39
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah ketatanegaraan RI menunjukkan bahwa sebelum UUD 1945 diamandemen, persoalan hubungan antara pusat dan daerah sangat tidak jelas.Hal ini disebabkan pasal 18 UUD beserta penjelasannya yang merupakan landasan hukum mengenai pemerintahan daerah,bukan hanya terlalu sederhana tetapi juga tidak memberikan arahan yang jelas mengenai bagaimana hubungan antara pusat dan daerah itu dilaksanakan. Di dalam rumusan pasal 18 UUD 1945, negara RI adalah negara kesatuan dengan sistem desentralistik. Desentralisasi merupakan salah satu sendi susunan organisasi negara yang diterima dan disepakati oleh para pembentuk Negara Republik Indonesia. Desentralisasi ini mempunyai konsekuensi yaitu adanya urusan-urusan pemerintahan yang harus didelegasikan kepada satuan pemerintahan yang lebih kecil dan pilihan tersebut menjadi titik pangkal keharusan adanya pengaturan yang jelas mengenai hubungan antara Pusat dan Daerah. Dalam sistem negara kesatuan,seperti hal nya negara RI,ditemukan adanya dua cara yang dapat menghubungkan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.Cara pertama disebut sentralisasi, dimana segala urusan, fungsi, tugas dan wewenang penyelenggaraan pemerintahan ada pada Pemerintah Pusat yang 1

PEMDA KUMPU !!!!

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PEMDA KUMPU !!!!

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah ketatanegaraan RI menunjukkan bahwa sebelum UUD 1945

diamandemen, persoalan hubungan antara pusat dan daerah sangat tidak jelas.Hal ini

disebabkan pasal 18 UUD beserta penjelasannya yang merupakan landasan hukum mengenai

pemerintahan daerah,bukan hanya terlalu sederhana tetapi juga tidak memberikan arahan

yang jelas mengenai bagaimana hubungan antara pusat dan daerah itu dilaksanakan.

Di dalam rumusan pasal 18 UUD 1945, negara RI adalah negara kesatuan dengan

sistem desentralistik. Desentralisasi merupakan salah satu sendi susunan organisasi negara

yang diterima dan disepakati oleh para pembentuk Negara Republik Indonesia. Desentralisasi

ini mempunyai konsekuensi yaitu adanya urusan-urusan pemerintahan yang harus

didelegasikan kepada satuan pemerintahan yang lebih kecil dan pilihan tersebut menjadi titik

pangkal keharusan adanya pengaturan yang jelas mengenai hubungan antara Pusat dan

Daerah.

Dalam sistem negara kesatuan,seperti hal nya negara RI,ditemukan adanya dua

cara yang dapat menghubungkan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.Cara

pertama disebut sentralisasi, dimana segala urusan, fungsi, tugas dan wewenang

penyelenggaraan pemerintahan ada pada Pemerintah Pusat yang pelaksanaannya dilakukan

secara dekonsentrasi. Cara kedua dikenal sebagai desentralisasi dimana urusan,tugas dan

wewenang pelaksanaan pemerintahan diserahkan seluas-luasnya kepada daerah.

Pelimpahan melalui dekosentrasi adalah pendelegasian wewenang kepada

perangkat (aparat vertical) yang berada di bawah hierarkinya di Daerah, sedangkan penyerahan

dalam rangka desentralisasi ini merupakan pendelegasian urusan kepada daerah otonom.

Sejarah juga mencatat, bahwa hubungan antara pusat dan daerah sangat

dipengaruhi oleh adanya tarik-menarik antara kepentingan pusat yang cenderung sentralistik

1

Page 2: PEMDA KUMPU !!!!

dan tuntutan daerah yang menghendaki desentralistik.Keadaan tersebut berakibat timbulnya

ketidak – serasian hubungan antara Pusat dan Daerah.

B. Kerangka Pemikiran

Dalam upaya menemukan format hubungan keuangan antara pusat dan daerah

yang ideal merupakan salah satu aspek dari hubungan pusat dan daerah dalam kerangka

Negara Kesatuan RI,merupakan proses yang berjalan seiring dengan perjalanan sejarah bangsa

Indonesia. Dalam penelitian ini akan dipergunakan beberapa teori sebagai alat untuk

menganalisis data yang diperoleh, yakni konsep demokrasi (kedaulatan rakyat) sebagai teori

utama (grand theory), dan untuk mendukung teori utama dkpergunakan konsep pembagian

kekuasaan , dan konsep Negara hukum sebagai middle range theory. Sedangkan teori – teori

otonomi dan teori hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah sebagai teori aplikatif.

Hubungan keuangan antara pusat dan daerah pada hakikatnya yang menjadi persoalan pokok

adalah pembagian sumber-sumber pendapatan maupun kewenangan pengurusan dan

pengelolaannya di antara pemerintah pusat dan daerah. Hubungan ini menyangkut tanggung

jawab untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu antara tingkat-tingkat pemerintah dan

pembagian sumber-sumber penerimaan untuk menutup pengeluaran akibat kegiatan-kegiatan

itu. Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan keuangan antara

pusat dan daerah yang menggunakan istilah “perimbangan keuangan” dapat dilihat dalam UU

No. 32 Tahun 1956, UU No. 25 Tahun 1999 maupun UU No. 33 Tahun 2004. Hubungan

keuangan antara Pusat dan Daerah adalah proses pendistribusian hak dan kewajiban antara

satuan pemerintah Pusat dan Daerah yang berhubungan dengan pemanfaatan dan pengelolaan

sumber – sumber keuangan dalam rangka melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan

sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh masing – masing satuan pemerintah tersebut.

Menurut Carl J.Frederich pembagian kekuasaan secara vertikal dan disebut juga

pembagian kekuasaan secara teritorial (territorial division of power) adalah pembagian

kekuasaan menurut tingkatannya dan dalam hal ini yang dimaksud ialah pembagian kekuasaan

antara beberapa tingkatan pemerintahan.Pembagian kekuasaan ini dengan jelas dapat

disaksikan kalau kita bandingkan dengan negara kesatuan,negara federal,serta konfederasi. 2

Page 3: PEMDA KUMPU !!!!

Dalam konteks Negara Kesatuan RI, territorial divison of power ini diwujudkan dengan adanya

satuan pemerintah yang disebut dengan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

3

Page 4: PEMDA KUMPU !!!!

BAB II

KAJIAN TEORITIK TENTANG HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH

A. Asas-Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Pengaturan mengenai hubungan antara pusat dan daerah dalam konteks negara

kesatuan merupakan suatu yang sangat penting untuk dikaji dan dianalisis agar tidak terdapat

kendala dalam penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan. Kelahiran satuan

pemerintahan tingkat daerah adalah konsekuensi adanya konsep pembagian dan pembatasan

kekuasaan sebagai salah satu unsur negara hukum. Dalam tataran teoretis dikenal adanya

pembagian kekuasaan secara horizontal dan vertikal. Pembagian kekuasaan secara horizontal

adalah suatu pembagian dimana kekuasaan dalam suatu negara dibagi dan diserahkan kepada

tiga badan yang mempunyai kedudukan yang sejajar, yakni kekuasaan eksekutif yang

diserahkan kepada pemerintah, kekuasaan legislatif kepada parlemen, dan kekuasaan yudikatif

kepada badan peradilan.

Pembagian kekuasaan secara horizontal adalah suatu pembagian kekuasaan

dimana kekuasaan dalam suatu negara dibagi dan diserahkan kepada tiga badan yang

mempunyai kedudukan yang sejajar,sedangkan pembagian kekuasaan secara vertikal, yaitu

suatu pembagian kekuasaan antara pemerintah nasional atau pusat dengan satuan

pemerintahan lainnya yang lebih rendah. Pembagian kekuasaan secara vertikal dalam konteks

negara Indonesia dapat dilihat secara formal dalam pasal 1 ayat (1), pasal 4 ayat (4), dan pasal

18 ayat (1) UUD 1945.

Dalam suatu negara kesatuan, pada hakikatnya semua urusan pemerintahan berada pada

Pemerintah Pusat, tetapi urusan pemerintahan tersebut dapat diserahkan atau didelegasikan kepada

satuan pemerintah yang lebih rendah melalui kuasa undang-undang. Dalam menyelenggarakan

pemerintahan tersebut,pemerintah berpedoman pada beberapa asas,yaitu:

1. Asas keahlian,dilihat dari susunan pemerintah pusat.Semua soal diolah oleh ahli-ahli antara lain

dalam susunan kementrian-kementrian.Yang memegang pimpinan pada kementrian-kementrian itu

seharusnya ahli-ahli urusan yang menjadi kompetensinya.

4

Page 5: PEMDA KUMPU !!!!

2. Asas kedaerahan, dengan bertambah banyaknya kepentingan-kepentingan yang harus

diselenggarakan oleh pemerintah pusat karena bertambah majunya masyarakat,pemerintah tidak

dapat mengurus semua kepentingan-kepentingan itu dengan baik tanpa berpegang pada asas

kedaerahan dalam melakukan pemerintahan.

Berdasarkan asas keahlian, maka setiap urusan pemerintahan harus secara benar dan

selektif diserahkan kepada mereka yang mempunyai keahlian atau profesionalisme dibidangnya dan

asas kedaerahan memberikan peluang kepada pemerintahan daerah untuk melaksanakan urusan-

urursan pemerintahan tertentu.

Terdapat dua pandangan mengenai desentralisasi dan dekosentrasi. Pandangan pertama

merupakan pandangan dari aspek yuridis formal, bahwa desentralisasi maupun dekosentrasi kedua-

duanya merupakan asas penyelenggaraan pemerintahan. Pandangan kedua menyatakan baik

desentralisasi maupun dekosentrasi kedua-duanya bukan merupakan asas, melainkan proses

penyelenggaraan pemerintahan.

Dalam UU yang mengatur pemerintahanan daerah desentralisasi dan dekosentrasi

merupakan asas penyelenggaraan pemerintahan daerah, tetapi menurut UUD yang merupakan asas

penyelenggaraan pemerintahan daerah hanya meliputi asas otonomi dan tugas pembantuan.

1. Pengertian Desentralisasi dan Dekosentrasi

Dari sudut ketatanegaraan yang dimaksud dengan desentralisasi ialah pelimpahan

kekuasaan pemerintah dari pusat kepada daerah-daerah yang mengurus rumah tangganya

sendiri.Desentralisasi juga dapat dikatakan sebagai pembentukan otonom dengan kekuasaan-

kekuasaan tertentu dan bidang-bidang kegiatan tertentu yang diselenggarakan berdasarkan

pertimbangan, inisiatif dan administrasi sendiri. Dan dalam desentralisasi ini akan dijumpai

proses pembentukan daerah yang berhak mengatur dan mngurus kepentingan daerahnya.

Secara umum desentralisasi terbagi menjadi dua, yakni desentralisasi territorial

atau kewilayahan dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi menunjukkan pendelegasian

atau devolusi kewenangan pembuatan keputusan kepada pemerintahan yang tingkatannya

lebih rendah.

Dilihat dari aspek pemberian wewenang, maka desentralisasi akan memberikan

wewenang kepada Pemerintah Daerah untuk melaksanakan atau menangani urusan-urusan

5

Page 6: PEMDA KUMPU !!!!

pemerintahan tertentu sebagai urusan rumah tangga sendiri. Desentralisasi juga dimaksudkan

untuk memperlancar roda pemerintahan.

Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan

desentralisasi di Indonesia sebagai akibat dari (1) luasnya wilayah Indonesia, (2)

ketidakmampuan pemerintah pusat untuk menyelenggarakan semua urusan pemerintahan, (3)

keadaan Indonesia yang pluralistik, dan (4) untuk terciptanya daya guna dan hasil guna

pemerintahan dan pembangunan.

Dalam desentralisasi terdapat tiga dimensi utama. Pertama, dimensi ekonomi, di

mana rakyat memperoleh kesempatan dan kebebasan untuk mengembangkan kegiatan

ekonominya. Kedua, dimensi politik, yakni berdayanya masyarakat secara politik yang ditandai

dengan lepasnya ketergantungan organisasi-organisasi rakyat dari pemerintah. Ketiga, dimensi

psikologis, yakni perasaan individu yang terakumulasi menjadi perasaan kolektif (bersama).

Tujuan yang akan diwujudkan dengan dianutnya konsep desentralisasi adalah agar

tidak terjadi penumpukan kekuasaan (concentration power) pada satu pihak saja, yakni

pemerintah pusat.

Perbedaan desentralisasi dan dekosentrasi hanya terletak pada karakter atau sifat

dan mekanisme pelaksanaannya, pada desentralisasi pemencaran kekuasaan (transfer of

powers) adalah di bidang kenegaraan oleh karenanya bersifat “staatskundig”, sedangkan pada

dekosentrasi pemencaran kekuasaan (transfer of powers) adalah di bidang kepegawaian atau

administrasi, dan oleh karenanya bersifat “ambtelijke”.

Dalam dekosentrasi terkandung ciri-ciri sebagai berikut:

a. bentuk pemencaran adalah pelimpahan

b. pemencaran terjadi kepada pejabat sendiri (perorangan)

c. yang dipencarkan (bukan urusan pemerintahan) tetapi wewenang untuk melaksanakan sesuatu

d. yang dilimpahkan tidak menjadi urusan rumah tangga sendiri.

Ciri-ciri atau indikator desentralisasi meliputi:

a. bentuk pemencaran adalah penyerahan

b. pemencaran terjadi kepada daerah (bukan perorangan)

c. yang dipencarkan adalah urusan pemerintahan6

Page 7: PEMDA KUMPU !!!!

d. urusan pemerintahan yang dipencarkan menjadi urusan pemerintah daerah

Kelebihan desentralisasi adalah sebagai berikut:

a. Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan

b. Dalam menghadapi masalah yang mendesak yang membutuhkan tindakan yang cepat, daerah

tidak perlu menunggu instruksi lagi dari pemerintah pusat

c. Dapat mengurangi birokrasi dalam arti yang buruk karena setiap keputusan dapat segera

dilaksanakan

d. Dalam sistem desentralisasi, dapat diadakan pembedaan (defferensiasi) dan pengkhususan

(spesialisasi) yang berguna bagi kepentingan tertentu

e. Dengan adanya desentralisasi territorial, daerah otonom dapat merupakan semacam

laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, yang dapat bermanfaat

bagi seluruh negara

f. Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari pusat

g. Dari segi psikologis, dapat lebih memberikan kepuasan bagi daerah-daerah karena sifatnya yang

lebih langsung.

Dalam desentralisasi juga terdapat kelemahan-kelemahan meliputi:

a. Karena besarnya organ-organ pemerintah, maka struktur pemerintah bertambah kompleks

yang mempersulit koordinasi

b. Keseimbangan dan keserasian antara bermacam-macam kepentingan dan daerah dapat lebih

terganggu

c. Khusus mengenai desentralisasi territorial, dapat mendorong timbulnya apa yang disebut

dengan “daerahisme” tau “provinsialisme”

d. Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang lambat karena memerlukan perundingan

yang bertele-tele

e. Dalam menyelenggarakan desentralisasi, diperlukan biaya yang lebih banyak dan sulit untuk

memperoleh keseragaman/uniformitas dan kesederhanaan.

2. Asas otonomi

Secara etimologi otonomi berasal dari kata “oto” (auto=sendiri) dan “nomoi”

(nomoi=nomos=undang-undang/aturan)yang berarti mengatur sendiri, wilayah atau bagian 7

Page 8: PEMDA KUMPU !!!!

Negara atau kelompok yang memerintah sendiri. Di dalam tata pemerintahan otonomi

diartikan sebagai mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri.

Dalam kepustakaan terdapat beberapa jenis otonomi, yaitu otonomi materiil,

otonomi formal, dan otonomi riil. Otonomi materiil mengandung arti bahwa urusan yang

diserahkan menjadi urusan rumah tangga diperinci secara tegas, pasti, diberi batas-batas

(limitative), "zakelijk”, dan dalam praktiknya penyerahan ini dilakukan dalam UU pembentukan

daerah yang bersangkutan.

Otonomi formal adalah sebaliknya, urusan yang diserahkan tidak dibatasi dan tidak

“zakelijk”. Sedangkan otonomi riil merupakan kombinasi atau campuran otonomi materiil dan

otonomi formal.

3. Asas tugas pembantuan

Secara etimologis, tugas pembantuan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda

“medebewind” yang berasal dari kata “mede” = serta, turut dan “bewind” = berkuasa atau

memerintah. Medebewind merupakan pelaksanaan peraturan yang disusun oleh alat

perlengkapan yang lebih tinggi, oleh yang lebih rendah.

Tugas pembantuan dapat diartikan sebagai pemberian kemungkinan kepada

pemerintah pusat/pemerintah daerah yang tingkatannya lebih atas untuk minta bantuan

kepada pemerintah daerah/pemerintah daerah yang tingkatannya lebih rendah di dalam

menyelenggarakan tugas-tugas atau kepentingan-kepentingan yang termasuk urusan rumah

tangga daerah yang diminta bantuan tersebut.

Yang terpenting dalam tugas pembantuan adalah umsur pertanggungjawaban

yang diemban oleh satuan pemerintahan yang “membantu”. Pertanggungjawaban di sini hanya

berkaitan dengan pelaksanaannya saja.

Dasar pertimbangan perlunya sas tugas pembantuan dipergunakan dalam

penyelenggaraan pemerintah daerah, yaitu:

a. Keterbatasan kemampuan pemerintah pusat atau daerah yang lebih tinggi dalam hal yang

berhubungan dengan perangkat atau sumber daya manusia maupun biaya

8

Page 9: PEMDA KUMPU !!!!

b. Untuk mencapai daya guna dan hasil guna yang lebih baik dalam penyelenggaraan

pemerintahan

c. Sifat urusan yang dilaksanakan.

B. Beberapa Aspek Hubungan antara Pusat dan Daerah

Terdapat tiga bentuk hubungan antara pusat dan daerah. Pertama, hubungan

pusat dan daerah menurut dasar dekosentrasi teritorial. Kedua, hubungan pusat dan daerah

menurut dasar otonomi teritorial. Ketiga, hubungan pusat dan daerah menurut dasar-dasar

federal.

Beberapa hal yang berkaitan dengan hubungan antar pusat dan daerah secara

umum terdapat empat dimensi yang meliputi menurut Bagir Manan, yaitu hubungan

kewenangan, hubungan pengawasan, hubungan keuangan, dan hubungan pusat dan daerah

dalam susunan organisasi pemerintahan daerah.

1. Hubungan kewenangan

Kewenangan berasal dari kata dasar “wewenang” yang dalam bahasa hukum tidak

sama dengan kekuasaan (macht). Secara horizontal berarti kekuasaan unttuk

menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Wewenang dalam pengertian vertikal

berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam suatu tertib ikatan pemerintah

negara secara keseluruhan. Dalam negara kesatuan pemilik kewenangan atau kekuasaan adalah

pemerintah pusat yang kemudian didistribusikan kepada satuan-satuan pemerintahan di

bawahnya.

Oleh Clarke dan Stewart tedapat tiga model hubungan kewenangan antara

pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, yaitu model otonomi relatif (the relative

autonomy model), model agen (the agency model), dan model interaksi (the interaction model).

Dalam relative autonomy model kewenangan-kewenangan lokal tidak mengingkari

realitas negara nasional. Pejabat lokal relatif leluasa menjalankan fungsinya. Dalam agency

model otoritas lokal dilihat sebagai agen bagi kebijakan-kebijakan pusat. Sedangkan interaction

model, pemerintah pusat dan pemerintah daerah terlihat dalam pola-pola relasi yang komplek.

Berdasarkan pendapat tersebut, model yang pertama mempunyai konsekuensi yang lebih baik

9

Page 10: PEMDA KUMPU !!!!

untuk menciptakan suatu pola hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dengan

pemerintah daerah.

Urusan yang tetap menjadi urusan pemerintah pusat berdasarkan pasal 10 ayat (3)

UU No. 32 Tahun 2004 meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter,

fiskal, dan agama.

2. Hubungan pengawasan

Istilah pengawasan dalam bahasa Belanda disebut toetsing atau yang berarti

pengujian. Dalam kamus istilah hukum toetsing diartikan lebih lanjut sebagai penelitian dan

penilaian apakah perbuatan ataupun hal-hal sesuai dengan norma-norma yang lebih tinggi.

Dalam Penjelasan UU No. 5 Tahun 1974 ditegaskan bahwa pengawasan

merupakan suatu usaha untuk menjamin adanya keserasian antara penyelenggaraan tugas

pemerintahan oleh daerah-daerah dan oleh pemerintah (pusat) dan untuk menjamin

kelancaran penyelenggaraan pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna.

Bila dikaitkan dengan peyelenggaraan otonomi daerah, pengawasan mempunyai

fungsi sangat penting sebagai usaha untuk menjamin adanya keserasian antara

penyelenggaraan tugas pemerintahan oleh daerah otonom dan pemerintahan pusat dan untuk

menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan secara berdaya guna dn berhasil guna.

Dengan berlakunya UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah, masalah

pengawasan diatur dalam Bab V. Sistem pengawasan yang dianut oleh UU tersebut adalah

pengawasan preventif (preventief toetzicht) dan pengawasan represif (repressief toetzicht).

3. Hubungan keuangan

Keuangan negara (public finance) diinterpretasikan dalam arti sempit yakni

keuangan pemerintah (government finance), sedangkan makna “finance” (keuangan) sudah ada

kata sepakat yakni menggambarkan segala kegiatan (pemerintah) di dalam mencari sumber-

sumber dana (sources of fund) dan kemudian bagaimana dana-dana tersebut digunakan (use of

fund) untuk mencapai tujuan-tujuan pemerintah tertentu. Jadi, keuangan negara

mencerminkan kegiatan-kegiatan pemerintah, sedangkan kegiatan pemerintah itu sendiri

berada dalam sektor public (public sector), bukan berada dalam sektor swasta (private sector).

10

Page 11: PEMDA KUMPU !!!!

Unsur-unsur keuangan negara meliputi hak dan kewajiban negara, yang dapat

berupa tindakan/kegiatan dan kebijakan atau program/rencana yang bernilai uang.

Pengertian keuangan negara dalam perspektif resmi, akhirnya dapat dijumpai

dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pasal 1 angka (1) menentukan bahwa :

Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang,

serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik

negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Persoalan yang sering muncul berkaitan dengan hubungan keuangan antara pusat

dan daerah adalah terbatasnya jumlah dana yang dimiliki oleh daerah, dan pada sisi lain

pemerintah pusat memiliki dana yang sangat banyak, dengan demikian substansi dari

hubungan keuangan tersebut adalah perimbangan keuangan.

Terdapat tiga skema dalam rangka hubungan keuangan antara pusat dan daerah.

Pertama, Dana Perimbangan yakni penerimaan Negara yang dibagi antara pusat dan daerah.

Kedua, disebut Dana Alokasi Umum. Daerah akan menerima. Daerah akan menerima sekurang-

kurangnyaa 25% dari seluruh penerimaan APBN, dan setiap provinsi dan kabupaten/kota akan

menerima masing-masing 10% dan 90% dari Dana Alokasi Umum. Ketiga, disebut Dana Alokasi

Khusus, yaitu dana yang ditetapkan dalam APBN untuk daerah tertentu dan untuk kebutuhan

khusus.

4. Hubungan dalam susunan organisasi pemerintahan daerah

Aspek lain yang dapat mempengaruhi pola hubungan antara pemerintah pusat dan

pemerintah daerah adalah susunan organisasi pemerintahan daerah, terlebih dalam negara

kesatuan yang desentralistik.

Susunan organisasi pemerintahan daerah mengandung dua segi yaitu susunan luar

(external structure) dan susunan dalam (internal structure). Susunan luar menyangkut badan-

badan pemerintahan (publieklichaan) tingkat daerah seperti Daerah Tingkat I atau Daerah

Tingkat II, dan susunan dalam (internal structure) adalah mengenai alat-alat kelengkapan

negara (organ) pemerintahan daerah, seperti DPR dan kepala daerah.

Susunan pemerintahan daerah baru diatur secara tegas dengan diundangkannya

UU No. 22 Tahun 1948 yang kemudian diubah dengan UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 11

Page 12: PEMDA KUMPU !!!!

1965 kemudian berturut-turut diubah dengan UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999

dan UU No. 32 Tahun 2004.

Susunan organisasi pemerintahan di daerah akan berpengaruh terhadap hubungan

antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat dilihat dari peran dan fungsi masing-

masing susunan atau tingkatan dalam penyelenggaraan otonomi. Dimana pengaturan dan

pelaksanaannya sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu sistem rumah tangga daerah,

ruang lingkup urusan pemerintahan, dan sifat dan kualitas suatu urusan.

BAB III

PERKEMBANGAN PENGATURAN HUBUNGAN KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH

A. Pengaturan Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah Periode 1945 s/d 1965

Jauh sebelum Indonesia merdeka persoalan pengelolaan keuangan daerah pada

mulanya dicantumkan dalam Behears voorsschiften 1936. Sebelum UU No. 32 Tahun 1956

diundangkan, Indonesia merdeka belum pernah mempunyai UU yang mengatur hubungan

keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.

Terdapat pengakuan formal dari UU No. 22 Tahun 1948, bahwa selama berlakunya

UU No. 1 Tahun 1945 terdapat mekanisme pemberian subsidi dari pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah yang dikenal dengan nama sistem slutpost.

12

Page 13: PEMDA KUMPU !!!!

Berdasarkan pasal 37 UU No. 22 Tahun 1948, sumber-sumber keuangan daerah

meliputi:

1. Pajak daerah, termasuk retribusi daerah

2. Hasil perusahaan daerah

3. Pajak negara yang diserahkan kepada daerah

4. dan lain-lain

Sejak tahun 1945 s/d 1956 sebenarnya sistem hubungan keuangan antara

pemerintah pusat dengan pemerintah daerah bukanlah sistem sluitpost murni. Hal ini

disebabkan pemberian tunjangan kepada daerah sangat tergantung pada keinginan atau

kebijaksanaan sepihak pemerintah pusat. Pemerintah daerah dalam menyusun APBD selalu

mengalami kesulitan karena ketidaktahuan dana tunjangan yang akan ditransfer oleh pusat.

Dalam menyusun dan menetapkan APBD, daerah diharuskan mendasarkan pada

Pendapatan Asli Daerah. Menurut pasal 37 UU No. 22 Tahun 1948, sumber-sumber keuangan

daerah meliputi pajak daerah, termasuk retribusi daerah, hasil perusahaan daerah, pajak

negara yang diserahkan kepada daerah, dan lain-lain.

Pada umumnya pajak-pajak daerah meliputi:

a. pajak anjing

b. pajak forensen

c. pajak hiasan kuburan

d. pajak kendaraan tak bermotor

e. pajak minuman keras

f. pajak penerangan jalan

g. pajak petasan/kembang api

h. pajak reklame

i. pajak tontonan/keramaian

Menurut Soepardi, sumber-sumber pendapatan daerah dari sektor retribusi yang

dapat dilakukan pemungutan oleh kabupaten, kota besar, dan kota kecil meliputi bangunan, ijin

perusahaan, gedung dan tanah, pasar, perkuburan, pelataran parkir dan stasiun bus,

13

Page 14: PEMDA KUMPU !!!!

pemeriksaan air susu, penambangan, rumah potong hewan, rumah sakit, uang leges, dan uang

tol.

B. Perkembangan Pengaturan Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah Periode 1956-1999

Memasuki awal tahun 1957 perjalanan bangsa Indonesia untuk mengatur sistem

pemerintahan daerah, memasuki babak baru. Hal tersebut dikarenakan dalam waktu yang

hampir bersamaan diundangkan dua UU yang berkaitan dengan persoalan tersebut, yakni UU

No. 32 Tahun 1956 yang mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1957. Dalam perkembangan

selanjutnya, diundangkan UU No. 1 Tahun 1957.

Secara garis besar, UU No. 1 Tahun 1957 telah memberikan peluang kepada

daerah untuk mengatur dan mengurus sumber-sumber keuangan yang ada di daerah. Tetapi

undang-undang tersebut tidak memberikan kejelasan mengenai pola hubungan atau

perimbangan keuangan antara pemerintah pusat (negara) dengan daerah-daerah.

Sumber-sumber penerimaan daerah di samping penyerahan pajak Negara kepada

daerah dan retribusi daerah masih dimungkinkan untuk mendapatkan pemasukan dari

pemerintah pusat berupa ganjaran, subsidi, dan sumbangan.

Dalam penjelasan pasal 58 UU No. 1 Tahun 1957, yang dimaksud dengan ganjaran

adalah sejumlah uang yang diserahkan kepada daerah berhubung dengan kewajiban

menyelenggarakan tugas negara, dan sejumlah uang yang diserahkan kepada daerah

berhubung tugas negara telah menjadi urusan rumah tangga daerah.

Subsidi ialah bantuan yang diberikan kepada daerah untuk penyelenggaraan

usaha-usaha daerah yang biayanya melampaui kemampuan keuangan daerah. Sumbangan

adalah bantuan yang diberikan kepada daerah untuk menutup kekurangan anggaran daerah,

sebagai akibat adanya keadaan luar biasa yang dapat mengakibatkan daerah mengalami krisis

keuangan.

14

Page 15: PEMDA KUMPU !!!!

Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan pasal 7, pasal 8, dan pasal 9 UU No.

32 Tahun 1956 diatur dengan PP No. 4 Tahun 1957 tentang Pemberian Ganjaran, Subsidi, dan

Sumbangan Kepada Daerah.

Besarnya ganjaran yang diberikan kepada daerah tidak tergantung pada

kemampuan daerah, tetapi dengan memperhatikan biaya penyelenggaraan pemerintah yang

harus dilaksanakan, dan besarnya ganjaran masing-masing daerah ditetapkan tiap tahun.

Mekanisme pemberian subsidi oleh pemerintah pusat kepada daerah yang harus

memperhatikan dan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah, dan inisiatif untuk

memperoleh subsidi harus berasal dari daerah. Permohonan untuk memperoleh subsidi

diajukan kepada Menteri Dalam Negeri. Kemudian salinan pernohonan subsidi tersebut juga

harus disampaikan kepada Panitia Negara Perimbangan Keuangan yang eksistensinya

didasarkan kepada PP No. 5 Tahun 1957.

UU No. 32 Tahun 1956 sebagai satu produk hukum pertama hasil karya bangsa

Indonesia yang mengatur hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah bertujuan

untuk:

a. Memberikan ketentuan sekedar menjamin keuangan daerah

b. Mendorong ke arah penyehatan rumah tangga daerah

c. Mendorong daerah untuk intensifikasi sumber-sumber pendapatan daerah dan mengadakan

sumber-sumber baru

d. Memupuk rasa tanggung jawab daerah dalam menyelenggarakan rumah tangga daerah

e. Memungkinkan daerah lebih leluasa dalam menjalankan kebijaksanaan keuangan untuk

melaksanakan tugasnya

Dalam UU No. 32 Tahun 1956 pasal 2, sumber-sumber keuangan daerah yang

merupakan pendapatan pokok daerah terdiri dari: (1) pajak daerah; (2) retribusi daerah; (3)

pendapatan Negara yang diserahkan kepada daerah; (4) hasil perusahaan daerah; dan (4)

dalam hal-hal tertentu kepada daerah dapat diberikan ganjaran, subsidi, dan sumbangan.

15

Page 16: PEMDA KUMPU !!!!

Dalam rangka melaksanakan proses pendistribusian hasil-hasil penerimaan dari

sumber-sumber pendapatan berdasarkan ketentuan pasal 6 UU No. 32 Tahun 1956 harus

memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:

a. Luas daerah

b. Jumlah penduduk

c. Potensi perekonomian

d. Tingkat kecerdasan rakyat

e. Tingkat kemahalan

f. Panjangnya jalan-jalan yang diurus oleh daerah

g. Panjangnya saluran pengairan yang diurus oleh daerah

h. Hal apakah daerah itu seluruhnya atau sebagian terdiri dari pulau-pulau

Kelemahan atau kekurangan dari UU No. 32 Tahun 1956 meliputi:

1. Dalam UU No. 32 Tahun 1956 diserahkan delapan jenis pajak negara menjadi pajak daerah, dan

ditentukan bahwa sebagian dari penghasilan lima pajak negara serta bea-bea dan cukai

diserahkan kepada daerah.

2. Penyerahan sebagian hasil pajak negara dengan kisaran 75%-90% dari hasil pajak meterai, pajak

peralihan dan pajak upah akan diberikan kepada daerah, sedangkan untuk pajak kekayaan dan

perseroan akan diberikan berdasarkan presentase yang diatur lebih lanjut dengan PP.

3. Pembagian fonds yang berisi bagian-bagian dari pendapatan negara harus ditempuh dengan

tata cara yang ruwet

4. Dari segi struktur pajak, dorongan tanggung jawab keuangan, dan pembangunan ekonomi serta

kemajuan daerah, masih terdapat pula keberatan-keberatan terhadap UU No. 32 Tahun 1956.

5. UU No. 32 Tahun 1956 kurang memberikan dorongan terhadap pembangunan ekonomi dan

kemajuan daerah di Indonesia.

UU No. 32 Tahun 1956 dan RUU Perimbangan Keuangan Tahunn 1963 lebih

mentikberatkan pada cara penyerahan sebagian penerimaan Pajak Negara kepada daerah. RUU

Perimbangan Keuangan Tahun 1965 dan RUU Hubungan Keuangan Tahun 1968 lebih

menitikberatkan pada cara pemberian sumbangan kepada daerah sebagai dasar perimbangan

keuangan pusat dan daerah.16

Page 17: PEMDA KUMPU !!!!

Pada awal Orde Baru atau tepatnya waktu Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I

berjalan (1969/1970-1973/1974) hubungan keuangan dalam praktiknya juga mulai

dilaksanakan, hal tersebut ditandai dengan adanya bantuan perkapita (percapita grants)

kepada Pemerintah Kabupaten Dati II yang kemudian dikenal dengan nama Instruksi Presiden

(Inpres) Kabupaten.

Perubahan penting dalam pola hubungan keuangan pusat dan daerah terjadi pada

awal Pelita II (April 1974) karena dihapuskannya ADO (Alokasi Devisa Otomatis) bagi

pemerintah provinsi.

Pergantian UU pemerintahan daerah sejak UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun

1965, bahkan sampai diundangkannya UU No. 5 Tahun 1974 UU perimbangan keuangan sama

sekali belum dibentuk. Pada masa berlakunya UU No. 5 Tahun 1974, sumber-sumber keuangan

potensial dikuasai oleh negara. Berlakunya undang-undang tersebut dalam praktiknya

mengakibatkan tingkat ketergantungan daerah pada pemerintah pusat tetap sangat tinggi.

Pergantian kepemimpinan nasional pada Mei 1999 telah diikuti dengan reformasi

hukum yang mengatur pemerintahan daerah yakni dengan keluarnya dua UU, yaitu UU No. 22

Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 pada tanggal 7 Mei 1999 telah

memberikan harapan baru bagi daerah untuk mengembangkan wilayahnya sesuai dengan

aspirasi dan kepentingan masyaraktnya, hal ini disebabkan paradigma penyelenggaraan

otonomi mengalami pergeseran.

Berdasarkan pasal 79 UU No. 22 Tahun 1999, sumber-sumber pendapatan daerah

terdiri dari:

a. Pendapatan Asli Daerah, yaitu:

1. Hasil pajak daerah

2. Hasil retribusi daerah

3. Hasil perusahaan milik daerah, dan hasil penegelolan kekayaan daerah yang dipisahkan

4. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah

b. Dana Perimbangan17

Page 18: PEMDA KUMPU !!!!

c. Pinjaman Daerah

d. Lain-lain pendapatan daerah yang sah

Sejak 15 Oktober 2004 telah diundangkan UU No. 33 Tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah untuk mengganti

UU No. 25 Tahun 1999. Namun peraturan pelaksana UU No. 25 Tahun 1999 masih beralaku

sepanjang belum diganti dengan yang baru.

BAB IV

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH DI INDONESIA

Membiayai diri sendiri atau pendapatan sendiri menunjukkan bahwa daerah

(harus) mempunyai sumber-sumber pendapatannya sendiri.Salah satu sumber pendapatan asli

adalah pungutan yang diperoleh dari pajak atau retribusi.Kewenangan untuk mengenakan

pungutan,bukan sekedar sebagai sumber pendapat,tetapi sekaligus melambangkan kebebasan

menentukan sendiri cara-cara mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerah yang

bersangkutan.

A. Pembiayaan Dalam Rangka Pelaksanaan Desentralisasi

18

Page 19: PEMDA KUMPU !!!!

1. Sumber-sumber pendapatan keuangan daerah

Pengaturan mengenai hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah

sejak tahun 1999 diatur dalam UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Daerah yang merupakan pelaksanaan atau pengaturan lebih lanjut dari

amanat pasal 80 ayat (4) UU No. 22 Tahun 1999, sampai dinyatakan tidak berlaku berdasarkan

pasal 109 UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintahan Daerah, yang merupakan amanat dari pasal 15 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan pengganti dari UU No. 22 Tahun 1999.

UU No. 25 Tahun 1999 pasal 2 menegaskan bahwa:

a. Penyelenggaraan tugas daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dibiayai atas beban

APBD

b. Penyelenggaraan tugas pemerintahan pusat yang dilaksanakan oleh perangkat daerah provinsi

dalam rangka pelaksanaan dekosentrasi dibiayai atas beban APBN

c. Penyelenggaraan tugas pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh perangkat daerah dan desa

dalam rangka tugas pembantuan dibiayai atas beban APBN

d. Penyerahan atau pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada Gubernur atau

penyerahan kewenangan atau penugasan pemerintah pusat kepada Bupati/Walikota diikuti

dengan pembiayaannya

Tujuan yang hendak dicapai dengan diundangkannya UU No. 25 Tahun 1999

meliputi:

a. Memberdayakan dan meingkatkan perekonomian daerah

b. Menciptakan system pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan,

partisiptif, bertanggungjawab (akuntabel), dan pasti

c. Mewujudkan sistem perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang jelas

antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

d. Menjadi acuan dalam alokasi penerimaan Negara bagi daerah

e. Mempertegas sistem pertanggungjawaban keuangan oleh pemerintah daerah

f. Menjadi pedoman pokok tentang keuangan daerah

19

Page 20: PEMDA KUMPU !!!!

Berbeda dengan tujuan diundangkannya UU No. 25 Tahun 1999, tujuan yang

hendak dicapai oleh UU No. 33 Tahun 2004 adalah dimaksudkan untuk mendukung pendanaan

atas penyerahan urusan kepada pemerintah daerah yang diatur dalam UU tentang

Pemerintahan Daerah, di mana pendanaan ini menganut prinsip money follows function.

UU No. 25 Tahun 1999 ingin memberdayakan dan meningkatkan perekonomian

daerah serta menciptakan system pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional,

transparan, partisipatif, bertanggung jawab (akuntabel). Pasal 79 UU No. 22 Tahun 1999 jo

pasal 3 UU No. 25 Tahun 1999, sumber-sumber penerimaan daerah meliputi: (1) Pendapatan

Asli Daerah; (2) Dana Perimbangan; (3) Pinjaman Daerah; dan (4) lain-lain Pendapatan Asli

Daerah yang sah.

a. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Sumber PAD terdiri dari: (1) hasil pajak daerah; (2) hasil retribusi daerah; (3) hasil

perusahaan milik dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan; dan (4) lain-

lain pendapatan asli daerah yang sah.

1) Pajak Daerah

Sebagai salah satu sumber pembiayaan pemerintah daerah, pajak daerah diatur dalam

UU No. 18 Tahun 1999 yang kemudian diperbaiki dengan UU No. 34 Tahun 2000 tentang

Perubahan atas UU No. 18 Tahun1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang

kemudian telah diganti dengan UU No. 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi

daerah.

Berdasarkan ketentuan pasal 1 ayat (8) UU No. 28 Tahun 2009 yang dimaksud dengan

pajak daerah, yang selanjutnya disebut pajak, adalah kontribusi wajib kepada daerah yang

terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang,

dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah

bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Peluang untuk memperoleh pendapatan dari pajak daerah baik berdasarkan UU No.

34 Tahun 2000 maupun UU No. 28 Tahun 2009 sangat terbuka lebar. UU No. 34 Tahun 2000

tentang pajak dan retribusi telah diganti, yakni dengan diundangkannya UU No. 28 Tahun 2009

tentang Pajak dan Retribusi Daerah.20

Page 21: PEMDA KUMPU !!!!

Berdasarkan ketentuan pasal 2 UU No. 28 Tahun 2009 mengklasifikasikan jenis pajak

provinsi, yaitu:

a. Jenis Pajak Provinsi terdiri atas:

(1) Pajak kendaraan bermotor

(2) Bea balik nama kendaraan bermotor

(3) Pajak bahan bakar kendaraan bermotor

(4) Pajak air permukaan

(5) Pajak rokok

b. Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas:

(1) Pajak hotel

(2) Pajak restoran

(3) Pajak hiburan

(4) Pajak reklame

(5) Pajak penerangan jalan

(6) Pajak mineral bukan logam dan batuan

(7) Pajak parkir

(8) Pajak air tanah

(9) Pajak sarang burung wallet

(10) Pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaan

(11) Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan

2) Retribusi Daerah

Berdasarkan Pasal 1 ayat (28) UU No. 34 Tahun2000 dinyatakan bahwa retribusi

daerah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah adalah pungutan daerah sebagai

pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan

oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

Sejalan dengan ketentuan tersebut Pasal 1 angka (64) UU No. 28 Tahun 2009

menentukan bahwa retribusi daerah, yang selanjutnya disebut retribusi, adalah pungutan

daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan

dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.21

Page 22: PEMDA KUMPU !!!!

Baik berdasarkan ketentuan pasal 18 UU No. 34 Tahun 2000 ayat (2) retribusi dan

ketentuan pasal 108 UU No. 28 Tahun 2009 dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu: (1) retribusi

jasa umum; (2) retribusi jasa usaha; dan (3) retribusi perizinan tertentu.

Berdasarkan PP No. 66 Tahun 2001 Tentang Retribusi Daerah, dimana berdasarkan

ketentuan pasal 2 ayat (1), obyek retribusi jasa umum adalah pelayanan yang disediakan atau

diberikan pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat

dinikmati oleh orang pribadi atau badan.

Objek Retribusi Jasa Usaha adalah pelayanan yang disediakan UU No. 28 Tahun 2009

di mana ditentukan bahwa oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial yang

meliputi:

a) Pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan daerah yang belum dimanfaatkan

secara optimal

b) Pelayanan oleh pemerintah daerah sepanjang belum disediakan secara memadai oleh pihak

swasta.

Berdasarkan ketentuan pasal 140, objek retribusi perizinan tertentu adalah pelayanan

perizinan tertentu oleh pemerintah daerah kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan

untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber

daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan

umum dan menjaga kelestarian lingkungan.

Dalam sistem perpajakan di Indonesia,khususnya yang menyangkut pajak dan retribusi

daerah penentuan besarnya tarif pajak dibatasi dalam jumlah maksimal persentase tertentu.

b. Dana Perimbangan

Berdasarkan ketentuan pasal 79 UU No. 22 Tahun 1999 dan pasal 3 UU No. 25

Tahun 1999 Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang

dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan

desentralisasi.

Landasan filosofis yang melatarbelakangi perlunya dana perimbangan tidak lain

adalah untuk menciptakan suatu kondisi kemampuan keuangan yang seimbang antara

22

Page 23: PEMDA KUMPU !!!!

pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah. Dana perimbangan

meliputi Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus.

1) Dana Bagi Hasil

Berdasarkan pasal 1 ayat (20) UU No. 33 Tahun 2004 Dana Bagi Hasil adalah dana yang

bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka

persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana

Bagi Hasil bersumber pada pajak dan sumber daya alam. Dalam UU No. 22 Tahun 1999 dan UU

No. 25 Tahun 1999 Dana Bagi Hasil adalah dana yang berasal dari Bagian Derah dari

Penerimaan PBB dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Penerimaan

dari Sumber Daya Alam ( PSDA).

2) Dana Alokasi Umum (DAU)

Dalam konteks Indonesia, sejak berlakunya UU No. 25 Tahun 1999 transfer uang dari

pusat ke daerah yang sebelumnya disebut Subsidi Daerah Otonom (SDO) ataupun Dana Rutin

Daerah (DRD) dan juga transfer yang berbentuk Instruksi Presiden (Inpres) digantikan oleh salah

satu dari dua jenis transfer, yaitu transfer yang bersifat umum dan dinamakan Dana Alokasi

Umum (DAU).

DAU berdasarkan ketentuan pasal 1 ayat (21) UU No. 33 Tahun 2004 merupakan dana

yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan

kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka

pelaksanaan desentralisasi.

Dalam Penjelasan Umum UU No. 33 Tahun 2004 bahwa tujuan DAU adalah untuk

pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi

ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang

mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. DAU suatu daerah ditentukan atas besar

kecilnya celah fiscal (fiscal gap) suatu daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan daerah

(fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity).

3) Dana Alokasi Khusus

Pengertian DAK dalam pasal 1 UU No. 25 Tahun 1999 diartikan sebagai dana yang

berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan 23

Page 24: PEMDA KUMPU !!!!

tertentu. Sedangkan pengertian DAK dalam UU No. 33 Tahun 2004 lebih dikembangkan, bahwa

di samping merupakan dana yang bersumber pada APBN dan peruntukannya untuk membiayai

kegiatan tertentu yang sifatnya “membantu” pelaksanaan urusan daerah dan harus sesuai

dengan prioritas nasional.

Dalam Penjelasan Umum UU No. 33 Tahun 2004 dinyatakan bahwa DAK dimaksudkan

untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di daerah tertentu yang merupakan

urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional,khususnya untuk membiayai kebutuhan

sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau

untuk mendorong percepatan pembangunan daerah.

Berdasarkan Keputusan Menkeu RI No. 548/KMK.07/2003 Pasal 11 pengalokasian DAK

harus memenuhi kriteria umum sebagai berikut:

a. Pengalokasian DAK diprioritaskan untuk daerah-daerah yang memiliki kemampuan fiscal

rendah atau di bawah rata-rata

b. Kemampuan fiskal daerah didasrakan pada selisih antara realisasi Penerimaan Daerah (PAD,

Dana Perimbangan, Dana Pinjaman, dan lain-lain penerimaan yang sah) tidak termasuk Sisa

Anggaran Lebih (SAL) dan Belanja Pegawai Negeri Sipil Daerah (fiscal netto)

c. Perhitungan Indeks Fiskal Netto suatu daerah didasarkan pada pembagian antara kemampuan

fiskal daerah suatu daerah dengan kemampuan fiskal seluruh daerah, kemudian hasilnya

dikalikan dengan jumlah seluruh daerah

d. Daerah yang memiliki kemampuan fiskal di bawah rata-rata adalah daerah yang memiliki

indeks fiskal netto di bawah satu.

Menurut pasal 12 Keputusan Menkeu No. 548/KMK.07/2003, kriteria khusus dalam

pengalokasian DAK adalah dengan memperhatikan daerah-daerah tertentu yang memiliki

dan/atau berada di wilayah (a) Provinsi Papua dan Provinsi NAD; (b) Kawasan Indonesia Timur

(KIT); dan (c) Perbatasan, Daerah Pesisir dan Kepulauan, Daerah Pasca Konflik, Daerah Hilir

Aliran Sungai Rawan Banjir dan Daerah Tertinggal/Terpencil.

B. Pengelolaan dan Pertanggungjawaban DAU dan DAK

DAU dialokasikan dengan tujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar

daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, sedangkan DAK dialokasikan kepada daerah 24

Page 25: PEMDA KUMPU !!!!

tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan

daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.

Pengelolaan dan pertanggungjawabannya tunduk pada ketentuan mengenai

pengelolaan APBD, yakni PP No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan

Pertanggungjawaban Keuangan Daerah yang berdasarkan ketentuan Pasal 105 ayat (1) UU No.

33 Tahun 2004. Penyaluran DAU dilakukan ke masing-masing Kas Daerah oleh Menteri

Keuangan, demikian pula dengan DAK.

Pengelolaan DAU dan DAK menjadi kewenangan Kepala Daerah selaku pemegang

kekuasaan umum pengelolaan keuangan daerah yang dalam praktiknya berdasarkan ketentuan

pasal 2 ayat (2) PP No. 105 Tahun 2000 dapat mendelegasikan sebagian atau seluruhnya

kewenangannya kepada Sekretaris Daerah dan atau Perangkat Pengelola Keuangan Daerah.

Pengelolaan DAU dan DAK harus dilakukan secara tertib, taat pada peraturan

perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan

memperhatikan asas keadilan dan kepatutan.

C. Pembiayaan Dalam Rangka Pelaksanaan Dekosentrasi dan Tugas Pembantuan

Pembiayaan atas penyelenggaraan dekosentrasi sebelumnya diatur dalam pasal 17

UU No. 25 Tahun 1999 kemudian diundangkan UU No. 33 Tahun 2004, maka pengaturan

pembiayaan dekosentrasi dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Pendanaan dilakukan dilaksanakan setelah adanya pelimpahan wewenang dari pemerintah

pusat melalui Kementerian Negara/lembaga kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat

di daerah

2. Biaya yang ditimbulkan sebagai akibat pelaksanaan pelimpahan wewenang didanai oleh

pemerintah pusat dan disesuaikan dengan wewenang yang dilimpahkan, dan dialokasikan

untuk kegiatan yang bersifat non-fisik

3. Pelaksanaan kegiatan dekosentrasi di daerah dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat

Daerah(SKPD) yang ditetapkan oleh Gubernur

4. Gubernur harus memberitahukan kepada DPRD sehubungan dengan rencana kerja dan

anggaran kementerian/lembaga dalam kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan dekosentrasi

di daerah, dan disampaikan pada saat pembahasan RAPBD25

Page 26: PEMDA KUMPU !!!!

D. Pinjaman Daerah

Sebelum berlakunya UU No. 33 Tahun 2004, masalah pinjaman diatur dalam pasal

15 UU No. 25 Tahun 1999, berdasarkan ketentuan tersebut, maka dikeluarkan PP No. 107

Tahun 2000. Dengan berlakunya UU No. 33 Tahun 2004, maka pinjaman daerah tidak lagi

mendasarkan kepada pasal 15 UU No. 25 Tahun 1999, melainkan harus mengacu kepada pasal

51 UU No. 33 Tahun 2004.

Pasal 51 UU No. 33 Tahun 2004 menentukan bahwa:

(1) Pinjaman daerah bersumber dari:

a. Pemerintah

b. Pemerintah daerah lain

c. Lembaga keuangan bank

d. Lembaga keuangan bukan bank

e. Masyarakat

(2) Pinjaman daerah yang bersumber dari pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diberikan melalui Menteri Keuangan

Timbulnya pinjaman daerah merupakan konsekuensi dari meningkatnya

kebutuhan dana (fiscal needs) untuk melayani masyarakat yang juga meningkat sebagai akibat

perkembangan penduduk dan ekonomi.

Prinsip umum pinjaman daerah yang diatur dalam PP No. 54 Tahun 2005

menentukan bahwa:

1. Pinjaman daerah merupakan alternatif sumber pembiayaan APBD dan/atau untuk menutup

kekurangan kas

2. Pinjaman daerah digunakan untuk membiayai kegiatan yang merupakan inisiatif dan

kewenangan daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan

3. Pemerintah daerah dilarang melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri

4. Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri dalam hal

pinjaman langsung kepada pihak luar negeri yang terjadi karena kegiatan transaksi obligasi

daerah sesuai peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal

5. Pemerintah daerah dilarang memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain26

Page 27: PEMDA KUMPU !!!!

6. Pendapatan daerah dan/atau barang milik daerah tidak boleh dijadikan jaminan pinjaman

daerah

7. Proyek yang dibiayai dari obligasi daerah beserta barang milik daerah yang melekat dalam

proyek tersebut dapat dijadikan jaminan obligasi daerah

Berdasarkan ketentuan PP No. 54 Tahun 2005, pemerintah daerah dapat

melakukan pinjaman daerah yang jenis dan macamnya diatur dalam pasal 5 yang meliputi: (a)

Pinjaman Jangka Pendek; (b) Pinjaman Jangka Menengah; dan (c) Pinjaman Jangka Panjang.

Berdasrakan ketentuan pasal 7 PP No. 54 Tahun 2005, pinjaman jangka pendek

hanya dipergunakan untuk menutup kekurangan arus kas pada tahun anggaran yang

bersangkutan. Sedangkan, pinjaman jangka menengah dipergunakan untuk membiayai

penyediaan layanan umum yang tidak menghasilkan penerimaan, dan pinjaman jangka panjang

dipergunakan untuk membiayai proyek investasi yang menghasilkan penerimaan.

Mengenai prosedur pinjaman daerah, UU No. 33 Tahun 2004 sebenarnya telah

mengatur, namun masih sangat umum. Sebelum berlakunya PP No. 54 Tahun 2005, prosedur

pinjaman daerah diatur di dalam pasal 11 PP No. 107 Tahun 2000.

E. Hubungan Keuangan Antara Pusat dan Daerah di Masa yang Akan Datang

Konsep desentralisasi dalam hal ini adalah otonomi dalam tataran teori maupun

praktiknya tidak serta merta dapat dipisahkan dari persoalan yang berhubungan dengan

keuangan atau finansial. Otonomi yang dalam perspektif UU No. 33 Tahun 2004 diklasifikasikan

sebagai hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahandan kepentingan masyarakat setempat, mengandung makna bahwa hak,

wewenang serta kewajiban tersebut untuk “membiayai” diri sendiri.

Ketidakmandirian daerah dalam pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan yang

menunjukkan kecenderungan menggantungkan pada “kebaikan hati” Pemerintah Pusat dapat

disebabkan karena desentralisasi fiskal yang dijalankan oleh pemerintah adalah “setengah

hati”, artinya pemerintah pusat mempunyai kepentingan yang sangat besar akan jaminan

bertambahnya “pundi-pundi” atau kas negara sebagai upaya untuk menjaga eksistensinya di

hadapan daerah.

27

Page 28: PEMDA KUMPU !!!!

Beberapa kelemahan dalam mekanisme pemberian bantuan dana dari pemerintah

pusat kepada pemerintah daerah berupa DAU, antara lain sebagai berikut:

1. Ketidakadilan dalam pembagian DAU

2. Kurang transparannya pemerintah pusat dalam membagi DAU ke daerah

3. Masih adanya perbedaan persepsi antara pemerintah pusat dengan daerah tentang

penggunaan DAU

4. Masih kurang transparan pemerintah pusat dalam membagi hasil SDA

Memperhatikan dan mempertimbangkan kelemahan-kelemahan dari sistem

desentralisasi fiskal yang telah berlaku, maka diperlukan untuk melakukan penyempurnaan atas

pola hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di masa yang akan

datang.

28