Upload
dwi-amellia-nurhadi
View
18
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
A. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan urtikaria meliputi
a. Edukasi kepada pasien mengenai perjalanan penyakit urtikaria yang tidak
mengancam nyawa, namun belum ditemukan terapi yang adekuat, dan fakta
jika penyebab urtikaria terkadang tidak dapat ditemukan.
b. Langkah non medis secara umum, meliputi:
Menghindari faktor-faktor yang memperberat seperti terlalu panas, stres,
alcohol, dan agen fisik.
Menghindari penggunaan acetylsalicylic acid, NSAID, dan ACE inhibitor.
Menghindari agen lain yang diperkirakan dapat menyebabkan urtikaria.
c. Antagonis reseptor histamin
Antagonis reseptor histamin H1 dapat diberikan jika gejalanya menetap.
Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat.
Antihistamin, terutama yang menghambat reseptor H1, merupakan terapi lini
pertama urtikaria. Diphenhydramin dan hydroxyzin adalah H1 blocker yang
paling sering digunakan. Obat-obatan ini berpotensi sedative, dan pasien
sebaiknya tidak diperbolehkan mengendarai kendaraan dalam 6 jam dari
pemberian obat. H1 blocker efektif dalam meredakan pruritus dan rash dari
urtikaria akut.
1
Dalam perkembangannya terdapat antihistamin yang baru yang
berkhasiat terhadap reseptor H1 tetapi nonsedasi golongan ini disebut sebagai
antihistamin nonklasik contohnya adalah terfenadin, aztemizol, cetirizine,
loratadin, dan mequitazin. Golongan ini juga dikenal sehari-hari sebagai
antihistamin yang long acting. Keunggulan lain AH1 non klasik adalah tidak
mempunyai efek sedasi.
Antagonis reseptor H2 dapat berperan jika dikombinasikan dengan
pada beberapa kasus urtikaria karena 15% reseptor histamin pada kulit adalah
tipe H2. Antagonis reseptor H2 sebaiknya tidak digunakan sendiri karena
efeknya yang minimal pada pruritus. Contoh obat antagonis reseptor H2 adalah
cimetidine, ranitidine, nizatidine, dan famotidine.3
2. Second-line therapy
Jika gejala urtikaria tidak dapat dikontrol oleh antihistamin saja, second-line
therapy harus dipertimbangkan, termasuk tindakan farmakologi dan non-farmakologi.
a. Antidepresan
Antidepresan trisiklik doxepin telah terbukti dapat sebagai antagonis
reseptor H1 dan H2 dan menjadi lebih efektif dan lebih sedikit mempunyai
efek sedasi daripada diphenhydramine dalam pengobatan urtikaria kronik.
2
Doxepin dapat sangat berguna pada pasien dengan urtikaria kronik yang
bersamaan dengan depresi. Dosis doxepin untuk pengobatan depresi dapat
bervariasi antara 25-150 mg/hari, tetapi hanya 10-30 mg/hari yang dianjurkan
untuk urtikaria kronis. Mirtazapine adalah antidepresan yang menunjukkan
efek signifikan pada reseptor H1 dan memiliki aktivitas antipruritus. Telah
dilaporkan untuk membantu dalam beberapa kasus urtikaria fisik dan delayed-
pressure urticaria pada dosis 30 mg/hari.3
b. Kortikosteroid
Dalam beberapa kasus urtikaria akut atau kronik, antihistamin mungkin
gagal, bahkan pada dosis tinggi, atau efek samping bermasalah. Dalam situasi
seperti itu, terapi urtikaria seharusnya respon dengan menggunakan
kortikosteroid. Jika tidak berespon, maka pertimbangkan kemungkinan proses
penyakit lain (misalnya, keganasan, mastocytosis, vaskulitis).
Kortikosteroid juga dapat digunakan dalam urticarial vasculitis, yang
biasanya tidak respon dengan antihistamin. Sebuah kursus singkat dari
kortikosteroid oral (diberikan setiap hari selama 5-7 hari, dengan atau tanpa
tappering) atau dosis tunggal injeksi steroid dapat membantu ketika digunakan
untuk episode urtikaria akut yang tidak respon terhadap antihistamin.
Kortikosteroid harus dihindari pada penggunaan jangka panjang
pengobatan urtikaria kronis karena efek samping kortikosteroid seperti
hiperglikemia, osteoporosis, ulkus peptikum, dan hipertensi.3,4
Contoh obat kortikosteroid adalah prednison, prednisolone,
methylprednisolone, dan triamcinolone. Prednisone harus diubah menjadi
prednisolone untuk menghasilkan efek, dapat diberikan dengan dosis dewasa
40-60 mg/hari PO dibagi dalam 1-2 dosis/hari dan dosis anak-anak 0.5-2
mg/kgBB/hari PO dibagi menjadi 1-4 dosis/hari. Prednisolone dapat
mengurangi permeabilitas kapiler, diberikan dengan dosis dewasa 40-60
mg/hari PO (4 kali sehari atau dibagi menjadi 2 kali sehari) dan dosis anak-
anak 0.5-2 mg/kgBB/hari PO (dibagi dalam 4 dosis atau 2 dosis).
Methylprednisolone dapat membalikkan peningkatan permeabilitas kapiler,
3
diberikan dengan dosis dewasa 4-48 mg/hari PO dan dosis anak-anak 0.16-0.8
mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis dan 4 dosis.4
Urtikaria akut
Penggunaan antihistamin pada pasien dengan urtikaria akut ringan, sedang-berat,
seharusnya memulai pengobatan dengan antihistamin H1 non sedatif. Jika keadaan
akut tidak dapat dikendalikan secara adekuat, pemberian kortikosteroid oral jangka
pendek seharusnya ditambahkan. Pada pasien yang menunjukkan urtikaria akut yang
berat dengan gejala distress pernapasan, asma, atau edema laring, pengobatan yang
mungkin diberikan berupa epinefrin 0,3-0,5 ml yang diencerkan 1:1000 diberikan
setiap 10–20 menit. Terapi tambahan lain adalah kortikosteroid sistemik
(Hydrocortisone 250 mg atau methylprednisolon 50 mg I.V setiap 6 jam untuk 2-4
dosis), dan antihistamin H1 intramuskuler (25–50 mg hydroxyzine atau
diphenhydramine setiap 6 jam sesuai kebutuhan). Tetapi penanganan yang ideal pada
4
urtikaria akut adalah dengan mengidentifikasi, menjauhi dan menghilangkan
penyebab urtikaria. 20
Urtikaria kronik
Penatalaksanaan pada urtikaria kronik kembali menggunakan antihistamin H1 non
sedatif (cetrizine, famotidine, loratadine, acrivastine, dan azelastine). Terapi
tambahan lain mungkin berguna, yaitu antihistamin H1 sedatif menjelang tidur,
antidepresan trisiklik (doxepyn), atau antihistamin H2. Sebagai tambahan antihistamin
H1 mungkin dapat disarankan untuk diawali dengan kortikosteroid jangka pendek
dengan harapan dapat memotong siklus penyakit.20
Daftar Pustaka
5
1. Djuanda, A. (2011). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Poonawalla, T., Kelly, B. (2009). Urticaria – a review. Am J Clin Dermatol; 10(1): 9-21.
3. Sheikh, J., Najib, U. (2009). Urticaria. Emedicine, Artikel. Diakses 11 Februari 2013, dari http://emedicine.medscape.com/article/137362-print
4. Wong, H.K. (2009). Urticaria, Acute. Emedicine, Artikel. Diakses 11 Februari 2013, dari http://emedicine.medscape.com/article/1049858-print
5. Wolff, Klaus, Richard Allen Johnson. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synospsis of Clinical Dermatology 5th ed. USA: McGraw-Hill., 2007
6. James, D William, Berger, G Timothy, Elston, M Dirk. Andrew Disease Of The Skin Clinical Dermatology 10th ed. Kanada: Saunders Company., 2009.
6