Upload
nguyendat
View
231
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Permasalahan
1.1. Latar Belakang
Fakta-fakta sosial yang belakangan ini terjadi dalam kehidupan bermasyarakat
adalah permasalahan yang terkait anak, dimana dalam kehidupan sosial yang sangat
dipengaruhi oleh berbagai faktor tersebut kita dihadapkan lagi dengan permasalahan
penanganan anak yang diduga melakukan tindak pidana. Anak adalah merupakan
tumpuan harapan masa depan bangsa, Negara, masyarakat, ataupun keluarga, oleh
karena kondisinya sebagai anak, maka diperlukan perlakuan khusus agar dapat
tumbuh dan berkembang secara wajar baik fisik mental dan rohaninya.1 Bertolak dari
hal tersebut, pada hakekatnya pengaturan mengenai anak telah diatur secara tegas
dalam konstitusi Indonesia yaitu berkaitan dengan pengaturan Hak Asasi Manusia
yang diatur dalam Pasal 28B angka 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur
mengenai hak tumbuh kembang anak serta mendapatkan perlindungan.
Peraturan perundang-undangan lain yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia
untuk memberikan perlindungan hak terhadap anak antara lain : Undang-undang No.4
Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
1 Darwan Prinst 1997, Hukum Anak Indonesia (Selanjutnya disebut dengan Darwan Prinst I),
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 98
2
Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dimana secara
substansinya Undang-Undang tersebut mengatur hak-hak anak yang berupa, hak hidup,
hak atas nama, hak pendidikan, hak kesehatan dasar, hak untuk beribadah menurut
agamanya, hak berekspresi, berpikir, bermain, berkreasi, beristirahat, bergaul dan hak
jaminan sosial.
Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya
manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa di masa
yang akan datang, yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat
khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara seimbang.2 Masa
kanak-kanak merupakan periode penaburan benih, pendirian tiang pancang,
pembuatan pondasi, yang dapat disebut juga sebagai periode pembentukan watak,
kepribadian dan karakter diri seorang manusia, agar mereka kelak memiliki kekuatan
dan kemampuan serta berdiri tegar dalam meniti kehidupan3.
Tindak pidana yang dilakukan anak selalu menuai kritikan terhadap para
penegak hukum yang oleh banyak kalangan dinilai tidak mengindahkan tata cara
penanganan terhadap anak yang bermasalah dengan hukum, dan ada kesan kerap kali
2 Lushiana Primasari, Keadilan Restoratif Dan Pemenuhan Hak Asasi Bagi Anak Yang
Berhadapan Dengan Hukum, Serial Online September 16, 2009, availaible from : URL: http:
Keadilan-Restoratif-Dan-Pemenuhan-Hak-Asasi-Bagi-Anak-Yang-Berhadapan-Dengan-Hukum.com,
hal. 1
3 Maidin Gultom, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hal. 1.
3
mereka diperlakukan sebagai orang dewasa dalam “bentuk kecil” yang melakukan
tindak pidana.
Menurut Romli Atmasasmita dan Wagiati Soetodjo, motivasi intrinsik dan
ekstrinsik dari kenakalan anak :
1. Yang termasuk motivasi intrinsik dari pada kenakalan anak-anak adalah :
a. Faktor intelegentia
b. Faktor usia
c. Faktor kelamin
d. Faktor kedudukan anak dalam keluarga.
2. Yang termasuk motivasi ekstrinsik adalah :
a. Faktor rumah tangga
b. Faktor pendidikan dan sekolah
c. Faktor pergaulan anak
d. Faktor mass media.4
Berbagai faktor tersebut memungkinkan bagi anak untuk melakukan
kenakalan dan kegiatan kriminal yang dapat membuat mereka terpaksa berhadapan
dengan hukum dan sistem peradilan pidana.
Pertengahan Juni 2009, secara serentak beberapa stasiun televisi swasta
nasional menayangkan dua kasus kriminalitas dengan pelaku anak-anak. Usia mereka
12 tahun–15 tahun dari latar belakang keluarga sederhana. Satu kasus pencurian
terjadi di wilayah Depok dan yang lain adalah kasus perjudian di wilayah Tangerang.
Anak-anak tersebut sangat tertekan di dalam tahanan, mereka menangis minta segera
pulang dan ada pula yang hanya menundukkan kepala dengan lesu. Beberapa diantara
mereka ada yang mengalami kekerasan selama penyidikan.
4 Soetodjo, Wagiati, 2006, Hukum Pidana Anak, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 17
4
Kasus Tangerang dan Depok merupakan gambaran kondisi anak-anak yang
berhadapan dengan hukum di Indonesia. Berdasarkan hasil beberapa kali pengamatan
di Pengadilan Negeri Solo terdapat beberapa anak yang dihadapkan ke persidangan.
Salah satunya anak berinisial BT berumur 15 tahun karena mencuri sandal atau juga
DSW yang berumur 14 tahun yang disidang karena melakukan pemerasan terhadap
teman sekolahnya. Kasus-kasus tersebut keduanya harus mengenyam udara di Rumah
Tahanan (Rutan) Solo beberapa bulan.5
Salah satu daerah yang berkembang di Indonesia adalah daerah Bali, dimana
Bali sebagai salah satu wilayah Indonesia yang merupakan salah satu daerah
pariwisata dan memiliki jumlah penduduk yang cukup padat serta keadaan sosialnya
yang berkembang pesat baik dari keadaan penduduknya baik secara kuantitas ataupun
kualitas sumber daya manusianya, dimana dalam hal ini daerah Bali saat ini terdapat
beberapa kasus yang terkait dengan anak seperti dari data yang diperoleh dari
Lembaga Perlindungan Anak Provinsi Bali Tahun 2010 yaitu :
1) Kabupaten Buleleng : terdapat pelaku tindak pidana yang dilakukan
oleh anak sejumlah 30 orang, dimana diantaranya melakukan tindak
pidana pelecehan seksual sebanyak 15 orang, tindak pidana pencurian
sebanyak 8 orang dan tindak pidana lainnya sebanyak 7 orang.
2) Kota Denpasar : terdapat pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh
anak sejumlah 13 orang, dimana diantaranya melakukan tindak pidana
5 Dian Sasmita, Anak-anak Dibalik Terali Besi, Serial Online Maret 22, 2011, availaible from
: URL: http: Anak-anak-Dibalik-Terali.com, hal. 1
5
pelecehan seksual sebanyak 4 orang, tindak pidana pencurian
sebanyak 9 orang.
3) Kabupaten karangasem : terdapat pelaku tindak pidana yang dilakukan
oleh anak sejumlah 1 orang, dimana diantaranya adalah melakukan
tindak pidana pencurian.
4) Kabupaten Jembrana : terdapat pelaku tindak pidana yang dilakukan
oleh anak sejumlah 6 orang, dimana diantaranya melakukan tindak
pidana pelecehan seksual sebanyak 1 orang, tindak pidana pencurian
sebanyak 5 orang.
5) Kabupaten klungkung : terdapat pelaku tindak pidana yang dilakukan
oleh anak sejumlah 2 orang, dimana diantaranya melakukan tindak
pidana pelecehan seksual sebanyak 2 orang.
6) Kabupaten : terdapat pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh anak
sejumlah 1 orang, dimana anak tersebut melakukan tindak pidana
pencurian.6
Berdasarkan dengan data penunjang diatas diketahui bahwa banyak kuantitas
anak yang bermasalah dengan hukum yang harus menjalani proses peradilan pidana.
Di usianya yang masih sangat muda, mereka harus mengalami proses hukum atas
perkara pidana yang demikian panjang dan melelahkan, mulai dari tahap penyidikan
oleh polisi, penuntutan oleh jaksa, persidangan oleh hakim dan pelaksanaan putusan
6 Sumber : Lembaga Perlindungan Anak Prov.Bali
6
hakim. Sejak tahap penyidikan, aparat hukum telah diberi kewenangan oleh UU
untuk melakukan penahanan. Situasi dalam tahanan memberikan beban mental
berlipat bagi si anak, ditambah lagi tekanan psikologis yang harus dihadapi mereka
yang duduk dalam persidangan sebagai pesakitan. Proses penghukuman yang
diberikan kepada anak lewat sistem peradilan pidana formal dengan memasukkan
anak ke dalam penjara ternyata tidak berhasil menjadikan anak jera dan menjadi
pribadi yang lebih baik untuk menunjang proses tumbuh-kembangnya. Penjara justru
seringkali membuat anak semakin profesional dalam melakukan tindak kejahatan.7
Anak yang berhadapan dengan hukum akan sangat terkait dengan aturan
hukum yang mengaturnya, dimana pada awalnya aturan yang berlaku di Indonesia
saat ini tidak dapat terlepas dari instrumen internasional (Konvensi Internasional)
yaitu terkait dengan pemenuhan hak-hak anak sendiri.Konvensi Hak-hak Anak yang
disahkan pada tanggal 20 November 1989 dan tercantum dalam Resolusi PBB
No.44/25 (Convention On The Rights Of The Child) yang oleh Pemerintah Republik
Indonesia disahkan dengan Surat Keputusan Presiden No.36 Tahun 1990 tersebut
memiliki makna yang sangat besar dalam konteks perlindungan anak termasuk pula
terhadap anak yang bermasalah dengan hukum. Setelah dilakukannya ratifikasi atas
Konvensi Hak-Hak Anak oleh Pemerintah Indonesia dengan mengeluarkan Keppres
Nomor 36 Tahun 1990, maka secara hukum menimbulkan kewajiban kepada
Indonesia (negara peserta) untuk mengimplementasikan hak-hak anak tersebut
7 M. Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, 1995, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam
Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999, hal. 1, dikutip dari UNICEF,
Situasi Anak di Dunia 1995, Jakarta, hal. 1.
7
dengan menyerapnya ke dalam hukum nasional, dimana dalam hal ini tertuang dalam
Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-undang
No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dijelaskan
secara umum bahwa suatu upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini
mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan
belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh,
dan komprehensif termasuk pula terkait dengan anak yang berhadapan dengan hukum
sebagai akibat anak yang bermasalah dengan hukum, undang-undang ini meletakkan
kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai
berikut :
a. nondiskriminasi;
b. kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. penghargaan terhadap pendapat anak.
Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dapat dikemukakan
merupakan perwujudan atau penampungan dari kaidah hukum Konvensi Hak Anak
mengnai peradilan khusus untuk anak-anak yang bermasalah dengan hukum (children
in conflict with law).8 Konvensi Hak Anak, ada 3 instrumen internasional yang
8 M. Joni & Zulchaina, 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi
Hak Anak, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.74
8
dianggap penting tentang perlindungan anak yang bermasalah dalam hukum yaitu :
1. The United Nation Guidelines For The Prevention of Juvinile Deliquency
(The Riyadh Guidelines)
2. The United Nation Standard Minimum Rules For The Administration Of
Juvinile Justice (The Beijing Rules)
3. The United Nation Rules For The Protection Of Juvinile Dep Rived For
Liberty
Keseluruhan instrumen internasional tersebut tidak lepas dari tujuan utama dan
pemikiran dari peradilan anak untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.9
Menurut yuridis perhatian pemerintah terhadap anak juga sudah terwujud
sejak lama dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak sampai dengan keluarnya Undang-Undang RI No. 3 Tahun 1997
tentan Pengadilan Anak dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Undang-undang ini diatur tentang hukum pidana anak yang
secara umum diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Undang-
undang ini mengatur pula tentang perlindungan hak-hak anak yang menjadi tersangka
dalam tindak pidana karena peradilan pidana untuk anak bukanlah semata sebagai
penghukum tetapi untuk perbaikan kondisi, pemeliharaan dan perlindungan anak
serta mencegah pengulangan tindakan dengan menggunakan pengadilan yang
konstruktif. Negara-negara di dunia mencari alternatif tentang penyelesaian terbaik
9 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Penerbit Alumni
Bandung, hal.111
9
mengenai cara penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum yaitu
sebagai pelaku tindak pidana, selain itu diupayakan pula adanya suatu pengaturan
Internasional yang mengatur pelaksanaan peradilan anak serta menjadi standar
perlakukan terhadap anak yang berada dalam sistem peradilan pidana seperti
diantaranya adalah The Beijing Rules yang biasa digunakan sebagai standar minimum
PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengenai administrasi peradilan anak.
Hak-hak anak didalam penyidikan wajar mendapat perhatian khusus demi
peningkatan pembinaan dan mengembangkannya serta kesejahteran anak. Di dalam
Undang-Undang No.3 Tahun 1997 dengan jelas telah mengatur tentang penyidikan
terhadap anak yang belum secara khusus diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana namun ada dugaan bahwa di lapangan jalanya proses penyidikan
terhadap tersangka anak masih jauh dari harapan, dimana penyidik seringkali
mengabaikan aturan yang ada dalam undang-undang atau dengan kata lain dalam
penyidikan tersangka anak masih jauh dari yang diharapkan dalam aturan Undang-
Undang No. 3 Tahun 1997, misalnya di dalam pelaksanaan Pasal 42 ayat 2 yang
bunyinya :
”Dalam melakukan penyidikan terhadap anak nakal, penyidik wajib meminta
pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan dan apabila perlu
juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli
kesehatan jiwa, ahli agama atau pertugas kemasyarakatan lainnya”.
Beberapa tanggapan yang mengatakan banyak penyidik yang tidak
memberikan perhatian secara khusus terhadap tersangka anak dalam peristiwa-
peristiwa itu menunjukkan hukum masih belum berpihak pada anak-anak padahal
10
sebagai subyek hukum anak-anak mestinya mendapatkan perlakuan dan perlindungan
yang sama dengan orang dewasa bahkan seharusnya anak-anak juga berhak
mendapatkan bantuan penasehat hukum/pengacara. Sejak jaman dulu dalam praktik
penyidikan terhadap anak-anak juga sering menjadi korban penekanan dan perlakuan
kekerasan agar anak memberikan pengakuan sesuai yang dikehendaki para penyidik,
anak-anak seringkali tidak mendapatkan perlindungan hukum karena terampas oleh
praktik-praktik kekerasan yang dilakukan oleh penyidik.
Proses penanganan dimana dalam hal ini terkait dengan menangani
permasalahan anak yang bermasalah dengan hukum terdapat permasalahan penegak
hukum tidak sertamerta menyalahkan dan memberi cap atau stigma negatif pada anak
yang melakukan pelaku pidana. Indonesia telah memiliki peraturan-peraturan
mengenai prosedur penuntutan dalam peradilan anak.
Polisi dalam suatu sistem peradilan pidana adalah awal dari proses tersebut di
banyak Negara. Polisi mempunyai suatu otoritas legal yang disebut sebagai diskresi,
dimana dengan otoritas tersebut polisi berhak meneruskan atau tidak meneruskan
suatu perkara. Kemungkinan polisi melakukan atau menggunakan otoritas diskresi ini
sangat besar. Beberapa negara melalui otoritas diskresi, setelah melalui pemeriksaan
awal Polisi dapat menentukan bentuk pengalihan (diversi) terhadap suatu perkara
anak. Diskresi adalah kewenangan yang dimiliki polisi untuk menghentikan
penyidikan perkara dengan membebaskan tersangka anak, ataupun melakukan
pengalihan (diversi) dengan tujuan agar anak terhindar dari proses hukum lebih
lanjut. Diversi dapat dikatakan sebagai pengalihan tanpa syarat kasus-kasus anak
11
(yang diduga melakukan tindak pidana) dari proses formal. Program ini bertujuan
menghindari anak mengikuti proses peradilan yang dapat menimbulkan label/cap/
stigma sebagai penjahat, namun hal ini belum diatur secara tegas dalam suatu aturan
atau norma terkait dengan penanganan anak yang bermasalah dengan hukum
sehingga hal ini akan terkait kental dengan kapasitas dan kompetensi dari penyidik
dan penuntut umum dalam penanganan anak yang bermasalah dengan hukum.
Bertitik tolak dari pemaparan diatas, maka diperlukan adanya suatu
pemahaman baru yang dapat menjadi jalan keluar bagi masalah delinkuensi anak
Indonesia, dimana seharusnya aparat penegak hukum lebih bijak dalam memahami
dan memaknai kasus-kasus anak nakal, tidak semua tindak pidana menurut ketentuan
perundang-undangan (KUHP) serta aturan yang khusus mengkaji mengenai kejahatan
yang dilakukan oleh anak bisa serta merta diterapkan kepada seorang anak sesuai
dengan instrumen internasional yang tetap harus dipegang untuk implementasinya
disesuaikan dengan keadaan di Indonesia.
Keadaan yang terjadi saat ini telah berkembang seiring dengan konsep berpikir
manusia yang berkembang sehingga apabila seorang anak melakukan tindak pidana
dalam hal proses yang diberlakukan terhadap seorang anak hendaknya lebih
menekankan sarana non-penal yang dapat diambil namun haruslah tetap berorientasi
dengan koridor hukum yang berlaku sehingga sarana non-penal dapat diterapkan pada
kasus-kasus tertentu dengan syarat tertentu pula serta adanya peningkatan sumber
daya manusia dari aparatur penegak hukum sehingga proses penangan anak yang
bermasalah dengan hukum sesuai dengan instrumen internasional dan hukum positif
12
di Indonesia demi masa depan anak yang lebih baik. Bertolak dari pemaparan tersebut
diperlukan adanya suatu perumusan kebijakan khususnya dalam hukum pidana anak
untuk menangani anak yang bermasalah dengan hukum di Indonesia.
Dasar pemikiran dari penyusunan tesis ini adalah Undang-Undang No 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak hanya mengatur tata cara penanganan anak
yang berhadapan dengan hukum yang notebene didalam penegakan hukumnya
(proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum) masih terdapat norma
yang kabur (multitafsir) dalam penanganan kejahatan anak belum jelas diatur
mengenai dasar legalitas yang dipakai penyidik untuk melakukan tindakan lain
seperti mengembalikan anak kepada orang tua atau wali ataupun menyerahkan anak
kepada Departemen sosial terhadap anak yang bermasalah dengan hukum yaitu dalam
Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak seperti :
Pasal 5
(2) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau
orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua,
wali, atau orang tua asuhnya.
(3) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali,
atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen
Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan.
Pasal diatas diatur dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997 khususnya
tentang legalitas apa yang dipakai penyidik untuk melakukan tindakan lain seperti
mengembalikan anak kepada orang tua atau wali ataupun menyerahkan anak kepada
Departemen sosial terhadap anak yang bermasalah dengan hukum yang dalam
13
normanya belum dijelaskan secara tegas dan eksplisit sehingga menimbulkan keadaan
suatu norma yang bersifat kabur (Leemten van Normen) . Penelitian tesis ini juga
mengedepankan mengenai belum terdapat pengaturan yang kongkrit dan jelas
(Norma Kosong) terkait dengan belum diaturnya norma khusus atau dituangkannya
dalam satu Pasal khusus tentang diversi secara kongkrit dan jelas didalam aturan
posistif di Indonesia khususnya dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan anak sehingga sesuai dengan Instrumen Internasional sehingga sangat
diperlukan pembentukan hukum pada masa mendatang, oleh sebab itu pemerintah
perlu menciptakan peraturan–peraturan yang akurat untuk mengantisipasi masalah
tersebut melalui pembaruan dari hukum pidana yang telah ada saat ini.
Bertitik tolak bahwa pembaruan hukum pidana pada hakikatnya berorientasi
pada kebijakan (”policy-oriented”) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada
nilai (”value-oriented approach”). Pembaruan hukum pidana harus dilakukan
dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan
bagian dari suatu langkah kebijakan atau ”policy” yaitu bagian dari politik
hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis berdasarkan pemaparan diatas
memili keinginan untuk menulis tesis dengan judul ” PEMBARUAN HUKUM
PIDANA DALAM PROSES PENANGANAN ANAK YANG BERMASALAH
DENGAN HUKUM (DIKAJI DARI PERSPEKTIF PERADILAN PIDANA)”
14
1.2. Rumusan Masalah.
Berdasarkan pada uraian dalam latar belakang tersebut di atas, maka masalah
yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum dalam
peradilan pidana ?
2. Bagaimanakah pembaruan hukum pidana dalam proses penanganan anak yang
bermasalah dengan hukum di Indonesia dikaji dari perspektif Ius
Constituendum ?
1.3. Ruang lingkup masalah
Bertitik tolak dari rumusan masalah diatas maka dalam rangka untuk
mendapatkan hasil pembahasan sedemikian sistematis, metodelogis serta tidak keluar
dari permasalahan yang dikemukakan maka perlu adanya pembahasan-pembahasan
yang dibatasi dengan ruang lingkup tertentu yang terurai dalam bab per bab yaitu:
pembahasan permasalahan pertama dan pembahasan permasalahan kedua.
Ruang lingkup dalam pembahasan pertama akan dibahas tentang proses
penanganan anak yang bermasalah dengan hukum dalam peradilan pidana, kemudian
akan dibahas mengenai pembahasan selanjutnya yaitu berkaitan dengan pembaruan
hukum pidana dalam proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum di
Indonesia dikaji dari perspektif Ius Constituendum.
15
1.4. Tujuan Penulisan
Suatu penulisan yang bersifat ilmiah biasanya mempunyai suatu tujuan
tertentu, demikian pula dalam penulisan tesis ini juga mempunyai tujuan, yaitu :
1.4.1 Tujuan umum
Penelitian ini bertujuan untuk pengembangan Ilmu Hukum terkait dengan
paradigma science as a prosses ( ilmu sebagai proses ). Dengan paradigma ini ilmu
tidak akan pernah mandeg (final) dalam penggaliannya atas kebenaran.10
Adapun
tujuan umum penulisan tesis ini adalah pengembangan konsep, asas, doktrin, dan
teori hukum pidana khususnya dalam pembaruan hukum pidana dalam proses
penanganan bermasalah dengan hukum di Indonesia dikaji dari perspektif Ius
Constituendum.
1.4.2. Tujuan khusus
Adapun tujuan khusus penulisan tesis ini adalah :
1. Untuk mendeskripsi dan menganalisis secara mendalam mengenai proses
penanganan anak yang bermasalah dengan hukum dalam peradilan pidana
2. Untuk mendeskripsi dan menganalisis secara mendalam mengenai pembaruan
hukum pidana dalam proses penanganan anak yang bermasalah dengan
hukum di Indonesia dikaji dari perspektif Ius Constituendum.
10
Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Unud; 2008, Pedoman Penulisan
Usulan Penelitian dan Penulisan Tesis Ilmu Hukum Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca
Sarjana UNUD , hal. 25
16
1.5. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya penulisan tesis ini dapat
dibagi menjadi dua, yaitu :
1.5.1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
teoritik dalam pengembangan teori, konsep, asas hukum pidana khususnya bidang
hukum anak khususnya bagi anak yang bermasalah dengan hukum sesuai dengan
hukum positif yang berlaku di Indonesia.
1.5.2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini yaitu untuk menambah pengetahuan
mengenai sitem peradilan pidana khususnya proses penanganan anak yang
bermasalah dengan hukum dalam peradilan pidana serta merumuskan pembaruan
hukum pidana dalam proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum di
Indonesia dikaji dari perspektif Ius Constituendum.
1.6. Orisinalitas Penelitian
Kebijakan pembaruan hukum pidana dalam proses penanganan anak yang
bermasalah dengan hukum memang kajian yang menarik untuk dibahas dalam dunia
akademis, dimana dalam kajian ini bukan hanya membahas mengenai proses pidana
anak yang ditinjau dari perspektif sistem peradilan pidana di Indonesia tetapi
17
membahas pula kebijakan apa yang patut untuk diterapkan dalam proses penanganan
anak yang bermasalah dengan hukum.
Kebanyakan dalam dunia akademis apabila anak melakukan tindak pidana
maka sarana penallah yang mutlak diberlakukan seperti yang telah diterangkan dalam
beberapa tulisan antara lain :
Pertama, penulis menemukan penelitian untuk tesis di Universitas Udayana
atas nama Gusti Ayu Kade Komalasari dengan judul ”Sistem Pemidanaan Terhadap
Anak Menurut Hukum Positif Indonesia” dimana rumusan masalahnya meliputi : 1.
bagaimanakah sistem pemidanaan terhadap anak dalam hukum positif di Indonesia
(Ius Constitutum)? , 2. apakah sistem pemidanaan terhadap anak dalam hukum positif
di Indonesia telah sesuai dengan Konvensi Internasional? , 3. bagaimanakah
sebaiknya sistem pemidanaan terhadap anak dalam hukum Indonesia dimasa
mendatang (ius constituendum)?. Penelitian Tesis ini pada dasarnya berorientasi pada
”pemidanaan terhadap anak” dengan rumusan masalah yang mengkaji pemidanaan
semata terhadap anak sehingga dari rumusan masalahnya adalah mengkaji mengenai
aturan positif di Indonesia serta Konvensi Internasional, dengan hal tersebut
penelitian ini mencoba untuk menentukan bagaimana sebaiknya sistem pemidanaan
terhadap anak dimasa akan datang sesuai dengan hukum yang dicita-citakan, dimana
pemidanaan adalah muara terakhir dari suatu adanya pertanggungjawaban pidana dan
pemidanaan adalah suatu proses penjatuhan pidana terhadap seseorang (terhadap
tindak pidana anak, pemidaaan dijatuhkan setelah adanya putusan pengadilan).
18
Kedua, penulis menemukan penelitian tesis di Universitas Udayana atas nama
I Wayan Yasa Abadhi dengan judul ”Kebijakan Legislatif Tentang Pidana Dan
Pemindanaan Dalam Undang –Undang No. 3 Tahun 1997” dimana rumusan masalah
meliputi : 1. bagaimanakah perlindungan hukum terhadap hak anak dalam proses
peradilan pidana? , 2. bagaimanakah kebijakan tentang pidana dan pemidanaan dalam
Undang-undang No. 3 Tahun 1997?. Penelitian Tesis ini pada dasarnya berorientasi
pada ”pemidanaan terhadap anak” dengan rumusan masalah yang mengkaji
pemidanaan semata terhadap anak serta memaparkan kebijakan tentang pidana dan
pemidanaan yang tertuang dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak sehingga dalam penelitian ini memaparkan bahwa anak yang
bermasalah dengan hukum adalah objek dari hukum yang wajib untuk dipidana
apabila telah secara hukum memenuhi unsur-unsur dari kejahatan yang disangkakan
kepada anak tersebut.
Ketiga, penulis menemukan penelitian tesis di Universitas Diponegoro atas
nama Novie Amalia Nugraheni dengan judul ”Sistem Pemindanaan Edukatif
Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana” dimana rumusan masalah meliputi :
1. Bagaimanakah Sistem pemidanaan edukatif terhadap anak sebagai pelaku tindak
pidana di Indonesia saat ini ?, 2. Bagaimanakah Sistem pemidanaan edukatif ke
depan yang tepat bagi anak sebagai pelaku tindak pidana ?. Penelitian Tesis ini pada
dasarnya berorientasi pada pemidanaan terhadap anak yang bersifat lebih edukatif
dengan rumusan masalah yang mengkaji pemidanaan semata terhadap anak yang
bermasalah dengan hukum, namun dalam penelitian ini lebih mengkai bagaimanakah
19
pemidanaan yang seharusnya diterapkan kepada anak sehingga pemidanaan tersebut
lebih bersifat edukatif terhadap perkembangan anak tersebut.
Bertolak dari beberapa penelitian tesis diatas apabila dibandingkan dengan
penelitian penulis disini tidak mengkaji mengenai pidana dan pemidanaan terhadap
anak melainkan bagimana agar seorang anak sedapat mungkin untuk tidak dipidana
dan meskipun dipidana maka merupakan sebuah Ultimum Remidium terhadap
seorang anak sehingga penggunaan pemidanaan hendaknya seminimal mungkin dan
sehati-hati mungkin untuk diberlakukan sehingga dalam hal ini sarana non-penal
diharapkan dapat diterapkan dalam proses penanganan anak yang bermasalah dengan
hukum khususnya dalam proses penyidikan di kepolisian, dimana dalam hal ini
penulis juga mengkaji mengenai ketidaksesuain antara hukum positif Indonesia
dengan Instrumen Internasional tentang Anak (The Beijing Rules) khususnya
mengenai hal tidak diserap dan diadopsi masalah tentang norma yang mengatur
diversi bagi anak yang bermasalah dengan hukum.
Penelitian terdahulu, penekanan terhadap penelitian ini belum pernah
mendapat kajian oleh karena itu penelitian penulis lakukan dapat dikemukakan
karena masih bersifat orisinil dan layak untuk dijadikan sebagai objek penulisan
dalam bentuk tesis.
2. Landasan Teoritis Dan Kerangka Berpikir
2.1. Landasan Teoritis
20
Definisi tentang teori diberikan oleh Snellbecker yang mengartikan teori
sebagai perangkat proposisi yang terintegrasi secara simbolis dan berfungsi sebagai
wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati, sedangkan
Kerlinger mendefinisikan teori sebagai :
“A theory is a set of interrelated connstructs (concepts), definitions, and propositions
that present a systematic view of phenomena by specifying relations among variables,
with the purpose of explaining and predicting the phenomena (Sebuah teori adalah
satu set saling terikat (konsep), definisi, dan proposisi yang menyajikan pandangan
sistematis dari fenomena dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan tujuan
menjelaskan dan memprediksi fenomena)”.11
Sebuah Undang-undang dapat dikaji dari aspek normatif maupun aspek
Empiris, secara garis besar ilmu hukum dapat dikaji melalui studi law in books dan
study law in action. 12
Bertolak dari hal tersebut, untuk mengkaji suatu permasalahan hukum secara
lebih mendalam, diperlukan teori yang berupa serangkaian asumsi, konsep, definisi
dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan
cara merumuskan hubungan antar konsep .13
11
Nasution Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung ,
hal. 140
12
Amiruddin dan Zaenal Asikin, 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum ,PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal.196
13
Burhan Ashshofa, 2004, Metoda Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal.19
21
Sebelum seorang peneliti sampai pada usaha penemuan hukum in concreto
atau sampai pada usaha menemukan asas dan doktrinnya, atau sampai pula pada
usaha menemukan teori-teori tentang law in proses dan law in action, maka mereka
harus mengetahui terlebih dahulu apa saja yang termasuk hukum positif yang tengah
berlaku. 14
Suatu teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua fakta atau lebih,
atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan suatu
yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris, oleh sebab itu
dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua
variabel atau lebih yang telah diuji kebenarannya.15
Menurut Pasal 1 huruf 2 Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, terdapat dua kategori perilaku anak yang dapat membuat seorang
anak berhadapan dengan hukum yakni status offences dan criminal offences. Status
offences adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa tidak
termasuk kejahatan atau anak yang melakukan perbuatan terlarang bagi seorang anak.
Misalnya, tidak menurut, membolos sekolah, kabur dari rumah, sedangkan criminal
offences adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa
termasuk kategori kejahatan atau anak yang bermasalah dengan hukum.16
14 Bambang Sunggono, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada ,
Jakarta, hal. 81
15
Soerjono Soekanto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
(selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I), hal.30
16
Ibid, hal.2
22
Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang telah mencapai usia
12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum
menikah yaitu :
1) Yang diduga, disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana karena melakukan
tindak pidana;
2) Yang menjadi korban tindak pidana atau yang melihat dan/atau mendengar
sendiri terjadinya suatu tindak pidana17
Anak yang berhadapan dengan hukum dapat juga dikatakan sebagai anak yang
terpaksa berkontak dengan sistem pengadilan pidana karena:
1) Disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum;
atau
2) Telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan
orang/kelompok orang/lembaga/negara terhadapnya; atau
3) Telah melihat, mendengar, merasakan, atau mengetahui suatu peristiwa
pelanggaran hukum.18
Dilihat ruang lingkupnya maka anak yang berhadapan dengan hukum dapat dibagi
menjadi :
17 Ketentuan dalam Kesepakatan Bersama antara Departemen Sosial Republik Indonesia,
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional
Republik Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Departemen Agama Republik
Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial
Anak yang Berhadapan dengan Hukum Tanggal 15 Desember 2009. Pasal 1 Butir 3
18
Apong Herlina, 2004, Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum,
Buku Saku untuk Polisi, Unicef, Jakarta, hal. 17
23
1) Pelaku atau tersangka tindak pidana;
2) Korban tindak pidana;
3) Saksi suatu tindak pidana.19
Penulisan tesis ini akan mengkaji mengenai teori-teori yang relevan dengan
permasalahan yang akan dibahas disini terutama hal-hal yang terkait dengan tindak
pidana yang dilakukan oleh anak dibawah umur dengan melihat hal tersebut untuk
menentukan kebijakan pidana yang akan diterapkan dimasa yang akan datang.
Berdasarkan konsep umum tersebut untuk mengkajinya penulis menggunakan
beberapa teori yang dapat digunakan untuk mengkajinya yaitu :
1. Politik kriminal (Criminal Politiek )
Politik kriminal dalam hal ini merupakan kebijakan-kebijakan atau usaha yang
rasional untuk menanggulangi kejahatan, dimana dalam hal ini merupakan bagian
dari politik penegakan hukum dalam arti luas (law enforcement policy),
Semuanya merupakan bagian dari politik sosial (social policy) yaitu usaha dari
masyarakat atau negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya.
Sudarto mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal yaitu :
a) Dalam arti sempit yaitu keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari
reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana
19 Ibid
24
b) Dalam arti luas yaitu merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak
hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi.
c) Dalam arti paling luas, yaitu merupakan keseluruhan kebijakan, yang
dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang
bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.20
2. Kebijakan hukum pidana (Penal Policy).
Penal Policy dikatakan sebagai suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan
untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik.
Objek dari hukum pidana bukan hanya meliputi perbuatan dari suatu masyarakat
dalam konteks secara umum tetapi hukum pidana juga memeliki sasaran kepada
para penguasa. Menurut Peters, pernah menyatakan pembatasan dan pengawasan/
pengendalian kekuasaan negara merupakan dimensi yuridis yang sesungguhnya
dari hukum pidana; tugas yuridis dari hukum pidana bukanlah ’’mengatur
masyarakat’’ , tetapi "mengatur penguasa" yaitu :"the limitation of, and control
over, the powers of the State constitute the real yuridical dimension of criminal
law :The Juridical task of criminal law is not policing society but policing the
police"( pembatasan, dan kontrol atas, kekuasaan Negara merupakan dimensi
20
Sudarto. 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni Bandung, (selanjutnya disingkat Sudarto II),
hal. 114
25
yuridical nyata dari hukum pidana: Tugas Yuridis hukum pidana tidak kebijakan
masyarakat tetapi kepolisian polisi).21
Kebijakan penegakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang
terdiri dari tiga tahap kebijakan yaitu :
a. Tahap kebijakan legislatif (formulatif) yaitu menetapkan atau
merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang
dapat dikenakan oleh badan pembuat undang-undang.
b. Tahap kebijakan yudikatif/ aplikatif yaitu menerapkan hukum pidana oleh
aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
c. Tahap kebijakan eksekutif/administratif yaitu melaksanakan hukum
pidana secara konkrit, oleh aparat pelaksana pidana.22
Pada tahap kebijakan legislatif merupakan muara dari kebijakan hukum
pidana itu sendiri dimana dalam hal ini akan berorientasi kepada pelaksanaan
hukum pidana itu sendiri dimana dalam hal ini akan sangat terkait dengan
ditetapkan sistem pemidanaan, maka pada hakekatnya sistem pemidanaan itu
merupakan sistem kewenangan/ kekuasaan menjatuhkan pidana. Pidana tidak
hanya dapat dilihat dalam arti sempit/ formal, tetapi juga dapat dilihat dalam arti
luas/ material.
21
G.P. Hoefnagels, 1973, The Other Side of Criminology, KIuwer-Deventer, Holland, Hal.
139.
22
Barda Nawawi Arief, 1998 Beberapa Aspek Kebiiakan Penegakan dan Penqembanqan
Hukum Pidana (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief I)PL Citra Aditya Bakti Bandung, , hal.30
26
Bertolak dari hal tersebut dalam konteks arti sempit atau formal,
penjatuhan pidana ini berarti kewenangan untuk menjatuhkan sanksi pidana
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dilakukan oleh
pejabat yang berwenang, sedangkan dalam arti luas atau material, penjatuhan
pidana merupakan mata rantai proses tindakan hukum dari pejabat yang
berwenang, mulai dari proses penyidikan, penuntutan, sampai pada putusan
pidana dijatuhkan oleh pengadilan dan dilaksanakan oleh aparat pelaksana pidana,
jadi dalam hal ini merupakan keseluruhan proses dari sistem peradilan pidana itu
sendiri, hal ini merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang
integral, dimana keseluruhan proses penegakan hukum itupun harus terwujud
dalam satu kesatuan kebijakan legislatif yang integral.
Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya
merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence)
dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat. Perumusan tujuan politik kriminal
yang demikian itu pernah pula dinyatakan dalam salah satu laporan Kursus
Latihan ke -34 yang diselenggarakan oleh UNAFEI di Tokyo tahun 1973 sebagai
berikut:
Most of group members agreed some dicussion that "protection of the
society" could be accepted as the final goal of criminal policy, Although
not the ultimate aim of society, which might perhaps be described by terms
like "happiness of citizens", "a wholesome and cultural living", "social
welfare" or equality (Sebagian besar anggota kelompok setuju beberapa
27
dicussion bahwa "perlindungan masyarakat" dapat diterima sebagai tujuan
akhir dari kebijakan kriminal, Meskipun bukan tujuan utama masyarakat,
yang mungkin bisa digambarkan dengan istilah seperti "kebahagiaan
warga", "sebuah sehat dan hidup budaya "," kesejahteraan sosial "atau
kesetaraan)".23
Terkait dengan hal tersebut dapatlah dikatakan bahwa politik kriminal pada
hakekatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial yaitu kebijakan
dalam konteks upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial.
Pelaksanaan dalam orientasi politik hukum pidana berarti mengadakan
pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik,
dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.
Politik hukum menurut Sudarto adalah:
1. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung di dalam
masyarakat dan apa yang dicita-citakan.
2. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik, sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu waktu.24
Bertolak dari hal tersebut sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum
pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan
23
Summary report, 1974, Resource Material Series No.7, UNAFEI, Hal. 95
24
M. Hamdan, 1997, Politik Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, hal. 19
28
merumuskan suatu perundang-undangan yang baik dalam arti memenuhi syarat
kepastian hukum, keadilan dan daya guna yang akan mencapai tujuan dari aturan
tersebut.
Menurut A. Mulder, politik hukum pidana (Strafrechtpolitiek) ialah garis
untuk menentukan :
1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu
diubah atau diperbaharui.
2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak
pidana.
3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan
pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.25
Penggunaan hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk menanggulangi
kejahatan tampaknya tidak menjadi persoalan, hal ini terlihat dari praktek
perundang-undangan selama ini yang menunjukkan bahwa penggunaan hukum
pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum yang dianut di
Indonesia. Penggunaan hukum pidana dianggap sebagai hal yang wajar dan
normal, seolah-olah eksistensinya tidak dipersoalkan. Persoalan sekarang adalah
garis-garis kebijakan atau pendekatan yang bagaimanakah sebaiknya
ditempuh dalam menggunakan hukum pidana.
25
Barda Nawawi Arief, 1992, Bahan Bacaan Politik Hukum Pidana Pasca Sariana
Universitas Indonesia (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief II). Jakarta, hal. 7.
29
Menurut Herbert L. Packer, sanksi pidana adalah suatu alat atau sarana
terbaik yang tersedia, yang dimiliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau
bahaya besar serta untuk menghadapi ancaman-ancaman. Selanjutnya Packer
menyatakan bahwa :
1. Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup,
sekarang maupun dimasa yang akan datang, tanpa pidana (The
criminal sanction is indispenable; we could not, now or in the
foreseeable future get along, without it).
2. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia,
yang kita miliki utk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya
besar dan segera serta utk menghadapi ancaman-ancaman dari
bahaya (The criminal sanction is the best available device we have
for dealing with gross & immediate harms and threats from
harms).
3. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama dari
kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan
secara hemat-cermat dan secara manusiawi, ia merupakan
pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara
paksa ( The criminal sanction is at once prime guarantor and
prime threatener of human freedom. Used provedently and
humanely, it i s Guarantor; used indiscriminately and, it is
coercively threatene r).26
Packer berpendapat bahwa dalam konteks frasa sembarangan dan secara paksa
yang dikatakan oleh Packer dalam hukum pidana ditujukan kepada dua hal, yaitu
tentang norma hukum apa yang dilanggar (hukum pidana materiel) dan
bagaimana cara menegakkan hukum terhadap tindakan tersebut (hukum pidana
formil) sehingga dalam menggunakan sanksi pidana untuk menanggulangi
kejahatan harus dilakukan dengan hati-hati, karena bukan tidak mungkin
26
Herbert L. Packer, 1967,The Limits of The Criminal Sanction, Stanford California
University Press, hal. 344
30
penggunaan sanksi pidana itu akan menjadi semacam "bumerang" bagi tujuan
pemidanaan itu sendiri.
3. Teori Pemidanaan
Terkait dengan apa yang akan dikaji dalam tesis ini penulis juga menekankan
sarana penal yang telah diberlakukan di Indonesia saat ini yaitu pada penerapan
sanksi yang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi di dalam penegakan
hukum. Penerapan sanksi pidana dari Undang-undang RI NO. 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak. Dimana apabila kita lihat maka terdapat beberapa teori
yang dapat digunakan sebagai landasan dalam penerapan sanksi pidana yakni
terdapat 3 ( tiga ) teori :
1. Teori Imbalan (absolute/vergeldingstheorie)
2. Teori Maksud atau Tujuan (relative/doeltheorie)
3. Teori Gabungan (verenigingstheorie)
Bertolak dari hal tersebut maka masing-masing teori ini memberi alasan atau dasar
penjatuhan pidana yang berbeda-beda.
1. Teori Imbalan (absolute/vergeldingstheorie)
Menurut teori ini dasar dari pemberian hukuman harus dicari dari
kejahatan itu sendiri. Dimana karena kejahatan itu telah member dan
menimbulkan penderitaan dari orang lain maka sebagai imbalannya
(vergelding) maka si pelaku juga harus diberi penderitaan.
Para pakar penganut teori ini, antara lain:
a. Immanuel kant
Immanuel kant berpendapat bahwa dasar hukum pemidanaan harus
dicari dari kejahatan itu sendiri, yang telah menimbulkan penderitaan bagi
31
orang lain, sedangkan hukuman itu merupakan tuntutan yang mutlak
(absolute) dari hukum kesusilaan.
b. Hegel
Ahli filsafat ini mengajarkan bahwa hukum adalah suatu kenyataan
kemerdekaan. Maka dari pada itu kejahatan merupakan tantangan terhadap
hukum dan hak. Hukuman dipandang dari sisi imbalan sehingga hukuman
merupakan vergelding.
c. Herbart
Menurut pakar ini, kejahatan menimbulkan perasaan tidak enak pada
orang lain. Untuk melenyapkan perasaan tidak enak itu, pelaku kejahatan
harus diberi hukuman sehingga masyarakat merasa puas.
d. Stahl
Hukuman adalah sesuatu yang diciptakan oleh tuhan. Karena
kejahatan itu merupakan pelanggaran terhadap perikeadilan tuhan, untuk
menindaknya Negara diberi kekuasaan sehingga dapat melenyapkan atau
memberi penderitaan bagi pelaku kejahatan.
2. Teori Maksud atau Tujuan (relative/doeltheorie)
Berdasarkan teori ini, hukuman dijatuhkan untuk melaksanakan maksud
atau tujuan dari hukuman itu. Dimana dalam teori ini tujuan hukuman adalah
untuk mencegah (prevensi) kejahatan. Dimana terdapat perbedaan dalam
prevensi yakni:
a. Prevensi umum (algemene preventive) hal ini dapat dilakukan dengan
ancaman hukuman, penjatuhan hukuman, dan pelaksanaan hukuman.
b. Spesial prevensi, yakni yang ditujukan kepada orang yang melakukan
kejahatan itu.
3. Teori Gabungan
Pada dasarnya teori gabungan ini adalah gabungan antara teori imbalan
dan teori maksud dan tujuan. Dimana apabila digabungkan maka pengertian
teori gabungan ini adalah mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah
untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan untuk
memperbaiki pribadi si penjahat.27
27
Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta
, hal. 105
32
Bertolak dari hal tersebut diatas, dalam hal ini akan terkait pula dengan
aliran utilitarianism yang diletakkan dasar-dasarnya oleh Bentham. Pandangan ini
terutama menentukan suatu pemikiran yang memiliki tujuan berdasarkan manfaat
tertentu ( teori manfaat atau teori tujuan ) dan bukan hanya sekedar membalas
perbuatan pembuat.28
Jeremy Bentham pula yang menyatakan bahwa tujuan
hukum adalah untuk mencapai “the greatest happiness for the greatest number of
people (kebahagiaan terbesar bagi jumlah terbesar orang)”. Hal ini berarti bahwa
manfaat yang yang menjadi orientasi dari penanganan tindak pidana yang
dilakukan oleh seorang anak dibawah umur.
Hukum pidana modern menyatakan bahwa pemidanaan yang diterima
oleh seorang anak yang melakukan perbuatan itu tidak hanya berupa pidana, akan
tetapi juga tindakan yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari perbuatan-
perbuatan yang merugikannya yang sering disebut dengan double track system,
namun dilihat dari latar belakang kemunculan dapat disimpulkan bahwa ide dasar
sistem tersebut adalah kesetaraan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan.29
Hukum pidana merupakan bagian dari politik kriminal, yaitu usaha yang rasional
dalam menanggulangi kejahatan, sebab disamping penanggulangan dengan
28 Chairul Huda, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Prenada Media, Jakarta hal 128
29
Sholehuddin, 2007, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, PT.Raja Grafindo, Jakarta, hal 24
33
menggunakan pidana, masih ada cara lain untuk melindungi masyarakat dari
kejahatan.30
4. Sistem Peradilan Pidana
Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) adalah “sistem dalam
suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan”.31
Berkenaan dengan
istilah sistem peradilan pidana atau criminal justice system tidak terpisah dari istilah
sistem yang digambarkan oleh Davies et.al sebagai “the word system conveys an
impression of a complec to end”artinya bahwa kata system menunjukkan adanya
suatu kesan dari objek yang komplek lainnya dan berjalan dari awal sampai akhir,
oleh karena itu dalam mewujudkan tujuan sistem tersebut ada empat instansi yang
terkait yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.32
Keempat komponen tersebut harus bekerja sama secara terpadu (Integrated Criminal
Justice Administration). Berproses secara terpadu artinya bahwa keempat sub sistem
ini bekerja sama berhubungan walaupun masing-masing berdiri sendiri. Polisi selaku
penyidik melakukan penyidikan termasuk penyelidikan, penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Jaksa selaku penuntut umum
melakukan penuntutan berdasarkan hasil penyidikan yang disampaikan oleh penyidik.
30
Sudarto, 1977, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat
Sudarto I) hal.101
31
Mardjono Reksodiputro, 1997, Kriminlogi dan Sistem Peradilan Pidana, (Pusat Pelayanan
dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia), Jakarta, hal. 84
32
Ibid, hal.14
34
Hakim atas dasar dakwaan penuntut umum melakukan pemeriksaan dalam sidang
pengadilan.
Pendapat W.La Patra menyatakan bahwa “I do believe that a criminal justice
system does exist, but that it function very poorly. The criminal justice system is a
loosely connected, nonharmonious, group of social entities”.33
Menurut La patra
disini menyatakan bahwa ketika para sub sistem ( komponen Sistem Peradilan
Pidana) tidak menjalankan fungsi secara individu maka sistem peradilan pidana
adalah merupakan sistem, hal ini berbeda dengan kenyataannya yaitu komponen-
komponen sistem peradilan pidana berfungsi secara individu yang menyebabkan
sistem peradilan pidana bukanlah sistem. Ketika fungsi akan sistem peradilan pidana
yang sepatutnya di simpangi dengan fungsi individu maka dalam hal ini sistem
peradilan pidana akan kehilangan koneksi, sehingga menimbulkan ketidakharmonian
dalam masyarakat.
5. Teori Hukum Progresif
Teori ini merupakan teori yang dicanangkan oleh Satjipto Rahardjo.
Mengutip pendapat Satjipto Rahardjo, terdapat 2 macam tipe penegakan
hukum progresif :
1. Dimensi dan faktor manusia pelaku dalam penegakan hukum progresif.
Idealnya, mereka terdiri dari generasi baru profesional hukum yang memiliki
visi dan filsafat yang mendasari penegakan hukum progresif;
33
W.La Patra, 1978, Analyzing of Criminal Justice System,Lexington Books, hal.99
35
2. Kebutuhan akan semacam kebangunan di kalangan akademisi, intelektual dan
ilmuan serta teoritisi hukum Indonesia.34
Menurut Satjipto penafsiran hukum progresif dibutuhkan untuk kembali
memanusiakan aturan hukum yang sangat kaku, cara itu berguna agar hukum
mampu mencapai kehendak tertinggi dari keinginan manusia di dunia yaitu
kebahagian. Hukum berfungsi mencapat harapan-harapan tersebut, menurut
Satjipto hendaknya hukum bisa memberikan kebahagian kepada rakyat dan
bangsanya.35
Munculnya Hukum progresif adalah untuk menegaskan bahwa hukum
adalah untuk manusia, dan bukan sebaliknya. “Hukum itu bukan hanya bangunan
peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita.” Dalam satu dekade
terakhir, Satjipto Rahardjo menekankan satu hal penting, bahwa “tujuan hukum
adalah membahagiakan manusia”. Mengingatkan bahwa letak persoalan hukum
adalah di manusianya. Menurut beliau bahwa pemikiran hukum perlu kembali
pada filosofi dasarnya, yaitu : hukum untuk manusia. Dengan filosofi tersebut,
maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas untuk
melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu hukum itu bukan
34
Subur Tjahjono, Identifikasi Hukum Progresif Di Indonesia, Serial Online Juli 30, 2011,
availaible from : URL: http://www.scribd.com/doc/21741046/Identifikasi-Hukum-Progresif-Di-
Indonesia
35
Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif,, Penerbit Kompas, Jakarta, hal. 10.
36
merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia.36
Kepentingan rakyat (
kesejahteraan dan kebahagiaanya) harus menjadi orientasi dan tujuan akhir
penyelenggaraan hukum. Melihat pemaparan teori yang disampaikan oleh Satjipto
Rahardjo tersebut, apabila dikaitkan dengan pembahsan tesis yang akan dibahas
disini terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak maka dalam
orientasi tersebut yaitu apabila suatu tatanan hukum khususnya menganai
pengadilan anak apabila dikaji dalam kosep fakta yang ada serta dianggap kurang
atau tidak memiliki tujuan baik secara universal (internasional) dan nasional maka
pada hakekatnya diperlukan suatu pemikiran atau konsep bersifat progresif
sehingga penanganan terhadap anak yang bermasalah dengan hukum khususnya
terkait dengan proses peradilan pidana yang dilaluiny sehingga diharapkan sesuai
dengan instrumen Internasional dan nasional mengenai konsep perlindungan anak
sehingga tidak akan menimbulkan kerugian fisik ataupun mental bagi pelaku anak
yang bermasalah dengan hukum.
6. Teori Harmonisasi
Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah proses pembuatan
peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan,
persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan,
pengundangan dan penyebarluasan. Di antara rangkaian proses di atas ada proses
yang tidak disebutkan secara tegas tetapi mempunyai peran yang sangat penting
36
Benard L.Tanya, Yoan N.Simanjuntak, Markus Y.Hage, Teori Hukum,Cetakan Kedua,
C.V. Kita, Surabaya, hal.246
37
yaitu proses pengharmonisasian. Bertolak dari hal tersebut maka
pengharmonisasian merupakan salah satu rangkaian proses pembentukan
peraturan perundang-undangan. Proses pengharmonisasian dimaksudkan agar
tidak terjadi atau mengurangi tumpang tindih peraturan perundang-undangan.
Berkaitan dengan perumusan suatu norma atau peraturan perundang-undangan
maka dalam hal ini norma hukum ditetapkan oleh badan hukum yang berwenang.
Pemikiran harmonisasi bermula dari Rudolf Stamler yang mengemukakan
bahwa konsep dan prinsip-prinsip hukum yang adil mencakup “harmonisasi”
antara maksud, tujuan dan kepentingan individu dengan maksud, tujuan dan
kepentingan masyarakat umum.37
Dengan kata lain, hukum akan tercipta baik
apabila terdapat keselarasan antara maksud, tujuan dan kepentingan penguasa
(pemerintah) dengan masyarakat. Di sisi lain, Badan Pembina Hukum Nasional
Kementrian Hukum dan HAM (Kemenkumham), memberikan pengertian
harmonisasi hukum sebagai kegiatan ilmiah untuk menuju proses
pengharmonisasian (penyelarasan/kesesuaian/keseimbangan) hukum tertulis yang
mengacu pada nilai-nilai filosofos, sosiologis, ekonomis dan yuridis.
37
Hukum online, Serial Online September 30, 2010, availaible from : URL: http://www.legalitas.org
38
2.2 Kerangka Berpikir
Berdasarkan perumusan masalah dan landasan teoritis, maka peneliti dapat
menyusun suatu kerangka berpikir sebagai pegangan guna untuk menelaah secara
akademis permasalahan yang diangkat dalan penelitian tesis ini sebagai berikut :
3. Metode Penulisan
3. Metode Penelitian
3.1. Jenis Penelitian
Dalam membuat suatu karya ilmiah, penggunaan suatu metode mutlak
diperlukan. Penggunaan suatu metode bukan hanya mutlak untuk digunakan dalam
suatu penelitian maupun penulisan ilmiah, metodelogi juga sebagai pembimbing
KEBIJAKAN
KRIMINAL JALUR
PENAL
JALUR
NON PENAL
IUS
CONSTITUTUM
IUS
OPERATUM
MELALUI
DIVERSI
IUS
CONSTITUTUM
DELIKUENSI ANAK
39
untuk mengkaji aturan menemukan hasil penelitian atau penulisan ilmiah, dimana
dalam penelitian ini terdapatnya norma yang kabur (multitafsir) dalam proses
penanganan anak yang bermasalah dengan hukum belum jelas diatur mengenai
syarat aparat penegak hukum yang berwenang dalam menangani kejahatan anak
seperti Kepolisian (Penyidik) dalam Pasal 41 UU No.3 Tahun 1997, Kejaksaan
(Penuntut Umum) dalam Pasal 53 UU No.3 Tahun 1997, Hakim dalam Pasal 10 UU
No.3 Tahun 1997 tentang syarat yang dianggap berpengalaman dalam menangani
kejahatan yang dilakukan anak sehingga dalam hal ini sejauh mana ukuran yang
dipakai sebagai syarat pengalaman untuk menangani tentang kejahatan yang
dilakukan oleh anak, apakah ukuran waktu ataupun kuantitas kasus yang pernah
ditangani oleh para aparat penegak hukum tersebut.
Penelitian ini juga mengkaji adanya norma kosong mengenai diversi dalam
Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak sehingga dalam hal ini
aturan positif Indonesia tidak menuangkan Instrumen Internasional yang telah
diratifikasi dalam aturan Positif di Indonesia.
Sesuai dengan sifat keilmuan ilmu hukum yang bersifat sui generis sehingga
penelitian hukum mempunyai karakter yang khusus. Atas dasar kekhususan sifat
tersebut maka penelitian hukum dapat dibedakan menjadi dua yaitu penelitian hukum
normatif dan penelitian hukum empiris.
Terkait dengan penelitian tesis yang akan dibahas disini penulis
mempergunakan penelitian hukum normatif yang mencakup :
40
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, yang mana
dalam penyusunan tesis ini yang dipakai adalah Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang-
undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-undang
No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Kepres No.36 Tahun
1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak, dan konvensi
internasional khususnya The United Nation Standard Minimum Rules
For The Administration Of Juvinile Justice (The Beijing Rules), serta
perjanjian international terkait anak.
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjeiasan mengenai bahan
hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian,
hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.38
3.2. Jenis Pendekatan
Dalam penelitian hukum Normatif pada umumnya mengenal 7 jenis pendekatan
yakni :
1. Pendekatan kasus (The Case Approach) ;
2. Pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach);
3. Pendekatan fakta ( The Fact Approach) ;
4. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Approach);
38
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tiniauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, Hal. 13
41
5. Pendekatan Frasa (Word & Prhase Approach) ;
6. Pendekatan Sejarah (Historical Approach) ;
7. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach).39
Penelitian mengenai kebijakan pembaharuan hukum pidana dalam proses
penanganan anak yang bermasalah dengan hukum ini dilakukan dengan:
a. Statute Approach (Pendekatan perundang-undangan), maksudnya pendekatan
yang dilakukan dengan cara mempelajari peraturan-peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan penelitian ini
b. Analitical & Conseptual approach (Pendekatan analisis konsep hukum),
maksudnya bahwa dengan pendekatan tersebut dapat dicari pembenaran atas
suatu teori atau asas yang yang digunakan dalam penelitian ini.
c. Comparative Approach (Pendekatan Perbandingan), maksudnya pendekatan
yang dilakukan dengan cara perbandingan.
d. Policy-oriented Approach (Pendekatan Kebijakan), maksudnya pendekatan
yang dilakukan dengan cara berorientasi pada kebijakan.
e. Value-oriented Approach (Pendekatan Nilai), maksudnya pendekatan yang
dilakukan dengan cara berorientasi pada nilai.
39
Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Unud; 2006, Pedoman Penulisan
Usulan Penelitian dan Penulisan Tesis Ilmu Hukum Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca
Sarjana UNUD, hlm.8
42
3.3. Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum dibagi tiga yaitu bahan hukum primer yang diperoleh dari
peraturan perundang-undangan yang berlaku, bahan hukum sekunder diperoleh
dari literatur atau buku-buku, dan bahan hukum tersier diperoleh dari kamus-
kamus dalam hal ini kamus hukum.40
Penelitian hukum dengan premis normatif, datanya diawali dengan data
skunder yang disebut dengan bahan hukum yang meliputi :
1. Bahan hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari :
a. Norma atau kaedah dasar, yaitu Pembukaan Undang - Undang Dasar Negara
Republik Indonesia
b. Peraturan Dasar
c. Peraturan perundang-undangan
d. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan seperti hukum adat
e. Yurisprudensi
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, seperti rancangan Undang – undang, hasil-hasil
penelitian atau pendapat pakar hukum
40
Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta,
(selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II) hal. 52
43
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti
kamus (hukum), ensiklopedi dan lain-lain .41
Pentingnya penelian hukum berdasarkan kaidah perundang-undangan
sebagai inti dari penerapan hukum secara praktek hal tersebut sebagaimana
tercantum dalam Buku “Legal Research“ yaitu :
“ legal research is an essential component of legal practice. it is the process of
finding the law that governs an activity and materials that explain or analyze
that law”42
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan:
a. Bahan hukum primer yang meliputi : Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang-undang
No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-undang No.23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Kepres No.36 Tahun 1990
tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak, dan konvensi
internasional khususnya The United Nation Standard Minimum Rules
For The Administration Of Juvinile Justice (The Beijing Rules), serta
perjanjian international terkait anak.
41
Amiruddin dan Zaenal Asikin, Op.cit, hal.31
42
Morris L.Cohen and Kent C.Olson, 2000, legal Research ,West Group, ST.Paul Minn,
Printed in the United States of America, Hal.1
44
b. Bahan bahan hukum sekunder yang berupa pendapat para pakar hukum
tentang kebijakan pembaharuan hukum pidana dalam proses
penanganan anak yang bermasalah dengan hukum.
c. Bahan hukum tersier yaitu kamus bahasa Indonesia dan kamus hukum.
3.4. Teknik pengumpulan bahan
Pengumpulan data kepustakaan dilakukan dengan menggunakan catatan-
catatan kecil dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap beberapa norma
(aturan positif), buku atau literatur yang ada dengan masalah yang dibahas.
Kemudian bahan hukum tersebut ditelaah dengan konsep, pemikiran, ataupun
pendapat-pendapat beberapa ahli hukum serta menelaahnya dengan teori yang
berhubungan dengan masalah yang akan dibahas, khususnya mengenai kebijakan
pembaharuan hukum pidana bagi anak yang bermasalah dengan hukum.
3.5. Teknik Analisis
Bahan-bahan hukum terkait dengan penelitian ini yang telah terkumpul
tersebut dapat digunakan berbagai tehnis analisis sebagai berikut :
1. Deskripsi adalah tehnik dasar analisis yang tidak dapat dihindari
penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu
kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum.
2. Interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum
seperti penafsiran gramatika, historis sistimatis, teleologis, kontekstual
dan lain-lain.
45
3. Konstruksi berupa pembentukan konstruksi yuridis dengan melakukan
analogi dan pembalikan proposisi (acontrario).
4. Evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak
setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu
pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang
tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum skunder.
5. Sistimatisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep
hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang
sederajat maupun antara yang tidak sederajat.
6. Argumentasi, tidak bisa dilepaskan dari tehnik evaluasi karena penilaian
harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.
7. Dalam pembahasan permasalahan hukum makin banyak argumen, makin
menunjukkan kedalaman penalaran hukum.43
Dalam tesis ini bahan hukum akan diteliti dengan menggunakan tehnik
deskripsi, interpretasi, evaluasi dan argumentasi.
43
Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana UNUD,Op.Cit, hal.1
46
BAB II
TINJAUAN UMUM
PEMBARUAN HUKUM PIDANA,
ANAK YANG BERMASALAH DENGAN HUKUM,
DAN SISTEM PERADILAN PIDANA
2.1 Pembaruan Hukum Pidana
2.1.1 Pengertian Pembaruan Hukum Pidana
Sejarah pembangunan hukum di Indonesia sudah dirintis sejak setelah
proklamasi kemerdekaan dan pada waktu itu telah dilakukan penyesuaian atau
screening terhadap Wetboek Van Strafrech atau KUHP.44
Pembaruan hukum yang
dilakukan oleh pemerintah tidak dapat dilepaskan dari landasan dan sekaligus tujuan
yang ingin dicapai sebagaimana telah dirumuskan dalam UUD 1945 secara singkat
adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum berdasarkan Pancasila, hal ini merupakan garis kebijakan umum yang menjadi
landasan dan sekaligus tujuan politik hukum Indonesia serta hal ini pula yang
menjadi landasan dan tujuan dari setiap usaha pembaruan hukum termasuk pula
pembaruan hukum dibidang hukum pidana dan kebijakan penanggulangan kejahatan
di Indonesia.45
44
Subekti , 1980, Pembinaan Hukum Nasional, Alumni, Bandung, hal.6
45
Barda Nawawi Arief, 1994, Kebijakan Legeslatif Dan Penanggulangan Kejahatan
(selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief III), Universitas Diponogoro, Semarang, hal.1
47
Pembaruan (reform) yaitu suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan
reformasi terhadap sesuatu hal yang akan ditempuh melalui kebijakan46
, artinya harus
dilakukan dengan pendekatan kebijakan. Berkaitan dengan pengertian pembaruan
hukum pidana Barda Nawawi Arief mengemukakan yaitu:
Pembaruan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya untuk
melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai
sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang
melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakkan hukum di
Indonesia.47
Pembaruan hukum yang akan ditempuh adalah hukum pidana (penal reform).
Maka pengertian pembaruan hukum pidana tersebut yaitu pada hakekatnya
mengandung makna suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum
pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio-
kultural masyarakat yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan
kebijakan penegakkan hukum.48
Pembaruan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana,49
yang secara etimologis, istilah kebijakan hukum pidana berasal dari kata “kebijakan”
dan “hukum pidana”. Sebagaimana menurut Sudarto yang dikemukakan oleh Barda
46
Op.cit, hal. 27
47
Ibid, hal.48
48
Ibid, hal. 27
49
Ibid
48
Nawawi Arief: Masalah “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk
mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi
syarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain beliau menyatakan, bahwa
melaksanakan “politik hukum pidana” berarti, “usaha mewujudkan peraturan
perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu
waktu dan untuk masa yang akan datang. 50
Bertolak dari uraian tersebut di atas, pembaruan hukum pidana ditentukan
dengan kebijakan hukum pidana itu sendiri, artinya pembaruan hukum pidana dapat
diarahkan melalui kebijakan hukum pidana, atau adanya kebijakan hukum pidana
berarti telah mengadakan suatu pembaruan hukum pidana.
Barda Nawawi Arief menyatakan sebagai berikut :
Istilah “kebijakan” diambil dari istilah “policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda).
Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan hukum pidana” dapat
pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah
“politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal
policy”, “criminal law policy” atau “strafrechtspolitiek”.51
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari pengertian
tentang politik hukum maupun dari politik kriminal.
Pengertian politik hukum menurut Sudarto adalah sebagai berikut:
50Ibid, hal.25
51
Ibid, hal.24
49
1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai
dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.
2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan
bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.52
Mengkaji hal ini maka lebih lanjut Sudarto menjelaskan bahwa melaksanakan politik
hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-
undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya
guna. Selanjutnya juga dikemukakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana
berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.
Menurut A. Mulder sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief:
Strafrechtspolitiek ialah garis kebijakan untuk menentukan:
1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau
diperbaharui ;
2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana
harus dilaksanakan.53
52Ibid, hal 24
53
Ibid, hal 25
50
Pendapat yang dikemukakan oleh Mulder ini sebenarnya lebih bertolak pada
pengertian sistem hukum pidana menurut Marc Ancel sebagaimana dikemukakan
oleh Barda Nawawi Arief, bahwa tiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem
hukum pidana yang terdiri dari :
1. peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya;
2. suatu prosedur hukum pidana, dan
3. suatu mekanisme pelaksanaan (pidana).54
Menurut Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa setiap usaha dan kebijakan untuk
membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan
dari tujuan penanggulangan kejahatan. Maka kebijakan atau politik hukum pidana
juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut
politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan
penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Usaha penanggulangan kejahatan
lewat bantuan pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakekatnya juga
merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (sosial defence) dan
usaha mencapai kesejahteraan masyarakat (sosial welfare). Oleh karena itu, wajar
pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral
dari kebijakan atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial (social policy)
dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi di dalam
54Ibid, hal.26
51
pengertian “social policy”, sekaligus tercakup di dalamnya “social welfare policy”,
dan “social defence policy”.55
Kebijakan hukum pidana dapat juga dilihat sebagai bagian dari politik
kriminal. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa usaha dan kebijakan untuk
membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan
dari tujuan penanggulangan kejahatan atau perbuatan yang dilarang. Maka kebijakan
atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Politik
kriminal merupakan usaha yang rasional dalam masyarakat untuk menanggulangi
kejahatan. Dirumuskan oleh Marc Ancel, politik kriminal adalah the rational
organization of the control of crime by society.56
Muladi dan Barda Nawawi Arief menyatakan: Kejahatan atau tindak kriminal
merupakan salah satu bentuk dari “perilaku menyimpang” yang selalu ada dan
melekat pada tiap bentuk masyarakat; tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan.
Saparinah Sadli menyatakan bahwa perilaku menyimpang itu merupakan suatu
ancaman yang nyata atau ancaman terhadap norma-norma sosial yang mendasari
kehidupan atau keteraturan sosial; dapat menimbulkan ketegangan individual maupun
ketegangan-ketegangan sosial; dan merupakan ancaman riil atau potensiil bagi
berlangsungnya ketertiban sosial. Dengan demikian kejahatan disamping merupakan
masalah kemanusiaan, ia juga merupakan masalah sosial, malahan menurut Benedict
55 Ibid, hal.27
56
Op.cit. hal. 162
52
S. Alper merupakan “the oldest sosial problem (masalah Sosial tertua)”. 57
Hal ini
diperkuat oleh pendapat dari Daniel Galser yang menyatakan bahwa “crime like most
topics in social psychology , refers to a class of behavior the separate instances of
which have many and diverse subjective and objective aspects (kejahatan seperti
topik yang paling dalam dari psikologi sosial, mengacu pada kelas contoh perilaku
yang terpisah dari aspek-aspek subyektif dan obyektif yang bersifat banyak dan
beragam)”.58
Sebagai suatu persoalan sosial yang menuntut penyelesaian, maka upaya
untuk penanggulangan kejahatan telah dimulai terus-menerus. Salah satu usaha
pencegahan dan pengendalian kejahatan itu ialah menggunakan hukum pidana
dengan sanksinya yang berupa pidana. Namun demikian usaha inipun masih sering
dipersoalkan.
Menurut Roeslan Saleh sebagaimana dikemukakan oleh Muladi dan Barda
Nawawi Arief, bahwa ada tiga alasan mengenai perlunya pidana dan hukum pidana
dalam penanggulangan kejahatan yang pada intinya sebagai berikut :
a. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuan-tujuan yang
hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untukmencapai
tujuan itu boleh menggunakan paksaan, persoalannya bukan terletak pada
hasil yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dari hasil itu
dan nilai dari batas-batas kebebasan pribadi masing-masing.
b. Ada usaha-usaha perbaikan perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali
bagi si terhukum dan disamping itu harus tetap ada suatu reaksi atas
57 Op.cit, hal. 148.
58
Stuard H.Traub and Craig B.Little, 1968, Theories Of Devience (Third Edition), State
University Of New York at Cortland, hal.183
53
pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah
dapat dibiarkan begitu saja.
c. Pengaruh pidana atas hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si
penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaituwarga
masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat.59
Bertolak dari hal tersebut maka nampak bahwa prevensi khusus dan prevensi umum
menjadi pertimbangan utama. Di sisi lain ada pertimbangan nilai yaitu keseimbangan
antara nilai dari hasil perbuatan yang dikenakan pidana dengan biaya yang
dikeluarkan.
Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya
untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakkan
hukum. Disamping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakkan hukum itupun termasuk
dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu masalah yang termasuk masalah kebijakan,
maka penggunaan (hukum) pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan.60
H.L. Packer dalam bukunya “The Limits of Criminal Sanction”, sebagaimana
dikemukakan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief:
a. (the criminal sanction is indispensable; we could not, now or in the
oreseeable future, get along without it) Sanksi pidana sangatlah
diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di masa yang
akan datang, tanpa pidana.
59 Ibid, hal.152
60
Ibid, hal.149
54
b. (the criminal sanction is the best available device we have for dealing
with gross and immediate harms and threats of harm).Sanksi pidana
merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki
untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera
serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya
c. (the criminal sanction is atau once prime guarantor and prime
threatener of human freedom. Used providently and humanely, it is
guarantor; used indiscriminately and coercively, it is threatener)
Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama/terbaik
dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan
manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat
cermat dan secara manusiawi; ia merupakan pengancam apabila
digunakan secara sembarangan dan secara paksa.61
Bertolak dari hal tersebut, maka tidak ada absolutisme dalam bidang
kebijakan karena pada hakekatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada
masalah penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif. Dengan demikian
masalah pengendalian atau penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum
pidana, bukan hanya merupakan problem social seperti dikemukakan Packer di atas,
tetapi juga merupakan masalah kebijakan (the problem of policy).
Bertolak dari pengertian kebijakan hukum pidana di atas, Barda Nawawi Arief
menyimpulkan, bahwa: Dilihat dari bagian dari politik hukum, maka politik hukum
pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan
suatu perundang-udangan pidana yang baik….Dengan demikian, yang dimaksud
“peraturan hukum positif” (the positive rules) adalah peraturan perundang-udangan
61 Ibid. Hal, 155.
55
hukum pidana. Oleh karena itu, istilah “penal policy” adalah sama dengan istilah
“kebijakan atau politik hukum pidana”.62
2.1.2 Ruang Lingkup Pembaruan Hukum Pidana
Mengkaji hal-hal tersebut diatas maka untuk merespon amanat pembukaan
UUD1945 maka pembaruan sebagai produk perundang-undangan yang sudah tidak
sesuai dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia menjadi agenda yang patut
diprioritaskan. Dengan demikian dari amanat tersebut juga tersimpul keharusan untuk
melakukan pembaruan di bidang hukum. Usaha pembaruan hukum di Indonesia yang
sudah dimulai sejak lahirnya UUD 1945 tidak dapat dilepaskan pula dari landasan
dan sekaligus tujuan yang ingin dicapai seperti telah dirumuskan dalam pembukaan
UUD 1945, namun mengingat permasalahan hukum menyentuh aspek kehidupan
masyarakat yang sangat luas sehingga setiap saat berubah, maka pembaruan tidak
dapat dilakukan dalam sekejap.
Sebagaimana pengertian pembaruan hukum pidana yang telah dikemukakan pada
sub-1 di atas, dalam hal ini, ruang lingkup pembaruan hukum pidana meliputi:
1. Pembaruan substansi hukum pidana;
2. Pembaruan struktur hukum pidana; dan
3. Pembaruan budaya hukum pidana.
Pembaruan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Proses Penanganan Anak Yang
Bermasalah Dengan Hukum adalah melakukan pembaruan pada aspek pembaruan
62 Ibid. Hal.25.
56
substansi hukum pidana, dimana pembaruan substansi hukum pidana, Barda Nawawi
Arief berpendapat:
1. Suatu reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai
sosio-folosifik, sosio-politik, sosio-kultural masyarakat. Pembaruan hukum
pidana pada dasarnya adalah:
- Pembaruan konsep nilai
- Pembaruan ide-ide dasar
- Pembaruan pokok-pokok pemikiran
- Pembaruan paradigma/wawasan
2. Sebagai bagian dari “Sosial Policy”, pemnaharuan hukum pidana hakekatnya
merupakan bagian dari upaya mengatasi masalah sosial untuk mencapai
kesejahteraan/perlindungan masyarakat.
3. Sebagai dari “Criminal Policy”, pembaruan hukum pidana pada hakekatnya
merupakan bagian dari upaya penaggulangan kejahatan.
4. Sebagai bagian dari “Law Enforcement Policy” pembaruan hukum pidana
pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya menunjang
kelancaran/efektivitas penegakkan hukum.
5. Pembaruan substansi hukum pidana meliputi:
a. pembaruan hukum pidana materiel,
b. pembaruan hukum pidana formal,
57
c. pembaruan hukum pelaksanaan pidana.63
Pembaruan hukum pidana terhadap persiapan melakukan tindak pidana sebagai delik,
maka ruang lingkup pembaruan hukum pidana bertolak dari pembaruan substansi
yang meliputi pembaruan hukum pidana materiel. Pembaruan hukum pidana/ KUHP
Nasional juga merupakan bagian dari pembaruan hukum pidana substansi, patut
dikemukakan bahwa dalam rangka pembaruan hukum pidana nilai-nilai tersebut telah
diakomodasikan oleh penyusun RUU KUHP. Hal ini dapat dilihat dari beberapa
prinsip yang terkandung dalam penyusunan rancangan KUHP Nasional yang antara
lain menyebutkan:
a. bahwa hukum pidana dipergunakan untuk menegaskan atau menegakkan
kembali nilai-nilai sosial dasar (basic sosial value) prilaku hidup masyarakat,
dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang dijiwai oleh falsafah dan
idiologi negara Pancasila;
b. bahwa hukum pidana sedapat mungkin hanya dipergunakan dalam keadaan
dimana cara lain melakukan pengendalian sosial (sicial control) tidak mau
atau belum dapat diharapkan keefektifitasannya; dan bahwa dalam
menggunakan hukum pidana sesuai dengan kedua pambatasan (a) dan (b) di
atas, harus diusahakan dengan sungguhsungguh bahwa cara seminimal
mungkin mengganggu hak dan kebebasan individu tanpa mengurangi
63
Hukum online, Serial Online September 30, 2010, availaible from : URL:
http://eprints.undip.ac.id/17715/1/Idi_Amin.pdf
58
perlindungan yang perlu diberikan terhadap kepentingan kolektifitas dalam
masyarakat demokratik yang modern.
Pernyataan di atas, maka tendensi untuk tetap mempertahankan unsur-unsur asli
dalam pembaruan hukum di Indonesia patut dikedepankan, apalagi terhadap hukum
pidana. Mengingat hukum pidana dengan segala aspeknya (aspek-aspek sifat
melawan hukum, kesalahan, dan pidana) mempunyai sifat dan fungsi yang istimewa,
serta mempunyai fungsi ganda yakni yang primer sebagai sarana penanggulangan
kejahatan yang rasional (sebagai bagian dari politik kirminal) dan yang sekunder,
ialah sebagai sarana pengaturan tentang kontrol sosial sebagaimana dilaksanakan
secara sepontan atau secara dibuat oleh negara dengan alat perlengkapannya. Fungsi
yang kedua ini tugas hukum pidana adalah policing the police, yakni melindungi
warga masyarakat dari campur tangan penguasa yang mungkin menggunakan pidana
sebagai sarana secara tidak benar.
Upaya untuk melakukan reorientasi terhadap persiapan melakukan tindak pidana
sebagai delik, maka kode etik penggunaan hukum pidana tersebut dapat digunakan
sebagai landasan dalam merumuskan kebijakan tentang persiapan melakuan tindak
pidana sebagai delik agar lebih berorientasi baik pada perlindungan individu maupun
masyarakat. Dengan demikian akan tercipta hukum pidana yang lebih fungsional
yang tetap berakar pada nilai-nilai sosial masyarakat. Sebagaimana Barda Nawawi
Arief menyatakan:
Pembaruan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu
upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang
sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik san sosio-
59
kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial,
kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Dan
memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana
yang dicita-citakan.64
Penjelasan di atas, bahwa secara konstitusional pembaruan hukum nasional termasuk
hukum pidana harus didasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Keharusan konstitusioal tersebut patut untuk dikedepankan agar hukum yang akan
terbentuk benar-benar merupakan penjelmaan dari nilai-nilai yang hidup alam
masyarakat. Barda Nawawi Arief mengatakan, bahwa pembaruan hukum pidana pada
hakekatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan
(“policy-oriented approach”) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai
(“value- oriented approach”).65
Bertolak dari uraian tersebut di atas, perlu adanya pembaruan kebijakan kriminal
yang digunakan untuk mencegah kejahatan sedini mungkin, sehingga perbuatan dapat
dilihat dari dua sudut pendekatan yaitu sudut pendekatan kebijakan dan sudut
pendekatan nilai, sehubungan dengan masalah ini, Barda Nawawi Arief menyatakan
pendapat sebagai berikut:
1. Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan:
a. sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaruan hukum pidana
pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi
64
Ibid
65
Barda Nawawi Arief, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Perbandingan
(Selanjutnya disebut dengan Barda Nawawi Arief IV), PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.4
60
hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan
hukum
b. sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaruan hukum pidana pada
hakekatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat
(khususnya upaya penanggulangan kejahatan)
c. sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaruan hukum pidana hakekatnya
merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial
(termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/ menunjang tujuan
nasional (yaitu : “Social defence” dan “Social Welfare”).66
2. Dilihat dari sudut pendekatan nilai:
Pembaruan hukum pidana pada hakekatnya merupakan upaya melakukan
peninjauan kembali (“reorientasi dan reevaluasi”) nilai-nilai sosio politik, sosio-
filosofik, dan sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan
normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaruan
(“reformasi”) hukum pidana apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-
citakan (misalnya KUHP Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana
lama warisan penjajah (KUHP lama atau WvS), hal ini dipandang bahwa hukum
(hukum pidana) merupakan perwujudan suatu unsur sosial masyarakat yang
mempengaruhi ada tidaknya penjaTuhan sanksi (dipidananya) terhadap persiapan
melakukan tindak pidana tersebut, sehingga perlu adanya pembaruan kebijakan
kriminal sejalan beriringan waktu yang didasarkan pada nilai-nilai sosio politik, sosio
66
Ibid, hal.3
61
filosofik, sosio kultural dan norma-norma yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat.Bertolak dari sudut pendekatan kebijakan dan sudut pendekatan nilai,
pengkajian menitikberatkan pada hukum pidana materiil (KUHP), mengingat bagian
hukum pidana ini yang mampu merumuskan atau memformulasikan perbuatan-
perbuatan apa yang dijadikan tindak pidana, bagaimana mengenai
pertanggungjawaban pidananya, serta bagaimana mengenai pidana dan
pemidanaannya.
Bertolak dari hal tersebut maka tahap formulasi menempati posisi strategis jika
dibandingkan tahap aplikasi maupun tahap pelaksanaan hukum pidana yang
merupakan kelanjutan dari operasionalisasi atau penegakkan hukum pidana.
Mengenai posisi strategis dari tahap formulasi ini juga dikemukakan oleh Muladi dan
Barda Nawawi Arief : Tahap penetapan pidana hemat kami justru harus merupakan
tahap perencanaan yang matang mengenai kebijakan-kebijakan tindakan apa yang
seharusnya diambil dalam hal pemidanaan apabila terjadi suatu pelanggaran hukum,
dengan perkataan lain tahap ini harus merupakan tahap perencanaan strategis
dibidang pemidanaan yang diharapkan dapat memberi arah pada tahap-tahap
berikutnya, yaitu tahap penerapan pidana dan tahap pelaksanaan pidana. Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia sekarang masih
tetap menggunakan Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie yang mulai
diterapkan di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1918 dan merupakan produk hukum
pemerintahan jaman kolonial Hindia Belanda, dengan berbagai perubahan dan
penambahannya.
62
KUHP yang berasal dari Belanda tentu memiliki jiwa, pola pikir dan norma-
norma yang berbeda dengan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di dalam
masyarakat bangsa Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh Sudarto, bahwa WvS kita
ini tidak mungkin mencerminkan nilai-nilai kebudayaan bangsa Indonesia secara
penuh, karena tidak dibuat oleh kita sendiri. Secara politis, sosiologis, maupun praktis
KUHP yang berlaku di Indonesia sekarang perlu segera diganti dengan KUHP yang
berasal dan bersumber dari nilai-nilai dan norma-norma yang hidup dalam
masyarakat Indonesia.
Beberapa karakteristik hukum pidana yang mencerminkan proyeksi hukum
pidana masa datang secara ringkas di dinyatakan oleh Muladi sebagai berikut :
1. Hukum pidana nasional mendatang, dibentuk tidak hanya sekadar alasan
sosiologis, politis dan praktis semata-mata, melainkan secara sadar harus
disusun dalam kerangka Idiologi Nasional Pancasila. Hal ini akan memberi
kesadaran bahwa sistem peradilan pidana pada umumnya dan hukum pidana
pada khususnya tidak hanya merupakan suatu sistem yang bersifat phisik
semata-mata melainkan juga merupakan sistem abstrak yang merupakan
jalinan nilai-nilai yang konsisten dalam rangka pencapaian tujuan tertentu.
2. Hukum pidana pada masa yang akan datang tidak boleh mengabaikan aspek-
aspek yang bertalian dengan kondisi manusia, alam dan tradisi Indonesia.
3. Hukum pidana mendatang harus dapat menyesuaikan diri dengan
kecenderungan-kecenderungan universal yang tumbuh didalam pergaulan
63
masyarakat beradab, dalam arti beradaptasi yang kadang-kadang berupa
pengambilan hikmah dari perkembangan tersebut.
4. Sistem peradilan pidana, politik kriminal, politik penegakan hukum
merupakan bagian dari politik sosial. Dengan demikian hukum pidana
mendatang harus memikirkan pula aspek-aspek yang bersifat preventif.
5. Hukum pidana mendatang harus selalu tanggap terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi guna peningkatan efektifitas fungsinya di dalam
masyarakat.67
Indonesia sebagai sebuah negara yang sudah merdeka juga berupaya segera
mengadakan pembaruan KUHP (WvS) yang disesuaikan dengan politik hukum,
keadaan dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia
serta diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan dan kemanusiaan jika dibandingkan
dengan undang-undang warisan kolonial.
Bertolak dari hal tersebut maka ruang lingkup kebijakan hukum pidana dapat
mencakup kebijakan di bidang pidana formil, materiel serta pelaksanaan pidana itu
sendiri. Ruang lingkup kebijakan hukum pidana ini sangat luas karena tidak hanya
menyangkut hukum pidana dalam arti materiel (pidana dan pemidanaan) tetapi juga
mengatur tentang bekerjanya hukum pidana melalui lembaga sub-sistem peradilan
yang ada serta bagaimana pelaksanaan eksekusinya.
67 Hukum online, Serial Online September 30, 2010, availaible from : URL:
http://eprints.undip.ac.id/17715/1/Idi_Amin.pdf
64
2.2. Pengertian Anak dan Anak Yang Bermasalah Dengan Hukum
2.2.1. Pengertian Anak
Apabila ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian “anak” dimata hukum
positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjaring
atau person under age), orang yang di bawah umur atau keadaan di bawah umur
(minderjaringheid atau inferionity) atau kerap juga disebut sebagai anak yang di
bawah pengawasan wali (minderjarige onvervoodij).68
Pada tingkat Internasional rupanya tidak terdapat keseragaman dalam
perumusan batasan tentang anak, tingkatan umur seseorang dikategorikan sebagai
anak anatara satu negara dengan negara laun cukup beraneka ragam yaitu :
Dua puluh tujuh negara bagaian di Amerika Serikat menentukan batasan umur
antara 8-17 tahun, ada pula negara bagian lain yang menentukan btas umur antara 8-
16. Di Inggris ditentukan batas umur antara 12-16 tahun. Australia, dikebanyakan
negara bagian menentukan batas umur antara 8-16 tahun. Negeri Belanda mentukan
bata umur antara 12-18 tahun. Negara Asia anatara lain : Srilanka mentukan batas
umur antara 8-16 tahun, Iran 6-18 tahun, Jepang dan Korea mentukan batas umur
antara 14-18 tahun, Kamboja mentukan antara 15-18 tahun sedangkan Negara Asean
antara lain Filipina menentukan batasan umur antara 7-16 tahun.69
Maka bertitik tolak dari aspek tersebut ternyata hukum positif Indonesia ( ius
constitutum ) tidak mengatur adanya unifikasi hukum yang baku dan berlaku
universal untuk menentukan kriteria batasan umur bagi soeorang anak, hal tersebut
dapat dilihat dalam berbagai peraturan ataupun hukum yang berlaku, yaitu :
68
Lilik Mulyadi, 2005, Pengadilan Anak Di Indonesia, CV.Mandar Maju, Bandung, hal.
69 Paulus Hadisuprapto, 1997, Juvenile Deliquency Pemahaman Dan Penanggulangannya,
PT.Aditya Bakti, Bandung, hal.8
65
1. Menurut Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Pada Pasal 1 (1) merumuskan, bahwa anak adalah orang dalam perkara anak
nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai
umur 18 (delapan belas) tahun dan si anak belum pernah kawin. Jadi anak
dibatasi syarat dengan umur antara 8 tahun sampai 18 tahun. Sedangkan
syarat kedua si anak belum pernah kawin, maksudnya tidak sedang terikat
dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila si
anak sedang terikat dalam perkawinannya atau perkawinanya putus kaena
perceraian, maka si anak dianggap sudah dewasa, walaupun umurnya belum
genap 18 (delapan belas) tahun.
2. Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak ( Undang-undang No.23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak )
Pada Pasal 1 (1) merumuskan bahwa anak adalah seseorang belum berusia
18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
3. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Pada Pasal 1 angka (2) merumuskan Anak adalah seseorang yang belum
mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.70
Batasan umur ini juga
digunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta Perdata, tetapi dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak mengenal istilah anak, yang
digunakan istilah dewasa yaitu telah berumur 21 tahun atau belum berumur
21 tahun akan tetapi sudah atau pernah kawin, sedangkan belum dewasa
70
Abdussalam, 2007, Hukum Perlindungan Anak, Restu Agung, Jakarta, hal.5
66
adalah seseorang yang umurnya belum mencapai 21 tahun dan tidak atau
belum pernah kawin.71
4. Dalam Hukum Perburuhan
Pada Pasal 1 (1) Undang-undang Pokok Perburuhan ( Undang-undang
No.12 Tahun 1948 ) memberikan pengertian anak adalah orang laki-laki
atau perempuan berumur 14 tahun kebawah.
5. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP )
Pasal 45 KUHP, memberikan definisi anak yang belum dewasa apabila
belum berumur 16 ( enam belas ) tahun. Oleh karena itu, apabila ia
tersangkut dalam perkara pidana maka hakim boleh memerintahkan supaya
si tersalah tersebut dikembalikan kepada orang tuanya; walinya ataupun
pemeliharanya dengan tidak dikenakan hukuman atau memerintahkannya
supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu
hukuman. Ketentuan Pasal 45, 46, dan 47 KUHP ini sudah dihapus dengan
lahirnya Undang-undang No.3 Tahun 1997.72
6. Anak menurut Undang-undang Perkawinan ( Undang-undang No.1 Tahun
1974 )
71
Djoko Prakoso, 1986, Kedudukan Justisiabel di dalam KUHAP, Ghalia Indonesia, Jakarta
hal.84
72
Op.cit, hal. 3
67
Pada Pasal 47 ayat (1) dan pasal 50 ayat (1) undang-undang Pokok
Perkawinan memberikan batasan-batasan untuk disebut anak adalah belum
mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
7. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUH Perdata )
Pada Pasal 330 KUH Perdata memeberikan penjelasan bahwa orang belum
dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh
satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.
8. Menurut Hukum Adat Indonesia
Dalam hukum adat Indonesia maka batasan untuk disebut anak bersifat
pluralistic. Dalam artian kreteria untuk menyebut seseorang tidak lagi
disebut anak dan telah dewasa beraneka ragam istilahnya. Misalnya : telah “
kuat gawe “, “ akil baliq ”, “ menek bajang ”, dan lain sebagainya.73
Menurt Pasal 1 Konvensi Anak merumuskan pengertian anak sebagai “setiap manusia
yang berusia dibawah 18 tahun kecuali berdasarkan Undang-undang yang berlaku
bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”.74
Berbagai criteria untuk batasan usia anak pada dasarnya adalah
pengelompokan usia maksimum sebagai perwujudan kemampuan seorang anak
dalam status hukum sehingga anak tersebut akan beralih status menjadi usia dewasa
atau menjadiseorang subyek hukum yang data bertanggungjawab secara mandiri
73
Op.Cit, hal.6
74 Chandra Gautama, 2000, Konvensi Hak Anak Panduan Bagi Jurnalis, Lembaga Studi Pers
Dan Pembangunan (LSPP), Jakarta, hal.21
68
terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindaka hukum yang dilakukan oleh anak
itu.75
Beberapa hal yang perlu diperhatikan bahwa indikator untuk mengatakan
bahwa seseorang telah dikatakan telah dewasa adalah bahwa ia dapat melakukan
perbuatan hukum sendiri tanpa bantuan orang lain baik orang tua maupun wali.76
Berdasarkan penjelasan-penjelasan beberapa peraturan perundang-undangan diatas,
maka dapat dilihat bahwa pengertian anak adalah bervariatif dimana hal tersebut
dilihat dari pembatasan batas umur yang diberikan kepada seorang anak apakah anak
tersebut dibawah umur atau belum dewasa dan hal tersebut dapat dilihat dari
pengertian masing-masing peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,
Namun meskipun demikian pada prinsipnya anak dibawah umur adalah seseorang
yang tumbuh dalam perkembangannya yang mana anak tersebut memerlukan
bimbingan untuk kedepannya.
2.2.2 Pengertian Anak Yang Bermasalah Dengan Hukum
Hukum internasional telah menetapkan standar perlakuan yang harus atau
dapat dirujuk oleh setiap negara dalam menangani anak yang berhadapan dengan
hukum. Hukum internasional mensyaratkan negara untuk memberikan perlindungan
75Maulana Hasan Wadong, 2000, Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo,
Jakarta, hal.24
76
Djuhaendah Hasan, 1999/2000, Pengkajian Hukum Tentang Masalah Hukum Pelaksanaan
Putusan Pengadilan Yang Mengandung Alimentasi Terhadap Anak Yang Belum Dewasa, Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan HAM, hal.12
69
hukum dan penghormatan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum melalui
pengembangan hukum, prosedur, kewenangan, dan institusi (kelembagaan).77
Secara konseptual anak yang berhadapan dengan hukum (children in conflict
with the law), dimaknai sebagai :
Seseorang yang berusia di bawah 18 tahun yang berhadapan dengan sistem
peradilan pidana dikarenakan yang bersangkutan disangka atau dituduh
melakukan tindak pidana.78
Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang telah mencapai usia 12 (dua
belas) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah
yaitu :
1) Yang diduga, disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana karena melakukan
tindak pidana;
2) Yang menjadi korban tindak pidana atau yang melihat dan/atau mendengar
sendiri terjadinya suatu tindak pidana79
Anak yang berhadapan dengan hukum dapat juga dikatakan sebagai anak yang
terpaksa berkontak dengan sistem pengadilan pidana karena:
77
Inter-Parliamentary Union & UNICEF, 2006, Improving the Protection of Children in
Conflict with the Law in South Asia: A regional parliamentary guide on juvenile justice, UNICEF
ROSA, hal.2
78
UNICEF, 2006, Child Protection Information Sheet, Child Protection INFORMATION
Sheet
79
Ketentuan dalam Kesepakatan Bersama antara Departemen Sosial Republik Indonesia,
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional
Republik Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Departemen Agama Republik
Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial
Anak yang Berhadapan dengan Hukum Tanggal 15 Desember 2009. Pasal 1 Butir 3
70
1) Disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum;
atau
2) Telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan
orang/kelompok orang/lembaga/negara terhadapnya; atau
3) Telah melihat, mendengar, merasakan, atau mengetahui suatu peristiwa
pelanggaran hukum.80
Dilihat ruang lingkupnya maka anak yang berhadapan dengan hukum dapat dibagi
menjadi :
1) Pelaku atau tersangka tindak pidana;
2) Korban tindak pidana;
3) Saksi suatu tindak pidana.81
Menurut Pasal 1 huruf 2 Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, terdapat dua kategori perilaku anak yang dapat membuat seorang
anak berhadapan dengan hukum yakni status offences dan criminal offences. Status
offences adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa tidak
termasuk kejahatan atau anak yang melakukan perbuatan terlarang bagi seorang anak.
Misalnya, tidak menurut, membolos sekolah, kabur dari rumah, sedangkan criminal
offences adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa
termasuk kategori kejahatan atau anak yang bermasalah dengan hukum.82
80
Op.Cit, hal. 17
81
Ibid
71
Menurut Romli Atmasasmita dan Wagiati Soetodjo, motivasi intrinsik dan
ekstrinsik dari kenakalan anak :
1. Yang termasuk motivasi intrinsik dari pada kenakalan anak-anak adalah :
e. Faktor intelegentia
f. Faktor usia
g. Faktor kelamin
h. Faktor kedudukan anak dalam keluarga.
2. Yang termasuk motivasi ekstrinsik adalah :
e. Faktor rumah tangga
f. Faktor pendidikan dan sekolah
g. Faktor pergaulan anak
h. Faktor mass media.83
Kenakalan anak disebut juga dengan Juvenile Deliquency. Juvenile atau yang
(dalam bahasa Inggris) dalam bahasa Indonesia berarti anak-anak; anak muda,
sedangkan Deliquency artinya terabaikan atau mengabaikan yang kemudian diperluas
menjadi jahat, kriminal, pelanggar peraturan dan lain-lain. Kamus Besar Bahasa
Indonesia, delikuensi diartikan sebagai tingkah laku yang menyalahi secara ringan
norma dan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat.84
Perbuatan dikatakan delinkuen apabila perbuatan-perbuatan tersebut
bertentangan dengan norma yang ada dalam masyarakat dimana ia hidup atau suatu
perbuatan yang anti sosial yang didalamnya terkandung unsur-unsur anti normatif.85
82
Op.Cit, hal.2
83
Op.Cit, hal. 17
84
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, hal. 219
85
Sudarsono, 1991, Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 10.
72
Pengertian Juvenile Deliquency menurut Kartini Kartono adalah sebagai
berikut : Juvenile Deliquency yaitu perilaku jahat / dursila, atau kejahatan / kenakalan
anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan
remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu
mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang.86
Menurut Romli Atmasasmita Juvenile Deliquency adalah setiap perbuatan
atau tingkah laku seseorang anak dibawah umur 18 tahun dan belum kawin yang
merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat
membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan.87
Menurut Paul Mudikdo memberikan perumusan mengenai Juvenile Delinquency,
sebagai :
1. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi
anak-anak merupakan delinquency. Jadi semua tindakan yang dilarang oleh
hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya, membunuh dan lain sebagainya;
2. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang
menimbulkan keonaran dalam masyarakat;
3. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial termasuk
gelandangan, pengemis dan lain-lain.88
86
Kartini Kartono, 1992, Pathologi Sosial( 2), Kenakalan Remaja, Rajawali Pers, Jakarta, hal.7
87
Romli Atmasasmita, 1983, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja(Selanjutnya disebut dengan
Romli I), Armico, Bandung, hal.40
88
Supramono, 2007, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, hal.9
73
Di Amerika Serikat perbuatan yang dilakukan anak-anak dengan perbuatan
yang dilakukan oleh orang dewasa dibedakan pengertiannya. Suatu perbuatan
tindakan anti sosial yang melanggar hukum pidana, kesusilaan dan ketertiban umum
bila dilakukan oleh seseorang yang berusia diatas 21 tahun disebut dengan kejahatan
(crime), namun jika yang melakukan perbuatan tersebut adalah seseorang yang
berusia dibawah 21 tahun maka disebut dengan kenakalan (Deliquency).
2.3. Sistem Peradilan Pidana
Usaha penanggulangan kejahatan, secara operasional dapat dilakukan melalui
sarana penal maupun non penal. Menurut Muladi penanggulangan kejahatan melalui
sarana penal lazimnya secara operasional dilakukan melalui langkah-langkah:
Perumusan norma-norma hukum pidana yang di dalamnya terkandung adanya unsur
substantif, struktural dan kultural masyarakat tempat sistem hukum pidana itu
diberlakukan. Sistem hukum pidana yang berhasil dirumuskan itu selanjutnya secara
operasional bekerja lewat suatu sistem yang disebut Sistem Peradilan Pidana.89
Istilah sistem menurut Anatol Rapport sebagaimana yang dikemukakan oleh
Abdussalam dan DPM Sitompul memberikan pengertian sistem adalah whole which
function as a whole by virtue of the interdependence of its parts (Keseluruhan yang
berfungsi sebagai satu kebulatan yang saling ketergantungan diantara bagian
tersebut). RL Ackoff menyatakan sistem sebagai entity conceptual or physical, which
89
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, hal.7
74
concists of interdependent parts (kesatuan konseptual atau fisik yang terdiri dari
bagian-bagian yang tidak terpisahkan).90
Istilah sistem dari bahasa Yunani "systema" yang mempunyai pengertian
suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian whole compounded of
several parts (Seluruh diperparah dari beberapa bagian).91
Secara sederhana sistem
ini merupakan sekumpulan unsur-unsur yang saling berkaitan untuk mencapai tujuan
bersama, yang tersusun secara teratur dan saling berhubungan dari yang rendah
sampai yang tinggi.
Menurut Lili Rasjidi, ciri suatu sistem yaitu :
a. Suatu kompleksitas elemen yang terbentuk dalam satu kesatuan interaksi
(proses)
b. Masing-masing elemen terikat dalam satu kesatuan hubungan yang satu
sama lain saling bergantung (interdependence of its parts)
c. Kesatuan elemen yang kompleks itu membentuk satu kesatuan yang lebih
besar, yang meliputi keseluruhan elemen pembentuknya itu (the whole is
more than the sum of its parts)
d. Keseluruhan itu menentukan ciri dari setiap bagian pembentuknya (the
whole determines the nature of its parts)
e. Bagian dari keseluruhan itu tidak dapat dipahami jika ia dipisahkan, atau
dipahami secara terpisah dari keseluruhan itu (the parts cannot be
understood if considered in isolation from the whole)
f. Bagian-bagian itu bergerak secara dinamis secara mandiri atau secara
keseluruhan dalam keseluruhan (sistem) itu.92
90
Abdussalam dan DPM Sitompul, 2007, Sistem Peradilan Pidana, Restu Agung, Jakarta,
hal. 5.
91 Tatang M. Amirin, 1986, Pokok-Pokok Teori Sistem, Rajawali Cet.1, Jakarta, hal. 5.
92
Lili Rasjidi, I.B. Wiyasa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem,: PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung, hal 43
75
Pengertian Sistem Peradilan Pidana atau Criminal Justice System menurut
para ahli hukum antara lain :
a. Menurut Remington dan Ohlin, sebagaimana yang dikutip oleh Romli
Atmasasmita, Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pendekatan
sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana sebagai suatu
sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan,
praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial.
b. Menurut Hagan membedakan pengertian “Criminal justice system” dan
“Criminal Justice Process”. “Criminal Justice System” adalah interkoneksi
antara keputusan tiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana
sedangkan “Criminal Justice Process” adalah setiap tahap dari suatu putusan
yang menghadapkan tersangka ke dalam proses yang membawanya kepada
penentuan pidana baginya.
c. Menurut Marjono Reksodiputro sistem peradilan Pidana adalah sistem
pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga lembaga kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana.
d. Menurut Muladi Sistem Peradilan Pidana, harus dilihat sebagai “The network
of Courts and tribunal which deal with criminal law and it’s enforcement”.
Sistem peradilan Pidana di dalamnya terkandung gerak sistemik dari
subsistem pendukungnya ialah kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga
koreksi atau pemasyarakatan yang secara keseluruhan merupakan satu
kesatuan yang berusaha mentransformasikan masukan (input) menjadi
keluaran (output) yang menjadi tujuan dari sistem peradilan Pidana yang
terdiri dari :
1. Tujuan Jangka Pendek berupa resosialisasi pelaku tindak pidana.
2. Tujuan jangka menengah berupa pencegahan kejahatan dan
3. Tujuan jangka panjang berupa kesejahteraan sosial93
Menurut Black’s law Dictionary, rumusan dari sistem peradilan Pidana
Terpadu atau Integrated Criminal Justice System adalah “… the collective institutions
through which an accused offender passes until the accusations have been disposed
of or the assessed punishment conclued (kolektif lembaga-lembaga melalui mana
93
Nyoman Serikat Putra Jaya, 2006, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System),
Universitas Diponegoro. Semarang, hal. 3.
76
pelaku menuduh melewati sampai tuduhan telah dibuang atau hukuman dinilai
menyimpulkan)…”.94
Menurut Chamelin/Fox/Whisenand, yang dikutip oleh Abdussalam dan DPM
Sitompul, Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana adalah suatu sistem
dalam proses menentukan konsep sistem yaitu berupa aparatur peradilan pidana yang
diikat bersama dalam hubungan antara sub system kepolisian, pengadilan, dan
lembaga penjara.95
Menurut Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana dapat dilihat dari sudut
pendekatan normatif yang memandang keempat aparatur (kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan
perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata,
pendekatan manajemen atau administratif yang memandang keempat aparatur
penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme
kerja, baik hubungan yang bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai
dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut.96
Sistem peradilan pidana pada hakikatnya merupakan sistem yang berupaya
menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan, baik kepentingan negara,
94
Henry Campbel Black, 1999, Black’s Law Dictionary, St Paul Minn, West Group, hal. 381
95
Op.Cit, hal. 5
96
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan
Abolisionisme(Selanjutnya disebut dengan Romli II), Bina Cipta, Bandung, hal. 16
77
masyarakat maupun individu termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban
kejahatan. Pemahaman mengenai tujuan sistem peradilan pidana ini sangat penting,
dimana peradilan pidana hanya dapat berfungsi secara sistematis apabila bagian
sistem tersebut mengingat akan tujuan yang hendak dicapai oleh keseluruhan bagian
lainnya, dengan kata lain sistem tersebut tidak akan sistematis jika hubungan antara
polisi dengan pengadilan, penuntut umum dan lembaga permasyarakatan, lembaga
pemasyarakatan dengan pengadilan dan seterusnya tidak harmonis. Semua komponen
yang berada dalam subsistem peradilan pidana dalam harus bekerjasama secara
"terpadu" dan terintegrasi. Dirangkainya kata "terpadu" dalam istilah "sistem
peradilan pidana" nampaknya sangat menarik sebab dalam pengertian "sistem" itu
sendiri semestinya sudah mencakup makna terpadu, meskipun hal itu hanya
dilakukan untuk memberikan penekanan akan perlunya "integrasi" dan "koordinasi"
dalam sistem peradilan pidana.97
Menurut Bagir Manan bahwa terpadu dalam sistem peradilan adalah
keterpaduan antara penegak hukum. Keterpaduan dimaksudkan agar proses peradilan
dapat dijalankan secara efektif, efisien, saling menunjang dalam menemukan hukum
yang tepat untuk menjamin keputusan yang memuaskan baik bagi pencari keadilan
maupun menurut pandangan kesadaran, atau kenyataan hukum yang hidup dalam
masyarakat pada umumnya.98
97
Op.Cit, hal. 1
98
Bagir Manan, 2005, Sistem Peradilan Berwibawa, FH UII Press, Yogyakarta, hal. 93.
78
Menurut O.C. Kaligis bahwa Sistem Peradilan pidana terpadu adalah teori
yang berkenan dengan upaya pengendalian kejahatan melalui kerjasama dan
koordinasi diantara lembaga-lembaga yang oleh undang-undang diberi tugas untuk
itu. Kejahatan sendiri sulit dihilangkan sama sekali dimuka bumi ini, tetapi melalui
sistem peradilan pidana terpadu kejahatan tersebut dapat dikendalikan sehingga tidak
bertambah banyak bahkan jika mungkin, berkurang. Pengendalian kejahatan sama
maknanya dengan ketertiban di mana setiap orang mematuhi hukum yang berlaku
dalam masyarakat.99
Bertolak dari pemaparan yang tertuang dalam sistem peradilan pidana diatas
apabila kita kaji dengan pembahasan tesis disini maka kita akan berbicara mengenai
sistem peradilan pidana anak (juvenile justice system). Sistem Peradilan Pidana Anak
(juvenile justice system) adalah segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait di
dalam penanganan anak yang bermasalah dengan hukum. Unsur tersebut meliputi
beberapa unsur yaitu :
1. Polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali
bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan
apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut.
2. Jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan
apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak.
99
O.C. Kaligis, 2006, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan
Terpidana, PT. Alumni, Bandung, hal 171.
79
3. Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam
pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam
institusi penghukuman.
4. Institusi penghukuman.100
Keempat institusi pilar sistem peradilan pidana anak telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan tersendiri sebagai landasan yuridis bagi aparat penegak hukum
dalam menjalankan kewenangannya. Kewenangan tersebut dilengkapi dengan hukum
pidana material yang diatur dalam KUHP dan hukum pidana formal yang diatur
dalam KUHAP.
2.4. Lembaga Dalam Peradilan Anak
Istilah peradilan menunjuk kepada lingkungan badan peradilan.101
Menurut
Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 10
ayat (2) menyatakan bahwa adanya empat lingkungan badan peradilan yaitu :
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha
Negara. Badan-badan peradilan tersebut mempunyai kekuasaan dan wewenang
masing-masing dalam tugas menyelesaikan perkara sedangkan istilan pengadilan
mengacu kepada fungsi badan peradilan itu sendiri.
100
Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, mengutip Robert C. Trajanowics and
Marry Morash, 2003, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia,
UNICEF, Indonesia, hal 5
101 Loc.Cit, hal.16
80
Didalam suatu peradilan tidak menutup adanya suatu pengadilan khusus
sehingga dalam hal ini memungkinkan adanaya pengkhususan didalam suatu
peradilan itu sendiri. Pengadilan Anak adalah salah satu contoh pengadilan khusus
yang berada dalam lingkungan peradilan umum. Pengadilan Anak tugas dan
wewenangnya pada prinsipnya sama dengan pengadilan lain meskipun sama tetap
harus ada diperhatikan bahwa perlindungan anak merupakan tujuan utama.102
Lembaga-lembaga yang menangani perkara anak sesuai dengan Undang-
undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yaitu :
1. Kepolisian
Kepolisian adalah pihak yang paling awal melakukan penanganan terhadap
pelaku kejahatan atau pelanggaran, jika terjadi suatu kejahatan polisi wajib
melakukan pengusutan dan melakukan penyidikan, selanjutnya pihak kejaksaan
mengambil alih perkara guna melakukan penuntutan kepada para pelaku kejahatan di
muka pengadilan.
Kepolisian memiliki beberapa kewenangan diantarananya yaitu :
Kepolisian berwenang melakukan penyelidikan, dimana penyelidikan diartikan
sebagai serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu keadaan atau
peristiwa yang diduga merupakan kejahatan atau tindak pidana guna mendapatkan
bukti permulaan yang diperlukan untuk memutuskan apakah diperlukan penyidikan
atau tidak sesuai Pasal 1 (5) KUHAP, dalam hal ini Pejabat yang berwenang
melakukan penyelidikan adalah polisi (pasal 1 butir 4 KUHAP). Bukti permulaan
102
Bambang Waluyo, 2000, Pidana Dan Pemidanaan, Sinar Graha, Jakarta, hal.103
81
diartikan sebagai petunjuk awal adanya keterlibatan seseorang atau kelompok dalam
tindak pidana. Menurut Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI (Kapolri) No Pol.
SKEP/04/1/1982, bukti permulaan yang cukup merupakan katerangan dan data yang
terkandung dalam dua diantara :
a. Laporan polisi
b. Berita Acara Pemeriksaan Polisi
c. Laporan hasil penyelidikan
d. Keterangan saksi/saksi ahli
e. Barang bukti103
Barang bukti menurut pasal 184 UU No 8/1981 adalah keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Kepolisian juga memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan,
dimana penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan penyidik untuk
mencari dan mengumpulkan bukti guna mengungkap tindak pidana dan
menemukan tersangka atau pelaku. Pejabat yang berwenang melakukan
penyidikan tindak pidana adalah polisi atau pejabat sipil yang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang, khusus untuk tindak pidana ekonomi dan korupsi
peejabat yang berwenang adalah kejaksaan.104
Adapun wewenang yang dimiliki
penyidik, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 7 Ayat (1) huruf b sampai
dengan huruf j KUHAP, yaitu :
103 Darwan Prinst, 1998, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik (Selanjutnya disebut dengan
Darwan Prinst II), Djambatan, Jakarta, hal. 30
104 Tadjuddin Malik, Integrated Criminal Justice System di Indonesia, Serial Online
September 30, 2010, availaible from : URL: http: http://tadjuddin.blogspot.com/2010/07/kemandirian-
yudisial.html
82
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya
suatu tindak pidana
2. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian
3. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka
4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan
penyitaan
5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat
6. Mengambil sidik jari dan memotret seorang
7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi
8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara
9. Mengadakan penghentian penyidikan
10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab
Undang - Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara RI terdapat
beberapa ketentuan yang secara khusus mengatur tentang penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan disidang pengadilan yang tidak diatur di dalam KUHAP dan hal ini
merupakan relevansi dari azas hukum pidana (Lex Specialist Derogat Lex Generalis).
Secara sosiologis, kewenangan polisi dalam proses pemeriksaan pendahuluan ini
dapat dilihat sebagai kedudukan (status) dan peranan (role). Berdasarkan perumusan
kedua peraturan perundang-undangan ini, Barda Nawawi Arief memerinci tugas
pokok Polri sebagai penegak hukum yang memelihara keamanan dalam negeri, yang
lebih luas mencakup berbagai aspek yang sangat luhur dan mulia, yaitu:
a. Aspek ketertiban dan keamanan umum;
b. Aspek perlindungan terhadap perorangan dan masyarakat / dari gangguan /
perbuatan melanggar hukum / kejahatan; dari penyakit-penyakit masyarakat
83
dan aliran-aliran kepercayaan yang membahayakan; termasuk aspek
pelayanan masyarakat dengan memberi perlindungan dan pertolongan.
c. Aspek pendidikan sosial di bidang ketaatan / kepatuhan hukum warga
masyarakat;
d. Aspek penegakan hukum di bidang peradilan, khususnya di bidang
penyelidikan dan penyidikan.105
Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik
Indonesia, Polisi memiliki tugas pokok yaitu :memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat, dalam melaksanakan tugas pokok ini, maka Polisi
Republik Indonesia bertugas :
a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap
kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban,
dan kelancaran lalu lintas di jalan;
c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran
hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan
peraturan perundang-undangan;
d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap
kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk
pengamanan swakarsa;
g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai
dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,
laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas
kepolisian;
105
Loc.Cit, hal.3
84
i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan
hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan
bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani
oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya
dalam lingkup tugas kepolisian; serta
l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan..
Menurut Barda Nawawi Arief, bahwa dengan memperhatikan perincian tugas
yuridis Polri seperti telah dikemukakan di atas, terlihat pada intinya ada dua tugas
Polri dibidang penegakan hukum, yaitu penegakan hukum di bidang peradilan pidana
(dengan sarana "penal") dan penegakan hukum dengan sarana ("non penal"). Dengan
demikian dalam menjalankan tugasnya Polri sebenarnya "berperan ganda" baik
sebagai "penegak hukum” maupun sebagai "pekerja sosial" ("social worker"). Untuk
kedua tugas ganda ini, dalam Kongres PBB ke-5 (mengenai Prevention of Crime and
The Treatment of Offenders) pernah digunakan istilah "law enforcement duties", dan
"service-oriented task".106
Peranan ganda dari tugas polisi sebagaimana disebutkan diatas sering disebut pula
dengan "ambivalensi peranan polisi", sehingga untuk menghindari kerancuan
pembahasan dalam penelitian ini, maka fungsi / peranan Polisi yang hendak dibahas
adalah fungsi / peranan Polisi sebagai aparatur penegak hukum di bidang peradilan
pidana sebagai bagian "criminal justice system” khususnya di bidang penyidikan
perkara tindak pidana.
106
Ibid, hal.4
85
Fungsi ini dalam organisasi kepolisian diemban oleh "fungsi reserse" yang
khusus melaksanakan hukum dalam bidang represif yaitu melakukan segala tindakan
sesudah terjadi kejahatan atau tindak pidana, sehingga fungsi reserse atau penyidikan
ini baru dilaksanakan setelah diketahuinya tindak pidana, baik melalui laporan,
pengaduan, tertangkap tangan maupun diketahui langsung oleh penyidik. Adapun
pengertian fungsi reserse atau peyidikan adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi
penyidikan, penindakan, pemeriksaan serta penyelesaian dan penyerahan perkara
kepada penuntut umum (Kejaksaan) dalam rangka sistem acara pidana.107
Perkara pidana yang dilakukan oleh anak – anak pada umumnya ketentuan
yang dilanggar adalah peraturan pidana yang terdapat dalam KUHP, maka
penyidikannya dilakukan oleh penyidik umum dalam hal ini penyidik Polri. Sejalan
dengan diberlakukannya undang – undang pengadilan anak, telah dipertegas bahwa
penyidikan terhadap perkara anak nakal dilakukan oleh penyidik Polri dengan dasar
hukum Pasal 41 ayat (1) Undang – Undang Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997 yang
pada intinya menyebutkan bahwa ”penyidikan terhadap anak nakal dilakukan oleh
penyidik yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI atau
pejabat lain yang ditunjuk oleh Kapolri”. Meskipun penyidiknya penyidik Polri, akan
tetapi tidak semua penyidik Polri dapat melakukan penyidikan terhadap perkara anak
nakal. Undang – Undang Pengadilan Anak dikenal adanya penyidik anak, yang
berwenang melakukan penyidikan. Penyidik anak diangkat oleh Kapolri dengan Surat
107
Departemen Pertahanan Keamanan AKABRI, 1980, Fungsi Reserse POLRI, Jakarta, hal.5
86
Keputusan Khusus untuk kepentingan tersebut. Undang – Undang Pengadilan Anak
melalui Pasal 41 Ayat (2) menetapkan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh
seorang anggota Polri adalah :
1. Telah berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan
oleh orang dewasa;
2. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak.
2. Kejaksaan
Tugas pokok jaksa dibidang pidana menurut Pasal 27 Undang-undang No.5
Tahun 1991 tentang Kejaksaan adalah mempunyai tugas dan wewenang :
a. melakukan penuntutan dalam perkara pidana;
b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan,
c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat;
d. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Jaksa penuntut umum secara organic termasuk dalam lembaga kejaksaan merupakan
lembaga yang berdiri sendiri dibawah pimpinan Jaksa Agung. Kejaksaan menganut
asas “satu dan tidak terpisahkan”, artinya dalam melaksanakan tugasnya pejabat-
pejabat kejaksaan diharuskan mengindahkan hubungan hirarki dilingkungan
pekerjaannya.108
108
Soesilo Yuwono, 1982, Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP Sistem Dan
Prosedur, Alumni Bandung, hal.44
87
Jaksa penuntut umum mempunyai kewenangan sebagaimana ditetapkan dalam
Pasal 14 KUHAP yaitu :
a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau
penyidik pembantu;
b. mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi
petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan
lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan
oleh penyidik;
d. membuat surat dakwaan;
e. melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan
waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada
terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah
ditentukan;
g. melakukan penuntutan;
h. menutup perkara demi kepentingan hukum;
i. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai
penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;
j. melaksanakan penetapan hakim.
Penyidikan perkara anak nakal dilakukan oleh penyidik anak sehingga pada tahap
penuntutan juga dilakukan oleh penuntut umum anak dengan syarat-syarat sebagai
mana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak yang berbunyi :
(2) Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a. telah berpengalaman sebagai penuntut umum tindak pidana yang dilakukan
oleh orang dewasa;
b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak
Undang-undang Pengadilan Anak menghendaki agar setiap Kejaksaan Negeri
memiliki penuntut umum anak untuk menangani perkara anak nakal, apabila pada
88
suatu kejaksaan negeri tidak mempunyai penuntut umum anak maka tugas penuntut
perkara anak nakal dibebankan kepada penuntut umum yang melakukan tugas
penuntutan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa sesuai dengan pasal
53 ayat (3) Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
3. Pengadilan
Pengadilan adalah lembaga yang berwenang untuk memerikasa, mengadili,
dan memutus suatu perkara termasuk perkara anak nakal berdasarkan asas bebas,
jujur, dan tidak memihak disidang pengadilan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang. Fungsi hakim dalam mengadili suatu perkaramaka haki mempunyai
kedudukan bebas dan bertanggungjawab terhadap segala urusan dalam peradilan oleh
pihak-pihak lain dilarang kecuali dalam hal diperkenankan oleh Undang-undang.
Hakim adalah harapan para justiabelen (pencari keadilan) oleh karena itu mereka
harus membaca jiwa yang terkandung di dalam teks-teks hukum.109
Pemerikasaan siding anak dilakukan oleh hakim khusus yaitu : Hakim
Anak.Pengangkatan hakim anak ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia dengan surat keputusan dengan mempertimbangkan usulan Ketua
Pengadilan Tinggi tempat hakim bersangkutan bertugas sebagaimana diatur dalam
PAsal 9 Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
109
Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi RI Vol. 6, Satjipto Rahardjo, Dalam Jagat
Ketertiban Hukum Progresif, Juli, 2009
89
Pengangkatan hakim anak oleh Ketua Mahkamah Agung karena hal tersebut
menyangkut teknis yuridis pengadilan dan merupakan pengangkatan hakim khusus
(Spesialis). Syarat-syarat untuk menjadi hakim dalam pengadilan anak di atur dalam
Pasal 10 yang berbunyi :
Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 adalah :
a. telah berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum; dan
b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak.
Terkait dengan perkara anak nakal maka dalam hal ini hakim yang memeriksa dan
memutus perkara anak ini adalah hakim tunggal kecuali dipandang perlu untuk
diperiksa oleh majelis hakim.
4. Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga Pemasyarakatan sering disingkat dengan istilah ”LAPAS”, dimana
hal ini merupakan tempat terpidana untuk menjalani hukuman pidananya baik yang
menjalani hukuman penjara maupun kurungan. Menurut Satjipto Rahardjo,
narapidana bukan orang hukuman melainkan orang tersesat dan kesempatan untuk
bertobat, tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan melainkan melalui
bimbingan.110
Operasional di lapangan banyak kalangan yang tidak mengetahui atau tidak
mau mengakui bahwa instansi pemasyarakatan adalah termasuk dalam jajaran
110
Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, 1995, Lembaga Pemasyarakatan
Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal.38
90
penegak hukum, akan tetapi di kalangan akademisi pengakuan tersebut tidak perlu
diragukan lagi. Terlebih hal ini apabila dibandingkan dengan negara negara maju
seperti Amerika Serikat, instansi pemasyarakatan (correction) dilibatkan dan
disejajarkan dengan instansi Kepolisian, Kejaksaan, serta Pengadilan dalam suatu
sistem penegakan hukum terpadu yakni yang disebut dengan istilah integrated
criminal justice system (Sistem Peradilan Pidana Terpadu).111
Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pada Pasal 8
disebutkan bahwa Petugas Pemasyarakatan merupakan pejabat fungsional penegak
hukum yang melaksanakan tugas di bidang pembinaan, pengamanan dan
pembimbingan warga binaan pemasyarakatan, sebagai pejabat fungsional penegak
hukum, Petugas Pemasyarakatan terikat untuk menegakkan integritas profesi dalam
pelaksanaan misi Pemasyarakatan. Konteks pelaksanaan misi Pemasyarakatan
tersebut menempatkan posisi petugas Pemasyarakatan dalam lintas relasi yang setara
merupakan prasyarat berjalannya sistem peradilan pidana yang terpadu.
Pasal 60 Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak mengatur
bahwa :
(1) Anak Didik Pemasyarakatan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak yang
harus terpisah dari orang dewasa.
(2) Anak yang ditempatkan di lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berhak
memperoleh pendidikan dan latihan sesuai dengan bakat dan kemampuannya serta
hak lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
111
Romli Atmasasmita, 1995, Kapita Selekta Hukum Pidana Dan Kriminologi (Selanjutnya
disebut dengan Romli III), Mandar Maju, Jakarta, hal.140
91
Lembaga Pemasyarakatan anak adalah tempat pendidikan dan pembinaan bagi
anak pidana, anak negara dan anak sipil, apabila disuatu tempat belum ada LAPAS
anak maka anak didik pemasyarakatan ditempatkan di LAPAS namun
penempatannya dipisahkan dengan narapidana dewasa. Salah satu hal ini merupkan
suatu bentuk kekhususan yang terdapat dalam proses penanganan anak yang
bermasalah dengan hukum sehingga prinsip ini diharakan dalam pelaksanaannya atau
secara formil dilakukan oleh para aparat penegak hukum yang yang terkait dengan
anak yang bermasalah dengan hukum.
5. BAPAS (Balai Pemasyarakatan)
Balai Pemasyarakatan adalah suatu lembaga mutlak yang harus ada salam
sebuah system eradilan pidana anak khususnya bagi anak yang bermasalah dengan
hukum, dimana dalam hal ini BAPAS merupakan sebuah lembaga pelaksana
peraturan perundang-undangan khususnya dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak. Pengertian mengena Pembimbing Kemasyarakatan diatur
dalam Pasal 1 angka 11 Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
yang menyatakan bahwa Pembimbing Kemasyarakatan adalah petugas
pemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan yang melakukan bimbingan Warga
Binaan Pemasyarakatan.
Berbicara mengenai tahap persidangan sebelum dibuka, Hakim
memerintahkan Pembimbing Kemasyarakatan menyampaikan laporan hasil penelitian
kemasyarakatan mengenai anak yang bersangkutan yang berisi data individu anak,
92
keluarga, pendidikan dan kehidupan sosial anak serta kesimpulan atau pendapat dari
Pembimbing Kemasyarakatan (Pasal 56), pada waktu pemeriksaan saksi hakim dapat
memerintahkan terdakwa keluar sidang., sedangkan orang tua, wali,orang tua asuh,
penasihat huklum dan pembimbing kemasyarakatan tetap hadir (Pasal 57).
Tugas Balai Pemasyarakatan adalah sebagai perantara untuk melaksanakan
bimbingan Pemasyarakatan, dalam perkara anak BAPAS bertugas mempersiapkan
LITMAS (Penelitian Kemasyarakatan) yang dilaksanakan oleh Petugas
Pemasyarakatan, selaku pejabat fungsional Penegak Hukum yang melaksanakan
tugas Pembinaan, Pengamanan dan Pembimbingan warga Binaan Pemasyarakatan.
LITMAS hendaknya dibuat berdasarkan fakta-fakta yang jelas, bagaimana keadaan
anak disekolah, dilingkungan tempat tinggalnya, keterangan RT, RW, Lurah
setempat, bagaimana kehidupan sehari-hari anak tersangka tersebut. Selain hal
tersebut suatu keluhan dan keberatan masyarakat setempat, data-data yang perlu
dipelajari Hakim dalam mempertimbangkan Pemidanaan yang akan dijatuhkan, dan
apabila hal tersebut tidak dilakukan maka dapat diancam dengan ancaman batal demi
hukum bilamana LITMAS tidak dipertimbangkan Hakim (Pasal 59 ayat 2).
6. KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia)
BAB XI pada pasal 74 Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak maka dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan
perlindungan anak, dengan undang-undang ini dibentuk Komisi Perlindungan Anak
Indonesia yang bersifat independen. Pasal 75 mengatur tentang keanggotaan Komisi
93
Perlindungan Anak Indonesia yang terdiri dari beberapa unsur yakni ; unsur
pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi
kemasyaraktan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, dan
kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak.
Pasal 76 mengatu tentang tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia yaitu :
(1) Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima
pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantaun, evaluasi, dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak;
(2) Memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden
dalam rangka perlindungan anak.
VISI & MISI KPAI :
VISI : Terjamin, Terpenuhi, dan terlindunginya hak – hak anak di
Indonesia.
Misi :
a) Menyadarkan semua orang terutama orang tua, keluarga,
masyarakat dan negara akan pentingnya perlindungan hak anak;
b) Menyadarkan anak-anak sendiri akan hak - haknya;
94
c) Menerima Pengaduan masyarakat dan memfasilitasi pelayanan
terhadap kasus-kasus pelanggaran hak-hak anak.112
112 Magdalena Sitorus, 2006, Makalah Perlindungan Anak Di Indonesia Dan
Implementasinya, Disampaikan dalam Seminar Kejahatan Terhadap Anak, Meridien 11 Juli 2006,
Jakarta.
95
BAB III
PROSES PENANGANAN ANAK
YANG BERMASALAH DENGAN HUKUM
DALAM PERADILAN PIDANA
3.1 Proses Penanganan Anak Yang Bermasalah Dengan Hukum Di Indonesia
Berbicara mengenai proses peradilan anak yang berhadapan dengan hukum
maka sebelum membahas menganai hal bagaimana proses peradilan anak di
Indonesia dan dalam instrumen internasional maka hendaknya kita membahas
mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan proses penanganangan anak itu
sendiri. Proses peradilan adalah suatu proses yuridis, dimana harus ada kesempatan
orang berdiskusi dan dapat memperjuangkan pendirian tertentu yaitu mengemukakan
kepentingan oleh berbagai macam pihak, mempertimbangkannya dan dimana
keputusan yang diambil tersebut mempunyai motivasi tertentu.113
Seperti halnya
orang dewasa, anak sebagai pelaku tindak pidana juga akan mengalami proses hukum
yang identik dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana, arti kata identik
disini mengandung arti ”hampir sama”, yang berbeda hanya lama serta cara
penanganannya.
Menghadapi dan menangani proses peradilan anak nakal, maka hal yang
pertama yang tidak boleh dilupakan adalah melihat kedudukannya sebagai anak
113
Shanty Dellyana, 1988, Wanita Dan Anak Dimata Hukum, Liberty, Yogyakarta, hal.57.
96
dengan semua sifat dan ciri-cirinya yang khusus, dengan demikian orientasi adalah
bertolak dari konsep perlindungan terhadap anak dalam proses penangannya sehingga
hal ini akan akan berpijak ada konsep kejahteraan anak dan kepentingan anak
tersebut. Penanganan anak dalam proses hukumnya memerlukan pendekatan,
pelayanan, perlakuan, perawatan serta perlindungan yang khusus bagi anak dalam
upaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum.
Menurut Retnowulan Sutianto perlindungan anak merupakan suatu bidang
Pembangunan Nasional, melindungi anak adalah melindungi manusia, dan
membangun manusia seutuh mungkin. Hakekat Pembangunan Nasional adalah
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berbudi luhur. Mengabaikan
masalah perlindungan anak berarti tidak akan memantapkan pembangunan
nasional.114
Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai
permasalahan sosial yang dapat mengganggu penegakan hukum, ketertiban,
keamanan, dan pembangunan nasional. Maka, ini berarti bahwa perlindungan anak
harus diusahakan apabila kita ingin mengusahakan pembangunan nasional yang
memuaskan.
Proses penanganan anak yang berhadapan dengan hukum erat kaitannya
dengan penegakan hukum itu sendiri, dimana dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
(juvenile justice system). Menurut Barda Nawawi Arief, Sistem Peradilan Pidana
114
Romli Atmasasmita, 1997, Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, Bandung,
(selanjutnya disingkat Romli IV) hal. 166
97
pada hakikatnya merupakan ”sistem kekuasaan menegakkan hukum pidana” yang
diwujudkan dalam 4 (empat) subsistem yaitu:
1. Kekuasaan ”Penyidikan” (oleh Badan/Lembaga Penyidik)
2. Kekuasaan ”Penuntutan” (oleh Badan/Lembaga Penuntut Umum)
3. Kekuasaan ”Mengadili dan Menjatuhkan putusan/pidana” (oleh Badan
Pengadilan)
4. Kekuasaan ”Pelaksanaan Putusan Pidana” (oleh Badan/Aparat
Pelaksana/Eksekusi).115
Keempat institusi pilar sistem peradilan pidana anak telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan tersendiri sebagai landasan yuridis bagi aparat penegak hukum
dalam menjalankan kewenangannya. Kewenangan tersebut dilengkapi dengan hukum
pidana material yang diatur dalam KUHP dan hukum pidana formal yang diatur
dalam KUHAP. Perkembangan terakhir dengan diundangkannya UU No. 18 Tahun
2003 tentang Advokat pada Pasal 5 ayat (1), maka advokat telah mempunyai
legitimasi sebagai aparat penegak hukum dan dapat dimasukkan sebagai salah satu
komponen sistem peradilan pidana.116
Teori berkaitan dengan sistem peradilan pidana (criminal justice system). Ada
yang menggunakan pendekatan dikotomi dan atau pendekatan trikotomi.117
Pendekatan dikotomi berdasarkan pendapat Herbert L. Packer membedakan
115
Barda Nawawi Arief, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan
Pidana Terpadu (Selanjutnya disebut dengan Barda Nawawi Arief V), Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, hal. 20.
116
Mahmud Mulyadi, 2008, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non
Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, hal.23
117
Romli Atmasasmita, 1995, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Mandar Maju,
Banding , (selanjutnya disingkat Romli I), hal. 137.
98
pendekatan normatif ke dalam dua model yaitu Due Process Model dan Crime
Control Model.118
Pembedaaan dua model tersebut sesuai dengan kondisi sosial,
budaya, dan stuktur masyarakat di Amerika.
Kedua model sistem peradilan di atas terdapat persamaan dan perbedaan.
Persamaannya dilandasi pada asumsi tentang:
1. Penetapan suatu tindakan sebagai tindakan pidana harus terlebih dahulu
ditetapkan jauh sebelum proses identifikasi dan kontak dengan seorang
tersangka pelaku kejahatan atau lebih dikenal dengan asas ex post facto law,
artinya undang-undang tidak berlaku surut.
2. Hukum untuk melakukan tindakan penyidikan dan penangkapan terhadap
seorang tersangka pelaku kejahatan.
3. Seorang pelaku kejahatan adalah subjek hukum yang harus dilindungi dan
berhak atas peradilan yang jujur dan tidak memihak.119
Sedangkan perbedaan sistem Due Process Model (D.P.M) dan Crime Control Model.
Crime Control Model (C.C.M) dapat dilihat pada tabel di bawah ini120
:
118 Op.cit, hal.152
119
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana, Bina Cipta, Bandung, (selanjutnya
disingkat Romli V) hal. 18
120 Romli Atmasasmita, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Bina Cipta, Bandung,
(selanjutnya disingkat Romli VI) hal. 12
99
Perbedaan Model Crime Control Model dan Due Process Model
Pendekatan trikotomi yang dapat dipaparkan dalam pembahasan ini meliputi
tiga model yaitu :
1. Medical model
pendekatan ini berawal dari ajaran Lombroso yang menyatakan penjahat
merupakan seorang yang memiliki kepribadian yang menyimpang, dan
disebut sebagai orang yang sakit, oleh karena itu sistem peradilan pidana
Crime Control Model Versus Due Process Model
5 Karakteristik Nilai (Value) 6 Karakteristik
1. Represif
2. Presumption of Guilt
3. Informal Fact Finding
4. Factual Guilt
5. Efisiensi
Affirmative Model
Mekanisme
(Mechanism)
Tipologi
1. Preventif
2. Presumption of Innocence
3. Formal - Adjudicative
4. Legal Guilt
5. Efektifitas
Negative Model
100
harus menjadi terapi, sehingga pelaku kejahatan rnenjadi manusia yang
normal.121
2. Justice Model
model ini melakukan pendekatan pada masalah-masalah kesusilaan,
kemasyarakatan, dan norma-norma hukum serta pengaruh-pengaruh sistem
peradilan pidana. Model ini melakukan re-evaluasi terhadap hasil-hasil dari
administrasi peradilan pidana dan memberikan perhatian khusus pada sanksi
pidana, moral, dan social cost.122
3. Model Gabungan
Model ini adalah model gabungan antara Medical model dan Justice Model,
dimana dalam hal ini menitikberatkan pada kompensasi atas korban-korban
kejahatan.123
Menurut Muladi, selain Due Process Model (D.P.M) dan Crime Control
Model. Crime Control Model (C.C.M) ada model lain yang dikemukakan oleh Muladi
yaitu Model Keseimbangan Kepentingan. Menurut Muladi model sistem peradilan
pidana yang cocok bagi Indonesia adalah model yang mengacu pada “daad-dader
srafrecht” yang disebut dengan Model Keseimbangan Kepentiangan. Model ini
121
Barda Nawawi Arief, 1994, Kebijakan Legeslatif Dalam Penanggulangan Kejahatan
Dengan Pidana Penjara (Selanjutnya disebut dengan Barda Nawawi Arief VI), Badan Penerbit
UNDIP, Semarang , hal.19
122
Loc.Cit
123
Ibid
101
adalah model yang realistik yaitu memerhatikan berbagai kepentingan yang harus
dilindungi oleh hukum pidana yaitu : kepentingan negara, kepentingan umum,
kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana, dan kepentingan korban
kejahatan.124
Menurut pendapat lainnya terkait dengan model dalam sistem peradilan
pidana juga dikemukakan oleh Griffiths yaitu Family Model, setelah kita mempelajari
secara mendalam maka kita juga tidak dapat menerima sepenuhnya Family Model
dari Griffiths yang saat ini digunakan di negeri Belanda dimana model itu kurang
memadai karena terlalu offender oriented padahal disisi lain terdapat korban (the
victimof crime) yang memerlukan perhatian serius.125
Bertolak timbulnya konsep pemikiran tersebut dalam tesis ini adalah tidak
terlepas dari adanya peraturan yang memuat hukum materiil dan formil terkait dengan
perkara yang pelakunya anak yaitu tidak terlepas dari Undang-Undang No.3 Tahun
1997 tentang Pengadilan anak., dimana dalam aturan norma ini dalam kenyataan yang
terjadi di Indonseia belumlah dapat memenuhi tujuan dari Undang-undang itu sendiri
dimana dalam orientasi ini adalah berorientasi pada ”kepentingan terbaik bagi anak”.
Undang-undang No.3 Tahun 1997 yang merupakan ius constitutum mengenai
Pengadilan Anak saat ini tidak efektif sebaimana yang digariskan pada konsiderans
dan penjelasan Undang-undang itu sendiri, disebabkan pada undang-undang itu tidak
memberikan ruang dan jalan keluar untuk melakukan diskresi dan diversi kepada
124
Op.Cit, hal.13
125
Op.Cit, hal.5
102
hakim setelah melihat penilaian BAPAS. Padahal diskresi dan diversi merupakan
klep pengaman bagi anak-anak pelaku delinkuen tertentu, untuk terhindar dari proses
konvensional sistem peradilan pidana anak yang lazimnya memiliki dampak negatif
terhadap terjadinya stigmatisasi anak. Undang-undang No.3 Tahun 1997 tersebut
pada tataran ius operatum ketentuan UU No.3 tahun 1997, penegakan hukumnya
belum mampu dilakukan oleh aparat penegak hukum yang profesional membidangi
anak sebagaimana dikehendaki undang-undang itu sendiri. Dalam kajian kriminologi,
stigmatisasi yang dialami anak menjadi factor pemicu kriminogen dalam mengulangi
kenakalan berikutnya.
Bertolak dari hal tersebut diatas apabila kita lihat dalam ius constitutum maka
di Indonesia terkait dengan proses penanganan anak yang berhadapan dengan hukum
adalah berdasarkan dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP))
dan Undang-undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dimana sesuai
dengan asas “Lex Spesialis derogat Lex Generalis” yaitu aturan khusus
mengesampingkan aturan umum sehingga dalam hal proses penanganan anak yang
berhadapan dengan hukum adalah berlandaskan Undang-undang No.3 Tahun 1997
tentang Pengadilan anak, namun sepanjang tidak diatur oleh undang-undang ini maka
KUHAP tetap diberlakukan.
Dalam konteks ini kita berbicara tentang mekanisme peradilan pidana sebagai
suatu “proses”, dimana hal ini dimulai dari proses penangkapan, penggeledahan,
penahanan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan serta diakhiri dengan
103
pelaksanaan pidana di tempat pemasyarakatan.126
Proses (pelaksanaan penegakan
hukum) pidana merupakan suatu bentuk pemeriksaan yang dilakukan menurut
tatacara yang ditentukan oleh undang-undang (Pasal 3 KUHAP), Undang-undang ini
menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka yang ada dalam proses
dimana pelaksanaan dan hak dan kewajiban mereka itu menjadi intinya proses.127
Perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan dilakukan dimulai
semenjak tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang
pengadilan sampai pada pelaksanaan putusan pengadilan tersebut. Selama proses
peradilan tersebut , maka hak-hak anak wajib dilindungi oleh hukum yang berlaku
dan oleh sebab itu harus dilakukan secara konsekuen oleh pihak-pihak terkait dengan
penyelesaian masalah anak nakal tersebut. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan
dalam proses penanganan anak yang berhadapan dengan hukum adalah :
1. Dalam Proses Penyidikan
”Kekuasaan Penyidikan” adalah tahap yang paling menentukan dalam
operasionalisasi Sistem Peradilan Pidana Terpadu tersebut dalam rangka
tercapainya tujuan dari Penegakan Hukum Pidana, karena pada tahap
penyidikanlah dapat diketahui adanya tersangka suatu peristiwa kejahatan
atau tindak pidana serta menentukan tersangka pelaku kejahatan atau tindak
pidana tersebut sebelum pelaku kejahatan tersebut pada akhirnya dituntut dan
126 Romli Atmasasmita, 1983, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana,, Bina Cipta, Bandung,
(selanjutnya disingkat Romli VII) hal. 16
127
Soedirdjo, 1985, Jaksa Dan Hakim Dalam Proses Pidana, Akademika Presindo, Jakarta,
hal 2
104
diadili di pengadilan serta diberi sanksi pidana yang sesuai dengan
perbuatannya. Tanpa melalui proses atau tahapan penyidikan maka secara
otomatis, tahapan-tahapan selanjutnya dalam proses peradilan pidana yaitu
tahapan penuntutan,pemeriksaan di muka pengadilan dan tahap pelaksanaan
putusan pidana tidak dapat dilaksanakan.
Penyidikan itu sendiri, berarti serangkaian tindakan penyidik, dalam
hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari
dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya128
, sedangkan
”bukti”, dalam ketentuan tersebut di atas adalah meliputi alat bukti yang sah
dan benda sitaan/barang bukti. Di Indonesia, masalah kewenangan dan
ketentuan mengenai ”Penyidikan” diatur di dalam UU No. 8 tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menjadi dasar
hukum pidana formil di Indonesia. Ketentuan mengenai aparat yang
berwenang untuk melakukan penyidikan, selain diatur di dalam KUHAP, juga
diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan lain di luar KUHAP.
Tindakan yang dapat dilakukan penyidik adalah penangkapan,
penahanan, mengadakan pemeriksaan ditempat kejadian, melakukan
penggeledahan, pemeriksaan tersangka dan interogasi, membuat Berita Acara
Pemeriksaan ((BAP), penyitaan, penyimpanan perkara, melimpahan
128
Andi Hamzah, 2006, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Cet.5, Sinar Grafika,
Jakarta, hal.118
105
perkara.129
Penyidikan yang diterapkan dalam Undang-undang No.3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak harus dipandang sebagaimana layaknya status
dan fungsi seorang penyidik menurut KUHAP.
Penyidikan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan
oleh penyidik anak yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala
Kepolisian RI atau pejabat yang ditunjuknya, dimana berdasarkan Pasal 41
ayat (2) yang berbunyi :
Pasal 41 ayat (2) :
Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) adalah :
a. telah berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh
orang dewasa;
b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak.
Sedangkan terkait dengan penyidikan anak tersebut haruslah dalam
suasana kekeluargaan sebagaimana diatur dalam Pasal 42 Ayat ( 1 ), ( 2 ) dan (
3 ) UU RI No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak menyebutkan bahwa :
a. Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan;
b. Dalam melakukan penyelidikan terhadap anak nakal, penyidik wajib
meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan, dan
apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli
pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan
lainnya;
c. Proses penyidikan terhadap anak nakal wajib dirahasiakan.
129
Pramita dan Tamba B.I.T, 2003, Perlindungan Hak Anak Dalam Proses Peradilan Pidana
Pada Tahap Penyidikan, Jurnal Hukum, hal.29
106
Bertolak dari hal tersebut maka pada waktu pemeriksaan terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum tersebut seorang penyidik tidak memakai seragam
atau dinas dan melakukan pendekatan secara efektif, aktif, dan simpatik.
Berbicara mengenai penyidikan anak maka kita akan berbicara
mengenai kewenangan yang diatur menurut Pasal 5 ayat (2) dan (3) Undang-
undang No.3 Tahun 1997 yang berbunyi :
Pasal 5
(2) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua,
wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut
kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.
(3) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orang tua,
wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada
Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing
Kemasyarakatan.
Bertolak dari bunyi Pasal tersebut terlihat jelas adanya suatu keadaan yang
bersifat kabur, dimana dalam hal ini apakah yang menjadi dasar legalitas atas
tindakan lain yang berupa pengembalian anak yang bermasalah dengan
hukum kepada orang tua atau wali ataupun tindakan pengembalian kepada
pihak Departemen Sosial terhadap anak yang bermasalah dengan hukum.
Terkait dengan hal tersebut akan sangat bersinggungan dengan adanya
diskresi yang dimiliki oleh pihak penyidik, sehingga dalam hal ini
menimbulkan adanya multitafsir terhadap perumusan Pasal tersebut.
107
Secara khusus tidak ada ketentuan undang-undang di Indonesia yang
menetapkan standar tindakan lain atau pengalihan (diversi) untuk pelaksanaan
penanganan perkara terhadap anak pelaku tindak pidana oleh aparat
kepolisian, namun demikian berdasarkan kewenangan diskresi yang diatur
dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l yang berbunyi: “Dalam rangka
menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di
bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang
untuk : mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”
serta ayat (2) yang berbunyi: Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan
jika memenuhi syarat:
1) Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
2) Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan
tindakan tersebutdilakukan;
3) Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan
jabatannya;
4) Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang
memaksa; dan
5) Menghormati hak asasi manusia.
Rumusan kewenangan diskresi kepolisian merupakan kewenangan
yang bersumber dari asas kewajiban umum kepolisian (plichtmatigheids
108
beginsel), yaitu asas yang memberikan kewenangan kepada aparat kepolisian
untuk ber-tindak ataupun tidak melakukan tindakan apapun berdasarkan
penilaian pribadi sendiri dalam rangka kewajibannya menjaga, memelihara
ketertiban dan men-jaga keamanan umum. Keabsahan kewenangan diskresi
kepolisian, didasarkan pada pertimbangan keperluannya untuk menjalankan
tugas kewajibannya dan ini tergantung pada kemampuan subjektifnya.130
Berpijak dari hal tersebut maka akan sangat terkait pula dengan TR
Kabareskrim No. 1124/XI/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Bagi
Kepolisian dan Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No.8 Tahun
2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar HAM Penyelenggaraan
Tugas POLRI, dimana TR ini bersifat arahan untuk menjadi pedoman dalam
pelaksanaan diversi Dalam TR ini disebutkan bahwa prinsip diversi yang terdapat
dalam konvensi hak-hak anak anak, yaitu suatu pengalihan bentuk penyelesaian
dari penyelesaian yang bersifat proses pidana formal ke alternatif penyelesaian
dalam bentuk lain yang di nilai terbaik menurut kepentingan anak. Diversi dapat
dikembalikan ke orang tua, si anak baik tanpa maupun disertai peringatan
informal/formal, mediasi, musyawarah keluarga pelaku dan keluarga korban, atau
bentuk-bentuk penyelesaian terbaik lainnya yang sesuai dengan budaya
masyarakat setempat.131
130 Momo Kelana, 2002, Memahami Undang-undang Kepolisian (Undang-undang Nomor 2
Tahun 2002), Latar Belakang dan Komentar Pasal demi Pasal, PTIK Press, Jakarta, hal. 111
131
TR Kabareskrim No. 1124/XI/2006. Butir DDD. Dua
109
Secara garis besarnya tugas-tugas penyidikan terdiri dari tugas
menjalankan operasi lapangan dan tugas administrasi hukum. Menurut
Undang-undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan anak , terdapat tugas-
tugas penyidik yang berhubungan dengan tugas yang meliputi :
a) Penangkapan
Pengertian penangkapan menurut KUHAP Pasal 1 butir (20) :
“Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan
sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat
cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau
peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini”.
Ketentuan hukum acara pidana yang menjadi sorotan essential dari proses
penyidikan adalah penangkapan terhadap pelaku tindak pidana kejahatan
dan pelanggaran, dimana tugas penangkapan berbatasan dengan ketentuan
hukum yang menegakkan hak-hak asasi anak yang mendapatkan tuntutan
keadilan hukum terhadap aparat penegak hukum dan pemerintah (lembaga
polisi). Ketentuan terhadap dasar perlindungan anak harus dapat
menonjolkan bentuk-bentuk tindakan dan upaya rasional dan berdimensi
rasa keadilan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
Wewenang penangkapan dan penahanan terhadap anak meurut Pasal
43 Undang-undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan anak menentukan
bahwa kegiatan yang berhubungan dengan penangkapan dan penahanan
mengikuti ketentuan Hukum Acara Pidana ((KUHAP). Penangkapan dan
110
penahanan terhadap anak pelaku kejahatan atau anak nakal diatur dalam
Pasal 43, 44, 45 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak bahwa : Penangkapan anak nakal sama seperti
penangkapan terhadap orang dewasa yang dilakukan sesuai dengan
ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu
pada Pasal 19 dan penangkapan tersebut dilakukan guna kepentingan
pemeriksaan untuk paling lama 1 ( satu ) hari.
Wewenang penangkapan dalam menangani anak yang berhadapan
dengan hukum harus pula memperhatikan asas hukum pidana yaitu :
Presumsion Of Innocence ( Asas Praduga Tak Bersalah). Kedudukan anak
dalam proses pemeriksaan penyidikan terdapat nuansa yang menimbulkan
hak-hak anak secara khusus yang dapat mengesampingkan upaya paksa
dan tindakan paksa dari proses penyidikan. Kontak awal anatara anak dan
polisi harus dihindarkan dalam suasana kekerasan fisik dan psikis
sehingga dalam proses penyidikan terdapat hak-hak anak yang meliputi :
1. Terhadap keluarga anak sebagai tersangka wajib diberitahukan terlebih
dahulu baik melalui surat maupun lisan sebelum proses penangkapan
dilakukan
2. Penangkapan terhadap anak tidak dibolehkan dengan menggunakan
alat atau senjata upaya paksa atau wewenang paksa
3. Tersangka anak haru segera mendapat bantuan hukum secara wajib
dan Cuma-cuma (dalam penangkapan penyidik penuntut umum harus
mengikutsertakan seorang pengacara yang kelak akan menjadi
penasehat hukum anak tersebut)
4. Tersangka anak atau orang belum dewasa harus segera mendapatkan
proses pemeriksaan
111
5. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian sebagai akibat dari
kesalahan.132
b) Penahanan
Menurut Pasal 1 butir 21 KUHAP :
“Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu
oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya,
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”
Berdasarkan wewenang tersebut maka setiap instansi penegak hukum
memiliki wewenang untuk melakukan penahanan.133
Penahanan Anak harus memperhatikan kepentingan yang menyangkut
pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik, mental, maupun sosial
anak serta mempertimbangkan kepentingan masyarakat misalnya dengan
ditahannya anak akan membuat masyarakat aman dan tentram.134
Terkait dengan penahanan sama halnya seperti penangkapan, penahanan
tahap pertama terhadap anak juga sama dengan penahanan terhadap orang
dewasa yaitu dilakukan hanya berlaku paling lama 20 (dua puluh) hari dan
apabila belum selesai, atas permintaan penyidik dapat diperpanjang oleh
penuntut umum yang berwenang untuk paling lama 10 (sepuluh) hari.
132
Kadja, Thelma Selly M, Perlindungan Terhadap Anak Dalam Proses Peradilan, Jurnal
Hukum Yurisprudensia, No.2 Mei 2000, hal.184
133
Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan
Dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, hal.164
134
Gatot Supramono, 2000, Hukum Acara Peradilan Anak, Djambatan, Jakarta, hal.40
112
Dalam waktu 30 (tiga puluh hari), Polri sebagai penyidik tindak pidana
sudah harus menyerahkan berkas perkara yang bersangkutan kepada
Penuntut Umum, apabila jangka waktu tersebut dilampaui dan berkas
perkara belum diserahkan maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan
demi hukum. Perbedaan antara penahanan terhadap anak dengan
penahanan orang dewasa terletak di jangka waktu perpanjangan
penahanan apabila proses penyidikan belum selesai. Jika anak-anak
diperpanjang paling lama 10 (sepuluh) hari tapi jika orang dewasa dapat
diperpanjang paling lama 40 (empat puluh) hari. Disamping itu penahanan
terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak di lingkungan
Rumah Tahanan Negara, Cabang Rumah Tahanan Negara atau di tempat
tertentu.
Pasal 45 Undang-undang Pengadilan Anak menyebutkan bahwa
penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh
mempertimbangkan kepentingan anak dan/atau kepentingan masyarakat.
Alasan penahanan harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah
penahanan. Tempat penahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan
orang dewasa dan selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani serta
sosial anak harus dipenuhi.
2. Dalam Proses Penuntutan
Menurut Pasal 1 butir 7 KUHAP, “Penuntutan adalah tindakan penuntut
umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang
113
berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang
pengadilan”.
Pengadilan anak wewenang penuntutan terhadap anak-anak yang diduga
melaukan tindak pidana ada pada Jaksa Penuntut umum, yang ditetapkan
berdasarkan surat Keputusan Jaksa Agung. Apabila Penuntut umum
berpendapat bahwa dari hasil penyidikan yang dilakukan oleh kepilisian
ternyata terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak maka jaksa
selaku penuntut umum dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan
sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU No.8 Tahun 1981 tentang
KUHAP), kemudian melimpahkan perkara tersebut ke Pengadilan.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak bahwa Kejaksaan (Penuntut Umum) diatur dalam Pasal 53
ayat (2) yang berbunyi :
Pasal 53 :
(2) Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a. telah berpengalaman sebagai penuntut umum tindak pidana yang dilakukan
oleh orang dewasa;
b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak
Bertolak dari hal tersebut maka dalam penanganan anak yang berhadapan
dengan hukum khususnya dalam proses penuntutan dipandang sangat
114
diperlukan untuk mendapatkan perlindungan hukum terkait dengan hak-hak
anak dalam proses penuntutan yang meliputi :
a) Menetapkan masa tahanan terhadap anak cuma pada sudut urgensi
pemeriksaan
b) Membuat dakwaan yang dimengerti oleh anak
c) Secepatnya melimpahkan pada Pengadilan Negeri
d) Melaksanakan penetapan hakim dengan jiwa dan semangat pembinaan
atau mengadakan rehabilitasi.135
3. Dalam Proses Persidangan
Anak yang berhadapan dengan hukum ketika anak tersebut
dihadapkan dalam proses persidangan maka dalam hal ini perlindungan
terhadap anak telah dilakukan ketika penentuan hakim yang menangani
perkara anak tersebut dilakukan. Hakim anak diangkat berdasarkan Surat
Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan Negeri yang
bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi sesuai dengan Pasal 9
Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Berdasarkan Pasal 10 Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak yang berbunyi :
Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 adalah :
a. telah berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum; dan
b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak.
135
Kadja, Thelma Selly M, Op.Cit, hal.189
115
Penjelasan Atas Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak tidak ada menjelaskan maksud dan batasan “telah
berpengalaman”, oleh karena itu perlu ditetapkan berapa lamanya pengalaman
seorang hakim di pengadilan negeri dianggap memenuhi syarat untuk
diangkat sebagai Hakim Anak. Menurut Sudikno Mertokusumo berpendapat
bahwa lima tahun telah cukup kiranya bagi seorang hakim untuk menguasai
hukum acara dan hukum materiil serta mengenal variasi jenis perkara yang
ditangani.136
Beberapa hak-hak anak dalam proses persidangan dalam proses
peradilan pidana anak meliputi :
a) Hak untuk mendapat penjelasan mengenai tata cara pelaksanaan
persidangan pada kasusnya
b) Hak untuk mendapatkan pendamping, penasehat hukum selama
persidangan
c) Mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar persidangan mengenai
dirinya
d) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan yang
merugikan dan menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosial
e) Hak untuk menyatakan pendapat
f) Hak untuk memohon ganti rugi atas perlakukan yang menimbulkan
penderitaan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili dengan
alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orang-orang atau hukum yang diterapkan menurut cara yang
diatur dalam KUHAP.
g) Hak untuk mendapatkan perlakuan pembinaan atau penghukuman
yang positif dalam artian masih mengembangkan dirinya sebagai
manusia seutuhnya
136 Romli Atmasasmita, 1997, Peradilan Anak di Indonesia (Selanjutnya Disebut dengan
Romli VIII), Mandar Maju, Bandung, hal.53
116
h) Melakukan persidangan yang tertutup demi kepentingannya.137
Mengenai tata ruang sidang Pengadilan Anak, belum ada ditentukan
secara jelas dalam Undang-Undang Pengadilan Anak, oleh karena itu tata
ruang sidangnya dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 230 ayat (3) KUHAP,
sebagai berikut:
a) tempat meja dan kursi hakim terletak lebih tinggi dari tempat Penuntut
Umum, terdakwa, Penasihat Hukum dan pengunjung;
b) tempat panitera terletak di belakang sisi kanan tempat hakim ketua
sidang;
c) tempat penuntut umum terletak di sisi kanan depan hakim;
d) tempat terdakwa dan penasihat hukum terletak di sisi kiri depan dari
tempat hakim dan tempat terdakwa di sebelah kanan tempat penasihat
hukum;
e) tempat kursi pemeriksaan terdakwa dan saksi terletak di depan tempat
hakim;
f) tempat saksi atau ahli yang telah didengar terletak di belakang kursi
pemeriksaan;
g) tempat pengunjung terletak di belakang tempat saksi yang telah
didengar;
h) bendera Nasional ditempatkan di sebelah kanan meja hakim dan panji
pengayoman ditempatkan di sebelah kiri meja hakim sedangkan
lambang negara ditempatkan pada dinding bagian atas di belakang
meja hakim;
i) tempat rohaniawan terletak di sebelah kiri tempat panitera;
j) tempat sebagaimana dimaksud huruf a sampai huruf i di atas diberi
tanda pengenal;
k) tempat petugas keamanan di bagian dalam pintu masuk utama ruang
sidang dan di tempat lain yang dianggap perlu.138
137
Op.Cit, hal 52
138 Op.Cit, hal.65
117
3.2. Proses Penanganan Anak Yang Bermasalah Dengan Hukum Berdasarkan
Instrumen Internasional
Bertolak bahwa suatu penanganan anak dalam proses hukumnya memerlukan
pendekatan, pelayanan, perlakuan, perawatan serta perlindungan yang khusus bagi
anak dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum. Perlindungan hukum anak yang berhadapan dengan hukum
kedudukannya sangat penting mengingat dalam mekanisme prosesnya hal terkait
dengan perlindungan anak tidak boleh diabaikan . Menurut Arif Gosita, usaha-usaha
perlindungan anak ini sebenarnya merupakan suatu tindakan hukum yang mempunyai
akibat hukum oleh karena itu perlu adanya jaminan hukum bagi bagi kegiatan
perlindungan anak tersebut. Kepastian hukumnya perlu diusahakan demi
kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang
membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan
perlindungan anak.139
Berbagai dokumen atau instrumen Internasional dalam upaya memberikan
perlindungan terhadap anak sudah sepantasnya mendapat perhatian semua negara
termasuk Indonesia dan diimplementasikan ke dalam berbagai bentuk kebijakan
perundang-undangan dan kebijakan sosial lainnya. Mengabaikan masalah
perlindungan anak berarti tidak akan memantapkan pembangunan nasional. Maka ini
139 Arief Gosita, 1985, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Presindo, hal.18
118
berarti bahwa perlindungan anak harus diusahakan dalam berbagai cara apabila kita
ingin mengusahakan pembangunan nasional yang memuaskan.
Instumen internasional terkait dengan anak dalam persepektif internasional
sangat banyak jumlahnya, dimana dalam hal ini terlihat semakin adanya perhatian
khusus dari negara-negara didunia menangani masalah Anak. Proses penanganan
anak yang berhadapan hukum menurut instrumen internasional terdapat beberapa
instrumen yang penting untuk dikaji terkait dengan permasalahan tesis disini antara
lain Konvensi Hak-hak Anak dan The United Nation Standard Minimum Rules For
The Administration Of Juvinile Justice (The Beijing Rules), dimana terkait dengan
masalah mekanisme atau proses penanganan anak yang berhadapan dengan hukum
adalah berdasarkan instrumen tersebut. Adapun pemaparan dari instrument
internasional tersebut yaitu :
1. Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child),
yaitu Resolusi No. 109 Tahun 1990, terdapat 2 pasal yang sangat perlu
diperhatikan terkait dengan perlindungan hukum dalam proses anak yang
berhadapam dengan hukum khususnya dinyatakan pada :
Artikel 37 memuat prinsip-prinsip bahwa Negara-negara peserta menjamin :
(a) Tidak seorang anak pun dapat menjadi sasaran penyiksaan atau perlakuan
atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan
martabat. Hukuman mati atau seumur hidup tanpa kemungkinan
pembebasan, tidak boleh dikenakan pada kejahatan-kejahatan yang
dilakukan oleh seorang yang berusia di bawah 18 tahun.
(b) Tidak seorang anak pun dapat dirampas kemerdekaannya secara tidak sah
atau sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan, atau pemenjaraan
seorang anak harus sesuai dengan hukum dan hanya diterapkan sebagai
upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang sesingkat-singkatnya.
119
(c) Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya harus diperlakukan secara
manusiawi dan dihormati martabat manusianya dan dengan memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan manusia seusianya. Khususnya, setiap anak yang
dirampas kemerdekaannya harus dipisahkan dari orang-orang dewasa,
kecuali bila dianggap bahwa kepentingan terbaik si anak yang bersangkutan
menuntut agar hal ini tidak dilakukan dan anak berhak untuk
mempertahankan hubungan dengan keluarganya melalui surat menyurat
atau kunjungan-kunjungan, kecuali dalam keadaan-keadaan khusus.
(d) Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya berhak untuk secepatnya
memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain yang layak dan juga
menggugat keabsahan perampasan kemerdekaannnya di depan pengadilan
atau pejabat lain yang berwenang, independen dan tidak memihak dan
berhak untuk dengan segera memperoleh keputusan mengenai tindakan
perampasan kemerdekaan tersebut.140
Artikel 40 :
1. Negara-negara peserta mengakui hak setiap anak yang disangka, dituduh,
atau dinyatakan melanggar hukum pidana untuk diperlakukan dengan cara
yang sesuai dengan peningkatan perasaan anak akan martabat dan harga
dirinya, yang memperkuat penghargaan anak pada Hak Asasi Manusia
dan kebebasan dasar orang lain dan yang mempertimbangkan usia anak
dan keinginan untuk meningkatkan reintegrasi anak dan menciptakan
anak yang berperan konstruktif dalam masyarakat.
2. Untuk tujuan ini dan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dari
instrumen-instrumen internasional yang relevan, negara-negara peserta
khususnya menjamin bahwa:
(a) Tidak seorang anak pun dapat disangka, dituduh atau dinyatakan
melanggar hukum pidana karena melakukan atau tidak melakukan
tindakan-tindakan yang tidak dilarang oleh hukum nasional atau
internasional pada saat tindakan itu dilakukan.
(b) Setiap anak yang disangka atau dituduh telah melanggar hukum
pidana mempunyai setidak-tidaknya jaminan-jaminan sebagai
berikut:
(i) Untuk dianggap tidak bersalah hingga dibuktikan kesalahannya
menurut hukum.
(ii) Untuk secepatnya dan secara langsung diberitahukan mengenai
tuduhan-tuduhan terhadapnya dan jika dipandang layak,
melalui orang tua atau wali anak yang sah, dan untuk
memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain dalam
mempersiapkan dan mengajukan pembelaannya.
140
Purnianti ;Mamik Sri Supatmi ;Ni Made Martini Tinduk, 2002, Analisa Situasi Anak-Anak
yang Berada dalam Sistem Peradilan di Indonesia, UNICEF Indonesia, hal.20
120
(iii) Untuk memperoleh keputusan atas masalah tersebut tanpa
ditunda-tunda oleh pejabat atau lembaga pengadilan yang
berwenang, independen, dan tidak memihak dalam suatu
pemeriksaan yang adil sesuai dengan hukum, dengan
kehadiran penasehat hukum atau bantuan lain yang layak,
kecuali jika dianggap hal itu bukan untuk kepentingan terbaik
si anak, khususnya dengan memperhatikan usia atau situasi
anak, orang tua dan wali hukumnya yang sah.
(iv) Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian atau
mengakui kesalahan; untuk memeriksa atau menyuruh
memeriksa saksi saksi yang memberatkan dan untuk
memperoleh peran serta dan pemeriksaan saksi-saksi yang
meringankan anak dalam kondisi kesetaraan.
(v) Jika dianggap telah melanggar hukum pidana, anak berhak
agar keputusan dan setiap tindakan yang dikenakan sebagai
akibatnya ditinjau kembali oleh pejabat yang lebih tinggi yang
berwenang, independen dan tidak memihak atau oleh badan
peradilan sesuai dengan hukum yang berlaku.
(vi) Untuk memperoleh bantuan cuma-cuma dari seorang
penerjemah apabila anak tidak dapat memahami atau tidak
dapat berbicara dalam bahasa yang digunakan.
(vii) Untuk dihormati sepenuhnya kehidupan pribadinya dalam
semua tahap proses pengadilan.
3. Negara-negara peserta harus berupaya meningkatkan pembentukan
hukum, prosedur, kewenangan dan lembaga-lembaga yang secara khusus
berlaku untuk anak-anak yang diduga, disangka, dituduh atau dinyatakan
melanggar hukum pidana dan khususnya :
(a) Menetapkan usia minimum sehingga anak-anak yang berusia di
bawahnya dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar
hukum pidana.
(b) Bilamana layak dan diinginkan, melakukan langkah-langkah untuk
menangani anak-anak seperti itu tanpa harus menempuh jalur
hukum, dengan syarat bahwa Hak Asasi Manusia dan perangkat
pengamanan hukum sepenuhnya dihormati.
4. Berbagai penyelesaian perkara seperti pemeliharaan, perintah pemberian
bimbingan dan pengawasan, pemberian nasehat, masa percobaan,
pemeliharaan anak, program-program pendidikan dan pelatihan kejuruan
dan alternatif-alternatif lain di luar memasukan anak ke dalam lembaga
perawatan harus disediakan guna menjamin anak-anak ditangani dengan
cara yang layak bagi kesejahteraan mereka dan sebanding baik dengan
keadaan mereka, maupun dengan pelanggaran yang dilakukan.
121
Melalui Kepres Nomor 36 tahun 1990, Konvensi Hak Anak telah diratifikasi dan
berlaku mengikat menjadi hukum Inodnesia. Konsekuensi dari suatu negara
melakukan ratifikasi perjanjian internasional seperti Konvensi Hak Anak yaitu :
(1) Merumuskan/menyatakan atau menguatkan kembali aturan hukum
internasional yang sudah ada;
(2) Mengubah/menyempurnakan ataupun menghapus kaidah-kaidah hukum
internasional yang sudah ada, untuk mengatur tindakan-tindakan yang akan datang;
(3) Membentuk kaidah-kaidah hukum internasional yang baru sama sekali
yang belum ada sebelumnya.141
Setelah dilakukannya ratifikasi atas Konvensi Hak-Hak Anak oleh Pemerintah
Indonesia dengan mengeluarkan Keppres Nomor 36 Tahun 1990, maka secara hukum
menimbulkan kewajiban kepada Indonesia (negara peserta) untuk
mengimplementasikan hak-hak anak tersebut dengan menyerapnya ke dalam hukum
nasional, dalam hal Undang-Undang Pengadilan Anak, dapat dikemukakan
merupakan perwujudan atau penampungan dari kaidah hukum Konvensi Hak Anak
mengnai peradilan khusus untuk anak-anak yang bermasalah dengan hukum (children
in conflict with law).142
2. The United Nation Standard Minimum Rules For The Administration Of
Juvinile Justice (The Beijing Rules)
141 Syahmin Ak, 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, hal 66
142
M. Joni & Zulchaina, Op.Cit, hal.74.
122
Instrumen internasional ini menjadi resolusi PBB pada tanggal 29 Nopember
1985 dalam Resolusi 40/33, dimana dalam ketentuan ini menggambarkan bahwa
dalam proses peradilan pidana anak harus menggambarkan adanya jaminan-jaminan
khusus bagi anak dibidang anak yang berhadapan dengan hukum. The Beijing Rules
merupakan peraturan-peraturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengenai Administrasi Peradilan Bagi Anak yang mengatur tentang sistem peradilan
pidana yang 'sensitif' terhadap anak, aturan ini merupakan aturan standar yang
digunakan apabila seorang anak berhadapan dengan hukum serta harus menjalani
proses peradilan pidana anak itu sendiri.
The Beijing Rules mengatur beberapa prinsip umum dalam penanganan anak
yang berhadapan dengan hukum, antara lain sebagai mana yang diatur dalam rule 7.1
menjelaskan beberapa hal penting yang merupakan esensial bagi suatu fair and just
trial yang bersifat umum yang artinya jaminan-jaminan hukum yang berlaku bagi
setiap orang pada umumnya juga harus berlaku bagi anak sehingga dalam The Beijing
Rules menegaskan jaminan-jamina procedural yang harus dijamin pada setiap proses
peradilan anak yaitu :
a) hak diberitahu akan tuntutan-tuntutan terhadapnya (the right to be notified of
the charges)
b) hak untuk tetap diam (the right to remain silent)
c) hak untuk memperoleh pengacara (the right to counsel)
d) hak akan kehadiran orang tua atau wali (the right to the presence of a parent
or guardian)
e) hak untuk menghadapkan dan memeriksa silang saksi-saksi (the right
confront and cross examine witnesses)
123
f) hak untuk naik banding ke pihak berwenang yang lebih tinggi akan dijamin
pada seluruh tahap proses peradilan (the right to appeal to higher authority)143
Rule 7.1 diatas merupakan suatu jaminan-jaminan procedural yang mendasar yang
bersifat umum. The Beijing Rules secara keseluruhan terdiri dari 6 bagian yaitu :
1) General Prinsiples
2) Investigasi dan penuntutan
3) Adjudication and disposition
4) Pembinaan luar lembaga
5) Pembinaan dalam lembaga
6) Penelitian, perencanaan dan evaluasi.144
Pembahasan mengenai General Prinsiples telah dipaparkan diatas selanjutnya dalam
pembahasan selanjutnya adalah terkaiat tentang :
1) Bidang Penyidikan dan Penuntutan
The Beijing Rules dalam Rule 10 meminta perhatian khusus dalam
masalah kontak awal terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, dimana
disebutkan pula bahwa dalam hal penangkapan atau penahan terhadap anak
maka orang tua atau walinya harus segera diberiahukan dalam waktu yang
sesingkat mungkin setelah penangkapan atau penahanan dilakukan (Rule
10.1). Hakim atau pejabat yang berwenang tanpa menunda-nunda waktu
harus pula mempertimbangkan masalah pengeluaran anak tersebut dari
penangkapan atau penahanan (Rule 10.2). Selanjtnya dalam Rule 10.3
disebutkan bahwa kontak antara aparat-aparat penegak hukum dengan
pelangga anak (Junivile offender) harus dilakukan dengan cara diatur
143 Op.Cit, hal.115
144
Ibid, hal.116
124
sedemikian rupa sehingga dapat menghormati status hukum anak itu,
memajukan kesejahteraan anak itu, dengan memperhatikan keadaan-keadaan
mengenai perkara itu.
Masalah proses penanganan terhadap anak yang bermasalah dengan
hukum dalam hal ini perlu untuk sangat diperhatikan terkait dengan masalah
Sumber Daya Manusia (SDM) dari aparat penegak hukum khususnya dari
sub-sistem Kepolisian, dimana dalam The Beijing Rules dalam Rule 12.1
menekankan adanya suatu pendidikan khusus dan latihan khusus bagi aparat
penegak hukum khususnya Kepolisisan sehingga dalam hal ini unit polisi
khusus yang terdidik dan terlatih menangani proses penanganan anak yang
bermasalah dengan hukum.
The Beijing Rules mengatur pula hal yang sangat signifikan dan perlu
mendapat porsi utama bagi penanganan anak yang bermasalah dengan
hukum yaitu : terkat dengan adananya pengaturan Diversi (Rule 11.1).
Sesuai dengan yang tercantum dalam Resolusi PBB tentang UN Standard
Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice, (Beijing
Rule) Rule 11 :
“Diversion, involving removal from criminal justice processing, and
frequently redirection to community support services, is commonly practiced
on a formal and informal basis in many legal system. This practice serves to
hinder the negative effects of subsequent proceedings in juvenile justice
administration (for example the stigma of conviction and sentence). In many
cases, non intervention would be the best response. This diversion at the out
set and without referral to alternative (social) services may be the optimal
response. This is especially the case where the offence is of a non-serious
nature and where the family, the school r other informal social control
125
institutions have already reacted, or are likely to react, in an appropriate and
constructive manner (Diversi, melibatkan penghapusan dari pengolahan
peradilan pidana, dan sering redirection ke layanan dukungan masyarakat,
umumnya dilakukan secara formal dan informal dalam sistem hukum banyak.
Praktek ini berfungsi untuk menghambat efek negatif dari proses berikutnya
dalam administrasi peradilan anak (misalnya stigma keyakinan dan kalimat).
Dalam banyak kasus, intervensi non-akan menjadi jawaban terbaik. Ini
pengalihan di set keluar dan tanpa rujukan ke alternatif (sosial) jasa dapat
respon yang optimal. Hal ini terutama kasus di mana pelanggaran bersifat
tidak serius dan di mana keluarga, sekolah r informal lainnya lembaga kontrol
sosial sudah bereaksi, atau mungkin bereaksi, dalam cara yang tepat dan
konstruktif)”145
Secara umum diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang
diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa
syarat.146
Bertolak dari hal tersebut maka diversi (pengalihan) dalam The Beijing Rules
Butir 11 Ayat (1), (2), (3), (4), juga diatur bahwa:
a) Apabila perlu, pertimbangan harus diberikan kepada pejabat yang berwenang
dalam menangani anak pelaku tindak pidana tanpa mengikuti proses
peradilan.
b) Polisi, jaksa, atau Lembaga lain yang menangani kasus anak-anak nakal harus
diberi kewenangan untuk menangani kasus tersebut dengan kebijakan mereka
tanpa melalui peradilan formal, sesuai dengan kriteria yang tercantum dalam
145 Hadisuprapto, Paulus. 2006, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Peradilan Restoratif : Model
Peradilan Anak Indonesia Masa Datang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hal.16
146
Unicef, 2004, Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Manual
Pelatihan untuk POLISI, Jakarta
126
tujuan sistem hukum yang berlaku dan sesuai dengan asas-asas dalam
ketentuan lain.
c) Setiap diversi yang melibatkan penyerahan kepada masyarakat atau pelayanan
lain yang dipandang perlu, membutuhkan persetujuan anak, atau orang tua,
atau walinya. Keputusan untuk mengalihkan kasus harus tunduk pada
peninjauan kembali pejabat yang berwenang pada prakteknya.
d) Untuk mempermudah disposisi kebijakan kasus-kasus anak, upaya-upaya
harus dilakukan untuk mengadakan program masyarakat seperti pengawasan
dan panduan secara temporer, restitusi, dan kompensasi kepada korban.
Pertimbangan harus diberikan apabila perlu untuk mengadili pelaku
anak tanpa melalui peradilan formal dari pejabat yang berwenang, untuk
mengalihkan atau tidak mengalihkan kasus, selain itu Diversi harus digunakan
apabila dimungkinkan. Polisi, jaksa atau lembaga lain harus diberikan
wewenang untuk menyelesaikan kasus-kasus semacam itu dengan kebijakan
mereka tanpa melalui persidangan formal, sesuai dengan kriteria yang
tercantum sebagai tujuan dari sistem hukum dan sesuai dengan pinsip-prinsip
dalam ketentuan-ketentuan sebaiknya mempunyai wewenang untuk
melakukan diversi.
Pada penahanan sementara menunggu proses pemeriksaan pengadilan,
The Beijing Rules menegaskan hal-hal sebagai berikut :
a) Penahanan sebelum pengadilan hanya akan digunakan sebagai pilihan
langkah terakhir dan untuk jangka waktu sesingkat mungkin. (Rule
13.1)
127
b) sedapat mungkin penahanan sebelum pengadilan akan diganti dengan
langkah-langkah alternatif, seperti pengawasan secara dekat,
perawatan intensif atau penempatan pada sebuah keluarga atau pada
suatu tempat atau rumah pendidikan. (Rule 13.2)
c) Anak-anak yang berada di bawah penahanan sebelum pengadilan
berhak akan semua hak dan jaminan menurut Peraturan-Peraturan
Minimum Stanadar bagi Perlakuan terhadap Narapidana yang telah
disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. (Rule 13.3)
d) Penahanan sebelum pengadilan akan ditempatkan terpisah dari orang-
orang dewasa dan akan ditahan pada suatu lembaga terpisah dari suatu
lembaga yang juga menahan orang dewasa. (Rule 13.4)
e) Sementara dalam penahanan, remaja-remaja akan menerima
perawatan, perlindungan dan semua bantuan individual sesuai dengan
usia, jenis kelamin dan kepribadian. (Rule 13.5)
2) Pemeriksaan Pengadilan
The Beijing Rules menegaskan bahwa dalam kasus anak apabila tidak
dilakukan tindakan diversi berdasarkan ketentuan Rule 11 maka anak harus
ditangani oleh pejabat yang berwenang (competent authority) sesuai dengan
prinsip –prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak (Rule 14.1), dalam
hal ini ditegaskan pula bahwa proses pemeriksaan harus bersifat kondusif bagi
kepentingan anak yang terpenting dan dilakukan dalam suasana saling
pengertian sehingga anak dapat berpartisipasi dan memberikan pernyataan
secara bebas (Rule 14.2).
Mengenai bantuan hukum dan kedudukan orang tua atau wali, The
Beijing Rules menegaskan bahwa :
a) Selama jalannya proses peradilan anak itu akan memiliki hak untuk
diwakili oleh seorang penasehat hukum atau untuk memohon bantuan
128
hukum bebas biaya di mana terdapat ketentuan untuk bantuan
demikian di negara itu.(Rule 15.1)
b) Orang tua atau wali akan berhak ikut serta dalam proses peradilan dan
dapat diharuskan oleh pihak yang berwenang untuk menghadirinya
demi kepentingan anak itu. Namun demikian, mereka dapat ditolak
untuk ikut serta oleh pihak yang berwenang jika terdapat alasan-alasan
untuk menduga bahwa pengecualian itu diperlukan demi kepentingan
anak itu.(Rule 15.2)
Masalah proses anak yang berhadapan dengan hukum dalam hal ini
sangat diperlukan untuk diperhatikan yaitu penegasan terhadapan anak harus
dilakukan secara cepat, sebagaimana diatur dalam Rule 20.1 The Beijing
Rules bahwa setiap perkara anak harus ditangani sejak awal secara cepat tanpa
penundaan yang tidak perlu (Eac case shall from the outset be handel
expeditiously without any unnecessary delay).147
Bertolak dari hal tersebut
maka penting halnya kita mengkaji masalah diversi sebagai salah satu cara
untuk untuk mengalihkan tindakan dari tindakan formal ke tindakan informal
dalam penanganan anak yang bermasalah dengan hukum khususnya pada
tahap penyidikan oleh kepolisian, oleh sebab itu maka dalam kajian ini akan
membahas mengenai dasar legalitas apa yang dipakai dalam pelaksanaan
pengambilan tindakan lain berupa pengembalian anak kepada orang tua/wali
147 Op.Cit, hal 130
129
ataupun pengembalian anak kepada Departemen Sosial terhadap anak yang
bermasalah dengan hukum.
Melihat beberapa pemaparan diatas terkait dengan proses peradilan
anak di Indonesia dan dalam instrumen internasional maka dalam hal ini kita
dapat mengkajinya yaitu didalam beberapa Pasal-pasal dalam hukum positif
indonesia ataupun Rule-rule dalam instrumen internasional terkait dengan
permasalahan anak terdapat beberapa pengaplikasian dari aturan internasional
pada hakekatnya telah diadopsi dalam aturan hukum positif kita, namun
adopsi tersebut belum sepenuhnya dilkukan sehingga dalam hal proses
penanganan anak di Indonesia tersebut masih terdapat kendala-kendala dalam
pelaksanaannya antara lain yaitu :
1. Masalah tentang legalitas apa yang dipakai penyidik untuk melakukan
tindakan lain berupa pengembalian anak kepada orang tua/wali
ataupun pengembalian anak kepada Departemen Sosial terhadap anak
yang bermasalah dengan hukum yang dalam normanya belum
dijelaskan secara tegas dan eksplisit sehingga menimbulkan keadaan
suatu norma yang bersifat kabur (Leemten van Normen) serta
menimbulkan suatu keadaan yang multitafsir, dimana setelah dikaji
secara akademis maka masalah dasar legitemasi terkait dengan proses
penangan anak yang bermasalah dengan hukum maka ada beberapa
landasan legitemasi dalam penggunaan diversi ataupun tindakan lain
yang dapat diambil oleh penyidik adalah Pasal 5 Undang-unadng No.3
130
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 16 Undang-undang No.2
Tahun 2002 tentang Kepolisian khususnya mengenai diskresi, TR
Kabareskrim No. 1124/XI/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi
Bagi Kepolisian dan Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia
No.8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar HAM
Penyelenggaraan Tugas POLRI sebagaimana dalam hal ini lebih
menekankan pada tindakan (non penal) dan bukan pada tindakan
(penal) sehingga dalam hal ini akan mempengaruhi penegakan hukum
khususnya proses anak yang berhadapan dengan hukum.
2. Masalah Diversi sangat penting untuk diperhatikan dalam penanganan
anak pelaku delinkuen oleh sebab itu maka pengaturan secara khusus
mengenai diversi sangatlah diperlukan untuk pembangunan hukum
kedepannya, olek karena diversi dapat menghindarkan anak dari
proses stigmatisasi yang lazimnya terjadi dalam proses penanganan
anak lewat sistem peradilan pidana anak sehingga dalam hal
penanganan proses anak yang berhadapan dengan hukum diharapkan
kedepannya dapat ditangani dengan kebijakan-kebijakan yang
berpihak kepada kedudukan anak.
Bertolak dari pemaparan diatas tersebut, maka berdasarkan penelitian
normatif yang dilakukan oleh penulis dalam tesis ini terkait dengan adanya kekaburan
norma tersebut adalah menemukan solusi yang tepat guna untuk penanganan anak
yang berhadapan dengan hukum. Salah satu solusi yang dapat dilakukan terhadap
131
kekaburan norma adalah dengan melakukan suatu penfsiran (interpretasi) terhadap
hukum tersebut. Menurut Bruggink mengelompokan berbagai macam interpretasi
yaitu :
1) Interpretasi Bahasa (detaalkundige interpretatie)
2) Historis Undang-undang (de wetshistorische interpretatie)
3) Sistematis (de systematische interpretatie)
4) Kemasyarakatan (de maatshappelijke interpretatie)148
Kekaburan norma dari legalitas dari penyidik untuk menentukan tindakan lain
berupa pengembalian anak kepada orang tua/wali ataupun pengembalian anak kepada
Departemen Sosial terhadap anak yang bermasalah dengan hukum yang tertuang
dalam Undang-undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan anak dapat dipergunakan
interpretasi bahasa yaitu dalam konteks tata bahasa yang dimaksud tersebut
menekankan pada penyidik sebagai aparat penegak hukum yang memiliki suatu
kewenangan atau diskresi dalam penanganan proses sistem peradilan pidana anak
yang berhadapan dengan hukum dapat menggunakan tindakan lain dalam proses
penangan anak. Bertolak dari hal dapat dipergunakan interpretasi hitoris dari
perundang-undangan tentang Pengadilan Anak tersebut dimana Undang-undang No.3
Tahun 1997 adalah penjelmaan salah satu konvensi internasional tentang anak
khususnya The Beijing Rules sehingga dalam hal ini legalitas dalam melakukan
148 Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
hal.71
132
tindakan lain berupa pengembalian anak kepada orang tua/wali ataupun
pengembalian anak kepada Departemen Sosial oleh aparat penegak hukum tersebut
dapat kita kaji dari The Beijing Rules khususnya Rule 20.1 The Beijing Rules.
133
BAB IV
PEMBARUAN HUKUM PIDANA
DALAM PROSES PENANGANAN
ANAK YANG BERMASALAH DENGAN HUKUM DI INDONESIA DIKAJI
DARI PERSPEKTIF IUS CONSTITUENDUM
4.1. Fungsi Dan Tujuan Pengadilan Anak
Peradilan Anak pertama kali ada di Amerika Serikat yang diawali pada tahun
1899 di Chicago. Pengadilan itu sendiri dinamakan Juvennile Court of Cook Country,
yang kemudian diikuti oleh negara bagian lainnya. Di Belanda sendiri sudah terdapat
Undang-Undang Anak (kinderwetten) sejak tahun 1901 dimana mengenai anak-anak
ini yang penting untuk diperhatikan bukanlah mengenai masalah pemidanaan bagi
mereka, melainkan masalah pendidikan yang perlu diberikan kepada mereka.149
Di Indonesia sendiri, Peradilan Anak terbentuk sejak lahirnya Undang-
Undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Dengan berlakunya undang-
undang tersebut mulai tanggal 03 Januari 1998, maka tata cara persidangan maupun
penjatuhan hukuman dilaksanakan berlandaskan undang-undang tersebut. Memang
jauh sebelum dibentuknya Undang-Undang Pengadilan Anak tersebut, pengadilan
negeri telah menyidangkan berbagai perkara pidana yang terdakwanya anak-anak
dengan menerapkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHP dan KUHAP.150
149 Lamintang, 1988, Hukum Penitensir Indonesia, CV Armico, Bandung, hal.171
134
Menurut Soedarto, sejak tahun lima puluhan perhatian ke arah terwujudnya
pengadilan anak telah timbul di mana-mana.151
Di samping itu beberapa hakim telah
dikirim ke luar negeri untuk mempelajari penyelanggaraan pengadilan anak. Di
beberapa Pengadilan Negeri telah ditunjuk hakim-hakim tertentu mengadili perkara-
perkara yang terdakwanya adalah anak-anak, dengan tidak terlalu menyimpang dari
acara yang berlaku bagi orang-orang dewasa.152
Menurut Soedarto, Pengadilan anak meliputi segala aktivitas pemeriksaan dan
pemutusan perkara yang menyangkut kepentingan anak. 153
Menurut analisa sejarah
(Eropa dan Amerika) ternyata, bahwa ikut campurnya pengadilan dalam kehidupan
anak dan keluarga senantiasa ditujukan kepada menanggulangi keadaan yang buruk
seperti kriminalitas anak, terlantarnya anak dan eksploitasi terhadap anak.154
Secara harafiah, Peradilan Anak terdiri dari dua kata yaitu kata peradilan dan
anak. Menurut kamus Bahasa Indonesia, peradilan berarti segala sesuatu mengenai
pengadilan. Bertolak dari hal tersebut maka peradilan merupakan peristiwa atau
kejadian atau hal-hal yang terjadi mengenai perkara di pengadilan. Secara sempit,
peradilan adalah hal-hal yang menyangkut hukum acara yang hendak
mempertahankan materiilnya. Sedangkan secara luas adalah kejadian-kejadian atau
150 Gatot Supramono, Op.Cit, hal.19
151 Sudarto, 1981, Pengertian dan ruang lingkup Peradilan Anak (Selanjutnya disebut dengan
Sudarto III), Bina Cipta, Bandung, hal. 79.
152
Notoprojo Sri Widojati, 1974, Peradilan Anak-anak, Bina Cipta, Bandung, hal. 57
153
Op.Cit, hal 80.
154
Op.Cit, hal. 80.
135
hal-hal yang terjadi dengan suatu perkara termasuk proses penerapan hukum acara
dalam mempertahankan materiilnya.155
Secara juridis, peradilan merupakan kekuasaan kehakiman yang berbentuk
Badan Peradilan, dan dalam kegiatannya melibatkan lembaga Pengadilan, Kejaksaan,
Kepolisian, Bantuan Hukum, untuk memberikan perlindungan dan keadilan bagi
setiap warga Indonesia.156
Menurut Sudikno Mertokusumo, peradilan adalah suatu pelaksanaan hukum
dalam hal konkrit adanya tuntutan hak, yang fungsinya dijalankan oleh suatu badan
yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apapun atau
siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan
mencegah “eigenrichting”.157
Fungsi Peradilan Anak pada umumnya adalah tidak berbeda dengan peradilan
lainnya yaitu menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang
diajukan kepadanya, namun untuk Peradilan Anak perkara yang ditangani khusus
menyangkut perkara anak. Pemberian perlakuan khusus dalam rangka menjamin
pertumbuhan fisik serta mental anak sebagai generasi penerus yang harus
diperhatikan masa depannya, dimana dalam hal ini untuk memberikan suatu keadilan,
hakim melakukan berbagai tindakan dengan menelaah terlebih dahulu tentang
kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya. Hakim dalam mengadili berusaha
155 Agung Wahyono & Ny. Siti Rahayu, 1993, Tinjauan Tentang Peradilan Anak di
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal.14
156
Ibid, hal.16
157
Op.Cit, hal.51
136
menegakkan kembali hukum yang dilanggar oleh karena itu biasa dikatakan bahwa
hakim atau pengadilan adalah penegak hukum. Pengadilan dalam mengadili harus
berdasarkan hukum yang berlaku meliputi hukum yang tertulis dan hukum yang tidak
tertulis. Bertolak dari hal tersebut maka dalam pelaksanaanya, fungsi tersebut
dijalankan oleh pejabat-pejabat khusus Peradilan Anak, dengan kata lain, fungsi
tersebut tidak akan tercapai tanpa adanya pemegang peran yaitu pejabat-pejabat
peradilan. Bertolak dari hal tersebut maka tujuan Peradilan Anak, bukanlah semata-
mata mengutamakan pidananya saja sebagai unsur utama, melainkan perlindungan
bagi masa depan anak adalah sasaran yang hendak dicapai oleh Peradilan Anak.158
Tujuan peradilan bukan hanya menyatakan terbukti tidaknya suatu peristiwa
konkrit dan kemudian menjatuhkan putusan saja, melainkan menyelesaikan perkara.
Putusan itu harus menuntaskan perkara, jangan sampai putusan itu tidak dapat
dilaksanakan atau bahkan menimbulkan perkara atau masalah baru, dimana
mengingat bahwa anak harus mendapat perlindungan dan oleh karena itu perlu
mendapat perhatian dan perlakuan khusus pula, maka dalam Peradilan Anak ini
janganlah hendaknya ditititkberatkan kepada terbukti tidaknya perbuatan atau
pelanggaran yang dilakukan si anak semata-mata tetapi harus lebih diperhatikan dan
dipertimbangkan latar belakang dan sebab-sebab serta motivasi pelanggaran atau
perbuatan yang dilakukan oleh si anak dan apa kemungkinan akibat putusan itu bagi
si anak demi masa depan si anak.159
Bertolak dari hal tersebut maka, melalui
158 Op. Cit., hal.39
137
Peradilan Anak diharapkan adanya suatu perbaikan kondisi, pemeliharaan dan
perlindungan anak serta pencegahan terjadinya pengulangan kejahatan anak melalui
tindakan pengadilan yang konstruktif.
Penanganan anak yang berhadaan dengan hukum pada prinsipnya terkait
dengan tujuan dan dasar pemikirannya adalah untuk mengutamakan kesejahteraan
anak ditegaskan dengan jelas dalam The Beijing Rules khususnya dalam rule 5.1
mengenai Aims of juvenile justice ditegaskan ”The juvenile justice shall emphasize
the well being of the juvenile and shall ensure that any reactin to juvenile offenders
shall always be in proportion to the circum of the both the offender and offence
(Sistem peradilan bagi anak akan mengutamakan kesejahteraan anak dan akan
memastikan bahwa reaksi apa pun terhadap pelanggar-pelanggar hukum berusia anak
akan selalu sepadan dengan keadaan-keadaan baik pada pelanggar-pelanggar
hukumnya maupun pelanggaran hukumnya)”.
Rule 5.1 ini menunjukkan pada dua tujuan atau sasaran yang sangat penting
yaitu :
1) Memajukan kesejahteraan anak (the promotion of the well being of the
juvenile)
Sasaran utama dalam tujuan ini merupakan fokus utama dalam sisitem hukum
yang menangani pelanggaran ana khususnya dalam system hukum yang
mengikuti model peradilan pidana harus lebih menekankan atau mengutamakan
kesejahteraan anak
159 Loc. Cit.
138
2) Prinsip Proporsionalitas (the principle of proportionality)
Bahwa disebutkan sasaran kedua adalah menyangkut prinsip proporsionalitas
dimana dalam hal ini merupakan alat untuk mengekang sanksi yang lebih
menghukum dalam arti hanya membalas semata-mata
Bertolak dari aturan tersebut apabila dasar pemikiran dan tujuan peradilan anak
difokuskan pada kesejahteraan anak maka berpijak kepada Undang-undang No.4
Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, proses peradilan anak juga haruslah dapat
menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak secara wajar baik secara rohani,
jasmani maupun sosial sehingga dari pendekatan yang berorientasi pada
kesejahteraan atau kepentingan anak diperlukan pula pendekatan secara khusus dalam
proses penanganana anak yang bermasalah dengan hukum. Hal ini berarti bahwa
diperlukan adaanya perhatian khusus, pertimbangan khusus, pelayanan khusus, dan
perlakuan khusus dalama penanganan anak yang bermasalah dengan hukum tersebut.
4.2. Konsep Diversi Dan Restorative Justice
Dunia hukum dalam beberapa tahun ini telah mengalami reformasi cara
pandang dalam penanganan anak yang melakukan kenakalan dan perbuatan
melanggar hukum. Banyak negara yang mulai meninggalkan mekanisme peradilan
anak yang bersifat represif dikarenakan kegagalan sistem tersebut untuk memperbaiki
tingkah laku dan mengurangi tingkat kriminalitas yang dilakukan oleh anak.
Para pakar hukum dan pembuat kebijakan mulai memikirkan alternatif solusi
yang lebih tepat dalam penanganan anak dengan memberikan perhatian lebih untuk
139
melibatkan mereka secara langsung (reintegrasi dan rehabilitasi) dalam penyelesaian
masalah, berbeda dengan cara penanganan orang dewasa. Hal ini dikarenakan
peningkatan kesadaran bahwa anak bukanlah miniatur orang dewasa. Masa anak-anak
adalah periode yang rentan dalam kondisi kejiwaaan dimana anak belum mandiri,
belum memiliki kesadaran penuh, kepribadian belum stabil atau belum terbentuk
secara utuh, dengan kata lain keadaan psikologinya masih labil, tidak independen,
dan gampang terpengaruh.
Kondisi demikian menyebabkan adanya suatu perbuatan yang dilakukan oleh
anak tidak sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan oleh anak itu sendiri, karena
anak sebagai pelaku bukanlah sebagai pelaku murni akan tetapi juga sebagai korban.
Anak tidak seharusnya dihadapkan pada sistem peradilan jika ada yang lebih baik
demi kepentingan terbaik bagi anak untuk menangani perbuatan anak yang melanggar
hukum. Kesadaran untuk menjadikan peradilan pidana sebagai langkah terakhir untuk
menangani Anak Berhadapan dengan Hukum tercermin dari konvensi yang disepakati
oleh negara-negara di dunia.
Bertolak dari pemaparan yang dijelaskan diatas, maka kita akan berbicara dan
menelaah kebijakan yang bersifat alternatif, yaitu :
1. Konsep Diversi
Anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindakan
kriminal sangat dipengaruhi beberapa faktor lain di luar diri anak. Untuk
melakukan perlindungan terhadap anak dari pengaruh proses formal sistem
peradilan pidana, maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan
140
kemanusiaan untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan (remove)
seorang anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak
pidana dari proses peradilan pidana dengan memberikan alternatif lain yang
dianggap lebih baik untuk anak. Berdasaran pikiran tersebut, maka lahirlah
konsep diversion yang dalam istilah bahasa Indonesia disebut diversi atau
pengalihan.
Menurut sejarah perkembangan hukum pidana kata ” diversion”
pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan pelaksanaan
peradilan anak yang disampaikan Presiden Komisi Pidana Anak ( President ’s
Crime Commissions) Australia di Amerika Serikat pada tahun 1990.160
Sebelum dikemukakannya istilah diversi praktek pelaksanaan yang
berbentuk seperti Diversi telah ada sebelum tahun 1960 ditandai dengan
berdirinya peradilan anak ( Children’s Courts) sebelum abad ke- 19 yaitu
Diversi dari sistem peradilan pidana formal dan formalisasi polisi untuk
melakukan peringatan (policy cautioning). Prakteknya telah berjalan dinegara
bagian Victoria Australia pada tahun 1959 , di ikuti oleh negara bagian
Queensland pada tahun 1963.161
Jack E. Bynum dalam bukunya Juvenile Delinquency a Sociological
Approach menyatakan ”Diversion is an attempt to divert, or channel out,
160
Marlina , 2008, Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak , Jurnal Equality, hal.1
161
Ibid
141
youthful offender from the juvenile justice system (Diversi adalah sebuah
tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak
pidana anak keluar dari system peradilan pidana).162
Penjelasan terkait dengan diversi sebagai mana telah diatur dalam The
Beijing Rules , dimana dalam hal ini hal ini sesuai dengan yang tercantum
dalam Resolusi PBB tentang UN Standard Minimum Rules for the
Administration of Juvenile Justice, (Beijing Rule) Rule 11 :
“Diversion, involving removal from criminal justice processing, and
frequently redirection to community support services, is commonly practiced
on a formal and informal basis in many legal system. This practice serves to
hinder the negative effects of subsequent proceedings in juvenile justice
administration (for example the stigma of conviction and sentence). In many
cases, non intervention would be the best response. This diversion at the out
set and without referral to alternative (social) services may be the optimal
response. This is especially the case where the offence is of a non-serious
nature and where the family, the school r other informal social control
institutions have already reacted, or are likely to react, in an appropriate and
constructive manner (Diversi, melibatkan penghapusan dari pengolahan
peradilan pidana, dan sering redirection ke layanan dukungan masyarakat,
umumnya dilakukan secara formal dan informal dalam sistem hukum banyak.
Praktek ini berfungsi untuk menghambat efek negatif dari proses berikutnya
dalam administrasi peradilan anak (misalnya stigma keyakinan dan kalimat).
Dalam banyak kasus, intervensi non-akan menjadi jawaban terbaik. Ini
pengalihan di set keluar dan tanpa rujukan ke alternatif (sosial) jasa dapat
respon yang optimal. Hal ini terutama kasus di mana pelanggaran bersifat
tidak serius dan di mana keluarga, sekolah r informal lainnya lembaga kontrol
sosial sudah bereaksi, atau mungkin bereaksi, dalam cara yang tepat dan
konstruktif)”163
162 Marlina, 2007, Diversi dan Restorative Justice sebagai Alternatif Perlindungan terhadap
Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Pusat kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), Medan, hal. 83
163
Op.Cit, hal.16
142
Secara umum diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak
yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau
tanpa syarat.164
Dari ketentuan substantive UU No.3 tahun 1997 yang
mengatur tentang peradilan anak nakal tidak ada mengatur tentang diversi,
yaitu membuat pengaturan dari bentuk penyimpangan penanganan anak
pelaku delinkuen di luar jalur yustisial konvensional sebagaimana
dikehendaki dalam Commentary Rule 11 Resolusi PBB 40/33, UN Standard
Minimum Rule for the Administration of Juvenile Justice.165
Diversi sangat
penting untuk diperhatikan dalam penanganan anak pelaku delinkuen, diversi
dapat menghindarkan anak dari proses stigmatisasi yang lazimnya terjadi
dalam proses pemidanaan anak lewat sistem peradilan pidana anak.
Menurut pendapat Peter C. Kratcoski, ada tiga jenis pelaksanaan
program diversi yang dapat dilaksanakan yaitu :17
a) Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orientation),
yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung
jawab pengawasan atau pengamatan masyarakat, dengan ketaatan
pada persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima
tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya
kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat.
b) Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service
orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi,
mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada
pelaku dan keluarganya. Masyarakat dapat mencampuri keluarga
pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan.
164
Ibid
165
M.Musa, 2008, Peradilan Restoratif Suatu Pemikiran Alternatif System Peradilan Anak
Indonesia, Serial Online Februari 14, 2009, availaible from : URL: Hukum Online.com/2009/02/14/
Peradilan-Restoratif-Suatu-Pemikiran-Alternatif-System-Peradilan-Anak
143
c) Menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced or
restorative justice orientation), yaitu melindungi masyarakat,
memberi kesempatan pelaku bertanggung jawab langsung pada
korban dan masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara
korban pelaku dan masyarakat. Pelaksanaannya semua pihak yang
terkait dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan
tindakan pada pelaku.166
Salah satu pedoman yang dapat menjadi pegangan penyidik Polri dalam
menerapkan konsep diversi dalam menangani anak yang berhadapan dengan
hukum adalah TR Kabareskrim Polri No. Pol.: TR/1124/XI/2006 yang
memberi petunjuk dan aturan tentang teknik diversi yang dapat dilakukan
terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. TR Kabareskrim Polri yang
berpedoman pada Pasal 18 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang membahas masalah Diskresi
Kepolisian. TR ini bersifat arahan untuk menjadi pedoman dalam pelaksanaan
diversi, dimana dalam TR ini disebutkan bahwa prinsip diversi yang terdapat
dalam konvensi hak-hak anak anak, yaitu suatu pengalihan bentuk
penyelesaian dari penyelesaian yang bersifat proses pidana formal ke
alternatif penyelesaian dalam bentuk lain yang di nilai terbaik menurut
kepentingan anak. Diversi dapat dikembalikan ke orang tua, si anak baik tanpa
maupun disertai peringatan informal/formal, mediasi, musyawarah keluarga
166
Loc.Cit
144
pelaku dan keluarga korban, atau bentuk-bentuk penyelesaian terbaik lainnya
yang sesuai dengan budaya masyarakat setempat.167
Kepada Kepolisian diarahkan agar sedapat mungkin mengembangkan
prinsip diversi dalam model restorative justice guna memproses perkara
pidana yang dilakukan oleh anak yakni dengan membangun pemahaman
dalam komunitas setempat bahwa perbuatan anak dalam tindak pidana harus
dipahami sebagai kenakalan anak akibat kegagalan/kesalahan orang dewasa
dalam mendidik dan mengawal anak sampai usia dewasa. Tindak pidana anak
juga harus dipandang sebagai pelanggaran terhadap manusia dan relasi antar
manusia sehingga memunculkan kewajiban dari semua pihak atau seluruh
komponen masyarakat untuk terus berusaha dan membuat segala sesuatunya
menjadi lebih baik melalui kelibatan semua pihak untuk mengambil peran
guna mancari solusi terbaik, baik bagi kepentingan pihak-pihak yang menjadi
korban dan juga bagi kepentingan anak sebagai pelaku di masa sekarang dan
dimasa datang.
Setiap tindak pidana yang melibatkan anak dapat diproses dengan
pendekatan restorative justice sehingga menjauhkan anak dari proses hukum
formal/pengadilan agar anak terhindar dari trauma psikologis dan stigmasasi
serta dampak buruk lainnya sebagai ekses penegakan hukum.168
Penahanan
terhadap anak hanya dilakukan ketika sudah tidak ada jalan lain dan
167
TR Kabareskrim No. 1124/XI/2006. Butir Dua
168
Ibid Butir Empat
145
merupakan langkah terakhir (ultimum remidium), dan pelaksanaanya harus
dipisahkan dari tahanan dewasa.169
Pengaturan lain mengenai pemberlakuan diversi dapat pula dilakukan
dengan merujuk pada Pasal 28 Peraturan Kepala Kepolisian Republik
Indonesia No.8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar HAM
Penyelenggaraan Tugas POLRI, dimana dalam melaksanakan tindakan
pemeriksaan terhadap anak, petugas wajib
mempertimbangkan:
a. hak untuk mendapatkan petugas pendamping khusus untuk anak;
b. hak untuk didampingi oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas);
c. hak untuk didampingi oleh orang tua atau wali; dan
d. penerapan prosedur khusus untuk perlindungan dan peradilan anak
Hal ini memberi pedoman dan wewenang bagi penyidik Polri untuk
mengambil tindakan lain yang bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak
dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum.
Dasar hukum penerapan diversi ini adalah Pasal 18 ayat 1 huruf L
yang diperluas oleh Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berbunyi:
“Polisi dapat mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab dengan batasan bahwa tindakan tersebut tidak bertentangan dengan
hukum yang berlaku, selaras dengan kewajiban hukum/ profesi yang
mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan tersebut, tindakan tersebut
harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkup jabatannya,
169 Ibid Butir Lima
146
didasarkan pada pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang
memaksa dan menghormati Hak Asasi Manusia.
Penerapan ketentuan diversi merupakan hal yang penting untuk
dipertimbangkan, karena dengan diversi hak-hak asasi anak dapat lebih
terjamin, dan menghindarkan anak dari stigma sebagai “anak nakal”, karena
tindak pidana yang diduga melibatkan seorang anak sebagai pelaku dapat
ditangani tanpa perlu melalui proses hukum. Adapun tujuan dari diversi yaitu
;
1) Untuk menghindari penahanan
2) Untuk menghindari cap/label sebagai penjahat
3) Untuk meningkatkan keterampilan hidup bagi pelaku
4) Agar pelaku bertanggung jawab atas perbuatannya
5) Untuk mencegah pengulangan tindak pidana
6) Untuk memajukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban
dan pelaku tanpa harus melalui proses formal
7) Program diversi juga akan menghindari anak mengikuti proses system
peradilan
8) Lebih lanjut program ini akan menjauhkan anak-anak dari pengaruh-
pengaruh dan implikasi negative dari proses peradilan tersebut.170
Bertolak dari hal tersebut diatas terdapat beberapa bentuk – bentuk Diversi
yaitu sebagai berikut :
1) Non intervensi
2) Peringatan informal
3) Peringatan formal
4) Mengganti kesalahan dengan kebaikan / Restitusi
5) Pelayanan Masyarakat
170 Lushiana Primasari, Lushiana Primasari, Keadilan Restoratif Dan Pemenuhan Hak Asasi
Bagi Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, Serial Online September 16, 2009, availaible from :
URL:http:Keadilan-Restoratif-Dan-Pemenuhan-Hak-Asasi-Bagi-Anak-Yang-Berhadapan-Dengan-
Hukum.com, hal.3
147
6) Pelibatan dalam program keterampilan
7) Rencana individual antara polisi, anak, dan keluarga
8) Rencana yang diputuskan oleh pertemuan tradisional
9) Rencana yang didasarkan pada hasil pertemuan kelompok
keluarga171
Pengalihan apapun yang melibatkan perujukan kepada pelayanan–
pelayanan masyarakat atau pelayanan lain akan memerlukan persetujuan
remaja itu, atau orang tua walinya dengan syarat keputusan merujuk perkara
tersebut tergantung pada kajian dari pihak berwenang yang berkompeten atas
permohonan tersebut.
Menurut standard Internasional Diversi dapat dilakukan pada setiap
tahapan proses peradilan, mulai dari tahap penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan di persidangan, dan pelaksanaan putusan hakim, namun dalam
ketentuan hukum di Indonesia, pelaksanaan Diversi hanya dimungkinkan
ditingkat penyidikan artinya hanya merupakan kewenangan dari kepolisian,
sementara di lembaga lain seperti Kejaksaan, Kehakiman, atau Lembaga
pemasyarakatan belum ada aturan yang mengaturnya. Hal ini yang harusnya
mulai dipikirkan oleh pemerintah agar penerapan diversi ini dapat berjalan
dalam semua tahap proses peradilan. Keberadaan Diversi ini sangat
diperlukan, sebab melalui Diversi tersebut penuntutan pidana gugur dan
171 Makalah APH Training-Diversi-RJ, FH UNDIP, 2007
148
criminal track – record anakpun serta stigmatisasi anak tidak terjadi.172
Pada tingkat penuntutan, upaya diversi tidak dapat dilakukan, karena
lembaga penuntut tidak memiliki kewenangan diskresioner, sedangkan pada
tingkat pengadilan diversi terbatas pada tindakan pengadilan untuk tidak
menjatuhkan pidana penjara atau kurungan.
Diversi dalam hal ini akan sangat terkait dengan diskresi, dimana
diskresi adalah kewenangan yang dimiliki Polisi untuk mengehentikan
penyidikan perkara dengan membebaskan tersangka anak, atau pun
melakukan pengalihan dengan tujuan agar anak terhindar dari proses hukum
lebih lanjut.
Penerapan peradilan khusus anak telah memberikan ruang untuk
pelaksanaan diversi secara luas. Perubahan-perubahan pada peradilan umum
menuju peradilan yang mengutamakan perlindungan anak dan diversi pada
saat itu dapat kita lihat pada tabel berikut :
Tabel Restrukturisasi Peradilan Pidana Setelah Reformasi Hukum
Proses Kebijakan
Penyebab Kejahatan Tindakan pencegahan Delikuensi
Tindak Pidana Oleh Anak Dekriminalisasi
Ditangkap Polisi Diversi
Pengadilan Proses Peradilan Anak
Penjara Deinstitutionalisation/Diskresi
172 Loc.cit
149
Tabel 1 di atas mengambarkan terjadinya perubahan kebijakan
peradilan pidana yang ditujukan untuk melindungi anak yang bermasalah
dengan hukum. Dengan penerapan konsep diversi bentuk peradilan formal
yang ada selama ini lebih mengutamakan usaha memberikanperlindungan
bagi anak dari tindakan pemenjaraan. Selain itu terlihat bahwa perlindungan
anak dengan kebijakan diversi dapat dilakukan di semua tingkat peradilan
mulai dari masyarakat sebelum terjadinya tindak pidana dengan melakukan
pencegahan. Setelah itu jika ada anak yang melakukan pelanggaran maka
tidak perlu diproses ke polisi. Selanjutnya jika anak yang melakukan
pelanggaran sudah terlanjur ditangkap oleh polisi, polisi dapat melakukan
diversi tanpa meneruskan ke jaksa penuntut. Kemudian apabila kasus anak
sudah sampai di pengadilan, maka hakim dapat melakukan peradilan sesuai
dengan prosedurnya dan diutamakan anak dapat dibebaskan dari pidana
penjara. Terakhir bila anak sudah terlanjur berada di dalam penjara, maka
petugas penjara dapat membuat kebijakan diversi terhadap anak sehingga
anak dapat di limpahkan ke lembaga sosial, atau sanksi alternatif yang
berguna bagi perkembangan dan masa depan anak.173
Bertolak dari hal tersebut sebagaimana yang ditekankan dalam
literatur berjudul ”Crime and Criminal Justice Policy” menyatakan bahwa
”One of the keys to diversion has been the increased use of cautioning by the
173 Marlina, 2008, Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak
Pidana JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008, hal.98
150
police”, the police clearly have discreation in dealing with offender (Salah
satu kunci untuk pengalihan telah memperingatkan peningkatan penggunaan
oleh polisi ", jelas polisi telah discreation dalam berurusan dengan pelaku).174
Lembaga kepolisian merupakan salah satu kunci untuk melakukan
diversi, dimana lembaga kepolisisan menggunakan kewenangan diskresioner
yang dimilikinya, antara lain tidak menahan anak akan tetapi menetapkan
suatu tindakan berupa mengembalikan anak kepada orang tuanya atau
menyerahkannya kepada negara.
2. Restorative Justice
Konvensi Negara-negara di dunia mencerminkan paradigma baru
untuk menghindari peradilan pidana anak. Restorative Justice (keadilan
restoratif) adalah alternatif yang populer di berbagai belahan dunia untuk
penanganan anak yang bermasalah dengan hukum
Keadilan restoratif (restoratif justice) merupakan hal yang relatif baru
di Indonesia, meskipun demikian dalam hal ini restorative justice memiliki
cara pandang yang berbeda dalam menyikapi masalah delinkuensi anak.
Perubahan paradigma tentang keadilan dalam hukum pidana
merupakan fenomena yang sudah mendunia dewasa ini. Masyarakat
Internasional semakin menyadari dan menyepakati bahwa perlu ada
174
Tim Newburn, 1995, Crime and Criminal Justice Policy (1 Edition), LONGMAN, Sosial
Policy in Britain Series, hal.139
151
perubahan pola pikir yang radikal dalam menangani permasalahan Anak
yang berhadapan dengan hukum. Sistem peradilan anak yang sekarang
berlandaskan pada keadilan retributive (menekankan keadilan pada
pembalasan) dan restitutive (menekankan keadilan atas dasar pemberian
ganti rugi) hanya memberikan wewenang kepada Negara yang
didelegasikan kepada Aparat Penegak Hukum (Polisi, Jaksa, dan Hakim).
Pelaku dalam hal ini anak yang berhadapan dengan hukum dan
korbannya sedikit sekali diberikan kesempatan untuk menyampaikan versi
keadilan yang mereka inginkan. Negara yang menentukan derajat keadilan
bagi korban dengan memberikan hukuman penjara pada pelaku, karena itu
tak heran tindak kriminal yang dilakukan anak yang berhadapan dengan
hukum semakin meningkat karena di penjara mereka justru mendapat
tambahan ilmu untuk melakukan kejahatan dan kemudian merekrut anak
lain untuk mengikutinya.
Restorative justice adalah konsep pemidanaan, tetapi sebagai konsep
pemidanaan tidak hanya terbatas pada ketentuan hukum pidana (formal dan
materil). Restorative Justice harus juga diamati dari segi kriminologi dan
sistem pemasyarakatan.175
Kenyataan yang ada saat ini, sistem pemidanaan
yang berlaku belum sepenuhnya menjamin keadilan terpadu (integrated
justice), yaitu keadilan bagi pelaku, keadilan bagi korban, dan keadilan bagi
175
Bagir Manan, 2008, Retorative Justice (Suatu Perkenalan),dalam Refleksi Dinamika
Hukum Rangkaian Pemikiran dalam dekade Terakhir, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, hal. 4.
152
masyarakat. Hal inilah yang mendorong kedepan konsep ”restorative
justice”.
Menurut Bagir Manan, menguraikan tentang substansi ”restorative
justice” berisi prinsip-prinsip, antara lain: ”Membangun partisipasi bersama
antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakat menyelesaikan suatu
peristiwa atau tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat
sebagai ”stakeholders” yang bekerja bersama dan langsung berusaha
menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak (win-win
solutions)”.176
Bertolak dari hal tersebut maka dalam hal menyelesaikan
suatu peristiwa atau tindak pidana dengan cara-cara yang lebih informal dan
personal, dari pada penyelesaian dengan cara-cara beracara yang formal
(kaku) dan impersonal.
Menurut Fruin J.A. dalam Paulus Hadisuprapto, ”peradilan anak
restoratif berangkat dari asumsi bahwa tanggapan atau reaksi terhadap
pelaku delinkuensi anak tidak akan efektif tanpa adanya kerjasama san
keterlibatan dari korban, pelaku dan masyarakat”. Prinsip yang menjadi
dasar adalah bahwa keadilan paling bak terlayani, apabila setiap pihak
menerima perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses
176
Ibid, hal.7
153
peradilan dan memperoleh keuntungan secara memadai dari interaksi
mereka dengan sistem peradilan anak.177
Menangani masalah anak yang berhadapan dengan hukum hendaknya
dilakukan dengan pendekatan secara kekeluargaan dan sedapat mungkin
menghindarkan anak dari lembaga peradilan. Pengadilan bagi anak yang
berhadapan dengan hukum menjadi upaya terakhir setelah berbagai upaya
yang dilakukan dengan pendekatan kekeluargaan telah ditempuh. Secara
umum, prinsip-prinsip keadilan restoratif adalah :
1. Membuat pelanggar bertangung jawab untuk memperbaiki kerugian
yang ditimbulkan oleh kesalahannya;
2. Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan
kapasitas dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalahnya
secara konstruktif;
3. Melibatkan para korban, orangtua, keluarga besar, sekolah, dan
teman sebaya;
4. Menciptakan fórum untuk bekerjasama dalam menyelesaikan
masalah;menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan
dengan reaksi sosial yang formal.178
177 Paulus Hadisuprapto, 2008. Delinkuensi Anak, Pemahaman dan Penanggulangannya
(Selanjutnya disebut dengan Paulus II), Bayumedia Publishing, Malang, hal 225
178
Op.Cit, hal.357
154
Dalam restorative justice metode yang dipakai adalah musyawarah
pemulihan dengan melibatkan korban dan pelaku beserta keluarga masing-
masing, ditambah wakil masyarakat yang diharapkan dapat mewakili
lingkungan dimana tindak pidana dengan pelaku anak tersebut terjadi.
Dengan adanya dukungan dari lingkungan setempat untuk menyelesaikan
masalah di luar sistem peradilan anak diharapkan dapat menghasilkan
putusan yang tidak bersifat punitif, namun tetap mengedepankan
kepentingan dan tanggung jawab dari anak pelaku tindak pidana, korban dan
masyarakat.
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari keadilan restoratif ini
adalah anak sebagai pelaku, korban dan saksi akan dilindungi oleh sistem
peradilan anak yang ramah anak dan peka gender dan oleh masyarakat.179
Proses restorative justice pada dasarnya merupakan upaya pengalihan
dari proses peradilan pidana menuju penyelesaian secara musyawarah, yang
pada dasarnya merupakan jiwa dari bangsa Indonesia, untuk menyelesaikan
permasalahan dengan cara kekeluargaan untuk mencapai mufakat.
Berdasarkan perundang-undangan yang diuraikan dan situasi kondisi (fakta)
yang terjadi selama ini, maka upaya penyelesaian masalah anak yang
bermasalah dengan hukum melalui upaya diversi dan keadilan restoratif
179
Kusumaningrum, Keadilan bagi Anak dan Reformasi Hukum : Dalam Kerangka
Protective Environment, Serial Online September 16, 2009, availaible from URL: http:
//www.unicef.org/ Indonesia /uni-jjs1_2final.pdf
155
(restorative justice) merupakan salah satu langkah yang tepat bagi
penyelesaian kasus-kasus anak yang bermasalah dengan hukum.
Bertolak dari hal tersebut diatas maka untuk mengefektifkan
restorative justice dalam rangka pemenuhan hak anak yang berhadapan
dengan hukum, perlu sosialisasi dan koordinasi dari berbagai pihak, yaitu
aparat penegak hukum, keluarga, maupun tokoh masyarakat. Tanpa
sosialisasi tersebut maka penerapan restorative justice menjadi sulit
diwujudkan sebagai alternatif penyelesaian masalah anak yang berhadapan
dengan hukum.
4.2. Pembaruan Hukum Pidana Dalam Proses Penanganan Anak Yang
Bermasalah Dengan Hukum di Indonesia Dikaji Perspektif Ius
Constituendum
Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan
latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri,
dimana dalam hal ini dapat ditinjau dari aspek sosio-politik, sosio-filosofik,
sosio- kultural atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial,
kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum). Bertolak dari hal tersebut
maka makna dan hakikat pembahaman hukum pidana juga berkaitan erat
dengan berbagai aspek artinya, pembaharuan hukum pidana juga pada
hakikatnya harus merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaharuan
terhadap berbagai aspek dan kebijakan yang melatar belakangi hal tersebut.
156
Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna
suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang
sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio politik, sosio-filosofik, sosio-kultural
masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan
kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Pembaharuan hukum pidana pada
kakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan
("policy-oriented") dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai
("value-oriented approach")180
.
Pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan
kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari
suatu langkah kebijakan atau "policy" yaitu bagian dari politik hukum atau
penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal,dan politik sosial.
Setiap kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai. Bertolak dari
hal tersebut maka pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada
pendekatan nilai.
Bertolak dari hal tersebut diatas maka makna dan hakikat pembaharuan
hukum pidana, sebagai berikut:
1. Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan :
a. Sebagai bagian dari kebijakan-sosial, pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-
180
Barda Nawawi, 1994, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Selanjutnya disebut
dengan Barda Nawawi Arief VII), Universitas Diponegoro, Semarang, hal.31
157
masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka
mencapai/menunjang tujuan nasionat (kesejahteraan masyarakat dan
sebagainya);
b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana
pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat
(khususnya upaya penanggulangan kejahatan);
c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum
pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui
substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan
penegakan hukum.
2. Dilihat dari sudut pendekatan-nilai:
Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya
melakukan peninjauan dan penilaian kembali ("re-orientasi dan re-
evaluasi") nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofik, sosio- kultural yang
melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif
hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaharuan "reformasi"
hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-
citakan sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama
warisan penjajah (KUHP lama atau WvS).181
Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan
menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan:
181 Ibid
158
1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana.
2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si
pelanggar.
Penganalisaan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat
dilepaskan dari konsepsi intergral antara kebijakan kriminal dengan
kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan nasional. Ini berati
pemecahan masalah-masalah diatas harus pula diarahkan untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosio-politik yang telah ditetapkan.
Dengan demikian kebijakan hukum pidana,. termasuk pula kebijakan
dalam menangani dua masalah sentral diatas, harus pula dilakukan dengan
pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach).
Sudah barang tentu pendekatan kebijakan yang integral ini tidak hanya
dalam bidang hukum pidana, tetapi juga pada pembangunan hukum pada
umumnya.
Penanggulangan delinkuensi anak erat kaitannya dengan kebijakan
kriminal (criminal policy), hal ini melihat suatu delikuen anak baik itu
merupkan pelanggaran ataupun perbuatan pidana maka kita harus
melihatnya secara logis bahwa suatu kebijakan sangatlah diperlukan
menimbang anak adalah aset suatu bangsa yang perlu mendapat perhatian
khusus. Kebijakan kriminal sebagai usaha rasional masyarakat untuk
menanggulangi kejahatan, di dalam gerak operasionalnya terarah pada dua
159
jalur, yaitu kebijakan penal dan kebijakan non penal.182
Menurut Paulus
Hadisuprapto penggunaan sarana penal atau jalur hukum pidana
cenderung merugikan masa depan anak karena membekaskan stigma pada
anak.183
Melalui sarana penal, seorang anak terpaksa harus berhadapan
dengan proses hukum yang panjang, mulai pada proses penyidikan oleh
kepolisian, proses penuntutan oleh jaksa, proses persidangan di pengadilan
oleh hakim, dan mengalami proses penahanan dalam rumah tahanan.
Kondisi tersebut dapat memberikan tekanan baik fisik maupun mental
bagi anak yang berhadapan dengan hukum.
Satjipto Rahardjo, dalam tulisannya berjudul : "Pembangunan
Hukum yang diarahkan kepada tujuan Nasional", mengemukakan bahwa
tidak dijumpai perbedaan antara fungsi hukum sebelum dan sesudah
kemerdekaan. Perbedaannya terletak pada keputusan politik yang diambil
dalam kedua masa tersebut dan pengimplimentasiannya kedalam system
hukum masing-masing. Apabila keputusan politik yang diambil setelah
kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah mengutamakan kemakmuran
rakyat yang sebesar-besamya, maka keputusan demikian harus
182 Op.Cit, hal.16
183
Op.cit, hal.5
160
dirumuskan dalam kaidah-kaidah hukum dan sruktur hukumnya pun harus
menyediakan kemungkinan untuk melakukan hal itu.184
Bertolak dari pendekatan kebijakan itu pula, Soedarto berpendapat
bahwa dalam menghadapi masalah sentral yang pertama diatas, yang
seeing disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang pada
intinya sebagai berikut:
a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan
nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata
material spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan mi maka
(penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi
kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan
penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman
masyarakat.
b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan
hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki
yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian, (material dan atau
spiritual) atas warga masyarakat.
c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari badan – badan penegak hukum yaitu
jangan sampai ada kelampuan beban tugas (overlasting).185
184
Masalah-masalah Hukum , No.5-6 Thn. XII/1982, FH. UNDIP, hal. 2
161
Masalah dari pendekatan yang berorientasi pada kebijakan adalah
kecendrungan untuk menjadi pragmatis dan kuantitatif serta tidak
memberi kemungkinan untuk masuknya faktor-faktor yang subyektif,
misalnya nilai-nilai, ke dalam proses pembuatan keputusan. Dikemukakan
pula bahwa perkembangan dari "a policy oriented approach" ini lamban
datangnya, karena proses legislatif belum siap untuk pendekatan yang
demikian.
Pendekatan yang rasional memang merupakan pendekatan yang
seharusnya melekat pada setiap langkah kebijakan. Ha lini merupakan
konsekwensi logis, karena seperti dikatakan oleh Soedarto, dalam
melaksanakan politik (kebijakan) orang mengadakan penilaian dan
melakukan pemilihan dari sekian banyak altematif yang dihadapi.186
Ini berarti suatu politik kriminal dengan menggunakan kebijakan hukum
pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat
dengan sengaja dan sadar.
Memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk
menanggulangi kejahatan harus benar-benar telah memperhitungkan
semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum
pidana itu dalam kenyataannya. Jadi diperlukan pula pendekatan yang
185 Op.Cit, hal 44
186
Ibid, hal. 161.
162
fungsional; dan inipun merupakan pendekatan yang melekat (inherent)
pada setiap kebijakan yang rasional, dengan demikian dalam melakukan
kebijakan hukum pidana diperlukan pendekatan yang berorientasi pada
kebijakan (policy oriented approach) yang lebih bersifat pragmatis dan
rasional, dan juga pendekatan yang berorientasi pada nilai (value judgment
approach). Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal
dengan istilah politik kriminil dapat meliputi ruang lingkup yang cukup
luas, dimana upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan :
a. Penetapan hukum pidana (criminal law application).
b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment) dan
c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat media massa (influencing views of society
on crime and punishment through mass media).187
Bertolak dari hal tesebut diatas maka dengan demikian upaya
penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua yaitu jalur,
yakni sarana penal (hukum pidana) dan lewat jalur non penal
(bukan/diluar hukum pidana) sedangkan upaya-upaya yang disebut dalam
butir (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya non-penal.
Kebijakan kriminal tidak dapat dilepaskan sama sekali dari
masalah nilai, karena seperti dikatakan oleh Christiansen, "the conception
187 Dwi H. Retnaningrum & Manunggal K. Wardaya, 2008, Perlindungan Terhadap Anak
Yang Melakukan Tindak Pidana, Jurnal PENEGAKAN HUKUM, Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran, Bandung, hal.6
163
of problem crime and punishment is an essential part of the culture of any
society (konsepsi masalah kejahatan dan hukuman merupakan bagian
penting dari budaya setiap masyarakat)".188
Menurut W. Clifford, "the very foundation of any criminal justice
system consist of the phylosophy behind a given country (sangat dasar dari
setiap sistem peradilan pidana terdiri dari filosofi di balik pemberian
Negara)".189
Terlebih bagi Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan garis
kebijakan pembangunan nasionalnya bertujuan untuk membentuk
manusia Indonesia seutuhnya. Apabila pidana akan digunakan sebagai
sarana untuk tujuan tersebut, maka pendekatan humanistik harus pula
diperhatikan. Hal ini penting tidak hanya karena kejahatan itu pada
hakikatnya merupakan masalah kemanusiaan, tetapi juga karena pada
hakikatnya pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat
menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga bagi kehidupan
manusia.
Bertolak dari hal bahwa kebijakan kriminal sebagai usaha rasional
masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, di dalam gerak
operasionalnya terarah pada dua jalur, yaitu kebijakan penal dan kebijakan
non penal maka dalam hal proses penanganan anak yang berhadapan
dengan hukum dapat pula diambil kebijakan dalam dua hal tersebut.
188
Op.Cit, hal. 15.
189
Karl O. Christiansen, dalam Resource Material Series No.7, 1974,UNAFEI, hal.75.
164
Sebagaimana telah dipaparkan secara jelas dan kongkrit bahwa jalur penal
telah diatur secara tegas dan jelas dalam aturan positif di Indonesia untuk
masalah penanganan anak yang berhadapan dengan hukum yaitu
sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak namun proses penanganan dalam sarana penal tersebut
lebih menekankan kepada suatu proses peradilan anak yang dapat
menimbulkan suatu stigmatisasi dan labeling kepada anak yang
berhadapan dengan hukum.
Dalam konteks di Indonesia, dengan degradasi moral anak,
mekanisme tersebut dapat diterapkan guna menghilangkan stigmatisasi
dan labeling yang diproduksi oleh sistem peradilan anak. Anak yang
tersesat dalam dunia hitam harus dikembalikan atau direhabilitasi melalui
kebijakan Non Penal (tindak mempidana) khususnya melalui diversi yang
bermuara pada restorative justice. Kebijakan ini sesuai dengan pemikiran-
pemikiran Marc Ancel sendiri yang pernah mengungkapkan bahwa
apabila terjadi suatu kejahatan dalam suatu wilayah, maka yang sakit
bukan hanya pelaku tetapi juga masyarakat, Ancel yang berpandangan
reformis dan moderat lebih sempurna menganalisis bahwa kegagalan
hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan termasuk kenakalan
remaja, karena hukum pidana seharusnya bertitik tolak “perlindungan
sosial dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai
hukum pidana, karena itu sistem hukum pidana, tindak pidana, penilaian
165
hakim terhadap pelaku serta pidana merupakan institusi yang harus tetap
dipertahankan, namun tidak digunakan dengan fiksi-fiksi dan teknik-
teknik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial.190
Bertolak dari kebijakan penegakan hukum pidana termasuk pula
penanganan pidana anak maka dalam hal ini akan berorientasi kepada :
1) kebijakan legislatif (formulatif)
2) kebijakan yudikatif/ aplikatif
3) kebijakan eksekutif/administratif
Maka dalam proses penangan anak yang bermasalah dengan hukum khususnya sarana
non-penal (aturan diversi) haruslah terlebih dahulu dirumuskan secara limitatif dalam
hukum positif Indonesia dimana dalam hal ini yaitu Undang-undang Pengadilan
Anak, hal ini tidak terlepas dari asas legalitas yang dianut hukum pidana khususnya
Indonesia yang bersistem hukum Civil Law. Menurut Max Weber definisi hukum
yaitu :”an order will be called law if it is externally guaranteed by the probality that
coercion (physical or psycological) to bring about conformity or avenge violation
will be apllied by staff of people holding themselves spesially ready for purpose
(suatu pendekatan akan disebut hukum jika dijamin oleh probality eksternal bahwa
190 SR. SIanturi dan Mompang Panggabean, 1996, Hukum Penitensia di Indonesia, AHM dan
PTHM, Jakarta, hal. 20
166
paksaan (fisik atau psycological) untuk membawa kesesuaian atau membalas
pelanggaran akan ditetapkan oleh badan khusus guna untuk mencapai tujuan)”.191
Berkaitan dengan perumusan suatu norma maka dalam hal ini norma hukum
ditetapkan oleh badan hukum yang berwenang. Bertolak dari hal tersebut maka
sangatlah penting adanya suatu aturan yang telah disahkan oleh badan yang
berwenang atau dilakukannya penormaan dari konvensi internasional tentang anak
yang telah ada sebelumnya sehingga para aparat penegak hukum yang menangani
proses penangan anak yang bermasalah dengan hukum memiliki pegangan didalam
praktek sistem peradilan anak tersebut. Patut dicatat pula bahwa penormaan tersebut
haruslah selaras dengan nilai filosofi dan sosial dari masyarakat Indonesia, dimana
Pemikiran harmonisasi bermula dari Rudolf Stamler yang mengemukakan bahwa
konsep dan prinsip-prinsip hukum yang adil mencakup “harmonisasi” antara maksud,
tujuan dan kepentingan individu dengan maksud, tujuan dan kepentingan masyarakat
umum. Dengan kata lain, hukum akan tercipta baik apabila terdapat keselarasan
antara maksud, tujuan dan kepentingan penguasa (pemerintah) dengan masyarakat.192
Bercermin pada ketidakmampuan sarana penal dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak selama ini maka pola proses penanganan anak yang bermasalah dengan
hukum yang bertujuan pada restorative justice melalui diversi dapat segera mulai
dilaksanakan di Indonesia. Implementasi pola penanggulangan dan penyelesaian
191 Alan Hunt, 1978, The Sosiological Movement in Law, British Library Cataloging in
Publication Data, hal.103
192
Hukum online, Serial Online September 30, 2010, availaible from : URL:
http://www.legalitas.org
167
kasus kriminal oleh anak tidak akan hilang dari makna status anak yang memerlukan
perhatian dan kasih sayang serta bimbingan dan pendidikan, kemudian anak nakal
yang kembali ke masyarakat melalui pendekatan ini lolos dari stigmatisasi dan
labeling narapidana serta akhirnya antara proses penanganan dan penyelesaian anak
yang bermasalah dengan hukum dengan pemulihan keseimbangan ketertiban terjadi
tanpa terasa dipaksakan oleh para pihak termasuk penegak hukum. Efek penjeraan
(deterrence) serta pencegahan (prevency) khusus dan umum, dapat memiliki korelasi
erat dan saling mempengaruhi, sehingga prevalensi dan tingkat kejahatan dapat
terukur terutama apabila pelakunya anak-anak.
168
BAB V
PENUTUP
Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pembahasan seperti yang telah
diuraikan diatas, maka dapat diambil suatu kesimpulan dan saran sebagai berikut:
1. Kesimpulan :
1. Bahwa dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang No.3 Tahun 1997
Tentang Pengadilan Anak yang mengatur mengenai tindakan lain berupa
pengembalian anak kepada orang tua/wali ataupun pengembalian anak kepada
Departemen Sosial yang dapat dilakukan penyidik adalah belum dijelaskan
secara tegas dan eksplisit sehingga menimbulkan keadaan suatu norma yang
bersifat kabur (Leemten van Normen), dimana setelah dikaji secara akademis
maka masalah dasar legitemasi terkait dengan proses penangan anak yang
bermasalah dengan hukum maka ada beberapa landasan legitemasi dalam
penggunaan diversi ataupun tindakan lain yang dapat diambil oleh penyidik
adalah Pasal 5 Undang-unadng No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
Pasal 16 Undang-undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian khususnya
mengenai diskresi, TR Kabareskrim No. 1124/XI/2006 tentang Pedoman
Pelaksanaan Diversi Bagi Kepolisian dan Peraturan Kepala Kepolisian
Republik Indonesia No.8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan
Standar HAM Penyelenggaraan Tugas POLRI sebagaimana dalam hal ini
169
lebih menekankan pada tindakan (non penal) dan bukan pada tindakan (penal)
sehingga dalam hal ini akan mempengaruhi penegakan hukum khususnya
proses anak yang berhadapan dengan hukum.
2. Bahwa dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
belum adanya pengaturan yang jelas dan kongkrit (norma kosong) mengenai
diversi, dimana diversi sangat penting untuk diperhatikan dalam penanganan
anak pelaku delinkuen serta dapat menghindarkan anak dari proses
stigmatisasi yang lazimnya terjadi dalam proses pemidanaan anak lewat
sistem peradilan pidana anak. Bertolak dari hal tersebut diperlukan adanya
penemuan hukum (Rechtvinding), dimana dalam hal ini memungkinkan untuk
adanya suatu penormaan dari konvensi internasional yang telah ada yang telah
mengatur konsep diversi tersebut. Dengan demikian, pembaruan hukum
pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan
reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral
sosio politik, sosio-filosofik, sosio-kultural masyarakat Indonesia yang
melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan
hukum di Indonesia serta pembaruan hukum pidana pada kakikatnya harus
ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ("policy-
oriented") dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai ("value-
oriented approach")
170
2. Saran
1. Hendaknya dasar legetimasi mengenai adanya pengaturan tindakan lain yang
dapat dilakukan oleh penyidik dapat digunakan oleh penyidik dalam setiap
proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum sembaring
menunggu disahkannya RUU Pengadilan anak itu sendiri agar proses
penanganan anak yang bermasalah dengan hukum sesuai dengan prinsip
peradilan anak tersebut berjalan sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan.
2. Hendaknya dalam konteks pembaruan hukum pidana, penggunaan kebijakan
penal saat ini dalam penanganan proses anak yang bermasalah dengan hukum
haruslah dilakukan dengan hati-hati sehingga tidak menimbulkan stigmatisasi
bagi anak, oleh karena itu dari perspektif ius constituendum diperlukan pula
penggunaan kebijakan non-penal. Kebijakan non penal melalui diversi dalam
dalam proses anak yang berhadapan dengan hukum memerlukan dukungan
adanya pengaturan hukum positif secara jelas sehingga aparat penegak hukum
dalam pelaksanaannya memiliki pegangan yuridis yang jelas dalam penanganan
proses anak yang bermasalah dengan hukum dapat dilaksanakan dengan benar
dan adil guna memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Kebijakan tersebut
sangat perlu diupayakan untuk mencegah stigmatisasi dan proses labeling yang
kerap terjadi apabila anak diproses melalui sistem peradilan pidana anak.