12
PENDAHULUAN Latar Belakang Menurut Veron (1995), terumbu karang merupakan ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di wilayah Indo Pasifik. Terbatasnya penyebaran terumbu karang di perairan tropis dan bentang latitudinal dari wilayah selatan Jepang sampai dengan Australia dikendalikan oleh faktor temperatur dan sirkulasi permukaan (surface circulation) air. Penyebaran terumbu karang secara longitudinal dipengaruhi oleh adanya konektivitas berupa stepping stone (area penyebaran). Kombinasi antara faktor lingkungan fisik (temperatur dan sirkulasi air permukaan) dengan banyaknya jumlah area penyebaran yang terdapat di wilayah Indo Pasifik diperkirakan menjadi faktor pendukung luasnya terumbu karang di kawasan tersebut. Kini hampir 800 jenis karang yang tergolong kelompok Schleractinia telah dideskripsikan. Dari sejumlah karang yang ditemukan ini, 600 jenis berada di Asia Tenggara khususnya Indonesia dan Philipina (Burke, Selig dan Spalding, 2002), dan dengan pertimbangan luas kawasannya sebesar 34% (51% konstribusi kawasan terumbu karang Indonesia) dari total kawasan terumbu karang di dunia maka secara biogeografi kawasan ini dinyatakan sebagai pusat sebaran karang di dunia (Veron, 1995). Dewasa ini eksistensi ekosistem terumbu karang semakin menurun baik kuantitas maupun kualitasnya. Penurunan ini berlangsung seiring dengan meningkatnya tekanan alami maupun karena kepentingan masyarakat. Pengaruh tekanan alami terhadap keutuhan terumbu karang telah terjadi sejak lama hingga saat ini. Pengaruh ini khususnya diindikasikan oleh pemutihan karang atau coral bleaching. Istilah coral bleaching itu sendiri di definisikan oleh Brown (1997) sebagai pemutihan karang diikuti dengan lepasnya alga simbiotik (zooxanthellae) dan atau peluluhan pigmennya. Fenomena pemutihan karang itu sendiri sebagaimana dalam rangkuman Brown (1997) yang bersumber dari berbagai peneliti di berbagai tempat diinformasikan telah menyebar luas. Di Polynesia Perancis, pemutihan karang dilaporkan terjadi mulai pada tahun 1973, kemudian berturut-turut terjadi pada tahun 1983-1984; 1986-1987, 1991; 1994 dan 1996. Kejadian ini berlangsung secara berulang di beberapa tempat. Di kawasan

PENDAHULUAN Latar Belakang - repository.ipb.ac.id · Latar Belakang Menurut Veron (1995), terumbu karang merupakan ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di wilayah

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENDAHULUAN Latar Belakang - repository.ipb.ac.id · Latar Belakang Menurut Veron (1995), terumbu karang merupakan ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di wilayah

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Menurut Veron (1995), terumbu karang merupakan ekosistem khas daerah

tropis dengan pusat penyebaran di wilayah Indo Pasifik. Terbatasnya penyebaran

terumbu karang di perairan tropis dan bentang latitudinal dari wilayah selatan

Jepang sampai dengan Australia dikendalikan oleh faktor temperatur dan sirkulasi

permukaan (surface circulation) air. Penyebaran terumbu karang secara

longitudinal dipengaruhi oleh adanya konektivitas berupa stepping stone (area

penyebaran). Kombinasi antara faktor lingkungan fisik (temperatur dan sirkulasi

air permukaan) dengan banyaknya jumlah area penyebaran yang terdapat di

wilayah Indo Pasifik diperkirakan menjadi faktor pendukung luasnya terumbu

karang di kawasan tersebut. Kini hampir 800 jenis karang yang tergolong

kelompok Schleractinia telah dideskripsikan. Dari sejumlah karang yang

ditemukan ini, 600 jenis berada di Asia Tenggara khususnya Indonesia dan

Philipina (Burke, Selig dan Spalding, 2002), dan dengan pertimbangan luas

kawasannya sebesar 34% (51% konstribusi kawasan terumbu karang Indonesia)

dari total kawasan terumbu karang di dunia maka secara biogeografi kawasan ini

dinyatakan sebagai pusat sebaran karang di dunia (Veron, 1995).

Dewasa ini eksistensi ekosistem terumbu karang semakin menurun baik

kuantitas maupun kualitasnya. Penurunan ini berlangsung seiring dengan

meningkatnya tekanan alami maupun karena kepentingan masyarakat. Pengaruh

tekanan alami terhadap keutuhan terumbu karang telah terjadi sejak lama hingga

saat ini. Pengaruh ini khususnya diindikasikan oleh pemutihan karang atau coral

bleaching. Istilah coral bleaching itu sendiri di definisikan oleh Brown (1997)

sebagai pemutihan karang diikuti dengan lepasnya alga simbiotik (zooxanthellae)

dan atau peluluhan pigmennya. Fenomena pemutihan karang itu sendiri

sebagaimana dalam rangkuman Brown (1997) yang bersumber dari berbagai

peneliti di berbagai tempat diinformasikan telah menyebar luas. Di Polynesia

Perancis, pemutihan karang dilaporkan terjadi mulai pada tahun 1973, kemudian

berturut-turut terjadi pada tahun 1983-1984; 1986-1987, 1991; 1994 dan 1996.

Kejadian ini berlangsung secara berulang di beberapa tempat. Di kawasan

Page 2: PENDAHULUAN Latar Belakang - repository.ipb.ac.id · Latar Belakang Menurut Veron (1995), terumbu karang merupakan ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di wilayah

2

terumbu karang Samudera India, pemutihan karang terjadi pada tahun 1991 dan

1995. Di kawasan terumbu karang Laut Karibia khususnya di Jamaika juga

dilaporkan terjadi pemutihan pada Tahun 1987, 1988, 1990 dan 1995 serta

beberapa tempat lain.

Peningkatan kegiatan ekonomi di kawasan pesisir yang mempunyai

potensi terumbu karang dan atau yang berdaya guna secara langsung di

lingkungan terumbu karang merupakan bentuk pengaruh antropogenik terhadap

keberadaan terumbu karang. Meskipun gangguan antropogenik terjadi pada

variasi spasial maupun temporal, tetapi seringkali overlap (tumpang tindih)

diantaranya memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap terumbu karang. Di

beberapa lokasi di pesisir Indonesia, adanya pengaruh antropogenik dapat

mematikan atau memusnahkan ekosistem ini. Pengaruh antropogenik ini akan

semakin besar dampaknya terhadap karang akibat tumpang tindih dengan

pengaruh peningkatan temperatur air laut secara global. Kejadian ini mempunyai

implikasi kronik dalam jangka panjang sebagaimana diperlihatkan oleh efek

eutrofikasi. Fenemona ini akan menurun kepada gangguan seperti penyakit

bakteri yang dapat mengakibatkan pemutihan karang sebagaimana terjadi akibat

peningkatan temperatur (Rosenberg dan Ben-Haim, 2002). Efek gangguan

campuran secara umum dapat mengganggu proses pertumbuhan karang,

mempengaruhi rekruitmen serta proses regeneratif (Hughes dan Connell, 1999).

Penurunan kualitas dan kuantitas ekosistem terumbu karang tersebut selanjutnya

memberikan implikasi efek terhadap berbagai hal seperti menurunnya kelimpahan

ikan (Wilkinson, 1999); eutrifikasi (Berner dan Izhaki, 1994; Stambler dan Vago,

1994; Wilkinson, 1999). Kejadian ini sangat ironis dengan keberadaannya yang

sangat penting baik terhadap fungsinya sebagai kawasan penyangga kehidupan

internal dan eksternal ekosistem bentukannya maupun fungsinya sebagai

penyangga sistem pulau.

Berdasarkan keterangan di atas, nampak bahwa penyebab pemutihan

karang dapat bermacam-macam. Namun demikian, pengaruh temperatur selain

merupakan faktor alamiah yang dapat berlangsung periodik juga mempunyai

pengaruh dengan sifat langsung terhadap terjadinya pemutihan karang. Faktor

pemanasan air laut sebagai salah satu implikasi dari pemanasan global adalah

Page 3: PENDAHULUAN Latar Belakang - repository.ipb.ac.id · Latar Belakang Menurut Veron (1995), terumbu karang merupakan ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di wilayah

3

gejala alam yang kian akan terus mempengaruhi kehidupan terumbu karang.

Berkenaan dengan fenomena di atas, maka pemutihan karang akan terus menjadi

fenemena yang harus diterima oleh biota karang. Dalam kondisi fluktuasi ini

karang akan terus melakukan proses adaptasi untuk mempertahankan diri terhadap

kematian (Fitt et al. 2001). Salah satu faktor penting terkait dengan hal tersebut

adalah kemungkinan terjadinya translokasi zooxanthellae pasca proses pemutihan,

sebagai bagian dari mekanisme adaptasi yang dilakukan oleh karang dalam

mengantisipasi perubahan lingkungan eksternalnya. Ini menjadi pertanyaan utama

dari kekhawatiran akan masa depan terumbu karang akibat tekanan yang luas.

Tekanan yang luas ini tidak saja mengantisipasi efek pemanasan global yang

bersifat alamiah juga akibat langsung dan tidak langsung dari pengaruh

anthropogenik (Westmacott, et al., 2000). Selanjutnya dijelaskan bahwa

pendekatan yang perlu dilakukan adalah dengan penerapan beberapa model

pengelolaan secara terpadu. Namun dibalik itu semua, pada prinsipnya gangguan

yang terjadi pada karang dalam suatu runtun waktu tertentu memerlukan proses

pemulihan. Pernyataan Peters, (1997); Nystrom, Folke dan Moberg (2000) dan

Fitt et al. (2001) perlu dicermati terhadap fenomena ini. Dikemukakan bahwa

hasil dari perubahan ini mungkin mempunyai peran penting dalam rangka

meningkatkan daya dukung yang akan berkompromi terhadap kemampuan

terumbu karang mengatasi gangguan pada masa mendatang.

Pernyataan Buddemeier dan Fautin (1993) mengenai pemutihan karang

dan peristiwa translokasi zooxanthellae perlu dikaji lebih mendalam, meskipun

mengandung banyak perdebatan. Dikemukakan bahwa pemutihan karang secara

umum diamati sebagai suatu hubungan antara tekanan lingkungan akibat

perubahan faktor fisika lingkungan terhadap binatang karang, khususnya tentang

perusakan terhadap organisme zooxanthellae. Selanjutnya dikemukakan bahwa

pemutihan karang merupakan suatu mekanisme adaptasi yang cepat dari karang

terhadap sifat pathologi lingkungan, dengan catatan asal ada suatu kesempatan

bagi zooxanthellae untuk bergabung kembali dengan host (inang/polyp karang),

melalui adaptasi untuk merubah kepada keadaan yang lebih baik. Perbedaan kecil

antara temperatur yang terjadi pada interval waktu yang teratur dikemukakan

tidak berefek dalam menurunkan pemutihan karang; eksistensi pemutihan karang

Page 4: PENDAHULUAN Latar Belakang - repository.ipb.ac.id · Latar Belakang Menurut Veron (1995), terumbu karang merupakan ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di wilayah

4

bebas dari pengaruh temperatur pada kisaran kedalaman yang lebar (Jokiel dan

Coles, 1990) dan lebih lanjut dikemukakan bahwa pemulihan karang mungkin

saja terjadi karena dimungkinkannya lebih dari satu takson zooxanthellae dapat

menempati inang polip karang (Rowan dan Power; 1991). Pendapat tersebut

semuanya mendukung teori translokasi. Veron (1995) menyatakan bahwa

temperatur hanya sebagai suatu syarat yang menghantarkan ke proses pemutihan

karang, sebagaimana peranannya dalam pengaturan siklus reproduksi.

Ruang Lingkup Penelitian

Dewasa ini kondisi terumbu karang baik yang ditemukan di perairan

Indonesia maupun di berbagai lokasi sebarannya telah mengalami degradasi.

Berkaitan dengan proses degradasi tersebut, Westmacott, et al (2000)

menyatakan bahwa gangguan terbesar bagi terumbu karang baik secara lokal

maupun global menimbulkan pertanyaan mengenai masa depan terumbu karang.

Berkenaan dengan proses degradasi karang, maka pada dasarnya tekanan yang

diterima oleh biota ini pada awalnya merupakan suatu aktivitas pemutusan

hubungan fungsional antara zooxanthellae dengan karang. Proses pemutusan

hubungan fungsional ini merupakan mekanisme pelepasan zooxanthellae dari

jaringan-jaringan polip karang. Mekanisme awalnya dicirikan oleh proses

pemutihan karang. Dengan pelepasan zooxanthellae ini maka proses transfer

energi beserta dampak fungsional akan terganggu. Dalam tekanan yang bersifat

kontinyu dan dalam jangka waktu yang lama maka akan dapat menyebabkan

kematian bagi karang.

Pemulihan terumbu karang adalah suatu kemampuan dari suatu koloni

individual atau suatu sistem terumbu karang (termasuk semua penghuninya),

untuk mempertahankan diri dari dampak lingkungan serta menjaga potensi

berkembang. Dampak yang sifatnya merusak dan berkesinambungan secara

perlahan-lahan dapat mengurangi secara progresif kemampuan pemulihan karang.

Sebagaimana halnya dengan tekanan temperatur yang mengakibatkan terjadinya

pemutihan karang. Dalam rentang waktu yang lama dan berfluktuasi

mengakibatkan kematian sebagian besar karang dan hanya menyisakan sedikit

Page 5: PENDAHULUAN Latar Belakang - repository.ipb.ac.id · Latar Belakang Menurut Veron (1995), terumbu karang merupakan ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di wilayah

5

karang yang resisten (Fitt et al., 2001). Kembalinya ekosistem terumbu karang ke

fungsi semula setelah degradasi bergantung kepada kesuksesan reproduksi dan

rekolonisasi karang-karang yang tersisa serta dari karang-karang yang berada di

luar populasi sumber terumbu dalam kondisi kelabilan lingkungan.

Dalam kaitan tersebut, terlaksananya reproduksi dan rekolonisasi

merupakan suatu kejadian dari suatu proses kehidupan karang untuk membantu

melakukan pemulihan. Reproduksi dan rekolonisasi tidak akan dapat terlaksana

dan mempunyai peluang yang sangat kecil dalam kondisi terganggunya faali biota

karang (Fitt et al., 2000). Selanjutnya dikemukakan bahwa gangguan faali ini

harus terselesaikan terlebih dahulu untuk mendapatkan kondisi karang yang stabil.

Stabilitas faali merupakan salah satu faktor penting dalam pemulihan individu

karang. Menurut Lenhoff (1974) stabilitas faali tersebut adalah kelengkapan

stuktur biokimiawi polip. Selanjutnya dikemukakan bahwa struktur biokimiawi

cnidaria mencakup sistem syaraf dan sistem transport nutrien. Keduanya

memegang peranan penting dalam proses reproduksi serta adaptasi karang.

Regulasi zooxanthellae berkaitan dengan proses pemulihan organ dalam

polip karang. Menurut Stokes (1972) dinyatakan bahwa dalam kondisi eleminasi

sebagian organ jaringan mesoglea dan endoderm maka terbentuknya rajutan baru

ditentukan oleh sambungan fungsional dari sistem syaraf dan sistem nutrisi

karang. Masuknya zooxanthellae ke dalam jaringan ini merupakan pemula untuk

dapat terwujudnya jaringan ikat baik syaraf maupun nutrisi dari polip karang.

Demikian seterusnya hingga akan mengisi kerusakan-kerusakan organel dalam

jaringan mesoglea dan endoderm untuk membentuk struktur organ yang sempurna

dari polip karang. Dalam kondisi inilah proses reproduksi dan rekolonisasi akan

dapat berlangsung.

Fenomena pemutihan karang sebagai indikasi awal tekanan lingkungan

terhadap karang dan peluang pemulihan menjadi pemicu tentang pemikiran proses

pemulihan terumbu karang akibat degradasi. Laporan struktur komunitas karang

pasca bleaching di kawasan terumbu karang Pulau Seribu yang dilakukan oleh

Suharsono (1988) memberikan informasi bahwa terdapat potensi pemulihan

terumbu karang meskipun lambat. Hal yang sama dilaporkan oleh Suharyadi

Page 6: PENDAHULUAN Latar Belakang - repository.ipb.ac.id · Latar Belakang Menurut Veron (1995), terumbu karang merupakan ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di wilayah

6

(2003) bahwa pada saat musim penghujan terumbu karang di paparan terumbu

karang Selatan Pulau Panjang hampir memperlihatkan kepunahan, namun

demikian pasca musim hujan berlalu terindikasi mempunyai pemulihan dengan

struktur komunitas yang sama. Dengan demikian memunculkan pertanyaan

apakah coral bleaching hanya semata-mata merupakan suatu efek ataukah suatu

strategi biota untuk mempertahankan diri masih menyisakan pertanyaan.

Buddemier dan Futin (1983) berpendapat bahwa hal tersebut merupakan

kemungkinan yang terjadi di alam, dengan konsepnya bahwa pemutihan karang

merupakan mekanisme adaptasi; meskipun pendapat ini ditentang oleh beberapa

peneliti lainnya.

Teknik translokasi zooxanthellae antar inang pada ekosistem terumbu

karang yang diteliti ini merupakan salah satu upaya untuk memberikan

pembuktian terhadap teori adaptasi sebagaimana yang diusulkan oleh Buddemeier

dan Futin (1983). Selanjutnya bahwa tantangan ke depan khususnya terhadap

meningkatnya perdagangan karang akhir-akhir ini perlu diantisipasi massalisasi

produk karang melalui teknik-tektik buatan dengan tanpa menggantungkan

sepenuhnya pada sediaan alamiah. Bioteknik translokasi zooxanthellae pada

karang diperkirakan dapat memberikan pemecahan masalah tersebut; sehingga

nilai keberadaan (existence value) dari karang akan tetap terpelihara secara

alamiah; sementara nilai ekonomi (economic value) dapat ditarik berdasarkan

pendekatan etik seperti yang dipersyaratkan sebagai produk ekonomik dan lestari

dari sumberdaya alam (Primack, 1995). Dengan demikian, kajian translokasi tidak

hanya dapat memberikan jawaban mendasar tentang pemulihan terumbu karang,

akan tetapi juga merupakan suatu langkah alternatif terhadap bagi upaya-upaya

pemanfaatan terumbu karang secara lebih bijaksana.

Pemikiran translokasi zooxanthellae antar inang sebagaimana yang akan

dituju dalam penelitian ini, secara konseptual didasarkan kepada tiga aspek, yaitu :

1. Peranan simbiosis antara zooxantellae dan binatang karang.

Simbiosis merupakan peristiwa ekologi yang menjadi suatu ketetapan

kehadirannya dalam khasanah ilmu biologi. Secara fisiologis manfaat dari

simbiosis dapat dirinci sebagai berikut :

Page 7: PENDAHULUAN Latar Belakang - repository.ipb.ac.id · Latar Belakang Menurut Veron (1995), terumbu karang merupakan ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di wilayah

7

a. Merombak sisa metabolik (Goreau, 1961 dalam Veron, 1995)

b. Meningkatkan proses kalsifikasi (Goreau, 1961 dalam Veron, 1995),

c. Memberikan konstribusi nutrien secara langsung dan

d. Mendaur ulang (recycling) nutrien pembatas (nitrogen dan fosfor).

Dengan adanya simbiosis, semua kegiatan tersebut atau semua manfaat tersebut

akan terlaksana; dan dengan adanya simbiosis ini maka secara fototropis dapat

memperpanjang kehidupan karang dalam suatu periode tertentu dan jika tidak

untuk jangka waktu tak terbatas memberikan tambahan nutrien minor.

2. Proses Relokasi zooxantellae.

Proses kalsifikasi pada binatang karang mempunyai ketergantungan yang

sangat besar terhadap kelimpahan zooxanthellae dalam jaringan tubuhnya. Di lain

pihak bahwa proses relokasi zooxanthellae sangat bergantung baik kepada

mekanisme transduksi maupun proses respon interselnya. Menurut Lenhoff

(1974), bahwa terdapat beberapa tahap dalam mekanisme relokasi zooxanthellae

dalam inang binatang karang, yaitu :

a. Kontak dan Pengenalan (Recognition). Meskipun terdapat argumentasi bahwa

transduksi zooxanthellae pada jaringan seluler inangnya terjadi pada saat

pelepasan planula, namun tahap ini juga dapat terjadi pada setiap

perkembangan dari binatang karang. Berkaitan dengan mekanisme kontak ini

oleh Borneman (1998) diinformasikan adanya beberapa mekanisme

recognition yang terjadi yaitu melalui 5 cara :

1) Planula Larva. Dalam hal ini keberadaan zooxanthellae pada karang

diperkirakan terjadi sejak masih larva. Pada saat planula karang dilepaskan

dari induknya, maka pada saat itu telah ditemukan zooxanthellae pada

jaringan planula. Kemudian sejalan dengan pertumbuhan karang, maka

zooxanthellae melakukan proses regulasi pertumbuhannya dalam jaringan

polip karang;

2) Sinyal kimia (chemosensory), yaitu suatu proses transduksi yang dilandasi

oleh adanya atraktan seperti ammonium dan nirat yang merangsang

zooxanthellae untuk melakukan simbiosis dengan karang. Setelah

melakukan proses transduksi dan terendositosis ke dalam jaringan

Page 8: PENDAHULUAN Latar Belakang - repository.ipb.ac.id · Latar Belakang Menurut Veron (1995), terumbu karang merupakan ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di wilayah

8

mesoglea, selanjutnya ketersediaan nutrien tersebut secara nyata dapat

merangsang pertumbuhan zooxanthellae dalam jaringan karang;

3) Inang penyela (intermediet host). Cara ini dijelaskan bahwa masuknya

zooxanthellae dapat terjadi melalui pemangsaan eksternal yang dilakukan

oleh polip karang. Suatu biota penyela (zooplankton) seperi udang kecil,

hasil sisa cernaan zooplankton dan alga yang dimangsa oleh polip karang

merupakan komponen penunjang dimungkinkannya transfer zooplankton

ke dalam jaringan karang. Zooplankton atau biota penyela ini selanjutnya

akan diangkut ke dalam mesentri polip kemudian sisaannya akan

tersimpan disana.

4) Feces predator. Ini prinsipnya adalah keluarnya zooxanthallae dari

pemangsaan yang tidak sempurna, atau ketidak mampuan beberapa biota

untuk mencernanya. Keluar bersama feces yang akhirnya dapat terlarut ke

dalam lingkungan perairan.

5) Kontak Acak; yang terjadi melalui terjadinya proses pertemuan secara

acak akibat sifat planktonik dari zooxanthellae. Setelah terjadi kontak

tersebut, maka terjadinya proses endositosis apabila keduanya mengalami

persesuaian.

b. Endocytosis. Merupakan proses pemasukan suatu sel alga ke dalam jaringan

inang. Prosesnya dilakukan setelah mengalami tahap pengenalan dengan

kecepatan dan jumlah yang bergantung kepada jenis dan kapasitas dari

binatang karang.

c. Relokasi intraselluler dari simbion, ini berkaitan dengan sistem endoskeleton

dari binatang karang. Proses enzymatik yang membantu pelaksanaannya

ditentukan oleh fluktuasi pH seluler.

d. Pertumbuhan dan regulasi kuantitasnya. Proses ini terjadi setelah relokasi dan

berlangsung dengan bergantung kepada perubahan faktor-faktor eksternal

penentu (khususnya faktor limiting) pertumbuhan. Pemutihan merupakan

salah satu fenomena regulasi dari zooxanthellae dalam jaringan binatang

karang.

Page 9: PENDAHULUAN Latar Belakang - repository.ipb.ac.id · Latar Belakang Menurut Veron (1995), terumbu karang merupakan ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di wilayah

9

3. Proses Kalsifikasi Binatang Karang.

Menurut Goreau dalam Muscatine (1974) proses kalsifikasi merupakan

kombinasi pengaruh eksternal dan internal. Pengaruh faktor eksternal

diperlihatkan dalam suplai Ca2+

dan kekurangan CO2 dan perubahan pH ke dalam

jaringan seluler. Adapun pengaruh eksternal adalah adanya kerja enzym

hydroksida dan proses transfer nutrien diantara zooxanthellae dan binatang

karang. Pengaruh eksternal juga dimungkinkan apabila terdapat fluktuasi tekanan

insitu dimana binatang karang tersebut ditemukan.

Sementara itu dukungan hasil penelitian yang mempunyai keeratan dengan

dimungkinkannya proses translokasi zooxanthellae antar inang pada karang

didasarkan kepada keterangan yang menyebutkan bahwa zooxanthellae bukan

merupakan species endosimbion tunggal. Selanjutnya berkenaan dengan uji DNA

terhadap ragam zooxanthellae pada ragam inang sebagaimana dilakukan oleh

Rowan dan Powers (1991) diperoleh keterangan bahwa clade zooxanthellae

ternyata beragam. Di samping itu diinformasikan pula bahwa Pocillopora

damicornis dan Pocillopora meandrina mempunyai dua clade zooxanthellae

yang sama. Ini berarti bahwa genotip alga yang sama ditemukan pada inang yang

berbeda. Keterangan ini memberikan dukungan bahwa dimungkinkan terjadinya

proses translokasi zooxanthellae antar inang.

Berkaitan dengan berbagai proses dalam fenomena relokasi zooxanthellae

dan peranannya terhadap proses kalsifikasi pada biota karang maka dalam

telaahannya diperlukan tahapan kajian sebagai berikut (Gambar 1):

1. Tahap pemurnian zooxanthellae dari beberapa sumber inang, penumbuhan

zooxanthellae secara massal dan uji keragaman genetik merupakan tahap

penelitian awal yang bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh binatang

karang dapat bertahan dalam lingkungan binaan dan seberapa jauh berbagai

jenis zooxanthellae dapat dipertahankan dalam penumbuhan massal;

2. Tahap kemampuan adaptasi adalah seri percobaan kedua bertujuan untuk

mendapatkan model biota uji dengan tingkat depresi terendah yang masih

dapat bertahan hidup akibat terapan beragam kisaran temperatur;

Page 10: PENDAHULUAN Latar Belakang - repository.ipb.ac.id · Latar Belakang Menurut Veron (1995), terumbu karang merupakan ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di wilayah

10

Sumber Inang Zooxanthellae : Sea Anemone, Tridacna,

Acropora, Favites dan Goniastrea

Kesesuaian Nutrisi

Kesesuaian Lingkungan Eksternal

Sediaan dan Ragam clade

Zooxanthellae Pengaturan optimasi Penumbuhan Clade

Zooxanthellae

Penumbuhan Massal Clade

Zooxanthellae

Kejut Temperatur 4 tingkat : 28o, 32o, 36o,

40o

T-I

Seleksi binatang karang

Karang yang terseleksi

Karang Bleaching (Goniastrea aspera)

yang Teradaptasi

T-II

Translokasi Zooxanthellae

Sintasan Karang yang Tertranslokasi

Pertumbuhan Karang yang Tertranslokasi

T-III

T-I : Percobaan seri I Kajian Pertumbuhan Zooxanthellae Secara Massal dan Uji Keragaman Genetik

T-II : Percobaan seri II Uji Degradasi Jaringan Polip Karang dan Ketahanannya Pasca Pemutihan

T-III : Percobaan seri III Uji Translokasi Clade Zooxanthellae terhadap Karang Goniastrea aspera pasca Pemutiahan

Gambar 1. Bagan Pendekatan Masalah Penelitian

10

Page 11: PENDAHULUAN Latar Belakang - repository.ipb.ac.id · Latar Belakang Menurut Veron (1995), terumbu karang merupakan ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di wilayah

11

3. Tahap translokasi adalah upaya silang clade dilakukan dengan dua langkah yaitu :

Tingkat penjenuhan zooxanthellae, dalam hal ini pengukuran diarahkan kepada

dua aspek yaitu kelimpahan zooxanthellae dan profil penempatannya ke dalam

jaringan karang hasil adaptasi. Kajian pada tahap penjenuhan karang dilakukan

setelah obyek penelitian ini dibleachingkan dengan mempergunakan kejut

temperatur. Kedua tahap kalsifikasi merupakan tahap penelitian yang diarahkan

untuk menerangkan seberapa jauh proses transfer nutrien antara simbion dan

inang dapat berlangsung. Untuk keperluan ini maka akan dilakukan pengukuran

pertumbuhan karang pasca penjenuhan zooxanthellae.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengevaluasi penumbuhan massal zooxanthellae berdasarkan tahapan pemurnian

clade dari berbagai inang (Sea anemon, Tridacna, Acopora, Favites dan

Goniastrea);

2. Mengevaluasi dan menginventarisir profil zooxanthellae berdasarkan karakter

DNAnya;

3. Mengkaji proses bleaching dan mengembangkan batasan tolok ukurnya;

4. Mengevaluasi kemampuan pulih karang pasca pemutihan;

5. Mengevaluasi tahapan translokasi zooxanthellae pada jaringan polip binatang

karang;

6. Mengkaji pengaruh translokasi terhadap sintasan dan pertumbuhan karang.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat berupa :

1. Konstribusi pemikiran terhadap upaya penyediaan stock zooxanthellae berbagai

clade dengan sifat bawaan sebagai upaya translokasinya pada beberapa jenis

karang baik bagi kepentingan ekonomis maupun konservasi;

2. Konstribusi pemikiran terhadap upaya konservasi berdasarkan pengembangan

tolok ukur kuantitatif keberadaan zooxanthellae pada jaringan polip karang;

Page 12: PENDAHULUAN Latar Belakang - repository.ipb.ac.id · Latar Belakang Menurut Veron (1995), terumbu karang merupakan ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di wilayah

12

3. Konstribusi pemikiran terhadap penambahan tolok ukur bagi evaluasi status

kesehatan terumbu berdasarkan profil endosimbiosis.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan untuk dianalisis dan dibuktikan adalah :

1. Kesesuaian nutrisi dan kondisi lingkungan dapat memelihara pertumbuhan

optimal zooxanthellae;

2. Pemutihan parsial dapat mempertahankan pemulihan karang;

3. Translokasi zooxanthellae meningkatkan ketahanan dalam mempertahankan

kelangsungan hidup karang;

4. Zooxanthellae yang tertranslokasikan dapat mengalami pengaturan pertumbuhan

di jaringan polyp;

5. Tingkat penjenuhan zooxanthellae yang optimal dapat menunjang proses

kalsifikasi.

Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan secara laboratorium maupun secara alami di perairan

terumbu karang. Pelaksanaan penelitian laboratorium dilakukan di Balai Besar

Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) dan Laboratorium Pengembangan

Wilayah Pantai Jepara Universitas Diponegoro (LPWP – UNDIP). Keduanya berada

di Jepara Jawa Tengah. Lokasi penelitian lapang adalah di Pulau Bokor sebagai lokasi

inang awal serta perairan terumbu karang Selatan Pulau Panjang sebagai lokasi

inkubasi alamiah (Gambar 2).