Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENELITIAN INTERNAL DOSEN
PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG DENGAN SISTEM
NOKEN DI PAPUA
Peneliti :
Lisda Syamsumardian, S.H., M.H.
NIDN: 0312078103
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PANCASILA
2016
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Identifikasi Masalah
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Kegunaan Penelitian
1.5 Kerangka Pemikiran
1.6 Metode Penelitian
BAB II Suatu Tinjauan Hukum Tentang Pemiihan Kepala Daerah Secara
Langsung dan Metode Pemilihan Langsung “Noken” Pada Provinsi
Papua.
2.1 Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Setelah Amandemen
Undang-Undang Dasar 1945
2.2 Pemilihan Kepala Daerah Menurut Undang-undang 23 Tahun 2014
2.3 Pemilihan Kepala Daerah
2.4 Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Dapat Menciptakan
Pemberdayaan Masyarakat dan Kepemimpinan Daerah yang Arif dan
Bijaksana
2.5 Model Pilkada
2.6 Kedududukan Wakil Kepala Daerah
2.7 Permasalahan Yang Muncul Dalam Pilkada Langsung
2.8 Latar Belakang Pemilihan Langsung Di Provinsi Papua dengan
Metode (Noken)
BAB III Implementasi Pemilihan Kepala Daerah Langsung Oleh Rakyat Dan
Dampak Positif Serta Negatif.
3.1 Implementasi PemilihN Kepala Daeran Secara Langsung Pada
Provinsi Papua
3.2 Dampak Positif Negatif Pemilihan Kepala Daerah langsung
3.3 Data Yang dirilis Beberapa Lembaga Dalam Hasil Perhitungan Suara
Serta Dampak Penyalahgunaan Hasil Pemilihan Kepala Daerah
Secara Langsung
BAB IV KESIMPULAN
SARAN
1
BAB I
A. Latar Belakang
Praktik penyelenggaraan pemerintahan lokal di Indonesia telah mengalami
kemajuan sejak masa reformasi, ini dapat dilihat dari diberlakukannya undang-
undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan diberlakukannya
undang -undang ini, hubungan antara pemerintah pusat dan daerah menjadi lebih
desentralistis, dalam arti sebagian besar wewenang dibidang pemerintahan diserahkan
kepada daerah. Secara umum undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah ini telah banyak membawa kemajuan bagi daerah dan juga bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian disisi lain, undang-undang
ini dalam pelaksanaannya juga telah menimbulkan dampak negatif, antara lain
tampilnya kepala daerah sebagai raja-raja kecil didaerah karena luasnya wewenang
yang dimiliki, tidak jelasnya hubungan hierarkis dengan pemerintahan diatasnya,
tumbuhnya peluang korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di daerah-daerah akibat
wewenang yang luas dalam pengelolaan kekayaan dan keuangan daerah serta “money
politic” yang terjadi dalam pemilihan kepala daerah
Pelaksanaan PILKADA Langsung merupakan sebuah peningkatan demokrasi
ditingkat lokal, dengan adanya demokrasi dalam sebuah negara, berarti dalam Negara
2
tersebut menjalankan demokrasi yang menjunjung tinggi aspirasi, kepentingan dan
suara rakyatnya.1
Salah satu aspek penting dalam penyelenggaraan otonomi daerah setelah
reformasi di Indonesia adalah semakin menguatnya peran kepala daerah dalam
penyelengaraan pemerintahan. Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan dalam Pasal
25 Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2004 yang telah diubah dengan Undang-
Undang Nomer 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Selain memiliki tugas
dan wewenang untuk memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan
kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD, kepala daerah juga memiliki tugas dan
wewenang penting lain yakni: (a) mengajukan rancangan Perda; (b) menetapkan
Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD; (c) menyusun dan
mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan
ditetapkan bersama; (d) mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah; (e) mewakili
daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk
mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan (f) melaksanakan
tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.2
Mengingat menguatnya peran kepala daerah pada era reformasi tersebut maka
menjadi konsekuensi logis apabila cara pengisian jabatan kepala daerah menjadi
salah satu isu strategis yang mendapat perhatian serius. Bahkan tidak kurang
1 https://webandikamongilala.wordpress.com/2010/09/01/teori-mengenai-pilkada-di-indonesia di
unduh tgl 2 september 2015 2 Eko Prasojo, Irfan Ridwan Maksum, dan Teguh Kurniawan, Desentralisasi Pemerintahan Daerah:
Antara Model Demokrasi Lokal & Efisiensi Struktural, Gramedia, Jakarta, 2008, hlm. 9.
3
konstitusi hasil amandemen mengulas secara eksplisit masalah ini. Dasar
konstitusional mengenai pemilihan kepala daerah diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD
1945 yang berbunyi: Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
Pengaturan mengenai sistem pemilihan kepala daerah lebih lanjut diatur
dengan undang-undang. Pasca reformasi telah 2 (dua) undang-undang mengatur
mengenai otonomi daerah, yang berkenaan dengan pemilihan kepala daerah yakni
Undang-Undang Nomer 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti oleh Undang-Undang
Nomer 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut ketentuan dalam
Undang-Undang Nomer 22 Tahun 1999, kepala daerah dipilih melalui DPRD,
sedangkan menurut Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2004 kepala daerah dipilih
secara langsung oleh rakyat.
Pengaturan mengenai pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat
tercantum dalam Pasal 24 ayat (5) Undang Undang Nomer 32 Tahun 2004 yang
menyebutkan: ”Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di
daerah yang bersangkutan”. Melihat bunyi ketentuan ini maka dapat dikatakan bahwa
Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2004 telah menutup kemungkinan kepala daerah
dipilih secara tidak langsung oleh rakyat atau melalui perwakilan/DPRD.
Ketentuan tersebut lebih lanjut diatur dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-
Undang Nomer 32 Tahun 2004 yang menyebutkan: ”Kepala daerah dan wakil kepala
daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis
4
berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”. Aturan tersebut
menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah harus dilakukan secara demokratis.
Meskipun pengertian secara demokratis dapat diartikan secara langsung ataupun
melalui perwakilan, namun pemilihan tersebut harus berdasarkan asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Mengingat asas ”langsung” tersebut maka
secara implisit Pasal 56 ayat (1) ini juga mengamanatkan pemilihan kepala daerah
secara demokratis yang dilakukan secara langsung. Dengan adanya ketentuan Pasal
56 ayat (1) ini sekali lagi ditegaskan bahwa Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2004
memang mengamanatkan pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh
rakyat.
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dilaksanakan secara
langsung sebagai bagian dari reformasi politik dan demokratisasi mulai dilaksanakan
pada tahun 2005. Hal ini diharapkan akan menciptakan perekrutan pemimpin lokal
dengan standar yang jelas dan transparan, sehingga mampu menumbuhkan sikap
kepercayaan masyarakat.3 Akan tetapi setelah lima tahun berjalan sejak berlakunya
Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2004, pemilihan kepala daerah secara langsung
banyak mendapat sorotan dan nampaknya memang perlu dipikirkan kembali. Hal ini
bukan berarti melangkah mundur tetapi untuk melihat apakah pelaksanaan pemilihan
kepala daerah secara langsung memang sejalan dan bermanfaat bagi pelaksanaan
3 Loc. Cit, Eko Prasojo, hlm. 17.
5
otonomi daerah4. Sebab pernah dilansir oleh Kemendagri, bahwa lebih dari 160
kepala daerah yang telah dan akan dibawa ke Pengadilan. Semuanya terkait kasus
korupsi dana APBD. Hampir semua kepala daerah yang bermasalah tersebut
merupakan hasil dari proses pemilihan kepala daerah langsung5.
Berdasarkan uraian di atas, pemerintah telah mengajukan 2 (dua) kali usulan
revisi Undang-Undang Pemerintahan Daerah, khususnya mengenai pemilihan kepala
daerah. Revisi pertama adalah usulan pemilihan gubernur melalui DPRD, kemudian
usulan tersebut dicabut oleh pemerintah sendiri dengan usulan perubahan kedua, yaitu
bupati dan walikota dipilih melalui DPRD, akan tetapi ada perubahan kembali yaitu
gubernur dipilih secara langsung oleh rakyat.6
Saat itu DPR telah mengesahkan dua (2) RUU menjadi Undang-undang yaitu
Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-
Undang Nomer 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
melalui DPRD. Setelah disahkannya kedua (2) Undang-undang tersebut oleh DPR,
kemudian munculah penolakan dari masyarakat yang tidak menghedaki pemilihan
kepala daerah melalui DPRD. Dengan munculnya penolakan dari masyarakat pada
saat ini, Presiden SBY selanjutnya menerbitkan PERPU yaitu Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang (PERPU) Nomer 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Secara Langsung; dan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang (PERPU) Nomer 2 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
4 Janedjri M. Gaffar, Politik Hukum Pemilu: Pemikiran Ulang Pemilihan Kepala Daerah, Penerbit
Konstitusi Press, Jakarta, 2012, hlm. 121-122.
6 Aturan Pemilihan Gubernur Direvisi, Jakarta, 2009,. Webside:www.detik.com.
6
Daerah. Kedua Undang-undang tersebut mengantikan Undang Undang Nomer 22
Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2014 yang telah disahkan oleh
DPR.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dan guna memberikan sumbangan
pemikiran untuk memperbaiki mengenai sistem pemilihan gubernur kepala daerah
menurut UUD 1945 dimasa mendatang, maka diperlukan pengkajian yang mendalam
melalui penelitian ini dengan judul “Implementasi Sistem Pemilihan Kepala
Daerah Secara Langsung oleh Rakyat Menurut UUD 1945”.
B. Identifikasi Masalah
Implementasi atau penerapan pemilihan kepala daerah secara langsung
ternyata menimbulkan dampak pada aspek hukum, politik dan ekonomi, aspek
tersebut mempunyai dampak positif dan negatif, dan dari implementasi yang
berdampak langsung pada aspek yang bersinggungan dengan masyarakat maka harus
di temukan konsep seperti apa yang sesuai dengan masyarakat di indonesia
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasikan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana implementasi terkait dengan penerapan sistem pemilihan kepala
daerah secara langsung pada propinsi papua?
2. Bagaimana dampak positif dan negatif yang muncul dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah pada pelaksanaan pemilihan kepala ndaerah secara
langsung?
7
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Menemukan seperti apa implementasi pemilihan kepala daerah secara
langsung di papua.
b. Menemukan permasalahan-permasalahan yang muncul dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah pada pemilihan kepala daerah secara
langsung
D. Kegunaan Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran
bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya hukum tata negara dan hukum
pemerintahan daerah, terutama mengevaluasi dan menata kembali persolan pemilihan
gubernur secara langsung oleh rakyat menurut UUD 1945.
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi
Pemerintah dan DPR dalam membuat dan merumuskan kebijakan terkait pengaturan
pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat menurut UUD 1945.
8
E. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan uraian permasalahan tersebut di atas, maka peneliti
menggunakan pendekatan teori berupa: Teori Demokrasi sebagai Grand Theory,
dan Teori Pengisian Jabatan digunakan sebagai Middle Range Theory, serta teori
Pengisian Jabatan Kepala Daerah sebagai Applied Theory. Teori-teori ini digunakan
sebagai pisau analisis yang akan diuraiakan di bawah ini.
1. Teori Demokrasi
Pada masa awalnya ajaran kedaulatan rakyat sebagai mitos abad
kesembilan belas (de mithos der 19de eeuw) oleh Logemann,7 namun sampai saat
ini ajaran tersebut masih relevan. Kedaulatan secara sederhana didefinisikan
sebagai kekuasaan tertinggi atau wewenang tertinggi yang menentukan segala
wewenang yang ada dalam suatu negara,8 sehingga dapat disebut sebagai
kekuasaan mutlak atau tak terbatas, tak tergantung, dan tanpa terkecuali.9 Artinya
kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi.
Demokrasi dan kedaulatan rakyat adalah dua hal yang sangat berhubungan.
Teori demokrasi mengacu pada konsep J.J. Rousseau bahwa pemegang
kekuasaan tertinggi adalah rakyat. Rakyat mempunyai otoritas untuk memilih
bahkan memerintah. Namun demikian, dalam implementasinya, rakyat sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi tersebut, tidak serta merta dapat memerintah
7 Rusadi Kantaprawira, “Bisis Teoritis dan Lahirnya Negara dan Hukum”, Makalah pada seminar
Nasional “Hukum dan Kekuasaan”, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1996, hlm. 6. 8 Ismail Sunny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Penerbuit Taruna Jaya, Jakarta, 1968, hlm. 8 9 Frans Magnis-Suseno, Etika Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1987., hlm. 175.
9
karena dalam masyarakat modern, jumlah mereka sudah sangat banyak. Dengan
demikian, munculah gagasan atau pemikiran mengenai konsep pemerintahan
representasi/perwakilan. Para wakil rakyat inilah yang kemudian harus dihasilkan
dari suatu mekanisme pemilihan yang melibatkan seluruh masyarakat.
Dalam memaknai demokrasi, C.F. Strong mengemukakan bahwa
demokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan yang ditata dan diorganisasikan
berdasarkan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat (populer soveregnity), kesamaan
politik (political equality), konsultasi atau dialog dengan rakyat (political
consultasi), dan berdasarkan pada aturan mayoritas.10 Demokrasi juga diartikan
sebagai sistem politik nasional yang berdasarkan partisipasi warga negara,
peraturan mayoritas, konsultasi dan diskusi, dan pertanggungjawaban pemimpin
terhadap pemilih11. Selain itu, demokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan
yang kekuasaannya dalam mengambil keputusan untuk suatu negara diterapkan
secara sah, bukan menurut golongan atau beberapa golongan, tetapi menurut
anggota-anggota dari suatu komunitas sebagai suatu keseluruhan.12
Definisi lainnya tentang demokrasi yang terkait dikemukakan oleh Henry
B. Mayo dalam bukunya yang berjudul Introduction to Democratic Theory,
sebagaimana dikutib Miriam Budiardjo yaitu:
“a democratic political system is one in which public policies ar mad on a
majority basis, by representatives subject to effective popular control at
10 C.F.Strong, Modern Political Constitution, Sidgwick and Jackson Ltd., London, 2003, hlm. 69. 11 Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD Dan
Kepala Daerah, Alumni, Bandung, 2004. hlm. 60. 12 Loc.Cit., C.F.Strong, hlm. 71.
10
periodic elections which are conducted on the principle of political equality
and under conditions of political freedom” (Sistem politik yang demokratis
ialah di mana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh
wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-
pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan
diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik) 13
Seakan konsisten dengan definisi tentang sistem pemerintahan demokrasi,
Henry B. Mayo merinci nilai-nilai demokrasi yang terdiri dari:
a. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga
(institutionalized peaceful settlement of conflict);
b. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat
yang sedang berubah (peaceful change in a changing society);
c. Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur (orderly succession of
rulers);
d. Membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum (minimum of coercion);
e. Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman (diversity);
f. Menjamin tegaknya keadilan.14
Menurut suatu penelitian yang diselenggarakan oleh UNESCO dalam tahun
1949: “Mungkin untuk pertama kali dalam sejarah demokrasi dinyatakan sebagai
nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial
yang diperjuangkan oleh pendukung pendukung yang berpengaruh (propably for
the first time in history democracy is claimed as the proper ideal description of
13 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia, Jakarta, 2008, hlm. 117 14 Ibid, hlm. 118-119.
11
all system of politics and social organizations advovated by influential
proponents)”.15
Sedangkan Henry B. Mayo sebagaimana dikutib Miriam Budiardjo
menyatakan bahwa nilai-nilai yang harus dipenuhi untuk kriteria demokrasi
adalah:16 (1) menyelesaikan pertikaian-pertikaian secara damai dan sukarela; (2)
menjamin terjadinya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang selalu
berubah; (3) pergantian penguasa dengan teratur; (4) penggunaan pemaksaan
seminimal mungkin; (5) pengakuan dan penghormatan terhadap nilai-nilai
keanekaragaman; (6) menegakkan keadilan; (7) memajukan ilmu pengetahuan;
dan (8) pengakuan dan penghormatan terhadap kebebasan (liberty).
Landasan mekanisme kekuasaan yang diberikan oleh konsepsi demokrasi,
yang mendasarkan pada prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Pada
hakikatnya, kekuasaan dalam suatu organisasi dapat diperoleh berdasarkan
legitimasi religious, legitimasi ideologis eliter, atau legitimasi pragmatis.17
Namun, kekuasaan berdasarkan legitimasi-legitimasi tersebut, dengan sendirinya,
mengingkari kesamaan dan kesederajatan manusia, karena mengklaim kedudukan
lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia lainnya. Selain itu, kekuasaan
yang berdasarkan ketiga legitimasi tersebut akan menjadi kekuasaan yang absolut,
karena asumsi dasarnya menempatkan kelompok yang memerintah sebagai pihak
15 Ibid, hlm. 105 16 Miriam Budiardjo, op.cit., Masalah Kenegaraan,,,,, hlm. 165-191. 17 Frans Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hlm. 30-66.
12
yang berwenang secara istimewa dan lebih tahu dalam menjalankan urusan
kekuasaan negara. Kekuasaan yang didirikan berdasarkan ketiga legitimasi
tersebut bisa dipastikan akan menjadi kekuasaan yang otoriter.18
Dengan demikian, kekuasaan yang diperoleh melalui mekanisme
demokrasi, karena konsepsi demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik
kedaulatan yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat, maka bisa
dipastikan akan menjadi kekuasaan yang demokratis karena kehendak rakyatlah
sebagai landasan legitimasinya.
Sejalan dengan logika berpikir bahwa yang dapat dikuasai itu mencakup
orang sebagai objek/subjek politik dan benda sebagai objek/subjek ekonomi,
maka kekuasaan tertinggi yang berada di tangan rakyat dalam pengertian kita
tentang konsep demokrasi juga meliputi cakupan yang sama, yaitu kedaulatan
rakyat di bidang politik dan ekonomi. Kedaulatan rakyat di bidang politik itulah
yang selama ini dari tradisi liberalisme barat modern disebut dengan perkataan
demokrasi. Istilah demokrasi ekonomi di dunia barat baru dikenal di kemudian
hari setelah wacana tentang kedaulatan rakyat di bidang ekonomi mencapai
perkembangan puncaknya dalam tradisi politik Eropah Timur yang akrab dengan
paham sosialisme ekstrim. Dalam gagasan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi
itu terkandung pengertian bahwa ide kekuasaan tertinggi yang berada di tangan
rakyat mencakup tidak saja dalam lapangan politik, tetapi juga perekonomian.
18 Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstiusi, Jakarta, 2008, hlm. 532.
13
Terkait dengan permasalahan penelitian ini adalah ajaran demokrasi
langsung maupun ajaran demokrasi perwakilan, keduanya dapat diterangkan
sebagai berikut:
a. Demokrasi langsung
Pada dasarnya, demokrasi langsung adalah ungkapan yang sempurna
untuk keadaulatan rakyat. Rakyat dapat secara langsung menentukan
kebijakan politik secara bersama-sama. Namun demikian hal ini hanya dapat
dilakukan jika syarat-syarat sebagaimana dikemukakan oleh Roesseau yaitu:
1) Jumlah Warga Negara harus kecil;
2) Pemilikan dan kemakmuran harus dibagi secara merata;
3) Masyarakat secara kebudayaan harus homogen;
4) Mereka melaksanakan undang-undang tidak boleh bertindak sendiri di
luar kemauan rakyat yang telah membuat undang-undang pertama kali.
b. Demokrasi Perwakilan
Perkembangan selanjutnya dari demokrasi langsung adalah gagasan
tentang demokrasi perwakilan seiring dengan perkembangan masyarakat yang
semakin bertambah jumlah penduduk, wilayah yang luas dan kompleksitas
masalah dan keanekaragaman budaya akibat interaksi antar individu dalam
sebuah kelompok masyarakat. Kondisi tersebut menuntut masyarakat untuk
menciptakan lembaga perwakilan rakyat atau biasa disebut parlemen.19
19 Ashiddiqie Jimly, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi. Pers, Jakarta, 2006. hlm.
153.
14
Lembaga perwakilan rakyat atau parlemen disebut dengan berbagai
macam istilah sesuai dengan bahasa yang dipakai di setiap negara. parlemen
dipandang sebagai representasi mutlak warga negara dalam rangka ikut serta
menentukan jalannya pemerintahan. Apa yang menjadi keputusan parlemen
adalah merupakan keputusan rakyat yang berdaulat sehingga muncullah
doktrin supremasi parlemen atau the principle of supremacy of parliament
sehingga produk parlemen seperti undang-undang tidak dapat diganggu gugat
apalagi dinilai oleh hakim. Menurut Miriam Budiarjo, masalah perwakilan
dikategorikan ke dalam dua hal yaitu perwakilan politik (political
representation) dan perwakilan fungsional (functional representation),
sedangkan Jimly Asshidiqie menambahkan kategori prinsip perwakilan
sehingga menjadi tiga hal yaitu perwakilan politik (political representation),
perwakilan teritorial (territorial representation) dan perwakilan fungsional
(functional representation).20 Perwakilan politik adalah perwakilan melalui
prosedur partai politik sebagai pilar utama demokrasi modern. Perwakilan
teritorial dan perwakilan fungsional merupakan kritik atas perwakilan politik
yang dianggap tidak sempurna tanpa adanya double chek, sehingga
kepentingan dan aspirasi rakyat benar-benar dapat tersalurkan oleh karena itu
perlu diadakan perwakilan berdasarkan daerah dan fungsi-fungsi yang ada
dalam masyarakat.
20 Pandangan antara Miriam Budiarjo dan Jimly Asshidiqie memiliki kemiripan terhadap prinsip
perwakilan namun Jimly menambahkan prinsip perwakilan territorial dalam prinsip pewakilan yang
seakan melengkapi pandangan dari Miriam Budiarjo dalam ibid.
15
Penyerahan kekuasaan rakyat dalam mengambil keputusan kepada
lembaga perwakilan dilakukan melalui suatu proses pemilihan. Oleh karena
itu, pemilihan umum dianggap sebagai pilar pokok dari demokrasi yang
dilakukan secara berkala sebagai bagian dari kontrol rakyat terhadap
keberadaan lembaga perwakilan.
2. Teori Pengisian Jabatan
Pengisian jabatan merupakan salah satu unsur penting dalam hukum tata
negara. Tanpa diisi dengan Jabatan (ambtsdrager), fungsi-fungsi jabatan negara
tidak mungkin dijalankan sebagaimana mestinya.21
Dalam bidang hukum publik, negara adalah organisasi jabatan. Menurut
Logemann, “In zjin sociale verschijningsvorm is de staat organisatie, en verband
van functies. Met functies is van bedoeld; een omschreven werkkring in verband
van het geheel, Zij heet, met betrekkingtot de staat, ambt. Destaat is
ambtenorganisatie.22 (Dalam bentuk kenyataan sosialnya, negara adalah
organisasi yang berkenaan dengan berbagai fungsi. Pengertian fungsi adalah
lingkungan kerja yang terperinci dalam hubungannya secara keseluruhan. Fungsi-
fungsi ini dinamakan jabatan. Negara adalah organisasi jabatan). Definisi lain,
bahwa “Een ambt is een instituut met eigen werkkring waar bij de instelling
duurzaam en welomschreven taal en bevoegheden zijn verleed. 23 (Jabatan adalah
21 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi, Gama Media, Yogyakarta, 2008, hlm 63. 22 Logemann, Over de Theorie van een Stelling Staatsrecht, Seksama, Jakarta, 1954, hlm, 88. 23 N.E. Agra dan H.C.J.G. Janssen, Rechtsingang, Een Orientasi in Het Recht, H.D. Tjeenk Willink bv,
Groningen, 1974, hlm. 175.
16
suatu lembaga dengan lingkup pekerjaan sendiri yang dibentuk untuk waktu lama
dan kepadanya diberikan tugas dan wewenang). Menurut Bagir Manan, jabatan
adalah likungan pekerjaan tetap yang berisikan fungsi-fungsi tertentu yang secara
keseluruhan mencerminkan tujuan dan tata kerja suatu organisasi. Negara
berisikan jabatan atau lingkungan kerja tetap dengan berbagai macam fungsi
untuk mencapai tujuan negara.24
Menurut E. Utrecht, dengan istilah lain yaitu jabatan adalah suatu
lingkungan pekerjaan tetap (kring van vaste werzaamheden) yang diadakan dan
dilakukan guna kepentingan negara.25 Sementera itu, dapat dikatakan bahwa
jabatan itu bersifat tetap, sedangkan pemegang jabatan dapat berganti-ganti dan
digantikan, contoh jabatan presiden, wakil presiden, jabatan menteri, jabatan
gubernur, wakil gubernur, jabatan bupati, wakil bupati, jabatan walikota, dan lain-
lain, relatif bersifat tetap, namun pemegang jabatan atau pejabatnya sudah
berganti-ganti atau dapat digantikan.
Dengan demikian, pengertian inti tata negara adalah jabatan. Oleh karena
itu, negara menampakkan diri dalam masyarakat sebagai sebuah organisasi,
segolongan manusia yang bekerja sama mengadakan pembagian kerja yang
sifatnya tertentu dan terus menerus untuk mencapai tujuan bersama atau tujuan
negara. Dengan adanya pembagian kerja itu terbentuklah fungsi-fungsi. Dimana
24 Bagir Manan, ”Pengisian Jabatan Presiden Melalui (dengan) Pemilihan Langsung”, Makalah,
Bandung , 6 Februari 1999, hlm. 1. Lihat juga dalam bukunya Bagir Manan, Teori dan Politik
Konstitusi, Cet kedua, FH UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm 16. 25 E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1957, hlm. 200.
17
yang dimaksud dengan fungsi ialah lingkungan kerja yang terbatas dalam rangka
suatu organisasi. Bertalian dengan negara, fungsi itu disebut jabatan.
Dalam jabatan, selalu melekat pertanggungjawaban dapat dibedakan antara
tanggungjawab politik dan tanggungjawab hukum, etik dan lain sebagainya
(bukan politik). Tiap jabatan yang secara langsung dipertanggungjawabkan
kepada publik semestinya berada di bawah pengawasan langsung dari publik.
Oleh karena itu, pengisian jabatan senantiasa memerlukan keikutsertaan atau
pengukuhan publik. Sebaliknya, jabatan jabatan yang tidak memerlukan
pertanggungjawaban secara langsung dan juga tidak memerlukan pengawasan
serta kendali langsung oleh publik, dapat pula diisi tanpa partisipasi atau
dukungan langsung dari publik. Berdasarkan kriteria itu, maka pengisian jabatan
dapat dibedakan sebagai berikut: 1) Pengsian jabatan dengan pemilihan (election);
2) Pengisian jabatan dengan cara pengangkatan (appointment); 3) Pengisian
jabatan yang sekaligus mengadung pengangkatan dan pemilihan (yang berfungsi
sebagai pernyataan dukungan).26
Sejalan juga apa yang dikemukanan di atas, menurut Joko J. Prihatmoko,
pengisian jabatan dibagi tiga jenis sistem pengisian jabatan kepala daerah yakni;
(l) sistem penunjukan dan/atau pengangkatan oleh pemerintah/pejabat pusat, (2)
26 Triwahyuningsih, Pemilihan Presiden Secara Langsung Dalam Kerangka Negara Kesatuan,
Penerbit Tiara, Yogyakarta, 2001, hlm. 60.
18
sistem pemilihan perwakilan dewan/-council dan (3) sistem pemilihan langsung
oleh rakyat27.
Sistem penunjukan dan/atau pengangkatan oleh pemerintah/pejabat pusat
paling kurang legitimasinya, sehingga tidak popular di negara-negara demokrasi
modern yang memelihara dan menghidupkan sistem nilai dan norma demokrasi.
Dalam sistem ini, rakyat hanya menjadi objek politik, karena tidak memiliki akses
informasi dan partisipasi. Sebaliknya, kewenangan pejabat/elit pusat untuk
mengatur dan mengendalikan kepala daerah sangat tinggi. Pada umumnya, sistem
ini diterapkan di negara-negara kesatuan (unitaris) yang masih mempertahankan
sistem monarkhi, emirat atau otoritarianism dengan variasi-variasi sistem
pemerintahan sejenis28.
Di negara-negara di dunia ini hampir dua pertiganya bahwa sistem
pemilihan perwakilan Dewan/Council banyak digunakan, dimana negara tersebut
menganut sistem kesatuan. Partisipasi rakyat dalam sistem ini tidak sempurna
karena rakyat diwakili anggota dewan. Legitimasi kepala daerah terasa amat
kurang jika sistem rekrutmen anggota dewan tidak kompetitif dan akuntabel, serta
mekanisme pertanggungjawabannya bersifat tertutup dan manipulatif. Hasrat
pusat untuk melakukan kontrol masih sangat besar sehingga sistem ini banyak
mendapat kritikan. Optimalisasi dan efektifitas sistem pemilihan perwakilan
27 Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung Filosofis, Sistem dan Problematika
Penerapannya di Indonesia, Pustaka Pelajar dan LP3M Univ. Wahid Hasyim, Surabaya, 2005, hlm
101-104. 28 Ibid.
19
sangat tergantung pada kualitas dewan di daerah (DPRD) dalam
mempertanggungjawabkan preferensi atau pilihannya pada rakyat dan usaha
memaksimalkan fungsi kepala daerah.
Dalam konteks itu, sesungguhnya berbagai teori yang ada dalam
prakteknya adalah sebagai cara untuk mencapai tujuan otonomi daerah dengan
ditopang dengan pemerintahan yang efektif (efective governan
ce) pasca pilihan kepala daerah langsung oleh rakyat. Karena pemilihan
kepala daerah secara langsung oleh rakyat yang saat ini masih berlangsung, yang
nyata-nyatanya banyak membawa mudaratnya dibandingkan manfaatnya, akan
tetapi rakyat masih tetap mengingkan pemilihan secara langsung.
3. Teori Pengisian Jabatan Kepala Daerah
Pengisian jabatan kepala daerah merupakan salah satu unsur penting
dalam hukum tata negara.29 Tanpa diisi dengan pejabat (ambtsdrager), fungsi-
fungsi jabatan negara tidak mungkin dijalankan sebagaimana mestinya. Pengisian
jabatan tidak hanya dilakukan sekali namun dilaksanakan secara reguler setiap
periode tertentu untuk memilih pejabat pemimpin daerah guna menunjang
berjalannya fungsi negara. Tanpa mekanisme pengisian yang jelas, pengisian
pemangku jabatan sebagai pelaksana jabatan tidak dapat berjalan. Dalam konsepsi
29 Logeman membuat tujuh rincian objek kajian hukum tata Negara, diantaranya adalah (1). Jabatan-
jabatan apakah yang terdapat dalam susunan ketatanegaraan tertentu; (2). Siapakah yang mengadakan
jabatan-jabatan itu; (3). Bagaimanakah cara melengkapinya dengan pejabat; (4). Apakah tugasnya; (5).
Apakah wewenangnya; (6). Perhubungan kekuasaannya satu sama lain; (7). Dalam batas-batas apakah
organisasi negara dan bagian-bagiannya menjalankan tugas dan wewenangnya, Lihat dalam Sri
Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 174. Lihat juga
dalam Bagir Manan. Lembaga Kepresidenan cetakan ke II. FH UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 81,
dan Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia. Rajawali Press, Jakarta, 2005, hlm. 8.
20
Negara Kesatuan30 Republik Indonesia yang menerapkan desentralisasi, pengisian
jabatan kepala daerah merupakan bentuk pengisian pejabat negara agar
pelaksanaan fungsi pemerintahan daerah sebagai bagian dari pemerintahan pusat
dapat terlaksana. Mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dimaksudkan untuk
memilih pemimpin di level daerah yang akan menjalankan fungsi pemerintah
daerah.
Dalam konsep otonomi daerah, kepala daerah memiliki peran penting.
Tidak dapat dipungkiri, saat ini kepala daerah otononomi memiliki peran yang
menentukan dalam pemerintah daerah. Kewenangan besar yang dimiliki kepala
daerah akan menentukan pembangunan dan kesejahteraan daerah berdasarkan
prakarsa masing-masing daerah. Bisa dikatakan, keberhasilan pembangunan dan
peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah akan ditentukan oleh kepala daerah
yang memimpin. Untuk itulah, diperlukan kepala daerah yang berkualitas.
Namun, dalam konteks demokrasi dewasa ini tidak hanya kepala daerah yang
berkualitas yang diperlukan namun juga kepala daerah yang memiliki
akseptabilitas dan akuntabilitas yang baik sesuai dengan kehendak rakyat sebagai
pemilik kedaulatan. Oleh karena itulah, diperlukan mekanisme pengisian jabatan
kepala daerah yang demokratis.
30 Pada tataran Internasional jumlah Negara Kesatuan (unitary state: eenheidstaat) lebih banyak
daripada Negara federal (federation; bondsstaate; bundesstaat). Data yang disajikan Shah dan
Thompson (2002) menunjukkan bahwa ditahun 201 terdapat 168 negara kesatuan dan 24 negara
federal. Salah satu dari 168 negara kesatuan tersebut adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Lihat dalam Bhenyamin Hoessein, Perubahan Model, Pola, dan Bentuk Pemerintahan Daerah Dari
Era Orde Baru ke Era Reformasi, Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 165
21
Perkembangan terkini menunjukkan bahwa dalam konstitusi pasca
amandemen diatur mekanisme pengisian jabatan kepala daerah. UUD 1945
menyebutkan bahwa pengisian jabatan kepala daerah harus dilaksanakan dengan
pemilihan secara demokratis. Hal ini sebagaimana pengaturan Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945 pasca amandemen yang berbunyi: ”Gubernur, Walikota masing-
masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih
secara demokratis”. Tidak dijelaskan lebih lanjut bagaimana makna ”dipilih
secara demokratis” itu. Pemilihan yang demokratis bermakna ganda (ambigous),
artinya ada alternatif bisa dipilih langsung atau tidak langsung/perwakilan dengan
ketentuan demokratis.
Penegasan dalam konstitusi agar pengisian jabatan kepala daerah
dilakukan dengan pemilihan secara demokratis adalah bentuk upaya peneguhan
prinsip negara hukum yang demokratis dalam pengisian jabatan kepala daerah.
Dalam konstitusi-konstitusi sebelumnya yang pernah berlaku di Indonesia,
pengaturan mengenai pengisian jabatan kepala daerah tidak pernah dimasukkan
dalam konstitusi, tidak ada penegasan untuk dilakukan secara demokratis atau
tidak. Jika menilik Pasal 18 UUD 1945, Pemerintahan Daerah hanya diatur dalam
satu pasal.31 Ini dinilai terlalu sederhana, sehingga pembuat undang-undang
organik memegang semacam mandat blanko yang akan diisi dengan konfigurasi
31 Pasal 18 UUD 1945, “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk
susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati
dasar permusyawaratan dalam system pemerintahan Negara, dan hak asal usul dalam daerah-daerah
yang bersifat istimewa”
22
politik yang dominan.32 Mekanisme pengaturannya diserahkan sepenuhnya
kepada pembentuk undang-undang termasuk mengenai pengisian jabatan kepala
daerah dalam pemerintahan daerah. Oleh karenanya, dasar pengisian jabatan
kepala daerah tergantung pada politik hukum33 dari pembuat undang-undang.
Meskipun tidak meneguhkan prinsip demokrasi dalam ketentuan
pemilihan kepala daerah, pada dasarnya UUD 1945 sebelum amandemen, juga
telah menerapkan demokrasi dalam konstitusi.34 Hanya saja, dalam praktik
muncul tafsir demokrasi yang berbeda.35 Tengok saja, dalam praktik politik
muncul penerapan demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, dan demokrasi
32 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum FH UII, Yogyakarta, 2001,
hlm. 4. 33 Menurut Padmo Wahyono, politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang
dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini, kebijakan tersebut dapat berkaitan
dengan pembentukan hukum, penerapan hukum, dan penegakannya sendiri, Lihat dalam artikelnya,
”Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-Undangan”. Forum Keadilan. No. 29 April 1991, hlm.
65, sebagaimana dikutip oleh Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 26. 34 Hal ini nampak dalam Pasal 1 ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa ”Kedaulatan adalah
ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. 35 Ide demokrasi dianggap ambigu (ambigous) atau mempunyai banyak pengertian, sekurang-
kurangnya ada ambiguity, ada ketidaktentuan mengenai lembaga-lembaga atau cara-cara yang dipakai
untuk melaksanakan ide, atau mengenai keadaan kultural secara historis yang mempengaruhi istilah,
ide, dan praktek demokrasi. Hal ini menunjukkan bahwa masalah yang belum menemui titik temu
disekitar perdebatan tentang demokrasi adalah bagaimana mengimplementasikan demokrasi dalam
praktek kehidupan bernegara. Berbagai negara telah menentukan jalannya sendiri-sendiri yang tidak
sedikit diantaranya justru mempraktikan cara-cara atau mengambil jalur yang tidak demokratis,
kendati diatas kertas menyebutkan demokrasi sebagai asasnya yang fundamental. Oleh sebab itu, studi
politik sampai pada identifikasi bahwa fenomena demokrasi dapat dibedakan atas demokrasi normatif
dan demokrasi empirik. Demokrasi normatif menyangkut rangkuman gagasan-gagasan atau idealisme
tentang demokrasi yang terletak dialam filsafat, sedangkan demokrasi empirik adalah pelaksanaannya
dilapangan yang tidak selalu paralel dengan gagasan normatifnya. Ada yang menyebut istilah lain
untuk keduanya yakni essence untuk demokrasi normatif dan performance untuk demokrasi empirik,
yang didalam ilmu hukum istilah yang sering dipakai adalah demokrasi ”das sollen” dan demokrasi
”das sein. Lihat dalam SI. Benn dan R.S. Peters, Principles Of Political Thought, Collier Books, New
York, 1964, hlm. 393. Sebagaimana dikutip oleh Miriam Budiharjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm. 105. dan Ni’matul Huda. op. cit ., Hukum Tata
Negara......, hlm. 238.
23
Pancasila yang diklaim menjadi pijakan dari setiap kebijakan pemerintahan yang
dijalankan namun berbeda-beda dalam implementasinya.
Sistem demokrasi dan tafsir yang diterapkan masing-masing rezim
pemerintahan berpengaruh terhadap kebijakan (policy) yang ditetapkan. Salah
satu kebijakan itu adalah aturan mengenai mekanisme pengisian jabatan kepala
daerah yang dibuat oleh para pembentuk undang-undang. Melalui Undang-
Undang Nomer 22 Tahun 1948 dan Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1957, ketika
berlakunya sistem demokrasi liberal pengisian jabatan kepala daerah dilakukan
dengan mekanisme pengangkatan. Pada masa demokrasi terpimpin yang berlaku
Penetapan Presiden Nomer 6 tahun 1959 jo Penetapan Presiden Nomer 5 Tahun
1960; Undang-Undang Nomer 6 Tahun 1956 dan Undang-Undang Nomer 18
Tahun 1956, juga digunakan sistem pengangkatan. Sistem pemilihan perwakilan
diterapkan dalam Undang-Undang Nomer 5 Tahun 1974, di era demokrasi
Pancasila dipilih beberapa calon oleh lembaga DPRD dan kemudian calon yang
dipilih itu akan ditentukan kepala daerah nya oleh Presiden. Mekanisme
demokratis nampak dalam pengisian jabatan dimasa berlakunya Undang-Undang
Nomer 18 Tahun 1965 dan Undang-Undang Nomer 22 Tahun 1999. Sistem
pemilihan perwakilan dimana kepala daerah dipilih secara murni oleh lembaga
DPRD tanpa intervensi pemerintah pusat.36 Pasca ditetapkannya Undang-Undang
Nomer 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, dibawah rezim demokrasi
36 Hazim Hamidi dan Mustafa Lutfi. ”Rethinking Penyelenggaraan Pilkada yang Demokratis dan
Partisipatif ”dalam Konstitusionalisme Demokrasi, Makalah Universitas Brawijaya Malang, 2010, hlm.
214-215.
24
era reformasi,37 konstitusi yang mengatur bahwa pengisian jabatan kepala daerah
melalui pemilihan demokratis, dimaknai dengan pemilihan langsung oleh
rakyat.38 Adanya berbagai model mekanisme pengisian jabatan kepala daerah di
atas memunculkan asumsi bahwa pemerintahan yang mengaku menerapkan
prinsip demokrasi bisa memaknai pengisian jabatan kepala daerah dalam berbagai
mekanisme. Termasuk pemaknaan terhadap pemilihan secara demokratis
sebagaimana diatur dalam konstitusi yang beralaku saat ini. Dengan demikian,
bisa dikatakan makna demokrasi menjadi ambigu ketika dilihat dalam praktek
pengisian jabatan kepala daerah di Indonesia selama ini.
Terdapat perdebatan terkait penerapan mekanisme pengisian jabatan
Kepala Daerah melalui pemilihan langsung yang dikukuhkan melalui Undang-
Undang Nomer 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di era demokrasi
pasca refomasi. Pemilihan langsung dianggap masyarakat tidak dilaksanakan
dengan pengaturan yang tepat. Suara masyarakat ini muncul dalam permohonan
judicial review Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2004 ke Mahkamah Konstitusi
(MK). Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2004 tersebut menempatkan pemilihan
langsung kepala daerah di bawah wewenang pemerintahan daerah dan
dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang bertanggung
jawab terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Konsepsi Undang-
37 Demokrasi yang saat ini berlaku oleh para ahli disebut sebagai demokrasi transisional maupun
demokrasi era reformasi. Istilah tersebut pada dasarnya sama digunakan penulis untuk menyebut
demokrasi yang saat ini sedang berlaku di Indonesia pasca reformasi. 38 Pemilihan langsung semula menjadi tanggung jawab pemerintah daerah melalui KPUD dan Tidak
dikategorikan sebagai pemilihan umum namun kemudian melalui UU No. 22 Tahun 2007 tentang
Pemilihan Umum, pemilihan langsung kepala daerah masuk dalam rezim pemilihan umum (pemilu).
25
Undang Nomer 32 Tahun 2004 mengkategorikan pemilihan kepala daerah bukan
sebagai pemilihan umum namun sebagai pemilihan kepala daerah. Menurut para
penggugat pemilihan langsung kepala daerah haruslah dilaksanakan dengan
mekanimse Pemilihan Umum (Pemilu). DPR sendiri membuat Undang-Undang
Nomer 32 Tahun 2004 itu berdasarkan pengaturan pada konstitusi, yang tidak
mengamanatkan bahwa Kepala daerah harus dipilih melalui Pemilu sebagaimana
Pasal 22 E ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa: ”Pemilihan Umum
diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah”. Oleh karena itu, pemilihan langsung kepala daerah dibuatkan
mekanisme tersendiri dalam bingkai pemilihan langsung kepala daerah (Pilkada)
yang dalam pelaksaannya juga menerapkan prinsip-prinsip pemilihan umum
yakni langsung, umum, bersih, jujur dan adil, sebagaimana pemilihan umum.39
Permohonan judicial review tersebut berujung pada keputusan MK
sebagai tafsir sah konstitusi, yang menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah
(pilkada) secara formil bukan pemilu namun secara material dapat dianggap
sebagai pemilu karena menerapkan prinsip-prinsip pemilu. Selain itu, MK juga
membatalkan perihal pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD. Putusan MK ini
memunculkan perdebatan, karena MK tidak tegas memutuskan kedudukan
pemilihan kepala daerah sebagai pemilu atau bukan. Namun kemudian oleh
39 Pasal 56 ayat (1) UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur bahwa:
“Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan
secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”.
26
pembentuk Undang-undang tentang pemilihan kepala daerah dikategorikan masuk
dalam rezim pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomer 22 Tahun
2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum.40 Peraturan tersebutlah yang
menjadi landasan pelaksanaan pengisian jabatan kepala daerah sampai dengan
sekarang.
Dari uraian tersebut di atas, bagan/skema dalam kerangka pemikiran yang
digunakan sebagai pisau analisis adalah sebagai berikut:
F. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian dan Bahan Penelitian
40 Pasal 1 ayat (4) UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum mengatur
bahwa: ”Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala
daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
TEORI DEMOKRASI
(GRAND THEORY)
TEORI PENGISIAN JABATAN
(MIDDLE RANGE THEORY)
TEORI PENGISIAN JABATAN
KEPALA DAERAH
(APPLIED THEORY)
27
Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan spesifikasi penelitian
yang bersifat deskriptif analisis yaitu suatu metode yang bertujuan untuk
melukiskan atau menggambarkan fakta tentang pemilihan gubernur secara
langsung oleh rakyat terhadap kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat di daerah, yang berupa data dan dianalisis dengan menggunakan bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.41 Pada satu
sisi, penelitian ini tidak dimaksudkan hanya untuk melakukan penjajakan
(eskploratif) terhadap persoalan penelitian, walaupun data awal sudah tersedia
tetapi masih belum memadai.
Pada dasarnya penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis (yuridis
nornatif), terutama hukum tata negara dengan menggunakan pendekatan
social-legal research42. Hal ini tidak berarti bahwa pendekatan normatif
ditinggalkan sama sekali, karena bagaimanapun sebuah penelitian hukum
pasti juga menggunakan pendekatan normatif (normatif legal research).
Dengan pendekatan social legal berarti penelitian akan membuka kesempatan
kepada ilmu socio-legal untuk ikut berkonstribusi terhadap hasil penelitian.
Dalam hal ini, ilmu sosial lain yang diharapkan ikut membantu menjawab
permasalahan penelitian ini, terutama ilmu politik dan ilmu administrasi
negara. Hal ini tidak perlu diartikan bahwa dengan demikian ilmu hukum
41 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta,
2008, hlm. 97. 42 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 2006, hlm.
22.
28
memerlukan metode penelitian tersendiri, dalam arti langkah-langkah atau
tahapan-tahapan.43
Penelitian ini juga memakai metode empiris dimana membutuhkan
data-data secara langsung kepada pihak yang bersangkutan yang mengalami
secara langsung tentang sistem pemilihan kepala daerah secara langsung,
disini saya mewawancarai salah seorang anggota DPD RI dari Propinsi Papua
Bapak Pdt Carles Simaremare. S. Th, M.Si
Penelitian ini menggunakan pendekatan social legal research dan
pendekatan normatif juga menggunakan metode pendekatan historis dan
komparatif. Penggunaan pendekatan historis digunakan untuk mengkaji
kaedah kaedah yang pernah berlaku yang mengatur masalah pemilihan
gubernur dan sejarah pembentukannya (yuridis historis). Pendekatan
komparatif dipergunakan untuk melakukan perbandingan dengan negara-
negara lain dalam hal ini yang berhubungan dewan pemilihan gubernur kepala
daerah.
Untuk memperoleh data penelitian ini, maka peneliti akan melakukan
dengan menggunakan cara metode penelitian kepustakaan (library research).
Penelitian kepustakaan bertujuan untuk mengkaji, meneliti, dan menelusuri
data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum.44 Bahan-bahan hukum
43 Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Sebuah Panduan Dasar, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2001, hlm. 26. 44 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hlm.
18.
29
bersifat normative-prespektif, digunakan terutama untuk mengkaji
permasalahan hukum yang terkait dengan substansi peraturan hukum
positifnya (ius constitutum) yang berdasarkan kekuatan mengikatnya
diklasifikasikan sebagai bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tersier, 45 yang terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang
berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
permasalahan yang akan dikaji, terdiri dari: Undang-Undang Dasar 1945,
Undang-Undang Nomer 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, dan DPRD; Undang-Undang Nomer 12 Tahun 2008
tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah; Undang-Undang Nomer 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah; Undang-Undang Nomer 22 Tahun 2007
tentang Penyelenggaraan Pemilu, Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah; Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2014
tentang Pemerintah Daerah, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang Nomer 2 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Undang-
Undang Nomer 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota Melalui DPRD, Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomer
1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Secara
Langsung, Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang menjelaskan bahan
45 Soerjono Soekanto, op.cit, hlm. 52.
30
hukum primer, seperti : hasil penelitian, jurnal ilmiah, hasil seminar atau
pertemuan ilmiah lainnya, bahkan menurut Ronny Hanitijo Soemitro,
dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum termasuk
dalam bahan hukum sekunder ini sepanjang relevan dengan objek kajian
penelitian hukum ini.46
b. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi
petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti kamus hukum,47 Surat kabar, majalah mingguan, bulletin
dan internet juga dapat menjadi bahan bagi penelitian ini sepanjang
memuat informasi yang relevan dengan objek kajian penelitian hukum
ini.48
2. Lokasi Penelitian
Guna mengumpulkan bahan-bahan hukum primer maupun bahan-bahan
hukum sekunder, maka hal tersebut dilakukan dibeberapa perpustakaan antara
lain: a) Perpustakaan Universitas Pancasila dan Fakultas Hukum, f)
Perpustakaan Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan
HAM, g) Perpustakaan Sekretariat DPR dan Perpustakaan Kementerian
46 Ronny Hanitijo Soemitro, op.cit., Metodeologi Penelitian ..... hlm. 24. 47 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2001. hlm. 14-15. 48 Bandingkan dan periksa Jay A. Sieglar & Benyamin R. Beede. The Legal Souyrces of Public
Policy, Massachussets, Toronto, Lexington Books, 2007, hlm. 23.
31
Dalam Negeri RI, Kementrian Luar Negeri Sesditjen PHI, dan Kantor DPD RI
, Kantor Perwakilan Propinsi Papua
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah:
a. Studi dokumen yaitu mengumpulkan bahan-bahan hukum bersifat
normative-perspektif, dilakukan dengan cara penelusuran, pengumpulan
data sekunder mengenai objek penelitian, baik secara konvensional
maupun dengan menggunakan teknlogi informasi seperti internet, dan
lain-lain.
b. Wawancara, yaitu mengadakan tanya jawab untuk memperoleh data
primer secara langsung dengan sejumlah informan kunci (key informan)
yang dipilih secara purposive sampling.
4. Metode Analisa Data
Data yang diperoleh, dikelompokkan dan disusun secara sistematis dan
untuk selanjutnya data tersebut dianalisis, secara analisis kualitatif. Analisis
kualitatif adalah analisis yang berupa kalimat dan uraian.49 Metode yang
digunakan adalah analisis yuridis, yaitu analisis yang mendasarkan pada teori-
teori, konsep dan peraturan perundang-undangan. Setelah itu data yang diperoleh
49 Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yasrif Watampone, Jakarta, 2008,
hlm. 188.
32
disusun secara sistematis dan untuk selanjutnya analisis kualitatif dipakai untuk
mencapai penjelasan yang dibahas.
Penggunaan teori-teori (dan konsep-konsep, Penelitian) dalam menafsirkan
hasil analisis bahan-bahan hukum bersifat normatif-prespektif yang
diinteraksikan dengan hasil analisis fakta kemasyarakatan bersifat empiris-
deskriptif, bertujuan menghasilkan, menstrukturkan dan mensistematisasi
temuan-temuan hukum baru yang menjadi dasar untuk pengambilan kesimpulan
dan pengembangan teori dan konsep baru,50 sehingga tujuan akhir penelitian
hukum ini dapat tercapai, yaitu ditemukannya jawaban permasalahan
mengenai implikasi sistem pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat
menurut UUD 1945.
50 M. van Hoecke, dalam Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah
Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan
Pengembangan Ilmu Hukum Naisonal Indonesia, Cetakan II, CV. Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm.
154-155
33
BAB II
SUATU TINJAUAN HUKUM TENTANG PEMILIHAN KEPALA DAERAH
SECARA LANGSUNG SECARA LANGSUNG DAN METODE PEMILIHAN
UMUM PADA PROVINSI PAPUA (NOKEN)
2.1 Pemilihan Kepala Daerah Setelah Amandemen UUD1945
Amandemen UUD1945 berimplikasi luas terhadap sistem ketatanegaraan, salah
satunya mengenai ketentuan yang menyangkut pemerintah ditingkat daerah yaitu
mengenai pemilihan kepala daerah. Amandemen UUD1945 menghasilkan rumusan
baru mengatur pemerintahan di daerah terutama mengenai pemilihan kepala daerah,
rumusan tersebut terdapat dalam pasal 18 ayat (4) UUD1945:”Gubernur, bupati dan
walikota masing-masing ssebagai kepala pemerintahandaerah provinsi, kabupaten
dan kota dipilih secara demokratis”.
Apabila membaca kembali risalah Sidang MPR dan pada saat amandemen UUD
1945 yang merumuskan pasal 18 ayat (4) UUD 1945, para perumus UUD1945
memang mengkehendaki dan bersepakat bahwa pemilihan gubernur, bupati dan
walikota dilakukan secara demokratis. Namun, perumus UUD1945 tersebut
berkeinginan untuk memberikan kesempatan bagi para pembentuk Undang-undang
untuk mengatur pemilihan kepala daerah lebih lanjut sesuai dengan kondisi
34
keragaman daerah, situasi daerah serta kondisi daerah asal tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip demokrasi. Apabila melihat kembali Frasa “Dipillh secara
demokratis” maka kata demokrasi menurut UUD1945 berarti dipilih secara langsung
oleh rakyat. Hal ini merujuk kembali padapasal 1 ayat (2) UUD 1945 yaitu”
kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Uundang-undang
Dasar” begitu juga dengan pemilihan anggota legislative dan pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Latar belakang pemikiran Pasal 18 ayat (4) saat itu adalah bahwa sistem
pemilihan akan diterapkan sesuai dengan perkembangan masyarakat. Masyarakat
mempunyai pilihan apakah akan menerapkan sistem perwakilan (Pemilihan yang
dilakukan oleh DPRD) atau melalui sistem (pemilihan secara langsung oleh rakyat)
tujuannya adalah agar ada fleksibilitas bagi masyarakat dalam menentukan sistem
pemelihan kepala daerah, hal itu terrkait dengan penghargaan konstitusi terhadap
keragaman adat istiadat dan budaya masyarakat diberbagai daerah yang berbeda-
beda. Ada daerah yang lebih condong untuk menerapkan sistem pemilihan tidak
langsung (demokrasi perwakilan) dan ada pula daerah yang cenderung lebih
menyukai sistem pemilihan langsung(demikrasi langssung) dalam hal memilih
gubernur, bupati dan walikota. Baik sistem pemilihaan secara langsung (demokrasi
langsung) maupun sistem pemilhan secara tidak langsung (demokrasi perwakilan)
sama-sama kateg ri sistem demokratis. Berdasarkan dua pandangan itulah kemudian
disepakati menggunakan kata demokrasi dalam artian karena ayat (7) pada pasal 18
35
itu susunan dari penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam Undang-undang,
Undang-undanglah yang menentukan apakah pemilihan kepala daerah itu dilakukan
langsung oleh rakyat atau sebagaimana itu dilakukan oleh DPRD, yang penting
adalah prinsip dasarnya adalah demoktaris1
Berdasarkan pendapat tersebut, terdapat dua tafsir dari frasa “dipilih secara
demokratis” yaitu dalam arti pemilihan kepala daerah secara langsung dan pemilihan
yang dilakukan oleh DPRD. tetapi amandemen UUD1945 sesuai dengan apasal 1
ayat (2), yang menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar.
Sehingga gagasan pemilihan kela daerah secara langsung lahir dari keinginaan
agar kepala daerah terpilih benar-benar representative, artinya seorang gubernur
misalnya terpilih atau dipilih bukan hasil rekayasa politik Anggota Dewaan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pada akhirnya kepala daerah bukanlah hasil
keinginan rakyat yang sebenarnya2
2.2 Pemilihan Kepala Daerah Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014
Indonesia sendiri baru memberlakukan pemilihan kepala daerah secara
langsung, sejak berlakunya Undang-undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintaha
1 Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara Nomor 072/PUU-II/2004, Pengujian terhadap
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 2Noor M Azis, Pemilihan Kepala Daerah (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI,2011),hlm.69
36
Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 mengenai Tata Cara
Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian kepala daerah.
Dalam konteks ini, Negara memberikan kesempatan kepada masyarakat di
daerah untuk menentukan sendiri pemimpin mereka, serta menetukan sendiri segala
bentuk yang menyangkut harkat hidup rakyat daerah 3
Dengan kata lain semangat dilaksanakannya Pilkada langsung adalah koreksi
terhadap sistem demokrasi tidak langsung (perwakilan) era sebelumnya, dimana
kepala daerah ddan wakil kepala derah dipilih oleh DPRD, menjadi demokrasi yang
berakar langsung pada pilihan rakyat . Oleh karena itu keputusan politik untuk
meneyenggarakan Pilkada adalah langkah strategis dalam rangka memperluas,
memperdalam, dan meningkatkan kualitas demokrasi.4
Negara Indonesia adalah negara yang luas dan besar yang terdiri dari beberapa
pulau-pulau dan di kelilingi oleh lautan-lautan sehingga dapat disebut sebagai negara
kepulauan (archipelago state). Negara Indonesia juga terdiri dari beberapa wilayah
baik itu provinsi-provinsi, kabupaten-kabupaten, kota-kota dan desa-desa, tentunya
negara Indonesia mempunyai keragaman yang sangat beragam mulai dari etnik, suku
bangsa, ras dan golongan, namun patut disyukuri bahwa semua itu dapat dipersatukan
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
3 Joko J. Prihatmoko, Pemilihan kepala Daerah Langsung (Yogyakarta:Pusataka Pelajar,
2005)hlm.19-21 4 Suharijal, Pemilikada, Regulasi, dinamika dan Konsep mendatang, (Jaakarta Raja Grafindo
Persada, 2011),hlm. 42.
37
Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terdapat pemerintah
daerah yang diatur dalam UUDNRI 1945. Pencantuman tentang pemerintah daerah
dalam UUDNRI 1945 dilatar belakangi oleh kehendak untuk menampung semangat
otonomi daerah dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat daerah.5 Otonomi
daerah adalah solusi terbaik untuk menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia.
Dalam dalam Bab VI pasal 18, 18A, 18B UUDNRI 1945 mengatur mengenai
pemerintah daerah dimana Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terdiri dari
provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintah daerah yang mengatur dan
mengurus sendiri pemerintahannya dengan asas otonomi dan tugas pembantuan,
dimana di dalam pemerintah daerah itu terdapat Kepala Daerah dan Dewan
Perwaiklan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai pimpinan pemerintah daerah. Serta juga
diatur mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan daerah serta diakui dan
dihormatinya satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus.
Kemudian sebagai amanat dari UUDNRI 1945 maka dibentuklah aturan lebih lanjut
mengenai pemerintah daerah yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas
5 Sekjen MPR RI. Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan rakyat
Republik Indonesia. Hlm 119. 2012
38
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah Daerah, dan berlaku
Undang-undang Pemerintahan Daerah terbaru Undang-undang Nomor 23 Tahun
2014
Dalam undang-undang tentang pemerintah daerah tersebut yang menarik ialah
mengenai pemilihan Kepala Derah yang lebih demokratis dari pada pemilihan Kepala
Daerah pada masa orde lama dan orde baru. Semangat reformasi, demokrasi dan
otonomi daerah terdapat dalam peraturan tersebut sehingga Kepala Daerah tidak lagi
ditentukan atau dipilih oleh pemerintah pusat melainkan melalui DPRD. Kemudian
berkembang melalui pemilihan langsung oleh rakyat seperti halnya pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden.
Tentunya dalam pelaksanaannya pemilihan kepala daerah secara demokratis
tidak berjalan lancar, ada saja hambatan yang terjadi dari awal pelaksananaan sekitar
tahun 2005 hingga saat ini. Tetapi pemilihan kepala daerah secara demokratis sudah
melahirkan kepemimpinan lokal yang arif dan bijaksan dalam upaya mewujudkan
good governance dan kesejahteraan masyarakat daerah. Apresiasi terhadap para
kepala daerah yang berprestasi tersebut tidak hanya datang dari dalam negeri
melainkan juga dari luar negeri.
Negara Indonesia ini pada dasarnya dan awalnya berdiri adalah himpunan-
himpunan dan kumpulan-kumpulan dari berbagai daerah-daerah yang ada di
Indonesia. Kemudian bersepakat dan melakukan konsensus membentuk sebuah
39
negara yang disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang selanjutnya
berdiri dan terdiri dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Adapun yang dimaksud pemerintah daerah menurut UU Nomor 32 Tahun 2004
tentang pemerintah daerah, pasal 1 butir 2 menyatakan : “Pemerintahan daerah
adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya
dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksudkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19456
2.3 Pemilihan Kepala daerah
Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah terdapat unsur pimpinan dan
perangkat daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan. Kepala daerah salah satu
unsur tersebut, pemilihan kepala daerah semenjak Indonesia merdeka hingga kini
selalu berubah mengikuti dinamika yang terjadi di masyarakat. Pemerintah daerah
semenjak reformasi identik dengan asas otonomi daerah seluas-luasnya yakni terdiri
dari desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan (madebewind).
Kepala daerah memiliki peran yang signifikan untuk suksesnya tujuan negara melalui
tugas dan kewenangannya yang telah di atur dalam undang-undang, sehingga
pimilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis sesuai amanat UUDNRI 1945
6 Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
40
dimana pemilihan secara demokratis yang semula dipilih melalui DPRD berganti
pemilihan secara langsung oleh rakyat seperti pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden Republik Indonesia. Khusus untuk provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY) pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur melalui penetapan setelah di
sahkannya Undang-Undang Keistimewaan DIY. Makna pemilihan secara demokratis
ialah pemilihan dapat dilakukan secara tidak langsung dan langsung dengan melihat
kekhususan dan keistimewaan suatu daerah.
Pengaturan pemilihan kepala daearah pada umumnya berlaku sama menggunakan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008,
kecuali empat provinsi yang bersifat istimewa dan khusus memiliki undang-undang
khusus dan istimewa yaitu : provinsi DKI Jakarta, DIY, Nangroe Aceh Darussalam
(NAD), Papua.
Berikut di bawah ini perbedaan pengaturan pemilihan kepala daerah menurut
Undang-Undang Nomr 5 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang pemerintah daerah dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
pemerintah daerah jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan
kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah.
1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah
41
Menurut pasal 15 UU Nomor 5 tahun 1974, kepala daerah tingkat I dan kepala daerah
tingkat II di calonkan oleh DPRD dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang calon dan
sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon dan diajukan oleh DPRD kepada Presiden
melalui Menteri Dalam Negeri sedikit-dikitnya 1 orang untuk diangkat salah seorang
dianataranya untuk kepala daerah tingkat I provinsi dan kepada Menteri Dalam
Negeri melalui Gubernur untuk kepala daerah tingkat II kabupaten/kotamadya7. Pada
masa orde baru nampak sekali otonomi daerah tidak berkembang, dimana pemilihan
kepala daerah ditentukan oleh pemerintah pusat dan cenderung sentralistik, sehingga
pada masa ini banyak sekali kepala daerah yang berasal dari kalangan militer dan tak
jarang juga calon yang diajukan oleh DPRD ditolak apabila tidak disukai oleh
pemerintah pusat.
2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah
menganut sistem pemilihan tidak langsung yakni para kepala daerah di pilih oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daeha (DPRD). Dalam pasal 34 ayat (1) pengisian jabatan
kepala daerah dan wakil kepala daerah, dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan
secara bersamaan, (2) calon kepala daerah dan wakil calon kepala daerah, ditetapkan
oleh DPRD melalui tahap pencalonan dan pemilihan, (3) untuk pencalonan dan
7 Sudono Syueb, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah sejak kemerdekaan
sampai Era Reformasi. Yogyakarta : Laksbang Mediatama. 2008. Hal 126
42
pemilihan kepala daeah dan wakil kepala daerah, dibentuk panitia pemilihan, (4)
ketua dan wakil ketua DPRD karena jabatannya adalah ketua dan wakil ketua panitia
pemilihan merangkap sebagai anggota, (5) sekretaris DPRD karena jabatannya adalah
sekretaris panitia pemilihan.
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah pemilihan
kepala daerah dipilih oleh DPRD, panitia pemilihanpun berasal dari DPRD,
pencalonan dan penyaringan calon juga di lakukan oleh DPRD melalui partai politik
yang memiliki kursi di DPRD yang membentuk suatu fraksifraksi dengan syarat-
syarat tertentu. dengan sistem ini masyarakat hanya bisa memantau dan mengawasi
serta mencalonkan calon kepala daerahnya melalui DPRD sebagai perwakilannya.
3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah jo
Undang-Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah, pemilihan kepala
daerah di lakukan secara langsung dengan menggunakan sistem pemilihan langsung
yang memberi kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat untuk memilih sendiri
kepala daerah dan wakil kepala daerahnya.
43
Sebelum adanya judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang dapat
mencalonkan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanyalah diajukan oleh partai
politik dan gabungan partai politik, kemudian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
005/PPU-V/2007 mengabulkan permohonan bahwa calon perseorangan atau
independent bisa ikut serta pemilihan umum kepala daerah sesuai persyaratan
tertentu, menindaklanjuti Putusan MK tersebut kemudian di lakukannya legislative
review terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 di rubah menjadi Undang
Nomor 12 Tahun 2008.
Dalam pasal 56 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 menyebutkan8: (1) kepala
daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan
secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
(2) pasangan calon sebagaimana disebut pada ayat (1) diusulkan oleh parati politik,
gabungan parati politik atau perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang
memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan dalam undang-undang ini.
Kemudian yang membedakan dari peraturan sebelumnya yakni mengenai panitia
pemilihan yang sebelumnya panita berasal dari DPRD namun di ganti menjadi komisi
pemilihan umum daerah (KPUD) yang berhak menyelenggarakan pemilihan umum
8 Pasal 56 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah
daerah.
44
kepala daerah (Pilkada). Dalam pasal 57 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang pemerintah daerah menyebutkan9
(1) Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah di selengagarakan oleh KPUD
yang bertanggungjawab kepada DPRD.
(2) Dalam melaksaksanakan tugasnya, KPUD menyampaikan laporan
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada
DPRD.
(3) Dalam mengawasi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah, dibentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah yang keanggotaannya terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan
tinggi, pers, dan tokoh masyarakat.
(4) Anggota panitia pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah 5
(lima) orang untuk provinsi, 5 (lima) orang untuk kabupaten/kota dan 3 (tiga)
orang untuk kecamatan.
(5) Panitia pengawas kecamatan diusulkan oleh panitia pengawas kabupaten/kota
untuk ditetapkan oleh DPRD.
9 Pasal 57 ayat (1)-(7) Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah
45
(6) Dalam hal tidak didapatkan unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3), panitia
pengawas kabupaten/kota/kecamatan dapat diisi oleh unsure yang lainnya.
(7) Panitia pengawas pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dibentuk
oleh dan bertanggungjawab kepada DPRD dan berkewajiban menyampaikan
laporannya.
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara demokratis telah
mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dimana rakyat dapat memilih langsung
kepala daerahnya. Kemudian legitimasi dan kedudukan kepala daerah dengan DPRD
menjadi sama dan sejajar serta saling bekerja sama dan bermitra untuk mewujudkan
good governance dan kesejahtaeraan rakyat. Pemilhan kepala daerah secara
demokratis juga memunculkan kepemimpinan lokal yang mampu berdaya saing
memajukan daerahnya10.
2.4 Pemilihan kepala daerah secara langsung dapat menciptakan pemberdayaan
masyarakat dan kepemimpinan daerah yang arif dan bijaksana
Pemilihan kepala daerah secara demokratis pada umumnya secara langsung banyak
menuai kecaman dan permasalahan dalam pelaksanakaannya seperti terjadinya money
politic di masyarakat secara langsung, dinasti politik, ongkos untuk menjadi kepala
10 Rozali Abdullah, Pelaksanaan OtonomiLluas Dengan Pemilihan Kepala Daerah
Secara Langsung. Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2007. Hal 53-54
46
daerah sangat besar hingga ada yang menghabiskan dana milyaran rupiah dan lain
sebagaianya. Namun yang patut disyukuri ialah dengan adanya pemilihan kepala
daerah secara langsung bermunculan muka-muka baru pemimpin-pemimpin daerah
yang memang berhasil membangun daerahnya dan dicintai serta disukai oleh
masyarakatnya, hal ini menandakan pemilihan kepala daerah secara langsung dapat
memberdayakan masyarakat dan menciptakan kepemimpinan lokal/daerah yang arif
dan bijaksana dalam mewujudkan kesejahtaeran dan kemakmuran masyarakat daerah.
Sebagus apapun sebuah negara yang ditata secara demokratis, tidak akan dianggap
benar-benar demokratis manakala pemimpin-pemimpinnya tidak dipilih secara bebas
oleh rakyatnya sendiri. Pemilihan selalu dijadikan tolak ukur untuk menentukan
sebuah negara demokratis atau tidak. Demokrasi memang tidak semata-mata
ditentukan oleh ada tidaknya pemilihan oleh rakyat atas pemimpin-pemimpinnya.
Pemilihan memerlukan perangkat lain untuk medukung proses pemilihan11
Harus diakui dari 497 kepala daerah banyak yang tersangkut korupssi dan lain
sebagainya, namun hal itu tidak terlepas dari peran media sekarang yang memakai
konsep “bad news is good news, god news is bad news”. Karena masih banyak
kepala daerah yang berprestasi dan masyarakatnya makmur dan sejahtera hiduap
aman dan tenteram seperti mantan Walikota Jokowi yang sekarang menjadi Gubernur
11 Ni’ matul huda, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan dan
Problematika.. Yogyakarta : pustaka pelajar. 2009. Hal 204.
47
DKI Jakarta, Bupati Kutai Ihsan Nooo, Walikota Surabaya Tri Rismaharini,
Gubernur Sulawesi selatan Syahril Yasin Limpo dll. Setidaknya masyarakat atau
rakyat sudah memilih secara langsung pemimpin daerahnya.
Secara umum dikatakan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung itu lebih
denokratis, setidaknya ada dua alasan yakni : pertama, untuk lebih membuka pintu
bagi tampilnya kepala daerah yang sesuai dengan kehendak mayoritas rakyat sendiri .
Kedua, untuk menjaga stabilitas pemerintahan agar tidak mudah dijatuhkan di tengah
jalan12 . Dengan adanya pemilihan langsung, sekarang para kepala daerah beragam
latar belakangnya tidak hanya dari kalangan militer tetapi dari kalagan orang biasa
dapat menjadi kepala daerah. Serta tidak hanya partai politik (parpol) yang dapat
mengajukan calon kepala daerah tetapi perseorangan atau independent juga dapat
mengajukan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan dalam peraturan
pemilihan kepala daerah.
Walaupun dengan adanya pemilihan kepala daerah secara langsung, pemerintah
daerah tetap berhubungan secara sinergis dan hierarkis dengan pemerintah pusat dan
masuk dalam bingkai NKRI. Berdasarkan asas kesatuan administrasi dan kesatuan
wilayah gubernur disamping sebagai kepala daerah , karena jabatannya berkedudukan
sebagai wakil pemerintah pusat di wilayah provinsi yang bersangkutan. Betapapun
12 Ibid, hal 204
48
luasnya otonomi yang dimiliki kab/kota, gubernur berwenang melakukan koordinasi,
supervisi dan evaluasi terhadap kab/kota yang ada dalam wilayah provinsi yang
bersangkutan13.
Gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat di wilayahnya
memiliki tugas dan wewenang14:
1. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kab/kota.
2. Koordinasi penyelenggaran urusan pemerintah pusat di daerah provinsi
kab/kota.
3. Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelegaraan tugas pembantuan di
daerah provinsi dan kab/kota.
Sehingga kekhawatiran adanya negara dalam negara sebenarnya dapat dihilangkan
sebab Gubernur bertanggung jawab pada presiden. Melalui pemilihan kepala daerah
secara langsung tidak sedikit juga Gubernur, Bupati dan Walikota yang berprestasi
menjadi Walau memiliki otonomi luas Kepala daerah dalam menyelenggarakan
pemerintahan daerahnya harus berpedomana pada asas umum penyelengaraan negara
yang baik yaitu15
1. Asas kepastian hukum
13 Op. cit. Rozali Abdullah, hal 44 14 Ibid, 15 Pasal 20 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah
49
2. Asas tertib penyelenggaraan negara
3. Asas kepentingan umum
4. Asas keterbuakaan
5. Asas proporsionalitas
6. Asas profesionalitas
7. Asas akuntabilitas
8. Asas efisiensi
9. Asas efektivitas
Menurut ketentuan pasal 25 UU No 32 Tahun 2004 , kepala daerah mempunyai tugas
dan wewenang di anataranya :
1. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah, berdasarkan kebijakan
yang ditetapkan bersama DPRD
2. Mengajukan rancangan perda
3. Menetapkan perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD
4. Menyusun dam memajukan rancangan perda tentang APBD kepada DPRD
untuk dibahas dan ditetapkan bersama.
5. Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah
6. Mewakili daerahnya di dalam dan diluar pengadilan dan dapat menunjuk
kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
50
7. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Peran kepala daerah sangatlah strategis dalam memajukan negara Indonesia
karena pertumbuhan ekonomi secara nasional sebenarnya harus ditopang oleh
pertumbuhan ekonomi di daerah secara kokoh. Oleh sebab itu potensi daerah harus
mampu di kembangkan oleh daerah itu sendiri karena secara spesifik daerah itu yang
lebih mengenal kondisi daerahnya sendiri Masyarakat indonesia dapat dibangun
secara utuh melalui proses pembangunan masyarakat di daerah-daerah sehingga
memilki kemandirian lokal berdasarkan potensi wilayah yang dikembangkan dalam
parameter sistem pemerintahan demokratis dan berakar kepada kekuasaan rakyat
yang berdaulat16
Pemilihan langsung kepala daerah merupakan upaya menciptakan pemimpin-
pemimpin daerah yang arif , berdaya saing dan bijaksana. Ada dua peran yang harus
dimainkan oleh kepala daerah . pertama : ia harus berperan sebagai kepala daerah
otonom, yang mempunyai tugas dan wewenang untuk mengurusi rumah tangganya
sendiri, kedua : kepala daerah khususnya untuk kepala daerah provinsi berperan
sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Kepala daerah harus mampu
16 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintah daerah di Indonesia, Jakarta : Sinar
Grafika 2006. Hal 128
51
mengembangkan dan menggali potensi daerahnya serta memberdayakan masyarakat
daerah seperti17
1. Tetap memperat rasa persatuan dan kesatuan NKRI di daerah.
2. Perlu dicegah sikap primordialis yang sempit
3. Pengembangan sikap saling menghargai dan mau menerima segala kenyataan
yang terjadi sebagai akibat pemilihan langsung
4. Mencegah terjadinya KKN
Melalui pemilihan kepala daerah secara langsung diharapkan terjadi pemberdayaan
masyarakat yang dapat menciptakan kepemimpinan lokal yang arif dan bijaksana.
Kalaupun ada permasalahan dalam pelaksanaannya menurut hemat penulis sistem
pemilihan kepala daerah secara langsung masih dapat diperbaiki kekurangan-
kekurangannya seperti untuk menekan biaya pemilihan kepala daerah dilakukannya
pilkada serentak dan pengetatan biaya kampanye sehingga menyadarkan masyarakat
memilih kepala daerah bukan karena money politic tetapi karena dianggap layak dan
mampu memipin daerah yang bersangkutan dalam kesejahteraan.
Jadi otonomi daerah merupakan solusi yang terbaik untuk terciptanya tujuan negara,
otonomi daerah melahirkan pemilihan kepala daerah secara langsung yang akan
berdampak signifikan dalam terciptanya kemajuan daerah. Negara Indonesia akan
kokoh dan kuat jika dari daerah kuat, mulai dari tingkat desa, kab, kota dan provinsi
17 Ibid, hal 129
52
memberdayakan mayarakatnya demi terciptanya tujuan negara Indonesia yang luar
biasa luhur dan ekstrem yakni : a) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, b) memajukan kesejahteraan umum, c) mencerdaskan
kehidupan bangsa, d) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
2.5. Model Pilkada
Pengalaman di Indonesia selama ini menunjukkan setidaknya terdapat lima
model pengisian jabatan kepala daerah. Model pertama, kepala daerah dipilih secara
tidak langsung, melainkan hanya ditunjuk/diangkat oleh pejabat di atasnya.
Pengalaman ini terdapat pada daerah-daerah administratif bukan daerah otonom.
Walikota di Jakarta menduduki jabatannya karena diangkat oleh Gubernur DKI
Jakarta (vide Pasal 19 UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta).
Model kedua, kepala daerah dipilih secara tidak langsung bertingkat (vide
Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah). Pada model ini DPRD
memilih beberapa calon kepala daerah, selanjutnya diajukan kepada pejabat
pemerintah di atasnya untuk dipilih salah satunya sebagai kepala daerah (Mendagri
untuk memilih Bupati/Walikota, dan Presiden untuk memilih Gubernur).
53
Model ketiga, kepala daerah dipilih secara tidak langsung (vide Pasal 34 UU
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah). Pada model ini kepala daerah
dipilih oleh DPRD.
Model keempat, kepala daerah ditetapkan oleh DPRD. Dalam model ini
adalah pilkada Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yaitu dengan cara
“penetapan” oleh DPRD dan “pengesahan” oleh Presiden (vide Pasal 17 ayat (2)
huruf a dan Pasal 24 ayat (3, 4, 5) UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan
Daerah Istimewa Yogyakarta).
Model kelima, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih
melalui pemilu (vide Pasal 24 ayat (5) dan Pasal 56 UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah jo UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan UU No. 32
Tahun 2004 jo Pasal 1 angka 4 UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilu). Pada model ini pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan,
dan pasangan calon perseorangan. Selanjutnya pasangan calon yang memenuhi
persyaratan mengikuti kompetisi melalui pemilu untuk dipilih secara langsung oleh
rakyat-pemilih.
Argumentasi mempertahankan pilkada langsung Berdasarkan beberapa model
tersebut, pengisian kepala daerah ke depan sebaiknya tetap mempertahankan model
kelima, yaitu kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih melalui
54
pemilu. Pilihan model ini didasarkan pada argumentasi sejarah pembentukan
konstitusi (amandemen UUD 1945), argumentasi konstitusional, dan argumentasi
politik. Argumentasi ini didasarkan kepada metode penafsiran dalam Hukum Tata
Negara (HTN).18
Argumentasi Historis Pembentukan Konstitusi
UUD setelah dilakukan amandemen di dalamnya telah dilembagakan Pemilu
bagi anggota lembaga perwakilan maupun pemimpin pemerintahan, penyelesaian
sengketa hasil Pemilu, dan lembaga penyelenggara Pemilu. Namun pengaturannya
meninggalkan persoalan baru di bidang ketatanegaraan, yaitu berkenaan dengan
pengaturan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta
DPRD yang dipilih melalui Pemilu (Pasal 22E ayat 2), sedangkan untuk Gubernur,
Bupati, dan Walikota (Kepala Daerah) dipilih secara demokratis (Pasal 18 ayat 4).
Mengapa ada dua istilah “dipilih melalui Pemilu” dan “dipilih secara
demokratis”. Apakah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara demokratis
merupakan bagian Pemilu?. Dalam UU No. 32 Th 2004 tentang Pemerintahan Daerah
secara materiil Pilkada adalah kegiatan Pemilu karena mekanisme dan tata cara
mengadopsi Pemilu seperti yang diatur dalam undang-undang pemilu (waktu itu UU
No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu dan UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pilpres).
Tetapi secara formil Pilkada berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 bukan Pemilu
18[2] Tentang penafsiran dalam hukum tata Negara, baca: Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid 1, terutama “Bab V Penafsiran Dalam Hukum Tata Negara”, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi), hlm. 273-313.
55
sebagaimana dimaksud pelembagaan Pemilu dalam UUD 1945 karena menempatkan
Pilkada bagian dari kegiatan pemerintah dengan menugaskan pelaksanaannya kepada
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) tanpa keterlibatan atau peranserta KPU.
Padahal KPUD adalah jajaran vertikal KPU. Dengan pengaturan seperti ini Pilkada
bukan termasuk kategori Pemilu karena tidak diselenggarakan oleh KPU yang
memiliki sifat nasional seperti dimaksud UUD 1945, namun tatacara dan
mekanismenya mengadopsi Pemilu legislatif dan Pilpres. Akibat dari tumpang
tindihnya pengaturan seperti ini, pengaturan Pilkada dalam UU No. 32 Tahun 2004
menjadikan Indonesia tidak memiliki standar pemilu yang bersifat nasional dan
selanjutnya gagal melembagakan sistem Pemilu sebagaimana dimaksud UUD 1945.
Kerumitan ini diselesaikan dengan keputusan MK yang tidak lagi menempatkan
KPUD bertanggung jawab kepada DPRD, dan UU No. 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilu (kini diubah menjadi UU No. 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilu) yang menempatkan pilkada sebagai bagian dari Pemilu.
Problematik yang dihadapi sekarang dengan Pemilukada adalah berbagai
macam mengenai ketidak efisienan, pemborosan anggaran, dan konflik. Wacana
diskusi berkembang mulai dari dikembalikan lagi dipilih DPRD untuk gubernur
sedangkan bupati/walikota tetap melalui pemilu. Penggunaan istilah “dipilih secara
demokratis” menimbulkan multi tafsir. Di dalam ilmu perundang-undangan dan ilmu
HTN ada yang dinamakan tafsir hukum apabila teks sebuah peraturan menimbulkan
56
multi tafsir, maka dapat dilakukan penafsiran hukum, antara lain gramatikal, sistemik,
dan historis.
Kalau dilihat dari sisi gramatikal, istilah demokratis membingungkan
mekanisme apa yang diterapkan. Demokratis hanya sebuah proses, tetapi siapa yang
memilih ini menjadi persoalan. Sistemik adalah menafsir dengan logika konstruksi
misalnya asas-asasnya dan konsistensi dengan pengaturan yang lain. Dari sisi
sistemik ini, dalam pasal yang sama dan amandemen tahun yang sama mengapa
dirumuskan DPRD dipilih melalui Pemilu sedangkan kepala daerah dipilih secara
demokratis. Sedangkan pada amandemen berikutnya Presiden dipilih secara
langsung. Dalam sistem pelembagaan pemilu seharusnya ada konsistensi pemilihan.
Oleh sebab itu dari sisi sistemik kepala daerah mestinya ditafsir dipilih melalui
pemilu langsung. Saat itu tidak langsung dirumuskan dipilih melalui pemilu langsung
karena belum tahu apakah nantinya presiden akan dipilih langsung, dan juga memberi
keluwesan karena ada kepala daerah yang tidak dipilih berdasarkan undang-undang
keistimewaan, yaitu Yogyakarta.
Dari segi historis, yaitu melihat dari sejarah perumusan atau pembentukan
ketentuan itu. Dari risalah sidang dapat diketahui maksud perumusan demokratis
Dengan demikian maka menurut UUD hasil amandemen dipilih secara
demokratis yang tepat adalah ditafsir dipilih secara langsung. Namun berdasarkan
pertimbangan sosiologis yaitu bersandar kepada kondisi masyarakat, perkembangan
57
politik, pertimbangan kepentingan yang lebioh besar sosiologis juga bisa dijadikan
tafsir hukum. Tetapi penggunaan ini sudah terlepas dari sistemik dan historis
perumusan ketentuan (pasal) yang bersangkutan, karena hanya melihat perkembangan
sosiologis masyarakat. Karena itu ide-ide kepala daerah dikembalikan dipilih DPRD
merupakan tafsir sosiologis, bukan logika konsistensi hukum dan bukan berdasar
sejarah maksud dirumuskannya ketentuan itu. Bila memang mau taat konstitusi,
kepala daerah dipilih langsung seharusnya menjadi pilihan. Sistem ini adalah
konstitusional dalam arti memiliki landasan dan argumen konstitusi yang kuat.
Argumentasi Konstitusional
Pertama, konstitusi Indonesia UUD 1945 menentukan bahwa bentuk Negara
yang dianut Indonesia adalah Republik [vide Pasal 1 ayat (1)]. Sebagai konsekuensi
sebuah Negara yang berbentuk Republik, maka kedaulatan berada di tangan rakyat
[vide Pasal 1 ayat (2)]. Implikasinya adalah pengisian jabatan politik-kenegaraan
dilakukan secara langsung oleh rakyat melalui pemilu [vide Pasal 2 ayat (1), Pasal
6A, Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22C ayat (1), dan Pasal 22E].
Kendatipun dalam Pasal 18 ayat (4) ditentukan bahwa Gubernur, Bupati dan
Walikota dipilih secara demokratis, maka kata “demokratis” di sini harus dimaknai
bahwa kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih. Dalam hal ini,
sekali lagi, sebagai konsekuensi bentuk Negara Republik, kedaulatan di tangan
rakyat, maka rakyatlah yang berhak menentukan kepala daerahnya.
58
Kedua, konstitusi Indonesia UUD 1945 menganut sistem pemerintahan
Presidensil Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 7]. Salah satu ciri sistem pemerintahan
Presidensil adalah Presiden (pejabat eksekutif) dipilih secara langsung oleh rakyat-
pemilih, yang membedakan dengan sistem parlementer di mana pimpinan eksekutif
dipilih oleh parlemen berdasarkan perolehan kursi mayoritas di parlemen. Dalam
sistem parlemen sekali pemilu mendapatkan dua hasil yaitu perolehan kursi parlemen,
dan sekaligus pemenang dalam parlemen berhak menempati jabatan pada pimpinan
eksekutif. Untuk menegaskan dan menjaga konsistensi sistem pemerintahan
Presidensil, maka dalam pengisian jabatan kepala daerah sebagai pemimpin
pemerintah daerah sudah seharusnya dilakukan melalui pemilu secara langsung,
bukan oleh parlemen (DPRD).
Argumentasi Politik
Pertama, pemilu untuk memilih kepala daerah secara langsung merupakan
sarana membangun basis legitimasi bagi kepala daerah. Mengingat bahwa anggota
DPRD dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih melalui pemilu (apalagi formula
pemilihan anggota DPRD kini ditentukan dengan perolehan suara terbanyak), untuk
mengimbangi basis legitimasi DPRD maka sudah seharusnya basis legitimasi kepala
daerah juga dibangun lewat pemilu.
Kedua, berjalannya pemerintahan daerah diperlukan stabilitas politik. Untuk
menjaga stabilitas politik ini diperlukan kesimbangan kekuatan politik antara kepala
59
daerah dan DPRD. Dalam hal kepala daerah dipilih oleh DPRD, sebagai
konsekuensinya adalah DPRD akan diberikan wewenang untuk meminta
pertanggungjawaban dan memberhentikan kepala daerah sebelum habis masa
jabatannya. Padahal sebagai salah satu ciri sistem pemerintahan Presidensil adalah
adanya masa jabatan tertentu (lima tahun) [fix term vide Pasal 7 dan Pasal 22E ayat
(1) dan (2)], dan bila kepala daerah dipilih dan diberhentikan oleh DPRD
dikhawatirkan akan terjerumus kepada ketidakstabilan politik dan mengarah kepada
sistem parlementer. Pengalaman sepanjang berlakunya UU No. 22 Tahun 1999
membuktikan hal ini. Untuk menghindari konflik politik antara kepala daerah dan
DPRD yang berkepanjangan, dan untuk menjaga kestabilan politik pemerintahan
daerah, maka sudah seharusnya kepala daerah dipilih secara langsung.
Ketiga, dalam hal pengisian jabatan Gubernur sebagai kepala daerah provinsi
dilakukan oleh DPRD Provinsi, selain akan potensial menimbulkan konflik
sebagaimana pada argumen kedua, juga akan menimbulkan problem basis legitimasi
Gubernur di hadapan Bupati/Walikota jika Bupati/Walikota dipilih secara langsung
lewat pemilu. Dalam rangka menjalankan tugas untuk mengkoordinir
Bupati/Walikota, maka Gubernur harus memiliki legitimasi politik yang kuat.
Keempat, dalam hal Gubernur tidak dipilih langsung oleh rakyat-pemilih
lewat pemilu, dan tidak juga dipilih oleh DPRD, melainkan ditunjuk/diangkat oleh
Presiden, maka terdapat problem konstitusional. Problem tersebut adalah daerah
60
provinsi merupakan daerah otonom, bukan daerah administratif, di mana daerah
otonom memiliki wewenang mengatur dirinya sendiri, termasuk dalam memilih
kepala daerah, bukan ditunjuk/diangkat. Bila pengisian jabatan Gubernur melalui
ditunjuk/diangkat, problem konstitusional harus diatasi terlebih dahulu yaitu
mengubah status provinsi bukan lagi sebagai daerah otonom.
Terhadap gagasan mempertahankan pilkada langsung melalui pemilu tidak
lepas dari kritik. Terdapat tiga kritik yang sering diajukan, yaitu berkaitan dengan
mahalnya biaya pemilukada, masih maraknya politik uang dan konflik kekerasan
yang mewarnai pemilukada.
Terhadap kritik sejumlah kritik tersebut, Ramlan Surbakti memberikan
jawaban.19[4] Pertama, berkaitan dengan pemilukada mahal. Efisiensi dalam
pembiayaan penyelenggaraan pemilukada dapat diwujudkan melalui pemilu lokal
serentak. Pemilu anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota diselenggarakan
pada hari/tanggal, jam, dan TPS yang sama dengan pemilu kepala daerah dan wakil
kepala daerah provinsi dan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota.
Penghematan ini tidak saja terjadi dalam honorarium petugas KPPS, PPS, dan PPK,
tetapi juga dalam sektor pengeluaran lainnya dari tiga kali menjadi satu kali pemilu
lokal.
19[4] Ramlan Surbakti, 2013, “Kepala Daerah Harus Lewat Pemilu”, Harian Kompas, 24 Juni 2013.
61
Pemilu lokal serentak justru akan mengurangi biaya kampanye karena
kampanye akan diselenggarakan oleh koalisi dua atau tiga partai politik untuk pemilu
anggota DPRD dan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah (provinsi dan
kabupaten/kota). Pengeluaran kampanye yang paling besar selama ini bukan untuk
pembiayaan berbagai bentuk kampanye yang sah berdasarkan UU, melainkan untuk
”sewa perahu” agar dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, dan
membeli suara pemilih secara langsung ataupun melalui perantara.
Kedua, berkaitan dengan petahana cenderung menggunakan jabatan untuk
kampanye pribadi. Dalam pemberitaan media, telah terungkap setidaknya ada dua
modus yang digunakan petahana untuk kepentingan kampanye pribadinya, yaitu dana
bantuan sosial dan bantuan pembangunan desa. Pengaturan mengenai hal ini tidak
sepenuhnya terletak pada UU Pilkada, tetapi juga pada peraturan perundang-
undangan lainnya.
Asumsi yang hendaknya dipegang bukan ”manusia pada dasarnya baik”
sehingga tidak perlu diatur, melainkan ”apa pun latar belakangnya, manusia itu dapat
berbuat baik tetapi dapat pula berbuat buruk”. Karena itu diperlukan pengaturan
untuk mendorong kecenderungan baik dan mencegah kecenderungan buruk.
Pelaksanaan demokrasi harus berpedoman pada hukum. Pengaturan mengenai tata
cara penggunaan bantuan sosial dan alokasi anggaran pembangunan harus
62
dirumuskan secara lebih rinci sehingga mampu mendorong perilaku baik petahana
dan mencegah perilaku buruk petahana.
Ketiga, kekerasan di beberapa daerah tidaklah seluruhnya berkaitan dengan
pemilukada. Setidaknya ada dua hal dapat dikemukakan mengenai fenomena
kekerasan di beberapa daerah. Pertama, berbagai ketegangan akibat adanya
kesenjangan antarmasyarakat senyatanya karena masyarakat kurang mendapat saluran
yang memadai dari berbagai lembaga yang seharusnya berperan. Partai politik yang
memiliki kursi di DPR dan DPRD sebagai representasi politik formal (mereka terpilih
melalui pemilu untuk mewakili warga masyarakat) itulah yang seharusnya
menampung dan memperjuangkan aspirasi masyarakat tersebut. Hal yang merisaukan
adalah partai politik merasa tidak bersalah setiap kali terjadi kekerasan politik di
daerah. Kedua, pemilu merupakan konflik yang dilembagakan. Artinya, prosedur dan
aturan main persaingan antara pihak yang berupaya keras mendapatkan dan pihak lain
yang berupaya keras mempertahankan kursi/jabatan diatur secara lengkap, jelas, dan
konsisten berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, transparan
dan akuntabel.
Pemilu yang diatur dengan UU seperti inilah yang disebut pelembagaan
konflik. Pelembagaan konflik seperti ini dimaksudkan tidak saja untuk mendapatkan
calon terpilih, tetapi juga agar persaingan itu berlangsung damai tanpa kekerasan.
Satu atau lebih aspek pelembagaan ini yang mungkin belum efektif mencegah
63
kekerasan. Pengajuan gugatan terhadap hasil pilkada kepada Mahkamah Konstitusi
hendaklah dilihat sebagai kesediaan masyarakat menyelesaikan perselisihan hasil
pemilu secara beradab (hukum), bukan dengan kekerasan. Oleh karena itu, jumlah
gugatan terhadap hasil pilkada tidak dapat diartikan sebagai kelemahan, tetapi suatu
fenomena positif.
2.6 Kedudukan Wakil Kepala Daerah20
Kedudukan wakil kepala daerah mendapat sorotan karena beberapa hal.
Pertama, posisi wakil kepala daerah dinilai tidak efektif dalam menjalankan tugas
dan wewenang, sehingga terkesan tumpang tindih dengan tugas dan wewenang
kepala daerah. Penilaian ini biasanya didasarkan kepada praktek yang terjadi di mana
wakil kepala daerah menjalankan “tugas sisa” yang tidak dilakukan oleh kepala
daerah dan biasanya tugas itu adalah tugas yang “remeh-temeh”. Hal ini yang
kemudian mendasari dilakukannya revisi UU No. 32 Tahun 2004 menjadi UU No. 12
Tahun 2008 terutama berkaitan dengan penegasan tugas dan wewenang wakil kepala
daerah.
Kedua, dalam praktek dipertanyakan soal mekanisme pengisian jabatan wakil
kepala daerah, yaitu apakah masih perlu dipertahankan mekanisme pengisian jabatan
wakil kepala daerah satu paket pasangan dengan kepala daerah yang kemudian dipilih
20[5] Gagasan ini bersumber pada: Hasyim, Asy’ari, “Posisi Wakil Kepala Daerah”, makalah disampaikan pada Focus Group Discussion (FGD), “Evaluasi Format Pilkada”, diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Politik (P2P), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, Kamis, 4 April 2015.
64
langsung lewat pemilu, atau wakil kepala daerah cukup diisi dengan cara
penunjukkan yang berasal dari PNS senior setelah kepala daerah terpilih lewat
pemilu?
Berkaitan dengan masalah pertama, kedudukan wakil kepala daerah masih
diperlukan. Hal ini mengingat bahwa urusan pemerintah daerah cukup banyak dan
cukup berat. Harap diingat dalam konteks daerah otonom, hampir semua urusan
pemerintahan didesentralisasikan ke daerah kecuali urusan-urusan tertentu
(pertahanan, keamanan, luar negeri, agama, dan keuangan fiskal dan moneter).
Dengan demikian nampaknya masih diperlukan jabatan wakil kepala daerah dalam
rangka membantu tugas kepala daerah dalam menjalankan urusan pemerintah daerah.
Dengan demikian, apabila jabatan wakil kepala daerah masih dipertahankan,
maka yang diperlukan adalah penegasan kembali soal pembagian tugas dan
wewenang antara kepala dan wakil kepala daerah. Kendatipun wakil kepala daerah
hanya “membantu” dan keputusan tetap berada di tangan kepala daerah, namun untuk
menghindari tumpang tindih pembagian tugas dan wewenang, tetap diperlukan
pengaturan tugas dan wewenang di antara mereka dan pengaturan itu berada di
tingkat undang-undang.
Berkaitan dengan masalah kedua, tentang mekanisme pengisian jabatan wakil
kepala daerah masih tetap melalui pemilu dalam satu paket pasangan kepala daerah
dan wakil kepala daerah. Hanya saja mekanisme pencalonannya saja yang diubah,
65
yaitu yang dipilih dalam mekanisme internal partai politik hanya calon kepala daerah
saja, dan calon wakil kepala daerah dipilih sendiri oleh calon kepala daerah.
Selama ini pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah dipilih melalui
mekanisme internal partai politik, dengan pola yang hampir sama di semua daerah,
yaitu calon kepala daerah bisa jadi berasal dari kalangan eksternal partai politik
(dengan asumsi memiliki sumber daya ekonomi yang kuat), dan calon wakil kepala
daerah berasal dari internal partai politik (dengan asumsi memiliki sumber daya
politik yang kuat). Kemudian dalam waktu yang tidak terlalu lama, bila komunikasi
politik di antara mereka tidak berjalan baik (retak), maka kemudian di antara mereka
jalan sendiri-sendiri, di sinilah letak persoalannya.
Dengan asumsi untuk membangun pasangan kepala dan wakil kepala daerah
yang stabil, maka ke depan calon kepala daerah yang terpilih lewat mekanisme
internal partai politik kemudian dipersilahkan memilih calon wakilnya sendiri alias
tidak dipilihkan partai politik, sehingga loyalitas wakil kepala daerah hanya kepada
kepala daerah dan bukan kepada partai politik. Selanjutnya pasangan calon kepala
dan wakil kepala daerah itu diajukan dalam pemilu untuk dipilih secara langsung oleh
rakyat-pemilih.
Formula pasangan calon seperti ini selain dengan tujuan untuk membangun
stabilitas pasangan selama menjabat, juga yang tidak kalah pentingnya adalah pada
saat terjadi kondisi darurat di mana kepala daerah tidak dapat melanjutkan tugas
66
sebagai kepala daerah, akan digantikan oleh wakil kepala daerah yang sama-sama
memiliki basis legitimasi kuat yaitu sama-sama dipilih dalam pemilu.
Apabila wakil kepala daerah akan ditunjuk dan berasal dari kalangan PNS
senior, akan menimbulkan sejumlah masalah. Tentu saja masalah pertama berkaitan
dengan basis legitimasi politik yang berbeda dengan kepala daerah yang dipilih
langsung dalam pemilu. Demikian juga bila terjadi kondisi darurat, wakil kepala
daerah model ini akan mengahadapi masalah basis legitimasi.
Selain itu, bila wakil kepala daerah berasal dari jajaran PNS akan menghadapi
masalah dengan kedudukan Sekretaris Daerah (Sekda) yang juga seorang PNS senior.
Model ini dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru dalam kaitannya dengan
tumpang tindih pelaksanaan birokrasi sehari-hari. Demikian juga pada akhirnya
kepala daerah yang merupakan jabatan politik akan serasa “dikepung” oleh kalangan
PNS senior di jajaran birokrasi pemerintahan daerah.
Oleh karena beberapa hal tersebut, diusulkan agar pasangan kepala dan wakil
kepala daerah masih tetap dipilih melalui pemilu dalam satu paket pasangan. Bahkan
untuk merealisasikan visi, misi dan program kerjanya, pasangan kepala dan wakil
kepala daerah diperbolehkan membawa/merekrut sejumlah orang yang sejak awal
terlibat membantu menyusun visi, misi dan program kerja untuk memastikan bahwa
program kerjanya dapat dijalankan (political appointee).
67
Bandingkan dengan pasangan presiden dan wakil presiden yang dapat
merekrut para pembantunya (menteri dan staf khusus) dalam jumlah yang besar untuk
mensukseskan visi, misi dan program kerjanya. Harap diingat bahwa program
pembangunan jangka pendek lima tahunan adalah perwujudan dari visi, misi dan
program kerja yang telah dikampanyekan dalam pemilu. Hal ini berbeda dengan
kepala dan wakil kepala daerah pada saat menduduki jabatannya hanya mereka
berdua, dan selainnya adalah aparat birokrasi pemerintahan daerah yang secara politik
biasanya memiliki “visi, misi dan program kerja” sendiri yang tidak jarang berbeda
dengan kepala dan wakil kepala daerahnya.
2.7 Permasalahan-permasalahan Yang Muncul Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah Pada Pilkada Secara Langsung
Setalah kurun waktu tahun 2005-2014, yaitu sejak diselenggarakan pemilihan
kepala daerah secaralangsung pada tahun 2005, terdapat beberapa permaslahan yang
muncul setelah pelasanaan pemelihan kepala daerah secara langsung. Permasalahan
tersebut dapat dilihat dari , aspek penyelenggaraan, aspek pelayanan public. korupsi.
konflik yang terjadi dimasyarakat. biaya tinggi. gugatan MKRI.
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah diterapkan prinsip
demokrasi, sesuai dengan pasal 18 ayat 4 UUD1945, kepala daerah dipilih secara
demokratis. Dalam UU 32Tahun 2004 Tentang Pemerintaha Daerah dan wakil kepala
daerah secara langsung yang diajukan oleh partai politik dan gabungan partai politik,
68
sejumlah argument dan asumsi yang memperkuat petingnya pilkada adalah pertama
dengan pilkadadimungkinkan untuk mendapatkan kepala daerah yang memiliki
kualitas dan akuntabilitas, kedua pilkada perlu dilakukan untuk menciptakan stabilitas
politik dan efektifitas pemerintah ditingkat local. Ketiga, dengan pilkada terbuka
kemungkinan untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan nasional karena makin
terbuk peluang bagi munculnya bagi pemimpin-pemimpin nasional yang berasal dari
bawah dan / atau daerah.21
Permasalahan pilkadadan Isu-isu pilkada22
Proses pilkada di Indonesia sering kali memiliki dampak yang besar bagi
munculnya keretakan, ketegangan, dan konflik tersebut. Pertama, keretakan,
ketegangan dan konflik dikalangan elit/actor politik, kedua keretakan ketegangan dan
konflik diantara kalangan lembaga-lembagapolitik dan birokrasi, ketiga keretakan dan
ketegangan pada level masa. Realisasi politik menunjukan bahwa ketiga model
keretakan, ketegangan, dan konflik tersebut sering kali memiliki keterkaitan satu
sama lain.
Sehingga masing-masing model ini ikut member dampak terhadap sirkulasi
keretakan, ketegangan dan konflik pada masing-masing actor/elit politik maupun
pada lembaga-lembaga politik.
21 www.lemhannas.go.id diunduh tanggal 1 september 2015 22 Ibid
69
Pemilihan kepala daerah secara langsung yang dimulai sejak bulan juni 2005,
sering ikut dengan terjadinyya konflik yang berakhir dengan kerusuhan masa. Konflik
tersebut berupa bentrokan anatara pendukung, maupun bentrokan dengan aparat
Negara. Konflik masaini juga dipengaruhi oleh beberapa yang juga terkait dengan
masalah perbedaan dukungan kepadapartaipolitik. Dan maraknya aksi kekerasan
politik masa terutama setelah pelasanaan pilkada langsung tidak lepas dari beberapa
factor seperti adanya terjadinya kecurangan (manipulasi hasil suara pilkada) muncul
kandidat yang tidak memenuhi syarat (bermasalah) namun tetap lulus seleksi calon
kepala daerah, adanya sebagian anggota KPUD yang independensinya masih
dipertanyakan, kuat dengan terjadinya praktek politik uang yang dilakukan oleh calon
tertentu, adanya calon yang tidak siap menerima kekalahan dan menolak hasil
pilkada, dan ketidak percayaan masyarakat kepadaelit politik menguatnya ketidak
percayaan public terhadap kepala daerah atau wakil kepala daerah terpilih, misalnya
di kabupaten fak-fak, provinsi papua, dimana masyarakat adat kabupaten fak-fak
akan menolak pelantikan bupati terpilih hasil pilkadalangsung tahun 2005 karena
yang bersangkutan dinilai yang bersifat cacat hukum 23
Pemilihan kepala daerah langsung ternyata menimbulkan sengketa hasil
pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang diajukan kepada lembaga pengadilan. Sejak
kewenangan mengadili sengketa pilkadaberalih dari Mahkamah Agung ke Mahkamah
Konstitusi , yaitu pada tahun 2008 sampai dengan bulan juni 2014, jumlah perkara
23 Hasil Wawancara Bapak Pdt. Carles Simaremare S.Th,. M.Si, Anggota DPD RI dari Provinsi
Papua. Tangga 27 September 2015
70
pilkada yang ditangani oleh Mahkamah Konstitusi adalah sebanyak 689 perkara. Dari
julah tersebut hanya 68 perkara yang dikabulkan, 450 ditolak, 148 tidak diterima, 20
perkara ditarik kembali dan 3 perkara gugur, artinya adalah hanya sekitar 10%
perkarasengketa pilkadayang dikabulkan oleh MK, sisanya perkara tersebut dianggap
gagal
2.8 Latar Belakang Pemilihan Umum Secara Langsung Dalam Metode
Pemilihan Noken Di Papua.
Indonesia memiliki orde reformasi sejak tahun 1998 hingga era reformasi
diberlakukan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus Bgi
provinsi papua, Pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota di seluruh tanah papua
melalui komisi pemelihan umum (KPU) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
perwakilan daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan
Kabupaten (DPRD), Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil gubernur,
maupun Bupati dan Wakil Bupati, untuk memilih calon pemimpin yang sesuai
dengan hati nuranimasing-masing. Dalam proses pemilihan umum DPR, DPD,
DPRD, Presiden dan wakil Presiden, Gubernuh dan wakil gubernur, Buoati dan
Wakil Bupati diwilyah pegunungan tengah dalam pemilihan umum. KPU maupun
Kabupaten/kota menggunakan peraturan perundang-undangan dalam
penyelenggaraan pemilihan umum untuk semua tahapan. Dalam Peraturan
Perundang-undangan tersebut tidak diatur mengenai penggunaan “Sistem Noken”
71
dalam pemilihan umum di Provinsi Papua khususnya diwilayah pegunungan Provinsi
Papua.
Sistem Noken adalah system pemilihan umum yang penggunaannya
menggunakan Noken yang digantungkan pada salah satu kayu dan digunakan sebagai
pengganti kotak suara, Sistem Noken bertumpu pada “Big Man” atau kepala suku,
seorang big man tidak hanya sekedar sebagai pemimpin politik yang menentukan
aturan yang harus diikuti oleh warga suku, tapi juga pemimpin ekonomi, social,
budaya, kekuasaanyapun bukan diperoleh dari keturunan, tetapi karena pengaruh,
karisma, dan warna kepemimpinannya yang disegan terkadang ditakuti .24
Big man bertanggung jawab atas ketersediaan kebutuhan dasar warganya seperti
makan, dan kesehatan, namun sebaliknya warga harus loyal dengan apapun
keputusan Big man, system politik big man di Papua sudah berlansung ratusan tahun
atau ribuan tahun. Penerapan Sistem Noken dalam pemilihan umum dengan system
Big man terjadi pda momentum pemilihan umum DPR, DPD, DPRD, Presiden dan
Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, pemilu ini
merupakan hasil symbol demokrasi yang mengkehendaki. “ One Man. One Vote”
dengan asas Langsung, umum, bebas, rahasia (LUBER). 25
Penerapan Sieten Noken dalam penyelenggaraan pemilu di Kabupaten Jayawijaya
Profinsi Papua menggunakan dua system dalam pemilihan umum yaitu system big
24 Wawancara Bapak Charles Simare-mare, Anggota DPD RI Papua, tanggal 27 September 2015, di Gedung DPD RI Jakarta 25 Ibid
72
mn dan system noken gantung,. Sistem Big Man dilakukan dengan cara semua
pemberian suara diserahkan kepada ketua adat atau kepala suku sedangkan system
gantung atau noken gantung bahwa masyarakat dating sendiri ketempat TPS, melihat
dan memasukkan susrat suara ke kantong Parta yang sebelumnya susdah disepakat.
Kedua system ini adil menurut merekayang sesuai dengan kepercayaan dan adat
istiadat masyarakat diwilayah pegunungan Papua26
Sistem noken dalam system Big Man dan system gantung atau system ikat
meneurut hokum adat merupakan akomodasi dalam bermusyawaran dan bermufakat,
yang berdasarkan pada nilai-nilai adat dan kearifan local dalam budaya masyarakat
adat wilayah pegunungan papua.
Kedua system ini diletakan dalam penyelenggaraan pemilu di
Indonesiabertentangan dengan asas-asas pemilu yaitu asas langsung, umum, bebas
dan rahasia (LUBER). Sistem Big Man yang bertentangan dengan asas-asas pemilu
yaitu asas langsung dan rahasia, asas langsung dalam system big man tidak
memeberikan kebebasan kepada setiap masyarakat untuk melakukan pemilihan
secara langsung melainkan memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada seorang
kepala suku untuk mewakili suaranya dan mencoblos susrat susra di TPS atas
kesepakatan bersama. Sedangkan asas rahasia adalah sispapun yang dipilih oleh
pemilih dan rahasia yangbhanya dia tah, tetapi dengan system big man tidak
26 Wawancara Romero Zeboa, Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan, Tanggal 11 November, di KFC Lenteng Agung Jakarta
73
mengenal asas rahasia karena masyarakat adat memilih pemimpin harus secara
terbuka dan transparan tidak ada kerahasiaan dan memilih pemimpin karena untuk
kepentingan bersama.27
27 Op Cit, Wawancara Bapak Charles Simare-mare.
74
BAB III
IMPLEMENTASI PEMILIHAN KEPALA DAERAH LANGSUNG OLEH
RAKYAT DAN DAMPAK POSITIF SERTA NEGATIVE PEMILIHAN
UMUM KEPALA DAERAH LANGSUNG
3.1 Implementasi Pemilihan Kepala Daerah Langsung Oleh Rakyat ( Pada
Provinsi Papua)
Sejak berlakunya uu nomor 32 tahun 2004, pengisian jabatan kepala daerah
dilakukan melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat. Setelah 10 tahun
berlangsung, dapat dikatakan kesejahteraan masyarakat didaerah belum terwujud, dpr
kemudian menetapkan uu nomor 22 tahun 2014 yang mengatur bahwa kepala daerah
dipilih melalui DPRD, ketentuan ini kemudian menimbulkan penolakan dari sebagian
masyarakat, sehingga presiden ri menetapkan perppu no 1 tahun 2014 (uu no.1 tahun
2015) dan mengatur bahwa kepela daerah kembali dipilih secara langsung oleh
rakyat. Apakah pilkada langsung ini sudah sesuai dengan kondisi
Masyarakat dari beberapa aspek terlebih dalam peningkatan kesejahteraan
masyarakat di daerahnya, maka perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk
mengetahui konsep apa yang sesuai dengan pemilihan kepala daerah langsung dan
dampak pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung, untuk mencapai
tujuan penelitian yang diharapkan maka dipergunakan pendekatan yuridis sosiologis,
karena obyeknya bukan hanya norma hukum semata, melainkan juga meneliti tentang
kenyataan dimasyarakat.
75
Pada Negara yang pluralistic seperti Indonesia konstitusi juga harus mencerminkan
watak dan praktik yang menghargai keberagaman social di dalam masyarakat.
Gagasan inilah yang di kenal dengan konstitusi pluralis yaitu gagasan yang menaruh
perhatian terhadap keberagaman sistem social dan sistem hukum yang ada pada suatu
Negara. Putusan MK yang menjadikan model noken memiliki nilai konstitusional
dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum dapat dikatakan salah satu putusan
yang berupaya menjadikan konstitusi Indonesia sebagai konstitusi pluralis1
Berdasarkan hasil wawancara pada Bapak Pdt Carles Simaremara. S.Th., M.Si.
Sebagai Anggota DPD RI dari Provinsi Papua:
1. Apa itu Noken?
Di Papua dikenal dengan sistem noken dalam mekanisme pemilihan kepala
daerah , Noken adalah sejenis task has orang papua, dimana tas (noken) adalah untuk
menyimpan hasil pertanian atau hasil lading, sehingga apapun itu yang di masukan
kedalam tas noken harus dijaga dengan baik untuk kepentingan bersama.
2. Sistem pemilihan apa yang demokratis di papua?
Sistem noken dipakai masyarakat papua untuk memilih kepala daerahnya,
dengan mekanisme, setiap calon memiliki tas noken yang digantungkan pada
perwakilan masyarakat papua, apabila ada 3 calon maka tas noken digantungkan pada
seseorang juga ada 3, terkait pemilihan secara noken dinilai demokratis bagi rakyat
papua yang mampunyai ke khasan dalam ssitem berdemokrasi, ketika memulai
1 Keyword YanceArizona, Noken sistem pemilihan umum, konnstitusional pluralis, masyarakat adat.
yancearizona.files.wordpress.com . diunduh 28 september 2015
76
pemilihan kepala daerah Gubernur atau bupati, masyarakat papua dikumpulkan
disebuat tempat yang luas, yang di pimpin oleh ketua adatnya.
Ketika tiba memilih, yang memulai adalah kepala adatnya, disini ada
kebiasaan padamasyarakat papua dimana ketika kepala adatnya memilih contoh
namanya si A, maka masyarakat adanya mengikuti pilihan seperti kepala adatnya,
sehingga jangan kaget kalau ada pemilihan kepala daerah di papua itu ada suara yang
O, akan tetapi kalau ada warga yang berbeda pilihannya ya tidak apa-apa tetapi
selama ini selalu ikut apa pilihan dari kepala adatnya.
Mekanisme ini berbeda dengan adanya TPS seperti di pusat (Jakarta), karena
mengingat luas dari propiinsi papua yang sebesar 3 ½ kali dari pulau jawa, sehingga
TPS di gabung dengan beberapa kampong yang jaraknya cukup jauh, dengan keadaan
ini memang sistem noken ini yang paling tepat pada warga papua untuk menyalurkan
suaranya.
3. Apakah KPU atau KPUD tidak pernah mensosialisasikan mekanisme
pemilihan umum atau kepala daerah dengan cara yang universal, contohnya
mencontreng dan mencoblos
KPU dan KPUD sudah melakukan sosialisasi tersebut akan tetapi mekanisme
ini bisa berjalan pada masyarakat papua di kotanya saja, kalau di daerah kampong
pedalaman dalaman misalnya daerah puncak, apabila menuju masyarakat papua
dipedalaman agar bisa melakukan mekanisme pemilihan secara langsung, dating ke
TPS-TPS mencontreng dan atau mencoblos, itu mungkin tidak dalam waktu dekat ini,
karena fanatisme masyarakat papua kepadahukum adatnya cukup kuat.
77
4. Apa kendala yang sering di temukan pada saat pemilihan kepala daerah di
papua
Alokasi anggaran Negara untuk papua hanya 11 T, dan harus dibagi- bagi
untuk infrastruktur, ekonomi dan lain-lain sehingga pengeluaran untuk pemilihan
kepala daerah di papua tidak seperti di pusat, terkkendali mengenai keamanannya,
terkendali mengenai distribusinya, apalagi di papua daerah yang berbukit dan harrus
menempuh jarak berhari-hari untuk sampai ke kabupaten satu ke kabupaten lain.
Sering sekali terjadi bentrok antara masyarakat adat yang satu dengan yang
lain, karena fanatismenya dengan kepala adatnya masing-masing, karena ketika ada
pilihan yang berbeda maka sering sekali antar warga konflik, di papua asas pemilihan
umumnya adalah LUBET bukan LUBER karena masing-masing warga itu tahu siapa
pilihan mereka sehingga bukan rahasia lagi, dengan adanya sistem yang seperti ini
sering masing-masing warga yang tidak terima kalau wakil rakyatnya tidak dipilih,
memang dipapua masyarakatnya unik, fanatismenya sangat kuat, dan pemerintah
tidak memenuhi kebutuhan keamanannya sehingga sering terjadi bentrokan.
Kendala mengenai pendistribusian, karena papua dengan wilayah yang cukup
luas, minim sekali sarana dari pemerintah untuk mendistribusikan hasil suara
tersebut, kurang sekali transportasi sepeti helicopter, dan pernah terjadi seperti
sabotase dari warga papua yang tidak terima wakil yang dipilihnya kalah, masalah-
masalah ini belum dapat diminimalisirkan sampai saat ini sehingga kendala selalu ada
Pemilihan lokasi penelitian di provinsi papua didasarkan pada keunikan
daerah ini sehingga ada politik hukum tersendiri dari nkri dengan menempatkan tanah
78
papua sebagai daerah otonomi khusus yang didasarkan pada keragaman kebudayaan,
sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri (konsideran huruf e uu no. 21 tahun 2001
tentang otonomi khusus bagi provinsi papua)
Perkembangan uu pilkada yang mengembalikan pelaksanaan pilkada dengan sistem
perwakilan untuk konteks papua menjadi tepat karena substansi hukum ini akan
saling bersesuaian dengan struktur yang telah ada di papua yaitu keberadaan dprp dan
mrp. Demikian pula substansi hukum sistem perwakilan ini akan sesuai dengan kultur
hukum masyarakat papua yang secara demografi sangat sulit dijangkau. Kultur
hukum masyarakat papua yang senang bermusyawarah seperti tercermin dalam
penggunaan noken semakin memperkuat alasan terhadap penggunaan sistem
perwakilan. Namun, uu pilkada yang mengembalikan pelaksanaan pilkada dengan
sistem perwakilan harus dicabut oleh peraturan pengganti undang-undang (perpu) di
penghujung berakhirnya masa jabatan presiden sby periode ke 2 ini, berkaitan dengan
struktur hukum dalam penyelenggaraan pilkada langsung di tanah papua ada yang
membedakan juga dengan pelaksanaan di daerah lain yaitu pelibatan majelis rakyat
papua. Berdasarkan wawancara dengan ferry kareth komisioner kpu provinsi papua,
ciri khas pilkada gubernur dan wakil gubernur di papua adalah perlibatan majelis
rakyat papua didalam rangkaian pilkada yaitu untuk menyeleksi apakah bakal calon
benar-benar penduduk asli papua atau bukan
79
3.2. Dampak Positif Dan Negatif Pemilihan Umum Kepala Daerah Langsung
Berpedoman pada Undang-undang Nomor32 Tahun 2004 kepaala daerah dipilih
secara langsung oleh rakyat. Pada sistem atau mekanisme ini adadampak positifdan
neegatifnya yang harus diuraikan terkait dengan efisien dan efektifitas pemilihan
umum kepala daerah yang telah berjalan selama ini. Wasistiono berpendapat bahwa
umum kepala daerah secara langsung sebagi berikut:
1. Demokrasi langsung makna kedau;atan rakyat akan Nampak secara nyata;
2. Akan diperoleh kepala daerah yang mendapat dukungan luas dari rakyat
sehingga memiliki legitimasi yang kuat. Pemerintahan daerah akkan kuat
karena tidak mudah diguncang oleh DPRD:
3. Melalui pemilihan kepala daerah secara langsung, suara rakyat menjadi sangat
berharga. Dengan demikian kepantingan rakyat memperoleh perhatian yang
lebih besaroelh siapapun yang berkeinginan mencalonkan diri sebagai kepala
dearah2
Sedangkan menurut Kertapadja dalam Djohermansyah Djohan dan Made
Suwandi terdapat damapak positif padaa pemilihan kepala daerah secara langsung
adalah:
1. Kedekatan calon kepada masyarakat daerah dan penguasa medan
gemografi, SDA dan SDM dan berbagai permasalahan dalam masyarakat,
merupakan persyaratan mutlak yang harus dikuasai oleh calon;
2. Pendayagunaan ssumber dayya (resource) yang dimiliki calon akan lebih
efektif dan efisien sebab komunikasi calon dengan masyarakat tidak
difasilitasi oleh pihak ke tiga walaupun menggunakan kendaraan partai
politik;
3. Ketokohan calon figure sangat menentukan dengan kekuatan mesin
politik, artinya besar kecilnya parpol yang dijadikan kendaraan politik
pencalonan tidak berkorelasi kuat terhadap keberhasilan seorang calon,
2 Wasistiono,Sadu 7 Februari 2005. Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Menurut Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004 Dan dampak Secara Politus, Hukum Pemerintahan SertaSosial
Ekonomi. Bahan diskusi Panel PPMP dan alumni Universitas Satyagama. Indramayu
80
seperti kasusSBY, walaupun didukung oleh partai kecil , namun figure
dan image SBY yang berkembang dalam masyarakat sangat menetukan
Selain dampak positif atau kelebihan pasti pula ada dampak negatifnya atau
kekurangan dari pemilihan kepala daerah secara langsung.
Proses pilkada di indonesia sering memiliki dampak yang besar bagi
munculnya keretakan, ketegangan dan konflik pilkada.
Pada aspek hukum antara lain menimbulkan sengketa hasil pemilihan kepala daerah
(pilkada) yang diajukan kepada lembaga pengadilan, sejak kewenangan mengadili
sengketa pilkada beralih dari mahkamah agung ke mahkamah konstitusi yaitu pada
tahun 2008 sampai dengan bulan juni tahun 2014, sejumlah perkara pilkada yang
ditangani oleh mk adalaah sebanyak 689 perkara, dari jumlah tersebut 68 perkara
yang dikabulkan, 450 ditolak, 148 perkara tidak diterima, 20 perkara ditarik kembali,
dan 3 perkara gugur. Artinya adalah hanya sekitar 10%
Dalam hal ini kelemahan yang timbul dalam mengadakan pemelihan kepala
daerah adalah:
1. Kemungkinan muncul konflik kepentingan anatara pusat dan daerah
provinsi dan antar daerah provinsi dan kabupaten/kota, dan antar daerah
yang berkaitan dengan pendayagunaan sumber daya alam, seperti sumber
daya air, hutan ,lautan, lingkungan hidup dan lain sebagainya terutama
dalam hal menentukan urusan wajub dan urusan pilihan
2. Dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung terbuka
kemungkinan terjadi kolusi dan money politic atau bentuk-bentuk
81
semacamnya anatara DPRD KPUD dan partai politik, baik sebagai
pendukung calon partai atau gabungan partai pollitik , maupun sebagai
kendaraan politik yang digunakan oleh calon perseorangaan
3. Apabila pemilukada secara langsung dilaksanakan secara tidak benar,
tidak jujur dan penuh kecurangan, maka rakyat tidak percaya padasistem
yang ada, sehingga akan terbentuk sikapmsaling curiga, tidak percaya
bahkan akan adaa konflik antar pendukung. Untuk memulihkan kembali
kehidupan masyarakat yang harmonis dan memerlukan waktu, tenaga
biaya yang cukup besar. Ini merupakan biaya social yang harus
ditanggung oleh semua pihak apabila pemilukada dilaksanakan secara
tidak benar.
4. Konflik padatataran birokrasi secara langsung maupun tidak langsung
akan berdampak pada masyarakat, antara lain pelayan akan menjadi tidak
egaliter, masyarakatt juga akan mudah tersulut konflik oleh masalah yang
sederhana, kalau dalam masyarakat harus terus menerusterjadi konflik
jangan berharap akan dapat diperoleh kemajuan baik secara ekonomi
politik maupun social budaya
Namun maraknya praktik-prakti money politik , Pemilukada langsung bisa
membantah pendapat mengatakan bahwa dapak potif adalah kedaulatan rakyat lebih
terasa dan suara rakyat lebih dihargai. Pemilukada langsung tidak sepenuhnya bisa
menghilangkan praktik monet politics dimasyarakat, yang sebelum money politics
pada tingkat DPRD. Bagi beberapaa golongan, praktik money politics menjadi suatu
82
yang lumlar. Di jawa timur misalnya, ada tradisi padasaat pemilihan masing-masing
calon harus menyediakan uang pengganti kerja bagi para konstituen, yang besarnya
tergantung kemampuan masing-masing calon. Dibeberapa daerah, kegiatan money
politics malah “dilegalkan” karena diatur melalui musyawarah tingkat panitia untuk
memutuskan berapa uang pengganti yang harus dibayar oelh masing-masing calon.
Analisis James Manor dan Richard Crook di amerika selatan dan afrika barat
anatara pemilihan langsung kepala daerah dan bad governance dampak negative dari
pemilukada langsung terhadap pelayanan public dan penyelenggaraan pemerintahan
adalah pertama tingginya kemungkinan kepala daerah untuk mengembalikan ongkos
politik pemilukada langsung dari APBD sebagai akibatdari money politics yang
dilakukan selama proses pemilukada langsung. Upaya untuk menarik simpati, biaya
iklan, biaya mendaftar pada partai politik pengusung, menyebabkan tingginya
ongkospemilukadalangsung bagi calon3
Terkait dengan konflik horizontal karena pemilihan umum kepala daerah
adalah konflik yang pernah terjadi saat maupun pasca pemilukada khususnya konflik
horizontal anatar masyarakan pendukung calon, International crisis group (ICG)
mencatat sekitar 10 persen dari 200 pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala
daerah yang digelar sepanjang tahun 2010 diwarnai aksi kekeerasan. Seperti di Toli-
toli Sulawesi tengah, tolikaraa papua, Mojokerto jawa timur, Tana toraja Sulawesi
selatan, menyebutkan bahwa kekerasan dalam pemilukada abtara lain dipicu oleh
33 Kompasiana. Kompas.com
83
lemahnya posisi penyelenggaraan pemilu, seperti Komisi Pemilihan Umum
kabupaten/kota dan Panitia Pengawas Pemilu.
Pemilihan kepala daerah langsung ternyata menimbulkan sengketa hasil
pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang diajukan kepada lembaga pengadilan. Sejak
kewenangan mengadili sengketa pilkadaberalih dari Mahkamah Agung ke Mahkamah
Konstitusi , yaitu pada tahun 2008 sampai dengan bulan juni 2014, jumlah perkara
pilkada yang ditangani oleh Mahkamah Konstitusi adalah sebanyak 689 perkara. Dari
julah tersebut hanya 68 perkara yang dikabulkan, 450 ditolak, 148 tidak diterima, 20
perkara ditarik kembali dan 3 perkara gugur, artinya adalah
perkara sengketa pilkada dikabulkan oleh mk. Sementara itu dirjen otonomi daerah,
djohermansyah djohan menyatakan bahwa sejak tahun 2008 sampai dengan april
2014 terdapat 729 sengketa pilkad, jumlah tersebut belum termasuk gugatan ptun
terkait dengan proses pencalonan dan gugatan terhadap sk pengesahan pengangkatan.
Maraknya sengketa pilkadaini jg menjadi pitu masuk bagi berbagai tindak pidana
korupsi (gratifikasi), dan banyaknya perkara pilkada berdampak pada besarnya biaya
yang harus dikeluarkan oleh para calon kepala daerah biaya tersebut dipergunakan
untuk biaya pengacara, mempersiapkan bukti-bukti, mendatangkan saksi, baik saksi
lapangan maupun saksi ahli, biaya perjalanan ke jakarta dimana gedung mk berada.
Dampak positif dan negatif pada aspek politik: Pilkada langsung membuat
masyarakat daerah mengenal calon kepala daerahnya. Konstituen akan lebih dekat
mengenal calon. Kemudian siapapun yang terpilih berarti mendapatkan mandat dari
rakyat yang dipimpinnya
84
Dampak besar pemilihan kepala daerah secara langsung yang membuat banyak pihak
prihatin adalah maraknya politik uang. Penggunaan uang yang semakin marak dari
waktu ke waktu untuk membeli suara konstituen, tidak adanya jaminan pasangan
calon terbaik akan menang dan akibat biaya kampanye yang besar maka hasil pilkada
sulit dipisahkan dari perilaku koruptif kepala daerah terpilih. Menurut kajian
pemerintah sebagian besar pilkada langsung berdampak pada pelaksanaan
pemerintahan di daerah. Dampak penyelenggaraan pilkada langsung yang biayanya
cenderung tinggi, menurut kajian pemerintah, antara lain menyebabkan banyak
kepala daerah terpilih tersangkut kasus hukum, khususnya karena korupsi untuk
mengembalikan modal mereka saat kampanye. Kadang-kadang politik uang yang
terjadi, ongkos politik yang mahal, kemudian tidak mudahnya membedakan antara
popularitas dan kapasitas, dan seterusnya selain itu juga muncul konflik horisontal
akibat persaingan antar-calon. Mengakibatkan kontak fisik dan piskis antar
pendukung para calon yang kadang mengakibatkan tindakan kriminal dan
pelanggaran hokum.
3.3 Data yang Dirilis Beberapa Lembaga dalam Hasil Penghitungan Suara Serta
Dampak Penyalahgunaan Hasil Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung.
dari data yang dirilis beberapa lembaga memberikan gambaran terjadinya
tinadak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepada daerah. Kemendagri telah
mmencatat 327 kasus hukum terutama kasus korupsi yang dilakukan oleh kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah dan banyak juga melibatkan anggota dprd.
85
berdasarkan catatan BPK pada awal 2014, lebih dari 300 kepala daerah dari
total 542 kepala daerah di Indonesia tersangkut korupsi modusnya mulai dari
penyalahgunaan anggaran termasuk dana hibah dan bansos, hingga korupsi, kolusi,
dan nepotisme dalam pemberian ijin pengelolaan sumber daya alam seperti tambang
dan hutan.
Sebagai gambaran lain, berikut ditampilkan data tentangtren korupsi didaerah
yang terjadi padatahun 2008-2011
Rekap tren korupsi di daerah berdasarkan pelakunya (2008-2011)
N
o
Pelaku korupsi Jumlah kasus
1 Kepala/mantan kepala daerah (gubernur, bupati/walikota,
dan/atau sebaliknya
29
2 Pimpinan /mantan pimpinan dprd 16
3 Anggota/mantan anggota dprd 37
4 Pejabat/mantan pejabat instansi pemda (kepala dinas) 64
5 Pejabat bumn/bumd (direktur) 4
6 Pejabat kpud 3
7 Pimpinan pengadilan 1
8 Pimpinan universitas 1
9 Aktivis lsm 9
86
10 Pejabat kecamatan/kelurahan 4
11 Lainnya 5
Sumber : litbang kompas/stn, yang diolah dari pemberitaan kompas dan kpk
Korupsi berdasarkan tahun terjadi
Sumber: data kpk
87
Korupsi bedasarkan modus tahun 2013 smt i
Sumber: data icw
diagram diatas memberikan gambaran bahwa kasus penggelappan
penyalahgunaan anggaran merupakan kasus yang paling banyak terjadi dan biasanya
dilakukan oleh pejabat publik , demikian juga penggelapan, laporan fikti, dan mark
up yang biasa dilakukan dalam rangka pembelian barang-barang misalnya pembelian
alat-alat kesehatan di kota tanggerang selatan , pengadaan mobil bagi pejabat, biaya
perawatan rumah dinas, banyaknya kasus korupsi dengan berbagai modus dilakukan
oleh pejabat-pejabat publik termasuk kepala daerah menyebabkan terhambatnya
pencapaian kesejahteraan masyarakat desa.
apabila dilihat dari sektornya keuangan daerah merupakn sektor yang paling
banyak terjadi kasus korupsi, hal ini membuktikan bahwa pejabat daerah, utama
kepala daerah dan anggota dprd merupakan pihak yang paling memungkinkan untuk
88
melakukan korupsi pada sektor ini.dengan banyaknya kasus korupsi yang dilakukan
oleh kepala daerah dan pejabat-pejabat dilingkungan pemerintahan daerah dengan
sasaran keuangan daerah dan infrastruktur, maka alokasi dana yang semestinya
dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberikan pelayanan
publik menjadi berkurang akibatnya, kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat di
daerah sulit dapat terwujud.
Pilkada secara langsung ternyata juga memerlukan biaya yang sangat besar.
Berdasarkan data dihimbau dari pemerintah, prosentase biaya penyelenggaraan
sebuah pilakada di provinsi dan kabupaten/kota 0,5 % - 5% dari total apbd, biaya-
biaya tersebut mencakup pembiayaan pada kpu, bawaslu, tni/polri sampai kebutuhan
internal pemerintah daerah, seperti pengerahan bantuan keamanan linmas dan
anggaran monitoring.
Sebagai gambaran, berikut contoh perkiraan biaya yang dikeluarkann dibeberapa
daerah, baik padatingkat provinsi maupun kabupaten/kota padatahun 2010-2012.
89
Perkiraan biaya pilkada di beberapa daerah
Provinsi Dpt Biaya Biaya per
suara
Sulawesi tengah (2011)
Kepulauan riau (2010)
Dki jakarta ** (2012)
Jambi (2010)
Banten (2011)
1.784.729
1.224.391
6.962.348
2.231.990
7.118.587
Rp. 80 milyar
Rp. 45 milyar
Rp. 254 milyar
Rp. 49.99
milyar
Rp. 132.5
milyar
Rp. 45.000
Rp. 37.000
Rp. 36.000
Rp. 22.000
Rp. 19.000
90
Kabupaten/kota
Nias selatan **(2011)
Nias ** (2011)
Kota sungai penuh ** (2011)
Flores timur (2011)
Aceh barat **(2012)
Tebo ** (2011)
Kota tangerang selatan **
(2010)
Banggai (2011)
Lobok tengah **(2010)
Buleleng **(2012)
Kota yogyakarta **(2011)
Kota medan **(2010)
Kulon progo **(2011)
Banjarnegara (2011)
Gunung kidul (2011)
213.759
89.513
66.386
134.958
118.170
207.598
732.195
241.560
655.027
553.164
322.872
1.961.155
349.906
744.979
582.508
Rp. 21 milyar
Rp. 8,5 milyar
Rp. 5,9 milyar
Rp. 9,9 milyar
Rp. 6,5 milyar
Rp. 10,9
milyar
Rp. 30 milyar
Rp. 9,8 milyar
Rp. 22,5
milyar
Rp. 19 milyar
Rp. 10,6
milyar
Rp. 55 milyar
Rp. 9,3 milyar
Rp. 17,4
milyar
Rp. 8,4 milyar
Rp. 98.241
Rp. 95.000
Rp. 89.000
Rp. 75.000
Rp. 55.000
Rp. 53.000
Rp. 41.000
Rp. 40.000
Rp. 34.000
Rp. 34.000
Rp. 33.000
Rp. 28.000
Rp. 27.000
Rp. 23.000
Rp. 14.000
91
** dua putaran
Sumber : litbang “kompas”/sdm, dimuat dalam harian kompas, jumat, 28 juni 2013
Data angka kemiskinan
dari data bps , untuk mengetahui tingkat kemiskinan penduduk indonesia
sebelum dan sesudah diakan pilkada lansung, maka dilakukan uji statistik dengan
menggunakan indikato tingkat kemiskinan yang diperbandingkan. Pembagian waktu
yang dipergunakan adalah pra pilkadalangsung : 1999-2004 (6 tahun), dan pasca
pilkada langsung: 2005-2012 (8 tahun)
Hasil uji perbandingan indeks keparahan kemiskinan di indonesia sebelum dan
setelah pilkada langsung
Variabel Rata-rata T hitung P-value
Kesimpula
n
Pra Pasca
Indeks
keparahan
(kota)
0,66 0,52 1,607 0,134 Terjadi
penurunan
yang tidak
signifikan
92
Indeks
keparahan
(desa)
1,14 0,88 2,055 0,062 Terjadi
penurunan
yang tidak
signifikan
Indeks
keparahan
(kota +
desa)
0,94 0,71 2,532 0,026 Terjadi
penurunan
yang
signifikan
Dari hasil uji perbandingan, yaitu berdasarkan trend data tahun 1999-2004 (sebelum
pelaksanaan pilkada langsung), data kemiskinan di indonesia (jumlah penduduk
miskin, indeks kedalaman serta indeks keparahan kemiskinan) cenderung mengalami
penurunan baik dikota di desa maupun gabungan keduanya. Namun dalam dua tahun
setelah pelaksanaan pilkadalangsung (2005-2006), tingkat kemiskinan di indonesia
(jumlah penduduk miskin, indeks kedalaman kemiskinan serta indeks keparahan
kemiskinan) cenderung mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Setelah dua tahun
tersebut yakni sejak tahun 2007, terjadi penurunan tingkat kemiskinan yang
cenderung konsisten menurun hingga 2012.
berdasarkan indikator rata-rata tingkat kemiskinan indonesia selamaa 6 tahun
pra pilkada langsung (1999-2004) dan 8 tahun pasca pilkadalangsung (2005-2012),
diperoleh rekapitulasi sebagai berikut.
93
Rekapitulasi hasil uji jumlah rata-rata penduduk miskin tahun
2005-2012
Indikator Wilayah Perkembangan Signifikansi
Rata-rata jumlah penduduk
miskin di indonesia
Kota Meningkat Tidak signifikan
Desa Menurun Signifikan
Kota + desa Menurun Signifikan
Rata-rata persentase
penduduk miskin di
indonesia
Kota Menurun Signifikan
Desa Menurun Signifikan
Kota + desa Menurun Signifikan
Rata-rata indeks kedalaman
kemiskinan di indonesia
Kota Menurun Tidak signifikan
Desa Menurun Signifikan
Kota + desa Menurun Signifikan
Rata-rata indeks keparahan
kemiskinan di indonesia
Kota Menurun Tidak signifikan
Desa Menurun Tidak signifikan
Kota + desa Menurun Signifikan
94
pemilihan kepala daerah secara laangsung yang dimulai sejak 2005 ternyata
tidak serta merta menghasilkan kesejahteraan masyarakat seperti yang dicita-citakan
oleh otonomi daerah. Dari tabel indeks kesejahterraan masyarakat yang ditampilkan
diatas dapat diketahui bahwaselama hampir sepuluh tahun dilangsungkannya
pemilihan kepala daerah secara langsung, tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah
tidak mengalami kenaikan yang cukup signifikan banyak kasus korupsi dan kasus-
kasus hukum lainnya yang menimpa kepala daerah, pejabat daerah maupun anggota
dprd ikut mempengaruhi kemampuan pemerintah daerah untuk mensejahterakan
masyarakat maupun pejabat daerah tidak menjadi efektif, karena waktu banyak tersita
untuk menyelesaikan kasus hukumnya
Dampak negative tersebut menimbulkan permasalahan baru ditengah-tengah
masyarakat oleh sebab itu mekanisme pemilihan kepala daerah langsung agardapat
berjalan sesuai dengan yang diharapkan apabila:
1. Adanya kesadaran politik yang tinggi dari para pemain politik baik para
aktivis partai, simpatisan maupun massa yang diam sehingga siap menerima
kemenangan maupunkekalahan secara legawa sepanjang pemilihan dilakukan
secara jujur dan terbuka:
2. Adanya wawasan kebangsaan yang kuat dari para pemain politik sehingga
tidak hanya mengejar kemenangan sesaatdengan mengorbankan persatuan dan
kesatuan bangsa:
3. Adanya peraturan perundang-undangan secara jelas dan mudah mengatur
tentang tata cara pemilihan umum kepala daerah secara langsung,
95
sehinggatidak menimbulkan penafsiran ganda sesuai kepentingan masing-
masing.
4. Proses yang dilakukan terbebas dari Money politics.
Oleh karena itu Pemilukada Langsung haruslah dipahami esensinya juga mencakup
pengertian penguatan kewenangan (otonomi) masyarakat didaerah-daerah dalam
berhadapan pemerintah di daerah.
96
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kesimpulan adalah merupakan jawaban dari permasalahan yang telah
dikemukakan penulis, oleh sebab itu penulis menarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Bahwa Implementasi dari Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung du
Provinsi Papua, telah berjalan sesuai dengan kehendak masyarakat Papua dan
Masyarakat Adat Papua, dengan mekanisme Noken, dimana Noken adalah
saranaa penyimpanan hasil suara dari pemilihan kepala daerah di papua yang
berupa tas terbuat dari jerami, mekanisme pemilihan kepala daerahnya dipilih
secara langsung dengan melibatkan aspirasi suara yang mengutamakan dari
suara kepala adatnya, sehingga mwasyarakat adatnya mengikuti apa pilihan
dari kepala adatnya.
Pemilihan dengan mekanisme Noken ini tidak jarang terjadinya konflik
anatara suku atau kelompok-kelompok adat yang memilih calon kepala
daeranya tidak sama, karena sifat fanatisme dari masyarakat papua itu cukup
kuat, apalagi didasari oleh pendapat kepala adatnya.
Konflik yang sering terjadi tidak bisa di kendalikan karena kurangnya sarana
dan prasarana dari pemerintah pusat, dalam hal segi keamanan,
97
pendistribusian yang kurang cepat mengingat lokasi daerah provinsi papua
sangat sulit dan resiko apabila ditempuh dengan jalan darat,
Dari kendala-kendala dalam rangka pemilihan kepala daerah secara langsung
dipapua, mempunyai kesan yang cukup unik, karena inilah Indonesia dengan
sistem yang sama tentang pemilihan dengan secatra langsung akan tetapi
UUD 45 cukup mengakomodir kepentingan rakyat papua, dimana keputusan
dari MK yang menyatakan Pemilihan mekanisme Noken dianggap sesuai
secara konstitusional sebagai pemilihan umum dan
pemilihan kepala daerah secara langsung yang sah dihadapan hukum.
2. dampak positif dan negatif yang muncul dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah pada pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara
langsung adalah Demokrasi langsung makna kedau;atan rakyat akan Nampak
secara nyata akan diperoleh kepala daerah yang mendapat dukungan luas dari
rakyat sehingga memiliki legitimasi yang kuat. Pemerintahan daerah akkan
kuat karena tidak mudah diguncang oleh DPRD. Melalui pemilihan kepala
daerah secara langsung, suara rakyat menjadi sangat berharga. Dengan
demikian kepentingan rakyat memperoleh perhatian yang lebih besar oleh
siapapun yang berkeinginan mencalonkan diri sebagai kepala dearah.
Dan dalam Dampak Negatifnya: Pada aspek hukum antara lain menimbulkan
sengketa hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) yang diajukan kepada
lembaga pengadilan, sejak kewenangan mengadili sengketa pilkada beralih
dari mahkamah agung ke mahkamah konstitusi yaitu pada tahun 2008 sampai
98
dengan bulan juni tahun 2014, sejumlah perkara pilkada yang ditangani oleh
mk adalah sebanyak 689 perkara, dari jumlah tersebut 68 perkara yang
dikabulkan, 450 ditolak, 148 perkara tidak diterima, 20 perkara ditarik
kembali, dan 3 perkara gugur. Artinya adalah hanya sekitar 10%
Dalam hal ini kelemahan yang timbul dalam mengadakan pemilihan kepala
daerah adalah:
a. Kemungkinan muncul konflik kepentingan antara pusat dan daerah
provinsi dan antar daerah provinsi dan kabupaten/kota, dan antar daerah
yang berkaitan dengan pendayagunaan sumber daya alam, seperti sumber
daya air, hutan ,lautan, lingkungan hidup dan lain sebagainya terutama
dalam hal menentukan urusan wajib dan urusan pilihan
b. Dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung terbuka
kemungkinan terjadi kolusi dan money politic atau bentuk-bentuk
semacamnya antara DPRD KPUD dan partai politik, baik sebagai
pendukung calon partai atau gabungan partai politik , maupun sebagai
kendaraan politik yang digunakan oleh calon perseorangan
c. Apabila pemilukada secara langsung dilaksanakan secara tidak benar,
tidak jujur dan penuh kecurangan, maka rakyat tidak percaya pada sistem
yang ada, sehingga akan terbentuk sikap saling curiga, tidak percaya
bahkan akan ada konflik antar pendukung. Untuk memulihkan kembali
kehidupan masyarakat yang harmonis dan memerlukan waktu, tenaga
biaya yang cukup besar. Ini merupakan biaya social yang harus
99
ditanggung oleh semua pihak apabila pemilukada dilaksanakan secara
tidak benar.
d. Konflik pada tataran birokrasi secara langsung maupun tidak langsung
akan berdampak pada masyarakat, antara lain pelayan akan menjadi tidak
egaliter, masyarakat juga akan mudah tersulut konflik oleh masalah yang
sederhana, kalau dalam masyarakat harus terus menerus terjadi konflik
jangan berharap akan dapat diperoleh kemajuan baik secara ekonomi
politik maupun social budaya
Namun maraknya praktik-praktik money politik , Pemilukada langsung bisa
membantah pendapat mengatakan bahwa dampak positif adalah kedaulatan
rakyat lebih terasa dan suara rakyat lebih dihargai. Pemilukada langsung
tidak sepenuhnya bisa menghilangkan praktik money politics dimasyarakat,
yang sebelum money politics pada tingkat DPRD. Bagi beberapaa golongan,
praktik money politics menjadi suatu yang lumlar. Di jawa timur misalnya,
ada tradisi pada saat pemilihan masing-masing calon harus menyediakan uang
pengganti kerja bagi para konstituen, yang besarnya tergantung kemampuan
masing-masing calon. Di beberapa daerah, kegiatan money politics malah
“dilegalkan” karena diatur melalui musyawarah tingkat panitia untuk
memutuskan berapa uang pengganti yang harus dibayar oleh masing-masing
calon.
100
SARAN
1. Pemilihan Kepala Daerah memang sangat unik dengan menggunakan
system Noken dimana Noken adalah wadah atau tempat menaruh hasil
panen masyarakat adat Papua yang di jaga keutuhannya dan hasilnya
untuk kesejahteraaan rakyat Papua, Metode noken dianggap telah
mencerminkan system Pemilihan Umum secara langsung bagi masyarakat
Papua, walaupun teknisnya agak berbeda dengan teknis pemilihan Kepala
Daerah Langsung di Jakarta, akan tetapi ini adalah cara yang baik dan
mudah di tengah masyarakat Papua yang belum banyak terjamah oleh
informasi yang berkembang, saran dalam penelitian ini, baiknya
pemerintah tetap menggunkan Tas Noken untuk menaruh surat suara yang
di dapat oleh masyarakat papua, akan tetapi langsung masyarakatnya tidak
melalui pendapat dari kepala suku atau kepala adat dalam hal ini system
Big Man, sehingga akan terjadi dalam pemilihan kepala daerah di Papua
One Man, One vote, apabila pemerintah atau KPU dan KPUD terus
mensosialisasikan system ini pasti masyarakat Papua dapat menerimanya.
2. Dalam Pemilihan Kepala daerah secara langsung banyak ditemukan
dampak positif dan negatifnya, bagaimana cara menanggulangi kedepan,
pemerintah dan DPR, DPRD harus menindak secara tegas apabila terjadi
sengketa dengan peraturan yang sesuai dengan keadaan saat ini, serta
lembaga-lembaga independen diberikan keleluasaan untuk
menginfomasikan hasil suara secara bersih dan cepat, dan lembaga yang
101
mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa PEMILUKADA
bisa di berikan keleluasaan dalam menindak.