15
Keterbukaan Dalam Pembayaran Kapitasi (Hasbullah Thabrany) 1 Pendahuluan Pada dekade tahun 1990-an ini Sistem Kesehatan kita sedang mengalami berbagai perubahan. Perubahan pertama adalah perubahan di dalam penyelenggaraan pelayanan (delivery system) untuk mengurangi beban pembiayaan pemerintah. Peran serta masyarakat semakin didorong di dalam penyediaan pelayanan kesehatan, khususnya yang bersifat kuratif. Bahkan rumah sakit yang bersifat pencari laba telah diberikan ijin beroperasi di Indonesia. Perubahan kedua adalah perubahan di dalam cara pembiayaan kesehatan dari yang tadinya bersifat individual ke kelompok dengan melalui mekanisme asuransi kesehatan. Termasuk pada perubahan kedua adalah terbukanya kesempatan penyelenggaraan asuransi komersial yang berpijak pada UU No. 2/1992, penyelenggaraan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Jamsostek yang berdasarkan UU No. 3/1992, dan penyelenggaraan program JPK Mayarakat (JPKM) yang dituangkan pada Pasal 66 UU No. 23/1992. Program JPK Jamsostek dan JPKM secara eksplisit telah menggariskan pembayaran sistem kapitasi kepada penyedia pelayanan kesehatan (PPK) di dalam rangka pengendalian biaya kesehatan. Penyelenggaraan JPK pegagawai negeri sipil, yang kini dikenal dengan pelayanan PT Asuransi Kesehatan Indonesia, telah terlebih dahulu menggunakan sistem pembayaran kapitasi. Bagaimana sistem kapitasi menjadi primadona sistem pembayaran JPK? Di dalam makalah ini kita akan meninjau landasan berpikir mengapa sistem kapitasi ini diplih dan beberapa persyaratan yang diperlukan. Di dalam pembahasan ini kita tidak bisa melewatkan apa yang telah terjadi pada sistem kesehatan Amerika yang telah mempopulerkan sistem kapitasi di dunia kesehatan. Meskipun demikian, harus diakui bahwa pembayaran sistem kapitasi tidaklah dimulai di Amerika, tetapi sudah dimulai lebih dulu di Eropa. Tetapi sistem pembayaran kapitasi menjadi bahan yang ramai dibicarakan dalam diskusi-diskusi pembaharuan pelayanan kesehatan (health care reform) setelah Amerika mengeluarkan HMO Act di tahun 1973. Pembicaran sistem pembayaran kapitasi tidaklah lengkap tanpa kita menelaah karakteristik ekonomis pelayanan 1 Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia/Ketua Umum PAMJAKI

Pembayaran kapitasi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pembayaran kapitasi

Keterbukaan Dalam Pembayaran Kapitasi

(Hasbullah Thabrany)1

Pendahuluan

Pada dekade tahun 1990-an ini Sistem Kesehatan kita sedang mengalami

berbagai perubahan. Perubahan pertama adalah perubahan di dalam penyelenggaraan pelayanan (delivery system) untuk mengurangi beban pembiayaan pemerintah. Peran serta masyarakat semakin didorong di dalam penyediaan pelayanan kesehatan, khususnya yang bersifat kuratif. Bahkan rumah sakit yang bersifat pencari laba telah diberikan ijin beroperasi di Indonesia. Perubahan kedua adalah perubahan di dalam cara pembiayaan kesehatan dari yang tadinya bersifat individual ke kelompok dengan melalui mekanisme asuransi kesehatan. Termasuk pada perubahan kedua adalah terbukanya kesempatan penyelenggaraan asuransi komersial yang berpijak pada UU No. 2/1992, penyelenggaraan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Jamsostek yang berdasarkan UU No. 3/1992, dan penyelenggaraan program JPK Mayarakat (JPKM) yang dituangkan pada Pasal 66 UU No. 23/1992. Program JPK Jamsostek dan JPKM secara eksplisit telah menggariskan pembayaran sistem kapitasi kepada penyedia pelayanan kesehatan (PPK) di dalam rangka pengendalian biaya kesehatan. Penyelenggaraan JPK pegagawai negeri sipil, yang kini dikenal dengan pelayanan PT Asuransi Kesehatan Indonesia, telah terlebih dahulu menggunakan sistem pembayaran kapitasi.

Bagaimana sistem kapitasi menjadi primadona sistem pembayaran JPK? Di dalam makalah ini kita akan meninjau landasan berpikir mengapa sistem kapitasi ini diplih dan beberapa persyaratan yang diperlukan. Di dalam pembahasan ini kita tidak bisa melewatkan apa yang telah terjadi pada sistem kesehatan Amerika yang telah mempopulerkan sistem kapitasi di dunia kesehatan. Meskipun demikian, harus diakui bahwa pembayaran sistem kapitasi tidaklah dimulai di Amerika, tetapi sudah dimulai lebih dulu di Eropa. Tetapi sistem pembayaran kapitasi menjadi bahan yang ramai dibicarakan dalam diskusi-diskusi pembaharuan pelayanan kesehatan (health care reform) setelah Amerika mengeluarkan HMO Act di tahun 1973. Pembicaran sistem pembayaran kapitasi tidaklah lengkap tanpa kita menelaah karakteristik ekonomis pelayanan

1 Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia/Ketua Umum PAMJAKI

Page 2: Pembayaran kapitasi

h.thabrany kapitasi 2

kesehatan. Oleh karenanya, saya akan memulai diskusi kita dengan menyampaikan ciri pelayanan kesehatan. Karakteristik Pelayanan Kesehatan dan Responnya

Dibandingkan dengan kebutuhan hidup manusia yang lain kebutuhan pelayanan kesehatan mempunyai tiga ciri utama yang unik (Evans, 1984). Ketiga ciri utama tersebut adalah:

uncertainty, asymetry of information, dan externality.

Uncertainty Uncertainty atau ketidakpastian menunjukkan bahwa kebutuhan akan pelayanan kesehatan tidak bisa dipastikan, baik waktunya, tempatnya, maupun besarnya biaya yang dibutuhkan. Sifat inilah yang menyebabkan timbulnya respons penyelenggaran mekanisme asuransi di dalam pelayanan kesehatan. Mekanisme asuransi menghimpun (pooling) resiko perorangan menjadi resiko kelompok atau dari suatu kelompok kecil kepada kelompok yang lebih besar. Dengan pooling resiko itu kepada kelompok (dengan membayar premi) maka resiko tiap orang menjadi kecil/ringan dan pasti karena dipikul bersama secara periodik. Asymetry of information Sifat kedua, asymetry of information menunjukkan bahwa konsumen pelayanan kesehatan berada pada posisi jauh yang lebih lemah sedangkan provider (PPK seperti dokter) mengetahui jauh lebih banyak tentang manfaat dan kualitas pelayanan yang "dijualnya". Akibat dari ciri ini, konsumen individu mudah menjadi "mangsa" PPK. Sebagai respons institutional dari ciri ini adalah pengendalian dan pemantauan dari pemerintah atau pembayar untuk melindungi konsumen yang lemah. Sistem pembayaran kapitasi antara lain bertujuan untuk mengatasi masalah informasi asimetri ini. Externality

Externality berarti bahwa konsumsi pelayanan kesehatan tidak saja mempengaruhi "pembeli/pengguna/konsumen" tetapi juga bukan konsumen. Demikian juga resiko kebutuhan pelayanan kesehatan tidak saja mengenai diri pembeli. Contohnya adalah konsumsi rokok yang mempunyai resiko lebih besar pada yang bukan perokok. Karena ciri ini, pelayanan kesehatan membutuhkan

Page 3: Pembayaran kapitasi

h.thabrany kapitasi 3

subsidi dalam berbagai bentuknya. Oleh karenanya, pembiayaan pelayanan kesehatan tidak saja menjadi tanggung jawab diri seseorang, akan tetapi juga merupakan tanggung jawab bersama (publik).

Selain ketiga ciri di atas, pelayanan kesehatan mempunyai aspek sosial yang rumit dipecahkan sendiri oleh bidang kedokteran atau ekonomi. Dokter tidak bisa memperlakukan pasien sebagai komputer, yang jika salah satu komponennya tidak berfungsi dan tidak dapat diganti atau mahal dimusnahkan saja. Dokter berusaha mencari teknologi baru untuk memecahkan masalah klinik yang tidak pernah tuntas. Teknologi baru tersebut menuntut penelitian longitudinal dan biaya besar. Akibatnya teknologi baru menjadi mahal. Hal ini berdampak pada aspek ekonomi, dimana teknologi kedokteran dapat mengatasi keadaan pasien, akan tetapi biaya untuk itu sering tidak tejangkau oleh kebanyakan orang. Dengan demikian, hal ini menambah besar resiko/ketidak pastian seseorang yang semakin memperkuat kebutuhan asuransi kesehatan. Karena manusia memberikan nilai yang sangat tinggi akan kehidupan dan kesehatan, maka seringkali timbul dilema besar yang menyangkut kelangsungan hidup seseorang hanya karena faktor biaya. Karena secara sosial kita tidak bisa melakukan pertimbangan biaya dan efisiensi maka harus ada suatu mekanisme yang mampu memecahkan pembiayaan pelayanan bedah, diagnostik canggih, pelayanan gawat darurat, dan pelayanan intensif lain yang mahal. Dilema Asuransi Kesehatan: Ancaman Moral Hazard

Konsep asuransi kesehatan sebenarya sudah dikenal pada msyarakat Cina kuno yang membayar dokter waktu sehat dan tidak membayarnya waktu sakit mereka berobat. Di jaman Mesir kuno, mekanisme asuransi yang merupakan suatu sistem tanggung jawab bersama untuk sebuah bencana yang akan menimpa suatu komunitas sudah dipergunakan. Secara lebih terstruktur mekanisme asuransi dikembangkan di Belanda pada tahun 1663 diamana pemerintah memberikan asuransi cacat pada tentara. Sedangkan asuransi kecelakaan dikembangkan di Inggris pada tahun 1848 oleh Perusahaan Asuransi Kereta Api (HIAA, 1995). Akan tetapi asuransi kesehatan dalam bentuk modern baru berkembang pesat di awal abad ke 20 ini dan telah meluas begitu cepat ke berbagai penjuru dunia. Kini lebih dari 80 negara di Dunia menyelenggarakan asuransi kesehatan secara terstruktur (Roemer,1991). Program JPK boleh dikatakan baru mendapatkan kepopulerannya pada dua dekade yang lalu.

Dalam perkembangannya, mekanisme asuransi kesehatan telah berproliferasi sehingga kita dapatkan berbagai bentuk di pasaran dunia. Bentuk modern pada awal perkembangannya umumnya berupa “Transfer resiko” dengan pertanggungan penggantian biaya (indemnitas). Resiko yang dipertanggungkan

Page 4: Pembayaran kapitasi

h.thabrany kapitasi 4

mulanya terbatas pada suatu resiko tertentu, seperti kecelakaan diri, perawatan rumah sakit, dan tindakan bedah. Kemudian pertanggungan berkembang menjadi pertanggungan komprehensif tanpa manajemen utilisasi. Model asuransi kesehatan tersebut kemudian menimbulkan masalah pembiayaan karena tejadi overutilisasi dan tingginya inflasi biaya kesehatan akibat moral hazard yang tinggi. Hal itu dapat dimengerti karena sisakit yang memiliki asuransi tidak menanggung beban biaya tatkala mereka mengkonsumsi pelayanan kesehatan. Apalagi jika PPK dibayar dengan sistem Fee-for Service dan konsumen tidak memiliki informasi yang cukup (informasi asimetri), maka dengan mudah provider menciptakan demand baru (demand creation atau suplay induce demand). Kombinasi antara konsumen yang praktis tidak membayar, pembayaran FFS, dan informasi asimetri sangat sulit mengendalikan biaya. Justeru yang teterjadi adalah insentif meningkatkan biaya (Luft, 1987).

Paul Elwood, seorang dokter di Minesota, akhimya melontarkan ide cemerlang dengan mengembangkan prepaid health care yang kemudian dikenal dengan nama Health Maintenance Organization (HMO) yang diundangkan pada tahun 1973 di Amerika. Sebenamya, sistem pembayaran praupaya sudah berjalan jauh sebelum HMO Act. Namun penyelenggaraannya masih secara sporadis dan tidak mendapatkan dukungan politik dari pemerintah Federal Amerika. Kehadiran HMO ini merupakan altematif dari sistem asuransi konvensional yang sudah berkembang pesat di Amerika dan menyebabkan inflasi tinggi. Tujuannya adalah antara lain untuk mengurangi terjadinya moral hazard melalui manajemen utilisasi. Bentuk awal HMO yang berkembang adalah apa yang dikenal dengan HMO Staff dan Grup, yang paling banyak menggunakan sistem pembayaran kapitasi. Pada perkembangan berikutnya, jumlah penduduk yang tercakup dengan HMO staff dan grup tersaingi dengan perkembangan HMO Network, IPA, dan tumbuhnya PPO (Proferred Provider Organizations) (Luft, 1987; Boland, 1993; Kongsvedt, 1995), dan belakangan POS (Point of Service) plan.

Secara teoritis, pengendalian utilisasi dan biaya kesehatan dapat dilakukan dengan intervensi kepada sisi suplai dan sisi demand. Asuransi konvensional yang tidak memiliki hubungan kerja dengan provider melakukan intervensi kepada sisi demand (peserta/konsumen) dengan memberlakukan resiko sendiri dalam bentuk deductible, coinsurance, limitasi dan pengecualian. Pendekatan HMO melakukan pengendalian biaya dengan intervensi kepada sisi suplai (PPK) yaitu dengan pembayaran kapitasi. Sedangkan PPO, yang mulai berkembang sejak pertengahan tahun 1980an, menocba mengkombinasikan pendekatan asuransi konvensional dan HMO dengan menerapkan manajemen utilisasi kepada kedua pihak. Kini di pasar Amerika kita dapat menyaksikan berbagai bentuk hibrida mekanisme asuransi kesehatan pluralistik. Program managed care (HMO,

Page 5: Pembayaran kapitasi

h.thabrany kapitasi 5

PPO, dan POS) di Amerika kini telah merebut lebih dari 70% pangsa pasar asuransi kesehatan (HIAA, 1997).

Masalah yang paling penting dalam pembayaran kapitasi adalah menyangkut penetapan berapa besar kebutuhan pelayanan kesehatan seseorang (Gambar 1) yang kemudian dapat dikonversi dalam bentuk kapitasi. Pada umumnya orang berpendapat bahwa manfaat konsumsi pelayanan mengikuti hukum diminishing marginal utility. Pada harga H1 orang mengkonsumsi sebanyak 5 unit pelayanan, pada harga H2 ia mengkonsumsi 8 unit dan pada harga HO (gratis) ia mengkonsumsi 15 unit. Garis lengkung adalah status kesehatan sehubungan dengan konsumsi tersebut. Berapa jumlah konsumsi yang optimal?. Dengan pendekatan ini dapat kita lihat bahwa konsumsi yang berlebihan tidak akan meningkatkan status kesehatan. Apakah dengan mengharuskan peserta asuransi konvensional membayar deductible dan coinsurance, peserta akan mengkonsumsi pelayanan sesuai dengan kebutuhan medik? Tidak bisa dipastikan! Benar metoda ini dapat menurunkan utilisasi (lihat Gambar 2). Pada harga H1, dimana seseorang harus membayar penuh biaya pelayanan kesehatan, jumlah pelayanan yang dikonsumsi adalah 5 unit. Kalau asuransi menanggung semua biaya, maka dia akan mengkonsumsi 15 unit. Tetapi kalau ia harus membayar 20% (coinsurance) dari harga pelayanan, maka ia akan mengkonsumsi sebanyak 10 unit. Apakah penurunan konsumsi dari 15 menjadi 10 unit (karena coninsurance) pas dengan kebutuhan atau malah menjadi underutilization? Sulit diketahui karena sistem asuransi konvensional tidak mempunyai instrumen untuk mengetahui tingkat kebutuhan.

Sistem pembayaran kapitasi didasari pada asumsi bahwa dokter pada panel sistem HMO atau JPK lebih tahu tentang kebutuhan pasiennya dan bekerja lebih dekat dengan pasiennya dan karenanya akan memberikan pelayanan yang pas, sesuai dengan kebutuhan (Gambar 3). Jika perusahaan asuransi (Pembayar JPK) membayar PPK dengan harga kapitasi sebesar H3, maka PPK akan berusaha menekan jumlah konsumsi sampai 9 unit, jumlah di mana PPK tidak akan merugi. Jika jumlah yang dikonsumsi kurang dari 9 unit, maka PPK akan menikmati laba. Benarkah demikian? Banyak pro dan kontra tentang bukti-bukti asumsi ini.

Page 6: Pembayaran kapitasi

h.thabrany kapitasi 6

Gambar 1: Gambar hipotetikal tentang kebutuhan dan konsumsi pelayanan kesehatan

Berapa Jumlah Kebutuhan

H Status Kesehatan

H1 ?

H2 ?

?

H0 5 8 15 J

Gambar 2: Pengaruh Coinsurane Terhadap Utilisasi H

H1

H2

20%⎨ H0 5 10 15 J

Page 7: Pembayaran kapitasi

h.thabrany kapitasi 7

Gambar 3: Efek Kapitasi Terhadap Utilisasi Pelayanan Kesehatan H

H1

H3 Kap = Ave. Cost

5 9 15 J Berbagai Model Pembayaran Kapitasi

Pembayaran kapitasi antara sebuah Pembayar atau asuradur kepada PPK dapat dilakukan dengan berbagai model. Masing-masing model memiliki persyaratan dan keunggulan tersendiri. Kegagalan pembayaran kapitasi dapat terjadi jika model kontrak kapitasi disama ratakan, tanpa memperhatikan kondisi lapangangan.

Model 1: Model Individual/Kapitasi parsial

RS

PPK1

PPK2

Apotik

PPK1

Page 8: Pembayaran kapitasi

h.thabrany kapitasi 8

Model 1 ini dapat dilaksanakan jika Pembayar memiliki jumlah anggota cukup banyak dan masing-masing individu PPK atau rumah sakit mendapatkan jumlah anggota yang memadai jumlahnya. Jumlah anggota yang terlalu sedikit pada suatu PPK menyebabkan varians utilisasi menjadi besar dan karenanya resiko PPK menjadi besar pula. Dengan jumlah anggota yang kecil, PPK akan enggan menerima pembayaran kapitasi, apalagi jika PPK tersebut telah memiliki pasien langganan yang cukup banyak. Jika ada PPK yang mau menerima jumlah kecil tersebut, kemungkinan besar PPK itu adalah PPK baru yang belum memiliki langganan dan tidak memberikan pelayanan yang memadai kualitasnya. Model ini tentu saja memberikan pekerjaan yang cukup banyak bagi Pembayar untuk melakukan kontrak kapitasi dengan tiap-tiap PPK. Kapitasi parsial mengandung resiko lebih banyak bagi Pembayar untuk menanggung biaya rujukan dan obat. Akan tetapi, model ini akan memberikan peluang lebih besar kepada Pembayar untuk mendapatkan informasi utilisasi yang lebih baik. Pembayar juga dapat melakukan pemantauan kinerja masing-masing PPK secara rinci.

Model 2: Model Kombinasi IPA/Kapitasi parsial

Pada model kedua, Pembayar melakukan kontrak kapitasi kepada asosiasi PPK untuk wilayah dimana jumlah anggota sangat menyebar. Di Amerika asosiasi ini disebut Independent Practice Association, IPA (PT Jamsostek menyebutnya main provider). Asosiasi PPK membayar anggotanya dengan berbagai cara, misalnya dengan FFS, gaji, atau bujet; tetapi umumnya dengan cara

PPK1

Pembayar

RS

Apotik

PPK1PPK

1-2

PPK1-2

IPA

FFS/Gaji

Page 9: Pembayaran kapitasi

h.thabrany kapitasi 9

FFS. Hal ini mengingat kendala manajemen yang paling memungkinkan. Akan tetapi pada daerah dimana jumlah anggota cukup memadai, Pembayar masih melakukan kontrak langsung secara individual. Dengan cara ini, Pembayar dapat mengatasi sulitnya mengadakan kontrak di daerah yang sebaran anggotanya sedikit, padahal menurut peraturan Pembayar harus membayar kapitasi. Hal ini terjadi pada JPK yang secara legal tidak memberikan alternatif pembayaran lain.

Model 3: Kapitasi Parsial/Grup Model ini membagi dua kelompok perawatan kepada PPK rawat jalan dan

PPK rawat inap. Pada model ini, seluruh rawat jalan dikontrak kepada kelompok (main provider) dengan pembayaran kapitasi, sementara untuk rawat inap juga dikontrakkan kepada kelompok rumah sakit. Kelompok PPK dapat membayar anggota kelompok dengan cara FFS atau cara lain. Secara legal tidak ada larangan kelompok membayar kapitasi kepada anggota kelompoknya, akan tetapi hal ini bukanlah tujuan pembayaran kapitasi. Lagi pula, kelompok/grup bukanlah organisasi risk bearer, sehingga tidak tepat jika kelompok kemudian membayar kapitasi lagi kepada anggotanya, apalagi jika jumlah tertanggung yang terdaftar pada anggota PPK1 misalnya tidak cukup banyak. Dengan model ini, Pembayar dapat berkonsentrasi mengembangkan kepesertaan sementara grup dan PPK dapat berkonsentrasi dengan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan tertanggung.

Pembayar

RS RS

RS PPK1-2 PPK

1-2

PPK1-2

Grup PPK

Grup RS

Kapitasi/ FFS/ Gaji

Page 10: Pembayaran kapitasi

h.thabrany kapitasi 10

Model 4: Grup, Kapitasi penuh Model ini sangat memudahkan Pembayar dalam mengembangkan

kepesertaan sementara grup dapat berkonsentrasi penuh dengan pelayanan. Disini grup menanggung resiko penuh atas fluktuasi utilisasi dan dapat mengendalikan rujukan dengan baik. Pada model terdahulu, rujukan rawat inap dapat cukup tinggi jika komunikasi antara Pembayar dengan kedua grup tidak baik. Pada model ini, Pembayar tidak perlu khawatir dengan adanya rujukan yang berlebihan. Karenanya pada model ini dana withold atau referal pool tidak diperlukan. Anggota grup dapat dibayar dengan FFS, gaji, atau cara lain. Pembayaran FFS merupakan pilihan yang paling dapat diterima oleh masing-masing anggota PPK.

Model 5: Kombinasi lain Tentu saja, sebuah Pembayar dapat mengembangkan berbagai kombinasi

kontrak kapitasi. Namun perlu diingat bahwa konsep kapitasi dilakukan antara Pembayar kepada PPK bukan antara Pembayar dengan Pembayar yang lain atau antara PPK dengan PPK yang lain. Dalam peraturan JPK Jamsostek saya kira hal ini sudah jelas, bahwa penyedia pelayanan kesehatan dibayar secara kapitasi oleh Pembayar.

Pembayar

Grup PPK

PPK1-2

RS Kapitasi/ FFS/ Gaji

PPK1-2 PPK

1-2PPK1-2

RS RS

Grup PPK

Page 11: Pembayaran kapitasi

h.thabrany kapitasi 11

Beberapa Masalah dan Perlunya Keterbukaan

Pembayaran kapitasi merupakan suatu cara pengendalian biaya dengan menempatkan PPK pada posisi menanggung resiko, seluruhnya atau sebagian, dengan cara menerima pembayaran atas dasar jumlah jiwa yang ditanggung. Di Amerika, ada keharusan bahwa HMO merupakan badan penanggaung resiko penuh (asume risk), sehingga kapitasi penuh kepada PPK tidak berarti bahwa PPK akan menanggung segala resiko katastropik. Ada mekanisme stop loss dalam kontrak kapitasi penuh. Meskipun di Indonesia, secara eksplisit hal ini belum diatur, mengingat sifat alamiah PPK bukanlah risk bearer, maka mekanisme stop loss haruslah juga berlaku. Hal ini sangat penting dalam menjaga kesinambungan kontrak kapitasi.

Mekanisme ini merupakan cara meningkatkan efisiensi dengan memanfaatkan mekanisme pasar pada sistem pembayar pihak ketiga, baik itu asuransi, JPK, maupun pemerintah. Pada situasi pasar kompetitif, PPK akan memasang tarif sama dengan average market cost. Tetapi pada pasar monopoli atau oligopoli, PPK dapat menetapkan harga diatas average cost. Jika pembayar membayar dengan kapitasi, PPK akan menekan biaya hingga paling tidak biaya per unit pelayanan yang diberikan sama atau lebih kecil dari average cost. Dengan demikian PPK akan menekan jumlah kunjungan sehingga revenue akan sama dengan atau lebih besar dari revenue jika ia harus melayani pasien FFS (Gambar 3).

Untuk mencapai hal tersebut, PPK yang bersifat memaksimalkan laba dapat

melakukan hal-hal sebagai berikut:

Yang positif; • Memberikan pelayanan yang berkualitas tinggi, dengan menegakkan

diagnostik yang tepat dan memberikan pengobatan atau tindakan yang tepat. Dengan pelayanan yang baik ini, pasien akan cepat sembuh dan tidak kembali ke PPK untuk konsultasi atau tindakan lebih lanjut yang menambah biaya.

• Memberikan pelayanan promotif dan preventif untuk mencegah insidens kesakitan. Apabila angka kesakitan baru menurun, maka peserta tentu tidak perlu lagi berkunjung ke PPK yang akan menurunkan utilisasi menjadi lebih rendah dan biaya pelayanan menjadi lebih kecil.

• Memberikan pelayanan yang pas, tidak lebih dan tidak kurang, untuk mempertahankan efisiensi operasi dan tetap memegang jumlah pasien JPK

Page 12: Pembayaran kapitasi

h.thabrany kapitasi 12

sebagai income security. Hal ini akan berfungsi baik jika situasi pasar sangat kompetitif, dimana PPK sulit mencari pasien/langganan baru.

Yang negatif;

• Jika kapitasi yang diberikan terpisah-pisah (parsial) antara pelayanan rawat jalan tingkat pertama dan rujukan dan tanpa diimbangi dengan insentif yang memadai untuk mengurangi rujukan, PPK akan dengan mudah merujuk pasiennya ke spesialis atau merawat di rumah sakit. Dengan merujuk, waktunya untuk memeriksa menjadi lebih cepat dan resiko menjadi lebih kecil. Dengan demikian, PPK tingkat pertama dan rawat jalan rujukan dapat mengantongi surplus yang dikehendaki.

• Mempercepat waktu pelayanan sehingga tersedia waktu lebih banyak untuk melayani pasien non JPK yang "dinilai" membayar lebih banyak. Artinya mutu pelayanan dapat dikurangi, karena waktu pelayanan yang singkat. Jika ini terjadi, pada kapitasi parsial pihak JPK pada akhimya dapat memikul biaya lebih besar karena efek akumulatif penyakit yang menjadi lebih mahal di kemudian hari. Pasien yang tidak mendapatkan pelayanan rawat jalan yang memadai akan menderita penyakit yang lebih berat, akibatnya biaya pengobatan sekunder dan tersier menjadi lebih mahal.

• Tidak memberikan pelayanan dengan baik, supaya kunjungan pasien kapitasi tidak cukup banyak. Hal ini menimbulkan banyaknya keluhan anggota atas pelayanan yang tidak memuaskan. Untuk jangka pendek strategi ini mungkin berhasil tetapi untuk jangka panjang hal ini akan merugikan PPK itu sendiri.

Salah satu cara untuk mengevaluasi berbagai kekhawatiran prilaku PPK yang mendapatkan pembayaran sistem kapitasi dan yang mendapatkan pembayaran FFS adalah dengan mengevaluasi utilisasi biaya, status kesehatan, dan kepuasan peserta. Di Indonesia, sepanjang pengetahuan saya, belum ada evaluasi yang sahih dan terpercaya. Di Amerika, pada awal perkembangan HMO di mana serangan atas rendahnya kualitas pelayanan HMO sangat gencar, hal ini pernah diteliti secara eskperimental. Hasilnya tidak menunjukkan adanya penurunan mutu pelayanan pada HMO yang membayar kapitasi akan tetapi terdapat efisiensi sampai 30%.

Keseimbangan informasi antara PPK dan Pembayar merupakan kunci sustainabilitas pembayaran kapitasi. Transfer resiko tidaklah berarti bahwa PPK harus menanggung rugi karena informasi yang tidak memadai. Trasfer resiko dengan pembayaran kapitasi menempatkan PPK pada resiko fluktuasi utilisasi yang bukan katastropik dan memberikan insentif kepada PPK untuk menghindari

Page 13: Pembayaran kapitasi

h.thabrany kapitasi 13

moral hazard. Karena rentang resiko kapitasi bagi PPK adalah fluktuasi normal dan pemberian insentif kepada PPK untuk melakukan usaha-usaha pencegahan guna mendapatkan laba yang memadai, maka informasi utilisasi haruslah diketahui bersama. Artinya, keterbukaan data utilisasi antara Pembayar dan PPK harus cukup memadai agar besaran biaya kapitasi tidak menyebabkan salah satu pihak menderita kerugian.

Jadi dalam sistem pembayaran kapitasi, telaah utilisasi (utilization review) mutlak diperlukan untuk dua hal. Pertama, telaah utilisasi dapat memberikan informasi kepada Pembayar dan PPK apakah pelayanan yang diberikan selama ini sudah pas, pada titik optimal. Utilisasi di bawah optiomal menunjukkan mutu pelayanan yang tidak memenuhi standar. Sementara utilisasi yang berlebihan merugikan PPK, jika dikapitasi penuh. Telaah utilisasi dilakukan pada PPK yang dikontrak kapitasi dan PPK rujukan. Dengan demikian dapat dipantau PPK mana yang rajin merujuk dan mana yang kurang merujuk. Telaah utlisasi ini juga sangat penting untuk mengetahui apakah keluhan anggota/peserta tentang kualitas yang kurang memadai memang terjadi.

Keterbukaan dan saling percaya merupakan faktor yang sangat penting yang secara periodik dikomunikasikan. Telaah utlisasi membutuhkan keterbukaan ini, sehingga Pembayar dan PPK sama-sama mengetahui besarnya resiko yang ditransfer dari Pembayar ke PPK. Dengan demikian, maka besaran kapitasi menjadi fair. Biaya kapitasi yang ditetapkan sepihak tidak akan menghasilkan hasil yang optimal dan merupakan ancaman kelangsungan hubungan Pembayar dan PPK.

Dalam mengkomunikasikan data utilisasi, Pembayar dan PPK harus sama-sama menyadari bahwa terjadi variasi di dalam PPK dan di luar PPK. Di dalam suatu PPK terjadi variasi utilisasi dari waktu ke waktu dan dari suatu kelompok ke kelompok lain. Sementara di antara berbagai PPK terjadi juga variasi yang sama. Besaran biaya kapitasi dihitung berdasarkan rata-rata utilisasi antar PPK, bukan hanya variasi yang terjadi di dalam suatu PPK. Hal ini dapat menimbulkan salah pengertian jika tidak dikomunikasikan dengan baik. Memang, penyesuaian terhadap besarnya resiko yang harus ditanggung oleh suatu PPK atau suatu kelompok PPK dapat disesuaikan (adjusted capitation rate). Namun hal ini tidak didasarkan atas variasi utilisasi di dalam suatu PPK, akan tetapi atas dasar variasi resiko kelompok suatu PPK yang berbeda dengan resiko rata-rata anggota seluruhnya.

Kesimpulan

Asuransi kesehatan merupakan respons yang rasional untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan akibat sifat ketidak-pastian akan kebutuhan pelayanan

Page 14: Pembayaran kapitasi

h.thabrany kapitasi 14

kesehatan. Sistem asuransi. kesehatan konvensional yang biasanya memberikan penggantian biaya atau pertanggungan pelayanan berdasarkan pembayaran FFS, memberikan insentif kepada PPK dan peserta untuk meningkatkan konsumsi pelayanan kesehatan dan pada akhinya akan meningkatkan inflasi biaya kesehatan. Sebagai alternatif pendekatan pembayaran FFS yang tidak efisien telah dikembangkan sistem pembayaran kapitasi. Sistem pembayaran kapitasi merupakan intervensi pihak ketiga kepada PPK (suplai) dengan jalan melimpahkan PPK resiko finansial di dalam menangani pelayanan kesehatan. Tujuannya antara lain adalah untuk mengurangi moral hazard dan mengatasi sebagian masalah informasi asimetri. Dengan transfer resiko sebagian atau seluruhnya kepada PPK, maka diharapkan PPK yang memiliki informasi lebih banyak dapat memberikan pelayanan kesehatan yang pas. Mekanisme kapitasi dapat dilakukan terhadap individual PPK atau melalui kelompok. Mekanisme kapitasi tidak dimaksudkan untuk pembayaran dari satu asuransi atau pemerintah kepada lembaga asuransi lainnya.

Namun demikian sistem kapitasi tidak lepas dari berbagai masalah. Kapitasi parsial akan menyebabkan PPK merujuk lebih banyak pelayanan tertentu. PPK dapat mengurangi jumlah konsumsi pelayanan untuk mendapatkan laba yang memadai atau dengan menurunkan mutu. PPK yang bertanggung jawab akan berusaha mengurangi konsumsi dengan meningkatkan mutu pelayanan dan memberikan pelayanan promotif dan preventif. Kepuasan peserta pada sistem kapitasi relatif lebih rendah dibandingkan dengan sistem fee for service. Untuk menjamin bahwa pembayaran kapitasi tidak merugikan konsumen, maka telaah utilisasi menjadi keharusan. Telaah utilisasi dan penetapan biaya kapitasi untuk periode berikutnya memerlukan informasi yang seimbang antara Pembayar dengan PPK. Keterbukaan diantara keduanya merupakan kunci keberhasilan dan kesinambungan kontrak kapitasi. Fairness pembayaran kapitasi hanya dapat dicapai dengan adanya keterbukaan ini. selanjutnya, fairness ini juga merupakan kunci kesinambungan kepesertaan sebuah Pembayar. Kepustakaan Black, S. 1994. Life Insurance. Prentice Hall, Englewood, NJ, Boland, P. 1993. Making Managed Health Care Work. Aspen Publ.,

Gaithersburg, MD, Davies, A.R. et al. 1986. Consumer Acceptance of Prepaid and Fee-for-Service

Medical Care: Results from a Randomized Controlled Trial. Rand Corporation, Santa Monica.

Page 15: Pembayaran kapitasi

h.thabrany kapitasi 15

Evans, R.G. 1984. Strained Mercy: The Economic of Canadian Health Care, Butterworths, Toronto, Canada.

Gaucher, E.J. and Coffey, R-J. 1993. Total Quality in Health Care. Jossey-Bass Publ, San Francisco.

Kongstvedt, P.R. 1995. Essentials of ManagedHealth Care. Aspen Publ., Gaithersberg, MD. Luft, H. S. 1987. Health Maintenance Organizations: Dimensions of performance. John Willey & Sons, New York. Mann, J dan Neu, C. R. 1987. Setting Medicare Capitation Rates for Frail and

Elderly. RAND Corporation, Santa Monica. Newhouse, J. et. al. 1993. Freefor All: Lessons fronm the RandHealth Insurance Experiment. Harvard University Press, Cambridge. Roemer, M. I. 1991. National Health System of the World, Vol 1. Oxford

University Press, New York. Steenwyk. J. 1989. Costs and Utilization Rates: Establishing Per Capita Budgets.

In (Kongstvedt, P.R. Ed) The ManagedHealth Care Handbook. Aspen Pub., Rockville, NM.

Thabrany, H. 1995. Health Insurance and the Demand for Medical Care in Indonesia.Disertasi, University of Califonia at Berkeley, UMI, Ann Arbor. Vaughan E. J. 1992. Fundamentals of Risk Insurance. John Willey and Sons, New York, NY. Depkes RI, 1992. Undang-Undang No. 23/1992 tentang Kesehatan, Sekneg RI, Jakarta PT Astek, 1993. Undang-Undang No. 3/1992 tentang Janisostek, Jakarta, 1993. HIAA, 1996. Managed care: integrating the delivery and financing of health care: Washington D.C., 1996 1993. Managed HeaIth Care: Effect on employer Costs Difficult to Measure.USGAO, Washington, D.C., 1993 1996. Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Usaha Perasuransian Depkeu RI, Jakarta. 1995. Pedoman Studi Kelayakan dan Rencana Usaha JPKM. Depkes RI, Jakarta. 1997. Source Book of Health Insurance Data, HIAA, Washington. DC.