Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pulau Jawa yang terdiri dari beberapa provinsi, tentu memiliki
konsekuensi tersendiri akan lahirnya suatu kebudayaan yang memiliki
karakteristik yang unik dan khas. Hal ini lebih dikarenakan bahwa Pulau
Jawa sebagai salah satu pulau dengan kebudayaan lokal yang mana
memiliki pengaruh penting bagi masyarakat Jawa karena mayoritas
masyarakat Jawa memeluk agama Islam dengan demikian hubungan nilai-
nilai Islam dengan kebudayaan Jawa menjadi menarik karena keberadaan
Islam.
Budaya Jawa merupakan salah satu dari beragam macam budaya
yang berkembang di Indonesia yang kemudian dianggap layak dan
menarik untuk dijadikan sebagai suatu tema cerita dalam film. Budaya
Jawa dianggap sebagai salah satu contoh budaya yang menarik untuk di
audio visualkan yang kemudian dikembangkan dalam narasi cerita dengan
tema romantika, drama, persahabatan, horor, petualangan atau action tanpa
menghilangkan nilai-nilai budaya Jawa yang ada.
Contoh film yang sudah diangkat kelayar lebar yang memadukan
nilai budaya jawa seperti film horor Kuntilanak (2006), Sang Penari
(2011), dan yang difilmkan dengan apik memadukan nilai-nilai islam
dengan budaya adalah film Sang Pencerah (2010).
2
Perkembangan film di Indonesia saat ini begitu pesat dengan
menawarkan alur cerita yang semakin beragam pula. Budaya menjadi
suatu topik tersendiri yang kemudian diangkat oleh para sineas di
Indonesia untuk kemudian dikembangkan dalam alur cerita yang menarik.
Terlebih lagi di Indonesia memiliki beragam karakteristik budaya yang
menarik dan secara apik diaudiovisualkan dalam bentuk film yang
kemudian menjadi suatu suguhan cerita yang patut untuk dinikmati oleh
pecinta film.
Tanggapan yang positif terhadap film dengan tema dan berlatar
budaya ternyata tidak hanya berkembang dan menjadi garapan besar bagi
sineas di Indonesia saja melainkan sudah merambah ke Hollywood. Film
Hollywood terbaru besutan sutradara Conor Allyn yang dirilis tanggal 18
April 2013, Java Heat merupakan film yang menjadikan budaya terutama
budaya Jawa sebagai tema cerita. Java Heat disinyalir akan menjadi film
action dengan unsur budaya yang menarik dan patut untuk dinikmati
pecinta film di Indonesia pada khususnya dan diseluruh dunia pada
umumnya.
Film terbaru yang berjudul Java Heat merupakan film hasil
kerjasama antara sineas Indonesia dengan Amerika yang lokasi syutingnya
berada di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Imbas dari digarapan film
Hollywood di dua benua ini tidak hanya terletak pada pemainnya yang
juga berasal dari Indonesia seperti Ario Bayu, Atiqah Hasiholan, Rio
Dewanto, Tio Pakusadewo, Frans Tumbuan, dan Rudy Wowor dan yang
berasal dari tanah Hollywood sendiri seperti Mickey Rourke, Kellan Lutz,
3
Mike Luccock, Mike Duncan, Brent Duke tetapi juga berimbas pada
terasimilasinya budaya Jawa yang menjadi salah satu unsur cerita dalam
cerita ini dengan budaya Barat yang cenderung liberal dan non
responsibilites.
Film ini menceritakan setelah peristiwa bom bunuh diri di
Yogyakarta yang menewaskan putri Sultana (Atiqah Hasiholan), Letnan
Hashim (Ario Bayu) ditunjuk untuk mencari pelaku dari peristiwa tersebut
yang mengarah ke jaringan teroris. Jake (Kellan Lutz) dicurigai oleh
Hashim karena dia adalah orang terakhir yang bertemu dan berkomunikasi
dengan Sultana. Walau sempat diinterogasi, Jake tetap dicurigai oleh
Hashim dan Anton (Rio Dewanto) yang merasa dirinya mengetahui pelaku
dari peristiwa tragis tersebut.
Jake yang sebenarnya adalah mantan anggota Marinir Amerika
Serikat, mencoba untuk memburu buronan bernama Malik (Mickey
Rourke) yang diketahui sedang berada di wilayah Yogyakarta. Namun
perburuannya tersebut tidaklah mudah karena ia dicurigai oleh kepolisian
Yogyakarta di bawah pimpinan Letnan Hashim. Perlahan namun pasti,
kecurigaan Hashim terhadap Jake mulai sirna ketika ia diselamatkan
olehnya dari berondongan senjata anggota teroris Achmed (Mike
Muliardo).
Melihat Jake yang sering bersama dengan Hashim, membuat Malik
dan Achmed akhirnya bertindak lebih keras dengan cara melibatkan
kehidupan pribadi Letnan Hashim. Sejak saat itulah Hashim dan Jake
4
harus berkerjasama dengan baik untuk menangkap Malik, serta mencari
tahu apa motifnya melakukan teror di Yogyakarta (www.21cineplex.com
diakses pada tanggal 20 Juni 2013).
Hidup bermasyarakat memiliki budaya yang berbeda. Seringkali
manusia lupa bahwa hidup di wilayah yang memiliki ragam budaya yang
tidaklah sama. Sehingga membuat cara pandang terhadap budaya lain
seringkali salah atau hanya berdasarkan persepsi yang di dengar dari orang
lain. Hal inilah yang sering menghambat dalam berkomunikasi dengan
orang-orang yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda.
Penghambat komunikasi yang terjadi menyebabkan timbulnya
suatu persepsi atau anggapan yang salah yang kemudian lebih banyak
menjurus pada hal-hal yang bersifat negatif. Persepsi atau citra yang
disematkan kepada suatu hal tertentu lebih dikenal dengan stereotip.
Stereotip yang kemudian menciptakan suatu persepsi yang bersifat negatif
disebut juga dengan stereotip negatif.
Contoh stereotip yang bersifat negatif adalah ketika kita berbicara
dengan orang-orang Barat, kita sering kali menundukkan kepala dan
pandangan, sementara mereka memandang mata kita. Mereka menyangka,
orang-orang yang tidak memandang lawan bicara sebagai orang-orang
yang rendah diri, tidak jujur atau menyembunyikan sesuatu, padahal bagi
kita menundukkan kepala dan pandangan pada waktu berbicara apalagi
dengan orang yang lebih tua atau orang yang memiliki kedudukan
dianggap sebagai suatu tanda penghormatan kepada orang tersebut.
5
Film Java Heat yang menjadikan budaya Jawa sebagai latar dari
cerita terdapat berbagai macam stereotip yang kemudian muncul karena
adanya hal-hal yang tidak sesuai dengan budaya Jawa. Tentu saja stereotip
tersebut muncul karena adanya suatu perbenturan kebudayaan yang
terdapat dalam film Java Heat dimana dalam film ini budaya Barat juga
tampil menjadi bagian dari cerita.
Fenomena budaya yang terjadi tersebut kemudian di analisis dari
perspektif semiotik merupakan sistem tanda yang berkaitan satusama lain
yang bersifat konvensional untuk memperoleh makna yang terkandung
didalamnya. Semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan
manusia, yangmana tanda-tanda tersebut haruslah dimaknakan (Hoed,
2008:3).
Semiotika digunakan dalam film untuk menganalisis apakah dalam
film Java Heat sudah memiliki unsur-unsur atau nilai-nilai budaya Jawa
dalam alurnya. Unsur-unsur tersebut dapat diketahui dari tanda-tanda yang
dimunculkan dalam setiap adegan dalam film Java Heat. Ada empat hal
yang mesti diperhatikan dalam semiotik, yaitu jenis tanda (ikon dan
lambang), jenis sistem tanda (bahasa, musik atau gerakan tubuh), jenis
teks dan jenis konteks atau situasi yang mempengaruhi makna tanda
(kondisi psikologis, sosial, historis dan kultural).Kacamata semiotik
memungkinkan orang mengidentifikasi lebih terang gejala budaya dan
sosial lewat tanda-tanda kehidupan yang menyertainya. Sementara “tanda”
itu dipahami sebagai bentuk yang tercitrakan dalam kognisi manusia dan
makna yang dipahami manusia (Hoed, 2008:22 ).
6
Pada hakekatnya Kebudayaan Jawa adalah keseluruhan cara hidup,
cara berpikir dan pandangan hidup orang Jawa. Secara filosofis, dapat
digunakan sebagai petunjuk untuk mengetahui sifat dan karakter orang
Jawa. Satu aspek budaya Jawa yang potensial adalah toleransinya yang
amat besar terhadap hal-hal yang berbeda serta sifatnya yang sejuk yang
dilandasi oleh rasa asih ing sesami. Rasa asih ing sesami ini yang
kemudian diperlukan dalam mengembangkan kebudayaan (Sujamto,
1997:39).
Kedatangan bangsa sekaligus budaya Barat ke Indonesia (Jawa)
telah banyak mengubah situasi sosial dan budaya di dalam masyarakat
Jawa, sehingga masyarakat Jawa mengenal budaya Barat sebagai budaya
yang modern. Kolonialis Barat memandang bangsa Timur sebagai bangsa
yang perlu untuk dididik menjadi bangsa yang mengerti akan keadilan dan
kedisiplinan. Menurut Said (1996: 51), masyarakat Timur adalah
masyarakat yang irasional dan kekanak-kanakan, yang berbeda dengan
masyarakat Barat yang rasional, berbudi luhur, dan dewasa. Dalam
pandangan Barat, bangsa Barat merupakan ras yang lebih unggul daripada
bangsa Timur (Said, 1996: 9).Kemudian (Said, 1996: 7) menyebabkan
ketetapan Barat menjalin hubungan dengan Timur tidak terlepas dari
hubungan kekuatan, dominasi, dan hubungan secara hegemoni yang
kompleks (Suratno, 2013: 189).
Keragaman budaya dalam film Java Heat menjadi perhatian
tersendiri bagi sutradara, dimana dalam film ini menyisipkan banyak hal
menarik dalam beberapa dialog dan adegan, mulai dari nasi goreng khas
7
Indonesia yang enak namun penuh lemak trans, burung langka
cendrawasih, sindiran bahwa orang barat lebih banyak ngomong dari pada
mendengar, stereotip pemikiran orang barat mengenai keragaman agama
dan Islam di Indonesia, dan bagaimana orang Indonesia memanggil "Mas"
satu sama lain.
Film Java Heat seakan menjadi perwujudan kolaborasi apik antara
budaya Barat dan Timur yang mencoba memberikan sudut pandang
berbeda tentang Indonesia. Sang sutradara Conor Allyn ingin memberikan
gambaran kepada industri Hollywood kalau Islam di Indonesia tidak
seperti yang mereka pikirkan, lewat film inilah ia mencoba memberikan
fakta-fakta menarik tentang kebudayaan Jawa yang lembut dan
keharmonisan antara umat beragama. Hal itu diketahui telah dirasakan
langsung oleh Conor yang sudah berpengalaman menggarap film trilogi
Merah Putih dan sudah tinggal di Indonesia sekitar 4 tahun
(www.21cineplex.com diakses pada tanggal 20 Juni 2013).
Hal yang menarik lainnya bagi peneliti dalam film ini, yaitu
mengenai budaya, antara budaya Jawa (Indonesia) dan budaya Barat
(Amerika). Dimana seorang sutradara terlihat ingin memadukan antara
keduanya. Namun justru di dalamnya, budaya Jawa tidak begitu terlihat
dan kebanyakan justru budaya barat dominan. Ada scene dimana
bersetting tempat agak kumuh seperti gang kecil, tapi ada sebuah diskotik
yang begitu mewah, di dalamnya terdapat jual beli wanita. Itu sama sekali
tidak menggambarkan budaya Jawa. Kemudian pemeran Sultan yang
diperankan oleh Rudy Wowor dan Putri Kraton yang diperankan oleh
8
Atiqah Hasiholan sama sekali tidak terlihat seperti orang Jawa. Lalu ada
adegan dimana Tio Pakusadewo yang ceritanya seorang bangsawan Jawa
mencabut keris, terlihat keris dicabut memakai tangan kiri dengan posisi
yang tidak pas. Juga mengenai posisi keris, posisi keris disandang didepan
itu sangat tidak biasa. Dalam Budaya Jawa, menempatkan keris di depan
adalah saat perang.
Budaya Jawa menjadi menarik untuk diteliti oleh peneliti, karena
Budaya Jawa merupakan salah satu budaya yang memiliki tingkat
akulturasi yang cukup tinggi dengan budaya asing. Dalam Film ini banyak
ditemui adegan-adegan dan setting tempat diletakkan pada situasi yang
tidak semestinya ada dalam Budaya Jawa. Inilah yang kemudian menjadi
titik sentral yang menarik perhatian peneliti untuk meneliti lebih dalam
mengenai bagaimana seharusnya Budaya Jawa diinterpretasikan dalam
film agar nilai-nilai Budaya Jawa tetap utuh dan tidak terakulturasi dengan
budaya lain.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat
ditarik suatu rumusan masalah yaitu “Bagaimana stereotip budaya Jawa
dalam film Hollywood?”
C. Tujuan Penelitian
Terkait dengan rumusan masalah yang sudah ditetapkan diatas,
maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut :
9
1. Untuk mengetahui bagaimana stereotip budaya Jawa dalam film
Hollywood.
2. Untuk mengetahui stereotip yang terkandung dalam budaya Jawa pada
film Hollywood.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Sebagai manifestasi atau penerapan teori yang telah diperoleh selama
penulis mengikuti kuliah khususnya yang menyangkut tentang teori
stereotip, semiotika dan filmologi.
2. Manfaat Praktis
Dengan penelitian ini diharapkan bisa menjadi kerangka acuan studi
pada berbagai studi film yang selama ini telah melembaga baik secara
formal maupun non formal. Selain itu, diharapkan pula dapat
menambah bahan pelengkap wawasan tentang sisi dunia perfilman
yang selama ini hanya berkisar pada sisi teknis (proses pembuatan) dan
bisnis (mengejar keuntungan) semata.
E. Kerangka Teori
1. Stereotip
Hidup bermasyarakat seringkali manusia bertemu dan
berinteraksi dengan manusia lain yang mana memiliki latar belakang
serta budaya yang berbeda. Interaksi tersebut kadang bisa di terima
10
dan sebaliknya tidak dapat di terima. Penerimaan interaksi tersebut
bisa disebabkan karena adanya kecocokan dengan latar belakang
maupun budaya yang cenderung sama. Sedangkan penolakan terhadap
interaksi tersebut dapat ditimbulkan karena adanya latar belakang
yang berbeda serta budaya yang bertolak belakang.
Persamaan maupun perbedaan latar belakang dan budaya
tersebut seringkali diartikan sebagai suatu indikasi adanya
penggambaran tentang orang atau sekelompok orang itu sendiri.
Manusia memiliki persepsi dan citra atau anggapan yang kemudian di
sematkan kepada orang atau sekelompok orang tersebut. Persepsi dan
citra atau anggapan tersebut seringkali dikenal sebagai stereotip.
Stereotip adalah citra yang dimiliki sekelompok orang tentang sekelompok orang lainnya. Berbicara dengan seorang politisi, kebebasan mengungkapkan apa-apa yang sudah terhambat sedikit, takut salah omong, kecuali stereotip jabatan, seperti polisi, tentara, guru, sopir truk, wartawan, seniman, ada juga stereotip bangsa dan suku bangsa. Biasanya, dibutuhkan perkenalan yang lebih akrab untuk dapat berkomunikasi dengan orang sebagai pribadi sebagaimana adanya sebagai perorangan, bukan dalam stereotip (Lunandi, 1991:49).
Stereotip dapat pula disebut sebagai suatu keyakinan bahwa
semua anggota kelompok sosial tertentu memiliki karakteristik atau
traits yang sama. Stereotip adalah kerangka berpikir kognitif yang
sangat mempengaruhi pemrosesan informasi sosial yang datang
(Baron& Parke, 2002:230).
Menurut Judd dan Ryan, stereotip merupakan kerangka
berpikir kognitifyang terdiri dari pengetahuan dan keyakinan tentang
kelompok sosial tertentu dan traits tertentu yang mungkin dimilikioleh
11
orang yang menjadi anggota kelompok-kelompok ini. Dengan kata
lain, stereotip menyatakan bahwa setiap orang yang menjadi anggota
kelompok sosial tertentu memiliki trait-trait tertentu, setidaknya pada
derajat tertentu. Ketika sebuah stereotip di aktifkan, trait-trait inilah
yang terpikirkan (Baron& Parke, 2002:230).
Berdasarkan pada pengertian stereotip tersebut dapat diartikan
pula bahwa stereotip terjadi karena adanya komunikasi atau pertukaran
budaya satu dengan budaya lain. Hasil pertemuan lintas budaya
tersebut kemudian bisa bersifat positif dan bersifat negatif. Bersifat
positif apabila setiap pertemuan menyediakan kemungkinan untuk
meningkatkan pemahaman dan kesadaran budaya. Sedangkan sisi
negatifnya, pertemuan itu bisa memperteguh stereotip-stereotip budaya
yang negatif dan bisa menimbulkan pengalaman gegar budaya
(Mulyana, 2009:184).
Stereotip bersifat negatif ini juga dianggap sebagai suatu
ejekan. Menurut Mayor Polak, stereotip juga merupakan gambaran-
gambaran atau angan-angan atau tanggapan terhadap individu
kelompok yang dikenai prasangka. Individu yang stereotip terhadap
suatu golongan maka sikap stereotip ini sukar berubah. Meskipun
dikemudian hari apa yang menjadi stereotip tersebut berbeda dengan
kenyataan (Ahmadi, 1999:223).
Pendapat serupa juga dijelaskan oleh Rakhmat (1999 : 92),
dimana stereotip dapat juga menjelaskan terjadinya primacy effect dan
12
halo effect.Primacy effect secara sederhana menunjukkan bahwa kesan
pertama amat menentukan kesan-kesan selanjutnya, karena kesan
tersebutlah yang kemudian menentukan kategori kita terhadap
seseorang. Begitu pula halo effect, personal stimuli yang sudah kita
senangi telah mempunyai kategori tertentu yang positif, dan pada
kategori tersebut sudah disimpan semua hal-hal yang bersifat baik.
Menurut psikologi kognitif, pengalaman-pengalaman baru akan
dimasukkan pada “laci” memori kategori berdasarkan kesamannya
dengan pengalaman masa lalu. Semua sifat yang ada pada kategori
pengalaman tersebut akan dibenturkan dengan pengalaman baru.
Dengan cara inilah orang memperoleh informasi tambahan dengan
segera, sehingga membantu dalam mengambil keputusan yang cepat
atau dalam meramalkan suatu peristiwa (Rakhmat, 1999:92).
Sebagai contoh, ketika berjumpa dengan orang asing yang
dikategorikan sebagai orang Barat maka akan muncul kesan bahwa
orang asing tersebut merupakan orang yang tepat waktu, berbicara
terus terang memiliki keterampilan teknologi yang baik. Kesan
tersebut tentu saja muncul karena sebelumnya sudah tersimpan dalam
memori bagaimana kategori dan sifat dari orang Barat.
Stereotip-stereotip juga dapat kita temukan dalam lingkup
nasional. Di negara kita misalnya terdapat stereotip-stereotip
antarsuku. Tidak jarang kita mendengar bahwa orang Sunda suka basa-
basi, lelakinya tukang kawin, wanitanya pesolek, orang Padang pelit,
13
orang Jawa penganut aliran kepercayaan, orang Batak kasar dan
sebagainya.
Stereotip dalam komunikasi antarmanusia pada umumnya akan
menghambat keefektifan komunikasi, bahkan pada gilirannya akan
menghambat integritas manusia yang sudah pasti harus dilakukannya
lewat komunikasi, baik komunikasi verbal ataupun komunikasi
bermedia (massa). Dengan demikian, keberadaan stereotip-stereotip
antarsuku di negara kita pun dapat pula menghambat integrasi suku-
suku bangsa tersebut (Mulyana, 2009:236).
Parahnya lagi stereotip dapat kemudian menimbulkan self
fulfiling prophecy. Apa yang kita persepsi sangat dipengaruhi oleh apa
yang kita harapkan. Bila kita mengharapkan orang-orang lain untuk
berperilaku tertentu, kita dapat mengkomunikasikan pengharapan kita
kepada mereka dengan cara-cara yang subtil, dan karena itu akan
menambah kemungkinan bahwa mereka pun akan berperilaku
sebagaimana kita harapkan (Mulyana, 2009:237).
Walaupun lebih cenderung negatif, stereotip kadangkala
memiliki derajat kebenaran yang cukup tinggi, namun sering tidak
berdasar sama sekali. Mendasarkan pada stereotip bisa menyesatkan.
Lagi pula stereotip biasanya muncul pada orang-orang yang tidak
mengenal sungguh-sungguh orang/kelompok lain. Apabila mengenal
dan menjadi akrab dengan etnis bersangkutan maka stereotip tehadap
orang/kelompok itu biasanya akan menghilang. Hal tersebut
14
dikarenakan stereotip mempengaruhi apa yang di rasakan dan di ingat
berkenaan dengan tindakan orang-orang dari kelompok lain. Stereotip
juga membentuk penyederhanaan gambaran secara berlebihan pada
anggota kelompok lain. Individu cenderung untuk begitu saja
menyamakan perilaku individu-individu kelompok lain sebagai tipikal
sama. Selain itu, stereotip juga dapat menimbulkan
pengkambinghitaman.
Stereotip dapat membuat informasi yang diterima tidak akurat.
Pada umumnya, stereotip bersifat negatif. Stereotip tidak berbahaya
sejauh hanya disimpan dalam pemikiran saja, namun akan bahaya bila
diaktifkan dalam hubungan manusia. Stereotip dapat menghambat atau
mengganggu komunikasi itu sendiri.
Konteks komunikasi lintas budaya dalam melakukan persepsi
stereotip terhadap orang padang menyatakan bahwa orang padang itu
pelit. Lewat stereotip itu, memperlakukan semua orang padang sebagai
orang yang pelit tanpa memandang pribadi atau keunikan masing-
masing individu. Orang padang yang di perlakukan sebagai orang yang
pelit mungkin akan tersinggung dan memungkinkan munculnya
konflik. Atau misal stereotip terhadap orang batak bahwa mereka itu
kasar. Dengan adanya persepsi itu, yang tidak suka terhadap orang
yang kasar selalu berusaha menghindari komunikasi dengan orang
batak sehingga komunikasi dengan orang batak tidak dapat
berlangsung lancar dan efektif.
15
Stereotip kemudian menjadi acuan bagi peneliti karena dalam
film Java Heat sutradara mencoba untuk memadukan antara budaya
barat dengan budaya Jawa. Padahal, budaya Barat (Amerika) dengan
budaya Jawa (Indonesia) merupakan dua hal yang berbeda. Dalam
penelitian ini stereotip digunakan untuk mengidentifikasi hal-hal yang
menjadi dasar pemikiran tentang budaya Jawa menurut perspektif
budaya Barat dalam film Java Heat.
2. Nilai-nilai Kebudayaan Jawa
Budaya tidak pernah lepas dari identitas suatu bangsa. Bisa jadi
budaya menjadi suatu paramater bagi perkembangan gaya hidup dan
kebiasaan bagi suatu golongan tertentu dalam lingkup golongan
budaya. Budaya menjadi suatu ciri khas yang kemudian akan
membedakan antar golongan satu dengan golongan yang lainnya.
Keragamaan budaya ada karena perbedaan tersebut kemudian menjadi
suatu identitas yang sulit dipisahkan dan ditemukan dalam kebudayaan
lainnya.
Budaya merupakan suatu konsep yang membangkitkan minat.
Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan,
pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna hirarki, agama, waktu,
peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, obyek-obyek materi
dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke
generasi melalui usaha individu dan kelompok (Mulyana, 2009 : 18).
16
Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar
berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut
menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik
komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan
politik, dan teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya
(Mulyana, 2009:18).
Sedangkan menurut beberapa ahli (Suseno, 1984:11-21),
kebudayaan itu mempunyai beberapa unsur atau aspek yaitu :
1. Mitos dan religi
Sebagaian besar masyarakat Jawa dianggap sebagai Jawa Kejawen.
Kebanyakan dari masyarakat Jawa tidak menjalankan kewajiban-
kewajiban agama islam, mereka tidak berpikir untuk mengatur
hidup mereka menurut aturan-aturan Al-Quran. Dasar pandangan
mereka adalah pendapat bahwa tatanan alam dan masyarakat sudah
ditentukan dalam segala seginya. Keagamaan orang Jawa Kejawen
selanjutnya ditentukan oleh kepercayaan pada berbagai macam roh
yang tak kelihatan, yang menimbulkan kecelakaan dan penyakit
apabila mereka dibuat marah atau kita kurang hari-hati. Orang bisa
melindungi diri dengan sekali-kali memberi sesajen yang terdiri
dari nasi dan makanan lain, daun-daun bunga dan kemenyan, dan
dengan meminta bantuan dukun.
17
2. Bahasa
Semula di Jawa dipergunakan empat bahasa yang berbeda. Bahasa
Melayu untuk penduduk asli Jakarta, bahasa Sunda untuk
penduduk Jawa Barat, bahasa Madura untuk penduduk Jawa Timur
bagian utara dan timur, dan bahasa Jawa. Bahasa Jawa dalam arti
yang sebenarnya dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Yang
disebut orang Jawa adalah orang yang bahasa ibunya adalah bahasa
Jawa yang sebenarnya itu.
3. Seni
Kesenian masyarakat Jawa dipengaruhi oleh tatanan atau golongan
sosial masyarakat. Selain itu perkembangan seni juga dipengaruhi
dari penyebaran agama Islam di Jawa. Secara umum kesenian Jawa
yang memiliki peran penting dalam penyebaran agama Islam
antara lain, wayang, lagu-lagu islam, seni batik, seni tari, gamelan
dan seni kaligrafi. Adapun pusat kesenian Jawa terletak di
Yogyakarta dan Surakarta.
4. Sejarah
Sejarah di Jawa ditandai dengan munculnya Kerajaan-kerajaan di
Jawa baik Kerajaan Hindu, Kerajaan Budha, maupun Kerajaan
Islam. Masing-masing zaman kerajaan tersebut memiliki corak dan
ragam tersendiri yang kemudian membentuk kepribadian
kebudayaan maupun keagamaan bagi masyarakat Jawa. Jadi
18
sejarah Jawa dapat digambarkan dari nilai-nilai historis kerajaan
maupun masyarakatnya dan nilai-nilai geografisnya.
5. Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan di Jawa dipengaruhi oleh tingkatan status sosial
yang terdapat di Jawa. Selain itu ilmu pengetahuan yang terdapat
di Jawa masih dilandasi dengan unsur religius dan cenderung non
barat. Orang Jawa dapat dibedakan menjadi tiga golongan sosial :
a. Wong cilik (Orang kecil) yang terdiri dari sebagian besar masa petani dan mereka yang berpendapatan rendah dikota. Umumya orang kecil ini memiliki tingkat pendidikan yang rendah terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.
b. Kaum priyayi termasuk diantaranya kaum pegawai dan orang-orang intelektual. Kaum ini umumnya memiliki perhatian yang tinggi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.
c. Kaum ningrat, merupakan kaum yang memiliki prestise yang cukup tinggi, namun secara gaya hidup dan pandangan dunia kaum ini tidak begitu berbeda dari kaum priyayi yang memiliki perhatian tinggi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.
6. Sistem mata pencaharian hidup
Sistem mata pencaharian hidup orang Jawa juga ditentukan dari
status sosial masyarakat mereka. Kebanyakan orang Jawa yang
dalam status sosial merupakan wong cilik hidup sebagai petani atau
buruh tani. Sebagian besar Pulau Jawa bersifat agraris,
penduduknya masih hidup di desa-desa. Selain itu bagi kaum
priyayi mereka bekerja sebagai pegawai maupun guru.
7. Sistem teknologi dan peralatan.
Sistem teknologi dan peralatan orang Jawa masih dikatakan belum
canggih. Kebanyakan orang Jawa masih menggunaka teknologi
yang bersifat tradisional. Hal itu disebabkan karena belum adanya
19
teknologi yang berkembang dalam masyarakat Jawa. Sebagai
contoh dalam hal bercocok tanam, masyarakat Jawa lebih
mengandalkan tenaga manusia dan tenaga ternak untuk melakukan
kegiatan pertanian.
Sebagai suatu identitas dalam masyarakat suatu bangsa
tentunya budaya menjadi suatu hal yang sangat erat dengan
masyarakat dan tidak dapat dipisahkan dalam kelompok masyarakat
tersebut. Keterikatan masyarakat dengan budaya menjadi suatu
representatif dari nilai-nilai budaya yang kemudian berkembang dalam
masyarakat.
Budaya Jawa tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat Jawa
yang bersumber dari budaya keraton atau kerajaan Yogyakarta
Hadiningrat maupun Surakarta Hadiningrat. Dapat dikatakan bahwa
Yogya dan Surakarta mewakili masyarakat Jawa dengan memiliki
sikap dan ciri-ciri tersendiri. Ciri tersebut menunjukkan sikap
masyarakat Jawa adalah lamban dalam arti orang Jawa tidak menyukai
serba tergesa-gesa dalam melaksanakan pekerjaan (Bratawijaya,
1997:75).
Selain itu masyarakat Jawa juga cenderung melakukan
pekerjaan dengan aturan atau ketentuan yang berlaku yang lebih
dikenal dengan istilah alon-alon waton kelakon. Konsep alon-alon
waton kelakon merupakan sikap masyarakat Jawa yang mengutamakan
20
keselarasan, keserasian, dan keharmonisan seperti bunyi gending yang
diiringi dengan instrumen gamelan Jawa (Bratawijaya, 1997:75).
Budaya Jawa menjadi salah satu jawaban dari berkembangnya
nilai-nilai kebudayaan Jawa yang merupakan hasil dari suatu dinamika
dalam masyarakat. Nilai-nilai budaya sifat-sifat (hal-hal) yang
kemudian menjadi penting atau berguna yang terkandung dalam
Kebudayaan Jawa.
Budaya Jawa telah mengakar beratus-ratus tahun dan telah
mendarah daging bagi masyarakat Jawa. Sikap masyarakat Jawa
memiliki identitas tersendiri yang dilandasi dengan nasihat-nasihat dari
nenek moyang sampai turun temurun (Bratawijaya, 1997:75).
Kebudayaan Jawa termasuk salah satu kebudayaan daerah yang
sangat intensif berinteraksi dengan kebudayaan besar dunia, baik yang
berasal dari dunia “Barat” maupun dari dunia “Timur”. Salah satu
kekuatan dari kebudayaan Jawa ini adalah kemampuannya untuk
menyerap dan mengintegrasikan semua pengaruh yang datang itu,
dengan unsur-unsur “autochton” dari dirinya sendiri. Dari setiap unsur
yang datang tersebut, kaum intelektual tradisional Jawa mampu
mengambil unsur-unsur yang diperlakukannya dan
menjawakannya(Sujamto, 1997 : 40).
Oleh karena budaya memberi identitas kepada sekelompok
orang bagaimana kita dapat mengidentifikasi aspek-aspek budaya yang
21
menjadikan sekelompok orang yang sangat berbeda. Salah satu
caranya adalah dengan menelaah kelompok dan aspek-aspeknya.
Budaya Jawa menarik untuk diteliti karena budaya Jawa
merupakan salah satu budaya yang memiliki tingkat akulturasi tinggi.
Dalam film Java Heat, budaya Jawa digunakan sebagai latar belakang
cerita dengan memadukan budaya Barat. Akan tetapi kolaborasi antara
budaya Barat dengan budaya Jawa tidak ditampilkan secara apik.
Karena nilai-nilai kebudayaan Jawa yang sebenarnya memiliki nilai
penting yang tidak dapat dihilangkan tidak dimunculkan dalam Film
Java Heat.
3. Film sebagai Alat Mengembangkan Kebudayaan
Perkembangan teknologi yang semakin maju, menjadikan
setiap orang akan dengan mudah mendapatkan sebuah informasi dari
manapun dan kapanpun. Siapapun akan dengan mudah mendapatkan
pengetahuan, hiburan dan pendidikan melalui media. Dan saat ini salah
satu media yang digunakan dalam mendapatkan informasi baik berupa
hiburan maupun pendidkan adalah media film. Film adalah salah satu
media massa yang ampuh, bukan hanya untuk hiburan tapi juga untuk
pendidikan (Effendy, 1986:220).
Film juga dapat dikatakan sebagai bentuk kehidupan sosial
karena film mencoba mengangkat suatu fenomena dalam kehidupan
sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Film berperan sebagai sarana
baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang sudah menjadi
22
kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama,
lawak dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum ( Mc Quail,
1996:13).
Menurut Wisnoe Wardhana, film tergolong seni visual auditif motorik yang kekinian. Film yang kekinian cenderung sebagai pemuja kebebasan perkembangan yang kreatif. Film diharapkan dapat memiliki kemampuan untuk mengemban tugas transformasi nilai-nilai budaya tradisional. Dan ini perlu rambu-rambu pelaksana, pengujian dan pengkajian agar tdak terjadi penyimpangan. Suatu tantangan jaman yang hanya dapat dijalankan dengan baik lewat landasan kebaktian dan entusiasme partisipasi pembangunan dunia baru, sesuai falsafah bangsa dan negara pancasila. Pertunjukan film adalah pertunjukan yang sangat komunikatif dan efektif dalam menyampaikan pesan-pesan. Sebagai puncak seni budaya masa kini menyandang nilai-nilai sifat universal yang dalam kesempurnaan garapan dapat memancarkan getaran nilai sakralitas(Soedarsono, 1986:117).
Menurut Wisnoe Wardhana, nilai budaya tradisional tercermin
pada nilai-nilai seni budaya tradisional, yang merupakan totalitas
kesenian masa lalu. Nilai budaya tersebut sudah mantap membudaya
dan memasyarakat, sebagai kristalisasi nilai-nilai keindahan dan
keluhuran serta kegunaan, yang telah berlaku sepanjang kurun waktu
lama terlampaui, teruji dan terkaji lewat penalaran konvergen dengan
pengarahan keahlian menyeluruh (mumpuni) yang merupakan konsep
pendidikannya menuju prestasi nilai puncak sakralitas yang
manifestasinya terwakili oleh seni peran (Soedarsono, 1986:118).
Menurut Wisnoe Wardhana, melandas atas dasar data-data
kekayaan seni budaya tradisional beserta tantangannya masa kini
dengan memperhitungkan pula kemampuan kesanggupan dan daya
transformasi perfilman studi ini dapatlah kiranya mengemukakan teori
mengenai faktor-faktor yang berpengaruh langsung terhadap
23
transformasi nilai-nilai budaya tradisional lewat film (Soedarsono,
1986:142-143) :
1. Sikap meliputi entusiasme dedikasi kemantapan dan keberanian melaksanakan transformasi
2. Kejelian menemukan nilai-nilai penting
3. Pembiayaan yang konsekuen
4. Fasilitas yang memadai mengenai penggunaan bangunan-bangunan bersejarah dan lain-lain
5. Pemain-pemain watak yang tepat bagi keperananan
6. Crew film yang tampil dan menyenangi misinya
7. Momentum yang sesuai dengan iklan pemikiran dan situasi
8. Dukungan politik yang membawakan kecocokan
9. Selera dan tingkat apresiasi penonton
10. Sutradara yang ulung dan ulut.
Film selain digunakan sebagai media hiburan, media
pendidikan, juga menjadi salah satu alat untuk mengembangkan
kebudayaan. Saat ini film menjadi semakin populer karena film
digunakan untuk mengembangkan budaya. Proses mengembangkan
kebudayaan dengan menggunakan media film dianggap sebagai suatu
media yang paling tepat sasaran karena saat ini film tidak lagi sebagai
pelengkap kebutuhan manusia saja tetapi film seakan-akan menjadi
kebutuhan yang bersifat primer untuk manusia. Karena pada hakikatnya
film merupakan media penyampaian pesan baik yang berupa
pengetahuan maupun yang bersifat hiburan.
24
4. Postkolonialisme Dalam Masyarakat Jawa
Indonesia sebagai negara yang merupakan bekas jajahan dari
bangsa Barat atau Eropa yaitu Bangsa Belanda tentu memiliki sejarah
dan cerita tentang masa penjajahan selama dijajah kurang lebih 350
tahun. Lamanya waktu penjajahan Bangsa Barat terhadap Indonesia
khususnya masyarakat Jawa kemudian memunculkan interaksi yang
tidak setara. Interaksi yang tidak setara tersebut digambarkan oleh
adanya startifikasi sosial dimana bangsa Indonesia berada pada posisi
inferior di hadapan bangsa penjajah dan bangsa Barat berada pada
status sosial penguasa.
Said (1996:3) mengatakan bahwa masyarakat Barat memandang
masyarakat Timur sebagai sosok the orient. Sementara itu, masyarakat
Barat memandang dirinya sebagai sosok the Occident. Dengan kata
lain, masyarakat Barat ada di posisi superior sedangkan masyarakat
Timur di posisi inferior. Sementara Faruk (1998:2) menyatakan bahwa
penjajah menempatkan diri sebagai subjek dengan arogansi dan
superioritasnya di hadapan masyarakat pribumi.
Orientalisme berasal dari kata orient yang merupakan bahasa
Perancis yang secara harfiah bermakna : Timur dan secara geografis
bermakna : dunia belahan Timur dan secara etnologis bermakna :
bangsa-bangsa di Timur (Sou’yb, 1985 : 1).
25
Orientalisme disini merupakan suatu paham atau aliran yang
berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa
di Timur serta lingkungannya.
Pada waktu penjajahan Belanda, terjadi perubahan cara pandang
penguasa kolonial dalam penetapan status sosial pada masyarakat
jajahan. Pada tahun 1850, pemerintah Belanda menetapkan stratifikasi
sosial penduduk Hindia Belanda berdasarkan politik, ekonomi, dan
sosial secara berjenjang. Yaitu (a) bangsa Belanda dan Indonesia, (b)
bangs Timur Asing, misalnya bangsa Cina dan Arab, dan (c)
masyarakat pribumi. Eksistensi penentuan status stratifikasi tersebut
tercermin dalam karya-karya sastra Hindia Belanda, yakni karya sastra
berbahasa Belanda yang ditulis oleh orang Belanda, Indonesia, maupun
pribumi yang berbicara tentang masyarakat jajahan (Suratno, 2013:2).
Kebudayaan startifikasi Jawa tradisional yang terbentuk adalah
kebudayaan feodal, seperti pengagungan dan orientasi terhadap status
sosial dan simbolisasi golongan priyayi pada rakyat kecil. Dalam sistem
stratifikasi kolonialisme, masyarakat pribumi memiliki posisi lebih
rendah, baik dibandingkan dengan orang-orang Belanda (orang Eropa)
maupun bangsa Timur asing. Dalam kaitan ini, sudah barang tentu
terjadi idealisasi pada kelompok berstatus sosial bawah (pribumi)
terhadap golongan yang berstatus sosial yang lebih tinggi yang muncul
karena lahirnya penetapan status sosial baru sebagai akibat dari
kebijakan Belanda.
26
Menurut Said, penjajahan Belanda (Barat) terhadap Indonesia
(Timur) tidak hanya terjadi dalam bidang material (ekonomi dan
politik), melainkan juga berupa penjajahan budaya yang tampak dalam
representasi dan pendefinisian Timur sebagai “yang lain” dari Barat.
Hubungan itu merupakan bentuk orientalisme yang merupakan gaya
Barat dalam mendominasi, memahami, menata dan menguasai Timur
(Suratno, 2013:11).
Secara praktis postkolonialisme berada dalam dua tataran, yakni
(Suratno, 2013:11-12) :
a. Upaya untuk menjelaskan postkolonialisme yang melekat pada teks-teks tertentu.
b. Upaya guna menyingkap dan membongkar (dekonstruksi) kekuasaan kolonialisme yang teraktualisasi dalam wacana sastra.
Cara pandang tersebut, antara lain, diimplementasikan dalam
bentuk wacana sastra sebagai teks estetik sehingga tidak dapat
dipungkiri bahwa wacana sastra pada masa kolonialisme selalu
dikonstruksi oleh ideologi.
Orientasi pada seni pertunjukan Barat telah muncul
setidaknya, pada tahun 1920-an. Waktu itu pribumi telah memiliki
kebiasaan menonton bioskop atau film (dalam bahasa Jawa disebutnya
gambar idup atau gambar hidup, gambar sorot atau layar sorot, bioskop
atau film. Pertunjukan Barat lainnya yang diminati oleh pribumi adalah
komidi maupun sirkus yang sering diadakan pada acara pasar malam.
Biasanya dalam penyelenggaraan pasar malam, selain ditampilkan
27
pertunjukan modern juga ditampilkan beberapa kesenian Jawa
tradisional (Kartodirjo dkk, 1987:109).
Kolonialisme tidak jarang menampakkan diri sebagai kekuatan
yang mengubah kebudayaan secara drastis. Penjajahan dan penundukan
suatu wilayah tertentu tidak hanya pengambil alihan atau
mempropagandakan sistem ekonomi, pemerintahan, wilayah, sosial
tetapi juga budayanya. Propaganda yang disebarkan oleh selama
kolonialisme tercermin dari adanya politik etis yang salah satu
strateginya bersifat asosiatif. Dalam hal ini Belanda berusaha untuk
menghilangkan jurang pemisah antara bangsa penjajah (Barat) dan
bangsa yang dijajah (Indonesia) dengan cara melenyapkan kebudayaan
bangsa yang dijajah dan menggantinya dengan kebudayaan bangsa
penjajah.
Pasca kolonialisme Bangsa Barat terhadap Indonesia
khususnya masyarakat Jawa kemudian lebih dikenal postkolonialisme
kemudian melahirkan akulturasi budaya yang lebih banyak dipengaruhi
oleh budaya Barat sebagai imbas dari lamanya kolonialisme yang
terjadi di Indonesia. Penelitian ini kemudian ingin mengetahui
bagaimana imbas akulturasi budaya Barat yang terjadi dalam film Java
Heat.
28
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan semiotika.Menurut
Hamad, semiotika untuk studi media massa tidak hanya terbatas sebagai
kerangka teori, namun sekaligus juga bisa sebagai metode analisis
(Sobur, 2001 : 114). Metodologi penelitian yang digunakan dalam
analisis semiotika interpretatif, analisis semiotika bersifat kualitatif
(Sobur, 2001 : 147).
Dihubungkan dengan pemecahan suatu masalah baik dari sudut
pandang teoritis maupun praktis, jelaslah penelitian kualitatif bersifat
induktif karena tidak dimulai dari hipotesis-hipotesis sebagai
generalisasi untuk diuji kebenarannya melalui pengumpulan data yang
bersifat khusus. Penelitian kualitatif dimulai dengan mengumpulkan
informasi-informasi dalam situasi sewajarnya yang dirumuskan menjadi
suatu generalisasi yang dapat diterima oleh akal sehat (common sense)
manusia.
Penelitian ini menggunakan analisis semiotika Roland Barthes
yang akan dilakukan dengan mendasarkan pada model yang
dikemukakan dimana dalam hal ini berbagai tanda dan dari hal tersebut
dapat diketahui mana yang merupakan penanda (signifier) dan petanda
(signified). Dalam penerapannya metode semiotika ini menghendaki
pengamatan secara menyeluruh dari semua adegan yang mengandung
nilai-nilai budaya Jawa.
29
2. Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah film Java Heat. Film ini
adalah film hollywood yang diproduksi di Indonesia khususnya di
daerah Jawa dan berlatarkan budaya Jawa. Kemudian yang menjadi
fokus dalam penelitian ini adalah bagaimana budaya Jawa di
gambarkan dan bagaimana stereotip budaya Jawa dalam film ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data yang relevan dengan tujuan
penelitian, maka penulis menggunakan beberapa teknik dalam
mengumpulkan data. Secara rinci dalam mengumpulkan data digunakan
beberapa teknik :
a. Dokumentasi
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan observasi,
meneliti dan menganalisis melalui film kemudian dikaji sehingga
nantinya akan membantu untuk mengetahui mengenai stereotip
budaya Jawa dalam film Hollywood.
b. Studi Pustaka
Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan dan
dikumpulkan dengan studi pustaka guna mengkaji beberapa pokok
permasalahan dari obyek yang diteliti. Fungsi dari literatur yang
berupa buku-buku, majalah, jurnal dan lain-lain adalah untuk
mendapatkan teori-teori pendukung lebih lanjut.
30
4. Teknik Analisis Data
Kegiatan teknik analisis data ini meliputi menggunakan data,
menilai data atau menganalisis data dan kemudian menafsirkan data
serta diakhiri dengan menarik kesimpulan dari hasil penelitian
mengenai tanda-tanda yang ada dalam film Java Heat. Analisis data
digunakan sebagai suatu proses penyederhanaan data kedalam bentuk
yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Film sebagai alat yang
utama untuk mengkaji objek penelitian, dilakukan dengan cara
menonton film, mengobservasi atau mengamati, meneliti dan
menganalisis tanda-tanda yang terdapat dalam film tersebut.
Menurut Syaom Barliana (2013:3), Semiotika adalah ilmu
yang mempelajari struktur, jenis, tipologi,serta relasi-relasi tanda
dalam penggunaannya di dalam masyarakat.Semiotika mempelajari
relasi diantara komponen-komponen tanda, sertarelasi antar
komponen-komponen tersebut dengan masyarakatpenggunanya.
Semiotika, yang berasal dari bahasa Yunani, semion yangberarti tanda
(sign),bermula dari kajian tentang bahasa, dan kemudianberkembang
menjadi kajian kebudayaan. Sedangkan menurut Barthes semiotika
pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan
memaknai hal-hal (Indiwan, 2011:138).
Dalam penelitian ini yang menjadi unit analisis adalah adegan-
adegan, juga dialog-dialog dalam film Java Heat yang terkait dengan
31
kebudayaan Jawa. Makna dari tanda-tanda baik yang bersifat verbal
maupun nonverbal merupakan hal yang kemudian akan dianalisis.
Penelitian ini adalah penelitian teks dengan menggunakan
teknik analisis semiotika model Roland Barthes dengan menggunakan
konsep denotasi, konotasi dan mitos sebagai analisisnya. Dengan
mengartikan isi teks dan gambar, maka dapat menginterpretasikan
pesan-pesan yang terkandung dalam film, kemudian ditunjang dengan
gambar scene yang akan ditunjukan denotasi, konotasi dan mitosnya.
Pada konsep Roland Barthes, tanda konotatif tidak hanya
memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian
tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sistem signifikasi
dalam semiotika Barthes, dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tabel. 1 Sistem Signifikasi Semiotika Dua Tahap Roland Barthes
(Sumber : Sobur, 2003 : 69)
Peta Barthes diatas memperlihatkan bahwa tanda denotatif (3)
terdiri dari atas penanda (1) dan penanda (2). Hanya saja, pada saat
bersamaan tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dapat
dikatakan, hal tersebut merupakan unsur material.
1.Signifier (penanda)
2.Signified (petanda)
3. Denotative sign (tanda denotatif)
1. Connotative signifier (penanda konotatif)
4. Connotative Signfied (petanda konotatif)
2. Connotative sign (tanda konotatif)
32
Pembacaan teks ini oleh Barthes dinamakan deskripsi struktur
(structural description). Deskripsi tersebut untuk membongkar teks
yang kelihatan natural, padahal teks tersebut abriter (diada-adakan).
Termasuk dalam penelitian ini, teks film Java Heat akan coba ditelaah
dengan structural description model Roland Barthes tersebut.
Lewat model ini Barthes menjelaskan bahwa signifikasi tahap
pertama merupakan hubungan antara signifier (ekspresi) dan signified
(content) di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Menurut
Barthes ini merupakan denotasi yaitu makna yang paling nyata dari
tanda (sign).
Signifikasi tahap kedua disebut juga konotasi. Konotasi
merupakan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan
perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai kebudayaannya.
Dengan kata lain dapat dijelaskan bahwa apa yang dimaksud
dengan denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah
obyek sedangkan konotasi adalah cara bagaimana
menggambarkannya.
Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi,
tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana
kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang
realitas atau gejala alam. Mitos adalah suatu wahana dimana suatu
ideologi berwujud. Mitos dapat berangkat menjadi Mitologi yang
33
memainkan peranan penting dalam kesatuan-kesatuan budaya
(Indiawan, 2013:22).
Semiotika adalah salah satu bagian dari bentuk analisis isi
kualitatif yang dipakai untuk mengetahui dan menganalisis apa yang
justru tidak terlihat atau dengan kata lain penelitian kualitatif justru
ingin melihat isi komunikasi yang tersirat.
Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena
itu merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin
disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda, petanda atau yang
ditandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian
merupakan suatu faktor linguisitis.
Berdasarkan teori semiotika diatas, selanjutnya obyek
penelitian ini akan dianalisis secara tekstual, yaitu dengan mengamati
tanda-tanda yang terdapat pada film Java Heat. Obyek penelitian yang
kemudian diamati dilihat dari segi naratif (dialog) dan segi visual
(gambar). Dari segi naratif digambarkan dengan dialog para pemain,
sedangkan dari segi visual digambarkan dengan shot size dan angle
kamera yang terdapat dalam film Java Heat.
Untuk menganalisis hal yang pertama kali dilakukan adalah
dengan melihat film secara keseluruhan dan memahami tanda-tanda
yang dipakai untuk melihat nilai-nilai budaya Jawa. Tanda tersebut
dapat dilihat dari dialognya, simbol-simbol dan setting adegannya.
34
Namun terkadang, dalam menganalisis juga memerlukan
perbandingan. Yaitu dengan menggunakan konsep oposisi biner,
sebuah sistem dari dua kategori yang berelasi, yang dalam bentuknya
yang paling murni, membentuk keuniversalan (Fiske, 1990:161).
Contoh dari oposisi ini sebenarnya juga ditemukan dalam kehidupan
sehari-hari, seperti baik dan buruk, miskin dan kaya, modern dan
tradisional. Oposisi itu tidak selalu jelas atau tidak selalu terbukti,
namun kenyataannya memang ada. Terkadang hal ini tidak disadari
akan kemunculannya, namun jika dilakukan penyisihan terhadap arti-
arti tersembunyi tersebut, maka arti dari teks akan ditemukan (Berger,
2010:229).
Sebenarnya cukup nyata seberapa besar peranan oposisi ini
(dan beberapa yang lain) dalam sejarah dan kebudayaan. Hal seperti
inilah yang diharapkan, sebab seperti kata saussure, “dalam bahasa
hanya ada perbedaan-perbedaan”. Suatu arti muncul dari hubungan-
hubungan, dan hubungan yang sangat penting adalah dari sifat oposisi
(Berger, 2010:231).
Tahap analisis selanjutnya film akan dianalisis sesuai dengan
potongan-potongan gambar atau framenya dengan melihat shot size
dan angle yang dianggap sebagai tanda terhadap nilai-nilai
kebudayaan Jawa.
35
Dibawah ini terdapat daftar yang memuat hal penting tentang
pengambilan gambar, yang berfungsi sebagai penanda dan apa yang
bisa ditandai pada setiap pengambilan gambar sebagai berikut :
Tabel. 2
Ukuran Shot (Shot Size) , Definisi beserta Petandanya (makna)
Penanda (Camera Shot)
Definisi Petanda (Artinya)
Extreme Close-up (ECU)
Sedekat mungkin dengan obyek (misalnya hanya mengambil bagian dari wajah)
Kedekatan hubungan dengan cerita dan atau pesan film
Close-up (CU) Wajah keseluruhan sebagai obyek
Keintiman, tetapi tidak sangat dekat bisa juga menandakan bahwa obyek sebagai inti cerita
Medium Shot (MU)
Setengah badan Hubungan personal antar tokoh dan menggambarkan kompromi yang baik
Long Shot (LS) Setting dan karakter Konteks, skop dan jarak publik
Full Shot (FS) Seluruh badan obyek Hubungan sosial
Sumber : Arthur Asa Berger, 1983, Media Analysis Techniques, London : Sage Publication, hal.38
Dalam melakukan analisis kerja kamera dan teknik
penyuntingan juga menentukan makna yang timbul dalam suatu
gambar, adapun penjelasannya sebagai berikut :
36
Tabel. 3
Teknik Pengkonotasian
Berdasarkan Kerja Kamera dan Teknik Penyuntingan
Penanda Definisi Petanda Pan Down Kamera mengarah ke
bawah Kekuasaan, kewenangan
Pan Up Kamera mengarah ke atas Kelemahan, pengecilan
Dolly In Kamera bergerak ke dalam
Observasi, fokus
Fade In Gambar kelihatan pada layar kososng
Permulaan
Fade Out Gambar di layar menjadi hilang
Penutupan
Cut Pindah dari gambar satu ke yang lain
Bersambung, menarik
Wipe Gambar terhapus dari layar
“penentuan”, kesimpulan
Sumber: Arthur Asa Berger, (1999, hlm.33-34)
Semiotika menjadi teori umum tentang
kebudayaan.Komunikasi dan signifikasi ternyata lebih gamblang bila
dilhat dari dari sudut pandang semiotik.Dalam hal ini hipotesis yang
moderat pun perlu dikemukakan yakni bahwa setiap aspek
kebudayaan menjadi sebuah unit semantik (Sujiman, 1996:51).
Di dalam kebudayaan, setiap entitas dapat menjadi gejala
semiotik.Hukum-hukumsignifikasi adalah hukum-hukum
kebudayaan.Kebudayaan ini lah yang kemudian dapat dikaji dengan
sempurna secara semiotik (Sujiman, 1996:52).
Dalam penulisan ini analisis data yang dipakai adalah analisis
semiotika. Analisis semiotika digunakan untuk mengetahui isi, makna
37
yang terkandung dalam bentuk verbal dan non verbal. Semiotika
diterapkan pada tanda-tanda simbol-simbol, lambang yang tidak
memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda ini hanya mengemban
arti dalam kaitannya dalam audiencenya. Tanda-tanda yang muncul
kemudian dihubungkan dengan adegan-adegan yang terdapat dalam
film Java Heat melalui analisis semiotika untuk mengetahui unsur-
unsur kebudayaan yang terdapat dalam film Java Heat. Kemudian
akan memilih scene dan membaginya ke dalam shot-shotberdasarkan
visual yang menunjukkan tanda-tanda budaya Jawa, menganalisa
scene-scene menggunakan signifikasi Roland Barthes dengan konsep
pemaknaan denotasi, konotasi dan mitos, setelah mendapatkan hasil
per scene selanjutnya akan coba diuraikan berdasarkan mitos dan
ideologi, yang terakhir adalah membuat kesimpulan yang diambil dari
data yang telah diteliti antara scene, mitos dan ideologi.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini dibagi menjadi beberapa
bab yang disertai dengan sub bab.Adapun bab-bab yang akan dibahas
penulis antara lain :
BAB I Pendahuluan. Bab ini menjelaskan mengenai, latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka
teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II Gambaran Umum Obyek Penelitian. Bab ini menjelaskan
tentang tinjauan pustaka terkait penelitian-penelitian terdahulu yang
38
berhubungan dengan penelitian yang akan diteliti. Selain itu bab ini juga
menjelaskan tentang perkembangan film di Indonesia. Dalam sub bab lain
di jelaskan tentang gambaran umum mengenai film Java Heat. Bab ini
diakhiri dengan penjelasan mengenai postkolonialisme dalam film
Hollywood.
BAB III Pembahasan. Bab ini menjelaskan tentang stereotip
budaya Jawa dalam Film Hollywood yang dianalisis melalui pendekatan
semiotika dalam film Java Heat. Dalam bab ini akan dijelaskan stereotip
budaya Jawa dengan menggunakan metode analisis data yaitu semiotika
model Roland Barthes. Identifikasi film Java Heat dilakukan dengan
proses signifikasi tahap pertama melalui lambang-lambang dalam film
tersebut. Identifikasi makna denotasi berdasarkan pada dialog,
pengambilan gambar dan kerja kamera. Dalam signifikasi tahap kedua,
petanda-petanda yang diperoleh dalam proses sebelumnya diidentifikasi
untuk memperoleh makna konotasinya. Dan yang terakhir menjelaskan
mitosnya.
BAB IV Penutup. Bab terakhir ini berisi tentang kesimpulan, saran
dan kritik dari hasil penelitian dan analisis terkait dengan stereotip budaya
Jawa dalam Film Hollywood analisis semiotika pada film Java Heat.