Upload
phungque
View
213
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belajar dapat terjadi disaat memperoleh beberapa pengalaman yang
ada di lingkungannya, baik dengan cara melihat, mendengar atau yang
dirasakan sehingga dapat berpengaruh dalam membentuk perilaku peserta
didik sehingga semakin banyak pengalaman yang diperoleh, sangatlah
berperan dalam membentuk perilaku peserta didik. Dikatakan oleh Dimyati
dan Mudjiono (2009:136) bahwa “dapat dikatakan terjadi belajar, apabila
terjadi proses perubahan prilaku pada diri siswa sebagai hasil dari suatu
pengalaman”.
Guru sebagai pendidik dituntut untuk pandai merekayasa
pembelajaran sesuai dengan kurikulum yang berlaku, serta dituntut untuk
selalu kreatif dan inovatif dalam melaksanakan pembelajaran sehingga
pengalaman dan tujuan dapat diterima peserta didik. Dengan demikian, peserta
didik akan mengalami perkembangan jiwa, sesuai asas emansipasi diri menuju
keutuhan dan kemandirian (Dimyati dan Mudjiono 2009:3).
Di dalam kelas guru mengelola kelas dan memproses terjadinya
belajar pada peserta didik. Oleh karena itu, sangatlah penting dalam
melaksanakan proses belajar mengajar dalam kelas untuk dapat memberikan
suatu pengalaman dengan menggunakan strategi dan metode yang baik serta
cocok dalam memberikan pembelajaran terhadap peserta didik. Dengan
1
2
demikian akan dapat mempermudah dalam menyampaikan materi belajar dan
dengan mudah di terima serta dipahami bagi peserta didik.
Dewasa ini, telah banyak ditemukan oleh para ahli teori dan metode
pembelajaran yang baik, akan tetapi tidaklah semua teori dan metode itu
cocok dan pas pada semua materi pembelajaran di kelas. Oleh karenanya
seorang guru dituntut untuk memiliki kemampuan dalam memilih strategi
pembelajaran yang baik dan efektif agar kegiatan belajar peserta didik dapat
berlangsung dengan baik sehingga kualitas pembelajaran yang diinginkan
dapat terwujud.
Salah satu model pembelajaran yang dikemukakan oleh Adam dan
Mbirimujo (2009:16) bahwa “untuk memperbanyak pengalaman serta
meningkatkan motivasi belajar yang mempengaruhi keaktifan belajar peserta
didik yaitu dengan menggunakan model pembelajaran Student facilitator and
explaining”. Model pembelajaran ini dapat meningkatkan antusias, motivasi,
keaktifan dan rasa senang siswa dapat terjadi. Sehingga sangat cocok di pilih
guru untuk digunakan pada pembelajaran bahasa, karena pada model Student
facilitator and explaining atau bermain peran ini suatu cara penguasaan
peserta didik terhadap beberap keterampilan diantaranya keterampilan
berbicara, keterampilan menyimak, keterampilan pemahaman pada teks
bacaan, dan keterampilan seni dalam memerankan seorang tokoh sesuai
konteks bacaan dalam keadaan riang. Selain itu model pembelajaran yang
diterapkan untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik yakni dengan
menggunakan model pembelajaran Advokasi (Proses Debat) karena model ini
3
dapat mengembangkan keterampilan-keterampilan dalam logika, berpikir
kritik, menumbuhkan rasa percaya diri peserta didik dalam mengemukakan
pendapat, dan rasa tanggung jawabnya akan bangsa dan negaranya.
Berbicara adalah sebuah keterampilan yang memerlukan latihan secara
terus menerus. Tanpa dilatih, seorang yang pendiam akan terus-menerus
berdiam diri dan tidak akan berani untuk menyuarakan pendapatnya. Menurut
(Tarigan, 2008:3) berbicara adalah “suatu keterampilan berbahasa yang
berkembang pada kehidupan anak, yang hanya didahului oleh keterampilan
menyimak, dan pada masa tersebutlah kemampuan berbicara atau berujar
dipelajari”. Pembelajaran keterampilan berbicara pada jenjang SD merupakan
tantangan untuk peningkatan kompetensi berbicara mereka. Siswa diharapkan
dapat menyerap aspek-aspek dasar keterampilan berbicara untuk menjadi
bekal kejenjang yang lebih tinggi atau memiliki keterampilan berbicara
unggul. Selain itu, peserta didik diharapkan memiliki softkill yang bermanfaat
dalam berkarya setelah lulus sekolah.
Berdasarkan hasil observasi peneliti ditemukan permasalahan peserta
didik mengalami hambatan ketika mereka diberikan tugas oleh guru untuk
mengemukakan pendapat di depan kelas. Mereka mengalami kesulitan dalam
mengungkapkan ide, kurang menguasai materi yang diberikan oleh guru,
kurang membiasakan diri untuk berbicara di depan umum, kurangnya rasa
percaya diri pada peserta didik, dan kurang mampu mengembangkan
keterampilan bernalar dalam berbicara. Kesulitan-kesulitan tersebut membuat
mereka tidak mampu mengungkapkan pikiran dan gagasan dengan baik,
4
sehingga siswa menjadi enggan untuk berbicara menuangkan ide kreatifnya.
Selain itu, guru hanya menggunakan metode ceramah dalam proses
pembelajaran. Selain itu, hasil belajar Bahasa Indonesia peserta didik rendah.
22 orang peserta didik 62,8 % mendapat nilai di bawah KKM, sedangkan 13
orang peserta didik 37,2 % mendapat nilai di atas KKM. Nilai KKM untuk
mata pelajaran Bahasa Indonesia 70.
Berdasarkan uraian di atas peneliti mencoba melakukan penelitian
dengan mengangkat judul penelitian: “Perbedaan Kemampuan Berbicara
Peserta Didik Kelas IV SDN-9 Menteng Palangkaraya Dilihat Dari Model
Student Facilitator And Explaining dan Model Advokasi Tahun Pelajaran
2013/2014”.
Penelitian ini penting karena ingin mengetahui fenomena nyata di
lapangan saat diterapkan model Student Facilitator And Explaining dengan
model Advokasi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia peserta didik ada
perbedaan. Alasan peneliti memilih model pembelajaran Student Facilitator
And Explaining karena mudah diterapkan dalam pembelajaran, tidak
memerlukan waktu yang lama dan pembelajaran menjadi lebih menarik.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, beberapa masalah yang dapat
diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Peserta didik mengalami hambatan ketika mereka diberikan tugas oleh
guru untuk mengemukakan pendapat di depan kelas.
2. Peserta didik mengalami kesulitan dalam mengungkapkan ide.
5
3. Peserta didik kurang menguasai materi yang diberikan oleh guru
4. Peserta didik kurang membiasakan diri untuk berbicara di depan umum.
5. Peserta didik kurang rasa percaya diri,
6. Guru hanya menggunakan metode ceramah dalam proses pembelajaran.
C. Batasan Masalah
Agar memperoleh kejelasan masalah yang diteliti dan tidak terjadi
perluasan masalah maka penelitian ini dibatasi pada:
1. Materi pelajaran difokuskan pada sub pokok bahasan membuat pantun.
2. Peserta didik yang diteliti adalah kelas IV SDN-9 Menteng Palangkaraya
tahun pelajaran 2013/2014.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah yang telah
diuraikan sebelumnya di atas, maka masalah yang akan diteliti
dirumuskan sebagai berikut: “Apakah ada perbedaan kemampuan berbicara
peserta didik kelas IV SDN-9 Menteng Palangkaraya dilihat dari Model
Student Facilitator And Explaining dengan Model Advokasi tahun pelajaran
2013/2014 ?”
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah maka tujuan yang ingin dicapai
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidak perbedaan
kemampuan berbicara peserta didik kelas IV SDN-9 Menteng Palangkaraya
dilihat dari Model Student Facilitator And Explaining dengan Model
Advokasi tahun pelajaran 2013/2014.
6
F. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini yaitu:
1. Manfaat Teoretis
Untuk menambah ilmu pengetahuan tentang model pembelajaran
yang efektif untuk diterapkan dalam proses pembelajaran.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Kepala Sekolah, dapat memberikan sumbangan pikiran untuk
memperbaiki proses pembelajaran yang dilakukan guru agar menjadi
lebih baik untuk meningkatkan kemampuan berbicara peserta didik.
b. Bagi Guru, untuk memberikan masukan pikiran dalam memilih model
pembelajaran yang efektif untuk diterapkan untuk meningkatkan
kemampuan berbicara peserta didik.
c. Bagi Peneliti selanjutnya, dapat dijadikan dasar awal permasalahan
untuk diteliti lebih lanjut.
7
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Analisis Teoretis
1. Kemampuan Berbicara
a. Pengertian Kemampuan Berbicara
Penguasaan teori berbicara bukanlah tujuan utama dalam
pembelajaran berbicara. Hal terpenting dalam pembelajaran berbicara
adalah siswa mampu berbicara sesuai dengan konteks. Pembelajaran
berbicara harus berorientasi pada aspek penggunaan bahasa, bukan pada
aturan pemakaiannya. Menurut Pageyasa (2004:43) bahwa
“keterampilan berbicara adalah kemampuan mengungkapkan pendapat
atau pikiran dan perasaan kepada seseorang atau sekelompok orang
secara lisan baik berhadapan ataupun dengan jarak jauh”.
Adapun Utari dan Nababan (2006:45) menyatakan bahwa
“kemampuan berbicara adalah pengetahuan bentuk-bentuk bahasa dan
makna-makna bahasa tersebut, dan kemampuan untuk menggunakannya
pada saat kapan dan kepada siapa”. Sementara itu, Ibrahim (2007:36)
memberikan pengertian bahwa “kemampuan berbicara adalah
kemampuan bertutur dan menggunakan bahasa sesuai dengan fungsi,
situasi, serta norma-norma berbahasa dalam masyarakat yang
sebenarnya”.
7
8
Kompetensi komunikatif sebagai inti dari pengajaran berbicara
juga berhubungan dengan kemampuan sosial dan menginterpretasikan
bentuk-bentuk linguistik. Para peserta didik tentu sudah memiliki
pengetahuan sebagai modal dasar dalam bertutur karena peserta didik
berada dalam suatu lingkungan sosial yang menuntutnya untuk paham
kode linguistik.
Pengertian lebih lanjut dikemukakan Moris (Novia, 2004:67) yang
menyatakan bahwa “kemampuan berbicara merupakan kemampuan
menggunakan alat komunikasi yang alami antara anggota masyarakat
untuk mengungkapkan pikiran dan sebagai sebuah bentuk tingkah laku
sosial”.
Berdasarkan beberapa pengertian para ahli yang dikemukakan di
atas, maka dapat disimpulkan pengertian dalam penelitian ini bahwa
kemampuan berbicara adalah kemampuan mengungkapkan pendapat
atau pikiran dan perasaan kepada seseorang atau sekelompok orang
secara lisan, baik berhadapan ataupun dengan jarak jauh dengan
menggunakan kalimat yang sesuai dengan fungsi, situasi, serta norma-
norma berbahasa dalam masyarakat yang sebenarnya.
Menurut Samsuri dan Sadtono (2009:34) bahwa keterampilan
berbicara dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar,
diarahkan agar peserta didik memiliki kemampuan untuk:
1) Berpragmatik secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku secara lisan;
2) Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara;
9
3) Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan;
4) Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial.
b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Berbicara
Kemampuan berbicara adalah kemampuan kita untuk
berkomunikasi dengan orang lain, baik ketika ngobrol, presentasi,
menyampaikan pendapat, eyel-eyelan (baca: berdebat) ataupun kegiatan
lainnya. Kemampuan berbicara identik dengan penggunaan bahasa lisan
yang tepat, sehingga pendengar dapat mengerti apa yang kita sampaikan.
Selain itu, sikap dan pengetahuan menentukan waktu yang tepat untuk
berbicara mendukung keberhasilan kita dalam berbicara.
Kemampuan berbicara dan bahasa anak erat kaitannya dengan
kemampuan mendengar anak. Perkembangan bicara anak memerlukan
pembinaan secara intensif, sesuai dengan taraf perkembangan fisik dan
psikis yang lain. Kemampuan bahasa anak akan maksimal jika mendapat
umpan balik yaitu mengontrol suara dan ucapannya sendiri melalui
pendengarannya. Umpan balik yang mereka peroleh untuk mengontrol
bicaranya hanya diperoleh secara visual, kinestetik dan gerak.
Menurut Sadjaah dan Sukarja (2005:114) bahwa “perkembangan
bahasa seseorang tak dapat lepas dari pengaruh berbagai faktor.
Perkembangan bahasa dan bicara hanya akan berjalan dengan baik dan
lancar bila didukung oleh faktor kesiapan atau kematangan”. Lanjut
Sadjaah dan Sukarja menyatakan bahwa “Faktor-faktor yang
10
mempe¬ngaruhi adanya kesiapan adalah faktor psikologis, faktor
fisiologis, dan faktor lingkungan”.
c. Melatih Kemampuan Berbicara
Tak hanya penampilan yang baik, seorang juga harus mempunyai
kemampuan berbicara yang baik. Setiap peserta didik sebenarnya
memiliki kemampuan tersebut, asalkan peserta didik tersebut mau
belajar. Bagaimana cara melatihnya? Oetomo (2008:1-2) menguraikan
“cara melatih kemampuan berbicara berdasarkan tingkat atau teknik
berbicara yaitu: 1) teknik berbicara yang baik, 2) teknik berbicara di
depan umum, 3) teknik berbicara profesional, dan 4) teknik membuka
dan menutup pembicaraan”.
2. Model Pembelajaran
a. Pengertian Model Pembelajaran
Model pembelajaran merupakan bentuk pembelajaran yang
tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru.
Model pembelajaran diartikan sebagai suatu rencana mengajar yang
memperlihatkan pola pembelajaran tertentu, dalam pola tersebut dapat
terlihat kegiatan guru dan siswa, sumber belajar yang digunakan di
dalam mewujudkan kondisi belajar atau sistem lingkungan yang
memungkinkan siswa mampu belajar. Model pembelajaran merupakan
kerangka berpikir yang dipakai sebagai panduan untuk melaksanakan
kegiatan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran (Anita, 2009).
11
b. Macam-macam Model Pembelajaran
Menurut Suhardjono (2012:1), macam-macam model pembelajaran
yaitu:
1) Koperatif (CL, Cooperative Learning). 2) Kontekstual (CTL, Contextual Teaching and Learning) 3) Realistik (RME, Realistic Mathematics Education) 4) Pembelajaran Langsung (DL, Direct Learning) 5) Pembelajaran Berbasis masalah (PBL, Problem Based
Learning) 6) Problem Solving 7) Problem Posing 8) Problem Terbuka (OE, Open Ended) 9) Probing-prompting 10) Pembelajaran Bersiklus (cycle learning) 11) Reciprocal Learning 12) SAVI 13) TGT (Teams Games Tournament) 14) VAK (Visualization, Auditory, Kinestetic) 15) AIR (Auditory, Intellectualy, Repetition 16) TAI (Team Assisted Individualy) 17) STAD (Student Teams Achievement Division 18) NHT (Numbered Head Together) 19) Jigsaw 20) TPS (Think Pairs Share) 21) GI (Group Investigation) 22) MEA (Means-Ends Analysis) 23) CPS (Creative Problem Solving) 24) TTW (Think Talk Write) 25) TS-TS (Two Stay – Two Stray) 26) CORE (Connecting, Organizing, Refleting, Extending) 27) SQ3R (Survey, Question, Read, Recite, Review) 28) MID (Meaningful Instructionnal Design) 29) KUASAI 30) CRI (Certainly of Response Index) 31) DLPS (Double Loop Problem Solving) 32) DMR (Diskursus Multy Reprecentacy) 33) CIRC (Cooperative, Integrated, Reading, and Composition) 34) IOC (Inside Outside Circle) 35) Tari Bambu 36) Artikulasi 37) Debate 38) Role Playing 39) Talking Stick
12
40) Snowball Throwing 41) Student Facilitator and Explaining 42) Course Review Horay 43) Demostration 44) Explicit Instruction 45) Scramble 46) Pair Checks 47) Make-A Match 48) Mind Mapping 49) Examples Non Examples 50) Picture and Picture 51) Cooperative Script 52) LAPS-Heuristik 53) Improve 54) Generatif 55) Circuit Learning 56) Complette Sentence 57) Concept Sentence 58) Time Token 59) Take and Give 60) Superitem 61) Hibrid 62) Treffinger 63) Kumon 64) Quantum
3. Model Student Facilitator And Explaining
a. Pengertian Model Student Facilitator And Explaining
Menurut Suprijono (2013:128), bahwa “Model Student
Facilitator and Explaining (bermain peran) adalah merupakan
pembelajaran dimana peserta didik belajar mempresentasikan ide atau
pendapat pada rekan peserta didik lainnya”.
Model Student Facilitator and Explaining (bermain peran)
dilakukan dengan cara penguasaan peserta didik terhadap bahan-bahan
pembelajaran melalui imajinasi dan penghayatan yang dilakukan
peserta didik. Pengembangan imajinasi dan penghayatan yang
13
dilakukan peserta didik dengan memerankan sebagai tokoh baik pada
benda hidup atau benda mati. Model ini dapat dilakukan secara individu
atupun secara kelompok. Oleh karenanya, model ini dapat
meningkatkan motivasi belajar, antusias, keaktifan dan rasa senang
dalam belajar peserta didik.
Salah satu metode yang digunakan untuk meningkatkan
motivasi belajar yang mempengaruhi keaktifan belajar peserta didik
yaitu dengan menggunakan model Student Facilitator and Explaining.
Dengan menggunakan metode ini dapat mempunyai nilai tambah yaitu
(1) dapat dijamin jika seluruh peserta didik dapat berpartisipasi dan
mempunyai kesempatan untuk menunjukkan kemampuan dalam bekerja
sama hingga berhasil. (2) dapat menambah pengalaman belajar yang
menyenangkan bagi peserta didik. (Prasetyo, 2001:21 dalam Sholefatul
Jannah). Oleh karenanya, dengan menggunakan model ini sangat cocok
jika digunakan dalam pembelajaran bahasa dengan bermain peran dapat
meningkatkan kemampuan berbicara, keterampilan menyimak,
keterampilan pemahaman pada teks bacaan, dan keterampilan seni
dalam memerankan seorang tokoh sesuai konteks bacaan.
b. Manfaat Model Student Facilitator and Explaining
Menurut Suprijono (2013:128), setiap metode pembelajaran yang
akan dipergunakan dalam proses belajar mengajar tentu ada manfaat
yang dapat diterima peserta didik. Manfaat Model Student Facilitator
and Explaining antara lain:
14
1) Para peserta didik dapat menggunakan waktu yang lebih banyak untuk mengerjakan tugasnya dan untuk mendengarkan satu sama lain. Sehingga pemahaman materi pembelajaran lebih dipahami hal ini dapat terlihat banyaknya siswa yang akan mengangkat tangan untuk menjawab pertanyaan dengan pasangannya.
2) Guru mempunyai waktu yang lebih banyak untuk berfikir dan berkonsentrasi mendengarkan jawaban peserta didik, disamping dapat dengan seksama mengamati reaksi peserta didik, dan mengajukan pertanyaan yang lebih detil.
c. Langkah-langkah Model Pembelajaran Student Facilitator and
Explaining
Menurut Suprijono (2013:128), langkah-langkah model
pembelajaran student facilitator and explaining yaitu:
Diawali oleh guru memberikan pemahaman awal dan penguasaan bahan guna memberikan cakrawala berfikir tentang penghayatan dan penguasaan imajinasi bagaimana cara memerankan seorang tokoh sesuai teks yang sudah disediakan. Dengan demikian, komunikasi verbal yang ingin disampaikan kepada siswa untuk meningkatkan kemampuan berbicara dapat terealisasi dengan baik.
Begitu pentingnya pengetahuan awal yang harus diberikan
kepada siswa untuk dapat menggabungkan antara pengetahuan yang
sebelumnya di miliki siswa dengan pengetahuan baru yang akan
diterimanya. Menurut Nur (2005:10), hal ini dapat memperkaya
memori peserta didik yang disimpannya yaitu:
1) Guru memberikan penjelasan tetang hal-hal yang harus diperhatikan dalam bermain peran ini utamanya pada aspek penjiwaan atau ekspresi, vocal, gaya, kerja sama dalam melakukan peran.
2) Guru memberikan keleluasaan berfikir bagi siswa untuk mengadakan pengamatan dan penilaian terhadap kelompok yang tampil. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan melakukan kegiatan diskusi dengan kelompoknya.
15
Dengan hasil pengamatan dan penilaian tersebut diharapkan
peserta didik dapat mengungkapkan ide dan gagasannya untuk
meningkatkan kemampuan berbicara tentang hal-hal yang ada dalam
materi pembelajaran yang telah dibacanya. Kemampuan berbicara
siswa dapat dilihat pada aspek kebahasaan dan aspek non
kebahasaan. Aspek kebahasaan mencakup intonasi, jeda, pilihan
kata/diksi, struktur kalimat. Aspek non kebahasaan antara lain
keberanian, kelancaran, ekspresi/ mimik.
d. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Student
Facilitator and Explaining
Setiap metode atau model pembelajaran tentunya sama-sama
memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Nur (2005:10),
menyatakan kelebihan dan kekurangan model Student Facilitator and
Explaining adalah:
1) Kelebihan
a) Dapat meningkatkan pencurahan waktu pada tugas. Karena
peserta didik dituntut menggunakan waktunya untuk
mengerjakan tugas-tugas atau permasalahan yang diberikan
oleh guru di awal pertemuan. Dengan demikian, diharapkan
peserta didik mampu memahami materi dengan baik sebelum
guru menyampaikan pada pertemuan selanjutnya.
b) Dapat memperbaiki kehadiran, karena tugas yang diberikan
oleh guru pada setiap pertemuan melibatkan peserta didik
secara aktif. Oleh sebab itu, bagi peserta didik yang sekali
tidak hadir akan dalam pertemuan ditekan untuk hadir pada
pertemuan berikutnya terkait dengan tugas yang telah ia
terima sebelumnya.
c) Dapat memotivasi peserta didik untuk selalu meningkatkan
volume belajarnya.
16
d) Dapat melibatkan peserta didik secara aktif dalam proses
belajar mengajar dalam kelas.
Dari kelebihan model Student Facilitator and Explaining dapat
disimpulkan bahwa pada tahap akhir guru hanya sebagai fasilitator
serta daya serap pembelajaran yang diterima peserta didik lebih
banyak dan cepat, dibandingkan dengan metode lain, karena pada
metode yang lain peserta didik yang aktif dalam kelas hanya
peserta didik tertentu atau pada peserta didik yang rajin saja,
sedangkan peserta didik yang lain hanyalah “pendengar” pada
materi yang disampaikan guru.
2) Kelemahan a) Membutuhkan koordinasi secara bersamaan dari berbagai
aktifitas. b) Membutuhkan perhatian khusus dalam penggunaan ruang
kelas. c) Peralihan dari secara klasikal ke kelompok kecil dapat
menyita waktu pengajaran. Oleh karena itu, guru harus dapat membuat perencanaan yang seksama sehingga dapat meminimalkan waktu tang tersedia.
d. Hambatan dalam model Student Facilitator and Explaining
Menurut Nur (2005:10), hambatan yang ditemukan selama proses
pembelajaran Student Facilitator and Explaining antara lain:
1) Pada peserta didik. a) Peserta didik yang pasif dapat mengganggu teman-temannya,
atau peserta didik yang seharusnya menyelesaikan soal dengan cara berdiskusi bersama kelompoknya kadang dimanfaatkan untuk berbicara diluar materi pelajaran.
b) Peserta didik yang kurang aktif sering menggantungkan kepada teman yang aktif.
c) Kelas yang jumlah peserta didik banyak dapat berpengaruh pada saat pelaksanaan pembelajaran.
17
d) Jumlah peserta didik yang ganjil berdampak pada pembentukan kelompok. Hal ini memperlambat pada proses pelaksanaan. Karena setelah pasangan yang lain selesai pada tahap akhir.
2) Pada Guru
a) Kesulitan mengatur waktu yang sesuai dengan perencanaan, disaat ada peserta didik yang mengulur-ulur waktu dengan alasan pekerjaan belum selesai. Oleh karena itu, diperlukan guru untuk sering mendatangi masing-masing kelompok untuk mengecek kesiapannya.
b) Guru memberikan point pada peserta didik yang sering bertanya, atau memberikan sanggahan saat proses berlangsung.
3. Model Pembelajaran Advokasi
a. Pengertian Model Pembelajaran Advokasi
Menurut Hamalik (2008:228) “Model Pengajaran Advokasi
adalah suatu proses debat, dimana peserta didik dituntut untuk
menjadi advokat dari pendapat tertentu yang bertalian dengan topik
yang tersedia. Sehingga semua peserta didik dapat berpartisipasi dan
berperan aktif dalam proses belajar mengajar berlangsung”.
Sementara itu menurut Syaifurrahman (2010), model pembelajaran
advokasi yaitu:
Model Pembelajaran Advokasi merupakan pembelajaran yang
berpusat pada peserta didik (student-centered advocacy learning)
sering diidentikkan dengan proses debat. Pembelajaran advokasi
dipandang sebagai suatu pendekatan alternatif terhadap pengajaran
didaktis di dalam kelas yang memberikan kesempatan kepada peserta
didik untuk mempelajari isu-isu sosial dan personal melalui
keterlibatan langsung dan partisipasi pribadi. Model pembelajaran
advokasi menuntut para peserta didik terfokus pada topik yang telah
ditentukan sebelumnya dan mengajukan pendapat yang bertalian
dengan topik tersebut
18
Jadi, model pembelajaran advokasi atau debat yaitu metode
debat juga merupakan salah satu metode pembelajaran yang sangat
penting untuk meningkatkan kemampuan akademik peserta didik.
Materi ajar dipilih dan disusun menjadi paket pro dan kontra. Peserta
didik dibagi ke dalam beberapa kelompok dan setiap kelompok terdiri
dari empat orang.
b. Tujuan Model Pembelajaran Advokasi (Proses Debat)
Menurut Mawarningsih (2011), bahwa “tujuan model
pembelajaran advokasi yaitu membuat pembelajaran yang menarik
dan sekaligus mengaktifkan proses pembelajaran”. Adapun menurut
Febrina (2010), bahwa “pembelajaran debat dapat menimbulkan
interaksi positif di dalam kelas dan menarik untuk peserta didik yang
melaksanakannya”. Selanjutnya Nia (2009), mengatakan bahwa
“Metode debat merupakan salah satu metode pembelajaran yang
sangat penting untuk meningkatkan kemampuan akademik peserta
didik”.
Jadi, tujuan model pembelajaran debat yaitu meningkatkan
kemampuan akademik, mengaktifkan proses pembelajaran, dan
menarik minat peserta didik.
c. Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Model Pembelajaran
Advokasi (Proses Debat)
Menurut Istarani (2011) kelebihan model pembelajaran
advokasi (proses debat) adalah:
19
1) Dapat meningkatkan daya kritis peserta didik dalam berpikir 2) Dapat meningkatkan kemampuan peserta didik untuk
menyampaikan pendapat di depan orang banyak 3) Dapat meningkatkan kemampuan peserta didik untuk mengetahui
pola pikir orang lain yang tidak sesuai dengannya 4) Dapat menggali ide-ide atau gagasan cemerlang dari peserta didik 5) Dapat melatih peserta didik untuk hidup harmonis dengan orang
yang berseberangan dengannya
Jadi, kelebihan model pembelajaran debat yaitu melatih peserta
didik untuk percaya diri, berani mengajukan pendapat, dan berpikir
kritis. Sementara itu menurut Istarani (2011), kelemahan model
pembelajaran advokasi (proses debat) adalah:
1) Bahan dari topik yang dibicarakan kurang lengkap 2) Masalah yang diperdebatkan kurang esensial atau bisa lari dari
topik yang dibahas 3) Perselisihan pendapat sering tidak berkesudahan 4) Dalam berbicara didominasi oleh beberapa orang saja 5) Tumbuhnya sikap egoism dari peserta didik 6) Sulit untuk mengambil kesimpulan dari hasil pembelajaran
Jadi, kelemahan model debat yaitu terjadi adu mulut karena
adanya perbedaan pendapat dan memerlukan waktu yang lama.
d. Langkah-langkah Pembelajaran Advokasi
Menurut Hamalik (2008), belajar advokasi berdasarkan berbagai
prinsip belajar yakni:
1) Ketika peserta didik terlibat langsung dalam penelitian dan penyajian debat, ke akuannya lebih banyak ikut serta dalam proses belajar mengajar di bandingkan dengan situasi ceramah tradisional
2) Proses debat meningkatkan minat dan motivasi belajar peserta didik karena hakikat debat itu sendiri.
3) Para peserta didik terfokus pada suatu isu yang berkenaan dengan diri mereka kadang-kadang yang berkenan dengan masyarakat luas dan isu-isu sosial personal
4) Pada umumnya peserta didik akan lebih banyak belajar mengenai topik-topik lainnya bila mereka dilibatkan langsung dalam pengalaman debat.
20
5) Proses debat memperkuat penyimpangan terhadap komponen-komponen dasar suatu isu dan prinsip-prinsip argumentasi efektis.
6) Belajar advokasi dapat digunakan baik belajar di sekolah dasar maupun belajar di sekolah lanjutan berdasarkan tingkatan peserta didik, model ini dapat diperluas atau disederhanakan pelaksanaannya
7) Pendekatan instruksional belajar advokasi mengembangkan keterampilan-keterampilan dalam logika, pemecahan masalah, berpikir kritis, serta komunikasi lisan maupun tulisan. Menurut Istarani (2011), langkah-langkah dasar pelaksanaan
advokasi sebagai berikut:
1) Memilih suatu topik debat berdasarkan pertimbangan aspek kebermaknaannya, tingkatan peserta didik, relevansinya dengan kurikulum, dan minat para peserta didik
2) Memilih dua regu debat, masing-masing dua peserta didik tiap regu untuk tiap topik dan menjelaskan fungsi tiap regu kepada kelas
3) Menyediakan petunjuk dan esistensi kepada peserta didik untuk membentuk menyiapkan debat
4) Dalam pelaksanaan debat, para audience melakukan fungsi observasi khusus selama berlangsungnya debat.
5) Tempatkan dua hingga empat kursi (tergantung jumlah dari sub kelompok yang dibuat untuk tiap pihak), bagi para juru bicara dari pihak pro dalam posisi berhadapan dengan jumlah kursi yang sama bagi juru bicara dari pihak kontra. Sehingga susunannya akan tampak seperti gambar berikut ini:
Gambar 1. Langkah-langkah Dasar Pembelajaran Advokasi
6) Setelah semua peserta didik mendengarkan argumen pembuka,
hentikan debat dan minta mereka kembali ke sub kelompok awal mereka. Perintahkan sub-sub kelompok untuk menyusun strategi
Guru
Regu Pro
Regu Kontra
X
X
X
X
X
X
21
dalam rangka mengkomentari argumen pembuka dari pihak lawan, sekali lagi, Perintahkan sub kelompok memilih juru bicara, akan lebih baik bila menggunakan orang baru.
7) Perintahkan para juru bicara yang duduk berhadapan untuk memberikan argumentasi tandingan. Dan ketika debat berlanjut (pastikan untuk menyelang-nyeling antara kedua belah pihak), anjurkan peserta lain untuk memberikan catatan yang memuat argumen argumen atau bantahan kepada perdebatan mereka. Juga, anjurkan mereka untuk memberi tepuk tangan atas argumen yang disampaikan oleh perwakilan tim debat mereka.
8) Pada saat debat berakhir, usahakan agar tidak menyebut pemenangnya, dan Perintahkan peserta didik untuk kembali berkumpul membentuk satu lingkaran. Pastikan untuk mengumpulkan peserta didik dengan duduk bersebelahan dengan peserta didik yang berasal dari pihak lawan debatnya, lakukan diskusi dalam satu kelas penuh tentang apa yang didapatkan oleh peserta didik dari persoalan yang telah diperdebatkan. Juga perintahkanlah peserta didik untuk menggali apa yang menurut mereka merupakan argumen terbaik yang dikemukakan oleh kedua belah pihak.
Dalam model pembelajaran ini ada suatu peraturan atau suatu
keharusan bagi masing-masing kelompok untuk menyampaikan
alasannya mengapa kelompoknya setuju atau tidak setuju dengan
suatu permasalahan. Dengan kata lain tidak dibenarkan suatu
kelompok untuk mengatakan setuju, tetapi tidak memiliki
argumentasi atau alasan mengapa mereka setuju, begitu juga
sebaliknya.
B. Penelitian yang Relevan
Berdasarkan hasil penelitian Indarti (2012), disimpulkan bahwa:
Model pembelajaran Studen Facilitator anda Explaining dengan advokasi
terdapat perbedaan. Diperoleh thitung > ttabel atau 2,948 > 1,6375.
22
C. Kerangka Berpikir
Tujuan pembelajaran berbicara yang diharapkan adalah agar siswa mampu
mengungkapkan gagasan, pendapat, dan pengetahuan secara lisan, serta
memiliki kegemaran berbicara kritis dan kreatif. Secara umum tujuan
pembelajaran keterampilan berbicara yaitu peserta didik mampu
mengomunikasikan ide atau gagasan, dan pendapat, secara lisan ataupun
sebagai kegiatan mengekspresikan ilmu pengetahuan, pengalaman hidup, ide,
dan lain sebagainya. Dengan belajar berbicara, diharapkan siswa tidak hanya
dapat mengembangkan kemampuan dalam melisankan ide atau gagasan yang
dimiliki, tetapi peserta didik diharapkan mampu mempertanggungjawabkan
gagasannya. Peserta didik juga harus dapat menyusun, pengungkapan bahasa
secara benar dan baik, sehingga gagasan yang dilisankan menjadi suatu
tuturan yang utuh.
Berbicara adalah salah satu keterampilan berbahasa, selain keterampilan
mendengarkan, menulis, dan membaca. Dibandingkan dengan keterampilan
berbahasa yang lain, keterampilan berbicara lebih sulit dikuasai bahkan oleh
penutur asli bahasa tersebut. Hal itu disebabkan keterampilan berbicara
menghendaki penguasaan secara spesifik untuk mengungkapkan ide atau
gagasan yang kritis dan kreatif, serta harus menguasai lambang-lambang
bunyi. Dalam keterampilan berbicara seseorang harus memperhatikan unsur
situasi atau konteks, dan paralinguistik yang nantinya sangat membantu proses
komunikasi. Kelancaran proses komunikasi dalam suatu ujaran bergantung
pada bahasa atau lambang-lambang bunyi. Agar peserta didik dapat
23
berkomunikasi dengan baik, pembicara hendaklah menuangkan gagasannya
kedalam bahasa yang tepat dan jelas.
Ada empat unsur yang harus dikuasai oleh seorang pembicara, yaitu unsur
psikologis, linguistik, situasi atau konteks, dan pemahaman ide yang akan
diujarkan. Unsur psikologis berkaitan dengan kondisi batin pembicara
(keberanian), linguistik berkaitan dengan penguasaan bahasa yang dikuasi
pembicara, situasi atau konteks berkaitan dengan keadaan yang ada disekitar
pembicara, pemahaman ide berkaitan dengan penguasaan bahan pembicaraan
oleh pemateri.
D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan kebenaran sementara yang perlu diuji
kebenarannya. Oleh karena itu, hipotesis berfungsi sebagai kemungkinan
menguji kebenarannya suatu teori. Jika hipotesis sudah diuji dan dibuktikan
kebenarannya maka hipotesis tersebut menjadi suatu teori. Jadi, sebuah
hipotesis diturunkan dari suatu teori yang sudah ada. Kemudian diuji
kebenarannya dan pada akhirnya memunculkan teori baru. Menurut Iskandar
(2008:57), “hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap masalah
penelitian”.
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir di atas maka
dirumuskan hipotesis penelitian yaitu “ada perbedaan kemampuan berbicara
peserta didik kelas IV SDN-9 Menteng Palangkaraya dilihat dari Model
Student Facilitator And Explaining dengan Model Advokasi Tahun Pelajaran
2013/2014”.
24
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
1. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai dari dari bulan Januari sampai
dengan bulan Juni tahun 2014. Rancangan observasi ini dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 1 Jadwal Penelitian
No Kegiatan Januari Februari Maret April Mei Juni
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 A. Tahap persiapan
1 Penyusunan proposal
x x x x x
2 Seminar proposal
x
3 Revisi proposal x x B. Pelaksanaan Penelitian
1 Pembimbingan x x x 2 Melakukan
Penelitian Lapangan
x x x x x x x
3 Menganalisis data
x x
C. Pelaporan Hasil Penelitian 1 Penyusunan
skripsi x x x x x
2 Ujian skripsi x 3 Revisi skripsi x x
2. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SDN-9 Menteng Palangka Raya.
Tempat tersebut dipilih berdasarkan fenomena yang tergambar pada latar
belakang permasalahan yang diangkat.
B. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode eksperimen karena
24
25
penelitian ini merupakan suatu metode yang sistematis dan logis untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan. Menurut Mardalis (2004:26), “penelitian
eksperimen bertujuan untuk menjelaskan apa-apa yang terjadi bila variabel-
variabel tertentu dimanipulasi secara tertentu”. Sementara itu menurut
Margono (2003:110) “penelitian eksperimen menggunakan suatu percobaan
yang dirancang secara khusus guna membangkitkan data yang diperlukan
untuk menjawab pertanyaan penelitian”.
Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat diketahui bahwa metode
eksperimen adalah suatu penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan atau
menguji hubungan sebab-akibat untuk membangkitkan data yang diperlukan
untuk menjawab pertanyaan di antara variabel-variabel yang diteliti.
Adapun desain eksperimen menurut Arikunto (2006:210), yang
digunakan dalam penelitian ini adalah digambarkan sebagai berikut:
Kelompok
Eksperimen I
T0 X T1
Kelompok
Eksperimen II
T0 - T1
Keterangan:
T0 = Pretest/ tes kemampuan awal
X = Pemberian perlakuan
T1 = Posttest / tes kemampuan akhir
Data yang dikumpulkan mula-mula disusun dan diadakan
percobaan/perlakuan kemudian di analisis. Dengan langkah-langkahnya
sebagai berikut:
26
1. Menentukan kelas eksperimen I dan kelas eksperimen II
2. Melakukan pemberian tes diawal pembelajaran (pretest) di kelas
eksperimen dan kelas eksperimen II.
3. Pemberian perlakuan kepada kelas eksperimen I (menggunakan metode
kerja kelompok) sedangkan kelas eksperimen II (menggunakan metode
penugasan).
4. Pemberian test di akhir pembelajaran (posttest) baik di kelas eksperimen
I maupun di kelas eksperimen II.
Menurut Margono (2003:10), bahwa “kelas eksperimen merupakan
kelompok eksperimen dikenakan perlakuan-perlakuan tertentu dengan
kondisi-kondisi yang dapat dikontrol”.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi Penelitian
Populasi merupakan merupakan seluruh objek penelitian . Menurut
Sukardi (2003:53), “populasi pada prinsipnya adalah semua anggota
kelompok manusia, binatang, peristiwa, atau benda yang tertinggal
bersama dalam suatu tempat dan secara berencana menjadi target
kesimpulan dari hasil akhir suatu penelitian. Sementara itu menurut
Iskandar (2008:68), menyatakan bahwa:
Populasi adalah keseluruhan unit-unit analisis yang memiliki ciri-ciri yang dapat terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuhan, nilai tes atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu di dalam suatu penelitian.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa populasi
merupakan suatu objek penelitian atau suatu keseluruhan unit yang
27
dianalisis yang memiliki ciri-ciri atau karakteristik tertentu di dalam suatu
penelitian. Pada dasarnya populasi merupakan sebuah atau kelompok
objek yang dapat digunakan sebagai objek dalam penelitian. Adapun
penelitian ini memiliki populasi 35 peserta didik kelas IVA dan IVB.
Adapun populasi penelitian tersebut sebagai berikut:
Tabel 2 Populasi Penelitian
No Kelas Jenis Kelamin Jumlah
Peserta Didik
Keterangan Laki-laki Perempuan
1. IV A 7 11 18 Eksperimen I 2. IV B 13 4 17 Eksperimen II
Jumlah 35 Sumber Data: Absensi
2. Sampel Penelitian
Menurut Arikunto, (2006:177) bahwa “Sampel penelitian adalah
merupakan sebagian dari populasi penelitian, hal ini sesuai dengan
pendapat yang menyatakan sampel adalah sejumlah individu yang
mewakili populasi”. Adapun menurut Sugiyono (2007:111), sampel adalah
“bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi
tersebut”.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa sampel
penelitian merupakan sebagian dari populasi penelitian, hal ini sesuai
dengan pendapat dan bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi tersebut.
Mengingat jumlah populasi cukup sedikit dan sifat populasi yang
cukup homogen, maka penelitian ini tidak melakukan pengambilan
28
sampel, melainkan seluruh populasi dijadikan objek penelitian yang sering
disebut penelitian populasi.
D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
1. Variabel Penelitian
Menurut Sugiyono (2007:71), “variabel penelitian adalah segala
sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut. Adapun
menurut Arikunto (2006:118), “variabel adalah merupakan objek
penelitian, atau apa yang menjadi titik penelitian”. Pendapat senada
diuraikan oleh Bungin (2004), bahwa “variabel adalah fenomena yang
bervariasi dalam bentuk, kualitas, kuantitas, mutu dan sebagainya”.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa variabel merupakan
suatu gejala yang menjadi objek penelitian. Sedangkan penelitian ini
melibatkan dua variabel sebagai berikut:
a. Variabel Terikat
Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau disebabkan oleh
variabel lain. Adapun variabel terikat (Y) dalam penelitian ini
kemampuan berbicara.
b. Variabel Bebas
Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau menjadi
penyebab bagi variabel lain. Adapun variabel bebas (X) dalam
penelitian ini adalah Model Student Facilitator And Explaining dengan
Model Advokasi Tahun Pelajaran 2013/2014.
29
2. Definisi Operasional
Untuk menjelaskan variabel yang menjadi objek dalam penelitian ini
dapat diuraikan sebagai berikut. Definisi operasional variabel adalah
sebagai berikut:
a. Model Student Facilitator and Explaining (bermain peran) adalah
pembelajaran yang peserta didik mempresentasikan ide atau pendapat
pada rekan peserta didik lainnya. Langkah-langkah pembelajaran
sebagai berikut:
1) Guru memberikan penjelasan tentang hal-hal yang harus
diperhatikan dalam membaca pantun pada aspek penjiwaan atau
ekspresi, vocal, gaya, kerja sama dalam melakukan balas pantun.
2) Guru memberikan keleluasaan berfikir bagi siswa untuk
mengadakan pengamatan dan penilaian terhadap kelompok yang
tampil. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan melakukan kegiatan
diskusi dengan kelompoknya.
b. Model pembelajaran advokasi atau debat yaitu metode pembelajaran
yang terjadinya perdebatan antara kelompok pro dan kontra untuk
mempertahankan masing-masing pendapatnya. Langkah-langkah
pembelajaran yaitu:
1) Guru menjelaskan materi pelajaran tentang pantun
2) Guru membagi peserta didik ke dalam dua regu yaitu regu kontra
dan regu pro. Masing-masing regu terdiri dari dua peserta didik
atau lebih.
30
3) Guru menyampaikan topik yang akan diperdebatkan dan
menjelaskan tugas masing-masing tiap regu dan audience.
4) Guru meminta setiap kelompok membuat pantun
5) Guru meminta perwakilan setiap kelompok untuk membacakan
pantun
6) Guru meminta setiap regu untuk menyusun strategi, argumen dan
pertanyaan-pertanyaan untuk mengomentari pihak lawan.
7) Setelah debat berakhir guru meminta peserta didik untuk kembali
ke bangku masing-masing.
8) Guru membahas topik pantun bersama-sama dengan peserta didik.
9) Guru membagikan lembar tugas individu untuk mengukur
pemahaman materi peserta didik tentang pantun.
c. Kemampuan berbicara adalah kemampuan mengungkapkan pendapat
atau pikiran dan perasaan kepada seseorang atau sekelompok orang
secara lisan, baik berhadapan ataupun dengan jarak jauh dengan
menggunakan kalimat yang sesuai dengan fungsi, situasi, serta norma-
norma berbahasa dalam masyarakat yang sebenarnya.
E. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen
1. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Observasi ini bertujuan untuk melihat atau melakukan
pengamatan terhadap aktivitas peserta didik dalam penguasaan materi
pelajaran. Menurut Margono (2003:158), “observasi adalah pencatatan
31
secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian”.
Adapun menurut Mardalis (2004:63), menyatakan bahwa “observasi
digunakan dalam rangka mengumpulkan data dalam suatu penelitian,
merupakan hasil perbuatan secara aktif dan penuh perhatian untuk
menyadari adanya suatu rangsangan yang diinginkan”.
Berdasarkan uraian di atas observasi adalah pengamatan,
pencatatan yang digunakan dalam rangka mengumpulkan data dalam
suatu penelitian tentang keadaan dan fenomena sosial dan gejala-gejala
fisik.
b. Tes
Arikunto (2005:171), menyatakan bahwa “tes adalah
instrumen yang disusun secara khusus karena mengukur sesuatu yang
sifatnya penting dan pasti”. Sementara itu menurut Margono,
(2003:66) tes adalah “alat atau prosedur yang dipergunakan dalam
rangka pengukuran dan penilaian saat dilaksanakannya atau peristiwa
berlangsungnya pengukuran dan penilaian”. Rasyid dan Mansur
(2008:11), menyatakan bahwa:
Tes adalah sejumlah pertanyaan yang membutuhkan jawaban, atau sejumlah pertanyaan yang harus diberikan tanggapan dengan tujuan mengukur tingkat kemampuan seseorang atau mengungkap aspek tertentu dari orang yang dikenai tes Berdasarkan pengertian di atas dapat diketahui bahwa tes
adalah sejumlah pertanyaan atau alat instrumen yang diberikan
taggapan dengan tujuan untuk mengukur dan saat dilaksanakannya.
Tes ini dilakukan setiap pembelajaran dan diakhir pembelajaran. Tes
32
ini dimaksud untuk melihat tingkat penguasaan peserta didik dalam
penerapan metode kooperatif dengan metode konvensional. Tes yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Pre test yaitu tes yang diberikan kepada peserta didik mengenai
bahan yang akan diajarkan kepadanya sebelum kegiatan belajar
mengajar dimulai.
2) Post tes adalah tes yang diberikan kepada peserta didik setelah
proses belajar mengajar selesai.
c. Dokumentasi
Dokumentasi berisi catatan kegiatan maupun catatan peristiwa
yang telah berlalu. Menurut Arikunto (2006:206), bahwa dokumentasi
adalah “metode mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang
berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti,
notulen, rapat, tengger, agenda, dan sebagainya”. Dokumentasi dalam
penelitian ini yaitu berupa nilai ulangan harian, absensi, profil
sekolah, foto-foto lingkungan sekolah, dan denah lokasi.
2. Instrumen Penelitian
Menurut Arikunto (2006:160) “instrumen penelitian adalah alat
atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar
pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih hemat,
lengkap dan sistematis sehingga lebih mudah diolah. Instrumen penelitian
yang digunakan adalah tes. Tes merupakan instrumen atau sejumlah
pertanyaan yang diberikan kepada peserta didik yang digunakan untuk
33
mengukur atau memberikan penilaian. Tes yang diberikan yaitu menyuruh
siswa untuk menceritakan kegemaran dalam keseharian yang ditulis dalam
teks, kemudian menceritakan kembali di depan kelas tanpa melihat teks.
Tabel 3 Skor Kriteria Peningkatan Berbicara
Nama
Siswa Lafal Kelancaran Kejelasan Intonasi Jumlah
Untuk memberikan nilai dapat digunakan skala untuk setiap aspek
yang dinilai sebagai berikut:
a. Baik skor 50
b. Cukup baik skor 30
c. Kurang baik skor 15
d. Tidak baik skor 5
Lalu konsultasikan ke tolok ukur untuk mengetahui tingkat
kemampuan.
Tolok Ukur : 85%-100% ----> Baik Sekali -------> BS 75%-84% ----> Baik -------> B 60%-74% ----> Cukup -------> C 40%-59% ----> Kurang -------> K 0%-39% ----> Gagal -------> G Sumber : Nurgiantoro, (2010 : 296)
34
F. Teknik Analisis Data
Untuk menguji hipotesis, maka data penelitian akan dianalisis dengan
uji t. Adapun rumus uji – t yang digunakan sebagai berikut:
� =�₁��₂
���₁²
�₁���
��₂²
�₂��
(Hasan dalam Suaibah, 2002:23)
Keterangan: X₁ = Rata-rata kemampuan berbicara menggunakan model student
facilitator and explaining (bermain peran) X₂ = Rata- rata kemampuan berbicara menggunakan model advokasi. SD₁² = Varians kemampuan berbicara menggunakan model student
facilitator and explaining (bermain peran) SD₂² = Varians kemampuan berbicara menggunakan model advokasi. n1 = Banyaknya peserta didik kelas IV A n2 = Banyaknya peserta didik kelas IV B
Menguji perbedaan kedua variabel thitung di konsultasikan dengan ttabel,
jika thitung hasil perhitungan lebih besar dari ttabel pada taraf signifikan 5%
maka ke dua variabel tersebut ada perbedaan kemampuan berbicara peserta
didik kelas IV SDN-9 Menteng Palangkaraya dilihat dari Model Student
Facilitator And Explaining, begitu juga sebaliknya. Menghitung apakah
hipotesis ditolak atau diterima, maka akan digunakan kriteria sebagai berikut:
Jika th (thitung) > tt (ttabel), maka Ha diterima dan H0 ditolak
Jika th (thitung) < tt (ttabel), maka H0 diterima dan Ha ditolak