawasan pedesaan, melalui tela’ah akademik dalam konteks sains pembangunan.

2. PENDEKATAN TEORI PEMBANGUNAN

Konsep pembangunan telah menjadi bahasa dunia. Keinginan bangsa-bangsa di dunia

untuk mengejar bahkan memburu masa depan yang lebih baik mengikut keadaan dan

caranya masing-masing telah melahirkan pelbagai pengertian yang berkaitan dengan

konsep pembangunan (development). Ndraha (1990:2-13) memberikan pengertian

bahawa pembangunan bertalian rapat dengan konsep pertumbuhan, rekonstruksi,

modenisasi, westernisasi, perubahan sosial, pembebasan, pembaharuan, pembangunan

bangsa, pembangunan nasional, pengembangan, kemajuan, perubahan terancang dan

pembinaan.

Sementara itu apa yang selalu menjadi indikator pembangunan di Riau sampai

hari ini, bahwa pembangunan dilihat dari perspektif ilmu ekonomi. Dari perspektif itu,

istilah pembangunan (development) secara tradisional diertikan sebagai kapasiti daripada

satu perekonomian nasional/ daerah yang keadaan-keadaan ekonomi mulanya lebih

kurang bersifat tetap dalam kurun waktu cukup lama untuk menciptakan dan

mempertahankan kenaikan tahunan atas pendapatan nasional bruto/pendapatan daerah

bruto atau PDB/PDRB (produk domistik bruto/produk domestik regional bruto)nya pada

tingkat, katakanlah 5 pratus hingga 7 pratus, atau bahkan lebih tinggi lagi, jika hal itu

memang memungkinkan (Todaro,2000:17)

Page 5: Pembangunan Pendidikan Di Provinsi Riau2

5

Seperti apa yang terjadi di provinsi Riau saat ini bahwa pertumbuhan ekonomi

tinggi berbanding daerah lain yakni lebih kurang 8%, namun disatu sisi kemiskinan dan

ketimpangan kehidupan masih sangat menonjol. Untuk itu indikator ekonomi saja terasa

belum berkesan dalam menggambarkan keberhasilan pembangunan. Dalam ranah teori

pebangunan berikutnya, pendekatan ekonomi mendapat tantangan dari tokoh-tokoh

ilmuwan pembangunan. Hal itu disokong adanya fakta bahawa pada tahun 1950 dan

1960, pada masa banyak diantara dunia-dunia ketiga berhasil mencapai tingkat

pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun gagal memperbaiki taraf hidup sebahagian

besar penduduknya. Keadaan yang terjadi adalah ketimpangan pendapatan yang cukup

tinggi ditambah dengan angka penganguran yang semakin membesar, sehingga pada 1970

pembangunan ekonomi mengalami redefenisi (Todaro,2000).

Akibat daripada pengalaman kegagalan pembangunan ekonomi tersebut, maka

para pakar pembangunan mula untuk mencuba merumuskan kembali hakikat

pembangunan yang sesungguhnya. Profesor Dudley Seers dalam Todaro (2000)

mengajukan serangkaian pertanyaan mendasar mengenai makna pembangunan. Adapun

pertanyaannya adalah: Pertanyaan-pertanyan mengenai pembangunan satu negara yang

harus diajukan adalah: Apa yang terjadi dengan kemiskinan penduduk di negeri itu?

Bagaimana dengan tingkat pengangguran ? Apakah perubahan-perubahan berarti yang

berlangsung atas penanggulangan masalah ketimpangan pendapatan? Jika ketiga-tiga

masalah tersebut selama periode tertentu sedikit banyak sudah teratasi, maka tidak

diragukan lagi bahawa periode tersebut memang merupakan periode pembangunan bagi

negara tersebut.

Sehubungan dengan hakekat pembangunan diatas, meningkatkan mutu sumber

manusia dipandang sebagai kunci terhadap pembangunan yang dapat menjamin kemajuan

ekonomi dan kestabilan sosial. investasi harus diarahkan bukan saja untuk meningkatkan

physical capital stock tetapi juga human capital stock dengan mengambil keutamaan pada

usaha meningkatkan mutu pendidikan, kesihatan dan gizi (Tjokroamidjojo, 1995:44-45).

Sejalan pula yang dikemukakan Mcclelland (dalam Budiman 1995:23) dengan

konsepnya The need for Achievement (n-Ach) iaitu keperluan atau sokongan untuk

Page 6: Pembangunan Pendidikan Di Provinsi Riau2

6

berprestasi. Manusia dengan n-Ach yang tinggi, memiliki keperluan untuk berprestasi,

mengalami kepuasan bukan kerana mendapatkan upah dari hasil kerjanya, tetapi kerana

hasil kerjanya dianggap sangat baik.

Schumacher (dalam Tjokroamidjojo 1995:47) mengemukakan pula bahawa

pembangunan tidak mulai daripada barang-barang, tetapi mulai daripada manusia dengan

pendidikan, organisasi dan disiplinnya. Setiap negara yang memiliki tingkat pendidikan,

organisasi dan disiplin yang tinggi pasti mengalami keajaiban ekonomi.

Dengan demikian perbaikan mutu sumber manusia akan memberikan inisiatif-

inisiatif dan sikap kewiraswastaan, akan tumbuh pula lapangan-lapangan kerja baru,

dengan demikian produktiviti nasional akan meningkat. Tampak kiranya bahawa salah

satu tujuan dari pendekatan pengembangan sumber manusia adalah tumbuhnya

wiraswasta, yang peranannya dalam pembangunan memang diakui sudah sejak lama.

Raepke (dalam Tjokroamidjojo 1995 :45) menyatakan suatu bangsa akan berkembang

secara ekonomi, apabila bangsa tersebut mempunyai wiraswasta-wiraswasta yang

mempunyai kebebasan dan motif-motif yang menyokongny untuk mengambil keputusan

yang bersifat kewiraswastaan, yang sebetulnya bererti mengadakan inspirasi, iaitu

mewujudkan gagasan-gagasan baru dalam praktek.

Pendekatan teori diatas, memberikan kerangka pemikiran secara falsafi bahwa

pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah tidaklah boleh hanya semata-mata diukur

dari seberapa jauh pertumbuhan ekonomi diraih. Namun Pembangunan baru dapat

dinyatakan berjaya bilamana berkurangnya angka kemiskinan dan penganguran secara

siknifikan serta terciptanya pemerataan baik antara kaya dan miskin mahupun antara kota

dan desa.

Pendekatan teoritik diatas juga melandaskan bahwa pembangunan penddikan

adalah modal dasar dalam pembangunan kesejahteraan. Karena manusia yang memiliki

sumberdaya yang handal akan lebih mampu menggapai cita-cita pembangunan.

Disamping itu salah satu unsur terpenting sebagai strategi pembangunan pedesaan adalah

melakukan pembenahan pendidikan dikawasan pedesaan.

Page 7: Pembangunan Pendidikan Di Provinsi Riau2

7

3. KONDISI KEMISKINAN DAN PENDIDIKAN PEDESAAN DI RIAU

Keadaan sebenar yang sedang dihadapi masyarakat di kawasan pedesaan perlu dijelaskan

baik secara kuantitatif mahupun kwalitatif. Berikut ini kita akan mencuba

membentangkan keadan sebenar masyarakat pedesaan di provinsi Riau terutama yang

berkaitan dengan kemiskinan dan pendidikan. Data yang banyak digunakan pada kertas

kerja ini masih banyak menggunakan data tahun 2004 ke bawah, sehingga tentu kurang

memuaskan dari sisi ketepatan data dengan kondisi sebenar. Namun paling tidak paparan

data kuantitatif berikut dapat menginspirasikan kita kepada keadaan sebenar pedesaan

yang sampai saat ini belum terjadi perubahan secara siknifikan.

Keadaan yang sangat penting utuk di paparkan adalah menyangkut kemiskinan.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BAPPENAS (2004) mendefinisikan

kemiskinan sebagai keadaan dimana seseorang atau sekumpulan orang, lelaki dan

perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak asas untuk mempertahankan dan

mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak asas masyarakat desa antara lain,

terpenuhinya keperluan makanan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air

bersih, pertanahan, sumber alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau

ancaman tindak kekerasan dan hak untuk ikut serta dalam kehidupan sosio-politik, sama

ada bagi perempuan ataupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak-hak asas masyarakat

miskin ini, BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain;

pendekatan keperluan asas (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income

approach), pendekatan kemampuan asas (human capability approach).

Di Indonesa secara am kemiskinan banyak ditemukan di kawasan pedesaan.

Laporan Bank Dunia tahun 1990 (dalam Todaro 2000) memperlihatkan bahawa, 73%

masyarakat Indonesia berada di pedesaan dan dari jumlah itu, 91% adalah miskin.

Sementara di Malaysia hanya 62% penduduknya hidup di desa dan dari jumlah itu 80%

adalah miskin, Di Filipina 60% penduduknya hidup di desa dan dari jumlah itu 67%

adalah miskin. Keadaan perbandingan kemiskinan di antara kota dan desa di Indonesia

secara jelas tergambar dari jadual di bawah ini :

Page 8: Pembangunan Pendidikan Di Provinsi Riau2

8

Jadual 1

Peratusan dan perkembangan jumlah

penduduk miskin desa dan kota 1976-1999

Desa KotaTahun Penduduk miskin

(juta orang)(%) Penduduk miskin

(juta orang)(%)

19761978198019811984198719901993199619981999

44.238.932.831.325.720.317.817.215.331.925.1

40.433.428.426.521.216.414.313.812.325.720.2

10.08.39.59.39.39.79.48.77.2

17.612.4

38.830.829.028.123.120.116.813.49.721.915.1

Sumber; Badan Pusat Statistik, 1996-1999.

Sementara itu, pengukuran angka kemiskinan di Provinsi Riau pada amnya

dilakukan dengan menggunakan dua pendataan iaitu angka kemiskinan yang dihitung

oleh BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) dan BPS (Biro Pusat

Statistik). Berdasarkan data daripada BKKBN, pengukuran kemiskinan dibahagikan

dalam 2 kategori iaitu penduduk pra-sejahtera dan sejahtera I4.

Keadaan penduduk pra-sejahtera dan sejahtera I di Provinsi Riau kerana alasan

ekonomi dan bukan ekonomi menunjukkan trend yang berfluktuasi, dimana pada tahun

1998 angka kemiskinan sebesar 33.13%. Akibat pengaruh krisis kewangan, angka

kemiskinan di Provinsi Riau mengalami peningkatan yang cukup tinggi, pada tahun 1999

angka kemiskinan mencapai 42.25% dan pada tahun 2000 naik menjadi 44.25%. Angka

4 Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sejak tahun 1994 mengembangkanbeberapa indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan keluarga dengan mempergunakannindikator ekonomi, sosial, kesihatan, dan gizi. Hasil kajian terhadap indikator-indikator tersebutmemetakan kesejahteraan keluarga dalam beberapa tingkatan sebagai berikut: Keluarga PraSejahtera, Keluarga Sejahtera I, Keluarga Sejahtera II, dan Keluarga Sejahtera III Plus. Keluargayang masuk ke dalam ketegori miskin adalah keluarga Pra Sejahtera dan keluarga Sejahtera.

Page 9: Pembangunan Pendidikan Di Provinsi Riau2

9

kemiskinan tersebut kembali mengalami penurunan menjadi 41.57% pada tahun 2001 dan

40.05% pada tahun 2002. Ini bererti sejak tahun 2000 ke tahun 2002 terdapat

pengurangan penduduk miskin sebanyak 4.2% atau lebih kurang 222,000 orang. Namun

pada tahun 2003 jumlah keluarga miskin di Riau bertambah lagi menjadi 41.31% dengan

23.47 % alasan ekonomi dan 17.84 % dengan alasan bukan ekonomi. Peningkatan jumlah

keluarga miskin pada tahun 2003 disebabkan oleh arus migrasi dari daerah tetangga

(Sumatra barat dan Sumatra utara) akibat meningkatnya perekonomian Riau di era

otonomi daerah (Lapoan Pertanggungjaaban Gubnur Riau 2003).

Selanjutnya angka kemiskinan dari data BPS berdasarkan bancian penduduk

nasional tahun 2002, yang diukur menurut keperluan makanan sebesar 2,100 kalori per

kapita, angka kemiskinan di Provinsi Riau pada tahun 1998 berjumlah 15.23% daripada

total penduduk, bila dibandingkan dengan tahun 2002 sebesar 13.67% menunjukkan

kecondongan menurun yang disebabkan oleh situasi kondusif lapangan pekerjaan setelah

kegawatan ekonomi (Lapoan Pertanggungjaaban Gubnur Riau 2003)..

Berdasarkan pendataan penduduk keluarga miskin provinsi Riau tahun 2004

(Balitbang Riau, 2004) diketahui bahawa jumlah penduduk provinsi Riau adalah

sebanyak 4,525,225 orang dengan 977,288 rumah tangga. Dari jumlah tersebut diketahui

pula sebanyk 1,008,321 (22.28%) orang dinyatakan miskin dan 231,508 (23.68%) rumah

tangga miskin dengan garis kemiskinan Rp198,075 per orang sebulan untuk daerah

perkotaan dan Rp164,921 per orang sebulan untuk daerah pedesaan. Data selengkapnya

di tuangkan pada jadual 3. Malangnya laporan ini tidak memisahkan kemiskinan antara

kawasan kota dan desa.

Data yang memisahkan diantara kemiskinan desa dan kota, hanya di tampilkan

pada Master Plan Riau (2002). Pada laporan itu dinyatakan bahawa, sebagai

perbandingan pada tahun 1999 Garis kemiskinan Riau adalah Rp 94.000 setipa orang

setiap bulan untuk daerah perkotaan dan Rp 91.000 setiap orang setiap bulan untuk

daerah pedesaan. Angka tersebut, sama dengan garis kemiskinan rasmi di Jawa Barat,

tetapi biaya hidup bagi masyarakat miskin sebenarnya lebih tinggi di Riau. Harga beras

Page 10: Pembangunan Pendidikan Di Provinsi Riau2

10

lebih mahal Rp. 300/kg di Pekanbaru dibandingkan dengan Bandung pada tahun 2000.

Harga-harga makanan juga mengalami peningkatan selama tahun 1996 sampai tahun

2000, dengan 7% lebih tinggi di Pekanbaru dibandingkan dengan Jawa Barat. Perbezaan

dengan Jawa Barat dan, misalnya, dengan Sumatera Barat adalah kemiskinan meningkat

dua kalilipat di daerah perkotaan di dua provinsi ini, yang disebabkan oleh dampak

pertama krisis kewangan, sementara itu garis kemiskinan di daerah perkotaan Riau hanya

mengalami peningkatan sebesar 50%. Di pedesaan Sumatra Barat dan Riau, peningkatan

kemiskinan jauh lebih kecil, seperti terlihat pada jadual 2.

Krisis kewangan tahun 1997, ternyata tidak memperburuk keadaan kemiskinan di

kawasan pedesaan di Riau. Sebahagian desa di kawasan pesesir di Riau bahkan

menganggap krisis ini sebagai suatu masa kejayaan ekonomi. Keadaan ini biasanya

dirasakan oleh petani-petani kelapa, petani karet, dan kumpulan nelayan. Krisis kewangan

ini menguntungkan bagi mereka karena harga jualan keluaran komoditi ini adalah

barangan ekspor dimana transaksinya menggunakan USD, sehingga harga wang rupiah

jatuh, terjadi peningkatan nilai tukaran terhadap rupiah yang berlipat ganda.

Jadual 2Peratusan penduduk dibawah garis kemiskinan

PROVINSI Peratusan Penduduk Di Bawah Garis Kemiskinan1996 1999

Riau – BandarRiau – PedesaanSumatera Barat-BandarSumatra Barat – PedesaanJawa Barat – BandarJawa – Pedesaan

6.3 %16.0%9.4 %10.0 %11.7%10.6%

9.1 %17.0 %18.3 %11.2%21.2%18.5%

Page 11: Pembangunan Pendidikan Di Provinsi Riau2

11

Jadual 3Jumlah dan Peratusan Rumah Tangga/Penduduk Miskin, Provinsi Riau 2004

KABUPATEN/KOTA

Jumlah RT2004

(ruta)

JumlahPenduduk

2004

(orang)

Rumah tanggaMiskin

2004

(ruta)

Penduduk MiskinMiskin

2004

(orang)

Peratusanrumah tangga

Miskin2004(%)

PeratusanPenudukMiskin2004(%)

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)243,768Kuantan Sengingi

Indragiri HuluIndragiri HilirPelalawanSiakKamparRokan HuluBengkalisRokan HilirPekanbaruDumai

56,92366,793

136,38551,32064,127

113,92176,452

126,08192,296

148,53245,418

296,712624,450220.,887286,245532,453340,732637,103440,894704,517215,783

16,76421,34046,23510,06413,33130,62617,87829,57721,15516,158

8,340

66,92093,297

199,49740,63162,715

122,50471,006

140,46395,93276,84138,515

29.4532.4433.9019.1620.7926.8823.3723.4622.9210.8818.36

27.4531.4431.9518.3921.9123.0120.8422.0521.761.91

17.85

Jumlah 977,288 4.543,584 231.468 1,008,321 23.68 22.28Badan Penelitan dan Pengembangan Prov Riau, 2004

Page 12: Pembangunan Pendidikan Di Provinsi Riau2

15

Jadual 4Kemiskinan Desa dan Kota di Riau tahun 2004

Untuk melihat komposisi kemiskinan diatas kota dan desa di Riau pada tahun

2004, dapat terlihat dari jadual 4 diatas. Jadual di atas memperlihatkan bahawa pada

tahun 2004 lebih kurang 3,077,272 (68%) orang penduduk provinsi Riau hidup di

kawasan desa. Daripada jumlah tersebut, sebanyak 840.307 orang adalah miskin atau

sebesar 27.31% dari jumlah penduduk yang hidup di kawasan desa. Bila jumlah angka

kemiskinan di kawasan desa itu dibandingkan dengan jumlah kemiskinan keseluruhan

di Riau (1,008,321 orang) maka 83% orang miskin adalah di kawasan pedesaan.

Apakah benar bahwa salah satu penyebab kemiskinan itu adalah karena

rendahnya tingkat sumberdaya manusia, berikut ini dipaparkan keadaan pendidikan di

kawasan pedesaan. Keadaan pendidikan masyarakat khasnya pedesaan di Riau boleh

digambarkan mengikuti jadual di bawah ini. 4.4% pada tahun 1999 dan 3.5% pada

tahun 2002 masyarakat yang masih buta hurup. Sementara itu angka lama sekolah

juga meningkat dari rata-rata 7.3 tahun pada tahun 1999 menjadi rata-rata 8.3 tahun

pada tahun 2002. Masyarakat yang putus sekolah dan keikutsertaan sekolah juga

terjadi peningkatan, namun sangat lambat pergerakan perubahannya.

Desa Kota

No Kabupaten/Kota Penduduk Miskin Penduduk Miskin

Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %1 Kuantan Singingi 238,698 9792% 66,777 27.98% 5,070 2.08% 143 2.82%2 Indragiri Hulu 281,660 94.93% 91,235 32.39% 15,052 5.07% 2,062 13.70%3 Indragiri Hilir 576,783 92.37% 190.,596 33.04% 47,667 7.63% 8,901 18.67%4 Pelelawan 174,265 78.89% 36,168 20.75% 46,622 21.11% 4,463 9.57%5 Siak 206,392 77.04% 55,151 26.72% 61,494 22.96% 7,564 12..30%6 Kampar 459,410 86.28% 116,691 25.40% 73,083 13..72% 5,813 7,.95%7 Rokan Hulu 290,345 85.21% 68,302 23.52% 50,387 14.79% 2,704 5.37%8 Bengkalis 396,306 62.20% 115,705 29.20% 240,797 37.80% 24,758 10.28%9 Rokan Hilir 342,659 77.72% 80,182 23,.40% 98,235 22.28% 15,750 16,.03%

10 Pekanbaru 55,.086 7.82% 7,606 13.81% 649,431 92.18% 69,235 10.66%11 Dumai 5,.668 2..80% 11,894 21.37% 160,115 74.20% 26.,621 16.63%12 Provinsi Riau 3.07,.272 68.00% 840,307 27.31% 1,447,953 32.00% 168,014 11.60%

Page 13: Pembangunan Pendidikan Di Provinsi Riau2

16

Jadual 4Partisipasi Pendidikan Orang Miskin Di Riau

TAHUNINDIKATOR

1999 2002

Buta Huruf (%) 4.4 3.5Lama Sekolah (thn) 7.3 8.3Putus Sekolah SD- SMP (7-15) SMU/K (16-18) PT(19-24 tahun)

2.611.213.9

1.97.46.9

Keikutsertaan Sekolah 7-12 tahun 13-15 tahun 16-18 tahun 19-24 tahun

96.385.253.49.4

96.884.553.98.8

Data : BPS Riau 2002

Sementara itu, keadaan pendidikan keluarga miskin di desa digambarkan pula

oleh jadual 5 di bawah ini. Kepala keluarga miskin dengan belatar belakang

pendidikan yang sangat rendah terdapat di kabupaten Kuantan Singingi (63%), diikuti

dengan Indragiri Hilir (61%) dan Pelalawan (57%), yakni tidak menamatkan sekolah

dasar dan atau hanya menamatkan sekolah dasar. Terdapat rata-rata 39 persen

daripada kepala keluarga miskin di Provinsi Riau hanya menamatkan SLTP, serta

rata-rata hanya 11% sahaja kepala keluarga miskin yang menamatkan SLTA. Data ini

boleh memberikan gambaran bahawa terdapat hubungan yang erat antara kemiskinan

dengan rendahnya latar belakang pendidikan kepala keluarga di Provinsi Riau.

Page 14: Pembangunan Pendidikan Di Provinsi Riau2

17

Jadual 5Keadaan Pendidikan Keluarga miskin di Riau

Pendidikan FormalKepala Keluarga

Pendidikan FormalAnggota KeluargaNo Kabupaten

T.T SD - SD SLTP SLTA T.T SD- SD SLTP SLTA

1 KuantanSingingi

63% 31% 6% 50% 44% 6%

2 IndragiriHulu

40% 46% 14% 36% 47% 17%

3 IndragiriHilir

61% 34% 5% 71% 23% 6%

4 Pelalawan 57% 30% 13% 39% 44% 17%

5 Kampar 39% 48% 13% 35% 33% 32%

6 RokanHulu

44% 44% 12% 57% 25% 18%

Purata 51% 39% 11% 48% 36% 16%

Sumber: BPPM Prop. Riau – UIR (2003)

Daripada Jadual 5 di atas terlihat bahawa anggota keluarga pada keluarga

miskin pedesaan juga memiliki latar belakang pendidikan yang berbeza-beza. Latar

belakang pendidikan anggota keluarga miskin pedesaan terendah terjadi di Kabupaten

Indragiri Hilir (71%) diikuti dengan Rokan Hulu (57%) dan Kuantan Singingi (50%)

yakni tidak menamatkan sekolah dasar dan atau hanya menamatkan sekolah dasar

sahaja. Di samping itu, purata 36% anggota keluarga miskin pedesaan di provinsi

Riau yang menamatkan SLTP dan purata 16% yang menamatkan SLTA. Data ini

dapat memberikan gambaran tentang ancaman keberlanjutan kemiskinan di pedesaan

Riau pada masa mendatang.

Di Kabupaten Indragiri Hilir, kepala keluarga miskin di desa yang memiliki

latar belakang pendidikan sangat rendah 61%, manakala anggota keluarganya 71%

berpendidikan sangat rendah, ini menunjukkan di masa hadapan jumlah keluarga

miskin di Indragiri Hilir dari perspektif pendidikan akan tetap bertambah. Data yang

sama pula terjadi di Kabupaten Rokan Hulu, iaitu 44% kepala keluarga miskin

Page 15: Pembangunan Pendidikan Di Provinsi Riau2

18

berpendidikan sangat rendah, diikuti dengan peningkatan angka 57% yang terjadi

pada anggota keluarganya.

Jadual 6

Penyebab Kemiskinan di Riau(Akses Pendidikan)

Sarana PendidikanNo Kabupaten

Sampel DesaMiskin TK SD SMP Pesantren SMU

1 Kuansing 22 2 15 3 0 02 Inhu 16 0 18 5 0 13 Inhil 16 0 17 4 1 04 Pelalawan 15 0 15 3 0 05 Kampar 14 0 17 4 2 16 Rohul 15 0 14 2 0 1

Purata 16.34 0.33 16.00 3.50 0.50 0.50Sumber: BPPM Prop. Riau – UIR (2003)

Rendahnya pendidikan, khasnya masyarakat pedesaan di Riau ternyata sangat

berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan. Hal ini, sangat memungkinkan karena

mengingat sangat terbatasnya sarana pendidikan di kawasan pedesaan. Jadual di atas

menunjukan dengan jelas kekurangan sarana pendidikan yang terjadi di beberapa desa

miskin di provinsi Riau. Di Kuansing, daripada 22 sampel desa miskin yang diambil,

ternyata hanya ada 2 buah taman kanak-kanak, 15 buah sekolah dasar, 3 buah sekolah

menengah pertama dan tidak ada sekolah menengah atas. Ini ertinya tidak semua desa

di Kabupaten tersebut memiliki Sekolah Dasar, sekolah menengah pertama, apatah

lagi sekolah menengah atas.

Dari keadaan kemiskinan dan pendidikan pedesaan Riau yang dipaparkan di

atas, terlihat bahwa pedesaan kita masih berada dalam keadaan miskin dan

kemiskinan itu akan tetap bertahan bahkan berpotensi untuk berkembang bilamana

pemerintah baik provinsi mahupun kabupaten/kota tidak teat dalam merumuskan

kebijakan pengetasan kemiskinan dan pembangunan dunia pendidikan. Untuk itu,

berikut akan di bentangkan sekilas tentang kebijakan pembangunan pendidikan yang

kaitannya dengan pengentasan kemiskinan kawasan desa.

4. KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KAWASAN PEDESAAN

Page 16: Pembangunan Pendidikan Di Provinsi Riau2

19

Di provinsi Riau selama otonomi daerah dijalankan pembangunan sektor pendidikan

juga telah menghabiskan biaya pembangunan yang cukup besar. Sebagai contoh, pada

tahun 1998-2000 dana yang alokasi untuk pembangunan semua sektor yang terkait ke

dalam usaha peningkatan sumber manusia sebesar Rp 99.67 milyar lebih. Dalam

Renstra priode 2001-2003 anggaran pembangunan di sektor pendidikan ini

ditargetkan sebesar 30.69% dari total anggaran pembangunan.

Menurut Saleh Djazid (2003)5 , bahawa buruknya sistem pendidikan yang ada

di provinsi Riau selama ini disebabkan oleh kelalaian pada hampir 15 tahun

sebelumnya. Seandainya landasan dasar pendidikan 15 tahun yang sebelumnya, sudah

memiliki master plan yang kuat, tentu hasilnya bukan seperti yang ada sekarang ini.

Bertolak dari keadaan itu menurutnya harus segera merumuskan master plan

pendidikan dan menciptakan sekolah-sekolah yang berkualiti dengan bentuk Sekolah

Menengah Am (SMU) plus.

Selain membangun SMU plus, pada masanya Saleh Djzaid juga memberikan

perhatian pembangunan dalam bidang pendidikan ini dengan melaksankan

pembangunan Fakulti Perubatan Universiti Riau yang menghabiskan biaya sebesar

Rp.29.8 Miliyar sementara itu dalam bidang kebudayaan pula dia telah membangun

Gedung Teater Bandar Seni Raja Ali Haji yang menelan biaya Rp.56 milyar,

pembangunan pusat kegiatan olahraga juga mendapat bahagian pembiayaan yang

besar pada masanya iaitu menelan biaya sebesar Rp. 89.8 milyar.

Semua projek-projek itu dibangun di bandar Pekanbaru. SMU plus dan Fakulti

Perubatan sebagai simbol atas kepedulian pemerintah terhadap keadaan pendidikan

masyarakat ternyata hanya dinikmati oleh keluarga-keluarga yang berpenghasilan

tinggi. Sementara keluarga-keluarga miskin di desa tidak tersentuh dengan

pembangunan pendidikan tersebut. Keadaan dimana terbatasnya kualiti dan kuantiti

guru, bangunan-bangunan dan fasiliti sekolah yang sangat memprihatinkan serta

mahalnya biaya pendidikan merupakan fenomena yang tetap wujud pada masyarakat

di pedesaan di Riau.

5 Saleh Djazid adalah Gubernur Riau tahun 1998-2003.

Page 17: Pembangunan Pendidikan Di Provinsi Riau2

20

Keadaan kemunduran masyarakat khasnya kawasan pedesaan Riau akan

pendidikan, pada masa Rusli Zainal6 dijawab melalaui empat pendekatan. Pertama,

Menuntaskan wajib belajar sembilan tahun. Kedua, Meningkatkan kualiti pendidikan

mulai dari Taman Kanak-kanak (TK) hingga ke Perguruan Tinggi. Ketiga,

Meningkatkan fasiliti pendidikan guna mengejar perbaikan di dunia pendidikan.

Keempat, meningkatkan kesesuaian diantara dunia pendidikan dengan dunia kerja

(Dahril 2004).

Namun pada masanya Rusli pun kebijakan pembangunan pendidikan yang

berorientasi kepada kawasan pedesaan masih jauh dari harapan. Sesuai dengan hasil

kajian Rizal Akbar (2007) matlamat kebijakan yang dirumuskan (sesuai dengan

Restra 2004-2008) pada bidang pendidikan ternyata sebahagian besar kebijakan

pembangunan pendidikan yang tidak memiliki kejelasan orientasi. Dan hanya

sebahagian kecil saja yang benar-benar terfokus kepada desa. Artinya perumusan

kebijakan pendidikan dimasa tersebut belum mengakomodir desa sebagai target

pembangunan.

Kemunduran pendidikan masyarakat Riau dinyatakan oleh pemerintah Riau

bahawa lebih kurang 4 juta lebih penduduk Riau 55.76% yang hanya menamatkan

pendidikan dasar (SD), 18.45% yang menamatkan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

(SLTP), 23.35% yang menamatkan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dan hanya

3.44% yang menamatkan Pendidikan Tinggi (PT). Adapun keadaan terparah adalah di

kawasan terpencil dan daerah pesisir serta aliran sungai yang ada di Riau. Mengenai

guru pula dikatakan bahawa keperluan guru provinsi Riau adalah sebesar 7,708.

Sementara guru yang tersedia adalah sebanyak 5,276 orang. (Renstra 1998-2003)

Kebijakan pembangunan dalam sektor pendidikan di provinsi Riau ini sudah

selayaknya untuk diubahsuaikan kembali mengingat tidak selari dengan permasalahan

masyarakat khususnya di kawasan pedesaan. Kekeliruan terbesar yang dihadapi oleh

pemerintah Riau dalam menetapkan kebijakan pendidikan adalah ketika

pembangunan pendidikan tidak dihubungkaitkan dengan upaya penghapusan

kemiskinan dan memajukan pembangunan kawasan desa di Riau.

6 Rusli Zainal ialah Gubernur Riau tahun 2003-2008 dan pada pilihan raya gubernur dan wakilgubernur 22 Sept 2008 yang lalu belia kembali terpilih menjadi Gubernur Riau untuk kali kedua.

Page 18: Pembangunan Pendidikan Di Provinsi Riau2

21

Dengan demikian, pembangunan pendidikan seharusnya diupayakan tidak

hanya penyediaan fasiliti dan guru sahaja. Tetapi lebih penting daripada itu penguatan

kurikulum pendidikan yang bersesuaian dengan keperluan masyarakat dalam

melepaskan dirinya dari kemiskinan adalah sangat diperlukan. Karena sistem

pendidikan pada dasarnya hanya mencerminkan dan menghasilkan, bukannya

mengubah struktur-setruktur sosial dan ekonomi yang ada di masyarakat dimana

sistem tersebut berada, maka setiap program ataupun serangkaian kebijakan yang

hendak dirancang untuk meningkatkan kesesuaian sistem pendidikan terhadap

keperluan-keperluan pembangunan harus melibatkan dua hal utama:

1. Rombak kembali sistem insetif dan sinyal-sinyal sosial ataupun ekonomi

luaran yang berada di luar sistem pendidikan, yang sentiasa justeru mampu

menentukan jangkauan, struktur, dan orientasi permintaan individu

terhadap pendidikan serta munculnya tanggapan politik dalam bentuk

penyediaan tempat-tempat dan fasiliti sekolah oleh pemerintah.

2. Ubah kembali unsur-unsur dalam atau yang berada di dalam sistem

pendidikan itu sendiri, melalui penyelesaian subjek-subjek pelajaran

(terutama untuk kawasan pedesaan), perbaikan struktur pembiayaan oleh

pemerintah dan individu, penyempurnaan metode seleksi dan promosi,

serta peningkatan kualiti penilaian jabatan atau posisi pekerjaan atas dasar

tingkat pendidikan.

Kesenjangan pembinaan sumber manusia yang wujud berupa keterbatasan

kesempatan memperoleh pendidikan dan keterampilan merupakan bentuk lain

daripada ketimpangan distribusi atau kepemilikan asset-asset berharga dalam

masyarakat. Oleh karena itu, harus dirumuskan dan menerapkan kebijakan demi

memperluas kesempatan memperoleh pendidikan (bagi wanita, terutama sekali bagi

pria) yang merupakan salah satu cara efektif guna meningkatkan potensi penghasilan

penduduk. Pelaboran dalam modal manusia ini sebagai strategi utama untuk

mengurangi kemiskinan telah dipromosikan secara luas (bersama -sama dengan

percepatan pertumbuhan ekonomi) oleh Bank Dunia dalam berbagai laporanya

mengenai kemiskinan, khususnya dalam Word development Repot 1998 / 99.

Page 19: Pembangunan Pendidikan Di Provinsi Riau2

22

Dalam konteks ini kebijakan pembangunan pendidikan guna pengetasan

kemiskinan di kawasan pedesaan, merujuk kepada pandangan Todaro (2000) ada

dua bahagian kebijakan yang dapat dilaksanakan : Pertama, Kebijakan-kebijakan di

luar sistem pendidikan, dan Kedua, kebijakan-kebijakan dalaman sistem pendidikan.

Kebijakan di luar sistem pendidikan, menurutnya terdiri daripada tiga

bahagian. Pertama, penyesuaian atas pelbagai ketidak seimbangan. Kebijakan ini

berusaha untuk memudahkan upaya penyempurnaan sistem pendidikan agar sesuai

dengan kepentingan-kepentingan pembangunan. Kedua, pengubahan pola pengaturan

pekerjaan berdasarkan ijazah. Kebijakan ini berusaha untuk menyelesaikan masalah-

masalah yang dialamai oleh mensyaratkan khasnya tentang jawatan. Sehingga

majikan dalam menetapkan satu jawatan, tidak lagi mempersyaratkan dengan graduan

yang tinggi. Ketiga, pencegahan pengurasan intelektual. Kebijakan ini dapat sahaja

dilakukan oleh pemerintah dengan membatasi kepada tenaga kerja terdidik untuk

bekerja di luar negeri. Kerana dengan demikian pelaboran pada pendidikan yang

dilakukan oleh pemerintah akan menjadi tidak bererti apabila ramai tenaga-tenaga

profesional yang tidak mengembangkan pengetahuannya di negara sendiri (Todaro

2000).

Kebijakan dalaman sistem pendidikan, menurutnya tebahagi kepada empat

kebijakan. Pertama, anggaran pendidikan. Kebijakan ini menuntut secara politis

profesional diantara keperluan penganggaran pendidikan dengan keperluan untuk

pelaboran yang memberikan kesempatan kerja kepada para pencari kerja. Di samping

itu, kebijakan ini juga lebih diarahkan pada pengangaran yang lebih besar kepada

pendidikan dasar dan bukan sebaliknya kepada pendidikan tinggi. Dengan demikian,

memungkinkan semua anak memiliki kesempatan untuk menikmati pendidikan demi

mendapatkan pengalaman yang lebih sesuai dengan bidang-bidang pekerjaaan,

khasnya di kawasan pedesaan. Kedua, Subsidi. Kebijakan subsidi juga harus

dilakukan secara profesional yang harus disesuaikan dengan keperluan pembangunan.

Subsidi yang berlebihan kepada pendidikan tinggi sebaiknya segera di hentikan.

Subsidi seharusnya diarahkan kepada masyarakat miskin yang benar-benar

Page 20: Pembangunan Pendidikan Di Provinsi Riau2

23

memerlukan sehingga mengurangi beban biaya tinggi7 yang mereka hadapi. Ketiga,

Penyesuaian kurikulum sekolah dasar dengan keperluan-keperluan pembangunan

desa. Kebijakan ini mengarahkan kepada kurikulum yang bersesuaian dengan

keperluan masyarakat di pedesaan. Hal ini disebabkan oleh selama ini kurikulum

pendidikan formal lebih kepada mempersiapkan pelajar untuk melanjutkan

kependidikan formal yang lebih tinggi. Keempat, kuota (jatah). Kebijakan ini

menginginkan kesempatan diantara pelajar yang berasal dari keluarga kaya dan

pelajar dari keluarga miskin secara seimbang dapat ditampung dalam sistem

pendidikan.

7 Ada dua biaya yang muncul dalam permasalahan pendidikan. Pertama biaya sosial,adalah biaya oportunitas yang harus ditanggung oleh masyarakat untuk perluasanpendidikan tinggi yang mahal tentunya pemerintah akan membangun satu pendidikantinggi dari menghabiskan anggran pembangunan yang tidaklain bersumber dari pajak yangdiperoleh dari masyarakat. Kedua biaya pendidikan individu, iakitu biaya yang dekeluarkanatau dikorbankan oleh seorang pelajar dan keluarganya. Biaya individu inilah yangmembedakan diantara seorang kaya dengan miskin. Keluarga miskin menjadikan anaknyasebagai salah satu factor produksi, sehingga apabila anaknya kesekolah maka ada satufactor produksi yang hilang dan harus digantikan dengan tenaga yang lain tentu akanmenambah kos (misalnya menjaga dagangan kepasar, menggarap sawah, memeliharaternak dll). Sementara itu keluarga kaya tidak menjadikan anaknya sebagai factorproduksi, sehingga tidak ada biaya yang mereka keluarkan disaat anaknya pergikesekolah. Karena mereka tidak melibatkan anaknya dalam sumber ekonomi keluarga.Dengan itu biaya pendidikan untuk keluarga kaya dan miskin, meskipun telah disubsiditetap saja membebankan kepada keluarga miskin.

Page 21: Pembangunan Pendidikan Di Provinsi Riau2

24

RUJUKAN

Arif Budiman, Dr. 1995. Teori pembangunan dunia ketiga. Jakarta: PT GramediaUtama.

Badan Penelitian dan Pengembangan (BALITBANG) Riau. 2004. Pendataanpenduduk/keluarga miskin provinsi Riau 2004. Pekanbaru: Badan Penelitiandan Pengembangan Provinsi Riau.

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. (BKKBN) 1999

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tingkat I Propinsi Riau. 1998. PropinsiRiau dalam membangun. Pekanbaru : Pusat Informasi dan Publikasi KantorBAPPEDA Riau.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Riau. 2004

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). 2004.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Riau.2004. Draft revisi rencanastrategi provinsi Riau tahun 2004-2008.

Badan Pusat Statistik Provinsi Riau. 2003. Sensus Pertanian 2003.

Badan Promosi dan Investasi Provinsi Riau. 2005. Buku statatistik investasi Riau.

Bryant, C & Louise G.W. 1982. Manajemen pembangunan untuk negaraberkembang. Terjemahan Rusyanto L. Simatupang. Jakarta : LP3ES.

Budiman, Arief. 1996. Teori pembangunan dunia ketiga. Jakarta : Gramedia.

Cahamhuri Siwar, Abdul Hamid Jaafar & Ahmad Mad Zin. 1995. Industri desasemenanjung Malaysia. Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.

Friedmann, J. 1981. The active community in rural development : National Policiesand Experiences. Nagoya : Maruzen Asia.

Garna, Judistira K. 1992. Teori-teori perubahan sosial. Bandung : PascasarjanaUniversitas Padjadjaran.

Grace,A,J,Rumagit. 2002. Alternatif model pembangunan ekonomi Indonesiamenghadapi era globalisasi.http:/rudy.tripod.com/sem2_012/grace_rumagit.htm (17 Mei 2002)

Hanafiah, T. et. al. 1982. pendekatan wilayah terhadap masalah pembangunanperdesaan. Bogor : Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Hanafiah, MNA, ed .al. 2003. Fakta-fakta untuk membangun Riau 2003-2008.

Page 22: Pembangunan Pendidikan Di Provinsi Riau2

25

Hairi Abdullah.et.al. 1984. Kemiskinan dan Kehidupan golongan pendapatan rendah.Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.

Morris, D & Adelma. 1973. Measuring condition of the world’s poor : the physicalquality of life index. New York : Pergamon.

Ndraha, Taliziduhu . 1990. Pembangunan masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta.

Nor Aini Haji Idris & Chamhuri Siwar. 2003. Kemiskinan bandar dan sektortidakformal di Malaysia. Bangi: Penerbit Univesiti Kebangsaan Malaysia.

Riau. 2002. Bernama Riau Dalam Angka

Riau. 2003. Bernama Riau Dalam Angka In Figures.

Riau. 2003. Bernama Laporan Pertanggungjawaban Gubernur Riau.

Riau. 2004. Bernama Riau Dalam Angka In Figures.

Riau. 2005. Bernama statistik ekonomi-keuangan daerah. Pekanbaru: Bank IndonesiaPekanbaru.

Riau. Badan Pemberdayaan dan Perlindungan Masyarakat (BPPM). 2004.Pemberdayaan Desa Untuk Penanggulangan Kemiskinan di Riau.

Rizal Akbar . 2007. Bangkit dari keterblakangan. Pekanbaru: LPNU Press.

Rusli, Sumardjo & Yusman Syankat 1996. Pembangunan dan fenomena kemiskinankasus profil propinsi Riau. Jakarta : Grasindo.

Sajogyo. 2002. Pertanian dan Kemiskinan. (atas talian).http/www.ekonomirakyat.org/edisi_1/artikel_5.htm (1 Maret 2002).

Tengku Dahril. 2004. Pemerintah laksankan empat konsep pembangunan pendidikandi Riau. Buletin WWW.BANGRUSLI.NET. Edisi 2/XI/2004.

Terry, G.R. 1975. Principles of management. Georgetown, Ontario : Irwin-DorseyLimited.

Tjokroamidjojo, Bintoro & Mustopadidjaja, AR.. 1993. Kebijaksanaan danadministrasi pembangunan. Jakarta : LP3ES.