Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
SEKOLAH TINGGI TEOLOGIAMANAT AGUNG
PEMBERITAAN INJIL KEPADA SUKU BETAWIDENGAN METODE TIGA SAJADAN STORYTELLING
Skripsi
Diajukan KepadaSekolah Tinggi Teologi Amanat AgungUntuk Memenuhi Sebagian PersyaratanGuna Memperoleh GelarSai jana Teologi
Oleh
Julius Lie1011111084
035174
Jakarta
2015
. AMA/vJAI Au. i.v
SEKOLAH TINGGITEOLOGIAMANAT AGUNG
JAKARTA
Ketua Sekolah Tinggi Teologi Amanat Agung menyatakan bahwa skripsi yangberjudul PEMBERITAAN INJIL KEPADA SUKU BETAWI DENGAN METODE TIGASAJA DAN STORYTELLING dinyatakan lulus setelah diuji oleh Tim Dosen Pengujipada tanggal 14 Juli 2015.
Dosen Penguji Tanda Tangan
1- Jurgen Markus Nickel, Ph. D.
2. Lotnatigor Sihombing, Th. M.
3. Rosyeline Tinggi, M. Th.
Jakart; i 2015^f^^G,
Andreas iHimawan. D< Th.--.. v--
Ketua
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sebenarnyabahwa skripsi yang berjudul PEMBERITAAN INJIL KEPADA SUKU BETAWl DENGANMETODE TIGA SAJA DAN STORYTELLING, sepenuhnya adalah basil karya tubs sayasendiri dan bebas dari plagiarisme.
Jika di kemudian hari terbukti babwa saya telab melakukan tindakanplagiarisme dalam penulisan skripsi ini, saya akan bertanggungjawab dan slapmenerima sanksi apapun yang dijatuhkan oleh Sekolab Tinggi Teologi AmanatAgung.
Jakarta, 14 Juli2015
sTE'H.a;i^ PEL,
J729342
Julius Lie
(;i011111084)
ABSTRAK
SEKOLAH TINGGI TEOLOGIAMANAT AGUNG
JAKARTA
(A) Julius Lie (1011111084)
(B) PEMBERITAAN INJIL KEPADA SUKU BETAWIDENGAN METODE TIGA SAJADAN STORYTELLING
(C) ix + 101 him; 2015; 1 Lampiran
(D) Teologi/Pengembalaan
(E) Suku Betawi berada di tengah kota dan gereja, meskipun demikian suku inimasih tergolong suku terabaikan. Skripsi ini memfasilitasi gereja, penginjil,dan misionaris untuk bisa menjangkau suku Betawi. Dalam skripsi inidipaparkan mengenai konteks suku Betawi, metode yang bisa digunakanuntuk menginjili suku Betawi, serta menawarkan pertimbangan-pertimbangan yang patut dipikirkan ketika ingin menginjili suku Betawi.Adapun langkah yang ditempuh oleh penulis di dalam kepenulisan skripsi iniadalah memaparkan terlebih dahulu konteks suku Betawi. Pemaparanmengenai konteks ini terbagi dalam empat aspek, yakni sejarah, budaya,agama, dan pahlawan-pahlawan suku Betawi. Setelah membahas mengenaikonteks, penulis membahas mengenai kedua metode penginjilan, yaknimetode Tiga Saja yang menekankan pengijilan secara individual yangmemakai pendekatan relasional dan metode Storytelling yang menekankanpenginjilan dengan sasaran utama kelompok serta memakai pendekatancerita. Kemudian penulis merelasikan (menerapkan) antara konteks sukuBetawi dengan kedua metode penginjilan (Tiga Saja dan Storytelling). Ketikapenerapan dilakukan, maka di dapati bahwa dalam aspek sejarah, agama,dan pahlawan suku Betawi kedua metode sama-sama mendapat keuntungan.Tetapi ketika aspek budaya diterapkan dengan kedua metode, hanya metodeStorytelling yang mendapat keuntungan, sedangkan metode Tiga Sajamengalami hambatan. Kiranya pengguna.metode dapat mempertimbangkanakan memakai metode mana ketika sedang ingin melakukan penginjilan.
(F) BlBLIOGRAFl 52 (1983-2015)
(G) Jurgen Markus Nickel, Ph. D.
DAFTAR ISI
ABSTRAK i
DAFTAR TABEL vi
UCAPAN TERIMA KASIH vii
BAB SATU: PENDAHULUAN 1
Latar Belakang Permasalahan 1
Pokok Permasalahan 11
Tujuan Penelitian 12
Batasan Penelitian 13
Metodologi Penelitiann 13
Sistimatika Penulisan 14
BAB DUA: KONTEKS SUKU BETAWI 17
Sejarah Suku Betawi 17
Analisis Sejarah 21
Budaya Suku Betawi 21
Kesenian sebagai Budaya Suku Betawi 22
Teater merupakan Cerminan dari Budaya Betawi 24
Sistem Kemasyarakatan sebagai Cerminan Budaya Betawi 27
Budaya Betawi Dilihat dari Makna Upacara Nujuh Bulanin 28
ii
Ill
Analisis Kebudayaan 29
Agama Suku Betawi 31
Analisis Agama 33
Pahlawan-pahlawan Suku Betawi 34
Rama Ratu Jaya 34
Pitung 35
Entong Gendut 36
Analisis Pahlawan 37
Kesimpulan 37
BAB TIGA: PEMAPARAN DUA METODE PENGINJILAN 38
Metode Tiga Saja 39
Sengaja 41
Sehari-hari 43
Saling Tukar Pendapat 45
Setir 48
Sampaikan Mesias 50
Kesimpulan 52
Metode Storytelling 52
Membuat Peta Cara Pandang Pendengar 56
Memilih Cerita yang Menantang Keiiercayaan 58
IV
Memilih Cerita Yang Menyatakan Kemuliaan Allah 59
Cerita Yang Tidak Panjang dan Tidak Fendek, Tetapl Benar 60
Penginjilan Melalui Storytelling 62
Kesimpulan 64
Perbandingan Antara Metode Tiga Saja Dan Metode Storytelling 65
Kesimpulan 67
BAB EMPAT: PENERAPAN KEDUA METODE PEN(ilNJILAN 68
Penerapan Metode Tiga Saja dan Metode Storytelling Di Dalam Konteks
Betawi 69
Relasi Antara Sejarah Terbentuknya Suku Betawi dengan Metode Tiga
Saja dan Metode Storytelling 69
Relasi Antara Budaya Betawi Dengan Metode Tiga Saja dan Metode
Storytelling 75
Relasi antara Pahlawan Betawi dengan Metode Tiga Saja Dan Metode
Storytelling 80
Relasi antara Agama Suku Betawi Dengan Metode Tiga Saja dan
Metode Storytelling 83
Perbandingan Metode Tiga Saja dan Metode Storytelling 87
Kesimpulan 93
BAB LIMA: PENUTUP 94
DAFTAR PUSTAKA 96
BUKU 96
Jurnal 98
Kamus 98
Internet 99
BAB SATU
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pcrmasalahan
Tanggung jawab orang percaya di dalam penginjilan bukanlah sebuah hal
yang patut diremehkan. Tanggung jawab manusia dalam memberitakan Injil
merupakan tugas penting, karena Tuhan yang memberikan perintah kepada
manusia untuk memberitakan Injil. Tuhan memberikan tanggung jawab untuk
setiap orang percaya agar bisa berperan dalam mewujudnyatakan kasih-Nya kepada
dunia ini. J.I. Packer dalam bukunya Evangelism and the Sovereignty of God
(Penginjilan dan Kedaulatan Allah) memberikan penjelasan dengan baik mengenai
tanggung jawab manusia dalam memberitakan Injil, ia berkata:
... penginjilan adalah tugas yang diembankan pada seluruh umat Allahdimanapun mereka berada, yaitu tugas untuk mengkomunikasikan suatuberita dari Pencipta kepada manusia yang memberontak. Berita ini dimulaidengan informasi dan diakhiri dengan undangan. Yang diinformasikanadalah karya Allah yang menjadikan Anak-Nya Juruselamat pribadi bagiorang berdosa, dan undangannya adalah untuk datang kepada Juruselamatdan beroleh hidup... UmatKristen diutus ke dalam dunia sebagai bentaraAllah dan utusan Kristus untuk memberitakan kabar baik ini semaksimalyang ia bisa. Ini merupakan tugas (karena perintah oleh Allah dandiisyaratkan oleh kasih pada sesama) sekaligus hak istimewa (karenaberbicara bagi Allah dan membawakan kesembuhan bagi sesama yangterancam kematian Rohani merupakan peikara yang besarj.i
Bila pemberitaan Injil merupakan sebuah keharusan bagi umat Kristen, maka
seorang Kristen yang tidak menginjili sebenarnya sedang berdosa di hadapan
1. J.I. Packer, Evangelism and the Sovereignty of God (Peginj'ilan Dan Kedaulatan Allah) terj.Helda Siahaan, (Surabaya; Momentum, 2010), 73.
Tuhan, karena tidak menaati perintah Tuhan dan tidak peduli dengan sesama (yang
menunjukkan keegoisan diri sendiri).
Untuk melakukan penginjilan dengan baik, maka dibutuhkan sarana
berkomukasi yang baik (metode) di dalam penginjilan. Sebelum mengulas mengenai
sarana berkomunikasi yang baik, maka akan dibahas terlebih dahulu mengenai
konteks.2 Memahami sebuah konteks merupakan sebuah hal yang penting sebelum
menjalin sebuah komunikasi, terlebih di dalam pemberitaan Injil. Tanpa adanya
pemahaman, pengenalan, dan penerapan berita Injil itu di dalam sebuah konteks,
maka berita Injil itu akan menjadi sebuah hal yang tidak akan tersampaikan
(terkomunikasikan) dengan baik di masyarakat yang ada [pendengar). Dedy
Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat di dalam buku yang diedit olehnya, menjelaskan
mengenai pentingnya sebuah konteks (penjelasan lebih mengarah kepada budaya,
tetapi tidak menjadi sebuah masalah, karena budaya merupakan bagian dari
konteks) terhadap proses komunikasi, mereka m<mgatakan:
Budaya mempengaruhi komunikasi dalam banyak hal. Budayalah yangmenentukan waktu dan jadwal peristiwa-peristiwa antarpersona, tempat-tempat untuk membicarakan topik-topik tertentu, jarak fisik, yangmemisahkan antara seorang pembicara dengan orang lainnya, nada suarayang sesual untuk pembicaraan tertentu. Budaya, dalam hal ini melukiskankadar dan tipe kontak fisikyang dituntut oleh adat kebiasaan dan intensitasemosi yang menyertainya. Budaya meliputi hubungan antara apa yangdikatakan dan apa yang dimaksudkan, seperti "tidak" maksudnya "mungkin"dan "besok" maksudnya "tidak pernah". Budaya juga menentukan apakahsuatu hal, misalnya suatu kontrak tertentu, harus pertama-tamadidiskusikan antara dua orang atau didiskusikan dalam suatu pertemanseharian penuh yang mengikutsertakan enipat atau lima orang dari setiap
2. Konteks berkaitan dengan bahasa, budaya, agatna, lingkungan sosial, nilai dankepercayaandi dalam suatu kumpulan masyarakat.
pihak, dan mungkin dengan bantuan seorang pelayan yang menyuguhkankopi.^
Setelah mengetahui pentingnya sebuah konteks, maka perlu juga memahami
konteks itu sendiri. Dalam upaya memahami sebuah konteks, Andrew Kirk dalam
bukunya Apa itu Misi? Suatu Penelusuran teologis menjelaskan bahwa seorang .
misionarls harus memperhatikan komponen-komponen kebudayaan, yakni
kepercayaan-kepercayaan, nilai, dan bentuk lahiriah dari kebudayaan itu.'^ Andrew
Kirk menjelaskan mengenai kepercayaan-kepercayaan yang ia maksudkan. Kirk
berkata:
Kepercayaan-kepercayaan yang sering disebut sebagai pandangan duniayang dimiliki oleh suatu kebudayaan atau masyarakat. Kepercayaan-kepercayaan itu meliputi suatu penafsiaran yang kurang lebih koherenmengenai keberadaan manusia dan berusaha untuk menemukan arti daripengaiaman, tradisi, sejarah, dan hubungan dengan alam. Secara khususkepercayaan-kepercayaan berhubungan.dt-mgan perhatian-perhatian utamadari kehidupan: Kemanusiaan yang sama, ])erbedaan-perbedaan manusia,penderitaan, keberhasilan dan kegagalan, dan makna hidup s
Kepercayaan merupakan sebuah dasar dari komponen masyarakat, yang mana
tanpa memahami kepercayaan yang dianut oleh sebuah masyarakat, maka upaya
untuk memberitakan Injil akan mengalami sebuah benturan yang keras dengan
kepercayaan yang ada, sehingga mengakibatkan penginjilan menjadi tidak efektif.
Kirk menjelaskan pula apa yang dimaksud dengan nilai. Krik menjelaskan
bahwa "nilai merupakan patokan dan asas moral yang diterima atau yang tidak
ditoleransi oleh individu atau masyarakat."® Lebih lanjut lagi Kirk menjelaskan
3. Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rahkmat, ed„ Komunikasi Antarbudaya(Bandung-. RemajaRosdakarya, 1993), 40.
4. J. Andrew Kirk, Apa itu Misi?Suatu Penelusuran Teologis terj. Pericles Katopo (Jakarta:Gunung Mulia, 2012}, 116,
5. Kirk, Apa itu Misi?Suatu Penelusuran Teologis, 166-167.6. Kirk, Apa itu Misi?Suatu Penelusuran Teologis, 118.
mengenai fiingsi nilai, Kirk berkata "Fungsi nilai adalah untuk membenarkan cara-
cara bertingkah laku atau gaya hidup yang khusus."^ Kebudayaan melahirkan nilai
bagi individu atau kelompok, yang mana melalui nilai itu seseorang bisa
menentukan prinsip moral untuk kehidupan orang itu.® Tanpa memahami nilai,
memperhatikan secara seksama nilai apa yang dimiliki oleh sebuah kelompok atau
individu, maka upaya memahami sebuah konteks tidak mungkin untuk dilakukan.
Pengenalan akan nilai dari sebuah kelompok atau individu di dalam masyarakat,
memungkinkan seorang penginjil memahami sebuah konteks. Seorang penginjil
akan bisa melihat kesamaan nilai-nilai yang dimiliki oleh individu atau kelompok
dengan berita Injil yang akan diberitakan, lalu seorang penginjil akan bisa
memanfaatkan l^esamaan untuk menjadi sebuah peluang untuk penginjilan
dilakukan.
Selain kepercayaan dan nilai, Andrew Kirk menjelaskan pula mengenai
bentuk lahiriah. Krik menjelaskan bahwa bentuk lahiriah adalah "semua ungkapan
dari kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai kita yang mengelilingi kita dan yang
kita terima begitu saja sebab kita terbenam di dalamnya."® Bentuk-bentuk lahiriah
ini merupakan sebuah praksis yang muncul karena adanya kepercayaan yang
melahirkan nilai, dan nilai yang melahirkan praksis-praksis yakni bentuk lahiriah
itu sendiri. Bentuk lahiriah nilai merupakan tindakan, tingkah laku, pola pikir, dan
7. Kirk, Apa itu Misi?Suatv Peneiusuran Teologis, llfi.8. Kirk,j4pa itu Misi?Suatu Peneiusuran Teologis, 111).9. Kirk Apa itu Misi?Suatu Peneiusuran Teologis, 119.
pemakaian bahasa yang terefleksi dari kepercayaan dan nilai yang anut oleh
individu atau suatu kelompok masyarakati"
Pemahaman akan komponen-komponen kebudayaan inilah yang pada
akhirnya membuat berita Injil akan tepat sasaran dengan pendengar yang ada.
Pemahaman akan kepercayaan, nilai, dan bentuk lahiriah menjadi sebuah hal yang
perlu diperhatikan pada saatpenginjilan akan dilakukan. Ketidaktelitian di dalam
mengamat-amati komponen-komponen kebudayaan ini menjadikan pekabaran Injil
akan mengalami kesalahpahaman, percekcokan, dan perselisihan dengan pendengar
yang ada. Apabila hal ini terjadi, maka pemberitaan Injil akan menghadapi sebuah
tembok penghalangyang terpasang secara otomatis di dalam diri pendengar, yang
mana akan mengakibatkan penginjilan akan sulit dilakukan. Jadi memahami
komponen-komponen kebudayaan merupakan sebuah hal yang harus diperhatikan
dan harus dipahami dengan baik.
Dalam skripsi ini yang akan menjadi konteks yang akan ditelusuri adalah
suku Betawi. Suku Betawi adalah penduduk asli Jakarta, diketahui bahwa mereka
sudah tinggal di daerah pelabuhan kota (Sunda Kolapa] sejak abad ke-15."
Walaupun orang Betawi merupakan penduduk asli, tetapi mereka bukanlah yang
terbanyak di Jakarta. Pada tahun 2002 dilakukan sensus mengenai jumlah
penduduk berdasarkan suku yang berada di Jakarta, di mana dari sensus ini
10. Kirk,>lpa itu Misi?Suatu Penelusuran Teologis, 119.11. Tim Penults Persekutuan Jaringan Riset Nasional (PRJRN), Indonesia ProfilDoa Suku-suku
yang terabaikan (Jakarta: Persekutuan Jaringan Riset Nasional, 2003), 76.
6
diketahui bahwa jumlah penduduk untuk suku Betawi yang berada di Jakarta tidak
lebih banyak dari suku Jawa, berikut adalah tabel yang menunjukkan datanya.^^
Suku Bangsa Jumlah
Jawa 3.453.453
Betawi 2.700.722
Sunda 1.395.025
Tionghoa 632.372
Batak 362.645
Tabel 1. Survei Penduduk Jakarta pada Tahun 2002 Berdasarkan Suku.
Suku Betawi ini beragama Islam, dan kurang dari 100 orangyang beragama
Kristen, suku ini dikatagorikan sebagai suku yang terabaikan.^^ pari kelima suku
bangsa terbesar yang ada di Jakarta, satu-satunya yang penjangkauannya paling
minim adalah kepada suku Betawi. Hal inilah yang menjadi alasan kuat mengapa
suku Betawi yang akan menjadi fokus untuk ditelusuri di dalam skripsi ini.
Untuk berita Injil bisa disampaikan dengan baik, bukan hanya upaya
memahami sebuah konteks saja yang diperlukan (walaupun upaya memahami
konteks dengan cara memperhatikan dan memahami komponen-komponen
kebudayaan diperlukan), namun penguasaan akan suatu metode penginjilan sebagai
sebuah sarana berkomunikasi terhadap sebuah konteks juga merupakan sebuah hal
12. Ika Yanuarizki. "Partisipasi Masyarakat Pendatang Dalam Pelestarian Budaya Betawi DiPerkampungan Setu Babakan Kelurahan Srengseng Sawah Kecamatan Jagakarsa KotaJakarta."http://repositoiy.upi.edU/465/4/S_GEO_0905997_CHAPTERl.pdf (diakses 23 Desember 2014J.
13. Tim Fenulis Fersekutuan Jaringan Riset Nasional (FRJRN), Indonesia Profil Doa Suku-sukuyang terabaikan, 76. "Suku terabaikan" diartikan sebagai Suku-suku yang belum bisa (memilikicukup kemampuan) untuk menjangkau sukunya sendiri. Lih. "Michael Shipman, Dalam Artikel yangberjudul Suku-suku terabai, siapayang akan peduli?, (Crescendo, Edisl 321, Tahun 40,2005), hal 40-43. Artikel ini dikutip dari http://misi.sabda.org/book/export/html/2534, pada tanggal 1 Januari2014.
yang penting. Dalam Kamus besar bahasa Indonesia "metode" memiliki art! "cara
teraturyang dlgunakan untukmelaksanakan suaiu pekerjaan agar tercapai sesuai
dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistim untuk memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.''^^ Dari
pengertian ini, maka arti metode dapat ditarik ke dalam aspek penginjilan, yakni
bahwa metode penginjilan merupakan sebuah cai a atau strategi untuk melakukan
penginjilan sehingga tujuan penginjilan (pemberitaan Injil] dapat tercapai.
Metode penginjilan merupakan sebuah "refleksi dari teologi dan misi^^ itu
sendiri."^® Hal serupa juga dikemukakan oleh Ronald Allen, ia berkata bahwa
"metode terdiri dari dua hal, yakni teori (teologi] dan perbuatan (pelayanan]."^^
Dengan adanya metode penginjilan, maka penginjilan bukanlah sebuah aksi
pemberitaan dogma-dogma gereja, bukan juga sebuah wacana mengenai
pemberitaan injil, melainkan sebuah pemberitaan Injil dengan sebuah cara atau
"kemasan" yang baik (tanpa menghilangkan esensi dari Injil tersebut], dan sebuah
tindakan yang penuh strategi untuk melakukan pcmginjilan itu sendiri. Dengan
adanya metode dalam pemberitaan Injil, maka pemberitaan Injil bisa dilakukan
dengan baik.
14. Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-4 s.v. "Metode."15. Misi diartikan sebagai "total undertaking God has assigned the church for the salvation of
the word. The end of mission is God, though the church and beyond, reaching across barriers ofculture, language, geography, ideology, and action. Evangelism may be defined as the activity of thechurch's mission, through which people are offered the gospel to accept Christ by faith as Savior andserve him in his kingdom community." Lih. Graig QTT dan J.D. PAYNE, Missionary Methods: Research,Reflection, and Realities (Pasadena: William Carey Library, 2013), 4.
16. Graig OTT dan J.D. PAYNE, Missionary Methods: Research, Reflection, and Realities, xvi.17. Robert L. Plummer dan John Mark Terry, Paul's Missionary Methods: in His Time and Ours
(Illinois, IVP Academic, 2012), 128.
8
Ada banyak metode penginjilan yang ditawarkan sebagai sarana dalam
pemberitaan Injil. Ada yang melakukan penginjilan dengan metode Pendalaman
Alkitab, metode Evangelism Expiation, metode Tiga Saja, metode Storytelling,
metode Friendship Evangelism, metode Penginjilan Tanpa Kata, dll. Metode-metode
penginjilan yang ada menawarkan keunikan masing-masing dalam penginjilan.
Kendati-pun ada banyak metode yang ditawarkan untuk melakukan sebuah
penginjilan, tetapi penulis memilih dua metode saja untuk diterapkan kepada suku
Betawi. Adapun alasan mengapa penulis memilih dua metode adalah faktor
keterbatasan tempat sehingga tidak semua metode bisa dibahas, dua metode
dianggap cukup dibahas, karena kedua metode ini hampir memiliki pola yangmirip
dengan metode lain. Adapun dua metode yang akan dibahas adalah metode Tiga
Saja dan metode storytelling.^^ Metode Tiga Saja merupakan singkatan dari kapan
saja, di mana saja, dan siapa saja.^^ Karena metode Tiga Saja mengedepankan moto
bahwa penginjilan dapat dilakukan di mana saja, kapan saja dan kepada siapa saja,
maka metode Tiga Saja tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menyampaikan
18. Metode Tiga Saja dan metode Storytelling, memiliki kemiripan dengan metode lain,misalnya metode Tiga Saja memiliki kemiripan dengan metode Evangelism Expiation. Kemiripanmetode Tiga Saja dan metode Evangelism Expiation terletak pada gaya penginjilian yangmementingkan penginjilan secara individual dan memakai pendekatan relasional. Sedangkan metodeStorytelling memiliki kemiripan dengan metode DMM (Disciple Making Movement). Kemiripanmetode kedua metode ini terletak kepada penginjilan yang mengutamakan penjangkauan kelompokserta memakai sistem pemuridan belajar melalui pertanyaan untuk mendalami Alkitab. Keduametode, yakni Tiga Saja dan Storytelling merupakan reprensentasi dari beberapa metode. Dapatdikatakan representasi karena kebanyakan metode memiliki karakteristikyang tidak jauh berbeda,yakni berfokus kepada individual dan mementingkan pendekatan relasional (Tiga Saja) sertaberfokus kepada sekelompok orang dan mementingkan pembelajaran melalui Alkitab sebagaipenemuan kebenaran dan sebagai sarana pemuridan. Jadi bisa dikatakan metode Tiga Saja danmetode Storytelling merupakan representasi dari beberapa metode yang mirip dengannya.
19 Michael K. Shipman, Amat Karya Kerasuhin Kuno dan Kini (Semarang; RahayuGroup, 2011), 252. Metode Tiga Saja sudah dipakai untuk memberitakan Injil oleh misioanris dariAmerika yang berinisial A W.
kabar baik. Metode Tiga Saja memulai sebuah percakapan dengan mengenali
masalah kehidupan, setelah itu menjawab masalah kehidupan orang yang yang
ingin diinjili. Hal ini serupa dengan yang dilakukan Yesus ketika menjumpai
perempuan Samaria. Yesus mencoba menjawab permasalahan yang dialami oleh
perempuan Samaria, permasalahan itulah yang menjadi titik berangkat Injil
diberitakan (Yoh 4:39-42).2o Inilah yang coba diterapkan di dalam metode Tiga
Saja, yakni berangkat dari permasalahan yang ada, kemudian menjadikan Injil
sebagai solusi permasalahan itu.
Berbeda dengan metode Storytelling, metode ini mengedepankan proses di
dalam penyampaian Injil. Dalam penyampaian Injil membutuhkan waktu yang tidak
singkatyang ditujukan sebagai masa persiapan untuk Injil diproklamasikan. Metode
ini memulai dengan cerita-cerita yang ada di dalam Perjanjian Lama sebagai masa
persiapan, sehingga setelah persiapan dilakukan cerita mengenai Yesus sebagai
Juruselamat diproklamasikan (Perjanjian Baru).^^
Kedua metode yang berbeda ini, diasumsikan bisa dipakai sebagai sarana
penginjilan kepada suku Betawi. Kedua metode dengan kedua karakteristik ini
memiliki keunggulan masing-masing ketika diterapkan kepada konteks suku
Betawi. Metode Tiga Saja misalnya, memiliki kelebihan tersendiri ketika dipakai
untuk menginjili suku Betawi. Metode Tiga Saja memakai persoalan kehidupan
sebagai jembatan untuk berita Injil disampaikan. Ini merupakan sebuah hal yang
sesuai bila diterapkan di dalam kehidupan masyarakat Betawi yang penuh dengan
20. Shipman, Amat Agung; Karya Kerasulan Kuno dan Kini, 252.21. Christine Dillon, Telling The Gospel Through Story: Evangelism that Keeps Hearers
Wanting More (Illinois: InterVarsity Press, 2012), 36.
10
persoalan kehidupan (pendidikan, keuangan, keluarga, dll]. Metode Strorytelling
juga memiliki keunggulan ketika diterapkan unfuk masyarakat Betawi, mengingat
bahwa metode Storytelling sesuai bila diterapkan di dalam masyarakat yang sulit
untuk terbuka terhadap pemahaman baru dalam waktu dekat, maka ini merupakan
keuntungan bila diterapkan di dalam masyarakat Betawi yang menjaga nilai-nilai
budaya dan nilai-nilai agamanya (agama Islam} dengan baik. Butuh waktu yang
lama dan butuh penanaman nilai-nilai sehingga pada akhirnya Injil berakar kuat di
dalam kehidupan masyarakat Betawi. Ditambah lagi metode Storytelling merupakan
metode yang mementingkan pendekatan cerita, hal ini selaras dengan budaya suku
Betawi yang erat kaitannya dengan budaya cerita. Dalam hal ini penggunaan metode
Storytelling menjadi tepat, karena menekankan pcmanaman pengetahuan terlebih
dahulu sebagai dasar beriman dan pendekatan metode ini selaras dengan budaya
Betawi. Kedua metode yang diusulkan oleh Penulis, yakni metode Tiga Saja dan
metode Storytelling memiliki keuntungannya masing-masing ketika diterapkan di
dalam masyarakat Betawi. Karena kedua metode ini sama-sama memiliki
keuntungan dan dinilai baik bila dipakai sebagai sarana untuk menginjili suku
Betawi, maka kedua metode ini dipilih sebagai sebuah sarana untuk dilakukannya
penginjilan kepada suku Betawi.
Metode-metode ini tidak akan memiliki fungsi yang maksimal bila tidak
disertai dengan upaya pengenalan dan pemahaman akan sebuah konteks yang tepat
dengan keadaan pendengar Injil yang ada. Metode penginjilan dan pengenalan akan
sebuah konteks merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Metode saja tidak
akan cukup dalam upaya penginjilan, dan pengenalan akan sebuah konteks juga
11
tidaklah cukup untuk melakukan upaya penginjilan. Dua hal inilah yang merupakan
sebuah sarana yang diperlukan untuk menyampaikan berita Injil dengan baik.
Pokok Permasalahan
1. Walaupun Jakarta sudah dapat dikatakan kota yang memiliki perkembangan
yang baik, tetapi di kota ini masih terdapat suku yang terabaikan, yakni suku
Betawl yang merupakan penduduk asli Jakarta tersebuL Ini merupakan
sebuah hal yang begitu ironi, di kota yang iDerkembang masih terdapat suku
yang terabaikan atau yang belum terjangkau dengan Injil. Melihat hal ini,
perlu dilakukan usaha untuk menjangkau suku Betawi ini. Untuk
menjangkau suku Betawi diperlukan pengenalan akan konteks yang tepat
terhadap suku Betawi. Ketika meninjau mengenai konteks suku Betawi,
maka ada permasalahan yang muncul, yakni apa yang bisa direfleksikan dari
konteks suku Betawi ini? Apakah ada ciri khas yang akan ditemukan di dalam
suku Betawi? Yang mana melalui ciri khas ini bisa ditemukan kesempatan
dan ancaman untuk dilakukannya sebuah i)enginjilan.
2. Selain konteks, metode penginjilan juga di])erlukan untuk melakukan
penjangkauan terhadap suku Betawi. Dalam hal ini Penulis mengusulkan dua
metode sebagai sarana pemberitaan Injil kepada suku Betawi. Dua metode
itu adalah metode Tiga Saja dan metode Storytelling, kedua metode ini
12
memiliki karakteristikyangberbeda.22 Kedua metode ini diusulkan dengan
maksud melihat metode kekurangan dan kelebihan setiap metode, dengan
demikian akan terlihat metode mana yang memiliki kekurangan dan
keuntungan yang lebih banyak ketika digunakan untuk memberitakan Injil
kepada suku Betawi? Dengan melihat kekurangan dan kelebihan dari setiap
metode, penginjil bisa mempertimbangkan sendiri metode mana yang akan
dipakai ketika ingin melakukan penginjilan kepada suku Betawi.
Tujuan Penelitian
Kepenulisan skripsi ini bertujuan sebagai berikut:
1. Memaparkan konteks suku Betawi, sehingga melalui pemaparan konteks
suku Betawi dapat ditemukan sifat-sifat dan segmen-segmen yang dapat
menjadi .konteks untuk penjangkauan atau penginjilan kepada suku Betawi.
22. Menurut Penulis perbedaan karakteristik antara metode Tiga Saja dan metodeStorytelling, yakni terletak pada cara untuk mengkomunikasikan Injil itu sendiri. Dalampenyampaiannya metode Tiga Saja lebih berorientasi kepada bagaimana seseorang bisa percaya,sedangkan metode Storytelling berorientasi kepada proses ketaatan. Lib. "Disciple-makingMovements, What are they_Who are they" http://www.youtube.com/watch7vsaBLht5mH2WE, menit03:11 - 03: 50, (diakses 25 Desember 2014). Dalam hal ini yang dimaksud dengan proses ketaatanadalah seseorang yang diinjili melalui metode Storytelling diajarkan terlebih dahulu mengenai dasar-dasar Firman Tuhdn sebagai fondasi agar orang itu siap ketika mendengarkan injil, dan menjadiorang percaya yang taat ketika sudah menerima injil. Kedua karakteristik yang berbeda di antarametode Tiga Saja dan metode Storytelling setara dengan karakteristik yang berbeda antara T4T danDMM. Metode Tiga Saja merupakan turunan dan refleksi dari T4T, maka karakteristik antara T4T danmetode Tiga Saja adalah sebuah hal yang mirip. Sedangkan Storytelling bukanlah turunan dari DMM(Disciple Making Movement), tetapi keduanya memiliki karakteristik yang sama atau mirip. MetodeStorytelling mementingkan penanaman Firman Tuhan sebagai fondsi awal yang akan digunakansebagai masa persiapau untuk Injil diproklamasikan, begitu juga dengan DMM mementingkanpengajaran Friman Tuhan sebagai fondasi awal untuk membangun iman kepada Tuhan sehinggaorang bisa percaya melalui pembelajaran yang membawanya kepada iman itu. Jadi karakteristikperbandingan yang dipakai oleh T4T dan DMM bisa juga dipakai untuk sebagai karaktereistikperbandingan metode Tiga Saja dan metode Storytelling.
13
Pemaparan konteks ini juga untuk memudahkan metode penginjilan yang
ada menemukan bagian-bagian yang bisa dijangkau dengan efektif.
2. Mendeskripsikan dua metode yang akan dipakai nantinya dalam penginjilan
kepada suku Betawi. Adapun metode yang dipakai, yakni metode Tiga Saja
dan Stroytelling.
3. Melakukan penerapan kedua metode penginjilan, yakni metode Tiga Saja dan
Storytelling kepada konteks suku Betawi. Dalam penerapan ini akan terlihat
metode mana yang sesuai dan memiliki keuntungan yang banyak bila
diterapkan kepada suku Betawi.
Batasan Penelitian
Seperti yang sudah dipaparkan di bagian latar belakang, ada banyak metode-
metode yang digunakan di dalam penginjilan. Dalam skripsi ini, tidak semua metode
dapat dideskripsikan. Hanya ada dua metode saja yang akan dideskripsikan dan
diterapkan di dalam skripsi ini, yakni metode Tiga Saja dan Storytelling. Hal kedua
yang perlu untuk dibatasi adalah konteks dari penerapan metode penginjilan. Dalam
skripsi ini yang akan menjadi konteks adalah suku Betawi saja.
Metodologi Penelitiann
Skripsi ini akan ditulis menggunakan metode penelitian kualitatif.
Kepenulisan dari skripsi ini akan bersifat pendeskripsian dan penerapan. Untuk
14
membantu di dalam menerapkan dua metode penginjilan dengan konteks suku
Betawi, maka penulis memakai SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, dan
Threats') analisis. Analisis SWOT diambil dari dunia bisnis, analisis ini bisa tepat
digunakan untuk merefleksikan kesesuaian. Dikatakan tepat karena analisi SWOT
memperhatikan faktor internal dan eksternal. Dalam ha! ini analisis SWOT dapat
dipakai untuk merefleksikan kesesuaian dalam metode penginjilan, yang mana
dapat memperhatikan faktor internal (metode penginjilan) dan faktor eksternal
(konteks suku Betawi di Jakarta). Analisis SWOT bukan untuk menggantikan
metode penelitian kualitatif, tetapi sebagai sarana mempermudah penelitian yang
bersifat perbandingan. Penelitian ini akan dilakukan melalui studi perpustakaan/
literatur, yang dilakukan memakai buku, ensiklopedia, kamus, situs internet, artikel,
jurnal, dan berbagai bahan lainnya yang berkaitan dengan penginjilan.
Sistimatika Penulisan
Skripsi ini akan ditulis dalam lima bab. Bab yang pertama akan membahas
mengenai latar belakang dan pokok permasalahan, yakni mengenai latar belakang
bahwa setiap manusia yang sudah diselamatkan memiliki tanggung jawab untuk
memberitakan Injil kepada orang yang belum percaya. Untuk memberitakan Injil
tersebut butuh pemahaman akan sebuah konteks dengan jelas dan metode
penginjilan yang efektif. Pokok permasalahan mernbahas mengenai permasalahan
konteks Betawi yang belum direfleksikan dan mengenai kesesuaian metode
penginjilan yang akan diterapkan bila di dalam konteks Betawi.
15
Dalam bab yang kedua, akan dibahas mengenai konteks suku Betawi.
Pembahasan ini mencangkup agama, kebudayaan, pola pikir, pendidikan, dan
tingkatan sosial dari suku Betawi. Semaksimal mungkin konteks suku Betawi akan
dipaparkan di dalam bab yang kedua ini, yang mana konteks ini akan menonjolkan
kesempatan [opportunities] dan bahaya [threats) sehingga memungkinkan
penginjilan dilakukan atasnya. Dalam melakukan penyelidikan terhadap suku
Betawi guna ditemukannya kesempatan dan bahaya, maka dalam skripsi ini Penulis
akan menyelidiki sejarah terbentuknya suku Betawi, budaya yang dimiliki suku
Betawi, agama yang dianut oleh Suku Betawi. dan pahlawan-pahlawan yang dimiliki
oleh suku Betawi. Sehubungan dengan pembahasan Penulis di dalam latar belakang
permasalahan mengenai pentingnya melihat dan memperhatikan komponen-
komponen kebudayaan, maka di dalam bagian pembahasan mengenai konteks suku
Betawi juga akan dibahas mengenai komponen-komponen kebudayaan.
Pembahasan mengenai Komponen-komponen kebudayaan akan dilebur di dalam
pembahasan mengenai konteks suku Betawi. Komponen-komponen kebudayaan
terdiri dari kepercayaan, nilai, dan bentuk lahiriah akan dibahas di dalam konteks
suku Betawi. Dalam pembahasan mengenai budaya suku Betawi akan dibahas juga
mengenai agama yang dianut dan penderitaan yang dialami oleh suku Betawi,
karena ini akan berkaitan dengan kepercayaan dan pemakanaan hidup dari orang-
orang Betawi. Dalam Pembahasan mengenai sejarah terbentuknya suku Betawi
akan membahas nilai yang akan dimiliki oleh suku Betawi. Dan dalam pembahasan
mengenai pahlawan-pahlawan suku Betawi akan muncul bentuk-bentuk lahiriah
yang akan bisa dibahas nantinya.
16
Dalam bab yang ketiga, akan dibahas mengenai Pemaparan dua metode
penginjilan. Pemaparan ini bersifat deskriptif. Dalam pemaparan ini akan
ditampilkan mengenai ciri khas atau keunikan, tijje, dan karakteristik dari masing-
masing metode penginjilan. Pemaparan ini dibuat untuk memahami lebih jauh
mengenai kedua metode penginjilan, yakni metode Tiga Saja dan metode
Storytelling. Dalam bab ini metode akan diteliti, schingga dapat mengenali kekuatan
dan kelemahannya. Penelitian ini akan mempermudah penerapan kepada suku
Betawi.
Dalam bab yang keempat, akan dibahas mtmgenai penerapan metode-
metode penginjilan yang ada di dalam konteks sukii Betawi. Dalam penerapan ini,
akan ditemukan mengenai keuntungan dan kerugian dari masing-masing metode
ketika diterapkan di dalam konteks suku Betawi. Keuntungannya dan
kekurangannya dinilai dari apakah konteks suku Betawi sesuai dengan karakteristik
metode yang menekankan individu atau kelompok, percaya atau ketaatan,
menginjili untuk percaya atau pemuridan, menekankan keselamatan atau gaya
hidup kerajaan Allah, berkhotbah/pengajaran atau memfasilitasi, dan persuasi atau
penemuan.23 Penerapan ini tidak akan dilakukan secara langsung, melainkan hanya
penerapan berdasarkan hasll riset kepustakaan saja, yakni sebuah kombinasi
metode penginjilan [Strength, Weakness,) dan konteks [Opportunities, dan Threats).
Lalu dalam bab kelima Penulis akan membuat kesimpulan berdasarkan
pembahasan skripsi ini.
23. "Disciple-making Movements, What are they_Who are they"http://www.youtube.com/watch7vsaBLht5mH2WE, menit 03:11-03: 50, (diakses 25 Desember2014).
PENUTUP
Sebuah ironi jika melihat suku Betawi yang masih terabaikan, padahal suku
ini berada di Jakarta yang notabennya ada banyak gereja dan penginjil di dalamnya.
Artinya gereja-gereja yang ada di Jakarta belum berupaya untuk menjangkau suku
ini. Sebagai upaya menggerakan gerja dan penginjil, maka dalam tulisan ini, saya
mencoba menyuguhkan dua metode penginjilan untuk menginjili suku Betawi,
yakni metode Tiga Saja dan Metode Storytellling. Penelitian saya dimulai dengan
membahas mengenai konteks suku Betawi. Ada empat aspek yang menjadi
perhatian ketika membahas konteks suku Betawi, yakni sejarah, budaya, agama, dan
pahlawan-pahlwan suku Betawi. Saya meneliti dan menganalisa keempat aspektersebut. Pertama, dari aspek sejarah saya mendapati bahwa suku Betawi terbentuk
dan hasil peleburan yang memerlukan sikap terbuka dan tolerasi terhadap suku
lam, karena suku Betawi dari hasil peleburan, maka suku Betawi memiliki kedua
sikap ini. Kedua, dari aspek budaya saya menemul^an bahwa suku Betawi erat
dengan budaya cerita dan erat juga dengan dunia gaib. Ketiga, dari analisa terhadap
aspek agama ditemukanlah Islam sudah menjadi agama yang mengakarkuat di
dalam suku Betawi, bahkan sudah menjadi budaya di dalam suku ini. Keempat, dari
analisa terhadap aspek pahlawan ditemukanlah adanya pengharapan yang besar
dan suku Betawi akan adanya sosok pembebas yang bisa membebaskan mereka
dari ketertindasân dan permasalahan yang mereka hadapi.
Setelah meneliti mengenai konteks, selanjutnya saya mendeskrispsikan
kedua metode penginjilan, yakni metode Tiga Saja dan metpde Storytelîing. Metode
94
95
Tiga saja merupakan metode yang berfokus kepada individual. Penginjilan secara
relasional merupakan sebuah hal yang diterapkan di dalam metode ini. Sedangkan
metode Storytelling merupakan metode yang berl'okus untuk penginjilan secara
kelompok. Yang diterapkan di dalam metode Storytelling ketika ingin menginjili
adalah penginjilan dengan memakai cerita. Metode Tiga saja dan metode Storytelling
memiliki keunikannya masing-masing. Namun keunikan dari sebuah metode belum
tentu sesual bila diterapkan di dalam sebuah konteks, maka selanjutnya saya akan
membahas mengenai relasi antara kedua metode dengan konteks suku Betawi. Dari
hal ini akan dilihat kelebihan dan kekurangan dari kedua metode bila diterapakan.
Metode Tiga Saja dan metode Storytelling sama-sama beradaptasi dan mengalami
keuntungan bila diterapakan di dalam aspek sejarah, agama, dan pahlawan-
pahlawan suku Betawi. Mengenai aspek budaya hanya metode Storytelling saja yang
mengalami keuntungan oleh karena pendekatan metode selaras dengan budaya
cerita, sedangkan metode Tiga Saja mengalami hambatan. Saya berharap skripsi ini
dapat memfasilitasi setiap penginjil atau misionaris yang ingin menjangkau suku
Betawi. Dalam tulisan ini sudah dipaparkan dan dianalisa mengenai konteks suku
Betawi. Hasil pemaparan dan analisa ini diharapkan berguna untuk setiap penginjil
dan misionari dalam hal mengobservasi dan melakukan pendekatan kepada suku
Betawi. Kemudian, kedua metode yang dideskripsikan dan direlasikan dengan
konteks di dalam tulisan ini juga diharapkan bermanfaat bagi setiap penginjil,
sehingga mereka bisa mempertimbangkan metode mana sesuai ketika diterapkan
kepada suku Betawi. Yang terakhir, tulisan juga mendorong setiap gereja dan orang
percaya agar mulai melakukan upaya penjangkauan terhadap suku Betawi.