Upload
priskila-marlen-yoltuwu
View
217
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
Priskila M. Yoltuwu Eosinophilic Angiocentric Fibrosis Maxillary Sinus
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..................................................................................................................i
DAFTAR GAMBAR & TABEL.................................................................................iii
KATA PENGANTAR...................................................................................................1
BAB I : PENDAHULUAN...........................................................................................2
BAB II : SINUS MAKSILARIS...................................................................................3
II.1. Definisi...............................................................................................................3
II.2. Epidemiologi......................................................................................................3
II.3. Anatomi..............................................................................................................4
II.4. Histologi.............................................................................................................6
II.5. Fisiologi.............................................................................................................8
BAB III : EOSINOPHILIC ANGIOCENTRIC FIBROSIS MAXILLARY SINUS..........9
III.1. Definisi.............................................................................................................9
III.2. Epidemiologi....................................................................................................9
III.3. Etiologi.............................................................................................................9
III.4. Histopatologi..................................................................................................10
III.5. Diagnosa.........................................................................................................10
III.5.1. Anamnesa................................................................................................10
III.5.2. Pemeriksaan Fisik....................................................................................11
Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD CibinongPeriode 14 Desember 2014 – 24 Januari 2015Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia 1
Priskila M. Yoltuwu Eosinophilic Angiocentric Fibrosis Maxillary Sinus
III.5.3. Pemeriksaan Tambahan...........................................................................11
III.6. Terapi..............................................................................................................14
III.7. Prognosis........................................................................................................15
BAB IV: RESUME.....................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................18
Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD CibinongPeriode 14 Desember 2014 – 24 Januari 2015Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia 2
Priskila M. Yoltuwu Eosinophilic Angiocentric Fibrosis Maxillary Sinus
DAFTAR GAMBAR & TABEL
Gambar 2.1. Sinus Maksila
Gambar 2.2. Potongan Koronal Sinus Maksila
Gambar 2.3. Epitel Respiratorik
Gambar 2.4. Biopsi Masa Tulang
Gambar 2.5. Lesi Masa Hidung
Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD CibinongPeriode 14 Desember 2014 – 24 Januari 2015Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia 3
Priskila M. Yoltuwu Eosinophilic Angiocentric Fibrosis Maxillary Sinus
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-
Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat ini yang berjudul
“Eosinophilic Angiocentric Fibrosis Maxillary Sinus”. Adapun referat ini disusun
untuk memenuhi tugas dan syarat dalam menempuh kepaniteraan klinik senior di
Bagian Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Dan Tenggorok Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Indonesia
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Dr. H. R. Krisnabudhi, Sp.THT-KL selaku dosen pembimbing yang telah
berkenan membimbing selama proses penyusunan laporan referat ini.
2. Orang tua yang telah membantu dalam bentuk doa dan dana.
3. Teman-teman sejawat yang telah memberikan dorongan dan masukan
dalam mencari informasi dan menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu dengan kerendahan hati segala kritik dan saran akan penulis terima
dengan tangan terbuka. Penulis sangat berharap referat ini dapat digunakan
dengan sebaik-baiknya demi keperluan pengembangan pengetahuan kedokteran
serta menjadi sarana acuan bagi mahasiswa kedokteran dalam belajar.
Cibinong, Januari 2015
Penulis
BAB I: PENDAHULUAN
Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD CibinongPeriode 14 Desember 2014 – 24 Januari 2015Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia 4
Priskila M. Yoltuwu Eosinophilic Angiocentric Fibrosis Maxillary Sinus
Eosinophilic Angiocentric Fibrosis (EAF) adalah penyakit langka yang
mempengaruhi saluran sinonasal. Beberapa kasus telah dilaporkan dalam literatur
kebanyakan orang muda terutama wanita pada umumnya yang banyak mengalami
EAF.
EAF mempengaruhi hidung dan sinus maksilaris dapat juga
mempengaruhi daerah subglotis tetapi lebih sedikit angka kejadiannya. Penyakit
ini menyebabkan proliferasi fibrosis dari mukosa hidung dan gejala obstruktif
hidung. Kebanyakan pasien datang dengan riwayat terdapat sumbatan di hidung
selama beberapa tahun. Pemeriksaan klinis menunjukkan pembesaran septum dan
hidung tersumbat bilateral. Biasanya pasien dikirim untuk pemeriksaan histologis,
yang menunjukkan langka lesi jinak (EAF) yang berhubungan dengan sumbatan
hidung tersebut.
Kondisi ini awalnya digambarkan oleh Roberts dan McCann pada tahun
1985 melihat penyakit dengan etiologi yang tidak diketahui ini yang
mempengaruhi mukosa hidung pada dua pasiennya dan mempengaruhi daerah
glotis seorang pasiennya yang lain. Individu dengan FAE memiliki keterlibatan
sistemik. Karena eosinophilic kemungkinan penyebab mereka menjadi sifat alergi,
yang tidak memiliki bukti untuk waktu.
Beberapa usaha telah dilakukan terapi untuk penyakit ini, namun sebagian
besar mengutip operasi sebagai terapi pilihan, walaupun mungkin ada beberapa
kambuh. Dengan demikian, beberapa bentuk pengobatan yang mendukung dicoba
untuk mencegah kekambuhan dan meningkatkan kontrol penyakit, seperti sebagai
penggunaan kortikosteroid untuk infiltrasi lokal atau melalui sistemik. Setiap
bentuk perawatan medis dijelaskan telah menunjukkan hasil yang baik pada
penyakit ini.
Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD CibinongPeriode 14 Desember 2014 – 24 Januari 2015Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia 5
Priskila M. Yoltuwu Eosinophilic Angiocentric Fibrosis Maxillary Sinus
BAB II: SINUS MAKSILARIS
II.1. Definisi
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang
terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal
dan sinusitis sfenoid.1,2,3
Sinus maksila disebut juga antrum high more, merupakan sinus yang
sering terinfeksi, oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2)
letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret atau drainase dari
sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila adalah
dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan
sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus medius , disekitar
hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.3
Sinusitis maksilaris dapat terjadi akut, berulang atau kronis. Sinusitis
maksilaris akut berlangsung tidak lebih dari tiga minggu. Sinusitis akut dapat
sembuh sempurna jika diterapi dengan baik, tanpa adanya residu kerusakan
jaringan mukosa. Sinusitis berulang terjadi lebih sering tapi tidak terjadi
kerusakan signifikan pada membran mukosa. Sinusitis kronis berlangsung selama
3 bulan atau lebih dengan gejala yang terjadi selama lebih dari dua puluh hari.1,2,3
II.2. Epidemiologi
Angka kejadian sinusitis sulit diperkirakan secara tepat karena tidak ada
batasan yang jelas mengenai sinusitis. Dewasa lebih sering terserang sinusitis
dibandingkan anak. Hal ini karena sering terjadinya infeksi saluran napas atas
pada dewasa yang berhubungan dengan terjadinya sinusitis. Di US dilaporkan
bahwa lebih dari 30 juta pasien menderita sinusitis.3
Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD CibinongPeriode 14 Desember 2014 – 24 Januari 2015Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia 6
Priskila M. Yoltuwu Eosinophilic Angiocentric Fibrosis Maxillary Sinus
II.3. Anatomi
Gambar 2.1. Sinus Maksila.3
Sinus maksila merupakan sinus paranasal terbesar. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6 – 8 ml, kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai
ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk piramid.
Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa
kanina; dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila; dinding
medialnya adalah dinding lateral rongga hidung; dinding superiornya adalah dasar
orbita; dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum.2
Secara klinis yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:
(1) dasar sinus maksila sangat dekat dengan akar gigi rahang atas, yaitu molar
(M1 dan M2), premolar (P1 dan P2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan
molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus,
sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis; (2)
Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita; (3) Ostium sinus maksila
terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari
gerak silia, dan juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum
Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD CibinongPeriode 14 Desember 2014 – 24 Januari 2015Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia 7
Priskila M. Yoltuwu Eosinophilic Angiocentric Fibrosis Maxillary Sinus
adalah bagian dari sinus etmoid anterior; pembengkakan akibat radang atau alergi
pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya
menyebabkan sinusitis.2,3
Gambar 2.2. Sinus Maksila. Potongan koronal melalui rongga hidung, dilihat dari
posterior, bidang di sebelah kanan lebih ke anterior. Ostium normal dari sinus
maksila disajikan di sisi kanan, sedangkan ostium aksesoris yang sering terjadi
disajikan di kiri. 5
Karena begitu tipisnya dinding sinus, tumor bisa saja mendorong naik
lantai orbita dan mempengaruhi letak bola mata; menonjol ke rongga hidung,
menyebabkan obstruksi nasal dan perdarahan; menonjol ke pipi, menyebabkan
pembengkakan dan kebas bila syaraf infraorbita rusak; menyebar ke fosa
infratemporal di belakangnya, menyebabkan kesulitan untuk membuka mulut
karena nyeri dan kerusakan muskulus pterigoidium; atau menyebar ke mulut yang
terletak di bawahnya, menyebabkan gigi goyah dan rontok serta maloklusi.
Ekstraksi gigi molar dapat merusak dasar, dan benturan (impact) dapat
menyebabkan fraktur pada dinding-dindingnya.5
Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD CibinongPeriode 14 Desember 2014 – 24 Januari 2015Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia 8
Priskila M. Yoltuwu Eosinophilic Angiocentric Fibrosis Maxillary Sinus
Sinus-sinus maksila dipersyarafi oleh percabangan alveolar dan infra-
orbital dari nervus maksila (V2); serta menerima pasokan darah melalui
percabangan arteri maksila infra-orbital dan alveolar superior4.
Osteomeatal complex atau unit osteomeatal adalah suatu kesatuan yang
terdiri dari sinus maksila, ostium, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, dan
resesus frontal. Unit ini merupakan jalur umum akhir untuk drainase sekresi dari
sinus etmoid anterior dan media, frontal, dan maksila menuju meatus media; dan
obstruksi memainkan peran utama dalam perkembangan dan persistensi sinusitis.
Tomografi komputer beresolusi tinggi (high resolution computer tomography /
HRCT) koronal menampilkan struktur-struktur ini secara sangat mendetil, dan
merupakan modalitas pencitraan pilihan4.
Sistem mukosiliar. Seperti pada mukosa hidung, dalam sinus juga
terdapat mukosa bersilia dan palut lendir di atasnya. Dalam sinus, silia bergerak
secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti
jalur-jalur yang sudah tertentu polanya. Pada dinding lateral hidung terdapat 2
aliran transport mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus
anterior yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan
muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior
bergabung di resesus sfeno-etmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior
muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati sekret paska-nasal (post nasal
drip), tapi belum tentu ada sekret di rongga hidung2.
II.4. Histologi
Rongga-rongga sinus maksilaris dilapisi epitel respiratorik yang lebih tipis
dibandingkan rongga hidung, yang mengandung beberapa sel goblet. Lamina
propria hanya megandung sedikit kelenjar kecil, dan berhubungan dengan
periosteum di bawahnya. Epitel respiratorik adalah lapisan epitel torak berlapis
semu (pseudostratified columnar epithelium) yang mengandung sel-sel goblet.
Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD CibinongPeriode 14 Desember 2014 – 24 Januari 2015Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia 9
Priskila M. Yoltuwu Eosinophilic Angiocentric Fibrosis Maxillary Sinus
Epitel respiratorik pada umumnya terdiri dari lima jenis sel (sebagaimana terlihat
melalui mikroskop elektron, gambar 2.2).5
Gambar 2.3. Epitel respiratorik. Atas: mikrograf elektron pembesaran 9200x.
Bawah: Fotomikrograf dengan pararosanilin toluidin biru.5
Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD CibinongPeriode 14 Desember 2014 – 24 Januari 2015Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia 10
Cilia
Basal bodies
Junctional complex
Mitochondria
Priskila M. Yoltuwu Eosinophilic Angiocentric Fibrosis Maxillary Sinus
(1) Sel torak bersilia merupakan jenis sel yang paling banyak jumlahnya
pada epitel respiratorik. Setiap sel memiliki + 300 silia pada permukaan apikal-
nya; di bawah silia, selain badan basalis, terdapat banyak mitokondria kecil yang
memasok adenosine triphosphate (ATP) untuk menggerakkan silia. (2) Sel goblet
mucus adalah jenis sel terbanyak urutan kedua. Bagian apikal sel ini mengandung
butiran mukus yang dibentuk dari glikoprotein. (3) Sel sikat (brush cells) adalah
sel torak dengan banyak sekali mikrovili pada permukaan apikal-nya. Brush cells
memiliki ujung syaraf aferen pada permukaan basal dan dianggap sebagai reseptor
sensorik. (4) Sel basalis adalah sel-sel bulat berukuran kecil yang terletak di
lamina basalis. Sel-sel ini dipercaya sebagai sel punca generatif yang mengalami
mitosis dan kemudian berdiferensiasi menjadi sel-sel jenis lain. (5) Sel granula
mirip dengan sel basalis, bedanya sel granula memilik banyak sekali granul
berdiameter 100 – 300 nm dengan inti padat. Kesemua sel epitel torak berlapis
semu bersilia bersentuhan dengan membran basalis.5
II.5. Fisiologi
Hingga saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus
maksila. Ada yang berpendapat bahwa sinus maksila tak memiliki fungsi apapun,
karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka2. Ada yang
beranggapan bahwa fungsi sinus maksila adalah untuk meringankan tulang
kepala, karena rongga berisi udara lebih ringan dibandingkan tulang padat; dan
merupakan sarana resonansi (meningkatkan getaran udara) saat berbicara.4 Sinus
juga diperkirakan untuk meredam perubahan tekanan udara yang drastis dan
mendadak, misalnya pada waktu bersin dan membuang ingus. Fungsi lain sinus
adalah untuk membantu produksi mukosa mukus; meski jumlah mukus yang
dihasilkannya sedikit namun cukup efektif untuk membersihkan udara inspirasi
karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis2.
Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD CibinongPeriode 14 Desember 2014 – 24 Januari 2015Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia 11
Priskila M. Yoltuwu Eosinophilic Angiocentric Fibrosis Maxillary Sinus
BAB III:
EOSINOPHILIC ANGIOCENTRIC FIBROSIS
MAXILLARY SINUS
III.1. Definisi
Eosinophilic Angiocentric Fibrosis (EAF) adalah penyakit langka yang
mempengaruhi saluran sinonasal. EAF mempengaruhi hidung dan sinus
maksilaris dapat juga mempengaruhi daerah subglotis. Penyakit ini menyebabkan
proliferasi fibrosis dari mukosa hidung dan gejala obstruktif hidung.6 ,7,8
III.2. Epidemiologi
Beberapa kasus telah dilaporkan dalam literatur kebanyakan orang muda
terutama wanita pada umumnya yang banyak mengalami EAF.7,8,9 Kebanyakan
pasien datang dengan riwayat terdapat sumbatan di hidung selama beberapa
tahun.7,8
Kondisi ini awalnya digambarkan oleh Roberts dan McCann pada tahun
1985 melihat penyakit dengan etiologi yang tidak diketahui ini yang
mempengaruhi mukosa hidung pada dua pasiennya dan mempengaruhi daerah
glotis seorang pasiennya yang lain.7,8
III.3. Etiologi
Gangguan ini biasanya menunjukkan suatu inflamasi yang tidak biasa
pada submukosa, fibrosing, dan lesi seperti tumor.. Saat ini, etiologi pasti dari
EAF masih tetap tidak jelas. Alergi, atopi, dan trauma telah diusulkan sebagai
faktor predisposisi, namun bukti untuk setiap asal usulnya belum ditemukan.6,7,8,9
Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD CibinongPeriode 14 Desember 2014 – 24 Januari 2015Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia 12
Priskila M. Yoltuwu Eosinophilic Angiocentric Fibrosis Maxillary Sinus
III.4. Histopatologi
Karakteristik histologis khas adalah dasar untuk menetapkan diagnosis EAF.
Gambar 2.4. Biopsi massa hidung. Infiltrat inflamasi (hematoxylin dan eosin)
yang terdiri dari limfosit, sel plasma, dan eosinofil.
Secara histologi, kondisi ini umumnya terdiri dari awal dan akhir fase, baik yang
mungkin ada dalam biopsi tunggal, menunjukkan bahwa entitas terus berkembang.
Vaskulitis nekrosis fibrinoid tanpa yang didominasi oleh eosinofil cukup karakteristik
dalam tahap awal lesi. Fibrosis perivaskular dengan penampilan melingkar dan kosentris
berlapis seperti kulit bawang merupakan karakteristik dalam tahap akhir, di mana
eosinofil waktu yang hampir selalu hadir.7,8
III.5. Diagnosa
III.5.1. Anamnesa
Pasieng biasanya datang karena keluhan tidak bisa bernapas pada kedua
hidung karena obstuksi hidung yang progresif, terdapat benjolan dengan lesi yang
melibatkan rongga hidung dan septum dan atau sinus maksilaris, nyeri hidung dan
hidung terasa berbau busuk kadang-kadang juga epistaksis. Durasi gejala berkisar
dari 11 bulan sampai dengan 8 tahun. 7,8,9
Pasien juga tidak melaporkan adanya riwayat alergi, atopia, atau fraktur
nasal (trauma). Tak satu pun dari pasien memberi riwayat pengobatan sendiri dari
Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD CibinongPeriode 14 Desember 2014 – 24 Januari 2015Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia 13
Priskila M. Yoltuwu Eosinophilic Angiocentric Fibrosis Maxillary Sinus
rongga hidung. Dengan engecualian osteoarthritis dan carpal tunnel syndrome,
dan kelainan imunologik lain. 8,9
III.5.2. Pemeriksaan Fisik
Gambar 2.5. Lesi massa hidung.
Lesi terjadi di rongga hidung, dinding, dan septum hidung, sering
menyebabkan septum deviasi dan kehancuran. Lesi berkisar dalam ukuran 1,5-5,0
cm, berbentuk polypoid, terdapat fragmen kecil putih keabu-abuan yang menjadi
merah muda bahan berdaging. Kalsifikasi dan fragmen tulang juga sering yang
terlihat. 7
III.5.3. Pemeriksaan Tambahan10
Pada hasil laboratorium biasanya di temukan seluruh jumlah neutrofil
darah sedikit lebih rendah. Pemeriksaan darah rutin lainnya (Hct, Hb, dan plt),
biokimia darah, laju endap darah (LED), dan parameter koagulasi berada dalam
rentang normal. Indikator pemeriksaan imunologi serum berada di rentang normal
kecuali bahwa IgA sedikit meningkat menjadi 613 mg / dL (82-453 mg / dL).
Antibodi antinuclear (ANA) dan DNA anti-untai ganda (anti-ds-DNA) antibodi
negatif. Kedua anti-PR3 antibodi (c-ANCA jenis) dan anti-MPO antibodi (p-
ANCA jenis) lebih rendah dari 20 RU / ml. Ada kelebihan uji tusuk kulit dengan
positif untuk dandelion (++), Dermatophagoides farine (++), dan
Dermatophagoides pteronyssinus (++). Serum Total IgE meningkat tingkat ke 315
Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD CibinongPeriode 14 Desember 2014 – 24 Januari 2015Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia 14
Priskila M. Yoltuwu Eosinophilic Angiocentric Fibrosis Maxillary Sinus
KU / L (nilai referensi <60 KU / L). Foto Thorax tidak menemukan nodul atau
kelainan lainnya.9
Banyak pilihan pencitraan yang dapat dipilih untuk mengevaluasi pasien
EAF. Namun, dua jenis yang paling sering digunakan dewasa ini adalah computed
tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI). Keduanya
memberikan informasi yang bermanfaat dalam perencanaan tatalaksana.
Kasus 1. Gambaran CT Axial menunjukkan penebalan simetris dari septum
dengan dinding hidung lateral bilateral.
Kasus 2. Gambaran CT Axial (A) dan coronal (B) menunjukkan berbentuk oval,
yang didefinisikan dengan baik, dan isointense jaringan lunak massa yang timbul
dari kiri dinding lateral hidung dan meluas ke septum hidung.
Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD CibinongPeriode 14 Desember 2014 – 24 Januari 2015Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia 15
Priskila M. Yoltuwu Eosinophilic Angiocentric Fibrosis Maxillary Sinus
Kasus 3. Gambar Axial (A) menunjukkan penebalan simetris dari septum dan
dinding lateral hidung dengan intensitas sinyal isointense. (B) lesi memiliki
intensitas sinyal hypointense. (C) aksial kontras ditingkatkan gambar dengan
saturasi lemak menunjukkan peningkatan homogen moderat lesi. (D) Sesuai aksial
menggambarkan pola washout cepat meningkatkan dan lambat. (E) The kursor
putaran menandai daerah bunga yang dipilih untuk pengukuran intensitas sinyal
pada MR dinamis pencitraan. (F) gambar Axial menunjukkan lesi berulang di
situs utama.
Kasus 4. (A) Gambaran Axial menunjukkan penebalan difus dari septum dan
dinding lateral hidung dengan intensitas sinyal hypointense. (B) gambar
menunjukkan pembesaran kelenjar lakrimal bilateral, muncul sebagai intensitas
sinyal hypointense. (C) aksial kontras ditingkatkan gambar dengan saturasi lemak
Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD CibinongPeriode 14 Desember 2014 – 24 Januari 2015Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia 16
Priskila M. Yoltuwu Eosinophilic Angiocentric Fibrosis Maxillary Sinus
menunjukkan peningkatan homogen moderat kelenjar lakrimal bilateral.
III.6. Terapi
Pengobatan pilihan EAF tidak jelas. Beberapa bantuan gejala dan kontrol
lokal dapat diperoleh dengan kortikosteroid dan dapson. Sementara kebanyakan
pasien harus menjalani beberapa pembedahan, pembedahan saja mungkin tidak
cukup.6 Eksisi bedah tampaknya menjadi terapi pilihan, meskipun kekambuhan
yang umum dalam kasus-kasus yang paling dilaporkan dan beberapa eksisi sering
diperlukan. Terapi steroid telah dicoba di beberapa kasus, tetapi biasanya
menghasilkan hasil yang buruk. 7,8,9
Spesimen bedah terdiri dari septum hidung dan teratur, mukosa, jaringan
polipoid. Permukaan potongan septum hidung adalah berbenjol-benjol, fibrosis,
dan putih. Di bawah anestesi umum, operasi endoskopi dilakukan dengan 3 cm
panjang sayatan berbentuk busur pada kulit ruang depan hidung dari tulang rawan
hidung lateral tulang rawan septum. Profil massa putih dan hypovascular.
Perichondrium di bersihkan menggunakan lift periosteal dan massa yang benar-
benar terlihat sampai mukosa normal di sekitarnya bisa diidentifikasi secara jelas.
Pengamatan Endoskopi menunjukkan tulang rawan alar yang lebih besar dan
tulang rawan septodorsal yang sebagian terlibat dan mudah di hancurkan.
Kemudian lesi tulang rawan yang benar-benar direseksi dan tumor berbentuk
putih terlihat. Rongga hidung berlawanan dilakukan dengan prosedur yang sama.
Anterior hidung septum perforasi, dibiarkan tanpa rekonstruksi. Dua tabung
silicious untuk pelebaran ditempatkan dari nares anterior melalui meatus umum
untuk tiga bulan. 8,9
Antibiotik dan glukokortikoid digunakan secara intravena untuk mencegah
infeksi dan mengurangi edema. Di rekomendasikan intranasal kortikosteroid
topikal jangka panjang dan ikutan setiap tiga bulan. Dua tahun setelah operasi,
tidak ada tanda-tanda kekambuhan lokal dan metastasis jauh maka pasien di
Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD CibinongPeriode 14 Desember 2014 – 24 Januari 2015Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia 17
Priskila M. Yoltuwu Eosinophilic Angiocentric Fibrosis Maxillary Sinus
nyatakan sembuh8,9
III.7. Prognosis
Secara umum, prognosis saluran sinonasal EAF tampaknya menjadi malas
tetapi progresif. Ketika kambuh biasanya muncul dalam status lokalis atau situs
anatomis yang sama sebagai primary lesi dan, oleh karena itu, lebih tepatnya
merupakan progresif suatu penyakit. 6
BAB IV: RESUME
Eosinophilic Angiocentric Fibrosis (EAF) adalah penyakit langka yang
mempengaruhi saluran sinonasal. EAF mempengaruhi hidung dan sinus
maksilaris dapat juga mempengaruhi daerah subglotis. Kebanyakan orang muda
terutama wanita pada umumnya yang banyak mengalami EAF. Saat ini, etiologi
pasti dari EAF masih tetap tidak jelas. Alergi, atopi, dan trauma telah diusulkan
sebagai faktor predisposisi, namun bukti untuk setiap asal usulnya belum
ditemukan. Karakteristik histologis khas adalah dasar untuk menetapkan diagnosis
EAF. Pasieng biasanya datang karena keluhan tidak bisa bernapas pada kedua
hidung karena obstuksi hidung yang progresif, terdapat benjolan dengan lesi yang
melibatkan rongga hidung dan septum dan atau sinus maksilaris, nyeri hidung dan
hidung terasa berbau busuk kadang-kadang juga epistaksis. Durasi gejala berkisar
Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD CibinongPeriode 14 Desember 2014 – 24 Januari 2015Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia 18
Priskila M. Yoltuwu Eosinophilic Angiocentric Fibrosis Maxillary Sinus
dari 11 bulan sampai dengan 8 tahun.
Pada hasil laboratorium biasanya di temukan seluruh jumlah neutrofil
darah sedikit lebih rendah. Pemeriksaan darah rutin lainnya (Hct, Hb, dan plt),
biokimia darah, laju endap darah (LED), dan parameter koagulasi berada dalam
rentang normal. Foto Thorax tidak menemukan nodul atau kelainan lainnya.
Banyak pilihan pencitraan yang dapat dipilih untuk mengevaluasi pasien EAF.
Namun, dua jenis yang paling sering digunakan dewasa ini adalah computed
tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI). Keduanya
memberikan informasi yang bermanfaat dalam perencanaan tatalaksana.
Pengobatan pilihan EAF tidak jelas. Eksisi bedah tampaknya menjadi
terapi pilihan, meskipun kekambuhan yang umum dalam kasus-kasus yang paling
dilaporkan dan beberapa eksisi sering diperlukan. Terapi steroid telah dicoba di
beberapa kasus, tetapi biasanya menghasilkan hasil yang buruk. Pengamatan
Endoskopi menunjukkan tulang rawan alar yang lebih besar dan tulang rawan
septodorsal yang sebagian terlibat dan mudah di hancurkan. Antibiotik dan
glukokortikoid digunakan secara intravena untuk mencegah infeksi dan
mengurangi edema. Di rekomendasikan intranasal kortikosteroid topikal jangka
panjang dan ikutan setiap tiga bulan. Dua tahun setelah operasi, tidak ada tanda-
tanda kekambuhan lokal dan metastasis jauh maka pasien di nyatakan sembuh .
Prognosis saluran sinonasal EAF menjadi progresif. Ketika kambuh biasanya
muncul dalam status lokalis atau situs anatomis yang sama sebagai primary lesi.
Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD CibinongPeriode 14 Desember 2014 – 24 Januari 2015Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia 19
Priskila M. Yoltuwu Eosinophilic Angiocentric Fibrosis Maxillary Sinus
DAFTAR PUSTAKA
1. Averdi Roezin, Armiyanto. Sinusitis Maksilaris. Dalam: Soepardi EA,
Iskandar N, et al. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala
& leher, edisi keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2007: 178 – 181.
2. Damayanti Soetjipto, Endang Mangunkusumo. Sinus Paranasal Dalam:
Sinusitis Maksilaris. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, et al. Buku ajar ilmu
kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala & leher, edisi keenam. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007: 145 - 149.
3. Hilger, Peter A. Penyakit pada Hidung. In: Adams GL, Boies LR. Higler PA,
editor. Buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC; 1997.p.200.
Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD CibinongPeriode 14 Desember 2014 – 24 Januari 2015Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia 20
Priskila M. Yoltuwu Eosinophilic Angiocentric Fibrosis Maxillary Sinus
4. Drake RL, Vogl W, Mitchell AWM. Gray’s anatomy for students.
Pennsylvania: Elsevier Saunders, 2004: 970 – 972.
5. Standring S. Gray’s anatomy, the anatomical basis of clinical practice, 39th
ed. Philadelphia: Elsevier Churchil Livingstone, 2008: 574 – 578.
6. Sevgen Onder, MD; Arzu Sungur, MD. Eosinophilic Angiocentric Fibrosis:
An Unusual Entity of the Sinonasal Tract. Archives of Pathology &
Laboratory Medicine: January 2004, Vol. 128, No. 1, pp. 90-91.
http://www.archivesofpathology.org/doi/full/
10.1043/15432165(2004)128%3C90:EAF%3E2.0.CO;2
7. SANTDEEP PAUN , FRCS (ORL-HNS), et all. Nasal fibrosis: long-term
follow up of four cases of eosinophilic angiocentric fibrosis. The Journal of
Laryngology & Otology. February 2005,Vol. 119, pp. 119–124.
8. Lester D.R. Thompson, MD, et all. Sinonasal Tract Eosinophilic Angiocentric
Fibrosis A Report of Three Cases. American Society of Clinical Pathologists.
Am J Clin Pathol 2001;115:243-248.
9. Yunchuan Li, Honggang Liu, et all. Eosinophilic Angiocentric Fibrosis of the
Nasal Septum. Case Reports in Otolaryngology Volume 2013, 6 pages.
Diunduh dari http://dx.doi.org/10.1155/2013/267285.
10. B.T. Yanga, Y.Z. Wanga, et all. Nasal Cavity Eosinophilic Angiocentric
Fibrosis: CT and MR Imaging Findings. Department of Radiology, Beijing
Tongren Hospital. Diunduh dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21998106
Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD CibinongPeriode 14 Desember 2014 – 24 Januari 2015Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia 21
Priskila M. Yoltuwu Eosinophilic Angiocentric Fibrosis Maxillary Sinus
Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD CibinongPeriode 14 Desember 2014 – 24 Januari 2015Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia 22