Upload
wardani-dwi-w
View
30
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Pembelajaran bahasa Inggris
Citation preview
37
bahasa pengantar mata pelajaran lain, seperti: matematika, biologi, dan mata
pelajaran lainnya. Dalam kaitan ini, Graddol (2006:89) mengatakan bahwa
pengajaran bahasa Inggris pada usia muda (English for young learners) tidak
hanya merupakan peroyek pendidikan, tetapi merupakan tujuan yang lebih luas,
yakni mencakup kepentingan politik dan ekonomi seperti dikatakan oleh pejabat
senior Korea pada Institut Kurikulum dan Evaluasi Pendidikan bahwa pendidikan
bahasa Inggris akan memperbaiki daya saing bangsa.
Banyak argumentasi para pendidik untuk memberikan pengajaran bahasa
Inggris pada tingkat sekolah dasar. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa
mempelajari bahasa pada usia muda adalah lebih baik (the earlier the better).
Prinsip ini didasarkan atas beberapa penelitian pada pemerolehan bahasa pertama
(L1) oleh seorang anak bilingual yang belajar dua bahasa.
2.2.2 Pembelajaran Bahasa Inggris
Perubahan status bahasa Inggris sebagai bahasa internasional sangat
berpengaruh terhadap pengajaran bahasa Inggris di Indonesia. Fenomena
kehidupan yang semakin mengglobal yang terjadi di kawasan Asia menjadikan
bahasa Inggris sebagai bahasa yang dipakai oleh kebanyakan negara di kawasan
ini. Bahkan bahasa Inggris mempunyai peran yang sangat besar dalam
pengembangan budaya daerah (Herawati, 1998). Oleh karena menguasai lebih
dari satu bahasa, terutama bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, sangat
diperlukan dalam zaman posmodern ini. Demikian pula kemajuan di bidang
ekonomi dan pendidikan memerlukan komunikasi yang lebih luas, terutama jika
ingin bekerja sama dengan negara lain. Oleh karena semua hal ini memerlukan
38
bahasa yang mempunyai status internasional. Perpindahan penduduk dengan
berbagai tujuan ke negara lain akan mempercepat keinginan seseorang untuk
mempelajari lebih dari satu bahasa khususnya bahasa yang bertaraf internasional.
Dalam menyikapi perkembangan pendidikan yang semakin luas dan kerja
sama antara negara, khususnya kerja sama pendidikan di kawasan Asia,
pemerintah telah mengantisipasinya dengan program sekolah internasional yakni
dengan dikeluarkannya Undang-Undang Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun
2003 Bab V Ayat 3 yang mengisyaratkan terbentuknya sekolah bertaraf
internasional. Di sekolah bertaraf international itu siswa SMA belajar mata
pelajaran tertentu dengan bahasa pengantarnya bahasa Inggris. Kebijakan
pemerintah ini sudah tentu membawa dampak terhadap kondisi proses belajar-
mengajar siswa, terutama dalam meningkatkan kemampuan siswa untuk
menguasai bahasa Inggris.
Dalam hal ini Mckay (2004) mengatakan bahwa bahasa Inggris sebagai
bahasa internasional tidak disebabkan oleh jumlah pemakainya. Jikalau ukurannya
jumlah pemakai, bahasa Cinalah yang pantas disebut bahasa internasional, tetapi
kenyataannya tidak demikian. Walaupun digunakan oleh lebih dari satu milyar
orang, bahasa Cina hanya dipakai sebagai bahasa pertama oleh penduduknya. Hal
ini berarti sangat sedikit orang yang memakai bahasa Cina sebagai bahasa kedua
ataupun sebagai bahasa asing. Namun, sangat berbeda dengan bahasa Inggris yang
banyak dipakai oleh penduduk dunia sebagai bahasa kedua ataupun bahasa asing.
Hal ini berarti bahwa bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang
39
digunakan oleh berbagai negara dalam berkomunikasi dalam bidang ekonomi,
politik, sosial, dan pendidikan (Smith, 1976:17).
Pengajaran bahasa Inggris untuk anak-anak merupakan fenomena baru
dalam dunia posmodern ini. Banyak negara di kawasan Eropa dan Amerika serta
kawasan Asia memberikan pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar.
Pembelajaran bahasa Inggris untuk sekolah dasar didasari suatu pendapat bahwa
belajar bahasa asing atau bahasa kedua akan lebih baik apabila dimulai lebih awal
(Hammerly, 1982). Anggapan bahwa belajar bahasa asing pada usia muda lebih
baik daripada pembelajar dewasa, mendorong para ahli pengajaran bahasa untuk
memberikan bahasa Inggris lebih awal karena lebih mudah menarik perhatian dan
minat anak-anak daripada orang dewasa. Dalam hal ini sebuah survai yang
dilakukan oleh The British Council tahun 1999 menunjukkan bahwa kebanyakan
negara yang memulai pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar telah
memberikan inovasi serta memberikan perhatian khusus tentang pelaksanaan
pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar pada tahun 1990-an.
Ada beberapa pendekatan yang tampaknya dijadikan pegangan oleh para
pakar yang menyetujui bahasa Inggris menjadi muatan lokal di sekolah dasar,
yakni (1) theory of language acquisition devices (LAD), (2) hipotesis umur kritis
(critical age hypothesis), dan (3) teori afektif (affective filter hypothesis). Teori
language acquisition device menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai sarana
untuk belajar bahasa yang disebut ”language acquisition device” (LAD). Hal ini
merupakan kemampuan alamiah yang dimiliki oleh setiap orang sejak lahir.
Lingkungan atau pengajaran hanyalah pemicu yang mengaktifkan alat ini.
40
Menurut teori ini, belajar bahasa asing tidak jauh berbeda dengan belajar bahasa
pertama. Oleh karena kemampuan belajar alamiah atau LAD inilah menyebabkan
setiap orang dapat belajar bahasa apa saja dan kapan saja tanpa mengalami
kesukaran sehingga pengajaran bahasa Inggris dapat dilakukan mulai sekolah
dasar.
Dalam hipotesis umur kritis (critical age hypothesis), Krashen (1982: 72)
mengatakan bahwa secara biologis elastisitas otak anak masih tinggi sehingga
masih sangat mudah untuk menguasai bahasa apa pun. Akan tetapi, elastisitas ini
akan berhenti setelah anak memasuki pubertas. Oleh karena sejak itu dalam otak
anak terjadi proses leteralisasi (penyebelahan) fungsi, yakni saraf yang berkaitan
dengan proses penguasaan bahasa ada di bagian kiri dan kanan otak. Kemudian,
proses belajar bahasa dipusatkan di belahan kiri saja. Sejak proses ini terjadi
perkembangan bahasa anak cenderung beku. Keterampilan dasar berbahasa yang
belum dikuasai pada masa itu, terutama keterampilan mengucapkan akan
cenderung tidak sempurna karena elastisitas alat ucap. Dengan kata lain, secara
singkat, teori umur kritis ini mengatakan bahwa (1) penguasaan bahasa itu tumbuh
sejajar dengan pertumbuhan, dan (2) sesudah masa puber penguasaan bahasa
secara natural sudah tidak bisa lagi (Dardjowidjojo, 1986). Agar kemampuan alat
ucap itu berkembang secara maksimal, teori Lennerbeg ini tampaknya dapat
dijadikan dasar untuk mendukung dimulainya pengajaran bahasa Inggris pada usia
muda, yakni sebelum terjadi penyebelahan otak. Dengan demikian, diputuskannya
pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar sebagai muatan lokal merupakan
keputusan yang sangat tepat.
41
Teori lain yang mendukung pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar
adalah teori afektif. Menurut Krashen (1982), proses belajar bahasa terjadi karena
adanya input (masukan), baik tertulis maupun lisan. Namun, tidak semua input
dapat diproses oleh otak. Agar input ini diproses oleh otak, input harus menjadi
intake. Hal ini terjadi apabila kondisi afektif anak baik, artinya anak tidak takut,
tidak gugup, atau tidak tegang. Pada usia muda anak pada umumnya tidak takut
membuat kehilafan, tidak malu, tidak takut ditertawakan, dan tidak tegang. Dalam
suasana semacam ini input yang terpahami dapat diterima dengan baik sehingga
dapat dipahami dengan mudah. Faktor afektif ini tampaknya juga mendukung para
pakar untuk menyetujui bahasa Inggris diajarkan sejak di sekolah dasar.
Dalam psikologi pendidikan dikenal adanya teori perkembangan. Model
pembelajaran yang cukup dikenal adalah pendekatan pengembangan yang sering
dihubungkan dengan Jean Piaget (1896-1980). Dalam model Piaget (dalam Orlich
dkk, 1998), dikenal adanya empat tahapan pengembangan, yaitu sensorimotor
stage, (lahir sampai usia 2 tahun); preoperational stage (2-8 tahun); concrete
operational stage (8-11 tahun); dan formal stage (11-15 tahun ke atas). Jadi
apabila anak sekolah dasar belajar bahasa mulai kelas tiga atau empat mereka
sedang dalam tahapan concrete operational stage. Oleh karena itu, mereka
memerlukan banyak ilustrasi, model, gambar, dan kegiatan-kegiatan lain.
Menurut Curtain dan Pesola (1994), anak-anak akan belajar bahasa asing
dengan baik apabila proses belajar terjadi dalam konteks yang komunikatif dan
bermakna baginya. Konteks ini meliputi situasi sosial dan kultural, permainan,
nyanyian, dongeng, serta pengalaman-pengalaman kesenian, kerajinan, dan olah
42
raga. Dalam hal ini, tujuan orang mempelajari bahasa agar mampu menggunakan
bahasa yang sedang dipelajari dalam berkomunikasi. Selanjutnya dalam
mempelajari suatu bahasa, ada empat keterampilan, yaitu mendengarkan,
berbicara, membaca, dan menulis yang harus dikembangkan dalam mempelajari
suatu bahasa. Oleh karena itu, dalam suatu proses belajar-mengajar guru dan
siswa harus mengembangkan keterampilan tersebut secara efektif sehingga si
pembelajar dapat menggunakan bahasa yang mereka pelajari dalam
berkomunikasi.
Media pembelajaran adalah semua alat bantu atau benda yang digunakan
dalam kegiatan belajar-mengajar, yakni dengan maksud menyampaikan pesan
pembelajaran dari guru ataupun sumber lain kepada anak didik. Pesan yang
disampaikan melalui media, dalam bentuk isi atau materi pengajaran itu harus
dapat diterima oleh anak didik, yakni dengan menggunakan salah satu ataupun
gabungan beberapa alat indera mereka. Pada umumnya keberadaan media muncul
karena keterbatasan kata-kata, waktu, ruang, dan ukuran. Di samping itu,
ditambahkan bahwa media pembelajaran berfungsi sebagai sarana yang mampu
menyampaikan pesan sekaligus mempermudah penerima pesan dalam memahami
isi pesan. Kehadiran media pembelajaran sebagai media antara guru sebagai
pengirim informasi dan penerima informasi harus komunikatif, khususnya untuk
objek secara visualisasi. Dalam hal ini masing-masing media mempunyai
keistimewaan menurut karakteristik siswa. Pemilihan media yang sesuai dengan
karakteristik siswa akan lebih membantu keberhasilan pengajar dalam
pembelajaran.
43
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin mendorong
upaya-upaya pembaharuan dalam pemanfaatan hasil-hasil teknologi dalam proses
belajar. Para guru dituntut agar mampu menggunakan alat-alat yang disediakan
oleh sekolah. Oleh karena tidak tertutup kemungkinan bahwa alat-alat tersebut
sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Guru sekurang-kurangnya
dapat menggunakan alat yang murah dan efisien meskipun sederhana dan
bersahaja, tetapi merupakan keharusan dalam upaya mencapai tujuan pengajaran
yang diharapkan. Di samping mampu menggunakan alat-alat yang tersedia, guru
juga dituntut agar dapat mengembangkan keterampilan membuat media
pengajaran yang akan digunakannya apabila media tersebut belum tersedia. Untuk
itu, guru harus memiliki pengetahuan dan pemahamaan yang cukup tentang media
pengajaran.
Media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau
kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu memeroleh
pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Dalam pengertian ini, guru, buku teks, dan
lingkungan sekolah merupakan media. Secara lebih khusus, pengertian media
dalam proses belajar-mengajar cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis,
fotografis, atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan menyusun kembali
informasi visual atau verbal. Media sering diganti dengan istilah mediator yang
berarti media menunjukkan fungsi atau perannya, yaitu mengatur hubungan yang
efektif antara dua pihak utama dalam proses belajar siswa dan isi pelajaran. Di
samping itu, mediator dapat pula mencerminkan pengertian bahwa setiap sistem
pengajaran yang melakukan peran mediasi, yakni dari guru sampai pada peralatan
44
paling canggih, dapat disebut media. Ringkasnya, media adalah alat-alat yang
dapat menyampaikan atau mengantarkan pesan-pesan pengajaran. Dengan
demikian, maka dapat dipahami bahwa media merupakan alat bantu, yakni
sebagai perantara yang mengantar informasi antara sumber dan penerima. Jadi,
televisi, film, foto, radio, rekaman audio, gambar yang diproyeksikan, bahan-
bahan cetakan, dan sejenisnya adalah media komunikasi. Pelajaran dapat
menyenangkan apabila guru dapat memadukan antara kategori dan benda-benda
yang ada (Halliwell, 1992).
Dalam suatu proses belajar-mengajar, dua unsur yang amat penting adalah
metode mengajar dan media pengajaran. Kedua aspek ini saling berkaitan.
Pemilihan salah satu metode mengajar tertentu akan memengaruhi jenis media
pengajaran yang sesuai, meskipun masih ada berbagai aspek lain yang harus
diperhatikan dalam memilih media, seperti tujuan pengajaran, jenis tugas, dan
respon yang diharapkan siswa kuasai setelah pengajaran berlangsung, dan konteks
pembelajaran, termasuk karakteristik siswa.
Manfaat positif penggunaan media sebagai bagian integral pengajaran di
kelas adalah sebagai berikut. (1) Penyampaian pelajaran menjadi lebih baku.
Setiap pembelajar yang melihat atau mendengar penyajian melalui media
menerima pesan yang sama. (2) Pengajaran bisa lebih menarik. Media dapat
diasosiasikan sebagai penarik perhatian dan membuat siswa tetap terjaga dan
memerhatikan. (3) Pembelajaran menjadi lebih interaktif dengan diterapkannya
teori belajar dan prinsip-prinsip psikologis yang diterima dalam hal partisipasi
siswa, umpan balik, dan penguatan. (4) Lama waktu pengajaran yang diperlukan
45
dapat dipersingkat untuk mengantarkan pesan-pesan dan isi pelajaran dalam
jumlah yang cukup banyak dan kemungkinannya dapat diserap oleh siswa. (5).
Kualitas hasil belajar dapat ditingkatkan (6) Pengajaran dapat diberikan kapan dan
di mana diinginkan. (7) Sikap positif siswa terhadap apa yang mereka pelajari dan
terhadap proses belajar dapat ditingkatkan. (8) Peran guru dapat berubah ke arah
yang lebih positif dalam proses belajar-mengajar.
2.2.3 Sekolah Dasar
Sekolah dasar dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
dikategorikan pendidikan dasar. Pada Pasal 17 disebutkan bahwa (1) pendidikan
dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan
menengah; (2) pendidikan dasar dapat berbentuk sekolah dasar, madrasah
ibtidayah, atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama dan
madrasah tsanawiyah atau bentuk lain yang sederajat; (3) ketentuan mengenai
pendidikan dasar sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dan 2 diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah. Berdasarkan penjelasan tersebut, pendidikan dasar
terutama adalah sekolah dasar merupakan lembaga pendidikan pertama bagi anak
untuk beradaptasi dengan lingkungan sekolah.
Selanjutnya yang disebut sebagai pembelajar muda usia di sini adalah
siswa sekolah dasar, yakni berusia antara 6-12 tahun. Mereka dapat dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu younger group (6-8 tahun) dan older group (9-12
tahun). Menurut jenjang kelasnya, mereka bisa disebut anak-anak lower classess,
yaitu anak kelas satu, dua, dan tiga serta upper classess siswa kelas empat, lima,
dan enam. Sementara itu, Scott dan Ytreberg (1990) membagi mereka dalam