Upload
donguyet
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PEMURNIAN DAN PENGEMBANGAN MUTU GENETIK
SAPI BALI DI BALI
OLEH
Ir. I NYOMAN ARDIKA, M.Si
NIP. 196207231987031001
PROGRAM STUDI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2016
PEMURNIAN DAN PENGEMBANGAN MUTU GENETIK
SAPI BALI DI BALI
I Nyoman Ardika
Program Studi Peternaka, Fakultas Peternakan Universitas Udayana
Email: [email protected]
RINGKASAN
Pengkajian mengenai pemurnian dan mengembangan mutu genetik sapi Bali
telah dipelajari dari berbagai literature dan pengetahuan penulis. Dari pengkajian
tersebut dapat disimpulkan bahwa pemurnian sapi Bali di Pulau Bali harus terus
dipertahankan, karena merupakan asset nasional atau plasma nutfah asli Indonesia
bahkan merupakan aset dunia. Sapi Bali memiliki keragaman genetik yang masih tinggi
sehingga masih bisa dikembangangkan mutu genetiknya dengan program seleksi yang
mantap dan terarah. Peningkatan mutu genetik sapi Bali disarankan menggunakan
seleksi system inti terbuka (open nucleus breeding system) yang melibatkan peternakan
rakyat dan Balai Pembibitan Ternak Unggul Sapi Bali Pulukan sebagai inti. Dengan
sistem seleksi ini mampu menekan cekaman silang dalam. Untuk mempercepat
tercapainya bibit sapi Bali yang bermutu disarankan untuk dilakukan inseminasi buatan
dan bila memungkinkan dengan menggunakan multiple ovulation dan embryo transfer.
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN …………………………………………………………… 1
PEMURNIAN GENETIK SAPI BALI …………………………………… 2
POTENSI PENGEMBANGAN MUTU GENETIK SAPI BALI ……………… 3
Potensi Sapi Bali ………………………………………………………… 7
Seleksi Sapi Bali ………………………………………………………… 8
Perbaikan Mutu Genetik Sapi Bali …………………………………….. 10
Open Nucleus Breeding system (ONBS) ………………………………. 10
Pemanfaatan IB dan MOET ………………………………………….. 11
KESIMPULAN …………………………………………………………………. 13
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………… 14
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sapi bali merupakan plasma nutfah sapi asli Indonesia yang perlu dijaga
kelestariannya. Dalam melestarikan sapi bali khususnya di Pulau Bali dilakukan
pemurnian, hal ini terbukti dari jaman bekas pemerintahan kolonial Belanda atas
persetujuan raja-raja di Bali dahulu yang telah menyusun dan melaksanakan peraturan
perundang-undangan yang melarang perkawinan sapi bali yang dipelihara di pulau Bali
(dan pulau-pulau disekitarnya) dengan bangsa sapi lainnya, serta melarang pemasukan
sapi dari bangsa apapun, selain sapi bali ke pulau Bali. Kebijakan ini didukung pula oleh
pemerintah Repulik Indonesia bahwa sapi bali merupakan sapi asli Indonesia dan pulau
Bali merupakan khawasan pemurnian sapi Bali.
Disamping pemurnian, sapi juga menyumbang akan kebutuhan daging secara
nasional. Kebutuhan daging sapi sebagai salah satu sumber protein hewani semakin
meningkat sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya gizi
yang seimbang, pertambahan penduduk dan meningkatnya daya beli masyarakat. Salah
satu upaya untuk memenuhi kebutuhan daging tersebut yaitu dengan meningkatkan
populasi, produksi dan produktivitas sapi potong. Untuk itu bibit sapi bali merupakan
salah satu faktor produksi yang menentukan dan mempunyai nilai strategis dalam upaya
mendukung terpenuhinya kebutuhan daging, sehingga diperlukan upaya pengembangan
pembibitan sapi Bali secara berkelanjutan.
Pembibitan sapi bali saat ini masih berbasis pada peternakan rakyat yang berciri
skala usaha kecil, manajemen sederhana, pemanfaatan teknologi seadanya, lokasi tidak
terkonsentrasi dan belum menerapkan sistem dan usaha agribisnis. Kebijakan
pengembangan usaha pembibitan sapi bali diarahkan pada suatu kawasan, baik kawasan
khusus maupun terintegrasi dengan komoditi lainnya serta terkonsentrasi di suatu
wilayah untuk mempermudah pembinaan, bimbingan, dan pengawasan dalam
pengembangan usaha pembibitan sapi bali yang baik.
Tujuan
Bertolak dari hal diatas maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah ikut
menyumbangkan pemikiran mengenai pemurnian dan pengembangan sapi bali sesuai
dengan kaedah-kaedah ilmu pemuliaan/pembibitan ternak.
PEMURNIAN GENETIK SAPI BALI
Berkenaan dengan kadar kemurnian sapi bali yang ada di Pulau Bali dan
sekitatnya, Tim Peneliti Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (2000) telah
menegaskan dari hasil-hasil penelitiaanya akan adanya kekhasan alel (gen) hemoglobin
dan DNA mikrosatelit serta struktur bulu sapi sebagai penciri uji keturunan dan/atau
kemurnian bangsa sapi, maka disimpulkan bahwa sapi bali yang ada di Pulau Bali
(termasuk pulau-pulau disekitarnya) adalah masih murni, belum terkontaminasi oleh
darah (sifat genetik) bangsa sapi lain. Selanjutnya Hardjosubroto (2000) mengusulkan
sapi bali di pulau Bali, terutama yang berada di peternakan rakyat, harus dijaga
kemurniaannya. Pulau Bali sedapat mungkin dipertahankan sebagai sumber genetik bagi
plasma nutfah sapi bali. Ada dua alasan pemurniaan sapi Bali di pulau Bali yaitu:
a. Sapi Bali, Bos (bibos) sondaicus, merupakan aset nasional di bidang peternakan
karena merupakan bangsa sapi ketiga di dunia, disamping Bos taurus dan Bos
indicus.
b. Sapi bali ternyata juga merupakan sumber genetic dengan adanya perbedaan tipe
hemoglobin ketiga di dunia (HbX), disamping adanya tipe HbA pada Bos indicus
dan HbB pada Bos Taurus.
Memang dalam kenyataannya, pada umur kronologis dan fisiologis yang sama
sapi bali memiliki laju pertambahan bobot badan, bobot potong, dan produksi karkas
absolut nyata lebih kecil dari bangsa sapi eksotik. Tetapi, bukanlah berarti bahwa
keadaan ini selalu merugikan kalau dihubungkan dengan peningkatan produksi ternak
maupun penyediaan daging. Kalau laju pertambahan bobot badannya diukur secara
relatif bangsa sapi asli yang lebih kecil seperti sapi bali umumnya adalah lebih efisien
dan dengan mutu pakan yang seadanya dapat berproduksi dengan baik. Ini merupakan
suatu pencapaian yang akan dapat diperoleh pada sapi-sapi improved breed.
Jika ditinjau dari segi pelestarian keanekaragaman sumber daya alam, maka
upaya-upaya mempertahankan kemurnian sapi bali justru mempunyai nilai tinggi.
Lebih-lebih lagi telah terbukti bahwa sapi bali bukan saja aset nasional, melainkan juga
sebagai aset dunia. Hal ini dipertegas lagi oleh Keputusan Menteri Pertanian Nomor 325
tahun 2010, tentang Penetapan Sapi Bali Sebagai Rumpun Asli Indonesia. Dalam
hubungannya ini maka adalah merupakan tindakan yang tepat seperti yang dilakukan
bekas pemerintahan kolonial Belanda atas persetujuan raja-raja di Bali dahulu yang telah
menyusun dan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang melarang perkawinan
sapi Bali yaqng dipelihara di pulau Bali ( dan pulau-pulau disekitarnya) dengan bangsa
sapi lainnya, serta melarang pemasukan sapi dari bangsa apapun, selain sapi Bali ke
pulau Bali.
Tanda-tanda khusus yang dipenuhi sebagai sapi bali murni yaitu warna putih
pada bagian belakang paha, pinggiran bibir atas, dan pada paha kaki bawah mulai tarsus
dan carpus sampai batas pinggir atas kuku, bulu pada ujung ekor hitam, bulu pada pada
bagian dalam telinga putih, terdapat garis belut (garis hitam) yang jelas pada bagian atas
punggung, bentuk tanduk pada jantan yang paling ideal disebut bentuk tanduk silak
congklok yaitu jalannya pertumbuhan tanduk mula-mula dari dasar sedikit keluar lalu
membengkok keatas kemudian pada ujungnya membengkok sedikit keluar. Pada sapi
betina bentuk tanduk yang ideal disebut manggul gangsa yaitu jalannya pertumbuhan
tanduk satu garis dengan dahi arah kebelakang sedikit melengkung ke kebawah dan pada
ujungnya sedeikit mengarah ke bawah dan ke dalam, tanduk ini berwarna hitam.
Dibawah ini disajikan gambar sapi Bali jantan dan betina.
Sapi Bali Betina
Sapi Bali Jantan
POTENSI PENGEMBANGAN MUTU GENETIK SAPI BALI
Potensi Sapi Bali
Potensi sapi bali sebagai penghasil daging yang memberikan hasil dan mutu
daging yang baik dan memberikan harapan untuk dikembangkan menjadi sapi tipe
daging bermutu prima adalah cukup menjanjikan. Hal ini bisa dicapai jika dilakukan
perbaikan mutu genetik dan manajemen. Selama ini penelitian-penelitian yang
menyangkut perbaikan mutu pakan pada sapi bali telah banyak dilakukan, ternyata sapi
bali memberikan tanggapan terhadap sifat pertumbuhan dan produksi baik jumlah
maupun mutu daging yang cukup baik terhadap mutu pakan yang diberikan. Akan tetapi
perbaiakan mutu genetik melalui program seleksi yang terencana secara ilmiah, cermat,
sungguh-sungguh dan berkelanjutan hingga kini belum banyak dilakukan.
Sifat genetik yang harus dipenuhi oleh suatu breed/bangsa/rumpun ternak untuk
dapat ditingkatkan populasinya dalam waktu yang relatif singkat adalah sifat reproduksi
dan sifat produksi termasuk kekuatan/daya hidupnya. Mengenai sifat reproduksi sapi
bali, hasil penelitian telah membuktikan bahwa sapi bali mempunyai laju reproduksi
yang tinggi. Ini terbukti dengan angka panen pedet (calv crop) yang cukup tinggi yakni
sebesar 80 persen (Ngadiyono, 1997), bahkan telah dilaporkan ada sampai mencapai 100
persen (Payne dan Rollinson, 1973; Hardjosubroto, 2000). Hal ini dicapai dalam
keadaan asupan pakan yang sederhana dan pada sistem pemeliharaan yang tradisional,
serta dalam keadaan digunakan untuk kerja membajak. Mengenai kekuatan/daya hidup
sapi Bali dikenal mempunyai daya adaptasi yang sangat tinggi terhadap lingkungan. Ini
terbukti bahwa di Indonesia sapi ini tersebar cepat ke pulau-pulau lainnya, khususnya di
pulau Sulawesi, Nusa Tenggara Barat dan Timur, Sumatera dan bahkan di Australia.
Bahkan dilaporkan pula bahwa di Kalimantan sapi-sapi bali masih menunjukkan
penampilan produksi dan reproduksi yang cukup baik meski dipelihara di tempat-tempat
pengembalaan yang terdiri atas rumput alang-alang saja.
Mengenai sifat produksi sapi bali, hasil penelitian menunjukkaan bahwa sifat
produksi sapi bali dapat ditingkatkan melalui perbaikan mutu genetiknya serta
pengelolaan yang baik, yang dalam hal ini adalah melalui suatu program yang mantap
dan terpadu. Hal ini terbukti bahwa nilai heritabilitas bobot sapih (205 hari)
dikatagorikan sedang sampai tinggi yaitu 0.44 ± 0.09 (Tanari.1999). 0.34± 0.14 (Ardika,
1995), 0.15 ±0.05 (Djegho dan Pane, 1992). Nilai heritabilitas bobot setahun sapi Bali
sebesar 0.31 ±0.08 (Djegho dan Pane, 1992), 0.58 ±0.23 (Ardika, 1995). Dari nilai
heritabilitas bobot sapih dan bobot setahun ini menunjukkan bahwa keragaman genetik
kedua sifat tersebut cukup tinggi, yang berarti bahwa seleksi cukup efektif dilakukan
untuk meningkatkan ke dua sifat tersebut.
Seleksi Sapi Bali
Salah satu cara untuk mengembangkan mutu genetik sapi bali yaitu dengan
melakukan program seleksi yang terarah. Proyek Pengembangan dan Pembibitan Sapi
Bali (P3Bali) atau yang sekarang dikenal dengan nama Balai Pembibitan Ternak Unggul
(BPTU) Sapi Bali melakukan seleksi untuk mendapatkan bibit sapi bali. BPTU terdiri
aas dua bagian yaitu Instalasi Populasi Dasar dan Pusat Pembibitan Pulukan. Pada
Instalasi Populasi Dasar dilakukan recording dan identifikasi sehingga didapatkan sapi-
sapi yang mutunya bagus. Instalasi ini merupakan kegiatan pembibitan di pedesaan yang
merupakan awal dari pelaksanaan seleksi. Selanjutnya pada Pusat Pembibitan Pulukan,
sapi-sapi yang berasal dari Populasi Dasar dan keturunan dari Pusat Pembibitan Pulukan
akan mengikuti uji performans dan progeny, 5% sapi jantan terbaik dari hasil uji
performans selanjutnya mengikuti uji progeny. Dan hasil terbaik akan dikirim ke Balai
Inseminasi Buatan Singosari.
BPTU Pulukan merekomendasikan standar penilaian performans sapi Bali seperti
table 1 dibawah ini.
Table 1. Standarisasi Penilaian Performans Sapi Bali BPTU Sapi Bali.
a. Sapi Jantan
No Klasifikasi Bagus Sedang Jelek
1
2
3
4
Jantan sapihan(205 hari)
Berat badan
Jantan umur 1 tahun
Berat badan
Jantan umur 2 tahun
Lingkar dada
Panjang badan
Tinggi gumba
Jantan umur 4 tahun
Lingkar dada
Panjang badan
Tinggi gumba
>100 Kg
>167 Kg
>162 Cm
>122 Cm
>122 Cm
>200 Cm
>138 Cm
>134 Cm
156-162 Cm
115-122 Cm
114- 122 Cm
191-200 Cm
129-138 Cm
125-134 Cm
<156 Cm
<115 Cm
<114 Cm
<191 Cm
<129 Cm
<125 Cm
b. Sapi Betina
No Klasifikasi Bagus Sedang Jelek
1
2
3
4
Betina sapihan(205 hari)
Berat badan
Betina umur 1 tahun
Berat badan
Betina umur 1.5 tahun
Lingkar dada
Panjang badan
Tinggi gumba
Betina Umur 5 tahun
Lingkar dada
Panjang badan
Tinggi gumba
>97 Kg
>150 Kg
>145 Cm
>110 Cm
>112 Cm
>162 Cm
>122 Cm
>118 Cm
136-145 Cm
101-110 Cm
103-112 Cm
153-162 Cm
113-122 Cm
109-118 Cm
<136 Cm
<101 Cm
<103 Cm
<153 Cm
<113 Cm
<109 Cm
Standar mutu bibit menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor 54 tahun 2006
untuk menjamin mutu produk yang sesuai dengan permintaan konsumen, diperlukan
bibit ternak yang bermutu, sesuai dengan persyaratan teknis minimal setiap bibit sapi
potong sebagai berikut:
a. Persyaratan umum:
i. sapi bibit harus sehat dan bebas dari segala cacat fisik seperti cacat mata
(kebutaan), tanduk patah, pincang, lumpuh, kaki dan kuku abnormal, serta tidak
terdapat kelainan tulang punggung atau cacat tubuh lainnya;
ii. semua sapi bibit betina harus bebas dari cacat alat reproduksi, abnormal ambing
serta tidak menunjukkan gejala kemandulan;
iii. sapi bibit jantan harus siap sebagai pejantan serta tidak menderita cacat pada
alat kelaminnya.
b. Persyaratan khusus:
Persyaratan khusus yang harus dipenuhi untuk rumpun sapi Bali yaitu sebagai
table 2 berikut ini:
Table 2. Persyaratan khusus Sapi Bali sebagai bibit sapi
Kualitatif Kuantitatif
Betina:
- Warna bulu merah;
- Lutut ke bawah berwarna putih;
- Pantat warna putih berbentuk
setengah bulan;;
- Ujung ekor berwarna hitam;.
- Garis belut warna hitam di punggung
- Tanduk pendek dan kecil
- Bentuk kepala panjang dan sempit
- Leher ramping.
Jantan
- Warna bulu hitam;
- Lutut ke bawah berwarna putih;
- Pantat putih berbentuk setengah
bulan;
- Ujung ekor hitam
- Tanduk tumbuh baik warna hitam;
- Bentuk kepala lebar
- Leher kompak dan kuat
Betina umur 18-24 bulan
Tinggi gumba:
Kelas I minimal 105 cm
Kelas II minimal 97 cm
Kelas III minimal 94 cm
Panjang Badan:
Kelas I minimal 104 cm;
Kelas II minimal 93 cm;
Kelas III minimal 89 cm.
Jantan umur 24-36 bulan
Tinggi gumba:
Kelas I minimal 119 cm;
Kelas II minimal 111 cm;
Kelas III minimal 108 cm.
Panjang badan:
Kelas I minimal 121 cm;
Kelas II minimal 110 cm;
Kelas III minimal 106 cm.
Perbaikan Mutu Genetik Sapi Bali
Hardjosubroto (2000) mengusulkan perbaikan mutu genetik sapi bali secara
terpadu, melalui program yang mantap. Untuk itu disarankan menggunakan Sistem
Peternakan Inti Terbuka atau dikenal dengan Open Nucleus Breeding System (ONBS).
Pada langkah awal, program ini direncanakan untuk menghasilkan bibit sapi jantan dan
betina melalui metode kompensional, agar kenaikan mutu genetrik sapi yang dipelihara
oleh peternak rakyat dapat meningkat secara perlahan-lahan serta dapat diikuti dengan
tuntutan manajemen yang akan semakin meningkat. Pada langkah berikutnya, di dalam
ONBS dapat diterapkan inseminasi buatan atau lebih lanjut dapat melakukan terobosan
yang berarti yaitu dengan metode super ovulasi dan embryo transfer yang dikenal dengan
Multi Ovulation and Embryo Transfer (MOET). Dengan menggunakan MOET harus
diimbangi dengan perbaikan manajemen dan pakan.
Open Nucleus Breeding system (ONBS)
Padsa sistem ini ada tiga lapisan struktur peternakan pada suatu wilayah yaitu
1. Lapisan inti tempat penghasil bibit unggul, 2. Lapisan kedua adalah lapisan tempat
peternak menggandakan bibit unggul yang diterima dari inti,dan 3. Lapisan ketiga adalah
masa peternakan rakyat.
Fungsi utama dari lapisan inti adalah menyeleksi ternak bibituntuk menghasilkan
bibit sapi yang berkualitas tibnggi melalui seleksi yang ketat. Uji performans dan seleksi
calon pejantan dilakukan disini. Di Bali, lapisan inti dilakukan oleh BPTU Pulukan.
Pejantan terpilih hasil seleksi disini (tested bull) disalurkan baik berupa pejantan maupun
mani beku ke lapisan kedua dan ketiga. Pejantan terbaik diambil semennya di Balai
Inseminasi Buatan Singosari dan Badung, sedangkan sisanya disalurkan ke lapisan
dibawahnya. Dalam pengaturan manajemen pemuliaan induk, replacemen stock diambil
dari anak keturunan yang dikembangbiakan di lapisan inti.
Lapisan kedua adalah untuk menggandakan bibit yang telah dihasilkan dari
lapisan inti. Tested bull yang dihasilkan di lapisan inti dikembangbiakan paada peternak
dalam lapisan kedua ini. Hasil keturunannya diseleksi berdasarkan bobot sapih untuk
dimasukkan kedalam stasiun uji performans. Secara teknis, pada lapisan kedua ini
dilakukan penimbangan pedet-pedet yang ada setiap periode tertentu. Pedet-pedet yang
terbaik dimasukkan dalam uji performans. Betina terbaik 2 samapi 5 persen diambil
untuk dijadikan betina pengganti pada lapisan inti. BPTU Sapi Bali telah melakukan hal
ini berupa pembinaan unit-unit yang berada pada wilayah Kabupaten Tabanan, namun
kendala yang dihadapi adalah berhubungan dengan biaya untuk pembelian ternak rakyat
di Unit, dan pola kredit pinjaman yang dilakukan pada peternak.
Lapisan ketiga adalah wilayah penghasil sapi bakalan, yaitu sapi yang siap
digemukkan untuk dipotong atau dikirim keluar daerah. Dari lapisan ketiga ini diambil
stu sampai dua persen betina dimasukkan ke lapisan inti. BPTU sapi Bali
menterjemahkan hal ini sebagai sapi rakyat yang tersebar di seluruh Kabupaten di Bali.
Dengan demikian maka pada ONBS ada sedikit aliran gen baik dari lapisan
kedua dan ketiga ke lapisan inti dan/atau sebaliknya. Sehingga dengan masuknya gen
baru ke dalam lapisan inti pengaruh perkawinan silang dalam (inbreeding) dapat dicegah
atau dapat ditanggulangi sedapat mungkin.
Pemanfaatan IB dan MOET
Semakin banyak induk sapi yang dapat menjadi akseptor inseminasi buatan dan
menggunakan mani beku dari pejantan unggul maka pengaruh dari adanya pengurasan
secara terus menerus pejantan-pejantan akan sangat ditekan. Semakin besar persentase
induk yang menjadi akseptor IB, semakin kecil pula arti atau pengaruh negative yang
ditimbulkan sebagai akibat pengusan pejantan setempat, karena arti pejantan setempat
sebagai pemacek akan semakin kecil.
Apabila dituntut untuk melakukan terobosan dengan menggunakan teknik yang
lebih maju (biotek), maka disarankan untuk menggunakan MOET di dalam BPTU Sapi
Bali Pulukan. Maksud pemanfaatan MOET adalah mempercepat penyebaran induk
dengan mutu genetik yang telah diperbaiki dengan tingkat perbaikan mutu genetic tidak
terlalu tinggi. Dengan demikian, dengan menggunakan MOET akan dihasilkan sapi
bakalan yang lebih banyak.
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan sebagai dibawah ini:
1. Sapi bali di pulau Bali harus terus dilestarikan dengan jalan memurniakan sapi
bali karena merupakan aset nasional bahkan aset dunia.
2. Sapi bali mempunyai keragaman genetik (heritabilitas bobot sapih dan bobot
umur satu tahun) yang masih tinggi, sehingga pengembangan mutu genetiknya
melalui program seleksi di dalam breed masih sangat memungkinkan.
3. Dengan menggunakan seleksi ONBS dapat mengurangi tekanan silang dalam
atau dapat ditanggulangi sedapat mungkin.
4. Dengan menggunakan IB dan MOET dapat mencegah pengurasan pejantan dan
mempercepat pengembangan mutu genetik sapi bali.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2009. Program breeding BPTU sapi Bali, Pusat Pembibitan Pulukan. Balai
Pembibitan Ternak Unggul Sapi Bali.
Ardika, I.N. 1995. Parameter fenotipik dan genetic sifat produksi dan reproduksi sapi
Bali pada proyek pembibitan dan Pengembangan sapi Bali (P3Bali) di Bali.
Program Pascasarjana IPB-Bogor (Thesis)
Hardjosubroto, S. 2000. Seleksi sapi Bali berdasarkan penampilan dan sifat Genetik.
Seminar sapi Bali di Denpasar, tanggal 25-26 Mei 2000.
Djegho, J dan I. Pane. 1992. Role of the Bali catlle breeding and improvement project in
genetic improvement and icrease of income and work opportunities of the farmers.
Proceeding of the international seminar held at Brawijaya University, Malang
Indonesia.
Keputusan Menteri Peretanian Nomor 325 Tahun 2010. Tentang Penetapan Sapi Bali
Sebagai Rumpun Asli Indonesia.
Ngadiyono,N. 1997. Kinerja danprospek sapi Bali di Indonesia. Seminar Environmental
Pollution and Natural Product and Bali Catlle in Regional Denpasar Bali.
Payne, W.J.A. and D.H.L. Rillinson. 1973. Bali cattle. Word rev. Anim.Prod. 7:13-21.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 54 /Permentan/OT.140/10/2006, tentang Pedoman
Pembibitan Sapi Potong Yang Baik (Good Breeding Practice)
Tanari, M. 1999. Estimasi dinamika populasi dan produktivitas sapi Bali di Provinsi
Dati I Bali. Universitas Gadjah Mada- Yogyakarta (Thesis)
Tim Peneliti Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. 2000. Uji Kemurnian sapi
Bali melalui protein, DNA mikrosatelit, dan struktur bulu. Makalah disampaikan
pada seminar sapi Bali di Denpasar, tanggal 25-26 Mei 2000.