3
PENDAHULUAN Osteoartritis (OA) merupakan penyakit radang sendi yang paling banyak dijumpai di masyarakat, termasuk di Indonesia. Penyakit ini menyebabkan nyeri dan disabilitas pada pasien sehingga mengganggu aktifitas sehari-hari dan menimbulkan dampak sosial ekonomi yang berat. Kelainan utama OA adalah kerusakan rawan sendi. Proses penyakitnya tidak hanya mengenai rawan sendi namun juga mengenai seluruh sendi, termasuk tulang subkondral, ligamentum, kapsul dan jaringan sinovial serta jaringan ikat periartikular. Pada stadium lanjut rawan sendi mengalami kerusakan yang ditandai dengan adanya fibrilasi, fissura dan ulserasi yang dalam pada permukaan sendi. Harus dipahami bahwa pada OA merupakan penyakit dengan progresifitas yang lambat, dengan etiologi yang tidak diketahui. Terdapat beberapa faktor risiko OA, yaitu: obesitas, kelemahan otot, aktivitas fisik yang berlebihan atau kurang, trauma sebelumnya, penurunan fungsi proprioseptif, faktor keturunan menderita OA dan faktor mekanik. Faktor risiko tersebut mempengaruhi progresifitas kerusakan rawan sendi dan pembentukan tulang yang abnormal. OA paling sering mengenai lutut, panggul, tulang belakang dan pergelangan kaki. Karakteristik OA ditandai dengan keluhan nyeri sendi dan gangguan pergerakan yang terkait dengan derajat kerusakan pada tulang rawan. Osteoartritis saat ini tidak lagi dianggap penyakit degeneratif, namun usitetap merupakan salah satu faktor risikonya. Usia diatas 65 tahun, hanya 50% memberikan gambaran radiologis sesuai Osteoartritis, meskipun hanya 10% pria dan 18% wanita diantaranya yang memperlihatkan gejala klinis OA, dan sekitar 10% mengalami disabilitas karena OA nya, maka dapat difahami jika makin bertambah usia, makin tinggi kemungkinan untuk terkena OA. Seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup, menurut WHO pada tahun 2025 populasi usia lanjut di Indonesia akan meningkat 414% dibanding tahun 1990. Di Indonesia prevalensi OA lutut yang tampak secara radiologis mencapai 15,5% pada pria dan 12,7% pada wanita yang berumur antara 40-60 tahun. Evaluasi progresivitas penyakit atau hasil pengobatan OA sampai sekarang didasarkan pada pengamatan klinik dan radiografik sendi yang terkena. Disadari kedua parameter

PENDAHULUAN.doc

Embed Size (px)

Citation preview

PENDAHULUAN

Osteoartritis (OA) merupakan penyakit radang sendi yang paling banyak dijumpai di masyarakat, termasuk di Indonesia. Penyakit ini menyebabkan nyeri dan disabilitas pada pasien sehingga mengganggu aktifitas sehari-hari dan menimbulkan dampak sosial ekonomi yang berat. Kelainan utama OA adalah kerusakan rawan sendi. Proses penyakitnya tidak hanya mengenai rawan sendi namun juga mengenai seluruh sendi, termasuk tulang subkondral, ligamentum, kapsul dan jaringan sinovial serta jaringan ikat periartikular. Pada stadium lanjut rawan sendi mengalami kerusakan yang ditandai dengan adanya fibrilasi, fissura dan ulserasi yang dalam pada permukaan sendi.

Harus dipahami bahwa pada OA merupakan penyakit dengan progresifitas yang lambat, dengan etiologi yang tidak diketahui. Terdapat beberapa faktor risiko OA, yaitu: obesitas, kelemahan otot, aktivitas fisik yang berlebihan atau kurang, trauma sebelumnya, penurunan fungsi proprioseptif, faktor keturunan menderita OA dan faktor mekanik. Faktor risiko tersebut mempengaruhi progresifitas kerusakan rawan sendi dan pembentukan tulang yang abnormal. OA paling sering mengenai lutut, panggul, tulang belakang dan pergelangan kaki. Karakteristik OA ditandai dengan keluhan nyeri sendi dan gangguan pergerakan yang terkait dengan derajat kerusakan pada tulang rawan.

Osteoartritis saat ini tidak lagi dianggap penyakit degeneratif, namun usitetap merupakan salah satu faktor risikonya. Usia diatas 65 tahun, hanya 50% memberikan gambaran radiologis sesuai Osteoartritis, meskipun hanya 10% pria dan 18% wanita diantaranya yang memperlihatkan gejala klinis OA, dan sekitar 10% mengalami disabilitas karena OA nya, maka dapat difahami jika makin bertambah usia, makin tinggi kemungkinan untuk terkena OA. Seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup, menurut WHO pada tahun 2025 populasi usia lanjut di Indonesia akan meningkat 414% dibanding tahun 1990. Di Indonesia prevalensi OA lutut yang tampak secara radiologis mencapai 15,5% pada pria dan 12,7% pada wanita yang berumur antara 40-60 tahun.

Evaluasi progresivitas penyakit atau hasil pengobatan OA sampai sekarang didasarkan pada pengamatan klinik dan radiografik sendi yang terkena. Disadari kedua parameter tersebut tak dapat memberikan penilaian yang sensitif untuk perkembangan kerusakan rawan sendi OA. Parameter laboratorik yang banyak dipergunakan adalah pengukuran kadar C-reactive protein (CRP) dan laju endap darah (LED) yang hasilnya normal atau sedikit meningkat dan rheuma factor (RF) negatif. Petanda tersebut juga tidak dapat mencerminkan dengan akurat beratnya kerusakan sendi dan korelasinya buruk dengan kerusakan rawan sendi.

Melihat besarnya dampak osteoartritis terhadap kualitas hidup maka diperlukan suatu pengobatan yang tepat. Selama ini pengobatan untuk osteoartritis meliputi analgetik, NSAID, kortikosteroid, suplemen dan injeksi hyaluronat (NICE, 2014). Ada tiga tujuan utama yang ingin dicapai dalam proses terapi osteoartritis, yaitu untuk mengontrol nyeri dan gejala lainnya, mengatasi gangguan aktivitas sehari-hari, dan menghambat proses penyakit. Prinsippenggunaan analgetik dan NSAID pada osteoartritis adalah untuk menekan nyeri dan inflamasi, tetapi tidak dapat menghentikan perjalanan penyakit osteoartritis, jadi lebih bersifat simptomatik. Walaupun demikian obat ini masih diperlukan karena dapat mengurangi keluhan penderita sehingga tetap dapat melakukan aktifitas sehari-hari (Dipiro et al., 2008).

Osteoartritis memang bukan penyakit yang bisa disembuhkan, namun dengan pemberian obat yang tepat diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien osteoartritis. Selama ini pola pengobatan yang diberikan bermacam-macam namun untuk keefektifannya sendiri masih

menjadi perdebatan contohnya saja pada pemakaian glukosamin kondroitin, beberapa pasien merasakan manfaatnya tetapi pada beberapa pasien merasa tidak ada manfaatnya (NICE, 2014). Begitu juga dengan pemakaian NSAIDs dan Inhibitor COX-2, kedua obat ini dianggaplebih efektif dibandingkan parasetamol. Namun risiko toksisitas obat NSAID lebih tinggi daripada parasetamol apabila dipakai dalam jangka panjang (Rahme et al., 2008). Padahal seperti yang kita ketahui bahwa osteoartritis dengan osteoartritis (Rosemann et al., 2007). Begitu juga pada perempuan, tingkat stress dan intensitas nyeri osteoartritis yang dirasakan akan lebih tinggi dibandingkan pada pria meskipun mendapat membutuhkan pengobatan dalam jangka panjang sehingga pola pengobatan yangtepat dan terkontrol sangat dibutuhkan. Dengan pengukuran kualitas hidup inidapat diketahui pola pengobatan yang efektif dalam meningkatkan kualitas hiduppasien (Chen et al, 2005).

http://reumatologi.or.id/var/rekomendasi/Rekomendasi_IRA_Osteoarthritis_2014.pdfhttp://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75463/potongan/S1-2014-301226-introduction.pdf.http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/jurnal/Vol1.no2.Juli2010/Osteoartritis.pdf