Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
PEMODELAN POLA KOMUNIKASI MASYARAKAT MULTIKULTURAL
(STUDI KASUS MASYARAKAT MULTIKULTURAL
DI KECAMATAN BASARANG)
I Kade Teja Suastika
Magister Ilmu Komunikasi Program Pasca Sarjana
Universitas Islam Kalimantan (Uniska)
Muhammad Arsyad Al-Banjari Banjarmasin
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Kecamatan Basarang merupakan salah satu kecamatan di Indonesia yang masyarakatnya multikultural.
Secara historis, di Kecamatan Basarang pernah terjadi konflik yang disebabkan oleh perbedaan komunikasi
antara masyarakat beda suku maupun pada pasangan beda suku hingga menyebabkan perceraian. Tujuan
penelitian ini adalah: 1)Untuk mengetahui bagaimana pemodelan pola komunikasi antar masyarakat beda suku
yang ada di Kecamatan Basarang; 2)Untuk mengetahui bagaimana pemodelan pola komunikasi pasangan beda
suku yang ada di Kecamatan Basarang; 3)Untuk mengetahui bagaimana pengamalan nilai-nilai
Multikulturalisme oleh masyarakat multikultural di Kecamatan Basarang ditinjau dari perspektif tokoh
masyarakat. Penelitian ini menggunakan teori interaksi simbolik dan teori multikulturalisme. Jenis penelitian
adalah penelitian kualitatif, dengan Metode pengumpulan data yaitu: observasi, wawancara, dan dokumentasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada Pemodelan Pola Komunikasi Masyarakat Multikultural di Kecamatan
Basarang terjadi proses komunikasi verbal dan non verbal secara timbal balik antara 2 orang dari suku yang
berbeda. Encoding dan Decoding merupakan proses yang dipengaruhi oleh 4 lapisan/filter konseptual yaitu:
1.Filter Pergaulan Sehari-hari, 2.Filter Geografis, 3.Filter Agama dan Budaya, dan 4.Filter Nilai-Nilai Filosofis.
Pada Pemodelan Pola Komunikasi Pasangan Beda Suku diperoleh model yang sama, namun filter
konseptualnya yang berbeda yaitu: 1.Filter keterbukaan antarpribadi 2.Filter Pengaruh Keluarga 3.Filter Prinsip
Hidup 4.Filter Nilai-Nilai Filosofis yang dianut. Adapun faktor Integrasi dan Disintegrasi dari kedua model itu
antara lain: 1.Etika, 2.Toleransi, 3.Sikap Saling Menghargai, 4.Empati. Pengamalan nilai multikulturalisme di
Kecamatan Basarang dapat dilihat dari: 1.Pelaksanaan acara keagamaan semua agama yang kondusif, saling
menghadiri dan membantu, 2.Pelaksanaan adat semua suku dan agama selalu lancar, 3.Program bantuan Desa
Basarang Jaya merata kepada semua suku penderita disabilitas, 4.Terjalin dengan hangatnya hubungan interaksi
dan komunikasi antar masyarakat beda suku.
Kata Kunci: Pola Komunikasi, Model Komunikasi, Masyarakat Multikultural, Multikulturalisme
ABSTRACT
Basarang is one of sub-districts in Indonesia where the communities are multicultural. Historically,
there happened a conflict in Basarang Sub-district caused by communication variances between societies or
mates with different tribes which led to divorces. Hence, this study aimed: 1)To identify the communication
patterns modeling between different tribe communities in Basarang, 2)To identify the communication patterns
modeling between different tribe mates in Basarang, and 3)To investigate the practice of multiculturalism
values by multicultural communities in Basarang Sub-district viewed from the perspective of public figures. This
study employed the theories of symbolic interaction and multiculturalism. Qualitative research design was
adopted in this study by utilizing several data collection techniques such as observation, interview, and
documentation. The results showed that there mutually occured verbal and non-verbal communications between
two people from different tribes within the communication patterns modeling of multicultural communities in
Basarang Sub-district. Encoding and Decoding are the process affected by the four layers or conceptual filters,
namely: 1.Filter of Everyday Intercommunication, 2.Filter of Geography, 3.Filter of Religion and Culture, and
4.Filter of Philosophical Values. In communication patterns modeling of different tribe mates, the same model
was obtained but with different conceptual filters, they are: 1.Filter of Interpersonal Openness, 2.Filter of
Family Influences, 3.Filter of Life Principles, and 4.Filter of Adopted Philosophical Values. Meanwhile, the
integration and disintegration factors of both models included: 1.Ethics, 2.Tolerance, 3.Mutual Respect, and
4.Empathy. The practice of multiculturalism values in Basarang Sub-district could be viewed from: 1.The events
of every religion which were conducively carried out and where everyone attended and assisted each other,
2.The implementation of all tribal and religious customs which always went peacefully, 3.The assistance
program of Basarang Jaya Village which was provided equally to all tribe communities with disabilities, and
4.The establishment of warmhearted interaction and communication relationship between different tribe
communities.
Keywords: Communication Patterns, Communication Models, Multicultural Communities, Multiculturalism
2
PENDAHULUAN
Fenomena Multikultural yang ada di Indonesia bagaikan pisau bermata dua, yang di satu sisi dapat
memberikan dampak positif karena dapat memperkaya khazanah budaya yang beragam, tetapi di sisi lain dapat
menimbulkan dampak negatif karena kadang-kadang keragaman ini dapat memicu konflik antar kelompok
masyarakat yang dapat menimbulkan instabilitas, baik secara keamanan, sosial, politik, maupun ekonomi.
Beberapa konflik yang terjadi di Indonesia yang di latar belakangi oleh perbedaan budaya antara lain konflik
yang terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah tahun 2001 serta konflik di Poso, Sulawesi Tengah tahun 1998 dan
2000. (Rosarina, 2015:2)
Kecamatan Basarang, Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah merupakan salah satu kecamatan
yang ada di Kabupaten Kapuas yang masyarakatnya multikultural. Di Kecamatan Basarang terdapat 14 Desa
yang dihuni oleh masyarakat/penduduk yang multikultur, yang dapat dilihat dari keanekaragaman suku/etnik,
agama, bahasa dan budayanya. Kecamatan Basarang dihuni oleh masyarakat suku Jawa, Banjar, Bali, Dayak,
Batak, Madura, dan Aceh dengan agama yang juga berbeda yaitu Islam, Kristen, Hindu, dan Kaharingan.
Mayoritas orang Jawa dan Banjar beragama Islam, orang Bali beragama Hindu, dan orang Dayak umumnya
adalah beragama Kristen dan penganut kepercayaan (Kaharingan). (Makmur et al., 2015:50).
Dengan kemultikulturan yang ada di Kecamatan Basarang, selain melahirkan suatu pola komunikasi
yang unik antara suku yang satu dan lainnya, berdasarkan survey diperoleh informasi tentang rentannya
perbedaan suku/multikultural yang ada di Kecamatan Basarang ini. Seperti yang diungkapkan Bapak FG yang
merupakan salah satu tokoh masyarakat dari suku Bali yang ada di Kecamatan Basarang:
"Memang dulu pernah ada konflik antara suku Bali yang beragama Hindu dengan suku Jawa dan Banjar
yang beragama Islam yang terjadi di Desa Batu Nindan, dimana pemicunya adalah karena tempat
ibadah." (Wawancara dengan MG, tanggal 1 Desember 2019).
Hal itu dikuatkan juga oleh pernyataan yang terungkap dari YH yang merupakan salah satu tokoh
masyarakat dari suku Jawa yang ada di Kecamatan Basarang:
“Pada tahun 1962-1964 Suku Bali dan Jawa jadi satu, jika ada salah satu yg disakiti maka yang lain akan
membantu. Yang seumuran saya dan masih hidup pasti tau.
Masalahnya dulu tahun 1962 masyarakat trans dianggap menjajah, sampe antem-anteman, kejadiannya di
pal 9 sini dulu pas malam-malam kan banyak tontonan Bali kaya legong,joged,dll itu pasti ribut dulu.
Penyebab masalahnya dulu macam-macam mulai dari saling sindir menyindir, kemudian penarinya itu
kan dulu cantik-cantik mau dilecehkan oleh orang Banjar...Orang Jawa ga terima. Rame itu dulu sampai
ke polisi malam itu dulu. Itu terjadi sering tiap ada kesenian ditahun 1962-1964 itu.” (Wawancara dengan
YH, tanggal 1 Desember 2019).
Dari pernyataan di atas dapat diketahui bahwa secara historis di Kecamatan Basarang pernah terjadi
masalah dan konflik terkait perbedaan budaya dan komunikasi antara masyarakat beda suku yang terjadi di
kalangan masyarakat beda suku di Kecamatan Basarang.
Selain itu, di Kecamatan Basarang juga tidak sedikit munculnya pasangan beda suku, baik pasangan
muda mudi yang melakukan cinta lokasi sesama 1 desa/1 kecamatan maupun ada juga yang menemukan jodoh
beda sukunya dari daerah luar Kecamatan Basarang namun mereka akhirnya berdomisili di Kecamatan
Basarang. Pasangan beda suku yang ada di Kecamatan Basarang ini, misalnya: pasangan suku Bali dan Dayak,
suku Bali dan Banjar, suku Bali dan Jawa, serta suku Jawa dan Dayak. Namun pernikahan beda suku yang
banyak terjadi di Kecamatan Basarang, tidak hanya menciptakan pasangan beda suku yang langgeng sampai tua
namun ada juga yang hanya bertahan sebentar dengan berbagai masalah yang mengiringinya.
Secara umum, masing-masing suku juga tentu memiliki persepsi diri yang berbeda-beda yang
dipengaruhi oleh falsafah hidup yang telah di internalisasikan kepada mereka sejak lahir dan diwariskan secara
turun temurun. Hal itu semua membentuk mereka dan akan mempengaruhi nilai-nilai yang dimilikinya yang
pada akhirnya akan mempengaruhi caranya dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Nilai-nilai antara masyarakat
yang satu dan yang lainnya tentu akan berbeda-beda dan tak jarang kontras atau bertentangan satu dengan
lainnya. Misalnya orang suku Dayak yang beragama kaharingan tentu saja menginginkan jika memiliki anak
maka akan mengadakan ritual atau upacara Kaharingan. Namun, beda halnya dengan orang Bali jika memiliki
anak maka tentu saja ia akan mengupacarai anaknya dengan acara manusa yadnya misalnya: Upacara
nyambutin, dan masih banyak hal-hal kontras lainnya.
Jadi, ada 2 tema permasalahan yang akan menjadi fokus penulis dalam penelitian ini, yaitu: pertama;
mengenai pola komunikasi antar masyarakat beda suku dan kedua; mengenai pola komunikasi pasangan beda
suku. Kemudian, Hal inilah yang mendorong penulis untuk membuat pemodelan pola komunikasi masyarakat
multikultural khususnya pemodelan pola komunikasi antar masyarakat beda suku dan pola komunikasi pasangan
beda suku menjadi sebuah topik yang menarik, unik, dan krusial terjadi dalam kehidupan masyarakat
multikultural di Kecamatan Basarang. Dari latar belakang diatas, penulis mengangkat sebuah judul:
3
“Pemodelan Pola Komunikasi Masyarakat Multikultural (Studi Kasus Masyarakat Multikultural di Kecamatan
Basarang)”.
Adapun Tujuan dilakukannya Penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana pemodelan pola komunikasi antar masyarakat beda suku yang ada di
Kecamatan Basarang.
2. Untuk mengetahui Bagaimana pemodelan pola komunikasi pasangan beda suku yang ada di Kecamatan
Basarang.
3. Untuk mengetahui Bagaimana pengamalan nilai-nilai Multikulturalisme oleh masyarakat multikultural di
Kecamatan Basarang ditinjau dari perspektif tokoh masyarakat.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Subjek dari penelitian
ini adalah para masyarakat beda suku, pasangan beda suku, tokoh masyarakat dan tokoh agama yang ada di
Kecamatan Basarang. Tehnik penentuan Informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
kategorisasi sesuai kriteria yang ditetapkan peneliti. Metode dalam pengumpulan data adalah: observasi,
wawancara, dan dokumentasi. Metode analisis data adalah analisis data kualitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Filter Konseptual dan Pola Komunikasi Masyarakat Multikultural di Kecamatan Basarang
Dalam meneliti dan mengungkapkan tentang pola komunikasi masyarakat multikultural di Kecamatan
Basarang, terlebih dahulu penulis melakukan pengklasifikasian secara kualitatif tentang bagaimana pola dan
kedekatan komunikasi yang terjadi antara suku satu dengan lainnya. Adapun konsep yang penulis gunakan
dalam melakukan klasifikasi tersebut yaitu dengan membuat beberapa lapisan yang penulis sebut sebagai filter
konseptual. Adapun lapisan/filter konseptual tersebut dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 1
Konsep Klasifikasi Dengan Lapisan/Filter Konseptual Pola Komunikasi
Masyarakat Multikultural Di Kecamatan Basarang
Dalam gambar tersebut dapat dilihat bahwa ada 4 filter konseptual yang penulis gunakan untuk
mengklasifikasikan dan memvisualisasikan pola dan kedekatan komunikasi antara suku satu dengan lainnya. 4
Filter ini juga merupakan 4 tahapan yang berurutan dan harus dilewati/ditembus oleh masing-masing individu
masyarakat beda suku untuk menentukan bagaimana pola komunikasi dan kedekatan individu satu dengan
lainnya tersebut. 4 Filter ini penulis temukan dan susun berdasarkan hasil wawancara dengan semua narasumber
dalam penelitian ini, karena dari semua hasil wawancara yang penulis lakukan pada semua narasumber, hampir
seluruh narasumber menyatakan bahwa 4 konsep ini merupakan suatu hal yang signifikan. 4 lapisan/filter ini penulis bedakan dengan 4 macam warna yang berbeda-beda yaitu mulai dari yang
terluar sampai yang terdalam adalah warna hijau, kuning, merah, dan ungu. 4 urutan warna ini melambangkan
dan memiliki arti/makna tersendiri secara beurutan dari yang terluar sampai yang terdalam, yaitu sebagai
berikut:
1. Warna Hijau, merupakan warna terluar dari lingkaran filter. alasan penulis memilih warna hijau sebagai
filter terluar adalah karena warna hijau merupakan warna yang melambangkan kebebasan, keamanan, dan
juga menyegarkan di mata. (https://sains.me/filosofi-warna-lampu-lalu-lintas/)
Dalam konteks ini, jadi warna hijau merupakan filter terluar yang merupakan filter yang paling bebas dan
aman untuk saling menembus dan berpotongan dengan filter lainnya. Selain itu, karena posisinya yang
memang paling terluar sehingga ia merupakan bagian/lapisan yang paling bebas, aman, dan pertama serta
paling sering untuk terjadi kontak/persinggungan dengan filter lainnya.
4
2. Warna Kuning, merupakan warna yang penulis pilih sebagai warna yang mewakili filter kedua, makna dari
warna kuning adalah melambangkan kehati-hatian, bersiap-siap, dan kewaspadaan. Dalam konteks ini yaitu
warna kuning merupakan warna yang mewakili filter kedua yang bermakna hati-hati, siap-siap, mulai
waspada, dan juga melambangkan peralihan/transisi(https://sains.me/filosofi-warna-lampu-lalu-lintas/),
karena telah tertembusnya filter pertama yang berarti akan berpotensi untuk tertembusnya filter selanjutnya.
Selain itu, warna kuning juga melambangkan transisi dan peralihan yaitu suatu moment transisi/peralihan
dari tembusnya filter pertama ke filter kedua dan kemungkinan akan menembus filter selanjutnya yaitu filter
yang berwarna merah dan ungu.
3. Warna Merah, adalah warna yang penulis pilih sebagai warna yang mewakili filter ketiga, adapun pengertian
atau makna dari warna merah adalah bahwa warna merah melambangkan
‘peringatan’(https://salamadian.com/arti-warna/), adapun peringatan yang dimaksud disini adalah peringatan
bahwa telah tertembusnya 2 filter sebelumnya yaitu filter hijau dan kuning. Selain itu, tembusnya 2 filter
sebelumnya juga berarti peringatan bahwa akan tembusnya filter terakhir.
4. Warna Ungu, adalah warna yang penulis pilih sebagai warna yang mewakili filter keempat atau terakhir,
adapun pengertian atau makna dari warna ungu itu sendiri adalah warna ungu adalah warna yang
melambangkan spiritualitas, kemisteriusan, dan kemewahan.(https://salamadian.com/arti-warna/) Dalam
konteks ini, dapat diartikan bahwa warna ungu yang merupakan warna dari filter terakhir adalah
menyimbolkan bahwa filter terakhir ini merupakan filter yang paling misterius karena posisinya yang berada
paling dalam diselimuti oleh filter-filter lain sehingga menjadi filter yang paling sulit untuk untuk ditembus.
Hal itu tentu menciptakan simbol kemewahan pada filter berwarna ungu ini. Selain itu, konsep dari filter ini
memang merupakan lapisan/filter tentang nilai-nilai filosofis yang linier dengan makna simbol warna ungu
yang juga berarti/melambangkan spiritualitas.
Setelah mendapatkan visualisasi dan makna ideal dari masing-masing lapisan/filter konseptual
berdasarkan perbedaan warnanya, selanjutnya konsep warna masing-masing filter tersebut penulis aplikasikan
ke dalam 4 lapisan konsep lapisan/filter konseptual pola komunikasi masyarakat multikultural di kecamatan
basarang, sebagai berikut:
1. Filter Pergaulan Sehari-hari, filter ini dilambangkan dengan warna hijau yang menunjukkan bahwa itu
merupakan lapisan terluar yang relatif lebih mudah untuk ditembus. orang lain, dan tentu saja berpotensi
untuk tembusnya filter kedua. 2. Filter Geografis, filter ini dilambangkan dengan warna kuning yang menunjukkan bahwa itu merupakan
lapisan kedua yang mulai agak sulit ditembus. 3. Filter Agama dan Budaya, filter ini dilambangkan dengan warna merah yang menunjukkan bahwa itu
merupakan lapisan ketiga yang cukup dalam dan sulit untuk ditembus. 4. Filter Nilai Filosofis, filter ini dilambangkan dengan warna ungu yang menunjukkan bahwa itu merupakan
lapisan keempat yang merupakan lapisan paling dalam, terakhir dan paling sulit untuk ditembus.
Perpotongan yang terjadi antara filter yang dimiliki suku satu dan suku lainnya tersebut menentukan
bagaimana pola dan kedekatan komunikasi yang terjalin antara suku-suku tersebut. Semakin besar perpotongan
yang terjadi atau semakin banyak filter yang tertembus, maka menunjukkan bahwa komunikasi yang terjalin
antar suku tergolong pada klasifikasi pola komunikasi yang akrab dan mendalam.Namun begitu juga sebaliknya,
semakin sedikit perpotongan yang terjadi atau semakin sedikit filter yang tertembus, maka menunjukkan bahwa
komunikasi yang terjalin antar suku tersebut tergolong pada klasifikasi pola komunikasi yang kurang akrab dan
renggang.
Proses pengklasifikasian pola dan kedekatan komunikasi antara suku satu dan lainnya ini merupakan
tahap awal untuk menuju proses selanjutnya.Tahap selanjutnya yaitu penulis membuat sebuah Pemodelan Pola
Komunikasi Masyarakat Multikultural di Kecamatan Basarang yang merupakan sebuah generalisasi yang dapat
merepresentasikan dan memvisualisasikan secara umum bagaimana proses komunikasi multikultural yang
sesungguhnya terjadi dalam masyarakat multikultural di Kecamatan Basarang ini.
Adapun visualisasi/gambaran pola komunikasi antara suku satu dengan lainnya di Kecamatan Basarang
ini adalah sebagai berikut:
Gambar 2
Visualisasi Dan Generalisasi Pola Komunikasi Masyarakat Suku Bali
Terhadap Suku Dayak, Jawa, Dan Banjar
5
Gambar 3
Visualisasi Dan Generalisasi Pola Komunikasi Masyarakat Suku Dayak
Terhadap Suku Bali, Jawa, Dan Banjar
Gambar 4
Visualisasi Dan Generalisasi Pola Komunikasi Masyarakat Suku Jawa
Terhadap Suku Bali, Dayak, Dan Banjar
Gambar 5
Visualisasi Dan Generalisasi Pola Komunikasi Masyarakat Suku Banjar
Terhadap Suku Bali, Dayak, Dan Jawa
2. Pemodelan Pola Komunikasi Masyarakat Multikultural di Kecamatan Basarang
Dari semua visualisasi pola komunikasi antar suku Bali, Dayak, Jawa, dan Banjar secara silang yang
digambarkan satu persatu di atas, maka penulis mencoba merangkumnya ke dalam satu grand model yang
merupakan generalisasi dan visualisasi dari Pola Komunikasi Masyarakat Multikultural di Kecamatan Basarang
secara umum. Adapun model tersebut adalah sebagai berikut:
Gambar 6
Pemodelan Pola Komunikasi Masyarakat Multikultural Di Kecamatan Basarang
6
Dari model diatas dapat dilihat bahwa pada model ini mengasumsikan dua orang yang setara dari 2 suku
yang berbeda yang sedang berkomunikasi yang ditandai dengan lingkaran bertuliskan masing-masing Suku X
dan Suku Y. Masing-masing sebagai pengirim dan sekaligus sebagai penerima, atau keduanya sekaligus
melakukan penyandian (encoding) dan penyandian-Balik (decoding), pesan suatu pihak sekaligus juga adalah
umpan Balik bagi pihak lainnya.
Hubungan timbal balik dalam pengiriman pesan antara kedua orang itu ditandai dengan tanda panah dua
arah yang berada ditengah dari 2 lingkaran. Dalam hubungan timbal Balik tersebut terdiri dari komunikasi
verbal dan non verbal, dimana verbal berupa kata-kata baik lisan maupun tulisan.sedangkan nonverbal berupa
simbol-simbol yang bukan kata-kata, seperti ekspresi wajah, gerak-gerik/tingkah laku, dan lain-lain.
Garis umpan Balik (panah 2 arah) menunjukkan bahwa komunikasi terjadi 2 arah timbal Balik dan
setiap kita berkomunikasi, secara serentak kita menyandi dan menyandi-Balik pesan. Dengan kata lain,
komunikasi tidak statis; kita tidak menyandi suatu pesan dan tidak melakukan apa-apa hingga kita menerima
umpan Balik. Alih-alih, kita memproses rangsangan yang datang (menyandi-Balik) pada saat kita juga
menyandi pesan.
Penyandian pesan dan penyandian-Balik pesan merupakan proses interaktif yang dipengaruhi oleh filter-
filter konseptual yang dikategorikan menjadi 4 lapisan faktor-faktor, yaitu: Filter Pergaulan Sehari-hari, Filter
Geografis, Filter Agama dan Budaya, dan Filter Filosofis. Lingkaran paling dalam, yang mengandung interaksi
antara penyandian pesan dan penyandian-Balik pesan, dikelilingi tiga lingkaran lainnya yang mempresentasikan
pengaruh Filter Pergaulan Sehari-hari, Filter Geografis, Filter Agama dan Budaya, dan Filter Filosofis.
Masing-masing peserta komunikasi, yakni orang suku X dan orang Suku Y, dipengaruhi oleh Filter
Pergaulan Sehari-hari, Filter Geografis, Filter Agama dan Budaya, dan Filter Nilai Filosofis berupa lingkaran-
lingkaran dengan garis yang tegas dan warna yang berbeda-beda,itu menunjukkan bahwa Filter yang terluar
harus mampu dilewati terlebih dahulu agar bisa menyentuh bahkan menembus filter selanjutnya, jadi hubungan
ke-4 filter saling mempengaruhi dalam artian filter terluar melindungi filter selanjutnya sampai akhirnya
menembus filter terdalam/terakhir.
Seperti ditunjukkan di atas, Filter Pergaulan Sehari-hari, Filter Geografis, Filter Agama dan Budaya, dan
Filter Nilai Filosofis itu berfungsi sebagai filter konseptual untuk menyandi dan menyandi-Balik pesan. Filter
tersebut adalah mekanisme yang membatasi jumlah alternatif yang memungkinkan kita memilih ketika kita
menyandi dan menyandi-Balik pesan. Lebih khusus lagi, filter tersebut membatasi prediksi yang kita buat
mengenai bagaimana orang lain mungkin menanggapi perilaku komunikasi kita. Pada gilirannya, sifat prediksi
yang kita buat mempengaruhi cara kita menyandi pesan. Lebih jauh lagi, filter itu membatasi rangsangan apa
yang kita perhatikan dan bagaimana kita menafsirkan rangsangan tersebut ketika kita menyandi-Balik pesan
yang datang. (Mulyana, 2008:170)
Adapun penjelasan masing-masing filter tersebut yaitu:
1. Filter Pergaulan Sehari-hari, filter ini dilambangkan dengan warna hijau yang menunjukkan bahwa itu
merupakan lapisan terluar yang relatif lebih mudah untuk ditembus. Filter ini merupakan area yang
menentukan dan membatasi apakah seorang individu berkenan untuk bergaul atau berkomunikasi dengan
orang/individulain yang berbeda suku atau tidak. Jika area ini tertembus dan berpotongan satu sama lain,
maka individu tersebut akan berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain beda suku, sehingga
komunikasi dan interaksi mereka tergolong pada klasifikasi level pergaulan sehari-hari dan ini merupakan
langkah awal/berpotensi untuk menuju tembusnya filter kedua. Namun sebaliknya, jika filter ini tidak bisa
tertembus, maka itu berarti orang tersebut memutuskan untuk tidak ingin berinteraksi dan berkomunikasi
dengan orang lain, dan tentu saja menutup potensi untuk tembusnya filter kedua.
2. Filter Geografis, filter ini dilambangkan dengan warna kuning yang menunjukkan bahwa itu merupakan
lapisan kedua yang mulai agak sulit ditembus. Filter ini merupakan aspek yang menentukan dan membatasi
seseorang berkomunikasi dengan orang lainnya yang ditentukan oleh aspek lingkungan/geografisnya.
Semakin dekat dan semakin membaur tempat tinggal seseorang dengan orang lainnya, maka akan semakin
besar kesempatan orang tersebut untuk berinteraksi dan berkomunikasi sehingga meningkatkan level filter
dari lapisan terluar; filter pergaulan sehari-hari menjadi filter geografis. Jika filter ini saling berpotongan satu
sama lain, maka komunikasi antara individu beda suku satu dan lainnya tersebut tergolong pada klasifikasi
komunikasi tahap/level kedua yang menembus filter geografis, begitu juga sebaliknya. Tembusnya filter
geografis tentu akan berpotensi untuk meningkat pada tembusnya filter selanjutnya.
3. Filter Agama dan Budaya, filter ini dilambangkan dengan warna merah yang menunjukkan bahwa itu
merupakan lapisan ketiga yang cukup dalam dan sulit untuk ditembus. Filter ini merupakan aspek yang
menentukan dan membatasi seseorang berkomunikasi dengan orang lainnya yang ditentukan dari kesamaan
agama dan budayanya, jika seseorang memiliki agama yang sama dengan orang lainnya maka ia akan lebih
mudah dalam berinteraksi dengan orang lainnya, namun walaupun agamanya berbeda tapi jika unsur-unsur
kebudayaan yang dimilikinya mirip atau identik maka akan memilki efek yang sama juga, karena itu filter
ini memiliki 2 opsi yaitu agama maupun budaya.Jika filter ini saling berpotongan satu sama lain, maka
komunikasi antara individu beda suku satu dan lainnya tersebut tergolong pada klasifikasi komunikasi yang
menembus level/tahap ketiga yaitu pada filter Agama dan Budayadan tentu akan berpotensi untuk meningkat
pada tembusnya filter terakhir, namun begitu juga sebaliknya.
7
4. Filter Nilai Filosofis, filter ini dilambangkan dengan warna ungu yang menunjukkan bahwa itu merupakan
lapisan keempat yang merupakan lapisan paling dalam, terakhir dan paling sulit untuk ditembus. Filter ini
merupakan aspek yang menentukan dan membatasi seseorang berkomunikasi dengan orang lainnya yang
ditentukan oleh kesamaan aspek nilai-nilai filosofis yang dimiliki seseorang dengan orang lainnya. Jika filter
ini saling berpotongan satu sama lain, maka komunikasi antara individu beda suku satu dan lainnya tersebut
tergolong pada klasifikasi komunikasi yang paling dalam yaitu pada level/tahap Filter Nilai-Nilai
Filosofis.Filterini merupakan lapisan terdalam dan terakhir,yang baru akan tertembus jika 3 filter
sebelumnya sudah tertembus.
Keempat filter ini merupakan filter yang berurutan dan lapisan terluar melindungi lapisan didalamnya
demikian seterusnya sampai lapisan terdalam yang terakhir. Jadi untuk menembus lapisan selanjutnya maka
harus menembus lapisan sebelumnya terlebih dahulu.
Selanjutnya selain filter, ada tenaga penggerak lingkaran person suku X dan suku Y yang menentukan
saling mendekat dan berpotongan atau saling bertolakan atau menjauhi satu dengan lainnya. Tenaga penggerak
ini penulis namakan dengan Faktor Integrasi dan disintegrasi. Faktor Integrasi adalah faktor penggerak yang
bisa membuat person suku X dan suku Y saling mendekat hingga tercipta perpotongan dan tembusnya filter-
filter yang ada, sedangkan sebaliknya Faktor Disintegrasi adalah faktor penggerak yang bisa membuat person
suku X dan suku Y saling menjauh atau bertolak belakang hingga tercipta kondisi yang tidak memungkinan
terjadinya perpotongan dan terlebih mustahil tembusnya filter-filter yang ada.
Perbedaan Filter dengan tenaga penggerak itu sendiri adalah: jika filter merupakan lapisan-lapisan
konseptual yang secara bertahap menjadi suatu mekanisme yang membatasi jumlah alternatif yang
memungkinkan kita memilih ketika kita menyandi dan menyandi-balik pesan. Lebih khusus lagi, filter tersebut
membatasi prediksi yang kita buat mengenai bagaimana orang lain mungkin menanggapi perilaku komunikasi
kita dan filter itu membatasi rangsangan apa yang kita perhatikan dan bagaimana kita menafsirkan rangsangan
tersebut ketika kita menyandi-Balik pesan yang datang. Sedangkan tenaga penggerak adalah suatu
daya/kekuatan yang bisa menjadi pemicu bagi lingkaran person suku X dan suku Y untuk saling mendekat dan
berpotongan atau saling bertolakan atau menjauhi satu dengan lainnya. Tenaga penggerak ini penulis namakan
dengan Faktor Integrasi(daya tarik menarik) dan Disintegrasi(daya tolak menolak). Jadi pada intinya, filter
merupakan sesuatu yang pasif dan bawaan alamiah dari setiap individu suku X yang harus ditembus tahap demi
tahapnya untuk dapat mencapai komunikasi yang maksimal, sedangkan tenaga penggerak merupakan sesuatu
daya yang aktif yang menjadi bahan bakar penggerak yang menentukan lingkaran suku X dan lingkaran suku Y
saling menarik/mendekat atau saling menolak/menjauh. Jika dianalogikan, maka filter merupakan sebuah
jalan/rute, tenaga penggerak adalah bahan bakar mesin mobil, sedangkan mobilnya adalah lingkaran person
suku X dan suku Y.
Adapun faktor integrasi dan disintegrasi ini antara lain: Etika, Toleransi, Sikap Saling Menghargai dan
Empati, penjelasan masing-masing faktor yaitu:
1) Etika, Pengertian Etika adalah suatu norma atau aturan yang dipakai sebagai pedoman dalam berperilaku di
masyarakat bagi seseorang terkait dengan sifat baik dan buruk.Dengan kata lain, etika adalah kewaijban dan
tanggungjawab moral setiap orang dalam berperilaku di masyarakat. Etika yang dimaksud disini adalah tata
krama atau sopan santun yang dimiliki seorang individu, semakin seorang menjaga etika dalam pergaulan
maka semakin besar tenaga penggerak integrasi antar person suku X dan Y yang terjadi, begitu pula
sebaliknya.
2) Toleransi, Toleransi secara bahasa berasal dari bahasa latin “tolerare”, toleransi berarti sabar dan menahan
diri. Toleransi juga dapat berarti suatu sikap saling menghormati dan menghargai antarkelompok atau
antarindividu dalam masyarakat atau dalam lingkup lainnya. Sikap toleransi dapat menghindari terjadinya
diskriminasi, walaupun banyak terdapat kelompok atau golongan yang berbeda dalam suatu kelompok
masyarakat. Toleransi yang dimaksud disini adalah sikap sabar dan menahan diri yang dimiliki seorang
individu, semakin seorang sabar dan bisa menahan diri dalam pergaulan maka semakin besar tenaga
penggerak integrasi antar person suku X dan Y yang terjadi, begitu pula sebaliknya.
3) Sikap Saling Menghargai, yang dimaksud disini adalah sikap menghargai satu dengan lainnya dan sikap
saling memahami antar infdividu suku X dan individu suku Y sehingga terjadi/terciptanya suatu kondisi
saling mengerti antara 2 individu. Semakin seseorang saling menghargai dalam pergaulan maka semakin
besar tenaga penggerak integrasi antar person suku X dan Y yang terjadi, begitu pula sebaliknya.
4) Empati, adalah suatu kemampuan seseorang untuk memahami dan berbagi perasaan, mengambil perspektif
orang lain, dan mencoba menyelesaikan masalah orang lain. Empati merupakan kondisi mental seseorang
yang cukup mendalam sehingga mampu mengetahui dan merasakan perasaan atau pikiran orang lain.
Semakin seseorang memiliki empatii dalam pergaulan maka semakin besar tenaga penggerak integrasi antar
person suku X dan Y yang terjadi, begitu pula sebaliknya.
8
3. Filter Konseptual dan Pola komunikasi Pasangan Beda Suku Yang Berpisah dan Langgeng di
Kecamatan Basarang
Adapun konsep yang penulis gunakan dalam melakukan klasifikasi tersebut yaitu dengan membuat
beberapa lapisan yang penulis sebut sebagai filter konseptual yang dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 7
Konsep Klasifikasi Dengan Lapisan/Filter Konseptual
Pola Komunikasi Pasangan Beda Suku Di Kecamatan Basarang
Sama seperti sebelumnya pada model komunikasi masyarakat multikultural di Kecamatan Basarang,
dalam gambar tersebut juga dapat dilihat bahwa ada 4 lapis atau filter yang akan membatasi suku satu dan suku
lainnya dalam berkomunikasi. Namun konsep masing-masing filter yang digunakan disini berbeda. 4 filter ini
mulai dari yang terluar sampai yang paling dalam yaitu terdiri dari: 1.Filter Keterbukaan Antar Pribadi 2.Filter
Pengaruh Keluarga 3.Filter Prinsip Hidup 4.Filter Nilai-Nilai Filosofis Yang di anut.
Perpotongan yang terjadi antara filter yang dimiliki pasangan beda suku satu dan suku lainnya tersebut
menentukan bagaimana pola dan kedekatan komunikasi yang terjalin antara suku-suku tersebut. Semakin besar
perpotongan yang terjadi atau semakin banyak filter yang tertembus, maka menunjukkan bahwa komunikasi
yang terjalin antar pasangan beda suku tergolong pada klasifikasi pola komunikasi yang langgeng dan
mendalam. Namun begitu juga sebaliknya, semakin sedikit perpotongan yang terjadi atau semakin sedikit filter
yang tertembus, maka menunjukkan bahwa komunikasi yang terjalin antar suku tersebut tergolong pada
klasifikasi pola komunikasi yangkurang akrab dan renggang atau bercerai
Adapun pemodelan pola komunikasi antara pasangan beda suku ini akan penulis jelaskan satu persatu
sebagai berikut:
a. Pola komunikasi Pasangan Beda Suku yang Berpisah
Jika divisualisasikan dan digeneralisasikan secara umum tentang Pola Komunikasi pasangan beda suku
yang berpisah, khususnya yang terjadi pada pasangan beda suku; Bali dan Dayak yang berpisah, maka akan
didapatkan pemodelan sebagai berikut:
Gambar 8
Pemodelan Pola Komunikasi Pasangan
Beda Suku Yang Berpisah
Dari model diatas dapat dilihat bahwa pasangan beda suku yang berpisah, khususnya yang terjadi pada
pasangan beda suku; Bali dan Dayak yang berpisah cenderung saling menjauhi satu dan lainnya. Tentang
pasangan yang berpisah ini menurut interaksi simbolik:
Dalam konteks identitas etnik, Mead berpendapat bahwa konsepsi-diri seorang bersumber dari
partisipasinya dalam budaya dimana ia dilahirkan atau yang ia terima. Budaya diperoleh individu lewat
simbol-simbol dan simbol-simbol ini bermakna baginya lewat ekperimentasi dan akhirnya familiarity
dengan berbagai situasi (dalam Palakshappa, 1971:41). Dalam kaitan ini, identitas etnik juga suatu
proses. Ia terbentuk lewat interpretasi realisasi fisik dan sosial sebagai memiliki atribut-atribut etnik.
(Mulyana, 2008:230).
9
Berdasarkan fakta dilapangan diketahui pasangan yang bercerai yaitu AB menyatakan bahwa memang
keterbukaan dan perselingkuhan merupakan penyebab utamanya, namun ia tidak menampik bahwa ada unsur
fanatisme dari mantan istri sebagai faktor lain. Adapun fanatisme dari sang mantan istri, jika merujuk pada teori
interaksi simbolik maka itu merupakan konsepsi-dirinya yang bersumber dari partisipasinya dalam budaya
dimana ia dilahirkan atau yang ia terima sejak bayi yaitu tentu saja dilingkungan budaya suku Dayak. Budaya
itu diperoleh individu lewat simbol-simbol dan simbol-simbol ini bermakna baginya lewat ekperimentasi dan
akhirnya familiarity dengan berbagai situasi. Sehingga dalam situasi saat menikahpun nilai-nilai itu tetap dibawa
oleh sang mantan istri.
Namun nilai tersebut dalam persepsi AB merupakan sesuatu yang fanatisme dan cenderung hedonis,
misalnya karena sang mantan istri pemilih sekali dengan makanan yaitu mau makan babi, ayam, dan ikan nila
atau patin saja, sedangkan makanan seperti ikan kering dia tidak mau. Namun biar bagaimanapun mungkin
sikap yang dinilai sebagai "fanatis" Itu merupakan nilai budaya yang ditanamkan kepadanya sejak lahir.
Hal serupa berlaku dengan penyebab perceraian CD yang menurutnya karena terlalu ikut campurnya
sang mertua dalam biduk rumah tangganya dan ketidak berdayaan sang istri untuk tidak mau menuruti dia
melainkn dikontrol sepenuhnya oleh orang tuanya dan ia seakan dipaksa menjadi tulang punggung keluarga
sang istri. Jadi nilai yang ditanamkan kepada sang istri sejak lahir adalah bahwa suaminya kelak harus menjadi
tulang punggung keluarga dan dalam budaya suku Dayak kebanyakan yang berlaku memang seperti itu, maka
itu tentu saja bertentangan dengan nilai yang tertanam pada diri CD sejak kecil dalam budaya suku Bali bahwa
orang tua tidak akan menjadikan anak atau menantunya sebagai tulang punggung selama orang tuanya masih
sanggup bekerja dan sehat. Benturan dua persepi budaya yang ditanamkan dimasing-masing individu ini sejak
lahir tentu saja mengakibatkan kontradiksi dan dinamika bahkan konflik yang mustahil bagi keduanya untuk
bersatu (jika tanpa treatment khusus), hingga akhirnya mereka memilih jalan untuk berpisah.
b. Pola komunikasi Pasangan Beda Suku yang Langgeng
Jika divisualisasikan dan digeneralisasikan secara umum tentang Pola Komunikasi Pasangan beda suku
yang langgeng, khususnya Suku Bali dan Dayak dan pasangan Suku Bali dan Jawa yang langgeng, maka akan
didapatkan pemodelan sebagai berikut:
Gambar 9
Pemodelan Pola Komunikasi Pasangan
Beda Suku Yang Langgeng
Dari model di atas, dapat dilihat bahwa Kedekatan pasangan beda suku yang langgeng cenderung saling
berpotongan dan saling menembus filter satu dan lainnya hingga mencapai lapisan filter terakhir. Kontras
dengan Pemodelan Pola Komunikasi Pasangan beda suku yang berpisah, Pemodelan Pola komunikasi Pasangan
Suku Bali dan Dayak yang langgeng secara faktual membuktikan bahwa penyatuan dua pasangan yang berbeda
suku bukanlah hal yang mustahil dan bisa menjadi sebuah kebahagiaan hidup yang luar biasa bagi yang
menjalaninya.
Namun pernikahan beda suku yang langgeng ini bukannya tanpa dinamika sama sekali, tetapi
berdasarkan data yang penulis dapatkan, justru dinamika dalam hubungan mereka banyak sekali, bahkan lebih
banyak dari dinamika dalam kehidupan pasangan beda suku yang berpisah dan juga sangat mendalam sampai
menimbulkan benturan-benturan dilevel filter nilai filosofis. Tetapi justru perbedaannya dengan pasangan yang
bercerai adalah bahwa semua dinamika yang dihadapi pasangan beda suku yang langgeng tersebut mereka
jadikan sebagai suatu proses pembelajaran dan sebuah tahapan yang mengasah dan membentuk mereka menjadi
individu yang semakin dewasa dalam menjalani proses hubungan satu sama lainnya. Hal itu sejalan dengan teori
interaksi simbolik bahwa:
Karena makna adalah produk interaksi sosial, makna ini mungkin berubah lewat interpretasi individu
ketika situasi yang ditentukan dalam interaksi sosial juga berubah. Konsekuensinya, Perilaku mungkin
berubah, karena makna, sebagai basis perilaku, juga berubah. (Mulyana, 2008:230)
Jadi interpretasi mereka tentang suku satu sama lain yang didapatkannya dari hasil proses pendewasan
dan pembelajarannya bersama tadi berubah dari yang sebelumya mungkin negatif namun setelah proses
dinamika dan pendewasaan, interpretasi tersebut berkembang menjadi makna yang lebih positif karena makna
adalah produk dari interaksi mereka sendiri yang mana proses pembelajaran dan pendewasaan itu dilakukan
10
berulang-ulang bagaikan siklus namun terus berkembang/berevolusi ke arah yang positif. Konsekuensi dari
perubahan makna tadi adalah bahwa perilaku merekapun menjadi berubah dan tentu berubah kearah yang
positif, dimana menciptakan standar perilaku ideal yang bisa menyatukan satu sama lainnya dalam hubungan
suami istri yang ideal hingga selama mungkin.
4. Pemodelan Pola komunikasi Pasangan Beda Suku di Kecamatan Basarang
Dari semua pemodelan pola komunikasi diatas, maka penulis mencoba merangkumnya dalam satu grand
model yang merupakan generalisasi dan visualisasi dari Pola komunikasi Pasangan Suku Bali dan Dayak di
Kecamatan Basarang. Model komunikasi Pasangan Suku Bali dan Dayak di Kecamatan Basarang memiliki pola
yang hampir sama dengan model pola komunikasi masyarakat multikultural di Kecamatan Basarang yang sudah
dijelaskan sebelumnya, hanya saja memiliki perbedaan pada konsep filternya saja. Adapun model tersebut
adalah sebagai berikut:
Gambar 10
Pemodelan Pola Komunikasi Pasangan Beda Suku
Di Kecamatan Basarang
Pada dasarnya pada Pemodelan Pola Komunikasi Pasangan Beda Suku di Kecamatan Basarang diperoleh
model yang sama saja dengan Pemodelan Pola Komunikasi Masyarakat Multikultural di Kecamatan Basarang
yang sudah dijelaskan sebelumnya, namun filter konseptualnya saja yang berbeda yaitu: 1.Filter keterbukaan
antar pribadi 2.Filter Pengaruh Keluarga 3.Filter Prinsip Hidup 4.Filter Nilai Filosofis yang dianut. Adapun
faktor Integrasi dan Disintegrasinya antara lain: 1.Etika, 2.Toleransi, 3.Sikap Saling Menghargai, 4.Empati.
Adapun penjelasan masing-masing filter dalam Pemodelan Pola Komunikasi Pasangan Beda Suku di
Kecamatan Basarang ini yaitu:
1) Filter Keterbukaan Antar pribadi, filter ini dilambangkan dengan warna hijau yang menunjukkan bahwa itu
merupakan lapisan terluar yang relatif lebih mudah untuk ditembus. Filter ini merupakan area yang
menentukan dan membatasi apakah pasangan beda suku berkenan untuk berkomunikasi secara saling
terbuka atau tidak. Jika area ini tertembus, maka pasangan beda suku akan saling berinteraksi dan
berkomunikasi secara terbuka dan ini merupakan langkah awal/berpotensi untuk menuju tembusnya filter
kedua. Namun sebaliknya, jika filter ini tidak bisa tertembus, maka itu berarti orang tersebut memutuskan
untuk tidak ingin berinteraksi dan berkomunikasi dengan pasangannya lebih jauh (menutupi sesuatu), dan
tentu saja menutup potensi untuk tembusnya filter kedua.
2) Filter Pengaruh Keluarga, Filter ini dilambangkan dengan warna kuning yang menunjukkan bahwa itu
merupakan lapisan kedua yang mulai agak sulit ditembus. Filter ini merupakan aspek yang menentukan dan
membatasi pasangan berkomunikasi yang ditentukan oleh aspek pengaruh keluarga. Semakin besar pengaruh
keluarga terhadap kehidupan pasangan, maka akan semakin besar potensi masalah yang dialami pasangan
dalam berinteraksi dan berkomunikasi dan begitu juga sebaliknya. Jadi cara untuk meningkatkan level filter
dari lapisan terluar menjadi filter pengaruh keluarga adalah jika semakin sedikit terjadinya pengaruh
keluarga terhadap kehidupan pasangan tersebut. Tembusnya filter pengaruh keluarga tentu akan berpotensi
untuk meningkatkan tembusnya filter selanjutnya.
3) Filter prinsip hidup, Filter ini dilambangkan dengan warna merah yang menunjukkan bahwa itu merupakan
lapisan ketiga yang cukup dalam dan sulit untuk ditembus. Filter ini merupakan aspek yang menentukan dan
membatasi pasangan berkomunikasi yang ditentukan oleh kesamaan aspek prinsip hidup yang dimilikinya,
jika pasangan memiliki prinsip hidup yang sama dengan orang lainnya maka ia akan lebih mudah dalam
berinteraksi dengan pasangannya.
4) Filter Nilai Filosofis yang dianut, filter ini dilambangkan dengan warna ungu yang menunjukkan bahwa itu
merupakan lapisan keempat yang merupakan lapisan paling dalam/terakhir dan paling sulit untuk ditembus.
Filter ini merupakan aspek yang menentukan dan membatasi seseorang berkomunikasi dengan pasangannya
yang ditentukan oleh kesamaan aspek nilai-nilai filosofis yang dimiliki seseorang dengan orang lainnya.
Filter terakhir ini baru akan tertembus jika 3 filter sebelumnya sudah tertembus.
11
5. Pengamalan Nilai-Nilai Multikulturalisme dalam Perspektif Tokoh-Tokoh Masyrakat di Kecamatan
Basarang
Pandangan tokoh masyarakat tentang masyarakat multikultur yang ada di Indonesia umumnya dan yang
ada di Kecamatan Basarang khususnya, diungkapkan oleh Camat Basarang yang menyatakan bahwa:
"Pandangan saya tentang masyarakat multikultural yang ada di Indonesia yaitu di Indonesia ini memang
masyarakatnya multikultural dan beraneka ragam budaya suku dan agama, tetapi kalau menurut saya dan
saya melihat ya inilah Indonesia, jati diri Indonesia dengan kemajemukannya dengan slogan Bhinneka
Tunggal Ika nya yang kita pegang itulah yang menjadi identitas bangsa kita.
Adapun di desa atau Kecamatan Basarang sendiri, kalau menurut saya ya inilah salah satu dari
miniaturnya Indonesia, multikultur yang ada di Indonesia memang beragam juga dari agama, budaya,
dari suku nya juga ada; Banjar ada, Bali ada, Jawa ada, Dayak ada." (Wawancara dengan Camat
Basarang; Bapak Saiful Fajri tanggal 25 November Tahun 2019).
Adapun sudah ideal atau tidaknya pengamalan nilai multikulturalisme yang dilaksanakan di Kecamatan
Basarang, diungkapkan oleh Camat Basarang bahwa:
"Ideal atau tidaknya pelaksanaan nilai-nilai multikulturalisme yang dilaksanakan di Kecamatan Basarang
menurut saya relatif ya, karena ideal itu relatif tergantung kita sudut pandangnya tapi kalau dari kita
pribadi melihat kondisi sekarang dengan berbagai macam kondisi masyarakatnya yang majemuk dan
juga saat mereka menjalankan ibadahnya itu luar biasa menurut saya karena ketenangan beribadah Bagi
siapapun dan apapun agamanya dapat melaksanakan ibadahnya dengan kondusif." (Wawancara dengan
Camat Basarang; Bapak Saiful Fajri tanggal 25 November Tahun 2019).
Jadi secara relatif menurut Camat Basarang, pengamalan nilai multikulturalisme yang dilaksanakan di
Kecamatan Basarang sudah ideal karena melihat dari ketenangan menjalankan ibadah yang dilaksanakan oleh
setiap lapisan masyarakat. Selain soal acara keagamaan seperti itu, langkah nyata pengamalan nilai
multikulturalisme yang dilaksanakan di Kecamatan Basarang juga dilaksanakan oleh Kepala Desa Basarang
Jaya melalui terobosan pelaksanan suatu program baru yang dilakukan selama kepemimpinannya yaitu:
"Jadi suku satu diberi bantuan suku lain pun harus diberi bantuan bantuan dalam bentuk uang memang
sudah ada programnya, misalnya acara hari besar keagamaan, maka Desa memberikan bantuan kepada
panitia pelaksana hari besar kegiatan keagamaan tersebut misalnya seperti perayaan hari Maulid Nabi
maka Desa memberikan bantuan. Jadi tidak boleh membedakan maka itu kan nanti akan kelihatan rukun
misalnya kita orang Bali jadi tidak boleh kalau membantu itu hanya kepada sesama sukunya saja orang
Bali melainkan kita harus membantu semua agama semua suku yang ada di desa basarang Jaya ini.
Seperti contohnya misalkan desa memberi bantuan kepada orang cacat atau disabilitas itu kan ada 8
penyandang disabilitas yang bisa dibantu jadi ada dari orang Jawa ada dari orang Bali ada, jadi ini bukan
program dari dinas sosial melainkan program dari desa-desa, yang lain belum ada yang melaksanakan
seperti ini dan Desa Basarang Jaya yang pertama dan Sudah 2 tahun memberikan bantuan semenjak
Bapak jadi Kades Sudah 2 tahun memberikan bantuan kepada penyandang disabilitas ini bantuannya
yaitu berupa uang tunai yang diberikan per tahun, nama programnya yaitu memberikan bantuan sosial
kepada penyandang disabilitas bantuannya berupa uang sejumlah Rp500.000 per 1 tahun kepada masing-
masing penyandang disabilitas, selama ini yang diberikan bantuan baru 8 orang setahun dan rencananya
mungkin tahun depan akan diberikan kepada 10 orang, komposisi orangnya kemaren yaitu 6 orang Bali
dan 2 orang Jawa."(Wawancara dengan Kepala Desa Basarang Jaya; Pak Nyoman Salop Tanggal 5
November 2019)
Hal yang dilakukan oleh Kepala Desa Basarang Jaya tersebut patut diapresiasi karena dari 14 Desa yang
ada di Kecamatan Basarang beliau mengakui bahwa hanya di Desa yang dipimpinnya lah yang melaksanakan
program bantuan sosial seperti itu. Jadi dengan adanya program itu bukan hanya membantu masyarakat yang
disabilitas namun juga secara tidak langsung merupakan upaya pengamalan nilai multikulturalisme mengingat
penyaluran bantuan merata pada semua suku. Adapun komunikasi yang idealnya dilaksanakan oleh masyarakat
di Kecamatan Basarang menurut Camat Basarang adalah:
"Kalau pola komunikasi yang ideal menurut saya yaitu selalu kedepankan etika, dalam beretika selalu
adat istiadat dan sopan santun harus selalu kita hormati, misalnya jika kita masuk ke dalam kampung
yang mayoritas Bali maka kita harus menjunjung adat-istiadat dan etika budaya lokal dan juga yang lain,
dan di sini juga ada pepatah kan dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung, itu selalu dijadikan prinsip
hidup di Basarang ini.."(Wawancara dengan Camat Basarang; Bapak Saiful Fajri tanggal 25 November
Tahun 2019)
12
Terakhir penulis menanyakan kepada mereka mengenai bagaimana seharusnya aplikasi praktis dari nilai-
nilai multikulturalisme yang harus diterapkan masyarakat di Kecamatan Basarang agar tercapainya harmonisasi,
maka menurut Camat Basarang adalah:
"Aplikasi praktis dari pengamalan nilai multikulturalisme yang ada di Kecamatan Basarang menurut saya
yaitu artinya yang ada saat ini harus saling menjaga toleransi dan selalu menjaga kerukunan antar
masyarakat yang berbeda suku, saling menghargai antar masyarakat yang multikultural di Kecamatan
Basarang ini. Itu saja yang konsisten harus kita jaga dengan cara, yaitu dengan melaksanakan kegiatan-
kegiatan yang ada harus kita laksanakan, misalkan dengan gotong royong di tengah
masyarakat."(Wawancara dengan Camat Basarang; Bapak Saiful Fajri tanggal 25 November Tahun
2019)
Dan menurut Kepala Desa Basarang Jaya sendiri adalah:
"Yang secara nyata harus dilakukan untuk menjaga harmonisasi masyarakat beda suku di Kecamatan
Basarang yaitu yang pertama yang pasti kan harus saling menghormati dan menghargai serta empati,
yang kedua jangan saling menyinggung baik dari segi tingkah laku cara bicara itu jangan sampai
menyinggung perasaan. Asalkan kita berperilaku saling menghormati dan tidak menyinggung perasaan
orang lain kan kita pasti aman." (Wawancara dengan Kepala Desa Basarang Jaya; Pak Nyoman Salop
Tanggal 5 November 2019)
Linier dengan pendapat tokoh masyarakat tersebut, menurut teori multikulturalisme dalam perspektif
Bikhu Parekh, seperti yang diungkapkan berikut ini:
Tidak ada kebudayaan yang sempurna dan memiliki hak untuk menghadirkan diri pada pihak lain Dan
bahwa kebudayaan paling mungkin dapat diubah dari dalam.
Karena setiap kebudayaan terbatas sifatnya maka dialog di antara mereka akan saling menguntungkan
dialog tersebut menyadarkan atas bias-bias yang ada dalam diri mereka satu perolehan diri dan kemudian
memungkinkan untuk mengurangi dan memperluas Cakrawala pemikiran mereka.
Dialog mungkin terjadi jika masing-masing kebudayaan menerima kebudayaan lain sebagai Mitra
percakapan yang sederajat yang perlu di anggap serius sebagai sumber gagasan baru dan yang kepadanya
diberi kewajiban untuk menjelaskan dirinya dan dialog merealisasikan tujuannya hanya jika para peserta
menikmati kesetaraan yang luas mengenai kepercayaan diri kekuatan ekonomi dan politik dan akses
menuju ruang publik. (Parekh, 2008:441)
Jadi, kebudayaan apapun di dunia ini tidak ada yang sempurna dan komunikasi dalam bentuk dialog
antar suku yang berbeda budaya sangatlah penting untuk dilakukan, adapun nilai-nilai yang sangat perlu
dieprhatikan sebagai perekat komunikasi antar suku dari semua pembahasan di atas yaitu: Etika, Toleransi,
Sikap Saling Menghargai, dan Empati.
KESIMPULAN
1) Pada Pemodelan Pola Komunikasi Masyarakat Multikultural di Kecamatan Basarang mengasumsikan 2
orang dari 2 suku yang berbedayang sedang berkomunikasi. Komunikasi verbal dan non verbal terjadi 2 arah
dan timbal balik.Encoding dan Decoding merupakan proses yang dipengaruhi oleh 4 lapisan/filter-filter
konseptual yaitu: 1.Filter Pergaulan Sehari-hari, 2.Filter Geografis, 3.Filter Agama dan Budaya, dan 4.Filter
Filosofis.Adapun faktor Integrasi dan Disintegrasinya antara lain: 1.Etika, 2.Toleransi, 3.Sikap Saling
Menghargai, 4.Empati.
2) Pada Pemodelan Pola Komunikasi Pasangan Beda Suku di Kecamatan Basarang diperoleh model yang sama,
namun filter konseptualnya saja yang berbeda yaitu: 1.Filter keterbukaan antar pribadi 2.Filter Pengaruh
Keluarga 3.Filter Prinsip Hidup 4.Filter Nilai Filosofis yang dianut. Adapun faktor Integrasi dan
Disintegrasinya antara lain: 1.Etika, 2.Toleransi, 3.Sikap Saling Menghargai, 4.Empati.
3) Pengamalan nilai multikulturalisme di Kecamatan Basarang dapat dilihat dari: 1.Pelaksanaan acara
keagamaan masing-masing agama yang berlangsung kondusif dan lancar, bahkan tidak jarang saling
menghadiri dan membantu baik moril maupun materiil, 2.Pelaksanaan adat budaya agama Hindu Bali
maupun acara keagamaan Umat Islam dan kristen yang selalu lancar, 3.Program bantuan dari kepala Desa
Basarang Jaya kepada semua suku penderita disabilitas, 4.Terjalin dengan hangatnya hubungan interaksi dan
komunikasi antar masyarakat beda suku.
13
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal/Skripsi/Tesis : Darmadi, Hamid. (2016). Dayak Asal-Usul dan Penyebarannya di Bumi Borneo (1). Sosial Horizon: Jurnal
Pendidikan Sosial Vol.3, No.2, Desember 2016 Halaman 322-340. Diakses dari:
https://journal.ikippgriptk.ac.id/index.php/sosial/article/view/376/365.
Hadawiyah. (2016). Komunikasi Antarbudaya Pasangan Beda Etnis (Studi Fenomenologi Pasangan Beda Etnis
Suku Sulawesi – Jawa). Jurnal Lentera Komunikasi vol 2 No. 1. 2016, Halaman 17-28. Diakses dari:
https://plj.ac.id/ojs/index.php/jrksi/article/view/47/36.
Hidayat, Syarif. (2019). Implementasi Pendidikan Multikulturalisme Dalam Pembelajaran Sejarah Indonesia.
Jurnal Artefak Vol. 6 No. 2 September 2019, Halaman 59-70. Diakses dari:
https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/artefak/article/view/2582/Indonesia.
Makmur, Ahdi dkk. (2016). Relasi Antarumat beragama di perdesaan multikultural (Studi di Kecamatan
Basarang Kabupaten Kuala Kapuas Kalimantan Tengah dan di kecamatan upau kabupaten tabalong
kalimantan selatan. (Penelitian Tim Peneliti Pusat Penelitian dan Penerbitan (PPP) LP2M, IAIN
Antasari Banjarmasin). Diakses dari: https://idr.uin-antasari.ac.id/6956/.
Maryati, Tuty. (2012). Tesis AJEG BALI: Politik Identitas Dan Implementasinya Pada Berbagai Agen
Sosialisasi Di Desa Pakraman Ubud, Gianyar, Bali. (Tesis, Pascasarjana Universitas Pendidikan
Indonesia, Bandung). Diakses dari: http://repository.upi.edu/7673/.
Minxsetiani, Erlinda. (2018). Komunikasi Antarbudaya Dalam Menjalin Kerukunan Antar Umat Beragama
Suku Jawa Dan Bali Di Desa Sidoreno Kecamatan Way Panji Kabupaten Lampung Selatan. (Skripsi,
Universitas Islam Negeri Raden Intan, Lampung). Diakses dari:
http://repository.radenintan.ac.id/5342/.
Nugroho, Adi Bagus, Lestari, Puji, &Wiendijarti, Ida. (2012). Pola Komunikasi Antarbudaya Batak dan Jawa di
Yogyakarta. Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 5, Juli 2012 Halaman 403-418. Diakses dari:
http://jurnalaspikom.org/index.php/aspikom/article/view/44/219.
Parthami, Putu Wisudantari. (2009). Konstruksi Identitas Jender Laki-Laki Pada Pemuda Desa Adat Tenganan
Pegringsingan, Kabupaten Karangasem, Bali. (Skripsi, Universitas Indonesia, Jakarta). Diakses dari:
https://docplayer.info/73768698-Bab-1-pendahuluan-konstruksi-identitas-jender-putu-wisudantari-
parthami-1-fpsi-ui-universitas-indonesia.html.
Rosarina, Maria & Adiputra, Wisnu Martha. (2015). Representase Multikulturalisme Dalam Film Indonesia
(Analisis Semiotik Film Pendek Cheng Cheng Po). (Tesis, Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta). Diakses dari: http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/78798.
Suparlan, Pasurdi. (2002). Menuju Masyarakat Indonesia Yang Multikultural. Jurnal Antropologi Indonesia Vol.
69 Halaman 98-105. Diakses dari: http://www.ijil.ui.ac.id/index.php/jai/article/view/3448/2729.
Wulandari, Bernadet. (2009). Pola Komunikasi Melalui Blog (Studi Fenomenologi Terhadap Blogger di Jakarta
(Tesis Tidak Terpublikasi). Pascasarjana Universitas Mercu Buana, Jakarta.
Buku : DeVito, A. Joseph. (2010). Komunikasi Antarmanusia (Edisi Ke-5). Jakarta: Karisma Publishing.
Effendy, Onong Uchjana. (2000). Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Effendy, Onong Uchjana. (1989). Kamus Komunikasi. Bandung: PT. Mandar Maju.
Effendy, Onong Uchajana. (1993). Komunikasi Teori dan Praktik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Effendy, Onong Uchajana. (1992). Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Handoyo, Eko. (2015). Studi Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hoetomo. (2005). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Penerbit Mitra Pelajar.
Netra, Ida Bagus, (1974). Metode penelitian. Singaraja: Biro Penerbit dan pelatihan Fakultas Ilmu Pendidikan
Udayana.
Subagyo, Joko. (2004). Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek. Bandung: Penerbit Tarsito.
Kaelan. (2005). Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Penerbit Paradigma.
Kaler, I.G.K. (1982). Butir-Butir Tercecer Tentang Adat Bali 2. Denpasar: Bali Agung.
Krisyantono, Rachmat. (2010). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana.
Lawrence W. Neumen, Social Research Methods, Qualitative and Quantitative Approach. 2003. A.B Boston
New York.
Littlejohn, W. Stephen & Foss, A. Karen. (2010). Theories Of Human Communication (12th ed.). (Mohammad
Yusuf Amdan, Trans.). Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
Margono, S. (1997). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Morissan, dan Dr. Andy Corry Wardhany. (2009). Teori Komunikasi. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.
Mulyana, Deddy. (2001). Prinsip prinsip Dasar Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Mulyana, Ph.D., Prof. Dedy. (2004). Komunikasi Efektif: Suatu Pendekatan Lintasbudaya. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Mulyana, M.A, Dr. Dedy. (2008). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
14
Mulyana, Ph.D., Prof. Dedy. (2008). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat. (2005). Komunikasi Antar Budaya. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Narboku, Cholied dan Achmadi, H. Abu. (2003). Metodologi Penelitian. Jakarta: Penerbit PT. Bumi Aksara.
Nurul Zuriah, Dra. (2009). Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.
Rogers, Mary. (1996b). “Theory-What?Why?How?” in Mary F. Rogers(ed). Multicultural Experiences,
Multicultural Theories. New York: McGraw-Hill:11-16.
Parekh, Bhikhu. (2008). Rethinking Multiculturalism. (Bambang Kukuh Adi, Trans.). Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Rakhmat, Jalaludin. (2008). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Ridwan. (2004). Metode Dan Tehnik Menyusun Tesis. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. (2004). Teori Sosiologi Modern (Edisi Ke-6). (Alimandan; Trans.).
Jakarta: Kencana.
Ritzer, George dan Smart, Barry. (2012). Handbook Teori Sosial (Edisi ke-2). (Imam Mutaqin, dkk., Trans.).
Jakarta: Nusa Media.
Sugiono, Prof. Dr. (2006). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&S. Bandung: Penerbit cv. Alfabeta
Bandung.
Sugiono, Prof. Dr. (2007). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung: Penerbit cv. Alfabeta
Bandung.
Supatra, I.N.K. (2006). Sigug, Karakter Bali Modern & Pudarnya Identitas Orang Bali. Denpasar: Pustaka Bali
Post.
Suryadinata, Leo. (2003). Penduduk Indonesia Etnis dan Agama Dalam Era Perubahan Politik. Jakarta: Pustaka
LP3ES.
Winarno, Surachmad. (1982). Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Penerbit Tarsito.
Rujukan Elektronik : Badan Pusat Statistik. (2011). Suku Bali. Diakses dari: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Bali
Budiman, Aditya. (2012). Pemicu Bentrokan Lampung Versi Penduduk. Diakses dari:
https://nasional.tempo.co/read/439069/pemicu-bentrokan-lampung-versi-penduduk/full?view=ok
Jurnalis Fase Berita. (2019). Sejarah Suku Dayak di Indonesia. Diakses dari:
https://faseberita.id/riwayat/sejarah-suku-dayak-di-indonesia
Koten, Thomas. (2017). Mengenal Orang-orang Suku Banjar, Kalimantan Selatan. Diakses dari:
https://www.netralnews.com/news/rsn/read/99382/mengenal-orang-orang-suku-banjar-kalimantan-
selatan
Ras, Johannes Jacobus. (1990). Suku Banjar; Etimologis. Diakses dari: (https://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Banjar)
Sahriansyah. (2015). Suku Banjar; Filsafat Hidup dan Nilai Budaya Suku Banjar. Diakses dari: (https://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Banjar)
Syefi Fitriana. (2016). Filosofi Warna Lampu Lalu Lintas. Diakses dari: https://sains.me/filosofi-warna-lampu-
lalu-lintas/
Salamadian. (2017). 13 Arti Warna dan Psikologi Warna, Terlengkap! (Merah, Ungu, Kuning, Hijau, Coklat,
Biru dll). Diakses dari: (https://salamadian.com/arti-warna/)
Smith. (1987). Kelompok Etnik. Diakses dari:
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kelompok_etnik#CITEREFSmith1987
Silalahi, Rossiana. (2001). Dan Kepala Bocah Pun Dipenggal. Diakses dari:
https://m.liputan6.com/news/read/9010/dan-kepala-bocah-pun-dipenggal.
Sadaniang, Alipius. (2012). Filsafat Dayak. Diakses dari:
(https://www.kompasiana.com/loyok/551123778133115a3bbc76f9/filsafat-dayak)
Webmaster. (2019). Asal-Usul Suku Jawa, Orang Wajib Tau Nih. Diakses dari: (https://mtbfm.co.id/asal-usul-
suku-jawa-orang-jawa-wajib-tau-nih/)
Wikipedia. (2019). Suku Jawa. diakses dari: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Jawa
Wilhelminus, Ola Rongan. (2017). Pendidikan Multikulturalisme Sebagai Strategi Pengembangan Potensi
Manusia Untuk Menghargai Pluralitas. Diakses dari:
https://www.widyayuwana.ac.id/2017/02/21/260/
Yayasan Bali Galang. (2019). Tri Hita Karana Dalam Agama Hindu. Diakses dari:
http://www.babadBali.com/canangsari/trihitakarana.htm.
Perda : Pemerintah Daerah Provinsi Bali. (2001). Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa
Pakraman. Bali: Sekretariat Daerah Provinsi Bali.