Upload
phungkhuong
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional ( Permendiknas )
RI Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Satuan Pendidikan Dasar
Menengah, menjelaskan bahwa IPA berhubungan dengan cara mencari
tahu tentang alam secara sistematis, berisi penguasaan kumpulan
pengetahuan berupa fakta, konsep, prinsip, proses penemuan. Pendidikan
IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk
mempelajari diri sendiri dan alam sekitar serta prospek pengembangan
lebih lanjut dalam menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Proses
pembelajaran IPA pada dasarnya menekankan pada pemberian
pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar
menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah.
Istilah Ilmu Pengetahuan Alam atau IPA disebut juga dengan
istilah sains. Secara etimologi, Fisher menyatakan sains berasal dari
bahasa Latin yaitu scientia yang artinya adalah pengetahuan. Kata sains
mungkin juga berasal dari bahasa Jerman yaitu wissenchaft yang artinya
sistematis, pengetahuan yang terorganisasi. Dari makna etimologi tersebut
sains diartikan sebagai pengetahuan yang secara sistematis tersusun
(assembled) dan bersama-sama dalam suatu urutan terorganisasi.
Misalnya pengetahuan tentang fisika, biologi, dan kimia.
Menurut Mariana istilah sains secara umum mengacu pada
masalah alam yang dapat diinterpretasikan dan diuji. Dengan demikian
keadaan alam merupakan keadaan materi yaitu atom, molekul dan
senyawa, segala sesuatu yang mempunyai ruang dan massa, sepanjang
menyangkut natural law yang memperlihatkan behavior materi,
merupakan pengertian dari sains, yaitu : fisika, kimia, dan biologi.
Menelusuri definisi yang dikemukakan para ahli ditemukan
penekanannya. Misalnya definisi sains menurut Jenkins dan Whitefield
2
yang menyatakan bahwa sains merupakan rangkaian konsep dan skema
konseptual yang saling berhubungan yang dikembangkan dari hasil
eksperimentasi dan observasi serta sesuai untuk eksperimentasi dan
observasi berikutnya.
Davis di dalam bukunya On The Scientific Methods menyatakan
sains adalah suatu struktur yang dibangun dari fakta-fakta. Bronowski,
seorang saintis dan juga filosof tentang sains, menyatakan sains
merupakan organisasi pengetahuan dengan suatu cara tertentu dengan
penjelasan lebih lanjut mengenai hal-hal tersembunyi yang ada di alam.
Batasan yang dikemukakan para ahli sains sepertinya masih
berkisar kepada kumpulan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang
diperoleh para ahli sains. Tetapi cara yang digunakan untuk memperoleh
konsep-konsep itu masih belum jelas-jelas dikatakan sebagai sains, hanya
dinyatakan sebagai cara-cara terstruktur dan sistematis. Dengan demikian,
lingkupnya hanya sebatas kumpulan konsep-konsep atau prinsip-prinsip.
Proses kretif untuk memperoleh konsep-konsep dan prinsip-prinsip masih
belum termasuk dalam batasan di atas.
Para ahli mencoba mengungkapkan gagasannya tentang batasan
sains lebih luas. Fisher menyatakan batasan sains adalah body of
knowledge obtained by methods based upon observation. Suatu batang
tubuh pengetahuan yang diperoleh melalui suatu metode yang
berdasarkan observasi. Cambbell menyatakan sains sebagai sesuatu yang
memiliki dua bentuk, 1) sains sebagai batang tubuh ilmu pengetahuan
yang berguna, pengetahuan praktis, metode memperolehnya dan 2) sains
sebagai hal yang murni aktivitas intelektual. Bube menyatakan sains
sebagai pengetahuan tentang alam yang diperoleh melalui interaksi antara
akal dan dunia.
Definisi yang diajukan oleh Fisher dan Campbell telah
memasukkan bersama-sama pengetahuan dan metode. Definisi yang
diajukan oleh Bube meliputi 1) observasi terhadap fenomena alam, 2)
3
proses observasi merupakan interaksi satu arah dari yang melakukan
observasi dari ke observasi.
Benyamin menyatakan sains sebagai suatu pertanyaan yang
berusaha sampai kepada pengetahuan tentang alam melalui metode
observasi dan metode mencocokkan hipotesis dengan yang diperoleh dari
observasi. Benyamin menekankan kepada metode dan pengetahuan yang
diakumulasikannya, sedangkan sains dapat berkembang secara revolusi.
Suatu batasan sains yang lebih lengkap dikemukakan oleh Sund.
Sund, dkk menyatakan sains sebagai tubuh dari pengetahuan (body of
knowledge) yang dibentuk melalui proses inkuiri yang terus-menerus,
diarahkan oleh masyarakat yang bergerak dalam bidang sains. Sains lebih
dari sekedar pengetahuan (knowledge). Sains merupakan upaya manusia
yang meliputi operasi mental, keterampilan dan strategi memanipulasi
dan menghitung, keingintahuan (curiosity), keteguhan hati (courage),
ketekunan (persistence) yang dilakukan oleh individu untuk menyingkap
rahasia alam semesta. Sains juga dikatakan sebagai hal-hal yang
dilakukan ahli sains ketika melakukan kegiatan penyelidikan ilmiah.
Batasan yang dikemukakan Sund ini paling lengkap jika
dibandingkan dengan definisi yang lain. Sund tidak hanya melibatkan
kumpulan pengetahuan yang diperoleh dengan metode inkuiri, tetapi
memasukkan unsur operasi mental yang dilakukan oleh individu untuk
memperoleh penjelasan tentang fenomena alam baik secara induktif
maupun deduktif (Mariana dan Praginda, 2009: 14-18).
Berdasarkan penulusuran berbagai pandangan para ahli dalam
bidang sains dan memperhatikan hakikat sains, dapat ditarik kesimpulan
bahwa sains atau IPA adalah ilmu pengetahuan atau kumpulan konsep,
prinsip, hukum, dan teori yang dibentuk melalui proses kreatif yang
sistematis melalui inkuiri yang dilanjutkan dengan proses observasi
(empiris) secara terus menerus, merupakan suatu upaya manusia yang
meliputi operasi mental, keterampilan, dan strategi memanipulasi dan
menghitung, yang dapat diuji kembali kebenarannya dengan dilandasi
4
sikap keingintahuan (curiosity), keteguhan hati (courage), ketekunan
(persistence) yang dilakukan oleh individu untuk menyingkap rahasia
alam semesta.
Dengan demikian paling sedikit ada tiga komponen dalam
rumusan atau batasan tentang IPA, yaitu 1) kumpulan konsep, prinsip
hukum, dan teori, 2) proses ilmiah fisik dan mental dalam mencermati
fenomena alam, termasuk juga penerapannya, dan 3) sikap keteguhan
hati, keingintahuan, dan ketekunan untuk menyingkap rahasia alam.
Ketiga komponen inilah yang menjadi dasar dalam penerapan
pembelajaran IPA. Komponen IPA pertama yang menyatakan IPA
sebagai kumpulan konsep, prinsip, hukum dan teori menjadi fokus
pertama karena dengan begitu siswa dapat memiliki pengetahuan tentang
IPA. Untuk itu perlu adanya pendekatan khusus dalam pembelajaran IPA
salah satunya terdapat dalam pendekatan CTL ( Contextual Teaching and
Learning ).
Menurut US Dapartement of Education, pendekatan CTL
merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi yang
diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat,
keluarga, kelompok dan organisasi, bahkan pertemuan di antara sesama
anak sehari-hari.
Penerapan pendekatan CTL dalam pembelajaran di dalam kelas
menurut Depdiknas memiliki tujuh komponen utama yaitu
konstruktivisme (contructivism), menemukan (inquiry), bertanya
(quetioning), masyarakat belajar (learning comunity), pemodelan
(modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya
(autehentic).
Menurut Siswandono, ciri-ciri pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan CTL adalah 1) adanya kerjasama, 2) menekankan pentingnya
problem, 3) bermuara pada keragaman konteks kehidupan murid yang
5
berbeda-beda, 4) Saling menunjang, 5) menyenangkan tidak
membosankan, 6) belajar dengan bergairah, 7) pembelajaran terintegrasi,
8) menggunakan berbagai sumber, 9) murid aktif, 10) sharing dengan
teman, 11) murid kritis, guru kreatif, 12) dinding kelas dan lorong-lorong
penuh dengan hasil karya murid, 13) laporan kepada orang tua bukan
hanya rapor, tetapi hasil karya murid, laporan hasil praktikum, karangan
murid dan sebagainya.
Melihat penerapan dan ciri-ciri pembelajaran dengan menerapkan
pendekatan CTL tentu terlintas dalam pikiran kita bahwa pendekatan CTL
adalah integrasi dari berbagai model-model pembelajaran. Banyak model
dan strategi pengajaran yang berasosiasi dengan pendekatan CTL
diantaranya yaitu CBSA, pendekatan keterampilan proses, life skill
education, pembelajaran berbasis nyata (authention instructional),
pembelajaran berbasis penemuan (inquiry), pembelajaran berbasis
masalah (problem based learning), pembelajaran kooperatif (cooperative
learning), pembelajaran layanan (service learning) (dalam Fedeli, 2010:
3-9).
Salah satu model pembelajaran yang perlu dicermati adalah model
pembelajaran kooperatif (cooperative learning). Pembelajaran kooperatif
atau cooperative learning merupakan model pembelajaran dengan
menggunakan sistem pengelompokan/tim kecil, yaitu antara empat
sampai enam orang yang mempunyai latar belakang kemampuan
akademik, jenis kelamin, ras atau suku yang berbeda (heterogen). Sistem
penilaian dilakukan terhadap kelompok. Setiap kelompok akan
memperoleh penghargaan (reward), jika kelompok mampu menunjukkan
prestasi yang dipersyaratkan. Dengan demikian, setiap anggota kelompok
akan mempunyai ketergantungan positif. Ketergantungan semacam itulah
yang selanjutnya akan memunculkan tanggung jawab individu terhadap
kelompok dan keterampilan interpersonal dari setiap anggota kelompok.
Setiap individu akan saling membantu, mereka akan mempunyai motivasi
untuk keberhasilan kelompok, sehingga setiap individu akan memiliki
6
kesempatan yang sama untuk memberikan kontribusi demi keberhasilan
kelompok (Sanjaya, 2007: 240).
Model pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran
kelompok yang akhir-akhir ini menjadi perhatian dan dianjurkan para ahli
pendidikan untuk digunakan. Slavin mengemukakan dua alasan. Pertama,
beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa penggunaan pembelajaran
kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar siswa sekaligus dapat
meningkatkan kemampuan hubungan sosial, menumbuhkan sikap
menerima kekurangan diri dan orang lain, serta dapat meningkatkan harga
diri. Kedua, pembelajaran kooperatif dapat merealisasikan kebutuhan
siswa dalam belajar berpikir, memecahkan masalah, dan
mengintegrasikan pengetahuan dengan keterampilan. Dari dua alasan
tersebut, maka pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran
yang dapat memperbaiki sistem pembelajaran yang selama ini memiliki
kelemahan (Sanjaya, 2007: 240).
Model pembelajaran kooperatif mempunyai manfaat-manfaat
yang positif apabila diterapkan di ruang kelas. Beberapa keunggulannya
antara lain: mengajarkan siswa untuk tidak terlalu menggantungkan pada
guru, kemampuan untuk berfikir, mencari informasi dari sumber lain dan
belajar dari siswa lain, mendorong siswa untuk mengungkapkan idenya
secara verbal dan membandingkan dengan ide temannya, meningkatkan
motivasi, dan membantu siswa belajar menghormati siswa yang pintar
dan siswa yang lemah, juga menerima perbedaan ini. Pembelajaran
kooperatif berbeda dengan strategi pembelajaran yang lain. Perbedaan
tersebut dapat dilihat dari proses pembelajaran yang lebih menekankan
kepada proses kerja sama dalam kelompok. Tujuan yang ingin dicapai
tidak hanya kemampuan akademik dalam pengertian penguasaan bahan
pelajaran, tetapi juga adanya unsur kerja sama untuk penguasaan materi
tersebut. Adanya kerja sama inilah yang menjadi ciri khas dari
pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif di antaranya dengan
menggunakan model make a match (Sanjaya, 2007: 247).
7
Selain itu dalam memperkuat komponen IPA terutama pada
komponen kumpulan konsep, prinsip, hukum dan teori dapat pula
menggunakan metode pembelajaran. Metode pembelajaran merupakan
cara yang digunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa
pada saat berlangsungnya pengajaran (Sudjana,2016: 76). Sedangkan
menurut M. Sobri Sutikno (2009: 88), metode pembelajaran adalah cara-
cara menyajikan materi pelajaran yang dilakukan oleh pendidik agar
terjadi proses pembelajaran pada diri siswa dalam upaya mencapai tujuan.
Motede pembelajaran memiliki banyak macamnya, salah satunya yaitu
metode pembelajaran mind mapping.
Metode pembelajaran mind mapping dan model pembelajaran
make a match banyak dicobakan dalam beberapa penelitian. Salah
satunya penelitian yang dilakukan oleh Ni Putu Stya Prahita, I Nyoman
Jampel, I Gde Wawan Sudatha pada hasil belajar IPA siswa kelas 4 SD
tahun pelajaran 2013/2014 di Desa Yahembang Gugus IV Diponegoro
Kecamatan Mendoyo. Dalam penelitian ini kelompok siswa yang
mengikuti pembelajaran mind mapping hasil belajarnya lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran
menggunakan konvensional. Ini menjadi bukti bahwa metode
pembelajaran mind mapping dapat meningkatkan hasil belajar. Adanya
perbedaan yang signifikan pada hasil penelitian menunjukkan bahwa
penerapan menggunakan metode mind mapping berpengaruh positif
terhadap hasil belajar IPA siswa dibandingkan dengan pembelajaran
konvensional.
Selanjutnya penelitian tentang model pembelajaran make a match
yang dilakukan oleh Ni Made Suandayani Ari Putri, Ni Wayan Suniasih, I
Wayan Wiarta pada mata pelajaran IPA siswa kela 4 SD. Penelitian ini
merupakan penelitian eksperimen semu. Sampel penelitian terdiri dari 78
siswa yang dibagi ke dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
Kelompok eksperimen dalam pembelajaran menggunakan model
pembelajaran make a match sementara kelas kontrol dalam pembelajaran
8
menggunakan model pembelajaran konvensional. Setelah dilakukan uji t
diperoleh hasil bahwa H0 ditolak dan Ha diterima ini artinya bahwa terjadi
perbedaan signifikan hasil belajar IPA menggunakan model make a match
dengan hasil belajar IPA menggunakan model konvensional. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe
make-a match berbasis media lingkungan berpengaruh terhadap hasil
belajar IPA siswa kelas IV Sekolah Dasar Gugus II Kecamatan Kuta
Utara Tahun pelajaran 2012/2013.
Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa metode pembelajaran
mind mapping dan model make a match dapat meningkatkan
pembelajaran IPA. Namun kemudian muncul keragu-raguan tentang
kebenaran metode mind mapping dan model make a match dapat
meningkatkan hasil belajar IPA. Untuk itu perlu kajian lebih lanjut
tentang metode pembelajaran mind mapping dan model pembelajaran
make a match.
Pertama yang akan dikaji yaitu metode pembelajaran mind
mapping. Metode pembelajaran mind mapping pada dasarnya merupakan
teknik pencatatan yang dikembangkan pada 1970-an oleh Tony Buzan
dan didasarkan pada riset yentang bagaimana cara kerja otak manusia
yang sebenarnya. Setiap manusia lahir dengan segala potensi yang
dimiliki, termasuk potensi pikiran. Namun, pada praktik pembelajaran,
penggunaannya masih jauh dari optimal. Hal ini tercermin dari berbagai
kesulitan yang muncul pada pembelajaran, seperti kesulitan dalam
memusatkan perhatian atau mengingat, yang berujung pada rendahnya
hasil pembelajaran. Pembelajaran seharusnya tidak hanya terbatas pada
membaca buku atau mendengar pengajaran yang tidak memberi
pemahaman.
Yovan berpendapat bahwa pembelajaran itu melibatkan pemikiran
yang bekerja secara asosiatif, sehingga dalam setiap pembelajaran terjadi
penghubungan antar satu informasi dengan informasi yang lain.
Pembelajaran sangat erat kaitannya dengan penggunaan otak sebagai
9
pusat aktivitas mental mulai dari pengambilan, pemrosesan, hingga
penyimpulan informasi. Dengan demikian, pembelajaran merupakan
proses sinergisme antara otak, pikiran dan pemikiran untuk menghasilkan
daya guna yang optimal (Mahmuddin, 2009: 1).
Untuk mengoptimalkan hasil pembelajaran, maka proses
pembelajaran harus menggunakan pendekatan keseluruhan otak. Menurut
(DePorter, 2003: 150), ketika manusia berkomunikasi dengan kata-kata,
otak pada saat yang sama harus mencari, memilah, merumuskan,
merapikan, mengatur, menghubungkan, dan menjadikan campuran antara
gagasan-gagasan dengan kata-kata yang sudah mempunyai arti itu dapat
dipahami. Pada saat yang sama, kata-kata ini dirangkai dengan gambar,
simbol, citra (kesan), bunyi, dan perasaan. Sekumpulan kata yang
bercampur aduk tak berangkai di dalam otak, keluar secara satu demi
satu, dihubungkan oleh logika, di atur oleh tata bahasa, dan menghasilkan
arti yang dapat dipahami.
Salah satu upaya yang dapat digunakan dalam membuat citra
visual dan perangkat grafis lainnya sehingga dapat memberikan kesan
mendalam adalah peta pikiran. Peta Pikiran merupakan metode
pembelajaran yang dikembangkan oleh Tony Buzan dan didasarkan pada
riset tentang cara kerja otak. Peta Pikiran menggunakan pengingat visual
dan sensorik alam suatu pola dari ide-ide yang berkaitan. Peta ini dapat
membangkitkan ide-ide orisinil dan memicu ingatan yang mudah. Oleh
karena itu, proses pembelajaran seharusnya dapat menggunakan metode
peta pikiran sebagai salah satu cara belajar yang dapat dilatihkan kepada
siswa. Penggunaan peta pikiran (mind mapping) dalam pembelajaran
diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar dan kreativitas siswa.
Untuk membuat Mind Mapping, menurut Buzan menyatakan
bahwa seorang biasanya memulainya dengan menulis gagasan utama di
tengah halaman dan dari situlah, ia bisa membentangkannya keseluruh
arah untuk menciptakan semacam diagram yang terdiri dari kata kunci-
kata kunci, frasa-frasa, konsep-konsep, fakta-fakta, dan gambar-gambar
10
(Buzan, 2012: 15-16). Mind mapping merupakan sistem penyimpanan,
penarikan data dan akses yang luar biasa dalam perpustakaan raksasa,
yang sebenarnya ada dalam otak yang menakajubkan (Buzan, 2012: 12).
Menurut Buzan (2004: 164), metode pembelajaran mind mapping dapat
mempermudah untuk senang hati masuk ke dunia pengetahuan dengan
mendorong otak belajar lebih banyak lagi dan membuat seseorang
menjadi rajin belajar.
Model pembelajaran selanjutnya yang perlu dikaji adalah make a
match. Make a match dikembangkan oleh Lorna Curran (Dalam Huda,
2011: 135), mencari pasangan sambil mempelajari suatu konsep atau
topik tertentu dalam suasana menyenangkan. Model make a match bisa
diterapkan untuk semua mata pelajaran di tingkatan kelas. Make a match
merupakan salah satu pembelajaran kooperatif, yang dikembangkan oleh
Lorna Curran pada tahun 1994. Salah satu keunggulan model ini adalah
siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik
dalam suasana yang menyenangkan. Model ini bisa digunakan dalam
semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia peserta didik.
Make a match adalah sistem pembelajaran yang mengutamakan
penanaman kemampuan sosial terutama kemampuan bekerja sama,
kemampuan berinteraksi disamping kemampuan berpikir cepat melalui
permainan mencari pasangan dengan dibantu kartu (Wahab, 2009: 59).
Model make a match atau mencari pasangan merupakan salah
satu alternatif yang dapat diterapkan kepada siswa. Penerapan model pada
intinya terletak pada kegiatan siswa disuruh mencari pasangan kartu yang
merupakan jawaban/soal sebelum batas waktunya, siswa yang dapat
mencocokkan kartunya diberi poin. Model pembelajaran make a match
atau mencari pasangan dikembangkan oleh Lorna Curran. Salah satu
keunggulan model ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar
mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan
Suyatno (2009: 72) mengungkapkan bahwa model make a match
adalah model pembelajaran dimana guru menyiapkan kartu yang berisi
11
soal atau permasalahan dan menyiapkan kartu jawaban kemudian siswa
mencari pasangan kartunya. Model pembelajaran make a match
merupakan bagian dari pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran
kooperatif didasarkan atas falsafah homo homini socius, falsafah ini
menekankan bahwa manusia adalah mahluk sosial (Dari Lie, 2003: 27).
Model make a match melatih siswa untuk memiliki sikap sosial yang baik
dan melatih kemampuan siswa dalam bekerja sama disamping melatih
kecepatan berpikir siswa.
Model pembelajaran make a match adalah salah satu model
pembelajaran yang berorientasi pada permainan. Menurut (Suyatno, 2009:
102) prinsip-prinsip model make a match yaitu anak belajar melalui
berbuat, anak belajar melalui panca indera, anak belajar melalui bahasa
dan anak belajar melalui bergerak.
Tujuan dari pembelajaran dengan model make a match adalah
untuk melatih peserta didik agar lebih cermat dan lebih kuat
pemahamannya terhadap suatu materi pokok (Fachrudin, 2009: 168).
Siswa dilatih berpikir cepat dan menghafal cepat sambil menganalisis dan
berinteraksi sosial.
Model make a match dikembangkan secara khusus meningkatkan
proses pembelajaran siswa karena mempunyai beberapa kelebihan: (1)
dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa, baik secara kognitif maupun
fisik; (2) karena ada unsur permainan, metode ini menyenangkan; (3)
meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari; (4)
dapat meningkatkan motivasi belajar siswa; (5) efektif sebagai sarana
melatih keberanian siswa untuk tampil presentasi; (6) efektif melatih
kedisiplinan siswa menghargai waktu untuk belajar.
Sedangkan, hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang
dikuasai siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya (Sudjana,
2016: 2).
Dengan uraian latar belakang tersebut dan keragu-raguan penulis
tentang pembelajaran yang lebih unggul maka penulis bermaksud
12
melaksanakan penelitian mengenai “Perbedaan Hasil Belajar IPA
Menggunakan Metode Pembelajaran Mind Mapping dan Model
Pembelajaran Make a match Pada Siswa Kelas 4 SD Gugus Murai
Tuntang Kabupaten Semarang”.
1.2 Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang, maka perlu adanya
rumusan masalah sebagai batasan ruang lingkup masalah yang akan
diteliti, rumusan masalah tersebut yaitu “Apakah ada perbedaan hasil
belajar IPA yang signifikan menggunakan metode pembelajaran mind
mapping dan model pembelajaran make a match pada siswa kelas 4
Gugus Murai Tuntang Kabupaten Semarang ?”.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan apa yang ingin dicapai oleh peneliti
dalam melakukan penelitiannya. Ada dua tujuan dalam penelitian ini
yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui
perbedaan hasil belajar IPA menggunakan metode pembelajaran
mind mapping dan model pembelajaran make a match pada siswa
kelas 4 SD Gugus Murai Tuntang Kabupaten Semarang.
1.4.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini yaitu :
a. Mengetahui perbedaan hasil belajar IPA siswa kelas IV SD
dengan menggunakan metode mind mapping dan model make
a match.
13
1.4 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Guru
Manfaat penelitian ini bagi guru yaitu :
a. Memberikan wawasan baru mengenai metode pembelajaran
mind mapping dan model pembelajaran make a match.
b. Memperoleh gambaran tentang pengaruh penggunaan metode
pembelajaran mind mapping dan model pembelajaran make a
match terhadap hasil belajar siswa.
c. Memotivasi guru untuk menerapkan model pembelajaran
yang tepat dan menyenangkan.
1.5.2. Bagi Peneliti Selanjutnya
Manfaat penelitian ini bagi peneliti selanjutnya yaitu :
a. Penelitian ini sebagai pijakan penelitian selanjutnya agar
dapat membuat penelitian yang jauh lebih baik.
b. Penelitian ini sebagai pembanding hasil penelitian lain.
c. Penelitian ini sebagai antisipasi kendala dan keterbatasan
penelitian yang akan dilakukan selanjutnya.