196

PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

  • Upload
    others

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin
Page 2: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

PENA RAMADHAN DI TENGAH

PANDEMI COVID-19 (Kumpulan Pesan Singkat Ramadhan 1441 H/2020 M)

Prof. Dr. Mardan, M.Ag.

Page 3: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang:

Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau

seluruh isi buku ini ke dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis

dari penerbit

All Rights Reserved

Pena Ramadhan di Tengah Pandemi Covid-19 (Kumpulan

Pesan Singkat Ramadhan 1441 H/2020 M)

Penulis: Prof. Dr. Mardan, M.Ag. Editor dan Desain Layout: Taufiq Mathar

Cetakan I: 2020

vi, 184 hlm.; 17cm x 24 cm

ISBN: 978-602-328-260-9

Alauddin University Press UPT Perpustakaan UIN Alauddin Jl. H. M. Yasin Limpo No. 36 Romangpolong, Samata, Kabupaten Gowa Website: http://ebooks.uin-alauddin.ac.id/

Page 4: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

i

PENGANTAR PENULIS

بسم الله الرحمن الرحيم

ertama-tama, izinkanlah saya menyampaikan puji dan syukur kepada Allah swt. atas rahmat dan ’inayah yang dilimpahkan-Nya, buku yang berjudul “Pena Ramadhan di

Tengah Pandemi Covid-19 (Kumpulan Pesan Singkat Ramadhan 1441 H/2020 M)”, yang ditulis di Bulan Ramadhan 1441 H, berbarengan dengan bencana Pandemi Covid-19, kini terbit dan telah hadir di tengah-tengah para pembaca. Demikian pula saya sampaikan semoga selawat dan salam tetap tercurah kepada Baginda Rasul Allah swt. yang menjadi suri teladan bagi umat manusia dalam menempuh kehidupan dunia menuju akhirat dan doa semoga rahmat dan keselamatan diberikan kepada para Sahabat Nabi saw. dan para pengikutnya yang setia.

Penulisan buku bertema Islam-Aktual-Pragmatis dalam wawasan al-Qur’an dan Hadis Nabi saw. di tengah pandemi Covid-19 ini merupakan sumbangan besar bagi kemanusiaan. Hidup manusia pada hakikatnya adalah cobaan bagi diri dan lingkungannya. Hal ini tidak disadari oleh sebagian besar umat manusia sehingga dalam mengarungi lautan kehidupannya, mereka menimbulkan berbagai bencana—seperti kehadiran pandemi ini—bukan saja bagi dirinya tetapi juga lingkungannya. Kedurhakaan terhadap Allah swt. yang terwujud dalam berbagai bentuk penyimpangan dan pembangkangan terhadap ajaran dan hukum-hukum alam ciptaan-Nya adalah akibat tidak sadarnya manusia akan hakikat hidup ini. Karena itu, kehadiran buku ini, diharapkan menjadi salah satu usaha solutif dalam mencegah, mengurangi, bahkan membumi-hanguskan virus-corona yang sedang mewabah secara global, termasuk di bumi Indonesia.

Mampu menyisihkan waktu di tengah-tengah kesibukan akademik formal berbarengan dengan kehadiran Covid-19 untuk menyusun sebuah buku merupakan suatu kemewahan tersendiri. Menyusun sebuah buku referensi seperti ini memang tidak mudah, karena di samping konten dan metodologinya harus dipertanggung jawabkan, juga karena membutuhkan waktu, skill,

P

Page 5: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

ii

dan ketekunan yang tidak sedikit. Penulisan buku referensi, bukanlah hadiah atau anugerah yang jatuh begitu saja dari langit. Akan tetapi, ia merupakan suatu kondisi yang harus direncanakan dan diperjuangkan perwujudannya lewat kerja keras secara profesional, kesungguhan, kesabaran, bahkan butuh lebih banyak pengorbanan.

Kehadiran buku sederhana ini, di samping adanya kesadaran untuk mengisi banyak waktu luang ketika kita dihimbau untuk bekerja, belajar, dan beribadah di rumah (work from home/ WFH), juga pada saat yang sama masuk Bulan Suci Ramadhan Tahun 1441 H, di mana ceramah dan pengajian Ramadhan tidak seperti biasanya guna mencegah dan memutus mata rantai penyebaran Covid-19; sehingga banyak di antara Pengurus dan Jama’ah Masjid termasuk kelompok-kelompok Majlis Ta’lim meminta kepada penulis agar materi ceramah dan bahan pengajiannya ditulis dan dikirim lewat medsos termasuk sekali-kali lewat Video-Conference dan lain sebagainya. Kegiatan ini berjalan belum cukup satu minggu, mereka semuanya meminta agar dicetak dan diterbitkan dalam bentuk buku referensi.

Dalam pada itu, penulis pada kesempatan ini ingin mengungkapkan rasa syukur yang mendalam ke hadirat Allah swt. tanpa hidayah, taufiq, dan ‘inayah-Nya jualah berupa spirit pengabdian pada dunia akademik dan kepada masyarakat luas, serta kelapangan kesempatan kepada penulis, penulisan buku referensi ini tentu tidak akan pernah menjadi kenyataan. Penulis juga menghaturkan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Bapak/Ibu/Saudara(i), yang secara terus terang mengakui peran penting sejumlah pihak, secara langsung maupun tidak langsung dalam rangka penyusunan buku ini.

Secara khusus, penulis menyampaikan the higher appreciation kepada Sdr. Taufiq Mathar, Pengelola Rumah Jurnal UIN Alauddin Makassar, yang tidak pernah lelah bahkan secara khusus mau mewakafkan diri, waktu, tenaga, ilmu, dan pengalamannya dalam mengedit, mencetak, dan menerbitkan sekaligus menangani urusan administratif perancangan, ISBN, penyelesaian, dan pencetakan draf awal buku referensi ini. Semoga seluruh kerja masifnya hingga buku referensi ini hadir di tengah-tengah para Pembaca, bermakna dan berberkah di sisi

Page 6: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

iii

Allah swt., serta beliau tetap dalam keadaan sehat wal afiat, panjang umur, murah rezeki, dan diridhai oleh Allah swt.

Bukan sekedar upaya merendah hati, jika penulis harus mengatakan di sini bahwa edisi pertama buku ini masih mengandung sejumlah kekurangan dan keterbatasan, baik dalam hal muatan ilmiahnya maupun format penulisannya, dan lain-lain sebagainya, sehingga pada kesempatan ini juga, penulis dengan lapang dada menunggu respon akademik dan intelektual yang serius dari para pembaca, khususnya dari para pakar yang memiliki kompetensi dan pengalaman akademik dalam bidang-bidang yang dibahas buku ini. Tanggapan, saran-saran, bahkan kritikan dari para kolega penulis yang memiliki minat dan kepedulian terhadap upaya memapankan kerangka dan metodologi buku ini, juga penulis harapkan. Penulis dengan senang hati akan menerima setiap tanggapan, saran, kritikan, dan koreksi dari pihak-pihak yang disebut di atas dalam rangka penyempurnaan struktur dan kandungan buku ini, baik untuk cetakan berikutnya maupun edisi revisinya di masa mendatang, jika hal itu memang kelak diperlukan. Demikian, wa Allah a'lam, semoga!

Page 7: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

iv

PENGANTAR PENERBIT

Situasi Ramadhan kali ini berbeda dengan Ramadhan sebelum-sebelumnya. Ya, kali ini kita ber-Ramadhan di tengah-tengah virus pandemi Covid-19. Ketika virus ini masih pertama kali diberitakan menyerang Wuhan, Ibu Kota Provinsi Hubei, China, masyarakat Indonesia masih dapat hidup tenang menjalankan rutinitasnya sehari-hari. Para pedagang pasar tetap berdagang, masjid tetap ramai berjamaah, tempat wisata didatangi ramai pengunjung, dan anak-anak sekolah tetap bersekolah.

Awal Maret 2020, virus ini mulai menjangkiti masyarakat Indonesia, ada juga yang mengatakan virus ini sudah ada sebelum Maret. Sejak itu mulailah Negara kita merasa khawatir dan cemas, apalagi setelah pemerintah yang pada akhirnya mengumumkan bahwa Pandemi Covid-19 ditetapkan juga sebagai bencana Nasional. Dampaknya, sebagian aktifitas masyarakat disebutkan di atas mulai dibatasi, bahkan ada yang ditutup untuk sementara, seperti masjid dan sekolah/kampus. Pemerintah melalui Presiden RI Joko Widodo mengumumkan “bekerja di rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah” selama Pandemi Covid-19 ini. Maka produktifitas pun berlangsung di rumah.

Alhamdulillah, pada bulan Ramadhan ini, Prof. Dr. Mardan, M.Ag menggunakan waktu produktif selama “working from home” ini untuk menuliskan pesan-pesan singkat Ramadhan yang dimulai dituliskannya sejak hari pertama Ramadhan hingga beberapa hari setelah Idul Fitri, beberapa di antaranya juga mengaitkannya dengan situasi pandemi saat ini. Tulisan-tulisan tersebut pada awalnya hanya tersebar di grup-grup WA keluarga, kolega dan teman sejawat. Akhirnya kami berinisiatif untuk menghimpun dan menerbitkannya menjadi sebuah buku. Alhamdulillah, bisa terwujud dan sekarang ini telah ada di tangan para pembaca yang budiman. Semoga dapat bermanfaat. Wassalam.

Editor

Page 8: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

v

DAFTAR ISI

Pengantar Penulis .................................................................................................... i

Pengantar Penerbit ................................................................................................iv

Daftar Isi ...................................................................................................................... v

Persiapan Memasuki Ramadhan ...................................................................... 1

Marhaban Ya Ramadhan!..................................................................................... 5

Egalitarianisme Islam ............................................................................................ 7

Puasa dalam Pengertian Fisik dan Mental ............................................... 10

Kebersihan ............................................................................................................... 14

Dosa Syirik dan Bahayanya dalam Kehidupan ....................................... 17

Pendidikan Keluarga dalam Al-Qur’an (Studi atas Qs Al-

Furqan/25:74) ....................................................................................................... 23

Seni Perspektif Al-Qur’an ................................................................................. 26

Perubahan Sosial Perspektif Al-Qur’an (Studi atas Qs Al-

Ra’d/13:11) ............................................................................................................. 43

Meluruskan Makna Jihad .................................................................................. 47

Puasa untuk Sehat ................................................................................................ 58

Puasa Mendidik Meneladani Allah dalam Sifat-Sifat-Nya ................. 61

Sabar ........................................................................................................................... 65

Falsafah Sakit Menguatkan Iman .................................................................. 75

Iqra' Kunci Kemajuan ......................................................................................... 79

Nuzulul Qur’an ....................................................................................................... 82

Puasa Sebagai Media Pengendalian Diri ................................................... 94

Fithrah Bertuhan .................................................................................................. 97

Agama Sebagai Kebutuhan ........................................................................... 102

Fungsi Iman dalam Kehidupan Bernegara ............................................ 107

Istighfar Sebagai Solusi ................................................................................... 111

Page 9: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

vi

Fungsionalisasi Keesaan Allah dalam Kehidupan ............................. 118

Tawassul Perspektif Akidah Islam ............................................................ 122

Sakit ......................................................................................................................... 125

Bencana .................................................................................................................. 128

Penyeimbang Fikir ............................................................................................ 130

Beribadah dan Berpikir Basis Peradaban Klasik Islam ................... 132

Kredit ....................................................................................................................... 136

Sedekah .................................................................................................................. 139

Makanan................................................................................................................. 143

Kejujuran ............................................................................................................... 148

Zakat Profesi ........................................................................................................ 151

Idul Fitri (Makna dan Urgensinya) ........................................................... 154

Titik Penghabisan .............................................................................................. 158

Hakekat Halal Bihalal ...................................................................................... 161

Perbedaan dan Solusinya di Era New Normal ..................................... 165

Referensi ................................................................................................................ 174

Biodata Penulis ................................................................................................... 185

Page 10: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

1

PERSIAPAN MEMASUKI RAMADHAN

QS al-Syuura’/42:13,

نر عر لركم م ر ين ٱشر ه ل ب ا ورصى ي ٱنوحا ور ۦمر ينرا لى ا ورصى كر ورمر ينرا إلر وحررأ

ه قيموا ۦ برأ ن رأ ى ورعيسر موسر ور هيمر ينر ٱإبرر ر ل بر علر كر فيه قوا رى ترترفر لر ور

ه لمشكير ٱ إلر تردعوهم ا ٱمر ن للهى مر ه إلر يرهدي ور ا ء رشر ي ن مر ه إلر ترب ير

يب ١٣ين"Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya) ".

yat di atas, antara lain, menegaskan bahwa, “tegakkanlah agama dan jangan berpecah-belah tentangnya yang membawa kepada retaknya persatuan dan kesatuan umat”.

Yang dimaksud: agama di sini ialah meng-Esakan Allah swt., beriman hanya kepada-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhirat serta mentaati segala perintah dan menjauhi

larangan-Nya. Sedang perintah menegakkan, dalam arti “perintah melaksanakan tuntunan agama secara sempurna dan tidak setengah-setengah. Salah satu perintah agama yang akan menyusul datang dan wajib hukumnya dilaksanakan adalah melaksanakan puasa pada bulan suci Ramadhan, yang tinggal beberapa hari lagi.

Tradisi Nabi Muhammad saw. menghadapi bulan Ramadhan terlihat dua bulan sebelumnya sudah mulai meningkatkan ibadahnya baik sosial maupun mahdhah sambil banyak berdoa, di

A

Page 11: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

2

antara doanya: “)اللهم بارك لنا فى رجب و شعبان و بل غنا رمضان )البخارى”. Para sufi dan kaum bijak mempersiapkan diri menghadapi Ramadhan, enam bulan sebelumnya sudah mulai hati-hati terhadap dosa-dosa kecil, apalagi terhadap dosa-dosa besar.

Persiapan diri dengan baik menghadapi Ramadhan berarti mempersiapkan hati, pikiran (akal), lidah (lisan), dan fisik jasmaniah. Hati dengan banyak berzikir dan meningkatkan ibadah-ibadah (wajib dan tathawwu’), misalnya sabda Nabi saw.: بعئن رمضئان فبئا شئعبانر لاعئ)م رمضئئان )روا “ النبئى مئعمي ال الئأف افضئ سئل akal pikiran melalui perenungan terhadap ayat-ayat Allah ;”الارمذى(

(kauliah dan kauniah) sebagai tanda-tanda kebesaran-Nya, membeli buku-buku kemudian membaca dan mendalami berbagai ilmu yang ada di dalamnya (QS Shad/38:29 “( كر ار بئ م م ا لل )ئز لزنئ ز ر ا ا ائ ك

( ا أ اب لزبئ ذ كبر ا ولئ ل) ائ وا ي ائ و نبببر 38/29ل )ئ ” dan QS al-Zumar/39:18) “ ذ الئب( ا أ اب لزبئ مز ا ولئ م هئ ن اه م هب وا ول لئ هئ س ن ا ول لم البذ ف ) اببع أن ا حز ع أن الب أز ا م 39/18 سز ”,

paling tidak yang berkaitan dengan puasa Ramadhan, karena ilmu

dan keikhlasan itulah menjadi faktor diterimanya suatu ibadah; lisan dengan banyak mensucikan dan memuji Allah sambil banyak membaca al-Qur’an dan mengucapkan kalimah thayyibah, misalnya: kalau marah bersegera pergi berwudhu sambil mengucapkan astagfirullah, kalau bersedih ucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, kalau memperoleh hal-hal yang menyenangkan

ucapkan alhamdulillah, kalau ada hal-hal yang luar biasa atau

mengherankan ucapkan subhanallah, kalau takut ucapkan Allahu Akbar, dan kalau panik ucapkan la haula wala kuwwata illa billah; fisik jasmaniah juga dipersiapkan dengan jalan melaksanakan

perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya, menjaga kesehatan, olahraga yang teratur dan berkesinambungan,

memelihara kebersihan lingkungan dan keluarga, membeli al-Qur’an sebanyak jumlah keluarga, termasuk pakaian dan makanan yang halal dan bergizi (halalan thayyibah).

Pada sisi lain, kita juga seyogianya membuat target dan perencanaan-perencanaan prestasi pada setiap ibadah selama Ramadhan dengan membandingkan Ramadhan yang lalu.

Misalnya: (1) khatam al-Qur’an minimal satu kali; (2) menghafal tiga surah yang panjang dari al-Qur’an; (3) memberi makan buka puasa 3 x 100 orang; (4) mengadakan pengajian memperingati

Page 12: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

3

Nuzulul Qur’an; (5) melaksanakan ibadah umrah; dan sebagainya. Insya’ Allah, penggapaian Lailah al-Qadr dan pencapaian derajat Muttaqin semakin besar dan terbuka lebar peluang. Demikian, wa Allah a'lam, semoga!

Page 13: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

5

MARHABAN YA RAMADHAN!

ari ini, Jum’at tanggal 24 April 2020 M., bertepatan dengan tanggal 01 Ramadhan 1441 H., umat Islam kembali memasuki bulan suci Ramadhan yang amat dinanti-

nantikan dan diagungkan. Ramadhan memang bulan suci bagi umat Islam, di mana puasa bulan Ramadhan menjadi salah satu rukun Islam, yakni rukun kelima, yang wajib hukumnya bagi setiap kaum Muslimin, kecuali bagi yang memang punya uzur sesuai hukum agama yang berlaku dan dianut.

Tradisi Rasulullah saw. dalam tiap kali menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan, lazimnya disambut dengan ungkapan marhaban ya Ramadhan (selamat datang ya Ramadhan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata marhaban diartikan sebagai “kata seru untuk menyambut atau menghormati tamu”. Ia sama dengan kata Arab “ahlan wa sahlan”, yang juga dalam kamus tersebut diartikan “selamat datang”. Walaupun arti keduanya sama, akan tetapi penggunaannya berbeda. Para ulama tidak menggunakan ahlan wa sahlan untuk menyambut bulan suci Ramadhan, akan tetapi kata yang digunakan adalah “marhaban ya Ramadhan”.

Term ahlan terambil dari kata ahl yang berarti “keluarga”, sedang term sahlan terambil dari kata sahl yang berarti “mudah” atau “dataran rendah” karena mudah dilalui manusia. Ahlan wa sahlan adalah ungkapan selamat datang, yang dicelahnya terdapat kalimat tersirat, yaitu: “(Anda berada di tengah) keluarga dan (melangkahkan kaki di) dataran rendah yang mudah” dilalui. Term ini, tentu kurang tepat bila Ramadhan dianggap sebagai keluarga kita, apalagi jika dikatakan bahwa ia berjalan di dataran rendah. Bukankah kebajikan merupakan jalan mendaki yang sangat sulit kita tempuh?

Sedang term marhaban terambil dari kata rahb yang berarti “luas dan lapang”, sehingga term marhaban ya Ramadhan mengandung arti bahwa kita menyambut Ramadhan dengan memberi tempat yang luas dan lapang dada, penuh kegembiraan, tidak dengan menggerutu dan menganggap kehadirannya “mengganggu ketenangan” kita. Marhaban ya Ramadhan, kita

H

Page 14: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

6

ucapkan untuk menyambut bulan suci itu, karena kita mengharapkan agar jiwa dan raga kita diasah dan diasuh, serta diperbaiki guna melanjutkan perjalanan menuju Allah swt.

Ada gunung tinggi yang harus ditelusuri guna menemui-Nya, itulah “nafsu”. Di gunung itu ada lereng yang curam, belukar yang lebat, bahkan banyak perampok yang mengancam, serta iblis yang merayu, agar perjalanan tidak dilanjutkan. Akan tetapi bila tekad tetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya benderang. Dan saat itu akan tampak dengan jelas rambu-rambu jalan, tempat-tempat indah untuk berteduh, serta telaga-telaga jernih untuk melepaskan rasa dahaga. Dan bila perjalanan dilanjutkan akan ditemukan kendaraan al-rahman untuk mengantar sang musafir bertemu dengan kekasihnya, Allah swt. Demikian lebih kurang, perjalanan itu dilukiskan dalam buku “Madarij al-Salikin”.

Tentu kita perlu mempersiapkan bekal guna menelusuri jalan itu. Tahukah Anda apa bekal itu? Benih-benih kebajikan yang harus kita tabur di lahan jiwa kita. Tekad yang membaja untuk memerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan malam-malam Ramadhan dengan salat dan tadarrus, serta siangnya dengan ibadah kepada Allah lewat pengabdian untuk agama, bangsa, dan negara. Tentu sebagai seorang mukmin yang baik pasti pula akan mengharapkan ampunan dari Allah swt. Dan untuk mendapatkannya bukanlah perkara berat, namun tidak semua orang berhasil menjangkaunya, karena tidak sedikit orang yang gugur di perjalanan, tidak mampu memenuhi persyaratan-persyaratan yang dimintanya. Semoga kita berhasil dan selamat berpuasa. Demikian, wa Allah a'lam, semoga!

Page 15: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

7

EGALITARIANISME ISLAM

ada suatu hari, seperti yang tercatat dalam kitab Khulashatus Sair, h. 22, dijelaskan bahwa dalam sebuah perjalanannya, Rasulullah saw. memerintahkan para

sahabatnya menyembelih seekor domba. Di luar dugaan, para sahabat Nabi Muhammad saw. datang secara bersamaan menawarkan diri masing-masing untuk mendapatkan tugas dengan ungkapan beragam, di antaranya: “Akulah yang akan menyembelihnya”, buru-buru seorang sahabat juga berkata, “Aku yang mengulitinya”, kata yang lainnya, “Aku yang memasak” timpal sahabat lainnya lagi. Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Akulah yang akan mengumpulkan kayu bakarnya”.

Para sahabat berkata, “Kami akan mencukupkan Anda, ya Rasulullah”. Akan tetapi Nabi saw. bersabda: “Aku sudah tahu kalian akan mencukupkanku, tetapi aku tidak suka berbeda dari kalian. Sesungguhnya Allah swt. tidak menyukai hamba-Nya yang berbeda di tengah-tengah rekannya”. Setelah itu, Rasulullah saw. bangkit mengumpulkan kayu bakar.

Kisah di atas memberikan dua pelajaran berharga, buat mencerahkan dan memajukan umat manusia:

1. Dilihat dari perspektif Ilmu Manajemen, Rasulullah saw. mengajarkan kita bahwa dalam mencapai suatu tujuan dibutuhkan pembagian peran dan kerjasama yang baik. Dengan kata lain, setiap orang harus dapat memberikan manfaat keberadaan dirinya bagi yang lain. Dalam konteks pembangunan umat, pembagian peran mengandung pengertian, bahwa setiap orang harus dapat memberikan kontribusi peradaban sesuai kemampuannya. Rasulullah saw. bersabda, yang terjemahnya: “Bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling berguna bagi yang lainnya”.

2. Nabi Muhammad saw. mengajarkan umatnya tentang ajaran egalitarianisme, bahkan antara pemimpin dengan yang dipimpin memiliki kesetaraan. Ingatlah bagaimana Rasulullah saw, sangat marah ketika dia diminta mengurangi hukuman bagi seorang wanita keturunan ningrat yang terpergoki mencuri. Utusan Allah itu mengatakan seandainya Fathimah,

P

Page 16: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

8

putri kandungnya sendiri mencuri, maka Rasulullah saw. sendiri yang akan memotong tangannya.

Dalam pada itu, Rasulullah saw. memang sudah dinobatkan oleh al-Qur’an sebagai role model pemimpin agung kepada pimpinannya. Semua sikap dan perilaku mulia yang seharusnya disandang seorang pemimpin telah disandang beliau, sebagaimana firman Allah dalam QS al-Taubah/9:128, yang terjemahnya: “Demi (Allah)! Sungguh, telah datang kepada kamu seorang Rasul (Nabi Muhammad saw.) dari diri (kalangan) kamu (sendiri), berat terasa olehnya apa yang telah membuat kamu menderita; sangat menginginkan (kebaikan) bagi kamu; terhadap orang-orang mukmin sangat penyayang, lagi pengasih ”.

Kesetaraan itu akan tumbuh dengan baik, jika ada kesadaran bahwa adanya pemimpin dikarenakan adanya yang dipimpin. Tanpa ada yang dipimpin, tidak mungkin ada pemimpin. Pemimpin dipilih untuk dapat mengayomi dan melayani, bukan sebaliknya. Demikian pula dengan yang dipimpin, mereka harus bekerja secara profesional membantu dan memberikan koreksi terhadap para pemimpin.

Pada sisi lain, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang adil, yang memiliki visi kuat untuk menyejahterakan paling tidak masyarakat yang dipimpinnya. Jabatan yang diembannya dianggap sebagai amanah yang harus dipertanggung jawabkan di hadapan rakyat dan di hadapan Allah swt. kelak di hari kemudian. Pemimpin yang seperti ini tidak pernah merasa tenang manakala rakyatnya menderita kemiskinan dan kelaparan. Ia akan selalu berusaha untuk mengedepankan kepentingan rakyat, sehingga rakyat akan maju, tenang, dan bahagia di bawah kepemimpinanya.

Masalah umum yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah langkanya implementasi kedua hal yang diajarkan Rasulullah saw. di atas. Ini semua terjadi karena tarikan lingkungan yang serba materialistik dan hedonistik merupakan godaan yang cukup besar sehingga para pemimpin kita lalai dan lengah dari tujuan hidup bernegara yang ingin dicapai. Kritik al-Qur’an terhadap masyarakat komersial Makkah pada masa Nabi saw. perlu kita renungkan kembali, sebagaimana firman-Nya dalam QS al-Rum/30:7, yang terjemahnya: “Mereka hanya mengenal sisi lahiriah dari kehidupan dunia, sementara terhadap

Page 17: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

9

akhirat (tujuan hidup yang hakiki) mereka tidak punya kepekaan dan kepedulian”. Bukankah sebagian pemimpin kita tidak jauh berbeda dengan mereka yang telah ‘mati rasa’ dan tidak punya kepekaan terhadap nilai-nilai ruhani, sekalipun sudah salat, puasa, berzakat, dan menunaikan haji berkali-kali, namun sepertinya tidak berbekas dan berpengaruh dalam mencegah diri dari perbuatan jahat dan munkar. Ia salat tapi juga korupsi, menerima suap, berkata bohong dan berlaku tidak jujur, serta melakukan tindakan yang tidak bermanfaat dan sia-sia, padahal salat berfungsi untuk mencegah pelakunya dari perbuatan jahat dan munkar (QS al-Ankabut/29:45).

Akhirnya, jika saja kedua hal yang diajarkan Rasulullah saw. di atas terus direnungkan dan dihayati oleh para pemimpin kita baik di kalangan umara dan ulama, untuk kemudian diimplementasikan secara ikhlas dalam praktek hidup berorganisasi dan/atau bernegara, maka umat atau bangsa tidak akan kehilangan arah dan pegangan, yang dengannya insyaallah bangsa Indonesia yang berkemajuan akan segera tercapai tanpa ada penghalang. Demikian, wa Allah a'lam, semoga!

Page 18: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

10

PUASA DALAM PENGERTIAN FISIK DAN

MENTAL

alam dunia perdagangan setiap akhir tahun, para pedagang membuat neraca perhitungan laba-rugi, saham, dividen, utang-piutang dan sebagainya, yang kemudian dianalisis

untuk menghadapi tahun berikutnya. Dalam beberapa hal, sama dengan orang beriman yang melaksanakan konsekuensi keimanannya, misalnya, kewajiban berpuasa pada bulan Ramadhan. Pada setiap kesempatan, Allah menyerukan kepada orang beriman untuk selalu meningkatkan keimanan dan ketakwaannya dengan melihat apa yang akan dilakukannya esok dan apa yang sudah dilakukannya dengan penuh kesadaran, bahwa Allah tahu apa yang ia lakukan. Bahkan, hendaknya jangan sampai melupakan Allah; kalau tidak, Allah akan membuat mereka lupa akan dirinya sendiri. Lupa diri inilah yang dilakukan oleh orang-orang fasik (QS al-Hasyr/59:18-19).

Kata "iman" dan "takwa" memang sering kita dengar, diperdengarkan orang, dan kita ucapkan. Arti dan hakikat kata-kata tersebut dapat dihayati tidak hanya oleh ulama dan oleh para sufi. Akan tetapi juga para filsuf, ilmuan, dan seniman, atau siapa saja, yang kecenderungan kontemplasinya meningkat pada saat-saat tertentu, akan merenungkannya. Terutama dalam bulan yang disucikan ini, mereka yang menyadari, akan berbicara dalam bahasa rohani, menurut kadar masing-masing. Ia akan berusaha mempertahankan kadar yang sudah diperolehnya selama Ramadhan tahun ini sampai tahun-tahun berikutnya untuk kemudian ditambah lagi demi mencapai nilai-nilai kehidupan rohani yang lebih kondusif dan bermakna.

Pada bulan Ramadhan ini adalah suatu kesempatan untuk kita belajar meningkatkan akhlak. Penekanan yang ditujukan kepada orang beriman di sini terletak pada ketakwaan yang positif atau "takut kepada Allah" dalam arti takut menodai kehidupan rohaninya, sekecil apa pun, dan berusaha melakukan segala perbuatan baik kepada sesama umat manusia sejauh yang dapat dilakukannya, dengan hati yang ikhlas, serta niat yang tulus. Menodai rohani dengan melakukan perbuatan salah, tidak takut

D

Page 19: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

11

meninggalkan kedisiplinan terhadap nurani sendiri, yang akibatnya tidak hanya dirasakan untuk hari ini, tetapi juga untuk esok, bahkan pada hari-hari setelah mati.

Kehadiran bulan Ramadhan setiap tahun, pertama-tama akan menyadarkan kita bahwa puasa yang kita dahului dengan niat adalah suatu ibadah, sejajar dengan salat dan zakat, bukan sekadar berlapar-lapar dan menahan segala nafsu fisik. Naluri makan, minum, dan pemenuhan segala keperluan biologis, kuat sekali dalam kodrat hewani. Dengan menahan semua itu untuk sementara, perhatian akan dapat diarahkan pada nilai-nilai yang lebih luhur. Abdullah Yusuf Ali dalam kitab tafsirnya, lebih jauh, menegaskan bahwa hal ini penting dilakukan melalui salat, zikir, dan amal sedekah; bukan dalam bentuk mau ber’pamer’, tetapi kita harus keluar mencari mereka yang memang benar-benar memerlukan bantuan. Meskipun sudah diwajibkan mengeluarkan zakat dengan ukuran-ukuran tertentu, namun mengeluarkan sedekah melebihi ukuran itu juga dianjurkan. Manfaatnya banyak orang yang merasakannya, mungkin untuk kesehatannya, yang tidak dirasakan oleh orang lain, mungkin juga untuk menahan kebiasaannya makan dan minum termasuk kebiasaan merokok secara berlebihan, yang pada hari-hari biasa tak dapat dilawannya, dan lain-lain.

Kesadaran berpuasa ini tidak terbatas hanya pada nafsu fisik saja tentunya. Melupakan Allah sebagai hakikat yang mutlak dengan melupakan kekuasaan-Nya, akibatnya adalah ia lupa akan diri sendiri seperti dalam ayat di atas, dan ini berarti ia sudah mulai melangkah ke dunia yang lebih kasar, lebih keras. Tanpa segan-segan, ia akan berlomba dalam kemewahan memperlihatkan gaya hidup yang lebih dari yang lain, malah akan merasa bangga tanpa merasa malu, tanpa memperdulikan keadaan mayoritas manusia sekitarnya yang masih hidup bergelimang dengan kemiskinan, bahkan bertambah miskin akibat kenaikan harga BBM dan seluruh kebutuhan pokok, yang tidak diimbangi dengan kesempatan kerja yang memadai.

Demi dunia ini juga, selanjutnya ia lupa akan segalanya, sebab ia sudah semakin menjauh dari Tuhannya, bahkan ia akan berbuat apa saja untuk memperturutkan kehendak hatinya. Ia berusaha hendak mengejar kekuasaan, dengan segala cara. Kalau sudah berkuasa, dengan mempertaruhkan segalanya ia akan

Page 20: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

12

membela kedudukan kekuasaannya itu, sebab ia sudah lupa akan keberadaan Allah di tengah-tengahnya.

Segala pelanggaran kemanusiaan akan dilakukannya dengan penuh kebebasan. Atas nama kekuasaan melakukan kekejaman kepada sesama, penindasan terhadap yang lemah, dan ketidakadilan dalam segalanya. "Kekuasaan memang cenderung melakukan kesalahan, korupsi, dan kekuasaan yang lebih besar cenderung lebih besar melakukan kesalahan."

Niat yang pada malam harinya sudah ditanamkan di hati bahwa untuk waktu-waktu tertentu ia akan menahan diri dari segala kehendak naluri fisik, seharusnya juga akan dibarengi dengan kesadaran yang lebih dalam bahwa naluri mental juga kadang mempunyai desakan nafsu yang lebih dahsyat.

Orang yang sudah terlalu berat dikuasai oleh nafsu kekuasaan politik, misalnya, akan lupa bahwa masih ada Kekuasaan yang lebih tinggi, yang Mutlak. Nafsu hendak berkuasa kadang sukar dibendung. Tanpa menyadari dan menghayati arti ibadah, tidak akan ragu ia melakukan pengkhianatan terhadap lawan saingannya yang harus dikalahkan, sekalipun lawan itu sebangsa dan seiman.

Orang yang sekalipun menjalankan ibadah puasa tetapi tak dapat menahan nafsu fisik dan nafsu mental itu, pertanda bahwa ia belum menghayati keimanan dan arti puasanya. Selama sebulan penuh berpuasa, tidak berarti orang harus meninggalkan segala kegiatan materi dan kesenangan duniawi. Apa pun yang dapat dilakukan selama sebelas bulan dalam batas yang diridhai Allah swt., akan memberi nilai rohani yang lebih besar dan bersih selama bulan-bulan Ramadhan. Intensitas kegiatan rohani dapat bertambah dengan memperbanyak ibadah dalam meningkatkan perhatian pada berbagai corak kemanusiaan sesuai dengan kadar kemampuannya dalam arti materi dan moral.

Kita berpuasa bukan karena ingin merasakan lapar seperti yang dirasakan oleh kaum papa dalam ungkapan klasik, tetapi kita merasa digertak oleh batin kita, bagaimana seharusnya mengatasi, atau paling kurang, meringankan beban pergulatan kaum papa itu. Dan ini menuntut kesadaran yang lebih dalam daripada sekadar merasakan lapar, haus, dan tidak melakukan hubungan seks suami-isteri di siang hari bulan Ramadhan. Tuntutan lain dalam

Page 21: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

13

kesadaran tadi, membersihkan hati dari kebiasaan "mengecoh" orang lain dan diri sendiri.

Tidak disadari waktu menjalani latihan rohani dalam berpuasa dengan banyak berdusta, meraih keuntungan materi atau keuntungan moral dengan cara yang tak terpuji, menggunjing dan menghujat orang tak pada tempatnya. Padahal, berpuasa seharusnya dengan niat hati mencari pahala, serta mengharapkan ridha Allah swt. Puasa yang diperoleh bukan hanya menahan lapar dan haus, bukan pula berperang melawan musuh dalam peperangan, akan tetapi suatu perjuangan besar untuk mampu menghadapi dan mengendalikan hawa nafsu kita sendiri. Kekuatan seseorang tidak diukur karena pandai bergulat, tetapi karena dapat menahan hawa nafsu di waktu marah.

Nilai kehidupan duniawi kita akan diuji oleh kemampuan rohani dalam mengendalikannya. Bukan hanya selama dalam bulan Ramadhan, melainkan juga sepanjang tahun dan seumur sisa hidup kita, dengan ukuran sampai berapa jauh kita mampu mengendalikan diri. Ada orang yang dapat menahan jasmani dari perbuatan dosa waktu berpuasa dengan meninggalkan jenis makanan yang halal, tetapi sesudah iftar, ia tidak dapat menahan nafsu dari segala syubuhat dengan menyantap makanan dan minuman yang diketahuinya haram.

Berapa banyak orang yang berpuasa, sebenarnya ia tidak berpuasa. Sebaliknya, berapa banyak orang tidak berpuasa, makan dan minum seperti biasa, tetapi hakikatnya ia berpuasa. Ia dapat menahan diri dari segala dorongan hawa nafsu, kebalikannya dari orang berpuasa dan puasanya batal karena rohaninya lebih lemah dari nafsunya, kendati hanya berupa gerak-gerik indrawi dan kata-kata.

Akhirnya, puasa yang kita hayati dengan kedamaian hati, penuh toleransi terhadap semua pihak, yang semata mengharapkan ridha-Nya, Allah swt. akan menganugerahkan kedamaian ke dalam hati nurani kita. Semoga kita selalu berada dalam ketenangan jasmani dan rohani selama menjalani ibadah suci ini dan selalu berada dalam lindungan-Nya. Selamat memasuki bulan Ramadhan. Demikian, wa Allah a'lam, semoga!

Page 22: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

14

KEBERSIHAN

ita semua tentu tahu bahwa al-thuhuuru syathrul iimaan (kesucian itu bagian dari iman) atau al-nazhzhaafatu minal iimaan (kebersihan itu bagian dari iman) adalah salah satu

dari sekian nash agama yang pesan-pesannya perlu dihayati. Dua penggalan hadis itu menegaskan bahwa Islam dan komunitas Muslim termasuk lingkungannya seharusnya sudah menjadikan kebersihan sebagai kebutuhan dan bagian penting di dalamnya. Namun, ajaran tentang menjaga dan membumikan kebersihan dalam realitas sehari-hari belum menjadi budaya. Kalau pun sudah ada, penerapan makna bersih masih sebatas pada yang sifatnya lahiriah. Padahal kebersihan bukan hanya aspek lahiriah, akan tetapi juga merupakan bagian yang menunjukkan kesempurnaan iman yang sifatnya batin.

Karena itu dalam rangka meningkatkan kualitas hidup umat Islam, cakupan kebersihan harus diperluas menjadi kebersihan lahir dan sekaligus batin (jiwa), sebagaimana riwayat al-Imam al-Tirmizi dari Sa’ad bin Abi Waqas dari bapaknya, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang terjemahnya: “Sesungguhnya Allah swt. itu suci yang menyukai hal-hal yang suci, Dia Maha Bersih yang menyukai kebersihan, Dia Maha Mulia yang menyukai kemuliaan, Dia Maha Indah yang menyukai keindahan, karena itu bersihkanlah diri dan tempat-tempatmu.” (HR. Tirmizi)

Mengenai kebersihan lahir atau badan, Islam menunjukkannya antara lain dalam hal berwudhu’ dan salat. Setelah badan suci dari hadas besar dan kecil, untuk melaksanakan salat, pakaian dan tempat bersembahyang juga masih harus bebas dari hadas. Bila ketentuan agama tentang kebersihan yang disyaratkan untuk sahnya salat tadi, dikembangkan dalam seluruh lingkungan hidup, mulai dari badan, keluarga, rumah, masjid, kantor, kampus, pasar, sungai, dan seluruh tempat termasuk jamban, kita benar-benar akan menjadi masyarakat bersih, sehat, dan bahagia.

Kehadiran pandemi Covid-19 sebagai bencana yang bersifat global dan telah berdampak pada seluruh aspek kehidupan. Bermula hanya berdampak pada aspek kesehatan, kemudian

K

Page 23: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

15

meluas kepada aspek ekonomi, pendidikan, keagamaan, pemerintahan, lingkungan hidup, dan pangan. Sejalan dengan tugas menjalankan ibadah puasa Ramadhan, tentu tugas kita adalah bagaimana menemukan hikmah dari bencana ini. Melihat karakteristik Covid-19 dan multiplier effect yang ditimbulkan, prasangka baik kita adalah bahwa Tuhan tidak saja sedang menguji kesabaran kita, akan tetapi juga sedang meminta untuk meng-update-ulang tata kehidupan baru kita termasuk di bidang kebersihan dan kesehatan. Salah seorang pakar ekologi dari Tokyo University Jepang menegaskan bahwa ke depan kesehatan adalah akibat kondisi lingkungan apa bersih atau tidak. Bagi Jepang, harmoni dengan alam lingkungan yang bersih dan harmoni secara sosial adalah “obat” paling mujarab menjaga kesehatan kita, karena keduanya adalah sumber kebahagiaan. Jadi, kesehatan, kebahagiaan dan status kebersihan lingkungan hidup seharusnya semakin kuat tali temalinya.

Islam lebih jauh, juga sangat menekankan kebersihan batin, bahkan seharusnya menjadi kausa-prima dan dinomor-wahid-kan dalam mewarnai kebersihan lahiriah. Hal terakhir ini penting diwujudkan agar terbebas dari berbagai gangguan dan penyakit kejiwaan serta tercapainya iman yang sempurna. Di antara kotoran yang dapat merusak kebersihan batin adalah syirik, sombong, sifat loba, tamak, serakah, dendam, iri, dan dengki, yang kesemuanya ini seharusnya dibersihkan dalam diri kita masing-masing dengan jalan memupuk keimanan melalui banyak berzikir kepada Allah swt., sebagaimana ditegaskan dalam hadis riwayat al-Imam Muslim dari Malik al-Asy’ari, dia berkata, Rasulullah saw. bersabda, yang terjemahnya: “Kebersihan adalah sebagian dari iman dan bacaan hamdalah dapat memenuhi mizan (timbangan), dan bacaan subhanallah wal hamdulillah memenuhi kolong langit dan bumi, dan shalat adalah cahaya, dan shadaqah adalah pelita, dan sabar adalah sinar, serta al-Qur’an adalah pedoman bagimu”.

Syirik adalah menyekutukan Tuhan. Sifat syirik bisa muncul dengan pengagungan pangkat, jabatan, dan harta. Sombong, angkuh, dan bangga, dapat mendorong orang kepada tindakan yang menyebabkan orang lain benci kepadanya. Sifat loba, tamak, dan serakah, menyebabkan dorongan yang dapat menjerumuskan orang kepada tindakan terlarang, misalnya, mengambil sesuatu

Page 24: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

16

yang bukan haknya, menipu, merampok, dan korupsi. Perasaan dendam dapat muncul dalam tindakan sebagai permusuhan dan kebencian kepada orang yang didendami. Sementara perasaan iri dan dengki tak jarang menjauhkan orang dari saudara, karib, dan teman-temannya.

Dalam perawatan kejiwaan, semua sifat dan sikap tercela merupakan gejala ketidaksehatan batin seseorang. Para pelakunya akan terus merasa dihantui dosa. Perasaan berdosa merupakan salah satu penyebab gangguan kejiwaan yang tidak jarang menjadi penyebab dari munculnya penyakit jasmani, seperti tekanan darah tinggi, tekanan darah rendah, maag, penyakit jantung, dan sesak nafas. Berbagai penyakit ini, seringkali bisa disembuhkan dengan membersihkan jiwa (batin).

Akhirnya, kini terserah kita. Bila kita ingin hidup sehat dan bahagia, maka pengertian bersih itu harus diperluas sebagai bersih jiwa dan raga, serta diaplikasikan sebagai budaya dalam lingkungan hidup kita. Demikian, wa Allah a'lam, semoga!

Page 25: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

17

DOSA SYIRIK DAN BAHAYANYA DALAM

KEHIDUPAN

ata 'syirik' berasal dari kata Arab dengan akar kata syarika, berarti 'mempersekutukan’ atau ‘memusyrikkan' sesuatu dengan yang lain. Memusyrikkan berarti menduakan Allah

swt. (menganggap Allah swt. lebih dari satu dengan menyembah tempat-tempat keramat, dan sebagainya). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, syirik berarti 'menyekutukan Allah swt. dengan yang lain, misalnya: pengakuan kemampuan ilmu yang lebih daripada kemampuan dan kekuatan Allah swt.; peribadatan selain kepada Allah swt. dengan menyembah patung, tempat-tempat keramat, dan kuburan; serta kepercayaan terhadap kemampuan peninggalan-peninggalan nenek moyang, yang diyakini menentukan dan mempengaruhi jalan kehidupan.

Menurut istilah akidah Islam, syirik berarti menyekutukan Allah swt. dengan yang lain, baik persekutuan itu mengenai zat-Nya, sifat-sifat-Nya, perbuatan-Nya, maupun mengenai penyembahan dan ketaatan kepada selain-Nya, yang seharusnya hanya ditujukan kepada-Nya semata. Term ‘syirik’ adalah lawan dari kata 'tauhid' yang berarti mengesakan Allah swt. dan mensucikan-Nya dari segala jenis persekutuan. Dosa syirik merupakan dosa terbesar dari dosa-dosa besar, yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan hadis Nabi saw. sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. Lukman/31:13, yang terjemahnya: “Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah kezaliman yang besar”. Keterangan lebih rinci dalam hadis riwayat al-Bukhari dari Anas, yang terjemahnya: "Dari Anas r.a. berkata: Rasulullah saw. ditanya tentang dosa-dosa terbesar dari dosa-dosa besar, lalu Nabi bersabda: "mempersekutukan Allah swt. dengan yang lain, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh manusia tanpa hak, saksi palsu, sihir, dan janji palsu”.

Dimensi-Dimensi Kemusyrikan

Syirik, yang oleh para ulama, setelah merujuk kepada al-Qur’an dan sunnah Nabi saw., menyepakati bahwa ia terbagi atas

K

Page 26: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

18

dua macam, yakni: (1) syirik besar/nyata (al-syirk al-akbar/al-jâliy); dan (2) syirik kecil/ringan (al-syirk al-ashgâr/al-khâfiy).

1. Syirik besar/nyata (al-syirk al-akbar/al-jâliy)

Jenis syirik ini dimaksudkan adalah mempersekutukan Allah swt. dengan sesuatu, baik zat, wujud, sifat, dan perbuatan-Nya. Syirik jenis ini membatalkan tauhid. Menyekutukan Allah swt. dari segi zat-Nya, seperti kepercayaan Trinitas, yakni ada Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Tuhan ruh al-Kudus, sebagaimana firman-Nya dalam QS. al-Ma'idah/5:72, yang terjemahnya: “Sungguh telah kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah swt. adalah al-Masih putera Maryam, padahal al-Masih sendiri berkata: "Hai bani Isra'il sembahlah Allah swt. Tuhanku dan Tuhan kamu sekalian".

Mempersekutukan Allah swt. dari segi wujud-Nya, seperti: menyembah berhala, patung, pohon yang dianggap angker, kubur yang dikeramatkan dan sebagainya. Sedang mempersekutukan dari segi sifat dan perbuatan-Nya, seperti: barang ‘saukang’ yang dipercayai memiliki sifat yang sama seperti sifat Allah swt., yakni dapat menentukan dan mengarahkan perjalanan hidup manusia, atau kepercayaan adanya dua Tuhan, yakni: Tuhan Pencipta kebaikan dan Tuhan Pencipta Keburukan.

2. Syirik kecil/ringan (al-syirk al-ashgâr/al-khâfiy)

Syirik jenis ini dimaksudkan adalah syirik yang berfungsi mengurangi kesempurnaan iman seseorang, bahkan dapat menghapus pahala ibadah bersangkutan. Menurut Prof. Dr. Yusuf Qardawi, syirik kecil dapat diperinci sebagai berikut: pertama, bersumpah dengan selain Allah swt., seperti: bersumpah dengan nama Nabi, malaikat, ka'bah, seorang wali, seorang pembesar, tanah air, nenek moyang, atau dengan yang lain dari makhluk Allah swt., sebagaimana dalam HR. al-Turmuziy, Nabi saw. bersabda, yang terjemahnya: “Dan siapa yang bersumpah selain nama Allah swt. maka sungguh ia telah kafir atau melakukan perbuatan musyrik”; kedua, memakai kalung atau benang penangkal bala' di leher, di tangan, atau di perut, dengan maksud untuk menolak bala', sebagaimana ditegaskan dalam HR Ahmad, Nabi saw. bersabda, yang terjemahnya: “Siapa yang menggantungkan azimat maka ia telah melakukan syirik”; ketiga, menggantungkan azimat baik dari ayat-ayat Al-Qur’an maupun

Page 27: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

19

dari nama-nama dan sifat-sifat Allah swt.; keempat, mempergunakan mantera, yakni mengucapkan kata-kata atau guman-guman dengan keyakinan bahwa kata-kata tersebut dapat menolak kejahatan dengan bantuan jin. HR. Ibnu Hibban, Nabi saw. bersabda, yang terjemahnya: “Sesungguhnya mantera, azimat, guna-guna, itu adalah perbuatan syirik”; kelima, sihir adalah semacam cara penipuan dengan memantera jampi-jampi, mengikat, atau meniup-niup. Ini mengandung syirik karena mengandung makna berdo'a meminta pertolongan kepada selain Allah swt., HR. al-Nasa'iy, Nabi saw. bersabda, yang terjemahnya: “Siapa yang membuat satu simpul kemudian meniupnya, maka sesungguhnya ia telah menyihir, dan siapa yang menyihir, ia telah berbuat syirik”; keenam, peramalan, suatu dakwaan dari para peramalnya dengan beranggapan bahwa mereka dapat mengetahui dan melihat hal yang gaib di masa datang, HR. Muslim, Nabi saw. bersabda, yang terjemahnya: “Siapa yang mendatangi peramal lalu menanyakan sesuatu dan membenarkannya apa yang dikatakan, maka salatnya tidak akan diterima selama 40 hari”; ketujuh, guna-guna, yakni semacam mantera yang khusus untuk membuat seseorang jatuh hati, atau cinta, atau menderita; kedelapan, dukun, yakni orang yang dapat memberitahukan tentang hal gaib, atau yang tersembunyi dalam hati, HR. Abu Daud, Nabi saw. bersabda, yang terjemahnya: “Siapa yang mendatangi dukun lalu membenarkannya apa yang dikatakannya maka sungguh ia telah kafir/melakukan perbuatan syirik”, selanjutnya Allah berfirman dalam QS. Al-An'am/6:59, yang terjemahnya: “Dan di sisi Allah swt.-lah kunci alam gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia”; kesembilan, memotong binatang kurban selain untuk Allah swt.; kesepuluh, berperasaan sial (tathayyur), sehingga muncul rasa pesimis dan rasa kecil hati; kesebelas, menyembuhkan dengan mantera (al-nusyrah), HR. Abu Daud, Nabi saw. bersabda, yang terjemahnya: “Menyembuhkan dengan mantera itu adalah perbuatan setan”; keduabelas, riya', yakni beribadah dengan niat memperoleh pujian dari selain Allah swt., HR. Ahmad, Nabi saw. bersabda, yang terjemahnya: “Riya' adalah syirik ringan”; ketigabelas, mengidolakan orang tertentu, harta, kekuasaan, dan jabatan, juga adalah syirik.

Page 28: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

20

Dosa Syirik Terbuka Kemungkinan untuk Diampuni

Kewajiban seorang hamba terhadap Tuhan yang pertama dan utama adalah mengesakan Allah swt. dengan semurni-murni-Nya. Dalam sebuah hadis, yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dijelaskan bahwa tatkala Mu'az bin Jabal berboncengan dengan Rasulullah saw., lalu beliau bersabda: "Wahai Mu'az, tahukah Anda apakah hak Allah swt. atas hamba-hamba-Nya? Mu'az menjawab: "Allah swt. dan Rasul-Nya lebih mengetahui", lalu beliau bersabda: "Hak Allah swt. atas hamba-hamba-Nya adalah hendaknya mereka menyembah hanya kepada-Nya semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, sedang hak hamba atas Allah swt. adalah bahwasanya Allah swt. tidak akan menyiksa hamba-Nya yang tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun.”

Dengan demikian, mengesakan Allah swt. merupakan kewajiban mutlak setiap hamba sepanjang hidupnya. Sebaliknya, menyekutukan Allah swt. dengan yang lain, menurut Abdullah Yusuf Ali, merupakan pengkhianatan terbesar dalam kehidupan dunia rohani, sekaligus sebagai dosa yang tak terampuni di sisi Allah swt., sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Nisa'/4:48 dan 116, yang terjemahnya: "Dan sesungguhnya Allah swt. tidak akan mengampuni yang mempersekutukan-Nya dan Dia mengampuni yang selain dengan itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah swt., maka sungguh ia telah memperbuat dosa besar".

Menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab, perbedaan kedua ayat di atas adalah bahwa ayat 48 konteksnya berkenaan siksa duniawi sedang ayat 116 konteksnya adalah siksa ukhrawi. Pada sisi lain, ia menjelaskan bahwa dosa syirik yang tidak diampuni Allah swt. menurut ayat di atas adalah bila dosa itu dibawa mati. Namun terbuka kemungkinan dosa syirik itu untuk diampuni Allah swt. bila sempat ditobatkan kepada-Nya sebelum meninggal. Ini berdasar pada QS. Al-Zumar/39:53, yang terjemahnya: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah swt., sesungguhnya Allah swt. mengampuni dosa-dosa semuanya, sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Ada juga ulama memahami bahwa dosa syirik tidak akan diampuni Tuhan tanpa taubat dari yang bersangkutan, sedang dosa

Page 29: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

21

selainnya dapat diampuni walaupun tanpa taubat, misalnya, bila yang bersangkutan melakukan amal-amal saleh tertentu.

Bahaya Dosa Syirik

Dosa syirik adalah dosa terbesar dari dosa-dosa besar yang wajib dijauhi, karena menjadi faktor utama terjadinya berbagai kerusakan dan ragam bahaya laten yang besar, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Di antara kerusakan dan bahaya besar akibat perbuatan syirik yang masif adalah:

1. Syirik merendahkan eksistensi kemanusiaan. 2. Syirik adalah sarang khurofat dan kebatilan.

Masyarakat yang akrab dengan perbuatan syirik, akrab dengan dukun, tukang nujum, ahli nujum, ahli sihir dan yang semacamnya menjadi langganan. Sebab mereka mendakwahkan (mengklaim) bahwa dirinya mengetahui ilmu ghaib yang sesungguhnya tak seorangpun mengetahuinya kecuali Allah. Jadi dengan adanya mereka, akal manusia dijadikan siap untuk menerima segala macam khurofat/takhayul serta mempercayai para pendusta (dukun). Sehingga dalam masyarakat seperti ini akan lahir generasi yang tidak mengindahkan ikhtiar (usaha) dan mencari sebab serta meremehkan sunnatullah (ketentuan Allah).

3. Dosa syirik yang dibawa hingga mati tidak akan diampuni Allah swt., tempatnya di neraka dan kekal.

4. Seluruh amalannya terkikis habis dan termasuk orang yang merugi di sisi-Nya.

5. Syirik menurunkan derajat manusia sendiri, karena ia mengambil makhluk lain sebagai Tuhan dan bersujud kepada benda-benda yang seharusnya ia perintah dan taklukkannya demi kemanfaatan bagi manusia.

6. Syirik, pada hakekatnya, adalah kezaliman terbesar terhadap Allah swt.

7. Syirik adalah sumber segala ketakutan dan kecemasan dalam hidup.

8. Dosa syirik menjadi faktor utama pemecah-belah umat karena terhadap golongannya bersikap eksklusif (QS al-Rum/30:32).

9. Jiwanya gersang dan terasa hampa setiap saat, karena ia lepas dari bimbingan dan pemeliharaan Allah swt. Sementara ketenangan dan kebahagiaan jiwa manusia, yang merupakan bagian dari ruh Allah, hanya bisa diperoleh, apabila ia senantiasa diingatkan akan asalnya lewat zikir kepada-Nya.

Page 30: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

22

Akhirnya, dosa syirik dalam bentuk menyembah berhala, batu, kubur yang dikeramatkan (syirik klasik), kenyataannya semakin hari semakin berkurang. Kendati di era modern, lahir syirik model baru yang justeru lebih berbahaya. Syirik model baru tersebut sangat laten dan sulit diidentifikasi, namun telah banyak memasuki jiwa dan pikiran Muslim modern, seperti: ayat al-Qur’an dicetak besar dan dibungkus dengan sampul emas, lalu dipajang di lemari indah meskipun kandungan ayat itu tidak dipahami, dihayati apalagi diamalkan; atau lafal "Allah swt. dan Muhammad" ditulis indah untuk hiasan rumah atau digantung di mobil dengan keyakinan dapat memberi keselamatan dari bahaya yang mengancam dalam hidup; termasuk pengkultusan berlebihan terhadap harta, kekuasaan, jabatan, atau orang tertentu.

Agar dosa syirik dapat terhindarkan, komunitas Muslim dituntut untuk memahami ajaran agama dengan baik dan benar, terutama memahami dasar-dasar akidah sebagai basis agama Islam, guna membebaskan diri dari berbagai kemusyrikan yang telah membelenggu diri manusia, sehingga dengan itu, pahala-pahala ibadah dapat menjadi lebih sempurna, bermakna, dan berberkah; karena berbasis keikhlasan dengan tujuan menggapai keridhaan Allah swt. Demikian, wa Allah a'lam, semoga!

Page 31: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

23

PENDIDIKAN KELUARGA DALAM AL-QUR’AN

(Studi atas QS al-Furqan/25:74)

QS al-Furqân (42), 25:74:

ةر قرى يىاتنرا ذر ور نرا اج زوررأ من را لر ب هر بىنرا رر قولونر ير ينر الى لنرا ور اجعر ور عي

رأ

اما لمتىقير إمر .ل"Dan mereka (para hamba Allah Yang Maha Pemurah itu) selalu berkata (berdoa): “Tuhan Pemelihara kami, anugerahkanlah untuk kami, dari pasangan-pasangan kami serta keturunan kami, para penyejuk mata (kami) dan jadikanlah kami teladan bagi orang-orang yang bertakwa".

ata "qurrah" ( ة pada mulanya berarti ‘dingin’. Yang )قـرdimaksud di sini adalah ‘menggembirakan’. Sementara ulama berpendapat bahwa air mata yang mengalir dingin

menunjukkan ‘kegembiraan’, sedang yang hangat menunjukkan ‘kesedihan’. Karena itu, pada masa lalu, gadis-gadis masih malu menunjukkan perasaan atau kesediaannya menerima pinangan calon suami, para wali menemukan indikator kesediaan, atau penolakannya melalui air matanya. Bila dingin, maka itu berarti ia bergembira menerima pinangan, dan bila hangat, maka ia tanda penolakan. Ada juga yang berpendapat bahwa masyarakat Mekah pada umumnya merasa sangat terganggu dengan teriknya panas matahari dan datangnya musim panas. Sebaliknya, mereka menyambut gembira kedatangan musim dingin, apalagi dingin di daerah sana tidak terlalu menyengat. Dari sini, kata tersebut diartikan juga dengan ‘kegembiraan’ (demikian M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah).

Kata "imam" ( ئافز – terambil dari akar kata "amma (ام ya'ummu" ( ف –ا فب ئؤ ) yang berarti ‘menuju, menumpu’, atau ‘meneladani’. Dari akar kata yang sama lahir antara lain kata ummat, yang berarti semua kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, seperti agama, waktu, atau tempat yang sama; kata umm yang berarti ‘ibu’, dan kata imâm yang maknanya ‘pemimpin’

K

Page 32: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

24

(baik domestik maupun publik); karena memang keduanya seharusnya menjadi teladan, tumpuan pandangan, dan harapan terhadap semua yang dipimpinnya, agar kelak masyarakat yang menjadi tanggung jawab keduanya sedapat mungkin menjadi hamba-hamba-Nya yang mulia (‘ibâd al-Rahmân). Ada juga yang berpendapat bahwa kata imam pada mulanya berarti ‘cetakan’ seperti cetakan untuk membuat sesuatu yang serupa bentuknya dengan cetakan itu. Dari sini, kemudian kata imam diartikan ‘teladan’.

Hikmah di Balik Pesan Ayat

Setelah ayat-ayat sebelumnya dalam surah al-Furqan menegaskan tentang karakteristik ‘ibâd al-Rahmân (hamba-hamba Allah yang terpuji) itu, di mana mereka merasa tidak cukup kebajikan yang mereka lakukan kepada Allah swt. selama ini untuk meraih predikat ‘ibâd al-Rahmân bila hanya melalui sujud dan menegakkan qiyam al-lail. Oleh karena itu, ayat di atas menegaskan bahwa untuk melengkapi kebajikan-kebajikan dimaksud, seharusnya ditambah lagi lebih banyak, terutama lewat berbuat baik kepada keluarga, anak keturunan, dan terhadap masyarakat umumnya. Bahkan lebih jauh, menurut Sayyid Quthb, harapan mereka adalah bagaimana agar keluarga, anak keturunan, dan masyarakat umumnya, dapat melanjutkan warisan manhaj kebajikan mereka seperti di atas, sehingga mata mereka menjadi sejuk, hati mereka menjadi tenang, penerus mereka semakin bertambah lebih banyak lagi bilangannya, ‘ibâd al-Rahmân (hamba-hamba Allah yang mulia itu) lebih besar dan kokoh. Pada sisi lain, mereka juga mengharapkan agar Allah menjadikan keluarga dan anak keturunan mereka, bahkan masyarakat umumnya pun, sebagai satu teladan yang baik bagi orang-orang yang bertakwa kepada Allah dan takut terhadap-Nya.

Sikap menaruh dan menampilkan perhatian khusus mereka kepada keluarga (pasangan dan anak), serta masyarakat umum, dengan harapan kiranya mereka dihiasi dengan sifat-sifat terpuji sehingga dapat diteladani ini merupakan sifat kesebelas ‘ibâd al-Rahmân yang termuat dalam surah al-Furqan. Ayat di atas juga membuktikan bahwa sifat hamba-hamba Allah swt. yang terpuji itu tidak hanya terbatas pada upaya menghiasi diri dengan amal-amal terpuji, tetapi juga memberi perhatian penuh kepada keluarga dan anak keturunan, bahkan terhadap masyarakat

Page 33: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

25

umum. Doa mereka itu tentu saja dibarengi dengan usaha mendidik anak dan keluarga agar menjadi manusia-manusia terhormat, karena anak dan pasangan tidak dapat menjadi penyejuk mata tanpa keberagamaan yang baik, berbudi pekerti yang luhur, serta memiliki pengetahuan yang memadai.

Thâhir bin 'Asyûr mengamati bahwa sifat-sifat yang disandang oleh ‘ibâd al-Rahmân itu terdiri atas empat sifat pokok: (1) menghiasi diri dengan kesempurnaan agama (ayat 63), yakni yang berjalan di atas bumi dengan lemah lembut dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka berkata-kata baik; (2) keterbebasan dari kesesatan kaum musyrikîn (ayat 68), yakni tidak menyembah Tuhan yang lain bersama Allah; (3) istiqâmah atau konsisten melaksanakan syari'at Islam (ayat 64 dan 67), yakni tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan haq, dan tidak berzina, serta orang yang tidak berkata dan bersaksi palsu; dan (4) peningkatan kualitas kesalehan sosial dalam kehidupan duniawi (ayat 74), mendidik pasangan hidup dan anak keturunan, serta keteladanan bagi orang-orang bertakwa.

Akhirnya, pesan ayat di atas menuntun dan mengharapkan agar para pemimpin (imam) baik domestik maupun publik untuk benar-benar mampu menjadi teladan, tumpuan pandangan, dan harapan bagi masyarakat pimpinannya, sehingga kelak mereka keluar dengan memperoleh predikat hamba-hamba-Nya yang mulia (‘ibâd al-Rahmân); menjadi keluarga dan anak keturunan yang sakinah, serta masyarakat yang merasakan “ketenangan dinamis” di sisi-Nya. Karena semua sikap mulia yang terakhir ini , bukanlah hadiah atau anugerah yang jatuh begitu saja dari langit. Akan tetapi ia merupakan suatu kondisi yang harus diperjuangkan perwujudannya lewat kesungguhan, kesabaran, dan pengorbanan. Mudah-mudahan, mumpuni kita berada di bulan suci Ramadhan ini, serta berada dalam kondisi Pandemi Covid-19 yang menuntun senantiasa bekerja, belajar, dan beribadah di rumah (Work from Home). Demikian, wa Allah a'lam, semoga!

Page 34: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

26

SENI PERSPEKTIF AL-QUR’AN

emampuan berseni merupakan salah satu perbedaan antara manusia dengan makhluk lain. Dalam pada itu, Islam mendukung kesenian selama penampilan lahirnya mendukung fitrah manusia yang suci, QS al-Rum/30:30,

رر ت فرطرٱلى فطررتر ٱللهى نيفا ين حر ل ل ورجهركر قم

ريلر فرأ تربد لر ا لريهر عر ٱلىاسر

علرمونر ر ٱلىاس لر ير كثررنى أ ك لر م ور ي قر

ين ٱل كر ٱل ل ذر رلق ٱللهى ٣٠ل

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui".

Fitrah Allah dimaksud adalah ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan. Dengan demikian, Islam bertemu dengan seni dalam jiwa manusia, sebagaimana seni ditemukan oleh jiwa manusia dalam Islam.

Pada sisi lain, al-Qur’an berisi ajaran dan petunjuk yang mengantar pemeluknya selamat dunia dan akhirat. Ia adalah wahyu Allah yang harus dijaga kesuciannya. Karena itu, anggapan bahwa al-Qur’an adalah kitab sastra dan kumpulan syair, misalnya, jelas tertolak karena dianggap mereduksi kemukjizatan dan kemuliaannya. Yang benar bahwa al-Qur’an senantiasa sejalan dan sesuai dengan dinamika dan perkembangan ipteks. Karena itu, justeru ia semakin memperlihatkan sisi kemukjizatannya dan menantang kreativitas umat Islam di bidang seni sastra yang Islami, QS. 26: 224-227.

يرتىبعهم ٱلغراوۥنر ا ء عررر اد يرهيمونر ٢٢٤ورٱلش ورنىهم ف ك

رأ تررر رم لرنىهم ٢٢٥أ

رورأ

يرفعرلونر لر ا مر قولونر ت ٢٢٦ير لحر ٱلصى ملوا ورعر نوا ءرامر ينر ٱلى روا إلى ورذركر

K

Page 35: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

27

لرب يى منقررلرمو ا أ ينر ظر يرعلرم ٱلى ورسر ا ظلموا وا من برعد مر ثيرا ورٱنترصر ر كر ٱللهى

لبونر ٢٢٧يرنقر

"Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap- tiap lembah, Dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)? Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali".

Dari ayat ini tegas sebagian penyair-penyair itu suka mempermainkan kata-kata dan tidak mempunyai tujuan yang baik dan tidak punya pendirian. Isinya hanya berkaitan kemolekan wanita, kelezatan khamar, sehingga mengalihkan manusia dari mengingat Allah swt. Akan tetapi bila didasari iman yang benar, syairnya tidak mungkin menghalangi pelakunya dari mengingat Allah swt.

Al-Qur’an sebagai teks, bukan berarti bahwa sebagai teks biasa, apalagi teks kemanusiaan, seperti halnya teks-teks gubahan manusia pada umumnya. Ia tetap dipercayai oleh kalangan Muslim sebagai teks Ilahiah. Penetapan al-Qur’an sebagai teks hanyalah sebuah media untuk mendekatinya secara ilmiah saintifik dari berbagai macam ilmu termasuk bidang seni, dengan tidak memperdulikan apakah yang mendekatinya tersebut seorang yang religius ataukah tidak.

Penggunaan keilmuan kontemporer terhadap teks keagamaan, termasuk pendekatan seni susastra, tidak akan mengubah, apalagi mempengaruhi secara negatif status teks Ilahi. Sebaliknya, keilmuan tersebut menjadi pintu masuk terhadap teks keagamaan, yang menunjukkan bahwa pemahaman kita terhadapnya, secara saintifik, dalam perpektif historis, telah berubah.

Dari uraian di atas, ada tiga hal yang perlu direnungkan: 1) pendekatan seni susastra terhadap teks agama bisa dilakukan dengan menggunakan teori yang berkembang dalam dunia teori dan kritik sastra modern; 2) benih-benih pemikiran seni susastra

Page 36: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

28

sudah ada dalam karya-karya tafsir klasik; 3) salah satu urgensi pemikiran seni susastra al-Qur’an adalah bisa diresepsi dengan baik oleh kalangan non-Muslim dalam keterlibatannya melakukan kajian terhadap aspek susastra kitab suci itu.

Menurut Kermani, dampak estetik al-Qur’an terhadap Muslim awal dipilah menjadi dua kelompok: (1) berita-berita yang merekam masuknya Islam para pendekar sastra Arab; (2) riwayat-riwayat yang memuat kesyahduan dan kekhusyukan generasi awal dalam mendengar al-Qur’an. Misalnya seorang maestro penyair bernama Labid ibn Rabi’a masuk Islam karena tertarik membaca potongan-potongan ayat yang digantung sahabat Nabi saw. di sekitar Ka’bah.

Menurut Amin al-Khuli (1895-1967 M), al-Qur’an semakin membuktikan kemukjizatannya baik dari segi bahasa dan kandungannya. Dari segi bahasa, al-Qur’an adalah Kitab al-‘Arabiyyah al-Akbar (Kitab Suci yang mengandung nilai sastra terbesar). Dari segi kandungannya, al-Qur’an adalah kitab suci yang mengandung nilai sastra yang tinggi, yang dapat didekati dengan pendekatan seni susastra (al-manhaj al-adabi). Karya seni sastra pada garis besarnya dapat dibagi atas dua kelompok besar, yaitu: (1) puisi; dan (2) prosa. Salah satu bagian yang masuk dalam kelompok prosa yaitu kisah, yang juga sering disebut dengan riwayat atau cerita.

Al-Qur’an dalam mengemukakan persoalan-persoalan seperti tersebut di atas menggunakan bahasa Arab yang memiliki nilai sastra yang tinggi, bahkan menjadi salah satu segi kemukjizatan al-Qur’an. Nilai sastra tersebut tidak mampu ditandingi oleh sastrawan-sastrawan musyrikin Arab. Dalam al-Qur’an banyak dijumpai tantangan bagi kaum musyrikin untuk menciptakan yang seperti al-Qur’an, namun dalam kenyataannya mereka tidak mampu menandinginya.1

Nilai-nilai seni susastra yang dimiliki oleh al-Qur’an terletak pada kesempurnaan bahasa yang digunakan, sehingga dapat memadukan antara wawasan pemikiran rasional dan efek

1Tantangan al-Qur’an tersebut bertingkat-tingkat, seperti: menciptakan satu surah sebagaimana tersebut dalam Surah Yunus (10): 38, menciptakan sepuluh surah sebagaimana tersebut dalam Surah Hud (11): 13, dan menciptakan satu yang seperti al-Qur’an sebagaimana tersebut dalam Surah al-Thūr (52): 34.

Page 37: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

29

kejiwaan yang dapat menggugah perasaan dan hati nurani. Hal tersebut membawa seseorang untuk berbuat sesuai yang dikehendaki al-Qur’an dan meninggalkan yang dilarangnya.

Bahasa al-Qur’an, yang kaya akan nilai-nilai seni itu, mampu menyajikan suatu kenyataan yang realistis terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu, demikian pula gambaran keadaan yang akan terjadi di masa datang. Bahasa al-Qu'ran mampu menggambarkan sesuatu, seolah-olah peristiwa itu terjadi di hadapan kita ketika membaca al-Qur’an yang berbicara tentang hal itu, khususnya bagi mereka yang mengerti bahasa Arab dan memiliki rasa bahasa yang tinggi.

Eksistensi Seni dalam al-Qur’an

Hal mendasar, bahwa tidak ada kitab suci yang senantiasa dibaca dengan lagu yang merdu rayu kecuali al-Qur’an; bahkan untuk membacanya saja, timbullah ilmu tersendiri yang dikenal dengan nama “ilmu tajwid”. Susunan bahasanya telah menjadi tolok ukur bagi tinggi rendahnya bahasa Arab, yang dengannya lahirlah ilmu yang dikenal dengan nama: balagah, badi’, ma’ani, bayan, dan sebagainya. Bahkan dari ajaran al-Qur’an itulah lahir aneka ragam cabang ilmu pengetahuan, yang dengannya, tadinya bangsa Arab termasuk bangsa-bangsa lain terkebelakang, bangkit kembali menjadi bangsa-bangsa yang maju. Dalam pada itu, al-Qur’an dapat melahirkan tiga hal sekaligus, yakni: seni, sains, dan agama.

Dengan seni, hidup menjadi halus dan syahdu; dengan sains, hidup menjadi maju dan enak; dan dengan agama, hidup menjadi bermakna dan bahagia. Tiga soal inilah harus terkumpul dalam hidup dan kehidupan manusia, baik secara perorangan maupun secara kolektif. Ketiga-tiganya tidak dapat dipisah-pisahkan. Seni tanpa ilmu akan lunglai, seni tanpa agama akan tidak punya arah. Sedang sains tanpa seni akan merupakan kekasaran, dan sains tanpa agama akan merupakan kebiadaban. Demikian juga, agama tanpa seni akan kering, dan agama tanpa ilmu akan lumpuh. Akan tetapi dengan ketiga-tiganya itu, seni, sains, dan agama, akan menjadi sempurnalah hidup dan kehidupan itu.

Persoalannya, mengapa selama ini, ada kesan bahwa Islam menghambat perkembangan seni dan memusuhinya? Pada masa

Page 38: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

30

Rasulullah saw. bersama sahabat-sahabat beliau, proses penghayatan nilai-nilai Islami baru dimulai, bahkan sebagian mereka baru dalam tahap upaya membersihkan gagasan-gagasan Jahiliyah yang telah meresap selama ini dalam benak dan jiwa masyarakat, sehingga kehati-hatian amat diperlukan, baik dari Nabi saw. sendiri sebagai pembimbing, maupun dari kaum Muslim lainnya. Atas dasar inilah, manusia seharusnya memahami larangan-larangan agama yang ada, kalau manusia menerima adanya larangan penampilan karya seni tertentu. Apa lagi seperti dikemukakan di atas bahwa apresiasi al-Qur’an terhadap seni sedemikian besar.

1. Seni Lukis

Ada dua macam seni yang sering kali dinyatakan terlarang dalam Islam, yakni: seni lukis dan seni pahat atau patung. Al-Qur’an secara tegas dan dengan bahasa yang jelas berbicara tentang patung pada tiga surah dari surah-surah yang ada dalam al-Qur’an, yakni:

QS al-Anbiya’, 21:51-58;

لمير عر هۦ ب كنىا ور بل قر من هۥ رشدر هيمر إبرر ءراترينرا د لرقر بيه إذ ٥١وررل قرالر

كفونر ا عر رهر نتم لرأ ت اثيل ٱلى ه ٱلتىمر ذ ا هر ءرابرا ءرنرا ٥٢ورقرومهۦ مر دنرا ورجر قرالوا

ينر بد عر ا رهر بي ٥٣ل م ل لر ضر ف ورءرابرا ؤكم نتم رأ كنتم د لرقر قرالو ا ٥٤قرالر

نتر رأ م رأ ٱلرق ب ئترنرا ج

رٱللىعبير أ منر ت ٥٥ ور مر ٱلسى ررب بكم رى برل قرالر

ينر هد نر ٱلشى لكم م ذرر نرا علررررهنى ورأ ي فرطر رض ٱلى

رنى ٥٦ورٱل يدر ك

ر لر ترٱللهى وررينر وا مدب

ل ن توررمركم برعدر أ صنر

ربير ٥٧أ كر

ذا إلى لرهم جذر عر لىهم فرجر ىهم لرعر ا لعونر ه يررج ٥٨إلر

"Dan Sesungguhnya telah kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun, dan adalah kami mengetahui (keadaan)nya. (Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?" Mereka menjawab: "Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya". Ibrahim berkata:

Page 39: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

31

"Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata". Mereka menjawab: "Apakah kamu datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang-orang yang bermain-main?" Ibrahim berkata: "Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya: dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu". Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya. Kemudian Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya".

Ayat di atas menguraikan tentang patung-patung, yang disembah oleh ayah Ibrahim dan kaumnya. Sikap al-Qur’an terhadap patung-patung tersebut, bukan sekadar menolaknya, tetapi juga merestui penghancurannya. Ada satu catatan kecil yang dapat memberikan arti dari sikap Nabi Ibrahim di atas, yakni bahwa beliau menghancurkan semua berhala, kecuali satu, yang terbesar.

Ada satu catatan kecil yang dapat memberikan arti dari sikap Nabi Ibrahim di atas, yaitu bahwa beliau menghancurkan semua berhala, kecuali satu yang terbesar. Membiarkan satu di antaranya dibenarkan, karena ketika itu, berhala tersebut diharapkan dapat berperan sesuai ajaran tauhid. Melalui berhala itulah, Nabi Ibrahim membuktikan kepada mereka bahwa berhala, betapa pun besar dan indahnya, tidak wajar untuk disembah. QS al-Anbiya’,21:63-64;

فرس ا ذر هر بيرهم كر لرهۥ فرعر برل يرنطقونر ر قرالر نوا كر إن ى ٦٣لوهم إلر عو ا فرررجرلمونر نتم ٱلظى

رالو ا إنىكم أ قر هم فر نفس

ر ٦٤أ

"Ibrahim menjawab: "Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara". Maka mereka telah kembali kepada kesadaran dan lalu berkata: "Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri)".

Nabi Ibrahim a.s. pada hakekatnya, tidak menghancurkan berhala yang terbesar pada saat berhala itu difungsikan untuk

Page 40: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

32

satu tujuan yang benar. Jika demikian, yang dipersoalkan bukan berhalanya, akan tetapi sikap terhadap berhala, serta peranan yang diharapkan darinya. Dalam QS. Saba’,34:12-13,

قطر ورمنر ير ٱل ۥ عر لنرا لر سر

رأ ور هر ا شر احهر ور رر هر ور ا شر يحر غدوهر نر ٱلر يمر

سلر ل ورن يرزغ منه ۦ ورمر ه ب يه بإذن رر ل برير يردر مرن يرعمر ن قه من ٱل مرنرا نذ

رن أ م عر

عير ٱلسى اب ذر ان ١٢عر فر ورج ثيلر ترمر ور ريبر مىحر من ء ا رشر ي ا مر ۥ لر يرعمرلونر

عبرادير ن م ورقرليل شكرا دراوۥدر ءرالر لو ا ٱعمر ت ير اس رى ورقدور ٱلروراب كر

كور ١٣ٱلشى"Dan Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan (pula) dan kami alirkan cairan tembaga baginya. dan sebahagian dari jin ada yang bekerja di hadapannya (di bawah kekuasaannya) dengan izin Tuhannya. dan siapa yang menyimpang di antara mereka dari perintah Kami, Kami rasakan kepadanya azab neraka yang apinya menyala-nyala. Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang Tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih".

Maksudnya bila Sulaiman mengadakan perjalanan dari pagi sampai tengah hari, maka jarak yang ditempuhnya sama dengan jarak perjalanan unta yang cepat dalam sebulan. Begitu pula bila ia mengadakan perjalanan dari tengah hari sampai sore, maka kecepatannya sama dengan perjalanan sebulan.

Ayat di atas menguraikan tentang nikmat yang dianugerahkan Allah kepada Nabi Sulaiman, yang antara lain ditegaskan: bahwa patung-patung itu terbuat dari kaca, marmer, dan tembaga, serta konon menampilkan para ulama dan nabi-nabi terdahulu. Patung-patung tersebut - karena tidak disembah atau diduga tidak disembah - maka keterampilan membuatnya serta pemilikannya dinilai sebagai bagian dari anugerah Ilahi.

Page 41: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

33

Dalam QS Ali Imran/3:48-49 dan QS al-Ma’idah/5:110, diuraikan mukjizat Nabi Isa a.s., antara lain menciptakan patung berbentuk burung dari tanah liat dan setelah ditiupnya, kreasinya itu menjadi burung yang sebenarnya atas izin Allah swt., QS Ali Imran/3:49,

ب‍ ئتكم ج قرد ن رأ إسرىءيلر برن

إلر ررسول خلق وررأ ن رأ كم ب رى ن م يرة

ي هر ي كر نر ٱلط برئ ر لركم م ورأ ا بإذن ٱللهى يرر نفخ فيه فريركون طر

رير فرأ ة ٱلطى وتر ٱلمر ح

أ ور بررصر

رورٱل هر كمر

را ٱل ورمر كلونر

ترأ ا مر ب ئكم نرب

ورأ ٱللهى بإذن

ؤمنير كر لأيرة لىكم إن كنتم م ل خرونر ف بيوتكم إنى ف ذر ٤٩تردى

"Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang Berkata kepada mereka): "Sesungguhnya Aku Telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu Aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; Kemudian Aku meniupnya, Maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan Aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan Aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan Aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman".

Dari ayat ini tegas bahwa karena kekhawatiran kepada penyembahan berhala, atau karena factor syirik tidak ditemukan, maka Allah swt. Membenarkan pembuatan patung burung oleh Nabi Isa a.s. Dengan demikian, penolakan al-Qur’an, bukan disebabkan oleh patungnya, melainkan karena kemusyrikan dan penyembahannya.

Kaum Nabi Shaleh terkenal dengan keahlian mereka memahat, sehingga Allah swt., berfirman dalam QS al-A’raf,7:74,

ذونر ترتىخ رض ركم ف ٱل

ربروىأ د ور ا ءر من برعد عر لركم خلرفر عر إذ جر ا ورٱذكرو

ترعثروا لر ور ءرالر ءر ٱللهى فرٱذكرو ا بيوتا برالر تونر ٱل ترنح ا قصورا ور هر من سهولينر د رض مفس

ر ٧٤ف ٱل

Page 42: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

34

"Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikam kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum 'Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan".

Kaum Tsamud amat gandrung melukis dan memahat, serta amat ahli dalam bidang ini sampai-sampai relief-relief yang mereka buat demikian indah, bagaikan sesuatu yang hidup, menghiasi gunung-gunung tempat tinggal mereka. Kaum ini enggan beriman, maka kepada mereka disodorkan mukjizat yang sesuai dengan keahliannya itu, yakni keluarnya seekor unta yang benar-benar hidup dari sebuah batu karang. Mereka melihat unta itu makan dan minum (QS al-A’raf/7:73 dan QS al-Syuara’/26: 155-156), bahkan mereka meminum susunya.

Ketika itu, relief-relief yang mereka lukis tidak berarti sama sekali dibanding dengan unta yang menjadi mukjizat itu. Sayang, mereka begitu keras kepala dan kesal sampai mereka tidak mendapat jalan lain kecuali menyembelih unta itu, sehingga Tuhan pun menjatuhkan palu godam terhadap mereka (QS al-Syams/91:13-15). Yang digaris bawahi di sini adalah bahwa pahat-memahat yang mereka tekuni itu adalah merupakan nikmat Allah swt. Yang harus disyukuri dan harus mengantar kepada pengakuan dan kesadaran akan kebesaran dan keesaan Allah swt. Allah sendiri yang menantang kaum Tsamud dalam bidang keahlian mereka itu, pada hakikatnya merupakan Seniman Agung, kalau istilah ini dapat diterima.

Kembali kepada persoalan tentang sikap Islam terhadap seni pahat atau patung, maka agaknya dapat dipahami antara lain melalui penjelasan berikut. Syaikh Muhammad al-Tahir bin ‘Asyur ketika menafsirkan ayat-ayat yang berbicara tentang patung-patung, Nabi Sulaiman menegaskan, bahwa Islam mengharamkan patung karena agama ini sangat tegas dalam memberantas segala bentuk kemusyrikan yang demikian mendarah-daging dalam jiwa orang-orang Arab, serta orang-orang selain mereka ketika itu. Sebagian besar berhala-berhala adalah patung-patung, maka Islam mengharamkannya karena alasan tersebut, bukan karena dalam patung terdapat keburukan, tetapi karena patung itu dijadikan sarana bagi kemusyrikan.

Page 43: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

35

Atas dasar inilah, hendaknya dipahami hadis-hadis yang melarang menggambar atau melukis dan memahat makhluk-makhluk hidup. Apabila seni membawa manfaat bagi manusia, memperindah hidup, dan biasanya yang dibenarkan agama, mengabadikan nilai-nilai luhur dan mensucikannya, serta mengembangkan dan memperhalus rasa keindahan dalam jiwa manusia, maka sunnah Nabi saw. mendukung dan tidak menentangnya. Karena ketika itu, ia telah menjadi salah satu nikmat Allah yang dilimpahkan kepada manusia. Demikian Muhammad ‘Imarah dalam bukunya “M’alim al-Manhaj al-Islamiy, yang penerbitannya disponsori oleh Dewan tertinggi dakwah Islam “al-Azhar” bekerja sama dengan al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami (International Institute for Islamic Thought).

2. Seni Suara

Ada tiga ayat yang dijadikan alasan oleh sementara ulama untuk melarang - paling sedikit dalam arti memakruhkan -nyanyian, yaitu: QS al-Isra’,17:64; QS al-Najm/53:59-61; dan QS Luqman/31: 06.

Dalam QS al-Isra’,17:64 ditegaskan mengenai perintah Allah kepada setan, sebagaimana firman-Nya;

ب منهم عتر ٱسترطر ن مر لكر ورٱسترفزز ررج ور ريلكر ب لريهم عر جلب رأ ور وتكر صر

ن إلى غرورا يطر ا يرعدهم ٱلشى د ورعدهم ورمر ولررل ورٱل مور

راركهم ف ٱل ٦٤ورشر

"Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan kepada mereka melainkan tipuan belaka".

Kata “suaramu” pada ayat di atas, menurut sementara ulama, adalah nyanyian. Akan tetapi benarkah demikian? Membatasi arti suara dengan nyanyian merupakan pembatasan yang tidak berdasar, dan kalau pun itu diartikan nyanyian, maka nyanyian yang dimaksud adalah yang didendangkan oleh setan, sebagaimana bunyi ayat di atas.

Page 44: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

36

Suatu ketika, ada nyanyian yang dilagukan oleh bukan setan, maka belum tentu termasuk yang dikecam oleh ayat di atas. Dalam pada itu, maksud ayat di atas ialah Allah memberi kesempatan kepada iblis untuk menyesatkan manusia dengan segala kemampuan yang ada padanya, tetapi segala tipu daya syaitan itu tidak akan mampu menghadapi orang-orang yang benar-benar beriman.

Dalam QS al-Najm, 53: 59-61; ditegaskan mengenai ungkapan “apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini (adanya kiamat)? Kamu menertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu samidun”;

بونر ترعجر يث ٱلرد ا ذر هر فرمن رتربكونر ٥٩أ لر ور كونر ترضحر نتم ٦٠ور

رأ ور

مدونر ٦١سر

"Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan

kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu

melengahkan(nya)? ".

Kata “samidun” pada ayat di atas diartikan oleh yang melarang seni suara dengan arti “dalam keadaan menyanyi-nyanyi”. Arti ini tidak disepakati oleh ulama, karena kata tersebut, walaupun digunakan oleh suku Himyar (salah satu suku dari bangsa Arab) dalam arti demikian. Akan tetapi dalam kamus-kamus bahasa, seperti - Mu’jam Maqayis al-Lugah - dijelaskan bahwa akar kata “samidun” adalah “samada” yang maknanya berkisar pada “berjalan bersungguh-sungguh tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan, atau secara majazi dapat diartikan “serius atau tidak mengindahkan selain apa yang dihadapinya”.

Dengan demikian, kata samidun dalam ayat tersebut dapat diartikan “lengah”, karena seorang yang lengah biasanya serius dalam menghadapi sesuatu dan tidak mengindahkan yang lain. Dalam al-Qur’an dan terjemahnya, yang diterbitkan oleh kementerian agama, kata samidun diartikan seperti keterangan di atas, yakni “lengah”. Kalaupun kata di atas dibatasi dalam arti “nyanyian”, maka nyanyian yang dikecam di sini adalah nyanyian yang dialkukan oleh orang-orang menertawakan adanya hari kiamat. Dan atau melengahkan mereka dari peristiwa yang seharusnya memilukan mereka.

Page 45: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

37

QS Luqman/31:06 berbicara tentang keharaman menyanyi atau mendengarkan nyanyian, sebagaimana firman-Nya;

ره ل ي رشتر ي ن مر ٱلىاس علم ورمنر ير غر ب ٱللهى بيل سر ن عر لى ض ل ٱلرديث ور هي اب م ذر هم عر

ر ئكر لى ولرا هزوا أ هر ذر يرتىخ ٦ور

"Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan".

Mereka mengartikan kata-kata yang tidak berguna “lahwa al-hadis” sebagai “nyanyian”. Pendapat ini jelas tidak beralasan untuk menolak seni-suara, bukan saja karena lahwa al-hadis tidak berarti “nyanyian” tetapi juga karena seandainya kalimat tersebut diartikan nyanyian, yang dikecam di sini adalah bila kata-kata yang tidak berguna itu menjadi alat untuk menyesatkan manusia. Jadi masalahnya, bukan terletak pada nyanyiannya, melainkan pada dampak yang diakibatkannya.

Sejarah kehidupan Rasulullah saw. membuktikan bahwa beliau tidak melarang nyanyian yang tidak mengantar kepada kemaksiatan. Bukankah sangat popular di kalangan umat Islam, lagu-lagu yang dinyanyikan oleh kaum Anshar di Madinah dalam menyambut Rasulullah saw? Memang benar, apabila nyanyian mengandung kata-kata yang tidak sejalan dengan ajaran Islam, maka ia harus ditolak. Al-Imam Ahmad mengajarkan bahwa dua orang wanita mendendangkan lagu, yang isinya mengenang para pahlawan yang telah gugur dalam peperangan Badr sambil menabuh gendang. Di antara syairnya, yang artinya adalah “Dan kami mempunyai Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi besok”. Mendengar ini, Nabi Muhammad saw. menegur mereka, sambil bersabda, “Adapun yang demikian, maka jangan kalian ucapkan. Tidak ada yang mengetahui secara pasti, apa yang akan terjadi esok kecuali Allah swt. (HR. al-Imam Ahmad)”.

Al-Qur’an sendiri memperhatikan nada dan langgam ketika memilih kata-kata yang digunakannya setelah terlebih dahulu memperhatikan kaitan antara kandungan kata dan pesan yang ingin disampaikannya. Sebelum seseorang terpesona dengan keunikan atau kemukjizatan kandungan al-Qur’an, terlebih dahulu

Page 46: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

38

ia akan terpukau oleh beberapa hal yang berkaitan dengan susunan kata-kata dengan kalimatnya, antara lain menyangkut nada dan langgamnya.

Walaupun ayat-ayat al-Qur’an ditegaskan oleh Allah bukan syair atau puisi, namun ia terasa dan terdengar mempunyai keunikan dalam irama dan ritmenya. Ini disebabkan karena huruf dari kata-kata yang dipilihnya melahirkan keserasian bunyi, dan kemudian kumpulan kata-kata itu melahirkan pula keserasian irama dalam rangkaian kalimat ayat-ayatnya. Baca misalnya, QS al-Syams, al-Duha’, dan al-Lahab, serta surah-surah lainnya, atau baca misalnya, QS al-Nazi’at/79:15-26.

Yang ingin digarisbawahi di sini adalah nada dan irama yang unik itu. Ini berarti bahwa Allah swt., sendiri berfirman dengan menyampaikan kalimat-kalimat yang memiliki irama dan nada. Irama dan nada itu, tidak lain, dari apa yang kemudian diistilahkan oleh sementara ilmuan al-Qur’an dengan nama Musiqa al-Qur’an (music al-Qur’an). Ini belum lagi jika ditinjau dari segi ilmu tajwid yang mengatur antara lain, panjang-pendeknya nada bacaan, bahkan belum lagi dari lagu-lagu yang diperkenalkan oleh ulama-ulama al-Qur’an. Al-Imam al-Bukhari dan Abu Daud telah meriwayatkan sabda Nabi saw., “Perindahlah al-Qur’an dengan suara kamu”. Ini semua menunjukkan bahwa menyanyikan al-Qur’an, tidak terlarang, dan karena itu menyanyi secara umum pun tidak terlarang, kecuali kalau nyanyian tersebut tidak sejalan dengan tuntunan Islam.

3. Seni Islam

Apakah seni suara (nyanyian) harus dalam bahasa Arab? Ataukah harus berbicara tentang ajaran Islam? Dengan tegas, jawabannya adalah “tidak”. Dalam konteks ini, Muhammad Kutb menulis, “Kesenian Islam tidak harus berbicara tentang Islam. Ia tidak harus berupa nasihat langsung, atau anjuran berbuat kebajikan, bukan juga penampilan abstrak tentang akidah. Seni yang Islami adalah seni yang dapat menggambarkan wujud ini dengan bahasa yang indah, serta sesuai dengan cetusan fitrah. Seni Islam adalah ekspresi tentang keindahan wujud dari sisi pandangan Islam tentang alam, hidup, dan manusia yang mengantar menuju pertemuan sempurna antara kebenaran dan keindahan”.

Page 47: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

39

Boleh jadi seseorang menggambarkan Nabi Muhammad saw. dengan sangat indah sebagai tokoh genious yang memiliki berbagai keistimewaan. Penggambaran seperti ini belum menjadikan karya seni yang ditampilkannya adalah seni yang Islami, karena ketika itu, ia baru menampilkan beliau sebagai manusia tanpa menggambarkan hubungan beliau dengan hakikat mutlak yaitu Allah swt. Penggambaran itu tidak sejalan dengan pandangan Islam menyangkut manusia.2

Seorang seniman boleh memilih objek dan cara menampilkan seni. Ia boleh menggambarkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat di mana ia berada. Ia boleh memadukannya dengan apa saja, boleh berimajinasi karena lapangan seni islami adalah semua wujud, dengan catatan bahwa jangan sampai seni yang ditampilkan bertentangan dengan fitrah atau pandangan Islam tentang wujud itu sendiri. Jangan sampai misalnya, pemaparan tentang manusia hanya terbatas pada jasmaninya semata, atau yang ditonjolkan hanya manusia dalam aspek debu-tanahnya, tidak disertai dengan unsur roh Ilahi yang menjadikannya sebagai manusia.

Jika penegasan ini diindahkan, maka pada saat itu pula, seni telah mengayunkan langkah untuk berfungsi sebagai sarana dakwah Islamiyyah. Islam melalui sumber utamanya al-Qur’an, bahkan melukiskan dengan sangat indah kelemahan-kelemahan manusia, sebagaimana firman-Nya dalam QS Yusuf/12:23-24;

قرالر ركر يتر ل بر ورقرالرت هر بوررت ٱل لىقر هۦ ورغر ا عرن نىفس ت هور ف بريتهر

درته ٱلى ور ٱللهى اذر عر لمونر مر ٱلظى يفلح لر رر ور إنىهۥ ثوراير مر نر حسر

رأ ب رر إنىهۥ د ٢٣ لرقر ور

و ءر ٱلس نه رصفر عر ل كر ل ذركر هۦ ب رر نر برهر رىءرا ن

رأ رولر ل ا هر ب مى ورهر ۦ ه ب ت مى هر

ا ءر إنىهۥ من عبرادنرا ٱلمخلرص حشر ٢٤ير ورٱلفر

"Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: "Marilah ke sini." Yusuf berkata: "Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan

2Prof.Dr. ‘Abd al-Fattah al-Kha>lidi>, Manhaj al-Tarbiyyah al-Islamiyyah,

(Baeru>t-Libna>n: Da>r al-Fikr, 2006), h.119.

Page 48: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

40

Aku dengan baik." Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung. Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih".

Kendati pun al-Qur’an tidak larut dalam melukiskannya - karena ini dapat menghanyutkan, tetapi juga dia tidak berhenti sampai di sana. Karena itu, baru aspek debu tanah manusia, kisahnya dilanjutkan dengan menggambarkan kesadaran para pelaku, sehingga pada akhirnya bertemu debu tanah dan ruh Ilahi itu pada sosok kedua hamba Allah swt. itu. Allah swt. meyakinkan manusia tentang ajarannya dengan menyentuh seluruh totalitas manusia, termasuk menyentuh hati mereka melalui seni yang ditampilkan al-Qur’an, antara lain melalui kisah-kisah nyata atau simbolik yang dipadu dengan imajinasi: melalui gambaran-gambaran konkret dari gagasan abstrak yang dipaparkan dalam bahasa seni yang mencapai puncaknya. Dapat dipastikan bahwa al-Qur’an menggunakan seni untuk dakwah dan dapat pula dipastikan bahwa selama ini, orang-orang mukmin belum memanfaatkan secara maksimal, apalagi mengembangkan apa yang telah dicontohkan al-Qur’an di atas.

Kesimpulan

1. Penggunaan keilmuan kontemporer terhadap teks keagamaan, termasuk pendekatan seni susastra, tidak akan mengubah, apalagi mempengaruhi secara negatif status teks Ilahi. Sebaliknya, keilmuan tersebut menjadi pintu masuk terhadap teks keagamaan, yang menunjukkan bahwa pemahaman kita terhadapnya, secara saintifik, dalam perspektif historis, telah berubah. Ada tiga hal yang perlu direnungkan: 1) pendekatan seni susastra terhadap teks agama bisa dilakukan dengan menggunakan teori yang berkembang dalam dunia teori dan kritik sastra modern; 2) benih-benih pemikiran seni susastra sudah ada dalam karya-karya tafsir klasik; 3) salah satu urgensi pemikiran seni susastra al-Qur’an adalah bisa diresepsi dengan baik oleh

Page 49: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

41

kalangan non-Muslim dalam keterlibatannya melakukan kajian terhadap aspek susastra kitab suci itu.

2. Al-Qur’an semakin membuktikan kemukjizatannya baik dari segi bahasa dan kandungannya. Dari segi bahasa, al-Qur’an adalah Kitab al-‘Arabiyyah al-Akbar (Kitab Suci yang Mengandung Nilai Sastra Terbesar). Dari segi kandungannya, al-Qur’an adalah kitab suci yang mengandung nilai seni yang tinggi, yang dapat didekati dengan pendekatan tekstual dan pendekatan susastra (al-manhaj al-adabi).

3. Eksistensi seni dalam al-Qur’an dapat dilihat pada bentuk-bentuknya, di antaranya: seni lukis, seni suara, seni sastra. Karya seni sastra pada garis besarnya dapat dibagi atas dua kelompok besar, yaitu: (1) puisi; dan (2) prosa. Salah satu bagian yang masuk dalam kelompok prosa yaitu kisah, yang juga sering disebut dengan riwayat atau cerita.

4. Mengingat pentingnya kedudukan seni dalam al-Qur’an, serta banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang seni terutama dalam bentuk seni sastra (kisah), maka studi terhadap seni sastra dalam al-Qur’an merupakan suatu hal yang penting. Untuk maksud tersebut diperlukan berbagai pengetahuan khususnya yang berhubungan dengan teori-teori kesusastraan al-Qur’an.

5. Nilai seni atau estetika al-Qur’an terhadap Muslim awal dipilah menjadi dua kelompok: (a) berita-berita yang merekam masuknya Islam para pendekar sastra Arab; (b) riwayat-riwayat yang memuat kesyahduan dan kekhusyukan generasi awal dalam mendengar al-Qur’an. Misalnya seorang maestro penyair bernama Labid ibn Rabi’a masuk Islam karena tertarik membaca potongan-potongan ayat yang digantung sahabat Nabi saw. di sekitar Ka’bah.

6. Ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang seni adalah bagian dari al-Qur’an yang mutlak kebenarannya. Oleh karena itu, seni sastra dalam al-Qur’an yang berisi kisah atau ceritera tentang para nabi dan rasul Allah, umat-umat terdahulu, serta hari akhirat, merupakan peristiwa yang benar-benar pernah dan akan terjadi, serta mutlak kebenarannya.

7. Dalam al-Qur’an ada kisah yang digelar pada beberapa surah dan ada juga yang hanya dalam satu surah. Ada pula kisah

Page 50: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

42

yang kesimpulannya disebut pada awal kisah, kemudian rincian peristiwanya menyusul. Ada pula kisah yang dikemukakan berdasarkan pertumbuhan dan perjalanan hidup tokoh cerita, yakni dimulai dari lahirnya tokoh sampai wafatnya, dan ada juga yang tidak mengikuti urutan-urutan seperti di atas.

8. Kisah dalam al-Qur’an seperti juga kisah rekaan. Ia memiliki unsur-unsur yang merupakan pembangun cerita. Unsur-unsur yang disepakati pada kisah dalam al-Qur’an, minimal terdiri atas: peristiwa, tokoh, dan cakapan.

9. Tema dan amanat kisah dalam al-Qur’an adalah tema dan amanat keagamaan yang tujuan akhirnya adalah mendorong umat manusia untuk selalu berbuat sesuatu dengan yang dikehendaki oleh pencipta al-Qur’an itu.

Demikian, wa Allah a'lam, semoga!

Page 51: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

43

PERUBAHAN SOSIAL PERSPEKTIF AL-QUR’AN

(Studi Atas QS al-Ra’d/13:11)

QS al-Ra'd,13:11:

لر ر اللهى إنى اللهى مر رأ من ظونره فر ير لفه خر ورمن يه يردر بري من برات ق معر

لردى رر وم سوءا فرلر مر قر ب ادر اللهى رر

رهم وإذرا أ نفس

رأ ا ب وا مر تى يغرير وم حر قر ا ب مر يغرير

رهم من دونه من ا ل ورمر .ورال لر" (Masing-masing) ada baginya para pengikut (para malaikat atau makhluk) yang (selalu mengikutinya secara) bergiliran, di hadapannya dan di belakangnya; mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada (satu) pelindung (pun) bagi mereka selain Dia".

ata mu'aqqibât ( برات adalah bentuk jamak dari kata (معرق

mu'aqqibah ( ة برـ Kata ini terambil dari kata 'aqib .(معرق

ـقبر ) yang berarti tumit. Dari sini kata tersebut (عر

dipahami dalam arti mengikuti. Hal ini mengandung makna bahwa yang dimaksud adalah malaikat-malaikat yang ditugaskan Allah untuk mengikuti setiap orang secara sungguh-sungguh.

Kata yahfazhûnahû ( ظونره فر yang berarti memeliharanya. Ini (ير

dimaksudkan bahwa setiap orang diawasi oleh Allah dalam setiap gerak langkahnya, sekaligus memeliharanya dari gangguan apa pun yang dapat menghalangi tujuan penciptaannya. Pemeliharaan-Nya terhadap setiap jiwa, bukan hanya terbatas pada tersedianya sarana dan prasarana kehidupan, seperti: udara, air, matahari, dan sebagainya, tetapi lebih dari itu, yang dikenal 'inâyatullah di samping sunnatullah. Jika ada kecelakaan fatal dan

K

Page 52: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

44

seluruh penumpangnya tewas, yang demikian adalah sunnatullah, yakni sesuai dengan hukum-hukum alam yang berlaku, tetapi ketika itu ada salah seorang di antaranya yang selamat, maka ini adalah 'inâyatllah yang merupakan salah satu bentuk

pemeliharaan-Nya. Kata min amrillah ( مراللهىرأ artinya atas (من

perintah Allah. Yakni karena adanya pemeliharaan atas dasar perintah-Nya untuk memelihara manusia, maka manusia tidak

punah. Kata min baini yadaihi wa min khalfihi ( من رلفه ور يه يردر بري (من

artinya di hadapannya dan juga di belakangnya, yakni seluruh totalitas manusia, baik jasmani maupun rohaninya.

Ayat di atas berbicara tentang perubahan sosial-kemasyarakatan. Ayat di atas menggunakan kata mâ (ا yang (م berarti apa saja wujud dari perubahan itu, baik dari nikmat, atau sesuatu yang positif menuju ke yang negatif, seperti: mengubah kesyukuran menjadi kekufuran, ketaatan menjadi kedurhakaan, iman manjadi syirik, hidayah menjadi kesesatan, kebahagiaan menjadi kesengsaraan; atau sebaliknya, dari sesuatu yang negatif ke positif.

Penggalan ayat هم نفسرأ ب ا مر وا يغرير تى حر وم قر ب ا مر يغرير

لر ر اللهى إنى mengandung beberapa hal yang perlu digarisbawahi dalam kaitan perubahan sosial:

1. Ayat tersebut di atas berbicara tentang perubahan sosial, bukan perubahan individu. Ini dipahami dari penggunaan kata qaumun (masyarakat), yang sekaligus mengisyaratkan bahwa perubahan sosial tidak dapat dilakukan oleh seorang manusia saja. Memang, boleh saja perubahan bermula dari seseorang, yang ketika itu melontarkan ide-idenya, kemudian diterima dan menggelinding dalam masyarakat. Di sini, ia bermula dari pribadi dan berakhir pada masyarakat, lalu sedikit demi sedikit mewabah kepada masyarakat luas.

2. Penggunaan kata qaum juga menunjukkan bahwa hukum kemasyarakatan ini tidak hanya berlaku bagi kaum Muslim atau satu suku, ras, dan agama tertentu, tetapi ia berlaku umum, kapan dan di mana pun mereka berada. Selanjutnya, karena ayat tersebut berbicara tentang qaum, maka ini berarti bahwa sunnatullah yang dibicarakan hanya berkaitan dengan kehidupan duniawi, bukan ukhrawi. Pertanggung jawaban

Page 53: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

45

pribadi baru akan terjadi di akhirat kelak, berdasarkan firman-

Nya: فرردا ة القيرامر يرومر آتيه كهم tiap-tiap mereka akan datang) ور

menghadap kepada-Nya sendiri-sendiri).

3. Pelaku perubahan ada dua, yang pertama adalah Allah, yang mengubah nikmat yang dianugerahkan-Nya kepada suatu masyarakat pada sisi luar atau lahiriah masyarakat, yang kedua adalah manusia, dalam hal ini masyarakat yang melakukan perubahan sosial pada sisi dalam mereka, atau dengan istilah mâ bi anfusihim (apa yang terdapat dalam diri mereka). Perubahan-perubahan itu mencakup: kekayaan dan kemiskinan, kesehatan dan penyakit, kemuliaan dan kehinaan, persatuan dan perpecahan, dan lain-lain yang berkaitan dengan masyarakat umum.

4. Perubahan yang dilakukan oleh Allah harus didahului oleh perubahan yang dilakukan oleh masyarakat menyangkut sisi dalam mereka. Tanpa ini, mustahil akan terjadi perubahan sosial.

Sehubungan dengan konsep perubahan sosial yang dapat dipahami dari ayat al-Qur’an di atas, Ibnu Khaldun lebih mengaktualkan dengan mengajukan tiga hal penting sebagai pemikirannya dalam melakukan perubahan sosial:

1. Membangun solidaritas kebangsaan yang kokoh, di mana sikap dan perilaku menzalimi, membenci, dan menjatuhkan satu sama lain, bertukar menjadi saling memberi, saling menghargai, dan saling melindungi;

2. Kualitas dan kuantitas sumber daya manusianya;

3. Kebangkitan suatu masyarakat, bangsa, dan negara berawal dari dan hanya akan langgeng apabila orang-orangnya selalu optimis , berani, dan mau terus menerus bekerja keras.

Memperhatikan konsep perubahan sosial yang ditawarkan oleh al-Qur’an di atas relevansinya dengan ikhtiar kita secara masif dalam memberantas pandemi Covid-19 yang bersifat global dan telah berdampak pada seluruh aspek kehidupan, baik pada aspek kesehatan, aspek sosial-ekonomi, pendidikan, keagamaan, pemerintahan, budaya, dan pangan; sangat tepat diaplikasikan sebagai salah satu solusi excellent, yakni bahwa kalau asal mula kehadirannya adalah berawal dari tangan-tangan manusia yang

Page 54: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

46

tidak bertanggung jawab tentu atas izin Allah swt., maka mengakhirinya pun, memang atas izin Allah juga, akan tetapi sebelumnya, yang ditunggu Allah swt., adalah sikap mental dan ikhtiar secara masif dari manusia itu sendiri menjadi syarat utama, mendahului perbuatan Allah. Melihat karakteristik Covid-19 dan multiplier effect yang ditimbulkan, prasangka baik kita adalah bahwa Tuhan tidak saja sedang menguji kesabaran kita, akan tetapi juga sedang meminta kita untuk meng-install ulang tatanan kehidupan baru, yang selama ini mungkin dianggap keliru besar.

Pada sisi lain, semua tidak mungkin terjadi tanpa kehendak Tuhan. Kapan pandemi berakhir pun mesti dengan campur tangan Tuhan. Namun intervensi Tuhan untuk memulihkan keadaaan juga melalui proses-proses yang obyektif. Tuhan meminta kita tidak sombong dengan ilmu yang kita miliki, sehingga kita dengan rendah hati belajar dan belajar untuk menemukan cara pengobatan dan pencegahan pandemi Covid-19. Tuhan meminta kita untuk saling menolong. Tuhan telah meminta kita untuk menjaga alam. Tuhan telah meminta kita untuk mensyukuri nikmat yang telah Dia berikan. Mungkin hidup kita sudah kebablasan jauh dari koridor yang telah Tuhan tetapkan, dan mengabaikan sejumlah permintaan Tuhan tersebut.

Akhirnya, ayat di atas menegaskan bahwa perubahan yang dilakukan Allah atas suatu masyarakat, tidak akan terjadi sebelum masyarakat itu sendiri mau dan memulai mengubah secara internal diri mereka terlebih dahulu menuju ke arah perubahan sosial itu. Sikap dan ikhtiar masyarakat menjadi syarat utama, mendahului perbuatan Allah. Perubahan sosial dimaksud sudah diserahkan kepada masyarakat bersangkutan (tuhannya perubahan sosial sekarang adalah masyarakat itu sendiri secara bersama-sama dan bekerjasama), mau berubah atau tidak, kuncinya ada pada masyarakat bersangkutan. Sungguh ini merupakan anugerah khusus Allah yang luar biasa diberikan kepada manusia, yang seharusnya disyukuri dan jangan disia-siakan. Demikian, wa Allah a'lam, semoga!

Page 55: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

47

MELURUSKAN MAKNA JIHAD

emahaman masyarakat tentang ‘jihad’ banyak yang salah kaprah. Salah kaprah tentang makna jihad yang berkembang di dalam masyarakat kita akhir-akhir ini,

adalah seperti berikut ini:

1. Jihad secara fisik harus diukur dengan kemampuan seseorang untuk mengangkat senjata melawan musuh-musuh Islam. Padahal menurut sabda Rasulullah saw. menyingkirkan batu kerikil di jalanan yang dapat membahayakan orang lain termasuk jihad.

2. Jihad adalah “perang suci” (holy war) atau “perang mengangkat senjata” (jihad fisik-militer). Makna jihad semakin menyempit ketika direduksi sebagai suatu sikap mengangkat senjata lalu diarahkan kepada setiap orang yang dianggap “kafir”. Bahkan tidak sedikit masyarakat Barat yang kerap mengasosiasikan jihad dengan ekstremisme, radikalisme dan terorisme belaka.

3. Ibnu Taymiyah, jihad identik dengan kekuasaan politik, Hasan al-Banna (w. 1948), jihad sebagai perjuangan politik revolusioner, yang dirancang untuk melucuti musuh-musuh Islam (hegemoni Barat). Al-Maududi (w. 1979) lebih radikal dengan mensejajarkan Islam dan jihad sebagai “gerakan politik revolusioner”. Tegasnya, jihad adalah Perang Suci.

4. Islam adalah agama penebar kasih sayang, keadilan, dan perdamaian, namun dipahami sebaliknya oleh “orang luar”. Kesan demikian semakin menguat ketika umat Islam dituduh sebagai terdakwa atas berbagai tragedi terorisme di penjuru dunia. Padahal di dalam prinsipnya, Islam sama sekali tidak mengajarkan kekerasan dan perang. Karena sesungguhnya Islam adalah agama damai dan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil’alamin).

5. Tentu “tidak ada asap jika tidak ada api”, mungkin pepatah ini tepat untuk menjawab pertanyaan tersebut. Bahwa tak bisa dipungkiri, masifnya penyebaran konten-konten negatif di media sosial tentang jihad turut memengaruhi mindset masyarakat akan makna buruk jihad itu sendiri.

P

Page 56: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

48

6. Said al-Ashmawi dalam Against Islamic Ekstremism (1998) menjelaskan, bahwa konsep jihad yang cenderung dimaknai sebagai perang fisik pada mulanya terjadi ketika orang-orang Islam terpaksa bertempur melawan orang-orang Mekkah pada Perang Badar (624 M). Akan tetapi, justru Nabi Muhammad saw. melihatnya tidak pada aksi peperangannya, tetapi pada konsep spiritualnya. Sehingga setelah Perang Badar, Nabi bersabda “Kita pulang dari jihad kecil (Perang Badar) menuju jihad akbar”.

7. Makna yang terkandung dari sabda Nabi di atas adalah bahwa perang hanyalah jihad kecil, dan jihad yang lebih besar adalah melawan hawa nafsu yang terdapat dalam jiwa manusia. Inilah makna jihad yang sebenarnya. Renungkan ayat-ayat berikut: QS. AL-Kahfi/18: 29; Al-Haj/22: 39-40; Al-Baqarah/2: 190; AL- Ma’arij/70: 5.

8. Akhir-akhir ini, bersumber dari gerakan fundamentalisme yang kerap menggunakan jihad sebagai maskot gerakannya. Kelompok ekstremis senantiasa menjadikan jihad sebagai spirit perjuangannya. Misalkan gerakan radikal di Mesir, seperti al-Jihad, gerakan al-Takfir wa al-Hijrah, serta ikhwanul Muslimin. Di Indonesia, kelompok seperti Hizbut Tahrir juga kerap menampilkan jihad sebagai tema gerakannya dengan semangat membangun negara Islam yang dipimpin oleh seorang khalifah.

9. Prof. Dr. M. Quraish Shihab, salah satu konsep ajaran Islam yang dianggap menumbuhsuburkan kekerasan adalah jihad.

Lebih lanjut, M. Quraish Shihab menegaskan, bahwa ada kesalahfahaman tentang pengertian jihad di kalangan masyarakat. Hal ini mungkin disebabkan karena seringkali kata tersebut baru terucapkan pada saat perjuangan fisik, sehingga diidentikkan dengan “perlawanan bersenjata”. Kesalahfahaman tersebut disuburkan juga oleh terjemahan yang keliru terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang jihad dengan anfus dan harta benda. Kata anfus seringkali diterjemahkan dengan jiwa. Terjemahan Departemen Agama pun demikian, lihat misalnya, QS al-Anfal/8:72; QS al-Hujurat/49:15. Walaupun ada juga yang diterjemahkan dengan diri, misalnya, QS al-Taubah/9:88.

Page 57: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

49

Hakekat Jihad yang Benar

Kebajikan dan keburukan sama-sama bersanding dalam jiwa manusia. Padahal mereka dituntut oleh agama agar hatinya senantiasa suci (tetap dalam fithrahnya). Inilah yang dimaksud bahwa hidup manusia adalah hidup untuk berjihad. Hal ini dapat diinspirasi dari QS al-Syams,91:8-10,

ا هر مر لهررا فرأ ىهر ترقور ا ور ٨فجوررهر ى فلرحر مرن زركى

را قرد أ ا ورقرد ٩هر ىهر ن درسى ابر مر خر

١٠ "Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya".

Dari sinilah lahir pemahaman jihad, baik ditingkat individu maupun dalam masyarakat dan Negara. Islam datang membawa nilai-nilai kebajikan, serta menganjurkan manusia agar menghiasi diri dengannya. Al-Qur’an memerintahkan manusia agar memperjuangkan jihad, sehingga ia dapat mengalahkan kebatilan yang ada dalam dirinya.

Kata jihad dengan segala bentuk kata jadiannya dalam al-Qur’an terulang sebanyak 41 kali. Semua kata yang berasal dari akar kata dengan huruf-huruf j, h, d, yang makna dasarnya bersungguh-sungguh, kesulitan, kesukaran, dan yang semacamnya. Kata jihad juga berasal dari kata jahdun yang berarti “letih, sukar”. Jihad memang sukar dan menyebabkan pelakunya letih. Ada juga yang berpendapat bahwa ia berasal dari kata juhdun yang berarti “kemampuan”. Ini karena jihad menuntut “kemampuan dan harus dilakukan sebesar kemampuan”. Ada juga yang membaca jahida yang berarti “ujian atau cobaan”. Ini karena jihad memang merupakan ujian atau cobaan bagi peningkatan kualitas seseorang di sisi Tuhannya. Sebagai ujian atau cobaan yang memerlukan kesabaran, terlihat dalam QS Ali Imran/3:142,

يرعلرمر دوا منكم ور هر ينر جر ٱلى علرم ٱللهى ا ير رمى ل ن تردخلوا ٱلرنىةر ورربتم أ س م حر

رأ

ينر ب ١٤٢ٱلصى

Page 58: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

50

"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar".

Jihad pada ayat ini dapat berarti: 1) memerangi hawa nafsu; 2) mendermakan harta benda untuk kebaikan Islam dan umat Islam; 3) Memberantas yang batil dan menegakkan yang hak; 4) berperang untuk menegakkan Islam dan melindungi orang-orang Islam.

Dalam arti “kemampuan”, terlihat dalam QS al-Taubah/9:79. Setiap Muslim pasti sebagai mujahid, karena jihad merupakan perwujudan identitas kepribadian setiap Muslim. Ini terlihat dalam QS al-Ankabut/29:6,

لرمير ن ٱلعر عر غرنر لر هۦ إنى ٱللهى رفس هد ل ا يجر در فرإنىمر هر ن جر ٦ورمر

"Dan barangsiapa yang berjihad, Maka Sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam".

Banyak ayat pula yang berarti berjuang dan berusaha seoptimal mungkin untuk mencapai tujuan. Misalnya, Q.S. al- Ankabut/29:8, QS Luqman/31: 15. Dalam pada itu, semua kata jihad dengan segala bentuk kata jadiannya bermuara pada makna “mencurahkan seluruh kemampuan”, atau “menanggung pengorbanan”. Karena itu, mujahid adalah orang yang mencurahkan seluruh kemampuannya dan berkorban, dengan nyawa, atau tenaga, pikiran, emosi, dan apa saja yang berkaitan dengan diri manusia. Ia adalah cara untuk mencapai tujuan, jihad tidak mengenal putus asa, menyerah, bahkan kelesuan, tidak pula pamrih.

Memang banyak arti dari kata jihad dalam al-Qur’an, sekali berarti “nyawa”, di kali lain berarti “hati”, di kali ketiga berarti “jenis”, dan ada pula yang berarti “totalitas manusia”, di mana terpadu jiwa raganya. Al-Qur’an mempersonifikasikan wujud seseorang di hadapan Allah dan masyarakat dengan menggunakan kata nafs. Kalau demikian, tidak meleset jika kata itu dalam konteks jihad dipahami dalam arti totalitas manusia, sehingga kata nafs mencakup, “nyawa, emosi, pengetahuan, tenaga, pikiran, walhasil totalitas manusia, bahkan juga waktu dan tempat, karena manusia tidak dapat memisahkan diri dari

Page 59: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

51

keduanya”. Pengertian ini dapat diperkuat dengan adanya perintah berjihad tanpa menyebutkan nafs atau harta benda, sebagaimana firman Allah swt. dalam QS al-Hajj/22:78, yang terjemahnya: “Dan berjihadlah (curahkan segala kemampuan dan totalitas diri kamu) pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu (sebagai umat pertengahan dan sebagai para pembela agama-Nya). Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama (sedikit) kesempitan (pun); (tidak pula pada) agama leluhur kamu, Ibrahim. Dia telah menamai kamu Muslim (orang yang tunduk patuh berserah diri kepada-Nya) sejak dahulu (dalam kitab-kitab suci yang telah diturunkan-Nya) dalam (al-Qur’an) ini, supaya Rasul (Muhammad saw.) menjadi saksi atas kamu dan supaya kamu menjadi para saksi atas (seluruh) manusia, maka laksanakanlah salat dengan sempurna dan tunaikanlah zakat dan berpegang teguhlah pada (agama) Allah. Dia pelindung kamu, maka Dia-lah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong”.

Sebagai ujian atau cobaan yang memerlukan kesabaran, terlihat dalam QS Ali Imran,3:142,

ا رمى ل ن تردخلوا ٱلرنىةر ورربتم أ س م حر

ريرعلرمر أ دوا منكم ور هر ينر جر ٱلى علرم ٱللهى ير

ينر ب ١٤٢ٱلصى

"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar".

Jihad pada ayat ini dapat berarti: 1) memerangi hawa nafsu; 2) mendermakan harta benda untuk kebaikan Islam dan umat Islam; 3) Memberantas yang batil dan menegakkan yang hak; 4) berperang untuk menegakkan Islam dan melindungi orang-orang Islam;

Pandangan Ulama tentang Jihad

1. Sayyid Quthb, usaha berkala dengan mencurahkan segenap potensi berbasis al-Qur’an (Q.S. al-Furqan/25: 52) dan Sunnah Nabi saw. untuk menggapai ridha’ Allah swt.

2. Fazlurrahman, jihad adalah perjuangan yang bersifat total dengan harta dan jiwa ke jalan Allah, yang pada gilirannya

Page 60: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

52

bertujuan untuk menegakkan perintah Allah menuju keridhaan-Nya.

3. Menurut Penulis al-Ta’rifat, jihad berarti seruan agama kepada yang hak.

4. KBBI, jihad adalah usaha dengan segala daya upaya untuk mencapai kebaikan; usaha sungguh-sungguh membela agama Islam dgn mengorbankan harta benda, jiwa, dan raga. Perang suci melawan orang kafir untuk mempertahankan agama Islam.

5. Nasaruddin Umar, Jihad berarti bersungguh-sungguh, dengan tiga kata kunci mengantar manusia meraih predikat tertinggi sebagai manusia paripurna.

a) Perjuangan yang dilakukan seseorang dengan mengandalkan unsur fisik atau otot meskipun perjuangan non fisik juga masuk kategori jihad di tempat lain.

b) Perjuangan secara intelektual seseorang. Orang yang ahli di dalam berijtihad disebut mujtahid. Unsur-unsur yang harus dipenuhi antara lain: dalam konteks fikih, seorang mujtahid harus menguasai bahasa Arab, Ulumul Qur'an, Ulumul Hadits, Muslim, dan praktisi Muslim.

c) Mujahadah berarti perjuangan secara batin atau spiritual.

Berkata Rasulullah SAW, "Goresan tinta para ulama lebih utama daripada tumpahan darah para syuhada". Unsur yang harus ada dalam jihad: adanya keterlibatan fisik di dalamnya, ada perhitungan dan perencanaan yang matang, baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka panjang, harus lebih banyak manfaat daripada mudaratnya menurut ukuran-ukuran universal tujuan syari'ah (maqashid al-syari'ah).

Objek Jihad

1. Jihad melawan musuh nyata/kuffar (masyarakat Jahiliyah), seperti perang melawan musuh kafir. QS al-Furqan/25:52,

بيرا ادا كر هر هۦ ج هدهم ب جر فرينر ور ٥٢فرلر تطع ٱلكر

Page 61: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

53

QS al-Tahrim/66:9,

نىم هر جر ىهم ورأ ورمر لريهم عر ورٱغلظ فقير ورٱلمنر ارر ٱلكفى هد جر ٱلىب ا هر ي

رىأ ير

ير ئسر ٱلمرص ب ٩ور

2. Jihad melawan setan

QS al-A’raf/7:16-17,

ٱلمسترقيمر كر طر رر ص رهم ل نى قعدرر لر يترن غور

رأ ا بري ١٦فربمر ن م لأتيرنىهم ثمى

رهم كثررأ د تر لر ور لهم ا ئ مر شر ن ورعر نهم يمر

رأ ن ورعر فهم

ل خر ورمن يهم يدرأ

كرينر ١٧شر

3. Jihad melawan nafsu (hawa nafsu) yang terdapat dalam diri manusia masing-masing.

QS al-A’raf/7:16-17,

كر ٱلمسترقيمر قر طر رر رهم ص نى ل قعدرر يترن لر غور

را أ ن بري ١٦الر فربمر ثمى لأتيرنىهم م

رهم كثررأ د تر لر ور لهم ا ئ مر شر ن ورعر نهم يمر

رأ ن ورعر فهم

ل خر ورمن يهم يدرأ

كرينر ١٧شر

Hukum Jihad

Jihad wajib dilakukan secara berkala sepanjang masa, karena musuh manusia tidak pernah berhenti, baik musuh nyata maupun musuh tidak tampak.

1. Fardlu ‘Ain untuk melawan hawa nafsu dan setan, karena kedua musuh ini tidak pernah berhenti menggoda manusia untuk mengikuti jalan kesesatan (QS al-Anfal/8:72).

2. Fardlu Kifaysah untuk melawan orang kafir, karena jika kaum Muslim dalam jumlah yang cukup, maka gugurlah dosa sebagian kaum Muslim yang lain terhadap amalan tersebut (QS al-Taubah/9:122).

Page 62: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

54

Bentuk-Bentuk Jihad

1. Berjihad dengan al-Qur’an (Q.S. al-Furqan/25: 52), karena di dalam al-Qur’an terdapat kekuatan, kekuasaan, dan pengaruh yang mendalam serta daya tarik yang tak tertahankan,

2. Berjihad dengan harta, sebab harta merupakan salah satu faktor pendukung utama berhasil atau tidaknya misi jihad fi sabilillah,

3. Berjihad dengan nafs, yaitu semua potensi dan sarana yang memungkinkan untuk mendukung melakukan revolusi ilmiah yang menyeluruh.

Macam-Macam Jihad

Jihad di jalan Allah adalah salah satu sarana utama dan mulia dalam mencari keridhaan Allah swt. Para ulama Tafsir menyimpulkan bahwa macam-macam jihad menurut al-Qur’an, secara garius besar meliputi:

• Jihad beragam: memberantas kebodohan, kemiskinan, dan penyakit, adalah jihad yang tidak kurang pentingnya, selain dengan mengangkat senjata melawan orang kafir-munafik, karena Allah swt.

• Ilmuan berjihad dengan pemanfaatan ilmunya, karyawan dengan karyanya yang baik, guru dengan pendidikannya yang sempurna, pemimpin dengan keadilannya, dan pengusaha dengan kejujurannya.

• Jihad Harta,

• Jihad Jiwa,

• Jihad Pendidikan,

• Jihad Politik,

• Jihad Pengetahuan,

• Jihad terhadap orang-orang yg menghalang dakwah,

• Jihad menghadapi hakim yang zalim,

• Jihad memperbaiki keluarga.

Page 63: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

55

Upaya Strategis dalam Melakukan Jihad

1. Jihad harus dilakukan karena Allah, bukan untuk memperoleh tanda jasa, sebagaimana firman-Nya dalam QS al-Ankabut/29:69,

نير عر ٱلمحس رمر ر ل نىهم سبلرنرا وإنى ٱللهى ير رهد دوا فينرا لر هر ينر جر ٦٩ورٱلى

"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik".

2. Jihad bukan untuk pujian dan dunia, dalam QS al-Hajj/22:78,

ين يكم ف ٱل لر عرلر عر ا جر ۦ هور ٱجتربرىكم ورمر اده هر قى ج حر هدوا ف ٱللهى جر ور

ج رر ٧٨من حر

"Dan berjihadlah dijalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan".

3. Menggunakan segala potensi yang dimiliki, di antaranya: fisik, harta, ilmu, sikap, keluarga, serta jabatan- pangkat, dan jiwa/nyawa.

4. Masyarakat Islam perlu memiliki kepekaan (sense of crisis).

5. Hegemoni dan dominasi Barat harus dieliminasi.

Tujuan Jihad

• Tujuan jihad adalah terpeliharanya jiwa, terwujudnya manusia yang adil dan beradab, meratanya kesejahteraan dan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat (melebarnya senyum), terhapusnya dan hilangnya air mata (terhindar dari kesulitan hidup), serta berkembangnya harta pada setiap anggota keluarga.

• Untuk penyebaran agama,

• Untuk menguji kesabaran,

• Untuk mencegah kezaliman dan menolong mustad’afin,

• Untuk memperoleh rahmat Allah,

Page 64: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

56

• Untuk menegakkan dan menjaga Islam dan masyarakat Islam.

Hikmah Jihad

1. Orang yang gugur di jalan Allah adalah nilai syahid/syuhada’, sebagaimana firman-Nya dalam QS Ali Imran/3:140.

ذر منكم يرتىخ نوا ور ينر ءرامر ٱلى رعلرمر ٱللهى ل ا برير ٱلىاس ور اولهر يىام ندررتلكر ٱل ور ا ءر در ١٤٠شهر

"Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'. dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim".

2. Jihad berbuah rahmat Allah, sebagaimana firman-Nya dalam QS al-Baqarah,2:218.

يررجونر ئكر ى ولرأ ٱللهى بيل سر ف دوا هر جر ور روا اجر هر ينر

ورٱلى نوا ءرامر ينر ٱلى إنى ٢١٨ررحمرتر ٱللهى

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah".

Jihad tidak dapat dilaksanakan tanpa modal, karena itu jihad disesuaikan dengan modal yang dimiliki dan tujuan yang ingin dicapai, sebelum tujuan tersebut tercapai dan selama masih ada modal di atangan, selama itu pula jihad dituntut. Karena jihad harus dengan modal, maka mujahid tidak mengambil, akan tetapi memberi, bukan mujahid yang menanti imbalan selain dari Allah, karena jihad diperintahkan untuk dilakukan semata-mata karena Allah. Jihad adalah titik tolak seluruh upaya mewujudkan jati diri dan ini bermula dari kesadaran, karena itu Allah swt. menekankan, sebagaimana firman-Nya dalam QS al-Ankabut/29:6, yang terjemahnya: “Siapa yang berjihad, maka sesungguhnya ia berjihad untuk dirinya sendiri. Allah Maha Kaya tidak memerlukan sesuatu apapun dari seluruh alam”.

Page 65: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

57

Akhirnya, kesadaran harus berdasarkan pengetahuan dan bertentangan dengan paksaan, karena itu mujahid bersedia untuk berkorban. Dulu ketika kemerdekaan bangsa Indonesia belum diraih, jihad mengakibatkan terenggutnya jiwa, dan hilangnya harta benda. Kini, jihad harus membuahkan terpeliharanya jiwa, wujud kemanuasiaan yang adil dan beradab, terciptanya kehidupan beragama yang moderat, toleran, dan inklusif, serta berkembangnya harta benda, renungkan firman Allah dalam QS Ali Imran/3:142, yang terjemahnya berikut ini: “Apakah kamu menduga akan masuk surga, padahal belum tampak di sisi Allah orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata pula yang bersabar”. Demikian, wa Allah a'lam, semoga!

Page 66: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

58

PUASA UNTUK SEHAT

ulan Puasa dikenal dengan nama bulan Ramadhan. Istilah ramadhan terambil dari akar kata "ramdâu" berarti panas membakar. Ini dimaksudkan karena puasa memang

membuat kerongkongan terasa kering terbakar. Pandangan lain, bahwa kata Ramadhan berasal dari akar kata ramadâ yang berarti "mengasah". Menurut tradisi Arab Jahiliyah, pada bulan Ramadhan, mereka mengasah pedang dan tombak sebagai persiapan melakukan peperangan pada bulan Syawwal, sebelum memasuki tiga bulan suci sesudah Syawal, yakni Zulqaidah, Zulhijjah, dan Muharram, yang menurut adat mereka, dan kemudian dibenarkan oleh agama, diharamkan melakukan peperangan (pertumpahan darah), sebagaimana firman Allah dalam QS al-Baqarah, 2:194, yang terjemahnya “bulan haram dengan bulan haram, sesuatu yang patut dihormati, dan berlaku hukum kishash”.

Makna-makna di atas, pada hakekatnya, mengarah pada makna material-bendawi. Kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan mengantar para agamawan memberi makna moral-spiritual. Pertama, arti panas membakar dalam arti bahwa dosa-dosa orang yang berpuasa pada bulan Ramadhan dengan ikhlas disertai dengan keimanan dan penuh ketelitian, pasti akan pupus habis terbakar, akibat kesadaran dan amal-amal salehnya, perhatikan QS Hûd,11:114, yang terjemahnya “sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapuskan dosa-dosa”. Kedua, arti mengasah, karena kenyataan menunjukkan bahwa pada bulan tersebut, orang-orang beriman menjadikannya sebagai bulan untuk mengasah kalbu (hati) mereka, yang tadinya tumpul dan gelap akibat dosa-dosa mereka, menjadi tajam dan bercahaya menyinari hidup mereka karena kebajikan-kebajikan yang dilakukan selama sebulan di bulan Ramadhan, dalam wujud baik ibadah mahdah langsung kepada Allah swt. maupun ibadah sosial terhadap sesama dan lingkungan mereka.

Bulan Ramadhan juga disebut syahr al-siyâm yang berarti "imsak" (menahan), karena memang orang berpuasa harus mampu menahan dan mengendalikan ego dan hawa nafsunya serta menahan diri dari segala yang dapat membatalkan puasa sepanjang hari.

B

Page 67: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

59

Dari makna-makna tersebut dapat diketahui bahwa hakekat puasa tidak hanya menahan diri dari makan, minum, dan melakukan hubungan suami-isteri di siang hari puasa, tetapi juga menahan diri dari: kata-kata kotor dan tidak berguna; kata-kata bohong dan tidak jujur; perbuatan sia-sia dan dosa; serta harus mempuasakan seluruh anggota badannya; bila tidak, mereka terkena dengan sabda Nabi saw. HR. Bukhari-Muslim, yang terjemahnya “betapa banyak orang berpuasa, akan tetapi tiada yang diperoleh dari puasanya kecuali hanya haus dan lapar). Bahkan diharapkan, di samping berpuasa pada siang harinya dan menegakkan malam-malan Ramadhan dengan berbagai ibadah sunnah, juga diharapkan banyak berzakat, bersedekah, berimfak, serta melakukan i'tiqâf di sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan di dalam masjid.

Puasa untuk Sehat

Al-Qur’an mengakui bahwa sikap dan perilaku manusia berpusat pada hati. Jika hatinya bersih, maka keseluruhan perilakunya bersih dan suci, demikian sebaliknya. Melalui hati yang bersih inilah hidayah Tuhan turun ke bumi. Sementara hati mempunyai dua daya, yakni daya merasa disebut kalbu, dan daya berpikir disebut akal. Hati yang mendapat cahaya akan memantulkan cahayanya kepada akal. Bila setiap Muslim mendayagunakan kalbu dan akalnya secara efektif, akan diraih kemajuan luar biasa dunia dan akhirat (QS Ali Imrân/3:190-191). Bukankah ilmuan Muslim, seperti al-Khawarizmi (ahli astronomi), al-Khaitami (ahli kimia), dan Ibnu Sinâ (ahli kedokteran), yang kesemua itu mampu menyatukan keduanya. Yang menarik, bahwa sebelum belajar sains, kalbunya lebih dulu diisi al-Qur’an. Rata-rata, pada umur belia, mereka sudah khatam dan hafal al-Qur’an.

Jika kalbu gelap, akal kehilangan kontrol terhadap perilaku, sehingga pemegang remote control-nya bukan lagi hati-nurani, akan tetapi setan yang bersemayam dalam gejolak nafsunya. Salah satu media pembersih kalbu adalah puasa. Keuntungan orang berpuasa adalah sehat jasmani dan rohani. Virus Corona pasti jauh dari orang-orang yang berpuasa Ramadhan secara baik dan benar, dan inilah salah satu hikmah kehadiran bulan Ramadhan di tengah-tengah Pandemi Covid-19. Perhatikan HR. Muslim dari Ibnu Mas'ûd, Nabi saw. bersabda, yang terjemahnya “berpuasalah agar kamu sekalian sehat”. Menurut Prof. Dr. Abd al-Fattah al-Khalidi, M. A., pakar kedokteran dari Universitas Cairo, menyimpulkan dari hasil penelitiannya tentang pesan dari hadis Nabi saw. di atas, bahwa orang yang berpuasa selama sebulan

Page 68: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

60

penuh di bulan Ramadhan karena iman dan penuh kecermatan, pasti mampu mencetak manusia-manusia yang sehat paripurna, karena: (1) darahnya bersih dan alirannya sangat lancar disebabkan tidak banyak disusupi makanan; (2) lambungnya sehat dan kuat disebabkan diistirahatkan selama satu bulan penuh secara berturut-turut; (3) pikirannya dijernihkan; (4) emosinya distabilkan; dan (5) ketajaman ruhani semakin kuat. Sebaliknya, bila orang berpuasa, menggerutu, merasa tersiksa, dan selalu mencari-cari alasan untuk berbuka. Orang yang puasa seperti ini, tidak akan mendapatkan sesuatu manfaat apa pun selain haus dan lapar.

Akhirnya, dengan kehadiran Ramadhan ini, mari kita jadikan stimulan mengikat energi spiritual sekuat dan semaju mungkin sebagai persiapan ruhani sebelas bulan kemudian, sebab kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Karena itu maksimalkan pendayagunaan Ramadhan sekarang juga untuk taqarrub kepada Allah swt., tentu sesuai kemampuan kita masing-masing, semoga kita keluar nantinya sebagai hamba-hamba-Nya yang telah menyandang predikat muttaqîn. Semoga!

Page 69: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

61

PUASA MENDIDIK MENELADANI ALLAH

DALAM SIFAT-SIFAT-NYA

l-Asmâ al-Husnâ Allah adalah nama-nama-Nya yang terbaik dan agung, yang sekaligus sebagai sifat-sifat-Nya, yang jumlahnya 99 nama terbaik. Dalam HR. al-Bukhari dan

Muslim dari Abu Hurairah, Nabi saw. bersabda, yang terjemahnya “sesungguhnya Allah swt. mempunyai nama-nama yang terbaik dan agung sebanyak 99 nama, seratus kurang satu. Siapa yang mengetahui dan mengamalkannya, ia masuk surga”. Sehubungan dengan hal itu, dalam al-Qur’an manusia diperintahkan untuk berdo'a kepada-Nya melalui nama-nama-Nya yang agung tersebut. Allah berfirman dalam QS al-A'râf, 7:180, yang terjemahnya “hanya milik Allah al-asmâ al-husnâ, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut al-asmâ al-husnâ itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang mereka telah kerjakan).

Usaha Meneladani Allah dalam Sifat-Sifat-Nya

Puasa adalah ibadah yang bermula dengan tidak makan, tidak minum, dan tidak bercampur dengan pasangan sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Mukmin berpuasa, yang tidak makan dan tidak minum, bahkan memberi makan dan memberi hidup bagi sesamanya lewat berinfak dan bersedekah, pada hakekatnya, sudah meneladani Allah swt. dalam sifat-sifat-Nya berkaitan dengan puasa, Yang tidak makan dan tidak minum, akan tetapi Dia juga senantiasa memberi makan dan kehidupan bagi makhluk-makhluk-Nya lewat menganugerahkan aneka rezeki, sebagaimana firman-Nya dalam QS al-An'âm/6:14, yang terjemahnya seperti berikut, “Katakanlah: apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan”. Pada sisi lain, Allah swt. menegaskan dalam QS al-An'âm/6:101, yang terjemahnya seperti berikut, “bagaimana Dia (Allah) memiliki anak padahal Dia tidak memiliki teman (pasangan)”.

Dua ayat di atas menekankan bahwa di samping Dia (Allah) tidak makan dan tidak minum, akan tetapi Dia juga senantiasa memberi makan dan kehidupan bagi makhluk-makhluk-Nya lewat menganugerahkan aneka rezeki kepada mereka; juga menyatakan bahwa Allah swt. tidak beristeri dan tidak beranak, meskipun Dia

A

Page 70: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

62

senantiasa memperkembangbiakkan makhluk-makhluk-Nya yang tiada putus-putusnya. Hal itu semua juga tergambar dalam perilaku hidup sehari-hari mukmin yang berpuasa, tentu sesuai kemampuannya meneladani Allah dalam sifat-sifat-Nya, bahwa ketika berpuasa selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan, di samping tidak pernah melakukan hubungan badan dengan pasangannya di siang hari puasa, ia pun juga tetap terus tanpa henti-hentinya berinfak dan memberi hidup dan kehidupan terhadap sesama tanpa memilah Muslim dan/atau non-Muslim, terutama terhadap para tetangga dan mereka para korban PHK akibat Pandemi Covid-19 yang tidak sedikit jumlahnya, yang memang sangat membutuhkan keberpihakan, dukungan, serta perhatian khusus dari mereka dalam memenuhi kebutuhan pokok hidup sehari-hari, seperti yang terjadi dan kita saksikan secara langsung saat ini.

Model Muslim (orang yang menyandang sifat damai) yang berpuasa seperti di atas, paling tidak dituntut, bahwa bila ia belum dapat memberi manfaat kepada selainnya, maka jangan sampai ia mencelakakannya. Kalau ia belum mampu untuk memberi, maka paling tidak ia tidak mengambil hak-hak orang lain. Kalau ia belum mampu menggembirakan pihak lain, maka paling tidak ia tidak meresahkannya, dan kalau ia belum mampu memujinya, maka minimal ia tidak mencelanya. Sikap seperti inilah paling tidak yang diharapkan dari Muslim berpuasa, sebagai salah satu model meneladani Allah swt. dalam sifat-sifat-Nya. Model kedamaian inilah yang dinamai oleh Fazlur Rahman al-salam al-salbi (damai pasif). Nanti setelah itu, ia meningkat ke al-salam al-ijabi (damai positif), yakni sudah mampu memberi sesuatu. Lalu damai positif ini pun meningkat hingga mencapai puncaknya dengan nama ihsan, yakni memberi sesuatu lebih banyak dari yang seharusnya diberikan, serta menerima sesuatu lebih sedikit dari yang seharusnya diterima. Apabila sikap seperti ini sudah mewarnai kehidupan manusia berpuasa Ramadhan di Indonesia, insyaallah, Pandemi Covid-19 akan segera berlalu, dan Bangsa Indonesia dalam waktu tidak lama akan maju tanpa ada penghalang.

Dengan sifat-Nya al-Rahmân (Pelimpah kasih bagi seluruh makhluk dalam kehidupan dunia ini), orang yang berpuasa melatih diri untuk meneladani Allah dalam sifat-Nya al-Rahmân tersebut, dengan memberi kasih kepada sesama dan lingkungannya tanpa kecuali. Dengan sifat-Nya al-Rahîm (Pelimpah rahmat di hari kemudian), orang yang berpuasa juga meneladani-Nya dengan memberi kasih kepada saudaranya

Page 71: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

63

seiman, seraya meyakini bahwa tiada kebahagiaan kecuali bila rahmat-Nya yang di hari akhir itu dapat diraih. Dengan sifat-Nya al-Quddûs (Maha Suci), orang yang berpuasa juga meneladani-Nya dengan menyucikan diri secara lahir dan batin serta mengembangkan diri, sehingga selalu berpenampilan indah, baik, dan benar. Dengan sifat-Nya al-'Afwu (Maha Pemaaf), orang yang berpuasa juga akan selalu bersedia meneladani-Nya dengan memberi maaf dan menghapus bekas-bekas luka hati terhadap yang pernah dilukainya. Dengan sifat-Nya al-Karîm (Yang Maha Pemurah), orang yang berpuasa juga akan menjadi dermawan. Dengan sifat-Nya al-'Adl (Maha Adil), orang yang berpuasa juga hendaknya menegakkan keadilan terhadap dirinya sendiri, yakni meletakkan syahwat dan amarahnya sebagai tawanan yang harus mengikuti perintah akal dan agama, bukan menjadikannya tuan yang mengendalikan akal dan agama. Karena jika demikian, ia tidak berlaku adil, yakni tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya secara proporsional.

Hikmahnya

Meneladani Allah dalam sifat-sifat-Nya yang terbaik menyimpan sejumlah hikmah, di antaranya: (1) dapat menjalin hubungan dengan Allah swt. lebih erat melalui perenungan dan peresapan akan makna dan semangat yang tercakup di balik nama-nama terbaik bagi-Nya; (2) dapat menjadikan kualitas-kualitas Ilahiyah yang terkandung dalam al-asmâ al-husnâ Allah itu sebagai titik pedoman pengembangan berbagai kualitas pribadi menuju terbangunnya akhlak-akhlak mulia; (3) sebagai salah satu wujud keberagamaan yang benar; (4) berdo'a lewat menyebut nama-nama-Nya yang agung itu sedapat mungkin maqbûl karena perintah langsung dari Allah; (5) dapat menghindarkan diri dari penyalahgunaan nama-nama yang agung itu, sebagaimana diisyaratkan oleh al-Qur’an di atas, yakni dengan menjadikannya sebagai jimak; (6) Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji tempat bergantung seluruh makhluk. Dalam QS Fâthir/35:15, Allah berfirman, yang terjemahnya adalah “Hai manusia! Kamulah yang butuh kepada Allah; dan Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Terpuji”. Manusia, betapapun kuasa dan kuatnya, pasti suatu ketika mengalami ketakutan, kecemasan, dan kebutuhan. Memang pada saat kekuatan dan kekuasaan itu menyertainya, banyak yang tidak merasakan sedikit pun kebutuhan akan Allah swt. Akan tetapi ketika kekuasaan dan kekuatan itu meninggalkannya, mereka pun merasa takut dan cemas, dan pada saat yang sama, mereka pun membutuhkan sesuatu dari Tuhan mereka.

Page 72: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

64

Akhirnya, puasa orang-orang mukmin memang memiliki energi yang excellent meneladani Allah swt. dalam sifat-sifat-Nya, sehingga dengan melihat hikmah-hikmahnya di atas, insyaallah bangsa Indonesia ke depan akan segera terbebas dari pandemi Covid-19 serta maju tanpa ada penghalang, dan keluar menjadi alumni-alumni Ramadhan, yang menyandang predikat sebagai hamba-hamba-Nya yang muttaqin, yang telah dijamin meraih pengampunan dan surga-Nya. Semoga!

Page 73: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

65

SABAR

ata shabr tersusun dari huruf sh, b, r. Ia adalah bentuk mashdar dari fi'il madhi (kata kerja bentuk lampau), yakni shabara. Arti asal kata tersebut adalah "menahan," seperti

mengurung binatang, menahan diri, dan mengendalikan jiwa. Dari makna "menahan", lahir makna "konsisten atau bertahan", karena yang bersabar bertahan menahan diri dari satu sikap. Seseorang yang menahan gejolak hatinya, dinamai bersabar. Yang ditahan di penjara sampai mati dinamai mashburah. Kata ini dipergunakan untuk objek yang sifatnya material maupun non-material. Selain itu, Ahmad bin Faris menyebut dua arti lain dari shabr, yaitu a'la al-syai (ketinggian sesuatu) dan jins min al-hijarah (sejenis batu). Dari makna pertama, lahir kata shubr, yang berarti "puncak ketinggian sesuatu", sedang dari makna kedua, muncul kata al-shubrah, yakni batu yang kukuh lagi kasar, atau potongan besi. Dua arti yang terakhir masih ada kaitannya dengan pengertian asal, yakni sabar sebagai kemampuan mengendalikan diri dipandang sebagai sikap yang mempunyai nilai tinggi dan mencerminkan kekokohan jiwa orang yang memilikinya. Misalnya, kokoh laksana batu hitam.

Ketiga makna tersebut di atas dapat kait-berkait, apalagi bila pelakunya adalah manusia. Seorang yang sabar akan menahan diri, dan untuk itu, ia memerlukan kekukuhan jiwa dan mental baja, agar dapat mencapai ketinggian yang diharapkannya. Sabar adalah "menahan gejolak nafsu demi mencapai yang baik, atau yang terbaik”. Karena itu, ia mengandung makna "ketahanan mental dalam menanggung tantangan dan penderitaan, atau pun keteguhan hati dalam menekuni usaha dan perjuangan”. Bersabar dalam menghadapi al-bala' (ujian atau cobaan) berarti ketahanan mental mengendalikan diri dalam menanggung penderitaan, yang disertai dengan usaha sungguh-sungguh mencari solusi di balik al-bala' itu, demi meraih yang terbaik di sisi-Nya.

Dari segi leksikal, kata kerja shabara menunjukkan arti yang beragam pula. Jika diikuti partikel 'ala’, maka ia berarti jarua (berani); syaju'a (berani); dan tajallada (tabah). Jika diikuti partikel 'an, maka ia berarti "menahan" atau "menjauhi". Jika diikuti partikel bi, maka ia berarti "memelihara." Dikatakan

K

Page 74: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

66

misalnya, shabartu 'ala ma akrahu wa shabartu 'amma uhibbu (saya tabah terhadap apa yang saya tidak sukai dan saya menahan diri dari apa yang saya sukai). Jadi, berdasarkan keterangan tersebut dapat dipahami bahwa kata shabara menunjuk pada sikap aktif maupun pasif dalam menghadapi sesuatu.

Dari makna-makna dasar tersebut memberikan inspirasi bahwa seorang yang sabar akan mampu menahan diri, dan karena itu ia memerlukan kekukuhan jiwa dan mental baja, agar dapat mencapai ketinggian/kemuliaan yang diharapkannya. Dalam pada itu, secara terminologi, sabar berati “kemampuan menahan diri, atau membatasi jiwa dari keinginannya demi mencapai sesuatu yang baik, atau yang lebih baik, bahkan yang terbaik di sisi Allah swt.”.

Untuk memahami pengertian sabar yang dikehendaki al-Qur’an, ada baiknya ditelusuri lebih dahulu pemakaiannya di dalam kitab suci ini yang tersebar pada 92 ayat, 45 surah. Dilihat dari pemakaian objek, al-Qur’an menggunakan kata kerja shabara atau bentuk lain dari kata kerja ini dalam tiga pola kalimat, yaitu: (1) diikuti objek langsung; (2) diikuti objek dengan perantaraan partikel li atau 'ala’; dan (3) tidak disebutkan objeknya.

Pola pertama hanya digunakan sekali dalam al-Qur’an dan objeknya adalah jiwa (QS al-Kahf,18:28). Kata kerja shabara pada ayat ini dinyatakan dalam bentuk fi'il amr (perintah) dengan objek langsung yaitu nafsaka yang secara harfiah berarti "jiwamu". Ungkapan washbir nafsaka berarti "tabahkanlah jiwamu". Ayat ini, menurut salah satu riwayat, turun sehubungan dengan kehadiran sejumlah pemuka masyarakat untuk menemui Nabi saw. dengan bau yang kurang sedap, namun dengan tujuan yang baik, yakni untuk mengambil pelajaran dari Nabi saw., yang ketika itu beliau sedang bersama beberapa sahabatnya, lalu Allah menurunkan ayat di atas. Dengan memperhatikan redaksi ayat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa ayat ini berisi petunjuk agar Nabi saw. mengendalikan dan menguatkan jiwanya menyertai sahabat-sahabatnya yang senantiasa beribadah kepada Allah, yang dalam kehidupan sehari-hari tergolong miskin.

Pola kedua dari pemakaian kata kerja shabara yaitu diikuti oleh partikel li atau 'ala’ dan objek tidak langsung. Pemakaian partikel li digunakan sebanyak tiga kali. Semuanya dalam bentuk

Page 75: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

67

fi'il amr (perintah) dan objeknya sama yaitu hukmi rabbika, yang secara harfiah berarti "hukum atau ketentuan Tuhanmu". Ini terdapat antara lain dalam QS al-Qalam/68:48. Ayat ini menjelaskan bahwa Nabi Muhammad saw. diperintahkan untuk bersikap tabah di dalam melaksanakan tugasnya, yakni menyampaikan risalah Tuhan dan tabah menghadapi sikap kaumnya yang menolak wahyu Tuhan dengan cara-cara yang tidak ramah dan menyakitkan hati Nabi Muhammad saw. Berdasarkan redaksi ayat tersebut dipahami pula bahwa sabar yang dimaksud mencakup kemampuan mengendalikan emosi, menahan marah seperti yang tercermin pada bagian akhir ayat itu. Modal kesabaran yang disertai dengan prinsip-prinsip yang dapat dipandang sebagai trilogi perjuangan, yakni:

(a) tidak meninggalkan perjuangan karena tantangan;

(b) mempunyai keyakinan akan adanya bantuan Tuhan; dan

(c) tidak menuruti kehendak orang yang ingkar dan membangkang terhadap ajaran Tuhan.

Menurut al-Tabari (w.310 H), unsur kepasrahan dan penyerahan diri terhadap ketetapan (qadha') dan ketentuan (hukm) Tuhan terhadap diri Nabi Muhammad saw. dan kaum musyrikin di dalam menyampaikan al-Qur’an dan agama Islam. Nabi diminta untuk melanjutkan tugasnya tanpa memperdulikan penolakan dan penyiksaan kaumnya terhadap dirinya. Unsur penyerahan diri yang terdapat dalam pengertian sabar agaknya diakui oleh sejumlah mufasir. Sabar, menurut Muhammad Rasyid Ridha’ (w.1865 M), adalah menghadapi sesuatu yang tidak menyenangkan dengan perasaan ridha’, ikhtiar, dan penyerahan diri. Perpaduan dari kesemua itu membedakan sabar menurut al-Qur’an dari apa yang dipahami banyak orang.

Kata kerja shabara diikuti pula partikel 'ala’. Ini digunakan pada 10 ayat. Objeknya, antara lain, ejekan orang kafir kepada Nabi Muhammad saw. (QS Taha'/20:130) dan musibah yang dialami (QS Luqman/31:17). Perintah washbir pada ayat itu diikuti partikel 'ala’ dan objeknya berupa klausa yaitu "apa yang mereka ucapkan". Ungkapan ini berisi perintah agar Nabi saw. bersabar dalam menghadapi cemohan yang disampaikan orang kafir kepadanya dan tidak bersikap reaktif dan emosional atau gegabah terhadap tindakan mereka. Untuk menghindarkan sikap

Page 76: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

68

reaktif itu, maka bagian akhir dari ayat itu memerintahkan agar Nabi saw. menjauhi mereka dengan cara yang baik sehingga perselisihan tentang masalah yang mereka lontarkan dapat dihindari.

Objek Sabar

Pola ketiga dari pemakaian kata shabara yaitu tidak disebutkan objeknya. Pola ini menunjuk kepada objek yang sifatnya implisit. Itu dapat dipahami melalui susunan kalimatnya, persoalan yang dibicarakan, dan petunjuk lainnya seperti sebab turunnya ayat. Dengan demikian, objek yang dimaksud dapat bersifat luas, namun dapat pula lebih sempit. Sabar dalam makna yang luas mencakup tiga hal pokok, yaitu:

(1) sabar dalam melaksanakan perintah Allah swt.;

(2) sabar dalam menjauhi larangan Allah swt.; dan

(3) sabar dalam menghadapi musibah, kesulitan hidup dan/atau cobaan. Objek yang dimaksud dapat pula menunjuk kepada makna yang bersifat khusus, seperti menghadapi musuh dalam peperangan (QS al-Anfal/8:46).

Seseorang yang menghadapi al-bala' berupa rintangan dalam pekerjaannya terkadang hati kecilnya membisikkan agar ia berhenti saja walaupun apa yang diharapkannya belum juga tercapai. Dorongan hati kecil yang kemudian menjadi dorongan jiwa seseorang, bila ditahan, ditekan, tidak diikuti, merupakan pengejawantahan dari hakikat "sabar". Hal ini berarti bahwa yang bersangkutan akan melanjutkan usahanya walaupun menghadapi rintangan-rintangan. Makna sabar di sini sama dengan makna "tabah". Seseorang yang ditimpa al-bala' dalam bentuk negatif, bila mengikuti kehendak hawa nafsunya, ia akan meronta, menggerutu dalam berbagai bentuk, serta terhadap berbagai pihak. Tetapi, bila ia menahan diri, ia akan menerima dengan penuh kerelaan terhadap malapetaka yang telah terjadi itu sambil menghibur hatinya dengan berkata: "Malapetaka tersebut dapat lebih buruk dari apa yang telah terjadi", atau "pasti ada hikmah di balik apa yang telah terjadi itu," sehingga al-bala' tersebut diterimanya sambil mengharapkan sesuatu yang lebih baik. Sabar di sini diartikan sebagai "menerima ketetapan-ketetapan Tuhan yang tidak terelakkan lagi dengan penuh kerelaan”.

Page 77: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

69

Pada sisi lain, sabar bukanlah "kelemahan" atau "menerima apa adanya," tetapi ia adalah "perjuangan yang menggambarkan kekuatan jiwa pelakunya sehingga mampu mengalahkan keinginan hawa nafsunya." Al-Imam al-Ragib al-Ashfahani menjadikan QS al-Baqarah/2:177, sebagai kesimpulan dari segala macam bentuk kesabaran atau ketabahan yang dituntut oleh al-Qur’an. Ayat tersebut berbicara tentang al-birr (kebaikan). Sebagai orang-orang yang bersabar dalam al-ba'sa', al-dharra', dan hin al-ba's. Menurut al-Ragib, sabar atau tabah dalam menghadapi keperluan mengakibatkan kesulitan, tergambar dalam al-ba'sa'; sabar dalam menghadapi kesulitan (malapetaka) yang telah menimpa, dicakup oleh kata al-dharra'; sedangkan sabar dalam peperangan atau dalam menghadapi musuh, tergambar dalam hin al ba'ts. Dengan demikian, kesabaran yang dituntut oleh al-Qur’an adalah:

(a) dalam usaha mencapai apa yang diperlukan. Kesabaran ini menuntut usaha yang tidak mengenal lelah, serta tidak memperdulikan rintangan apa pun, sampai tercapainya apa yang diperlukan itu;

(b) sabar dalam menghadapi al-bala', sehingga menerimanya dengan jiwa yang tabah dan lapang, guna memperoleh imbalan dan hikmahnya;

(c) yang secara khusus ditekankan adalah sabar dalam peperangan dan perjuangan, walaupun hal yang terakhir sudah dapat tercakup oleh kedua hal sebelumnya.

Berdasarkan uraian yang terkandung di dalam term shabr seperti telah dikemukakan di atas, maka dapat dikatakan bahwa shabr yang dikehendaki al-Qur’an adalah kemampuan mengendalikan diri dalam menghadapi amanah, kesulitan, godaan, dan penderitaan dengan perasaan rida, yang disertai dengan usaha sungguh-sungguh untuk mencapai yang terbaik. Usaha tersebut seharusnya dimulai dari niat yang suci, insya'Allah akan berakhir dengan kepuasan hati.

Dalam kitab tafsir "al-Munir" oleh Wahbah al-Zuhaili telah disebutkan tiga objek shabr, yaitu:

.الصب عل فرائض اللـه و عن معـاصيـه و عل أقـداره و بلياه

Page 78: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

70

“Sabar dalam menunaikan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, dan dalam menghadapi ketentuan dan cobaan-Nya”.

Sejalan dengan hal di atas, Imam al-Gazali (1111 M) menyebutkan juga tiga objek sabr dengan redaksi yang lain, yakni:

و صب ، و صب عن محارمـه، صب عل طاعة اللـه :و الصب عل اوجـه يالولىعل المصيبـة و عـند الصدمـة

“Sabar itu terdiri atas beberapa macam, yaitu: sabar dalam menaati Allah, menahan diri dari larangan-Nya, dan sabar terhadap musibah pada saat pertama dialami”.

Salah satu dari tiga objek sabar di atas adalah al-bala'. Sementara al-bala' telah menjadi topik utama penelitian ini, bahkan salah satu sikap yang dituntut untuk diamalkan oleh orang-orang yang terkena al-bala' menurut al-Qur’an adalah sabar dalam menghadapinya.

Al-bala' perlu kesabaran. Hal ini dipahami dari klausa terakhir ayat ke-155, surah al-Baqarah di atas, yakni wa basysyir al-shabirin (dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar). Klausa ini memberikan informasi tambahan terhadap pengetahuan yang terkandung dalam klausa sebelumnya. Kalau klausa sebelumnya menjelaskan bahwa Allah pasti akan terus-menerus menguji kamu. Karena itu, hakikat hidup di dunia, antara lain, ditandai oleh keniscayaan adanya al-bala' (ujian) yang beraneka ragam. Klausa ini menjelaskan bahwa orang yang sabar dalam menghadapi al-bala', yang akan diberi kabar oleh Rasulullah saw. dengan kabar gembira dan kenikmatan yang agung, dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai kesabaran yang baik.

Ujian atau cobaan bagi orang-orang yang beriman, menurut sejumlah mufasir, seperti al-Alusi (1207 H), adalah suatu keniscayaan, karena itu jiwa mereka dituntut agar siap menghadapinya, karena sesuatu yang tidak disenangi bila terjadi secara tiba-tiba menjadi lebih berat. Selain itu, menurut Muhammad Rasyid Ridha' (1865 M), Allah mengajarkan orang-orang beriman dengan perantaraan ujian atau cobaan itu bahwa keimanan semata-mata tidak membawa kelapangan rezeki dan kekuatan, kekuasaan, hilangnya rasa takut dan kesedihan, namun

Page 79: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

71

hal demikian itu berjalan sesuai dengan sunnatullah pada ciptaan-Nya. Salah satu di antaranya adalah terjadinya musibah sesuai dengan sebab-sebabnya.

Oleh karena itu, al-bala' yang beraneka ragam itu hendaknya dihadapi dengan sabar. Sikap sabar yang dimaksud dijelaskan dalam QS al-Baqarah, 2:156), yakni orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "inna li-Allah wa inna ilaihi raji'un" (Sesungguhnya kita ini adalah milik Allah dan kepada-Nya kita kembali). Ungkapan ini dalam bahasa Arab disebut dengan al-istirja'. Ungkapan ini, menurut al-Alusi (1207 H) tidak cukup dengan lisan saja, melainkan juga dengan hati. Orang yang mengucapkannya merenungkan tujuan penciptaan manusia, yaitu untuk mengenal Tuhannya dan berusaha mensucikan jiwanya. Bahwasanya ia akan kembali kepada Tuhannya untuk selama-lamanya, meninggalkan dunia yang fana ini. Hendaklah ia mengingat karunia Tuhan agar ia mengetahui bahwa apa yang telah diberikan Tuhan jauh lebih banyak dari apa yang luput dari dirinya sehingga perkara itu menjadi mudah baginya dan berserah diri kepada-Nya. Orang yang mengucapkan al-istirja' dengan tulus, mencerminkan adanya iman kepada Allah di dalam hatinya dan kepasrahan dalam menerima segala kehendak Allah.

Al-Alusi (1207 H) menyebutkan bahwa disunahkan sesudah mengucapkan al-istirja' untuk membaca do'a:

ى اارل يرا منهر يبرت ور اخلـف ل خر رن ف مص جر يلهمى أ

“Ya Allah berilah aku imbalan dari musibah yang menimpa diriku dan berilah aku pengganti yang lebih baik dari itu”.

Selain itu, al-Alusi juga mengutip sebuah riwayat dari Imam Muslim (820 M) dari Ummi Salamah yang menyatakan bahwa Ummi Salamah telah mendengar Rasulullah saw. bersabda: "Tiada seorang hamba Allah yang ditimpa musibah lalu mengucapkan istirja' dan do'anya melainkan Allah akan memberi imbalan dari musibah yang dialaminya itu dan Allah akan memberikan pengganti yang lebih baik." Ummi Salamah mengatakan bahwa tatkala Abu Salamah (suaminya) meninggal, ia mengucapkan sebagaimana perintah Rasul sehingga Allah memberi ganti yang lebih baik dari suaminya itu, yakni (menjadi isteri) Rasulullah

Page 80: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

72

saw. Adapun kabar gembira yang dimaksud pada ayat 155 di atas dijelaskan pada ayat berikutnya, yakni mereka mendapat keberkatan sempurna dan rahmat dari Tuhan, serta mendapat petunjuk dari Tuhan (QS al-Baqarah,2:157).

Perintah Bersabar

Perintah bersabar ditegaskan dalam QS Ali Imran/3:200,

لىكم تفلحونر ر لرعر طوا ورٱتىقوا ٱللهى اب رر روا ور اب وا ورصر نوا ٱصب ينر ءرامرا ٱلى هر يرىأ ير

“Hai orang-orang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah dan tetaplah bersiap-siaga (di perbatasan) dan bertakwalah kepada Allah, agar kamu beruntung”.

Perintah bersabar mencakup 4 hal:

1. Bersabar menghadapi yang berbeda pendapat (7:87);

2. Bersabar memelihara persatuan dan kesatuan (8:46);

3. Bersabar dalam mengerjakan salat/berdoa (20:132);

4. Bersabar dalam berbagai musibah (2:155);

Manfaat Sabar

1) Memperoleh kedaulatan dalam negeri, QS 7:128;

ن ا مـر يورثهـر ى رضر للهر إنى ٱل ا و ب ورٱصـ ومه ٱسترعينوا بٱللهى لقر قرالر موسر

لمتىقير قبرة ل ۦ ورٱلعر ا ء من عبراده رشر ١٢٨ي

2) mendatangkan pertolongan Allah, QS 40:55;

ٱلعر ـ كر ب ب ـ د رر رمـ ح ب كر ورسـر نبـ ر ورٱسترغفر ل ق حر إنى ورعدر ٱللهى فرٱصب

ر بكر ٥٥ورٱل

3) mendatangkan keuntungan besar, QS 41:35;

يم ظ عر ظ ا إلى ذو حر ىهر ا يلرقى وا ورمر بر ينر صر ا إلى ٱلى ىهر ا يلرقى ٣٥ورمر

4) mendatangkan ampunan dan pahala yang besar, QS 11:11;

بير جر كررأ ة ور غفرر رهم مى ئكر ل

ى ولرت أ لحر ملوا ٱلصى وا ورعر بر ينر صر ١١إلى ٱلى

Page 81: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

73

5) mendatangkan salawat, rahmat dan hidayat, QS 2:157;

ن رى ت م لرور لريهم صر ئكر عرى ولرئكر هم ٱلمهتردونر أ

ى ولرأ ور ررحمرة هم ور ١٥٧ب

“Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”.

6) mendatangkan kebaikan di akhirat, QS 76:12;

ريرا نىة ورحر وا جر بر ا صر مر ىهم ب زر ١٢ورجر

“Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabarannya (berupa) surga dan (pakaian) sutera”.

Keberkatan itu sempurna, banyak, dan beraneka ragam. Hal ini dipahami dari bentuk jamak yang digunakan ayat tersebut, yakni shalawatun yang berarti banyak keberkatan lagi sempurna. Keberkatan-keberkatan itu, antara lain, berupa limpahan pengampunan, pujian, menggantikan yang lebih baik dari nikmat sebelumnya yang telah hilang, dan pensucian jiwa. Semua keberkatan itu bersumber dari Tuhan yang senantiasa mendidik dan memelihara orang-orang mukmin. Dengan demikian, keberkatan itu dilimpahkan sesuai dengan pendidikan dan pemeliharan-Nya.

Pada sisi lain, orang-orang yang bersabar dalam menghadapi al-bala' juga mendapat rahmat. Kata rahmah pada ayat di atas walau sepintas terlihat berbentuk tunggal, tetapi karena ia berbentuk kata jadian (mashdar), maka ia pun dapat mengandung arti banyak (jamak). Para pakar bahasa Arab berkata, bahwa bentuk kata jadian dapat berarti "tunggal" dan dapat juga berarti "banyak." Rahmat Ilahi tidak diketahui persis, namun yang pasti, bahwa rahmat-Nya, bukan seperti rahmat makhluk. Rahmat makhluk merupakan "rasa pedih melihat ketidakberdayaan pihak lain”. Rasa pedih itulah yang menghasilkan dorongan untuk membantu mengatasi ketidakberdayaan. Sedangkan rahmat Allah adalah banyak, di antaranya berupa keberkahan dan kedamaian kalbu sebagai rahmat terbesar, atau boleh jadi Dia sendiri yang Maha Mengetahui tentang hakekat rahmat-Nya. Manusia hanya dapat melihat dampak atau hasilnya, yaitu limpahan karunia. Mereka juga mendapat petunjuk. Petunjuk tersebut, bukan saja

Page 82: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

74

untuk mengatasi kesulitan dan kesedihan mereka, tetapi juga petunjuk menuju jalan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kesabaran menuntut ketabahan dalam menghadapi segala bentuk al-bala', terutama pada sesuatu yang sulit, berat, pahit, yang mesti diterima dan dihadapi dengan penuh tanggung jawab. Atas dasar simpulan itu, agamawan merumuskan pengertian sabar sebagai "menahan diri, atau membatasi jiwa dari keinginanya demi mencapai sesuatu yang baik, atau yang lebih baik, bahkan yang terbaik".

Al-Qur’an mengisyaratkan adanya hierarki cobaan yang ditimpakan kepada orang beriman. Cobaan yang dimaksud meliputi tiga hal, yaitu: al-ba'sa (kesempitan, kepapaan), al-dharra' (penderitaan), dan al-ba's (perang) (QS al-Baqarah, 22:177). Penjelasan lain mengenai ketiga kata itu menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan: (1) al-ba'sa adalah apa yang menyulitkan manusia atau apa yang diinginkan, namun tidak tercapai; (2) al-dharra' adalah apa yang menimpa tubuh manusia berupa penyakit; dan (3) al-ba'ts adalah kesulitan ketika berusaha membendung apa yang menyulitkannya.

Akhirnya, urutan penyebutan ketiga macam kesulitan itu mencerminkan hierarki tingkat kesulitannya, yakni dari yang sulit kepada yang paling sulit. Sabar menghadapi penyakit lebih tinggi dari pada sabar menghadapi kemiskinan. Sabar menghadapi perang lebih tinggi daripada sabar menghadapi penyakit. Pernyataan yang lebih tegas dikemukakan oleh Muhammad Rasyid Ridha’ (1865 M). Ia menyatakan bahwa cobaan yang paling besar adalah apa yang dialami oleh pendukung kebenaran (ahl al-haqq) di dalam menghadapi kebatilan dan para pendukungnya. Demikian, wa Allah a'lam, semoga!

Page 83: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

75

FALSAFAH SAKIT MENGUATKAN IMAN

idup manusia, pada hakikatnya, adalah cobaan bagi diri dan lingkungannya. Hal ini tidak disadari oleh sebagian besar umat manusia, sehingga dalam mengarungi lautan

kehidupannya, mereka menimbulkan bencana, bukan saja bagi dirinya, tetapi juga bagi lingkungannya. Kedurhakaan terhadap Allah swt., yang terwujud dalam berbagai bentuk penyimpangan dan pembangkangan terhadap ajaran dan aturan-Nya adalah akibat tidak sadarnya manusia akan hakikat hidup ini. Pandemi Covid-19 yang bersifat global sekarang ini dan di sini, pada hakekatnya, adalah bencana internasional, yang kehadirannya tidak lepas dari ulah tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung jawab (QS al-Rum/30:41).

Menurut Rektor IPB (Selasa, 28 April 2020) “Pandemi Covid-19 yang bersifat global telah berdampak pada seluruh aspek kehidupan. Bermula hanya berdampak pada aspek kesehatan, kemudian meluas kepada aspek ekonomi, pendidikan, keagamaan, pemerintahan, dan pangan. Sejalan dengan tugas menjalankan ibadah bulan Ramadhan, tentu tugas kita adalah bagaimana menemukan hikmah dari bencana ini. Melihat karakteristik Covid-19 dan multiplier effect yang ditimbulkan, prasangka baik kita adalah bahwa Tuhan tidak saja sedang menguji kesabaran kita, tetapi juga sedang meminta kita untuk meng-install ulang tata kehidupan baru. Salah satu tata kehidupan dalam komunitas Muslim (mayoritas) di Indonesia yang menuntut untuk di-install ulang adalah tentang adab mengunjungi orang sakit serta keutamaan yang diperolehnya.

Adab Mengunjungi Orang Sakit

Menurut hadis Nabi, yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Hurairah, bahwa salah satu dari lima kewajiban seorang Muslim atas Muslim lainnya adalah “menjenguk orang sakit”. Bukan hanya satu atau dua hadis yang menganjurkannya, bahkan sangat banyak. Karena itu, ada ulama yang berpandangan bahwa menjenguk orang sakit, hukumnya bukan sunnah mu'akkadah (anjuran yang amat ditekankan), tetapi justeru fardlu kifâyah.

H

Page 84: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

76

Artinya jika tidak ada seseorang pun yang menjenguk si sakit, maka seluruh kaum Muslim menanggung dosanya.

Imam Ali bin Abi Thalib menegaskan bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Tidak seorang Muslim pun menziarahi seorang Muslim lain pada pagi hari, kecuali berdo'a untuknya 70.000 malaikat hingga sore hari, dan apabila ia menjenguknya sore hari, berdo'a untuknya 70.000 malaikat hingga pagi hari, dan dia akan memperoleh buah-buahan surga yang telah dipetik". Jangan menduga bahwa anjuran menziarahi itu hanya tertuju kepada sesama Muslim. Hal ini juga berlaku kepada non-Muslim, khususnya tetangga yang sakit. Jangan juga menduga hanya terbatas pada penderita penyakit-penyakit parah, tetapi juga termasuk penyakit biasa, seperti: pilek, sakit mata, dan sebagainya. Demikian hadis riwayat Abu Daud.

Tujuan utama menziarahi orang sakit adalah untuk menambahkan ketabahan dan ketenangan, serta memberi optimisme kepada si sakit dan keluarganya. Atas dasar itu, agama memberi tuntunan yang hendaknya menjadi perhatian semua pihak.

1. Waktu kunjungan, sesuai informasi dari beberapa hadis, dapat disimpulkan bahwa waktu kunjungan, bila penyakitnya parah dianjurkan sejak hari pertama, tetapi bila tidak parah boleh menangguhkan hingga hari ketiga atau sesudahnya. Agama menganjurkan agar kunjungan bukan pada saat-saat si sakit tidur, atau istirahat, termasuk dianjurkan untuk tidak berlama-lama agar tidak membosankan si sakit, bahkan menurut Ibnu 'Abbas, disunnahkan untuk mempersingkat waktu kunjungan.

2. Cara kunjungan, menurut hadis riwayat al-Bukhari dari Ibnu 'Abbas, kesempurnaan menjenguk si sakit adalah ketika penjenguk meletakkan tangannya ke dahi si sakit atau memegang tangannya sambil bertanya tentang keadaannya sekaligus mendo'akannya. Ini dilakukan bila memungkinkan. Jika tidak, penjenguk cukup memperlihatkan diri kepada si sakit, atau cukup bertemu dengan keluarganya, bila tidak memungkinkan bertemu dengan si sakit.

3. Sikap dan ucapan yang ditampilkan oleh penjenguk diupayakan agar melahirkan ketenangan, mencerminkan optimisme, dan menanamkan harapan indah bagi si sakit dan keluarganya (HR.

Page 85: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

77

Imam al-Tirmizi). Misalnya, kata-kata "penyakitmu ini merupakan penyucian dosa penutup aib, atau penyakitmu ini akan mengangkat derajatmu lebih tinggi di sisi Tuhan pada hari kiamat, karena itu perlu dihadapi dengan sabar dan tabah, dan sebagainya.

4. Agama melarang keras seseorang berputus asa dari rahmat Allah swt., termasuk larangan mengakhiri hidup, atau berdo'a untuk mati (QS. Al-Zumar, 39:53). Dalam hadis riwayat al-Khamsah, Nabi bersabda, "Jangan seorang pun di antara kamu mengharapkan kematian akibat kesulitan hidup yang kamu derita, tetapi jika itu harus kamu lakukan, maka hendaklah kamu berdo'a, "Ya Allah swt.. Hidupkanlah aku selama kehidupan baik untukku, dan matikanlah aku jika kematian baik untukku". Karena itu, si sakit dan keluarganya dituntut untuk bersangka baik terhadap Allah swt.

Tuntunan mengunjungi orang sakit tersebut di atas diamalkan dalam kondisi normal. Artinya wabah penyakit yang diderita oleh pasien tidak tergolong dalam kategori pandemi dan/atau epidemi. Sebaliknya, bila tergolong dalam kategori pandemi dan/atau epidemi seperti Covid-19 saat ini, maka menjenguknya cukup lewat doa dari pihak keluarga, para handai taulan, dan masyarakat umumnya di rumah (stay at home), insyaallah pahalanya sama dengan pahala yang diperoleh pada saat menjenguk dalam kondisi normal seperti di atas. Kecuali para petugas medis yang telah ditunjuk dan diberi amanah secara khusus oleh pemerintah dan/atau masyarakat, justeru harus bahkan wajib hukumnya, tidak hanya menjenguk bahkan tinggal menjaga, merawat, dan mengobati pasien dimaksud. Mereka semua itu, dalam perspektif agama, tergolong mujahidin kesehatan dan bila korban bahkan sampai meninggal (di Indonesia saat ini sudah hampir ratusan), maka termasuk mati syahid (syuhada) dan/atau paling tidak sebagai pahlawan-pahlawan kemanusiaan.

Keutamaan-keutamaan yang Diperoleh

1. Do'a orang sakit termasuk maqbûl sebagaimana do'a malaikat (HR. Ibnu Majah dari Ibnu 'Umar).

2. Orang yang sabar dari penyakit yang dideritanya termasuk penduduk surga (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu 'Abbas).

Page 86: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

78

3. Orang yang terbiasa melakukan kebaikan ketika sehat dan senang, akan tetap diberi pahala terus-menerus oleh Allah swt., meskipun berhalangan berbuat baik karena sakit (QS. Al-Tîn, 95:6), termasuk para orang tua jompo, yang sebelum masa tuanya terbiasa melakukan ibadah-ibadah tertentu (HR. Ahmad dan Tabrani).

Akhirnya, menjenguk orang sakit merupakan ibadah sosial yang sangat tinggi nilainya di sisi Allah swt. Ini dianjurkan guna memberi ketenangan, optimisme, dan harapan-harapan indah bagi si sakit dan keluarganya. Ganjaran dijanjikan oleh Allah swt. kepada setiap orang yang berkunjung, selama mereka tidak melakukan pelanggaran terhadap tuntunan agama adalah surga Na’im. Pada sisi lain, orang sakit memiliki keutamaan-keutamaan, di antaranya: do'a si sakit maqbûl, karena itu di samping penjenguk mendo'akannya agar penyakitnya lekas sembuh, juga sedapat mungkin diminta si sakit mendo'akan si penjenguk bila memungkinkan, termasuk orang-orang yang selama ini ketika sehat dan senang terbiasa melakukan ibadah-ibadah tertentu, pahalanya akan tetap jalan di sisi Allah swt., meskipun berhalangan mengerjakannya karena sakit atau sudah terlalu tua. Secara khusus, mereka yang bertugas pada pasien yang menderita dari wabah penyakit tergolong dalam kategori pandemi dan/atau epidemi, dalam perspektif agama, tergolong mujahidin kesehatan dan bila korban bahkan sampai meninggal, maka termasuk mati syahid (syuhada) dan/atau paling tidak sebagai pahlawan-pahlawan kemanusiaan.

Page 87: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

79

IQRA' KUNCI KEMAJUAN

alah satu peristiwa penting dalam kehidupan manusia yang

terjadi di bulan Ramadhan adalah turunnya al-Qur’an. Bulan Ramadhan dikenal sebagai bulan iqra', karena pada bulan

itulah diturunkan wahyu pertama al-Qur’an dengan membawa perintah iqra’ (bacalah). Sedemikian penting perintah itu, sampai ia diulangi dua kali dalam rangkaian wahyu pertama, seakan-akan Tuhan berkata: tanpa iqra' bismi rabbika hidup manusia (lahir-

batin) tidak akan maju (QS al-'Alaq, 96:1 dan 3). Kitab suci ini disebut Al-Qur’an, berarti "sesuatu yang wajib dibaca." Karena itu,

umat Islam seyogyanya melakukan iqra' terhadapnya setiap saat terutama di bulan Ramadhan. Namun, kalau saja di bulan

Ramadhan yang penuh motivasi beribadah itu, mereka tidak membacanya, jangan harap di luar Ramadhan, mereka akan

membacanya.

Makna Iqra'

Kata iqra' terambil dari kata qara'a, yang awalnya berarti "menghimpun". Dari sini ditemukan dalam kamus-kamus bahasa, arti yang beragam, antara lain: menyampaikan, menelaah,

membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu. "Perintah membaca" di atas tidak ditemukan objek yang harus dibaca dari wahyu tersebut, tidak dikaitkan dengan satu objek

tertentu. Karena itu, ulama memahami bahwa objeknya bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata "baca" dengan makna-makna yang disebutkan di atas. Di antara

objek-objek itu adalah: kitab suci, alam raya, masyarakat, koran, majalah, termasuk diri sendiri. Tetapi ingat, kesemuanya harus dikaitkan dengan "bismi rabbika" (demi karena Allah). Insyaallah hasil "iqra'" kita dapat mendatangkan kemurahan anugerah-Nya berupa pengetahuan, pemahaman, dan wawasan baru walaupun objek bacaannya sama, yang dengannya sedapat mungkin

mewujudkan suatu kehidupan berperadaban dan bahagia.

S

Page 88: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

80

Iqra' Kunci Kemajuan

Hikmah Ramadhan dengan turunnya al-Qur’an bila dikaitkan dengan pendidikan, yang dimulai dengan perintah iqra' (bacalah), mengisyaratkan bahwa manusia diciptakan atau didesain oleh

Allah memang untuk belajar. Siapa yang tidak belajar, hidupnya pasti terkebelakang baik secara fisik maupun rohani. Karena al-Qur’an-lah yang kemudian membimbing manusia dari kegelapan menuju terang benderang; dari kekeringan jiwa menjadi kaya akan hati; serta menjadi pendobrak kebekuan ilmu pengetahuan dan lingkungan, melalui firman-Nya yang berbunyi iqra'.

M. Quraish Shihab menegaskan bahwa tidak berlebihan bila dikatakan "membaca" adalah syarat guna membangun peradaban, semakin mantap frekuensi bacaan suatu masyarakat, semakin tinggi pula peradaban masyarakat itu, demikian sebaliknya. Bahkan tidak mustahil suatu ketika manusia didefinisikan sebagai

"makhluk membaca". Suatu definisi yang tidak kurang nilai kebenarannya dari definisi-definisi lainnya seperti "makhluk sosial", "makhluk berfikir", dan/atau "makhluk bertuhan" (QS al-A'râf, 7:172 dan 179).

Toshihiko Izutsu (1914) berpandangan: "suatu Negara tidak akan maju kalau tidak dimulai dengan pendidikan dan ilmu

pengetahuan serta pengamalan akan ajaran agama yang baik bagi bangsanya". Dia terinspirasi dari pesan wahyu pertama al-Qur’an, yang berbunyi "iqra' bismi rabbika". Lebih lanjut, dia menegaskan

bahwa kalau yang menentukan majunya suatu Negara adalah umurnya, maka yang paling maju adalah Mesir dan Yunani. Kalau jumlah masyarakatnya, maka yang paling maju adalah Cina dan

India. Kalau kekayaan sumber alamnya, maka Indonesia yang paling maju. Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian. Justeru, yang menentukan kemajuan suatu bangsa adalah pendidikan dan agamanya”. Kalau kita tidak terdidik, agama tidak terjaga, jangan mimpi akan maju, baik fisik lebih-lebih rohani (QS al-Muâdilah, 58:11).

Dalam pada itu, bangsa Indonesialah mestinya yang paling maju, karena kekayaan alamnya yang melimpah dan memiliki umat Islam yang terbesar. Mestinya bangsa kitalah yang paling

Page 89: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

81

iqra’ dan berberkah hidupnya, karena kedua komponen utama sebagai pensyaratan untuk maju sudah dimiliki. Sekarang, kenapa kita tidak maju? Karena kita tidak memanfaatkan sektor pendidikan secara optimal, serta belum mengamalkan bimbingan

al-Qur’an secara sungguh-sungguh dan ikhlas, terutama iqra' bismi rabbika dan iqra' warabbukal akram.

Akhirnya, iqra’ sebagai kunci kemajuan hidup, sukses atau tidaknya tentu kembali ke diri kita masing-masing, apa ada minat baca dalam diri kita? Kalau ada, tersediakah bahan bacaan yang sesuai? Kalau tersedia, terjangkaukah oleh saku kita? Kalau

terjangkau, apakah masih tersisa waktu untuk membaca? Betapapun, kini adalah bulan iqra', mari sinergikan segenap kompetensi untuk melakukan iqra’ bahkan budayakan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, serta jangan membatasi bacaan hanya pada al-Qur’an, namun seharusnya mencakup bacaan dengan berbagai maknanya serta objeknya seperti

tersebut di atas selama ia membawa manfaat. Semoga!

Page 90: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

82

NUZULUL QUR’AN

ehadiran al-Qur’an di tangan Rasulullah saw. melalui proses panjang dan bertahap, yang dikenal dengan Nuzûl al-Qur’an. Umat Islam sepatutnya mengetahui tentang

Nuzûl al-Qur’an (turunnya al-Qur’an). Ini penting dalam rangka menambah keyakinan umat Islam bahwa sesungguhnya al-Qur’an, bukanlah perkataan yang biasa, dan bukan pula syair-syair Nabi Muhammad saw., seperti yang dituduhkan kaum musyrikin.

Al-Qur’an adalah firman Allah swt. yang mulia dan juga merupakan mukjizat Nabi Muhammad saw. Dan tidak ada yang mampu membuat semisal al-Qur’an, meskipun para maestro bahasa dan sastra Arab. Bahkan dari golongan manusia dan jin, meskipun keduanya berkumpul dan bekerjasama menjawab tantangan dari Allah swt. Ini untuk membuat hal serupa dengan al-Qur’an, pasti mereka semua tidak akan mampu, sebagaimana firman-Nya dalam QS al-Isra’/17:88,

تونر ا ٱلقرءران لر يرأ ذر مثل هر توا ب

ن يرأرى أ ر نس ورٱلن علر عرت ٱل ئن ٱجترمر

قل لىهيرا رعض ظر نر برعضهم ل و كر

ر ل مثلهۦ ور ٨٨ب“Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain".

Pembahasan tentang Nuzul al-Qur’an sebagai salah satu bagian dari ‘Ulum al-Qur’an penting, karena pengetahuan mengenai turunnya al-Qur’an adalah dasar dalam mengimani al-Qur’an sebagai firman-firman-Nya yang hak dan juga sebagai dasar dalam membenarkan kerasulan Muhammad saw. beserta ajaran yang dibawanya.

Hakekat Nuzul al-Qur’an

Nuzûl al-Qur’an berasal dari kata ‘Nuzûl’ dan kata ‘al-Qur’an’. Kata Nuzûl adalah bentuk mashdar (verbal-noun) dari bahasa Arab dengan akar kata ‘nazala - yanzilu - nuzûlan’ berarti ‘turun, atau berpindah tempat, atau menempati sesuatu’. Sedang

K

Page 91: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

83

kata al-Qur’an, menurut Subhi al-Shalih dalam kitabnya ‘Mabahits fi ‘Ulûm al-Qur’an’ mengemukakan bahwa pendapat yang paling kuat adalah yang mengatakan bahwa kata ‘al-Qur’an’ itu adalah bentuk mashdar dan muradif dengan kata qira’ah yang berarti ‘membaca’. Hal ini diperkuat oleh pendapat lain, yang mengemukakan bahwa kata ‘al-Qur’an’, secara harf, berasal dari akar kata ‘qara’a’ yang berarti ‘bacaan atau himpunan’, karena ia merupakan kitab suci yang wajib dibaca dan dipelajari, serta merupakan himpunan dari ajaran-ajaran wahyu yang terbaik sebelumnya.

Menurut M. Quraish Shihab dalam bukunya “Membumikan al-Qur’an” menegaskan bahwa kata ‘al-Qur’an’ itu adalah bentuk mashdar dan muradif dengan kata qira’ah. Qira’ah berarti bacaan secara umum. Sedang kata Qur’an berasal dari kata qur’ berarti “bacaan” dan imbuhan “an” berarti sempurna. Dengan demikian, kata qur’anan berarti “bacaan yang sempurna”. Kesempurnaannya terletak pada: 1) membacanya adalah ibadah; 2) pesan-pesan yang dikandungnya sangat dalam dan selalu sesuai dengan perkembangan zaman; 3) menjadi obat penawar bagi hati yang gundah.

Hal ini diperkuat oleh pendapat lain, yang mengemukakan bahwa kata ‘al-Qur’an’, secara harf, berasal dari akar kata ‘qara’a yang berarti ‘bacaan atau himpunan’, karena ia merupakan kitab suci yang wajib dibaca dan dipelajari, serta merupakan himpunan dari ajaran-ajaran wahyu yang terbaik dan sempurna. Makna-makna tersebut mengandung pengertian bahwa Al-Qur’an bukan kitab undang-undang yang baru dibaca pada saat diperlukan untuk mengetahui dasar hukum suatu masalah, tetapi ia merupakan kitab suci umat Islam yang harus senantiasa dibaca dan diresapi untuk menumbuhkan beberapa pengertian baru dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya yang erat kaitannya dengan tanda-tanda kekuasaan Allah, sekaligus bernilai ibadah bacaan bagi yang membacanya. Dari sekian pengertian kata ‘al-Qur’an’ di atas, makna yang terakhir inilah yang kuat.

Sedang menurut istilah, kata ‘al-Qur’an’ berarti “kitab suci umat Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. melalui malaikat Jibril untuk menjadi peringatan, petunjuk, tuntunan, dan hukum demi keselamatan hidup umat manusia di

Page 92: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

84

dunia dan akhirat.” Dengan demikian, Nuzûl al-Qur’an menurut istilah, berarti “turun atau perpindahan tempat Al-Qur’an dari Allah ke Jibril, dan dari Jibril ke dalam hati Nabi Muhammad saw., serta dari hati Nabi saw. ke hati para sahabatnya, hingga ke umatnya secara umum”.

Fase-fase Turunnya Al-Qur’an

Ayat-ayat Al-Qur’an yang diterima Nabi Muhammad saw. turun secara berangsur-angsur selama kurang lebih 22 Tahun atau tepatnya, menurut sementara ulama, 22 tahun, 2 bulan, dan 22 hari, yakni sejak ia berusia 41 tahun sampai ia wafat dalam usia 63 tahun.

Salah seorang Guru Besar dari Harvard University pernah melakukan penelitian pada 40 negara untuk mengetahui faktor kemajuan atau kemunduran suatu negara. Dari hasil penelitiannya, ia mengungkapkan bahwa salah satu faktor utama yang berpengaruh adalah materi bacaan dan sajian yang disuguhkan, khususnya kepada generasi muda. Ditemukannya bahwa 20 tahun menjelang kemajuan dan kemunduran negara yang ditelitinya itu, para generasi muda dibekali dengan sajian dan bacaan tertentu. Setelah 20 tahun generasi muda itu berperan dalam berbagai aktivitas, peranan yang ditampilkannya, pada hakekatnya, diarahkan pada kandungan bacaan dan sajian yang telah disuguhkan kepadanya 20 tahun yang lalu itu.

Ayat-ayat al-Qur’an yang turun dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari itu dengan silih berganti turun, yang selama dalam masa itu pula Nabi saw. dan para sahabatnya tekun mengajarkan al-Qur’an dan membimbing umatnya, sehingga pada akhirnya, mereka berhasil membangun masyarakat yang di dalamnya terpadu antara ilmu dan iman, nur Ilahi dan hidayah-Nya, keadilan dan kemakmuran di bawah lindungan ridha' dan ampunan Allah. Boleh jadi, kita pernah mempertanyakan, "mengapa 20 tahun lebih baru selesai perjuangan Nabi saw. dan berhasil?" Boleh jadi juga jawabannya dapat disimak dari hasil penelitian Guru Besar dari Harvard University di atas. Kendatipun, al-Qur’an merupakan satu kesatuan paket, yang ayat-ayatnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain, namun proses turunnya wahyu yang memakan waktu 22 tahun 2 bulan dan 22 hari itu menunjukkan adanya hubungan erat antara al-Qur’an dengan

Page 93: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

85

realitas sosial dalam kehidupan manusia, yakni: antara teks, penerima pertama wahyu, dan objek realitas sosial. Dan tidak dapat disepelekan apalagi diabaikan begitu saja. Hubungan erat dimaksud adalah bahwa wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw. itu, bukan bertujuan untuk menghapus budaya yang ada, akan tetapi ia datang untuk mempersuntingnya, lalu mendudukkannya pada posisi yang lebih terhormat dari keadaan sebelumnya.

Wahyu yang pertama turun adalah 5 ayat pertama surah al-’Alaq (surah ke-96) di Gua Hira (terletak di Jabal Nur, beberapa kilometer di sebelah Utara Mekkah) pada malam Qadar, 17 Ramadhan 610 M, sedang ayat hukum yang terakhir turun adalah ayat ke-3 surah al-Maidah (surah ke-5), yang diterima oleh Nabi saw. di Padang Arafah pada tahun 632 M (9 Zulhijjah tahun ke-10 Hijrah), namun dilihat dari keseluruhan ayat al-Qur’an, maka yang paling terakhir turun adalah ayat ke-281 surah al-Baqarah (surah ke-2).

إلر ٱللهى فيه عونر ترجر يروما ورهم لر ورٱتىقوا برت سر ا كر مى نرفس ك تورفى ثمى ٢٨١يظلرمونر

"Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)”.

Al-Qur’an terdiri atas 30 juz, 114 surah, 6236 ayat, 97439 kata, 323015 huruf, yang saat turun pertama kali itu juga disebut ‘yawum al-furqan’, sebagai isyarat bahwa Al-Qur’an membawa ajaran-ajaran dan hukum-hukum yang jelas, yang memberikan batas yang terang antara yang hak dan yang batil, yang salah dan yang benar, serta antara yang halal dan yang haram, QS. al-Anfal, 8:41.

ٱلترقر يرومر ٱلفرقران يرومر نرا بد عر ر علر لرا نزر

رأ ا ورمر بٱللهى نتم ءرامر كنتم إن شر ك ر علر ورٱللهى ير ٱلرمعران ء قرد

Page 94: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

86

"Jika kamu beriman kepada Allah dan apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) pada hari furqan , yaitu hari bertemunya dua pasukan".

Menurut para mufasir, kata ‘furqan’ pada ayat tersebut berarti “pemisah antara yang hak dan yang batil”. Sedang yang dimaksud dengan ‘hari al-furqan’ adalah hari jelasnya kemenangan umat Islam dan kekalahan orang kafir, yaitu hari bertemunya dua pasukan dalam peperangan Badar, pada hari Jum’at, tanggal 17 Ramadhan, tahun kedua Hijrah. Sebagian mufasir mengatakan bahwa ayat ini mengisyaratkan sebagai hari permulaan turunnya Al-Qur’an pada malam 17 Ramadhan itu.

Adapun fase-fase turunnya al-Qur’an adalah terbagi dua fase, yakni fase alam gaib dan fase alam syahadah. Fase pertama, adalah fase alam gaib adalah turunnya al-Qur’an dari al-lawh al-mahfuzh ke bait al-izzah di langit dunia. Pada fase ini, al-Qur’an diturunkan sekaligus dan utuh pada malam al-Qadar (malam kemuliaan) dari ayat pertama sampai ayat terakhir, seperti yang dibaca umat Islam hingga masa kini. Sedang fase kedua, yakni fase alam syahadah, ayat-ayat al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur dari malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw. selama 23 tahun (lihat “Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an” oleh al-Imam al-Zarqani, h. 38.). Hadis yang ditunjuk dalam buku tersebut diriwayatkan oleh al-Hakim dari Ibn al-‘Abbas r.a., Rasulullah saw. bersabda:

ف البرين م الذكر فأضع فى ب)ت العة م السمآء الن)ا فجع

جبر ن ب على النبي معلمير)لاي

Dengan pemahaman bahwa nuzulul Qur’an itu mengalami dua fase, yakni fase alam gaib/alam azali dan fase alam dunia/alam syahadah yang dapat diketahui sejarahnya, maka para ulama membagi tahapan nuzulul Qur’an itu pada dua tahapan/fase:

1) Nuzulul Qur’an pada fase pertama ini, menurut Ibnu ‘Abbas (w. 687 M), Bapak Mufasir al-Qur’an, al-Qur’an turun sekaligus dari Allah swt. di Lawh Mahfuz ke Jibril di langit dunia pada malam qadar. Pandangan ini sejalan dengan QS al-Qadar, 97:1, dan QS al-Dukhan, 44:3-4, dan QS al-Baqarah, 2:185. Menurut Abu Syu’bah, nuzulul Qur’an pada tahap pertama ini, Jibril

Page 95: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

87

menerima al-Qur’an dari Lawh Mahfuz lalu disampaikan kepada para malaikat pencatat di langit dunia, sesuai firman-Nya dalam QS ‘Abasa, 80:11-16,

ة ا ترذكرر ى إنىهر ا ءر ذر ١١كلر هۥ فرمرن شر رر ة ١٢كر مر رى كر ة ١٣ف صحف م رفوعر مى ة رر هى طر ة ١٤م رر فر يدي سر

رأ ة ١٥ب رر ام بررر ١٦كرر

"Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan, Maka barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya, Di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, Yang ditinggikan lagi disucikan, Di tangan para penulis (malaikat), Yang mulia lagi berbakti".

2) Nuzulul Qur’an pada fase kedua ini adalah sampainya wahyu al-Qur’an ke dalam hati Rasulullah saw. melalui malaikat Jibril, sebagaimana dipahami dari QS al-Syu’ara’, 26:193-195,

رينر ركونر منر ٱلمنذ بكر لت قرل ر بي ١٩٤علر م ب رر ان عر لسر ١٩٥ب

"Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, Dengan bahasa Arab yang jelas".

Hikmah Turunnya Al-Qur’an Secara Berangsur-angsur

Al-Qur’an sebagai firman-firman Allah, diturunkan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw. secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun. Bukti diturunkannya secara berangsur-angsur, di antaranya: (1) bahwa ia turun selama kurang lebih 23 tahun, yang dimulai dengan 5 ayat dalam QS al-‘Alaq, 96:1-5, dan diakhiri dengan QS al-Ma’idah/5:3 dan yang paling terakhir adalah QS al-Baqarah/2:281; (2) al-Qur’an turun mengikuti peristiwa yang terjadi untuk menyampaikan pandangan al-Qur’an tentang peristiwa itu.

Turunnya secara berangsur-angsur tersebut, tidak hanya disebabkan karena Al-Qur’an itu lebih besar dari kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah sebelumnya, melainkan juga karena adanya beberapa hikmah, sekaligus sebagai dalil dan bukti bahwa Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur. Kebijaksanaan Allah menurunkan kitab suci Al-Qur’an memang berbeda caranya di banding dengan kitab-kitab suci sebelumnya. Al-Qur’an punya ciri

Page 96: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

88

khas, yakni tidak diturunkan sekaligus sebagaimanaTaurat dan Injil maupun Zabur, melainkan diturunkan secara berangsur-angsur. Orang yang mendalami rahasia kebijaksanaan Ilahi itu dapat merenungkan hikmah Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur. Hal ini dapat diringkas sebagai berikut:

1) Memantapkan jiwa Nabi Muhammad saw.

Hal ini diungkapkan oleh Al-Qur’an sendiri, QS. al-Furqan/25:32).

تر ثرب ل كر ل ذر كر ة حدر ور جلرة ٱلقرءران لريه عر لر نز رولر ل روا فر ينر كر ٱلى ورقرالر ه تررتيل تىلنر رر ور ادركر هۦ فؤر ٣٢ب

"Berkatalah orang-orang kafir, mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja, demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya kelompok demi kelompok".

Kemantapan hati Nabi saw. menerimanya merupakan salah satu dari hikmah Ilahi menurunkan Al-Qur’an secara berangsur-angsur. Nabi Muhammad saw. seringkali kedatangan ayat-ayat suci pada saat beliau menghadapi ancaman dan tantangan yang hebat dan keras dari musuh-musuh beliau. Pada saat seperti ini, terasa oleh beliau betapa Al-Qur’an telah meringankan beban penderitaan batin beliau akibat tekanan dari segala penjuru. Sebab, pada saat Nabi menghadapi sikap kaumnya yang keras kepala, beliau segera dihibur dan diingatkan dengan sejarah perjuangan para Nabi dan Rasul sebelum beliau, yang juga pernah mengalami hal yang sama, tetapi mereka menerimanya dengan sabar dan tetap berjuang menyampaikan risalah Tuhan, sebagaimana dijelaskan dalam (QS. al-An’am, 6:34).

ترىهم رأ ى تى حر وذوا

أ ور بوا كذ ا مر ر علر وا بر فرصر بلكر قر ن م رسل برت كذ د لرقر ور

لر مبر نرا ور لير نرص ا ءركر من نىبرإي ٱلمرسر د جر لرقر ور ت ٱللهى مر لكرلر ٣٤د

"Dan sesungguhnya telah didustakan pula rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami kepada mereka".

Page 97: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

89

2) Untuk Memuliakan Nabi dan Menunjukkan Sifat Lemah Lembut Allah Kepada Beliau.

Di sinilah letaknya rahasia Ilahi. Andaikata al-Qur’an yang dilukiskan Allah sebagai ‘qawlan saqîla’ (perkataan/wahyu yang berat) turun sekaligus pasti jiwa Nabi saw. tidak kuat menerimanya. Sebab kadangkala ayat yang turun sangat hebat dan dahsyat kandungan maknanya, terutama ayat-ayat yang membeberkan masalah siksaan. Demikian hebatnya kandungan ayat, sehingga Allah swt. melukiskannya dalam (QS. al-Hasyr, 59:21).

شيرة ٱللهى ن خر ع م د ترصر عا م ش يترهۥ خررىررأ برل ل جر ر ا ٱلقرءرانر علر ذر لرا هر نزر

ررو أ ل

رونر كى ترفر لىهم ير لنىاس لرعر ا ل ل نرضبهر مثررتلكر ٱل ٢١ور

"Kalau sekiranya Kami menurunkan Al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah-belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir".

Mungkinkah jiwa Nabi akan kuat menerimanya tanpa menimbulkan kegoncangan seandainya Al-Qur’an turun sekaligus? Sedang masih sebagian-sebagian, toh masih juga Rasulullah berat menerimanya, sebagaimana diceritakan oleh Aisyah. Seringkali Rasulullah menerima wahyu seperti yang disaksikan oleh Aisyah mencucurkan keringat dingin dari dahi beliau, karena sangat berat beliau menerimanya (lihat hadis Bukhari dari Aisyah). Dalam pada itu, Allah swt. telah menunjukkan rasa kasih sayang dan lemah lembutnya kepada Nabi Muhammad saw. meskipun wahyu tersebut sangat berat untuk diterima Nabi, namun karena diturunkan secara berangsur-angsur, sehingga beliau tidak begitu payah menerima kedatangan Jibril tersebut.

3. Untuk Berangsur-angsur Menetapkan Hukum.

Hal itu jelas bagi orang yang mengikuti sejarah pensyari’atan hukum Islam pada zaman Nabi Muhammad saw. dan di sinilah letak syari’at Islam. Sebab bangsa yang hendak diubah oleh Nabi waktu itu, bukanlah bangsa yang lemah lembut, suka menerima pembaharuan, melainkan adalah bangsa yang keras kepala dan telah mewarisi sifat penyembahan berhala secara turun temurun

Page 98: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

90

dan telah mendarah daging. Bangsa itulah yang secara berangsur-angsur hendak disirami jiwanya dengan sinar Ilahi. Tentu saja untuk penanaman dan pemantapan akidah tauhid tersebut, diperlukan waktu yang lama. Cara yang ditempuh Nabi dalam mengubah watak bangsa Arab, memang dengan berangsur-angsur sesuai dengan yang telah digariskan Allah swt.

Suatu contoh yang paling menarik, yang patut diperhatikan adalah soal larangan minuman khamar (minuman memabukkan) sebagai tradisi yang sudah berurat berakar di kalangan bangsa Arab. Allah tidak sekaligus melarangnya, melainkan sampai empat tahap perintah, barulah dilarang secara total. Ayat-ayat berikut menyebutkan hal tersebut:

a. Minuman memabukkan dibuat dari (perasan) kurma dan anggur, (QS. al-Nahl, 16:67).

b. Minuman memabukkan dibandingkan secara ilmiah ada mudharat dan ada manfaatnya, (QS. al-Baqarah, 2:219).

c. Khamar diharamkan secara bertahap, (QS. al-Nisa’, 4:43).

d. Mengharamkan secara total dan keseluruhan segala jenis minuman yang memabukkan, (QS. al-Maidah, 5:90).

Perlu dijelaskan bahwa, pada ayat pertama di atas, Allah menegaskan bahwa kurma dan anggur adalah nikmat Allah, yang ada kalanya dijadikan makanan yang enak atau minuman yang enak tetapi sering juga dibuat minuman yang memabukkan yang menyebabkan rusak atau hilangnya pikiran yang sehat sesudah meminumnya. Pada ayat kedua, Tuhan sudah mulai mengajak manusia berpikir tentang khamar itu secara ilmiah, membanding-bandingkan segi mudharat dan manfaatnya. Bagaimana pengaruh khamar bagi kesehatan jiwa dan jasmani. Sebagai bahan pikiran, Tuhan mengatakan “khamar dan judi itu besar dosanya”, namun ada juga gunanya secara materi, antara lain, menghangatkan badan dan sebagai komoditi dagang yang besar untungnya. Pada ayat ketiga, Tuhan mengharamkan khamar, namun belum merupakan larangan mutlak, tetapi hanya dilarang apabila seseorang berniat hendak shalat. Pada ayat keempat, Allah swt. sudah tegaskan keharaman khamar (dan judi) secara mutlak dan keseluruhan. Dalam pada itu, jelaslah bahwa sistem yang ditempuh Al-Qur’an adalah berangsur-angsur menetapkan

Page 99: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

91

sesuatu hukum dan ini membuktikan pula betapa besar manfaatnya Al-Qur’an itu diturunkan secara berangsur-angsur.

e. Untuk memudahkan menghafal Al-Qur’an.

f. Sebagai koreksi terhadap kesalahan-kesalahan atau mengikuti peristiwa-peristiwa pada waktu terjadinya.

g. Sebagai bukti bahwa wahyu yang diucapkan Muhammad berasal dari Allah.

Tujuan Turunnya al-Qur’an

Terdapat perbedaan pendapat tentang hakekat arti ‘Nuzûl’ yang digandengkan dengan Al-Qur’an, apakah hakekatnya dapat dijangkau oleh nalar manusia, atau justeru hanya Allah yang mengetahui, seperti ungkap ulama hingga abad ke-3 hijrah, walaupun semua menyadari bahwa arti harfiah kata tersebut adalah “perpindahan dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah”. Diperdebatkan pula tanggal pasti dari peristiwa Nuzûl tersebut, apakah malam tanggal 17 Ramadhan, seperti yang lazimnya dirayakan di tanah air Indonesia, atau malam ke-27 Ramadhan, seperti yang dirayakan di banyak negara Islam di Timur Tengah. Terlepas dari itu semua, yang jelas al-Qur’an telah berada di tengah-tengah umat manusia dan dengan tujuan yang jelas, yaitu:

a. Untuk membasmi segala bentuk syirik dan memantapkan keyakinan tentang keesaan yang sempurna bagi Tuhan seru sekalian alam, keyakinan yang tidak semata-mata sebagai suatu konsep teologis, tetapi falsafah hidup umat manusia.

b. Untuk mengajarkan bahwa umat manusia merupakan satu umat yang seharusnya dapat bekerjasama dalam pengabdian kepada Allah dan pelaksanaan tugas kekhalifahan dengan menjelmakan potensi masing-masing melalui upaya peniruan sifat-sifat Tuhan.

c. Untuk menekankan peran ilmu dan teknologi, serta persahabatan manusia dengan semua pihak dalam wujud ini, sebagai pengejawantahan pemujaan kepada Allah swt.

d. Untuk menciptakan suatu peradaban, yang sejalan dengan jatidiri manusia dengan panduan dan paduan nur Ilahi.

Page 100: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

92

e. Untuk membasmi kemiskinan, kebodohan, penyakit, dan penderitaan hidup, serta pemerasan manusia atas manusia, bahkan makhluk lain, baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan agama.

f. Untuk menyeleraskan kebenaran dan keadilan dengan rahmat kasih sayang, dengan menjadikan keadilan sosial sebagai landasan pokok kehidupan masyarakat manusia.

g. Untuk memberi jalan tengah antara falsafah monopoli kapitalisme dengan falsafah kolektif ala komunisme, menciptakan ummatan wasathan yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.

Selain itu, cara malaikat menerima lafal Al-Qur’an dan menurunkannya diperselisihkan juga oleh ulama. Boleh jadi malaikat yang menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw. menerimanya dari Allah dengan cara tertentu yang tidak dapat kita gambarkannya, atau malaikat itu menghafalkannya dari lauh mahfûzh, kemudian menurunkannya kepada Nabi Muhammad saw.

Ulama juga berselisih pendapat tentang hal yang diturunkan itu. Pendapat pertama menetapkan bahwa yang diturunkan adalah lafal dan maknanya. Jibril menghafal Al-Qur’an dari lauh mahfûzh kemudian menurunkannya kepada Nabi Muhammad saw. Pendapat kedua menetapkan bahwa Jibril menurunkan maknanya saja. Rasulullah saw. memahami makna-makna itu lalu menta’birkannya dengan bahasa Arab. Pendapat ketiga menetapkan bahwa Jibril menerima makna lalu menta’birkannya dengan bahasa Arab. Lafal Jibril itulah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Dari ketiga pandangan tersebut, yang paling kuat adalah pendapat pertama. Hal ini sesuai dengan firman-Nya dalam QS Yusuf/12:2,

ه قرء لنر نزررلىكم ترعقلونر إنىا أ ي ا لىعر ب رر ٢نا عر

"Sesungguhnya kami menurunkannya Al-Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya".

Demikian sebagian misi kehadiran al-Qur’an, misi yang bersifat menyeluruh dan integral, bukan sekadar mewajibkan pendekatan religius yang bersifat ritual atau mistik, yang

Page 101: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

93

menimbulkan formalitas dan kegersangan. Misi yang dapat menciptakan kehidupan seutuhnya bagi manusia seutuhnya, sehingga terjalin perpaduan antara hukum ritual dan moral, sebagaimana terjalin pula keserasian hubungan, bukan saja antara manusia dengan Tuhan, atau manusia dengan sesamanya, akan tetapi keserasian dan persahabatan dengan semua wujud du jagad raya ini.

Akhirnya, kini disuguhkan pertanyaan, “dipahami dan dihayatikah misi dan tujuan al-Qur’an itu?”. Selanjutnya, “adakah usaha konkret yang telah dilakukan untuk mencapai misi dan tujuan itu?”. Semoga, karena bila tidak, itu berarti kita telah menyia-nyiakan kehadiran dan nuzul al-Qur’an itu, dan termasuklah kita dalam kelompok yang diadukan Nabi Muhammad saw. kepada Tuhannya, sebagaimana firman Allah swt. dalam QS al-Furqan/25:30, yang terjemahnya: “Sesungguhnya umatku telah menjadikan al-Qur’an ini, sesuatu yang tidak diacuhkan”. Semoga kita terhindar dari pengaduan ini. Demikian, wa Allah a'lam, semoga!

Page 102: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

94

PUASA SEBAGAI MEDIA PENGENDALIAN DIRI

stilah-istilah yang digunakan al-Qur’an tentang puasa, di antaranya adalah al-shiyam, seperti tersebut dalam QS al-Baqarah,2:183. Kata al-shiyam ini, pada dasarnya, berarti al-

imsak (menahan/berpantang), karena memang orang berpuasa dituntut kemampuannya menahan, berpantang dan/atau mengendalikan diri dari dorongan ego dan hawa nafsu, serta kemampuan menahan diri dari segala yang dapat mengurangi nilai bahkan membatalkan puasa sepanjang hari. Dalam pada itu, ia merupakan madrasah moralitas dan dapat dijadikan sarana latihan berbagai macam sifat terpuji dan mulia.

Salah satu pelajaran berharga dari ibadah puasa adalah sebagai latihan atau training untuk mampu mengendalikan diri, sehingga setelah Ramadhan berlalu, kita telah siap menghadapi tantangan hidup yang nyata yang salah satu aspek penting yang dibutuhkan adalah kemampuan mengendalikan diri. Manusia yang mampu mengendalikan diri, adalah manusia yang mampu berpandangan jauh ke depan, yaitu sanggup menunda kenikmatan jasmani yang bersifat sesaat atau sementara, dalam rangka investasi atau menanam saham kenikmatan yang lebih agung dan sejati di masa depan.

Lebih jauh lagi dalam beberapa hadis Nabi saw. terlihat bahwa hakekat puasa tidak hanya menahan diri dari makan, minum, dan melakukan hubungan suami-isteri di siang hari puasa, tetapi juga dituntut kemampuan mengendalikan diri dari: kata-kata kotor dan perbuatan tidak berguna; kata-kata bohong dan tindakan tidak jujur; kata sia-sia dan perbuatan dosa; serta harus mempuasakan seluruh anggota badannya, sebagaimana sabda Nabi saw., yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan Muslim, yang terjemahnya sebagai berikut: “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan sia-sia, perbuatan jahat, dan tindakan kejahilan, maka di sisi Allah tidak ada gunanya meninggalkan makan dan minum”; dan sabdanya: “Betapa banyak orang berpuasa, akan tetapi tiada yang diperoleh dari puasanya kecuali hanya haus dan lapar”.

I

Page 103: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

95

Dalam pada itu, salah satu inti puasa adalah mendidik manusia untuk terbiasa dan mampu mengendalikan ego dan hawa nafsu, serta mengendalikan diri dari segala bentuk ucapan sia-sia serta perbuatan jahat, tidak bermanfaat, dan munkar. Ini dilakukan atas dasar motivasi iman dengan tujuan meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt. Pengendalian diri merupakan faktor yang strategis dalam membebaskan manusia dari belenggu kebiasaan (yang tidak baik dan sia-sia), yang dapat menghambat mereka dalam memperoleh kemajuan dan kesempurnaan hidup baik fisik-material maupun moral-spiritual.

Kemajuan dan kemakmuran bersama tidak akan terwujud tanpa “keteraturan”. Keteraturan tidak akan ada tanpa kehendak kuat mengendalikan ego atau hawa nafsu masing-masing. Jika ego terkendali, manusia akan berada pada posisi kemanusiaannya yang murni. Kemanusiaan yang tak terkontaminasi oleh hawa nafsu. Posisi kemanusiaan yang dalam agama diistilahkan sebagai fitrah. Dalam fitrah, hati dengan hati akan tersambung, manusia dengan manusia akan terhubung. Bila demikian, kemajuan dan kemakmuran bersama akan segera tercapai tanpa ada penghalang.

Pengendalian diri juga sangat dibutuhkan oleh manusia, baik secara pribadi maupun kelompok. Ini, karena secara umum, jiwa manusia berpotensi untuk sangat cepat terpengaruh oleh lingkungan sosialnya, termasuk pengaruh globalisasi yang tidak sesuai dengan jiwa agama dan budaya bangsa. Di sinilah letak pentingnya, antara lain, sehingga ibadah puasa diwajibkan oleh agama.

Akhirnya, uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

1) Salah satu inti puasa adalah sebagai madrasah dalam pengendalian diri melalui ajaran berpantang dari segala perilaku jahat dan sia-sia;

2) Pengendalian diri merupakan faktor yang sangat penting dalam membebaskan manusia dari belenggu kebiasaan yang buruk, yang dapat menghambat mereka dalam memperoleh kemajuan dan kesempurnaan hidup baik fisik-material maupun moral-spiritual;

Page 104: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

96

3) Manusia, baik pribadi maupun sebagai anggota masyarakat tidak mungkin dapat meraih kejayaan tanpa pengendalian diri dari ego dan bisikan setan;

4) Manusia yang berpuasa, pada hakekatnya, melatih diri membiasakan mendahulukan kehendak Allah di atas segala kehendak akal dan emosinya;

5) Kemajuan dan kemakmuran bersama tidak akan terwujud tanpa “keteraturan”. Keteraturan tidak akan ada tanpa kehendak kuat dan mampu mengendalikan hawanafsu atau ego masing-masing. Jika ego terkendali, manusia akan berada pada posisi kemanusiaannya yang murni. Kemanusiaan yang tak terkontaminasi oleh hawanafsu, yakni posisi kemanusiaan yang dalam agama dikenal sebagai fitrah. Dalam fitrah, hati dengan hati akan tersambung, manusia dengan manusia akan terhubung. Bila demikian, kemajuan dan kemakmuran bersama akan segera tercapai tanpa penghalang.

Page 105: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

97

FITHRAH BERTUHAN

ata 'fithrah' berasal dari bahasa Arab dengan akar kata dan huruf-huruf fâ', thâ', râ', yang antara lain berarti menciptakan, yakni penciptaan awal sesuatu (sebelum ada

contoh). Dari makna dasar ini term “fithrah manusia” yang ada dalam al-Qur’an dapat bermakna: kesucian, asal kejadian, dan ajaran agama. Dalam pada itu, fithrah bertuhan dapat dimaknai “ciptaan Tuhan”. Artinya, manusia diciptakan oleh Allah dengan membawa naluri bertuhan dengan Tuhan Yang Maha Esa, atau membawa naluri beragama dengan agama tauhid (Islam), sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Rûm/30:30, yang terjemahnya sebagai berikut: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu)”.

Sesuatu hal yang tidak wajar apabila ada manusia yang tidak

beragama tauhid. Mereka tidak beragama tauhid hanyalah karena

pengaruh lingkungan sosial-budaya yang melingkupinya. Nabi Muhammad saw. bersabda, yang terjemahnya: “Setiap orang dilahirkan dalam keadaan fitrah, dan kedua orang tuanyalah menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majuzi”.

Ayat dan hadis di atas menunjukkan bahwa dalam diri setiap

manusia ada fitrah keagamaan serta pengakuan akan keesaan Allah. Dengan fitrah ini, dalam diri setiap orang terdapat insting yang membuatnya mampu merasakan adanya Allah. Bahkan

orang yang mengingkarinya sekalipun akan merasakan insting ini. Mereka mungkin berusaha mengingkari-Nya, tetapi hati mereka meyakini-Nya. Menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab, setiap

manusia memiliki fitrah seperti disebutkan di atas, walau seringkali - karena kesibukan dan dosa-dosa - suara fitrahnya begitu lemah atau tidak terdengar lagi. Fir'aun sendiri yang tadinya mengingkari Allah dan keesaan-Nya, akhirnya percaya ketika ruhnya telah akan meninggalkan jasadnya. Dalam QS. Yunus/10: 90, Allah menyebutkan peristiwa ini, yang

terjemahnya: “Hingga saat Fir'aun hampir tenggelam, berkatalah dia, “Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang diper-cayai Bani Israil dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.

K

Page 106: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

98

Apabila ada orang yang mengingkari wujud dan keesaan Allah, maka pengingkaran tersebut bersifat sementara karena pada akhirnya - sebelum ruh berpisah dengan jasadnya - dia akan mengakui-Nya. Memang, kebutuhan manusia dan pemenuhannya

bertingkat-tingkat, ada yang harus dipenuhi segera, seperti kebutuhan kepada udara, ada yang dapat ditangguhkan beberapa saat, seperti kebutuhan makan, minum, dan seks. Kebutuhan yang paling lama dapat ditangguhkan adalah kebutuhan tentang keyakinan akan wujud dan keesaan Allah swt.

Dalam QS al-A’raf/07:172 ditegaskan bahwa benih-benih

iman akan keesaan Allah telah ditanamkan Allah kepada putra-putra Adam sebelum mereka dilahirkan ke dunia ini dan kepada mereka telah dimintai pengakuan akan ke-Tuhan-an Allah sebagai satu-satunya wujud yang wajib disembah dan ditaati dalam hidup di dunia kelak. Permintaan pengakuan ini merupakan perjanjian antara manusia dengan Allah sejak di alam arwah. Ini dilakukan

agar kelak di akhirat nanti, menjelang mereka disiksa akibat pengingkaran akan keesaan Tuhan selama mereka berada di dunia, mereka tidak akan berkata: “Kami tidak tahu dan tidak mengenal Engkau karena tidak ada petunjuk yang kami peroleh menyangkut wujud dan keesaan Allah”; atau mereka tidak akan mengatakan: “Orang-orang tua kami telah mempersekutukan

Tuhan, kami hanya anak keturunan mereka”.

Penegasan ayat di atas tentang adanya benih iman yang telah ditanamkan dalam diri manusia semenjak di alam arwah

diperkokoh oleh berbagai temuan dalam dunia ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang neurology (ilmu tentang struktur otak

manusia). Penelitian neurologi mutakhir menunjukkan adanya “Titik Tuhan” (God Spot) yang tampaknya memainkan peran biologis yang menentukan dalam pengalaman spiritual. Penelitian Persinger dan Ramachandran, serta para neurolog dan psikolog yang telah mengkaji aktivitas “Titik Tuhan” dalam hubungannya dengan kegilaan dan kreativitas, menemukan korelasi antara rangsangan pada lobus temporal atau area limbik dengan

pengalaman “abnormal” atau “luar biasa” dalam berbagai bentuknya, termasuk pengalaman religius atau spiritual.

Page 107: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

99

Upaya mengingat dan memperkukuh fitrah bertuhan dan pengakuan akan keesaan Allah di atas dalam menjalani hidup di dunia perlu ditunjang dengan beberapa hal: (1) manusia dibekali akal, agar membangun daya nalar mereka untuk membaca ayat-

ayat Allah (baik qauliyah maupun kauniyah); (2) pengutusan para nabi dan rasul Allah untuk mengajari dan mengingatkan janji mereka dengan Allah sejak asali; (3) diturunkan kepada mereka kitab-kitab Allah (wahyu) melalui para nabi dan rasul-Nya sekaligus berfungsi menjelaskan wahyu tersebut kepada mereka

Sekarang, fithrah kebertuhanan kita diuji oleh Allah swt.

dengan kehadiran pandemi Covid-19, yang sudah menelan ratusan ribu jiwa manusia. Karena itu, menurut Rektor IPB, fithrah bertuhan kita sudah perlu di-install ulang. Salah satu proses refleksi spiritual penting adalah bahwa kita ternyata bukan siapa-siapa. Menghadapi virus kecil saja tak berdaya. Ilmu kita benar-benar hanya setetes air dari lautan luas. Di sinilah

kesadaran spiritual mulai tumbuh, bahwa semua tidak mungkin terjadi tanpa kehendak Tuhan. Kapan pandemi berakhir pun mesti dengan campur tangan Tuhan. Namun intervensi Tuhan untuk memulihkan keadaaan juga melalui proses-proses yang obyektif. Tuhan meminta kita tidak sombong dengan ilmu yang kita miliki, sehingga kita dengan rendah hati belajar dan belajar

untuk menemukan cara pengobatan dan pencegahan Covid-19.

Tuhan meminta kita untuk saling menolong. Tuhan telah meminta kita untuk menjaga alam. Tuhan telah meminta kita untuk mensyukuri nikmat yang telah Dia berikan. Mungkin hidup kita

sudah kebablasan jauh dari koridor yang telah Tuhan tetapkan, dan mengabaikan sejumlah permintaan Tuhan tersebut. Mungkin

inilah cara Tuhan meminta kembali untuk membumikan fithrah kebertuhanan kita dalam menata kehidupan.

Sebagai suatu ilustrasi, berikut ini dikutipkan sebuah kisah. Pada waktu tentara Perancis melakukan invansi ke negara Mesir di bawah komando Napoleon Bonaparte (1769-1821), terjadilah sekian banyak pertempuran di berbagai daerah. Dalam

pertempuran tersebut, tiba-tiba ada seorang prajurit Prancis yang terkena tetakan pedang yang cukup parah, hingga dia harus menyingkirkan diri dari medan pertempuran. Dia lari

Page 108: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

100

meninggalkan medan pertempuran guna menyelamatkan diri. Setelah menempuh perjalanan yang sangat melelahkan, dengan disertai kondisi badannya seperti itu, dia tidak lagi mampu meneruskan perjalanan lebih jauh lagi. Dia terjatuh di sebuah

perkebunan dan langsung pingsan. Hari pun telah larut malam, dan ketika siuman dia mengerang-erang kesakitan. Ternyata jatuhnya prajurit tadi tepat berada di sebuah kebun milik seorang Darwis (guru tarekat). Selepas sang Darwis menunaikan salat tahajjud di kegelapan malam itu, tiba-tiba dia mendengar orang yang mengerang-erang kesakitan.

Oleh karena itu, setelah selesai salat, sambil membawa lentera dia bergegas keluar untuk mendatangi sumber datangnya suara tersebut sambil bertanya-tanya apakah itu suara manusia atau bukan? Dan benar, ketika ia menemukannya ternyata suara itu berasal dari seorang asing yang tengah sekarat. Dengan cepat dia mengangkat prajurit tersebut untuk dibawa masuk ke dalam

rumah dengan maksud untuk menolong dan menyelamatkannya. Setelah beberapa hari dirawat dengan penuh kasih sayang oleh sang Darwis, akhirnya kondisi prajurit tersebut sedikit demi sedikit semakin baik hingga dia mulai dapat duduk. Kini, dia sudah dapat mengamati dengan lebih baik lagi orang yang telah menolongnya dan mulai dapat berkomunikasi dengannya.

Dalam pengamatannya terhadap sang penolong, dia melihat suatu perbuatan yang dianggapnya aneh, yang selalu diulang-ulangnya begitu rajin, dan waktu mengerjakannya selalu pada

waktu-waktu yang sama. Lama kelamaan dia tidak tahan untuk mempertanyakannya. Dengan memberanikan diri, dia bertanya

kepada sang penolong, “Mengapa anda selalu melakukan perbuatan itu secara rutin dan dengan disiplin yang sangat tinggi, tanpa mengenal waktu-waktu yang semestinya anda gunakan untuk beristirahat?” Sang Darwis menjawab bahwa yang dilakukannya itu adalah salat untuk menghadap dan menyembah Tuhan, agar dirinya selalu mendapatkan ampunan-Nya, serta memohon agar selalu dibimbing ke jalan yang lurus. Sang prajurit

melanjutkan pertanyaannya, “Mengapa anda bisa melakukannya dengan penuh disiplin, padahal yang anda sembah sesuatu yang tidak kelihatan? “Saya seorang prajurit yang harus bersikap

Page 109: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

101

disiplin selama saya berhadapan dengan komandan saya, tetapi kalau sedang tidak berada di hadapannya saya tidak akan bersikap demikian”, lanjutnya. Sang Darwis tidak menjawabnya seketika itu juga.

Pada suatu sore, ketika sang prajurit telah benar-benar sehat, tanpa sedikit pun menampakkan sisa-sisa penyakitnya, dia diajak oleh sang Darwis untuk keluar rumah mencari udara segar. Mereka menempuh perjalanan yang cukup jauh di atas sebuah jalan setapak. Ketika mereka sampai di sebuah semak-semak, semacam hutan kecil, perjalanan pun dihentikan. Sang Darwis lalu

mengajak sang prajurit untuk memasuki semak-semak tersebut. Namun, baru beberapa langkah memasuki semak-semak itu sang prajurit tiba-tiba menunjukkan ekspresi cemas dan ketakutan luar biasa dengan mata terbelalak. Dia mengatakan, “Tuan, kiranya cukup sampai di sini saja kita memasukinya!” Sang Darwis pun berkata, “Mengapa hanya sampai di sini? Ayo kita terus masuk

lebih dalam lagi!” Sang prajurit berkata, “Saya benar-benar telah melihat bekas telapak kaki dan kotoran serigala yang cukup banyak sekali, ini semua menandakan bahwa di dalam semak belukar ini pasti ada beberapa ekor serigala tuan!” Seketika itu, sang Darwis bertanya, “Apakah anda bisa yakin tentang adanya serigala dengan hanya sekedar melihat bekas telapak kaki dan

kotorannya saja? Anda yakin bahwa semua itu menjadi bukti

adanya serigala?” Tanpa ragu sang prajurit menjawab dengan “ya”. Dia yakin sekali akan adanya serigala yang bersarang di dalam semak belukar tersebut.

Atas jawaban tersebut, sang Darwis lalu berkata,

“Pertanyaan anda pada saya beberapa hari yang lalu tentang mengapa saya dapat melakukan perbuatan (salat) dengan penuh disiplin sementara saya tidak melihat Allah dengan mata kepala saya, kini telah anda jawab sendiri”. Sang Darwis melanjutkan, “Bagi orang yang berakal sehat, untuk mengetahui adanya Allah cukup dengan melihat bekas-bekas ciptaan-Nya yang terhampar di alam semesta ini”. Mendengar uraian sang Darwis tersebut,

sang prajurit merasa sangat puas, teka-teki yang menghantuinya selama ini telah terjawab tuntas. Demikian, wa Allah a'lam, semoga!

Page 110: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

102

AGAMA SEBAGAI KEBUTUHAN

llah menciptakan manusia dalam bentuk yang sangat sem-purna (ahsanu taqwim). Kesempurnaan tersebut terletak, antara lain, pada kemampuan akalnya yang luar biasa, serta

indera yang sangat lengkap, yang telah dianugerahkan Allah kepadanya. Di samping itu, manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki kemampuan berbahasa, baik lisan maupun tulisan, sehingga dia dapat mengekspresikan semua yang ada dalam pikiran dan hatinya, sekaligus dapat digunakan untuk menyimpan hasil kebudayaan dan peradaban yang telah dikembangkannya melalui kemampuan akalnya, misalnya, peradaban Mesir Kuno dengan huruf hieroglifnya. Di samping itu, manusia adalah satu-satunya makhluk Allah yang dianugerahi jari-jari tangan yang sangat fleksibel, yang dapat digerakkan ke segala arah. Dengan kemampuan tangannya itu, manusia dapat merealisasikan segala gagasannya dalam bentuk pikiran ke dalam bentuk yang nyata dan konkret.

Berdasarkan fakta dan kenyataan hidup manusia seperti digambarkan di atas, apakah manusia masih membutuhkan agama? Manusia sebagai makhluk berdimensi jasmaniah dan ruhaniah memiliki berbagai potensi, baik berupa potensi akal, maupun berupa potensi fisik-inderawi yang begitu lengkap dan sebagainya. Kedua potensi tersebut merupakan sarana utama bagi manusia untuk menyelesaikan berbagai persoalan hidupnya yang terkait dengan hal-hal yang bersifat duniawi. Potensi seperti itu sangat berguna dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup manusia yang bersifat fisik-duniawi. Sementara untuk memecahkan berbagai persoalan yang berkaitan dengan aspek ruhaniahnya, kemampuan fisik dan kecerdasan akal manusia bagaimana pun juga tidak mungkin dapat menyelesaikannya. Di sinilah agama memainkan peran penting dan utama dalam memenuhi kebutuhan rohaniah manusia, serta memberikan solusi yang baik bagi persoalan-persoalan yang sedang dihadapinya.

Dalam rangka menjawab persoalan-persoalan hidup yang mereka hadapi sehari-hari, manusia tampaknya memerlukan tiga hal pokok dan vital, yaitu: sains dan teknologi (sainstek), agama, dan seni. Ketiga hal ini merupakan prasyarat bagi manusia untuk

A

Page 111: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

103

mencapai kesempurnaan dalam hidup mereka. Kebutuhan manusia terhadap ketiga hal tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut: dengan ilmu, hidup menjadi mudah; dengan agama, hidup menjadi terarah dan bahagia; dan dengan seni, hidup menjadi indah dan syahdu.

Dengan seni, hidup menjadi halus dan syahdu; dengan ilmu, hidup menjadi maju dan enak; dan dengan agama, hidup menjadi bermakna dan bahagia. Ketiganya tidak dapat dipisahkan. Seni tanpa ilmu akan lunglai, seni tanpa agama tidak mempunyai arah. Sedang ilmu pengetahuan tanpa seni akan melahirkan kekasaran dan tanpa agama akan melahirkan kebiadaban dan kebrutalan. Demikian juga, agama tanpa seni akan kering, dan agama tanpa ilmu akan lumpuh. Akan tetapi dengan ketiga-tiganya itu (agama, seni, dan ilmu), hidup dan kehidupan akan menjadi lebih produktif dan sempurna.

Dalam pada itu, keberagamaan merupakan fitrah kemanusiaan, yaitu sesuatu yang melekat pada diri manusia dan bawaan sejak lahir. Pandangan seperti ini dapat dipahami dari firman Allah dalam QS. al-Rum/30: 30, yang terjemahnya: “Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu”.

Karena fitrah ini, manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama. Tuhan menciptakan fitrah tersebut karena agama merupakan kebutuhan hidup manusia. Memang manusia dapat saja menangguhkan pengakuan terhadap kebutuhan fitrawi terhadap agama ini dalam dirinya sekian lama, mungkin hingga menjelang kematiannya, tetapi pada akhirnya, sebelum ruhnya meninggalkan jasad, ia akan merasakan kebutuhan itu.

Ketika terjadi konfrontasi pertama antara kalangan ilmuan di Eropa dengan kalangan Gereja pada awal abad ke-17, ilmuan meninggalkan agama. Namun demikian, mereka tetap menyadari kebutuhan mereka terhadap sebuah pegangan yang pasti dalam memutuskan persoalan hidup yang kompleks. Dalam upaya mencari pegangan hidup itu, mereka menemukan bahwa “hati nurani” dapat menjadi alternatif bagi agama. Namun, belakangan, mereka juga menyadari bahwa “nurani” tidak bisa menjadi alternatif bagi agama karena sifat-nya yang sangat labil. Karena ia sepenuhnya masih merupakan instrumen dalam diri manusia, nurani sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan latar belakang

Page 112: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

104

pendidikan seseorang.

Murtadha Muthahhari, pemikir Muslim dari Iran di abad ke-20, menjelaskan fungsi dan peranan agama dalam kehidupan yang tidak mampu diperankan oleh ilmu dan teknologi, dengan ungkapan indah berikut ini:

Ilmu mempercepat anda sampai ke tujuan, agama menentukan arah yang dituju.

Ilmu menyesuaikan manusia dengan lingkungannya, dan agama menyesuaikan manusia dengan jati dirinya.

Ilmu hiasan lahir, dan agama hiasan batin.

Ilmu memberikan kekuatan dan menerangi jalan, dan agama memberi harapan dan dorongan bagi jiwa.

Ilmu menjawab pertanyaan yang dimulai dengan “bagaimana”, dan agama menjawab pertanyaan yang dimulai dengan “mengapa”.

Ilmu tidak jarang mengeruhkan pikiran pemiliknya, sedang agama selalu menenangkan jiwa pemeluknya yang tulus.

Munculnya kebutuhan manusia terhadap agama merupakan konsekuensi logis dari kehadiran manusia di pentas bumi. Dalam perjalanan duniawinya, manusia menemukan tiga nilai penting yang sangat agung (ultimate), yaitu keindahan, kebenaran, dan kebaikan. Ketiga nilai tersebut dapat dirangkum menjadi satu konsep kunci, yaitu konsep tentang Yang Mahasuci (the Sacred). Manusia memiliki rasa ingin tahu yang benar terhadap siapakah dan apakah Yang Mahasuci (the Sacred) itu. Dalam upaya menemukan Yang Mahasuci inilah manusia lalu menemukan dan mengenal konsep tentang Tuhan. Semenjak itu pula, manusia lalu berusaha berhubungan dengan Tuhan bahkan berusaha untuk meneladani sifat-sifat-Nya dan itulah yang dinamai beragama. Dengan kata lain, salah satu pengertian keberagamaan adalah terpatrinya rasa kesucian dalam jiwa seseorang sebagai buah dari usahanya untuk mencari dan mendapatkan yang benar, yang baik, dan yang indah. Mencari yang benar menghasilkan ilmu, mencari yang baik menghasilkan akhlak, dan mencari yang indah menghasilkan seni. Jika demikian, agama bukan saja dibutuhkan oleh manusia, tetapi ia juga selalu relevan dengan kehidupan mereka.

Page 113: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

105

Pertanyaan yang seringkali diajukan dewasa ini adalah apakah agama masih diperlukan oleh umat manusia yang hidup dalam era kemajuan pesat di bidang teknologi informasi dan telekomunikasi ini? Melihat sepintas lalu sejarah peradaban manusia, orang akan menemukan bahwa agama merupakan kekuatan yang sangat dahsyat dan menentukan dalam perkembangan umat manusia sekarang ini. Apa yang dikatakan baik dan mulia pada manusia itu, memperoleh inspirasi dari iman kepada Tuhan, suatu kebenaran yang barangkali saja orang ateis pun akan sulit menentangnya. Orang-orang suci, seperti Ibrahim, Musa, ‘Isa, Krisna, Buddha, dan Muhammad saw., pada gilirannya masing-masing dan dalam tingkatannya sendiri-sendiri, telah mengubah sejarah umat manusia dan mengangkat mereka dari kerendahan derajat kepada ketinggian moral, yang mereka sendiri tidak pernah bayangkan.

Di samping itu, kiranya patut diingat bahwa agama juga memberi kontribusi penting dalam memajukan prinsip-prinsip etika dan moral kemanusiaan yang berlaku secara universal hingga dewasa ini. Tidak bisa dibayangkan bagaimana kondisi moralitas manusia secara global seandainya ada satu atau dua generasi dalam sejarah kemanusiaan universal yang sama sekali tidak percaya kepada Tuhan. Bisa dibayangkan bentuk prinsip kehidupan apa yang akan menggantikan agama beserta segala konsekuensinya. Perumusan prinsip-prinsip atau nilai-nilai moral universal yang tidak dilandasi oleh kepercayaan kepada adanya Tuhan tidak akan menjamin terciptanya tatanan dunia yang adil dan bertanggung jawab.

Sejarah menunjukkan bahwa sejumlah peradaban besar yang mengalami kemunduran karena kehancuran moralitas manusianya, akan tetapi bisa kembali bangkit karena ditopang oleh munculnya kembali kesadaran spiritual pemilik peradaban itu tentang pentingnya spirit keagamaan dalam kehidupan mereka. Sebuah peradaban dapat tumbuh dan berkembang karena memiliki landasan moral yang kuat; dan agar landasannya kuat, sebuah moralitas harus mendapat inspirasi dari kepercayaan kepada Tuhan yang terdapat dalam ajaran agama.

Kenyataanya, sekarang semakin banyak kalangan yang menyadari bahwa berbagai persoalan manusia, terutama yang berkaitan dengan aspek spiritual, hanya dapat diselesaikan

Page 114: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

106

dengan agama. Kehadiran virus corona yang sudah mengglobal, bahkan sudah menjadi Pandemi Covid-19 secara internasional, membuka mata dunia bahwa kita ternyata bukan siapa-siapa. Menghadapi virus kecil saja tak berdaya. Ilmu kita benar-benar hanya setetes air dari lautan luas. Di sinilah kesadaran spiritual mulai tumbuh, yang kehadirannya hanya bisa terjadi pada diri orang-orang yang beragama, sementara agama yang dianggap paling rasional dan mampu untuk memecahkan masalah-masalah pelik dari individu dan masyarakat, adalah hanya Islam, apalagi pandemi Covid-19 ini sedang terjadi di bulan Ramadhan, bulan yang senantiasa meng-update kehidupan spiritual umat Islam secara sempurna. Ada informasi sejagat, yang notabene, bahwa banyak non-Muslim menyatakan diri masuk Islam sebagai dampak dari pandemi Covid-19 ini.

Arnold Toynbee, seorang sejarawan dan cendekiawan terkemuka dari Inggris pada abad ke-20 menegaskan bahwa, “Religion was indispensable for human beings, and without it, the

existence for man was not possible. Religion was essential for solving the most complicated problems of individual and society. In modern scientific advancement, religion has still play better and important role for preservation of personality of man” (Agama sangat diperlukan manusia, dan tanpa agama, eksistensi manusia tak mungkin dapat dipertahankan. Agama penting untuk

memecahkan masalah-masalah pelik dari individu dan masyarakat. Di zaman kemajuan ilmiah modern sekalipun, agama

tetap memainkan peranan yang lebih baik dan penting dalam menjaga kepribadian manusia). Demikian, wa Allah a'lam, semoga!

Page 115: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

107

FUNGSI IMAN DALAM KEHIDUPAN

BERNEGARA

ata "iman" berasal dari bahasa Arab, yang secara etimologis berarti "percaya, setia, aman, perlindungan, serta menempatkan sesuatu pada tempat yang aman.

Menurut al-Imam Ibnu Quddamah (l. 541 H), iman dalam pengertian syariah adalah keyakinan yang diteguhkan dalam hati, diikrarkan dalam lisan, dan dibuktikan dalam tindakan nyata sehari-hari. Dari sini terlihat bahwa hakekat iman adalah ucapan lisan, perbuatan nyata anggota badan, dan keyakinan hati. Iman akan bertambah kuat dengan ketaatan kepada Allah swt. dan akan berkurang dengan perbuatan maksiat. Dalam HR. al-Bukhari dan Muslim dari Umar bin Khattab, Nabi bersabda, yang terjemahnya: "Iman ialah engkau percaya kepada Allah, malaikat-Nya, kitab suci-Nya, para utusan-Nya, hari pembalasan, dan engkau percaya kepada takdir baik dan buruknya." Dari hadis inilah asal mula ajaran tentang rukun iman. Keenam rukun itu disebut akidah, karena dialah yang berfungsi mengikat orang-orang beriman. Ikatan inilah yang memperkukuh dan mengarahkan sikap dan tingkah laku manuasia.

Fungsi Iman dalam Kehidupan

Dalam kehidupan sehari-hari, kita mendengar komentar orang terhadap orang yang gelisah, goncang emosi dan tidak stabil dalam hidupnya, dengan ungkapan "tidak beriman". Ungkapan seperti itu sering terdengar terutama di kalangan orang awam; sedang di kalangan orang-orang terpelajar yang sekuler, masalah iman tidak menjadi perhatian mereka karena mereka lebih mempercayai ilmu pengetahuan. Mereka menamakan diri sebagai orang-orang rasional. Mereka menyangka bahwa segala sesuatu dapat diselesaikan dengan akal pikiran, tanpa memerlukan sesuatu kekuatan lain di luar itu. Namun, realitas berkata lain, tidak jarang di antara mereka yang mengalami kesulitan, terutama kesulitan spiritual. Mereka tidak mampu memahami berbagai kontradiksi yang terdapat dalam masyarakat. Misalnya, ada orang miskin, kekurangan, kebodohan, serta menderita dari segi lahiriah, akan tetapi hidup mereka tenang, gembira, dan bahagia.

K

Page 116: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

108

Sebaliknya, ada orang kaya, pintar, dan senang dari segi lahiriah, namun, hidupnya resah, tidak bahagia dan tidak puas, kadang-kadang dihinggapi kecemasan dan ketakutan yang tidak jelas.

Ilmuan yang tidak beriman tidak pernah tenang jiwanya, karena di samping hasil-hasil temuannya yang diklaim sebagai suatu kebenaran, tiba-tiba dibatalkan atau dibuktikan tidak benar oleh ilmuan lain dengan pengkajian dan uji-coba pula; juga karena ia mencari, mengolah, dan melakukan uji-coba terus-menerus terutama bila terbentur kepada kegagalan-kegagalan dalam eksperimennya. Orang kaya atau orang berpangkat tidak selamanya merasa bahagia. Tidak jarang orang kaya, hidup resah dan mengganggu ketenangan orang lain, karena mereka ingin menjadi lebih kaya lagi. Begitu pula pangkat dan jabatan, belum tentu membawa kepada kebahagiaan, jika mereka tidak beriman. Hal ini banyak terbukti, terutama pada orang-orang yang digeser dari jabatannya atau menghadapi masa pensiun.

Dalam pada itu, iman sangat diperlukan dalam hidup manusia. Ia berfungsi dan mendapat jaminan dari Allah bahwa dengan iman dapat melahirkan ketenangan dan kebahagiaan hidup, seperti firman Allah dalam QS. Al-Ra'd/13:28-29, yang terjemahnya: “Orang-orang beriman dan hati mereka menjadi tenteram disebabkan karena zikrullah. Sungguh hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram. Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik”. Dari hadis itu dipahami bahwa fungsi iman, antara lain, adalah: 1) Mendekatkan diri kepada Allah; 2) Sebagai penyelamat; 3) sebagai pendobrak terbentuknya moral dan akhlak mulia; 4) sebagai tali pegangan yang mengikat dan mengarahkan sikap dan tingkah laku manusia; 5) sebagai pembentuk sifat qana’ah; 6) sebagai penasehat dalam mengingat mati dan berhati-hati dalam menghadapi hidup.

Fungsi iman di atas pada hakekatnya adalah pengetahuan yang melahirkan kesadaran akan kebesaran Allah, serta kelemahan dan kebutuhan makhluk kepada-Nya. Ketika pengetahuan dan kesadaran itu bergabung dalam jiwa seseorang, jiwanya pasti tenang dan tenteram. Menyebut-nyebut nama-Nya, mengingat-ingat kebesaran dan sifat-sifat-Nya yang agung, serta menegakkan amal saleh sebanyak-banyaknya pasti akan melahirkan ketenangan dan ketenteraman jiwa. Kehidupan

Page 117: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

109

betapa pun mewahnya, tidak akan baik jika tidak disertai ketenangan, kebahagiaan, dan ketenteraman jiwa.

Hidup manusia tidak selamanya mulus, luput dari cobaan dan ujian, serta kesukaran dan penderitaan hidup. Persoalannya adalah bagaimana cara menghadapinya? Apakah kita akan menghadapinya dengan tenang, atau marah, sedih, atau gelisah, sambil menyalahkan orang lain, atau keadaan, dan sebagainya? Di sini, kepribadian sangat menentukan. Jika kepribadiannya utuh, dan jiwanya sehat, yang di dalamnya terkandung unsur-unsur agama dan keimanan yang benar dan teguh-kokoh, ia akan menghadapi setiap masalah dengan tenang dan kaya akan inovasi sebagai solusi. Sementara orang yang jiwanya goncang dan jauh dari ajaran agama, boleh jadi setiap kali menghadapi masalah, ia tidak tenteram, selalu marah, bahkan berputus asa, dan senantiasa merasakan hidup ini sempit dan gelap, seakan-akan tidak ada sesuatu yang bisa diberikan terhadap keluarga, masyarakat, bangsa dan agama.

Unsur terpenting yang membantu pertumbuhan dan perkembangan kehidupan fisik-material dan moral-spiritual manusia adalah iman dan amal saleh yang direalisasikan dalam bentuk tindakan-tindakan nyata. Prinsip pokok yang menjadi sumbu kehidupan manusia adalah iman. Imanlah yang memperkokoh dan mengarahkan sikap, ucapan, dan perbuatan manusia. Tanpa kendali tersebut, seseorang akan bimbang serta mudah oleng tersungkur dan terdorong melakukan hal-hal yang merugikan diri dan masyarakat. Karena itu, iman perlu di-update setiap saat lewah ibadah-ibadah, baik mahdhah dan sosial sejak dini dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat, dan berbangsa, sebagai wujud syukur kita kepada Allah swt., sehingga kehidupan normal seperti biasa segera kembali. Bangsa Indonesia harus optimis terutama dengan kehadiran bulan Ramadhan di tengah-tengah kita sekarang ini, yang sedang meng-install kembali kehidupan baik di bidang kesehatan, sosial-ekonomi, budaya, politik, intelektual, ekologi dan pemanasan global, termasuk kehidupan spiritual; yang sementara stagnant dan tidak berdaya akibat musibah pandemi Covid-19 itu, bahwa pasca Ramadhan insyaallah akan bangkit kembali dengan membawa pesan perubahan dan kemajuan bersama.

Page 118: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

110

Akhirnya, dengan iman yang benar dan tersinergikan dengan bidang-bidang kehidupan kesehatan, sosial-ekonomi, budaya, politik, intelektual, ekologi dan pemanasan global, termasuk kehidupan spiritual; insyaallah bangsa Indonesia bisa segera keluar dari pandemi Covid-19, serta akan bangkit kembali dengan membawa pesan perubahan hidup baru, yang di samping lebih maju, bermakna, dan berberkah, ia pun tetap bisa tumbuh dan bertahan dengan karakternya sendiri di tengah-tengah persaingan global.

Page 119: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

111

ISTIGHFAR SEBAGAI SOLUSI

QS Nuh/71:10-12

دررارا م لريكم ا ءر عر مر ل ٱلسى يرس ارا فىنر غر إنىهۥ كر بىكم رر قلت ٱسترغفروا فر

ن ريرجعرل لىكم أ نىت ور يرجعرل لىكم جر برنير ور ل ور مور

رأ دكم ب يمد را ور هر

"Maka aku katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat. Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai".

QS. Ali Imran/3:133,

ت عدىرض أرال ات ور اور مر ا السى رضهر نىة عر كم ورجر ب ة من رر غفرر مر

ارعوا إلر ورسرلمتىقير ل

"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa".

Dalam HR. Ahmad, dari Ibnu ‘Abbas r.a., Rasulullah saw. bersabda:

له من كل هم فرجا، ومن كل ضيق من أكثر من الستغفار؛ جعل الله . مخرجا، ورزقه من حيث ل يحتسب

"Barang siapa memperbanyak istighfar; niscaya Allah memberikan jalan keluar bagi setiap kesedihannya, kelapangan untuk setiap kesempitannya dan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka".

ajian mengenai “Istigfar Sebagai Solusi” ini, penulis hadirkan mengingat umat Islam sedang berada di suasana 10 hari kedua dari bulan suci Ramadhan ini, sementara

beberapa nash-nash agama menekankan bahwa 10 hari kedua dari/atau pertengahan bulan Ramadhan itu adalah maghfirah (ampunannya Allah swt.), sebagaimana ditegaskan dalam Kitab

K

Page 120: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

112

Shahih Ibnu Khuzaimah dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda:

رر اول رحمةر، و ا وسط مغفرةر، و ا خر عاقر م النار ي و ه أ ش هز

"Dan Ramadhan, awalnya adalah rahmah, pertengahannya maghfirah, dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka".

Dalam pada itu, kajian ini mengedepankan sejumlah hal yang menjadi sistimatika bahasan dalam menjawab persoalan “Istighfar Sebagai Solusi” dari berbagai permasalahan hidup dengan sub-sub bahasan sebagai berikut: 1) hakekat istighfar; 2) bentuk-bentuk istighfar; serta 3) fungsi dan hikmah istighfar.

Hakekat Istighfar

Umat Islam setelah berhasil melalui fase 10 hari pertama bulan Ramadhan yang sudah pasti cukup berat karena tubuh, pikiran, tenaga, dan persiapan 9 bahan pokok yang menjadi kebutuhan orang-orang berpuasa sebagai langkah awal usaha beradaptasi dengan kondisi awal puasa. Pada fase kedua/atau fase 10 hari kedua Ramadhan ini mungkin akan terasa lebih ringan karena tubuh sudah mulai terbiasa dengan aktivitas puasa yang menuntut seseorang untuk tidak makan dan minum dimulai sejak matahari terbit hingga saat terbenamnya. Tujuan pada fase kedua atau fase 10 hari kedua Ramadhan ini, adalah Allah membukakan pintu magfirah atau pengampunan yang seluas-luasnya terhadap siapa yang ingin diampuni atas kesalahan dan dosa yang telah dilakukan (QS al-Baqarah/2:284), selama dalam menjalankan ibadah puasa. Dalam arti Allah mengampuni terhadap siapa yang hendak diampuni atas kesalahan/atau dosa yang telah dilakukan, serta menyiksa siapa yang hendak disiksa dari hamba-hamba-Nya (QS al-Baqarah/2:284). Dengan demikian, pengampunan dan siksa lebih banyak berkaitan dengan kehendak manusia, bukan kehendak Allah swt.

Secara etimologi, kata istighfar berasal dari akar kata dengan huruf-huruf gha, fa, ra yang bermakna dasar “menutup”. Ada juga yang berpendapat dari kata alghafaru, yakni sejenis tumbuhan yang digunakan mengobati luka. Jika pendapat pertama yang dipilih, maka Allah sebagai “al-Ghaffar” berarti antara lain, “Dia menutupi/atau mengampuni dosa hamba-hamba-Nya karena kemurahan dan anugerah-Nya”, sedang bila pendapat yang kedua

Page 121: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

113

dipilih, maka ia bermakna “Allah mengenugerahi hamba-hamba-Nya penyesalan atas dosa-dosa, sehingga penyesalan itu berakibat kesembuhan, yang dalam hal ini berarti terampuni dosa-dosa mereka”. Dengan demikian, secara istilah istighfar berarti permohonan untuk ditutupi, atau diampuni kesalahan/atau dosa yang telah dilakukan selama ini baik yang disengaja atau pun karena khilaf, sehingga menjadi sehat secara fisik-material dan moral-spiritual. Ada kalangan yang mendefinisikan sebagai permohonan untuk menemukan jalan keluar dari setiap masalah yang dihadapi, dan/atau permohonan agar dikabulkan permintaan dan hajatnya.

Wujud Istighfar dalam Islam

Bentuk-bentuk Istighfar

a. Istighfar dalam arti permohonan ampun atas kesalahan atau dosa yang telah dilakukan (QS Ali Imran/3:16).

b. Istighfar dalam arti zikir untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah. Karena merasa bahwa mereka masih memiliki peluang dan kemampuan meningkatkan pengabdian, akan tetapi mereka tidak gunakan. Mereka merasa bahwa kesabaran, sedekah, ketaatan, dan keikhlasan mereka terhadap Allah belum mencapai tingkat yang wajar, sehingga mereka beristighfar (QS Ali Imran/3:17).

Langkah-langkah yang seharusnya dilakukan dalam beristighfar

a. Senantiasa beristighfar dan bertaubat kepada Allah swt.,

b. Cinta pada kebajikan,

c. Menyesali diri atas segala kesalahan dan dosa yang telah dilakukan,

d. Zikir kepada Allah secara berkala berdampak beribu solusi,

Lafal istighfar

Lafal istighfar bermacam-macam, mulai dari yang pendek sampai ke yang panjang, seperti berikut;

a. Astaghfirullah (Aku memohon ampunan kepada Allah),

b. Astaghfirullaha wa atubu ilaihi (Aku memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya),

Page 122: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

114

c. Astaghfirullah allaziy la ilaha illa huwa al-hayyu al-qayyum wa atubu ilaihi (Aku memohon pengampunan kepada Allah yang tidak ada Tuhan kecuali Dia Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri dan aku bertaubat kepada-Nya),

d. Rabbighfirli wa Tub ‘alayya innaka anta al-tawwab al-rahim (Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan terimalah taubatkusesungguhnya Engkau Maha Penerima Taubat dan Maha Penyayang).

e. Dan sebagainya.

Fungsi dan Hikmah Istighfar

Di antara amalan yang banyak dilakukan oleh Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam yaitu beristighfar memohon ampun kepada Allah swt., terkadang dalam suatu majelis beliau beristighfar sampai 70 kali, dalam riwayat yang lain disebutkan sampai 100 kali (QS al-Ahzab/33:41), padahal Rasulullah saw. adalah seorang Nabi yang ma’sum, yang telah dijaga oleh Allah dan telah mendapatkan jaminan ampunan dari Allah, Rasulullah memerintahkan kepada para sahabat dan kepada para ummatnya untuk banyak beristighfar memohon ampun kepada Allah swt.. Allah memerintahkan beliau untuk beristighfar dan memohonkan ampun untuk ummat beliau, baik mukmin laki-laki maupun mukmin perempuan dan apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. adalah merupakan contoh bagi kita, kalau saja Rasulullah ma’sum dan banyak mengucapkan istighfar apalah kita yang belum ada jaminan ampunan dari Allah swt.

Fungsi Istighfar

a. Sebagai pintu masuk kepada ketakwaan, yakni keimanan dan kesadaran akan kesalahan-kesalahan (QS Ali Imran/3:15-17);

b. Sebagai jaminan masuk surga Allah swt. (QS Ali Imran/3:133).

Hikmah Istighfar

Semua orang pasti mendambakan ketenteraman dan kebahagiaan dalam hidup. Untuk menggapainya menurut hadis Nabi saw. tidak sulit, cukup dengan membudayakan dalam hidup: banyak beristighfar serta senantiasa bertaubat kepada Allah swt., sebagaimana sabda Nabi saw., HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari

Page 123: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

115

Ibnu ‘Abbas, yang terjemahnya seperti berikut, “Barang siapa yang membiasakan diri untuk beristighfar, Allah swt. akan memberikan baginya jalan keluar dari setiap kesulitan, serta memberikan kebahagiaan dari setiap kesusahan, dan akan memberi rezeki dari arah yang tidak di sangka-sangka”. Dari hadis tersebut terlihat beberapa hikmah beristighfar yang dicakup, sebagaimana berikut ini:

a. Allah senantiasa membukakan jalan keluar dari setiap kesusahan. Dikisahkan, ketika Rasulullah saw sedang berkumpul dengan sejumlah sahabatnya di masjid, masuklah empat orang laki-laki. Masing-masing datang membawa masalah yang ingin disampaikannya kepada Rasulullah saw. Orang pertama mengeluh karena di daerahnya sudah lama tidak turun hujan. Rasulullah saw. menasehatinya, “beristighfarlah!” . Orang kedua mengeluh karena sudah lama menikah, tapi belum juga memperoleh keturunan. Rasulullah saw. menasehatinya, “beristighfarlah!”. Orang ketiga mengeluhkan kesulitan ekonominya. Rasulullah saw. kemudian menasehatinya, “beristighfarlah!” Orang keempat mengeluhkan tanah pertaniannya yang sudah tidak subur lagi. Lagi-lagi Rasulullah saw. menasehatinya, “beristighfarlah!”. Abu Hurairah yang saat itu ada bersama mereka terheran-heran, kemudian ia bertanya, “Ya Rasulullah, mengapa kesulitannya banyak, tetapi obatnya satu?” Beliau kemudian menjawab, “simaklah firman Allah dalam QS Nuh/71:10-12, seperti tersebut di atas.

b. Hati senantiasa terasa tenteram dan bahagia. Dalam HR. Ahmad, dari Ibnu ‘Abbas r.a., Rasulullah saw. bersabda:

فرجا، ومن كل ضيق له من كل هم من أكثر من الستغفار؛ جعل الله

مخرجا، ورزقه من حيث ل يحتسب

"Barang siapa memperbanyak istighfar; niscaya Allah memberikan jalan keluar bagi setiap kesedihannya, kelapangan untuk setiap kesempitannya dan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka”.

c. Rezeki dimurahkan, sebagaimana ditegaskan hadis dari Ibnu

‘Abbas di atas.

Page 124: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

116

d. Doa maqbul di sisi-Nya. Dikisahkan, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal ingin menginap di sebuah masjid, di mana beliau berniat untuk menghabiskan malamnya di sana. Namun penjaga masjid tidak mengenali siapa beliau, sehingga ketika beliau meminta izin untuk berada di dalam masjid hingga datangnya waktu shubuh, sang penjaga masjid menolaknya. Meskipun Imam Ahmad bin Hanbal sudah berulang kali membujuk sang penjaga masjid untuk diizinkan bermalam, namun keputusan dari penjaga masjid agaknya tidak dapat di ganggu gugat. Akhirnya Imam Ahmad keluar dari area masjid dan beliau terpaksa mencari tempat bermalam di lain tempat. Ketika beliau keluar area masjid, kebetulan lewatlah seorang tukang penjual roti keliling. Tukang roti merasa iba kepada Imam Ahmad sampai diusir oleh penjaga masjid. Ketika Imam Ahmad menceritakan yang dialaminya kepada tukang roti, si tukang roti akhirnya menawarkan Imam Ahmad Untuk menginap di rumahnya, Imam Ahmad lantas menerima tawaran tersebut.

Di rumah pembuat roti, Imam Ahmad di jamu dengan baik layaknya seorang tamu. Imam Ahmad tidak mengenalkan dirinya bahwa dirinya adalah ulama besar yang tersohor. Lalu setelah beberapa saat bercengkrama si pembuat roti mempersilahkan Imam Ahmad untuk beristirahat. Sementara ia sendiri menyiapkan adonan roti untuk dijual esok hari. Lalu ada yang menarik perhatian Imam Ahmad dari si pembuat roti ini. Si pembuat roti bekerja sambil melantunkan istighfar. Ia terus beristighfar sampai pekerjaannya selesai. Hal ini didengar oleh Imam Ahmad sehingga membuat beliau terkesan.

Imam Ahmad penasaran kemudian bertanya kepada si pembuat roti: “Semalam terdengar olehku lantunan istighfar yang terus menerus engkau baca ketika sedang membuat roti. Katakanlah kepadaku wahai tuan, apakah engkau mendapatkan sesuatu dari istighfar yang engkau baca?”.

Si pembuat roti lalu menjawab: “Ya begitulah adanya sungguh saya benar-benar telah mendapatkan faidah dari keutamaan melazimkan istighfar. Demi Allah, sejak saya melazimkan istighfar, saya tidak memohon sesuatu kepada Allah kecuali pasti dikabulkan. Doa saya selalu diijabah oleh Allah. Hanya ada satu doa yang belum dikabulkan sampai saat ini.” Imam Ahmad

Page 125: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

117

bertanya: "apakah itu?". Si pembuat roti berkata: “Aku ingin dapat bertemu dengan ulama paling tersohor saat ini yaitu Imam Ahmad bin Hanbal!”.

Mendengar hal tersebut, Imam Ahmad tersenyum. Tampaknya beliau sudah mengerti hikmah diusirnya beliau dari masjid kemarin malam. Allah Subhanahu wata’ala mengabulkan doa si pembuat roti dengan perantara peristiwa semalam sampai pada akhirnya beliau bertemu dengan si penjual roti.

Kemudian Imam Ahmad berkata: ”Wahai tuan, saya lah Imam Ahmad bin Hanbal. Demi Allah, Allah-lah yang mengaturku sehingga bisa bertemu denganmu“. Subhanallah. Begitu istimewanya istighfar ini sehingga Allah berkenan untuk mengabulkan setiap permohonan dari hambanya.

Page 126: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

118

FUNGSIONALISASI KEESAAN ALLAH DALAM

KEHIDUPAN

stilah “keesaan” dalam bahasa al-Qur’an, antara lain dibahasakan dengan term ahâd ( ئنر yang berarti 'esa'. Ia (ا حئئ terambil dari akar kata wahdah (ن ة حئئز ,'berarti 'kesatuan (و

seperti juga kata wâhid (ن احئئ berarti 'satu'. Kata ahâd dapat (و berkedudukan sebagai nama dan dapat pula berkedudukan sebagai sifat bagi sesuatu. Apabila ia berkedudukan sebagai sifat, maka ia hanya digunakan untuk Allah swt. semata, misalnya,

firman Allah swt. dalam QS. al-Ikhlâsh/112:1 " ئنر أ اللئئئ ا حئئ ز هئئ "قئئ (Katakanlah: Dia Allah swt., Yang Maha Esa).

Dari segi bahasa, kata ahâd, walau memiliki akar kata sama dengan wâhid, namun masing-masing memiliki makna dan penggunaan tersendiri. Kata ahâd hanya digunakan untuk sesuatu yang tidak berasal dari beberapa unsur serta tidak dapat menerima penambahan. Karena itu, kata ini bila berfungsi sebagai kata sifat, tidak termasuk dalam rentetan bilangan, berbeda halnya dengan kata wâhid (satu), yang Anda dapat menambahnya sehingga menjadi dua, tiga, dan seterusnya. Bandingkan

penggunaan berikut: " نر ى ا حئئ آء ا جئئ Tidak datang kepadaku) "مئئ

seorang pun) dengan ungkapan, " نر احئئ ى و آء ا جئئ Tidak datang) "مئئ kepadaku satu orang). Redaksi pertama menafikan dua orang atau lebih, bahkan menafikan kedatangan seorang pun; sedang redaksi kedua hanya menafikan kedatangan seorang, sehingga boleh jadi yang datang itu dua orang atau lebih. Misalnya, dalam QS. al-

Baqarah, 2:163, " م( ح ان الئئرب مئئ حز أ الرب ب هئئ للئئ ل نر احئئ مز للئئ ر و لل ه كئئ Dan) "و Tuhanmu adalah Tuhan yang Mahasatu, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang). Kata wâhid dalam ayat ini menunjuk kepada keesaan zat-Nya disertai keragaman sifat-sifat-Nya. Karenanya digunakan kata wâhid (satu).

Dalam pada itu, Allah swt. ahâd berarti Allah swt. tidak berasal dari beberapa unsur, atau bagian-bagian. Karena bila Allah swt. terdiri atas dua, atau tiga unsur, betapa pun kecilnya unsur itu, maka ini berarti Dia membutuhkan unsur itu, atau dengan kata lain, unsur atau bagian itu merupakan syarat bagi wujud-Nya.

I

Page 127: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

119

Misalnya, jam tangan, yang terdiri atas: ada jarum yang menunjuk angka, ada logam, ada karet, dan lain-lain. Bagian-bagian tersebut dibutuhkan oleh sebuah jam tangan, tanpa bagian itu, ia bukan jam tangan.

Keragaman Keesaan Allah swt

Allah swt. adalah Tuhan Yang Maha Esa. Keesaan itu mencakup keesaan zat-Nya, keesaan sifat-Nya, keesaan perbuatan-Nya, serta keesaan dalam beribadah hanya kepada-Nya. Pertama, keesaan zat-Nya berarti bahwa seseorang harus percaya bahwa Allah swt. tidak berasal dari beberapa unsur, atau oknum (dwi tunggal) seperti 'Tuhan' dalam agama Zoroaster, atau tiga oknum (trinitas) seperti 'Tuhan' dalam agama Kristen/Hindu. Karena jika demikian, ketika itu Dia tidak lagi menjadi Tuhan, karena banyak.

Kita tidak dapat membayangkan Tuhan membutuhkan

sesuatu, perhatikan QS. Fâthir, 35:15, " ى هب اء للئئ ر زا مز الزف بئئ ا النباس ا اا ه

)ئئن م ي الزم هب ه أ الزغ نئئ Wahai seluruh manusia, kamulah yang butuh) "و kepada Allah swt., dan Allah swt. Mahakaya (tidak membutuhkan sesuatu), lagi Maha Terpuji); kedua, keesaan sifat-Nya berarti Allah swt. memiliki sifat yang sempurna, yang tidak sama dalam substansi dan kapasitasnya dengan sifat makhluk, walau dari segi bahasa, kata yang digunakan sama; ketiga, keesaan dalam perbuatan-Nya berarti segala sesuatu yang berada di alam raya ini, baik sistem kerjanya maupun sebab dan wujudnya, kesemuanya adalah hasil perbuatan Allah swt. semata, QS. al-

Kahfi, 18:39, " ب باللئئئ م ة ا ا ش آء اللئ ق ئأب " (Apa yang dikehendaki-Nya terjadi dan (apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak terjadi), tidak ada daya (untuk memperoleh manfaat) tidak pula kekuatan (untuk menolak mudhârat) kecuali bersumber dari Allah swt.), tetapi ini bukan berarti Allah swt. berlaku sewenang-wenang, atau bekerja tanpa sistem yang ditetapkan-Nya. Keesaan perbuatan-Nya dikaitkan dengan hukum-hukum, atau takdir dan sunnatullah yang ditetapkan-Nya.

Keempat, keesaan dalam beribadah kepada-Nya berarti manusia dituntut untuk melaksanakan segala sesuatu demi Allah swt., baik dalam bentuk ibadah mahdhah maupun ibadah sosial. Keesaan Allah swt. dalam beribadah adalah dengan melaksanakan

apa yang tergambar dalam QS. al-An'âm, 6:162 " ي ك سئئ ي و لا لنب مئئ

Page 128: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

120

( ال م الزعئئ ر ب اي مئئ م ال و )ئئ مز م ,Sesungguhnya salatku, ibadahku)"و hidup dan matiku, semuanya karena Allah swt., Pemelihara seluruh alam).

Fungsionalisasi Keesaan Allah swt

Mempercayai dan meyakini keesaan Allah swt. di atas, baik zat-Nya, sifat-sifat-Nya, perbuatan-Nya, dan keesaan dalam beribadah hanya kepada-Nya, semuanya itu pertanda bahwa kita, secara formal, sudah mengesakan-Nya. Namun dalam sudut pandang akidah Islam, tidak cukup hanya sampai di situ, karena bila demikian, itu berarti kita mengesakan-Nya baru dalam tahap melihat diri-Nya sendiri. Bukankah yang lebih excellent adalah bagaimana keesaan-Nya itu, secara fungsional, sudah berpengaruh dan mewarnai seluruh aspek kehidupan, baik ketika kita beri’tikad- niat, berkata, bertindak, dan bersikap.

Seluruh potensi yang dimiliki sudah seharusnya bersih dari praktek mempersekutukan Allah, bukan sebaliknya, menggantungkan hidup kepada selain-Nya, (pada benda-benda tertentu, sifat, dan sikap-perilaku) dalam seluruh aspek kehidupan, baik dalam kehidupan ibadah, akhlak, dan/atau kehidupan bermu’amalah duniawiyah, seperti: kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya dan seni, pembuatan kebijakan dan pemutusan suatu perkara, pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi, seperti ketika: mengajar, menguji, meneliti, melakukan pengabdian kepada masyarakat, berolahraga, buang air kecil dan besar, dan lain-lain sebagainya hingga ke yang terkecil sekalipun, misalnya, menurut Prof. Yusuf Qardhawi, apa ketika meludah dibuang ke arah kiri dan membaca basmalah sebelum meludah?, termasuk minta berkah di tempat tertentu, seperti: di kuburan tertentu, atau dalam bentuk sifat, seperti: riya' dalam beribadah dan bermu’amalah, dan sebagainya. Semua ini merupakan bagian-bagian penting yang seharusnya sudah bersih dari lingkungan komunitas Muslim.

Akhirnya, kajian ini berpesan bahwa apabila praktek hidup komunitas Muslim sudah terintegrasi dengan nilai-nilai tauhid sebagai landasan utama ajaran Islam, maka akan berdampak positif dalam kehidupan mereka berupa terbentuknya karakter-karakter mulia, lahirnya rasa bangga dan harga diri, tumbuhnya rasa rendah hati dan sikap optimisme pada diri mereka untuk

Page 129: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

121

maju fisik-material dan moral spiritual. Pada sisi lain, Allah memberikan jalan keluar dari setiap kesulitan, kelapangan dari setiap kesempitan, dan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka. Bahkan menurut Ibnu Taimiyah, ia akan berdampak positif dalam wujud: 1) membawa perubahan ke dalam hati manusia dari mengikuti berbagai kebiasaan hidup taghut ke sikap mematuhi dan mengabdi hanya kepada Allah swt.; 2) mengubah sikap hidup yang tadinya gundah, tak menentu arah dan tujuan, ke sikap hidup tenang, damai, bahagia di bawah kasih sayang dan kuasa Tuhan; 3) membebaskan manusia dari perbudakan manusia atas manusia, serta terbelenggu kehidupan duniawi, karena ia hanya taat dan patuh kepada Allah swt.; 4) melahirkan energi dahsyat melalui kemerdekaan hidup yang diperolehnya dalam melakukan perubahan-perubahan menuju suatu kehidupan yang berperadaban. Demikian, wa Allah a'lam, semoga!

Page 130: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

122

TAWASSUL PERSPEKTIF AKIDAH ISLAM

da dua term yang umumnya digunakan berkaitan dengan tawassu, yakni: wasilah dan tawassul. Kata 'wasilah' dari

bahasa Arab زل ئة( س berasal dari akar kata و س )زل ئة –و س و س yang berarti berbuat atau beramal untuk mendekatkan diri kepada sesuatu. Karena itu, kata 'wasilah' berarti jalan atau sarana yang menyambung dan mendekatkan sesuatu dengan yang

lain. البلئ لل ى سب berarti beramal untuk mendekatkan diri kepada و Allah swt. Wasilah menurut istilah akidah Islam berarti jalan atau sarana yang dijadikan oleh seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah swt., sesuai dengan yang disyari'atkan Allah swt., yakni iman dan amal saleh yang disertai dengan memperbanyak ibadah secara langsung kepada-Nya tanpa melalui perantara.

Sedangkan 'tawassul' ( س ,seakar dengan kata wasilah ( أ yang berarti melakukan sesuatu perbuatan yang dengan perbuatan tersebut dapat mendekatkan diri kepada sesuatu yang ditujunya. Karena itu, tawassul dalam pengertian agama Islam adalah meminta pertolongan kepada Allah swt. dengan menggunakan perantara (mediator) agar terpenuhi hajatnya dalam mendapatkan manfaat atau menolak mudhârat.

Tawassul dalam Sudut Pandang Para Ulama

Dalam al-Qur’an, kata 'wasilah' digunakan oleh Allah swt.

sebanyak dua kali, yaitu pada: QS. Al-Mâ'idah, 5:35, ن أا يم ا البذ اا ه

أن فزلم ل ع لبك مز س ب)ل في ن وا اه ج و )ل ة س الزأ لل )ز ابزا غ أا و هب -Hai orang) ابب أا orang yang beriman bertakwalah kepada Allah swt. dan bersungguh-sungguhlah mencari jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu

mendapat keberuntungan). Ayat kedua, QS. Al-Isra', 17:56-57, ز ق

ل لم ادزع أا البذ ي ا وز لا أ مز لك أن ك شزف الض ر ع نك مز و ز د و ف لا مز ا مز م ع مز ز

)ل ة س مز الزأ ب ه نزع أن بزا غ أن لل ى ر Katakanlah: "Panggillah mereka) البذyang kamu anggap (tuhan) selain Allah swt., maka mereka tidak akan mampu mengelakkan bahaya dari kamu dan tiada (juga) pengalihan. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan ke Tuhan mereka).

A

Page 131: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

123

Menurut para mufasir, yang dimaksud dengan wasilah pada ayat di atas adalah iman dan amal saleh, atau jalan yang dipakai seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah swt., seperti: usaha memperbanyak ibadah, berbuat kebajikan, menegakkan budi pekerti luhur, dan belas kasihan kepada sesama. Pandangan lain, wasilah adalah permintaan pertolongan kepada orang lain yang masih hidup untuk membacakan do'a dan memohonkan sesuatu kepada Allah swt. Hal ini pernah dilakukan oleh para sahabat Rasulullah saw. Mereka meminta Nabi saw. agar mendo'akan mereka. Umar bin Khattab pernah meminta Ibnu 'Abbas (paman Nabi saw.) ketika mengerjakan salat istisqâ' (minta hujan), agar membaca do'a.

Menurut Prof. Dr. Mutawalli al-Sya'rawi, sikap sahabat Nabi di atas didasarkan pada hadis riwayat Imam Muslim, Abu Daud, Imam al-Turmuzi, dan al-Nasa'iy. Karena itu, minta tolong kepada orang-orang yang masih hidup untuk dido'akan tidak dilarang oleh agama, dan inilah yang dimaksud wasilah dengan do'a Nabi saw., para wali, dan para orang saleh lainnya. Namun bertawassul kepada orang-orang yang sudah meninggal dunia, dalam pandangan al-Sya'rawi yang dikutip dari Ibnu Taimiah, sudah dipandang perbuatan syirik, karena untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. tidak perlu menyandarkan diri kepada roh-roh atau kesalehan orang-orang yang sudah meninggal dunia dan menjadikannya sebagai perantara. Ini adalah sikap kaum paganist

Arab Jahiliah. Dalam QS. Al-Zumar/39:3, Allah berfirman " البذ و

لزف ى ز هب لل ى ب أ ا ) ب ر ل ب ل عزب ن ه مز ا م ل) اء ا وز د و ز م ذ وا -Dan orang) " بخ orang yang mengambil pelindung selain Allah swt. (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah swt. dengan sedekat-dekatnya”).

Menurut Dr. Yusuf Qardhawi, perbuatan meminta tolong, meminta berkah, atau berdo'a agar dikabulkan niatnya, disembuhkan penyakitnya, dan sebagainya kepada Allah swt. lewat perantaraan orang yang sudah meninggal dunia termasuk perbuatan syirik akbar khâfi (syirik besar yang tersembunyi). Al-Sya'rawi juga memahami QS. Al-Isra', 17:56-57 di atas, bahwa berdo'a kepada Allah swt. melalui tawassul kepada Nabi, para wali, atau para orang saleh, tidak akan bermanfaat bagi manusia karena tidak dapat mengubah situasi dan kondisi, serta tidak akan dapat mengubah ketentuan dan takdir Allah swt., meskipun

Page 132: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

124

kedudukan para Nabi dan wali itu tinggi di sisi Allah swt. Menurutnya, wasilah yang benar adalah pendekatan diri kepada-Nya dengan ketaatan dan kepatuhan menjalankan perintah-Nya, serta menjauhi larangan-Nya. Menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab, ulama melarang bertawassul baik dengan nama Nabi, lebih-lebih dengan para wali dan orang-orang saleh, karena kekhawatiran hal tersebut tidak dipahami oleh masyarakat awam, yang seringkali atau boleh jadi menduga bahwa mereka itulah -baik yang telah wafat atau yang masih hidup - yang mengabulkan permohonan mereka, termasuk berperanan mengurangi peran Allah swt. dalam mengabulkan do'a mereka.

Akhirnya, dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut

1. Tawassul yang dibenarkan adalah yang sesuai dengan syari'at Islam, yakni tawassul dengan iman dan amal saleh, serta memperbanyak ibadah hanya kepada Allah swt. secara langsung tanpa melalui perantara.

2. Bertawassul atas nama Nabi, para wali, atau para orang saleh boleh saja selama mereka itu masih hidup, namun bertawassul kepada mereka yang telah meninggal merupakan perbuatan musyrik.

3. Bertawassul kepada seseorang yang masih hidup tidak banyak memberi manfaat pada manusia, karena ia tidak akan dapat juga mengubah ketentuan dan takdir Allah swt., sementara mereka yang dijadikan tawassul itu sendiri masih tetap meminta dan mencari wasilah dari Tuhan mereka.

Demikian, wa Allah a'lam, semoga!

Page 133: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

125

SAKIT

ak seorang pun yang senang menderita sakit. Apa arti kekayaan, pangkat yang tinggi, ilmu yang banyak, keluarga yang besar, sekiranya mereka terserang penyakit.

Jangankan penyakit yang tergolong berat, terkena penyakit gigi saja, rasanya segala kenikmatan makanan sudah lenyap. Apalagi terkena penyakit ginjal yang harus mencuci darah. Jika sudah terkena penyakit - baik orang miskin maupun orang kaya - mungkin baru menyadari betapa besar kekuasaan Allah swt. serta betapa manfaatnya nikmat kesehatan. Bayangkan berapa besar biaya yang dibutuhkan, jika Anda harus menggunakan oksigen.

Jika Anda sehat, Anda dengan bebas memanfaatkan udara yang sehat itu. Dalam pada itu, memang layak direnungkan QS al-Rahman, yang berulang kali mengingatkan: maka nikmat Tuhanmu manakah yang engkau dustakan?. Betapa tak ternilainya harga udara, darah, ginjal, hati, bahkan otak yang telah diberikan Allah swt. Memang tepat pada setiap salat wajib atau sunnat kita membaca doa, antara lain: berilah kesehatan kepadaku (wa’afini).

Walaupun kita sudah berdoa, tampaknya penyakit bisa datang secara tiba-tiba. Apalagi sakit juga merupakan suatu ujian, sebagaimana firman-Nya dalam QS Shad/38:34, yang terjemahnya: “Dan sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan dia tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh yang lemah karena sakit, kemudian ia bertobat”.

Wajarlah bila seorang Muslim menderita sakit - apalagi yang berat - menganggap hal itu sebagai musibah dan ujian. Karena harus disadari bahwa Allah swt., telah berfirman dalam surah al-Balad/90:4, yang terjemahnya sebagai berikut: “Dan demi, sesungguhnya Kami telah ciptakan manusia itu dalam serba kesusahan dan kesulitan”. Begitu juga dalam QS al-Insyiqaq/84:19, yang terjemahnya: “Sesungguhnya kamu wahai manusia akan mengalami kesulitan setingkat demi setingkat”.

Sebagai Muslim yang sedang sakit jangan putus asa, teruslah berobat. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi saw., yang telah diriwayatkan oleh al-Imam al-Turmuziy, dari Usama bin Syarikh dengan sabdanya: “Bahkan serombongan orang Arab dari Desa

T

Page 134: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

126

pernah bertanya kepada Nabi Muhammad saw., kata mereka: “Wahai Rasulullah, apakah kami diperintahkan untuk berobat? Nabi Muhammad saw. menjawab: “Berobatlah kamu sekalian, sesungguhnya Allah swt. setiap menjadikan sesuatu penyakit, diiringi-Nya dengan menjadikan obatnya, terkecuali penyakit tua”.

Uraian di atas menegaskan bahwa apabila umat Islam sakit harus berobat, banyak berdoa dan beristighfar, berinfak, serta bertobat kepada Allah swt. Karena setiap penyakit, ada obatnya, sebagaimana ditegaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir r.a., Rasulullah saw. bersabda, yang terjemahnya sebagai berikut: “Pada setiap penyakit ada obatnya, apabila bertemu obat dengan penyakit itu, maka akan sembuhlah dengan izin Allah swt.”

Berbicara mengenai hikmah sakit, jika kita renungkan, juga mempunyai mata rantai kehidupan ilmiah, teknologi, lapangan kerja, ekonomi, sosial, psikologi, teologi, dan lain-lain. Karena dengan munculnya penyakit, maka muncul pula para cendekiawan/ilmuan dan agamawan dalam dunia kedokteran, agama, dan farmasi, termasuk munculnya rumah-sakit rumah-sakit. Muncul pula pabrik farmasi, perdagangan obat, yang pada gilirannya juga banyak menyerap tenaga kerja. Kesemuanya, akhirnya menyangkut penghasilan karyawan farmasi, rumah sakit, pedagang obat dan mata rantai ekonomi selanjutnya. Termasuk pula tantangan para ilmuan untuk mencari obat baru, misalnya obat untuk kanker, AIDS, dan virus corona.

Dengan kehadiran pandemi Covid-19, hidup sehat kini menjadi obsesi semua orang. Pandemi Covid-19 telah memaksa kita semua untuk mengubah cara hidup. Sebelum ini hand-sanitizer hanya kita gunakan saat keluar masuk ruang rawat inap rumah sakit. Cuci tangan dengan sabun sebelumnya hanya saat sebelum dan sesudah makan. Namun kini setiap saat orang mencuci tangan. Kini semua orang tahu apa itu hand-sanitizer dan menggunakannya setiap saat. Masker dulu hanya digunakan tenaga medis, kini digunakan semua orang. Hal ini karena kesadaran masyarakat makin meningkat tentang mobilitas virus. Kini orang berlomba-lomba untuk mengkonsumsi makanan yang bergizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh, mengingat daya tahan tubuh adalah “obat” penangkal efektif Covid-19. Orang pun tanpa disuruh mulai rajin berolahraga dan berjemur.

Page 135: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

127

Pada sisi lain, kini sebagian besar orang berdiam di rumah dan menjalankan pekerjaan, belajar, dan beribadah dari rumah (Work From Home). Akibatnya jalan sepi, pasar sepi, toko tutup, warung sepi, dan mobilitas sosial makin terbatas. Kendati dampak positifnya luar biasa, polusi udara teratasi, lapisan ozon membaik, langit makin bening biru, sampah berkurang, dan udara makin segar. Saat bumi beristirahat seperti sakarang ini, mestinya menjadi momentum kita untuk merenung: apakah ketika pandemi Covid-19 berakhir lalu alam yang sudah tenang seperti ini akan tetap tenang dan membuat hidup kita lebih nyaman dan sehat, jawabannya ada pada diri kita masing-masing. Memang atas izin Allah juga, akan tetapi sebelumnya, yang ditunggu Allah swt., adalah sikap mental dan ikhtiar secara masif dari manusia itu sendiri menjadi syarat utama, mendahului perbuatan dan kehendak Allah (QS al-Ra’d/13:11). Melihat karakteristik Covid-19 dan multiplier effect yang ditimbulkan, prasangka baik kita adalah bahwa Tuhan tidak saja sedang menguji kesabaran kita, akan tetapi juga sedang meminta kita untuk senantiasa meng-install ulang tata kehidupan baru, yang selama ini mungkin dianggap keliru besar.

Akhirnya jika direnungkan, memang sakit banyak hikmahnya bagi umat manusia, terutama sekiranya dilihat dari mata rantai tersebut di atas. Sesungguhnya Allah Maha Besar dan Maha Agung, Allah Maha Tahu, khususnya tentang hikmah sakit bagi manusia. Bahkan bagi tumbuh-tumbuhan maupun hewan yang terserang penyakit. Yang pasti kesembuhan akan ada, jika Allah swt. mengizinkan termasuk pandemi Covid-19, insyaallah. Demikian, wa Allah a'lam, semoga!

Page 136: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

128

BENCANA

ejak kehadiran Covid-19 di Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok, yang hingga kini sudah menjadi pandemi Covid-19, yang sudah merenggut jutaan nyawa manusia dan yang

teinfeksi positif makin bertambah, perasaan kita memang pantas diliputi oleh kecemasan, ketakutan, dan/atau sekali-kali mengundang emosi yang meluap-luap hingga marah.

Kini, setelah bencana menyedihkan itu kelihatannya sudah mulai agak menurun, mungkin sikap kita bisa lebih arif dalam melihat sebuah bencana. Bukankah Allah swt. telah mengingatkan bahwa stiap peristiwa bencana mengandung pelajaran bagi orang-orang yang berakal? (QS Ali Imran/3:190). Karena itu pantaslah, kalau dalam rangka mencari jawaban dari bencana bersifat global ini muncul berbagai pertanyaan. Mengapa terjadi bencana Covid-19? Mengapa Allah membiarkan itu, bukankah Dia Maha Adil, lagi Maha Pengasih dan Penyayang? Sebagai orang beriman, saya kedepankan firman Allah dalam QS al-Baqarah/2:216, yang terjemahnya: “Boleh jadi engkau tidak senang kepada sesuatu, padahal itu baik untukmu”.

Nalar tidak dapat menembus semua dimensi kehidupan. Seringkali ketika ia memandang secara mikro, suatu bencana dinilainya buruk, jahat, dan sikap semacamnya. Akan tetapi ketika dipandang secara makro, keburukan itu menjadi unsur keindahan. Sekarang, mengapa ada keburukan, ada nasib baik dan nasib buruk, yang dialami manusia? Jenis manusia adalah satu-kesatuan (QS al-Baqarah/2:212), bahkan seluruh jagad raya. “Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya kecuali adalah umat (satu kesatuan) seperti kamu juga” (QS al-An’am/6:38).

Kalau demikian, pribadi demi pribadi secara sadar atau tidak, seharusnya bekerja sama dan saling topang-menopang demi kepentingan bersama. Dan untuk itu, ada di antara mereka yang menjadi “korban” demi kebahagiaan makhluk secara keseluruhan. Pengorbanan itu, pada hakekatnya, merupakan syarat kesempurnaan jenis makhluk, termasuk manusia. Korban yang mengalami keburukan harus ada, demi wujudnya kebaikan

S

Page 137: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

129

dan keindahan. Bagaimana mungkin manusia mengetahui nikmatnya sehat, bila tidak pernah merasakan penyakit? Apa arti kesabaran kalau tidak ada malapetaka?

Sekarang, siapa yang harus mengalami semua itu? Makhluk juga. Kalau bukan, siapa lagi? Apabila penderitaan itu terjadi karena kesalahannya, maka itu setimpal akibat dengan ulahnya. Sedang apabila ia tidak bersalah, maka pengorbanan manusia memperoleh ganjaran di sisi-Nya. Patut dicatat, bahwa Allah memberi manusia potensi untuk memikul kesedihan dan melupakannya. Begitu kata pakar dan bahkan isyarat al-Qur’an pun seperti itu, misalnya dalam QS al-Taghabun/64:11, yang terjemahnya: “Tidak satu petaka pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya”.

Manusia harus bekerja sama dalam memikul bencana, guna mencapai dan memahami tujuan kehadirannya. Yang menjadi korban telah pergi, menjelaskan kepada kita makna hidup, dan keharusan bekerja sama. Mampukah kita membalas budi mereka, terutama para petugas medis yang telah mendapat amanah dari pemerintah untuk menangani Pandemi Covid-19 dan telah korban meninggal sebagai ‘syuhada’ dan pahlawan kemanusiaan, kalau bukan berupa perhatian kepada keluarga yang ditinggalkan oleh si korban, maka paling tidak doa, “semoga Allah menerima baik arwah para pahlawan kemanusian itu sebagai husnul khatimah”.

Dalam pada itu, sebagai orang beriman, kita pantas menyambut bencana Covid-19 itu dengan ucapan “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami kembali”. Allah swt. menyebut orang yang senantiasa membaca kalimat istirja’, ketika ditimpa musibah sebagai “penyabar” (QS al-Baqarah/2:155-156). Dengan sikap demikian, kita tidak akan dirundung penyesalan yang berkepanjangan. Apalagi Rasulullah saw. telah menjanjikan syahadah (mati syahid) bagi orang yang keluar (rumah) demi kebaikan lalu meninggal dalam perjalan. Bila mereka yang meninggal pada bencana Covid-19 itu adalah pelajar yang berangkat menuntut ilmu, atau orang tua yang dalam perjalanan mencari nafkah buat keluarganya, insyaallah tidak diragukan lagi pesan Rasulullah saw., bahwa tiada lain balasannya kecuali sorga. Demikian, wa Allah a'lam, semoga!

Page 138: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

130

PENYEIMBANG FIKIR

ada tulisan sebelumnya bertema “Beribadah dan Berfikir” dikemukan bahwa makhluk manusia lebih istimewa dibanding makhluk lain karena fikiran dan akalnya.

Walaupun masih banyak potensi kemanusiaan lain yang membuatnya lebih, akan tetapi hingga kini asumsi tersebut tetap diakui kebenarannya. Karena itu tidak mengherankan kalau ada anggapan, semakin tinggi kualitas fikir seseorang, akan semakin tinggi pula kualitas potensi kemanusiaannya, demikian juga sebaliknya. Fikir pada hakekatnya menghasilkan sains dan teknologi, sementara ilmu adalah kunci lahirnya peradaban suatu bangsa.

Kegiatan fikir berlangsung terus-menerus, tetap dan tak terbatas, serta tak mengenal batas waktu dan ruang, kapan saja dan di mana saja. Ia mampu menerobos ke hari esok yang panjang dan menyelam ke hari silam, yang juga panjang, menelusuri kebenaran untuk senantiasa menjadi kenyataan hari ini dan esok, yang dalam hal ini sudah banyak yang dihasilkan. Kemajuan ilmu dan teknologi adalah salah satu bukti nyata dari keberhasilannya.

Pada hakikatnya, kebenaran yang menjadi objek kegaiatan fikir manusia tidak hanya berupa ilmu. Kita masih memerlukan yang lain, yakni hikmah. Itulah sebabnya maka tugas para Nabi dan Rasul Allah swt. adalah mengajarkan ilmu dan hikmah.kepada manusia untuk tercapainya keseimbangan kehidupan (QS al-Baqarah/2:151)

Ilmu terdapat dalam literatur perpustakaan, dokumen-dokumen tertulis, dan kitab suci yang diturunkan oleh Allah. Semuanya dilambangkan oleh Allah dengan istilah, al-Kitab (buku). Selain itu, ia juga terdapat di alam semesta berupa aturan-aturan dan hukum-hukum alam. Semua dilambangkan oleh Allah dengan istilah ayat (tanda-tanda kebesaran Allah) baik ayat-ayat kauliyah dan ayat-ayat kauniyah, atau dikenal dengan mana sunan (QS al-Ahzab/33:33).

Berbeda dari ilmu, hikmah bisa dipelajari tetapi tidak bisa diberikan. Ia bisa dipahami dan dimengerti, tetapi tidak dapat dimiliki hanya dengan olah fikir. Pemberian hikmah kepada

P

Page 139: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

131

manusia berada dalam otoritas Allah dan tergantung sepenuhnya kepada kemauan-Nya (QS al-Baqarah/2:269). Ambisi manusia modern yang berlebihan dalam urusan-urusan keduniaan telah membuatnya lupa arti penting hikmah dalam kehidupan.

Kita memerlukan penyeimbang kegiatan olah fikir untuk mencapai kebenaran yang diperlukan. Kalau olah fikir adalah kegiatan yang tak terbatas, maka yang diperlukan adalah kegiatan spiritual yang juga tak terbatas. Salah satunya kegiatan spiritual yang tak terbatas adalah zikir. Dan bacaaan zikir yang paling utama adalah la ilaha illa Allah (tidak ada Tuhan kecuali Allah). Zikir artinya ingat Allah, baik dengan lisan, tindakan nyata, maupun dengan hati, yang dilakukan karena lupa atau karena ingin mengabdikan diri kita kepada Allah swt. Seperti halnya fikir, ia dapat dilakukan dengan segala sikap, duduk maupun tidur, dengan suara nyaring maupun tanpa suara (QS Ali Imran/3:190-191).

Berbeda dari ibadah-ibadah lain, zikir justru diperintahkan untuk dilakukan dalam semua sikap dan waktu (QS al-Ahzab/33:205). Allah juga memerintahkan kita untuk berzikir sebanyak mungkin tanpa batas angka (QS al-Anfal/8:46). Terkadang kita mengira, zikir itu membuang-buang waktu, mengganggu konsentrasi kegiatan olah fikir, dan sebagainya. Anggapan ini sebenarnya didasarkan atas ketidakpahaman kita tentang zikir. Zikir itu memberi ketenangan jiwa, yang kemudian memberi kekuatan konsentrasi dan kejernihan berfikir (QS al-Ra’d/13:28). Ia selalu lahir di setiap pekerjaan kita, disertai dengan kehadiran Allah. Karena “siapa yang ingat Saya” kata Allah, “Saya akan mengingatnya (QS al-Baqarah/2:52)”.

Salah satu fenomena dari berzikir adalah berfikir tentang kebesaran kekuasaan Allah swt. Karena itu, zikir berhubungan erat dengan ilmu pengetahuan (ma’rifat). Zikir tidak akan sampai kepada tujuannya, bila dalam berzikir, kita tidak dapat merasakan kebesaran Allah lewat berfikir. Maka tidak mengherankan, bila Allah di banyak ayat, seringkali menggandeng perintah berzikir dan berfikir (QS Ali Imran/3:191). Akhirnya betapa mudahnya berzikir, betapa besar kegunaannya, betapa besar pahalanya. Marilah mulai hari ini kita jadikan semboyan berikut sebagai jalan hidup kita, “tiada fikir tanpa zikir dan tiada zikir tanpa fikir”. Demikian, wa Allah a'lam, semoga!

Page 140: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

132

BERIBADAH DAN BERPIKIR BASIS

PERADABAN KLASIK ISLAM

QS Saba’/34:46;

ا مر روا كى ترترفر ثمى درى ورفرر ثنر مر ى لله ترقوموا ن رأ ة حدر ور ب عظكم

رأ ا إنىمر قل

يد د اب شر ذر ي عر ير لىكم برير يردر نىة إن هور إلى نرذ ن ج بكم م اح .بصر"Katakanlah (Nabi Muhammad saw.): "Sesungguhnya aku hanya berpesan kepada kamu suatu hal, (yaitu) supaya kamu bangkit karena Allah, berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu (benar-benar) berfikir (perihal siapa yang menyampaikan ajaran Islam, yaitu Nabi Muhammad saw., bahwa) tidak ada pada kawan kamu sedikit kegilaan (pun). Dia tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan bagi kamu sebelum (datangnya) azab yang sangat keras".

yat di atas menegaskan bahwa Nabi saw. diperintahkan untuk menyampaikan pesan yang terdiri atas dua hal, namun hakikatnya tunggal, yaitu beribadah dan berfikir.

Objek beribadah adalah Allah, sedang objek berfikir adalah makhluk-makhluk Allah berupa fenomena alam. Ini berarti bahwa pengenalan kepada Allah lebih banyak dilakukan oleh kalbu, sedang pengenalan alam raya didasarkan pada penggunaan akal, yakni berfikir. Akal memiliki kebebasan seluas-luasnya untuk memikirkan fenomena alam, akan tetapi ia memiliki keterbatasan dalam memikirkan zat Allah. Hal ini dipahami dari Sabda Nabi saw., yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim melalui Ibnu ‘Abbas, yang terjemahnya: “Berfikirlah tentang makhluk Allah dan jangan berfikir tentang zat Allah”.

Manusia yang membaca lembaran alam raya, niscaya akan mendapatkan Allah swt. Sebelum manusia mengenal peradaban, mereka yang menempuh jalan ini dan telah menemukan kekuatan itu (Allah swt.), walau nama yang disandarkan untuk-Nya bermacam-macam, seperti: Penggerak Pertama, Yang Maha Mutlak, Pencipta Alam, dan sebagainya. Bahkan seandainya mata tidak mampu membaca lembaran alam raya, maka mata hati

A

Page 141: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

133

dengan cahayanya akan menemukan Allah swt. Karena mengenal Tuhan ada dalam jangkauan kemampuan manusia melalui lubuk hatinya. Ini disebabkan karena kehadiran Allah dan keyakinan akan keesaan-Nya adalah fitrah yang menyertai jiwa manusia (QS al-Rum/30:30). Fitrah itu tidak dapat dipisahkan dari manusia, meskipun mungkin tingkatan-tingkatannya berbeda-beda.

Bagi mayoritas umat Islam, makna firman Allah QS Saba’/34:46 di atas sudah jelas, yaitu bahwa beribadah dan berfikir adalah dua kegiatan yang tidak boleh dipisahkan (QS Ali Imran/3:191). Beribadah yang mempunyai efek pendekatan pribadi kepada Allah mengandung arti penginsafan diri pribadi akan makna hidupnya, yaitu makna hidup yang berpangkal dari keyakinan bahwa kita berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Oleh karena itu, dengan sendirinya diharapkan bahwa seseorang yang beribadah akan sekurang-kurangnya memiliki pembentengan diri dari kemungkinan tergelincirnya pada kejahatan. Inilah makna firman Allah bahwa salat mencegah orang dari perbuatan keji dan munkar (QS al-Ankabut/29:45).

Menurut Dr. Nurcholish Madjid, dengan beribadah diharapkan mempunyai efek tumbuh dan menguatnya komitmen moral, yaitu rasa keterikatan batin akan keharusan berbuat baik kepada sesama manusia. Juga berarti diharapkan bahwa seseorang yang beribadah mempunyai dorongan yang tulus untuk bekerja dan berkegiatan yang membawa manfaat kepada sesamanya. Di sinilah relevansinya berfikir sebagai gandengan beribadah. Yaitu bahwa kita tidak dibenarkan begitu saja melakukan sesuatu yang kita anggap baik sebagai hasil dorongan ibadah kita. Namun tanpa pengetahuan yang diperlukan untuk merealisasikannya secara benar. Dalam masyarakat sering terjadi seseorang dengan dorongan kemauan baik hendak berbuat suatu kebajikan, namun hasilnya justeru merugikan orang lain. Maka orang itu, karena kemauan baiknya, mungkin akan tetap mendapatkan pahala di akhirat nanti, sebaliknya karena tiadanya pengetahuan, kemauan baiknya sendiri yang ia laksanakan secara tidak benar, mungkin saja ia malah akan membuat sesamanya celaka. Itulah sebabnya ditegaskan dalam QS al-Mujadalah/58:11, yang terjemahnya: “Bahwa keunggulan akan diberikan Allah kepada mereka yang beriman dan berilmu”. Jadi, tidak beriman saja tanpa ilmu, dan juga tidak berilmu saja tanpa iman.

Page 142: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

134

Perpaduan antara zikir dan pikir, antara iman dan ilmu itu dalam Islam, menjadi dasar bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman klasik Islam yang maju. Kini para sarjana sepakat bahwa sebagian besar dari ilmu pengetahuan modern sekarang ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari pokok-pokok pemikiran ilmiah zaman klasik Islam. Ayat 191, surah Ali Imran di atas mendahulukan zikir atas pikir, karena dengan zikir mengingat Allah dan menyebut nama-nama dan keagungan-Nya, hati akan menjadi tenang. Dengan ketenangan, pikiran akan menjadi cerah bahkan siap untuk memperoleh limpahan ilham dan bimbingan Ilahi, yang melahirkan peradaban Islam (Tafsir al-Mishbah, 2/294-295).

Kehadiran penggalan ayat 191, yang berbunyi: “rabbanaa maa khalaqta haadzaa baathilan/Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia”, adalah sebagai natijah (hasil) dan kesimpulan dari upaya zikir dan pikir. Penggalan ayat tersebut juga dipahami sebagai bagian dari ucapan mereka, yang dilanjutkan dengan ucapan, “Sesungguhnya siapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka ... dan seterusnya”, sehingga berarti bahwa mereka berzikir dan berpikir, seraya berkata, “Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini sia-sia”, yang sangat mengagumkan ini, mampu melahirkan peradaban Islam klasik itu, sekaligus menunjukkan semakin dalamnya pula iman dan rasa takutnya kepada Allah swt. Hal ini dipahami, antara lain, dari apa yang tercermin pada permohonan untuk dihindarkan dari siksa neraka.

Dalam term lugawi, peradaban dipahami sebagai “kemajuan masyarakat”. Menurut Samuel Huntington, peradaban mengandung tiga macam pengertian: 1) menunjuk pada keadaan beradab, yakni memiliki tabiat baik dan pengendalian diri. Ia berasal dari kata “adab” yang berarti “kehalusan dan kebaikan budi pekerti”. Pada masa permulaan Islam, kata adab selain berarti "akhlak yang baik", juga berarti "pengajaran dan pendidikan yang baik", seperti terlihat dalam sabda Nabi saw., yang berbunyi "addabani rabbi fa'ahsana ta'dibi" (Tuhan-ku telah mendidikku dengan pendidikan yang sebaik-baiknya); 2) menunjuk pada makna kemajuan ilmu pengetahuan dan pendidikan; 3) menunjuk pada pada makna kebudayaan.

Page 143: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

135

Akhirnya, peradaban tidak dapat dilepaskan dari keberadaban seluruh sisi kehidupan masyarakat. Beradab dalam ibadah, zikir, pikir, bahasa, beradab dalam tradisi dan budaya, beradab dalam informasi dan telekomunikasi, beradab dalam politik, beradab dalam ekonomi, beradab dalam hukum; beradab dalam lingkungan sekitarnya, juga beradab dalam bermasyarakat, berbangsa, dan beragama; 2) menunjuk pada makna kemajuan ilmu pengetahuan dan pendidikan; 3) menunjuk pada pada makna kebudayaan; 4) menunjuk pada makna "cinta pada pekerjaannya", serta 5) menunjuk pada makna yang sama dengan civilization. Suatu istilah untuk menggambarkan “keberaturan” yang melahirkan kemajuan serta kemakmuran “masyarakat kota” dan “peradaban dunia Islam” di masa klasik. Kemajuan dan kemakmuran bersama tidak akan terwujud tanpa “keberaturan”. Keberaturan tidak akan ada tanpa kehendak kuat mengendalikan hawa nafsu atau ego masing-masing. Jika ego terkendali, manusia akan berada pada posisi kemanusiaannya yang murni. Kemanusiaan yang tak terkontaminasi oleh hawa nafsu. Posisi kemanusiaan yang dalam agama diistilahkan sebagai fitrah. Dalam fitrah, hati dengan hati akan tersambung, manusia dengan manusia akan terhubung. Bila demikian, kemajuan dan kemakmuran bersama akan segera tercapai - pasca Pandemi Covid-19 - tanpa penghalang. Demikian, wa Allah a'lam, semoga!

Page 144: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

136

KREDIT

uatu hari, para sahabat mengusung jenazah menuju Nabi Muhammad saw. Sebelum menyembahyangkannya, Nabi saw. bertanya, “Adakah jenazah ini punya tanggungan

kredit?” Mereka menjawab, “tidak”, maka beliau pun salat atasnya. Akan tetapi ketika keesokan harinya, sahabat Nabi saw. mengusung satu jenazah lain kepada beliau, Nabi saw. enggan menyembahyangkannya, dengan alasan jenazah ini punya tanggungan kredit. Beliau meminta para sahabat saja menyalatkannya. Baru setelah Abu Qatadah berjanji akan membayarkan utangnya, Nabi saw. mau salat atas jenazah itu.

Para ahli tafsir sependapat bahwa keengganan Nabi saw. itu tak berarti perintah larangan untuk menyalatkan jenazah seseorang yang belum membayar kreditnya. Dengan penolakan menyembahyangkannya sendiri, Nabi saw. hanya ingin mencegah kebiasaan untuk membuat perjanjian utang tanpa berikhtiar membayarnya kembali.

Islam memang tidak membenarkan penundaan pembayaran kredit alias utang tanpa alasan yang dapat diterima. Dalam sebuah hadis riwayat al-Imam al-Bukhari dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda: “Adalah tidak adil bila seseorang mampu, akan tetapi menangguhkan pembayaran utangnya”. Bahkan pada riwayat lain, Nabi saw. bersabda: “Penundaan utang seseorang yang sanggup untuk membayarnya sama dengan menjatuhkan hukuman dan kehormatan dirinya sendiri”.

Islam mengakui kredit konsumtif untuk memenuhi kebutuhan minimun yang mutlak diperlukan. Untuk memenuhi kebutuhannya, manusia harus berusaha. Karena kebutuhan minimun fisiologis itu tak sama bagi setiap orang di semua negeri dan di segala zaman, maka sebagian orang dapat mengusahakan pinjaman untuk memenuhi keperluan pokok pribadinya. Namun, pada era global kini, tampak kecenderungan orang mengalahkan kebutuhan minimum dengan faktor-faktor fisiologis, seperti sikap imitatif dan dorongan menonjolkan diri. Ini namanya pemborosan.

S

Page 145: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

137

Islam tidak mengakui kredit konsumtif yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan buatan seperti itu. Nabi Muhammad saw. pernah memperingatkan kepada para sahabatnya, dengan sabdanya: “Barangsiapa berutang dengan maksud akan membayarkannya kembali, Allah akan membayar atas namanya. Dan barangsiapa berutang dengan maksud hendak memboroskannya, Allah akan menghancurkan hidupnya”. Dengan demikian, permohonan kredit tanpa suatu sebab yang dapat dibenarkan, Nabi saw. cenderung menolaknya, bahkan Allah akan menghancurkan hidup penerima kredit semacam itu.

Sebenarnya, Nabi saw. sendiri diriwayatkan bahwa beliau selalu berusaha menghindar dari kredit. Hadis riwayat al-Bukhari, dari Sayyidina ‘Aisyah r.a. berkata, “Rasulullah saw. biasa berdoa dengan mengucapkan kata-kata, “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan berutang, Salah seorang bertanya kepadanya, ya Rasulallah, mengapa begitu sering Engkau berlindung dari utang?, jawabnya, “Bila orang berutang, dia berdusta, berbohong, dan berjanji, tetapi ia memungkiri janjinya”.

Nabi saw. mencatat bahwa kecenderungan memungkiri janji—misalnya menunda-nunda pembayaran utang—merupakan watak banyak pengambil kredit. Dalam pada itu, al-Qur’an mensyaratkan pemberlakuan prinsip perjanjian pada setiap transaksi kredit, sebagaimana firman Allah dalam QS al-Baqarah/2:282, yang terjemahnya: “Apabila kamu berutang-piutang satu sama lain untuk waktu tertentu, hendaklah kamu menuliskannya. Hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkannya”. Perintah dari ayat ini sangat tegas, bahwa setiap transaksi utang-piutang mesti tertulis tanpa merugikan si peminjam. Sang kreditor dicegah jangan sampai berlaku tidak adil kepada orang yang berutang. Dan pada ayat yang sama, Allah juga menegaskan bila suatu pinjaman dibuat atas nama orang yang belum dewasa, atau kurang waras akalnya, maka walinya atau mereka yang mewakili kepentingannya diminta membacakan syarat-syarat perjanjian tersebut.

Akhirnya, spirit al-Qur’an dan hadis Nabi saw. mengakui bahwa membayar utang memang bukan perbuatan ringan, laksana hadiah atau anugerah yang jatuh begitu saja dari langit. Akan tetapi ia merupakan suatu kondisi yang harus diperjuangkan perwujudannya lewat kesungguhan, kesabaran, dan pengorbanan.

Page 146: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

138

Itulah sebabnya Rasulullah saw. senantiasa memuji orang-orang berdisiplin dalam membayar utangnya dengan sabdanya, “Sebaik-baik orang yang berutang adalah mereka yang ketika sudah memiliki kemampuan, mereka pun bersegera membayar utangnya”. Selain itu, ayat 282 surah al-Baqarah di atas mengandung prinsip-prinsip keseimbangan dalam hal transaksi kredit atau utang piutang. Pada satu sisi, Allah ingin mencegah kreditor dari berbuat kezaliman terhadap orang yang berutang atau pengambil kredit. Dan pada sisi lain, Allah meminta orang-orang berutang mau berkomitmen secara tulus untuk melakukan usaha-usaha masif, dan setelah memiliki kemampuan, ia bersegera membayar kembali pinjamannya. Demikian, wa Allah a'lam, semoga!

Page 147: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

139

SEDEKAH

ebuah ilustrasi, bahwa suatu hari seorang pejabat dari eselon I diminta memberikan sambutan dalam suatu upacara keagamaan. Setelah memberi salam, ia mulai berceramah.

Dalam wejangannya, ia menyinggung masalah kemiskinan yang memang lagi ramai diperbincangkan oleh berbagai kalangan di dunia global sekarang ini, akibat dampak buruk dari pandemi Covid-19 itu. Ia menekankan bahwa “kita harus membantu fakir-miskin. Kekayaan yang kita miliki tak akan kita bawa mati. Karena itu, berbagilah rezeki dengan mereka”, katanya.

Hadirin, yang menyimak “ceramah” itu pun manggut-manggut. Yang disampaikan sang pejabat tadi, memang benar adanya. Dengan sedekah itu minimal siapa pun bisa memupuk perasaan bermurah hati dan bisa membantu kepada sesama, yang kebetulan kurang bernasib baik. Namun, sayangnya ketika ia keluar dari gedung dan ada peminta yang mengemis-ngemis, ia menolak memberikan uang kecil dari sakunya. Padahal beberapa hadirin telah mendahului memberikan uang receh kepada pengemis itu. Agaknya, apa yang diucapkan si pejabat tadi hanyalah basa-basi. Kepedulian kepada sesama memang mudah diucapkan, akan tetapi sulit untuk mengamalkannya.

Dalam perspektif al-Qur’an, al-birr atau kebajikan (yang sempurna), belum akan dapat dicapai sebelum seseorang menafkahkan sebagian hartanya (yang disukainya) kepada orang lain (QS Ali Imran/3:92). Sedemikian pentingnya arti sedekah, instruksi pertama yang dilakukan Rasulullah saw. setelah hijrah dari Mekah memasuki kota Yatsrib (Madinah) adalah, “Sedekahkanlah makanan”. Sedekah dalam bahasa al-Qur’an, antara lain, dikiaskan sebagai qardlan hasanan (mengutangkan dengan utang yang baik kepada Allah swt.), sebagaimana firman-Nya dalam QS al-Baqarah/2:245, yang terjemahnya: “Siapa yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah swt.), maka Allah akan memperlipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak”. Di lain tempat, Rasulullah saw. bersabda: “Tidak akan berkurang harta yang disedekahkan, bahkan bertambah”.

S

Page 148: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

140

Dalam kitab al-Mawa’izh al-‘Ufuriyyah diceritakan, bahwa suatu hari Ali bin Abi Thalib mempunyai uang 6 dirham. Dengan uang itu, ia ingin membelikan makanan buat kedua putranya, Hasan dan Husein. Namun tiba-tiba ada seorang pengemis, yang mengadu kepadanya bahwa ia sangat membutuhkan uang. Lalu dengan serta merta Ali bin Abi Thalib memberikan semua uangnya. Ketika pulang dengan tangan kosong, isterinya Fatimah al-Zahra’ pun menanyakannya. Ali kemudian menjawab, bahwa uangnya telah dipinjamkan kepada Allah swt. Tak lama kemudian, Ali bermaksud menemui Nabi saw. Di tengah jalan dia bertemu dengan seseorang yang sedang menuntun unta. Orang itu, lalu menawarkan untanya kepada Ali. “Aku tak punya uang”, jawab Ali. “Bayarlah di kemudian hari jika Engkau sudah punya uang, dengan harga 100 dirham”, kata lelaki yang tidak dikenalinya itu.

Ketika Ali sedang menuntun untanya, ia bersua dengan laki-laki lain, dan menawarkan untanya dengan harga 300 dirham. Tanpa pikir panjang, Ali pun menjual untanya itu. Uang 100 dirham lalu diberikan kepada laki-laki pertama, sedang sisanya menjadi miliknya. Suatu ketika Ali menghadap Nabi saw., beliau pun menjelaskan, bahwa lelaki pertama tadi adalah malaikat Jibril, sedang lelaki kedua adalah malaikat Mikail. Agaknya itulah yang dimaksud dengan sedekah yang dilipatgandakan Allah swt.

Sedekah kepada para fakir-miskin berfungsi sebagai obat penyelamat, sebagaimana sabda Nabi saw., yang terjemahnya: “Obatilah pasienmu dengan sedekah”. Sedekah juga berfungsi sebagai sarana yang dapat melembutkan hati yang keras, sebagaimana Nabi saw. bersabda, yang terjemahnya: “Barang siapa yang mengalami kekerasan hati, maka kata beliau “Hendaklah memperbanyak sedekah”. Ia juga berfungsi sebagai penangkal segala bentuk bala’, bencana, dan musibah yang mengancam kita, sebagaimana sabda Nabi saw., yang terjemahnya: “Sedekah adalah penangkal segala macam bala’ dan/atau musibah sekaligus dapat memperpanjang usia”.

Pada sisi lain, sedekah berfungsi sebagai tabungan kita kepada Allah yang sifatnya abadi hingga di akhirat. Suatu ketika, Rasulullah saw. menyembelih seekor kambing, setelah itu ia berangkat ke masjid untuk memimpin shalat jama’ah. Setelah Rasulullah saw. kembali dari masjid, beliau menanyai isterinya ‘Aisyah r.a., “Apakah Engkau telah membagi-bagikan kambing

Page 149: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

141

yang disembelih tadi?” Tanya Nabi saw. kepada isterinya ‘Aisyah r.a., lalu ‘Aisyah menjawab: “Telah habis, yang tinggal untuk kita hanya lengannya”. Nabi meluruskan: “Yang (akan) habis adalah lengannya, sedang yang tinggal untuk milik kita selama-lamanya adalah yang engkau telah bagikan itu dengan niat karena Allah”. Sabda Nabi saw. meluruskan redaksi ‘Aisyah, yang dibagikan itulah (ganjarannya) yang akan kekal dan menjadi milik pemberinya di akhirat kelak. Demikian contoh pengajaran Nabi saw. menyangkut sedekah dan zakat.

Dalam pada itu, untuk bersedekah, seseorang tidak perlu menunggu hingga kaya. Kata Nabi saw., sedekah yang paling uatama adalah dengan memberi minum segelas air putih kepada orang lain. Diriwayatkan, ada seorang wanita penghibur yang diampuni dosa-dosanya karena menyelamatkan seekor anjing yang kehausan di tengah padang sahara. Ia menimba air di sumur dengan sepatunya untuk memberi minum hewan yang mau mati itu. Pada era modern kini, kita mungkin sudah kesulitan mencari hewan yang kehausan seperti itu. Yang banyak justeru kalangan du’afa’ di lingkungan kita. Sudahkah kita menyantuni mereka?

Al-Qur’an menegaskan bahwa pemberian berfungsi mensucikan dan mengembangkan harta si pemberi, serta melahirkan ketenangan dan ketenteraman hidup. Dengan sedekah dan zakat, jiwa pemberi dan penerima akan tenteram, si pemberi akan dapat lebih tenang tidur, lebih tekun mengelola usahanya, sehingga dapat semakin berkembang. Inilah zakat dalam arti harfiyahnya adalah kesucian dan pengembangan. Bukankah kecemburuan sosial atau kedengkian dan iri hati (QS Muhammad/47:37) lahir dan berkembang pada saat si miskin melihat si kaya hidup berkelebihan tanpa mengulurkan tangan kepada yang butuh?

Manusia sebagai makhluk sosial, tak dapat hidup sendirian, ketergantungannya kepada pihak lain menuntutnya untuk memberi sebahagian dari kelebihan yang dimilikinya, bukankah perolehannya itu tidak terlepas dari bantuan pihak lain? Keberhasilan petani adalah berkat adanya irigasi, alat-alat (walau sederhana), makanan, pakaian, stabilitas keamanan, yang semua itu tidak mungkin dapat diwujudkannya sendiri, pedagang pun demikian, siapa yang menjual kepadanya dan siapa pula yang membeli?

Page 150: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

142

Di samping di atas, bukankah seluruh hasil produksi, pada hakekatnya, hanya merupakan pemanfaatan bahan mentah yang telah diciptakan dan dimiliki oleh Allah? Manusia hanya mengubah, menyesuaikan, dan merakit. Apakah setelah itu semua tidak wajar si pemilik memberikan sesuatu kepada yang butuh, tetapi bukan semua yang ada dalam genggaman tangan. Kalau pedangang, misalnya, hanya dua setengah persen dari jumlah harta, yang telah dimiliki setahun penuh dan telah mencapai nilai senisab (sama dengan 94 gram emas), itu pun dengan syarat ia dikembangkan, bukan yang berupa tempat kediamannya, bukan pula perhiasan yang dipakainya. Tidakkah wajar manusia yang berasal dari satu keturunan (Adam a.s.) hidup dalam satu lingkungan secara damai dan harmonis, sebangsa lagi, seagama atau tidak seagama, tidakkah wajar saling bantu-membantu? Hubungan persaudaraan bukan sekadar hubungan take and give, tetapi lebih luhur, yaitu memberi tanpa menanti imbalan, membantu tanpa diminta, bahkan sebelum diminta.

Akhirnya, itulah falsafah zakat harta dan sedekah, lain pula zakat fithrah, ia diwajibkan terhadap setiap Muslim, walau bayi yang lahir pada detik terakhir bulan Ramadhan, dan menikmati beberapa detik dari malam lebaran. Semuanya dituntut untuk menunaikannya, karena ia adalah lambang kesediaan setiap Muslim untuk memberi hidup dan kehidupan kepada orang lain dengan niat ikhlas karena Allah swt. Demikian, wa Allah a'lam, semoga!

Page 151: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

143

MAKANAN

alam al-Qur’an, makanan dibahas dengan term, antara lain, tha’am, yang dengan berbegai bentuk derivasinya terulang sebanyak 48 kali. Ia berbicara tentang berbagai aspek

berkaitan dengan makanan, bahkan minuman pun termasuk dalam pengertian tha’am. Kata syariba (minum) baru digunakan al-Qur’an bila menunjuk pada makna khusus atau menjadi objek langsung berkaitan dengan air minum, misalnya, dalam QS al-Baqarah/2:249. Begitu pentingnya kedudukan makanan dalam kehidupan, sehingga al-Qur’an memposisikan makanan sebagai salah satu konsideran mengapa Allah swt. wajib wujudnya untuk disembah, sebagaimana firman-Nya dalam QS Quraisy/106:3-4, yang terjemahnya: “Maka, hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemelihara Pemilik rumah ini (yakni Ka’bah). (Allah swt.) Yang telah memberi makan mereka setelah lapar dan memberi mereka rasa aman dari ketakutan”. Dari ayat ini dipahami bahwa al-Qur’an menjadikan kecukupan pangan serta terciptanya stabilitas keamanan, yang keduanya menjadi faktor utama kewajaran beribadah kepada Allah swt.

Perintah Makan

Al-Qur’an memerintahkan kita untuk mengonsumsi makanan dengan bahasa yang menarik dalam wujud didahului oleh panggilan mesra dari Allah swt. Misalnya, yang ditujukan kepada seluruh manusia dengan menggunakan “ya ayyuhan nas”; yang ditujukan kepada rasul dengan bahasa “ya ayyuhar Rasul”; yang ditujukan kepada orang-orang mukmin dengan bahasa “ya ayyuhal ladzina amanu”; yang kesemua term tersebut Allah swt. selalu rangkaitan dengan kata-kata halalan (boleh) dan/atau thayyibah (baik dan bergizi). Ini menunjukkan bahwa makanan yang terbaik adalah yang memenuhi kedua sifat tersebut.

Ditemukan dalam al-Qur’an bahwa dari 9 ayat yang memerintahkan orang-orang mukmin untuk makan, lima di antaranya dirangkaikan dengan kata halalan (boleh) dan/atau thayyibah (baik dan bergizi). Dua di antaranya dirangkaikan dengan pesan mengingat Allah dan membagikan makanan kepada orang melarat dan butuh, sekali dalam konteks memakan

D

Page 152: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

144

sembelihan yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, dan sekali dalam konteks berbuka puasa (M. Quraish Shihab).

Makanan Seimbang dan Beragam

Al-Qur’an memerintahkan kita untuk mengkonsumsi makanan seimbang dan beragam (QS al-Rahman/55:7-11 dan QS ‘Abasa/80:24-32. Ayat-ayat ini menuntut manusia agar mempertahankan dan mengembangkan keseimbangan itu dengan adil. Menurut Prof. Veni Hadju (Guru Besar Gizi dari FKM UNHAS), makanan seimbang adalah makanan sehat yang bersumber dari halalan (boleh) dan thayyibah (baik dan bergizi), sebagaimana firman Allah dalam QS al-Baqarah/2:168, yang terjemahnya: “Hai seluruh manusia! Makanlah yang halal, lagi baik dari apa (yang terdapat) di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; (karena) sesungguhnya ia (setan) adalah musuh yang nyata bagi kamu”; serta tidak berlebihan, sebagaimana firman-Nya dalam QS al-A’raf/7:31, yang terjemahnya: “Hai anak-cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki dan berada di) masjid, dan makan serta minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan”. Keseimbangan antara makanan yang berasal dari tumbuhan dan hewan (QS al-Thuur/52:22 dan QS al-Waqi’ah/56:20-21).

Menurut M. Quraish Shihab, halal lawannya haram, ia dimaknai boleh (bisa berarti wajib, sunnah, mubah, dan makruh); sedangkan thayyibah berarti: lezat, baik, sehat, menenteramkan, dan paling utama. Apabila dikaitkan dengan makanan, maka ia berarti: makanan yang sehat, bergizi, proporsional dan aman. Tentunya sebelum itu adalah halal.

a. Makanan yang sehat adalah makanan yang memiliki zat gizi yang cukup dan seimbang, misalnya, dalam al-Qur’an disebutkan sekian banyak jenis makanan yang sekaligus dianjurkan untuk dimakan, di antaranya: padi-padian (QS al-Sajdah/32:27); pangan hewani (QS Ghafir/40:79); ikan (QS al-Nahl/16:14); buah-buahan (QS al-Mukminun/23:19); dan sebagainya. Penyebutan aneka macam jenis makanan ini menuntut kearifan dalam memilih dan mengatur keseimbangannya.

b. Proporsional, yakni sesuai dengan kebutuhan manusia, tidak berlebih, dan tidak berkurang. Karena itu, al-Qur’an menuntut

Page 153: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

145

orang tua, khususnya para ibu, agar menyusui anaknya dengan ASI (air susu ibu), serta menetapkan masa penyusuan yang ideal.

Lebih jauh Prof. Veni Hadju menegaskan bahwa keragaman makanan juga disebutkan dalam al-Qur’an (QS ‘Abasa/80:24-32) berupa biji-bijian, sayuran, buah-buahan, tumbuhan yang tumbuh di permukaan bumi ini sebagai makanan yang sehat untuk manusia. Begitupun makanan yang berasal dari hewan, seperti: ikan, daging, telur, dan susu, merupakan makanan sehat yang dianjurkan. Setiap bahan makanan mempunyai nilai gizi yang berbeda-beda, seperti zat gizi vitamin A, yang banyak ditemukan pada tanaman yang berwarna kuning kemerahan, seperti: wortel dan zat mineral besi yang banyak ditemukan pada sayur-sayuran berwarna hijau tua. Beberapa bahan makanan seperti: kurma, zaitun, anggur, delima, pisang, mentimun, jahe dan madu, disebutkan oleh Allah swt. dalam al-Qur’an dan telah diteliti memberikan pengaruh positif dalam kesehatan tubuh manusia, bahkan beberapa telah dijadikan obat untuk penyakit tertentu.

Tatakrama Makan

1. Berdoa dengan membaca basmalah. Ini intinya adalah sebagai tanda syukur atas nikmat yang telah diberikan dan meyakini bahwa aktivitas makan bukanlah tujuan hidup, akan tetapi hanyalah sarana agar bisa beribadah dan berkarya dalam mengarungi lautan hidup ini.

2. Rasulullah saw. meneladankan mencuci tangan sebelum dan sesudah makan. Alhamdulillah dengan kehadiran Pandemi Covid-19, manusia dipaksa untuk menjadikan budaya dari seluruh aspek kegiatannya.

3. Rasulullah juga meneladankan untuk duduk dan tidak bersandar, apalagi berdiri, serta menyuapnya dengan dengan tangan kanan dan menggunakan tiga jari (ibu jari, jari telunjuk, dan jari tengah) ketika makan. Menurut ulama bisa dengan 5 jari, namun simbol dengan tiga jari ini menunjukkan kita diminta untuk menyuap makanan dalam jumlah sederhana, atau sedikit demi sedikit.

4. Rasulullah juga meneladankan untuk menjilati jari-jari setelah makan, dan menurut Prof. Veni Hadju, hasil penelitian

Page 154: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

146

menegaskan bahwa sikap ini memiliki efek positif dalam mencegah penyakit.

Lebih jauh, ia menegaskan bahwa beberapa penelitian yang mengkaji tentang posisi makan, telah memperlihatkan hasil bahwa makan berdiri memberi dampak negatif terhadap kesehatan lambung dan dalam proses metabolisme makanan. Posisi berdiri juga dikatakan adalah posisi yang tidak bisa mendatangkan suasana tubuh dan organ pencernaan yang nyaman. Untuk itu, makan dan minum sangat dianjurkan untuk duduk, bahkan Rasulullah saw. mencontohkan duduk di atas kaki kiri yang dilipat dan kaki kanan ditekuk ke atas. Posisi ini dinilai para ahli kedokteran adalah posisi yang ideal, yang baik untuk seluruh organ pencernaan.

5. Rasulullah saw. juga meneladankan ketika makan dengan bersama-sama/berjama’ah sambil bercerita ringan di antara sesama anggota keluarga atau sahabat, sehingga tercipta suasana santai, sambil mengambil makanan yang dekat dengan posisi kita. Dilarang mencela makanan, apabila kita tidak menyukainya.

6. Pada sisi lain, Rasulllah saw. menganjurkan agar makan ketika perut lapar dan pada saat yang sama berhenti sebelum kenyang. Prof. Veni menegaskan lebih jauh bahwa menurut hasil penelitian menunjukkan bahwa makan pada saat perut masih kenyang akan memberi beban yang berat bagi organ pencernaan. Ibnu Sina menyatakan bahwa “Barangsiapa sudah merasa cukup sebelum kenyang, maka pola makan tubuhnya akan baik, bahkan kondisi jiwa dan hatinya akan menjadi baik pula”.

7. Etika makan yang juga tidak kalah pentingnya adalah mendahulukan buah dibanding makanan pokok (QS al-Waqi’ah/56:20-21. Prof. Veni lebih jauh menjelaskan bahwa proses pencernaan dan penyerapan buah (kaya akan air, vitamin, dan mineral) berbeda dengan makanan pokok dan padat lainnya, yang merupakan sumber energi yang kaya akan karbohidrat, protein, dan lemak. Apabila dimakan terpisah maka proses pencernaan dan penyerapannya akan berlangsung dengan baik.

Page 155: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

147

8. Selain di atas, makanan yang dimakan harus dijamin bersih dan bebas dari kotoran yang dapat mendatangkan penyakit.

Akhirnya, uraian di atas mengedukasi kita bahwa hidup bukan untuk makan, akan tetapi makan untuk hidup. Aktivitas makan bukanlah tujuan hidup, akan tetapi hanyalah sarana agar bisa tetap beribadah dan berkarya dalam hidup. Tak seorang pun yang senang menderita sakit. Apa arti kekayaan, pangkat yang tinggi, ilmu yang banyak, keluarga yang besar, sekiranya mereka terserang penyakit. Jangankan penyakit yang tergolong berat, terkena penyakit gigi saja, rasanya segala kenikmatan makanan sudah lenyap. Apalagi terkena penyakit Covid-19, penyakit ginjal yang harus mencuci darah. Jika sudah terkena penyakit—baik orang miskin maupun orang kaya—mungkin baru menyadari betapa besar kekuasaan Allah swt. serta betapa manfaatnya nikmat kesehatan. Dalam pada itu, agar kita sehat wal afiat, mari kita budayakan, antara lain, pola makan yang baik dan benar sebagaimana pola makan yang diteladankan oleh Rasulullah saw. Demikian, wa Allah a'lam, semoga!

Page 156: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

148

KEJUJURAN

alah satu di antara sekian banyak hikmah disyariatkannya puasa Ramadhan adalah kita dididik oleh Allah selama sebulan untuk menjadi orang-orang yang jujur. Ibadah puasa

ini pada hakekatnya adalah ibadah yang unik dibanding dengan ibadah-ibadah lain. Keunikannya karena puasa adalah ibadah yang sirriyah; ibadah yang tersembunyi, ibadah yang tidak bisa dilihat secara langsung apakah seseorang itu melaksanakan puasa atau tidak. Berbeda dengan ibadah shalat, zakat, dan haji. Semuanya bisa dilihat. Tetapi ibadah puasa tidak dapat dilihat, dan karena tidak dilihat, sehingga setiap orang berpeluang untuk tidak jujur. Setiap orang berpeluang untuk mengatakan saya puasa, padahal ia tidak puasa. Boleh jadi ia tidak menyatakan dengan pengakuan tetapi pura-pura lapar, pura-pura bibirnya kering, pura-pura banyak meludah sehingga orang lain berpersepsi bahwa ia adalah orang yang berpuasa.

Sikap jujur atau disebut juga sikap yang benar/al-shidq (Qs al-Nisa/4:69), menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziah, melibatkan tiga aspek dalam diri kita, yaitu perkataan (aqwal), perbuatan (af'al), dan sikap mental (ahwal). Setiap aspek di atas memiliki ukuran dan kriterianya sendiri. Dalam kaitan ini, jujur atau benar dalam perkataan berarti adanya persesuaian perkataan dengan hati nurani dan dengan kenyataan atau realita. Jujur dalam bekerja dan berbuat berarti koherensi dan konsistensi antara perbuatan dan perintah Allah swt serta Sunnah Rasul. Adapun jujur dalam sikap mental berarti komitmen dan kesetiaan seorang dalam bekerja dan beribadah kepada Allah swt. (Kitab Madarij al-Salikin, 2/270).

Menjadi orang yang jujur merupakan pilihan yang sungguh berat sekali di tengah arus budaya yang penuh dengan kepalsuan, kedustaan, kemunafikan, dan ketidakjujuran, di mana orang sangat sulit sekali dipegang kata dan janjinya, serta kata dan perbuatannya. Padahal, salah satu keagungan ajaran Islam adalah kewajiban setiap insan untuk senantiasa menyelaraskan antara perkataan dan perbuatan. Apa-apa yang diungkapkannya adalah cerminan dari perbuatannya, begitupun sebaliknya. Satunya kata dan perbuatan akan membantu memancarkan kewibawaan siapa

S

Page 157: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

149

pun yang melakukannya. Orang lain pun, insyaallah, akan menaruh sikap hormat dan percaya, serta menaruh rasa simpatik terhadapnya.

Abu Zaid Usamah bin Zaid bin Haritsah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: “Nanti pada hari kiamat ada seseorang yang didatangkan, kemudian dilemparkan ke dalam neraka maka keluarlah usus perutnya dan berputar-putar di dalam neraka sebagaimana berputarnya keledai yang sedang berada dalam penggilingan. Lantas para penghuni neraka berkumpul seraya berkata, “Wahai Fulan, mengapa Anda seperti itu? Bukankah Anda dahulu menyuruh untuk berbuat baik dan melarang berbuat mungkar?” Ia pun menjawab, “Benar saya dahulu menyuruh untuk berbuat baik, tetapi saya sendiri tidak mengerjakannya, dan saya melarang dari perbuatan mungkar, tetapi saya sendiri malah melakukannya”.

Kalau yang melakukan sikap seperti tersebut pada hadis di atas adalah masyarakat kecil, walaupun hasilnya juga buruk, pengaruh yang ditimbulkannya pun tidaklah terlalu besar. Akan tetapi, lain ceritanya apabila yang melakukannya adalah pejabat pemerintahan. Sungguh itu akan berdampak sangat luar biasa buruknya, baik bagi dirinya sendiri maupun terhadap masyarakat yang diaturnya. Pejabat seperti ini akan kehilangan kewibawaan di tengah masyarakat, dan menanggung dosa di akhirat.

Kejujuran tidak hanya mencerminkan integritas kepribadian seseorang, akan tetapi juga menjadi pesona bagi sesama dan mengundang datangnya ketenangan dan kebahagiaan bagi pelakunya, sebagaimana Hadis riwayat al-Imam al-Tirmizi dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda, yang terjemahnya: “Tinggalkanlah apa yang kamu ragukan dan kerjakanlah apa yang tidak kamu ragukan. Sesungguhnya jujur itu melahirkan ketenangan, dan dusta itu menimbulkan kebimbangan”.

Semangat hadis di atas mengesankan, bahwa tidak aneh lagi bila kita sering menjumpai orang yang hartanya melimpah ruah, namun sulit menemukan kedamaian dan ketenangan dalam hidupnya. Karena, boleh jadi bisnis atau cara untuk mendapatkan harta itu dibangun atas dasar ketidakjujuran. Berlomba untuk menduduki “jabatan yang basah”—yang tugasnya dijalankan dengan prinsip ABS (asal bapak senang) sementara prinsip

Page 158: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

150

kejujuran dibuang jauh-jauh—adalah hal biasa yang terjadi dalam masyarakat kita.

Bahkan, yang lebih menyedihkan lagi adalah ketidakjujuran kini telah menjadi budaya dan bagian dari “profesi” seseorang. Bukankah istilah “provokator” dan “aktor intelektual”—yang mengindikasikan adanya ketidakjujuran—telah akrab di telinga kita? Malah dua “makhluk” (provokator dan aktor intelektual) inilah yang telah mengharu biru bangsa kita kini. Keduanya bukan hanya pandai dalam menebar keguncangan, chaos, dan instabilitas, tetapi juga piawai dalam meruntuhkan pilar-pilar keutuhan bangsa.

Kesatuan dan persatuan bangsa yang menjadi cita-cita luhur kemerdekaan Republik Indonesia ini pun terancam, antara lain, karena dipicu oleh tindak-tanduk para provokator dan aktor intelektual itu, yang menjalankan tugasnya atas dasar kemunafikan dan ketidakjujuran. Sedemikian bahayanya sikap dusta dan tidak jujur ini, sehingga Nabi Muhammad saw. pun mengingatkan dengan sabdanya, yang terjemahnya: “Hendaklah kamu selalu berlaku jujur, karena berlaku jujur membimbing kepada kebajikan, dan kebajikan membawa ke surga”. Seseorang yang senantiasa berlaku jujur dan berusaha mempertahankan/mencari kejujuran, maka ia dicatat oleh Allah swt. sebagai orang yang jujur. Dan hindarilah olehmu dusta, karena sesungguhnya dusta itu membimbing kepada kejahatan, sementara kajahatan mengantar ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan mempertahankan kedustaannya, maka dia dicatat oleh Allah swt. sebagai kadzdzab (pendusta/pembohong)”. Demikian, wa Allah a'lam, semoga!

Akhirnya, mumpung masih berada di bulan Ramadhan sebagai bulan paling strategis dan efektif melatih kejujuran, mari kita gunakan momentum ini dengan sebaik-baiknya dalam meraih sikap jujur itu. Karena sikap jujur ini, di samping menjadi tolok ukur cerminan integritas kepribadian seseorang, juga menjadi pesona bagi sesama dan mengundang datangnya ketenangan hidup bagi pelakunya. Dan pada sisi lain, kejujuran berfungsi mengantarkan kepada kebaikan, sedang kebaikan membawa kepada kebahagiaan hidup di dunia serta menuntun untuk mendapatkan surga Allah kelak di akhirat.

Page 159: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

151

ZAKAT PROFESI

khir-akhir ini banyak pertanyaan ditujukan kepada saya lewat WA berkaitan dengan satu kajian tentang zakat profesi, yang hingga kini masih diliputi oleh pro dan kontra,

meskipun Undang-Undang No. 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat sudah ada. Ada dua alasan utama yang menolak adanya zakat profesi, bahkan semua jenis zakat di luar yang ditetapkan oleh Nabi saw., seperti zakat bangunan, pabrik, saham, dan lain-lain.

Pertama, zakat merupakan ibadah mahdhah (murni), yang tidak dibenarkan keterlibatan nalar dalam penetapannya. Zakat ditetapkan langsung oleh Allah dan telah dijelaskan oleh Rasulullah saw. Mengubah hal tersebut - dengan mengurangi atau menambah - baik dalam jenis atau kadarnya, merupakan penambahan dan/atau penguarangan agama. Kedua, harta setiap Muslim wajib dipelihara dan dihormati, berdasarkan ketetapan agama yang pasti. Dalam pada itu tidak dibenarkan mengambil sedikit pun harta mereka - walau dengan alasan zakat - kecuali kalau ada ketetapan agama yang pasti pula.

Yang menetapkan adanya kewajiban zakat terhadap harta selain dari yang telah ditetapkan jenis dan kadarnya oleh Nabi saw., termasuk profesi, berpegang kepada sekian banyak ayat, jiwa ajaran agama, dan rasa keadilan. Bukankah al-Qur’an dan Hadis menetapkan bahwa ada kewajiban yang harus ditunaikan menyangkut harta, selain zakat (QS al-Ma’arij/70:24)? Bukankah harta pada hakekatnya adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan yang menurut kebiasaan dapat dimanfaatkan (dalam hal ini termasuk upah dan honorarium)? Bukankah zakat merupakan sarana pembersihan, baik terhadap jiwa dan harta? Tentu tidak logis bila hanya harta yang disebut-sebut Nabi saw. pada masa beliau saja yang harus dikeluarkan zakatnya, tidak pula hanya petani kecil, akan tetapi juga segala macam harta kapan dan di mana saja, sehingga tidak wajar membiarkan mereka yang berpenghasilan jauh lebih besar dari para petani, menikmati hartanya tanpa zakat. Bukankah pada masa Nabi saw. zakat perdagangan belum dikenal, akan tetapi para sahabat sepeninggal beliau yang menetapkan dan menerapkan zakat perdagangan?

A

Page 160: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

152

Para ulama terdahulu memperkenalkan istilah al-maal al-mustafad, yakni harta yang diperoleh bukan dari usaha pengembangan, seperti upah, atau hadiah, dan sebagainya. Diriwayatkan oleh Imam Malik, bahwa sanya Mu’awiyah bin Abu Sufyan (w.680 M) adalah seorang khalifah pertama yang memungut zakat dari upah pegawai-pegawai. Abu Ubaid meriwayatkan bahwa Umar bin ‘Abd al-Aziz (682-720 M) memungut zakat pada saat penyerahan gaji pegawai-pegawainya, honorarium yang mereka terima, serta harta benda yang dikembalikan ke pemiliknya setelah sebelumnya dikuasai secara tidak sah oleh pihak lain, dan telah dianggap hilang oleh pemiliknya; bahkan zakat pun dikenakan kepada para penerima hadiah, baik pemberiannya atas dasar penghormatan, maupun untuk jalinan hubungan harmonis.

Pungutan tersebut dilakukan saat diterimanya. Ini berarti tidak seperti zakat perdagangan, yang baru dikenakan zakat setelah berlalu satu tahun dari masa pemiliknya (haul). Memang ada juga riwayat-riwayat lain yang menyatakan keharusan kepemilikan harta itu selama satu tahun, tetapi rasanya tidak menetapkan haul bagi al-maal al-mustafaad lebih mendekati jiwa ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan zakat, misalnya, firman Allah dalam QS al-Baqarah/2:267, yang terjemahnya: “Wahai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah dari hasil uasahamu yang baik-baik dan sebahagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu”.

Dari ayat di atas, kata kasb yang diterjemahkan dengan usaha, tentunya mencakup segala macam hasil usaha, baik berupa upah, maupun honorarium, dan hasil usaha profesi lainnya. Apalagi zakat pertanian yang diisyaratkan ayat di atas dan digandengkan penyebutannya dengan hasil usaha, tidak dikaitkan dengan berlalunya satu tahun dari masa kepemilikan, akan tetapi dipungut pada saat panen. Karena itu, jika Allah sendiri telah mewajibkan zakat bagi petani, dan menuntut dari mereka sepersepuluh atau seperduapuluh dari hasil panen, maka mengapa jiwa ajaran ini tidak diterapkan kepada para pegawai, atau dokter, misalnya, dua setengah persen dari hasilnya?

Tentunya tidak semua upah, honorarium, dan hadiah dikenakan zakat. Syeikh Muhammad al-Ghazali cenderung menganalogikan zakat profesi dengan hasil pertanian, sehingga

Page 161: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

153

siapa yang memperoleh hasil senilai 653 kg dari hasil pertanian yang termurah, maka ia wajib mengeluarkan zakat. Prof. Dr. Yusuf Qardhawiy menganalogikannya dengan zakat perdagangan, sehingga seseorang yang memperoleh dari hasil profesinya senilai 85 gram emas, maka ia harus mengeluarkan dua setengah persen dari hasil tersebut.

Ada dua yang dikemukakan untuk menghitung dan mengeluarkan zakat profesi: 1) mengeluarkan saat menerimanya, apabila jumlah yang diterima mencapai nishab (senilai 85 gr emas, atau 653 kg hasil pertanian). Ini berarti bahwa mereka yang menerima di bawah jumlah tersebut, tidak wajib mengeluarkan zakat profesinya. Dari satu sisi, pandangan ini terlihat adil, karena mereka yang berpenghasilan rendah, tidak dikenakan zakat. Akan tetapi tanda tanya muncul, seandainya, seorang dokter misalnya, menerima imbalan setiap hari—di bawah jumlah nilai 85 gr emas, akan tetapi bila dijumlah dalam seminggu atau 10 hari dapat mencapai jumlah tersebut, apakah dia tidak dikenakan zakat? Tidak adil bukan? Dari sini, lahir pandangan: 2) menghimpun jumlah penghasilan pada waktu-waktu tertentu, kemudian jika mencapai nishab, dikeluarkan zakatnya ketika itu.

Pegawai dapat mengeluarkan zakatnya dalam setahun, setelah menghitung hasil bersih pendapatannya. Perlu digarisbawahi bahwa yang dihitung untuk dizakati adalah “hasil bersih”, karena zakat pada dasarnya tidak dikenakan bagi harta yang dimiliki seseorang untuk keperluan hidupnya.

Akhirnya, jelas ada yang tidak sependapat dengan pandangan di atas, namun satu hal yang pasti, yaitu bahwa jiwa ajaran agama dan anjurannya, mendukung secara amat jelas, dikeluarkannya sebagian dari hasil usaha profesi, untuk kepentingan kaum lemah, baik atas nama zakat yang diwajibkan Allah, maupun yang diwajibkan sendiri oleh pemiliknya, atas nama apa pun termasuk berinfak. Demikian, wa Allah a'lam, semoga!

Page 162: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

154

IDUL FITRI (MAKNA DAN URGENSINYA)

alam Islam, ada dua hari raya besar yang dikenal oleh umat Islam, yakni Idul Adha dan Idul Fitri. Idul Adha adalah hari raya haji yang jatuh pada hari ke-10 Zul-Hijjah, yang

disertai dengan penyembelihan hewan kurban bagi yang mampu; sedang Idul Fitri adalah hari raya umat Islam yang jatuh pada 01 Syawwal setelah menjalankan ibadah puasa selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan, yang hakekatnya adalah mengagungkan Allah dan mensyukuri nikmat-nikmat-Nya (QS al-Baqarah, 2:185).

Pada saat mengagungkan Allah, seseorang otomatis meletakkan dirinya di hadapan Allah dalam posisi yang lemah. Seseorang yang berada dalam posisi lemah pasti tidak akan melanggar perintah Allah. Kalau demikian jangan jadikan Idul Fitri sebagai momen untuk melakukan pelanggaran terhadap perintah Tuhan, misalnya, menyaiapkan makanan dan minuman yang berlebihan, bahkan haram; melupakan orang-orang lemah di sekitarnya. Dengan berbuat seperti itu, dia tidak merasa lemah di hadapan Allah dan tidak mensyukuri nikmat-Nya. Karena itu, esensi Idul Fitri adalah keterjauhan seseorang dari maksiat dan dosa, serta meningkatnya ketakwaan kepada Allah swt. melalui saling kunjung-mengunjungi (tentu dalam kondisi pandemi Covid-19 ini, bisa lewat online, seperti WhatsApp, telepon, google chrome, email, instagram, twitter, sms, facebook, dan lain-lain sebagainya), saling maaf-memaafkan, saling memberi hadiah, berinfak, dan bersedekah, guna memberi hidup dan kehidupan terutama terhadap mereka yang kebetulan nasibnya belum beruntung.

Hakikat Idul Fitri

Ungkapan Idul Fitri berasal dari term îd al-fithr. Kata îd berarti "kembali". Kata "kembali" memberi kesan, bahwa selama ini, kita tidak berada di tempat itu. Selama ini, boleh jadi langkah atau posisi kita keliru, sehingga perlu diluruskan, agar kembali ke tempat dan keadaan semula, yakni kembali ke fitrah. Sedang kata fithr atau fithrah, yang hanya sekali digunakan dalam al-Qur’an, terambil dari akar kata fathara yang berarti “mencipta”, yakni

D

Page 163: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

155

mencipta sesuatu pertama kali (tanpa ada contoh sebelumnya). Karena itu, ia dapat juga berarti "asal kejadian, atau bawaan sejak lahir". Dalam pada itu, kata fithrah dapat mencakup makna-makna berikut: "agama yang benar, atau kesucian, atau asal kejadian" (QS al-Rûm, 30:30). Dalam pada itu, Idul Fitri berarti kembali mau melaksanakan ajaran agama, atau kembali kepada kesucian, atau kembali menyadari asal kejadian. Yang kesemuanya ini diperoleh setelah menunaikan puasa dengan seluruh rangkaian amaliah Ramadhan selama satu bulan penuh.

Jenis-Jenis Fithrah Manusia

Fitrah dalam arti "agama yang benar"

Apabila fithrah diartikan "agama yang benar", maka ber-idul fitri berarti kembali mau melaksanakan ajaran agama yang benar sesuai dengan petunjuk Ilahi, baik dalam lingkungan diri dan keluarga, dalam lingkungan kerja, maupun dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Ia juga menuntut manusia membangun "keserasian hubungan", karena keserasian tersebut merupakan tanda keberagamaan yang benar. Nabi saw. bersabda,

ة دددة لمع " Nasihat-menasihati dan tenggang rasa juga ." الددد المعامل

termasuk dalam ajaran agama, Nabi bersabda, " الدد المعاليحـةددد لمع ".

Dengan demikian, orang yang ber-idul fitri harus sadar bahwa setiap orang dapat melakukan kesalahan; dan dari kesadarannya itu, ia bersedia untuk memberi dan menerima maaf, serta saling

ber-tashâfuh, sebagaimana sabda Nabi saw. " عال ددن ع ددةا ع اع ددةب ةل لحةةلما عتةحددةكنملم ع ا saling ber-tashâfuh-lah, ia akan menghilangkan rasa) " قدلم ددلم

dendam dalam hatimu).

Fitrah dalam arti "kesucian"

Fitrah berarti kesucian. Karena itu ungkapan Idul Fitri berarti kembali kepada kesucian karena seluruh rangkaian ibadah yang dilaksanakan dalam bulan Ramadhan berfungsi menghapus dosa-dosa kecil (QS Hûd, 11;114), perhatikan juga sabda Nabi saw. "Layaknya bayi yang baru lahir dari perut ibunya, tanpa dosa

dan noda", ( لمعك د دد لمعلـم د تدد ة علةلة ا و ة دددة ). Dalam HR. Bukhari dan Muslim, Nabi

saw. bersabda, " لنن ع علمة.ن ددة ع دلميةحددن ةاننعاةل نعاةل اندةاددن ة ةكدةاةاهلمع دلم نعحددة ع ة ددةاعال طنردد ة لم لة دوع دلما للما ةا كلم ع

" (Setiap orang dilahirkan dalam keadaan fitrah, dan kedua orang

Page 164: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

156

tuanyalah menjadikan ia Yahudi, Nasrani, dan Majuzi). Menurut M. Quraish Shihab, kesucian juga adalah gabungan tiga unsur: indah, baik, dan benar. Seseorang yang ber-idul fitri dalam arti "kembali kepada kesucian", akan selalu berbuat yang indah, benar, dan baik. Bahkan akan memandang segala sesuatu dengan pandangan positif, serta selalu mencari sisi-sisi yang baik, benar, dan indah.

Fitrah dalam arti "asal kejadian"

Idul Fitri juga berarti "kembali ke asal kejadian". Artinya manusia menyadari jati dirinya bahwa ia adalah makhluk dwi dimensi: debu tanah dan ruh Ilahi, yang perpaduan keduanya menjadikan "manusia utuh", sehingga tidak terjadi pemisahan antara akidah dan syari'ah, perbuatan dan moral, idea dan kenyataan, dunia dan akhirat. Akan tetapi masing-masing merupakan bagian yang saling melengkapi, sehingga jasad tidak mengalahkan ruh, kenyataan tidak menghalangi imajinasi, kecenderungan individu tidak mengorbankan kepentingan kolektif, serta titik pandang tidak hanya terpaku di bumi, atau mengawang-awang di angkasa.

Akhirnya, dari uraian di atas mengenai “Idul Fitri: Makna dan Urgensinya” dapat diikhtisar sebagai berikut;

1. Esensi ber-idul fitri setelah berpuasa selama satu bulan penuh adalah mengagungkan Allah swt. dan mensyukuri nikmat-nikmat-Nya.

2. Makna Idul Fitri meliputi: kembali mau melaksanakan ajaran agama yang benar sesuai dengan tuntunan Ilahi secara sempurna, atau kembali kepada kesucian, atau kembali menyadari asal kejadian kita.

3. Urgensi yang dapat dipahami dari ber-idul-fitri adalah kunjung-mengunjungi, maaf-memaafkan, memberi bantuan sehingga orang lain juga merasakan bahwa Idul Fitri adalah hari istimewa. Di samping itu, kita mesti banyak bersyukur kepada Allah, menampakkan betapa banyak nikmat-Nya yang telah dianugerahkan kepada kita sehingga merasakan kemenangan atas godaan dan rayuan hawa nafsu dan setan.

Di akhir goresan pena ini, kami juga sekeluarga menyampaikan taqabbalallahu minna wa minkum, minal aidina wal faizina, mohon maaf atas segala salah dan khilaf, terutama

Page 165: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

157

terhadap para pembaca yang mungkin selama satu bulan di bulan Ramadhan ini membaca rubrik kami yang setiap hari selama Ramadhan hadir di tengah-tengah para pembaca, yang sifatnya sangat sederhana. Mudah-mudahan kita semua berada dalam keadaan sehat wal afiat, dan insyaallah keluar sebagai alumni-alumni bulan suci Ramadhan, dengan menyandang predikat sebagai hamba-hamba Allah swt. yang muttaqiin! Demikian, wa Allah a'lam, semoga!

Page 166: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

158

TITIK PENGHABISAN

uasa Ramadhan dengan seluruh rangkaian amaliyahnya telah usai. Kita sekarang dalam suasana ber-Idul Fitri, sambil disuguhi lagi satu tawaran kebajikan, sebagaimana

HR. Muslim dari Abi Ayyub al-Anshariy, Rasullah saw. bersabda, yang terjemahnya: “Barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian ditambah 6 hari puasa Syawwal, maka (kebajikannya) adalah sama seperti ia puasa sepanjang satu tahun penuh”. Umatku (sabda Nabi saw.) yang paling beruntung, antara lain, adalah ketika memperoleh kesempatan untuk berbuat baik, mereka tidak menyia-nyiakannya. Hal ini sejalan pula dengan firman Allah dalam QS al-Hijr/15:99, yang terjemahnya: “Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu keyakinan (ajal)”. Artinya bahwa hidup ini harus diisi habis-habisan dengan ibadah/amal shaleh kepada Allah hingga ajal menemui kita.

Nash-nash agama di atas menuntun orang-orang beriman agar senantiasa aktif dan kreatif (QS al-Rahman/55:28-29), jangan membiasakan diri hidup boros, dalam arti mereka memperoleh kesempatan berbuat kebajikan, akan tetapi disia-siakan. Dalam QS al-Zalzalah, ayat terakhir, Allah berpesan kepada kita semua bahwa, “Jangan enggan berbuat kebajiakn walaupun sebesar biji zarrah; dan jangan pula berani berbuat kejahatan walaupun sebesar biji zarrah”. Dalam pada itu, momentum berbuat kebajikan kepada Allah melalui perintah puasa Syawwal selama 6 hari di bulan Syawwal ini, sudah tidak sepantasnya disia-siakan. Inilah antara lain “hakekat ber-Idul Fitri”, yakni kembali berkomitmen mau melaksanakan ajaran agama secara sempurna.

Sehubungan dengan perintah beramal shaleh habis-habisan kepada Allah lewat mengabdi kepada keluarga, masyarakat, bangsa, dan agama, hingga menemui ajal, sebagaimana diuraikan di atas, Rasulullah saw. menegaskan dalam HR. Muslim dari Anas bin Malik, yang terjemahnya, sebagai berikut: “Andaikan kiamat besok pasti datangnya, sementara di tangan Anda sekarang ada sebutir biji tanaman (kurma), maka tanamlah. Mudah-mudahan (dengan keikhlasanmu menanamnya niat karena Allah) kamu mendapatkan pahala di sisi-Nya ”.

P

Page 167: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

159

Pesan hadis Nabi saw. tersebut di atas luar biasa pesan dinamikanya dan nilai-nilai motivasinya. Apalagi kira-kira yang bisa diharapkan seseorang dari menanam bibit tanaman, ketika kiamat sudah di depan mata? Tidakkah perbuatan itu hanya sia-sia? Namun, dalam pandangan Rasulullah saw. mengenai hal di atas, penting dihayati dan dieksekusi. Karena hal itu tetap bernilai sangat mulia dan merupakan salah satu bentuk tindakan suatu kebajikan, dan di sisi Allah berpahala. Allah swt. tidak melihat hasil usaha seseorang. Akan tetapi Allah melihat, niat, proses, dan kesungguhannya berusaha dan berikhtiar.

Ketulusan seorang miskin menyedekahkan Rp.1.000,- rezeki yang dimilikinya jauh lebih berharga ketimbang seorang konglomerat yang menyumbang Rp.100 juta karena mengejar popularitas dan perhitungan bisnis. Bagi seorang kuli mencangkul, uang Rp.1.000,- merupakan 10 % dari upahnya. Sedang bagi konglomerat, uang Rp.100 juta itu hanya sekian permil dari kekayaaannya.

Hadis tersebut di atas mengingatkan setiap Muslim untuk terus berjuang sampai titik penghabisan. Selama umur masih tersisa, kesempatan selalu terbuka. Hari esok, kita tidak pernah tahu, akan tetapi hari ini merupakan kesempatan terbaik yang kita miliki. Salah satu ciri keanggunan Islam dan komunitas Muslim era klasik terletak pada kesederhanaannya. Bahkan Islam dan umat Islam ketika itu, besar karena tidak menampakkan wajah politik; akan tetapi karena ia menampakkan kesederhanaan serta mengutamakan penampakan wajah moral-etika, dan akhlak mulianya. Hal ini pun tampak dalam ajaran-ajaran Nabi Muhammad saw. tentang kebaikan. Berbuat kebajikan tidak harus yang muluk-muluk atau mewah.

Dalam hadis riwayat Muslim dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah saw. bersabda, yang terjemahnya: “Barangsiapa melapangkan kesusahan seorang mukmin di dunia, maka Allah akan melapangkan baginya dari kesusahan-kesusahan hari kiamat, dan barangsiapa memudahkan kesukaran seseorang, maka Allah akan memudahkan baginya di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutupi aib seorang Muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah selalu menolong hamba yang suka menolong sesamanya. Barangsiapa menempuh jalan menuntut ilmu, maka Allah akan mempermudah baginya jalan ke surga.

Page 168: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

160

Suatu kaum yang berkumpul dalam sebuah rumah dari rumah-rumah Allah, bertilawatil Qur’an dan mempelajarinya bersama-sama, maka Allah akan menurunkan ketenteraman dan menaungi mereka dengan rahmat-Nya”.

Akhirnya, bersegeralah untuk terus berjuang sampai titik penghabisan darah, jangan suka menunda-nunda kesempatan dalam berbuat baik sebagai abdi kepada Allah swt. Hal itu memang berat, ia bukanlah hadiah atau anugerah yang jatuh begitu saja dari langit. Akan tetapi ia merupakan suatu kondisi yang harus diperjuangkan perwujudannya lewat kesungguhan, kesabaran, dan pengorbanan, karena sudah menjadi rahasia umum dalam masalah waktu, masyarakat kita dikenal suka menggunakan sistem “jam karet”. Layaknya sebuah karet, ia akan bisa kita ulur sekehendak kita. Begitu pula halnya dengan jam karet, tidak ada prinsip tepat waktu di dalam penerapannya. Ia selalu molor, molor, dan molor. Sebagai contoh, ketika kita hendak mengadakan rapat ataupun kegiatan sejenisnya yang berkaitan dengan ketepatan waktu, maka setiap kali itu pula pemunduran jadwal dari waktu yang telah disepakati, senantiasa terjadi. Perlu dihayati bahwa sikap seperti ini merupakan tentara iblis yang paling besar, yang harus dilawan, mumpung kita masih dalam suasana Fitri dan jihad ini harus dijadikan budaya, terutama dalam menghadapi 11 bulan ke depannya. Demikian, wa Allah a'lam, semoga.

Page 169: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

161

HAKEKAT HALAL BIHALAL

alal Bihalal adalah kata majemuk yang sering diucapkan dalam suasana ber-Idul Fitri. Istilah ini tidak ditemukan dalam al-Qur’an atau hadis suatu penjelasan tentang

artinya. Istilah tersebut memang khas Indonesia, bahkan boleh jadi pengertiannya akan kabur di kalangan bukan bangsa Indonesia, walaupun yang bersangkutan paham ajaran agama dan bahasa Arab. Meskipun semua pihak menyadari bahwa tujuannya adalah menciptakan keharmonisan antar sesama.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ditemukan makna halal bihalal, yakni "hal maaf-memaafkan setelah menyelesaikan ibadah puasa Ramadhân." Karena itu, berhalal bihalal berarti bermaaf-maafan pada hari lebaran. Dari sini terlihat bahwa dalam halal bihalal terdapat unsur silaturahmi, yang menurut HR. al-Imam al-Bukhari, pengertiannya adalah, " ز مئ امئ ا نز أ امئ أ الم )ز لئ

ز ق ط ع م )البخارى(ي م ام ا نز أ ام أ ز الم ل م و ل ك م و " (Silaturahmi itu bukan Anda berkunjung kepada orang yang telah berkunjung kepada Anda, tetapi silaturahmi adalah menyambung apa yang putus).

Dari segi bahasa, kata halal terambil dari akar kata halla atau halala yang mempunyai berbagai bentuk dan makna sesuai dengan rangkaian kalimatnya. Makna-makna tersebut, antara lain: "meluruskan yang bengkok, mengurai yang kusut, mencairkan yang beku, melepaskan ikatan yang membelenggu." Dengan demikian, halal bihalal dalam tinjauan ini menginginkan adanya sesuatu yang dapat mengubah hubungan kita dari yang tadinya keruh menjadi jernih, dari yang beku menjadi cair, yang kusut menjadi terurai, yang bengkok menjadi lurus, dan dari yang terikat menjadi bebas (lihat M. Quraish Shihab).

Dari segi hukum, kata halal adalah lawan dari kata haram. Haram adalah sesuatu yang terlarang, atau sesuatu aktivitas mukallaf yang melahirkan dosa dan dapat mengakibatkan siksa. Menurut pakar-pakar hukum, halal dalam arti boleh terbagi empat, yakni halal dalam arti: wâjib, seperti zakat; sunnah, seperti puasa Syawal; makrûh, seperti merokok; dan mûbah, seperti makan. Di sini timbul pertanyaan: "apakah yang dimaksud dengan kata halal bihalal menurut tinjauan hukum itu adalah adanya

H

Page 170: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

162

hubungan yang halal, walaupun di dalamnya terdapat pula yang makrûh? Seperti diketahui bahwa makrûh dalam bahasa hukum berarti "suatu perbuatan yang tidak dianjurkan oleh agama, walaupun bila dilakukan tidak mengakibatkan dosa, dan bila ditinggalkan perbuatan itu, pelaku akan mendapatkan pahala." Atas dasar pertimbangan hukum ini, kata halal bihalal kurang pas karena ada yang halal tetapi dibenci Tuhan, yakni thâlaq, sebagaimana hadis riwayat Muslim, Nabi saw. bersabda, " ا بزغئ

لا ن اللئئ الطئب نئز ع لا Sesuatu yang halal yang paling dibenci oleh) " الزمئ Allah adalah talak).

Halal dalam Perspektif Al-Qur’an

Menurut M. Quraish Shihab, dalam perspektif al-Qur’an, kata halal dapat ditemukan dalam enam ayat, yang terdapat dalam lima surah. Dua di antaranya dirangkaikan dengan kata haram (QS al-Nahl,16:116 dan QS Yunus,10:59). Sedang keempat sisanya selalu dirangkaikan dengan kata kulû (makanlah, gunakanlah segala aktivitas) dan kata thayyibah (yang baik dan

menyenangkan), perhatikan ayat berikut, " لا ق ك مز هب ح ز ا ر مب ك ل أا م و

(ي88 5،سئئأرة المآةئئنة)ط ) ب ا " (Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezkikan kepadamu). Kata halal yang dirangkaikan dengan kata kulû dan kata thayyibah ini mengandung kesan bahwa boleh jadi ada yang halal tetapi tidak thayyibah, seperti masalah talak, halal tetapi hukumnya makrûh. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa halal yang dituntut adalah halal yang thayyibah, yang baik lagi menyenangkan dan bergizi. Dengan kata lain, al-Qur’an menuntut agar setiap aktivitas yang dilakukan oleh setiap Muslim harus merupakan sesuatu yang baik dan menyenangkan semua pihak.

Inilah agaknya yang menjadi sebab mengapa al-Qur’an tidak hanya menuntut dari seseorang untuk memaafkan orang lain, tetapi lebih dari itu, yakni berbuat baik terhadap orang yang pernah melakukan kesalahan terhadapnya, sebagaimana Firman Allah dalam QS al-Nûr, 24:22,

Page 171: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

163

السى ضل منكم ور ولوا الفرترل ألر يرأ اكير ور المرسـر ولى القربر ور

ن يؤتوا أ

رة أ عر

رر اللهى غفـ ن يررونر أ لر حبـ

رحوا أ فر لرصـ لرعفوا ور ور بيل اللهى رينر ف سر اج المهر ور

فور ررحيم غر اللهى .لركم ور

"Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi bantuan kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin, dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".

Ayat ini turun, untuk meluruskan berkenaan dengan salah seorang sahabat bersumpah untuk tidak mau berbuat baik terhadap seseorang anggota keluarganya, karena ia dituduh dengan tuduhan palsu.

Akhirnya, halal yang dituntut relevansinya dengan ber-Idul

Fitri adalah halal yang thayyibah, yang baik lagi menyenangkan

dan bergizi. Dengan kata lain, al-Qur’an menuntut agar setiap

aktivitas yang dilakukan oleh setiap Muslim dalam berinteraksi

dengan yang lainnya seharusnya sesuatu yang baik, bergizi, dan

menyenangkan semua pihak. Dalam pada itu, berhalal bihalal

pasca Ramadhan, pada hakekatnya, adalah suatu aktivitas

meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt. melalui saling

kunjung-mengunjungi (tentu dalam kondisi Pandemi Covid-19 ini,

bisa lewat online, baik dalam wujud WhatsApp, telepon, google

chrome, email, instagram, twitter, sms, facebook, dan lain-lain

sebagainya), saling maaf-memaafkan, saling memberi hadiah,

berinfak, dan bersedekah, sebagai salah satu bentuk usaha untuk

mengubah hubungan dari yang tadinya keruh menjadi jernih,

beku menjadi cair, kusut menjadi terurai, terikat menjadi bebas,

dan dari yang tadinya bengkok menjadi lurus, sehingga terbangun

suatu kehidupan harmonis yang universal di tengah-tengah

masyarakat menuju Indonesia Berkemajuan. Namun perlu ingat,

bahwa cita-cita “Indonesia Berkemajuan” bukanlah hadiah atau anugerah yang jatuh begitu saja dari langit. Akan tetapi ia

Page 172: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

164

merupakan suatu kondisi yang harus diperjuangkan

perwujudannya lewat kesungguhan, kesabaran, dan pengorbanan.

Sekaranglah momentumnya, ayo mari memulai, mumpung baru

saja usai update ulang diri kita masing-masing oleh bulan

Ramadhan selama satu bulan penuh. Demikian, wa Allah a'lam,

semoga!

Page 173: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

165

PERBEDAAN DAN SOLUSINYA DI ERA NEW NORMAL

QS al-Nisa’/4: 59;

إن نكم فرـ مر مـرولى الأ يعوا الرىسولر ور ط

رأ ر ور يعوا اللهى ط

رنوا أ ينر آمر ا الى هر ي

ريرا أ

ء فرردوه إلر اللهى وم ترنرازرعتم ف شر الرـ ور اللهى ـ ونر ب الرىسول إن كنتم تؤمنـ ورويل ن ترأ حسر

رأ ير ور كر خر .الآخر ذرل

"Hai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya (Nabi Muhammad saw.), dan ulil amri di antara kamu. Maka jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (kepada al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian (sumber hukum) itu baik, (lagi sempurna) dan (juga) lebih baik akibatnya (di dunia dan akhirat) ".

yat ini dan ayat-ayat sesudahnya masih berhubungan erat dengan ayat-ayat yang lalu, mulai dari ayat yang memerintahkan untuk beribadah kepada Allah, tidak

mempersekutukan-Nya, berbakti kepada orang tua, menganjurkan berinfak, dan lain-lain. Perintah-perintah itu mendorong manusia untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, anggotanya tolong-menolong dan bantu-membantu, taat kepada Allah dan Rasul, tunduk kepada pemerintah, menyelesaikan perselisihan berdasar nilai-nilai yang diajarkan al-Qur’an dan sunnah.

Ulil Amri dimaksudkan pada ayat di atas adalah mereka yang berwewenang menangani urusan-urusan kemasyarakatan, selama perintahnya tidak bertentangan dengan perintah Allah swt. atau perintah Rasul-Nya. Ada yang berpendapat bahwa mereka adalah para penguasa/pemerintah. Ada juga yang menyatakan bahwa mereka adalah ulama, dan pendapat ketiga mengatakan bahwa mereka adalah yang mewakili masyarakat dalam berbagai kelompok dan profesi.

A

Page 174: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

166

Solusi Suatu Perbedaan

Sebelum pandemi Covid-19 masyarakat belum terbiasa bekerja online dari rumah. Dengan pandemi ini, semua aspek kehidupan: belajar, bekerja, dan beribadah ‘dipaksa’ work from home (WFH), seluruh pertemuan diharuskan secara virtual melalui platform online meeting, bahkan beberapa produk pun harus bertransformasi menjadi produk online. Sekaranglah, era new normal, bukan setelah Covid-19. Bekerja dari rumah, produk harus online, komunikasi juga jadi serba online sehingga terbiasa dan menjadi rutinitas baru. Itulah new normal.

Menurut Kepala Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa, “Indonesia akan segera memasuki era new normal. Untuk itu masyarakat diminta bersiap dengan selalu mengutamakan protokol kesehatan. Kita akan segera memasuki kehidupan new normal dalam masa pandemi Covid ini dan saya berharap kita semua tetap tegur sapa dengan sesama anggota keluarga dan siapa saja, tapi tetap jaga jarak dan ikuti protokol kesehatan. Mudah-mudahan dengan cara baru kehidupan normal akan kembali seperti sediakala”, tuturnya.

Apabila terjadi perbedaan di antara kita, agar tidak saling menyalahkan, maka kembalikan kepada al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw. Surah di atas merupakan surah yang berfungsi untuk menyelesaikan perbedaan di kalangan umat Islam. Apabila terjadi khilafiyyah (beda cara tetapi sama tujuan), misalnya: seperti banyak terjadi selama pandemi Covid-19, di antaranya: salat Jum’at diganti dengan salat zhuhur di rumah, i’tiqaf tidak perlu di masjid dan cukup di rumah, salat Idul Fitri di rumah, termasuk yang terjadi sebelum pandemi Covid-19, misalnya, pelaksanaan lebaran Idul Fitri dua kali, dan lain-lain sebagainya. Untuk menyelesaikan perbedaan itu, buka al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, ada tidak syari’atnya dalam al-Qur’an dan sunnah? Kalau ada maka ikuti ayat dan sunnah Rasulullah tersebut, sebaliknya bila tidak ada, maka tinggalkan.

Persoalan kebenaran dalam rincian ajaran-ajaran agama terdapat dua pandangan. Yang pertama berpandangan bahwa kebenaran dalam rincian ajaran agama hanya satu. Inilah yang biasa eksklusif dalam suatu persoalan. Sedang pandangan yang kedua menegaskan bahwa dalam rincian ajaran agama boleh jadi

Page 175: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

167

kebenaran beragam, selama semua menuntut ridha Allah. Bukankah, empat adalah dua kali dua, atau tiga tambah satu, atau dua tambah dua, atau lainnya lagi. Mari kita simak argumentasinya.

Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah berpesan kepada sekelompok pasukan: “Jangan ada yang salat Asar di antara kamu, kecuali di perkampungan Bani Quraisyah.“ Perjalanan demikian panjang dan waktu Asar telah hampir habis. Maka sebagian dari kelompok itu tetap salat Asar sebelum tiba di tempat yang dituju, sedang yang lain berpegang pada pesan Rasul, sehingga dilaksanakannya setelah tiba di tempat tujuan, walau waktu Asar telah habis”.

Ketika perbedaan ini dilaporkan kepada Nabi saw., beliau tidak menyalahkan siapa pun. Keduanya dibenarkan walau berbeda. Ternyata dalam bahasa agama dikenal tanawwu’ al-‘ibadah (keragaman cara beribadah). Dalam ilmu ushul juga, ulama menganut prinsip la hukma lillah qabla ijtihad al-mujtahid (belum ada ketetapan hukum Allah sebelum ada ijtihad dari mujtahid [orang yang memiliki otoritas menetapkan]), sehingga hukum Allah adalah apa yang telah ditetapkan oleh pemilik otoritas, betapa pun mereka berbeda, semuanya direstui oleh Allah.

Yang memiliki otoritas - kalaupun salah masih direstui Allah, bahkan diberi satu ganjaran. Ini semua karena adanya niat kesungguhan mencari kebenaran. Akan tetapi harus diingat, bahwa kelonggaran ini hanya diberikan dalam bidang furu’ (rincian ajaran), misalnya, penetapan waktu Idul Fitri, dan yang berbeda pun harus memiliki otoritas ilmiah (mujtahid). Ada satu hal yang perlu dipastikan bahwa yang berlebaran pada hari A tidak kurang keikhlasannya mengikuti ajaran agama daripada yang berlebaran pada hari B. Timbulnya perbedaan akibat perbedaan cara pandang dan, bukan dalam tujuannya. Kita memang berbeda dalam hal penetapan waktu Idul Fitri, namun bukan pada makna yang dikandungnya, yakni beridul fitri. Bukankah kita semua beridul fitri? Yang dilarang adalah melanggar ajaran-ajaran-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam QS al-Nisa’/4:14.

Page 176: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

168

اب ذر عر لر ا ور ا فيهر ال له نرارا خر يرترعردى حدودره يدخ ور ررسولر ر ور ن يىعص اللهى ورمرهي .م

"Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya dalam api neraka, sedangkan dia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan".

Dalam hadis Muslim juga dijelaskan bahwa “Suatu ketika penduduk Irak sudah melihat hilal, kemudian langsung melaksanakan lebaran Idul Fitri, sesudah itu, ada di antara mereka ke Madinah menemui Nabi saw. Yang masih sementara puasa karena belum melihat hilal, kemudian rombongan dari Irak tersebut menyampaikan kepada Rasulullah saw. bahwa mereka (orang-orang Irak) baru saja selesai melaksanakan salat Idul Fitri karena sudah melihat hilal. Saat itu, secara spontan Rasulullah saw. menyampaikan kepada seluruh masyarakat Islam di Madinah agar berbuka dan disusul lebaran esok harinya, karena keadaan hari ketika itu sudah sore”.

Akhirnya, jika umat Islam tarik-menarik, yakni berbeda pendapat tentang sesuatu, seperti banyak terjadi selama pandemi Covid-19, di antaranya: salat Jum’at diganti dengan salat zhuhur di rumah, i’tiqaf tidak perlu di masjid dan cukup di rumah, salat Idul Fitri di rumah, dan tidak menemukan secara tegas petunjuk dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw. (yang sahih), maka kembalikanlah ia kepada nilai-nilai dan jiwa firman Allah yang tercantum dalam al-Qur’an; serta nilai-nilai dan jiwa tuntunan Rasulullah saw., jika benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni kembali kepada pemeliharaan persatuan dan kedamaian bersama umat manusia. Demikian, wa Allah a'lam, semoga!

Page 177: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

169

U M U R

QS Fathir/35:11;

ز نزب ص م ر و ع مب ز م ر م ا ع مب م ى و م ع لئئ لنب ك لئئ ا ائئ ي ك ب فئئ ر ل ع م

)رر س .هب

"Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur orang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan dalam kitab. Sesungguhnya yang demikian itu, bagi Allah adalah mudah".

ata yu'ammar (dipanjangkan umur) yang terdapat pada ayat di atas terambil dari kata 'amara yang berarti "memakmurkan" lawannya adalah al-kharab ( ا ر yang (الخئ

berarti "menghancurkan atau kehancuran." Ia juga seakar dengan kata 'umur ( ئرر ,yang berarti "usia”, atau usia sepanjang hidup ,(ع مئزyang digunakan dalam al-Qur’an sebanyak 8 kali. Ia juga bermakna "keseimbangan dan/atau ketinggian." Usia manusia dibahasakan oleh al-Qur’an dengan lafal "umur" (seakar dengan kata makmur), dengan harapan “agar manusia seyogianya menggunakan umurnya semata-mata dalam rangka untuk memakmurkan jiwa dan raganya. "Konon, seorang kakek pernah ditanya tentang umurnya, lalu dia menjawab spontan, "lima belas tahun". Artinya, "baru lima belas tahun terakhir, dia makmurkan jiwanya dengan amal saleh." Karena itu, jika kehidupan dunia berlalu tanpa upaya memakmurkan jiwa, maka tidak wajar ia dinamai umur.

Kata "umur" dalam penggalan ayat di atas digandengkan dengan frase illa fi kitab (melainkan dalam kitab) mengisyaratkan bahwa "Allah tidak akan memanjangkan umur seseorang (katakanlah si A ) tidak juga mengurangi dari umur seseorang yang lain (katakanlah si B) kecuali semua itu telah tercatat dalam kitab-Nya, yakni dalam pengetahuan Allah atau di Lauhin Mahfuzh.

Menurut Fazlurrahman, umur manusia terbagi dua, yakni: umur kalender dan umur amal kebajikan. Umur kalender sangat terkait dengan masalah waktu. Ada orang, umurnya baru 35 tahun

K

Page 178: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

170

sudah meninggal, ada yang 40 tahun, ada yang 50, 60, 63, 70, 80, 90, hingga 105 tahun baru meninggal. Bahkan, ada yang baru 5 menit menyaksikan alam syahadah, sudah dipanggil oleh Allah swt. ke hadirat-Nya.

Menurut Syauqi Bey (Maestro Sastrawan Mesir Modern) berkata bahwa “waktu laksana air yang mengalir ke seluruh penjuru. Sejak dahulu kala melintasi pulau, kota, dan desa. Membangkitkan semangat atau menina-bobokkan manusia. Ia diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering tidak menyadari kehadirannya dan melupakan nilainya. Walaupun segala sesuatu - selain Allah - tidak akan mampu melepaskan diri daripadanya”. Dalam hadis riwayat Abu Daud dari al-Hakam bin ‘Amru, Nabi saw. bersabda: “Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali ada yang berseru, “Putra-Putri Adam, aku waktu, aku ciptaan baru, yang menjadi saksi usahamu, gunakan aku, karena aku tidak akan kembali lagi hingga masa datangnya hari kiamat”.

“Waktu”, yang menurut semangat al-Qur’an digunakan untuk menunjuk batas akhir kesempatan guna menyelesaikan suatu aktivitas. Hal ini memberikan kesan keharusan adanya pembagian teknis tentang masa yang dialami dan keharusan adanya penyelesaian sesuatu dalam bagian-bagian, seperti: menit, jam, hari, bulan, tahun, dan seterusnya, bukan membiarkannya berlalu tanpa ada manfaat dan/atau hampa tanpa aktivitas. Dalam QS al-Baqarah/2:189, Allah menegaskan bahwa peredaran matahari dan bulan, yang menghasilkan pembagian rinci, seperti keadaan perjalanan bulan hingga purnama, harus dapat dimanfaatkan manusia sebaik mungkin untuk menyelesaikan satu tugas, termasuk tugas ibadah di dalamnya.

Sedangkan, umur dalam arti “amal kebajikan” dituntut untuk dimanfaatkan seefisien dan seefektif mungkin untuk kebaikan dan kebahagiaan sesuai dengan perintah Allah swt. Banyak orang yang tertipu oleh kenikmatan dan kesenangan, lalu menyia-nyiakan umur serta hartanya. Tidak mustahil orang menghamburkan ratusan juta rupiah untuk pernikahan anak, akan tetapi terlampau sedikit yang dibelanjakan untuk kemaslahatan sosial-kemasyarakatan. Padahal dalam QS al-Baqarah/2:274, Allah swt. tegaskan kepada kita bahwa, “Mereka menginfakkan harta mereka, malam dan siang, dengan sembunyi-sembunyi dan terang-terangan. Maka bagi mereka pahala di sisi Tuhan mereka. Tiada rasa

Page 179: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

171

khawatir atas mereka, dan tiada pula rasa sedih”. Hal ini senada pula dengan QS al-Zalzalah/99:7-8, yang menagaskan bahwa, “Jangan enggan melakukan kebajikan walaupun sebesar biji zarrah; dan jangan pula berani melalkukan kejahatan walaupun sebesar biji zarrah”. Artinya, Allah sudah tetapkan bahwa setiap amal kebajikan walau sebesar benih pun akan mendapat pahala yang berlipat ganda, begitu juga sebaliknya. Dan Allah swt. tidak pernah ingkar janji, itu pasti.

Dengan demikian, umur manusia bukanlah sekadar jumlah deretan waktu, akan tetapi sejauhmana kita mampu mengisi dan memberikan arti. Dengan begitu, makna “panjang umur”, bukanlah berapa lama kita hidup, melainkan berapa banyak amal kebajikan dan/atau prestasi baik yang yang telah kita lakukan. Itulah sebabnya, kata “iman” dalam al-Qur’an Allah swt. gandengkan dengan kata “wa ‘amilushshalihat (perintah untuk beramal kebajikan)” sebanyak 37 kali, sebagaimana kata “salat” seringkali digandengkan dengan kewajiban untuk menunaikan zakat, infak, serta membantu kaum fakir-miskin dan anak-anak yatim. Seakan-akan Allah menegaskan bahwa tidak sempurna iman seseorang, apabila tidak terbukti amalnya di dunia. Tidak sempurna salat seseorang, apabila tidak mendorong cinta-kasih kepada mereka yang nasibnya kebetulan belum beruntung.

Dalam kaitannya dengan usaha memperpanjang umur, banyak di antara manusia yang keliru dalam memahami penegasan Allah dalam QS al-A’raf/7:34:

مونر رسترقد ل ي ة ور اعر خرونر سررسترأ لهم ل ي جر

راءر أ ل فرإذرا جر جر

رة أ مى ألك ور

Dan untuk tiap-tiap umat mempunyai ajal, maka jika ajal telah datang, usia tidak dapat ditunda dan tidak pula ia dapat dipercepat.

Kesalahpahaman tersebut mengantarkan manusia kepada penolakan usaha memperpanjang usia. Padahal, manusia seharusnya yakin bahwa memang usia berada di tangan Tuhan. Akan tetapi, ini bukan berarti usaha untuk memperpanjangnya tidak akan berhasil. Usaha akan tetap berhasil jika direstui oleh Allah, dalam arti sesuai dengan sunnatullah. Apa pun usaha manusia selama sejalan dengan sunnatullah pasti akan berbuah, termasuk usaha memperpanjang umur. Nabi saw. mengajarkan

Page 180: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

172

bahwa salah satu bentuk usaha tersebut adalah seperti sabdanya dalam hadis riwayat al-Bukhaari dari Anas bin Malik:

لبى م هب س أ عزت ر س م ي هب ع نز ق ا ض الم ر م بز ز ا ز ع مئ أ س لبم بئ هب ع ل )ز و

م )روا البخارى(ي ح ز ر ق ا وز نزس أ ل في ا ث ر ف لز) زز س رب ا نز بزس ط ل في ر

"(Hadis riwayat) dari Anas bin Malik r.a. berkata: Aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda: ”Siapa yang berkeinginan diperluas baginya rezekinya serta diperpanjang usianya, maka hendaklah ia menghubungkan silaturahmi (Hadis riwayat al-Bukhari) ".

Hadis Nabi saw. ini agaknya di samping sejalan maknanya dengan QS Fathir/35:11 dan 37 di atas, juga sejalan maknanya dengan anjuran para dokter dan pengusaha, yakni “hindari stres dan jalin hubungan yang akrab, niscaya rezeki akan datang melimpah dan hidup menjadi tenang, sehingga usia dapat bertambah.” Hal yang menarik, ketika al-Qur’an diamati dan tidak dijumpai satu kalimat pun yang dapat diterjemahkan dengan ”Saya (Tuhan) memanjangkan usia.” Redaksi yang digunakan al-Qur’an adalah nu’ammirkum (Kami memanjangkan umur kamu) yang terdapat dalam QS Fathir [35]:37 dan QS Yasin/36:68, atau dengan redaksi wama yu’ammar (siapa yang diperpanjang usianya) yang terdapat dalam QS al-Baqarah [2]:96 dan QS Fair/35:11. Redaksi-redaksi seperti ”Kami” ini memberi kesan bahwa manusia mempunyai keterlibatan dan usaha dalam memperpanjang atau memperpendek usianya.

Silaturrahmi menurut hadis di atas, dapat menyambung hubungan yang putus, menjernihkan yang keruh, dan menghangatkan yang dingin, yang pada akhirnya dapat mengurangi stres, sedang stres adalah salah satu penyebab kematian yang lebih banyak. Pada sisi lain dilihat dari segi nilai-nilai spiritual, silaturahmi dan banyak berbuat baik terhadap sesama dapat memperpanjang umur, dalam arti bahwa boleh jadi kita sudah lama meninggal, tetapi akibat kebaikan-kebaikan yang telah diukir selama masih hidup di dunia itu terhadap sesama, sampai sekarang masih tetap saja senantiasa disebut-sebut oleh mereka nama dan kebaikan itu di dunia sebagai isyarat bahwa pahalanya juga tetap jalan terus di sisi Allah swt.

Akhirnya, umur seharusnya disertai dengan jihad habis-habisan, serta digunakan untuk senantiasa bertaat kepada Allah

Page 181: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

173

sambil memperbanyak silaturrahmi, sebab kematian adalah sesuatu yang pasti datangnya, meskipun ia gaib dari pengetahuan manusia. Boleh jadi kematian tersebut datang melalui musibah dalam bentuk bencana, gempa bumi, gelombang tsunami, atau kebakaran. Ada yang kematiannya datang pada saat bertaat, seperti: salat, puasa, menunaikan ibadah haji, bersedekah, menolong orang lain, berdoa dan ibadah-ibadah lainnya. Kendatipun, ada juga yang meninggal pada saat sedang maksiat, seperti: judi, mabuk, memusyrikkan Allah dengan makhluk-Nya, dan sebagainya. Demikian, wa Allah a'lam, semoga!

Page 182: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

174

REFERENSI

Al-Qur’an al-Karim 'Abbas, 'Abd-Allah 'Abbas. Muhadarat fi al-Tafsir al-Maudu'i. Cet.I;

Damsyiq: Dar al-Fikr, 1428 H/2007 M. Abd al-Baqi, Muhammad Fu'ad. al-Mu'jam al-Mufahras li Alfaz al-

Qur’an al-Karim.. Baerut: Dar al-Fikr, 1401 H/1981 M. 'Abd al-Salam, Muhammad bin 'Abd-al 'Aziz bin. Fawa'id al-Balwa

wa al-Mihan, di-tahqiq oleh Ab­ Hammam 'Abd-al-Fattah. Al-Qahirat: Maktabat Aulad al-Syaikh li al-Turas\, 2003.

'Abd al-Salam T{awilat, Abd al-Wahhab (1913 M). As\ar al-Lugat fi Ikhtilaf al-Mujtahidin. Cet.II; al-Qahirat-Misr: Dar al-Salam, 1420 H/2000 M.

Abd. Aziz Dahlan (ed.). Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid IV. Cet.I; Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1997.

'Abd-al-'Aziz, Jum'at Amin. Manhaj al-Qur’an fi 'Ard 'Aqidat al-Islam. Cat.III; al-Iskandariyyat: Dar al-Da'wat, 1414 H/1993 M.

Abdullah Yusuf Ali (1872 M). The Holy Quran: Text, Translation and Commentary. New Delhi-India: Kutub Khana Ishaat ul- Islam, 1977.

Ab­'Ammar, Mahmud al-Masri. Qasas al-Qur’an. al-Qahirat: Maktabat al-Taqwa, 1422 H/2001 M.

Ab­ al-Fida' Isma'il Ibn Kas\ir al-Qurasyi al-Dimasyqi (w.774 H). Tafsir al-Qur’an al-'Azim, Juz I-IV. Al-Qahirat: Dar al-Sya'b, t.th.

Abu al-Sa'ud, Muhammad bin Muhammad al-'Umadi (w. 982 H). Irsyad al-'Aql al-Salim Ila Mazaya al-Qur’an al-Karim, Juz I. al-Qahirat: Dar al-Mushaf, 1998.

Ab­Faris, Muhammad 'Abd al-Qadir (1947 M). al-Ibtila wa al-Mihan fi al-Da'wat. Amman-Yordaniyyat: Dar al-Tawzi' wa al-Nasyr al-Islamiyyat, 1990.

Ab­'Isa Muhammad bin 'Isa bin Sa­rat al-Tirmiz\i (w.279 H). Sunan al-Tirmiz\i, Juz I- IV. Cet.I; Bairut: Dar al-Fikr,1424 H/2003 M.

Ab­Tahir Ya'q­b al-Fairuzzabadi. Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn 'Abbas. Bairut: Dar al-Fikr, 1415 H/1995 M.

'Afif 'Abd al-Fattat Tabbarat. Ma'a al-Anbiya' fi al-Qur’an al-Karim. Bairut: Dar al-'Ilm li al-Malayin, 1983.

Ahmad bin Hanbal Ab­ 'Abdillat al-Syaibani (w.241 H). Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, Juz IV. Mesir : Mu'assasat al-Qurtubat, t.th.

Ahmad, M.M. Zuhuruddun. An Examination of the Mistic Tendencies in Islam. Bombay: Kalam Mahal, 1932.

Page 183: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

175

Ahmad Mustafa al-Maragi (1881 M). Tafsir al-Maragi, Juz I-XXX. (Mesir: Maktabat Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh­, 1383 h/1963 M.

Akbari, Abu al-Biqa'i 'Abd-Allah bin H{usain bin 'Abd-Allah al- al-Tibyan fi ab al-Qur’an, Juz I-II, di-tahqiq oleh Sayyid Ahmad 'Ali. al-Qahirat: al-Maktabat al-Taufiqiyyat, 2005.

Ali, 'Awad. al-Nasara fi al-Qur’an wa al-Tafasir. Cet.I; Amman-Yordania: Dar al-Syuruq, 1998.

Ali Rida'. al-Marja' fi al-Lugat al-'Arabiyyat, Juz I. Al-Qahirat: al-Manar, 1341 H.

Alusi, Syihab al-Din al- (w.1270 H). Ruh al-Ma'ani fi Tafsir al-Qur’an al-Karim wa al-Sab' al-Mas\ani, Juz IV. Bairut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyat, 1415 H/1994 M.

Aristoteles “Poetics,” Vincent B. Leitch (ed.). The Northon Antology of Theory and Criticism. New York: WW. Norton & Company, 2001.

Asfahani, Ab­ al-Qasim al-H{usain bin Muhammad al-Ma'ruf bi al-Ragib al-.(w.502 H). al-Mufradat fi Garib al-Qur’an, yang di-raji' oleh Wa'il Ahmad 'Abd al-Rahman. al-Qahirah-Misr: al-Maktabat al-Tawfiqiyyat, 2003.

----------- . Mu'jam Mufradat Alfaz al-Qur’an, di-tahqiq oleh Nadim Mar'asyli. Baerut: Dar al-Fikr, t.th.

Asqalani, Ahmad bin 'Ali bin ¦ajar al- (w.852 H). Fath al-Bari' Syarh al-Bukhari, Juz I-IX, di-tahqiq oleh Muhammad Fu'ad 'Abd-al-Baqi. al-Qahirat: al-Matba'at al-Salafiyyat, 1380 H.

Asy'ari, Abu al-Hasan al- Maqalat al-Islamiyyin wa al-Ikhtilaf al-Musallin, Juz I. Konstantinopel: Matba'at al-Daulat, 1930.

Azhari, Abu Mansur Muhammad bin Ahmad al- (w.370 H). Tahz\ib al-Lugat, Juz XIII, di-tahqiq oleh 'Abd-al-Salam Harun dkk. al-Qahirat: al-Dar al-Misriyyat li al-Ta'lif wa al-Tarjamat, 1998.

Azyumardi Azra (ed.). Ensiklopedi Islam, Jilid I-VII. Cet.IX; Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001.

Bahjat, 'Abd al-Wahid Salih. Al-ab al-Mufassal li Kitab Allah al-Muwattal, Jilid I-XXX. Cet.II; Baerut: Dar al-Fikr, 1999.

Baidawi, Nasir al-Din Abu al-Khair 'Abdullah ibn 'Umar al- (w.791 H). Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta'wil (Tafsir al-Baidawi), Jilid I-II. Cet.I; Bair­t: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyat, 2003.

Basyuni, Ibrahim. Nasy'at al-Tasawwuf al-Islami. Al-Qahirat: Dar al-Ma'arif, 1969.

Bert F. Hozelits (ed.). A Reader's Guide to The Social Sciences. Chicago: University of Chicago Press, 1978.

Bint al-Syati', A'isyat 'Abd al-Rahman (1913 M). Al-Qur’an wa al-Hurriyyat. Cet., Kuwait: Jam'iyyat al-Islah al-Ijtima'iyyat, 1967.

Page 184: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

176

Biqa'i, Burhanuddin Ab­ al-H{usain Ibrahim bin 'Umar al- (885 H/1480 M). Nazm al-Durar fi Tanasub al-A<<yat wa al-Suwar, Jilid I-XXII. Cet.II; al-Qahirat: Dar al-Kutub al-Islami, 1413 H/1992 M.

Bukhari, Abu 'Abdillah Muhammad bin Isma'il al- (816 M). Sahih al-Bukhari, Juz I, II, III, IV, VII. Cet.I; al-Riyad: Dar 'Alam al-Kutub, 1417 H/1996 M.

Butros al-Bustani. Qutr al-Muhit, Juz I. Bairut-Libnan: Maktabat al-Libnan, t.th.

Cawidu, Harifuddin. Konsep Kufr Dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematik. Cet.I; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1411 H/1991 M.

Dahlan, Abd. Azis, (ed.). Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid II. Cet.I; Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1997.

Damagazi, al-Husain bin Muhammad al- Qamus al-Qur’an au Islah al-Wujuh wa al-Naz\a'ir fi al-Qur’an al-Karim. Bairut: Dar al-Islam li al-Malayin, 1980.

Darwazah, Muhammad 'Izzah. Al-Tafsir al-Hadis\, Juz I-XII. Damsyiq-al-Syam: Dar al-Ihya al-Kutub al-'Arabiyyat Isa al-Bab al-Halabi wa Syariqah­, 1381 H/1963 M.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet.X; Jakarta: Balai Pustaka, 1999.

Efendi, Mochtar (ed.). Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Jilid I. Cet.I; Palembang: Universitas Sriwijaya, 2000.

Faisan, Su'd bin 'Abd-Allah al- . Ikhtilaf al-Mufassirin: Asbabuh wa A<s\aruh. Cet.I; al-Riyad: Dar Isybiliya, 1418 H/1997 M.

Farmawi, 'Abd al-Hayy al- al-Bidayat fi al-Tafsir al-Mawudu'i, (al-Qahirat: al-Hadarat al-'Arabiyyat, 1977.

Fattah Tabbarah, Afif 'Abdullah. Ma'a al-Anbiya' fi al-Qur’an al-Karim. Bairut: Dar al-'Ilm li al-Malayin, 1983.

Gazali, Syaikh Muhammad al- (1917 M). Khuluq al-Muslim. Kuwait: Dar al-Bayan, 1390 H/1970 M.

Gazali, Abu Hamid al- (1111 M). Mukasyafat al-Qulub. Bair­t: Dar al-Fikr, 1990.

George Richard T.De. Semiotic Themes. Lawrence: University of Kansas Publication, 1981.

Hanafi, Hassan (1935 M). Islam in The Modern World: Religion, Idiology, and Development, Vol.I. Cairo: Dar Kabaa Bookshop, 2000.

-------------. Islam in The Modern World: Tradition, Revolution, and Culture, Vol.II. Egypt: Dar Kabaa Bookshop, 2000.

-------------. L'Exegese de la Phenomenologie, Vol. II. Paris: Paris n. d., 1966.

-------------. Min al-Nas ila al-Waqi'. Cet. I; al-Qahirat-Misr al-Jadidat: Markaz al-Kitab li al-Nasyr, 1425 H/2005 M.

Hanbali, Al-Imam Abu 'Abdullah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Manbiji al- (1938 M). Tasliyyat Ahl al-

Page 185: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

177

Masa'ib. Cet.I; Baerut-Libnan: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyat, 1406 H/1986 M.

Hijazi, Muhammad Mahm­d (1932 M). al-Tafsir al-Wadih, Jilid I-III. Bairut: Dar al-Jil, 1413 H/1993 M.

Ibn 'Asyur, al-Syaikh Muhammad al-Tahir (1912 M). Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Jilid I-XII, Juz I-XXX. T­nis: Dar Suhn­n, 1997.

Ibn 'Arabi, Ab­ Bakr Muhyiddin Muhammad bin 'Ali Muhammad bin Ahmad al-T{ayy­ al-Hatimi (w.638 H). Tafsir al-Qur’an al-KarimlTafsir Ibn 'Arabi, Juz I-II. Baerut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyat, 1427 H/2006 M.

Ibn Faris bin Zakariya, Abu al-H{usain Ahmad (w.395). Mu'jam Maqayis fi al-Lugat, di-tahqiq oleh Syihab al-Din Abu 'Amru'. Cet.I; Baerut: Dar al-Fikr, 1415 H/1994 M.

Ibn Hisyam, Ab­ Muhammad 'Abd-al-Malik (w.213 H). al-Sirah al-Nabawiyyah, Juz I-IV. Cet.I; al-Qahirat: Maktabat al-Wafa, 1422 H/2001 M.

Ibn Kasir, Al-Imam al-Jalil al-Hafiz 'Imad al-Din Abi al-Fida' Isma'il al-Qurasyi al-Dimasqi (w.774 H). Tafsir al-Qur’an al-'Azim, Juz I-IV. Bairut: Dar al-Fikr, 1401 H/1981 M.

Ibn Manzur, Abu al-Fadl Jamal al-Din Muhammad bin Mukram (w.711 H). Lisan al-'Arab, Jilid I, II, IV, XIV, XVIII. Baerut: Dar Sadr-Dar Baerut, 1968 M/1396 H.

Ibn Majah, al-Hafiz Abu 'Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini (w.275 H). Sunan Ibn Majah, di-tahqiq oleh Muhammad F­'ad 'Abd al-Baqi, Jilid II, III, V. Mesir: 'Isa al-Bab al-Halabi wa Auladuhu, 1373 H/1954 M.

Ibn Qayyim al-Jauziyyah (w.691 H). Hikmah al-Ibtila'. Cet.V; al-Qahirat-Misr: Dar al-Salam, 1419 H/1999 M.

----------- . al-Jawab al-Kafi Liman Sa'ala 'an al-Da'wat al-Syafi. Bairut: Dar al-Fikr, Maktabat al-Sawadi, 1994.

----------- . al-Tafsir al-Qayyim, (Bairut: Dar al-Fikr, 1408 H/1988 M.

----------- . Tahz\ib Madarij al-Salikin. Bairut: Dar al-Fikr, t.th. Ibn Taimiyyah, Syaikh al-Islam Taqiyuddin Abu al-'Abbas Ahmad

(738 H). al-Amr bi al-Ma'ruf wa al-Nahyi 'an al-Munkar, di-tahqiq oleh Dr. Muhammad al-Sayyid al-Jalinid. Bairut: Dar al-Syuruq, 1957.

----------- . al-'Aqidat al-Wasitiyyat. Bairut: Dar al-'Arabiyyat, t.th. ----------- . al-Tafsir al-Kamil, Juz I-XII, di-tahqiq Abu Sa'id 'Umar al-

Amrawi. Cet. I; Baer­t: Dar al-Fikr, 1423 H/2002 M. Ibn Jarir al-Tabari, Abu Ja'far Muhammad (w.310 H). Jami' al-

Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Juz I-XXX, 'Imad Zaki al-Bar­di. al-Qahirat-Misr: Dar al-Taufiqiyyag, 2004.

Ibrahim, Muhammad Isma'il . Mu'jam al-Alfaz wa al-A'lam al-Qur’aniyyat, Juz II. Al-Qahirat: Dar al-Fikr, 1969.

Page 186: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

178

Ikk, al-Syaikh Khalid 'Abd-al-Rahman al-Tashil al-Wusul Ila Ma'rifat Asbab al-Nuzul: al-Jami' Bain Riwayat al-T{abari wa al-Naisaburi wa Ibn al-Jauzi wa al-Qurtubi wa Ibn Kas\ir wa al-Sayuti. Cet. III; Baer­t: Dar al-Ma'rifat, 1424 H/2003 M.

Ismail, M. Syuhudi (1943 M). Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Cet. I; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1988.

Jalal al-Din Muhammad bin Ahmad al-Mahalli dan Jalal al-Din al-Sayuti (w.911 H). Tafsir al-Qur’an al-'Azim, Juz I-II. Semarang: Maktabat wa Matba'at Thoha Putra, 1991.

Jamal, Muhammad 'Abd al-Mun'im al- al-Tafsir al-Farid li al-Qur’an al-Majid, Juz I, II, III. al-Qahirat: Majma' al-Buhus\ al-Islamiyyat, 1970.

Jane I. Smith. An Historical and Semantic Study of The Term Islam as Seen in A Sequence of Quran Commentaries. Montana: University of Montana, 1975.

Jauzi, Abu al-Faraj Jamaluddin 'Abd-al-Rahman al- (w.597 H). Z{ad al-Masir fi '´lm al-Tafsir. Cet. I; Baerut: Dar Ibn H{azm, 1423 H/2002 M.

John L. Esposito. The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, vol-II. New York: Oxford University Press, 1995.

John M. Echolss dan Hassan Shadily. Kamus Inggris-Indonesia. Cet.XI; Jakarta: PT Gramedia, 1982.

John Naisbitt & Patricia Aburdene. Megatrend 2000, terjemah Indonesia oleh FX Budijanto. Jakarta: Binarupa Aksara, 1990.

Jubaisi, 'Abd-al-¦alim al- Ibrahim a.s. wallaz\ina Ma'ahu Baina al-Asfar al-Khamsat wa al-Qur’an. al-Qahirat: al-Maktabat al-Taufiqiyyat,2006.

Jurjani, 'Ali bin Muhammad 'Ali Ibn al-H{usain al- (w.816). al-Ta'rifat, (al-Qahirat: Mustafa al-H{alabi, 1938

Katu, Mas Alim. Tasawuf Kajang. Cet. I; Makassar: Pustaka Refleksi, 2005.

Khalidi, S{alah 'Abd-alFattah al- al-Tafsir al-Maudu'i: Bain al-Nazariyyat wa al-Tatbiq. Cet.I; 'Amman-Yordania: Dar al-Nafa'is, 1418 H/1997 M.

Khalil, 'Abd al-'Aziz bin Nasir al- La Tahsabuhu Syarran Lakum. Cet.II; al-Qahirat: Dar al-Safwat, 1418 H.

Khallaf, 'Abd al-Wahhab. 'Ilm Usul al-Fqh. al-Qahirat: Maktabat al-Da'wat al-Islamiyyat, 1997.

Khazin, 'Ala'uddin 'Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Bagdadi al- (w.725 H). Mukhtasar al-Qur’an al-Karim, Jilid I-II. Cet.I; Baerut: Dar al-Musirat, 1987.

Lewis Mulford Adams dan Edward N. Teall, A.M. (ed.). Webster's Home University Dictionary. New York: Books, inc., 1965.

Page 187: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

179

Louis Ma'luf. al-Munjid fi al-Lugat wa al-A'lam. Baerut: Dar al-Masyriq, 1975.

Mahmud Safi, al-Jadwal fi I’rab al-Qur’an wa Sarfihi wa Bayanihi ma'a Fawa'ida nahawiyyat Hammat, Juz I, II, VIII, IX, XII, XXI, XXIII, XXVI, XXVIII. Cet. IV; Bairut: Dar al-Rasyid, 1418 H/1998 M.

Mahmud Syaltu­t. Tafsir al-Qur’an al-Karim, Juz I-IV. Kairo: Dar al-Syuruq, 1408 H/1988 M.

Mahmud, 'Abd al-Halim. Al-Tafsir fi al-Islam. Baerut: Dar al-Fikr, 2002.

Majma' al-Lugat al-'Arabiyyat. al-Mu'jam al-Wajiz. Kairo: Matabi' al-Syarikat al-I'lanat al-Syarqiyyat, t.th.

----------- . Mu'jam Alfaz al-Qur’an al-Karim, Jilid II. al-Qahirat: al-Haiat al-Misriyyat al-'Ammat li al-Ta'lif wa al-Nasyr, 1390 H/1970 M.

Manbaji al-Hanbali, Ab­ 'Abd- Allah Muhammad bin Muhammad al- (1938 M). Tasliyyat Ahl al-Masa'ib. Bairut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyat, 1406 H/1986 M.

Maragi, Muhammad Mustafa al- (1881 M). Tafsir al-Maragi, Juz IV, VI, VIII, IX, XXVI. Cet.V; Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuhu, 1394 H/1974M.

Maula, Muhammad Ahmad Jad al- dkk. Qasas al-Qur’an. Cet.XI; al-Qahirat: Dar Ihya' al-Turas\, 1426 H/2005 M.

M. Dawam Rahardjo. Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci. Cet.I; Jakarta: Paramadina, 1996.

Mochtar Effendy (ed.). Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Jilid II. Cet.I; Palembang: Universitas Sriwijaya, 2000.

M. Spencer dan A. Inkeles. Foundation of Modern Sosiology. New Jersey: Practice Hall, 1982.

Mudzhar, M. Atho. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek. Cet.VI; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Muhammad 'Abduh (w.1849 M). Risalat al-Tauhid. Misr: Dar al-Manar, 1967.

----------- . Tafsir Juz 'Amma. Mesir: Dar wa Matabi' al-Sya'b, 1963.

Muhammad Galib M. Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya. Cet.I; Jakarta: Penerbit Paramadina, 1998.

Muhammad Rasyid Rida (w.1865 M). Tafsir al-Qur’an al-Hakim/Tafsir al-Manar, Juz I-XII. Cet.II; Kairo: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyat, 1426 H/2005 M.

Muhammad Yusuf, Imam Muhammad bin. Tasliyyat al-Mahzumin. Al-Qahirat: Dar al-Ta'lif, 1380 H/1960 M.

Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir; 1984.

Page 188: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

180

Munziri, al-Hafiz al- Mukhtasar Sahih Muslim, di-tahqiq oleh Muhammad Nasir al-Din al-Bani, Juz III. Damsyiq: Ihya' al-Turas\ al-Islami, 1389 H.

Muslim bin al-Hajjaj, Abu al-Husain al-Kusairi al-Naisaburi (820 M). Sahih Muslim, Juz I, II, IV,VIII. Bairut: Dar Ihya' al-Turas\ al-'Arabi, t.th.

Muttalib, Rif'at Fauzi 'Abd al- Tausiq al-Sunnat fi al-Qarn Sani. Misr: al-Khanji, 1989.

Najjar, Zaglul Ragib Muhammad al- (1933 M). al-Ard fi al-Qur’an al-Karim. Cet.II; Baerut: Dar al-Ma'rifat, 1427 H/2006 M.

------------ . H{aqa'iq 'Alamiyyat fi al-Qur’an al-Karim. Cet.II; Baerut: Dar al-Ma'rifat, 1427 H/2006 M.

------------ . al-Zalazil fi al-Qur’an al-Karim, (Cet. I; al-Qahirat-Misr: al-Idarat al-'A<mmat li al-Nasyr, 2007.

Nasafi, 'Abdullah bin Ahmad bin Mahm­d al- (w.701 H). Madarik al-Tanzil wa Haqa'iq al-Ta'wil/ Tafsir al-Nasafi, Jilid I-III. Cet.I, Bairut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyat, 1415 H/1995 M.

Nasution, Harun . Akal dan Wahyu dalam Islam. Cet.II; Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1990.

Nasution, Harun (ed.). Ensiklopedi Islam Indonesia. Cet.I; Jakarta: Djambatan, 1992.

------------ . Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Cet.VII; Jakarta: Bulan Bintang, 1990.

----------- . Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Cet.V; Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986.

Nawawi, Al-Imam Yahya bin Syaraf al- Syarh Shahih Muslim, Juz I, II, VI, XVII. Mesir: al-Maktabat al-Misriyyat, 1924.

Paul Lunde and Justin Wintle. A Dictionary of Arabic and Islamic Proverbs. Cet.I; London: Secker and Warburg Press, 1984.

Qamar Kailani. Fi al-Tasawwuf al-Islami. Al-Qahirat: Dar al-Ma'arif, 1969.

Qurtubi, Abu 'Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Ansari al- (w.671 H). al-Jami' li Ahkam al-Qur’an al-Karim/Tafsir al-Qurtubi, Jilid I-X, di-tahqiq oleh 'Abd-Allah al-Mansyawi. al-Qahirah: Maktabat al-Iman, 2006.

Qusyairi, 'Abd-al-Karim bin Hawazin bin 'Abd-al-Malik al-Naisaburi, al- (w.465 H). Tafsir al-Qusyairi/Ta'if al-Isyarat, Juz I-IV. Al-Qahirat: al-Maktabat al-Taufiqiyyat, 1419 H/1999 M.

Razi, Fakhruddin Ab­ 'Abd-Allah Muhammad al- (w.606 H). Tafsir al-Kabir, Juz I, IV, VIII, IX. Tehran: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyat,1998.

Razi, Muhammad bin Abi Bakr bin 'Abd-al-Qadir al- Mukhtar al-S{ahhah. al-Qahirah: al-Hai'at al-Misriyyat al-'Ammat li al-Kitab, 1997.

Page 189: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

181

Rif'at Isma'il al-Sudani (1903 M). Bala': Mawaqi'uha fi al-Qur’an al-Karim wa Khasaisuha al-Balagiyyat. Mesir: Matba'at al-Amanat, 1411H/1991 M.

Salim, Abd. Muin (1944- M). Metodologi Tafsir Sebuah Rekonstruksi Epistemologis: Memantapkan Keberadaan Ilmu Tafsir Sebagai Disiplin Ilmu. Ujungpandang: IAIN Alauddin Makassar (Orasi Pengukuhan Guru Besar), 28 April 1999.

-------------. Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Quran. Cet.I; Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan (LSIK), 1994.

-------------. Jalan Lurus Menuju Hati Sejahtera: Tafsir Surah al-Fatihah. Cet.I; Jakarta: Penerbit Kalimah, 1999.

Samarqandi, Abu al-Lais Nasir bin Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim al- Bahr al-'Ulum/Tafsir al-Samarqandi, Juz I-III. Cet.I; Bairut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyat, 1413 H/1993 M.

Sayyid Qutb (1906 M), Fi Z{ilal al-Qur’an, Jilid I-VI. al-Qahirah: Dar al-Syuruq, 1412 H/1992 M.

Sayuti, 'Abd-al-Rahman bin Abu Bakr bin Muhammad Jalal al-Din al- (w.911 H/1505 M). al-Muzhir fi 'Ilm al-Lugat wa Anwa'iha, di-tahqiq oleh Muhammad 'Abd-al-Rahman. Cet.I; Baerut: Dar al-Fikr, 1426 H/2005 M.

Shihab, M. Quraish (1944- M). Dia di Mana-mana: "Tangan" Tuhan di Balik Setiap Fenomena. Cet.II; Jakarta: Lentera Hati, 2005.

-------------. Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan. Cet.I; Bandung: Penerbit Mizan, 1994.

-------------. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Cet.I; Bandung: Penerbit Mizan, 1992.

-------------. Menyingkap Tabir Ilahi:Asma al-Husna dalam Perspektif Al-Qur’an. Cet. I; Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 1998.

-------------. Perjalanan Menuju Keabadian: Kematian, Surga dan Ayat-ayat Tahlil. Cet.I; Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 1422 H/2001 M.

-------------- (at al). Sakit Menguatkan Iman: Uraian Pakar Medis dan Spiritual. Cet.V; Jakarta: Gema Insani Press, 2000.

-------------. Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-Qur’an. Cet.I; Bandung: Penerbit Mizan, 2000.

-------------. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jilid I-XV. Cet.I; Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2003.

-------------. Tafsir al-Qur’an al-Karim. Cet.I; Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.

-------------. Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu'I atas Pelbagai Persoalan Umat. Cet. I; Bandung: Penerbit Mizan, 1996.

Page 190: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

182

-------------. Wawasan Al-Qur’an tentang Zikir & Doa. Cet.I; Jakarta: Lentera Hati, 1427 H/2006 M.

Surachmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito, 1990.

Syalabi, Rauf. al-Jihad fi al-Islam: Manhaj wa Tatbiq, Juz I. Al-Qahirah: Majma' al-Buhus\ al-Islami, 1980.

Sya'rawi, Syekh Muhammad Mutawalli al- (1912 M). al-S{abr 'Inda al-Musibah. Bairut: Dar al-Fikr, 1992.

-------------. Tafsir Ayat al-Ahkam, Juz I-II, (al-Qahirah: Dar al-Taufiqiyyat, 1427 H/2006 M.

-------------. Tafsir al-Sya'rawi, Jilid I-XX. Misr: Majma' al-Buhu­s\ al-Islamiyyat al-Azhar, 1411 H/1991 M.

Syanqiti, Muhammad al-Amin al- (1393 H). Adwa al-Bayan fi ´Idah al-Qur’an bi al-Qur’an, Juz I-IX. Al-Qahirah: Dar al-hadis\, 1426 H/2006 M.

Syauqani, Muhammad bin 'A<li bin Muhammad al- (1250 H). Fath al-Qadir. Cet.III; Baerut: Dar al-Ma'rifat, 1427 H/2006 M.

Syayi, Muhammad bin 'Abd al-'Aziz al- (1362 H). Raf' al-Bala' wa Mu'alajat al-Masa'ib. Mesir: Dar al-Fa'izin li al-Nasyr wa al-Tauzi' 1422 H.

Tabari, Abu Ja'far Muhammad bin Jarir al- (w.310 H). Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur’an, Juz I-XXX, di-tahqiq oleh 'Imad Zaki al-Barudi. al-Qahirat: Dar al-Taufiqiyyat, 2004.

Taba'taba’i, al-'Allamah al-Sayyid Muhammad al-H{usain al- (w.1981 M). al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Juz I, V, VIII, XIII, XVIII, XIX. Baer­t: Mu'assasat al-A'lami li al-Matbu'at, 1403 H/1983 M.

Tibrisi, Abu 'Ali al-Fad bin al-Hasan al- Majma' al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Juz I-XXX. Baerut: Maktabat al-H{ayah, 1961.

Tirmizi, Abu 'Isa Muhammad bin 'Isa bin Surah al- (w.279 H). al-Jami' al-Sahih, Juz IV. Bairut: Dar al-Fikr, 1400 H/1980 M.

Toshihiko Izutsu (1914 M). Ethico Religious Concepts In The Qur'an. Malaysia: Islamic Book Trust, 2004.

Umar Farruq. Tarikh al-Fikr al-'Arabi. Bairut: Dar al-Fikr, 1972. Umberto Eco. A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana

University Press, 1984. Usaimin, Muhammad bin S{alih al- Syarh al-Arba'in al-

Nawwawiyyah. Misr: Maktabat Nur al-Huda, t.th. Wahbah al-Zuhaili. al-Tafsir al-Munir fi al-'Aqidat wa al-Syari'at wa

al-Manhaj, Juz I-IV. Bairut: Dar al-Fikr, t.th. ----------- . al-Tafsir al-Wasit, Juz I-III (Cet.I; Damsyiq: Dar al-Fikr,

1422 H/2001 M. Wahidi, Abu H{asan al- (w.468 H). Asbab al-Nuzul. Baerut: Dar al-

Fikr, 1414 H/1994 M. Wajdi, Muhammad Farid. Da'irat Ma'arif al-Qarn al-'Isyrin, Jilid II

dan VII. Bairut: Dar al-Fikr, 1399 H/1979 M.

Page 191: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

183

Watt, W. Montgomery. Muhammad: Prophet and Statesman. Oxford: Oxford University Press, 1966.

Zaini, Samih 'Atif al- (1912 M). al-Tafsir al-Maudu'i li al-Qur’an al-Karim, Jilid I. Cet.II; Baerut: Dar al-Kitab al-Libnani, 1404 H/1984 M.

Zamakhsyari, Abu al-Qasim Jarullahi Mahmud bin 'Umar bin Muhammad al- (w.538 H). al-Kasysyaf 'an Haqa'iq Giwamid al-Tanzil wa 'Uyun al-'Aqawil fi Wujuh al-Ta'wil, Juz I-III. Cet.I; Bairut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyat, 1415 H/1995 M.

Artikel-artikel dan Makalah Abdullah, M. Sufyan Raji. Tsunami dan Keajaibannya. Cet.I; Jakarta:

Pustaka al-Riyadh, 2005. Ainul Haris Umar Thayib dan Jon Hariyadi. Nasihat dan Pelajaran

dari "Indonesia Menangis. Cet.I; Surabaya: La Raiba Bima Amanta, 1426 H/2005 M. 2005.

Azyumardi Azra, "Transformative Learning," Rapublika, No.007 Tahun ke-14, 12 Januari 2006.

DM. Arlianto, "Manajemen Modern dalam Islam," Republika, Nomor: 187/VI, 21 Maret 1997.

Hamka Haq (ed.). Corak Qadariyah dalam Pemikiran Islam, "Kumpulan Makalah-makalah Harun Nasution yang diedit sebagai persembahan dalam rangka Peringatan 70 Tahun Hari Lahir Beliau. Jakarta: Program Pascasarjana Syarif Hidayatullah, 1989.

Mathar, Mochammad Qasim, "Zikir Nasional Diperlukankah?," Harian Fajar. Selasa, 13 Maret 2007.

Mattulada, "Kebudayaan Bugis-Makassar," dalam Koentjaraningrat (ed.). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Cet.VII; Jakarta: Djambatan, 1982.

Muhary Wahyu Nurba (ed.). Aceh Dukaku: Sebuah Tanda Kabung. Cet.I; Sungguminasa: Gora Pustaka Indonesia, 2005.

Nasaruddin Umar, "Apa Kata Al-Qur’an tentang Tsunami?," Republika, Nomor: 118/XIII, 15 Februari 2005.

Shihab, M. Quraish. "Musibah Dalam Perspektif Al-Qur’an," Jurnal Studi Al-Qur’an, Nomor : 1, Januari 2006.

Sumber-sumber Konstitusional Majlis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Ketetapan-

Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat Republik

Page 192: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

Pena ramadahan di tengah pandemi covid-19

184

Indonesia: Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999. Surabaya: Bina Pustaka Tama, 2000.

Republik Indonesia. "Undang-Undang RI Nomor:20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003," dalam Tim Redaksi Fokusmedia. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan. Cet.II; Bandung: Fokusmedia, 2003.

Page 193: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

185

BIODATA PENULIS

Prof. Dr. Mardan, M.Ag., dilahirkan di

Bululohe, Maros, Sulawesi Selatan pada 12

Nopember 1959, adalah dosen Fakultas Adab

& Humaniora UIN Alauddin Makassar. Dia

menduduki jabatan Wakil Rektor Bidang

Akademik UIN Alauddin Makassar sejak

Tahun 2015 sampai dengan sekarang (Dua

Periode). Sebelumnya, dia pernah menjadi

Dekan pada fakultas Adab dan Humaniora

selama 2 Periode (Periode 2008-2012 dan

Periode 2012-2016). Sebelumnya, sebagai Sekretaris Jurusan Sejarah &

Peradaban Islam (Periode 1997-2000) dan Ketua Jurusan Bahasa &

Sastra Inggris (Periode 2000-2004).

Pendidikan dasar dan menengahnya berturut-turut ditempuh di

SD Negeri Padangalla (tamat tahun 1973), PGAN 4 Tahun di Maros

(1977), PGAN 6 Tahun di Maros (1980). Dia juga pernah belajar secara

non-klasikal di Pesantren Maccopa, Maros. Gelar sarjana (Drs) diraih di

Fakultas Adab Tahun 1986, Master Agama (M.Ag.) tahun 1994, dan

Doktor (2007) diraih pada Program Pascasarjana UIN Alauddin, dengan

disertasi yang berjudul: “Wawasan al-Qur’an tentang al-’adl”, serta Guru

Besar diperolehnya pada Oktober, tahun 2009. Selama menempuh

pendidikan doktor di UIN Alauddin Makassar, dia pernah mendapat

kesempatan mengikuti Program Sandwich Mahasiswa S3 Tafsir PTAI

Indonesia-Mesir selama satu semester (2007) melalui biaya dari

Departemen Agama RI Jakarta. Terakhir, tahun 2013, ia juga telah

mengikuti Short Course tentang “Community Engagement and

Community Based Research” di University of Guelph Ontario-Toronto-

Canada selama 21 hari melalui Program “Supporting for Islamic

Leadership in Indonesia (SILE Program)”.

Dia telah menulis puluhan makalah ilmiah dan melakukan

sejumlah penulisan buku dan penelitian literatur dan lapangan tentang

masalah-masalah seputar keahliannya di bidang tafsir, hadis, sejarah

dan kebudayaan Islam. Di antara karyanya dalam bentuk buku adalah:

1) Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an (2000);

2) Ulumul Qur’an Seri I (Makassar: Alauddin Press, 2001, ISBN:979-

3267-06-2);

Page 194: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

186

3) ‘Ulumul Qur’an Seri II (Makassar: Alauddin Press, 2005,

ISBN:979-3267-06-3);

4) Al-Qur’an: Sebuah Pengantar Memahaminya Secara Utuh (Jakarta:

Pustaka Mapan, 2009, ISBN:978-979-17048-7);

5) Wawasan al-Qur’an tentang Malapetaka (Jakarta: Pustaka Arif,

2009, ISBN: 978-979-18454-1-0);

6) Metodologi Penelitian Tafsir Maudhu’i (Jakarta: Pustaka Arif,

2010, ISBN: 978-979-18454-1-2);

7) Islam untuk Disiplin Ilmu: Sebuah Pengantar (Makassar: Alauddin

Press, 2009, ISBN: 978-602-8254-08-3);

8) Pendidikan Agama I (Buku Daras UNISMUH), Makassar: Alauddin

Press, 2011, ISBN: 979-3267-07-5;

9) Konsepsi al-Qur’an: Kajian Tafsir Tematik atas Sejumlah

Persoalan Masyarakat (Makassar: Alauddin University Press,

2011, ISBN:978-602-23708-6-4);

10) Konsepsi al-Qur’an: Kajian Tafsir Tematik atas Sejumlah

Persoalan Masyarakat Seri - 2 (Makassar: Alauddin University

Press, 2012, ISBN:978-602-237-349-0).

11) Wawasan al-Qur’an tentang Keadilan: Suatu Analisis al-Tafsir al-

Maudhu’i, Seri- 3 (Makassar: Alauddin University Press, 2013,

ISBN:978-602-237-616-3).

12) Simbol Perempuan dalam Kisah al-Qur’an: Suatu Kajian Semiotika,

Seri- 4 (Makassar: Alauddin University Press, 2014, ISBN: 978-

602-237-972-0).

Karya-karyanya di bidang penelitian ilmiah, adalah sebagai

berikut:

1) Semiotika Etos Kerja Perspektif al-Qur’an, tahun 2014;

2) Musyawarah Perspektif al-Qur’an, tahun 2015;

3) Masyarakat Madani Perspektif al-Qur’an, tahun 2016;

4) Ulama Perspektif al-Qur’an: Suatu Model Integrasi Keilmuan,

tahun 2017;

5) Gender Segregation in University Management: A Deskriptive

Analitic Study at the State Islamic Universities of Indonesia and

Helsinki University of Finlandia, Tahun 2018;

6) Pengobatan Perspektif al-Qur’an, Tahun 2019.

Karya ilmiah yang telah dipublikasikan, di antaranya:

1) The Qur’anic Perspective on Disaster Semiotics, Tahun 2018

(Jurnal Adabiyah);

Page 195: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin

187

2) The inscribed and outspread verses of Allah both point toward the

relationship of man and nature, Tahun 2019 (International

Conference on Environmental Awareness for Sustainable

Development in conjunction with International Conference on

Challenge and Opportunities Sustainable Environmental

Development, ICEASD & ICCOSED 2019, 1-2 April 2019, Kendari,

Indonesia);

3) Ecosocioreligious Based on The Quran: Preserving Environment

and Actualizing Pluralistic Piety, Tahun 2019 (Jurnal

Internasional).

Page 196: PENA RAMADHAN DI TENGAH - UIN Alauddin