9
A. Penatalaksanaan Penatalaksanaan urtikaria meliputi a. Edukasi kepada pasien mengenai perjalanan penyakit urtikaria yang tidak mengancam nyawa, namun belum ditemukan terapi yang adekuat, dan fakta jika penyebab urtikaria terkadang tidak dapat ditemukan. b. Langkah non medis secara umum, meliputi: Menghindari faktor-faktor yang memperberat seperti terlalu panas, stres, alcohol, dan agen fisik. Menghindari penggunaan acetylsalicylic acid, NSAID, dan ACE inhibitor. Menghindari agen lain yang diperkirakan dapat menyebabkan urtikaria. c. Antagonis reseptor histamin Antagonis reseptor histamin H 1 dapat diberikan jika gejalanya menetap. Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat. Antihistamin, terutama yang menghambat reseptor H1, merupakan terapi lini pertama urtikaria. Diphenhydramin dan hydroxyzin adalah H1 blocker yang paling sering digunakan. Obat-obatan ini berpotensi sedative, dan pasien sebaiknya tidak 1

Penatalaksanaan-urtikaria 6 Halaman

Embed Size (px)

Citation preview

A. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan urtikaria meliputi

a. Edukasi kepada pasien mengenai perjalanan penyakit urtikaria yang tidak

mengancam nyawa, namun belum ditemukan terapi yang adekuat, dan fakta

jika penyebab urtikaria terkadang tidak dapat ditemukan.

b. Langkah non medis secara umum, meliputi:

Menghindari faktor-faktor yang memperberat seperti terlalu panas, stres,

alcohol, dan agen fisik.

Menghindari penggunaan acetylsalicylic acid, NSAID, dan ACE inhibitor.

Menghindari agen lain yang diperkirakan dapat menyebabkan urtikaria.

c. Antagonis reseptor histamin

Antagonis reseptor histamin H1 dapat diberikan jika gejalanya menetap.

Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat.

Antihistamin, terutama yang menghambat reseptor H1, merupakan terapi lini

pertama urtikaria. Diphenhydramin dan hydroxyzin adalah H1 blocker yang

paling sering digunakan. Obat-obatan ini berpotensi sedative, dan pasien

sebaiknya tidak diperbolehkan mengendarai kendaraan dalam 6 jam dari

pemberian obat. H1 blocker efektif dalam meredakan pruritus dan rash dari

urtikaria akut.

1

Dalam perkembangannya terdapat antihistamin yang baru yang

berkhasiat terhadap reseptor H1 tetapi nonsedasi golongan ini disebut sebagai

antihistamin nonklasik contohnya adalah terfenadin, aztemizol, cetirizine,

loratadin, dan mequitazin. Golongan ini juga dikenal sehari-hari sebagai

antihistamin yang long acting. Keunggulan lain AH1 non klasik adalah tidak

mempunyai efek sedasi.

Antagonis reseptor H2 dapat berperan jika dikombinasikan dengan

pada beberapa kasus urtikaria karena 15% reseptor histamin pada kulit adalah

tipe H2. Antagonis reseptor H2 sebaiknya tidak digunakan sendiri karena

efeknya yang minimal pada pruritus. Contoh obat antagonis reseptor H2 adalah

cimetidine, ranitidine, nizatidine, dan famotidine.3

2. Second-line therapy

Jika gejala urtikaria tidak dapat dikontrol oleh antihistamin saja, second-line

therapy harus dipertimbangkan, termasuk tindakan farmakologi dan non-farmakologi.

a. Antidepresan

Antidepresan trisiklik doxepin telah terbukti dapat sebagai antagonis

reseptor H1 dan H2 dan menjadi lebih efektif dan lebih sedikit mempunyai

efek sedasi daripada diphenhydramine dalam pengobatan urtikaria kronik.

2

Doxepin dapat sangat berguna pada pasien dengan urtikaria kronik yang

bersamaan dengan depresi. Dosis doxepin untuk pengobatan depresi dapat

bervariasi antara 25-150 mg/hari, tetapi hanya 10-30 mg/hari yang dianjurkan

untuk urtikaria kronis. Mirtazapine adalah antidepresan yang menunjukkan

efek signifikan pada reseptor H1 dan memiliki aktivitas antipruritus. Telah

dilaporkan untuk membantu dalam beberapa kasus urtikaria fisik dan delayed-

pressure urticaria pada dosis 30 mg/hari.3

b. Kortikosteroid

Dalam beberapa kasus urtikaria akut atau kronik, antihistamin mungkin

gagal, bahkan pada dosis tinggi, atau efek samping bermasalah. Dalam situasi

seperti itu, terapi urtikaria seharusnya respon dengan menggunakan

kortikosteroid. Jika tidak berespon, maka pertimbangkan kemungkinan proses

penyakit lain (misalnya, keganasan, mastocytosis, vaskulitis).

Kortikosteroid juga dapat digunakan dalam urticarial vasculitis, yang

biasanya tidak respon dengan antihistamin. Sebuah kursus singkat dari

kortikosteroid oral (diberikan setiap hari selama 5-7 hari, dengan atau tanpa

tappering) atau dosis tunggal injeksi steroid dapat membantu ketika digunakan

untuk episode urtikaria akut yang tidak respon terhadap antihistamin.

Kortikosteroid harus dihindari pada penggunaan jangka panjang

pengobatan urtikaria kronis karena efek samping kortikosteroid seperti

hiperglikemia, osteoporosis, ulkus peptikum, dan hipertensi.3,4

Contoh obat kortikosteroid adalah prednison, prednisolone,

methylprednisolone, dan triamcinolone. Prednisone harus diubah menjadi

prednisolone untuk menghasilkan efek, dapat diberikan dengan dosis dewasa

40-60 mg/hari PO dibagi dalam 1-2 dosis/hari dan dosis anak-anak 0.5-2

mg/kgBB/hari PO dibagi menjadi 1-4 dosis/hari. Prednisolone dapat

mengurangi permeabilitas kapiler, diberikan dengan dosis dewasa 40-60

mg/hari PO (4 kali sehari atau dibagi menjadi 2 kali sehari) dan dosis anak-

anak 0.5-2 mg/kgBB/hari PO (dibagi dalam 4 dosis atau 2 dosis).

Methylprednisolone dapat membalikkan peningkatan permeabilitas kapiler,

3

diberikan dengan dosis dewasa 4-48 mg/hari PO dan dosis anak-anak 0.16-0.8

mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis dan 4 dosis.4

Urtikaria akut

Penggunaan antihistamin pada pasien dengan urtikaria akut ringan, sedang-berat,

seharusnya memulai pengobatan dengan antihistamin H1 non sedatif. Jika keadaan

akut tidak dapat dikendalikan secara adekuat, pemberian kortikosteroid oral jangka

pendek seharusnya ditambahkan. Pada pasien yang menunjukkan urtikaria akut yang

berat dengan gejala distress pernapasan, asma, atau edema laring, pengobatan yang

mungkin diberikan berupa epinefrin 0,3-0,5 ml yang diencerkan 1:1000 diberikan

setiap 10–20 menit. Terapi tambahan lain adalah kortikosteroid sistemik

(Hydrocortisone 250 mg atau methylprednisolon 50 mg I.V setiap 6 jam untuk 2-4

dosis), dan antihistamin H1 intramuskuler (25–50 mg hydroxyzine atau

diphenhydramine setiap 6 jam sesuai kebutuhan). Tetapi penanganan yang ideal pada

4

urtikaria akut adalah dengan mengidentifikasi, menjauhi dan menghilangkan

penyebab urtikaria. 20

Urtikaria kronik

Penatalaksanaan pada urtikaria kronik kembali menggunakan antihistamin H1 non

sedatif (cetrizine, famotidine, loratadine, acrivastine, dan azelastine). Terapi

tambahan lain mungkin berguna, yaitu antihistamin H1 sedatif menjelang tidur,

antidepresan trisiklik (doxepyn), atau antihistamin H2. Sebagai tambahan antihistamin

H1 mungkin dapat disarankan untuk diawali dengan kortikosteroid jangka pendek

dengan harapan dapat memotong siklus penyakit.20

Daftar Pustaka

5

1. Djuanda, A. (2011). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

2. Poonawalla, T., Kelly, B. (2009). Urticaria – a review. Am J Clin Dermatol; 10(1): 9-21.

3. Sheikh, J., Najib, U. (2009). Urticaria. Emedicine, Artikel. Diakses 11 Februari 2013, dari http://emedicine.medscape.com/article/137362-print

4. Wong, H.K. (2009). Urticaria, Acute. Emedicine, Artikel. Diakses 11 Februari 2013, dari http://emedicine.medscape.com/article/1049858-print

5. Wolff, Klaus, Richard Allen Johnson. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synospsis of Clinical Dermatology 5th ed. USA: McGraw-Hill., 2007

6. James, D William, Berger, G Timothy, Elston, M Dirk. Andrew Disease Of The Skin Clinical Dermatology 10th ed. Kanada: Saunders Company., 2009.

6