Upload
hoangcong
View
236
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN
MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Uraian tentang gerakan sosial pekerja hotel dapat diketahui dari media
massa, baik media massa lokal dan nasional, hasil penelitian, maupun dalam
beberapa buku. Media massa yang dimaksud, seperti: harian umum Kompas, Bali
Post, dan Jawa Post. Sehubungan dengan hal ini pernah diberitakan oleh Kompas
pada tahun 2001 yang berjudul “Aksi-aksi Politis Para Buruh”. Pada tahun
2000 Bali Post pernah memuat berita. “Hotel Patra Jasa Lumpuh”. Media tersebut
memuat berita gerakan sosial pekerja hotel yang berbentuk aksi protes atau demo.
Tulisan dalam bentuk berita reportase itu bersifat informatif. Artinya, hanya
memberikan informasi mengenai gerakan sosial pekerja dalam bentuk aksi protes
dan demo, terutama hal-hal yang berkenaan dengan aspirasi dan tuntutan serta
tindakan yang dilakukan oleh pekerja hotel.
Berita yang diperoleh dari berbagai media itu dapat digunakan sebagai
fakta tertulis bahwa fenomena gerakan sosial pekerja hotel di kawasan wisata di
Bali memang terjadi. Selain itu, berita di atas dapat digunakan sebagai sumber
data sekunder dalam penelitian ini. Selanjutnya, informasi tersebut memberikan
pemahaman kepada penulis tentang aksi protes dan demonstrasi.
Studi mengenai buruh dilakukan oleh Bambang Sulistyo yang diterbitkan
oleh PT Tiara Wacana Yogya pada tahun 1995 dengan judul “Pemogokan Buruh:
Sebuah Kajian Sejarah”. Buku tersebut dapat dijadikan referensi sejarah untuk
16
menganalisis gerakan sosial DPP FSP Par-SPSI. Oleh karena dalam buku itu
diuraikan sejarah terjadinya aksi protes buruh sejak zaman Belanda di berbagai
tempat di Pulau Jawa, kondisi yang memicu aksi protes buruh, pengorganisasian
buruh, dan berkembangnya ideologi buruh menjadi kekuatan partai. Sekalipun
buku ini tidak secara spesifik menguraikan struktur dan formasi gerakan sosial
buruh, tetapi secara implisit sejarah gerakan perjuangan buruh telah memiliki
struktur dan formasinya sendiri sesuai dengan situasi dan kondisi serta masa yang
melingkupinya.
Tulisan secara komprehensif mengenai gerakan sosial pekerja hotel belum
ada. Namun, tulisan sejenis yang berkenaan dengan permasalahan perburuhan
telah diungkapkan oleh Nyoman Wijaya bekerja sama dengan Parasporos dan
FIP2B pada bulan Juni tahun 2000. Tulisan yang berjudul Menciptakan
Keharmonisan Dinamis antara Pekerja dengan Manajemen di Lingkungan
Pariwisata Bali tersebut menguraikan permasalahan buruh, manajemen, dan
pengusaha. Nyoman Wijaya menguraikan bagaimana seharusnya peran LSM ,
serikat pekerja, pemerintah, dan berbagai elemen terkait dalam menciptakan
keharmonisan sosial dalam rangka menunjang dunia pariwisata Bali. Demikian
pula, euforia buruh menuntut hak-hak normatifnya melalui cara-cara kekerasan
dan represif terhadap pengusaha banyak diutarakan dalam karangan tersebut.
Tulisan mengenai hal yang sama diungkapkan oleh Eggi Sudjana dalam
Buruh Menggugat: Perspektif Islam yang diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan
pada tahun 2002. Dalam buku itu Eggi Sudjana mengupas permasalahan
perburuhan pada zaman Orde Baru dan pascareformasi serta kebijakan perburuhan
17
dalam perspektif transisi reformasi, di samping pengertian dan perubahan istilah
buruh menjadi pekerja. Kebijakan pemerintah di bidang perburuhan sejak
jatuhnya pemerintah Soeharto sering mengejutkan pengusaha. Berbeda dengan
masa-masa sebelumnya, yakni ketika lobi pengusaha demikian kuat dan didukung
politik perburuhan Orde Baru yang menempatkan buruh murah sebagai daya tarik
investasi. Namun kini, politik represif itu tidak bisa dipertahankan lagi. Oleh
karena pemerintah yang dahulu condong memihak pengusaha, tetapi kini mulai
condong ke pekerja. Akibat dari tindakan represif tersebut, aspirasi buruh
perhotelan di Bali hanya dapat diwakilkan oleh satu organisasi buruh, yaitu
Serikat Pekerja Pariwisata (SP Par). Serikat Pekerja Pariwisata merupakan salah
satu komponen organisasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).
Para pekerja atau buruh yang terhimpun dalam SPSI terus melakukan
gerakan sosial untuk memperbaiki nasib dan tingkat kesejahteraan mereka. Dalam
kaitan ini, Rekson Silaban dalam bukunya yang berjudul Reposisi Gerakan Buruh,
Peta Jalan Gerakan Buruh Indonesia Pasca Reformasi, terbitan Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta (2009) menyatakan bahwa gerakan sosial buruh atau pekerja
diharapkan memiliki empat karakter dasar, yakni nondiskriminatif, demokratis,
independen, dan menjunjung tinggi solidaritas. Pertama, gerakan buruh haruslah
nondiskriminatif. Siapa pun berhak menjadi anggotanya tanpa memandang latar
belakang ras, suku, agama, perbedaan orientasi politik, dan sebagainya. Kedua,
gerakan buruh haruslah demokratis. Pada tataran organisasi, kepengurusan serikat
buruh/pekerja dipilih secara demokratis, bukan berdasarkan nepotisme. Ketiga,
gerakan buruh haruslah memiliki watak independen, tanpa harus mengisolasi diri
18
dengan gerakan di luarnya. Independensi ini secara umum menyangkut dua hal,
yakni independensi kelembagaan, yaitu orientasi kelembaga secara keseluruhan
dan independensi di tingkat individual aktivis buruh. Dengan demikian,
independensi serikat buruh yang secara sederhana diartikan sebagai kemampuan
menjaga kepentingan buruh dari kepentingan pihak luar tetap terjaga. Keempat,
menjaga solidaritas yang meliputi: (a) solidaritas internal, yakni setiap buruh
dalam suatu serikat buruh memperlihatkan solidaritas antarsesama anggota
serikat; (b) solidaritas antarorganisasi buruh, yakni antara satu dengan organisasi
buruh yang lain saling mendukung dan menguatkan; (c) solidaritas internasional,
yakni gerakan buruh harus juga memperlihatkan kepedulian dan perasaan senasib
dengan gerakan buruh di negara lain (Silaban, 2009:13-15).
Reposisi gerakan sosial pekerja di atas merupakan bagian dari fenomena
perjuangan pekerja pada era Reformasi bahwa para pekerja, termasuk yang
bergerak dalam lapangan jasa pariwisata (perhotelan) di Bali, semakin sadar akan
peran mereka bagi kemajuan pariwisata di Bali. Kesadaran mereka diekspresikan
melalui gerakan sosial, yaitu aksi protes dan demo untuk menuntut upah dan
kesejahteraan yang lebih layak, di samping kebebasan berserikat atau
menentukan organsisai buruh yang mereka ikuti. Pada tahun 2005 kembali Eggi
Sudjana mengulas secara komprehensif buruh di Indonesia dalam Nasib &
Perjuangan Buruh di Indonesia yang diterbitkan oleh Penerbit Renaisan, Jakarta.
Buku ini menjadi referensi dalam pembahasan mengenai gerak langkah serikat
pekerja dan kaum buruh, format politik, dan gerakan buruh masa depan di
Indonesia.
19
Tulisan Egi Sudjana dalam kedua buku tersebut terkesan cukup keras
membela kaum buruh yang menjadi korban kepentingan politik atau ditunggangi
oleh kepentingan-kepentingan politik sesaat. Sebagai referensi, buku tersebut
dapat digunakan sebagai pertimbangan bagi pekerja hotel agar bisa bersikap lebih
hati-hati dalam menentukan sikapnya.
Murni (2004) dalam tesisnya yang berjudul “Aksi Protes Buruh Hotel
Kawasan Kuta dan Nusa Dua 1999-2001: Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna”
menemukan bahwa aksi protes buruh di Bali memiliki spesifikasi berbeda jika
dibandingkan dengan protes buruh di daerah lainnya. Intensitas protes yang
dilakukan buruh hotel sejak reformasi cukup tinggi jika dibandingkan dengan aksi
protes sebelumnya. Dari segi format atau bentuk, protes dilakukan buruh di
tempat kerjanya dan di Gedung DPRD Provinsi Bali. Protes unjuk rasa tersebut
disertai dengan mogok kerja baik sebelum melakukan unjuk rasa maupun setelah
unjuk rasa. Protes buruh pariwisata tersebut memiliki beberapa fungsi, yakni (a)
fungsi ekonomi, yakni dapat menambah pendapatan buruh; (b) fungsi sosial
budaya, yakni mampu menciptakan citra buruh baru yang sudah berani
mengambil posisi tawar menawar (bargaining power) dengan majikannya, (c)
fungsi politik, yakni aksi protes buruh telah mempengaruhi kebijakan yang dibuat
pemerintah (Murni, 2002: 109 – 139). Aksi protes buruh tersebut menyebabkan
kemacetan lalu lintas, hilangnya pendapatan, pengusaha merugi, hilangnya
penerimaan pemerintah dari pajak, bahkan dapat meperburuk citra pariwisata Bali
(Murni, 2002:140-161).
20
Puja (2004), dalam tesisnya yang berjudul “Perselisihan Hubungan
Industrial di Kabupaten Badung dalam Periode 1998-2002”, menulis mengenai
bentuk, fungsi, dan makna perselisihan hubungan industrial di Perusahaan Roti
Ramayana, Hotel Century-Saphira dan Perdana Dadi di Kabupaten Badung. Pada
esensinya, tesis ini merupakan pengembangan dari kajian terhadap hubungan
industrial antara pekerja perhotelan dan pengusaha hotel berbintang di Kabupaten
Badung.
Djumadi (2005), dalam bukunya Sejarah Keberadaan Organisasi Buruh
di Indonesia, menulis perkembangan organisasi buruh sebelum merdeka hingga
setelah masa reformasi. Buku ini bisa dijadikan acuan untuk melihat sejarah
perkembangan gerakan sosial buruh, baik berupa struktur dan formasinya maupun
kecenderungan tuntutan yang diperjuangkan buruh dari masa ke masa hingga
dapat diketahui perbedaan yang signifikan mengenai keberadaan buruh di
Indonesia.
Wahyudi (2005), dalam bukunya yang berjudul Formasi dan Struktur
Gerakan Sosial Petani: Studi Kasus Reklaiming/Penjarahan Atas Tanah PTPN
XII (Persero) Kalibakar Malang, mengkaji struktur dan struktur gerakan sosial
petani (peasant) di Kalibakar, Malang Selatan. Buku ini menggambarkan
perjuangan petani Kalibakar dalam mengambil kembali (reklaiming) tanah nenek
moyang mereka yang dimanfaatkan oleh pemerintah untuk kepentingan industri.
Namun, pemerintah menganggap pengambilalihan tanah tersebut oleh petani,
yakni merupakan suatu usaha penjarahan kekayaan negara. Perjuangan gerakan
petani tersebut sesungguhnya berlangsung cukup panjang dan mengalami pasang
21
surut, yakni dimulai dengan usaha prosedural land reform sejak pasca
pendudukan zaman Jepang, berlanjut ke Agresi Belanda ke-II, masa Pemerintahan
Orde Lama, Orde Baru, masa Reformasi, dan hingga saat ini pun belum selesai.
Buku ini dijadikan salah satu referensi dalam kajian pustaka karena memiliki akar
kajian mengenai pengorganisasian pekerja.
Buku Teologi Buruh yang ditulis oleh Abdul Jalil dan diterbitkan oleh
Penerbit LKIS pada tahun 2008 mendeskripsikan fenomena hubungan buruh
dengan pemilik modal. Lebih jauh mengenai buku ini, yakni berisi permasalahan-
permasalahan buruh yang ditinjau dari perspektif teori-teori kapitalis dan teori-
teori sosialis. Kemudian, analisis teologi Islam menjadi muara pembahasan dan
solusi permasalahan perburuhan. Di samping itu, teologi buruh merupakan cara
meninjau permasalahan buruh melalui pendekatan agama. Dalam sejarah, teologi
yang pernah digunakan untuk menangani permasalahan perburuhan adalah
teologi Yahudi, teologi Kristen, dan teologi Islam.
Dalam teologi Islam, hubungan buruh dengan pemilik modal merupakan
hubungan integratif, yakni satu kesatuan yang saling memenuhi kebutuhan dan
kepentingan masing-masing. Dalam hal ini bukan eksploitasi buruh sebagaimana
yang terjadi pada sistem kapitalisme atau sebaliknya sebagaimana yang dilakukan
pada sistem sosialisme. Etika Islam menekankan pada kesatuan (unity),
keseimbangan (equliberium), kebebasan (free will), dan tanggung jawab
(responsibility).
Di samping itu, buku tersebut dapat digunakan sebagai referensi untuk
membandingkan teologi buruh dalam versi Islam dan ajaran-ajaran agama Hindu
22
atau filosofi Hindu mengenai kesatuan, keseimbangan, kebebasan, dan tanggung
jawab. Oleh karena itu, ajaran agama Hindu dan filosofinya dapat menjadi
kontribusi yang signifikan dalam menganalisis gerakan sosial organisasi pekerja
pariwisata Federasi Serikat Pekerja Pariwisata Serikat Pekerja Seluruh Indonesia,
seperti filosofi trihita karana dan rwabineda.
Bali dalam Kuasa Politik tulisan Darma Putra dan diterbitkan oleh Art
Foundation tahun 2008 mengupas dengan jelas bagaimana kebudayaan Bali
dikaitkan dengan lakon politik. Sebetulnya, politik adalah bagian dari
kebudayaan. Namun, karena begitu berkuasanya politik, justru kebudayaanlah
yang menjadi bagian dari politik. Darma Putra menerapkan pendekatan kajian
budaya (cultural studies), yakni dengan prinsip bahwa pemahaman atas
kebudayaan akan menjadi lebih nyata dan mendalam jika dilihat bukan sebagai
warisan nila-nilai luhur masa lalu semata. Kebudayaan juga bisa menjadi arena
pertarungan kepentingan politik antara berbagai kelompok untuk tampil dominan
demi mempertahankan kekuasaan. Walaupun Bali dikenal sebagai daerah yang
aman dan damai dengan julukan the last paradise on earth, tetapi masyarakat Bali
tidak terbebas dari tindakan kekerasan. Salah satunya adalah konflik dan
kekerasan yang dilakukan pada zaman Reformasi, yaitu unjuk rasa pekerja hotel
di kawasan wisata Nusa Dua dan Kuta. Setelah terjadinya ledakan Bom Bali pada
bulan Oktober 2003, kondisi pariwisata Bali terpuruk dan berakibat terjadinya
pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor pariwisata, salah satunya perhotelan.
Dalam tulisannya, Darma Putra menekankan bahwa akibat dari kondisi pariwisata
yang semakin parah, konflik dan kekerasan yang dilakukan oleh karyawan hotel
23
dalam menuntut hak-haknya semakin ditinggalkan karena masyarakat pariwisata
tidak ingin lebih jauh merusak image Bali dengan kekerasan. Konflik yang ada
dicarikan jalan keluar atau solusi, yakni dengan lebih mengedepankan
perundingan antara serikat pekerja pariwisata, manajemen, dan pemerintah.
Dalam hal ini menjaga image Bali lebih dikedepankan, yakni dalam segala
tindakan masyarakat Bali dalam gerakan sosial.
Tulisan-tulisan tersebut telah cukup memberikan andil untuk menjelaskan
fenomena gerakan sosial buruh secara umum di Bali. Namun, khusus kajian
Murni (2002) di atas secara spesifik telah mengungkap aksi protes pascareformasi
yang lebih mengedepankan show of force dan belum mengungkap perkembangan
gerakan pekerja hotel pasca-2005 yang lebih santun dan simpatik. Berbagai kajian
di atas juga belum menjawab pertanyaan, “Bagaimanakah bentuk gerakan sosial
pekerja hotel tersebut?” “Faktor-faktor apa sajakah yang melatarbelakanginya?”
“Dampak serta makna apa sajakah yang terkait dengan gerakan sosial pekerja
hotel tersebut?” Hal-hal inilah yang akan dikaji melalui karya disertasi ini.
2.2 Konsep
Ada beberapa konsep yang digunakan dalam tulisan ini, seperti: gerakan
sosial, pekerja hotel, gerakan sosial pekerja hotel, dan cultural studies atau kajian
budaya. Konsep tersebut merupakan kata kunci untuk menjelaskan fenomena
gerakan sosial PH.
24
2.2.1 Gerakan Sosial
Gerakan sosial merupakan gerakan yang dilakukan oleh sekelompok orang
secara kolektif, kontinu dan/atau sistematis. Gerakan ini mendukung atau
menentang keberlakuan tata kehidupan tertentu karena mereka memiliki
kepentingan di dalamnya, baik secara individu, kelompok, komunitas, atau level
yang lebih luas lagi (Wahyudi, 2005:6-7).
Gerakan sosial juga sebagai suatu bentuk penentangan, gerakan sosial
merupakan perwujudan dari karakter kelas sosial, di samping merupakan
perjuangan kepentingan kelas. Berbeda dengan pengertian ini, gerakan sosial yang
dilakukan oleh pekerja hotel berbintang di Kabupaten Badung termasuk dalam
kategori gerakan sosial baru, yakni gerakan sosial sebagai gugus kolektif yang
bersifat sementara dan politis. Gerakan ini memberikan tekanan pada partisipasi
demokratis dan tindakan berbasis etis yang ditempatkan di luar lingkup kerja
sehingga berbeda dari kelas. Gerakan sosial baru ini juga meliputi gerakan kaum
feminis, politik lingkungan, kampanye perdamaian, solidaritas kaum muda, dan
politik identitas budaya (Sutrisno, 2007:263).
Sesuai dengan pengertian konsep gerakan sosial di atas, maka secara
operasional gerakan sosial pekerja hotel dapat didefinisikan sebagai gerakan yang
dilakukan oleh sekelompok orang, yakni pekerja atau karyawan hotel secara
kolektif, kontinu, dan/atau sistematis dengan tujuan agar mereka memperoleh hak
yang dikehendaki. Diharapkan pihak manajemen hotel dan pihak pengambil
kebijakan, yakni Dinas Pariwisata Kabupaten Badung dan Dinas Tenaga Kerja
25
Kabupaten Badung dapat memenuhi aspirasi dan tuntutan pihak pekerja hotel
tersebut.
Dalam melaksanakan gerakan sosialnya, pekerja hotel didukung oleh
serikat pekerja (SP) yang ada dalam organisasi/manajemen hotel setempat.
Sebagai wadah organisasi yang memperjuangkan hak dan kesejahteraan kaum
pekerja, SP memiliki anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) sendiri.
Keberadaan SP ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan hubungan dan
kerja sama yang harmonis antara pihak manajemen hotel di satu pihak dengan
pihak pekerja hotel di pihak lain.
2.2.2 Pekerja Hotel
Istilah “pekerja“ atau “ karyawan” sering disejajarkan dengan istilah
“buruh“. Dalam tulisan ini istilah buruh, pekerja, dan karyawan dipakai secara
berbaur sesuai dengan konteks kalimat dan penekanannya. Istilah buruh lebih
banyak dipergunakan dibandingkan dengan istilah pekerja dalam menjelaskan
fenomena gerakan sosial buruh pada zaman Orde Baru walaupun istilah buruh
dalam zaman Orde Baru, yakni karena pertimbangan politik diganti dengan istilah
pekerja (Djumadi, 2005:26).
Kata buruh bersifat jamak, baik laki-laki maupun perempuan dan
berasosiasi dengan pekerjaan kasar. Kata pekerja memiliki sifat jamak dan
berasosiasi kepada siapa saja yang suka bekerja, baik laki-laki maupun perempuan
dan bisa terikat pada suatu lembaga atau seorang yang bekerja untuk dirinya
sendiri atau kelompok. Selanjutnya, istilah pekerja berasal dari istilah buruh yang
26
diubah pada zaman Orde Baru karena istilah buruh berkonotasi pada ideologi
komunisme sehingga pemakaiannya diganti dengan kata pekerja pada masa Orde
Baru.
Sementara itu, kata karyawan juga bersifat jamak dan memiliki pengertian
seks, yakni laki-laki yang dilawankan dengan kata karyawati sebagai perempuan.
Dalam realitas sosial penggunaan kata karyawan memiliki rasa lebih tinggi
dibandingkan kata buruh. Misalnya, orang yang bekerja di bank disebut karyawan
bank bukan buruh bank, sedangkan orang yang bekerja di pabrik umumnya
disebut buruh. Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1957, yang dimaksud
dengan buruh ialah orang yang bekerja pada orang lain dan mendapat upah.
Sesuai dengan pengertian konsep di atas, maka pekerja hotel adalah semua
orang yang mendedikasikan tenaga dan pikirannya untuk keberlangsungan bisnis
perhotelan berbintang di Kabupaten Badung, baik pekerja pada level staf atau
yang dikenal dengan sebutan kerah biru ataupun level manajemen (kerah putih).
Pekerja hotel ini mengisi berbagai bagian pekerjaan yang terdapat di hotel, seperti
front office, public relation , house keeping, sales and marketing, food and
beverage, engineering, security, purchasing, laundry, gardener, dan sebagainya.
Pekerja hotel di Kabupaten Badung adalah semua pekerja (karyawan) hotel yang
bekerja di hotel-hotel berbintang di kawasan wisata Nusa Dua dan Kuta yang
terletak di Kabupaten Badung Provinsi Bali, baik pekerja lokal maupun pekerja
asing (ekspatriat).
27
2.2.3 Pasca-2005
Pasca-2005 adalah periode gerakan sosial pekerja hotel/pekerja pariwisata
yang terjadi di Kabupaten Badung. Gerakan sosial pekerja atau buruh di Indonesia
pada umumnya dan di Bali pada khususnya mencapai puncaknya pada era
Reformasi setelah jatuhnya rezim Orde Baru sejak periode 1998. Euforia gerakan
sosial tampak meningkat dalam periode 1998 – 2005, termasuk gerakan sosial
pekerja hotel dan pariwisata di Badung yang cenderung mengandalkan kekuatan
massa dalam mengartikulasikan tuntutannya. Pada periode pasca-2005, gerakan
sosial pekerja hotel di Kabupaten Badung cenderung dilakukan secara damai dan
santun, walaupun masih ada sebagian kecil kepelompok pekerja pariwisata yang
berdemonstrasi di jalanan. Pendekatan gerakan sosial yang damai dan santun ini
terkait dengan kesadaran para pekerja pariwisata pasca-peristiwa Bom Bali II
(2005) yang lebih menyadari akan pentingnya keamanan dan kenyamanan Bali.
Oleh karena dengan menjaga keamanan dan kenyamanan Bali, para pekerja hotel
ingin menegakkan kembali citra pariwisata Bali yang sempat terpuruk, ternodai
oleh aksi terorisme bom Bali II tahun 2005. Selain itu, gerakan sosial pekerja
hotel Kabupaten Badung pasca 2005 ini juga dimaksudkan oleh para pelakunya
untuk mendukung upaya pemulihan dan pengembangan pariwisata budaya Bali.
2.2.4 Gerakan Sosial Pekerja Hotel Pasca-2005
Secara operasional, gerakan sosial pekerja hotel dapat didefinisikan
sebagai berikut. (1) Gerakan yang dilakukan oleh sekelompok orang secara
kolektif, kontinyu dan atau sistematis dengan tujuan agar mereka memperoleh hak
28
yang dikehendaki. (2) Gerakan itu terkait dengan perlakuan atau penerapan
kebijakan yang merugikan pihak pekerja hotel. (3) Pelaku gerakan mengharapkan
agar pihak serikat pekerja dapat memperjuangkan aspirasi pihak pekerja hotel
kepada pihak manajemen hotel tempat mereka bekerja. (4) Selanjutnya, pihak
manajemen hotel dan pihak pengambil kebijakan, yakni Dinas Pariwisata
Kabupaten Badung dan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Badung dapat memenuhi
aspirasi pihak pekerja hotel tersebut.
Gerakan sosial pekerja hotel di kawasan wisata Kabupaten Badung Bali
merupakan gerakan sosial baru. Dalam hal ini gerakan sosial yang humanis atau
mengedepankan sisi kemanusiaan yang personal, tetapi tidak individual; kolektif,
tetapi tidak sekterian; integratif karena gerakannya disemangati oleh partisipasi
sukarela yang tercipta secara spontanitas menuruti konsepsi etis gerakan sosial
baru yang menghendaki terciptanya kualitas hidup yang lebih baik, identitas
kelompok, di samping memperluas ruang kehidupan serta memperjuangkan
masyarakat sipil (Sztompka, 2007:336).
2.2.5 Kajian Budaya
Sebuah kajian penelitian interdisipliner atau pascadisipliner yang mencoba
menguraikan pembentukan dan pengulangan gugus peta makna. Cultural studies
bisa juga dijelaskan sebagai sebuah format diskursif atau cara mengungkapkan hal
ihwal kebudayaan yang dikelola secara tertentu, yang mempunyai kepedulian
menyangkut isu kekuasaan dalam praktik-praktik “pemaknaan” (signifying)
pembentukan manusia.
29
Cultural studies merupakan paradigma keilmuan yang akhir-akhir ini
banyak digunakan oleh peneliti untuk menggantikan paradigma keilmuan modern
yang sudah dianggap usang. Oleh karena keilmuan modern tidak lagi dapat
diandalkan untuk memecahkan beragam permasalahan sosial dan budaya yang
semakin kompleks. Karakteristik interdisipliner yang melekat pada cultural
studies memungkinkan menghasilkan analisis yang lebih komprehensif, yakni
dengan melihat suatu fenomena sosial atau budaya dari beragam perspektif
keilmuan.
Barker (2004:5) menyebut cultural studies sebagai bidang penelitian multi
dan posdisipliner yang mengaburkan batas-batas antara dirinya dengan subjek.
Namun, cultural studies tidak dapat didefinisikan secara sembarangan. Dia bukan
fisika, bukan sosiologi, dan juga bukan linguistik, meskipun cultural studies
mengambil banyak dari wilayah subjek tersebut. Dalam hal ini ada sesuatu yang
diperbincangkan dalam cultural studies yang membedakan dirinya dari subjek
lain.
Studi kebudayaan atau cultural studies berusaha membongkar kebuntuan
analisis sosial budaya selama ini melalui sudut pandang multidisipliner. Untuk
memahaminya agar lebih jelas, Raymond Williams melihat dinamika kebudayaan
pada antropologi manusia yang dalam kesehariannya merajut terus kebudayaan,
baik yang dirumuskan (misalnya peraturan) maupun yang diwacanakan lisan. Ia
mengajak orang untuk kembali meneliti dan membaca kebudayaan dengan rajutan
makna keseharian dalam nilai, norma, adat dan ungkapan materialis serta simbolis
yang secara bersamaan saling dipertukarkan dan dihayati bersama-sama dalam
30
kehidupan menjadi makna-makna yang dipertukarkan bersama (Sutrisno (ed.),
2007:4).
Pendapat yang sama dikemukakan oleh John Storey (2007:2) bahwa objek
kajian dalam cultural studies bukanlah budaya yang didefinisikan dalam
pengertian yang sempit, yaitu sebagai objek keadiluhungan estetis (seni tinggi),
juga bukan budaya yang didefinisikan dalam pengertian yang sama-sama sempit,
yaitu sebagai sebuah proses perkembangan estetik, intelektual, dan spiritual,
melainkan budaya yang dipahami sebagai teks dan praktik hidup sehari-hari.
Ringkasnya, Raymond Wiliams merangkum tiga makna kebudayaan yang
berlangsung saat ini. Pertama, budaya adalah setiap dinamika perkembangan
intelektual, spiritual, dan estetika individu kelompok atau masyarakat. Kedua,
kebudayaan merangkum kegiatan-kegiatan intelektual dan artistik. Ketiga,
kebudayaan itu menyangkut cara hidup, kepercayaan, aktivitas, dan kebiasaan
seseorang, kelompok, atau masyarakat (Sutrisno (ed.), 2007:112). Berdasarkan
beberapa pemikiran di atas, maka dapat dikatakan bahwa kebudayaan sebagai
aktivitas atau praktik kehidupan sehari-hari, sebagaimana yang diuraikan oleh
Storey dan Williams, yakni merupakan pemahaman bahwa kebudayaan itu
bersifat dinamis dan bergerak terus-menerus mengikuti perkembangan zaman.
Konsep budaya kontemporer di atas dapat dijadikan alat analisis untuk
membaca gerakan budaya masyarakat, khususnya masyarakat Bali yang hidup
dalam lingkup dunia pariwisata, sehingga selalu terjadi tarik menarik antara
budaya tradisi dan budaya pasca modern. Fenomena gerakan sosial pekerja hotel
31
di Kabupaten Badung merupakan bagian dari dinamika budaya kontemporer
masyarakat Bali yang akan ditelaah melalui perpektif kajian budaya.
2.3 Landasan Teori
Landasan teori yang digunakan dalam mengkaji dan menganalisis
permasalahan penelitian tentang gerakan sosial pekerja hotel adalah gabungan
beberapa teori secara eklektik, yakni teori Hegemoni, teori Tindakan Komunikatif
Hubermas, dan teori Dekonstruksi.
2.3.1 Teori Hegemoni
Gerakan sosial pekerja hotel di kabupaten Badung merupakan gerakan
sosial yang didasarkan pada cita-cita dan harapan yang sama sehingga dapat
digeneralisasikan dengan keamanan dan kesejahteraan bersama. Teori Hegemoni
dapat digunakan sebagai alat analisis untuk mengkaji fenomena gerakan sosial
pekerja hotel tersebut.
Teori Hegemoni dikemukakan oleh Antonio Gramsci yang menjelaskan
bahwa kelas berkuasa memiliki otoritas untuk mengontrol masyarakat. Otoritas
yang dimilikinya sejalan dengan kepemimpinan kelas berkuasa terhadap kelas
yang lebih rendah atau subordinat melalui berbagai konsensus yang dipaksakan
secara tersamar (Barker, 2004:369). Hegemoni diproduksi dan terus dipelihara
melalui penciptaan makna-makna yang merepresentasikan praktik yang dominan
dijalankan oleh kelas berkuasa. Dalam konteks ini, media massa merupakan alat
32
yang paling efektif untuk menyebarkan makna-makna baru yang ditampilkan dan
diklaim sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari budaya masyarakat.
Kemampuan kelas berkuasa mengakses berbagai sumber daya yang
dibutuhkan untuk mengontrol masyarakat menjadikan kelas berkuasa dapat
membuat aturan-aturan yang sesuai dengan kepentingannya sehingga hegemoni
yang dimilikinya semakin mendapatkan tempat sebagai bagian dari masyarakat
dan tidak dapat dipisahkan atau ditolak. Praktik hegemoni selalu terjadi di
masyarakat, baik dalam konteks global, nasional, maupun lokal karena di
masyarakat selalu memunculkan adanya perbedaan kelas. Dalam melihat kelas
sosial, Gramsci belajar dari Karl Marx yang menjelaskan perbedaan kelas sebagai
akibat perbedaan penguasaan sumber daya material. Namun, Gramsci
menjelaskan bahwa proses hegemonic terjadi bukan hanya didasari oleh
penguasaan sumber daya material, tetapi juga politik, intelektual, dan moral
(Tester, 2003:30). Kelas hegemoni selalu mengklaim tindakannya sebagai upaya
yang ditujukan untuk kebaikan seluruh umat manusia. Logika ilmiah yang
disampaikan oleh kaum intelektual, pemimpin politik, dan kaum moralis dijadikan
klaim sehingga dengan mudah diterima oleh kelas subordinat.
Gramsci mendefinisikan hegemoni sebagai persetujuan spontan yang
diberikan oleh masyarakat luas terhadap tujuan umum tentang kehidupan sosial
yang diintroduksi oleh kelompok yang betul-betul dominan. Suatu kelompok yang
paling dominan adalah kelompok yang sedang berkuasa dalam suatu lembaga.
Dalam menjelaskan kelompok hegemon, Gramsci selalu menempatkan negara
sebagai organ yang dapat menciptakan konsensus-konsensus di masyarakat
33
melalui seperangkat peraturan perundang-undangan. Artinya, kelompok hegemon
memanfaatkan negara untuk kepentingan kelompoknya sendiri dengan
mengatasnamakan konsensus. Negara sendiri menyadari adanya kelompok
hegemon sehingga negara berusaha mencari jalan tengah dengan mengakomodasi
berbagai kepentingan yang berkembang di masyarakat (Tester, 2003:34).
Hegemoni sendiri merupakan hasil proses hubungan sosial dan politik
antarkelompok masyarakat.
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa otoritas atau kekuasaan di
masyarakat bukan hanya bersumber dari pemerintah. Kekuasaan juga tampak dari
saluran ekonomi, politik, tradisi, dan ideologi. Kekuasaan melalui saluran
ekonomi dilakukan dengan menguasai sumber daya-sumber daya ekonomi
sehingga masyarakat yang tidak memiliki cukup sumber daya ekonomi terpaksa
harus mengikuti perintah penguasa. Kekuasaan melalui politik tampak dari
berbagai peraturan yang dibuat oleh pemerintah yang harus ditaati oleh
masyarakat. Kekuasaan tradisi dilakukan dengan cara menyesuaikan sikap atau
tindakan penguasa berdasarkan pada tradisi sehingga kekuasaannya diterima
sebagai sesuatu yang benar adanya. Selanjutnya, kekuasaan melalui ideologi
disalurkan dengan cara menjelaskan serangkaian ajaran-ajaran ataupun doktrin-
doktrin yang dimaksudkan untuk menerangkan dan memberikan dasar
pembenaran bagi pelaksanaan kekuasaan (Soekanto, 2005:273).
Dalam teori Sosiologi Konflik Kontemporer, pendapat Gramsci di atas
dikategorikan dalam mazhab sosiologi konflik eklektik, yakni mengkaji konflik
melalui beberapa pendekatan yang bisa disatukan secara pragmatis seperti
34
pendekatan sosiologi konflik kritis dan humanis. Dalam mazhab ini, wacana dan
dominasi kekuasaan menjadi tema sentral dalam membahas beragam
permasalahan. Gramsci menyebut istilah hegemoni untuk melihat proses
menguasai publik oleh negara. Di samping itu, menurut Gramsci negara selalu
melakukan proses hegemoni. Melalui program kultural dan moral, negara selalu
tampil (seolah) sebagai institusi yang secara terus menerus memperjuangkan
kepentingan masyarakat (Susan, 2009:78).
Apabila dihubungkan dengan tema penelitian ini, negara menjadi lembaga
yang memproduksi hukum dan peraturan-peraturan ketenagakerjaan yang harus
dipatuhi berbagai pihak, baik oleh organisasi pekerja maupun pihak pengusaha.
Sementara itu, wacana kebersamaan, keharmonisan, dan kemananan demi
kemaslahatan bersama merupakan realitas yang mau tidak mau harus diterima,
khususnya oleh pihak organisasi pekerja perhotelan dengan menimbang bahwa hal
itu merupakan pilihan yang terbaik jika dibandingkan dengan pilihan lainnya yang
dianggap merugikan, seperti sikap menolak dengan aksi demonstrasi.
Dalam perspektif ini, apa pun alasannya, gerakan sosial pekerja hotel di
Kabupaten Badung telah terhegomoni oleh negara, yakni dengan munculnya
kesadaran gerakan sosial pekerja hotel tersebut untuk secara sadar mendukung
kebijakan atau program pemerintah dalam hal keamanan, investasi, dan demi
meningkatkan kunjungan wisatawan ke Bali. Sekalipun kebijakan tersebut tidak
serta merta dapat menaikkan taraf hidup pekerja hotel yang tergabung dalam
berbagai Serikat Pekerja Pariwisata di Kabupaten Badung.
35
Teori Hegemoni Gramsci ini dapat dijadikan alat analisis untuk membedah
bentuk gerakan sosial pekerja hotel di Kabupaten Badung sejak adanya gerakan
sosial dan organisasinya sampai sekarang. Dinamika gerakan sosial pekerja hotel
di kabupaten Badung tidak dapat dilepaskan dari organisasi yang menaunginya.
Organisasi pekerja hotel di Kabupaten Badung yang terhimpun dalam SPSI Unit
Pariwisata Badung merupakan perpanjangan tangan (baca kekuasaan) dari
pemerintah yang memproyeksikan simbol dan kepentingan negara. Dalam konteks
ini, teori Hegemoni Gramsci menjadi pisau analisis yang tepat untuk membedah
dan mengurai bentuk dan dinamika gerakan sosial pekerja hotel di Kabupaten
Badung.
2.3.2 Teori Dekonstruksi
Teori dekonstruksi (deconstruction) merupakan suatu metode analisis
yang dikembangkan oleh Jaques Derrida dengan membongkar struktur dari
kode-kode bahasa, khususnya struktur oposisi pasangan (biner opposition)
sehingga menciptakan suatu permainan tanda yang tanpa akhir dan tanpa makna
akhir (Piliang, 2004:16). Menurut Barbara Johnson (dalam Al-Fayyadl, 2006:80),
dekonstruksi adalah strategi mengurai teks. Istilah dekonstruksi sering
diidentikkan dengan destruksi (destruction), padahal istilah dekonstruksi
sebenarnya lebih dekat dengan pengertian etimologis kata analisis yang berarti
‘mengurai, melepaskan, membuka’ (to undo) daripada pengertian destruction
(merusak, menghancurkan). Kedekatan etimologis ini menunjukkan bahwa
dekonstruksi lebih dimaksudkan sebagai strategi mengurai struktur dan medan
36
pemaknaan dalam teks daripada operasi yang merusak teks itu sendiri. Oleh
karena itu, jika sebuah teks didekonstruksi, yang dihancurkan bukanlah makna,
tetapi klaim bahwa satu bentuk pemaknaan terhadap teks lebih benar daripada
pemaknaan lain yang berbeda. Teks yang dimaksudkan di sini adalah segala
fenomena budaya manusia yang dapat diintepretasikan dalam tanda-tanda (teks).
Artinya, teori dekonstruksi ini tidak hanya diterapkan pada dunia sastra dan
filsafat, tetapi lebih jauh lagi dapat dijadikan sebagai alat analisis untuk berbagai
fenomena kehidupan sosial dan budaya.
Pemikiran-pemikiran yang dilontarkan oleh Jack Derrida, Michael
Focoult, Julia Kristeva, Jean Boudrillard, Jack Lacan, dan pemikir-pemikir
postmodern lainnya, pada intinya mereka mempertanyakan kembali paradigma
modernisme yang telah mapan, seperti teori Strukturalisme Bahasa (Ferninand De
Saussure dan Pierce) dan Strukturalisme Masyarakat (Levy’s Strauss). Oposisi
biner sebagai tolok ukur pemikiran modern dianggap kaum postmodern sebagai
sesuatu yang tidak lagi relevan karena cenderung menyederhanakan segala
persoalan dan tidak menjawab permasalahan. Oposisi biner, yakni dalam bahasa
dapat dicontohkan, seperti hitam-putih, baik-buruk, manis-pahit, pria-wanita,
langit-bumi, dan sebagainya yang bersifat oposisi. Dari contoh tersebut dapat
dilihat makna yang merendahkan, seperti wanita lebih rendah dari pria, putih lebih
suci daripada hitam, manis lebih enak daripada pahit, dan langit lebih tinggi
daripada bumi. Dengan demikian tampak bahwa opisisi biner berorientasi
merendahkan, hegemonik, kolonial, otoriter, monointepretasi, dan logosentrik
(kebenaran tunggal) tanpa alternatif pemikiran lain.
37
Kaum posmonian, khususnya Derrida dalam hal ini, mendekonstruksi
oposisi biner tersebut melalui teori jejak, yakni tidak ada sesuatu yang stabil,
seperti: hitam-putih, baik buruk, pria wanita, dan sebagainya. Semua fenomena
tersebut dapat ditelesuri asal-usulnya melalui teori jejak karena sesuatu tidak
terjadi begitu saja, tetapi ada proses dan latar belakangnya. Seperti warna hitam
bisa diurai melalui proses gradasi jejak warna dari putih menuju hitam dengan
melewati warna-warna sebelum hitam, seperti abu-abu terang-buram-tua-dan
gelap, atau yang disebut hitam. Tokoh postmodernisme dalam bidang sastra, Julia
Kristeva, melontarkan hal yang senada dengan teori Jejak, yakni teori Interteks.
Dalam hal ini diandaikan jika fenomena budaya merupakan teks (dalam semiotik),
maka fenomena tersebut merupakan jalinan dari beragam teks yang
membentuknya. Dengan demikian, oposisi biner yang menandai supremasi
kebudayaan modern tidak lagi mapan menguasi keilmuan karena telah digantikan
dengan teori-teori postmodernisme, sekalipun teori-teori postmodernisme sendiri
belum sepenuhnya diadopsi oleh para ilmuwan.
Teori dekonstruksi dapat digunakan dalam penelitian ini untuk menelusuri
peran, struktur, dan formasi gerakan sosial pekerja hotel pasca reformasi (sejak
tahun 2005). Dengan menerapkan teori Dekonstruksi akan dianalisis terjadinya
dekonstruksi struktur budaya (kebiasaan) dan perilaku aksi pekerja hotel di
Kabupaten Badung dari aksi protes yang agresif, agitatif, dan represif menjadi
aksi protes yang damai, win-win solution, dan mengutamakan kepentingan
bersama di atas kepentingan pribadi dan kelompok.
38
Dalam hal ini, teori Dekonstruksi dapat dioperasikan untuk menganalisis
proses pergeseran ideologis ciri gerakan sosial lama (yang cenderung keras) ke
ciri gerakan sosial baru pekerja hotel yang cenderung halus dan damai. Melalui
rekam jejak gerakan sosial pekerja hotel di kabupaten Badung sebelum dan
setelah tahun 2005, maka dapat dilihat fenomena sosial budaya yang pernah
terjadi terkait dengan perubahan dan pergeseran gerakan sosial pekerja hotel dari
gerakan sosial lama ke ciri gerakan sosial baru.
2.3.3 Teori Tindakan Komunikatif J. Habermas
Jurgen Habermas adalah salah seorang generasi pembaharu teori Kritis
Mazhab Frankfurt yang bukan saja mengatasi kebuntuan teoretis pendahulunya,
tetapi juga berhasil menyegarkan kembali program teori kritisnya. Berkaitan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, ia merefleksikan dan menawarkan
pemikiran tentang epistemologi. Apa yang ia tawarkan adalah bahwa
perkembangan ilmu pengetahuan selalu diletakkan dalam konteks perkembangan
masyarakat karena di balik perkembangan ilmu pengetahuan, terdapat ideologi
yang menyertainya.
Pertama, ilmu empiris analitis atau ilmu pengetahuan instrumental
(instrumental knowledge). Dalam konteks ini, Habermas hendak memperlihatkan
bahwa setiap perkembangan ilmu pengetahuan akan membawa kepentingan
ideologis tertentu, yakni kepentingan penguasaan. Penemuan-penemuan dalam
berbagai bidang ilmu alam dan teknologi adalah gambaran nyata dari proses
tersebut. Perkembangan teknologi bukan saja memudahkan hidup manusia dalam
39
banyak hal, tetapi sekaligus memerangkapkan manusia ke dalamnya. Manusia
kemudian menempatkan ilmu dan teknologi sebagai alat untuk penguasaan dan
eksploitasi. Demikian halnya dalam ilmu-ilmu sosial juga tidak lolos dari
perangkap ini. Sebagai contoh, ilmu-ilmu sosial yang melihat bangsa-bangsa
primitif dipakai untuk kepentingan kolonisasi dan seterusnya.
Kedua, ilmu pengetahuan hermeneutic (hermeneutic knowledge). Ilmu
pengetahuan hermeneutic adalah pandangan yang menempatkan ilmu sebagai alat
untuk melihat kenyataan sebagaimana adanya. Ia bertitik tolak dari perkembangan
ilmu-ilmu positif sebagai alat untuk meneropong kenyataan dengan pendekatan,
objek, dan metode yang spesifik. Dalam konteks ini, Habermas mencoba
memperlihatkan soal netralitas dan kebebasnilaian ilmu atas objek yang
diamatinya. Dengan kata lain, Habermas juga ingin memperlihatkan soal
ketidakberpihakan ilmu terhadap perkembangan masyarakat dalam konteks
sejarah tertentu. Dalam konteks ilmu sosial, ia juga mengkritik atas penggunaan
pendekatan ilmu-ilmu alam (positivisme) untuk melihat persoalan masyarakat.
Ketiga, ilmu kritis atau ilmu pengetahuan emansipatoris (emancipatory
knowledge). Dalam konteks ini, Habermas menawarkan sebuah harapan tentang
kebuntuan dan frustasi yang dialami atas perkembangan ilmu sosial pada waktu
itu. Di tangan Habermas, ilmu sosial kini mendapatkan jalan terang dari rasa
kebuntuan. Menurut Habermas, problem kebenaran pada ilmu sosial bukan
terletak pada kepastian, tetapi pada kesepakatan yang dicapai melalui diskursus.
Oleh karena itu, riset-riset yang dilakukan untuk pengembangan ilmu sosial
bukanlah sebuah aktivitas yang sepi dan tersembunyi, melainkan suatu tindakan
40
komunikasi yang melibatkan banyak orang. Pada dasarnya, perkembangan
ataupun fungsi ilmu pengetahuan membutuhkan ruang publik bersama yang
memungkinkan orang untuk berpartisipasi (Hardiman, 1993:8-10; Sumartono,
http://fpbn3.blogspot.com/2008).
Terkait dengan ilmu pengetahuan emansipatoris di atas, J.Hebermas dalam
teori Tindakan Komunikatif (Communicative Action Theory) menawarkan dua
konsep rasionalitas, yakni rasionalitas instrumental dan rasionalitas komunikatif.
Rasionalitas instrumental merupakan bentuk rasionalitas yang membenarkan
sistem penindasan oleh logika sistem administrasi dan ekonomi kapitalis untuk
mencapai efiensi dan efektivitas sebesar-besarnya demi keuntungan yang bersifat
strategik, sedangkan rasionalitas komunikatif merupakan ruang publik kritis yang
mempunyai potensi untuk mencapai emansipasi melalui komunikasi yang bebas
dominasi dan setara. Ruang publik ini juga merupakan jembatan interaksi antara
penguasa dan masyarakat. Dalam hal ini kekuasaan mencapai legitimasi dan
pengakuan masyarakat serta memahami arah yang diinginkan masyarakat melalui
dialog dalam Ruang Publik (Turner, 2000:157).
Melalui ruang publik ini, manusia melakukan komunikasi secara terbuka
dan setara sebagai basis bagi terciptanya empat klaim, yakni bila terjadi
kesepakatan tentang dunia alamiah dan objektif, maka tercapai klaim kebenaran
(truth), apabila terjadi kesepakatan tentang pelaksanaan norma-norma dalam
dunia sosial, maka tercapai klaim ketepatan (righness), apabila terjadi kesepakatan
tentang kesesuaian antara dunia batiniah dengan ekspresi seseorang, maka
tercapai klaim outentisitas atau kejujuran (sincerity), dan apabila disepakati semua
41
klaim tersebut, maka tercapai klaim komprehensibelitas (comprehensibility).
Suatu komunikasi yang efektif harus mencapai keempat klaim ini dan orang yang
bisa melaksanakannya disebut memiliki kompetensi komunikatif. Masyarakat
komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan kritik lewat revolusi dengan
kekerasan, melainkan lewat argumentasi (Hardiman, 1993:XXII).
Dalam upaya penyelesaian masalah terkait dengan gerakan sosial pekerja
hotel dapat direduksi dan diatasi dengan suatu tindakan komunikasi intensif
melalui ruang publik (public sphere) yang melibatkan berbagai pihak terkait
(Asean, 1999:115-129). Prinsip-prinsip ruang atau ranah publik melibatkan suatu
diskusi terbuka tentang semua isu yang menjadi keprihatinan umum, dalam hal ini
argumentasi-argumentasi diskursif (bersifat informal, dan tidak ketat diarahkan ke
topik tertentu) digunakan untuk menentukan kepentingan umum bersama. Dengan
demikian, ranah publik mengandaikan adanya kebebasan berbicara dan
berkumpul, pers bebas, dan hak untuk secara bebas berpartisipasi dalam
perdebatan politik dan pengambilan keputusan (Arismunandar, 2008). Adanya
ruang publik (public sphere), yakni komunikasi yang dialogis antara pihak pekerja
hotel melalui wadah serikat pekerja dengan pihak manajemen dapat
mengantisipasi masalah gerakan sosial pekerja hotel. Melalui ruang publik ini,
manusia melakukan komunikasi secara terbuka dan setara sebagai basis bagi
terciptanya kesungguhan (sincerity), kejujuran (truthfulness), dan interaksi yang
intelektual (intelligibility) (Anonim, 2006; http://outstandjing.blogspot.com).
42
2.3.4 Teori Gerakan Sosial
Banyak faktor yang memicu gerakan sosial di suatu negara. Fenomena
yang umumnya memicu gerakan sosial adalah ketidakpuasan terhadap keadaan
atau status quo yang sedang berlangsung, baik yang berkenaan dengan politik,
sosial, budaya, ekonomi, maupun yang lain. Oleh karena itu, gerakan sosial dalam
suatu negara memiliki kepentingan yang sangat beragam, termasuk berupa
gerakan sosial dengan tujuan untuk mewujudkan suatu perubahan radikal yang
didukung oleh aktor-aktor reformis (James L. Wood, 1982:3).
Paradigma gerakan sosial merupakan perkembangan baru teori Sosial yang
menekankan pada elemen-elemen, baik gerakan sosial makro-historis maupun
mikro historis. Oleh karena merupakan bagian dari perkembangan teori sosial,
maka gerakan sosial pada tingkat yang lebih atas sering bersifat ideologis.
Kesamaan ideologi satu gerakan dengan gerakan lain mendorong suatu gerakan
sosial membangun jaringan gerakan dengan gerakan di daerah-daerah lain. Dalam
hal ini FSP Par-SPSI merupakan salah satu contoh adanya kesamaan ideologi
antarserikat pekerja hotel yang kemudian diwujudkan dalam suatu wadah
organisasi pekerja hotel.
Secara teoretis, Sing (dalam Wahyudi, 2005:12) mengemukakan bahwa
studi tentang gerakan sosial terbagi menjadi tiga, yaitu tradisi teori Klasik, tradisi
Neo-klasik, dan gerakan sosial kontemporer. Tradisi klasik melihat suatu gerakan
sosial sebagai suatu kerumunan, kerusuhan, ataupun gerakan pemberontakan.
Tradisi teori Neoklasik menempatkan gerakan sosial sebagai suatu bentuk gerakan
dalam kerangka pemikiran fungsional ataupun konflik kelas dalam dialektika
43
Marxis. Gerakan sosial kontemporer mengusung isu-isu humanitas, budaya, dan
hal-hal yang bersifat nonmaterialistik. Tujuan gerakannya bersifat universal, yakni
mempertahankan esensi manusia dan mencapai kehidupan yang lebih baik.
Gerakan sosial kontemporer yang mulai muncul pada sekitar tahun 1960
dan 1970 tidak lagi mengusung mobilisasi massa dalam menyampaikan
tuntutannya. Kerumunan massa yang sedang beraksi cenderung melakukan
tindakan-tindakan yang tidak terkontrol karena massa yang berkerumun
mengalami irasionalisasi dan mudah sekali terprovokasi. Akibatnya, aksi gerakan
sosial dengan mobilisasi massa sering kali merugikan semua pihak. Di samping
itu, tindakan kekerasan, perusakan, dan penghancuran sering menjadi bagian dari
aksi gerakan sosial tersebut.
Studi yang telah dilakukan mengenai gerakan hak-hak sipil di kalangan
kulit hitam di Amerika Serikat tahun 1950-an dan 1960-an serta kajian mengenai
berbagai gerakan, seperti gerakan mahasiswa tahun 1960-an dan 1970-an, gerakan
lingkungan hidup, gerakan perdamaian dan gerakan solidaritas ataupun gerakan
perempuan pada tahun 1970-an dan 1980-an, semuanya membawa akibat lahirnya
bermacam-macam pendekatan dan teori tentang gerakan sosial (Fakih, 1997).
Beberapa gerakan sosial yang sering dipilih untuk dijadikan bahan studi atau
kajian antara lain Gerakan Perjuangan Etnis atau Nasionalis di Negara-negara
Bagian (Bekas) Uni Soviet, Gerakan Anti Aparheid di Afrika Selatan, dan
Gerakan Sosial di Negara Dunia Ketiga, baik perjuangan untuk tujuan
peningkatan kondisi hidup maupun terkait pemerataan distribusi sumber daya
ekonomi.
44
Khusus untuk gerakan sosial yang ada di negara dunia ketiga, sering kali
berkaitan secara tidak langsung dengan pendekatan perubahan sosial yang
dominan (mainstream approach), yaitu suatu perubahan sosial yang direkayasa
oleh negara, melalui sesuatu yang disebut sebagai pembangunan (development).
Pembangunan sering kali dianggap oleh masyarakat sebagai penyebab kemacetan
ekonomi, krisis ekologis, serta berbagai kesengsaraan masyarakat di negara dunia
ketiga. Dan hal ini merupakan perlawanan dan kritik terhadap skenario
modernisasi, yang mengasumsikan dan merancang untuk membawa kemajuan dan
kemakmuran masyarakat di suatu negara dunia ketiga.
Menurut pendapat Bonner (dalam Fakih, 2004), dalam konteks dunia
ketiga, studi tentang gerakan sosial dan transformasi sosial tidak dapat dipisahkan
dari masalah “pembangunan”. Studi tersebut bermaksud untuk mencari alternatif
terhadap gagasan “pembangunan” yang selama dua dasawarsa ini telah menjadi
suatu “agama sekuler baru” bagi berjuta-juta masyarakat di negara dunia ketiga.
Dalam aplikasinya, pembangunan sering dianggap sebagi satu-satunya tujuan bagi
pihak pemerintah di negara tersebut. Pembangunan banyak diterima, baik oleh
kalangan birokrat, akademisi maupun aktivis lembaga swadaya masyarakat tanpa
mempertanyakan landasan ideologi dan diskursusnya. Beberapa pertanyaan yang
perlu menjadi bahan kajian terhadap ide pembangunan bukanlan semata-mata
mengenai soal metodologi, pendekatan, dan pelaksanaan pembangunan itu sendiri,
tetapi secara teoretis justru pembangunan itu sendiri dianggap sebagai gagasan
kontroversial, yaitu perlu dipertanyakan, Apakah pembangunan benar-benar
merupakan jawaban untuk memecahkan masalah bagi berjuta-juta masyarakat di
45
negara dunia ketiga atau semata-mata hanya sebagai alat menyembunyikan
permasalahan atau penyakit yang sebenarnya lebih mendasar? Banyak pakar ilmu
sosial secara kritis telah meneliti dampak pembangunan dan menganggap bahwa
justru ide pembangunan telah menciptakan kesengsaraan daripada memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi oleh berjuta-juta masyarakat di negara dunia
ketiga.
Studi tentang gerakan sosial dapat dibagi menjadi dua pendekatan yang
saling bertentangan. Pendekatan pertama adalah teori yang cenderung melihat
gerakan sosial sebagai suatu “masalah” atau disebut sebagai gejala penyakit
masalah kemasyarakatan. Teori ini berakar dan dipengaruhi oleh teori sosiologi
dominan, yaitu Fungsionalisme atau sering disebut sebagai Fungsionalisme
Struktural. Fungsionalisme melihat masyarakat dan pranata sosial sebagai sistem,
yakni seluruh bagiannya saling tergantung satu sama lain dan bekerja bersama
guna menciptakan keseimbangan. Dalam hal ini “keseimbangan” merupakan
unsur kunci utama dengan menekankan pentingnya kesatuan masyarakat dan
sesuatu yang dimiliki bersama oleh anggotanya. Oleh karena itu, gerakan sosial
dianggap sebagai sesuatu yang “negatif” karena akan dapat menimbulkan konflik
yang dapat mengganggu keharmonisan dalam masyarakat.
Pendekatan kedua adalah teori-teori ilmu sosial yang justru melihat
gerakan sosial sebagai “fenomena positif” atau sebagai sarana konstruktif bagi
perubahan sosial. Pendekatan ini merupakan alternatif terhadap fungsionalisme
yang dikenal dengan “teori Konflik”. Teori Konflik pada dasarnya mengunakan
tiga asumsi dasar, yaitu (1) rakyat dianggap sebagai sejumlah kepentingan dasar
46
sehingga mereka akan berusaha secara keras untuk memenuhinya; (2) kekuasaan
adalah inti struktur sosial sehingga melahirkan perjuangan untuk
mendapatkannya; dan (3) nilai dan gagasan adalah senjata konflik yang digunakan
oleh berbagai kelompok untuk mencapai tujuan masing-masing daripada sebagai
alat untuk mempertahankan identitas dan menyatukan tujuan masyarakat. Teori
Konflik berakar dari paham Marxisme Tradisional yang menyatakan bahwa
revolusi adalah suatu kebutuhan yang disebabkan oleh memburuknya hubungan
produksi yang memunculkan masa krisis ekonomi, depresi, dan kehancuran.
Marxisme tradisional tersebut banyak mendapatkan kritik dari generasi Marxisme
baru, khususnya terhadap pendekatannya yang bersifat mekanistik.
Generasi Marxisme Baru (dipengaruhi oleh pemikiran Antonio Gramsci
1891-1937) yang menyatakan bahwa peran manusia sebagai agen, termasuk
ideologi, kesadaran kritis dan pendidikan, dalam mentransformasikan krisis
ekonomi menjadi krisis umum. Mereka menolak bahwa perekonomian adalah
sesuatu yang esensial dan faktor penentu bagi perubahan sosial, di samping
menolak gagasan determinisme historis yang mengagungkan manusia sebagai
faktor penting di antara banyak faktor lainnya yang saling tergantung secara
dialektis. Mereka mengajukan argumen bahwa gerakan sosial yang terjadi pada
tahun 1970-an dan 1980-an yang sama sekali tidak menekankan ke arah gerakan
perjuangan kelas, seperti yang didefinisikan oleh penganut Marxisme Tradisional.
Gerakan spiritual, gerakan fenimisme, gerakan hak asasi manusia dan hak-hak
sipil, gerakan antiperang dan antinuklir, gerakan sosial berbasis komunitas dan
gerakan pecinta lingkungan, serta gerakan lembaga swadaya masyarakat
47
merupakan gerakan yang tidak berkaitan secara langsung dengan perjuangan kelas
dari kelas buruh.
Individu dalam gerakan sosial baru dapat berpartisipasi secara langsung
sekalipun dia bukan bagian dari organisasi. Hal ini sangat memungkinkan karena
bentuk organisasinya yang desentralisasi, egaliter, partisipatoris, dan ikatan
gerakan sosialnya yang fleksibel. Bentuk organisasi itu bertolak belakang dengan
gerakan sosial lama yang hierarkis, bertingkat, nonpartisipasif, dan formal.
Berkenaan dengan gerakan sosial pekerja di Indonesia pada umumnya dan
khususnya gerakan sosial pekerja hotel di kabupaten Badung pada khususnya,
yakni dapat dikaji ke dalam kedua teori gerakan sosial tersebut, yakni teori
gerakan sosial lama dan teori gerakan sosial baru. Dikategorikan ke dalam teori
gerakan sosial lama karena gerakan sosial yang diwujudkan dalam gerakan protes
para pekerja di Indonesia belum dapat dikatakan lepas dari hal-hal yang bersifat
materialistik. Atau dengan kata lain, gerakan sosial masih berorientasi pada sektor
ekonomi, seperti besaran gaji dan tunjangan bagi pekerja. Sementara itu, di sisi
lain, gerakan sosial pekerja hotel juga termasuk dalam kategori gerakan sosial
baru. Mengingat adanya sektor lain, selain sektor ekonomi, menjadi ideologi yang
juga diperjuangkan pekerja, seperti kesetaraan, kebudayaan lokal, isu lingkungan,
dan kehormatan sebagai manusia.
Ciri lain yang dapat diidentifikasi pada gerakan sosial baru adalah
pemanfaatan teknologi komunikasi dan internet. Kecanggihan dunia komunikasi
dan internet menjadi media bagi pekerja hotel untuk mengomunikasikan rencana,
strategi, ide, dan isu gerakan mereka pada saat itu juga (real time). Dalam hal ini
48
menggerakkan massa dengan cara-cara konvensional dinilai sudah tidak efektif
dan efisien karena membutuhkan waktu, tempat, kerumunan massa, biaya, dan
dampak yang dapat ditimbulkan terhadap orang lain dan lingkungan sekitarnya.
Dengan memanfaatkan teknologi canggih, proses komunikasi dapat
dilakukan dalam ruang maya yang mahaluas, yang dapat diakses oleh pekerja di
seluruh dunia sehingga gerakan sosial buruh atau pekerja menjadi lebih tidak
terbatas karena tidak terikat oleh waktu, tempat, dan ranah sosial budaya
setempat. Kemajuan teknologi informasi dewasa ini telah menjadi sarana yang
efektif untuk menunjang gerakan sosial baru kaum buruh.
Gerakan sosial pekerja hotel d Kabupaten Badung pasca-2005 akan
dibedah dengan teori Gerakan Sosial Baru (GSB) atau New Social movement
(NSM). Menurut Touraine (1994:5), GSB adalah gerakan sejumlah warga
masyarakat yang secara budaya terlibat dalam konflik sosial, yakni tujuan dan
strateginya memiliki pertalian sosial dan rasionalitas sendiri. Lebih lanjut, ia
menjelaskan tiga hal pokok yang tercakup dalam GSB: (1) disebut baru karena
secara kualitatif berbeda dengan gerakan sosial lama, seperti organisasi buruh dan
petani, terutama yang menaruh perhatian pada keadilan ekonomi dan sosial
politik; (2) gerakan ini berkait erat dengan isu sosial; dan (3) gerakan ini terdiri
atas kelompok-kelompok perorangan tetapi membentuk unsur gerakan yang lebih
besar (Tauraine, 1994:11).
Selanjutnya, Larana dkk. mengidentifikasi ciri-ciri GSB sebagai berikut:
(1) mentransendensikan struktur kelas; (2) memperlihatkan kemajemukan gagasan
dan nilai-nilai; (3) memfokuskan pada isu-isu budaya dan simbolik yang lebih
49
terkait dengan identitas daripada ekonomi; (4) hubungan antara individu dan
ekonomi kabur; (5) melibatkan segi-segi pribadi dan keakraban kehidupan
manusiawi; (6) mengandalkan semangat antikekerasan dan pembangkangan sipil;
(7) berkaitan dengan adanya krisis kredibilitas dan ruang partisipasi; (8)
cenderung tersegmentasi, kabur, dan terdesentralisasikan (Larana, 1994:9).
Gerakan sosial baru bukan hanya membahas perjuangan kelas demi
peningkatan kesejahteraan ekonomi buruh/pekerja, tetapi telah memberikan
alternatif atas pemecahan berbagai masalah sosial sebagaimana slogan “there are
many alternatives” (Pulungan dkk., 2005:IX). Gerakan sosial baru sebagai cara
baru memahami dunia dan menentang aturan kultural dominasi berdasarkan
alasan simbolik; juga sebagai penciptaan identitas baru yang berisikan tuntutan
yang tidak bisa dinegosiasikan. Gerakan sosial baru sebagai artikulasi sosial baru
yang mengkristalkan pengalaman dan persoalan baru yang dialami dan dihadapi
bersama sebagaimana akibat disintegrasi umum pengalaman berbasis ekonomi
(Outhwaite, 2008:785).
Gerakan sosial pekerja hotel Kabupaten Badung lebih condong bercirikan
gerakan sosial baru karena para pelakunya menjunjung tinggi slogan “zero
demonstration“ dan mengubah arah perjuangannya yang semula mengandalkan
kekuatan massa menjadi gerakan sosial yang dilakukan dengan cara damai,
santun, dan mengutamakan proses negosiasi. Melalui lembaga bipartet yang
diwakili oleh perwakilan serikat pekerja dan pihak manajemen, permasalahan dan
kepentingan pekerja berupaya dinegosiasikan agar hak-hak dan kesejahteraan
pekerja dapat diperhatikan.
50
2.4 Model Penelitian
Model berguna untuk membantu menyederhanakan proses penelitian yang
rumit. Model merupakan konseptualisasi sistemik yang menyederhanakan unsur-
unsur yang saling terkait dalam bentuk skema (Black dan Champion, 1999:60).
Model pada penelitian ini seperti tampak pada skema berikut.
Bagan 1
Model Penelitian Gerakan Sosial Pekerja Hotel di Kabupaten Badung
pasca-2005
Model penelitian dapat digunakan untuk memberikan penjelasan agar
mudah dipahami oleh pengguna karena berfungsi sebagai pemandu. Oleh karena
Manajemen Hotel Berbintang
Kabupaten Badung
Pekerja/Serikat Pekerja (SP) Hotel Berbintang
Kabupaten Badung
Kebijakan Manajemen Efisiensi
Perusahaan (PHK, UMR, mutasi staf/karyawan dsb)
Penguatan SP lokal Penguatan Jejaring SP Tuntutan peningkatan
kesejahteraan pekerja Aktulisasi diri SP lokal
sebagai bagian dari gerakan sosial baru
Gerakan Sosial
Pekerja Hotel di
Kabupaten Badung
pasca-2005
Bentuk gerakan sosial pekerja hotel
di Kabupaten Badung pasca-2005
Faktor penyebab gerakan sosial pekerja
hotel di Kabupaten Badung pasca-2005
Dampak dan makna gerakan sosial pekerja
hotel di Kabupaten Badung pasca-2005
51
itu, dalam mengembangkan model kajian sebagaimana bagan di atas, maka dapat
dijelaskan sebagai berikut.
1) Manajemen hotel sebagai penyedia lapangan kerja padat karya di Badung
dalam melaksanakan usahanya memerlukan pekerja. Pekerja yang bekerja di
hotel tersebut memiliki satu organisasi pekerja yang disebut serikat pekerja
pariwisata. Manajemen dan serikat pekerja pariwisata memiliki
ketergantungan antara dengan yang lainnya.
2) Manajemen sebagai pelaksana usaha memiliki aturan atau kebijakan yang
pada dasarnya bertujuan agar usahanya dapat terus eksis, berkualitas, dan bisa
mengembangkang usahanya. Serikat pekerja pariwisata sebagai wadah dari
pekerja hotel juga memiliki kepentingan untuk dapat lebih menyejahterakan,
meningkatkan kualitas SDM, di samping memperkuat jejaringnya dengan
serikat pekerja pusat ataupun yang lainnya.
3) Dalam menjalankan perannya pekerja selalu terikat dengan manajemen hotel
dan serikat pekerja pariwisata sebagai organisasi yang menjadi pengayom
pekerja hotel.
4) Sebagai pekerja yang melayani jasa di bidang perhotelan, mereka selalu
dipengaruhi manajemen hotel yang mengeluarkan kebijakan, menentukan
bagaimana melakukan efisiensi perusahaan, dan menerapkan sistem
outsourcing . Apabila terjadi perubahan kebijakan manajemen yang tidak
sesuai dengan harapan pekerja yang menimbulkan kesenjangan sosial dan
ketergantungan ekonomi dengan manajemen, maka pekerja dengan latar
belakang pendidikan yang semakin meningkat akan memperkuat jejaringnya
52
dengan serikat pekerja pusat dan sesamanya sehingga secara perlahan akan
terjadi gerakan sosial pekerja hotel.
5) Dari keseluruhan aktivitas 1 sampai dengan 4 di atas, maka pihak hotel dan
serikat pekerja harus merespons dan mampu menjawab beberapa persoalan
yang terkait dengan bentuk gerakan sosial pekerja hotel di Kabupaten
Badung pasca-2005, faktor penyebab gerakan sosial pekerja hotel di
Kabupaten Badung pasca-2005, serta dampak dan makna gerakan sosial
pekerja hotel di Kabupaten Badung pasca-2005 .
6) Dari aktivitas 1, 2, dan 4 dilakukan kajian kritis dengan menggunakan teori
Hegemoni, teori Dekonstruksi , teori Tindakan Komunikatif J. Habermas,
dan teori Gerakan Sosial. Selanjutnya, diungkapkan temuan terkait dengan
hasil penelitian yang diperoleh.