17
10 BAB II KASTA DAN KONFLIK : PENDEKATAN TEORITIS Pengantar Bagian ini merupakan landasan teoritis yang akan dikemukakan dan digunakan sebagai pendukung dalam menganalisa data. Teori-teori yang ada akan dikonseptualkan untuk membantu mendiskripsikan dan menganalisa data penelitian. Dimana penulis mencoba melihat konflik dan realitas konsep kasta dengan menghubungkan gagasan- gagasan para ahli yang berbicara mengenai konflik dan kasta dengan menggunakan teori konflik oleh Johan Galtung, teori hirarki oleh Louis Demounth, di mana teori ini dirasa dapat membantu apa yang dimaksud penulis dalam tulisan ini. Pemilihan teori dalam uraian bab ini berdasarakan pada masalah yang ditemui di lokasi penelitan dan dipakai guna menganalisa lebih lanjut bagaimana sebenarnya konflik dan kasta ini terjadi, termasuk dalam jenis konflik apa, dan dampak konflik yang dirasakan oleh masyarakat, serta apa resolusi konflik yang cocok diterapkan dalam kasus konflik kasta dalam masyarakat Elaar. 2.1. Konsep dan Realitas Kasta Kasta dalam Dictionary of American English disebut: Caste is a group resulting from division of society based on class differences of wealth, rank, rights, profession, or job. Uraian lebih luas ditemukan pada Encyclopedia Americana Volume 5 halaman 775; asal katanya adalah “Casta” yang dalam bahasa Spanyol dan Portugis yang berarti kelas, ras, keturunan, golongan, pemisahan, tembok atau batas. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kasta adalah golongan (tingkat atau derajat) manusia dalam masyarakat beragama

PENDEKATAN TEORITIS Pengantar - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16927/2/T2_752016004_BAB II...ketika mereka menerapkannya pada ribuan kelompok sosial India

  • Upload
    doannga

  • View
    218

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

10

BAB II

KASTA DAN KONFLIK : PENDEKATAN TEORITIS

Pengantar

Bagian ini merupakan landasan teoritis yang akan dikemukakan dan digunakan

sebagai pendukung dalam menganalisa data. Teori-teori yang ada akan dikonseptualkan

untuk membantu mendiskripsikan dan menganalisa data penelitian. Dimana penulis

mencoba melihat konflik dan realitas konsep kasta dengan menghubungkan gagasan-

gagasan para ahli yang berbicara mengenai konflik dan kasta dengan menggunakan teori

konflik oleh Johan Galtung, teori hirarki oleh Louis Demounth, di mana teori ini dirasa

dapat membantu apa yang dimaksud penulis dalam tulisan ini.

Pemilihan teori dalam uraian bab ini berdasarakan pada masalah yang ditemui di

lokasi penelitan dan dipakai guna menganalisa lebih lanjut bagaimana sebenarnya konflik

dan kasta ini terjadi, termasuk dalam jenis konflik apa, dan dampak konflik yang dirasakan

oleh masyarakat, serta apa resolusi konflik yang cocok diterapkan dalam kasus konflik kasta

dalam masyarakat Elaar.

2.1. Konsep dan Realitas Kasta

Kasta dalam Dictionary of American English disebut: Caste is a group resulting

from division of society based on class differences of wealth, rank, rights, profession, or job.

Uraian lebih luas ditemukan pada Encyclopedia Americana Volume 5 halaman 775; asal

katanya adalah “Casta” yang dalam bahasa Spanyol dan Portugis yang berarti kelas, ras,

keturunan, golongan, pemisahan, tembok atau batas. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia kasta adalah golongan (tingkat atau derajat) manusia dalam masyarakat beragama

11

Hindu.1 ketika Spanyol menjajah dunia baru, mereka menggunakan kasta yang berarti

“silsilah”, namun Portugis yang memperkerjakan kasta dalam pengertian modern utama

ketika mereka menerapkannya pada ribuan kelompok sosial India turun-temurun yang

mereka hadapi saat mereka tiba di India pada tahun 1498, penggunaan ejaan “kasta” dengan

makna terakhir pertama kali dibuktikan dalam bahasa inggris pada tahun 1613.2

Para ahli sosial mengartikan kasta sebagai hirarki sosial, yakni merujuk pada

karakteristik bawaan dan yang diwariskan. Sistem kasta di definisikan sebagai sebuah

tatanan yang membagi semua masyarakat Hindu ke dalam kelompok-kelompok endogami

dengan keanggotaan herediter, yang serentak memisahkan dan menghubungkan seorang

dengan yang lain melalui tiga karakteristik: pemisahan menyangkut perkawinan dan kontak;

pembagian kerja dalam setiap kelompok yang mewakili satu profesi tertentu dan akhirnya,

hirarki yang mengurutkan kelompok kelompok itu pada sebuah skala yang memilah mereka

ke dalam kasta tinggi dan kasta rendah.3

Kasta pada masyarakat India dibagi menjadi empat kasta yakni Brahmana, Ksatria,

Wesya, dan Sudra. Menurut pemahaman masyarakat India pada umumnya Brahmana adalah

mereka yang mempunyai profesi kependetaaan dan memiliki kedudukan paling tinggi.

Ksatria adalah mereka yang berprofesi sebagai abdi negara/kerajaan dan mereka inilah para

keturunan raja. Wesya adalah mereka yang berprofesi sebagai wiraswasta atau pengusaha.

Sementara Sudra merupakan kasta yang terendah, terdiri dari orang-orang berprofesi

sebagai buruh atau petani dan mereka tidak mempunyai gelar seperti halnya kasta yang lain.

1

KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) oleh Balai Pustaka. Dalam pembahasan dijelaskan

mengenai Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra dan Paria (golongan rakyat jembel yang hina-dina dalam

masyarakat Hindu). 2 Pitt-Rivers, Julian, "Tentang kata 'kasta ", Terjemahan esai budaya ke EE Evans-Pritchard ,

(London, Inggris: Tavistock (1971), 231-256. 3 Eriksen, Thomas Hylland, Antropologi Sosial dan Budaya Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: CV

Titian Galang Printika, 2009), 242.

12

Kasta Brahmana, Ksatria, dan Waisya sering diistilahkan sebagai Triwangsa.

Sementara kasta Sudra yang merupakan kasta terendah yang diistilahkan dengan

Sudrawagsa. Dalam mengidentifikasi masing-masing kasta dapat dilakukan dengan

mengenali nama atau gelarnya. Karena setiap kasta memiliki gelar penamaan sendiri,

sehingga sangat jelas terlihat adanya perbedaan antara mereka. Dalam kitab suci Veda tidak

dikenal istilah kasta yang termuat dalam kitab suci Veda adalah Warna atau pada kitab

Bhagavadgita adalah Catur Warna, yakni pembagian masyarakat menurut Swadharma

(profesi) atau wilayah kerja masing-masing. Selain itu, yang ada dalam kehidupan

masyarakat India adalah Wangsa, yaitu sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis

keturunan. Pada masyarakat Hindu di India pun sesungguhnya bukanlah kasta tetapi varnas

bahasa Sanskerta yang artinya Warna (colour); ditemukan dalam Rg Veda sekitar 3000

tahun sebelum Masehi yaitu Brahman (pendeta), Kshatriya (prajurit dan pemerintah),

Vaishya (pedagang/ pengusaha), dan Sudra (pelayan). Tiga kelompok pertama disebut

“dwij” karena kelahirannya diupacarakan dengan prosesi penyucian. Kemudian yang

menjadi persoalan, ketika kasta dipakai dalam memahami konsep varna pada masyarakat

Hindu.4

Kasta di Kei terwujud dalam tiga tingkatan,5 dalam bahasa lokal masyarakat Kei

yaitu: Mel-mel, mereka ini adalah para imigran atau para pendatang. Ren-ren, merupakan

kelompok orang merdeka, mereka ini adalah penduduk asli, dan Iri-Iri yaitu kelompok yang

mengabdi yang pernah melakukan pelanggaran adat dan status mereka yang tadinya sebagai

Mel dan Ren di cabut. Dalam sejarah pembentukan kasta di kepulauan Kei terjadi sekitar

abat 15 atau 16. Pembentukan kasta ini berkaitan dengan orang luar, yang dalam sumber

4 Dumonth, Homo Hierarchicus, (Chicago: University Press, 1980), 245.

5 Pattikayhattu, Sejarah Pemerintahan Adat di Kepulauan Kei Maluku Tenggara, (Ambon: Lembaga

Kebudayaan Daerah Maluku,1998),92.

13

tertulis dan seakan sudah umum diakui dalam masyarakat Kei mereka mengakuinya berasal

dari Bali.6

Laksono menyebutkan di Kei Bukan kasta tetapi strata7 sebab, kasta punya struktur

organisasi dengan pimpinannya dan ada ideloginya yang menjadi dasar perjuangan tiap

kasta seperti di India. Kedua, pengakuan dan pemisahan secara kokoh kasta Mel-mel, Ren-

ren dan Iri-iri terbentuk pada masa penjajahan belanda di abat 16 atau 17. Prosesnya bisa

diuraikan dengan jelas sebagai sebuah upaya politisasi dengan akibat penindasan

masyarakat demi mencapai kepentingan penjajah Belanda. Belanda mengambil orang Mel-

mel dari mereka yang pandai andministrasi dan berkemampuan menjadi pemimpin dalam

masyarakat yang terpilih disini adalah para orang luar yang dalam kedudukan sebagai raja-

raja pertama di tanah Kei, disebut Hala’ai.

2.2. Teori Hirakhi

Menurut Fredrik Barth kasta merupakan bentuk stratifikasi sosial dijelaskan olehnya

dalam penelitiannya pada masyarakat Pathan di lembah Swat di bagian utara Pakistan.

Dimana dalam kasta memiliki bentuk strata atau tingkatan-tingkatan tertentu yang bersifat

hirarkis. Pandangan lain yang sama mengenai kasta juga dikemukakan oleh Max Weber

sebagai satu segi dari struktur sosial, namun dibatah oleh Louis Dumonth Menurutnya :

“agar dapat memahami kasta untuk melihatnya sebagai bagian yang terpadu dari

suatu totalitas sosial dan budaya; karenanya kita tidak dapat berbicara tentang kasta-

kasta

6 Ohoitimir J, Beberapa Sikap Orang Kei: Antara Ketahanan Diri dan Proses Perubahan, (Manado:

Pinenang, 2010) 98. 7 Laksono P.M, Vuut Ain Mehe Ngivun, Manut Ain Mehe Tilur, 26.

14

secara terpisah dari konteks budaya khusus dimana kasta-kasta itu muncul. Kasta

merupakan salah satu segi dari kebudayaan India dan harus dipahami dalam suatu

totalitas sosio budaya Hindu”.8

Louis Dumonth memperluas penelitian lapangannya di Pralayai Kallars di India

selatan pada tahun 1949 (Une sous-caste de l'Inde du Sud) dan literatur idiologi tentang

kasta untuk menghasilkan studi teoritis tentang kasta dan hierarki, Homo Hierarchicus

Dumont terlibat dengan historiografi India dan teori sosiologis JH Hutton, MN Srinivas,

McKim Marriott, Emile Durkheim, dan Eugene Weber, dengan pertanyaan “kasta” sebagai

masalah utama, Dumonth berpendapat bahwa “kasta bukanlah stratifikasi sosial, melainkan

sebuah sistem hirarki, yang didasarkan pada ketidaksetaraan” disini Dumonth mencoba

beralih dari konsep kelas sosial eksotis Barat untuk memahami kasta sebagai fakta sosial

total, Dumonth berusaha untuk mengisolasi, mempelajari dan mengembangkan teori baru

tentang hierarki dan intinya konsep yang murni dan tidak murni apa yang diyakini sebagai

aspek ideologis utama sistem sosial india.

Dumonth memulai studinya dengan membingkai pertanyaan individu, masyarakat,

persamaan, dan hirarki dalam studi kasta melalui revolusi pengatar tentang evolusi victoria

tentang “kesatuan umat manusia”. Dumonth menunjukan pendekatan komparatifnya yang

terus berlanjut selama bekerja dari pada studi historis yang berfokus pada kasta di India.

Dumonth meneliti hubungan sosial dan hirarki untuk membuat perbandingan dan

kesimpulan teoritis. Hal ini paling jelas dalam pertanyaan dalam individu. Dumonth

berpendapat bahwa masyarakat tradisional menekankan masyarakat secara keseluruhan,

manusia kolektif dan bagaimana individu sesuai dengan urutan dan hirarki. Sementara itu

masyarakat modern menekankan individu adalah inti dari perkembangan analisis Dumonth

8 Dumonth, Homo Hierarchicus: The Caste System and its implications, (Chicago: University Press,

1980), 345.

15

tentang persamaan dan hierarki.9

Dumonth berpendapat bahwa hirarki muncul dari

konsensus nilai dan gagasan dan sangat penting bagi kehidupan sosial. Dengan cara ini

hirarki mengungkapkan aspek dasar masyarakat karena “hirarki mencakup agen sosial dan

kategori sosial”.10

Dumonth mendefinisikan kasta institusi pan-india, sebuah sistem gagasan dan nilai,

sistem rasional yang formal dan dapat dipahami,11

yang terpenting bagaimana kelompok

kasta dibedakan dari dan terhubung satu sama lain melalui: Pertama, pemisahan

perkawinan, dan kontak. Kedua, pembagian kerja, tradisi dan profesi. Tiga, kelompok

peringat hirarki relatif lebih uggul atau lebih rendah satu sama lain. Oleh karena itu aspek

hirarki adalah yang paling penting dan terwujud dalam pemisahan antara yang murni dan

tidak murni.

Untuk memperluas konsep hirarki Domonth membedakan antara gagasan Barat

tentang hierarki sebagai subordinasi progresif dan teori hirarki India, alih-alih hirarki yang

bertumpu pada gagasan barat tentang kekuatan dan wewenang linear, Dumonth

menghubungkan hirarki India dengan nilai-nilai religius, ada empat varnas dan

hubungannya dengan keseluruhan. Varnas adalah kata Sanskerta yang berarti tipe, urutan,

warna atau kelas, Istilah ini mengacu pada kelas sosial, yang berarti menutupi, menyelimuti,

menghitung, mengklasifikasikan, menggambarkan atau memilih. Kata itu muncul di

Rigveda, di mana itu berarti warna, penampilan luar, eksterior, bentuk gambar atau bentuk

kata itu berarti, warna, pewarna, pewarna atau pigmen. Varnas secara kontekstual berarti

"warna, ras, suku, spesies, jenis, jenis, sifat, karakter, kualitas, properti" dari suatu objek

atau orang dalam beberapa teks Veda dan abad pertengahan. Dalam Literatur Hindu

mengklasifikasikan masyarakat pada prinsipnya menjadi empat varnas yaitu Brahmana;

9 Dumonth, Homo Hierarchicus, 1.

10 Dumonth, Homo Hierarchicus,20.

11 Dumonth, Homo Hierarchicus, 35.

16

imam, ilmuwan dan guru, Kshatriya; penguasa, pejuang dan administrator, Waisya; ahli

pertanian dan pedagang dan Sudra; buruh dan penyedia layanan.

Dumonth menjelaskan bahwa hierarki adalah prinsip di mana unsur-unsur

keseluruhan di golongkan dalam kaitannya dengan keseluruhan. Dumonth menggambarkan

sistem bukan sebagai ekonomi tetapi sebagai sistem turun-temurun kerja dan hubungan,

prestasinya dan kontra-prestasi. Oleh karena itu sistem tersebut di dasarkan pada referensi

implisit keseluruhan yang pada dasarnya bersifat religius, atau jika seseorang lebih memilih,

masalah nilai tertinggi.12

namun tidak menggabaikan konsep politik dan kekuasaan secara

keseluruhan dan memilah-milah wewenang antara dan di dalam kelompok kasta. Otoritas

keagamaan Dumont berpendapat berada ditangan Brahmana dan otoritas temporal ditangan

raja, hakim dan hukum Braharma. Selanjutnya unit desa memiliki bentuk kewenangan

jamak yang rumit dan tidak sederhana.13

Menurut Dumonth perbedaan kasta dan stratifikasi

sosial, di mana konsep kasta sangat berhubungan antar status dan kekuasaan. Cita-cita dan

kebebasan bersama dan persamaan langsung mengikuti konsepsi manusia sebagai individu,

akibatnya jika semua umat manusia dianggap hadir di masing-masing manusia maka,

masing-masing manusia harus bebas dan semua orang setara dan ialah yang menjadi fondasi

dari dua cita-cita besar era modern. Sebaliknya setelah akhir kolektif diadopsi oleh pria,

kebebasan mereka terbatas dan kesetaraan mereka dipertenyakan namun kemudian

Dumonth menjelaskan bagaimana persamaan adalah gagasan unggul namun pada dasarnya

buatan.

Oleh karena itu maka pemikiran Dumonth inilah penulis gunakan untuk

membandingkan gagasan kasta pada masyarakat Kei dengan mncoba membandingkan

gagasan asli dari kelompok sosial dan fakta sosial pada masyarakat Kei di mana menurut

12

Dumonth, Homo Hierarchicus, 106. 13

Dumonth, Homo Hierarchicus, 182.

17

Dumonth terikat bersama dalam keseluruhan struktural.14

Masyarakat yang akan diteliti

merupakan masyarakat agraris. Dengan mata pencaharian utama adalah pertanian. Kondisi

agraris ini memiliki pengaruh terhadap kondisi dan jenis stratifikasi sosial yang ada.

Terutama pengaruhnya terhadap kasta.

Sistem stratifikasi agraris umumnya terdiri dari strata sosial berikut. Pertama, elit

ekonomi-politik yang terdiri dari penguasa dan keluarganya serta kelas tuan tanah. Kedua,

kelas penyewa. Ketiga, kelas pedagang. Keempat, kelas rohaniawan. Kelima, kelas petani.

Keenam, kelas seniman. Ketujuh, kelas “sampah masyarakat”. Empat kelas yang disebut

pertama dianggap kelompok kelas yang memiliki hak-hak istimewa. Tetapi kelompok-

kelompok yang memiliki hak istimewa terpenting tentu saja elit ekonomi-politik: kelas

penguasa dan pemerintah. Para petani, seniman, dan kelas terakhir merupakan kelas bawah,

tetapi karena para petani merupakan kelas terbesar, ia juga merupakan kelas paling

tereksploitasi.15

Antropologi sosial dan budaya, kasta digolongkan kedalam Struktur Sosial. Istilah

struktur berasal dari kata structum (bahasa latin) yang berarti menyusun.16

Dengan

demikian, struktur sosial memiliki arti susunan masyarakat. Adapun penggunaan konsep

struktur sosial tampaknya beragam. Definisi struktur sosial menurut Menurut Radclife-

Brown mengenai struktur sosial adalah suatu rangkaian kompleks dari relasi-relasi sosial

yang berwujud dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, struktur sosial meliputi relasi

sosial di antara para individu dan perbedaan individu dan kelas sosial menurut peran sosial

mereka. Berawal dari konsep kebudayaan yang didalamnya terdapat konsep struktur sosial

yang terbagi atas diferensiasi dan stratifikasi. Kasta membagi masyarakat ke dalam

14

Louis Dumonth, Homo Hierarchicus, 201. 15

Sanderson, Stephen K, Makro Sosiologi-Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, (Jakarta:

Rajawali Press, 2010), 153. 16

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, 20.

18

kelompok-kelompok tertentu yang sifatnya herediter (bawaan dan diwariskan). Sistem kasta

menyangkut prihal mengurutkan orang-orang sesuai status bawaannya, memiliki norma dan

kaidah dalam mengatur keterkaitan antar anggotannya, menciptakan hubungan timbal balik,

serta membagi tugas yang hanya dapat dilaksanakan oleh anggota tertentu saja.

2.3. Teori Konflik

Secara etimologis istilah konflik berasal dari bahasa Latin con yang berarti bersama,

dan fligere yang berarti benturan atau tabrakan. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai

suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) di mana salah satu

pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya

tidak berdaya. Konflik dalam bahasa Inggris conflict artinya perselisihan, pertempuran, dan

bentrokan. Waileruny mengutip Daryanto-dalam Kamus Bahasa Indonesia, konflik diartikan

sebagai pertentangan percekcokkan, perselisihan, ketidaksamaan pendapat atau

pandangan.17

Dengan demikian konflik dalam kehidupan sosial berarti terjadinya benturan

kepentingan, pendapat, harapan yang harus diwujudkan dan sebagainya yang paling tidak

melibatkan dua pihak atau lebih, dimana tiap-tiap pihak dapat berupa perorangan, keluarga,

kelompok kekerabatan, satu komunitas, maupun satu organisasi sosial pendukung ideologi

tertentu, satu organisasi politik, suku bangsa maupun satu pemeluk agama tertentu.

Ada beberapa pengertian konflik menurut pendapat para ahli, menurut Simmel dan

Lewis Coser, konflik merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang dasar, dan bahwa

proses konflik dihubungkan dengan bentuk-bentuk alternatif seperti kerja sama dalam

berbagai cara yang tak terhitung jumlahnya dan bersifat kompleks.18

Menurtut Taquiri

17

Samuel Waileruny, Membongkar Konspirasi di Balik Konflik Maluku, (Jakarta: Yayasan Pustaka

Obor Indonesia, 2010), 27. 18

Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi: Klasik dan Modern 2, (Jakarta: Gramedia, 1990), 195-196.

19

dalam Newstorm dan Davis, konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh

berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan,

kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.19

Konflik perlu kita pahami sebagai sesuatu yang tidak bersumber dari teori-teori sosial,

melainkan kehidupan sosial masyarakat. Banyak ahli yang berpendapat tentang asal-mula

dari sebuah konflik. Adam Kuper misalnya menyebut sumber konflik adalah “hubungan-

hubungan sosial, politik, ekonomi, dan sifat dasar biologis manusia”. 20

Paparan Kuper ini

melihat semua aspek dari kehidupan manusia. Fisher menjabarkan, bahwa konflik

disebabkan oleh, Pertama, Polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan

di antara kelompok yang berbeda dalam satu masyarakat (Teori Hubungan Masyarakat),

kedua, posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak

yang mengalami konflik (Teori Negosiasi Prinsip). Ketiga, kebutuhan dasar manusia,

fisik,mental, dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi (Teori Kebutuhan Manusia),

keempat, Masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai

masalah-masalah sosial, budaya, dan ekonomi (Teori Transformasi Konflik).21

Selama ini konflik selalu diidentikan dengan kekerasan, menurut Johan Galtung,

konflik dapat diartikan sebagai benturan fisik dan verbal dimana akan muncul

penghancuran, tapi konflik juga bisa dipahami sebagai sekumpulan masalah yang

menghasilkan goresan baru, sementara situasi adalah ketidak nyamanan yang sedang terjadi.

Apa yang "seharusnya" tidak sama dengan apa yang "ada" bisa juga salah satu sikap yang

ditujukan untuk menekan pihak lawan, baik secara fisik, verbal, atau psikologi.22

19

http;//idshovoong.com/writing-andspeacing/self-pubising/2249702-konflik/.diuduh pada hari senin

11 september 2017. pukul 14:00 wib. 20

Adam Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta: Grafindo, 2006), 155. 21

Simon Fisher, Mengelola Konflik: Ketrampilan dan Strategi Untuk Bertindak, (Jakarta: The British

Council, 2001), 8-9. 22

Galtung Johan, Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik Pembangunan dan Peradaban,

(Surabaya: Pustaka, 2003), 69.

20

Dalam teori tentang munculnya konflik dalam Masyarakat merujuk kepada teori

kekerasan struktural dan kultural dari Johan Galtung. Johan Galtung mengatakan bahwa

konflik dapat dilihat sebagai sebuah segitiga, dengan kontradiks (Contradiction = C), sikap

(Attitude = A), perilaku (Behaviour = B) pada puncak-puncaknya kontradiksi merujuk pada

dasar situasi konflik termasuk ketidakcocokan tujuan” yang ada atau dirasakan oleh pihak-

pihak yang bertikai, yang disebabkan oleh ”ketidakcocokan antara nilai sosial dan struktur

sosial”. Kontradiksi ditentukan oleh pihak-pihak yang bertikai, hubungan mereka, dan

benturan kepentingan inheren di antara mereka sikap ialah persepsi pihak-pihak yang

bertikai dan kesalahan persepsi antara mereka dan dalam diri mereka sendiri, merupakan

persepsi tentang isu-isu tertentu yang berkaitan dengan kumpulan lain.

Dalam konflik dan kekerasan, pihak-pihak yang bertikai cenderung mengembangkan

stereotip yang merendahkan satu sama lain. Sikap ini sering dipengaruhi oleh emosi seperti

takut, marah, kepahitan, atau kebencian. Sikap tersebut termasuk elemen emotif (perasaan),

kognitif (keyakinan) dan konatif (kehendak). Perilaku yang merupakan kerjasama atau

pemaksaan, gerak tangan atau tubuh yang menunjukkan persahabatan atau permusuhan.

Perilaku konflik dengan kekerasan dicirikan oleh ancaman, pemaksaan, dan serangan yang

merusak.

Kekerasan struktural adalah kekerasan tidak langsung, yang telah terbentuk dalam

suatu sistem sosial tertentu. Oleh kerena itu, penekanannya lebih condong kepada sistem

yang berjalan dalam suatu situasi sosial. Atau juga dapat dikatakan struktur sosial itu

sendiri; misalnya kekerasan struktural terjadi antara orang; kumpulan orang (masyarakat)

kumpulan masyarakat di berbagai belahan dunia. Oleh sebab itu kekerasan struktural dapat

21

disusun berdasarkan asumsi bahwa rumus umum di balik kekerasan struktural adalah

ketidaksamaan

terutama dalam distribusi kekuasaan. Untuk melihat faktor-faktor yang menyebabkan

terjadinya dukungan terhadap ketidaksamaan, Johan Galtung menjelaskan struktur sosial

seperti gagasan tentang pelaku, sistem, struktur, kedudukan dan tingkat.23

Kontradiksi ialah kemunculan situasi yang melibatkan masalah sikap dan perilaku

sebagai suatu proses. Dalam hal ini kontradiksi diciptakan oleh unsur persepsi dan gerak

kumpulan yang terlibat, yang hidup dalam persekitaran sosial. Secara sederhana, sikap

melahirkan perilaku, kemudian melahirkan kontradiksi atau situasi. Sebaliknya, situasi

boleh melahirkan sikap dan perilaku. Konsep mengenai situasi kontradiksi yang didahului

oleh sikap dan perilaku ini digambarkan pada skema segitiga ABC Galtung. Galtung

berpendapat bahwa tiga komponen harus muncul dalam sebuah konflik total. Struktur

konflik tanpa sikap atau perilaku konfliktual merupakan sebuah konflik laten. Galtung

melihat konflik sebagai proses dinamis, dimana struktur, sikap, dan perilaku secara konstan

berubah dan saling mempengaruhi. Ketika konflik muncul, kepentingan pihak-pihak yang

bertikai masuk ke dalam konflik atau hubungan dimana mereka berada.

Galtung melihat konflik sebagai proses dinamis, dimana struktur, sikap, dan perilaku

secara konstan berubah dan saling mempengaruhi. Ketika konflik muncul, kepentingan

pihak-pihak yang bertikai masuk ke dalam konflik atau hubungan dimana mereka berada.

Kemudian pihak-pihak yang bertikai mengorganisasi diri di sekitar struktur ini untuk

mengejar kepentingan mereka. Mereka mengembangkan sikap yang membahayakan dan

perilaku konfliktual, sehingga formasi konflik mulai tumbuh dan berkembang.

23

Marshanda Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johan Galtung, (Yogyakarta: Kanisius,

1992), 75.

22

Kekerasan budaya (Cultural Violence) berarti berbicara tentang kekerasan yang

berhubungan dengan menyentuh aspek-aspek kebudayaan tertentu. Aspek-aspek budaya

yaitu ruang simbolik keberadaan manusia yang dicontohkan oleh agama dan ideologi,

bahasa dan seni, ilmu empirik dan ilmu formal (logika, matematika) yang dapat dipakai

untuk menjastifikasi atau melegitimasi kekerasan langsung atau kekerasan struktural.

Galtung mengatakan bahwa secara umum, arus dari kekerasan budaya melalui

kekerasan struktural sampai kekerasan langsung dapat diidentifikasi. Budaya

menasehati, mengajarkan, memperingatkan, menghasut dan membodohi mengenai

bagaimana melihat eksploitasi atau represi sebagai yang bersifat normal, atau

bagaimana caranya untuk tidak melihat mereka sama sekali.24

Dengan demikian kekerasan dapat saja bersumber dari orang, individu, atau di dalam

kolektivitas dari ruang sosial dan dunia, kadang-kadang menggunakan kekerasan alami,

struktural dan kultural. Tetapi efek buruk dari kekerasan dapat ditemukan di mana saja tanpa

mengenal dimensi ruang dan waktu, misalnya pada manusia, alam, struktur, kultur yang

rusak, dan juga kekerasan waktu. Kekerasan juga merugikan dan merusak bagian-bagian

non sentient dari dunia. 25

oleh karena itu ada beberapa istilah yang digunakan oleh Galtung

untuk menggambarkan kasus-kasus ekstrim yang terjadi: pertama, Ecocicide: yaitu

kekerasan ekstrim terhadap alam, berupa eksploitasi terhadap alam yang menyebabkan

rusaknya alam dan hancurnya berbagai ekosistem. Kedua, Suicide: kekerasan langsung dan

mematikan terhadap diri, Yaitu tindakan mengambil nyawa orang lain, termasuk juga;

membunuh diri sendiri, menghancurkan diri sendiri, membantai diri sendiri, atau kematian

akibat perbuatan tangan sendiri.26

Homicide: kekerasan langsung dan mematikan yang

dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain.

2.4. Resolusi Konflik Oleh Galtung

24

Ibid, 190. 25

Ibid, 70. 26

Ibid, 77.

23

Salah satu bentuk manejemen konflik yang sering digunakan adalah resolusi konflik.

Resolusi konflik merupakan suatu upaya menangani sebab-sebab kanflik dan berusaha

membangun hubungan yang baru yang lebih baik diatara pihak-pihak yang berkoflik.

Resolusi ini mengacu pada strategi-stategi menagani konflik dengan harapan tidak hanya

mencapai kesepakatan untuk mengahiri konflik tetapi juga mencapai suatu resolusi dari

berbagai perbedaan sasaran yang menjadi penyebab. Resolusi konflik sendiri bisa dibagi

menjadi pengaturan diri sendiri (self religition) atau melalui kehadiran pihak ketiga (try

party intervetion).

Galtung melihat perdamaian dalam dua defenisi yakni pertama, perdamaian adalah

tidak adanya atau pengurangan kekerasan dalam bentuk apapun. Kedua, perdamaian

merupakan tanpa kekerasan dan kreatif mentransformasi konflik. Kedua definisi ini berlaku

kerja perdamaian yakni bekerja untuk mengurangi kekerasan dengan cara damai serta studi

perdamaian untuk kondisi kerja perdamaian. Definisi pertama berorientasi pada kekerasan

dimana perdamaian menjadi negasinya. Sedangkan definisi kedua berorientasi pada konflik

dimana perdamaian merupakan konteks konflik yang terungkap tanpa kekerasan dan kreatif.

Untuk mengetahui tentang perdamaian kita harus tahu tentang konflik dan bagaimana

konflik bisa diubah, baik tanpa kekerasan dan kreatif. 27

Berdasarkan beberapa pendapat di

atas maka perdamaian dapat didefenisikan sebagai proses menghadirkan damai tanpa

melakukan kekerasan langsung maupun tidak langsung. Proses menghadirkan damai

menunjuk pada tindakan kreatif individu agar dapat mentransformasi konflik yakni denga

cara mengetahui konflik, bagaimana konflik dapat diatasi, diubah secara kreatif tanpa

menggunkan kekerasan. Dengan demikian perdamaian berarti tidak adanya kekerasan dalam

segala bentuk maupun konflik yang berlangsung dengan cara yang konstruktif. Perdamaian

27

Johan Galtung, Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development, and Civilization,

(London and New Dehli: Sage Publication,1996), 9.

24

ada di dalam interaksi masyarakat tanpa kekerasan serta dapat mengelola konflik mereka

secara positif.

Galtung membagi perdamaian dalam dua tipologi yakni perdamaian negatif dan

perdamaian positif. Perdamaian negatif diartikan sebagai tidak adanya kekerasan atau tidak

adanya perang.28

Dengan menghadirkan damai negatif maka pihak yang sedang berkonflik

tidak akan saling bertemu dan tidak akan tercipta ruang bersama untuk menghasilkan

perdamaian yang diinginkan. Integrasi yang diinginkan semua pihak tidak terwujud oleh

karena pemisahan yang dilakukan pemerintah dengan menempatkan perlindungan

sekuritas.29

Klasifikasi perdamaian negatif adalah pesimistis, kuratif, dan perdamaian tidak

selalu dengan cara damai.30

Gagasan perdamaian sebagai tidak adanya kekerasan kolektif

terorganisir antara kelompok manusia khususnya negara-negara, antar kelas, antar ras, dan

kelompok etnis merujuk pada jenis perdamaian negatif.31

Perdamaian positif menunjuk pada

suasana damai di mana terdapat kesejahteraan, keadilan, dan kebebasan. Damai positif

menganjurkan interaksi mendalam warga masyarakat demi menghadirkan integrasi sosial.

Menghadirkan perdamaian positif diperlukan kerja sama dengan tujuan memperbaiki masa

lalu dan membangun kembali masa depan. Kerja sama ini dapat dihadapi serta menjadi

tanggung jawab bersama.32

Menurut Galtung Perdamaian positif menghadirkan hal-hal baik dalam masyarakat,

khususnya kerja sama dan integrasi antara kelompok yang ada dalam masyarakat.

Klasifikasi perdamaian positif adalah integrasi struktural, optimis, preventif, perdamaian

28

Temesgen Tilahun, “Johan Galtung’s Concept of Positive and Negative Peace in the Contemporary

Ethiopia: an Appraisal,” International Journal of Political Sciences and Development. Vol 3 No 6, ISSN:

2360-784X (2015): 251.

29

Galtung dalam Izak Lattu, Planting the Seed of Peace, 190-191. 30

Galtung dalam Temesgen Tilahun, Johan Galtung’s Concept, 252. 31

Galtung dalam Temesgen Tilahun, Johan Galtung’s Concept, 252. 32

Galtung dalam Izak Lattu, Planting the Seed of Peace, 191.

25

dengan cara damai. Perdamaian positif menunjuk pada kondisi sosial di mana kegiatan

mengeksploitasi

dapat diminimalkan atau dihilangkan dan di mana tak ada kekerasan dalam bentuk apa pun.

Kehadiran damai positif untuk memberikan situasi yang merangkul, adil, serta menjaga

harmoni ekosistem.

Perdamaian positif di isi dengan konten positif seperti pemulihan hubungan,

penciptaan sistem sosial yang melayani kebutuhan seluruh penduduk dan resolusi

konstruktif konflik.33

Damai yang positif dimaknai dalam pemahaman Galtung mengenai

rekonsiliasi. Menurut Galtung, rekonsiliasi adalah bentuk akomodasi dari pihak-pikah yang

terlibat dalam koflik destruktif untuk saling menghargai satu sama lain, menyingkirkan rasa

sakit, dendam, takut, benci, dan bahaya terhadap pihak lawan. Dari pengertian ini maka

dapat dikatakan bahwa rekonsiliasi merupakan bentuk akomodasi dari pihak yang bertikai

untuk saling menghargai dan tidak saling membenci terhadap pihak lawan.34

Pemahaman ini

menyatakan bahwa rekonsiliasi sebagai bagian dari resolusi konflik merupakan tahapan

perdamaian yang akan memakan waktu yang cukup panjang untuk menyelesaikan konflik

yang terjadi. Sebab rekonsiliasi merupakan proses mengejar suatu perdamaian dengan

menyelesaikan akar permasalahan dan mengampuni, serta dapat memperoleh suatu

komunikasi yang mengacu pada makna perdamaian yakni proses menghadirkan damai tanpa

kekerasan langsung maupun tidak langsung maka ada dua tipe yang dikemukan yakni

perdamaian negatif dan perdamaian positif.

Perdamaian negatif yaitu dalam siasana perang karena intervensi pemerintah

melalui pengamanan dan perlindungan aparat keamanan, dan perdamaian positif merupakan

situasi tidak adanya kekerasan baik kekerasan langsung maupun tidak langsung. Perdamaian

33

Galtung dalam Temesgen Tilahun, Johan Galtung’s Concept, 252-253. 34

Johan Galtung, Rekonsiliasi Konflik, ( Jakarta: Pustaka Jaya, 1994), 67.

26

positif terwujud melalui kerja sama antara masyarakat agar dapat menghadirkan integrasi

sosial yakni pemulihan hubungan dalam masyarakat. Perdamaian positif berorientasi pada

masa lalu dan masa yang akan datang. Dengan demikian perdamaian positif dapat

dipertahankan oleh karena kerja sama setiap anggota masyarakat untuk menghadirkan

keadilan dan kesejahteraan.

Kesimpulan

Kasta sejak dahulu sampai sekarang telah menuai banyak problematik diantaranya

mengenai aturan-aturan antar kasta dalam berbagai segi kehidupan yang banyak mengalami

perubahan hal ini terlihat jelas dalam kehidupan masyarakat Kei. Walaupun dalam relasi

mereka hidup dan menyatuh bersama tetapi tetap saja, kasta tetap ada pada masyarakat Kei

yang secara jelas mampu membagi masyarakat Kei secara hirarki menjadi golongan-

golongan tertentu. Hanya saja memang terjadi berubahan, terutama dalam hal relasi mereka.

Istilah yang kemudian tepat dalam hal ini adalah konsep dinamika. Teori-teori di atas

mencoba mengatasi dualisme kebebasan dan determinisme. Disatu pihak teori ini tidak

terlepas dari suatu bentuk determinisme yang seakan-akan memenjarakan tindakan-

tindakan dalam pembatas-pembatas, dipihak lain teori ini memberi peluang bagi konsep

individu otonom, bebas dan rasional. Dimana setiap orang dikondisikan oleh kondisi oleh

lingkungannya, diarahkan oleh rutinitas tindakan, namun kebiasaan tindakan tidak bekerja

seperti halnya program yang memiliki kemampuan kreatif dan strategi dalam suatu

lingkungan sosial tertentu.