44
K2i DI PROVINSI RIAU T P K 2 G U B R I 2003-2008 1 BAB II PENDEKATAN TEORI A. Teori Kemiskinan 1. Definisi Kemiskinan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “miskin” diartikan sebagai tidak berharta benda; serba kekurangan (berpenghasilan rendah). Selain miskin kata faqir juga sering digunakan sebagai padanan atau majemuk dari kata miskin itu sendiri. Kata ini berarti sebagai orang yang sangat berkekurangan; atau sangat miskin 1 Dalam bahasa aslinya (Arab) kata miskin terambil dari kata sakana yang berarti diam atau tenang, sedang faqir berasal dari faqr yang pada mulanya berarti tulang punggung. Faqir adalah orang yang patah tulang punggungnya, dalam arti bahwa beban yang dipikulnya sedemikian berat sehingga “mematahkan” tulang punggungnya 2 . Dalam sebutan sehari-hari kedua kata tersebut selalu disebut miskin atau kemiskinan. Memperhatikan akar kata “miskin” bila disimak dari terminologi Arab seperti disebut di atas diperoleh kesan bahwa faktor utama penyebab kemiskinan adalah sikap berdiam diri, enggan, atau tidak dapat bergerak atau berusaha. Keengganan berusaha adalah penganiayaan terhadap diri sendiri, sedang ketidakmampuan berusaha antara lain disebabkan oleh penganiayaan manusia lain yang membuat dirinya faqir atau miskin. Dengan demikian, definisi umum tentang kemiskinan adalah bilamana masyarakat berada pada suatu kondisi yang serba terbatas, baik dalam aksesibilitas 1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2002, hal.312 dan 749. 2 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, Jakarta, Mizan 1996, hal. 449.

PENDEKATAN TEORI

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

1

BAB II

PENDEKATAN TEORI

A. Teori Kemiskinan

1. Definisi Kemiskinan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “miskin” diartikan sebagai tidak

berharta benda; serba kekurangan (berpenghasilan rendah). Selain miskin kata faqir

juga sering digunakan sebagai padanan atau majemuk dari kata miskin itu sendiri.

Kata ini berarti sebagai orang yang sangat berkekurangan; atau sangat miskin1

Dalam bahasa aslinya (Arab) kata miskin terambil dari kata sakana yang berarti diam

atau tenang, sedang faqir berasal dari faqr yang pada mulanya berarti tulang

punggung. Faqir adalah orang yang patah tulang punggungnya, dalam arti bahwa

beban yang dipikulnya sedemikian berat sehingga “mematahkan” tulang

punggungnya2. Dalam sebutan sehari-hari kedua kata tersebut selalu disebut miskin

atau kemiskinan.

Memperhatikan akar kata “miskin” bila disimak dari terminologi Arab seperti

disebut di atas diperoleh kesan bahwa faktor utama penyebab kemiskinan adalah

sikap berdiam diri, enggan, atau tidak dapat bergerak atau berusaha. Keengganan

berusaha adalah penganiayaan terhadap diri sendiri, sedang ketidakmampuan

berusaha antara lain disebabkan oleh penganiayaan manusia lain yang membuat

dirinya faqir atau miskin.

Dengan demikian, definisi umum tentang kemiskinan adalah bilamana

masyarakat berada pada suatu kondisi yang serba terbatas, baik dalam aksesibilitas

1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka,2002, hal.312 dan 749.

2 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, Jakarta, Mizan 1996, hal. 449.

Page 2: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

2

pada faktor produksi, peluang atau kesempatan berusaha, pendidikan, fasilitas hidup

lainnya, sehingga dalam setiap aktivitas maupun usaha menjadi sangat terbatas3.

Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan sebagai Poverty is concern with absolute

standard of living of part of society the poor in equality refers to relative living

standards across the whole society4. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa

kemiskinan terkait dengan batas absolut dari sebagian masyarakat. Selain itu

kemiskinan juga menunjukkan ketimpangan standar hidup relatif dari seluruh

masyarakat. Dengan demikian kemiskinan dapat diukur melalui perbandingan antara

tingkat pendapatan dengan nilai kebutuhan hidup minimum seseorang pada kurun

waktu tertentu.

2. Bentuk-Bentuk Kemiskinan

Bertitik tolak dari pengertian di atas, maka kemiskinan dibedakan menjadi

kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif5. Komunitas yang termasuk ke dalam

kemiskinan absolut adalah mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok

minimum. Adapun komunitas yang termasuk kemiskinan relatif adalah mereka yang

memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum yang secara

relatif berada di bawah rata-rata pendapatan masyarakat di sekitarnya.

Dalam pandangan lain, kemiskinan dapat dibedakan menjadi kemiskinan

natural, kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural6. Kemiskinan natural disebut

juga dengan kemiskinan turun temurun. Kemiskinan ini disebabkan keterbatasan

secara alamiah yang dialami suatu komunitas, sehingga sulit untuk melakukan

perubahan. Pada umumnya keterbatasan tersebut berupa kondisi sumber daya alam

dan lingkungan yang buruk.

3 Ambar Teguh Sulistiyani, Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan, Jakarta: GavaMedie 2004 : 17.

4 Sumodiningrat dan Gunawan, 1999 : 25 Op. Cit., h. 17.6 Ibi, h, 29.

Page 3: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

3

Kemiskinan kultural merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh faktor

budaya. Artinya, kemiskinan itu terjadi oleh adanya nilai-nilai budaya yang membuat

masyarakat sulit mengembangkan dirinya dan terjebak ke dalam suasana kemiskinan

turun temurun. Misalnya, dalam budaya Jawa “mangan ora mangan ngumpul” telah

mengkondisikan suatu masyarakat pada lingkaran kemiskinan. Begitu juga dalam

budaya Melayu. Ungkapan “makan-makan angin” sering mempengaruhi prilaku

sosial masyarakat untuk terbiasa membuang-buang waktu dan hidup secara tidak

efisien dan tidak produktif. Sehingga, sadar atau tidak disadari mereka pun terjebak

dengan kemiskinan.

Kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-

faktor kebijakan yang tidak memihak kepada masyarakat miskin. Misalnya, kebijakan

ekonomi yang tidak adil, penguasaan faktor produksi yang tidak merata, korupsi,

kolusi dan nepotisme, kebijakan ekonomi global dan lain sebagainya.

3. Indikator Kemiskinan

Indikator kemiskinan ini telah banyak ditulis oleh para ahli. Sayogyo,

misalnya, mengkonversikan kemiskinan dengan nilai kilogram beras yang

dikonsumsi dalam satu tahun. Menurutnya indikator kemiskinan adalah setara dengan

240 kg/orang/tahun. Dengan demikian, seseorang dikatakan miskin apabila dalam

satu tahun tidak mengkonsumsi beras sesuai dengan yang disebutkan di atas7.

Biro Pusat Statisitik mengkonversikan kemiskinan dengan kebutuhan kalori,

yaitu 2100 kalori perkapita perhari, sementara, Bank Dunia menggunakan ukuran

2200 kalori per orang per hari. Indikator ini juga memiliki kelemahan. Pertama,

kalori yang sama dapat dapat diperoleh melalui makanan yang berharga mahal atau

berharga murah. Misalnya beras dan gandum mempunyai harga yang relatif lebih

tinggi dibandingkan umbi-umbian. Akibat perbedaan harga sumber kalori tersebut

sulit mengukur tingkat kemiskinan seseorang dari nilai rupiah yang di keluarkan.

7 Sayogyo, 1977.

Page 4: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

4

Kedua, kebutuhan dasar untuk hidup minimal bukan hanya kalori, melainkan masih

ada unsur-unsur lain, seperti sandang, papan, pendidikan dan kesehatan.

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sejak tahun

1994 juga mengembangkan beberapa indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan

keluarga dengan mempergunakann indikator ekonomi, sosial, kesehatan, dan gizi.

Hasil kajian terhadap indikator-indikator tersebut memetakan kesejahteraan keluarga

dalam beberapa tingkatan sebagai berikut: Keluarga Pra Sejahtera, Keluarga

Sejahtera I, Keluarga Sejahtera II, dan Keluarga Sejahtera III Plus. Keluarga yang

masuk ke dalam ketegori miskin adalah keluarga Pra Sejahtera dan keluarga Sejahtera

I8(Ambar Teguh Sulistiyani, 2004 : 35)..

Indikator-indikator di atas, belum memetakan kemiskinan yang dihasilkan

oleh aspek kultural dan struktural sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya. Dengan

demikian Indikator-indikator tersebut perlu diintegrasikan dan disempurnakan dengan

menambahkan aspek kemudahan akses ke arah kepentingan publik yang cukup

beragam seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, pasar, pekerjaan dan lain-lain.

4. Dimensi Kemiskinan

Secara singkat persoalan kemiskinan telah dijelaskan di atas. Selanjutnya

yang menjadi persoalan adalah bagaimana memecahkan permasalahan kemiskinan

tersebut, hingga diperoleh solusi yang tepat. Setidaknya ada dua dimensi yang dapat

digunakan dalam mendekati kemiskinan, yaitu perspektif kemiskinan cultural dan

structural atau situasional9. Ada tiga tingkat analisis menurut perspektif kultural, yaitu

individual, keluarga dan masyarakat. Pada tingkat individual kemiskinan ditandai

dengan sifat a strong feeling of marginality seperti sikap parochial, apatisme,

fatalisme atau pasrah pada nasib, ketergantungan dan inferior. Pada tingkat keluarga,

kemiskinan ditandai dengan jumlah anggota keluarga yang besar dan free union or

consensual marriages. Dan pada tingkat masyarakat, kemiskinan terutama

8 Op. Cit. h. 35.9 Ellis,1984.

Page 5: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

5

ditunjukkan oleh tidak terintegrasinya kaum miskin dengan institusi-institusi

masyarakat secara efektif10.

5. Pendekatan Pemberdayaan

Dari perspektif agama Islam, kewajiban memberdayakan masyarakat

miskin dikategorikan kepada tiga kewajiban yaitu, kewajiban setiap individu,

kewajiban orang lain dan kewajiban pemerintah. Kewajiban setiap individu tercermin

dalam kewajiban bekerja dan berusaha. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya

menjelaskan bagaimana naluri kepemilikan mendorong manusia bekerja dan

berusaha. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa agama mewajibkan setiap

induvidu bekerja dan berusaha. Karena itu, mereka harus berjuang untuk naik ke

tingkat strata sosial yang lebih baik dari kondisi saat ini. Usaha ke arah itu harus

dilakukan melalui perbaikan mentalitas pribadi, terutama bagi kemiskinan yang

bersifat natural dan cultural, yang dari sudut pandang psikologi biasa dilakukan

dengan latihan-latihan motivasi berprestasi, sedangkan dari sudut pandang teologis,

bisa dilakukan dengan pembaruan pandangan hidup dari fatalistic kepada rasional

progresif serta mencari nilai-nilai etos kerja yang progresif untuk kemajuan.

Zakat dan kewajiban keuangan lainnya dapat dijadikan alat untuk

pemberdayaan ekonomi masyarakat. Dari sekumpulan ayat-ayat Al-Quran dapat

dipahami bahwa kewajiban zakat dan kewajiban-kewajiban keuangan lainnya,

ditetapkan atas dasar kepemilikan Allah secara mutlak dan berdasarkan penguasaan

manusia sebagai khalifah (Istikhlaf). Apa yang ada dalam genggaman seseorang atau

sekelompok orang, pada hakikatnya adalah milik Allah. Manusia diwajibkan

menyerahkan kadar tertentu dari kekayaannya untuk kepentingan saudara-

saudaranya. Misalnya, zakat maal dapat digunakan untuk modal usaha produktif bagi

masyarakat miskin. Dengan demikian, manajemen pengelolaan zakat ini perlu

diarahkan sebaik mungkin agar masyarakat miskin mendapatkan kemudahan terhadap

10 Usman, 1998 : 127-128.

Page 6: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

6

akses permodalan. Manajemen pengelolaan ini tidak hanya diarahkan untuk zakat

yang telah terkumpul tetapi juga mengupayakan segala usaha agar orang-orang kaya

terpanggil secara sadar untuk menunaikan zakat hartanya. Di sini peran pemerintah

ikut menentukan.

Di samping dana seperti disebutkan di atas, pemerintah juga dituntut oleh

agama dan undang-undang yang berlaku untuk berperan secara lebih aktif dalam

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Karena, realitas kemiskinan tidak saja

disebabkan oleh tidak rasionalnya masyarakat atau karena budaya miskin yang

berkembang sekian lama di sekitar mereka, atau juga karena kurang motivasi untuk

berprestasi serta karena etos kerja yang lemah, tetapi ia juga muncul akibat

ketidakadilan sosial yang berlaku di tengah-tengah mereka.

Seperti dimaklumi, bahwa secara teoritis mewujudkan keadilan sosial adalah

diantara tugas negara yang terpenting. Sesuai dengan undang-undang dasar 1945

pasal 33 pemerintah berkewajiban mewujudkan demokrasi ekonomi dalam rangka

menegakkan keadilan sosial dalam ekonomi.

Menurut Korten, ada dua pendekatan pembangunan yang dilakukan selama

ini, yaitu pendekatan top-down dan pendekatan bottom-up. Pendekatan top-down

merupakan bentuk blue print strategy yaitu pendekatan yang bersumber pada

pemerintah, sementara masyarakat hanyalah sebagai sasaran atau objek pembangunan

saja. Sebaliknya pendekatan bottom-up adalah pembangunan yang memposisikan

masyarakat sebagai pusat pembangunan atau pusat perubahan sehingga terlibat dalam

proses perencanaan sampai pada pelaksanaan dan evaluasi. Pendekatan ini sering

disebut juga sebagai people centered development11.

Pendekatan pembangunan sudah selayaknya mampu menampung

permasalahan yang beraneka ragam dan harus memberi peluang kepada masyarakat

untuk lebih secara leluasa mencari solusi untuk setiap masalah yang dihadapi.

Orientasi terhadap bentuk kegiatan yang seragam merupakan distorsi dalam

11 David C. Korten, 1980.

Page 7: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

7

pembangunan dan mengurangi hakikat dari pembangunan itu sendiri. Dengan

demikian, pembangunan masyarakat miskin hendaknya lebih bernuansa

pemberdayaan.

Artinya program pembangunan yang dibuat oleh decision maker haruslah

memuat kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada pemberdayaan. Untuk itu

pemerintah daerah perlu menginterpretasikan kebijakan tersebut demi kepentingan-

kepentingan daerah sifatnya lebih spesifik dan sangat kasuistik. Interpretasi tersebut

tertuang dalam policy guidelines yang merupakan hasil kerjasama dengan

masyarakat, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi massa atau

kelompok swadaya masyarakat lainnya. Dengan demikian panduan kebijakan

diturunkan oleh pemerintah, hendaknya dapat direspon oleh masyarakat dengan cara

menderivasi kebijakan tersebut sesuai dengan kondisi daerah masing-masing.

B. Pengentasan Kebodohan

1. Definisi Kebodohan

Secara etimologis, term kebodohan berasal dari kata bodoh yang mendapat

awalan ke dan akhiran an. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bodoh diartikan

sebagai sifat tidak lekas mengerti, tidak mudah tahu, tidak memiliki pengetahuan,

pendidikan dan pengalaman12. Kata ini, dalam bahasa Inggris, identik dengan kata

“stupid13.

Dalam bahasa Arab, kata “bodoh” sepadan dengan kata al-jahl dan al-safih14

yang berarti ‘adam al-ilmi bi al-syai’ (tidak ada pengetahuan tentang sesuatu),

sehingga orang yang tidak berpengatahuan disebut jahil.

Dalam perspektif agama (Islam) jahil dapat diklasifikasikan menjadi jahil

murakkab dan jahil basith. Jahil murakkab adalah jahil yang terstruktur atau

kebodohan di mana seseorang sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang

12 Dep. Pendidikan Nasional, 2002:159.13 John M. Echols, 1984:564.14 Ahmad Warson Munawwir, 1984:236 dan 682

Page 8: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

8

sesuatu. Sedangkan jahil basith adalah kebodohan di mana seseorang memiliki

pengetahuan tentang sesuatu, tetapi tidak sampai pada tingkat yang memadai.

Bertitik tolak dari pengertian etimologis di atas, dapat dipahami bahwa

masalah kebodohan tidak hanya bersifat mikro (bersifat pendidikan formal dan

informal) tetapi lebih bersifat makro (mencakup wawasan, etos, skill dan peradaban).

Hal ini sejalan dengan sebutan “jahiliyah,” sebutan yang dahulu pada masa pra

Islam ditujukan kepada orang-orang yang bukan tidak memiliki pengetahuan dalam

pengertian mikro seperti disebut di atas, tetapi lebih berorientasi pada pengertian

makro terutama yang berhubungan dengan wawasan, etos, skill dan peradaban.

2. Urgensi Pengentasan Kebodohan

Mengingat kebodohan adalah kendala paling utama dalam meraih kesuksesan

hidup di dunia maupun akhirat, maka usaha untuk mengentaskannya harus dijadikan

sebagai prioritas dan upaya yang paling urgen.

Bicara tentang pengentasan kebodohan, adalah bicara tentang peningkatan

kualitas sumber daya manusia, yang untuk negara-negara berkembang, terutama

Indonesia, merupakan kelemahan mendasar yang perlu segera dicarikan solusinya.

Pengalaman selama krisis ekonomi menunjukkan bahwa negara-negara seperti Korea,

Jepang, Thailand, Singapura dan Malaysia sama-sama terkena krisis dengan

Indonesia. Namun, akibat perbedaan kualitas SDMnya, Indonesia mengalami krisis

yang lebih parah dibanding negara-negara lainnya itu. Hal ini sangat dipengaruhi oleh

faktor SDM mereka yang pukulrata lebih tinggi dari Indonesia (Human Development

Indeks Negara-negara Asia). Di sini jelas sekali bahwa langsung atau tidak langsung,

kualitas SDM mempunyai peran paling utama dan sangat menentukan dalam

pembangunan ekonomi suatu negeri.

Dari perspektif ini, pendidikan memiliki peran yang sangat strategis dalam

penyediaan SDM berkualitas. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin

besar peluangnya untuk meningkatkan kualitas diri dan daya saing dalam kehidupan

sosial yang bersangkutan. Para ahli memandang pendidikan bukan hanya sebagai

Page 9: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

9

variabel terbentuknya SDM yang berdaya saing tinggi, tetapi juga ikut menentukan

terjadinya perubahan sosial ( social change). SDM merupakan inti dalam

pembangunan. Meskipun kaya dengan sumber daya alam tanpa didukung oleh SDM

yang berkualitas akan sulit mencapai kemajuan di semua bidang. Jika dibandingkan

dengan negara-negara ASEAN lainnya, persentase pengeluaran pemerintah dan

masyarakat dalam bidang pendidikan, ternyata Indonesia menempati urutan angka

pengeluaran yang paling kecil, seperti terlihat dalam tabel berikut :

Tabel 1

Pengeluaran Untuk Pendidikan Indonesia

dan Beberapa Negara ASEAN

Negara

Persentase dari Pengeluaran

Pemerintah

Persentase dari Pengeluaran

Masyarakat (% dariPDB)

Indonesia

Malaysia

Piliphina

Singapura

Thailand

Vietnam

9

23

20

19

22

-

1,7

5,3

2,2

3

4,2

2,7

Sumber : The State of world’s children 2000, UNICEP World Development Report

1998/19999

The world Bank

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa kualitas pendidikan kita menjadi

rendah dibanding dengan negara-negara lain itu. Hal ini dapat dilihat pula dari

ranking universitas-universitas di Asia seperti pada tabel berikut :

Page 10: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

10

Tabel 2

Rangking Universitas di Asia

Rank Universitas Nilai

1 Kyoto University 83.17

2 Tohoku University (Japan) 83.05

3 University of Hong Kong 82.55

4 Seoul National University 81.96

5 National University of Singapore 77.96

47 University of Malaya 54.20

48 University of the Philippines 53.79

52 Universiti Putra Malaysia 53.11

61 University of Indonesia 49.89

68 Gadjah Mada University 45.92

73 Diponegoro University 43.25

Sumber : Majalah Times tahun 2000

Oleh sebab itu masalah kualitas SDM di Indonesia menjadi tuntutan

pembangunan yang tidak boleh diabaikan dan harus diperhatikan secara sungguh-

sungguh.

3. Paradigma Pengembangan Sumber Daya Manusia

Menurut Sustyatie Soemitro terdapat empat paradigma pengembangan SDM

yang dibuat berdasarkan asumsi tentang hakikat manusia. Pertama, adalah paradigma

yang memandang manusia sebagai makhluk ekonomi. Asumsi dasar mengenai

hakikat manusia sebagai makhluk ekonomi adalah bahwa manusia sangat dimotivasi

pencarian akan sumber ekonomi. Kedua, paradigma yang memandang manusia

sebagai makhluk sosial yang memiliki perasaan. Dalam paradigma ini manusia tidak

hanya diperlakukan dengan pendekatan ekonomis, tetapi juga diperlakukan dengan

Page 11: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

11

penuh kebaikan, penghormatan, kesopanan dan kesusilaan, dihormati dan dicintai.

Ketiga, paradigma yang memandang bahwa manusia sebagai makhluk rasional.

Dalam paradigma ini manusia dianggap sebagai makhluk kognitif atau makhluk yang

berfikir. Dengan pengertian yang luas tentang hakikat manusia menurut paradigma

ini, bakat, kreatifitas, akal budi, kepintaran dan imajinasinya perlu dimanfaatkan

secara optimal. Kita memandang manusia sebagai sumber daya utama bukan sebagai

barang modal. Keempat, Paradigma yang memandang manusia sebagai makhluk

spritual. Di sini manusia bukan hanya makhluk ekonomi, sosial dan rasional, tetapi

juga adalah makhluk spritual15. Jadi dalam pengembangan SDM harus

memperhatikan empat paradigma tersebut secara integral. Dengan kata lain,

pendidikan sebagai agen perbaikan dan pengembangan SDM harus diformulasikan

dengan mengacu kepada paradigma di atas. Dengan demikian, pola pendidikan yang

dikembangkan adalah pola pendidikan yang mengarahkan peserta didik memiliki

kecerdasan intelektual, kecerdasan spritual dan terampil sehingga memungkinkan

mereka memiliki daya saing tinggi dalam merebut dan menciptakan peluang-peluang

ekonomi.

Oleh karena manusia sebagai makhluk sosial, maka pengembangan

sumberdayanya melalui pendidikan, perlu juga memperhatikan socio-cultural-

national-building yang meliputi sifat, sikap, watak, tabiat, nilai, adat istiadat dan

kebuadayaan. Dari aspek spritual, pendidikan hendaknya diarahkan untuk memotivasi

peserta didik melakukan sesuatu yang bermakna dan menanamkan ghirah atau etos

kerja yang baik serta mewarnai pola pendidikan itu dengan nilai-nilai ilahiyah. Hal

yang disebut terakhir ini penting, karena bila pola pendidikan yang dikembangkan

hanya bersifat teknik-empirik atau rasional-objektif, maka yang akan terjadi adalah

kehancuran kemanusiaan dan hilangnya semangat religius dalam segala aktivitas

kehidupannya. Sehingga, kata Karl Jaspers, “Dunia benar-benar mengalami

despritualisasi yang tunduk pada rezim teknologi (despritualization of the world and

15 Sustyatie Soemitro, 2002 : 76-78.

Page 12: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

12

its subjection to a regime of advance tehnique), lalu mereka kehilangan kepribadian

(impersonality).

4. Tanggung Jawab Pemerintah

Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan bahwa setiap warga

negara berhak untuk mendapatkan pendidikan (pasal 31 ayat 1). Amanat tesebut

selanjutnya ditindaklanjuti dengan pencanangan program wajib belajar sembilan

tahun. Pasal 13 Undang-Undang No. 2 tahun 1989, tentang Pendidikan Nasional yang

menyebutkan bahwa pendidikan dasar merupakan pendidikan sembilan tahun yang

diselenggarakan di Sekolah Dasar enam tahun dan di Sekolah Menengah Tingkat

Pertama selama tiga tahun.

Namun demikian, ada sesuatu yang “salah” dalam pencanangan program

pendidikan dasar sembilan tahun itu. Kesalahan itu tidak terletak pada aturannya,

tetapi pada ketidaksiapan perangkat pendukung dan fasilitas bagi terwujudnya

kebijakan tersebut. Karena secara ideal dan teoritis kebijakan wajib belajar memiliki

konsekuensi bagi negara dan pemerintah untuk memfasilitasinya dengan dana dan

fasilitas serta tenaga pendidik yang memadai. Tetapi yang terjadi adalah keterbatasan

dalam banyak hal. Konsekuensi kebijakan wajib belajar adalah semua anak bangsa--

dalam kondisi dan kategori apapun--memiliki kesempatan yang sama untuk

mendapatkan pendidikan. Di samping itu kewajiban tersebut diikuti dengan kebijakan

ketersediaan fasilitas dan biaya murah untuk mendapatkan pendidikan bila

kemampuan negara belum mencukupi untuk membebaskan semua anak didik dari

beban uang sekolah. Hal ini tentu membawa konsekuensi logis diperbesarnya alokasi

dana APBN dan APBD untuk biaya pendidikan. Aspek lain yang perlu diperhatikan

berkaitan dengan kebijakan wajib belajar ini adalah dibebaskannya siswa dari

berbagai macam pungutan yang akan memberatkan orang tua murid selain uang

sekolah seperti disebut di atas.

Namun kenyataan yang terjadi di lapangan adalah tidaklah sama dengan apa

yang diinginkan di atas. Sampai sekarang apa yang digariskan UUD tentang alokasi

Page 13: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

13

dana 20% untuk pendidikan masih berada dalam tataran wacana yang dipolemikkan.

Sehingga wajar program itu tidak direspon secara memadai oleh masyarakat. Bahkan

biaya sekolah justru semakin tinggi dari waktu kewaktu. Hal ini tentu membuat

masyarakat miskin tidak mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan

sekalipun pendidikan dasar. Padahal pendidikan adalah diantara kebutuhan pokok

yang perlu dipenuhi bagi sebuah masyarakat yang ingin maju dan juga investasi masa

depan bangsa. Oleh karenanya pemerintah sangat dituntut untuk benar-benar serius

menangani masalah ini sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh UUD 1945 pasal 31

ayat 4 yaitu, negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua

puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran

pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan

pendidikan nasional.

C. Teori Perencanaan Pembangunan

1. Konsep Pembangunan

Dari berbagai literatur dapat dipahami bahwa konsep pembangunan berasal

dari kata bangun, diberi awalan “pem” dan berakhiran “an”. Kata bangun sekurang-

kurangnya mengandung empat arti. Pertama, bangun dalam arti sadar atau siuman;

Kedua, dalam arti bangkit atau berdiri; Ketiga, dalam arti bentuk; Keempat, bangun

dalam arti kata kerja mendirikan atau membina. Sedangkan konsep pembangunan

sekurang-kurangnya dapat pula mengandung empat arti. Pertama, pembangunan

sebagai kata tunggal memiliki makna majemuk; Kedua, sebagai kata sifat

pembangunan adalah kondisi yang lebih baik dari keadaan sebelumnya; Ketiga,

sebagai kata benda pembangunan berkaitan dengan output atau hasil dari suatu

kegiatan; dan Keempat, pembangunan sebagai kata kerja diartikan sebagai proses

kegiatan yang berlangsung dalam jangka waktu panjang dan terus menerus.

Konsep pembangunan telah menjadi bahasa dunia. Hasrat bangsa-bangsa di

dunia untuk mengejar bahkan memburu masa depan yang lebih baik menurut kondisi

dan caranya masing-masing, melahirkan berbagai pengertian yang berkaitan dengan

Page 14: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

14

konsep pembangunan (development)16. Memberikan pengertian: pembangunan

bertalian dengan konsep pertumbuhan (growth), rekonstruksi (reconstruction),

modernisasi (modernization), westernisasi (westernization), perubahan sosial (social

change), pembebasan (liberation), pembaharuan (innovation), pembangunan bangsa

(nation building), pembangunan nasional (national development), pengembangan dan

pembinaan.

Dari pengertian bangun dan pembangunan sebagaimana yang dikemukakan,

dapat dirumuskan konsep pembangunan sebagai kegiatan atau usaha secara sadar,

terencana dan berkelanjutan untuk mengubah kondisi suatu masyarakat menuju

kondisi yang lebih baik lagi17.

Dengan demikian, dari berbagai konsep pembangunan yang dikemukakan

para ahli memberikan pengertian bahwa pembangunan adalah sebagai suatu proses

yang dilakukan secara sadar, terencana dan berkelanjutan untuk mengubah kondisi

suatu masyarakat menuju kondisi yang lebih baik, menyangkut semua aspek

kehidupan, fisik-nonfisik, material-spiritual, meliputi bidang: ideologi, hukum,

politik, ekonomi, sosial-budaya dan ketahanan masyarakat atau nasional suatu

bangsa.

2. Pendekatan Pembangunan

Pembangunan sebagai suatu proses dinamis menuju keadaan sosial ekonomi

yang lebih baik, atau yang lebih modern, jelas merupakan gejala sosial yang

berdimensi banyak dan dapat didekati dari berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti

ekonomi pembangunan, sosiologi pembangunan, pembangunan politik, teknologi

pembangunan, pembangunan hukum, adminsitrasi pembangunan dan sebagainya.

a. Pendekatan Pembangunan Bangsa

16 Ndraha, 1990 : 2-1317 Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaya, 1993:38.

Page 15: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

15

Sebagai sebuah proses, pembangunan merupakan rangkaian perubahan multi

dimensi, baik ideologi, hukum, politik, ekonomi, sosial-budaya dan ketahanan

masyarakat suatu daerah atau negara. Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaya

menyatakan proses pembangunan akan terlaksana dengan baik apabila syarat-syarat

sosial politik sudah terpenuhi. Artinya ketika suatu bangsa sudah mencapai tingkat

kematangan tertentu dalam bidang politik dan sosial18. Dengan demikian pendekatan

pembangunan yang seharusnya ditempuh oleh negara-negara berkembang seperti

Indonesia, menurut Tjokroamidjojo adalah pembangunan bangsa (sociocultural

development) dan pembangunan ekonomi (economic development) secara bersama-

sama tanpa harus memprioritaskan pada satu bidang tertentu19.

Pendekatan pembangunan bangsa (sociocultural development) dalam ruang

lingkupnya terdapat dua permasalahan, yaitu: mengenai pembangunan politik

(political development) dan mengenai pembangunan sosial budaya.

b. Pendekatan Pembangunan Politik

Pembangunan politik (political development) identik dengan pembinaan

bangsa (nation building). Esman (Tjokroamidjojo, 1995:24) mengartikan pembinaan

bangsa sebagai usaha sistematis dan terpadu dalam pembangunan masyarakat politik

atau pembinaan lembaga-lembaga dan pembinaan kewarganegaraan. Singkatnya

pembangunan politik adalah pembinaan bangsa20.

Aspek lain dari pembangunan politik adalah kestabilan politik. Ini dianggap

sebagai prasyarat yang memungkinkan terselenggaranya perkembangan institusional

dalam sistem pemerintahan dan politik, kelembagaan ekonomi dan sosial suatu

bangsa21.

c. Pendekatan Pembangunan Sosial Budaya

18 Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaya (1995:22)19 Tjokroamidjojo 1995 : 2320 Esman Tjokroamidjojo, 1995:2421 Kantaprawira, 1990:172-173.

Page 16: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

16

Dilihat dari sejarah pertumbuhan ekonomi berbagai bangsa seperti yang

dijelaskan teori pertumbuhan ekonomi dari berbagai aliran (Tjokroamidjojo, 1995:

31-36) terungkap suatu kenyataan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan produk,

atau suatu rangkaian proses dari perkembangan sosial budaya suatu masyarakat

(socio-cultural development)22.

Analisis Smith, Mill, dan Douglas (Morris, 1971:147) menyatakan secara

tegas beberapa faktor non-ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi,

diantaranya : deferensiasi sosial atau pembagian kerja dan perkembangan teknologi

merupakan faktor dinamis bagi peningkatan produktivitas dan percepatan

pertumbuhan yaitu faktor-faktor yang tidak lain merupakan ciri dari tingkat

modernisasi tertentu dari suatu masyarakat23.

Sungguhpun banyak pendapat ataupun teori bagaimana memulai dan

mengusahakan modernisasi atau pembangunan sosial budaya, Fabricant

(Tjokroamidjojo, 1995:44) menyatakan terdapat suatu kesepakatan bahwa bidang

pendidikan merupakan suatu titik strategis bagi penyelenggaraan pembangunan sosial

budaya. Dengan demikian pembangunan sosial budaya juga harus dapat memberi

dimensi dan perspektif bagi perkembangan politik dan ekonomi24.

d. Pendekatan Pembangunan Ekonomi

Selanjutnya, pembangunan dapat pula didekati dengan pendekatan

pembangunan ekonomi (economic development). Tokoh sentral aliran ekonomi klasik

adalah Adam Smith. Dasar ajarannya individualisme dan laissez faire yaitu

semboyan yang lahir dari semangat individualisme. Smith (Tjokroamidjojo, 1995:30-

32) menyatakan:

Sistem individulisme ekonomi menyerahkan aturan dan penguasaan ekonomi

kepada masyarakat, sedangkan pemerintah tidak perlu campur tangan. Tiap-

22 Tjokroamidjojo, 1995: 31-3623 Analisis Smith, Mill, dan Douglas Morris, 1971:14724 Fabricant Tjokroamidjojo, 1995:44

Page 17: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

17

tiap produsen dan konsumen merdeka bertindak, pembentukan harga

didasarkan kepada hukum permintaan dan penawaran di pasar, menjadi dasar

pengambilan keputusan. Harga yang terbentuk atas dasar mekanisme pasar,

dengan sendirinya akan mempengaruhi produksi, alokasi, pendapatan dan

konsumsi. Harga yang terbentuk di pasar mengatur rencana produksi, serta

pembagian pendapatan diantara faktor-faktor produksi. Tingkat pendapatan

menentukan pula jalannya produksi, pembagian dan konsumsi. Semua akan

lancar jalannya apabila setiap orang merdeka bertindak dan berbuat.

Mekanisme pembentukan harga akan membawa segala hubungan ekonomi

secara otomatis ke jurusan persesuaian kepada keadaan seimbang. Dengan

“invisible hand” mekanisme harga tersebut “natural order” dan “natural

price” akan berlaku25.

Tokoh ekonomi klasik lainnya yang terkenal dalam sejarah pemikiran

pembangunan ekonomi adalah Ricardo, Malthus dan Mill. Perbedaan antara

Ricardo dan Malthus dengan Smith di dalam analisis pembangunan ekonomi

terletak dalam interpretasinya mengenai peranan penduduk. Bagi Smith dan

Mill (Tjokroamidjojo, 1995:32) penduduk secara pasti merupakan tenaga

produksi yang akan melahirkan perluasan pasar dan perkembangan ekonomi.

Dengan spesialisasi dan pembagian pekerjaan, keterampilan tenaga kerja dan

produktivitas akan meningkat, dengan demikian ekonomi akan tumbuh26.

Sedangkan Ricardo dan Malthus (Tjokroamidjojo), berpendapat, dalam

jangka panjang perekonomian akan tidak berkembang (stationary state).

Penyebabnya adalah perkembangan penduduk akan melebihi kecepatan

perkembangan ekonomi, akan menurunkan kembali tingkat pembangunan ke

taraf yang lebih rendah27.

25 Smith Tjokroamidjojo, 1995:30-3226 Smith dan Mill Tjokroamidjojo, 1995:3227 Ricardo dan Malthus Tjokroamidjojo, 1995:33

Page 18: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

18

Pandangan lain yang menarik dari aliran ekonomi klassik adalah

diperhitungkannya pengaruh faktor non ekonomi dalam pembangunan. Menurut Mill

(Tjokroamidjojo, 1995:33) faktor-faktor tersebut antara lain: kepercayaan

masyarakat, kebiasaan-kebiasaan berpikir, adat istiadat dan corak-corak kelembagaan

dalam masyarakat28.

Pertumbuhan ekonomi dalam semangat laissez faire, telah melahirkan

kepincangan-kepincangan sosial yang parah di Eropa Barat. Perkembangan sejarah

kemudian mendorong, khususnya Perang Dunia I dan peristiwa depresi ekonomi

1929 kepada pilihan campur tangan pemerintah untuk menghidupkan kembali

mekanisme ekonomi liberal.

Teori ekonomi pembangunan berikutnya adalah aliran Keynesian.

Keynes sendiri sebenarnya tidak melahirkan analisis ekonomi bagi pertumbuhan

jangka panjang, perhatian dan teorinya lebih terpusat kepada keadaan jangka pendek

yang tengah dihadapi dunia yaitu depresi pengangguran. Keynes dalam General

Theory-nya (Tjokroamidjojo, 1995:34) menyatakan :

Tiap-tiap pembayaran mempunyai dua sisi. Pendapatan yang diterima akan

beredar menurut sistem ekonomi, dan merupakan pengeluaran yang diterima

orang lain. Apabila terdapat suatu kemerosotan dalam edaran pendapatan,

penyebabnya adalah adanya bagian-bagian yang disisihkan dari pendapatan

karena motif-motif tertentu. Penyisihan-penyisihan inilah yang menyebabkan

gelombang dalam seluruh aliran pendapatan. Dalam mempengaruhi

gelombang naik turunnya kegiatan seluruh perekonomian, perlu campur

tangan yang sifatnya tak langsung dari pemerintah dalam kegiatan-kegiatan

ekonomi berupa kebijakan fiskal dan moneter yang bertujuan melepaskan

masyarakat dari depresi ekonomi, mendorong investasi, kesempatan kerja dan

pendapatan29.

28 Mill Tjokroamidjojo, 1995:3329 Keynes (Tjokroamidjojo, 1995:34)

Page 19: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

19

Salah satu pengembangan teori Keynes yang terkenal dalam teori

pembangunan adalah teori Harrord-Domar. Analisis Keynes dianggap kurang lengkap

sebab tidak menyinggung masalah-masalah ekonomi jangka panjang. Teori Harrod

Domar sebenarnya mengawinkan fungsi pembentukan modal dari aliran Klassik

maupun Keynes. Harrod Domar berpendapat bahwa pembentukan modal dipandang

sebagai pengeluaran yang akan menambang kesanggupan suatu perekonomian untuk

menghasilkan barang, sekaligus juga sebagai pengeluaran yang akan menambah

permintaan efektif seluruh masyarakat30.

Selanjutnya, teori ekonomi pembangunan aliran Neo Klassik

(Tjokroamidjojo, menjelaskan :

Laju pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh pertambahan dalam penawaran

faktor-faktor produksi dan tingkat kemajuan teknologi. Rasio modal produksi

(capital output ratio) tidak dianggap konstan dapat dengan mudah mengalami

perubahan. Ini mempunyai akibat bahwa suatu perekonomian akan

mempunyai kemungkinan yang luas dalam menentukan gabungan modal dan

tenaga kerja yang akan dipergunakan dalam menciptakan sejumlah produksi

tertentu31.

e. Pendekatan Pembangunan Sumber Daya Manusia

Meningkatkan mutu sumber daya manusia dipandang sebagai kunci bagi

pembangunan yang dapat menjamin kemajuan ekonomi dan kestabilan sosial.

Investasi harus diarahkan bukan saja untuk meningkatkan “physical capital stock”

tetapi juga “human capital stock” dengan mengambil prioritas kepada usaha

meningkatkan mutu pendidikan, kesehatan dan gizi (Tjokroamidjojo, 1995:44-45).

Sejalan pula yang dikemukakan Clelland (Budiman, 1995:23) dengan

konsepnya “The need for Achievement (n-Ach) yaitu kebutuhan atau dorongan untuk

berprestasi. Manusia dengan n-Ach yang tinggi, memiliki kebutuhan untuk

30 Harrod Domar Tjokroamidjojo, 1995:3531 Neo Klassik (Tjokroamidjojo, 1995:36-37)

Page 20: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

20

berprestasi, mengalami kepuasan bukan karena mendapatkan imbalan dari hasil

kerjanya, tetapi karena hasil kerjanya dianggap sangat baik.

Schumacher (Tjokroamidjojo) mengemukakan pula bahwa pembangunan

tidak mulai dari barang-barang, tetapi mulai dari manusia dengan pendidikan,

organisasi dan disiplinnya. Setiap negara yang memiliki tingkat pendidikan,

organisasi, dan disiplin yang tinggi, pasti mengalami keajaiban ekonomi32.

Dengan demikian perbaikan mutu sumber daya manusia akan menumbuhkan

inisiatif-inisiatif dan sikap kewiraswastaan, akan tumbuh pula lapangan-lapangan

kerja baru, dengan demikian produktivitas nasional akan meningkat.

Tampak kirnya bahwa salah satu tujuan dari pendekatan pengembangan

sumber daya manusia adalah tumbuhnya wiraswasta, yang peranannya dalam

pembangunan memang diakui sudah sejak lama. Raepke (Tjokroamidjojo, 1995 :45)

menyatakan suatu bangsa akan berkembang secara ekonomis, apabila bangsa tersebut

mempunyai wiraswasta-wiraswasta yang mempunyai kebebasan dan motif-motif

yang mendorongnya untuk mengambil keputusan yang bersifat kewiraswastaan, yang

sebetulnya berarti mengadakan inspirasi, yaitu mewujudkan gagasan-gagasan baru

dalam praktek33.

f. Pendekatan Pembangunan Memenuhi Kebutuhan Dasar

Schumacher (Tjokroamidjojo) menyatakan titik perhatian pembangunan

adalah mengatasi kemelaratan dan keterbelakangan dengan mendahulukan mereka

yang paling membutuhkan pertolongan34.

Dengan demikian pembangunan harus dimulai dari identifikasi, merumuskan

dan implementasi program apa yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Kemudian

segera untuk memenuhinya. Program pembangunan yang dirumuskan sifatnya sangat

32 Schumacher Tjokroamidjojo, 1995 : 4733 Tjokroamidjojo, 1995 :4534Tjokroamidjojo

Page 21: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

21

mendesak dengan tujuan penyelamatan. Biasanya menyangkut kebutuhan dasar yaitu

seperti sandang, pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.

Selanjutnya, pendekatan kebutuhan dasar merupakan serangan langsung

terhadap kemelaratan dan kepincangan pembagian pendapatan yang diderita

golongan miskin di sebagian besar dunia. Serangan langsung tersebut menurut

International Labour Organization (Tjokroamidjojo, 1995 : 50) mempunyai dua

kelompok sasaran pokok : pertama, mencukupi persyaratan rumah tangga; kedua,

mencukupi sarana dasar kehidupan masyarakat luas seperti air minum, sanitasi,

angkutan umum dan kesehatan, serta fasilitas-fasilitas pendidikan dan kebudayaan35.

Konsep kebutuhan dasar menurut Deklarasi ILO 1976 semestinya

ditempatkan dalam konteks keseluruhan pembangunan sosial ekonomi suatu bangsa.

Termasuk kebebasan bagi perkembangan individu dan masyarakat dan kemerdekaan

untuk menentukan nasib dan memilih lapangan kerja.

Dalam konteks pembangunan negara-negara berkembang pemenuhan

kebutuhan dasar tidak mungkin dapat dicapai tanpa mengusahakan percepatan dalam

pertumbuhan ekonomi, perubahan pola pertumbuhan dan kesempatan untuk

memanfaatkan sumber-sumber produktif antara lain golongan berpenghasilan rendah.

Secara tegas Deklarasi ILO 1976 tersebut menganjurkan agar strategi, rencana dan

kebijaksanaan pembangunan nasional menempatkan perluasan lapangan kerja dan

pencakupan kebutuhan dasar sebagai tujuan eksplisit yang diprioritaskan.

Keterbelakangan yang menandai keadaan negara dan masyarakat dunia ketiga

dibidang sosial (sikap, pandangan hidup, cara hidup), adminsitrasi, ilmu dan

teknologi merupakan penghalang utama bagi pertumbuhan ekonomi nasional,

sedangkan pemecahan dalam kesulitan-kesulitan ekonomi merupakan syarat atau

model dasar bagi peperangan melawan keterbelakangan.

g. Pendekatan Pembangunan Pertumbuhan dan Pemerataan

35 Tjokroamidjojo, 1995 : 50

Page 22: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

22

Pembangunan masyarakat tidak saja mengejar pertumbuhan (growth) akan

tetapi juga bagaimana terciptanya pemerataan (equity) pembangunan dan hasil-

hasilnya36. Pertumbuhan ekonomi saja, ternyata tidak cukup memberi solusi terhadap

persoalan kemiskinan. Bahkan, di negara-negara sedang berkembang, seperti

Indonesia, pertumbuhan ekonomi yang tidak dibarengi dengan pemerataan dan

pengembangan SDM justru memperlebar jurang perbedaan antara kaya dan miskin.

37

Secara konsepsional, kesadaran akan perlunya pembinaan SDM dan

pemerataan hasil-hasil pembagunan seperti disebut di atas sudah tertuang dalam

berbagai rencana pembangunan Indonesia di masa-masa pemerintahan Orde Baru.

Kita melihat adanya konsep ”Trilogi Pembangunan”, ”delapan jalur pemerataan,” dan

lain sebagainya. Tetapi dalam realita, konsep tersebut tidak dimanifestasikan dalam

praktek pemerintahan secara sungguh-sungguh, sehingga yang terjadi justru semakin

melebarnya jurang antara kaya dan miskin. Pertumbuhan ekonomi saja tanpa

dibarengi upaya sungguh-sungguh dalam membenahi dunia pendidikan dan

pemerataan hasil-hasil pembangunan di bidang ekonomi bukan saja tidak akan

memecahkan persoalan-persoalan kemiskinan dan kebodohan, tetapi justru semakin

memperparah dua kondisi itu di negeri ini.

Kecuali itu, kebiasaan pemerintah yang terkesan lebih banyak

menggantungkan diri kepada bantuan dan atau pinjaman luar negeri dalam

melaksanakan pembangunan nasional, telah pula berimbas secara psikologis kepada

rakyat banyak. Masyarakat tumbuh menjadi bangsa yang kurang mandiri,

beretoskerja lemah, konsumtif, dan lebih banyak tergantung kepada porang lain.

Kenyataan seperti ini, sekali lagi, membutuhkan keseriusan kita dalam membangun

dunia pendidikan. Pendidikan adalah kata kunci untuk lepasnya bangsa Indonesia,

atau Riau secara khusus, dari belenggu kebodohan dan keterbelakangan. Untuk itu,

fokus untuk bidang yang satu ini adalah pilihan yang tidak boleh ditawar-tawar lagi,

36 Tjokroamidjojo, 1995 : 4837

Page 23: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

23

dan sikap mendua dalam bidang ini adalah sebuah bahaya besar untuk kelangsungan

hidup bangsa kita ke depan.

(Diantara langkah yang perlu dilakukan dalam mengatasi kesenjangan antara kaya

dan miskin seperti disebut di atas, adalah membuat konsep yang jelas dalam bentuk

garis kemiskinan (poverty line) yang menunjukkan batas terendah untuk memenuhi

kebutuhan pokok manusia. Di sini, seseorang dikatakan berada di bawah garis

kemiskinan (absolute line) apabila pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi

kebutuhan hidup yang paling pokok, seperti sandang, pangan, perumahan,

pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Bank Dunia (Ahluwalia, 1974 : 83) menetapkan

angka US $ 50 per kapita setahun sebagai patokan absolute line untuk tingkat

pendapatan desa, dan US $ 75 per kapita setahun untuk tingkat pendapatan di kota

pada keadaan tingkat harga tahun 197138.

Dilema trade offs (keuntungan yang satu, merugikan yang lain) antara

growth dan equity ditelaah Adelman dan Morris (Tjokroamidjojo, 1995 : 49) melihat

masalah besar ini tidak hanya dengan mengungkapkan variabel-variabel ekonomi

tetapi juga mengaitkannya dengan variabel-varibel politik, sosial dan kultural39

(UNTUK FOOT NOTE).

h. Pendekatan Pembangunan Berwawasan Lingkungan Hidup

Djojohadikusumo (1965 : 104) menyatakan bahwa untuk mempercepat

pembangunan perlu disertai dengan kebijakan yang jelas dan tegas dalam

pemeliharaan dan pengamanan sumber-sumber alam untuk kelangsungan

pertumbuhan bagi generasi-generasi yang akan datang40.

Namun, perlu di sadari pula, bahwa terpelihara atau tidaknya sumber-

sumberdaya alam dengan baik, sangat tergantung kepada SDM Indonesia yang ada.

Karena, bukti menunjukkan bahwa rusaknya lingkungan dan terkurasnya sumber

38 Ahluwalia, 1974 : 8339 Adelman dan Morris, 1995 : 4940 Djojohadikusumo 1965 : 104

Page 24: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

24

daya alam di negeri ini adalah akibat rendahnya mutu SDM yang mengerti akan

pentingnya memelihara lingkungan dan sumber daya alam untuk generasi mendatang

dalam jangka panjang. Rendahnya mutu SDM itu membuat mereka lebih terfokus

kepada kepentingan jangka pendek, sehingga jangka panjang terkorban secara

sengaja atau tidak sengaja. Di sini, untuk kesekian kalinya kita katakan bahwa bahwa

kata kunci untuk itu adalah juga pendidikan.

3. Perkembangan Pembangunan Nasional Indonesia

Pada prinsipnya, pembangunan setiap bangsa bersifat multidimensional, politik,

ekonomi, hukum, pendidikan, kesehatan, pertahanan keamanan, sosial budaya dan

lain sebagainya. Karenanya, pembangunan nasional harus didukung oleh kemauan

politik, kemampuan ekonomi, dan kondisi sosial budaya, yang pada gilirannya harus

mampu menegakkan ketahanan nasional negara bersangkutan.

Pada masa Orde Baru pembangunan nasional di Indonesia dilakukan secara

bertahap, yaitu periode jangka panjang 25 tahun dan periode jangka pendek lima

tahun yang dikenal dengan REPELITA dan PELITA. Kemudian disusun rencana

pembangunan satu tahun yang tertuang di dalam Rancangan Anggaran dan

Pendapatan Belanja Negara (RAPBN).

Sebagaimana dinyatakan Tjokroamidjojo (1995 : 38) bahwa nilai dasar yang

melandasi dan kemudian dirumuskan dalam strategi pembangunan hendaklah sesuai

dengan apa yang dikehendaki oleh masyarakat. Oleh karena itu, selama pemerintahan

Orde Baru, Indonesia menggunakan Strategi Trilogi Pembangunan yang pada

hakikatnya diangkat dari falsafah nilai-nilai dan kondisi faktual bangsa Indonesia saat

itu, yaitu pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, pemerataan di segala bidang dan

stabilitas nasional yang mantap (Tjokroamidjojo, 1993 : 68). Untuk itu

Pembangunan dilaksanakan di segala bidang dengan menggunakan skala prioritas.

Adapun yang menjadi prioritas pembangunan seperti dimaksud itu selama

Page 25: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

25

pemerintahan Orde Baru Jangka Panjang Tahap (PJPT) I dan II adalah bidang

ekonomi dengan tetap mengutamakan pertumbuhan.

Selanjutnya, Waterston (Tjokroamidjojo, 1995 : 39) menyatakan pembangunan

berencana dibanyak negara tidak terselenggara karena perencana pembangunan tidak

berorientasi pada pelaksanaan, dan bahkan tidak dilaksanakan, karena kurangnya

dukungan atau ketidakstabilan politik.

Kondisi seperti disebut di atas inilah yang banyak mempengaruhi pelaksanaan

pembangunan di Indonesia terutama pada paroh kedua era orde baru. Program-

program pembangunan yang dirancang dalam REPELITA, dalam pelaksanaannya

tidak banyak menyentuh kepentingan rakyat kecil. Sehingga di penghujung era ini

muncullah gejolak-gejolak sosial di tengah-tengah masyarakat yang akhirnya

melahirkan suasana instabibilitas politik yang berujung kepada lahirnya era

reformasi.

Sasaran pembangunan nasional di Indonesia pada era reformasi, sebagai

perwujudan dari tuntutan reformasi itu sendiri di segala bidang, tidak lain adalah

membangun sistem bernegara dan penegakan hukum, penegakan demokrasi, hak

azazi manusia, pembangunan ekonomi kerakyatan, pembangunan sosial budaya dan

ketahanan nasional. Kartasasmita (1996:133-313) menyatakan gambaran dari

kebijakan pembangunan nasional di Indonesia di era ini mengarah kepada : Pertama,

pembangunan demokrasi ekonomi bergandengan dengan demokrasi politik; Kedua,

pembangunan ekonomi kerakyatan; Ketiga, pembangunan sumber daya manusia; dan

Keempat, penyelenggaraan otonomi dan perimbangan keuangan antara pusat dengan

daerah.

d.3.3. Perkembangan Pembangunan Daerah di Indonesia

Sebagai perwujudan wawasan nusantara, pembangunan daerah merupakan

bagian integral dari pembangunan nasional. Di sini, desentralisasi adalah salah satu

asas penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Penataan mekanisme pengelolaan

kebijakan dengan kewenangan yang lebih besar diberikan kepada daerah, agar

Page 26: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

26

penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan lebih efektif dan

efisien (Pasal 8 UU No. 22 Tahun 1999).

Desentralisasi di bidang pengurusan berarti ada pendelegasian kewenangan

kepada daerah dalam pengurusan hal-hal tertentu. Sehingga birokrasi dalam

pengurusan tersebut menjadi lebih pendek dan sederhana. Karena itu, masyarakat

akan diuntungkan.

Desentralisasi di bidang keuangan berarti daerah telah mampu menggali

sumber keuangannya sendiri dan menggunakannya dengan bertanggung jawab,

sedangkan desentralisasi di bidang politik berarti rakyat di daerah mempunyai hak

dan kewajiban untuk memiliki sepenuhnya siapa yang pantas untuk memimpin

daerah, membawa aspirasi daerah, serta mengawasi jalannya pemerintahan dan

pembangunan di daerah itu sendiri.

Adapun desentralisasi di bidang administrasi berarti daerah di beritanggung

jawab penuh dalam mengurusi administrasi pemerintahan daerah.

Semua hal disebutdi atas berada dalam batas-batas yang disepakati, yakni

bahwa otonomi tidak berarti terlepas dari negara kesatuan dan kaedah-kaedah serta

aturan-aturan yang mengikat bangsa ini menjadi satu. Kebijakan otonomi dilakukan

agar kesejahteraan masyarakat di daerah dan di seluruh tanah air terwujud secara adil

dan proporsional. Ia, diyakini akan berpengaruh positif bagi kehidupan berbangsa

dan bernegara. Ia bukan hanya keinginan melainkan kebutuhan. Oleh sebab itu,

desentralisasi harus dijaga supaya tidak mengakibatkan makin besarnya kesenjangan

pembangunan antara daerah satu dengan daerah lainnya. Tetapi, sebaliknya, justru

harus mampu mendekatkan taraf kemajuan daerah satu dengan daerah lainnya itu..

Kemudian, berpedoman kepada UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, pasal 1 ayat 1 menetapkan bahwa

perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah suatu sistem

pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, melingkupi pembagian

keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah secara proporsional, demokratis, adil,

transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, sejalan

Page 27: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

27

dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan

kewenangan tersebut, pengelolaan dan pengawasan keuangannya.

d.4. Pendekatan Teori Pembangunan Perdesaan di Indonesia

Undang-undang No. 22 Tahun 1999, pasal 94 menetapkan bahwa di desa

dibentuk Pemerintahan Desa dan Badan Perwakilan Desa, yang merupakan

Pemerintahan Desa. Pasal 95 ayat 1 menetapkan pula bahwa Pemerintah Desa terdiri

atas Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dan Perangkat Desa.

Selanjutnya pasal 99 UU No. 22 Tahun 1999 menetapkan kewenangan desa

mencakup : kewenangan yang sudah ada berdasarkan asal-usul desa; kewenangan

yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh

daerah dan pemerintah; dan tugas pembantuan dari pemerintah, Pemerintah Provinsi,

dan/atau Pemerintah Kabupaten. Kemudian dari pada itu pasal 100 menetapkan pula

bahwa tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah

Kabupaten/kota, kepala desa disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta

sumber daya manusia.

Adapun tugas dan kewajiban kepala desa menurut pasal 101 UU No. 22 Tahun

1999 adalah : memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa; membina kehidupan

masyarakat desa; membina perekonomian desa, memelihara ketentraman dan

ketertiban masyarakat desa, mendamaikan perselisihan masyarakat di desa, dan

mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa

hukumnya.

Mengenai pertanggungjawabannya dalam melaksanakan tugas sebagaimana

dimaksud pasal 101 ditetapkan dalam pasal 102 UU No. 22 Tahun 1999 yaitu:

bertanggungjawab kepada rakyat melalui Badan Perwakilan Desa, dan

menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugasnya kepada Bupati.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa salah satu unsur pemerintahan Desa

adalah Badan Perwakilan Desa (BPD). Pasal 104 UU No. 22 Tahun 1999 menetapkan

Page 28: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

28

bahwa Badan ini, atau yang disebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat

istiadat, membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat,

serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah desa. Selanjutnya

pasal 105 UU No. 22 Tahun 1999 mengatur tentang anggota Badan Perwakilan Desa

yaitu: anggota Badan Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh penduduk desa yang

memenuhi persyaratan. Pimpinan Badan Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh

anggota. Badan ini bersama dengan kepala desa menetapkan peraturan desa, dan

pelaksanaan peraturan desa ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa.

Selain lembaga Badan Perwakilan Desa, di desa terdapat juga lembaga lainnya

sesuai dengan kebutuhan desa dan ditetapkan dengan peraturan desa itu sendiri.

Penetapan Kepala Desa dan pembantu-pembantunya sebagai organisasi

pemerintahan terendah menurut Pemudji (Ndraha, 1990 : 137) dimaksudkan untuk

mendekatkan pelayanan administrasi negara pada masyarakat. Pelayanan yang

dilancarkan dari tingkat kecamatan dianggap masih terlalu jauh. Kedudukan Desa

lebih dekat dengan masyarakat sehingga pelayanan masyarakat di desa diharapkan

jauh lebih efektif. Kemudian didorong oleh adanya Instruksi Presiden (Inpres) tentang

Bantuan Desa, berangsur-angsur posisi bagian-bagian desa di tingkatkan, ditandai

dengan meningkatnya jumlah sesa secara defenitif.

Melalui kedudukannya sebagai Ketua Umum Lembaga Ketahanan Desa (LKD),

Kepala Desa berfungsi merencanakan dan mengendalikan pelaksanaan pembangunan

Desa. Jika dihubungkan dengan Bab IV Bagian D Umum angka 2 huruf f GBHN

1978 maka kemampuan pemerintah desa untuk melaksanakan tugasnya langsung

bertalian dengan usaha menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam

pembangunan dan penyelenggaraan administrasi desa yang semakin meluas dan

efektif.

Kedudukan politis BPD (Badan Perwakilan Desa) atau disebut dengan nama

lain, menurut UU No. 22 Tahun 1999, adalah wadah permusyawaratan/pemufakatan

pemuka-pemuka masyarakat desa. Badan ini bertugas menyalurkan pendapat

Page 29: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

29

masyarakat desa dan memusyawarahkan setiap rencana pembangunan sebelum

ditetapkan menjadi Keputusan Desa.

Susunan organisasi dan alat kerja pemerintahan Desa diatur dalam Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1981. Pasal 3 ayat 1 menetapkan bahwa

Kepala Desa berkedudukan sebagai alat pemerintah, alat pemerintah dareah, dan alat

pemerintah desa yang memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa. Dengan

demikian kepala kesa merupakan unsur pimpinan dalam struktur pemerintahan desa.

Selanjutnya pasal 6 menetapkan sekretaris desa selaku unsur staf, dan pasal 7

menetapkan kepala dusun sebagai unsur pelaksana (PERMENDAGRI No. 1 Tahun

1981). Dengan demikian, dalam struktur organisasi pemerintah Desa telah ada

pembagian kerja dan diharapkan pelaksanaan tugas menjadi lebih lancar dan efektif.

Dalam pada itu, struktur juga mendukung pelaksanaan tugas dalam hal

pembiayaan sehari-hari dan biaya operasional keluar. Pasal 107 ayat 1 UU No. 22

Tahun 1999 menetapkan sumber pendapatan desa terdiri dari : Pertama, pendapatan

asli desa yang meliputi hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan

partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah. Kedua,

bantuan dari pemerintah kabupaten yang meliputi bagian dari perolehan pajak dan

retribusi daerah, dan bagian dari dana perimbangan keuangan Pusat dan daerah yang

diterima oleh Pemerintah Kabupaten. Ketiga, bantuan dari Pemerintah dan

Pemerintan Provinsi. Keempat, Sumbangan dari pihak ketiga. Kelima, pinjaman

Desa.

Sumber pendapatan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menurut pasal

107 ayat 2 UU No. 22 Tahun 1999 dikelola melalui Anggaran Pendapatan dan

Belanja Desa (APBD). Ayat 3 menetapkan Kepala Desa bersama Badan Perwakilan

Desa menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa setiap tahun dengan

Peraturan Desa. Ayat 4 menetapkan pedoman penyusunan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Desa ditetapkan oleh Bupati. Ayat 5 menetapkan tata cara pungutan objek

Pendapatan dan Belanja Desa ditetapkan bersama antara Kepala Desa dan Badan

Perwakilan Desa. Selanjutnya pasal 108 UU No. 22 Tahun 1999 menetapkan pula

Page 30: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

30

bahwa Desa dapat memiliki badan usaha sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

Seperti telah dikemukakan pada uraian terdahulu bahwa pemerintahan desa

memerlukan dukungan keuangan dan dukungan struktur organisasi, dalam rangka

pelaksanaan tugas yang berkaitan dengan dukungan lingkungan. Dukungan

lingkungan terhadap pemerintahan desa terletak pada kenyataan bahwa kepala desa

maupun pembantu-pembantunya merupakan tokoh-tokoh pilihan masyarakat

setempat sebagai pimpinan formal dan didukung oleh tokoh masyarakt lainnya

sebagai pimpinan informal. Kedua kelompok tersebut merupakan kekuatan yang

sangat besar jika dapat disinerjikan untuk menggerakkan masyarakat dalam

pembangunan. Khususnya pembanguan pertanian, perkebunan, peternakan,

perikanan, industri kecil, jasa dan perdagangan, pariwisata dan lain-lain sebagainya

untuk kemaslahatan masyarakat.

d.4.1. Strategi Pembangunan Perdesaan di Indonesia

Dari pengalaman pembangunan pedesaan di banyak negara, Griffin (Hanafiah,

1982:35) membagi tiga strategi pembangunan pedesaan : Pertama, strategi

teknokratis; Kedua, strategi reformis; dan Ketiga, strategi radikal. Perbedaan strategi

ini memperlihatkan konsistensi, kesinambungan, tekanan yang terdapat diantara

kebijakan, tujuan, pendekatan, dan pelaksanaan dari pembangunan pedesaan.

Sedangkan dari sisi mobilitas penduduk, menurut Saefullah (1995 : 3) ada tiga

pendekatan pembangunan pedesaan yang memusatkan perhatian pada kesejahteraan

petani yaitu commercialization and capital intensive development; comprehensive

rural development; and colonization of new agricultural lands (komersialisasi dan

pengembangan permodalan secara intensif; pembangunan Desa secara menyeluruh;

dan penguasaan lahan-lahan pertanian baru).

Berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat, Usman (1998:40) menyatakan

bahwa strategi pembangunan perdesaan harus terkemas dalam : Pertama,

pembangunan pertanian (agricultural development); Kedua, industrialisasi pedesaan

Page 31: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

31

(rural industrialization); Ketiga, pembangunan masyarakat Desa terpadu (integrated

rural development); dan Keempat, strategi pusat pertumbuhan (growth center

strategy).

Membangun visi dan tujuan bersama dalam pembangunan merupakan tanggung

jawab moral bersama masyarkat dan sebagai faktor sosial terpenting dalam rangka

pemberdayaan masyarakat. Masyarakat perdesaan harus dibangkitkan kesadaranya

bahwa mereka punya potensi dan percaya terhadap kemampuan sendiri. Hanya saja

pada tahap permulaan memang memerlukan dukungan dari Pemerintah.

Berdasarkan diagnosis yang dilakukan Chenery (1974 : 224) atas ketimpangan

pembangunan yang timbul akibat strategi pertumbuhan, menyarankan pada

reorientasi kebijakan dalam metode perencanaan. Strategi yang disarankannya terarah

kepada perubahan pola pertumbuhan (growth) dan distribusi yang ditujukan untuk

mempercepat pertumbuhan pendapatan golongan miskin. Dalam hubungan ini secara

singkat terdapat dua langkah strategis yang diusulkan Adelman dan Morris (1973 :

224) : Pertama, pembangunan terarah pada peningkatan kesejahteraan 40% penduduk

yang tergolong miskin; Kedua, cara-caranya harus berisikan “fundamental

institusional reform”.

Dilihat dari sisi sosial ekonomi, hasil penelitian Triyono dan Nasikun (1992 :

29), Collier (1978 : 20-35) dan Siahaan (1983 : 50-63) di perdesaan Jawa juga

menunjukkan bahwa :

Meskipun penyebaran teknologi pertanian tidak hanya dimanfaatkan oleh petani

berlahan luas, tetapi distribusi pemilikan dan penguasaan sawah tetap

menunjukkan adanya ketimpangan yang tajam. Ini berarti bahwa penyebaran

teknologi yang netral skala tidak begitu saja menghasilkan pemerataan

distribusi ekonomi, namun justru terjadi ketimpangan distribusi ekonomi.

Akibat selanjutnya, muncul kontradiksi dalam hubungan sosial antara lapisan

petani dengan polarisasi sosial yang menggoyahkan ketentraman komunitas

perdesaan.

Page 32: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

32

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pengaruh kehidupan struktural

yang ada terhadap kehidupan ekonomi berproses dalam kaitannya dengan struktur

masyarakat, sehingga penyebaran teknologi mendorong kemajuan ekonomi dan

menumbuhkan kekuatan ekonomi baru yang mempengaruhi kehidupan struktur

masyarakat perdesaan. Namun demikian masih menimbulkan akses konflik antara

lapisan petani sebagai akibat distribusi keadilan yang tidak merata. Sudah saatnya

menerapkan prinsip keadilan tidak lagi diukur atas dasar pemberian jumlah yang

sama, melainkan atas dasar porsi yang besar diberikan kepada mereka yang paling

membutuhkan.

Secara tegas Deklarasi ILO 1976 menganjurkan agar strategi, rencana dan

kebijaksanaan pembangunan perdesaan menempatkan perluasan lapangan kerja dan

pencakupan kebutuhan dasar sebagai tujuan eksplisit yang diprioritaskan. Ini

bermakna bahwa program pembangunan ditujukan kepada kelompok yang sangat

membutuhkan. Dengan demikian secara perlahan-lahan yang tertinggal dapat

mengejar yang sudah maju, sedangkan yang sudah maju menunggu yang tertinggal,

sebagai suatu prinsip kebersamaan dan keadilan.

Kemudian dilihat dari sudut perubahan sosial, model strategi pembangunan

perdesaan yang dianggap paling cocok bagi Indonesia, menurut Garna (1992 : 104)

harus memiliki karakteristik yaitu tradisi, akomodasi, dan modernisasi secara setara.

Hal itu berarti bahwa strategi pembangunan perdesaan yang diharapkan adalah

strategi yang memusatkan perhatian pada kebutuhan dasar manusia.

Jika memang demikian modelnya, pembangunan masih tetap sulit mecapai

kesetaraan pada tingkatan modernisasi. Perlu penambahan aspek sosial yaitu

penyadaran kepada mereka yang berperilaku tamak dan kikir, untuk sedikit berkorban

menyumbangkan hartanya kepada anggota masyarakat lain. Jika tidak demikian sulit

tercapai keseimbangan pembangunan. Anggota masyarakat yang telah berhasil akan

terus memuaskan kebutuhannya, sedangkan yang belum berhasil akan terbatas pula

peluang dan kesempatan usahanya. Disinilah arti penting kemitraan usaha antara

Page 33: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

33

kelompok dalam masyarakat. Sedangkan Pemerintah bertugas membangun sistem

dalam rangka pengaturan dan menjaga agar sistem tetap berada pada keseimbangan.

Strategi dasar yang memusatkan perhatian pada kebutuhan dasar manusia

memberi tekanan pada aspek kemanusiaan dan moral yang menggunakan pendekatan

dari bawah ke atas (bottom-up approach). Karena tujuan konsep ini adalah supaya

menimbulkan inisiatif lokal, peningkatan paritipasi, dan desentralisasi administrasi,

terutama pengalokasian kembali sumber daya yang ada, maka pelaksanaan konsep ini

memerlukan perubahan struktural.

Strategi tersebut penting karena berdasarkan hasil penelitian Rusidi (1989:14)

kekuatan-kekuatan motivasi yang tumbuh dalam struktur sosial masyarakat perdesaan

masih belum sebanding dengan perubahan-perubahan arah dan tingkat dari proses

sistem aksi pembangunan masyarakat perdesaan. Terjadinya ketimpangan sosial ini

(Rusidi, 1989: 43) disebabkan adanya ketidaksesuaian antara nilai harapan dari

pembangunan itu dengan kesanggupan individu (depriviasi).

Perubahan yang diharapkan dalam pembangunan masyarakat perdesaan,

sebenarnya tidak saja kepada perubahan struktural malainkan juga perubahan budaya,

terutama sikap dan pola pikir masyarakat. Jika hanya perubahan struktural yang

menjadi sasaran, pemerintah akan mudah terpancing untuk terlibat secara total dan ini

akan memadamkan aspek inisiatif dan partisipasi lokal. Selain itu penyesuaian

perubahan budaya akan menjadi lamban. Inilah arti penting pendekatan struktural dan

budaya, supaya dapat selalu seiring dan sejalan dalam rangka modernisasi masyarakat

perdesaan.

Dalam mengatasi masalah sikap dan kehidupan masyarakat perdesaan dalam

pembangunan, Inayatullah (Susanto, 1984:23) mengajukan saran tentang strategi

pembangunan perdesaan :

Pertama, mempertahankan sebanyak mungkin kebiasaan desa untuk

memecahkan masalahnya sesuai dengan kebiasaan sosial budaya setempat;

Kedua, pendekatan dalam pengambilan keputusan terhadap suatu inovasi

melalui keputusan bersama; Ketiga, memperhatikan nilai informal-sosial yang

Page 34: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

34

mencerminkan dan menjamin stabilitas sosial ekonomi Desa; Keempat,

mengambil keputusan yang didukung oleh pendapat umum Desa; dan Kelima,

memperhatikan unsur ringan sama dijinjing dan berat sama dipikul sebagai nilai

Desa.

Strategi pembangunan yang berorientasi kepada partisipasi masyarakat, berarti

pembangunan yang berorientasi pemerataan. Hal demikian dikarenakan berhasil

menaikkan daya beli masyarakat perdesaan. Sutrisno (1995 : 253) menyatakan :

Strategi pembangunan perdesaan yang bermuara pada partisipasi menuntut

pemahaman baru terhadap makna pembangunan itu sendiri. Pembangunan harus

diartikan sebagai perubahan sosial yang utuh, bukan perubahan sosial yang

parsial. Ini berarti bahwa rakyat maupun aparat Pemerintah Daerah dituntut

secara bersama-sama untuk menciptakan sikap mental baru (reformis) dalam

merencanakan maupun melaksanakan pembangunan.

Dengan demikian, inti dari strategi pembangunan perdesaan yang terpenting

adalah paritipasi yang meliputi segenap kehidupan masyarakat dalam segala bentuk

melalui komunikasi sosial, termasuk kreativitas sosial dan imajinasi bersama. Wujud

konkritnya adalah masyarakat menguasai dan mengawasi sumber daya dan tujuan

produksi yang didasarkan pada kebutuhan dan keinginan bersama.

Berkaitan dengan kebijakan pembangunan perdesaan yang mandiri, Korten

(Westra, dkk.,1987 : 12) menyatakan pembangunan perdesaan harus menekankan

kepada:

Pertama, prakarsa dan proses pengambilan keputusan untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat, tahap demi tahap harus diletakkan pada masyarakat

sendiri; Kedua, fokus utamanya adalah meningkatkan kemampuan masyarakat

untuk mengelola dan memobilisasi sumber-sumber yang terdapat di komunitas

untuk memenuhi kebutuhan mereka; Ketiga, pendekatan ini mentoleransi

variasi lokal, dan karenanya memiliki sifat amat fleksibel menyesuaikan

Page 35: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

35

dengan kondisi lokal; Kempat, dalam melaksanakan pembangunan, pendekatan

ini menekankan pada proses social learning, yang padanya terdapat interaksi

kolaboratif antara birokrasi dan komunitas, mulai dari proses perencanaan

sampai evaluasi proyek dengan mendasarkan diri pada sikap saling belajar;

Kelima, proses pembentukan jaringan (networking) antara birokrat dan lembaga

swadaya masyarakat, satuan-satuan organisasi tradisional yang mandiri,

merupakan bagian integral dari pendekatan ini. Melalui proses networking ini

diharapkan terjadi simbiose antara struktur-struktur pembangunan di tingkat

lokal.

Suatu referensi penting yang timbul adalah dalam rangka pemikiran dan usaha

untuk berdikari (self reliance), yang dapat kita artikan sebagai usaha untuk

meningkatkan peranan dan dominasi pribumi di negerinya sendiri, yang juga

merupakan konsep lama (Ghandi dan Bung Karno), tetapi secara lebih menarik

diungkapkan secara hipotesis oleh Galtung (Tjokroamidjojo, 1995 : 57) sebagai

strategi pembangunan yang cukup komprehensif dan fundamental dengan self

reliance :

Pertama, prioritas akan bergeser kepada produksi untuk kebutuhan pokok bagi

mereka yang paling membutuhkan. Kedua, partisipasi rakyat secara massal

diusahakan lebih terjamin. Ketiga, sumber-sumber dan faktor lokal lebih banyak

dimanfaatkan. Keempat, kreativitas masyarakat diransang. Kelima, kecocokan

dengan kondisi setempat akan lebih terjaga. Keenam, akan lebih memberi aneka

ragam pembangunan. Ketujuh, akan mengurangi keterasingan manusia dalam

proses pembangunan. Kedelapan, keseimbangan ekologis akan lebih terjaga.

Kesembilan, faktor ekstern yang masuk akan lebih mudah dijadikan urusan

intern atau dipindahkan ke tangga yang lebih setaraf. Kesepuluh, solidaritas

dengan sesama akan memperoleh landasan yang kokoh. Kesebelas, kemampuan

untuk menangkal kecurangan yang disebabkan oleh ketergantungan

perdagangan akan bertambah. Keduabelas, ketahanan militer dan ketahaan

Page 36: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

36

nasional akan meningkat. Ketigabelas, sebagai landasan, maka pendekatan

paradigma ketergantungan akan memperoleh tempat berpijak yang lebih

seimbang.

Penggabungan penerapan konsep pembangunan masyarakat yang mandiri dan

berdikari merupakan suatu kekuatan yang harus dijadikan pedoman dalam

pelaksanaan pembangunan perdesaaan dewasa ini. Konsep pembangunan ini tidak

saja membuat masyarakat menjadi berdaya, melainkan juga menyadarkan kepada

Pemerintah bahwa mereka bukanlah segala-galanya dapat menyelesaikan segala

persoalan dalam pembangunan. Pemerintah dengan masyarakat harus saling memberi

dan menerima, saling belajar dan selalu berkomunikasi dengan baik. Kebersamaan

haruslah menjadi pegangan utama dalam segala aktivitas pembangunan. Dengan

demikian orientasi model pembangunan perdesaan ke depan harus meninggalkan

cara-cara kerja lama sebagai warisan sejarah yang tidak inovatif.

Berkaitan dengan perencanaan pembangunan perdesaan, hasil penelitian

Karnesih di Kabupaten Majalengka Jawa Barat (1997) menyimpulkan :

Pertama, peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah

khususnya yang berkaitan dengan masalah perdesaan kurang atau tidak

memperhatikan mutu dari sumber daya manusia yang relevan sebagai aparatur

pelaksana, sehingga tujuan peraturan perundang-undangan tersebut tidak dapat

dicapai secara optimal; Kedua, INMENDAGRI No. 4 Tahun 1981 mengenai

petunjuk teknis mekanisme perencanaan dan pengendalian pembangunan secara

konsepsi dapat terus digunakan, namun perlu direvisi; dan Ketiga, LKMD yang

tugas pokoknya merencanakan pembangunan, menggerakkan dan meningkatkan

prakarsa dan partisipasi masyarakat untuk melaksanakan pembangunan belum

dapat berfungsi seperti yang diharapkan.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perlu mengubah organisasi

pemerintah dalam pembangunan yang diarahkan kepada membangun visi bersama.

Page 37: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

37

Aturan-aturan formal seharusnya merupakan podaman umum dan jangan dijadikan

pedoman teknis (JUKLAK atau JUKNIS). Ketika masuk kepada persoalan

pelaksanaan dan teknis seharusnya faktor-faktor situasi dan kondisi harus menjadi

pertimbangan yang utama. Namun inilah dampak dari budaya organisasi pemerintah

yang sudah terbiasa dengan petunjuk atasan yang dianggapnya sudah baku dan sangat

mengabaikan faktor lingkungan situasional. Hal yang terpenting dimasa akan datang

adalah diperlukan perubahan yang sangat mendasar pada perilaku keorganisasian

birokrasi pemerintahan itu sendiri.

Hasil penelitian Rusli dan kawan-kawan di tujuh Kabupaten dan Kota di

Provinasi Riau (1996), khususnya berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan di

perdesaan, menyimpulkan bahwa pembangunan perdesaan perlu dilihat dalam tiga

dimensi :

Pertama, peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pemanfaatan

sumber daya, terutama yang dikuasai oleh kelompok miskin; Kedua,

pengembangan aksesibilitas kelompok miskin terhadap tanah, modal,

infrastruktur, dan input-input produktif lainnya; dan Ketiga, pengembangan

struktur sosial kelembagaan dalam meningkatkan kemampuan masyarakat,

khususnya kelompok miskin, dalam mengatasi masalah secara mandiri. Ketiga

dimensi tersebut harus ditujukan untuk meningkatkan kesempatan kerja dan

pendapatan melalui peningkatan kegiatan produktif.

Hasil penelitian tersebut menjelaskan pentingnya peningkatan dan pemerataan

pendapatan terutama ditujukan kepada kelompok miskin. Usaha yang sungguh-

sungguh terutama ditujukan kepada penggalian sumber setempat, peningkatan sumber

daya manusia, dukungan modal, masukan teknologi dan penyuluhan terpadu terutama

kepada masing-masing kelompok usaha. Diperlukan pula kerjasama dan dukungan

semua pihak dalam rangka pengarahan dan dukungan fasilitas sumber-sumber daya

pembangunan.

Page 38: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

38

Kemudian, hasil penelitian Saptawan di tiga Kabupaten di Jawa Barat (1999)

berkaitan dengan strategi pelembagaan dalam pembangunan perdesaan

menyimpulkan :

Strategi pembangunan perdesaan memerlukan keseimbangan antara

pembangunan fisik dan pembangunan mental yang melekat secara terpadu

dalam program pembangunan yang ditetapkan pemerintah. Wujud

pembangunannya adalah program dan kegiatan yang bernuansa aspirasi dan

atau proaktif terhadap pengembangan kreasi masyarakat setempat, sehingga

menumbuhkan norma pembangunan yang menjadi kebutuhan dan dambaan

masyarakat sebagai perangsang (motivator) dan penggerak (dinamisator) untuk

maju meningkatkan kesejahteraannya.

Hasil penelitian tersebut menjelaskan pentingnya menanamkan nilai dan norma

pembangunan, karena diangap dapat memberikan kekuatan kepada aspek

pembangunan fisik. Namun demikian perlu usaha yang meyakinkan masyarakat

bahwa nilai yang dibangun itu bermakna praktis bagi kehidupannya, dan bukan hanya

sekedar jargon dan simbol-simbol serimonial sebagai tipuan.

Selanjutnya, hasil penelitian Tjenreng di perdesaan wilayah pembangunan

bagian timur Sulawesi Selatan (1993) berkaitan dengan pembangunan perdesaan

hubungannya dengan partisipasi masyarakat, desentralisasi pembangunan dan

Otonomi Desa dalam kerangka strategi pembangunan nasional menyimpulkan :

Pertama, kebijakan pembangunan desa merupakan pelaksanaan kebijakan dari

tingkat atas dan bersifat seragam (sama untuk semua desa), baik dalam

perlakuan, pengaturan, maupun dalam jumlah dana yang diberikan. Dengan

demikian keanekaragaman dan spesialisasi desa secara geografi, demografi

maupun potensi desa belum merupakan acuan dalam penetapan kebijakan

pembangunan di desa; kedua, secara empirik ada tiga model pembangunan desa

yaitu : pembangunan desa berbantuan, pembangunan desa sektoral, dan

pembangunan desa berswadaya; dan ketiga, Wewenang penyelenggaraan

Page 39: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

39

urusan-urusan rumah tangga desa sendiri sangat terbatas sehingga

mempengaruhi peranan APPKD (..............................................) terhadap

kemampuan pembangunan desa yang berswadaya.

Atas dasar penelaahan dari berbagai teori dan hasil penelitian lain, ternyata

strategi pembangunan perdesaan membutuhkan suatu pendekatan yang kontekstual

berdasarkan karakteristik yang dimiliki desa bersangkutan, dan bukan penyeragaman.

Diperlukan pula aspek kebersamaan, saling belajar dan memberi informasi antara

pemerintah dan masyarakat. Upaya tersebut penting dilaksanakan dalam rangka

efektivitas pembangunan masyarakat perdesaan yang mandiri dan berkelanjutan.

d.4.2. Model Pembangunan Perdesaan di Indonesia

Dalam kaitan dengan pembangunan, Deutch (Riggs, 1988 : 5) menyatakan

sebenarnya bahwa kita tengah menggunakan model. Suka atau tidak suka, pada saat

kita berfikir secara sistematis tentang berbagai hal secara menyeluruh kita sedang

membanguna model. Ia menyatakan bahwa model yang dimaksudkan adalah setiap

struktur simbol-simbol dan aturan-aturan yang berlaku yang dianggap memiliki

kesamaan dalam dunia nyata.

Pemerintahan sering digambarkan sebagai model suatu keluarga, penguasa

dikaitkan seperti seorang ayah, sedangkan rakyat adalah sebagai anak. Dalam

pengrtian tertentu, model dapat merupakan paradigma atau kiasan yang rinci. Kalau

suatu model dipilih secara tepat, maka mudah bagi kita untuk memahami fenomena

dimana model itu diterapkan, bila dipilih sembarangan maka hasilnya akan

menyesatkan. Dengan demikian tingkat kekaburan atau kejelasan studi pembangunan

dalam masyarakat transisi (seperti Indonesia) sebahagian besarnya tergantung pada

ketepatan model-model yang kita gunakan.

Dari uraian di atas jelas bagi kita bahwa dengan menggunakan model dalam

pembangunan perdesaan diharapkan dapat memudahkan bagi setiap orang untuk

memahami fenomena dimana model itu diterapkan. Garna (1992) menyatakan dengan

Page 40: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

40

model dapat menjelaskan realitas pembangunan yang sesuai atau menurut konteksnya

(kontekstual).

Dalam pada itu, pembangunan perdesaan secara nasional tidak mungkin dapat

disamaratakan, mengingat perdesaan di negara ini mempunyai ciri-ciri : umumnya

kepadatan penduduk tidak terlalu tinggi; tingkat pendidikan rendah; keadaan alam

dan geografis berbeda; kegiatan usaha utama adalah pertanian (termasuk kehutanan,

peternakan, perikanan), tingkat pendapatan masyarakat relatif rendah; masyarakat

relatif homogen dalam hal mata pencaharian, agama dan adat istiadat.

Dengan demikian, pembangunan perdesaan, menurut Findley (Saefullah, 1995 :

13) harus dilakukan dengan model pendekatan kontekstual yang sesuai dengan sifat

dan cirinya, dan tidak dapat disamaratakan begitu saja antara model dan pendekatan

pembangunan desa yang satu dengan yang lainnya .

Dalam rangka itu pembangunan perdesaan harus meliputi upaya-upaya besar

yang satu sama lain saling berkaitan. Dengan melakukan pendekatan sistem (Winardi,

1999:149) semua upaya tersebut dijadikan masukan dalam proses pembangunan

perdesaan. Kemudian, proses pembangunan perdesaan tetap pula melaksanakan

manajemen pembangunan yang terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian

dan pengawasan pembangunan. Kesemuanya itu merupakan suatu proses dari fungsi

manajemen yang sepenuhnya merupakan partisipasi masyarakat setempat tanpa

campur tangan berlebihan dari pihak atas.

Sejalan pula dengan upaya pemberdayaan masyarakat maka pelaksanaan

pembangunan di perdesaan disesuaikan pula dengan faktor historis desa, sumber daya

manusianya, sumber daya alamnya, nilai sosial budaya dan nilai agamanya yang

merupakan faktor-faktor lingkungan yang ikut berpengaruh (Friedmann, 1981:42;

Bryant dan White, 1982:369; Findley, 1987 : 19; Saefullah, 1995 : 13).

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas suatu model pembangunan

perdesaan yang kontekstual dengan pendekatan sistem dapat digambarkan sebagai

berikut:

INPUT PROSES OUTPUT

Page 41: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

41

1. Pendekatan :

a. Pembangunan

bangsa

- Pembangunan

politik

- Pembangunan

sosial

budaya

b. Pembangunan

ekonomi

c. Ekologis

d. Sumber daya

manusia

e. Mulai dari yang

paling

membutuhkan

f. Pemerataan dan

pertumbuhan

g. Mencukupi

kebutuhan dasar

h. Mengurangi

ketergantungan

2. Aspek Kualitas Tokoh

Formal dan Informal:

a. Keterampilan &

kemampuannya

b. Dedikasi, motivasi,

amanat, pelayanan,

1. Perencanaan

pembangunan:

a. Dilakukan

oleh semua

unsur

masyarakat

b. Merupakan

keinginan

arus bawah

c. Sesuai dengan

situasi dan

kondisi

setempat

d. Keterpaduan

semua bidang

pembangunan

, SDM,

ekonomi

e. Dengan cara

menurut ilmu

dan teknologi.

f. Dilaksanakan

di desa

g. Pada waktu

yang jelas

h. Sesuai

kebutuhan

1. Pendapatan masyarakat

meningkat.

2. SDM termasuk kesehatan

dan gizi meningkat.

3. Sarana dan prasarana desa

meningkat atau semakin

baik.

4. Kesadaran & persatuan

masyarakat meningkat.

5. Masyarakat makin mengerti

hak dan tanggung

jawabnya.

6. Kesadaran beragama dan

berbudaya meningkat.

7. Pemerataan pembangunan

dan hasilnya.

8. Kualitas lingkungan hidup

meningkat.

9. Keadilan sosial dan

keseimbangan

pembangunan.

Page 42: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

42

dan pengabdian.

c. Sikap mental, etos

kerja, tertib,

tanggap, jujur,

disiplin, kerja keras,

produktif, inovatif,

orientasi pada hasil.

3. Pemberdayaan

Ekonomi masyarakat:

a. Pembangunan

ekonomi

keberpihakan pada

petani.

b. Pemberdayaan

koperasi

c. Mencegah praktek

monopoli

d. Pemilihan lahan

e. Ketersediaan

peralatan dan bahan

pertanian

f. Pengetahuan

manajemen usaha

g. Masukan modal dan

investasi

h. Pengetahuan dan

teknologi pertanian

i. Pemberdayaan

distribusi dan

2. Pelaksanaan

pembangunan:

a. Mengacu

pada rencana

b. Melibatkan

semua unsur

c. Menggunakan

prinsip

manajemen

d. Menumbuhke

mbangkan

partisipasi

dan gotong

royong

e. Orientasi

pada hasil dan

efisiensi.

3. Evaluasi dan

Pengawasan

Pembangunan :

a. Dilakukan

oleh tokoh

dan

masyarakat

b. Evaluasi yang

rutin

c. Upaya

perbaikan

-Nilai historis Desa

-Sumber daya

manusia

-Sumber daya alam

-Nilai sosial dan

budaya

-Nilai agama

-Ilmu pengetahuan

-Teknologi

-Sosial ekonomi

Page 43: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

43

pemasaran hasil

pertanian.

4. Meningkatkan sumber

daya manusia:

a. Pendidikan,

pelatihan dan

penyuluhan

b. Peningkatan

kesehatan dan gizi

5. Pemberdayaan lembaga

(institusi):

a. Aparat desa

b. LMD (BPD)

c. LKMD

d. PKK

e. Karang taruna

f. Bank desa atau

BPR

g. Lembaga agama

h. Lembaga adat

6. Perkebunan percotohan

Desa:

a. Mendorong

partisipasi

masyarakat

b. Memupuk semangat

gotong royong

c. Memberi

percontohan

pada

penyimpanga

n.

Feedback)

Page 44: PENDEKATAN TEORI

K2i DI PROVINSI RIAUT P K 2 G U B R I 2003-2008

44

7. Membangun sarana dan

prasarana Desa:

a. Jalan

b. Jembatan

c. Irigasi air

d. Rumah ibadah

e. Balai adat

f. Pasar

8. Penggalian Potensi

Desa:

a. Sesuai dengan

kondisi alam dan

sosial

b. Sesuai dengan

permintaan pasar

c. Sesuai pusat

pertumbuhan

Gambar 2.6. Model Pembangunan Perdesaan yang Kontektual

Sumber : Modifikasi Model Pembangunan Pedesaan yang Kontektual (Friedmann,

1981:42; Bryant dan White, 1982:369; Findley, 1987 : 19; Tjokroamidjojo dan

Mustopadidjaja, 1993 : 15-17; Saefullah, 1995 : 13; Winardi, 1999).

a. Dasar Ekonomi Baru Malaysia sebuah perbandingan