30
1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG Sebagai sebuah genre musik yang muncul dari musik blues dan rock, musik metal mengalami perkembangan yang luar biasa, baik dari segi pengembangan musikalitas maupun peningkatan atensi dari para penggemarnya. Pada era 70’an, periode awal musik metal ditandai dengan kemunculan subgenre heavy metal. Era tersebut memunculkan band-band pionir dari heavy metal seperti Black Sabbath, Led Zeppelin, dan Deep Purple. Hanya membutuhkan kurang lebih satu dekade untuk membuat musik metal menjadi lebih variatif, hal ini ditunjukkan oleh munculnya berbagai jenis subgenre yang baru pada dekade 80’an, antara lain seperti thrash metal, speed metal, black metal dan death metal. Keempat subgenre tersebut muncul dalam satu dekade yang sama, sehingga banyak pihak yang menyebut bahwa dekade 80’an merupakan era ke- emas-an dari musik metal. Pada dekade tersebut, muncul beberapa band yang dianggap mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan metal pada era berikutnya dan bahkan hingga saat ini, seperti Motorhead, Judas Priest, Iron Maiden dan Venom di Inggris. Metallica, Anthrax, Slayer dan Megadeth dari Amerika. Mercyful Fate dari Denmark. Annihilator, Death dan Voivod dari Canada. Kreator, Destruction,

PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/.../potongan/S1-2013-267751-chapter1.pdfini ditunjukkan oleh munculnya berbagai jenis subgenre yang baru pada dekade

  • Upload
    lamkiet

  • View
    225

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Sebagai sebuah genre musik yang muncul dari musik blues dan rock,

musik metal mengalami perkembangan yang luar biasa, baik dari segi

pengembangan musikalitas maupun peningkatan atensi dari para penggemarnya.

Pada era 70’an, periode awal musik metal ditandai dengan kemunculan subgenre

heavy metal. Era tersebut memunculkan band-band pionir dari heavy metal

seperti Black Sabbath, Led Zeppelin, dan Deep Purple. Hanya membutuhkan

kurang lebih satu dekade untuk membuat musik metal menjadi lebih variatif, hal

ini ditunjukkan oleh munculnya berbagai jenis subgenre yang baru pada dekade

80’an, antara lain seperti thrash metal, speed metal, black metal dan death

metal. Keempat subgenre tersebut muncul dalam satu dekade yang sama,

sehingga banyak pihak yang menyebut bahwa dekade 80’an merupakan era ke-

emas-an dari musik metal.

Pada dekade tersebut, muncul beberapa band yang dianggap mempunyai

pengaruh besar terhadap perkembangan metal pada era berikutnya dan bahkan

hingga saat ini, seperti Motorhead, Judas Priest, Iron Maiden dan Venom di

Inggris. Metallica, Anthrax, Slayer dan Megadeth dari Amerika. Mercyful Fate

dari Denmark. Annihilator, Death dan Voivod dari Canada. Kreator, Destruction,

2

Sodom dan Helloween dari Jerman. Bulldozer dari Italia. Vulcano, Sarcofago dan

Sepultura dari Brazil. Mayhem dan Darkthrone dari Norwegia. Bathory,

Dismember dan Entombed dari Swedia. Hal ini cukup menjadi bukti bahwa pada

era tersebut musik metal mulai menjalar keluar dari Inggris dan Amerika serta

memperoleh penggemarnya di negara lain.

Namun tidak hanya melahirkan empat subgenre dan band-band baru,

pada era 80’an, musik metal mendapat perhatian yang sangat besar dari kaum

muda di Eropa dan Amerika, sehingga musik metal berubah menjadi sebuah

musik yang begitu populer di kalangan kaum muda pada saat itu (Dunn, 2005).

Pada dasarnya, menjadi kaum muda merupakan proses dalam kehidupan untuk

mencari jati diri, sehingga sangat rentan terhadap perubahan (Setyawan, 2001).

Sedangkan kemunculan musik metal itu sendiri dinilai dapat memberikan sebuah

identitas kultural baru-pada era tersebut-dan memberikan berbagai alternatif

pemikiran serta gaya hidup (Hill dan Spracklen, 2010), dan menurut pendapat

Bennett (dalam Junaedi, 2011) daya tarik dari musik metal juga didasari oleh

tema-tema sosial seperti gambaran kehidupan kelas bawah dan rumah tangga

yang tidak harmonis, karena permasalahan-permasalahan inilah yang sering

dihadapi oleh kaum muda. Dan hal inilah yang menjadi latar belakang

perkembangan musik metal yang begitu pesat pada era 80’an.

Sebagai sebuah sub-kultur dalam masyarakat era post-modern, musik

metal melahirkan sebuah gerakan perlawanan baru terhadap budaya dominan di

3

barat. Musik itu sendiri, berperan sebagai sebuah kekuatan yang menyatukan

berbagai individu yang tergabung dalam sub-kultur tersebut. Dan gerakan

perlawanan sub-kultur semacam ini, dinilai menjadi sebuah pengganti dari

berbagai gerakan perlawanan dari kelompok proletar dalam pemikiran klasik.

Dengan demikian, kemunculan musik metal itu sendiri menjadi sebuah simbol

perubahan sosial yang terjadi di budaya barat (Gafarov dalam Hill dan Spracklen,

2012).

Sebagai sebuah pergerakan baru dari kalangan kaum muda pada era

80’an, idealisme musik metal yang dianggap menyimpang, memicu kemunculan

berbagai protes keras dan penolakan dari masyarakat. Kecaman dan upaya untuk

mematikan idealisme musik metal muncul pun secara terus menerus, terlebih

lagi dari pihak penganut parent-culture seperti PMRC (Parental Music Resource

Center) (Dunn, 2005). Musik metal dicitrakan sebagai musik yang lekat dengan

dunia sex, drugs, alkohol, kekerasan dan kematian. Namun tak hanya itu, musik

metal juga dinilai mengajarkan nilai-nilai satanisme, anti-ketuhanan dan

okultisme (Mangoenkoesoemo, 2012). Sehingga musik metal dianggap sebagai

sebuah musik yang memberikan pengaruh buruk terhadap kaum muda, dan

sangat kontradiktif dengan musik pop yang dinilai lebih baik karena di dalamnya

mengajarkan cinta dan perdamaian (Dunn, 2005).

Kontroversi yang melekat pada musik metal, berawal ketika PMRC

memberikan sebuah interpretasi yang salah terhadap lirik dari salah satu lagu

4

yang-dinyanyikan oleh Ozzy Osbourne-berjudul “Suicide Solution”. Dalam lagu

tersebut, Ozzy bermaksud untuk memberikan pandangannya mengenai

hubungan seseorang dengan alkohol yang digambarkan sebagai sebuah proses

bunuh diri. Namun, PMRC menginterpretasikan lagu tersebut sebagai sebuah

provokasi yang memicu tindakan bunuh diri, karena lagu tersebut menyatakan

bahwa bunuh diri merupakan sebuah resolusi. Dan justru kesalahan interpretasi

inilah yang berkembang di masyarakat (Weinstein, 2000). Ditambah lagi dengan

kasus bunuh diri seorang remaja yang dianggap berkaitan dengan lagu ini, maka

lengkaplah fenomena tersebut menjadi sebuah pemicu pembentukan klaim yang

dilakukan-dalam hal ini oleh PMRC-terhadap musik metal sebagai musik

kontroversi.

Meskipun demikian, pihak industri justru melihat musik metal sebagai

sebuah komoditas yang akan memberikan keuntungan. Kepopuleran musik

metal tersebut di kalangan kaum muda dan kemampuannya untuk tetap

bertahan dalam badai kritikan dan kecaman, oleh pihak industri dipandang

sebagai bukti dari besarnya loyalitas kaum muda terhadap musik tersebut, dan

karena itulah pihak industri berupaya untuk menarik band-band metal menjadi

sebuah produk dari industri musik. Upaya dari pihak industri tersebut, dilakukan

melalui proses komodifikasi atau sebuah proses yang bertujuan untuk

menghasilkan berbagai bentuk komoditas yang terkait dengan musik metal.

Keberhasilan komodifikasi yang dilakukan oleh pihak industri tersebut, secara

tidak langsung mereduksi makna musik metal yang identik dengan perlawanan

5

terhadap budaya dominan. Seperti yang terjadi pada Metallica dan Megadeth

yang terikat dengan label major, padahal keduanya merupakan bagian dari “The

Big Four”-selain Slayer dan Anthrax, yakni empat band yang bisa dikatakan

sebagai barometer musik thrash metal di Amerika. Atau dari kasus yang lain

seperti Ozzy Osbourne (Weinstein, 2000:207) yang menjadi musuh besar bagi

orang tua pada dekade 80’an-setelah musik Black Sabbath dianggap memicu dua

kasus bunuh diri di Amerika, beberapa era kemudian Ozzy Osbourne justru

ditampilkan dalam sebuah reality show sebagai seorang figur ayah (Dunn, 2005).

Di Indonesia sendiri, musik metal memiliki konsumen dengan latar

belakang ekonomi yang berbeda dengan di Inggris dan Amerika. Mayoritas

penggemar musik metal di Indonesia berasal dari kalangan mahasiswa

(Mangoenkoesoemo, 2012) dan masyarakat menengah (Baulch, 2003). Berbicara

mengenai tema, musik metal atau sering disebut dengan musik underground itu

sendiri, lebih dekat dengan isu-isu seputar dunia politik yang ada di Indonesia.

Reformasi yang terjadi pada 1998 telah memberikan pengaruh yang cukup besar

bagi perkembangan musik metal yang masuk ke Indonesia pada dekade 90’an

(Dunn, 2007). Namun selain menjadi “musik pengiring” pergerakan reformasi

pada level nasional di Jakarta, aroma politik juga tampak dari musik dan

komunitas metal di Bali yang menanggapi isu politik lokal daerah (Baulch, 2003).

Sama seperti yang terjadi di barat, reaksi penolakan terhadap musik

metal juga terjadi di Indonesia yang pada era 90’an masih dikuasai oleh rezim

6

Orde Baru. Musik metal diklaim sebagai sebuah ancaman yang dapat

memberikan pengaruh buruk terhadap kaum muda di Indonesia, dan salah satu

alasan yang mendasari klaim tersebut adalah konser Metallica di Jakarta yang

berakhir dengan kericuhan, dan semenjak itu Indonesia menutup pintu gerbang

bagi band-band metal mancanegara yang akan mengadakan konser di Indonesia

(Dunn, 2007).

Sedangkan komodifikasi yang terjadi pada musik metal, tampak dari

penampilan beberapa band metal dalam festival musik indie-yang diadakan oleh

pihak pemilik modal- sebagai band bintang tamu. Fenomena ini menjadi indikasi

bahwa pihak industri musik mainstream Indonesia mulai menaruh perhatiannya

pada musik metal, dan musik ini dinilai dapat dijadikan sebagai sebuah

komoditas baru dalam zona musik industri di Indonesia. Jika hal ini terus

berlangsung, maka tidak menutup kemungkinan bahwa musik metal pada

akhirnya nanti akan menjadi sebuah produk industri yang baru

(Mangoenkoesoemo, 2012).

Sedangkan di Yogyakarta, eksistensi musik metal mulaimuncul sejak era

90’an. Tepatnya pada tahun 1995, terbentuklah sebuah komunitas metal yang

diberi nama ”Jogjakarta Corpse Grinder” (JCG). Selama lebih dari satu dekade

keberadaannya, JCG telah melahirkan band-band metal dalam jumlah yang tidak

sedikit. Dari tahun ke tahun selalu ada band baru yang muncul dan ikut

meramaikan panggung pertunjukan musik metal di Yogyakarta. Pada era 90’an

7

terbentuklah band-band seperti Death Vomit, Traktor, Brutal Corpse, Devoured,

Drosophila, Cranial Incisored, Analic, Drowned Awake, Mortal Scream, Kerkop,

Calamity, Cemetary, Defunc to Room, Deviated Symphony, Dyspareunia,

Execodeath, Forbidden, Halbonera, Impious, Impurity, Left Hand Path, Obscure

of Disfigure, Patrimony, Psycodeath, Putrefaction, Ruction, Sanzia, Scatter All

Over, Trasher, Vaginal Discharge, Vexation (Setiawan, 2001 : 95). Sedangkan

band-band yang lahir pada era 2000’an antara lain Fallenlight, Nosferatu, Deadly

Weapon, Fornicate, Exhumation, Headkrusher, Excausated, Evil Steels, Nocturnal

Kudeta, Death Trap, Unveil’s, Metallic Ass, Venomed, Insulting Defamation,

Detritivor, Fadhalius, Dissected.

Namun tidak semua dari band-band tersebut mampu menjaga

eksistensinya, dan saat ini band-band yang masih bertahan antara lain Death

Vomit, Devoured, Drosophila, Cranial Incisored, Nosferatu, Fallenlight, Deadly

Weapon, Exhumation, Headkrusher, Excausated, Evil Steels, Noctrunal Kudeta,

Unveil’s, Metallic Ass, Venomed, Fadhalius, Insulting Defamation, Dissected,

Detritivor, dan Warhammer.

Narasi yang terjadi pada level nasional, ternyata tidak berbeda jauh

dengan yang terjadi di Yogyakarta. Klaim sebagai sebuah ancaman yang

memberikan pengaruh buruk terhadap kaum muda juga terjadi pada musik

metal di Yogyakarta. Hal ini memicu para pemilik studio musik di Yogyakarta

untuk mencantumkan sebuah peringatan dalam studio yang bertuliskan “no

8

punk and underground”. Namun tidak hanya itu, klaim tersebut juga

mempersulit komunitas metal di Yogyakarta untuk mengadakan sebuah

pertunjukan musik metal.

Akan tetapi, seiring dengan berkembangnya musik metal di Yogyakarta,

musik metal tidak hanya ditampilkan dalam ruang-ruang pertunjukan musik

komunitas saja. Musik metal kemudian masuk dalam ruang pertunjukan musik

umum, bahkan menjadi pengisi dalam sebuah event pameran clothing yang

diadakan di Yogyakarta. Padahal spirit idealisme yang terkandung dalam musik

metal, disebut sebagai wujud dari ekspresi kaum muda yang kemudian menjadi

budaya tanding terhadap kemapanan sistem sosial serta budaya musik

konvensional (Setyawan, 2001:140-142). Dan secara tidak langsung, identifikasi

musik metal sebagai musik underground tersebut merupakan upaya untuk

menegaskan bahwa musik metal berada pada sebuah wilayah yang bertentangan

dengan musik pop.

Dengan adanya kondisi seperti ini, bukan hal yang tidak mungkin jika

band-band metal tersebut bergerak ke arah dunia industri musik mainstream

atau bahkan sudah menjadi bagian di dalamnya. Bukan hal yang tidak mungkin

pula band metal Yogyakarta tidak lagi menjadi agent of change yang

menghendaki adanya sebuah perubahan dalam budaya bermusik, namun hanya

sebagai komoditas dengan daya magnet besar yang mampu menarik perhatian

kaum muda dan mampu memberikan keuntungan bagi pihak pemilik modal. Dan

9

hal inilah yang menarik perhatian peneliti untuk mengkaji permasalahan

tersebut, sehingga peneliti berusaha untuk mengamati setiap fenomena yang

terjadi dengan sudut pandang sosiologi dan mencoba mendialog-kan fenomena

tersebut dengan berbagai pemikiran yang tertuang dalam cultural studies.

II. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang ada, maka masalah penelitian dapat

dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana proses transformasi yang terjadi pada musik metal

Yogyakarta?

2. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari proses transformasi

tersebut?

III. TUJUAN PENELITIAN

1. Untuk mengetahui bagaimana proses transformasi yang terjadi

pada musik metal di Yogyakarta.

2. Untuk mengetahui bagaimana dampak yang ditimbulkan dari

proses transformasi tersebut

IV. MANFAAT PENELITIAN

1. Teoritis :

Untuk memberikan masukan dalam kajian akademik mengenai

budaya subkultur, dalam kasus ini memahami proses transformasi yang terjadi

10

pada musik metal di Yogyakarta dan bagaimana dampak yang ditimbulkan dari

proses transformasi tersebut.

2. Praktis :

Untuk memberikan masukan kepada para penikmat musik metal

dan khalayak umum agar dapat memahami dan mengambil sikap secara lebih

kritis berkenaan dengan proses transformasi terhadap band metal Yogyakarta

dan dampak yang ditimbulkannya.

V. KERANGKA TEORI

CULTURAL STUDIES

Cultural studies memang tidak dapat didefinisikan dengan mudah,

walaupun pada dasarnya cultural studies merupakan ilmu yang memfokuskan

kajiannya pada bidang kebudayaan, namun ia tidak dapat disamakan dengan

ilmu budaya maupun ilmu sosial yang lain dan telah ada sebelumnya. Cultural

studies memiliki karakteristiknya sendiri, ia berbeda dengan antropologi,

sosiologi, dan psikologi, namun tidak dapat dipungkiri bahwa cultural studies juga

menggunakan atau mengadopsi beberapa perspektif dari disiplin ilmu tersebut

untuk membentuk karakteristiknya. Kelebihan cultural studies itu sendiri terletak

pada kemampuannya dalam mengatasi pengotakan atau perpecahan dari

berbagai ilmu pengetahuan yang ada dan membentuk sebuah pengatahuan yang

dapat dikatakan lebih universal, dan ilmu pengetahuan tersebut digunakan untuk

mengkaji berbagai praktik kebudayaan dan hubungannya dengan kekuasaan.

11

KEBUDAYAAN

Kebudayaan yang ada pada kehidupan manusia, memang memiliki

berbagai macam definisi, tergantung pada sudut pandang subjek yang

mendefinisikan. Dari sudut pandang antropologis yang juga mengacu pada

kehidupan sehari-hari, kebudayaan dipandang sebagai

“...nilai (gagasan abstrak), norma (prinsip atau aturanterbatas) dan benda-benda material/simbolis. Makna dibangunbukan secara individual namun secara kolektif, sehinggagagasan kebudayaan mengacu pada makna yang dimilikibersama.” (Barker, 2004 : 40)

Sedangkan menurut Raymond Williams (dalam Storey, 2009), kebudayaan

memiliki tiga definisi. Definisi budaya yang pertama mengacu pada proses umum

perkembangan intelektual, spiritual, dan estetis. Definisi budaya ini, mengarah

pada perkembangan budaya di Eropa Barat dengan merujuk perkembangan

intelektual, spiritual, dan estetis dari para filsuf, seniman dan penyair-penyair

besar. Kedua, budaya didefinisikan sebagai pandangan hidup tertentu dari

masyarakat, periode atau kelompok tertentu. Apabila definisi yang kedua ini

digunakan untuk melakukan pembahasan mengenai pekembangan budaya di

Eropa Barat, berarti pembahasan tidak hanya berhenti pada faktor intelektual

dan estetis saja, namun juga mencakup perkembangan sastra, hiburan, oleh raga

dan berbagai upacara keagamaan. Dan yang ketiga, budaya juga bisa

didefinisikan sebagai karya dan praktik-praktik intelektual, terutama kegiatan

artistik. Dengan kata lain, teks-teks dan praktik-praktik memiliki fungsi utama

sebagai penanda, memproduksi atau kadang menjadi sebuah peristiwa yang

12

menciptakan makna tertentu. Budaya dalam definisi yang ketiga ini menjadi

sebuah sinonim dari apa yang oleh kaum strukturalis dan post-strukturalis

sebagai praktik-praktik penandaan. Dengan menggunakan definisi budaya yang

ketiga ini, kita dapat memikirkan beberapa contoh budaya pop seperti puisi,

novel, balet, opera dan lukisan.

Dan biasanya, definisi budaya yang kedua dan ketiga, akan digunakan

untuk pembahasan mengenai budaya pop. Dengan makna kedua-pandangan

hidup tertentu, memungkinkan pembahasan budaya pop untuk menjangkau

berbagai praktik budaya yang hidup seperti liburan ke pantai, perayaan hari

besar agama seperti Natal dan Lebaran, serta aktivitas sub-kultur. Sedangkan

makna ketiga akan mengantarkan pembahasan pada berbagai contoh budaya

pop seperti musik pop dan komik.

BUDAYA POP

Sedangkan keberadaan budaya pop, yang merupakan perpaduan antara

kata “budaya” dan kata “populer” dapat dikatakan menjadi sentral dari cultural

studies. Budaya pop memiliki berbagai macam definisi dan makna yang didasari

oleh sudut pandang dan pemaknaan terhadap kata “budaya” dan kata “populer”.

Kata “pop” itu sendiri-oleh William (ibid)-bermakna (1) banyak disukai orang, (2)

jenis kerja rendahan, (3) karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang, dan

(4) budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri. Sedangkan

sebagai sebuah “kesatuan”, budaya pop memiliki beberapa definisi (ibid), dan

13

pada tahap pertama dan yang paling sederhana, tentu budaya pop merupakan

budaya yang disukai oleh banyak orang. Hal ini tercermin dari berbagai penjualan

buku, kaset, dan CD serta ramainya sebuah pertunjukan musik dan pertandingan

sepak bola.

Definisi kedua dari budaya pop, muncul ketika term budaya tinggi telah

ditentukan. Dalam definisi ini, budaya pop dianggap sebagai sebuah budaya

residual atau sekumpulan teks dan praktik budaya yang tidak memenuhi kriteria

untuk dikategorikan sebagai bagian dari budaya tinggi. Ketatnya “seleksi”

terhadap beragam budaya untuk dikategorikan sebagai budaya tinggi, membuat

budaya tinggi memiliki nilai ekslusif dibandingkan dengan budaya pop. Sehingga-

mengutip Bordieu (ibid)-pengertian budaya pop dalam definisi ini juga berperan

sebagai pembeda kelas, dan selera menjadi salah satu faktor ideolodikal yang

berfungsi sebagai penanda kelas-baik kelas dari segi ekonomi maupun tingkat

kualitas budaya, dan konsumsi budaya-dalam aspek sosial-berfungsi sebagai

legitimasi perbedaan sosial tersebut. Perbedaan kelas tersebut juga dipertergas

oleh klaim bahwa budaya populer merupakan sebuah produk dari budaya

komersil yang dapat dikaji hanya dengan sekilas, dan budaya populer sebagai

budaya yang lahir dari proses kreasi individu sehingga layak dikaji dari segi moral

dan estetikanya.

Dalam definisi yang ketiga, budaya pop didefinisikan sebagai budaya

massa. Definisi budaya ini, memposisikan budaya pop sebagai budaya komersil

14

yang tidak dapat diharapkan. Budaya pop dipandang sebagai sebuah budaya

yang diformulasikan dan manipulatif, diproduksi secara massal dan untuk

konsumsi massal. Dalam beberapa pembahasan mengenai paradigma budaya

massa, budaya pop dinilai sebagai budaya yang telah mengadopsi budaya

Amerika, karena pada dasarnya budaya pop lebih dulu berkembang di Amerika.

Pembahasan mengenai budaya massa tersebut, juga mencakup jatuhnya budaya

Eropa di bawah hegemoni budaya Amerika yang dibuktikan dengan adopsi

budaya Amerika oleh kaum muda di Inggris sebagai sebuah sarana liberalisasi

menentang aturan hidup ala Eropa yang kaku. Sedangkan perpektif budaya

massa dalam versi yang sederhana, menggambarkan teks-teks dan praktik-

praktik budaya pop sebagai sebuah fantasi publik atau dunia “impian” secara

kolektif. Sehingga berbagai aktivitas seperti perayaan hari besar agama dan

liburan ke berbagai tempat yang dicita-citakan berubah menjadi layaknya sebuah

mimpi.

Yang keempat, budaya dinilai sebagai sebuah budaya yang berasal dari

rakyat, atau dengan kata lain sebagai sebuah budaya autentik dari rakyat dan

bagi rakyat itu sendiri. Namun muncul sebuah persoalan terkait dengan konsep

budaya pop ini, yakni pertanyaan mengenai siapa yang termasuk dalam kategori

rakyat dan dari mana budaya ini berasal. Berdasarkan fakta, rakyat tidak dapat

memproduksi sebuah budaya dari bahan-bahan material yang mereka produksi

sendiri, dan apapun bentuknya, budaya populer selalu terbentuk dari bahan-

bahan material yang telah disediakan secara komersil.

15

Sedangkan definisi budaya pop yang kelima, dikemukakan oleh Gramsci

dan terkait dengan konsep hegemoni yang ditemukan olehnya. Dalam

analisisnya, Gramsci menggunakan konsep hegemoni sebagai sebuah cara dari

pihak dominan untuk memenangi persetujuan atas kelompok sub-ordinat

melalui proses kepemimpinan intelektual dan moral. Dan sejalan dengan apa

yang dikemukakan oleh Gramsci, dalam sebuah buku karya Chris Barker (2004),

budaya pop dijabarkan sebagai,

“... zona perebutan dimana makna dan versi dunia yangsaling bersaing harus bertarung agar dianut dan memperolehklaim pragmatis atas kebenaran. Secara khusus, makna dankebenaran dalam domain kebudayaan dibentuk dalam pola-pola kekuasaan. Dalam hal ini ‘kekuasaan untuk menamai’ danmembakukan deskripsi-deskripsi tertentu adalah satu bentukpolitik kultural.” (Barker, 2004:372)

Atau dengan kata lain, budaya pop bukanlah sebuah budaya yang muncul

dari rakyat atau budaya autentik dari rakyat, namun budaya pop muncul dari

negosiasi antara resistensi dari kelompok sub-ordinat dan inkorporasi dari

kelompok dominan. Sehingga budaya pop bisa dikatakan sebagai sebuah arena

dimana berbagai makna kultural dipertarungkan di dalamnya, dan hal ini serupa

dengan pendapat Stuart Hall yang menggambarkan budaya pop sebagai

“... arena konsensus dan resistensi. Budaya popmerupakan tempat dimana hegemoni muncul, dan wilayahdimana hegemoni berlangsung.” (Storey, 2006 : 3)

Dan sejalan dengan Hall, Gramsci (Storey, 2009) juga memandang

budaya pop dari perpektif hegemoni sehingga budaya pop dimaknai

16

sebagai sebuah “medan peperangan” antara ideologi dan budaya dominan

dengan ideologi dan budaya sub-ordinat. Gramsci juga menjelaskan bahwa

proses perkembangan teks-teks dan praktik-praktik kultural dalam budaya

pop berjalan seiring dengan apa yang disebut Gramsci sebagai “compromise

equilibrium”. Sebuah pratik maupun teks budaya dalam momen tertentu

dapat dikategorikan sebagai sebuah budaya populer, namun dalam momen

yang lain dapat diartikan sebagai sebuah budaya sub-ordinat.

Definisi budaya pop yang keenam, muncul dari perdebatan post-

modernisme yang membahas antara keterkaitan post-modernisme dan

budaya populer yang tidak lagi membahas mengenai definisi budaya dalam

kacamata golongan elitis yang mengemukakan soal kemenangan budaya

tinggi sebagai sebuah produk budaya yang layak untuk diapresiasi. Dan hal

ini ditunjukkan dengan kesuksesan berbagai musik pop yang diraih dari

berbagai iklan maupun tayangan yang sifatnya komersial. Di satu sisi, musik

digunakan untuk menjual produk, namun di sisi yang lain, iklan tersebut

digunakan untuk menjual musik.

Dan yang ketujuh, budaya pop didefinisikan sebagai sebuah dampak

dari industrialisasi dan urbanisasi. Sebagai contohnya adalah budaya di

Inggris yang pada masa sebelum era industrialisasi dan urbanisasi hany

terbagi menjadi dua kebudayaan, yakni budaya umum yang berlaku bagi

seluruh golongan masyarakat dengan berbagai kelas, dan budaya elit yang

17

diproduksi dan dikonsumsi dalam lingkungan kelas dominan saja. Namun

setelah industrialisasi dan urbanisasi, beberapa hal berubah. Pertama,

industrialisasi merubah hubungan antara majikan dan buruh yang semula

bersifat mutualisme, menjadi sebuah ekspolitasi dari majikan terhadap

kaum buruh. Kedua, urbanisasi merubah lokasi pemukimam penduduk

berdasarkan kelas ekonominya, sehingga muncul kota-kota yang

diperuntukkan khusus bagi para pekerja. Dan yang ketiga, kepanikan yang

ditimbulkan oleh revolusi Perancis, membuat pemerintah melakukan

berbagai tindakan untuk mencegah pembentukan kekuatan politik radikal

di kalangan kaum buruh. Namun sebenarnya, upaya dari pemerintah

tersebut tidak membuahkan hasil, kekuatan politis radikal tidak hancur,

namun hanya bergeser pada ruang underground untuk menghindari

pengaruh dari kelas dominan.

Ketiga perubahan tersebut, dirangkum dan diformulasikan untuk

menciptakan sebuah ruang budaya baru yang tidak didasarkan pada bentuk

budaya lama. Dan sebagai hasilnya, muncul sebuah ruang budaya pop yang

berada di luar jangkauan dan pengaruh dari pihak-pihak dominan.

IDEOLOGI

Berkaitan dengan sifat politis dari kebudayaan, ideologi dan hegemoni

merupakan salah satu zona yang juga patut untuk dieksplorasi, karena kedua hal

tersebut adalah akar dari sifat politis kebudayaan. Dalam pandangan Gramsci,

18

ideologi merupakan “ide, makna dan praktik yang, kendati mengklaim sebagai

kebenaran universal, merupakan peta makna yang sebenarnya menopang

kekuasaan kelompok tertentu”.

“Pandangan-dunia kelompok dominan yangmenjustifikasi dan memelihara kekuasaan, yang setaradengan kebenaran;

Pandangan-dunia kelompok sosial yang menjustifikasitindakan mereka, yang setara dengan kebenaran;

Pandangan-dunia kelompok dominan yang menjustifikasidan memelihara kekuasaan mereka tapi tidak dapatdisetarakan dengan kebenaran, namun ia dapatdideskripsikan ulang sehingga tidak wajib diterima;

Pandangan-dunia kelompok sosial yang menjustifikasitindakan mereka tapi tidak dapat disetarakan dengankebenaran, namun ia dapat dideskripsikan ulangsehingga tidak wajib diterima.” (Barker, 2004 : 68)

Dari beberapa definisi tersebut, secara singkat, ideologi dapat diartikan

sebagai kesatuan ide dan makna yang diklaim sebagai sebuah kebenaran oleh

kelompok sosial tertentu, yang yang bersumber pada kehidupan manusia dan

dijadikan sebagai pedoman dalam praktik kehidupan. Sedangkan dalam karya

John Storey (2009), ideologi didefinisikan melalui lima cara, dan definisi ideologi

yang pertama menjabarkan ideologi sebagai sebuah kesatuan ide sistematis yang

diartikulasikan oleh kelompok tertentu. Misalnya pembahasan seputar ideologi

profesional, dalam definisi ini ideologi tersebut akan merujuk pada ide-ide yang

menjadi penjelasan dari praktik-praktik yang dilakukan oleh kelompok

profesional.

19

Dalam definisi kedua, ideologi dinyatakan sebagai sebuah proses

pendistorsian atau penyembunyian citra yang sebenarnya dari teks-teks dan

praktik-praktik dalam sebuah realitas, yang pada akhirnya akan memunculkan

apa yang disebut “kesadaran palsu”. Dengan mengambil contoh pada ideologi

kapitalis, distorsi dan penyembunyian citra dalam realitas sosial, bertujuan untuk

menutupi dominasi dari kelompok dominan dan praktik-praktik eksploitasi yang

dilakukan oleh kelompok tersebut. Serta untuk menyembunyikan

ketidakberdayaan kelas sub-ordinat yang dieksploitasi.

Definisi ideologi yang ketiga, dalam beberapa hal masih berkaitan dengan

definisi yang kedua. Definisi ideologi ini mengacu pada bentuk ideologis dari

teks-teks budaya. Dalam paradigma ini, lingkungan sosial masyarakat lebih dinilai

sebagai arena konfliktual daripada konsensual, dan teks itu sendiri dinilai

memihak serta memiliki sifat politis. Sebagai contoh, citra dunia yang

ditampilkan dalam sebuah film, tentu akan berpengaruh terhadap pandangan

penontonnya terhadap dunia, dan kemana arah pencitraan itu sendiri akan

bergantung kepada siapa ia berpihak.

Keempat, ideologi didefinisikan sebagai proses pembentukan konotasi

terhadap sebuah objek melalui berbagai pemaknaan yang secara tidak sadar

terkandung dalam berbagai teks dan praktik budaya. Hal tersebut, diwujudkan

dengan penetapan terhadap suatu hal yang dianggap “normal”-seperti maskulin,

heteroseksual, kelas menengah-dan yang lain sebagai variasi sub-level atau

20

penyimpangan dari mereka yang dianggap “normal”. Proses penetapan terhadap

apa yang dianggap “normal’ tersebut, berfungsi untuk me-natural-kan apa yang

sebenarnya dibudayakan, sehingga kebenaran dapat bersifat universal. Sebagai

contohnya adalah penyanyi, dan seorang penyanyi akan dikategorikan normal

apabila ia adalah seorang laki-laki dan heteroseksual, sehingga keberadaan

penyanyi perempuan atau penyanyi gay, akan menjadi sebuah variasi dengan

level yang lebih rendah daripada penyanyi normal.

Dan yang terakhir yakni kelima, definisi ideologi mengarah pada praktik-

praktik ideologikal berupa aktivitas-aktivitas yang pada akhirnya akan mengikat

masyarakat pada tatanan sosial tertentu yang mengandung berbagai bentuk

kesenjangan sosial-kesejahteraan, status, kekuasaan. Seperti halnya sebuah

hadiah berupa liburan yang diberikan oleh sebuah perusahaan kepada karyawan

untuk melepas stres dari berbagai tuntutan perkerjaan sehari-hari. Tentu

aktivitas tersebut akan memberikan sebuah kesenangan pada karyawan, namun

di satu sisi aktivitas tersebut bertujuan untuk membuat kondisi karyawan lebih

fresh dan siap untuk memberikan toleransi terhadap tuntutan pekerjaan dan

berbagai eksploitasi dari perusahaan yang akan dihadapinya hingga masa liburan

berikutnya.

HEGEMONI

Sedangkan hegemoni, menurut pendapat Gramsci diartikan sebagai

sebuah situasi dimana kelas berkuasa menjalankan otoritas dan kepemimpinan

21

atas kelas-kelas subordinat melalui kombinasi antara kekuatan dan persetujuan,

atau sebagai sebuah strategi dimana pandangan-dunia dan kekuasaan kelompok

sosial panutan dipelihara. Sedangkan hegemoni yang dikaitkan dengan ideologi

dapat dipahami sebagai proses dimana cara pemahaman tertentu tentang dunia

menjadi begitu nyata dan alamiah sehingga memandang alternatif sebagai

sesuatu yang tidak masuk akal dan tidak dapat dipikirkan (Barker, 2004).

Dalam kebudayaan dan hubungannya dengan kekuasaan, hegemoni

menjadi cara atau metode yang digunakan kelompok sosial tertentu untuk

mendistribusikan dan mempertahankan ideologinya agar menjadi sebuah

kebenaran. Dengan adanya hegemoni dari pihak budaya dominan, maka akan

muncul blok kontra-hegemonik dari kelompok sosial subordinat. Dan hegemoni

harus secara terus menerus diciptakan dan dimenangkan di arena kebudayaan,

karena hegemoni tersebut bukanlah sesuatu yang statis. Blok yang sedang

berkuasa harus selalu mempertahankan kemenangan hegemoninya, sedangkan

blok kontra-hegemonik akan selalu berusaha untuk menggulingkan hegemoni

dari pihak budaya dominan tersebut (Barker, 2004 :64).

SUB-KULTUR

Kata sub-kultur pada dasarnya merupakan penggabungan dari kata sub

yang berarti sebagian dan kultur yakni budaya, sehingga sub-kultur dapat

diartikan sebagai sebuah bagian dalam sebuah budaya induk yang lebih luas.

Sedangkan mengenai karakter atau ciri khas yang membedakan sub-kultur

22

dengan budaya induk, terletak pada perbedaan sistem nilai yang dianut, dan

bahkan sistem nilai yang dianut oleh sub-kultur biasanya bertentangan dengan

sistem nilai dalam budaya dominan (Hebdige, 1979:76). Terkait dengan hal ini,

Cohen (ibid, hal. 77) mendefinisikan sub-kultur sebagai,

“Compromise solution between two contradictory needs :the need to create and express autonomy and difference fromparents... and the need to maintain the parentalidentifications.”

Sehingga-dengan mengacu pada pengertian tersebut-sub-kultur dapat

dijelaskan sebagai sebuah pergerakan yang melawan budaya dominan dengan

membangun sebuah lingkungan sosial baru dengan sistem nilai atau ideologi

yang menyimpang dari budaya dominan. Dan pada perkembangannya,

implementasi dari ideologi menyimpang tersebut menciptakan sebuah style-

seperti gaya hidup, gaya bermusik, gaya berpakaian-khusus yang menjadi ciri

khas dari sub-kultur terkait. Sehingga terciptalah produk-produk sub-kultural

yang sifatnya subversif seperti gaya hidup yang dekat dengan alkohol, drugs, dan

free sex, musik bising serta gaya berpakaian yang aneh seperti jaket kulit yang

dipenuhi dengan paku, dan tentu saja produk-produk sub-kultur tersebut

digunakan untuk merepresentasikan identitas kultural individu sebagai penganut

ideologi menyimpang ala sub-kultur tertentu. Bahkan Hebdige (1979:80)-dengan

menggunakan pendekatan hegemoni ala Gramsci-menyebut style dari sebuah

sub-kultur sebagai sebuah simbol resistensi dari kaum muda yang menyerukan

sebuah perbedaan pendapat yang sebelumnya terpendam.

23

INKORPORASI

Sedangkan berkaitan dengan sejumlah perubahan dalam sub-kultur,

Hebdige memberikan penjelasan mengenai konsep inkorporasi yang digunakan

untuk melemahkan dan mengeksploitasi style dari sebuah sub-kultur (ibid, hal.

90). Inkorporasi tersebut diwujudkan melalui dua proses, yakni ideologisasi dan

komodifikasi. Proses ideologisasi dapat dipahami sebagai sebuah proses

rekonstruksi terhadap citra sebuah sub-kultur. Di satu sisi, sebuah sub-kultur

dapat dicitrakan sebagai sebuah ideologi yang kontradiktif dengan ideologi

dominan dan dianggap sebagai musuh bersama. Seperti kasus yang terjadi di

Jakarta pada 1993 yang berakhir ricuh sehingga musik metal diidentikkan dengan

satanisme dan atheisme (Dunn, 2007). Namun di sisi lain sub-kultur dicitrakan

sebagai bagian yang integral dalam budaya dominan. Dalam hal ini, idealisme

musik metal yang menganut prinsip pada hal-hal yang menyimpang direduksi,

dan musik metal ditampilkan hanya sebagai sebuah genre musik saja. Hal ini

tampak dari duet yang dilakukan oleh Otong-vokalis dari band metal bernama

Koil-dengan Ahmad Dhani dan Charlie dari ST12.

Sedangkan proses komodifikasi, pada dasarnya memiliki kedekatan

dengan bentuk ideologisasi yang kedua. Setelah ditampilkan sebagai sebuah

genre musik yang tidak idealis dan bahkan menjadi bagian dari perkembangan

budaya dominan seperti musik pop, musik metal kemudian dijadikan sebuah

objek eksploitasi. Komodifikasi itu sendiri, dapat diartikan sebagai sebuah proses

24

pengubahan produk-produk kultural yang dihasilkan sebuah sub-kultur menjadi

produk industri (Hebdige, 1979). Dan berkaitan dengan proses komodifikasi

tersebut, Hebdige (ibid) berpendapat bahwa di satu sisi, sebuah sub-kultur baru

tentu akan membawa trend baru, dan sebuah trend baru tentunya akan

menghasilkan keuntungan bagi pihak industri terkait, sehingga pihak industri

selalu berupaya untuk melakukan inovasi dan mengganti trend lama dengan

trend yang baru. Dalam hal ini, musik metal dipandang sebagai sebuah sub-kultur

baru, dan sejarah perkembangan musik metal yang tidak bisa dipisahkan dengan

berbagai produk sub-kultur seperti kaos, emblem, konser, serta zine

(Mangoenkoesoemo, 2012), dan inilah alasan mengapa musik metal menjadi

begitu menarik untuk dijadikan sebagai sebuah komoditas dimata industri.

Namun di sisi yang lain, dimensi ekonomi yang terdapat dalam musik metal

tampaknya telah mengubah proses komodifikasi tersebut menjadi sebuah ruang

bertemunya kepentingan band dan pihak industri. Pihak industri menawarkan

sebuah jawaban atas permasalahan ekonomi yang dialami pihak band,

sedangkan pihak band memiliki sebuah produk yang diperlukan oleh pihak

industri.

Dengan paradigma dari cultural studies ini, peneliti berupaya untuk

menjelaskan bagaimana kekuasaan-yang menjadi tujuan akhir-diperbutkan oleh

berbagai agen budaya, serta bagaimana dinamika peperangan hegemoni untuk

memperjuangkan ideologi yang dianut dalam budaya Indonesia atau Yogyakarta.

Dengan memahami hal tersebut, niscaya peneliti akan dapat menjelaskan

25

bagaimana transformasi musik metal yang terjadi di Yogyakarta. Dan tidak hanya

itu, peneliti juga akan berupaya untuk menjelaskan bagaimana dampak yang

ditimbulkan dari transformasi tersebut.

VI. METODE PENELITIAN

1. JENIS PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif

dengan jenis deskriptif yang mengedepankan kualitas data daripada jumlah data.

Karena sifatnya yang fleksibel, metode ini dirasa tepat untuk memperoleh data

yang mendalam, serta berbagai gambaran detail mengenai apapun yang ada di

lapangan.

Segala kelebihan dari metode ini sangat sesuai dengan data yang

dibutuhkan peneliti yaitu berupa data yang mendalam serta berbagai penjelasan

terperinci dari informan. Karena data yang dihasilkan dari penelitian kualitatif

berasal dari jawaban lisan maupun tertulis dari objek yang diamati, maka seperti

yang dikemukakan oleh Bogdan dan Taylor, hasil dari penelitian kualitatif ini akan

berbentuk deskripsi (Moleong, 2007:3).

2. LOKASI PENELITIAN

Pada dasarnya penelitian dilakukan di Yogyakarta, dan untuk dapat

menemui informan yang mampu memberikan informasi dengan tingkat validitas

tinggi, maka penelitian ini akan dilakukan di tempat para metalhead sering

berkumpul seperti distro yang khusus menjual merchandise metal, studio musik,

26

kost dan rumah dari para informan tersebut. Dengan asumsi bahwa tempat

tersebut mudah untuk dijangkau peneliti dan di tempat-tempat tersebutlah

peneliti dapat lebih mudah menemui informan agar dapat mengumpulkan

berbagai data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian.

3. JENIS DAN SUMBER DATA

Mengenai data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini, terdapat dua

jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Yang dimaksud dengan data

primer adalah data yang didapatkan oleh peneliti dari hasil wawancara secara

mendalam kepada informan penelitian. Sedangkan data sekunder merupakan

data yang didapatkan peneliti dari berbagai sumber bacaan yang terkait dengan

tema penelitian.

4. SUBJEK PENELITIAN

Untuk menentukan informan yang sesuai dengan penelitian ini, maka

peneliti menggunakan teknik purposif, dengan harapan agar informan yang

ditemui dapat sesuai dengan kebutuhan penelitian ini.

Informan yang dipilih untuk dimintai gambaran dan penjelasan mengenai

berbagai hal yang dibutuhkan oleh peneliti guna melengkapi data penelitian

adalah informan yang memenuhi kriteria sebagai berikut :

1. Berdomisili di Yogyakarta.

2. Aktif menjadi pengamat atau personel dari sebuah band metal di

Yogyakarta.

27

3. Mempunyai catatan pribadi baik secara fisik maupun non fisik

mengenai perjalanan musik metal di Yogyakarta sejak era 90’an.

5. TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini

adalah tiga metode pokok yang memang melekat dengan penelitian kualitatif

yaitu interview atau wawancara dan pengamatan atau observasi, serta studi

pustaka atau literatur agar data yang terkumpul dapat lebih valid (Suyanto, dkk.

2007 : 172)

Mengenai metode-metode yang digunakan dalam penelitian ini, dapat

dijelaskan sebagai berikut:

1. Wawancara

Dalam penelitian ini, peneliti memilih untuk menggunakan teknik

wawancara tidak terstruktur. Dalam teknik ini, pertanyaan-pertanyaan

yang diajukan kepada informan hanya berbentuk pertanyaan-

pertanyaan secara garis besar mengenai topik permasalahan yang ada

dalam penelitian.

2. Oservasi

Observasi pada dasarnya merupakan kegiatan pengamatan terhadap

obyek penelitian secara akurat dan memperhatikan hubungan antar

aspek yang ada dalam sebuah fenomena sosial yang nantinya akan

dimasukkan dalam catatan peneliti.

28

3. Studi pustaka

Studi pustaka merupakan kegiatan pengumpulan data yang dilakukan

dari berbagai sumber tertulis seperti buku, web, jurnal dan lain

sebagainya guna melengkapi data yang dibutuhkan dalam penelitian ini.

4. Life History

Life history merupakan sebuah metode untuk mengumpulkan

keterangan atau data berdasarkan pengalaman individu dari informan

sebagai pelaku atau objek dalam penelitian. Dalam pendekatan life

history, setiap detail dari perjalanan hidup individu dipandang sangat

berharga dan memiliki makna, karena setiap pengalaman yang dimiliki

oleh individu belum tentu dimiliki oleh individu yang lain.

Dengan metode life history ini peneliti berusaha untuk melihat

bagaimana reaksi, tanggapan, interpretasi dan pandangan dari dalam

atau dapat dikatakan sebagai autocritic, yang tentu saja tidak dapat

diperoleh dengan kuesioner.

Dalam penelitian ini, penggunaan metode life history dirasa sangat

tepat untuk mengumpulkan gambaran perkembangan musik metal di

Yogyakarta melalui berbagai peristiwa atau kejadian yang diketahui oleh

beberapa individu atau informan.

29

6. TEKNIK ANALISA DATA

Analisis data yang dilakukan peneliti akan melalui beberapa tahap, dan

tahapan-tahapan dalam analisis data tersebut adalah sebagai berikut:

1. Reduksi Data

Reduksi data merupakan sebuah tahapan yang bertujuan untuk

mengambil pokok-pokok dari data yang sesuai dengan tema penelitian

serta mengesampingkan data-data yang dirasa tidak diperlukan. Dalam

penelitian ini, reduksi data yang dilakukan akan mengacu pada konteks

transformasi band metal Yogyakarta yang sedang berlangsung dan

bagaimana proses transformasi tersebut terjadi.

2. Penyajian Data

Setelah melalui proses reduksi, kumpulan data dan informasi yang

ada diterjemahkan dan dikaitkan dengan teori yang digunakan peneliti

yaitu cultural studies. Dan pada proses selanjutnya, data dan teori yang

telah terhubung tersebut disajikan oleh peneliti dalam bentuk deskripsi

agar peneliti dapat menarik kesimpulan pada tahap selanjutnya.

3. Penarikan Kesimpulan

Dan pada akhirnya, tahapan selanjutnya dalam proses analisis data

yang dilakukan oleh peneliti adalah penarikan kesimpulan dari deskripsi

data yang ada. Karena penarikan kesimpulan merupakan sebuah tahap

penting dan menentukan yang berada pada akhir penelitian, maka

tahap ini sudah seharusnya dilakukan dengan cermat. Kesimpulan-

30

kesimpulan yang dihasilkan harus sesuai dengan asumsi awal penelitian

agar tidak menghasilkan kesimpulan yang bersifat kabur.