Upload
doanxuyen
View
236
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Menurut Veron (1995), terumbu karang merupakan ekosistem khas daerah
tropis dengan pusat penyebaran di wilayah Indo Pasifik. Terbatasnya penyebaran
terumbu karang di perairan tropis dan bentang latitudinal dari wilayah selatan
Jepang sampai dengan Australia dikendalikan oleh faktor temperatur dan sirkulasi
permukaan (surface circulation) air. Penyebaran terumbu karang secara
longitudinal dipengaruhi oleh adanya konektivitas berupa stepping stone (area
penyebaran). Kombinasi antara faktor lingkungan fisik (temperatur dan sirkulasi
air permukaan) dengan banyaknya jumlah area penyebaran yang terdapat di
wilayah Indo Pasifik diperkirakan menjadi faktor pendukung luasnya terumbu
karang di kawasan tersebut. Kini hampir 800 jenis karang yang tergolong
kelompok Schleractinia telah dideskripsikan. Dari sejumlah karang yang
ditemukan ini, 600 jenis berada di Asia Tenggara khususnya Indonesia dan
Philipina (Burke, Selig dan Spalding, 2002), dan dengan pertimbangan luas
kawasannya sebesar 34% (51% konstribusi kawasan terumbu karang Indonesia)
dari total kawasan terumbu karang di dunia maka secara biogeografi kawasan ini
dinyatakan sebagai pusat sebaran karang di dunia (Veron, 1995).
Dewasa ini eksistensi ekosistem terumbu karang semakin menurun baik
kuantitas maupun kualitasnya. Penurunan ini berlangsung seiring dengan
meningkatnya tekanan alami maupun karena kepentingan masyarakat. Pengaruh
tekanan alami terhadap keutuhan terumbu karang telah terjadi sejak lama hingga
saat ini. Pengaruh ini khususnya diindikasikan oleh pemutihan karang atau coral
bleaching. Istilah coral bleaching itu sendiri di definisikan oleh Brown (1997)
sebagai pemutihan karang diikuti dengan lepasnya alga simbiotik (zooxanthellae)
dan atau peluluhan pigmennya. Fenomena pemutihan karang itu sendiri
sebagaimana dalam rangkuman Brown (1997) yang bersumber dari berbagai
peneliti di berbagai tempat diinformasikan telah menyebar luas. Di Polynesia
Perancis, pemutihan karang dilaporkan terjadi mulai pada tahun 1973, kemudian
berturut-turut terjadi pada tahun 1983-1984; 1986-1987, 1991; 1994 dan 1996.
Kejadian ini berlangsung secara berulang di beberapa tempat. Di kawasan
2
terumbu karang Samudera India, pemutihan karang terjadi pada tahun 1991 dan
1995. Di kawasan terumbu karang Laut Karibia khususnya di Jamaika juga
dilaporkan terjadi pemutihan pada Tahun 1987, 1988, 1990 dan 1995 serta
beberapa tempat lain.
Peningkatan kegiatan ekonomi di kawasan pesisir yang mempunyai
potensi terumbu karang dan atau yang berdaya guna secara langsung di
lingkungan terumbu karang merupakan bentuk pengaruh antropogenik terhadap
keberadaan terumbu karang. Meskipun gangguan antropogenik terjadi pada
variasi spasial maupun temporal, tetapi seringkali overlap (tumpang tindih)
diantaranya memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap terumbu karang. Di
beberapa lokasi di pesisir Indonesia, adanya pengaruh antropogenik dapat
mematikan atau memusnahkan ekosistem ini. Pengaruh antropogenik ini akan
semakin besar dampaknya terhadap karang akibat tumpang tindih dengan
pengaruh peningkatan temperatur air laut secara global. Kejadian ini mempunyai
implikasi kronik dalam jangka panjang sebagaimana diperlihatkan oleh efek
eutrofikasi. Fenemona ini akan menurun kepada gangguan seperti penyakit
bakteri yang dapat mengakibatkan pemutihan karang sebagaimana terjadi akibat
peningkatan temperatur (Rosenberg dan Ben-Haim, 2002). Efek gangguan
campuran secara umum dapat mengganggu proses pertumbuhan karang,
mempengaruhi rekruitmen serta proses regeneratif (Hughes dan Connell, 1999).
Penurunan kualitas dan kuantitas ekosistem terumbu karang tersebut selanjutnya
memberikan implikasi efek terhadap berbagai hal seperti menurunnya kelimpahan
ikan (Wilkinson, 1999); eutrifikasi (Berner dan Izhaki, 1994; Stambler dan Vago,
1994; Wilkinson, 1999). Kejadian ini sangat ironis dengan keberadaannya yang
sangat penting baik terhadap fungsinya sebagai kawasan penyangga kehidupan
internal dan eksternal ekosistem bentukannya maupun fungsinya sebagai
penyangga sistem pulau.
Berdasarkan keterangan di atas, nampak bahwa penyebab pemutihan
karang dapat bermacam-macam. Namun demikian, pengaruh temperatur selain
merupakan faktor alamiah yang dapat berlangsung periodik juga mempunyai
pengaruh dengan sifat langsung terhadap terjadinya pemutihan karang. Faktor
pemanasan air laut sebagai salah satu implikasi dari pemanasan global adalah
3
gejala alam yang kian akan terus mempengaruhi kehidupan terumbu karang.
Berkenaan dengan fenomena di atas, maka pemutihan karang akan terus menjadi
fenemena yang harus diterima oleh biota karang. Dalam kondisi fluktuasi ini
karang akan terus melakukan proses adaptasi untuk mempertahankan diri terhadap
kematian (Fitt et al. 2001). Salah satu faktor penting terkait dengan hal tersebut
adalah kemungkinan terjadinya translokasi zooxanthellae pasca proses pemutihan,
sebagai bagian dari mekanisme adaptasi yang dilakukan oleh karang dalam
mengantisipasi perubahan lingkungan eksternalnya. Ini menjadi pertanyaan utama
dari kekhawatiran akan masa depan terumbu karang akibat tekanan yang luas.
Tekanan yang luas ini tidak saja mengantisipasi efek pemanasan global yang
bersifat alamiah juga akibat langsung dan tidak langsung dari pengaruh
anthropogenik (Westmacott, et al., 2000). Selanjutnya dijelaskan bahwa
pendekatan yang perlu dilakukan adalah dengan penerapan beberapa model
pengelolaan secara terpadu. Namun dibalik itu semua, pada prinsipnya gangguan
yang terjadi pada karang dalam suatu runtun waktu tertentu memerlukan proses
pemulihan. Pernyataan Peters, (1997); Nystrom, Folke dan Moberg (2000) dan
Fitt et al. (2001) perlu dicermati terhadap fenomena ini. Dikemukakan bahwa
hasil dari perubahan ini mungkin mempunyai peran penting dalam rangka
meningkatkan daya dukung yang akan berkompromi terhadap kemampuan
terumbu karang mengatasi gangguan pada masa mendatang.
Pernyataan Buddemeier dan Fautin (1993) mengenai pemutihan karang
dan peristiwa translokasi zooxanthellae perlu dikaji lebih mendalam, meskipun
mengandung banyak perdebatan. Dikemukakan bahwa pemutihan karang secara
umum diamati sebagai suatu hubungan antara tekanan lingkungan akibat
perubahan faktor fisika lingkungan terhadap binatang karang, khususnya tentang
perusakan terhadap organisme zooxanthellae. Selanjutnya dikemukakan bahwa
pemutihan karang merupakan suatu mekanisme adaptasi yang cepat dari karang
terhadap sifat pathologi lingkungan, dengan catatan asal ada suatu kesempatan
bagi zooxanthellae untuk bergabung kembali dengan host (inang/polyp karang),
melalui adaptasi untuk merubah kepada keadaan yang lebih baik. Perbedaan kecil
antara temperatur yang terjadi pada interval waktu yang teratur dikemukakan
tidak berefek dalam menurunkan pemutihan karang; eksistensi pemutihan karang
4
bebas dari pengaruh temperatur pada kisaran kedalaman yang lebar (Jokiel dan
Coles, 1990) dan lebih lanjut dikemukakan bahwa pemulihan karang mungkin
saja terjadi karena dimungkinkannya lebih dari satu takson zooxanthellae dapat
menempati inang polip karang (Rowan dan Power; 1991). Pendapat tersebut
semuanya mendukung teori translokasi. Veron (1995) menyatakan bahwa
temperatur hanya sebagai suatu syarat yang menghantarkan ke proses pemutihan
karang, sebagaimana peranannya dalam pengaturan siklus reproduksi.
Ruang Lingkup Penelitian
Dewasa ini kondisi terumbu karang baik yang ditemukan di perairan
Indonesia maupun di berbagai lokasi sebarannya telah mengalami degradasi.
Berkaitan dengan proses degradasi tersebut, Westmacott, et al (2000)
menyatakan bahwa gangguan terbesar bagi terumbu karang baik secara lokal
maupun global menimbulkan pertanyaan mengenai masa depan terumbu karang.
Berkenaan dengan proses degradasi karang, maka pada dasarnya tekanan yang
diterima oleh biota ini pada awalnya merupakan suatu aktivitas pemutusan
hubungan fungsional antara zooxanthellae dengan karang. Proses pemutusan
hubungan fungsional ini merupakan mekanisme pelepasan zooxanthellae dari
jaringan-jaringan polip karang. Mekanisme awalnya dicirikan oleh proses
pemutihan karang. Dengan pelepasan zooxanthellae ini maka proses transfer
energi beserta dampak fungsional akan terganggu. Dalam tekanan yang bersifat
kontinyu dan dalam jangka waktu yang lama maka akan dapat menyebabkan
kematian bagi karang.
Pemulihan terumbu karang adalah suatu kemampuan dari suatu koloni
individual atau suatu sistem terumbu karang (termasuk semua penghuninya),
untuk mempertahankan diri dari dampak lingkungan serta menjaga potensi
berkembang. Dampak yang sifatnya merusak dan berkesinambungan secara
perlahan-lahan dapat mengurangi secara progresif kemampuan pemulihan karang.
Sebagaimana halnya dengan tekanan temperatur yang mengakibatkan terjadinya
pemutihan karang. Dalam rentang waktu yang lama dan berfluktuasi
mengakibatkan kematian sebagian besar karang dan hanya menyisakan sedikit
5
karang yang resisten (Fitt et al., 2001). Kembalinya ekosistem terumbu karang ke
fungsi semula setelah degradasi bergantung kepada kesuksesan reproduksi dan
rekolonisasi karang-karang yang tersisa serta dari karang-karang yang berada di
luar populasi sumber terumbu dalam kondisi kelabilan lingkungan.
Dalam kaitan tersebut, terlaksananya reproduksi dan rekolonisasi
merupakan suatu kejadian dari suatu proses kehidupan karang untuk membantu
melakukan pemulihan. Reproduksi dan rekolonisasi tidak akan dapat terlaksana
dan mempunyai peluang yang sangat kecil dalam kondisi terganggunya faali biota
karang (Fitt et al., 2000). Selanjutnya dikemukakan bahwa gangguan faali ini
harus terselesaikan terlebih dahulu untuk mendapatkan kondisi karang yang stabil.
Stabilitas faali merupakan salah satu faktor penting dalam pemulihan individu
karang. Menurut Lenhoff (1974) stabilitas faali tersebut adalah kelengkapan
stuktur biokimiawi polip. Selanjutnya dikemukakan bahwa struktur biokimiawi
cnidaria mencakup sistem syaraf dan sistem transport nutrien. Keduanya
memegang peranan penting dalam proses reproduksi serta adaptasi karang.
Regulasi zooxanthellae berkaitan dengan proses pemulihan organ dalam
polip karang. Menurut Stokes (1972) dinyatakan bahwa dalam kondisi eleminasi
sebagian organ jaringan mesoglea dan endoderm maka terbentuknya rajutan baru
ditentukan oleh sambungan fungsional dari sistem syaraf dan sistem nutrisi
karang. Masuknya zooxanthellae ke dalam jaringan ini merupakan pemula untuk
dapat terwujudnya jaringan ikat baik syaraf maupun nutrisi dari polip karang.
Demikian seterusnya hingga akan mengisi kerusakan-kerusakan organel dalam
jaringan mesoglea dan endoderm untuk membentuk struktur organ yang sempurna
dari polip karang. Dalam kondisi inilah proses reproduksi dan rekolonisasi akan
dapat berlangsung.
Fenomena pemutihan karang sebagai indikasi awal tekanan lingkungan
terhadap karang dan peluang pemulihan menjadi pemicu tentang pemikiran proses
pemulihan terumbu karang akibat degradasi. Laporan struktur komunitas karang
pasca bleaching di kawasan terumbu karang Pulau Seribu yang dilakukan oleh
Suharsono (1988) memberikan informasi bahwa terdapat potensi pemulihan
terumbu karang meskipun lambat. Hal yang sama dilaporkan oleh Suharyadi
6
(2003) bahwa pada saat musim penghujan terumbu karang di paparan terumbu
karang Selatan Pulau Panjang hampir memperlihatkan kepunahan, namun
demikian pasca musim hujan berlalu terindikasi mempunyai pemulihan dengan
struktur komunitas yang sama. Dengan demikian memunculkan pertanyaan
apakah coral bleaching hanya semata-mata merupakan suatu efek ataukah suatu
strategi biota untuk mempertahankan diri masih menyisakan pertanyaan.
Buddemier dan Futin (1983) berpendapat bahwa hal tersebut merupakan
kemungkinan yang terjadi di alam, dengan konsepnya bahwa pemutihan karang
merupakan mekanisme adaptasi; meskipun pendapat ini ditentang oleh beberapa
peneliti lainnya.
Teknik translokasi zooxanthellae antar inang pada ekosistem terumbu
karang yang diteliti ini merupakan salah satu upaya untuk memberikan
pembuktian terhadap teori adaptasi sebagaimana yang diusulkan oleh Buddemeier
dan Futin (1983). Selanjutnya bahwa tantangan ke depan khususnya terhadap
meningkatnya perdagangan karang akhir-akhir ini perlu diantisipasi massalisasi
produk karang melalui teknik-tektik buatan dengan tanpa menggantungkan
sepenuhnya pada sediaan alamiah. Bioteknik translokasi zooxanthellae pada
karang diperkirakan dapat memberikan pemecahan masalah tersebut; sehingga
nilai keberadaan (existence value) dari karang akan tetap terpelihara secara
alamiah; sementara nilai ekonomi (economic value) dapat ditarik berdasarkan
pendekatan etik seperti yang dipersyaratkan sebagai produk ekonomik dan lestari
dari sumberdaya alam (Primack, 1995). Dengan demikian, kajian translokasi tidak
hanya dapat memberikan jawaban mendasar tentang pemulihan terumbu karang,
akan tetapi juga merupakan suatu langkah alternatif terhadap bagi upaya-upaya
pemanfaatan terumbu karang secara lebih bijaksana.
Pemikiran translokasi zooxanthellae antar inang sebagaimana yang akan
dituju dalam penelitian ini, secara konseptual didasarkan kepada tiga aspek, yaitu :
1. Peranan simbiosis antara zooxantellae dan binatang karang.
Simbiosis merupakan peristiwa ekologi yang menjadi suatu ketetapan
kehadirannya dalam khasanah ilmu biologi. Secara fisiologis manfaat dari
simbiosis dapat dirinci sebagai berikut :
7
a. Merombak sisa metabolik (Goreau, 1961 dalam Veron, 1995)
b. Meningkatkan proses kalsifikasi (Goreau, 1961 dalam Veron, 1995),
c. Memberikan konstribusi nutrien secara langsung dan
d. Mendaur ulang (recycling) nutrien pembatas (nitrogen dan fosfor).
Dengan adanya simbiosis, semua kegiatan tersebut atau semua manfaat tersebut
akan terlaksana; dan dengan adanya simbiosis ini maka secara fototropis dapat
memperpanjang kehidupan karang dalam suatu periode tertentu dan jika tidak
untuk jangka waktu tak terbatas memberikan tambahan nutrien minor.
2. Proses Relokasi zooxantellae.
Proses kalsifikasi pada binatang karang mempunyai ketergantungan yang
sangat besar terhadap kelimpahan zooxanthellae dalam jaringan tubuhnya. Di lain
pihak bahwa proses relokasi zooxanthellae sangat bergantung baik kepada
mekanisme transduksi maupun proses respon interselnya. Menurut Lenhoff
(1974), bahwa terdapat beberapa tahap dalam mekanisme relokasi zooxanthellae
dalam inang binatang karang, yaitu :
a. Kontak dan Pengenalan (Recognition). Meskipun terdapat argumentasi bahwa
transduksi zooxanthellae pada jaringan seluler inangnya terjadi pada saat
pelepasan planula, namun tahap ini juga dapat terjadi pada setiap
perkembangan dari binatang karang. Berkaitan dengan mekanisme kontak ini
oleh Borneman (1998) diinformasikan adanya beberapa mekanisme
recognition yang terjadi yaitu melalui 5 cara :
1) Planula Larva. Dalam hal ini keberadaan zooxanthellae pada karang
diperkirakan terjadi sejak masih larva. Pada saat planula karang dilepaskan
dari induknya, maka pada saat itu telah ditemukan zooxanthellae pada
jaringan planula. Kemudian sejalan dengan pertumbuhan karang, maka
zooxanthellae melakukan proses regulasi pertumbuhannya dalam jaringan
polip karang;
2) Sinyal kimia (chemosensory), yaitu suatu proses transduksi yang dilandasi
oleh adanya atraktan seperti ammonium dan nirat yang merangsang
zooxanthellae untuk melakukan simbiosis dengan karang. Setelah
melakukan proses transduksi dan terendositosis ke dalam jaringan
8
mesoglea, selanjutnya ketersediaan nutrien tersebut secara nyata dapat
merangsang pertumbuhan zooxanthellae dalam jaringan karang;
3) Inang penyela (intermediet host). Cara ini dijelaskan bahwa masuknya
zooxanthellae dapat terjadi melalui pemangsaan eksternal yang dilakukan
oleh polip karang. Suatu biota penyela (zooplankton) seperi udang kecil,
hasil sisa cernaan zooplankton dan alga yang dimangsa oleh polip karang
merupakan komponen penunjang dimungkinkannya transfer zooplankton
ke dalam jaringan karang. Zooplankton atau biota penyela ini selanjutnya
akan diangkut ke dalam mesentri polip kemudian sisaannya akan
tersimpan disana.
4) Feces predator. Ini prinsipnya adalah keluarnya zooxanthallae dari
pemangsaan yang tidak sempurna, atau ketidak mampuan beberapa biota
untuk mencernanya. Keluar bersama feces yang akhirnya dapat terlarut ke
dalam lingkungan perairan.
5) Kontak Acak; yang terjadi melalui terjadinya proses pertemuan secara
acak akibat sifat planktonik dari zooxanthellae. Setelah terjadi kontak
tersebut, maka terjadinya proses endositosis apabila keduanya mengalami
persesuaian.
b. Endocytosis. Merupakan proses pemasukan suatu sel alga ke dalam jaringan
inang. Prosesnya dilakukan setelah mengalami tahap pengenalan dengan
kecepatan dan jumlah yang bergantung kepada jenis dan kapasitas dari
binatang karang.
c. Relokasi intraselluler dari simbion, ini berkaitan dengan sistem endoskeleton
dari binatang karang. Proses enzymatik yang membantu pelaksanaannya
ditentukan oleh fluktuasi pH seluler.
d. Pertumbuhan dan regulasi kuantitasnya. Proses ini terjadi setelah relokasi dan
berlangsung dengan bergantung kepada perubahan faktor-faktor eksternal
penentu (khususnya faktor limiting) pertumbuhan. Pemutihan merupakan
salah satu fenomena regulasi dari zooxanthellae dalam jaringan binatang
karang.
9
3. Proses Kalsifikasi Binatang Karang.
Menurut Goreau dalam Muscatine (1974) proses kalsifikasi merupakan
kombinasi pengaruh eksternal dan internal. Pengaruh faktor eksternal
diperlihatkan dalam suplai Ca2+
dan kekurangan CO2 dan perubahan pH ke dalam
jaringan seluler. Adapun pengaruh eksternal adalah adanya kerja enzym
hydroksida dan proses transfer nutrien diantara zooxanthellae dan binatang
karang. Pengaruh eksternal juga dimungkinkan apabila terdapat fluktuasi tekanan
insitu dimana binatang karang tersebut ditemukan.
Sementara itu dukungan hasil penelitian yang mempunyai keeratan dengan
dimungkinkannya proses translokasi zooxanthellae antar inang pada karang
didasarkan kepada keterangan yang menyebutkan bahwa zooxanthellae bukan
merupakan species endosimbion tunggal. Selanjutnya berkenaan dengan uji DNA
terhadap ragam zooxanthellae pada ragam inang sebagaimana dilakukan oleh
Rowan dan Powers (1991) diperoleh keterangan bahwa clade zooxanthellae
ternyata beragam. Di samping itu diinformasikan pula bahwa Pocillopora
damicornis dan Pocillopora meandrina mempunyai dua clade zooxanthellae
yang sama. Ini berarti bahwa genotip alga yang sama ditemukan pada inang yang
berbeda. Keterangan ini memberikan dukungan bahwa dimungkinkan terjadinya
proses translokasi zooxanthellae antar inang.
Berkaitan dengan berbagai proses dalam fenomena relokasi zooxanthellae
dan peranannya terhadap proses kalsifikasi pada biota karang maka dalam
telaahannya diperlukan tahapan kajian sebagai berikut (Gambar 1):
1. Tahap pemurnian zooxanthellae dari beberapa sumber inang, penumbuhan
zooxanthellae secara massal dan uji keragaman genetik merupakan tahap
penelitian awal yang bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh binatang
karang dapat bertahan dalam lingkungan binaan dan seberapa jauh berbagai
jenis zooxanthellae dapat dipertahankan dalam penumbuhan massal;
2. Tahap kemampuan adaptasi adalah seri percobaan kedua bertujuan untuk
mendapatkan model biota uji dengan tingkat depresi terendah yang masih
dapat bertahan hidup akibat terapan beragam kisaran temperatur;
10
Sumber Inang Zooxanthellae : Sea Anemone, Tridacna,
Acropora, Favites dan Goniastrea
Kesesuaian Nutrisi
Kesesuaian Lingkungan Eksternal
Sediaan dan Ragam clade
Zooxanthellae Pengaturan optimasi Penumbuhan Clade
Zooxanthellae
Penumbuhan Massal Clade
Zooxanthellae
Kejut Temperatur 4 tingkat : 28o, 32o, 36o,
40o
T-I
Seleksi binatang karang
Karang yang terseleksi
Karang Bleaching (Goniastrea aspera)
yang Teradaptasi
T-II
Translokasi Zooxanthellae
Sintasan Karang yang Tertranslokasi
Pertumbuhan Karang yang Tertranslokasi
T-III
T-I : Percobaan seri I Kajian Pertumbuhan Zooxanthellae Secara Massal dan Uji Keragaman Genetik
T-II : Percobaan seri II Uji Degradasi Jaringan Polip Karang dan Ketahanannya Pasca Pemutihan
T-III : Percobaan seri III Uji Translokasi Clade Zooxanthellae terhadap Karang Goniastrea aspera pasca Pemutiahan
Gambar 1. Bagan Pendekatan Masalah Penelitian
10
11
3. Tahap translokasi adalah upaya silang clade dilakukan dengan dua langkah yaitu :
Tingkat penjenuhan zooxanthellae, dalam hal ini pengukuran diarahkan kepada
dua aspek yaitu kelimpahan zooxanthellae dan profil penempatannya ke dalam
jaringan karang hasil adaptasi. Kajian pada tahap penjenuhan karang dilakukan
setelah obyek penelitian ini dibleachingkan dengan mempergunakan kejut
temperatur. Kedua tahap kalsifikasi merupakan tahap penelitian yang diarahkan
untuk menerangkan seberapa jauh proses transfer nutrien antara simbion dan
inang dapat berlangsung. Untuk keperluan ini maka akan dilakukan pengukuran
pertumbuhan karang pasca penjenuhan zooxanthellae.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengevaluasi penumbuhan massal zooxanthellae berdasarkan tahapan pemurnian
clade dari berbagai inang (Sea anemon, Tridacna, Acopora, Favites dan
Goniastrea);
2. Mengevaluasi dan menginventarisir profil zooxanthellae berdasarkan karakter
DNAnya;
3. Mengkaji proses bleaching dan mengembangkan batasan tolok ukurnya;
4. Mengevaluasi kemampuan pulih karang pasca pemutihan;
5. Mengevaluasi tahapan translokasi zooxanthellae pada jaringan polip binatang
karang;
6. Mengkaji pengaruh translokasi terhadap sintasan dan pertumbuhan karang.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat berupa :
1. Konstribusi pemikiran terhadap upaya penyediaan stock zooxanthellae berbagai
clade dengan sifat bawaan sebagai upaya translokasinya pada beberapa jenis
karang baik bagi kepentingan ekonomis maupun konservasi;
2. Konstribusi pemikiran terhadap upaya konservasi berdasarkan pengembangan
tolok ukur kuantitatif keberadaan zooxanthellae pada jaringan polip karang;
12
3. Konstribusi pemikiran terhadap penambahan tolok ukur bagi evaluasi status
kesehatan terumbu berdasarkan profil endosimbiosis.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan untuk dianalisis dan dibuktikan adalah :
1. Kesesuaian nutrisi dan kondisi lingkungan dapat memelihara pertumbuhan
optimal zooxanthellae;
2. Pemutihan parsial dapat mempertahankan pemulihan karang;
3. Translokasi zooxanthellae meningkatkan ketahanan dalam mempertahankan
kelangsungan hidup karang;
4. Zooxanthellae yang tertranslokasikan dapat mengalami pengaturan pertumbuhan
di jaringan polyp;
5. Tingkat penjenuhan zooxanthellae yang optimal dapat menunjang proses
kalsifikasi.
Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan secara laboratorium maupun secara alami di perairan
terumbu karang. Pelaksanaan penelitian laboratorium dilakukan di Balai Besar
Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) dan Laboratorium Pengembangan
Wilayah Pantai Jepara Universitas Diponegoro (LPWP – UNDIP). Keduanya berada
di Jepara Jawa Tengah. Lokasi penelitian lapang adalah di Pulau Bokor sebagai lokasi
inang awal serta perairan terumbu karang Selatan Pulau Panjang sebagai lokasi
inkubasi alamiah (Gambar 2).