Upload
others
View
17
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347 Al-I’jaz : Volume 3, No 1, Juni 2021 | 59
PEMIKIRAN ETIKA SUFISTIK AL-GHAZALI:
LANGKAH-LANGKAH MEMODERASI AKHLAK
Umar Faruq Tohir
Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo
Email: [email protected]
Abstrak
Pemikiran etik-sufistik al Ghazali bisa ditafsirkan dalam kerangka
moderasi akhlak berbasis agama di Indonesia yang majmuk. Untuk membangun
atau men-set up moderasi yang tepat dan lugas di bumi Indonesia atau di tubuh
muslim Indonesia. Pendekatan etika sufistik al Ghazali bsa menjadi opsi yang
adekuat. Untuk melihat atau memantau lanskap pemikiran etis al Ghazali ini bisa
disusur dari biografinya, dari corak pemikirannya yang kontradiktif dengan
pemikiran-pemikiran ilmiahnya sendiri. Menurut al-Ghazali, akhlak bukanlah
pengetahuan (marifah) semata tentang baik dan jahat maupun qudrat untuk baik
dan buruk. Akhlak bukan pula pengalaman (fi’l) yang baik dan jelek, melainkan
suatu keadaan jiwa yang mantap (hay’ah râsikhah fî al-nafs). Ia mendefinisikan
akhlak sebagai suatu kemantapan jiwa yang menghasilkan perbuatan atau
pengamalan dengan mudah, tanpa harus direnungkan dan disengaja. Ini artinya
aklak bersifat spontan. Lalu arah pemikirannya menerobos menjadi evolusi
pemikiran al Ghzali. Ada empat kelompok aliran Islam yang menjadi sasaran kritik
al-Ghazali pada saat itu, yaitu: kelompok teolog Islam, filosof, aliran Syi'ah
Bathiniyah, dan kelompok sufisme. Perlu juga dipahami secara mendalam konsep
etika al Ghzali. Poros etika al Ghazali di antarannya terletak pada konsep
keseimbangan dan langkah-langkah peningktan akhlak. Sesuai dengan inti
persoalan, al-Ghazali menamakan etikanya ilmu menuju akhirat (‘ilm tharîq al-
akhîrah) atau jalan yang dilalui para nabi dan leluhur saleh (al-salaf al-shâlih). Ia
juga menamakannya ilmu pengamalan agama (‘ilm al-mu’âmalah), Sebagai
tambahan pemahaman adalah pengertian tentang induk ahlak buruk manusia,
metode mendapatkan akhlak baik bagi manusia. Di dalamnya upaya atau strategi
peningkatan akhlak manusia. Etika al-Ghazali bersifat religius-sufi. Dengan
demikian simpulan pendapatnya, etika ialah pengkajian tentang keyakinan religius
tertentu (i’tiqâdât), dan tentang kebenaran atau kesalahan dalam amal untuk
diamalkan, dan bukan demi pengetahuan belaka.
Kata Kunci: al Ghazali, etika, pengetahuan, moderasi
A. Pendahuluan
Berbicara tentang etika dalam Islam tentunya tidak dapat lepas dari ilmu
akhlak sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan agama Islam. Meski etika
seringkali dianggap sama dengan akhlak karena keduanya membahas masalah baik-
buruknya tingkah laku manusia, namun sejatinya, keduanya berbeda, akhlak lebih
Umar Faruq Thohir
60 | Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021 p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347
dekat dengan tingkah laku (budi pekerti) yang cenderung aplikatif, sedangkan etika
merupakan landasan filosofinya.1
Setiap perbuatan yang didasarkan oleh kehendak disebut "tingkah laku,"
seperti kata benar atau dusta. Tingkah laku manusia mempunyai dasar-dasar yang
timbul dari jiwa, seperti insting dan kebiasaan. Pancaindra manusia tidak dapat
melihat pada dasar-dasar jiwa ini, tetapi dapat melihat pada bekas-bekasnya, yaitu
tingkah laku.2
Dalam Islam, etika berpihak pada teori yang bersifat fitri. Artinya, semua
manusia pada hakikatnya (muslim atau bukan) memiliki pengetahuan fitrî tentang
baik dan buruk. Di sinilah letak bertemunya filsafat Islam dengan pandangan
filsafat Yunani era Socrates dan Plato, serta Kant dari masa modern. Tampaknya,
para pemikir Islam dari berbagai pendekatan sama sepakat mengenai hal ini.
Namun, sebagian di antaranya, yakni kaum Mu'tazilah (kaum teolog rasional) dan
para filososof pada umumnya percaya bahwa manusia-manusia yang qualified,
mampu memperoleh pengetahuan tentang etika yang benar melalui pemikiran
rasional mereka. Sementara kaum Asy'ariyah (teolog tradisional), ulama fiqh, dan
kaum mistikus (sufi) lebih menekankan pada peran wahyu sebagai sarana untuk
mencapai pengetahuan etik manusia.3.
Dalam sejarah perkembangan etika Islam, dapat ditemukan beberapa tokoh
yang membahas tentang etika dan problematikanya, diantaranya Abu Nasr al-
Farabi (w. 339 H), Ibnu Miskawih (w. 421 H), Ibnu Sina (w. 428 H), Al Mawardi
dan al-Ghazali (w. 505 H/ 1111 M). Namun, demi alasan efisiensi dan kajian yang
lebih fokus, maka dalam makalah ini hanya akan dibahas tentang pemikiran etika
al-Ghazali saja.
Teori etika yang diajarkan al-Ghazali adalah hasil dari tahun-tahun akhir
kehidupannya, ketika dia sedang menjalani kehidupan mistik dan asketik.4 Pada
1 Oleh karena itulah, Etika dalam beberapa literatur Islam disebut sebagai falsafah akhlâqiyyah.
Lihat Ahmad Mahmud Shubhi, al-Falsafah al-Akhlâqiyyah fî al-Fikr al-Islâmî (Mesir: Dâr al-
Ma'ârîf, 1969), hlm. 13; Mansur Ali Rajb, Ta'ammulât fîFalsafah al-Akhlâq (Mesir: Maktbah al-
Anjilu al-Mishriyyah, 1961), hlm. 19. 2 Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm. 6. 3 Haidar Bagir, "Etika "Barat", Etika Islam", dalam M. Amin Abdullah, Antara al-Ghazali dan
Kant: Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 19. 4 Muhammad Abul Quasem dan Ahmad Kamil, Etika Al-Ghazali; Etika Majemuk did alam Islam,
(Bandung: PT. Penerbit Pustaka, 1988), hlm. 16.
Pemikiran Etika....
p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347 Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021| 61
kondisi itu, dia memiliki kondisi kesadaran dan sikap yang terarah kepada
kehidupan dan dunia yang sama sekali berbeda dengan yang dijalani sebelumnya.
Perhatian utama kehidupan dan pemikirannya selama periode sufi adalah
kesejahteraan manusia di akhirat. Perhatian ini menentukan aneka ragam aspek dari
teori moralnya. Hal ini membuat etika al-Ghazali murni bercorak religius dan
mistik.5
Berdasarkan realitas tersebut, muncul pertanyaan siapa sebenarnya al-
Ghazali itu? Bagaimana evolusi pemikirannya? Benarkah etika al-Ghazali bercorak
religius mistik? Bukankah karya-karyanya banyak yang berbau filsafat (rasional)?
Menyadari hal itu semua, maka makalah ini akan ditulis untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut.
B. Biografi al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad ibn Ahmad al-Ghazali
al-Thusi. Beliau lahir pada tahun 450/1058 di Thus6, dekat Meshhed di Khurasan.
Pada masa lampau kawasan itu merupakan lokasi kemaharajaan Persia yang oleh
pemerintahan Abbasiyyah dijadikan sebagai tempat propaganda. Di tempat ini
dibangun kerajaan mereka pada abad 8 M. Sejak itu dan seterusnya, tempat ini
menjadi menarik perhatian sejumlah pengajar, penulis agama, dan khususnya
menelorkan tokoh-tokoh penyair.
Ayahnya adalah seorang pengrajin yang bekerja memintal wol, dan hasilnya
dijual sendiri di tokonya di Thus.7 Dengan kehidupannya yang sederhana, ayahnya
menggemari kehidupan sufi, sehingga ketika dia sudah merasa ajalnya segera tiba,
dia berwasiat kepada seorang sufi, teman karibnya untuk mengasuh dua orang
anaknya yang masih kecil-kecil, yaitu Muhammad dan Ahmad dengan sedikit bekal
warisan yang ditinggalkannya. Sufi itu pun menerima wasiatnya. Setelah harta
warisan tersebut habis, sufi yang hidup dalam keadaan faqir tersebut tidak mampu
5 Ibid., hlm. 22. 6 Thus sendiri merupakan kota yang lebih besar, dengan gedung yang tertata dan populasi
penduduk yang padat dibanding dengan dua kota lain (Thabaristan dan Nawqan) tempat ini
terkenal dengan pemandangan pepohonan nan subur serta kandungan mineral yang tersimpan di
dekat pegunungan yang mengitarinya. Lihat Margareth Smith, Pemikiran dan Doktrin Mistis
Imam al-Ghazali, (Jakarta: Riora Cipta 2000), hlm. 1 7 Karena pekerjaan ayahnya itulah dia disebut “al-Ghazali” (pemintal wol). Lihat Musthafa
Jawwad, Abu Hamid al-Ghazali fi al-dzikra al-Miawiyyat al-Tasiat li Miladih, (Kairo: al-Majlis
al-Ala li riayat al Funun wa al-Adab wa al-Ulum al-Ijtimaiyyah, 1962), hlm. 495-496.
Umar Faruq Thohir
62 | Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021 p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347
lagi memberinya tambahan. Maka al-Ghazali dan adiknya diserahkan ke sebuah
madrasah di Thus untuk bisa memperoleh makan dan pendidikan. Di sinilah awal
mula perkembangan intelektual dan spiritual al-Ghazali yang penuh arti sampai
akhir hayatnya.8 Namun dalam perkembangan tersebut situasi kultural dan
struktural pada masa hidupnya juga berpengaruh besar.
Sampai usia dua puluh tahun, al-Ghazali tetap tinggal dan belajar di kota
kelahirannya, Thus. Dia belajar ilmu fiqih secara mendalam dari Ahmad bin al-
Rizkani.9 Selain itu, ia belajar ilmu tasawuf dari Yusuf al-Nassaj, seorang sufi yang
terkenal pada masa itu.10 Kedua ilmu ini sangat terkesan di hati al-Ghazali dan ia
bertekad untuk lebih mendalami lagi di kota-kota lain. Pada tahun 470 H al-Ghazali
pindah ke kota Jurjan untuk melanjutkan pelajarannya, dan di sana ia belajar pada
Imam Abi Nashr al-Ismaili.11 Di Jurjan ia tidak hanya mendapatkan pelajaran
tentang dasar-dasar agama Islam sebagaimana yang diterima di kota Thus, tetapi ia
juga mendalami pelajaran bahasa Arab dan bahasa Persia. Nampaknya ia tidak puas
dengan pelajaran yang diterimanya di kota Jurjan, karena itu ia pulang kembali ke
Thus selama tiga tahun.12
Pada tahun 471 H ia kembali pergi ke Jurjan, kemudian ke Naisabur, pada
saat Imam Haramain (al-Juwaini) menjabat sebagai kepala Madrasah Nidzamiyyah.
Di bawah asuhan al-Juwaini ini, al-Ghazali mempelajari ilmu fiqih, ushul, manthiq,
dan kalam, hingga kematian memisahkan keduanya ketika al-Juwaini meninggal
dunia pada tahun 478 H. Al-Ghazali keluar dari Naisabur menuju ke Muaskar dan
ia menetap di sana sampai diangkat menjadi tenaga pengajar di Madrasah
Nidzamiyyah di Baghdad pada tahun 484 H. Di tempat ini, al-Ghazali mencapai
puncak prestigious dalam karir keilmuannya, sehingga kuliahnya dihadiri oleh tiga
ratus ulama terkemuka.13 Menurut komentator al-Ghazali yang bernama Zubaidi
menjelaskan bahwa al-Ghazali mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dari Imam
8 Al- Subki, Thabaqat al-Syafiiyyat al-Kubra, (Mesir: Isa al-Babi al-Harabi, tt.), Juz VI, hlm. 191. 9 Mahmud Qasim, Dirasah fi Falsafah al-Islamiyyah, (Kairo: Dar al-Maarif, 1997), hlm. 38 10 Sulaiman Dunia, al-Haqiqah fi Nazhr al-Ghazali, (Kairo: Dar al-Maarif, 1971), hlm. 18 11 Badawi Thabanah, "Muqaddimah Ihya Ulum al-Din", dalam al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Jilid
1, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hlm. 8 12 Kemudian timbullah pikirannya untuk mencari sekolah yang lebih tinggi, sebab kesadarannya
mulai muncul untuk mencari kebenaran, meskipun usianya masih sangat muda. Lihat. Sulaiman
Dunia, al-Haqiqah fi Nazhr al-Ghazali, hlm. 20 13 Al-Ghazali, Tahafut al Falasifah (Kerancuan Para Filosof), alih bahasa Ahmad Maimun,
(Bandung: penerbit Marja, 2010), hlm.17-18
Pemikiran Etika....
p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347 Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021| 63
al-Haramain, sehingga dia sanggup bertukar pikiran dengan segala aliran, bahkan
ia juga telah mengarang macam-macam buku dari berbagai ilmu pengetahuan.
Menurut Harron Khan Sharwan, ketika itu al-Juwaini baru saja dipanggil kembali
dari Hijaz untuk memimpin perguruan tinggi Nidzamiyyah yang didirikan oleh
Nidzam al-Muluk.14
Al-Ghazali pada mulanya hanya sebagai mahasiswa, kemudian menjadi
asisten guru besar sampai gurunya meninggal pada tahun 1085 M. Pada tahun 475
H ketika al-Ghazali memasuki usia 25 tahun, ia mulai meniti karir sebagai dosen
pada Universitas Nidhamiyyah Naisabur, di bawah bimbingan guru besarnya Imam
al-Haramain.15 Dan setelah Imam al-Haramain meninggal dunia maka menjadi
kosonglah pimpinan atau rektor perguruan tinggi tersebut. Untuk mengisi
kekosongan jabatan itu perdana menteri Nidzam al-Muluk menunjuk al-Ghazali
sebagai penggantinya, meski usianya saat itu baru 28 tahun. Namun karena telah
menunjukkan kecakapan yang luar biasa, sehingga perdana menteri tersebut tertarik
kepadanya.16
Al-Ghazali adalah seorang teolog besar madzhab Syafii, dan ilmuwan
berwawasan luas serta seorang penyelidik yang penuh semangat. Kehidupannya
adalah sebuah kisah perjuangan mencari kebenaran dan patronase bergairah dalam
agama ortodok. Sebagai ilmuwan, dia adalah seorang yang baik dalam filsafat dan
seorang pemikir orisinal, tetapi dia berpikir dan menulis buku filsafat hanya untuk
tujuan kritisisme destruktif. Selain itu dia adalah seorang sufi dan siswa terpelajar
14 Al-Ghazali, al-Munqîdh min al-Dhalâl, alih bahasa Achmad Khudori Soleh, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1998), hlm. 7. 15 Nama lengkap Imam Haramain adalah Abd al-Mâlik bin Abdullâh bin Yûsûf bin Muhammad
bin Abd Allah bin Hayyuawiyyah. Dia berasal dari Juwainî, Nisâbûr. Ia lahir pada 18 Muharram
419 H. Al-Juwainî belajar Al-Quran, bahasa arab, hadist, fiqh, ilmu ushul dan ilmu khilâfiyah
kepada ayahnya sendiri. Pada usia yang masih muda ia telah hafal Al-Quran dan menguasai ilmu-
ilmu al-Qur'an. Setelah ayahnya wafat, al-Juwainî menggantikan posisi ayahnya menjadi guru
sekaligus ia tetap belajar fiqh dan teologi madzhab Asyariyyah kepada al-Isfiraynî dan ia juga
belajar fiqih madzhab Syâfiî dan ilmu hadist kepada al-Baihâqî. Pada masa yang sama ia turut
hadir di majlis al-Khabbâzî untuk belajar ilmu Al-Quran. Ketika terjadi fitnah al-Kunduri (aksi
terror oleh wazir Tugril Beg al-Kunduri terhadap ulama Asyariyyah, Syafiiyyah dan syiah) al-
Juwaini pergi meninggalkan Nisâbûr menuju Muaskar, Isfahan, Baghdad, Hijaz dan yang terakhir
di Mekah. Ia menetap di Mekah selama beberapa tahun bahkan ia pernah menjadi guru besar di
dua tempat suci, mekah dan Madinah. Oleh sebab itu ia terkenal dengan sebutan Imam Haramain.
Lihat Tsuroya Kiswati, Al-Juwainī Peletak Dasar Teologi Rasional Dalam Islam, (Jakarta;
Erlangga, t.t.), hlm. 24-27. 16 Amin Syukur dan Mayharuddin, Intelektualitas Tasawuf, (Studi Intelektualisme Tasawuf al-
Ghazali), (Semarang: Lembkota, 2002), hlm. 129
Umar Faruq Thohir
64 | Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021 p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347
dalam sufisme.17 Kemudian ia mendapat gelar Hujjah al-Islâm karena
pembelaannya yang mengagumkan terhadap agama Islam.18 Sedangkan di Baghdad
al-Ghazali bersentuhan dengan berbagai pandangan tentang agama dan filsafat. Hal
ini membuatnya meninggalkan pandangan ortodok dan menjadi berpikiran terbuka.
Pada usia 38 tahun dia meninggalkan Baghdad dan mengembara dan kemudian
sampai di Damaskus. Ia menghabiskan waktunya untuk berkhalwat dan melakukan
latihan-latihan mistik dan ia menjadi murid Sufi Afdhal bin Muhammad. Setelah
itu dia pergi ke Jerussalem dan dari sana berlanjut ke Alexandria. Selama perjalanan
inilah dia menulis IhyaUlum al-Din (499 H) dan pada saat itu pula dia dibujuk
menjadi pimpinan Universitas Nizhamiyyah di Naisapur (500 H).19
Kemudian al-Ghazali pergi ke Mesir dan seterusnya ke Makkah dan Madinah untuk
menunaikan ibadah haji. Setelah sekian lama pengembaraannya, al-Ghazali pulang
dan menetap kembali di kota Baghdad dan menulis autobiografinya al-Munqîdz min
al-Dhalâl. Tepatnya pada tanggal 9 Desember 1111 M (14 Jumadil Akhir 505 H)
al-Ghazali meninggal dunia.
C. Kontradiktif Pemikiran Al-Ghazali Dengan Karya Ilmiah
Apa yang menjadi perhatian dalam sejarah hidup al-Ghazali adalah
kehausannya terhadap segala pengetahuan dan keinginanya untuk mencapai
keyakinan dan mencari hakikat kebenaran segala sesuatu. Pengalaman intelektual
dan spiritualnya berpindah dari ilmu kalam ke falsafah, kemudian ke bathiniyyah
dan akhirnya mendorong dirinya untuk mendalami tasawuf. Dalam hal ini Ahmad
Hanafi memberi komentar:
Oleh karena itu, pikiran-pikiran al-Ghazali telah mengalami perkembangan
semasa hidupnya dan penuh kegoncangan batin sehingga sukar diketahui kejelasan
17 Tetapi dia hanya ingin mengatakan sufisme menuju garis-garis doktrin ortodok, sebagai seorang
teolog dia mendapatkan julukan Hujjah al-Islâm dan telah meninggalkan jejak abadi dalam
keyakinan ortodok. Lihat. Subarkah, Dasar-Dasar Filsafat Islam, Pengantar Ke Gerbang
Pemikiran, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2004) hlm. 135 18 Terutama dalam menyanggah aliran kebatinan dan para filosof. Lihat Ahmad Daudy, Segi-Segi
Pemikiran Falsafi Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 60 19 Selanjutnya al-Ghazali pindah ke kota Muaskar dan menetap di sana kurang lebih selama lima
tahun Ketika al-Ghazali tinggal di Muaskar ia sering mengisi kegiatan-kegiatan ilmiah yang
diadakan oleh perdana menteri. Melalui pertemuan-pertemuan inilah agaknya al-Ghazali diketahui
dan dipertimbangkan kepakarannya sebagai ulama yang berpengetahuan luas dan mendalam.
Lihat. Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup al-Ghazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 27
Pemikiran Etika....
p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347 Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021| 65
corak pikirannya seperti terlihat dari sikapnya terhadap filosof dan terhadap aliran-
aliran akidah pada dasarnya.20
Kontradiksi-kontradiksi pikirannya banyak dijumpai dalam berbagai kitab
karangannya, karena dipengaruhi oleh perkembangan pikirannya sejak masih
muda.21 Di satu pihak ia dikenal sebagai penulis buku polemis, “Tahâfut al-
Falâsifah” untuk menelanjangi kepalsuan para filosof berikut doktrin-doktrin
mereka. Tetapi pada saat yang sama, ia juga menulis buku yang sama, ia juga
menulis buku tentang ilmu logika Aristoteles “al-Mantiq al-Aristhî”, lalu menulis
kitab “Miyâr al-Ilm” (mencakup filsafat); bahkan ia membela ilmu-ilmu warisan
Aristoteles itu dan menjelaskan berbagai segi kegunaanya.22 Demikian juga
kontradiksi pemikirannya sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Nur Cholis
Madjid: dalam bukunya “iljâm al-Awwam an ilm al-kalâm” Nampak menentang
ilmu kalam. Tapi bukunya yang lain “al-Iqtishâd fi al-Itiqâd” al-Ghazali memberi
tempat kepada ilmu kalam Asyariyah. Dan dalam karya utamanya yang cemerlang
“ihyâ ulm al-dîn”, al-Ghazali dengan cerdas menyuguhkan sinkretisme kreatif
dalam Islam sambil tetap berpegang kepada ilmu kalam al-Asyari.23
Dengan demikian al-Ghazali tidak memuji seluruhnya dan tidak mencaci
seluruhnya terhadap ilmu kalam, akan tetapi ada yang dipuji dan ada yang dicaci.
Misalnya, ilmu kalam yang diajarkan kepada orang awam, tidak akan tercapai
maksudnya dan bahkan bisa mengacaukan pikiran serta dapat memalingkan dari
akidah yang benar. Oleh karena itu Dr. Sulaiman Dunia menganalisisnya bahwa
buku-buku yang ditujukan kepada orang awam dan orang-orang tertentu (khawas)
tentunya isinya tidak sama. Karena apa yang disampaikan oleh al-Ghazali kepada
orang khawas tentunya isinya tidak sama dengan yang diberikan kepada orang
20 Ahmad Hanafi, Pengantar filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), hlm. 200. 21 Kehausan al Ghazâlî akan ilmu pengetahuan sudah tampak sejak kemampuan intelektualnya
mulai berkembang. Ia cenderung untuk mengetahui, memahami dan mendalami masalah-masalah
yang hakiki. Hal ini dilukiskan oleh al Ghazâlî sendiri, seraya menyatakan: “kehausanku untuk
menggali hakikat segala persoalan telah menjadi kebiasaanku semenjak aku muda. Hal itu
merupakan tabiat dan fitrah yang telah diletakkan oleh Allah dalam kejadianku, bukan karena
usahaku.” Lihat Al-Ghazali, al-Munqîdh min al-Dhalâl, hlm. 75. 22 Nur Cholis Madjid, “Al-Ghazali dan Ilmu Kalam,” dalam Simposium tentang al-Ghazalism,
(Jakarta: BKSPTIS, 1985), hlm. 6. 23 Ahmad Hanafi, Pengantar filsafat Islam, hlm. 4.
Umar Faruq Thohir
66 | Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021 p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347
awam. Karena pengertian orang awam dengan orang (khawas) tentang hal yang
sama tidak selamanya sama.24
Al-Ghazali merupakan ilmuwan yang sangat produktif dalam menghasilkan
karya ilmiah, diantaranya al-Talîqât fî Furû al-Mazhab, al-Mankhûl fî al-Ushûl, al-
Wâsit, al-Bâsit, Al-Wâjiz, Khulâsah al-Mukhtashâr wa Naqawât al-Mutasar, Al-
Muntakhal fî Ilm al-Jidâl, Maakhîz al-Khilâf, Lubâb al-Nazr, Takhsîn al-Maâkhiz,
Mabâdi wa al-Ghâyah, Syifâ al-Qaul Fî al-Qiyâs wa al-Talîl, Fatâwâ al-Gazâlî,
Fatwâ, Gayyah al-Gaur Fi Dirâyah al-Daur, Maqâsid al-Falâsifah, Tahâfut al-
Falâsifah, Miyâr al-Ilm fî Fann al-Mantiq, Miyâr al-Uqûl, Makh al-Nazr Fî al-
Mantiq, Mîzân al-Amal, Al-Mustazhiri Fî al-Radd Alâ al-Bâtiniyyah, Hujjah al-
Haqq, Qawâsim al-Batiniyyah, al-Iqtishâd Fî al-Itiqâd, Al-Risâlah al-Qudsiyyah fî
Qawâid al-Aqâid, Al-Maârif al-Aqliyyah Wa Lubab al-Hikmah al-Ilâhiyyah, Ihyâ
Ulûm al-Dîn, Kitab fî Masalah Kulli Mujtâhid Mûsib, Jawâb al-Gazâlî An Dawât
Muayyid al-Mulk Lahû Lî Muâwadah al-Tadrîs bî al-Nizâmiyyah fî Baghdâd,
Jawâb Mafsal al-Khilâf, Jawâb al-Masâil al-Arba Allati Saalahâ al-Bâthiniyyah bi
Hamdan Min as-Syaikh al-Ajall Abi Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Gazâlî,
Al-Maqsad al-Asnâ Syarh Asmâ Allah al-Husnâ, Risâlah Fî Ruju Asmâ Allah Ilâ
Zât Wâhidah Alâ Rayi al-Mutazilah Wa al-Falâsifah, Bidâyah al-Hidâyah, Jawâhir
Al-Qurân, Al-Arbaîn Fî Usûl al-Dîn, Al-Madnûnu Bihî Alâ Ghair Ahlihî, Al-
Madnûnu Bihî Alâ Ahlihî, Al-Durj al-Marqûm Bi al-Jadâwil, Al-Qistas al-
Mustaqîm, Faisal al-Tafrîqah Bain al-Islâm Wa al-Zandaqah, Al-Qânûn al-Kulli
Fi al-Tawil, Kimiyâ Saâdah (Dalam Bahasa Persia), Ayyuha al-Walad, Nasihat al-
Muluk, Zad Akhirat(Dalam Bahasa Persi), Risâlah Ila Abi al-Fath Ahmad Ibn
Salamah al-Dimamî Bi al-Mausil, al-Risâlah al-Laduniyyah, Risâlah Ilâ Badi Ahli
Asrih, Misykat al-Anwâr, Tafsîr Yaqut al-Tawîl, al-Kasyf Wa al-Tabyîn Fî Ghurûr
al-Khalq Ajmaîn, Talbîsu Iblîs, Al-Munqid Min al-Dalâl Wa al-Mufsih An al-
Ahwâl, Kutub Fî al-Sihr Wa al-Khawwâs Wa al-Kimiya, Ghaur al-Daur fî al-
Masalât al-Suraijiyyah, Tahzîb al-Usûl, Kitâb Haqîqât al-Qaulân, Kitab Asâs al-
Qiyâs, Kitab Haqîqah Al-Qurân, al-Mustasfâ min Ilm al-Ushûl, al-Imlâ alâ Musykil
al-Ihyâ, Al-Istidrâj, al-Durrah al-Fâkhirah fî Kasyf Ulûm al-Akhîrah, Sirr al-
Âlamîn wa Kasyf Mâ fî al-Dârain, Asrâr Muâmalat al-Dîn, Jawâb Masâil Suila
24 Ibid., hlm. 20.
Pemikiran Etika....
p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347 Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021| 67
Anhâ fî Nusus Asykalât Alâ al-Sâil, Risâlah al-Aqtâb, Iljâm al-Awwâm an Ilm al-
Kalâm, Minhâj al-Âbidîn.25
Jika melihat hasil karya pemikirannya, dapat diketahui bahwa corak pemikiran
al-Ghazali sangat dipengaruhi oleh situasi dan lingkungan yang menjadi bahan
perenungannya. Pada saat belajar teologi, dia seperti teolog. Pada saat belajar fiqh,
dia menghasilkan karya-karya tentang fiqh. Pada saat menggeluti filsafat, dia pun
melahirkan karya-karya yang dipengaruhi pemikiran filsafat. Namun yang pasti, di
akhir-akhir hidupnya, dia meyakini bahwa cara mencari kebenaran yang hakiki
adalah melalui jalan tasawuf.26 Al-Ghazali berkata:
”Selama berkhalwat terbukalah bagiku beberapa perkara yang tidak dapat
dihitung dan dirinci. Kadar yang dapat disebutkan untuk diambil manfaatnya
adalah bahwa aku sudah mengetahui secara yakin bahwa kaum sufi itulah
orang-orang yang menempuh jalan yang dikehendaki Allah, perilaku
hidupnya paling baik, metodologinya paling benar dan akhlaknya paling
bersih dan suci. Bahkan, andaikata manusia mengumpulkan orang-orang
berakal (teolog), kaum filosof dan ilmuwan yang dapat menangkap rahasia
syara dari kalangan fuqaha untuk menciptakan cara yang lebih utama dari
pada cara tasawuf itu, niscaya tidak akan terlaksana. Sebab semua gerak-gerik
dan diam mereka dipetik dan dipancarkan dari cahaya kenabian, padahal
dibalik cahaya kenabian yang terdapat di dunia ini tidak ada lagi cahaya yang
dapat menerangi.27
D. Evolusi Pemikiran al-Ghazali
Dalam perkembangan pemikirannya, al-Ghazali melalui beberapa proses
yang panjang dalam pencarian kebenaran hakiki. Pada akhirnya ia menemukan
tasawuf sebagai persinggahan terakhirnya setelah sempat mengembara dalam
berbagai aliran dan kelompok untuk menemukan kebenaran. Dalam berfikir, ia
tidak begitu taqlîd kepada pendapat-pendapat yang dikatakan orang itu benar.
25 Saeful Anwar, Filsafat Ilmu al-Ghazali; Dimensi Ontologi dan Aksiologi, (Bandung: Pustaka
Setia, 2007), hlm. 71-75. 26 Dalam al-munqîdz min al-dhalâl al-Ghazali menyebut bahwa kebenaran itu bisa diperoleh
dengan cara "hakikat kenabian." Kenabian disini bukan berarti sesuatu yang berhubungan dengan
nabi yang merupakan sosok yang bijak dan istimewa yang memiliki banyak pengikut, tetapi lebih
dari itu. Hakikat kenabian adalah tingkatan yang lebih tinggi di atas rasio, yang dengannya terlihat
sesuatu yang tidak tercapai oleh kekuatan rasio, sebagaimana rasio mencapai sesuatu yang tidak
dicapai indera. Lihat Al-Ghazali, al-Munqîdh min al-Dhalâl, hlm. 79. 27 Al-Ghazali, al-Munqîdh min al-Dhalâl, hlm. 79.
Umar Faruq Thohir
68 | Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021 p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347
Ada empat kelompok aliran Islam yang menjadi sasaran al-Ghazali pada saat itu,
yaitu kelompok teolog Islam, Filosof, aliran Syi'ah Bathiniyah, dan kelompok
sufisme.
Pertama, kelompok teolog Islam, yang dikatakan sebagai ahli intelektual
dan pemikir. Al-Ghazali mengakui bahwa perkembangan ilmu kalam telah
mendorong dirinya untuk menyelidiki hakikat segala sesuatu, memperdalam kajian
tentang al-jauhar (zat atau substansi), al-ra'ud (aksidensi), serta hukum masing-
masing keduanya. Bagi Al-Ghazali, semua itu bukan menjadi tujuan ilmu kalam.
Maka, tujuan dan berbagai pendapat para teolog tersebut tentang hal ini tidak
sampai mendalam dan tidak memuaskan orang yang ingin melenyapkan segala
keraguan tentang berbagai wacana kalam tersebut.28 Al-Ghazali belum
mendapatkan kebenaran yang hakiki sesuai dengan harapannya, namun ia tidak
menyalahkan orang lain yang menggeluti pemikiran kalam tersebut.
Kedua, para filosof yang dikatakan sebagai ahli logika dan mengutamakan
akal. Al-Ghazali bertekad dengan segala kesungguhan dan kejujuran untuk
mengkaji pengetahuan tentang ilmu filsafat dari berbagai macam literatur secara
autodidak. Dalam perjalanan mengkaji filsafat, al-Ghazali merasa belum
menemukan kebenaran hakiki sebagaimana ia memahami ilmu kalam. Al-Ghazali
mengungkapkan, dalam filsafat, akal dijadikan sasaran terpenting dalam usaha
pencarian pengetahuan, sehingga keterbatasan akal tidak mampu untuk
mengungkap makna dan hakikat suatu kebenaran yang hakiki.29
Ketiga, aliran bâthiniyyah, yaitu aliran Syi'ah Ismailiyyah yang selalu
bergantung pada para Imam al-Muntadhâr yang memberikan pengajaran dan
bimbingannya secara ghaib. Sekte ini berpendapat, bahwa pengajaran khusus yang
diperoleh dari imam yang ma'shûm merupakan petunjuk. Pendapat itu ditentang
oleh al-Ghazali dengan mengungkapkan bahwa sang petunjuk yang terhindar dari
dosa menurut umat Islam adalah Nabi Muhammad, dan setelah meninggal dunia ia
sudah tidak bisa lagi dimintai petunjuk. Maka, guru yang mereka anggap sebagai
petunjuk bagi al-Ghazali adalah ghaib adanya. Lebih jauh lagi, al-Ghazali menilai
bahwa dengan kehadiran sekte bâthiniyyah membawa dampak buruk bagi
28 Mahfudz Mazduki, Spiritualitas dan Rsionalitas al-Ghazali, (Yogyakarta: TH. Press, 2005),
hlm. 62-63. 29 M. Yasir Nasution, Manusia Menurut al-Ghazali, (Jakarta: Rajawali Press, 1989), hlm. 38.
Pemikiran Etika....
p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347 Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021| 69
perkembangan keyakinan maupun pikiran generasi Islam, sehingga mereka banyak
yang tersesat.30 Kelompok ini bagi al-Ghazali belum mampu memberikan kepuasan
karena tidak mampu mengantarkan kepada kebanaran hakiki yang ia rindukan.31
Keempat, sufisme yang dikatakan sebagai kelompok elitis Tuhan
(khawwash al-hadhrah). Menurut al-Ghazali, ahli teolog, para filosof, dan sekte
bâthiniyyah mempunyai perbedaan dengan tasawuf, karena para sufi adalah pencari
kebenaran yang telah mencapai tujuan. Tasawuf bagi al-Ghazali dapat dijadikan
sarana untuk memperdalam keimanan, menghidupkan gairah, serta ketaatan dan
ketekunan beribadah kepada Allah.32
Dalam konteks tasawuf, al-Ghazali menganut sufistik yang bercorak psiko-
moral, yang mengutamakan pendidikan moral sesuai dengan naluri alamiah Islam.
Al-Ghazali dalam tasawufnya mengusung konsep ma'rifah dalam batas pendekatan
diri kepada Allah (taqarrub bi Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya.33 Jalan
menuju ma'rifah adalah perpaduan antara ilmu dan amal yang akan berbuah
moralitas. Sebagian kalangan beranggapan, al-Ghazali mempunyai jasa yang besar
karena telah mampu memadukan keilmuan tradisional Islam, tasawuf, fiqh dan ilmu
kalam yang sebelumnya mengalami berbagai macam ketegangan dan berdiri sendiri
tanpa ada komunikasi.34
E. Konsep Etika al-Ghazali
Perhatian utama hidup dan pemikiran al-Ghazali semasa periode sufi itu
adalah kehidupan akhirat yang baik. Pertimbangan ini menentukan beragam aspek
teori moralnya. Ini membuat etikanya bersifat religious dan sufi, tidak serupa
30 Abu al-Wafa' al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman: Sebuah Pengantar tentang
Tasawuf, alih bahasa Ahmad Rofi' Usmani, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 164. 31 Ainurrofiq Dawam, "Sinergitas "Tri Paradigma" Filsafat Alam Kontemporer: Berangkat dari
Kritisisme Al-Ghazali," dalam Syamsul Rijal, Bersama al-Ghazali Memahami Filosofi Alam;
Upaya Meneguhkan Keimanan, (Yogyakarta: Arruzz, 2003), hlm. 28-30. 32 Ali Maksum, Tasawuf sebagai Pembebas Manusia Modern: Telaah Signifikansi Konsep
"Tradisionalisme Islam" Sayyed Hosein Nasr, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 1. 33 Menurut H. Abdul Muhayya, tasawuf dapat dijadikan sebagai terapi krisis spiritual, karena
pertama, secara psikologis, tasawuf merupakan bentuk dari pengetahuan langsung mengenai
relitas-realitas ketuhanan yang cenderung menjadi inovator dalam agama. Kedua, kehadiran Tuhan
dalam bentuk pengalaman mistis dapat menimbulkan keyakinan yang sangat kuat, seperti ma'rifah,
itthâd, hulûl, mahabbah, al-uns, dan lain sebagainya yang mampu menjadi moral force bagi amal-
amal shâlih. Lihat H. Abdul Muhayya, "Peranan Tasawuf dalam Menanggulangi Krisis Spiritual,"
dalam Tasawuf dan Krisis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan IAIN Walisongo Press, 2001), hlm.
24-25. 34 Amin Sukur, Menggugat Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 38.
Umar Faruq Thohir
70 | Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021 p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347
dengan etika sekuler, yang selalu berurusan dengan kesejahteraan manusia dalam
hidup ini.
Sesuai dengan inti persoalan, al-Ghazali menamakan etikanya ilmu menuju
akhirat (ilm tharîq al-akhîrah) atau jalan yang dilalui para nabi dan leluhur saleh
(al-salaf al-shâlih). Ia juga menamakannya ilmu pengamalan agama (ilm al-
muâmalah).35 Menurut pendapatnya, etika ialah pengkajian tentang keyakinan
religius tertentu (i tiqâdât), dan tentang kebenaran atau kesalahan dalam amal untuk
diamalkan, dan bukan demi pengetahuan belaka. Pengkajian tentang amal
mencakup pengkajian tentang amal terhadap Allah, amal terhadap sesama manusia
dalam keluarga dan dalam masyarakat, mengenai penyucian jiwa dari kejahatan dan
perihal memperindah jiwa dengan kebajikan-kebajikan. Jadi jangkauan etika al-
Ghazali amat luas dan ini adalah satu ciri khas etika sufi. Ini mungkin lebih
memperjelas dengan memperhatikan jangkauan etika para filososf muslim, yang
dikutipnya dalam buku Maqâsid.36
Al-Ghazali menggambarkan tujuan penelaahan etika sebagai sesuatu yang
berhubungan dengan masalah pokok etikanya. Ada tiga teori penting mengenai
tujuan perbaikan etika: (a) mempelajari etika sekedar sebagai studi murni teoritis,
yang berusaha memahami ciri kesusilaan (moralitas), tapi tanpa maksud
mempengaruhi perilaku orang yang mempelajarinya. (b) mempelajari etika
sehingga akan meningkatkan sikap dan perilaku sehari-hari. (c) karena etika
terutama merupakan subjek teoritis yang berkenaan dengan usaha menemukan
kebenaran tentang hal-hal moral, maka dalam penyelidikan etis harus terdapat kritik
yang terus menerus mengenai standar moralitas yang ada, sehingga etika menjadi
suatu subjek yang praktis. Al-Ghazali setuju dengan teori yang kedua. Dia
menyatakan bahwa studi tentang ilmu muamalah (ilmu agama praktis)
dimaksudkan untuk latihan kebiasaan dalam meningkatkan keadaan jiwa agar
kebahagiaan dapat dicapai di akhirat.37 Pengkajian ini punya arti, hanya karena
35 Al-Hujwiri, Kasyf al-Mahjûb, (Leiden: tp.,1911), hlm. 86 dan 115. 36 Ibid., hlm. 134-136. 37 Menurut H. Abdul Muhayya, untuk berperilaku baik, seseorang harus melatih dirinya
melakukan kebaikan, sehingga dia akan terbiasa. Menurutnya, dengan mengutip pendapat al-
Ghazali, perbuatan itu diawali dari خواطر (inspirasi) yang kemudian turun ke الطبع ميل
(kecenderungan watak). Pada tahap الطبع ميل inilah letak pentingnya pembiasaan diri, karena orang
yang membiasakan dirinya melakukan kebaikan-kebaikan akan memiliki kecenderungan pada hal-
hal yang baik, demikian juga orang yang biasa melakukan kejelekan akan memiliki kecenderungan
Pemikiran Etika....
p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347 Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021| 71
tanpa pembiasaan, kebaikan tidak bisa dicari dan keburukan tidak dapat dihindari
dengan sempurna. Prinsip-prinsip moral dipelajari dengan maksud menerapkan
semuanya dalam kehidupan sehari-hari. Al-ghazali malah menyatakan lebih tegas,
bahwa pengetahuan yang tidak diamalkan tidak lebih baik dari pada kebodohan.38
Etika al-Ghazali dapat juga dikatakan bercorak teleologis (aliran filsafat
yang mengajarkan bahwa segala ciptaan di dunia ini ada tujuannya) sebab ia menilai
amal dengan mengacu kepada akibat-akibatnya. Etika ini mengajarkan, bahwa
manusia punya tujuan yang agung, yaitu kebahagiaan di akhirat dan bahwa amal itu
baik kalau ia menghasilkan pengaruh pada jiwa yang membuatnya menjurus ke
tujuan akhirat, dan dikatakan amal itu buruk, kalau ia menghalangi jiwa mencapai
tujuan itu.39
Bahkan amal ibadah seperti sholat dan zakat adalah baik disebabkan
akibatnya pada jiwa. Derajat baik dan buruk bagi amal berbeda oleh sebab
perbedaan dalam hal pengaruh yang ditimbulkannya dalam jiwa pelakunya.
Memang tekanan al-Ghazali pada akibat bagi jiwa demikian kerasnya, sehingga
etikanya bisa dianggap sebagai etika bagi jiwa. Jadi amal perbuatan dianggap baik
dan buruk selaras dengan apakah akibatnya bermanfaat atau merugikan. Dalam hal
memandang etika bersifat teleologis, Al-Ghazali sepakat dengan Aristoteles yang
diikuti para filosof muslim seperti Ibnu Sina, Al-Farabi dan Ibn Miskawaih, yang
semuanya menimbang kebaikan atau keburukan sebagai nilai-nilai yang intrinsik
pada perbuatan moral, dan bahwa syariah memerintahkan atau melarang amal
disebabkan oleh perbuatan itu baik atau buruk.40
Doktrin sejenis ini disebut deontologis yang berlawanan dengan teori
teleologis. Al-Ghazali setuju dengan kaum Asyariyah dalam hal nilai intrinsik suatu
amal, dan dalam hal menghubungkannya dengan suatu tujuan akhirat dan dengan
perintah dan larangan Allah, tapi sebagai seorang moralis, dia meletakkan tekanan
lebih besar pada akibat perbuatan dibanding kaum Asyariyah. Salah satu masalah
pada kejelekan. Dari الطبع ميل menjadi الاعتقاد (yakin/keyakinan), yang kemudian menjadi العزم (kehendak melakukan) dan selanjutnya menjadi الفعل (perbuatan). Disampaikan dalam seminar
kelas Etika Islam dan Tasawuf, Jum'at 6 April 2012 di IAIN Walisongo, Semarang. 38 Muhammad Abul Quasem dan Ahmad Kamil, Etika Al-Ghazali , hlm. 13. 39 Ibid., hlm. 13-14. 40 Ibid., hlm. 14.
Umar Faruq Thohir
72 | Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021 p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347
yang muncul dalam penentuan nilai moral suatu amal perbuatan adalah cara
mengetahui nilainya.41
Setelah melukiskan etika sebagai suatu ilmu religious-rasional seperti itu,
Al-Ghazali menjelaskan metode pengetahuan perihal tasawuf dan menghubungkan
etika padanya. Menurutnya, pengetahuan kadang-kadang didapat dengan belajar
dan kadangkala sebagai anugerah Allah. Jika itu merupakan anugerah, mungkin itu
disampaikan melalui perantara seorang malaikat atau tanpa perantara sama sekali
yang berupa wahyu (wahy), inspirasi (ilham) atau intuisi mistik (kasyf).42 Hanya
mereka yang telah mensucikan jiwa dari kekejian dan memerintah jiwa tersebut
dengan kebajikan, yang bisa mendapat pengetahuan dengan cara kasyf, sebab pada
tahap demikian dalam jiwa berkembang suatu kekuatan, yang dengannya jiwa
melihat kebenaran. Jiwa itu mengetahui kebenaran secara langsung tanpa noda
apapun atau kepercayaan pada kekuasaan apapun. Malah sebelum penyempurnaan
pemurnian, beberapa pengetahuan tentang baik dan buruk dan perihal dunia ghaib
langsung dicapai. Seorang sufi yang sudah sampai pada tingkatan kasyf, kadang-
kadang bisa mengetahui kebenaran atau kesalahan amal-amal perbuatan
seseorang.43
Dalam pencarian kebenaran, seseorang harus sampai pada tahap hakikat
kenabian, dimana kebenaran dapat diperoleh tidak melalui nalar, tapi dengan
cahaya kenabian, yang lebih tinggi dari akal. Akal tidak mampu menangkap apa
yang dapat diketahui oleh mata kenabian, akal mempercayakan kita pada wahyu
kenabian. Akal tidak dapat lagi melangkah maju melewati kebenaran kenabian.
Akal tidak berperan kecuali memahami apa-apa yang disampaikan para nabi
kepadanya. Para nabi memiliki pandangan bathin langsung ke dalam kebenaran
yang disampaikan melalui wahyu. Jika orang lain mampu mengikuti jalan mereka,
dia juga akan menjadi tahu kebenaran dengan cara penglihatan secara langsung
(mukâsyafah).44
Jika pengetahuan kenabian ini telah diperoleh, maka seseorang dapat
meningkat ke tingkatan yang lebih tinggi, dari tamyîz, mukâsyafah menuju dzauq.
41 Al-Ghazali, al-Munqîdh min al-Dhalâl, hlm. 24-26. 42 Ibid., hlm. 60. 43 Muhammad Abul Quasem dan Ahmad Kamil, Etika Al-Ghazali , hlm. 17-18. 44 Al-Ghazali, al-Munqîdh min al-Dhalâl, hlm. 64.
Pemikiran Etika....
p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347 Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021| 73
Dzauq adalah merasakan kebenaran seperti sesungguhnya, seperti melihat dengan
mata kepala atau memegang dengan tangan. Proses dzauq ini hanya dapat diperoleh
melalui jalan tasawuf.45
F. Etika al-Ghazali: Konsep Keseimbangan dan Langkah Peningkatan
Akhlak
Menurut al-Ghazali, akhlak bukanlah pengetahuan (marifah) tentang baik dan
jahat maupun qudrat untuk baik dan buruk, bukan pula pengalaman (fil) yang baik
dan jelek, melainkan suatu keadaan jiwa yang mantap (hayah râsikhah fî al-nafs).
Ia mendefinisikan akhlak sebagai suatu kemantapan jiwa yang menghasilkan
perbuatan atau pengamalan dengan mudah, tanpa harus direnungkan dan
disengaja.46 Jika kemantapan itu demikian, sehingga menghasilkan amal-amal yang
yang baik, maka ini disebut akhlak yang baik, jika amal-amal yang tercela yang
muncul dari keadaan (kemantapan) itu, maka itu dinamakan akhlak buruk.47
Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan akhlak apabila mempunyai dua
keadaan jiwa yang harus dipenuhi. Pertama, konstan yaitu dikatakan seorang yang
berakhlak pemurah, umpamanya, bila orang yang kemauannya untuk mendermakan
kekayaannya telah menjadi mapan dan relatif permanen dalam jiwanya. Kedua,
timbulnya perbuatan yang mudah dan spontan dari suasana yang sudah mapan,
karena itu seorang pemurah ialah orang yang mendermakan hartanya dengan
mudah dan tanpa paksaan.
Menurut al-Ghazali, karena munculnya perilaku ataupun akhlak dikarenakan
pada keadaan jiwa, maka munculnya akhlak yang baik tentunya dari keadaan batin
45 Ibid., hlm. 65-66. Menurut H. Abdul Muhayya, dengan mengutip pendapat al-Ghazali, tingkatan
kecerdasan jiwa seseorang itu terbagi menjadi Lima. Pertama, الحساسي روح di mana kebenaran
didasarkan pada indera. Kedua, الخيالي روح di mana kebenaran diperoleh melalui imajinasi
pengalaman. Ketiga, العقلي روح di mana jiwa sudah mampu melakukan sintesa. Keempat, الفكري روح
di mana jiwa dapat menemukan sesuatu karena petunjuk Tuhan (وهبي). Kelima, النبوي القدسي روح di
mana pada tahapan ini, jiwa tidak hanya mendapatkan penemuan, melainkan juga pengetahuan
yang diberi Tuhan, atau yang disebut dengan ilm ladunnî. Disampaikan dalam seminar kelas Etika
Islam dan Tasawuf, Jum'at 30 Maret 2012 di IAIN Walisongo, Semarang. 46 Menurut H. Abdul Muhayya, dengan mengutip pendapat al-Ghazali, akhlak adalah: عبارة عن
Disampaikan dalam . روية و فكر الى حاجة غير من يسر و بسهولة الافعال تصدر عنها راسخة النفس في حياة
seminar kelas Etika Islam dan Tasawuf, Jum'at 6 April 2012 di IAIN Walisongo, Semarang. 47 Al-Ghazali, Ihyâ Ulûm al-dîn, Jilid III. (Beirut: Dar Al Fikr, tt.), hlm. 96.
Umar Faruq Thohir
74 | Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021 p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347
yang baik. Di dalam batin manusia menurutnya terdapat empat sumber kebaikan
akhlak, yaitu al-hikmah, al-syajâah, al-iffah, dan al-'adl.48
Al-hikmah merupakan hasil kekuatan akal yang baik dan sempurna, yang bisa
membedakan antara ketulusan dan kebohongan dalam hal ucapan, antara yang hak
dan yang batil dalam hal perbuatan.49 Kekuatan akal yang baik dan sempurna akan
menimbulkan sikap proporsional, ketelitian, kejernihan dalam pemikiran,
ketajaman pandangan, ketepatan perkiraan, kecermatan dalam mengamati berbagai
pekerjaan yang rumit dan ketepatan pendiagnosaan terhadap penyakit-penyakit
jiwa yang tersembunyi. Akan tetapi bila penggunaan kekuatan akal ini berlebihan
menimbulkan kelicikan, kecurangan, penipuan dan keculasan. Sebaliknya
kekurangan dalam menggunakan akal akan menimbulkan kebodohan, kedunguan,
kecerobohan dan kegilaan.50
Sifat al-syajâah akan menimbulkan kehormatan, tidak mengenal rasa takut,
kejantanan, pengendalian diri, kesabaran, ketabahan, keteguhan hati, keramah
tamahan, kasih sayang. Apabila sifat syajâah ini berlebihan maka akan
menimbulkan keangkuhan, suka menonjolkan diri, congkak dan mudah
tersinggung. Namun bila sifat keberanian ini kurang maka akan menimbulkan
kehinaan, minder, bernyali kecil, kenistaan, pengecut dan takut mengambil
keputusan mengenai apa yang benar dan wajib.51
Sifat al-iffah akan menimbulkan kedermawanan, kerendahan hati, kesabaran,
pemaaf, keikhlasan, keshalehan, kebaikan hati, suka menolong orang lain,
kemulyaan budi pekerti dan hilangnya sifat tamak. Apabila sifat kesederhanaan ini
berlebihan ataupun berkurang, maka akan menimbulkan sifat keserakahan,
ketamakan, tidak bermoral, boros, kikir, riya, congkak, suka mengumpat, suka
menjilat, iri, dengki, sikap minder terhadap orang kaya, menghina orang miskin dan
sebagainya.
Adapun sifat keseimbangan (al-adl) apabila dalam diri telah hilang, maka tidak
ada lagi ujung yang berlebihan ataupun berkurang, yang ada hanyalah sifat
48 Al-Ghazali, Metode Menaklukan Jiwa Perspektif Sufistik, alih bahasa Rahmani Astuti,
(Bandung: Mizan, 2002), hlm. 31-34.
49 Ibid., hlm. 32. 50 Ibid., hlm. 35. 51 Ibid., hlm. 36.
Pemikiran Etika....
p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347 Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021| 75
kedzaliman. Dengan demikian, kesempurnaan akhlak bukan terletak pada sikap
tegas membabi buta atau sikap kasih sayang yang membabi-buta pula, melainkan
keseimbangan (al-adl).52
1. Induk Akhlak Buruk pada Manusia
Menurut al-Ghazali, biang sifat buruk yang harus dibuang dan memerlukan
riyâdhah adalah: kelobaan, akses dalam seks, berbicara berlebihan, amarah hebat,
iri hati, dendam, cinta dunia, cinta harta, bakhil, cinta pengaruh, kemegahan,
kesombongan, kecongkakan, riya, ghibah dan delusi.53
Sifat-sifat buruk itulah yang menjauhkan jiwa dari Allah, mengakibatkan
mendapat hukuman di akhirat dan membawa penderitaan dalam hidup di dunia.
Menurutnya, sumber utama nafsu dan penyebab berbagai penyakit dan kerusakan
adalah perut yang diikuti oleh nafsu seks dan hasrat kuat terhadap kaum perempuan,
lalu disusul oleh nafsu makan dan kawin serta sifat rakus terhadap ketenaran dan
kekayaan yang menjadi alat bagi seseorang untuk memuasakan nafsu seks dan
hasrat terhadap makanan. Setelah memperbanyak harta dan kedudukan, munculah
berbagai sifat angkuh, berlomba-lomba dan dengki. Kemudian diantara keduanya
timbul penyakit ingin dipuji orang, kesombongan, berlomba-lomba dalam masalah
kekayaan dan sifat angkuh yang pada gilirannya mengakibatkan timbulnya rasa iri,
dengki, permusuhan dan saling membenci.54
2. Metode mendapatkan akhlak yang baik
Akhlak yang baik merupakan buah dari keseimbangan (al-adl) daya
rasional, kesempurnaan hikmah, dan daya amarah maupun daya sahwat yang
tunduk kepada akal dan syariat.
Menurut al-Ghazali keseimbangan ini dapat dicapai melalui dua cara.
Pertama, kesempurnaan sifat bawaan yakni seseorang yang dilahirkan memiliki
akhlak yang baik. Maka orang seperti ini menjadi pandai tanpa belajar dan terdidik
52 Al-Ghazali, Persaudaraan Islam, alih bahasa M.S. Nasrullah, (Bandung: Al-Bayan, 1994), hlm.
114.
53 Muhammad Abul Quasem dan Ahmad Kamil, Etika Al-Ghazali: Etika Majemuk di dalam Islam,
(Bandung: Mizan, 1988), hlm. 113. 54 Al-Ghazali, Metode Menaklukan Jiwa, hlm. 172.
Umar Faruq Thohir
76 | Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021 p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347
tanpa pendidik, seperti : Nabi Isa, Maryam, Yahya, Zakaria dan nabi-nabi lain.
Namun bukan suatu kemustahilan bahwa terdapat sifat maupun watak yang
diperoleh melalui ikhtiar manusia. Seringkali kita dapati seorang anak yang
dilahirkan dengan sifat bawaan jujur, pemurah lagi pemberani. Akan tetapi, sering
kali pula didapati anak yang dilahirkan dengan sifat sebaliknya. Oleh karana itu
dalam hal ini sifat-sifat baik hanya dapat diperoleh melalui pembiasaan, bergaul
dengan orang-orang yang berakhlak yang baik dan pendidikan.55
Kedua, melalui perjuangan melawan hawa nafsu (mujahadah) dan
pelatihan-pelatihan jiwa (riyâdhah al-nafs) yang dimaksud adalah membiasakan
diri mengerjakan perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan akhlak-akhlak yang
dicita-citakan. Misalnya, seseorang yang memiliki sifat pemurah harus melatih
dirinya bersikap dermawan yakni menyumbangkan hartanya dan terus menjalankan
upaya bijak ini dengan sungguh-sungguh sehingga sifat pemurah betul-betul
menjadi wataknya.56
Jika ibadah dan meninggalkan perbuatan terlarang terasa berat dan
menyakitkan berarti upaya-upayanya belum mencapai rasa cinta yang utuh.
Memang perjuangan melawan hawa nafsu dan pelatihan jiwa lebih baik tetapi
sifatnya masih terikat dengan keinginan meninggalkan dan bukan kemauan untuk
menjalankannya dengan ikhlas.
Menurut al-Ghazali bahwa dalam usaha mencapai kebahagiaan tidak cukup
mengerjakan ketaatan dan merasa benci berbuat maksiat hanya dalam waktu
singkat. Namun proses ini harus dilakukan dengan terus menerus selama hidup.57
3. Strategi Peningkatan Akhlak
Orang yang mengira bahwa akhlak yang buruk tidak mungkin dapat dirubah
karena sesungguhnya watak manusia itu bersifat statis, mengemukakan dua alasan
untuk memperkuat argumennya. Pertama, akhlak adalah bentuk batin seperti hanya
paras yang merupakan bentuk lahir tidak ada orang yang mampu membuat paras
55 Al-Ghazali, Metode Menaklukan Jiwa, hlm. 99. 56 Ibid., hlm. 100. 57 Al-Ghazali, Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia (Tahdzib al-Akhlak wa
Mualajah Amradh al-Qulub), alih bahasa Muhammad al-Baqir, (Bandung : Karisma, 2003), hlm.
100.
Pemikiran Etika....
p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347 Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021| 77
lahir, misalnya orang yang pendek tak akan mampu membuat dirinya menjadi
tinggi begitu pula keburukan batin. Kedua, dia akan berargumen bahwa kebaikan
akhlak bermula dari keberhasilan mengendalikan hawa nafsu dan amal. Karena kita
tidak pernah lepas dari orang lain maka perjuangan itu hanya menyia-nyiakan
waktu dan tujuan menghentikan kecondongan hati terhadap keuntungan duniawi
adalah mustahil.58
Menurut al-Ghazali seandainya akhlak itu tidak mungkin diubah, tentu tidak
ada gunanya segala nasihat, khutbah dan pendisiplinan. Padahal Nabi bersabda : خلقكم احسنوا
Artinya: “Perbaikilah akhlakmu” (HR. Abu Bakar bin Laal).
Bagaimana pengubahan ini dapat disangkal oleh manusia yang berakal, padahal
perubahan watak binatang saja bukan merupakan yang mustahil. Semisal seekor
elang dapat dirubah dari ganas menjadi jinak, seekor anjing dari sifat rakus terhadap
makanan menjadi berprilaku baik dan menahan diri dan seekor kuda dari liar
menjadi patuh dan tunduk. Semua ini jelas merupakan perubahan watak.59
Menurut H. Abdul Muhayya dengan mengutip pendapat al-Ghazali, setiap
manusia memiliki tiga potensi kejiwaan, (1) potensi ilmu ( العلم قوة ), (2) potensi
syahwat ( الشهوة قوة ), dan (3) potensi amarah ( الغضب قوة ). Ketiga potensi tersebut
harus dikendalikan oleh agama agar potensi ilmu menjadi hikmah, potensi syahwat
menjadi iffah di mana orang lebih suka menjaga harkat dirinya, dan potensi amarah
menjadi syajâah (keberanian).60
Menurut al-Ghazali upaya pengubahan akhlak dari akhlak buruk menjadi
akhlak yang baik bukan dengan jalan mengekang atau menghilangkan ghadab
(amarah) dan syahwat, namun menempatkannya secara proporsional yaitu berada
ditengah-tengah, tidak berlebihan dan tidak kekurangan. Hal ini disebabkan
keduanya mempunyai manfaat tertentu dan harus ada dalam diri setiap makhluk.61
58 Al-Ghazali, Metode Menaklukan Jiwa, hlm. 92-93. 59 Al-Ghazali, Persaudaraan Islam, hlm. 114. 60 Disampaikan dalam seminar kelas Etika Islam dan Tasawuf, Jum'at 30 Maret 2012 di IAIN
Walisongo, Semarang. Hal ini juga dapat dilihat di Madjid Fakhry, Etika dalam Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 128-129. 61 Al-Ghazali, Persaudaraan Islam, hlm. 114; Imam Abdul Mukmin Sa'aduddin, Meneladani
Akhlak Nabi; Membangun Kepribadian Muslim, alih bahasa Dadang Sobar Ali, (Bandung: PT.
Rosda Karya, 2006), hlm. 240-241.
Umar Faruq Thohir
78 | Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021 p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347
Menurut al-Ghazali tingkatan dalam kesempurnaan tingkatan akhlak adalah
tersingkapnya hijab (Mukâsyafah) antara manusia dan penciptanya yaitu Allah
yakni mencapai ilmu, hikmah dan marifah kepada Allah. Namun kecenderungan
manusia terlena dengan kecintaan terhadap dunia. Menurutnya, penghalang untuk
mendekati Allah adalah tidak adanya perjuangan untuk menjalani pengembaraan
ruhani (suluk) yang diakibatkan oleh tidak adanya kemauan yang terhambat oleh
tidak adanya iman.62
G. Kesimpulan
Abu Hamid Muhammad ibn Ahmad al-Ghazali al-Thusi. Al-Ghazali lahir
pada tahun 450/1058 di Thus dan meninggal dunia di Baghdad, tepatnya pada
tanggal 9 Desember 1111 M (14 Jumadil Akhir 505 H).
Al-Ghazali merupakan salah satu pemikir muslim yang produktif. Beliau
banyak menghasilkan buku-buku yang berkwalitas. Diantara karyanya yang
terkenal adalah Tahâfut al-Falâsifah, al-Mantiq al-Aristhî, Miyâr al-Ilm, iljâm al-
Awwam an ilm al-kalâm, al-Iqtishâd fi al-Itiqâd, ihyâ ulm al-dîn.
Etika al-Ghazali bersifat religius-sufi. Menurut pendapatnya, etika ialah
pengkajian tentang keyakinan religius tertentu (itiqâdât), dan tentang kebenaran
atau kesalahan dalam amal untuk diamalkan, dan bukan demi pengetahuan belaka.
Pengkajian tentang amal mencakup pengkajian tentang amal terhadap Allah, amal
terhadap sesama manusia dalam keluarga dan dalam masyarakat, mengenai
penyucian jiwa dari kejahatan dan perihal memperindah jiwa dengan kebajikan-
kebajikan agar dapat melihat (mukâsyafah) dan bahkan merasakan atau mengalami
(dzauq) kebenaran.
Kebenaran itu bisa diperoleh dengan cara "hakikat kenabian." Kenabian
disini bukan berarti sesuatu yang berhubungan dengan nabi yang merupakan sosok
yang bijak dan istimewa yang memiliki banyak pengikut, tetapi lebih dari itu.
Hakikat kenabian adalah tingkatan yang lebih tinggi di atas rasio, yang dengannya
terlihat sesuatu yang tidak tercapai oleh kekuatan rasio, sebagaimana rasio
mencapai sesuatu yang tidak dicapai indera.
62 Al-Ghazali, Metode Menaklukan Jiwa, hlm. 151. Menurut al-Ghazali, akhlak yang baik adalah
iman dan akhlak yang buruk adalah kemunafikan. Lihat Imam Abdul Mukmin Sa'aduddin,
Meneladani Akhlak Nabi, hlm. 242.
Pemikiran Etika....
p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347 Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021| 79
Berbicara tentang akhlak, menurut al-Ghazali, akhlak bukanlah
pengetahuan tentang baik dan jahat maupun qudrat untuk baik dan buruk, bukan
pula pengalaman (fil) yang baik dan jelek, melainkan suatu keadaan jiwa yang
mantap (hayah râsikhah fî al-nafs). Ia mendefinisikan akhlak sebagai suatu
kemantapan jiwa yang menghasilkan perbuatan atau pengamalan dengan mudah,
tanpa harus direnungkan dan disengaja. Oleh karena itulah, perbuatan baik dan
buruk dapat disebut akhlak apabila dilakukan secara konstan dan spontan.
Daftar Pustaka
Ahmad, Zainal Abidin, Riwayat Hidup al-Ghazali, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Alfan, Muhammad, Filsafat Etika Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2011.
Anwar, Saeful, Filsafat Ilmu al-Ghazali; Dimensi Ontologi dan Aksiologi,
Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Bagir, Haidar, "Etika "Barat", Etika Islam", dalam M. Amin Abdullah, Antara al-
Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, Bandung: Mizan, 2002.
Daudy, Ahmad, Segi-Segi Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1984.
Dawam, Ainurrofiq, "Sinergitas "Tri Paradigma" Filsafat Alam Kontemporer:
Berangkat dari Kritisisme Al-Ghazali," dalam Syamsul Rijal, Bersama al-Ghazali
Memahami Filosofi Alam; Upaya Meneguhkan Keimanan, Yogyakarta: Arruzz,
2003.
Dunia, Sulaiman, al-Haqiqah fi Nazhr al-Ghazali, Kairo: Dar al-Maarif, 1971.
Fakhry, Madjid, Etika dalam Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Ghazali Al-, al-Munqîdh min al-Dhalâl, alih bahasa Achmad Khudori Soleh,
Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.
-------------, Ihyâ Ulûm al-dîn, Beirut: Dar Al Fikr, tt.
-------------, Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia (Tahdzib al-Akhlak
wa Mualajah Amradh al-Qulub), alih bahasa Muhammad al-Baqir, Bandung :
Karisma, 2003.
-------------, Metode Menaklukan Jiwa Perspektif Sufistik, alih bahasa Rahmani
Astuti, Bandung: Mizan, 2002.
-------------, Persaudaraan Islam, alih bahasa M.S. Nasrullah, Bandung: Al-Bayan,
1994.
-------------, Tahafut al Falasifah (Kerancuan Para Filosof), alih bahasa Ahmad
Maimun, Bandung: penerbit Marja, 2010.
Umar Faruq Thohir
80 | Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021 p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347
Hanafi, Ahmad, Pengantar filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1998.
Hujwiri Al-, Kasyf al-Mahjûb, Leiden: tp.,1911.
Imam Abdul Mukmin Sa'aduddin, Meneladani Akhlak Nabi; Membangun
Kepribadian Muslim, alih bahasa Dadang Sobar Ali, Bandung: PT. Rosda Karya,
2006.
Jawwad, Musthafa, Abu Hamid al-Ghazali fi al-dzikra al-Miawiyyat al-Tasiat li
Miladih, Kairo: al-Majlis al-Ala li riayat al Funun wa al-Adab wa al-Ulum al-
Ijtimaiyyah, 1962.
Kiswati, Tsuroya, Al-Juwainī Peletak Dasar Teologi Rasional Dalam Islam,
(Jakarta; Erlangga, t.t.
Madjid, Nur Cholis, “Al-Ghazali dan Ilmu Kalam,” dalam Simposium tentang al-
Ghazalism, Jakarta: BKSPTIS, 1985.
Maksum, Ali, Tasawuf sebagai Pembebas Manusia Modern: Telaah Signifikansi
Konsep "Tradisionalisme Islam" Sayyed Hosein Nasr, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003.
Mazduki, Mahfudz, Spiritualitas dan Rsionalitas al-Ghazali, Yogyakarta: TH.
Press, 2005.
Muhayya, H. Abdul, "Peranan Tasawuf dalam Menanggulangi Krisis Spiritual,"
dalam Tasawuf dan Krisis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan IAIN Walisongo Press,
2001.
Nasution, M. Yasir, Manusia Menurut al-Ghazali, Jakarta: Rajawali Press, 1989.
Qasim, Mahmud, Dirasah fi Falsafah al-Islamiyyah, Kairo: Dar al-Maarif, 1997.
Quasem, Muhammad Abul dan Ahmad Kamil, Etika Al-Ghazali: Etika Majemuk di
dalam Islam, Bandung: Mizan, 1988.
Rajb, Mansur Ali, Ta'ammulât fîFalsafah al-Akhlâq, Mesir: Maktbah al-Anjilu al-
Mishriyyah, 1961.
Shubhi, Ahmad Mahmud, al-Falsafah al-Akhlâqiyyah fî al-Fikr al-Islâmî, Mesir:
Dâr al-Ma'ârîf, 1969.
Smith, Margareth, Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam al-Ghazali, Jakarta: Riora
Cipta 2000.
Subarkah, Dasar-Dasar Filsafat Islam, Pengantar Ke Gerbang Pemikiran,
Bandung: Penerbit Nuansa, 2004.
Pemikiran Etika....
p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347 Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021| 81
Subki Al-, Thabaqat al-Syafiiyyat al-Kubra, Mesir: Isa al-Babi al-Harabi, tt.
Sukur, Amin, Menggugat Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Syukur, Amin dan Mayharuddin, Intelektualitas Tasawuf, (Studi Intelektualisme
Tasawuf al-Ghazali), Semarang: Lembkota, 2002.
Taftazani al-, Abu al-Wafa' al-Ghanimi, Sufi dari Zaman ke Zaman: Sebuah
Pengantar tentang Tasawuf, alih bahasa Ahmad Rofi' Usmani, Bandung: Pustaka,
1985.
Thabanah, Badawi, "Muqaddimah Ihya Ulum al-Din", dalam al-Ghazali, Ihya Ulum
al-Din, Jilid 1, Beirut: Dar al-Fikr, tt.