Pendahuluan Harmonisasi Safeguards

  • Upload
    arifian

  • View
    215

  • Download
    0

Embed Size (px)

DESCRIPTION

harmonisasi peraturan safeguards WTO

Citation preview

8

A. Judul Penelitian

HARMONISASI PERATURAN SAFEGUARD WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) TERHADAP PERATURAN DI INDONESIA SERTA IMPLIKASINYA BAGI PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERIB. Bidang Ilmu

Ilmu HukumC. Latar Belakang MasalahPerdagangan merupakan salah satu bentuk kegiatan guna mendapatkan atau memenuhi suatu kebutuhan. Saat ini perdagangan tidak lagi terjadi antara seseorang dengan orang lain ataupun seseorang dengan sebuah lembaga atau organisasi, tetapi telah meluas menjadi perdagangan antar negara yang kemudian disebut sebagai perdagangan internasional. Perdagangan internasional pada dewasa ini merupakan faktor yang sangat penting dalam hal meningkatkan kemajuan ekonomi negara-negara di dunia (Hatta, 2006:1).Peningkatan pertumbuhan perekonomian suatu negara berarti meningkatkan pula kesejahteraan masyarakat yang nantinya diharapkan pula berdampak pada perdagangan. Dampak yang terjadi bisa dilihat dari meningkatnya kesejahteraan rakyat yang berbanding lurus dengan naiknya daya beli masyarakat, dengan begitu harapannya permintaan terhadap produk nasional akan meningkat. Globalisasi sangat berperan dalam perkembangan perdagangan internasional, hal tersebut dapat terjadi dikarenakan adanya konektivitas perdagangan antara satu negara dengan negara lain yang ada di dunia, seperti yang dikatakan oleh Ronald A. Reis dan Peggy Kahn dalam jurnalnya Global Organization adalah:

Globalization, whether through finance, travel, communication, cultural penetration, or trade, is, in effect, all about connectivity: the closer intergration of the countries and peoples of the world. Although the phenomenon of globalization has been with us, to varying degrees, for thousand of years(Ronald A. Reis dan Peggy Kahn:2009).Perdagangan internasional mengalami perkembangan yang pesat dari waktu ke waktu. Dinamika perdagangan internasional diikuti dengan berbagai permasalahan yang kompleks sebagai konsekuensi dari suatu hubungan perdagangan yang wajar terjadi dalam dunia bisnis. Ciri khas perdagangan internasional adalah adanya hubungan dagang yang dilakukan antar lintas batas-batas negara yang dilakukan oleh para pelaku usaha dengan mengikuti suatu sistem tertentu dan spesifik. Perdagangan internasional tidak akan lepas dari eksistensi suatu sistem. Dalam perdagangan internasional, eksistensi suatu sistem merupakan patron yang membentuk dan mengarahkan kegiatan-kegiatan perdagangan ke dalam tujuan-tujuan tertentu yang diinginkan.Bertambah pesatnya kegiatan ekonomi dan perdagangan antar negara, telah menginisiasi beberapa negara untuk berkumpul dan membuat aturan-aturan hukum yang bersifat mengatur mengenai perdagangan internasional dan dapat diterima sebagai kesepakatan bersama. Aturan hukum dimaksudkan agar berfungsi sebagai acuan (guidance) yang harus ditaati dan diawasi dan berlaku secara tegas untuk mengurangi atau mengeliminasi penyimpangan-penyimpangan yang dapat dan akan terjadi dalam perdagangan internasional. Aturan-aturan hukum yang mengatur perdagangan internasional tersebut kemudian tertuang dalam sekumpulan peraturan internasional yang sangat kompleks dimana ketentuan-ketentuan pokoknya termuat dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang kemudian ditandatangani oleh beberapa negara-negara yang ada di dunia pada tahun 1947.

Disepakatinya GATT juga tidak terlepas dari banyaknya pertimbangan mengenai hubungan antar negara di bidang perekonomian dan perdagangan yang bertujuan untuk meningkatkan standar hidup, tebukanya lapangan pekerjaan dan meningkatnya penghasilan dan pemenuhan kebutuhan serta memperluas produksi serta pertukaran barang, yang mana memang menjadi tujuan utama dari perdagangan itu sendiri. Untuk mencapai tujuan tadi maka perlu adanya peraturan yang mengatur mengenai timbal balik dan saling menguntungkan untuk mengurangi tarif dan hambatan-hambatan perdagangan lain, serta menghilangkan diskriminasi dalam perdagangan internasional (Pembukaan GATT 1947). Pada intinya GATT bertujuan untuk menciptakan suatu lingkungan perdagangan yang aman dan proses liberalisasi perdagangan berlanjut yang mampu menciptakan investasi, lapangan kerja dan kegiatan perdagangan itu sendiri secara penuh (Hatta, 2006:4).Globalisasi ekonomi yang semakin berkembang oleh prinsip perdagangan bebas selanjutnya membawa pengaruh pada hukum setiap negara yang terlibat dalam globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas tersebut. Implikasi globalisasi ekonomi terhadap hukum tidak dapat dihindarkan lagi. Sebab globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi tersebut dalam arti subtansi berbagai undang-undang dan perjanjian melewati batas negara (Erman Rajagukguk: 2001). Perlu adanya pemahaman juga bahwa di setiap kegiatan perdagangan di dunia tidak ada yang cuma-cuma, jika pemerintah Indonesia menginginkan adanya perluasan pangsa pasar di dunia internasional maka pemerintah juga harus bersedia membuka diri bagi masuknya produk-produk yang berasal dari luar negeri, sehingga bisa dimungkinkan adanya lonjakan dari produk-produk sejenis dari luar yang bertebaran di pasar domestik. Article XIX General Agreement on Tariff and Trade (GATT) pada tahun 1947 mengatur ketentuan mengenai Emergency Action on Imports of Particular Products atau suatu aturan yang dapat digunakan oleh negara anggota yang berada dalam suatu keadaan darurat, yaitu suatu keadaan dimana impor atas suatu barang tertentu meningkat secara signifikan yang membawa dampak dapat menimbulkan kerugian atau injury terhadap industri di dalam negeri, maka negera anggota tersebut dibenarkan mengambil langkah untuk membatasi barang import tersebut sebagai upaya untuk meredam kerugian yang terjadi (H.S Kartadjoemena, 1997:155).

Dalam Uruguay Round Pada Multilateral Agreement on Trade in Goods ketentuan mengenai adanya Emergency Action on Imports of Particular Products mendapat pengaturan yang lebih mendalam lagi dalam suatu perjanjian mengenai tindakan pengamanan (Agreement on Safeguard Measure) yang merupakan suatu perjanjian yang telah ditandatangani oleh para menteri-menteri dalam sidang di Marrakesh pada tangga 15 april 1994 bersamaan dengan dibentuknya sebuah organisasi perdagangan dunia (World Trade Organization), mulai diberlakukan pada januari 1995. Indonesia menandatangani perjanjian tersebut dan meratifikasinya dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing the World Trade Organization. Dengan munculnya World Trade Organization (WTO), maka semua kesepakatan dan perjanjian dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1947 diatur kembali dalam WTO, dan memunculkan isu-isu baru yang sebelumnya tidak diatur dalam WTO pun kemudian muncul dalam perjanjian-perjanjian WTO, seperti Hak kekayaan intelektual, perdagangan jasa, dan aturan-aturan mengenai investasi. Indonesia meratifikasi Agreement On Establishing the World Trade Organization (WTO) pada tahun 1994 dengan mengeluarkan Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. Seperti yang tertera dalam poin e Undang-Undang No 7 Tahun 1994, yaitu

e. bahwa dalam Pertemuan Tingkat Menteri peserta Putaran Uruguay pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh, Maroko, Pemerintah Indonesia telah ikut serta menandatangani Agreement Establishing The World Trade Organization (persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) beserta seluruh persetujuan yang dijadikan Lampiran 1, 2 dan 3 sebagai bagian Persetujuan tersebut;Manfaat yang diharapkan dari integrasi perekonomian Indonesia ke ekonomi dunia melalui keikutsertaan dalam kesepakatan-kesepakatan WTO adalah terbukanya peluang pasar internasional yang lebih luas dan tersedianya kerangka perlindungan multiliteral yang lebih baik bagi kepentingan nasional, khususnya dalam menghadapi mitra dagang sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan umum bagian kedelapan dari UU No.7 Tahun 1994. Terkait dengan pengamanan kepentingan perdagangan luar negeri Indonesia, Pemerintah telah melakukan sejumlah implementasi ketentuan-ketentuan WTO dalam perundang-undangan nasional.Ratifikasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia atas Agreement Establishing The World Trade Organization, jika dilihat dari perspektif hukum merupakan sebuah keniscayaan sebagai negara berkembang yang mempunyai posisi lemah dalam percaturan perdagangan di dunia Internasional. Indonesia harus meletakan tumpuan perdagangannya dalam forum multilateral, yakni WTO sebagai wujud suatu kekuasaan internasional di bidang perdagangan antar negara. Harapannya adalah dapat ditegakkannya rule of law dalam masyarakat global. Dikarenakan pihak yang paling membutuhkan perlindungan hukum adalah pihak yang lemah. Dalam pada itu hukum tidak dapat terlepas dari kekuasaan dikaernakan agar selalu efektif, hukum memerlukan dukungan dari kekuasaan itu sendiri. Dalam perspektif internasional efektivitas hukum bergantung dukungan negara-negara besar yang notabane-nya memiliki kekuasaan. Lain pihak, negara-negara berkembang pun harus lebih gigih memperjuangkan posisi dan kepentingan-kepentingan agar hukum perdagangan internasional benar-benar dapat menjamin terjadinya keseimbangan dan keadilan antar negara kuat dan berkembang, atau pihak lemah dan pihak kuat. Namun, yang lebih penting lagi adalah cara mengaitkan strategi dan kebujakan pembangunan ekonomi domestik dengan langkah-langkah yang ditempuh di jalur internasional misalnya posisi yang dimainkan oleh pemerintah Indonesia semakin lemah dalam menghadapi hambatan dan mengupayakan daya saing nasional di perdagangan internasional (Syahmin AK. 2006:121)Dalam Agreement On Establishing the World Trade Organization (WTO), pemerintah diperbolehkan untuk mengambil tindakan perlindungan terhadap industri dalam negeri terhadap adanya lonjakan impor yang ditakutkan akan terjadinya kerugian (injury) dengan menerapkan tindakan pengamanan (Safeguard Measure) melalui peraturan nasional.

Dalam Article XIX GATT (Agreement on Safeguard) WTO memperbolehkan negara anggotanya untuk melakukan tindakan tersebut apabila adanya industri dalam negerinya mengalami kerugian serius atau ancaman akan adanya kerugian yang serius akibat adanya lonjakan impor untuk melakukan tindakan Safeguard. Namun, mengingat beratnya persyaratan yang harus dipenuhi untuk melakukan safeguard ini maka tindakan ini jarang dilakukan. Negara negara anggota WTO cenderung memilih melindungi industri dalam negerinya melaluli cara grey area measure yaitu dengan cara menggunakan perundingan bilateral di luar tata cara yang telah ditetapkan di GATT, dalam perundingan bilateral tersebut biasanya negara yang terancam akan adanya kerugian serius akibat adanya lonjakan impor meminta negara yang bersangkutan untuk mengurangi jumlah ekspornya secara sukarela (voluntary export restraints VER) atau menurut bussinessdictionary.com yang dimaksud dengan VER adalah A self imposedlimitationon theamountof aproductthat onecountryispermittedtoexportto another. Imposing a voluntary export restraint (VER) will often be anation'sofficialresponseto a request made by the country being exported to forprotectionfor itsdomesticbusinesses against such foreigncompetition. This is typically done to prevent the imposition oftradetariffs. Also calledexport restraint agreement (Readmore:http://www.businessdictionary.com/definition/voluntary-export-restraint-VER.html). Selain tindakan di atas dapat juga menggunakan cara lain yaitu melakukan persetujuan lain yang saling menguntungkan untuk berbagi lahan pasar atau yang disebut (orderly marketing arrangement OMA). Indonesia sebagai negara anggota WTO lebih memilih untuk melakukan tindakan VER atau meminta pengurangan ekpor kepada Negara yang bersangkutan daripada menggunakan instrument yang memang sudah diatur dalam WTO yaitu safeguard. Contohnya adalah ketika Indonesia meminta China mengurangi ekspor garmen, barang elektronik dan obat-obatan herbal dari China, dari yang sudah disepakati pada 2008 berkurang sebanyak 10 sampai 15 persen seperti yang tertulis dalam The Jakarta post pada tanggal 11 Februari 2010atau yang dapat diakses pada http://www.thejakartapost.com/news/2010/02/11/govt-asks-businesses-lobby-chinese-exporters.html. Padahal di indonesia sendiri sudah memiliki berbagai instrumen hukum mengenai perlindungan terhadap industri dalam negeri dari lonjakan impor.Setelah munculnya Undang-Undang nomor 7 Tahun 1994, pemerintah Indonesia juga turut memperhatikan masalah-masalah yang terkait dengan tindakan pengamanan (safeguard) sebagai upaya pemerintah untuk melindungi industry dalam negeri baik dari kerugian maupun ancaman akan adanya kerugian akibat adaanya lonjakan impor yang abnormal di masa yang akan mendatang.

Muncul beberapa produk hukum untuk tindakan pengamanan (Safeguard) dibuat dalam rangka mendukung kebijakan pemerintah dalam melindungi industri dalam negerinya. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang semula hanya mengatur mengenai Bea Masuk Anti-Dumping dan Bea Masuk Imbalan (subsidi), maka Undang-undang nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan memperluas tindakan pengamanan perdagangan dengan memasukan dua ketentuan baru dalam pasalnya, yaitu tentang Bea MasukTindakan Pengamanan dan Bea Masuk Pembalasan.

Selain itu muncul juga Keputusan Presiden (Keppres) nomor 84 Tahun 2002 Tentang Tindakan Pengamanan Industri dalam negeri dari akibat lonjakan impor sebagai konsekuensi atas diratifikasinya Agreement Estabilishing the World Trade Organization, khususnya yang berkaitan dengan Agreement on Safeguard. Melalui Keputusan Presiden ini pemerintah melalui kementrian perdagangan mencoba untuk merumuskan permasalahan tindakan safeguard secara terperici dan sekaligus penjabaran akan langkah-langkah yang solutif apabila terjadinya injury dalam industri dalam negeri.

Selain Keputusan Presiden di atas masih ada satu lagi instrument hukum masih ada Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Repubkik Indonesia Nomor 85/MPP/Kep/2/2003 tentang tata cara dan persyaratan permohonan penyelidikan atas pengamanan industry dalam negeri akibat lonjakan impor. Peraturan ini merupakan peraturan yang lahir dikarenakan amanat Keppres Nomor 84 Tahun 2002 Tentang pengamanan Industri Dalam Negeri dari lonjakan Impor yang ada dalam Pasal 4 ayat (3).

Dari kedua peraturan terakhir di atas maka terbentuklah suatu institusi pemerintah yang memang bertugas untuk menangani penyelidikan atas permohonan tindakan pengamanan (safeguard) terhadap produsen dalam negeri yang menderita kerugian serius dan/atau mengalami ancaman terjadinya kerugian serius, dari akibat melonjaknya impor barang sejenis atau barang yang secara langsung bersaing dengan barang hasil dari produsen dalam negeri. Institusi tersebut adalah Komite Pengamanan Perlindungan Indonesia (KPPI) yang didirikan pada tanggal 17 Februari 2003. Secara umum badan ini memang yang menjadi ujung tombak pemerintah indonesia dalam melakukan investigasi berkaitan dengan adanya permohonan untuk dikenakannya Safeguard terhadap industri dalam negeri. Komisi Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) memiliki visi yaitu menjadi instrumen perlindungan yang efektif bagi industri dalam negeri dan kenaikan volume barang impor yang merugikan. Dari pemaparan visi di atas untuk mewujudkannya institusi ini juga memiliki misi yang menjadi indikator keberhasilan institusi ini yaitu (http://kppi-isc.com/id/content/46/visi-dan-misi) : 1. Memulihkan industri dalam negeri dari kerugian yang diakibatkan oleh kenaikan volume barang impor.2. Memulihkan daya saing produksi dalam negeri di pasar domestik.3. Meningkatkan kualitas pelayanan terhadap tuntutan perlindungan dari kenaikan volume impor.Beranjak dari pemaparan problematika perdagangan internasional diatas, Peneliti hendak mengkaji lebih jauh mengenai kesesuaian peraturan yang ada dalam WTO dan di Indonesia, serta implikasi yang didapat dari aturan tersebut dalam suatu Penelitian hukum yang berjudul: SINKRONISASI PERATURAN SAFEGUARD DALAM WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) DALAM PERATURAN DI INDONESIA SERTA IMPLIKASINYA BAGI INDUSTRI DALAM NEGERI.

D. Perumusan MasalahAgar permasalahan yang hendak diteliti tidak mengalami perluasan konteks dan supaya penelitian yang dilaksanakan dapat lebih mendalam maka diperlukan adanya suatu pembatasan masalah. Pokok permasalahan yang hendak menjadi tujuan Peneliti yaitu terbatas pada masalah kesesuaian peraturan safeguard yang ada dalam WTO serta implikasinya bagi perlindungan industri dalam negeri. Berdasarkan pemaparan dalam latar belakang dan mengacu dari judul penelitian hukum, Peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut.1. Apakah aturan safeguard yang diterapkan di Indonesia berdasarkan aturan safeguard yang ditetapkan oleh WTO? 2. Apakah safeguard dapat memberikan perlindungan terhadap industri dalam negeri di Indonesia?