100
POLA PEMBERIAN SUSU FORMULA DAN KONSUMSI ZAT GIZI ANAK USIA DI BAWAH DUA TAHUN (BADUTA) PADA KELUARGA IBU BEKERJA DAN TIDAK BEKERJA Djuwita Andini PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

pemberian susu formula.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: pemberian susu formula.pdf

POLA PEMBERIAN SUSU FORMULA DAN KONSUMSI ZAT GIZI ANAK USIA DI BAWAH DUA TAHUN (BADUTA)

PADA KELUARGA IBU BEKERJA DAN TIDAK BEKERJA

Djuwita Andini

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

Page 2: pemberian susu formula.pdf

RINGKASAN

DJUWITA ANDINI. Pola Pemberian Susu Formula dan Konsumsi Zat Gizi Anak di bawah Dua Tahun (Baduta) pada Keluarga Ibu Bekerja dan Ibu Tidak Bekerja. Dibimbing oleh ALI KHOMSAN dan KATRIN ROOSITA.

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan pola pemberian susu formula dan konsumsi zat gizi anak usia di bawah dua tahun (baduta) pada keluarga ibu bekerja dan ibu tidak bekerja di Kota Bogor. Tujuan khususnya yaitu 1). Membandingkan karakteristik keluarga dan anak baduta pada kelompok ibu bekerja dan kelompok ibu tidak bekerja; 2). Membandingkan pengetahuan gizi ibu pada kedua kelompok; 3). Mempelajari pola pemberian ASI, susu formula, dan MPASI pada kedua kelompok; 4). Mengetahui kontribusi zat gizi dari konsumsi ASI, susu formula dan makanan terhadap tingkat konsumsi zat gizi pada anak baduta dari kedua kelompok; dan 5). Menganalisis hubungan karakteristik keluarga, karakteristik anak, dna pengetahuan gizi ibu dengan pola pemberian ASI dan susu formula.

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Penelitian dilakukan di Kelurahan Bantarjati dan Kelurahan Tegal Gundil, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor. Pemilihan lokasi Kecamatan dan Kelurahan ditentukan secara purposive. Pemilihan RW pada kedua kelurahan tersebut dilakukan secara random. Waktu penelitian dari bulan Juni sampai Agustus 2005.

Responden penelitian adalah ibu yang memiliki anak berumur 13-23 bulan yang memberikan susu formula dan bersedia diwawancarai. Contoh penelitian adalah anak baduta yang dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan status pekerjaan ibu yaitu kelompok ibu bekerja dan ibu tidak bekerja. Pengambilan contoh dilakukan secara purposive. Jumlah contoh dari masing-masing kelurahan adalah 15 orang dari keluarga ibu bekerja dan 15 orang dari keluarga ibu tidak bekerja, sehingga jumlah contoh keseluruhan adalah 60 orang. Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner dan observasi langsung. Data yang diperoleh dari hasil penelitian dikategorikan dan diolah menggunakan tabulasi silang dan dianalisis secara deskriptif dan inferensia dengan Microsoft Excel dan SPSS 10.0 for Windows. Uji statistik yang digunakan adalah uji beda t, uji beda Mann Whitney, dan uji korelasi Rank Spearman.

Data konsumsi pangan yang diperoleh dikonversikan dari ukuran rumah tangga ke satuan gram dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) (Hardinsyah & Briawan, 1994). Kemudian dihitung kandungan Energi dan zat gizinya dengan menggunakan Microsoft Excel dengan program Food Processor. Kontribusi konsumsi energi dan zat gizi ASI, susu formula dan makanan terhadap konsumsi zat gizi dan kecukupan zat gizi diperoleh berdasarkan perbandingan antara jumlah zat gizi yang dikonsumsi dari ASI, susu formula dan makanan dengan pangan total dan kecukupan gizi.

Berdasarkan hasil penelitian, pada kelompok ibu tidak bekerja sebesar 53,3% contoh merupakan anak pertama, 40% contoh merupakan anak ke-2 atau ke-3. Pada kelompok ibu bekerja sebesar 23,3% contoh merupakan anak pertama, 73,3% contoh merupakan anak ke-2 atau ke-3. Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan urutan anak antara kedua kelompok (p<0,05). Sebesar 90% contoh di kedua kelompok dilahirkan dengan bantuan dokter/bidan, tidak ada perbedaan penolong kelahiran contoh pada kedua kelompok.

Umur responden ibu bekerja adalah 30-39 tahun (70%), dan responden ibu tidak bekerja berumur 20-29 tahun (60%), terdapat perbedaan umur ibu pada kedua kelompok (p<0,01). Sebesar 66,7% responden ibu bekerja dan 43,3% responden ibu tidak bekerja

Page 3: pemberian susu formula.pdf

merupakan lulusan perguruan tinggi, tidak terdapat perbedaan tingkat pendidikan ibu pada kedua kelompok. Tingkat pengetahuan gizi 53,3% responden ibu tidak bekerja dan 76,7% responden ibu bekerja termasuk kategori baik, terdapat perbedaan tingkat pengetahuan gizi ibu pada kedua kelompok (p<0,05). Keluarga contoh baik kelompok ibu tidak bekerja (96,7%) dan kelompok ibu bekerja (96,7%) sudah berada di atas batas kemiskinan penduduk perkotaan di Jawa Barat (Rp 135.598,00/kapita/bulan). Hasil uji beda menunjukkan tingkat pendapatan keluarga contoh tidak berbeda. Sebesar 76,7% keluarga ibu tidak bekerja dan 80% keluarga ibu bekerja merupakan keluarga kecil (≤4 orang), tidak terdapat perbedaan besar keluarga pada kedua kelompok contoh.

Proporsi terbesar contoh kelompok ibu tidak bekerja (90%) dan ibu bekerja (80%) mendapat kolostrum. Sebanyak 76,7% contoh kelompok ibu tidak bekerja dan 50% contoh kelompok ibu bekerja mendapat minuman pralaktal, terdapat perbedaan praktek pemberian minuman pralaktal antara kedua kelompok contoh (p<0,05). Lebih dari separuh contoh di kedua kelompok sudah tidak memperoleh ASI lagi. Pola pemberian ASI kelompok ibu tidak bekerja berada pada kategori sedang (63,3%), sedangkan kelompok ibu bekerja berada pada kategori baik (63,3%). Ada perbedaan pola pemberian ASI antara kedua kelompok contoh (p<0,05).

Proporsi terbesar contoh ibu tidak bekerja (36,7%) dan contoh ibu bekerja (40%) mendapat susu formula pada usia kurang dari satu bulan. Jika dibandingkan dengan aturan pada kemasan susu formula, pengenceran dan frekuensi pemberian susu formula kepada contoh di kelompok ibu tidak bekerja (66,7% dan 63,3%) dan kelompok ibu bekerja (63,3% dan 66,7%) adalah tidak tepat. Cara membersihkan botol yang dilakukan oleh responden ibu tidak bekerja (80%) dan responden ibu bekerja (83,3%) adalah dengan merebus botol susu. Pola pemberian susu formula pada kelompok ibu tidak bekerja (60%) dan kelompok ibu bekerja (56,7%) termasuk kategori sedang. Tidak ada perbedaan usia pemberian susu formula, ketepatan pengenceran, ketepatan frekuensi pemberian, cara membersihkan botol, dan kategori pola pemberian susu formula antara kedua kelompok.

Sebesar 80% contoh kelompok ibu tidak bekerja dan 83,3% contoh kelompok ibu bekerja mendapat MPASI pada umur kurang dari enam bulan. Jenis MPASI yang pertama diberikan responden ibu tidak bekerja (46,7%) dan responden ibu bekerja (40%) adalah bubur bayi instan. Pola pemberian MPASI kelompok ibu tidak bekerja (56,7%) dan kelompok ibu bekerja (66,7%) berada pada kategori sedang. Tidak terdapat perbedaan usia pemberian MPASI, jenis MPASI pertama, dan kategori pola pemberian MPASI antara kedua kelompok contoh.

Konsumsi total energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, dan zat besi di kedua kelompok baduta contoh sudah memenuhi angka kecukupan yang dianjurkan dan sebagian besar baduta contoh termasuk kategori cukup (>70% AKG). Berdasarkan uji beda Mann Whitney tidak ada perbedaan kategori tingkat kecukupan energi pada kedua kelompok. Pada kedua kelompok contoh, rata-rata konsumsi energi dan vitamin A dari makanan lebih besar daripada konsumsi dari ASI dan susu formula. Rata-rata konsumsi protein, vitamin C, kalsium, dan zat besi dari susu formula lebih besar daripada konsumsi ASI dan makanan. Hasil uji beda t menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan konsumsi zat gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, dan zat besi) total, konsumsi zat gizi dari ASI, susu formula dan makanan pada kedua kelompok contoh. Kontribusi energi, protein, dan vitamin A dari makanan terhadap konsumsi dan kecukupan lebih besar daripada kontribusi ASI dan susu formula. Tetapi kontribusi vitamin C, kalsium, dan zat besi dari susu formula terhadap konsumsi dan kecukupan lebih besar daripada ASI dan makanan. Kontribusi zat gizi dari ASI, susu formula, dan makanan terhadap konsumsi total dan kecukupan tidak ada perbedaan menurut uji beda t pada kedua kelompok.

Page 4: pemberian susu formula.pdf

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pola Pemberian Susu Formula dan Konsumsi Zat Gizi Anak Usia di bawah Dua Tahun (Baduta) pada Keluarga Ibu Bekerja dan Tidak Bekerja adalah karya saya sendiri di bawah arahan dosen pembimbing Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS dan Katrin Roosita, SP., M.Si belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2006

Djuwita Andini NRP A54101039

Page 5: pemberian susu formula.pdf

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 17 September 1983. Penulis adalah

anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Muhammad Junus dan Alma Riani.

Pendidikan di Sekolah Dasar (SD) ditempuh dari tahun 1989 sampai 1995 di

SD Al-Mukhlisin Jakarta. Kemudian penulis melanjutkan sekolah ke SLTP Negeri 21

Semarang dan tamat pada tahun 1998. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan ke

SMU Negeri 4 Semarang dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2001 penulis

diterima sebagai mahasiswa Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya

Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan

Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama masa perkuliahan penulis pernah menjadi pengurus Himpunan

Mahasiswa Peminat Ilmu Gizi Pertanian (HIMAGITA) dan Forum Keluarga Mushola

GMSK (FKMG) periode tahun 2002/2003 dan 2003/2004. Penulis pernah menjadi

asisten mata kuliah Gizi dan Kesehatan, Sistem Pangan dan Gizi, dan Manajemen

Sumberdaya Keluarga. Selain itu penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata

kuliah Pendidikan Agama Islam. Penulis juga aktif dalam mengikuti perlombaan

karya tulis. Pada tahun 2004 penulis dan tim mendapat Juara 1 dalam Lomba Karya

Tulis Mahasiswa (LKTM) Bidang Pendidikan Tingkat IPB dan finalis LKTM Bidang

Pendidikan Tingkat Wilayah B.

Page 6: pemberian susu formula.pdf

UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan

skripsi berjudul “Pola Pemberian Susu Formula dan Konsumsi Zat Gizi Anak

Usia di bawah Dua Tahun (Baduta) pada Keluarga Ibu Bekerja dan Ibu Tidak

Bekerja”. Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak

baik moril maupun materiil. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS dan Katrin Roosita, SP., MSi sebagai dosen

pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, dan arahan

selama penulisan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS sebagai dosen penguji dan Ir. Eddy S. Mudjajanto, MS

sebagai dosen pemandu seminar yang telah memberikan saran dan masukan bagi

penulis.

3. Anfamedhiarifda dan Tria Anggita sebagai pembahas seminar, telah banyak

memberikan masukan untuk skripsi penulis.

4. Papa dan Mama tercinta atas doa dan kasih sayangnya; abang, adik dan nenekku

tersayang atas dukungannya selama ini.

5. Keluarga kecilku selama di Bogor yang telah mengisi hari-hariku dengan cahaya

keimanan.

6. Kecamatan Bogor Utara, Kelurahan Bantarjati dan Tegal Gundil, Puskesmas

Tegal Gundil, dan para kader posyandu atas izin dan bantuan yang diberikan

selama pengumpulan data.

7. Ibu Megawati Simanjuntak, SP yang telah membantu pengolahan data.

8. Seluruh dosen dan pegawai di Departemen GMSK yang telah membantu, dan

membimbing penulis selama menjadi mahasiswa di Departemen GMSK.

9. Teman-temanku tersayang, Dedet, Wulan, Vidya, Ruri, Ema, Tias, Tutut, Rian

(Alm), Ratnasari, Indria, Vijay, Gamasakers 38 lainnya dan Alih Jenjang 40 atas

persahabatan, kebersamaan, bantuan dan semangat selama kuliah dan dalam

pembuatan skripsi serta seminar penulis. Semoga Allah memperkuat ukhuwah

diantara kita.

Page 7: pemberian susu formula.pdf

10. Ria Mariana Mustofa dan Khairunisa, S. P. (Mba Nisa) yang telah menemani,

mendukung dan menyemangati penulis pada detik-detik seminar dan sidang.

11. Teman-teman seperjuangan di jurusan, fakultas, PAI, TPI, dan 4saik atas

persaudaraan, kerjasama, bantuan, semangat dan pengertian selama ini. Semoga

Allah mempertemukan kita kembali di surga-Nya.

12. Teman-teman di Pondok Adinda Balio (Dwi, Mba Neno, Mba Desy, Mba Elmi,

Mba Siwi, Hani, Vidya, Rosita, Sari, Santi, Nurul, dan Selly) atas persahabatan,

bantuan, dan pengertian selama ini.

13. Teman-teman GMSK 34-41, MUB 37-41, teman-teman yang telah hadir pada

seminar penulis, dan semua teman-teman mahasiswa IPB yang telah membantu

penulis selama ini.

Penulis sadari skripsi ini masih terdapat kekurangan, namun penulis sangat

berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang

memerlukannya. Amin.

Bogor, Februari 2006

Djuwita Andini

Page 8: pemberian susu formula.pdf

POLA PEMBERIAN SUSU FORMULA DAN KONSUMSI ZAT GIZI ANAK USIA DI BAWAH DUA TAHUN (BADUTA)

PADA KELUARGA IBU BEKERJA DAN TIDAK BEKERJA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Djuwita Andini A54101039

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

Page 9: pemberian susu formula.pdf

Judul : POLA PEMBERIAN SUSU FORMULA DAN KONSUMSI ZAT GIZI ANAK USIA DI BAWAH DUA TAHUN (BADUTA) PADA KELUARGA IBU BEKERJA DAN IBU TIDAK BEKERJA

Nama : Djuwita Andini

NRP : A54101039

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS Katrin Roosita, SP., M.Si NIP. 131 404 218 NIP. 132 232 457

Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr NIP. 130 422 698

Tanggal Lulus :

Page 10: pemberian susu formula.pdf

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ............................................................................................... x

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xiii

PENDAHULUAN................................................................................................ 1 Latar Belakang .......................................................................................... 1 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 3 Kegunaan Penelitian ................................................................................. 3

TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 4 Anak Baduta.................................................................................................... 4 Makanan Anak Baduta.................................................................................... 4

Air Susu Ibu (ASI) .................................................................................... 5 Minuman Pralaktal .................................................................................... 6 Susu Formula ............................................................................................ 7 Makanan Pendamping ASI (MPASI)........................................................ 11

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemberian Susu Formula........................ 12 Karakteristik Ibu ....................................................................................... 12 Karakteristik Keluarga .............................................................................. 14 Karakteristik Anak .................................................................................... 15 Akses Informasi Ibu .................................................................................. 15 Pengetahuan Gizi Ibu ............................................................................... 16

KERANGKA PEMIKIRAN .............................................................................. 17

METODE PENELITIAN ................................................................................... 19 Desain, Tempat dan Waktu............................................................................. 19 Cara Pemilihan Contoh ................................................................................... 19 Jenis dan Cara Pengumpulan Data.................................................................. 19 Pengolahan dan Analisis Data......................................................................... 20 Definisi Operasional ....................................................................................... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................... 27

KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 74

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 77

LAMPIRAN......................................................................................................... 82

Page 11: pemberian susu formula.pdf

x

DAFTAR TABEL No. Uraian Halaman 1. Komposisi Kolostrum, ASI, dan Susu Formula............................................. 6

2. Penggolongan Susu Bayi (infant formula) .................................................... 9

3. Standar Komposisi Susu Bayi ....................................................................... 9

4. Pola Makanan Balita menurut Umur (bulan) ................................................. 12

5. Kategori dari Variabel Karakteristik Keluarga .............................................. 21

6. Kategori dari Variabel Karakteristik Anak Baduta........................................ 21

7. Sebaran Orang Tua Contoh menurut Umur ................................................... 28

8. Sebaran Orang Tua Contoh menurut Tingkat Pendidikan ............................ 29

9. Sebaran Contoh menurut Pekerjaan Utama Ayah.......................................... 30

10. Sebaran Contoh menurut Pekerjaan Ibu......................................................... 31

11. Sebaran Contoh menurut Tingkat Pendapatan Keluarga ............................... 31

12. Sebaran Pendapatan Keluarga Contoh menurut Batas Kemiskinan .............. 32

13. Sebaran Contoh menurut Besar Keluarga ...................................................... 32

14. Sebaran Contoh menurut Umur dan Jenis Kelamin....................................... 33

15. Sebaran Contoh menurut Jarak Kelahiran dan Urutan Anak ......................... 34

16. Sebaran Contoh menurut Riwayat Kelahiran................................................. 35

17. Sebaran Contoh menurut Akses Informasi Ibu .............................................. 36

18. Sebaran Contoh menurut Sumber Informasi Gizi Dan Kesehatan Anak....... 37

19. Sebaran Contoh menurut Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu............................... 38

20. Sebaran Contoh menurut Pemberian Minuman Pralaktal.............................. 39

21. Sebaran Contoh menurut Pemberian Kolostrum............................................ 40

22. Sebaran Contoh menurut Berdasarkan Waktu Pemberian ASI...................... 41

23. Sebaran Contoh menurut Cara Pemberian ASI.............................................. 41

24. Sebaran Contoh menurut Pemberian ASI Saat Ini......................................... 42

25. Sebaran Contoh menurut Lama dan Frekuensi Menyusui ............................. 43

26. Sebaran Contoh menurut Penggunaan Pompa Payudara ............................... 43

27. Sebaran Contoh menurut Pemberian ASI Saat Anak Sakit ........................... 44

Page 12: pemberian susu formula.pdf

xi

No. Uraian Halaman 28. Sebaran Contoh menurut Kategori Pola Pemberian ASI ............................... 44

29. Sebaran Contoh menurut Waktu Pemberian Susu Formula........................... 45

30. Sebaran Contoh menurut Sumber Informasi Susu Formula .......................... 46

31. Sebaran Contoh menurut Ketepatan Frekuensi Pemberian Susu Formula .... 47

32. Sebaran Contoh menurut Penggunaan Sendok Takar.................................... 47

33. Sebaran Contoh menurut Ketepatan Pengenceran ......................................... 48

34. Sebaran Contoh menurut Cara Membersihkan Botol Susu............................ 48

35. Sebaran Contoh menurut Pemberian Sisa Air Susu Formula ........................ 50

36. Sebaran Contoh menurut Kategori Pola Pemberian Susu Formula ............... 50

37. Sebaran Contoh menurut Umur Pemberian MPASI ...................................... 51

38. Sebaran Contoh menurut Jenis MPASI Pertama ........................................... 52

39. Sebaran Contoh menurut Kategori Jenis MPASI Pertama ............................ 53

40. Sebaran Contoh menurut Kategori Pola Pemberian MPASI ......................... 53

41. Sebaran Contoh menurut Praktek Pemberian Makanan Saat Anak sulit Makan ................................................................................... 54

42. Sebaran Contoh menurut Kategori Tingkat Kecukupan ................................ 58

43. Sebaran Contoh menurut Tingkat Kecukupan Zat Gizi dan Kontribusi terhadap Kecukupan....................................................................................... 59

44. Sebaran Contoh menurut Konsumsi Pangan dan Kontribusi Zat Gizi terhadap Konsumsi......................................................................................... 60

45. Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Pola Pemberian ASI .................. 63

46. Hubungan Karakteristik Anak dengan Pola Pemberian ASI ........................ 66

47. Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu dengan Pola Pemberian ASI .................... 67

48. Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Pola Pemberian Susu Formula ... 71

49. Hubungan Karakteristik Anak dengan Pola Pemberian Susu Formula ......... 72

50. Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu dengan Pola Pemberian Susu Formula ..... 73

Page 13: pemberian susu formula.pdf

xii

DAFTAR GAMBAR

No. Uraian Halaman

1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Pemberian ASI, Susu Formula, dan MPASI serta Kontribusi terhadap Tingkat Konsumsi Zat Gizi Anak Baduta.................................................................................................... 18

Page 14: pemberian susu formula.pdf

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

No. Uraian Halaman

1. Hasil Mann Whitney Test karakteristik keluarga, karakteristik contoh, tingkat pengetahuan gizi ibu, kategori akses informasi, dan kategori pola pemberian ASI, susu formula, dan MPASI............................................. 82

2. Hasil Independent Sample t Test pola pemberian ASI, susu formula, dan Makanan Pendamping ASI (MPASI)....................................................... 83 3. Hasil Independent Sample t Test konsumsi pangan anak baduta................... 84 4. Hasil Independent Sample t Test kecukupan zat gizi anak baduta................. 85 5. Hasil korelasi Rank Spearman antara karakteristik keluarga, karakteristik anak, pengetahuan gizi ibu dengan pola pemberian ASI dan susu formula.... 86

Page 15: pemberian susu formula.pdf

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keluarga merupakan institusi pertama yang sangat berperan dalam

mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas. Undang-undang (UU) No 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa orang tua mempunyai

tanggung jawab dan kewajiban untuk memberikan hak tumbuh kembang bagi anak-

anaknya. Anak-anak merupakan aset bagi masa depan bangsa, karena mereka

merupakan bibit generasi yang akan melanjutkan pembangunan. Oleh karena itu pada

masa pertumbuhannya anak harus dipersiapkan dengan baik agar dihasilkan

sumberdaya manusia yang berpotensi dan berkualitas.

Masa janin (pre-natal) sampai dengan usia remaja merupakan periode yang

sangat menentukan kualitas SDM. Anak usia di bawah lima tahun (balita) merupakan

periode yang paling kritis bagi pertumbuhan dan perkembangan ditinjau dari aspek

gizi, kesehatan, dan psikologi. Kekurangan gizi pada periode kritis tersebut terutama

pada masa bayi sampai umur dua tahun dapat mengakibatkan terganggunya

perkembangan mental dan kemampuan motorik anak. Kekurangan energi dan protein

dalam periode kritis ini dapat mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan fisik dan

kecerdasan anak (Syarief, 1997).

Bayi memerlukan makanan yang cukup dengan zat gizi yang baik untuk

menunjang pertumbuhan dan perkembangannya. Air Susu Ibu (ASI) merupakan

makanan yang baik untuk bayi terutama pada bulan-bulan pertama dan tetap berguna

sampai berumur dua tahun. ASI mengandung semua zat gizi untuk membangun dan

menyediakan energi dalam susunan yang diperlukan bayi. Selain itu ASI juga

mengandung zat kekebalan yang dibutuhkan bayi untuk menjaga kesehatan tubuhnya

agar tidak terganggu oleh berbagai penyakit termasuk penyakit infeksi. Dengan

menerima ASI bayi dapat berinteraksi dengan ibunya, sehingga mendukung

perkembangan psikologisnya.

Page 16: pemberian susu formula.pdf

2

Kesadaran masyarakat untuk memberikan ASI ekslusif pada bayi masih

rendah. Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002-2003,

bayi yang diberi ASI sampai empat bulan sebanyak 55,1 persen dan bayi yang diberi

ASI sampai enam bulan sebanyak 39,5 persen. Pemberian ASI eksklusif sampai

empat bulan sebanyak 52 persen (Anonymous, 2004).

Susu formula merupakan salah satu Pengganti Air Susu Ibu (PASI) disebut

demikian karena pada prosesnya susu formula diolah dan zat gizinya didekatkan

dengan kandungan zat gizi ASI (Muchtadi, 2002). Dewasa ini puluhan macam susu

formula beredar di pasaran. Menurut Berg (1986) faktor lain yang mempengaruhi

merosotnya kegiatan menyusui adalah tingkat pendidikan, ekonomi, pengetahuan,

struktur keluarga dan peranan ibu yang berubah serta sikap komersialisme pengusaha

susu formula.

Anak-anak balita di perkotaan rata-rata memperoleh ASI selama hampir 21,2

bulan. Namun jika dibarengi dengan pemberian makanan tambahan, lama pemberian

ASI menurun menjadi 16,6 bulan (BPS, 1999). Menurunnya lama menyusui anak

pada ibu-ibu di perkotaan menyebabkan waktu penyapihan yang lebih dini.

Penyapihan yang lebih dini itu dapat berakibat negatif terhadap status gizi anak

apabila makanan anak yang disapih itu tidak diperhatikan. Hal ini berkaitan dengan

makin menurunnya jumlah air susu ibu dan tidak diimbangi dengan makin

bertambahnya makanan pendamping air susu ibu. Menurut Suhardjo (1989)

penyapihan dini terjadi antara lain karena ibu harus meninggalkan rumah untuk

bekerja mencari nafkah atau karena aspek sosial budaya tertentu.

Ibu memegang peranan penting dalam menyediakan makanan bagi seluruh

anggota keluarga. Pemberian makan (feeding) pada anak usia dini melibatkan

interaksi antara ibu atau pengasuh dengan anak yang bersangkutan. Ibu yang bekerja

di luar rumah memiliki waktu yang lebih sedikit untuk mengasuh anak dibanding ibu

yang tidak bekerja. Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk mengetahui pola

pemberian susu formula dan konsumsi zat gizi anak usia di bawah dua tahun (baduta)

pada keluarga ibu bekerja dan ibu tidak bekerja di kota Bogor.

Page 17: pemberian susu formula.pdf

3

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan pola

pemberian susu formula dan konsumsi zat gizi anak baduta pada keluarga ibu bekerja

dan ibu tidak bekerja di Kota Bogor.

Tujuan Khusus

1. Membandingkan karakteristik keluarga dan anak baduta pada kelompok ibu

bekerja dan kelompok ibu tidak bekerja.

2. Membandingkan akses sumber informasi dan pengetahuan gizi ibu pada kedua

kelompok.

3. Mempelajari pola pemberian ASI pada kedua kelompok.

4. Mempelajari pola pemberian susu formula pada kedua kelompok.

5. Mempelajari pola pemberian makanan pendamping ASI pada kedua kelompok.

6. Mengetahui kontribusi zat gizi dari konsumsi ASI, susu formula dan makanan

terhadap tingkat konsumsi zat gizi anak baduta pada kedua kelompok.

7. Menganalisis hubungan karakteristik keluarga, karakteristik anak, dan

pengetahuan gizi ibu dengan pola pemberian ASI dan susu formula.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini menghasilkan informasi tentang pola pemberian susu formula

dan konsumsi zat gizi anak baduta pada keluarga ibu bekerja dan ibu tidak bekerja di

Kota Bogor. Informasi tersebut diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah

dan pihak terkait (stakeholder) lainnya bagi peningkatan gizi anak khususnya anak

baduta. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran konsumen

untuk memperhatikan penggunaan susu formula secara tepat.

Page 18: pemberian susu formula.pdf

TINJAUAN PUSTAKA

Anak Baduta

Anak di bawah dua tahun (baduta) merupakan tahap pertumbuhan dan

perkembangan yang paling pesat dari semua siklus kehidupan manusia. Pada masa ini

anak mengalami peningkatan berat badan dan tinggi badan yang cepat dari keadaan

semasa lahir. Selain itu usia baduta merupakan saat yang menentukan kecerdasan

anak di masa mendatang. Pertumbuhan otak dimulai sejak masa janin dan pada usia

dua tahun mencapai sekitar 90-95 persen tumbuh kembang otak (Hardinsyah &

Martianto, 1992).

Usia baduta merupakan tahap pertumbuhan dan perkembangan yang paling

rawan terhadap berbagai kekurangan zat gizi dan gangguan penyakit. Oleh karena itu

dibanding tahap perkembangan lainnya, kecukupan gizi anak baduta per kilogram

berat badan lebih tinggi. Kekurangan konsumsi pangan dan gizi pada masa ini dapat

mengakibatkan berbagai kemungkinan penyakit akibat gizi kurang. Kekurangan

energi dan protein dalam waktu yang lama mengakibatkan pertumbuhan anak

terhambat seperti berat badan dan tinggi badan yang rendah (Hardinsyah &

Martianto, 1992).

Makanan Anak Baduta

Air susu ibu (ASI) merupakan makanan utama yang harus diberikan pada bayi

sejak lahir sampai berumur dua tahun. Pemberian ASI secara eksklusif (tanpa

makanan/minuman yang lain) sangat dibutuhkan oleh bayi sampai berumur enam

bulan. Setelah enam bulan dimana produksi ASI menurun dan tidak mencukupi

kebutuhan gizi bayi, merupakan saat pemberian makanan tambahan tetapi pemberian

ASI tetap dilakukan. Pemerintah telah menetapkan aturan pemberian makanan pada

bayi yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor

450/Menkes/SK/IV/2004 tentang pemberian ASI eksklusif, dan produk Pengganti Air

Susu Ibu (PASI) dalam Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) nomor

237/Menkes/SK/IV/1997 (Anonymous, 2004).

Page 19: pemberian susu formula.pdf

5

Air Susu Ibu (ASI)

ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi. ASI mengandung semua zat gizi

dalam susunan dan jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi selama

enam bulan (Roesli, 2004). Menurut As’ad (2002) jika dibandingkan dengan susu

lainnya, ASI memiliki beberapa keunggulan seperti : (1) Tidak memberatkan fungsi

saluran pencernaan dan ginjal; (2) Mengandung beberapa zat antibodi, sehingga

mencegah terjadinya infeksi; (3) Mengandung laktoferin untuk mengikat zat besi; (4)

Tidak mengandung beta laktoglobulin yang dapat menyebabkan alergi; (5) Ekonomis

dan praktis, tersedia setiap waktu pada suhu yang ideal, dalam keadaan segar dan

bebas dari kuman; (6) Berfungsi menjarangkan kehamilan.

Pemberian ASI dapat menumbuhkan kasih sayang dan ikatan emosional

antara ibu dan bayinya, yang akan sangat mempengaruhi tumbuh kembang dan

kecerdasan anak di kemudian hari (Sulistijani & Herlianty, 2003). Selain itu dengan

menyusui dapat mengurangi resiko terkena kanker payudara, memperpanjang masa

tidak subur setelah melahirkan (Muchtadi, 2002).

Keuntungan yang lainnya adalah pemberian ASI dapat meningkatkan

pertambahan tinggi badan anak-anak. Penambahan tinggi badan secara nyata lebih

besar pada anak-anak yang mendapat ASI lebih lama dibandingkan anak-anak yang

disapih lebih dini (Simondon et al., 2001). Eckhardt et al. (2001) juga menyatakan

bahwa pemberian ASI secara penuh selama minimal empat bulan pertama dapat

meningkatkan pertumbuhan fisik bayi.

Praktek pemberian ASI. Sebaiknya ASI diberikan segera setelah bayi lahir,

umumnya 30 menit setelah lahir (Sulistijani & Herlianty, 2003). Depkes RI (1996)

pun menyatakan pemberian ASI yang baik yaitu diberikan secara tidak terjadwal

sesuai dengan keinginan bayi dan disusui dengan kedua payudara secara bergantian

tiap kali menyusui. Tetapi akan lebih baik lagi jika bayi disusui secara terjadwal

sehingga bayi akan terbiasa untuk makan secara teratur. Anak sebaiknya disusui

dengan kedua payudara karena payudara yang “dilupakan” bisa berhenti

menghasilkan ASI, dan menimbulkan pembengkakan payudara.

Page 20: pemberian susu formula.pdf

6

Kolostrum. Kolostrum adalah ASI yang agak kental berwarna kekuning-

kuningan yang keluar pada minggu pertama setelah melahirkan. Kolostrum

mengandung lebih banyak protein (terdapat sekitar 10% protein dalam kolostrum dan

hanya sekitar 1% dalam air susu putih), lebih banyak mengandung imunoglobulin A

(Ig A), laktoferin dan sel-sel darah putih yang sangat penting untuk pertahanan tubuh

bayi terhadap serangan penyakit (infeksi). Kolostrum lebih sedikit mengandung

lemak dan laktosa; lebih banyak mengandung karoten dan vitamin A serta mineral

natrium (Na) dan seng (Zn) (Muchtadi, 2002). Perbandingan antara komposisi ASI,

kolostrum dan susu formula dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Kolostrum, ASI dan Susu Sapi

Susu Zat Gizi Kolostrum (1-5 hari) 100 g ASI (100 g) Susu Sapi (100 g)

Energi (kkal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (g) Fosfor (g) Besi (g) Vitamin A (SI) Thiamin (mg) Riboflavin (mg) Niacin (mg) Asam askorbat (mg)

58 2.7 2.9 5.3 31 14

0.09 296

0.015 0.029 0.075

4.4

77 1.1 4.0 9.5 33 14 0.1 240 0.01 0.04 0.2 5

65 3.5 3.5 4.9 118 93 -

140 0.03 0.17 0.1 1

Sumber : Winarno (1995)

Minuman Pralaktal

Minuman pralaktal adalah jenis minuman yang diberikan kepada bayi baru

lahir sebelum ASI keluar, seperti air kelapa, air tajin, air teh, dan madu. Hal ini sering

mengganggu keberhasilan menyusui secara eksklusif (Depkes, 2000). Selain itu

sebagian besar rumah sakit memberikan makanan pralaktal berupa susu formula, susu

sapi, atau air gula.

Roesli (2001) menyebutkan kerugian pemberian makanan pralaktal bagi bayi

dan ibu adalah sebagai berikut : (1) Bayi tidak mau lagi menghisap dari payudara

ibunya karena cairan lain telah menghentikan rasa laparnya. Hal ini menyebabkan

payudara ibu tidak distimulasi untuk mengeluarkan ASI dengan baik. Jika ASI tidak

Page 21: pemberian susu formula.pdf

7

dikeluarkan dengan baik, maka ASI akan keluar lebih lama dan akan memungkinkan

ibu menderita mastitis; (2) Bayi dapat mengalami diare, karena cairan tersebut

mungkin tercemar; (3) Bayi kemungkinan menderita alergi karena pernah diberi susu

formula atau susu sapi; (4) Bayi mengalami kebingungan puting bila makanan

pralaktal diberikan dengan botol susu; (5) Ibu akan lebih sering mengalami kesukaran

menyusui dan cenderung lebih cepat berhenti menyusui.

Pemberian Minuman Pralaktal. Umumnya ibu memberian minuman pralaktal

kepada bayinya sebagai pengganti ASI karena ASI belum keluar, payudara bengkak

sehingga tidak bisa menyusui, puting luka, dan ASI kurang. Roesli (2001)

menyatakan bahwa pemberian makanan pralaktal dengan anjuran bidan adalah hal

yang sering dikemukakan dan menjadi kebiasaan di sebagian besar rumah sakit.

Petugas kesehatan biasanya takut bayi akan lapar atau kekurangan air dalam beberapa

hari karena ASI dianggap masih sedikit. Padahal pemberian makanan pralaktal akan

membuat bayi tidak mau menghisap dari payudara ibunya karena bayi sudah

kenyang. Hruschka et al. (2003) menambahkan bahwa pemberian makanan pralaktal

ini dapat menyebabkan penundaan permulaan menyusui, dan meningkatkan resiko

penghentian ASI secara total.

Susu Formula

Ruang lingkup produk Pengganti Air Susu Ibu (PASI) dalam Keputusan

Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No.237/Menkes/SK/IV/1997 adalah makanan yang

dipasarkan atau dinyatakan sebagai makanan bayi dan digunakan sebagai pengganti

ASI baik secara keseluruhan maupun sebagian. Produknya meliputi susu formula

bayi, susu formula lanjutan dan makanan pendamping ASI yang diberikan dengan

menggunakan botol atau dot (Depkes, 1997). Menurut Soekarto (2005), istilah PASI

saat ini sudah tidak digunakan lagi dan diganti dengan istilah susu formula. Definisi

susu formula bayi menurut Depkes (1997) adalah produk makanan yang formulanya

dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi dari lahir sampai usia antara 4 dan

6 bulan sesuai dengan karakteristik fisiknya. Sedangkan susu formula lanjutan adalah

produk makanan yang formulanya dimaksudkan untuk bayi setelah berumur 6 bulan.

Page 22: pemberian susu formula.pdf

8

Muchtadi (2002) menyatakan susu formula adalah susu bayi yang berasal dari

susu sapi yang telah diformulasikan sedemikian rupa sehingga komposisinya

mendekati ASI. Susu formula dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu susu formula

adaptasi, susu formula awal, dan susu formula lanjutan.

Susu formula adaptasi (adapted formula), adapted berarti disesuaikan dengan

keadaan fisiologis bayi. Komposisinya sangat mendekati ASI sehingga cocok untuk

digunakan untuk bayi baru lahir sampai berumur 4 bulan. Contohnya adalah Vitalac,

Nutrilon, Nan, Bebelac, Dumex sb, dan Enfamil. Susu formula awal (Complete

starting formula), memiliki susunan zat gizi yang lengkap dan dapat diberikan

sebagai formula permulaan. Kadar protein dan mineral susu formula ini lebih tinggi

dari susu formula adaptasi. Rasio antar fraksi-fraksi proteinnya tidak disesuaikan

dengan rasio yang terdapat dalam ASI. Cara pembuatan complete starting formula

lebih mudah daripada adapted formula, maka harganya lebih murah. Biasanya bayi

diberi adapted formula sampai berumur tiga bulan, kemudian dilanjutkan dengan

susu formula ini. Contohnya adalah SGM 1, Lactogen 1, dan New Camelpo. Susu

formula lanjutan (follow-up formula), diberikan bagi bayi berumur 6 bulan ke atas.

Kandungan protein dan mineralnya lebih tinggi daripada susu formula sebelumnya.

Rasio fraksi proteinnya tidak mengikuti rasio yang terdapat dalam ASI. Contohnya

adalah Lactogen 2, SGM 2, Chilmil, Promil dan Nutrima.

Produsen susu bayi juga membuat susu formula khusus (special formula atau

formula diit) untuk diberikan pada bayi (anak kecil) dengan kelainan metabolisme

tertentu. Produk susu ini tidak dianjurkan untuk diberikan pada bayi sehat, sebab

susunan zat gizinya justru menjauhi susunan yang terdapat pada ASI. Penggolongan

susu bayi berdasarkan kondisi bayi, waktu pemberian, keadaan protein, dan

berdasarkan rasa, dapat dilihat pada Tabel 2.

Page 23: pemberian susu formula.pdf

9

Tabel 2. Penggolongan Susu Bayi (infant formula)

Pengggolongan Contoh 1. Berdasarkan kondisi bayi :

a. Keadaan normal b. Keadaan khusus

1). Diare 2). Prematur 3). Alergi protein susu

2. Berdasarkan waktu pemberian : a. Susu formula awal b. Susu formula lanjutan

3. Berdasarkan keadaan protein : a. Casein predominant b. Whey adapted

4. Berdasarkan “rasa” : a. Mendekati rasa ASI b. Manis

Nan, Lactogen, SGM, Nutrilon, S-26 LLM, Almiron, Bebelac FL Enfalac, Nenatal Nutri-soya, Prosobec Lactogen 1, SGM 1, Morinaga, S-26, Nutrilon Lactogen 2, SGM 2, Chilmil, Promil, Nutrima Lactogen, SGM, Lactona, Camelpo Vitalac, Nan, Nutrilon, Enfamil, S-26 Lactogen 1, Nan, Vitalac, S-26, Nutrilon Lactogen 2, SGM

Sumber : Muchtadi (2002)

Menurut Muchtadi (2002), untuk menjamin mutu gizi susu bayi, ditetapkan

standar mutu untuk masing-masing jenis susu bayi. Pada Tabel 3 disajikan standar

komposisi susu bayi (bubuk) yang berisi persyaratan minimum atau maksimum untuk

masing-masing komponen zat gizi, yang terkandung dalam susu bayi menurut Codex

Alimentarius dan ESPGAN.

Tabel 3. Standar Komposisi Susu Bayi (untuk setiap 100 Kkal)

Komponen Infant Formula (a)

Adapted Infant Formula (b)

Follow-up Infant Formula (c)

Energi

Protein, min

Lemak Asam linoleat

Karbohidrat

Vitamin Vit A Vit D Vit E, min. Vit K1, min. Vit C, min. Vit B1, min. Vit B2, min. Nikotinamid, min. Vit B6, min. Asam folat, min.

1.8 g

3.3-6.0 g 300 mg

250 IU-500 IU 40 IU-80 IU

0.7 IU 4 ug 8 mg 40 ug 60 ug 250 ug 35 ug 4 ug

64-72 Kcal/100 ml

1.8-2.8 g

4.0-6.0 g

8-12 g

Komposisi vitamin sama dengan Infant

Formula

60-85 Kcal/100 ml

3.05-5.5 g

3.0-6.0 g 300 mg

8-12 g

75-150 ug

1-2 ug 0.5 mg

Vitamin larut air tidak

dispesifikasi

Page 24: pemberian susu formula.pdf

10

Tabel 3. (Lanjutan)

Komponen Infant Formula (a)

Adapted Infant Formula (b)

Follow-up Infant Formula (c)

Vitamin As. Pantotenat, min. Vit B12, min. Biotin, min. Choline, min.

Mineral Natrium (Na) Kalium (K) Chlorida (Cl) Kalsium (Ca), min. Fosfor (P), min. Magnesium (Mg), min. Besi (Fe), min. Iod (I), min. Tembaga (Cu), min. Seng (Zn), min. Mangan (Mn), min.

300 ug 0.15 ug 1.5 ug 7 mg

20 mg-60 mg 80 mg-200 mg 55 mg-150 mg

50 mg 25 mg 6 mg

0.15 mg 5 ug

60 ug 0.5 ug 5 ug

1.76 mEq/L

(Total Na, K dan Cl, max. 50 mEq/L)

60 mg 30 mg 6 mg

0.1-0.2 mg 5 ug 30 ug 0.3 ug 5 ug

1.0-3.7 mEq/L 2.0-5.2 mEq/L 1.7-4.3 mEq/L

90 mg 60 mg 6 mg

1.0-2.0 mg 5 ug

0.5 ug

Sumber : (a) Codex Stan. 72-1981 (FAO/WHO) dalam Muchtadi (2002) (b) ESPGAN Committee on Nutrition (1977) dalam Muchtadi (2002) (c) ESPGAN Committee on Nutrition (1981) dalam Muchtadi (2002)

Pemberian Susu Formula. Pemberian PASI kepada bayi hanya diperbolehkan

apabila ibu tidak bisa memberikan ASI karena keadaan tertentu yaitu ibu meninggal,

ibu sakit keras atau indikasi medis (Depkes, 1985). Menurut Sulistijani dan Herlianty

(2003), pemberian PASI dapat dimengerti jika disebabkan oleh masalah pada pihak

ibu seperti : ibu menderita infeksi, luka puting (mastitis); ibu mengalami gangguan

jiwa atau epilepsi; ibu sedang menjalani terapi obat yang tidak aman bagi bayi.

Biasanya susu formula diberikan sebagai makanan tambahan dan sebagai

pengganti ASI (PASI). Susu formula sebagai makanan tambahan karena anak

menangis terus atau karena ibu merasa ASInya kurang, sedangkan susu formula

sebagai pengganti ASI (PASI) karena ASI tidak keluar atau anaknya tidak mau ASI,

karena sudah disapih, karena ditinggal bekerja, karena anjuran dari para paramedis

atau karena diberi susu formula oleh bidan (Fitrisia, 2002).

Pemberian susu formula harus dilakukan dengan tepat. Masalah kesehatan

dapat timbul apabila orang tua tidak membaca petunjuk yang tertulis pada kemasan,

misalnya agar susu kaleng lebih irit. Bila susu diberikan dalam keadan encer, maka

Page 25: pemberian susu formula.pdf

11

bayi akan mengalami kekurangan gizi, namun bila pemberian berlebihan maka akan

menyebabkan obesitas serta beban bagi kerja ginjal dan pencernaan (Depkes, 1994).

Botol susu bayi dan dot botol dapat mudah terkontaminasi. Botol sebaiknya

terbuat dari gelas (bukan plastik) dan bertanda mililiter yang jelas. Dot botol harus

tahan terhadap proses pendidihan. Semua peralatan makan/minum bayi setelah dicuci,

disterilisasi dengan cara pendidihan selama 5-10 menit. Kemudian ditiriskan,

dikeringkan dan disimpan dalam keadaan tertutup. Jika cara pendidihan tidak

mungkin dilakukan, maka peralatan dapat dicuci dengan air panas lalu dibilas dengan

air minum (air matang yang telah dingin) atau larutan garam (Muchtadi, 2002).

Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)

Makanan pendamping ASI adalah makanan yang diberikan pada bayi yang

telah berusia 6 bulan atau lebih karena ASI tidak lagi memenuhi kebutuhan gizi bayi.

Pemberian makanan pendamping dilakukan secara berangsur untuk mengembangkan

kemampuan bayi mengunyah dan menelan serta menerima bermacam-macam

makanan dengan berbagai tekstur dan rasa (Sulistijani & Herlianty, 2003). Perbedaan

waktu pemberian MP-ASI tidak mempengaruhi pertumbuhan bayi baik berat badan

maupun tinggi badan (WHO, 2002). Namun menurut Baker et al. (2004), pemberian

MP-ASI secara dini (kurang dari 4 bulan) dapat meningkatkan berat badan bayi.

Pemberian MP-ASI. Pemberian MP-ASI yang terlalu dini (<6 bulan) akan

berdampak pada terganggunya sistem metabolisme atau pencernaan karena bayi

belum siap mencerna makanan selain ASI dan asupan gizi yang diberikan tidak sesuai

dengan kebutuhannya. Sebaliknya, penundaan pemberian makanan dapat

menghambat pertumbuhan jika energi dan gizi yang dihasilkan oleh ASI tidak

mencukupi lagi kebutuhannya (Pudjiadi, 2000).

Pemberian makanan pendamping harus bertahap dan bervariasi, mulai dari

bentuk bubur cair ke bentuk bubur kental, sari buah, buah segar, makanan lumat,

makanan lembek dan akhirnya makanan padat (Sulistijani & Herlianty, 2003). Pola

makanan balita menurut Depkes (2000) ada pada Tabel 4.

Page 26: pemberian susu formula.pdf

12

Tabel 4. Pola Makanan Balita Menurut Umur (bulan)

Umur (bulan) ASI Makanan

Lumat Halus Makanan

Lumat Makanan

Lunak Makanan

Padat 0-4 4-6 6-9 9-12 12-24

Keterangan :

Makanan lumat halus adalah makanan yang dihancurkan terbuat dari tepung dan

tampak homogen. Misalnya adalah bubur susu, bubur sumsum, biskuit ditambah

air panas, pepaya saring, pisang saring, dll.

Makanan lumat adalah makanan yang dihancurkan atau disaring tampak kurang

merata. Misalnya adalah pepaya dihaluskan dengan sendok, pisang dikerik

dengan sendok, nasi tim saring, bubur kacang ijo saring, kentang pure.

Makanan lunak adalah makanan yang dimasak dengan banyak air dan tampak

berair. Misalnya adalah bubur nasi, bubur ayam, bubur kacang ijo, bubur manado.

Makanan padat adalah makanan lunak yang tidak nampak berair, seperti lontong,

nasi tim, kentang rebus, biskuit.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemberian Susu Formula

Karakteristik Ibu

Pendidikan dan pengetahuan ibu. Tingkat pendidikan ibu sangat berpengaruh

terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih

tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan

mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya

dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan khususnya tingkat pendidikan ibu

mempengaruhi derajat kesehatan (Atmarita & Fallah, 2004).

Faktor pendidikan ibu mempengaruhi pengasuhan gizi anak baik dalam

penyediaan pangan yang cukup secara kuantitas maupun kualitasnya, juga perubahan

sikap dan perilaku hidup sehat. Salah satu pengasuhan gizi anak adalah pemberian

ASI pada anak balita. Hasil kajian Susenas 1995 dan 2003, secara nasional pemberian

Page 27: pemberian susu formula.pdf

13

ASI terutama pada bayi di bawah satu tahun menurun dari 46,5% tahun 1995 menjadi

31,1% pada tahun 2003. Berdasarkan lamanya pemberian ASI saja sampai usia 6

bulan relatif masih rendah dan tidak ada peningkatan dari tahun 1995 ke tahun 2003

yaitu sekitar 15-17% (Atmarita & Fallah, 2004).

Pendidikan ibu di samping modal utama dalam perekonomian rumah tangga

juga berperan dalam penyusunan pola makan untuk keluarga. Pendidikan ibu juga

berpengaruh terhadap pemberian ASI. Menurut Syarief dan Husaini (2000) dalam

Fitrisia (2002), proporsi pemberian ASI pada ibu yang berpendidikan tinggi lebih

rendah dibandingkan yang berpendidikan rendah.

Tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat dari jenis pendidikan yang dialami

atau lamanya mengikuti pendidikan formal atau non formal. Pada umumnya tingkat

pendidikan seseorang akan mempengaruhi sikap dan perilakunya. Pendidikan akan

menentukan besar kecilnya penggunaan pendapatan keluarga untuk pengadaan

pangan sehari-hari (Sayogyo et al., 1994). Bhandari et al. (2000) menambahkan

bahwa pendidikan ibu yang rendah merupakan penghalang utama praktek pengasuhan

anak yang baik. Pengasuhan yang dimaksud adalah pemberian makanan pada anak,

perilaku perawatan kesehatan anak, dan perilaku higienitas.

Status pekerjaan ibu. Peningkatan partisipasi wanita dalam memasuki

lapangan kerja di luar rumah dari waktu ke waktu semakin meningkat. Berdasarkan

data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), laju peningkatan partisipasi pekerja

wanita lebih tinggi daripada laki-laki. Tenaga kerja wanita meningkat dari 1,8 persen

per tahun sebelum krisis ekonomi menjadi 4,2 persen pada tahun 1997-1998

(Martianto & Ariani, 2004).

Masuknya wanita dalam dunia kerja akan mengubah peran ibu dalam

mengasuh anak. Turut sertanya ibu bekerja untuk mencari nafkah khususnya ibu yang

masih menyusui anaknya menyebabkan bayi tidak dapat menyusui dengan baik dan

teratur. Maka susu sapi atau susu formula merupakan satu-satunya jalan keluar dalam

pemberian makanan bagi bayi yang ditinggalkan di rumah. Dalam penelitian Enoch

dan Djumadias (1998) dalam Fitrisia (2002), alasan penyapihan terutama karena ibu

bekerja atau sibuk di luar rumah sebesar 21,6%.

Page 28: pemberian susu formula.pdf

14

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh RSCM, ibu yang bekerja dapat

berpengaruh terhadap produksi ASI. Meskipun pada ibu telah diajarkan cara

mempertahankan produksi ASI dengan cara memompa ASI pada saat di tempat kerja

serta dengan menyusui bayi lebih sering pada malam hari, ternyata jumlah ibu yang

ASInya masih cukup sampai bayi berumur 6 bulan lebih sedikit jika dibandingkan ibu

yang tidak bekerja. Kondisi ini diduga akibat beban fisik ibu karena pekerjaan

sehingga tidak dapat mempertahankan produksi ASI (Suradi, 1986).

Karakteristik Keluarga

Besar keluarga. Besar keluarga mempengaruhi ketersediaan pangan dalam

keluarga. Semakin besar jumlah keluarga yang tidak ditunjang oleh tingkat

pendapatan yang baik maka pangan bagi setiap anak akan berkurang. Anak yang

tumbuh dalam keluarga yang kurang mampu sangat rawan terhadap masalah gizi

kurang. Anak paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan

(Suhardjo, 1989). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Latief, Atmarita, Minarto,

Jahari dan Tilden (2002) bahwa semakin besar jumlah anggota keluarga, maka

semakin berkurang kontribusi energi, protein dan lemak terhadap total konsumsi

pangan.

Faktor besar keluarga juga diduga erat kaitannya dengan perhatian ibu dalam

pengasuhan anak. Jumlah anak yang lebih sedikit akan memungkinkan ibu

memberikan perhatian dan kasih sayang yang cukup dalam mengasuh anaknya.

Menurut Sukarni (1989), jika jarak anak pertama dengan yang kedua kurang dari dua

tahun, perhatian dan waktu ibu terhadap pengasuhan kepada anak yang pertama akan

berkurang setelah kedatangan anak berikutnya, padahal anak tersebut masih

memerlukan perawatan khusus.

Pendapatan keluarga. Hal ini akan mempengaruhi pola pengeluaran dalam

rumah tangga terutama untuk konsumsi pangan anggota rumah tangga, yaitu bayi dan

anak balita (Roedjito, 1987). Pada golongan pendapatan tinggi terdapat

kecenderungan peningkatan penggunaan PASI dan memulai pemberian makanan

pendamping yang lebih awal. Faktor pendapatan keluarga sangat menentukan pola

Page 29: pemberian susu formula.pdf

15

menyusui beralih dari ASI ke susu buatan (Haryono, 1977 ; Bantje & Yambi, 1983

dalam Fitrisia, 2002). Semakin meningkatnya pendapatan dan kekayaan terdapat

kecenderungan pangan yang dikonsumsi lebih beragam dan lebih banyak (Arimond

& Ruel, 2004).

Semakin bertambahnya pendapatan keluarga, pembelian susu formula

semakin menunjukkan peningkatan yang cukup besar dan menyusui anak mengalami

penurunan yang sangat cepat. Contoh ini dapat dilihat dari 60% ibu di Gujarat yang

memiliki penghasilan rendah menyusui anaknya hingga berumur 6 bulan. Persentase

ini menurun dengan tajam ketika pendapatan meningkat dan hanya 8% saja dari ibu

yang pendapatannya tinggi menyusui anaknya (Berg, 1986).

Karakteristik Anak

Urutan anak. Menurut Hurlock (2000), anak yang lahir pertama cenderung

lebih diperhatikan oleh orang tua dibandingkan anak yang lahir kemudian. Hal ini

diduga dapat mempengaruhi pola pemberian makan yang dilakukan oleh ibu kepada

anak.

Akses Informasi Ibu

Menurut Madanijah (2003), pengetahuan ibu selain dipengaruhi oleh

pendidikan ibu, pendidikan ayah dan keadaan sosial ekonomi keluarga (pendapatan

keluarga), juga dipengaruhi oleh akses terhadap informasi. Engle, Manon, dan Hadad

(1997), menyatakan bahwa perolehan informasi bisa didapat dari membaca surat

kabar, mendengarkan radio, menonton televisi, dan kemudian memahami informasi

tersebut. Tucker dan Sanjur (1988) dalam Engle, Manon, dan Hadad (1997),

menyatakan bahwa pengetahuan ibu tentang zat gizi tertentu, frekuensi membaca,

juga berhubungan positif dengan asupan makanan dan status antropomentri.

Menurut Satoto (1990), kurangnya kesempatan “belajar” atau untuk

mengembangkan diri dari para ibu merupakan unsur yang menghambat ibu dalam

melaksanakan pengasuhan anak semaksimal mungkin. Kesempatan tersebut mungkin

memang benar-benar tidak tersedia (karena ketersediaan dana yang minim), atau

sebaliknya justru ada dan tersedia tetapi para ibu karena kesibukannya (selaku pencari

Page 30: pemberian susu formula.pdf

16

nafkah ataupun karena terlalu banyak anak) tidak ada waktu untuk menggunakan

kesempatan yang tersedia ini untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan

mengasuh anak.

Pengetahuan Gizi dan Kesehatan

Menurut Harper, Deaton dan Driskel (1986), terdapat kecenderungan

pengaruh pengetahuan gizi ibu terhadap tingkat konsumsi pangan anak dan keluarga.

Semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi ibu, maka tingkat konsumsi pangan anak dan

keluarga akan semakin baik. Tingkat pengetahuan gizi ibu yang baik akan

mempermudah pelaksanaan tanggung jawab seorang ibu yaitu berupa pemilihan jenis

pangan yang mengandung zat gizi yang baik untuk keluarganya.

Pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan dapat diperoleh dari media massa,

dokter/bidan, keluarga atau teman. Selain itu perlu dilakukan penyuluhan gizi dan

kesehatan anak secara rutin. Albernaz et al. (2003) menyatakan bahwa konsultasi

tatap muka yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih adalah cara yang

efektif untuk mengurangi waktu pengenalan MP-ASI secara dini dan meningkatkan

durasi/lama menyusui.

Page 31: pemberian susu formula.pdf

KERANGKA PEMIKIRAN

Anak usia di bawah dua tahun (baduta) termasuk kelompok usia yang rawan

karena merupakan masa pertumbuhan yang cepat dan menentukan kualitas manusia

pada usia remaja dan dewasa. Asupan gizi melalui makanan sangat mempengaruhi

pertumbuhan sel otak yang berlangsung sejak masa janin sampai mencapai

klimaksnya pada usia di bawah dua tahun.

Konsumsi pangan anak baduta dipengaruhi oleh karakteristik keluarga dan

karakteristik anak. Selain itu juga dipengaruhi oleh sumber informasi gizi dan

kesehatan, dan pengetahuan gizi ibu. Karakteristik keluarga meliputi umur, tingkat

pendidikan, dan pekerjaan orangtua; besar keluarga, dan pendapatan keluarga.

Pendapatan keluarga menentukan kualitas dan kuantitas makanan anak. Tingkat

pengetahuan orangtua khususnya ibu dapat mempengaruhi pengetahuan dan sikap

dalam menentukan makanan yang dikonsumsi oleh anak. Besar keluarga juga akan

mempengaruhi distribusi makanan dalam keluarga. Sedangkan yang termasuk faktor

anak adalah umur, jenis kelamin, urutan anak dan riwayat kelahiran.

Konsumsi pangan anak baduta meliputi ASI, susu formula, dan makanan.

Jumlah dan jenis konsumsi pangan tersebut akan memberikan kontribusi terhadap

tingkat konsumsi zat gizi anak baduta. Alur keterkaitan faktor-faktor di atas

dijabarkan dalam kerangka pemikiran pada Gambar 1.

Page 32: pemberian susu formula.pdf

18

Keterangan :

: Hubungan yang diteliti : Variabel yang diteliti

Gambar 1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Pemberian ASI, Susu Formula

dan MPASI serta Kontribusi terhadap Tingkat Konsumsi Zat Gizi

Anak Baduta

Karakteristik Keluarga Umur orangtua Pendidikan orangtua Pekerjaan orangtua Besar keluarga Pendapatan keluarga

Karakteristik Anak Umur Jenis Kelamin Urutan Anak Riwayat kelahiran

Pengetahuan gizi ibu

Akses sumber informasi gizi dan kesehatan

Konsumsi zat gizi anak baduta

Pola pemberian susu formula

Pola pemberian ASI

Pola pemberian MPASI

Page 33: pemberian susu formula.pdf

METODE

Desain, Tempat dan Waktu

Desain penelitian ini adalah cross sectional study dengan membandingkan dua

kelompok anak baduta dengan status pekerjaan ibu yang berbeda. Penelitian

dilakukan di dua tempat yaitu Kelurahan Bantarjati dan Kelurahan Tegal Gundil,

Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan kecamatan

ditentukan secara purposive berdasarkan data dari Dinas Keluarga Berencana Kota

Bogor tahun 2004 bahwa Kecamatan Bogor Utara memiliki jumlah ibu bekerja paling

banyak. Pemilihan kelurahan dilakukan secara purposive berdasarkan data dari Dinas

Kesehatan Kota Bogor bahwa Kelurahan Bantarjati dan Tegal Gundil memiliki

estimasi jumlah balita terbanyak pada tahun 2005. Untuk memenuhi kebutuhan

jumlah responden didapatkan sebanyak 5 RW dari 17 RW yang terpilih secara

random pada Kelurahan Tegal Gundil dan sebanyak 8 RW dari 16 RW di Kelurahan

Bantarjati. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juni sampai Agustus 2005.

Cara Pemilihan Contoh

Responden penelitian adalah ibu yang memiliki anak berumur 13-23 bulan

yang memberikan susu formula dan bersedia diwawancarai. Sedangkan contoh

penelitian ini adalah anak baduta tersebut. Contoh kemudian dibagi menjadi dua

kelompok berdasarkan status pekerjaan ibu yaitu kelompok ibu bekerja dan ibu tidak

bekerja. Pengambilan contoh dilakukan secara purposive dengan kriteria berumur 13-

23 bulan, rutin mengkonsumsi susu formula dan sehat. Data contoh diperoleh dari

data balita sasaran MOPPING UP Polio 2005. Jumlah contoh dari masing-masing

Kelurahan adalah 15 orang dari keluarga ibu bekerja dan 15 orang dari keluarga ibu

tidak bekerja, sehingga jumlah contoh keseluruhan adalah 60 orang.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data

sekunder. Pengumpulan data primer melalui wawancara menggunakan kuesioner dan

observasi langsung. Data sekunder diperoleh dari posyandu setempat berupa data

Page 34: pemberian susu formula.pdf

20

penimbangan berat badan balita, serta data keadaan keadaan umum lokasi penelitian

dan data demografi penduduk dari Kantor Kelurahan setempat. Data primer yang

dikumpulkan dalam penelitian ini adalah :

1. Karakteristik keluarga meliputi umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan

besar keluarga.

2. Karakteristik anak baduta meliputi umur, jenis kelamin, urutan anak, jarak

kelahiran dan riwayat kelahiran.

3. Akses sumber informasi gizi dan kesehatan.

4. Pengetahuan gizi ibu meliputi pengetahuan tentang ASI, susu formula dan MP-

ASI yang diperoleh dengan cara memberikan 10 pertanyaan.

5. Pola pemberian ASI yaitu waktu pemberian ASI pertama, pemberian kolostrum,

frekuensi dan lama pemberian ASI, cara pemberian ASI, penggunaan pompa

payudara, dan pemberian minuman pralaktal.

6. Pola pemberian susu formula yaitu waktu pemberian susu formula pertama, cara

pembuatan susu formula, ketepatan pengenceran, ketepatan frekuensi pemberian

dan sterilisasi botol susu.

7. Pola pemberian MP-ASI yaitu waktu pemberian MPASI pertama dan jenis

MPASI pertama.

8. Data konsumsi pangan anak baduta yang didapatkan dengan metode recall 1x24

jam.

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan diolah dan dianalisis dengan menggunakan

program komputer Microsoft Excel dan SPSS 10.0 for Windows. Proses pengolahan

meliputi editing, coding, entry dan analisis. Data dianalisis secara statistik deskriptif

dan inferensia. Data karakteristik keluarga dikategorikan sebagaimana terlihat pada

Tabel 5. Data karakteristik anak baduta dikategorikan seperti pada Tabel 6.

Page 35: pemberian susu formula.pdf

21

Tabel 5. Kategori dari Variabel Karakteristik Keluarga No Variabel Kategori 1 Umur orangtua 1. <20 tahun

2. 20-29 tahun 3. 30-39 tahun 4. ≥ 40 tahun

2 Tingkat pendidikan orangtua 1. tidak tamat SD : <6 tahun 2. tamat SD : 6 tahun 3. tamat SLTP : 9 tahun 4. tamat SMU : 12 tahun 5. perguruan tinggi : >12 tahun

3 Pekerjaan orangtua 1. buruh 2. pedagang 3. PNS/ABRI 4. pegawai swasta 5. pekerjaan lainnya/dll

4 Pendapatan keluarga 1. < Rp 150.000 2. Rp 150.000-Rp 449.999 3. Rp 450.000-Rp 749.999 4. Rp 750.000-Rp 999.999 5. > Rp 1.000.000

5 Besar keluarga 1. kecil : ≤ 4 orang 2. sedang : 5-6 orang 3. besar : ≥ 7 orang (BKKBN, 1998).

Tabel 6. Kategori dari Variabel Karakteristik Anak Baduta No Variabel Kategori

1. Umur 1. 13-18 bulan 2. 19-23 bulan

2. Jenis kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan

3. Urutan anak 1. Anak pertama 2. Anak kedua dan ketiga 3. Anak kempat dan seterusnya

4. Jarak kelahiran 1. <2 tahun 2. ≥2 tahun 3. hamil pertama

5. Riwayat kelahiran anak

• Umur kelahiran

• cukup bulan (9 bulan) • tidak cukup bulan (< 9 bln)

• Tempat persalinan • Rumah sendiri • Klinik bersalin / bidan / puskesmas • Rumah sakit

• Penolong persalinan • Anggota keluarga sendiri/orang biasa lainya • Dukun bayi/paraji • Bidan/dokter

• Jenis persalinan anak • Lahir normal/biasa • Dioperasi • Divakum

Page 36: pemberian susu formula.pdf

22

Akses Informasi Gizi dan Kesehatan

Akses informasi ibu merupakan jumlah sumber informasi tentang gizi dan

kesehatan anak yang diperoleh ibu. Sumber informasi yang dimaksud meliputi media

massa (TV, radio, majalah/tabloid, surat kabar), tenaga kesehatan (dokter atau bidan),

keluarga (orangtua, mertua, saudara), teman (tetangga, rekan kerja), dan kader

posyandu. Nilai skor 1 diberikan jika ibu mendapat informasi dan skor 0 jika tidak

mendapat informasi dari masing-masing sumber informasi tersebut. Akses informasi

ibu dibagi dalam tiga kategori, yaitu kurang (0-2 info), sedang (3-4 info), dan baik (5-

6 info). Pembagian kategori berdasarkan interval kelas (Slamet, 1993).

Keterangan : IK : Interval Kelas Smaks : Skor Maksimum Smin : Skor Minimum JK : Jumlah Kategori

Pengetahuan Gizi Ibu

Data pengetahuan gizi ibu tentang ASI, susu formula dan MP-ASI dilakukan

dengan cara memberikan skor pada 10 pertanyaan, skor 1 jika jawaban benar dan

skor 0 jika jawaban salah. Jumlah skor dihitung lalu dibagi total skor kemudian dikali

100%, hasilnya dikelompokkan menjadi tiga yaitu : baik (>80% jawaban benar),

sedang (60-80% jawaban benar), kurang (<60% jawaban benar) (Khomsan, 2000).

Pola Pemberian ASI

Pola pemberian ASI meliputi pemberian kolostrum, waktu pertama kali

menyusui, cara menyusui, praktek menyusui saat ini dan pemberian makanan

pralaktal. Pengukuran pola pemberian ASI berdasarkan penilaian terhadap tujuh

pertanyaan dengan total skor 7-28. Pola pemberian ASI dibagi dalam tiga kategori,

yaitu kurang (7-14), sedang (15-21), dan baik (22-28). Pembagian kategori

berdasarkan interval kelas (Slamet, 1993).

IK = (Smaks-Smin) JK

Page 37: pemberian susu formula.pdf

23

Pola Pemberian Susu Formula

Pola pemberian susu formula meliputi waktu pertama pemberian susu

formula, ketepatan frekuensi pemberian, penggunaan sendok takar, ketepatan

pengenceran, cara membersihkan botol susu, dan pemberian susu yang bersisa.

Pengukuran pola pemberian susu formula berdasarkan penilaian terhadap enam

pertanyaan dengan total skor 6-24. Pola pemberian susu formula dibagi dalam tiga

kategori, yaitu kurang (6-12), sedang (13-18), dan baik (19-24). Pembagian kategori

berdasarkan interval kelas (Slamet, 1993).

Pola Pemberian MP-ASI

Pola pemberian MPASI meliputi waktu pertama pemberian MPASI dan jenis

MPASI. Pengukuran pola pemberian MPASI berdasarkan penilaian terhadap dua

pertanyaan dengan total skor 2-8. Pola pemberian MPASI dibagi dalam tiga kategori,

yaitu kurang (2-4), sedang (5-6), dan baik (7-8). Pembagian kategori berdasarkan

interval kelas (Slamet, 1993).

Data Konsumsi Pangan Anak Baduta

Data konsumsi pangan anak usia 13-23 bulan diperoleh dengan recall 1x24

jam, data yang terkumpul diolah dengan menggunakan Food Processor kemudian

diterjemahkan ke dalam bentuk tingkat konsumsi zat gizi (energi, protein, vitamin A,

vitamin C, dan kalsium). Tingkat konsumsi zat gizi dihitung dengan membandingkan

konsumsi aktual dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) rata-rata yang dianjurkan

menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VIII. Tingkat konsumsi

zat gizi digolongkan dalam dua kategori (Latief et al., 2000), yaitu kurang (<70%

AKG) dan cukup (≥70% AKG).

Jumlah ASI yang dikonsumsi anak baduta didekati dari nilai rata-rata

konsumsi ASI anak baduta per hari yang dipublikasikan oleh WHO (2000). Rata-rata

konsumsi ASI bagi anak baduta (12-23 bulan) adalah 549 g/hari. Konsumsi energi,

protein, vitamin A, vitamin C, dan kalsium dari ASI juga menggunakan estimasi dari

Tingkat konsumsi zat gizi = Konsumsi aktual x 100% AKG yang dianjurkan

Page 38: pemberian susu formula.pdf

24

WHO (2000). Konsumsi susu formula dihitung dengan cara menanyakan takaran

bubuk susu dan volume pengenceran yang dilakukan oleh responden. Jumlah takaran

bubuk susu dikonversi ke dalam gram, kemudian dihitung kandungan zat gizinya

berdasarkan informasi nilai gizi pada kemasan susu formula.

Kontribusi zat gizi dari konsumsi ASI, susu formula dan makanan (selain ASI

dan susu formula) terhadap konsumsi pangan diperoleh berdasarkan perbandingan

antara jumlah zat gizi yang dikonsumsi dari ASI, susu formula dan makanan dengan

konsumsi pangan total. Sedangkan kontribusi zat gizi dari konsumsi ASI, susu

formula dan makanan (selain ASI dan susu formula) terhadap kecukupan zat gizi

diperoleh berdasarkan perbandingan antara jumlah zat gizi yang dikonsumsi dari ASI,

susu formula dan makanan dengan kecukupan gizi.

Analisis statistik inferensia yang dilakukan adalah uji beda t dan Mann

Whitney untuk mengetahui perbedaan variabel penelitian antara keluarga ibu bekerja

dan tidak bekerja. Variabel karakteristik keluarga, karakteristik baduta contoh,

kategori akses informasi gizi dan kesehatan ibu, tingkat pengetahuan gizi ibu,

kategori pola pemberian ASI, susu formula, dan MPASI serta tingkat konsumsi zat

gizi digunakan uji beda Mann Whitney. Sedangkan untuk mengetahui perbedaan

variabel pola pemberian ASI, susu formula, dan MPASI; kontribusi zat gizi dari

konsumsi ASI, susu formula dan makanan terhadap konsumsi pangan total dan

tingkat konsumsi zat gizi anak baduta digunakan uji beda t. Uji korelasi Rank

Spearman digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel karakteristik

keluarga, karakteristik anak, dan pengetahuan gizi ibu terhadap pola pemberian ASI

dan susu formula.

Kontribusi = Konsumsi zat gizi dari ASI/susu formula/makanan x 100% Konsumsi pangan total

Page 39: pemberian susu formula.pdf

25

Definisi Operasional

Akses sumber informasi gizi dan kesehatan adalah jumlah sumber informasi tentang gizi dan kesehatan anak yang diperoleh ibu, meliputi media massa (TV, radio, majalah/tabloid, surat kabar), tenaga kesehatan (dokter atau bidan), keluarga (orangtua, mertua, saudara), teman (tetangga, rekan kerja), dan kader posyandu.

Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang terdiri dari keluarga inti (ayah,

ibu, dan anak) dan anggota keluarga lainnya yang tinggal bersama dan menjadi tanggungan kepala keluarga.

Contoh adalah anak usia di bawah dua tahun (baduta) yang berusia 13-23 bulan yang

mengkonsumsi susu formula secara rutin dan sehat. Konsumsi pangan baduta adalah jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi anak

baduta yang diukur dengan metode recall selama 1x24 jam. Konsumsi zat gizi adalah konsumsi pangan yang kemudian dikonversi ke dalam

kandungan zat gizi dengan menggunakan DKBM yang meliputi energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium dan zat besi.

Pendapatan keluarga adalah jumlah pendapatan anggota keluarga dalam satu bulan

terakhir dan dibagi dengan seluruh tanggungan keluarga. Pendapatan diukur dalam pendapatan per kapita (Rp/kap/bln).

Pendidikan orang tua adalah pendidikan formal terakhir yang ditempuh oleh ayah

dan ibu contoh Pengetahuan gizi ibu adalah tingkat pengetahuan ibu tentang pola pemberian dan

konsumsi ASI, susu formula, dan MPASI yang diketahui dari kemampuan menjawab 10 pertanyaan yang berkaitan dengan ASI, susu formula, dan MPASI.

Pola pemberian ASI adalah praktek-praktek pemberian ASI yang diterapkan oleh

ibu kepada anak, meliputi pemberian minuman pralaktal, pemberian kolostrum, waktu pemberian ASI pertama, cara menyusui serta praktek menyusui saat ini.

Pola pemberian susu formula adalah praktek pemberian susu formula yang

dilakukan oleh ibu kepada anak, meliputi : waktu pemberian susu formula pertama, alasan pemberian susu formula, sumber informasi tentang susu formula, frekuensi pemberian susu formula, penggunaan sendok takar dan ketepatan takaran, cara membersihkan botol susu dan pemberian susu formula yang bersisa.

Page 40: pemberian susu formula.pdf

26

Pola pemberian MPASI adalah praktek pemberian MPASI yang diterapkan responden kepada contoh, meliputi waktu pemberian MPASI dan jenis MPASI pertama.

Susu formula adalah susu formula lanjutan (follow up) yang diberikan kepada anak

berumur di atas enam bulan sampai 3 tahun. Riwayat kelahiran adalah riwayat proses kelahiran contoh meliputi umur kelahiran,

tempat persalinan, penolong persalinan, dan jenis persalinan. Responden adalah ibu bekerja dan tidak bekerja yang memiliki anak baduta (12-3

bulan) yang memberikan susu formula. Tingkat konsumsi zat gizi adalah perbandingan antara zat gizi yang dikonsumsi

dengan angka kecukupan zat gizi yang dianjurkan per orang per hari dikalikan 100%.

Page 41: pemberian susu formula.pdf

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Kelurahan Tegal Gundil

Letak Geografis. Kelurahan Tegal Gundil terletak di ketinggian 251-300 m di

atas permukaan laut. Luas wilayahnya 198 ha, terbentang dari utara ke selatan

menyusuri tepian Sungai Ciparigi di barat dan Sungai Cibuluh di timur. Batas

wilayah Kelurahan Tegal Gundil sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Cibuluh,

sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Tegal Lega, sebelah barat berbatasan

dengan Kelurahan Bantarjati, dan sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Tanah

Baru. Seluruh wilayah terbagi ke dalam 17 RW dan 86 RT. Pemanfaatan seluruh

wilayah terbagi atas : perumahan dan pekarangan (169 ha), ladang tegalan (18,6 ha),

perkantoran (2,5 ha), tanah pemakaman (3,46 ha), dan lain-lain (3,94 ha).

Penduduk dan Mata Pencaharian. Seluruh penduduk di Kelurahan Tegal Gudil

berjumlah 24.156 jiwa, terdiri atas pria 12.09 jiwa dan wanita 12.147 jiwa. Jumlah

balita usia 0-4 tahun sebanyak 1.856 jiwa. Ditinjau dari mata pencaharian, penduduk

Tegal Gundil lebih banyak yang bekerja di sektor swasta dengan rincian sebagai

berikut : 1) buruh/swasta : 1572 orang, 2) PNS : 770 orang, 3) pedagang : 293 orang,

4) dokter : 30 orang, 5) tukang ojek : 200 orang, 6) becak : 5 orang, 7) TNI/POLRI :

212 orang, 8) pengusaha : 121 orang, 9) BUMN/BUMD : 109 orang. Ditinjau dari

latar belakang pendidikan penduduk relatif tinggi, hal ini terlihat dari gambaran latar

belakang pendidikan adalah sebagai berikut : 1) tidak tamat SD : 299 KK, 2) tamat

SD-SLTP : 1.138 KK, 3) tamat SLTA ke atas : 4.989 KK.

Kelurahan Bantarjati

Letak Geografis. Kelurahan Bantarjati yang mempunyai luas 170 ha

merupakan dataran rendah dengan ketinggian dari permukaan laut ± 300 m.

Kelurahan Bantarjati berbatasan dengan kelurahan Cibuluh di sebelah utara,

Kelurahan Tegal Gundil di sebelah timur, Kelurahan Babakan di sebelah selatan dan

di sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Tanah Sareal.

Page 42: pemberian susu formula.pdf

28

Penduduk dan Mata Pencaharian. Kelurahan Bantarjati terdiri dari 16 RW dan

73 RT dengan jumlah kepala keluarga sebesar 4.494 KK dan jumlah penduduk

sebanyak 19.137 jiwa. Jumlah balita umur 0-12 bulan sebesar 312 jiwa, yang berumur

13 bulan-4 tahun sebesar 537 jiwa. Mata pencaharian penduduk Kelurahan Bantarjati

sebagaian besar di sektor jasa 98%, industri 1,4%, dan pertanian 0,6%.

Karakteristik Keluarga

Umur Orangtua

Menurut Pudjiadi (2000), umur bagi seorang ibu merupakan faktor yang turut

menentukan dalam produksi ASI. Ibu yang berumur antara 19-23 tahun umumnya

menghasilkan ASI yang lebih banyak dibandingkan ibu yang berumur tiga puluhan.

Sebaran contoh menurut umur orangtua disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Sebaran Orang Tua Contoh menurut Umur

Ayah Ibu Ibu Tidak Bekerja (n=30)

Ibu Bekerja (n=30)

Ibu Tidak Bekerja (n=30)

Ibu Bekerja (n=30) Umur (tahun)

n % n % n % n %

p

< 20 th 20-29 th 30-39 th ≥ 40 th

- 11 15 4

- 36,7 50,0 13,3

- 4

21 5

- 13,3 70,0 16,7

- 18 12 -

- 60,0 40,0

-

- 8

21 1

- 26,7 70,0 3,3

0,089a) 0,004b)**

a) ayah; b) ibu ** Nyata pada taraf kepercayaan 99%

Tabel 7 menunjukkan bahwa proporsi terbanyak umur ayah pada kedua

kelompok berada pada umur 30-39 tahun. Rata-rata umur ayah pada kelompok ibu

tidak bekerja adalah 33 tahun dan rata-rata umur ayah kelompok ibu bekerja adalah

36 tahun. Hasil analisis statistik uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa usia

ayah pada kedua kelompok tidak berbeda. Sebanyak 70% responden ibu bekerja

berumur 30-39 tahun, sedangkan 60% responden ibu tidak bekerja berumur 20-29

tahun. Rata-rata umur responden ibu tidak bekerja adalah 28 tahun dan responden ibu

bekerja adalah 32 tahun. Usia ibu pada kedua kelompok berbeda nyata (p<0,01).

Page 43: pemberian susu formula.pdf

29

Pendidikan Ayah dan Ibu

Tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat berdasarkan lamanya atau jenis

pendidikan yang dialami baik formal maupun informal. Menurut Suhardjo (1996),

tingkat pendidikan seseorang umumnya dapat mempengaruhi sikap dan perilakunya

dalam kehidupan sehari-hari. Tingkat pendidikan terutama pendidikan ibu

berpengaruh terhadap kualitas tumbuh kembang anak. Di samping itu menurut

Khomsan (2002) ibu yang memiliki pendidikan tinggi akan lebih respon dalam

mencari informasi untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam

pengasuhan anak.

Berdasarkan Tabel 8, dapat dilihat bahwa ayah dan ibu pada kedua kelompok

contoh mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi. Lebih dari separuh ayah (60%)

dan ibu (66,7%) pada kelompok ibu bekerja merupakan lulusan perguruan tinggi.

Sementara pada kelompok ibu tidak bekerja, pendidikan ayah (43,3%) dan ibu

(46,7%) adalah lulusan SMU. Rata-rata lama pendidikan ayah dan ibu pada kelompok

ibu tidak bekerja adalah 13 tahun, sedangkan pada kelompok ibu bekerja rata-rata

lama pendidikan ayah dan ibu adalah 14 tahun. Hasil analisis statistik uji beda Mann

Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat pendidikan ayah dan

ibu pada kedua kelompok.

Tabel 8. Sebaran Orang Tua Contoh menurut Tingkat Pendidikan

Ayah Ibu Ibu Tidak Bekerja (n=30)

Ibu Bekerja (n=30)

Ibu Tidak Bekerja (n=30)

Ibu Bekerja (n=30)

Tingkat Pendidikan

n % n % n % n %

p

- Tidak tamat SD - Tamat SD - Tamat SLTP - Tamat SMU - Perguruan Tinggi

- 2 3 13 12

- 6,7 10,0 43,3 40,0

- - 4 8 18

- -

13,3 26,7 60,0

- 2 1 14 13

- 6,7 3,3 46,7 43,3

1 1 1 7 20

3,3 3,3 3,3 23,3 66,7

0,153a) 0,120b)

a) ayah; b) ibu

Page 44: pemberian susu formula.pdf

30

Pekerjaan Ayah dan Ibu

Jenis pekerjaan ayah dan ibu menentukan jumlah pendapatan yang diterima

keluarga. Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan

kuantitas makanan. Kurangnya pendapatan akan berakibat buruk pada jumlah dan

jenis pangan yang dibeli untuk konsumsi pangan keluarga yang pada akhirnya akan

berpengaruh terhadap konsumsi pangan dan status gizi (Berg, 1986).

Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat bahwa sebagian besar ayah bekerja sebagai

pegawai swasta, PNS/TNI/POLRI, pedagang, dan buruh. Jenis pekerjaan ayah yang

paling banyak adalah sebagai pegawai swasta, yaitu sebesar 56,7% pada kelompok

ibu tidak bekerja dan 46,7% pada kelompok ibu bekerja. Selain itu terdapat 13,3%

ayah kelompok ibu tidak bekerja dan 20% ayah kelompok ibu bekerja yang bekerja

pada sektor jasa informal sebagai wiraswasta, pemain orgen/piano, sopir angkot, dan

tukang becak. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan

antara jenis pekerjaan ayah baduta contoh pada kedua kelompok.

Tabel 9. Sebaran Contoh menurut Pekerjaan Utama Ayah

Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Jenis Pekerjaan Ayah n % n % Buruh Pedagang PNS/TNI/POLRI Pegawai swasta Jasa

2 2 5 17 4

6,6 6,6 16,7 56,7 13,3

2 1 7 14 6

6,6 3,3 23,3 46,7 20,0

p=0,511

Pekerjaan ibu dalam membantu mencari nafkah terutama pekerjaan yang

mengharuskan ibu keluar rumah dengan jam kerja tertentu mengakibatkan proses

menyusui tidak teratur. Hal ini merupakan alasan penggantian ASI dengan susu

formula (Winarno, 1995). Tabel 10 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu bekerja

sebagai pegawai swasta, PNS/TNI/POLRI, dan buruh. Sebesar 23,3% ibu bekerja

sebagai pegawai swasta. Selain itu sebesar 6,7% ibu bekerja di sektor jasa formal

sebagai dokter gigi dan guru di sekolah swasta, dan jasa informal sebagai penyapu

jalan.

Page 45: pemberian susu formula.pdf

31

Tabel 10. Sebaran Contoh menurut Pekerjaan Ibu (n=30)

Jenis Pekerjaan Ibu n % Buruh PNS/TNI/POLRI Pegawai swasta Jasa

4 8 14 4

6,7 13,3 23,3 6,7

Tingkat Pendapatan Keluarga

Besarnya pendapatan per kapita per bulan keluarga mempengaruhi daya beli

keluarga terhadap pangan yang berkualitas. Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui

bahwa pendapatan keluarga per kapita per bulan kelompok ibu tidak bekerja berkisar

antara Rp 50.000,00-Rp 1.333.333,00 dengan rata-rata Rp 416.771,00. Pendapatan

per kapita per bulan keluarga kelompok ibu bekerja berkisar antara Rp 187.500,00-Rp

1.666.667,00 dengan rata-rata Rp 768.472,00. Pendapatan perkapita per bulan

keluarga ibu bekerja lebih besar daripada keluarga ibu tidak bekerja. Hasil uji beda t

menunjukkan bahwa pendapatan keluarga per kapita per bulan antara kedua

kelompok ini berbeda nyata (p<0,01).

Tabel 11. Sebaran Contoh menurut Tingkat Pendapatan Keluarga

Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) p Tingkat Pendapatan Keluarga (Rp/kap/bln) n % n %

< Rp 150.000 Rp 150.000-Rp 449.999 Rp 450.000-Rp 749.999 Rp 750.000-Rp 999.999 ≥ Rp 1.000.000

1 18 9 - 2

3,3 60,0 30,0

- 6,7

- 5 8 9 8

- 16,7 26,7 30,0 26,7

0,000**

** Nyata pada taraf kepercayaan 99%

Batas kemiskinan penduduk perkotaan di Jawa Barat (BPS, 2003) yaitu

sebesar Rp 135.598,00 (perkapita/bulan). Jika dibandingkan dengan batas kemiskinan

tersebut maka sebagian besar (96,7% pada kedua kelompok contoh) pendapatan

keluarga contoh berada di atas batas kemiskinan (Tabel 12). Secara statistik, uji beda

Mann Whitney menunjukkan tingkat pendapatan keluarga contoh dari kedua

kelompok tidak ada perbedaan.

Page 46: pemberian susu formula.pdf

32

Tabel 12. Sebaran Pendapatan Keluarga Contoh menurut Batas Kemiskinan

Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) p Tingkat Pendapatan (Rp/kap/bln) n % n %

Tinggi (≥ Rp 135.598) Rendah (< Rp 135.598)

29 1

96,7 3,3

29 1

96,7 3,3

1,000

Besar Keluarga

Faktor besar keluarga diduga erat kaitannya dengan perhatian ibu dalam

pengasuhan anak. Jumlah anak yang lebih sedikit akan memungkinkan ibu

memberikan perhatian dan kasih sayang yang cukup dalam mengasuh anaknya.

Berdasarkan Tabel 13, sebesar 76,7% keluarga ibu tidak bekerja dan 80% keluarga

ibu bekerja termasuk dalam keluarga kecil (≤4 orang) karena memiliki jumlah anak

1-2 orang. Uji beda Mann Whitney menyimpulkan tidak terdapat perbedaan besar

keluarga baduta contoh dari kedua kelompok. Menurut Latief, Atmarita, Miniarto,

Jahari dan Tilden (2000), besar keluarga atau banyaknya jumlah anggota keluarga

berkaitan dengan masalah pangan dan gizi. Semakin besar jumlah anggota keluarga,

maka semakin berkurang peluang tercukupinya energi, protein dan lemak.

Tabel 13. Sebaran Contoh menurut Besar Keluarga

Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) p Besar Keluarga n % n %

Kecil (≤ 4 orang) Sedang (5-6 orang) Besar (≥ 7 orang)

23 6 1

76,7 20 3,3

24 6 -

80 20 -

0,710

Karakteristik Anak Baduta

Umur dan Jenis Kelamin

Anak di bawah dua tahun (baduta) merupakan tahap pertumbuhan dan

perkembangan yang paling pesat dari semua siklus kehidupan manusia. Pada masa ini

terjadi peningkatan berat badan dan tinggi badan serta pertumbuhan otak telah

mencapai 90-95 persen (Hardinsyah & Martianto, 1992). Pada Tabel 14 diketahui

Page 47: pemberian susu formula.pdf

33

bahwa sebesar 56,7% contoh pada kelompok ibu tidak bekerja berumur 18-23 bulan.

Pada kelompok ibu bekerja sebesar 70% contoh berumur 12-17 tahun.

Jenis kelamin contoh pada kedua kelompok sebagian besar adalah perempuan,

yaitu 60% pada kelompok ibu tidak bekerja dan 50% pada kelompok ibu bekerja.

Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan usia baduta

contoh pada kedua kelompok (p<0,05). Jumlah contoh kelompok ibu bekerja yang

berumur 12-17 bulan lebih banyak daripada contoh ibu tidak bekerja. Namun jenis

kelamin baduta contoh pada kedua kelompok tidak berbeda. Distribusi contoh

menurut umur dan jenis kelamin ditampilkan pada Tabel 14.

Tabel 14. Sebaran Contoh menurut Umur dan Jenis Kelamin

Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Karakteristik Contoh n % n % p

Umur (bulan) 12-17 18-23

13 17

43,3 56,7

21 9

70 30

0,039*

Jenis Kelamin Laki-laki

Perempuan

12 18

40 60

15 15

50 50

0,440

* Nyata pada taraf kepercayaan 95% Jarak dan Urutan Kelahiran

Salah satu faktor yang mempengaruhi pemberian ASI adalah adanya

kehamilan ibu. Jumlah dan jarak kelahiran antar anak yang terlalu dekat

mengakibatkan berkurangnya kesempatan ibu menyusui bayi untuk waktu yang lebih

lama. Kehamilan juga mengakibatkan berkurangnya jumlah ASI yang diproduksi

bahkan mungkin terhenti sama sekali (Sajogyo et al., 1994). Sebaran contoh menurut

jarak kelahiran dan urutan anak secara rinci dapat dilihat pada Tabel 15.

Pada kelompok ibu tidak bekerja sebesar 36,7% contoh memiliki jarak

kelahiran ≥2 tahun dari anak sebelumnya dan hanya 10% contoh berjarak <2 tahun.

Sebesar 53,3% contoh dari kelompok ibu tidak bekerja merupakan anak pertama,

sebesar 40% contoh merupakan anak ke-2 atau ke-3 .

Page 48: pemberian susu formula.pdf

34

Pada kelompok ibu bekerja jarak kelahiran 66,7% contoh adalah ≥2 tahun.

Sebesar 23,3% contoh merupakan anak pertama, dan sebesar 73,3% contoh

merupakan anak ke-2 atau ke-3. Uji statistik menyimpulkan bahwa jarak kelahiran

dan urutan anak baduta contoh berbeda antara kelompok ibu tidak bekerja dengan

kelompok ibu bekerja (p<0,05). Jumlah contoh kelompok ibu tidak bekerja yang

merupakan anak pertama lebih banyak daripada contoh kelompok ibu bekerja.

Tabel 15. Sebaran Contoh menurut Jarak Kelahiran dan Urutan Anak

Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Karakteristik Contoh n % n % p

Jarak kelahiran < 2 th ≥ 2 th anak pertama

3

10 16

10

36,7 53,3

3

20 7

10

66,7 23,3

0,045*

Urutan anak Anak pertama Anak ke-2 atau ke-3 Anak ke-4 dst

16 12 2

53,3 40 6,7

7

22 1

23,3 73,3 3,3

0,044*

* Nyata pada taraf kepercayaan 95%

Menurut Hurlock (2000), anak yang lahir pertama cenderung lebih

diperhatikan oleh orangtua dibandingkan anak yang lahir kemudian. Hal ini diduga

dapat mempengaruhi pola pemberian makanan yang dilakukan oleh ibu kepada anak.

Menurut Sukarni (1989), jika jarak anak pertama dengan yang kedua kurang dari dua

tahun, perhatian dan waktu ibu terhadap pengasuhan kepada anak yang pertama akan

berkurang setelah kedatangan anak berikutnya, padahal anak pertama tersebut masih

memerlukan perawatan khusus.

Riwayat Kelahiran

Riwayat kelahiran terutama jika melahirkan melalui operasi dapat

menyebabkan tertundanya pemberian ASI. Hal ini menurut Welford (2001) karena

adanya luka jahitan sehingga perut terasa perih, serta lebih lemas jika dibandingkan

dengan melahirkan secara normal. Berdasarkan Tabel 16 riwayat kelahiran contoh

pada kedua kelompok sebagian besar secara normal yaitu 73,3% pada ibu tidak

bekerja dan 63,3% pada ibu bekerja. Terdapat sebesar 23,3% contoh dari ibu tidak

Page 49: pemberian susu formula.pdf

35

bekerja dan 33,3% contoh dari ibu bekerja yang dilahirkan melalui operasi. Hasil uji

beda Mann Whitney menyimpulkan tidak terdapat perbedaan jenis persalinan baduta

contoh dari kedua kelompok.

Menurut Fikawati dan Safiq (2003), penolong kelahiran sangat berperan

dalam menentukan keberhasilan menyusui. Jika penolong kelahiran segera

memberikan bayi kepada ibu maka interaksi ibu dan anak akan segera terjadi, dengan

demikian ibu akan percaya diri untuk segera menyusui dan tidak perlu memberi

minuman/makanan pralaktal. Penolong kelahiran bayi pada kedua kelompok

umumnya adalah bidan atau dokter dan hanya sebagian kecil yang melahirkan dengan

bantuan paraji (Tabel 16). Hasil uji beda Mann Whitney menyimpulkan tidak terdapat

perbedaan penolong kelahiran dan tempat kelahiran baduta contoh dari kedua

kelompok.

Tabel 16. Sebaran Contoh menurut Riwayat Kelahiran

Ibu Tidak Bekerja (n=30)

Ibu Bekerja (n=30) Riwayat Kelahiran Contoh

n % n % p

Jenis persalinan Dioperasi/cesar Divakum Normal/Spontan

7 1

22

23,3 3,3

73,3

10 1

19

33,3 3,3

63,3

0,397

Penolong persalinan Keluarga/orang biasa lainnya Dukun bayi/paraji Bidan/dokter

- 3

27

-

10 90

- 3

27

-

10 90

1,000

Tempat anak dilahirkan Rumah sendiri Klinik bersalin/bidan/puskesmas Rumah sakit

3

14 13

10

46,7 43,3

4

11 15

13,3 36,7 50

0,763

Sumber Informasi Gizi dan Kesehatan

Akses informasi yang dipaparkan dalam penelitian ini adalah jumlah sumber

informasi gizi dan kesehatan anak yang diperoleh melalui media massa, tenaga

kesehatan (dokter atau bidan), keluarga, teman (tetangga, rekan kerja), dan kader

posyandu. Engel, Manon dan Hadad (1997) menyatakan bahwa perolehan informasi

Page 50: pemberian susu formula.pdf

36

bisa didapat dari membaca surat kabar, mendengarkan radio, menonton televisi, dan

kemudian memahami informasi tersebut.

Pada Tabel 17 akses informasi ibu tentang gizi dan kesehatan anak memiliki

proporsi terbesar pada kategori sedang (50% responden ibu tidak bekerja dan 58,3%

responden ibu bekerja). Masih terdapat responden yang berada di kategori kurang, hal

ini diduga karena ibu menerima informasi hanya dari sumber yang menurutnya dapat

dipercaya seperti dokter/bidan dan orangtua. Berdasarkan uji beda Mann Whitney,

tidak terdapat perbedaan akses informasi ibu pada kedua kelompok.

Tabel 17. Sebaran Contoh menurut Akses Informasi Ibu

Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Kategori Akses Informasi Ibu n % n % p

Baik (5-6 sumber info) Sedang (3-4 sumber info) Kurang (0-2 sumber info)

8 15 7

26,7 50,0 23,3

7 20 3

25,0 58,3 16,7

0,587

Tabel 18 menunjukkan bahwa sebagian besar responden dari kedua kelompok

memperoleh informasi gizi dan kesehatan anak melalui dokter atau bidan. Sebesar

73,3% responden ibu tidak bekerja dan 83,3% responden ibu bekerja memperoleh

informasi gizi dan kesehatan anak dari keluarga. Hal ini mungkin dikarenakan

sebagian besar responden relatif masih muda dan contoh merupakan anak pertama

atau kedua, sehingga pengalaman dalam mengasuh masih kurang. Bagi para ibu

bekerja, rekan kerja yang lebih tua atau yang dianggap lebih berpengalaman dalam

mengasuh anak juga turut membantu dalam perolehan informasi gizi dan kesehatan

anak.

Media massa juga berperan dalam memperluas wawasan ibu, terutama

televisi, majalah dan tabloid tentang anak dan keluarga. Responden memperoleh

informasi dari majalah atau tabloid anak dan keluarga dengan cara berlangganan,

pinjam atau beli tapi tidak rutin. Responden yang menonton acara televisi mengenai

ibu, anak, dan keluarga masih sedikit, justru iklanlah yang menambah wawasan ibu

terutama iklan susu formula. Sebagian besar responden ibu tidak bekerja mengikuti

Page 51: pemberian susu formula.pdf

37

kegiatan di posyandu secara rutin, berbeda dengan ibu bekerja yang tidak dapat

menghadiri kegiatan posyandu.

Tabel 18. Sebaran Contoh menurut Sumber Informasi Gizi dan Kesehatan Anak

Ibu Tidak Bekerja Ibu Bekerja Sumber Informasi Gizi dan Kesehatan n % n % Dokter / bidan Keluarga (ibu, mertua, saudara) Teman (teman, tetangga, rekan kerja) Media massa (cetak/elektronik) Kader posyandu Seminar/talk show

30 22 16 22 18 -

100 73,3 53,3 73,3 60 -

28 25 24 25 8 5

93,3 83,3 80,0 83,3 26,7 16,7

Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu

Pengetahuan ibu tentang pemberian makanan pada anak baduta merupakan

salah satu faktor yang mempengaruhi seorang ibu dalam praktek pemberian ASI, susu

formula dan MPASI yang benar. Ketidaktahuan dan ketidakpahaman tentang gizi

merupakan salah satu alasan tidak terpenuhinya kebutuhan gizi anak. Sebaran contoh

menurut tingkat pengetahuan gizi ibu dapat dilihat pada Tabel 19.

Sebanyak 53,3% responden ibu tidak bekerja dan 76,7% responden ibu

bekerja mempunyai tingkat pengetahuan gizi yang baik. Meskipun demikian terdapat

6,7% ibu dari kelompok ibu tidak bekerja yang berada pada kategori kurang.

Pertanyaan yang dijawab salah oleh responden adalah pengertian ASI eksklusif, usia

anak diperkenalkan MPASI, usia anak diberikan makanan seperti orang dewasa,

frekuensi pemberian ASI, waktu pemberian ASI setelah melahirkan, dan manfaat

kolostrum. Hasil analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan

bahwa terdapat perbedaan tingkat pengetahuan gizi ibu antara kelompok ibu tidak

bekerja dengan kelompok ibu bekerja (p<0,05). Jumlah ibu bekerja yang berada pada

kategori baik lebih banyak daripada ibu tidak bekerja.

Menurut Madanijah (2003), pengetahuan ibu selain dipengaruhi oleh

pendidikan ibu, pendidikan ayah, dan pendapatan keluarga, juga dipengaruhi oleh

akses terhadap informasi. Semakin tinggi pendidikan ibu akan meningkatkan

wawasan ibu termasuk tentang gizi dan kesehatan anak. Umumnya, ibu dan ayah

Page 52: pemberian susu formula.pdf

38

yang berpendidikan tinggi memungkinkan memperoleh pendapatan yang tinggi,

sehingga memperbanyak jumlah media yang dibaca atau didengar dan frekuensi yang

lebih sering yang pada akhirnya akan meningkatkan wawasan dan pengetahuan ibu.

Tabel 19. Sebaran Contoh menurut Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu

Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu n % n % p

Baik Sedang Kurang

16 12 2

53,3 40 6,7

23 7 -

76,7 23,3

- 0,047*

* Nyata pada taraf kepercayaan 95%

Pola Pemberian ASI

Pola pemberian ASI adalah praktek-praktek pemberian ASI yang diterapkan

oleh ibu kepada anak yang berkaitan dengan cara dan situasi pemberian ASI. Pola

pemberian ASI yang diteliti meliputi pemberian minuman pralaktal, pemberian

kolostrum, waktu pemberian ASI pertama, cara menyusui serta praktek menyusui saat

ini.

Pemberian Minuman Pralaktal

Kebiasaan memberi minuman pralaktal pada bayi baru lahir merupakan

kebiasaan salah karena tidak mendorong ibu untuk memproduksi ASI. Menurut

Azwar (2003), kebiasaan ini merupakan pemicu kurang berhasilnya pemberian ASI

eksklusif.

Tabel 20 menunjukkan sebanyak 76,7% contoh pada kelompok ibu tidak

bekerja dan 50% contoh pada ibu bekerja mendapat minuman pralaktal setelah

dilahirkan. Uji beda t menunjukkan terdapat perbedaan praktek pemberian minuman

pralaktal antara kedua kelompok (p<0,05). Jumlah contoh kelompok ibu tidak bekerja

yang mendapatkan minuman pralaktal lebih banyak daripada contoh kelompok ibu

bekerja.

Penyebab terbanyak pemberian minuman pralaktal ini adalah diberikan oleh

tenaga kesehatan yang menolong kelahiran contoh dan biasanya ibu mendapat paket

susu formula dari tenaga kesehatan. Pemberian susu formula sebagai minuman

Page 53: pemberian susu formula.pdf

39

pralaktal dapat dimengerti jika proses persalinan dengan cara operasi karena ibu

masih merasa sakit dan belum bisa bangun dari tempat tidur (Welford, 2001). Akan

tetapi jika proses persalinan secara normal maka pemberian susu formula sebagai

minuman pralaktal telah melanggar Kepmenkes No.237/Menkes/SK/IV/1997 tentang

aturan pemasaran susu formula.

Tabel 20. Sebaran Contoh menurut Pemberian Minuman Pralaktal

Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Pemberian minuman pralaktal n % n % Diberikan Tidak diberikan

23 7

76,7 23,3

15 15

50 50

Nilai p 0,0032* Jenis Minuman Pralaktal - Susu formula - Madu - Pisang - Air putih

20 1 1 1

87,1 4,3 4,3 4,3

15 - - -

100

- - -

Alasan pemberian - Diberikan oleh tenaga kesehatan - Ibu khawatir bayi kurang minum - Ibu belum pulih dari persalinan - Mengikuti saran orangtua/paraji

18 2 1 2

78,3 8,7 4,3 8,7

13 - 2 -

86,7

- 13,3

- * Nyata pada taraf kepercayaan 95%

Menurut Roesli (2001) pemberian minuman pralaktal dengan anjuran

bidan/dokter adalah hal yang sering ditemukan dan menjadi kebiasaan di sebagian

besar rumah sakit. Petugas kesehatan biasanya takut bayi kekurangan cairan dalam

beberapa hari setelah lahir karena ASI dianggap masih sedikit. Justru sebaliknya,

pemberian makanan pralaktal akan membuat bayi tidak mau mengisap dari payudara

ibunya karena bayi sudah kenyang.

Menurut Fikawati dan Safiq (2003), faktor luar misalnya nasihat dari tenaga

kesehatan, orangtua, mertua dan tetangga memiliki pengaruh yang kuat dalam

pemberian makanan pralaktal. Sebesar 8,7% contoh pada kelompok ibu tidak bekerja

mendapat madu setelah dilahirkan. Pemberian ini dianjurkan oleh orangtua responden

dan paraji.

Page 54: pemberian susu formula.pdf

40

Pemberian Kolostrum

Manfaat kolostrum bagi kekebalan tubuh bayi memang tidak diragukan lagi,

tetapi sosialisasi di masyarakat masih belum optimal. Meskipun sebagian besar

responden memberikan kolostrum kepada contoh, masih ada 10% contoh dari ibu

tidak bekerja dan 20% contoh dari ibu bekerja yang tidak diberikan kolostrum (Tabel

21). Responden yang tidak memberikan kolostrum beralasan karena cairan kolostrum

dapat menyebabkan penyakit bagi bayi, ada pula yang memberikan kolostrum ke

wajah bayi agar bayi terhindar dari koreng, dan kolostrum sengaja dibuang untuk

membersihkan ASI agar ASI tidak basi.

Responden yang memberikan kolostrum pun tidak semuanya benar-benar

mengetahui manfaat kolostrum. Sebesar 74,1% responden ibu tidak bekerja dan

83,3% responden bekerja memberikan kolostrum untuk kekebalan tubuh contoh.

Namun ada 25,9% responden ibu tidak bekerja yang memberikan kolostrum karena

mengikuti anjuran bidan/dokter, orangtua, dan maraji dan 16,7% responden ibu

bekerja yang memberikan kolostrum karena bagus untuk bayi. Hasil uji beda t

menunjukkan tidak terdapat perbedaan praktek pemberian kolostrum kepada baduta

contoh dari kedua kelompok.

Tabel 21. Sebaran Contoh menurut Pemberian Kolostrum

Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Pemberian Kolostrum n % n % p

Diberikan Tidak diberikan

27 3

90 10

24 6

80 20 0,286

Waktu Pemberian ASI Pertama

Menyusui segera setelah melahirkan dalam waktu kurang dari 30 menit

merupakan salah satu cara untuk mencegah pemberian minuman/makanan pralaktal.

Interaksi segera antara ibu dan bayi berkaitan erat dengan kesuksesan menyusui

berikutnya (Fikawati & Safiq, 2003). Di samping itu menurut Depkes (1996) daya

isap bayi pada saat itu merupakan yang paling kuat untuk merangsang produksi ASI.

Berdasarkan Tabel 22 waktu tercepat contoh mulai disusui oleh ibunya adalah

kurang dari 30 menit (6,7% contoh dari ibu tidak bekerja dan 30% contoh dari ibu

Page 55: pemberian susu formula.pdf

41

bekerja). Waktu terlama adalah lebih dari 24 jam yaitu 36,7% contoh dari ibu tidak

bekerja dan 30% contoh dari ibu bekerja, karena contoh dilahirkan melalui operasi

atau ASI baru keluar setelah satu hari pasca kelahiran. Sebagian besar contoh pada

kedua kelompok, disusui pertama kali pada waktu 1-24 jam setelah dilahirkan. Hasil

uji beda t menunjukkan waktu pemberian ASI pertama kepada baduta contoh tidak

berbeda antara kedua kelompok.

Tabel 22. Sebaran Contoh menurut Waktu Pemberian ASI

Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Waktu Pemberian ASI n % n % p

≤ 30 menit 1 jam 1-24 jam > 24 jam

2 6 11 11

6,7 20,0 36,7 36,7

9 1 11 9

30,0 3,3 36,7 30,0

0,194

Cara Menyusui

Cara menyusui yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi penggunaan

kedua payudara, frekuensi dan lama menyusui. Pada Tabel 23 dapat diketahui bahwa

70% contoh pada ibu tidak bekerja dan 83,3% contoh pada ibu bekerja disusui

dengan kedua payudara secara bergantian. Uji beda t menunjukkan bahwa cara

contoh disusui tidak berbeda antara kedua kelompok. Menurut Roesli (2001) bahwa

anak sebaiknya disusui dengan kedua payudara karena payudara yang “dilupakan”

bisa berhenti menghasilkan ASI, dan menimbulkan pembengkakan payudara.

Sedangkan responden yang menyusui hanya dengan satu payudara beralasan bahwa

ada bisul di salah satu puting, puting tidak keluar, ASI sedikit, responden lebih suka

menyusui pada satu posisi saja, dan contoh hanya mau disusui pada satu payudara.

Tabel 23. Sebaran Contoh menurut Cara Pemberian ASI

Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Penggunaan kedua payudara n % n % p

Keduanya digunakan Hanya sebelah

21 9

70 30

25 5

83,3 16,7

0,229

Page 56: pemberian susu formula.pdf

42

Tabel 24 menunjukkan bahwa 63,3% contoh pada kelompok ibu tidak bekerja

dan 56,7% contoh pada kelompok ibu bekerja sudah tidak mendapatkan ASI lagi.

Padahal menurut Krisnatuti dan Yenrina (2002), ASI tetap harus diberikan kepada

anak paling tidak sampai usia 24 bulan walaupun anak telah menerima makanan

pendamping ASI. Alasan yang dikemukakan oleh responden bermacam-macam di

antaranya ibu sudah hamil lagi, anak bingung puting sehingga lebih memilih susu

formula, ibu bekerja, ASI sudah tidak keluar, ibu sakit dan menjalani operasi

sehingga ASI dihentikan. Hasil uji beda t menunjukkan bahwa tidak terdapat

perbedaan praktek pemberian ASI saat ini oleh ibu di kedua kelompok kepada baduta

contoh.

Tabel 24. Sebaran Contoh menurut Pemberian ASI Saat Ini

Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Pemberian ASI saat ini n % n % p

Masih diberikan Tidak diberikan

11 19

36,7 63,3

13 17

43,3 56,7 0,605

Dari 36,7% responden ibu tidak bekerja dan 43,3% responden ibu bekerja

yang masih memberikan ASI sampai saat penelitian, frekuensi pemberian ASI sehari

sebagian besar responden di kedua kelompok adalah kurang dari 8 kali per hari

(Tabel 25). Hal ini disebabkan karena anak mendapat susu formula dan MPASI

sehingga ASI sudah bukan menjadi makanan utama. Proporsi terbanyak lama setiap

kali menyusui pada responden ibu tidak bekerja adalah lebih dari 30 menit (45,5%),

sedangkan pada responden ibu bekerja memiliki proporsi yang sama (38,5%) pada

waktu kurang dari 15 menit dan lebih dari 30 menit. Bagi responden yang bekerja,

kesempatan menyusui ketika pulang dari kerja yaitu malam hari sampai esok pagi

sebelum berangkat kerja. Biasanya responden baik yang bekarja maupun yang tidak

waktu menyusui paling lama adalah ketika menyusui pada saat anak akan tidur

malam sampai anak terlelap.

Sebesar 63,3% responden ibu tidak bekerja yang sudah tidak memberikan ASI

lagi mempunyai riwayat menyusui dengan frekuensi dalam sehari adalah lebih dari 8

kali (68,4%) dan proporsi lama pemberian ASI terbanyak adalah 15-30 menit

Page 57: pemberian susu formula.pdf

43

(42,1%). Sebesar 56,7% responden ibu bekerja mempunyai riwayat menyusui dengan

frekuensi kurang dari 8 kali sehari (58,8%) dan proporsi lama pemberian ASI

terbanyak 15 menit sampai lebih dari 30 menit (35,3%)

Tabel 25. Sebaran Contoh menurut Lama dan Frekuensi Menyusui

Ibu Tidak Bekerja (n=11) Ibu Bekerja (n=13) Pemberian ASI n % n % Lama menyusui sekarang <15 menit 15-30 menit >30 menit

2 4 5

18,2 36,4 45,4

5 3 5

38,5 23,0 38,5

Frekuensi menyusui sekarang <8 kali/hari ≥8 kali/hari

6 5

54,5 45,5

10 3

76,9 23,1

Tabel 26 menunjukkan bahwa sebanyak 50% responden ibu tidak bekerja dan

60% responden ibu bekerja pernah menggunakan pompa payudara. Pompa ini

digunakan oleh responden untuk memasukkan ASI ke dalam botol, merangsang ASI

untuk keluar karena ASI sedikit, membuang ASI karena payudara ibu terasa

penuh/bengkak, ada pula yang disebabkan karena puting ibu terluka.

Tabel 26. Sebaran Contoh menurut Penggunaan Pompa Payudara

Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Penggunaan pompa payudara n % n % Pernah Tidak pernah

15 15

50 50

18 12

60 40

Tabel 27 menggambarkan praktek pemberian ASI saat contoh sedang sakit

dan jika menolak diberikan ASI. Sebesar 96,7% contoh di kedua kelompok tetap

diberikan ASI ketika contoh sedang sakit. Sebanyak 46,7% responden ibu tidak

bekerja dan 33,3% responden ibu bekerja menyatakan memberikan susu formula jika

contoh menolak diberikan ASI. Seharusnya ibu tetap memberikan ASI di lain waktu

karena ASI merupakan makanan terbaik bagi anak daripada susu formula. Uji beda t

menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pada kedua kelompok mengenai

praktek pemberian ASI ketika baduta contoh sedang sakit dan ketika menolak

diberikan ASI.

Page 58: pemberian susu formula.pdf

44

Tabel 27. Sebaran Contoh menurut Pemberian ASI saat Anak Sakit

Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Pemberian ASI n % n % p

Jika anak sakit - Tetap diberi ASI - Tidak diberi ASI

29 1

96,7 3,3

29 1

96,7 3,3

1,000

Jika anak menolak ASI - Tetap diberi ASI - Diberikan susu formula

16 14

53,3 46,7

20 10

66,7 33,3

0,300

Berdasarkan Tabel 28, pola pemberian ASI 33,3% responden tidak bekerja

dan 63,3% responden bekerja termasuk kategori baik. Hasil uji beda Mann Whitney

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pola pemberian ASI antara kelompok ibu

tidak bekerja dengan kelompok ibu bekerja (p<0,05). Hal ini diduga karena tingkat

pengetahuan gizi ibu juga berbeda.

Tabel 28. Sebaran Contoh menurut Kategori Pola Pemberian ASI

Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Kategori Pola Pemberian ASI n % n % p

Baik (skor 22-28) Sedang (skor 15-21) Kurang (skor 7-14)

10 19 1

33,3 63,3 3,3

19 9 2

63,3 30,0 6,7

0,044*

* Nyata pada taraf kepercayaan 95%

Pola pemberian ASI yang baik adalah apabila ibu memberikan ASI pertama

segera setelah melahirkan sehingga mencegah pemberian minuman pralaktal, ibu

memberikan kolostrum, menyusui dengan kedua payudara, dan anak masih

mendapatkan ASI sampai berusia 24 bulan. Pola pemberian ASI pada kategori sedang

dan kurang berarti tidak memenuhi salah satu atau lebih dari indikator di atas.

Pola Pemberian Susu Formula

Pola pemberian susu formula adalah pemberian susu formula yang dilakukan

oleh ibu kepada anak, meliputi usia contoh saat diberikan susu formula, alasan

pemberian susu formula, sumber informasi tentang susu formula, frekuensi

pemberian susu formula, penggunaan sendok takar dan ketepatan takaran, cara

membersihkan botol susu dan pemberian air susu formula yang bersisa. Menurut

Page 59: pemberian susu formula.pdf

45

Winarno (1995), ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemberian

susu formula yaitu : peralatan makanan yang digunakan, cara pembersihan alat, serta

cara pemberian susu formula.

Waktu Pemberian Susu Formula Pertama

Berdasarkan Tabel 29 sebanyak 36,7% contoh dari ibu tidak bekerja dan 40%

contoh dari ibu bekerja diberikan susu formula saat contoh berumur kurang dari 1

bulan. Susu formula dapat diberikan kepada bayi, setelah berumur sekurang-

kurangnya 4 bulan atau apabila memungkinkan 6 bulan (Krisnatuti & Yenrina, 2002).

Pemberian susu formula sejak dini merupakan penyebab kegagalan pemberian ASI

eksklusif. Hasil uji beda t menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan waktu pemberian

susu formula antara kedua kelompok.

Tabel 29. Sebaran Contoh menurut Waktu Pemberian Susu Formula Pertama

Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Usia anak diberi susu formula pertama n % n % p

<1 bulan 1-3 bulan 4-6 bulan >6 bulan

11 2 8 9

36,7 6,7 26,6 30,0

12 10 4 4

40,0 33,4 13,3 13,3

0,104

Alasan Pemberian Susu Formula

Alasan responden ibu tidak bekerja memberikan susu formula adalah agar

anak sehat, pintar dan bertambah berat badannya (23,3%), ASI sedikit/kurang

sehingga anak masih lapar (16,7%), anak menolak ASI (13,3%), dan ibu sakit (6,7%).

Sedangkan responden ibu bekerja beralasan karena ibu bekerja (50%), ASI

sedikit/kurang sehingga anak masih lapar (20%), membiasakan anak minum susu jika

ibu mulai bekerja (10%), anak bingung puting dan rewel (6,7%), ibu sakit (3,3%), ibu

hamil lagi (3,3%).

Pemberian susu formula kepada bayi hanya diperbolehkan apabila ibu tidak

bisa memberikan ASI karena keadaan tertentu yaitu ibu meninggal, ibu sakit keras

atau indikasi medis (Depkes, 1985); ibu menderita infeksi, luka puting (mastitis), ibu

mengalami gangguan jiwa atau epilepsi (Sulistijani & Herlianty, 2003).

Page 60: pemberian susu formula.pdf

46

Sumber Informasi Susu Formula

Tabel 30 menerangkan bahwa sumber informasi yang paling banyak

mendorong responden untuk menggunakan jenis susu formula tertentu adalah dari

keluarga (56,7% responden tidak bekerja dan 53,3% responden bekerja). Selain itu

kemasan produk susu formula turut mempengaruhi responden dalam menggunakan

susu formula. Bagi ibu bekerja, rekan kerja turut membantu dalam memilih jenis susu

formula. Dari penelusuran informasi lebih lanjut, sebagian besar responden yang

melahirkan di tempat pelayanan kesehatan mengatakan bahwa mereka mendapatkan

bingkisan susu formula bayi dari pihak yang membantu persalinan tersebut.

Responden merasa sayang jika susu formula tersebut tidak diberikan kepada contoh.

Tabel 30. Sebaran Contoh menurut Sumber Informasi Susu Formula

Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Sumber info susu formula n % n % Keluarga Dokter/bidan Teman/rekan kerja Media massa

17 8 - 5

56,7 26,7

- 16,6

16 8 3 3

53,3 26,7 10 10

Frekuensi Pemberian Susu Formula

Frekuensi pemberian susu formula saat ini pada kedua kelompok contoh

adalah kurang dari 8 kali per hari (73,3%) dan lebih dari 8 kali sehari (26,7%).

Padahal menurut informasi aturan penyajian susu formula yang tertera di kemasan,

susu formula hanya diberikan sebanyak 2-3 atau 3-4 kali per hari. Berdasarkan

perbandingan praktek pemberian dengan aturan di kemasan susu formula, sebesar

63,3% responden ibu tidak bekerja dan 66,7% responden ibu bekerja tidak tepat

dalam frekuensi pemberian susu formula kepada contoh. Menurut Depkes RI (1994)

bila pemberian berlebihan maka akan menyebabkan obesitas serta beban kerja ginjal

dan pencernaan. Hasil uji beda t menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan ketepatan

frekuensi pemberian susu formula antara kedua kelompok.

Page 61: pemberian susu formula.pdf

47

Tabel 31. Sebaran Contoh menurut Ketepatan Frekuensi Pemberian Susu Formula

Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Ketepatan Frekuensi pemberian susu formula n % n % p

Tepat (2-4x perhari) Tidak Tepat (>4x perhari)

11 19

36,7 63,3

10 20

33,3 66,7 1,000

Cara Penyajian Susu Formula

Dalam pembuatan susu fomula sebaiknya menggunakan sendok takar yang

tersedia di dalam kemasan untuk menghindari pemberian bubuk susu berlebih atau

malah kurang. Tabel 32 menjelaskan bahwa sebanyak 73,3% responden ibu tidak

bekerja dan 100% responden ibu bekerja menggunakan sendok takar. Hasil uji beda t

menunjukkan bahwa ada perbedaan penggunaan sendok takar susu formula antara

kedua kelompok (p<0,01). Jumlah responden ibu bekerja yang menggunakan sendok

takar lebih banyak daripada responden ibu tidak bekerja.

Tabel 32. Sebaran Contoh menurut Penggunaan Sendok Takar

Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Penggunaan sendok takar n % n % p

Ya Tidak

22 8

73,3 26,7

30 -

100 -

0,002**

** Nyata pada taraf kepercayaan 99%

Responden yang tidak menggunakan sedok takar dikarenakan tidak terdapat

sendok takar di dalam kemasan susu formula sehingga mereka menggunakan sendok

teh atau sendok makan sebagai pengganti sendok takar. Dari penelusuran informasi

lebih lanjut ada responden yang menggunakan sendok takar dari merek susu

sebelumnya. Dari 14 merek susu formula yang digunakan responden, hanya 4 merek

yang tidak menyertakan sendok takar di dalam kemasannya.

Selain frekuensi pemberian, ketepatan dalam menakar banyaknya bubuk susu

dan volume air yang diberikan responden juga penting untuk diteliti. Dari Tabel 33

dapat diketahui bahwa 66,7% responden ibu tidak bekerja dan 63,3% responden ibu

bekerja tidak mengikuti aturan penyajian di kemasan produk susu secara tepat

sehingga mengencerkan dengan tidak tepat. Sebesar 56,7% responden ibu tidak

bekerja dan 53,4% responden ibu bekerja memberikan takaran bubuk susu sebanyak

Page 62: pemberian susu formula.pdf

48

≥4 sendok. Hasil uji beda t menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan ketepatan

pengenceran susu formula antara kedua kelompok.

Pemberian susu formula jika terlalu kental dapat menimbulkan diare, tetapi

jika terlalu encer kurang mengandung zat gizi yang diperlukan. Oleh karena itu dalam

pemberian susu formula sebaiknya mengikuti aturan takaran yang ada pada kemasan,

agar dapat mencampur susu dalam takaran yang tepat (Arisman, 2002). Menurut

Krisnatuti dan Yenrina (2002), untuk memilih produk susu formula harus

diperhatikan beberapa hal, antara lain kandungan zat gizi, komponen-komponen yang

terkandung di dalamnya, metode pengolahan yang tertera dalam label, dan

diperhatikan pula masa kadaluwarsanya sehingga aman untuk dikonsumsi oleh bayi.

Tabel 33. Sebaran Contoh menurut Ketepatan Pengenceran

Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Ketepatan Pengenceran n % n % p

Tepat Tidak tepat

10 20

33,3 66,7

11 19

36,7 63,3 0,791

Cara Membersihkan Alat

Salah satu hal yang penting diperhatikan dalam memberikan susu formula

adalah cara membersihkan botol susu karena botol dan dot susu mudah

terkontaminasi kuman. Tabel 34 menjelaskan bahwa sebanyak 80% responden tidak

bekerja dan 83,3% responden bekerja merebus botol dan dot susu walaupun tidak

setiap kali memberikan susu. Hal ini disebabkan jumlah botol yang dimiliki tidak

banyak sehingga setelah dicuci hanya dikocok-kocok dengan air panas atau direndam

air panas. Hasil uji beda t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan praktek

perebusan botol susu pada kedua kelompok.

Tabel 34. Sebaran Contoh menurut Cara Membersihkan Botol Susu

Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Merebus botol n % n % p

Direbus Tidak

24 6

80 20

25 5

83,3 16,7 0,744

Page 63: pemberian susu formula.pdf

49

Menurut Muchtadi (2002), semua alat makan/minum sebaiknya segera dicuci

setelah digunakan, menggunakan air dingin dan sabun atau deterjen dengan memakai

sikat botol. Setelah itu disterilisasi dengan air mendidih selama 5-10 menit, tiriskan

dan keringkan. Kemudian disimpan dalam keadaan tertutup sampai saatnya

digunakan. Proses sterilisasi ini dilakukan sedikitnya satu atau dua kali sehari.

Apabila sterilisasi ini tidak mungkin dilakukan, alat makan/minum dapat dicuci

menggunakan air panas lalu dibilas dengan air matang yang telah dingin atau larutan

garam. Setelah ditiriskan dan dikeringkan, peralatan ditaruh dalam keadaan tertutup.

Tetapi tetap usahakan untuk melakukan pendidihan minimal sekali dalam sehari.

Peran serta ayah dalam memberikan susu formula turut meringankan beban

ibu dan mempererat ikatan emosional dengan anak. Sebanyak 96,7% ayah pada ibu

tidka bekerja dan 86,7% ayah pada ibu bekerja terbiasa membuatkan susu

formula/susu botol pada contoh. Pemberian susu oleh ayah ini biasanya dilakukan

pada malam hari saat anak merasa haus.

Pemberian Sisa Air Susu Formula

Terkadang anak tidak segera menghabiskan susu formula. Responden yang

memberikan sisa air susu formula sebanyak 53,3% ibu tidak bekerja dan 43,3%

responden bekerja (Tabel 35). Mereka memberikan sisa air susu dengan tenggang

waktu yang menurut responden masih bisa diberikan yaitu jika masih kurang dari 2-3

jam. Hasil uji beda t menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pemberian sisa air susu

formula antara kedua kelompok.

Menurut Muchtadi (2002), air susu formula yang tersisa hanya dapat tahan

selama 1-2 jam dalam keadaan tertutup pada suhu ruang, kecuali bila disimpan dalam

lemari es. Sedangkan menurut Arisman (2002) sisa air susu yang tidak disimpan di

dalam lemari es seharusnya tidak digunakan lagi (bila disimpan di lemari es masih

bisa digunakan paling lama 4 jam). Responden yang langsung membuang sisa air

susu khawatir jika sisa air diberikan dapat menyebabkan anak sakit karena susu sudah

basi atau sudah tidak bagus lagi untuk diminum, ada pula yang beralasan karena anak

yang sudah tidak mau lagi karena susu sudah dingin.

Page 64: pemberian susu formula.pdf

50

Tabel 35. Sebaran Contoh menurut Pemberian Sisa Air Susu Formula

Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Pemberian sisa air susu formula n % n % p

Diberikan Tidak diberikan

16 14

53,3 46,7

13 17

43,3 56,7 0,087

Tabel 36 menyajikan kategori pola pemberian susu formula. Sebagian besar

responden (60% responden tidak bekerja dan 56,7% responden bekerja) termasuk

kategori sedang dan tidak ada responden yang masuk dalam kategori kurang. Hasil uji

beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pola pemberian susu

formula pada kedua kelompok.

Tabel 36. Sebaran Contoh menurut Kategori Pola Pemberian Susu Formula

Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Kategori Pola Pemberian Susu Formula n % n % p

Baik (skor 19-24) Sedang (skor 13-18) Kurang (skor 6-12)

12 18 -

40 60 -

13 17 -

43,3 56,7

- 0,795

Pola pemberian susu formula yang baik adalah apabila susu formula diberikan

saat usia anak di atas 6 bulan, mengikuti aturan penyajian baik frekuensi maupun cara

pengenceran sesuai dengan yang ada di kemasan, merebus botol dan dot susu, dan

tidak memberikan sisa air susu setelah 3 jam. Pola pemberian ASI pada kategori

sedang dan kurang berarti tidak memenuhi salah satu atau lebih dari indikator di atas.

Pola Pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI)

Pola pemberian MPASI adalah praktek pemberian MPASI yang diterapkan

responden kepada contoh yang berkaitan dengan cara dan situasi pemberian MPASI.

Pola pemberian MPASI yang diteliti meliputi waktu pemberian MPASI pertama dan

jenis MPASI pertama.

Waktu Pemberian MPASI Pertama

Berdasarkan Tabel 37 diketahui sebanyak 80% contoh kelompok ibu tidak

bekerja dan 83,3% contoh kelompok ibu bekerja sudah diberikan MP-ASI sejak

Page 65: pemberian susu formula.pdf

51

berumur kurang dari 6 bulan. Uji beda t menunjukkan tidak ada perbedaan umur

contoh pada pemberian MPASI pertama pada kelompok ibu tidak bekerja dengan

kelompok ibu bekerja.

Orang yang berperan dalam pemberian MP-ASI lebih dini umumnya (36%)

adalah tenaga kesehatan (bidan/dokter). Sedangkan sisanya karena pengaruh media

massa dan membaca informasi pada kemasan produk MPASI (24%), mengikuti saran

orangtua (20%), membaca dari buku dan Kartu Menuju Sehat (KMS) (20%). Menurut

Masoara (2001) hal tersebut terjadi karena adanya kekhawatiran ibu dalam beberapa

hari setelah melahirkan merasa ASI tidak mencukupi sehingga mereka memberikan

MP-ASI lebih dini. Sebaran sampel berdasarkan umur bayi mulai diberi MP-ASI

dapat dilihat pada Tabel 37.

Tabel 37. Sebaran Contoh menurut Umur Pemberian MPASI Pertama

Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Umur anak diberi MPASI n % n % p

<6 bulan ≥6 bulan

24 6

80 20

25 5

83,3 16,7 0,785

Alasan pemberian MP-ASI lebih cepat karena menurut responden sudah

waktunya MPASI diberikan (51%). Alasan yang lainnya adalah : anak menangis terus

karena lapar (32,6%), untuk memperkenalkan/membiasakan anak untuk makan

(14,3%), dan agar berat badan anak meningkat (2%). Berbagai alasan ini

menunjukkan ketidaktahuan ibu tentang pemberian makanan yang tepat kepada bayi.

Pemberian MPASI yang terlalu dini (<6 bulan) akan berdampak pada

terganggunya sistem metabolisme atau pencernaan karena bayi belum siap mencerna

makanan selain ASI dan asupan gizi yang diberikan tidak sesuai dengan

kebutuhannya. Sebaliknya, penundaan pemberian makanan dapat menghambat

pertumbuhan jika energi dan zat gizi yang dihasilkan oleh ASI tidak mencukupi lagi

kebutuhannya (Pudjiadi, 2000).

Page 66: pemberian susu formula.pdf

52

Jenis MPASI

Pemberian makanan pendamping harus bertahap dan bervariasi, mulai dari

bentuk bubur cair ke bentuk bubur kental, sari buah, buah segar, makanan lumat,

makanan lembek dan akhirnya makanan padat (Sulistijani & Herlianty, 2003).

Menurut Depkes (2000), makanan bayi berumur 4-6 bulan adalah makanan lumat

halus seperti bubur susu, bubur sumsum, biskuit ditambah air panas, pepaya saring,

pisang saring, dll.

Tabel 38 menunjukkan bahwa MP-ASI yang banyak diberikan adalah bubur

bayi komersial dan biskuit bayi (46,7% contoh kelompok ibu tidak bekerja dan 40%

contoh kelompok ibu bekerja). Jenis makanan ini diberikan kepada bayi mungkin

karena pembuatannya praktis dan bisa cepat diberikan. Selain itu promosi bubur bayi

dan biskuit bayi komersial sangat gencar di masyarakat.

Tabel 38. Sebaran Contoh menurut Jenis MPASI Pertama

Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Jenis MPASI pertama n % n % Bubur bayi komersial Biskuit bayi komersial Pisang dilumatkan Sari buah Bubur nasi saring

14 10 5 1 -

46,7 33,3 16,7 3,3 -

12 10 5 1 2

40 33,4 16,6 3,3 6,7

Tabel 39 menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan jenis MPASI pertama

pada kedua kelompok contoh berdasarkan uji beda Mann Whitney. Walaupun saat ini

makanan bayi komersial banyak dijumpai di pasaran, sebaiknya ibu menyiapkan

sendiri MPASI dengan menggunakan bahan pangan lokal. Menurut Krisnantuti dan

Yenrina (2002), MPASI menggunakan bahan pangan lokal memiliki beberapa

keuntungan yaitu harga yang murah dan mudah didapat, kandungan zat gizi yang

lengkap, serta bentuk dan rasanya lebih bervariasi.

Page 67: pemberian susu formula.pdf

53

Tabel 39. Sebaran Contoh menurut Kategori Jenis MPASI Pertama

Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Kategori Jenis MPASI pertama n % n % p

Instan/komersial Alami/buatan sendiri

24 6

80,0 20,0

22 8

73,3 26,7 0.545

Tabel 40 menyajikan kategori pola pemberian MPASI. Sebagian besar

responden (56,7% responden tidak bekerja dan 66,7% responden bekerja) termasuk

kategori sedang. Hal ini diduga disebabkan karena sebagian besar responden

memiliki akses informasi gizi dan kesehatan anak yang cukup baik dan tingkat

pengetahuan gizi yang baik. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak

ada perbedaan pola pemberian susu formula pada kedua kelompok.

Tabel 40. Sebaran Contoh menurut Kategori Pola Pemberian MPASI Pertama

Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Kategori Pola Pemberian MPASI n % n %

p

Baik (skor 7-8) Sedang (skor 5-6) Kurang (skor 2-4)

8 17 5

26,7 56,7 16,7

5 20 5

16,7 66,7 16,7

0,522

Kesulitan Makan pada Anak

Pola makanan anak usia 13-23 bulan adalah makanan padat seperti orang

dewasa. Ada kalanya anak sulit makan atau memilih makanan tertentu saja sehingga

ibu khawatir asupan gizi anak berkurang. Sebanyak 56,7% responden tidak bekerja

dan 40% responden bekerja memberikan ASI atau susu formula saat anak sulit

makan. Kelemahan dari pemberian ini adalah anak sudah terlanjur kenyang meminum

susu formula sehingga nafsu makannya berkurang. Padahal kebutuhan zat gizi tidak

bisa dipenuhi hanya dari susu formula. Sebesar 33,3% responden tidak bekerja dan

43,3% responden bekerja memilih memberikan makanan jajanan jika anak susah

makan. Makanan jajanan yang biasanya diberikan adalah biskuit, coklat, bakso, roti,

lontong isi, dan kue.

Page 68: pemberian susu formula.pdf

54

Tabel 41. Sebaran Contoh menurut Praktek Pemberian Makanan Saat Anak Sulit Makan

Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Jika anak susah makan n % n % Dibiarkan Dikasih ASI atau susu Dikasih makanan jajanan Lainnya

1 17 10 2

3,3 56,7 33,3 106,7

2 12 13 3

6,7 40

43,3 10

Konsumsi Pangan Anak Baduta

Konsumsi Energi

Pada kelompok ibu tidak bekerja, rata-rata konsumsi total energi contoh

sebesar 1250,7 kkal/hari. Rata-rata konsumsi energi dari ASI sebesar 98,8 kkal/hari

atau menyumbang 9,8%; dari susu formula sebesar 516,7 kkal/hari, menyumbang

37,5%; dari makanan sebesar 636,2 kkal/hari, menyumbang 52,8%. Rata-rata tingkat

konsumsi energi contoh sebesar 141,9%. Kontribusi energi dari ASI terhadap tingkat

konsumsi adalah 7,9%, susu formula sebesar 41,0% dan makanan sebesar 51,1%.

Pada kelompok ibu bekerja, rata-rata konsumsi total energi contoh sebesar

1358,1 kkal/hari. Rata-rata konsumsi energi dari ASI sebesar 93,9 kkal/hari,

menyumbang 8,4%; dari susu formula sebesar 583,1 kkal/hari, menyumbang 40,2%;

dari makanan sebesar 681,1 kkal/hari, menyumbang 51,4%. Rata-rata tingkat

konsumsi energi contoh sebesar 152,6%. Kontribusi energi dari ASI terhadap tingkat

konsumsi adalah sebesar 7,4%, susu formula sebesar 41,6% dan makanan sebesar

51,0%.

Konsumsi Protein

Pada kelompok ibu tidak bekerja, rata-rata konsumsi total protein contoh

sebesar 44,5 g/hari. Rata-rata konsumsi protein dari ASI sebesar 1,7 g/hari atau

menyumbang 5,9%; dari susu formula sebesar 21,5 g/hari atau menyumbang 45,1%;

dari makanan sebesar 21,3 g/hari atau menyumbang 49,1%. Rata-rata tingkat

konsumsi protein contoh sebesar 202,7%. Kontribusi protein dari ASI terhadap

Page 69: pemberian susu formula.pdf

55

tingkat konsumsi adalah sebesar 3,7%, dari susu formula sebesar 48,0% dan dari

makanan sebesar 48,3%.

Pada kelompok ibu bekerja, rata-rata konsumsi total protein contoh sebesar

47,1 g/hari. Rata-rata konsumsi protein dari ASI sebesar 1,6 g/hari atau menyumbang

5,4%; dari susu formula sebesar 23,3 g/hari atau menyumbang 45,4%; dari makanan

sebesar 22,2 g/hari atau menyumbang 49,2%. Rata-rata tingkat konsumsi protein

contoh sebesar 210,9%. Kontribusi protein dari ASI terhadap tingkat konsumsi

adalah sebesar 3,6%, dari susu formula sebesar 48,4% dan dari makanan sebesar

48,0%.

Konsumsi Vitamin A

Pada kelompok ibu tidak bekerja, rata-rata konsumsi total vitamin A contoh

sebesar 839,3 RE/hari. Rata-rata konsumsi vitamin A dari ASI sebesar 105,4 RE/hari

atau menyumbang 17,3%; dari susu formula sebesar 210,8 RE/hari atau menyumbang

22,5%; dari makanan sebesar 523,2 RE/hari atau menyumbang 60,2%. Rata-rata

tingkat konsumsi vitamin A contoh sebesar 249,8%. Kontribusi vitamin A dari ASI

terhadap tingkat konsumsi adalah sebesar 12,1%, dari susu formula sebesar 23,5%

dan dari makanan sebesar 64,4%.

Pada kelompok ibu bekerja, rata-rata konsumsi total vitamin A contoh sebesar

976,4 RE/hari. Rata-rata konsumsi vitamin A dari ASI sebesar 101,1 RE/hari atau

menyumbang 14,7%; dari susu formula sebesar 251,5 RE/hari atau menyumbang

27,9%; dari makanan sebesar 623,8 RE/hari atau menyumbang 57,4%. Rata-rata

tingkat konsumsi vitamin A contoh sebesar 287,3%. Kontribusi vitamin A dari ASI

terhadap tingkat konsumsi adalah sebesar 10,5%, dari susu formula sebesar 23,2%

dan dari makanan sebesar 64,4%.

Konsumsi Vitamin C

Pada kelompok ibu tidak bekerja, rata-rata konsumsi total vitamin C contoh

sebesar 97,2 mg/hari. Rata-rata konsumsi vitamin C dari ASI sebesar 4,06 mg/hari

atau menyumbang 7,5%; dari susu formula sebesar 57,3 mg/hari atau menyumbang

61,2%; dari makanan sebesar 35,9 mg/hari atau menyumbang 31,3%. Rata-rata

tingkat konsumsi vitamin C contoh sebesar 220,6%. Kontribusi vitamin C dari ASI

Page 70: pemberian susu formula.pdf

56

terhadap tingkat konsumsi adalah sebesar 4,2%, dari susu formula sebesar 59,5% dan

dari makanan sebesar 36,3%.

Pada kelompok ibu bekerja, rata-rata konsumsi total vitamin C contoh sebesar

87,5 mg /hari. Rata-rata konsumsi vitamin C dari ASI sebesar 3,9 mg/hari atau

menyumbang 6,6%; dari susu formula sebesar 65,5 mg/hari atau menyumbang

66,0%; dari makanan sebesar 18,2 mg/hari atau menyumbang 27,4%. Rata-rata

tingkat konsumsi vitamin C contoh sebesar 195,2%. Kontribusi vitamin C dari ASI

terhadap tingkat konsumsi adalah sebesar 4,8%, dari susu formula sebesar 72,6% dan

dari makanan sebesar 22,6%.

Konsumsi Kalsium

Pada kelompok ibu tidak bekerja, rata-rata konsumsi total kalsium contoh

sebesar 888,80 mg/hari. Rata-rata konsumsi kalsium dari ASI sebesar 53,13 mg/hari

atau menyumbang 13,8%; dari susu formula sebesar 626,7 mg/hari atau menyumbang

46,9%; dari makanan sebesar 209,0 mg/hari atau menyumbang 39,3%. Rata-rata

tingkat konsumsi kalsium contoh sebesar 201,4%. Kontribusi kalsium dari ASI

terhadap tingkat konsumsi adalah sebesar 6,0%, dari susu formula sebesar 69,7% dan

dari makanan sebesar 24,3%.

Pada kelompok ibu bekerja, rata-rata konsumsi total kalsium contoh sebesar

929,7 mg /hari. Rata-rata konsumsi kalsium dari ASI sebesar 51,0 mg/hari atau

menyumbang 9,9%; dari susu formula sebesar 742,9 mg/hari atau menyumbang

62,5%; dari makanan sebesar 135,8 mg/hari atau menyumbang 27,6%. Rata-rata

tingkat konsumsi kalsium contoh sebesar 199,9%. Kontribusi kalsium dari ASI

terhadap tingkat konsumsi adalah sebesar 6,1%, dari susu formula sebesar 77,8% dan

dari makanan sebesar 16,1%.

Konsumsi Zat Besi

Pada kelompok ibu tidak bekerja, rata-rata konsumsi total zat besi contoh

sebesar 13,6 mg/hari. Rata-rata konsumsi zat besi dari ASI sebesar 0 mg/hari, dari

susu formula sebesar 9,03 mg/hari atau menyumbang 62,9%; dari makanan sebesar

4,6 mg/hari atau menyumbang 37,1%. Rata-rata tingkat konsumsi zat besi contoh

Page 71: pemberian susu formula.pdf

57

sebesar 223,6%. Kontribusi zat besi dari ASI terhadap tingkat konsumsi adalah

sebesar 0%, dari susu formula sebesar 66,1% dan dari makanan sebesar 33,9%.

Pada kelompok ibu bekerja, rata-rata konsumsi total zat besi contoh sebesar

14,05 mg /hari. Rata-rata konsumsi zat besi dari ASI sebesar 0 mg/hari, dari susu

formula sebesar 9,94 mg/hari atau menyumbang 62,6%; dari makanan sebesar 4,1

mg/hari atau menyumbang 37,4%. Rata-rata tingkat konsumsi zat besi contoh sebesar

222,4%. Kontribusi zat besi dari ASI terhadap tingkat konsumsi adalah sebesar 0%,

dari susu formula sebesar 69,2% dan dari makanan sebesar 30,8%.

Konsumsi total energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, dan zat besi

pada kedua kelompok contoh sudah memenuhi angka kecukupan yang dianjurkan dan

sebagian besar contoh termasuk kategori cukup. Berdasarkan uji beda Mann Whitney

tidak ada perbedaan kategori tingkat kecukupan energi pada kedua kelompok (Tabel

42).

Hasil uji beda t menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan konsumsi total,

konsumsi ASI, susu formula dan makanan pada seluruh zat gizi (protein, vitamin A,

vitamin C, kalsium, dan zat besi) di kedua kelompok contoh (Tabel 44). Demikian

pula untuk kontribusi energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, dan zat besi dari

ASI, susu formula, dan makanan terhadap konsumsi total dan tingkat konsumsi tidak

ada perbedaan menurut uji beda t pada kedua kelompok contoh (Tabel 43 dan 44).

Contoh pada kelompok ibu tidak bekerja memiliki kontribusi terbesar

terhadap tingkat konsumsi energi, protein, dan vitamin A yang berasal dari makanan.

Kontribusi terbesar terhadap tingkat konsumsi vitamin C, kalsium, dan zat besi

berasal dari susu formula. Sedangkan contoh pada kelompok ibu bekerja memiliki

kontribusi terbesar terhadap tingkat konsumsi energi dan vitamin A yang berasal dari

makanan. Kontribusi terbesar terhadap tingkat konsumsi protein, vitamin C, kalsium,

dan zat besi berasal dari konsumsi susu formula.

Page 72: pemberian susu formula.pdf

58

Tabel 42. Sebaran Contoh menurut Kategori Tingkat Konsumsi *) Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Tingkat Konsumsi n % n % p

Energi - Kurang (<70% AKG) - Cukup (≥70% AKG)

2 28

6,7

93,3

-

30

-

100 0,154

Protein - Kurang (<70% AKG) - Cukup (≥70% AKG)

1 29

3,3

96,7

1 29

3,3

96,7 1,000

Vitamin A - Kurang (<70% AKG) - Cukup (≥70% AKG)

7 23

23,3 76,7

3 27

10 90

0,169

Vitamin C - Kurang (<70% AKG) - Cukup (≥70% AKG)

-

30

-

100

-

30

-

100 1,000

Kalsium - Kurang (<70% AKG) - Cukup (≥70% AKG)

9 21

30 70

5 25

16,7 83,3

0,226

Zat Besi - Kurang (<70% AKG) - Cukup (≥70% AKG)

1 29

3,3

96,7

1 29

3,3

96,7 1,000

Tabel 43. Sebaran Contoh menurut Tingkat Konsumsi Zat Gizi dan Kontribusi terhadap Tingkat Konsumsi

Kontribusi terhadap Tingkat Konsumsi (%) Responden Tingkat Konsumsi (%) ASI*) Susu Formula Makanan

Energi - Ibu tidak bekerja - Ibu bekerja - Uji beda t

141,9 152,6

p=0,326

7,9 7,4

p=0,991

41,0

41,6 p=0,596

51,1 51,0

p=0,341 Protein - Ibu tidak bekerja - Ibu bekerja - Uji beda t

202,7 210,9

p=0,680

3,7 3,6

p=0,991

48,0 48,4

p=0,773

48,3 48,0

p=0,617 Vitamin A - Ibu tidak bekerja - Ibu bekerja - Uji beda t

249,8 287,3

p=0,707

12,1 10,5

p=0,991

23,5 23,2

p=0,727

64,4 66,3

p=0,766 Vitamin C - Ibu tidak bekerja - Ibu bekerja - Uji beda t

220,6 195,2

p=0,589

4,2 4,8

p=0,991

59,5 72,6

p=0,780

36,3 22,6

p=0,280 Kalsium - Ibu tidak bekerja - Ibu bekerja - Uji beda t

201,4 199,9

p=0,971

6,0 6,1

p=0,991

69,7 77,8

p=0,707

24,3 16,1

p=0,138 Zat Besi - Ibu tidak bekerja - Ibu bekerja - Uji beda t

223,6 222,4

p=0,974

0,00 0,00 -**)

66,1 69,2

p=0,852

33,9 30,8

p=0,691 *) Konsumsi ASI dihitung berdasarkan estimasi WHO (2000), dengan kandungan energi=69

kkal/100mL, protein=10,5 g/L, vitamin A=500 μg RE/L, vitamin C=40 mg/L, kalsium=280 mg/L, zat besi=0,30 mg/L.

**) Uji beda t pada konstribusi ASI tidak ada karena nilai standar deviasinya adalah 0 (nol).

Page 73: pemberian susu formula.pdf

59

Page 74: pemberian susu formula.pdf

60

Hubungan Berbagai Variabel dengan Pola Pemberian ASI dan Susu Formula

Karakteristik Keluarga dengan Pola Pemberian ASI

Umur Ibu. Pada Tabel 45 dapat dilihat responden ibu tidak bekerja yang

memiliki pola pemberian ASI yang baik berada pada rentang umur 20-29 tahun

(16,7%) dan 30-39 tahun (16,7%). Sedangkan pada responden ibu bekerja pada

rentang umur 20-29 tahun (16,7%) dan 30-39 tahun (46,7%). Pada keluarga ibu tidak

bekerja, hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan

positif yang tidak nyata antara umur ibu dengan pola pemberian ASI. Hal ini berarti

ada kecenderungan semakin bertambah umur ibu yang tidak bekerja maka semakin

baik pula pola pemberian ASI yang dilakukan. Sedangkan pada keluarga ibu bekerja

terdapat hubungan negatif yang tidak nyata antara umur ibu dengan pola pemberian

ASI. Jadi terdapat kecenderungan semakin bertambah umur ibu yang bekerja maka

pola pemberian ASI yang dilakukan menjadi kurang.

Menurut Pudjiadi (2000), umur bagi seorang ibu merupakan faktor yang turut

menentukan dalam produksi ASI. Ibu yang berumur antara 19-23 tahun umumnya

menghasilkan ASI yang lebih banyak dibandingkan ibu yang berumur tiga puluhan.

Pendidikan Ibu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi terbanyak

responden ibu tidak bekerja yang memiliki pola pemberian ASI yang baik

berpendidikan tamat SMU (23,3%) dan hanya 6,7% yang berpendidikan lulusan

perguruan tinggi. Sedangkan pada kelompok ibu bekerja proporsi terbanyak yang

memiliki pola pemberian ASI yang baik merupakan lulusan perguruan tinggi

(40,0%). Uji Rank Spearman pada Tabel 43 menjelaskan bahwa adanya hubungan

negatif yang tidak nyata antara pendidikan ibu dengan pola pemberian ASI pada

kedua kelompok contoh. Dapat dikatakan terdapat kecenderungan semakin tinggi

pendidikan ibu yang tidak bekerja maupun yang bekerja maka pola pemberian ASI

yang dilakukan semakin kurang.

Pendapatan Keluarga. Berdasarkan Tabel 45 terlihat bahwa proporsi terbesar

pendapatan keluarga responden ibu tidak bekerja yang memiliki pola pemberian ASI

yang baik berada pada kategori Rp 150.000-Rp 449.999 sebanyak 20,0% dan hanya

Page 75: pemberian susu formula.pdf

61

3,3% yang berpendapatan ≥Rp 1.000.000. Proporsi terbesar pendapatan keluarga

responden ibu bekerja yang memiliki pola pemberian ASI yang baik berada pada

kategori Rp 750.000-Rp 999.999 sebanyak 20,0% dan pada kategori ≥Rp 1.000.000

sebanyak 16,7%. Pada keluarga ibu tidak bekerja, hasil uji korelasi Rank Spearman

menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang tidak nyata antara pendapatan

keluarga dengan pola pemberian ASI. Dengan kata lain ada kecenderungan pada ibu

tidak bekerja, semakin tinggi pendapatan keluarga maka pola pemberian ASI semakin

kurang. Sedangkan pada keluarga ibu bekerja terdapat hubungan positif yang tidak

nyata antara pendapatan keluarga dengan pola pemberian ASI. Hal ini berarti pada

ibu yang bekerja terdapat kecenderungan semakin tinggi pendapatan maka semakin

baik pola pemberian ASI.

Besar Keluarga. Proporsi terbesar responden ibu tidak bekerja yang memiliki

pola pemberian ASI yang baik berada pada kategori keluarga kecil (26,7%) dan

hanya 6,7% yang merupakan keluarga sedang. Proporsi terbesar responden ibu

bekerja yang memiliki pola pemberian ASI yang baik merupakan keluarga kecil

(46,7%) dan hanya 16,7% yang merupakan keluarga sedang. Pada keluarga ibu tidak

bekerja, hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan

positif yang tidak nyata antara besar keluarga dengan pola pemberian ASI.

Sedangkan pada keluarga ibu bekerja terdapat hubungan positif yang nyata antara

besar keluarga dengan pola pemberian ASI (p<0,05). Hal ini berarti semakin kecil

keluarga tersebut diikuti dengan semakin baik pola pemberian ASInya. Hasil ini tidak

sesuai dengan teori dimana jumlah anak yang lebih sedikit akan memungkinkan ibu

memberikan perhatian dan kasih sayang yang cukup dalam mengasuh anaknya

(Sukarni, 1989).

Page 76: pemberian susu formula.pdf

62

Page 77: pemberian susu formula.pdf

63

Karakteristik Anak dengan Pola Pemberian ASI

Urutan Anak. Pada Tabel 46 terlihat bahwa proporsi terbesar contoh dari

kelompok ibu tidak bekerja (20,0%) dan kelompok ibu bekerja (50,0%) yang

mendapat pola pemberian ASI yang baik merupakan anak ke-2 atau ke-3. Terdapat

hubungan positif yang tidak nyata antara urutan contoh pada keluarga ibu tidak

bekerja dengan pola pemberian ASI. Pada keluarga ibu bekerja terdapat hubungan

positif yang nyata antara urutan anak dengan pola pemberian susu formula (p<0,05).

Hal ini berarti semakin awal urutan anak maka semakin baik pola pemberian ASI.

Menurut Hurlock (2000), anak yang lahir pertama cenderung lebih diperhatikan oleh

orang tua dibandingkan anak yang lahir kemudian.

Jarak Kelahiran. Hasil penelitian menunjukkan contoh yang memiliki jarak

kelahiran lebih dari dua tahun dengan anak sebelumnya mendapat pola pemberian

ASI yang baik, yaitu sebanyak 23,3% dari kelompok ibu tidak bekerja dan 46,7% dari

kelompok ibu bekerja. Terdapat hubungan positif yang nyata antara jarak kelahiran

contoh keluarga ibu tidak bekerja dengan pola pemberian ASI (p<0,05). Pada

keluarga ibu bekerja terdapat hubungan positif yang tidak nyata antara jarak kelahiran

contoh dengan pola pemberian ASI. Hal ini berarti semakin jauh jarak kelahiran anak

maka semakin baik pola pemberian ASI yang dilakukan. Menurut Sajogyo et al.

(1994), jarak kelahiran antar anak yang tidak berdekatan akan meningkatkan

kesempatan ibu untuk menyusui bayinya dalam waktu yang lebih lama.

Tempat Kelahiran. Contoh dari kelompok ibu tidak bekerja yang dilahirkan di

tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit, klinim bersalin, puskesmas, dan bidan)

sebesar 26,7% yang mendapatkan pola pemberian ASI yang baik, tetapi terdapat

3,3% yang berada pada kategori kurang. Contoh dari kelompok ibu bekerja yang

dilahirkan di tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit, klinik bersalin, puskesmas,

dan bidan) sebesar 53,3% yang mendapatkan pola pemberian ASI yang baik, tetapi

terdapat 6,6% yang berada pada kategori kurang. Hasil uji Rank Spearman

menunjukkan adanya hubungan negatif yang tidak nyata antara tempat kelahiran

dengan pola pemberian ASI pada kedua kelompok contoh. Hal ini menunjukkan

Page 78: pemberian susu formula.pdf

64

adanya kecenderungan tidak selamanya tempat kelahiran di tempat pelayanan

kesehatan (rumah sakit, klinik bersalin, puskesmas, dan bidan) menjamin anak

mendapatkan pola pemberian ASI yang baik.

Penolong Persalinan. Jumlah contoh dari kelompok ibu tidak bekerja yang

dilahirkan dengan bantuan dokter atau bidan yang mendapatkan pola pemberian ASI

yang baik (26,7%) lebih sedikit dari contoh yang berada pada kategori sedang

(60,0%). Sebaliknya, jumlah contoh pada kelompok ibu bekerja yang dilahirkan

dengan bantuan dokter atau bidan yang mendapatkan pola pemberian ASI yang baik

(56,7%) lebih banyak dari contoh yang berada pada kategori sedang (26,7%). Pada

keluarga ibu tidak bekerja terdapat hubungan negatif yang tidak nyata antara

penolong persalinan dengan pola pemberian ASI. Sedangkan pada keluarga ibu

bekerja terdapat hubungan positif yang tidak nyata. Hal ini menunjukkan adanya

kecenderungan tidak selamanya penolong kelahiran dari tenaga kesehatan (dokter

atau bidan) menjamin anak mendapatkan pola pemberian ASI yang baik.

Jenis Persalinan. Jumlah contoh dari kelompok ibu tidak bekerja yang

dilahirkan secara normal yang mendapatkan pola pemberian ASI yang baik (30,0%)

lebih sedikit dari contoh yang berada pada kategori sedang (40,0%). Sebaliknya,

jumlah contoh pada kelompok ibu bekerja yang dilahirkan secara normal yang

mendapatkan pola pemberian ASI yang baik (50,0%) lebih banyak dari contoh yang

berada pada kategori sedang (10,0%). Berdasarkan uji Rank Spearman, terdapat

hubungan positif yang tidak nyata antara jenis persalinan dengan pola pemberian

ASI. Pada keluarga ibu bekerja terdapat hubungan positif yang nyata antara jenis

persalinan dengan pola pemberian ASI (p<0,01). Hal ini berarti jenis persalinan

secara normal mendukung pola pemberian ASI yang baik.

Page 79: pemberian susu formula.pdf

65

Page 80: pemberian susu formula.pdf

66

Pengetahuan Gizi Ibu dengan Pola Pemberian ASI

Tabel 47 menunjukkan bahwa sebesar 13,3% responden ibu tidak bekerja

yang memiliki pola pemberian ASI yang baik, memiliki pengetahuan gizi yang baik

pula. Namun jumlah ini lebih sedikit dari responden yang berpengetahuan gizi sedang

(16,7%) dan terdapat 3,3% responden yang berpengetahuan gizi kurang. Sedangkan

responden ibu bekerja yang memiliki pengetahuan gizi yang baik, sebesar 46,7%

memiliki pola pemberian ASI pada kategori baik, sebesar 26,7% pada kategori

sedang, dan 3,3% pada kategori kurang. Terdapat hubungan negatif yang tidak nyata

antara pengetahuan gizi ibu dengan pola pemberian ASI pada kedua kelompok

contoh. Hal ini diduga walaupun pengetahuan gizi ibu sudah baik belum tentu

diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Tabel 47. Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu dengan Pola Pemberian ASI

Pola Pemberian ASI

Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30)

Baik Sedang Kurang Baik Sedang Kurang

Pengetahuan

Gizi Ibu

n % n % n % n % n % n % Baik Sedang Kurang

4 5 1

13,3 16,7 3,3

12 6 1

40,0 20,0 3,3

- 1 -

- 3,3 -

14 5 -

46,7 16,7

-

8 1 -

26,7 3,3 -

1 1 -

3,3 3,3

Nilai Korelasi r=-0.137 p=0.470 r=-0.078 p=0.682

Karakteristik Keluarga dengan Pola Pemberian Susu Formula

Umur Ibu. Pada Tabel 48 dapat dilihat responden ibu tidak bekerja yang

memiliki pola pemberian susu formula yang baik berada pada rentang umur 20-29

tahun (16,7%) dan 30-39 tahun (23,3%). Sedangkan pada responden ibu bekerja pada

rentang umur 20-29 tahun (6,7%) dan 30-39 tahun (36,7%). Pada keluarga ibu tidak

bekerja, hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan

positif yang nyata antara umur ibu dengan pola pemberian susu formula (p<0,05).

Pada keluarga ibu bekerja terdapat hubungan positif yang tidak nyata antara umur ibu

dengan pola pemberian susu formula. Hal ini berarti semakin bertambah umur ibu

maka semakin baik pula pola pemberian susu formula yang dilakukan.

Page 81: pemberian susu formula.pdf

67

Pendidikan Ibu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi terbanyak

responden ibu tidak bekerja yang memiliki pola pemberian susu formula yang baik

berpendidikan tamat SMU (20,0%) dan lulusan perguruan tinggi (20,0%). Sedangkan

pada kelompok ibu bekerja proporsi terbanyak yang memiliki pola pemberian susu

formula yang baik merupakan lulusan perguruan tinggi (36,7%). Uji Rank Spearman

menjelaskan bahwa adanya hubungan positif yang tidak nyata antara pendidikan ibu

dengan pola pemberian susu formula pada kedua kelompok contoh. Dapat dikatakan

terdapat kecenderungan semakin tinggi pendidikan ibu yang tidak bekerja maupun

yang bekerja maka pola pemberian susu formula yang dilakukan semakin baik. Hal

ini diduga tingkat pendidikan ibu yang baik diikuti dengan pengetahuan mengenai

pola pemberian susu formula.

Pendapatan Keluarga. Berdasarkan Tabel 48 terlihat bahwa proporsi terbesar

pendapatan keluarga responden ibu tidak bekerja yang memiliki pola pemberian susu

formula yang baik berada pada kategori Rp 150.000-Rp 449.999 sebanyak 20,0%,

pada kategori Rp 450.000-Rp 749.999 sebesar 16,7% dan hanya 3,3% yang

berpendapatan ≥Rp 1.000.000. Proporsi terbesar pendapatan keluarga responden ibu

bekerja yang memiliki pola pemberian susu formula yang baik berada pada kategori

≥Rp 1.000.000 sebanyak 20,0%. Pada keluarga ibu tidak bekerja, hasil uji korelasi

Rank Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang tidak nyata

antara pendapatan keluarga dengan pola pemberian susu formula. Dengan kata lain

ada kecenderungan pada ibu tidak bekerja, semakin tinggi pendapatan keluarga maka

pola pemberian susu formula semakin baik. Sedangkan pada keluarga ibu bekerja

terdapat hubungan positif yang nyata antara pendapatan keluarga dengan pola

pemberian susu formula (p<0,05). Hal ini berarti pada ibu yang bekerja semakin

tinggi pendapatan maka semakin baik pola pemberian susu formula.

Besar Keluarga. Proporsi terbesar responden ibu tidak bekerja yang memiliki

pola pemberian susu formula yang baik berada pada kategori keluarga kecil (30,0%),

sebesar 6,7% merupakan keluarga sedang, dan 3,3% merupakan keluarga besar.

Proporsi terbesar responden ibu bekerja yang memiliki pola pemberian susu formula

Page 82: pemberian susu formula.pdf

68

yang baik merupakan keluarga kecil (30,0%) dan hanya 13,3% yang merupakan

keluarga sedang. Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa terdapat

hubungan positif yang tidak nyata antara besar keluarga dengan pola pemberian susu

formula pada kedua kelompok contoh. Hal ini berarti terdapat kecenderungan

semakin kecil keluarga tersebut semakin baik pola pemberian susu formula nya.

Karakteristik Anak dengan Pola Pemberian Susu Formula

Urutan Anak. Pada Tabel 49 terlihat bahwa proporsi terbesar contoh dari

kelompok ibu tidak bekerja (20,0%) dan kelompok ibu bekerja (36,7%) yang

mendapat pola pemberian susu formula yang baik merupakan anak ke-2 atau ke-3.

Terdapat hubungan positif yang tidak nyata antara urutan contoh pada kelompok ibu

tidak bekerja dan kelompok ibu bekerja dengan pola pemberian susu formula. Hal ini

berarti semakin awal urutan anak maka semakin baik pola pemberian susu formula.

Menuru Hurlock (2000), anak yang lahir pertama cenderung lebih diperhatikan oleh

orang tua dibandingkan anak yang lahir kemudian.

Jarak Kelahiran. Hasil penelitian menunjukkan contoh yang memiliki jarak

kelahiran lebih dari dua tahun dengan anak sebelumnya mendapat pola pemberian

susu formula yang baik, yaitu sebanyak 20,0% dari kelompok ibu tidak bekerja dan

36,7% dari kelompok ibu bekerja. Terdapat hubungan positif yang tidak nyata antara

jarak kelahiran contoh keluarga ibu tidak bekerja dan kelompok ibu bekerja dengan

pola pemberian susu formula. Hal ini berarti semakin jauh jarak kelahiran anak maka

semakin baik pola pemberian susu formula yang dilakukan.

Tempat Kelahiran. Contoh dari kelompok ibu tidka bekerja yang dilahirkan di

tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit, klinik bersalin, puskesmas, dan bidan)

sebesar 40,0% yang mendapatkan pola pemberian susu formula yang baik, dan tidak

ada contoh yang berada pada kategori kurang. Contoh dari kelompok ibu bekerja

yang dilahirkan di tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit, klinik bersalin,

puskesmas, dan bidan) sebesar 36,6% yang mendapatkan pola pemberian susu

formula yang baik, dan terdapat 6,7% yang dilahirkan di rumah sendiri. Hasil uji

Rank Spearman menunjukkan adanya hubungan positif yang tidak nyata antara

Page 83: pemberian susu formula.pdf

69

tempat kelahiran dengan pola pemberian susu formula pada kedua kelompok contoh.

Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan tempat kelahiran di tempat pelayanan

kesehatan (rumah sakit, klinik bersalin, puskesmas, dan bidan) mendorong anak

mendapatkan pola pemberian susu formula yang baik.

Penolong Persalinan. Proporsi terbesar contoh dari kelompok ibu tidak

bekerja yang dilahirkan dengan bantuan tenaga kesehatan (dokter atau bidan) yang

mendapatkan pola pemberian susu formula yang baik sebesar 40,0%. Contoh yang

dilahirkan dengan bantuan paraji berada pada kategori sedang (10,0%). Jumlah

contoh pada kelompok ibu bekerja yang dilahirkan dengan bantuan tenaga kesehatan

(dokter atau bidan) yang mendapatkan pola pemberian susu formula yang baik

sebesar 36,7%, jumlah yang berada pada kategori sedang lebih banyak yaitu sebesar

53,3%. Terdapat 6,7% contoh yang dilahirkan dengan bantuan paraji yang memiliki

pola pemberian susu formula yang baik. Pada keluarga ibu tidak bekerja terdapat

hubungan positif yang tidak nyata antara penolong persalinan dengan pola pemberian

susu formula. Sedangkan pada keluarga ibu bekerja terdapat hubungan negatif yang

tidak nyata. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan tidak hanya penolong

kelahiran dari tenaga kesehatan yang mendorong anak mendapatkan pola pemberian

susu formula yang baik.

Jenis Persalinan. Jumlah contoh dari kelompok ibu tidak bekerja yang

dilahirkan secara normal yang mendapatkan pola pemberian susu formula yang baik

lebih sedikit (30,0%) dari contoh yang berada pada kategori sedang (43,3%).

Demikian pula pada kelompok ibu bekerja, contoh yang dilahirkan secara normal

yang mendapatkan pola pemberian susu formula yang baik lebih sedikit (26,7%) dari

contoh yang berada pada kategori sedang (36,7%). Selain itu terdapat 6,7% contoh

kelompok ibu tidak bekerja dan 16,7% contoh dari kelompok ibu bekerja yang

dilahirkan dengan operasi cesar, juga mendapatkan pola pemberian susu formula

yang baik. Berdasarkan uji Rank Spearman, terdapat hubungan negatif yang tidak

nyata antara jenis persalinan dengan pola pemberian susu formula pada kedua

kelompok contoh. Hal ini berarti tidak hanya jenis persalinan secara normal yang

mendukung pola pemberian susu formula yang baik.

Page 84: pemberian susu formula.pdf

70

Page 85: pemberian susu formula.pdf

71

Page 86: pemberian susu formula.pdf

72

Pengetahuan Gizi Ibu dengan Pola Pemberian Susu Formula

Tabel 50 menunjukkan bahwa sebesar 23,3% responden ibu tidak bekerja

yang memiliki pengetahuan gizi yang baik, memiliki pola pemberian susu formula

pada kategori baik. Namun jumlah ini lebih sedikit dari responden yang berada pada

kategori sedang (30,0%). Sedangkan responden ibu bekerja yang memiliki

pengetahuan gizi yang baik, sebesar 40,0% memiliki pola pemberian susu formula

pada kategori baik, sebesar 36,7% pada kategori sedang. Terdapat hubungan positif

yang tidak nyata antara pengetahuan gizi ibu dengan pola pemberian susu formula.

Hal ini berarti ada kecenderungan semakin baik pengetahuan gizi ibu maka pola

pemberian susu formula menjadi semakin baik.

Tabel 50. Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu dengan Pola Pemberian Susu Formula

Pola Pemberian Susu Formula

Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30)

Baik Sedang Kurang Baik Sedang Kurang

Pengetahuan

Gizi Ibu

n % n % n % n % n % n % Baik Sedang Kurang

7 5 -

23,3 16,7

-

9 7 2

30,0 23,3 6,7

- - -

- - -

12 1 -

40,0 3,3 -

11 6 -

36,7 20,0

-

- - -

- - -

Nilai Korelasi r=0.203 p=0.282 r=0.343 p=0.063

Page 87: pemberian susu formula.pdf

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar contoh pada kelompok ibu tidak

bekerja dan sebagian kecil contoh pada kelompok ibu bekerja merupakan anak

pertama. Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan urutan anak dan

jarak kelahiran antara kedua kelompok contoh (p<0,05). Tidak ada perbedaan

penolong kelahiran, jenis persalinan, dan tempat kelahiran antara kedua kelompok

contoh. Hal ini disebabkan hampir seluruh contoh dilahirkan di tempat pelayanan

kesehatan (rumah sakit, klinik bersalin, bidan, puskesmas) yang proses kelahirannya

dibantu oleh dokter atau bidan, dengan persalinan secara normal/spontan.

Sebagian besar responden ibu bekerja dan sebagian kecil responden ibu tidak

bekerja berumur 30-39 tahun. Rata-rata umur responden ibu tidak bekerja adalah 28

tahun dan responden ibu bekerja adalah 32 tahun, terdapat perbedaan umur ibu pada

kedua kelompok (p<0,01). Tingkat pendidikan lebih dari separuh responden ibu

bekerja dan hampir separuh responden ibu tidak bekerja adalah lulusan perguruan

tinggi. Rata-rata lama pendidikan ibu pada kelompok ibu tidak bekerja adalah 13

tahun, sedangkan pada kelompok ibu adalah 14 tahun. Tidak terdapat perbedaan

tingkat pendidikan ibu pada kedua kelompok contoh. Tingkat pengetahuan gizi

separuh responden ibu tidak bekerja dan sebagian besar responden ibu bekerja

termasuk kategori baik, terdapat perbedaan tingkat pengetahuan gizi ibu pada kedua

kelompok (p<0,05). Rata-rata pendapatan keluarga kelompok ibu bekerja

(Rp/kap/bln) adalah Rp 768.472,00 sedangkan pada kelompok ibu tidak bekerja

adalah Rp 416.771,00. Hasil uji beda menunjukkan ada perbedaan yang signifikan

rata-rata pendapatan keluarga antara kedua kelompok contoh (p<0,01). Tidak terdapat

perbedaan besar keluarga pada kedua kelompok contoh karena sebagian besar

keluarga responden merupakan keluarga kecil (≤4 orang).

Faktor yang berhubungan dengan pemberian susu formula pada kelompok ibu

bekerja adalah pendapatan keluarga, pada kelompok ibu tidak bekerja adalah umur

ibu. Faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI pada kelompok ibu bekerja

Page 88: pemberian susu formula.pdf

74

adalah besar keluarga, urutan anak, dan jenis persalinan. Sedangkan pada kelompok

ibu tidak bekerja adalah jarak kelahiran.

Pola pemberian ASI kelompok ibu bekerja nyata lebih baik daripada

kelompok ibu tidak bekerja (p<0,05). Namun, tidak terdapat perbedaan pola

pemberian susu formula antara kelompok ibu tidak bekerja dengan ibu bekerja Pola

pemberian MPASI pada kedua kelompok contoh berada pada kategori sedang

sehingga tidak terdapat perbedaan pola pemberian MPASI antara kedua kelompok

contoh.

Konsumsi total energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, dan zat besi di

kedua kelompok baduta contoh sudah memenuhi angka kecukupan yang dianjurkan

dan sebagian besar baduta contoh termasuk kategori cukup. Berdasarkan uji beda

Mann Whitney tidak ada perbedaan kategori tingkat konsumsi energi pada kedua

kelompok. Pada kedua kelompok contoh, rata-rata konsumsi energi dan vitamin A

dari makanan lebih besar daripada konsumsi dari ASI dan susu formula. Rata-rata

konsumsi protein, vitamin C, kalsium, dan zat besi dari susu formula lebih besar

daripada konsumsi ASI dan makanan. Hasil uji beda t menunjukkan bahwa tidak ada

perbedaan konsumsi zat gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, dan zat

besi) total, konsumsi zat gizi dari ASI, susu formula dan makanan pada kedua

kelompok contoh. Kontribusi energi, protein, dan vitamin A dari makanan terhadap

konsumsi dan tingkat konsumsi lebih besar daripada kontribusi ASI dan susu

formula. Tetapi kontribusi vitamin C, kalsium, dan zat besi dari susu formula

terhadap konsumsi dan tingkat konsumsi lebih besar daripada ASI dan makanan.

Kontribusi zat gizi dari ASI, susu formula, dan makanan terhadap konsumsi total dan

kecukupan tidak ada perbedaan menurut uji beda t pada kedua kelompok.

Page 89: pemberian susu formula.pdf

75

Saran

1. Perlu diadakan kampanye gerakan sadar ASI kepada masyarakat agar konsumsi

ASI oleh bayi dan anak baduta semakin bertambah.

2. Perlu dilakukan pelatihan tatalaksana pemberian ASI kepada tenaga kesehatan

(dokter dan bidan) dan kader posyandu agar mendukung para ibu untuk menyusui

secara optimal.

3. Perlu dilakukan penyuluhan tentang pemberian susu formula yang baik kepada

masyarakat agar tidak menghambat praktek pemberian ASI.

4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai : (1) pola pemberian susu

formula anak baduta di wilayah kota dan desa, (2) riil konsumsi ASI (bukan

berdasarkan estimasi) selanjutnya dianalisis kontribusi dari ASI, susu formula,

dan makanan terhadap zat gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium,

dan zat besi).

Page 90: pemberian susu formula.pdf

DAFTAR PUSTAKA

Albernaz, E., C.G. Victoria, H. Haisma, A. Wright, & W.A. Coward. 2003. Lactation counselling increases breast-feeding duration but not breast milk intake as measured by isotopic methods. Journal of Nutrition, 133, 205-209.

Anonymous. 2004. Sumberdaya manusia mendatang tergantung ASI eksklusif. 12

Oktober.http://www.republika.co.id/.

Arimond, M. & M.T. Ruel. 2004. Dietary diversity is asociated with child nutritional status : evidence from 11 demographic and health surveys. American Society for Nutrition Sciences. http://www.nutrition.org

As’ad, S. 2002. Gizi-Kesehatan Ibu dan Anak. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,

Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. Arisman. 2002. Gizi dalam Daur Kehidupan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,

Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. Atmarita & T.S. Fallah. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat.

Dalam Prosiding WNPG VIII. LIPI, Jakarta. Azwar, A. 2003. Pelaksanaan Pemberian ASI Eksklusif di Indonesia. Warta

Kesehatan Masyarakat, Ed.6, Juni, hlm.1-3. _________. 2004. Aspek Kesehatan dan Gizi dalam Ketahanan Pangan. Dalam

Prosiding WNPG VIII. LIPI, Jakarta. Baker, J.L., K.F. Michaelsen, K.M. Rasmussen, & T.I.A. Sorensen. 2004. Maternal

prepregnant body mass index, duration of breastfeeding, and timing of complementary food introduction are associated with infant weight gain. American Society for Clinical Nutrition. http://www.ajcn.org

Berg, A. 1986. Peranan Gizi dalam Pembangunan Nasional (Z.D.Noer, penerjemah).

Rajawali, Jakarta. Besar, D. S. 2001. Ibu Menyusui dan Bekerja. Makalah disajikan dalam seminar

Telaah Mutakhir Tentang ASI, Bali, 19 Oktober. Bhandari, N., S. Mazumder, R. Bahl, J. Martines. R.E. Black, & M.K. Bhan. 2000.

An educational intervention to promote appropriate complementary feeding practices and physical growth in infants and young children in rural Haryana, India. American Society for Nutrition Sciences. http://www.nutrition.org.

BPS. 1999. Indikator Sosial Wanita Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta.

Page 91: pemberian susu formula.pdf

77

BPS. 2003. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta. Depkes. 1985. Buku Pedoman Penggunaan Pengganti Air Susu Ibu, Jakarta. ______. 1994. Hasil Pentaloka ASI Eksklusif. Departemen Kesehatan dan

Kesejahteraan Sosial RI, Jakarta.

______. 1996. Panduan 13 Pesan Dasar Gizi Seimbang. Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Jakarta.

______. 1997. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 237/Menkes/SK/IV/1997.

Departemen Kesehatan RI, Jakarta. ______. 2000. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). Departemen Kesehatan

dan Kesejahteraan Sosial, Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Direktorat Gizi Masyarakat, Jakarta.

Eckhardt, C.L., J. Rivera, L.S. Adair, & R. Martorell. 2001. Full breast-feeding for at

least four months has differential effects on growth before and after six months of age among children in a Mexican community. American Society for Nutritional Sciences. http://www.nutrition.org

Engle, P.L., P. Menon, L. Hadad. 1997. Care and Nutrition : Concepts and

Measurement. International Food Policy Research Institute, Washington D.C. Fikawati, S. & A. Syafiq. 2003. Hubungan antara Menyusui Segera (Immediate

Breastfeeding) dan Pemberian ASI Eksklusif sampai dengan 4 Bulan. Jurnal Kedokteran Trisakti, 22 (2), 47-53.

Fitrisia, D.W. 2002. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ibu dalam Pemberian Susu

Formula pada Bayi Umur 0-12 Bulan. Skripsi Sarjana. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor.

Hardinsyah, & D. Martianto. 1992. Gizi Terapan. Depdikbud, Dikti, PAU Pangan dan

Gizi, IPB, Bogor. Harper, B.J. Deaton & Y.A. Driskel. 1986. Gizi dan Pertanian (Suhardjo,

penerjemah). UI Press, Jakarta. Hruschka, D. J., D.W. Sellen, A.D. Stein & R. Martorell. 2003. Delayed onset of

lactation and risk of ending full breast-feeding early in rural Guatemala. American Society for Nutritional Sciences. http://www.nutrition.org

Hurlock, E.B. 2000. Perkembangan Anak (Jilid 2). Erlangga, Jakarta.

Page 92: pemberian susu formula.pdf

78

Joint FAO/WHO Food Standards Programme. Codex Alimentarius Commissio. 1994. Codex Alimentarius Volume Four. Foods for Special Dietary Uses (Including Foods for Infant and Children). FAO-WHO, Rome.

Latief, D., Atmarita, Minarto, A.B. Jahari & R. Tilden. 2000. Konsumsi Pangan

Tingkat Rumah Tangga Sebelum dan Selama krisis Ekonomi. Dalam Prosiding WNPG VII. LIPI, Jakarta.

Karmini, M., Briawan, D. 2004. Acuan Label Gizi. Dalam Prosiding WNPG VIII.

LIPI, Jakarta. Khomsan, A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Jurusan Gizi Masyarakat

dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. __________. 2002. Pangan dan Gizi dalam Dimensi Kesejahteraan. Jurusan Gizi

Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

__________. 2004. Peranan Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup. Gramedia

Widiasarana Indonesia, Jakarta. Krisnatuti, D & Yenrina, R. 2002. Menyiapkan Makanan Pendamping ASI. Puspa

Swara, Jakarta. Madanijah, S. 2003. Model Pendidikan ”KELUARGA-SEHAT” bagi Ibu serta

Dampaknya terhadap Perilaku Ibu, Lingkungan Pembelajaran, Konsumsi Pangan dan Status Gizi Anak Usia Dini. Disertasi Doktor IPB, Bogor.

Martianto, D. & M. Ariani. 2004. Analisis Perubahan Konsumsi dan Pola Konsumsi

Pangan Masyarakat dalam Dekade Terakhir. Dalam Prosiding WNPG VIII. LIPI, Jakarta.

Masoara. 2001. Sindrom ASI Kurang. Makalah disajikan dalam Seminar telaah

Mutakhir Tentang ASI, Bali, 19 Oktober 2001. Muchtadi, D. 2002. Gizi Untuk Bayi : ASI, Susu Formula dan Makanan Tambahan.

Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Pudjiadi, S. 2000. Ilmu Gizi Klinis pada Anak. Fakultas Kedokteran, Universitas

Indonesia, Jakarta. Roesli, U. 2001. Bayi Sehat Berkat ASI Eksklusif. Elex Media Komputindo, Jakarta. Roesli, U. 2004. Mengenal ASI Eksklusif. Trubus Agriwidya, Jakarta.

Page 93: pemberian susu formula.pdf

79

Satoto. 1990. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak. Disertasi Doktor, Undip, Semarang.

Sayogyo, Goenardi, S. Rusli, S. S. Harjadi, M. Khumaidi. 1994. Menuju Gizi Baik

yang Merata di Pedesaan dan di Kota. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Soekarto, P. 2005. Jalan panjang menyukseskan program asi eksklusif 6 bulan.

Majalah Warta Konsumen, Ed. Februari, hlm. 10-14. Simondon, K.B., F. Simondon, R. Costes, V. Delaunay & A. Diallo. 2001. Breast-

feeding is associated with improved growth in length, but not weight, in rural Senegalese toddlers. American Journal of Clinical Nutrition,73, 959-967. http://www.ajcn.org.

Slamet. 1993. Analisis Kuantitatif untuk Data Sosial. Dabara Publisher, Solo. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Pusat Antar Universitas. IPB, Bogor. _______. 1996. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Kerjasama Bumi Aksara dan PAU

Pangan dan Gizi, IPB. Bogor. Sulistijani, D.A. & Herlianty, M.P. 2003. Menjaga kesehatan Bayi dan Balita. Puspa

Swara, Jakarta. Sukarni, M. 1989. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. PAU Pangan dan Gizi, IPB,

Bogor. Supariasa, I.D.N., B. Bakri, & I. Fajar. 2002. Penilaian Status Gizi. Penerbit Buku

Kedokteran EGC, Jakarta. Suradi, R. 1986. Peranan Lingkungan untuk Menunjang Keberhasilan Laktasi. Dalam

Gizi Ibu dan Bayi : Peningkatan Mutu (Samsudin & Tjokronegoro, A. Ed.) FKUI, Jakarta.

Syarief, H. 1997. Membangun Sumberdaya Manusia Berkualitas. Orasi ilmiah Guru

Besar Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.

Welford, H. 2001. Ibu dan Anak (D. A. Pitaloka, penerjemah). Dalam D.

Pangemanan (Ed.). Menyusui Bayi Anda, Dian Rakyat, Jakarta. WHO. 2002. Complementary Feeding of Young Children in Developing Countries.

New York.

Page 94: pemberian susu formula.pdf

80

WHO. 2002. Growth of healthy infants and the timing, type, and frequency of complementary foods. American Journal of Clinical Nutrition. http://www.ajcn.org.

Winarno, F. G. 1995. Gizi dan Makanan pada Bayi dan Anak. Departemen

Pendidikan dan kebudayaan, Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi, PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.

Page 95: pemberian susu formula.pdf
Page 96: pemberian susu formula.pdf

82

Lampiran 1. Hasil Mann Whitney Test karakteristik keluarga, karakteristik contoh, tingkat pengetahuan gizi ibu, kategori akses informasi, dan kategori pola pemberian ASI, susu formula, dan MPASI

Karakteristik Keluarga No. Variabel penelitian p 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Usia ayah Usia ibu Pendidikan ayah Pendidikan ibu Pekerjaan ayah Pendapatan keluarga (batas kemiskinan) Besar keluarga

0.089 0.004** 0.153 0.120 0.511 1.000 0.710

Karakteristik Anak Baduta No. Variabel penelitian p 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Usia contoh Jenis kelamin Urutan anak Jarak lahir Tempat lahir Penolong kelahiran Jenis persalinan

0.039* 0.440 0.044* 0.045* 0.763 1.000 0.397

No. Variabel penelitian p 1. 2. 3. 4. 5.

Kategori pola pemberian ASI Kategori pola pemberian susu formula Kategori pola pemberian MPASI Kategori akses informasi Tingkat pengetahuan gizi ibu

0.044* 0.795 0,522 0.587 0.047*

Keterangan : * Nyata pada taraf kepercayaan 95%

Page 97: pemberian susu formula.pdf

83

Lampiran 2. Hasil Independent Sample t Test pola pemberian ASI, susu formula, dan Makanan Pendamping ASI (MPASI)

No. Variabel penelitian p 1. Tingkat pendapatan keluarga (Rp/kap/bln) 0,000** Pola Pemberian ASI No. Variabel penelitian p 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Pemberian kolostrum Umur bayi waktu pertama kali ibu menyusui Penggunaan kedua payudara Tindakan ibu jika anak menolak ASI Pemberian ASI jika anak sedang sakit Pemberian ASI saat ini Pemberian makanan pralaktal

0.286 0.194 0.229 0.300 1.000 0.605 0.032*

Pola Pemberian Susu Formula No. Variabel penelitian p 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Usia anak saat diberi susu formula Ketepatan frekuensi pemberian susu formula Penggunaan sendok takar Ketepatan pengenceran Perebusan botol Pemberian susu yang bersisa

0.104 1.000 0.028* 0.791 0.744 0.087

Pola Pemberian MPASI No. Variabel penelitian p 1. 2.

Usia anak saat diberi MPASI Jenis MPASI pertama

0.785 0.744

Keterangan :

* Nyata pada taraf kepercayaan 95% ** Nyata pada taraf kepercayaan 99%

Page 98: pemberian susu formula.pdf

84

Lampiran 3. Hasil Independent Sample t Test konsumsi pangan anak baduta

Variabel Penelitian p Konsumsi total energi Konsumsi total protein Konsumsi total vitamin A Konsumsi total vitamin C Konsumsi total kalsium Konsumsi total zat besi Rata-rata konsumsi energi ASI Rata-rata konsumsi protein ASI Rata-rata konsumsi vitamin A ASI Rata-rata konsumsi vitamin C ASI Rata-rata konsumsi kalsium ASI Rata-rata konsumsi zat besi ASI Kontribusi energi ASI terhadap konsumsi total energi Kontribusi protein ASI terhadap konsumsi total protein Kontribusi vit. A ASI terhadap konsumsi total vit. A Kontribusi vit. C ASI terhadap konsumsi total vit. C Kontribusi kalsium ASI terhadap konsumsi total kalsium Rata-rata konsumsi energi susu formula Rata-rata konsumsi protein susu formula Rata-rata konsumsi vitamin A susu formula Rata-rata konsumsi vitamin C susu formula Rata-rata konsumsi kalsium susu formula Rata-rata konsumsi zat besi susu formula Kontribusi energi susu formula terhadap konsumsi total energi Kontribusi protein susu formula terhadap konsumsi total protein Kontribusi vit. A susu formula terhadap konsumsi total vit. A Kontribusi vit. C susu formula terhadap konsumsi total vit. C Kontribusi kalsium susu formula terhadap konsumsi total kalsium Kontribusi zat besi susu formula terhadap konsumsi total zat besi Rata-rata konsumsi energi susu formula Rata-rata konsumsi protein susu formula Rata-rata konsumsi vitamin A susu formula Rata-rata konsumsi vitamin C susu formula Rata-rata konsumsi kalsium susu formula Rata-rata konsumsi zat besi susu formula Kontribusi energi susu formula terhadap konsumsi total energi Kontribusi protein susu formula terhadap konsumsi total protein Kontribusi vit. A susu formula terhadap konsumsi total vit. A Kontribusi vit. C susu formula terhadap konsumsi total vit. C Kontribusi kalsium susu formula terhadap konsumsi total kalsium Kontribusi zat besi susu formula terhadap konsumsi total zat besi

0.316 0.579 0.642 0.652 0.629 0.864 0.910 0.910 0.910 0.910 0.910 0.910 0.710 0.843 0.686 0.732 0.454 0.505 0.657 0.642 0.630 0.552 0.673 0.569 0.939 0.486 0.522 0.103 0.961 0.429 0.736 0.731 0.244 0.111 0.647 0.703 0.978 0.734 0.537 0.172 0.961

Page 99: pemberian susu formula.pdf

85

Lampiran 4 . Hasil Independent Sample t Test kecukupan zat gizi anak baduta

Variabel Penelitian p Tingkat kecukupan energi Tingkat kecukupan protein Tingkat kecukupanvitamin A Tingkat kecukupanvitamin C Tingkat kecukupan kalsium Tingkat kecukupan zat besi Kategori tingkat kecukupan energi Kategori tingkat kecukupan protein Kategori tingkat kecukupan vitamin A Kategori tingkat kecukupan vitamin C Kategori tingkat kecukupan kalsium Kategori tingkat keceukupan zat besi Kontribusi energi ASI terhadap kecukupan Kontribusi protein ASI terhadap kecukupan Kontribusi vitamin A ASI terhadap kecukupan Kontribusi vitamin C ASI terhadap kecukupan Kontribusi kalsium ASI terhadap kecukupan Kontribusi energi susu formula terhadap kecukupan Kontribusi protein susu formula terhadap kecukupan Kontribusi vitamin A susu formula terhadap kecukupan Kontribusi vitamin C susu formula terhadap kecukupan Kontribusi kalsium susu formula terhadap kecukupan Kontribusi zat besi susu formula terhadap kecukupan Kontribusi energi makanan terhadap kecukupan Kontribusi protein makanan terhadap kecukupan Kontribusi vitamin A makanan terhadap kecukupan Kontribusi vitamin C makanan terhadap kecukupan Kontribusi kalsium makanan terhadap kecukupan Kontribusi zat besi makanan terhadap kecukupan

0.326 0.680 0.707 0.589 0.971 0.974 0.154 1.000 0.169 1.000 0.226 1.000 0.991 0.991 0.991 0.991 0.991 0.596 0.773 0.727 0.780 0.707 0.852 0.341 0.617 0.766 0.280 0.138 0.691

Page 100: pemberian susu formula.pdf

86

Lampiran 5. Hasil korelasi Rank Spearman antara karakteristik keluarga, karakteristik anak, pengetahuan gizi ibu dengan pola pemberian ASI dan susu formula

Pola pemberian ASI Pola pemberian susu formula Variabel Penelitian r p r p Kelompok ibu tidak bekerja - umur ibu - pendidikan ibu - pendapatan keluarga - besar keluarga - urutan anak - jarak kelahiran - tempat kelahiran - penolong kelahiran - jenis persalinan - pengetahuan gizi ibu Kelompok ibu bekerja - umur ibu - pendidikan ibu - pendapatan keluarga - besar keluarga - urutan anak - jarak kelahiran - tempat kelahiran - penolong kelahiran - jenis persalinan - pengetahuan gizi ibu

0.179 -0.130 -0.143 0.173 0.246 0.414* -0.211 -0.357 0.084 -0.137

-0.158 -0.179 0.059 0.362* 0.366* 0.097 -0.251 0.097

0.517** -0.078

0.344 0.493 0.452 0.361 0.191 0.023 0.264 0.052 0.660 0.470

0.406 0.345 0.758 0.049 0.046 0.611 0.182 0.610 0.003 0.682

0.365* 0.194 0.158 0.199 0.267 0.207 0.242 0.239 -0.072 0.203

0.092 0.340

0.462** 0.304 0.295 0.298 0.147 -0.104 -0.073 0.343

0.048 0.305 0.405 0.292 0.154 0.273 0.198 0.203 0.249 0.282

0.132 0.066 0.010 0.102 0.114 0.110 0.439 0.585 0.702 0.063

Keterangan :

* Nyata pada taraf kepercayaan 95% ** Nyata pada taraf kepercayaan 99%