Upload
sal-sabille
View
55
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
makalah tentang MSI
Citation preview
PENDIDIKAN ISLAM DAN PROBLEMATIKA
KEBANGKITANNYA
(Sebuah Pemikiran Epistemologi)
DRS. ABDUL KADIR, M.Si
WIDYAISWARA MADYA - BKPP PEMERINTAHAN ACEH
ABSTRAK
Tulisan ini merumuskan pemikiran secara epistemologi sebagai salah satu upaya merancang pendidikan
Islam di masa mendatang, perubahan paradigma pendidikan Islam ke arah yang lebih baik. Sebuah
pemikiran pengembangan pengetahuan di dunia filsafat pendidikan Islam secara pemikiran-pemikiran
yang konstruktif bagi dunia pendidikan Islam. Kajian epistemologi secara etimologi berarti kajian tentang
teori pengetahuan, mekanisme berpikir dan metode produksi teoritis, yang diharapkan meminimalkan
problematika pendidikan Islam, bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari kajian terhadap
pendidikan Islam, untuk dimanfaatkan terhadap kebangkitan dan peningkatkan kualitas pendidikan.
Bahasan-bahasan seputar epistemologi disini akan dikaitkan dengan ajaran Islam sebagai landasan
mendasar dari pendidikan Islam dan segala kemungkinannya dilihat dari aspek ajaran Islam. Dari sini
diharapkan akan lahir pemikiran yang mengantar pada kajian epistemologi pendidikan Islam.
Mengukur kebangkitan Islam dengan hilangnya khurafat atau dengan semakin banyak perguruan
tinggi yang menelorkan para sarjana tidaklah tepat. Karena Islam tidak bisa diukur hanya dengan
minimnya khurafat dan banyaknya orang berpendidikan. Tetapi bagaimana kemampuan umat Islam
menjadikan Islam dengan al-Qur’an memberikan jawaban sesuai perkembangan zaman dan menjadikan
Islam sebagai referensi bagi semua permasalahan yang dihadapi umat manusia dewasa ini. Dan
mengapa kondisi ini belum juga mampu diwujudkan umat Islam. Penjawabannya secara konseptual dan
Substansial yang dikedepankan disini adalah mengakaji ulang keunggulan dan kemasyhuran pendidikan
Islam pada beberapa abad lalu. Pendidikan Islam harus mampu mengimbangi perkembangan zaman yang
serba canggih dan serba modern. Maka, semua aspek pendidikan mulai dari sumber, struktur, metode,
validitas, hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas dan sasaran, bahkan seluruh permasalahan yang
berkaitan dengan pengetahuan yang menjadi cakupan epistemologi. Dari pemikiran, bahwa metodologi
kritis dalam paradigma yang berkembang dalam dunia pendidikan Islam perlu dijawab dengan kajian
epistemology, untuk membuka pintu dan wajah baru pendidikan di dunia Islam. Sekaligus jawaban
terhadap problematika dan upaya kebangkitan Islam sangat ditentukan dengan bangkitnya dunia
pendidikan Islam itu sendiri.
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pemikiran
Sejak zaman klasik pada priode awal Islam dilahirkan di Makkah, Pendidikan Islam telah
mengalami perkembangan dari waktu ke waktu dan dari satu bidang ke bidang lainnya bahkan
dari satu tempat ke tempat lainnya. Agama Islam telah memberi inspirasi besar bagi
pengembangan ilmu pengetahuan mulai dari diturunkannya ayat pertama “iqra” (Bacalah)
sampai dengan puncak kejayaan ilmu-ilmu ke-Islam-an pada masa ‘Abbasiyah, yang membawa
konsekuensi bahwa ilmu yang semula bermazhab ke Barat beralih arah berkiblat ke dunia Islam
di Timur.
Pemahaman umum seperti itu telah pula mengikis secara perlahan pemahaman bahwa
kemajuan ilmu pengetahuan dan filsafat Barat (Yunani) sebenarnya berasal dari Timur juga
seperti ilmu ukur yang berasal dari Mesir kemudian berkembang hingga ke Yunani1, proses ini
oleh Durant dianalogikan seperti pasukan Marinir yang mengantarkan pasukan Infantri untuk
mencapai garis pantai untuk selanjutnya melakukan tugasnya2 dan dari sinilah berbagai ilmu
lainnya berkembang melalui para pemikir Yunani seperti Plato (384 SM), Aristoteles (322 SM),
Herakleitos (500 SM) dan lain sebagainya.
Ilmu tidak pernah berhenti bereksperimen dan filsafat telah mengantarkan ilmu ke pantai
akan kembali ke lautan untuk melakukan eksplorasi yang lebih jauh, hingga berhasil
mengembangkan dirinya ke dalam spesialisasi sektoral.3 Artinya semakin tajam dan
mengembang ke berbagai pemahaman yang semakin luas.
Tarik menarik antara Timur dan Barat dalam bidang ilmu pengetahuan telah membawa
dampak positif semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan secara epistemologi telah
melahirkan banyak cabang-cabang ilmu pengetahuan baru. Ini merupakan sutu wujud dari
keterbukaan dunia Islam dimasa jayanya, yang dilengkapi dengan berbagai unsur budaya yang
beraneka ragam dan dapat menambah daya tarik bagi siapa saja yang melihat dunia Islam saat itu.
Tak terkecuali Barat, berusaha untuk merembeskan kekayaan dunia Islam ini ke Barat, saat mana
bersamaan dengan datangnya bangsa Timur (Moghol) untuk menghancurkan dan memusnahkan
1 Bertens K. Sejarah Filsafat Yunani, Cet, XV,(Yogyakarta, Kanisius, 1999) hal. 21 2 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Edisi revisi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 2 3 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984) hal. 24.
Bandingkan, Amsal Bakhtiar, Filsafat…, hal. 3
kejayaan dunia Islam.4 Dari sinilah berawal catatan-catatan suram tentang dunia pendidikan
Islam,
Spanyol dari bukti sejarah, dikuasai Islam harus menyerahkannya kepada orang lain,
Baghdad yang dibanggakan sebagai mersucuar Islam harus runtuh di depan mata. Perjalanan
panjang dunia pendidikan Islam memerlukan kajian-kajian ilmiah untuk mencari dan menemukan
format dan ide-ide cemerlang untuk mengembalikan kejayaan Islam ke tempatnya semula sebagai
mercusuar dunia ilmu pengetahuan secara global.
Dari sudut pandang yang lain dinyatakan, bahwa Islam adalah agama yang berasal dari
Allah (ad-Din) dan ajarannya dikembangkan oleh para (Rasul). Agama merupakan ajaran yang
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan manusia dan
lingkungannya (Bandingkan QS. (3) 112. Dalam pelaksanaannya tidak semata-mata doktriner
kaku melainkan menggunakan akal sebagai alat memahami ajaran agama. Hal ini dapat dilihat
dari unsur-unsur keberagaman manusia seperti rasa ingin disayang Allah, rasa aman, harga diri,
ingin tahu, rasa ingin sukses, untuk mencapai kebaikan hidup5. Maka, terlihat dengan jelas,
bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dengan
tujuan memperbaiki kehidupan manusia di masa sekarang dan yang akan datang. Untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan tentu bagian terpenting dari pengembangannya adalah
lembaga yang menjadi tempat mengasah dan mengolah ilmu pengetahuan hingga bisa
berkembang dengan baik, diantaranya adalah pendidikan.
Al-Qur’an sebagai kitab pedoman bagi umat Islam, mengingatkan agar manusia
menggunakan akal fikirannya untuk dapat memahami ayat-ayat Allah baik yang tertulis maupun
tidak tertulis. Ayat-ayat Allah yang tertulis harus diterjemahkan ke dalam bahasa selain bahasa
al-Qur’an (baca: Bahasa Arab) karena umat Islam tidak seluruhnya mampu memahami arti
bacaan al-Qur’an, baik karena ia bukan berbangsa Arab maupun orang yang memahami bahasa
arab namun masih saja tidak memahami secara utuh arti dan makna yang terkandung dalam al-
Qur’an. Oleh karena itu, Allah telah mengingatkan manusia agar mereka menggunakan akal
fikiran, mau belajar dan mau mencari ilmu pengetahuan, dengan banyaknya ayat yang diakhiri
4 Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Cet. V, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hal. 109 5 Aaayusran Asmuni, Dirasah Islamiyah I, Cet. I. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hal 4. Bandingkan
dengan Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, Jilid I,(Jakarta: UI Press, 1979), hal. 10 dan taib
Abdul Muin, Ilmu Kalam, cet. II, (Jakarta: Wijaya, 1975), hal. 121.
dengan peringatan penggunaan akal, seperti kalimat “Afala ta’qilun” afala tadabbarun” dan
beberapa kalimat lainnya. Hal ini mengeindikasikan adanya pewarisan pengetahuan dari satu
generasi ke generasi berikutnya, salah satu metode pewarisan itu adalah dengan pendidikan.
Sebagaimana diketahui bahwa ajaran Islam sejak awal turunnya di Makkah hingga
berkembang ke seluruh pelosok bumi ini, salah satu diantara faktor penentunya adalah melalui
pendidikan. Muhammad SAW, sebagai soko guru pendidikan Islam telah banyak memberikan
contoh tauladan di bidang pendidikan. Meski diketahui bahwa Muhammad SAW adalah seorang
yang tidak pandai membaca dan menulis huruf, tetapi kecerdasarnya boleh jadi melebihi orang-
orang yang mampu tulis baca ketika itu. Raja yang berpengaruh sekalipun, tunduk dan mengakui
kejeniusan Muhammad SAW dalam berbagai bidang keilmuan. Bahkan hingga saat ini masih
banyak rahasia pendidikan yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW yang masih perlu
diteliti dan dikembangan di dunia modern saat ini, seperti pendidikan perang yang telah
mengantarkan umat Islam pada saat itu, seperti Romawi dan Persia. Gambaran kesuksesan-
kesuksesan seperti itu, rasanya semakin jauh dari kenyataan bila melihat kondisi umat Islam saat
ini terutama di bidang ajarannya.
1.2. Pendidikan dan Kebangkitan Islam
Dalam perjalanan sejarahnya dunia Islam pernah mencapai suatu masa kejayaan yang
dibuktikan dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang diajarkan oleh al-
Qur’an. Dalam rentang waktu yang cukup lama kejayaan ini berada di dunia Islam namun waktu
telah mencatat bahwa kejayaan itu harus beralih ke Barat dan duniapun menyatakan bahwa Islam
mengalami kemunduran yang titik beratnya adalah dunia pendidikan.6 Menurut penulis, statemen
ini adalah statemen yang terburu-buru apalagi dikatakan bahwa Nejed, yang melahirkan gerakan
Wahabi oleh Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman, dianggap sebagai bibit lahirnya
kebangkitan Islam. Sebab argumentasi yang dikemukakannya, bahwa awal mundurnya Islam
adalah semakin minimnya khurafat di kalangan umat Islam. Pendidikan Islam masih tetap berada
pada ruhnya, yaitu melaksanakan pengajaran agama baik secara tradisional maupun dengan cara
yang rasional.
6 Stoddard. L. Dunia baru Islam,(Jakarta: tp. 1996), hal. 29-45
Pendidikan Islam yang mengalami pasang surut (akan dijelaskan secara rinci pasang
surutnya pada bab tersendiri) perlu dan sudah waktunya dipacu dan digenjot dengan lompatan-
lompatan yang dapat mengimbangi perkembangan zaman yang sudah memasuki era yang serba
canggih atau serba modern. Lompatan-lompatan itu harus mencakup semua aspek pendidikan
mulai dari sumber, struktur, metode, validitas, hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas dan
sasaran, bahkan seluruh permasalahan yang berkaitan dengan pengetahuan yang menjadi cakupan
epistemologi.7 Dari disinilah berangkat sebuah pemikiran bahwa metodologi kritis dalam
paradigma yang berkembang dalam dunia pendidikan harus dijawab dengan kajian epistemology,
yang diharapkan dapat membuka pintu dan wajah baru pendidikan di dunia Islam. Sekaligus akan
memberi jawaban bahwa kebangkitan Islam sangat ditentukan dengan bangkitnya dunia
pendidikan Islam.
1.3. Kaji Ulang Pendidikan Islam
Seperti telah dungkapkan di awal bahwa secara historis pendidikan Islam telah mengalami
pasang surut yang cukup variatif , artinya pendidikan Islam sudah pernah mencapai masa
keemasannya dan menjadi matahari ilmu pengetahuan dunia serta menjadi sumber lahirnya
berbagai ilmu pengetahuan dan melahirkan banyak pemikir dan pakar dalam bidang berbagai
disiplin ilmu. Dunia mengakui keberhasilan islam merubah peradaban manusia menjadi lebih
baik. Keberhasilan yang dimulai dari upaya Nabi Muhammad SAW mengembangkan Islam di
tanah Arabia, selanjutnya diwariskan kepada generasi sesudahnya secara priodik. Para pewaris ini
dituntut untuk mampu mempertahankan atau mungkin untuk meningkatkan peran islam sebagai
ajaran yang dapat dijadikan referensi terbaik bagi umat manusia. Dari satu generasi kepada
generasi berikutnya, perkembangan Islam sangat fluktuatif, bahkan sebahagian berpendapat
bahwa Islam mundur, stagnan atau mandeg dalam berbagai ihwal hidup dan kehidupan umatnya.
Sejak kemundurannya atau sejak kemandegannya, dunia pendidikan islam seperti tertidur
lelap dan sulit untuk bangun. Analogi terhadap tidur pulas ini mengibaratkan bahwa kemandegan
adalah mimpi panjang. Oleh karenanya, kita tidak boleh lupa dan lalai bahawa dalam tidur
panjang dunia pendidikan Islam, masih terdapat mimpi-mimpi yang berantai dan menunggu
7 Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, dari Metode Rasional Hingga metode Kritik, cet. I,. (Jakarta:
Erlangga, 2005), hal. 5. Bandingkan dengan Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, cet.I, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), hal. 167.
untuk dikaji dan dibahas makna dan takwil mimpi yang ada dalam tidur panjang. Untuk
mengetahui takwil mimpi maka langkah awal yang harus dilakukan adalah membangunkan orang
yang bermimpi agar ia bercerita tentang mimpi yang dilihatnya dalam tidur panjang itu. Lalu
semua memutar otak untuk mencari takwil mimpi yang sudah dipaparkannya secara terbuka. Dari
paparannya ini kemudian dirumuskan langkah-langkah untuk menjawab takbir mimpi dalam
dunia nyata bukan mimpi.
Meski harus diakui bahwa mimpi yang dipikirkan oleh banyak orang bukan merupakan
jaminan bagi tegaknya kembali zaman keemasan pendidikan Islam, namun secara perlahan tapi
pasti, realitas yang berpijak pada kebenaran hakiki dan telah menjadi pijakan pendidikan Islam,
akan mampu menjawab takwil mimpi yang beragam dan di tampung dalam bejana keaneka
ragaman pemahaman umat Islam terhadap dunia pendidikan islam. Maka secara empiris akan
terjawab bahwa dunia Islam akan maju kembali ke kancah pertarungan kebenaran lmu
pengetahuan untuk mengembalikan harga diri yang pernah hilang dicaplok oleh Barat. Jalan yang
harus ditempuh salah satunya adalah mengkaji ulang atau merefleksi kembali pendidikan Islam
secara terbuka untuk mendapat kritisasi yang rekonstruksi dari berbagai elemen yang melihatnya
sebagai sesuatu yang harus direkonstruksi. Untuk melakukan perubahan besar ini harus pula
diketahui dan dikaji secara seksama persoalan-persoalan yang menjadi penyebab kemandegan
mimpi panjang itu.
1.4. Mandengnya Pendidikan Islam
Istilah mundur yang sering digunaan nutuk menjelaskan kondisi umat Islam pasca
kejayaan bani Abbasiyah sungguh mengelitik pemikiran umat Islam. Sebab mundur berarti
bergerak kebelakang ke masa pra Islam atau masa-masa Islam mulai menapaki kehidupan
masyarakat Arab. Bila yang dimaksudkan mudur itu adalah sesuatu dibidang sosial budaya, maka
mundur merupakan kondisi yang buruk atau semakin tidak baik dari kondisi sebelumnya. Namun
bila yang dimaksudkan adalah tidak mengelami perkembangan yang berarti, stagnan atau dengan
sebutan jalan di tempat, maka penyebutan yang tepat bukanlah mundur atau kemunduran
pendidkan Islam misalnya, tetapi lebih tepat bila disebut sebagai mandeg atau kemandegan.
Karena yang tejadi sesungguhnya adalah pergerakan yang dinamis sebelumnya menjadi terhenti
atau berjalan dengan sangat perlahan. Ibarat mobil yang tengah berada di sebuah tanjakan, ia
berjalan dengan sangat perlahan karena tidak mampunya mnghadapi medan terjal. Mobilnya
tidak mundur, hanya berjalan perlahan dan tidak mampu melaju kencang karena bebannya yang
cukup berat. Demikian juga halnya dengan Islam, tanjakan yang terjal membuat ia berjalan
perlahan. Agar perjalanannya lebih cepat tentu ia harus memilih alternatif lain, diantaranya
mencari jalan alternatif yang lebih landai agar sesegera mungkin ia mampu berjalan kencang
untuk mengejar kepentingannya selama ini.
Isu-isu pokok seputar pertanyaan mengenai kemunduran Islam atau pencarian terhadap
hal-hal yang membuat stagansi dalam perkembangan Islam sudah banyak dikemukakan para
pemikir islam. Ada yang melihat dari aspek manusianya, ada pula yang melihat dari pengaruh
kultur, budaya, geografis, maupun dari ajaran atau syari’ah Islam itu sendiri. Misalnya
mengemukakan sebuah pertanyaan, mengapa perangkat pengetahuan (konsep, metode,
perspektif) dalam kebudayaan Arab selama kebangkitannya pada “abad tengah” tidak mengalami
perkembangan sehingga memunginkannya mewujudkan kebangkitan pemikiran ilmah dan
kemajuan seperti yang terjadi di Eropa yang berawal dari abad lima belas dan apakah pendidikan
Islam mampu memberi jawaban untuk itu?8 Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini tidak
boleh hanya dengan melihat relitas dunia Islam hari ini. Perlu ada kajian mendalam tentang
berbagai aspek yang menjadi penyebab mengapa Islam mengalami kemunduran sedemikian rupa,
diantaranya kajian secara historis.
Sepanjang sejarah perjalanan Islam sejak awal hingga abad pertengahan terlihat dengan
jelas bahwa pemikiran Islam dibagi menjadi dua pola pendidikan, yaitu pola tradisional dan pola
rasional. Kedua pola ini cukup popular di kalangan umat Islam dan hingga hari inikedua pola ini
masih terus berpacu dan berlomba saling mengembangkan diri masing-masing, dan keduanya
mempunyai pengaruh besar dalam dunia pendidikan Islam. Pengaruh-pengaruh tersebut meliputi
berbagai aspek pendidkan mulai dari pola, cara, kurikulum dan corak pendidikan yang
digagasnya.
Pola tradisional sangat kuat dengan tradisinya yang selalu mendasarkan pola
pemikirannya pada wahyu, al-Qur’an maupun al-Hadist. Salah satu tokoh yang berpegang teguh
dengan pola ini adalah al-Qabisi9 dengan karyanya yang terkenal dalam bidang pendidikan
8 Abdul Mujib dan Jusuf Muszakir, Ilmu Pendidikan Islam, cet.II, (Jakarta: Kencana, 2008) hal. 1. 9 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, cet. III, (Jakarta: Raja Grafindo Persada 2003), hal. 27-
28
“Ahwal al-Muta’alamin wa Ahkam al-Muta’alamin wa al-Muta’alamin”, menurutnya kurikulum
Ijbari (pokok) adalah mempelajari al-Qur’an sebagai dasar untuk belajar yang lainnya seperti
shalat dan doa-doa di dampingi penguasaan ilmu nahwu dan ilmu ilmu bahasa Arab, sejarah,
sya’ir, ilmu hitung dan sebagainya sebagai kurikulum Ikhtiyari (pilihan). Sepintas terlihat betapa
pentingnya pandangan al-Qabisi tentang dasar-dasar pendidikan al-Qur’an, namun dalam
pelaksanaannya mulai dibedakan adanya mata pelajaran yang dianggap pokok sedang yang lain
sebagai pilihan atau pendukung saja. Boleh jadi pemahaman ini yang kemudian berkembang
dikalangan umat Islam bahwa pendidikan harus dibagi dua, yakni pendidikan agama dengan al-
Qur’an dan hadisnya dan pendidikan umum yang mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan
praktis. Padahal disadari sendiri oleh umat Islam bahwa al-Qur’an adalah sumbernya ilmu
pengetahuan. Namun dalam prakteknya pengembangan ilmu pengetahuan semakin hari semakin
dijauhkan dari Islam dan al-Qur’an. Akibatnya berkembanglah faham yang menyatakan bahwa
pendidikan yang mengajarkan berbagai ilmu prektis dianggap sebagai ilmu dunia dan tidak
bersumber dari ajaran al-Qur’an. Islam akhirnya semakin sempit di mata umatnya.
Selain pola tradisional, ada pula pemikiran yang rasional, yang mementingkan akal
pikiran. Pola ini sepintas adalah pola yang memberi keleluasaan bagi akal dan pikiran untuk
melakukan kajian-kajian nyata sesuai perkembangan yang ada. Hal ini sebenarnya akan
mendorong pendidikan islam seharusnya kearah yang lebih maju. Pola ini telah membuka jalan
bagi islam untuk menerima arus luar baik yang berasal dari perkembangan ilmu di Barat maupun
perkembangan situasi empiris yang dihadapinya. Peluang ini menjadikan islam mampu
memadukan antara ajaran islam dengan Barat secara empiris. Ilmu pengetahuan islampun
berkembang pesat hingga mencapai puncaknya dan salah satu unsur pendukungnya adalah bahwa
kemajuan ini dicapai pada saat pemerintahan islam juga oleh kekuasaan sebagai faktor yang
mendominasi. Dengan kata lain, bahwa pendidikan yang mendapatkan dukungan atau bantuan
dari pemerintah pada akhirnya terjadi proses saling mempengaruhi.10 Dari satu sisi, situasi
pemerintahan akan dipengaruhi oleh corak dari lulusan pendidikan, sedang dipihak lain
pemerintah juga mempengaruhi dunia pendidikan. Namun atas dorongan berbagai unsure
10 Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, ed. III, Cet IV,
(Jakarta: Kencana, 2010), hal. 5. Bandingkan Zuhairini , Sejarah Pendidikan…,hal.92
lainnya, saling mempengaruhi menjadi pola pengembangan pendidikan yang dapat menimbulkan
pola pendidikan empiris rasional.
Dorongan yang begitu besar dari kekuasaan terhadap dunia pendidikan tidak bisa
diabaikan, meski dorongan-dorongan yang berasal dari dalam istana kekuasaan akan
dikhawatirkan menjadi suatu yang dapat menganjal atau menghambat proses pengembangan
pendidikan itu sendiri, karena beberapa alasan diantaranya, pertama; adanya eklusifisme
pendidikan bagi putri-putri istana yang melahirkan jurang pemisah antara klas-klas dalam
masyarakat, sehingga pendidikan mejadi barang rebutan yang tidak seimbang. Kedua; proses
belajar mengajar akan terganggu dengan adanya dominasi istana terhadap guru dan tenaga
pendidik yang berkualitas, dimana masyarakat luas akan dilayani oleh pendidik yang
berkemampuan dan berwawasan yang tidak jauh dari kondisi empiris masyarakatnya. Ketiga;
kesatuan dan ukhuah islamiyah yang menyemangati umat islam akan mulai terjadi pemisahan-
pemisahan yang tidak perlu terjadi yang mengakibatkan adanya tekanan psikologis bagi
masyarakat awam. Akibatnya, dunia pendidikan islam tidak akan sampai pada harapan
tertingginya menumbuhkan kesadaran ke-islam-an tanpa harus mengedepankan perbedaan yang
bersifat primordialis.
Dua gambaran yang baru saja di sebutkan diatas adalah bagian dari gambaran masa suram
pendidikan islam. Padahal pada masa keemasannya pendidikan islam pola tradisional dan
rasional seakan larut dalam kompetisi yang tiada henti dan mampu mewarnai dunia islam, karena
kehadiran kedua pola ini pada awalnya adalah dua pola yang saling mendukung dan saling
menutupi. Namun tanpa terasa, kompetisi ini telah disusupi dan komandonya diambil alih oleh
Barat, pola ini akhirnya bias kepada pola-pola baru dengan pemikran sufistis yang sangat peduli
terhadap perasaan batiniyah dan akhirnya mulai meninggalkan perkembangan dunia material
yang diantaranya bersifat empiris dan nyata. Alih komando yang dilakukan Barat terhitung
sukses dan mengantar pemikiran mereka ke puncak kejayaannya hingga sekarang.
Salah satu dari titik suram pendidikan islam dapat dilihat dari perubahan pandangan
diantara para pemikir islam. Sebut saja al-Ghazali misalnya, setelah ia memasuki dunia sufisme,
justru membuat fatwa yang mengkafirkan para pemikir islam lainnya, dan menurutnya para
filosof muslim itu harus dihukum mati Karena meraka telah dihukumkan kafir.11 Pandangan al-
Ghazali ini tentunya mendapat tanggapan beragam dari kaum muslimin, karena penyebutan kafir
berarti telah keluar dari islam. Pro kontra tentu juga bermunculan diantaranya berpendapat bahwa
penyebutan kafir adalah hak Allah Sang Pencipta, dan ada juga sebaliknya. Khusus dalam dunia
pendidikan hal ini sangat berpengaruh. Pengaruh yang paling dominan adalah semakin
banyaknya orang yang takut berfilsafat maupun berijtihad,12 karena takut akan di cap dengan
kafir. Atau setidak-tidaknya telah terjadi pendangkalan pemikiran dikalangan kaum muslimin
saat itu yang berujung kepada kemandegan dalam dunia pemikiran islam. Bahkan pada era Turki
Utsmaniyah, tak satupun lahir ulama atau pemikir islam yang namanya menyaingi al-Ghazali,
Ibnu Sina, al-Kindi dan sebagainya, tetapi justru yang lahir adalah ahli-ahli sufi sekelas
Jalaluddin Rumi dan yang lainnya.
I. PEMBAHASAN
2.1. Daur Ulang Pemikiran Pendidikan Islam
Kemandegan tidak sepantasnya dipelihara dan dijaga oleh kaum muslimin secara
permanen. Sudah tiba saatnya untuk membangun (mendaur ulang) pemikiran islam untuk segera
menutup abad kebangkitan islam yang mandeg ini dengan melahirkan konsep-konsep jitu yang
aplikatif. Daur ulang yang dimaksud dalam pemikiran ini adalah melahirkan pemikiran baru yang
segar tanpa melupakan sumber dasar yang menjadi bahan pokok pemikiran islam. Artinya,
pendidikan islam yang mencapai kemajuannya pada saat kompetisi pola tradisional dengan pola
rasional dikaji ulang secara epistemology. Belajar dari sejarah pendidikan islam, akan diketahui
bahwa hingga sekarang belum ada suguhan konseptual jitu yang ditawarkan umat islam
mengenai bangunan epistemology pendidikan islam yang mampu mengembangkan pendidikan
islam, untuk melakukan lompatan-lompatan strategis. Yang terjadi justru sebaiknya sarana dan
media pendidikan yang mengantarkan islam ke puncak kejayaannya, sudah mulai ditinggalkan
secara sosio kultural oleh umat islam itu sendiri. Misalnya, mesjid sebagai sentral kegiatan umat
11 Sirajuddin Zar,Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, ed.II (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 182 12 Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual islam,cet I. (Jakarta: Bulan Bintang, 1984) hal. 33 lihat, Musyrifah
Susanto, Sejarah Islam Klasik, Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, cet.II, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hal.
238.
islam dari dahulu kala, karena pada awalnya umat islam sangat menggantungkan hidupnya
dengan mesjid mulai dari kebutuhan mandi, cuci dan buang air serta aktifitas sosial lainnya, telah
bergeser pada tatanan kemajuan teknologi seperti pembuatan MCK dirumah-rumah penduduk
telah menjauhkan mereka dari ketergantungan sosialnya terhadap mesjid gedung sekolah yang
didirikan di damping mesjid, dibalik menjadi bangunan sekolah dilengkapi dengan mushola, dan
seterusnya.
Pergeseran menuju arah perkembangan yang positif adalah sesuatu yang mutlak
dibutuhkan. Seperti kata orang bijak bahwa perubahan adalah sesuatu yang abadi. Maka
perubahan-perubahan juga harus merambah dunia pendidikan islam sebelum lebih lama lagi
ditelan oleh kemajuan Barat. Sudah menjadi kebiasaan bahwa ramalan orang tetap pada abad 21
sebagai abad modern sudah terbukti. Era sekarang adalah semua era dimana ekonomi global dan
informasi merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Era sekarang digambarkan sebagai era
yang menggeser relasi menjadi hierarki untuk mengatur semua aspek kehidupan dan
menjadikannya sebagai power dan modal utama dalam menyelesaikan berbagai persoalan
duniawi. Era ini juga di identikan dengan era yang menggunakan daya magnetisnya untuk
memperbesar emosi sehingga mudah tersulut konflik, mempercepat perubahan di segala bidang
dan meningkatkan kesadaran serta memaksa kita untuk melakukan penilaian diri dan institusi,
termasuk dunia pendidikan Islam.
Dihadapkan dengan persoalan pergeseran paradigma seperti ini, mau tidak mau
pendidikan Islam harus melakukan koreksi diri atau comparasi terhadap berbagai pergeseran di
sekitarnya. Misalnya, kemajuan di bidang teknologi informasi yang mampu mereduksi batas
teritorium kewilayahan, selain member manfaat penghematan disegala bidang, juga berimplikasi
kepada hal-hal mendasar yang dahulunya menjadi penguat dan penyokong majunya pendidikan
islam. Hal ini dapat dilihat pada semakin hilangnya nilai-nilai persahabatan ditengah kehidupan
masyarakat baik dalam skala kecil maupun dalam hubungan yang lebih besar. Merosotnya
identitas silaturrahmi dan tatap muka yang digantikan oleh silaturrahmi non tatap muka seperti
penggunaan hp, seluler dan short message system (sms), semua ini mempengaruhi pemahaman
hukum dan hubungan sosial antar umat islam termasuk dunia pendidikan. Akhirnya semua akan
bermula pada masalah pendidikan, sebab terjadinya berbagai pergeseran nilai tadi tidak terlepas
dari hubungannya dengan dunia pendidikan. Walhasil, jika tidak dilakukan pengembangan
paradigma pendidikan islam, maka umat islam akan terjebak pada mitos mimpi bahwa
pendidikan islam telah mengantarkan dunia pada satu tahapan mementukan dengan majunya
pendidikan islam, sehingga mampu merubah warna dunia di masa lalu.
Jelaslah bahwa salah satu persoalan mendasar sebenarnya adalah pada terjebaknya umat
islam pada paradigma masa lalu. Mungkin mereka lupa atau terlena pada puncak kesuksesan
serta berhenti pada titik kejayaan itu. Padahal islam adalah agama yang dinamis berkembang
sesuai dengan kemajuan zaman dan tuntutan perubahan. Sepintas dapat dilihat bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan pada hidup dan kehidupan umat islam dari masa lalu hingga sekarang,
khususnya dalam pengalaman ajaran agama. Dahulu banyak ulama yang mengajarkan ilmu
keagamaan namun pelanggaran ajaran agama tetap saja ada. Demikian juga halnya sekarang ini
semakin banyak ulama yang bergelar sarjana dan guru besar tetap saja banyak umat islam yang
tidak patuh pada ajaran agama yang dianut dan diyakininya. Disinilah semakin terasa bahwa ada
hal yang kurang tepat dalam proses transformasi ajaran agama islam kepada umatnya, dimana
salah satu media transformasi masa lalu yang pernah sukses adalah dunia pendidikan.
2.2. Daur Ulang Yang Mendasar
Apa yang harus dilakukan terhadap pendidikan Islam merupakan pertanyaan serius yang
memerlukan konsep-konsep jitu untuk melakukan berbagai tindakan pengembangan pendidikan
Islam. Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu perhatian yang sungguh-sungguh terhadap
perkembangan situasi global yang dapat mempengaruhi pendidikan Islam. Bila dilihat dengan
cara saksama setidaknya ada lima cirri perkembangan global13 yang dapat mempengaruhi
kemajuan pendidikan Islam. Pertama, terjadinya pergeseran dari konflik ideology dan politik ke
arah persaingan ekonomi dan informasi serta dari keseimbangan kekuatan (Balance of power)
kepada keseimbangan kepentingan (balance of interest). Pergeseran ini akan membawa
pendidikan islam pada posisi yang dilematis, yakni di satu sisi pergeseran ini boleh jadi sebuah
peluang untuk mengembangkan pendidikan islam menuju perubahan sesuai tuntutan zaman,
namun disisi lain pergeseran ini akan menyeret pendidikan islam ke dalam posisi sulit karena
gerakan pengembangannya ditentukan oleh faktor-faktor politis yang berbau kepentingan,
sehingga pengembangannya tidak sesuai dengan yang diharapkan.
13 Imam Tolkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan, Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi
Keilmuan Pendidikan Islam, cet. I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 2-3
Kedua, adanya kecenderungan dunia melalui hubungan antar bangsa dewasa ini struktur
menjadi hubungan saling bergantung (interdependency) dan dari hubungan bersifat primordial
menjadi sifat bergantung pada sisi tawar menawar (bargaining position) bila tawaran islam
berada pada puncaknya dengan kondisi pendidikan yang mejadi referensi dunia, maka tawar
menawar ini akan akan menguntungkan islam, namun bila daya saingnya lemah kemungkinan
besar dunia pendidikan islam akan mengalami stagnansi kembali dan tidak mampu untuk
berkembang. Ketiga, dalam situasi tawar menawar seprti ini, batas geografi antar bangsa sudah
semakin tak berarti secara operasional dalam mengatur kekuatan dan membangun daya saing.
Jawaban yang dapat diandalkan dalam menghadapipersoalan ini hanyalah kemampuan umat
islam membangun keunggulan komparatif (comparative advantage) dan keunggulan kompetitif
(competitive advantage). Keunggulan ini dapat diperoleh diantaranya melalui keunggulan dunia
pendidikan.
Keempat, persaingan antar Negara diwarnai dengan perang teknologi, seperti yang terjadi
antara Cina dengan Amerika, antara Korea Utara dan Korea Selatan sampai kepada pembocoran
rahasia, sebuah Negara melalui situs Wikilake didunia maya kepada public secara pulgar.
Persainagan seperti ini juga akan menjadi tantangan berat bagi dunia pendidikan islam, karena
bila tidak masuk pada persaingan dunia maya secara terbuka, maka pendidikan islam hanya
menjadi penonton kemajuan teknologi saja. Padahal islam adalah agama yang mempunyai ajaran
yang penuh dengan tekateki yang belum terpecahkan hingga saat ini. Kelima, kecenderungan
dunia pada budaya mekanistis efesien yang tiadak menghargai nilai dan norma yang secara
ekonomi dianggap tidak menguntungkan. Perikalu negatif oknum umat islam yang membawa
nama islam pada kepentingan kelompoknya, telah membawa dampak negatif pada pendidikan
islam. Telah membawa dampak negatif bagi pendidikan islam. Seperti peristiwa 11 September di
Amerika yang oleh sebagian warganya digambarkan bahwa ini adalah aksi terorisme yang
mengidentikkannya dengan islam. Akhirnya, semakin kuat opini yang menyamakan terorisme
dengan islam. Akibatnya, pembangunan mesjid menjadi masalah, madrasah umat islam dihujat
dan ditolak keberadaannya. Mereka demostrasi pada peringatan tragedi 11 September tahun 2010
dengan membawa poster “madrasah is terroris”.
Berbagai persoalan yang dilematis-kontradiktif ini menjadi peluang sekaligus tantangan
bagi sistem pendidikan Islam untuk tampil sebagai subsistem pendidikan yang universal yang
dapat memberikan kontribusi positif bagi kemajuan dunia sebagai salah satu bukti
kebangkitannya. Seperti telah terdahulu bahwa kemajuan dunia islam telah dicaplok oleh
kepintaran Barat melihat peluang untuk bisa memindahkan kemajuan peradaban islam mejnadi
peradaban barat. Secara harfiah sebenarnya telah diketahui bahwa pemindahan kemajuan
peradaban dari islam ke barat boleh dikatakan illegal. Bagi kaum fanati boleh jadi illegal ini
harus dirampas kembali. Namun secara sederhana pula dapat dijawab bahwa untuk merebut
kembali peradaban tertinggi itu dibutuhkan lompatan-lompatan strategis yang harus digagas
dengan cermat dan baik agar bisa mengantarkan umat islam kedalam kemajuan peradaban yang
tinggi dan lebih bermartabat. Disaat kebangkitan islam mulai menampakkan dirinya belakangan
ini, berbagai peristiwa kembali mengusik hubungan barat dan islam mulai dari peran teluk I dan
II, peristiwa 11 September 2001 di Amerika14 bahkan kunjungan Obama ke beberapa Negara
islam, bisa menjadi batu sandungan bagi pengembangan pendidikan islam.
Dari mana harus dimulai? Sebuah pertanyaan singkat yang memerlukan jawaban panjang.
Ibarat sebuah rumah, maka yang pertama harus diperkokoh dan diperkuat adalah pondasi yang
mendasari bangunan rumah tersebut. Pondasi yang kokoh dan kuat diyakini akan memberi
jaminan bagi tegaknya bangunan rumah diatasnya. Maka pondasi dasar tersebut terdiri dari
berbagai elemen diantaranya batu cadas yang kuat, semen yang bagus, pasir yang bersih dari
campuran, adukan yang sempurn dengan perimbangan kebutuhan air yang cukup. Semuanya
menjadi satu sistem yang menjadikan pondasi yang di bangun menjadi kokoh dan kuat. Analogi
ini di ramu dari berbagai sudut pandang agar perubahan yang diinginkan dapat di capai dengan
memuaskan dan akan mampu menjawab ke tertingglan Islam sejak abad ke delapan belas hingga
saat ini.
Pelajaran yang dapat di daur ulang dari kemunduran Islam adalah ; pertama : pecahnya
umat Islam kedalam bagian-bagian pemerintahan (kekuasaan) menjadi Utsmaniyah, Safwiyah
dan Mughol merupakan pertanda bahwa islam telah di hadang oleh kehancuran yang
menyebabkan terjadinya pertentangan antar bangsa bahkan antar suku. 15 kedua; kejayaan yang
diperoleh Utsmaniyah dalam bidang kekuasaan militer yang disegani tidak dapat dipertahankan
14 http://books.google.co.id/books?id=70PjoHm8LCMC&pg=PAI42&dq+Pendidikan+dan+Kebangkitan+Islam
tanggal 13 Januari 2011, hal. 147 15http://books.google.co.id/books?id=70PjoHm8LCMC&pg=PAI42&dq+Pendidikan+dan+Kebangkitan+Islam,
tanggal 13 Januari 2011, hal. 144
karena penyakit taklid yang mendera umat islam menyebabkan kurang kreasi untuk
mengembangkan kekuatan militernya. Ketiga; matinya ijtihad nasionalis yang merupakan mesin
ilmu bagi kejayaan islam, dijadikan oleh Barat sebagai model untuk mengangkat keterpurukan
mereka, kebodohan dan ketertinggalan menjadi peluang untuk maju. Melalui terobosan-terobosan
baru Barat menggagas pengembangan ekonomi dunia melalui lautan, sehingga mereka
menemukan Amerika. Melalui rasionalis yang dipakai dalam pengembangan ilmu, mereka
menemukan mesin uap yang menggenjot industri barat menjadi sokoguru perekonomian dunia.
Dengan demikian jelaslah sudah bahwa salah satu menjadi penyebab kemunduran islam
adalah terjadinya pengingkaran terhadap ajaran islam yang memprsatukan umat islam dalam
ikatan yang kokoh dalam ukhuwah islamiyah. Ukhuwah Islam saat ini hanyalah ibarat makanan
tambahan yang hanya akan disantap pada saat-saat perlu gengsi atau jargon politik agar di
permukaan terlihat bahwa umat islam adalah “ummatan wahidatan” (umat yang bersatu),
padahal didalam terbangun emosi-emosi antagonis yang lahir dan terbentuk oleh lemahnya
penanaman wawasan ilmu keislaman kepada umat islam sendiri. Yang lebih parah, akibat
sempitnya wawasan keagamaannya tidak jarang umat islam terbawa kepada kondisi-kondisi yang
merugikan dan mencoreng nama baik islam, seperti menjadi teroris atau kelompok-kelompok
keras yang mengabaikan nilai-nilai ke-islam-an sebagai agama yang damai, sejahtera dan
bermartabat
Menurut Badri Yatim,16 banyak faktor yang menjadi penyebab kemunduran islam,
diantaranya konflik islam-kristen, tidak adanya ideologi pemersatu bagi multi etnis, kesulitan
ekonomi, perebutan kekuasaan dan keterpencilan. Faktor-faktor ini menambah semakin tajamnya
jurang yang dapat memisahkan umat islam secara sosiokultural termasuk para ulamanya.
Walhasil, untuk membangun kembali ilmu-ilmu ke-islam-an masih memerlukan tangan-tangan
terampil tokoh-tokoh islam merancang dan melahirkan terobosan-terobosan baru dalam
kehidupan umat islam. Meminjam istilah ”kualitas”17 adalah salah satu kata kunci dan jawaban
bagi kemajuan dalam berbagai hal. Dalam merancang berbagai terobosan pendidikan islam di
16 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 107-108. Bandingkan
Musyrifah Susanto, Sejarah Islam…,hal. 238-239. 17http://books.google.co.id/books?id=fdxZ610TEysC&printsec=frontcover&dq=Quality+and+education&hl=id&
ei=4mEyTfiJBYTCcZ3unfQH&sa=X&oi=book_result&ct=book-preview tanggal 16 Januari 2011. Bandingkan dengan
istilah “Despotisme” dalam, Stoddart, Dunia…., hal. 115.
Indonesia misalnya pertarungan mencari dan mempertahankan kualitas terjadi antara pasantren
dan madrasah. Hasilnya masing-masing masih mempertahankan jati dirinya sebagai lembaga
Pendidikan Islam Indonesia yang boleh dikatakan masih jalan ditempat. Harus diakui bahwa
madrasah dengan kualifikasi unggul merupakan kebangkitan secara kurikulum dan kelambagaan.
Namun bila dilihat dari kacamata epistemology pendidikan dalam lingkup yang lebih luas, ini
belum berarti apa-apa. Karena pada dasarnya islam mempunyai acuan yang mengharuskan
apresiasi akan ilmu-ilmu baru dan meninggalkan ilmu-ilmu yang dinilai usang.18 Pada tataran ini
saja semakin terlihat tuntutan yang ingin dicapai dari epistemology pendidikan islam untuk
menerobos pertahanan yang kuat dari ide-ide usang di madrasah dan pasanten dan merubahnya
menjadi lembaga pendidikan yang dinamis dan berwawasan masa depan yakni merebut kembali
kejayaan yangpernah diraih pada masa silam.
Salah satu pengalaman pahit dalam sejarah islam di masa kekuasaan Turki Utsmani
adalah kekuasaan pemerintahan islam yang menggunakan kekuatan militer yang dihadapkan
kepada rakyatnya. Perpecahan antar umat islam semakin parah dan puncaknya adalah lahirnya
kekuasaan bermutu rendah (mengandalkan kuantitas) yang turut mengantarkan islam pada
jenjang keruntuhan khususnya dalam bidang pemerintahan. Demikian juga dalam pengembangan
ekonomi dan ilmu pengetahuan yang semakin anjlok sesudahnya. Jadi, kualitas kekuasaan
menjadi faktor yang paling penting dari runtuhnya khalifah Turki Utsmani yang juga
mempengaruhi Negara-negara islam lainnya.
Kekuasaan dalam arti luas, misalnya kekuasaan ekonomi haruslah mengandalkan kualitas
dari pada kuantitas. Apa yang dilakukan oleh Barat dengan penemuan-penemuannya di awal
kebangkitannya juga adalah penemuan berkualitas. Penemuan benua Amerika adalah salah satu
penemuan berkualitas bagi pengembangan penguasaan kelautan yang dapat menunjang
pertumbuhan ekonomi Barat sekaligus membuka jalan bagi pengembangan pengaruh
kekuasaannya ke wilayah yang di datanginya. Islam sesungguhnya mempunyai dokrin
pengembangan seperti ini, misalnya gerakan dakwah merupakan gerakan yang dapat
mengantarkan umat islam ke dalam pengaruh besar yang global. Namun gerakan dakwah ini
kembali menemui jalan buntu ketika para pendakwah menyodorkan islam dalam bentuk yang
18 Imam Tolkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan, cet.I, (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2004),
hal. 43
mengerikan dan menakutkan, seperti segelincir umat islam yang dikenal dengan teoritis.
Semuanya bermuara pada kekeliruan pemahaman umat terhadap ajaran agama yang dianut dan
diyakininya. Ujung-ujungnya kembali kepada dunia pendidikan islam yang sudah kusut baik
disektor penyelenggara maupun di sektor sumberdayanya. Semua ini memerlukan daur ulang
yang serius mengembalikan islam pada posisinya yang mulia sebagai agama rahmatan lil alamin.
Bernjak dari pemikiran ini, maka daur ulang yang perlu dicari epistemologinya adalah
daur ulang persoalan-persoalan mendasar yang menguasai hajat hidup masyarakat muslim dunia.
Untuk merumuskan persoalan mendasar ini tentu ada cara yang harus ditempuh melalui
kerjasama regional umat islam, kerjasama antar Negara-negara islam yang lebih konkrit, seperti
kerjasama dalam bidang pertahanan dan keamanan yang diharapkan melahirkan kekuatan defens
bagi keberadaan Negara-negara islam diperaturan politik dunia. Kerjasama ekonomi yang selama
ini telah terjalin perlu dikaji metode dan penerapannya di antar benua. Penguatan posisi Negara-
negara islam menjadi prioritas sebagai langkah pendahuluan memasuki percaturan politik dunia.
Langkah-langkah strategis lainnya akan lebih memungkinkan didapatkan di atas pondasi yang
kokoh, tanpa harus didikie oleh kepantingan politik global yang akan menyumbat lubang-lubang
kemajuan islam.
Persoalan pokoknya bukanlah pada ekonomi, pertahanan dan kerjasama regional dan
internasional semata. Inti persoalannya adalah menjawab mengapa hubungan antar umat atau
antar bangsa-bangsa islam menjadi retak, mengapa ekonomi islam tidak mampu mengangkat
nasib kaum miskin di Negara-negara islam dan mengapa modernisasi pemikiran sulit menembus
pola pikir umat islam. Disinilah akan ditemukan jawabannya bahwa muaranya bersumber pada
lemahnya pengembangan keilmuan dalam islam. Kelemahan ini lebih disebabkan oleh dunia
pendidikan islam yang diabaikan pengembangannya oleh umat islam itu sendiri. Untuk
menuntaskan persoalan ini perlu kajian mendalam hingga ke akar permasalahannya dan masih
perlu dikaji perubahan-perubahan penting secara epistemologis terutama terhadap dunia
pendidikan Islam.
2.3. Daur Ulang pendidikan Islam
Bergesernya kiblat ilmu pengetahuan dari Timur ke Barat sudah tidak dapat disangkal
lagi, karena sudah menjadi kenyataan bahwa sejak Barat mampu menaklukkan daulah/khilafah
Islam di Timur, arah jarum kiblat ilmu pengetahuan ikut bergeser. Karenanya, warna pendidikan
Islam saat ini juga tidak terlepas dari aroma Barat, yang sudah membuka diri sedemikian rupa
untuk dapat diakses oleh dunia secara terbuka pula. Pengaruh pendidikan Barat terhadap
pendidikan yang berkembang di berbagai belahan dunia sungguh sangat kuat, termasuk dunia
pendidikan Islam yang berasal muasal dari penerjemahan ilmu-ilmu Yunani ke dalam bahasa
Arab pada masa Abbasiyah.19 Bahkan kajian-kajian ke-islam-an (terutama di perguruan tinggi)
sudah terdapat diberbagai Negara yang notabane pada awalnya berseberangan dengan islam.
Dapat diyakini, bahwa kondisi ini akan memasukkan nilai ke-Barat-an masuk ke dalam roses
pendidikan Islam.
Untuk mengatasi berbagai persoalan yang sudah menjadi kelemahan-kelemahan dalam
pendidikan Islam, maka para pengambil keputusan di dunia islam harus melakukan
pembaharuan-pembaharuan secara komprehensif dan simultan untuk mencari solusi-solusi
terbaik merubah pendidikan islam kea rah yang lebih ideal dari saat ini. Upaya-upaya yang
dilakukan ke arah ini haruslah dengan mendaur ulang pendidikan islam, bukan merubah total
pendidikan yang ada sekarang, kecuali harus melakukan pengembangan berbagai hal yang
menyangkut dengan pendidikan islam dengan membangun epistemologinya. Cara yang dapat
ditempuh adalah mencari jalan keluar dari kemandegan pendidikan islam dengan metode-metode
yang dapat mengakomodasi perubahan-perubahan berarti dalam dunia pendidikan islam, menuju
pendidikan yang ideal. Sebagai contoh yang komparatif apa yang dilakukan oleh Alexander
Sutherland Neil20 dalam merubah pandangan pendidikan di Barat bahwa intelektual bukanlah
segalanya. Heart, not head in the Schools (hati, bukan otak yang diutamakan di sekolah). Pola
pendidikan yang ia kembangkan mengarah pada emotional well-being (kenyamanan emosi),
sebab menurutnya, dengan kenyamanan emosi peningkatan intelektual akan mudah diperoleh.
Terjadinya perubahan pandangan seperti ini adalah sesuatu yang logis sebagai
konsekwensi dari perkembangan ilmu pengetahuan dari masa ke masa yang saling bertautan dan
tidak bisa dipisahkan.21 Dengan analisa singkat dapat dipahami bahwaapa yang dilakukan Neill
19 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam…., hal. 34-35. Lihat Zuhairini, dkk,Sejarah Pendidikan….,hal.106 20 Joy A. Palmer (ed) 50 Pemikir Paling Berpengaruh Terhadap Dunia Pendidikan Modern, cet.I. (Jogjakarta:
Laksana, 2010), hal. 9. Bandingkan dengan Concience of Man Umar Tirtahardja dan S.L. La Sulo, Pengantar
Pendidikan, edisi revisi , cet.II, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 6 21 Amsal Bakhtiar, Filsafat…, hal. 68-69.
bukanlah sesungguhnya sesuatu yang baru, melainkan hanya pengulangan dari apa yang pernah
disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW lima belas abad silam. Neill hanya sedikit mengadopsi
dan sedikit menelikungkan sabda Nabi kedalam proses pendidikan yang dilaksanakan nya
diskotlandia pada abad Sembilan belas. Sabda Nabi Muhammad SAW yang sangat terkenal
“Ingatlah bahwa dalam dirimu terdapat segumpal darah, yang apabila ia baik maka baiklah
sekujur tubuh manusia, dan apabila ia jelek maka jeleklah sekujur tubuh manusia, ketahuilah
bahwa segumpal darah itu adalah Qalb (hati)”. Terlihat dengan jelas bahwa Neill
menterjemahkan ajran Nabi ini kedunia pendidikan serta dipratekkannya dalam proses belajar
mengajar dan dalam pengembangan dunia pendidikan Barat. Artinya, prinsip, metode dan ilmu-
ilmu lainnya yang terdapat dalam dunia ke-islam-an masih membutuhkan tangan-tangan terampil
para cendikiawan muslim untuk mengkaji dan mendaur ulangnya dan memasukkannya kedalam
proses pendidikan islam.
Oleh karena itu tekanan pembahasan daur ulang pendidikan harus dimaknai bahwa
epistemologi pendidikan islam adalah ilmu yang mempelajari metode atau pendekatan untuk
membangun pendidikan islam adalah ilmu yang mempelajari metode atau pendekatan untuk
membangun pendidikan islam dengan segala persyaratan yang dibutuhkannya sesuai dengan
ajaran-ajaran islam serta dapat dipertanggungjawabkan.22 Syarat-syarat yang dibutuhkan
merupakan kunci dalam memasuki kajian pendidikan islam, karena tanpa menemukan sysrat-
syarat itu akan kesulitan memasuki ranah pendidikkan islam yang hakiki sebab syarat-syarat yang
dimaksud merupakan tahapan yang harus dipenuhi dalam upaya memahami pendidikan islam
secara epistemology. Setelah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan barulah kajian
epistemology ini mampu menangkap berbagai persoalan yang menjadi misteri runtuhnya
pendidikan islam. Yaitu, menyiapkan segala sesuatu baik sarana dan potensi yang dimiliki para
intelektual muslim untuk melakukan penggalian secara mendalam terhadap plobematika
pendidikan islam.
Beranjak dari pemahaman ini terlihat jelas bahwa epistemologi pendidikan islam sangat
menentukan dan menjadi garda terdepan untuk meretas jalan bagi penemuan-penemuan khazanah
pendidikan islam yang kemudian diramu secara teoritis dan konseptual sebagai dasar mencapai
puncak daur ulang pendidikan islam. Upaya ke arah ini akan menjadi jalan yang aman dan
22 Mujamil Qomar, Epistemologi…,hal. 249. Bandingkan Amsal Bakhtiar, Filsafat…,hal. 148
kondusif apabila epistemologi pendidikan islam telah dikuasai sepenuhnya oleh para ilmuan,
pemikir dan intelektual muslim karena merekalah yang diharapkan sebagai peneliti, penggagas
dan penggali daur ulang pendidikan islam, karena upaya pengembangan pendidikan tentu saja
sangat banyak terhantung pada jumlah dan kemampuan para ahli.23 Bila analisanya diarahkan
pada peran intelektual dengan kondisi pendidikan islam yang terpinggirkan, mungkin saja
pendidikan islam sedang membutuhkan karya-karya mereka untuk menyempurnakan atau
merubah sama sekali hal-hal mendasar dalam pendidikan islam. Dari sudut pandang ini, terlihat
juga bahwa persoalan pokoknya akan terjawab bila para intelektual ini mampu menguasai dan
menemukan hakikat epistemologi pendidikan islam. Dengan demikian, penyempurnaan yang
dimaksudkan disini bukanlah merubah prinsip dasar kecuali harus meninjau kembali unsur-unsur
pendidikan islam sebagai sub-sistem dalam penguasaan epistemologinya.
Sampai pada tataran ini terlihat bahwa epistemologi pendidikan islam memiliki fungsi
ganda sebagai pengkritik, pemberi solusi, penemu dan pengembang. Dalam melakukan tugas-
tugasnya ini, epistemology dapat memberikan atribut pendekatan yang dimilikinya untuk
melakukan kritisi terhadap berbagai aspek pendidikan yang mengaku sebagai pendidikan berlebel
islam. Ibarat air keruh ia tampil sebagai pejernih air untuk mengetahui lebih dalam dan benar
tentang hakikat pendidikan islam. Bukan itu saja, epistemologi juga mampu memberikan wacana
pemecahan terhadap problematika pendidikan, sebab epistemology akan melahirkan pengetahuan
teoritis yang siap untuk dipraktekkan. Pengetahuan teoritis yang dilahirkannya pasti akan
menambah khazanah pendidikan islam dengan teori baru dan konsep-konsep yang uptodate
dalam pendidikan islam. Temuan-temuan inilah yang kemudian diramu menjadi wajah baru bagi
pendidikan islam di masa akan mendatang.
Mendapatkan kajian epistemologi pada prioritas utama tulisan ini tentu dengan alasan
yang logis. Pertama, kajian epistemologi merupakan kajian yang dapat memberi warna
pembaruan dalam objek yang dibahasnya. Kedua, pendidikan merupakan program pokok yang
sangat strategis dalam melaksanakan pembaruan dalam menyiapkan masa depan islam, sebagai
masa depan yang mempengaruhi dunia pendidikan.24 Alasan-alasan yang dikemukakan ini pada
23 Harsja W. Bachtiar, dalam kata pengantar Arief S. Sadiman, dkk, Media Pendidikan, Pengertian,
Pengembangan dan Pemanfaatannya. (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hal. V 24 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Cet.I (Jogjakarta, Ar-Ruzz, 2006), hal. 171 bandingkan Abuddin Nata,
Manajemen Pendidikan, edisi ketiga, cet. IV, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 92
gilirannya akan berpengaruh terhadap dunia pendidikan baik lembaga, materi pendidikan, guru,
metode, sarana, prasarana dan berbagai aspek yang masih berada dalam genggaman kajian
epistemologi. Hal ini tentu pada gilarannya akan menjadi tantangan yang harus dijawab oleh
dunia pendidikan khususnya pendidikan islam melalui epistemologi pendidikan islam. Alasan-
alasan ini juga telah menjelaskan argunentasi konkrit bahwa pendidikan islam tidak hanya
sekedar ditujukan pada pemberatasan pemberatasan buta aksara semata. Lebih dari itu,
pendidikan islam diharapkan mampu melakukan perubahan dalam dunia pendidikan islam
menjadi tuntutan yang tidak bisa ditunda lagi. Karena perubahan dalam pendidikan akan
mempermudah dan memperlancar terjadinya perubahan di segala bidang.
Teori lain yang menjadi buah pemikiran adalah tentang ajaran islam yang bersifat
universal. Universitas islam yang selalu menuntut warganya untuk melakukan aktualisasi nilai-
nilai islami dalam kehidupan nyata, dan saat ini tuntutan itu sangat kental karena kemandegan
“Islam” dihadapkan dengan kemajuan peradaban manusia dewasa ini, mengharuskan kaum
muslimin melakukan kajian epistemologi pendidikan islam, karena permasalahan pendidikan
adalah sangat urgen dalam menentukan langkah maju berbagai bidang lainnya. Perlunya
epistemologi pendidikan islam ini juga merupakan jawaban bahwa pendidikan harus
diselenggarakan berlandaskan filsafat hidup serta berlandaskan sosiokultural,25 yang secara
empiris terdapat didalam kehidupan manusia saat itu. Berarti epistemologi pendidikan islam
menjadi sebuah kebutuhan mendesak.
Meyakini epistemologi sebagai sebuah solusi adalah sebuah pemikiran bahwa dalam
menjawab persoalan-persoalan penting dalam pendidikan yang didasarkan pada otoritas, wahyu
Tuhan, empirisme, nalar dan intuisi untuk memahami sebuah epistemologi. Sebagaimana
pandangan imam Barnadib yang digunakan Uyoh Sadulloh26 yang menganalogikan epistemologi
seperti sebuah jalan raya sebagai sarana yang harus dilalui dalam mencapai sebuah tujuan. Secara
logika dapat diterima, karena analoginya menggambarkan bahwa proses epitemologi pendidikan
islam harus melewati jalan yang berliku untuk sampai ke kota tujuan. Maka jalan yang dilalui
sangat menentukan kelancaran perjalanan epistemologinya. Bila jalan yang dilalui adalah jalan
lurus beraspal bagus dengan rambu-rambu yang jelas, maka perjalanan akan dapat dilakukan
25 Umar Tirtahardja dan S.L. La Sulo, Pengantar…., hal. 82 26 Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat…, hal 86-87
dengan baik, namun bila jalan yang dilewati adalah jalan berlubang penuh dengan kubangan dan
tanpa rambu-rambu, ada kemungkinan bahwa kendaraan yang ditumpangi akan mogok dan boleh
jadi harus kembali ke pangkalan. Oleh karena itu penyiapan dan pemilihan jalan yang harus
dilalui harus pada pilihan yang tepat seperti jalan epistemologi. Islam memberi peluang untuk itu,
Karena islam memberikan kebebasan berfikir dan berkreasi adalah dua pekerjaan yang saling
berkaitan, karena hasil dari sebuah pemikiran adalah sebuah kreasi. Demikian juga dalam hal
epistemologi pendidikan islam. Bahkan islam sendiri member prioritas pada dimensi kreatifitas
melebihi sekedar manfaatnya.27 Artinya Islam memberi peluang seluas-luasnya bagi upaya
epistemologi pendidikan islam.
2.4. Strategi Epistemologi Pendidikan Islam
Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa pemikiran tentang epistemologi pendidikan
islam adalah hal penting yang perlu segera terwujud. Namun untuk mewujudkannya perlu ada
langkah-langkah strategis berupa lompatan-lompatan jitu untuk merubah wajah pendidikan Islam
ke arah yang lebih baik. Menempatkan kajian epistemologi pada prioritas utama, bukan berarti
meninggalkan ontologi dan Aksiologi pendidikan Islam. Apa yang menjadi topik bahasan sudah
sangat jelas dan untuk apa pembahasan pendidikan islam juga sudah jelas arahnya. Akan tetapi
bagaimana pendidikan Islam dilaksanakannya, ini yang menjadi sorotan tajam dalam perspektif
kemajuan umat islam ke depan. Oleh karena itu, tepatlah bila kajian pemikiran ini lebih
difokuskan pada epistemologi saja.
Luasnya cakupan epistemologi menjadi hal yang sulit untuk dipaksakan masuk dalam
tulisan singkat ini. Oleh karenanya, dibatasi persoalan yang dibahas pada koridor epistemologi
dari aspek sumber, struktur, dan metode saja. Pemilihan topik bahasan ini untuk menggambarkan
tiga aspek penting dalam epistemologi tanpa merendahkan aspek yang lainnya. Harapannya agar
bahasan yang dibatasi ini sudah cukup meyakinkan bahwa epistemologi pendidikan adalah
sesuatu yang menjadi tanggungjawab para pelaku pendidikan dan para pakar yang bergelut di
bidang ini.
2.5. Epistemologi Sumber
27http://books.google.co.id/books?id=sHCMAAAACAAJ&dq=inauthor:”Jamal+Ibn+Bashir+Badi&hl=id&ei=IVgyT
erxB5GwcdaP8d8H&sa=X&oi=book_ tanggal16 Januari 2011, hal. 94
Sudah menjadi kesepakatan bahwa sumber pendidikan islam adalah semua atau rujukan
yang darinya memancar ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang akan ditranssinternalisasikan
dalam pendidikan islam.28 Artinya bahwa sumber-sumber pendidikan Islam adalah bahan baku
yang siap olah, berasal dari beberapa sumber yang dapat dijadikan sebagai rujukannya juga
sudah baku, sehingga tidak perlu diragukan kebenarannya apabila telah dirujuk dari sumber
utamanya. Hasan Langgulung mengutip pendapat Sa’id Isma’il Ali,29 menyebutkan bahwa
sumber pendidikan islam ada enam macam yaitu; al-Qur’an, al-Sunnah, pendapat Sahabat Nabi,
kemasalahatan umat, ‘Uruf, dan ijtihad. Kajian epistemology yang dimaksud disini bukanlah
dengan menambah sumber pendidikan Islam, melainkan mempertajam penggunaan sumber atau
menambah sumbernya secara empiris dan komperatif terhadap berbagai sumber ilmu
pengetahuan. Misalnya penajaman sumber al-Qur’an pada hal-hal baru yang selama ini belum
ditemukan tema bahasannya dalam tafsir maupun ijtihad padahal ia merupakan kebutuhan umat
Islam, antara lain masalah tranfusi darah, cloning, identifikasi sidik jari dan sebagainya. Dengan
demikian kajian ke-Islam-an di dunia pendidikan Islam akan menjawab berbagai perkembangan
kebutuhan umat secara empiris dan kontemporer.
2.5.1. Sumber al-Qur’an
Kajian terhadap sumber utama ajaran Islam harus pula dijadikan konsumsi awal bagi
semua jenjang pendidikan Islam, agar pendalaman materi yang menjadi sumber pendidikan Islam
bukan menjadi hal baru bagi setiap peserta didik. Sudah waktunya dirubah paradigma kuantitas
mahasiswa perguruan tinggi islam kearah kuantitas dengan barometer sumber-sumber utama
pendidikan Islam, minimal al-Qur’an dan al-Sunnah. Setiap peserta didik pendidikan Islam
adalah warga muslim yang sudah memiliki penguasaan membaca, menerjemah, memahami dan
berwawasan al-Qur’an. Tujuannya agar pada saatnya mereka mampu melakukan kajian al-Qur’an
dari berbagai sudut pandang tanpa merubah aqidah dan keyakinan mereka terhadap al-Qur’an.
Kajian hermenetika al-Qur’an seperti yang dikembangkan nashr Abu Zayd,30 adalah contoh
bagaimana respon berlebihan umat islam mesir terhadap gerbakannya ini.
28 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam. Cet.II, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 31. Lihat, Toto
Suharto, Filsafat Pendidikan…, hal. 39 29Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1980), hal. 35. 30 Moch. Nur Ichwan, Meretas Keserjanaan Kritis al-Qur’an, cet.I, (Jakarta: Teraju, 2003), hal. 2
Menggali kandungan al-Qur’an tidak akan pernah habis-habisnya, sebab al-Qur’an
merupakan kitab suci yang diturunkan Allah kepada nabi Muhammad SAW sebagai rahmatan lil
‘alamin yang diharapkan mampu merubah wajah dunia. Faktanya, al-Qur’an telah merubah wajah
dunia, namun umat islam belum mampu merubah wajah dirinya sendiri dengan kehebatan dan
arogansi kejayaan masa lalu serta Fanatisme primodialis yang mengantarkan umat Islam pada
keterbelakangan di segala bidang. Pada era kejayaan Islam, al-qur’an telah diterjemahkan ke
dalam berbagai bahasa sehingga al-qur’an dapat dibaca dan dipahami sesuai dengan kadar dan
wawasan para penterjemahnya. Bahkan muncul sesuatu yang keliru, sebagian umat malah
menganggap tafsir atau terjemahan sama derajatnya dengan al-qur’an. Inilah contoh
terbelenggunya umat Islam dalam fanatisme yang sempit, karena mereka mendewakan hasil
pemikiran orang, sementara al-qur’an menganjurkan agar umat islam selalu menggunakan akal
pikirannya baik siang maupun malam dalam memikirkan semua makhluk ciptaan allah.
“sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera
yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan
dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia
sebarkan dibumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara
langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang
memikirkan.”(Q.S.(2):164).
Al-Qur’an sebagai salah satu tanda kemaha besaran Allah adalah juga objek yang harus
dipikirkan dan dikaji, tidak hanya sekedar dibaca dan diterjemahkan tetapi harus dikembangkan
dalam bentuk nyata baik dalam bidang teknologi, informasi, seni, budaya, sains, ilmu
pengetahuan dan semua bidang kehidupan. Kedudukan penting al-qur’an sebagai kitab suci
seharusnya tidak menjebak umat islam dalam bingkai fanatisme sempit, tetapi justru diharapkan
mampu memberi pencerahan pada setiap generasi kejenjang kajian yang lebih akomodotif
terhadap perkembangan zaman. Pada era kebangkitannya yang diharapkan, al-qur’qn harus
mampu diolah dan dijabarkan oleh para ilmuwan islam sebagai sumber yang “closed corpus”
untuk memberi solusi terhasap berbagai persoalan umat.
2.5.2. Sumber al-Hadist.
Al-Hadist sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an, juga memiliki andil penting dalam
upaya mengepistemologi pendidikan islam. Bukan hanya sekedar sumber hukum al-Hadist dapat
memberi inspirasi pengembangan pendidikan islam. Banyak hal-hal yang dapat dikembangkan
dari al-Hadist mulai dari pemahaman umat terhadap al-Hadist, baik kandungan, dirayah maupun
matan, sanat dan riwayatnya. Sebahagian umat islam juga masih terbelenggu pada pensakralan
al-Hadist yang membawa mereka pada penyempitan pembuluh pemikiran. Padahal
kedudukannya masih berstatus Zhanni bukan Qath’i. oleh karenanya, al-Hadist berfungsi sebagai
penjelas dan penjabar terhadap al-Qur’an.
Fungsi yang diemban hadist sebagai sumber hukum kedua dan merupakan pejelas dan
penjabar dari ayat-ayat al-Qur’an tidak serta merta menempetkan hadist menjadi teranuiir begitu
saja. Karena al-Qur’an sendiri bercerita tentang hadist bahwa hadist yang bersumber dari Nabi
adalah sesuatu yang benar dan bersumber dari Allah SWT (lihat Q.S.(53):4). Bahasa al-Qur’an
walau hanya sedikit, namun berbeda dengan bahasa Arab yang digunakan masyarakat Arab
sehari-hari.nuntuk menterjemahkan dan memberi pemahaman tentang ayat-ayat al-Qur’an Nabi
mengeluarkan hadist-hadistnya sesuai dengan kondisi turunnya ayat, sehingga cara yang
digunakan Nabi dalam menyampaikan hadist tentu mengandung metode dan teknik
memahamkan materi hadist tersebut kepada para sahabat. Kajian terhadap metode-metode
produksi hadist Nabi sedikit banyak akan menemukan berbagai teori-teori pendidikan.
Pada umumnya umat islam memahami hadist secara tekstual sebagai jabaran dari ayat-
ayat al-Qur’an. Dalam pemahamannya sering dipadanka dengan ayat-ayat yang meskipun bukan
sebagai asbabun nuzul ayat dijadikan sebagai hujjah menguatkan ayat-ayat al-Qur’an. Dari
kacamata pendidikan, hadist memiliki rahasia yang cukup banyak dan menyimpan rumus-rumus
keilmuan. Diawal tulisan ini telah diangkat salah satu contih yang digunakan Neill sebagai teori
Heart, not head in the schools (Hati, bukan otak yang diutamakan disekolah). Terhadap hadist ini
pada umumnya umat islam memahami secara tekstual yang menyatakan bahwa baik buruknya
manusia sangat ditentukan oleh qalbunya, karenanya umat islam dianjurkan untuk berbaik hati
serta menghindarkan diri dari penyakit hati seperti hasad, dengki dan khianat. Neill melihat hadist
ini dari dari sorotan yang lain yakni menjadikan esensi hadist ini sebagai teori pendidikan yang
menempatkan pedidikan hati dibandingkan dengan pendidikan yang menggunakan otak sebagai
sasaran utamanya, maka jadilah teori ini sebuah model pendidikan ala barat yang diadopsi dari
hadist Nabi.
Problematika lain yang masih menempel pada pemahaman hadist yang tekstual adalah
pada kajian mantiq dan balaghohnya sebuah hadist. Terdapat teks hadist yang cukup popular
yang dipahami secara tekstual oleh umat islam. Misalnya hadist Nabi yang mengatakan : Siapa
diantara kamu melihat terjadi kemungkaran, hendalah ia cegah dengan tangan, bila ia tidak
mampu ia cegah dengan lidah, bila ia tidak mampi juga ia cegah dengan hati. Ketahuilah, itulah
selemah-lemah iman. Penterjemahan seperti ini dan diaplikasikan di lapangan sesuai dengan teks
hadist maka munculah radikalisme atau pemahaman represif umat islam terhadap setiap bentuk
yang oleh kelompoknya sesuatu yang dikategorikan munkarat seperti tidak kekerasan, pemaksaan
kehendak, arogansi umat hingga terorisme. Padahal hadist yang diterjemahkan seperti itu boleh
jadi bertentangan dengan ayat-ayat al-qur’an yang memerintahkan umat islam untuk berbuat
lemah lembut, sopan dan satun, silaturahmi dan kebersamaan. Menurut hemat penulis, hdist
tersebut haruslah secara terbalik yakni dimulai dari tindakan yang lemah(qalbu) kemudian
dilanjutkan dengan dakwah dan bila diperlukan barulah dengan tinakan yang tegas. Memahami
hadist ini dengan cara terbalik lebih dekat denagn esensi ajaran islam sebagai agama yang
selamat, sejahtera dan rukun umat pemeluknya.
Dilain pihak hadist cenderung dimaknai secara sempit sebatas hadist qauli, hadist fi’li dan
hadist taqriri. Kenyataan ditengah masyarakat islam masi terdapat bentuk hadist lain yang
dipercayai seperti hadist ahwaliyah (sesuatu yang terjadi pada diri Nabi), tarkiyah ( perbuatan
sahabat di depan Nabi tapi tidak pernah dikerjakan Nabi dan tidak pernah dilarang Nabi) dan
hamiyah (forkes prediction). Antara keyakinan umat dan pemahaman umat masih terdapat
perbedaan yang mungkin salah satu penyebabnya adalah faktor pendidikan ilmu-ilmu hadist
kepada umat Islam.
2.5.3. Sumber-Sumber Lainnya
Selain ‘uruf dan maslahah umat terdapat sumber ijtihad yang menjadi sosrotan kajian
epistemilogi. Untuk simpelnya pemahaman terhadap sumber-sumber lainnya ini perlu ada kunci
yang memadukan ketiga sumber tersebut yaitu “Penelitian”. Kata penelitian merupakan kata yang
dekat pemaknaannya denga uruf, maslahah umat dan ijtihad. Kedekatannya terutama pada nuansa
operasionalnya karena ‘uruf adalah hasil penelitian sekelompok orang yang kemudian menjadi
kebiasaan bagi masyarakat setempat. Demikian hal dengan maslahah umat dan ijtihad adalah
berkaitan erat dengan penelitian. Lebih dari itu, penelitian adalah salah satu jawaban terhadap
mendegnya pendidikan Islam.
Menurut Azyumardi Azra31 pengembangan ilmu-ilmu keislaman tidak berkembang dari
madrasah kecuali dari hasil eksperimen dan uji coba keilmuan yang digali oleh pakarnya sendiri
dari al-Qur’an, kemudian menjadi sebuah temuan dan diangkat sebagai sebuah ilmu.
Kenyataannya sekarang pintu-pintu ke arah itu seakan tertutup rapat, sehingga dunia keislaman
tidak lagi mendengar pakar-pakar ilmu sekaliber al-Ghazali, al-Farabi, Ibnu Sina dan sebagainya.
Persoalan mendasarnya adalah pada kreatifitas dan imajinasi pengembangan ilmu-ilmu
keislaman. Sekalipun islam didominasi oleh pemahaman bahwa islam sangat identik dengan fiqh
dan syari’ah saja, namun bila kreatifitas dan imajinasi tertantang oleh kemajuan zaman. Maka
akan cepat muncul penemu-penemu baru dan ilmuwan-ilmuwan modern dari kalangan umat
islam, seprti kajian terhadap donor darah, DNA, sidik jari dan sebagainya.
2.6. Epistemologi Struktur
Salah satu kritisi terhadap pendidikan Islam tentu dialamatkan kepada struktur pendidikan
Islam. Alasannya, salah satu penyebab runtuhnya dunia pendidikan islam adlah masuknya
struktur politik ke dalam struktur pendidikan islam. Saat dunia politik Islam menjamah dan
menggarap pendidikan, tidak bisa dinafikan bahwa kemajuan dunia pendidikan Islam berada
pada puncaknya, seperti pada era ‘Abbasiyah. Efek positif ini tidak selamanya dapat
dipertahankan, karena ternyata juga berdmpak negatif yaitu runtuhnya pendidikan Islam tidak
terlepas dari tarik menarik politik dengan dunia pendidikan Islam. Praktek seperti ini hingga
sekarang masih menjarah kebebasan penddikan dan masih mengungkung gerakan pengembangan
pendidikan di berbagai tempat, di satu sisi, serta pemarjinalan berbagai lembaga pendidikan
Islam karena keterbatasan kemampuannya untuk mengmbangkan diri. Bukankah pendidikan
dalam Islam menjdi milik umat yang diawali dari rumah tangga dan dilanjutan di lembaga
pendidikan. Sedang peran biokrasi tidak secara langsung mempengaruhi proses pendidikan,
melainkan tampil sebagai pendukung atau bahkan sebagai lembaga yang melakukan intervensi.
Langkah yang harus dilakukan pada sektor ini adalah memurnikan pendidian dari
pengaruh-prngaruh politik yang dapat merugikan pendidikan itu sendiri. Alasan pemisahan dunia
31 Azyumardi Azra¸ Pendidikan Islam, Tradisi Dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, cet. I,(Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999), hal. xi
pendidikan dengan politik menurut Sudarwan Danim32 dialatarbelakangi oleh praktik institusi
pendidikan sebagai agen biokrasi sering menimbulkan konflik berbagai pihak seperti antara
tenaga profesional kependidikan (yang diharapkan menjadi soko guru epistemology pendidikan)
dengan manajemen pendidikan yang biokratif. Pemurnian pendidikan dari pengaruh politik
diharapkan berimplikasi pada pengembangan pendidikan secara wajar, sehingga pendidikan
islam dapat berkembang dari sumbernya yang asli tanpa tekanan dan dikte biokratif yang dapat
memaksa dan memasung pendidikan.
Modernisasi struktur pendidikan khususnya di Indonesia terus bergulir dari masa ke masa.
Warisan pendidikan Belanda saja masih menyisakan persoalan serius bagi umat islam yang
membedakan pendidikan umum dan pendidikan agama. Lembaga pendidikan yang beraneka
ragam juga turut menghiasi dinamika pendidikan islam di Indonesia. Sebut saja pasantren atau
madrasah yang dahulu sangat alot dengan kitab kunngnya, secara perlahan berkambang menjadi
berbagai lembaga pendidikan yang memadukan antara pendidikan agama dengan pendidikan
umum. Hal ini dapat dilihat dari bentuk struktur pendidikan yang dibangun oleh berbagai
organisasi kemasyarakatan seperti Muhammadiyah, Al-Walsiyah, al-Irsyad dan sebagainya.
Substansi terpenting dari persoalan ini adalah menempatkan pendidikan islam pada posisi
yang memiliki daya tawar tinggi. Daya tawar ini akan dapat diperolah dari output lembaga
pendidikan yaitu para sarjana, santri atau siswa yang memiliki daya saing tinggi di pasar. Seorang
lulusan pasantren misalnya tidak dituntut mampu memimpin shalat dan bisa baca doa saja, tetapi
ia harus tampil sebagai lulusan pesantren yang mampu bersaing secara fisik dengan lulusan MAN
model baik dari aspek keilmuan maupun dari aspek skilnya. Pada prinsip awal pendidikan islam
diharapkan mampu memberi jawaban akan adanya tuntutan masyarakat akan tenaga kerja pada
lapangan kerja yang hanya dapat dimasuki jika seseorang memiliki ilmu, teknologi, dan
keterampilan yang sesuai.33 Dengan epistemologi ini orientasi pendidikan islam tidak semata-
mata hanya untuk mengisi lapangan pekerjaan tetapi justru menjadi pencipta lapangan pekerjaan.
Dengan demikian struktur pendidikan islam harus mengalami perubahan yang signifikan
mulai dari bentuk, lembaga, kurikulum dan organisasi serta target yang ingin dicapai dari sebuah
32 Sudarwan Danim, innovasi Pendidikan Dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan,
Cet.I (Bandung: Pustaka Setia, 2002), hal. 113 33 Jusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam, cet.I (Jakarta: Gema Insani Press, 1995). Hal. 93
proses pendidikan. Singkat kata, struktur pendidikan islam harus dikembalikan pada posisi yang
benar secara berimbang antara struktur politik pemerintahan dengan struktur partisipasi
masyarakat dalam mengurusi pendidikan, sehingga output pendidikan tidak diintervensi oleh
kepentingan yang sempit dibandingkan dengan kepentingan yang lebih besar. Salah satu wujud
nyata dari epistemologi pendidikan islam adalah desentralisasi dan otonomisasi penyelenggaraan
pendidikan islam.
2.7. Epistemologi Metode
Cara pengembangan ilmu pendidikan islam bisa menggunakan metode penelitian ilmiah
(saintifik), metode penelitian filosofis (kefilsafatan), dan juga bisa menggunakan metode misuk
(sufistik). Hal ini tergantung pada apa yang diteliti.34 Artinya metode dalam kajian keislaman
sangat variatif dan cukup akomodatif pada aspek yang dikaji, termasuk dunia pendidikan islam.
Pendidikan islam juga bukan materi yang simpel dan sempit melainkan ahasan yang cukup luas.
Boleh jadi ketiga metode ini dapat digunakan dalam satu kajian diantaranya dalam kajian
pendidikan islam. Sebab pendidikan islam tidak hanya sains semata kecuali pada bagian-bagian
tertentu memerlukan metode filosofis atau bahkan mistis sufistik teutama pada kajian-kajian
nonempirik yang tidak terjangkau logika.
Untuk membangun pendidikan islam banyak hal yang harus dipersiapkan mulai dari
sarana, sumber daya manusia dan pendukung lainnya termasuk metode pendidikan islam. Metode
pendidikan islam seperinya stagnan dan berputar itu ke itu juga. Orang banyak beranggapan
bahwa pendidikan islam masih hanya sebatas pelajaran mengenal Tuhan (teologi) dan tafsir.
Padahal kurang mereka sadari bahwa dari sinilah mulainya pengenalan ilmu pengetahuan dan
saisn yang membawa manusia ke jenjang kejayaan. Sepintas statemen mereka ada benarnya bila
tidak jeli membaca fenomena keislaman yang mencakup semua aspek kehidupan manusia.
Masalahnya adalah umat islam saat ini masih memerlukan perubahan-perubahan besar dalam
bidang pendidikan termasuk metodenya.
Boleh jadi metode pendidikan islam termasuk metode pendidikan yang banyak ditiru dan
digunakan bukan hnaya dikalangan pendidik muslin termsuk juga para pendidik non muslim.
34 Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, ed. I. (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2006), hal. 34
Bahkan kajian-kajian ke-islam-an (diantaranya metodologi islam) sudah menjadi bagian dari
pendidikan modern dewasa ini seperti di Leiden University.35 Studi Islam di Jerman misalnya,
diawali dari keinginan seorang Teolog (karl Henseg Bergher) melakukan kajian bahasa
(Filologi).36 Kajian-kajian kritis yang dilakukan oleh para pakar telah membuka mata banyak
pengamat bahwa metode pendidikan islam masih memerlukan sentuhan tangan tampil trampil
para pakar metodologi untu merumuskan epistemologinya. Maka pendidik dalam proses
pendidikan islam kepada peserta didik, tetapi ia harus menguasai berbagai metode dan teknik
pendidikan guna kelangsungan transformasi dan internalisasi mata pelajaran. Hal ini dikarenakan
metode dan teknik pendidikan islam berbeda dengan metode dan teknik pendidikan yang lain.
Jadi, persoalan metode bukan hanya pada metode sebagai materi melainkan juga berkaitan
dengan manusia sebagai pengguna metode, berupa penguasaan metode dan teknik pendidikan
islam. Epistemologi metologi pendidikan islam ini dimaksudkan untuk menjadikan proses dan
hasil belajar mengajar ajaran islam lebih berdaya guna. Selain itu penerapan metode secara tepat
dan empiris adalah juga bagian tak terpisahkan dari metode. Sebagai contoh, pendidikan sholat
bagi anak usia dini, dalam Islam telah diatur sesuai dengan perkembangan umur si anak. Pada
usia tujuh tahun hendaklah anak disuruh untuk sholat dan pukullah ia bila tidak sholat pada usia
sepuluh tahun. Secara sederhana dan umum di pahami umat islam bahwa ada kewajiban orangtua
melakukan tindak kekerasan dalam menegakkan aturan dan kewajiban agama (sholat) bagi si
anak. Karenanya tumbuhlah kesadaran si anak bahwa shalat adalah doktrin atau ajaran agama
yang keras dan haraus di tegakkan dengan “main pukul”. Persepsi ini berkembang dan tertanam
dengan mantap di benak si anak, dan terhadap hal-hal yang tidak di senangi, tidak di butuhkan
atau yang bersifat ancaman individu, maka si anak akan melakukan usaha-usaha penolakan.37
sikap yang bekembang pada anak didik seperti ini akan berdampak negatif bagi pendidikan
Islam. Pada hal persoalannya sebenarnya hanya sepele, yaitu pada kata “dharaba” yang di artikan
dengan “pukul”. Pengertian seperti hampir merata di pahami umat Islam. Al-qur’an sendiri tidak
selamanya mengartikanya sebagai pukul, kecualai diartikan sebagai “membuat contoh”
(Q.S.2:26), ditimpakan (Q.S.2:61), berusaha (Q.S.2:273), diliputi (Q.S.3:112), perjalanan
35 Gerarrd W. Wiegers dalam kata pengantar Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan…., hal XVI 36 Annable Boettcher pada stadium general di pascasarjana IAIN Ar-Raniry tanggal 22 Maret 2008 37 Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, cet .I V, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2009) hal. 60
(Q.S.3:156), pergi berperang (Q.S.4:94), perumpamaan (Q.S.13:17) dan lain-lain. Maka dengan
penisbahan kata dharaba dalam arti memberi contoh, akan lebih dapat diterima oleh akal sehat,
baik bilihat dari sisi pendidik maupun si terdidiknya.
Pada sisi lain dapat dikatan bahwa epistemology metode pendidikan Islam menurut
adanya perubahan aspek metodelogi pembelajaran dari yang bersifat dogmatis-dogtriner dan
tradisional menuju kepada pembelajaran yang lebih dinamis aktual dan kontekstual.38 Untuk
mengimplementasikan pendekatan konteksual inilah diperlikan kajian-kajian epistemology yang
diharapkan dapat memberi jawaban bagi para pelaku pendidikan untuk melakukan sesuatu yang
besar terhadap metode pendidikan Islam.
Memang diakui bahwa respon masyarakat terhadap sistem pendidikan Islam semakin
lama semakin meningkat. Kondisi struktur sosial-historis masyarakat muslim yang mengalami
kemajuan membangkitkan kesadaran mereka akan arti pentingnya pendidikan. Masyarakat
muslim yang mengalami pencerahan dalam berbagai hal Termasuk dalam bidang teknologi
komunikasi, politik , ekonomi dan budaya, mereka menyadari bagaimana membangun sistem
pendidikan islam yang mampu berafiliasi dengan kemajuan zaman. Ini merupakan kesadaran
akan kesetaraan kelas akademisi dengan karakter instrumental yang dimilikinya untuk
disejajarkan, atau bahkan melampaui kelas sosial yang berkembang relasi kesadaran metodologi
yang berorientasi pada kebangkitan pendidikan islam.
Harus diakui pula bahwa kebangkitan pendidikan islam yang ditandai semakin banyaknya
lembaga pendidikan yang menunjukan daya saing yang tinggi, baik ditingkat menengah maupun
ditingkat perguruan tinggi. Bahkan kajian-kajian keislaman telah pula mewarnai perguruan tinggi
ternama di barat dan telah melahirkan cendekiawan-cendekiawan muslim berkalier internasional,
seperti Said Hawa, Muhammad Arkoun dan yang lainnya. Hanya saja kebangkitan mereka ini
belum mampu menjawab persoalan substansi dari pentingnya epistemology pendidikan islam. Di
sisi lain, luasnya cakupan pendidikan islam menuntut pula kuantitas penggerak epistemologinya.
Ibarat sebuah kendaraan yang sedang mengalami gangguan, maka kendaraan ini akan menjadi
baik bila bengkel tempat memperbaikinya sesuai dengan merk mobilnya, kerusakan yang dialami
ditangani oleh ahli yang sesuai dengan profesinya, bila kerusakan pada radiator maka ahli
radiatorlah yang akan memperbaikinya dan bila wayernya yang bermasalah tidak mungkin bagus
38 Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hal. 49
bila ditangani oleh tukag tambal ban. Demikian seterusnya problematika epistemology
pendidikan islam akan bergulir bila masing-masing ahli tidak melakukan kajian secara
epistemology terhadap spesialisasinya dan memasukkannya kedalam dunia pendidikan islam.
Cara ini diharapkan mampu memberi jawaban kepda dunia islam bahwa kebangkitan
islam hanya beralihnya kembali matahari ilmu pengetahuan dari barat ke timur, dan seharusnya
matahari terbitnya dari timur ke barat sesuai sannatullah dan hukum alam. Meski sebahagian
orang berpendapat bahwa kebangkitan pendidikan islam diukur dari baik buruknya akhlak umat
penganutnya, namun menurut Muhaimin timbulnya krisis akhlak atau moral bukan hanya
disebabkan karena kegagalan pendidikan agama.39 Artinya tolak ukur dari kebangkita pendidikan
islam hanyalah berkibarnya bendera ilmu pengetahuan dari hasil karya para sarjana muslim dari
berbagai disiplin ilmu.
Sesuatu yang keliru pula bila ada orang yang berpendapat bahwa kajian keislaman
hanyalah kajian teologia yang bersifat regional atau etnik. Sesunggguhnya islam adalah agama
yang universal dan dari keuniversalannya tumbuh dan berkembang beraneka ragam budaya yang
meliputi berbagai aspek kehidupan manusia, alam semesta dan makhluk ciptaannya. Mengapa
harus melakukan kajian epistemologi metode pendidikan islam seperti yang diharapka dari
tulisan ini, menurut Azra, banyak pemikir dnia yang menjelaskan bahwa krisis yang ada sekarang
ini di sebabkan oleh ilmu pengetahuan modern yag penerapan teknologi tinggi.40 Mengapa
pendidikan islam tidak mampu menghadapi krisis ini, tentu karena kompleknya yang
permasalahan pendidikan islam, diantaranya metodologi pendidikan islam. Oleh karena itu,
pendidikan islam yang dari agama islam yang pernah memiliki otoritas sumber ilmu pengetahuan
ilmu dunia, harus memberi sumbangan untuk membawa manusia kejalan keselamatan dimasa
depan. Disinilah pentingnya kehadiran lembaga-lembaga pendidikan islam dan kehadirannya ini
akan segera dirasakan oleh dunia setelah mampu melakukan kajian dan menerapkan hasil
epistemologinya sehingga umat ialam benar-benar berada pada era kebangkitan yang
sesungguhnya.
39 Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, ed. I (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007),
hal. 19 40 Azra, Pendidikan…, hal. 27.
III. PENUTUP
Ketika seorang dokter menerima seorang pasien, hendaklah ia memeriksa dan mengenali
penyakit yang diderita pasiennya. Bila hal ini tidak mampu ia lakukan, ada kemungkinan bahwa
dokter akan memberikan resep obat yang tidak sesuai dengan penyakit yang diderita pasien. Hal
ini akan berakibat fatal bagi pasien. Atau mungkin saja si dokter dengan jujur mengatakan
bahwa ia belum bisa menganalisa penyakit yang diderita pasien, maka kekecewaanlah yang akan
dirasakan pasien, dan mungkin saja si pasien menterjemahkan penjelasan dokter bahwa penyakit
yang dideritanya adalah jenis penyakit yang tidak bisa disembuhkan lagi, streslah pasien ini dan
menambah parah penyakit yang dideritanya.
Demikianlah sebuah analogi pendidikan islam, dimana umat islam terlabih-lebih para
pakar dan pemikir pendidikan islam perlu menyadari sepenuhnya terhadap keberadaan, fungsi,
peran dan pengaruh epistemologi pendidikan islam terhadap masa depan pendidikan islam. Perlu
upaya yang serius untuk menggarap epistomologi pendidikan islam. Upaya yang dilakukan
selama ini dinilai belum sampai pada tataran diagnosa epistemologi karena tidak didasari proses,
tahapan dan arah yang jelas. Dalam mengatasi problematika pendidikan islam hendaknya
ditempuh langkah yang tepat dan benar . sehingga sesuatu yang menjadi akar permasalah itulah
yang harus ditangani lebih dahulu. Akar permasalahan pendidikan islam sekarang ini adalah
epistemologi pendidikan islam. Denagn demikian, dianogsa dokter dapat diarahkan pada penyakit
ini sehingga resep dan obat yang diberikan juga adalah resep dan obat epistemology pendidikan
Islam itu sendiri.
Dalam kilas balik pengamatan tentang dunia pendidikan islam, agaknya kajian
epistemology pendidikan Islam belum mendapatka porsi yang benar atau malah belum pernah
menjadi perhatian serius para pakar pendidikan atau pemikir Islam. Masih sangat sulit rasanya
mencari kajian epistemology pendidikan Islam dari para ulama terdahulu dan ternama, meski
pada masanya mereka adalah penemu dan penggagas berbagai kemajuan diberbagai bidang
keilmuan. Sudah saatnya bagi para pakar dan pemikir pendidikan Islam untuk merumuskan
epistemologi pendidikan islam untuk dijadikan sebagai sarana pengembangan dan kemajuan
pendidikan Islam. Mungki saja karya-karya besar mereka selama ini belum mampu menjangkau
perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat cepat. Oleh karena itu permasalahan epistemologi
pendidikan islam adalah persoalan yang sudah harus dimulai sekarang, meski usaha ke arah ini
boleh jadi sudah terlambat. Terlambat masih lebih baik dari pada tidak berbuat sama sekali.
Semuanya harus menyadari bahwa epistemologi pendidikan Islam harus menjadi
perhatian utama. Langkah strategisnya adalah dengan membuyakan dan mentradisikan
epistemologi dalam dunia pendidikan islam. Langkah ini membawa umat islam kepada sebuah
perkiraan kalkulasi, seandainya pendekatan epistemologi ini benar-benar diterapkan, maka
dalam waktu yang tidak terlalu lama hasilnya akan melahirkan para peserta didik yang mampu
memproses suatu ilmu pengetahuan mulai dari awal hingga tuntas.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, cet. II, Jakarta: Kencana,2008.
2. Abdul Mustaqim, pergeseran Epistemologi Tafsir, cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003.
3. Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, cet, III, Jakarta: RajaGrafido
Persada.
4. ---------, Manajemen Pendidikan, edisi ketiga, cet IV, Jakarta: Kencana, 2010
5. Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, edisi revisi, Jakarta: Rajawali Pers, 2010
6. Azuyumardy Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru,
cet.I. Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999
7. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005.
8. Bertens K. Sejarah Filsafat Yunanii, cet. XV, Yogyakarta, Kanisius, 1999
9. Durant, Will, The Story of Philosophy, New York, Simon & Schuter, 1993.
10. Hasrja W. Bachtiar, dalam kata pengantar Arief S. Sadiman, dkk, Media Pendidikan,
Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya, Jakarta: Rajawali Pres, 2009.
11. Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI Pres, 1979.
12. Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Bandung: al-Ma’arif,
1980
13. http://books.google.co.id/books?id=sHCMAAAACAAJ&dq=inauthor:”Jamal+Ibn+Bashir+Badi&
hl=id&ei=IVgyTerxB5GwcdaP8d8H&sa=X&oi=book_
14. http://books.google.co.id/books?id=sHCMAAAACAAJ&dq=inauthor:”Jamal+Ibn+Bashir+Badi&
hl=id&ei=IVgyTerxB5GwcdaP8d8H&sa=X&oi=book_ tanggal 16 Januari 2011
15. Imam Tolhah, Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan, cet. I, RajaGrafindo Persada, 2004.