127
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara umum, pluralitas budaya, tradisi dan agama merupakan suatu keniscayaan hidup sekaligus khazanah tersendiri bagi bangsa Indonesia. Hal tersebut disebabkan karena masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk 1 dengan berbagai macam tradisi berbeda. Tradisi ini telah tumbuh dan berkembang menjadi kebudayaan, sebagai warisan luhur yang masih dipraktikkan dan mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia hingga saat ini. 2 Namun jika pluralitas budaya, agama, dan tradisi tidak dipahami dengan sikap toleran dan saling menghormati maka akan memicu kekerasan (violence) atau konflik. 3 Hal tersebut dikuatkan oleh pendapat Andi Faisal Bakti yang menjelaskan bahwa setidaknya dalam rentang waktu 1997-2000, kondisi Indonesia mengalami gelombang konflik yang dikarenakan perbedaan etnis, suku, agama, dan atas golongan. Ada enam konflik yang diteliti, yaitu antara muslim dan non-muslim, suku Jawa dan suku non Jawa, militer/birokrasi/keturunan Cina dan warga sipil, pribumi dan non-pribumi, Muslim sekuler dan Muslim nasionalis religius, dan Muslim modernis dan Muslim tradisionalis. 4 Bakti melanjutkan, bahwa kerentanan konflik yang ada di Indonesia membutuhkan pemahaman baru terhadap budaya. Dan hal tersebut, menurutnya dapat diselesaikan dengan dua cara, yaitu cooptation, coercion, seduction dan negotiation, consensus, democracy. 5 Pendapat di atas, setidaknya memiliki kesesuaian dengan pendapat dari Geertz, dengan mengikuti pendapat Max Weber, yang mendefenisikan budaya sebagai sebuah jaringan yang terbentuk dari hubungan antar manusia. Geertz mengistilahkan budaya dengan super organic yang merupakan realitas yang memiliki kekuatan dan tujuan. 6 Artinya, pemahaman terhadap budaya harus pula 1 Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri atas kelompok-kelompok yang tinggal bersama dalam suatu wilayah tapi terpisah menurut budaya masing-masing. Lihat Nungki Astriani, Olahan Dan Negosiasi Identitas Etnik Dalam Komunikasi Antar Budaya (Ciputat: Cinta Buku Media, 2015), 1. 2 Sumaatmadja Nurshid, Pengantar Studi Sosial (Jakarta: Alumni, 1998), 1. 3 M Jandra, ‚Islam dalam Konteks Budaya dan Tradisi Plural‛ dalam Zakiyuddin Baidhawy dan Mutohharun Jinan, Agama dan Pluralitas Budaya Lokal (Surakarta: PSBPS-UMS, 2003), 71. 4 Andi Faisal Bakti, ‚Major Conflict in Indonesia: How Can Communication Contribute to a Solution?‛ Jurnal Human Factor Studies, Vol. 6, No. 2, (Desember 2000): 35-44. 5 Andi Faisal Bakti, ‚Major Conflict in Indonesia: How Can Communication Contribute to a Solution?‛ 44-52. 6 Clifford Geertz, Interpretation of Cultures (New York: Basic Books. Inc, 1973), 2 dan 11.

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara umum, pluralitas budaya, tradisi dan agama merupakan suatu

keniscayaan hidup sekaligus khazanah tersendiri bagi bangsa Indonesia. Hal

tersebut disebabkan karena masyarakat Indonesia merupakan masyarakat

majemuk1 dengan berbagai macam tradisi berbeda. Tradisi ini telah tumbuh dan

berkembang menjadi kebudayaan, sebagai warisan luhur yang masih

dipraktikkan dan mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia hingga saat ini.2

Namun jika pluralitas budaya, agama, dan tradisi tidak dipahami dengan sikap

toleran dan saling menghormati maka akan memicu kekerasan (violence) atau

konflik.3

Hal tersebut dikuatkan oleh pendapat Andi Faisal Bakti yang

menjelaskan bahwa setidaknya dalam rentang waktu 1997-2000, kondisi

Indonesia mengalami gelombang konflik yang dikarenakan perbedaan etnis,

suku, agama, dan atas golongan. Ada enam konflik yang diteliti, yaitu antara

muslim dan non-muslim, suku Jawa dan suku non Jawa,

militer/birokrasi/keturunan Cina dan warga sipil, pribumi dan non-pribumi,

Muslim sekuler dan Muslim nasionalis religius, dan Muslim modernis dan

Muslim tradisionalis.4 Bakti melanjutkan, bahwa kerentanan konflik yang ada di

Indonesia membutuhkan pemahaman baru terhadap budaya. Dan hal tersebut,

menurutnya dapat diselesaikan dengan dua cara, yaitu cooptation, coercion, seduction dan negotiation, consensus, democracy.

5

Pendapat di atas, setidaknya memiliki kesesuaian dengan pendapat dari

Geertz, dengan mengikuti pendapat Max Weber, yang mendefenisikan budaya

sebagai sebuah jaringan yang terbentuk dari hubungan antar manusia. Geertz

mengistilahkan budaya dengan super organic yang merupakan realitas yang

memiliki kekuatan dan tujuan.6 Artinya, pemahaman terhadap budaya harus pula

1Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri atas kelompok-kelompok

yang tinggal bersama dalam suatu wilayah tapi terpisah menurut budaya masing-masing.

Lihat Nungki Astriani, Olahan Dan Negosiasi Identitas Etnik Dalam Komunikasi Antar Budaya (Ciputat: Cinta Buku Media, 2015), 1.

2Sumaatmadja Nurshid, Pengantar Studi Sosial (Jakarta: Alumni, 1998), 1.

3M Jandra, ‚Islam dalam Konteks Budaya dan Tradisi Plural‛ dalam

Zakiyuddin Baidhawy dan Mutohharun Jinan, Agama dan Pluralitas Budaya Lokal (Surakarta: PSBPS-UMS, 2003), 71.

4Andi Faisal Bakti, ‚Major Conflict in Indonesia: How Can Communication

Contribute to a Solution?‛ Jurnal Human Factor Studies, Vol. 6, No. 2, (Desember

2000): 35-44. 5Andi Faisal Bakti, ‚Major Conflict in Indonesia: How Can Communication

Contribute to a Solution?‛ 44-52. 6Clifford Geertz, Interpretation of Cultures (New York: Basic Books. Inc,

1973), 2 dan 11.

Page 2: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

2

menyertakan pemahaman atas hubungan antar manusia dalam memaknai

budayanya.

Seperti telah diketahui, bahwa dalam perjalanan sejarah Indonesia,

berbagai unsur kebudayaan ikut berinteraksi melalui paham keagamaan yang

masuk. Salah satu yang paling menonjol dan sering menimbulkan banyak

perdebatan adalah tradisi masyarakat di Indonesia dalam sejarah Islam awal di

Nusantara. Dari sini dapat dilihat bahwa kehadiran agama bagi masyarakat

tentunya mengarah kepada pembibitan dasar asas-asas kehidupan mereka

melalui nilai luhur ketuhanan.

Pada kenyataannya, tradisi yang berkaitan dengan ritual keagamaan

dalam masyarakat telah mendarah daging dalam semua sejarah kehidupan umat

manusia. Meskipun asumsi kemunculan ritual keagamaan bisa diakui bersumber

pada satu nilai keilahian, namun tetap tidak dapat disatukan dalam wadah yang

sama. Hal tersebut dikarenakan semua tradisi akan bergerak seiring dengan

tujuan dan misi para pemeluk agama di dalamnya. Masing-masing pemeluk

agama memiliki hak sekaligus cara tersendiri untuk mempertahankan tradisi dan

identitasnya melalui keberadaan pengikut, pemaknaan, dan praktikalitasnya

sehingga mampu mempertahankan eksistensi suatu tradisi.

Seperti yang dijelaskan oleh Emile Durkheim, bahwa masyarakat

memerlukan tradisi dan ritual-ritual tertentu tetap eksis, maka konsekuensinya

adalah tidak akan ada satu masyarakat yang tidak memiliki sebuah agama atau

sesuatu yang berfungsi sama dengan agama.7 Menurutnya, fenomena agama

terbagi menjadi dua kategori dasar yaitu kepercayaan (ide-ide keagamaan)

dalam bentuk representasi dan ritual sebagai aksinya. Jadi, selama ide-ide

keagamaan masih dipercaya, meskipun dianggap absurd dan diperdebatkan oleh

sebagian kalangan, perilaku keagamaan akan selalu ada dalam setiap

masyarakat, karena memberikan kekuatan kepada mereka. Karena akan selalu

ada jarak antara ide-ide keagamaan dan ritual.8

Islam dengan tujuan kemaslahatan, sejatinya memiliki suatu konsep

alamiah untuk memupuk kebersamaan umat manusia dalam susunannya yang

heterogen dan majemuk (plural).9 Munawar Rachman menjelaskan hakikat dari

kemaslahatan adalah bersifat non-sektarian, non-rasial, non-doktrinal, dan

bersifat universal.10

Di Indonesia, isu sektarian antara Sunni sebagai kelompok atau mazhab

mayoritas dan Syi’ah sebagai kelompok minoritas masih menimbulkan polemik.

Hal tersebut disebabkan karena keberadaan Syi’ah di Indonesia selalu

7Tahir Sapsuha, Pendidikan Pascakonflik: Pendidikan Multikultural Berbasis

Konseling Budaya Masyarakat Maluku Utara (Yogyakarta: LkiS, 2003), 37. 8Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life (New York:

Dover Publication. Inc, 2008), 36. 9Tahir Sapsuha, Pendidikan Pascakonflik, 30.

10Budhy Munawar-Rachman, ‚Kata Pengantar‛ dalam Mohamed Fathi Osman,

Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan: Pandangan al-Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah dan Peradaban, terj. Irfan Abubakar (Jakarta: Yayasan Paramadina, 2006), xiiii.

Page 3: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

3

mendapatkan pertentangan dari Islam mayoritas.11

Hal tersebut semakin

menujukkan kebenaran dari upaya untuk memperkuat status quo Sunni. Reaksi

itu, pada satu sisi, dapat dimaklumi karena mereka khawatir upaya itu akan

menimbulkan goncangan dalam masyarakat. Pada sisi lain, fraksi teologi yang

sering dianggap menyimpang dari konsep pemikiran teologi sehingga dikatakan

menyeleweng dari teologi Sunni. Kondisi ini telah menimbulkan konflik internal

umat Islam baik di Indonesia maupun di dunia internasional.12

Namun demikian,

Syi’ah di Indonesia tetap dapat mempertahankan eksistensinya melalui ritual,

sekalipun tidak dikenal umum sebagai Syiah. Salah satunya adalah ritual Tabut.

Ritual Tabut13

di Kota Bengkulu misalnya, dikatakan sebagai tradisi

yang terpengaruh oleh ritual Syi’ah Irak. Di negara tersebut tradisi ini dikenal

dengan sebutan hari Asyura yang merupakan kebiasaan penganut paham Syi’ah.

Tradisi ini kemudian tersebar ke seluruh dunia seiring dengan tersebarnya

paham Syi’ah tersebut, terutama negara-negara di Asia Selatan. Orang-orang

Bengali yang membawa tradisi ini ke Bengkulu juga merupakan orang-orang

Syi’ah. Tradisi berkabung yang mengalami akulturasi dengan budaya Bengkulu

ini terus berjalan dengan perkembangan yang cukup panjang. Pada masa

perkembangannya, tradisi ini bersentuhan dengan budaya-budaya lokal dan

kemudian diwariskan serta dilembagakan sehingga menjadi apa yang dikenal

dengan sebutan tradisi Tabut yang dilaksanakan pada tanggal 1-10 Muharam

setiap tahun baru Hijriah.14

Hal tersebut disebabkan oleh kondisi sosio-historis

wilayah Sumatera yang bersentuhan dengan tradisi-tradisi luar seperti India,

Persia, Cina, dan Eropa. Meski begitu, tradisi yang berbentuk upacara

tradisional keagamaan ini merupakan pranata sosial religius sebagai usaha untuk

memenuhi kewajiban terhadap warisan leluhur. Tradisi Tabut merupakan tradisi

yang paling populer pada masyarakat Kota Bengkulu dan merupakan ciri khas

dari masyarakat Bengkulu.

11

Mohammad Takdir Ilahi, ‚Syiah: Antara Kontestasi Teologi dan Politik.‛

Jurnal Maarif, Vol. 10, No. 2, (Desember 2015): 54. 12

Abdul Rozak, Teologi Kebatinan Sunda: Kajian Antropologi Agama tentang Aliran Kebatinan Perjalanan (Bandung: Kiblat Buku Utama, 2005), 12-13. Lihat juga

Andi Faisal Bakti, ‚Major Conflict in Indonesia: How Can Communication Contribute

to a Solution?‛ 44-46. 13

Ada perebutan aksen dalam penggunaan kata ‚Tabut‛ antara Keluarga

Kerukunan Tabut (KKT) yang mengklaim sebagai penerus tradisi Tabut dengan

pemerintah daerah yang menyebut ‚Tabot.‛ Bahkan beberapa peneliti juga lebih sering

menggunakan aksen ‚Tabot‛ ketimbang ‚Tabut.‛ Entah sejak kapan kata ‚Tabut‛

berubah menjadi ‚Tabot,‛ namun sejarah mencatat bahwa pada tanggal 06 November

tahun 1916 Masehi sebutannya masih Tabut, dibuktikan dari tulisan pada foto yang

diliput oleh warga keturunan Cina Bencoolen pada perayaan budaya Tabut. Lihat A.

Syiafril Sy, Tabut Karbala Bencoolen dari Punjab Symbol Melawan Kebiadaban

(Jakarta Timur: PT Walaw Bengkulen, 2012), 28. Peneliti memilih menggunakan kata

‚Tabut‛ dalam penulisan tesis ini. 14

Antony Zacky, Menguak Tabir Misteri Tabot, 33-34.

Page 4: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

4

Tradisi Tabut telah diyakini sejak dahulu, dijadikan ritual terus menerus

dan bersifat kontinu dari generasi ke generasi, terutama oleh para keturunan

pelaku Tabut yang membentuk Keluarga Kerukunan Tabut (KKT).15

Selain

tradisi Tabut, tradisi lain yang serupa, di antaranya adalah tradisi perayaan hari

Asyura, peringatan syahidnya Imam Husain di Padang Karbala pada 10

Muharram 61 H, di Aceh di peringati sebagai bulan Asan Usen/Kasan Kusen, di

Sumatera Barat (Pariaman) dikenal sebagai Tabuik.16

Hari Arbain di Pagelangan

Jawa Barat dan Tradisi Suro pada masyarakat Suku Jawa. Namun demikian,

tradisi Tabut berbeda dengan yang lainnya dan masih terus mempertahankan

keasliannya, sedangkan di tempat lain sudah mulai ditinggalkan oleh

masyarakat, kecuali tradisi Suro yang masih banyak dilakukan oleh orang-orang

suku Jawa, akan tetapi tujuannya sudah berubah, bukan lagi merupakan tradisi

berkabung melainkan tradisi menyambut tahun Hijriah. Juga dari literatur-

literatur sejarah seperti Hikayat Muhammad Hanafiyyah, Hikayat Tabut, Hikayat Hasan Husein, Hikayat Perinta Negeri Benggala, Hikayat Hasan Husein Tatkala Akan Mati dan Hikayat Hasan Husein Tatkala Kanak-kanak, Baginda Ali, Zainal Abidin.

17

Sejarah kemunculan ritual Tabut diwarnai oleh dua pendapat, pendapat

pertama, menurut keturunan dari Imam Senggolo,18

ritual Tabut di Bengkulu

dibawa oleh ulama yang berasal dari Punjab (Pakistan). Karena ada beberapa

kata-kata yang lazim di gunakan oleh masyarakat Bengkulu yang merupakan

15

Keluarga Kerukunan Tabut dibentuk pada tahun 1993 oleh para tokoh-tokoh

Tabut. Ide itu sudah muncul sejak awal tahun 1991, ketika para perwakian dari Provinsi

Bengkulu diundang ke Jakarta untuk menampilkan seni budaya yang dimiliki, saat itu

Bengkulu menampilkan Tabut dengan alat musik Dol. Lihat Harapandi Dahri, Tabot Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu (Jakarta: Penerbit Citra, 2009), 101.

16Dicky Sofjan (ed.), Sejarah & Budaya Syi’ah di Asia Tenggara (Yogyakarta:

Sekolah Pascasarjana UGM, 2012), 18-19. Tabuik di Padang Pariaman, Pengumuman

kembali atas penderitaan Hussein di Karbala menjadi sebuah acara budaya tahunan yang

dirayakan pada hari kelahirannya, hari ke sepuluh Muharram, Bulan pertama kalender

Islam. Acara ini mempromosikan kepaduan sosial dan identitas regional dan juga

perdagangan dan pariwisata. Walaupun penduduk Pariaman dan daerah sekitar sebagian

besar adalah muslim Sunni, akan tetapi mereka telah menganut interpretasi dari tradisi

Syi’ah ini. Lihat Paul H. Mason, ‚Fight Dancing and The Festival, Tabuik in Pariaman,

Indonesia and Iemanjá In Salvador da Bahia, Brazil.‛ Jurnal Martial Art Studies 2,

(2016): 71-72. (diakses 03 November 2016) 17

Majid Daneshgar, Faisal Ahmad Shah, Arnold Yasin Mol, ‚Ashura in the

Malay-Indonesian World: The Ten Days of Muharram in Sumatra as Depicted by

Nineteenth-Century Dutch Scholars.‛ Journal of Shi‘a Islamic Studies, Vol. VIII, No. 4,

(2015): 492. 18

Imam Senggolo atau yang dikenal juga sebagai Syeh Burhannudin adalah

seorang ulama yang diklaim oleh pengikut Tabut sebagai pembawa pertama ritual Tabut

di Bengkulu. Lihat juga Majid Daneshar, Ashura in then Malay-Indonesian World: The

Ten Days of Muharram in Sumatra as Depicted by Nineteenth-Century Dutch Scholars,

Journal of Shi’a Islamic Studies, Vol. VIII, No. 4, 2015, 493. (diakses 15 Oktober 2016)

Page 5: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

5

kata serapan dari bahasa Punjab.19

Pendapat kedua, yang juga sering digunakan

oleh para peneliti yang mengangkat tentang ritual ini. Tabut merupakan tradisi

yang dilestarikan oleh suku Sipai sejak abad 17-18 yang lalu.20

Sipai adalah

salah satu suku yang ada di Kota Bengkulu, berasal dari Suku Bengali yang

terletak di India Selatan yang menikah dengan orang suku Serawai Bengkulu.

Saat ini suku Sipai lebih dikenal dengan sebutan keluarga Tabut yaitu

masyarakat yang menjalankan tradisi Tabut. Tradisi Tabut ini merupakan suatu

tradisi atau kebiasaan suku Sipai yang berupa rangkaian upacara tradisonal

keagamaan untuk mengenang kematian Husain bin Ali bin Abi Tholib, cucu

nabi Muhammad SAW yang gugur di medan peperangan.21

Tradisi Tabut ini sangat berpengaruh sekaligus tidak terlepas dari

kehidupan masyarakat Sipai dan masyarakat Kota Bengkulu secara umum.

Sepanjang sejarah keberadaannya, Tabut sudah menjadi suatu bagian penting

dalam kehidupan masyarakat Kota Bengkulu, baik itu masyarakat suku Sipai

maupun masyarakat Kota Bengkulu. Alasannya, perayaan Tabut memiliki

dampak signifikan pada berbagai aspek kehidupan masyarakat, mulai dari aspek

sosial, ekonomi, religi, budaya, pariwisata, politik, dan lain sebagainya.22

Di Kota Bengkulu, budaya tradisi Tabut dilaksanakan melalui 13

kegiatan ritual, yaitu:23

do’a mohon keselamatan kepada Allah Swt, mengambik tanah, duduk penja, malam menjara, meradai, arak penja, arak seroban, hari gham, Tabut naik puncak, arak gendang dan Tabut besanding, Tabut tebuang

dan diakhir dengan mencuci penja. Sedangkan di tempat-tempat lain tersebut

19

Pemakaian falsafah bahasa menunjukkan Bangsa, oleh karena itu tidak

mungkin orang yang datang dari Benggala (Benggali) Bangladesh atau orang yang dari

Madras (Chenai) India berbahasa sama dengan mereka yang dari Punjab Pakistan karena

sudah jelas bahasa dari Benggala Banglades adalah bahasa Benggali, bahasa dari Madras

India adalah bahasa Tamil, dan bahasa dari Punjab adalah bahasa Urdu Pakistan yang

tulisannya menggunakan huruf Arab Persia. Hal ini juga dibuktikan dengan sisa-sisa

warisan bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, sebagai contoh

penggunaan kata abbah (ayah), dada (datuk/kakek), biwi (istri), dawat (tinta), mamu

(paman), jel (penjara), gham (bersedih), penja (lima jari), soja (menyembah), dan lain-

lain, yang berasal dari bahasa Urdu Punjab Pakistan. Ditambah lagi dengan warisan

‚naskah do’a‛ yang ditulis dengan huruf Arab Persia yang masih digunakan hingga saat

ini. Lihat Syiafril Ahmad Sy, Tabut Karbala Bencoolen dari Punjab Symbol Melawan Kebiadaban (Jakarta Timur: PT. Walaw Bengkulen, 2012), 9-10.

20Majid Daneshgar, Faisal Ahmad Shah, Arnold Yasin Mol, ‚Ashura in the

Malay-Indonesian World: The Ten Days of Muharram in Sumatra as Depicted by

Nineteenth-Century Dutch Scholars,‛ Journal of Shi‘a Islamic Studies, Vol. VIII, No. 4,

2015, 494. 21

Antony Zacky, Menguak Tabir Misteri Tabot Lewat Naskah Kuno

(Bengkulu: PT Rakyat Bengkulu, 2003), 40. 22

Harapan Dahri, Tabot: Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu (Jakarta:

Pemikat Citra, 2009), 53. 23

Ahmad, Syiafril, Sy, Tabut Karbala Bencoolen dari Punjab Symbol Melawan Kebiadaban, 38-87.

Page 6: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

6

tradisi berkabung ini dilakukan lebih sederhana, tahapan prosesinya tidak

banyak seperti prosesi-prosesi dalam ritual Tabut.24

Dalam pelaksanaannya, budaya tradisi Tabut di Bengkulu bersifat

plural25

dan tidak tunggal sebagaimana yang dikesankan selama ini. Kesan

bahwa seolah-olah perayaan Tabut di Bengkulu bersifat homogen dan seragam

telah terbentuk dalam persepsi banyak orang. Pluralitas perayaan Tabut ini

tercermin dari adanya beberapa kelompok26

yang sebagian dari mereka memiliki

pandangan berbeda dalam perayaan Tabut. Pluralitas dari pelaksanaan ritual

Tabut juga dikarenakan keragaman pemaknaan dalam memahami ritual tersebut.

Pluralitas mulai terjadi sejak pelaksanaan ritual Tabut pada Oktober 2016.

Bermula dari beredarnya informasi-informasi yang mengatakan bahwa ritual

Tabut merupakan ajaran sesat karena berasal dari Syiah, bi’dah, serta bahan-

bahan yang digunakan dalam ritual tersebut dianggap menyimpang dari ajaran

Islam.

Menurut Michael Feener yang dikutip oleh Chiara Formichi mengatakan

bahwa selama masa Orde Baru (1965-1998) ritual Tabut mengalami dinamika

pergeseran makna. Hal tersebut disebabkan karena pemerintah mengubah ritual

Tabut menjadi identitas budaya lokal semata tanpa unsur keagamaan. Namun

pasca Orde Baru (sekitar tahun 2000), dengan tetap menekankan nilai komoditas

24

Zoneirah Sharleen Anindita, ‚Tradisi dan Makna Simbolik Ritual Tabot pada

Masyarakat Suku Sipai di Kota Bengkulu.‛ Jurnal Sosiologi, (Sumsel: FISIP-Universitas

Sriwijaya), 3. 25

Pluralisme atau multikulturalisme mempunyai beberapa aspek positif.

Pertama, mempromosikan kepada orang-orang mengenai peningkatan rasa hormat untuk

kelompok etnis, ras, agama dan kelompok yang lain dan mendorong mereka untuk

mengembangkan nilai dan budaya mereka sendiri. Tidak seorangpun berhak untuk

menghalangi perkembangan ini. Setiap orang dilindungi oleh hukum. Oleh karena itu,

setiap orang secara bebas, tidak terikat oleh penindasan atau dikendalikan oleh orang

lain dengan latar belakang budaya yang berbeda. Setiap orang memegang hak untuk

hidup dan mengembangkan tradisi dan budaya mereka. Sejumlah sistem sosial dan

budaya atau institusi mungkin hidup secara berdampingan. Hubungan yang optimal

antara anggota budaya yang berbeda dimungkinkan tanpa halangan dari hirarki dan

birokrasi. Lihat, Andi Faisal Bakti, Multiculturalism in Indonesia a Communication

Perspective, Reflexions sur Les Diversites Modiale, Casablanca: Cahiers de la HACA,

2013, 126. 26

Di Bengkulu terdapat 17 kelompok Tabut, antara lain: Tabut Imam, Tabut

Bansal, Tabut Kampung Batu, Tabut Kampung Bali, Tabut Lempuing, Tabut tengah

Padang, Tabut Kebun Ros, Tabut Penurunan, Tabut Pondok Besi, Tabut Bajak, Tabut

Anggut Bawah, Tabut Tengah Padang, Tabut Malabero, Tabut Kebun Beler, Tabut

Tengah. Lihat: Rizqi Handayani, ‚Dinamika Kultural Tabot Bengkulu.‛ Jurnal Al-Turas,

Vol. 19, No. 2, (2013): 142.

Page 7: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

7

budaya, ritual Tabut mulai memunculkan kembali unsur-unsur keagamaan,

khususnya unsur-unsur Syi’ah.27

Keberagamaan makna ritual Tabut yang muncul, baik dari pemerintah

maupun pengikut Tabut, memiliki dampak negatif. Hal tersebut dapat dilihat

dari pemberitaan di media massa tentang perbedaan pendapat antara Keluarga

Kerukunan Tabut dengan Pemerintah. Di satu sisi, pemerintah dianggap kurang

berperan aktif dan terkesan tidak peduli terhadap usaha dari Keluarga

Kerukunan Tabut yang mencoba mempertahankan unsur keagamaan serta nilai

kesakralan ritual tersebut.28

Akibatnya, Pemerintah dan Keluarga Kerukunan

Tabut mengadakan tradisi ini secara terpisah.29

Dengan demikian, permasalahan

utama yang kerap muncul dalam perkembangan ritual Tabut adalah kurangnya

pemahaman terhadap esensi keberagamaan pemaknaan dari ritual Tabut.

Kenyataan tersebut menjadi menarik ketika dihadapkan pada pendapat

Deddy Mulyana yang mengatakan bahwa kegiatan ritual30

dalam tradisi mampu

menimbulkan komitmen emosional, perekat, dan sebagai pengabdian kepada

kelompok. Ritual mampu menciptakan perasaan tertib (a sense of order) karena

ketiadaan ritual dianggap dapat membuat suatu realitas sosial menjadi tidak

teratur. Selain itu, ritual juga memberikan rasa nyaman (a sense of predictability), karena masyarakat akan merasa tidak tentram ketika ritual

tersebut tidak dijalankan.31

Artinya, pemahaman terhadap ritual merupakan

salah satu alat pemersatu masyarakat.

27

Chiara Formichi, ‚From Fluid Identities to Sectarian Labels a Historical

Investigation of Indonesia’s Shi‘i Communities.‛ Jurnal Al-Jāmi‘ah, Vol. 52, No. 1,

(2014): 108. 28

Lihat Harian Rakyat Bengkulu, ‚Tonjolkan Ritual Budaya Tabot,‛ Bengkulu,

19 September, 2016, Senin,

http://harianrakyatbengkulu.com/ver3/2016/09/19/tonjolkan-ritual-budaya-tabot/

(diakses 29 September 2016). Pada tanggal 22 September 2016. Lihat juga Harian

Rakyat Bengkulu, ‚Kisruh Festival Tabot KKT Tolak Dana Bantuan 200 Juta,‛

Bengkulu, 22 September, 2016, Kamis

http://harianrakyatbengkulu.com/ver3/2016/09/22/kisruh-festival-tabot-kkt-tolak-

bantuan-rp-200-juta/ (diakses 29 September 2016). 29

http://www.bengkulunews.co.id/sukseskan-tabot-2016-pemprov-dan-kkt-

kemas-acara-berbeda (diakses 26 Desember 2016). 30

Ritual juga merupakan transformasi simbolis dari pengalaman-pengalaman

yang tidak dapat diungkapkan dengan tepat oleh media lain. Pengalaman keagamaan

tidak hanya mencakup aspek filosofis atau intelektual, tapi juga melibatkan perasaan

dan tindakan manusia. Sehingga tindakan pemujaan yang menyertainya juga tidak hanya

menekankan pada keyakinan. Ia merupakan sejumlah tindakan yang melibatkan

keseluruhan sifat pelaku, yang perwujudannya bisa dalam bentuk pidato, tanda-tanda,

nyanyian, perjamuan suci dan pengorbanan. Siti Maryam, Damai Dalam Budaya, 233-

234. 31

Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2015, cet-XV), 30.

Page 8: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

8

Menurut Amin Abdullah, seni tradisi dan kreasi lokal mengalami

kekerasan pada tiga aras. Pertama, pengabaian pemerintah lokal untuk

mempromosi, mengapresiasi, dan menfasilitasi tumbuh kembangnya keunikan

lokal. Kedua, politisasi agama yang menuduh seni tradisi adalah bi’dah, haram,

mengotori iman, dan sebagainya. Ketiga, relasi yang timpang dengan kesenian

modern/pop yang mengukur pada selera massal dan komersial.32

Perbedaan pemaknaan terhadap ritual Tabut di Bengkulu tidak lepas

dari dorongan perbedaan pandangan yang memiliki akar yang dalam, selain juga

tidak lepas dari kepentingan politik. Hal ini meliputi perbedaan kultural

termasuk di dalamnya agama dan klaim historis atas tradisi. Dari akar-akar itu

kemudian masing-masing kelompok memiliki legitimasi untuk mengklaim

bahwa mereka bukan bagian dari satu sama lain. Everett M. Rogers dan Thomas

M. Steinfatt menjelaskan bahwa perselisihan dalam sebuah budaya muncul

karena adanya konflik yang terjadi antara dua atau lebih budaya ketika mereka

tidak setuju tentang makna nilai tertentu.33

Mulyana dan Rakhmat mengungkapkan bahwa untuk memahami dunia

dan tindakan-tindakan orang lain, harus pula memahami kerangka persepsinya.

Komunikasi antarbudaya yang ideal dapat memunculkan banyak persamaan

dalam pengalaman dan persepsi.34

Agar terjadinya persamaan persepsi dalam

makna komunikasi antarbudaya, maka dibutuhkan pemahaman tentang makna

interaksi simbolik.35

Interaksi simbolik sebagai salah satu teori yang kerap

digunakan mengkaji tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan proses

pembentukan makna dari suatu benda atau lambang atau simbol, baik benda

mati, maupun benda hidup, melalui proses komunikasi baik sebagai pesan verbal maupun perilaku nonverbal, yang bertujuan untuk memaknai lambang atau

simbol (objek) tersebut berdasarkan kesepakatan bersama yang berlaku di

wilayah atau kelompok sosial tertentu.36

32

M Amin Abdullah, ‚Problem Intoleransi dan Radikalisme Aliran Keagamaan,

Urgensi Pembaharuan Metode Pendidikan Agama Islam,‛ makalah dalam ‚Seminar

Nasional Aliran-Aliran Kontemporer dan Implikasinya bagi Harmonisasi Sosial dan

NKRI,‛ UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 25 Oktober 2016. 33

Everett M Rogers and Thomas M Steinfatt, Intercultural Communication

(USA: Waveland Press, 1999), 96. 34

Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya

(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005, cet-IX), 25-26. 35

Interaksi simbolik dikembangkan awal mula oleh Goerge Herbert Mead,

menurutnya cara manusia mengartikan dunia dan dirinya sendiri berkaitan erat dengan

masyarakatnya. Mead melihat pikiran (mind) dan dirinya (self) menjadi bagian dari

perilaku manusia, yaitu bagian interaksinya dengan orang lain. Interaksi itu membuat

dia mengenal dunia dan dia sendiri. Lihat Onong Uchjana Effendy, Ilmu Teori dan Komunikasi (Bandung: Citra Aditya Bakti, Cet 3, 2003), 391-392.

36M.A. Dalmenda dan Novi Elian, ‚Makna Tradisi Tabuik oleh Masyarakat

kota Pariaman (Studi Deskriptif Interaksionisme Simbolik.‛ Jurnal Antropologi, Vol.

18, No. 2, (Desember 2016): 138.

Page 9: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

9

Agar pandangan ini dapat dipahami, maka diperlukan adanya

komunikasi, baik yang bersifat verbal dan nonverbal. Dalam kaitan dengan ritual

Tabut sebagai salah satu ritual religius, maka perlu juga mengkaji dalam makna

komunikasi dalam perspektif Islam. Menurut Hussain sebagaimana dikutip Fitri

Yanti dalam ‚Pola Komunikasi Islam Terhadap Tradisi Heterodoks,‛ salah satu

aspek perspektif komunikasi Islam ialah penekanannya pada nilai-sosial, agama,

dan kebudayaan.37

Hal tersebut dipertegas oleh Bakti yang menyatakan bahwa

dalam komunikasi Islam, kelompok sosial harus dapat menerapkan konsep

tauh}i>d, sehingga dapat menghormati prinsip-prinsip demokrasi (shu>ra>) dan

saling bernegosiasi (musha>warah).38

Pandangan tersebut merupakan kaidah,

prinsip, atau etika komunikasi Islam yang menjadi panduan bagi kaum Muslim

dalam melakukan komunikasi atau berdakwah secara lisan dan tulisan, maupun

dalam aktivitas lain.

Komunikasi Islam dibangun sebagai Islamic world view yang

merupakan kaidah komunikasi Alquran dan hadis yang mempunyai tujuan

mewujudkan persamaan makna secara universal dalam menuju perubahan

masyarakat muslim demi kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Di samping

menjelaskan prinsip dan tata berkomunikasi, Alquran juga mengetengahkan

etika berkomunikasi dari sejumlah aspek moral dan etika komunikasi, paling

tidak dapat empat prinsip etika komunikasi dalam Alquran yang meliputi

fairness (kejujuran), accuracy (ketepatan/ketelitian), tanggung jawab, dan kritik

konstruktif.39

Hal tersebut sesuai dengan perspektif komunikasi Emile Durkheim

yang berpendapat bahwa interaksi antar manusia harus berdasar pada etika dan

kearifan. Perspektif Durkheim tersebut sejalan dengan komunikasi Islam yang

menjadikan konsep ta’a>wun sebagai tujuan dari komunikasi secara umum.40

Menurut Judy C. Pearson, alasan manusia mengadakan komunikasi salah

satunya adalah untuk kelangsungan hidup masyarakat, organisasi atau

memperbaiki hubungan sosial dan mengembangkan organisasi dalam

masyarakat (kepentingan sosial). Untuk mendukung keberhasilan komunikasi

antarbudaya diperlukan kesepakatan dalam memberi makna atas lambang-

lambang yang digunakan. Komunikasi akan mengalami distorsi, ketika

komunikasi dilakukan oleh individu atau kelompok yang memiliki latar

belakang sosial budaya yang berbeda.41

37

Fitri Yanti, ‚Pola Komunikasi Islam Terhadap Tradisi Heterodoks: Studi

Kasus Tradisi Ruwatan,‛ Jurnal Analisis, Volume XIII, (Nomor 1, Juni 2013), 213. 38

Andi Faisal Bakti, ‚Major Conflict in Indonesia: How Can Communication

Contribute to a Solution?‛ 46. 39

Fitri Yanti, ‚Pola Komunikasi Islam Terhadap Tradisi Heterodoks,‛ 213-214. 40

Andi Faisal Bakti, ‚Applied Communication to Dakwah for Peace,‛ 12.

Https://Www.Researchgate.Net/Publication/266348212_Applied_Communication_To_

Dakwah_For_Peace_Komunikasi_Terapan_Untuk_Dakwah_Perdamaian, 41

Suranto Aw, Komunikasi Sosial Budaya (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010),

179-181.

Page 10: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

10

Untuk menggali pemaknaan ritual Tabut secara komprehensif, peneliti

menggunakan teori pemaknaan dari Gill Branston dan Roy Stafford yang terdiri

dari teori semiotik, struktural, konotasi dan denotasi.42

Dalam teori semiotika,

konsep makna sebaiknya memang tidak didefinisikan. Ia merupakan sesuatu

yang dipahami semua individu secara intuitif, tetapi tidak dapat dijelaskan

secara virtual. Secara esensial, penandaan adalah proses yang terjadi di pikiran

pada saat menafsirkan tanda.43

Menurut Peirce,44

semiotika didefinisikan

sebagai hubungan di antara tanda, benda, dan arti. Determinasi dan representasi

menjadi hal yang penting dalam hubungan di antara ketiganya (tanda, benda,

dan arti).45

Teori semiotik juga merupakan penyelidikan terhadap simbol-simbol,

yang kemudian membentuk tradisi pemikiran yang penting dalam teori

komunikasi. Tradisi semiotik terdiri atas kumpulan teori tentang bagaimana

tanda-tanda merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi, perasaan, dan

kondisi di luar tanda-tanda itu sendiri. Penyelidikan tanda-tanda tidak hanya

memberikan cara untuk melihat komunikasi, melainkan memiliki pengaruh yang

kuat pada hampir semua perspektif yang sekarang diterapkan pada teori

komunikasi.46

Menurut Gill Branston dan Roy Stafford, dua hal yang harus

diperhatikan dalam memahami strukturalisme sebagai bagian dari pemaknaan

(meaning). Pertama, strukturalisme berpendapat seluruh organisasi manusia

ditentukan oleh struktur sosial atau psikologis individu. Kedua, strukturalisme

berpendapat bahwa makna suatu ekspresi tidak dapat dipahami kecuali dalam

struktur yang sistematis, yang memiliki ciri atau perbedaan yang lahir secara

alamiah.47

Makna denotasi dari tanda merupakan makna yang menunjukkan

perbedaan aspek dari pengalaman manusia atau dunia.48

Menurut Gill Branston

42

Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student Book’s, Edisi V (London

and New York: Routledge, 2010), 11-21. 43

Marcel Danesi, Messages Signs and Meanings (Toronto: Canadian Scholar’

Press Inc 2004), 11-12. 44

Charles Sanders Peirce adalah filsuf Amerika yang paling orisinal dan

multidimensional. Pada tahun 1859, 1862, dan 1863 secara berturut-turut ia menerima

gelar B.A., M.A., dan B.Sc. dari Universitas Harvard. Selama lebih dari tiga puluh tahun

(1859-1860, 1861-1891) Peirce banyak melaksanakan tugas astronomi dan geodesi

untuk Survei Pantai Amerika Serikat. Dari tahun 1879-1884, ia menjadi dosen paruh

waktu dalam bidang logika di Universitas Johns Hopkins. Lihat Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, 39-40.

45Elizabeth Mertz, Semiotic Meditation (Florida: Academic Press, 1985), 24-

27. 46

Stephen W Littlejohn dan Karen A Foss, Teori Komunikasi Theory of Human Communication (Jakarta: Salemba Humanika, 2011), 53.

47Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi V, 9-23.

48Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi V, 21-22

Page 11: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

11

dan Roy Stafford, setiap manusia mempunyai makna konotasi yang berbeda dari

tanda. Tergantung pada konsep budaya dan nilai, yang di dalamnya terdapat

ingatan, pengalaman, dan pengetahuan sejarah setiap manusia.49

Menurut

mereka, tanda selalu memberikan denotasi berupa aspek yang berbeda dari

pengalaman manusia. Selain itu, tanda juga selalu mengonotasikan atau

menghubungkan sesuatu berdasarkan konvensi sosial atau berdasarkan

pemaknaan dari pengalam pribadi.50

Melihat beberapa faktor yang menjadi penyebab keragaman pemaknaan

sebagaimana yang telah disebutkan di atas, keragaman makna yang muncul

dalam ritual Tabut tersebut dapat dimaknai sebagai khazanah untuk

mempersatukan pemikiran kelompok sosial. Untuk itu peneliti akan mencoba

menjelaskan pemaknaan ritual Tabut yang disebabkan oleh kurangnya tingkat

pemahaman komunikasi yang efektif51

serta penyatuan dari perbedaan

pemaknaan melalui ilmu komunikasi. Tesis ini juga akan mencoba menggali

pandangan ataupun interpretasi52

masing-masing kelompok dan hubungan antara

mereka serta kendala-kendala yang dihadapi.

B. Permasalahan

Dari latar belakang masalah di atas, peneliti memaparkan identifikasi

masalah, batasan masalah, dan rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai

berikut:

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan pembahasan latar belakang yang telah diuraikan di atas,

peneliti mengidentifikasi permasalahan yang akan muncul dalam penelitian ini,

antara lain adalah sebagai berikut:

Pertama, permasalahan proses dan persepsi pemaknaan yang menimbulkan

perbedaan pemahaman, pembentukan identitas budaya, dan komunikasi dalam

kelompok sosial sehingga dapat memunculkan akar konflik.

Kedua, mengenai perdebatan budaya dalam masyarakat yang dipicu oleh

perbedaan pemaknaan budaya dengan menggunakan pendekatan

etnometodologi, yaitu percakapan keseharian yang ada dalam masyarakat.

49

Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi V, 22. 50

Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi III, 15. 51

Menurut Dominique Wolton, komunikasi dalam semua bentuk (interpersonal,

politik, antarbudaya, media) adalah sebuah sarana yang memungkinkan individu dan

masyarakat memperkenalkan diri, berhubungan antara satu dengan yang lainnya, dan

bertindak atas dunia. itu sebabnya komunikasi dibutuhkan sebagai eksistensi setiap

masyarakat. Lihat Martina Sani, ‚La Communication Conflictuelle,‛ Altre Modernità 3

(2010), 1. 52

Interpretasi merupakan produksi makna lewat sistem tanda, termasuk

didalamnya bahasa tubuh, pakaian, arsitektur, dan hal lain yang dapat dipelajari seperti

halnya bahasa verbal. Lihat Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book

(New York: Roudletge, 2003), 10.

Page 12: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

12

Ketiga, mengenai pemahaman kelompok sosial terhadap keragaman pemaknaan

ritual Tabut melalui komunikasi.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, pertanyaan mayor yang

menjadi fokus penelitian ini adalah bagaimana komunikasi ritual Tabut? Untuk

mengarahkan rumusan tersebut, selanjutnya dipecah ke dalam bentuk

pertanyaan minor sebagai berikut:

- Apa pemaknaan ritual Tabut menurut pengikut Tabut?

- Apa pemaknaan ritual Tabut menurut Pemerintah?

- Apa pemaknaan ritual Tabut menurut masyarakat?

3. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya persoalan di atas, maka penelitian ini berfokus pada

kajian komunikasi yang memaparkan keragaman pemaknaan terhadap ritual

Tabut di Bengkulu berdasarkan tiga kelompok sosial yaitu pengikut Tabut,

Pemerintah, dan masyarakat di Bengkulu. Penelitian ini dilakukan di Bengkulu

dan untuk periode waktunya dilaksanakan pada 01 Oktober 2016 sampai dengan

13 Oktober 2016. Peneliti juga akan mewawancarai informan yang dilaksanakan

pada 01 Juli 2017 sampai dengan 01 Agustus 2017.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan yang telah peneliti paparkan tersebut,

penelitian ini bertujuan:

1. Untuk mengetahui sekaligus menganalisis pemaknaan ritual Tabut

menurut pengikut Tabut.

2. Untuk mengetahui sekaligus menganalisis pemaknaan ritual Tabut

menurut Pemerintah.

3. Untuk mengetahui sekaligus menganalisis pemaknaan ritual Tabut

menurut masyarakat di Bengkulu.

D. Signifikansi Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian tersebut,

signifikansi penelitian tentang pemaknaan ritual Tabut sebagai berikut:

Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan wawasan

peneliti dalam bidang ilmu komunikasi, khususnya yang berkaitan dengan teori

pemaknaan dan implementasinya. Selain itu, juga diharapkan hasil penelitian ini

dapat memberikan gambaran utuh tentang keragaman pemaknaan dalam ritual

Tabut.

Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan pemahaman akan

keragaman pemaknaan yang disebabkan oleh perbedaan interpretasi. Karena

menurut Geertz, pencarian makna dalam budaya juga dipengaruhi oleh

Page 13: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

13

konstruksi sosialnya.53

Akhirnya, keragamaan tersebut tidak menimbulkan

fragmentasi yang mengarah kepada konflik, akan tetapi dimaknai sebagai

khazanah ataupun pemersatu keragaman pemikiran.

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Tujuan dicantumkannya penelitian terdahulu yang relevan untuk

mengetahui bangunan keilmuan yang telah diteliti oleh orang lain, sehingga

penelitian yang dilakukan dapat berkembang. Terdapat beberapa penelitian

terdahulu yang melakukan penelitian dengan objek dan kajian pembahasan

serupa. Penelitian terdahulu ini menjadi salah satu acuan peneliti dalam

melakukan penelitian sehingga peneliti dapat memperkaya teori yang digunakan

dalam mengkaji penelitian yang dilakukan.

Penelitian yang dilakukan oleh Zulkifli dengan judul ‚The Struggle of

the Shi’is in Indonesia‛ (Disertasi University of Leiden, 2009). Penelitian ini

berfokus pada pembahasan posisi Syi’ah sebagai minoritas dalam usaha untuk

mendapatkan pengakuan di Indonesia. Pendekatan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah pendekatan sejarah, sosiologi, dan politik. Hasil

penelitiannya menunjukkan bahwa realitas dari Syi’ah sebagai minoritas mampu

hidup dan berkembang di tengah masyarakat Sunni di Indonesia. Syi’ah di

Indonesia mendapatkan pengakuan, salah satunya dengan memperkenalkan

Syi’ah dalam konteks sosial dan politik. Bagi Zulkifli, melalui budaya Tabut di

Indonesia, khususnya di Pariaman dan Bengkulu, terindikasi pengaruh Syi’ah

dalam masyarakatnya.54

Penelitian berikutnya dengan judul, Tabut: Muharram Observances in

the History of Bengkulu, oleh Michael Feener. Dalam penelitian ini, ia

menyimpulkan bahwa kekuatan Tabut bagi masyarakat Bengkulu terletak pada

kenyataan bahwa tradisi tersebut nyaris mati, kondisi tersebut yang membuat

tradisi ini sangat terbuka untuk direinterpretasi dan dihidupkan kembali. Tabut

juga digunakan sebagai wahana menyatukan identitas masyarakat Bengkulu.

Namun di masa Orde Baru, Tabut juga mendapat tekanan dari pemerintah yang

menggunakan tradisi ini sebagai alat propaganda sehingga semakin menjauhkan

Tabut dari asal-usulnya. Dengan kata lain, Tabut tidak dikembangkan dalam

rangka pengembangan tradisi Islam, tapi dimasukkan ke dalam kerangka

pembangunan budaya lokal dan juga budaya bangsa.55

Penelitian yang berjudul Major Conflict in Indonesia: How Can

Communication Contribute to a Solution? Penelitian yang dilakukan oleh Andi

Faisal Bakti. Dalam penelitiannya disimpulkan bahwa konflik etnis ataupun

agama di Indonesia meningkat dan mereda seiring waktu. Konflik meningkat

53

Clifford Geertz, Interpretation of Cultures, 5. 54

Selengkapnya lihat Zulkifli, ‚The Struggle of the Shi’is in Indonesia,‛

(Disertasi University of Leiden, 2009). 55

Selengkapnya lihat Michael Feener, ‚Tabut: Muharram Observances in the

History of Bengkulu.‛ Jurnal Studia Islamika, Vol. 6, No. 2, (1999): 87-130.

Page 14: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

14

ketika pemerintah lemah dan orang yang lebih kuat. Konflik sebaliknya telah

mereda ketika pemerintah kuat. Konflik tersebut disebabkan oleh ketiadaan

Human Factor (HF) Characteristic. Yaitu sifat yang menghargai sesama

manusia, karena aspek kemanusiaannya. Namun, konflik etnis dan agama yang

ada di Indonesia dapat diselesaikan dengan dua cara, yaitu cooptation, coercion,

dan seduction. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara membangun kesadaran

Human Factor (HF) Characteristic dalam komunikasi.56

Penelitian Awang Dharmawan yang berjudul Konflik Sampang Tahun

2012 Dalam Perspektif Komunikasi (Studi Kasus Konflik Kelompok Syiah dan

Kelompok Anti Syi’ah di Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan

Ombeng, Kabupaten Sampang, Madura), (Tesis Ilmu politik/ilmu komunikasi

UGM 2013). Dalam penelitian ini dikatakan bahwa penyebab konflik

disebabkan karena kegagalan komunikasi antara kelompok Syi’ah dan kelompok

anti Syi’ah. Penghambat komunikasi tersebut disebabkan oleh ketimpangan

kekuasaan sikap kelompok Syi’ah sebagai minoritas, disebabkan oleh perilaku

komunikasi yang berbeda antara kelompok Syi’ah dan kelompok anti Syi’ah.57

Selanjutnya, penelitian yang berjudul Tradisi Tabot Pada Bulan

Muharram di Bengkulu: Paradigma Dekonstruksi, penelitian dari Endang

Rochmiatun (Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan

Budaya Islam, UIN Raden Fatah Palembang). Peneliti menggunakan metode

dekonstruksi dengan tujuan untuk menunjukkan ketidakberhasilan penghadiran

kebenaran absolut, dan ini membuka agenda tersembunyi yang mengandung

banyak kelemahan dan ketimpangan di balik teks-teks. Salah satu sistematika

penerapan dekonstruksi ketika berhadapan dengan teks adalah mengidentifikasi

hirarki oposisional dalam teks, di mana biasanya terlihat peristilahan mana yang

diistimewakan secara sistematis dan mana yang tidak. Dalam penelitian ini,

peneliti berkesimpulan bahwa kehadiran tradisi Tabot pada bulan Muharram di

Bengkulu merupakan dekonstruksi dari rakyat kecil yang termaginalkan dan

mengemas ritual yang pada awalnya mempunyai makna magis kemudian

bergeser menjadi makna tidak magis yang hanya berfungsi sebagai hiburan

rakyat.58

Penelitian selanjutnya yang berjudul Tradisi ‘Ashura pada Masyarakat

Muslim Kota Palu dalam Perspektif Syi’ah, hasil dari jurnal penelitian ilmiah

yang ditulis oleh Nurhayati dan Surati Attamimi (Dosen Jurusan Ushuluddin

56

Selengkapnya lihat, Andi Faisal Bakti, ‚Major Conflict in Indonesia: How

Can Communication Contribute to a Solution?‛ Jurnal Human Factor Studies, Vol. 6,

No. 2, (Desember 2000). 57

Selengkapnya lihat, Awang Dharmawan, Konflik Sampang Tahun 2012 Dalam Perspektif Komunikasi (Studi Kasus Konflik Kelompok Syi’ah dan Kelompok

Anti Syi’ah di Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Ombeng,

Kabupaten Sampang, Madura), (Tesis Universitas Gajah Mada, 2013). 58

Selengkapnya lihat, Endang Rochmiatun, ‚Tradisi Tabot Pada Bulan

Muharram di Bengkulu: Paradigma Dekonstruksi.‛ Jurnal Tamaddun, Vol. 14, No. 2,

(2014).

Page 15: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

15

STAIN Datokarama Palu). Rumusan masalah dalam penelitian ini untuk

mengetahui bagaimana tradisi peringatan hari ‘Asyura pada masyarakat Muslim

di Kota Palu, untuk mengetahui bagaimana tradisi peringatan hari ‘Asyura yang

dilakukan oleh masyarakat Palu dalam prespektif Syi’ah. Kesimpulan dari

penelitian ini adalah tradisi ‘Asyura merupakan praktik ritual keagamaan yang

sudah berlangsung lama dan dilakukan oleh masyarakat Palu. Tradisi ‘Ashura

yang diselenggarakan di Kota Palu, terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok

yang melaksanakan ritual tersebut dengan kegembiraan dan kelompok yang

melaksanakannya dengan rasa berduka cita dan ekspresi kesedihan, yaitu

kelompok kaum Syi’ah karena menurut Syi’ah, hari ‘Ashura merupakan hari

meninggalnya Husain yang merupakan cucu Nabi Muhammad SAW, maka

sudah seharusnya diselenggarakan dengan ekspresi duka kesedihan. Itu

mengapa, ritual yang dilakukan kelompok Syi’ah sangat berbeda dengan umat

Muslim pada umumnya.59

Kearifan Budaya Lokal Masyarakat Maritim untuk Upaya Mitigasi

Bencana di Sumatera Barat. Hasil penelitian dari Lucky Zamzami dan

Hendrawati (Lembaga Penelitian Universitas Andalas: Program Penelitian

Dosen Muda, 2011). Kesimpulan dari penelitian ini adalah, di daerah penelitian,

resiko bencana termasuk tinggi karena frekuensi bencana cenderung tinggi dan

bervariasi. Kerentanan penduduk juga tinggi dilihat dari kedekatan dengan

sumber bencana, struktur demografi yang padat dan usia non-produktif tinggi,

kualitas bangunan rendah, tingkat pengetahuan dan pemahaman tentang

kebencanaan rendah. Tingkat kerentanan yang tinggi akan bencana masyarakat

mampu mengupayakan mitigasi bencana berdasarkan potensi kearifan budaya

lokal masyarakat tersebut. Kekuatan religi sebagai potensi besar kearifan

budaya lokal masyarakat ini, yaitu keberadaan makam ulama besar Syech

Burhanuddin yang diyakini masyarakat bisa menolak segala bencana sehingga

ketika bencana datang. Masyarakat memiliki kekuatan besar untuk

mengantisipasi bencana tersebut. Masyarakat pun melakukan dengan berbagai

tradisi agama, seperti berzikir (berdoa) di makam dan di tepi pantai dan

melaksanakan tradisi adat (upacara Tabuik) sebagai tanda bersyukur kepada

Allah SWT. Selain aspek religi, masyarakat percaya dengan kondisi geografi

laut yang memiliki kekuatan penghalang dari bahaya tsunami sehingga

masyarakat percaya bahwa tsunami tidak akan membahayakan mereka.60

Tesis dari Keith Guy Hjortshoj yang berjudul Kerbala in Context: A

Study of Muharram in Lucknow India. Membahas salah satu tradisi Muharram

adalah tradisi Kerbala di Lucknow yang tidak hanya mewakili Syi’ah sebagai

59

Selengkapnya lihat, Nurhayati, Surati Attamimi, ‚Tradisi ‘Ashura Pada

Masyarakat Muslim Kota Palu Dalam Perspektif Syi’ah.‛ Jurnal Istiqra, Vol. 1, No. 1,

(2013). 60

Selengkapnya lihat, Lucky Zamzami dan Hendrawati, ‚Kearifan Budaya

Lokal Masyarakat Maritim untuk Upaya Mitigasi Bencana di Sumatera Barat.‛ Jurnal

Antropologi, Vol. 16, No. 1, (2014).

Page 16: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

16

komunitas religius namun juga sebagai refleksi doktrin Syi’ah, baik dalam

pengabdiaan ataupun kesetiaan terhadap Imam. Menurut peneliti, konflik

disebabkan karena tidak adanya kepatuhan terhadap pemuka agama dan

pemerintah. Dengan menggunakan pendekatan historis, peneliti menjelaskan

hubungan antara Sunni dan Syi’ah dalam konteks sosial, politik, dan ekonomi.

Kesimpulan dalam penelitian ini, dikatakan bahwa tradisi Kerbala yang ada di

Lucknow juga disebabkan oleh pemahaman sejarah yang tidak sesuai. Hal

tersebut kemudian memicu ketegangan antara Sunni dan Syi’ah yang

berlebihan. Menurut peneliti seharusnya tradisi Muharram menjadi jembatan

antara Sunni dan Syi’ah dalam memahami sejarah.61

Berdasarkan atas berbagai penelitian yang relevan tentang tradisi Tabut

di atas, secara garis besar hanya menjamah struktur dan tata ritual. Untuk itu,

peneliti mencoba melakukan kajian baru di ranah keragaman pemaknaan,

termasuk di dalamnya perbedaan interpretasi makna ritual Tabut.

F. Metodologi Penelitian

1. Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

kualitatif62

dengan metode (field research) dan library research yang bertujuan

untuk mengungkapkan makna yang diberikan oleh pengikut Tabut, Pemerintah,

dan masyarakat pada perilakunya dan kenyataan sekitar. Karena penelitian ini

menggunakan metode field research maka posisi peneliti menjadi instrumen

penelitian. Untuk mendapatkan data yang diperlukan, peneliti melakukan

pengumpulan data mengenai masalah-masalah yang menjadi objek penelitian,

baik yang bersifat library maupun lapangan.63

Teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti lebih banyak pada

observasi, wawancara, literatur, dan dokumentasi. Hal tersebut dilakukan oleh

peneliti dengan mengikuti pendapat Chaterine Marshall64

yang menyatakan

bahwa metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan

melakukan observasi, wawancara, dokumentasi, dan literatur dengan

berlandaskan pada teori pemaknaan yang terdiri dari semiotik, struktural,

61

Selengkapnya lihat, Keith Guy Hjortshoj, ‚Kerbala in Context: A Study of

Muharram in Lucknow India, (Tesis Cornell University, 1977). 62

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang berusaha untuk mengkonstruksi

realitas dan memahami makna. Sehingga, penelitian kualitatif biasanya sangat

memperhatikan proses, peristiwa dan otentisitas. Dalam penelitian kualitatif melibatkan

subjek dengan jumlah relatif sedikit. Peneliti kualitatif biasanya terlibat dalam interaksi

dengan realitas yang ditelitinya. Lihat Gumilar Roswita Sumantri, ‚Memahami Metode

Kualitatif.‛ Jurnal Makara Sosial Humaniora, Vol. 9, No. 2, (Desember 2005): 58.

(diakses 29 Oktober 2016) 63

Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan (Yogykarta: Gadjah

Mada University Press, 2003), 26. 64

Bactiar S. Bachri, ‚Meyakinkan Validitas Data melalui Triangulasi pada

Penelitian Kualitatif.‛ Jurnal Teknologi Pendidikan, Vol. 10, No. 1, (2010): 53-54.

Page 17: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

17

denotasi dan konotasi. Selain itu, asumsi teoritis yang digunakan dalam

penelitian ini, peneliti menggunakan teknik triangulasi, yaitu kombinasi

metodologi untuk memahami suatu fenomena. Observasi dalam penelitian ini

berfokus pada prosesi-prosesi dalam ritual Tabut yang dilaksanakan pada 01

Oktober 2016 sampai dengan 13 Oktober 2016, serta perilaku pengikut Tabut

dan masyarakat. Selain observasi, peneliti juga akan mewawancarai informan

yang dilaksanakan pada 01 Juli 2017 sampai dengan 01 Agustus 2017, antara

lain: tokoh adat dan tokoh agama yang berkaitan langsung dengan ritual Tabut.

Selanjutnya pejabat pemerintah yaitu Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan dan

Kebudayaan Provinsi Bengkulu dan para pejabat di lingkungan Provinsi

Bengkulu. Wawancara ini dilakukan agar peneliti mendapatkan informasi data

mengenai pemahaman informan terhadap pemaknaan ritual Tabut. Adapun

sumber informan terdiri atas: pemerintah, pengikut Tabut dan masyarakat.

Masing-masing informan terdiri dari pemerintah 7 orang, pengikut Tabut 4

orang, dan masyarakat 8 orang.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan etnometodologi

yang memusatkan pada proses pemaknaan interaksi dan cara aktor dalam

kelompok sosial membentuk struktur tindakan sosial mereka dalam realitas dan

percakapan sehari-hari. Fokus pembahasan etnometodologi memusatkan pada

bagaimana tafsir atau definisi sosial subjek penelitian dalam memaknai struktur

secara bersama-sama.65

Menurut Garfinkel dalam meneliti perilaku sosial tidak dapat hanya

dibangun dengan rasionalitas ilmiah melainkan dengan mempertimbangkan

semua perilaku dan komitmen dalam suatu struktur. Karena bagaimanapun,

secara umum dalam etnometodologi adalah studi tentang penalaran dan

tindakan praktis sehingga tidak dapat melakukan justifikasi terhadap suatu

realitas. Dalam pendekatan etnometodologi memfokuskan kesadaran, persepsi

dan tindakan aktor yang secara khusus memperhatikan struktur, aturan formal,

dan prosedur resmi dalam mendeskripsikan perilaku subjek penelitian. Adapun

fokus kajiannya adalah deskripsi mendetail mengenai praktik-praktik sosial yang

terorganisasikan secara alamiah.66

Dengan kata lain, etnometodologi

menganalisis aktivitas sehari-hari yang sama yang terlihat, rasional, -dan-dapat-

dilaporkan, dan memiliki tujuan-praktis untuk dapat memahami persepsi dan

pencapaian di dalam aktivitas tersebut. Karena itu, reinterpretasi dan reprentasi

merupakan elemen kunci dalam pendekatan etnometodologi.67

65

Daniel Susilo, ‚Etnometodologi sebagai Pendekatan Baru dalam Kajian Ilmu

Komunikasi,‛ Jurnal Studi Komunikasi, Vol. 1, No. 1, 2017, 66-67. 66

Daniel Susilo, ‚Etnometodologi sebagai Pendekatan Baru dalam Kajian Ilmu

Komunikasi.‛ 63-65. 67

Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program

(Jakarta: INIS, 2004), 209-219.

Page 18: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

18

Seperti dikutip Bakti, Garfinkel menjelaskan bahwa metode

etnometodologi dapat diaplikasikan untuk menganalisa aktivitas sehari-hari

sebagai pengetahuan dasar dari struktur sosial maupun sociological reasoning68

sehingga dapat menjelaskan perspektif, kepercayaan, ataupun pengetahuan yang

dimiliki oleh seseorang. Metode etnometodologi pada saat ini menjadi dasar

epistemologi dalam penelitian lapangan (field research).69

Studi etnometodologi

merupakan ini adalah studi tentang penalaran praktis dan tindakan praktis,

menahan diri untuk tidak melakukan penilaian yang berefek mendukung atau

menolak.70

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana perbedaan pemaknaan

dari kelompok sosial dalam memaknai ritual Tabut yang berada di Bengkulu

sebagai suatu budaya yang berdampingan dengan nilai-nilai religius. Penelitian

ini berasumsi bahwa keragaman pemaknaan dalam ritual Tabut dipengaruhi oleh

pandangan atau pemikiran setiap kelompok sosial yang pada akhirnya

menentukan pemaknaan dari ritual tersebut. Berdasarkan asumsi tersebut,

dengan menggunakan pendekatan etnometodologi, memunculkan tiga kelompok

sosial yaitu pengikut Tabut, pemerintah, dan masyarakat. Selanjutnya, masing-

masing kelompok sosial memiliki pemaknaan yang berbeda terhadap ritual

Tabut yang disebabkan oleh perbedaan interpretasi. Seharusnya hal tersebut

dimaknai sebagai khazanah ataupun keragaman pemikiran.

68

Harold Garfinkel, Studies in Ethnomethodology (New Jersey: Prentice-Hall.

Inc, 1967), viii. 69

Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program, 217-

225. 70

Daniel Susilo, ‚Etnometodologi sebagai Pendekatan Baru dalam Kajian Ilmu

Komunikasi.‛ 65.

Page 19: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

19

Bagan 1.1 Bagan Konseptual Penelitian

2. Analisis Data

Analisis data71

dalam penelitian ini diarahkan pada proses kategorisasi

dan reduksi data, pengelompokan dan penyusunan data, interpretasi data,

pengambilan kesimpulan, serta verifikasi hasil analisis data.72

Adapun langkah-langkah analisis yang diolah melalui teori meaning

(pemaknaan) dari Gill Branston dan Roy Stafford, antara lain:

1. Inventarisir data yaitu dengan cara mengumpulkan semua data, baik

yang diperoleh dari observasi, wawancara, dokumentasi ataupun

kepustakaan.

2. Kategorisasi dan klasifikasi data-data dengan pendekatan

etnometodologi yang akan dianalisis dengan teori meaning (pemaknaan)

yang terdiri dari analisis semiotik, struktural, denotasi dan konotasi.

71

Analisis data adalah pengorganisasian dan pengategorian data dengan cara

mengelompokkannya kedalam tema-tema tertentu, untuk menemukan pola serta yang

memberikan penjelasan tentang makna data tersebut. Lihat, Iskandar, Metodologi Penelitian Kualitatif Aplikasi Untuk Penelitian Pendidikan, Hukum, Ekonomi, Manajemen, Sosial dan Humaniora, Politik, Agama, dan Filsafat (Jakarta: GP Press,

2009), 226. 72

Ellys Lestari Pambayun, Qualitative Research Methodology in Communication Konsep Panduan dan Aplikasi, 120.

Page 20: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

20

3. Teori semiotik digunakan untuk menentukan intepretant,

representament, object dari setiap ritual Tabut.

4. Teori struktural untuk menemukan susunan ritual dan oposisi biner yang

menyebabkan keragamaan makna dalam ritual Tabut

5. Teori denotasi dan konotasi, menganalisis perkembangan pemaknaan

ritual Tabut

6. Mendapatkan penilaian terhadap data-data yang telah dianalisis

sehingga dapat dilakukan penarikan kesimpulan penelitian.

2. Laporan

Metode pelaporan disusun dari kesimpulan analisis tersebut kemudian

ditulis dalam bentuk narasi, sehingga didapatkan data-data untuk mengetahui

bentuk dari kajian komunikasi dalam pemaknaan ritual Tabut.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan pemahaman dan gambaran yang utuh maka

penelitian ini akan disusun menjadi lima bab, di mana masing-masing bab saling

terkait satu sama lain dan merupakan sebuah kesatuan. Adapun sistematika

penulisannya adalah sebagai berikut:

Peneliti memulai dengan bab pertama, yaitu pendahuluan yang di

dalamnya menggambarkan latar belakang permasalahan, identifikasi,

perumusan, serta pembatasan masalah. Dilanjutkan dengan pembahasan

mengenai penelitian terdahulu yang relevan, tujuan serta manfaat penelitian,

metodologi penelitian yang digunakan, sumber data, serta pendekatan dan

teknik analisis data. Terakhir, sistematika penyusunan penelitian.

Selanjutnya, yang pada bab kedua, peneliti membahas bagaimana

budaya dalam perspektif komunikasi, dilanjutkan dengan memaparkan diskursus

komunikasi dalam budaya yang di dalamnya menjelaskan teori semiotik,

struktural, denotasi dan konotasi yang menyebabkan perbedaan persepsi makna

budaya. Bab ini juga menjelaskan bagaimana pola komunikasi dapat

menghasilkan makna budaya melalui teori pemaknaan.

Dalam bab ketiga menjelaskan secara detail sejarah perkembangan

budaya Tabut di Bengkulu. Dilanjutkan dengan menjelaskan bagaimana

masyarakat Bengkulu menerima budaya tersebut. Kemudian menjelaskan

bagaimana masyarakat memandang Tabut dalam perspektif komunikasi.

Untuk landasan teoritis, pada bab keempat menjelaskan tentang

pemaknaan yang didasari oleh perbedaan persepsi dalam memaknai ritual Tabut.

Dilanjutkan dengan pembahasan mengenai keragaman pemaknaan yang terjadi

dalam ritual ini. Kemudian bagaimana makna komunikasi diartikan sebagai

pemersatu persepsi makna pada ritual ini.

Akhirnya, bab penutup berisi tentang kesimpulan dan saran-saran yang

bersifat membangun bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

Page 21: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

21

BAB II

RAGAM PEMAKNAAN DALAM KOMUNIKASI DAN BUDAYA

A. Budaya sebagai Sistem Komunikasi

Menurut Freilich, kata budaya berasal dari bahasa Latin cultura atau

cultus yang juga memiliki makna yang sama dalam kata agri cultura yang berarti

mengolah tanah. Selanjutnya makna kata budaya mengalami perkembangan,

yang awalnya menyatakan suatu kegiatan atau aktifitas (pelatihan, perhiasaan,

pembinaan, dan ibadah) berkembang menjadi keadaan atau kondisi yang

dibudidayakan.73

Sedangkan menurut Koentjaraningrat, kata kebudayaan berasal

dari bahasa Sansakerta Budha yah, bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti

budi atau akal. Dengan demikian, kebudayaan dapat diartikan sesuatu yang

berkaitan dengan akal. Walaupun dalam istilah antropologi budaya, perbedaan

itu ditiadakan. Kata budaya digunakan sebagai suatu singkatan saja dari

kebudayaan dengan arti yang sama.74

De Certeau berpendapat budaya merupakan nilai yang dibentuk secara

normatif oleh kelompok sosial tertentu tanpa adanya paksaan, di dalamnya

terdapat warisan yang harus dijaga dan dilestarikan, sebagai simbol dari

identitas sosial yang disepakati dan digunakan oleh kelompok sosial untuk

membedakan dengan kelompok sosial lainnya. Selain itu, juga sebagai media

komunikasi. Budaya sebagai bagian dari atribut manusia, terdiri dari praktek

yang bersifat kognitif ataupun pragmatis, kreasi yang dapat dikembangkan, dan

makna yang memiliki tujuan.75

Hal ini sejalan dengan pengertian budaya

menurut Elena Basarab yaitu budaya adalah kumpulan tingkah laku dan simbol

yang membawa makna, warisan, dan transmisi sosial melalui bermacam-macam

perilaku, sistem dari gambaran, dan sistem di mana orang berkomunikasi dan

mengembangkan pengetahuan dan sikap dalam hidup.76

Untuk itu, menurut

Thayer seperti dikutip Bakti dalam memahami komunikasi harus pula

73

Stella Ting-Toomey, Communicating Across Culture (London: The Guilford

Press, 1999), 9. 74

Muhammad Arifin, ‚Islam dan Akulturasi Budaya Lokal di Aceh (Studi

Terhadap Ritual Rah Ulei di Kuburan dalam Masyarakat Pidie Aceh).‛ Jurnal Ilmiah

Islam Futura, Vol. 15. No. 2, (Februari 2016): 262. 75

Guy Poitevin, ‚From the Popular to the People‛ dalam Bernard Bel, Jan

Brouwer, Biswajit Das, Vibodh Parthasarathi dan Guy Poitevin, Communication Processes Vol. 3; Communication, Culture and Confrontation (New Delhi: Sage

Publications India, 2010), 32-33. 76

Elena Basarab, ‚Education, Cultural and Intercultural Relation,‛ makalah

dalam ‚Konferensi Internasional Edu World 2014, VI,‛ University of Craiova, Romania

07-09 November 2014, 38.

Page 22: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

22

memahami nilai-nilai serta kepercayaan yang ada pada kelompok sosial. Karena

budaya dan peradaban manusia merupakan produk dari komunikasi.77

Berdasarkan definisi di atas, budaya mengarah pada tiga poin utama.

Pertama, istilah budaya merujuk pada macam-macam kelompok pengetahuan,

realita bersama dan kelompok norma yang merupakan sistem makna dalam

kelompok masyarakat tertentu. Kedua, sistem makna ini dibagi dan ditularkan

melalui interaksi sehari-hari antara anggota kelompok budaya dan dari satu

generasi ke generasi berikutnya. Ketiga, budaya memfasilitasi kemampuan

anggota untuk bertahan dan beradaptasi dengan lingkungan eksternal mereka.

Ketiga poin tersebut sejalan dengan gambaran dari konsep budaya D'Andrade

yang mendefinisikan budaya sebagai kerangka kompleks dari referensi yang

terdiri dari pola-pola tradisi, kepercayaan, nilai-nilai, norma-norma, simbol, dan

makna yang dibagi dalam berbagai tingkatan melalui interaksi anggota dari

suatu komunitas.78

Karena tanpa budaya, manusia akan mengalami kesulitan

dalam mempertahankan identitas sosialnya.79

Menurut Malinowski, pada awalnya fungsi budaya dipahami sebagai

alat untuk memenuhi kebutuhan psiko-biologis manusia yang bersifat

conditioning. Artinya, melalui budaya, manusia dapat membentuk pola perilaku

yang menjadi tingkah laku kebudayaan (cultural behavior) sehingga dapat

memberikan batasan terhadap kegiatan manusia. Tingkah laku kebudayaan

tersebut dapat berupa nilai, adat, ide, kepercayaan atau penerapan aturan

organisasi sosial.80

Dengan demikian, menurutnya, kajian budaya harus

menyertakan fakta sosiologis karena budaya memiliki unsur-unsur penting

berupa sistem politik, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, dan sistem

kekerabatan. Semua unsur tersebut penting untuk dikaji agar mendapatkan

pemahaman terhadap peranan seluruh unsur dalam menjaga sistem masyarakat

dan sistem kebudayaan sebagai satu kesatuan yang terintegrasi. Selain itu, hal

tersebut dilakukan untuk menetapkan perbedaan antara budaya sebagai warisan

biologis dan budaya sebagai warisan sosiologis. Karena warisan sosial memiliki

kekuatan berupa kepercayaan, adat, struktur sosial sehingga dapat memengaruhi

dan membentuk pribadi individu.81

Menurut Geertz, kebudayaan merupakan pola dari pengertian-

pengertian atau makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol

yang ditransmisikan secara historis, suatu sistem mengenai konsepsi-konsepsi

yang diwariskan dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengan cara tersebut

77

Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program

(Jakarta: INIS, 2004), 217. 78

Stella Ting-Toomey, Communicating Across Culture, 9. 79

Marcel Danesi, Messages Signs and Meanings A Basic Text Book In Semiotics and Communication Theory, (Toronto: Canadian Scholars Press, 2004), 35.

80Amri Marzali, ‚Struktural-Fungsionalisme.‛ Jurnal Antropologi Indonesia,

Vol. 30, No. 2, (2006): 132. 81

Amri Marzali, ‚Struktural-Fungsionalisme,‛ 134.

Page 23: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

23

manusia berkomunikasi, melestarikan, mengambangkan pengetahuan, dan sikap

mereka terhadap kehidupan.82

Menurut Liliweri, kebudayaan merupakan

pandangan hidup kelompok sosial yang berbentuk perilaku, kepercayaan, nilai,

dan simbol-simbol yang diterima secara tidak sadar, melalui proses komunikasi,

hal tersebut secara terus menerus pada setiap generasi. Lebih lanjut ia

mengatakan bahwa kebudayaan juga merupakan komunikasi simbolik, yang

nantinya makna dari simbol-simbol (tanda) tersebut dipelajari dan

disebarluaskan dalam masyarakat melalui institusi.83

Tanpa memperhatikan

tanda, sistem tanda, makna, dan konvensi tandanya struktur budaya tidak dapat

dimengerti secara optimal karena tanda merupakan sarana komunikasi yang

bersifat estetis.84

Kebudayaan merupakan totalitas produk-produk manusia yang

mencakup aspek material dan non-material. Yang terpenting dari aspek

kebudayaan non-material ini adalah masyarakat, karena melalui mereka

terbentuk hubungan-hubungan berkelanjutan antar manusia. Karena masyarakat

merupakan unsur dari kebudayaan yang bersifat sebagai produk manusia sama

seperti kebudayaan non-material. Atas dasar itu, dapat dipahami bahwa

masyarakat tentunya tidak hanya merupakan hasil dari kebudayaan, tetapi

merupakan kondisi yang diharuskan bagi kebudayaan.85

Menurut Bernard Berelson dan Gary A Steiner, komunikasi merupakan

transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan sebagainya, dengan

menggunakan simbol-simbol, kata-kata, gambar, figure, grafik, dan sebagainya.

Tindakan atau proses transmisi tersebut yang disebut komunikasi.86

Sementara

menurut James W Carey, manusia hidup dalam sebuah komunitas berdasarkan

hal-hal yang dimiliki bersama, baik berupa tujuan, keyakinan, maupun

pengetahuan-pengetahuan umum, dan komunikasi adalah cara agar kesamaan

tersebut dapat dimiliki.87

Simbol memiliki peran penting dalam interaksi manusia karena dalam

konteks komunikasi, simbol merupakan ekspresi yang digunakan untuk

mewakili sesuatu yang lain, yang membawa makna tertentu dan diakui oleh

82

Rasid Yunus, ‚Transformasi nilai-nilai budaya lokal sebagai upaya

pembangunan karakter bangsa.‛ Jurnal Penelitian Pendidikan Vol. 13, No. 1, (2016): 67. 83

Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta:

Lkis, 2002), 8. 84

Sri Nur Aeni, Chairil Effendy, A Totok Priyadi, ‚Makna Priyayi dalam Novel

Para Priyayi dan Jalan Menikung Analisis Struktural Semiotik.‛ Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, Vol. 4, No. 2, (2015): 2.

85Irfan Noor, Agama sebagai Universum Simbolik; Kajian Filosofis Pemikiran

Peter L. Berger (Yogyakarta: Pustaka Prisma, 2010), 68-69. 86

Ahmad Sultra Rustan dan Nurhakki Hakki, Pengantar Ilmu Komunikasi (Yogyakarta: Deepublish, 2017, Cetakan I), 29.

87James W Carey, Communication as Culture: Essays on Media and Society

(New York dan London: Routledge, 2009), 18.

Page 24: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

24

kelompok sosial yang menggunakannya. Untuk itu, pemahaman tentang simbol

dan makna pun ikut memengaruhi pola perilaku dalam budaya.88

Menurut Philipsen, fungsi komunikasi dalam budaya adalah untuk

menjaga keseimbangan identitas serta martabat ataupun kreatifitas baik dari

individu maupun masyarakat. Karena bagaimanapun, komunikasi merupakan hal

penting dari fungsi budaya dalam kehidupan individu dan masyarakat.89

Dari pembahasan di atas, hubungan antara budaya dan komunikasi dapat

dijelaskan melalui unsur-unsur kebudayaan. Menurut Bronislaw Malinowski,

unsur-unsur kebudayaan terdiri dari sistem norma yang memungkinkan

kerjasama antara anggota masyarakat di dalam upaya menguasai alam

sekelilingnya, organisasi ekonomi, alat-alat lembaga, dan organisasi kekuatan.90

Kebudayaan setiap masyarakat atau suku bangsa terdiri atas unsur-unsur

besar maupun unsur-unsur kecil yang merupakan bagian dari suatu kebulatan

yang bersifat sebagai kesatuan. Ada beberapa unsur yang terdapat dalam

kebudayaan, di mana kita sebut sebagai cultural universals, yang meliputi:

peralatan dan perlengkapan hidup manusia, mata pencaharian hidup dan sistem-

sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, bahasa (lisan dan tulisan), kesenian,

sistem pengetahuan, religi (sistem kepercayaan).91

Agar unsur-unsur tersebut dapat dipahami dan dimaknai maka

dibutuhkan komunikasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Mulyana yang

menjelaskan bahwa budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, karena

komunikasi ikut serta dalam menentukan, memelihara, mengembangkan atau

mewariskan budaya.92

Juga dikuatkan dengan pendapat Fiske yang mengatakan

bahwa perhatian dalam studi komunikasi bukan pada komunikasi sebagai proses

semata, melainkan komunikasi sebagai pembangkit makna (the generation of meanings).

93

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa melalui

sistem makna, manusia dapat beradaptasi dengan lingkungan dan struktur

kegiatan interpersonal suatu kelompok sosial. Sistem makna budaya dapat

dianggap sebagai kelompok pengetahuan yang bermacam-macam, atau yang

secara terpisah membagi kelompok-kelompok norma yang secara simbolis

menciptakan realitas. Hal tersebut sesuai dengan pendapat D'Andrade yang

88

Larry A Samovar, Richard E Porter, Edwin R McDaniel dan Carolyn S Roy,

Communication Between Culture, Edisi 8 (Boston: Wadsworth, 2013), 33 dan 53. 89

William B. Gudykunst (ed), Theorizing About Intercultural Communication,

(California: Sage Publications.Inc, 2005), 7. 90

Pangulu Abdul Karim, ‚Interelasi Agama dan Budaya.‛ Jurnal Nizhamiyah,

Vol. VI, No. 2, (Juli-Desember 2016): 102. 91

Deni Mihardja, ‚Persentuhan Agama Islam dengan Kebudayaan Indonesia.‛

Jurnal Miqot, Vol. XXXVIII, No. 1 (Januari-Juni 2014): 193. 92

Wahidah Suryani, ‚Komunikasi Antarbudaya: Berbagi Budaya Berbagi

Makna.‛ Jurnal Farabi Vol. 10 No. 1 (Juni 2013): 03. (diakses 01 Maret 2017) 93

John Fiske, Introduction to Communication Studies (Routledge: Taylor and

Francis Group, 2002), 39.

Page 25: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

25

menyatakan bahwa budaya merupakan sesuatu yang mempelajari sistem makna,

dikomunikasikan oleh makna dari bahasa alami dan sistem simbol lain yang

mampu menciptakan entitas budaya dan indra tertentu dari realitas.94

Artinya,

budaya adalah realitas yang memproduksi dan mengembangkan nilai-nilai,

kepercayaan, cara berperilaku, cara berpikir, seni, hukum, agama, serta

komunikasi.95

Dalam komunikasi, permasalahan utama yang kerap hadir adalah

penyampaian ide yang bukan hanya melibatkan pengirim dan penerima pesan,

namun juga realitas sosial.96

Menurut Richard, karena sangat sulit menemukan

ide dari makna maka yang dapat dilakukan hanya menghadapkan makna

tersebut pada realitas.97

Realitas adalah semua yang telah dikonsepkan sebagai

sesuatu yang memiliki wujud. Sementara menurut Berger dan Luckmann adalah

kualitas yang diakui memiliki keberadaan yang tergantung pada kehendak diri

sendiri. Kemudian realitas terbagi menjadi realitas objektif, simbolik, dan

subjektif.98

Menurut Gudykunts, agar kaitan antara komunikasi dengan budaya

dapat dipahami maka diperlukan sistem informasi dan konstruksi budaya yang

spesifik. Karena dalam konteks komunikasi, kehadiran budaya memungkinkan

kelompok sosial berinteraksi dan mengekspresikan budaya mereka. Sedangkan

menurut Andi Faisal Bakti, karena budaya merupakan seperangkat aturan yang

digunakan untuk mereproduksi atau meneruskan nilai-nilai masa lalu maka

didalamnya dibutuhkan komunikasi. Menurutnya, budaya dikonstruk

berdasarkan hubungan historis, sementara komunikasi dikonstruk berdasarkan

hubungan geografi.99

Keterkaitan antara komunikasi dan budaya menurut Gudykunts dapat

dipahami melalui pemahaman budaya secara umum sebagai sistem informasi

dan konstruksi budaya yang lebih spesifik.100

Karena budaya dalam konteks

komunikasi memungkinkan kelompok sosial yang berada di dalamnya untuk

94

Stella Ting-Toomey, Communicating Across Culture, 9. 95

Joseph A deVito, Human Communication the Basic Course, edisi XIII (New

York: Pearson, 2015), 28. 96

Ferruccio Rossi-Landi, Between Signs and Non-Signs (Philadelphia: John

Benjamins Publishing Company, 1992), 7-8. 97

Thomas Albert Sebeok dan Marcel Danesi, The Forms of Meaning: Modeling Systems Theory and Semiotic Analysis (Berlin: Walter de Gruyter GmbH & Co, 2000),

8. 98

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006)

186. 99

Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program

(Leidein-Jakarta: INIS, 2004), 20. 100

Beverly Rising dan Amparo García-Carbonell, Culture and Communication

(Georgia: College of Management Georgia Institute of Technology, 2006), 4.

Page 26: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

26

berinteraksi serta mengekspresikan budaya mereka.101

Sebagai bentuk interaksi

komunikasi pada akhirnya ikut pula memengaruhi budaya. Untuk itu perlu

dipahami sejauh mana pengaruh komunikasi dalam budaya.102

Budaya dan komunikasi dalam kelompok sosial merupakan dua hal yang

tidak dapat dipisahkan karena budaya tidak hanya menentukan siapa berbicara

dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi pesan, tetapi juga

makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisi-kondisinya untuk mengirim,

memperhatikan dan menafsirkan pesan. Sebenarnya seluruh perbendaharaan

perilaku kita sangat bergantung pada budaya tempat kita dibesarkan.

Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka

ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi.103

Koentjaraningrat mengatakan komunikasi merupakan satu unsur penting

dalam peradaban manusia. Karena secara simbolik, hakikat manusia

menggunakan komunikasi sebagai simbol bahasa dalam bertukar pikiran,

perasaan, dan pengalaman. Selain itu, terwujudnya komunikasi efektif

tergantung pada kemampuan manusia dalam menggunakan bahasa sebagai

simbol dalam berkomunikasi, sehingga kita bisa mengambil makna dari apa

yang kita ucapkan.104

Hasil dari proses komunikasi adalah budaya yang berakar dalam diri

individu. Budaya dan komunikasi adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

Edward T. Hall mengatakan culture is communication and communication is culture, maka hubungan antara komunikasi dan kebudayaan sangatlah

berkaitan.105

Karena keduanya membahas tentang bagaimana makna dan pola-

pola perilaku yang dibangun dalam kelompok sosial ataupun kelompok

budaya,106

sehingga terjadi pemeliharaan representasi dari pola perilaku tersebut

menjadi suatu keyakinan tertentu dalam kelompok sosial.107

Artinya budaya

sebagai komunikasi merupakan bentuk komunikasi efektif yang memiliki

kemampuan untuk menampilkan sekaligus menjelaskan realitas sosial dan

101

Marcel Danesi, Messages Signs and Meanings A Basic Text Book In Semiotics and Communication Theory, 14.

102Joseph A DeVito, Human Communication the Basic Course, edisi XIII, 31.

103Suranto Aw, Implementasi Teori Komunikasi Sosial Budaya dalam

Pembangunan Integrasi Bangsa.‛ Jurnal Kajian Ilmu Komunikasi, Vol. 45, No. 1, (Juni

2015): 69-70. 104

Nur Ahmad, ‚Komunikasi sebagai Proses Interaksi dan Perubahan Sosial

dalam Dakwah.‛ Jurnal At-Tabsyir, Vol. 2, No. 2, (Juli-Desember 2014): 29. (diakses 17

Maret 2017) 105

Wahidah Suryani, ‚Komunikasi Antarbudaya: Berbagi Budaya Berbagi

Makna,‛ 2. 106

Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, 12. 107

James W Carey, Communication as Culture (New York: Routledge, 2008),

15.

Page 27: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

27

membentuk komunitas.108

Selanjutnya, komunitas itu dikatakan memiliki

kemampuan untuk mengkonstruksi budaya sebagai realitas109

sehingga bentuk

budaya tidak hanya membawa informasi namun juga dapat dimaknai.

Alquran menyebut komunikasi sebagai salah satu fitrah manusia. Untuk

mengetahui bagaimana manusia seharusya berkomunikasi. Alquran memberikan

kata kunci (key concept) yang berhubungan dengan hal itu. Al-Syaukani,

misalnya mengartikan kata kunci al-baya>n sebagai kemampuan

berkomunikasi.110

Tujuan komunikasi pada umumnya yaitu mengharapkan

partisipasi dari mad’u atas ide-ide atau pesan-pesan yang disampaikan.111

Komunikasi Islam dapat diartikan sebagai proses penyampaian pesan

dari da’i (muballigh/mu’allim) sebagai komunikator kepada mad’u sebagai

komunikan agar komunikan memiliki perubahan pikiran, sikap, dan perilaku

yang sama dengan da’i.112 Artinya, komunikasi dalam Islam lebih ditekankan

sebagai proses harmonisasi diri dalam kelompok sosial.113

Menurut Andi Faisal

Bakti, dasar komunikasi Islam adalah tabligh (informasi), taghyir (perubahan

sosial), khairu ummah (komunitas teladan), dan akhlaq al-karimah (perilaku

mulia), adapun tujuan dari komunikasi Islam adalah sebagai salah satu jalan

resolusi konflik. Dengan cara mengajarkan ajaran Islam yang relevan untuk

nilai-nilai universal, termasuk inklusivitas untuk kemanusiaan.114

Setiap individu ketika membaur dalam kelompok sosial maka pada

waktu yang bersamaan pula ia mulai mengadopsi nilai-nilai budaya di dalam

kehidupan kelompok sosial tersebut. Nilai budaya yang berkaitan dengan norma

dan nilai tersebut yang nantinya ia terapkan. Proses penyerapan yang ia peroleh

itu berasal dari proses komunikasi.115

108

‚Introduction: Remoulding the 'Cultural' as the 'Contentious',‛ dalam

Bernard Bel, Jan Brouwer, Biswajit Das, Vibodh Parthasarathi, Guy Poitevin,

Communication Processes Volume 3 Communication Culture and Confrontation (India:

Sage Publications India, 2010), 20-21. 109

Paul Biot, "Action Theatre in Belgium," dalam Bernard Bel, Jan Brouwer,

Biswajit Das, Vibodh Parthasarathi, Guy Poitevin, Communication Processes Volume 3 Communication Culture and Confrontation, (India: Sage Publications India, 2010, 299.

110Muh Syawir Dahlan, ‚Etika Komunikasi dalam Al-Qur’an dan Hadis.‛ Jurnal

Dakwah Tabligh, Vol .15, No. 1, (Juni 2014): 117. 111

Nur Ahmad, Komunikasi sebagai Proses Interaksi dan Perubahan Sosial

dalam Dakwah.‛ Jurnal At-Tabsyir, Vol. 2, No. 2, (Juli-Desember 2014): 19. 112

Abdul Syukur, Dinamika Dakwah dalam Komunikasi dan Penyiaran Islam:

Pendekatan Historisasi, Formulasi, dan Aplikasi.‛ Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas, Vol. 9, No.2, (Juli 2014): 230. (diakses 21 Maret 2017)

113Marieke de Mooij, Human and Mediated Communication around the World a

Comprehensive Review and Analysis (London: Springer, 2014), 165. 114

Andi Faisal Bakti dan Isabelle Lecomte, ‚The Integration of Dakwah in

Journalism: Peace Journalism,‛ Jurnal Komunikasi Islam, Vol. 5, No. 01, (Juni 2015):

186. 115

Wahidah Suryani, ‚Komunikasi Antarbudaya: Berbagi Budaya Berbagi

Makna.‛ Jurnal Farabi, Vol. 10, No. 1, (Juni 2013): 2.

Page 28: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

28

Proses penyerapan budaya dan Islam di Indonesia berlangsung secara

adaptif. Dalam proses tersebut, terjadi akulturasi berdasarkan empat prinsip

dasar. Pertama, prinsip kemanfaatan, artinya kedatangan Islam memberikan

manfaat bagi kelompok sosial dengan memperbaharui unsur kebudayaan lama.

Kedua, prinsip fungsi, artinya kedatangan Islam mampu menggantikan fungsi

anasir budaya lama. Ketiga, prinsip kongkret, artinya praktik-praktik keagamaan

yang dibawa Islam dapat diterapkan secara nyata dalam suatu kelompok sosial.

Keempat, prinsip integrasi, artinya ajaran Islam mampu menyatu dengan

karakter budaya lokal, seperti gotong-royong, kekeluargaan, musyawarah, unsur

sosial (sedekah) maupun bentuk-bentuk ibadah lainnya.116

Menurut Andi Faisal Bakti, kedatangan Islam ke Nusantara merujuk

pada beberapa pendapat, diantaranya melalui perdagangan yang berada antara

Arab dan Cina. Selanjutnya, dikatakan berasal dari India, Deccan, Cambay,

Gujarat, Malabar, Pesisir Coromandel, Bengal, bahkan Persia karena adanya

kosakata Melayu yang berasal dari bahasa Persia. Kondisi tersebut menunjukkan

bahwa masyarakat Indonesia mampu menerima nilai keislaman yang berasal dari

luar, yang pada akhirnya nilai tersebut menyatu dengan tradisi, norma dan

realitas sehari-hari.117

Ketika kebudayaan mengalami proses objektivikasi maka terdapat

makna ganda dalam penerapannya. Kebudayaan itu objektif dalam pengertian

bahwa kebudayaan menghadapi manusia sebagai suatu kelompok benda-benda

dalam dunia nyata. Kebudayaan juga objektif dalam pengertian bahwa ia

bisadialami dan diperoleh secara kolektif.118

Maka dalam ranah sosial, jarang

ditemukan masyarakat yang hanya memiliki satu world view tentang ritual. Hal

tersebut dapat di pengaruhi oleh kelas sosial, strata ekonomi, maupun kelompok

etnis yang ada di dalamnya.

Mudjahirin Tohir mengungkapkan ritual merupakan bentuk pengakuan

terhadap hal gaib. Ritual menjadi alat penghubung antara manusia dengan

sesuatu yang gaib berdasarkan fungsi ekspresif dan fungsi kreatif. Fungsi

ekspresif suatu ritual dimunculkan melalui simbol-simbol yang ada sedangkan

fungsi kreatif muncul melalui konsep yang dipahami manusia namun tetap

berdasarkan aturan alam dan aturan moral.119

Dengan kata lain, ritual merupakan

116

M Irfan Mahmud, ‚Akulturasi Budaya Lokal dan Konsepsi Islam di Situs

Kali Raja, Raja Ampat.‛ Jurnal Papua, Vol. V, No. 1, (Juni 2013): 67. 117

Andi Faisal Bakti, Nation Building Kontribusi Muslim dalam Komunitas Agama dan Budaya terhadap Kebangkitan Bangsa Indonesia (Ciputat: Churia Press,

2010), 3-5. 118

Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Element of a Sociological Theory of Religion (New York: Anchor Books, 1969), 10.

119Sumper Mulia Harahap, ‚Akomodasi Hukum Islam terhadap Kebudayaan

Lokal (Studi terhadap Masyarakat Muslim Padangsidimpuan).‛ Jurnal Hukum Islam,

Vol. 15, No. 2, (Desember 2016):

Page 29: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

29

fenomena universal sebagai usaha intelektual.120

Yang memiliki fungsi untuk

meyakinkan manusia bahwa mereka dapat melepaskan kesedihannya dengan

cara yang teratur sekaligus tidak membiarkan manusia dalam ketakutan dan

ketidakberdayaan. Selain itu ritual berfungsi untuk membentuk identitas sosial

baru yang tidak berdasarkan budaya, etnis, ataupun ras, namun juga meliputi

masalah spiritual, politik, atau bahkan kelas sosial yang sama.121

Islam sebagai agama selalu beradaptasi dengan budaya lokal melalui

proses integrasi yang sesuai dengan sistem nilai dan sistem simbol serta berpijak

pada prinsip theocentric-humanis.122

Ketika nilai agama bertemu dengan

budaya, maka bisa terjadi kesesuaian atau saling berbenturan satu sama lain. Hal

tersebut dikarenakan agama dipahami bersifat absolut dan berasal dari ajaran

wahyu Tuhan, sedangkan budaya, tradisi, dan adat istiadat bersifat relatif karena

merupakan produk manusia melalui proses alami yang tidak mesti selaras

dengan ajaran Ilahiah.123

Mengkaji interaksi Islam dengan budaya lokal dapat dilakukan melalui

pendekatan sosio-historis atau akulturasi, yakni menggabungkan dua hal yang

berbeda menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi. Interaksi agama dan

budaya mencerminkan dua hal yang berbeda, yakni ajaran Islam dan tradisi

kebudayaan. Sehingga keduanya kemudian menjadi fakta sosial yang objektif

empirik.124

Dalam ritual, setidaknya terdapat tiga dasar pemaknaan yaitu

berdasarkan perbedaan, persamaan, atau penyatuan. Ketiga dasar tersebut dapat

diketahui melalui semiotika Peirce.125

Semiotik dalam pandangan Geertz sangat

diperlukan dalam proses interpretasi terhadap budaya. Hal tersebut dikarenakan

di dalam kebudayaan terdapat tindakan-tindakan simbolis berupa perilaku

manusia yang kemudian membentuk pola-pola dari kebudayaan tersebut.126

Simbol dalam suatu ritual merupakan ekspresi yang tidak dapat direduksi

sehingga hanya mempunyai satu arti mendasar.127

120

Catherine Bell, Ritual Theory Ritual Practice (New York: Oxford University

Press, 2009), 254. 121

Catherine Bell, Ritual Theory Ritual Practice, 240-251. 122

Hasan, ‚Islam dan Budaya Banjar di Kalimantan Selatan.‛ Jurnal Ittihad,

Vol. 14, No. 25, (April 2016): 79. 123

Muhammad Taufik, ‚Harmoni Islam dan Budaya Lokal.‛ Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 12, No. 2, 257.

124Sumper Mulia Harahap, ‚Akomodasi Hukum Islam terhadap Kebudayaan

Lokal (Studi terhadap Masyarakat Muslim Padangsidimpuan).‛ Jurnal Hukum Islam,

Vol. 15, No. 2, (Desember 2016): 332. 125

Roy A Rappaport, Ritual and Religion in the Making of Humanity

(Edinburg: Cambridge University Press, 1999), 72. 126

Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya,47-48. 127

Timothy Scott, ‚The Traditional Doctrine of Symbol, Sacred Web 6,‛

Vancouver, 2000, 14.

Page 30: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

30

Geertz melakukan modifikasi konseptual. Melalui kemampuan

modifikasinya itu, ia menemukan hubungan antara sistem simbol, sistem nilai

dan sistem evaluasi. Ia menyatukan konsepsi kaum kognitifisme yang

beranggapan bahwa kebudayaan adalah sistem kognitif, sistem makna, dan

sistem budaya. Agar tindakannya bisa dipahami orang lain, maka harus ada

suatu konsep lain yang menghubungkan antara sistem makna dan sistem nilai,

yaitu sistem simbol. Sistem makna dan sistem nilai tentu saja tidak bisa

dipahami oleh orang lain, karena sangat individual. Melalui sistem simbol maka

sistem makna dan sistem kognitif yang tersembunyi dapat dikomunikasikan dan

kemudian dipahami oleh orang lain.128

Karena itu Geertz berpendapat bahwa

kebudayaan merupakan sistem semiotik.129

Kesimpulan Liliweri tentang kebudayaan adalah pertama, dalam

kebudayaan ada sistem dan dinamika yang mengatur tata cara pertukaran

simbol-simbol komunikasi; dan kedua, hanya dengan komunikasi maka

pertukaran simbol-simbol dapat dilakukan, dan kebudayaan hanya akan eksis

jika ada komunikasi. Tanpa ada komunikasi maka budaya tidak akan bisa

diteruskan dari generasi ke generasi dan proses komunikasi tergantung pada

budaya seseorang karena budayalah yang membentuk sikap, nilai, dan keyakinan

seseorang. Di mana proses komunikasi pada dasarnya merupakan transfer pesan

karena itu perhatian utama dari proses komunikasi terletak pada medium,

transmitter, penerima, gangguan, dan umpan balik.130

Menyadari bahwa dalam konteks komunikasi, budaya hanya sebatas

simbol yang digunakan untuk mempertukarkan makna, maka budaya dan

maknanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Permasalahan yang

muncul berkenaan dengan kaitan keduanya dalam konteks komunikasi adalah

budaya yang sering dipahami sebagai bagian yang terpisah dari substansi

maknanya. Untuk itu, diperlukan analisis makna terhadap suatu budaya untuk

dapat memberikan klasifkasi praktis tentang kehidupan pemakainya.

B. Diskursus Komunikasi dalam Perspektif Budaya dan Pemaknaan

Manusia melakukan komunikasi melalui makna-makna simbolik yang

secara individu mereka bentuk dalam proses interaksi sosial. Peirce berpendapat

bahwa kriteria kebenaran merupakan konsensus sosial. Artinya kebenaran

bersifat konvensional (common sense). Karena manusia tidak memiliki kekuatan

intuitif sehingga pengetahuan mengalir dari format pengetahuan. Selain itu,

manusia tidak memiliki kemampuan melakukan introspeksi semua pengetahuan

yang diciptakan dengan alasan hipotesis sebagai dasar observasi tentang hal

128

Khoirul Anwar, ‚Makna Kultural Dan Sosial-Ekonomi Tradisi Syawalan.‛

Jurnal Walisongo, Vol. 21, No. 2, (November 2013): 439-440. (diakses 08 Maret 2017) 129

Bradd Shore, Culture in Mind Cognition Culture and the Problem of Meaning (New York: Oxford University Press, 1996), 32.

130Tommy Suprapto, Pengantar Teori dan Manajemen Komunikasi,

(Yogyakarta: Media Pressindo, 2009), 97.

Page 31: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

31

terdapat di luar diri. Karena itu, manusia tidak dapat berpikir tanpa tanda-

tanda.131

Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi,

namun juga mengonstitusi sistem terstruktur dari tanda.132

Karena makna tidak

lagi berada dalam tanda, melainkan pada siapa yang menggunakan tanda

tersebut, dan bagaimana tanda tersebut digunakan. Paradigma konstruksionis

dalam komunikasi disebut juga sebagai paradigma produksi dan pertukaran

makna, yang menjadi titik fokus bukan tentang bagaimana seseorang

mengirimkan pesan namun bagaimana masing-masing saling memproduksi dan

saling bertukar makna. Pesan itu dibentuk secara bersama-sama antara pengirim

dan penerima pesan yang dihubungkan dengan konteks sosial tempat mereka

berada.133

Dalam kajian linguistik, tanda adalah sesuatu yang dapat dijelaskan

melalui tanda yang lain sehingga ia berkembang. Sedangkan dalam semiotik,

tanda merupakan sesuatu yang tidak hanya memiliki satu penafsiran.134

Karena

dalam kajian tersebut melibatkan juga studi tentang makna yang tidak dapat

dipisahkan dari realitas sosial yang berfungsi untuk memaknai tanda.135

Dalam

semiotik, isi merupakan hal penting, yang berfokus pada cara-cara produser

menciptakan tanda-tanda dan cara-cara audiens memahami tanda-tanda

tersebut.136

Secara umum, tanda memiliki empat fungsi. Pertama, menyadarkan

pendengar akan sesuatu yang dinyatakan untuk kemudian dipikirkan. Kedua,

menyatakan perasaan atau sikap terhadap objek. Ketiga, memberitahukan sikap

pembicara terhadap khalayak. Dan keempat, menunjukkan tujuan atau hasil

yang diinginkan pembaca atau penulis baik disadari maupun tidak disadari.137

Setiap tanda harus memiliki perbedaan dengan apa yang dimaknainya

karena tanda menurut St. Augustine, terbagi menjadi dua138

yaitu tanda natural

131

Andrik Purwasito, "Semiologi Komunikasi," Mediator, Vol. 7, No. 1, Juni

2006, 28. 132

Bambang Mudjiyanto dan Emilsyah Nur, ‚Semiotika dalam Penelitian

Komunikasi.‛ Jurnal Pekommas, Vol. 16, No. 1 (April 2013): 74. 133

Eriyanto, Analisis Framing Konstruksi Ideologi dan Politik Media

(Yogyakarta: LKis, 2002), 40. 134

John Dewey, ‚Peirce's Theory of Linguistic Signs, Thought, and Meaning.‛

The Journal of Philosophy, Vol. 43, No. 4, (Feb. 14, 1946): 91. 135

Kaja Silverman, The Subject of Semiotics (New York: Oxford University

Press, 1983), 3. 136

Stephen W Littlejohn dan Karen A Foss, Theories of Human Communication, edisi IX (California: Thomson Wadsworth, 2008), 288.

137Utami Setyowati, ‚Kajian Semiotika tentang Etika Komunikasi Anas

Urbaningrum dalam Pengaruh Budaya Jawa.‛ Jurnal Interaksi, Vol. II, No. 2, (Juli 2013):

87. 138

Marcel Danesi, Messages Signs and Meanings a Basic Text Book in Semiotics and Communication Theory, 7.

Page 32: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

32

dan tanda konvensional (natural and conventional signs).139

Menurut Sebeok

kedua tanda tersebut memiliki keterkaitan.140

Walaupun demikian, keterkaitan

tersebut juga harus dibatasi pemaknaannya.141

Sebelum tanda terbagi menjadi

dua, pada awalnya tanda tidak memiliki makna apapun, selanjutnya tanda

memilik keterkaitan dengan sesuatu yang lain (yang ditandainya). Setelah tanda

terbagi menjadi dua (natural dan conventional signs) hubungan kedua tanda

tersebut menurut Foucault berdasarkan pada prinsip arbriter. Prinsip tersebut

bukan berarti pemaknaan secara bebas melainkan pemaknaan yang didasarkan

pada fungsi serta hubungannya dengan realitas yang ditandai.142

Menurut

Danesi, tanda yang menggantikan tanda yang lainnya disebut analogy.143

Menurut Gill Branston dan Roy Stafford, tanda tidak dibangun secara alamiah

atau secara langsung memberi label terhadap realitas, tetapi tanda dibangun

secara sosial, dan tidak pernah sealamiah kelihatannya.144

Sistem tanda yang merupakan objek semiotik disebut dengan semiosis

yang menurut Morris memiliki persamaan dengan tanda dan makna.145

Semiosis

sebagai teori umum tanda membahas fungsi tanda, apa yang

direpresentasikannya, bagaimana interpretasi penafsir, dan bagaimana

kesimpulan penafsir terhadap tanda.146

Artinya semiosis adalah kemampuan

untuk memproduksi sekaligus memahami tanda.147

Menurut Marcel Danesi,

tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain.148

Dalam tradisi

semiotik, tanda diartikan sebagai gejala yang ditangkap oleh subjek secara

indrawi.149

Menurut Fiske, semiotik berada dalam ranah kajian paradigma

konstruksionis. Hal itu disebabkan karena semiotik mengkaji tentang bagaimana

139

D S Clarke Jr, Sources of Semiotic Reading with Commentary from Antiquity to the Present (Chicago: Southern Illionis University Press, 1990), 42.

140Susan Petrilli, The Self as a Sign, the World, and the Other: Living

Semiotics (New Jersey: Transaction Publishers, 2013), 39. 141

Thomas Albert Sebeok dan Marcel Danesi, the Forms of Meaning: Modeling Systems Theory and Semiotic Analysis, 9.

142Michel Foucault, Order of Things an Archaeology of The Human Sciences

(London dan New York: Routledge, 2002), 65-66. 143

Marcel Danesi, Messages Signs and Meanings a Basic Text Book in Semiotics and Communication Theory, 15.

144Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi V, 23.

145Ferruccio Rossi-Landi, Between Signs and Non-Signs, (Philadelphia: John

Benjamins Publishing Company, 1992), 171. 146

John Dewey, ‚Peirce's Theory of Linguistic Signs, Thought, and Meaning.‛

The Journal of Philosophy, Vol. 43, No. 4, (Feb. 14, 1946): 85. 147

Marcel Danesi, Messages Signs and Meanings a Basic Text Book In Semiotics and Communication Theory, 16.

148Marcel Danesi, Messages Signs and Meanings a Basic Text Book In

Semiotics and Communication Theory, 4. 149

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, 124.

Page 33: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

33

interaksi dapat menghasilkan makna dengan mengaitkan pesan150

dan realitas

sosial yang saling berhubungan.151

Artinya dalam proses memaknai pesan harus

melibatkan realitas yang ada, sehingga makna yang diperoleh tidak bersifat

absolute (mutlak).

Semiotik152 dan bahasa Arab dengan simiu >t }i >qa> (سميوطيقا)

153 atau

semiologi merupakan keilmuan yang mempelajari tentang tanda atau produksi

makna sosial melalui sistem-sistem tanda, atau studi tentang bagaimana hal-hal

hadir untuk memiliki signifikansi,154

dan dapat mengekspresikan ide-ide dalam

entitas relasional (kesalingterhubungan).155

Dalam aspek sosial disebut semiotik

sosial. Sebagian besar teori ini diambil dari ahli linguistik, seperti Ferdinand de

Saussure (1857-1913), Charles Sanders Peirce, dan Roland Barthes (1915-1980).

Saussure yang beraliran strukturalisme,156

lebih memilih istilah

semiologi untuk mempertegas adanya studi tanda dengan komunikasi.157

Hal

tersebut tidak terlepas dari tradisi linguistik sebagai dasar dari teorinya.158

Menurut Roland Barthes, semiologi adalah ilmu tentang bentuk yang kemudian

150

John Fiske, Introduction to Communication Studies, 2. 151

John Dewey, ‚Peirce's Theory of Linguistic Signs, Thought, and Meaning.‛

The Journal of Philosophy, Vol. 43, No. 4, (Feb. 14, 1946): 86. 152

Kata semiotik berasal dari bahasa Yunani yaitu semesion yang berarti tanda,

semainon yang berarti penanda (signifier) dan semainomenon yang berarti petanda

(signified). Secara umum semiotik adalah studi tentang tanda-tanda atau epistemologi

tentang keberadaan atau aktualitas tanda dalam kehidupan bermasyarakat. Banyak

perintis, peneliti, praktisi dan penulis semiotik seperti Ferdinand de Saussure, Charles

Sanders Peirce, Roland Barthes, Roman Jakobsen, Charles Morris dan Umberto Eco

membuat definisi sederhana untuk pemahaman dan tujuan yang lebih jelas, Semiotik

dipahami sebagai keilmuan untuk segala sesuatu yang dapat dilihat atau diartikan

sebagai tanda. Lihat Halina Sendera Mohd. Yakin dan Andreas Totu, ‚The Semiotic

Perspectives of Peirce and Saussure: A Brief Comparative Study,‛ makalah dalam

‚Konferensi Internasional Komunikasi dan Media i-COME’14,‛ Universiti Malaysia

Sabah, Langkawi 18-20 Oktober 2014, 4-5. 153

Asep Ahmad Hidayat menjelaskan bahwa teori semiotik Peirce memiliki

kesesuaian terhadap dasar dari semiotik Islam yang terdiri dari ilmu mantiq dan logika,

ilmu ma'a>ni> dan baya>n. Menurut Qahir al-Jurjani proses pemaknaan terjadi melalui

model bala>ghah, terutama metafora (isti’a>rah), analogi (tamthi>l), dan alusi (kina>yah).

Lihat Benny Afwadzi, ‚Melacak Argumentasi Penggunaan Semiotika dalam Memahami

Hadis Nabi,‛ Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an dan Hadis, Vol. 16, No. 2 (2015): 5-12. 154

Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, 12. 155

Kaja Silverman, The Subject of Semiotics (New York: Oxford University

Press, 1983), 6. 156

Gusti A. B. Menoh, ‚Memahami Antropologi Struktural Claude Lévi-

Strauss.‛ Jurnal Penelitian Sosial, Vol. 2, No. 1, (2013): 356-357. 157

Kurniawan, Semiologi Roland Barthes (Magelang: Yayasan Indonesiatera,

2001), 51. 158

John Deely, Basics of Semiotics (Bloomington: Indiana University Press,

1990), 3-4.

Page 34: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

34

dipelajari maknanya secara independen diluar konteks bentuk tersebut.159

Sementara itu Charles Sanders Peirce yang merupakan pelopor aliran

pragmatisme lebih memilih untuk menggunakan istilah semiotik. Alasannya,

kajian semiotik lebih identik dengan konsep logika yang berfokus pada

pengetahuan tentang proses berpikir manusia.160

Secara prinsip penggunaan

semiologi dan semiotik tidak berbeda. Perlu digarisbawahi dari perbedaan

tersebut, bahwa setelah kemunculan Saussure dan Peirce, semiotik mengacu

pada kajian yang menitikberatkan pada tanda dan segala sesuatu yang berkaitan

dengannya.161

Menurut Sobur, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang

mempelajari objek-objek dan peristiwa-peristiwa seluruh kebudayaan sebagai

tanda.162

Hal tersebut dikarenakan kebudayaan dapat dipelajari dengan

menggunakan ilmu komunikasi. Melihat bahwa dalam komunikasi, kebudayaan

merupakan sebuah tanda, maka teori semiotik dianggap sebagai teori yang tepat

karena teori tersebut bercorak antropologi budaya.163

Semiotik merupakan alat untuk menelusuri sesuatu dan untuk

menghasilkan sesuatu yang berupa tanda-tanda atau simbol-simbol.164

Menurut

Morris, metode dalam semiotik berdasarkan relasinya terdiri dari: semiotik

sintaksis, semiotik semantik, semiotik pragmatik. Semiotik sintaksis adalah

studi tentang hubungan antar tanda. Semiotik semantik adalah studi tentang

tanda dan makna sebenarnya. Sedangkan semiotik pragmatik adalah studi

tentang hubungan antara tanda dan yang menggunakannya.165

Menurut Fiske, kajian dalam semiotik mempunyai tiga poin utama,

yaitu tanda, kode, dan budaya. Masing-masing terkait erat dan hanya dapat

dipahami sebagai satu kesatuan.166

Fiske juga berpendapat bahwa secara hakiki

159

Roland Barthes, Mythologies (Paris: Editions Point, 2014), 214. 160

Halina Sendera Mohd Yakin dan Andreas Totu, ‚The Semiotic Perspectives

of Peirce and Saussure: a Brief Comparative Study,‛ 6. 161

Kurniawan, Semiologi Roland Barthes (Magelang: Yayasan Indonesiatera,

2001), 51-52. 162

Sinung Utami Hasri Habsari, ‚Membaca Simbol-Simbol Komunikasi dan

Budaya pada Bangunan Cagar Budaya dengan Analisa Semiotika Roland Barthes.‛

Jurnal PPKM UNSIQ, Vol. 2, No. 3, (2015): 160. (diakses 14 Maret 2017) 163

Guy Poitevin, "From the Popular to the People" dalam Bernard Bel, Jan

Brouwer, Biswajit Das, Vibodh Parthasarathi dan Guy Poitevin, Communication

Processes Vol. 3; Communication, Culture and Confrontation (New Delhi: Sage

Publications India, 2010), 31. 164

Wulan Astrini, Chairil Budiarto Amiuza, dan Rinawati P. Handajani,

‚Semiotika Rupa Topeng Malangan (Studi Kasus: Dusun Kedungmonggo, Kec. Pakisaji,

Kabupaten Malang).‛ Jurnal RUAS, Vol. 11, No. 2, (Desember 2013): 91. 165

Marcel Danesi, Messages Signs and Meanings a Basic Text Book in Semiotics and Communication Theory, 9. Lihat juga, Andrik Purwasito, ‚Semiologi

Komunikasi,‛ Jurnal Mediator, Vol. 7, No. 1, (Juni 2006): 32. 166

Tommy Suprapto, Pengantar Teori dan Manajemen Komunikasi (Yogyakarta: Media Pressindo, 2009), 100.

Page 35: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

35

semiotik merupakan pendekatan teoritis terhadap komunikasi yang tujuannya

untuk mempertahankan prinsip-prinsip terapan secara luas, karena komunikasi

berkaitan dengan sistem bahasa dan budaya, khususnya pada struktur hubungan

sistem semiotik dan realitas.167

Menurutnya, tiga unsur yang harus ada dalam

studi makna adalah pertama, tanda; kedua, apa/mana yang diacunya; dan ketiga,

para pengguna tanda. Tanda adalah sesuatu yang bersifat fisik, dipahami oleh

indra manusia, mengacu pada sesuatu selain dirinya sendiri, dan itu tergantung

pada pengakuan oleh para penggunanya, hal yang seperti itu adalah tanda.168

Menurut Littlejohn, semiotik juga menjadi salah satu kajian dalam teori

komunikasi, yang merupakan sekumpulan teori tentang bagaimana tanda-tanda

merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi, perasaan dan kondisi di luar

tanda-tanda itu sendiri.169

Adapun kajian dalam semiotik menurut Danesi,

memahami apa yang dimaksud dengan pesan, kemudian bagaimana membentuk

pesan tersebut menjadi tanda atau mencoba menjawab tentang apa itu makna,

bagaimana makna terbentuk, dan mengapa makna itu ada.170

Menurut Gill Branston dan Roy Stafford, dalam merumuskan teori

meaning (pemaknaan) ada beberapa teori yang menjadi landasan utama dalam

kajian ini. Pertama dengan menggunakan teori semiotik. Menurut Saussure,

tanda harus memiliki tiga ciri khas yang hadir di dalamnya. Pertama, tanda pasti

memiliki bentuk,171

yang dinamai sebagai signifier/penanda. Kedua, tanda

haruslah merepresentasikan sesuatu diluar dirinya, yang disebut

signified/petanda. Sedangkan ketiga, penekanan semiotik dari persepsi manusia

terhadap realitas dibangun dan dibentuk oleh kata-kata dan tanda-tanda yang

manusia gunakan didalam berbagai macam konteks sosial.172

Saussure juga

mengusulkan bentuk ketiga yang disebut referent yaitu sesuatu yang sama-sama

diacu oleh signifier dan signified.173

Hubungan antara signifier dan signified

bersifat arbriter174 antara manusia dan kelompok sosial yang telah dibentuk.

175

167

John Fiske, Introduction to Communication Studies, 40 dan 135. 168

John Fiske, Introduction to Communication Studies, 41. 169

Sinung Utami Hasri Habsari, ‚Membaca Simbol-Simbol Komunikasi dan

Budaya pada Bangunan Cagar Budaya dengan Analisa Semiotika Roland Barthes,‛ 161. 170

Marcel Danesi, Messages Signs and Meanings a Basic Text Book in Semiotics and Communication Theory, 10-11.

171Menurut John Fiske, tanda adalah sesuatu yang bersifat fisik, dapat

ditangkap oleh pancaindra manusia, mengacu pada sesuatu selain dirinya sendiri, dan

tergantung pada pengguna yang mengatakan bahwa itu tanda. Lihat, John Fiske,

Introduction to Communication Studies, Second Edition (New York: Routledge, 1990),

4. 172

Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi V,

(London and New York: Routledge, 2010), 11. 173

Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi V, 13. 174

Ferdinand de Saussure, Cours de Linguistique Generale (Paris: Petite Biblio

Payot, 2016), 154.

Page 36: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

36

Menurut A. J. Ayer, proses pemaknaan dalam semiotik, dimulai dengan

memverifikasi ide agar dapat dipahami. Proses tersebut harus dilakukan dengan

menambahkan beberapa makna lain yang memiliki keterkaitan.176

Konsep ide

menurut Ayer secara tidak langsung merujuk pada tanda yang bersifat material.

Sedangkan keterkaitan makna lain berarti konsep mental yang muncul pada saat

memaknai dan merujuk pada tanda yang sama. Inilah bagian penting dari sistem

tanda sebagai kajian dari semiotik yang harus dipahami.177

Makna dalam semiotik muncul berdasarkan pemahaman intuitif

seseorang namun makna tersebut bersifat terbatas, yang tidak dipahami

sepenuhnya.178

Hal tersebut disebabkan konteks yang digunakan dalam

pemaknaan begitu luas. meskipun konteks tersebut dapat diketahui secara detail,

makna masih tetap belum dapat dipahami secara utuh.179

Charles Sanders Peirce merumuskan modelnya sendiri mengenai tanda.

Peirce menawarkan model triadik yang terdiri dari: representament, interpretant, object.180 Peirce menyebut signifier/penanda representament (secara harfiah

berarti sesuatu yang mewakili), bentuk bersumber pada strategi fisik

representasi itu sendiri (penggunaan suara, gerakan tangan, dll untuk beberapa

tujuan referensial). Peirce menyebut acuan ini sebagai object/objek, yaitu suatu

entitas yang menggantikan kejadian dari konteksnya (realitas). Dia

mengistilahkan makna yang didapatkan dari tanda interpretant/penafsir,

menunjukkan bahwa hal itu mensyaratkan bentuk ‚negosiasi,‛ sehingga untuk

berbicara, di mana tanda-pengguna mengevaluasi atau merespon makna dari

tanda secara sosial, kontekstual, secara pribadi, dan sebagainya.181

Karena

menurutnya, posisi penafsir sangat penting dalam proses memaknai tanda.182

Peirce juga mengkategorikan Firstness, Secondness, Thirdness. Firstness

adalah perwujudan tanda apa adanya tanpa mengacu pada hal lain. Dengan kata

lain, Firstness adalah tanda itu sendiri. Secondness merupakan perwujudan

tanda apa adanya, yang baru mengacu pada Firstness. Secondness adalah objek

dari sebuah tanda. Sedangkan Thirdness adalah perwujudan tanda apa adanya,

yang telah memiliki acuan dengan Firstness dan Secondness. Thirdness

175

Thomas A. Sebeok, Signs: An Introduction to Semiotics, Second Edition

(Canada: University of Toronto Press Incorporated, 2001), 6. 176

John Deely, Basics of Semiotics, 11-12. 177

Gillian Dyer, Advertising as Communication (London and New York:

Routledge, 1982), 93. 178

Marcel Danesi, Messages Signs and Meanings a Basic Text Book in Semiotics and Communication Theory, 12.

179Joseph A DeVito, Human Communication the Basic Course, edisi XIII, 102.

180Daniel Chandler, The Basics Semiotics, Edisi II (Routledge: Taylor and

Francis Group, 2007), 29. 181

Thomas A. Sebeok, Signs: An Introduction to Semiotics, Edisi II (Canada:

University of Toronto Press Incorporated, 2001), 6. 182

John Deely, Basics of Semiotics, 25.

Page 37: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

37

merupakan penafsir (interpretant).183 Berbeda dengan Peirce, Saussure

mempertimbangkan hubungan tanda dengan tanda lain dalam sistem yang sama,

dengan mengatakan bahwa makna dari tanda ditentukan oleh bagaimana tanda

tersebut dibedakan dari tanda yang lainnya.184

Metode yang digunakan oleh Saussure dan Peirce dalam memahami

makna menunjukkan adanya perbedaan. Dalam menghasilkan tiga karakteristik

tanda, menurut Peirce masing-masing menunjukkan hubungan yang berbeda

antara tanda dan objeknya atau yang diacunya.185

Peirce berpendapat bahwa

tanda terdiri dari simbol, ikon, dan indeks. Masing-masing bergantung pada

hubungan antara tanda dan apa yang diwakilinya. Simbol merupakan tanda-

tanda yang mempunyai hubungan abritrer (misalnya: kata ‚mawar‛ dan ‚rose‛

dalam bahasa inggris menandai sesuatu/acuan yang sama dalam dunia nyata).

Ikon adalah tanda-tanda yang menyerupai apa yang diwakilinya (sebagai

contoh: ikon pembeda toilet laki-laki dan perempuan). Sedangkan, indeks ialah

tanda-tanda yang memiliki hubungan sebab akibat antara tanda dan apa yang

diwakilinya (contoh: asap adalah tanda indeks dari api).186

Berdasarkan segitiga triadik di atas, Peirce membagi 10 jenis tanda

yaitu:187

1. Qualisign yaitu jenis tanda berdasarkan kualitasnya.

2. Iconic Sinsign yaitu jenis tanda berdasarkan kemiripan.

3. Rhematic Indexical Sinsign yaitu jenis tanda yang muncul dari

pengalaman.

4. Dicent Sinsign yaitu jenis tanda yang berisi informasi.

5. Iconic Legisign yaitu jenis tanda yang berdasarkan informasi norma atau

hukum.

6. Rhematic Indexical Legisign yaitu jenis tanda berdasarkan acuan pada

objek tertentu.

7. Dicent Indexical Legisign yaitu jenis tanda yang bermakna informasi dan

menunjuk pada subjek informasi.

8. Rhematic Symbol/Symbolic Rheme yaitu jenis tanda yang dihubungkan

dengan objeknya melalui asosiasi ide umum.

9. Dicent Symbol/Proposition yaitu jenis tanda yang berdasarkan hubungan

langsung dengan objek melalui kesadaran manusia.

10. Argument yaitu jenis tanda berdasarkan penilaian seseorang terhadap

sesuatu dengan alasan tertentu.

183

Dian Nurrachman, ‚Teks Sastra dalam Perspektif Semiotika Pragmatis

Charles Sanders Peirce.‛ Jurnal al-Tsaqafa, Vol. 14, No. 01, (Januari 2017): 88. 184

John Fiske, Introduction to Communication Studies, 45. 185

John Fiske, Introduction to Communication Studies, 46. 186

Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi V, 13-14. 187

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2006), 42-43.

Page 38: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

38

Pada perkembangannya, teori semiotik juga digunakan untuk mengkaji

kebudayaan manusia. Berdasarkan karya Barthes dengan mengembangkan teori

tanda Saussure sebagai usaha untuk menjelaskan bagaimana manusia dalam

kehidupan masyarakat yang didominasi oleh konotasi.188

Teori semiotik pada

saat ini menaruh perhatian besar dalam produksi tanda yang dihasilkan oleh

budaya. Hal tersebut mendorong penggantian konsep tanda dengan konsep

fungsi tanda karena budaya berkaitan dengan ekspresi dan berhubungan dengan

isi (makna) yang berbeda-beda.189

Dengan ciri khas tanda di atas, menurutnya teori semiotik tidak cukup

untuk mengkonstruksi makna, sehingga diperlukan teori-teori lain untuk

membantu memahami makna. Artinya, Gill Branston dan Roy Stafford

menyintesiskan kembali teori semiotik dengan menambahkan teori struktural

dan teori konotasi-denotasi. Itulah yang mereka sebut dengan teori pemaknaan

(meaning).190

Proses memaknai bukan sekedar memahami objek-objek yang

berkomunikasi namun memaknai lebih kepada proses mengkonstitusi sistem

terstruktur dari tanda.191

Diskursus komunikasi dalam perspektif budaya muncul

karena memaknai bukan sekedar penyampaian informasi, namun lebih kepada

mengkonstitusi sistem tanda sekaligus memahami pesan di dalamnya. Pada

prosesnya, memaknai juga melibatkan realitas di mana tanda tersebut

digunakan. Hal tersebut bertujuan untuk menjawab mengenai apa itu makna,

bagaimana makna terbentuk, dan mengapa makna itu ada.

C. Pemaknaan Budaya

Konsep komunikasi atas dasar yang menyatukan tradisi semiotik adalah

tanda yang merupakan dasar bagi semua komunikasi. Tanda merupakan suatu

stimulus yang mengacu pada sesuatu selain dirinya, sedangkan makna

merupakan hubungan antara objek atau ide dengan tanda. Kedua konsep

tersebut menyatu dalam berbagai teori komunikasi, khususnya teori komunikasi

yang memberikan perhatian pada simbol. Atas dasar pemahaman tersebut,

semiotik merupakan teori yang menjelaskan bagaimana tanda dihubungkan

dengan makna, serta bagaimana tanda tersebut diorganisasikan.192

Sebagai sumber semiotik, kebudayaan mempunyai jaringan sistem

makna. Kebudayaan dari suatu kelompok sosial memiliki nilai dan norma

kultural yang didapatkan melalui warisan nenek moyang mereka dan juga bisa

juga melalui kontak sosio-kultural dengan kelompok sosial lainnya. Konsep-

188

Buyung Pambudi, ‚Semiotika Karapan Sapi dan Transformasi Simbolik

Masyarakat Madura.‛ Jurnal Komunikasi Islam, Vol. 05, No. 01, (Juni 2015): 117. 189

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, 35. 190

Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi V, 11-16. 191

Kurniawan, Semiologi Roland Barthes, 53. 192

Bambang Mudjiyanto dan Emilsyah Nur, ‚Semiotik Introduction to Communication Studies dalam Penelitian Komunikasi.‛ Jurnal Pekommas, Vol. 16, No.

1 (April 2013): 74.

Page 39: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

39

konsep yang digunakan dalam mengkaji budaya yang ada dan berkembang di

masyarakat adalah konsep struktur, sistem, relasi, representasi dan signifikasi.193

Untuk dapat mengetahui hubungan antara simbol dan budaya, harus pula

memahami proses komunikasi secara keseluruhan.194

Yang harus dipahami pula

bahwa hal yang penting dalam proses komunikasi bukan hanya sekedar proses

pertukaran informasi (dalam hal ini adalah simbol) namun makna di balik simbol

tersebut.195

Tanda dalam tradisi semiotik bukan hanya sekedar refleksi atas realitas,

namun juga membentuk persepsi manusia. Karena bagaimana pun, tanda dapat

mewakili objek, ide, situasi, keadaan, perasaan dan sebagainya yang berada di

luar diri.196

Teori semiotik menunjukkan bahwa tidak ada batas yang jelas antara

sesuatu yang nyata dan yang dibayangkan karena keduanya saling memengaruhi

satu sama lain. Dalam beberapa hal, semiotik berguna untuk memikirkan

kembali aktifitas sosial dari proses produksi makna.197

Teori struktural (أسلوىب) merupakan akar yang menjadi bagian dari teori

semiotik. Hal ini terlihat pada struktur sosial ataupun psikologi manusia

menentukan kelompok sosial secara menyeluruh. Serta, makna akan dapat

dipahami hanya dalam struktur yang sistematis dan perbedaan budaya.198

Menurut Lévi-Strauss yang merupakan antropolog strukturalis, menekankan

pentingnya oposisi biner dalam mengkaji fenomena budaya seperti mitos, ritual,

hubungan kekerabatan, totemisme, dan sebagainya.199

Oposisi biner merupakan

oposisi penataan dalam sistem mitos atau bahasa. Hal ini berfungsi sebagai

batas atau perbedaan dalam budaya yang biasanya memiliki nilai berbeda.200

Teori strukturalisme Lévi-Strauss memiliki kekuatan dalam merenik relasi-relasi

yang logis, merunut ketertataan (order) serta keteraturan (regularities), dan

memunculkan oposisi-oposisi yang relevan dalam menangkap struktur yang

terdapat dalam suatu ritual.201

Strukturalis menekankan bahwa oposisi berfungsi untuk menjelaskan

semiotik, karena tanda dapat dipahami secara utuh hanya dengan mengacu pada

193

Robi Panggara, ‚Konflik Kebudayaan Menurut Teori Lewis Alfred Coser dan

Relevansinya dalam Upacara Pemakaman (Rambu Solo’) di Tana Toraja.‛ Jurnal

Jaffray, Vol. 12, No. 2, (Oktober 2014): 60. 194

James Lull, Culture in Communication Age (London: Routledge, 2001), 3. 195

Ibrahim, ‚’Makna’ dalam Komunikasi.‛ Jurnal Al-Hikmah Vol. 9, No. 1

(2015): 21. 196

Bambang Mudjiyanto dan Emilsyah Nur, ‚Semiotika dalam Penelitian

Komunikasi,‛ 73. 197

Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi V, 23-24. 198

Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi V, 19. 199

Kris Budiman, Jejaring Tanda-Tanda Strukturalisme dan Semiotik dalam Kritik Kebudayaan (Magelang: Penerbit Indonesia Tera, 2004), 11-12.

200Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi V, 19.

201Bustanuddin Lubis (ed), Mitologi Nusantara Penerapan Teori (Bengkulu:

Quiksi, 2011), 188.

Page 40: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

40

perbedaannya dengan tanda yang lain dalam sistem tertentu.202

Karena pada

dasarnya teori strukturalis merupakan cara berpikir tentang dunia yang secara

khusus memperhatikan persepsi dan deskripsi mengenai struktur.203

Penekanan

strukturalis berada pada oposisi membantu menjelaskan semiotika bahwa tanda-

tanda selain dapat dipahami dengan mengacu pada perbedaan dari tanda-tanda

lain dalam sistem atau kode tertentu,204

juga melalui struktur tanda dalam

komposisi sensorik, emosional, dan intelektual manusia.205

Menurut Gill Branston dan Roy Stafford, dua hal yang harus

diperhatikan dalam memahami strukturalisme sebagai bagian dari pemaknaan

(meaning) yaitu strukturalisme berpendapat seluruh organisasi manusia

ditentukan oleh struktur sosial atau psikologis individu. Selain itu,

strukturalisme berpendapat bahwa makna suatu tanda tidak dapat dipahami

kecuali dalam struktur yang sistematis, yang memiliki ciri atau perbedaan yang

lahir secara alamiah.206

Menurut Lévi-Strauss, pendekatan struktural dapat menjadi solusi untuk

dapat menyatukan pengalaman dan pemikiran manusia. Pendekatan struktural

memfokuskan pada pencarian ragam dalam sebuah struktur untuk kemudian

membandingkannya.207

Strukturalisme memandang segala fenomena kultural

sebagai suatu sistem yang harus didahului dengan penjelasan perbedaan

dikotomis antara langue dan parole. Adapun langkah operasional dalam analisis

strukturalisme Lévi-Strauss adalah sebagai berikut:208

1. Menetapkan fenomena yang dikaji sebagai suatu relasi di antara dua

terma atau lebih, baik yang nyata maupun yang diandaikan.

2. Mengonstruk sebuah tabel permutasi-permutasi yang mungkin di antara

terma-terma yang sudah ditetapkan.

3. Memperlakukan tabel yang telah dibuat sebagi objek analisis umum

yang mampu menghasilkan hubungan-hubungan yang niscaya.

Struktur budaya dipandang sebagai sesuatu yang menyatukan

masyarakat.209

Strukturalisme adalah aliran pemikiran yang mencari struktur

terdalam dari realitas yang tampak kacau dan beraneka ragam di permukaan

secara ilmiah (objektif, ketat, dan berjarak). Pendekatan strukturalisme atas

202

Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi V, 21 203

Kris Budiman, Jejaring Tanda-Tanda Strukturalisme dan Semiotik dalam Kritik Kebudayaan (Magelang: Penerbit Indonesia Tera, 2004), 11-12.

204Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi III, 9-23.

205Thomas A Sebeok, Signs: An Introduction to Semiotics Ed. II (Toronto:

University of Toronto Press, 2001), 5. 206

Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi III, 9-23. 207

Claude Lévi-Strauss, Myth and Meaning (London & New York: Routledge,

2001), 2. 208

Kris Budiman, Jejaring Tanda-Tanda Strukturalisme dan Semiotik dalam Kritik Kebudayaan (Magelang: Penerbit Indonesia Tera, 2004), 62-69.

209Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed), Teori-Teori Kebudayaan

(Jogjakarta: Penetbit Kanisius, 2005), 107-114.

Page 41: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

41

kebudayaan berfokus pada pengidentifikasian unsur-unsur yang bersesuaian dan

bagaimana cara unsur-unsur itu diorganisasi untuk menyampaikan pesan.

Menurut Lévi-Strauss, langue milik waktu yang dapat diubah,

sedangkan parole milik waktu yang tidak dapat diubah. Namun mitos dapat

didefinisikan sebagai sistem temporal, yang menggabungkan sifat keduanya.210

Itu mengapa mitos berfungsi seperti sejarah, yaitu untuk mendekatkan masa lalu

dengan situasi saat ini.211

Dengan demikian, mitos bukanlah sesuatu yang harus

dipertentangkan dengan sejarah dan realitas sosial karena adanya perbedaan

makna antara konsep keduanya.212

Setiap konsep mitos mengalami perbedaan

antara satu tempat dengan tempat lainnya dan tidak selalu relevan terhadap

sejarah ataupun realitas.213

Karena salah satu ciri mitos adalah memiliki

kebenaran yang tidak penting.214

Sifat universal tindakan kognitif manusia menjadi pusat perhatian

dalam pemikiran Lévi-Strauss. Apapun variabel-variabel yang bersifat konstan

mengenai bentuk-bentuk kebudayaan manusia di seluruh tempat (synchronic)

dan di sepanjang zaman (diachronic), variabel-variabel itu menegaskan bahwa

pikiran manusia selalu berfungsi dengan cara yang sama. Tindakan sosial dalam

formasi, reproduksi dan juga adaptasi budaya aktual, menjadi tujuan-tujuan

analisis strukturalisme, suatu manifestasi permukaan dari serangkaian pola-pola

utama yang terinternalisasi secara mendalam pada level kognisi strukturalisme

yang mendalam. Budaya-budaya tertentu, kemudian merupakan transformasi

spesifik secara sosio-historis suatu sistem aturan yang tidak disadari, bersifat

universal dan imanen (tetap bertahan dalam diri manusia itu sendiri).

Determinisme ini tersebar melalui spesifikasi-spesifikasi dalam suatu

transformasi.215

210

Claude Lévi-Strauss, Anthropologie Structurale (Paris: Pocket, 2016), 239. 211

Claude Lévi-Strauss, Myth and Meaning (London dan New York: Routledge

Classics, 2001), 18. 212

Naila Nilofar, ‚Perbandingan Mitos Sangkuriang dan Mitos Pangeran

Butoseno Kajian Strukturalisme Lévi-Strauss.‛ Jurnal Bebasan, Vol. 4, No. 1, (Juni

2017): 27. 213

Rosita Armah, Akhmad Murtadlo, Syamsul Rijal, ‚Mitos dan Cerita Rakyat

Kutai Baung Putih di Muara Kaman: Kajian Strukturalisme.‛ Jurnal Ilmu Budaya, Vol.

1, No. 1, (April 2017): 152-153. 214

Agus Sugiharto dan Ken Widyawati, ‚Legenda Curug 7 Bidadari (Kajian

Strukturalis Lévi-Strauss).‛ Jurnal Suluk, Vol. 1, No. 2, (2012): 8. 215

Robi Panggara, ‚Konflik Kebudayaan Menurut Teori Lewis Alfred Coser dan

Relevansinya dalam Upacara Pemakaman (Rambu Solo’) di Tana Toraja.‛ Jurnal

Jaffray, Vol. 12, No. 2, (Oktober 2014): 63. Transformasi menurut Kuntowijoyo adalah

konsep ilmiah atau alat analisis untuk memahami dunia. Karena dengan memahami

perubahan setidaknya dua kondisi atau keadaan yang dapat diketahui yakni keadaan pra

perubahan dan keadaan pasca perubahan. Transformasi merupakan perpindahan atau

pergeseran suatu hal ke arah yang lain atau baru tanpa mengubah struktur yang

terkandung didalamnya, meskipun dalam bentuknya yang baru telah mengalami

perubahan. Lihat Rasid Yunus, ‚Transformasi nilai-nilai budaya lokal sebagai upaya

Page 42: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

42

Analisis strukturalisme melihat budaya sebagai struktur yang diartikan

sebagai bangunan teoritis yang terdiri dari unsur-unsur yang berhubungan satu

sama lain dalam hubungan sintagmatis dan paradigmatik. Relasi dan

pengombinasian (rule of combination) tanda itulah yang disebut sintagmatis dan

paradigmatis. Hubungan paradigmatis atau vertikal adalah relasi berbagai tanda

yang memiliki kesamaan dalam distribusi. Relasi paradigmatis didasarkan pada

keberbedaan dan keseleksian (distinctiveness and selectability). Relasi

sintagmatis adalah relasi tanda-tanda yang sesuai dengan konsep yang

diinginkan oleh manusia untuk dibentuk menjadi sesuatu yang bernilai.

Sintagmatis dibentuk berdasarkan prinsip kombinasi dan organisasi

(combination and organization).216

Lévi-Strauss melihat budaya sebagai sistem simbolik yang dimiliki

bersama, dan ciptaan pikiran (creation of mind) secara kumulatif. Pikiran

(mind) memaksakan tatanan yang terpola secara kultural (oposisi biner) pada

suatu dunia yang terus menerus berubah.217

Lévi-Strauss menjelaskan bahwa

struktur sebagai suatu sistem yang terdiri dari unsur-unsur yang dapat berubah.

Perubahan dalam satu unsur akan menyebabkan perubahan struktur secara

keseluruhan. Maka dalam teori strukturalisme, keterkaitan satu unsur dengan

unsur yang lain menjadi hal terpenting dalam membentuk makna.218

Setidaknya terdapat lima pandangan Saussure yang kemudian menjadi

dasar pemikiran strukturalisme Lévi-Strauss, yakni pandangan tentang

1. Signified (petanda) dan signifier (petanda)

2. Form (bentuk) dan content (isi)

3. Langue (bahasa) dan parole (tuturan/ujaran)

4. Synchronic (sinkronis) dan diachronic (diakronik)

5. Syntagmatic (sintagmatis) dan associative (paradigmatik)

Atas dasar kelima pandangan tersebut, Lévi-Strauss kemudian

mengasosiasikannya dengan konsep pemikirannya tentang hakikat dan ciri-ciri

fenomena budaya. Sementara itu, Jakobson dengan teori fonemnya memberikan

pelajaran kepada Lévi-Strauss tentang bagaimana memahami atau menangkap

tataran (order) yang ada dibalik fenomena budaya yang begitu variatif serta

mudah menyesatkan upaya manusia untuk memahaminya.219

Konsep strukturalisme Lévi-Strauss, struktur dan transformasi

merupakan konsep yang tidak boleh diabaikan. Konsep struktur didefinisikan

Lévi-Strauss sebagai model yang dibuat ahli antropologi untuk memahami dan

pembangunan karakter bangsa.‛ Jurnal Penelitian Pendidikan, Vol. 13, No.1, (2016): 69-

70. 216

Saefu Zaman, ‚Pemaknaan Ruang pada Masjid Kubah Emas: Kajian

Semiotik Ruang.‛ Paradigma Jurnal Kajian Budaya, Vol. 7, No. 2, (2017), 175. 217

Roger Keesing, ‚Teori-Teori tentang Budaya.‛ Jurnal Antropologi Indonesia,

(2014): 10. 218

Buyung Pambudi, ‚Semiotika Karapan Sapi dan Transformasi Simbolik

Masyarakat Madura.‛ Jurnal Komunikasi Islam, Vol. 05, No. 01, (Juni 2015): 186. 219

Bustanuddin Lubis (ed), Mitologi Nusantara Penerapan Teori, 188.

Page 43: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

43

menjelaskan segala kebudayaan yang dianalisisnya, yang tidak ada kaitannya

dengan fenomena empiris kebudayaan itu sendiri. Model ini merupakan relasi-

relasi yang berhubungan antara satu dan yang lainnya atau saling memengaruhi.

Dengan kata lain, struktur adalah relations of relations (relasi dari relasi) atau

system of relations.220

Menurut Lane dan Leach seperti yang dikutib Bustanuddin Lubis, ada

empat asumsi dasar yang penting untuk diperhatikan dalam paradigma

strukturalisme yang dikembangkan Lévi-Strauss, antara lain:221

1. Strukturalisme berpendapat bahwa aktivitas sosial, salah satunya adalah

ritual dipahami sebagai bahasa karena di dalamnya terdapat tanda yang

menyampaikan pesan-pesan tertentu. Kondisi tersebut memunculkan

ketertataan (order) serta keteraturan (regularities).

2. Dalam strukturalisme percaya bahwa secara genetis dalam diri individu

terdapat kemampuan untuk menstrukturkan ataupun meletakkan suatu

struktur pada gejala-gejala yang dihadapi.

3. Makna dalam suatu tanda ditentukan berdasarkan hubungannya pada

waktu tertentu. Artinya, hubungan suatu fenomena budaya dengan

fenomena yang lain pada satu titik tertentu yang menentukan makna

fenomena tersebut.

4. Suatu istilah ditentukan maknanya berdasarkan relasi-relasinya pada

suatu titik waktu tertentu, yaitu secara sinkronis, dengan istilah-istilah

yang lain. Relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena yang

lain pada titik waktu tertentu inilah yang menentukan makna fenomena

tersebut. Jadi relasi sinkronis nyalah yang menentukan, bukan relasi

diakronis. Artinya, sebelum perkembangan suatu sistem tersebut secara

diakronis diketahui, kondisi sinkronisnya dengan fenomena yang lain

dalam satu titik waktu tertentu harus diketahui lebih dahulu.

Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai keutuhan tunggal dari berbagai

unsur, baik berupa pengetahuan atau sistem ide. Unsur-unsur tersebut memiliki

aspek atau perspektif yang sama dengan objek dalam komunikasi. Karena itu,

penerapan model linguistik kebudayaan merupakan sebuah alternatif untuk

mengungkapkan maknanya, baik secara etik maupun emik.222

Menurut Edmund Leach, ritual keagamaan dalam suatu budaya selalu

memiliki dua gagasan yaitu gagasan mental dan gagasan material yang saling

bergantung satu sama lain. Kedua gagasan tersebut pada akhirnya kemudian

memunculkan ide representasi terhadap ritual keagamaan.223

Untuk itu

220

Bustanuddin Lubis (ed), Mitologi Nusantara Penerapan Teori, 188-189. 221

Bustanuddin Lubis (ed), Mitologi Nusantara Penerapan Teori, 189-190. 222

Suwardi Endraswara, Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan Ideologi, Epistemologi, dan Aplikasi (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2006), 69.

223Edmund Leach, Culture and Communication; The Logic by which Symbols

are Connected (Melbourne: Cambridge University Press, 2003), 37.

Page 44: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

44

diperlukan analisis guna menemukan makna yang paling fundamental dari

sebuah ritual.

Secara umum, benturan budaya terjadi di antaranya karena perbedaan

identitas dan wilayah. Namun menurut Samuel Huntington, benturan budaya

terjadi bukan hanya beberapa hal di atas. Situasi tersebut dapat juga disebabkan

oleh kondisi sosial-politik. Penyebabnya dikarenakan budaya selalu mengalami

tekanan yang berakibat pada pertentangan, reinterpretasi, manipulasi,

perampasan, kekuasaan, dan penolakan.224

Dengan mengembangkan teori tanda Saussure, Barthes menjelaskan

bagaimana kehidupan manusia didominasi oleh konotasi. Konotasi (مفهومة)

merupakan pengembangan segi petanda (makna atau isi suatu tanda) oleh

pemakai tanda sesuai dengan sudut pandangnya. Konotasi yang sudah

menguasai masyarakat akan menjadi mitos. Barthes mencoba menguraikan

bahwa kejadian keseharian dalam kebudayaan kelompok sosial menjadi seperti

‚wajar,‛ padahal itu mitos belaka akibat konotasi yang menjadi mantap di

masyarakat. Konotasi yakni perluasan petanda oleh pemakai tanda dalam

kebudayaan.225

Makna denotasi (مكتوبة) dari tanda merupakan makna yang menunjukkan

perbedaan aspek dari pengalaman manusia atau dunia. Gill Branston memberi

contoh: kata ‚merah‛ menunjukkan salah satu bagian dari spektrum cahaya yang

memiliki makna denotasi darah, api, sunset, dan rona pipi.226

Menurut Gill

Branston dan Roy Stafford, setiap manusia mempunyai makna konotasi yang

berbeda dari tanda. Tergantung pada konsep budaya dan nilai, yang di dalamnya

terdapat ingatan, pengalaman, dan pengetahuan sejarah setiap manusia.227

Sebagai contoh: kata ‚merah‛ memiliki makna konotasi (karena pengaruh

budaya) nafsu/keinginan, ataupun bahaya. Menurut mereka, tanda selalu

memberikan denotasi berupa aspek yang berbeda dari pengalaman manusia.

Selain itu, tanda juga selalu mengonotasikan atau menghubungkan sesuatu

berdasarkan konvensi sosial atau berdasarkan pemaknaan dari pengalam

pribadi.228

Makna denotatif suatu kata ialah makna yang biasa kita temukan

didalam kamus. Makna konotatif ialah makna denotatif ditambah dengan segala

gambaran, ingatan, dan perasaan yang ditimbulkan oleh suatu kata. Kata

224

‚Introduction: Remoulding the 'Cultural' as The 'Contentious',‛ dalam

Bernard Bel, Jan Brouwer, Biswajit Das, Vibodh Parthasarathi, Guy Poitevin,

Communication Processes Volume 3 Communication Culture and Confrontation (India:

Sage Publications India, 2010), 18. 225

Hiqma Nur Agustina, ‚Pembantu Dan Pelacur: Sebuah Tinjauan Budaya‛

Jurnal Parafrase Vol. 16 No. 01, (Mei 2016): 60-61. (diakses 14 Maret 2017) 226

Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi V, 21-22 227

Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi V, 22. 228

Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi III, 15.

Page 45: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

45

konotasi itu sendiri berasal dari bahasa Latin connotare, ‚menjadi tanda‛ dan

mengarah kepada makna-makna kultural yang terpisah/berbeda dengan kata

(dan bentuk-bentuk lain dari komunikasi). Denotasi adalah hubungan yang

digunakan di dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas

memegang peranan penting di dalam ujaran. Makna denotasi bersifat langsung,

yaitu makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda, dan pada intinya dapat

disebut sebagai gambaran petanda. Jika denotasi sebuah kata adalah definisi

objektif kata tersebut, maka konotasi sebuah kata adalah makna subjektif atau

emosionalnya. Ini sejalan dengan pendapat Arthur Asa Berger yang menyatakan

bahwa kata konotasi melibatkan simbol-simbol, historis, dan hal-hal yang

berhubugan dengan emosional. Dikatakan objektif sebab makna denotative ini

berlaku umum. Sebaliknya makna konotatif bersifat subjektif dalam pengertian

bahwa pergeseran dari makna umum (denotative) karena sudah ada penambahan

rasa dan nilai tertentu.229

Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna

emotif, atau makna evaluative. Makna konotatif merupakan suatu jenis makna

di mana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional. Makna

konotatif dipengaruhi oleh dua lingkungan, yaitu lingkungan tekstual dan

lingkungan budaya. Pada dasarya konotasi timbul disebabkan masalah hubungan

sosial atau hubungan interpersonal yang mempertalikan kita dengan orang

lain.230

Menurut Barthes, mitos memiliki tridimensional yang terdiri dari

signifier, signified, dan sign. Namun mitos dibentuk berdasarkan tingkat kedua

penandaan, setelah terbentuk sistem signifier, signified, dan sign. Tanda

tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan

membentuk tanda baru.231

Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna

denotasi kemudian berkembang menjadi makna konotasi, maka makna konotasi

tersebut akan menjadi mitos. Sehingga makna yang terus diulang-ulang akan

menjadi mitos dalam masyarakat.232

Mitos menurut Barthes, digunakan untuk

mengonstruksi sistem penanda sesuai dengan proses yang berlaku dalam

229

Amri Marzali, ‚Struktural-Fungsionalisme.‛ 262-265. 230

Amri Marzali, ‚Struktural-Fungsionalisme.‛ 266. 231

Roland Barthes, Mythologies (Paris: Editions Point, 2014), 218 232

Tanty Dwi Lestari, I Dewa Ayu Sugiarica Joni, Ni Luh Ramaswati

Purnawan, ‚Makna Simbol Komunikasi dalam Upacara Adat Keboan di Desa Aliyan

Kabupaten Banyuwangi.‛ E-Jurnal Medium, Vol. 1, No. 1, (2017): 9.

Page 46: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

46

aktivitas strukturalisme.233

Mitos merupakan produk kelas sosial yang mencapai

dominasi melalui sejarah tertentu.234

Barthes menjelaskan bahwa mitos bukan objek, konsep, atau ide namun

merupakan sistem komunikasi suatu pesan. Maka dapat dikatakan bahwa mitos

adalah mode pemaknaan dan perwujudan bentuk yang ditempatkan dalam batas

sejarah, syarat penggunaan, dan tersimpan dalam masyarakat. Barthes bahkan

membuat kesimpulan besar bahwa segala sesuatu yang berada di dunia ini

adalah mitos karena setiap objek di dunia akan melewati fase keberadaan,

tertutup, diam, lalu diucapkan, terbuka dan bermanfaat sesuai kebutuhan

masyarakat karena tidak ada satu individu pun yang dapat melarang individu

lain untuk memaknai sesuatu.235

Manusia adalah makhluk yang selalu mencari makna dari berbagai hal

yang ada di sekitarnya,236

maka menurut Littlejohn, tanda memiliki konstruksi

makna yang dipengaruhi oleh nilai ideologis dan kultural masyarakat sebagai

pengguna tanda tersebut.237

Adapun maknanya dapat berubah ketika konteks

komunikasi dilakukan pada tempat yang berbeda. Melalui konteksnya, teks

dapat mempertahankan pemaknaan secara ‚objektif‛ pada konteksnya.238

Selain

konteks proses pemaknaan juga dipengaruhi oleh representasi dan signifikansi.

Konsep representasi merupakan tindakan menghadirkan atau mempresentasikan

sesuatu lewat sesuatu yang lain di luar dirinya melalui tanda. Sedangkan

signifikasi merupakan suatu proses yang memadukan penanda atau petanda

sehingga menghasilkan tanda.239

Menurut Kaelan, interpretasi memiliki tiga peran, yakni sebagai metode

pengungkapan, sebagai metode menerangkan, dan sebagai metode

menerjemahkan. Artinya, interpretasi menjadi perantara pesan yang termuat

233

Herlika Fransisca Wijaya dan Rustono Farady Marta, ‚Mitologi Budaya pada

Gelang Duka Cita sebagai Atribut Upacara Kematian dalam Tradisi Tionghoa Bangka

dan Cina Benteng (Tinjauan Semiologi Barthes terhadap Makna Tanda pada Tradisi dan

Mitos Leluhur Peranakan Tionghoa Indonesia.‛ Jurnal Semiotika, Vol. 9, No. 1, (Juni

2015): 228. 234

Nabila Putri Aldira, ‚Representasi Nilai-Nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam

Film Tabula Rasa (Analisis Semiotika Roland Barthes).‛ Jurnal Jom Fisip, Vol. 5, No. 1,

(April 2017): 5. 235

Roland Barthes, Mythologies (Paris: Editions Point, 2014), 229-230. 236

Hiqma Nur Agustina, ‚Pembantu Dan Pelacur: Sebuah Tinjauan Budaya.‛

59. 237

Sinung Utami Hasri Habsari, ‚Membaca Simbol-Simbol Komunikasi dan

Budaya pada Bangunan Cagar Budaya dengan Analisa Semiotika Roland Barthes.‛ 161. 238

I Wayan Ardhi Wirawan, ‚Komunikasi Ritual dalam Praktik Beragama

Hindu Sebagai Perangka Penguatan Identitas Budaya dan Peradaban Bangsa.‛ Jurnal

Sadharanikaran, Vol. 1, No. 1, (Mei 2015): 6. 239

Hiqma Nur Agustina, ‚Pembantu Dan Pelacur: Sebuah Tinjauan Budaya,‛

61.

Page 47: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

47

dalam realitas agar lebih mudah untuk dipahami240

Interpretasi berarti

menafsirkan kenyataan objektif dengan memahami makna dari berbagai pranata

sosial, menjelaskan hakikat serta hubungan kausalitasnya tanpa meninggalkan

pengamatan makna historis dan dampaknya bagi individu.241

Budaya menjadi penting untuk dimaknai karena di dalamnya selalu

memiliki keterkaitan yang erat dengan realitas suatu kelompok sosial yang

plural. Pada akhirnya, makna budaya pun tidak mungkin bersifat tunggal atau

absolute. Hal tersebut disebabkan oleh keragaman interpretasi suatu kelompok

sosial dalam memaknai satu budaya.

240

Buyung Pambudi, ‚Semiotika Karapan Sapi dan Transformasi Simbolik

Masyarakat Madura.‛ Jurnal Komunikasi Islam, Vol. 05, No. 01, (Juni 2015): 117. 241

Irfan Noor, Agama sebagai Universum Simbolik; Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger (Yogyakarta: Pustaka Prisma, 2010), 11.

Page 48: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

48

Page 49: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

49

BAB III

TABUT DAN MAKNA BUDAYA

A. Interaksi Islam dan Budaya di Indonesia

Kebudayaan senantiasa berubah seiring dengan perkembangan pemikiran

manusia. Perkembangan pemikiran manusia menyebabkan perkembangan

budaya. Semua kebudayaan adalah hasil belajar dan bukan warisan biologis.

Orang mempelajari kebudayaannya dengan menjadi besar didalamnya. Ralph

Linton menyebut kebudayaan sebagai ‚warisan budaya‛ umat manusia. Proses

penerusan kebudayaan dari generasi yang satu kepada generasi yang lain disebut

enkulturasi. Melalui enkulturasi orang mengetahui secara sosial cara apa yang

tepat untuk memenuhi kebutuhannya yang ditentukan secara biologis.

Kebudayaan242

dapat dianggap sebagai aturan-aturan yang berlaku di dalam

masyarakat yang diperoleh bukan melalui warisan biologis namun dipelajari.

Aturan-aturan tersebut kemudian menentukan perilaku sehari-hari masyarakat,

maka perilaku manusia itu yang pertama-tama adalah perilaku kebudayaan.

Karena itu, manifestasi kebudayaan dapat berbeda-beda menurut tempatnya.243

Kebudayaan adalah seperangkat pengetahuan manusia yang didalamnya

terdapat model yang secara selektif digunakan untuk menginterpretasikan,

mendorong, dan menciptakan tindakan, atau dapat diartikan sebagai pedoman

tindakan atau suatu kenyataan yang masih harus diwujudkan. Sedangkan

sebagai pola dari tindakan, kebudayaan adalah apa yang dilakukan dan dapat

dilihat oleh manusia sehari-hari sebagai nyata adanya, atau dalam pengertian

lain adalah wujud tindakan atau kenyataan yang ada.244

Menurut Sir Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan kompleks

keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral,

kebiasaan dan lain-lain. Kecakapan dan kebiasaan yang diperoleh manusia

sebagai anggota masyarakat.245

Oleh karena itu kebudayaan juga harus

dipandang sebagai sejumlah cita-cita, nilai dan standar perilaku yang

menyebabkan perbuatan para individu dapat dipahami oleh kelompoknya.

Karena memiliki kebudayaan yang sama, orang yang satu dapat meramalkan

perbuatan orang yang lain dalam situasi tertentu, dan mengambil tindakan yang

sesuai.246

242

Menurut Raymond Williams, terminologi kebudayaan sukar untuk didefiniskan secara

pasti. Hal tersebut disebabkan adanya keterlibatan prasangka (apriori) yang kuat sebagai

paradigma kebudayaan (cultural paradigm). Lihat Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto

(ed), Teori-Teori Kebudayaan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2005), 19 243

William A Haviland, Antropologi (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005), 13. 244

Hefni Karsa, ‚Bernegosiasi‛ dengan Tuhan melalui Ritual Dhâmmong (Studi atas

Tradisi Dhâmmong sebagai Ritual Permohonan Hujan di Madura).‛ Vol. XIII, No. 1,

Jurnal KARSA, (April 2008): 6. 245

William A Haviland, Antropologi, 332. 246

William A Haviland, Antropologi, 333.

Page 50: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

50

Fungsi budaya adalah tentang bagaimana individu menyesuaikan diri dengan

kehidupan dalam kelompok masyarakatnya sebagai satu kesatuan. Karena itu,

untuk menjalankan fungsi tersebut maka diperlukan komunikasi, baik dalam

membangun, mempertahankan ataupun menegosiasikan prinsip dan standar

dalam berkehidupan sosial.247

Masyarakat (society) dapat didefinisikan sebagai kelompok manusia yang

mendiami tempat tertentu, yang demi kelangsungan hidupnya saling tergantung

satu sama lain, dan yang memiliki kebudayaan bersama. Selain itu, para anggota

masyarakat saling terikat oleh kesadaran identitsa kelompok. Hubungan yang

mengikat masyarakat dikenal sebagai struktur sosial (social structure) atau

organisasi sosial (social organization). Jelaslah, bahwa tidak mungkin ada

kebudayaan tanpa masyarakat, seperti juga tidak mungkin ada masyarakat tanpa

individu. Sebaliknya, tidak ada masyarakat manusia yang dikenal yang tidak

berbudaya.248

Karena itu, Masyarakat menghasilkan kebudayaan, sedangkan

kebudayaan menentukan corak masyarakat. Maka, antara manusia dan

kebudayaan merupakan suatu kesatuan yang memiliki hubungan yang sangat

erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.249

Interaksi Islam dan budaya melibatkan dua hal, antara lain Islam sebagai

konsepsi sosial budaya yang disebut dengan great tradition (tradisi besar)

dan Islam sebagai realitas budaya yang disebut dengan little tradition

(tradisi kecil) atau local tradition. Terjadinya interaksi Islam dan budaya lokal

adalah untuk mengakomodasi nilai-nilai lokal, yang sering dipahami dengan

istilah pribumisasi Islam. Artinya bagaimana Islam sebagai suatu ajaran

normatif diakomodasi dalam budaya tanpa menghilangkan identitas keduanya.

Sehingga pada akhirnya akan tercipta pola-pola Islam yang sesuai dengan

konteks lokalnya. Sehingga Islam tidak kaku dalam menghadapi realitas sosial

masyarakat yang dinamis.250

Karena sebagai agama universal (rah}matan li al-‘a>lami>n), Islam mampu tumbuh dan berkembang secara konfirmatif. Artinya

selektif dalam mengadopsi nilai budaya dan tradisi yang berkembang. Apabila

nilai budaya dan tradisi lokal itu bertentangan dengan nilai Islam, maka dalam

konteks inilah Islam melakukan reformasi budaya (cultural reform) sehingga

nilai-nilai yang terkandung di dalam budaya lokal tetap selaras dengan nilai-

nilai Islam.251

247

William B Gudykunst, Cross-Cultural and Intercultural Communication (London and

New Delhi: Sage Publications, 2003), 43. 248

William A Haviland, Antropologi, 333-334. 249

Ellya Rosana, ‚Dinamisasi Kebudayaan dalam Realitas Sosial.‛ Jurnal Al-Adyan, Vol.

XII, No. 1, (Januari-Juni, 2017): 17. 250

Fauzi Abubakar, ‚Interaksi Islam dengan Budaya Lokal dalam Tradisi Khanduri

Maulod pada Masyarakat Aceh.‛ Akademika, Vol. 21, No. 01, (Januari-Juni 2016): 24-

25. 251

Hasan, ‚Islam dan Budaya Banjar di Kalimantan Selatan,‛ Ittihad, Vol. 14, No. 25,

(April 2016): 78-79.

Page 51: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

51

Keterkaitan Islam dan kebudayaan dapat dilihat dalam tiga hal. Pertama, Islam

berdiri dalam posisi sebagai agama yang berusaha untuk mengadakan dialog

kultural dengan kebudayaan yang melingkupinya, namun tetap mengedepankan

fungsinya sebagai pembentuk realitas dan landasan identitas bagi kebudayaan.

Kedua, proses akulturasi Islam melahirkan local genius, yaitu kemampuan

menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh

kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai satu ciptaan baru yang unik dan tidak

terdapat di wilayah bangsa yang membawa pengaruh budaya tersebut. Ketiga,

sosialisasi dan adaptasi Islam dengan kebudayaan yang erat kaitannya dengan

realisasi historis saat Islam disosialisasikan.252

Pada abad ke-13 ketika Islam menguasai sebagian besar Barat Daya dan Timur

Laut India, para pedagang dan saudagar muslim terutama yang masuk dari

Gujarat dan berhubungan dagang dengan penduduk setempat, membawa serta

agama Islam masuk ke wilayah Melayu dan sekitarnya. Kelompok ini meyakini

bahwa batu nisan yang ada hubungannya dengan pemeluk Islam pertama di

Sumatera didatangkan dari Gujarat dan nama orang meninggal yang dipahat di

atasnya merupakan sebuah hal yang tidak biasa dilakukan oleh kaum Muslimin

Sunni Arab. Tradisi dan ritual keagamaan ini umumnya dilakukan di kalangan

orang-orang Syiah dan penduduk India. Sebagian sejarawan meyakini bahwa

Islam tersebar di wilayah Melayu melalui Malabar yang terletak di Barat Daya

India karena masuknya Islam di Malabar lebih dahulu dibandingkan Gujarat dan

Benggala, juga karena kehadiran ribuan muslim luar dan maraknya mazhab

Syafi’i di sana.253

Pengaruh historis dan tradisional kaum imigran dan pedagang India dalam

perpindahan dan penyebaran budaya Syiah di Asia Tenggara sangat besar. Hal

tersebut, salah satunya terlihat dari tradisi terkait Muharram dimana

penggunaan pola dan simbol-simbol didalamnya terpengaruh dari tradisi

keagamaan yang marak di kalangan Syiah di anak benua India. Meski begitu,

tradisi tersebut telah bercampur dengan budaya lokal.254

Beberapa tradisi yang termasuk budaya lokal yang dilaksanakan oleh

masyarakat Bengkulu, diantaranya adalah Sedekah Rame yaitu tradisi yang

diselenggarakan kegiatan pertanian, mulai dari menyiangi (nyawat) sawah,

pembibitan (nguni), menanam sampai panen. Tradisi tersebut diakhiri dengan

pembacaan surat-surat pendek dan doa khusus. Kenduri panen yaitu upacara

yang dilakukan setahun sekali, bisanya dilakukan sesudah panen. Buang Jung

252

Djamaan Nur, ‚Islam dan Pengaruhnya terhadap Budaya Melayu Bengkulu,‛ dalam

Sarwit Sarwono dkk, Bunga Rampai Melayu Bengkulu (Bengkulu: Dinas Pariwisata

Provinsi Bengkulu, 2004), 25-26 253

Mohammad Ali Rabbani, ‚Mediasi India dalam Perpindahan dan Penyebaran Kultur

dan Peradaban Persia: Islamisasi di Asia Tenggara.‛ Jurnal Media Syariah, Vol. XV, No.

1, (Januari-Juni 2013): 72. 254

Mohammad Ali Rabbani, ‚Mediasi India dalam Perpindahan dan Penyebaran Kultur

dan Peradaban Persia: Islamisasi di Asia Tenggara.‛ Jurnal Media Syariah, Vol. XV, No.

1, (Januari-Juni 2013): 79-80.

Page 52: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

52

(membuang perahu kecil ke laut) yang diadakan sehubungan dengan kegiatan

penangkapan ikan oleh para nelayan. Upacara ini diiringi doa dan bertujuan

untuk menyampaikan permohonan kepada Allah agar diberikan hasil yang

melimpah serta terhindar dari segala malapetaka. Serta tradisi ritual Tabut,

yaitu upacara untuk memperingati gugurnya cucu Nabi Muhammad SAW dalam

peperangan di Karbela, yaitu Hasan dan Husain, yang diperingati pada setiap

tanggal 1-10 Muharram. Bayar sat (niat/ nazar), upacara ini dilakukan sebagai

rasa syukur kepada Allah SWT, karena niat (sat) seseorang terkabul. Biasanya

acara ini dilakukan pada siang hari dengan mengundang beberapa kerabat dan

tetangga untuk dijamu.255

Asal usul kata Bengkulu berasal dari kata Benkolen atau Bengkulen dalam

bahasa Belanda, Bencoolen (bahasa inggris).256

Bangka Hulu, ada juga yang

menyebutkan bahwa Bengkulu dahulu disebut Fort York.257

Provinsi Bengkulu

yang resmi berdiri pada tanggal 16 November 1968 merupakan provinsi yang

terletak di bagian barat pulau Sumatra dan sejajar dengan pegunungan Bukit

Barisan yang membelah Sumatra dari utara hingga selatan.258

Pada tanggal 1

November 1968 atas dasar UU no. 9/1967 junko PP no. 20/2968, keresidenan

Bengkulu diresmikan menjadi Provinsi Republik Indonesia ke 26 dengan

Gubernurnya yang pertama kali adalah Ali Amin.259

Bengkulu terletak di bagian barat Sumatra, bagian selatan diapit oleh daerah

Sumatra Barat, Riau, dan Jambi di bagian Utara, Palembang di bagian timur,

Lampung di bagian selatan, serta Samudra Indonesia terdampar luas di bagian

baratnya.260

Bengkulu didirikan pada tahun 1720 M yaitu ketika Gubernur

Inggris diperbolehkan kembali ke Bengkulu (dahulu disebut Ujung Karang) oleh

raja-raja Bengkulu. Pemerintah Inggris juga mendirikan pusat perdagangan yang

diberi nama Pasar Marlborough yang berdampingan dengan Kampung Cina.261

Mayoritas penduduk Bengkulu beragama Islam, selanjutnya agama Kristen

Khatolik dan Protestan. Sedangkan agama Hindu banyak dianut oleh

masyarakat transmigrasi dari Bali ataupun dari daerah pulau Jawa yang

mayoritas beragama Hindu hingga terkenal dengan adanya kampung Bali.

255

Samsudin, ‚Islam Nusantara: Manifestasi Islam Adaptif dan Realitas Budaya Islam-

Melayu Bengkulu.‛ Jurnal Nuansa Vol. VIII, No. 1, (Juni 2015): 24. 256

Salim Bella Pilli dan Hardiansyah, Napak Tilas Muhammadiyah Bengkulu

(Yogyakarta: Valia Pustaka, 2016), 41. 257

Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bengkulu,

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional

Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1983/1984, milik departemen

pendidikan dan kebudayaan, 21. 258

Salim Bella Pilli dan Hardiansyah, Napak Tilas Muhammadiyah Bengkulu, 37-38. 259

Salim Bella Pilli dan Hardiansyah, Napak Tilas Muhammadiyah Bengkulu, 64. 260

Sejarah Sosial Daerah Bengkulu, 82. 261

Badrul Munir Hamidy (editor), Upacara Tradisional Daerah Bengkulu Upacara Tabot di Kotamadya Bengkulu (Bengkulu: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi

Bengkulu, 1991/1992), 33.

Page 53: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

53

Sedangkan yang menganut agama Budha dan Konghuchu adalah warga

keturunan Tionghoa yang mayoritas tinggal di daerah Pecinan ataupun pusat-

pusat perdagangan.262

Menurut Agus Setiyanto, kelompok masyarakat pribumi di Bengkulu terdiri atas

empat etnis, yaitu etnis Rejang263

yang merupakan etnis tertua di Bengkulu,264

etnis Lembak, etnis Serawai, dan etnis Pasemah.265

Sedangkan kelompok

masyarakat pendatang terdiri tiga etnis, yaitu etnis Melayu, etnis Bugis, dan

etnis Madura.266

Etnis Melayu di Bengkulu terdiri atas Melayu Tinggi, Bulang,

dan Lembak.267

Keberagaman etnis Melayu tersebut menurut Djamaan Nur

memiliki satu konsepsi yang sama yaitu Adat Bersendikan Syara’, Syara Bersendikan Kitabullah. Hal tersebut menunjukkan bahwa Islam telah memberi

warna dalam berbagai aspek kehidupan, aspek bahasa, kesenian, upacara dan

perilaku kehidupan masyarakat.268

Atas dasar hal tersebut, kebudayaan di

Bengkulu dapat digolongkan ke dalam rumpun Melayu Polinesia.269

Menurut Harapandi Dahri, secara historis, awal mula penyebaraan agama Islam

di Bengkulu tidak memiliki data yang pasti, namun pada abad ke-17 dapat

diperkirakan bahwa masyarakat Bengkulu belum memeluk suatu agama,

termasuk agama Hindu ataupun Budha. Masyarakat Bengkulu cenderung pada

262

Salim Bella Pilli dan Hardiansyah, Napak Tilas Muhammadiyah Bengkulu, 40. 263

Masuknya Islam di daerah Rejang ditandai dengan perkawinan Sultan Muzaffar Syah

dengan Putri Serindang Bulan sekitar pertengahan abad ke XVII. Setelah ayah Puteri

Serindang Bulan yang bernama Raja Mawang wafat, maka ia digantikan oleh

saudaranya Ki Karang Nio dengan memakai gelar Islam Sultan Abdullah (1600-1640).

Masyarakat Rejang sangat terpengaruh oleh Mazhab Syafi’i. Kondisi ini terlihat dari

hunian masyarakat Rejang. Dalam masyarakat Rejang terdapat istilah ‚Sadei‛ untuk

menyebut kampung tempat tinggal mereka. Pada awalnya satu Sadei dihuni oleh 25

lelaki dewasa. Namun setelah dipengaruhi Islam, berubah menjadi 40 lelaki dewasa.

Syarat yang digunakan mazhab Syafi’i untuk melakukan shalat Jumat. Lihat Salim Bella

Pilli dan Hardiansyah, Napak Tilas Muhammadiyah Bengkulu, 66. 264

A B Lapian dan Soewadji Sjafei (editor), Sejarah Sosial Daerah Kota Bengkulu

(Bengkulu: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Bengkulu, 1984), 66. 265

Masuknya Islam di daerah Lembak, Serawai, dan Pasemah melalui dai-dai dari

Banten, apalagi dengan diadakannya pernikahan anatara Pangeran Nata Diraja dengan

Putri Kemayun, anak perempuan Sultan Banten Ageng Tirtayasa. Sang pangeran dan

istrinya diikuti dengan 12 tentara Banten yang akhirnya menetap di Selebar. Lihat

Salim Bella Pilli dan Hardiansyah, Napak Tilas Muhammadiyah Bengkulu, 66 266

Agus Setiyanto, Gerakan Sosial Masyarakat Bengkulu Abad XIX (Yogyakarta:

Penerbit Ombak, 2015), 40-72. 267

Samsudin, ‚Islam Nusantara: Manifestasi Islam Adaptif dan Realitas Budaya Islam-

Melayu Bengkulu.‛ Jurnal Nuansa, Vol. VIII, No. 1, (Juni 2015): 22. 268

Mabrur Syah, ‚Akulturasi Islam dan Budaya Lokal Kajian Historis Sejarah Dakwah

Islam Di Wilayah Rejang.‛ Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 1, No. 1, (2016): 39. 269Sejarah Daerah Bengkulu, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1977-1978), 234.

Page 54: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

54

kepercayaan animisme dan dinamisme.270

Pendapat lain mengatakan bahwa pada

abad ke-16, Islam tersebar di daerah Bengkulu. Agama ini juga sangat

berpengaruh dalam aspek keagamaan, sosial, dan kebudayaan.271

Menurut

Abdullah Sidik, pada pertengahan abad, kerajaan-kerajaan kecil272

di daerah

pantai Bengkulu mulai terpengaruh kerajaan Banten, terutama daerah pesisir,

mulai dari Kerajaan Selebar sampai batas Sungai Urai di Bengkulu Utara. Sejak

terpengaruh oleh kerajaan Banten tersebut. Pada masa ini pula agama Islam

mulai masuk ke Bengkulu.273

Penyebaran agama Islam di Bengkulu juga datang

dari daerah Aceh dan Sumatra Barat.274

Sementara menurut Salim Bela Pilli dan Hardiansyah, masuknya Islam di

Bengkulu275

ditandai dengan dua fase. Pertama, fase ini berlangsung sangat

lama, melalui masuknya dai-dai awal Islam yang berdakwah pada penduduk

yang pada akhirnya diterima oleh masyarakat Bengkulu sehingga terbangunnya

masyarakat Muslim di daerah tersebut. Kedua, fase ini dikatakan sebagai fase

perkembangan Islam, yaitu masyarakat Muslim yang telah terbentuk di

Bengkulu, membangun sistem pemerintahan yang mampu mengatur warganya

dan mampu membangun hubungan dengan pemerintah yang lain yang berada

disekitarnya.276

270

Harapandi Dahri, Tabot Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu (Jakarta: Penerbit

Citra, 2009), 58-59. Lihat juga Upacara Tradisional Daerah Bengkulu Upacara Tabot di

Kotamadya Bengkulu, 1991/1992, 56. 271

A B Lapian dan Soewadji Sjafei (editor), Sejarah Sosial Daerah Kota Bengkulu

(Bengkulu: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Bengkulu, 1984), 69. 272

Kerajaan-kerajaan kecil tersebut terdiri atas Kerajaan Empat Petulai/Kerajaan Depati

Tiang Empat, Kerajaan Sungai Serut di Bengkulu, Selebar di daerah Lembak di

Bengkulu Utara, Sungai Lemau di Pondok Kelapa Bengkulu Utara, Sungai Itam di

daerah Lembak Bengkulu Utara, dan Anak Sungai di daerah Mukomuko Bengkulu

Utara. Kerajaan-kerajaan ini muncul sebelum tahun 1685, Sidik menyebutnya zaman

Swapraja. Lihat Abdullah Sidik, 1. 273

Abdullah Sidik, Sejarah Bengkulu 1500-1990 (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), 1. 274

A B Lapian dan Soewadji Sjafei (editor), Sejarah Sosial Daerah Kota Bengkulu

(Bengkulu: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Bengkulu, 1984), 69. 275

Data awal masuknya Islam di Bengkulu bisa dilacak dari ratu Agung, yang merupakan

raja pertama kerajaan Sungai Serut. Setidaknya ada dua data tentang asal raja ini.

Pertama, ia berasal dari Banten, hal ini menandakan bahwa ia telah memeluk agama

Islam, dan yang kedua ia berasal dari Gunung Bungkuk dan masuk Islam setelah seorang

dai dari Aceh bernama Malim Muhidin pada tahun 1417 M. Datang dan menyebarkan

Islam ke daerah ini selama 6 bulan. Dengan masuknya Ratu Agung yang beragama Islam

ke Sungai Serut, maka terbukalah jalan untuk masuknya Islam di Bengkulu. Hal ini juga

diperkuat dengan upacara yang diadakan saat Ratu Agung wafat yang menggunakan

cara Islam yang dihadiri oleh Qadli, Bilal dan Khatib, yang merupakan istilah pejabat

keagamaan khas Islam. Lihat Salim Bella Pilli dan Hardiansyah, Napak Tilas Muhammadiyah Bengkulu, 65-66. 276

Salim Bella Pilli dan Hardiansyah, Napak Tilas Muhammadiyah Bengkulu, 65.

Page 55: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

55

Masuknya budaya Islam ke daerah Bengkulu jika dilihat melalui perspektif

sejarah dapat ditinjau secara umum dan khusus. Secara umum, masuknya

kebudayaan Islam ke Bengkulu tidak terlepas dari masuknya Islam ke wilayah

Nusantara. Sedangkan secara khusus, munculnya kebudayaan Islam ke Bengkulu

tidak dapat dipisahkan dari masuknya Islam ke daerah tersebut.277

Bangsa asing yang datang ke Bengkulu adalah Portugis, Inggris, Belanda,

Tionghoa, dan India. Bangsa India yang datang ke Bengkulu dibawa oleh Inggris

yang asalnya dari Benggali, mereka menganut agama Islam dari aliran Syiah.

Karena mereka telah menganut agama Islam, maka mereka dengan mudah dapat

berasimilasi dengan penduduk Sungai Lemau yang pada waktu itu juga telah

menganut agama Islam. Mereka juga diklaim sebagai yang pertama kali

memperkenalkan ritual Tabut di Bengkulu. Pada awalnya mereka sering disebut

kaum Sipai,278

namun selanjutnya mereka lebih dikenal sebagai masyarakat

Melayu Bengkulu.279

Masyarakat Sipahi dan India yang didatangkan oleh

Inggris inilah yang memperkenalkan tradisi Tabut.280

Pada zaman Belanda, Inggris, Jepang, bahkan sampai Republik Indonesia sudah

terbentuk, kebudayaan di Bengkulu tidak berkembang dengan baik. Terutama

pada zaman Jepang, penderitaan dan kemiskinan yang dialami oleh masyarakat

Bengkulu membuat seni budaya mengalami kelumpuhan. Kesenian tradisional

khas Bengkulu seperti tarian kejai, sapu tangan, randai, dan sebagainya pada

zaman Jepang sama sekali tidak pernah dimunculkan. Bahkan ritual Tabut yang

sebelumnya merupakan kegiatan rutin yang dilakukan setiap tahun, pada zaman

ini tidak pernah diadakan.281

Kedatangan Inggris ke Bengkulu sangat berkaitan dengan permasalahan

ekonomi dan politik. Namun bukan hanya dua aspek tersebut, catatan sejarah

mengatakan bahwa kehadiran Inggris juga berpengaruh terhadap kebudayaan

yang ada di Bengkulu. Seperti dalam penggunaan bahasa yang digunakan yang

berakar dari kosakata bahasa Inggris.282

277

Bunga Rampai Melayu Bengkulu, 32 278

Menurut Syiafril, sipai bukan merupakan nama suatu suku tertentu, melainkan hanya

istilah yang berasal dari bahasa Urdu. Kata sipai memiliki memiliki arti tentara (army).

Menurutnya, kebenaran sipai sebagai salah satu suku yang ada di Bengkulu tidak dapat

dibuktikan. Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017. 279

Badrul Munir Hamidy (ed), Upacara Tradisional Daerah Bengkulu Upacara Tabot di Kotamadya Bengkulu (Bengkulu: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi

Bengkulu, 1991/1992), 31. 280

A B Lapian dan Soewadji Sjafei (editor), Sejarah Sosial Daerah Kota Bengkulu

(Bengkulu: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Bengkulu, 1984), 72. 281Sejarah Daerah Bengkulu, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977-1978, 186. 282

Kekurangan jumlah penduduk yang mendorong pemerintahan Inggris untuk membawa

orang-orang buangan dari India ke Bengkulu. Letnan Gubernur Inggris membagi orang-

orang India ini dalam tiga golongan. Lihat Sejarah Sosial Daerah Bengkulu, 91.

Page 56: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

56

Ketika membangun benteng Marlborough, Inggris mendatangkan orang-orang

yang berasal dari India.283

Orang-orang tersebut diperkirakan mayoritas

beragama Hindu, 20 persen Muslim yang beraliran Syi’ah, dan yang lainnya

adalah Sikh, Kristen, serta Yahudi.284

Dari orang-orang inilah, yang nantinya

memperkenalkan masyarakat Bengkulu tentang tradisi ritual Tabut.285

Benteng Marlborough sebagai pusat pemerintahan terletak di tepi laut yang

dikelilingi oleh saluran yang dibangun oleh batu. 72 buah meriam yang

dihadapkan ke laut sebagai pertahanan benteng tersebut.286

Pembangunan

benteng Marlborough dilaksanakan pada tahun 1714 sampai tahun 1720287

dibawah kepemimpinan wakil gubernur Inggris yang bernama Joseph Collet288

yang dikerjakan secara bertahap selama 5 tahun serta melibatkan arsitek dan

para pekerja yang sengaja didatangkan dari India (Madras). Benteng yang

dinamai Marlborough ini sebagai kenangan kepada seorang komandan militer

Inggris yang terkenal, ‚The First Duke of Marlbourough‛ (1650-1722).289

Benteng tersebut berfungsi sebagai gudang penyimpanan rempah (lada, merica,

kopra, kopi, damar, gaharu, dan emas) bagi perdagangan The East India Company (EIC) Inggris, setelah menyingkir dari Banten pada tahun 1682.

290

Pengaruh mediasi kaum imigran dan pedagang India dalam perpindahan dan

penyebaran budaya Iran dan Syiah di kawasan Asia Tenggara yang salah satunya

Indonesia dikarenakan pengaruh historis dan Tradisional India terhadap

penduduk Indonesia. Sehingga sampai saat ini masih banyak tradisi keagamaan

Syi'ah kuno. Meskipun saat ini, upacara dan tradisi tersebut di beberapa wilayah

seperti Indonesia telah bercampur dengan tradisi lokal, akan tetapi pola dan

simbol-simbol yang digunakan di dalamnya seperti Tabut, Dhul Janah, locat di

atas api, sebagian ungkapan dan syair kesedihan, cara memutar bendera dan

makanan yang sudah menjadi tradisi pada hari-hari tersebut mengingikasikan

283

Kartomi J Margaret, ‚Muslim Music in West Sumatran Culture.‛ The World of Music, Vol. 28, No. 3, (1986): 28. 284

Paul H Mason, ‚Fight-dancing and the festival: Tabuik in Pariaman, Indonesia and

Iemanjá in Salvador da Bahia, Brazil.‛ Martial Arts Studies 2, (2016): 73. 285Sejarah Daerah Bengkulu, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977-1978, 98-99. 286

Agus Setyanto, Orang-orang Besar Bengkulu Riwayatmu Kini, 6. 287

Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bengkulu,

23. 288

Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bengkulu,

22. 289

Abdullah Siddik, Sejarah Bengkulu 1500-1990 (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), 42. 290

Sejarah Melayu Bengkulu, 15. Sebelum membangun benteng Marlbourough, pada

tahun 1701, pemerintahan Inggris membangun benteng pertama yang bernama Fort

York (Pasar Bengkulu). Namun dikarenakan lokasi benteng tersebut dianggap tidak

strategis dan kondisi lingkungan sekitar yang tidak sehat maka mereka memilih Tapak

Paderi sebagai lokasi pembangunan benteng Marlbourogh. Lihat Sejarah Perlawanan

Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bengkulu, 21

Page 57: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

57

bahwa tradisi-tradisi keagamaan ini tersebar di Asia Tenggara dari perbatasan

India melalui orang-orang Syiahnya.291

Keberadaan ritual Tabut di Bengkulu dapat dikatakan suatu petunjuk adanya

pengaruh tradisi keagamaan Syi’ah di daerah ini. Meskipun tidak ada keterangan

yang cukup terperinci, namun patut diduga pula bahwa orang-orang Sipai awal

yang datang dari Madras dan Bengali ke Bengkulu pada 1336 adalah penganut

Islam Syi’ah. Dugaan ini didukung oleh fakta bahwa pada masa-masa itu kaum

Muslim Syi’ah banyak tersebar di wilayah Asia Selatan, Aceh dan Sumatera

Utara.292

B. Tabut dan Tradisi Keagamaan

Kata tradisi berasal dari bahasa Latin yaitu traditio yang memiliki beberapa arti

yaitu, memberi, menawarkan, menyampaikan dan memperlihatkan kemurahan

hati. Dalam pengertian teologi, tradisi dipahami sebagai semua bentuk ajaran

atau praktek yang ditransimisikan ke generasi berikutnya baik melalui lisan

maupun tulisan dalam bingkai agama. Sementara, dari aspek sosiologis, tradisi

dipandang sebagai sebutah sistem dalam struktur masyarakat yang dilaksanakan

oleh komunitasnya, lalu diwariskan ke generasi berikutnya, kebanyakan, melalui

lisan.293

Tradisi dapat dipahami sebagai revealed tradition yang kebenaran dan

prinsipnya bersumber dari divine order. Tradisi memiliki karakter yang unik dan

tidak bisa direduksi, karenanya mudah untuk diidentifikasi dengan baik. Tradisi

merupakan hasil dari manifestasi atas berbagai bentuk doktrin suci dan sakral.

sejatinya tradisi berfungsi sebagai penjaga bagi keberlangsungan kehidupan.294

Tradisi merupakan perwujudan dunia yang direpresentasikan salah satunya

dalam bentuk ritual. Selain itu, tradisi juga merupakan alat komunikasi sebagai

suatu sistem tanda yang berhubungan dengan teori semiotik.295

Maka

kebudayaan dapat dipahami sebagai sistem semiotik yang terdiri atas struktur

signifikansi yang berfungsi untuk mengontrol kehidupan sosial manusia, itu

291

Mohammad Ali Rabbani, ‚Mediasi India Dalam Perpindahan Dan Penyebaran Kultur

Dan Peradaban Persia: Islamisasi di Asia Tenggara.‛ Media Syariah, Vol. XV, No. 1,

(Januari-Juni 2013): 79-80. 292

Rizqi Handayani, ‚Dinamika Kultural Tabot Bengkulu.‛ Al-Turāṡ, Vol. XIX, No. 2,

(Juli 2013): 248. 293

Yusno Abdullah Otta, ‚Dinamisasi Tradisi Islam di Era Globalisasi: Studi atas Tradisi

Keagamaan Kampung Jawa Tondano.‛ Jurnal Sosiologi Reflektif, Vol. 10, No. 1,

(Oktober 2015): 100. 294

Yusno Abdullah Otta, ‚Dinamisasi Tradisi Islam di Era Globalisasi: Studi atas Tradisi

Keagamaan Kampung Jawa Tondano.‛ Jurnal Sosiologi Reflektif, Vol. 10, No. 1,

(Oktober 2015): 101-103. 295

Indah Arvianti, "Metafora Tuwuhan dalam Budaya Pernikahan Adat Jawa.‛ Majalah Ilmiah Informatika, Vol. 1, No. 3, (September 2010): 70.

Page 58: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

58

mengapa menurut Geertz, manusia membutuhkan simbol untuk memahami

realitas kehidupan.296

Ritual merupakan a set or series of act, usually involving religion or magic. Jadi

ritual ialah seperangkat tindakan yang selalu melibatkan agama atau magis,

yang dimantapkan melalui tradisi. Ritual adalah kategori upacara simbolis yang

lebih kompleks karena menyangkut urusan sosial dan psikologis yang lebih

dalam. Ritual bagi masyarakat identik dengan kepercayaan (trust). Dimensi

percaya (trust) yang merupakan potensi dasar manusia.297

Ritual merupakan tindakan simbolis kompleks yang memengaruhi, baik

pengalaman individu maupun komunitas sosial. Ritual merupakan transisi dari

alam profan ke alam sakral.298

Ritual dan agama merupakan tindakan paling

umum yang dapat mengakomodasi kebutuhan manusia agar mampu

bersosialisasi dengan lingkungannya.299

Tradisi yang mendapatkan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat biasanya

akan lebih mudah untuk dipertahankan daripada tradisi yang hanya didukung

oleh sekeluarga besar kecil dari seluruh lapisan masyarakat.300

Ritual juga

dipahami sebagai sistem konstruksi kultural atas komunikasi simbolik yang

dipraktikan secara verbal maupun non verbal yang tindakannya diekspresikan

dalam berbagai media.301

Salah satunya adalah ritual Tabut.

Secara harfiah kata Tabut memiliki arti kotak kayu atau peti yang didalamnya

terdapat kitab Taurat Bani Israil, yang dipercaya jika muncul akan mendapatkan

kebaikan, namun jika hilang akan mendapatkan malapetaka.302

Kata Tabut

berasal dari bahasa Arab بوت تا yang berarti peti untuk menyimpan barang atau

kotak yang terbuat dari batu atau kayu yang digunakan sebagai tempat untuk

menyimpan jenazah.303

Kata Tabut juga berasal dari kata Yahudi-Palestina yaitu

296

Bradd Shore, Culture in Mind Cognition Culture and the Problem of Meaning (New

York: Oxford University Press, 1996), 32. 297

Susminingsih,‛ Konsumsi antara Agama Ritual dan Transformasi Budaya.‛ Jurnal I-Economic, Vol. 3, No. 1, (Juni 2017): 118-121. 298

Jan, Koster, ‚Ritual performance and the politics of identity: On the functions and

uses of ritual.‛ Journal of historical pragmatics, Vol. 4, No. 2, (2003): 3. 299

Jan, Koster, ‚Ritual performance and the politics of identity: On the functions and

uses of ritual.‛ Journal of historical pragmatics, Vol. 4, No. 2, (2003): 6. 300

Agus Setiyanto, Orang-Orang Besar Bengkulu Riwayatmu Dulu (Yogyakarta:

Penerbit Ombak), 2015, 75 301

Yermia Djefri Manafe, "Komunikasi Ritual pada Budaya Bertani Atoni Pah." Jurnal

Komunikasi, Vol. 1, No. 2, (Juli 2011): 29. 302

Endang Rochmiatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma

Dekonstruksi.‛ Jurnal Tamaddun, No. 14, Vol. 2, (2014): 49-50. 303

Rifanto bin Ridwan, ‚Tabot Festival of Bengkulu and Local Wisdom.‛ Academic Journal of Islamic Studies, No. 1, Vol. 2, (2016): 150.

Page 59: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

59

Tebota, juga diambil dari bahasa Ibrani yaitu Tebah yang berarti kotak atau

bahtera.304

Menurut Feener arti kata Tabut sendiri tidak memiliki akar yang jelas namun

banyak didefinisikan sebagai kotak, wadah ataupun peti mati. kata Tabut dapat

ditelusuri melalui beberapa wilayah budaya dalam dunia Muslim. Tabut

setidaknya disebutkan sebanyak dua kali didalam alquran yaitu pada surat al-

Baqarah, ayat 248 dan surat Thaha ayat 39.305

ل ه عدو خذ لساحل يأٱي ب لٱقه يل ي فل لٱذفيه ف قٱلتابوت ف ٱذفيه ف قٱأن ٩٣ ن عي نع على من ولتص ك مبة ليت ع قي وأل ۥله وعدو

‚Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir’aun) musuh-Ku dan musuhnya.‛ Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku.‛ Tabut dengan arti peti merupakan pengertian umum. Namun, kata Tabut memiliki konteks tertentu yang berkaitan dengan Nabi Musa, ritual keagamaan Islam Syi’ah, dan Tabut di Sumatra. Dalam alquran surat al-Baqarah ayat 248

disebutkan yang artinya:

‚. . . sesungguhnya tanda kerajaannya ialah datangnya tabut kepadamu, yang di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun, yang dibawa oleh malaikat . . . .‛

Sementara itu, Tabut juga ditemukan dalam tradisi Kristiani yang berisi kitab

Taurat yang memuat, ‘Sepuluh Perintah Tuhan’ (Ten Commandements). Tabut ini juga dikenal dengan Tabut Perjanjian atau Ark of Covenant, yaitu perjanjian

antara Tuhan dengan Bani Israil.306

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Tabut didefinisikan sebagai peti yang terbuat dari anyaman bambu atau burung-

burungan burak yang terbuat dari kayu yang diarak pada peringatan terbunuhnya

Hasan-Husen pada tanggal 10 Muharam.307

Menurut Kartomi, Tabut merupakan

ritual yang berada di Irak, Persia dan India Selatan yang dikenal dengan nama

Takziah. Takziah adalah tampilan tradisional bangsa Iran sebagai ungkapan

304

Paul H Mason, ‚Fight-dancing and the festival: Tabuik in Pariaman, Indonesia and

Iemanjá in Salvador da Bahia, Brazil.‛ Martial Arts Studies 2, (2016): 73. 305

Michael Feener, ‚Tabut: Muharram Observances in the History of Bengkulu.‛ Jurnal

Studia Islamika, Vol. 6, No. 2, (1999): 93. 306

Asril, ‚Perayaan Tabuik dan Tabot: Jejak Ritual Keagamaan Islam Syi'ah di Pesisir

Barat Sumatra.‛ Jurnal Panggung, Vol. 13, No. 3, (September 2013): 130. 307

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1407.

Page 60: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

60

kesedihan untuk memuji pahlawan legendaris mereka yaitu Husen bin Abi

Thalib.308

Realitas dalam penyebutan nama ritual Tabut di Bengkulu mengalami

perdebatan. Masyarakat pada umumnya menyebutnya ritual Tabot, menurut

Syiafril penyebutan itu salah, tidak ada data yang jelas apa yang menyebabkan

masyarakat cenderung menyebut Tabot dibanding Tabut. Lebih lanjut,

menurutnya kata Tabot digunakan untuk menyebutkan arca orang suci atau

berhala.309

Hal yang berhubungan dengan budaya Tabut adalah, Pertama, apa yang terdapat

dalam Tabut itu merupakan tanda (mu’jizat) yang besar karena Tabut

mengandung ilmu dan hikmah yang ditinggalkan oleh keluarga Nabi Musa dan

keluarga Nabi Harun dan disana juga terkandung ketenangan bagi kaum tersebut

yang menjadikan had dan jiwa mereka tenang. Kedua, penetapan adanya

malaikat-malaikat, sebagaimana ayat, ‚Tabut itu dibawa oleh malaikat,‛ hal ini

juga menunjukkan bahwa Tabut tersebut besar.310

Terdapat beberapa pendapat mengenai sejarah kemunculan ritual Tabut. Catatan

mengenai ritual ini didominasi oleh pendapat-pendapat yang mengatakan bahwa

budaya secara historis dibawa oleh orang-orang yang berasal dari Bengali-

Madras,311

yang datang ke Bengkulu dalam rangka pembangunan Benteng

Marlborough, mereka merupakan tentara-tentara yang dibawa oleh Inggris pada

tahun 1685312

pada masa Gubernur Jenderal Raffles. Orang-orang India ini

kemudian menikah dengan penduduk pesisir Bengkulu (Pantai Panjang).313

Ritual ini, menurut satu pendapat, pertama kali dilaksanakan oleh Syekh

Burhanuddin atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Senggolo yang berasal

dari India.314

Ritual ini juga berhubungan erat kaitannya dengan penyebaran

ajaran Islam, khususnya Syi’ah di Bengkulu.315

Sejarah lain mengatakan bahwa masuknya tradisi Tabut ke Bengkulu pada abad

18 dibawa oleh tentara Inggris dengan dari etnik Shimphahi di kaki gunung

308

Nelly Marhayati, ‚Dinamika Kelompok Minoritas dalam Mempertahankan Tradisi

Studi pada Keluarga Kerukunan Tabot di Bengkulu,‛ 2016, 24. 309

Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017. Lihat juga,

Achmad Syiafril Syahboeddin, Buku Putih the Tabubencoolen (Bekasi: PT Walaw

Bengkulen, 2016), 5. 310

Sirajuddin M, ‚Urf dan Budaya Tabot Bengkulu.‛ Jurnal Millah, Vol. XI, No. 2,

(Februari 2012): 589-588. 311

Sirajuddin M, ‚Urf dan Budaya Tabot di Bengkulu.‛ Jurnal Millah Vol. XI, No. 2,

(Februari 2012): 580. 312

Person Pesona Renta, ‚Tabot Upacara Tradisi Masyarakat Pesisir Bengkulu.‛ Sabda,

Vol. 6, No. 1, (April 2011): 47-48. 313

Nanang Rizali, ‚Ritual Islam dalam Motif Batik Basurek-Bengkulu.‛ Jurnal

Kebudayaan Islam, Vol. 13, No. 2, (Juli - Desember 2015): 270-271. 314

Wawancara, Idramsyah, Ketua Kerukunan Tabut Budaya, 19 Juli 2017. 315

Endang Rochmatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma

Dekonstruksi.‛ Jurnal Tamaddun, No. 14, Vol. 2, (2014): 49.

Page 61: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

61

Himalaya India. Kepercayaan mereka bukanlah Hindu, Budha, ataupun Muslim.

Mereka adalah tentara sewaan dan budak tentara Inggris (Gurca) yang dibawa

ke Indonesia. Gurca ini banyak mengenal berbagai kebudayaan di India dan

Persia. Tradisi inilah yang pada akhirnya dikembangkan di Bengkulu dan

Sumatra Barat.316

Mereka menentang gagasan bahwa hal itu dibawa oleh pekerja Inggris saat

mereka membangun Benteng Malborough. Pendapat mereka didasarkan pada

kepercayaan bahwa Bengkulu adalah daerah yang sangat mirip dengan kondisi

Persia. Bengkulu memiliki banyak bukit yang dianggap sebagai representasi

wilayah Karbala di Irak.317

Menurut Chiara Formichi bahwa Syech Burhannudin termasuk dari golongan

tentara yang dibawa oleh English East India Company ke Bengkulu dan bahwa

Tabut di Bengkulu merupakan salah satu usaha Syi'ah Indonesia untuk

menunjukkan eksistensinya lewat budaya lokal, sekaligus untuk menunjukkan

Iran sebagai negara yang ramah. Pendapat tersebut diperkuat dengan Pendapat

di atas dibantah oleh Syiafril yang mengatakan bahwa Syech Burhannudin

bukan tentara yang dibawa oleh Inggris untuk membangun Benteng

Marlborough, melainkan pedagang dari Punjab yang mensyiarkan agama Islam

di Bengkulu.

Hal tersebut seperti yang dijelaskan oleh pengikut Tabut, Syiafril menjelaskan

bahwa tidak ada hubungan antara pembuatan Benteng Malbourough dengan

eksistensi ritual Tabut. Ritual Tabut muncul jauh sebelum benteng

Malbourough dibangun, ritual ini datang murni sebagai syiar agama Islam di

Bengkulu.318

Mereka percaya bahwa Tabut dibawa langsung oleh Punjab India di

tahun 1336 Masehi.319

Hal tersebut diperkuat oleh pendapat William Marsden,

penulis yang banyak mengamati masyarakat Sumatra, serta berada di Bengkulu

pada saat Bengkulu dikuasai oleh Inggris, tidak menyinggung Tabut sama

sekali.320

Pendapat lain juga mengatakan bahwa perlu ditelusuri kembali tentang

sejarah ritual Tabut yang diklaim berasal dari suku Sipai karena suku tersebut

ini berasal dari India yang merupakan negara dengan penduduk beragama

Hindu.321

Pada mulanya, ritual Tabut sebagai peringatan peristiwa gugurnya Hasan-

Husain cucu nabi Muhammad s.a.w oleh kaum Syiah dari keluarga Yazid di

316

Japarudin, ‚Tradisi Bulan Muharam di Indonesia.‛ Tsaqofah dan Tarikh, Vol. 2, No.

2, (Juli-Desember 2017): 175. 317

Rifanto bin Ridwan, ‚Tabot Festival of Bengkulu and Local Wisdom.‛ Academic Journal of Islamic Studies, No. 1, Vol. 2, (2016): 151. 318

Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017. 319

Rifanto Bin Ridwan, ‚Tabot Festival of Bengkulu and Local Wisdoms.‛ Jurnal

Academic Journal of Islamic Studies, Vol. 1 No. 2, (2016): 151. 320

Rizqi Handayani, ‚Dinamika Kultural Tabot Bengkulu.‛ 245. 321

Japarudin, ‚Tradisi Bulan Muharam di Indonesia.‛ 176.

Page 62: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

62

Karbela, Irak pada bulan Muharram 61 Hijriah.322

Orang-orang Syi’ah

mengadakan ritual menyiksa diri untuk laki-laki dan menangis untuk perempuan

sebagai bentuk duka cita mereka. Ritual tersebut dilaksanakan untuk

mengenang usaha para pemimpin Syi’ah dan kaumnya ketika mengumpulkan

bagian-bagian jenazah Husain, lalu mengarak dan memakamkannya di Padang

Karbala.323

Namun pada perkembangannya para keturunan Tabut yang disebut kaum Sipai

terlepas dari pengaruh aliran Syi’ah maka ritual ini hanya dijadikan kewajiban

untuk menjalankan wasiat dari leluhur mereka.324

Selain itu, ritual Tabut juga

dijadikan oleh masyarakat Bengkulu untuk menyambut dan memeriahkan tahun

baru Islam.325

Sesuatu yang rasional dan manusiawi apabila setiap pemeluk

suatu agama merasa yakin dan bangga dengan agama yang dipeluknya. Masing-

masing pemeluk agama tentu akan mengklaim kebenaran kepada ajaran-ajaran

agamanya sendiri. Meski begitu ada cara untuk mempersatukan pemahaman

para pemeluk berbagai agama tersebut. Mengacu kepada klaim kebenaran di

atas, W. Montgomery Watt, mengungkapkannya sebagai tradisi klasik yang

tetap hidup subur dalam sejarah Islam sampai sekarang. Ia mengistilahkannya

sebagai heresiography call tradition yaitu pandangan yang menganggap bid‘ah

dan sesat aliran, madzhab, atau kelompok keagamaan lain dalam Islam.

Konsekuensi dari pandangan ini adalah hanya aliran, madzhab atau kelompok

keagamaannya sendiri yang benar dan mengikuti jalan yang lurus.326

Meski begitu perbedaan pendapat tersebut tetap memiliki satu kesamaan, yaitu

bahwa upacara Tabut di Bengkulu memiliki signifikansi khusus. Penduduk

wilayah ini mempelajarinya dari kaum imigran Muslim selatan India.327

Menurut

Ahmad Rijaluddin, tradisi Tabut memiliki kemiripan dengan tradisi Anglo-

Indian di awal abad 19.328

Menurut Feener, sejarah Tabut di Bengkulu saling

terkait erat dengan Perusahaan Hindia Timur Inggris di Sumatra.329

Selain pendapat di atas, menurut Kartomi, seperti yang dikutip Harapandi

Dahri, istilah Tabut di Indonesia berasal dari sebuah ritual sederhana yang ada

di Irak, Persia dan India Selatan yang dikenal dengan nama Ta’ziyah. Sementara

322

Adat Istiadat Daerah Bengkulu, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat

Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah

1977-1978, 105-106. 323

Upacara Tradisional Daerah Bengkulu, 63. 324

Endang Rochmiatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma

Dekonstruksi.‛ Jurnal Tamaddun, No. 14, Vol. 2, (2014): 49-50. 325

Adat Kota Bengkulu, Bagian Hukum Setda Kota Bengkulu, 2005, 31. 326

A Zaini Dahlan, ‚Memahami Agam a dan Budaya sebagai Solusi Mengatasi Konflik

Teologis.‛ Jurnal CMES, Vol. VIII, No. 1, (Januari – Juni 2015): 33. 327

Mohammad Ali Rabbani, ‚Mediasi India dalam Perpindahan dan Penyebaran Kultur

dan Peradaban Persia: Islamisasi di Asia Tenggara.‛ Jurnal Media Syariah, Vol. XV, No.

1, (Januari-Juni 2013): 80. 328

Michael Feener, ‚Tabut: Muharram Observances in the History of Bengkulu.‛ 94. 329

Michael Feener, ‚Tabut: Muharram Observances in the History of Bengkulu.‛ 100.

Page 63: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

63

itu istilah Tabut dikenal di India Utara untuk menyebut istilah Ta’ziyah

tersebut. Lebih lanjut Kartomi menyebutkan bahwa tipe Tabut di Indonesia ada

dua, yaitu Asan Usen di Aceh, serta Tabut di Sibolga dan Riau yang merupakan

jenis/tipe ritual yang sederhana. Serta Tabut di Bengkulu dan Tabuik di

Pariaman yang merupakan jenis/tipe yang dielaborasi menjadi pertunjukkan

teatrikal.330

Meskipun terjadi perdebatan terkait sejarah ritual Tabut, namun ritual tersebut

memiliki akar historis yang jelas sebagai tradisi mengenang wafatnya Husain.

Awal mula, Tabut dipercaya berasal dari budaya Persia pra-Islam, yaitu upacara

duka cita kematian Siyavash (anak Poor Kowush Syah dan murid Rustam dalam

mitos Persia kuno) yang dalam pelaksanaannya terdapat Tabut yang diarak.

Selain itu, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa tradisi mengarak tabut

mulai muncul pada saat terbentuknya perkumpulan orang-orang Syi’ah dalam

kegiatan duka cita memperingati kematian para pemimpin Syi’ah dan saat

mereka pergi berziarah ke makam Imam Ali dan Imam Husein pada 425 H.

Ketika berziarah, orang-orang Syi’ah dari Karakh (Baghdad) ini membawa

barang-barang yang telah dihiasi dengan hiasan-hiasan yang terbuat dari emas,

yang disebut dengan manajiq. Catatan lain menjelaskan bahwa pelaksanaan

arak-arakan Tabut itu dilakukan dengan cara memanggul sejumlah Tabut yang

dibungkus dengan kain hitam dengan iringan bendera-bendera kebesaran. Di

atas tabut diletakan senjata tajam dengan posisi menyilang ataupun mendatar.

Lalu mereka berjalan sambil meratap, meniupkan terompet, dan memukul alat

yang ada. Mereka menganalogikan tabut-tabut tersebut sebagai tabut dari Imam

Ali. Hal tersebut menunjukkan bahwa tradisi Tabut ini merupakan pementasan

teatrikal kisah di Karbala.331

Secara detail, pelaksanaan ritual ini terdiri atas 13 tahapan yang dilakukan

selama 10 hari (1-10 Muharram setiap tahunnya).332

Waktu pelaksanaan selama

10 hari, mulai dari tanggal 1-10 Muharram. Rangkaian acara tersebut di mulai

dari prosesi mengumpulkan tanah untuk ditempatkan pada kerangka Tabut,

tanah tersebut diambil dari lokasi yang telah ditentukan, hari kedua sampai

keenam pembuatan Tabut, hari ketujuh arak-arakan jari, kedelapan Tabut diarak

keliling, hari kesembilan pertandingan pemukulan dol, hari malam kesepuluh

belarak gedang, hari kesepuluh Tabut dibuang.333

Tabut yang berada di Bengkulu berbentuk bangunan bertingkat yang hampir

serupa dengan menara Masjid dengan ukuran yang beraneka ragam.334

Terbuat

dari rangka kayu dan bambu, kadang ditambahkan pula bentuk-bentuk lain,

330

Harapandi Dahri, Tabot Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu (Jakarta: Penerbit

Citra, 2009), 76. 331

Rizqi Handayani, ‚Dinamika Kultural Tabot Bengkulu.‛ 242-243. 332

Rifanto Bin Ridwan, ‚Tabot Festival of Bengkulu and Local Wisdoms.‛ Jurnal

Academic Journal of Islamic Studies, Vol. 1 No. 2, (2016): 152-155. 333

Adat Kota Bengkulu, Bagian Hukum Setda Kota Bengkulu, 2005, 31 334

Endang Rochmatun, Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma

Dekonstruksi.‛ 49.

Page 64: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

64

seperti burung berkepala manusia, ikan rumah adat, dan sebagainya. Bangunan

ini dihiasi aneka warna dan hiasan lainnya.335

Saat ini, Tabut yang digunakan

dalam upacara Tabut di Bengkulu berupa suatu bangunan bertingkat-tingkat

seperti menara masjid, dengan ukuran yang beragam dan berhiaskan lapisan

kertas warna warni. Pembuatan Tabut harus sesuai dengan ketentuan yang

ditetapkan secara bersama-sama oleh keluarga pengikut Tabut.336

Terdapat dua kelompok besar keluarga pengikut Tabut, yakni kelompok Tabut

Imam dan Tabut Bansal.337

Keluarga Tabut terdiri atas 17 kelompok yaitu Tabut

Syahbedan, Tabut Lempuing, Tabut Ta’a Zulkifli, Tabut Penurunan, Tabut

Onggok, Tabut Panglima Kasan, Tabut Bajak, Tabut Druzanggut Bawah, Tabut

Sumur Meleleh, Tabut Kebun Beler, Tabut Jegau/Anak Bansal, Tabut Malabro,

Tabut Kebun Ros, Tabut Nala, Tabut Tengah Padang-Bajak.338

Jumlah

kelompok pengikut Tabut pada mulanya hanya empat, yaitu Tabut Imam, Tabut

Bansal, Tabut Panglima, dan Tabut Ulama atau lebih dikenal dengan nama

Tabut Kampung Batu. Selanjutnya jumlah tersebut terus berkembang sampai

saat ini berjumlah 17, tidak dapat ditambah lagi karena telah dibakukan.

Kemunculan kelompok-kelompok tersebut bermula dari apa yang diistilahkan

sebagai ‚Tabut Niat.‛ Artinya, Tabut yang pada awalnya dibuat hanya

berdasarkan niat atau nadzar namun akhirnya terus berlanjut sampai saat ini.339

Sebagai satu kesatuan ritual, Tabut dibentuk oleh bagian-bagian yang terangkai

dalam bentuk tahapan-tahapan prosesi,340

menurut Syiafril yang merupakan

pewaris Tabut sekaligus ketua KKT, sebelum prosesi-prosesi ritual Tabut yang

telah lazim diketahui oleh masyarakat, terdapat dua ritual penting yang harus

mereka lakukan yaitu pertama, doa mohon izin kepada Allah swt yang

dilaksanakan di Mushala Karbela pada tanggal 28 atau 29 Dzulhijjah, diawali

dengan shalat magrib, membaca Yassin, tahlil, dan memohon izin untuk

memulai prosesi ritual Tabut, ditutup dengan shalat Isya. Kedua, melakukan doa

mohon keselamatan kepada Allah swt yang dilaksanakan pada tanggal 29 atau

30 Dzulhijjah.341

Doa khusus yang dibacakan adalah Maqtal al-Hussain,342

berbunyi sebagai berikut:

335

Harapandi Dahri, Tabot Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu (Jakarta: Penerbit

Citra, 2009), 77. 336

Endang Rochmiatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma

Dekonstruksi.‛ 49-50. 337

Endang Rochmiatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma

Dekonstruksi.‛ 49-50. 338

Syiafril, Buku Putih Tabubencoolen. 339

Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 22 Juli 2017. 340

Tahapan-tahapan dalam ritual Tabut, salah satunya dijelaskan dalam naskah Cerita dari Tabut. 1158/PN (Perpustakaan Nasional Jakarta). Ukuran naskah 21x17 cm. 8

halaman terdiri atas 16 baris huruf Arab. 341

Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 22 Juli 2017. Lihat juga,

Achmad Syiafril Syahboeddin, Buku Putih the Tabubencoolen (Bekasi: PT Walaw

Bengkulen, 2016), 23.

Page 65: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

65

Bismillahir rahmanir Rahiim Assalaamua’layka yaa Rasulillah Assalaamua’layka yaa Fatimah Az-Zahra Assalaamua’layka yaa Al-Murthada Assalaamua’layka yaa Hasan al-Mujitaba Assalamua’layka yaa Aba Abdillah al-Hussain Salam atasmu wahai Putera Rasulullah Salam atasmu wahai putera Amirul mukminin, putera penghulu para washi Salam atasmu wahai putera Fatimah penghulu wanita sedunia. Salam atasmu dan semua arwah yang bergabung di halaman kediamanmu dan di Mashad Syech Burhanuddin Imam Senggolo ini. Sepanjang hidup kami, siang dan malam, kami mendoakanmu semua semoga Allah melimpahkan kedamaian kepadamu semua. Wahai Aba’Abdillah, sungguh besar musibah yang menimpamu bagi kami seluruh kaum muslimin. Sungguh besar musibah yang menimpamu bagi langit dan seluruh penghuninya. Semoga Allah melaknat ummat yang menzhalimmimu dan menyakitmu wahai keluarga suci Nabi. Semoga Allah melaknat ummat yang menghalangimu dari kedudukan yang telah Allah tetapkan bagimu. Semoga Allah melaknat ummat yang membunuhmu. Semoga Allah melaknat ummat yan membiarkan mereka memerangimu. Kami nyatakan kepada Allah dan kepadamu bahwa kami berlepas diri dari mereka, dari semua pengikut mereka, dan dari semua pendukung mereka yang zhalim. Wahai Aba’Abdillah, sungguh kami nyatakan damai kepada siapa saja yang berdamai denganmu, dan kami nyatakan perang kepada siapa saja yang memerangimu sampai hari kiamat. Semoga Allah melaknat keluarga Ziyad dan keluarga Marwan. Semoga Allah melaknat Bani Ummayah yang bersikap kejam kepadamu. Semoga Allah melaknat putera Marjanah. Semoga Allah melaknat Umar bin Sa’ad. Semoga Allah melaknat Syimran. Semoga Allah melaknat ummat yang bergabung untuk memerangimu. Demi ayah dan ibu kami, sungguh besar bagi kami musibah yang telah menimpamu. Kami memohon kepad Allah yang telah memuliakan kedudukanmu dan memuliakan kami karenamu. Semoga Allah mengkaruniakan kepada kami kesempatan untuk membelamu bersama Imam dari keluarga Muhammad saw. Ya Allah, jadikanlah kami orang yang mulia di sisi-Mu bersama Amir-Hussein di dunia dan di akhirat. Wahai Aba’Abdillah, kami mendekatkan diri kepada Allah, kepada Rasul-Nya, kepada Amirul mukminin, kepada Fatimah, kepada Amir-Hasan, dan kepadamu. Kami berlepas diri dari orang yang menzalimimu dan menzhalimi para pengikutmu. Kami mendekatkan diri kepada Allah dan kepadamu dengan

342

Achmad Syiafril Syahboeddin, Buku Putih the Tabubencoolen, 47.

Page 66: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

66

kecintaan kepadamu dan kepada orang-orang yang kau cintai. Kami terlepas diri dari semua musuh-musuhmu, dari semua yang menentangmu dan memerangimu, dan semua pengikut dan pendukung musuh-musuhmu. Kami memohon kepada Allah yang telah memuliakan kami dengan mengenalmu. Kami memohon kepada Allah yang telah menganugerahkan kepada kami keterlepasan dari musuh-musuhmu. Semoga Allah menjadikan kami yang senantiasa bersamamu di dunia dan di akhirat. Semoga Allah menetapkan kami di jalan yang benar di dunia dan di akhirat. Kami bermohon semoga Allah memberikan kami pada kedudukan yang mulia di sisi Allah, mengkaruniakan kehormatan untuk membelamu bersama Imam dari keturunanmu, Imam yang senantiasa berada dalam kebenaran. Dengan hakmu dan kedudukanmu di sisi-Nya dan dengan merasakan musibah yang menimpamu dan ujian yang paling besar yang pernah terjadi di bumi dan di langit dan sepanjang sejarah Islam, kami memohon kepada Allah semoga menganugerahkan kepada kami karunia yang paling agung. Ya Allah, dengan ini jadikan kami orang yang memperoleh kesejahteraan, rahmat dan pengampunan dari-Mu. Ya Allah jadikan hidup kami seperti kehidupan Muhammad saw dan keluarganya, dan mati kami seperti Muhammad saw dan keluarganya. Ya Allah, hari ini adalah hari 10 Muharram yang dianggap penuh berkah oleh Bani Umayah, putera pemakan jantung yang terlaknat, putera yang terlaknat. Mereka menganggap hari itu hari penuh berkah dengan memalsukan firman-Mu dan sabda Nabi-Mu. Ya Allah, laknatlah Abu Sufyan dan Mu’awiyah dengan laknat yang abadi dari-Mu. Hari ini adalah hari berpesta pora keluarga Ziyad dan keluarga Marwan karena telah berhasil membunuh Amir-Hussein. Ya Allah, lipat-gandakan pada mereka laknat dari-Mu dan azab yang pedih. Ya Allah, aku mendekatkan diri kepada-Mu pada hari ini dan pada hari-hari sepanjang hidup kami, dengan berlepas diri dari mereka dan melaknat mereka, dengan mencintai Nabi-Mu dan keluarga Nabi Muhammad saw. Ya Allah, laknatlah orang yang pertama kali menzhalimi hak Muhammad saw dan keluarganya, laknat juga orang yang mengikutinya. Ya Allah laknatlah mereka yang memerangi Amir Hussein dan para pengikutnya dan mereka yang berbaiat pada Yazid untuk membunuh Amir-Hussein. Ya Allah laknatlah mereka semua. Salam atasmu wahai Aba’Abdillah dan semua arwah yang bergabung di halaman kediaman mu dan di halaman Imam Senggolo ini. Kami panjatkan doa sepanjang hidup kami, siang dan malam, semoga Allah senantiasa melimpahkan kedamaian-Nya padamu. Semoga Allah tidak menjadikan ziarah kami hari ini sebagai ziarah yang terakhir kepadamu. Salam pada Amir-Hussein, salam pada Ali Zainal Abidin bin Amir-Hussein, salam pada semua putera Amir-Hussain, salam pada semua sahabat Amir-Hussein.

Page 67: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

67

Ya Allah khususkan laknat kami kepada orang zhalim pertama. Mulailah laknat itu kepada orang yang pertama, kepada yang kedua, kepada yang ketiga, kepada yang keempat. Ya Allah laknat juga Ubaidillah bin Ziyad, putera MArjanah, Umar bin Sa’ad, Syimran, Keluarga Abu Sofyan, Keluarga Ziyad, dan keluarga Marwan sampai hari kiamat. Segala puji bagi Allah pujian orang-orang yang bersyukur kepada-Mu ketika mereka mendapat musibah. Segala puji bagi Allah yang telah memberi manfaat yang besar kepada kami. Ya Allah, karuniakanlah kepada kami syafaat Amir Hussein pada hari kiamat. Kokohkan pijakan kami pada kebenaran di sisi-Mu bersama Amir Hussein dan sahabat-sahabatnya yang telah mencurahkan kesungguhannya dalam membela Amir Hussein.

Doa mohon keselamatan tersebut juga dilengkapi oleh beberapa sajian makanan

yang terdiri atas sejambar nasi kuning panggang ayam, bubur tepung merah

putih, apam putih, apam kuning, roti sebrat, gulai dhal, air serobat,343 kopi pahit,

susu sapi murni, air cendana, dan air selasih. Doa tersebut dalam rangka

memohon kepada Allah swt agar terhindar dari malapetaka, baik yang datang

dari gunung, maupun dari laut. Setelah selesai berdoa, prosesi dilanjutkan ke

pantai Zakat dengan melepaskan sampan yang bermakna mengenang

kedatangan pembawa Tabut yang melalui jalur laut.344

Adapun tahapannya

selanjutnya adalah sebagai berikut:

1. Mengambik Tanah

Waktu pelaksanaan prosesi mengambik (mengambil) tanah345 pada malam hari

tanggal 1 Muharram. Prosesi mengambik tanah dilakukan di dua tempat, yaitu

di Pantai Nala dan Tapak Paderi (tempat mengambik tanah untuk kelompok

Tabut Bansal). Sebelum ritual mengambik tanah dilakukan, ada beberapa

tahapan yang dilakukan oleh pengikut Tabut. Awalnya, Keluarga Kerukunan

Tabut (KKT) menjemput Gubernur dan para pejabat di balai adat atau depan

tugu Dhol yang dilanjutkan dengan tarian Rendai.346 Selanjutnya, kegiatan

343

Air serobat terbuat dari beberapa rempah-rempah yaitu serbuk kayu manis, kapulaga,

cengkeh, sepede (jahe), gula ulu (aren), dan gula pasir dimasak dengan campuran air. 344

Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 22 Juli 2017. Lihat juga,

Achmad Syiafril Syahboeddin, Buku Putih the Tabubencoolen (Bekasi: PT Walaw

Bengkulen, 2016), 23. 345

Prosesi mengambik tanah pertama kali dilakukan pada kamis malam, tanggal 16

Agustus 1336 M. Sedangkan pengambilan tanah mengalami pergantian tempat pada

tahun 1995. Lihat Achmad Syiafril Sy, Buku Putih the Tabubencoolen, 14. Wawancara,

Achmad Syiafril Sy, Ketua KKT, 22 Juli 2017. 346

Tari Rendai atau beladiri merupakan tarian penghormatan dan menyambut tamu

besar. Tarian yang berbentuk seni beladiri yang digunakan dalam penyambutan tamu

agung atau tamu besar dengan nuansa pencak silat atau beladiri. Tari Rendai merupakan

seni beladiri yang dipadukan dengan keindahan gerak tari yang biasanya diiringi musik

daerah.

Page 68: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

68

Gambar 3.1 Rangkaian Prosesi Mengambik Tanah

Gambar 3.2 Bentuk genggam tanah yang

telah diambil

Tabut dibuka oleh Gubernur Bengkulu, disertai dengan pelepasan Keluarga

Kerukunan Tabut (KKT) menuju lokasi ritual Mengambik Tanah dilaksanakan.

Dalam prosesi ini terdapat beberapa benda berupa bubur merah, gula merah,

sirih tujuh subang, rokok tujuh batang, air kopi pahit, air serobat, air susu sapi

murni, air cendana dan air selasih. Selain itu juga terdapat kemenyan, bunga

melur, dan daun selasih.347

Sebelum pengambilan tanah dimulai, dilakukan

doa348

yang dipimpin oleh ketua KKT. Setelah doa selesai dilakukan, maka

diambil dua genggam tanah, yang kemudian dibungkus oleh kain berwarna

putih. Selanjutnya dimasukkan ke dalam belangga kecil yang ditutup kain putih

dan dihiasi oleh rangkaian buang melur daun selasih untuk diletakkan di Gerga

dan sekepal lainnya dibawa pulang untuk diletakkan diatas Tabut yang akan

dibuat.349

347

Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 22 Juli 2017. Lihat juga,

Achmad Syiafril Syahboeddin, Buku Putih the Tabubencoolen (Bekasi: PT Walaw

Bengkulen, 2016), 23. 348

Doa yang dibacakan adalah bismillahir rahmanannir rahiim, asslamu’alaika yaa Rasullah, assalamua’alaika yaa al-Murtadha, assalamua’alaiki yaa Fatimah Azzahra, assalamu’alaika ya Hasan al-Mujtaba, ashalaatu wasaalamu alay rasul Allah walbayti atthaahiriyn, assalamu’alaika yaa aba’abdillah al-Husain yaa sayyid syabaab ahlal jannah, assalamu alaika yabna Rasulullah, salam atasmu, wahai ayah Abdillah al-Hussain dan kepada arwah-arwah yang telah gugur demi membelamu dan membela rasulmu, salam dari kami selalu tercurahkan selama siang dan malam masih silih berganti, salure, mahure yaa sahure, qaluu wa qaluune, sarare tabbute benkoelene, surarahe adene, innalaaha wa malaa i’katahuu yushalluuna ‘alan nabiyyi yaa ayyuhal ladziina aamanuu shallu ‘alaihi wasallimuu tasliima (surat 33: ayat 56): Sesunggugnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam pengorbanan kepadanya, allahumma shalli ‘ala Muhammad wa’ala ali Muhammad. dan diakhiri

dengan pembacaan shalawat. Lihat Ahcmad Syiafril, Buku Putih Tabubencoolen, 27-28. 349

Person Pesona Renta, ‚Tabot Upacara Tradisi Masyarakat Pesisir Bengkulu.‛ Jurnal Sabda, Vol. 1, No. 6, (2011): 50.

Page 69: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

69

Tanah yang diambil pada tahapan ini haruslah berasal dari tempat keramat yang

mengandung unsur-unsur magis, seperti di Keramat Tapak Padri yang terletak di

dekat Benteng Marlborough dan Keramat Anggut, yang berada di pemakaman

umum Pasar Tebek. Tanah ini nantinya akan dibungkus dengan kain kafan putih

dan dibentuk seperti boneka manusia.350

Walaupun berdasarkan observasi

penelitian dan wawancara terhadap pengikut Tabut, tanah tersebut tidak

dibungkus seperti boneka manusia, kepalan tanah hanya diikat saja didalam kain

putih tersebut. Prosesi tersebut dimaknai sebagai mengenang asal mula manusia

yang diciptakan dari tanah kemudian akan kembali ke tanah.351

1. Duduk Penja Penja merupakan benda yang terbuat dari kuningan, perak, atau tembaga yang

berbentuk telapak tangan manusia, lengkap dengan jari-jarinya. Penja yang

dianggap sebagai benda keramat yang mengandung unsur magis.352

Waktu

pelaksanaan prosesi duduk penja pada tanggal 4 dan 5 Muharram di sore hari

setelah waktu shalat Ashar. Tabut Imam dan Tabut Bansal melaksanakan

prosesi duduk penja pada tanggal 4 Muharram, sedangkan Tabut-Tabut lain

melaksanakannya pada tanggal 5 Muharram.353

Pada umumnya penja disimpan di atas rumah dan hanya diturunkan satu tahun

sekali. Prosesi ini dilengkapi oleh beberapa benda berupa emping, air serobat

(jahe), susu murni, air kopi pahit, nasi kebuli,354

pisang emas dan tebu. Sebelum

penja didudukkan/ditegakkan harus dicuci terlebih dahulu, selanjutnya penja-

penja tersebut disusun berpasangan. Penja yang telah tersusun tersebut

selanjutnya dibungkus dengan kain dan dihiasi dengan rangkaian bunga melur

dan daun selasih.

Prosesi duduk penja dilakukan langsung di depan Gergah, selama prosesi

berlangsung diiringi oleh Dhol. Setelah prosesi tersebut berakhir, penja disimpan

ke dalam Gergah berdampingan dengan dua genggam tanah, lalu pengikut Tabut

350

Endang Roichmatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma

Dekonstruksi.‛ Jurnal Tamaddun, No. 14, Vol. 2, (2014): 51. 351

Linda Astuti, ‚Pemaknaan Pesan pada Upacara Ritual Tabot (Studi pada Simbol-

Simbol Kebudayaan Tabot di Provinsi Bengkulu).‛ Jurnal Professional Fis Unived, No.

1, Vol. 3, (Juni 2016): 23. Hal tersebut diperkuat dengan pedapat Rustam yang

mengatakan prosesi Mengambik Tanah mengingatkan bahwa manusia berasal dari

tanah. Wawancara, Rustam Effendi, Pengikut Tabut, 24 Juli 2017. 352

Endang Roichmatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma

Dekonstruksi.‛ 51. 353

Penentuan tanggal untuk menjalankan prosesi duduk penja pun sempat mengalami

konflik internal dikarenakan ada yang melaksanakan mulai tanggal 5 Muharram.

Sedangkan menurut Syiafril, prosesi duduk penja harus dimulai pada tanggal 4

Muharram. Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 22 Juli 2017. 354

Menurut informasi yang peneliti dapatkan, nasi kebuli tersebut tidak dapat dimasak

oleh perempuan yang sedang dalam keadaan haid.

Page 70: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

70

mengelilingi Gergah hingga tujuh355

kali yang diikuti oleh simbol jari-jari

pedang, bendera-bendera tauhid serta makanan. Setelah prosesi tersebut

berakhir, masyarakat yang melihat prosesi tersebut mengambil nasi kebuli yang

telah disiapkan. Masyarakat berpendapat bahwa nasi tersebut membawa berkah.

Sebagian besar masyarakat memaknai penja sebagai tangan Husain. Hal tersebut

sejalan dengan pendapat L F Brakel, bahwa penja memiliki representasi dari

tangan Husein yang terpotong dalam peperangan di Karbala.356

Namun, menurut

Syiafril penja sama sekali tidak ada kaitannya dengan simbol tangan Husain,

karena sebelum Husain wafat. Simbol penja sudah ada.357

Istilah duduk penja

dalam ritual Tabut merupakan simbol mengajak umat agar selalu menyucikan

diri yang di awali dari kedua tangan karena tangganlah yang dapat membuat

menjadi kotor dan tangan pulalah yang dapat membuat kita menjadi bersih baik

lahir maupun batin.358

Gambar 3.3 Rangkaian ritual Duduk Penja Gambar 3.4 Penja yang telah

didudukan/ditegakkan

355

Angka tujuh diambil dari jumlah lapisan langit yang diciptakan tujuh lapis. Lihat

Achmad Syiafril Sy, Buku Putih Tabubencoolen. 356

L F Brakel, The Hikayat Muhammad Hanafiyyah (New York: Springer Science &

Business Media, 2013), 62. 357

Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017. 358

Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 22 Juli 2017.

Page 71: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

71

2. Malam Menjara

Waktu pelaksanaan prosesi menjara pada malam hari tanggal 5 dan 6 Muharram.

Menjara diartikan sebagai perjalanan panjang di malam hari untuk melakukan

silaturahmi atau konsolidasi. Dengan arak-arakan Dhol, bendera, dan panji-panji

kebesaran yang diibaratkan ketika akan terjadi perang kerbala.359

Pada malam

hari, pada tanggal 5 Muharram, kelompok Tabut Bansal mendatangi kelompok

Tabut Imam dan pada malam tanggal 6 Muharram, kelompok Tabut Imam

mengunjungi kelompok Tabut Bansal dengan perlengkapan Dhol360 dan Tassa.

Dalam perjalanan perlengkapan musik Dhol dan Tassa akan melagukan lagu

Semi Tsauri pada saat berjalan dan lagu-lagu Tsauri, Melalu dan Tamatam pada

tempat-tempat pemberhentian.361

Bagi pengikut Tabut, menjara sebagai

simbolisasi mengenang perjalanan Husein membawa panji-panji kebesaran dan

genderang perang dalam melawan kebiadaban.362

Dalam ritual Tabut ada tiga repertoar lagu Dhol yaitu motif Tamatam, Suwena

dan Suweri. Ketiga repertoar lagu ini berperan sebagai musik pengiring dalam

upacara Tabut khususnya upacara menjara dan melengkapi kebutuhan upacara

lainnya.363

Salah satu alat musik khas Melayu Bengkulu yang digunakan dalam

ritual Tabut adalah Dhol, yaitu alat musik yang berbentuk bulat dengan ukuran

yang relatif besar. Terbuat dari batang kepala dengan diameter 60-120 cm dan

ditutup dengan kulit sapi.364

Keistimewaan prosesi menjara adalah adanya adegan perang yang dilakukan

oleh Tabut Bansal dan Tabut Imam yang disimbolkan melalui pertandingan

Dhol. Pada malam pertama Menjara, salah satu kelompok Tabut akan

menghampiri kelompok lainnya. Dalam perjalanan, kelompok ini akan

memukulkan Dhol untuk menarik massa dari setiap kampung yang dilewati,

sehingga jumlahnya terus bertambah.

359

Linda Astuti, ‚Pemaknaan Pesan pada Upacara Ritual Tabot (Studi pada Simbol-

Simbol Kebudayaan Tabot di Provinsi Bengkulu).‛ 23. 360

Pada mulanya alat musik Dhol hanya digunakan pada prosesi Tabut, karena Dhol dianggap keramat. Menurut pengikut Tabut, jika Dhol dimainkan ketika bukan pada

waktu ritual Tabut dianggap melanggar adat dan memunculkan kemarahan nenek

moyang. Namun berkat usaha pemerintah dalam mengembangkan budaya di Bengkulu,

salah satunya melalui alat musik Dhol, pada akhirnya Dhol dapat dimainkan di luar

prosesi Tabut. Wawancara, Binsar, Dikbud Provinsi Bengkulu, 18 Juli 2017. 361

Endang Roichmatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma

Dekonstruksi.‛ 51. Dalam rangkaian ritual Tabut tidak akan dapat terlepas dari irama-

irama musik khusus yang dibunyikan dalam setiap ritual, antara lain: Tassa, Semi

Tsweri, Melalu, Tsweri, Tamatam, Keneng-keneng besi yang selalu mengiringi kelima

irama di atas dengan aba-aba dari suara Tassa. Irama Tamatam merupakan irama

melepaskan lelah setelah melakukan perjalanan panjang. Lihat Achmad Syiafril Sy,

Buku Putih Tabubencoolen (Bekasi: PT Walaw Bengkulen) 362

Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017. 363

Zely Marissa Haque, ‚Perkembangan Musik Dol di Kota Bengkulu.‛ Jurnal Ekspresi Seni, No. 16, Vol. 1, (2014): 159. 364

Tantawi Jauhari, dkk, Sejarah Melayu Bengkulu (Bengkulu: CV. Nala), 81-82.

Page 72: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

72

Ketika kedua kelompok bertemu, maka dimulailah pertandaingan Dhol, antara

kedua kelompok. Setelah pertandingan berakhir, mereka mengunjungi Gergah.

Di sini, jari-jari Tabut yang dibawa pada saat menggalang massa akan

melakukan soja, atau bersambut dengan jari-jari kelompok Tabut lainnya. Hal

ini menandakan ritual menjara hari pertama berakhir. Keesokannya, ritual

Menjara kembali dilakukan. Kali ini, kelompok yang sebelumnya dikunjungi,

balas mengunjungi kelompok lainnya. Rombongan berjalan kaki ke Gerga untuk

mengambil jari-jari dan menjemput massa dari kampung-kampung yang

dilewati. Sampai di tempat tujuan, perang kembali dimulai. Kedua kelompok

berperang, beradu menabuh Dhol.365

Dalam ritual Tabut dikenal dengan istilah soja. Secara harfiah, soja berarti

menyembah atau menghormati, kata tersebut berasal dari bahasa Urdu Punjab.

Dalam ritual Tabut, soja dimaksudkan untuk menghormati pemimpin, imam,

dan orang yang lebih tua. Soja mulai dilakukan pada malam menjara, malam arak penja, malam arak seroban, sampai dengan Tabut besanding dan arak gedang.

366

Gambar 3.5 Prosesi Menjara dan suasana ketika menabuh Dhol usai Menjara

Ritual Tabut dalam kaitannya dengan menjara tersebut dianggap mengandung

nilai filosofis hukum Islam yang diterjemahkan ke dalam arti pentingnya

membangun silaturrahim yang mengandung banyak manfaat, di antaranya

meluaskan rezeki dan memanjangkan umur. Nabi pemah bersabda, yang artinya:

‚Barang siapa yang ingin rizkinya mudah atau panjang umurnya, maka bangunlah hubungan dengan keluarganya.‛ (H.R. Muslim). Sebaliknya, Allah

tidak menyukai orang-orang yang memutus silaturahim sesuai dengan sabda

Nabi, yang artinya: "Tidak akan masuk Surga orang yang memutuskan diri terbadap saudaranya’ (al-Hadits).

367

3. Meradai 365

Endang Roichmatun, Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma

Dekonstruksi.‛ 51-52. 366

Achmad Syiafril Syahboeddin, Buku Putih the Tabubencoolen (Bekasi: PT Walaw

Bengkulen, 2016), 42. 367

Sirajuddin M, ‚Urf dan Budaya Tabot Bengkulu.‛ Jurnal Millah, Vol. XI, No. 2,

(Februari 2012): 591.

Page 73: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

73

Waktu pelaksanaan prosesi meradai selama tiga hari, yaitu pada tanggal 6, 7,

dan 8 Muharram,368

meradai atau yang juga dipahami sebagai hari

mengumpulkan dana yang dijalankan oleh Jola (orang yang bertugas mengambil

dana untuk kegiatan kemasyarakatan, biasanya terdiri atas anak-anak berusia

10-12 tahun).369

Meradai juga bermakna usaha untuk membangkitkan emansipasi masyarakat

dalam bentuk: beras, gula, minuman, uang, atau lainnya agar terasa saling

memiliki ritual Tabut yang harus dilestarikan.370

Prosesi meradai berarti

pemberitahuan kepada umat bahwa Husein telah wafat di medan peperangan.

Pemberitahuan itu juga dimaksudkan untuk melihat siapa umat yang peduli dan

siapa yang tidak.371

Gambar 3. 6 Beberapa anak-anak yang ikut serta dalam prosesi meradai372

4. Arak Penja

Waktu pelaksanaan arak penja pada malam hari di tanggal 7 Muharram. Arak

penja dilaksanakan dengan meletakkan penja di atas Tabut Coki, kemudian

diarak untuk berkumpul di tanah lapang. Masyarakat pada umumnya memaknai

prosesi ini sebagai pemberitahuan kepada masyarakat bahwa jari-jari tangan

368

Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017. 369

Endang Roichmatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma

Dekonstruksi.‛ 51. 370

Linda Astuti, ‚Pemaknaan Pesan pada Upacara Ritual Tabot (Studi pada Simbol-

Simbol Kebudayaan Tabot di Provinsi Bengkulu).‛ 23-24. Lihat juga Achmad Syiafril

Sy, Buku Putih Tabubencoolen (Bekasi: PT Walaw Bengkulen, 2016). Permasalahan

yang kerap terjadi dalam prosesi Meradai karena ada pihak-pihak yang memanfaat

prosesi ini untuk memperoleh keuntungan, dengan meminta-minta dari rumah ke rumah

sebelum ritual tersebut dilaksanakan. 371

Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017. 372

Sumber foto dari Nelly Marhayati.

Page 74: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

74

Hussain telah ditemukan di Padang Karbala.373

Prosesi Arak penja atau juga

yang sering dikenal dengan arak jejari bertujuan untuk mengenang Husein dalam

menegakkan kalimat tauhid di padang Karbala, juga dimaknai sebagai simbol

lima huruf Sang Pencipta dan simbol shalat lima waktu.374

Gambar 3.7 Penja yang telah diarak di letakkan di pinggir jalan kota Bengkulu

6. Arak Seroban

Waktu pelaksanaan prosesi arak seroban pada tanggal 8 Muharram, arak seroban

adalah asesoris yang dipakai sebagai ikat dan penutup kepala mahkota

kehormatan Husein yang diriwatakan disita atau didalam tas oleh Akhmas bin

Mirtsad, setelah mencuri dan memakai sorban tersebut, ia menjadi gila.375

Sorban diletakkan didalam kotak kecil yang dihiasi oleh rangkaian bunga melur

dan daun selasih, serta diiringi oleh salam, shalawat, doa dan nasi kijri.376

Kemudian sorban tersebut diletakkan bersama penja di atas Tabut coki dan

dijunjung diatas kepala untuk diarak sambil berjalan kaki menuju tempat yang

telah ditentukan.377

Prosesi ini dilakukan sebagai bentuk menjunjung kesucian

dan kebesaran Husein.378

Sebagian lagi memaknai Arak seroban sebagai

simbolisasi bahwa sorban Husain telah ditemukan.

373

Linda Astuti, ‚Pemaknaan Pesan pada Upacara Ritual Tabot (Studi pada Simbol-

Simbol Kebudayaan Tabot di Provinsi Bengkulu).‛ 24. 374

Achmad Syiafril Syahboeddin, Buku Putih the Tabubencoolen (Bekasi: PT Walaw

Bengkulen, 2016), 36. 375

Linda Astuti, "Pemaknaan Pesan pada Upacara Ritual Tabot (Studi pada Simbol-

Simbol Kebudayaan Tabot di Provinsi Bengkulu).‛ 24. Lihat juga, Achmad Syiafril

Syahboeddin, Buku Putih The Tabubencoolen (Bekasi: PT Walaw Bengkulen, 2016), 37. 376

Nasi kijri adalah masakan yang dibuat dari kacang hijau, air kunyit, dan santan. Di

campur juga dengan sayur tujuh macam dan diatasnya dihiasi dengan telur dadar iris.

Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 22 Juli 2017. 377

Achmad Syiafril Syahboeddin, Buku Putih Tabutbencoolen, 378

Achmad Syiafril Syahboeddin, Buku Putih The Tabubencoolen (Bekasi: PT Walaw

Bengkulen, 2016), 37.

Page 75: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

75

Gambar 3. 8 Seroban yang diletakkan di atas Tabut Coki

5. Hari Gham

Asal mula kata Gham dari kata ‚ghum‛ yang memiliki arti tertutup atau

terhalang. Dalam rangkaian ritual Tabut, waktu pelaksaanaan hari gham pada

tanggal 9 Muharam, dimulai pada pukul 06.00 WIB. Hari Gham berarti tidak

boleh ada bunyi-bunyian sama sekali sampai Tabut Naik Puncak. Tahap Gham merupakan saat di mana tidak diperbolehkan mengadakan kegiatan apapun.

379

Menurut pengikut Tabut, pada malam Gham, mereka hanya berdiam di rumah

masing-masing dan tidak diperbolehkan untuk membunyikan apapun.380

Pada hari tersebut mereka mengenang tentang wafatnya Husain yang dibunuh

oleh Yazid bin Muawiyah dengan cara yang tragis381

Pengikut Tabut meratap

dan menangis untuk menunjukkan kesedihan mendalam atas pembunuhan

Hussein bin Ali bin Abi Thalib dalam pertempuran Karbala.382

Prinsip kesedihan ini menunjukkan rasa solidaritas dan rasa kebersamaan sesama

kaum Muslim. Prinsip ini sesuai dengan sabda Nabi, yang artinya: ‚Orang mukmin yang satu terhadap yang lainnya seperti sebuah bangunan yang saling menguatkan‛. (H.R. Muslim).

383

6. Tabut Naik Puncak

Prosesi Tabut Naik Puncak merupakan prosesi menaikkan dan menyambungkan

bagian puncak Tabut dengan bagian bawah Tabut. Prosesi ini sebagai

simbolisasi menaikkan kejayaan gemilang Islam. Perlengkapan dalam prosesi ini

379

Endang Roichmatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma

Dekonstruksi.‛ 51-52. 380

Wawancara, Samsinar, pengikut Tabut, 04 Juli 2017. 381

Linda Astuti, ‚Pemaknaan Pesan pada Upacara Ritual Tabot (Studi pada Simbol-

Simbol Kebudayaan Tabot di Provinsi Bengkulu).‛ 24. 382

Rifanto Bin Ridwan, ‚Tabot Festival of Bengkulu and Local Wisdoms.‛ Jurnal

Academic Journal of Islamic Studies, Vol. 1 No. 2, (2016): 154. 383

Sirajuddin M, ‚Urf dan Budaya Tabot Bengkulu.‛ 591.

Page 76: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

76

adalah kemenyan, daun setawar, daun sedingin, daun bunga melur, daun selasih,

dan beras kunyit.384

Sebelum bagian puncak naikkan ke atas, ketua KKT membacakan doa khusus.385

Ketika dinaikkan, dipercikkan air daun setawar, daun sedingin, daun melur, dan

daun selasih dari empat sisi. Ketika puncak Tabut telah menyatu dengan bagian

bawah maka dihamburkan beras kunyit sebagai simbol cahaya Islam dan alat

musik Dhol pun dibunyikan sebagai tanda bahwa hari Gham telah berakhir.

Kemudian Tabut menuju Gerga untuk melakukan soja dan menaikkan penja dan

dua genggam tanah untuk dilakukannya arak gedang.386

Gambar 3. 9 Ketika Tabut mulai dinaikkan ke atas387

7. Arak Gedang dan Tabut Besanding

Prosesi arak gedang dan Tabut besanding dilakukan pada malam 10 Muharam.388

Tahap ini dimulai dengan pelepasan Tabut Besanding di Gergah masing-masing. 389

Istilah arak gendang dalam ritual Tabut berarti sebutan malam puncak

prosesi ritual budaya tabut pada arena utama yang sekaligus sebagai penutupan

secara resmi festival yang diselengarakan oleh Dinas Kebudayaan dan

384

Achmad Syiafril Syahboeddin, Buku Putih The Tabubencoolen (Bekasi: PT Walaw

Bengkulen, 2016), 40. 385

Adapun doa yang dibacakan adalah bismillahir-rahmanir-rahim assalamu ‘alaika ya Rasulullah, assalamu’ alaika yaa al-Murthada, assalamu alaiki yaa Fatimah Az-Zahra, assalamu ‘alaika yaa Hasan al-Mujtaba, ashalatu wasalamu ‘alay Rasulullah walbayti at thahirin-assalamu ‘alaika yaa aba abdillah al-Hussain yaa sayyid syabab ahlal Jannah, assalamu alaika yabna Rasulullah, Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa’ala Ali Muhammad. Bismillahirrahmanirrahim, Saaluree, maahuree, yaa saahure, sararee tabute benkulene, surarahe adene. Bismillahirrahmanirrahim, akedoya poonca Tabute, hemate pandeklate pandehare, hefwa-hefwa-hefwa. Lihat Syiafril, Buku Putih The

Tabubencoolen (Bekasi: PT Walaw Bengkulen) 386

Achmad Syiafril Syahboeddin, Buku Putih 387

Sumber foto dari Nelly Marhayati 388

Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017. 389

Endang Roichmatun, Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma

Dekonstruksi.‛ 52.

Page 77: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

77

Pariwisata.390

Namun pengikut Tabut memaknainya sebagai simbol mengenang

kejayaan Islam dari abad VII sampai abad XIII.391

Tabut-Tabut dikumpulkan dan disusun di lapangan, yang didalamnya terdapat

penja yang telah terbungkus rapi dan dihiasi dengan rangkaian bunga melur dan

selasih, seroban, serta dua genggam tanag yang telah diambil pada prosesi

mengambik tanah untuk dikembalikan ke tanah Karbela pada prosesi Tabut Tebuang 10 Muharram.

392

Gambar 3. 10 Bangunan Tabut-Tabut dideretkan di pinggir jalan

8. Tabut Tebuang

Waktu pelaksanaan prosesi Tabut tebuang pada 10 Muharram. Sebelum prosesi

tersebut dilaksanakan, Tabut diarak menuju Kerabela. Sebelum diarak, seluruh

Tabut melakukan soja terlebih dahulu kepada Tabut Imam dan Tabut Bansal.

Juru Kunci menyambut arak-arakan Tabut di pintu gerbang Kerabela. Setelah

itu arak-arakan Tabut menuju kompleks pemakaman Kerabela, dan di sini

dilaksanakan prosesi penyerahan Tabut kepada leluhur di makam Syahbedan

Abdullah (ayahanda Syech Burhanuddin).393

Dalam prosesi ini juga dimaksudkan untuk berziarah dan mengirimkan al-

Fatihah khusus untuk Rasulullah saw, Husain bin Ali bin Abi Thalib. Syech

Burhannudin (Imam Senggolo), Zalmiah Bansal, Panglima Kasan, Syech

Syahbedan Abdullah, serta semua penghuni makam Karbela.394

Selanjutnya

mengucapkan salam, membaca Yassin dan Tahlil kepada Rasulullah saw, Ali al-

Murthada, Fatimah Az-Zahra, Hasan Al-Mujitaba, dan Amir Hussain. Lalu

melepaskan penja yang sebelumnya ditegakan pada prosesi duduk penja dan

memasukkannya ke dalam tempat. Selanjutnya, meletakkan dua genggam tanah

yang diambil pada prosesi mengambik tanah ke makam Syech Burhannudin

390

Linda Astuti, ‚Pemaknaan Pesan pada Upacara Ritual Tabot (Studi pada Simbol-

Simbol Kebudayaan Tabot di Provinsi Bengkulu).‛ 24. 391

Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017. 392

Achmad Syiafril Syahboeddin, Buku Putih The Tabubencoolen (Bekasi: PT Walaw

Bengkulen, 2016), 41-42. 393

Endang Roichmatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma

Dekonstruksi.‛ 51. 394

Syiafril, Buku Putih Tabubencoolen, 44.

Page 78: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

78

dilengkapi dengan dua keranda kecil berwarna merah yang menyimbolkan

Husain dan warna hijau untuk menyimbolkan Hasan.395

Gambar 3. 11 Keranda dan dua genggam tanah yang dikuburkan dan suasana di pemakaman

Karbela

Prosesi Tabut tebuang merupakan ekspresi membuang keburukan, membuang

kesombongan, dan klimaksnya membuang kebiadapan. Serta mengenang said di

Padang Karbala.396

Juga dimaknai sebagai membuang keegoisan manusia,

setelah keegoisan itu dibuang, maka manusia kembali bersih.397

Menurut

Syiafril, dalam prosesi Tabut Tebuang seharusnya Tabut dibuang didalam

genangan air, namun dikarenakan adanya perubahan pada bangunan disekitar

daerah Karabela sehingga tempat yang terdapat genangan air itu sudah tidak ada

lagi.398

Prosesi tersebut juga dikaitkan sebagai penyerahan terakhir ke tubuh Husein

yang dimakamkan di Karbala dan sebagai pengingat bagi umat manusia bahwa

Pertempuran antara Hussein dan Yazid bin Mu'awiyah tidak hanya

menghasilkan a sejumlah kecil korban, dengan harapan hal-hal semacam itu bisa

terjadi dihindari dan tidak diulang lagi.399

Prosesi Tabut tebuang ini harus

dilaksanakan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, karena pengikut Tabut

menganalogikan prosesi ini sebagai pemakaman, yang tidak baik jika ditunda-

tunda.400

Menurut Syiafril, prosesi-prosesi ritual di atas bersifat terbuka, artinya

masyarakat dapat melihatnya. Namun, ada ritual-ritual lain yang bersifat

tertutup, yang tidak dapat dilihat masyarakat, yaitu ritual shalawatan dan

berdoa setiap hari setelah shalat ashar. Dan ritual Tabut itu akan ditutup pada

hari ke 13 Muharram, yaitu ritual cuci penja, penja yang telah digunakan

395

Syiafril, Buku Putih Tabubencoolen 396

Linda Astuti, ‚Pemaknaan Pesan pada Upacara Ritual Tabot (Studi pada Simbol-

Simbol Kebudayaan Tabot di Provinsi Bengkulu).‛ 24. 397

Wawancara, Jum, Masyarakat, 15 Juli 2017. 398

Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 399

Rifanto Bin Ridwan, ‚Tabot Festival of Bengkulu and Local Wisdoms.‛ Jurnal

Academic Journal of Islamic Studies, Vol. 1 No. 2, (2016): 155. 400

Wawancara, Samsinar, Pengikut Tabut, 04 Juli 2017.

Page 79: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

79

tersebut, dicuci kembali dan disimpan sampai ritual Tabut berikutnya.401

Pengikut tabut secara konsisten melakukan rangkaian prosesi dari ritual Tabut

dengan serius. Kegiatan ini juga selalu dipimpin oleh ketua KKT yang memang

dipercayai untuk memimpin setiap prosesi.

C. Realitas Tabut: antara Ritual dan Komoditas Wisata

Menurut Feener, perkembangan tradisi Tabut memiliki beberapa masalah yang

terkait dengan implikasi signifikan bagi identitas komunitas lokal dan elaborasi

budaya politik Orde Baru402

di Indonesia.403

Tabut merupakan tradisi yang

dikembangkan dalam rangka memberikan gambaran atas masyarakat Bengkulu

sehingga tradisi tersebut mengalami berubahan baik bentuk maupun isi.404

Tabut

lebih sering ditekankan pada aspek budaya lokal sebagai perwujudan dari

kekayaan Nasional daripada tradisi yang mencerminkan nilai-nilai keislaman.405

Sejak 1990, upacara ini dijadikan agenda wisata Kota Bengkulu, yang lebih

dikenal sebagai Festival Tabut.406

Pada masa Orde Baru, Tabut dipisahkan dari nilai-nilai yang bersifat religius.

Hal tersebut dikatakan oleh Gubernur Bengkulu Razie Jachya pada tahun 1992

bahwa Tabut tidak dicampuradukkan dengan agama karena Tabut bukan

upacara keagamaan hanya sebagai pelestarian budaya lokal.407

Menurut Rustam,

dalam memaknai Tabut haruslah dipandang sebagai budaya yang berdiri sendiri

tanpa unsur religius didalamnya. Hal tersebut dikarenakan jika ritual Tabut

dimaknai dalam konteks budaya dan agama sekaligus hanya memunculkan sifat

syirik dari ritual tersebut.408

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Binsar yang

mengatakan bahwa Tabut memiliki ritual khusus yang cukup dipandang sebagai

ritual budaya, bukan sebagai ritual agama.409

401

Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017. 402

Menurut Buyung Asril, Tabut Pembangunan pada masa Orde Baru berfungsi untuk

menampilkan kesuksesan pembangunan dalam pameran pembangunan. Wawancara,

Buyung Asril, PNS, 07 Juli 2017. Lebih lanjut menurut Irwan Abdullah, pengingkaran

terhadap status kebudayaan yang beragam itu dapat menjauhkan dari sifat Bhinneka

Tunggal Ika. Hal ini sudah pemah diterapkan (pada masa pemerintahan Orde Baru)

dengan menerapkan ideologi pembangunan yang mementingkan homogenitas, yang

dengan prakondisi ini diharapkan pembangunan akan berlangsung dengan baik. Namun

faktanya, pengingkaran terhadap keragaman budaya itu justru menimbulkan berbagai

instabilitas sosial-budaya, politik, ekonomi dan keamanan di masyarakat. Lihat

Sirajuddin M, ‚Urf dan Budaya Tabot Bengkulu.‛ Jurnal Millah, Vol. XI, No. 2,

(Februari 2012): 581-582. 403

Michael Feener, ‚Tabut: Muharram Observances in the History of Bengkulu.‛ 105. 404

Michael Feener, ‚Tabut: Muharram Observances in the History of Bengkulu.‛ 109. 405

Michael Feener, ‚Tabut: Muharram Observances in the History of Bengkulu.‛ 110. 406

Endang Rochmiatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma

Dekonstruksi.‛ 49-50. 407

Michael Feener, ‚Tabut: Muharram Observances in the History of Bengkulu.‛ 109. 408

Wawancara, Rustam Effendi, pengurus Ketua I KKT, 24 Juli 2017. 409

Wawancara, Binsar, Kemendikbud Provinsi Bengkulu, 18 Juli 2017.

Page 80: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

80

Ritual Tabut dikatakan mengalami desakan dari otonomi daerah, pariwisata, dan

otoritas pemerintahan. Karena pandangan terhadap bentuk, fungsi, serta makna

dari ritual Tabut di Bengkulu hanya menggunakan makna tunggal bukan makna

majemuk. Seharusnya ritual Tabut dapat ditafsirkan berbeda-beda sesuai tempat

dan waktu yang berlainan karena bagaimanapun Tabut selalu memuat sifat-sifat

dan makna yang berakar pada konteks sosio-kultural.410

Fenomena sosial budaya lainnya adalah kuatnya kecenderungan pergeseran

ritual Tabut dari ritual sakral ke seni pertunjukkan yang dikategorikan sebagai

pseudoritual yang bercirikan/ditandai oleh adanya distorsi nilai-nilai ritual.

Seiring dengan itu muncullah tontonan yang bersifat (semi) sekuler, di satu sisi

aspek ritualnya mulai tergerus, tetapi di sisi lain ia belum bisa dikategorikan

sebagai seni yang komersial.411

Meski begitu, hal tersebut dapat dipahami ketika

definisi kebudayaan ketika diperluas untuk mencakup industri budaya (termasuk

pariwisata) menjadi sarana untuk menghasilkan pendapatan dan menciptakan

lapangan kerja serta alat bagi masyarakat membangun dan meningkatkan

kualitas hidup rakyat.412

Sementara itu menurut Rustam, pemerintah mendukung pelestarian Tabut

sebagai komoditas budaya. Pada mulanya, Tabut sakral dan Tabut Pembangunan

berada dalam satu naungan yang sama yaitu Kerukunan Keluarga Tabut (KKT).

Keluarga Kerukunan Tabut dibentuk pada tahun 1993 oleh para tokoh-tokoh

Tabut. Ide itu sudah muncul sejak awal tahun 1991, ketika para perwakian dari

Provinsi Bengkulu diundang ke Jakarta untuk menampilkan seni budaya yang

dimiliki, saat itu Bengkulu menampilkan Tabut dengan alat musik Dol.413

Namun, sejak Desember 2015 Tabut terpecah menjadi dua,414

Tabut sakral yang

dikelolah oleh KKT dan Tabut Pembangunan yang dikelolah oleh Kerukunan

Tabut Budaya (Ketab) karena keduanya mempunyai visi dan misi yang berbeda

dalam memandang Tabut. Hal tersebut juga dikarenakan isu yang berkembang

jika dalam melaksanakan kegiatan ritual Tabut, pengikut Tabut menggunakan

dana swadaya masyarakat, yang tidak dibenarkan oleh pemerintah.415

Menurut Nelly, bahwa kemunculan Tabut Pembangunan berawal dari

permasalahan yang terjadi antara pengikut Tabut itu sendiri, mereka yang

masing-masing mengklaim sebagai keturunan dari Syech Burhannudin (Imam

Senggolo) ingin menjadi pelaksana dari ritual Tabut karena dengan demikian

410

Endang Rochmatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu Paradigma

Dekonstruksi.‛ 50. 411

Harapandi Dahri, Tabot Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu (Jakarta: Penerbit

Citra, 2009), 51. 412

Tod Jones, Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia Kebijakan Budaya Selama Abad ke-20 (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), 28. 413

Harapandi Dahri, Tabot Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu (Jakarta: Penerbit

Citra, 2009), 101. 414

Wawancara, Ahmad Syafril, Ketua KKT, 1 Agustus 2017. 415

Wawancara, Rustam Effendi, Pengurus KKT, 24 Juli 2017.

Page 81: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

81

mereka akan memperoleh bantuan dana dari pemerintah.416

Menurut ketua

Kerukunan Tabut Budaya menjelaskan bahwa terpisahnya Tabut sakral yang

berada dibawa naungan Keluarga Keturunan Tabut dengan Tabut pembangunan

yang masuk dalam Kerukunan Tabut Budaya karena adanya indikasi syirik417

dalam ritual Tabut dan kuatnya aliran Syi’ah di dalamnya. Kondisi tersebut

menjadi salah satu alasan yang akhirnya membuat mereka memisahkan diri.

Kerukunan Tabut Budaya hanya menjalankan malam Tabut besanding dan

Tabut tebuang.418

Secara umum Tabut pembangunan memiliki tujuan untuk membantu

perekonomian masyarakat dengan diadakannya bazar selama kegiatan acara

Tabut diselenggarakan. Pemerintah mengharapkan melalui bazar tersebut,

masyarakat di luar Bengkulu akan berkunjung sehingga mengetahui tentang

Bengkulu. Tabut pembangunan juga bertujuan untuk menggambarkan

perkembangan pembangunan di Bengkulu.419

Tabut pembangunan di

selenggarakan dalam bentuk festival Tabut karena pemerintah memandang

Tabut sakral sebagai atraksi budaya.420

Salah satu yang menarik dari festival Tabut421

adalah adanya perlombaan

telong-telong, yaitu patung-patung besar yang berbentuk ikan, macan, burung,

ataupun bentuk-bentuk hewan lainnya. Menurut ketua KKT, dahulu patung-

patung tersebut muncul untuk menyambut bulan Tabut. Kemunculannya juga

sebagai simbolisasi bahwa seluruh mahluk hidup yang ada ikut berduka dan

menangisi wafatnya Husein. Namun dalam perkembangannya, masyarakat

Tiong Hoa ikut memeriahkan kegiatan Tabut sehingga muncullah telong-telong

hingga saat ini.422

Pada tahun 1990-an pemerintah memiliki agenda pariwisata untuk setiap daerah.

Tabut pembangunan terpilih menjadi even nasional.423

Kehadiran Tabut

416

Nelly Marhayati, ‚Dinamika Kelompok Minoritas dalam Mempertahankan Tradisi

Studi pada Keluarga Kerukunan Tabot di Bengkulu.‛ 20. 417

Sebagian masyarakat ada yang beranggapan syirik karena adanya sesaji yang terdapat

dalam ritual Tabut, selanjutnya seringnya terjadi kesurupan ketika prosesi ritual Tabut

berlangsung. Walaupun didalam ritual Tabut juga ada doa-doa secara Islami, namun

tetap saja ritual tersebut identik dengan pemujaan. Wawancara, Yanhar Hamedi,

Masyarakat, 04 Juli 2017. 418

Wawancara, Idramsyah, Ketua Kerukunan Tabut Budaya, 19 Juli 2017. 419

Wawancara, Dihwanto, Pegawai Negeri Sipil, 13 Juli 2017. 420

Wawancara, Buyung Asril, Pegawai Negeri Sipil, 07 Juli 2017. 421

Acara festival Tabut berlangsung dari tanggal 2 Oktober sampai dengan 9 Oktober

2016, acara tersebut dilakukan di panggung utama yang berada berlokasi View Tower

Bengkulu. Pembukaan acara festival Tabut 2016 di Kota Bengkulu bermacam acara

diselenggarakan seperti lomba tari kreasi Tabut, lomba musik dhol, lomba tari Melayu,

lomba tari permainan rakyat/ikan-ikan, lomba telong-telong (hiasan lampu dengan

bentuk karakter) yang diikut kesenian Bengkulu dan masyarakat Bengkulu. 422

Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017. 423

Wawancara, Buyung Asril, Pegawai Negeri Sipil, 07 Juli 2017.

Page 82: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

82

pembangunan pada dasarnya untuk membedakan dengan Tabut sakral. Melalui

Tabut pembangunan dapat memunculkan dinamika ekonomi, dinamika ukhuwah

persaudaraan, dan penghargaan terhadap kearifan lokal.424

Eksistensi Tabut pembangunan tersebut, dapat dipahami dengan kearifan lokal

dalam penjelasan pasal 32 UUD 1945 yang menjelaskan bahwa usaha

kebudayaan harus menuju kearah kemajuan, adab, budaya, dan persatuan,

dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat

memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan sendiri, serta mempertinggi

derajat kemanusian bangsa.425

Menurut anggota KKT, Tabut pembangunan merupakan Tabut perhiasaan yang

berfungsi untuk memeriahkan rangkaian kegiatan tersebut. Tabut pembangunan

juga tidak melakukan ritual seperti Tabut sakral, sehingga bangunan Tabut

tersebut dapat dibuang dimana saja ataupun disimpan dan digunakan kembali

ketika kegiatan Tabut berikutnya.426

Dalam kegiatan Tabut pembangunan tidak

hanya melibatkan Dinas Pariwisata tetapi juga Dinas Pendidikan dan

Kebudayaan yang berpartisipasi dalam melestarikan adat dan tradisi.427

D. Makna Budaya dalam Ritual Tabut

Menurut Catherine Bell, gagasan tentang ritual pertama kali muncul pada abad

kesembilan belas di Eropa.428

Sejak saat itu, pemaknaan ritual semakin beragam

namun tetap berkaitan dengan budaya dan agama. Meski begitu, ritual lebih

dipandang sebagai fenomena sosial sebagai konstruksi simbolis yang berkaitan

dengan pengalaman manusia.429

Menurut George Marcus dan Michael Fisher,

ritual dapat dimaknai secara sistematis dan interpretatif berdasarkan

pengalaman. Oleh karena itu, ritual sebagai bidang penelitian ilmiah

memerlukan sebuah disiplin, salah satunya adalah disiplin komunikasi.430

Menurut Littlejohn, komunikasi antara individu atau kelompok sosial dapat

terjadi melalui tradisi. Salah satunya melalui tradisi kultural. Tradisi kultural

adalah tradisi yang mengkaji tentang makna dan nilai suatu kelompok sosial dan

bagaimana makna serta nilai tersebut terartikulasikann dalam simbol-simbol

yang digunakan. Dengan demikian, suatu tradisi dapat dikaji dalam konteks

komunikasi.431

Komunikasi yang terjadi didalam ritual dapat dipahami sebagai

suatu upacara sakral (sacred ceremony) dari sekumpulan individu-individu yang

424

Wawancara, Rohimin, Ketua MUI, 17 Juli 2017. 425

Darwis Muhdina, ‚Kerukunan Umat Beragama Berbasis Kearifan Lokal di Kota

Makassar.‛ Jurnal Diskursus Islam, Vol. 3, No. 1, (2015), 28. 426

Wawancara, Samsinar, Pengikut Tabut, 04 Juli 2017. 427

Wawancara, Firman, Pegawai Negri Sipil, 31 Juli 2017. 428

James W Carey, Communication as Culture: Essays on Media and Society (New York

dan London: Routledge, 2009), 13. 429

Catherine Belle, Ritual Theory Ritual Practice (New York: Oxford University Press,

2009), 14-15. 430

Catherine Belle, Ritual Theory Ritual Practice, 16. 431

Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif (Yogyakarta: LKiS, 2007), 14-15.

Page 83: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

83

secara bersama dan berkelompok melaksanakan doa, bernyanyi, dan

seremonialnya.432

Pendekatan komunikasi Islam secara umum berfungsi untuk memberi manfaat

untuk seluruh manusia. Menurut Mohd. Yusof Hussain, komunikasi Islam

merupakan proses menyampaikan atau pertukaran pesan dengan menggunakan

prinsip dan kaidah komunikasi yang terdapat dalam alquran dan Hadis yang

sering dipahami sebagai dakwah.433

Dakwah adalah usaha peningkatan

pemahaman keagamaan untuk mengubah pandangan hidup, sikap batin dan

perilaku umat sesuai dengan ketentuan syariat untuk memperoleh kebahagiaan

hidup di dunia dan akhirat.434

Menurut Hamid Mowlana, karena proses interaksi dalam komunikasi agama

berdasarkan pada etika agama dan etika sekuler dari luar agama yang bersifat

normatif, maka komunikasi Islam yang memiliki fungsi untuk menciptakan

keteraturan dalam masyarakat harus berdasarakan prinsip tauhid dan 'amr bi al-ma'ru>f wa nahy 'an al-munkar.435

Hubungan ritual dengan komunikasi dapat dipahami melalui definisi komunikasi

yang berarti ‘berbagi, partisipasi, asosiasi, dan keterkaitan terhadap kepercayaan

yang sama.’ Atas dasar definisi tersebut, ritual dapat dipahami sebagai

representasi pemeliharaan terhadap kepercayaan yang sama, bukan sebagai

proses transmisi informasi, pesan, atau nilai semata. Karena itu, ritual sering

ditampilkan sebagai upacara/ritual sakral yang dilaksanakan oleh kelompok

sosial tertentu.436

Menurut Emile Durkheim, ritual telah menjadi fenomena sosial yang memiliki

potensi dalam pembentukkan dan penguat hubungan sosial manusia. Selain itu,

ritual merupakan tindakan relasional yang memungkinkan terjadinya

komunikasi sekaligus berfungsi sebagai alat penghindar konflik.437

Berbicara mengenai ritual Tabut di Bengkulu telah banyak menghasilkan

beberapa penelitian dari berbagai perspektif. Poniman dalam Nelly Marhayati

menambahkan bahwa Tabut hanya dianggap sebagai ritual kebudayaan.

432

Petrus Ana Andung, ‚Perspektif Komunikasi Ritual Mengenai Pemanfaatan Natoni

Sebagai Media Komunikasi Tradisional dalam Masyarakat Adat Boti dalam di

Kabupaten Timur Tengah Selatan, Propinsi Nusa Tenggara Timur.‛ Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 8, Nomor 1, (Januari - April 2010): 4. 433

Zulkiple ABD Ghani, Islam Komunikasi dan Teknologi Maklumat (Kuala Lumpur:

Utusan Publications and Distributors Sdn Bhd, 2003), 3. 434

M Anis Bachtiar, ‚Dakwah Kolaboratif: Model Alternatif Komunikasi Islam

Kontemporer.‛ Jurnal Komunikasi Islam, No. 1, Vol. 3, (Juni 2013): 153. 435

Hamid Mowlana, ‚Foundation of Communication in Islamic Societies‛ dalam Jolyon

Mitchell dan Sophia Marriage (ed), Mediating Religion Conversations in Media, Religion and Culture (New York: T&T Clark Ltd, 2003), 310-312. 436

James W Carey, Communication as Culture: Essays on Media and Society (New York

dan London: Routledge, 2009), 15. 437

Daniel Z Kahar, Relational Rituals and Communication: Ritual Interaction in Groups

(New York: Palgrave Macmillan, 2013), 6.

Page 84: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

84

Alasannya, penganut aliran Suni di Indonesia telah mengenal tradisi-tradisi yang

berkaitan dengan hari Asyura (10 Muharram), khususnya bagi masyarakat

Bengkulu sebagai local indigenous. Hal tersebut menunjukkan adanya

pergeseran makna ritual Tabut dan adanya akulturasi dari teologi Syiah dan

tradisi Islam masyarakat Bengkulu.438

Hal tersebut, seperti diungkapkan oleh

Rizqi Handayani, meskipun ritual Tabut merupakan versi lain dari tradisi

Takziyah yang dilakukan oleh kalangan Syi'ah di wilayah Asia Selatan (India).

Namun karena ritual tersebut telah dilaksanakan dari generasi ke generasi di

Bengkulu, sehingga dianggap sebagai warisan kebudayaan Bengkulu tanpa

kebudayaan Syiah didalamnya.439 Menurut Chiara Formichi dan Feener, fungsi

dari ritual Tabut adalah untuk mengajarkan nilai-nilai kebudayaan sekaligus

mengaplikasikannya dalam batas-batas yang berbeda. Atas dasar tersebut maka

wajar apabila nilai ajaran Syiah yang ada dalam ritual Tabut tereduksi menjadi

nilai-nilai kebudayaan.440

Seperti telah diketahui, penyebaran Islam ke Nusantara menunjukkan akomodasi

terhadap budaya atau tradisi. Sehingga Islam dianggap sebagai agama yang

memainkan peran penting dalam transformasi kebudayaan di Nusantara. Hal ini

menunjukkan bahwa karakter penyebaran Islam awal di Nusantara yang bersikap

akomodatif terhadap tradisi atau budaya masyarakat setempat tanpa

memberantas praktik-praktik lokal masyarakat.441

Berbicara mengenai interaksi agama dan budaya dalam rangka

mengimplementasikan nilai religius keagamaan ke dalam muatan lokal budaya,

maka setidaknya akan muncul tiga bentuk interaksi. Pertama, terjadi benturan

antara agama dan budaya. Kedua, adanya kompromi antara agama dan budaya.

Seperti penerimaan agama hanya sebatas simbol adapun substansi berupa

kepercayaan terhadap leluhur tetap dijaga. Ketiga, mengambil bentuk hibriditas.

Artinya menerima agama sebagian saja, sisanya tradisi setempat.442

Menurut Russel, adanya kemungkinan akulturasi timbal balik antara Islam dan

budaya lokal diakui dalam suatu kaidah atau ketentuan dasar dalam ilmu us}ul al fiqh, bahwa ‚adat itu dihukumkan‛ (al-‘a>dah muh}akkamah) atau, lebih

lengkapnya, ‚adat adalah syari’ah yang dihukumkan‛ (al-‘a>dah shari’ah muh}akkamah) artinya adat atau kebiasaan suatu masyarakat, yaitu budaya

lokalnya adalah sumber hukum dalam Islam.443

Dalam perspektif ini komunikasi

438

Nelly Marhayati, ‚Dinamika Kelompok Minoritas dalam Mempertahankan Tradisi

Studi pada Keluarga Kerukunan Tabot di Bengkulu.‛ (2016): 14-15. 439

Rizqi Handayani, ‚Dinamika Kultural Tabot Bengkulu.‛ 252. 440

Chiara Formichi R dan Michael Feener, Shi'ism in Southeast Asia: 'Alid Piety and Sectarian Constructions (New York: Oxford University Press, 2015) 198-199. 441

Muhammad Harfin Zuhdi, ‚Dakwah dan Dialektika Akulturasi Budaya.‛ Religia Vol.

15 No. 1, (April 2012): 53. 442

Muhammad Harfin Zuhdi, ‚Dakwah dan Dialektika Akulturasi Budaya.‛ Religia Vol.

15 No. 1, (April 2012): 52-53. 443

Ridwan Tohopi, ‚Tradisi Perayaan Isra’ Mi’raj dalam Budaya Islam Lokal

Masyarakat Gorontalo.‛ Jurnal el Harakah, Vol. 14, No. 1, 2012, 139.

Page 85: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

85

Islam merupakan proses penyampaian atau tukar menukar informasi yang

menggunakan prinsip dan kaedah komunikasi dalam al-Qur’an.444

Feener menambahkan dalam Zulkifli bahwa dalam konteks ritual Tabut tidak

mengandung nilai ideologis ataupun ajaran Syi’ah.445

Hal tersebut menurut

Endang Rochmiatun disebabkan oleh desakan otonomi otonomi daerah,

pariwisata, dan otoriter pemerintahan terhadap eksistensi ritual Tabut.446

Sedangkan menurut ketua MUI Bengkulu, Rohimin menjelaskan bahwa perlu

adanya peninjauan kembali mengenai asal usul ritual Tabut, karena pengikut

Tabut sendiri tidak memahami tentang ajaran Syiah, secara historis pun belum

ditemukan sumber kuat yang menyatakan ritual tersebut berasal dari tradisi

aliran Syiah.447

Menurut Gumay ritual Tabut sebenarnya dapat berkembang menjadi sifat kultus

individu yang berlebihan yang pada prinsipnya tidak cocok dengan falsafah

Pancasila. Sedangkan dilihat dari sudut kebudayaan daerah dan kebudayaan

bangsa Indonesia pada umumnya, ritual Tabut merupakan salah satu bentuk

kesenian daerah yang memiliki tempat tersendiri dalam agenda kekayaan

budaya bangsa Indonesia.448

Sementara menurut Yulianti, secara umum, ada tiga nilai yang terkandung

dalam pelaksanaan ritual Tabut, yaitu: nilai Agama (sakral), sejarah, dan sosial.

Nilai-nilai Agama (sakral) dalam ritual Tabut salah satunya proses mengambik tanah mengingatkan manusia akan asal penciptaannya. Kedua, terlepas dari

adanya pandangan bahwa ritual Tabut mengandung unsur penyimpangan dalam

akidah, seperti penggunaan mantera-mantera dan ayat-ayat suci dalam prosesi

mengambik tanah, namun esensinya adalah untuk menyadarkan kita bahwa

keberagamaan tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai budaya setempat. Dan

ketiga, pelaksanaan Upacara Tabut merupakan perayaan untuk menyambutan

tahun baru Islam.449

Menurut Linda Astuti ritual Tabut merupakan tradisi yang

turun temurun dilaksanakan dan menjadi aset daerah. Ritual ini dilakukan

dengan sembilan ritual, dimana masing-masing ritual sarat dengan pesan dan

makna yang mengandung arti dan menceritakan sebuah sejarah atau kisah.450

444

Fitri Yani, ‚Pola Komunikasi Islam terhadap Tradisi Heterodoks (Studi Kasus Tradisi

Ruwatan).‛ Jurnal Analisis, No. 13, Vol. 1, (2017): 214. 445

Zulkifli, ‚Kesalehan ‘Alawi dan Islam di Asia Tenggara.‛ Studia Islamika, Vol. 23,

No. 3, (2016): 616. 446

Endang Rochmiatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma

Dekonstruksi.‛ 50. 447

Wawancara, Rohimin, Ketua MUI Bengkulu, 17 Juli 2017. 448

Syuplahan Gumay, ‚Tradisi Tabot Sebagai Medium Pemersatu Masyarakat Kelurahan

Berkas Kecamatan Kota Bengkulu.‛ Jurnal Akses, No.8, Vol. 1, (2011): 89. 449

Yulianti, ‚Upacara Religi dan Pemasaran Pariwisata di Provinsi Bengkulu.‛ Jurnal

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 5, No. 3, (2016): 190. 450

Linda Astuti, ‚Pemaknaan Pesan pada Upacara Ritual Tabot (Studi pada Simbol-

Simbol Kebudayaan Tabot di Provinsi Bengkulu).‛ 24.

Page 86: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

86

Menurut Hendra Nasution, secara simbolik, ritual Tabut mempunyai makna

religius dan pesan moral yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan

bermasyarakat. Namun makna tersebut terus disempurnakan melalui proses

interaksi sehingga makna simbolik tersebut dapat berubah dari waktu ke

waktu.451

Ritual Tabut sebagai suatu ritual yang memiliki nilai-nilai menurut pandangan

masing-masing kelompok sosial dalam kehidupan masyarakat sehingga

menciptakan keragaman pemaknaan dalam memahami ritual tersebut. Kondisi

tersebut dapat dijadikan dasar untuk dilakukan suatu analisis mendalam untuk

mengungkapkan pemaknaan ritual Tabut sehingga diperoleh suatu pemikiran

untuk menyatukan kelompok sosial dalam keberagaman pemaknaan.

451

Hendra Nasution, ‚Tradisi dan Makna Simbolik Ritual Tabot pada Masyarakat Sipai

di Kota Bengkulu.‛ Jurnal Garak Jo Garik, Vol. 12, No. 1, (2016): 37-38.

Page 87: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

87

BAB IV

PEMAKNAAN RITUAL TABUT DALAM PERSPEKTIF KOMUNIKASI

Pada bab ini akan membahas keragaman pemaknaan ritual Tabut dalam

perspektif komunikasi dengan menggunakan teori meaning dari Gill Branston

dan Roy Stafford yang terdiri atas semiotik, struktural, dan denotasi-konotasi.

Analisis ini dimulai dengan bahasan ragam makna budaya dalam ritual Tabut,

selanjutnya menjelaskan tentang interpretasi budaya dalam pemaknaan ritual

Tabut, serta pemaknaan sebagai pola pemersatu komunikasi interpretasi budaya.

A. Ragam Makna Budaya dalam Ritual Tabut

Ritual Tabut sebagai kearifan lokal (local wisdom) merupakan bentuk nilai-nilai

religiusitas yang dianut oleh kelompok sosial melalui tatanan hidup. Karena

ritual merupakan komunikasi berupa pemaknaan tanda atas sistem kepercayaan

yang bersifat religius. Oleh sebab itu, ritual Tabut tidak dapat terlepas dari

sistem nilai dan sistem norma dari masyarakat Bengkulu secara umum. Ritual

Tabut seharusnya dipandang sebagai ritual yang memiliki unsur-unsur

keagamaan bukan sebagai ajaran inti keagamaan. Dengan demikian, pelaksanaan

ritual Tabut sebagai media dakwah untuk mensyiarkan nilai-nilai keislaman

sehingga apabila tidak dilaksanakan pun tidak menjadi permasalahan.

Kebudayaan selalu berkembang bahkan berevolusi karena adanya adaptasi,

asimilasi atau akulturasi dengan nilai budaya asing.452

Akulturasi disebabkan

proses kelompok sosial dihadapkan dengan pengaruh kebudayaan lain. Proses itu

terjadi dengan cara mengambil secara selektif, baik sedikit atau banyak unsur

kebudayaan asing itu, dan sebagian berusaha menolak pengaruh itu.453

Akulturasi hadir melalui percampuran budaya kelompok sosial yang hidup

bersama dengan budaya kelompok sosial lainnya.454

Baik dalam hubungan

perdagangan ataupun pemerintahan.455

Menurut Nelly Marhayati akulturasi yang terjadi dalam ritual Tabut dari asal

mula aspek teologi Syi’ah dan tradisi Islam masyarakat Bengkulu.456

Ritual

Tabut mengalami proses akulturasi karena dalam ritual tersebut terdapat

beberapa budaya lain, diantarnya budaya etnis India, etnis Melayu yang

menampilkan ‚Ikan-ikan‛ dan etnis Tionghoa melalui ‚Telong-telong.‛

452

Sumper Mulia Harahap, ‚Akomodasi Hukum Islam terhadap Kebudayaan Lokal

(Studi terhadap Masyarakat Muslim Padangsidimpuan).‛ Jurnal Hukum Islam, Vol. 15,

No. 2, (Desember 2016): 331. 453

Hedi Heryadi dan Hana Silvana, ‚Komunikasi Antarbudaya dalam Masyarakat

Multikultur.‛ Jurnal Kajian Komunikasi, Vol. 1, No. 1, (Juni 2013): 103. 454

Imam Amrusi Jailani, ‚Dakwah dan Pemahaman Islam di Ranah Multikultural.‛

JurnalWalisongo, Vol 22, No. 2, (November 2014): 415. 455

Hedi Heryadi dan Hana Silvana, ‚Komunikasi Antarbudaya dalam Masyarakat

Multikultur.‛ Jurnal Kajian Komunikasi, Vol. 1, No. 1, (Juni 2013): 96. 456

Nelly Marhayati, ‚Dinamika Kelompok Minoritas dalam Mempertahankan Tradisi

Studi pada Keluarga Kerukunan Tabot di Bengkulu.‛ 2016

Page 88: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

88

Ketiganya saling membaur satu sama lain. Hal tersebut menjadi bukti bahwa

masyarakat Bengkulu merupakan masyarakat multietnis yang harmonis.457

Menurut Hendra Nasution, akulturasi pada ritual Tabut juga terlihat dari alat-

alat yang digunakan seperti benda-benda khusus dan alat musik menunjukkan

benda lokal khas daerah Bengkulu.458

Atas dasar kenyataan diatas, proses interaksi yang terjadi antara kebudayaan

lokal dengan kebudayaan lain bersifat saling melengkapi dengan tetap

mempertahankan nilai-nilai kebudayaan dasar setempat. Seperti hal nya yang

terjadi dalam ritual Tabut menunjukkan adanya proses akulturasi, bukan sebatas

budaya yang diwariskan, dan pada akhirnya berpengaruh pada pemaknaan ritual

tersebut.

Terjalinnya ikatan emosional ritual Tabut dengan pengikutnya membuat ritual

tersebut terus terjaga. Menurut Syiafril, eksistensi ritual Tabut dapat bertahan

hingga saat ini bukan karena keyakinan dari pengikut Tabut yang mengatakan

jika ritual tersebut tidak dilaksanakan maka akan mengakibatkan musibah,

khususnya bagi mereka. Walaupun sebagian pengikut Tabut meyakini bahwa

ritual Tabut ini dapat mendatangkan keselamatan dan menjauhkan diri dari

malapetaka dan warisan nenek moyang yang memiliki nilai sosial sehingga perlu

dilestarikan. Lebih lanjut menurutnya, musibah dapat terjadi dimanapun dan

kapanpun, karena hal tersebut merupakan ketentuan dari Allah swt, sama sekali

tidak ada kaitannya dengan atau tidak dilaksanakannya ritual Tabut.459

Kelompok sosial sebagai pemilik budaya seharusnya juga memahami

pemaknaan yang terkandung didalam ritual Tabut. Terutama jika memaknai

ritual Tabut secara simbolik, harus dipahami makna dibalik simbol tersebut,

tidak dapat dipahami apa adanya.460

Hal tersebut diperkuat oleh pandangan

Rohimin yang menjelaskan bahwa statement tentang keharusan melaksanakan

ritual Tabut tidak dilakukan maka akan terjadi musibah, hanya suatu ajaran agar

komunitas melestarikan suatu tradisi, maka itu bukan makna yang sebenarnya,

melainkan makna simbolik agar ritual tersebut tetap dipertahankan.461

Karena

pada umumnya masyarakat mengatakan bahwa ritual Tabut dapat terus

457

Alfarabi, Alex Abdu Chalik, Rasiana Br Saragih, ‚Struktur Perayaan Tabut dalam

Mendukung Bauran Budaya.‛ Jurnal Idea, Vol. 6, No. 24, (Juni 2012): 9-10. 458

Hendra Nasution, ‚Tradisi dan Makna Simbolik Tradisi Tabot pada Masyarakat Suku

Sipai di Kota Bengkulu,‛ 22. 459

Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2016. Alasan lain

ritual Tabut tetap dipertahankan eksistensinya oleh pengikut Tabut karena beberapa

hadis yang berkaitan tentang Husain. Ibnu Majah dikutib oleh Alhusaini: ‚Hussain adalah dari-ku dan aku dari Hussain, ya Allah cintailah orang yang mencintai Husain.‛Al-Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah bersabda:‚

Hasan dan Husain adalah kembang mekarku di dunia ini.‛ Lihat Achmad Syiafril Sy,

Buku Putih the Tabubencoolen. At-Tarmizi dari Usman bin Zaid, Rasulullah bersabda:

keduanya adalah 460

Wawancara, Rohimin, Ketua MUI Bengkulu, 17 Juli 2017. 461

Wawancara, Rohimin, Ketua MUI Bengkulu, 17 Juli 2017.

Page 89: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

89

dilakukan karena ritual tersebut sama sekali tidak mengganggu keyakinan

masyarakat terhadap agama yang dianutnya.

Sebagai ritual yang menunjukkan dramatikal dengan rangkaian skenario.

Menurut Syiafril fungsi ritual Tabut adalah untuk mengenang dan berdoa untuk

semua yang syahid di Padang Karbala, khususnya Husain. Mengenang kejayaan

Islam yang pernah terjadi pada abad ke 7 dan 8. Menyambut tahun baru Hijriyah

serta memuliakan dan menghormati Ahlul Bait.462

Menurut Amril Chanras

dalam Syiafril menjelaskan bahwa dalam ritual Tabut terdapat pesan moral agar

tidak membuang keimanannya demi kekuasaan seperti Yazid.463

Ritual diperingati secara teratur berdasarkan waktu yang telah ditentukan

karena ritual tersebut dianggap penting. Lebih lanjut, hal tersebut terjadi karena

berbagai konsepsi tentang ritual yang memiliki makna-makna khusus. Dengan

demikian, ritual dapat dipahami sebagai nilai-nilai yang secara terus menerus

dijalankan dari generasi ke generasi berikutnya. Nilai-nilai tersebut akan terus

diterima jika sesuai dengan pandangan mereka.464

Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, terdapat dua ritual

penting yang harus mereka lakukan sebelum melakukan prosesi-prosesi yang

telah lazim diketahui oleh masyarakat pada umumnya, yaitu pertama, doa

mohon izin kepada Allah swt yang dilaksanakan di Mushala Kerabela pada

tanggal 28 atau 29 Dzulhijjah, diawali dengan shalat magrib, membaca Yassin,

tahlil, dan memohon izin untuk memulai prosesi ritual Tabut, ditutup dengan

shalat Isya. Kedua, melakukan doa mohon keselamatan kepada Allah swt yang

dilaksanakan pada tanggal 29 atau 30 Dzulhijjah. Doa tersebut dalam rangka

memohon kepada Allah swt agar terhindar dari malapetaka, baik yang datang

dari gunung, maupun dari laut. Setelah selesai berdoa, prosesi dilanjutkan ke

pantai Zakat dengan melepaskan sampan yang bermakna mengenang

kedatangan pembawa Tabut yang datang melalui jalur laut. Melalui dua prosesi

diatas yang intinya adalah berdoa menunjukkan bahwa sebagai manusia

memiliki keterbatasan sehingga mereka melibatkan sesuatu yang lebih besar

dari dirinya yaitu Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa ritual Tabut tidak hanya

sebagai bentuk penghormatan terhadap Husain tetapi juga penghormatan

terhadap Allah swt. Adapun tahapan-tahapan selanjutnya dari ritual Tabut,

antara lain:

- Simbol Mengambik Tanah Ritual ini dilakukan pada malam satu Muharram. Ritual diawali dengan doa dan

mengirimkan shalawat yang dipimpin oleh Ketua Keluarga Kerukunan Tabut.

Dalam ritual ini juga terdapat benda-benda yang terdiri atas bubur merah dan

bubur putih, gula merah, sirih, rokok, kopi, air serbat, dadih (susu sapi murni),

462

Achmad Syiafril Syahboeddin, Buku Putih Tabutbencoolen, 3. 463

Achmad Syiafril Syahboeddin, Buku Putih Tabutbencoolen, 12. 464

M Yamin Sani, ‚Erau: Ritual Politik dan Kekuasaan.‛ Jurnal Al-Qalam, Vol. 18, No.

2, (Juli-Desember 2012): 298.

Page 90: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

90

air cendana, air selasih.465

Fungsi benda-benda yang berupa makanan atau

minuman dalam suatu ritual secara simbolik mengacu pada kebutuhan dasar

manusia.466

Hal tersebut seperti yang dijelaskan oleh Syiafril bahwa fungsi dari

makanan dan minuman yang terdapat dalam ritual Tabut adalah untuk

dikonsumsi oleh pengikut Tabut setelah melakukan setiap prosesi dalam ritual,

bukan seperti yang dipahami selama ini sebagai sasajen untuk roh nenek

moyang.

Prosesi mengambik (mengambil) tanah dimulai dengan cara meletakkan dua

lembar kain kafan yang berbentuk persegi empat di permukaan tanah, diambilah

dua kepal tanah yang dilakukan secara bertahap, yang nantinya dibungkus dan

dimasukkan ke dalam baki yang dibalut kain berwarna kuning. Selanjutnya baki tersebut dibawah ke gergah di daerah Berkas. Ketika prosesi Tabut tebuang,

tanah tersebut dinaikkan ke dalam Tabut dan kemudian dikuburkan.467

Ritual mengambik tanah dianggap mempunyai makna magis sebagai simbol

jenazah Husain bin Ali. Tanah tersebut dibentuk dan dibungkus menggunakan

kain kafan. Tanah dalam ritual ini diambil dari tempat yang di anggap suci

ataupun sakral bukan yang dimaknai selama ini sebagai tempat yang keramat

serta mengandung unsur-unsur magis. Saat ini prosesi mengambik tanah di

lakukan di pantai Nala, di bawah Surau belakang Hotel Horizon. Pemindahan

tersebut disebabkan karena tempat yang sebelumnya dianggap sudah tidak suci

dan sakral.468

Kemudian tanah yang telah dibungkus tersebut di simpan di

Gergah.469

Secara mendasar prosesi ini dimaknai sebagai peringatan atau

mengenang kembali manusia yang pada awalnya diciptakan dari tanah dan

nantinya akan kembali menjadi tanah.470

Berdasarkan teori semiotik dari Peirce, trikotomi dalam prosesi mengambik tanah adalah sebagai berikut:

465

Harapandi Dahri, Tabot Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu (Jakarta: Penerbit

Citra, 2009), 89. 466

Jonathan A Draper, ‚Ritual Proces and Ritual Symbol in Didache.‛ Vigiliae Christianae, Vol. 54, No. 2, (2000): 147. 467

Achmad Syiafril Syahboeddin, Buku Putih Tabutbencoolen, 27. 468

Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017. Sebelumnya

pengambilan tanah dilakukan di Tapak Padri yang terletak di dekat Benteng

Marlborough dan Anggut, yang berada di pemakaman umum Pasar Tebek Endang

Rochmatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma

Dekonstruksi.‛ 51. 469

Sirajuddin M, ‚Urf dan Budaya Tabot Bengkulu.‛ Jurnal Millah, Vol. XI, No. 2,

(Februari 2012): 589-590. 470

Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017. Lihat juga

Person Pesona Renta, ‚Tabot Upacara Tradisi Masyarakat Pesisir Bengkulu.‛ Jurnal Sabda, No. 6, Vol. 1, (April 2011): 50.

Page 91: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

91

Bagan 4.1 Trikotomi Peirce pada prosesi mengambik tanah.

Tanah sebagai representament dalam trikotomi pertama menempati posisi

sebagai sinsign karena tanah ada secara aktual. Trikotomi kedua dalam prosesi

ini adalah dua kepal tanah sebagai object yang fungsinya sebagai symbol karena

menjadi tanda yang menggantikan representament berupa tanah dengan

berdasarkan konvensi atau kaidah serta harus dipelajari. Trikotomi ketiga yang

merupakan interpretant adalah asal mula manusia yang berasal dari tanah

kembali ke tanah, tanda tersebut muncul dengan melibatkan penafsir yang

mempunyai premis tertentu sehingga menyimpulkan pemaknaan atas tanah

maka posisinya sebagai argument. Prosesi mengambik tanah menyimbolkan kemunculan manusia yang berawal

dari tanah. Hal tersebut dapat terlihat melalui rangkaian kegiatan ritual ini yang

melibatkan kain putih dan tanah yang juga dilengkapi dengan bahan-bahan yang

telah ditentukan. Makna mengambik tanah adalah asal mula manusia yang

berasal dari tanah maka akan kembali ke tanah. Asal mula manusia merupakan

interpretant, yang menjadi representament adalah tanah, sedangkan yang

merupakan object adalah dua kepal tanah. Hubungan antara representament dan

object adalah symbol. Berdasarkan teori semiotik Peirce maka objek dalam ritual Mengambik Tanah

adalah dua kepal tanah yang ditandakan sebagai simbol asal mula manusia,

sehingga muncullah pemaknaan dalam ritual ini adalah manusia berasal dari

tanah dan akan kembali ke tanah.

- Simbol Duduk Penja Ritual Duduk Penja mulai dilaksanakan pada tanggal 4 dan 5 Muharram, ritual

ini dimulai pada sore hari pukul 16.00 WIB. Penja ialah benda yang terbuat dari

kuningan, perak atau tembaga yang berbentuk telapak tangan manusia lengkap

dengan jari-jarinya. Penja berarti tangan lima jari yang merupakan simbol salah

Page 92: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

92

Bagan 4.2 Trikotomi Peirce pada prosesi duduk penja.

satu the pilar of Islam (shalat lima waktu).471

Ritual ini dimulai dengan berdoa

dan mengirimkan shalawat. Selanjutnya Penja dicuci dengan jeruk limau dan

bunga melur (melati), ritual ini juga dilengkapi oleh benda-benda yang terdiri

atas, air serobat, susu murni, air kopi pahit, nasi kebuli, pisang emas dan tebu.

Setelah dicuci, Penja yang berjumlah 13 pasang itu ditegakkan secara

berpasangan, setelah itu Penja tersebut dimasukkan ke dalam Gergah, selama

prosesi ini berlangsung juga diiringi oleh musik Dhol. Keluarga Tabut meyakini bahwa penja itu mengandung magis, maka ia harus

dicuci terlebih dahulu pada setiap tahunnya sebelum ritual Tabut dilaksanakan.

Penja dicuci dengan air bunga dan air limau.472

Penja yang dianggap sebagai

benda keramat yang mengandung unsur magis, harus dicuci dengan air limau

setiap tahunnya.473

Menurut Syiafril, proses mencuci penja yang ada pada

prosesi duduk penja menyimbolkan membersihkan/menyucikan diri. Artinya, the pilar of Islam, dalam hal ini yang dimaksud adalah menjalankan shalat lima

waktu akan dapat terlaksana jika sebelumnya manusia menyucikan diri terlebih

dahulu yang dimulai dengan tangan.

Berdasarkan teori semiotik dari Peirce, trikotomi dalam prosesi duduk penja

adalah sebagai berikut:

471

Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017. 472

Rizqi Handayani, ‚Dinamika Kultural Tabot Bengkulu.‛ 246-247. 473

Endang Rochmiatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma

Dekonstruksi.‛ Jurnal Tamaddun, No. 14, Vol. 2, (2014): 51.

Page 93: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

93

Tangan sebagai representament dalam trikotomi pertama menempati posisi

sebagai sinsign karena secara aktual tangan itu ada. Trikotomi kedua dalam

prosesi ini adalah penja sebagai object yang fungsinya sebagai symbol karena

menjadi tanda yang menggantikan representament, berupa prosesi duduk penja

dengan berdasarkan konvensi atau kaidah serta harus dipelajari. Walaupun

dalam hal ini adalah tangan memiliki persamaan bentuk dengan penja.

Trikotomi ketiga yang merupakan interpretant adalah the pilar of Islam,

kehadiran tanda tersebut karena melibatkan penafsir yang mempunyai premis

tertentu sehingga menyimpulkan pemaknaan penja maka posisinya sebagai

argument. Prosesi duduk penja menyimbolkan the pilar of Islam. Hal tersebut dapat terlihat

melalui rangkaian kegiatan ritual ini yang menyusun 13 pasang penja dalam

posisi berdiri dengan dilengkapi dengan benda-benda pelengkap. Makna duduk penja adalah menegakkan the pilar of Islam. The pilar of Islam merupakan

interpretant, yang menjadi representament adalah tangan, sedangkan yang

merupakan object adalah penja. Hubungan antara representament dan object adalah icon.

- Simbol Menjara

Prosesi Menjara berlangsung pada malam hari, tanggal 5 dan 6 Muharram mulai

pukul 19.30 WIB. Pada malam tanggal 5 Muharram, kelompok Tabut Bansal

mengunjungi kelompok Tabut Imam sedangkan pada malam tanggal 6

Muharram, kelompok Tabut Imam mengunjungi kelompok Tabut Bansal.

Menjara adalah berkunjung atau mendatangi kelompok lain untuk bertanding

Dhol. Dhol dalam acara ini disimbolkan dengan genderang perang pasukan

Husain bin Ali ketika berperang di Padang Karbala.

Menjara disimbolkan sebagai perjalanan panjang di malam hari, untuk

melakukan silatuhrahmi atau konsolidasi.474

Mengenang perjalanan Husain dari

Madinah ke Kuffah, walaupun pada akhirnya ia tidak sampai ke Kuffah, hanya

sampai di Karbala. Dengan membawa panji-panji kebesaran, kalimat tauhid,

genderang peperangan melawan kebiadaban, genderang seni, genderang perang

melawan kebiadaban yaitu dua malam, karena itu peringatan perang.475

Berdasarkan teori semiotik dari Peirce, trikotomi dalam prosesi menjara adalah

sebagai berikut:

474

Person Pesona Renta, ‚Tabot Upacara Tradisi Masyarakat Pesisir Bengkulu.‛ Jurnal Sabda, No. 6, Vol. 1, (April 2011): 51. 475

Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017.

Page 94: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

94

Bagan 4.3 Trikotomi Peirce pada prosesi malam menjara

Arak-arakan sebagai representament dalam trikotomi pertama menempati posisi

sebagai sinsign karena arak-arakan ada secara aktual. Trikotomi kedua dalam

prosesi ini adalah menjara sebagai object yang fungsinya sebagai symbol karena

menjadi tanda yang menggantikan representament dengan berdasarkan konvensi

atau kaidah serta harus dipelajari. Trikotomi ketiga yang merupakan

interpretant adalah mengenang perjalanan panjang Husain ke medan

peperangan, tanda tersebut muncul dengan melibatkan penafsir yang

mempunyai premis tertentu sehingga menyimpulkan pemaknaan dari menjara

maka posisinya sebagai argument. Mengenang perjalanan Husain ke medan peperangan merupakan interpretant, yang menjadi representament adalah arak-arakan, sedangkan yang merupakan

object adalah menjara. Hubungan antara representament dan object adalah

symbol.

- Simbol Meradai Prosesi meradai dilaksanakan pada tanggal 6 Muharram yang dimaknai sebagai

pemberitahuan tentang wafatnya Husain, pemberitahuan itu bertujuan untuk

mengetahui siapa saja yang berduka dengan musibah ini dan siapa saja yang

peduli.476

Saat ini ritual tersebut ditunjukkan dengan kegiatan mengumpulkan

dana oleh Jola (bahasa Melayu yang artinya orang yang bertugas mengambil

dana untuk kegiatan kemasyarakatan) yang biasanya terdiri atas anak-anak

berusia 10-12 tahun.

Berdasarkan teori semiotik dari Peirce, trikotomi dalam prosesi meradai adalah

sebagai berikut:

476

Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017.

Page 95: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

95

Bagan 4.4 Trikotomi Peirce pada prosesi meradai

Meminta-minta sebagai representament dalam trikotomi pertama menempati

posisi sebagai sinsign karena kegiatan meminta-minta ada secara aktual.

Trikotomi kedua dalam prosesi ini adalah meradai sebagai object yang

fungsinya sebagai symbol karena menjadi tanda yang menggantikan

representament berupa kegiatan meminta-minta dengan berdasarkan konvensi

atau kaidah serta harus dipelajari. Trikotomi ketiga yang merupakan

interpretant adalah informasi wafatnya Husain, tanda tersebut muncul dengan

melibatkan penafsir yang mempunyai premis tertentu sehingga menyimpulkan

pemaknaan atas kegiatan meminta-minta maka posisinya sebagai argument. Prosesi meradai menyimbolkan informasi Husain wafat. Hal tersebut di

wujudkan dalam bentuk kegiatan meminta-minta yang saat ini dimaksudkan

untuk melihat siapa yang peduli terhadap eksistensi ritual Tabut dengan cara

memberi bantuan kepada pengikut Tabut. Informasi wafatnya Husain

merupakan interpretant, yang menjadi representament meminta-minta,

sedangkan yang merupakan object adalah meradai. Hubungan antara

representament dan object adalah symbol. Prosesi meradai kerap mengalami permasalahan dikarena adanya orang-orang

yang dengan sengaja menjadikan prosesi meradai sebagai alasan bagi mereka

untuk memperoleh bantuan/sumbangan dari masyarakat. Bahkan mereka

meminta-minta sebelum prosesi meradai dilaksanakan.

- Simbol Arak Penja (Jari-Jari)

Arak Penja atau yang lebih dikenal dengan sebutan arak jari-jari dilakukan pada

tanggal 7 Muharram pukul 19.30 malam. Malam arak penja dilaksanakan dengan

menempatkan Penja yang diletakkan di atas Tabut Coki, kemudian diarak dan

dikumpulkan di tempat yang telah ditentukan. Arakan tersebut melewati jalan-

Page 96: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

96

Bagan 4.5 Trikotomi Peirce pada prosesi arak penja

jalan utama di kota Bengkulu. Setiap kelompok Tabut mengirimkan 10 hingga

15 orang untuk mengikuti kegiatan tersebut. Pada umumnya ritual tersebut

dipahami sebagai pemberitahuan kepada masyarakat bahwa tangan Husain telah

ditemukan di Padang Karbala.477

Walaupun menurut Syiafril makna yang

sebenarnya adalah mengenang Husain dalam menegakkan kalimat tauhid, juga

dimaknai sebagai simbol lima huruf Sang Pencipta dan simbol shalat lima

waktu. Yang artinya sama sekali tidak berkaitan dengan tubuh Husain.

Berdasarkan teori semiotik dari Peirce, trikotomi dalam prosesi arak penja

adalah sebagai berikut:

Arak-arakan sebagai representament dalam trikotomi pertama menempati posisi

sebagai sinsign karena arak-arakan ada secara aktual. Trikotomi kedua dalam

prosesi ini adalah arak penja sebagai object yang fungsinya sebagai symbol karena menjadi tanda yang menggantikan representament berupa arak-arakan

dengan berdasarkan konvensi atau kaidah serta harus dipelajari. Trikotomi

ketiga yang merupakan interpretant adalah mensyiarkan the pilar of Islam, tanda

tersebut muncul dengan melibatkan penafsir yang mempunyai premis tertentu

sehingga menyimpulkan pemaknaan atas arak-arakan maka posisinya sebagai

argument. Arak penja menyimbolkan mengenang Husain. Hal tersebut di wujudkan dalam

bentuk arak-arakan. Mengenang Husain dalam mensyiarkan the pilar of Islam

merupakan interpretant, yang menjadi representament adalah arak-arakan,

sedangkan yang merupakan object adalah arak penja. Hubungan antara

representament dan object adalah symbol.

477

Person Pesona Renta, ‚Tabot Upacara Tradisi Masyarakat Pesisir Bengkulu.‛ Jurnal Sabda, No. 6, Vol. 1, (April 2011):51.

Page 97: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

97

Bagan 4.6 Trikotomi Peirce pada prosesi arak seroban

- Simbol Arak Seroban

Arak Seroban dilaksanakan pada tanggal 8 malam ke 9 Muharram, yakni

mempersiapkan Seroban untuk diarak bersama-sama Penja (Jari-Jari) pada

malam harinya. Arak seroban (mengarak sorban) atau disebut juga malam coki bersanding merupakan acara mengarak Penja ditambah dengan serban (sorban)

putih dan diletakkan pada tabut coki (tabut kecil). Tabut coki ini dilengkapi

dengan bendera/panji berwarna putih dan hijau atau biru yang bertuliskan nama

‚Hasan dan Husain‛ dengan kaligrafi Arab yang indah. Prosesi ini dilakukan

sebagai bentuk menjunjung tinggi kehormatan, kesucian, dan kebesaran

Husein.478

Sebagian lagi memaknai Arak seroban sebagai simbolisasi bahwa

sorban Husain telah ditemukan.

Arak Seroban sarat akan simbolisasi keislaman, di antaranya sorban atau

seroban yang melambangkan ajaran Islam, bahwa setiap pengikut Tabut

hendaklah memandang bahwa ajaran Islam harus dijunjung tinggi, dipedomani

dan dipatuhi. Selain itu, bendera panji mengandung arti kemenangan, untuk itu

setiap pasukan memiliki bendera panji yang senantiasa harus selalu ditegakkan,

karena jika bendera tersebut jatuh atau direbut lawan maka berarti pasukan

tersebut dinyatakan kalah. Sedangkan bendera berwarna hitam/biru dan hijau

merupakan perlambangan dari bendera Syi’ah dan bendera berwarna putih

perlambangan dari perdamaian.479

Berdasarkan teori semiotik dari Peirce, trikotomi dalam prosesi arak seroban

adalah sebagai berikut:

478

Achmad Syiafril Syahboeddin, Buku Putih The Tabubencoolen (Bekasi: PT Walaw

Bengkulen, 2016), 37. Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli

2017. 479

Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017.

Page 98: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

98

Seroban sebagai representament dalam trikotomi pertama menempati posisi

sebagai sinsign karena sorban ada secara aktual. Trikotomi kedua dalam prosesi

ini adalah arak seroban sebagai object yang berfungsi sebagai symbol karena

menjadi tanda yang menggantikan representament berupa sorban dengan

berdasarkan konvensi atau kaidah serta harus dipelajari. Trikotomi ketiga yang

merupakan interpretant adalah menjunjung tinggi kehormatan Husain, tanda

tersebut muncul dengan melibatkan penafsir yang mempunyai premis tertentu

sehingga menyimpulkan pemaknaan atas tanah maka posisinya sebagai

argument. Prosesi arak seroban sebagai simbol kehormatan Husain. Hal tersebut dapat

terlihat melalui rangkaian kegiatan ritual ini yang mengarak sorban diatas tabut

kecil yang dinamai coki yang juga dihiasi dengan bermacam bunga dan lampu

berwarna-warni. Makna arak seroban adalah kehormatan Husain yang harus

terus dijunjung tinggi. Menjunjung tinggi kehormatan Husain merupakan

interpretant, yang menjadi representament adalah sorban, sedangkan yang

merupakan object adalah arak seroban. Hubungan antara representament dan

object adalah symbol.

- Simbol Hari Gham

Gham berasal dari kata ‚ghum‛ yang berarti berdiam, tertutup atau terhalang.480

Gham adalah waktu yang tidak boleh ada kegiatan apapun atau disebut juga

masa tenang. Gham ini dilaksanakan pada tanggal 9 Muharam pada sore hari

Dalam proesi ini dilarang membunyikan musik Dhol hingga prosesi Tabut Naik

Puncak.481

Selama masa tenang, seluruh kegiatan yang berhubungan dengan

pembuatan Tabut dihentikan. Kegiatan selama masa tenang ini adalah

mengenang hari kematian Husain. Pada masa ini, keluarga Tabut menampilkan

suasana duka cita atau sedih, seolah-olah pada saat itu terjadi musibah

kematian. Prinsip kesedihan ini menunjukkan rasa solidaiitas dan rasa

kebersamaan sesama kaum Muslim.482

Dalam tradisi Syiah, secara historis ritual berkabung dalam rangka

memperingati kematian Husain diinisiasi oleh Zaynab yang merupakan saudara

perempuan Husain. Zaynab menceritakan kisah tragis Karbala melalui nyanyian

dan ratapan-ratapan kesedihan.483

Hal tersebut dilakukan untuk memberikan

480

Endang Rochmiatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma

Dekonstruksi.‛ Jurnal Tamaddun, Vol. 2, No. 14, (2014), 481

Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017. 482

Sirajuddin M, ‚Urf dan Budaya Tabot Bengkulu.‛ Jurnal Millah, Vol. XI, No. 2,

(Februari 2012): 591. 483

Mary Elaine Hegland, ‚Shi'Women's Rituals in Northwest Pakistan: The

Shortcomings and Significance of Resistance.‛ Antropological Quarterly, summer 2003,

76, 3, 415.

Page 99: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

99

Bagan 4.7 Trikotomi Peirce pada prosesi hari gham

gambaran dan latar belakang historis agar sarat emosi untuk kemudian diklaim

menjadi akar dari awal mula tradisi Ashura Syiah.484

Berdasarkan teori semiotik dari Peirce, trikotomi dalam prosesi gham adalah

sebagai berikut:

Berdiam diri sebagai representament dalam trikotomi pertama menempati posisi

sebagai qualisign karena berdiam diri adalah tanda meskipun tidak berwujud.

Trikotomi kedua dalam prosesi ini adalah hari gham sebagai object yang

fungsinya sebagai symbol karena menjadi tanda yang menggantikan

representament berupa berdiam diri yang berdasarkan konvensi atau kaidah serta

harus dipelajari. Trikotomi ketiga yang merupakan interpretant adalah

belasungkawa atas kematian Husain, tanda tersebut muncul dengan melibatkan

penafsir yang mempunyai premis tertentu sehingga menyimpulkan pemaknaan

atas hari gham maka posisinya sebagai argument. Belasungkawa merupakan interpretant, yang menjadi representament adalah

berdiam diri, sedangkan yang merupakan object adalah hari gham. Hubungan

antara representament dan object adalah symbol.

- Simbol Tabut Naik Puncak

Prosesi Tabut naik puncak merupakan prosesi menaikkan dan menyambungkan

bagian puncak Tabut dengan bagian bawah Tabut. Prosesi ini sebagai

simbolisasi menaikkan kejayaan gemilang Islam. Perlengkapan dalam prosesi ini

adalah kemenyan, daun setawar, daun sedingin, daun bunga melur, daun selasih,

484

Rachid Elbadri, Shia Rituals: The Impact of Shia Rituals on Shia Socio-Political

Character, Thesis, 35-41.

Page 100: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

100

Bagan 4.8 Trikotomi Peirce pada prosesi Tabut naik puncak

dan beras kunyit.485

Menurut Syiafril, ritual tersebut merupakan simbol kejayaan

Islam yang pernah terjadi antara abad ke 7 dan abad ke 13.486

Berdasarkan teori semiotik dari Peirce, trikotomi dalam ritual Tabut naik puncak adalah sebagai berikut:

Menaikkan bagian atas Tabut sebagai representament dalam trikotomi pertama

menempati posisi sebagai sinsign karena prosesi ini ada secara aktual. Trikotomi

kedua dalam prosesi ini adalah Tabut naik puncak sebagai object yang fungsinya

sebagai symbol karena menjadi tanda yang menggantikan representament

berupa menaikkan bagian atas Tabut dengan berdasarkan konvensi atau kaidah

serta harus dipelajari. Trikotomi ketiga yang merupakan interpretant adalah

kejayaan Islam, tanda tersebut muncul dengan melibatkan penafsir yang

mempunyai premis tertentu sehingga menyimpulkan pemaknaan atas menaikkan

bagian atas Tabut maka posisinya sebagai argument. Prosesi Tabut naik puncak menyimbolkan kejayaan Islam. Walaupun hal

tersebut digambarkan dengan menaikkan bagian atas Tabut yang juga

dilengkapi dengan benda-benda pelengkap seperti kemenyan, bunga melur (melati), kunyit. Kejayaan Islam merupakan interpretant, yang menjadi

representament adalah menaikkan bagian atas Tabut, sedangkan yang

merupakan object adalah Tabut naik puncak. Hubungan antara representament dan object adalah symbol.

- Simbol Arak Gedang dan Tabut Besanding

485

Achmad Syiafril Syahboeddin, Buku Putih the Tabubencoolen (Bekasi: PT Walaw

Bengkulen, 2016), 40. 486

Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017.

Page 101: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

101

Bagan 4.9 Trikotomi Peirce pada prosesi arak gedang dan Tabut besanding

Menurut Syiafril, setelah Tabut naik puncak, selanjutnya malam tabut

besanding. Tabut besanding dilaksanakan pada malam 10 Muharram, yang

diawali dengan mengarak sampai menuju tempat yang telah ditentukan dan

bangunan Tabut tersebut disusun. Proses mengarak itu yang disebut dengan

istilah arak gedang. Arak gedang dan Tabut besanding dimaknai sebagai

mengenang kejayaan Islam yang pernah terjadi pada abad VII sampai dengan

abad XIII.487

Berdasarkan teori semiotik dari Peirce, trikotomi dalam prosesi arak gedang dan

Tabut besanding adalah sebagai berikut:

Bangunan Tabut diarak dan disusun di suatu tempat sebagai representament dalam trikotomi pertama menempati posisi sebagai sinsign karena ada secara

aktual. Trikotomi kedua dalam prosesi ini arak gedang dan Tabut besanding

sebagai object yang fungsinya sebagai symbol karena menjadi tanda yang

menggantikan representament berupa kegiatan mengarak Tabut dan disusun ke

suatu tempat dengan berdasarkan konvensi atau kaidah serta harus dipelajari.

Trikotomi ketiga yang merupakan interpretant adalah kejayaan Islam, tanda

tersebut muncul dengan melibatkan penafsir yang mempunyai premis tertentu

sehingga menyimpulkan pemaknaan atas mengarak dan menyusun bangunan

Tabut maka posisinya sebagai argument. Prosesi arak gedang dan Tabut besanding menyimbolkan kejayaan Islam.

Walaupun hal tersebut tidak dapat tergambarkan secara langsung dalam ritual

tersebut. Kejayaan Islam merupakan interpretant, yang menjadi representament adalah bangunan Tabut diarak dan disusun di suatu tempat, sedangkan yang

merupakan object adalah arak gedang dan Tabut besanding. Hubungan antara

representament dan object adalah symbol.

487

Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017.

Page 102: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

102

- SimbolTabut Tebuang Waktu pelaksanaan prosesi Tabut tebuang pada 10 Muharram. Sebelum prosesi

tersebut dilaksanakan, Tabutdiarak menuju Kerabela. Sebelum diarak, seluruh

Tabutmelakukan soja terlebih dahulu kepada Tabut Imam dan Tabut Bansal.

Ketua KKT menyambut arak-arakan Tabut di pintu gerbang Kerabela. Setelah

itu arak-arakan Tabut menuju kompleks pemakaman Kerabela, dan di sini

dilaksanakan prosesi penyerahan Tabut kepada leluhur di makam Syahbedan

Abdullah (ayahanda Syech Burhanuddin).488

Prosesi Tabut tebuang merupakan

ekspresi membuang keburukan, membuang kesombongan, dan klimaksnya

membuang kebiadapan. Serta mengenang said di Padang Karbala.489

Juga

dimaknai sebagai membuang keegoisan manusia, setelah keegoisan itu dibuang,

maka manusia kembali bersih.490

Pada akhir acara, Tabut dibuang di rawa-rawa yang terletak di samping komplek

pemakaman itu. Dengan dibuangnya Tabut, maka berakhirlah ritual Tabut di

Bengkulu. Makna Tabut Tebuang menurut Kartomi merupakan seremoni untuk

mengantarkan Husein menuju surga.491

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, menurut Ketua KKT, dalam prosesi

Tabut Tebuang seharusnya Tabut dibuang didalam genangan air, namun

dikarenakan adanya drainase disekitar daerah Karabela sehingga tempat yang

terdapat genangan air itu sudah tidak ada lagi. Hal tersebut menunjukkan bahwa

dalam sebuah ritual, pemangku adat merupakan pihak yang berwenang untuk

menentapkan, menyertakan, ataupun mengubah elemen formal didalamnya, baik

berupa doa ataupun lainnya.492

Berdasarkan teori semiotik dari Peirce, trikotomi dalam prosesi Tabut tebuang

adalah sebagai berikut:

488

Endang Roichmatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma

Dekonstruksi,‛ Jurnal Tamaddun, No. 14, Vol. 2, 2014, 51. 489

Linda Astuti, ‚Pemaknaan Pesan pada Upacara Ritual Tabot (Studi pada Simbol-

Simbol Kebudayaan Tabot di Provinsi Bengkulu),‛ Jurnal Professional Fis Unived, No.

1, Vol. 3, Juni 2016, 24. 490

Wawancara, Jum, Masyarakat, 15 Juli 2017. 491

Kartomi J Margaret, ‚Muslim Music in West Sumatran Culture.‛ The World of Music, Vol. 28, No. 3, (1986): 28. 492

Theodore W Jennings, ‚On Ritual Knowledge.‛ The Journal of Religion, Vol. 62, No.

2, (April 1982): 256.

Page 103: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

103

Bagan 4.10 Trikotomi Peirce pada prosesi Tabut tebuang

Tabut dibuang dan dihancurkan sebagai representament dalam trikotomi

pertama menempati posisi sebagai sinsign karena ada secara aktual. Trikotomi

kedua dalam ritual ini adalah Tabut tebuang sebagai object yang fungsinya

sebagai symbol karena menjadi tanda yang menggantikan representament berupa Tabut yang dibuang dan dihancurkan dengan berdasarkan konvensi atau

kaidah serta harus dipelajari. Trikotomi ketiga yang merupakan interpretant adalah membuang kesombongan, tanda tersebut muncul dengan melibatkan

penafsir yang mempunyai premis tertentu sehingga menyimpulkan pemaknaan

atas tanah maka posisinya sebagai argument. Prosesi Tabut tebuang yang dimaknai menghancurkan kesombongan manusia.

Hal tersebut dapat terlihat melalui rangkaian kegiatan ritual ini dengan cara

membuang dan menghancurkan bangunan Tabut yang juga dilengkapi dengan

benda pelengkap. Membuang kesombongan merupakan interpretant, yang

menjadi representament adalah bangunan Tabut dibuang dan dihancurkan,

sedangkan yang merupakan object adalah Tabut tebuang. Hubungan antara

representament dan object adalah symbol.

- Simbol Cuci Penja

Ritual Tabut itu akan ditutup pada hari ke 13 Muharram, yaitu ritual cuci penja,

penja yang telah digunakan tersebut, dicuci kembali dan disimpan sampai ritual

Tabut berikutnya. Prosesi cuci penja dimaknai sebagai proses penyucian diri.

Manusia senantiasa harus terus menyucikan dirinya.

Berdasarkan teori semiotik dari Peirce, trikotomi dalam prosesi cuci penja

adalah sebagai berikut:

Page 104: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

104

Bagan 4. 11 Trikotomi Peirce pada prosesi mencuci penja

Mencuci penja sebagai representament dalam trikotomi pertama menempati

posisi sebagai sinsign karena ada secara aktual. Trikotomi kedua dalam prosesi

ini adalah cuci penja sebagai object yang fungsinya sebagai symbol karena

menjadi tanda yang menggantikan representament berupa cuci penja dengan

berdasarkan konvensi atau kaidah serta harus dipelajari. Trikotomi ketiga yang

merupakan interpretant adalah penyucian diri, tanda tersebut muncul dengan

melibatkan penafsir yang mempunyai premis tertentu sehingga menyimpulkan

pemaknaan atas cuci penja maka posisinya sebagai argument. Prosesi cuci penja menyimbolkan penyucian diri manusia. Hal tersebut dapat

terlihat melalui rangkaian kegiatan ritual ini yang melibatkan penja yang juga

dilengkapi dengan benda pelengkap. Penyucian diri merupakan interpretant, yang menjadi representament adalah mencuci penja, sedangkan yang merupakan

object adalah cuci penja. Hubungan antara representament dan object adalah

symbol. Tata aturan dalam arak-arakan ritual Tabut berfungsi sebagai pelengkap atau

penunjang dari kepentingan ritual tersebut. Selain itu, arak-arakan tersebut

merupakan penyajian simbolis dan memiliki makna yang berkaitan langsung

dengan peristiwa dimasa lalu tentang ditemukannya jasad Husain di tanah

Karbala. Berbagai aspek seni pertunjukan dalam prosesi arak-arakan tersebut,

baik keramaian, suara alunan alat musik, serta keindahan dari benda arak-arakan

yang mereka bawa. Adapun salah satu pendukung dalam pelaksanaan upacara

Page 105: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

105

Bagan 4.12 Trikotomi Peirce ritual Tabut menurut masyarakat

Tabut adalah musik Dhol, Tassa dan Seruling.493

Serta peranan alat musik dan

tarian dalam ritual Tabut tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena

semuanya merupakan unsur penting dalam ritual Tabut.

Selain dari prosesi arak-arakan, ada prosesi lain dalam ritual Tabut yang juga

wajib dilaksanakan yaitu soja. Soja merupakan kegiatan menghormati para

pemimpin. Soja mulai dilakukan pada malam menjara, malam arak penja, malam

arak seroban, malam arak gedang dan Tabut besanding hingga prosesi Tabut

tebuang.494

Berdasarkan analisis yang dilakukan dengan semiotik Peirce di atas, ritual Tabut

menunjukkan bahwa dalam pelaksanaannya memiliki sistem tanda yang saling

berkaitan dan tidak dapat dipisahkan, yaitu representament, interpretant, dan

object. Keterkaitan tersebut dijadikan landasan oleh pengikut Tabut untuk

membuat dan menentukan tanda berupa aturan-aturan yang harus ada atau yang

harus dijalankan dalam ritual Tabut. Meski demikian, fokus pemaknaan atas

tanda tersebut tidak terlepas dari penafsir sehingga memunculkan penafsiran

yang beragam.

Dalam pelaksanaannya, sebagian masyarakat menganggap ritual Tabut adalah

bid'ah. Selain itu ada juga yang menganggap budaya yang menghabiskan banyak

biaya (pemborosan).495

Pandangan masyarakat tentang pemaknaan ritual Tabut

juga beraneka ragam, ada yang memahami ritual tersebut hanya sebagai warisan

dari aliran Syi’ah, hiburan tahunan, ritual yang mengandung syirik, dan

merupakan budaya asli Bengkulu.

Berdasarkan teori semiotik dari Peirce, trikotomi dalam ritual Tabut secara utuh

adalah sebagai berikut:

493

Zely Marissa Haque, ‚Perkembangan Musik Dol di Kota Bengkulu.‛ Jurnal

EkspresiSeni, Vol. 166, No. 1, (Juni 2014): 157. 494

Achmad Syiafril Sy, Buku Putih Tabutbencoolen, Syafril, 40. 495

Wawancara, Yanhar Hamedi, Masyarakat, 04 Juli 2017.

Page 106: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

106

Bagan 4.13 Trikotomi Peirce ritual Tabut menurut Pemerintah

Budaya sebagai representament dalam trikotomi pertama menempati posisi

sebagai qualisign karena budaya adalah tanda meskipun tidak berwujud.

Trikotomi kedua dalam prosesi ini adalah ritual Tabut sebagai object yang

fungsinya sebagai symbol karena menjadi tanda yang menggantikan

representament yaitu budaya berdasarkan konvensi atau kaidah serta harus

dipelajari. Trikotomi ketiga yang merupakan interpretant adalah budaya aliran

Syi’ah, hiburan tahunan, ritual mengandung syirik dan budaya asli Bengkulu,

tanda tersebut muncul dengan melibatkan penafsir, dalam hal ini adalah

masyarakat yang mempunyai premis tertentu sehingga menyimpulkan

pemaknaan atas ritual Tabut maka posisinya sebagai argument. Hubungan

antara representament dan object adalah symbol. Berbeda dengan pemerintah Bengkulu yang memaknai ritual Tabut sebagai

budaya pariwisata Bengkulu yang bertujuan untuk mengembangkan

perekonomian daerah setempat.

Berdasarkan teori semiotik dari Peirce, trikotomi dalam ritual Tabut secara utuh

adalah sebagai berikut:

Budaya pariwisata sebagai representament dalam trikotomi pertama menempati

posisi sebagai qualisign karena budaya pariwisata adalah tanda meskipun tidak

berwujud. Trikotomi kedua dalam prosesi ini adalah ritual Tabut sebagai object yang fungsinya sebagai symbol karena menjadi tanda yang menggantikan

representament yaitu budaya pariwisata dengan berdasarkan konvensi atau

kaidah serta harus dipelajari. Trikotomi ketiga yang merupakan interpretant adalah budaya pariwisata yang bertujuan untuk mengembangkan perekonomian

di Bengkulu. Tanda tersebut muncul dengan melibatkan penafsir, dalam hal ini

Page 107: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

107

adalah masyarakat yang mempunyai premis tertentu sehingga menyimpulkan

pemaknaan atas ritual Tabut maka posisinya sebagai argument. Hubungan

antara representament dan object adalah symbol. Melihat adanya ragam interpretant dalam ritual Tabut yaitu pengikut Tabut,

pemerintah, dan masyarakat. Maka ditemukan tiga pemaknaan mendasar

menurut masing-masing kelompok sosial yang telah ditentukan sebelumnya,

antara lain:

1. Makna yang terbentuk oleh pengikut Tabut tentang ritual Tabut adalah

ritual yang sarat dengan nilai-nilai religiusitas terutama yang berkaitan

dengan perjuangan Husain dalam memperjuangkan kejayaan Islam.

Demi mempertahankan eksistensi ritual Tabut, peneliti melihat adanya

perkembangan makna yang dibentuk oleh pengikut Tabut dan

menciptakan makna-makna baru agar ritual ini tidak tergerus oleh

modernisasi.

2. Berdasarkan hasil temuan dari masyarakat Bengkulu, maka pemaknaan

ritual Tabut menurut masyarakat adalah sebagai tradisi yang dilakukan

setiap tahun untuk menyambut tahun baru Islam, menjadi hiburan bagi

masyarakat.

3. Berdasarkan hasil temuan dari pemerintah, maka pemaknaan ritual

Tabut menurut pemerintah dipandang sebagai agenda wisata yang

pelaksanaan termasuk dalam agenda tahunan pemerintah Bengkulu.

Pemerintah pun menghadirkan Tabut pembangunan yang difungsikan

untuk memeriahkan rangkaian acara kegiatan ritual Tabut, serta

menaikkan perekonomian di Bengkulu dengan adanya pasar malam dan

banyaknya pedagang-pedagang yang bermunculan selam kegiatan ini

berlangsung.

Kondisi tersebut, dalam pandangan Peirce dipahami sebagai unlimited semiosis.

Karena Interpretant akan terus berkembang membentuk representament baru

yang akan dimaknai kembali sehingga membentuk interpretant baru. Sehingga

makna ritual Tabut akan terus berkembang membentuk makna-makna baru.

B. Interpretasi Budaya: Pemaknaan Ritual Tabut

Menganalisa budaya sebagai sistem simbol berarti mengkonstruk bangunan

kultural yang muncul, dan kemudian dihubungkan secara sistematis dengan

peristiwa kehidupan yang aktual. Menurut Clifford Geertz, interpretasi terhadap

budaya menekankan pada interpretasi simbolik (sistem makna) yang berkaitan

dengan kebudayaan, perubahannya, dan studi kebudayaan. Alasannya,

kebudayaan merupakan cermin bagi manusia (Mirror of Man). Karenanya,

untuk memahami interpretasi budaya perlu cara berfikir dan tingkah laku yang

dipelajari.496

496

Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, 47.

Page 108: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

108

Tanda menurut Barthes, dapat dimaknai melalui sebuah pertandaan bertingkat

(signification) yang terdiri atas makna denotasi, konotasi, dan mitos.497

Untuk

itu, dalam perkembangan pemaknaan ritual Tabut juga diperlukan uraian makna

denotasi yang merupakan makna paling dasar. Sedangkan makna konotasi

diuraikan dengan menghubungkan antara perasaan, emosi, serta nilai-nilai dari

kebudayaan dimana kata tersebut digunakan. Sementara mitos diuraikan melalui

hubungan antara makna dan kebudayaan atau cara berpikir kelompok sosial.

Makna denotasi dari tanda merupakan makna yang menunjukkan perbedaan

aspek dari pengalaman manusia atau dunia. Seperti yang telah dijelaskan pada

bab sebelumnya, menurut Gill Branston dan Roy Stafford, setiap manusia

mempunyai makna konotasi yang berbeda dari tanda. Tergantung pada konsep

budaya dan nilai, yang didalamnya terdapat ingatan, pengalaman, dan

pengetahuan sejarah setiap manusia. Makna konotasi menggambarkan interaksi

yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi

penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya, ini terjadi tatkala makna bergerak

menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif.498

Makna denotasi memiliki makna tersendiri yang berkaitan langsung dengan

definisi ritual Tabut secara harfiah. Sedangkan makna konotasi dari ritual Tabut

pasti akan dikaitkan dengan asal mula kemunculan ritual tersebut, baik dalam

pandangan agama ataupun budaya. Selain itu, makna konotasi dapat muncul

dengan menghubungkan makna denotasinya dengan simbol-simbol yang ada

dalam ritual Tabut ataupun penentuan pelaksanaan ritual tersebut. Kemunculan

makna konotasi dalam ritual Tabut juga dikarenakan masing-masing kelompok

sosial sebagai penafsir dipengaruhi oleh latar belakang sosiokultural.

Sebelum mendapatkan makna konotasi dan denotasi dari ritual Tabut. Peneliti

akan memaparkan makna konotasi kata ‚Tabut‛ berawal dari tanda serta makna

denotasinya yang secara bersamaan membentuk makna konotasi. Secara

denotatif, makna Tabut merujuk pada definisi harfiahnya yaitu kotak atau peti

dari kayu. Makna tersebut merupakan pengertian umum yang diantaranya

berasal dari budaya Yahudi-Palestina dan Islam.

Kata ‚Tabut‛ dalam tradisi keagamaan dapat ditelusuri, baik dalam dunia Islam

maupun Kristen. Tabut dalam tradisi Kristiani merupakan representasi dari

lambang atau simbol kehadiran Tuhan ditengah-tengah umatnya.499

Sementara

dalam tradisi Islam berkaitan dengan Nabi Musa dan ritual keagamaan Islam

497

Nabila Putri Aldira, ‚Representasi Nilai-Nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam Film

Tabula Rasa (Analisis Semiotika Roland Barthes).‛ Jurnal Jom Fisip, Vol. 5, No. 1,

(April 2017): 3. 498

Herlika Fransisca Wijaya dan Rustono Farady Marta, ‚Mitologi Budaya pada Gelang

Duka Cita sebagai Atribut Upacara Kematian dalam Tradisi Tionghoa Bangka dan Cina

Benteng (Tinjauan Semiologi Barthes terhadap Makna Tanda pada Tradisi dan Mitos

Leluhur Peranakan Tionghoa Indonesia.‛ Jurnal Semiotika, Vol. 9, No. 1, (Juni 2015):

242. 499

C. Barth, Theologia Perjanjian Lama, Jilid 3 (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2005),

13.

Page 109: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

109

Syi’ah yang dikenal dengan Ta’ziyah. Hal tersebut dibuktikan melalui tradisi

yang digambarkan sebagai ritus penghormatan atas syahidnya Husein di

Karbala.

Meski begitu, dikarenakan tidak memiliki akar yang jelas, penyebutan kata

‚Tabut‛ di Bengkulu mengalami perbedaan. Masyarakat pada umumnya

menggunakan istilah Tabot sedangkan pengikut Tabut menyebutnya dengan

istilah Tabut. Karena menurut Syiafril penggunaan kata Tabot tidak relevan

untuk digunakan dalam konteks ritual karena Tabot lebih identik digunakan

untuk menyebut arca atau berhala, Tabut500

telah sejak lama digunakan. Hal

tersebut dibuktikan dengan:

Gambar 4.1 Keterangan dari foto tersebut bukti bahwa kata ‚Tabut‛ sudah digunakan sejak lama

Tingkah laku beragama selalu berkaitan dengan budaya keagamaan suatu

kelompok sosial. Seperti ritual Tabut yang dalam kenyataannya sangat jelas

unsur budayanya. Sebagai suatu ritual yang pasti dilaksanakan pada bulan

Muharram dalam kalender Hijriah. Akan tetapi dalam praktiknya ritual yang

memiliki unsur keagamaan ini menjadi bias karena lebih menunjukkan unsur

budaya.

Ritual Tabut sebagai budaya sudah dikenal lama oleh masyarakat Bengkulu.

Ritual Tabut telah diterima sebagai ekspresi kultural secara umum oleh

masyarakat di Bengkulu, bukan sebagai ekspresi keagamaan semata.501

Ritual

Tabut menurut Pemerintah secara konotasi dianggap sebagai kegiatan seni

budaya yang memiliki keuntungan ekonomis serta sebagai kekayaan khazanah

Bengkulu. Artinya, Tabut lebih dipandang dari sisi bentuknya, yaitu sebagai

identitas budaya Bengkulu daripada ritual yang bermuatan nilai-nilai religius.

Ketika melihat fakta bahwa ritual Tabut dipandang sebagai budaya. Satu hal

yang harus dipahami bahwa budaya seharusnya juga diposisikan sebagai

spiritualitas. Dengan begitu, ritual Tabut dapat diinterpretasikan sebagai

identitas kebudayaan Bengkulu.

500

Menurut Syiafril untuk membedakan ritual Tabut yang berada di Bengkulu dengan

ritual yang lain lebih baik digunakan sebutan Tabutbencoolen. 501

Wawancara, Hakwana Ishak, Masyarakat, 06 Juli 2017.

Page 110: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

110

Jika melihat kondisi di atas, dalam pandangan Roland Barthes yang berpendapat

bahwa mitos memainkan peran penting dalam kehidupan sosial. Menurutnya

mitos dapat membangun solidaritas kelompok sosial yang bersangkutan. Dengan

adanya mitos yang mereka percayai memiliki sakralitas dan mengandung pesan

moral yang diwariskan dari leluhur-leluhur mereka, yang kemudian akan

diwariskan kepada anak-anak mereka sebagai generasi berikutnya.502

Hal

tersebut yang terjadi pada pengikut Tabut, mitos sakral yang sarat akan makna

religius yang menjadikan ritual tersebut terus mereka laksanakan,

Selain itu, ritual juga terkadang dimaknai sebagai tindakan simbolis yang

memiliki rujukan yang empiris, sekaligus merupakan aturan yang memiliki

berbagai macam sanksi, termasuk sanksi sosial. Selain itu, menurut Th. P. Van

Baaren ritual merupakan peraturan yang dapat disebut sebagai ceremony dalam

konteks keagamaan dan berisi seperangkat aturan yang berkaitan dengan

dimensi metafisik.503

Barthes menjelaskan jika segala sesuatu yang terdapat di dunia ini adalah mitos.

Seperti halnya dalam perkembangan pemaknaan ritual Tabut berdasarkan makna

konotasi dan denotasinya. Setiap kelompok sosial, baik pengikut Tabut,

pemerintah, dan masyarakat memiliki mitos masing-masing mengenai ritual

Tabut. Mitos tersebut dapat berkembang ataupun terus dipertahankan karena

mitos dalam pandangan Barthes yang dilihat adalah manfaatnya. Artinya jika

mitos tersebut memberikan manfaatnya bagi manusia maka mitos tersebut akan

terus dipertahankan atau dikembangkan menjadi mitos baru.

Ritual Tabut merupakan warisan budaya di Bengkulu yang bersifat tak benda

sekaligus sebagai potensi seni budaya bernilai jika dapat di atur secara

sistematik. Sebagai ritual yang asal mulanya dari suatu sistem kepercayaan,

ritual Tabut memiliki nilai-nilai yang terus dipercaya sehingga dapat dijadikan

modal kultural untuk menjadi kota wisata berskala global. Seperti yang

dijelaskan oleh pemerintah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi

Bengkulu bahwa ritual Tabut merupakan aset potensi wisata dan ciri khas

tradisi Bengkulu.504

Perkembangan ritual keagamaan yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat

dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu, salah satunya komoditas pariwisata

untuk meningkatkan wisatawan, baik domestik maupun internasional. Dalam

pendekatan teori kritis, dominasi ideologi memainkan peranan penting dalam

proses komodifikasi. Masyarakat merasakan terjadinya perubahan dari

komodifikasi pariwisata yang lebih menguntungkan bagi pihak-pihak yang

502

Ayatullah Humaeni, ‚Makna Kultural Mitos dalam Budaya Masyarakat Banten.‛

Jurnal Antropologi Indonesia, Vol. 33, No. 3, (2012): 168. 503

Jan Platvoet, ‚Ritual in Plural and Pluralis Societies: Instruments for Analysis,‛

dalam Jan Platvoet dan Karel Van Der Toorn (ed), Pluralism and Identity: Studies in Ritual Behaviour (Lieden: E. J. Brill, 1995), 42-44. 504

Wawancara, Binsar, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Bengkulu, 18 Juli

2017

Page 111: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

111

mempunyai kekuasaan. Media sebagai alat komunikasi pemasaran mempunyai

pengaruh yang kuat dalam proses komodifikasi. Melalui komunikasi pemasaran,

sebuah ideologi dominan mampu mendistorsi upacara religi dalam

masyarakat.505

Pendapat di atas apabila dikaitkan dengan pendapat Daniel Z Kadar tentang

ritual, maka ritual hanya direpresentasikan sebagai aspek formal tanpa fungsi

interaksi dan relasionalnya yang kompleks.506

Artinya, jika ritual Tabut hanya

dipahami sebagai komoditas pariwisata, maka ritual tersebut telah mengalami

deritualisation.507 Karena pemaknaan ritual yang hanya berdasarkan pada

konteks kebudayaan tanpa melibatkan nilai religius yang ada didalamnya dapat

menyebabkan hilangnya fungsi dari ritual tersebut.508

Menurut Yulianti, ritual Tabut dalam perspektif ekonomi politik media,

memiliki tiga komodifikasi. Pertama, komodifikasi isi (content commodity)

yang menunjukkan bahwa ritual Tabut lebih menonjolkan keindahan daripada

makna yang terdapat didalamnya. Kedua, komodifikasi khalayak (audience commodity) artinya eksistensi ritual Tabut menjadi bagian dari peran

masyarakat dalam mensukseskan program pemerintah dalam membina,

mengembangkan, dan mensukseskan kebudayaan daerah di Bengkulu. Ketiga,

komodifikasi pekerja (labour commodity), melibatkan pejabat-pejabat dalam

pembukaan festival Tabut, juga diadakannya pameran pembangunan (Tabut

pembangunan) dan pasar malam.509

Komodifikasi ritual Tabut tersebut dapat

dipahami karena aktifitas kebudayaan yang memiliki nilai religius pun memiliki

pengaruh terhadap aktifitas ekonomi.

Perbedaan visi dan misi serta pemaknaan antara Keluarga Kerukunan Tabut dan

Kerukunan Tabut Budaya (pemerintah) terhadap ritual Tabut menjadi salah satu

alasan dasar terciptanya keragaman pemaknaan. Hal tersebut sejalan dengan

pendapat David Kertzer yang berpandangan bahwa, ritual memiliki potensi

untuk menyatukan antara kesinambungan dan perubahan dari ritual tersebut.510

Sementara itu, pengikut Tabut secara berkelanjutan ingin mempertahankan

kesakralan dari ritual Tabut karena menurutnya fungsi utama dari ritual Tabut

505

Yulianti, ‚Upacara Religi dan Pemasaran Pariwisata di Provinsi Bengkulu.‛ Jurnal

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 5, No, 3, (2016): 192. 506

Daniel Z Kahar, Relational Rituals and Communication: Ritual Interaction in Groups

(New York: Palgrave Macmillan, 2013), 5. 507Deritualisation adalah klaim bahwa ritual menjadi tidak signifikan dalam kehidupan

sosial. Lihat Daniel Z Kahar, Relational Rituals and Communication: Ritual Interaction in Groups (New York: Palgrave Macmillan, 2013), 6. 508

Jan Koster, ‚Ritual performance and the politics of identity: On the functions and

uses of ritual.‛ Journal of historical pragmatics, Vol. 4, No. 2, (2003): 5. 509

Yulianti, ‚Upacara Religi dan Pemasaran Pariwisata di Provinsi Bengkulu.‛ Jurnal

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 5, No, 3, (2016): 191. 510

Mary Elaine Hegland, "Shi'Women's Rituals in Northwest Pakistan: The

Shortcomings and Significance of Resistance." Antropological Quarterly, summer 2003,

76, 3, 415

Page 112: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

112

adalah nilai-nilai religiusitas yang ada didalamnya. Hal tersebut dapat dipahami

karena peran KKT dalam merancang dan menentukan makna ritual Tabut lebih

bersifat dinamis. Seperti pandangan antropolog bahwa ritus yang

mengekspresikan suatu kepercayaan harus dirancang dan ditentukan.511

Selain

itu, pesan simbolik dalam ritual keagamaan juga dapat ditransmisikan melalui

kesepakatan.512

Pandangan tersebut dapat menghilangkan fungsi ritual sebagai sarana untuk

mengekspresikan kesalingtergantungan dalam kelompok sosial, karena menurut

Daniel Z Kahar, hal terpenting dalam ritual adalah partisipasi dan keterlibatan

emosional bersama.513

Meski berbeda pandangan dengan pengikut Tabut, bahkan kerap terjadi

perbedaan persepsi antara pemimpin dalam pemerintahan dan sistem yang

ada,514

Pemerintah melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bengkulu

tetap memfasilitasi dan mendukung ritual Tabut yang bersifat sakral. Karena

kesakralan dalam suatu ritual dapat berupa nilai-nilai sosial yang tidak harus

selalu berhubungan dengan nilai-nilai religius. Nilai sosial tersebut berfungsi

untuk menciptakan ikatan kepemilikan terhadap ritual yang sama.515

Hal

tersebut menunjukkan bahwa pemerintah yang memiliki kepentingan politik

sesungguhnya bermaksud untuk mewujudkan perubahan dalam ritual Tabut

dalam aspek pembangunan, bukan untuk menguasai ritual tersebut.

Karena ritual Tabut merupakan suatu kebudayaan yang harus dilestarikan dan

juga merupakan bagian dari Tabut pembangunan. Untuk itu, pemerintah harus

mengalokasikan pendanaan untuk ritual tersebut, namun terkadang dana yang

diberikan tidak mencukupi untuk ritual tersebut sehingga terjadilah konflik.

Adapun pemisahan yang dilakukan antara Tabut sakral dan Tabut pembangunan

bertujuan untuk menghindari konflik yang lebih besar.516

Meski demikian, fenomena ritual Tabut sebagai komoditas pariwisata apabila

tidak diimbangi dengan pemaknaan religiusnya justru akan melemahkan peran

penting kelompok sosial dalam pemahaman tentang budaya yang bersifat

religius. Melalui pemahaman yang demikian, ritual Tabut bersifiat political rites, yakni ritual yang dikonstruksi, dipertontonkan, dan dipromosikan oleh

institusi pemerintah yang mengandung unsur politik. Karena, menurut Victor

Turner, ritual yang memiliki nilai religius lebih dari sekedar refleksi atau

511

Catherine Bell, Ritual Theory Ritual Practice (New York: Oxford University Press,

2009), 223. 512

Roy A Rappaport, Ritual and Religion in the Making of Humanity (Edinburg:

Cambridge University Press, 1999), 58. 513

Daniel Z Kahar, Relational Rituals and Communication: Ritual Interaction in Groups

(New York: Palgrave Macmillan, 2013), 7. 514

Sugeng Priyadi, ‚Orientasi Nilai Budaya Banyumas: Antara Masyarakat Tradisional

dan Modern.‛ Jurnal Humaniora, No. 20, Vol 2, (2008): 166. 515

Santiago Daydi Tolson, ‚Ritual and Religion in Tomas Rivera’s Work.‛ La Revista Bilingue, Vol. 13, No. 1, Vol. 2, (1986): 140-143. 516

Wawancara, Rohimin, Ketua MUI Bengkulu, 17 Juli 2017.

Page 113: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

113

ungkapan ekonomi, politik, ataupun sosial namun merupakan dasar bagi

pemahaman hubungan satu masyarakat dengan lingkungannya secara luas.517

Menurut Syiafril, kelompok sosial yang memiliki suatu budaya, khususnya

dalam bentuk ritual seharusnya memiliki kesadaran penuh untuk melestarikan

budaya dan memahami makna yang terkandung didalamnya. Mereka hendaknya

lebih meningkatkan kesadarannya akan makna yang terkandung di dalamnya

sehingga bijak dalam mengelola budayanya serta lingkungannya yang ada di

sekitarnya, yang patut dipelihara dan dijunjung, tidak saja oleh masyarakat

pemiliknya tapi juga masyarakat luar yang hendak berinteraksi dengan

mereka.518

C. Pemaknaan: Pola Pemersatu Komunikasi Interpretasi Budaya

Setiap objek pada dasarnya tidak memiliki makna dan hanya dipahami sebagai

sesuatu yang natural dan kosong. Makna muncul setelah manusia memaknai

objek itu. Makna itu muncul bersamaan dengan kebudayaan manusia. Salah

satunya, ada objek yang dimaknai secara spiritual, maka muncul kebudayaan

animisme. Jadi, makna muncul bersamaan dengan pikiran manusia untuk

mengolah alam atau yang biasa disebut kebudayaan.519

Dalam budaya, penafsiran terhadap makna yang terkandung didalamnya bersifat

subjektif. Maka, ritual Tabut sebagai budaya yang memiliki keragaman makna,

seharusnya dipahami melalui cara pandang (world view) keragaman pemikiran

yang dapat mempersatukan aspek sosial keagamaan kelompok sosial di

Bengkulu. Karena bagaimanapun, seperti pendapat Baxter dan Montgomery

bahwa terdapat hubungan yang dialektis dalam interaksi budaya dan komunikasi

berupa dialektika totality. Artinya, dalam hubungan tersebut diakui adanya

saling ketergantungan520

satu sama lain. Kondisi tersebut dikarenakan

kemampuan individu atau kelompok sosial untuk mengubah makna dan simbol

yang mereka gunakan berdasarkan penafsiran mereka terhadap suatu kondisi

tertentu.

Seperti yang dijelaskan Lévi-Strauss, untuk memahami bagaimana dan sejauh

mana budaya manusia berbeda satu sama lain, apakah perbedaan tersebut akan

memunculkan pertentangan satu sama lain atau akan menyatukan mereka dalam

memaknai suatu budaya maka setiap kelompok sosial perlu mempelajarinya

secara mendasar.521

Menurut Rohimin, ritual Tabut merupakan bagian dari kegiatan komunitas yang

bersifat siklus tahunan. Salah satu faktor yang membuat ritual Tabut ini tetap

517

Victor Turner, The Ritual Process Structure and Anti-Structure (New York: Cornell

University Press, 1966), 6. 518

Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 01 Agustus 2017. 519

Saefu Zaman, ‚Pemaknaan Ruang pada Masjid Kubah Emas: Kajian Semiotik

Ruang." Paradigma Jurnal Kajian Budaya, Vol. 7, No. 2, (2017):174 520

Ujang Saefullah, ‚Dialektika Komunikasi, Islam, dan Budaya Sunda.‛ Jurnal

Penelitian Komunikasi, Vol. 16, No. 1, (Juli 2013): 79. 521

Claude Lévi-Strauss, Race et Histoire (Paris: Folio Essais, 1992), 13.

Page 114: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

114

ada adalah komunitas dari pengikut Tabut. Keberlangsungan ritual tersebut

tergantung pada eksistensi dari komunitas pengikut Tabut artinya jika

komunitas tersebut berkurang atau habis maka bisa jadi ritual tersebut akan

hilang, atau muncul namun dengan corak yang diperbaharui.522

Hal tersebut

sejalan dengan pendapat Carey, yang mengatakan bahwa dalam pandangan

ritual, komunikasi tidak secara langsung diarahkan untuk menyebarluaskan

pesan dalam suatu ruang, namun lebih kepada pemeliharaan suatu komunitas

dalam suatu waktu. Komunikasi yang dibangun juga bukanlah sebagai tindakan

untuk memberikan informasi melainkan untuk merepresentasi atau

menghadirkan kembali kepercayaan-kepercayaan bersama.523

Gambaran umum mengenai eksistensi ritual Tabut di Bengkulu menunjukkan

dari berbagai pandangan kelompok sosial. Sebagian dari kelompok sosial

berpendapat bahwa ritual Tabut secara menyeluruh merupakan ritual yang

memiliki nilai-nilai religius yang harus dipertahankan. Sedangkan yang lainnya

berpendapat bahwa didalam ritual tersebut terdapat hal-hal yang merujuk pada

unsur syirik dan juga bertentangan dengan ajaran Islam karena tidak bersumber

dari Alquran dan hadist sehingga memunculkan pluralitas pemaknaan.

Seharusnya keragaman pemaknaan yang terdapat dalam tradisi Tabut tidak

memunculkan sikap yang mengarah pada penilaian subjektif.

Ritual Tabut yang di dalamnya terdapat nilai-nilai religius merupakan media

yang berfungsi sebagai jalan dakwah untuk menginternalisasi nilai keislaman

dalam masyarakat. Karena itu, seharusnya eksistensi ritual Tabut yang berada di

kota Bengkulu mampu menjadi media dalam menjalin hubungan yang harmonis

antara pengikut Tabut, pemerintah, dan masyarakat. Hal ini juga menunjukkan

bahwa pemaknaan yang plural terhadap ritual Tabut dapat memperkuat

kehidupan berbudaya.

Ritual Tabut dikatakan sebagai ritual yang bersifat keagamaan karena

mengandung nilai-nilai religius seperti, prosesi dari ritual tersebut selalu diawali

dengan rangkaian doa, shalawat, bahkan terdapat doa khusus dalam ritual Tabut

yaitu doa Maqtal Al-Husain.524

Karena doa merupakan bentuk formal dari

sebuah ritual525

maka hal tersebut menunjukkan adanya hubungan budaya

dengan agama yang disatukan melalui komunikasi. Walaupun juga dipahami

sebagai realitas sosial yang memiliki nilai hiburan dan ekonomi.526

Karena,

dengan mengikuti pendapat Durkheim, agama dapat dipahami dengan melihat

522

Wawancara, Rohimin, Ketua MUI Bengkulu, 17 Juli 2017. 523

Yermia Djefri Manafe, ‚Komunikasi Ritual pada Budaya Bertani Atoni Pah Meto di

Timor-Nusa Tenggara Timur.‛ Jurnal Komunikasi, Vol. 1, No. 3, (Juli 2011): 289. 524

Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017. 525

Sandra T Barner, ‚Ritual, Power, and Outside Knowledge.‛ Journal of Religion in Africa, Vol. 20, (Oktober 1990): 256. 526

Wawancara, Rohimin, Ketua MUI, 17 Juli 2017. Wawancara, Hakwana Ishak,

Masyarakat, 06 Juli 2017.

Page 115: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

115

peran sosial dalam menyatukan kelompok sosial dibawah satu kesatuan ritual

dan kepercayaan umum.527

Menurut Syiafril, substansi dari doa yang terdapat pada ritual Tabut berfungsi

untuk mendapatkan syafa’at Rasulullah. Melalui bacaan doa tersebut, pengikut

Tabut dapat menghayati peristiwa tragis yang dialami oleh Hussain. Doa

tersebut juga mewakili perasaan kesedihan pengikut Tabut.528

Dalam pelaksanaan ritual Tabut terlihat bagaimana pengikut Tabut berusaha

untuk memasukkan unsur-unsur yang tidak bertentangan dengan keislaman, baik

melalui doa-doa, setiap prosesi dilakukan setelah ibadah shalat wajib

dilaksanakan, bahkan pemaknaannya pun mengandung nilai religius. Namun

demikian, tetap saja kondisi tersebut menimbulkan pro-kontra dalam

masyarakat yang secara pemikiran telah mengalami perkembangan sehingga

menganggap ritual tersebut rentan dengan syirik dan bid’ah.

Pandangan yang menganggap bahwa ritual Tabut bersifat ritual yang syirik,

salah satunya adanya bahan kemenyan dalam setiap prosesi dalam ritual Tabut

yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Namun menurut Syiafril,

kemenyan ini sebenarnya berfungsi untuk menghilangkan bau-bauan sekaligus

memberikan wewangian pada area di mana prosesi tersebut dilakukan, sebagai

keindahan dalam rangkaian prosesi, membangkitkan semangat.529

Selanjutnya

setiap pelaksanaan ritual Tabut selalu terjadi kesurupan, hal tersebut yang

membuat masyarakat menganggap bahwa ritual tersebut tidak sejalan dengan

ajaran agama. Namun menurut pengikut Tabut, kesurupan bisa saja terjadi

kapanpun, tidak hanya ketika ritual Tabut dilaksanakan.530

Pemahaman pengikut Tabut terhadap pemaknaan ritual Tabut dapat dibagi

menjadi dua kategori. Pertama, pengikut Tabut yang memahami makna dari

ritual Tabut. Kedua, pengikut Tabut yang tidak memahami makna ritual Tabut

secara mendalam namun tetap melaksanakan ritual ini karena hanya

menganggap bahwa ritual ini harus dilaksanakan. Situasi tersebut tidak terlepas

dari pengaruh sosial yaitu belum adanya dialog-dialog mendalam yang berkaitan

dengan pemahaman ritual Tabut. Sedangkan pemerintah dan masyarakat

Bengkulu secara umum tidak memahami makna ritual Tabut secara mendalam.

Fungsi agama secara fundamental berkaitan dengan hal-hal spiritual-metafisik

yang dapat dipahami melalui ritual.531

Karena itu, Tabut sebagai ritual

keagamaan memiliki signifikansi teologis yang berasal dari penampakan simbol-

simbol struktural. Selain itu ritual Tabut juga memiliki konteks sosiologis

sebagai manifestasi sekaligus alat untuk memperkuat kesadaran sosial.

527

Imam Turmudi, ‚Menimbang Gagasan Bryan S Turner Tentang Islam.‛ Jurnal

Teosofi, Vol. 3, No. 1, (Juni 2013): 67. 528

Wawancara, Achmad Syiafril Sy, Ketua KKT, 7 Maret 2018. 529

Achmad Syiafril Sy, Buku Putih the Tabutbencoolen, 4. 530

Achmad Syiafril Sy, Buku Putih the Tabutbencoolen, 5. 531

Imam Amrusi Jailani, ‚Dakwah dan Pemahaman Islam di Ranah Multikultural.‛

JurnalWalisongo, Vol 22, No. 2, (November 2014): 421.

Page 116: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

116

Menurut Geertz, ritual memiliki tiga pola struktural. Pertama, ritual merupakan

aktivitas simbolik. Kedua, ritual dapat mengintegerasikan dua aspek simbol,

baik secara konseptual ataupun etos. Ketiga, ritual sebagai budaya

memungkinkan integrasi konsep abstrak dan kekhasan budaya dari ritual

tersebut.532

Dalam pendekatan struktural fungsional, setiap masyarakat memiliki

sistem nilai sebagai hasil konsesus bersama (collective consciousness) karena

masyarakat selalu memiliki tujuan yang ingin dicapai sehingga disediakan

seperangkat cara untuk mencapai tujuan tersebut.533

Seperti yang dikemukakan oleh Roy Stafford dan Gill Branston yang

menjelaskan bahwa strukturalisme berfungsi untuk menjelaskan semiotik bahwa

tanda (sign) dapat dipahami hanya dengan mengacu pada perbedaan dari tanda

(sign) lainnya. Selanjutnya, strukturalisme berpendapat seluruh organisasi

manusia ditentukan oleh struktur sosial atau psikologis individu dan

strukturalisme berpendapat bahwa makna suatu tanda tidak dapat dipahami

kecuali dalam struktur yang sistematis, yang memiliki ciri atau perbedaan yang

lahir secara alamiah.

Asumsi dasar epistemologi strukturalisme yang berkaitan dengan kebudayaan

adalah bahwa dalam kebudayaan terdapat langue dan parole. Langue dalam

konteks kebudayaan dipahami sebagai suatu sistem aturan yang mengatur

perilaku dan cara berpikir manusia ketika menjalani kehidupannya. Parole

adalah manifestasi dari aturan-aturan yakni berupa perilaku, tindakan dan segala

bentuk kebudayaan yang diciptakan oleh manusia. Parole bersifat empiris,

sedangkan langue bersifat abstrak.534

Struktur budaya dipandang sebagai sesuatu yang menyatukan masyarakat.

Strukturalisme adalah aliran pemikiran yang mencari struktur terdalam dari

realitas yang tampak kacau dan beraneka ragam di permukaan secara ilmiah

(objektif, ketat, dan berjarak). Pendekatan strukturalis atas kebudayaan berfokus

pada pengidentifikasian unsur-unsur yang bersesuaian dan bagaimana cara

unsur-unsur itu diorganisasi untuk menyampaikan pesan.535

Seperti yang telah dijelaskan dalam bab teoritis sebelumnya mengenai

bagaimana langkah-langkah yang dilakukan pada analisis struktural. Dalam

kaitannya dengan analisis struktural ritual Tabut maka dapat diuraikan bahwa

keseluruhan rangkaian ritual Tabut yang dilaksanakan oleh pengikutnya

memiliki struktur yang saling berkaitan. Struktur tersebut menurut Lévi-Strauss

berdasarkan pada content dan form. Ritual Tabut merupakan form dari ritual

tersebut yang secara realitas dapat dilihat, baik oleh pemerintah, masyarakat,

532

Catherine Bell, Ritual Theory Ritual Practice (New York: Oxford University Press,

2009), 31. 533

Imam Turmudi, ‚Menimbang Gagasan Bryan S Turner Tentang Islam.‛ Jurnal

Teosofi, Vol. 3, No. 1, (Juni 2013): 68. 534

Galeh Prabowo, ‚Positivisme dan Strukturalisme: Sebuah Perbandingan Epistemologi

dalam Ilmu Sosial.‛ Jurnal Sosiologi Walisongo, Vol. 1, No. 1, (2017): 53. 535

Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed), Teori-Teori Kebudayaan (Jogjakarta:

Penetbit Kanisius, 2005), 114.

Page 117: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

117

maupun pengikut Tabut sendiri. Melalui form tersebut juga memunculkan

content yang merupakan tata pelaksanaannya. Kehadiran content pada ritual

Tabut akan menimbulkan interpretasi dari masing-masing kelompok sosial.

Ritual Tabut dalam pandangan strukturalisme memiliki langue dan parole.

Dapat dikatakan bahwa yang termasuk langue dalam ritual Tabut adalah

komoditas budaya, hiburan semata, dan suatu yang sakral. Sedangkan yang

merupakan parole adalah ritual Tabut itu sendiri. Terdapat tiga langue dalam

ritual ini karena adanya tiga kelompok sosial berbeda dalam memahaminya.

Kemunculan perbedaan langue tersebut dikarenakan perbedaan pemahaman

mitos dalam ritual Tabut. Mitos tersebut berupa keterkaitan ritual Tabut dengan

aliran Syi’ah, ritual Tabut sebagai media dakwah, ritual Tabut merupakan

budaya asli Bengkulu, dan ritual Tabut berkaitan dengan pembangunan Benteng

Marlbourough oleh pemerintah kolonial Inggris.

Setiap rangkaian prosesi yang dilakukan oleh pengikutnya dalam ritual Tabut

menunjukkan struktur yang secara sistematis saling berkaitan, mulai dari prosesi

mengambik tanah, duduk penja, menjara, meradai, arak jejari, arak seroban, hari gham, arak gedang dan Tabut besanding, Tabut tebuang, sampai dengan prosesi

cuci penja. Prosesi tersebut tidak akan dapat digantikan oleh prosesi yang

lainnya, karena di dalamnya terdapat ketertatan (order) dan keteraturan

(regularities). Menurut Lévi-Strauss, berdasarkan ketertataan dan keteraturan

tersebut yang pada akhirnya akan memunculkan oposisi-oposisi yang relevan.

Berbeda dengan pemerintah yang memiliki struktur berbeda dalam

melaksanakan ritual tersebut. Yaitu dengan mengadakan kegiatan perlombaan.

Jadwal festival Tabut yang mereka laksanakan mulai dengan upacara

pembukaan, hiburan band, festival tari kreasi daerah se-Provinsi Bengkulu,

pagelaran Seni Budaya daerah Nusantara, lomba telong-telong, dan lomba ikan-

ikan.536

yang saat ini berada pada naungan Kerukunan Tabut Budaya yang juga

memiliki struktur berbeda. Mereka hanya melaksanakan arak gedang dan Tabut besanding, serta Tabut tebuang.

537

Proses pemaknaan ritual Tabut berdasarkan struktur-struktur diatas

menunjukkan berlangsungnya proses komunikasi yang dipengaruhi oleh sistem

kepercayaan dan aktifitas religius suatu kelompok sosial sehingga memunculkan

keragamaan pemaknaan. Melalui simbol-simbol yang ditampilkan dalam ritual

Tabut merupakan media yang dapat menyatukan kontradiksi dalam kehidupan

dengan tetap merujuk pada makna religiusnya. Karena menurut Bell, ritual

merupakan dimensi persaingan antara yang ceremonial dengan pandangan hidup

masyarakat. Persaingan tersebut diciptakan dengan sadar untuk tujuan yang

eksplisit.538

Pemaknaan ritual juga harus berkaitan dengan perubahan,

536

Berdasarkan informasi pelaksanaan festival Tabut 2016 (01-11 Oktober). 537

Wawancara, Idramsyah, Ketua Kerukunan Tabut Budaya, 19 Juli 2017. 538

Catherine Bell, Ritual Theory Ritual Practice, 230.

Page 118: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

118

ketegangan, dan asumsi praktiknya. Karena itu, sikap suatu kelompok sosial

tidak dapat dipisahkan dari pandangan dunia mereka.539

STRUKTUR RITUAL TABUT

PENGIKUT TABUT PEMERINTAH

Mengambik tanah Upacara pembukaan

Duduk penja Hiburan band

Menjara Festival tari kreasi daerah prov Bengkulu

Meradai Pagelaran seni budaya daerah nusantara

Arak Jejari Lomba telong-telong

Arak Seroban Lomba ikan-ikan

Hari gham Arak gedang dan tabut besanding

Arak gedang dan tabut besanding Tabut tebuang

Tabut tebuang

Cuci penja

Pemikiran Lévi-Strauss menekankan pentingnya penataan oposisi terhadap

sistem tanda yang disebut oposisi biner karena kualitas dapat dikelompokkan

menjadi pasangan yang bertentangan. Konsep langue, parole, serta mitos dalam

ritual Tabut pada akhirnya memunculkan oposisi binner yang berupa nilai-nilai

yang dipahami oleh setiap kelompok sosial, seperti Syiah dan Sunni, sakral dan

profan.

Tabel di atas menunjukkan struktur pelaksanaan ritual Tabut dari pengikut

Tabut dan Pemerintah. Masing-masing kelompok sosial memiliki struktur yang

sistematis walaupun adanya perbedaan. Perbedaan dari struktur tersebut

dipengaruhi oleh kelompok yang berbeda. Sedangkan masyarakat sebagai

kelompok sosial yang melihat salah satu atau keduanya akan memiliki

interpretasi yang berbeda pula. Dari struktur tersebut juga pada akhirnya

diperoleh oposisi biner sakral dan profan.

Sifat profan pada ritual Tabut juga dapat dilihat dari penggunaan alat musik

Dhol. Pada mulanya alat musik Dhol hanya digunakan pada saat melaksanakan

prosesi-prosesi dalam ritual Tabut, karena alat musik Dhol dianggap keramat

yang hanya dapat digunakan pada bulan Muharram. Menurut pengikut Tabut,

jika Dhol dimainkan ketika bukan pada waktu ritual Tabut dianggap melanggar

adat dan memunculkan kemarahan nenek moyang. Namun berkat usaha

539

Catherine Bell, Ritual Theory Ritual Practice, 252.

Page 119: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

119

pemerintah dalam mengembangkan budaya di Bengkulu, salah satunya melalui

alat musik Dhol, pada akhirnya Dhol dapat dimainkan di luar prosesi Tabut.540

Kemunculan oposisi biner Syiah dan Sunni karena banyakanya informasi yang

masyarakat dapati tentang ritual Tabut. Menurut ketua Kerukunan Tabut

Budaya terpisahnya mereka dari KKT disebabkan oleh indikasi Syiah dalam

ritual Tabut, padahal Syiah merupakan ajaran yang sesat. Menurut Gustav

Thaiss, ritual yang berkaitan dengan kematian Husain banyak memiliki

keterkaitan dengan golongan Syiah karena kematian Husain tersebut merupakan

simbol yang diklaim oleh Syiah. Meskipun pada akhirnya ritual yang berkaitan

dengan kematian Husain selalu mengalami perubahan dan perkembangan yang

disebabkan oleh perubahan sosial dimana ritual tersebut diperingati.541

Ritual

Tabut sering dikaitkan dengan Syiah dikarenakan memiliki kesamaan sebagai

peringatan kematian Husain. Kematian Husain dalam tradisi Syiah diperingati

dalam bentuk penebusan dosa secara simbolis selama bulan Muharram. Assegaf

menyajikan kompleksitas dinamika internal komunitas Syiah di tengah

mayoritas Sunni di Indonesia dalam rangka memperoleh pengakuan sosial. Jika

sebelum reformasi gerakan Syiah dibatasi oleh tekanan dan kecurigaan politik

Orde Baru, sejak reformasi sistem demokrasi di Indonesia memberi peluang dan

sekaligus tantangan baru dalam rangka mengekspresikan identitasnya.542

Menurut Lévi-Strauss mitos berfungsi seperti sejarah, yaitu untuk mendekatkan

masa lalu dengan situasi saat ini.543

Dengan demikian, mitos bukanlah sesuatu

yang harus dipertentangkan dengan sejarah dan realitas sosial karena adanya

perbedaan makna antara konsep keduanya.544

Setiap konsep mitos mengalami

perbedaan antara satu tempat dengan tempat lainnya dan tidak selalu relevan

terhadap sejarah dan realitas.545

Karena salah satu ciri mitos adalah kebenaran

mitos tidak penting, sebab cakrawala dan zaman mitos tidak terikat pada

kemungkinan-kemungkinan dan batas-batas realitas.546

Salah satu ciri dari ritual yaitu mengacu pada sifat dan tujuan yang religius

karena agama sebagai institusi berperan dalam tindakan sosial. Selain itu,

540Wawancara, Binsar, Dikbud Provinsi Bengkulu, 18 Juli 2017. 541

Mary Elaine Hegland, ‚Shi'Women's Rituals in Northwest Pakistan: The

Shortcomings and Significance of Resistance.‛ Antropological Quarterly, Vol. 76, No.

3, (2003): 415. 542

Zulkifli, ‚Kesalehan ‘Alawi dan Islam di Asia Tenggara.‛ Studia Islamika, Vol. 23,

No. 3, (2016): 616 543

Claude Lévi-Strauss, Myth and Meaning (London dan New York: Routledge Classics,

2001), 18. 544

Naila Nilofar, ‚Perbandingan Mitos Sangkuriang dan Mitos Pangeran Butoseno

Kajian Strukturalisme Lévi-Strauss.‛ Jurnal Bebasan, Vol. 4, No. 1, (Juni 2017): 27. 545

Rosita Armah, Akhmad Murtadlo, Syamsul Rijal, ‚Mitos dan Cerita Rakyat Kutai

Baung Putih di Muara Kaman: Kajian Strukturalisme.‛ Jurnal Ilmu Budaya, Vol. 1, No.

1, (April 2017): 152-153. 546

Agus Sugiharto dan Ken Widyawati, ‚Legenda Curug 7 Bidadari (Kajian Strukturalis

Lévi-Strauss).‛ Jurnal Suluk, Vol. 1, No. 2, (2012): 8.

Page 120: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

120

kegunaan praktis dari ritual adalah untuk mengungkapkan status pelaku dalam

sistem struktural di mana ritual tersebut dipraktikan. Artinya, ritual dapat

dikatakan sebagai perilaku sosial yang terjadi dalam situasi sakral.547

Ritual

Tabut memiliki nilai religius sekaligus nilai kebudayaan karena perilaku

kebudayaan yang ada didalamnya tidak terlepas dari nilai-nilai keagamaan.

Dengan demikian, cara berbudaya dapat menjadi sesuatu yang bersifat religius.

Dalam ritual Tabut juga dapat dikatakan sebagai suatu ritual yang bersifat

profan dikarenakan pemahaman masyarakat yang memaknainya sebagai hiburan

semata. Seperti yang dikemukakan Siregar bahwa pada saat ritual Tabut ramai

pengunjung yang datang terutama untuk melihat festival Tabut (Tabut

pembangunan) karena banyaknya para pedagang dan hiburan bagi masyarakat.548

Menurut Harapandi Dahri, masyarakat Bengkulu lebih menerima dan memahami

eksistensi ritual Tabut sebagai bagian dari seni budaya, festival yang berdampak

pada perekonomian, serta sebagai tanda kekayaan khazanah sejarah Bengkulu

daripada sisi nilai religius yang ada didalamnya. Bahkan sebagian besar

masyarakat secara tegas menolak adannya pengkultusan berlebihan terhadap

Husain dalam ritual Tabut.549

Hal tersebut seperti dijelaskan oleh sebagian

masyarakat yang mengatakan bahwa ritual Tabut sama sekali tidak

menunjukkan nilai keislaman, karena terdapat hal-hal yang tidak masuk akal

dalam rangkaian ritual tersebut. Terutama karena sering terjadinya kesurupan

setiap kali ritual ini berlangsung.550

Meski demikian, harus dipahami pula bahwa

sebuah ritual tidak dapat dikatakan sebagai aktifitas yang tidak masuk akal

karena ritual berfungsi untuk merefleksi serta mengkonstruksi kehidupan

manusia.551

Pemaknaan dalam ritual Tabut yang sebelumnya telah dikaji dengan teori

semiotik dari Peirce memiliki struktur pemaknaan yang secara historis langsung

berkaitan dengan peristiwa yang dialami Hussain. Makna bahwa manusia

berasal dari tanah maka akan kembali ke tanah dalam prosesi mengambik

(mengambil) tanah. Menurut Syiafril makna tersebut muncul berdasarkan cerita

Hussain dimasa kecil. Malaikat Jibril datang menemui Rasulullah yang sedang

memangku Hussain. Jibril berkata: Hussain akan wafat terbunuh oleh Yazid di

Padang Karbala. Kemudian istri Rasulullah bertanya: apa pertanda bagi kami?

Lalu malaikat Jibril mengambil satu genggam tanah yang berasal dari Padang

Karbala dan diberikan kepada istri Rasullah sembari berkata simpanlah tanah ini

baik-baik, dan lihatlah setiap tanggal 10 Muharram. Jika tanah ini berubah

menjadi darah maka pertanda Hussain telah dekat dengan kematian. Hussain

547

Irfan Noor, Agama sebagai Universum Simbolik; Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger (Yogyakarta: Pustaka Prisma, 2010), 12. 548

Wawancara, Siregar, Masyarakat, 15 Juli 2017. 549

Rizqi Handayani, ‚Dinamika Kultural Tabot Bengkulu.‛ 249. 550

Wawancara, Yanhar Hamedi, Masyarakat, 04 Juli 2017. Wawancara, Hakwana Ishak,

Masyarakat, 06 Juli 2017 551

Theodore W Jennings, ‚On Ritual Knowledge.‛ The Journal of Religion, Vol. 62, No.

2, (April 1982): 112.

Page 121: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

121

pun pernah berkata ketika istri Rasulullah memberikan tanah tersebut, aku

berasal dari tanah maka akan kembali ke tanah.552

Hal tersebut menunjukkan

bahwa makna yang muncul dari prosesi mengambik (mengambil) tanah tidak

muncul begitu saja namun adanya struktur yang membentuk makna tersebut.

Jika melihat terjadinya ragam pemaknaan dalam ritual Tabut dalam pandangan

struktural dikarenakan adanya perbedaan mitos. Mitos tersebut berupa

perbedaan struktur ataupun psikologis dalam setiap kelompok sosial. Pengikut

Tabut sebagai kelompok sosial yang memiliki ritual Tabut akan lebih

memahami pema knaan dari ritual tersebut karena mereka memiliki struktur

yang tersistematis, baik secara sosial maupun psikologis. Berbeda dengan

pemerintah dan masyarakat yang tidak memiliki budaya ini secara alamiah maka

akan memaknai ritual Tabut dengan pandangan yang berbeda.

Meskipun struktur pemikiran yang muncul dalam ritual Tabut memiliki

perbedaan, namun tetap merupakan pola-pola kognitif yang saling berhubungan.

Hal tersebut ditunjukkan dengan struktur pemikiran terhadap ritual Tabut

sebagai budaya yang universal walaupun tanpa kesamaan nilai atau interpretasi.

Melalui keragaman pemaknaan ritual Tabut ini diharapkan agar semua elemen

dapat memahami serta mengaplikasikan nilai-nilai kebudayaan dan keislaman ke

dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti diketahui bahwa unsur budaya dan

agama sangat penting dalam setiap kebudayaan. Melalui komunikasi, unsur

penting ini dijadikan aset untuk merekonstruksi mental spiritual.553

Karena

bagaimanapun ritual adalah bentuk komunikasi paling sederhana554

sebagai

mekanisme yang dapat menyatukan sentimen individual ke dalam kelompok555

sekaligus mengekspresikan nilai dan tujuan kelompok sosial yang

mempraktikannya.556

Secara positif, keragamaan pemaknaan ritual Tabut memungkinkan ekspresi

identitas serta cita-cita baru yang tidak dapat dipahami dalam bentuk ritual

lama. Secara negatif, hal tersebut menjadikan ritual Tabut tidak memiliki

otoritas dalam kelompok sosial yang dapat memberikan legitimasi nilai-nilai

kebudayaan tertentu.

552

Wawancara, Achmad Syiafril, Ketua KKT, 13 Juli 2017. Lihat juga Achmad Syiafril

Sy, Buku Putih the Tabubencoolen, 25. 553

Ismail Suardi Wekke dan Yuliana Ratna Sari, ‚Tifa Syawat dan Entitas Dakwah

dalam Budaya Islam: Studi Suku Kokoda Sorong Papua Barat.‛ Jurnal Thaqafiyyat, Vol.

13, No. 1, (Juni 2012): 169. 554

Richard Bradley, ‚Ritual, Time, and History.‛ World Archaeology, Vol. 23, No. 2,

(Oktober 1991): 211. 555

Albert J Bergesen, ‚The Ritual Order.‛ Humboldt Journal of Social Relations, Vol.

25, No. 1, (1999): 161. 556

Jonathan A Draper, ‚Ritual Process and Ritual Symbol in Didache.‛ Vigiliae Christianae, Vol. 54, No. 2, (2000): 123.

Page 122: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

122

Page 123: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

123

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tesis ini meneliti dan mengkaji ritual Tabut dengan menjadikannya

sebagai objek kajian. Eksistensi ritual Tabut di Bengkulu merupakan ritual yang

berisi dengan nilai-nilai religius. Ritual Tabut dalam penelitian ini dikaji dengan

menggunakan pendekatan etnometodologi dan teori pemaknaan yang terdiri dari

semiotik, strukturalisme, denotasi dan konotasi. Penelitian ini memokuskan

kajian pada komunikasi ritual Tabut dengan menganalisis pemaknaan menurut

tiga kelompok sosial, yaitu pengikut Tabut, pemerintah, dan masyarakat.

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengikut

Tabut memaknai ritual Tabut sebagai suatu ritual sakral yang didalamnya

terkandung nilai-nilai religius. Mereka sebagai pemilik simbol-simbol yang

terdapat dalam ritual Tabut dapat memaknai ritual tersebut secara detail.

Dengan analisis semiotik menunjukkan bahwa simbol-simbol ritual Tabut

memiliki sistem tanda yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan, yaitu

representament, interpretant, dan object. Keterkaitan tersebut dijadikan

landasan oleh pengikut Tabut untuk membuat dan menentukan tanda berupa

aturan-aturan yang harus ada atau yang harus dijalankan dalam ritual Tabut.

Meski demikian, fokus pemaknaan atas tanda tersebut tidak terlepas dari

penafsir sehingga memunculkan penafsiran yang beragam. Secara struktur,

mereka melaksanakan ritual Tabut sesuai dengan aturan yang berlaku selama

ini, dari penentuan tanggal pelaksanaan hingga prosesi apa saja yang dilakukan.

Sedangkan secara denotasi dan konotasi, pengikut Tabut mengembangkan

pemaknaan ritual Tabut agar tidak tergerus oleh modernisasi dan terus dapat

diterima oleh masyarakat Bengkulu.

Pemerintah memaknai ritual Tabut sebagai komoditas pariwisata agar

keberadaan ritual Tabut dapat berkembang pada skala nasional bahkan

internasional. Namun Pemerintah hanya memaknai ritual Tabut secara

keseluruhan, sehingga menurut Pemerintah ritual Tabut tidak dapat dikatakan

sebagai ritual yang memiliki nilai-nilai keislaman. Kondisi tersebut

memunculkan struktur-struktur berbeda yang dilaksanakan oleh pemerintah.

Masyarakat sebagai kelompok sosial yang melihat ritual Tabut dalam versi

pengikut Tabut maupun Pemerintah memaknai ritual tersebut dengan berbagai

pemahaman. Bahkan kecenderungan masyarakat lebih menikmati ritual Tabut

sebagai komoditas pariwisata. Bagi mereka hal tersebut lebih memiliki nilai

positif bagi eksistensi ritual tersebut.

Makna komunikasi dan praktiknya muncul dalam ritual Tabut terefleksi

dari interpretasi yang berbeda dari pengikut Tabut dan pemerintah dalam

masyarakat. Melalui analisis pemaknaan terhadap ritual Tabut diperoleh

struktur nilai yang memunculkan beragam makna. Pemaknaan dalam ritual

Tabut dikonstruksi oleh tiga kelompok sosial, yaitu pengikut Tabut, pemerintah,

dan masyarakat. Dengan menggunakan teori pemaknaan maka peneliti

mengungkapkan bahwa setiap kelompok sosial memaknai ritual tersebut

Page 124: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

124

didasari oleh nilai dan konstruksi sosial yang berbeda. Pemaknaan ritual Tabut

sarat dengan nilai-nilai religius, komoditas pariwisata, dan sebagai hiburan bagi

masyarakat. Keragaman makna tersebut dapat dimaknai sebagai khazanah untuk

mempersatu pemikiran kelompok sosial.

Proses pemaknaan ritual Tabut menandakan berlangsungnya proses

komunikasi yang dipengaruhi oleh sistem kepercayaan dan aktifitas religius

suatu kelompok sosial. Situasi tersebut pada akhirnya memunculkan

keragamaan pemaknaan. Artinya, melalui ritual tersebut dapat memperbaiki

perilaku kelompok sosial yang berkaitan dengan nilai-nilai keisalaman

sedangkan melalui fungsi sosial untuk melestarikan ritual Tabut sebagai budaya

dan komoditas pariwisata serta untuk mengembangkan perekonomian daerah.

Eksistensi ritual Tabut mempunyai dua implikasi yaitu implikasi yang bersifat

religius dan implikasi yang bersifat sosial. Implikasi religius muncul dari

pemaknaan ritual Tabut sebagai budaya yang memiliki nilai-nilai keislaman.

Sedangkan implikasi sosial muncul dari pemaknaan ritual Tabut sebagai aset

budaya Bengkulu yang harus dikembangkan dan dilestarikan untuk

meningkatkan ekonomi daerah.

B. Saran

Akhirnya, dari penelitian ini sebagai saran, hendaknya ke depan,

pengikut Tabut, pemerintah, dan masyarakat saling bekerja sama dalam

mempertahankan eksistensi ritual Tabut, keragaman pemaknaan diantara

kelompok sosial agar dijadikan pemersatu bukan menyudutkan masing-masing.

Saran sekaligus rekomendasi juga ditujukan kepada para peneliti

berikutnya. Penelitian ini bukanlah penelitian yang final dan masih

membutuhkan banyak analisis mendalam. Tentunya dengan data-data lain yang

mendukung. Mungkin penelitian berikutnya akan menemukan fakta lain tentang

ritual Tabut serta sangat memungkinkan adanya perkembangan dan perubahan

makna ritual tersebut, ataupun difokuskan pada sejarah kemunculan ritual Tabut

secara mendalam karena peneliti merasa tidak terlalu mendalam mengkajinya

dalam penelitian ini.

Page 125: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

125

A

Andi Faisal Bakti · 1, 3, 6, 9, 13, 14,

17, 18, 22, 25, 27, 28

B

Barthes · 33, 34, 35, 38, 44, 45, 46,

108, 110

budaya · 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 12,

13, 15, 18, 20, 21, 22, 23, 24, 25,

26, 27, 28, 29, 30, 34, 38, 39, 40,

41, 42, 43, 44, 45, 47, 49, 50, 51,

55, 56, 59, 60, 61, 63, 71, 76, 79,

80, 81, 82, 84, 85, 87, 88, 105,

106, 107, 108, 109, 110, 112,

113, 114, 116,117, 118, 119, 120,

121, 124

D

denotasi · 10, 17, 19, 20, 38, 44, 45,

87, 108, 123

E

ekonomi · 5, 16, 22, 24, 28, 55, 79,

82, 111, 113, 114, 124

F

festival · 7, 56, 59, 76, 81, 111, 117,

120

G

Gill Branston dan Roy Stafford · 10,

11, 19, 32, 33, 35, 37, 38, 39, 40,

44, 87, 108

H

Husain · 4, 5, 15, 52, 61, 63, 68, 70,

74, 75, 77, 88, 89, 90, 93, 94, 95,

96, 97, 98, 99, 104, 107, 114,

119, 120

I

interpretant · 36, 37, 91, 93, 94, 95,

96, 98, 99, 100, 101, 103, 104,

105, 106, 107, 123

K

Karbela · 52, 62, 64, 77, 78

Kerukunan Tabut Budaya · 60, 80,

81, 111, 117, 119

kesakralan · 7, 111, 112

KKT · 3, 4, 7, 55, 60, 61, 64, 67, 68,

69, 70, 71, 73, 74, 76, 77, 78, 79,

80, 81, 82, 88, 90, 92, 93, 94, 97,

98, 100, 101, 102, 112, 113, 114,

115, 119, 121

komoditas · 6, 80, 110, 111, 112,

117, 123, 124

konotasi · 10, 11, 17, 19, 20, 38, 44,

45, 87, 108, 109, 110, 123

Page 126: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

126

L

Lévi-Strauss · 33, 39, 40, 41, 42, 43,

113, 116, 117, 118, 119

M

mitos · 39, 41, 44, 45, 46, 63, 108,

110, 117, 118, 119, 121

Muharram · 4, 5, 13, 14, 15, 16, 51,

52, 58, 59, 60, 62, 63, 64, 66, 67,

69, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78,

79, 80, 84, 85, 89, 90, 91, 92, 93,

94, 95, 97, 98, 101, 102, 103,

109, 118, 119, 120

O

object · 20, 36, 91, 93, 94, 95, 96,

98, 99, 100, 101, 103, 104, 105,

106, 123

P

pariwisata · 4, 5, 80, 81, 85, 106,

110, 111, 112, 123, 124

Peirce · 10, 29, 30, 31, 32, 33, 34,

36, 37, 90, 91, 92, 93, 94, 96, 97,

99, 100, 101, 102, 103, 105, 106,

107, 120

pemaknaan · 2, 6, 7, 8, 10, 11, 12,

16, 17, 18, 19, 20, 29, 32, 33, 35,

36, 38, 40, 44, 46, 82, 86, 87, 88,

91, 93, 94, 95, 96, 98, 99, 100,

101, 103, 104, 105, 106, 107,

108, 110, 111, 112, 114, 115,

117, 120, 121, 123, 124

pengikut Tabut · 4, 7, 12, 16, 17,

18, 61, 64, 67, 69, 71, 75, 77, 78,

80, 85, 88, 90, 95, 97, 105, 107,

109, 110, 111, 112, 114, 115,

117, 118, 123, 124

penja · 5, 69, 70, 72, 73, 74, 76, 77,

78, 92, 93, 95, 96, 103, 104, 105,

117, 118

politik · 5, 8, 11, 13, 14, 16, 22, 29,

44, 55, 79, 111, 112, 119

R

representament · 20, 36, 91, 93, 94,

95, 96, 98, 99, 100, 101, 103,

104, 105, 106, 107, 123

Ritual Tabut · 3, 61, 72, 80, 82, 86,

87, 103, 107, 109, 110, 114, 116,

117, 119, 120, 123

S

semiotik · 10, 16, 19, 20, 30, 31, 32,

33, 34, 35, 36, 38, 39, 57, 87, 90,

91, 92, 93, 94, 96, 97, 99, 100,

101, 102, 103, 105, 106, 116,

120, 123

soja · 5, 72, 76, 77, 102, 105

struktural · 10, 16, 19, 20, 38, 39,

40, 87, 115, 116, 120, 121

strukturalisme · 10, 33, 39, 40, 41,

42, 43, 46, 116, 117, 123

Sunni · 2, 4, 13, 16, 51, 118, 119

Syiah · 3, 6, 14, 51, 55, 56, 61, 84,

85, 98, 118, 119

T

Tabut pembangunan · 81, 82, 107,

111, 112, 120

trikotomi · 90, 91, 92, 93, 94, 95,

96, 97, 98, 99, 100, 101, 102,

103, 104, 105, 106

Page 127: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47882/1/Femalia Valentine...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

127