Upload
endang-sasi-andari
View
895
Download
109
Embed Size (px)
Citation preview
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gigi tiruan jembatan adalah gigi tiruan yang mengganti satu atau lebih gigi
yang hilang, dan dilekatkan ke satu atau lebih gigi asli atau akar gigi yang
bertindak sebagai penyangga. Preparasi gigi penyangga merupakan tindakan yang
penting dalam perawatan gigi tiruan jembatan. Preparasi bertujuan untuk
menghilangkan daerah undercut, memungkinkan pembentukan retainer atau
mahkota sesuai dengan bentuk anatomi gigi yang dipreparasi, membangun bentuk
retensi dan menghilangkan jaringan-jaringan yang lapuk oleh karies.
Prinsip preparasi gigi penyangga adalah mendapatkan bentuk akhir yang
menjamin retensi yang sebesar-besarnya bagi retainer. Untuk mencapai hal
tersebut dibuat dasar-dasar bentuk retensi preparasi yaitu kemiringan dinding-
dinding aksial, bentuk peparasi mengikuti bentuk anatomi gigi, dan pengambilan
jaringan gigi yang cukup untuk memberi ketebalan pada bahan retainer.
Disamping dasar-dasar bentuk retensi, ada faktor lain yang mempengaruhi retensi
preparasi, seperti bentuk dan ukuran gigi, luas bidang permukaan preparasi, dan
kekasaran permukaan preparasi.
Prosedur pencetakan harus dilakukan dengan seksama untuk mendapatkan
cetakan yang tepat dan teliti. Karena hal ini akan mempengaruhi hasil akhir gigi
tiruan jembatan dan memudahkan kerja operator dan operator dapat bekerja
dengan tenang dan hati-hati.
Pemilihan warna gigi merupakan pertimbangan estetis yang nampak
mudah namun sulit dalam mempraktekkan. Kesalahan interpretasi warna oleh
operator ataupun berbeda pemahaman antara operator dan tekniker akan
mempengaruhi estetik dari pasien.
Pertimbangan biomekanis dan biologis jaringan sekitar gigi tiruan
jembatan setelah insersi perlu menjadi evaluasi oleh operator agar gigi tiruan
dapat bertahan lama, tidak menimbulkan kerusakan lebih lanjut pada rongaa mulut
pasien, dan dapat berfungsi sebagaimana tujuan pembuatannya.
1
Penatalaksanaan gigi tiruan jembatan yang baik dan benar menjadi salah
satu penentu keberhasilan perawatan didukung dengan skill operator dan tekniker
gigi. Oleh karena itu penting bagi seorang operator untuk mengetahui prinsip-
prinsip preparasi, prosedur pencetakan, pertimbangan estetik, biologi dan
biomekanis, insersi dan kontrol pasien.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana tahapan preparasi gigi penyangga pada gigi tiruan jembatan?
2. Bagaimana prosedur pencetakan pada pembuatan gigi tiruan jembatan
sementara?
3. Apa saja yang menjadi pertimbangan estetik dan pertimbangan biologis
pada penatalaksanaan gigi tiruan jembatan?
4. Bagaimana tahapan insersi gigi tiruan jembatan dan evaluasi yang
dilakukan ketika kontrol kembali ke dokter gigi?
1.3 Tujuan
1. Memahami dan menjelaskan tahapan preparasi gigi abutment pada gigi
tiruan jembatan.
2. Memahami dan menjelaskan prosedur pencetakan pada pembuatan gigi
tiruan jembatan sementara.
3. Memahami dan menjelaskan pertimbangan estetik dan pertimbangan
biologis pada penatalaksanaan gigi tiruan jembatan.
4. Memahami dan menjelaskan tahapan insersi gigi tiruan jembatan dan
evaluasi yang dilakukan ketika kontrol kembaki ke dokter gigi.
2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Prinsip dan Persyaratan Preparasi Gigi Penyangga Gigi Tiruan
Jembatan
Preparasi merupakan suatu tindakan pengerindaan atau pengasahan gigi
untuk tujuan menyediakan tempat bagi bahan restorasi mahkota tiruan atau
sebagian pegangan gigi tiruan jembatan (Prajitno, 1991).
2.1.1 Tujuan preparasi
1. Menghilangkan daerah gerong
2. Memberi tempat bagi bahan retainer atau mahkota
3. Menyesuaikan sumbu mahkota
4. Memungkinkan pembentukan retainer sesuai bentuk anatomi
5. Membangun bentuk retensi
6. Menghilangkan jaringan yang lapuk oleh karies jika ada (Prajitno, 1991).
2.1.2 Prinsip Preparasi
1. Aspek biologis memperhatikan :
a. Struktur gigi yang dipertahankan
b. Menghindari overcontouring
c. Supragingival margins,agar lebih mudah dibersihkan
d. Oklusi yang harmoni
e. Proteksi untuk mencegah fraktur gigi
2. Aspek mekanis :
a. Retention form
b. Resistence form
c. Deformasi
3. Aspek estetik :
a. Tampilan yang minimal dari logam
b. Ketebalan maksimal dari porselen
c. Permukaan oklusal porselen
3
d. Subgingival margin
Restorasi yang optimal harus memenuhi aspek biologis, aspek mekanis,
dan aspek estetik (Prajitno, 1991).
2.1.3 Persyaratan preparasi
1. Kemiringan dinding-dinding aksial
Preparasi dinding aksial yang saling sejajar terhadap poros gigi sulit untuk
menentukan arah pemasangan. Disamping itu, semen juga sulit keluar dari tepi
retainer sehingga jembatan tidak bisa duduk sempurna pada tempatnya. Untuk itu,
dibuat kemiringan yang sedikit konus ke arah oklusal. Craige (1978) mengatakan
bahwa kemiringan dinding aksial optimal berkisar 10-15 derajat. Sementara
menurut Martanto (1981), menyatakan bahwa kemiringan maksimum dinding
aksial preparasi 7 derajat. Sedangkan Prayitno HR (1991) memandang
kemiiringan dinding aksial preparasi 5-6 derajat sebagai kemiringan yang paling
ideal. Kemiringan yang lebih kecil sulit diperoleh karena dapat menyebabkan
daerah gerong yang tidak terlihat dan menyebabkan retainer tidak merapat ke
permukaan gigi. Retensi sangat berkurang jika derajat kemiringan dinding aksial
preparasi meningkat. Kegagalan pembuatan jembatan akibat hilangnya retensi
sering terjadi bila kemiringan dinding aksial preparasi melebihi 30 derajat.
Preparasi gigi yang terlalu konus mengakibatkan terlalu banyak jaringan gigi yang
dibuang sehingga dapat menyebabkan terganggunya vitalitas pulpa seperti
hipersensitifitas, pulpitis, dan bahkan nekrose pulpa. Kebanyakan literatur
mengatakan kemiringan dinding aksial preparasi berkisar 5-7 derajat, namun
kenyataaannya sulit dlicapai karena faktor keterbatasan secara intra oral
(Martanto, 1985).
2. Ketebalan preparasi
Jaringan gigi hendaklah diambil seperlunya karena dalam melakukan
preparasi kita harus mengambil jaringan gigi seminimal mungkin. Ketebalan
preparasi berbeda sesuai dengan kebutuhan dan bahan yang digunakan sebagai
retainer maka ketebalan pengambilan jaringan gigi berkisar antara 1-1,5 mm
sedangkan jika menggunakan logam porselen pengambilan jaringan gigi berkisar
4
antara 1,5–2 mm. Pengambilan jaringan gigi yang terlaluy berlebihan dapat
menyebakan terganggu vitalitas pulpa seperti hipersensitivitas pulpa, pulpitis, dan
nekrosis pulpa. Pengamnbilan jaringan yang terlalu sedikit dapat mengurangin
retensi retainer sehingga menyebabkan perubahan bentuk akibat daya kunyah
(Martanto, 1985).
3. Kesejajaran preparasi
Preparsi harus membentuk arah pemasangan dan pelepasan yang sama
antara satu gigi penyangga dengan gigi penyangga lainnya. Arah pemasangan
harus dipilih yang paling sedikit mengorbankan jaringan keras gigi, tetapi dapat
menyebabkan jembatan duduk sempurna pada tempatnya (Martanto, 1985).
4. Preparasi mengikuti anatomi gigi
Preparasi ynag tidak mengikuti anatomi gigi dapat membahayakan
vitalitas pulpa juga dapat mengurangi retensi retainer gigi tiruan jembatan
tersebut. Preparasi pada oklusal harus disesuaikan dengan morfologi oklusal.
Apabila preparsai tidak mengukuti morfologi gigi maka pulpa dapat terkena
sehingga menimbulkan reaksi negatif pada pulpa (Martanto, 1985).
5. Pembulatan sudut-sudut preparasi
Preparasi yang dilakukan akan menciptakan sudut-sudut yang merupakan
pertemuan dua bidang preparasi. Sudut-sudut ini harus dibulatkan karena sudut
yang tajam dapat menimbulkan tegangan atau stress pada restorasi dan sulit dalam
pemasangan jembatan (Martanto, 1985).
2.2 Tahapan Penatalaksanaan Pembuatan Gigi Tiruan Tetap
1. Perawatan pendahuluan
2. Pencetakan diagnostik dilanjutkan pembuatan model studi.
3. Preparasi gigi penyangga, langkah-langkah preparasi gigi penyangga:
a. Anestesi lokal agar tidak ngilu saat preparasi.
b. Mengurangi permukaan mesial dan distal
c. Mengurangi permukaan bukal
d. Pengurangan permukaan lingual
5
e. Mengurangi permukaan oklusal
4. Pembuatan cetakan dari gigi yang telah dipreparasi untuk mendapatkan model
kerja
5. Pemilihan warna gigi
6. Pembuatan temporary bridge (mahkota sementara)
Jembatan sementara yang baik adalah mampu memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. Pelindungan pulpa
b. Stabilitas kedudukan
c. Fungsi oklusal
d. Mudah dibersihkan
e. Tepi retainer yang tepat (tidak menyebabkan peradangan mukosa)
f. Kekuatan dan retensi
g. Estetis (terutama pada gigi depan)
7. Pengiriman model kerja ke laboratorium dental (proses laboratorium)
8. Pelepasan mahkota sementara
9. Pemasangan / insersi dan penyemenan
10. Kontrol
6
MAPPING
7
Gigi Tiruan Tetap
Komponen Bahan
Retainer Pontik Konektor Abutment
Penatalaksanaan
Preparasi Gigi Penyangga
Prosedur pencetakan
Pertimbangan Estetik
Insersi
Kontrol
BAB 3. PEMBAHASAN
3.1 Tahapan Preparasi Gigi Penyangga pada Gigi Tiruan Jembatan
1. Pengurangan bagian insisal
Pengurangan pada bagian insisal adalah sebesar 1.5-2 mm dengan sudut
45 derajat.
Tujuan pengurangan pada bagian insisal antara lain:
a) memberi ketebalan mahkota jaket antara inti dengan gigi antagonis
b) menghindari patahnya mahkota jaket terhadap pengunyahan
c) oklusi dapat diperbaiki (Prajitno, 1991).
2. Pengurangan permukaan proksimal
Pengurangan pada bagian proksimal adalah sebesar 6 derajat Pengurangan
bagian proksimal yang melebihi 6 derajat akan mengurangi resistensi dan retensi
inti kurang. Pengasahan bagian proksimal dengan menggunakan round end
tapered cylindrical diamond bur dengan ketebalan 1- 1,5 mm. Tujuan
pengurangan permukaan proksimal:
a) menghilangkan kecembungan yang menghalangi masuknya mahkota ke
bagian servikal
b) mensejajarkan bidang proksimal mesial distal sehingga mahkota jaket
masuk tanpa hambatan
c) untuk ketebalan bahan mahkota jaket (Prajitno, 1991).
Gambar 1. Pengurangan permukaan proksimal, bukal, lingual, dan insisal
8
3. Pengurangan permukaan labial
Tujuan pengurangan permukaan labial adalah untuk ketebalan mahkota
jaket bagian labial (estetika). Pengasahan pada 2/3 incisal sebesar 1-1,5 mm
dengan round end tapered cylindrical diamond bur. Jika menggunakan porselen
ketebalan pengasahan sekitar 1,5-2 mm (Prajitno, 1991).
4. Pengurangan permukaan lingual atau palatal
Preparasi bagian palatal mengikuti kontur gigi dengan tidak
menghilangkan singulum. Pengasahan menggunakan round end tapered
cylindrical diamond bur sebesar 1-1,5mm pada 2/3 incisal dan 0,5mm pada 1/3
servikal (Prajitno, 1991).
5. Preparasi daerah servikal
Pada preparasi daerah servikal untuk mendapatkan bentukan finishing line
yang baik maka dilakukan retraksi gingiva dengan cara sebagai berikut:
a) Gigi pegangan diisolasi dengan cotton roll, kemudian dikeringkan
b) Benang retraksi direndam di dalam larutan adrenalin
c) Benang dilingkarkan ke sekeliling gigi pegangan, kemudian ditekan ke arah
apikal
d) Benang dimasukkan ke dalam sulkus gingiva dengan bantuan instrumen
seperti sonde
e) Dibiarkan selama 10 menit
f) Benang diangkat dari sulkus gingiva
Setelah gingiva diretraksi dilakukan pembentukan finish line menggunakan round
end tapered cylindrical diamond bur (Martanto, 1985).
Gambar 2. a) Knife edge, b) Chamfer, c) Shoulder, d) Bevel Shoulder
9
Ada beberapa bentuk servikal:
a. Knife-edge
Tipe ini memerlukan pengurangan gigi yang paling sedikit. Terkadang
digunakan pada gigi yang berbentuk bell-shaped, karena pembutannya yang
lebih sulit, sehingga dapat menyebabkan pengurangan gigi yang berlebihan.
b. Chamfer
Tipe ini sering dipilih sebagai akhiran tepi untuk restorasi ekstrakoronal,
mudah dibentuk, dan memberikan ruang untuk ketebalan yang memadai pada
restorasi emas tanpa menyebabkan kontur yang berlebihan dari restorasi.
Menghasilkan konsentrasi tekanan yang lebih rendah, dan dengan mudah dapat
masuk ke celah gingiva. Desain ini memberi tempat yang terbatas untuk
restorasi metal keramik sehingga menghasilkan distorsi margin yang besar dan
estetis yang kurang baik. Selain itu, ketahanan desain ini terhadap tekanan
vertikal kurang baik.
c. Shoulder
Tipe ini dipilih terutama pada situasi dimana bagian terbesar material
diperlukan untuk memperkuat restorasi pada daerah tepi gigi, seperti untuk
restorasi all-porcelain atau restorasi metal keramik. Desain ini sulit dipreparasi,
undercut minimum, dan tahan terhadap distorsi margin. Selain itu, shoulder akan
menghasilkan tekanan yang paling sedikit di daerah servikal dan memberikan
tempat maksimum untuk porselen dan metal, sehingga porselen dapat dibakar
pada tepi metal dan menghasilkan estetis yang baik
d. Shoulder bevel
Desain ini lebih sering digunakan oleh beberapa dokter yang percaya
bahwa tepi bevel lebih mudah dalam mendapatkan cetakannya dan dapat
membuat tepi gigi dari restorasi tuang lebih mudah dipolis. Bevel biasanya
dikombinasikan untuk bentuk proksimal box. Bevel tersebut bertujuan untuk:
- Mengkompensir kekurangan dalam kecermatan selama proses casting dan
penyemenan.
- Proteksi terhadap enamel margin.
- Memungkinkan burnishing setelah penyemenan.
10
- Menambah retensi.
Chamfer dan shoulder memberi bentuk akhiran tepi yang jelas, yang bisa
diidentifikasikan dalam preparasi mahkota sementara dan die. Chamfer
membutuhkan pengurangan aksial yang minimal dan cocok untuk restorasi all-
ceramic konservatif. Kedalaman preparasi margin shoulder menurut Rouse et al
(2001) berkisar 1-1,5 mm untuk memberikan ketepatan, kedudukan maksimum,
dan estetis yang baik. Menurut Dykema et al (1986), lebar standar preparasi
chamfer berkisar 0,3-0,5 pada restorasi mahkota metal-keramik.
Gambar 3. Pembentukan akhiran servikal
6. Pembulatan dinding aksial dan tepi insisal
3.2 Prosedur Pencetakan pada Pembuatan Gigi Tiruan Jembatan Sementara
Pembuatan cetakan dari gigi yang telah dipreparasi untuk mendapatkan
model kerja. Caranya:
1. Bahan cetak double impression dengan tenik one stage/ phase (direct)
a) Putty (kotak) : aduk bahan putty, letakkan didasar sendok cetak yang
tujuannya untuk menstabilkan kedudukan sendok cetak didalam mulut,
ambil perbandingan 1:1 rubber base : katalis lalu aduk hingga warna
berubah hijau, lalu letakkan pada dasar sendok cetak dan pada daerah yang
telah dipreparasi harus dicekungkan untuk menyediakan bahan yang
kedua.
11
b) Aduk light body, setelah homogen, masukkan kedalam injeksi kemudian
injeksikan ke gigi yang telah dipreparasi pada mulut pasien, sisanya pada
bagian yang dicekungkan tadi.
c) Kemudian cetakkan kedalam mulut pasien
d) Cor cetakan dengan hard stone.
2. Bahan double impression dengan teknik two phase
Aduk bahan putty sampai homogen letakkan ke sendok cetak, setelah rata
masukkan ke dalam mulut pasien tanpa melepas crown sementara. Pada bagian
anterior gigi yang dipreparasi tidak perlu dicekungkan. Setelah mengeras ambil
sendok cetak tersebut dari mulut pasien, kemudian aduk light body yang terdiri
dari basa dan katalis, setelah homogen masukan ke dalam injeksi kemudian
injeksikan ke gigi yang telah dipreparasi tadi. Masukkan cetakan putty tadi ke
dalam mulut. Setelah keras keluarkan dari mulut pasien (Aryanto dan Gunadi,
1991).
Pembuatan mahkota sementara dibuat dari self curing acrylic dengan
metode indirek sebagai berikut:
a. Gigi sebelum dipreparasi dicetak menggunakan bahan cetak elastomer (I).
b. Gigi sesudah dipreparasi dicetak menggunakan bahan cetak alginat kemudian
diisi dengan gips stone. Setelah gips stone mengeras dan dilepas dari cetakan
didapatlah model gigi setelah preparasi (II).
c. Cetakan (I) diisi dengan self curing acrylic
d. Model gigi setelah preparasi (II) dimasukkan ke hasil cetakan (I) yang telah
diisi self curing acrylic.
e. Fiksasi sampai self curing acrylic mengeras
f. Lakukan pengurangan pada mahkota sementara tersebut dan cobakan pada
pasien Mahkota sementara yang tidak pas dikurangi sampai benar-benar pas
beroklusi dengan gigi antagonisnya. Mahkota sementara disemen dengan
semen sementara fletcher dan larutan eugenol (Aryanto dan Gunadi, 1991).
12
Pembuatan mahkota sementara dibuat dari self curing acrylic dengan
metode direk sebagai berikut:
a. Pada model kerja dibuatkan model malam pada daerah edentulusnya sehingga
membentuk deretan gigi yang utuh.
b. Cek oklusinya dengan gigi antagonisnya.
c. Cetak dengan alginate menggunakan sendok cetak sebagian.
d. Berilah malam lunak pada daerah undercut.
e. Buatlah adonan akrilik yang warnanya sesuai dengan warna gigi.
f. Masukkan adonan akrilik ke dalam cetakan alginate.
g. Sebelum di cetakkan lagi, permukaan preparasi diulasi dengan silicon grease
dan segera cetakkan alginate beradonan akrilik pada pasiennya dengan posisi
dan kedudukan yang benar.
h. Akrilik yang tersisa digunakan untuk mengecek apakah sudah terasa plastis,
yaitu saat untuk mengeluar-masukkan cetakan tersebut.
i. Hasil cetakkan dirapikan dan dilakukan pemolesan.
j. Penyemenan menggunakan zinc okside eugenol.
Jembatan sementara harus diteliti ketepatannya di dalam mulut, meskipun
hanya sementara pemakaiannya. Dalam hal itu dapat digunakan articulating paper
untuk mengecek oklusinya supaya tidak terjadi kontak premature dengan gigi
antagonisnya (Aryanto dan Gunadi, 1991).
3.3 Pertimbangan Estetik pada Penatalaksanaan Gigi Tiruan Jembatan
Sistem warna Munsell merupakan suatu sistem untuk menyesuaikan warna
gigi tiruan dengan warna asli dalam kedokteran gigi. Untuk menetapkan suatu
warana tanpa kesalahan perlu digunakan tiga parameter yaitu hue, chroma, dan
value yang menjadi standard untuk menggambarkan warna gigi.
13
Gambar 4. Sistem warna Munsell
1. Hue
Hue berhubungan terhadap karakteristik warna yang memberikan suatu
identifikasi dan perbedaan dari suatu warna terhadap warna yang lainnya. Merah
adalah hue, demikian juga kuning, biru dan warna lain yang telah diketahui
namanya.
Salah satu warna dapat dicampur dengan warna lain sebagai warna
tambahan dan dapat dicapai dalam variasi warna yang berkelanjutan dari satu
warna terhadap warna yang lainnya. Contohnya, merah dan kuning dicampur
dalam suatu proporsi untuk mendapatkan seluruh hue dari merah sampai orange
ke kuning. Kemudian Munsell menggunakan symbol untuk mendesain 10 sektor
hue yaitu R, YR, Y, GY, G, BG, B, PB, P, dan PR. R untuk merah, YR untuk
merah-kuning, Y untuk kuning, GY untuk kuning-ungu, G untuk hijau, BG untuk
hijau-biru, B untuk biru, PB untuk biru-ungu dan P untuk ungu (Annusavice,
2003).
2. Chroma
Chroma adalah suatu kualitas yang membedakan warna yang kuat dari
satu warna yang lemah. Chroma merupakan intensitas warna yang memisahkan
hue dari value. Chroma menunjukkan sejumlah warna dalam hue, dihubungkan
sebagai lingkaran dari pusat seperti jari-jri dalam kumparan.
Chroma berhubungan dengan banyaknya pigmen yang ada pada warna
yang digambarkan pada awalnya. Jika warna memiliki konsentrasi yang kuat pada
pigmen hue, maka warnanya kuat. Skala chrome dari /0 untuk abu-abu netrak
ke /10, /12, /14 dan seterusnya (Annusavice, 2003).
14
3. Value.
Value adalah kualitas warna yang digambarkan dengan istilah gelap dan
terang yang berhubungan dengan pencahayaan. Hal ini merupakan tingkat
kecerahan. Value merupakan parameter fotometrik yang diasosiasikan dengan
pemantulan total yaitu kecerahan atau kegelapan warna. Hue yang diukur dari
putih absolute atau hitam absolute disebut value.
Value menunjukkan tingkat kecerahan atau kegelapan warna yang
dihubungkan dengan skala abu-abu normal yang meluas dari hitam absolute ke
putih absolute. Symbol 0 untuk hitam absolute, symbol 10 untuk putih absolute,
symbol 5 untuk abu-abu sedang dan semua warna chromatic antara hitam absolute
dan putih absolute. Hitam dan putih disebut warna netral karena tidk memiliki
hue.
Warna hitam dan putih dihasilkan dari pancaran cahaya objek yang tidak
dapat diabsorbsi pada posisi spectrum tetapi direfleksikan keseluruh pancaran
cahaya. Objek yang direfleksikan dari banyak pancaran cahaya adalah warna putih
sebaliknya objek yang sedikit pancaran cahaya adalah hitam (Annusavice, 2003).
Gambar 5. Tabel warna value dan chroma
Prosedur:
Teknik ini menggunakan beberapa shade guide yang disusun berdasarkan
hue, chrome, value cincin tabung enamel dan dentine yang merupakan standard
15
satuan shade guide yang berasal dari pabrik. Pemilihan warna dengan system
Munsell dimulai denagn langkah hue, value, dan chroma.
1. Langkah Hue
Langkah dalam memilih hue adalah
a. Hal penting pertama kali dalam memilih warna gigi adalah ketika pasien
duduk pertama kali dikursi unit, pilih sumber cahaya dari berbagai cahaya
yang berada disekeliling pasien.
b. Perhatikan sekeliling mulut secara misalnya mahkota gigi, akhiran servikal
dan tepi insisal. Buat taksiran umum hue, gigi umumnya coklat, kuning, atau
abu-abu.
c. Gunakan shade guide yang disusun berdasarkan hue yaitu shade guide yang
memiliki 4 warna dasar yaitu A, B, C, dan D. A menunjukkan warna
kecoklatan, B warna kekuningan, C warna keabu-abuan dan D warna semu
merah jambu. Lampu dihidupkan pada jarak 20 cm dari lengkung gigi dan
shade guide disusun dengan 4 warna dasar, masing-masing 2 diseberang dan
2 diseberangnya.
d. Mata operator kemudian diistirahatkan dengan melihat kea rah latar belakang
warna biru. Kuning yang umumnya warna gigi dapat diimbangi dengan
warna biru sebagai warna komplementer. Melihat kea rah latar belakang biru
kira-kira 1 menit meningkatkan kesensitifan mata terhadap warna kuning.
e. Misalkan pilihan hue adalah A1, dan ketiga warna dasar lainnya diletakkan di
samping.
f. Jika hue telah ditetapkan, misalkan pilihan adalah A, dan ketiga warna dasar
lainnya diletakkan di samping. Menentukan hue dilakukan dengan
mengobservasi bagian servik gigi. Melihat ke bagian servik dapat
meningkatkan penerimaan chroma sementara melihat ke insisal dapat
menurunkan penerimaan chroma, sehingga lebih sulit mendapatkan hue. Bila
kaninus ada, itulah gigi yang paling baik untuk memilih hue karena memiliki
chroma yang paling tinggi (Anggraeni, 2003).
2. Langkah Chroma
Langkah dalam memilih chroma adalah:
16
a. Pilih chroma berdasarkan hue yang telah ditetapkan. Chroma dari hue dipilih
dengan membandingkan shade guide dengan bagian tenagh gigi, bila tidak
sesuai warna dasar diturunkan. Hal ini lebih mudah karena yang ada hanya
chroma yang berbeda pada hue yang sama.
b. Gunakan shade guide yang disusun berdasarkan hue, dibagi lagi atas chroma,
misalnya A terbagi atas A1, A2, A3 dan A4 yan memiliki hue yang sama
tetapi berbeda chroma. Hal yang sama juga untuk B, C, dan D. misalnya
chroma yang dipilih adalah A2.
c. Mata istirahatkan lagi dengan melihat kea rah latar belakang warna biru
sebagai warna komplementer. Perbedaan chroma warna dasar yang sama
sangat dekat satu sama lain pada shade guide buatan pabrik, dapat
membingunkan dalam menyesuaikan warna. Hal ini membuat orang melihat
perbedaan hue lebih efektif karena chroma lebih kuat. Hal ini merupakan
langkah sulit sebab tidak banyak bedanya antara warna-warna tersebut.
d. Jika chroma telah ditetapkan, pilih warna dentin dan enamel dengan cincin
warna dentin dan enamel. Sesuaikan waran dentin dengan cincin warna
dentin. Kadang-kadang perlu dilakukan perbaikan, nomor chroma dentin
yang dipilih dicatat. Gunakan latar belakang biru lagi untuk mengistirahatkan
mata.
e. Sesuaikan warna enamel dengan cincin warna enamel. Observasi harus
dilakukan pada bagian insisal gigi yang enamelnya lebih tebal dan nomor
enamel dicatat (Anggraeni, 2003).
3. Langkah value
Langkah dalam memilih value adalah:
a. Pilih value dengan memicingkan mata. Memicinkan mata menyebabkan rods
pada mata lebih sensitive dari pada cones terhadap warna, rods bertanggung
jawab membantu menentukan value. Hindari pertimbangan terhadap hue dan
chroma.
b. Gunakan shade guide yang disusun berdasarkan value yang merupakan
buatan pabrik.
17
c. Value yang telah dipilih digunakan untuk memilih porselen yang inti. Ini
adalah tahap kritis untuk memilih value yang lebih penting daripada pilihan
hue. Bila value ini salah, efeknya akan kurang baik untuk warna bagian servik
gigi. Teknik ini dapat dibantu dengan penggambaran peta corak gigi (dental
shape tab) (Anggraeni, 2003).
Gambar 6. Dental Shape Tab
Faktor-faktor yang mempengaruhi warna
1. Kondisi pengamatan
Waktu yang tepat untuk pemilihan warna gigi tiruan adalah pada saat
pemeriksaan pertama. Pada saat menentukan warna sangat dipengaruhi oleh
kondisi pengamatan yaitu sumber cahaya pada praktek dan laboratorium, latar
belakang objek seperti warna dinding, baju dan make-up pasien serta keadaan
objek.
a. Sumber cahaya.
Cahaya terdiri dari berbagai panjang gelombang yang tergantung pada
sumber cahaya. Terdapat berbagai sumber cahaya yang menghasilakan efek yang
berbeda pada suatu benda, disebut metamerisme. Sebuah benda akan tampak
berbeda jika dilihat pada dua sumber cahaya yang berbeda, misalnya benda yang
dilihat di bawah sinar matahari akan berubah jika benda tersebut dilihat di bawah
sinar fluoresen atau lampu pijar. Cahaya lampu fluoresen cenderung untuk
menghasilakan spectrum warna biru sedangkan lampu pijar menonjolkan
spectrum warna kuning-merah, sebaiknya membandingkan dan mengurangi
pengaruh metamerisme (Annusavice, 2003).
18
Cahaya dapat bersifat alami maupun buatan, dalam setiap kategori ada
keanekaragaman baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Cahaya alami berasal
dari matahari baik secara langsung maupun tidak langsung. Kualitas warna,
beraneka ragam dari kemerah-merahan sampai putih kekuning-kuningan. Pada
saat warna diseleksi pasien harus duduk denagn kepala tegak terhadap mata
operator. Mata operator harus mampu bertahan pada pasien dan sumber cahaya
sewaktu memilih warana (Annusavice, 2003).
Pada waktu langit cerah akan menunjukkan cahaya dengan komponen biru
lebih besar daripada awal pagi atau lewat sore hari dimana matahari lebih
memiliki komponen kuning. Dalam pemilihan warna yang paling baik adalah
menggunakan sumber cahaya matahari, terutama siang hari atau sore hari, saat
matahari tepat diatas kepala sehingga mengurangi pengaruh atmosfer terhadap
perubahan warna. Ketika menentukan warna pasien sebaiknya berada dekat
jendela sehingga cahaya matahari dapat berperan langsung. Ketika timbul
keraguan dalam menentukan pilihan warna, dengan melihat objek pada cahaya
berbeda baik alami maupun buatan dengan jarak yang berbeda pula akan sangat
membantu dokter gigi. Hal ini juga merupakan praktek yang baik untuk
memeriksa pilihan warna dengan bantuan asisten (Anggraeni, 2003).
b. Latar Belakang Objek
Latar belaknag terlihat sebagai suatu efek yang berarti pada warana yang
dipusatkan. Latar belakang gelap membuat warna terlihat lebih terang daripada
warna yang sama terhadap latar belakang lebih terang.
Warna gorden jendela, warna dinding praktek, lipstick pasien dapat
mempengaruhi warna yang muncul pada daerah mulut. Cahaya harus memancar
secara merata, tanpa ada bayangan bibir yang berlipstik di dekat gigi untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Salah satu faktor mempengaruhi
dalam pemilihan warna adlah penggunaan lipstick, yang merupakan latar
belakang selain garis bibir. Gigi merupakan warna netral, sehingga gigi yang
berdekatan dengan lipstick berwarna merah akan terlihat kehijauan. Sebaiknya
hapus lipstick terlebih dahulu (Anggraeni, 2003).
19
Dinding yang digunakan sebagai latar belakang sebaiknya diberi warna
dinding abu-abu netral atau warna gelap. Bagian insisal gigi sangat dipengaruhi
oleh warna gelap sebagai latar belakang, sehingga memiliki translusensi tinggi
pada enamel (Anggraeni, 2003).
c. Keadaan objek
Warna dari suatu objek tergantung dari sifat yang dimiliki benda tersebut,
pada benda yang tembus cahaya akan mengabsorbsi cahaya yang melaluinya,
sehingga warna dari benda tersebut akan berbeda dengan warna yang dihasilkan
dari benda yang berkilat, dengan sifatnya memantulkan memantulkan cahaya
yang diterimanya. Lain halnya dengan benda yang mempunyai permukaan
bersifat fluoresen, benda tersebut mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi
sebagian cahaya dan menunjukkan warna yang lebih muda daripada benda yang
opak. Beberapa bahan kedokteran gigi seperti porselen mengandung bahan
fluoresen (Anggraeni, 2003).
Permukaan objek dan bentuk sama pentingnya dalam memilih warna gigi,
permukaan halus dapat direfleksikan lebih banyak cahaya yang membelakangi
operator. Kekasaran pada permukaan gigi akan mengurangi level warna dasarnya.
Karakteristik gigi yang termasuk dalam bentuk insisal, garis retak dan stein
berguna sekali dalam menempatkan warna dan karakter gigi. Gigi asli
menunjukkan peningkatan penyerapan cahaya pada bagian insisal daripada bagian
sentral dan penurunan cahaya terhadap bagian servikal (Anggraeni, 2003).
2. Daya Penglihatan Mata terhadap Objek
Warna dapat dirubah oleh objek ketika ditangkap mata. Ketika
menentukan warna gigi, dokter gigi harus memandang lurus kearah objek Karena
cone sebagai penerima warna sangat banyak di dekat pusat retina.
Warna dipengaruhi oleh beberapa variable yaitu daya penglihatan mata,
sumber cahaya, latar belakang dan keadaan objek. Variable mata yaitu daya
penglihatan mata dapat dikontrol denagn membatasi variable sumber cahaya, latar
belakang dan keadaann objek (Anggraeni, 2003).
20
Mata peka sekali terhadap cahaya yang diterimanya. Tetapi cepat lelah
dalam menerima rangsangan. Mata kurang peka terhadap wana yang peralihannya
lembut seperti pada warna gigi asli. Mata cepat elelah dalam menerima
rangsangan untuk satu warna secara terus-menerus maka dianjurkan hanya
dilakukan dalam 5 detik saja untuk menentukan warna gigi tiruan. Setelah 5 detik
kemampuan retina untuk menyesuaikan warna-warna lembut berkurang, karena
itu dalam pemilihan warna terlebih dahulu dialihkan ke objek warna netral yaitu
warna biru sebelum memandang kembali gigi tersebut (Anggraeni, 2003).
Warna sebaiknya dipilih ketika pemeriksaan awal untuk mencegah
kelelahan mata yang dapat terjadi. Suatu kesalahan besar jika memilih warna
ketika mata lelah. Mata harus cepat menangkap dan mencoba menyeimbangkan
perbedaan shade guide sehingga tahap ini tidak menghabiskan banyak waktu.
Untuk membantu mata ada baiknya memilih shade guide yang berwarna terang
kemudian ke shade guide yang gelap (Anggraeni, 2003).
3.4 Tahapan Insersi Gigi Tiruan Jembatan dan Evaluasi yang Dilakukan
Ketika Kontrol Kembali ke Dokter Gigi
Try In:
Try in atau pengepasan GTC dengan sementasi menggunakan campuran
serbuk fletcher dan larutan eugenol selama 1 minggu. Yang harus diperhatikan
adalah kontak proksimal antara GTC dengan gigi sebelahnya, pemeriksaan pada
tepi GTC tidak boleh menekan gingiva, dan pemeriksaan kontak oklusal. Dilihat
retensi dan stabilisasinya. Hal-hal yang perlu diperhatikan ketika try-in adalah:
retensi, stabilisasi, oklusi, dan kenyamanan pasien.
1. Retensi
Kemampuan GTC untuk melawan gaya pemindah yang cenderung memindahkan
gigi tiruan kearah oklusal. Cara mengecek retensi gigi tiruan adalah dengan cara
memasang gigi tiruan tersebut ke dalam mulut pasien. Jika tidak mempunyai
retensi maka gigi tiruan tersebut akan terlepas setelah dipasang, namun jika tidak
terlepas berarti gigi tiruan tersebut sudah mempunyai retensi.
21
2. Stabilisasi
Merupakan perlawanan atau ketahanan GTC terhadap gaya yang menyebabkan
perpindahan tempat atau gaya horizontal. Stabilisasi terlihat dalam keadaan
berfungsi, misal pada mastikasi. Pemeriksaan stabilisasi gigi tiruan dengan cara
menekan bagian gigi tiruan secara bergantian. Gigi tiruan tidak boleh
menunjukkan pergerakan pada saat tes ini.
3. Oklusi
Pemeriksaan aspek oklusi pada saat posisi sentrik, lateral dan anteroposterior.
Caranya dengan memakai kertas artikulasi yang diletakkan di antara gigi atas dan
bawah, kemudian pasien diminta melakukan gerakan mengunyah. Setelah itu
kertas artikulasi diangkat dan dilakukan pemeriksaan oklusal gigi. Pada keadaan
normal terlihat warna yang tersebar secara merata pada permukaan gigi. Bila
terlihat warna yang tidak merata pada oklusal gigi maka terjadi traumatik oklusi
oleh karena itu dilakukan pengurangan pada gigi yang bersangkutan dengan
metode selective grinding. Pengecekan oklusi ini dilakukan sampai tidak terjadi
traumatik oklusi (Basker, 2003).
Insersi :
Satu minggu setelah pengepasan kemudian dilakukan insersi GTC dengan
sementasi menggunakan SIK tipe I. Sebelumnya dilakukan pemeriksaan subjektif,
ditanyakan apakah ada keluhan dari pasien setelah GTC dipasang dan dipakai.
Pemeriksaan objektif dilihat dari keadaan jaringan lunak di sekitar daerah
GTC apakah ada peradangan atau tidak, periksa retensi dan oklusi pasien. Jika
tidak ada peradangan, retensi dan oklusi pasien baik maka dilakukan penyemenan
GTC. Penyemenan GTC:
1. GTC dibersihkan dan disterilkan lalu dikeringkan, gigi abutment yang akan
dipasang GTC juga dikeringkan.
2. Semen diaduk untuk mendapatkan konsistensi yang baik untuk penyemenan,
kemudian dioleskan pada bagian dalam dari GTC.
3. GTC dipasang dan pasien diinstruksikan untuk dalam posisi oklusi sentrik
beberapa menit.
22
4. Kelebihan semen yang mengalir ke gingival diambil kemudian dibersihkan.
5. Instruksikan pada pasien untuk menjaga kebersihan mulut dan diminta untuk
tidak makan atau menggigit makanan yang keras dulu.
6. Bila ada keluhan rasa sakit segera kontrol.
Setelah dilakukan penyemenan, dicek kembali retensi, stabilisasi dan
oklusi (dengan articulating paper) (Basker, 2003).
Instruksi:
Instruksi untuk memeliharaan gigi tiruan jembatan yang telah dipasangkan :
1. Penyikatan yang baik ( tekanan ringan dan sikat yang lunak)
2. Pemakaian dental floss, oral irigating & alat pembersih lainnya yangberfungsi
untuk membersihkan daerah yang sukar terlihat (daerah interdetal/ dasar
pontik).
Kontrol :
1. Pemeriksaan subyektif : menanyakan apakah ada keluhan dari pasien setelah
GTC dipasang dan dipakai.
2. Pemeriksaan obyektif : melihat keadaan jaringan lunak disekitar daerah GTC,
apakah ada peradangan atau tidak. Memeriksa retensi, stabilisasi, dan oklusi
pasien.
23
BAB 4. KESIMPULAN
1. Tahap preparasi gigi penyangga antara lain:
a. Pengurangan bagian insisal
b. Pengurangan permukaan proksimal
c. Pengurangan permukaan labial
d. Pengurangan permukaan lingual atau palatal
e. Preparasi daerah servikal
f. Pembulatan dinding aksial dan tepi insisal
2. Pembuatan cetakan pada proses pembuatan gigi tiruan tetap sementara
menggunakan bahan cetak double impression dengan tenik one stage/ phase
(direct) dan bahan double impression dengan teknik two phase. Teknik
pembuatan gigi tiruan tetap sementara ada dua cara yaitu, indirek dan direk.
3. Pertimbangan estetik bisa dicapai melalui pemilihan warna gigi tiruan yang
tepat dengan sistem warna Munsell yang menggunakan tiga parameter yaitu
hue, chroma, value.
4. Tahap insersi dilakukan satu minggu setelah tahapan pengepasan atau pasang
coba, bila tidak ada keluhan dan kelainan pada mukosa di sekitar gigi tiruan
dilakukan penyemenan.
24
DAFTAR PUSTAKA
Anggreini, F. 2003. Teknik Penentuan Warna dengan Sistem Munsel pada
Restorasi Porselen. Medan: USU.
Annusavice. 2003. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC.
Aryanto, Gunadi H., dkk. 1991. Buku Ajar Ilmu Geligi Tiruan Sebagian Lepasan
Jilid I. Jakarta: Hipokrates.
Aryanto, Gunadi H., dkk. 1993. Buku Ajar Ilmu Geligi Tiruan Sebagian Lepasan
Jilid II. Jakarta: Hipokrates.
Basker RM. 2003. Perawatan Prostodontik Bagi Pasien Tak Bergigi Edisi 3.
Jakarta: EGC.
Martanto, P. 1985. Teori dan Praktek Ilmu Mahkota dan Jembatan Jilid 1 Edisi 2.
Bandung: Penerbit Alumni.
Prajitno, H.R. 1991. Ilmu Geligi Tiruan Jembatan: Pengetahuan Dasar dan
Rancangan Pembuatan. Jakarta: EGC.
25