29
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PROSES PEMBUKTIANNYA (Studi Pada Pengadilan Negeri Kelas I B Metro) Aris Waid !as"i# ABSTRAK Pe#$erantasan Tinda% Pidana Koru&si dan Proses Pe#$u%tiann"a (Studi Pada Pengadi Negeri Kelas I B Metro) (di $a'a $i#$ingan Ba&a% !eni Sis'anto S ! M ! dan Bennadi S ! *+ ala#an dan la#&iran,la#&iran) Peneta&an -udul ini dilatar$e %en"ataan $a'a adan"a &er$edaan antara &roses &e#$u%tian dala# &er%ara tinda% % dengan tinda% &idana lainn"a Dari &o%o% #asala "ang searusn"a di$aas #a%a #e#$atasi ruang ling%u& &e#$aa &enelitiann"a &ada o&ti#alisasi &ela%sanaan &e#$erantasan tinda% &idana %oru&si &e#$u%tiann"a di 'ila"a u%u# Pengadilan Negeri Metro Tin-auan a'al "ang dila%u%an adala #enentu%an a&a%a suatu &er$uatan seseorang #elanggar u%u# atau tida% seingga da&at di%uali.i%asi%an se$agai tinda% &idana Masala dala# &enelitian ini tentang tinda% &idana %oru&si dan &roses &e#$u%tian .a%tor &enga#$at &ela%sanaan &e#$erantasan tinda% &idana %oru&si Dari %eseluruan data "ang suda ter%u#&ul %e#udian di&eri%sa %e#$ali dengan tu- #engetaui %eleng%a&an dan %e-elasannn"a A&a$ila data,data "ang di&erlu%an suda dan -elas %e#udian dila%u%an &engolaan data dengan /ara #en"usun data terse$ut $entu% %ali#at se/ara siste#atis -elas dan rin/i %e#udian di%lasi.i%asi%an "an dengan &o%o% "ang a%an di$aas dala# rang%a &en"e#&urnaan data seingga #e#uda% analisa data Selan-utn"a %egiatan tera%ir "ang a%an dila%u%an adala #enganalisa data "aitu des%ri&ti. %ualitati. "aitu #engurai%an data %e dala# $entu% %ali#at se/ara sist $erdasar%an %en"ataan "ang di&erole dari asil &enelitian dila&angan seingga untu% #enari% %esi#&ulan dala# #en-a'a$ &er#asalaan dala# &enulisan ini I PENDA!U0UAN A 0atar Bela%ang Pe#$angunan Nasional $ertu-uan #e'u-ud%an #anusia Indonesia seutun"a dan #as"ar Indonesia selurun"a "ang adil #a%#ur se-atera dan terti$ $erdasar%an Pan/asi Undang,Undang Dasar 1234 Untu% #e'u-ud%an #as"ara%at Indonesia "ang adil #a%#u

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsiq

  • Upload
    suki

  • View
    220

  • Download
    0

Embed Size (px)

DESCRIPTION

surat

Citation preview

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSIDAN PROSES PEMBUKTIANNYA(Studi Pada Pengadilan Negeri Kelas I B Metro)Aris Wahid HasyimABSTRAKPemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Proses Pembuktiannya (Studi Pada Pengadilan Negeri Kelas I B Metro) (di bawah bimbingan Bapak Heni Siswanto, S.H., M.H. dan Bapak Bennadi, S.H.. 60 halaman dan lampiran-lampiran). Penetapan judul ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa adanya perbedaan antara proses pembuktian dalam perkara tindak korupsi dengan tindak pidana lainnya. Dari pokok masalah yang seharusnya dibahas, maka membatasi ruang lingkup pembahasan dan penelitiannya pada optimalisasi pelaksanaan pemberantasan tindak pidana korupsi dan proses pembuktiannya di wilayah hukum Pengadilan Negeri Metro. Tinjauan awal yang dilakukan adalah menentukan apakah suatu perbuatan seseorang itu melanggar hukum atau tidak sehingga dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana atau tidak. Masalah dalam penelitian ini tentang tindak pidana korupsi dan proses pembuktiannya serta faktor penghambat pelaksanaan pemberantasan tindak pidana korupsi.Dari keseluruhan data yang sudah terkumpul kemudian diperiksa kembali dengan tujuan untuk mengetahui kelengkapan dan kejelasannnya. Apabila data-data yang diperlukan sudah lengkap dan jelas, kemudian dilakukan pengolahan data dengan cara menyusun data tersebut ke dalam bentuk kalimat secara sistematis, jelas dan rinci kemudian diklasifikasikan yang disesuaikan dengan pokok yang akan dibahas dalam rangka penyempurnaan data sehingga memudahkan analisa data. Selanjutnya kegiatan terakhir yang akan dilakukan adalah menganalisa data, yaitu dengan cara deskriptif kualitatif yaitu menguraikan data ke dalam bentuk kalimat secara sistematis berdasarkan kenyataan yang diperoleh dari hasil penelitian dilapangan, sehingga memudahkan untuk menarik kesimpulan dalam menjawab permasalahan dalam penulisan ini.I. PENDAHULUANA. Latar BelakangPembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera tersebut, perlu secara terus menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya. Tindak pidana korupsi merupakan suatu fenomena kejahatan yang menggerogoti dan menghambat pelaksanaan pembangunan, sehingga penanggulangan dan pemberantasannya harus benar-benar diprioritaskan. Sumber kejahatan korupsi banyak dijumpai dalam masyarakat modern dewasa ini, sehingga korupsi justru berkembang dengan cepat baik kualitas maupun kuantitasnya. Sekalipun penanggulangan tindak pidana korupsi diprioritaskan, namun diakui bahwa tindak pidana korupsi termasuk jenis perkara yang sulit penaggulangan maupun pemberantasannya.Kesulitan tersebut terutama terjadi dalam proses pembuktian. Hal ini dikarenakan korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang berdasi yang memiliki intelektualitas tinggi (white collar crime). Untuk mengungkap perkara korupsi salah satu aspeknya adalah sistem pembuktian yang terletak pada beban pembuktian.Korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan langkah-Iangkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis, dan berkesinambungan baik pada tingkat nasional maupun tingkat internasional. Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan dukungan manajemen tata laksana pemerintahan yang baik dan kerja sama internasional, termasuk pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi.Selama ini pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia sudah dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan khusus yang berlaku sejak tahun 1957 dan telah diubah sebanyak 5 (lima) kali (Undang-undang No. 24 Prp. tahun 1960, Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 , Undang-Undang No. 28 Tahun 1999, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, Undang-Undang No. 20 Tahun 2001) , akan tetapi peraturan perundang-undangan dimaksud belum memadai, antara lain karena belum adanya kerja sama internasional dalam masalah pengembalian hasil tindak pidana korupsi.Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 18 Desember 2003 di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa telah ikut menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Anti Korupsi yang diadopsi oleh Sidang ke-58 Majelis Umum melalui Resolusi Nomor 58/4 pada tanggal 31 Oktober 2003. Bangsa Indonesia telah ikut aktif dalam upaya masyarakat internasional untuk pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan telah menandatangani United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003)Tindak pidana korupsi merupakan ancaman terhadap prinsipprinsip demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis, dan berkesinambungan baik pada tingkat nasional maupun tingkat internasional. Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan dukungan manajemen tata pemerintahan yang baik dan kerja sama internasional, termasuk pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi.Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memuat ketentuan pembuktian yang menyimpang dari ketentuan pembuktian perkara pidana biasa. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah :1. Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka (Pasal 28 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).2. Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa. Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) diajukan kepada Gubernur Bank Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Gubernur Bank Indonesia berkewajiban untuk memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, terhitung sejak dokumen permintaan diterima secara lengkap (Pasal 29 ayat (1) jo. ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).3. Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil korupsi. Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperoleh bukti yang cukup, atas permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim, bank pada hari itu juga mencabut pemblokiran (Pasal 29 ayat (4) jo. ayat (5) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).4. Penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa (Pasal 30 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).5. Setiap orang wajib memberi keterangan sebagai saksi atau ahli, kecuali ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, isteri atau suami, anak dan cucu dari terdakwa. Orang yang dibebaskan sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diperiksa sebagai saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui secara tegas oleh terdakwa (Pasal 35 ayat (1) jo. ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).6. Kewajiban memberi kesaksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 berlaku juga terhadap mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali petugas agama yang menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia (Pasal 36 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).7. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).8. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya (Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).9. Terdakwa wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan (Pasal 37 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).10. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaannya yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat dipergunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 37 ayat (4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).11. Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya (Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).Tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera tersebut, perlu secara terus menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya.Menurut Bambang Purnomo :Adanya pembuktian khusus yang berlainan dengan perkara pidana biasa berhubung sangat sulitnya pembuktian perkara korupsi, dimana pembuat delik korupsi mempunyai kecakapan atau pengalaman dalam suatu pekerjaan tertentu yang memberikan kesempatan korupsi (Bambang Purnomo, 1984 : 67).Menurut ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hak-hak seorang terdakwa berdasarkan azas praduga tak bersalah terasa agak dikurangi. Alasan yang dipergunakan oleh pembentuk Undang-Undang adalah karena sulitnya pembuktian perkara korupsi dan bahaya yang diakibatkan oleh perbuatan korupsi tersebut.Salah satu ketentuan yang sangat menyimpang dari azas praduga tak bersalah adalah ketentuan mengenai pembagian beban pembuktian. Terdakwa diperkenankan oleh hakim untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi, tanpa mengurangi kewajiban Penuntut Umum untuk tetap membuktikan kesalahan terdakwa.Menurut Bambang Purnomo :Ketentuan seperti tesebut diatas memberikan gambaran watak hukum yang mengandung isi kontradiktif sekaligus menjamin dua macam kepentingan yang saling berhadapan, yaitu disatu pihak terdakwa telah dapat membuktikan menurut Undang-Undang bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi di lain pihak Penuntut Umum tetap mempunyai kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa (Bambang Purnomo, 1984 : 73).Adanya perbedaan antara proses pembuktian dalam perkara tindak korupsi dengan tindak pidana lainnya, menarik minat Penulis untuk meneliti tentang hal tersebut dan menuliskan hasilnya dalam karya ilmiah berjudul :PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PROSES PEMBUKTIANNYA ( Studi Pada Pengadilan Negeri Kelas I B Metro )B. Rumusan Masalah dan Ruang LingkupBerdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini adalah :a. Bagaimanakah Pemberantasan tindak pidana korupsi dan proses pembuktiannya?b. Apakah faktor penghambat pelaksanaan pemberantasan tindak pidana korupsi?Agar penulisan skripsi ini tidak menyimpang dari pokok masalah yang seharusnya dibahas, maka membatasi ruang lingkup pembahasan dan penelitiannya pada optimalisasi pelaksanaan pemberantasan tindak pidana korupsi dan proses pembuktiannya di wilayah hukum Pengadilan Negeri Metro. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian1. Tujuan Penelitiana. Untuk mengetahui proses pembuktian perkara korupsi pada sidang pengadilan.b. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang ditemui dalam proses pembuktian perkara korupsi di pengadilan.2. Kegunaan Penelitiana. Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya di bidang hukum pidana.b. Bagi aparat penegak hukum yaitu untuk mengetahui secara mendalam dan tuntas permasalahan-permasalahan yang diteliti, demi perbaikan-perbaikan dan pengembangan hukum dan agar supaya aparat penegak hukum dapat mengambil tindakan yang tegas dan tepat.D. Kerangka Teoritis dan Konseptuala. Kerangka TeoritisKerangka teoritis adalah suatu konsep yang merupakan abtraksi dari hasil-hasil pemikiran atau kerangka acuan yang ada pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto, 1986:125).Pada Penulisan Penelitian ini ditinjau mengenai pengertian korupsi, juga diulas masalah pemberantasan tindak pidana korupsi dan proses pembuktiannya.b. Kerangka KonseptualKerangka konseptual yang menggambarkan konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti (Soerjono Soekanto, 1986:132)Kerangka konseptual yang dikemukakan akan dibatasi pada konsepsi judul. Adapun Pengertian dari istilah tersebut adalah:1. Tindak Pidana adalah Setiap perbuatan yang dapat dipidana yang diatur dalam ketentuan menurut Undang- undang ( Pasal 1KUHP )2. Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. (Wikipedia Indonesia)3. Pembuktian adalah bagian yang sangat penting dalam proses pemeriksaan perkara pidana. Pengertian pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran suatudalil atau peristiwa yang dikemukakan di muka persidangan (Sudikno Mertokusumo, 1985 : 110).E. Sistimatika PenulisanUntuk memudahkan dalam memahami penulisan skripsi ini secara keseluruhan, maka penulisan sistimatikanya adalah :I. PendahuluanBerisi pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, sistematika penulisan. II. Tinjauan PustakaBerisikan Tinjauan Pustaka yang menguraikan tentang pengertian tindak pidana, korupsi, upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, serta proses pembuktiannya.III. Metodologi PenelitianPada bab ini diuraikan tentang cara-cara melakukan penelitian yang meliputi pendekatan masalah, jenis dan sumber data, prosedur pengumpulan pengolahan data, analisis data.IV. Hasil Penelitian Dan PembahasanPada bab ini diuraikan tentang hasil penelitian di lapangan yang meliputi Gambaran Umum Pengadilan Negeri Metro, pemberantasan tindak pidana korupsi dan proses pembuktiannya, serta hambatan-hambatan yang ditemui dalam proses pembuktian perkara korupsi di pengadilan .V. Kesimpulan Dan SaranMerupakan Bab penutup yang memuat kesimpulan dan saran.II. TINJAUAN PUSTAKAA. Pengertian Tindak PidanaTindak Pidana adalah setiap perbuatan yang dapat dipidana yang diatur dalam ketentuan menurut Undang- undang ( Pasal 1KUHP ) . Tindak pidana atau strafbaar feit merupakan suatu perbuatan yang mengandung unsur perbuatan atau tindakan yang dapat dipidanakan dan unsur pertanggungjawaban pidana kepada pelakunya. Sehingga dalam syarat hukuman pidana terhadap seseorang secara ringkas dapat dikatakan bahwa tidak akan ada hukuman pidana terhadap seseorang tanpa adanya hal-hal yang secara jelas dapat dianggap memenuhi syarat atas kedua unsur itu. Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan perbuatan itu juga dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat tergantung pada soal apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga mempunyai kesalahan. Sedangkan sebagai dasar pertanggungjawaban adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan kelakuannya yang dapat dipidana serta berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat dicela karena kelakuanya itu.Dalam kebanyakan rumusan tindak pidana, unsur kesengajaan atau yang disebut dengan opzet merupakan salah satu unsur yang terpenting. Dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan ini, maka apabila didalam suatu rumusan tindak pidana terdapat perbuatan dengan sengaja atau biasa disebut dengan opzettelijk, maka unsur dengan sengaja ini menguasai atau meliputi semua unsur lain yang ditempatkan dibelakangnya dan harus dibuktikan. Tinjauan awal yang dilakukan adalah menentukan apakah suatu perbuatan seseorang itu melanggar hukum atau tidak sehingga dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana atau tidak. Dalam hal ini harus dipastikan terlebih dahulu adanya unsur obyektif dari suatu tindak pidana. Jika tidak diketemukan unsur melawan hukum maka tidak lagi diperlukan pembuktian unsur kesalahannya. Tetapi jika terpenuhi unsur perbuatan melanggar hukumnya, selanjutnya dilihat apakah ada kesalahan atau tidak serta sejauh mana tingkat kesalahan yang dilakukan pelaku sebagai dasar untuk menyatakan dapat tidaknya seseorang memikul pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya itu. B. Pengertian KorupsiKorupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. (Wikipedia Indonesia).Undang-undang no 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi , yang berlaku mulai tanggal 16 Agustus 1999 dan telah direvisi dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU nomor 31 Tahun 1999 dimaksudkan untuk menggantikan undang-undang no 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun tujuan yang diemban dalam pengundangan UU TP Korupsi ini adalah harapan untuk dapat memenuhi dan mengantisipasi perkembangan dan kebutuhan hukum bagi masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara, perekonomian negara dan masyarakat pada umumnya.Pengertian terakhir adalah tindak pidana korupsi dimana disampaikan bahwa tindak pidana korupsi adalah : setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.Pengertian korupsi sebenarnya telah dimuat secara tegas di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagian besar pengertian korupsi di dalam undang-undang tersebut dirujuk dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang lahir sebelum negara ini merdeka. Namun, sampai dengan saat ini pemahaman masyarakat terhadap pengertian korupsi masih sangat kurang.Menjadi lebih memahami pengertian korupsi juga bukan sesuatu hal yang mudah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi, kebiasaan berperilaku koruptif yang selama ini dianggap sebagai hal yang wajar dan lumrah dapat dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi. Seperti gratifikasi (pemberian hadiah) kepada penyelenggara negara dan berhubungan dengan jabatannya, jika tidak dilaporkan ke KPK dapat menjadi salah satu bentuk tindak pidana korupsi. Mengetahui bentuk/jenis perbuatan yang bisa dikategorikan sebagai korupsi adalah upaya dini untuk mencegah agar seseorang tidak melakukan korupsi.C. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Proses PembuktiannyaDi dalam Undang-Undang Tidak Pidana Korupsi terdapat 3 istilah hukum yang perlu diperjelas, yaitu istilah tindak pidana korupsi, keuangan negara dan perekonomian negara. Yang dimaksud dengan Tindak Pidana Korupsi sesuai Pasal 2 dan 3 UU No. 31 tahun 1999, adalah:1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.Sedangkan pengertian Keuangan Negara dalam undang-undang ini adalah Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun baik yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karenanya :1. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun ditingkat Daerah.2. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan Perusahaan yang menyertakan Modal Negara, atau perusahaan yang menyertakan pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. Batasan mengenai Perekonomian Negara menurut UU tersebut sebagai berikut: kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan atau usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun ditingkat Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat, sesuai dengan Perekonomian Negara dalam Pasal 2 dan Pasal 3.Undang-undang bermaksud mengantisipasi atas penyimpangan keuangan atau perekonomian negara yang dirasa semakin canggih dan rumit. Oleh karenanya tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-undang ini dirumuskan seluas-luasnya sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum.Dengan rumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana.Perbuatan melawan hukum disini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana sesuai Pasal 2 ayat 1.Selanjutnya Tindak pidana korupsi dalam undang-undang ini dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil, hal ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan rumusan formil yang dianut dalam undang-undang ini berarti meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke Pengadilan dan tetap dipidana sesuai dengan Pasal 4 Yang berbunyi sebagai berikut : Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.Penjelasan dari pasal tersebut adalah dalam hal pelaku tindak pidana korupsi, melakukan perbuatan yang memenuhi unsur -unsur pasal dimaksud, di mana pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara, yang telah dilakukan tidak menghapuskan pidana si pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tersebut hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan pidana bagi pelakunya.Menurut Sudikno Mertokusumo :Pembuktian adalah bagian yang sangat penting dalam proses pemeriksaan perkara pidana. Pengertian pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran suatudalil atau peristiwa yang dikemukakan di muka persidangan (Sudikno Mertokusumo, 1985 : 110).Menurut Bambang Purnomo :Hukum pembuktian adalah keseluruhan aturan hukum atau peraturan perundang-undangan mengenai kegiatan untuk merekontruksikan suatu kenyataan yang benar dari setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan dalam perkara pidana (Bambang Purnomo, 1986 : 38).Berkaitan dengan hal ini, keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi sangat tergantung dengan keberhasilan proses pembuktian tindak pidana korupsi tersebut di persidangan. Setelah terbukti bahwa benar terdapat tindak pidana korupsi barulah terdakwa dapat dikenai sanksi pidana. Mengingat betapa pentingnya pembuktian dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.Tindak pidana korupsi merupakan suatu fenomena kejahatan yang menggerogoti dan menghambat pelaksanaan pembangunan, sehingga penanggulangan dan pemberantasannya harus benar-benar diprioritaskan. Sumber kejahatan korupsi banyak dijumpai dalam masyarakat modern dewasa ini, sehingga korupsi justru berkembang dengan cepat baik kualitas maupun kuantitasnya. Sekalipun penanggulangan tindak pidana korupsi diprioritaskan, namun diakui bahwa tindak pidana korupsi termasuk jenis perkara yang sulit penaggulangan maupun pemberantasannya. Menurut Bambang Purnomo :Perbuatan korupsi dapat saja mempunyai dua motif sekaligus, yakni korupsi yang sepintas lalu hanya mendapatkan uang tetapi sesungguhnya sudah dipersiapkan untuk kepentingan politik, demikian pula korupsi yang kelihatannya hanya merugikan di bidang perekonomian tetapi dapat juga misalnya dipergunakan untuk mempengaruhi jalannya pemilihan umum agar mengalami kegagalan melalui manipulasi suara (Bambang Purnomo, 1983 : 14).Kesulitan tersebut terutama terjadi dalam proses pembuktian. Hal ini dikarenakan korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang berdasi yang memiliki intelektualitas tinggi (white collar crime). Untuk mengungkap perkara korupsi salah satu aspeknya adalah sistem pembuktian yang terletak pada beban pembuktian.Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memuat ketentuan pembuktian yang menyimpang dari ketentuan pembuktian perkara pidana biasa. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah :1. Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka (Pasal 28 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).2. Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa. Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) diajukan kepada Gubernur Bank Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Gubernur Bank Indonesia berkewajiban untuk memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, terhitung sejak dokumen permintaan diterima secara lengkap (Pasal 29 ayat (1) jo. ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).3. Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil korupsi. Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperoleh bukti yang cukup, atas permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim, bank pada hari itu juga mencabut pemblokiran (Pasal 29 ayat (4) jo. ayat (5) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).4. Penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa (Pasal 30 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).5. Setiap orang wajib memberi keterangan sebagai saksi atau ahli, kecuali ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, isteri atau suami, anak dan cucu dari terdakwa. Orang yang dibebaskan sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diperiksa sebagai saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui secara tegas oleh terdakwa (Pasal 35 ayat (1) jo. ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).6. Kewajiban memberi kesaksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 berlaku juga terhadap mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya menyimpan rahasia, kecuali peugas agama yang menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia (Pasal 36 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).7. Terdakwa mempunyai hak membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).8. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukantindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut digunakan sebagai hal yang menguntungkanbaginya (Pasal36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).9. Terdakwa wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta isteri atau suami,anak,dan hartabenda setiap orang atau koorporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yangbersangkutan(Pasal 37 ayat (3) Undang-Undang Noor 31 Tahun 1999).10. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaannya yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat dipergunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 37 ayat (4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).11. Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya (Pasal 38 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.Menurut Bambang Purnomo :Adanya pembuktian khusus yang berlainan dengan perkara pidana biasa berhubung sangat sulitnya pembuktian perkara korupsi, dimana pembuat delik korupsi mempunyai kecakapan atau pengalaman dalam suatu pekerjaan tertentu yang memberikan kesempatan korupsi (Bambang Purnomo, 1984 : 67).Menurut ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hak-hak seorang terdakwa berdasarkan azas praduga tak bersalah terasa agak dikurangi. Alasan yang dipergunakan oleh pembentuk Undang-undang adalah karena sulitnya pembuktian perkara korupsi dan bahaya yang diakibatkan oleh perbuatan korupsi tersebut.Salah satu ketentuan yang sangat menyimpang dari azas praduga tak bersalah adalah ketentuan mengenai pembagian beban pembuktian. Terdakwa diperkenankan oleh hakim untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi, tanpa mengurangi kewajiban Penuntut Umum untuk tetap membuktikan kesalahan terdakwa.Ketentuan seperti tesebut diatas memberikan gambaran watak hukum yang mengandung isi kontradiktif sekaligus menjamin dua macam kepentingan yang saling berhadapan, yaitu disatu pihak terdakwa telah dapat membuktikan menurut Undang-undang bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi dilain pihak Penuntut Umum tetap mempunyai kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa (Bambang Purnomo, 1984 : 73).Dalam pembuktian pada perkara tindak pidana biasa terdakwa tidak dibebani kewajiban untuk melakukan pembuktian, sehingga pembuktian mutlak diletakkan dalam tangan Penuntut Umum. Pengertian semacam ini berpokok pada azas dari hukum pidana yaitu azas praduga tak bersalah, dimana terdakwa belum dapat dianggap bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.Kondisi yang mendukung munculnya korupsi antara lain:a. Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.b. Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintahc. Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.d. Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.e. Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".f. Lemahnya ketertiban hukum.g. Lemahnya profesi hukum.h. Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.i. Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.j. Rakyat yang masa bodoh, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.k. Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan kampanye".Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan.Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan resiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri. (Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, diluar jangkauan dari ekspropriasi di masa depan.. METODE PENELITIANMenurut Soejono Soekanto, istilah metode mengandung arti jalan ke, tetapi menurut kebiasaan metode dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:a. Suatu tipe pemikiran yang digunakan dalam penelitian dan penilaian;b. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan;c. Cara tertentu untuk melakukan prosedur (Soerjono Soekanto, 1984 : 5)Menurut Koentjoroningrat (1993: 5), metode adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan metode adalah cara-cara tertentu yang digunakan untuk memecahkan dan menganalisa masalah sehingga mendapatkan kesimpulan.Sedangkan yang dimaksud dengan penelitian adalah:Merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara-cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu (Soerjono Soekanto, 1984 : 42)Dengan demikian yang dimaksud dengan metode penelitian adalah suatu cara tertentu atau langkah-langkah tertentu yang digunakan untuk memecahkan dan menganalisis suatu masalah dengan melakukan suatu kegiatan yang terencana berdasarkan suatu sistem untuk mendapatkan suatu kesimpulan.Adapun metode yang penulis pergunakan dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut :A. Pendekatan MasalahPendekatan masalah yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari pendekatan secara normatif dan enpiris.a. Pendekatan normatif, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan jalan mempelajari, menelaah norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang berlaku dan berkaitan dengan masalah yang diteliti.b. Pendekatan empiris, adalah pendekatan yang dilakukan dengan jalan melihat kenyataan langsung di lapangan yang menjadi objek dari penelitian. B. Jenis dan Sumber DataData yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari pihak pertama yang bersumber dari hasil wawancara dengan pihak yang terkait dalam penelitian ini. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari pihak kedua yang bersumber dari buku-buku literature dan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan permasalahan yang dibahas. C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Dataa. Prosedur Pengumpulan DataProsedur pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelilitan ini adalah sebagai berikut:1) Studi PustakaStudi pustaka ini dilakukan untuk mendapatkan data sekunder yang dilakukan dengan jalan mempelajari, menelaah dan mengutip data dari berbagai buku literatur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan mempunyai hubungan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini2) Studi LapanganStudi lapangan ini dilakukan untuk mendapatkan data primer, dengan cara observasi dan wawancara. Observasi dimaksudkan adalah pengamatan dan pencatatan data yang ditemukan dan diperlukan di lokasi penelitian. Sedangkan wawancara adalah proses Tanya jawab secara langsung dengan pihak-pihak terkait dalam penelitian ini. Dalam wawancara tersebut terlebih dahulu dipersiapkan daftar pertanyaan yang bersifat garis besarnya saja sebagai pedoman dalam melakukan wawancara, kemudian pertanyaan-pertanyaan selanjutnya dikembangkan pada saat wawancara dilaksanakan. Adapun pihak-pihak yang menjadi responden dalam wawancara adalah:1) H. Eddy Joenarso, SH.M.H. selaku Ketua Pengadilan Negeri Metro2) Harlan Mardite, SH.M.H. selaku Jaksa Penuntut Pengadilan Metro3) Tiga orang Hakim dari Pengadilan Kota Metro yaitu Yohannes Panji Prawoto, SH., Fahzal Hendri, SH.MH., dan Victor Togi Rumahrobo, SH. MH.b. Pengolahan DataDari keseluruhan data yang sudah terkumpul kemudian diperiksa kembali dengan tujuan untuk mengetahui kelengkapan dan kejelasannnya. Apabila data-data yang diperlukan sudah lengkap dan jelas, kemudian dilakukan pengolahan data dengan cara menyusun data tersebut ke dalam bentuk kalimat secara sistematis, jelas dan rinci kemudian diklasifikasikan yang disesuaikan dengan pokok yang akan dibahas dalam rangka penyempurnaan data sehingga memudahkan analisa data.D. Analisa DataDari keseluruhan data yang akan diolah, maka kegiatan terakhir yang akan dilakukan adalah menganalisa data, yaitu dengan cara deskriptif kualitatif artinya menguraikan data ke dalam bentuk kalimat secara sistematis berdasarkan kenyataan yang diperoleh dari hasil penelitian dilapangan, sehingga memudahkan untuk menarik kesimpulan dalam menjawab pepermasalahan dalam penulisan ini.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANA. Gambaran Umum Kota MetroKota Metro adalah salah satu kota di provinsi Lampung, berjarak 45 km dari Kota Bandar Lampung (Ibukota Provinsi Lampung). Secara geografis terletak pada 560-580 LS dan 105170 -105190 BT. Kota yang berpenduduk sekitar 152.827 jiwa dengan tingkat kepadatan 2.223 jiwa/km2 ini secara administratif terbagi dalam 5 wilayah kecamatan, yaitu Metro Pusat, Metro Barat, Metro Timur, Metro Selatan dan Metro Utara serta 22 kelurahan dengan total luas wilayah 68,74 km2 atau 6.874 ha.Batas wilayah Kota Metro adalah sebagai berikut:a. Sebelah Utara; berbatasan dengan Kecamatan Punggur Kabupaten Lampung Tengah dan dan Kecamatan Pekalongan Kabupaten Lampung Timur.b. Sebelah Selatan; berbatasan dengan Kecamatan Metro Kibang Kabupaten Lampung Timur.c. Sebelah Timur; berbatasan dengan Kecamatan Pekalongan dan Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung Timur.d. Sebelah Barat; berbatasan dengan Kecamatan Trimurjo Kabupaten Lampung Tengah.Berdasarkan karakteristik topografinya, Kota Metro merupakan wilayah yang relatif datar dengan kemiringan