11
Pemeriksaan fisik Pada inspeksi, perut kembung atau membuncit di seluruh lapang pand Apabila keadaan sudah parah, akan terlihat pergerakan usus pada dinding abdomen Saat dilakukan pemeriksaan auskultasi, terdengar bising usus melemah atau jarang Untuk menentukan diagnosis penyakit Hirschsprung dapat pula dilakukan pemeriksaa rectal touche dapat dirasakan sfingter anal yang kaku dan sempit, saat jari ditari terdapat explosive stool (Iadi,!""#$. Gambar 1. %oto pasien penyakit Hirschsprung berusia & hari. 'ampak abdomen sangat distensi, dan dinding abdomen kemerahan yang menandakan a al terjadi komplikasi infeksi. Pasien tampak amat menderita akibat distensi abdomennya. Pemeriksaan penunjang )iagnostik pada PH dapat ditegakkan dengan beberapa pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan foto polos abdomen dan khususnya barium enema merupakan pemeriksaan diagnostik untuk mendeteksi PH secara dini pada neonatus. *eberhasilaan pemerikasaan radiologi pasien neonatus sangat bergantung pada kesadaran dan pengalaman spesialis radiologi pada penyakit ini, disamping teknik baik dalam memperlihatkan tanda+tanda yang diperlukan untuk penegakkan diagnosis (*artono, !"" $.

pemeriksaan penunjang Hisprug

Embed Size (px)

DESCRIPTION

sistem GIT

Citation preview

Pemeriksaan fisik Pada inspeksi, perut kembung atau membuncit di seluruh lapang pandang. Apabila keadaan sudah parah, akan terlihat pergerakan usus pada dinding abdomen. Saat dilakukan pemeriksaan auskultasi, terdengar bising usus melemah atau jarang. Untuk menentukan diagnosis penyakit Hirschsprung dapat pula dilakukan pemeriksaan rectal touche dapat dirasakan sfingter anal yang kaku dan sempit, saat jari ditarik terdapat explosive stool (Izadi,2007).

Gambar 1. Foto pasien penyakit Hirschsprung berusia 3 hari. Tampak abdomen sangat distensi, dan dinding abdomen kemerahan yang menandakan awal terjadi komplikasi infeksi. Pasien tampak amat menderita akibat distensi abdomennya.

Pemeriksaan penunjangDiagnostik pada PH dapat ditegakkan dengan beberapa pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan RadiologisPemeriksaan foto polos abdomen dan khususnya barium enema merupakan pemeriksaan diagnostik untuk mendeteksi PH secara dini pada neonatus. Keberhasilaan pemerikasaan radiologi pasien neonatus sangat bergantung pada kesadaran dan pengalaman spesialis radiologi pada penyakit ini, disamping teknik yang baik dalam memperlihatkan tanda-tanda yang diperlukan untuk penegakkan diagnosis (Kartono, 2004).

a. Foto polos abdomenPH pada neonatus cenderung menampilkan gambaran obstruksi usus letak rendah. Daerah pelvis terlihat kosong tanpa udara (gambar1). Gambaran obstruksi usus letak rendah dapat ditemukan penyakit lain dengan sindrom obstruksi usus letak rendah, seperti atresia ileum, sindrom sumbatan mekonium, atau sepsis, termasuk diantaranya enterokolitis nekrotikans neonatal. Foto polos abdomen dapat menyingkirkan diagnosis lain seperti peritonitis intrauterine ataupun perforasi gaster. Pada foto polos abdomen neonatus, distensi usus halus dan distensi usus besar tidak selalu mudah dibedakan. Pada pasien bayi dan anak gambaran distensi kolon dan gambaran masa feses lebih jelas dapat terlihat (Kartono, 2004). Selain itu, gambaran foto polos juga menunjukan distensi usus karena adanya gas (Pasumarthy L, 2008). Enterokolitis pada PH dapat didiagnosis dengan foto polos abdomen yang ditandai dengan adanya kontur irregular dari kolon yang berdilatasi yang disebabkan oleh oedem, spasme, ulserase dari dinding intestinal. Perubahan tersebut dapat terlihat jelas dengan barium enema (Kartono, 2004).

Gambar 2. Foto polos abdomen pada noenatus dengan PH ( John M, 2009).

b. Barium enemaPemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas: Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah dilatasi. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi. Pemeriksaan barium enema harus dikerjakan pada neonatus dengan keterlambatan evakuasi mekonium yang disertai dengan distensi abdomen dan muntah hijau, meskipun dengan pemeriksaan colok dubur gejala dan tanda-tanda obstruksi usus telah mereda atau menghilang. Tanda klasik khas untuk PH adalah segmen sempit dari sfingter anal dengan panjang segmen tertentu, daerah perubahan dari segmen sempit ke segmen dilatasi (zona transisi), dan segmen dilatasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Theodore, Polley, dan Arnold dari tahun 1974 sampai 1985 mendapatkan hasil bahwa barium enema dapat mendiagnosis 60% dari 99 pasien dengan PH (Polley, dkk, 1986). Dalam literatur dikatakan bahwa pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas 65-80% dan spesifisitas 65-100% (Gerson, 2009). Hal terpenting dalam foto barium enema adalah terlihatnya zona transisi. Zona transisi mempunyai 3 jenis gambaran yang bisa ditemukan pada foto barium enema yaitu 1. Abrupt, perubahan mendadak; 2. Cone, berbentuk seperti corong atau kerucut; 3. Funnel, bentuk seperti cerobong (Kartono, 2004; Parsumarth, 2008).Selain itu tanda adanya enterokolitis dapat juga dilihat pada foto barium enema dengan gambaran permukaan mukosa yang tidak teratur. Juga terlihat gambar garis-garis lipatan melintang, khususnya bila larutan barium mengisi lumen kolon yang berada dalam keadaan kosong.Pemerikasaan barium enema tidak direkomendasikan pada pasien yang terkena enterokolitis karena adanya resiko perforasi dinding kolon (Kessman, 2006). Gambar 3. Terlihat gambar barium enema penderita Hirschsprung. Tampak rektum yang mengalami penyempitan,dilatasi sigmoid dan daerah transisi yang melebar. Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid (Kartono,2004; Wyllie, 2000)

c. Foto retensi bariumRetensi barium 24-48 jam setelah pengambilan foto barium enema merupakan hal yang penting pada PH, khusunya pada masa neonatus. Foto retensi barium dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan foto polos abdomen untuk elihat retensi barium. Gambaran yang terlihat yaitu barium membaur dengan feses ke arah proksimal di dalam kolon berganglion normal. Retensi barium dengan obtipasi kronik yang bukan disebabkan PH terlihat semakin ke distal, menggumpal di daerah rektum dan sigmoid. Foto retensi barium dilakukan apabila pada foto enema barium ataupun yang dibuat pasca-evakuasi barium tidak terlihat tanda PH (Kartono, 2004). Apabila terdapat jumlah retensi barium yang cukup signifikan di kolon, hal ini juga meningkatkan kecurigaan PH walaupun zona transisi tidak.

Gambar 4. Foto retensi barium 24 jam menunjukan rettensi barium dengan zona transisi pada fleksura splenik pada bayi berumur 10 hari.

2. Pemeriksaan HistopatologiStandar diagnosis untuk PH adalah pemeriksaan histopatologi yang dapat dikerjakan dengan open surgery atau biopsi isap rektum. Pada kolon yang normal menampilkan adanya sel ganglion pada pleksus mienterik (Auerbach) dan pleksus sub-mukosa (Meissner). Diagnosis histopatologi PH didasarkan atas absennya sel ganglion pada kedua pleksus tersebut. Disamping itu akan terlihat dalam jumlah banyak penebalan serabut saraf (parasimpatis). Akurasi pemeriksaan akan semakin tinggi apabila menggunakan pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase, suatu enzim yang banyak ditemukan pada serabut saraf parasimpatis, dibandingkan dengan pengecatan konvensional dengan haematoxylin eosin. Pada beberapa pusat pediatric dengan adanya peningkatan asetilkolinesterase di mukosa dan submukosa disertai dengan manifestasi gejala yang khas dan adanya foto barium enema yang menunjukkan adanya zona transisi sudah cukup untuk menegakkan diagnosis PH. Hanya saja pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase memerlukan ahli patologi anatomi yang berpengalaman, sebab beberapa keadaan dapat memberikan interpretasi yang berbeda seperti dengan adanya perdarahan. Disamping memakai pengecatan asetilkolinesterase, juga digunakan pewarnaan enolase spesifik neuron dan. pewarnaan protein S-100, metode peroksidase-antiperoksidase yang dapat memudahkan penegakan diagnosis PH (Kartono, 2004; Gerson, 2009). Swenson pada tahun 1955 mempelopori pemeriksaan histopatologi dengan eksisi seluruh tebal dinding otot rektum, untuk mendapatkan gambaran pleksus mienterik. Secara teknis, prosedur ini relatif sulit dilakukan sebab memerlukan anastesi umum, dapat menyebabkan inflamasi dan pembentukan jaringan ikat yang mempersulit tindakan bedah definitif selanjurnya. Disamping itu juga teknik ini dapat menyebabkan komplikasi seperti perforasi, perdarahan rektum, dan infeksi (Rahman,2010). Noblett tahun 1969 mempelopori teknik biopsi isap dengan menggunakan alat khusus, untuk mendapatkan jaringan mukosa dan sub-mukosa sehingga dapat melihat keberadaan pleksus Meissner. Metode ini dapat dikerjakan lebih sederhana, aman, dan tidak memerlukan anastesi umum serta akurasi pemeriksaan yang mencapai 100%. Akan tetapi, menurut sebuah penelitian dikatakan bahwa akurasi diagnostic biopsi isap rektum bergantung pada specimen, tempat specimen diambil, jumlah potongan seri yang diperiksa dan keahlian dari spesialis patologis anatomi. Apabila semua kriteria tersbeut dipenuhi akurasi pemeriksaan dapat mencapai yaitu 99,7%(Rahman,2010). Untuk pengambilan sampel biasanya diambil 2 cm diatas linea dentate. Diagnosis ditegakkan apabila ditemukan sel ganglion Meisner dan ditemukan penebalan serabut saraf. Apabila hasil biopsy hisap meragukan, barulah dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus Auerbach (Kartono, 2004).Biasanya biopsi hisap dilakukan pada 3 tempat : 2, 3, dan 5 cm proksimal dari anal verge. Apabila hasil biopsi hisap meragukan, barulah dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus Auerbach. Dalam laporannya, Polley (1986) melakukan 309 kasus biopsi hisap rektum tanpa ada hasil negatif palsu dan komplikasi (Kartono,2004)

Gambar 5a: Pengecatan Acetylcholinesterase dari biopsy hisap rectum. Normal rektum menunjukan minimal aktivitas Acetylcholinesterase dari lamina propia dan ganglion submukosa (Puri P, 2009).

Gambar 5b: Penyakit Hirschsprung dikarakteristikan dengan peningkatan positif acetylcholinesterase di lamina propia dan penebalan serabut saraf di submukosa (Puri P, 2010).

3. Pemeriksaan Anorectal Manometry Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan objektif mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan spinkter anorektal. Dalam prakteknya, manometri anorektal dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis dan histologis meragukan. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen dasar : transduser yang sensitif terhadap tekanan seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sisitem pencatat seperti poligraph atau computer (NASPGHAN & APGNN, 2006).Pada individu normal, distensi pada ampula rectum menyebabkan relaksasi sfingter internal anal. Efek ini dipicu oleh saraf intrinsic pada jaringan rectal, absensi/kelainan pada saraf internal ini ditemukan pada pasien yang terdiagnosis penyakit Hirschsprung. Proses relaksasi ini bisa diduplikasi ke dalam laboratorium motilitas dengan menggunakan metode yang disebut anorectal manometry.Selama anorektal manometri, balon fleksibel didekatkan pada sfingter anal. Normalnya pada saat balon dari posisi kembang didekatkan pada sfingter anal, tekanan dari balon akan menyebabkan sfingter anal relaksasi, mirip seperti distensi pada ampula rectum manusia. Namun pada pasien dengan penyakit Hirschsprung sfingter anal tidak bereaksi terhadap tekanan pada balon. Pada bayi baru lahir, keakuratan anorektal manometri dapat mencapai 100%.Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit Hirschsprung adalah : 1. Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi; 2. Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus aganglionik; 3. Sampling reflex tidak berkembang. Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah distensi rektum akibat desakan feces. Tidak dijumpai relaksasi spontan (Kartono,2004)Pemeriksaan anorektal manometri dilakukan pertama kali oleh Swenson pada tahun 1949 dengan memasukkan baln kecil dengan kedalaman yang berbedabeda dalam rektum dan kolon (Kartono, 2004). Alat ini melakukan pemeriksaan objektif terhadap fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan spingter anorektal. Dalam prakteknya pemeriksaan anorektal manometri tersebut dikerjakan apabilahasil pemeriksaan klinis, radiologis, dan histologis meragukan, misalnya pada kasus PH ultra pendek. Laporan positif palsu hasil pemeriksaan manometri berkisar antara 0-62% dan hasil negatif palsu 0-24%. Pada literature disbutkan bahwa sensitivitas manometri ini sekitar 75-100% dan spesifisitasnya 85-95 % ( Gerson, 2009). Hal serupa hampir tidak jauh beda dengan hasil penelitian lain yang menyatakan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas 75% dan spesifisitas sebesar 95%.7 Perlu diingat bahwa refleks anorektal pada neonatus prematur atau neonatus aterm belum berkembang sempurna sebelum berusia 12 hari (Kartono, 2004). Keuntungan metode pemeriksaan anorektal manometri adalah aman, tidak invasif dan dapat segera dilakukan sehingga pasien bisa langsung pulang karena tidak dilakukan anestesi umum.

Gambar 5: gambaran manometri anorekatal,yang memakai balon berisi udara sebagai transducernya. Pada penderita Hirschsprung (kanan), tidak terlihat relaksasi sfingterani.

Dapus :Wyllie, Robert, 2000. Megakolon Aganglionik Bawaan (Penyakit Hirschsprung) . Behrmann, Kliegman, Arvin. Dalam : Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15, Jilid II. Jakarta: EGC, 1316-1319.NASPGHAN (The North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition) dan APGNN (The Association of Pediatric Gastroenterology and Nutrition Nurses) 2006. Hirschsprungs Disease. Available from: www.naspghan.org [Akses 7 Agustus 2010].Kartono, Darmawan, 2004. Penyakit Hirschsprung.. Jakarta : Sagung Seto, 3-82.Izadi, M et all. 2007. Clinical manifestations of Hirschsprungs disease: A 6-year course review on admitted patients in Guilan, North Province of Iran. Iranian Cardiovascular Research Journal; 1: 25-31Pasumarthy L and Srour JW. Hirschsprungs Disease:A Case To Remember. Practical Gastroenterology. 2008:42-45.Kessman JMD. Hirschsprung Disease: Diagnosis and Management. American Family Physician. 2006;74:1319-1322.Izadi M, Mansour MF, Jafarshad R, Joukar F, Bagherzadeh AH, Tareh F. Clinical Manifestations of Hirschsprungs Disease: A Six Year Course Review of Admitted Patients in Gilan, Northern Iran. Middle East Journal of Digestive Diseases. 2009;1:68-73.Theodore Z, Polley JR, Coran GA. Hirschsprung's Disease In The Newborn. Pediatric Surgery International. 1986:80-83.Baucke VL, Pringle KC, Ekwo EE. Anorectal Manometry for Exclusion of Hirschsprungs Disease in Neonates. Jurnal Of Pediatric Gastroentrology and Nutrition. 1985;4:596-603.Gerson KE. Hirschsprungs Disease in: Ashcraft Pediatric Surgery 5th edition. Philadelphia. W.B. Saunders Company;2009:p456-475Rahman Z, Hannan J, Islam S. Hirschsprung's Disease: Role of Rectal Suction Biopsy-Data on 216 Specimens. Journal of Indian Association Pediatric Surgery. 2010;15:56-58.Puri P. Hirschsprungs Disease and Variants in: Pediatric Surgery. London. Spinger; 2009:page 453-462.A. John. M Adam. Klasifikasi dan Kriteria diagnosis Penyakit Hirschsprung, Avalaible : http://emedicine.medscape.com/article/409150- media. Acces : 20 Pebruari 2015.