Upload
chatrina-yohana-tambunan
View
198
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah ketatanegaraan RI menunjukkan bahwa sebelum UUD 1945
diamandemen, persoalan hubungan antara pusat dan daerah sangat tidak jelas.Hal ini
disebabkan pasal 18 UUD beserta penjelasannya yang merupakan landasan hukum mengenai
pemerintahan daerah,bukan hanya terlalu sederhana tetapi juga tidak memberikan arahan
yang jelas mengenai bagaimana hubungan antara pusat dan daerah itu dilaksanakan.
Di dalam rumusan pasal 18 UUD 1945, negara RI adalah negara kesatuan dengan
sistem desentralistik. Desentralisasi merupakan salah satu sendi susunan organisasi negara
yang diterima dan disepakati oleh para pembentuk Negara Republik Indonesia. Desentralisasi
ini mempunyai konsekuensi yaitu adanya urusan-urusan pemerintahan yang harus
didelegasikan kepada satuan pemerintahan yang lebih kecil dan pilihan tersebut menjadi titik
pangkal keharusan adanya pengaturan yang jelas mengenai hubungan antara Pusat dan
Daerah.
Dalam sistem negara kesatuan,seperti hal nya negara RI,ditemukan adanya dua
cara yang dapat menghubungkan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.Cara
pertama disebut sentralisasi, dimana segala urusan, fungsi, tugas dan wewenang
penyelenggaraan pemerintahan ada pada Pemerintah Pusat yang pelaksanaannya dilakukan
secara dekonsentrasi. Cara kedua dikenal sebagai desentralisasi dimana urusan,tugas dan
wewenang pelaksanaan pemerintahan diserahkan seluas-luasnya kepada daerah.
Pelimpahan melalui dekosentrasi adalah pendelegasian wewenang kepada
perangkat (aparat vertical) yang berada di bawah hierarkinya di Daerah, sedangkan penyerahan
dalam rangka desentralisasi ini merupakan pendelegasian urusan kepada daerah otonom.
Sejarah juga mencatat, bahwa hubungan antara pusat dan daerah sangat
dipengaruhi oleh adanya tarik-menarik antara kepentingan pusat yang cenderung sentralistik
1
dan tuntutan daerah yang menghendaki desentralistik.Keadaan tersebut berakibat timbulnya
ketidak – serasian hubungan antara Pusat dan Daerah.
B. Kerangka Pemikiran
Dalam upaya menemukan format hubungan keuangan antara pusat dan daerah
yang ideal merupakan salah satu aspek dari hubungan pusat dan daerah dalam kerangka
Negara Kesatuan RI,merupakan proses yang berjalan seiring dengan perjalanan sejarah bangsa
Indonesia. Dalam penelitian ini akan dipergunakan beberapa teori sebagai alat untuk
menganalisis data yang diperoleh, yakni konsep demokrasi (kedaulatan rakyat) sebagai teori
utama (grand theory), dan untuk mendukung teori utama dkpergunakan konsep pembagian
kekuasaan , dan konsep Negara hukum sebagai middle range theory. Sedangkan teori – teori
otonomi dan teori hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah sebagai teori aplikatif.
Hubungan keuangan antara pusat dan daerah pada hakikatnya yang menjadi persoalan pokok
adalah pembagian sumber-sumber pendapatan maupun kewenangan pengurusan dan
pengelolaannya di antara pemerintah pusat dan daerah. Hubungan ini menyangkut tanggung
jawab untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu antara tingkat-tingkat pemerintah dan
pembagian sumber-sumber penerimaan untuk menutup pengeluaran akibat kegiatan-kegiatan
itu. Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan keuangan antara
pusat dan daerah yang menggunakan istilah “perimbangan keuangan” dapat dilihat dalam UU
No. 32 Tahun 1956, UU No. 25 Tahun 1999 maupun UU No. 33 Tahun 2004. Hubungan
keuangan antara Pusat dan Daerah adalah proses pendistribusian hak dan kewajiban antara
satuan pemerintah Pusat dan Daerah yang berhubungan dengan pemanfaatan dan pengelolaan
sumber – sumber keuangan dalam rangka melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan
sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh masing – masing satuan pemerintah tersebut.
Menurut Carl J.Frederich pembagian kekuasaan secara vertikal dan disebut juga
pembagian kekuasaan secara teritorial (territorial division of power) adalah pembagian
kekuasaan menurut tingkatannya dan dalam hal ini yang dimaksud ialah pembagian kekuasaan
antara beberapa tingkatan pemerintahan.Pembagian kekuasaan ini dengan jelas dapat
disaksikan kalau kita bandingkan dengan negara kesatuan,negara federal,serta konfederasi. 2
Dalam konteks Negara Kesatuan RI, territorial divison of power ini diwujudkan dengan adanya
satuan pemerintah yang disebut dengan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
3
BAB II
KAJIAN TEORITIK TENTANG HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
A. Asas-Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Pengaturan mengenai hubungan antara pusat dan daerah dalam konteks negara
kesatuan merupakan suatu yang sangat penting untuk dikaji dan dianalisis agar tidak terdapat
kendala dalam penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan. Kelahiran satuan
pemerintahan tingkat daerah adalah konsekuensi adanya konsep pembagian dan pembatasan
kekuasaan sebagai salah satu unsur negara hukum. Dalam tataran teoretis dikenal adanya
pembagian kekuasaan secara horizontal dan vertikal. Pembagian kekuasaan secara horizontal
adalah suatu pembagian dimana kekuasaan dalam suatu negara dibagi dan diserahkan kepada
tiga badan yang mempunyai kedudukan yang sejajar, yakni kekuasaan eksekutif yang
diserahkan kepada pemerintah, kekuasaan legislatif kepada parlemen, dan kekuasaan yudikatif
kepada badan peradilan.
Pembagian kekuasaan secara horizontal adalah suatu pembagian kekuasaan
dimana kekuasaan dalam suatu negara dibagi dan diserahkan kepada tiga badan yang
mempunyai kedudukan yang sejajar,sedangkan pembagian kekuasaan secara vertikal, yaitu
suatu pembagian kekuasaan antara pemerintah nasional atau pusat dengan satuan
pemerintahan lainnya yang lebih rendah. Pembagian kekuasaan secara vertikal dalam konteks
negara Indonesia dapat dilihat secara formal dalam pasal 1 ayat (1), pasal 4 ayat (4), dan pasal
18 ayat (1) UUD 1945.
Dalam suatu negara kesatuan, pada hakikatnya semua urusan pemerintahan berada pada
Pemerintah Pusat, tetapi urusan pemerintahan tersebut dapat diserahkan atau didelegasikan kepada
satuan pemerintah yang lebih rendah melalui kuasa undang-undang. Dalam menyelenggarakan
pemerintahan tersebut,pemerintah berpedoman pada beberapa asas,yaitu:
1. Asas keahlian,dilihat dari susunan pemerintah pusat.Semua soal diolah oleh ahli-ahli antara lain
dalam susunan kementrian-kementrian.Yang memegang pimpinan pada kementrian-kementrian itu
seharusnya ahli-ahli urusan yang menjadi kompetensinya.
4
2. Asas kedaerahan, dengan bertambah banyaknya kepentingan-kepentingan yang harus
diselenggarakan oleh pemerintah pusat karena bertambah majunya masyarakat,pemerintah tidak
dapat mengurus semua kepentingan-kepentingan itu dengan baik tanpa berpegang pada asas
kedaerahan dalam melakukan pemerintahan.
Berdasarkan asas keahlian, maka setiap urusan pemerintahan harus secara benar dan
selektif diserahkan kepada mereka yang mempunyai keahlian atau profesionalisme dibidangnya dan
asas kedaerahan memberikan peluang kepada pemerintahan daerah untuk melaksanakan urusan-
urursan pemerintahan tertentu.
Terdapat dua pandangan mengenai desentralisasi dan dekosentrasi. Pandangan pertama
merupakan pandangan dari aspek yuridis formal, bahwa desentralisasi maupun dekosentrasi kedua-
duanya merupakan asas penyelenggaraan pemerintahan. Pandangan kedua menyatakan baik
desentralisasi maupun dekosentrasi kedua-duanya bukan merupakan asas, melainkan proses
penyelenggaraan pemerintahan.
Dalam UU yang mengatur pemerintahanan daerah desentralisasi dan dekosentrasi
merupakan asas penyelenggaraan pemerintahan daerah, tetapi menurut UUD yang merupakan asas
penyelenggaraan pemerintahan daerah hanya meliputi asas otonomi dan tugas pembantuan.
1. Pengertian Desentralisasi dan Dekosentrasi
Dari sudut ketatanegaraan yang dimaksud dengan desentralisasi ialah pelimpahan
kekuasaan pemerintah dari pusat kepada daerah-daerah yang mengurus rumah tangganya
sendiri.Desentralisasi juga dapat dikatakan sebagai pembentukan otonom dengan kekuasaan-
kekuasaan tertentu dan bidang-bidang kegiatan tertentu yang diselenggarakan berdasarkan
pertimbangan, inisiatif dan administrasi sendiri. Dan dalam desentralisasi ini akan dijumpai
proses pembentukan daerah yang berhak mengatur dan mngurus kepentingan daerahnya.
Secara umum desentralisasi terbagi menjadi dua, yakni desentralisasi territorial
atau kewilayahan dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi menunjukkan pendelegasian
atau devolusi kewenangan pembuatan keputusan kepada pemerintahan yang tingkatannya
lebih rendah.
Dilihat dari aspek pemberian wewenang, maka desentralisasi akan memberikan
wewenang kepada Pemerintah Daerah untuk melaksanakan atau menangani urusan-urusan
5
pemerintahan tertentu sebagai urusan rumah tangga sendiri. Desentralisasi juga dimaksudkan
untuk memperlancar roda pemerintahan.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan
desentralisasi di Indonesia sebagai akibat dari (1) luasnya wilayah Indonesia, (2)
ketidakmampuan pemerintah pusat untuk menyelenggarakan semua urusan pemerintahan, (3)
keadaan Indonesia yang pluralistik, dan (4) untuk terciptanya daya guna dan hasil guna
pemerintahan dan pembangunan.
Dalam desentralisasi terdapat tiga dimensi utama. Pertama, dimensi ekonomi, di
mana rakyat memperoleh kesempatan dan kebebasan untuk mengembangkan kegiatan
ekonominya. Kedua, dimensi politik, yakni berdayanya masyarakat secara politik yang ditandai
dengan lepasnya ketergantungan organisasi-organisasi rakyat dari pemerintah. Ketiga, dimensi
psikologis, yakni perasaan individu yang terakumulasi menjadi perasaan kolektif (bersama).
Tujuan yang akan diwujudkan dengan dianutnya konsep desentralisasi adalah agar
tidak terjadi penumpukan kekuasaan (concentration power) pada satu pihak saja, yakni
pemerintah pusat.
Perbedaan desentralisasi dan dekosentrasi hanya terletak pada karakter atau sifat
dan mekanisme pelaksanaannya, pada desentralisasi pemencaran kekuasaan (transfer of
powers) adalah di bidang kenegaraan oleh karenanya bersifat “staatskundig”, sedangkan pada
dekosentrasi pemencaran kekuasaan (transfer of powers) adalah di bidang kepegawaian atau
administrasi, dan oleh karenanya bersifat “ambtelijke”.
Dalam dekosentrasi terkandung ciri-ciri sebagai berikut:
a. bentuk pemencaran adalah pelimpahan
b. pemencaran terjadi kepada pejabat sendiri (perorangan)
c. yang dipencarkan (bukan urusan pemerintahan) tetapi wewenang untuk melaksanakan sesuatu
d. yang dilimpahkan tidak menjadi urusan rumah tangga sendiri.
Ciri-ciri atau indikator desentralisasi meliputi:
a. bentuk pemencaran adalah penyerahan
b. pemencaran terjadi kepada daerah (bukan perorangan)
c. yang dipencarkan adalah urusan pemerintahan6
d. urusan pemerintahan yang dipencarkan menjadi urusan pemerintah daerah
Kelebihan desentralisasi adalah sebagai berikut:
a. Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan
b. Dalam menghadapi masalah yang mendesak yang membutuhkan tindakan yang cepat, daerah
tidak perlu menunggu instruksi lagi dari pemerintah pusat
c. Dapat mengurangi birokrasi dalam arti yang buruk karena setiap keputusan dapat segera
dilaksanakan
d. Dalam sistem desentralisasi, dapat diadakan pembedaan (defferensiasi) dan pengkhususan
(spesialisasi) yang berguna bagi kepentingan tertentu
e. Dengan adanya desentralisasi territorial, daerah otonom dapat merupakan semacam
laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, yang dapat bermanfaat
bagi seluruh negara
f. Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari pusat
g. Dari segi psikologis, dapat lebih memberikan kepuasan bagi daerah-daerah karena sifatnya yang
lebih langsung.
Dalam desentralisasi juga terdapat kelemahan-kelemahan meliputi:
a. Karena besarnya organ-organ pemerintah, maka struktur pemerintah bertambah kompleks
yang mempersulit koordinasi
b. Keseimbangan dan keserasian antara bermacam-macam kepentingan dan daerah dapat lebih
terganggu
c. Khusus mengenai desentralisasi territorial, dapat mendorong timbulnya apa yang disebut
dengan “daerahisme” tau “provinsialisme”
d. Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang lambat karena memerlukan perundingan
yang bertele-tele
e. Dalam menyelenggarakan desentralisasi, diperlukan biaya yang lebih banyak dan sulit untuk
memperoleh keseragaman/uniformitas dan kesederhanaan.
2. Asas otonomi
Secara etimologi otonomi berasal dari kata “oto” (auto=sendiri) dan “nomoi”
(nomoi=nomos=undang-undang/aturan)yang berarti mengatur sendiri, wilayah atau bagian 7
Negara atau kelompok yang memerintah sendiri. Di dalam tata pemerintahan otonomi
diartikan sebagai mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri.
Dalam kepustakaan terdapat beberapa jenis otonomi, yaitu otonomi materiil,
otonomi formal, dan otonomi riil. Otonomi materiil mengandung arti bahwa urusan yang
diserahkan menjadi urusan rumah tangga diperinci secara tegas, pasti, diberi batas-batas
(limitative), "zakelijk”, dan dalam praktiknya penyerahan ini dilakukan dalam UU pembentukan
daerah yang bersangkutan.
Otonomi formal adalah sebaliknya, urusan yang diserahkan tidak dibatasi dan tidak
“zakelijk”. Sedangkan otonomi riil merupakan kombinasi atau campuran otonomi materiil dan
otonomi formal.
3. Asas tugas pembantuan
Secara etimologis, tugas pembantuan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda
“medebewind” yang berasal dari kata “mede” = serta, turut dan “bewind” = berkuasa atau
memerintah. Medebewind merupakan pelaksanaan peraturan yang disusun oleh alat
perlengkapan yang lebih tinggi, oleh yang lebih rendah.
Tugas pembantuan dapat diartikan sebagai pemberian kemungkinan kepada
pemerintah pusat/pemerintah daerah yang tingkatannya lebih atas untuk minta bantuan
kepada pemerintah daerah/pemerintah daerah yang tingkatannya lebih rendah di dalam
menyelenggarakan tugas-tugas atau kepentingan-kepentingan yang termasuk urusan rumah
tangga daerah yang diminta bantuan tersebut.
Yang terpenting dalam tugas pembantuan adalah umsur pertanggungjawaban
yang diemban oleh satuan pemerintahan yang “membantu”. Pertanggungjawaban di sini hanya
berkaitan dengan pelaksanaannya saja.
Dasar pertimbangan perlunya sas tugas pembantuan dipergunakan dalam
penyelenggaraan pemerintah daerah, yaitu:
a. Keterbatasan kemampuan pemerintah pusat atau daerah yang lebih tinggi dalam hal yang
berhubungan dengan perangkat atau sumber daya manusia maupun biaya
8
b. Untuk mencapai daya guna dan hasil guna yang lebih baik dalam penyelenggaraan
pemerintahan
c. Sifat urusan yang dilaksanakan.
B. Beberapa Aspek Hubungan antara Pusat dan Daerah
Terdapat tiga bentuk hubungan antara pusat dan daerah. Pertama, hubungan
pusat dan daerah menurut dasar dekosentrasi teritorial. Kedua, hubungan pusat dan daerah
menurut dasar otonomi teritorial. Ketiga, hubungan pusat dan daerah menurut dasar-dasar
federal.
Beberapa hal yang berkaitan dengan hubungan antar pusat dan daerah secara
umum terdapat empat dimensi yang meliputi menurut Bagir Manan, yaitu hubungan
kewenangan, hubungan pengawasan, hubungan keuangan, dan hubungan pusat dan daerah
dalam susunan organisasi pemerintahan daerah.
1. Hubungan kewenangan
Kewenangan berasal dari kata dasar “wewenang” yang dalam bahasa hukum tidak
sama dengan kekuasaan (macht). Secara horizontal berarti kekuasaan unttuk
menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Wewenang dalam pengertian vertikal
berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam suatu tertib ikatan pemerintah
negara secara keseluruhan. Dalam negara kesatuan pemilik kewenangan atau kekuasaan adalah
pemerintah pusat yang kemudian didistribusikan kepada satuan-satuan pemerintahan di
bawahnya.
Oleh Clarke dan Stewart tedapat tiga model hubungan kewenangan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, yaitu model otonomi relatif (the relative
autonomy model), model agen (the agency model), dan model interaksi (the interaction model).
Dalam relative autonomy model kewenangan-kewenangan lokal tidak mengingkari
realitas negara nasional. Pejabat lokal relatif leluasa menjalankan fungsinya. Dalam agency
model otoritas lokal dilihat sebagai agen bagi kebijakan-kebijakan pusat. Sedangkan interaction
model, pemerintah pusat dan pemerintah daerah terlihat dalam pola-pola relasi yang komplek.
Berdasarkan pendapat tersebut, model yang pertama mempunyai konsekuensi yang lebih baik
9
untuk menciptakan suatu pola hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah.
Urusan yang tetap menjadi urusan pemerintah pusat berdasarkan pasal 10 ayat (3)
UU No. 32 Tahun 2004 meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter,
fiskal, dan agama.
2. Hubungan pengawasan
Istilah pengawasan dalam bahasa Belanda disebut toetsing atau yang berarti
pengujian. Dalam kamus istilah hukum toetsing diartikan lebih lanjut sebagai penelitian dan
penilaian apakah perbuatan ataupun hal-hal sesuai dengan norma-norma yang lebih tinggi.
Dalam Penjelasan UU No. 5 Tahun 1974 ditegaskan bahwa pengawasan
merupakan suatu usaha untuk menjamin adanya keserasian antara penyelenggaraan tugas
pemerintahan oleh daerah-daerah dan oleh pemerintah (pusat) dan untuk menjamin
kelancaran penyelenggaraan pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna.
Bila dikaitkan dengan peyelenggaraan otonomi daerah, pengawasan mempunyai
fungsi sangat penting sebagai usaha untuk menjamin adanya keserasian antara
penyelenggaraan tugas pemerintahan oleh daerah otonom dan pemerintahan pusat dan untuk
menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan secara berdaya guna dn berhasil guna.
Dengan berlakunya UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah, masalah
pengawasan diatur dalam Bab V. Sistem pengawasan yang dianut oleh UU tersebut adalah
pengawasan preventif (preventief toetzicht) dan pengawasan represif (repressief toetzicht).
3. Hubungan keuangan
Keuangan negara (public finance) diinterpretasikan dalam arti sempit yakni
keuangan pemerintah (government finance), sedangkan makna “finance” (keuangan) sudah ada
kata sepakat yakni menggambarkan segala kegiatan (pemerintah) di dalam mencari sumber-
sumber dana (sources of fund) dan kemudian bagaimana dana-dana tersebut digunakan (use of
fund) untuk mencapai tujuan-tujuan pemerintah tertentu. Jadi, keuangan negara
mencerminkan kegiatan-kegiatan pemerintah, sedangkan kegiatan pemerintah itu sendiri
berada dalam sektor public (public sector), bukan berada dalam sektor swasta (private sector).
10
Unsur-unsur keuangan negara meliputi hak dan kewajiban negara, yang dapat
berupa tindakan/kegiatan dan kebijakan atau program/rencana yang bernilai uang.
Pengertian keuangan negara dalam perspektif resmi, akhirnya dapat dijumpai
dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pasal 1 angka (1) menentukan bahwa :
Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang,
serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Persoalan yang sering muncul berkaitan dengan hubungan keuangan antara pusat
dan daerah adalah terbatasnya jumlah dana yang dimiliki oleh daerah, dan pada sisi lain
pemerintah pusat memiliki dana yang sangat banyak, dengan demikian substansi dari
hubungan keuangan tersebut adalah perimbangan keuangan.
Terdapat tiga skema dalam rangka hubungan keuangan antara pusat dan daerah.
Pertama, Dana Perimbangan yakni penerimaan Negara yang dibagi antara pusat dan daerah.
Kedua, disebut Dana Alokasi Umum. Daerah akan menerima. Daerah akan menerima sekurang-
kurangnyaa 25% dari seluruh penerimaan APBN, dan setiap provinsi dan kabupaten/kota akan
menerima masing-masing 10% dan 90% dari Dana Alokasi Umum. Ketiga, disebut Dana Alokasi
Khusus, yaitu dana yang ditetapkan dalam APBN untuk daerah tertentu dan untuk kebutuhan
khusus.
4. Hubungan dalam susunan organisasi pemerintahan daerah
Aspek lain yang dapat mempengaruhi pola hubungan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah adalah susunan organisasi pemerintahan daerah, terlebih dalam negara
kesatuan yang desentralistik.
Susunan organisasi pemerintahan daerah mengandung dua segi yaitu susunan luar
(external structure) dan susunan dalam (internal structure). Susunan luar menyangkut badan-
badan pemerintahan (publieklichaan) tingkat daerah seperti Daerah Tingkat I atau Daerah
Tingkat II, dan susunan dalam (internal structure) adalah mengenai alat-alat kelengkapan
negara (organ) pemerintahan daerah, seperti DPR dan kepala daerah.
Susunan pemerintahan daerah baru diatur secara tegas dengan diundangkannya
UU No. 22 Tahun 1948 yang kemudian diubah dengan UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 11
1965 kemudian berturut-turut diubah dengan UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999
dan UU No. 32 Tahun 2004.
Susunan organisasi pemerintahan di daerah akan berpengaruh terhadap hubungan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat dilihat dari peran dan fungsi masing-
masing susunan atau tingkatan dalam penyelenggaraan otonomi. Dimana pengaturan dan
pelaksanaannya sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu sistem rumah tangga daerah,
ruang lingkup urusan pemerintahan, dan sifat dan kualitas suatu urusan.
BAB III
PERKEMBANGAN PENGATURAN HUBUNGAN KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH
A. Pengaturan Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah Periode 1945 s/d 1965
Jauh sebelum Indonesia merdeka persoalan pengelolaan keuangan daerah pada
mulanya dicantumkan dalam Behears voorsschiften 1936. Sebelum UU No. 32 Tahun 1956
diundangkan, Indonesia merdeka belum pernah mempunyai UU yang mengatur hubungan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Terdapat pengakuan formal dari UU No. 22 Tahun 1948, bahwa selama berlakunya
UU No. 1 Tahun 1945 terdapat mekanisme pemberian subsidi dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah yang dikenal dengan nama sistem slutpost.
12
Berdasarkan pasal 37 UU No. 22 Tahun 1948, sumber-sumber keuangan daerah
meliputi:
1. Pajak daerah, termasuk retribusi daerah
2. Hasil perusahaan daerah
3. Pajak negara yang diserahkan kepada daerah
4. dan lain-lain
Sejak tahun 1945 s/d 1956 sebenarnya sistem hubungan keuangan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah bukanlah sistem sluitpost murni. Hal ini
disebabkan pemberian tunjangan kepada daerah sangat tergantung pada keinginan atau
kebijaksanaan sepihak pemerintah pusat. Pemerintah daerah dalam menyusun APBD selalu
mengalami kesulitan karena ketidaktahuan dana tunjangan yang akan ditransfer oleh pusat.
Dalam menyusun dan menetapkan APBD, daerah diharuskan mendasarkan pada
Pendapatan Asli Daerah. Menurut pasal 37 UU No. 22 Tahun 1948, sumber-sumber keuangan
daerah meliputi pajak daerah, termasuk retribusi daerah, hasil perusahaan daerah, pajak
negara yang diserahkan kepada daerah, dan lain-lain.
Pada umumnya pajak-pajak daerah meliputi:
a. pajak anjing
b. pajak forensen
c. pajak hiasan kuburan
d. pajak kendaraan tak bermotor
e. pajak minuman keras
f. pajak penerangan jalan
g. pajak petasan/kembang api
h. pajak reklame
i. pajak tontonan/keramaian
Menurut Soepardi, sumber-sumber pendapatan daerah dari sektor retribusi yang
dapat dilakukan pemungutan oleh kabupaten, kota besar, dan kota kecil meliputi bangunan, ijin
perusahaan, gedung dan tanah, pasar, perkuburan, pelataran parkir dan stasiun bus,
13
pemeriksaan air susu, penambangan, rumah potong hewan, rumah sakit, uang leges, dan uang
tol.
B. Perkembangan Pengaturan Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah Periode 1956-1999
Memasuki awal tahun 1957 perjalanan bangsa Indonesia untuk mengatur sistem
pemerintahan daerah, memasuki babak baru. Hal tersebut dikarenakan dalam waktu yang
hampir bersamaan diundangkan dua UU yang berkaitan dengan persoalan tersebut, yakni UU
No. 32 Tahun 1956 yang mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1957. Dalam perkembangan
selanjutnya, diundangkan UU No. 1 Tahun 1957.
Secara garis besar, UU No. 1 Tahun 1957 telah memberikan peluang kepada
daerah untuk mengatur dan mengurus sumber-sumber keuangan yang ada di daerah. Tetapi
undang-undang tersebut tidak memberikan kejelasan mengenai pola hubungan atau
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat (negara) dengan daerah-daerah.
Sumber-sumber penerimaan daerah di samping penyerahan pajak Negara kepada
daerah dan retribusi daerah masih dimungkinkan untuk mendapatkan pemasukan dari
pemerintah pusat berupa ganjaran, subsidi, dan sumbangan.
Dalam penjelasan pasal 58 UU No. 1 Tahun 1957, yang dimaksud dengan ganjaran
adalah sejumlah uang yang diserahkan kepada daerah berhubung dengan kewajiban
menyelenggarakan tugas negara, dan sejumlah uang yang diserahkan kepada daerah
berhubung tugas negara telah menjadi urusan rumah tangga daerah.
Subsidi ialah bantuan yang diberikan kepada daerah untuk penyelenggaraan
usaha-usaha daerah yang biayanya melampaui kemampuan keuangan daerah. Sumbangan
adalah bantuan yang diberikan kepada daerah untuk menutup kekurangan anggaran daerah,
sebagai akibat adanya keadaan luar biasa yang dapat mengakibatkan daerah mengalami krisis
keuangan.
14
Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan pasal 7, pasal 8, dan pasal 9 UU No.
32 Tahun 1956 diatur dengan PP No. 4 Tahun 1957 tentang Pemberian Ganjaran, Subsidi, dan
Sumbangan Kepada Daerah.
Besarnya ganjaran yang diberikan kepada daerah tidak tergantung pada
kemampuan daerah, tetapi dengan memperhatikan biaya penyelenggaraan pemerintah yang
harus dilaksanakan, dan besarnya ganjaran masing-masing daerah ditetapkan tiap tahun.
Mekanisme pemberian subsidi oleh pemerintah pusat kepada daerah yang harus
memperhatikan dan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah, dan inisiatif untuk
memperoleh subsidi harus berasal dari daerah. Permohonan untuk memperoleh subsidi
diajukan kepada Menteri Dalam Negeri. Kemudian salinan pernohonan subsidi tersebut juga
harus disampaikan kepada Panitia Negara Perimbangan Keuangan yang eksistensinya
didasarkan kepada PP No. 5 Tahun 1957.
UU No. 32 Tahun 1956 sebagai satu produk hukum pertama hasil karya bangsa
Indonesia yang mengatur hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah bertujuan
untuk:
a. Memberikan ketentuan sekedar menjamin keuangan daerah
b. Mendorong ke arah penyehatan rumah tangga daerah
c. Mendorong daerah untuk intensifikasi sumber-sumber pendapatan daerah dan mengadakan
sumber-sumber baru
d. Memupuk rasa tanggung jawab daerah dalam menyelenggarakan rumah tangga daerah
e. Memungkinkan daerah lebih leluasa dalam menjalankan kebijaksanaan keuangan untuk
melaksanakan tugasnya
Dalam UU No. 32 Tahun 1956 pasal 2, sumber-sumber keuangan daerah yang
merupakan pendapatan pokok daerah terdiri dari: (1) pajak daerah; (2) retribusi daerah; (3)
pendapatan Negara yang diserahkan kepada daerah; (4) hasil perusahaan daerah; dan (4)
dalam hal-hal tertentu kepada daerah dapat diberikan ganjaran, subsidi, dan sumbangan.
15
Dalam rangka melaksanakan proses pendistribusian hasil-hasil penerimaan dari
sumber-sumber pendapatan berdasarkan ketentuan pasal 6 UU No. 32 Tahun 1956 harus
memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:
a. Luas daerah
b. Jumlah penduduk
c. Potensi perekonomian
d. Tingkat kecerdasan rakyat
e. Tingkat kemahalan
f. Panjangnya jalan-jalan yang diurus oleh daerah
g. Panjangnya saluran pengairan yang diurus oleh daerah
h. Hal apakah daerah itu seluruhnya atau sebagian terdiri dari pulau-pulau
Kelemahan atau kekurangan dari UU No. 32 Tahun 1956 meliputi:
1. Dalam UU No. 32 Tahun 1956 diserahkan delapan jenis pajak negara menjadi pajak daerah, dan
ditentukan bahwa sebagian dari penghasilan lima pajak negara serta bea-bea dan cukai
diserahkan kepada daerah.
2. Penyerahan sebagian hasil pajak negara dengan kisaran 75%-90% dari hasil pajak meterai, pajak
peralihan dan pajak upah akan diberikan kepada daerah, sedangkan untuk pajak kekayaan dan
perseroan akan diberikan berdasarkan presentase yang diatur lebih lanjut dengan PP.
3. Pembagian fonds yang berisi bagian-bagian dari pendapatan negara harus ditempuh dengan
tata cara yang ruwet
4. Dari segi struktur pajak, dorongan tanggung jawab keuangan, dan pembangunan ekonomi serta
kemajuan daerah, masih terdapat pula keberatan-keberatan terhadap UU No. 32 Tahun 1956.
5. UU No. 32 Tahun 1956 kurang memberikan dorongan terhadap pembangunan ekonomi dan
kemajuan daerah di Indonesia.
UU No. 32 Tahun 1956 dan RUU Perimbangan Keuangan Tahunn 1963 lebih
mentikberatkan pada cara penyerahan sebagian penerimaan Pajak Negara kepada daerah. RUU
Perimbangan Keuangan Tahun 1965 dan RUU Hubungan Keuangan Tahun 1968 lebih
menitikberatkan pada cara pemberian sumbangan kepada daerah sebagai dasar perimbangan
keuangan pusat dan daerah.16
Pada awal Orde Baru atau tepatnya waktu Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I
berjalan (1969/1970-1973/1974) hubungan keuangan dalam praktiknya juga mulai
dilaksanakan, hal tersebut ditandai dengan adanya bantuan perkapita (percapita grants)
kepada Pemerintah Kabupaten Dati II yang kemudian dikenal dengan nama Instruksi Presiden
(Inpres) Kabupaten.
Perubahan penting dalam pola hubungan keuangan pusat dan daerah terjadi pada
awal Pelita II (April 1974) karena dihapuskannya ADO (Alokasi Devisa Otomatis) bagi
pemerintah provinsi.
Pergantian UU pemerintahan daerah sejak UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun
1965, bahkan sampai diundangkannya UU No. 5 Tahun 1974 UU perimbangan keuangan sama
sekali belum dibentuk. Pada masa berlakunya UU No. 5 Tahun 1974, sumber-sumber keuangan
potensial dikuasai oleh negara. Berlakunya undang-undang tersebut dalam praktiknya
mengakibatkan tingkat ketergantungan daerah pada pemerintah pusat tetap sangat tinggi.
Pergantian kepemimpinan nasional pada Mei 1999 telah diikuti dengan reformasi
hukum yang mengatur pemerintahan daerah yakni dengan keluarnya dua UU, yaitu UU No. 22
Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 pada tanggal 7 Mei 1999 telah
memberikan harapan baru bagi daerah untuk mengembangkan wilayahnya sesuai dengan
aspirasi dan kepentingan masyaraktnya, hal ini disebabkan paradigma penyelenggaraan
otonomi mengalami pergeseran.
Berdasarkan pasal 79 UU No. 22 Tahun 1999, sumber-sumber pendapatan daerah
terdiri dari:
a. Pendapatan Asli Daerah, yaitu:
1. Hasil pajak daerah
2. Hasil retribusi daerah
3. Hasil perusahaan milik daerah, dan hasil penegelolan kekayaan daerah yang dipisahkan
4. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah
b. Dana Perimbangan17
c. Pinjaman Daerah
d. Lain-lain pendapatan daerah yang sah
Sejak 15 Oktober 2004 telah diundangkan UU No. 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah untuk mengganti
UU No. 25 Tahun 1999. Namun peraturan pelaksana UU No. 25 Tahun 1999 masih beralaku
sepanjang belum diganti dengan yang baru.
BAB IV
HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH DI INDONESIA
Membiayai diri sendiri atau pendapatan sendiri menunjukkan bahwa daerah
(harus) mempunyai sumber-sumber pendapatannya sendiri.Salah satu sumber pendapatan asli
adalah pungutan yang diperoleh dari pajak atau retribusi.Kewenangan untuk mengenakan
pungutan,bukan sekedar sebagai sumber pendapat,tetapi sekaligus melambangkan kebebasan
menentukan sendiri cara-cara mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerah yang
bersangkutan.
A. Pembiayaan Dalam Rangka Pelaksanaan Desentralisasi
18
1. Sumber-sumber pendapatan keuangan daerah
Pengaturan mengenai hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah
sejak tahun 1999 diatur dalam UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah yang merupakan pelaksanaan atau pengaturan lebih lanjut dari
amanat pasal 80 ayat (4) UU No. 22 Tahun 1999, sampai dinyatakan tidak berlaku berdasarkan
pasal 109 UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah, yang merupakan amanat dari pasal 15 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan pengganti dari UU No. 22 Tahun 1999.
UU No. 25 Tahun 1999 pasal 2 menegaskan bahwa:
a. Penyelenggaraan tugas daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dibiayai atas beban
APBD
b. Penyelenggaraan tugas pemerintahan pusat yang dilaksanakan oleh perangkat daerah provinsi
dalam rangka pelaksanaan dekosentrasi dibiayai atas beban APBN
c. Penyelenggaraan tugas pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh perangkat daerah dan desa
dalam rangka tugas pembantuan dibiayai atas beban APBN
d. Penyerahan atau pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada Gubernur atau
penyerahan kewenangan atau penugasan pemerintah pusat kepada Bupati/Walikota diikuti
dengan pembiayaannya
Tujuan yang hendak dicapai dengan diundangkannya UU No. 25 Tahun 1999
meliputi:
a. Memberdayakan dan meingkatkan perekonomian daerah
b. Menciptakan system pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan,
partisiptif, bertanggungjawab (akuntabel), dan pasti
c. Mewujudkan sistem perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang jelas
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
d. Menjadi acuan dalam alokasi penerimaan Negara bagi daerah
e. Mempertegas sistem pertanggungjawaban keuangan oleh pemerintah daerah
f. Menjadi pedoman pokok tentang keuangan daerah
19
Berbeda dengan tujuan diundangkannya UU No. 25 Tahun 1999, tujuan yang
hendak dicapai oleh UU No. 33 Tahun 2004 adalah dimaksudkan untuk mendukung pendanaan
atas penyerahan urusan kepada pemerintah daerah yang diatur dalam UU tentang
Pemerintahan Daerah, di mana pendanaan ini menganut prinsip money follows function.
UU No. 25 Tahun 1999 ingin memberdayakan dan meningkatkan perekonomian
daerah serta menciptakan system pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional,
transparan, partisipatif, bertanggung jawab (akuntabel). Pasal 79 UU No. 22 Tahun 1999 jo
pasal 3 UU No. 25 Tahun 1999, sumber-sumber penerimaan daerah meliputi: (1) Pendapatan
Asli Daerah; (2) Dana Perimbangan; (3) Pinjaman Daerah; dan (4) lain-lain Pendapatan Asli
Daerah yang sah.
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Sumber PAD terdiri dari: (1) hasil pajak daerah; (2) hasil retribusi daerah; (3) hasil
perusahaan milik dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan; dan (4) lain-
lain pendapatan asli daerah yang sah.
1) Pajak Daerah
Sebagai salah satu sumber pembiayaan pemerintah daerah, pajak daerah diatur dalam
UU No. 18 Tahun 1999 yang kemudian diperbaiki dengan UU No. 34 Tahun 2000 tentang
Perubahan atas UU No. 18 Tahun1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang
kemudian telah diganti dengan UU No. 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi
daerah.
Berdasarkan ketentuan pasal 1 ayat (8) UU No. 28 Tahun 2009 yang dimaksud dengan
pajak daerah, yang selanjutnya disebut pajak, adalah kontribusi wajib kepada daerah yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Peluang untuk memperoleh pendapatan dari pajak daerah baik berdasarkan UU No.
34 Tahun 2000 maupun UU No. 28 Tahun 2009 sangat terbuka lebar. UU No. 34 Tahun 2000
tentang pajak dan retribusi telah diganti, yakni dengan diundangkannya UU No. 28 Tahun 2009
tentang Pajak dan Retribusi Daerah.20
Berdasarkan ketentuan pasal 2 UU No. 28 Tahun 2009 mengklasifikasikan jenis pajak
provinsi, yaitu:
a. Jenis Pajak Provinsi terdiri atas:
(1) Pajak kendaraan bermotor
(2) Bea balik nama kendaraan bermotor
(3) Pajak bahan bakar kendaraan bermotor
(4) Pajak air permukaan
(5) Pajak rokok
b. Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas:
(1) Pajak hotel
(2) Pajak restoran
(3) Pajak hiburan
(4) Pajak reklame
(5) Pajak penerangan jalan
(6) Pajak mineral bukan logam dan batuan
(7) Pajak parkir
(8) Pajak air tanah
(9) Pajak sarang burung wallet
(10) Pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaan
(11) Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
2) Retribusi Daerah
Berdasarkan Pasal 1 ayat (28) UU No. 34 Tahun2000 dinyatakan bahwa retribusi
daerah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah adalah pungutan daerah sebagai
pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan
oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
Sejalan dengan ketentuan tersebut Pasal 1 angka (64) UU No. 28 Tahun 2009
menentukan bahwa retribusi daerah, yang selanjutnya disebut retribusi, adalah pungutan
daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan
dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.21
Baik berdasarkan ketentuan pasal 18 UU No. 34 Tahun 2000 ayat (2) retribusi dan
ketentuan pasal 108 UU No. 28 Tahun 2009 dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu: (1) retribusi
jasa umum; (2) retribusi jasa usaha; dan (3) retribusi perizinan tertentu.
Berdasarkan PP No. 66 Tahun 2001 Tentang Retribusi Daerah, dimana berdasarkan
ketentuan pasal 2 ayat (1), obyek retribusi jasa umum adalah pelayanan yang disediakan atau
diberikan pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat
dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
Objek Retribusi Jasa Usaha adalah pelayanan yang disediakan UU No. 28 Tahun 2009
di mana ditentukan bahwa oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial yang
meliputi:
a) Pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan daerah yang belum dimanfaatkan
secara optimal
b) Pelayanan oleh pemerintah daerah sepanjang belum disediakan secara memadai oleh pihak
swasta.
Berdasarkan ketentuan pasal 140, objek retribusi perizinan tertentu adalah pelayanan
perizinan tertentu oleh pemerintah daerah kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan
untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber
daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan
umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
Dalam sistem perpajakan di Indonesia,khususnya yang menyangkut pajak dan retribusi
daerah penentuan besarnya tarif pajak dibatasi dalam jumlah maksimal persentase tertentu.
b. Dana Perimbangan
Berdasarkan ketentuan pasal 79 UU No. 22 Tahun 1999 dan pasal 3 UU No. 25
Tahun 1999 Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang
dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi.
Landasan filosofis yang melatarbelakangi perlunya dana perimbangan tidak lain
adalah untuk menciptakan suatu kondisi kemampuan keuangan yang seimbang antara
22
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah. Dana perimbangan
meliputi Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus.
1) Dana Bagi Hasil
Berdasarkan pasal 1 ayat (20) UU No. 33 Tahun 2004 Dana Bagi Hasil adalah dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka
persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana
Bagi Hasil bersumber pada pajak dan sumber daya alam. Dalam UU No. 22 Tahun 1999 dan UU
No. 25 Tahun 1999 Dana Bagi Hasil adalah dana yang berasal dari Bagian Derah dari
Penerimaan PBB dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Penerimaan
dari Sumber Daya Alam ( PSDA).
2) Dana Alokasi Umum (DAU)
Dalam konteks Indonesia, sejak berlakunya UU No. 25 Tahun 1999 transfer uang dari
pusat ke daerah yang sebelumnya disebut Subsidi Daerah Otonom (SDO) ataupun Dana Rutin
Daerah (DRD) dan juga transfer yang berbentuk Instruksi Presiden (Inpres) digantikan oleh salah
satu dari dua jenis transfer, yaitu transfer yang bersifat umum dan dinamakan Dana Alokasi
Umum (DAU).
DAU berdasarkan ketentuan pasal 1 ayat (21) UU No. 33 Tahun 2004 merupakan dana
yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan
kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi.
Dalam Penjelasan Umum UU No. 33 Tahun 2004 bahwa tujuan DAU adalah untuk
pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi
ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang
mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. DAU suatu daerah ditentukan atas besar
kecilnya celah fiscal (fiscal gap) suatu daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan daerah
(fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity).
3) Dana Alokasi Khusus
Pengertian DAK dalam pasal 1 UU No. 25 Tahun 1999 diartikan sebagai dana yang
berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan 23
tertentu. Sedangkan pengertian DAK dalam UU No. 33 Tahun 2004 lebih dikembangkan, bahwa
di samping merupakan dana yang bersumber pada APBN dan peruntukannya untuk membiayai
kegiatan tertentu yang sifatnya “membantu” pelaksanaan urusan daerah dan harus sesuai
dengan prioritas nasional.
Dalam Penjelasan Umum UU No. 33 Tahun 2004 dinyatakan bahwa DAK dimaksudkan
untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di daerah tertentu yang merupakan
urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional,khususnya untuk membiayai kebutuhan
sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau
untuk mendorong percepatan pembangunan daerah.
Berdasarkan Keputusan Menkeu RI No. 548/KMK.07/2003 Pasal 11 pengalokasian DAK
harus memenuhi kriteria umum sebagai berikut:
a. Pengalokasian DAK diprioritaskan untuk daerah-daerah yang memiliki kemampuan fiscal
rendah atau di bawah rata-rata
b. Kemampuan fiskal daerah didasrakan pada selisih antara realisasi Penerimaan Daerah (PAD,
Dana Perimbangan, Dana Pinjaman, dan lain-lain penerimaan yang sah) tidak termasuk Sisa
Anggaran Lebih (SAL) dan Belanja Pegawai Negeri Sipil Daerah (fiscal netto)
c. Perhitungan Indeks Fiskal Netto suatu daerah didasarkan pada pembagian antara kemampuan
fiskal daerah suatu daerah dengan kemampuan fiskal seluruh daerah, kemudian hasilnya
dikalikan dengan jumlah seluruh daerah
d. Daerah yang memiliki kemampuan fiskal di bawah rata-rata adalah daerah yang memiliki
indeks fiskal netto di bawah satu.
Menurut pasal 12 Keputusan Menkeu No. 548/KMK.07/2003, kriteria khusus dalam
pengalokasian DAK adalah dengan memperhatikan daerah-daerah tertentu yang memiliki
dan/atau berada di wilayah (a) Provinsi Papua dan Provinsi NAD; (b) Kawasan Indonesia Timur
(KIT); dan (c) Perbatasan, Daerah Pesisir dan Kepulauan, Daerah Pasca Konflik, Daerah Hilir
Aliran Sungai Rawan Banjir dan Daerah Tertinggal/Terpencil.
B. Pengelolaan dan Pertanggungjawaban DAU dan DAK
DAU dialokasikan dengan tujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, sedangkan DAK dialokasikan kepada daerah 24
tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan
daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
Pengelolaan dan pertanggungjawabannya tunduk pada ketentuan mengenai
pengelolaan APBD, yakni PP No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah yang berdasarkan ketentuan Pasal 105 ayat (1) UU No.
33 Tahun 2004. Penyaluran DAU dilakukan ke masing-masing Kas Daerah oleh Menteri
Keuangan, demikian pula dengan DAK.
Pengelolaan DAU dan DAK menjadi kewenangan Kepala Daerah selaku pemegang
kekuasaan umum pengelolaan keuangan daerah yang dalam praktiknya berdasarkan ketentuan
pasal 2 ayat (2) PP No. 105 Tahun 2000 dapat mendelegasikan sebagian atau seluruhnya
kewenangannya kepada Sekretaris Daerah dan atau Perangkat Pengelola Keuangan Daerah.
Pengelolaan DAU dan DAK harus dilakukan secara tertib, taat pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan
memperhatikan asas keadilan dan kepatutan.
C. Pembiayaan Dalam Rangka Pelaksanaan Dekosentrasi dan Tugas Pembantuan
Pembiayaan atas penyelenggaraan dekosentrasi sebelumnya diatur dalam pasal 17
UU No. 25 Tahun 1999 kemudian diundangkan UU No. 33 Tahun 2004, maka pengaturan
pembiayaan dekosentrasi dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Pendanaan dilakukan dilaksanakan setelah adanya pelimpahan wewenang dari pemerintah
pusat melalui Kementerian Negara/lembaga kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat
di daerah
2. Biaya yang ditimbulkan sebagai akibat pelaksanaan pelimpahan wewenang didanai oleh
pemerintah pusat dan disesuaikan dengan wewenang yang dilimpahkan, dan dialokasikan
untuk kegiatan yang bersifat non-fisik
3. Pelaksanaan kegiatan dekosentrasi di daerah dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat
Daerah(SKPD) yang ditetapkan oleh Gubernur
4. Gubernur harus memberitahukan kepada DPRD sehubungan dengan rencana kerja dan
anggaran kementerian/lembaga dalam kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan dekosentrasi
di daerah, dan disampaikan pada saat pembahasan RAPBD25
D. Pinjaman Daerah
Sebelum berlakunya UU No. 33 Tahun 2004, masalah pinjaman diatur dalam pasal
15 UU No. 25 Tahun 1999, berdasarkan ketentuan tersebut, maka dikeluarkan PP No. 107
Tahun 2000. Dengan berlakunya UU No. 33 Tahun 2004, maka pinjaman daerah tidak lagi
mendasarkan kepada pasal 15 UU No. 25 Tahun 1999, melainkan harus mengacu kepada pasal
51 UU No. 33 Tahun 2004.
Pasal 51 UU No. 33 Tahun 2004 menentukan bahwa:
(1) Pinjaman daerah bersumber dari:
a. Pemerintah
b. Pemerintah daerah lain
c. Lembaga keuangan bank
d. Lembaga keuangan bukan bank
e. Masyarakat
(2) Pinjaman daerah yang bersumber dari pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan melalui Menteri Keuangan
Timbulnya pinjaman daerah merupakan konsekuensi dari meningkatnya
kebutuhan dana (fiscal needs) untuk melayani masyarakat yang juga meningkat sebagai akibat
perkembangan penduduk dan ekonomi.
Prinsip umum pinjaman daerah yang diatur dalam PP No. 54 Tahun 2005
menentukan bahwa:
1. Pinjaman daerah merupakan alternatif sumber pembiayaan APBD dan/atau untuk menutup
kekurangan kas
2. Pinjaman daerah digunakan untuk membiayai kegiatan yang merupakan inisiatif dan
kewenangan daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan
3. Pemerintah daerah dilarang melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri
4. Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri dalam hal
pinjaman langsung kepada pihak luar negeri yang terjadi karena kegiatan transaksi obligasi
daerah sesuai peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal
5. Pemerintah daerah dilarang memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain26
6. Pendapatan daerah dan/atau barang milik daerah tidak boleh dijadikan jaminan pinjaman
daerah
7. Proyek yang dibiayai dari obligasi daerah beserta barang milik daerah yang melekat dalam
proyek tersebut dapat dijadikan jaminan obligasi daerah
Berdasarkan ketentuan PP No. 54 Tahun 2005, pemerintah daerah dapat
melakukan pinjaman daerah yang jenis dan macamnya diatur dalam pasal 5 yang meliputi: (a)
Pinjaman Jangka Pendek; (b) Pinjaman Jangka Menengah; dan (c) Pinjaman Jangka Panjang.
Berdasrakan ketentuan pasal 7 PP No. 54 Tahun 2005, pinjaman jangka pendek
hanya dipergunakan untuk menutup kekurangan arus kas pada tahun anggaran yang
bersangkutan. Sedangkan, pinjaman jangka menengah dipergunakan untuk membiayai
penyediaan layanan umum yang tidak menghasilkan penerimaan, dan pinjaman jangka panjang
dipergunakan untuk membiayai proyek investasi yang menghasilkan penerimaan.
Mengenai prosedur pinjaman daerah, UU No. 33 Tahun 2004 sebenarnya telah
mengatur, namun masih sangat umum. Sebelum berlakunya PP No. 54 Tahun 2005, prosedur
pinjaman daerah diatur di dalam pasal 11 PP No. 107 Tahun 2000.
E. Hubungan Keuangan Antara Pusat dan Daerah di Masa yang Akan Datang
Konsep desentralisasi dalam hal ini adalah otonomi dalam tataran teori maupun
praktiknya tidak serta merta dapat dipisahkan dari persoalan yang berhubungan dengan
keuangan atau finansial. Otonomi yang dalam perspektif UU No. 33 Tahun 2004 diklasifikasikan
sebagai hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahandan kepentingan masyarakat setempat, mengandung makna bahwa hak,
wewenang serta kewajiban tersebut untuk “membiayai” diri sendiri.
Ketidakmandirian daerah dalam pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan yang
menunjukkan kecenderungan menggantungkan pada “kebaikan hati” Pemerintah Pusat dapat
disebabkan karena desentralisasi fiskal yang dijalankan oleh pemerintah adalah “setengah
hati”, artinya pemerintah pusat mempunyai kepentingan yang sangat besar akan jaminan
bertambahnya “pundi-pundi” atau kas negara sebagai upaya untuk menjaga eksistensinya di
hadapan daerah.
27
Beberapa kelemahan dalam mekanisme pemberian bantuan dana dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah berupa DAU, antara lain sebagai berikut:
1. Ketidakadilan dalam pembagian DAU
2. Kurang transparannya pemerintah pusat dalam membagi DAU ke daerah
3. Masih adanya perbedaan persepsi antara pemerintah pusat dengan daerah tentang
penggunaan DAU
4. Masih kurang transparan pemerintah pusat dalam membagi hasil SDA
Memperhatikan dan mempertimbangkan kelemahan-kelemahan dari sistem
desentralisasi fiskal yang telah berlaku, maka diperlukan untuk melakukan penyempurnaan atas
pola hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di masa yang akan
datang.
28