38
15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Uraian tentang gerakan sosial pekerja hotel dapat diketahui dari media massa, baik media massa lokal dan nasional, hasil penelitian, maupun dalam beberapa buku. Media massa yang dimaksud, seperti: harian umum Kompas, Bali Post, dan Jawa Post. Sehubungan dengan hal ini pernah diberitakan oleh Kompas pada tahun 2001 yang berjudul “Aksi-aksi Politis Para Buruh”. Pada tahun 2000 Bali Post pernah memuat berita. “Hotel Patra Jasa Lumpuh”. Media tersebut memuat berita gerakan sosial pekerja hotel yang berbentuk aksi protes atau demo. Tulisan dalam bentuk berita reportase itu bersifat informatif. Artinya, hanya memberikan informasi mengenai gerakan sosial pekerja dalam bentuk aksi protes dan demo, terutama hal-hal yang berkenaan dengan aspirasi dan tuntutan serta tindakan yang dilakukan oleh pekerja hotel. Berita yang diperoleh dari berbagai media itu dapat digunakan sebagai fakta tertulis bahwa fenomena gerakan sosial pekerja hotel di kawasan wisata di Bali memang terjadi. Selain itu, berita di atas dapat digunakan sebagai sumber data sekunder dalam penelitian ini. Selanjutnya, informasi tersebut memberikan pemahaman kepada penulis tentang aksi protes dan demonstrasi. Studi mengenai buruh dilakukan oleh Bambang Sulistyo yang diterbitkan oleh PT Tiara Wacana Yogya pada tahun 1995 dengan judul “Pemogokan Buruh: Sebuah Kajian Sejarah”. Buku tersebut dapat dijadikan referensi sejarah untuk

pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

15

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Uraian tentang gerakan sosial pekerja hotel dapat diketahui dari media

massa, baik media massa lokal dan nasional, hasil penelitian, maupun dalam

beberapa buku. Media massa yang dimaksud, seperti: harian umum Kompas, Bali

Post, dan Jawa Post. Sehubungan dengan hal ini pernah diberitakan oleh Kompas

pada tahun 2001 yang berjudul “Aksi-aksi Politis Para Buruh”. Pada tahun

2000 Bali Post pernah memuat berita. “Hotel Patra Jasa Lumpuh”. Media tersebut

memuat berita gerakan sosial pekerja hotel yang berbentuk aksi protes atau demo.

Tulisan dalam bentuk berita reportase itu bersifat informatif. Artinya, hanya

memberikan informasi mengenai gerakan sosial pekerja dalam bentuk aksi protes

dan demo, terutama hal-hal yang berkenaan dengan aspirasi dan tuntutan serta

tindakan yang dilakukan oleh pekerja hotel.

Berita yang diperoleh dari berbagai media itu dapat digunakan sebagai

fakta tertulis bahwa fenomena gerakan sosial pekerja hotel di kawasan wisata di

Bali memang terjadi. Selain itu, berita di atas dapat digunakan sebagai sumber

data sekunder dalam penelitian ini. Selanjutnya, informasi tersebut memberikan

pemahaman kepada penulis tentang aksi protes dan demonstrasi.

Studi mengenai buruh dilakukan oleh Bambang Sulistyo yang diterbitkan

oleh PT Tiara Wacana Yogya pada tahun 1995 dengan judul “Pemogokan Buruh:

Sebuah Kajian Sejarah”. Buku tersebut dapat dijadikan referensi sejarah untuk

Page 2: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

16

menganalisis gerakan sosial DPP FSP Par-SPSI. Oleh karena dalam buku itu

diuraikan sejarah terjadinya aksi protes buruh sejak zaman Belanda di berbagai

tempat di Pulau Jawa, kondisi yang memicu aksi protes buruh, pengorganisasian

buruh, dan berkembangnya ideologi buruh menjadi kekuatan partai. Sekalipun

buku ini tidak secara spesifik menguraikan struktur dan formasi gerakan sosial

buruh, tetapi secara implisit sejarah gerakan perjuangan buruh telah memiliki

struktur dan formasinya sendiri sesuai dengan situasi dan kondisi serta masa yang

melingkupinya.

Tulisan secara komprehensif mengenai gerakan sosial pekerja hotel belum

ada. Namun, tulisan sejenis yang berkenaan dengan permasalahan perburuhan

telah diungkapkan oleh Nyoman Wijaya bekerja sama dengan Parasporos dan

FIP2B pada bulan Juni tahun 2000. Tulisan yang berjudul Menciptakan

Keharmonisan Dinamis antara Pekerja dengan Manajemen di Lingkungan

Pariwisata Bali tersebut menguraikan permasalahan buruh, manajemen, dan

pengusaha. Nyoman Wijaya menguraikan bagaimana seharusnya peran LSM ,

serikat pekerja, pemerintah, dan berbagai elemen terkait dalam menciptakan

keharmonisan sosial dalam rangka menunjang dunia pariwisata Bali. Demikian

pula, euforia buruh menuntut hak-hak normatifnya melalui cara-cara kekerasan

dan represif terhadap pengusaha banyak diutarakan dalam karangan tersebut.

Tulisan mengenai hal yang sama diungkapkan oleh Eggi Sudjana dalam

Buruh Menggugat: Perspektif Islam yang diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan

pada tahun 2002. Dalam buku itu Eggi Sudjana mengupas permasalahan

perburuhan pada zaman Orde Baru dan pascareformasi serta kebijakan perburuhan

Page 3: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

17

dalam perspektif transisi reformasi, di samping pengertian dan perubahan istilah

buruh menjadi pekerja. Kebijakan pemerintah di bidang perburuhan sejak

jatuhnya pemerintah Soeharto sering mengejutkan pengusaha. Berbeda dengan

masa-masa sebelumnya, yakni ketika lobi pengusaha demikian kuat dan didukung

politik perburuhan Orde Baru yang menempatkan buruh murah sebagai daya tarik

investasi. Namun kini, politik represif itu tidak bisa dipertahankan lagi. Oleh

karena pemerintah yang dahulu condong memihak pengusaha, tetapi kini mulai

condong ke pekerja. Akibat dari tindakan represif tersebut, aspirasi buruh

perhotelan di Bali hanya dapat diwakilkan oleh satu organisasi buruh, yaitu

Serikat Pekerja Pariwisata (SP Par). Serikat Pekerja Pariwisata merupakan salah

satu komponen organisasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).

Para pekerja atau buruh yang terhimpun dalam SPSI terus melakukan

gerakan sosial untuk memperbaiki nasib dan tingkat kesejahteraan mereka. Dalam

kaitan ini, Rekson Silaban dalam bukunya yang berjudul Reposisi Gerakan Buruh,

Peta Jalan Gerakan Buruh Indonesia Pasca Reformasi, terbitan Pustaka Sinar

Harapan, Jakarta (2009) menyatakan bahwa gerakan sosial buruh atau pekerja

diharapkan memiliki empat karakter dasar, yakni nondiskriminatif, demokratis,

independen, dan menjunjung tinggi solidaritas. Pertama, gerakan buruh haruslah

nondiskriminatif. Siapa pun berhak menjadi anggotanya tanpa memandang latar

belakang ras, suku, agama, perbedaan orientasi politik, dan sebagainya. Kedua,

gerakan buruh haruslah demokratis. Pada tataran organisasi, kepengurusan serikat

buruh/pekerja dipilih secara demokratis, bukan berdasarkan nepotisme. Ketiga,

gerakan buruh haruslah memiliki watak independen, tanpa harus mengisolasi diri

Page 4: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

18

dengan gerakan di luarnya. Independensi ini secara umum menyangkut dua hal,

yakni independensi kelembagaan, yaitu orientasi kelembaga secara keseluruhan

dan independensi di tingkat individual aktivis buruh. Dengan demikian,

independensi serikat buruh yang secara sederhana diartikan sebagai kemampuan

menjaga kepentingan buruh dari kepentingan pihak luar tetap terjaga. Keempat,

menjaga solidaritas yang meliputi: (a) solidaritas internal, yakni setiap buruh

dalam suatu serikat buruh memperlihatkan solidaritas antarsesama anggota

serikat; (b) solidaritas antarorganisasi buruh, yakni antara satu dengan organisasi

buruh yang lain saling mendukung dan menguatkan; (c) solidaritas internasional,

yakni gerakan buruh harus juga memperlihatkan kepedulian dan perasaan senasib

dengan gerakan buruh di negara lain (Silaban, 2009:13-15).

Reposisi gerakan sosial pekerja di atas merupakan bagian dari fenomena

perjuangan pekerja pada era Reformasi bahwa para pekerja, termasuk yang

bergerak dalam lapangan jasa pariwisata (perhotelan) di Bali, semakin sadar akan

peran mereka bagi kemajuan pariwisata di Bali. Kesadaran mereka diekspresikan

melalui gerakan sosial, yaitu aksi protes dan demo untuk menuntut upah dan

kesejahteraan yang lebih layak, di samping kebebasan berserikat atau

menentukan organsisai buruh yang mereka ikuti. Pada tahun 2005 kembali Eggi

Sudjana mengulas secara komprehensif buruh di Indonesia dalam Nasib &

Perjuangan Buruh di Indonesia yang diterbitkan oleh Penerbit Renaisan, Jakarta.

Buku ini menjadi referensi dalam pembahasan mengenai gerak langkah serikat

pekerja dan kaum buruh, format politik, dan gerakan buruh masa depan di

Indonesia.

Page 5: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

19

Tulisan Egi Sudjana dalam kedua buku tersebut terkesan cukup keras

membela kaum buruh yang menjadi korban kepentingan politik atau ditunggangi

oleh kepentingan-kepentingan politik sesaat. Sebagai referensi, buku tersebut

dapat digunakan sebagai pertimbangan bagi pekerja hotel agar bisa bersikap lebih

hati-hati dalam menentukan sikapnya.

Murni (2004) dalam tesisnya yang berjudul “Aksi Protes Buruh Hotel

Kawasan Kuta dan Nusa Dua 1999-2001: Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna”

menemukan bahwa aksi protes buruh di Bali memiliki spesifikasi berbeda jika

dibandingkan dengan protes buruh di daerah lainnya. Intensitas protes yang

dilakukan buruh hotel sejak reformasi cukup tinggi jika dibandingkan dengan aksi

protes sebelumnya. Dari segi format atau bentuk, protes dilakukan buruh di

tempat kerjanya dan di Gedung DPRD Provinsi Bali. Protes unjuk rasa tersebut

disertai dengan mogok kerja baik sebelum melakukan unjuk rasa maupun setelah

unjuk rasa. Protes buruh pariwisata tersebut memiliki beberapa fungsi, yakni (a)

fungsi ekonomi, yakni dapat menambah pendapatan buruh; (b) fungsi sosial

budaya, yakni mampu menciptakan citra buruh baru yang sudah berani

mengambil posisi tawar menawar (bargaining power) dengan majikannya, (c)

fungsi politik, yakni aksi protes buruh telah mempengaruhi kebijakan yang dibuat

pemerintah (Murni, 2002: 109 – 139). Aksi protes buruh tersebut menyebabkan

kemacetan lalu lintas, hilangnya pendapatan, pengusaha merugi, hilangnya

penerimaan pemerintah dari pajak, bahkan dapat meperburuk citra pariwisata Bali

(Murni, 2002:140-161).

Page 6: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

20

Puja (2004), dalam tesisnya yang berjudul “Perselisihan Hubungan

Industrial di Kabupaten Badung dalam Periode 1998-2002”, menulis mengenai

bentuk, fungsi, dan makna perselisihan hubungan industrial di Perusahaan Roti

Ramayana, Hotel Century-Saphira dan Perdana Dadi di Kabupaten Badung. Pada

esensinya, tesis ini merupakan pengembangan dari kajian terhadap hubungan

industrial antara pekerja perhotelan dan pengusaha hotel berbintang di Kabupaten

Badung.

Djumadi (2005), dalam bukunya Sejarah Keberadaan Organisasi Buruh

di Indonesia, menulis perkembangan organisasi buruh sebelum merdeka hingga

setelah masa reformasi. Buku ini bisa dijadikan acuan untuk melihat sejarah

perkembangan gerakan sosial buruh, baik berupa struktur dan formasinya maupun

kecenderungan tuntutan yang diperjuangkan buruh dari masa ke masa hingga

dapat diketahui perbedaan yang signifikan mengenai keberadaan buruh di

Indonesia.

Wahyudi (2005), dalam bukunya yang berjudul Formasi dan Struktur

Gerakan Sosial Petani: Studi Kasus Reklaiming/Penjarahan Atas Tanah PTPN

XII (Persero) Kalibakar Malang, mengkaji struktur dan struktur gerakan sosial

petani (peasant) di Kalibakar, Malang Selatan. Buku ini menggambarkan

perjuangan petani Kalibakar dalam mengambil kembali (reklaiming) tanah nenek

moyang mereka yang dimanfaatkan oleh pemerintah untuk kepentingan industri.

Namun, pemerintah menganggap pengambilalihan tanah tersebut oleh petani,

yakni merupakan suatu usaha penjarahan kekayaan negara. Perjuangan gerakan

petani tersebut sesungguhnya berlangsung cukup panjang dan mengalami pasang

Page 7: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

21

surut, yakni dimulai dengan usaha prosedural land reform sejak pasca

pendudukan zaman Jepang, berlanjut ke Agresi Belanda ke-II, masa Pemerintahan

Orde Lama, Orde Baru, masa Reformasi, dan hingga saat ini pun belum selesai.

Buku ini dijadikan salah satu referensi dalam kajian pustaka karena memiliki akar

kajian mengenai pengorganisasian pekerja.

Buku Teologi Buruh yang ditulis oleh Abdul Jalil dan diterbitkan oleh

Penerbit LKIS pada tahun 2008 mendeskripsikan fenomena hubungan buruh

dengan pemilik modal. Lebih jauh mengenai buku ini, yakni berisi permasalahan-

permasalahan buruh yang ditinjau dari perspektif teori-teori kapitalis dan teori-

teori sosialis. Kemudian, analisis teologi Islam menjadi muara pembahasan dan

solusi permasalahan perburuhan. Di samping itu, teologi buruh merupakan cara

meninjau permasalahan buruh melalui pendekatan agama. Dalam sejarah, teologi

yang pernah digunakan untuk menangani permasalahan perburuhan adalah

teologi Yahudi, teologi Kristen, dan teologi Islam.

Dalam teologi Islam, hubungan buruh dengan pemilik modal merupakan

hubungan integratif, yakni satu kesatuan yang saling memenuhi kebutuhan dan

kepentingan masing-masing. Dalam hal ini bukan eksploitasi buruh sebagaimana

yang terjadi pada sistem kapitalisme atau sebaliknya sebagaimana yang dilakukan

pada sistem sosialisme. Etika Islam menekankan pada kesatuan (unity),

keseimbangan (equliberium), kebebasan (free will), dan tanggung jawab

(responsibility).

Di samping itu, buku tersebut dapat digunakan sebagai referensi untuk

membandingkan teologi buruh dalam versi Islam dan ajaran-ajaran agama Hindu

Page 8: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

22

atau filosofi Hindu mengenai kesatuan, keseimbangan, kebebasan, dan tanggung

jawab. Oleh karena itu, ajaran agama Hindu dan filosofinya dapat menjadi

kontribusi yang signifikan dalam menganalisis gerakan sosial organisasi pekerja

pariwisata Federasi Serikat Pekerja Pariwisata Serikat Pekerja Seluruh Indonesia,

seperti filosofi trihita karana dan rwabineda.

Bali dalam Kuasa Politik tulisan Darma Putra dan diterbitkan oleh Art

Foundation tahun 2008 mengupas dengan jelas bagaimana kebudayaan Bali

dikaitkan dengan lakon politik. Sebetulnya, politik adalah bagian dari

kebudayaan. Namun, karena begitu berkuasanya politik, justru kebudayaanlah

yang menjadi bagian dari politik. Darma Putra menerapkan pendekatan kajian

budaya (cultural studies), yakni dengan prinsip bahwa pemahaman atas

kebudayaan akan menjadi lebih nyata dan mendalam jika dilihat bukan sebagai

warisan nila-nilai luhur masa lalu semata. Kebudayaan juga bisa menjadi arena

pertarungan kepentingan politik antara berbagai kelompok untuk tampil dominan

demi mempertahankan kekuasaan. Walaupun Bali dikenal sebagai daerah yang

aman dan damai dengan julukan the last paradise on earth, tetapi masyarakat Bali

tidak terbebas dari tindakan kekerasan. Salah satunya adalah konflik dan

kekerasan yang dilakukan pada zaman Reformasi, yaitu unjuk rasa pekerja hotel

di kawasan wisata Nusa Dua dan Kuta. Setelah terjadinya ledakan Bom Bali pada

bulan Oktober 2003, kondisi pariwisata Bali terpuruk dan berakibat terjadinya

pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor pariwisata, salah satunya perhotelan.

Dalam tulisannya, Darma Putra menekankan bahwa akibat dari kondisi pariwisata

yang semakin parah, konflik dan kekerasan yang dilakukan oleh karyawan hotel

Page 9: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

23

dalam menuntut hak-haknya semakin ditinggalkan karena masyarakat pariwisata

tidak ingin lebih jauh merusak image Bali dengan kekerasan. Konflik yang ada

dicarikan jalan keluar atau solusi, yakni dengan lebih mengedepankan

perundingan antara serikat pekerja pariwisata, manajemen, dan pemerintah.

Dalam hal ini menjaga image Bali lebih dikedepankan, yakni dalam segala

tindakan masyarakat Bali dalam gerakan sosial.

Tulisan-tulisan tersebut telah cukup memberikan andil untuk menjelaskan

fenomena gerakan sosial buruh secara umum di Bali. Namun, khusus kajian

Murni (2002) di atas secara spesifik telah mengungkap aksi protes pascareformasi

yang lebih mengedepankan show of force dan belum mengungkap perkembangan

gerakan pekerja hotel pasca-2005 yang lebih santun dan simpatik. Berbagai kajian

di atas juga belum menjawab pertanyaan, “Bagaimanakah bentuk gerakan sosial

pekerja hotel tersebut?” “Faktor-faktor apa sajakah yang melatarbelakanginya?”

“Dampak serta makna apa sajakah yang terkait dengan gerakan sosial pekerja

hotel tersebut?” Hal-hal inilah yang akan dikaji melalui karya disertasi ini.

2.2 Konsep

Ada beberapa konsep yang digunakan dalam tulisan ini, seperti: gerakan

sosial, pekerja hotel, gerakan sosial pekerja hotel, dan cultural studies atau kajian

budaya. Konsep tersebut merupakan kata kunci untuk menjelaskan fenomena

gerakan sosial PH.

Page 10: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

24

2.2.1 Gerakan Sosial

Gerakan sosial merupakan gerakan yang dilakukan oleh sekelompok orang

secara kolektif, kontinu dan/atau sistematis. Gerakan ini mendukung atau

menentang keberlakuan tata kehidupan tertentu karena mereka memiliki

kepentingan di dalamnya, baik secara individu, kelompok, komunitas, atau level

yang lebih luas lagi (Wahyudi, 2005:6-7).

Gerakan sosial juga sebagai suatu bentuk penentangan, gerakan sosial

merupakan perwujudan dari karakter kelas sosial, di samping merupakan

perjuangan kepentingan kelas. Berbeda dengan pengertian ini, gerakan sosial yang

dilakukan oleh pekerja hotel berbintang di Kabupaten Badung termasuk dalam

kategori gerakan sosial baru, yakni gerakan sosial sebagai gugus kolektif yang

bersifat sementara dan politis. Gerakan ini memberikan tekanan pada partisipasi

demokratis dan tindakan berbasis etis yang ditempatkan di luar lingkup kerja

sehingga berbeda dari kelas. Gerakan sosial baru ini juga meliputi gerakan kaum

feminis, politik lingkungan, kampanye perdamaian, solidaritas kaum muda, dan

politik identitas budaya (Sutrisno, 2007:263).

Sesuai dengan pengertian konsep gerakan sosial di atas, maka secara

operasional gerakan sosial pekerja hotel dapat didefinisikan sebagai gerakan yang

dilakukan oleh sekelompok orang, yakni pekerja atau karyawan hotel secara

kolektif, kontinu, dan/atau sistematis dengan tujuan agar mereka memperoleh hak

yang dikehendaki. Diharapkan pihak manajemen hotel dan pihak pengambil

kebijakan, yakni Dinas Pariwisata Kabupaten Badung dan Dinas Tenaga Kerja

Page 11: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

25

Kabupaten Badung dapat memenuhi aspirasi dan tuntutan pihak pekerja hotel

tersebut.

Dalam melaksanakan gerakan sosialnya, pekerja hotel didukung oleh

serikat pekerja (SP) yang ada dalam organisasi/manajemen hotel setempat.

Sebagai wadah organisasi yang memperjuangkan hak dan kesejahteraan kaum

pekerja, SP memiliki anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) sendiri.

Keberadaan SP ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan hubungan dan

kerja sama yang harmonis antara pihak manajemen hotel di satu pihak dengan

pihak pekerja hotel di pihak lain.

2.2.2 Pekerja Hotel

Istilah “pekerja“ atau “ karyawan” sering disejajarkan dengan istilah

“buruh“. Dalam tulisan ini istilah buruh, pekerja, dan karyawan dipakai secara

berbaur sesuai dengan konteks kalimat dan penekanannya. Istilah buruh lebih

banyak dipergunakan dibandingkan dengan istilah pekerja dalam menjelaskan

fenomena gerakan sosial buruh pada zaman Orde Baru walaupun istilah buruh

dalam zaman Orde Baru, yakni karena pertimbangan politik diganti dengan istilah

pekerja (Djumadi, 2005:26).

Kata buruh bersifat jamak, baik laki-laki maupun perempuan dan

berasosiasi dengan pekerjaan kasar. Kata pekerja memiliki sifat jamak dan

berasosiasi kepada siapa saja yang suka bekerja, baik laki-laki maupun perempuan

dan bisa terikat pada suatu lembaga atau seorang yang bekerja untuk dirinya

sendiri atau kelompok. Selanjutnya, istilah pekerja berasal dari istilah buruh yang

Page 12: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

26

diubah pada zaman Orde Baru karena istilah buruh berkonotasi pada ideologi

komunisme sehingga pemakaiannya diganti dengan kata pekerja pada masa Orde

Baru.

Sementara itu, kata karyawan juga bersifat jamak dan memiliki pengertian

seks, yakni laki-laki yang dilawankan dengan kata karyawati sebagai perempuan.

Dalam realitas sosial penggunaan kata karyawan memiliki rasa lebih tinggi

dibandingkan kata buruh. Misalnya, orang yang bekerja di bank disebut karyawan

bank bukan buruh bank, sedangkan orang yang bekerja di pabrik umumnya

disebut buruh. Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1957, yang dimaksud

dengan buruh ialah orang yang bekerja pada orang lain dan mendapat upah.

Sesuai dengan pengertian konsep di atas, maka pekerja hotel adalah semua

orang yang mendedikasikan tenaga dan pikirannya untuk keberlangsungan bisnis

perhotelan berbintang di Kabupaten Badung, baik pekerja pada level staf atau

yang dikenal dengan sebutan kerah biru ataupun level manajemen (kerah putih).

Pekerja hotel ini mengisi berbagai bagian pekerjaan yang terdapat di hotel, seperti

front office, public relation , house keeping, sales and marketing, food and

beverage, engineering, security, purchasing, laundry, gardener, dan sebagainya.

Pekerja hotel di Kabupaten Badung adalah semua pekerja (karyawan) hotel yang

bekerja di hotel-hotel berbintang di kawasan wisata Nusa Dua dan Kuta yang

terletak di Kabupaten Badung Provinsi Bali, baik pekerja lokal maupun pekerja

asing (ekspatriat).

Page 13: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

27

2.2.3 Pasca-2005

Pasca-2005 adalah periode gerakan sosial pekerja hotel/pekerja pariwisata

yang terjadi di Kabupaten Badung. Gerakan sosial pekerja atau buruh di Indonesia

pada umumnya dan di Bali pada khususnya mencapai puncaknya pada era

Reformasi setelah jatuhnya rezim Orde Baru sejak periode 1998. Euforia gerakan

sosial tampak meningkat dalam periode 1998 – 2005, termasuk gerakan sosial

pekerja hotel dan pariwisata di Badung yang cenderung mengandalkan kekuatan

massa dalam mengartikulasikan tuntutannya. Pada periode pasca-2005, gerakan

sosial pekerja hotel di Kabupaten Badung cenderung dilakukan secara damai dan

santun, walaupun masih ada sebagian kecil kepelompok pekerja pariwisata yang

berdemonstrasi di jalanan. Pendekatan gerakan sosial yang damai dan santun ini

terkait dengan kesadaran para pekerja pariwisata pasca-peristiwa Bom Bali II

(2005) yang lebih menyadari akan pentingnya keamanan dan kenyamanan Bali.

Oleh karena dengan menjaga keamanan dan kenyamanan Bali, para pekerja hotel

ingin menegakkan kembali citra pariwisata Bali yang sempat terpuruk, ternodai

oleh aksi terorisme bom Bali II tahun 2005. Selain itu, gerakan sosial pekerja

hotel Kabupaten Badung pasca 2005 ini juga dimaksudkan oleh para pelakunya

untuk mendukung upaya pemulihan dan pengembangan pariwisata budaya Bali.

2.2.4 Gerakan Sosial Pekerja Hotel Pasca-2005

Secara operasional, gerakan sosial pekerja hotel dapat didefinisikan

sebagai berikut. (1) Gerakan yang dilakukan oleh sekelompok orang secara

kolektif, kontinyu dan atau sistematis dengan tujuan agar mereka memperoleh hak

Page 14: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

28

yang dikehendaki. (2) Gerakan itu terkait dengan perlakuan atau penerapan

kebijakan yang merugikan pihak pekerja hotel. (3) Pelaku gerakan mengharapkan

agar pihak serikat pekerja dapat memperjuangkan aspirasi pihak pekerja hotel

kepada pihak manajemen hotel tempat mereka bekerja. (4) Selanjutnya, pihak

manajemen hotel dan pihak pengambil kebijakan, yakni Dinas Pariwisata

Kabupaten Badung dan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Badung dapat memenuhi

aspirasi pihak pekerja hotel tersebut.

Gerakan sosial pekerja hotel di kawasan wisata Kabupaten Badung Bali

merupakan gerakan sosial baru. Dalam hal ini gerakan sosial yang humanis atau

mengedepankan sisi kemanusiaan yang personal, tetapi tidak individual; kolektif,

tetapi tidak sekterian; integratif karena gerakannya disemangati oleh partisipasi

sukarela yang tercipta secara spontanitas menuruti konsepsi etis gerakan sosial

baru yang menghendaki terciptanya kualitas hidup yang lebih baik, identitas

kelompok, di samping memperluas ruang kehidupan serta memperjuangkan

masyarakat sipil (Sztompka, 2007:336).

2.2.5 Kajian Budaya

Sebuah kajian penelitian interdisipliner atau pascadisipliner yang mencoba

menguraikan pembentukan dan pengulangan gugus peta makna. Cultural studies

bisa juga dijelaskan sebagai sebuah format diskursif atau cara mengungkapkan hal

ihwal kebudayaan yang dikelola secara tertentu, yang mempunyai kepedulian

menyangkut isu kekuasaan dalam praktik-praktik “pemaknaan” (signifying)

pembentukan manusia.

Page 15: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

29

Cultural studies merupakan paradigma keilmuan yang akhir-akhir ini

banyak digunakan oleh peneliti untuk menggantikan paradigma keilmuan modern

yang sudah dianggap usang. Oleh karena keilmuan modern tidak lagi dapat

diandalkan untuk memecahkan beragam permasalahan sosial dan budaya yang

semakin kompleks. Karakteristik interdisipliner yang melekat pada cultural

studies memungkinkan menghasilkan analisis yang lebih komprehensif, yakni

dengan melihat suatu fenomena sosial atau budaya dari beragam perspektif

keilmuan.

Barker (2004:5) menyebut cultural studies sebagai bidang penelitian multi

dan posdisipliner yang mengaburkan batas-batas antara dirinya dengan subjek.

Namun, cultural studies tidak dapat didefinisikan secara sembarangan. Dia bukan

fisika, bukan sosiologi, dan juga bukan linguistik, meskipun cultural studies

mengambil banyak dari wilayah subjek tersebut. Dalam hal ini ada sesuatu yang

diperbincangkan dalam cultural studies yang membedakan dirinya dari subjek

lain.

Studi kebudayaan atau cultural studies berusaha membongkar kebuntuan

analisis sosial budaya selama ini melalui sudut pandang multidisipliner. Untuk

memahaminya agar lebih jelas, Raymond Williams melihat dinamika kebudayaan

pada antropologi manusia yang dalam kesehariannya merajut terus kebudayaan,

baik yang dirumuskan (misalnya peraturan) maupun yang diwacanakan lisan. Ia

mengajak orang untuk kembali meneliti dan membaca kebudayaan dengan rajutan

makna keseharian dalam nilai, norma, adat dan ungkapan materialis serta simbolis

yang secara bersamaan saling dipertukarkan dan dihayati bersama-sama dalam

Page 16: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

30

kehidupan menjadi makna-makna yang dipertukarkan bersama (Sutrisno (ed.),

2007:4).

Pendapat yang sama dikemukakan oleh John Storey (2007:2) bahwa objek

kajian dalam cultural studies bukanlah budaya yang didefinisikan dalam

pengertian yang sempit, yaitu sebagai objek keadiluhungan estetis (seni tinggi),

juga bukan budaya yang didefinisikan dalam pengertian yang sama-sama sempit,

yaitu sebagai sebuah proses perkembangan estetik, intelektual, dan spiritual,

melainkan budaya yang dipahami sebagai teks dan praktik hidup sehari-hari.

Ringkasnya, Raymond Wiliams merangkum tiga makna kebudayaan yang

berlangsung saat ini. Pertama, budaya adalah setiap dinamika perkembangan

intelektual, spiritual, dan estetika individu kelompok atau masyarakat. Kedua,

kebudayaan merangkum kegiatan-kegiatan intelektual dan artistik. Ketiga,

kebudayaan itu menyangkut cara hidup, kepercayaan, aktivitas, dan kebiasaan

seseorang, kelompok, atau masyarakat (Sutrisno (ed.), 2007:112). Berdasarkan

beberapa pemikiran di atas, maka dapat dikatakan bahwa kebudayaan sebagai

aktivitas atau praktik kehidupan sehari-hari, sebagaimana yang diuraikan oleh

Storey dan Williams, yakni merupakan pemahaman bahwa kebudayaan itu

bersifat dinamis dan bergerak terus-menerus mengikuti perkembangan zaman.

Konsep budaya kontemporer di atas dapat dijadikan alat analisis untuk

membaca gerakan budaya masyarakat, khususnya masyarakat Bali yang hidup

dalam lingkup dunia pariwisata, sehingga selalu terjadi tarik menarik antara

budaya tradisi dan budaya pasca modern. Fenomena gerakan sosial pekerja hotel

Page 17: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

31

di Kabupaten Badung merupakan bagian dari dinamika budaya kontemporer

masyarakat Bali yang akan ditelaah melalui perpektif kajian budaya.

2.3 Landasan Teori

Landasan teori yang digunakan dalam mengkaji dan menganalisis

permasalahan penelitian tentang gerakan sosial pekerja hotel adalah gabungan

beberapa teori secara eklektik, yakni teori Hegemoni, teori Tindakan Komunikatif

Hubermas, dan teori Dekonstruksi.

2.3.1 Teori Hegemoni

Gerakan sosial pekerja hotel di kabupaten Badung merupakan gerakan

sosial yang didasarkan pada cita-cita dan harapan yang sama sehingga dapat

digeneralisasikan dengan keamanan dan kesejahteraan bersama. Teori Hegemoni

dapat digunakan sebagai alat analisis untuk mengkaji fenomena gerakan sosial

pekerja hotel tersebut.

Teori Hegemoni dikemukakan oleh Antonio Gramsci yang menjelaskan

bahwa kelas berkuasa memiliki otoritas untuk mengontrol masyarakat. Otoritas

yang dimilikinya sejalan dengan kepemimpinan kelas berkuasa terhadap kelas

yang lebih rendah atau subordinat melalui berbagai konsensus yang dipaksakan

secara tersamar (Barker, 2004:369). Hegemoni diproduksi dan terus dipelihara

melalui penciptaan makna-makna yang merepresentasikan praktik yang dominan

dijalankan oleh kelas berkuasa. Dalam konteks ini, media massa merupakan alat

Page 18: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

32

yang paling efektif untuk menyebarkan makna-makna baru yang ditampilkan dan

diklaim sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari budaya masyarakat.

Kemampuan kelas berkuasa mengakses berbagai sumber daya yang

dibutuhkan untuk mengontrol masyarakat menjadikan kelas berkuasa dapat

membuat aturan-aturan yang sesuai dengan kepentingannya sehingga hegemoni

yang dimilikinya semakin mendapatkan tempat sebagai bagian dari masyarakat

dan tidak dapat dipisahkan atau ditolak. Praktik hegemoni selalu terjadi di

masyarakat, baik dalam konteks global, nasional, maupun lokal karena di

masyarakat selalu memunculkan adanya perbedaan kelas. Dalam melihat kelas

sosial, Gramsci belajar dari Karl Marx yang menjelaskan perbedaan kelas sebagai

akibat perbedaan penguasaan sumber daya material. Namun, Gramsci

menjelaskan bahwa proses hegemonic terjadi bukan hanya didasari oleh

penguasaan sumber daya material, tetapi juga politik, intelektual, dan moral

(Tester, 2003:30). Kelas hegemoni selalu mengklaim tindakannya sebagai upaya

yang ditujukan untuk kebaikan seluruh umat manusia. Logika ilmiah yang

disampaikan oleh kaum intelektual, pemimpin politik, dan kaum moralis dijadikan

klaim sehingga dengan mudah diterima oleh kelas subordinat.

Gramsci mendefinisikan hegemoni sebagai persetujuan spontan yang

diberikan oleh masyarakat luas terhadap tujuan umum tentang kehidupan sosial

yang diintroduksi oleh kelompok yang betul-betul dominan. Suatu kelompok yang

paling dominan adalah kelompok yang sedang berkuasa dalam suatu lembaga.

Dalam menjelaskan kelompok hegemon, Gramsci selalu menempatkan negara

sebagai organ yang dapat menciptakan konsensus-konsensus di masyarakat

Page 19: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

33

melalui seperangkat peraturan perundang-undangan. Artinya, kelompok hegemon

memanfaatkan negara untuk kepentingan kelompoknya sendiri dengan

mengatasnamakan konsensus. Negara sendiri menyadari adanya kelompok

hegemon sehingga negara berusaha mencari jalan tengah dengan mengakomodasi

berbagai kepentingan yang berkembang di masyarakat (Tester, 2003:34).

Hegemoni sendiri merupakan hasil proses hubungan sosial dan politik

antarkelompok masyarakat.

Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa otoritas atau kekuasaan di

masyarakat bukan hanya bersumber dari pemerintah. Kekuasaan juga tampak dari

saluran ekonomi, politik, tradisi, dan ideologi. Kekuasaan melalui saluran

ekonomi dilakukan dengan menguasai sumber daya-sumber daya ekonomi

sehingga masyarakat yang tidak memiliki cukup sumber daya ekonomi terpaksa

harus mengikuti perintah penguasa. Kekuasaan melalui politik tampak dari

berbagai peraturan yang dibuat oleh pemerintah yang harus ditaati oleh

masyarakat. Kekuasaan tradisi dilakukan dengan cara menyesuaikan sikap atau

tindakan penguasa berdasarkan pada tradisi sehingga kekuasaannya diterima

sebagai sesuatu yang benar adanya. Selanjutnya, kekuasaan melalui ideologi

disalurkan dengan cara menjelaskan serangkaian ajaran-ajaran ataupun doktrin-

doktrin yang dimaksudkan untuk menerangkan dan memberikan dasar

pembenaran bagi pelaksanaan kekuasaan (Soekanto, 2005:273).

Dalam teori Sosiologi Konflik Kontemporer, pendapat Gramsci di atas

dikategorikan dalam mazhab sosiologi konflik eklektik, yakni mengkaji konflik

melalui beberapa pendekatan yang bisa disatukan secara pragmatis seperti

Page 20: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

34

pendekatan sosiologi konflik kritis dan humanis. Dalam mazhab ini, wacana dan

dominasi kekuasaan menjadi tema sentral dalam membahas beragam

permasalahan. Gramsci menyebut istilah hegemoni untuk melihat proses

menguasai publik oleh negara. Di samping itu, menurut Gramsci negara selalu

melakukan proses hegemoni. Melalui program kultural dan moral, negara selalu

tampil (seolah) sebagai institusi yang secara terus menerus memperjuangkan

kepentingan masyarakat (Susan, 2009:78).

Apabila dihubungkan dengan tema penelitian ini, negara menjadi lembaga

yang memproduksi hukum dan peraturan-peraturan ketenagakerjaan yang harus

dipatuhi berbagai pihak, baik oleh organisasi pekerja maupun pihak pengusaha.

Sementara itu, wacana kebersamaan, keharmonisan, dan kemananan demi

kemaslahatan bersama merupakan realitas yang mau tidak mau harus diterima,

khususnya oleh pihak organisasi pekerja perhotelan dengan menimbang bahwa hal

itu merupakan pilihan yang terbaik jika dibandingkan dengan pilihan lainnya yang

dianggap merugikan, seperti sikap menolak dengan aksi demonstrasi.

Dalam perspektif ini, apa pun alasannya, gerakan sosial pekerja hotel di

Kabupaten Badung telah terhegomoni oleh negara, yakni dengan munculnya

kesadaran gerakan sosial pekerja hotel tersebut untuk secara sadar mendukung

kebijakan atau program pemerintah dalam hal keamanan, investasi, dan demi

meningkatkan kunjungan wisatawan ke Bali. Sekalipun kebijakan tersebut tidak

serta merta dapat menaikkan taraf hidup pekerja hotel yang tergabung dalam

berbagai Serikat Pekerja Pariwisata di Kabupaten Badung.

Page 21: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

35

Teori Hegemoni Gramsci ini dapat dijadikan alat analisis untuk membedah

bentuk gerakan sosial pekerja hotel di Kabupaten Badung sejak adanya gerakan

sosial dan organisasinya sampai sekarang. Dinamika gerakan sosial pekerja hotel

di kabupaten Badung tidak dapat dilepaskan dari organisasi yang menaunginya.

Organisasi pekerja hotel di Kabupaten Badung yang terhimpun dalam SPSI Unit

Pariwisata Badung merupakan perpanjangan tangan (baca kekuasaan) dari

pemerintah yang memproyeksikan simbol dan kepentingan negara. Dalam konteks

ini, teori Hegemoni Gramsci menjadi pisau analisis yang tepat untuk membedah

dan mengurai bentuk dan dinamika gerakan sosial pekerja hotel di Kabupaten

Badung.

2.3.2 Teori Dekonstruksi

Teori dekonstruksi (deconstruction) merupakan suatu metode analisis

yang dikembangkan oleh Jaques Derrida dengan membongkar struktur dari

kode-kode bahasa, khususnya struktur oposisi pasangan (biner opposition)

sehingga menciptakan suatu permainan tanda yang tanpa akhir dan tanpa makna

akhir (Piliang, 2004:16). Menurut Barbara Johnson (dalam Al-Fayyadl, 2006:80),

dekonstruksi adalah strategi mengurai teks. Istilah dekonstruksi sering

diidentikkan dengan destruksi (destruction), padahal istilah dekonstruksi

sebenarnya lebih dekat dengan pengertian etimologis kata analisis yang berarti

‘mengurai, melepaskan, membuka’ (to undo) daripada pengertian destruction

(merusak, menghancurkan). Kedekatan etimologis ini menunjukkan bahwa

dekonstruksi lebih dimaksudkan sebagai strategi mengurai struktur dan medan

Page 22: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

36

pemaknaan dalam teks daripada operasi yang merusak teks itu sendiri. Oleh

karena itu, jika sebuah teks didekonstruksi, yang dihancurkan bukanlah makna,

tetapi klaim bahwa satu bentuk pemaknaan terhadap teks lebih benar daripada

pemaknaan lain yang berbeda. Teks yang dimaksudkan di sini adalah segala

fenomena budaya manusia yang dapat diintepretasikan dalam tanda-tanda (teks).

Artinya, teori dekonstruksi ini tidak hanya diterapkan pada dunia sastra dan

filsafat, tetapi lebih jauh lagi dapat dijadikan sebagai alat analisis untuk berbagai

fenomena kehidupan sosial dan budaya.

Pemikiran-pemikiran yang dilontarkan oleh Jack Derrida, Michael

Focoult, Julia Kristeva, Jean Boudrillard, Jack Lacan, dan pemikir-pemikir

postmodern lainnya, pada intinya mereka mempertanyakan kembali paradigma

modernisme yang telah mapan, seperti teori Strukturalisme Bahasa (Ferninand De

Saussure dan Pierce) dan Strukturalisme Masyarakat (Levy’s Strauss). Oposisi

biner sebagai tolok ukur pemikiran modern dianggap kaum postmodern sebagai

sesuatu yang tidak lagi relevan karena cenderung menyederhanakan segala

persoalan dan tidak menjawab permasalahan. Oposisi biner, yakni dalam bahasa

dapat dicontohkan, seperti hitam-putih, baik-buruk, manis-pahit, pria-wanita,

langit-bumi, dan sebagainya yang bersifat oposisi. Dari contoh tersebut dapat

dilihat makna yang merendahkan, seperti wanita lebih rendah dari pria, putih lebih

suci daripada hitam, manis lebih enak daripada pahit, dan langit lebih tinggi

daripada bumi. Dengan demikian tampak bahwa opisisi biner berorientasi

merendahkan, hegemonik, kolonial, otoriter, monointepretasi, dan logosentrik

(kebenaran tunggal) tanpa alternatif pemikiran lain.

Page 23: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

37

Kaum posmonian, khususnya Derrida dalam hal ini, mendekonstruksi

oposisi biner tersebut melalui teori jejak, yakni tidak ada sesuatu yang stabil,

seperti: hitam-putih, baik buruk, pria wanita, dan sebagainya. Semua fenomena

tersebut dapat ditelesuri asal-usulnya melalui teori jejak karena sesuatu tidak

terjadi begitu saja, tetapi ada proses dan latar belakangnya. Seperti warna hitam

bisa diurai melalui proses gradasi jejak warna dari putih menuju hitam dengan

melewati warna-warna sebelum hitam, seperti abu-abu terang-buram-tua-dan

gelap, atau yang disebut hitam. Tokoh postmodernisme dalam bidang sastra, Julia

Kristeva, melontarkan hal yang senada dengan teori Jejak, yakni teori Interteks.

Dalam hal ini diandaikan jika fenomena budaya merupakan teks (dalam semiotik),

maka fenomena tersebut merupakan jalinan dari beragam teks yang

membentuknya. Dengan demikian, oposisi biner yang menandai supremasi

kebudayaan modern tidak lagi mapan menguasi keilmuan karena telah digantikan

dengan teori-teori postmodernisme, sekalipun teori-teori postmodernisme sendiri

belum sepenuhnya diadopsi oleh para ilmuwan.

Teori dekonstruksi dapat digunakan dalam penelitian ini untuk menelusuri

peran, struktur, dan formasi gerakan sosial pekerja hotel pasca reformasi (sejak

tahun 2005). Dengan menerapkan teori Dekonstruksi akan dianalisis terjadinya

dekonstruksi struktur budaya (kebiasaan) dan perilaku aksi pekerja hotel di

Kabupaten Badung dari aksi protes yang agresif, agitatif, dan represif menjadi

aksi protes yang damai, win-win solution, dan mengutamakan kepentingan

bersama di atas kepentingan pribadi dan kelompok.

Page 24: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

38

Dalam hal ini, teori Dekonstruksi dapat dioperasikan untuk menganalisis

proses pergeseran ideologis ciri gerakan sosial lama (yang cenderung keras) ke

ciri gerakan sosial baru pekerja hotel yang cenderung halus dan damai. Melalui

rekam jejak gerakan sosial pekerja hotel di kabupaten Badung sebelum dan

setelah tahun 2005, maka dapat dilihat fenomena sosial budaya yang pernah

terjadi terkait dengan perubahan dan pergeseran gerakan sosial pekerja hotel dari

gerakan sosial lama ke ciri gerakan sosial baru.

2.3.3 Teori Tindakan Komunikatif J. Habermas

Jurgen Habermas adalah salah seorang generasi pembaharu teori Kritis

Mazhab Frankfurt yang bukan saja mengatasi kebuntuan teoretis pendahulunya,

tetapi juga berhasil menyegarkan kembali program teori kritisnya. Berkaitan

dengan perkembangan ilmu pengetahuan, ia merefleksikan dan menawarkan

pemikiran tentang epistemologi. Apa yang ia tawarkan adalah bahwa

perkembangan ilmu pengetahuan selalu diletakkan dalam konteks perkembangan

masyarakat karena di balik perkembangan ilmu pengetahuan, terdapat ideologi

yang menyertainya.

Pertama, ilmu empiris analitis atau ilmu pengetahuan instrumental

(instrumental knowledge). Dalam konteks ini, Habermas hendak memperlihatkan

bahwa setiap perkembangan ilmu pengetahuan akan membawa kepentingan

ideologis tertentu, yakni kepentingan penguasaan. Penemuan-penemuan dalam

berbagai bidang ilmu alam dan teknologi adalah gambaran nyata dari proses

tersebut. Perkembangan teknologi bukan saja memudahkan hidup manusia dalam

Page 25: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

39

banyak hal, tetapi sekaligus memerangkapkan manusia ke dalamnya. Manusia

kemudian menempatkan ilmu dan teknologi sebagai alat untuk penguasaan dan

eksploitasi. Demikian halnya dalam ilmu-ilmu sosial juga tidak lolos dari

perangkap ini. Sebagai contoh, ilmu-ilmu sosial yang melihat bangsa-bangsa

primitif dipakai untuk kepentingan kolonisasi dan seterusnya.

Kedua, ilmu pengetahuan hermeneutic (hermeneutic knowledge). Ilmu

pengetahuan hermeneutic adalah pandangan yang menempatkan ilmu sebagai alat

untuk melihat kenyataan sebagaimana adanya. Ia bertitik tolak dari perkembangan

ilmu-ilmu positif sebagai alat untuk meneropong kenyataan dengan pendekatan,

objek, dan metode yang spesifik. Dalam konteks ini, Habermas mencoba

memperlihatkan soal netralitas dan kebebasnilaian ilmu atas objek yang

diamatinya. Dengan kata lain, Habermas juga ingin memperlihatkan soal

ketidakberpihakan ilmu terhadap perkembangan masyarakat dalam konteks

sejarah tertentu. Dalam konteks ilmu sosial, ia juga mengkritik atas penggunaan

pendekatan ilmu-ilmu alam (positivisme) untuk melihat persoalan masyarakat.

Ketiga, ilmu kritis atau ilmu pengetahuan emansipatoris (emancipatory

knowledge). Dalam konteks ini, Habermas menawarkan sebuah harapan tentang

kebuntuan dan frustasi yang dialami atas perkembangan ilmu sosial pada waktu

itu. Di tangan Habermas, ilmu sosial kini mendapatkan jalan terang dari rasa

kebuntuan. Menurut Habermas, problem kebenaran pada ilmu sosial bukan

terletak pada kepastian, tetapi pada kesepakatan yang dicapai melalui diskursus.

Oleh karena itu, riset-riset yang dilakukan untuk pengembangan ilmu sosial

bukanlah sebuah aktivitas yang sepi dan tersembunyi, melainkan suatu tindakan

Page 26: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

40

komunikasi yang melibatkan banyak orang. Pada dasarnya, perkembangan

ataupun fungsi ilmu pengetahuan membutuhkan ruang publik bersama yang

memungkinkan orang untuk berpartisipasi (Hardiman, 1993:8-10; Sumartono,

http://fpbn3.blogspot.com/2008).

Terkait dengan ilmu pengetahuan emansipatoris di atas, J.Hebermas dalam

teori Tindakan Komunikatif (Communicative Action Theory) menawarkan dua

konsep rasionalitas, yakni rasionalitas instrumental dan rasionalitas komunikatif.

Rasionalitas instrumental merupakan bentuk rasionalitas yang membenarkan

sistem penindasan oleh logika sistem administrasi dan ekonomi kapitalis untuk

mencapai efiensi dan efektivitas sebesar-besarnya demi keuntungan yang bersifat

strategik, sedangkan rasionalitas komunikatif merupakan ruang publik kritis yang

mempunyai potensi untuk mencapai emansipasi melalui komunikasi yang bebas

dominasi dan setara. Ruang publik ini juga merupakan jembatan interaksi antara

penguasa dan masyarakat. Dalam hal ini kekuasaan mencapai legitimasi dan

pengakuan masyarakat serta memahami arah yang diinginkan masyarakat melalui

dialog dalam Ruang Publik (Turner, 2000:157).

Melalui ruang publik ini, manusia melakukan komunikasi secara terbuka

dan setara sebagai basis bagi terciptanya empat klaim, yakni bila terjadi

kesepakatan tentang dunia alamiah dan objektif, maka tercapai klaim kebenaran

(truth), apabila terjadi kesepakatan tentang pelaksanaan norma-norma dalam

dunia sosial, maka tercapai klaim ketepatan (righness), apabila terjadi kesepakatan

tentang kesesuaian antara dunia batiniah dengan ekspresi seseorang, maka

tercapai klaim outentisitas atau kejujuran (sincerity), dan apabila disepakati semua

Page 27: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

41

klaim tersebut, maka tercapai klaim komprehensibelitas (comprehensibility).

Suatu komunikasi yang efektif harus mencapai keempat klaim ini dan orang yang

bisa melaksanakannya disebut memiliki kompetensi komunikatif. Masyarakat

komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan kritik lewat revolusi dengan

kekerasan, melainkan lewat argumentasi (Hardiman, 1993:XXII).

Dalam upaya penyelesaian masalah terkait dengan gerakan sosial pekerja

hotel dapat direduksi dan diatasi dengan suatu tindakan komunikasi intensif

melalui ruang publik (public sphere) yang melibatkan berbagai pihak terkait

(Asean, 1999:115-129). Prinsip-prinsip ruang atau ranah publik melibatkan suatu

diskusi terbuka tentang semua isu yang menjadi keprihatinan umum, dalam hal ini

argumentasi-argumentasi diskursif (bersifat informal, dan tidak ketat diarahkan ke

topik tertentu) digunakan untuk menentukan kepentingan umum bersama. Dengan

demikian, ranah publik mengandaikan adanya kebebasan berbicara dan

berkumpul, pers bebas, dan hak untuk secara bebas berpartisipasi dalam

perdebatan politik dan pengambilan keputusan (Arismunandar, 2008). Adanya

ruang publik (public sphere), yakni komunikasi yang dialogis antara pihak pekerja

hotel melalui wadah serikat pekerja dengan pihak manajemen dapat

mengantisipasi masalah gerakan sosial pekerja hotel. Melalui ruang publik ini,

manusia melakukan komunikasi secara terbuka dan setara sebagai basis bagi

terciptanya kesungguhan (sincerity), kejujuran (truthfulness), dan interaksi yang

intelektual (intelligibility) (Anonim, 2006; http://outstandjing.blogspot.com).

Page 28: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

42

2.3.4 Teori Gerakan Sosial

Banyak faktor yang memicu gerakan sosial di suatu negara. Fenomena

yang umumnya memicu gerakan sosial adalah ketidakpuasan terhadap keadaan

atau status quo yang sedang berlangsung, baik yang berkenaan dengan politik,

sosial, budaya, ekonomi, maupun yang lain. Oleh karena itu, gerakan sosial dalam

suatu negara memiliki kepentingan yang sangat beragam, termasuk berupa

gerakan sosial dengan tujuan untuk mewujudkan suatu perubahan radikal yang

didukung oleh aktor-aktor reformis (James L. Wood, 1982:3).

Paradigma gerakan sosial merupakan perkembangan baru teori Sosial yang

menekankan pada elemen-elemen, baik gerakan sosial makro-historis maupun

mikro historis. Oleh karena merupakan bagian dari perkembangan teori sosial,

maka gerakan sosial pada tingkat yang lebih atas sering bersifat ideologis.

Kesamaan ideologi satu gerakan dengan gerakan lain mendorong suatu gerakan

sosial membangun jaringan gerakan dengan gerakan di daerah-daerah lain. Dalam

hal ini FSP Par-SPSI merupakan salah satu contoh adanya kesamaan ideologi

antarserikat pekerja hotel yang kemudian diwujudkan dalam suatu wadah

organisasi pekerja hotel.

Secara teoretis, Sing (dalam Wahyudi, 2005:12) mengemukakan bahwa

studi tentang gerakan sosial terbagi menjadi tiga, yaitu tradisi teori Klasik, tradisi

Neo-klasik, dan gerakan sosial kontemporer. Tradisi klasik melihat suatu gerakan

sosial sebagai suatu kerumunan, kerusuhan, ataupun gerakan pemberontakan.

Tradisi teori Neoklasik menempatkan gerakan sosial sebagai suatu bentuk gerakan

dalam kerangka pemikiran fungsional ataupun konflik kelas dalam dialektika

Page 29: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

43

Marxis. Gerakan sosial kontemporer mengusung isu-isu humanitas, budaya, dan

hal-hal yang bersifat nonmaterialistik. Tujuan gerakannya bersifat universal, yakni

mempertahankan esensi manusia dan mencapai kehidupan yang lebih baik.

Gerakan sosial kontemporer yang mulai muncul pada sekitar tahun 1960

dan 1970 tidak lagi mengusung mobilisasi massa dalam menyampaikan

tuntutannya. Kerumunan massa yang sedang beraksi cenderung melakukan

tindakan-tindakan yang tidak terkontrol karena massa yang berkerumun

mengalami irasionalisasi dan mudah sekali terprovokasi. Akibatnya, aksi gerakan

sosial dengan mobilisasi massa sering kali merugikan semua pihak. Di samping

itu, tindakan kekerasan, perusakan, dan penghancuran sering menjadi bagian dari

aksi gerakan sosial tersebut.

Studi yang telah dilakukan mengenai gerakan hak-hak sipil di kalangan

kulit hitam di Amerika Serikat tahun 1950-an dan 1960-an serta kajian mengenai

berbagai gerakan, seperti gerakan mahasiswa tahun 1960-an dan 1970-an, gerakan

lingkungan hidup, gerakan perdamaian dan gerakan solidaritas ataupun gerakan

perempuan pada tahun 1970-an dan 1980-an, semuanya membawa akibat lahirnya

bermacam-macam pendekatan dan teori tentang gerakan sosial (Fakih, 1997).

Beberapa gerakan sosial yang sering dipilih untuk dijadikan bahan studi atau

kajian antara lain Gerakan Perjuangan Etnis atau Nasionalis di Negara-negara

Bagian (Bekas) Uni Soviet, Gerakan Anti Aparheid di Afrika Selatan, dan

Gerakan Sosial di Negara Dunia Ketiga, baik perjuangan untuk tujuan

peningkatan kondisi hidup maupun terkait pemerataan distribusi sumber daya

ekonomi.

Page 30: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

44

Khusus untuk gerakan sosial yang ada di negara dunia ketiga, sering kali

berkaitan secara tidak langsung dengan pendekatan perubahan sosial yang

dominan (mainstream approach), yaitu suatu perubahan sosial yang direkayasa

oleh negara, melalui sesuatu yang disebut sebagai pembangunan (development).

Pembangunan sering kali dianggap oleh masyarakat sebagai penyebab kemacetan

ekonomi, krisis ekologis, serta berbagai kesengsaraan masyarakat di negara dunia

ketiga. Dan hal ini merupakan perlawanan dan kritik terhadap skenario

modernisasi, yang mengasumsikan dan merancang untuk membawa kemajuan dan

kemakmuran masyarakat di suatu negara dunia ketiga.

Menurut pendapat Bonner (dalam Fakih, 2004), dalam konteks dunia

ketiga, studi tentang gerakan sosial dan transformasi sosial tidak dapat dipisahkan

dari masalah “pembangunan”. Studi tersebut bermaksud untuk mencari alternatif

terhadap gagasan “pembangunan” yang selama dua dasawarsa ini telah menjadi

suatu “agama sekuler baru” bagi berjuta-juta masyarakat di negara dunia ketiga.

Dalam aplikasinya, pembangunan sering dianggap sebagi satu-satunya tujuan bagi

pihak pemerintah di negara tersebut. Pembangunan banyak diterima, baik oleh

kalangan birokrat, akademisi maupun aktivis lembaga swadaya masyarakat tanpa

mempertanyakan landasan ideologi dan diskursusnya. Beberapa pertanyaan yang

perlu menjadi bahan kajian terhadap ide pembangunan bukanlan semata-mata

mengenai soal metodologi, pendekatan, dan pelaksanaan pembangunan itu sendiri,

tetapi secara teoretis justru pembangunan itu sendiri dianggap sebagai gagasan

kontroversial, yaitu perlu dipertanyakan, Apakah pembangunan benar-benar

merupakan jawaban untuk memecahkan masalah bagi berjuta-juta masyarakat di

Page 31: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

45

negara dunia ketiga atau semata-mata hanya sebagai alat menyembunyikan

permasalahan atau penyakit yang sebenarnya lebih mendasar? Banyak pakar ilmu

sosial secara kritis telah meneliti dampak pembangunan dan menganggap bahwa

justru ide pembangunan telah menciptakan kesengsaraan daripada memecahkan

masalah-masalah yang dihadapi oleh berjuta-juta masyarakat di negara dunia

ketiga.

Studi tentang gerakan sosial dapat dibagi menjadi dua pendekatan yang

saling bertentangan. Pendekatan pertama adalah teori yang cenderung melihat

gerakan sosial sebagai suatu “masalah” atau disebut sebagai gejala penyakit

masalah kemasyarakatan. Teori ini berakar dan dipengaruhi oleh teori sosiologi

dominan, yaitu Fungsionalisme atau sering disebut sebagai Fungsionalisme

Struktural. Fungsionalisme melihat masyarakat dan pranata sosial sebagai sistem,

yakni seluruh bagiannya saling tergantung satu sama lain dan bekerja bersama

guna menciptakan keseimbangan. Dalam hal ini “keseimbangan” merupakan

unsur kunci utama dengan menekankan pentingnya kesatuan masyarakat dan

sesuatu yang dimiliki bersama oleh anggotanya. Oleh karena itu, gerakan sosial

dianggap sebagai sesuatu yang “negatif” karena akan dapat menimbulkan konflik

yang dapat mengganggu keharmonisan dalam masyarakat.

Pendekatan kedua adalah teori-teori ilmu sosial yang justru melihat

gerakan sosial sebagai “fenomena positif” atau sebagai sarana konstruktif bagi

perubahan sosial. Pendekatan ini merupakan alternatif terhadap fungsionalisme

yang dikenal dengan “teori Konflik”. Teori Konflik pada dasarnya mengunakan

tiga asumsi dasar, yaitu (1) rakyat dianggap sebagai sejumlah kepentingan dasar

Page 32: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

46

sehingga mereka akan berusaha secara keras untuk memenuhinya; (2) kekuasaan

adalah inti struktur sosial sehingga melahirkan perjuangan untuk

mendapatkannya; dan (3) nilai dan gagasan adalah senjata konflik yang digunakan

oleh berbagai kelompok untuk mencapai tujuan masing-masing daripada sebagai

alat untuk mempertahankan identitas dan menyatukan tujuan masyarakat. Teori

Konflik berakar dari paham Marxisme Tradisional yang menyatakan bahwa

revolusi adalah suatu kebutuhan yang disebabkan oleh memburuknya hubungan

produksi yang memunculkan masa krisis ekonomi, depresi, dan kehancuran.

Marxisme tradisional tersebut banyak mendapatkan kritik dari generasi Marxisme

baru, khususnya terhadap pendekatannya yang bersifat mekanistik.

Generasi Marxisme Baru (dipengaruhi oleh pemikiran Antonio Gramsci

1891-1937) yang menyatakan bahwa peran manusia sebagai agen, termasuk

ideologi, kesadaran kritis dan pendidikan, dalam mentransformasikan krisis

ekonomi menjadi krisis umum. Mereka menolak bahwa perekonomian adalah

sesuatu yang esensial dan faktor penentu bagi perubahan sosial, di samping

menolak gagasan determinisme historis yang mengagungkan manusia sebagai

faktor penting di antara banyak faktor lainnya yang saling tergantung secara

dialektis. Mereka mengajukan argumen bahwa gerakan sosial yang terjadi pada

tahun 1970-an dan 1980-an yang sama sekali tidak menekankan ke arah gerakan

perjuangan kelas, seperti yang didefinisikan oleh penganut Marxisme Tradisional.

Gerakan spiritual, gerakan fenimisme, gerakan hak asasi manusia dan hak-hak

sipil, gerakan antiperang dan antinuklir, gerakan sosial berbasis komunitas dan

gerakan pecinta lingkungan, serta gerakan lembaga swadaya masyarakat

Page 33: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

47

merupakan gerakan yang tidak berkaitan secara langsung dengan perjuangan kelas

dari kelas buruh.

Individu dalam gerakan sosial baru dapat berpartisipasi secara langsung

sekalipun dia bukan bagian dari organisasi. Hal ini sangat memungkinkan karena

bentuk organisasinya yang desentralisasi, egaliter, partisipatoris, dan ikatan

gerakan sosialnya yang fleksibel. Bentuk organisasi itu bertolak belakang dengan

gerakan sosial lama yang hierarkis, bertingkat, nonpartisipasif, dan formal.

Berkenaan dengan gerakan sosial pekerja di Indonesia pada umumnya dan

khususnya gerakan sosial pekerja hotel di kabupaten Badung pada khususnya,

yakni dapat dikaji ke dalam kedua teori gerakan sosial tersebut, yakni teori

gerakan sosial lama dan teori gerakan sosial baru. Dikategorikan ke dalam teori

gerakan sosial lama karena gerakan sosial yang diwujudkan dalam gerakan protes

para pekerja di Indonesia belum dapat dikatakan lepas dari hal-hal yang bersifat

materialistik. Atau dengan kata lain, gerakan sosial masih berorientasi pada sektor

ekonomi, seperti besaran gaji dan tunjangan bagi pekerja. Sementara itu, di sisi

lain, gerakan sosial pekerja hotel juga termasuk dalam kategori gerakan sosial

baru. Mengingat adanya sektor lain, selain sektor ekonomi, menjadi ideologi yang

juga diperjuangkan pekerja, seperti kesetaraan, kebudayaan lokal, isu lingkungan,

dan kehormatan sebagai manusia.

Ciri lain yang dapat diidentifikasi pada gerakan sosial baru adalah

pemanfaatan teknologi komunikasi dan internet. Kecanggihan dunia komunikasi

dan internet menjadi media bagi pekerja hotel untuk mengomunikasikan rencana,

strategi, ide, dan isu gerakan mereka pada saat itu juga (real time). Dalam hal ini

Page 34: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

48

menggerakkan massa dengan cara-cara konvensional dinilai sudah tidak efektif

dan efisien karena membutuhkan waktu, tempat, kerumunan massa, biaya, dan

dampak yang dapat ditimbulkan terhadap orang lain dan lingkungan sekitarnya.

Dengan memanfaatkan teknologi canggih, proses komunikasi dapat

dilakukan dalam ruang maya yang mahaluas, yang dapat diakses oleh pekerja di

seluruh dunia sehingga gerakan sosial buruh atau pekerja menjadi lebih tidak

terbatas karena tidak terikat oleh waktu, tempat, dan ranah sosial budaya

setempat. Kemajuan teknologi informasi dewasa ini telah menjadi sarana yang

efektif untuk menunjang gerakan sosial baru kaum buruh.

Gerakan sosial pekerja hotel d Kabupaten Badung pasca-2005 akan

dibedah dengan teori Gerakan Sosial Baru (GSB) atau New Social movement

(NSM). Menurut Touraine (1994:5), GSB adalah gerakan sejumlah warga

masyarakat yang secara budaya terlibat dalam konflik sosial, yakni tujuan dan

strateginya memiliki pertalian sosial dan rasionalitas sendiri. Lebih lanjut, ia

menjelaskan tiga hal pokok yang tercakup dalam GSB: (1) disebut baru karena

secara kualitatif berbeda dengan gerakan sosial lama, seperti organisasi buruh dan

petani, terutama yang menaruh perhatian pada keadilan ekonomi dan sosial

politik; (2) gerakan ini berkait erat dengan isu sosial; dan (3) gerakan ini terdiri

atas kelompok-kelompok perorangan tetapi membentuk unsur gerakan yang lebih

besar (Tauraine, 1994:11).

Selanjutnya, Larana dkk. mengidentifikasi ciri-ciri GSB sebagai berikut:

(1) mentransendensikan struktur kelas; (2) memperlihatkan kemajemukan gagasan

dan nilai-nilai; (3) memfokuskan pada isu-isu budaya dan simbolik yang lebih

Page 35: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

49

terkait dengan identitas daripada ekonomi; (4) hubungan antara individu dan

ekonomi kabur; (5) melibatkan segi-segi pribadi dan keakraban kehidupan

manusiawi; (6) mengandalkan semangat antikekerasan dan pembangkangan sipil;

(7) berkaitan dengan adanya krisis kredibilitas dan ruang partisipasi; (8)

cenderung tersegmentasi, kabur, dan terdesentralisasikan (Larana, 1994:9).

Gerakan sosial baru bukan hanya membahas perjuangan kelas demi

peningkatan kesejahteraan ekonomi buruh/pekerja, tetapi telah memberikan

alternatif atas pemecahan berbagai masalah sosial sebagaimana slogan “there are

many alternatives” (Pulungan dkk., 2005:IX). Gerakan sosial baru sebagai cara

baru memahami dunia dan menentang aturan kultural dominasi berdasarkan

alasan simbolik; juga sebagai penciptaan identitas baru yang berisikan tuntutan

yang tidak bisa dinegosiasikan. Gerakan sosial baru sebagai artikulasi sosial baru

yang mengkristalkan pengalaman dan persoalan baru yang dialami dan dihadapi

bersama sebagaimana akibat disintegrasi umum pengalaman berbasis ekonomi

(Outhwaite, 2008:785).

Gerakan sosial pekerja hotel Kabupaten Badung lebih condong bercirikan

gerakan sosial baru karena para pelakunya menjunjung tinggi slogan “zero

demonstration“ dan mengubah arah perjuangannya yang semula mengandalkan

kekuatan massa menjadi gerakan sosial yang dilakukan dengan cara damai,

santun, dan mengutamakan proses negosiasi. Melalui lembaga bipartet yang

diwakili oleh perwakilan serikat pekerja dan pihak manajemen, permasalahan dan

kepentingan pekerja berupaya dinegosiasikan agar hak-hak dan kesejahteraan

pekerja dapat diperhatikan.

Page 36: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

50

2.4 Model Penelitian

Model berguna untuk membantu menyederhanakan proses penelitian yang

rumit. Model merupakan konseptualisasi sistemik yang menyederhanakan unsur-

unsur yang saling terkait dalam bentuk skema (Black dan Champion, 1999:60).

Model pada penelitian ini seperti tampak pada skema berikut.

Bagan 1

Model Penelitian Gerakan Sosial Pekerja Hotel di Kabupaten Badung

pasca-2005

Model penelitian dapat digunakan untuk memberikan penjelasan agar

mudah dipahami oleh pengguna karena berfungsi sebagai pemandu. Oleh karena

Manajemen Hotel Berbintang

Kabupaten Badung

Pekerja/Serikat Pekerja (SP) Hotel Berbintang

Kabupaten Badung

Kebijakan Manajemen Efisiensi

Perusahaan (PHK, UMR, mutasi staf/karyawan dsb)

Penguatan SP lokal Penguatan Jejaring SP Tuntutan peningkatan

kesejahteraan pekerja Aktulisasi diri SP lokal

sebagai bagian dari gerakan sosial baru

Gerakan Sosial

Pekerja Hotel di

Kabupaten Badung

pasca-2005

Bentuk gerakan sosial pekerja hotel

di Kabupaten Badung pasca-2005

Faktor penyebab gerakan sosial pekerja

hotel di Kabupaten Badung pasca-2005

Dampak dan makna gerakan sosial pekerja

hotel di Kabupaten Badung pasca-2005

Page 37: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

51

itu, dalam mengembangkan model kajian sebagaimana bagan di atas, maka dapat

dijelaskan sebagai berikut.

1) Manajemen hotel sebagai penyedia lapangan kerja padat karya di Badung

dalam melaksanakan usahanya memerlukan pekerja. Pekerja yang bekerja di

hotel tersebut memiliki satu organisasi pekerja yang disebut serikat pekerja

pariwisata. Manajemen dan serikat pekerja pariwisata memiliki

ketergantungan antara dengan yang lainnya.

2) Manajemen sebagai pelaksana usaha memiliki aturan atau kebijakan yang

pada dasarnya bertujuan agar usahanya dapat terus eksis, berkualitas, dan bisa

mengembangkang usahanya. Serikat pekerja pariwisata sebagai wadah dari

pekerja hotel juga memiliki kepentingan untuk dapat lebih menyejahterakan,

meningkatkan kualitas SDM, di samping memperkuat jejaringnya dengan

serikat pekerja pusat ataupun yang lainnya.

3) Dalam menjalankan perannya pekerja selalu terikat dengan manajemen hotel

dan serikat pekerja pariwisata sebagai organisasi yang menjadi pengayom

pekerja hotel.

4) Sebagai pekerja yang melayani jasa di bidang perhotelan, mereka selalu

dipengaruhi manajemen hotel yang mengeluarkan kebijakan, menentukan

bagaimana melakukan efisiensi perusahaan, dan menerapkan sistem

outsourcing . Apabila terjadi perubahan kebijakan manajemen yang tidak

sesuai dengan harapan pekerja yang menimbulkan kesenjangan sosial dan

ketergantungan ekonomi dengan manajemen, maka pekerja dengan latar

belakang pendidikan yang semakin meningkat akan memperkuat jejaringnya

Page 38: pemertahanan tradisi ruwatan dalam era

52

dengan serikat pekerja pusat dan sesamanya sehingga secara perlahan akan

terjadi gerakan sosial pekerja hotel.

5) Dari keseluruhan aktivitas 1 sampai dengan 4 di atas, maka pihak hotel dan

serikat pekerja harus merespons dan mampu menjawab beberapa persoalan

yang terkait dengan bentuk gerakan sosial pekerja hotel di Kabupaten

Badung pasca-2005, faktor penyebab gerakan sosial pekerja hotel di

Kabupaten Badung pasca-2005, serta dampak dan makna gerakan sosial

pekerja hotel di Kabupaten Badung pasca-2005 .

6) Dari aktivitas 1, 2, dan 4 dilakukan kajian kritis dengan menggunakan teori

Hegemoni, teori Dekonstruksi , teori Tindakan Komunikatif J. Habermas,

dan teori Gerakan Sosial. Selanjutnya, diungkapkan temuan terkait dengan

hasil penelitian yang diperoleh.